TESIS ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PERKEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT NASIONAL (Studi Kasus di PTPN IV Medan Sumatera Utara)
Oleh: DINI BAYU ARTI F351050021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT DINI BAYU ARTI. Analysis of Government Strategies and Policies in The Palm Oil Industrial Development In Indonesia (Case Study in PT Perkebunan Nusantara IV, Medan, North Sumatera). Under direction of Tajuddin Bantacut and Jono M. Munandar. This study was aimed to analyse the government policies and strategies related to development of palm oil industry in Indonesia using system approach. The policies and strategies was designed to meet the optimal solutions based on various stakeholders needs. Confict of interest was solved using Analytical Hierarchy Process (AHP) model through application of Fibonacci optimization technique and heuristic simultaneous equation. Strategic planning process was conducted using Exponential Comparative Methods (ECM) and AHP. The data was gained from experts survey and simulation. This study was performed to investigate the government strategies to establish industrial palm oil. Major factors related to palm oil agroindustrial development were TBS (fresh bunch fruits) pricing, technology selection, labours wages, tax policy and industrial waste utilization. Analysis using AHP technique concluded that critical factors were local community welfare and increasing of farmers income. Major policies to achieve these factors were business financing and provision of market infrastructures. This study recommended the policies to optimize TBS price, improve regional labour wages (UMR) and equal tax distribution for local government and institutional restructuring.
Key words: palm oil, strategy, development, analysis
RINGKASAN
DINI BAYU ARTI. Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Perkembangan Industri Kelapa Sawit Nasional (Studi Kasus di PTPN IV, Medan Sumutera Utara) Dibimbing oleh Tajuddin Bantacut dan Jono M. Munandar.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi. Peranan sektor ini masih dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik. Sektor ini akan terus menjadi sektor penting dalam upaya pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional dan penerimaan ekspor serta berperan sebagai produsen bahan baku untuk penciptaan nilai tambah di sektor industri dan jasa. Subsektor perkebunan diharapkan tetap memainkan peran penting dalam penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan wilayah terutama di luar Jawa Produk pertanian dan agroindustri meningkat perannya dalam pembangunan nasional, terutama sejak krisis ekonomi tahun 1997. Kondisi tersebut mendorong pengambangan ekonomi berbasis bahan baku dalam negeri sebagai komoditi andalan ekspor penghasil devisa. Selain itu pertanian dan agroindustri juga berperan dalam menyerap tenaga kerja, mendorong pemerataan pembangunan, memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, dan mendorong pembangunan wilayah. Globalisasi pembangunan perdagangan dan tingkat persaingan yang ketat menuntut pengembangan keunggulan komparatif agroindustri kelapa sawit kearah keunggulan komperatif. Untuk itu diperlukan perbaikan kebijakan dan pengelolaan yang profesional pada seluruh mata rantai sistem dari pembibitan, budidaya, pascapanen, pengolahan, transportasi, distribusi dan pemasaran. Proses desentralisasi kewenangan melalui UU nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan pertanian. Dengan demikian, kebijakan pengembangan agoindustri kelapa sawit perlu semakin memperhatikan kondisi dan keinginan daerah setempat termasuk faktor sosial dan budaya untuk mewujudkan pemberdayaan ekonomi daerah yang berkelanjutan. Kebijakan hendaknya bersifat “local specific”, partisipatif, transparan, dan mengutamakan akumulasi kemampuan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem penunjang keputusan pengembangan agroindustri kelapa sawit untuk perekonomian daerah. Tujuan
spesifik penelitian ini ; (1) Melakukan identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan industri kelapa sawit nasional (studi kasus di PTPN IV Sumatera Utara). (2) Mengidentifikasi strategi kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam pengembangan industri kelapa sawit (studi kasus di PTPN IV Sumatera Utara). (3) Melakukan analisis kebijakan untuk meyusun perioritas penyelesaian konflik kepentingan aktor dan pihak yang terkait. (4) Merekomendasi strategi kebijakan pengembangan agroindustri kelapa sawit yang menyerasikan kepentingan daerah, pelaku usaha, dan pemerintah pusat untuk mengantisipasi persaingan global. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data tentang kebutuhan pelaku dan pihak berkepentingan diperoleh melalui observasi lapang dan wawancara. Data primer tentang perioritas instrumen kebijakan, kriteria keputusan, dan penataan kelembagaan diperoleh melalui wawancara pakar yang dilakukan dengan teknik purposive sampling. Hasil analisis fakor yang mempengaruhi pengembangan industri kelapa sawit yakni : Keamanan Berusaha, tekhnologi produktivitas, investasi (pendanaan), pemberdayaan masyarakat kebun, daya saing, sarana prasarana ,situasi politik ekonomi (meliputi Harga TBS dan CPO). Berdasarkan hasil analisis AHP diperoleh hasil bahwa dalam Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit, faktor yang paling berperan adalah Tekhnologi dan Produktivitas (0,480), Sarana Prasarana (0,242), Sumber Daya Alam (0,117), Sumber Daya Manusia (0,083) dan Investasi (0,077). Hasil analisis kebutuhan dari pihak berkepentingan terhadap agroindustri kelapa sawit, aktor yang paling berperan adalah Direktur PTPN IV (0,240), Departemen Perindustrian dan Perdagangan (0,202), Dirjen Perkebunan (0,160), Kelembagaan (0,071), Pengusaha (0,066), dan Petani (0,059). Pada perumusan Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit, tujuan yang paling penting adalah meningkatkan pendapatan pengusaha perkebunan dan usaha perkebunan (0,449), meningkatkan pendapatan tenaga kerja yang bekerja pada pabrik CPO/PKO (0,226), meningkatkan kualitas lingkungan (0,120), Meningkatkan kinerja pabrik pengolahan kelapa sawit (0,105) dan Meningkatkan pendapatan Pemerintah daerah dibidang pertanian (0,087). Alternatif kebijakan dalam perumusan Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit, alternatif yang paling dipentingkan adalah Penetapan kebijakan harga TBS (0,445), Pemerintah menetapkan kebijakan tentang pajak ekspor secara berkala agar pelaku usaha dan pemerintah
sama-sama mendapat keuntungan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat (0,193), menetapkan kebijakan tentang pemupukan cadangan penyangga minyak kelapa sawit (0,137), Menetapkan pola usaha dan tata cara pemasaran produk berbasis kelapa sawit agar merata (0,127), dan Kebijakan distribusi lahan (0,082). Dari hasil analisis kebutuhan masing-masing factor, aktor dan tujuan diperoleh bahwa strategi kebijakan yang paling dominan dan sangat menentukan adalah penentuan harga TBS . Selain itu harga pupuk, besaran pajak, pendapatan tenaga kerja, dampak lingkungan juga menjadi sumber konflik. Untuk itu maka diperlukan kebijakan yang saling menguntungkan terhadap harga TBS, teknologi, pajak dan diversivikasi produk, pemasaran produk yang merata sehingga dapat terwujud keadilan dalam pengambangan agroindustri kelapa sawit. Untuk mengantisipasi pengembangan sistem agroindustri yang semakin menghendaki tranparansi dalam pengambilan kebijakan, desentralisasi kewenangan pemerintah, dan mengantisipasi persaingan global, strategi yang dapat di tempuh adalah: (1) menerapkan kebijakan yang dapat memberikan solusi optimum bagi semua pihak, (2) melakukan penataan kewenangan kelembagaan pemerintah (pusat dan daerah) dan fungsi kelembagaan rakyat pekebun, (3) melakukan debirokratisasi dan desentralisasi kewenangan penetapan kebijakan dan (4) meningkatkan posisi tawar rakyat pekebun melalui pembentukan kelompok usaha bersama dalam bentuk koperasi.
ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PERKEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT NASIONAL (Studi Kasus di PTPN IV Medan Sumatera Utara)
Oleh : DINI BAYU ARTI F351050021
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul TESIS
: Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Pengembangan Industri Kelapa Sawit Nasional (Studi Kasus di PTPN IV Medan Sumatera Utara)
Nama
: DINI BAYU ARTI
NRP
: F351050021
Program Studi
: Teknologi Industri Pertanian
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, Msc Ketua
Dr. Ir. Jono M. Munandar, Msc Anggota
Mengetahui :
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Machfud, Msc
Tanggal ujian: 28 Desember 2010
A.n. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sekretaris Program Magister
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, Msi
Tanggal disetujui: 02 Februari 2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT yang telah memberikan kekuatan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul Analisis Strategi Dan Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Pengembangan Industri Kelapa Sawit Nasional (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara IV Medan Sumatera Utara). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan tesis pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Akhir kata, Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penulisan selanjutnya. Penulis mengucapkan segenap rasa terima kasih, secara khusus kepada Bapak Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.sc yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan baik.
Bogor, 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan (Sumatera Utara) tanggal 23 Mei 1981, putrid dari Bapak Haji Samadi dan Ibu Hajjah Hardiany (alm). Lulus Sekolah Dasar pada tahun 1993. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 6 Medan dan lulus pada tahun 1996. Tahun 1999 lulus dari Sekolah Menengah Atas di Binjai dan melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Sumatera Utara Medan pada tahun yang sama jurusan Tekhnologi Hasil Pertanian. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Sumatera Utara pada tahun 2003 dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005.
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK................................................................................................... i RINGKASAN.............................................................................................. ii KATA PENGANTAR ................................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiv I.
II.
PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang ......................................................................... 1
2.
Perumusan Masalah Penelitian.................................................. 4
3.
Tujuan Penelitian...................................................................... 5
4.
Manfaat Penelitian.................................................................... 5
5.
Ruang Lingkup Penelitian......................................................... 6
NILAI STRATEGIS INDUSTRI SAWIT 1.
Pendahuluan ............................................................................. 8
2.
Perkembangan Industri Sawit Nasional..................................... 11
3.
Revitalisasi Perkebunan............................................................ 13
4.
Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia.......................... 15
5.
Posisi Sumatera Utara Dalam Persawitan Nasional ................... 17
6.
Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan..................................................... 19
III.
ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT 1.
Pendahuluan ............................................................................. 26
2.
Pola Pengembangan Perkebunan............................................... 26
3.
Kebijakan dan Strategi Pemerintah di Bidang Persawitan Nasional ................................................................. 30
4.
Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS)............................. 34
5.
Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Dayasaing Ekspor CPO ............................................................ 37
IV.
METODOLOGI PENELITIAN 1.
Kerangka Pemikiran Konseptual............................................... 38
2.
Tata Laksana ............................................................................ 39 2.1
3. V.
VI.
Tahapan Penelitian........................................................ 39
Pendekatan Sistem.................................................................... 41
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV (PTPN IV) 1.
Kondisi Umum PTPN IV Medan Sumatera Utara ..................... 51
2.
Kebijakan Berbasis Industri ...................................................... 54
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1.
VII.
Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Industri Sawit...... 60
ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN BERBASIS INDUSTRI 1.
Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Pengembangan Industri Kelapa Sawit dengan AHP .................. 66 1.
Hasil Pengolahan Data Secara Horizontal dalam AHP... 68
2.
Hasil Pengolahan Data Secara Vertikal dalam AHP....... 74
2.
Analisis Sensitivitas AHP Strategi Kebijakan Pemerintah......... 80
3.
Implikasi Manajerial Analisis dan Strategi Kebijakan Pemerintah ............................................................................... 91
VIII. ANALISIS PENETAPAN TBS 1.
Pendahuluan ............................................................................. 93
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Kesimpulan .............................................................................. 97
2.
Saran ........................................................................................ 99
3.
Rekomendasi ............................................................................100
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................101 LAMPIRAN ................................................................................................107
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Sebaran Area Perkebunan Kelapa Sawit di Sumut..........................
11
2.
Grafik Pola Konsumsi CPO ...........................................................
17
3.
Diagram Pohon Industri Kelapa Sawit ...........................................
18
4.
Proses Kebijakan Publik dan Proses Analisa Kebijakan Publik .....
24
5.
Lingkungan Eksternal yang Mempengaruhi Industri Kelapa Sawit.
41
6.
Kerangka Kerja Analisis Kebijakan ...............................................
51
7.
Kerangka Pemikiran Konseptual....................................................
52
8.
Struktur Hirarki Lengkap...............................................................
81
9.
Struktur Hirarki Pemilihan Strategi Kebijakan Pemerintah.............
89
10.
Diagram Batang Analisis Sensitivitas level Faktor .........................
95
11.
Preferensi terhadap Aspek Daya Saing (72%) ................................
96
12.
Preferensi terhadap Daya saing (100%)..........................................
96
13.
Diagram Batang Analisis Sensitivitas pada level Aktor..................
97
14.
Prefensi terhadap aktor Direktur PTPN ditingkatkan 70,2%..........
97
15.
Preferensi terhadap aktor Petani ditingkatkan 70,2%......................
98
16.
Preferensi terhadap aktor Pengusaha ditingkatkan 70,2%...............
98
17.
Preferensi terhadap aktor Dirut PTPN ditingkatkan 100%
99
18.
Preferensi terhadap aktor Petani ditingkatkan 100%......................
99
19.
Preferensi terhadap aktor Pengusaha ditingkatkan 100%................
99
20.
Diagram Batang Analisis Sensiitivitas pada level tujuan ................
100
21.
Preferensi terhadap tujuan ditingkatkan 70,2%..............................
101
22.
Preferensi terhadap tujuan ditingkatkan 100%...............................
101
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Ketersediaan Lahan Komoditi Kelapa Sawit di Indonesia......................... 9
2. Ketersediaan Lahan Komoditi Kelapa Sawit di Sumut .............................. 11 3. Jumlah Pabrik Kelapa Sawit dan kapasitas terpasang di Indonesia ........... 13 4. Matriks Kebijakan Pemerintah untuk Produk Kelapa Sawit ...................... 46 5. Nilai Skala Banding Berpasangan ............................................................. 61 6. Matriks Pendapat Individu........................................................................ 62 7. Matriks Pendapat Gabungan ..................................................................... 62 8. Indeks Acak.............................................................................................. 64 9. Alat Produksi, Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Terpakai PTPN IV ..... 68 10. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal Antar Elemen pada Tingkat 3 ...................................................................77 11. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal Antar Elemen pada tingkat 4..................................................................... 85 12. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal pada Elemen Alternatif ..................................................................................... 87 13. Bobot dan Prioritas faktor-faktor Penyusun Strategi Pengembangan Industri Kelapa Sawit ...............................................................................90 14. Bobot dan prioritas aktor yang berperan dalam pengambilan keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit .................................................................................92 15. Bobot dan Prioritas tujuan yang berperan dalam pengambilan keputusan strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan industri kelapa sawit .................................................................................92
16. Bobot dan prioritas alternatif kebijakan yang berperan dalam pengambilan keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit ........................................................93 17. Bobot Peringkat Dampak dalam Pengembangan Industri Kelapa Sawit....93 18. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga Kerja menjadi skala prioritas utama (70,2%)...................................................... 102 19. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga Kerja menjadi skala prioritas utama (100%)....................................................... 102 20. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Pemerintah menjadi skala prioritas utama (70,2%)...................................................... 103 21. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Pemerintah menjadi skala prioritas utama (100%)....................................................... 104 22. Uji Sensitivitas pada level tujuan kualitas Lingkungan menjadi skala prioritas utama (70,2%)............................................................................ 104 23. Uji Sensitivitas pada level tujuan kualitas Lingkungan menjadi skala prioritas utama (100 %)............................................................................ 105 24. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pabrik Kelapa Sawit menjadi skala prioritas utama (70,2%)...................................................... 105 25. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pabrik Kelapa Sawit menjadi skala prioritas utama (100%)....................................................... 106
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Hasil Pembobotan Faktor dengan Metode MPE .......................................120 2. Hasil Pembobotan Aktor dengan Metode MPE ........................................121 3. Hasil Pembobotan Faktor dengan Teknik MPE ........................................122 4. Hasil Pembobotan Tujuan dengan Teknik MPE........................................123 5. Hirarki Analisis Kebijakan Pemerintah Terkait Perkembangan Industri Kelapa Sawit .......................................................124 6. Hasil Pengolahan Horizontal dalam Analisis Kebijakan Pemerintah Terkait Perkembangan Industri Kelapa Sawit ...........................................125 7. Hasil Pengolahan Vertikal dalam Analisis Kebijakan Pemerintah Terkait Perkembangan Industri Kelapa Sawit ...........................................127
I. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan,
kelapa sawit
(Elaeis guineensis J.) merupakan salah satu komoditas yang
pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Barlow et al., 2003; Ditjenbun, 2004; Depperin, 2007). Indonesia bahkan secara mengejutkan berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai pemasok CPO terbesar dunia sejak 2006, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai produsen CPO dunia meningkat tajam dari 40,5 persen pada 2004 menjadi 44,3 persen pada 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 45,3 persen menjadi 40,9 persen pada periode yang sama
(Nuryanti, 2008;
Miranti, 2010). Pengembangan kelapa sawit berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh perkembangan investasi, output dan devisa. Industri berbasis kelapa sawit berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan dalam hal pendapatan dan aset. Sekitar Rp. 5 juta – 11 juta atau lebih dari 63% pendapatan rumah tangga berasal dari usaha kelapa sawit.
Peran dalam
pengentasan kemiskinan tercermin dari jumlah penduduk miskin yang kurang dari 10% dari masyarakat yang mengusahakan kepala sawit. (Susila, 2004a; Oladipo, 2008; World Growth, 2009).
Sektor ini juga berperan dalam menyediakan
kesempatan kerja lebih dari 3.5 juta orang, menghasilkan devisa, menyediakan bahan baku kebutuhan industri minyak goreng nasional (sekitar 5 juta ton) (GAPKI, 2010).
107
Indonesia merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan produksi mencapai 19,8 ton pada tahun 2010. Luas lahan kelapa sawit pada tahun 2010 diperkirakan 7,85 hektar dengan rincian 42,4% perkebunan rakyat, 7,9% Perkebunan Besar Nasional dan 49.8% Perkebunan Besar Swasta (Ditjenbun, 2010). Pada tahun 2009, kontribusi devisa dari CPO dan produk kelapa sawit lainnya adalah USD 12.3 milyar (GAPKI, 2010).
Kontribusi
produksi CPO Indonesia adalah 44.5% dari produksi CPO dunia, disusul Malaysia (41.3%), Nigeria 3.0%, Thailand, 2.7%, Kolumbia 1.9% dan selebihnya (7.4%) diproduksi Pantai Gading Ekuador dan Papua Nugini (USDA, 2009). Indonesia dan Malaysia menguasai lebih dari 85% pangsa pasar CPO dunia. Indonesia mampu mengekspor 40,34 %dalam bentuk CPO dan 59,66 % dalam bentuk produk olahan CPO, sedangkan Malaysia mengekspor 16,38 % dalam bentuk CPO dan 83,62 % dalam bentuk produk olahan CPO. Indonesia lebih
unggul dari Malaysia dalam hal ekspor bahan bakunya (CPO) tetapi
Malaysia unggul dalam hal produk turunannya yang mempunyai nilai tambah jauh lebih tinggi daripada CPO nya (Depperin, 2009).
Kedepan diperkirakan peran
Malaysia baik sebagai eksportir maupun produsen CPO dunia akan terus menurun mengingat sudah semakin terbatasnya lahan untuk pengembangan kebun kelapa sawit di negara tersebut (Miranti, 2010). Pada tahun 2010/2011 diperkirakan bahwa bahwa minyak sawit (termasuk PKO) akan memasok 36% total edible oil dengan penggunaan 74% untuk konsumsi dan 26% untuk industri. Adapun total permintaan minyak makan dunia pada tahun 2010/2011 diperkirakan sebagai berikut: minyak sawit (52,3 juta ton), minyak kedelai (41,3 juta ton), rapeseed oil (22,3 juta ton), sunflower oil (11,3 juta ton), dan minyak lainnya (16,6 juta ton) (USDA, 2010).
Konsumsi CPO
dunia meningkat pesat dari 29,2 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya 6,6 persen per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton pada 2009 dan 47,5 juta ton pada 2010, sejalan dengan meningkat pesatnya permintaan CPO di negaranegara konsumen khususnya China, India, dan Uni Eropa (Miranti, 2010). 108
Sejumlah kajian (Arisman, 2002; Basiron, 2002; Barlow et al., 2003; Susila, 2004b; Tryfino, 2006; Abidin, 2008; Nuryanti, 2008; Dou, 2009; Gumbira-Sa’id, 2010; Teoh, 2010) menyimpulkan bahwa peluang pengembangan industri minyak sawit Indonesia masih sangat terbuka terutama karena ketersediaan dan kesesuaian lahan serta didukung oleh kebijakan dan strategi yang tepat. Walaupun industri CPO Indonesia memiliki prospek yang sangat baik di tahun-tahun mendatang, industri ini juga menghadapi tantangan yang tidak mudah dilalui. Tantangan tersebut antara lain (Didu, 2001; Arisman, 2002; Susila, 2004a; Miranti, 2004; Tambunan, 2006; Tadjoeddin, 2007; Gumbira-Sa’id, 2010; Miranti, 2010; Syaukat, 2010): 1. Adanya tuntutan yang semakin tinggi terhadap produk olahan CPO yang memenuhi standar mutu terkait dengan isu lingkungan dan kesehatan produk. 2. Peningkatan produktivitas, efisiensi usaha serta dukungan kebijakan pemerintah terhadap industri ini, terutama jika dibandingkan dengan negara pengekspor CPO lainnya. 3. Masih kurangnya inovasi produk untuk meningkatkan nilai tambah oleh pelaku bisnis karena tidak ada koordinasi aktivitas produksi dan pemasaran dari lembaga riset serta lemahnya dukungan lembaga penelitian. 4. Kebijakan pemerintah yang tidak mendorong pengembangan sawit seperti penerapan pajak ekspor sebesar 5,5 USD/ton CPO sejak Desember 2005, ditambah dengan pajak progresif, sementara Malaysia malah membebaskan pajak ekspor CPO. Sejumlah peraturan yang ada banyak yang membebani industri minyak sawit maupun menghambat investasi di industri minyak sawit. 5. Struktur pasar dalam negeri yang belum efisien mulai dari penyediaan bahan baku TBS (Tandan Buah Segar), pergudangan, transportasi dan pasar produk akhir dari industri ini dan harga CPO dan produk olahannya yang cenderung fluktuatif. 6. Belum adanya kebijakan yang jelas mengenai pengembangan industri hilir serta keterkaitan industri hulu-hilir kelapa sawit serta arah pengembangan yang belum sepenuhnya difahami oleh para pemangku kepentingan di
109
samping
sejumlah
kebijakan
yang
dianggap
belum
mengakomodir
kepentingan semua pihak terkait. 7. Belum sepenuhnya terjalin kemitraan antara perusahaan inti dengan plasma sehingga sering menimbulkan konflik terutama pada pemilikan lahan. 8. Dukungan infrastruktur berupa jalan
serta pelabuhan laut yang belum
memadai untuk perdagangan antar pulau. 9. Isu kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pembebasan lahan kelapa sawit. Di bidang lingkungan, CPO Indonesia menghadapi tantangan berat di pasar ekspor terutama di pasar Uni Eropa (UE) yang sangat ketat. Saat ini di UE terdapat aturan EU Directive mengenai ketentuan emisi rumah kaca yang akan diberlakukan pada 2011. Dalam aturan tersebut negara UE tidak bisa mengimpor CPO karena dianggap komoditas tersebut tidak memenuhi ketentuan mengenai pembatasan emisi mereka. Akibatnya, CPO tidak bisa masuk ke pasar UE. UE menerapkan aturan tersebut karena penguasaan pasar CPO lebih besar daripada minyak nabati lainnya seperti seperti rapeseed, minyak kedelai, maupun minyak bunga matahari (Susila, 2004a; ICN, 2009a; Syaukat, 2010). Areal perkebunan sawit di Sumatera pada tahun 2005 mencapai 4.280.094 ha atau 76,46% dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional. Provinsi Riau tercatat memiliki areal terbesar yaitu 1.383.477 ha diikuti provinsi Sumatera Utara seluas 964.257 ha (ICN, 2009a). Data dari PTPN IV (2009) menyebutkan bahwa luas lahan sawit di Sumaatera Utara adalah 1,9 juta ha dengan rincian satu juta ha perkebunan rakyat, 500 ribu ha PBN dan 400 ribu ha dikelola oleh PTPN, sementara luas areal di propinsi Riau adalah 1.611.361 ha (BPS Provinsi Riau, 2008).
Sumatera Utara sendiri meski memiliki perkebunan sawit cukup luas,
namun hanya bisa menghasilkan CPO, sehingga yang mendapatkan nilai tambah justru daerah lain, sementara propinsi ini sendiri sering kekurangan minyak sayur yang menjadi kebutuhan masyarakat setiap hari (ICN, 2009b). Kajian terhadap sejumlah kebijakan dan strategi pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit dengan melibatkan berbagai pihak
110
diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap kebijakan pemerintah di masamasa mendatang.
