TINJAUAN PUSTAKA Ikan Genus Labeobarbus Haryono (2006) mengemukakan bahwa di seluruh dunia terdapat 20 jenis kerabat ikan tambra (genus Labeobarbus atau Tor) yang empat jenis diantaranya telah ditemukan di perairan Indonesia yakni Tor tambroides, Tor soro (ikan batak), Tor douronensis (ikan semah) dan Tor tambra (ikan tambra). Sementara Saanin (1984) menyebutkan bahwa selain keempat spesies tersebut, ditemukan pula Labeobarbus longipinnis yang memiliki nama lokal ikan pidjen. Kottelat et al. (1993) telah merevisi nama genus Labeobarbus menjadi Tor tetapi tidak terdapat pentelaan terhadap L. longipinnis. Secara morfologis Saanin (1984) menyebutkan bahwa genus Labeobarbus memiliki ciri jari-jari sirip punggung yang licin, kepala tidak berkerucut, antara garis rusuk dan sirip punggung terdapat tiga setengah baris sisik. Menurut Shrestha (2005), genus Tor atau Labeobarbus memiliki wilayah penyebaran di kawasan Trans Himalaya (Pakistan, Nepal, India dan Myanmar) dan di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Haryono (2006) mengemukakan bahwa di Indonesia, spesies Tor diantaranya ditemukan di perairan hulu Kalimantan Tengah yakni T. tambroides sedang T. soro dan T. douronensis ditemukan di Sumatra dan Jawa. Di Kabupaten Kuningan, ditemukan spesies Tor dengan nama lokal ikan dewa. Labeobarbus spesies memiliki habitat spesifik, mulai dari sungai-sungai di pegunungan hingga sungai-sungai pada dataran tinggi dengan dasar berbatu (Shrestha 2005). Sependapat dengan hal tersebut, Kiat (2004) menyebut lebih rinci bahwa ikan Tor hidup pada perairan bagian hulu sungai di daerah perbukitan, terdapat arus air yang cukup kuat, warna air jernih, kandungan oksigen cukup tinggi, suhu air sejuk dan dasar perairan berbatu. Haryono (2006) mengemukakan beberapa aspek biologik mengenai ikan tambra yaitu perbedaan jenis kelamin yang dapat diidentifikasi berdasarkan bentuk dan warna tubuh, memiliki kebiasaan makan sebagai omnivora dan kisaran fekunditas 3.125-8.201 butir telur.
Di Malaysia, telah dilaporkan keberhasilan pembiakan beberapa spesies ikan liar asal sungai yang telah menurun populasinya dan memiliki harga mahal termasuk genus Tor, yaitu ikan semah dan emparau (De Silva et al. 2004). Sedangkan di India, Pandey et al. (1998) telah berhasil melakukan pemijahan secara buatan untuk Tor putitora. Lalu Shrestha (2002) menyebutkan bahwa telah diuji pemeliharaan spesies Tor putitora dan Tor tor pada kolam-kolam penangkaran yang memiliki air bersirkulasi terbuka di Wilayah Nepal (India). De Silva et al. (2004) juga melaporkan bahwa di Serawak, Malaysia, telah berhasil ditangkarkan beberapa spesies ikan sungai yang telah menurun populasinya di alam dan memiliki harga mahal termasuk ikan mahseer dari spesies T. tambroides dan T. duoronensis.
Kedua
spesies Tor tersebut ditangkarkan selain karena alasan
konservasi juga karena dianggap bernilai ekonomi tinggi serta memiliki ukuran tubuh besar (Gambar 1).
Gambar 1
Induk Tor tambroides dengan bobot mencapai 20 kg pada kolam pemeliharaan di Sarawak, Malaysia (De Silva et al. 2004) Pertumbuhan dan Perkembangan Gonad Ikan Betina
Pertumbuhan dan perkembangan gonad ikan betina terdiri atas beberapa tingkat yang dapat didasarkan atas pengamatan secara mikroskopis dan makroskopis. Secara makroskopis perkembangan ovarium ditentukan dengan mengamati warna indung telur, ukuran butiran telur dan volume rongga perut ikan. Secara mikroskopis perkembangan telur diamati untuk menilai perkembangan ovarium, antara lain tebal dinding indung telur, keadaan pembuluh darah, inti butiran minyak dan kuning telur.
Pada ovarium ikan, terdapat bakal sel telur yang dilindungi suatu jaringan pengikat yang bagian luarnya dilapisi peritoneum dan bagian dalamnya dilapisi epitelium. Sebagian dari sel-sel epitelium akan membesar, berisi nukleus dan kemudian butiran ini kelak akan menjadi telur. Selama perkembangannya, ukuran oosit akan bervariasi. Pada tahap perkembangan awal, oogonia terlihat masih sangat kecil, berbentuk bulat dengan inti sel yang sangat besar dibandingkan dengan sitoplasmanya. Oogonia terlihat berkelompok tapi kadang-kadang ada juga yang berbentuk tunggal. Pada kebanyakan spesies non mamalia, oosit mencapai ukuran akhir selama vitelogenesis dan memulai tahap pematangan serta ovulasi bila ada stimulasi hormonal yang cukup.
