TINJAUAN PUSTAKA
Bakteriofage Bakteriofage merupakan virus yang menginfeksi bakteri, ditemukan secara terpisah oleh Frederick W. Twort di Inggris pada tahun 1915 dan oleh Felix d’Herelle di Institut Pasteur di Paris pada tahun 1917. Twort mengamati bahwa koloni-koloni bakteri kadang-kadang mengalami lisis (menjadi larut dan lenyap) dan bahwa efek litik ini dapat ditularkan dari satu koloni ke koloni lainnya. Filtrat koloni yang diencerkan dan difiltrasi dengan membran filter tetap saja dapat melisiskan koloni, akan tetapi bila filtrat ini dipanaskan maka sifat litiknya rusak. Twort berkesimpulan bahwa agen penyebab lisis ialah virus. D’Herelle menemukan hal yang sama pada tahun 1917, sehingga diberi nama fenomena Twort-d’Herella (Pelczar et al. 2006). Bakteriofage merupakan virus spesifik yang hanya menyerang bakteri target saja dan tidak dapat menginfeksi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Fage merupakan parasit obligat intraselular yang dapat menggandakan diri di dalam sel bakteri dengan menggunakan beberapa atau semua mesin biosintetik sel inang. Seperti halnya semua virus, fage mengandung asam nukleat DNA atau RNA yang diliputi selubung protein atau kapsid. Kapsid ini tersusun atas subunitsubunit morfologis yang disebut kapsomer, sedangkan kapsomer terdiri atas sejumlah subunit atau molekul protein yang disebut protomer. Untuk bereplikasi virus perlu menginfeksi sel inang untuk mensintesis komponen virion baru. Komponen kemudian dirakit membentuk virion baru lalu melepaskan diri dari sel inang dan menginfeksi sel lain. Fage merupakan virus yang menginfeksi bakteri, memiliki 2 tipe yaitu litik dan lisogeni. Cara reproduksi bakteriofage litik terdiri atas beberapa tahap, yaitu: adsorpsi, tahap penetrasi, tahap sintesis, tahap pematangan, dan tahap lisis. Fage litik yang menginfeksi sel bakteri akan mengakibatkan fage bereplikasi di dalam sel inang dan membentuk sejumlah fage baru, kemudian akan membuat sel inang pecah dan akan menginfeksi sel inang
lainnya. Pada tahap adsorpsi, ujung ekor fage melekat pada dinding sel melalui reseptor khusus pada permukaan sel. Proses pelekatan ini bersifat spesifik yang berarti bahwa reseptor dan fage bersifat seperti pasangan. Reseptor dapat berupa lipopolisakarida, flagella, pili, karbohidrat, atau protein membran dinding sel. Tanpa reseptor spesifik, virus tidak dapat mangadsorpsi dan menginfeksi, apabila situs reseptor berubah karena mutasi maka inang menjadi resisten terhadap infeksi virus namun mutan virus dapat melekat pada inang yang resisten. Pelekatan virus pada sel dapat mengakibatkan perubahan pada virus dan atau sel inang yang mengakibatkan terjadinya penetrasi. Penetrasi fage ke dalam sel inang bersifat mekanis. Proses ini dimudahkan oleh adanya suatu enzim yaitu lisozim, yang dibawa pada ekor fage. Aktivitas enzim ini dapat membuat lubang kecil pada peptidoglikan (Madigan et al. 2000). Pada tahap penetrasi asam nukleat virus masuk ke dalam sel inang. Tahap transkripsi fage terjadi dalam beberapa tahap melalui gen yang disebut sebagai: 1) protein awal, 2) protein tengah, dan 3) protein akhir. Protein awal dan protein tengah merupakan enzim primer yang terlibat dalam replikasi DNA dan transkripsi, sedangkan protein akhir merupakan protein kepala dan ekor serta enzim yang terlibat dalam pelepasan partikel fage matang (Snyder et al. 2003). Beberapa menit setelah menginfeksi, virus memasuki fase eklips, yaitu periode asam nukleat terpisah dari selubung protein dan virion bukan merupakan komponen yang utuh. Pada periode pematangan diawali dengan pengemasan asam nukleat yang baru diseintesis di dalam selubung protein. Pada fase ini titer virus yang aktif di dalam sel meningkat secara drastis meskipun virion belum terlihat berada di luar sel. Fase antara eklips dan pematangan disebut periode laten. Pada akhir fase pematangan, virion matang keluar dengan mengakibatkan lisis sel inang. Jumlah virion yang dilepaskan disebut ukuran ledakan (burn size). Siklus replikasi pada fage dapat berlangsung selama 20-60 menit (Madigan et al. 2000). Mikroskop elektron telah memungkinkan ditentukan ciri-ciri struktural virus bakterial. Semua fage mempunyai inti asam nukleat yang ditutupi oleh selubung protein atau kapsid. Virus bakteri dapat dikelompokkan ke dalam enam tipe morfologis yaitu : 1) Tipe A adalah tipe yang paling rumit. Fage mempunyai kepala heksagonal, ekor, yang kaku dengan seludang kontraktil, dan serabut ekor.
