CADANGAN KARBON LAHAN GAMBUT DARI AGROEKOSISTEM KELAPA SAWIT PTPN IV AJAMU, KABUPATEN LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA
NINA YULIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Pebruari 2009
Nina Yulianti NRP. A351060031
ABSTRACT NINA YULIANTI. Carbon Stock of Peatland in Oil Palm Agroecosystem of PTPN IV Ajamu, Labuhan Batu, North Sumatra. Under direction of SUPIANDI SABIHAM and M. ARDIANSYAH. Carbon stock of peatland in the oil palm agroecosystem plays an important role in balancing global climate to support sustainable management of oil palm plantation. The study was carried out in oil palm agroecosytem of PTPN IV Ajamu, Labuhan Batu, North Sumatera. The aims of the study were to calculate carbon stock of peatland, to calculate carbon biomass based on destructive method and to develop allometric equation for estimating carbon biomass of oil palm. Data were collected by field measurement and laboratory analysis. Peat carbon stock calculation was based on weight of peat in one hectar that was calculated by using multiply of area extent x bulk density x organic carbon content x peat depth, whereas carbon biomass of oil palm calculation was based on destructive method. Thereafter, based on its calculation, biomass of oil palm was correlated to its dimensions using regression equation to develop the allometric equations used to estimate C biomass. The result showed that peat C stock ranged from 799-4 516 ton/ha. It seems that at the same peat thick, sapric C stock was larger than hemic and fibric C stock because bulk density of sapric was larger than that of hemic and fibric. Moreover, based on destructive method calculation, C biomass of oil palm was obtained ranging from 0.7-16.43 ton/ha. Finally, to determine C biomass of oil palm, the best model found developed using allometric equations was Ŷ = β0Dβ1H β2 with R2 of 0.99. To obtain its model there were used several parameters : (i) stem diameter including rachis measured at natural angle (D1) combined by total height (H1), (ii) stem diameter including rachis measured at uphill side (D2) combined by the height of the stem without branch (H2) , and (iii) stem diameter without rachis (D3) combined by the height of the stem without branch (H2). Keywords : carbon stock, oil palm agroecosytem, peatland, allometric equation
RINGKASAN NINA YULIANTI. Cadangan Karbon Lahan Gambut dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM dan M. ARDIANSYAH. Cadangan karbon lahan gambut dari agroekosistem kelapa sawit memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Cadangan karbon pada ekosistem daratan terbagi menjadi karbon di atas permukaan dan karbon di bawah permukaan. Cadangan karbon di atas permukaan berasal dari biomassa vegetasi yang tumbuh, sedangkan cadangan karbon di bawah permukaan berasal dari bahan organik di dalam tanah. Lahan gambut merupakan akumulasi bahan organik yang memiliki kandungan karbon besar yang menjadikannya sebagai sumber dan penyimpan karbon daratan terbesar. Sementara itu, mengenai cadangan karbon pada biomassa kelapa sawit yang berada di lahan gambut belum banyak data yang dikumpulkan karena besarnya biaya dan memerlukan waktu yang lama. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan pada tingkat detil sehingga dapat memberi informasi tentang cadangan karbon pada lahan gambut yang telah dikonversi menjadi agroekosistem kelapa sawit. Selain itu data yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan lahan gambut dan pengembangan agroekosistem kelapa sawit yang berkelanjutan dengan berwawasan lingkungan di masa mendatang. Penelitian ini memiliki tujuan untuk : (1) menghitung cadangan karbon (C) gambut pada lahan gambut yang sudah dikonversi menjadi agroekosistem kelapa sawit, (2) menghitung cadangan karbon (C) biomassa kelapa sawit berdasarkan pengukuran secara destruktif, dan (3) menyusun persamaan alometrik sebagai dasar untuk menduga cadangan karbon (C) biomassa kelapa sawit. Penelitian ini dilaksanakan pada agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Labuhan Batu Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan berdasarkan dari (2) dua tahapan yaitu pengukuran lapangan dan analisis laboratorium. Perhitungan yang digunakan untuk mengetahui cadangan C dalam gambut adalah berdasarkan pada berat gambut per hektar yang dihitung menggunakan perkalian dari luas area penelitian x bobot isi x C organik x ketebalan gambut. Sementara, perhitungan yang digunakan untuk mengetahui biomassa dan C biomassa kelapa sawit adalah berdasarkan pada metode destruktif yang dilakukan dengan penebangan contoh pohon kelapa sawit dengan berbagai keragaman umur tanam. Kemudian biomassa kelapa sawit dengan dimensinya dihubungkan melalui persamaan regresi untuk menyusun persamaan alometrik sebagai dasar pendugaan C biomassa. Cadangan C gambut dari agroekosistem kelapa sawit yang terletak pada Kebun Meranti Paham dan Kebun Panai Jaya, PTPN IV Ajamu berada pada kisaran antara 799–4 516 ton/ha. Nilai tersebut akan berkurang akibat dari kehilangan C. Pada ketebalan gambut yang sama, saprik menunjukkan cadangan C lebih tinggi dibandingkan cadangan C hemik dan fibrik. Berdasarkan hasil konversi dari biomassa dengan menggunakan kandungan C dari dimensi-dimensi kelapa sawit diperoleh C biomassa kelapa sawit pada kisaran antara 0.7-16.43 ton/ha. Akumulasi C biomassa terbesar
terdapat pada batang kecuali pada tanaman kelapa sawit muda C biomassa terakumulasi pada pelepah. Hubungan antara umur tanam kelapa sawit dengan C biomassanya menunjukkan pola sigmoid yaitu terjadi peningkatan secara perlahan pada awal pertumbuhan kemudian akan terus meningkat dan pada umur tertentu cenderung tidak mengalami perubahan lagi (konstan). Model persamaan alometrik terbaik yang diperoleh dari hubungan biomassa kelapa sawit dan dimensinya adalah model III dengan bentuk Ŷ = β0Dβ1H β2. Peubah yang digunakan adalah kombinasi (i) antara diameter batang dengan pelepah yang diukur sejajar tanah (D1) dengan tinggi total (H1), (ii) antara diameter batang dengan pelepah yang diukur tegak lurus batang (D2) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dan (iii) antara diameter batang tanpa pelepah (D3) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dimana R2 masing-masing persamaan adalah 0.99. Kata kunci:
cadangan karbon, agroekosistem kelapa sawit, lahan gambut, persamaan alometrik
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelititan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
CADANGAN KARBON LAHAN GAMBUT DARI AGROEKOSISTEM KELAPA SAWIT PTPN IV AJAMU, KABUPATEN LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA
NINA YULIANTI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis
: Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara Nama : Nina Yulianti NRP : A351060031 Program Studi : Ilmu Tanah (TNH) Disetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. M. Ardiansyah Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Tanah (TNH)
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS.
Tanggal Ujian: 2 Pebruari 2009
Tanggal Lulus: 20 Pebruari 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 adalah Cadangan Karbon Lahan Gambut dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. M.Ardiansyah sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, saran, dorongan, pengertian, kesabaran dan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini. Terimakasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) atas kesediaannya untuk membiayai penelitian ini, juga kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono,MS selaku koordinator penelitian kerjasama IPB-PPKS. Demikian juga diucapkan terima kasih kepada PTPN IV Ajamu dan Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian
Depertemen
Pertanian
atas
kesediaannya
untuk
bekerjasama selama pelaksanaan penelitian ini. Tidak lupa ungkapan terimakasih dan hormat yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, atas segala doa dan kasih sayangnya yang begitu besar dan juga kepada teman-teman atas dukungan dan bantuannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukannya untuk menambah perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Pebruari 2009
Nina Yulianti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sampit pada tanggal 30 Juni 1982 sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Agus Tabela.Y.Salomo,S.Sos dan Ibu Weyeni, SAP. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Dusun Timur (Kalimantan Tengah) dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada pendidikan Sarjana Pertanian pada Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat dan lulus dengan predikat terbaik dari Program Studi Ilmu Tanah pada tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis diterima bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Agronomi minat Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya. Kesempatan untuk melanjutkan Program Magister pada Program Studi Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2006 dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Dikti. Selama pendidikan telah memperoleh sertifikat dari berbagai pelatihan yang mendukung bidang keahlian yaitu penggunaan GIS (Geography Information System) dalam penelitian serangga, AMDAL A dan C, dan Expert Experimental Design dengan SPSS.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................
xiii
1
PENDAHULUAN .......................................................................... ...
1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ..........................................................................
5
1.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................
5
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................
5
2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
6
2.1 Cadangan Karbon dan Metode Pendugaannya ............................
6
2.2 Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) dan Fungsi Ekologisnya....
8
2.3 Lahan Gambut dan Fungsi Penyimpanan Karbon ........................
12
3 METODOLOGI ...................................................................................
16
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................
16
3.2 Bahan dan Alat..............................................................................
19
3.3 Metode dan Tahapan Pelaksanaan Penelitian ...............................
19
3. 3. 1 Pengukuran Lapangan .........................................................
21
3.3.1.1 Persiapan..................................................................
21
3.3.1.2 Pengukuran Karbon Biomassa Kelapa Sawit ..........
21
3.3.1.3 Pengukuran Ketebalan Gambut ...............................
23
3.3.1.4 Pengukuran Persentase Pasir Semu (Psedousand) ..
25
3.3.1.5 Penentuan Tingkat Kematangan Gambut ................
25
3.3.2 Analisis Sifat-Sifat Kelapa Sawit dan Gambut ....................
26
3.3.2.1 Penetapan C Kelapa Sawit.......................................
27
3.3.2.2 Penentuan Kadar Air dan Bobot Isi Gambut ...........
27
3.3.2.3 Penetapan C Organik Gambut ..................................
28
3.3.2.4 Penetapan Kadar Air Batas Kritis dengan Peluang 60-80% Terjadinya Kering Tidak Balik .................
28
4
3.3.2.5 Pendugaan C Biomassa Kelapa Sawit (C Atas Permukaan).................................................
29
3.3.2.6 Pendugaan C dalam Gambut (C Bawah Permukaan)
30
HASIL DAN PEMBAHASAN...........................................................