Nagahama (1987a) memaparkan bahwa perubahan pada oosit
dikendalikan oleh sistem syaraf pusat sebagai respon terhadap perubahan lingkungan dengan peran tiga mediator utama yaitu gonadotropin (GTH), MIH (maturation inducing hormone) dan MPF (maturation promoting factor). Sinyal lingkungan yang ditangkap oleh sistem syaraf kemudian direspon oleh hipotalamus dengan mensekresikan gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang menstimulasi pelepasan gonadotropin pituitari baik GTH I atau FSH maupun GTH II (LH). Menurut Yaron (1995), kedua substansi gonadotropin bekerja menstimulasi sekresi estradiol dari folikel, akan tetapi GTH II lebih poten menstimulasi sekresi 17,20-P dari folikel postvitelogenik.
Pengaruh umpan balik seks steroid juga digunakan pada
tingkat hipofisis dan otak untuk memungkinkan terjadinya integrasi dengan isyarat lingkungan untuk merangsang terjadinya peningkatan GTH II preovulasi.
Peran
utama yang mengatur sekresi GTH II dari hipofisis pada ikan adalah GnRH dalam bentuk [Trp7, Leu8]-GnRH. Menurut Wallace dan Selman dalam Takashima (1995), pertumbuhan ovarium ikan secara umum dikelompokkan dalam enam fase perkembangan, yakni (1) fase kromatin nukleolus, (2) perinuklear, (3) kortikal-olveoli, (4) vitelogenik, (5) maturasi dan (6) ovulasi. Pertumbuhan ovarium tersebut dicirikan oleh perkembangan oosit yang ada di dalamnya sebagai berikut:
-
Fase kromatin nukleolus, ditandai dengan adanya sebuah nukleus yang terlihat kompak dengan satu nukleolus yang relatif besar, ukuran folikel relatif kecil dengan sitoplasma terpulas zat warna dengan kuat mencirikan ovarium masih belum berkembang.
-
Fase perinuklear, ditandai adanya nukleus dan beberapa nukleoli kecil pada tepi nukleoplasma.
-
Fase kortikal alveoli, ditandai adanya butir-butir lipid di sekitar vesikula germinalis dengan ukuran oosit lebih besar.
-
Fase vitelogenik, ditandai dengan dipenuhinya ruang sitoplasmik oleh butiranbutiran lemak. Sementara itu berkaitan dengan periode waktu pemijahan, Wallace dan Selman
(1981) membedakan ovarium menjadi 3 tipe, yaitu (1) sinkronisme total yaitu seluruh oosit berada pada tingkat perkembangan atau stadia yang sama, (2) sinkronisme per grup yaitu sedikitnya terdapat 2 populasi oosit yang berada dalam stadia yang sama dan (3) asinkronisme yaitu oosit pada ovarium terdiri dari semua stadia. Berdasarkan hal tersebut, lamanya jangka pemijahan pada ikan dapat diduga dari ukuran diameter telur. Jika waktu pemijahan pendek, semua telur matang yang terdapat dalam ovarium berukuran sama. Tetapi bila waktu pemijahan pada kisaran waktu yang lama maka ukuran telur yang berada dalam ovarium berbeda-beda. Pada ikan yang mempunyai siklus reproduksi tahunan atau tengah tahunan akan terlihat adanya puncak-puncak pembelahan oogonia. Pada ikan yang memijah sepanjang tahun, perbanyakan oogonia akan berlangsung terus menerus sepanjang tahun.
Transformasi oogonia menjadi oosit primer banyak terjadi pada tahap
pertumbuhan yang ditandai dengan munculnya kromosom. Segera setelah itu, folikel berubah bentuk, dari semula yang berbentuk skuamosa menjadi berbentuk kapsul oosit. Inti sel terletak pada bagian sentral dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang tipis. Pada perkembangan selanjutnya, oosit membentuk lapisan korion, membran, granulosa, membran, dan teka. Butir-butir lemak juga mulai terlihat ditumpuk pada sitoplasma dan bersamaan dengan itu muncul kortikal alveoli.
Butir-butir lemak ini selanjutnya akan bertambah besar pada vitelogenesis yang diawali dengan pembentukan vakuola-vakuola yang kemudian diikuti dengan munculnya globula kuning telur, bersamaan dengan itu oosit membengkak secara menyolok. Kuning telur pada ikan terdiri atas fosfoprotein dan lipoprotein yang dihasilkan oleh hati kemudian disalurkan ke dalam peredaran darah. Pembesaran oosit disebabkan terutama oleh penimbunan kuning telur. Pada kebanyakan ikan, kuning telur merupakan komponen penting oosit ikan teleostei. Fenomena penimbunan material kuning telur oleh oosit ikan dibagi menjadi dua fase, yakni sintesis kuning telur di dalam oosit atau vitelogenesis endogen dan penimbunan prekursor (bahan pembentuk) kuning telur yang disintesis di luar oosit atau vitelogenesis eksogen (Matty 1985). Gelembung kuning telur positif-PAS (mukopolisakarida atau glikoprotein) umumnya merupakan struktur yang pertama muncul dalam sitoplasma oosit selama pertumbuhan sekunder oosit, dan pertama kali muncul di zona terluar dan zona midkortikal pada oosit.