2) Tipe B serupa dengan tipe A, tipe ini mempunyai kepala heksagonal, tetapi tidak mempunyai seludang kontraktil, ekornya kaku, dan mengenai serabut ekor, ada yang mempunyai dan ada yang tidak. 3) Tipe C adalah tipe yang dicirikan dengan sebuah kepala heksagonal dan sebuah ekor yang lebih pendek dari kepalanya. Ekornya ini tidak mempunyai seludang kontraktil dan mengenai serabut ekor, ada yang mempunya dan ada yang tidak, 4) Tipe D adalah tipe yang memiliki sebuah kepala tanpa ekor, dan kepalanya tersusun dari kapsomerkapsomer besar. 5) Tipe E adalah tipe fage yang memiliki sebuah kepala tanpa ekor, dan kepalanya tersusun dari kapsomer-kapsomer kecil, dan 6) Tipe F adalah tipe yang berbentuk filamen (Pelczar et al. 2006).
Bakteriofage Sebagai Agen Biokontrol Biologi Pada tahun 1980-an, Smith melakukan berbagai percobaan terapi fage. Berdasarkan hasil penelitian Smith et al. (1987) menunjukkan bahwa fage memiliki potensi yang cukup potensial untuk mengendalikan penyakit infeksi E. coli pada ternak. Bielke et al. (2007) meneliti bahwa bakteriofage dapat mengendalikan Salmonella dan Klebsiella oxytoca pada produk peternakan. Penelitian ini didasari oleh keprihatinan para peneliti di Amerika bahwa produk peternakan tercemar oleh Salmonella yang membahayakan bagi kesehatan manusia apabila produk peternakan tersebut dikonsumsi. Penelitian diawali dengan mengisolasi bakteriofage dari limbah buangan air, kemudian dilanjutkan dengan uji kisaran inang dengan menggunakan beberapa bakteri seperti: Escherichia, Citrobacter, Klebsiella, Kluyvera, dan Salmonella, dilanjutkan dengan amplifikasi bakteriofage dan bakteri Salmonella, dan yang terakhir adalah menginokulasikan Salmonella dan bakteriofage pada produk hasil peternakan ayam. Higgins et al. (2005) telah mengisolasi bakteriofage dari limbah buangan air. Fage ini dapat mereduksi Salmonella enteritidis pada ayam. Beberapa penelitian lainnya yang menggunakan bakteriofage sebagai biokontrol pada produk pangan telah dilakukan oleh Flyn et al., 2004; Fiorentin et al (2005). Pada tahun 2004, Flynn et al. telah menyeleksi bakteriofage yang dapat mereduksi jumlah E. coli O157:H7 pada daging. Produk fage yang telah dikomersialkan dan
penggunaanya telah diizinkan oleh Food Drug Association (FDA) adalah LISTEXTM
P100. Produk ini telah diaplikasikan di Netherland, Eropa, dan
Amerika Serikat pada produk makanan keju, daging unggas, ikan, sayuran, mentega, serta produk lainnya. Soni et al. (2010) menggunakan LISTEXTM P100 untuk mereduksi Listeria monocytogenes pada ikan salmon.
Kestabilan Bakteriofage Beberapa faktor fisik dan kimia seperti, suhu, pH, dan ion diduga berpengaruh terhadap kestabilan bakteriofage. Berdasarkan penelitian Olson et al. (2004), Yates et al. (1985) suhu merupakan faktor penting yang berperan terhadap kestabilan bakteriofage. Penelitian kestabilan fage terhadap suhu telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa peneliti tersebut diantaranya adalah Atamer et al. (2008). Pada penelitian tersebut, sebanyak 40% fage Lactococcus lactic dapat bertahan selama pemanasan pada suhu 80°C dalam suspensi susu, akan tetapi hampir semua fage menjadi tidak aktif ketika suhu dinaikkan menjadi 95°C. Suhu selama penyimpanan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan fage. Jepson et al. (2004) meneliti pengaruh waktu penyimpanan fage λ terhadap suhu yang berbeda. Mereka melihat tidak aktifnya fage yang disimpan dalam bufer SM pada suhu 42°C setelah 84 hari. Fage tersebut lebih stabil pada suhu penyimpanan 4°C selama 6 bulan. Faktor lainnya yang ikut berpengaruh terhadap kestabilan bakteriofage adalah pH lingkungan. Beberapa penelitian efek pH terhadap kestabilan fage sudah banyak dilakukan. Berdasarkan penelitian Yang et al. (2010) fage litik AB1 yang menginfeksi Acinetobacter baumannii dapat stabil pada kisaran pH 5-9. Fage tersebut lebih stabil pada suasana pH asam dibandingkan dengan pH basa. Verthe et al. (2004) melakukan penelitian terhadap fage litik yang menginfeksi Enterobacter aerogenes mengalami penurunan jumlah fage secara signifikan ketika diinkubasi pada pH 2. Hal ini menandakan fage sangat tidak stabil pada lingkungan asam. Berdasarkan penelitian Carrillo et al. (2006) fage litik yang menginfeksi Campylobacter jejuni stabil pada kisaran pH antara 4 hingga 9, akan tetapi kehilangan aktifitasnya pada pH 2.2.
Faktor kimia seperti ion yang terkandung di dalam bufer berpengaruh terhadap kestabilan fage. Mylon et al. (2009) meneliti kestabilan fage MS2 pada cairan dari LiCl, NaCl, KCl, dan CaCl2 pada kisaran 0.01 hingga 1.0 mol/L. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa garam monovalen tidak berpengaruh terhadap perkembangan fage, hal ini berbeda dengan garam kalsium yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan fage.