PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (l
Oleh: NAZARRUDDIN RS
NIM:07203·11 066 Program Studt : llmu Admlnl strasl Publlk Kekhus usan Perenc anaan Pemba ngunan Daerah Magister llmu Administrasl Publlk Universitas Brawijaya Mafang
2008
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (Kajian Tentang Peran Elit Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa Sldorejo, Kecamatsn Deket. Kabupaten Lamongan) TESIS Untuk Memenuhl Syarat Memperoleh Gelar Magister
Oleh: HAZARRUDDIN RS NIM:0720311 066 Program Studi : llmu Admlnlstrasl Publlk Kekhususan Perencanaan Pembangunan Daerah Magister llmu Administral'i Publik Universitas Brawijaya Malang
2008
T E SIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (Kajian Tentang Peran Elit Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan) oleh:
NAZARRUDOIN RS Dipertahankan di depan penguji Pada Tanggal12 Agustus 2008 Dan dinyatakan memenuhi syarat
Komisi Pembimbing,
~~ DR
.R. KHAIRlL MULUK, M.Si
Drs. BAMBANG S Anggota
Ketua
Anggota
Malang, Agustus 2008
/J
PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS Saya rilenyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam Naskah TESIS ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oieh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila ternyata di dalam_naskah TESIS ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia TESIS ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (MAGISTER) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ( UU NO: 20 Tahun 2003, Pasal25 ayat 2 dan pasai?O)
Malang,
12 Agustus 2008
.
Mahasiswa,
Nama : ...NAZARRU.D.DlN RS NIM : ...0.720.3.:U066...... . PS : . J~MV. . AP.M!N!$TRASI PUBLIK PPSUB
IDENTITAS T!M PENGUJI
JUDUL TESIS :
PERENCANAAN PEMBANGUtJAN DAERAH (Kajian Tentang Peran Elit Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa Sidorejo, Kef:amatan Deket, Kabupaten Lamongan).
Nama
NAZARRUDDIN RAKHMAD S
No. Mahasiswa
0720311066
Program Stur.ii
llmu Administrasi Publik
Kekhususan
Perencanaan Pembangunan Oaerah
KOMISI PEMBIMBING : Ketua
Or. M.R. KHAIRUL MULUK, M.Si
Anggota
Drs. BAMBANG SANTOSO H., MS
TIM OOSEN PENGUJI : Dosen Penguji 1
Prof. Dr. SUMARTONO, MS
Oosen Penguji 2
Dr. SARWONO, M.Si
Tanggal Ujian
12 Agustus 2008
SK Penguji
RIWAYAT HIDUP
Nazarruddin Rakhmad Saleh, lahir di Lamongan tanggal 18 April 1976, anak dari Bapak H. Ach. Jachja dan lbu Hj. Luluk Maslucha. Tamat SD tahun 1988 di SON .Jetis Ill Lamongan, Tamat SMP tahun 199·1 di SMPN I Lamongan, Tamat SMA tahun 1994 di SMAN II Lamongan, Tamat Sarjana tahun 2000 di Universitas Brawijaya Malang. Pegawai Negeri Sipil di seje~k
~ing!
Beke~a
sebagai
Pemerintah Kabupaten Lamongan
tahun 2003.
Malang, Penulis
Agustus 2008
Nazarruddin RS NIM 0720311066
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas kehadirat Allah S.W.T, berkat rahmat dan karunia-Nya, akhimya
penulis
dapat
manyelesaikan
tesis
yang
berjudul
"Perencanaan
Pembangunan Daerah (Peran Elit Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan) ". Penulisan tesis ini untuk memenuhi syarat memperoleh Gelar Magister Administrasi Publik Program Pasca Sar,;ana Universitas Brawijaya Malang. Adapun tujuan penulisan ini adalah untui< rnendiskripsikan, menginterpretasikan, dan menganalisis proses perencanaan pembangunan daerah di Kabupaten Lamongan, peran alit dalam proses perencanac:n pembangunan daerah di Kabupaten Lamongan serta kendala-kendala yang mengh&mbat dalam perencanaan pembangunan daerah di Ksbupaten Lamongan Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sangat tulus kepada: 1.
Prof.Dr. Suhadak M.Ec., selaku Dekan Fakultas llmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang yang teiah memberikan ijin dan fasilitas selama proses perkuliahan.
2.
Drs. Andi Fefta 'Nijaya, MDA, Ph.D selaku Ketua Program Studi dan Penasehat Akademik beserta
jajar~mnya,
pengelola, dan para dosen yang telah
memberikan kesempatan dan menularkan ilmunya selama masa pendidikan. 3.
Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing, yang dengan segala kearifan, kesabaran, dan integritas keilmuannya telah membimbing, mendidik aan mengarahkan penulis mulai dari awal proses usulan penelitian sampai dengan selesaianya tesis ini.
4.
Drs. Bambang Santoso H., MS selaku anggota komisi pembimbing, yang tidak henti-hentinya memberikan bimbingan, arahan , dan dorongan semangat kepada
penulis
sehingga
memacu
semangat
penulis
untuk
segera
menyelesaikan tesis ini. 5.
Kepala Pu~at Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana BAPPENAS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program PascasarjAr:a di Universitas Brawijaya Malang.
6.
Bupati Lamongan yang telah memberik&n ijin belajar kepada penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana di Universitas Brawijaya Malang.
7.
Kepala Bappeda Kabupaten Lamongan beserta jajarannya dan staf, Cam at Deket serta Kepala Desa Sidorejo yang telah memberikan dukungan dan bantuannya dalam penelitian sehingga proses penelitian dapat terlaksana dangan baik.
8.
Ayahanda almarhum H. Ach. Jachja dan Hj. Luluk Maslucha sujud dan hormat yang sangat dalam penulis haturkan atas bimbingannya selama ini.
9.
Drg. Famia Wijayati isteriku tercinta yang telah memberikan motivasi serta kesabarannya dalam mengiringi penulis menuju keberhasilan.
10.
Ternan-ternan seperjuangan Angkatan IV Program Tailor Made BAPPENAS yang
11.
telah banyak memberikan dukungan kepada penulis.
Terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulisan dan tidak bisa disehutkan satu-persatu dalam tulisan ini. Akhir kata, semoga Allah SWT, memberikan balasan yang lebih baik kepada
semua pihak yang membantu penulis hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan tesis ini. Penulis mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkan Semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Malang,
Agustus 2008 Penulis
RINGKASAN NAZARRUDDIN RS, Program Pascasarjana Universitas Btrawijaya Malang, "Perencanaan Pembangunan Daerah (Kajian Tentang Peran Elit Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan)"; Komisi Pembimbing, Ketua: Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si, Anggota Drs. Bambang Santoso H., MS. Latarbalakang penelitian ini dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang teloh disempumakan dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 manempatkan masyarakat sebagai pilar utama pernerintahan daerah. Dengan demikian, kedua undang-undang pemerintahan daerah terr.ebut membawa semangat penyelenggaraan pemerintahan daerah secara partisipatif. Model perencanaan yang saat ini dianggap tepat adalah model perencanaan partisipatif. Proses perencanaan partiuipatif dalom pembangunan daerah adalah proses penentuan rencana kegie\tan pembangunan daerah yang melibatkan stakeholders untuk menyepakati rencana kegiatan tahun anggaran berikutnya yang dilaksanakan melalui forum musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Musrenbang dile\ksanakan berjenjang yaitu mulai dari tingkat desa tingkat, kecamatan dan tingkat kabupaten, diharapkan aspirasi masyarakat dapat tersalur secara berjenjang pula pada level desa, kecamatan dan kabupaten y3ng akhimya dapat terealisasi dalam kebijakan daerah. Namun dokumen perencanaan pembangunan daerah masih dirasa belum mer.cerminkan kebutuhan masyarakat. Karena kelompok elit lebih memiliki akses dalam mengontrol sumber daya kekuasaan dan lebih banyak ter1ibat dalam proses politik maka ko!'lstelasi sistem nilai dc.~n norma di kalangan para elit adalah lebih panting ketimbang di kalc;,ngan masyarakat umum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang proses perencanaan pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan dan peran elit dalam perencanaan pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan serta kendala-kendala yang menghambat proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Lamongan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu statu jenis penelitian yang mengungkapkan permasa1ahan apa adanya sesuai dengan kenyataan di lapc;,ngan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menginierpretasikan, dan mtmganalisis proses perencanaan pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Katupaten Lamongan .dan peran el~t dalam perencanaan pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan sert:l kendala-kendala yang menghambat proses perencanaan pembangunon di Kabupaten Lamongan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah di Kabupaten Lamongan masih didominasi oleh pihak pemerintah, partisipasi masyarakat masih pasif (tahap konsultasi). Hasil dari musrenbang belum mencerminkan aspirasi masyarak&t. Musrebang memang mampu menyerap aspirasi masyarakat tetapi belum mampu mengakomodasi aspirasi tersebut pada level reallsasi dalam kebijakan pembangunan daerah. Elit birokrasi (pejabat pemerintah daeroh) berperan besar dalam proses pembuatan keputusan pada musyawarah perencanaan pernbangunan. Mereka adalah p9mimpin formal atau legal, yang mendapat pellmpahan wewenang berdasarkan pro&edur t)emilihan, pengangkatan yang diatur dalam hukum yang ber1aku di suotu masyarnkat. Sumber daya kekuasaan yang dimiliki oleh elit tersebut dalam pembuatan keputuse\n pada musyawarah perencanaan pembangunan adalah keku~saan !'lormatif. Kendala-kendala dalam proses perencanaan pembangunan daerah antara lain: ketidaktepatan dalam memahami p&rencanaan pembangunan ds.erah; tingkat keberdayaan war~a yang lemah; kurang transparan dan tidak ada umpan balik. Kata Kunci : Peran Elit, Musrenbang
SUMMARY
NAZARRUDDIN RS, Post Graduate Pr.:>gram of Brawijaye~ University, "Regional Development Planning (Review on Elite's Role in the Development Planning Conference of Sidorejo Village, Deket Sub-district, Lamongan County)". Supervisor: Dr. M.R. Khairul Muluk, Co-Supervisor: Drs. Bambang Santoso H., MS. Background of this research is the validation of Law no. 22 year 1999 about Regional Goven 1ment completed by Law no. 32 year 2004 positioning society as the main pillar of regional governmant. Thus, both laws bring together the implementation spir.t of regional government participatively.Pianning model which in this time assumed precisely is participatory planning model. Participatory planning process in local development is determination process plan of local development activity which entangling stakeholders to agree on plan activity of next budget year which executed through development planning deliberatio:l forum. Musrenbang executed by to have ladder (in phases) that is strarting from countryside level, district level and sub-province, expected by society aspiration can be channeled by have ladder (in phases) at countryside level, district and regency which finally earneci to be realized into local policy. But in reality planning document (RKPD) not yet expressed society aspiration. It is because elite group has more access in controlling power sources and more participate in political process, hence the con£tellation of value and norm::; system in elite class is more important than public class. Target of this research is to elaborating and analysing about development !J!anning process in Sidorejo Village, Deket sub-district, Lamongan County and elite's roles in development planning in Sidorejo Village, Deket sub-district, Lamongan County, and also its constrains blocking development planning process in Lamongan County. Type !"esearch used is descriptive research t~.at is a research type laying open prol:Jiems are there as things have panned out in field. This research aim to elaborating, to interpreting, and analysing development planning process in Sidorejo Village, Deket sub--district, Lamongan County and elite's roles in development planning in Sidorejo Village, Deket sub-district, Lamon9an County, and also its constrains blocking development planning process in Lamonga;, County. The research result shows that participative planning process in regional development at Lamongan County is still dominated by government. Society participation is passive (consultation stages).Musrenbang, it is true can permeate society aspiration but not yet can accommodate/send the aspiration at realized in policy of local development level. Bureaucracy elite (regional government officials) has big roles in decision meking process on the conference of development planning. They are formal or legal leaders. Their appointment is arranged in the law applied in society. A power source had by the elite in making dec!sion at the development planning conference is normatif power. Constraints pursuing local development planning in Lamongan County that is : Inaccurate in comprehending local devAio~ment planning; powered (capacity) level of citizen is weak; Less transparant and there is no feed back. Keywords: Elite's Role, Development Planning Deliberation Forum (Musrenbang)
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu............. ........................ ........ ................ 2.2 Pembangunan Daerah........................................................... 2.2.1. Pembangunan.... .... .... .. ....... ....... ..... ....... ........ ...... .. ... 2.2.2. Pembangunan Daerah........... .. ................ .. ........ .... .. .. 2.3 Perencanaan Pernbangunan Daerah...................................... 2.3.1. Jenis Perencanaan..................................................... 2.3.2. Unsur Pokok Dalam Perencanaan Pembangunan..... 2.3.3. Tahap-Tahap Perencanaan Pembangunan................. 2.3.4. Pentingnya Perencanaan Dalam Pembangunan........ 2 4 Paradigm& Pembangunan ::::>i Era Otonomi Daerah. ... ... ....... 2.5 Teori Elit. ....... ....... .... .. .... .... ......... ... ..... ... ..... .. ...... .. ...... ........ 2.6 Perencanaan Partisipatif.... ..... ........... ........ ........ ........ ............ 2.6.1. Perencanaan Pembangunan Partisipatif.................... 2.6.2. Prinsip-Prinsip Perencanaan Partisipatif................... 2.6.3. Musyawarah Perencanaan Pembangunan................. 2.6.4. Jebakan Partisipasi dan Strategi Penguatan Partisipasi
13 16 20 19 22 26 28 30 31 32 36 43 43 49 53 55
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian..................................................................... 3.2 Fokus Penelitian................................................................... 3.3 Lokasi dan Situs Penelitian.................................................. 3.3.1. Lokasi Penelitian...................................................... 3.3.2. Situs Penelitian................ ....... ............. .... ................. 3.4 Sumber dan Jenis Data......................................................... 3.4.1. SumberData............................................................. 3.4.2. Jenis Data................................................................. 3.5 Instrumen PenelitiaP......................... ..................................... 3.6 Teknik Pengumpulan Data................................................... 3. 7 Analisis Data........................................................................ 3.8 Keabsahan Data...................................................................
