7
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pengeboman Ikan Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan
ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini, (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut, (3) Lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi, (4) Masih lemahnya penegakan hukum, (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum (Mukhtar, 2007). Pengeboman ikan adalah cara penangkapan ikan yang sangat merusak, dan juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom buatan sendiri dibuat dengan mengemas bubuk ke dalam botol bir atau minuman ringan. Sumbu biasanya dibuat dari kepala korek yang digerus dan dimasukkan ke dalam pipa sempit, lalu diikat kuat dengan kawat. Sumbu dinyalakan lalu botol dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak di bawah air dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan, yang dapat membunuh hampir semua makhluk hidup di sekitarnya. Nelayan hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan hewan laut lain ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004).
Kerusakkan terumbu
karang terindikasi oleh faktor fisik seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, dan pengambilan biota laut lainnya dengan benda keras, seperti pembongkaran terumbu karang dengan menggunakan linggis (Suharyanto, 2006). Alat tangkap destruktif yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah bom dan bius. Penggunaan bom dimaksudkan untuk mencegah ikan lolos melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. Ikan dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu diangkat naik ke atas kapal atau perahu.
Sebelum membom ikan, di atas
8
kapal/perahu, para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom.
Ritual ini untuk
memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan, termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya. Setiap kilogram bom yang meledak, radius menghancurkan bisa mencapai 5 meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk-makhluk laut (misalnya plankton) yang tidak kasat mata (mikroskopis). Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap, yakni bom. Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut, penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat), kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air, kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2 cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan. Jika lautnya dalam, maka sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek. Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran.
Sumbu yang
ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan ”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan. Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis).
Adapun ciri-ciri ikan
yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan dagingnya lembek (Anonimous, 2008). Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang, menimbulkan efek samping yang sangat besar, selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas
9
terhadap ekosistem terumbu karang.
Penangkapan ikan dengan cara
menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir, dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang.
Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar
berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang (Mukhtar, 2007). Mukhtar (2007) lebih lanjut mengatakan bahwa, secara umum penanganan destructive fishing dapat dilakukan dengan cara: 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan ikan secara illegal. 2. Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dilakukan, apakah motif ekonomi atau ada motif lainnya, dan setelah diketahui permasalahan, upaya selanjutnya melakukan upaya preventif. 3. Meningkatkan penegakan dan penaatan hokum. 4. Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan. 5. Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah, yang artinya harus ada yang mengurusi kasus ini.
2.2
Mata Pencaharian Alternatif Kegiatan mata pencaharian alternatif bertujuan untuk menyediakan jenis
usaha berkelanjutan bagi masyarakat yang selama ini melakukan kegiatan usaha yang bersifat tidak ramah lingkungan.
Mata pencaharian alternatif yang
berkelanjutan ini harus menguntungkan dan tidak merusak lingkungan. Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan seperti penangkapan dengan bom atau meting, perlu merubah jenis usahanya sebelum terlambat dan tidak ada yang tersisa untuk generasi mendatang (Erdmann, 2004). Pomeroy and Williams (1999) diacu dalam Nikijuluw (2002), menyatakan bahwa keberhasilan manajemen sumberdaya perikanan lebih bergantung
pada
keterlibatan
atau
partisipasi
pemegang
kepentingan
(stakeholder). Jika nelayan adalah salah satu pemegang kepentingan tersebut,
10
biarkanlah nelayan memutuskan sendiri keinginan dan tujuannya.
Jika
keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan. Fakor-faktor yang menyebabkan pendapatan nelayan rendah antara lain adalah unit penangkapan yang terbatas yang dikarenakan penguasaan teknologi yang rendah, skala usaha/modal yang dimiliki kecil dan masih bersifat tradisional. Kemampuan nelayan dalam memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi tantangan lingkungan yang rendah, dikarenakan masyarakat yang masih bergantung pada musim penangkapan. Dalam penentuan fishing ground, nelayan yang mempunyai izin untuk melakukan operasi di tempat tersebut akan memperoleh hasil yang banyak, tetapi bagi nelayan yang tidak memiliki akses ke lokasi yang produktif tersebut, selain hasil tangkapan yang tidak maksimal juga biaya operasi yang tinggi.
Eksternalitas teknologi terjadi karena nelayan
cenderung melakukan penangkapan ikan pada lokasi yang sama, atau setidaknya saling berdekatan satu dengan yang lain, sehingga terjadi pertemuan antara alat tangkap ikan yang digunakan, yang menjurus pada kerusakan atau perusakan (Nikijuluw, 2002). Faktor lainnya adalah law enforcement yang tidak berpihak kepada nelayan, diantaranya terjadinya ego sektoral, regulasi yang tidak mendukung, terbatasnya peran kelembagaan, baik pemerintah maupun non pemerintah, penetapan bahan baku (ikan) yang kurang adil, belum ditetapkannya undang-undang anti monopoli, pembagian keuntungan yang tidak proporsional, dan kebijakan ekonomi secara mikro yang lebih banyak memberikan kerugian di pihak nelayan, dibandingkan memberikan keuntungan.
