TINJAUAN PUSTAKA
Bioloai Re~roduksi Sistem Re~roduksiUdans Jantan Sistem reproduksi udang windu jantan (Gambar 2) terdiri dari organ internal, seperti sepasang testes, sepasang vas deferens dan sepasang terminal ampul, dan organ eksternal, yaitu petasma yang terletak pada kaki renang pertama dan sepasang appendix masculina yang terletak pada kaki renang kedua (Motoh, 1981). Sistem Re~roduksiUdans Betina Sistem reproduksi udang windu betina (Gambar 3) terdiri dari organ internal, yaitu sepasang ovarium dan sepasang saluran telur (oviductus), dan organ eksternal yaitu satu telikum yang terletak di antara kaki jalan (periopoda) keempat dan kelima (Motoh, 1981; Prirnavera, 1983 dan Nurdjana, 1985).
Pada bagian dalam telikum terdapat
reseptakel seminal yang berfungsi untuk menyimpan spermatofora
setelah terjadi kopulasi.
Tinskat Kedewasaan Bila ditinjau dariumur dan ukuran, tingkat kedewasaan udang jantan dan betina adalah sebagai berikut :
luar
Umur : Perkembangan bagian-bagian %elamin sebelah mendahului
kematangan
ovarium
dan
testes pada
P. -
nonodon (Primavera, 1983) atau alat genital udang be-
tina berkembang sebelum gonad masak (Hall, 1962).
Kare-
nanya perkawinan pertama kali terjadi pada umur yang masih nuda, jauh sebelum mijah (spawning) pertama. monodoq,
Pada
E.
kopulasi pertama terjadi pada udang berumur 4-5
bulan, dan pemijahan pertama pada umur berkisar 10 bulan (Primavera, 1983)
.
Petasma T
TA PVD DVD MVD Gambar 2.
: : : : :
Umbai jantan Testes Terminal ampul Vas deferens de an Vas deferens be?akang Vas deferens tengah
Sistem Reproduksi Udang Windu (penaeus monodon) Jantan (Motoh, 1981)
-
Ukuran: Menurut Motoh (1981), rata-rata ukuran mini-
mal panjang karapas udang jantan dan betina dewasa yang berasal dari tambak masing-masing lebih kecil daripada yang dari alam (laut), yaitu 31 mm dan 39 mm atau 70 dan 110 g bobot badan. minimum 75
Menurut
Primavera
(1983), ukuran
udang betina dari laut untuk dipijahkan adalah
g, tetapi yang berukuran 60 g pun sudah mengandung
sperma di dalam telikum, yang berarti telah terjadi kopulasi.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa udang betina yang
berasal dari tambak dan berbobot 40 gram positif mengandung sperma. Dengan demikian, udang jantan dari tambak dan alam (laut) dengan bobot sekurang-kurangnya 40 g baru mungkin
untuk
dilihat spermanya di bawah mikroskop de-
ngan membelah spermatofora (Primavera, 1983). aping
Ovarium
Telikur
Gambar 3.
Ovarium dan Telikum Udang Windu . (Penaeus monodon) (Motoh, 1981)
cuping
Funasi Alat Kelamin Eksternal Alat kelamin eksternal jantan yang disebut petasma berfungsi untuk menyalurkan sperma dan meletakkan spermatofora pada alat kelamin betina yang disebut telikum, sehingga telikum berfungsi sebagai penampung sperma sebelum terjadi pembuahan. Telur keluar melalui saluran telur (oviduct) dan akan dibuahi oleh sperma dari telikum tadi. Pembuahan terjadi di luar badan atau di air (Liao dan Huang, 1972). Tinskat Kematangan Telur Kematangan telur dapat dilihat dari perkembangan ovarinya (kandungan tetur), yang terletak di bagian punggung (dorsal) dari tubuh udang mulai dari karapas sampai ke pangkal ekor (telson).
Ovari yang mengandung telur
matang dapat dilihat dengan jelas pada individu yang masih hidup, terutama
pada
jenis udang putih (Penaeus
perquiensis dan 2. Jndicus) , karena kulitnya tipis dan jernih.
Pada udang windu (P. monodon) dan 2. semisulca-
tus ovari -
agak sulit dilihat tanpa tembusan cahaya, ka-
rena kulitnya tebal dan berwarna gelap (Poernomo, 1979). Kematangan telur udang penaid (Gambar
4)
dapat dibe-
dakan dalam lima tingkat (Primavera, 1983) yaitu:
-
Tingkat I : ovari tipis, transparan dan tidak terlihat melalui eksoskeleton dorsal (punggung kerangka luar) ,
Gambar 4.
Tingkat Kematangan Telur Udang Windu (Penaeus monodon) (Primavera, 1983)
-
Tingkat I1 : merupakan tingkat kematangan awal dengan terlihat adanya benang halus berwarna hijau pekat di bagian punggung udang penaid,
-
Tingkat 111: warna ovarium semakin jelas (gelap), tebal dan padat,
- Tingkat IV
: tingkat kematangan udang yang siap memijah
dan ditandai dengan semakin melebarnya ovari dan di bagian anterior ovari tersebut terlihat lekukan-lekukan dan bulatanbulatan pada ruas badan pertama dan kedua,
-
~ingkatV
: ovari telah melepaskan telur baik secara
penuh maupun sebagian, sehingga berwarna jernih atau pucat. Cara lain untuk menentukan kematangan telur adalah dengan melihat indeks kelamin yang disebut "gonadal somatic indexM (GSI) atau indeks gonad somatik (IGS) yang menyatakan persentase bobot ovari yang berisi telur terhadap bobot total: bobot ovari IGS
x 100.