Ketika vitelogenesis
berlangsung, sebagian besar sitoplasma telur matang ditempati oleh banyak gelembung kuning telur yang padat dengan asam lemak dan dikelilingi oleh selapis membran pembatas. Selama tahap akhir vitelogenesis, globula kuning telur akan bergabung satu sama lain membentuk masa tunggal kuning telur. Woynarovich dan Horvath (1980) menyatakan bahwa pada saat menjelang ovulasi akan terjadi peningkatan diameter oosit karena pengisian oleh massa kuning telur yang homogen akibat adanya peningkatan kadar estrogen dan vitelogenin. Selanjutnya dinyatakan bahwa induk yang pantas dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitelogenesis) dan masuk ke fase dorman (istirahat). Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur da!am sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, yang disebut fase istirahat. Apabila rangsangan diberikan pada saat fase dorman ini, maka akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, kemudian inti pecah atau melebur
pada saat pematangan oosit, ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi (Lam 1985). Sebaliknya bilamana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak tersedia pada fase dorman tersebut maka oosit akan mengalami degenerasi lalu diserap kembali oleh lapisan folikel melalui atresia (Suyanto 1986). Faktor-faktor eksternal lain yang menyebabkan terjadinya atresia adalah ketersediaan pakan (Bagenal 1978), sedangkan faktor internal adalah umur telur. Yaron (1995) menyatakan bahwa secara hormonal, akhir proses vitelogenesis berpuncak pada pembentukan 17α-hydroxyprogesteron yang terjadi pada sel teka. Steroid ini akan berdifusi ke dalam sel granulosa dan dikonversi menjadi 17α, 20βdyhidroxy-4-pregnen-3-one, yang merupakan hormon penginduksi maturasi (MIH) pada kebanyakan spesies ikan (Nagahama 1987b). Maka setelah oosit melewati fase vitelogenesis masih diperlukan berbagai faktor lain agar folikel mencapai tahap pematangan akhir dan terjadi ovulasi. Brooks et al. (1997) merangkumnya seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Skematik terjadinya ovulasi telur oleh interaksi berbagai faktor (Brooks et al. 1997)
Seperti pada kebanyakan vertebrata, oosit ikan yang sudah mencapai pematangan tahap akhir belum dapat dibuahi dan harus mencapai tahap akhir penyelesaian pembelahan meiotik dan perubahan struktur oosit.
Proses tersebut
meliputi GVBD, kondensasi kromosom, pembentukan spindel meiotik pertama, pelepasan polar bodi pertama dan pembentukan mikrofil sebagai saluran masuknya spermatozoa ketika terjadi fertilisasi (Nagahama 1987b). Hoar (1972) menyatakan bahwa selama proses vitelogenesis juga terjadi penambahan ketebalan pada zona radiata, perkembangan retikulum endoplasma di dalam granulosa dan sel-sel teka. Tahap berikutnya dari perkembangan telur atau tahap pematangan adalah tahap pergerakan inti ke bagian tepi dan akhirnya melebur membentuk pronukleus dan badan polar I. Inti bergerak mendekati mikropil pada kutub animal telur untuk memudahkan terjadinya pembuahan. Selama tahap vitelogenesis dan pematangan gonad akan dihasilkan peningkatan volume granula kuning telur dan meningkatnya ukuran oosit. Maka nilainilai yang berkaitan dengan TKG (tingkat kematangan gonad), IGS (indeks gonad somatik) dan GVBD seringkali dijadikan sebagai indikator terhadap kematangan oosit akibat berkumpulnya butiran kuning telur atau lempengan lipid yang kemudian diikuti dengan migrasi inti. Semakin bertambah tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar (Hoar 1972). Menurut Effendie (2002), pertumbuhan bobot gonad ikan betina pada stadium matang gonad dapat mencapai 10-25 persen dari bobot tubuh. Tyler dan Sumpter (1996) menyebutkan bahwa sifat reproduksi ikan menentukan pola perkembangan ovarium. Pada ikan dengan tipe pemijahan sinkronous, IGS berkisar antara 18-25% bahkan kadang mencapai 40%, seperti pada Anguilla japonica. Sedangkan pada ikan dengan tipe pemijahan asinkronous, angka IGS lebih rendah daripada ikan dengan tipe pemijahan sinkronous. Penelitian Gaffar et al. (1991) terhadap Labeobarbus douronensis di hulu Sungai Komering, Sumatra Selatan dengan panjang ikan antara 46-83,5 cm, didapati angka adalah 5,34 hingga 10,78. Sedangkan penelitian Hardjamulia et al. (1999)