2.3
Pemberdayaan Masyarakat Bantuan dari pemerintah dapat diberikan kepada pihak swasta (pengusaha
kecil) maupun kepada koperasi. Bentuk campur tangan pemerintah ini dapat berupa pemberian kredit produksi dengan bunga rendah tanpa agunan, pembebasan bea masuk komponen-komponen alat pengolahan dan unit penangkapan, pembebasan PPN penjualan dalan negeri, pengembangan teknologi pengolahan yang tepat guna, penetapan UMR bidang perikanan dan kemudahan perizinan investasi. Peningkatan pendapatan nelayan diukur dari tingkat upah
11
berdasarkan upah minimum regional. Efisiensi tata niaga diukur dari keuntungan masing-masing biaya perniagaan (harga ikan segar, biaya angkut, restribusi TPI) dan keuntungan pedagang pengumpul. Efektifitas ekspor dapat dilihat dari jumlah dan nilai ekspor produk perikanan dan kontribusi ekspor produk perikanan terhadap PDB nasional. Perluasan lapangan kerja dapat diukur dari persentase angkatan kerja yang terserap. Peningkatan devisa dapat diukur dari persentase peningkatan sumbangan devisa dari ekspor produk-produk perikanan. Parameter kebijakan berdasarkan pada tercapainya seluruh output yang dikehendaki seoptimal mungkin, dan menghindari munculnya output yang tidak dikehendaki, (Sari, 2004). Kusnadi (2003), menganalisa bahwa terdapat sebab yang kompleks mengapa kemiskinan nelayan terus terjadi. Ia menjelaskan ada sebab internal dalam masyarakat nelayan dan ada problem eksternal. Sebab internal antara lain: keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan modal usaha, relasi pemiliknelayan buruh, kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan dan ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut. Sebab kemiskinan yang bersifat eksternal yang berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan, antara lain: kebijaksanaan pembangunan perikanan yang berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, sistem pemasaran hasil perikanan yang mengundang pedagang perantara, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, dan kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun. Lebih lanjut Kusnadi (2003) menambahkan bahwa problem kemiskinan masyarakat nelayan mulai muncul ke permukaan, setelah satu dekade dilaksanakannya kebijakan nasional tentang motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap pada awal tahun 1970-an. Kebijakan ini dikenal dengan istilah revolusi biru (blue revolution). Proyek besar ini berimplikasi pada keserakahan sosial atas sumber daya perikanan yang mendorong setiap individu untuk berkuasa penuh terhadap sumber daya tersebut. Keserakahan ini akan berakibat pada kelangkaan sumber daya perikanan. Kompetisi yang semakin tinggi dan
12
kesenjangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan sosial ekonomi antar pengguna sumber daya perikanan. Kebijakan motorisasi dan modernisasi, ternyata banyak menimbulkan kritik dari berbagai pihak. Beberapa penelitian memperlihatkan dampak negatif dari proyek yang dikenal dengan istilah blue revolution ini. Donald K. Emerson (1979) diacu dalam Mubyarto et al. (1984) menyatakan bahwa, pemberian bantuan teknologi motorisasi, memberikan dampak negatif bagi produktivitas nelayan; karena motorisasi, ikan-ikan yang semula biasa ditangkap nelayan tradisional akan disedot oleh nelayan yang memiliki kapal modern bermesin dengan alat yang berdaya tangkap besar. Purna (2000), menyatakan bahwa salah satu permasalahan mendasar bagi pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro
dan
kecil
adalah
sulitnya
akses
permodalan
dari
lembaga
keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan seringkali terjerat oleh renteneer yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, namun diimbangi dengan tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan permodalan ini diperburuk dengan sistem penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak. Akibatnya nelayan tidak memiliki bargaining power yang memadai sehingga pendapatan yang diperoleh habis untuk bayar hutang dan makan. Lingkaran kemiskinan ini selalu berputar dan menyebabkan di sektor kelautan dan perikanan lekat dengan kemiskinan. Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk membantu pemgembangan usaha kecil dan menengah tidak efektif.
Hal ini
disebabkan oleh kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha yang bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar hasil laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu.
Hal ini
disebabkan oleh kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian kredit yang ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi perbankan umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya masyarakat miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004).
Selanjutnya
dikatakan bahwa, keterbatasan yang selama ini cukup dominan dalam pemberian kredit kepada masyarakat/pelaku ekonomi di daerah pesisir adalah, penyediaan
13
jaminan yang merupakan syarat pemberian kredit oleh bank umum. Fasilitas kredit yang diberikan untuk membantu kelancaran usaha lebih dikenal dengan kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan perbankan guna membantu para pengusaha untuk memperlancar dan meningkatkan kegiatan usahanya, yang terdiri dari kredit investasi dan kredit modal kerja.