=
bobot badan
Induk E. monodoq yang berasal dari alam dan siap memijah mempunyai IGS minimum 11.1 (Poernomo, 1979). M i i a h Udang windu betina yang matang telur~(stadia 4) akan segera memijah (bertelur).
Pemijahan biasanya terjadi
pada malam hari antara jam 8 malam dan jam 6 pagi, sebaqian besar di antara jam 10 dan 2 malam (Primavera, 1983).
Pemijahan hanya berlangsung 2
-
7
menit.
Apabila
pemijahan hanya terjadi 50 persen, maka udang akan memijah kembali untuk kedua kalinya, sedangkan apabila hanya 158, maka pemijahan akan terjadi 3 kali.
Setelah memijah
udang kembali matang dalam 3-5 hari (Primavera, 1983). Pemijahan dapat terjadi di alam, yaitu di daerah lepas pantai, sedangkan di pembenihan terkontrol di bak-bak pemijahan.
Pemijahan terjadi
sepanjang tahun, terutama
pada akhir musim hujan, karena adanya perubahan salinitas dan suhu mendadak yang dapat memberikan rangsangan pada induk udang yang matang telur untuk mijah.
Selanjutnya
pemijahan yang paling aktif terjadi pada waktu suhu relatif tinggi (Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1980). Fekunditas dan Kualitas Telur Induk udang yang berasal dari laut, tanpa melalui ablasi mata, dapat menghasilkan telur yang lebih banyak dan berkualitas berasal dari
baik
tambak
(Primavera, 1983).
bila udang
dibandingkan dengan
cara
dengan yang ablasi
mata
Fekunditas udang betina yang berasal
dari laut, secara alami dapat mencapai 200 000-1 000 000 butir dengan rata-rata 500 000 butir telur, sedangkan melalui ablasi mata, baik udang dari laut maupun dari tambak hanya 100 000 sampai 600 000 telur, dengan rata-
rata 200 000 butir telur bagi yang berasal dari tambak clan 300 000 telur dari laut.
Menurut Cuming (1961) dan
Penn (1980) dalam Nurdjana (1985), jumlah telur yang dilepaskan (fekunditas) bervariasi bergantung kepada ukuran induk.
Induk
lebih banyak.
yang
lebih besar akan menghasilkan telur
Perkembangan dan kualitas telur tertera
pada Gambar 5.
Sari pertama 10 menit
20 menit '40 menit
1%jam
membran lua:
normal
3eadzen sebenar?ya setelah m i jah ( 3 nenjlt )
Gambar 5.
Perkembangan dan Tipe Telur pada P. monodon (Primavera, 1983) -
Sistem Endokrin Sistem Endokrin Ikan Pada ikan, kelenjar hipofise adalah pusat sistem endokrin
(Anonim, 1980),
yang pada dasarnya sama dengan
kelenjar hipofise pada semua kelas vertebrata.
Secara
embriologi kelenjar hipofise ikan dibagi menjadi 2 bagian yaitu neurohipofise dan adenohipofise. Pada adenohipofise bagian pars distalis terdapat sel-sel gonadotropik (gonadotropin) yang menghasilkan follicle stimulatina hormone (FSH) dan luteinizinq hormone (LH).
FSH dan LH disebut hormon gonadotropin, yang
berperan penting dalam reproduksi ikan, proses kematangan gonad dan pelepasan telur (Anonim, 1980). FSH merangsang perkembangan permulaan folikel pada ovarium dan gametogenesis pada testis.
LH yang
terdapat
pada jenis betina berperan dalam pertumbuhan akhir folikel ovari dan juga memacu sel-sel endokrin yang terdapat pada teka folikel interna untuk menghasilkan estrogen. Selain itu LH juga berpengaruh dalam proses pematangan gonad dan perkembangan korpus luteum dalam ovarium, sehingga memacu sekresi progesteron (Junqueira dan Carneirio, 1980; Ganong, 1983).
Struktur kimia khorionik gonadotropin pada FSH adalah glikoprotein (bobot molekul 32 000) dengan 236 asam amino, sedangkan LH merupakan glikoprotein yang mempunyai
bobot molekul 30 000 dengan 2 rantai asam amino; satu rantai alfa yang dibentuk dari 96 asam amino dan satu rantai beta dengan 119 asam amino (Junqueira dan Carneiro, 1980).
Menurut Gan, Suharto, ~yamsudin,Setiabudy,
~ r i n idan Vincent (1980), struktur kimia gonadotropin adalah glikoprotein yang mengandung heksosa, manosa dan galaktosa, dan juga terdiri dari asam sialat. Glikoprotein dan asam sialat tersebut dibentuk dari subunit alfa LH, FSH dan TSH (tiroid stimulating hormon) serta subunit beta yang memberi sifat kespesifikan hormonal. Berddsarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui peranan hormon khorionik gonadotropin sangat penting dalam proses perkembangan gonad.
Hal ini dapat ditunjukkan
pada ikan yang diberi perlakuan hipofisektomi.
Gonad
ikan tersebut mengalami atropi karena hilangnya faktorfaktor yang mengatur perkembangan gonad dan akhirnya gonad akan menyusut (Gordon, 1977 dan Gan, & d., 1980)
.