2.
Perumusan Masalah
Dengan ketersediaan dan kesesuaian lahan, Indonesia masih memiliki peluang untuk mengembangkan industri kelapa sawit jika didukung oleh kebijakan dan strategi yang tepat, jaminan keamanan berusaha, penyediaan sumber dana yang memamdai serta kejelasan tataniaga TBS dan CPO. Sejauh ini, kebijakan yang ada dirasa belum sepenuhnya mampu mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua pemangku kepentingan yang ditandai oleh adanya sejumlah masalah bahkan konflik antar pelaku. Untuk itu diperlukan perbaikan sejumlah kebijakan dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dan terkena dampak langsung maupun tidak langsung kebijakan yang dibuat pemerintah melalui kajian yang komprehensif.
3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan industri kelapa sawit nasional khususnya di PTPN IV Sumatera Utara. 2) Mengetahui strategi kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Sumatera Utara. 3) Menganalisis pengaruh strategi kebijakan pemerintah serta menentukan pengaruh masing-masing strategi terhadap pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Sumatera Utara. 4) Merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis kinerja perusahaan dan wilayah.
111
4.
Manfaat Penelitian 1) Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan pertimbangan dalam menentukan strategi kebijakan perusahaan dalam pengembangan industri kelapa sawit 2) Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan dalam pembuatan strategi kebijakan pemerintah untuk pengembangan industri kelapa sawit nasional. 3) Penelitian ini juga diharapkan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.
5.
Ruang Lingkup Penelitian 1) Kajian yang dilakukan adalah menganalisis strategi kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit nasional dengan studi kasus di PTPN IV Medan Sumatera Utara 2) Analisis difokuskan pada perkebunan dan industri pengolahan TBS dengan menganalisis seluruh faktor yang mempengaruhi pengembangan industri kelapa sawit, namun yang dijadikan peubah dalam rancangan kebijakan dibatasi pada faktor yang berpengaruh langsung. 3) Pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian adalah pihak direksi PTPN IV, para petani plasma, koperasi/kelompok tani, serta dinas/instansi terkait.
112
II. NILAI STRATEGIS INDUSTRI SAWIT
1.
Pendahuluan Komoditas kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor
Indonesia pada sub-sektor perkebunan
dan merupakan salah satu industri
pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang sejalan dengan tingkat permintaannya. Kelapa sawit juga merupakan salah satu dari sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang memiliki daya saing di pasar internasional (Manurung, 2001; Susila, 2004b; Dradjat, 2007; Nuryanti, 2008; Gumbira-Sa’id, 2010; Syaukat, 2010; Widodo et al., 2010). Daya saing di pasar
internasional
ditunjukkan dengan
advantage) sebesar 14,8 (INDEF, 2007).
RCA
(revealed
comparative
Nilai RCA merupakan gambaran
dari kinerja ekspor suatu komoditi. Nilai RCA yang lebih besar dari 1 (satu) dianggap memiliki kinerja ekspor yang cukup baik (Arisman, 2002). Sejak tahun 2006, Indonesia juga telah menggeser Malaysia sebagai produsen CPO terbesar di dunia (ICN, 2009a; Miranti, 2010). Bahkan tahun 2007 saja, produksi Indonesia telah lebih unggul sekitar satu juta ton dibandingkan Malaysia dan menyumbang devisa sebesar 7,9 milyar USD. (Purwantoro, 2008; Teoh, 2008). Namun secara fundamental agroindustri sawit Indonesia tertinggal sangat jauh dari Malaysia akibat produktivitas yang relatif lebih rendah. Minat untuk terus membuka kebun sawit baru, pada tahun-tahun mendatang ini masih akan sangat besar. Ini disebabkan oleh harga CPO di pasar dunia yang masih akan terus naik,
mengikuti kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional
(Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak nabati, terutama CPO akan terus dilirik sebagai bahan biodiesel karena harganya jauh lebih murah (Tan et al., 2009). Meskipun memiliki industri bahan baku yang melimpah, namun perkembangan industri ini masih kalah dibandingkan dengan Malaysia yang kapasitas produksinya mencapai dua kali lipat dari Indonesia. Sebagai gambaran, Indonesia menguasai sekitar 12 persen permintaan oleochemical dunia yang 113
mencapai enam juta metrik ton per tahun, sementara Malaysia mencapai 18,6 persen. Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO menjadi lebih dari 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk. Industri oleokimia merupakan industri yang strategis karena selain keunggulan komparatif yakni ketersediaan bahan baku yang melimpah juga memberikan nilai tambah produksi yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010). Industri oleokimia adalah industri antara yang berbasis minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk ini dapat dihasilkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan ataupun non pangan. Diantara kelompok industri antara sawit tersebut salah satunya adalah oleokimia dasar (fatty acid, fatty alcohol, fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri seperti farmasi, toiletries, dan kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id, 2010 ). Menurut Didu (2003), dari segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk level pertama kelapa sawit berupa CPO akan memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai TBS. Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-masing nilai tambah berbasis TBS sebagai berikut: minyak goreng (50%), asam lemak/fatty acid (100%), ester (150 – 200%), surfaktan atau emulsifier (300 – 400%), dan kosmetik (600 – 1000%).
114
2. Perkembangan Industri Sawit Nasional Bisnis CPO Indonesia berkembang pesat pada dekade 1990 – 2000an dengan daya saing yang relatif bagus. Areal kelapa sawit tumbuh dengan laju sekitar 11% dari 1.126 juta ha pada tahun 1991 menjadi 3.584 pada tahun 2001 (Susila, 2004b), meski nilai RCA-nya jauh di bawah Malaysia yang menunjukkan dayasaing CPO Malaysia jauh di atas Indonesia (Arisman, 2002) seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai RCA CPO Indonesia dan Malaysia 1990 – 1998 Tahun
Indonesia
Malaysia
1990
13.85
65.72
1991
17.11
66.08
1992
17.03
77.86
1993
12.41
33.31
1994
11.95
30.78
1995
10.72
30.08
1996
10.87
27.65
1997
16.29
27.26
1998
9.53
48.29
Sumber: Arisman (2002) Perkembangan berikutnya (2000 – 2005) pertumbuhan ekspor CPO Indonesia dan dunia selalu positif.
Pada periode ini, Malaysia masih lebih
dominan daripada Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi.
Pangsa
ekspor CPO Malaysia rata-rata mencapai lebih dari 50% ekspor CPO dunia, sementara pangsa ekspor Indonesia belum mencapai 40%
(Nuryanti, 2008) 115
seperti disajikan pada Tabel 2. Konsistensi peningkatan ekspor ini menurut kajian INDEF (2007) menunjukkan bahwa: 1)
Serapan CPO oleh industri domestik masih rendah karena industri hilir kelapa sawit yang tidak berkembang.
2)
Nilai tambah tertinggi diperoleh dari produksi CPO, bukan dari produk turunannya. Pengusaha masih lebih tertarik pada industri primer (CPO) yang cenderung padat tenaga kerja, bukan padat modal karena untuk memproduksi produk turunan diperlukan dana investasi yang tinggi.
3)
Tersedianya pangsa pasar dunia atas minyak sawit dengan pengembangan industri hilir dan sumber energi alternalif (biodiesel).
Tabel 2. Volume, Persentase dan Pertumbuhan Ekspor Minyak Sawit 2000 – 2005 Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Ekspor (000 ton)
13.977,01
16.921,40
18.658,11
21.011,33
23,337,73
26.494,16
Persentase (%)
100
100
100
100
100
100
Pertumbuhan (%)
2,88
21,07
10,26
12,61
11,07
13,53
Ekspor (000 ton)
4.110,03
4.903,22
6.333.71
6.386,41
8.661,65
10.376,19
Persentase (%)
29,41
28,98
33,95
30,40
37,11
39,16
Pertumbuhan (%)
24,58
19,30
29,17
0,83
35,63
19,79
Dunia
Indonesia
116
Malaysia Ekspor (000 ton)
8.140,72
10.002,49
1.448,74
12.079,13
11.793,59
13.197,21
Persentase (%)
58,24
59,1
56,00
57,49
50,53
49,81
Pertumbuhan (%)
-5,17
22,87
4,46
15,60
-2,36
11,90
Ekspor (000 ton)
1.726,26
2.01,69
1.875,66
2.545,79
2.882,49
2.920,76
Persentase (%)
12,35
11,91
10,05
12,12
12,35
11,02
Pertumbuhan (%)
1,44
16,77
-6,95
35,73
13,23
1,33
Lainnya
Sumber: Nuryanti (2008)
Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula yaitu tahun 2010. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai produsen CPO dunia meningkat tajam menjadi 44,3% pada 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 49,8 % pada tahun 2005 menjadi 40,9 % pada tahun 2008 (Miranti, 2010). Menurut Widodo et al.(2010) hal ini juga bisa berdampak negatif yaitu kelangkaan minyak goreng dalam negeri akibat pertumbuhan ekspor serta kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan baru kelapa sawit. 3. Revitalisasi Perkebunan Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran 117
hasil. Komoditi yang dikembangkan adalah kelapa sawit, karet dan kakao dengan kegiatan mencakup perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman, seluas 2 juta ha. Untuk pelaksanaan Program Revitalisasi tersebut telah terbit Peraturan Menteri Pertanian No. 33/Permentan/05/06 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 117/PMK/12/06 serta penunjukan 5 bank pelaksana oleh Menteri Keuangan, yaitu Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Bank Sumut dan Bank Nagari. Untuk menjalankan program ini, pemerintah telah mensubsidi bunga kredit perbankan sehingga petani “hanya” dikenakan bunga maksimal 10% (Ditjenbun, 2007; Nuryanti, 2008). Dalam revitalisasi perkebunan, pemerintah menyediakan kemudahan pada hal-hal yang berkaitan dengan (Dradjat, 2007): (1)
Investasi dan pembiayaan, seperti penyediaan kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah untuk peremajaan, rehabilitasi dan perluasan kebun kelapa sawit, karet, dan kakao.
(2)
Manajemen pertanahan dan tata ruang, seperti penetapan dan pemanfaatan lahan produktif untuk pembangunan kebun kelapa sawit di kawasan perbatasan Kalimantan.
(3)
Pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, seperti pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam partisipatif.
(4)
Infrastruktur pertanian.
(5)
Pengembangan SDM dan pemberdayaan petani.
(6)
Insentif dan pendanaan riset dan pengembangan teknologi.
(7)
Penyusunan kebijakan perdagangan yang mengedepankan kepentingan bangsa
(8)
Promosi dan pemasaran hasil, dan
(9)
Insentif perpajakan dan retribusi berupa keringanan hingga penghapusan beban bagi komoditas pertanian. Revitalisasi
perkebunan
merupakan
program
pemerintah
yang
memanfaatkan dana perbankan untuk mendorong pemberdayaan para petani yang memiliki lahan namun pemanfaatannya belum maksimal. Target pengembangan secara nasional, seluas 2 juta hektar sampai tahun 2010 untuk program perluasan, 118
peremajaan dan rehabilitasi. Pembiayaan yang diberikan kepada petani adalah mulai dari pembelian bibit sampai dengan pasca panen, termasuk biaya pengurusan sertifikat lahan. Subsidi bunga dari pemerintah sebesar 3 s.d 4%, dimana petani hanya membayar bunga kredit 10% selama masa grace period. Besarnya bunga setelah masa tenggang adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank (BI, 2009). Sasaran dari setiap komoditi secara nasional disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas sasaran revitalisasi pertanian untuk kelapa sawit, karet dan kakao Perluasan
Peremajaan
Rehabilitasi
Jumlah
(ha)
(ha)
(ha)
(ha)
Kelapa sawit
1.375.000
125.000
-
1.500.000
Karet
50.000
250.000
-
300.000
Kakao
110.000
54.000
36.000
200.000
Jumlah
1.535.000
42.000
36.000
2.000.000
Komoditas
Sumber: BI (2009)
Di Sumut, program revitalisasi perkebunan melibatkan 4 bank, yaitu Bank Sumut, BPD Aceh, BNI dan Bank Mandiri. Komoditi yang dikembangkan Kelapa Sawit dengan sistem kemitraan serta Karet dan Kakao dengan sistem non mitra. Realisasi program sampai dengan Mei 2009 disajikan pada Tabel 4.
119
Tabel 4. Realisasi kemitraan sawit di Sumatera Utara Luas Areal (Ha) Mitra Usaha
PTPN IV PT
Jumlah
KUD
4
Perkebunan 2
peserta Inti
Plasma
Total
(KK)
15.900
9.000
24.900
4.500
2.600
900
3.500
450
12.200
7.800
20.000
2.600
30.700
17.700
48.400
7.550
Sumut PT
Langkat 7
Anugerah Makmur Total
13
Sumber: BI (2009)
4. Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia Produksi CPO dunia mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari 33,5 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 6,63 persen per tahun. Lonjakan pertumbuhan ini terutama disebabkan produksi CPO Indonesia yang meningkat 5,9 juta ton pada periode yang sama yakni dari 13,6 juta ton menjadi 19,2 juta ton atau bertumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Produksi CPO dunia diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 45,1 juta ton pada 2009 dan 47,1 juta ton pada 2010 yang dipicu oleh semakin meningkatnya permintaan China dan India, konsumen CPO terbesar dunia (Miranti, 2010). Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak nabati dunia mencapai 160 juta ton, dimana 48 juta ton (30%) diantaranya berasal dari minyak kelapa sawit, disusul oleh minyak kedelai (23%). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit ini terjadi karena banyaknya produk yang dihasilkan dengan menggunakan bahan
120
baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) di samping harga CPO yang jauh lebih murah hingga mencapai 200 USD/ton ketimbang rapeseed oil (Tan et al., 2009). Konsumsi CPO dunia meningkat pesat dari
29,2 juta ton pada 2004
menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya 6,6 persen per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton pada 2009 dan 47,5 juta ton pada 2010, sejalan dengan meningkat pesatnya permintaan CPO di negara-negara konsumen khususnya China, India, dan Uni Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010).
Perkembangan produksi dan
konsumsi CPO dunia disajikan pada Tabel 5.
121
Tabel 5. Produksi, Konsumsi dan Produsen CPO Dunia 2004 – 2010 Kontribusi Negara Produsen Produksi
Konsumsi
(juta ton)
(juta ton)
Tahun
Malaysia
Indonesia
Lainnya
(%)
(%)
(%)
2004
33.5
29.2
45.4
40.6
14.0
2005
36.0
32.5
43.1
43.3
13.6
2006
37.3
35.5
41.0
44.5
14.5
2007
41.0
37.8
42.9
43.9
13.2
2008
42.8
42.6
40.9
44.3
14.8
2009
45.1
45.3
38.9
46.3
14.7
2010
47.1
47.5
38.2
47.0
14.8
Sumber: Miranti (2010) diolah.
5. Posisi Sumatera Utara Dalam Persawitan Nasional Perekonomian Sumatera sangat didominasi oleh Provonsi Sumatra Utara, Sumatera Selatan, dan Riau. Peran industri dan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara sangat dominan demikian pula di beberapa propinsi di Sumatera lainnya.
Di Jambi, misalnya, peran industri kelapa sawit
diperkirakan sekitar 28% dari perekonomian di provinsi tersebut. Di Provinsi Riau dan Bengkulu, peran kelapa sawit dalam perekonomian juga sangat dominan.
Kenaikan
permintaan
komoditi hasil perkebunan
terhadap
komoditi
kelapa
sawit
dan
lainnya, seperti karet, akan sangat mendorong
pertumbuhan ekonomi di wilayah ini (Kadin, 2009). Hingga tahun 2009, perkembangan perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara terus meningkat dengan luas perkebunan sawit mencapai 1,9 juta hektar dengan rincian satu juta ha merupakan perkebunan inti rakyat (PIR) dan 400.000 122
ha dikelola oleh PTPN dan perusahaan perkebunan nasional 500.000 Ha. Bahkan untuk menjadikan Sumut sebagai barometer perkelapasawitan nasional, pihak PTPN II sudah menyiapkan sedikitnya 8.171,54 ha lahan untuk menambah pengembangan perkebunan kelapa sawit (PTPN IV, 2009). Sebagai salah satu wilayah yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, Sumut juga menjadikan produk-produk berbasis kelapa sawit sebagai salah satu komoditas andalan ekspor. Pangsa ekspor CPO terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2006, pangsanya mencapai 34,75%, maka pada triwulan I-2009 ekspor CPO kembali mendominasi, dengan pangsa sebesar 47,36% (BI, 2009). Berdasarkan data Ditjenbun (2010) hingga tahun 2008 luas lahan yang telah digunakan sebagai kebun kelapa sawit di Sumut adalah 1.255.810 ha dengan produksi 2.738.279 ton. Rincian daerah yang telah dikembangkan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Luas penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 Luas Lahan Nama Daerah (Kabupaten) (Hektar) Asahan
157.857
Deliserdang
42.950
Karo
1.710
Labuhanbatu
773.404
Langkat
123.131
Mandailingnatal
24.991
123
Pakpakbharat
1.650
Serdang Bedagai
53.629
Simalungun
24.983
Tapanuli Selatan
36.905
Tapanuli Tengah
13.765
Tapanuli Utara
49
Tobasamosir
786
Jumlah
1.255.810
Sumber: Ditjenbun (2010) Berdasarkan data BI (2010) kendala yang dihadapi dalam pengembangan komoditas kelapa sawit di Sumatera Utara terutama adalah ketersediaan infrastruktur (50,00%), diikuti perpajakan (11,11%), distribusi (11,11%), pasokan energi (11,11%) dan kendala lainnya (16,67%). Ke depan, pengembangan areal direncanakan ke arah Pantai Timur Sumatera. Kawasan ini merupakan wilayah yang sangat strategis karena membujur melewati 8 (delapan) provinsi dari Aceh sampai Lampung. Keunggulan letak geografis jalur timur Sumatera antara lain tercermin dari fakta bahwa lebih dari 25% jalur kontainer dunia melewati Selat Malaka yang berada di wilayah ini. Terkait kebijakan pengembangan, Afifuddin dan Kusuma (2007) merekomendasikan agar Pemerintah Daerah memberikan kemudahan-kemudahan dengan
memperhatikan
minat
investor
agribisnis
yang
berkehendak
menggalakkan investasi di bidang down stream dari kelapa sawit di Sumatera Utara dengan mengajak investor lokal maupun asing untuk membangun pabrikpabrik produk turunan dari CPO di Sumatera Utara dengan tidak mempersulit dalam hal perizinan. Sehingga penanganan investasi pada bidang pengolahan 124
produk turunan CPO dipandang perlu untuk segera dimulai. Dengan banyaknya pabrik produk turunan CPO di Sumatera Utara akan berdampak kepada penyerapan tenaga kerja, PAD, GDP Sumatera Utara dan kesejahteraan masyarakat. 6. Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan Pengembangan agroindustri akan sangat strategis jika dijalankan secara terpadu dan berkelanjutan. Terpadu artinya ada keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif serta ada keterkaitan antar wilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004).
Berkelanjutan, sebagaimana
dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, adalah “Pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya untuk memenuhi kebutuhannya” (Plummer, 2005). Selain memiliki posisi tawar yang kuat di pasar CPO internasional, peluang untuk pengembangan agribinis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi maupun tenaga ahli.
Namun industri minyak dalam negeri belum
memiliki kerangka pengembangan yang padu dan menyeluruh (Susila 2004b; Deptan, 2007; Dradjat, 2007; Nuryanti, 2008; Miranti, 2010).
Potensi dan
kesesuaian lahan untuk perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Potensi dan kesesuaian lahan untuk perkebunan kelapa sawit Kelas kesesuaian lahan
Uraian
Luas (Ha)
S
Sesuai
22.914.479
S/C
Sesuai/sesuai bersyarat
1.964.100
Sesuai/tidak sesuai
2.530.500
Berpotensi tinggi
Berpotensi sedang S/N
125
CS/S
Sesuai bersyarat/sesuai
142.600
CS/N
Sesuai bersyarat/tidak sesuai
704.006
CS
Sesuai bersyarat
7.670.100
CS/N
Sesuai bersyarat/tidak sesuai
10.857.106
N/S
Tidak sesuai/sesuai
121.225
Berpotensi rendah
Jumlah
46.904.116
Sumber: Dradjat (2007) Perbedaan nyata kondisi pengelolaan antara Malaysia dan Indonesia tercermin dari rendahnya daya saing Indonesia dalam bentuk produksi, ekspor, dan fenomena berdirinya pabrik pengolah minyak sawit tanpa kebun sawit. Kondisi ini mengakibatkan produksi CPO, kualitas dan harga tidak bisa dikontrol dengan baik (Nuryanti, 2008; Dou, 2009). Saat ini masalah yang dihadapi oleh industri CPO nasional terutama infrastruktur termasuk akses jalan dan konektivitasnya dengan pengangkutan di pelabuhan untuk mendukung industri pengolahan CPO. Masalah lain yang dihadapi adalah tidak selaras dengan pertumbuhan industri turunannya. Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya diikuti pertumbuhan industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine, methyl esther. Sampai saat ini CPO belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan industri hilir. Produk industri hilir hasil olahan CPO yang pengembangannya masih minim seperti surfactant, farmasi, kosmetik, dan produk kimia dasar organik. Padahal dengan mengembangkan industri hilir, maka nilai mata rantai dan nilai tambah produk CPO akan semakin tinggi. Apalagi, produk turunan CPO mempunyai hubungan dengan sektor usaha dan kebutuhan masyarakat di bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif makanan, pengawet makanan, penyedap makanan, kemasan plastik (Afifuddin dan Kusuma, 2007; Dou, 2009; ICN, 2009a). 126
Pengembangan industri minyak kelapa sawit telah menimbulkan kontroversi di masyarakat internasional. Di satu pihak, pengembangan kelapa sawit dan industri kelapa sawit memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan negara; di lain pihak ia menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak dapat diabaikan. Beberapa negara Eropa dan Amerika telah memboikot produk kelapa sawit sebagai protes atas dampak negatif sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya. Isu yang mengemuka adalah produksi kelapa sawit yang terus mengalami peningkatan di Indonesia (dan Malaysia) telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain forest conversion, habitat loss, endanger species, serta greenhouse effect
and
climate change. Isu-isu ini
berdampak pada tidak stabilnya harga CPO dunia (Tryfina, 2006; Syaukat, 2010; Widodo et al., 2010). Mulai tahun 2011, Uni Eropa telah memberlakukan EU Directive mengenai ketentuan emisi rumah kaca. Dalam aturan ini disebutkan bahwa EU tidak boleh mengimpor CPO karena komoditas ini dianggap tidak memenuhi ketentuan pembatasan emisi, akibatnya CPO tidak bisa masuk ke pasar Uni Eropa (ICN, 2009a). Permasalahan utama pengembangan kelapa sawit
sebenarnya tidaklah
melulu isu lingkungan. Pada mulanya negara-negara Barat (terutama Eropa dan Amerika) membuat kampanye negatif (negative campaign) dengan menyatakan bahwa minyak kelapa sawit tidak baik untuk kesehatan. Misalnya, Center for Science in the Public Interest (CSPI) di Amerika Serikat pada tahun 2005 mengemukakan bahwa minyak kelapa sawit dapat menimbulkan serangan jantung. Demikian pula dengan World Health Organization yang telah menyarankan untuk mengurangi konsumsi minyak kelapa sawit karena berpotensi menimbulkan cardiovascular diseases. Kampanye negatif ini sebenarnya merupakan ‘perang dagang’ karena terjadinya pergeseran penggunaan sumber minyak nabati: dari minyak jagung, minyak kedelai, minyak biji matahari, dan minyak canola ke minyak kelapa sawit. Peningkatan produksi dan konsumsi minyak kelapa sawit di seluruh dunia telah mengurangi permintaan terhadap minyak nabati konvensional yang selama ini dihasilkan sebagian besar oleh negara-negara barat. Dari aspek produksi, minyak kelapa sawit memiliki biaya produksi yang paling rendah, mengingat tingginya produktivitas kelapa sawit per 127
satuan luas serta rendahnya biaya pemeliharaan tanaman (Tan et al., 2009; Syaukat, 2010; Sulaiman et al., 2010).