31
4.1 Deskripsi Sifat-Sifat Gambut di Lokasi Penelitian ......................
31
4.2 Kandungan C Organik dan Kadar Abu Gambut ..........................
33
4.3 Cadangan C dalam Gambut ..........................................................
35
4.4 Biomassa Kelapa Sawit.................................................................
37
4.5 Cadangan C Biomassa Kelapa Sawit ............................................
40
4.6 Dimensi-Dimensi Kelapa Sawit dan Hubungannya dengan Biomassa .......................................................................................
42
4.7 Persamaan Alometrik....................................................................
45
4.8 Pendugaan Cadangan C Biomassa Kelapa Sawit .........................
50
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................
52
5.1 Kesimpulan ..................................................................................
52
5.2 Saran..............................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
54
LAMPIRAN...............................................................................................
59
5
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Sifat-Sifat Kelapa Sawit dan Gambut yang Diamati Beserta Metode Pengukurannya.....................................................................
27
2
Klasifikasi Bahan Menolak Air Berdasarkan Metode WDPT ..........
29
3
Kandungan Kadar Abu Pada 2 (Dua) Lokasi Kebun PTPN IV Ajamu................................................................................................
33
4
Cadangan Karbon Pada Berbagai Plot Umur Tanam........................
36
5
Biomassa Kelapa Sawit Pada Berbagai Dimensi ..............................
37
6
Pendugaan Biomassa dan C Biomassa Hasil Pemotongan Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Selama Pertumbuhan Tanaman yang Diukur Setelah Umur 3 Tahun ......................................................................
39
7
Produksi Kelapa Sawit Pada Umur Tanam 9-18 Tahun ...................
40
8
Cadangan C Biomassa Pada Berbagai Dimensi Kelapa Sawit .........
41
9
Diameter (D) dan tinggi (H) Rata-Rata Pada Berbagai Umur Tanam Kelapa Sawit .....................................................................................
43
10 Konstanta Regresi dari Berbagai Model Persamaan Alometrik untuk Menduga Biomassa ...........................................................................
49
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Diagram dari Siklus Karbon Global..................................................
6
2 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Tahun 1979-2006
11
3
Peta Tahun Tanam Kebun Meranti Paham .......................................
17
4
Peta Tahun Tanam Kebun Panai Jaya...............................................
18
5
Tahapan Pelaksanaan Penelitian .......................................................
20
6
Plot Pengukuran Ketebalan Gambut .................................................
24
7
Hubungan Cadangan C dengan (a) Ketebalan Gambut dan (b) Bobot Isi ......................................................................................
35
8
Persentase Rata-Rata Biomassa Berbagai Dimensi Kelapa Sawit....
38
9
Cadangan C Biomassa (kg/pohon) Pada Berbagai Umur Tanam .....
41
10 Pola C Biomassa Berdasarkan Umur Tanam ....................................
42
11 Diameter Kelapa Sawit Sesuai dengan Umur Tanam ......................
43
12 Tinggi Kelapa Sawit Sesuai dengan Umur Tanam ...........................
44
13 Kelapa Sawit yang Terserang Hama Rayap dan Tumbuh Miring di Lahan Gambut ..................................................................................
45
14 Hubungan antara Biomassa Kering dengan Diameter Batang..........
47
15 Hubungan Biomassa Kering dengan Diameter Batang dan Tinggi Total (Berdasarkan Model Persamaan II) .........................................
47
16 Hubungan Biomassa Kering dengan Diameter Batang dan Tinggi Bebas Percabangan (Berdasarkan Model Persamaan II) ..................
48
17 Hubungan Biomassa Kering dengan Diameter Batang dan Panjang Batang Miring (Berdasarkan Model Persamaan II) ..........................
48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Sifat-Sifat Gambut Pada Lokasi Penelitian.......................................
60
2
Hubungan Persentase Pasir Semu (Psedousand) dengan Plot Umur Tanam................................................................................................
60
Hubungan Kadar Air (%) dengan Interval Waktu Pengeringan (menit) ...............................................................................................
61
Hasil Uji Korelasi Beberapa Sifat Gambut dan Cadangan C dengan SPSS Vers. 11 ...................................................................................
61
5
Sampel Kelapa Sawit Umur 1 Tahun................................................
62
6
Sampel Kelapa Sawit Umur 2 Tahun................................................
62
7
Sampel Kelapa Sawit Umur 9 Tahun................................................
63
8
Sampel Kelapa Sawit Umur 11 Tahun..............................................
63
9
Sampel Kelapa Sawit Umur 13 Tahun..............................................
64
10 Sampel Kelapa Sawit Umur 17 Tahun..............................................
64
11 Sampel Kelapa Sawit Umur 18 Tahun..............................................
65
3 4
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK) mengakibatkan energi radiasi matahari yang terserap oleh permukaan bumi tidak mampu menembus atmosfer sehingga memantul kembali ke bumi menyebabkan terjadinya pemanasan global. Menurut laporan IPCC (2007), dari tahun 1906-2005 telah terjadi kenaikan temperatur udara permukaan bumi rata-rata 0.74oC. Temperatur merupakan indikator terjadinya pemanasan global. Dampak dari pemanasan global akan sangat besar terhadap perubahan iklim dunia dan kenaikan air laut akibat mencairnya es di kutub. Perubahan iklim tersebut akan mengganggu sistem pertanian baik dalam skala mikro maupun makro.
Sementara naiknya air laut kemungkinan dapat
mengakibatkan terendamnya sebagian wilayah-wilayah pesisir dan kepulauan di masa datang. Untuk mencegah terjadinya pemanasan global yang lebih parah maka pada tahun 1997 dilakukan kesepakatan secara Internasional yaitu Protokol Kyoto. Pada tanggal 16 Pebruari 2005, Indonesia ikut meratifikasi Protokol Kyoto. Dengan ketentuan bahwa negara-negara maju harus mengurangi emisi paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990, melalui mekanisme Emission Trading (ET), Joint Implementation (JI) dan Clean Development Mechanism (CDM). Dalam kesepakatan tersebut ada kewajiban dari negara-negara maju memberi kontribusi bagi negara-negara berkembang dengan pemberian kompensasi setara dengan jumlah karbon yang mampu diperosotkan yang disebut sebagai kredit karbon. Keberadaan karbon penting bagi keseimbangan alam sehingga perlu untuk diperhatikan. Pada lahan-lahan yang sudah terdegradasi berpotensi untuk meningkatkan daerah penyerapan CO2 apabila dilakukan rehabilitasi melalui aforestasi dan reforestasi.
Namun dalam rangka pemanfaatan lahan
secara lebih maksimal maka dilakukan pembukaan perkebunan kelapa sawit. Pemilihan kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq)
sebagai salah satu
2
primadona karena merupakan tanaman paling produktif dengan produksi mencapai 6000 liter/ha biodiesel mentah sehingga sangat menguntungkan. Saat ini Indonesia telah menjadi negara kedua terbesar pengekspor minyak kelapa sawit. Bersama Malaysia mampu menguasai sekitar 86 % dari produksi minyak sawit dunia. Tingkat kosumsi minyak sawit dunia mengalami pertumbuhan yang pesat dari 13 259 ribu ton pada tahun 1993 menjadi 33 108 ribu ton pada tahun 2005. Sementara produksi Indonesia mencapai 16 juta ton pada tahun 2006. Melihat peluang ini maka pemerintah Indonesia merencanakan untuk membuka kebun kelapa sawit baru dalam dekade ke depan. Kebun kelapa sawit dikembangkan pada padang alang-alang atau lahan hutan tidak produktif. Namun tidak sedikit pula kebun kelapa sawit yang telah dikembangkan di lahan gambut. Luasan gambut di Indonesia bervariasi menurut beberapa peneliti tergantung dari kriteria yang mereka pergunakan. Andrisse (1988) mengemukakan bahwa luas lahan gambut di Indonesia adalah 17 juta ha. Pendapat lain, Furukawa (1994) menyebutkan luas lahan gambut tersebut sekitar 16 juta ha. Kemudian, Rieley et al. (1997a) mengatakan bahwa luasan lahan gambut di Indonesia berkisar antara 17-27
juta hektar.
Setiap 1 m lapisan gambut diperkirakan
mampu menyimpan sekitar 7x102 ton C tahun-1 hektar-1 (Notohadiprawiro 1997). Potensi tersebut menyebabkan lahan gambut memiliki fungsi penting sebagai sumber karbon (carbon source) dan pemendaman karbon (carbon sink). Namun lahan gambut mempunyai sifat yang sangat rapuh (fragile) sehingga mudah terjadi degradasi apabila mengalami gangguan terhadap ekosistemnya.
Apabila terusik maka muka air tanah menjadi sangat cepat
menurun yang menyebabkan gambut mengalami kekeringan dan mengkerut (subsidence). Penurunan muka air tanah gambut mendorong laju dekomposisi bahan organik berjalan lebih cepat sehingga terjadi peningkatan emisi CO2 serta N2O.
Karakter gambut yang menentukan besarnya emisi meliputi ketebalan
gambut, tingkat kematangan dan kondisi pengelolaan tata air (Nyman and DeLaune 1991).
Degradasi lahan gambut di Indonesia pernah membuatnya
dituduh menjadi salah satu penyumbang gas rumah kaca ketiga di dunia setelah USA dan RRC tetapi sampai sekarang belum ditemukan data-data yang cukup kuat untuk mendukung kebenaran pernyataan tersebut.
3
Kondisi ini menimbulkan kontroversi antara pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha untuk melestarikan lingkungan. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut diduga memperburuk kerusakan lingkungan. Terutama karena pembukaan lahan dilakukan dengan cara membakar akan melepaskan CO2 dalam jumlah besar.
Selain itu, budidaya monokultur ini akan menurunkan
keanekaragaman hayati, perubahan iklim mikro, penurunan kesuburan tanah, peningkatan aliran permukaan (runoff) dan erosi serta dapat menimbulkan konflik sosial budaya.