Tetapi perkembangan gonad dapat dipulihkan kembali jika ikan diinjeksi dengan suspensoid hipofise ikan dewasa (Anonim, 1980)
.
Mekanisme Keria Hormon Ikan Syaraf dan sistem endokrin vertebrata berperan bersama-sama mengatur proses perkembang-biakan hewan.
Hu-
bungan utama yang merupakan mata rantai-peristiwa dari rangsangan lingkunan sampai pelepasan gamet dilukiskan
pada Gambar 6, dengan kegiatan syaraf pada tingkat permulaa dan peranan hormon merupakan aktivitas terakhir. Rangsangan lingkungan (lama penerimaan cahaya, temperatur dan curah hujan) diterima oleh indera dan diteruskan ke sistem syaraf pusat.
Kemudian ke hipotalamus yang
memproduksi sonadotropin releasins hormone (GnRH) dan menentukan aktivitas kelenjar pituitary
atau
hipofise de-
ngan proses kimia melepaskan hormon.
Adanya rangsangan,
pituitarv melepaskan peredaran hormon dengan organ sasaran gonad. Hormon tersebut adalah gonadotropin. Pengaruh gonadotropin adalah merangsang penghasil hormon seks steroid gonad (androgen, esterogen dan progesteron), yang kemudian mempunyai respon ke maturasi garnet.
Hormon seks
steroid tersebut langsung mengatur perkembangan gonad. Sistem Endokrin Udanq Penelitian terhadap sistem endokrin pada
crustaceae
telah dimulai pada tahun 1928, melalui penemuan yang terpisah
oleh
Perkins
yang
menyelidiki Palaemonetes dan
Keller yang mempelajari jenis udang crangon (Carlisle dan Knowles,
1959).
Hanstrom adalah krin
pada
Selanjutnya
mereka mengatakan bahwa
orang pertama yang menemukan organ endo-
crustaceae yang disebut "kelenjar sinus dan
organ-XIt. Menurut carlisle dan Passano (1953), organ-X merupakan sumber penghasil bahan-bahan sekresi yang terdapat
pada
kelenjar
sinus organ-X dan
terdiri dari
sekelompok
sel
syaraf
penghasil hormon, yang pada
Brachyura terletak pada bagian dorsolateral tangkai mata, antena medula eksternal dan medula internal, sedangkan pada Natantia dekat kulit luar dan biasanya dekat bagian distal dari medula terminalis,(Welsh, 1961). Rangsangan dari luar
I
Indera ? l
f Syaraf / humoral
Produksi hormon I
I Pituitari
-.
Hormon gonadotropin Gonad
G I I Hormon seks
Kematangan dan Pelepasan gamet
Gambar 6. Hubungan antara Organ dengan Hormon Berkenaan dengan Proses Kematangan dan Pelepasan Gamet pada Ikan (Harvey dan Hoar, 1979)
Mekanisme Keria Hormon Udanq Sel-sel syaraf neurosekretoris di bermacam lokasi sistem syaraf mengirim aksonnya ke pusat pelepasan di setiap tangkai mata, yang disebut kelenjar sinus.
Pusat
ini sebagai pengganti dari kumpulan akhir syaraf bulat yang terletak di dorsolateral tangkai mata.
Kelenjar si-
nus merupakan sekelompok ujung-ujung sel syaraf yang banyak mengalami perubahan dan disebut sebagai organ neurohemale yang berfungsi untuk menyimpan dan melepaskan hormon ke organ sasaran yaitu bagian distal pigmen retinal, kromatofor organ-Y dan mengatur gula darah.
Hal ini di-
perlihatkan pada Gambar 7 (Welsh, 1961).
?r' Gambar 7.
:\
Qlla darah
Sistem Neurosekretoris ele en jar Sinus Brachyura (Welsh, 1961)
Adi'yodi dan Adiyodi (1970) menjelaskan sistem mekanisme hormon pada dekapoda,
yang kemudian dibahas pula
oleh Martosudarmo dan Ranoemihardjo (1980), serta oleh Nurdjana (1985).
Dari uraian-uraian mereka dapat dije-
laskan bahwa keadaan lingkungan merupakan sumber rangsangan pertama yang mempengaruhi kerja susunan syaraf pusat. Akibat adanya rangsangan dari luar, susunan syaraf pusat memerintahkan organ-X yang terletak pada tangkai mata untuk menghasilkan hormon yang bitins hormone (GIH).
disebut sonad inhi-
Sebelum GIH dilepaskan ke organ
sasaran terlebih dahulu disimpan dalam kelenjar sinus yang juga terletak di tangkai mata (Kulkarni dan Nagabhushanam, 1980).
GIH ini menghambat perkembangan gonad ba-
ik kelenjar seks dan androgen pada udang jantan (Adiyodi dan Adiyodi, 1970) dan ovari pada individu betina, sehingga sperma dan telur terhambat perkembangannya. GIH mempengaruhi perkembangan gonad tersebut, yaitu dengan menghambat aktivitas organ-Y yang terletak pada bagian kepala. Kerja organ-Y menghasilkan hormon yang disebut aonad simulatina hormone
(GSH), yang merangsang pemben-
tukan sperma pada individu jantan atau telur pada individu betina.
Gambar 8 memperlihatkan mekanisme hormon da-
lam proses reproduksi dekapoda
(Adiyodi dan Adiyodi,
1970). Organ-X mengendalikan tingkah laku seksual, pro, kromatoses penyerapan air, ganti kulit dan pembentukan
fora.