masih dengan spesies L. douronensis dalam ukuran panjang ikan antara 10,5-17,1 cm memiliki kisaran IGS 0,11-0,58. Mekanisme Reproduksi Hormonal pada Ikan Betina Pematangan gonad dan ovulasi pada ikan merupakan suatu proses di bawah kendali kerja hormon-hormon. Secara umum mekanisme kerja hormon untuk perkembangan dan pematangan gonad merupakan suatu rangkaian. Yaron (1995) menyatakan bahwa hormon-hormon yang terlibat dalam reproduksi ikan berasal dari tiga bagian utama, yaitu (1) hipotalamus, (2) hipofisis dan (3) gonadotropin. Secara ringkas, mekanisme hormonal untuk pengaturan sistem reproduksi ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Skema garis besar mekanisme reproduksi hormonal ikan
Rangsangan untuk mensintesis hormon GnRH (gonadotropin releasing hormone) diterima oleh hipotalamus dari otak (susunan syaraf pusat) melalui reseptorreseptor yang menerima rangsangan dari luar atau lingkungan. Reseptor penginderaan merupakan penerima rangsangan tersebut, seperti visual untuk fotoperiod dan lawan jenis, kemoreseptor untuk suhu, metabolit dan sebagainya. Stimulasi oleh adanya pelepasan GnRH dari hipotalamus menyebabkan kelenjar hipofisis mensekresikan gonadotropin (GTH) untuk dialirkan ke dalam darah. Selain GnRH yang bersifat memacu, dalam hipotalamus juga dikeluarkan subtansi penghambat pelepasan GTH yaitu dopamin. Hormon gonadotropin sebagai produk hipofisis yang dialirkan lewat darah, dalam kadar tertentu akan merangsang pertumbuhan dan kematangan gonad akhir melalui stimulasi dan sintesis hormon-hormon steroid dalam ovarium. Pada spesies ikan, hormon gonadotropin terdiri dua macam yaitu GTH I dan GTH II yang berbeda dalam senyawa glikoproteinnya. GTH I berperan dalam perkembangan gonad sedangkan GTH II berperan dalam pematangan gonad dan pemijahan. Pada ikan salmon, penelitian terhadap GTH II menunjukkan perannya pada pematangan tahap akhir dan ovulasi serta spermiasi seperti peran LH pada mamalia (Tyler 1991). Sedangkan GTH I secara in vitro menunjukkan perannya pada saat steroidogenesis dan mempengaruhi penyerapan prekursor kuning telur vitelogenin pada ikan salmon (Tyler et al. 1997). Pada ikan jantan, steroid adalah testoteron yang mengontrol pematangan spermaozoa, diproduksi oleh sel Leydig pada testis. Sedangkan pada ikan betina, hormon steroid yang berpengaruh langsung terhadap pematangan sel telur dikenal sebagai hormon estrogen dan disekresi oleh sel intersitial folikel di ovarium. Sedangkan progesteron yang dikenal sebagai steroid yang dihasilkan oleh sel perifer dari ovarium, pengaruhnya hanya pada pematangan akhir oosit saja (Yaron 1995). Secara alami, vitelogenesis dan diferensiasi oosit diawali dengan adanya sinyal lingkungan seperti hujan, perubahan suhu atau katersedian substrat untuk penempelan telur yang diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan merespon sinyal tersebut dengan melepaskan GnRH yang bekerja
di kelenjar hipofisis. Selanjutnya kelenjar hipofisis akan melepaskan hormon GTH I yang bekerja di lapisan teka pada oosit (Yaron 1995). Akibat kerja hormon GTH I pada ovarium, lapisan teka akan mensintesis testosteron. Selanjutnya pada lapisan granulosa, testosteron akan diubah menjadi estradiol-17β oleh enzim aromatase. Estradiol-17β akan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Melalui aliran darah, vitelogenin akan diserap secara selektif oleh lapisan folikel oosit. Proses inilah yang dikenal dengan vitelogenesis, sedangkan proses selanjutnya adalah pematangan akhir yang di dalamnya terjadi pergerakan inti telur ke tepi atau germinal vesicle breakdown (GVBD) dan ovulasi yang ditandai dengan pecahnya lapisan folikel dan keluarnya telur ke dalam rongga ovari (Yaron 1995). Induksi Ovulasi Menggunakan GnRHa Terdapat banyak ikan budidaya yang tidak mampu memijah secara spontan di dalam kolam budidaya karena kurangnya sekresi gonadotropin II (LH) dari kelenjar hipofisisnya.
Keadaan ini berakibat terganggunya proses pematangan akhir oosit
(FOM/ final oocyte maturation), ovulasi, spermiasi dan pemijahan. Hal yang serupa juga terjadi pada ikan yang dipelihara untuk penangkaran. Ikan-ikan tersebut membutuhkan induktor hormon dari eksternal untuk menambah kecukupan LHRHnya yang secara alami telah terganggu oleh mekanisme introduksi budidaya (Zairin 2006). Dalam rangka mencukupi kadar LHRH atau GnRH maka ovulasi pada ikanikan yang diintrodusir atau sedang dalam proses penangkaran, dilakukan dengan induksi menggunakan hormon eksogen yang cukup efektif untuk menginduksi pematangan oosit dan ovulasi pada ikan.