Teoh (2010) menyenarai tantangan dan
peluang industri CPO dengan ringkasan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Tantangan dan peluang industri CPO Aspek
Tantangan
Peluang
Ekonomi
•
Kesenjangan pendapatan
•
Penurunan
harga
•
& •
kenaikan Biaya •
Meningkatkan produktivitas petani kecil
Pemahaman
buruk
tentang
CPO
berkelanjutan
yang
sudah
Menutup kesenjangan hasil
memperoleh
sertifikasi Lingkungan
•
Penebangan hutan
Moratorium
(penghentian
hidup
•
Hilangnya
sementara)
penebangan
keanekaragaman hayati
hutan
•
Perubahan iklim
•
Penggunaan
•
• pestisida
dan pupuk
Penggunaan
lahan
terdegradasi
untuk
pemeliharaan kelapa sawit •
Mekanisme
pengurangan
emisi gas rumah kaca •
Reducing Emissions from Deforestation
and
Degradation (REDD) •
Sosial
•
Konflik hak atas tanah, •
Reformasi
penggunaan tanah dan
berdasarkan
akuisisi tanah •
Transformasi pasar
Konflik
• dengan
Mekanisme
tanah hukum penyelesaian
konflik 128
Aspek
Tantangan
Peluang
masyarakat setempat
•
Dukungan
kelembagaan
•
Petani kecil yang tersisih
untuk petani kecil
•
Tenaga kerja murah dan •
Membantu
tenaga kerja anak-anak
memperoleh sertifikasi
•
Masalah keamanan
•
Penggunaan
petani pabrik
kecil lebih
kecil untuk kelompok tani •
Mempromosikan
pertanian
terpadu Tata kelola
•
Pemerintah
•
Lembaga Internasional
CSO keberlanjutan
•
Platform
Kebutuhan akan kemitraan
• Multi- •
stakeholder •
Organisasi
Kemitraan Publik- Swasta-
swasta Masyarakat
Madani •
Korporasi
Sumber: Teoh (2010) Dalam rangka memenuhi tuntutan internasional agar kelapa sawit dapat diproduksi secara berkelanjutan, maka pada tahun 2004 telah dikembangkan the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diikuti oleh tujuh kelompok kepentingan, yaitu produsen kelapa sawit, pengolah atau pedagang kelapa sawit, konsumen produk olahan kelapa sawit, pengecer, bank dan investor, NGO bidang lingkungan atau konservasi alam, serta NGO bidang sosial atau pembangunan. Tujuan RSPO adalah untuk mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui standard global yang kredibel dan keterlibatan para pihak.
Pada saat ini, anggota-anggota RSPO telah
menghasilkan 1.4 juta ton minyak kelapa sawit bersertifikat (RSPO, 2006; Jelsma et al., 2009; Paoli et al., 2010; Gumbir-Sa’id, 2010; Syaukat, 2010). Menurut Weng (2005) pengembangan industri kelapa sawit yang berkelanjutan perlu menerapkan best-developed practice (BDP) dengan karakteristik sebagai berikut: 129
(1) Melindungi lingkungan fisik seperti udara, tanah dan air (2) Memperhatikan dampak lingkungan kimia seperti penggunaan pestisida, keseimbangan nutrisi dan materi organik pada lahan sawit. (3) Memelihara lingkungan biologis seperti keragaman hayati, mereduksi gulma, hama dan penyakit, perlindungan ekosistem, keamanan dan kelangsungan pangan, memperlambat perubahan iklim melalui stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gas). Hal ini juga berimplikasi pada input energi yang rendah pada sumberdaya seperti pestisida dan pupuk.
130
III. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT
1. Pendahuluan Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang menyangkut aparatur negara, tapi juga governance yang menyentuk berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, hingga masyrakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupakan keputusankeputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara (Ellis, 1994; Suharto, 2007). Definisi yang lebih sederhana menyebutkan kebijakan publik tidak lebih dari pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; whatever government choose to do or not to do (Bridgman and Davis, 2004).
Setiap
peraturan atau perundang-undangan adalah kebijakan, tapi tidak semua kebijakan menjadi peraturan atau menjadi undang-undang.
Secara garis besar, kebijakan
publik dapat dimaknai sebagai 1) proses pengambilan keputusan, 2) proses manajerial dalam membuat dan menerapkan sebuah kebijakan, 3) intervensi pemerintah dan 4) interaksi antara negara dengan rakyat (Nogi, 2003). Dengan dasar klasifikasi di atas, maka efisiensi kebijakan publik dapat dilihat di ranah mana formula kebijakan dibuat (pemerintah, pelaku, masyarakat) sehingga kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan.
2. Pola Pengembangan Perkebunan Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.357 tahun 2002 tentang Pedoman Perizinan
Usaha
Perkebunan,
pengembangan
usaha
perkebunan
harus
menyertakan masyarakat petani perkebunan dengan pola: 131
a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan; modal usaha 100% dimiliki oleh Koperasi Usaha Perkebunan. b. Pola Patungan Koperasi dengan Investor; saham 65% dimiliki koperasi dan 35% dimiliki investor/perusahaan. c. Pola Patungan Investor Koperasi; saham 80% dimiliki investor/perusahaan dan minimal 20% dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap. d. Pola BOT (Build, Operate and Transfer); pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi. e. Pola BTN (Bank Tabungan Negara); investor/perusahaan membangun kebun dan atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan kepada peminat/pemilik yang tergabung dalam koperasi. f. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat, membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan. Selanjutnya, pada UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan disebutkan Perkebunan diselenggarakan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta keadilan (Pasal 2); dan perkebunan mempunyai fungsi: a). ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; b). ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan c). sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa” (Pasal 4). Salah satu pola pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan undang-undang tersebut dan cukup menarik untuk diaplikasikan saat ini menurut Tryfino (2008) adalah pola Transmigration Corporate Farming (TFC). Pola ini adalah pola penyempurnaan dari pengembangan perkebunan inti plasma sebelumnya, dimana para petani plasma hanya mengerjakan lahannya saja dan tidak melibatkan kepemilikan pemerintah daerah dan pusat. Pada pola TFC ini perusahaan inti wajib memberikan 20% sahamnya berupa lahan kepada petani (2 ha per petani), sehingga petani merasa memiliki perusahaan dan akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memaksimalkan hasilnya yang pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan juga. Pola ini juga mengadopsi kepentingan 132
pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena perusahaan wajib memberikan 10% sahamnya ke pemerintah daerah. Selain itu di dalam pola ini perusahaan juga memberikan 10% sahamnya ke pemerintah pusat. (Tryfino, 2006). Kebijakan teknis terbaru yang terkait dengan perizinan usaha perkebunan telah
diatur
secara
operasional
melalui
Permentan
No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Di dalam peraturan tersebut (Pasal 5 dan Pasal 6) disebutkan bahwa untuk usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan lahan lebih dari 25 hektar WAJIB memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B), sedangkan
untuk
luasan lahan kurang dari 25 hektar cukup didaftarkan dengan bukti Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya Perkebunan (STD-B) dari Bupati/Walikota. Menurut Fadjar (2006), pola kemitraan saat ini merupakan perubahan struktur yang belum lengkap dan butuh perbaikan.
Struktur kemitraan yang
diharapkan adalah struktur yang mampu memperbesar peluang dan manfaat usaha sehingga dapat mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani kecil. Bahkan menurut Syam (2006), bentuk kemitraan usaha yang diarahkan pemerintah untuk memberdayakan UKM tidak efektif karena UKM selalu dipandang sebagai pihak yang membutuhkan bantuan. Kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh pengusaha besar untuk mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah dengan mengatasnamakan kemitraan.
Oleh karena itu diperlukan
alternatif pola pengembangan berupa Jejaring Usaha. Didu (2001) dengan model agrosawit dengan pendekatan sistem menyebutkan bahwa prioritas utama pengembangan agroindustri kelapa sawit adalah peningkatan pendapatan perkebunan dan pendapatan petani. Peran pemerintah daerah masih sangat diharapkan dalam menciptakan kebijakan yang kondusif terutama dalam hal penetapan harga TBS, gaji/upah dan perpajakan. Basdabela (2001) mengajukan pola Perusahaan Agroindustri Rakyat (PAR) sebagai kelembagaan alternatif lain dari lima pola yang ditawarkan oleh pemerintah yang pada intinya mengupayakan pengembangan kebun dan PKS oleh 133
koperasi baik seluruhnya atau sebagian melalui patungan dengan investor. Analisis terhadap kelembagaan pola PAR menunjukkan bahwa pola ini mampu menetralisir dikotomi yang terjadi antara plasma dan inti, memberdayakan dan meningkatkan pendapatan petani serta meningkatkan kredibilitas petani di mata perbankan. Syahza (2010) mengembangkan model agroestate berbasis kelapa sawit (ABK) untuk percepatan pemberdayaan ekonomi masyarakat perdesaan. Dalam model ABK ini terdapat dua kegiatan bisnis utama. Pertama, kegiatan bisnis membangun kebun dan pabrik industri serta jika diperlukan permukiman petani peserta yang akan dilakukan oleh perusahaan pengembang,
Kedua, bisnis
mengelola kebun dan pabrik milik petani peserta serta memasarkan hasilnya yang dilakukan oleh badan usaha pengelola yaitu koperasi yang dibentuk oleh petani peserta itu sendiri. Model ABK merupakan konsep pembangunan perkebunan di pedesaan untuk masa datang, konsep ini dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan pengembang. Wigena et al. (2010) merancang model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan berbasis pendekatan sistem dinamis. Model ini diklaim mampu memenuhi aspek biofisik, ekonomi, sosial dan lingkungan serta peningkata kualitas SDM yang menjamin keberlangsungan usaha industri kelapa sawit.. Friedmann dan Douglass (1978) mengembangkan strategi agropolitan untuk pengembangan agroindustri di negara-negara Asia sebagai pendekatan komprehensif yang menyatukan pengembangan desa-kota dengan mengaitkan perkotaan
dengan
pengembangan
perdesaan.
Bahkan
Douglass
(1998)
merekomendasikan strategi ini untuk pengembangan industri pertanian di Indonesia. Tacoli (1998) menggunakan pendekatan serupa dengan istilah urbanagriculture dan non-agricultural rural development.
Di Indonesia, konsep
agropolitan ini kemudian dituangkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang meski sebenarnya sudah diintroduksi pada tahun 2002. Menurut Nugroho (2008), salah satu kendala penerapan agropolitan di Indonesia adalah jarak. Di Jawa, untuk radius pelayanan 5 – 10 km, dengan jumlah penduduk 134
antara 50 – 150 ribu jiwa dan kepadatan minimal 200 jiwa/km2 sebagai distrik agropolitan, konsep dan strategi ini mungkin diterapkan, namun sulit untuk daerah-daerah seperti Kalimantan dan Papua.
3. Kebijakan dan Strategi Pemerintah di Bidang Persawitan Nasional Deptan (2007) telah merumuskan kebijakan, strategi dan program pengembangan agribisnis kelapa sawit untuk tahun 2006 – 2005.
Dalam
kebijakan jangka menengah (2006 – 2010) disebutkan bahwa kebijakan pengembangan yang akan dilakukan adalah: 1) Peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit; meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh petani pekebun maupun perkebunan besar. 2) Pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit; ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja baru. 3) Kebijakan industri minyak goreng/makan terpadu; kebijakan ini diperlukan mengingat rawannya pasar minyak goreng di Indonesia dan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat kelangkaan bahan pangan ini di dalam negeri dan goyahnya posisi Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia. 4) Dukungan penyediaan dana; tersedianya berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun non bank. Disamping itu perlu segera dihidupkan kembali dana yang berasal dari komoditi kelapa sawit untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit. Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia disajikan pada Tabel 9.
135
Tabel 9. Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia. Tujuan
Strategi
Meningkatkan ketahanan pangan •
Integrasi vertikal perkebunan kelapa
masyarakat
sawit
dan
agroindustri
menghasilkan
produk
yang
turunan
jenis
pangan, seperti minyak goreng dan mentega •
Integrasi horizontal perkebunan kelapa sawit dengan peternakan dan atau tanaman pangan
Menumbuhkembangkan
usaha •
perkebunan di perdesaan
Pemberdayaan
masyarakat
pengembangan
usaha
dalam
pengolahan
minyak sawit •
Mendorong
penyediaan
sarana
dan
prasarana pengolahan minyak sawit Meningkatkan pemanfaatan sumber •
Peningkatan produksi dan produktivitas
daya perkebunan
kebun kelapa sawit melalui inovasi teknologi •
Penyediaan pendukung,
sarana
dan
terutama
prasarana infrastruktur
transportasi di dan ke perkebunan kelapa
sawit
dan
infrastruktur
pengolahan •
Pengembangan diversifikasi usaha
•
Pemberantasan Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT)
dan
perlindungan
sumber daya perkebunan kelapa sawit Membangun perkebunan mandiri
yang
kelembagaan •
Revitalisasi
kokoh
organisasi pelaku usaha pada agribisnis
dan
dan
mengembangkan
kelapa sawit (kelompok tani, asosiasi petani dan gabungan asosiasi petani 136
Tujuan
Strategi kelapa sawit, koperasi petani kelapa sawit dan dewan minyak sawit, serta organisasi
lain)
melalui
inovasi
kelembagaan •
Pengembangan aturan (UU dan aturan pelaksanaannya) untuk diterapkan di agribisnis
kelapa
sawit
melalui
harmonisasi regulasi •
Pengembangan sumber daya manusia sebagai
pelaku
yang
handal
pada
agribisnis kelapa sawit Meningkatkan sektor
kontribusi
perkebunan
sub • dalam
Peningkatan
produksi
dan
kualitas
tandan buah segar dan minyak kelapa
perekonomian nasional
sawit serta produk turunannya •
Pengembangan
agroindustri
yang
mengolah minyak dan limbah kelapa sawit •
Pengembangan pasar minyak kelapa sawit dan produk turunannya
•
Perlindungan usaha dan produk minyak sawit dan turunannya di pasar domestik
•
Menjalin
sinergi
kebijakan
lembaga
pemerintah
dan
antara lembaga
legislatif dan antara pemerintah pusat dan
daerah
untuk
menjadikan
perkebunan kelapa sawit sebagai motor penggerak ekonomi nasional dan daerah Meningkatkan peran birokrasi
•
Peningkatan kualitas, moral dan etos kerja
aparat
yang
bertugas
pada
pengembangan agribisnis kelapa sawit 137
Tujuan
Strategi •
Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif
•
Membangun sistem pengawasan yang efektif
Sumber: Deptan (2007).
Ke depan (2010 – 2014) industri sawit akan diarahkan ke klaster (cluster) industri berbasis CPO dengan tujuan memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri hulunya, mampu meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun visi dan misi yang selaras sehingga mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya yang digunakan dalam industri, dan memfokuskan pada penggunaan sumbersumber daya terbarukan (green product) (Deptan, 2009). Menurut Hambali (2005), roadmap pengembangan klaster tersebut dibagi dalam empat tahap, yaitu: 1)
Industri produk primer difasilitasi untuk tumbuh di daerah penghasil bahan baku.
2)
Industri produk antara difasilitasi untuk tumbuh di daerah penghasil bahan baku.
3)
Industri produk akhir tumbuh di daerah penghasil bahan baku.
4)
Produk turunan CPO difasilitasi agar dapat diekspor oleh daerah penghasil bahan baku. Salah satu provinsi yang saat ini dibangun klaster industri kelapa sawit
adalah Provinsi Riau.
Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau
mencapai 1,68 juta hektar atau sekitar 27% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2004 dengan luas 1,34 juta hektar (BI, 2009a) dengan skema seperti disajikan pada Gambar 2. 138
Gambar 2. Skema Model Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit (BI, 2009a)
4. Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di Kuala Lumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan situasi permintaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan substitusi penting minyak goreng asal kelapa sawit. Produk akhir yang paling menentukan gejolak harga dalam indutri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga CPO, selanjutnya harga CPO merupakan acuan utama bagi harga TBS (Mulyana, 2007). Berdasarkan peraturan sebelumnya (Keputusan Menhutbun No. 627Kpts11/1998, penetapan harga TBS adalah sebagai berikut: Htbs = K [(Hcpo x Rcpo)+ (Hpko x Rpko)]
139
Keterangan: Htbs
=
Harga TBS produksi petani di tingkat pabrik (Rp/Kg)
K
=
Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh petani (%)
Hcpo
=
Harga rerata minyak sawit kasar dari (CPO) tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)
Rcpo
=
Rendemen minyak sawit kasar (CPO) (%)
Hpko
=
Harga inti sawit/PKO ( Rp/Kg)
Ris
=
Rendemen inti sawit/PKO (%)
Menurut Didu (2001), dalam penerapannya, harga TBS yang diterirna petani dikurangi dengan margin yang diterima oleh PKS yang umumnya berkisar 5%. Penentuan harga
TBS
berdasarkan persamaan tersebut
rnengandung
berbagai kelemahan yang merugikan petani, yaitu : (1) PKS mendapatkan keuntungan yang pasti, sementara petani akan rnenanggung berbagai resiko; (2) terdapat berbagai komponen biaya yang tidak dapat dikontrol oleh pemilik TBS (petani), sementara biaya tersebut harus ditanggung oleh petani; (3) penentuan rendemen pabrik dalam penentuan nilai K sulit diketahui oleh petani; dan (4) penentuan nilai K (proporsi yang diterima petani) oleh suatu tim di daerah yang didasarkan pada rendemen riil pabrik kenyataanya harga TBS yang berlaku rnasih lebih rendah dari yang seharusnya diterima oleh petani. Kebijakan Penetapan harga TBS berlaku sejak tahun 1998 terakhir direvisi dengan Peraturan Menteri Pertanian nomor 395 tahun 2005 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Kebun. Tujuan penetapan harga TBS Kelapa sawit ini adalah untuk memberikan jaminan harga TBS kelapa sawit produksi kebun yang wajar serta menghindari adanya persaingan tidak sehat di antara Pabrik Kelapa Sawit meskipun
140
substansinya tidak berubah secara signifikan (Mulyana, 2007; KPPU, 2008; Pasaribu, 2010). Harga pembelian dari perusahaan inti ini diperbaharui berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 627/Kpts.II/1998, dan Peraturan Menteri Pertanian No. 395//Kpts/OT. 140/11/2005.
Rumus Harga
pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut: Htbs = K (Hcpo x Rcpo + His x Ris) Keterangan: Htbs
=
Harga TBS produksi petani di tingkat pabrik (Rp/Kg)
K
=
Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh petani (%)
Hcpo
=
Harga rerata minyak sawit kasar dari (CPO) tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)
Rcpo
=
Rendemen minyak sawit kasar (CPO) (%)
His
=
Harga rerata inti sawit tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal dari masing-masing perusahaan pada tahun Sebelumnya ( Rp/Kg)
Ris
=
Rendemen inti sawit (%)
Kebijakan penetapan harga TBS tersebut pada dasarnya merupakan kebijakan dalam rangka memberikan kesempatan bagi pekebun dalam memperoleh informasi mengenai tingkat harga yang wajar di pasar. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Dalam pelaksanaan pola PIR-kelapa sawit terdapat
ketidakserasian hubungan antara petani plasma dan perusahaan inti. Penetapan harga dan rendemen Tandan Buah Segar (TBS) menjadi masalah pokok yang 141
dipertentangkan dan diduga masih menempatkan posisi petani lebih lemah dan sangat dipengaruhi oleh perilaku perusahaan, meskipun telah merujuk pada peraturan Menteri Pertanian Nomor 395 tahun 2005 (Mulyana, 2007; KPPU, 2008; Pasaribu, 2010). Mengingat harga CPO dunia yang cenderung fluktuatif, maka Didu (2001) mengajukan agar penetapan harga disesuaikan dengan pasar dunia melalui mekanisme forecasting dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dijadikan input situasional yang berubah menurut waktu. Hasil kajian Mulyana (2007) tentang penetapan harga tandan buah segar kelapa sawit di Sumatera Selatan dari perspektif pasar monopoli
bilateral juga menunjukkan bahwa harga TBS di
tingkat petani berdasarkan kebijakan penetapan harga oleh pemerintah lebih rendah 15,23 – 41,73% dibandingkan dengan harga bersaing sempurna.
5. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Dayasaing Ekspor CPO Arisman (2002), Susila (2004c), Dradjat (2007a), Abidin (2008), Chalil (2008), Obado et al. (2009) telah melakukan analisis terhadap sejumlah kebijakan pemerintah terkait industri minyak kelapa sawit Indonesia terutama yang terkait dengan pajak ekspor (PE).
Karena merupakan komoditas strategis, maka
pemerintah merasa perlu untuk turut mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya
terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah
terdiri dari 1) pengaturan
alokasi CPO, 2) pembentukan sistem pengawasan
secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik, 3) pelarangan ekspor CPO.
pembatasan dan
Kebijakan mengenai tata niaga minyak kelapa sawit
khususnya CPO dan PKO pertama kali dikeluarkan pemerintah pada tahun 1978 dan terus diperbaharui hingga sekarang. Tujuan utama penetapan kebijakankebijakan tersebut adalah untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil. Arisman (2002), Susila (2004c), dan Dradjat (2007) menyatakan penetapan PE sejak Agustus 2004 hingga penetapan pajak ekspor tambahan (PET) sebesar 40% - 70% berdasarkan harga ekspor dan harga dasar berpengaruh besar terhadap berbagai aspek industri seperti investasi, produksi, perdagangan, pendapatan 142
petani dan distribusi kesejahteraan. Pada tahun 1998 PE-CPO naik dari 40% menjadi 60% sebelum akhirnya berturut-turut turun menjadi 40%, 30% dan 10% pada tahun 1999 dan turun lagi menjadi 5% pada akhir tahun 2000. Dari tahun 2002 – 2007 terjadi fluktuasi nilai PE CPO yaitu 3% (2002), 1,5% (2004) dan 6,5% (2007). Obado et al. (2009) menyatakan kebijakan pajak ekspor CPO selain menurunkan dayasaing industri CPO Indonesia juga memberatkan bagi produsen CPO dan menguntungkan bagi Malaysia yang dapat mengambil alih pangsa pasar dalam negeri Indonesia. Meski demikian, Susila (2004c) dan Obado et al. (2009) merekomendasikan nilai pajak ekspor CPO yang efektif adalah berkisar antara 10,98% – 11,13% guna mencegah larinya CPO ke luar negeri yang mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng dalam negeri. Menurut kajian Abidin (2008), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor CPO Indonesia secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut: 1)
Harga CPO domestik berpengaruh negatif terhadap ekspor Indonesia yaitu, dengan koefisien sebesar -3,549 yang artinya jika harga CPO domestik naik sebesar Rp l maka ekspor CPO Indonesia akan turun sebesar 3,549 ton.
2)
Harga internasional CPO berpengaruh
positif
terhadap
ekspor CPO
Indonesia dengan koefisien regresi sebesar 6,117 yang artinya jika harga internasional minyak sawit (CPO) naik sebesar 1 Dollar maka CPOIndonesia akan naik sebesar 6,117 ton konstan
ekspor
dengan koefisisen
regresi sebesar -1.578,48 yang artinya jika tidak ada variabel seperti harga CPO domestik, harga CPO internasional, nilai tukar dan harga subsitusi (minyak kelapa) maka Indonesia masih dapat mengekspor CPO meski turun sebesar l.578,48 ton.
143
IV. 1.
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Konseptual Pengembangan agroindustri kelapa sawit sebagai strategi pembangunan
nasional
merupakan
suatu
keniscayaan
guna
memperkecil
kesenjangan
pembangunan antara kota dan desa serta menjembatani atara pembangunan pertanian dan industri. Perhatian utama agroindustri sawit adalah daya saing dan kesejahteraan pelaku usaha. Integrasi vertikal ke hulu (petani) dan hilir (pasar) sangat membantu kelangsungan usaha dengann adanya jaminan supply bahan baku dan kepastian penyerapan produk akhir. Penyediaan lapangan kerja dan reduksi kemiskinan lebih merupakan efek ganda dari pengembangan agroindusri. Indonesia dengan luas lahan sawit terbesar di dunia dan pengasil minyak kelapa sawit terbesar masih memiliki peluang meningkatkan produksi karena ketersediaan lahan serta kesesuaian iklim, asal didukung oleh kebijakan pemerintah yang berpihak kepada para petani. Kelangsungan produksi sangat ditentukan oleh para petani sebagai pemilik lahan terbanyak. Karena itu, perlu insentif dan kompensasi yang memadai bagi petani sawit agar bergairah dalam meningkatkan produksi dan mutu bahan baku (TBS) guna meningkatkan kesejahteraan para petani sawit. Mengingat kualitas dan kuantitas produk sangat ditentukan oleh supply bahan baku, maka perlu mengintegrasikan kepentingan semua
pemangku
kepentingan
(pemerintah,
petani,
pengusaha)
dalam
pengembangan agroindustri sawit. Pengembangan agroindustri baik pada skala apapun tidak bisa lepas dari pengembangan ekonomi lokal yang bercirikan endogenous development dengan memanfaatkan potensi SDM, institusi, kondisi fisik serta memperhatikan konteks sosio-ekonomi dan budaya setempat. Oleh karena itu, pengembangan agroindustri di tiap daerah selalu memiliki ciri khas, baik keunggulan maupun keterbatasan. Tidak semua teori, konsep dan model yang sudah ada bisa berlaku di setiap tempat dan waktu dengan kerangka pemikiran yang mengacu pada kondisi aktual di tengah masyarakat petani sawit. Kerangka pemikiran konseptual penelitian ini disajikan pada Gambar 3. 144
Visi dan Misi Perkebunan Sumatera Utara
Kebijakan Pemerintah Pusat dalam Pengembangan Industri Kelapa Sawit
Pengembangan Industri Kelapa Sawit di Medan Sumatera Utara
Identifikasi Variabel Penyusunan Hierakhir Kebijakan Survey Pakar,MPE dan FGD Penyusunan Hierakhir Kebijakan Deskriptif AHP
Pola kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit
Strategi Kebijakan Pemerintah terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit di PTPN IV Sumatera Utara
Implikasi Manajerial bagi Pemerintah dalam Penerapan Kebaijakan Strategi Pengembangan Kelapa Sawit di PTPN IV Sumatera Utara
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Konseptual
145
2.