Namun di pihak lain adanya peningkatan harga dan juga
kebutuhan terhadap minyak sawit yang dapat meningkatkan pendapatan (income) Indonesia sebagai negara eksportir. Disamping itu juga adanya isu perdagangan karbon yang sangat menjanjikan dari segi lingkungan menyebabkan perkebunan kelapa sawit tetap Data
dipertahankan bahkan terus dikembangkan.
Direktorat
Perlindungan
Perkebunan
Deptan
(2007),
areal
perkebunan kelapa sawit secara nasional tahun 2007 yang telah mencapai 6 513 ribu ha, mampu menyerap CO2 sebanyak 430 juta ton. Menurut Henson (1999), kemampuan penyerapan karbon tahunan kelapa sawit di Malaysia sebesar 46.4 ton ha-1. Sementara itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurut data Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dalam Lasco (2002) rata-rata mampu menyimpan sekitar 5 MgC ha-1. Saat ini Indonesia sedang melalukan negosiasi mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries), yang dapat memicu kebijakan-kebijakan yang berfokus pada pengurangan gas rumah kaca. Niles et al. (2002) memprediksikan Indonesia bisa memperoleh 14.3 juta US$ dari total kemampuan rosot C. Dana digunakan untuk menjaga hutan tropis dan keanekaragaman hayati di Indonesia serta untuk tujuan nasional lainnya. Oleh karena itu, penelitian tentang cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit sangat diperlukan untuk meninjau berapa sebenarnya karbon yang mampu diserap. Serta menduga berapa cadangan karbon yang terdapat di lahan gambut yang digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit. Hasilnya mungkin mampu untuk menilai keuntungan dan kerugian pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.
4
Adapun komponen cadangan karbon yang dapat diukur terdiri dari cadangan karbon di atas permukaan tanah, yaitu tanaman hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran).
Sementara cadangan karbon di bawah
pemukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan bahan organik tanah. Potensi penyerapan karbon pada gambut secara maksimum dimiliki oleh biomassa di atas permukaan tanah dan di dalam tanah yang merupakan kumpulan bahan organik. Pengukuran karbon di gambut merupakan cara untuk mengetahui cadangan karbon di bawah permukaan (belowground).
Metode yang digunakan
dalam pengukuran gambut berbeda dengan pengukuran pada tanah mineral. Bobot isi merupakan penentu dalam pengukuran karbon. Pentingnya faktor bobot isi ini dimaksudkan untuk menghitung banyaknya karbon di atmosfer yang diikat dalam biomassa apabila tanaman mati maka akan diakumulasi sebagai endapan gambut (Sabiham 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Page et al. (2002) menggunakan bobot isi 0.1 g cm-3 untuk pendugaan karbon gambut di lahan gambut, Kalimantan Tengah. Sementara penelitian dari Driessen dan Rochimah (1976) menunjukkan bobot isi sebesar 0.08 sampai 0.18 g cm-3. Bervariasinya nilai ini bergantung pada metode yang digunakan. Seringkali berbagai penelitian tidak mengakumulasikan cadangan karbon biomassa dan tanah karena besarnya biaya yang diperlukan dan memerlukan waktu yang lama.
Oleh karena itu, penelitian tentang cadangan karbon sangat
diperlukan untuk meninjau berapa karbon yang mampu diserap dari besarnya cadangan karbon yang terdapat pada agroekosistem kelapa sawit di lahan gambut. Penelitian tentang karbon gambut sebelumnya telah dilakukan tapi kurang detail karena menggunakan ketebalan gambut hasil interpolasi dalam skala luas (Page et al. 2002; Wahyunto dan Ritung 2003; Boehm and Sulistiyanto 2006). Lahan gambut bersifat yang sangat heterogen sehingga perbedaan jarak akan sangat berpengaruh. Sementara itu untuk penyusunan persamaan alometrik yang digunakan sebagai dasar pendugaan karbon biomassa kelapa sawit telah dilakukan oleh Thenkabail (2004) tapi bukan pada gambut. Penelitian lain hanya
5
menggunakan persamaan yang sudah ada sebelumnya (Htut 2004). Jadi, pengumpulan data mengenai cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit masih belum banyak dilakukan. Penelitian ini mencoba mengkombinasikan pengukuran lapangan pada tingkat detil dan menyusun persamaan alometrik spesifik untuk kelapa sawit yang tumbuh di lahan gambut, sehingga diperoleh cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit di lahan gambut. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menghitung berapa cadangan karbon gambut pada lahan gambut yang sudah dikonversi menjadi agroekosistem kelapa sawit. 2. Menghitung cadangan karbon biomassa berdasarkan pengukuran secara destruktif. 3. Menyusun persamaan alometrik sebagai dasar untuk menduga cadangan karbon biomassa kelapa sawit. 1.3 Hipotesis Penelitian Pengukuran lapang dan persamaan alometrik dapat menghitung besarnya cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit yang berada di lahan gambut. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberi informasi tentang berapa cadangan karbon pada lahan gambut yang telah dikonversi menjadi agroekosistem kelapa sawit. Selain itu data yang diperoleh dapat menjadi bahan pertimbangan untuk pengelolaan lahan gambut dan pengembangan sektor pertanian yang berwawasan lingkungan di masa mendatang.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cadangan Karbon dan Metode Pendugaannya Keberadaan karbon merupakan bagian penting dari siklus kehidupan di bumi.
Ada empat reservoir karbon utama yaitu atmosfer, biosfer teresterial
(daratan), lautan, dan sedimen (Gambar 1). Beberapa dekade terakhir terjadi ketidakseimbangan neraca karbon global diakibatkan semakin bertambahnya populasi manusia.
Pemanenan karbon melalui perubahan penggunaan lahan,
pembakaran biomassa, penambangan bahan bakar fosil dan pencemaran di laut menyebabkan peningkatan jumlah karbon di atmosfer.
Bagian terbesar dari
karbon yang berada di atmosfer adalah gas karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan kloroflorokarbon (CFC merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang berperan dalam pemanasan global.
Ket : angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak termasuk ~70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen
Gambar 1.
Diagram dari Siklus Karbon Global ( Sumber : www. id.wikipedia.org, diunduh 22 Juni 2008).
Sebagai negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto maka Indonesia berhak menerima kontribusi dari negara-negara maju berupa kompensasi setara
7
dengan jumlah karbon yang mampu diperosotkan.
Mekanisme ini dapat
digunakan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan pelepasan gas rumah kaca di atmosfer.
Pada COP 13 di Bali tahun 2007
disepakati mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries). Mekanisme ini berfokus pada pengurangan penebangan hutan.
Hutan merupakan ekosistem terbesar dari berbagai keanekaragaman
vegetasi yang mampu mengendalikan besarnya emisi karbondioksida di atmosfer. Vegetasi hidup memerlukan karbondioksida dalam proses fotosintesis sehingga mampu mengurangi konsentrasi karbon di atmosfer dan menyimpannya dalam bentuk cadangan karbon biomassa sampai akhirnya mati dan terakumulasi menjadi bahan organik. Isu pemanasan global telah menjadikan potensi cadangan karbon pada suatu areal dapat digunakan dalam mekanisme perdagangan karbon. Permintaan pasar karbon global sekitar 800 juta ton CO2/tahun dan sekitar 125 juta yang dilakukan melalui Clean Development Mechanism (Murdiyarso 2003). Beberapa negara maju sudah menciptakan pasar CDM diantaranya Belanda dengan nama CERUPT yang memiliki dana sebesar 1 milyar Euro. Kemudian Bank Dunia juga menjadi fasilitator melalui skema Portfolio Carbon Fund, Community Development Carbon Fund dan Bio Carbon Fund. Peluang investasi ini bisa menguntungkan bagi negara berkembang seperti Indonesia apabila manajemen dan implementasinya dilakukan secara tepat. Cadangan karbon pada ekosistem teresterial (daratan) terbagi menjadi karbon diatas permukaan (above ground carbon) dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah (below ground carbon).
Karbon di atas permukaan tanah,
meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma), nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang sudah mati) dan serasah (bagian tanaman yang gugur berupa daun dan ranting). Karbon bawah permukaan, meliputi biomassa akar dan bahan organik tanah (sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi) serta gambut pada hamparan lahan gambut (Hairiah dan Rahayu 2007). Biomassa tanaman digunakan sebagai dasar untuk menduga karbon atas permukaan. Teknik untuk mengukur biomassa bisa dilakukan dengan metode
8
destruktif dan menggunakan persamaan alometrik. Penggunaan metode destruktif sangat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang terutama jika dilakukan terhadap vegetasi hutan.
Salah satu pemecahannya maka dapat
digunakan persamaan alometrik yang telah disusun dari tanaman yang sejenis. Persamaan ini menghubungkan biomassa tanaman dengan diameter dan tinggi tanaman (Pearson et al. 2007). Karbon atas permukaaan dapat diduga jika biomassa telah diketahui.
Beberapa tahun terakhir dengan berkembangnya
teknologi maka dikembangkan berbagai teknik pendugaan karbon atas permukaan menggunakan bantuan data penginderaan jauh menggunakan citra satelit resolusi tinggi, foto udara, citra radar dan laser (Gibbs et al. 2007). Sementara teknik pendugaan karbon bawah permukaan dilakukan dengan menganalisis C organik tanah dan C dari bahan organik yang berada dipermukaan tanah. Jenis tanah dan metode analisis harus diperhatikan dalam penentuan C bawah permukaan agar penilaiannya lebih akurat. 2.2 Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) dan Fungsi Ekologisnya Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) adalah jenis tanaman dari famili palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati. Pengelompokan berdasarkan warna buah yaitu (i) nigrrescent dengan buah berwarna ungu tua pada buah mentah dan memiliki “topi” coklat atau hitam pada buah masak, (ii) virescens dengan warna hijau pada buah mentah dan orange tua pada buah masak, dan (iii) albenscens yang tidak memiliki warna. Berdasarkan ketebalan cangkang, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura (tebal 2-8 mm), Pisifera (tidak bercangkang) dan Tenera (tebal 0.5-4 mm).