Akan tetapi karena secara komparatif
dibutuhkan dosis LHRH yang besar dan injeksi yang lebih frekuen dalam penggunaanya, maka kemudian disintesa analog LHRH (LHRHa) atau analog GnRH (GnRHa) untuk menggantikan LHRH atau GnRH. Pada kebanyakan jenis ikan, ditemukan bahwa GnRH menyerupai GnRH ikan salmon sehingga disintesis analog gonadatropin releasing hormone yang praktis
dalam bentuk [Trp7, Leu8]-GnRH (salmon GnRH atau sGNRH) yang digunakan untuk memudahkan pekerjaan pemijahan (Nagahama, 1987b). Preparat GnRH analog berperan seperti LHRH untuk merangsang hipofisis agar melepaskan gonadotropin. Gonadotropin yang disekresikan akan mencapai gonad sebagai target organ untuk mempercepat terjadinya pematangan oosit pada induk. Ovaprim merupakan salah satu preparat komersial yang isinya merupakan kombinasi dari analog salmon gonadotropin releasing hormone (s-GnRHa) dan anti dopamin. Setiap 1 ml ovaprim mengandung 20 µg sGnRH-a (D-Arg6, Trip7, Leu8, Pro9-NET) – LHRH dan 10 mg anti dopamin. Hormon ini telah ditemukan sejak tahun 1980-an yang dapat disimpan dalam suhu kamar dalam jangka waktu melebihi setahun dan dapat digunakan secara langsung. Analog GnRH dalam ovaprim merupakan hormon sintetis analog dengan gonadotropin ikan salmon yang terdapat hampir pada seluruh jenis ikan. Di samping itu, kandungan antidopamin (dopamine blocker) dalam ovaprim juga akan berperan menghambat kerja dopamin. Secara alami dopamin menghambat kerja gonadotropin sehingga dengan memberikan antagonis dopamin maka peranan dopamin akan terhenti dan sekresi gonadotropin tetap meningkat setelah pemberian GnRHa. Pada beberapa spesies ikan, dopamin ditemukan menghambat pelepasan hormon gonadotropin oleh hipofisis sehingga terjadi penghambatan respon positif hipofisis terhadap injeksi GnRH analog.
Guna mengurangi penghambatan dopamin, beberapa preparat
digunakan dengan fungsi mampu bekerja sebagai dopamine blocker seperti domperidon, haloperidol dan metoclopromid (Rottman et al. 1991).
Gambar 4 Skematik penghambatan kerja dopamin (Rottman et al. 1991)
Berdasarkan gambar di atas juga diketahui bahwa selain GTH II, prostaglandin juga berperan dalam ovulasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Syarial (1988) bahwa prostaglandin diketahui merupakan mediator kerja pecahnya folikel (ovulasi) pada ikan. Mekanisme kerja hormon dalam terjadinya ovulasi dikemukakan oleh Tang dan Affandi (2000) bahwa prostagladin bersama dengan hormon LH akan mempertinggi aktivitas enzim proteolitik di folikel sehingga akan menstimulasi inti sel telur yang berada di tengah untuk bergerak ke pinggir dan selanjutnya melebur menuju kutub animal, yang berarti telur siap diovulasikan. Brzuska (2006) menyatakan bahwa pemijahan buatan pada ikan mas dengan perlakuan GnRHa dan dopamine blocker memberikan persentase hasil pemijahan yang baik. Pandey et al. (1998) berhasil menginduksi pemijahan ikan mahseer Tor putitora dengan tingkat fertilisasi 70-80% dan tingkat penetasan 60-65%. Dosis GnRHa yang digunakan untuk memijahkan ikan umumnya adalah 10µg per kg berat badan. Dalam sediaan cair, khususnya penggunaan ovaprim, dosis yang dipakai untuk merangsang ovulasi pada ikan betina adalah 0,5 ml/kg bobot tubuh sedangkan untuk merangsang spermiasi pada ikan jantan adalah 0,10-0,20 ml/kg bobot tubuh (Pandey et al. 1998). Ompok bimaculatus, satu spesies terancam punah di India juga telah berhasil dibiakkan dalam habitat penangkaran dengan injeksi ovaprim (Sridhar et al. 1998). Kualitas Telur Telur merupakan hasil akhir dari proses gametogenesis, setelah oosit mengalami fase pertumbuhan yang panjang. Pada ikan teleostei, telur merupakan suatu produk akhir dari pertumbuhan dan perkembangan telur (Tyler dan Sumpter 1996). Menurut Yaron (1995), pada kebanyakan ikan teleostei, ovulasi berhubungan dengan peningkatan GTH II yang merangsang ovulasi bagi sejumlah besar oosit. Ovulasi juga berhubungan dengan adanya kerusakan pada germinal folikel (GVBD), pemecahan dan pelepasan folikel yang sudah matang. Peranan MIH secara tidak langsung pada saat ovulasi ditunjukkan oleh Goetz et al. dalam Yaron (1995) bahwa