Tata Laksana
2.1.
Tahapan Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian adalah metode
AHP(Analytical Hierarchy Process) yang dimodifikasi untuk memenuhi fungsi tujuan penelitian. Metode AHP terdiri dari lima tahap, yaitu tahap identifikasi sistem, tahap penerapan hirarki, tahap pengumpulan data primer yaitu dengan wawancara pakar, tahap pengambilan keputusan berdasarkan pakar dan tahap sistesis atau analisis rasio. a.
Persiapan Tahap persiapan adalah tahap pendugaan awal pada variabel-variabel yang
diduga mempengaruhi pengembangan industri kelapa sawit.
Pada tahap ini
dilakukan kegiatan pengumpulan data sekunder yang terkait dengan industri kelapa sawit dan telaah pustaka relevan serta, penyebaran kuesioner awal untuk mengakumulasikan variabel utama yang mempengaruhi perkembangan industri kelapa sawit dengan metode MPE. Hasil pembobotan dengan metode MPE selanjutnya dijadikan bahan dalam
Focus Groups Dicussion (FGD) sebagai
bahan penyusunan struktur hirarki kebijakan. Sesuai dengan tujuan penelitian yang difokuskan pada analisis kebijakan, maka telaah pustaka banyak diarahkan ke proses tersebut. Selain itu, mengacu pada metode AHP, beberapa tahapan yang dilakukan adalah menyiapkan tim audit dan sumber daya, membagi proses ke dalam bagian-bagian operasi, dan
menyusun diagram alir penelitian sesuai
konseptual pemikiran penelitian. b.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperlukan sebagai input dalam komparasi berpasangan yang diperoleh dari para pelaku (aktor) dalam industri minyak kelapa sawit sehubungan dengan sasaran utamanya (ultimate goal), data primer ini dilakukan melalui wawancara langsung dengan unsur Pimpinan di PTPN IV Medan Sumatera Utara, Departemen Perindustrian, petani, unsur koperasi dan stakeholder lainnya yang terkait langsung dengan pengembangan industri kelapa sawit dan 146
kuesioner terhadap para pelaku sebagai responden. Data sekunder diperoleh dan dikumpulkan melalui studi kepustakaan, literatur, buku , jurnal, kajian penelitian dan data dari Internet. c.
Metode Penentuan Sampel Penentuan sampel dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi
pustaka. Observasi lapangan (kebun dan perusahaan) dilakukan di PTPN IV Medan Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik pengambilan contoh secara sengaja (purposive sampling) dengan kriteria mewakili setiap bidang keahlian dan diperioritaskan kepada pakar yang memiliki tingkat kepakaran yang telah diakui. Jumlah pakar yang disyaratkan untuk menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process) cukup beberapa orang (Saaty, 1992). Data diolah dengan menggunakan Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan langkah langkah analisis sebagaimana diuraikan pada metodologi. d.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Tahap awal yang dilakukan adalah menentukan prioritas faktor-faktor
penyusunan strategi pengembangan industri kelapa sawit setelah mengkonfirmasi kepada pihak manajemen PTPN IV Medan Sumatera Utara terlebih dahulu. Tahap selanjutnya adalah pembuatan hirarki yang juga disusun berdasarkan wawancara dengan pihak manajemen PTPN IV Medan Sumatera Utara, terkait kegiatan pengembangan industri kelapa sawit yang dilakukan. Struktur hirarki ini merupakan dasar dalam pembuatan kuesioner yang diberikan kepada responden pemilihan strategi. Kuesioner diberikan untuk mengetahui pembobotan setiap elemen pada seluruh tingkat pada struktur hirarki. Validitas kuesioner untuk pemilihan strategi pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Medan Sumatera Utara dilihat melalui konsistensi setiap matriks baik itu individu maupun gabungan dan juga konfirmasi yang dilakukan dengan pakar. Setelah hasil kuesioner didapat dan diketahui pembobotan setiap elemen pada seluruh tingkat hirarki, data ini akan diolah dengan menggunakan AHP. 147
Hasil pengolahan data primer ini dimulai dengan memeriksa terlebih dahulu kekonsistenan pembobotan yang diberikan responden. Pengolahan kekonsistenan pembobotan dilakukan dengan menggunakan Expert Choice 2000. Dimana dalam penelitian ini batas tingkat inkonsitensi ditetapkan 10%. Kemudian setelah masing–masing pembobotan per individu terbukti konsisten, keseluruhan pembobotan oleh masing–masing individu akan digabungkan dalam satu matriks gabungan. Setelah itu matriks gabungan inilah yang akan diukur kembali pembobotannya lewat mekanisme perhitungan AHP dengan menggunakan software expert choice 2000 yang akan menghasilkan pengolahan data horizontal dan pengolahan data vertikal. Hasil pengolahan horizontal akan memperlihatkan keterkaitan dan tingkat pengaruh antara satu faktor dalam satu tingkat hirarki dengan elemen lain dalam tingkat hirarki di atasnya. Hasil pengolahan vertikal akan menunjukkan data pemilihan alternatif strategi pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Medan Sumatera Utara. 3.
Pendekatan Sistem Pendekatan Sistem didefenisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian
masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefenisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno, 1998). Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama (Eriyatno, 2002). Menurut Manetech dan Park (1997), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut ini : (1) Tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, (2) Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya dan (3) Dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Lucas (1993) menyatakan bahwa secara teoritis komponen-komponen 148
dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar komponen. Sistem harus di pandang secara keseluruhan (holistik) dan akan bersifat sebagai pengejar sasaran (goal seeking), sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk mencapai tujuan. Sebuah sistem mempunyai masukan (input) yang akan berproses untuk menghasilkan keluaran (output). Pada sebuah sistem ada umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen-komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan dan sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sistem kecil (subsistem) yang akan membentuk suatu hirarki. 1. Metode Perbandingan Eksponensial Metode Perbandingan Eksponensial (Exponential Comparative Methode, ECM)
merupakan
salah
satu
metode
pengambilan
keputusan
yang
mengkuantitasikan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. Metode ini pada prinsipnya merupakan metode skoring terhadap beberapa pilihan yang ada. Hal yang sangat penting dalam metode ini adalah penentuan bobot dari kriteria yang ada. Selain itu kemampuan orang yang memberikan judgement sangat berpengaruh terhadap validnya hasil dari metode keputusan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan menggunakan metode MPE, adalah penentuan alternatif keputusan, penyusunan kriteria keputusan yang akan dikaji, penentuan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai dengan keinginan pengambil keputusan, penentuan derajat kepentingan relatif setiap pilihan keputusan pada setiap alternatif keputusan, dan peningkatan nilai yang diperoleh dari setiap alternatif keputusan. Hal yang sangat penting dalam penerapan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dalam pengambilan keputusan adalah penentuan derajat kepentingan relatif atau bobot dari setiap kriteria yang ditetapkan. Penentuan bobot ini dinilai sangat penting karena akan mempengaruhi nilai total akhir dari setiap pilihan keputusan. Metode dalam penentuan bobot adalah pemberian bobot secara langsung kepada setiap kriteria tanpa melakukan perbandingan relatif yang lainnya dan penentuan bobot dengan metode Eckenrode. 149
2. Model Analytical Hierarchy Process Dalam melakukan analisis terhadap penentuan kebijakan strategi promosi dari para pembuat keputusan, alat analisis yang digunakan untuk menganalisa pembuatan keputusan tersebut adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP adalah suatu metode pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel, yang menampung kreativitas dalam rancangannya terhadap suatu masalah. Model AHP pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, ahli matematika dari University of Pitsburgh, Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an. Analisis AHP ditujukan untuk membuat model permasalahan yang tidak terstruktur dan biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah–masalah terukur maupun masalah–masalah yang memerlukan pendapat (judgement). AHP memasukan aspek kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia (Saaty,1993). Aspek kualitatif mendefinisikan persoalan dan hirarkinya dan aspek kuantitatif mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat. Proses itu sendiri dirancang untuk mengintegrasikan dwi sifat ini. Proses ini dengan jelas menunjukan bahwa demi pengambilan keputusan yang sehat dalam situasi yang kompleks, sehingga diperlukan menetapkan prioritas dan melakukan pertimbangan. Pada penerapan metode AHP yang diutamakan adalah kualitas data dari responden, dan tidak tergantung pada kuantitasnya (Saaty, 1993). Oleh karena itu, penilaian AHP memerlukan para pakar sebagai responden dalam pengambilan keputusan dalam pemilihan alternatif. Para pakar disini merupakan orang-orang kompeten yang benar-benar menguasai, mempengaruhi pengambilan kebijakan atau benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan. Untuk jumlah responden dalam metode AHP tidak memiliki perumusan tertentu, namun hanya ada batas minimum yaitu dua orang responden. AHP telah banyak digunakan oleh para pengambil keputusan untuk membantu memecahkan masalah yang kompleks. Menurut Saaty (1993) AHP dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan seperti : menetapkan prioritas,
menghasilkan seperangkat alternatif, memilih alternatif, memilih alternatif kebijakan yang terbaik, menetapkan berbagai persyaratan, mengalokasikan sumber daya, meramalkan hasil dan menaksir risiko, mengukur prestasi, 150
merancang sistem, merencanakan dan memecahkan konflik. A. Langkah–Langkah Penggunaan AHP Saaty (1993) menjelaskan terdapat beberapa langkah dalam penggunaan metode AHP sebagai suatu alat untuk memecahkan persoalan. Adapun langkahlangkah yang dimaksud adalah : 1.
Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan yang diinginkan. Hal pertama yang harus dilakukan yaitu mengidentifikasi persoalan
dengan melakukan analisa atau pemahaman yang mendalam terhadap persoalan yang
dihadapi
dan
ingin
dipecahkan.
Setelah
itu
dapat
dilakukan
pengidentifikasian dan pemilihan elemen-elemen yang akan masuk komponen sistem, seperti focus, forces, actors, objecitives dan scenario dalam struktur AHP nantinya. Dalam AHP sendiri tidak terdapat prosedur yang pasti untuk mengidentifikasi komponen-komponen sistem. Komponen-komponen sistem dapat diidentifikasikan berdasarkan kemampuan pada analisa untuk menemukan unsur-unsur yang dapat dilibatkan dalam suatu sistem. 2. Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh. Hirarki merupakan suatu abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antar komponen dan dampaknya terhadap sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan. Struktur hirarki disusun berdasarkan jenis keputusan yang akan diambil berdasarkan sudut pandang dari tingkat puncak sampai ke tingkat dimana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan persoalan tersebut. Hirarki yang dapat terbentuk dalam metode AHP sendiri dapat berupa hiraki lengkap dan hirarki tak lengkap. Dalam struktur hirarki lengkap, semua elemen pada satu elemen pada satu tingkat memiliki hubungan dengan semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya. Pada struktur hirarki lengkap, jumlah tingkatan komponen sistem yang terdapat dalam hirarki tergantung pada pilihan peneliti.
151
F
A1
T1
A11
A2
A3
An
T2
T3
T4
A12
A13
A14
Tn
A1n
Gambar 4. Struktur Hirarki Lengkap 3. Menyusun matriks banding berpasangan. Matriks perbandingan berpasangan ini berfungsi untuk mengetahui kontribusi dan pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh yang berada setingkat diatasnya. Pada matriks ini, pasangan– pasangan elemen dibandingkan berkenaan suatu kriteria di tingkat yang lebih tinggi.
Dalam
membandingkan
dua
elemen,
biasanya
memberi
suatu
pertimbangan yang menunjukan dominasi sebagai bilangan bulat. Matriks ini memiliki satu tempat untuk memasukkan bilangan itu dan satu tempat lain untuk memasukan nilai resiprokalnya. 4. Mendapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan perangkat matriks dilangkah 3. Setelah matriks pembanding berpasangan antar elemen dibuat, dilakukan pembandingan berpasangan antar setiap elemen pada kolom ke-i dengan setiap elemen pada baris ke-j. Pembandingan berpasangan antar elemen tersebut dilakukan dengan pertanyaan “seberapa kuat elemen baris ke-i didominasi atau dipengaruhi, dipenuhi, diuntungkan oleh fokus di puncak hirarki, dibandingkan dengan kolom ke-j?”. Apabila elemen-elemen yang dipertimbangkan merupakan sebuah peluang atau waktu, maka pertanyaannya adalah “seberapa lebih mungkin suatu elemen baris ke-i dibandingkan dengan elemen dipuncak hirarki?”. Untuk 152
mengisi matriks banding berpasangan, digunakan skala banding yang tertera pada Tabel 10. Angka-angka yang tertera menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya sehubungan dengan sifat kriteria tertentu. Pengisian matriks hanya dilakukan untuk bagian diatas garis diagonal dari kiri ke kanan bawah. Tabel 10. Nilai Skala Banding Berpasangan Intensitas Pentingn
Definisi
Penjelasan
ya 1
Kedua
elemen
sama
pentingnya 3
Elemen sedikit
Dua elemen menyumbang sama besar pada sifat itu.
yang lebih
satu penting
daripada elemen yang
Pengalaman
dan
pertimbangan
sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya
lainnya 5
7
Elemen
yang
satu
Pengalaman
dan
sangat penting daripada
dengan
elemen yang lainnya
elemen atas elemen yang lainnya
Satu elemen jelas lebih
Bukti yang menyokong elemen
penting
yang
daripada
elemen yang lainnya
kuat
pertimbangan
satu
memiliki
menyokong
atas
yang
satu
lainnya
tinkat penegasan yang
tertinggi
yang
mungkin
menguatkan 9
Satu
elemen
mutlak
Bukti yang menyokong elemen
lebih penting daripada
yang satu
elemen yang lainnya
memiliki tingkat penegasan yang tertinggi
atas yang
yang lainya mungkin
menguatkan 2,4,6,8
Nilai–nilai diantara dua pertimbangan
yang
Kompromi diperhatikan di antara dua pertimbangan
berdekatan 153
Kebalikan
Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
Sumber: Saaty (1993) 5. Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal utama. Angka 1 sampai 9 digunakan bila Fi lebih mendominasi atau mempengaruhi sifat fokus puncak hirarki (x) dibandingkan dengan Fj, namun bila Fi kurang mendominasi atau kurang mempengaruhi sifat X dibandingkan Fj, maka digunakan angka kebalikannya. Matriks dibawah garis diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikannya. Contoh, bila elemen F24 memiliki nilai 7, maka nilai elemen F24 adalah 1/7. 6. Melaksanakan langkah 3, 4 dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hirarki tersebut. Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen pada setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hirarki, berkenaan dengan kriteria elemen di atasnya. Matriks perbandingan dalam AHP dibedakan menjadi dua yaitu : Matriks Pendapat Individu (MPI) dan Matriks Pendapat Gabungan (MGP). • Matriks Pendapat Individu (MPI) MPI adalah matriks hasil pembandingan yang dilakukan individu. MPI memiliki elemen yang disimbolkan dengan aij, yaitu elemen matriks pada baris kolom ke-i dan kolom ke-j. MPI dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Matriks Pendapat Individu X
A1
A2
A3
…
An 154
A1
a11
a12
a13
…
a1n
A2
a21
a22
a23
…
a2n
A3
a31
a32
a33
…
a3n
…
…
…
…
…
…
An
an1
an2
an3
…
ann
• Matriks Pendapat Gabungan (MPG) MPG adalah susunan matriks baru yang elemen (gij) berasal dari rata-rata geometrik pendapat-pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 10% dan setiap elemen pada baris dan kolom yang sama dari MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. MPG dapat dilihat dari tabel 12. Tabel 12. Matriks Pendapat Gabungan X
G1
G2
G3
…
Gn
G1
g11
g12
g13
…
G1n
G2
g21
g22
g23
…
G2n
G3
g31
g32
g33
…
G3n
…
…
…
…
…
…
Gn
gn1
gn2
gn3
…
gnn
Rumus rataan geometrik adalah sebagai berikut : n n
gij =
!a
ij ( k )
k =1
dengan : n
…….…………………..…….…………..............(1) = jumlah responden (pakar)
aij(k) = sel penilaian setiap pakar 7.
Menggunakan komposisi secara hirarki untuk membobotkan vektor–vektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikutnya dan seterusnya. Adapun vektor prioritas dapat dihitung dengan rumus : 155
VE n
! "a n
VP (Vektor Prioritas) =
ij
…..….....……….…..…….(2)
i =1
n n
dimana : VE (Vektor Eigen ) =
!a
ij
i =1
.…..…......…...……..….(3)
dengan : aij = Elemen MPI pada baris ke-i dan kolom ke-j n = Jumlah elemen yang diperbandingkan 8. Mengevaluasi inkonsistensi untuk seluruh hirarki. Pengukuran konsistensi ini diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban yang berpengaruh terhadap kesahihan hasil. Langkah yang digunakan yaitu dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing–masing matriks. Dengan cara yang sama setiap indeks konsistensi acak dibobot berdasarkan prioritas kriteria bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Rasio konsistensi hirarki harus 10% atau kurang. Jika tidak, mutu informasi harus diperbaiki, antara lain dengan memperbaiki pertanyaan ketika melakukan pengisian ulang kuesioner atau lebih baik dalam mengarahkan responden yang mengisi kuesioner. Namun batasan diterima atau tidaknya konsistensi suatu matriks sebenarnya tidak ada yang baku, seperti Fewidarto (1996) menjelaskan bahwa jika tingkat inkonsistensi sebesar 10% kebawah tidak dicapai maka dapat digunakan batas yang lebih besar atau bahkan rataan CR penilaian pakar.
Rumus untuk perhitungan uji konsistensi adalah sebagai berikut : • CI (Indeks Konsistensi) 156
"max ! n CI = n ! 1 …………………...………..……............……....….(4) dengan :
CI = Indeks Konsistensi
!max = eigen value maksimum n = jumlah elemen yang diperbandingkan
! dimana: max =
!VB n ……………….....……….......................…(5) VA = VP ……….........….……....(6)
• VB (Nilai Eigen)
• VA (Vektor Antara) = aij x VP ……..….......…......(7) Lebih lanjut ingin diketahui apakah CI dengan besaran cukup baik atau tidak, maka perlu diketahui rasio konsistensinya (CR) yaitu : • CR (Rasio Konsistensi)
CI CR = RI ……………….………………..………………………..(8) RI adalah indeks acak yang dikeluarkan oleh Oak Ridge Laboratory, dari matrik berorde 1 sampai 15 dengan menggunakan sample berukuran 100. Tabel RI tersebut seperti pada Tabel 13. Tabel 13. Indeks Acak n
1
2
3
4
5
6
7
RI
0,00
0,00
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
n
8
9
10
11
12
13
14
RI
1,41
1,45
1,49
1,51
1.48
1.56
1.57
Sumber : Fewidarto (1996)
B. Keuntungan AHP 157
Secara umum, keuntungan penggunaan metode AHP dapat diikhtisarkan sebagai berikut (Ma’arif dan Tanjung, 2003) : a. Kesatuan: AHP memberi satu model tunggal yang mudah dimengerti dan luwes untuk aneka ragam persoalan tak terstruktur. b. Kompleksitas:
AHP
memadukan
rancangan
deduktif
dan
rancangan
berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan. c. Saling ketergantungan: AHP dapat menangani saling ketergantungan elemenelemen dalam suatu sistem dan tak memaksakan pemikiran linier. d. Penyusunan hirarki: AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. e. Pengukuran: AHP memberi suatu skala untuk mengukur objek dalam wujud suatu metode untuk menetapkan prioritas. f. Konsistensi: AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. g. Sintesis: AHP menuntun pada suatu taksiran yang menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. h. Tawar–menawar: AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka. i. Penilaian dan consensus: AHP tak memaksakan konsensus, tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda. j. Pengulangan proses : AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki.
V.
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV (PTPN IV) 158
1.
Kondisi Umum PTPN IV Medan Sumatera Utara Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) merupakan salah
satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penggabungan (merger) dari PTPN IV,dan PTPN VII yang berlokasi di Provinsi Sumatra Utara. Jenis tanaman perkebunan yang diusahakan adalah kelapa sawit, kakao dan teh. Penggabungan tersebut dilandasi oleh Akte Notaris Harun Kamil SH No. 37 tangal 11 Maret 1996 dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. C2.8335.HT.01.01 tahun 1996 tanggal 8 Agustus 1996 yang dicantumkan dalam Tambahan Berita Negara No.81 tanggal 8 Agustus 1996. Visi PTPN IV adalah menjadi perusahaan agribisnis perkebunan yang tangguh dan mampu bersaing baik di sektor hulu dan hilir di tingkat nasional dan regional.
Untuk mewujudkan visi tersebut, PTPN IV
mengemban misi sebagai berikut: 1. Menjalankan usaha agribisnis di bidang perkebunan kelapa sawit (komoditas utama), teh dan kakao serta menghasilkan produk minyak sawit, teh jadi, biji kakao kering serta produk turunannya yang berkualitas untuk memberikan kepuasan bagi pelanggan. 2. Meningkatkan daya saing produk serta terus menerus yang didukung oleh sistem, cara kerja dan lingkungan kerja yang mendorong munculnya kreativitas dan inovasi untuk peningkatan produktivitas dan efisiensi. 3. Menghasilkan laba yang berkesinambungan untuk menjamin pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan perusahaan serta memberikan manfaat dan nilai tambah yang optimal bagi pemegang saham, karyawan dan stakeholder lainnya. 4. Mengelola usaha secara profesional untuk meningkatkan nilai perusahaan dengan berpegang teguh pada nilai-nilai etika bisnis dan senantiasa berpedoman pada tata kelola perusahan secara sehat. 5. Memberikan perhatian dan peran yang sungguh-sungguh dalam membangun kemitraan dan mengembangkan masyarakat lingkungan serta kelestarian lingkungan hidup. Maksud dan tujuan pendirian PTPN IV adalah turut melaksanakan dan 159
menunjang kebijakan dan program pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang ekonomi, khususnya pembangunan di bidang perkebunan. Maksud dan tujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengusahaan budidaya perkebunan berupa tanaman kelapa sawit, teh dan kakao. Luas areal yang diusahakan pada saat ini berupa : (1) Tanaman kelapa sawit seluas 126.343.85 ha, terdiri atas tanaman menghasilkan seluas 96.777 ha dan tanaman belum menghasilkan seluas 10.459 ha, Tahun Tanam yang Akan Datang (TTAD) seluas 4.087 ha, dan tanaman ulang /baru/konversi seluas 15.020,85 ha; (2) Tanaman teh seluas 5.396,11 ha, yang terdiri dari tanaman menghasilkan seluas 5.341,07 ha, tanaman belum menghasilkan seluas 55.04 ha; dan (3) Tanaman kakao seluas 4.135 ha yang semuanya merupakan tanaman menghasilkan. Area Tanaman yang Menghasilkan (TM) kelapa sawit pada tahun 2005 adalah 96.777 ha, berkurang 2.732 ha bila dibandingkan dengan tahun 2004. Berkurangnya areal ini disebabkan adanya mutasi areal 7.219 ha yang terdiri atas areal Tanaman Ulangan (TU) 1.126 ha, TTAD 3.887 ha, areal percobaan PPKS 65 ha, pabrik kompos 8 ha, pengeboran minyak oleh Pertamina 1 ha dan realisasi penanaman TU 2003 sebesar 10 ha dan penambahan areal tanaman belum menghasilkan menjadi tanaman yang menghasilkan adalah 2.365 ha. Tanaman kakao memiliki luas areal lahan yang menghasilkan 4.135 ha. Luas areal ini berkurang setelah sebagian areal dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 3.281 ha pada tahun 2004 dan 2005. Untuk tanaman teh, pada tahun 2005 luas areal TM yaitu 5.341,07 ha, dan areal TBM 55,04 ha. Luas areal ini sama untuk tahun 2004. Luas areal tanaman yang menghasilkan dicapai setelah dikurangi dengan areal yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 3.179,85 ha pada tahun 2004 dan 2005. PTPN IV memiliki peralatan produksi untuk operasional dengan kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai disajikan pada Table 14. Selain itu perusahaan juga memiliki pabrik perakitan mesin 1 unit da pabrik kompos 1 unit yang terdapat pada PKS Dolok Sinumbah. Perusahaan tidak memiliki load faktor.