Buah sawit
bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang terdapat pada buah sawit yaitu eksoskarp adalah bagian kulit buah yang berwarna kemerahan dan licin, mesokarp adalah serabut buah dan endoskarp yang menjadi cangkang pelindung inti. Inti sawit sering disebut kernel merupakan endosperma dan
embrio
dengan
kandungan
minyak
inti
yang
berkualitas
tinggi
(Ditjenbun Deptan 2006). Pohon kelapa sawit berbentuk silinder berdiameter
25-75 cm yang
tumbuh tegak lurus dari bonggol. Tingginya bisa mencapai 20-30 m. Namun ada
9
juga jenis tertentu yang mempunyai ketinggian hanya 2 m. Memiliki akar serabut yang mengarah ke samping dan bawah. Akar primer berdiameter 6-10 mm, akar sekunder berdiameter 2-4 mm, sedangkan akar tersier dan kuarter membentuk ikatan pada 30 cm lapisan atas tanah pada radius 1.5-2 m dari pokok sawit. Daun sawit mempunyai panjang antar 5 sampai 9 m dengan jumlah anakan daun sekitar 125-200 helai dan panjang 1.2 m. Umumnya jumlah daun yang tumbuh adalah 20-30 daun setiap tahun. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna hijau muda. Pada setiap ketiak daun akan tumbuh bunga, baik jantan, betina maupun banci tetapi tidak semua menjadi buah karena sebagian akan gugur. Letak bunga jantan dan betina terpisah meskipun masih pada satu pohon (monoecious diclin) dengan waktu matang berbeda sehingga jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan berbentuk lancip dan panjang sedangkan bunga betina lebih besar dan mekar.
Bunga betina terdiri dari ribuan bunga apabila mengalami
penyerbukan akan menjadi tandan dengan buah sekitar 500-2000 buah. Perkembangbiakan kelapa sawit secara generatif. Jika buah sawit telah matang maka embrionya akan berkecambah dan menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar atau radikula (Hartley 1967). Hasil dari kelapa sawit berupa minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan emulsifier, margarine, miyak goreng, minyak makan merah, shortening, susu kental manis, es krim, yogurt. Sementara manfaatnya di bidang non pangan sebagai senyawa ester, lilin, kosmetik,f armasi, biodiesel, pelumas, asam lemak sawit, fatty alkohol bahkan pada industri baja. Produk sampingan (limbah) berupa tandan kosong sawit digunakan untuk pulp dan kertas, kompos, karbon dan rayon; cangkangnya digunakan untuk bahan bakar dan karbon ; serat sawit sebagai medium density atau fibre board dan bahan bakar; pelepah dan batang sawit untuk funitur, pulp dan kertas juga pakan ternak; bungkil inti sawit sebagai bahan pakan ternak; dan sludge untuk bahan pakan ternak dan pupuk organik (www.FitAgri.com, diunduh 27 April 2008). Sejak tingginya harga minyak bumi dan maraknya isu penekanan emisi karbon dari bahan bakar fosil (fossilfuel) maka pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati (biofuels) semakin meningkat.
10
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika. Pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor dan sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit Deli Dura. Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh dengan luas areal mencapai 5 123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran (terkenal sebagai AVROS dan sekarang menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit) kemudian didirikan di Marihat Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya (sekarang Malaysia) pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1911.
Hingga
menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940. Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak
berhasil
meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaysia. Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat
sebagai
energi
alternatif
(www.id.wikipedia.org,
diunduh
27 April 2008). Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan isu lingkungan meningkat yaitu perubahan dari pemanfaat minyak bumi menjadi minyak nabati (biofuel) maka kebutuhan minyak sawit dunia semakin meningkat. Pertumbuhan rata-rata konsumsi sekitar 7.72 % pertahun lebih besar dibandingkan penggunaan
11
minyak nabati lainnya hanya sekitar 4.5 %. Luas areal perkebunan kelapa sawit secara nasional tahun 2006 mencapai 6 075 ribu ha (Gambar 2). Selama beberapa dekade
terakhir
produksi
minyak
sawit
nasional
meningkat
mencapai
14 691 ribu ton, menjadi Indonesia sebagai eksportir terbesar kedua. Tahun 2006, pengusahaan perkebunan kelapa sawit masih didominasi oleh perusahaan besar swasta (PBS) sebesar 45.1 %, diikuti perkebunan rakyat (PR) sebesar 43.4 % dan terakhir oleh perkebunan besar negara (PBN) sebesar 11.5%.
Kondisi ini
merupakan dampak dari pembukaan lahan baru, rehabilitasi kebun inti rakyat dan penciptaan iklim investasi yang cukup kondusif (Ditjebun Deptan 2006). Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit (10 3 ha)
7000 6 000 5 000 4 000 3 000 2 000 1000 0 1979 1980 1990 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
Gambar 2. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Tahun 1979-2006 (diolah dari data Ditjenbun Deptan , 2006) Perkebunan kelapa sawit sangat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi negara. Pada tahun 2005, devisa yang diperoleh dari ekspor produk kelapa sawit di Indonesia mencapai US $ 4 513 (Ditjenbun Deptan 2006). Dari segi daya saing kelapa sawit cukup menjanjikan dilihat dari produktivitasnya yang tinggi dan merupakan tanaman yang tahan terhadap berbagai kondisi agroklimat. Selain itu didorong juga oleh adanya era otonomi daerah yang sehingga daerah tersebut berusaha meningkatkan pemberdayaan sumber daerahnya dengan pembukaan lahan sebagai perkebunan kelapa sawit. Melihat hal tersebut maka perkebunan
12
kelapa sawit memiliki prospek untuk terus dikembangkan. Terus meningkatnya luasan perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun maka fungsinya secara ekologis menjadi penting (Gambar 2). Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO2 dari udara dan akan melepas O2 ke udara. Proses ini akan terus berlansung selama pertumbuhan dan perkembangannya masih berjalan. Umur kelapa sawit mencapai lebih dari 25 tahun dengan pengelolaan yang baik. Berdasarkan data Ditjenbun, perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu menyerap CO2 sebanyak 430 juta ton. Kondisi ini ditunjukkan pula dengan data penelitian dari IOPRI (Indonesia Oil Palm Research Institute) bahwa fiksasi CO2 adalah 25.71 ton/ha/tahun (Htut 2004). Penelitian oleh Tjitrosemito dan Mawardi (2001) mengemukakan kandungan karbon kelapa sawit pada umur 19 tahun sekitar 40.28 ton/ha. Jika dilihat dari hasil tersebut maka diduga perkebunan kelapa sawit berada pada lahan mineral yang subur. Hasil penelitian lainnya oleh Htut (2004) menyatakan kandungan karbon di Salim Indoplantation Riau adalah 1.66 ton/ha/tahun. Penelitian serupa di Malaysia yang dilkakukan oleh Henson (1999) mengemukakan bahwa karbon biomassa meningkat dengan peningkatan umur. Kondisi maksimum pada umur 19-24 tahun dengan kandungan karbon sebesar 27.168 ton setiap hektarnya. Variasi nilai yang diperoleh tersebut sesuai dengan luasan lokasi penelitian dan umur kelapa sawit. Namun, pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan dan konversi lahan gambut menjadi perkebunan terbukti melepaskan CO2 sebesar 20–55 ton/ha/tahun (Hooijer et al. 2006).
Oleh karena itu, jika dilakukan
pengembangan perkebunan di lahan gambut maka harus dengan pengelolaan yang tepat untuk mencegah terjadinya degradasi terhadap lahan gambut. 2.3 Lahan Gambut dan Fungsi Penyimpanan Karbon Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan.
Menurut Andriesse (1988), gambut
sebagai jaringan tanaman dan organisme mati lainnya yang sebagian terkarbonisasi melalui suatu proses dekomposisi dalam keadaan basah.
13
Sementara petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya (Noor 2001). Beberapa peneliti lain dari berbagai negara mendefinisikan gambut atau umumnya disebut peat dengan berbagai nama. Peneliti dari Amerika utara Mitsch dan Gosselink (1993) menyebutnya fen, di Kanada menggunakan istilah musked, di Irlandia, Rusia dan Amerika disebut bog, di Finlandia disebut mire dan moor dikenal di Jerman.
Dengan timbulnya perbedaan tersebut maka memberikan
panduan dalam sistem taksonomi tanah.
Dalam kunci taksonomi tanah
(Soil Survey Staff 1999) maka gambut dikelaskan Order Histosol.
Gambut
merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut : 1)
Jenuh air < 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan mengandung > 20 % karbon organik, atau
2)
Jenuh air selama > 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan, tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai kandungan karbon organik sebesar : a)
18 % atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 % atau lebih, atau
b)
12 % atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau
c)
12 % atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya mengandung < 60 % liat.
Pada umumnya gambut terbentuk di daerah basah, beraerasi yang buruk, seperti di daerah danau-danau yang dangkal, kolam, rawa dan daerah berlumpur dan hasil akhir dari eutrofikasi alamiah. Eutrofikasi adalah proses yang terjadi di daerah danau dangkal dan kolam yang terjadi pengkayaan unsur-unsur hara kemudian terisi oleh tanaman dan sisa bahan tanaman.
Sisa-sisa tanaman
terakumulasi di dasar danau yang dangkal dan kolam yang beraerasi dan berdrainase buruk sehingga perombakan terjadi tidak berjalan sempurna Proses permulaan sehingga terbentuknya gambut dinamakan paludisasi , yaitu proses geogenik (bukan pedogenik), yang dalam hal ini berupa akumulasi bahan organik mencapai ketebalan lebih dari 40 cm. Pada keadaan akumulasi bahan organik tersebut dapat dianggap suatu proses pembentukan bahan induk tanah gambut.
14
Proses pembentukan dan perkembangan tanah gambut selanjutnya bahan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; kelembaban, susunan bahan organik, kemasaman, aktivitas jasad renik dan waktu (Hardjowigeno 1993). Hidrologi pada lahan gambut sangat berperan penting. Awal terbentuknya gambut tropik karena berada pada daerah yang selalu tergenang.