W f I N U l N DARI LUAR
4
SWUNRN $YARAF PUSAT I
OR+
-X
i /, < ~ ~ ~
I
KELUJ;RR SINUS I
I
v
GONAO INHIBITING HORMONE
Peoguuh
( G I H ) RKTIVITAS BERTELUR
Perkembangan spermatozoa
,'4, I
lan9-n9 #
,
.,
,
0
I
,,
/
,, I
I
0 0
,0
HoRHoN
ANDROGEN
ANDROGEN
I
Tingkah laku seksual
I I
6
l
7-y
#
0'
#
b'
WfiRIUn
GONfU STIPUJLATING HORMONE
,q"
=rurg=wrg perkembangan blur
GRNGLION THORACHIUH
OTAK
Q
Tingkah laku seksual
Pads individu bet ina G a m b a r 8.
Pada individu jantan
Sistem Kerja HMa d a l r Proses Repr-oduksi Decapoda tddiyodi &n Wiyodi. 1970; Nu-djana. 1985).
Peranan Hormon
Hormon Crustaceae Menurut Adiyodi dan Adiyodi (1970), pada crustaceae tat sebanyak 6 macam hormon, yaitu: (1) Hormon penghambat penggantian kulit (MIH); (2) Hormon pengganti kulit (MH); (3) Hormon penghambat gonad (GIH); (4)
Hormon perangsang gonad (GSH);
(5)
Hormon jantan (androgenic hormone = AH);
(6) Hormon betina (female hormone = FH)
M I H.
Hormon
penghambat
.
penggantian kulit (MIH)
bersumber pada organ-X yang terdapat pada Macrura dan Brachyura yang mempunyai sifat dasar kimia sebagai hormon neurosekretoris atau protein.
Sasarannya adalah organ-Y.
Pengaruh hormon ini adalah menghambat pergantian kulit oleh perintah organ-Y.
Selain berpengaruh pada penggan-
tian kulit, hormon ini juga berpengaruh pada reproduksi yaitu meningkatkan reproduksi oleh perintah organ-Y di awal pergantian kulit.
M.
Hormon ini bersumber pada organ-Y, yang sifat
dasar kimianya adalah steroid (crustecdysone), organ sasaran epidermis dan hepatopancreas.
Fungsi hormon ini
adalah:
-
memberi respons terhadap permulaan perkembangan ganti kulit,
-
berpengaruh pada pengerasan kulit, perubahan warna dan regenerasi,
-
berpengaruh pula pada kehidupan lebih lanjut pada perkembangan gonad termasuk spermiogenesis dan vitelogenesis.
G I H.
Hormon ini dihasilkan oleh organ-X pada Ma-
crura dan Brachyura di kelenjar sinus, yang terletak di tangkai mata.
ifa at dasar kimianya adalah hormon neuro,
sekretoris. Sasaran organ adalah gonad, kemungkinan pula hepatopankreas sumber GSH dan kelenjar androgenik.
Fung-
si hormon ini adalah :
-
menghambat perkembangan kelenjar androgen pada individu jantan atau ovarium pada individu betina, sehingga perkembangan sperma dan telur terhambat;
-
menghambat perkembangan gonad secara tidak langsung dengan menghambat aktivitas organ-Y yang terletak pada bagian kepala;
-
dapat mengendalikan produksi hormon androgen
.
(AH) dan hormon betina (FH)
Seperti halnya MIH, GIH diawali secara terperinci di sel-sel neurosekretoris dari simpul organ-X dan dikirim ke bagian dalam sumbu syaraf sepasang organ-X dan berakhir di kelenjar sinus untuk disimpan dan dilepaskan. Diduga bahan produksi GIH rendah selama waktu giatnya pertumbuhan ovari dan produksi GIH tinggi bila ada kegiatan seksual.
G S H.
Sumber hormon ini adalah simpul syaraf kepa-
la, sifat dasar kimianya hormon neurosekretoris. Sasaran organ yang dituju adalah gonad, hepatopankreas dan kelenjar androgen.
-
Fungsi GSH adalah:
menghambat awal pergantian kulit oleh organ-Y, merangsang hormon androgen dalam pembentukan sperma dan memelihara pengeluaran telur pada individu betina.
A.Hormon androgen.
androgen ini dihasilkan oleh kelenjar
Menurut Charntaux
-
cotton
(1954) dalam Char-
niaux-cotton (1960) hormon ini terdapat pada individu jantan dari amphipod, Orchestia sammarellus Pallas, dan kelenjar androgen dibentuk oleh hampir semua group dari Malacostraca. Sifat dasar kimianya adalah protein atau polipeptida. Kelenjar androgen ini mengeluarkan hormon yang berfungsi untuk menentukan kelamin, tingkah laku, perkembangan testes, saluran sperma dan proses pembelahan normal spermatogenesis (Charniaux-cotton 1960, 1962) dalam
.
Adiyodi dan Adiyodi (1970)
Perbedaan testes ditentukan
pula baik oleh MH maupun AH, dan perbedaan ovari yang terjadi bukan hanya oleh adanya MH. Bonnenfant (1964) da-
rn Adiyodi
dan Adiyodi (1970) menyatakan bahwa AH diper-
lukan untuk memelihara pembentukan sperma secara normal. Sumber hormon betina ini kemungkinan di ovari, FH. yang berfungsi untuk mengontrol perkembangan karakter
seks betina kedua pada decapoda (Charniaux-cotton, 1960).