58 59 60 60 61 61 61 62 63 63 66 69
BAB IV
HASIL PENELITL\N DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian.............................................. ...................... 71 4.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Lamongan................. 71 4.1.1.1 Kondisi Geografis................. ... .................. 71 4.1.1.2 Kondisi Kependudukan.... ........................ 75 4.1.1.3 Keadaan Ekonomi.................................... 79 4.1.2. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah di Kabupaten Lamongan............................................. 81 4.1.2.1 Muyawarah Perencanaan Pembangunan ~Musrenbang) Desa................................. 89 4.1.2.2 Muyawarah Perencanaan Pembangunan 94 (Musrenbang) Kecamatan....... ......... ... ... 4.1.2.3 Forum Satuan Keija Perangkat Daerah 98 (Forum SKPD) ..... ........ ........................ 4.1.2.2 Muyawarah Perencanaan Pembangunan 105 (Musrenbang) Kabupaten...................... 4.1.3. Kemampuan Perencanaan Partisipatif dalam 110 Mengakomodasi Aspirasi Masyarakat.................. 4.1.4. Peran Elit Dalam Perencanaan Pembangunan 121 Partisipatif di Kabupaten Lamongan..................... 4.1.5. Kendala-Kendala Dalam Proses Perencanaan 124 Pembangunan Daerah di Kabupaten Lamongan..... 4.2 Pembahasan ........................................................................ . 4.2.2. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah di Kabupaten Lamongan............................................. 126 4.2.3. Kemampuan Perencanaan Partisipatif dalam 136 Mengakomodasi Aspirasi Masyarakat.. .... ... ... .. .. .. 4.2.4. Peran Elit Dalam Perencanaan Pembangunan 144 Partisipatif di Kabupaten Lamongan............ ..... ... . 4.2.5. Kendala-Kendala Dalam Proses Pcrencanaan Pembangunan Dacrah di Kabupatcn Lamongan..... 148 4.3 Perbandingan Dengan Penelitian Terdahulu.............. ........ .... . 151
Judul Perbedaan Dengan Penelitian Terdahulu ................................ . Tangga Partisipasi Warga Negara ........................................... . Luas dan Batas Wilayah Kecamatl3n di Kabupaten Lamongan Tahun 2007 ............................................................................. . Jumlah Desa, Kelurahan, Dusun, Lingkungan RW/RK dan RT di Kabupaten Lamongan Tahun 2007 ..................................... . Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Rasia Jenis Kelamin di Kabupaten Lamongan Tahun 2007 ............. . Persebaran dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Lamongan To hun 2007 .................................... . Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Lamongan Tahun 2007 .......................................................... . Perkembangan lndeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Lamongan Tahun 2005-2007 ................................................. . PDRB Kabupaten Lamongan Tahun 2006-2007 ................... . D'stribusi Prosentase PDRB Kabupaten Lamongan Tahun 2006-2007 ............................................................................. . Ruang Lingkup Perencanacm Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 .................................... ·················································· Perbedaan Perencanaan P~mbangunan Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ..................................................... Daftar Rencana Pembangunan Desa Sidorejo Tahun 2009 .. . Daff:ar Rencana Pembanyunan Kecamatan Deket Tahun 2009 Perkiraan Anggaran Dan Belanja Daerah Tahun 2009 .......... . Perbandingan Dengan Penelit1an Terdah<.Jiu ...................... .
Halaman 15 44 72
73 75 76
78 78 79 80 81 85 113 116 120 153
DAFTAR GAMBAR
No. 1. 2. 3. 4.
Judul Ana lis is Data lnteraktif............................................................. . Alur Pere:1canaan dan Peng~nggaran ................................... .. Mekanisme Perencanaan .............................................. . Jadwal Pelaksanaan !\llusyawarah Perencanaan Pembangunan ............................................................ .
Halaman
68 82
84 88
'-'
UI~IVI:::.r\.:>11/'\.:>
Dr\1'\VVIJ/'\TK IVIKL.J-\1'11.:> U l 'ltVt: t\ ;:.IIK;:. Ot\1\VVIJKT/'\ IVI/'\L/'\NI.:> UI'IIVt:t\;:,11/'\;:, Ot\1'\VVIJ/'\T/'\ IVl/'\L/'\N\..3 UNIVt: t\ ;:,11/'\>:> Ot\1'\VVIJ/'\T/'\ IVI/-\L/'\N\..3
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWI JAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIV ERSiTAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALAN~IIII"''IIK!'ERSITAS
BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAW
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS B
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UN IVERS IT
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVER
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNI\L
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG U VERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
RSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALA
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALA
RSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALAN
RSITA3 BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALAN
ERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G Ut-!IVERSITAS BRAWIJAYA MALAN
ERSITAS BRAWIJAYA MALANG ERSITAS BRAWIJAYA MA LANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALAN
VERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
IVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYAMALANG
NIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG U
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UN
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNI
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVE
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVER
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSI
NIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG NG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG NG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG ALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS 8RAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS 8RAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G Ut-!IVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVE RSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG Ut-!IVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA. MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVF RSITAS BRAWIJAYA MALANG
> UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MAL.A.NG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
J UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSI1AS BRAWIJAY\ MA LANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG
3 UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALA NG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG
::; UNIVERSITAS BRAVVIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAVVIJAYA MALANG RSITA
BRA
IJAYA
A
N
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIV[RSirAS BRAWIJA'r 4. MALANG
BASI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Selama berlakunya Undang-Undang Nom or 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, cam pur tangan pemerintah pusat terhadap berbagai aspek pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat di daerah dirasakan sangat dominan sementara partisipasi masyarakat lokal kurang diperhitungkan. Hal demikian
to~adi
karena dalam undang-undang tesebut asas desentralisasi
diterapkan secara bersama-sama dan berimbang dengan asas dekonsentrasi dan tugas peml>antuan di kabupaten, kota maupun propinsi. Berkeitan dengan hal tersebut, Sarundajang (1999) menyatakan bahwa pada prinsipnya terdapat empat macam desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Pertama, desentralisasi secara menyeluruh (Comprehensive local goverrnent system) yaitu desentralisasi yang memberikan mu/ty purpose authority atau kewenangan penuh di segala bidang pemerintahan kepada
Pernerintah Daerah. Kedua, desentralisasi dengan sistem kemitraan (Partnership system) yaitu penerapan desentralisasi dimana sebagian tugas yang bersifat
pokok dilaksanakan oleh pusat sedang sebagian lagi yang bersifat teknis dilaksanakan oleh daerah. Ketiga, desentralisasi sistem ganda (Dual system) dirnana pusat dan daerah s&ma-sama melaksanakan tugas teknis. Keempat, desentralisasi dengan sistem administrasi terpadu (Integrated administrative system) yaitu desentralisasi yang memberikan peran amat besar kepada pusat
sedangkan daerah mendapat kewenangan yang sangat kecil. Negara Indonesia, saat itu lebih condong kepada penerapan model yang keempat.
Karena itulah maka dapat dipahami jika dalam praktik
2
penyelenggaraa:1 pemerintah di daerah, Pemerintah Pusat seringkali atau bahkan hampir selalu melakukan i:1tervensi terhadap penentuan kebijakan daerah demi menjaga kelangsungan program dan proyek-poyek pembangunan nasional yang dilaksanakan di kabupaten, kota ataupun propinsi. Kenyataan
tersebut
menunjukkan
bahwa
otonomi
daerah
yang
didalamnya mensyaratkan adanya desentralisasi, masih diterapkan secara sentralistik sehingga kurang memberi kesempatan kepada warga masyarakat untuk ikut serta menentukan kabijakan pembangunan atas dasar kebutuhal riil dan situasi yang berkembang di daerah. Secara tidak disadari hal tersebut telah mengakibatkan melemahnya daya kreasi daerah dalam menentukan jenis-jenis program dan kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan setempat, &edangkan di sisi yang la:n juga cenderung menghilangkan fungsi Rencana Program Jangka Menengah Daerah yang seharusnya dijadikan sebagai koridor perencanacm tahunan daerah. Dalam kenyataannya, dokumen perencanaan dimaksud hampir tidak pemah digunakan sebagai rujukan dalam menentukan pilihan-pilihan program dan kegiattln tahunan daerah sehingga dokumendokumen tersebut dibuat lebih sebagai kegiatan untuk memenuhi formalitas belaka_ Kondisi seperti diatas bisa saja te~adi karena pada masa itu strategi dan kebijakan
pernbangunan
di
Indonesia
lebih
ditekankan
kepada
aspek
pertumbuhan ekonomi, sementara pemerataan diasumsil
3
dae:-ah juga harus dilihat sebagai kesatuan ruang dan wilayah administratif yang memiliki karakteristik serta tuntutan kebutuhan pembangunan yang berbeda satu sama lannya (Sukimo, 1989). Karena itu, sangat dimaklumi jika penerapan konsep pembangunan yang semata-mata bertumpu pada aspek ekonomi memberikan ruang yang sangat terbuka bagi tumbuh dan berkembangnya pola perencanaan dari atas ke bawah atau yang lebih dikenal dengan istilah top down planning. Pola perancanaan pembangunan seperti itu mendapat alasan pembenar dalam pendekatan centre of growth yang dalam banyak hal berpijak dari aliran neoklasik (Sumodiningrat., 2003). Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menempatkan masyarakat ssbagai sebagai pilar utama pemerintahan
daerah.
dan
Konsideran
penjelasan
Undang-Undang
pemerintahan daerah ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Dengan demikian, kedua undang-undang pemerintahan daerah tersebut
membawa semangat
penyelenggaraan pemerintahan daerah secara partisipatif (Muluk, 2007). Bhenyamin Hoessein dalam Muluk (2007) menjelaskan bahwa isi dua kebijakan
tentang
pemerintahan
daemh
terst~but
jelas
menunjukkan
keberpihak:.:.n kepada masyarakat. Hal ini dinyatakan secara tersirat dalam pengertian
desentralisasi
pada
kedua
undang-undang
tersebut,
intinya
penyerahan wewenang dari per.1erintah pusat kepada masyarakat bukan kepada pemerintah daerah. Dua keb!jakan tersebut mangakui posisi masyarakat yang
4
dapat disimak dari hakikat yang tertuang dalam definisi otonomi daerah dan daerah otonom. Sebagai subyek, masyarakat mempunyai wewenang untuk mengatur dan menyelesaikan urusannya sendiri sesuai dengan aspirasi setempat. Semangat ini jelas berusaha mempertegas bahwa posisi masyarakat merupakan subyek otonomi bukan obyek otonomi. Secara eksplisit kebijakan desentralisasi tersebut JUga mengungkap hakikat otonomi sebagai wewenang mengatur dan mengurus.
Hoess~in
mengungkapl,an bahwa
semang~t
ini sesuai
dengan hakikat desentralisasi yakni otonomisasi suatu masyarakat dalam wilayah tertentu. Dalam era otonomi sekarang ini, model perencanaan pembangunan dengan pola top down yang didasari oleh asumsi trickle down effect perlu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan kebutuhan masyarakat, sebab secara faktual saat ini muncul dan berkembang berbagai bentuk masalah sosial sebagai akibat semakin dalamnya kesenjangan tingkat kemajuan antar daerah yang bermuara kepada semakin tidak meratanya distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam
bahasa
yang
agak berbeda,
beberapa
pengamat telah
melakukan kritik terhadap penerapan administrasi pembangunan di Indonesia. Negara, seharusnya melakukan peran sebagai pendorong proses perubahan, yang berarti bahwa
prose~
perubahan akan lebih efektif dan efisien jika negara
lebih menekankan pada aspek pendorong (inducing), yakni menggerakkan proses porubahan dalam masyarakat. Dalam sistem dan mekanisme yang sentralistik, seringkali terminologi kebijakan yang dipakai menjadi bias sehingga cenderung merugikan (counter produciive) dalam arti tidak menimbulkan inisiatif tetapi malah menimbulkan ketergantungan.