Kondisi
hidrologi pada lahan gambut merupakan fungsi dari : (i) keseimbangan antara air masuk dan air keluar, (ii) topografi tanah mineral yang menopang endapan gambut, dan (iii) keadaan musim yang dapat berpengaruh terhadap fluktuasi permukaan air genangan (Mitsch and Gosselink 1993). Apabila tidak terdapat kondisi anaerob yang menyebabkan lambatnya dekomposisi bahan organik maka tidak akan terbentuk gambut. Berdasarkan tempat akumulasinya maka gambut dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu pertama, gambut diendapkan pada daerah cekungan, yaitu di atas tanah tua (Pleistocene terrace) yang berkembang karena pengaruh air hujan atau air tawar dari sungai (ekosistem air tawar). Kedua, gambut pada daerah depresi (tanah alluvial) yang berkembang dalam pengaruh marin (ekosistem marin).
Ketiga, gambut yang diendapkan pada daerah di bawah
pengaruh antara lingkungan air tawar dan marin (ekosistem payau). Perbedaan tersebut mempengaruhi ketebalan gambut. Jika terdapat di ekosistem air tawar umumnya ketebalan gambut lebih dari 3 m. Sedangkan pada daerah payau atau marin mempunyai ketebalan kurang dari 3 m. Ketebalan gambut dalam suatu bentang lahan tidak menunjukkan permukaan datar. Berdasarkan pengukuran H. Idak, perbedaan tinggi antara permukaan bagian tengah dengan permukaan bagian tepinya sebesar 2.5 m (Sabiham 2006). Umumnya topografi lahan gambut memang membentuk kubah (dome). Peningkatan ketebalan menuju kubah kurang 1 m setiap jarak 1 m. Contohnya, penampang melintang antara sungai Sebangau dan Sungai Bulan di Kalimantan Tengah sepanjang 24.5 km serta puncak kubah berjarak 16.5 m. Peningkatan ketebalan mencapai 4 m pada jarak 1–3 km dari pinggir Sungai Sebangau dengan ketinggian mencapai 4 m di atas permukaan sungai. Wilayah transisi dari hutan rawa campuran ke hutan tiang, pada jarak 3–6 km mempunyai
15
ketebalan yang meningkat seiring peningkatan ketinggian permukaan dari sungai antara 6.25–9 m. Pada jarak 6–11 km yang merupakan wilayah hutan maka ketebalan gambut meningkat mencapai 10 m (Noor 2001) Luasan gambut di Indonesia adalah terluas di daerah tropik. Bahan gambut tropika berasal dari akumulasi pepohonan dari hutan tropik sehingga sangat sulit untuk didekompisisi mengakibatkan gambut yang terbentuk menjadi sangat tebal. Neuzil dalam Noor (2001) menyatakan bahwa laju penimbunan gambut dikawasan tropik lebih cepat 3 – 6 kali dibandingkan dengan gambut di kawasan subtropik. Adapun unsur utama yang menjadi komposisi bahan organik yaitu C, H dan O. Suhardjo dan Widjaja Adhi (1976 dalam Noor 2001) melaporkan bahwa kandungan C organik gambut meningkat setiap peningkatan ketebalan. Pada gambut yang sangat dalam (>3 m) mengandung C organik sebesar 54.11 %, sedangkan gambut dangkal (0.5–1 m) mengandung C organik sebesar 49.80 %. Gambut Kalimantan Tengah berkisar antara 53.1–57.8 % (Salampak 1999). Apabila terjadi dekomposisi bahan organik tersebut maka akan melepaskan CO2 dan H2O. Selama ribuan tahun lahan gambut telah berperan penting untuk menjaga iklim global terutama pada era holosin. Pada ekosistem lahan gambut tropika terjadi siklus C. Sekitar 50 % total C akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam proses fotosintesis. Sisa tanaman yang mati akan terdekomposisi kembali ke dalam sistem tanah menjadi sumber hara dan sebagian akan teremisi ke atmosfer dalam bentuk CO2. Dalam kondisi normal siklus ini selalu membentuk keseimbangan karbon di biosfer. Kemampuan gambut yang besar dalam pemendaman karbon akan sangat efektif untuk mengatasi laju emisi karbon. Menurut Gorham (1991), fraksi karbon di lahan gambut tropika mencapai 528 000 Mt. Wojick (1999) menyatakan C sequentration di lahan gambut dan lahan basah lainnya antara 0.1–0.7 Gt. Simpanan C bisa mencapai 70 Gt sedangkan kapasitas simpanan C mencapai
240-480
Gt
atau
sekitar
20
%
dari
total
secara
global
(Rieley et al. 1997b). Hasil penelitian cadangan karbon yang dilakukan pada gambut dalam di Malaysia oleh Melling et al (2008) yaitu sebesar 3 771 ton C/ha. Besarnya C yang terkandung pada lahan gambut menjadikannya sebagai sumber (source) dan penyimpan (sink) karbon teresterial terbesar.
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai Desember 2008. Pelaksanaan meliputi kegiatan lapang, analisis laboratorium dan pengolahan data. Lokasi penelitian ini terletak pada Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara yang berada di 2 (dua) lokasi kebun yaitu Kebun Meranti Paham (Ajamu 2) dan Panai Jaya (Ajamu 3). Kebun Meranti Paham terletak di Kelurahan Meranti Paham Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Sebelumnya bernama Kebun Ajamu II.
Terletak pada koordinat 02o11’18”–02o21’24” LU dan
100o09’13”-100o12’02” BT (Gambar 3). Kebun ini berada pada hamparan lahan gambut dan mineral dengan luasan total sekitar 4 811 ha yang memiliki 215 blok yang terbagi menjadi 6 (enam) afdeling. Pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dimulai sejak tahun 1970-an. Lokasi ini terdiri atas tahun tanam antara tahun 1980 sampai tahun 1999 dan direncanakan replanting pada tanaman yang mulai tidak produktif. Varietas yang mendominasi adalah Varietas Marihat. Lokasi ini pada bagian utara, barat dan selatan berbatasan dengan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Cisadane Sawit Raya, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Sungai Barumun. Kebun Panai Jaya terletak di kecamatan Panai Tengah Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Terletak pada koordinat 02o22’40”–02o26’23” LU dan 100o15’26”-100o17’30” BT (Gambar 4). Kebun ini berada pada hamparan lahan gambut dengan luasan total sekitar 2 586 ha yang memiliki 130 blok yang terbagi atas 4 (empat) afdeling. Pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dimulai sejak tahun 2005. Lokasi ini terdiri atas tahun tanam antara tahun 2006 sampai tahun 2008 dan direncanakan penanaman baru. Varietas yang digunakan adalah Varietas Socfin. Lokasi ini pada bagian utara, dan barat berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit milik masyarakat, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan PT. Alam Lestari dan sebelah timur berbatasan dengan Sungai Ular.
100°12'00"
100°13'00"
100°14'00"
4
Umur Tanam Kelapa Sawit 0 1980 1986 1988 1989 1990 1991 1995 1996 1997 1998 1999
LEGENDA
0
Sumber Data Peta Kebun PTPN IV Ajamu
4
N
8 Kilometers
PETA TAHUN TANAM KEBUN MERANTI PAHAM LABUHAN BATU SUMATERA UTARA
Gambar 3. Peta Tahun Tanam Kebun Meranti Paham
100°11'00"
2°15'00"
2°15'00" 100°10'00"
2°16'00"
2°16'00"
100°9'00"
2°17'00"
2°17'00"
100°8'00"
2°18'00"
2°18'00"
100°14'00"
2°19'00"
100°13'00"
2°19'00"
100°12'00"
2°20'00"
100°11'00"
2°20'00"
100°10'00"
2°21'00"
100°9'00"
2°21'00"
100°8'00"
17
100°16'00"
100°18'00"
100°19'00"
0
Sumber Data Peta Kebun PTPN IV Ajamu
Umur Tanam Kelapa Sawit 0 2006 2007 2008
LEGENDA
Gambar 4. Peta Tahun Tanam Kebun Panai Jaya
100°17'00"
2°23'00"
2°23'00"
100°15'00"
2°24'00"
4
N
4
8 Kilometers
PETA TAHUN TANAM KEBUN PANAI JAYA LABUHAN BATU SUMATERA UTARA
2°24'00"
100°19'00"
2°25'00"
100°18'00"
2°25'00"
100°17'00"
2°26'00"
100°16'00"
2°26'00"
100°15'00"
18
19
Analisis sifat kimia tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah sedangkan analisis sifat fisika tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data pengukuran lapangan dan hasil analisis laboratorium digunakan sebagai data primer untuk menghitung cadangan karbon. Data sekunder yang digunakan berasal dari peta blok kebun kelapa sawit PTPN IV Ajamu. Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini berupa bor gambut untuk deskripsi keragaman kematangan dan ketebalan gambut. Munssel Soil Colour Chart untuk menentukan warna gambut dan identifikasi tingkat kematangan gambut.
GPS (Global Positioning System) digunakan untuk
menentukan titik plot pengambilan sampel dari biomassa maupun gambut. Vertex Transponder untuk mengukur tinggi pohon. Pita ukur diameter Hultafors untuk mengukur diameter setinggi dada (DBH). Chainsaw sebagai alat menebang kelapa sawit. Meteran sebagai alat ukur. Timbangan untuk menimbang berat dimensi sawit.
Alat-alat laboratorium untuk menghitung dari sifat kimia gambut dan
tanaman, serta sifat fisika gambut.
3.3 Metode dan Tahapan Pelaksanaan Penelitian Tahapan pelaksanaan penelitian terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu pengukuran lapangan dan analisis di laboratorium terhadap sifat-sifat gambut dan kelapa sawit yang secara singkat disajikan pada Gambar 5.