2.4
Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan Lingkungan) Dalam rangka mendayagunakan potensi perikanan secara optimal sebagai
ujung tombak perekonomian daerah, maka kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Halmahera Utara diarahkan untuk : 1. Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan. 2. Meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan. 3. Meningkatkan kesejahteraan nelayan. 4. Meningkatkan kecukupan gizi dari hasil perikanan. 5. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan dan perikanan. Untuk pencapaian tujuan yang telah digariskan, maka perlu adanya dukungan kebijakan pemerintah terhadap beberapa komponen yang mencakup kebijakan tentang infrastruktur, kebijakan sumberdaya nelayan, kebijakan perikanan tangkap, kebijakan perikanan budidaya, kebijakan pemasaran hasil perikanan, serta pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan. Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah resiko menimbulkan bencana. Penggunaan kapal perikanan modern yang lebih ramah lingkungan perlu dikembangkan, yakni yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis. Layar dapat dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%. Teknologi energi dan transportasi
yang
ramah
lingkungan
termasuk
yang
saat
ini
paling
dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal. Namun, teknologi modern yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan dalam
14
pengelolaan sumber daya laut meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/1id30666.html). Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation. Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan ”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, contolled access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. formulasi dari pembatas input itu menekankan
penggunaan
fishing
adalah right
territorial
(hak
use
memanfaatkan
Salah satu right
yang
sumberdaya
perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak melakukan memiliki
kegiatan fishing
perikanan
right
tidak
di
suatu
diizinkan
wilayah, sementara yang tidak beroperasi
di
wilayah
itu
(http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian /agribisnis/1id30666.html). Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan kelestarian fungsi sumber daya sebagai fokus perhatian. UU No. 32 tahun 2004 yang membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan kabupaten/kota (4 mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut konsep pengkavlingan laut. Konsep pengkavlingan laut merupakan instrumen dari konsep regulasi akses terkontrol (contolled access regulation) dalam pola pembatasan input (territorial use right). UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya entry point penerapan territorial use right.
15
2.5
Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan
sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan memenuhi permintaan akan ikan (Achmad, 1999).
Pengusahaan perikanan yang tidak
terawasi dapat mengakibatkan penangkapan yang berlebih (overfishing), penurunan mutu, bahkan dapat merusak produktivitasnya (Naamin, 1991). Sumberdaya ikan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal, dimana ikan pelagis mencakup ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil yang hidup di pemukaan laut atau didekatnya (Djatikusumo, 1975; Merta et al., 1998). Ikan pelagis yang banyak terdapat di wilayah perairan dekat pantai adalah pelagis kecil, misalnya ter, kembung, laying, selar dan bentong (Merta et a.,l 1998). Ikan demersal merupakan kelompok ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan, dimana beberapa spesiesnya merupakan spesies ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis penting, yakni bambangan (Lutjanidae), kerapu (Serranidae), baronang (Siganidae) ekor kuning (caesionidae) serta speciesspecies ikan hias seperti napoleon (Labridae) dan ikan konsumsi lainnya (Aoyama, 1973; Badrudin et a.,l 1998; Djamali et al., 1998). Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang sifatnya terbatas dan dapat pulih (renewable), yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan kematian maupun penangkapan akan dapat memulihkan sumberdaya tersebut kembali ke tingkat produktivitas semula (Anonymous 1993). Namun apabila tekanan pengusahaan atau penangkapan tersebut cukup tinggi intensitasnya hingga melampaui daya dukung, maka untuk pulih kembali akan memerlukan waktu yang relatif lama (Anonymous, 1993; Dahuri, 1999). Sumber daya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumber daya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas (Dahuri, 2000; Halim, 2003).
16
2.5.1 Alat penangkapan ikan Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang umumnya bersifat pasif sehingga dibutuhkan suatu pemikat, agar ikan berenang mendekati alat tangkap. Contoh pemikat ini adalah umpan. Saat ini terdapat berbagai jenis alat yang dapat digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Secara umum alat penangkap ikan tersebut tergolong kedalam jenis bubu, muro ami dan teknik lain dengan menggunakan peledak dan racun (Antariksa dan Bandiyono, 1999). Alat tangkap ikan yang merupakan salah satu sarana pokok adalah penting dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan (Anonymous, 1993).
Adapun jenis alat tangkap yang dominan
digunakan, mencakup jaring insang (gill net), rawai (longline), pukat cincin (purse seine) dan jaring udang (trawl) (Ayward, 1992; Mulyanto, 1995). Jaring insang merupakan alat tangkap yang mempunyai besar mata jaring yang disesuaikan dengan sasaran ikan atau non-ikan yang akan ditangkap. Ikan tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya (Subani dan Barus, 1989; Mulyanto, 1995). Rawai merupakan alat tangkap yang berbentuk rangkaian tali temali panjang yang bercabang-cabang dan setiap ujung cabangnya diikatkan
sebuah
mata
pancing
(hook)
dengan
berbagai
ukuran
(Hayward, 1992; Subani dan Bares, 1989). Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan cincin dan tali kerut pada bagian bawah jaring, yang gunanya untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kerut tersebut ( Hayward, 1992; Mulyanto, 1995; Subani dan Bares, 1989).