5
Korten dalam Tjokroadmidj.:>jo (1993) mengusulkan agar bentuk dan fom1at kebijakan pembangunan yang semula •berorientasi kepada masyarakaf yaitu pendekatan pembangunan yang walaupun sudah berorientasi kepada kepentingan masyarakat, tetapi tetap memberi n,ang yang terlalu besar bagi campur tangan pemerintah, seharusnya mulai ditinggalkan untuk kemudian digoser kearah "membangun yang berpusat pada masyarakatn yang berarti masyarakat
ditempatkan
sebagai
komunitas
pembangunan
yang
secara
langsung terHbat dalam proses penentuan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi per.1bangunan serta sekaligus turut serta menikmati hasil-hasilnya. Atas dasar beberapa pemikiran tersebut, walaupun pembangunan daerah pada hakekatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional, tetapi dalarr. konteks yang l'!bih mikro harus ditempatkan sebagai s 3buah proses yang tidak harJs seragam uan sesuai nalam segala hal sehingga menjadi sam a persis denga11 kebijakan dan program-program pembangun3n yang telah ditetapkan secara nasional. Karena itulah dalam konteks pembangunan daerah, yang harus nilakukan bukanlah menjadiJcan pembangunan daerah sebagai miniatur pembangunan nasional, tetapi justeru bagaimana menyeimbangkan kepentingan masyarakat lokal secara horisontal dengan kepentingan pusat secara vertii
6
Dapat dikatakan bahwa perencanaan pembangunan daerah merupakan salah
satu
instrumen
yang
menjadi
kunci
keberhasilan
pelaksanaan
pembangunan di daerah. Pemildran seperti itu tidaklah berlebihan karena untuk melaksanakan pembangunan di daerah diperlukan berbagai tahapan yang pada dasamya dimulai dari kegiatan perencanaan. Baik atau buruknya perencanaan yang ditetapkan tentunya akan sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan atau kegagalan pembangunan daerah itu sendiri. Seiring dengan rangkaian perkembangan sebagaimana diuraikan diatas, maka bentuk dan pola perencanaan pembangunan daerah yang saat ini dianggap sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat adalah mengarah kepada participatory planning, yaitu pendekatan perencanaan pembangunan yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peran serta segenap komponen masyarakat didalam menentukan kebijakan, program dan skala prioritas kegiatan pembangunan daerah, dengan asumsi masyarakatlah yang lebih tahu tentang permasalanan yang mereka hadap!. Dengan pendekatan ini diharapkan di masa depan akan
te~adi
peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan
pembangunan. Kesempatan ini
se.ial~n
dengan keinginan masyarakat untuk
mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dalam arti kehidupan masyarakat yang berpendapatan lebih merata, mandiri dan terbuka, serta berkembangnya kelembagaan masyarakat yang berkualitas dan berkelanjutan. Dengan
demikian
peran
pemerintah
adalah
membimbing,
menggerakkan dan menciptakan iklim yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarak&t melalui kebijakan,
peraturan serta kegiatan
pembanguna;, pemerintah yang diarahkan untuk menunjang, merangsang dan membuka jalfm meningkatkan kemandirian masyarakat. Perubahan paradigma
6
Dapat dikatakan bahwa perencanaan pembangunan daerah merupakan sa:ah
satu
instrumen
yang
menjadi
kunci
keberhasilan
pelaksanaan
pembangunan di daerah. Pemil\iran seperti itu tidaklah berlebihan karena untuk melaksanakan pembangunan di daerah diperlukan berbagai tahapan yang pada dasamya dimulai dari ya~g
kegi~tan
perencanaan. Baik atau buruknya perencanaan
ditetapkan tentunya akan sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan
atou kegagalan pembangunan daerah itu sendiri. Seirir.g dengan rangkaian perkembangan sebagaimana diuraikan diatas, maka benluk dan pola perencanaan pembangunan daerah yang saat ini dianggap
se~uai
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat adalah mengarah
kepada participatory planning, yaitu pendekatan perencanaan pembangunan yang memberikan ruang selues-luasnya bagi peran serta segenap komponen masyarakat drdalam menentukan kebijakan, program dan skala prioritas kegiatan pembangunan daerah, dengan asumsi masyarakat!ah yang lebih tahu tentang permasalahan yang mereka !'ladapi. Dengan pendekatan ini diharapkan di rnasa depan akan
te~adi
peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan
pembangunan. Kesempatan ini sejalan dengan keinginan masyarakat untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dalam arti kehidupan masyarakat yang berpendapatan lebih merata, mandiri dan terbuka, serta berkembangnya kelcmbagaan masyarakat yang berkualitas dan berkelanjutan. Dengan
demikian
peran
pemerintah
adalah
membimbing,
menggerakkan dan menciptakan iklim yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarak2t melalui kebijakan,
peraturan serta kegiatan
pembangunan pemerintah yang drarahkan untuk menunjang, merangsang dan membuka jalan meningkatkan kemandirian masyarakat. Perubahan paradigma
7
tersebut akan menyentuh pula pada tata pemerintahan desa, kecamatan dan kabupaten. Peranan kepala desa, camat dan bupati sebagai kepala daerah yang sele.ma ini
~an~at
D~lam y~ng
dominan akan bergeser p&dA penguatan institusi masyarakat.
masyar£Jkat yang besar maupun kecil, yang sederhana: maupun
kompleks selalu ada sebagian anggotanya sebagai orang yang sangat
penting berkuasa atau terkei'T'uka yang menunjuk kepada suatu minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektifitas dengan cara yang bel nilai sosial, hal inilah yang disebut elit. Golongan elit yang mempunyai arti ser:ara sosial akhimya bertanggung jawab untuk realisasi kegiatan-kegiatan so~ial
jawab
yang utama, karena elit merupakan minoritas yang efektif dan bertanggung kepada
pelaksanaa11
kegiatan
kepentinga;,
dan
perhatian
pada
me?.syarakatnya. Karena kelompok elit
l~bih
memiliki akses dalam me:ngontrol sumber
da·1a kekuasaan dan lebih banyak terlibat dalam proses politik maka konstelasi sistem nilai dan norma di kal:mgan para elit adalah lebih penting ketimbang di ke~langan
masyarakat umum. Hidayat (2005) menyatakan kebijakan yang diambil
oleh para elit penyelenggara pemeri:1tah daerah (elit pemerintah lokal) dalam pelaksanaan desentralisasi
dcm otonomi daerah tak dapat disangkal telah
dikondisikan atau dipengaruhi, namun bukan ditentukan, oleh kepentingankepentingan pemerintah pusat. Diantara faktor-faktor yang secara signifikan menentukan proses proses pe11gambilan keputusan tersebut adalah : persepsi para
elit penyelenggara
pemerintah
daerah
itu
sendiri tentang
makna
desentralisasi dan otonomi daerah; kepentingan-kepentingan individu dan keiompok elit ya;'lg bagaimana
sebai~nya
dipe~uangkan;
serta perhitungan-perhitungan tentang
mencapai tujuan-tujuan tersebut.
8
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, forum perenccmaan pembangunan dan penganggaran yang partisipatif dengan pola buttom up tersebut diselenggarakan lew;~t
Musy~warah
Perencanaan
Pembangunan
(Musrenbang).
Yang
dilaksanakan mulai dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten (sebelum Musrenbang t
Ke~a
Perangkat Daerah/SKPD). Dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) aspirasi masyarakat dalam pembangunan mengalir dari tingkat desa tingkat kabupaten.
Hal
ini dapat dikatakan bahwa forum
samp~i
ke
Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) merupakan wadah yang representatif guna menyalurkan aspirasi masyarakat dalam pembangunan daerah ke arah yang l&bih tinggi. Di Kabupaten Lamongan kegiatan perencanaan pembangunan daerah dengan model perencanaan partisij.)atif yang
dilaks~nakan
melalui forum
Mlisyawarah P.arencanaan Pembangunan (Musrenbang) sebagaimana diuraikan diatas telah dilaksanakan. Namun fakta di lapangan, mekanisme atau proses perencanaan dengan mortel partisipatif yang dilaksanakan melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Mu~renbang)
yang sebenamya
dirnaksudkan untuk membuka keterlibatan (partisipasl) masyarakat temyata kurang optimal. Direktur LSM Prakarsa Lamongan dalam Jawa Pos (2008) menyatakan pe,.,galokasian dana rehab madrasah ibtidaiyah (MI) negeri/swasta sebesar 3,86 mflyar rupiah dalam APBD 2008 diduga ada permainan. lndikasinya, sebagian be.sar usulan masyarakat melalui Mu::;yawarah Perencanaan Pembangunan
9
(MJJsrenbang) terkait Ml yang perlu direhab temyata dicoret. Yang ironis, pemotongan a3pirasi me:tsyarakat tersebut justeru terjadi saat dibahas di DPRD, yang katany'3 sebagai lembflga wakil rakyat. Juga ditambahkan bahwa adanya dcminasi anggota DPRD dalam proses pembahasan APBD 2008. Dia menilai saat ini terdapat satu kelompok masyarakat yang begitu mudah mendapatkan manfaat APBD karena kedekatan politik dengan angsota DPRD. Kondisi terse but akc.n menimbulkan adanya kecemburuan dan rasa ketidakpuasan masyarakat yer1g sering mengusulkan bamuan APBD, namun belum pemah dikabulkan. lror.isnya, ada yang hampir tiap tahun mendapatkan bantuan dari APBD. Selaras dengan hal tersebut, Soetrisno (19B5) berpendapat walaupun ac:ia kemauan oemerintah untuk melaksanakan i<:onsep pembangunan partisipatif namun dalc.m pelaksanaan di lapangan masih cukup banyak mengalami h~mbatan.
Pertama, belum dipahaminya makna sebenamya dari konsep partisipasi
oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan. Bagi aparat perencana dan pelaksana pembangunan, partisipasi diartikan sebagai kemauan masyarakat untuk mendukung secara mutlc.k program-program pemerintah yang dirancang dcm ditentuknn tujuannya oleh pemerintah. Para perencana dan pelaksana di lapangan menggunakan sur.ttA konsep hierarkis dalam menyeleksi proyek pembangunan. Proyek-proyek pembanguncm yang berasal dari pemerintah di1stilahkan sebagai projek pembangunan yang
dibutuhkan masyarakat,
sedangkan proyek pembangunan yang diusulkan oleh masyarakat dianggap sebagai k&inginan. Karena merupakan "kebutuhan" maka proyek pemerintah tersebut harus dilaksanakan. Sedangkan proyek yang diusulkan oleh masyarakat hai1ya berupa "keinginan", maka proyek tersebut me.nperoleh prioritas rendah.
10
Kedua, adalah reaksi balik dari masyarakat sebagai akibat dari
diberlakukannya pemhangunan sebC::tgai ideologi baru di negara kita. Sebagai suatu ideologi maka pembangunan harus diamankan dan dijaga dengan ketat. Pengamanan yang ketat terhadap pembangunan menimbulkan reaksi balik dari masyarakat. Reaksi balik ini tereflel<si dalam budaya diam yang salah satu manifestasinya adalah keengganan anggota masyarakat untuk mengevaluasi proses pembangunan secara kritis dan terbuka. Di kalangan aparat pemerintah sendiri muncul budaya mencari selamat dalam arti ketakutan kehilangan jabatan karena dianggap gagal m'9laksanakan pembangunan. Budaya semacam ini sering menimbulkan sikap otoriter dalam melaksanakan program pembangunan dan tidak terbuka terhadap dinamika masyarakat. Dari fenomena tersebut memunculkan bermacam-macam asumsi dan tanggapan dari beberapa kalangan. Ada beberapa pihak yang mengatakan b~hwa
peroncanaan pembangundn partisipatif yang dikembangkan melalui forum
Musyawarah Perencanaan Pembangui1an (Musrenbang) belum sesuai dengan aspirasi masyarakat saat ini. Ada juga yang herpendapat bahwa perencanaan peMbangunan partisipatif Jang dikembangkan melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunatl (Musrenbang) t:>aru pada sekedar pada tataran fonnalitas beiaka untuk memenuhi ketentLian perundangan. Pendapat lain me:1gatakan l:ahwa
te~adi
penyimpangan dalam pelaksanaan perencanaan
pembangunan partisipatif ya1tu adanya mobilisasi dalam partisipasi masyarakat dan
masih
3danya
dominasi
sekelompok
pihak
dalam
perencanaan
pembangunan. Dari uraian dan pei1jelasan diatas, fenomena dan pendapat tersebut mungkin ber:ar
te~adi
cfi Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten
11
Lamongan. Namun kiranya perlu dilakukan penelitian untuk menemukan fakta di Desa Sidorejo, Ke.:-amatan Deket, Kabupaten Lamongan berkaitan dengail masalah perencanttan pembangunan daerah. Atas dasar pemikiran tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perencanaan Pembangunan
Daerah
(Kajian Tentang
Peran
Elit Dalam
Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan).