FH secara langsung atau tidak lansung dipengaruhi oleh GIH yang berperang penting pada decapoda, di mana GIH me-
merlukan tingkat optimum untuk menghasilkan FH dan juga diperlukan untuk menghasilkan AH.
Fungsi FH ialah berpe-
ran penting di dalam rangsangan oogenesis. Ganti Kulit
Untuk membahas pertumbuhan, pertama-tama perlu mengetahui tentang proses pergantian kulit, karena umumnya perturnbuhan adalah akibat dari pergantian kulit, dan ukuran udang meningkat pada setiap pergantian kulit (Wickins, 1976) dalam Saito (1983)
.
Kegiatan pertumbuhan adalah
proses yang terus menerus terjadi pada sel mahluk hidup. Menurut Rurata (1962) dalaa Saito (1983) pertumbuhan merupakan persamaan garis lurus dengan terjadinya saat ganti kulit.
Kegiatan ganti kulit dapat terjadi pada setiap
waktu, terutama pada malam hari. Ganti kulit adalah semua proses dari persiapan untuk penggantian selaput tua, pengelupasan dan pembaharuan dalam meningkatkan ukuran dan pertumbuhan jaringan (Passano, 1960).
Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa hormon
antara lain:
MIH, menghambat ganti kulit, tetapi mening-
katkan dasar dan pertumbuhan kulit pada tingkat premoult pada anggota badan; MH, dapat meningkatkan proses penggantian kufit; GIH, meningkatkan awal proses penggantian
kulit dengan menghambat perkembangan reproduksi dan GSH, qenghambat awal penggantian kulit dengan organ-Y. Menurut Wickins (1976) dalam Saito (1983)' proses pergantian kulit adalah sebagai berikut:
Pada saat ganti
kulit, sebuah robekan terjadi di kulit luar antara karaPas intercalary sclerite terus ke bagian kepala, dan anggota badan ditarik ke arah depan dengan hati-hati. Setelah istirahat sejenak, udang kemudian dengan cepat mengadakan gerakan bagian perut keluar dari kulit tua dengan sebuah tubuh lunak.
Tubuh yang lemah dan lunak akan men-
jadi normal kembali setelah 1-2 hari pada udang besar. Pada keadaan tubuh yang lemah, kematian sering terjadi akibat predasi musuh-musuhnya atau jenisnya sendiri. Ganti kulit dapat dengan mudah menyebabkan stress pada udang. Pada saat "pre dan post moltw terjadi kematian tinggi, maka diperlukan lingkungan yang baik dan gizi yang tinggi agar kematian udang dapat ditekan. Frekuensi pergantian kulit secara normal berpengaruh baik terhadap faktor endogen seperti ukuran dan siklus breedinq, maupun faktor eksogen seperti sinar dan temperatur.
Hubungan antara kegiatan ganti kulit dengan ukur-
an udang adalah: D
=
do
+
K L ~
(Motoh, 1981)
D
: Jarak waktu (hari) antara ganti kulit
L
: Panjang karapas dalam mm
do : Konstanta pada periode awal
K
: Konstanta pada nilai koefisien dari periode
penambahan yang diperlukan. Menurut Motoh (1981) waktu ganti kulit 2. monodon dilukiskan dalam persamaan garis lurus yaitu : D
=
3.10
+
0.66
(rx0.727, P<0.001, db=190)
L
D = waktu dalam hari, L = panjang karapas dalam mm pada periode winternoltw yaitu saat penyimpanan metabolik. Temperatur adalah faktor lingkungan yang membawa efek langsung pada intermolt.
Temperatur
yang
tinggi dapat
mempersingkat periode intermolt, serta bergantung kepada ukuran hewan dan tersedianya pakan.
Apabila 0rgan-X dan kelenjar sinus yang terletak pada tangkai mata dihilangkan, misalnya dengan memotong tangkai mata, maka GIH tidak terbentuk sehingga tidak ada yang menghambat perkembangan telur dan 'sperma. Akibat lain yang terjadi ialah organ-Y bebas menghasilkan GSH, sehingga terjadi rangsangan untuk membentuk telur atau sperma (Nurdjana, 1985)
.
Beberapa hormon yang berperan, sehingga mempunyai efek pada reproduksi adalah :
-
-
M I H : dapat meningkatkan reproduksi dengan pengaruh organ-Y dari saat pengelupasan kulit. M H : meningkatkan pembelahan jaringan sel da-
lam gonad, barangkali yang dapat menghalangi
perkembangan gonad lebih lanjut termasuk pembentukan sperma dan telur.
-
G I H : menghalangi gonad, baik jenis kelamin
maupun kelenjar androgen pada individu jantan. Selain itu hormon ini diduga meningkatkan pengeluaran FH dan meningkatkan perkembangan karakter jenis kelamin betina.
-
a S H : dapat meningkatkan reproduksi dengan mengatasi pengaruh dari GIH dan memelihara pengeluaran AH.
-
'
A B : berpengaruh pada reproduksi, yaitu perkembangan testes dan saluran genital individu jantan, termasuk spermatogenesis, perkembangan karakter dari jenis kelamin jantan, tingkah la-
ku jenis kelamin, menghambat pembentukan telur di dalam ovari dan menghambat karakter kelamin betina
-
.
F H : mempunyai efek terhadap perkembangan karakter gonad dari betina (Adiyodi dan Adiyodi, 1970).