terjadi peningkatan produksi prostaglandin (hormon induktor ovulasi) pada ikan yellow perch ketika dipaparkan dengan MIH (17α, 20β-dyhidroxy-4-pregnen-3-one). Definisi kualitas telur yang umum digunakan adalah kemampuan telur untuk menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia. Menurut Brooks et al. (1997), kualitas telur ikan sangat bervariasi tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedikitnya terdapat 2 faktor yang mempengaruhi kualitas telur, yakni faktor intrinsik telur dan faktor lingkungan yang memberikan pengaruh selama telur difertilisasi hingga menetas. Komponen penting yang mempengaruhi kualitas telur diantaranya adalah keadaan endokrin pada induk selama pertumbuhan oosit di dalam ovarium, diet dan nutrisi induk yang langsung berhubungan dengan oosit dan keadaan fisiko-kimia air selama telur diinkubasikan serta pengaruh genetik induk. Bahkan aspek genetik induk juga berpengaruh terhadap fekunditas. Menurut Bromage et al. (1992), kualitas telur yang baik digambarkan dengan rendahnya tingkat mortalitas pada saat fertilisasi, penetasan dan first feeding. Selanjutnya Kjorsvik et al. (1990) menyebut bahwa penampilan zona pelucida, bentuk telur, transparansi dan distribusi globul minyak merupakan hal-hal yang berhubungan dengan kualitas telur. Lagler (1972) menyebutkan bentuk ukuran, warna dan berat jenis telur tergantung pada spesiesnya.
Sementara itu Scott (1979) mengemukakan bahwa
diameter sel telur untuk setiap spesies ikan beragam antar individu. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan ketersediaan makanan. Purdom (1979) menyatakan bahwa diameter sel telur lebih banyak ditentukan oleh faktor genetik, sedangkan fekunditas dipengaruhi oleh jumlah makanan. Faktor yang menentukan ukuran sel telur menurut Woynarovich dan Hovarth (1980) adalah ukuran inti, ketebalan selaput telur dan ukuran ruang perivitelin. Ukuran inti dan ketebalan selaput kuning telur akan menentukan ukuran sel telur sebelum kontak dengan air.
Sedangkan ukuran ruang perivitelin menentukan ukuran sel telur setelah kontak dengan air. Telur yang belum dibuahi bagian luarnya dilapisi oleh selaput yang dinamakan selaput kapsul atau khorion. Di bawah khorion terdapat selaput yang kedua dinamakan selaput vitelin. Selaput yang mengelilingi plasma telur dinamakan selaput plasma. Ketiga selaput ini semuanya menempel satu sama lain dan tidak terdapat ruang diantaranya. Lapisan vitelin pada ikan mas mempunyai ukuran ketebalan 10.0-10.2 μm dan mempunyai struktur yang komplek dan terdiri dari empat lapisan yang penamaannya berbeda berdasarkan penemu (Linhart et al. 1995). Lapisan bagian luar terdiri 2 bagian berdasarkan perbedaan sitokimia. Selanjutnya dikatakan bahwa kedua lapisan ini kaya akan protein. Selama oogenesis kuning telur mengakumulasi sejumlah besar granula kuning telur dan lipid yang terisi pada bagian tengah. Diameter granula berkisar antara 6-24 μm. Jumlah dan distribusi dari lemak (butir lemak) sangat bervariasi dengan diameter 1-1.5 μm (Linhart et al. 1995). Distribusi dari butir-butir lemak ini juga menjadi parameter kualitas telur. Selama oogenesis, salah satu yang paling menyolok adalah pembentukan sebuah zona tebal yang sangat berdiferensiasi yang terdiri dari membran telur, membran vitelin, zona radiata, zona pelusida dan terletak diantara lapisanlapisan granulosa dan oosit. Bergantung pada spesies dan tahap pertumbuhan oosit, membran telur bervariasi dalam hal ketebalan. Tebalnya 7-8 μm pada oosit ikan mas koki dan sekitar 30 μm pada rainbow trout (Kjorsvik et al. 1990) . Perubahan morfologi yang dialami membran mencerminkan adaptasi terhadap berbagai kondisi ekologi. Membran telur ini banyak mengandung protein dan karbohidrat. Belum dapat dipisahkan apakah asal membran ini dari oosit atau dari sel folikel atau dari kedua-duanya. Pada oosit kuda laut, Hippocampus erectus dan ikan pipa Syngnathus fuscus, membran dibentuk oleh oosit, sehingga diklasifikasikan sebagai selubung primer (Nagahama 1983). Menurut Kjorsvik et al. (1990), morfologi sel juga sering digunakan untuk meneliti kualitas telur dan parameter morfologi ini lebih sensitif dibandingkan dengan kelangsungan hidup. Pada pembelahan awal (blastomer) embrio tidak berdifferensiasi,
dan ini menjadi dasar untuk perkembangan embrio selanjutnya. Kerusakan pada sel ini akan mempengaruhi perkembangan akhir dari embrio, dan akhirnya akan terjadi kerusakan pada salah satu sel dalam perkembangannya. Pengamatan juga termasuk melihat simetri pembelahan awal serta banyaknya embrio dan larva yang cacat. Ukuran telur juga menjadi parameter dalam penentuan kualitas telur. Ukuran telur dapat dinyatakan dalam banyak cara. Diameter tunggal yang biasa digunakan, tetapi diameter terpanjang juga kadang-kadang digunakan. Selain itu panjang telur dan lebar telur juga digunakan. Ukuran-ukuran telur yang lain mencakup volume telur, bobot basah dan bobot kering. Dari segi energetika istilah terbaik untuk ukuran telur adalah kandungan energi per telur atau joule per telur. Kalori telur menunjukkan jumlah energi yang tersedia bagi embrio untuk berkembangan.