Tabel 14. Alat produksi ,kapasitas terpasang , dan kapasitas terpakai PTPN IV 160
Alat Produksi
Kapasitas terpasang
Kapasitas terpakai
Pabrik Kelapa Sawit 15 unit
560 ton TBS/Jam
Pabrik Fraksionasi dan Rafinasi 300 ton CPO/hari
474 ton TBS/Jam 310 CPO/hari
1 unit Pabrik Pengolahan Inti Sawit 1 400 ton IS/hari
350 ton IS/hari
unit
254 ton DTB/hari
266 ton DTB/hari
Pabrik Teh 4 unit
Selain bergerak pada sub sistem hulu (budidaya), PTPV IV juga bergerak pada sub sistem hilir (industri pengelolahan). Industri pengolahan yang beroperasi paad saat ini berupa pabrik fraksionasi dan rafinasi yang berlokasi di Belawan dengan kapasitas 300 ton Crud Palm Oil (CPO)/hari. Produk yang dihasilkan dalam bentuk RDB olien, crude stearin dan fatty acid. Industri hilir ini pada tahun 2005 sudah di spin off dengan dengan PT. Pamina yang merupakan anak perusahaan PTPN IV yang mengusahakan produk sejenis. Pabrik Pengolahaan Inti Sawit (PPIS) yang berlokasi di kebun pabatu dengan kapasitas 400 ton inti sawit/hari menghasilkan produk berupa Palm Kernel (PKO) dan Palm Kernel Meal (PKM) Pihak manajemen PTPN IV merupakan budaya kerja perusahaan (corporate culture) yang bersifat aktif agar para karyawan memiliki motivasi dan kinerja yang optimal. Setiap karyawan diberi bimbingan dan dorongan agar memiliki perilaku sebagai berikut : (1) Berfikir positif untuk dapat menangkap setiap peluang, (2) Proaktif dalam menghasilkan inovasi dan prestasi, (3) Kerja sama tim untuk membangun kekuatan, (4) Menempatkan kepentingan perusahaan sebagai pertimbangan utama bagi setiap keputusan yang diambil oleh setiap keputusan yang diambil setiap jajaran perusahaan dan (5) menempatkan peningkatan kesejahteraan karyawan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pencapaian sasaran perusahaan. 161
Sasaran PTPN IV adalah menjaga kesinambungan perusahaan dengan mengupayakan pencapaian laba yang optimal agar dapat tumbuh dan perkembangan di masa yang akan datang. Pada tahun 2005 ditetapkan beberapa indikator sasaran yang perlu dicapai perusaan seperti : tingkat produksi dan produktivitas, pendemen, harga pokok produksi termasuk pembelian, harga pokok penjualan, volume penjualan, pengadaan barang, pendapatan penjualan, kinerja keuangan, laba sebelum pajak, jumlah tenaga kerja, peningkatan kompetensi karyawan, dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) 11 unit kebun yang sudah habis masa berlakunya dan penerbitan HGU baru untuk 6 unit kebun yang belum ada. Untuk mencapai sasaran perusahaan yang telah ditetapkan dilandasi oleh kebijakan-kebijakan dasar sesuai bidang masing-masing. Selanjutnya setiap kebijakan tersebut dilengkapi dengan strategi dan program guna dan memudahkan pencapaian sasaran. Strategi yang dirumuskan pihak perusahaan secara umum adalah meningkatkan kinerja perusahaan melalui upaya peningkatan pengendalian biaya dan produktivitas sumber-sumber yang bersedia. 2.
Kebijakan Berbasis Industri Kebijakan PTPN IV dalam rangka mencapai sasaran yang sudah
ditetapkan dikelompokkan ke dalam 13 bidang. Kebijakan, strategi, dan program pada masing-masing bidang tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut : 1.
Bidang Tanaman Kebijakan bidang tanaman adalah pemeliharaan tanaman yang sesuai
dengan baku teknis yang telah disesuaikan dengan kondisi tiap blok serta pemupukan berpedoman pada rekomendasi yang disusun oleh balai penelitian. Peremajaan tanaman kelapa sawit didasarkan bukan hanya kepada umur tanaman tetapi juga mempertimbangkan kondisi blok, kualitas produksi harus tetap dipertahankan dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku dan upaya peningkatan kualitas struktur tanah dengan pemberian limbah cair/padat (LCKS, tangkos dan kompos). Strategi bidang tanaman adalah menyempurnakan system panen, 162
mengintensifkan pemeliharaan tanaman dengan melaksanakan pemupukanm, tempat waktu dan dosis sesuai rekomendasi balai penelitian dan memperbaiki komposisi umur khususnya kelapa sawit, kakao dan teh yang dilakukan sesuai jadwal yang ditetapkan. Pemupukan dua kali setahun dan peremajaan tanaman kelapa sawit, konversi kakao ke kelapa sawit seluas 15.020,85 ha, pemeliharaan tanaman belum menghasilkan kelapa sawit seluas 10.459 ha dan teh seluas 55,04 ha. 2. Bidang Pengolahan Kebijakan bidang pengolahan adalah semua hasil produksi kebun yang dipanen setiap hari
harus dapat diolah pada hari itu juga dan pabrik hanya
mengolah hasil produksi yang kualitasnya memenuhi persyaratan. Strateginya adalah melaksanakan pembelian TBS pihak ketiga (masyarakat) dalam rangka mengoptimalkan kapasitas pabrik kelapa sawit dan meningkatkan mutu produk yang dihasilkan. Program kerja bidang pengolahan adalah melakukan pengaturan jam olah, melakukan sortasi TBS yang akan diolah, mengatur pengolahan TBS plasma dan pihak ketiga, menganalisa hasil olahan produksi secara teratur. 3. Bidang Teknik Kebijakan bidang teknik adalah penggantian mesin-mesin dan peralatan pabrik agar disesuaikan dengan jadwal dan memperhatikan masa manfaat dan rehabilitasi/penggantian
sarana
dan
prasarana
produksi
lainya
harus
memperhatikan tingkat kepentingannya. Strategi bidang teknik adalah melaksanakan pemeliharaan (maintenance) mesin-mesin dan instalasi pabrik, meningkatkan pemeliharaan sarana dan prasarana produksi dan melaksanakan penggantian (replacement) atas mesin dan sarana
pabrik.
Program
kerja
bidang
teknik
adalah
melaksanakan
pemeliharaan/penggantian mesin dan peralatan pabrik sesuai jadwal, mengatur alat transport untuk mengangkut hasil produksi, dan membangun sarana dan prasarana sesuai jadwal. 4. Bidang Perencanaan, Pengkajian dan Pengembangan 163
Kebijakan adalah membuat perencaan, pengembangan usaha, pengkajian dan peningkatan informasi manajemen, harus berpedoman pada rencana kerja jangka pendek dan rencana jangka panjang. Srategi bidang perencanaan, pengkajian dan pengembangan adalah melaksanakan pengkajian dan pengembangan usaha mengenai industri hilir teh dan kelapa sawit, pemanfaatan limbah menjadi pupuk dan pemanfaatan pupuk organik, melaksanakan aplikasi lahan (land application) atas limbah pabrik kelapa sawit dan membangun sarana teknologi informasi dan sistem informasi manajemen. Program kerjanya meningkatkan teknologi informasi dan sistem informasi manajemen resiko dan meningkatkan sarana local area network. 5. Bidang Dalam Pemasaran Hasil Kebijakan pemasaran hasil adalah semua pesanan harus dapat dipenuhi tempat waktu dengan mutu sesuai persyaratan yang tercantum dalam kontrak kerja. Strateginya adalah mempertahankan pasar yang telah ada dan mencari peluang pasar baru,meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, pengujian dan sertifikasi, melakukan kordinasi dengan lembaga pemasaran dalam rangka memperluas pasar, meningkatkan komunikasi dengan pembelian dalam rangka mempercepat pengapalan dan pembayaran atas kontrak penjualan. Program kerja pemasaran hasil adalah melakukan penjualan sesuai jadwal dan produksi yang dihasilkan, mengatur alat pengangkutan sesuai jadwal pengiriman yang ditetapkan, memonitor produksi di gudang, kebun atau tempat penimbunan untuk mendukung rencana penjualan, melakukan penagihan sesuai jadwal dan melaksanakan pengadaan bahan/barang tempat waktu. 6. Bidang Pengadaan Kebijakan pengadaan adalah pengadaan barang dan bahan sesuai kebutuhan dan levering tempat waktu. Strateginya adalah berupaya mendapatkan harga beli yang wajar dan bersaing dengan mutu yang terjamin, melaksanakan system dan prosedur yang berlaku serta memonitor persedian barang/bahan di Gudang Penimbunan Umum (GPU) kantor pusat, membina dan mensosialisasikan system dan prosedur pengadaan yang berlaku di PTPN IV kepada seluruh mitra 164
kerja. 7. Bidang Keuangan Kebijakan bidang keuangan adalah pelaksanaan kegiatan-kegiatan disesuaikan dengan rencana kerja operasional yang dibahas setiap tiga bulan dan pelaksaan investasi hanya dilakukan jika kondisi keuangan mendukung. Strategi bidang keuangan adalah mengendalikan arus kas (cash flow) perusahaan, meningkatkan pengendalian pelaksaan anggaran sesuai RKAP, pengendalian biaya melalui Rencana Kerja Operasional (RKO) dan meningkatkan sosialisasi, manajemen perpajakan dan asuransi. 8. Bidang Akuntansi Kebijakan akuntansi adalah mengoptimalkan penggunaan komputer, mengolah data dan penyusunan laporan. Strategi akuntansi adalah meningkatkan kegiatan ferivikasi agar pencatatan lebih akurat dan penyelesaian laporan tepat waktu. Program kerja akuntansi adalah mengadakan pengecekan semua dokumen pengeluaran secara cermat dan melaksanakan ferivikasi secara berkala sesuai kebutuhan. 9. Bidang Sumber Daya Manusia Kebijakan sumber daya manusia adalah pendidikan dan latihan dilakukan sesuai kebutuhan perusahaan dan penerimaan (recruitment) karyawan dilakukan sesuai standar formasi. Strategi sumber daya manusia adalah penyempurnaan struktur organisasi perusahaan sesuai dengan kebutuhan agar dapat dicapai efisiensi dan efektifitas kerja yang tinggi, menyempurnakan system imbal jasa yang lebih kompetitif dan mengarah pada prestasi kerja, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan disiplin kerja agar mampu melaksanakan tugas sesuai dengan
ketentuan
perusahaan,
menyusun
man
power
planning
untuk
mengoptimalkan pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dan meningkatkan hubungan industrial, kesehatan dan K3. Program kerja sumberdaya manusia adalah menyusun struktur organisasi 165
dan pembagian kerja (job ceiling), agar ada kejelasan masing-masing fungsi, menyusun peraturan jenjang karier, menyusun dan menentukan karyawan untuk melaksanakan pelatihan sesuai jadwal dan kebutuhan, menyempurnakan sistem imbal jasa dan menyusun rencana pensiun dan pensiun dini. 10. Bidang Umum Kebijakan bidang umum adalah pengamanan aset perusahaan dilakukan dengan biaya paling efisien. Strategisnya adalah meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam upaya mengamankan aset perusahaan, meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait untuk penyelesaian HGU perusahaan, dan meningkatkan koordinasi pelayanan kerumahtanggaan, keamanan dan sarana komunikasi. Program kerja bidang umum adalah menginventariskan areal HGU perusahaan yang akan habis masa berlakunya, melakukan perpanjangan HGU sesuai jadwal yang di tetepkan dan melaksanakan pengamanan aset. 11. Bidang Pembinaan Usaha Kecil Dan Koperasi. Kebijakan bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi adalah penyaluran dana pengembangan usaha kecil dan koperasi dan pemberdayaan masyarakat harus berdasarkan pada kebutuhan sesuai sasaran agar memberikan manfaat paling besar bagi perusahaan, dan membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan BUMN lain dalam rangka pengalihan mitra binaan di luar Provinsi Sumatera Utara. Strategi bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dan kebun unit untuk penyaluran, penagihan dana pengembangan usaha kecil dan koperasi, pemberdayaan masyarakat, mengalihkan mitra binaan yang berada di luar Provinsi Sumatera Utara ke BUMN lain, meningkatkan pelaksanaan evaluasi dan monitoring kepada mitra kerja, menggambarkan tindakan hukum kepada mitra binaan yang tidak mempunyai itikad baik dalam membayar kembali pinjamannya. Program kerja bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi adalah menyalurkan dana pengembangan usaha kecil dan koperasi dan pemberdayaan 166
masyarakat, melaksanakan evaluasi dan monitoring secara efektif dan efisien, melakukan penjadwalan terhadap mitra binaan yang akan dialihkan pembinaannya ke BUMN lain dan meminta persetujuan kemitraan BUMN untuk penagihan mitra binaan di luar Provinsi Sumatera Utara. 12. Bidang Kesehatan Kebijakan bidang kesehatan adalah pengiriman pasien ke rumah sakit rujukan diupayakan seminimal mungkin dan pemakaian obat diupayakan seoptimal mungkin obat generik. Strateginya adalah meningkatkan kemampuan rumah sakit perusahaan. Program kerja bidang kesehatan adalah melaksanakan pemeriksaan umum (general check up) bagi karyawan, melaksanakan program imunisasi bagi karyawan dan melaksanakan penyuluhan program keluarga berencana dan gizi sehat. 13. Bidang Pabrik Mesin Tenera Kebijakan bidang pabrik mesin tenera adalah pemeliharaan mesin dan peralatan-peralatan pabrik diupayakan seoptimal mungkin oleh petugas di bagian pabrik mesin tenera sendiri. Strategi bidang pabrik mesin tenera adalah meningkatkan keahlian dan keterampilan karyawan, meningkatkan kualitas hasil pekerjaan dengan biaya yang bersaing, dan meningkatkan mutu pelayanan terhadap kebun/unit kebun. Program kerja pabrik mesin tenera adalah melaksanakan pemeliharaan mesin-mesin dan peralatan pabrik sesuai jadwal yang ditetapkan dan membuat peralatan mesin sesuai pesanan.
VI.
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI 167
PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT Tujuan utama dari pengembangan agroindustri kelapa sawit adalah untuk peningkatan pendapatan masyarakat, perekonomian daerah dan perekonomian nasional. Hasil survei pakar pada penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan industri kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor penting yakni : 1.
Keamanan Berusaha Faktor keamanan berusaha sangat dominan pada pengembangan industri
kelapa sawit, ini disebabkan antara lain oleh periode tanaman mulai menghasilkan cukup lama (5 tahun sejak pembukaan lahan), merupakan investasi jangka panjang (sampai tanaman berusia 25 tahun) dan melibatkan masyarakat dalam jumlah banyak
yang berpotensi timbulnya gangguan sosial. Gangguan sosial
yang dimaksud disini adalah bagaimana penerimaan masyarakat artinya setiap rencana pengembangan industri kelapa sawit hendaknya mengutamakan sejauh mana tingkat penerimaan masyarakat setempat terhadap pengembangan industri kelapa sawit. Faktor lain yang menyangkut sosial adalah keadilan dalam pembagian keuntungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menganggap lebih penting masalah keadilan dibanding peningkatan pendapatan. Keadilan dapat terwujud apabila adanya transparansi dalam pengolahan usaha dimana masyarakat ikut berpartisipasi didalamnya sehingga kemanan berusaha dapat terwujud. 2.
Teknologi Produktivitas Teknologi pengembangan industri kelapa sawit dapat dikelompokkan
menjadi teknologi pembibitan, budidaya, dan teknologi pengolahan. Teknologi pembibitan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, memperpanjang umur tanaman menghasilkan, meningkatkan rendemen dan meningkatkan kualitas minyak yang dihasilkan. Dominannya faktor teknologi produktifitas tanaman kelapa sawit disebabkan karena produktivitas tanaman kelapa sawit secara signifikan mempengaruhi pendapatan perkebunan dalam penjualan TBS. 168
Pemilihan
teknologi
pembibitan
yang
tepat mempengaruhi
peningkatan
pendapatan perkebunan dan PKS. Perbedaan yang nyata antar setiap teknologi pembibitan menyebabkan perlunya kebijakan pembibitan untuk pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia. Pada teknologi pengolahan limbah kelapa sawit, limbah yang dihasilkan oleh PKS terdiri dari limbah cair dan limbah padat.Limbah padat yang dihasilkan berupa tandan kosong, sabut, dan cangkang. Limbah juga dapat berasal dari perkebunan, terutama limbah pelepah dan batang sawit. Pelepah dapat digunakan sebagai pupuk dan bahan baku pulp, sedangkan batang dapat dimanfaatkan sebagai bahan meubel dan papan partikel. 3.
Investasi Dan Pendanaan Agroindustri kelapa sawit merupakan industri padat modal karena
tingginya investasi untuk membangun satu unit PKS yang lengkap dengan kebun. Untuk mensuplai bahan baku PKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam dibutuhkan kebun sawit seluas 6.000 ha. Untuk membangun satu unit agroindustri kelapa sawit dibutuhkan investasi sebesar Rp. 130 milyar terdiri dari investasi pabrik Rp. 40 milyar dan investasi kebun Rp. 90 milyar (investasi per ha 15 juta). Besarnya investasi tersebut menjadi hambatan bagi petani atau organisasi petani untuk memiliki unit agroindustri kelapa sawit. Walaupun investasi kebun lebih tinggi dari pabrik, karena perkebunan dapat diusahakan dalam skala kecil maka perkebunan rakyat dapat berkembang dengan baik. Dampak dari ketidak mampuan memiliki pabrik tersebut menyebabkan banyak dari petani sawit yang mengelola perkebunan rakyat saat ini masih sangat tergantung pada pemilik pabrik. Ketergantungan rakyat pekebun terhadap pabrik sangat tinggi disebabkan karena waktu panen buah tidak dapat ditunda karena buah yang sudah dipanen harus diolah paling lambat 24 jam. Bagi perserta plasma ketergantungan mereka smakin tinggi karena mereka tidak memiliki pilihan untuk menjual TBS-nya kecuali pada pemilik kebun inti sebagai penjamin hutang dari pinjaman untuk investasi perkebunan. Kondisi ini menyebabkan posisi tawar petani sawit menjadi sangat rendah. Transaksi yang kurang adil menyebabkan terjadinya ketidak efisienan sumber daya.
Karena 169
jumlah rakyat pekebun yang bergerak dalam industri kelapa sawit cukup besar maka selayaknya kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada kelompok petani agar aspirasi dan kepentingan mereka diakomodir oleh kebijakan Pemerintah. Distribusi pendapatan pemerintah ditunjukkan oleh besarnya penerimaan yang diperoleh dari pajak. Sumber penerimaan pajak pemerintah terhadap agroindustri kelapa sawit terdiri dari pajak PPh, pajak PPn, pajak ekspor CPO dan PK. Pada tingkat propinsi terdapat (3) tiga faktor yang hendaknya menjadi perhatian propinsi, diantaranya adalah pengaturan kepemilikan saham atau bentuk pola usaha. Peran yang diterapkan dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengembangan industri kelapa sawit yang terpenting adalah penetuan tingkat upah, dan pengaturan pengendalian lingkungan. 4.
Pemberdayaan Masyarakat Kebun (SDM) Pemberdayaan
masyarakat
pekebun
sebagai
pelaku
pertanian
berkebudayaan industi hendaknya diarahkan untuk mewujudkan rakyat pekebun sebagai manusia yang memiliki sikap dan cara berpikir maju, profesional, mampu menjalin kerjasama, serta berorientasi pada peningkatan mutu, keunggulan, produktivitas dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam mengelola sumber daya serta mampu menjalin jaringan pemasaran dalam transaksi produk dan jasa. Menurut Nasoetion (1999) bahwa strategi pengembangan agroindustri, selain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga harus diarahkan pada: (1) Peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagan,
(2)
Peningkatan
efisiensi
pemanfaatan
sumberdaya,
(3) Pemberdayaan setiap komponen yang terlibat dalam pengembangan agroindustri, (4) Pendistribusian aset produktif dan hasil pembangunan secara berkeadilan dan (5) Pembangunan yang berkelanjutan dan tahan akan pengaruh eksternal. Strategi tersebut dapat terwujud melalui peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat. Oleh karena itu maka pengembangan agroindustri kelapa sawit seharusnya dikembangkan sesuai dengan kebudayaan industri yang dilandaskan kepada pengetahuan, kemajuan teknologi, mekanisme pasar sebagai media
utama 170
transaksi dikaitkan dengan kemandirian daerah bukan kemandirian masyarakat. Karakteristik agroindustri kelapa sawit di Indonesia berupa padat modal sekaligus padat karya, berbasis pada pendayagunaan sumberdaya lokal dan produknya sebagian besar dipasarkan di pasar global, dengan karakteristik demikian maka pemberdayaan masyarakat kebun, khususnya masyarakat kebun kelapa sawit berarti memberdayakan sebagian besar mesyarakat Indonesia memasuki era globalisasi. 5.
Daya Saing Kelapa sawit telah menjadi komoditi unggulan yang menghasilkan banyak
devisa kepada negara. Walaupun menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia, tetapi komoditi ini belum memiliki rantai industri yang kuat. Contohnya saja, pengembangan industri hilir kelapa sawit nasional seperti biodiesel maupun oleokimia, dapat dikatakan masih jalan di tempat. Dibandingkan Cina dan Malaysia, produksi Indonesia untuk kedua produk tersebut masih dibawah 1 juta ton. Di sektor hulu, permasalahan juga kerap terjadi antara lain rendahnya produktifitas terutama pada perkebunan kelapa sawit rakyat. Masalah lain tentang kendala terkait masalah lingkungan dimana kelapa sawit dituding menjadi biang keladi kerusakan lingkungan, semisal pembakaran hutan, peningkatan GHG, dan perusakan habitat orang hutan. Di produk minyak sawit, isu kesehatan juga perlu mendapat perhatian yang cukup serius oleh karena itu sebagai upaya memperkuat daya saing industri kelapa sawit nasional, dibutuhkan suatu pengembangan system penelitian nasional yang bersifat komperhensif yang disinergikan dengan kegiatan bisnis. Sampai saat ini banyak penelitian dan makalah yang mengkaji kelapa sawit. Kajian itu tersebar disemua lini kelapa sawit, mulai dari hulu hingga ke hilir. Beberapa penelitian yang dapat berkontribusi pada pengembangan industri sawit antara lain : pengembangan bibit sawit tahan ganoderma, pemuliaan tanaman sawit kaya PUFA di sektor hulu. Sedangkan di Hilir dihasilkannya teknologi pengolahan biosurfaktan, Cocoa Butter Equivalen (CBE) dan pekatan karoten, untuk sektor lingkungan. 171
Berbagai hasil analisis dan kajian yang berkaitan sosial ekonomi (kelembagaan, selera konsumen, peluang pasar), kebijakan, dan lingkungan merupakan salah satu pilar dalam meningkatkan daya saing, termasuk industri kelapa sawit. Dukungan kebijakan dan kelembagaan merupakan salah satu elemen penting dalam peningkatan daya saing. direspon dengan teknologi-teknologi ramah lingkungan, karena aspek lingkungan juga termasuk salah satu atribut dalam menentukan daya saing. Isu pengelolaan kelapa sawit di Indonesia, khususnya yang dicurigai merusak hutan memperlemah daya saing industri sawit Indonesia, baik pada sisi investasi (kredit dari luar negeri untuk membangun kebun kelapa sawit) dan pasar CPO Indonesia di Eropa. 6.
Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana pengembangan industri kelapa sawit meliputi
ketersediaan pupuk yang cukup, pestisida, insetisida dan herbisida serta penyediaan dan pembangunan infrastruktur bagi industri kelapa sawit. Penyediaan infrastruktur meliputi pembangunan pelabuhan yang layak, pembangunan jembatan, jalan, transportasi yang memadai. Infrastruktur di Indonesia masih dirasakan sangat kurang dibandingkan dengan Malaysia, akibatnya produktivitas kelapa sawit tidak maksimal. Dengan luas lahan produksi di Indonesia mencapai 7,5 juta ha produtivitas kelapa sawitnya hanya mencapai 19 juta ton setahun. Padahal Malaysia yang hanya memiliki lahan produksi 4 juta ha sanggup menghasilkan 16 juta ton kelapa sawit setahun. 7.