Pengukuran Lapang
Kelapa sawit : - DBH - Tinggi tegakan (H) - Biomassa Basah
Analisis Sifat tanaman -C Organik -Kadar air -Biomassa Kering
Analisis Sifat Gambut: -Bobot Isi -Kadar Air -Kering Tak Balik -C Organik -pH Karbon Bawah Permukaan
Penyusunan Model Alometrik
Gambar 5. Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Gambut : -Kedalaman Gambut -Ketebalan Gambut -Persentase Pasir Semu
Karbon Atas Permukaan
Cadangan Karbon Agroekosistem Kelapa Sawit
20
21
3.3.3 Pengukuran Lapangan 3.3.3.1 Persiapan Tahapan dalam kegiatan persiapan di lapangan yang dilakukan sebelum kegiatan penelitian dimulai terhadap plot pengukuran kelapa sawit dan gambut terdiri atas beberapa tahapan penting sebagai berikut : 1. Orientasi, dilakukan supaya diperoleh kondisi umum dari lokasi penelitian. 2. Penetapan plot/training area di lapangan yang mewakili kedalaman gambut dan umur tanam perkebunan kelapa sawit. 3. Penentuan posisi titik sampel penelitian dengan GPS. 3.3.1.2 Pengukuran Karbon Biomassa Kelapa Sawit Karbon tersimpan pada tegakan pohon sebagian besar berasal dari biomassa pohon, oleh karena itu pengukuran biomassa pohon dalam suatu hamparan atau kawasan merupakan tahap terpenting dalam pendugaan karbon tersimpan. Pengukuran biomassa pohon dapat dilakukan secara langsung dengan mengukur berat basah tegakan pohon di lapangan dengan cara menebang dan menimbang setiap bagian pohon, atau secara tidak langsung dengan persamaan alometrik biomassa pohon (Pearson et al. 2005). Pada penelitian ini akan dibuat persamaan alometrik biomassa kelapa sawit. Persamaan alometrik biomassa kelapa sawit dibuat dengan metode destruktif, yaitu pohon akan diukur biomassanya ditetapkan dengan cara menebang. Sebanyak 34 pohon contoh dipilih secara sengaja dan seluruh pohon tersebut ditebang untuk diukur dimensinya secara teliti. Tahapan kerja yang akan dilakukan untuk menyusun persamaan alometrik biomassa kelapa sawit adalah sebagai berikut: 1)
Kelapa sawit yang dipilih harus tumbuh sehat, mencakup kelompok umur 1, 2, 9, 11, 13, 17 dan 18 tahun (Lampiran 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11).
2)
Pengukuran dimensi kelapa sawit.
Pengukuran ini mencakup diameter
dengan pelepah sejajar tanah (khusus tanaman miring), diameter dengan pelepah tegak lurus batang, diameter tanpa pelepah, tinggi total sampai pucuk, tinggi bebas percabangan dan panjang batang miring. 3)
Menebang kelapa sawit dan memisahkan ke dalam bagian-bagian pohon. Sebelum ditebang maka sebagian dari pelepah daun dipangkas dan seluruh
22
tandan buah dan bunga (apabila ada) dipanen agar tidak ada bagian yang rusak ketika kelapa sawit ditebang/dipotong. Kelapa sawit ditebang sedekat mungkin dengan permukaan tanah.
Kelapa sawit dipisahkan dalam
kelompok batang, pelepah, daun, dan tandan buah. 4)
Pengukuran dan penimbangan bagian-bagian kelapa sawit. Batang dipotong sependek 30-40 cm dan pada panjang 1.3 m diukur diameternya tetapi untuk kelapa sawit umur tanam muda maka yang diukur adalah batang bagian tengah saja. Seluruh batang, pelepah, daun dan tandan buah ditimbang untuk menetapkan bobot basahnya.
5)
Pengambilan contoh uji bagian kelapa sawit. Bagian kelapa sawit yang diambil contoh ujinya mencakup bagian tengah batang, pelepah, dan daun. Contoh uji bagian batang diambil dengan ukuran 10 cm x 10 cm x 10 cm sedangkan daun dan pelepah diambil sekitar 0.5 kg.
Setiap contoh uji
dikemas ke dalam plastik tertutup rapat untuk mencegah berkurangnya kandungan air pada contoh uji. 6)
Pengeringan contoh uji. Seluruh contoh uji dikeringkan dengan oven pada suhu 105 0C di laboratorium untuk memperoleh kadar air. Contoh uji yang telah dikeringkan ditimbang untuk mendapatkan bobot keringnya.
7)
Penetapan bobot kering biomassa kelapa sawit contoh dan bagian-bagian kelapa sawit. Bobot kering ditentukan dengan mengkonversi bobot basah kelapa sawit contoh dan kadar air dari contoh uji setiap kelapa sawit.
8)
Analisis hubungan antara bobot kering biomassa seluruh kelapa sawit contoh dengan dimensi kelapa sawit contoh. Analisis hubungan dilakukan dengan pendekatan analisis regresi yang menghasilkan persamaan alometrik terbaik untuk pendugaan biomassa kelapa sawit. Hubungan antara dimensi-dimensi kelapa sawit dengan bobot kering
biomassanya disusun dengan beberapa model seperti di bawah ini: Ŷ = β0Dβ1(Brown 1997)...............................................................
(1)
Ŷ = β0 + β1D2H (Ogawa et al. 1965)...........................................
(2)
β1
Ŷ = β0D H
β2
(Chave et al. 2005) ..............................................
(3)
23
dengan: Ŷ adalah dugaan biomassa pohon atau bagian pohon (kg/pohon) D adalah diameter kelapa sawit/DBH (cm) H adalah tinggi kelapa sawit (cm) β0,β1,β2 adalah konstanta regresi Persamaan regresi terbaik akan dipilih dari model hipotetik di atas dengan menggunakan koefisien determinasi R2. Data diolah menggunakan SPSS Ver 11 dan Minitab Ver 13. Kerapatan rata-rata kelapa sawit adalah 130 pohon/ha. Faktor ini digunakaan untuk konversi biomassa per hektar. 3.3.1.3 Pengukuran Ketebalan Gambut Pembagian plot dilakukan berdasarkan lokasi kebun dan blok tahun tanam, yaitu pada kebun Meranti Paham terdapat 4 (empat) plot yang mewakili tahun tanam yaitu 9, 11, 13, 17 dan 18 tahun. Sedangkan pada kebun Panai Jaya terdapat 3 (tiga) plot yang mewakili tahun tanam yaitu <1, 1 dan 2 tahun. Pengukuran ketebalan gambut pada masing-masing plot penelitian tersebut dilakukan setiap titik boring. Langkah pertama yaitu untuk mengetahui ketebalan gambut maka dibuat plot seluas 1 ha. Kemudian dilakukan pembuatan grid (sub plot) yang berukuran 10 m x 10 m (Gambar 6).
Pada titik grid dilakukan pengeboran diukur berapa
ketebalan pada tingkat dekomposisi saprik, fibrik dan hemik.
Apabila saat
pengeboran terkena kayu maka kedalamannya diukur sebagai catatan khusus. Jika ternyata bor gambut belum mencapai lapisan mineral maka digunakan galah/bambu untuk menembus sampai mencapai tanah mineral. Langkah selanjutnya adalah pembuatan sketsa profil ketebalan gambut untuk mengetahui pola ketebalan gambut untuk menentukan keragaman kematangan secara vertikal dan horisontal.
Setelah diketahui sebaran
keragamannya maka untuk keperluan analisa diambil contoh tanah seberat 7 kg. Contoh gambut diambil dari komposit campuran tanah gambut dengan berbagai kematangan gambut kemudian contoh disimpan dalam kantong plastik yang diberi label.
10 m
x
x
10 m
x
x
x
x
x
x
x
x
Gambar 6. Plot Pengukuran Ketebalan Gambut
x
x
x
x
x
x
X
= Titik Pengeboran
= Kelapa Sawit
Keterangan :
24
25
3.3.1.4 Pengukuran Persentase Pasir Semu (Psedousand) Untuk mengetahui persentase terjadinya pasir semu (psedousand) pada lahan gambut di lokasi penelitian maka diambil gambut di atas permukaan dengan ukuran plot 10 cm x 10 cm x 2 cm dari beberapa titik. Jika contoh pasir semu telah diperoleh kemudian ditimbang agar diketahui beratnya. Selanjutnya gambut tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air dan diaduk sampai larut dalam air. Selama beberapa menit dibiarkan sampai terlihat bahan gambut yang mengapung diatas air.
Langkah berikutnya, bahan gambut yang mengapung
tersebut diambil dan ditiriskan diatas kertas saring kasar.
Setelah kering
kemudian ditimbang untuk menghitung berapa persentase gambut yang telah menjadi pasir semu (psedousand). 3.3.1.5 Penentuan Tingkat Kematangan Gambut Dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survey Staff 1999) tingkat kematangan gambut dapat dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan bahan (serat) tanaman asalnya. Ketiga macam tingkat kematangan tersebut adalah saprik, hemik dan fibrik.
Karena pentingnya tingkat kematangan ini untuk
diketahui, maka untuk memudahkan penciriannya di lapangan, definisi tentang serat-serat ini harus ditetapkan terlebih dahulu.
Serat-serat diartikan sebagai
potongan-potongan dari jaringan tanaman yang sudah mulai melapuk atau melapuk (tidak termasuk akar-akar yang masih hidup) dengan memperlihatkan adanya struktur sel dari tanaman asalnya. Potongan-potongan serat mempunyai ukuran diameter ≤ 2 cm, sehingga dapat diremas dan mudah dipisahkan dengan jari akan diamati tingkat kematangannya. Sementara untuk potongan-potongan kayu berdiameter >2 cm dan belum melapuk sehingga sulit untuk dipisahkan dengan jari, seperti potongan-potongan cabang kayu besar, batang kayu dan tunggul tidak dianggap sebagai serat-serat tetapi digolongkan sebagai fragmen kasar. Penetapan tingkat kematangan gambut di lapangan dilakukan dengan mengambil segenggam gambut, kemudian diperas dengan telapak tangan secara perlahan-lahan dan perhatikan apakah ada sisa serat-serat yang tertinggal di dalam telapak tangan. Sisa serat-serat tersebut menunjukkan tingkat kematangan, yaitu :
26
i.
Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan, adalah tiga perempat bagian atau lebih (≥3/4), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis fibrik.
ii.
Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan, adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperenam bagian atau lebih (<3/4 - ≥1/6), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis hemik
iii.
Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan, adalah kurang dari seperenam bagian, maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis saprik. Cara lain untuk mendukung penggolongan tingkat kematangan gambut
diatas adalah dengan memperhatikan warnanya menggunakan Munssel Soil Colour Chart. Jika gambut digolongkan pada kematangan fibrik maka akan memperlihatkan warna hitam muda (agak terang), kemudian disusul hemik dengan warna hitam agak gelap dan seterusnya saprik berwarna hitam gelap. Apabila lahan gambut tersebut pernah terjadi kebakaran maka warna gambut akan lebih hitam terutama pada bagian permukaan, sehingga dalam pengamatan hal ini harus diperhatikan juga agar tidak terjadi kesalahan penafsiran. 3.3.2 Analisis Tanaman Kelapa Sawit dan Sifat- Sifat Gambut Untuk menduga cadangan karbon kelapa sawit dan gambut maka diperlukan analisis laboratorium dari masing-masing sampel. Berikut ini sifatsifat yang dianalisis ditunjukkan oleh Tabel 1.
27
Tabel 1. Sifat – Sifat Kelapa Sawit dan Gambut yang Diamati Beserta Metode Pengukurannya No Sifat yang Dianalisis
Metode pengukuran
1.
A. Sifat Fisika dan Kimia Kelapa Sawit Kadar Air
Gravimetri (Blakemore et al. 1987)
2.
C Organik
Pengabuan Kering (Blakemore et al. 1987)
B. Sifat Fisika Tanah 1.
Bobot Isi
Gravimetri (Blakemore et al. 1987)
2.
Kadar Air
Gravimetri (Blakemore et al. 1987)
3.
Kadar Air Kritis dengan Water Drop Penetration Time Peluang 60-80% Terjadinya (Bisdom et al. 1993) Kering Tidak Balik C. Sifat Kimia Tanah
1.
C Organik
Pengabuan Kering (Blakemore et al. 1987)
2.
Kadar Abu
Pengabuan Kering (Blakemore et al. 1987)
3.
pH H2O (1:5)
pH meter (Black 1965)
3.3.2.1 Penetapan C Kelapa Sawit Penetapan C organik dari biomassa kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan metode pengabuan kering. Bagian-bagian dimensi kelapa sawit yang dianalisis adalah batang, pelepah dan daun.
3.3.2.2 Penentuan Kadar Air dan Bobot Isi Gambut Pengambilan contoh tanah dilakukan pada plot penelitian dengan kedalaman antara 0-100 cm menggunakan metode ring sampel dengan tahapan berikut ini : 1)
Lapisan atas tanah diratakan dan dibersihkan. Kemudian ring ditempatkan pada lapisan tanah tersebut.
2)
Ring ditekan sampai tiga perempat bagiannya masuk ke dalam tanah, letakkan ring lain diatasnya kemudian ditekan lagi. disekeliling ring digali dengan cangkul atau pisau.
Selanjutnya tanah
28
3)
Ring beserta tanah didalamnya digali dengan cangkul lalu kedua ring tersebut dipisahkan.
4)
Permukaan tanah di dalam ring sampel diratakan dengan menggunakan gergaji triplek. Apabila ada akar atau serasah maka dipotong dengan gunting secara hati-hati agar tidak sampai merusak tanah di dalam ring sampel.
5)
Ring sampel ditutup dengan alumunium foil dan diselotip serapat mungkin dan dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk menghindari berkurangnya kadar air.
6) Tahap selanjutnya contoh gambut tersebut dimasukkan dalam cawan almunium dan ditimbang lalu dioven 24 jam dengan suhu 1050C. 7) Kemudian ditetapkan kadar air dan dihitung bobot isi gambut (Brady 1990).
3.3.2.3 Penetapan C Organik Gambut Contoh gambut berdasarkan tingkat kematangan yaitu saprik, hemik dan fibrik yang dikeringanginkan selama 2-3 hari sampai kadar airnya berkurang. Kemudian ditumbuk sampai kira-kira halus lalu diayak dengan ayakan. Selanjutnya, karbon organik gambut diukur dengan menggunakan metode pengabuan kering (lost of ignation). Kemudian dihitung juga persentase kadar abunya sebagai cara untuk menentukan besarnya bahan mineral yang terkandung dalam gambut. 3.3.2.4 Penetapan Kadar Air Kritis dengan Terjadinya Kering Tidak Balik
Peluang
60-80%
Analisis ini menggunakan contoh gambut yang terganggu dengan berbagai tingkat kematangan (saprik, hemik dan fibrik). Contoh diambil pada ketebalan 0-2 cm pada permukaan lahan gambut. Analisis ini sangat berkaitan dengan terbentuknya pasir semu (psedousand), meliputi tahapan sebagai berikut : 1)
Contoh tanah gambut ditimbang dan dioven pada suhu 50oC dengan lama 15, 30, 45, 55, 65, 75, 90, 105, 120, 135 dan 150 menit, sehingga diperoleh data proporsi untuk suatu sebaran peluang binomial terjadi atau tidak terjadinya kering tak balik.
2)
Selanjutnya ditetapkan kadar air masing-masing contoh gambut tersebut.
29
3)
Kemudian diamati sifat kering tak balik menggunakan metode Water Drop Penetration Time (WDPT) yang diadopsi oleh Bisdom et al. (1993) yaitu dengan meneteskan 3 tetes aquades (diameter 6 mm) ke atas bahan gambut (Tabel 2).
4)
Berikutnya mengamati sudut kontak antara air dengan permukaan bahan gambut dan waktu terjadinya penetrasi. Bila sudut kontak >900 dengan waktu penetrasi >5 detik, maka bahan gambut tidak dapat menyerap air kembali.
Sebaliknya bila sudut kontak >900 dengan waktu penetrasi
<5 detik, maka bahan gambut dapat menyerap air.
Klasifikasi bahan
menolak air disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Bahan Menolak Air Berdasarkan Metode WDPT WDPT (detik) <5
Klasifikasi Bahan Bahan dapat menyerap air kembali
5-60
Bahan menolak air lemah
60-600
Bahan menolak air kuat
600-3600
Bahan menolak air sangat kuat
>3600
Bahan menolak air ekstrim kuat
Hasil pengukuran sifat-sifat gambut dilakukan analisis regresi dan korelasi untuk mengetahui pengaruhnya satu sama lain dengan menggunakan MS. Excel dan SPSS Ver. 11. 3.3.2.5 Pendugaan C Biomassa Kelapa Sawit (C Atas Permukaan) Karbon biomassa kelapa sawit diduga dengan menggunakan faktor konversi yang diperoleh dari hasil analisis kandungan C masing-masing dimensi kelapa sawit , yaitu batang, pelepah dan daun. Rumus yang digunakan adalah : C biomassa (kg pohon-1) = Biomassa Kering (kg pohon-1) x % C..............
(4)
Kemudian C biomassa (kg/pohon) akan dikonversi untuk mengetahui besarnya biomassa dalam satuan hektar menggunakan rumus berikut : C biomassa (kg pohon-1) x kerapatan tanaman (pohon ha-1) C biomassa (t ha-1) =
103
.........
(5)
30
3.3.2.6 Pendugaan Cadangan C dalam Gambut (C Bawah Permukaan) Penetapan cadangan karbon gambut per hektar akan dihitung dengan menggunakan rumus berikut : (Shimada et al. 2000) -1
TC (t ha ) =
A x BI x C x D 103
.........................................................
Dimana : TC = Total kandungan karbon gambut (t ha-1) A = Luas areal petakan penelitian (ha atau 106dm2) BI = Bobot isi (g cc-1 atau kg/dm3) C = Kandungan C organik (%) D = Ketebalan gambut (dm)
(6)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Sifat-Sifat Gambut di Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi berbeda yaitu Kebun Meranti Paham (Ajamu 2) dan Kebun Panai Jaya (Ajamu 3) masing- masing mewakili umur tanam kelapa sawit, yaitu umur 18, 13, 11, 9, 2, 1 dan < 1 tahun. Kematangan gambut dari kedua kebun tersebut beragam dari saprik sampai fibrik. Keberagaman kematangan gambut pada Kebun Meranti Paham cenderung secara vertikal, dimana bagian permukaan memiliki kematangan saprik karena lahan ini telah lebih dari 25 tahun dibuka dan telah mengalami berbagai pengolahan lahan, drainase dan pemupukan yang intensif sehingga mempercepat proses dekomposisi. Sementara itu kematangan pada Kebun Panai Jaya sangat beragam baik secara vertikal maupun horisontal disebabkan lahan ini baru mengalami pembukaan sekitar 4 tahun sehingga belum mengalami dekomposisi lanjut.
Sifat-sifat gambut pada lokasi penelitian secara
lebih jelas disajikan pada Lampiran 1. Berdasarkan kematangan gambut maka diperoleh bobot isi saprik, hemik dan fibrik masing-masing berkisar antara 0.135-0.175 g/cc, 0.073-0.150 g/cc dan 0.10-0.122 g/cc. Bobot isi merupakan sifat gambut yang penting untuk diketahui karena berbagai sifat gambut yang lain sangat dipengaruhi oleh bobot isi. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa bobot isi gambut sangat rendah (Andriesse 1974; Driessen and Rochimah 1976 dalam Andriesse 1988; Sumawinata dan Mulyanto 2004 dalam Sabiham 2006). Kecilnya bobot isi gambut mengakibatkan daya tumpu menjadi rendah sehingga akar tanaman tidak mampu bertumpu dengan kokoh. Sementara pH H2O tidak menunjukkan keragaman pada berbagai tingkat kematangan karena masih dikelompokkan dalam kelas sangat masam. Tingginya kemasaman gambut ini diduga akibat dari dekomposisi bahan gambut yang menghasilkan asam-asam organik. Semakin tebal gambut maka pHnya akan semakin rendah (Suhardjono dan Widjaja Adhi 1976 dalam Noor 2001). Ketebalan gambut pada lokasi penelitian rata-rata berkisar antara 127.42 cm sampai 502.92 cm, sehingga digolongkan sebagai gambut sedang
32
sampai gambut dalam. Lapisan bawahnya berupa endapan marin dan aluvial dengan bahan mineral berwarna abu-abu. Bahan induk berupa sisa-sisa daun, dahan dan batang yang membusuk dan mengalami pelapukan. Kedalaman muka air dalam gambut berkisar antara 20 cm sampai 40 cm pada saat penelitian. Kadar air pada lokasi penelitian pun tergolong tinggi pada saprik, hemik dan fibrik berturut-turut adalah berkisar antara 415.52 - 603.05 %, 620.12 - 978.57 %, dan 629.44 - 851.50 %. Namun pada musim kemarau sering terjadi kekeringan menyebabkan terbentuknya pasir semu (psedousand) sampai pada ketebalan 2 cm dari permukaan tanah yang berkisar antara 3.09 % sampai 11.35 %. Terbentuknya pasir semu (psedousand) merupakan akibat dari peristiwa kering tak balik. Gambut yang mengalami peristiwa ini sukar untuk memegang dan menyerap air kembali. Kondisi ini sebagai akibat dari menurunnya gugus karboksilat (COOH) dan OH-fenolat (Azri 1999). Cepatnya terjadi kering tak balik di daerah tropik disebabkan karena bahan induknya adalah kayu-kayuan (hardwood) yang didominasi oleh kandungan lignin.