Pukat udang dari segi
operasionalnya sama dengan pukat harimau yang penggunaannya dilarang oleh pemerintah (Keppres No.39 tahun 1980) , yang membedakan adalah adanya tambahan alat pemisah ikan (Subani dan Bares, 1989; Mulyanto, 1995). Perkembangan alat penangkap ikan di Kabupaten Halmahera Utara sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 menurut jenis alat tangkap, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa alat tangkap pukat pantai mempunyai jumlah yang tetap selama selang waktu 2004-2008. Beberapa jenis alat tangkap yang mengalami kenaikkan jumlah yang relatif kecil adalah: alat tangkap pukat
17
cincin, jaring lingkar, trammel net, bagan tancap, rawai tetap, rawai tuna, pancing tonda dan sero. Tabel 1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Jumlah alat menurut tahun
Alat tangkap menurut jenisnya
No
Pukat pantai Pukat cincin Jaring lingkar Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring klitik Trammel net Bagan perahu Bagan tancap Rawai tetap Rawai tuna Rawai hanyut Huhate Pancing tonda Pancing ulur Sero Bubu
2004 23 32 26 43 35 4 16 59 7 21 32 8 50 122 859 2 27
2005 23 33 28 43 35 4 17 60 8 21 33 7 52 124 939 4 27
2006 23 37 28 43 35 4 17 60 8 22 33 8 53 124 1.029 4 30
2007 23 37 28 41 33 3 18 60 8 22 34 10 55 124 1.155 4 27
2008 23 40 30 41 33 3 18 40 8 22 34 10 40 140 1.250 4 26
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009. Alat tangkap yang mengalami kenaikkan jumlah yang cukup signifikan pada setiap tahun yaitu: pancing ulur. Alat tangkap yang mengalami penurunan jumlah sampai pada akhir tahun 2008 yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring klitik, bagan perahu, huhate dan bubu. Jumlah unit penangkapan tersebut
melaksanakan
operasi
penangkapan
sebanyak
sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan
jumlah
tripnya
bahwa fluktuasi
jumlah trip setiap tahun selang periode 2004-2008 tidak sama dengan fluktuasi jumlah alat tangkap, kecuali pada alat tangkap pancing ulur, terlihat jelas terjadi kenaikkan jumlah trip setiap tahun secara signifikan. Jumlah trip penangkapan menunjukkan besarnya aktivitas penangkapan dari setiap alat penangkapan dalam beroperasi.
18
Tabel 2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Alat tangkap menurut jenisnya Pukat pantai Pukat cincin Jaring lingkar Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring klitik Trammel net Bagan perahu Bagan tancap Rawai tetap Rawai tuna Rawai hanyut Huhate Pancing tonda Pancing ulur Sero Bubu
Jumlah trip menurut tahun 2004
2005
2006
2007
2008
5.796 5.646 5.106 5.244 5.380 6.680 7.600 8.140 7.548 8.200 6.240 6.320 5.712 5.600 6.240 4.320 4.343 4.301 4.018 4.961 7.400 7.140 7.022 7.194 7.260 402 432 435 324 331 3.005 3.060 3.043 3.564 3.672 1.872 9.840 9.509 9.840 6.720 588 640 672 669 656 2.764 3.549 3.696 3.586 3.960 5.376 5.544 5.537 6.120 6.188 1.524 1.428 1.632 1.800 1.790 9.088 10.608 10.812 11.220 7.860 21.600 24.396 25.296 29.140 28.021 254.880 262.639 276.221 296.835 317.500 168 176 180 200 232 2.268 2.510 2.670 2.144 2.755
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009. Fluktuasi jumlah trip disesuaikan dengan keadaaan iklim dan cuaca pada setiap tahunnya. Perubahan-perubahan cuaca dan iklim yang tidak seragam setiap tahun membuat kesempatan melaut juga berbeda setiap tahun.