Adiyodi dan Adiyodi (1974) mengemukakan bahwa pada individu yang menjelang dewasa, perkembangan organ seksua1 dikendalikan bersama-sama oleh hormon ganti kulit atau ekdison dan hormon androgen (AH) pada individu jantan atau hormon betina (FH) pada individu betina. Pada individu dewasa AH dan FH akan mengambil alih pengendalian
aktivitas organ seksual, sedangkan produksi AH dikendalikan oleh GIH yang
dihasilkan organ-X pada tangkai mata
dan GSH yang dihasilkan oleh organ-Y yang terdapat pada bagian celebrax dan thoracic uanulion.
Peranusanuan Ovari Nani~ulasiHormon wida Ikan Manipulasi hornmn pada ikan yang diterapkan saat ini adalah dengan cara hipofisasi, sahingga jenis-jenis ikan yang tidak dapat berbiak hi kolam pemeliharaan kini dapat dibiakkan (Hardjamulia dan Ataawinata, 1980).
Jenis ikan
yang dapat matang telur tetapi tidak dapat berbiak di kolam pemeliharaan adalah grass carp (Cteno~harvnuodoq +idella), silver carp ( ~ v ~ o ~ t h a l m i c h t h~vasl i t r i x ) dan jambal siam (Panuasiu gutchi).
Jenis ikan lain, seperti
ikan bandeng (Chanos han nos) yang matang 'telur ditangkap dari laut, telah dapat dirangsang ovulasi dengan suntikan ekstrak kelenjar hipoEise heteroplastik ditambah korionik gonadotropin (Vanstone, Tiro, Villaluz, Ramsingh, Kumagei, Dulduco, Barnes dan Duenas, 1977). Penambahanan hormon korionik gonadotropin pada metode hipofisasi kini sudah banyak dilakukan seperti pada ikan
belanak ( ~ u a i l
ce~halus) (Kuo dan Nash, 1975), Chinese c a m (Jhingran, 1969) dan sebagainya.
Ablasi Mata Udanq Manipulasi hormon dengan cara ablasi mata pada udang telah dimulai oleh Perkins pada tahun 1912 (Brown, 1944). Henurut Carlisle dan Knowles (1959), penelitian terhadap sistem endokrin udang telah dimulai pada tahun 1928 oleh Perkins dan Keller pada jenis udang yang berbeda. Brown (1944) mengatakan bahwa tangkai mata merupakan sumber hormon dalam penyesuaian warna. Di dalam tangkai mata ditemukan lokasi yang memproduksi dan menyimpan horman penghambat ovari yang mencegah tingkat kedewasaan dari ovari atau kandungan telur (Primavera dan Yap, 1979).
Tujuan ablasi mata menghapuskan
atau mengurangi hormon penghambat tersebut pada tingkat kedewasaan ovari yang dapat terjadi (Adiyodi dan Adiyodi, 1970). Tingkat kedewasaan ovari akibat ablasi mata dan mijah dicapai dalam waktu 4 minggu untuk udang yang berasal dari alam atau laut dan 7 hari sampai 3 minggu untuk udang dari tambak (Priraavera & g j ; . , 1978) dalaq Primave-
ra dan Yap (1979). Ablasi mata dapat merangsang perkembangan telur pada crustaceae. Perkembangan telur terjadi sebagai akibat dihilangkannya kelenjar sinus (Hess, 1941) dalam Nurdjana (1985).
Selanjutnya menurut
Charniaux
-
cotton (1960),
yang memegang peranan penting dalam siklus reproduksi bukan saja kelenjar sinus tetapi juga organ-X sebagai penghasil hormon GIH.
Perkembansan Penelitian Ablasi Mata Pada beberapa kelompok decapoda (crustaceae) pemotongan tangkai mata pada individu betina telah dikenal sebagai cara yang baik untuk merangsang proses pematangan ovari (Adiyodi dan Adiyodi, 1970).
Oleh karena itulah
beberapa tahun belakangan ini penelitian ablasi mata pada crustaceae khususnya
udang
windu (Penaeus monodon) ter-
utama diarahkan untuk merangsang perkembangan ovarium akibat adanya kebutuhan induk matang telur bagi tempattempat pernbenihan udang (Nurdjana, 1979). Iayll (1971) melaporkan bahwa dengan dipotong kedua tangkai matanya, udang Penaeus p o n o d o ~akan mencapai tingkat matang telur dalam waktu 1-2 minggu.
Caillouet
(1972) juga meneliti pengaruh ablasi mata terhadap perkembangan ovarium pada
t. d u o r o r u ~dengan mengendalikan
beberapa faktor lingkungan seperti suhu,' intensitas sinar, salinitas dan pakan.
Induk matang telur diperoleh 2
minggu setelah proses ablasi mata.
Arnstein dan Beard
(1975) berhasil mendapatkan induk matang telur udang E. orientalis dengan memotong kedua tangkai matanya.
Tetapi
telur yang dilepaskan ternyata tidak dibuahi
morta-
litas induk yang diablasi sangat tinggi.
dan
Mortalitas in-
duk kemudian dapat diturunkan dengan mengablasi hanya satu mata dan proses ablasi mata dilakukan pada pertengahan periode antara ganti kulit.