1.~
Perumusan Masalah Berdc.~arkan
latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
penulis berusah'3 merumuskan mc.salah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses perencanaan pembangunan Desa Sidorejo, Kecamat.an Deket, Kabupaten
Lamon~an?
2. Bagaimanakah peran eat da!am perencanaan pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan? 3. Kendala-kP.ndala
apaka~
yang
menghambat
proses
perencanaan
pembangunan di Kabupaten Lamongan ?
1.3 Tujuan P&nelltian Sesuai dengan rumusan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini ac1alah sebagai bcrikut: 1. Untuk
mendeskripsikan
dan
menganalisis
proses
perencanaan
pembAngunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan.
12
2. Untuk mendeskripsikan dan mengana,isis peran elit dalam perencanaan pembangunan Desa Sidorejo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan. 3. Untuk
mendeskripsikan
dan
menganalisis
kendala-kendala
yang
menghambat dalam proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Lamongan.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat: 1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran (ilmiah) dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang manajemen perencar.aan pembangunan daerah. 2. Secara praktis, memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Lamongan didalam meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan daerah mengingat
did~lam
penelitian ini berusaha diungkap berbagai
kendala yang dihadapi dan sekaligus solusa yang Pemerintah Kabupaten Lamongan.
dapat ditempuh ..
'-'
UI~IVI:::.r\.:>11/'\.:>
Dr\1'\VVIJ/'\TK IVIKL.J-\1'11.:> U l 'ltVt: t\ ;:.IIK;:. Ot\1\VVIJKT/'\ IVI/'\L/'\NI.:> UI'IIVt:t\;:,11/'\;:, Ot\1'\VVIJ/'\T/'\ IVl/'\L/'\N\..3 UNIVt: t\ ;:,11/'\>:> Ot\1'\VVIJ/'\T/'\ IVI/-\L/'\N\..3
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWI JAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIV ERSiTAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALAN~IIII"''IIK!'ERSITAS
BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAW
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS B
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UN IVERS IT
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVER
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNI\L
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG U VERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
RSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALA
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALA
RSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALAN
RSITA3 BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALAN
ERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G Ut-!IVERSITAS BRAWIJAYA MALAN
ERSITAS BRAWIJAYA MALANG ERSITAS BRAWIJAYA MA LANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALAN
VERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
IVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYAMALANG
NIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG U
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UN
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNI
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVE
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVER
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSI
NIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG NG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG NG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG ALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS 8RAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS 8RAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G Ut-!IVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVE RSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG Ut-!IVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA. MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVF RSITAS BRAWIJAYA MALANG
> UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MAL.A.NG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
J UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSI1AS BRAWIJAY\ MA LANG
G UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG
3 UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALA NG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MA LANG UNIVERS ITAS BRAWIJAYA MALANG
::; UNIVERSITAS BRAVVIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAVVIJAYA MALANG RSITA
BRA
IJAYA
A
N
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG UNIV[RSirAS BRAWIJA'r 4. MALANG
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.
Pene~ltlan
Terdahulu
Syarifuddin
(2006),
dalam
penelitiannya
be~udul
yang
Sinergi
Stakeholders Oalam Perencanaan Pembangunan Tahunan (Suatu studi terhadap perumusan kebijakan perencanaan pembangunan kota Bima) menyimpulkan bahwa pelaksanaan forum Musrenbang Kecamatan di Kota Bima, belum optimal, dan masih belum sepenuhnya dijadikan instrumen permanen untuk memediasi perencanaan dari bawah di tingkat desa dan kelurahan dengan perencanaan sektoral di tingkat kota. Minimnya keterlibatan dinas/instansi daerah Kota Bima da!am tahapan ini mencerminkan masih menonjolnya ego-sektoral yang mengasumsikan bahwa
keikuts~rtaan
dinaslinstansi Kota Bima baru dilakukan
JJada tahap Musrerbang tingkat kota. Hal ini menyebabkan kurang sinkronnya RPTKec dengan usulan dinas/instansi. Dan Pelaksanaan Musyawarah Rencana P13mbangunan Kota Bima belum didukung oleh perangkat peraturan daerah tentang
perencanaan
pembangunan
sebagai
pijakan
yuridis
dalam
operasionalnya. Purnamasari (2006). dalam penelitiannya yang ~lasyarakat
dalam
Perencanaan
Pembangunan
(studi
be~udul
Partisipasi
kasus
partisipasi
masyarakat dalam perencanaan pembangunan di Kelurahan Menteng Jakarta PL•sat) menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam merencanakan pembangunan di Kelurahan Menteng Jakarta Pusat masih bersifat samu, Pemerintah Kelurahan berperan dominan dalam menentukan keputusan perencanaan pembangunan di Kelurahan Menteng, partisipasi masyarakat
14
ke!urahan sendiri masih rendah dan bersifat perwakilan. Endah WahyuningnJrl' (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Musyawarah Perencanaan Pembal'lgunan Suatu Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo OJ Yogyakarta menyimpulkan bahwa pelaksanaan Musrenbangkab/Rakorbang Musrenbang/Rakorbang
Partis!patif
Partisipatif
didahului yaitu
untuk
dengan
tahapan
menyiapkan
Pra
desain
penyelenggaraan Musrenbang!
Partisipatif
telah
m~libatkan
berbagai
unsur
masyarakat dan pemerintah untuk menghasilkan kesepakatan dan komitmen diantara para pelaku pembangunan atas program, kegiatan dan anggaran tahunan daerah, dimana pengambi!an keputusannya dilakukan secara partisipatif dangan berpedoman pada dokumen-dokuman perencanaan pembangunan daerah. Dari ketiga hasil penelitian diatas, dapat diketahui bahwa perenr,anaan partisipatif yang pelaksanaannya didahului oleh proses pembelajaran bersama antara pemerintah daerah dengan masyarakat dalam suatu hubungan yang sating mengisi dan melengkapi, hasilnya Jebih sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan apabila perencanaan partisipatif tadi dilakukan hanya dengan maksud untuk memenuhi persyaratan formal saja, maka hasil yang diperoleh sama sekali jauh dari yang diharapkan bahkan kemungkinan besar mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya. Dengan demikian berarti bahwa perencanaan partisipatif harus dilihat sebagai kebutuhan bersama dari masyarakat dan pemerintah ciaerah, bukan lagi sekedar sebuah kewajiban formal saja. Dari ketiga penelitian
terseb~t
diatas persamaan dengan penelitian ini
adalah pada metode penalitian yaitu menggunakan metoda kualitatif. Hal ini
15
dik~renakan
fenomena
ingin mengetahui lebih
yan~
akan diteliti adalah fenomena sosial dan peneliti
mendal~m
tentang permasalahan tersebut. Sedangkan
pe:-bedaan antara penelitian ini dengan pene1itian terdahulu adalah adalah fokus penelitiannya yaitu, fokus penelitian terdahulu tentang proses pelaksanaan IJCrence:maan partisipatif. Sedangkan fokus dari penelitian ini adalah proses dan partisipasi elit dalam pere!'lcanaan pembangunan.
Secara lebih jelas dapat
dilihat dalam tC\bel 2.1 di bawa"l ini : Tabel2.1 Perbedaan Dengan Penelitian
(2006), dalam Fokus dalam penelitiannya yang ~erjudul penelitiannya Sinergi Stakeholders Oalam adalah pP.Iaksanaan Perencanaan Pembangunan forum Musrenbang Tahur.an (Suatu studi terhadap Kecamatan di Kota perumusan kebijakan Bima perencanaan pembangunan kota Bima)
Fokus dalam penelitian ini adalalah proses dan peran elit dalam perencanaan pembangunan partisipatif
----r=------~--~~~~~~~~------~~~~~------~~
2.
Pumamasari (2006), dalam penelitia!'lnya yang berjudul Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan (studi kasus partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di Kelurahan MEnteng Jakarta Pusat)
Fokus dalam penelitiannya adalah partisipasi masyarakat dalam merencanakan pembangunan di Kelurahan Menteng Jakarta Pusat
Fokus dalam penelitian ini adalalah proses dan peran elit dalam perencanaan pembangunan partisipatif
3.
Endah Wahyuningrum (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Musyawarah Perencanaan Pembangunan Suatu Pembcrdayaan Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo 01 Yogyakarta
Fokus dalam penelitiannya adalah pelaksanaan forum Musrenbang Kabupaten Kulon 01 Progo Yogyakarta
Fokus dalam penelitian ini adalalah proses dan peran elit dalam perencanaan pembangunan partisipatif
Pembangunan Daerah Pembangunan Pemb3ngunan secara umum dapat diartikan sebagai usaha untuk
mei1ingkatkan !<ehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Ndraha (1985) menyatakan bahwa pe!Tlbangunan (development) adalah segala upaya untuk mewujudkan perubahan sosial besar-besaran menuju suatu keadaan yang lebih baik. Sedangkan Korten (1998), mendefenisikan pembangunan sebagai proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka sendiri. Siagian (2003), pembangunan adalah suatu usaha untuk merangkaikan usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bar'lgsa dan negara serta pemerintah menuju modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa (nations building). Menurut Todaro (2004) harus diartikan secara luas dari har.ya sekedar pemenuhan kebutuhan materi di dalam kehidupan manusia, pembangunan seharusnya merupakan proses multidimensi yang meliputi perubahan organisasi dan orientasi seluruh sistem sosial dan ekonomi, sehingga pembangunan daerah adalah proses multidimensi pembangunan suatu daerah. Lebih lanjut Bryan dan White (1989) menyatakan bahwa pembangunan yang •peo,Jie centered" merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam menentukan nasib dan masa depannya, ini berarti melibatkan rr.asyarakat secara aktif dal~m setiap tahapan proses pembangunan. Dari pangertian tersebut pembangunan berwawasan
•people centered"
dalam
17
implikasinya akan n1encakup beberapa pengertian, antara lain: (1) Pembangunan berorti mer.1bangi
(capacity);
(2)
Pembangunan
berarti
mendorong
tumbuhnya
kebersamaan dan pemerataan sistam nilai dan kesejahteraan (equity); (3) Pernbangunan
berarti
menaruh
kepercayaan
kepada
masyarakat untuk
membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesepakatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerement); (4) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri dan ber!<elanjutan
(sustainability);
ketergantungan negara yang
(5)
Pembangunan
berarti
mengurangi
satu terhadap negara yang
lain dengan
menciotakan hubungan yang sa:ing :nenguntungkan (simbiosis mutua/is) dan saling mengho:mati (interdependensi). Dengan
demikian
dapa!
dik~takan
bahwa
pembangunan
yang
berwawasan manusia (community development) terdapat dua pandangan yaitu : perlama, production centered development, yang lebih menempatkan manusia
sebagai instrumen atau obyek dalam pembangunan. Hal ini berorientasi pada produktivitas yang berhubungan dengan kemakmuran yang melimpah atau manusia
diJjandang
sebagai
faktor
produksi.
Kedua,
People
centered
development, yang lebih menekankan pada pentingnya kemampuan manusia
untuk mengaktualisasikan segala potensinya seb&gai manusia (Korten, 1998). Selanjutnya
Sumodiningrat
(1999)
mengemukakan
bahwa
pembangunan sebagai sustu proses transformasi yang pada dasamya akan menghasilkan surplus yang menJadi sumber peningkatan kesejahteraan secara rrerata. Lebih lanjut dikatakan bahwa hal tersebut akan terjadi apabila tiga
18
asumsi dasar terpenuhi, yaitu : - Fuii emofovment. vaitu masyarakat diikutsertakan dalam semua s~ktor kegiatan pembangunan b. Homogenitas, artinya semua masyarakat mempunyai kesempatan t::ama untuk berpartisipasi dalam pcmbangunan sesuai dengan kemampuannya. c. Adanya efisiensi yang r&sional, yaitu beke~anya mekanlsme pembangunan atau tanggung rasa, artinya interaksi antar pelaku pembangunan te~adi dalam keo&imb::.ngan sehingga imbalan yang diterima oleh pelaku pembangunan seimhang dengan pengorbanan yang telah dilakukannya.