Sekalipun
demikian diharapkan dunia perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara dapat menjawab tantangan peningkatan taraf hidup masyarakat di waktu yang akan datang. 2.5.2 Armada perikanan Unit penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Halmahera Utara terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan yang mencakup kapal, alat tangkap dan nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah penangkapan. Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, kapal perikanan didefinisikan sebagai perahu, kapal, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, mendukung
19
operasi pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Kategori berdasarkan ukuran kapal atau perahu di Indonesia menurut Statistik Kelautan dan Perikanan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005) terdiri atas tiga kategori yaitu: (1) Perahu Tanpa Motor (2) Motor Tempel, dan (3) Kapal Motor, yang selanjutnya terbagi menurut ukuran Gross Tonagenya yaitu: < 5 GT; 5-10 GT; 10-20 GT; 20-30 GT; 30-50 GT; 50-100 GT; 100200 GT dan > 200 GT. Perkembangan jumlah kapal perikanan di Kabupaten Halmahera Utara, disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, terlihat dengan jelas bahwa kapal penangkap didominasi oleh Kapal motor berukuran 0 – 5 GT. Kapal motor jenis ini di Kabupaten Halmahera Utara didominasi oleh perahu jenis pambut dengan mesin jenis katinting. Perahu jenis ini banyak digunakan karena memiliki daya jelajah yang cukup jauh, serta mampu bergerak dalam keadaan laut yang bergelombang karena bahan perahunya yang ringan, dan memiliki keseimbangan yang baik. Tabel 3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara No 1 2 3
Tahun PTM Motor Tempel Kapal Motor : 0 - 5 GT 5 - 10 GT 10 - 20 GT 20 - 30 GT 30 - 50 GT 50 - 100 GT 100 - 200 GT > 200 GT
2004
2005
2006
2007
2008
318 183
346 205
415 263
451 290
455 348
762 50 17 -
865 58 21 -
1.021 60 25 -
1.117 62 27 -
1.176 64 31 -
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
20
2.5.3 Nelayan Penduduk Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2009 tercatat sebanyak 163.836 jiwa. Bila dibandingkan dengan luas wilayah daratannya, maka tingkat kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Halmahera Utara pada setiap kecamatan dapat disajikan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa, penyebaran penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Tobelo, yaitu 746 jiwa/km2, sedangkan konsentrasi yang relatif rendah terdapat di Kecamatan Kao Barat dan Tobelo Barat, yakni masing-masing sebanyak 14 jiwa/km2 dan 15 jiwa/km2.
Adapun faktor yang mempengaruhi tidak meratanya persebaran
penduduk adalah faktor topografi wilayah dan kurangnya aksebilitas jalan yang berakibat rendahnya kegiatan perekonomian di daerah-daerah tersebut. Tabel 4
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2009 Kecamatan
Jumlah penduduk (jiwa)
menurut kecamatan di
Luas daerah (km2)
Kao Teluk 6.911 135,4 Malifut 10.349 374,1 Kao 7.212 111,2 Kao Barat 8.632 596,7 Kao Utara 7.112 128,8 Tobelo Barat 4.497 294,7 Tobelo Timur 6.828 120 Tobelo Selatan 13.411 204,3 Tobelo Tengah 10.713 56 Tobelo 24.604 33 Tobelo Utara 10.427 100,4 Galela 7.910 138,7 Galela Selatan 8.948 84,5 Galela Barat 9.636 45,5 Galela Utara 8.951 255,3 Loloda Utara 10.231 390,4 Loloda Kepulauan 7.464 63,3 Jumlah 163.836 3.132 Sumber: Dinas Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 51 28 65 14 55 15 57 66 191 746 104 57 106 212 35 26 118
21
Nelayan
adalah
orang
ikan/binatang air lainnya dilaut.
yang
mata
pencahariannya
menangkap
Secara umum nelayan dapat dikategorikan
sebagai : nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan tambahan, nelayan pengusaha, maupun buruh nelayan dan biasanya bermukim didaerah pesisir sehingga sering disebut sebagai masyarakat pesisir (Sari, 2004). Menurut Undang-undang (UU) No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan. Berdasarkan curahan waktu kerjanya nelayan dibedakan menjadi: 1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan 2. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan 3. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan (Direktorat Jenderal Perikanan, 1999). Menurut Hermanto (1986), berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan ikan, nelayan dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: 1. Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan laut. Juragan darat
hanya menerima bagi hasil tangkapan yang
diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan. 2. Juragan laut adalah orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap, tetapi bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut. 3. Juragan darat-laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut
22
menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan. 4. Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian. 5. Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota kelompok. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan sebagai nelayan meskipun mereka tidak melakukan kegiatan menangkap (Dirjen Perikanan Tangkap 2004). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan nelayan adalah semua orang yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya berdasarkan waktu yang dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu: 1. Nelayan
yang
seluruh
waktunya
dialokasikan
untuk
melakukan
penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan penuh 2. Nelayan yang sebagian besar waktunya dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan utama. Dalam kategori ini, nelayan dapat pula mempunyai pekerjaan lain 3. Nelayan yang sebagian kecil waktunya dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan tambahan. Dalam kategori ini, nelayan mempunyai pekerjaan pokok yang lain. Sebagian besar nelayan di Kabupaten Halmahera Utara merupakan nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan, karena mereka mempunyai kebun, sehingga pada saat panen tanaman pertanian, mereka istirahat melaut. Jumlah nelayan menurut jenis alat periode tahun 2004–2008 lihat Tabel 5.