Kelemec
dan
Smith
(1980)
melakukan ablasi mata terhadap udang P. pleseius dengan sistem daur ulang. Prinsip ablasi mata untuk merangsang perkembangan telur udang, menurut Nurdjana (1979), dengan memanfaatkan sistem hormon yang terdapat dalam tubuh udang. Hormon Eksoaen Manipulasi hormon untuk merangsang reproduksi dengan cara pemberian hormon sering dilakukan dalam budidaya ikan, tetapi tekniknya .tidak dikerjakan untuk udang. Caillouet (1972) menambahkan estradiol 17-beta ke dklam pakan untuk
P. duororu~,tetapi tidak ada respon terhadap
gonad. Bomirski dan Klek-Kawinska dalam Yano (1985) dan Chamberlain (1985) memberikan human chorionic aonadotro-
& (HCG) ke Cranaon cranson melalui suntikan dengan 5 IU untuk 4 hari menyebabkan perkembangan oogonia ke dalam oosit. Hormon progesteron juga merangsang ovari (oogene-
..
Baxdw % cki& (Kulkarni & sis) pada udang paraDenae 0 ~ ~ 1
.
dalam Yano, 1985) dan H e t a ~ e n a e u s ensis (Yano,
1985). 17-hidroksiprogesterone dengan dosis 50 mikrogram s yang diinjeksikan pada udang p a r a ~ e n a e o ~ s istvlifera yang sedang matang telur menyebabkan pemijahan (Nagabhushanam dalam Chamberlain, 1985). Hal ini menunjukkan bahwa
faktor steroid berperan dalam ovulasi, seperti pada
vertebrata.
Nutrisi yang baik dapat merangsang kematangan gonad pada
udang (Aquacop, 1977 galam Chamberlain, 1985).
Pa-
kan yang cocok untuk reproduksi udang meliputi organisme pakan alami.
Pakan alami tersebut adalah daging kerang
-
(mussel) , udang rebon (mysid shrimp) atau daging ikan. Pakan alami lain merupakan kombinasi cacing polycaeta, bivalva, crustaceae, ikan berlain dan Laurence (1981)
dan cumi-cumi.
Menurut Cham-
Chamberlain (1985) kom-
binasi pakan alami lebih berpengaruh daripada pakan komponen tunggal.
Menurut Aquacop (1975; 1979) kombinasi
pakan segar dan pakan buatan lebih efektif dibandingkan pemberian satu jenis pakan maupun kombinasi pakan alami saja.
Pada udang windu (8. monodon) yang diablasi kemu-
dian diberikan pakan dalam bentuk pelet dan tanpa tambahan pakan segar, telur dapat dilepaskan tetapi fertilisasi tidak lengkap (Aquacop, 1979). Beberapa peneliti lain telah membandingkan beberapa pakan yang mempunyai pengaruh pada kegiatan reproduksi antara lain: Primavera dan Yap (1979) membandingkan beberapa
kombinasi pakan buatan, daging kerang segar dan da-
ging cumi segar, dan kombinasi daging kerang segar dan pakan buatan adalah kombinasi pakan yang baik untuk udang
E. monodon matang telur. Aquacop (1977) e l a m Chamberlain (1985) juga membandingkan dengan memberikan daging
gastropoda (Troca) dan berhasil hanya satu kali, tetapi komponen responnya tidak diketahui.
Kemudian Chamberlain
dan Laurence (1981) dalam Chamberlain (1985) membandingkan kegiatan reproduksi
E. vannamei dan 2. stvlirostris
yang diberi pakan baik daging kerang, udang, cumi atau daging cacing polychaeta.
Pemberian daging cumi lebih
baik daripada daging lainnya dan kombinasi dengan yang lainnya jauh lebih baik.
Kombinasi cacing polychaeta,
daging kerang, udang, ikan dan cumi sangat baik untuk mendukung proses reproduksi induk udang windu (Arnstein dan Beard, 1975). Sintesis hormon steroid dan sintesis transportlipovitellin berperan dalam reproduksi udang dari hepatopankreas ke ovari.
Crustaceae tidak dapat mensintesis ko-
lesterol dari asetat, sehingga sterol harus disediakan dalam pakan sebagai perangsang untuk sintesis hormon steroid (Kamazawa dan Teshima, 1971) dalan Chamberlain (1985).
Pemberian vitamin E dapat meningkatkan kematangan ovari udang.
Hal ini dapat ditunjukkan dalam percobaan
pemberian vitamin E dalam pakan buatan dengan rancidity rendah dibandingkan tanpa vitamin E dengan rancidity tinggi (chamberlain, 1985). Pemberian pakan dalam bentuk kombinasi sangat jarang dilakukan di Indonesia, karena itu tidak mengherankan bahwa kematangan gonad menjadi salah satu kendala produksi
benur dari panti pembenihan (Cholik, Achmad, Ismail, dan ~ U y a n i ,1989).
~elanjutnya dikatakan pakan tambahan
berupa tetumbuhan air jarang sekali digunakan.
Pemberian
pakan seperti itu sebenarnya sangat diperlukan oleh induk udang sebagai sumber vitamin C. mbuncran Linakunaan denaan Renroduksi Ikan-ikan laut matang telur dan mijah di luar musim atau terus menerus sepanjang tahun dengan manipulasi lingkungan.
Hal ini untuk menghindari rendahnya fertilisasi
dan laju daya tetas telur, awal kematian larva, dan perkembangan hormon sebagai penyebab pemijahan. Beberapa jenis udang penaeid diketahui matang gonad dan mijah tanpa diablasi, di dalam kondisi setengah alami, yaitu di kolam air
payau
yang
disebut tambak (Johnson dan Fielding,
1956; ~ l i k u n h i&
a.,1975) dalan
Chamberlain (1985).