Pendapat tersebut memberil
apa~ila
mampu mengangkat derajat rakyat sebanyak mungkin
pada tatanan kehidupan ekonomi yang lebih baik dan layak. Karena pada dnsarnya pembangunan merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat bukan untuk kepenti:1gan pribadi atau golongan. Menurut
Riyadi
dan
Bratakusumah
(2004),
pada
dasamya
pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhan, dalam artian bahwa pembangunan dapat menyebabkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan dapat terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dan aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat. Keraf dalam Susanto (2003) mengatakan bahwa ada tiga prinsip utama menuju keberhasilan pembangunan berkelanjutan, yaitu: Pertama, prinsip
19
demokrasi,
prinsip ini menjamin agar pembangunan dilakukan sebagai
perwujudan kehendak bersama seluruh
raky;~t.
Kedua, prinsip keadilan, prinsip
ini menjamin bahwa semua orang dan kelompok masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses pembangunan dan kegiatank6giatan produktif serta ikut dalam menikmati hasil pembangunan. Ketiga, prinsip ber'.<elanjutan,
prinsip ini mengharuskan kita
untuk merancang agenda
pembangunan dalam dimensi visioner, melihat dampak pembangunan baik positif maupun negatif dalam segala aspeknya tidak hanya dalam dimensi jangka pendek. Dari berbagai pemyata3n dan pendapat tersebut diatas, dapat ditarik sustu gambar&n secara umum bahwa pembangunan adalah : a. Merupakan proses kegiatan yang dilaksanakan oleh sekelompok orang
dalam
komunitas
masyarakat
suatu
bangsa
yang
berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan; b. Merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana; c. Bt!rorintasi pada perubahan dan pertumbuhan; d. fertujuan untuk meningkatkan kemampuan individu, sekelompok individu dan atau masyarakat dalam kerangka pembinaan bangsa (nations building) menuju perwujudan kesejahteraan rakyat;
2.2.2. Pembangunan Daerah PAmbangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
nasional dan menjadi fondasi
dalam
pencapaian tujuan
20
pembangunan nasional. Dengan demikian kedudukan pembangunan daerah menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pembangunan nasional. lJntuk ltu, sangat dibutuhkan strategi pembangunan yang sesuai dengan kondisl dan ke:butuhan masyarakat setempat. Masalah pokok pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan
pada
development) kel~mbagaan
kekhasan
dengan
daerah
menggunakan
yang potensi
bersangkutan sumber
(endogenous
daya
manusia,
dan sumber daya fisik secara lokal (Arsyad, 2004).
Apabila makna pembangunan kita asumsikan sama dan sebangun dengan pembangunan ekonomi sebagaimana yang sering disampaikan para ~engan'-!t
teori pertumbuhan, maka tentu saja yang dimaksud dengan
pembagunan daerah tidak lain adalah pembangunan ekonomi daerah. Riyadi dan Bratakusumah (2004) mengemukakan bahwa proses pembangunan daerah dapat dilihat dengan tiga cara pandang yang berbeda. Peltama, pgmbangunan bagi s•Jatu kota, daerah atau wilayah sebagai suatu
wujud (entity) bebas yang per.gembangannya tidak terikat dengan kota, wilayah atau daerah lainnya, sehingga penekanan p&mbangunannya mengikuti pola yang lepas dan mandiri (independent). Kedue, pembangunan daerah merupakan bagian dari
~mbangunan
nasional. Pembangun&n daerah dalam pendekatan ini
merupakan pembangunan pada suatu juridiksi ruang Cltau wilayah tertentu yang dApat digunakan sebagai bagian dari pola pembangunan nasional. Ketiga, pembangunan daerah sebagai instrumen penentuan alokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah yang telah direncanekan terpusat yang berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar daerah.
21/ (
Arsyad (1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah aa&lah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah, masyarakat dan swasta untuk menciptakan suatu lapangan
ke~a
baru dan mt!rangsang perkembangan kegiatan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Walaupun
pandangan
diatas
be:um
mencakup
seluruh
aspek
kehidupan yang secara riil berkembang di tengah-tengah masyarakat, tetapi dalam konteks pembangunan daerah, pandangan tersebut telah memberikan gambaran bahwa pembangunar. daerah harus dilakukan secara bersama-sama antara unsur penyelenggara pemerintah daerah (pemerintah daerah dan DPRD), mssyarakat dan pihak sawasta. Dalam pandangan tersebut juga tersirat adanya pengakuan bahwa pembangunan daerah memang perlu bahkan harus dilakukan secara khusus dalam artian uukan semata-mata sebagai pelaksanaan program pembangunan nasional yang secara kebet.ulan dilaksanakan di daerah akibCJt tuntutan normatif dari penerap&n asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pe:mbantuan yang dilakukan secara bersamaan dalam penyelenggaraan pcmerintahan daerah. Dengan menyadari bahwa pembangunan daerah memang harus dilakukan demi memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat di daerah, maka akan timbul dorongan yang kuat t>agi daerah untuk mengelola sumber daya yang ada se:1ingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Dalam pelaksanaannya, pemerintah daerah dituntut dapat menggalai1g kerja sama segenap komponen pembangunan daerah untuk dapat mengelola potensi, peluang, tantangan dan
22
ancaman
yang
timbul
atau
diperkirakan
timbul
sehingga
pelaksanaan
pernbangunan daerah tersebut dapat be~alan sesuai dengan yang dihai"apkan.
2.:J.
Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan menurut Soewignyo (1986) merupakan proses pemikiran
dan penentuan secara matang rnengenai hal-hal yang akan dike~akan di masa yang akan datang. Menurut Siagian (2003), perencanaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang dari pada hal-hal yang akan dike~akan di masa yang akan datang dalam rangka p9ncapaian tujuan yang telah c:iitentukan. Dalam bahasa yang masih sangat abstrak Conyers (1994) mengat3kan ballwa perencanaan adalah penerapan yang rasional dari pengetahuan manusia terhadap proses penca::>aian keputusan yang bertindak sebagai dasar prilaku manusia. Rasionalitas pengetahuan yang dimaksud adalah ketika usaha tersebut secara sadar, terorganisir dan terus menerus dilakukan guna memilih altematif y2ng terbaik dari sejumlah altamatif untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi ini memberikan pengertian kepada 1\ita l:ahwa perencanaan berkaitan dengan soal pilih~n1
yang terbaik yang dicapai
melalu~
sejumlah tahapan berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki. Pilihan inilah yang selanjutnya menjadi dasar operasionalisasi kegiatan selanjutnya. Abe (2002) mengurgikan beberapa dimenl;i perencanaan : pertama, dimensi waldu, yaitu suatu perencanaan sesungguhnya berbicara tentang masa depan. Kedua, dimensi tujuan, suatu perencanaan pada dasamya adalah mmusan
m~ngenai
pengaturan,
alokasi;
pencapaian terhadap suatu
perencanaan
~:;uRtu
tujuan.
Ketiga,
dimensi
memuat maksud-maksud
untuk
23
mangatur atau membuat alokasi, te(JTlasuk. menyusun suatu skala prioritas. Keempat, uimensi tindakan, inti dari perencanaan adalah tindakan apa yang
akon dilakukan. Erat kaitannya dengan berbagai pendapat diatas, terdapat bebarapa pendapat dan pemikiran para ahli mengenai perenc-.anaan pembangunan di mana antara Ratu dengan yang lainnya saling melengkapi. Tjokroamidjojo pembangunan
sebagai
(1993) suatu
mengemulc::akan pengerahan
pengertian
penggunaan
perencanaan sumber-sumber
pembangw1ar. (termasuk sumber-sumber ekonomi) yang terbatas adanya, untuk mencapai tujuan-tujuan dan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara lebih efis-ien dan efektif. Sedangkan Watarson sebagaimana dikutip Tjokroamidjojo {1993) rr.Elngemukakan bah""a perencanaan pembangunan adalah melihat ke depan dengan
m~ngambil
tujuan
masa
pilihan berbagai altematif dari kegiatan untuk mencapai
depan
tersebut
dengan
terus
mengikuti
agar
supaya
pelaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan. Dart
beberapa
pandangan
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
perencanaan pembangunan merupakan suatu proses penetapan rencanarencana pelaksanaan pembangunan yang lebih obyektif yang memuat strategi dasar, perkiraan sumber-sumber peml'>angunan dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Sesuai dengan kerangka otonomi daerah yang lebih menekankan hak bagi daerah dan urgensi prakarsa masyarakat, pembangunan daerah tidak semata-mc:ta dilihat sebagai bagian dari pembangunan nasional, tetapi harus
24
pul~
dipandang sebagai hai< dan kepentingan daerah. Sejalan dengan hal
t.ersebut Abe (2002) mengemukai
~egiatan
para perencana
dan bahkan mungkin dianggap sebagai satu-satunya bentuk kegiatan mereka yang paling pcnting. Kedua,
perencan~an
dianggap sebagai suatu proses yang
berlangsung secara terus meneru!, bukan sekedar suatu yang S~$ekali saj~.
dike~akan
Ketiga, konsep perencanaan ini memiliki implikasi penting yang
bertalian dengan konsep dan peran si perencana. Seorang perencana haruslah be!<e~a
erat dengan orang-orang lain yang terlibat dalam keseluruhan proses
pembangunan, termasuk didalamnya politisi, administrator dan masyarakat pada umumnya. Perencanaan pemba.ngunan daerah yang disusun berdasarkan kajiankajian teoritis maupun praktis akan lebih menjamin kualitas dan keberhasilan
25
pelaksanaann)a. Demikian pula sebaliknya, apabila perumusan dan penetapan perencanaan pembangunan daerah tidak didukung oleh kajian-kajian yang kcmprehenslf tlari sudut pandang teoritls dan empirls, akan membuka peluang bagi muncul dAn berkembangnya berbagai kendala yang pada gilirannya akan menghambat atau bahkan mAnggagalkan pelaksanaan pembangunan tersebut. Abe {2002) mendefinisikan perencanaan pambangunan daerah sebagai proses
pen~usunan
~rnerintah
langkah-langkah
yang
akan
diselenggarakan
oleh
daerah, dalam rangka menjawab kebrJtuhan masyarakat untuk
mancapai t•Jjuon tertentu. Perencanaan pembangunan daerah menurut Syahroni (2002) adalah suatu usaha yang si!ltematik aari berbagai pelaku secara terus
menerus mer.ganalisis kondisi, merJmuskan tujuan, kebijakan, menyusun konsep strategi, menggunakan sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah secara berkdlanjutan. Adanya keterbatasan dana untuk
pemb~ngunan
tcrsebut juga menuntut
adanya pengai·ah<Jn dalam perencanaan perr.bangunan, terutama perencanaan pembangunan yang malibatkan masyarakat karena pada umumnya keinginan masyarakat sangat banyak dan cenderung tanpa batas yang jelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Aba {2002) bahwa suatu keinginan tentu saja memiliki kadar subyAktifrtas yang tinggi dan cenderung tanpa batas yang jelas. Oleh sebab itu yang hendaknya menjadi prioritas adalah menjawab kebutuhan-kebutuhan dasar dari masyarakat. Urbanus {2002) berpendapat bahwa pembangunan akan berjalan dengan baik apabila diawali dengan sebuah perencanaan yang baik pula dan proses perencanaan yang baik
seha!'Usny~
melibatkan bany:.k pihak dengan
26
d9mikian perencanaan yang dihasilkan merupakan perencanaan bersama dan dalam implementasinya dilaksanakan secara bersama pula. Berdasarkan dari beberapa pemyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perencanaan pembangunan daerah m-:trupakan proses penyusunan langkah-langkah yang akan diselenggarakan oleh pemerintah daerah, dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu dan menyelaraskan keinginan dari berbagai komponen masyarakat di daerah yang bersangkutan.
2.3.1. Jenis Perencanaan Menurut Arsyad (1999), perencanaan dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan jangka waktu, sifat, alokasi sumber daya, tingkat keluwesan, sistem ekonomi,
dan cara pelaksanaannya.