23
Tabel 5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap No
Jumlah nelayan menurut jenisnya
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Pukat pantai Pukat cincin Jaring lingkar Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring klitik Trammel net Bagan perahu Bagan tancap Rawai tetap Rawai tuna Rawai hanyut Huhate Pancing tonda Pancing ulur Sero Bubu
2004 276 628 364 130 98 6 18 59 7 28 35 8 900 124 859 2 10
Jumlah trip menurut tahun 2005 2006 2007 276 646 358 130 98 6 20 60 8 28 38 7 930 126 939 4 10
274 722 360 130 98 6 20 61 8 30 38 9 954 126 1.029 4 10
276 722 360 120 86 5 22 61 8 30 40 11 990 126 1.155 4 10
2008 276 780 386 120 86 5 22 40 8 30 40 11 720 142 1.250 4 8
Sumber Data : DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009. Tabel 5 menunjukkan bahwa nelayan sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing, berikut jaring insang tetap, pukat cincin, jaring lingkar dan huhate. Alat tangkap pancing dan jaring insang merupakan alat tangkap yang sederhana dengan mayoritas kepemilikan tunggal dengan tingkat penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan sangat rendah. Pada kelompok alat ini, setiap unit penangkapan ikan menyerap 1 – 3 tenaga kerja saja. Alat tangkap pukat cincin, jaring lingkar dan huhate merupakan alat tangkap dengan daya penyerapan tenaga kerja yang tinggi per unit penangkapan. Setiap unit penangkapan dari ketiga jenis alat ini mampu menyerap tenaga kerja antara 12 – 20 orang bahkan terkadang ada yang lebih dari 20 orang.
24
2.5.4 Produksi Produksi hasil perikanan merupakan output dari proses penangkapan ikan. Produksi tersebut ditentukan oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan ikan, kemampuan atau keterampilan nelayan, manajemen, dan beberapa faktor lainnya termasuk infrastruktur pendukung seperti pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan. Data yang diperoleh dari hasil survei lapangan di seluruh Kabupaten Halmahera Utara, diperoleh data produksi dari setiap jenis alat tangkap untuk periode tahun 2004–2008, dapat disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Produksi ikan total menurut jenis alat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Jumlah produksi (ton) menurut tahun
Alat tangkap Pukat pantai Pukat cincin Jaring lingkar Jaringinsang hanyut Jaring insang tetap Jaring klitik Trammel net Bagan perahu Bagan tancap Rawai tetap Rawai tuna Rawai hanyut Huhate Pancing tonda Pancing ulur Sero Bubu Jumlah
2004 417,688 4.858,05 354,883 224,924 231,884 4,257 96,61 2.962,76 257,643 287,416 877,615 117,922 4.683,22 742,804 620,401 9,758 52,006
2005 634,82 5.690,42 371,496 226,026 264,67 2,998 45,938 6.283,03 359,292 207,588 2.700,13 99,063 8.272,82 1.904,72 579,4 21,627 54,373
2006 501,407 5.847,04 376,284 272,039 285,237 4,066 89,968 2.853,66 231,719 477,624 1.232,78 142,215 7.860,60 1.337,26 569,838 8,264 55,34
2007 444,297 6.319,49 386,195 226,147 267,427 4,032 91,753 2.705,99 205,375 484,474 1.522,95 160,423 8.471,56 1.240,11 895,291 4,892 49,702
2008 615,194 8.625,46 439,9 181,431 245,757 3,188 166,886 3.146,17 122,681 535,3 2.148,58 235,03 7.773,09 1.506,32 1.213,72 3294 50,648
16.800
27.718
22.145
23.480
30.303
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009. Tabel 11 menunjukkan bahwa, sumbangan hasil tangkapan terbesar diperoleh dari operasi perikanan yang menggunakan perikanan pukat cincin dan huhate, dilihat dari rata-rata hasil tangkapan pertahun, maka alat tangkap huhate memberikan sumbangan terbesar, berikut adalah alat tangkap pukat cincin. Alat tangkap yang memberikan sumbangan hasil tangkapan paling rendah yaitu jaring klitik dan sero.
25
2.5.5
Pemasaran Komoditas perikanan yang dijual di pasar lokal di Kabupaten Halmahera
Utara hampir seluruhnya berasal dari produksi perikanan tangkap dan dalam keadaan segar. Untuk ikan segar yang berukuran besar, biasanya sebelum dijual dipotong-potong terlebih dahulu menjadi beberapa potong. Ikan hasil tangkapan sebagian besar tanpa pengawet es. Ikan didaratkan dan diletakkan begitu saja di dalam keranjang plastik tanpa adanya upaya penanganan. Ikan diangkut atau menunggu untuk diangkut ke pasar tanpa adanya pemberian es untuk mencegah proses kemunduran mutu. Pemberian es baru dilakukan setelah ikan tiba di pasar dan akan disimpan dalam kotak pendingin untuk dijual pada hari berikutnya.