Politik Ekonomi Industri Kelapa Sawit Pengembangan industri kelapa sawit di masyarakat saat ini merupakan
hasil proses evolusi yang sudah berlangsung 1,5 abad yang lau sehingga pola perkebunan sudah memiliki cirri khas hubungan sosial dan budaya yang masih dipengaruhi oleh hubungan sosial yang dibangun pada zaman kolonialisme. Pengembangan industri kelapa sawit sangat terkait dengan aspek sosial, karena selain membutuhkan lahan yang luas dan membutuhkan tenaga kerja yang banyak, juga investasi dalam industri kelapa sawit juga membutuhkan waktu yang lama (minimum 25 tahun). 172
Keterkaitan politik ekonomi dalam pengembangan industri kelapa sawit terutama disebabkan karena produk yang dihasilkan yaitu minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok yang stabilitas harganya terus dipantau oleh pemerintah. Setiap ada gejolak harga minyak goreng pemerintah mengeluarkan kebijakan seperti pajak ekspor untuk menstabilkan harga. Terdapat dua faktor yang menunjukkan bahwa eratnya kaitan antara perkembangan politik-ekonomi dengan pengembangan industri kelapa sawit yaitu : faktor keamanan berusaha dan tingkat penerimaan masyarakat. Karenanya untuk mewujudkan kondisi yang stabil dibutuhkan dukungan politik karena salah satu prasyarat masuknya investor adalah terjaminnya keamanan berusaha dalam arti luas, terutama kepastian hukum. Dan kondisi tersebut ditentukan oleh keberhasilan menciptakan harga TBS dan keberhasilan mengantisipasi harga CPO. Untuk mewujudkan pengembangan industri kelapa sawit sebagai agroindustri unggulan, strategi pengembangan hendaknya diarahkan menjadi satu pilar pembangunan pertanian dalam menunjang perekonomian masyarakat. Kunci pokok yang perlu mendapat perhatian yaitu: (1) Peningkatan kualitas SDM, (2) Peningkatan penguasaan IPTEK, (3) Pengembangan kelembagaan dan (4) Pengembangan sarana dan prasarana. Keempat kunci tersebut dikaitkan dengan peningkatan daya saing, kemandirian dan berkelanjutan. Dukungan kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat umum juga sangat diperlukan guna pengembangan industri kelapa sawit.
VII.
ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN BERBASIS INDUSTRI 173
1.
Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Pengembangan Industri kelapa Sawit dengan AHP Berdasarkan faktor yang mempengaruhi, aktor yang berkepentingan serta
tujuan yang ingin dicapai maka disusun struktur hirarki yang terdiri dari lima tingkat seperti yang dapat dilihat di Gambar 5, dimana pada tingkat satu yaitu fokus atau goal, tingkat dua adalah faktor yang mempengaruhi penyusunan strategi kebijakan, tingkat tiga adalah aktor yang berkepentingan dan memiliki peranan dalam menyusun strategi kebijakan, tingkat empat adalah tujuan yang ingin dicapai, dan tingkat lima adalah alternatif-alternatif yang dapat dipilih oleh perusahaan dan pemerintah untuk mencapai tujuan pengmbangan industri kelapa sawit.
Gambar 5. Struktur Hirarki Pemilihan Strategi Kebijakan Pemerintah
Keterangan
: 174
A. Tingkat 1
: Goal yang menjadi inti atau fokus dari permasalahan yang ingin dipecahkan dengan metode AHP (Fokus)
B. Tingkat 2
: Hal-hal yang menjadi faktor penyusun strategi promosi (Faktor)
1. SP
: Sarana Prasarana (infrastruktur)
2. SDA
: Sumber Daya Alam
3. Inv
: Investasi
4. Tekprod : Tekhnologi dan produktivitas 5. SDM C. Tingkat 3
: Sumber Daya Manusia : Aktor-aktor yang berperan dalam pengambilan keputusan strategi promosi (Aktor)
1. DRU
: Direktur PTPN IV
2. Depdag
: Departemen Perdagangan
3. Deprin
: Departemen Perindustrian
4. Dirbun
: Dirjen Perkebunan
5. Kelembagaan 6. Petani 7. Pengusaha D. Tingkat 4
: Tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan strategi promosi (Tujuan)
• Meningkatkan pendapatan pemerintah di bidang pertanian. • Meningkatkan pendapatan pengusaha perkebunan dan usaha perkebunan. • Meningkatkan kinerja pabrik pengolahan kelapa sawit. • Miningkatkan pendapatan tenaga kerja yang bekerja pada pabrik CPO/PKO dan PKS.Meningkatkan kualitas lingkungan yg lebih baik. E. Tingkat 5
:
Hal-hal
yang
dirumuskan
sebagai
pilihan
yang
akan
direkomendasikan sebagai hasil untuk mencapai tujuan penelitian
(Alternatif)
1. Pemerintah menetapakan kebijakan tetentang pajak ekspor secara berkala agar pelaku usaha dan pemerintah sama-sama mendapat keuntungan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Penetapan kebijakan tentang harga TBS. 175
3. Ditetapkannya kebijakan tentang pemupukan cadangan penyangga minyak kelapa sawit. 4. Kebijakan tentang distribusi lahan. 5. Menetapkan pola usaha dan tata cara pemasaran produk berbasis kelapa sawit agar merata. Pengolahan data dilakukan pada setiap tingkat terhadap faktor pada tingkat diatasnya. Dari hasil pengolahan AHP didapatkan dua sudut pandang pengolahan, yaitu pengolahan vertikal dan pengolahan horizontal. 1. Hasil Pengolahan Data secara Horizontal dalam AHP Hasil pengolahan horizontal menunjukan hubungan antara elemen-elemen dalam satu hirarki dengan elemen-elemen lainnya di tingkat hirarki yang berbeda. Dari pengolahan horizontal akan terlihat tingkat pengaruh antara satu faktor terhadap sejumlah faktor lainnya pada tingkat hirarki dibawahnya. a.
Aktor Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa aktor yang paling dominan
pengaruhnya terhadap keberhasilan pengambangan industri kelapa sawit adalah Direktur PTPN (0,456) dan departemen perdagangan (0,192). Kepentingan seorang Direktur PTPN sangat tinggi karena kedua elamen ini merupakan manajemen tertinggi dalam PTPN IV. Oleh karena itu, beliau merupakan pihak yang berkepentingan langsung dalam mengarahkan, mengkoordinasikan dan menyetujui kebijakan apa yg akan di tetapkan dan dijalankan oleh PTPN IV. Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh terhadap anggaran promosi yaitu Dirjen Perkebunan (0,090), Kelembagaan (0,102), petani (0,093) dan pengusaha (0,067).
Tabel 15.
Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar 176
Elemen pada Tingkat 3 (Elemen Aktor Penyusun Strategi kebijakan pengembangan industri kelapa sawit). AKTOR
URAIAN
F1
F2
F3
F4
F5
1
Direktur PTPN
0,456
0,457
0,45
0,31
0,43
9
0
0
0,22
0,17
0,19
4
5
6
0,12
0,27
0,15
9
4
4
0,07
0,04
0,08
2
9
0
0,05
0,05
0,05
3
1
0
0,06
0,10
0,08
3
1
9
2 3 4 5 6
Deperindag
0,192
Dirjen Perkebunan
0,090
Kelembagaan
0,102
Petani
0,093
Pengusaha
0,067
0,174 0,108 0,074 0,083 0,104
Dalam hal Sumber Daya Alam, pihak yang memiliki tingkat kepentingan terbesar juga masih dipegang oleh Direktur Utama (0,457). Seorang Direktur PTPN memiliki wewenang langsung untuk mengatur seluruh Sumber Daya Alam yang berada dalam kepemilikan perusahaannya. Oleh karenanya, Direktur PTPN diharapkan mampu mengatur SDA yang ada di PTPN IV. Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh terhadap Sumber Daya Alam yaitu Deperindag (0,174), Dirjen
Perkebunan
(0,108),
Pengusaha
(0,104),
Petani
(0,083)
dan
Kelembagaan (0.074). Aktor yang memiliki tingkat kepentingan terbesar pada karakteristik investasi adalah Direktur PTPN (0,459). Direktur PTPN IV merupakan jajaran manajemen atas yang banyak memiliki peran terhadap kebijakan lapangan. Oleh karena itu, Direktur dituntut untuk dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat. Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh terhadap karakteristik Investasi yaitu Deperindag (0,224), Disbun (0,129), Kelembagaan (0,072), Pengusaha (0,063) dan Petani (0,053). 177
Berkaitan dengan karakteristik teknologi dan produktivitas PTPN IV, pihak yang memiliki kepentingan tertinggi adalah
Direktur PTPN (0,310).
Hal ini dikarenakan seorang Direktur Utama merupakan pembuat kebijakan strategis, diantaranya kebijakan tersebut menjadi penting dikarenakan seorang Direktur PTPN merupakan orang yang memiliki kapabilitas mengenai spesifikasi produk pembiayaan PTPN IV. Pihak
berikutnya dengan tingkat pengaruh
terhadap karakteristik teknologi dan produktivitas yaitu Dirjen Perkebunan (0,274), Deperindag (0,175), Pengusaha (0,101), Petani (0,051) dan Kelembagaan (0,049). Dalam hal sumber daya manusia, pihak yang memiliki tingkat kepentingan terbesar juga masih dipegang oleh Direktur PTPN (0,430). Seorang Direktur Utama memiliki wewenang langsung untuk mengatur seluruh sumber daya manusia yang berada dalam perusahaannya. Oleh karenanya, Direktur Utama diharapkan mampu mengatur SDM yang ada di PTPN IV. Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh terhadap sumber daya manusia yaitu Deperindag (0,196), Dirjen Perkebunan (0,154), Pengusaha (0,089), Kelembagaan (0,080) dan Petani (0,050). b. Tujuan Berdasarkan Tabel 16 tujuan untuk meningkatkan pendapatan pelaku usaha perkebunan dalam rangka pengembangan industri pertanian berbasis kelapa sawit dipegang oleh Direktur PTPN (0,505). Sebagai jajaran lini atas perusahaan, Direktur PTPN bertanggung jawab langsung kepada pemilik saham PTPN IV. Volume penjualan yang baik merupakan ukuran kinerja yang paling utama dari seorang Direktur PTPN IV. Dengan begitu meningkatkan volume penjualan dan peningkatan
produksi
menjadi
sangat
penting
untuk
menjadi
tujuan
pengembangan industri kelapa sawit. Sedangkan prioritas ke dua untuk tujuan peningkatan pendapatan tenaga kerja (0,219). Prioritas ke tiga untuk tujuan pendapatan pemerintah (0,010), prioritas tujuan ke empat dan ke lima masingmasing yaitu meningkatkan kualitas lingkungan (0,089) dan peningkatan kinerja pabrik kelapa sawit (0,086). Tabel 16. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar 178
Elemen pada Tingkat 4 (Elemen Tujuan analisis strategi kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan industri kelapa sawit) Tuju an 1 2 3 4 5
Uraian
A1
A2
A3
Pendapatan
0,101
0,085
0,0930 0,071
Pemerintah
0
0
Pendapatan
0,505
0,429
PK/USABUN
0
0
Peningkatan PAB PKS 0,086
0,103
0
0
Peningkatan
0,219
0,292
Pendapatan TK
0
0
Kualitas Lingkungan
0,089
0,091
0
0
A4
0 0,4220 0,330 0 0,1280 0,121 0 0,2010 0,248 0 0,1560 0,229 0
A5
A6
0,060
0,054
0
0
0,441
0,438
0
0
0,118
0,163
0
0
0,219
0,166
0
0
0,162
0,178
0
0
Dalam prioritas tujuan utama meningkatkan pendapatan usaha perkebunan kelapa sawit aktor lain yg berperan penting selain Direktur PTPN dalam jajaran pemerintahan yaitu Deperindag (0,429) dimana aktor ini berperan dalam penetapan kebijakan, peraturan dan memberikan fasilitas dalam pengambangan industri kelapa sawit, sedangkan prioritas ke dua dari tujuan adalah untuk peningkatan pendapatan tenaga kerja yg di pekerjakan kebun seperti pekerja untuk pemupukan, pembersihan gulma, dan pemanenan (0,219), dan prioritas tujuan ketiga peningkatan kinerja pabrik kelapa sawit (0,103), prioritas keempat untuk tujuan peningkatan kualitas lingkungan (0,091) dan pendapatan pemerintah (0,085) Bagi aktor Dirjen Perkebunan, tujuan untuk meningkatkan pendapatan pelaku usaha perkebunan besar merupakan hal utama (0,422). Hal ini menjadi penting bagi
Dirjen Perkebunan, sehubungan dengan tanggung jawabnya
terhadap pencapaian dari target bisnis dan pembuat kebijakan, peraturan pemanfaatan lahan serta mengeluarkan ijin usaha dalam bidang perkebunan kelapa sawit. Dengan tercapainya tujuan tersebut dapat mengindikasikan kinerja 179
cukup baik dari jajaran pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan menurut Dirjen Perkebunan prioritas ke dua tujuan adalah untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja yang di pekerjakan perusahaan perkebunan (0,201). Prioritas ketiga untuk tujuan meningkatkan kualitas lingkungan sekitar usaha perkebunan kelapa sawit (0,156), dan prioritas ke empat yakni meningkatkan kinerja pabrik kelapa sawit (0,128). Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program pelaksanaan kegiatan di lapangan, kelembagaan merupakan suatu organisasi yang bertujuan mewadahi organisasi pekerja dan pelaku usaha perkebunan dilapangan dan kelembagaan ini menjadikan tujuan meningkatkan pendapatan pelaku usaha baik negeri (PTPN) maupun swasta menjadi hal utama dalam
rangka
meningkatkan pengembangan industri kelapa sawit (0,330). Sedangkan menurut kelembagaan prioritas ke dua tujuan adalah untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja di PTPN IV (0,248). Prioritas ke tiga untuk tujuan meningkatkan kualitas lingkungan, baik dari lingkungan masyarakat sekitar usaha perkebunan maupun pemanfaatan limbah kelapa sawit (0,229), dan tujuan ke empat untuk tujuan peningkatan kinerja pabrik kelapa sawit (0,121) dan prioritas ke lima untuk tujuan pendapatan pemerintah (0,071). c.
Alternatif Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa untuk mencapai tujuan meningkatkan
pendapatan pemerintah, alternatif dengan prioritas yang paling tinggi adalah strategi 2, penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) (0,482). Melalui penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) diharapkan petani dapat meningkatkan taraf hidupnya dan menjaga kualitas kalapa sawit yg dihasilkan dan pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan manaikkan upah dan gaji karyawan yg bekerja di bidang perkebunan . Dalam rangka mencapai tujuan meningkatkan pendapatan pelaku usaha dan perkebunan PTPN IV, alternatif dengan prioritas yang paling tinggi adalah strategi 2, penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Alternatif ini menjadi penting mengingat strategi ini merupakan strategi yang baik guna meningkatkan produktifitas pengolahan kelapa sawit di tengah terbatasnya lahan yang dapat di 180
gunakan . Tabel 17. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen pada Tingkat 5 (Elemen Alternatif Strategi kebijakan) AL
URAIAN
T1
T2
T3
T4
T5
Penetapan Pajak Ekspor secara 0,20
0,19
0,18
0,18
0,20
berkala
2
7
3
9
4
Penetapan Harga TBS
0,48
0,48
0,46
0,40
0,37
2
6
0
0
9
0,11
0,13
0,18
0,17
T 1
2
3
4
5
Diversivikasi
produk
olahan 0,12
Minyak sawit
8
1
0
4
2
Distribusi Lahan
0,11
0,07
0,04
0,09
0,12
2
2
0
2
1
Pola Usaha dan Pemasaran Produk 0,07
0,13
0,13
0,13
0,12
yang Merata
4
4
5
4
6
Alternatif 3 (0,184) yaitu diversivikasi produk olahan minyak sawit merupakan alternatif prioritas utama untuk mencapai tujuan meningkatkan pendapatan tenaga kerja perkebunan. Alternatif ini menjadi penting karena semakin banyak cabang industri pengolahan kelapa sawit menjadi berbagai macam produk olahan selain minyak sawit menjadikan pendapatan pekerja di bidang perkebunan kelapa sawit semakin bertambah karena semakin banyak memerlukan tenaga kerja. Distribusi lahan sebagai alternatif 4 (0,112) dipilih sebagai prioritas utama dari tujuan meningkatkan pendapatan pemerintah karena distribusi lahan yang tepat akan mendapatkan keutungan bagi pemerintah berupa pajak dan penyerapan tenaga kerja agar tercipta masyarakat yang lebih sejahtera dan pemanfaatan lahan yang tepat guna serta meningkatnya pertumbuhan industri khususnya industri 181
minyak kelapa sawit dan olahan lain dari kelapa sawit. Pola usaha dan pemasaran produk yang merata menjadi alternatif 5 (0,135) yang menjadi prioritas tujuan peningkatan pendapatan tenaga kerja. Alternatif ini menjadi penting karena dengan diaturnya pola usaha dan pemasaran produk yang merata memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut serta berusaha di bidang perkebunan dengan pola usaha yg telah di tetapkan pemerintah yang pastinya menguntungkan bagi masyarakat dan pengusaha yang bergerak dibidang perkebunan.
2.
Hasil Pengolahan Data secara Vertikal dalam AHP 182
Dari pengolahan data secara vertikal akan menunjukan besarnya tingkat alternatif dari strategi kebijakan yang dapat dipilih disertai dengan bobot yang dikandung oleh masing-masing elemen dalam hirarki. Hirarki pemilihan alternatif strategi kebijakan terkait pengembangan industri kelapa sawit studi kasus PTPN IV disertai dengan hasil dari pengolahan secara vertikal dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini.
Goal
Faktor
Aktor
Direktur PTPN 0,420
Penentuan Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan USAHA Besar Industri Kelapa Sawit (Studi Kasus di PTPN IV Sumatera Utara)
Teknologi Produktifitas 0,840
Deperindag 0,202
Pendapatan
Dirjendbud 0,160
Daya Saing 0,117
Kelembagaan 0,071
0,449
Peningkatan Tenaga Kerja 0,226
Kualitas Lingkungan 0,120
Penetapan harga TBS 0,445
Penetapan Pajak Ekspor 0,193
Divervikasi olahan kelapa sawit 0,137
Tujuan PK/USAB UN
Alternatif
Sarana Prasarana 0,242
SDM 0,083
Pengusaha 0,066
Peningkatan PAB PKS 0,105
Pola Usaha dan Pemerataan produk
0,127
Infestasi 0840
Petani 0,059
Pendapatan Pemerintah 0,087
Distribusi Lahan 0,082
Gambar 6. Hasil pengolahan vertikal struktur hirarki pemilihan alternatif strategi kebijakan pemerintah terkait pengembanagan industri kelapa sawit (Studi Kasus PTPN IV) Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa faktor yang paling berpengaruh 183
terhadap analisis strategi kebijakan pemerintah (Studi Kasus di PTPN IV) adalah Teknologi dan Produktivitas (0,480). Dominannya faktor teknologi baik teknologi pembibitan maupun teknologi yang di gunakan pabrik pengolahan kelapa sawit dan produktivitas tanaman kelapa sawit karena secara signifikan dapat mempengaruhi pendapatan perkebunan dalam penjualan Tandan Buah Segar (TBS). Tabel 18. Bobot dan prioritas faktor-faktor penyusun strategi pengembangan industri kelapa sawit FAKTOR
URAIAN
BOBOT FAKTOR
RANGKING
1
Daya Saing
0,117
3
2
Investasi
0,077
5
3
Produktivitas
0,480
1
4
Sarana Prasarana
0,242
2
5
Sumber Daya Manusia
0,083
4
Sarana prasarana (0,242) menjadi faktor kedua dari analisis AHP diatas yang di anggap dominan karena dengan tersedianya sarana dan prasarana produk pertanian seperti pupuk, bibit yang baik serta mendukungnya infrastruktur seperti jalan, pengangkutan akan sangant membantu peningkatan kualitas dari tandan buah segar yang dihasilkan dan ketersediaan bahan baku kelapa sawit yang tepat waktu dan dapat menguntungkan semua pihak. Daya saing (0,117) menjadi faktor dengan prioritas ketiga yang berpengaruh dalam analisis strategi kebijakan di PTPN IV. Daya saing sangat penting karena hal ini di kaitkan dengan pengembangan kualitas SDM, peningkatan penguasaan IPTEK sehingga tercipta kemandirian usaha sehingga dapat tercapai nilai ekspor dan peluang ekspor yang tingi, dan daya saing nilai produk yang tingi. Peran pemerintah dalam hal daya saing ini selain sebagai birokrasi juga berperan sebagai fasilitator yang yang memfasilitasi perkembangan produk serta menjamin kaamanan berusaha sehingga mendorong para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan sehingga mampu bersaing di pasar internasional. Faktor yang menjadi prioritas 184
selanjutnya yaitu sumber daya manusia (0,083) dan investasi (0,077). Kedua faktor ini juga sangat mendukung pengembangan industri kelapa sawit, dengan
pemberdayaan
masyarakat
pekebun
sebagai
pelaku
pertanian
berkebudayaan industri hendaknya diarahkan untuk mewujudkan rakyat pekebun sebagai manusia yang memiliki sikap dan cara berpikir maju, profesional, mampu menjalin kerja sama, serta berorientasi pada peningkatan mutu, keunggulan, produktivitas dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengelola sumberdaya serta mampu menjalin jaringan pemasaran dalam transaksi produk dan jasa, sama halnya dengan sumberdaya manusia investasi juga merupakan faktor penting. Kelayakan usaha perkebunan dan PKS terhadap harga TBS merupakan tolak ukur bagi pengembangan industri kelapa sawit. Pada jenjang aktor, menunjukkan bahwa pemerintah pusat yang diwakili direktur PTPN, Deperindag dan Dirjen Perkebunan masih dominan pengaruhnya terhadap keberhasilan pengembangan industri kelapa sawit, sedangkan Pengusaha, Kelembagaan dan Petani perannya masih dianggap rendah. Peran pemerintah yang masih dominan dalam pengembangan industri kelapa sawit desebabkan faktor-faktor mempengaruhi agroindustri kelapa sawit (teknologi dan produktivitas, sarana dan prasarana (infrastruktur), daya saing, sumberdaya manusia dan ketersediaan modal) sebagian besar dalam penguasaan atau minimal sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Aktor lain belum mampu mengimbangi pengaruh pemerintah dalam mengendalikan faktor-faktor tersebut. Mulai diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pusat dan Daerah, maka strategi yang penting di laksanakan adalah mentransformasikan berbagai kewenangan yang sesuai dengan peraturan pemerintah tersebut untuk dilaksanakan di daerah agar pengembangan agroindustri di daerah lebih sesuai dengan kondisi yang diinginkan masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Tabel 19 . Bobot dan prioritas aktor yang berperan dalam pengambilan 185
keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait pengambangan industri kelapa sawit AKTOR
URAIAN
BOBOT
RANGKING
AKTOR 1
Direktur PTPN
0,420
1
2
Deperindag
0,202
2
3
Dirjen Perkebunan
0,160
3
4
Kelembagaan
0,071
5
5
Petani
0,059
6
6
Pengusaha
0,078
4
Tujuan untuk peningkatan pendapatan perkebunan dan tenaga kerja sebagai perioritas dalam analisis strategi dan kebijakan pengembangan agroindustri kelapa sawit hendaknya dijadikan faktor utama setiap perumusan strategi dan kebijakan agroindustri kelapa sawit (Tabel 20). Perkebunan sudah sewajarnya menerima tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari PKS karena resiko usaha perkebunan lebih besar dari PKS karena produksinya tergantung oleh kondisi alam seperti hama dan penyakit tanaman dan TBS yang dihasilkan hanya dapat disimpan selama 24 jam. Sementara tenaga kerja di perkebunan dan PKS perlu di perioritaskan karena hingga saat ini gaji/upah yang diterima sebesar Upah Minimum Regoinal (UMR) masih belum menukupi untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Tabel 20 .
Bobot dan prioritas tujuan yang berperan dalam pengambilan 186
keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait pengambangan industri kelapa sawit TUJUAN
URAIAN
BOBOT
RANGKING
TUJUAN 1
Pendapatan Pemerintah
0,0872
5
2
Pendapatan PK/USABUN
0,4496
1
3
Peningkatan PAB PKS
0,1056
4
4
Peningkatan
Pendapatan 0,2264
2
TK 5
Kualitas Lingkungan
0,1203
3
Sementara strategi yang dominan untuk pengembangan agroindustri kelapa sawit yaitu harga Tandan Buah Segar (TBS), kemudian gaji/upah tenaga kerja, dan perpajakan merupakan kebijakan yang terbaik bagi semua pihak yang berkepentingan dalam industri kelapa sawit. Sedangakan aktor yang masih memerlukan penataan yakni peran aktor yang dominan yaitu kelembagaan, dan pemerintah pusat, serta upaya pemberdayaan rakyat pekebun agar peranannya dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit dapat setara dengan peran aktor lainnya.