Ukuran telur
berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil. Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan Clupea harengus (Kamler 1992). Keuntungan ukuran awal yang dimiliki larva yang menetas dari telur besar dapat kurang berarti selama perkembangan selanjutnya, atau bahkan hilang. Pada Salmo salar keuntungan ini hilang setelah 5 minggu pertama pertumbuhan; pada Oncorhynchus mykiss keuntungan ini hilang setelah 16 minggu (Kamler 1992). Kemampuan larva yang kecil untuk bertumbuh sehingga mempunyai kecepatan yang sama dengan larva yang lebih besar sangat penting untuk tujuan komersial. Potensi yang sangat penting adalah menemukan kelangsungan hidup telur dan larva tidak dipengaruhi oleh ukuran telur (Kjorsvik et al. 1990). Ukuran telur juga memiliki hubungan dengan fekunditas. Makin banyak telur yang dipijahkan, ukuran telurnya makin kecil. Ikan salmon atlantik misalnya, dengan diameter telur 5-6 mm memiliki fekunditas 2000-3000 butir dan angka fekunditas naik menjadi 10 juta telur pada diameter 1-1,7 mm (Blaxter 1969). Pada Tor douronensis, Hardjamulia et al. (1995) mendapati bahwa fekunditas rata-rata adalah 2073 butir telur per induk.
Hardjamulia dalam Emmawati et al. (2005) menyebutkan bahwa diameter telur ikan mas dari 4 strian yang ditemukan di Indonesia sangat bervariasi, dari yang paling kecil yakni strain Sinyonya 0,13 mm dan yang terbesar strain Majalaya 0,9-1,6 mm. Rai et al. (2006) menyebutkan bahwa ikan spesies mahseer yakni Tor putitora yang dipelihara dalam kolam penangkaran di Nepal memiliki diameter telur 2,8-3,02 mm. Hardjamulia et al. (1995) menyatakan bahwa pada pemeliharaan keramba jaring apung, ikan semah (Tor douronensis) memiliki telur matang dengan diameter sekitar 2,5 mm.
Sementara hasil pengamatan Rupawan et al. (1999) terhadap ikan semah
hasil penangkapan dari Jambi dengan tingkat kematangan gonad IV memiliki dimeter telur 2,16-3,18 mm. Pembuahan dan Penetasan Telur Pembuahan atau fertilisasi merupakan asosiasi gamet, dimana asosiasi ini merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses fertilisasi. Rasio pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi kualitas telur. Penggabungan gamet biasanya disertai dengan pengaktifan telur. Selama fertilisasi dan pengaktifan, telur-telur ikan teleostei mengalami reaksi kortikal. Kortikal alveoli melebur, melepaskan cairan koloids, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang periviteline (Yamamoto dalam Kjorsvik et al. 1990). Kortikal alveoli muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas telur yang jelek. Beberapa hal yang mempengaruhi pembuahan adalah berat telur ketika terjadi pembengkakan oleh air, pH cairan ovari, dan konsentrasi protein (Lahnsteiner et al. 2001). Fertilisasi dan proses aktivasi pada telur ikan menjadi penting untuk beberapa perkembangan embrio. Selama fertilisasi dan aktivasi, pada telur-telur ikan teleostei terjadi reaksi kortikal. Alveoli kortikal melebur dan melepaskan kandungannya (koloids) dari lapisan kortikal, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang perivitelin (Yamamoto dalam Kjorsvik et al. 1990). Kortikal alveoli muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas telur yang jelek. Tidak lengkapnya proses aktivasi ini menyebabkan ruang perivitelin
sempit sehingga diameter telur tidak berkembang (Kjorsvik et al. 1984). Pengerasan korion telur selama proses aktivasi akibat dari reaksi enzim. Telur yang kualitasnya bagus memiliki korion yang keras. Selain hal-hal di atas parameter lain yang dapat juga menjadi patokan kualitas telur adalah transparansi telur dan distribusi butiran lemak (Mc. Evoy 1984). Kualitas telur yang baik umumnya transparan dan jelas kelihatan serta pembelahan awal yang simetris. Menurut Lagler et al. (1972), selama pembuahan, penetrasi akan menghasilkan (1) masuknya spermatozoa melalui perubahan kondisi di dalam sel telur, (2) penggabungan materi inti spermatozoa dan sel telur, (3) pembelahan dari satu sel zigot menjadi suatu embrio yang memiliki banyak sel dan (4) organisasi dari multi