Salah satu kendala tidak diterapkannya
pengawetan ikan tersebut adalah karena harga es balok untuk penanganan ikan masih terbatas dan mahal harganya, kareana permintaan untuk kepentingan lain juga cukup besar. Akibat penanganan yang kurang baik ini, maka mutu ikan segar cepat menurun, sehingga nelayan dan pedagang menerima harga yang rerlatif rendah, sementara konsumen juga memakan ikan yang rendah kualitasnya. Sekalipun demikian, mutu ikan yang rendah ini hanya diperoleh pada daerah-daerah yang jauh dari lokasi pasar. Secara umum daerah penangkapan terletak tidak terlalu jauh dari lokasi pasar sehingga dugaan turunnya mutu ikan tangkapan masih tidak terlalu besar.
Sebagian besar ikan yang dikonsumsi masih tergolong segar,
walaupun belum kena bahan pengawet es. Kegiatan pemasaran terutama diperankan oleh pedagang borongan (penyalur) yang kemudian disalurkan ke pedagang eceran. Rata-rata setiap unit penangkapan telah memiliki pedagang penyalur yang disebutkan sebagai pengurus (istilah daerah setempat). Pengurus memegang peranan penting dalam menyalurkan hasil tangkapan untuk sampai di tangan konsumen.
26
2.6
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
2.6.1 Luas dan letak geografis Wilayah Halmahera Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Tahun 2003
No. 1
dan secara administratif kenegaraan, resmi menjadi wilayah
kabupaten baru pada tanggal 31 Mei 2003. Kabupaten Halmahera Utara memiliki luas wilayah sebesar 24.983,32 km2, dan luas daratan sebesar 5.447,3 km2 atau sebesar 22% dari luas wilayah kabupaten. Luas perairannya sebesar 19.536,02 km2 atau sebesar 78% dari luas wilayah kabupaten. Kabupaten Halmahera Utara secara administratif terdiri dari 22 kecamatan yang terdiri dari 260 desa.
Sebagian besar wilayah kecamatannya yakni 18
kecamatan merupakan kecamatan pesisir dan 4 kecamatan lainnya merupakan kecamatan pedalaman.
Kabupaten Halmahera Utara memiliki 94 buah pulau
sedang maupun kecil, berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Kabupaten Halmahera Utara secara geografis terletak di bagian Utara dari Pulau Halmahera, tepatnya berada pada koordinat 1o57’-3o00’ LU dan 127o17’128o08’ BT, serta memiliki wilayah yang terbentang dari utara ke selatan sepanjang 333 km dan dari barat ke timur sepanjang 148 km. Peta Kabupaten Halmahera Utara dapat dilihat pada Gambar 2. Secara geografis dan administratif, Kabupaten Halmahera Utara memiliki batas-batas wilayah yang berbatasan dengan wilayah daerah lain, sebagai berikut: (1) sebelah utara berbatasan dengan samudera pasifik, (2) sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wasilei, Kabupaten Halmahera Timur, (3) sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, (4) sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loloda Selatan, Kabupaten Halmahera Barat dan laut Sulawesi. Sumber daya alam pantai yang banyak terdapat di Kabupaten Halmahera Utara yaitu : ketam kenari (Birgus latro), penyu, burung laut, dan hutan mangrove. Di samping itu, juga terdapat jenis udang (Penaied sp), kepiting (Brachyura sp), cumi-cumi (Chaphalopoda sp), kerang mutiara (Pinctada maxima), tapis-tapis (Pinctada margarititera), lola (Thodws nilotice), teripang (Holothuridae sp), dan rumput Laut (sea weeds).