Tabel 21. Bobot dan prioritas alternatif kebijakan yang berperan dalam 187
pengambilan
keputusan
strategi
kebijakan
pemerintah
terkait
pengambangan industri kelapa sawit Bobot Uraian Alternat
Alternat
Rangkin
if
g
if 1
Penetapan Pajak Ekspor secara berkala
2 0,193
2
Penetapan Harga TBS
3
Diversivikasi produk olahan Minyak sawit
0,445
1 3
0,137 4
Distribusi Lahan
0,082
5
5
Pola Usaha dan Pemasaran Produk yang 0,127
4
Merata Pendalaman terhadap tujuan pengembangan agroindustri kelapa sawit selanjutnya dilakukan dengan mengidentifikasikan output atau dampak yang diharapkan dari sistem agroindustri kelapa sawit. Hasil survey pakar menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis dampak kebijakan yang diharapkan dari pengembangan agroindustri kelapa sawit. Tiga jenis dampak diantaranya memiliki peringkat tinggi yaitu : Peningkatan pendapatan perkebunan rakyat, peningkatan kesejahteraaan rakyat dan peningkatan pendapatan tenaga kerja. Selengkapnya jenis dampak dan peringkatnya dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Bobot Peringkat Dampak dalam Pengembangan Industri Kelapa 188
Sawit (Studi Kasus PTPN IV). Peringk No
Jenis Dampak
Bobot
at
1
Peningkatan Pendapatan Pemerintah
3.400
5
2
Berkembangnya Produk yang dihasilkan
3.000
7
3
Peningkatan Pendapatan PK/USABUN
4.700
1
4
Pengaruh sosial budaya
2.400
8
5
Berkembangnya perekonomian daerah
3.100
6
6
Peningkatan PAB PKS
2.700
4
7
Peningkatan Pendapatan Tenaga Kerja
4.000
2
Jenis dan jumlah pajak yang layak bagi pelaku 8
usaha dan pemerintah
2.400
9
9
Peningkatan Kualitas Lingkungan
3.700
3
10
Peningkatan Pemerataan pembangunan
2.300
10
Pengambilan keputusan kebijakan pengembangan agroindustri kelapa sawit akan dihadapkan pada banyaknya dampak hendak dicapai. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui berbagai kebijakan. Setiap jenis tujuan membutuhkan jenis kebijakan yang berbeda. Dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit, 10 jenis output atau dampak yang disebutkan diatas menjadi kriteria dalam penentian jenis kebijakan. Atas dasar 10 kriteria tersebut, hasil pendapat pakar dengan teknik MPE menunjukkan instrumen kebijakan gaji/upah merupakan perioritas pertama, disusul oleh kebijakan harga CPO, kuota ekspor, bentuk pola usaha, harga TBS, dan kebijakan perpajakan, seperti dapat dilihat pada Gambar. Instrumen kebijakan yang diperlukan dapat saling terkait satu sama lain, seperti untuk peningkatan pendapatan tenaga kerja dapat dicapai melalui penataan kebijakan gaji/upah itu sendiri dan kebijakan lainnya seperti harga CPO, penataan ekspor, teknologi pengolahan TBS dan penataan pola usaha. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat diperlukan penataan kebijakan gaji/upah, harga TBS dan CPO, pola usaha dan kebijakan perpajakan. Peningkatan pendapatan daerah sangat ditentukan oleh kebijakan perpajakan, harga CPO, dan kebijakan ekspor. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa pendapat pakar melalui teknik AHP 189
juga menunjukkan bahwa instrumen kebijakan harga TBS merupakan instrumen yang memiliki bobot tertinggi untuk pengembangan agroindustri kelapa sawit, yang disusul oleh instrumen kebijakan gaji/upah dan pajak. Dari hasil AHP dan MPE dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor strategis didalam pengembangan agroindustri kelapa sawit adalah faktor TBS (harga dan ketersediaan), keamanan berusaha, dana (tingkat suku bunga, sumber dana dan ketersediaan dana), pasar (suplai, permintaan dan harga CPO dan PKO). Hasil dari AHP dan MPE (dapat dilihat pada lampiran) dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit juga berfungsi untuk penyelesaian konflik kepentingan antar pihak berkepentingan, selain itu juga dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan strategi pengembangan agroindustri kelapa sawit nasional. a.
Analisis Sensitivitas AHP Strategi Kebijakan Pemerintah Untuk melihat tingkat sensitivitas perubahan skala prioritas kebijakan
dilakukan uji sensitivitas. Analisis sensitivitas ini dimaksudkan untuk melihat kecendrungan
perubahan
suatu
perioritas
terhadap
faktor
lain
yang
mempengaruhinya. Adapun hasil dari analisis sensitivitas selengkapnya diuraikan dibawah ini :
Gambar 7. Diagram Batang Analisis Sensitivitas (awal) pada level faktor Kondisi awal pendapat para stakeholder (Gambar 10) menunjukkan bahwa skala prioritas strategi dan kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit nasional (Studi Kasus di PTPN IV) pada level faktor secara berturutturut dari prioritas utama hingga prioritas terakhir adalah penetapan harga TBS 190
(0,451), penetapan pajak ekspor secara berkala (0,195), diversifikasi produk olahan minyak sawit (0,139), pola usaha dan pemerataan produk yang merata (0,128) dan distribusi lahan (0,088). Penetapan skala prioritas tersebut terutama didasarkan atas pertimbangan aspek peningkatan produktivitas (0,480), disusul dengan pertimbangan aspek peningkatan sarana dan prasarana sebagai skala prioritas kedua (0,242), dan aspek daya saing (0,117) sebagai prioritas ketiga serta aspek SDM (0,083) dan investasi (0,077) sebagai prioritas keempat dan kelima. Seandainya
preferensi
para
stakeholder
terhadap
pertimbangan
produktivitas meningkat, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah terhadap diversifikasi produk olahan minyak sawit ataupun adanya peningkatan mutu kelapa sawit yang dihasilkan meningkat, sehingga aspek produktivitas mencapai skala prioritas utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap (Gambar 8).
Gambar 8. Preferensi terhadap aspek daya saing ditingkatkan 70,2%
Demikian pula jika preferensi para stakeholder terhadap produktivitas meningkat mencapai skala proiritas utama (100%), maka urutan strategi kebijakan masih tetap sama (Gambar 9). 191
Gambar 9. Preferensi terhadap daya saing ditingkatkan 100% Kondisi yang sama juga berlaku apabila aspek daya saing, sarana dan prasarana serta aspek Sumber Daya Manusia (SDM) mencapai skala prioritas utama maka urutan strategi kebijakan masih tetap sama. Pada level aktor kondisi awal pendapat para stakeholder (Gambar 10) menunjukkan bahwa skala prioritas strategi dan kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit nasional (Studi Kasus di PTPN IV) secara berturut-turut dari prioritas utama hingga prioritas terakhir adalah penetapan harga TBS (0,451), penetapan pajak ekspor secara berkala (0,195), diversifikasi produk olahan minyak sawit (0,139), pola usaha dan pemerataan produk yang merata (0,128) dan distribusi lahan (0,088). Penetapan skala prioritas tersebut terutama didasarkan atas pertimbangan pembuat kebijakan yakni direktur PTPN (Studi Kasus Direktur PTPN IV) (0,456), disusul dengan pertimbangan keputusan Deperindag sebagai skala prioritas kedua (0,2192), dan Kelembagaan (0,117) sebagai prioritas ketiga serta petani (0,093) dan Dirjen Perkebunan (0,090) sebagai prioritas keempat dan kelima, Pengusaha (0,067) di prioritas keenam.
192
Gambar 10. Diagram Batang Analisis Sensitivitas (awal) pada level aktor Seandainya preferensi para stakeholder terhadap pelaku usaha perkebunan yakni Direktur PTPN selaku pembuat keputusan meningkat, misalnya akibat adanya
kebijakan
pemerintah
terhadap
Peraturan
Perundang-undangan
Perkebunan ataupun adanya penetapan kebijakan baru yang berkaitan dengan kelapa sawit, sehingga Direktur PTPN mencapai skala prioritas utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap. Selengkapnya urutan prioritas mulai dari prioritas utama hingga terakhir dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Prefensi terhadap aktor Direktur PTPN ditingkatkan 70,2% Kondisi yang sama juga berlaku apabila preferensi aktor pengusaha ditingkatkan menjadi 70,2%
ataupun preferensi aktor lain yakni Petani
ditingkatkan 70,2%, dan kondisi ini juga berlaku pada aktor lain seperti Deperindag, Dirjen Perkebunan, dan Kelembagaan. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.
193
Gambar 12. Preferensi terhadap aktor Petani ditingkatkan 70,2%
Gambar 13. Preferensi terhadaap aktor Pengusaha ditingkatkan 70,2% Kondisi yang sama juga berlaku apabila preferensi aktor direktur PTPN ditingkatkan menjadi 100%
ataupun preferensi aktor lain yakni Deperindag,
Dirjen Perkebunan, Kelembagaan, Petani serta Pengusaha ditingkatkan sampai 100% maka urutan skala prioritas masih tetap sama. Hal ini berlaku pada semua level aktor dari peringkat paling utama sampai terakhir.
194
Gambar 14. Preferensi terhadap aktor Dirut PTPN ditingkatkan 100%
Gambar 15. Preferensi terhadap aktor petani ditingkatkan 100%
Gambar 16. Preferensi terhadap aktor pengusaha ditingkatkan 100%
Selanjutnya pada level tujuan kondisi awal pendapat para stakeholder (Gambar 17) menunjukkan bahwa skala prioritas strategi dan kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit nasional (Studi Kasus di PTPN IV) secara berturut-turut dari prioritas utama hingga prioritas terakhir 195
adalah penetapan harga TBS (0,451), penetapan pajak ekspor secara berkala (0,195), diferifikasi produk olahan minyak sawit (0,139), pola usaha dan pemerataan produk yang merata (0,128) dan distribusi lahan (0,088). Penetapan skala prioritas tersebut terutama didasarkan atas tujuan yang hendak di capai yakni direktur peningkatan pengusaha kelapa sawit dan usaha perkebunan (0,505), disusul dengan peningkatan pendapatan tenaga kerja (petani) sebagai skala prioritas kedua (0,219), dan peningkatan pendapatan pemerintah (0,101) sebagai prioritas ketiga serta peningkatan kualitas lingkungan (0,089) dan peningkatan pendapatan pabrik kelapa sawit (0,086) sebagai prioritas keempat dan kelima.
Gambar 17. Diagram Batang Analisis Sensiitivitas (awal) pada level tujuan
Seandainya preferensi para stakeholder terhadap tujuan peningkatan pendapatan pelaku usaha meningkat, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah terhadap izin usaha perkebunan ataupun adanya peningkatan jumlah perkebunan swasta atau perkebunan inti plasma, sehingga pelaku usaha mencapai skala prioritas utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap tetapi terjadi peningkatan nilai bobot. Selengkapnya urutan prioritas mulai dari prioritas utama hingga terakhir sebagai berikut : Penetapan harga TBS dimana kondisi awal (0,451) menjadi (0,465), terjadi peningkatan nilai bobot sebesar 0,14% (0,014), pola usaha dan pemerataan produk yang merata (0,128) menjadi (0,130) atau naik sebesar 0,02%. Penurunan bobot terjadi pada penetapan pajak ekspor secara berkala (0,195) menjadi (0,196) atau sebesar 0,01%; diversifikasi produk olahan minyak sawit (0,139) menjadi (0,128) atau turun 196
sebesar 0,11%, dan distribusi lahan (0,088) menjadi (0,081) atau turun sebesar 0,07%.
Gambar 18. Preferensi terhadap tujuan ditingkatkan 70,2%
Apabila preferensi stakeholder ditingkatkan mencapai kondisi ekstrim pada 100%, maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama tetapi terjadi peningkatan nilai bobot. Peningkatan bobot terjadi pada penetapan harga TBS dimana kondisi awal (0,451) menjadi (0,486), terjadi peningkatan nilai bobot sebesar 0,34% (0,014), pola usaha dan pemerataan produk yang merata (0,128) menjadi (0,134) atau naik sebesar 0,06%, penetapan pajak ekspor secara berkala (0,195) menjadi (0,196) atau sebesar 0,01%. Penurunan nilai bobot terjadi pada diversifikasi produk olahan minyak sawit (0,139) menjadi (0,111) atau turun sebesar 0,28%, dan distribusi lahan (0,088) menjadi (0,072) atau turun sebesar 1,6%. Selengkapnya dapat diliah pada Gambar 19.
197
Gambar 19. Preferensi terhadap tujuan ditingkatkan 100% Jika preferensi para stakeholder terhadap tujuan perioritas kedua yakni peningkatan pendapatan tenaga kerja, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah terhadap kenaikan UMR ataupun adanya peningkatan penetapan harga TBS, sehingga peningkatan pendapatan tenaga kerja mencapai skala prioritas utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama tetapi terjadi peningkatan nilai bobot pada diversifikasi produk olahan minyak sawit, pola usaha dan pemasaran produk yang merata, dan distribusi lahan sedangkan penurunan nilai bobot terlihat pada penetapan harga TBS, penetapan ekspor secara berkala. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga Kerja menjadi skala prioritas utama (70,2%) Nilai
Bobot
Kondisi
Alternati Kebijakan
Awal
70,2%
Keterangan
Penetapan harga TBS
0,451
0,420
Penurunan
nilai
bobot
nilai
bobot
3,1% Penetapan ekspor secara berkala
0,195
0,191
Penurunan 0,4%
Diversifikasi produk olahan minyak sawit
0,139
0,167
Peningkatan
nilai
bobot 2,8% Pola usaha dan pemasaran produk yang
0,128
0,132
merata
Peningkatan nilai bobot 0,4%
Distribusi lahan
0,088
0,090
Peningkatan nilai bobot 0,2%
Kondisi yang sama terjadi
apabila tujuan pada prioritas kedua yakni
peningkatan pendapatan tenaga kerja dinaikkan sampai mencapai kondisi ekstrim 100%, maka skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama (Tabel 24). 198
Table 24. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga Kerja menjadi skala prioritas utama (100%) Alternatif Kebijakan Penetapan harga TBS
Nilai Bobot
Kondisi
Awal
100%
0,451
0,400
Keterangan Penurunan nilai bobot 5,1%
Penetapan ekspor secara berkala
0,195
0,189
Penurunan nilai bobot 0,6%
Diversifikasi
produk
olahan
minyak
0,139
0,184
sawit
Peningkatan nilai bobot 4,5%
Pola usaha dan pemasaran produk yang
0,128
0,135
merata
Peningkatan nilai bobot 0,7%
Distribusi lahan
0,088
0,092
Peningkatan nilai bobot 0,4%
Selanjutnya jika preferensi para stakeholder terhadap tujuan perioritas ketiga yakni peningkatan pendapatan pemerintah, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah terkait industri kelapa sawit ataupun adanya kebijakan pemerintah tentang pajak ekspor kelapa sawit sehingga peningkatan pendapatan pemerintah mencapai skala prioritas utama (70,2%) sampai kepada kondisi ekstrim (100%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama tetapi terjadi peningkatan nilai bobot pada penetapan harga TBS, penetapan ekspor secara berkala, distribusi lahan , dan distribusi lahan sedangkan penurunan nilai bobot terlihat pada diversifikasi produk olahan minyak sawit serta pola usaha dan pemasaran produk yang merata (Tabel 25).
Table 25. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan pemerintah menjadi skala prioritas utama (70,2%)
Alternatif kebijakan
Nilai
Kondisi
bobot
70,2%
Keterangan
199
awal Penetapan Harga TBS
0,451
0,471
Peningkatan
nilai
bobot 2,0% Penetapan ekspor secara berkala
0,195
0,200
Peningkatan
nilai
bobot 0,5% Diversifikasi Produk olahan minyak
0,139
0,132
Penurunan nilai bobot
sawit
0,7%
Pola usaha dan pemasaran produk
0,128
0,094
Penurunan nilai bobot
yang merata
3,4%
Distribusi lahan
0,088
0,104
Peningkatan
nilai
bobot 1,6%
Tabel 26. Uji
sensitivitas
pada
level
tujuan
Peningkatan
Pendapaatan
Pemerintah menjadi skala prioritas utama (100%).
Alternatif kebijakan
Nilai
Kondisi
bobot
100%
Keterangan
0,482
Peningkatan
awal Penetapan Harga TBS
0,451
nilai
bobot 3,1% Penetapan ekspor secara berkala
0,195
0,202
Peningkatan
nilai
bobot 0,7% Diversifikasi Produk olahan minyak
0,139
0,128
sawit
Penurunan nilai bobot 1,1%
Pola usaha dan pemasaran produk
0,128
0,077
yang merata Distribusi lahan
Penurunan nilai bobot 5,1%
0,088
0,112
Peningkatan
nilai
bobot 2,4%
Apabila preferensi para stakeholder terhadap tujuan perioritas keempat yakni peningkatan kualitas lingkungan, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah terkait penanganan limbah industri kelapa sawit ataupun adanya kebijakan pemerintah tentang zero waste industri kelapa sawit sehingga 200
peningkatan kualitas lingkungan mencapai skala prioritas utama (70,2%) sampai kepada kondisi ekstrim (100%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama tetapi terjadi peningkatan nilai bobot pada penetapan ekspor secara berkala, diversifikasi produk olahan minyak sawit, distribusi lahan. Penurunan terjadi pada penetapan harga TBS dan pola usaha dan pemasaran produk yang merata (Tabel 27). Table 27. Uji sensitivitas pada level tujuan kualitas lingkungan menjadi skala prioritas utama 70,2%)
Alternatif kebijakan
Nilai
Kondisi
bobot
70,2%
Keterangan
0,403
Penurunan nilai bobot
awal Penetapan Harga TBS
0,451
4,8% Penetapan ekspor secara berkala
0,195
0,201
Peningkatan
nilai
bobot 0,6% Diversifikasi Produk olahan minyak
0,139
0,161
sawit
Peningkatan
nilai
bobot 2,2%
Pola usaha dan pemasaran produk
0,128
0,125
yang merata Distribusi lahan
Penurunan nilai bobot 0,3%
0,088
0,110
Peningkatan
nilai
bobot 2,2%
Table 28. Uji sensitivitas pada level tujuan kualitas lingkungan menjadi skala prioritas utama (100%). Nilai Alternatif kebijakan
Bobot
Kondisi
Keterangan
201
Penetapan Harga TBS
Awal
100%
0,451
0,379
Penurunan nilai bobot 7,2%
Penetapan ekspor secara berkala
0,195
0,204
Peningkatan nilai bobot 0,9%
Diversifikasi Produk olahan minyak
0,139
0,172
sawit
Peningkatan nilai bobot 3,3%
Pola usaha dan pemasaran produk yang
0,128
0,124
merata
Penurunan nilai bobot 0,4%
Distribusi lahan
0,088
0,121
Peningkatan nilai bobot 3,3%
Uji sensitivitas pada tujuan perioritas kelima yakni peningkatan pabrik pengolahan industri kelapa sawit, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit ataupun adanya kebijakan pemerintah tentang perizinan pendirian industri kelapa sawit sehingga peningkatan kualitas dan kuantitas pabrik pengolahan kelapa sawit meningkat mencapai skala prioritas utama (70,2%) sampai kepada kondisi ekstrim (100%), maka urutan skala prioritas masih tetep sama tetapi ada peningkatan nilai bobot pada penetapan harga TBS, pola usaha dan pemasaran produk yang merata, distribusi lahan. Penurunan nilai bobot terjadi pada alternatif kebijakan penetapan pajak ekspor secara berkala dan diversifikasi produk olahan minyak sawit (Tabel 29).
Tabel 29. Uji sensitivitas pada level tujuan peningkatan pabrik kelapa sawit menjadi skala prioritas utama (70,2%).
202
Nilai Alternatif kebijakan
Penetapan Harga TBS
bobot
Kondisi
awal
70,2%
0,451
0,457
Keterangan
Peningkatan
nilai
bobot 0,6% Penetapan ekspor secara berkala
0,195
0,187
Penurunan nilai bobot 0,8%
Diversifikasi Produk olahan minyak
0,139
0,133
sawit
Penurunan nilai bobot 2,6%
Pola usaha dan pemasaran produk
0,128
0,132
yang merata Distribusi lahan
Peningkatan
nilai
bobot 0,4% 0,088
0,092
Peningkatan
nilai
bobot 0,4%
Tabel 30. Uji sensitivitas pada level tujuan peningkatan pabrik kelapa sawit menjadi skala prioritas utama (100%).
Nilai Alternatif kebijakan
Penetapan Harga TBS
bobot
Kondisi
awal
100%
0,451
0,460
Keterangan
Peningkatan nilai bobot 0,9%
Penetapan ekspor secara berkala
0,195
0,183
Penurunan nilai bobot 0,9%
Diversifikasi Produk olahan minyak
0,139
0,130
sawit Pola usaha dan pemasaran produk yang
0,9% 0,128
0,134
merata Distribusi lahan
Penurunan nilai bobot
Peningkatan nilai bobot 0,6%
0,088
0,094
Peningkatan nilai bobot 0,6%
3. Implikasi Manajerial Analisis dan Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri kelapa Sawit.
203
Dari uraian uji sensitivitas AHP yang diperoleh dari stakeholder dan pendapat pakar sepakat dapat disimpulkan bahwa strategi kebijakan pemerintah yang paling efektif yakni penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS), selanjutnya penetapan pajak ekspor secara berkala oleh pemerintah pusat, diversifikasi produk turunan minyak sawit, pengaturan pola usaha dan pemasaran produk yang merata baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah serta di perlukannya kebijakan daerah tentang distribuusi lahan perkebunan agar pemanfaatan lahan menjadi lebih efektif lagi dan kualitas lingkungan dapat terjaga. Pada uji sensitifitas AHP ini telah dilakukan perningkatan skala prioritas pada masing-masing level baik dari level faktor, aktor, maupun tujuan dan kesimpulan dari peningkatan skala prioritas tersebut tidak mengubah skala prioritas alternatif kebijakan yang disarankan walaupun ada kenaikan bobot pada level tujuan tapi tidak mempengaruhi skala prioritas alternatif. Alternatif kebijakan ini dapat berubah nilai bobotnya apabila pada level masing-masing tujuan ditingkatkan skala prioritasnya tetapi hal ini tidak mengubah tingkat skala prioritas pada alternatif yakni pertama penetapan harga TBS, kedua penetapan pajak ekspor secara berkala, ketiga diversifikasi produk olahan minyak sawit, keempat pola usaha dan pemasaran produk yang merata dan kelima distribusi lahan. Secara keseluruhan dapat ditarik benang merah bahwasanya penetapan harga TBS yang transparan merupakan hal utama dan pokok yang harus dilakukan pemerintah karena aspek ini sangat berpengaruh kepada aspek yang lain seperti peningkatan pendapatan pelaku usaha perkebunan disusul oleh peningkatan pendapatan petani kelapa sawit dan pendapatan pemerintah juga secara otomatis akan ikut meningkat. Selain itu juga pemerintah diharapkan segera menetapkan kkebijakan tentang diversifikasi produk hilir minyak kelapa sawit sehingga merangsang pertumbuhan industri dalam negeri dan dapat miningkatkan jumlah penyerapan tenaga kerja. Industri ini sangat mempunyai prospek yang cerah apabila dibarengi dengan kebijakan pemerintah yang memperhatikan kepentingan banyak pihak guna menyelesaikan konflik yang selama ini blom mampu diatasi agar pertumbuhan perekonomian dalam negeri dapat meningkat. 204
VIII. ANALISIS KEBIJAKAN PENETAPAN HARGA TANDAN BUAH SEGAR (TBS) BERBASIS INDUSTRI
205
Dari hasil Pengolahan data dengan metode AHP dan uji sensitivitas yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) sangat menentukan pengembangan indusrti kelapa sawit kedepannya. Hal ini ditandai dengan tidak maksimalnya kebijakan pemerintah yang diterapkan dilapangan. Masih dijumpai terjadinya ketidak adilan yang diterima oleh petani kelapa sawit yakni adanya ketimpangan harga TBS. Kecendrungan terjadinya ketimpangan harga oleh perusahaan inti terhadap petani plasma akan dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh petani dan akhirnya akan menurunkan produktifitas petani Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di Kualalumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan situasi permintaaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan subsitusi penting minyak goring asal kelapa sawit. Produk akhir yang menentukan gejolah harga dalam industri kelapa sawit adalah harga minyak goring. Harga minyak goring merupakan acuan utama bagi harga TBS. Untuk menghindari pengaruh negatif perubahan dunia, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan harga TBS yang diharapkan dapat melindungi petani. Kebijakan pemerintah dalam menentukan harga TBS akan mempengaruhi kemampuan petani kelapa sawit untuk berproduksi. Harga TBS ditentukan berdasarkan hrga ekspor (FOB) minyak kelapa sawit. Hal ini berarti kemampuan petani kelapa sawit dalam berproduksi sangat tergantung pada perekonomian dunia. Harga pembelian dari perusahaan inti (studi kasus di PTPN IV) ditetapkan berdasarkan
Surat
Keputusan
Mentri
Kehutanan
dan
Perkebunan
No.