Berdasarkan jangka waktu,
perencanaan dapat dibagi menjadi : perteme, perencanaan jangka panjang yang umumnya mempunyai rentang waktu antara 15 sampai dengan 25 tahun. Dalam perencanaan jangka panjang biasanya ditetapkan nilai-nilai, target dan sasaran yang lazimnya dirumuskan dalam bentuk visi dan misi serta strategi jengka panjang. Kedua, perencanaan jangka menengah yang durasi waktunya berkisar a11\ara 3 sampai dengan 5 tahun. Dalam perencanaan jangka menengah ditetapkan berbagai kebijakan yang merupakan proyeksi dari target dan sasaran jangka menengal• sebagai arah dan pedoman penyusunan rencana jangka pendek. Ketiga, perencanaan jangka pendek yaitu perencanaan yang berisi rer.cana teknis yang didalamnya telah ditetapkan target sasaran masing-masing sektor sekaligus sumber daya yang harus disediakan untuk mendukung berbagai
27
program dan kegiatan yang akcm dilaksanakan selama satu tahun atau disebut juga sebagai rencana tahunan. Berdasarkan
sifat
perencanaan,
dapat
dibedakan
dua
janis
perencanaan yaitu perencanaan dengan komando {planning by direction) dan perencanaan dengan rangsangan (planning by enducement). Perencanaan dengan komando adalah
peren~naan
yang mengedepankan instruksi dari atas
ke bawah sedangkan perencanaan dengan rangsangan adalah perencanaan yang mengandalkan partisipasi dari bawahan atau dari warga masyarakat. Berdasarkan alokasi sumber daya, perencanaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu perencanaan keuangan dan perencanaan fisik. PGrencanaan keuangan adalah perencanaan yang bertujuan untuk memastikan apakah surr1ber keuangan yang a1a betul-betul cukup untuk mendukung pelak:;anaan perencanaan fisik, sedangkan perencanaan fisik adalah suatu perencanaan yang bertujL.an untuk menjabarkan usaha pembangunan melalui pangalokasian sumber daya yang tersed!a. Berdasarkan tingkat keluwesan, perencanaan dapat dibagi menjadi perencanacm dengan indikatif yaitu suatu bantuk perencanaan yang luwes, (menyerupai perencanaan yang terdesentralisasi) dan perencanaan Imperative yaitu suatu bentuk perencanaan yang lebih kaku menyerupal perencanaan dengan komando. Adapun t.erdasarkan sittem ekonomi, perencanaan dapat dibedakan antara yang berdasarkan sistem ekonoml kapitalis, sosialis dan campuran. Sedangkan perencanaan berdasarkan cara pelakscmaannya, dapat dibedakan menjadi ; (1) Perencanaan yang sentralistik yaitu suatu bentuk
28
per.ancanaan yang terpusat dalam arti segala bentuk kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dirancang oleh suatu institusi di tingkat pusat sadangkan lnatltusl-lnstttual lain yang berada di bawahnya tlnggal metaksanakan saja. (2) Perencanaan yang desentralistik yaittJ suatu perencanaan yang m~mberikan
Kesempatan kepada institusi di tingkat bawah untuk membuat
perencanaan berdasarkan tingkat kebutuhan dan prioritas permasalahan yang d~hadapi.
2.3.2. Unsur Pokok Dalam Perancanaan
Pem~angunan
Menurut Abe (2002) ada beberapa hal penting yang termuat dalam n.:musan perencanaan, yaitu : gambaran mengenai situasi dan kondisi, serta kebutuhan dari masyarakat, tujuan dan t~rget yang hendak dicapai, daya dukung dan sumber daya yang dimiliki, detail langkah-langkah yang akan dilakukan dan anggaran. Daoat pula rumusan perencanaan dilengkapi dengan data mengenai siapa yang harus bertanggung jawab dalam suatu langkah, kendala··kendala dan upAya yang akan dilakukan untuk mengatasi kel"'dala tersebut. Soekartawi (1990) mengemukakan bahwa dalam suatu perencanaan pembangunan terdapat beberapa unsur pokok yang secara garis besar mencakup hal-hal sebagai berikut : a
Kebijakan dasar atau strategi dasar, sering juga disebut sebagai tujuan, arah dan prioritas pembangunan;
b. Adanya kerangl<:a rencana, seringkali disebut kerangka makro rencana; c.
Perkiraan
sumber-sumber
pembangunan
khususnya
sumber-sumber
pembiayaan pembangunan. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan ini
29
rnerupakan keterbatasan dal&m usaha pembangunan, karena itu sar.gat perlu diperkirakan secara seksama; d. Uralan tentang kerangka kebijakan yang konaiaten. Berbagai kebijakan harua dirumuskan dan kemudian dilaksanakan. Satu sama lain kebijakan tersebut harus serasi dan konsisten, terlebih lagi yang menyangkut kebijakan tentang flskal dan penganggaran; e. Program investasi. Program investasi ini dilakukan secara sektoral, misalnya di bidang pertanian, industri, pertambangan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Penyusunan program ini secara sektoral dilakukan berdasarkan suatu rencana yang bersifat lebih operasional; f.
Administra5i negara yang dipergunakan untuk mendukung perencanaan dan pelaksanac:.nnya.
Penyempuma~n
administrasi negara dan pembinaan
sistem administrasi untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perlu direncanakan sebagai kegiatan integral dari rencana pembangunan itu sendiri, termasuk pula didalamnya penelaahan terhadap mekanisme dan kelembagaan Tjokroamidjojo pernbangunan
sebagai
pelaksan~an
(1993), suatu
pembangunan.
mengemukakan pengerahan
pengertian
perencanaan
sumber-sumber pembangunan
(termasuk sumber-sumber ekonomi) yang terbatas adanya, untuk mencapai tujuan-tujuan, keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara lebih efisien dan ef&ktif.
Terc.Ja~at
pembangunar.,
lima unsu" yang harus diperhatikan dalam setiap perencanaan yaitu
(1)
Permasalahan
pembangunan
suatu
negara/masyarakat yang dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang dapat diusahakan dalam hal ini sumber daya ekonomi, sumber daya alam dan lainnya; (2) Tujuan dan sasaran recana yang ingin dicapai; (3) Kebijakan/cara
30
untuk mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan melihat penggunaan sumber-sumbernya (4)
Pente~emahan
dan
pemilihan
altematif-altematif
yang
baik;
dalam program-prC'gram atau kegiatan usaha yang konkrit; (5)
Jangka waktu pencapaian tujuen.
2.3.3. Tahap-Tahap Pereno:anaan Pembangunan Menurut Abe (2002}, perencanaan pcmbangunan mempunyai tahapantc..,apan antc:Jra lain : penyelidikan, perumusan permasalahan, menentukan tujuan dan target, mengidentifiKasikan sumber daya (daya dukung), merumuskan rencana
ke~a.
dan menentukan anggaran yang hendak digunakan dalam
re:alisasi rencana. Blakely dalam Arsyad ( 1999) menyatakan bahwa salah satu tahapan yEmg sangat penting dalam Hal ini
sanga~
perencan~an
adalah pengumpulan dan analisis data.
logis karena data merupakan input yang sangat penting dan
sangat mempengaruhi output yang dihasilkan. Jika kualitas fnputnya jelek, maka pasti jelek ;:>Uia outputnya. Jika kualitas inputnya baik maka outputnya tergantung p~·osesnya.
Sedangkan Tjokroadmijojo (1993) mengemukakan tahap-tahap dalam suatu proses perencanaan adalah sebagai beriklit : 1. Penyusunan rencana yang terdiri dari : ( 1) Tinjauan keadaan, merupakan kegiaten berupa tinjauan sebelum memulai suatu rencana atau tinjauan terhadap pelaksanaan rencana sebelumnya. (2) Forecasting (peramalan), yaitu merupakan perkiraan keadaan masa yang akan datang. (3) Penctapan tujuan dan pemilihan cara-cara pencapaian tujuan tersebut. (4) ldentifikasi
31
kebijakan dan/atau kegiatan usaha yang perlu dilakukan dalam rencana. (5) Persetujuan rencana. 2. Penyusunan program renams; Merupakan tahap perumusan yang lebih terperinci mengenai tujuan-tujuan atau sasaran, sustu perincian jadwal kegiatan, jumlah dan jadwal pembiayaan serta penentuan lembaga mana yang akan melaku'
rencana;
Dalam
tahap
ini
merupakan
tahap
untuk
melaksanakan rencana dimana perlu dipertimbangkan juga kegiatan-kegiatan pemeliharaan.
Kebijakan-i<ebijakanpur.
perlu
diikuti
implikasi
pelaksanaannya, bahkan secara terus menerus perlu untuk dilakukan penyesuaian-penyesuaian. 4. Pengawasan; Diperlukan suatu sistem monitoring dengan pelaporan dan umpan balik dari pada r:elaksanaan rencana. 5. Evaluasi; Tahap ini dilakukan sebagai pendukung tahap penyusunan rencana yaitu evaluasi tentang situasi oebelum rencana dimulai dan evaluasi tentang pelaksanaan rencana gebelumnya.
2.3.4. Pentingnya Perencanaan Dalam Pembangunan Pentingnya aspek perencanaan dalam pembangunan pada dasamya terkait
deng~n
fungsi atau kedudukan perencanaan dalam pembangunan.
Pertama, perencanaan sebagai alat dari pemoangunan yaitu perencanaan
m&rupakan alat yang strategis dalam menuntun jalannya pembangunan. Pe:rencanaan merupakan salah satu arah atau pedoman dalam pembangunan. Suatu
perencanaan
yang
disusun
secara
tidak
sistematis
dan
tidak
memperhatit
32
tersebut tidak akan seperti yang diharapkan. Kedua, perencar:aan sebagai tolok ukur keberhasilan dan kegogalan pembangunan, hal ini berarti bahwa keberhasilan dan
kegaga~an
pembangunan, hal ini berarti keberhasilan
pembangunan dapat dicapai karena perencanaan yang baik, sebaliknya kegagalan pembangunan bisa dikarenakan aspek perencanaan yang tidak baik. Soekartawi (1990) mengemukakan sebagai tolok ukur keberhasilan dan kegagalan pembangunan, maka perencanaan harus selalu direfisi pada setiap saat atau pada jangka waktu tertentu. Maksudnya adalah untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan pada masa lalu dan untuk dipakai sebagai pedoman perbaikan pada pelaksanaan pembangunan di masa yang akan datang sehingga dapat berjalan sesuai dengan harapan dan dapat mencapai sasaran/tujum1 yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpL:Ikan bahwa sebuah perencanaan menduduki tempat yang sangat panting dan menentukan dalam proses pelaksanaan pembangunan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sebuah program atau kegiatan pembangunan sudah dapat diperkirakan keberhasilan atau kegagalannya dengan melihat kualitas perencanaannya.
~.4.
Paradigms Pembangur1an di Era Otonom! Daerah Makna
r~intrepretasi
pembangunan
dalam
sejarahnya
mengalami
sejumlah
sebagai dampak dari perubahan sosial yang terjadi begitu cepat
dalam duP dckade terakhir ini. Jika awalnya pemtJangunan selalu dimaknai sabagai perubahan sosial yang diciptakan melalui mekanisme negara, kini pemaknaa!l t6rsebut mengalami
perg~seran
ke arah kolaborasi negara dan non
negara sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan. Dominasi
33
negara dalam menciptakan perubahan sosial yang dikehendaki tidak bisa lepas dari sistem politik yang cenderung authotarian. Ketika sistem ini luntur sebagai aklbat kuatnya arua demokraal, make.
perangk~t-perangkat
nagara yang dulunya
secara ketat mGmbentuk sistem pembangunan semakin lama semakin longgar. Berdasarkan perkembangan fenomena pergeseran paradigms tentang pembangunan dewasa ini, Dwidjowijoto (2001) menyatakan bahwa pendekatan politik atau paling jauh pendekatan ekonomi dalam pembangunan, sudah tidak memadai lagi. Antara politik dan ekonomi memililci satu kesamaan, keduanya adAjah alat ukur yang bersifat subyektif yaitu tergantung kepada siapa yang me~ggunakan
adalah
pendekatan tersebut. Sehingge pendekatan yang paling tepat
pendekatan
manajcmen.
Pendekatan
manajemen
lebih
mampu
mendekati permasalahan dan mP.nemukan solusi yang bersifat win-win, pendekatan manajemen menuntut apa yang sekarang populer dengan istilah good governance.
Dengan memahami secara lebih mendalam pandangan tersebut, kita akan menyadari bahwa pembangunan yang telah dan akan kita laksanakan harusnya tidak hanya dilandasi oleh kepentingan politik dan ekonomi semata, tetapi juga harus mempertimbangkan secara sungguh-sungguh berbagai aspek yang lain terutama sosial budnya yang berkembang di tenga-tengah masyarakat dimana pembangunan tersebut dilaksanakan. Artinya, dalam pelaksanaan pembangunan khususnya yang dilakukan di dserah, masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai obyek tetapi lebih dari pada itu harus diposisikan sebagai subyek yang secara langsung terlibat di dalam proses penentuan arah dan tujuan dari pembangunan.
34
Kita ketahui bersama b8hwa pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah secara luas dan nyata, pelaksanaan pembangunan daerah lebih bersifat top down.
Kebanyakan perencanaan dan bahkan pelaksanaan
pernbangunan berasal atau setidak-tidaknya diprakarsai oleh pemerintah, sedangkan masyarakat terutama yang berada di daerah hanya merupakan obyek
dari
pembangunan.