seluler menjadi organ dan sistem yang memberi bentuk dan fungsi pada embrio. Sumantadinata 1983 menyatakan bahwa setelah memasuki telur, inti spermatozoa mulai membesar dan kromosom mengalami perubahan sehingga memungkinkan untuk bersatu dengan kromosom dari sel telur sebagai fase awal pembelahan. Selanjutnya perkembangan embrio terus terjadi dari mulai terjadinya pembuahan hingga ikan mendapatkan makanan dari luar. Perkembangan tersebut dibedakan menjadi periode telur dimana terjadi perkembangan di dalam membran dan periode pra larva yaitu perkembangan terjadi di luar membran. Effendie (2002) menyebutkan bahwa pembuahan ikan teleos pada umumnya bersifat monospermik. Pada proses pembuahan, hanya kepala spermatozoa yang dapat masuk ke dalam sel telur sedangkan ekor spermatozoa tertinggal di luar. Sitoplasma dan khorion merenggang dan terbentuk semacam sumbat yang segera menutupi mikrofil untuk menghalangi masuknya spermatozoa yang lain. Para ahli Biologi Perkembangan sepakat bahwa kualitas telur ditentukan oleh keadaan intrinsik telur itu sendiri yang berasal induk betina. Maka tidak demikian halnya dengan pembuahan. Tingkat pembuahan dan kualitas embrio setelah terjadinya fertilisasi ditentukan bersama antara induk betina dan jantan (Brooks et al. 1997). Pandey et al. (1998) berhasil mendapatkan tingkat pembuahan telur dari spesies Tor putitora mencapai 70-80%, sementara Joshi et al. (2006) mendapatkan daya pembuahan mencapai 93-95% masih pada spesies yang sama.
Kjorsvik et al. (1990) menyebutkan bahwa pada beberapa penelitian terhadap ikan liar, didapati perbedaan kualitas telur antar musim. Tingkat penetasan telur dari ikan liar juga sangat rendah dikarenakan sulitnya mendapatkan perlakuan kultur yang tepat, terutama pada ikan laut liar. Effendie (2002) menyebutkan bahwa waktu pengeraman adalah saat setelah terjadinya pembuahan hingga telur menetas. Selama waktu tersebut terjadi proses pembentukan embrio. Pada saat penetasan, yang dikeluarkan terlebih dahulu dari cangkang telur adalah bagian ekor embrio. Sedangkan bagian yang paling terakhir keluar adalah bagian kepala karena ukurannya paling besar dibanding bagian tubuh lainnya. Selanjutnya embrio yang keluar dari cangkang telur akan memasuki stadia pra larva dengan ciri masih memiliki kuning telur, tubuh transparan dengan sirip dada dan sirip ekor yang masih belum sempurna. Menurut Blaxter (1969) penetasan terjadi karena menurunnya kekerasan khorion yang disebabkan oleh substansi enzim khorionase yang bersifat mereduksi. Di samping itu dapat pula disebabkan oleh gerakan-gerakan akibat peningkatan suhu, intensitas cahaya atau penyerapan tekanan oksigen.
Menurut Woynarovich dan
Hovarth (1980) larva yang baru menetas akan menggerakkan bagian ekor ke kiri dan ke kanan dengan gerakan lambat dan lebih banyak istirahat karena tidak dapat mempertahankan
keseimbangan
untuk
posisi
tegak.
Perkembangan
embrio
dipengaruhi oleh banyaknya kuning telur. Lama pengeraman telur ikan tergantung pada spesies dan beberapa faktor luar. Menurut Effendie (2002) faktor luar yang terutama mempengaruhi pengeraman telur adalah suhu air. Sedangkan Kjorsvik et al. (1990) menyatakan bahwa masalah lain yang penting dalam pembenihan adalah kontaminasi bakteri selama fase pengeraman. Lewat matang (over ripe) pada telur dapat terjadi pada induk. Hal ini sangat penting untuk menentukan waktu pembuahan telur yang tepat setelah ovulasi. Lewat matang dapat menjadi masalah khususnya pada ikan yang pemijahannya harus diurut dan dibuahi secara buatan. Pertumbuhan gonad, fekunditas dan kemampuan telur diketahui sangat tergantung pada pengaruh lingkungan, seperti suhu, pakan, faktorfaktor stres dan fotoperiodisitas (Aida et al. 1991). Selama gametogenesis suhu sangat
penting untuk keberhasilan pemijahan dan daya hidup telur. Pepin dan Anderson (1997) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi perkembangan telur dan pemijahan ikan atlantik cod (Gadus morhua). Kjorsvik et al. (1990) menyimpulkan bahwa suhu penting untuk kualitas telur yang baik seperti pada ikan mas.