627/Kpts.II/1998, dan Peraturan Mentri Pertanian No. 395/Kpts/OT.140/11/2005. Dimana rumus Harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut: Htbs = K (Hcpo x Rcpo +His x Ris)………………………….(1) Angka-angka untuk perhitungan komponen rumus tersebut seluruhnya dikalkulasi oleh manajeman perusahaan (studi kasus di PTPN IV). Harga TBS yang diterima petani dihitung berdasarkan Indeks Proporsi K. Untuk komponen K 206
merujuk kepada keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan maupun Peraturan Menteri Pertanian pada dasarnya merupakan persetase besarnya hak petani tersebut terhadap harga TBS. Dalam proses penentuan indeks proporsi K, diperhitungkan beban biaya yang harus ditanggung oleh petani mulai dari proses pengolahan TBS sampai dengan pemasaran CPO. Biaya-biaya tersebut terdiri dari: 1. Biaya pengurusan di pelabuhan dan penjualan; 2. Biaya pengangkutan ke pelabuhan; 3. Biaya pengolahan yang terdiri dari (a) biaya langsung, (b) biaya pemliharaan pabrik, (c) biaya pengemasan, (d) asuransi pabrik, (e) gaji dan tunjangan staf dan (f) gaji da tunjangan non staf. 4. Biaya penyusutan pabrik 5. Biaya administrasi. Penentuan harga TBS berdasarkan rumus yang ditetapkan pemerintah tersebut diduga memiliki beberapa kelemahan yaitu: 1. Pembebanan Biaya yang tidak proporsional. Komponen biaya trsebut di atas dapat berubah atau variable sesuai dengan jumlah produksi TBS. Artinya, biaya yang dibebankan kepada petani dalam satuan Rp/kg TBS yang disalurkan ke pabrik akan semakin besar mengikuti jumlah TBS yang dijual petani ke pabrik. Selain itu tidak semua bersifat variable terhadap jumlah TBS. Dengan demikian terjadi pembebanan yang kurang proporsional atas biaya pengolahan dan pemasaran yang diperhitungkan pada indeks K. Dengan kata lain perolehan indeks K yang kecil akan mempengaruhi pendapatan petani. 2. Distribusi Keuntungan dan Resiko. Petani kelapa sawit menghadapi tiga sumber resiko yaitu: (1) Penurunan harga CPO, (2) Kenaikan harga input produksi TBs, dan (3) Kenaikan biaya pengolahan di pabrik. Sementara perusahaan inti cendrung mendapatkan margin yang stabil. 3. Transportasi Biaya. Terdapat bebrapa komponen biaya yang itdak dapat dikontrol oleh petani plasma, sementara biaya tersebut harus ditanggung oleh petani plasma yaitu biaya pemasaran, biaya engangkutan ke 207
pelabuhan, biaya pengolahan, dan biaya penyusutan. Ketidakmampuan petani dalam mengontrol biaya pengeluaran pabrik tersebut menjadikan perusahaan inti sangat bebas menentukan besarnya biaya tersebut. 4. Rendemen. Penentuan rendemen pabrik dalam penentuan nilan K sulit diketahui petani. Rendemen yang rendah akan ditanggung oleh petani, padahal kemungkinan besar adalah kesalahan pabrik. 5. Penentuan nilai K. Penentuan nilai K (proporsi yang dditerima petani) oleh suatu tim didaerah yang didasarkan pada rendemen riil pabrik kenyataannya harga TBS yang berlaku masih lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima petani dan pengusaha perkebunan. Selain harga TBS yang diterima petani masih rendah dan berbeda-beda antar perusahaan perkebunan, petani plasma juga dihadapkan pada dilema dimana mereka diberi kewajiban untuk menjual seluruh hasil panen kepada perusahaan dan membayar cicilan kredit yang telah diberikan pemodal kepada mereka. Selain itu TBS merupakan produk yang cepat rusak, sehingga petani plasma tidak dapat menyimpan hasil produksi dan menjual pada saat situasi harga sedang baik. Kebijakan yang ditawarkan pada penelitian ini adalah penentuan harga TBS berdasarkan kesepakatan antara perusahaan perkebunan, pengusaha dan petani kelapa sawit. Pada penelitian ini studi kasus di PTPN IV, berdasarkan ketentuan penetapan harga TBS oleh tim penentuan harga pambelian TBS produksi petani, petani sebagai plasma dari perusahaan inti rakyat harus menjual TBS mereka kepada perusahan (PTPN IV) sesuai dengan surat perjanjian sebagai peserta dan menandatangani kontrak kerjasama yang telah disepakati. Dengan kata lain bahwa penentuan harga TBS ditentukan oleh perusahaan (studi kasus PTPN IV) kepada organisasi yang menaungi petani kelapa sawit sehingga petani memiliki posisi tawar yang baik dan menciptakan win win solution bagi semua pihak. Sehingga tidak ada lagi kebijakan penentuan harga TBS dengan pendekatan “titip olah jual” atau “titip jual” yang sudah seharusnya diganti dengan kebijakan win win solution yang menguntungkan semua pihak sehingga tercipta tranformasi posisi petani dari tingkat ketergantungannya tinggi menjadi pihak yang lebih mandiri yang
208
selanjutnya akan terjadi saling ketergantungan antara petani dan pabrik yang mewujudkan terjadinya pertanian yang berkebudayaan industri.
IX.
KESIMPULAN DAN SARAN
209
1. Kesimpulan Penelitian
ini
menyimpulkan
bahwa
penerapan
sistem
dalam
pengembangan agroindustri kelapa sawit membutuhkan perumusan kebijakan publik dengan pendekatan sistem untuk menyelesaikan konflik kepentingan demi terwujudnya pemenuhan kebutuhan para pelaku agroindustri kelapa sawit. Berdasarkan hasil analisis kebijakan, maka disajikan kesimpulan sebagai berikut: 1.
Terdapat beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam mengatur tata niaga minyak sawit antara lain (a) Pengendalian laju inflasi dan mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat, (b) Pengendalian pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor dalam rangka menjaga kestabilan harga minyak goreng sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, dan (c) Mencegah terjadinya distorsi pasar mengingat pasar minyak sawit kasar dan minyak goreng lebih cenderung pada struktur pasar yang bersifat oligopoli dan oligopsoni. Dalam kebijakan pemerintah tersebut digunakan beberapa instrumen kebijakan yang digunakan oleh pemerintah antara lain adalah : (a) Penetapan pajak ekspor secara berkala, (b) Penetapan alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, (c) Pemupukan cadangan penyangga minyak sawit kasar, (d) Pelarangan ekspor dan (e) Impor minyak goreng dalam upaya menstabilkan harga minyak goreng melalui operasi pasar.
2.
Keberhasilan pengembangan agroindustri kelapa sawit ditentukan oleh kemampuan menciptakan keamanan berusaha, menyediakan sumber pendanaan yang layak, serta menata sistem tataniaga produk perkebunan (TBS)
dan
produk
pengolahan
(CPO).
Setiap
keputusan
dalam
pengembangan agroindustri kelapa sawit hendaknya mengutamakan pada tujuan
untuk
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat,
peningkatan
pendapatan perkebunan rakyat, perluasan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan. Selanjutnya kegiatan yang perlu diprioritaskan adalah peningkatan pemerataan pembangunan, pelestarian lingkungan, peningkatan pendapatan pelaku usaha, dan peningkatan pendapatan pemerintah. Untuk mewujudkan perioritas tersebut, terdapat 5 (lima) instrumen kebijakan 210
terpenting yang berpengaruh, yaitu kebijakan harga TBS, penetapan pajak ekspor secara berkala, pemupukan penyangga minyak kelapa sawit, pola usaha dan kelembagaan, dan distribusi lahan. 3.
Peningkatan pengembangan industri kelapa sawit dilakukan dengan melakukan
berbagai
survey
untuk
persiapan
penetapan
kebijakan
pemerintah yang bersifat peningkatan kualitas produk dan menjamin kesejahteraan pelaku usaha dan pendapatan masyarakat perkebunan dan menjamin kelestarian lingkungan serta peningkatan kualitas dan produksi TBS melalui mekanisme pengembangan industri kelapa sawit yang transparan efisien dan efektif sehingga memberi keuntungan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan dan peningkatan pendapatan masyarakat. 4.
Dalam penyusunan strategi pengembangan industri kelapa sawit, faktor utama yang menjadi bahan perhatiaan adalah ketersediaan modal/dana dan kondisi pasar. Ditinjau dari segi aktor (pelaku), peran utama masih dipegang oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tujuan yang seharusnya mendapat perioritas adalah peningkatan pendapatan perkebunan dan peningkatan pendapatan tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan tersebut upaya pokok yang menentukan adalah pengaturan dalam hal harga Tandan Buah Segar (TBS) gaji dan upah dan perpajakan.
2. Saran Berdasarkan analisis dan kesimpulan penelitian, beberapa saran dapat 211
disampaikan sebagai berikut: 1.
Kebijakan pemerintah tentang pengembangan industri kelapa sawit harus disesuaikan dengan kondisi yang terjadi dilapangan dan kondisi spesifik wilayah
masing-masing. Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah
geofisik, pendapatan masyarakat, dan faktor teknologi yang tersedia. 2.
Model sistem pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan dapat direplikasi sesuai dengan wilayah dan daerah lain. Untuk replikasi kebijakan di wilayah lain disarankan disesuaikan dengan aspek kebijakan perusahaan guna mengantisipasi pasar global.
3.
Sistem pengambilan keputusan guna pengembangan industri kelapa sawit telah dilengkapi basis pengetahuan dari hasil survey pakar, namun untuk meningkatkan ketepatan penggunaannya dalam penunjang keputusan diperlukan adanya Sistem Manajemen Basis Pengetahuan yang terintegrasi dengan Sistem Basis Model sehingga model tersebut menjadi satu kesatuan sebagai sistem pakar.
4.
Untuk kepentingan penelitian lebih lanjut perlu diilakukan kajian dari aspek sosial mengenai kebijakan yang diterapkan pemerintah maupun perusahaan terhadap pendapatan masyarakat.
3. Rekomendasi 1.
Untuk mengantisipasi pengembangan system agroindustri yang semakin 212
menghendaki
terjadinya
tranparansi
dalam
pengambilan
kebijakan,
desentralisasi kewenangan pemerintah, dan mengantisipasi persaingan global strategi yang dapat di tempuh adalah : (1) Menerapkan kebijakan yang dapat memberikan solusi optimum bagi semua pihak,
(2)
Melakukan penataan kewenangan kelembagaan pemerintah (Pusat dan Daerah) dan fungsi kelembagaan rakyat pekebun, (3) Melakukan debirokratisasi dan desentralisasi kewenangan penetapan kebijakan dan (4) Meningkatkan posisi tawar rakyat pekebun melalui pembentukan kelompok usaha bersama ekonomi sawit yang dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota diwujudkan dalam bentuk koperasi. 2.
Pengembangan indistri kelapa sawit hendaknya dilaksanakan dalam sistem agroindustri yang terintegrasi antara perkebunan dan pabrik yang dikelola oleh suatu system pertanian berbudayakan industri melalui transformasi posisi petani menuju terwujudnya petani pekebun yang mandiri, melalui pemberdayaan
masyarakat
pekebun,
industrialisasi
pertanian
dan
pengembangan usaha bersama.
DAFTAR PUSTAKA 213
Abidin, Z.
2008. Analisis Ekspor Minyak Kelapa Sawit (CPO) Indonesia. Jurnal Aplikasi Manajemen 6(1): 139 – 144.
Afifuddin S. dan S.I. Kusuma. 2007. Analisis Struktur Pasar CPO: Pengaruhnya Terhadap Pengembangan Ekonomi Wilayah Sumatera Utara. Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, 2(3): 124 – 136. Ardiansyah, F. 2006. Realising Sustainable Oil Palm Development in Indonesia – Challenges and Opportunities. WWF-Indonesia, Jakarta. Presented at the International Oil Palm Conference 2006, General Lecture Session, 20 June 2006. Bali, Indonesia Arisman.
2002. Analisis Kebijakan: Daya Saing Cpo Indonesia. Universitas Paramadina 2 (1) September 2002: 75-90
Jurnal
Bank Indonesia. 2009. Kajian Ekonomi Regional Sumatera Utara Triwulan III2009. Kantor Bank Indonesia Medan. Bank Indonesia. 2009a. Kajian Ekonomi Regional Riau Triwulan IV-2009. Kantor Bank Indonesia Riau. Bank Indonesia. 2010. Kajian Ekonomi Regional Sumatera Utara Triwulan I2010. Kantor Bank Indonesia Medan. Barlow, C., Z. Zen and R. Gondowarsito. 2003. The Indonesian Oil Palm Industry. Oil Palm Industry Economic Journal 3(1): 8 – 15. Basdabella, S. 2001. Pengembangan Sistem Agroindustri Kelapa Sawit dengan Pola Perusahaan Agroindustri Rakyat. Disertasi. IPB, Bogor. Basiron, Y. 2002. Palm Oil and It’s Global Supply and Demand Prospects. Oil Palm Industry Economic Journal 2 (1): 1 – 10. Bridgman, P. and G. Davis. 2004. The Australian Policy Handbook, Crows Nest: Allen and Unwin, Sydney, Australia. Chalil, D. 2008. Market power and subsidies in the Indonesian palm oil industry. Prepared for presentation in AARES 52nd Annual conference, February 2008, Canberra ACT. Depperin. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kelapa Sawit. Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian, Jakarta. 214
Depperin. 2009. Roadmap Industri Pengolahan CPO. Ditjen Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian, Jakarta. Deptan. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Didu, M.S. 2001. Rancangbangun Strategi Pengembangan Agroindustri Kelapa Sawit (Agrosawit). Jurnal Teknologi Industri Pertanian 11(1): 20 – 26. Didu, M.S. 2003. Kinerja Agroindustri Indonesia. Agrimedia 8 (2) April 2003: 16 – 25. Ditjenbun.
2010a. Statistik Perkebunan 2008-2010. Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Direktorat Jenderal
Ditjenbun. 2004. Statistik Perkebunan, Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Ditjenbun. 2007. Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, Karet dan Kakao). Departemen Pertanian, Jakarta. Ditjenbun.
2010. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Djamhari, C. 2004. Orientasi Pengembangan Agroindustri Skala Kecil dan Menengah; Rangkuman Pemikiran. Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004: 121 – 132. Dou, H. 2009. Palm Oil Strategy – General Considerations and Strategic Patent Analysis. Asia Pacific Journal of Innovation and Entrepreneurship 3(2): 75 – 93. Douglass, M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Lin-kages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third World Planning Review, Vol 20, No. 1, 1998. Dradjat, B. 2007. Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Masih Berpotensi Dikembangkan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29 (2): 6 – 7. Drajat, B. 2007a. Stabilisasi Harga Minyak Goreng. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29 (6): 13 – 15. 215
Ellis,
F.
1994. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press, Melbourne.
Fadjar, U. 2006. Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan Struktur Yang Belum Lengkap. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24 (1): 46 – 60. Friedmann, J. and M. Douglass. 1978. “Agropolitan Development: Toward a New Strategy for Regional Planning in Asia,” in Growth Pole Strategy and Regional Development Policy. F. Lo and K. Salih (eds.) Oxford: Pergamon Press GAPKI. 2010. Industri Kelapa Sawit Indonesia menghadapi Issu Perubahan Iklim. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Jakarta. Gumbira-Sa’id, E. 2010. Review Kajian, Penelitian dan Pengembangan Agroindustri Strategis Nasional: Kelapa Sawit, Kakao dan Gambir. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 19 (1): 45 – 55. Hambali, E. 2005. Pengembangan Klaster Industri Turunan Minyak Kelapa Sawit. Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak Sawit Pada Berbagai Industri. Bogor, 24 November 2005. ICN.
2009a. Laporan Market Intelligence Industri Palm Oil Di Indonesia. Indonesian Commercial Newsletter November 2009, Jakarta.
ICN. 2009b. Implication of Industrial Incentive. Indonesian Commercial Letter, Jakarta. INDEF. 2007. Strategi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. The Institute for Development of Economics and Finance, Jakarta. Jelsma, I., K. Giller and T. Fairhurst. 2009. Smallholder Oil Palm Production Systems in Indonesia: Lessons Learned from the NESP Ophir Project. Wageningen University. Shell Gobal Solutions International B.V. Kadin. 2009. Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014. Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Jakarta. KPPU. 2008. Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Jakarta. Manurung, E.G.T. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Environmental Policy and Institutional Strengthening dan BAPPENAS, Jakarta. 216
Miranti, E. 2004. Potensi Bisnis Kelapa Sawit Indonesia. Buletin Analisis Perbankan Indonesia, Jakarta. Miranti, E.
2010. Prospek Pengembangan Kelapa Sawit 2010. Review No. 219 Maret 2010: 1 – 12.
Economic
Mulyana, A. 2007. Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Sumatera Selatan dari Perspektif Pasar Monopoli Bilateral. Fakultas Pertanian dan Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang. Nakashima, N. 2010. Oil Palm Development and Violence: A Case Study of Communal Land Struggle in Kapar, West Sumatra, Indonesia. Hosei University Repository. Nugroho, P. 2008. Contesting Values in Agropolitan Development Policy in Indonesia. J. Tata Loka Vol 9 (2) Mei 2008: 201 – 212. Nuryanti, S. 2008. Nilai Strategis Industri Sawit. Analisis Kebijakan Pertanian 6 (4) Desember 2008: 378 – 392. Nogi, H. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Lukman Offset, Yogyakarta. Obado, J., Y. Syaukat and H. Siregar. 2009. The Impacts Of Export Tax Policy On The Indonesian Crude Palm Oil Industry. J. of International Society for Southeast Asian Agricultural Science ( ISSAAS) Vol. 15(2):107-119. Oladipo, J.A. 2008. Agro-Industry as Strategy for Rural Development: An Impact Assessment of Nigeria Oil-Palm Industry. European Journal of Social Sciences 7 (1): 75 – 87. Paoli, G.D., B. Yaap, P.L. Wells and A. Sileuw. 2010. CSR, Oil Palm and the RSPO: Translating boardroom philosophy into conservation action on the ground. Opinion Article. Tropical Conservation Science 3 (4): 438 – 446. Pasaribu, W. 2010. Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu. Skripsi. Departeman Agribisnis, Fakultas Pertanian, USU, Medan. Plummer, P. 2005. A Review of Sustainable Development Implementation Through Local Action From An Ecosystem Management Perspective. J. Rural and Tropical Public Health No. 4: 33-40. 217
PTPN IV. 2009. Sumut Jadi Barometer Industri Sawit Nasional. Berita dan Siaran Pers 10/12/2009. http://www.ptpn4.co.id [diakses 25 Januari 2011] Purwantoro, R.N. 2008. Sekilas Pandang Industri Sawit. Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Rai, S. 2010. Agribusiness Development and Palm Oil Sector in Indonesia. Economia Vol 61 (1): 45 – 59. RSPO. 2006. Prinsip dan Kriteria RSPO Untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan. Roundtable on Sustainable Palm Oil, Jakarta. Sachico, A.W. 2008. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Riau: Sebuah Tafsiran Seputar Pemberdayaan Petani Kebun. Komaba Studies in Human Geography Vol. 19: 1 – 16 Sulaiman, F., N. Abdullah, H. Gerhauser and A. Shariff. 2010. A Perspective of Oil Palm and Its Wastes. Journal of Physical Science 21(1): 67 – 77. Susila, W.R. 2004a. Contribution of Oil Palm Industry To Economic Growth and Poverty Alleviation Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 23 (3): 107 – 114. Susila, W.R. 2004b. Peluang Investasi Pada Rehabilitasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Agrimedia 9 (1) Maret 2004: 54 – 63. Susila, W.R. 2004. Impact of CPO-Export Tax on Several Aspects of Indonesian CPO Industry. Oil Palm Economic Journal 4 (2): 1 – 13. Suharto, E. 2007. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. Kesejahteraan Sosial, Bandung.
Sekolah Tinggi
Syahza, A. 2010. Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Perdesaan Dengan Model Agroestate Berbasis Kelapa Sawit. Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru. Syaukat, Y. 2010. Menciptakan Dayasaing Ekonomi dan Lingkungan Industri Kelapa Sawit Indonesia. Agrimedia 15 (1) Juni 2010: 16 – 19. Tacoli, C. 1998. Rural-Urban Interactions: A Guide To The Literature. Environment and Urbanization, Vol. 10 (1) : 147 – 166. Tadjoeddin, M.Z. 2007. A future resource curse in Indonesia: The political economy of natural resources, conflict and development. CRISE 218
Working Paper No. 35. Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity (CRISE), University of Oxford, Mansfield Rd, OX1 3TB, UK Tambunan, T. 2006. Indonesian Crude Palm Oil: Production, Export Performance And Competitiveness. Kadin-Jetro, Jakarta. Tan, K.T., K.T. Lee, A.R. Mohameda and S. Bhatia. 2009. Palm oil: Addressing issues and towards sustainable development. Renewable and Sustainable Energy Reviews 13(2), February 2009: 420 – 427. Teoh, C.H. 2010. Persoalan Keberlanjutan Kunci dalam Sektor Minyak Kelapa Sawit. International Finance Corporation, The World Bank. Tryfino. 2006. Potensi dan Prospek Industri Kelapa Sawit. Economic Review No. 206 Desember 2006: 1 – 7. USAID. 2009. Buku Panduan Pabrik Kelapa Sawit Skala Kecil Untuk Produksi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati (BBN). USDA. 2009. Indonesia: Palm Oil Production Prospects Continue to Grow. Foreign Agricultural Service. United States Department of Agriculture, USA. USDA. 2010. Indonesia: Rising Global Demand Fuels Palm Oil Expansion. Commodity Intellegence Report, 8 Oktober 2010. Weng, C.K. 2005. Best-Developed Practices and Sustainable Development of The Oil Palm Industry. J. of Oil Palm Research No. 17: 124 – 35. Widodo, K.H., A. Abdullah, K.P.D. Arbita. 2010. Sistem Supply Chain CrudePalm-Oil Indonesia dengan Mempertimbangkan Aspek Economical Revenue, Social Welfare dan Environment. Jurnal Teknik Industri, Vol. 12 (1) Juni 2010: 47−54 Wigena, I.G.P., H. Siregar, Sudradjat dan S.R.P. Sitorus. 2009. Desain Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Sistem Dinamis (Studi Kasus Kebun Kelapa Sawit Plasma PTP Nusantara V Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Jurnal Agroekonomi 27 (1) Mei 2009: 81 – 108. World Growth. 2009. Palm Oil - The Sustainable Oil. A Report by World Growth. September 2009.
219
Lampiran 1. Hasil Pembobotan dengan Metode MPE No 1 2 3
Faktor Sarana prasarana SDA Investasi
Bobot
Peringkat
4.750 4.000 4.400
1 5 3 220
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
status kepemilikan lahan SDM sistem informasi Teknologi dan Produktivitas Ketersediaan lahan Pengolahan limbah Bentuk pola usaha Sistem tataniaga TBS Sistem tataniaga produk Sistem tataniaga bibit
Lampiran 2.
2.250 4.650 2.600 4.050 3.400 3.150 2.250 3.050 3.550 3.750
13 2 11 4 8 9 12 10 7 6
Hasil Pembobotan Aktor dengan Metode MPE
No
Faktor
Bobot
Peringkat
1
Direktur PTPN
4.750
1
2
Deperindag
4.350
3 221
3
Dirjen Perkebunan
4.350
4
4
Tokoh Masyarakat
2.250
11
5
Petani
4.600
2
6
Pengusaha
4.000
6
7
Tengkulak
2.400
9
8
Kelembagaan
4.150
5
9
Perkebunan rakyat
2.750
8
10
Tenaga kerja Agroindustri
2.250
10
11
Tenaga kerja perkebunan
3.150
7
DATA MPEUNTUK BOBOT AKTOR
DATA MPE UNTUK BOBOT AKTOR
Pe ta ni
Pe ng u sah a Te ng kul ak
To ko h M asyarakat
Ke le mba g aa n Di rj en Perke bun an
Pe rkebu na n ra kyat
Dep erin da g
Te nag a ke rj a Ag roi nd us tri
Di re ktur PTPN
Te nag a ke rj a pe rkeb una n
222