Pada awalnya, percobaan untuk merangsang ovari dalam reproduksi melalui manipulasi lingkungan tidak berhasil. Aquacop (1979) untuk pertama kali berhasil merangsang ovari udang tanpa ablasi mata, di laboratorium rumah kaca dalam sistem raceway (Moore, &
a.,1974
dalam Chamber-
lain, 1985) dan dalam bak-bak sirkulasi (Aquacop, 1979). Jenis udang yang dipergunakan dalam percobaan tersebut (Aquacop, 1979) adalah:
-P.
2. p~erauiensis, P. ia~onicus,
vannamei, dan E. stvlirostris, yang matang gonad dan
mijah
setelah
4 bulan
-
1 tahun.
Jenis udang lainnya
E. semisulcatus memperlihatkan tanda-tanda matang gonad, tetapi tidak mijah, 2. aztecus dan
E. monodon tidak
memperlihatkan tanda-tanda matang gonad (tidak dengan ablasi)
.
Menurut Emmerson (1983), 2. monodon termasuk jenis udang yang memerlukan ablasi tangkai mata untuk merangsang ovari, tetapi sekarang dapat pula dirangsang melalui pengurangan intensitas cahaya.
Menurut Aquacop
(1983)
udang 2. merauiensis akan lebih cepat matang gonad bila diberikan 10% cahaya alami daripada yang diberikan 40%. Berdasarkan laporan Maguire
(1979) Palam Chamberlain
(1985) kelebihan cahaya dapat menghambat pemijahan kepiting (portunus trituberculatus). Temperatur dan fotoperiod merupakan variabel dalam kontrol reproduksi hewan pada musim berkembang-biak. Manipulasi fotoperoid dibuat tanpa kontrol temperatur berpengaruh terhadap aktivitas reproduksi 2 . setiferus (Brown, 1979) dalaq Chamberlain (1985). Menurut Little (1968) d a l m Chamberlain (1985) temperatur dan fotoperiod yang dibuat tinggi akan berpengaruh terhadap reproduksi daripada temperatur atau fotoperiod sendiri. Selanjutnya chamberlain dan Gervais (1984), dan Chamberlain dan Lawrence (unpublished MS) dalam Chamberlain (1985) menentukan bahwa 2. stvlirostris dan
E. setiferus dapat mijah di
luar musim kawin dengan mempergunakan kendali temperatur dan fotoperiod lebih baik daripada ablasi tangkai,mata.
Spektrum cahaya sebaik dengan intensitas dan fotoperiod
berpengaruh
terhadap
reproduksi udang.
Contoh
E. monodon (tanpa ablasi) di bawah cahaya biru dan cahaya alami dapat matang gonad dalam tingkat 3, sedangkan cahaya merah hanya dapat mencapai tingkat 2 (Pundadera dan Primavera, 1981) palam
.
.
Chamberlain (1985)
(1983) dalam Chamberlain
Emmerson
et
(1985) melaporkan bahwa fl.
jndicuq yang matang gonad dan mijah di bawah cahaya hijau dan biru dapat menjaga kondisi tubuh, tetapi di bawah cahaya alami yang terus menerus dan intensitasnya sama akan hilang kondisi tubuhnya dan kemampuan reproduksi juga menurun. Perangsangan ovari pada awal kematangan gonad lebih baik melalui manipulasi lingkungan daripada melalui abla-
si mata, Ada sedikit keraguan bahwa ablasi sedikit bervariasi bila dibandingkan dengan lingkungan* Dengan lingkungan prosesnya panjang, "step-by-stepn, k a r m a beberapa peubah berpengaruh seperti spektrum cahaya (ultraviolet), temperatur, fotoperiod dan intensitas cahaya namun merupakan harapan yang baik dalam perangsangan ovari.
Di luar dari 4 faktor (ablasi mata, hormon eksogen, pakan dan lingkungan)
yang
telah
diuraikan
di atas,
Takayanagi, Yamamoto dan Takeda (1986) meylpergunakan bahan ekstrak otak (brain), syaraf dada (thoracic ganglion)
dan jaringan otot (muscle) yang barasal dari udang betina matang gonad.
Dua cara penelitlan yang dilakukannya, ya-
itu melalui suntikan (in vivo) dan in vitro.
Dengan do-
sis 0.05 ml, bahan disuntikkan melalui abdomen udang yang ovarinya belum matang. kali setiap
4
Setiap ekstrak disuntikkan satu
hari untuk 24 hari.
Ekstrak "brainM lebih
berpengaruh daripada I1thoracicganglionn dengan perubahan warna ovari dari putih ke coklat yang berarti adanya perkembangan wvitellogenesisw. Penelitian in vitro adalah sebagai berikut : ovari dari Paratva copressa dikeluarkan dan dipotong, kemudian sebagian dikultur dalam media yang mengandung ekstrak otak atau ganglion dada dan sebagian lagi di media yang mengandung ekstrak otot sebagai kontrol.
Kultur dilakukan selama 3 hari di gelas petri ber-
diameter 2.3 cm. Hasil yang dicapai ekstrak otak atau ganglion dada lebih baik daripada ekstrak otot, dengan oosit lebih besar. Ekstrak otak lebih berpengaruh daripada ganglion dada. Akhir-akhir ini perkembangan ovari
pada Paratva
co-
pressa dapat dirangsang oleh beberapa faktor pheromonal yang dikeluarkan oleh udang-udang jantan (Takayanagi & al., -
1986).