27
U
Gambar 2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Perairan laut Kabupaten Halmahera Utara diperkirakan memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap (standing stock) sebesar 89.865,69 ton/tahun, dengan potensi lestari (MSY) atau potensi ikan yang boleh dimanfaatkan sebesar 44.932,85 ton/tahun, yang terdiri dari perikanan pelagis sebesar 26.946,41 ton/tahun dan perikanan demersal sebesar 17.986,44 ton/tahun. Potensi hutan mangrove terdiri dari mangrove primer 3.720,612 Ha dan mangrove sekunder 1.456,880 Ha (Data Tata Ruang 2007), serta Potensi terumbu karang seluas 539,6 Ha dan padang lamun seluas 6.126,14 Ha. Kecamatan Kao Utara adalah sebuah kecamatan yang berada di bagian pesisir sebelah Timur Pulau Halmahera dan terletak di sebelah selatan dari ibu kota Kabupaten Halmahera Utara, yang dapat dijangkau dengan mudah
28
mempergunakan kendaraan darat, dengan jarak tempuh sekitar 50 km dari ibu kota Kabupaten. Kecamatan ini memiliki topografi wilayah yang sebagian besar datar dengan bukit-bukit kecil dan tampak subur ditanami berbagai jenis tanaman. Pada wilayah pantai, yang menghadap perairan Teluk Kao, kecamatan ini memiliki areal terumbu karang yang cukup besar, dan tersebar di seluruh pesisir wilayah, dengan areal pantai berpasir dan karang. Kedalaman perairan laut dalam wilayah Kecamatan Kao Utara tidak terlalu dalam, hanya paling tinggi 80 m dari permukaan laut. Batas wilayah kecamatan Kao Utara pada bagian Utara, berbatasan dengan Kecamatan Tobelo Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kao Barat, Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Kao, dan bagian timur berbatasan di perairan Teluk Kao dengan Kecamatan Wasiley Kabupaten Halmahera Timur. Jumlah desa yang ada di dalam wilayah Kecamatan Kao Utara berjumlah 12 desa, 9 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman penduduk berada di pesisir pantai, 2 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman yang tidak berbatasan langsung dengan pantai, sedangkan 1 desa, yakni Desa Bobale memiliki wilayah dan areal pemukiman pada sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Bobale, dengan luas daratan pulau sekitar 4 km², yang terletak di tengah perairan Teluk Kao. 2.6.2 Penduduk Berdasarkan data pada Kantor Kecamatan Kao Utara, penduduk Kecamatan Kao Utara pada tahun 2008 berjumlah 11.115 jiwa dari 2.694 kk, yang tersebar pada 12 desa dengan kepadatan penduduk terbesar berada pada Desa Daru yang merupakan Ibu kota Kecamatan Kao Utara, sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat pada desa Boulamo (Tabel 7). Kondisi penduduk yang terdapat pada setiap desa terlihat masih tradisional, dengan rata-rata penduduk berprofesi sebagai petani dan nelayan. Sebagai petani, masyarakat menggarap lahan pertanian yang umumnya ditanami kelapa untuk menghasilkan kopra yang dipanen setiap 4 bulan sekali. Untuk tanaman pala, cengkih, juga terdapat di wilayah ini, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Ketela pohon, ubi, padi ladang dan pisang, juga ditanami oleh
29
sebagian masyarakat, namun sebagian besar hasilnya tidak untuk dijual, tetapi hanya untuk konsumsi keluarga. Tabel 7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Desa
Kepala Keluarga
Daru Wateto Warudu Tunuo Pediwang Bori Doro Dowongimaiti Bobale Gamlaha Boulamo Gulo
423 197 88 212 338 260 394 75 197 277 46 187
Jumlah 2.694 Sumber : Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Tahun 2009.
Jumlah Penduduk 1.679 793 318 878 1.456 1.145 1.695 263 857 1.067 190 774 11.115
Disamping mengandalkan hasil perkebunan, masyarakat di Kecamatan Kao Utara juga menggarap berbagai potensi laut yang ada di perairan Teluk Kao. Berbagai macam ikan, baik demersal maupun pelagis menjadi tangkapan rutin, disamping beberapa jenis kerang laut yang juga sering mereka peroleh dari areal terumbu karang, pada saat air laut surut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor CSR (Corporate Social Responsibility) PT. Nusa Halmahera Minerals, jumlah kelompok nelayan yang mengusulkan program untuk memperoleh bantuan alat tangkap di Kecamatan Kao Utara, berjumlah 27 kelompok nelayan, dengan rata-rata jumlah anggota sebanyak 10 sampai 12 orang. Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Utara menyatakan bahwa jumlah nelayan sambilan utama yang berada di Kecamatan Kao Utara berjumlah 162 orang, dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan sebanyak 87 RTP.
30
2.6.3
Ekonomi Kondisi perekonomian di Kecamatan Kao Utara terlihat masih
terbelakang. Untuk menjual hasil panen perkebunan, dilakukan oleh masyarakat kepada pedagang-pedagang keturunan yang membuka toko-toko kecil yang juga menjual kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Pasar untuk kebutuhan harian hanya dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu di ibu kota kecamatan, yakni Desa Daru. Dimana oleh masyarakat nelayan, hasil-hasil tangkapan yang diperoleh banyak dijual di pasar tersebut, disamping dijual kepada pedagang pengumpul (dibo-dibo) yang berkeliling desa-desa untuk mengumpulkan ikan yang dibeli dari nelayan yang melakukan penangkapan ikan. Lembaga-lembaga ekonomi seperti perbankan tidak ditemukan di kecamatan ini.
Lembaga-lembaga koperasi yang beranggotakan masyarakat
nelayan atau petani ada di beberapa tempat, namun aktifitasnya tidak terlihat. Koperasi yang terlihat aktif adalah koperasi-koperasi simpan pinjam yang dimiliki secara pribadi oleh oknum-oknum tertentu, yang dengan berkedok koperasi, melakukan praktek simpan pinjam kepada masyarakat setempat dengan bunga yang sangat tinggi.