Pembangunan
didogmakan
sebagai
bentuk
kepedulian pemerintah kepada masyarakat sehingga secara lamban tapi pasti telah menjadikan masyarakat pasif dalam setiap proses pembangunan. Dengan demikian pembangunan bukan merupakan keinginan dan kebutuhan masyarakat tet~pi
hanya sebagai keinginan dan kebutuhan pemerintah.
p~mbangunan
Paradigma
seperti ini jelas telah menutup keterlibatan masyarakat secara
aktif dalam proses pembangunan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undcmg Nomor 25 Tahun 1999 yang telah disempumkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan lJI"ldang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pem~rintah
Daerah, ada empat hal yang merupakan arah
dan ruh peiubahan dalam penyelengga!"aan pemerintahan daerah yaitu : (1) Mendorong percepatan terwujudnya masyarakat sipil; (2) Penerapan rnanajemen modem dalam mekanisme kepemerintahan (berorientasi pada pelanggan, rnenggunakan teknik-teknik yAng lebih ilmiah dalam analisis dan pengambilan keputusan, bersifat jaringan kerja, organisasi dengan sistem terbuka dan desentralistis); (3) Pemberdayaan partisipasi masyarakat tennasuk dalam pembangunan dan kehid"'pan perekonomian rakyat; (4) Mengembangkan daya saing daerah dalam era globalisasi. Perubahan paradigma tersebut
35
tentunya menuntut seyenap jajaran pemerintah daerah agar melibatkan (participation)
dan
memberdayakan
(empowerement)
segenap
elemen
masyarakat. Oalam konteks perwujudan tata pemerintahan yang lebih baik, diharapkan masyarakat akan lebih tahu dan paham terhadap haknya dan di sisi lain pemerintah harus mampu membangun mekanisme secara fundamental sehir.gg.a partis.ipasi dapat clifas1litasi secara benar dan berkelanjutan. Sehingga paC:a akhimya partisipasi tiaak hany.a sebatas mobilisasi publik (Agus dkk,2002). Yang didukung oleh pcndapat Resi, dkk (2005) yaitu adanya sinergi antara LSM :tengan pemerintah daerah adalah agar birokrasi pemerintah bertindak
l:iebagai
fasilitator,
motivator
dan
dinamisator
dalam
proses
perencanaan pembangunan daerah. Ketika ketiga fungsi ini benar-benar dijalankan maka akan membuka peluang yang besar bagi ketertib.atan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Hal ini didukung olsh pendapat Rofikoh (2006) yang mengemukakan bahwa pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya keterbui
ma~alah
da'1 membaca peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
36
guna meningkatkan kesejahteraannya. Ha: ini sebagai akibat dari masih rendahnya til"gkat pendidikan, pengalaman, keterbiasaan dan pengisolasian per;m masy;:arakat. Hal ini juga disebabkan oleh kekurangmampuan birokrat pemerintah
dalam
melakukan
community
information
planning
system
(Tjokrowinoto, 2001 ). Yang didukung oleh pendapat Wi!aya (2007) menyatakan bahwa pengembangcm sistem transp;uansi informasi dan penilaian kinerja merupakan fondasi dasar pembangunar. sistem akuntabilitas yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan bukan hanya kepentingan individu dan golongan. Dengan melihat bahwa top down sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan, sedangkan bottCJm up belum memungkinkan untuk diterapkan secara optimal, maka timbul dan berkembang paradigma baru yang kemudian dikenal dengan pembangunan partisipatif (participatory development) yaitu perpaduan antara bottom up dan top down,
dim~ma
pemerintah dan masyarakat bersama-
sama terlibat dalam proses pembangunan mulai dari membuat konsep, merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan menikmati hasil pembangunan.
2.5.
Teori Elit
Secara etimologi elit berasal dari bahasa lnggris "eliten yang dalam Webster's New World Dictionary adalah "the group or part group selected or regarded as finest, best most powerful etc". Dalam bahasa latin dari kata •eligere"
yang berarti memilih. digunakan
pe~da
Bottomore (2006) menyat&kan bahwa elit mulanya
abad ketujuh belas untuk menggambarkan barang-barang
dengan kualitas sempurna, penggunaan kata itu kemudian diperluas untuk merujuk kelompok-kelompok sosia: vang unggul, misalnya unit-unit militer kelas
37
sati.l atau
tingkate~n
bangsawan yang tinggi. Etzioni dalam Keller (1995)
mengemukAkan elit adalah kelompok aktor yang mempunyai kekuasaan. Pareto dalam Varma (1995) menyatake.n elit adalah mereka yang dapat menjangkau pusat kekuasaan dan merupakan
or~mg-orang
yang berhasil dan terbaik. Dan
mengklasifikasikan elit dalam 2 (dua) macam golongan yaitu : (1) Elit yang memerintah (Governing elite) dan (2) Elit yang tidak memerintah (Non-Governing elit9). Dari berbagai konsep tersebut dengan demikian elit merupakan kelompok
yang terdiri dari mereka yang berhasil menduduki kedudukan dominan dalam masyarakat, karena nilai yang mereka bentuk dan ciptakan mendapat penghargaan dalam masyarakat (Sumartono, 1996). Andrain dalam Mulul\ (2007) menyatakan secara normatif, tipologi elit lol
Kemampuan
menjalankan
kekuasaan
ditentukan
oleh
kemampuan
mengendalikan sumber dayD tertentu oleh pihak terte-ntu di mana sumber daya temebut dinilai berharga ole.h pihak yang lain. Terdapat lima jenis sumber daya yang memper:garuhi hubungan kekuasaen ini. Lima sumber daya ini pula yang membedakan jenis kekuasaan )'ang muncul dalam hubungan kekuasaan yang beilangsung. Sumber daya tersebut adalah sumber daya fisik, ekonomi, normatif, per'Sonal dan keahlian. K~i!!kltasaan
fisik muncu! jika ada kepemilikan sumber daya fisik oleh
salu pihak seperti senjata,
kemampu~n
olah kanuragan, dan paJukan. Pada
38
dasarnya, pih£-k yang l-ain patuh karena ada kekhawatiran cedera fisik yang dapat dialami bila tidak patuh. Kekuasaan ekonomi bertumpu pada penguasaan atas sumber daya material tertentu seperti kekayaan, pendapatan, hak mllik, teknologi, dan kontrol atas barang dan jasa. Suatu pihak yang berharap atau benJsnha memperoleh kekayaan dari pihak yang akan
p~tuh
memilik~
sumber daya ekonomi
kepada penguasa ekonomi tersebut. Kekuasaan normatif timbul bila
ada pihak yang dianggap memilik'
norm~-norma
tertentu dan sangat dihargai
oleh pihak lain. Norma terscbut misalnya moralitas, kebenaran, legitimasi, tradisi religius, dan sebagainya. Hubungan
kekue~saan
muncul bila suatu pihak
mengakui bahwa pihak lain memiliki hak normatif untuk mengatur perilakunya. Sernentara itu, kekuasaan per;onal bersumber pada karisma pribadi, daya tarik, persahabatar., kasih sayang, dan popularitas. Seseorang disebut di bawah kekuasaan pihak lain jika ia oorusaha mengidentifikasi dirinya dengan pihak lain tersebut. Kekuasaan keahlian bermula dari panguasaan terhadap berbagai sumber daya seperti informasi, pengetahuan, intelijensi, dan keahlian teknis. Hubungan kekua&aan muncul jika seseorang merasa bahwa pihak lain memiliki keahlian yang lebih tinggi, sarnentara orang ini membutuhkan keahlian tersebut. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh
Reform
Institute dalam
demokrasi lokal di berbagai daerah di Indonesia dalam Muluk (2007) terdapat lima kategori elit lokal yang dapat mempengaruhi pemerintahan daerah. Elit tersebut adalah pejabat pemenntal'l daerah yang berada di jajaran perangkat daerah, politikus partai yang menguasai DPRD, tokoh elit partai dan/atau organisasi sosial yang dominan berpengaruh dan pengusaha besar yang msnguasai hampir semua aset bisnis lokal, serta kalangan elit ekonomi politik pusat yang berkepentingan dengan daerah tersebut.
39
Soekanto dalam Kappi {1988) memberikan pengertian elit sebagai orang-orang yang dalam situasi sosial tertentu memasuki posisi tertinggi, dianggap mempunyai kekuasaan besar dan hak-hak istimewa, kadang diartikan sebagai golongan aristrokrat yang berkuat;a
kar~na
faktor-faktor keturunan,
seringkali juga diartikan sebagai posisi-posisi dalam struktur sosial yang relatif tinggi sehingga mereka menduduki posisi-posisi tersebut juga mempunyai kekuasaan yang· tinggi. lberamsyah dalam Wahyuningrum (1988) mengemukakan elit sebagai berikut:
1. Sudut pandang strukturai Pandangan ini menekankan pada kedudukan elit dalam struktur masyarakat. Kedudukan mereka berada pada lapisan atas struktur masyarakat yang menyebabkan mereka memegang posisi dan peran penting dalam aktifitas masyarakat, kedudukan ini dapat dicapai melalui : a. Prestasilusaha yang tinggi. b. Kedudukan sosial yang melekat (karena keturunan, prestasi atau kelahiran, tetap menempati elit pada lapisan atau struktur masyarakat). 2. Sudut pandang lembaga atau organisasi Dasar
pemikiran
dari
sudct
pandang
kelembagaan
adalah
bahwa
pembe;1tukan pengaruh dan peran elit adalah pada lembaga atau organlsasl tampat elit berada, artinya seseorang individu atau kelompok dapat menjadi kelomr-ok berpengaruh dan berperan karena ber&da pada suatu lembaga.
40
Pandangan ini didasarkan pemikiran bahwa kemampuan elit sebagai kelompok dalam masyarakat untuk membentuk atau menciptakan nilai-nilai yang diakul dan mendapat penghargaan tinggi dari masyarakatnya. Dari berbagai
pandang~m
tersebut, maka pengertian elit adalah sebagai
berikut: 1. Elit merupakan kelompok yang diunggulkan memiliki keunggulan dalam lingkungan masyarakatr.ya. 2. Em meru!Jakan kelompok yang memiliki nilai lebih yang dihargai oleh masyarakatnya dan menduduki posisi dominnn, mereka adalah orang pilihan karena memiliki keunggulan dalam bidangnya masing-masing. 3. Elit ada!ah golongan tekemuka dan terp&nc1ang yang berarti secara struktural merupakan sosok panutan, sosok pimpinar. dan &ktor yang menduduki posisi atas dalam masyarakatnya dan pranata-pranata
~osial
yang berarti memiliki
kekuasaan dan kewengan serta dapat menimbulkan kebijakan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Keberad~an
elit
didalam
masyarakat
pembaharu maupun sebagai panutan, dan dalam
pembangunan
adalah
sebagai
pe~1garuh
dibutuhkan
sebagai
agen
elit yang sangat diharapkan
st;mulator
dalam
melaksanakan
pembangunan (Koetjaraningrat; 1984). Pada umum;'lya elit lokal merupakan bagian yang terintegrasi dengan sistgm sosial yang menjadi tempat bertanya dan tempat meminta nasehat bagi anggota-anggotanya karena dia dianggap sebagai
opinion leader. Namun demikian elit memerlukan tiga unsur agar dapat menjalankan perannya dengan baik, yakni : (1) wewenang atau authority, (2) kekuasaan atau power, (3) popularitas.
41
Menurut Kartodirejo (1981) melihat elit sebagai pemimpin didalam suatu m~syarakat
a.
tertentu dan dibagi kedalam tiga golongan, yakni :
Pemim~in
kharismatik, adalah orang yang dikaruniai bakat khusus dari Tuhan
untuk memimpin sekelompok manusia, sedangkan kelompok orang yang dipimpin merasa terikat kepadanya. b. Pemimpin tradisional, adalah pemimpin karena adanya warisan dari leluhumya, dan pelimpahan wewenang berjalan lewat saluran keturunan. c. Pemimpin formal atau
l~gal,
adalah orang yang mendapat pelimpahan
wewenang berdasarkan prcsedur pemilihan, pengangkatan yang diatur dalam hukum yang berlaku di suatu masyarakat. Menurut Kartodirejo (1981) peran para elit sangat penting dalam kehidupan sosial, karena tidak jarang terjadi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat menuju ke arah yang lebih baik. Elit berperan dalam proses rr.engontrol gejala-gejala sosial dengan pengakuan kepemimpinannya sebagai santralisasi usaha dan sebagai sentralisasi usaha dan sebagai titik polarisasi untuk kerja sama kelompok. Menurut Chee (1977) peranan elit merupakan seperangkat harapan dalam suatu interaksi antara seseorang yang menduduki suatu posisi dalam suatu kelompok dan orer.g-orang lain yang menduduki posisi yang saling berkaitan. Berbagai peranan eli{ dalam proses pembangunan, dapat dirumuskan sebagai pemikir, penginisiatif, perumus kebijakan dan perencana, pengarah dan pemgawas bagi masyarakatnya. Peranan elit sebagai pemikir, berwujud sebagai kegiatan pernikiran bagaimana menciptakan kesejahteraan masyarakatnya, baik secara fisik maupun mental spiritual.
Sedangkan peranan elit sebagai
penginisiatif, seperti mer.ciptakan gagasan baru, memberikan motifasi, baik
42
melalui keteladanan maupun usaha menciptakan iklim bagi terwujudnya perubahan ycmg dikehendaki. Selain itu peranan elit sebagai perumus kebijakan dan perencana dapat berupa menciptakan norma dan nilai yang mendasari dan mengatur perilaku sosial serta penciptaan lembaga-lembaga baru untuk menampung perubahan aspirasi masyarakat. Sehingga didalam pembangunan peranan elit di bidang perumusan kebijakan dan perencanaan lebih jelas wujudnya melalui kebijakan publik yang mengandung nilai dan norma yang rr.endasari dan mengatur perilaku masyarakat dalam pembangunan. Bottomore (2006) menyatakan keberhasilan peranan yang dimainkan elit, akan mendorong keberhasilan proses pembangunan, dimana keberhasilan tersebut ditentukan oleh kemampuan para elit dalam menimbulkan antusias dan dui
kemampuan
pemecahcm
masalah,
menghadapi
keadaan
kritis,
menghadapi ketidak tentuan dan ketidak stabilan, mobilisasi sumber-sumber, rnendorong inisiam dan belajar dari pengalaman. Sedangkan Thomas R. Dye dalam lslamy (2007) menjelaskan implikasi model elit-masa terhadap analisa kebijaksanaan sebagai berikut : Elitic;me mempunyai arti bahwa kebijaksanaan negara tidak begitu banyak
mencerminkan
keing:nan
rakyat
tetapi
keinginan
elit.
Hal
ini
menyebabk3;, perubahan dan pembaharuan terhadap kebijaksanaan negara berjalan lamh&t dan ditentukan olah penafsiran kembali nilai-nilai elit-elit tersebut. Kf:!bijaksanaan negara seringdiperbaiki tetapi jarang diubah. Dan perubahanperubahan itu terjadi kalau ada peristiwa-peristiwa yang mengancam sistem politik dan
~erubahan-perubahcm
itu dilakukan semata-mata untuk melindungi
43
sistem dan kedudukan elit. Kesejahteraan massa mungkin dan boleh jadi merupakan suatu unsur yang panting bagi elit dalam membuat keputusankeputusannya. Karena C.!litisme tidak berarti bahwa kebijaksanaan negara akan bertentangan dengan kesejahteraan massa, tetapi hanyalah berarti bahwa tanggung jawab kesejahteraan massa itu berada di tangan elit dan bukan pada massa. Di samping itu, elitisme memandang massa aebagaian besar pasif, &patis
dan
buta
informasi
tentang
kebijaksanaan
negara;
elit
banyak
mempengaruhi massa dan bukan &ebaliknya serta komunikasi be~alan dari atas ke bawah. Akibatnya adalah m3ssa sulit. menguasai elit, dan massa hanyalah benar-benar Memiliki pengaruh yang tidak langsung terhadap perilaku elit yang membuat keputusan.
~.6.
2.6.1
Perencanaan Partlsipatif Perancanaan Pembangunan Partisipatif Seiring dengan perKembangan demokrasi, maka faktor keterlibatan
multi stakeholders dalam proses perencanaan semakin menguat. Tjokroamidjojo (1993) mengemukakan bahwa keberhasilan perencanaan dan pelaksanaan pernbangunan tergantung dengcm adanya keterlibatan aktif masyarakat. Arti penting partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan menurut lslamy (2001) karena adanya partisipasi masyarakat berarti : 1. Memberi kesempatan yang nyata kepada mereka untuk mempengaruhi pembuatan keputusan tentang masalah kehidupan yang mf'reka hadapi sehari-hari dan mempersempit jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat. 2. Memperluas peluang pendidikan politik bagi masyarakat sebagai landasan bagi pendidikan demokrasi, sehingga rakyat menjadi
44
terlatih dalam menyusun prioritas kebutuhan dan kepentingan yang berbeda. 3. Dengan adanya partisipasi masyarakat lokal dalam menangani urusan-urusan publik akan memperkuat solidaritas komunitas masyarakat lokal. Riyadi dan Bratakusu:na (2004) menyatakan bahwa pembangunan tennasuk kegiatan perencanaan seharusnya berangkat dari keinginan dan kemampuan masyarakat dan seyogyanya dimulai dengan menemukenali potensi dan kebutuhan dari masyarakat sebagai penerima manfaat dan penanggung resiko pembangunan. Mengenai
pendidikan
kepada
masyarakat,
Conyers
(1994)
mengemukaka,, bahwa sangatiah penting dan diperlukan adanya komponen pendidikan
dalam
setiap bentuk perencanaan
pembangunan
partisipatif.
Masyarakat harus faham bagaimana sistem pengambilan keputusan bekerja, dan pilihan-pilihan apa saja yang ad::. bagi mereka sehingga mereka dapat berpartisipasi secara efektif. Pembangunan dengan melibatkan masyarakat ini tidak terlepas dari konsep Arnstein dalam Oetomo (1997) tentang tangga partisipasi warga negara yang dibagi dalam tiga tahap. Yang dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini :
Tabel2.2 Tangga Partlslpasi Warga Negara
A. Kei
Kontrol warga negara (Citizen Control) Kontrol warga yang dimaksud adalah bukan kewenangan tanpa kontrol (abso/ut power). Pada tahap ini partisipasi sudah mencapai tahap akhir dimana publik memiliki kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan sumber day2 publik.
45
II.
Delegesi kewenangan (Delegated Power) Pada tahap ini masyarakat sudah memiliki kewenangan yang lebih besar dibanding penyelenggara nC!Qara. Contohnya adalah jumlah keanggotaan masyarakat yang lebih besar dalam dewan kota ataupun adanya hak veto bagi masyarakat dalam suatu dewan perencana. Tantangannya lagi-lagi adalah mewujudkan akuntabilltas dan menyedlakan sumber daya yang memadai bagi kelompok yang dimaksud. Ill. Kemitraan (Piaction) Kekuatan pada tahap ini sebenamya sudah terbagi secara relatif seimbang antara masyarakat dengan pemegangkekuasaan dan sudah terjadi kemitman diantara kedua belah pihak untuk membicarakan perencanacm dan pengembangan keputusan bersama misalnya melalui komite perencanaan, dewan kebijakan bersama dan lainnya. Sayangnya dalam tahap inisiatif dan komitmen baru timbul setelah adanya desakan publik yang kuat untuk menialankan proses yang partisipatif. 1-:-:-:---:::-------:--=--:-:---:-----=B. Semu (Tokenisme) .· · ··.· IV. Peredam (Piaction) Dalam tahap ini masyarakat sudah mulai memilih pengaruh terhadap keb1jakan. Namun sayang sifatnya masih belum genuine. Keberhasilan partisipasi pada tahap ini masih ditentukan oleh besar dan solidnya kekuatan masyarakat untuk menyampaikan kepentingannya. Dalam tahap ini bentuk seperti !<eanggotaan masyarakat dalam dewan kota misalnya sudah dikenal. Namun sayangnya kac1ang-kadang jumlahnya tidak signifikan sehingga bila terjadi voting dalam pengambilan keputusan mereka dapat dikalahkan dengan mudah atau hanya sebagai penasehat, sedangkan pengambilan kebijakan tetap berada di pihak pemegang keku3saan. V. Kon~ultasi Dalam tahap ini sudah dilakukan konsultasi dan dengar pendapat mas~terakat terhadap kebijakan yang diambil, sayangnya belum diikuti dengan jaminan pendapat masyarakat akan dipertimbangkan didalam kebijal
46
. V!ll. Manipulaai Dalam bentuk ini biasanya partisipasi dimaksudkan untuk mendidik atau membon~un dukungan publik dengan memberikan kesan bahwa pengambil keputusan sudah partisipatif. Padahal keputusan tidak diambil berdasarkan masukan dari proses partlslpatlf. Dalam bentuk lnl blasanya yang digunakan adalah pola pembinaan, humas dan lainn a. Definisi perencanaan yang dipergunakan dolam studi ini mengacu pada konsep partisipasi yang pertama dari tangga partisipasi diatas, yakni kontrol warga negara (Citizen Control). Artinya
~etika
perencanaan dimaknai sebagai
proses menentukan kebijakan terbaik yang akan dilakukan di masa datang dengan berbasiskan pada
i~formasi,
maka keteriibatan publik dalam proses
dialog dan pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Perencanaan tidak lagi dipahami sebagai sebagai output berupa dokumen rencana, tetapi dalam perencanaan ada upaya pembcrdayaan rakyat dan proses komunikasi antara negara dengan rakyat. Didalam perencanaon tidak ada lagi dominasi negara atas rakyat, yang ada adalah ksseimbangan hak dan kewajiban antara negara dan rakyat. Dalam setiap kebijakan pembangunan khususnya yong menyangkut dan berkena&n dengan kepentingan masyarakat, maka terdapat satu hal yang ha:-us diperhatikan dan sama sekali tidak boleh dilewatkan yaitu peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat, memegang peranan penting dalam perencanaan pembangunan !<arena masyarakat saat ini tidak boleh lagi dianggap sebagai ob~tek pembangu~1an tetapi harus ditempatkan sebagai subyek pembangunan bersama-sama dengan pemerintah. Artinya, masyarakat harus didorong untuk aktif terlibat dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi serta pemeliharaan dan pengembangan hasil pembangunan.
47
Oetomo {1997) mengungkapkan masyarakat diharapkan mampu m&njalankan perannya dalam perancanaan, untuk hal : a.
Pemberian masukan dolam penentuan arah pembangunan;
b.
Mengidentifikasikan berbagai potensi ctan masalah pembangunan;
c.
Pemberian masukan dalam perumusan rencana tata ruang;
d.
Pemberian inforrr.asi. saran dan pertimbangan atau pendapat dalam penyusunan strategi dan arah kebijakan pembangunan;
e.
Pengajuan keberatan terhadap rancangan pembangunan;
f.
Ke~a
g.
Bantuan tanaga ahii.
Conyers
sama dalam penelitian dan pengembangan;
{1994)
momperkuat kesimpulan
mengungkapkan te~tang
beberapa
pandangan
untuk
pentingnya partisipasi masyarakat dalam
perencanaan perr.bangunan, yaitu terdapat tiga alasan pokok mengapa pa~isipasi
masya,·akat sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan:
Perlama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat paling efektif
guna memperoleh informasi mengenai l
pembangunan
jika
merasa
dilibatkan
dalam
proses
persiapan
dan
perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek yang bersangkutan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa bantuan dan dukungan dari rnasyarakat setempat sangat sulit didapatkan jika mereka tidak diikutsertakan sejak awal. Kotiga, tumbuh rJan berkembangnya anggapan bahwa keterlibatan
masyarakat
d~lam
proses l)erencanaan pembangunan adalah merupakan suatu
48
hak demokrasi bagi masyarakat. Masyarakat merasa mempunyai untuk ikut urun rerr.bug dalam mt:1entukan ;enis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah merP.ka se1diri. Lebih lanjut Abe (2002) mengemukakan bahwa melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa tiga dampak penting, yaitu : a. Terhindar dari peluang mempe~elas
te~adinya
manipulasi. Keterlibatan rakyat akan
apa yang se:betulnya dikehendaki masyarakat;
b. Memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah mereka
~~~ng
terlibat akan semakin baik;
c. Meningkatkan kesadaran dan ketrampilan politik masyarakat. Di sisi lain peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan memerlukan beberApa prasyarat antara lain dalam bentuk kesiapan dEJri masyarakat. Keterlibatan masyarakat akan menjadi penjamin bagi suatu pmses yang lebih baik. Narnun jika tidak dilakukan serangkaian upaya untuk mengembangkan pendidilt'.an politik, maka keterlibatan masyarakat secara langsung tidak akan memberikan banyak arti, bahkan bisa jadi malah menjadi sumber masalah. Jadi, perencanaan pembangunan partisipatif adalah suatu pendekatan perencanaan yang tujuannya berorientasi kepada kepentingan masyarakat, sadangkan prosesnya meiibatkan peran serta secara langsung atau tidak langsung segenap elemen
~asyarakat.
Tujuan dan cara hams dipandang
sebagai satu kesatuan. Suatu tujuan untuk kepentingan masyarakat, yang bila dirumuskan cJengan tanpa melibatkan masyar akat, ma!
49