Hasil pengamatan
menunjukkan indikasi bahwa pasir semu (psedousand) yang terbentuk semakin a
kecil dengan semakin lamanya pembukaan lahan (Lampiran 2) ]. Kondisi ini diduga akibat pasir semu (psedousand)
yang terbentuk sebagian besar telah
tererosi melalui angin dan/atau aliran air permukaan maupun terbawa saat terjadi banjir. Hasil pengamatan di laboratorium yang ternyata menunjukkan keadaan sebaliknya dengan hasil pengamatan di lapangan tersebut. Hasilnya menunjukkan semakin lama gambut mengalami kekeringan maka semakin besar potensi terjadinya peristwa kering tak balik (Lampiran 3). Selanjutnya dari pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan metode WDPT (Dekker and Risema 1994 dalam
Haris 1998) maka diperoleh waktu rata-rata yang diperlukan sampai
terjadinya kering tak balik sampel gambut dari Kebun Meranti Paham dan Panai b
Jaya masing-masing adalah 70 menit dan 62.8 menit ]. Gambut pada Kebun Panai Jaya lebih cepat mengalami kering tak balik karena memiliki keberagaman kematangan saprik sampai fibrik, sedangkan pada Kebun Meranti Paham a] b]
Kondisi saat penelitian ini dilakukan Pengeringan pada suhu 50oC
33
memiliki kematangan saprik dengan tingkat dekomposisi lanjut.
Bisdom et al.
(1993) berpendapat pada bahan organik segar dan separuh terdekomposisi akan lebih besar sifat menolak air dibandingkan yang telah terdekomposisi lanjut. Berarti semakin kecil bobot isi gambut maka semakin besar peluang terjadinya peristiwa kering tak balik. Cepatnya terjadi peristiwa kering tak balik pada lahan gambut harus diperhatikan terutama terhadap pengaturan tata air. Apabila gambut sudah tidak mampu menyerap air maka gambut tidak akan mampu lagi berfungsi sebagai kompleks pertukaran kation. Produktivitas lahan gambut akan semakin menurun meskipun dilakukan pemupukan tetapi pupuk akan mudah hilang terbawa oleh media air atau menguap ke udara. Selain itu peristiwa kering tak balik juga menyebabkan penyusutan ketebalan (subsidence) yang dapat mengakibatkan munculnya lapisan dibawah gambut. Jika bahan tersebut adalah bahan mineral yang kaya maka tidak akan bermasalah tetapi jika berupa pasir kuarsa atau tanah sulfat masam maka lahan gambut tersebut tidak bisa digunakan sebagai media tempat pertanaman. 4.2 Kandungan C Organik dan Kadar Abu Gambut Hasil analisis sampel yang berasal dari plot-plot penelitian diperoleh kandungan C organik saprik antara 55.96 – 57.34 %, hemik 56.25 – 57.47 % dan fibrik antara 48.84 – 57.25 %. Kisaran nilainya tidak terlalu beragam namun ada indikasi bahwa kandungan C organik fibrik lebih kecil dibandingkan kandungan C organik saprik dan hemik yang didukung dengan nilai kadar abunya seperti yang terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan Kadar Abu Pada 2 (Dua) Lokasi Kebun PTPN IV Ajamu Lokasi Kebun Meranti Paham Saprik Hemik Fibrik Panai Jaya Saprik Hemik Fibrik
Kadar Abu (%) 1.14 - 3.37 0.91 - 3.03 1.31 - 15.81 3.04 - 3.66 2.06 - 2.18 1.39 - 1.76
34
Persentase kadar abu rata-rata pada kematangan saprik berkisar antara 1.14 – 3.66 %, hemik berkisar antara 0.91 – 2.18 % dan fibrik berkisar antara 1.31 – 15.81 %. Hasil ini mengindikasikan bahwa kadar abu fibrik lebih besar dibandingkan saprik dan hemik.
Hal ini diduga karena gambut fibrik telah
tercampur dengan bahan mineral karena posisinya berada di lapisan bawah. Kecuali pada plot perkebunan kelapa sawit yang baru dibuka ternyata kadar abu fibrik lebih kecil dari saprik dan hemik yaitu rata-rata <2 % karena posisinya yang berada pada lapisan permukaan. Andriesse (1974 dalam Andriesse 1988) mengemukakan bahwa kadar abu ini secara tidak lansung dapat menggambarkan penggolongan gambut yaitu jika kadar kehilangannya (lost of ignation) lebih dari 75 % maka bisa dikelompokkan sebagai tanah gambut (true peat). Pernyataan tersebut didukung dengan hasil penelitian Polak (1949 dalam Najiyati et al. 2005) bahwa gambut yang memiliki kadar abu < 5 % umumnya terdapat di pusat gambut (dome) dengan ketebalan >3 m. Pendapat tersebut terbukti sesuai dengan kondisi lokasi penelitian yang disimpulkan juga bersifat mesotrofik (kadar abu 2-5 %) dan oligotrofik (kadar abu <2 %).
Kondisi ini mencerminkan rendahnya kandungan bahan
mineral gambut sehingga kesuburannya juga rendah. Oleh karena itu, pada lahan gambut umumnya diperlukan penambahan bahan mineral.
Salah satu sumber bahan mineral bisa diperoleh dengan
mengembalikan air gambut yang berada di dalam saluran drainase ke areal perkebunan kelapa sawit. Air gambut mengandung berbagai mineral yang berasal dari dalam gambut maupun pupuk. Kandungan mineral tersebut merupakan hasil dari peristiwa pencucian (leaching) dan aliran air permukaan (runnoff). Hal ini disebabkan karena pada gambut yang berfungsi sebagai kompleks jerapan adalah gugus-gugus fungsional dan rendahnya pH gambut mengakibatkan kemampuan untuk menahan mineral sangat lemah dan menjadi sangat mudah terlepas. Penambahan bahan mineral akan meningkatkan kemampuan kompleks jerapan pada lahan gambut.
Menurut Salampak (1999) penambahan bahan mineral
terutama yang berkadar Fe tinggi dapat meningkatkan ikatan P dalam tanah gambut, sehingga dapat mengurangi kehilangan P. Fungsi P sangat penting bagi pembelahan sel, pembentukan bunga, buah dan biji, serta memperkuat batang agar
35
tidak mudah roboh (Hardjowigeno 1995). Jadi, penambahan bahan mineral dapat meningkatkan produktivitas lahan gambut akibat dari terbentuknya ikatan antara logam dan senyawa organik atau disebut ikatan organometal yang dapat mengendalikan reaksi asam-asam organik yang membahayakan tanaman. Pembentukan ikatan ini akan mempercepat dekomposisi sehingga mempercepat pelepasan hara agar dapat tersedia bagi tanaman (Tan 1998). 4.3 Cadangan C dalam Gambut Cadangan C gambut sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat gambut lainnya. Uji korelasi dilakukan untuk menentukan keeratan hubungan antara sifat-sifat gambut dengan cadangan C gambut.
Hasil korelasi menunjukkan bahwa
cadangan C gambut mempunyai korelasi nyata yang positif terhadap ketebalan gambut (r = 0.93) dan bobot isi (r = 0.65) seperti pada Lampiran 4. Hal tersebut berarti dengan semakin bertambahnya ketebalan gambut pada kematangan saprik, hemik maupun fibrik maka cadangan C gambut akan semakin bertambah. Gambar 7a menunjukkan bahwa pada ketebalan gambut yang sama ada indikasi bahwa cadangan C saprik > hemik > fibrik kecuali pada ketebalan gambut yang lebih kecil dari 200 cm dimana cadangan C hemik lebih kecil dibandingkan saprik dan fibrik. Demikian juga Gambar 7b menunjukkan indikasi cadangan C saprik lebih besar dari hemik dan fibrik karena bobot isi rata-rata saprik lebih besar dari bobot isi rata-rata hemik dan fibrik. Semakin besar bobot isi maka semakin besar pula cadangan C. 5000
a
4500
5000
b
4000
4000
3500 3000 2500 2000 Saprik Hemik Fibrik
1500 1000
Cadangan karbon (ton/ha)
C a d a n g a n K a r b o n (to n / h a )
4500
3500 3000 2500 2000
Saprik
1500
Hemik 1000
Fibrik
500
500
0 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,10 0,11 0,12 0,13 0,14 0,15 0,16 0,17 0,18 0,19 0,20
0 0
100
200
300
400
500
600
Bobot Isi (gr/cc)
Ketebalan Gambut (cm)
Gambar 7. Hubungan Cadangan C dengan (a) Ketebalan Gambut dan (b) Bobot Isi
36
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai cadangan C tertinggi terdapat pada plot dengan umur <1 tahun sebesar 4 516 ton/ha karena gambutnya relatif tebal yaitu 479.05 cm. Kandungan C terendah ditunjukkan oleh plot dengan umur tanam 11 tahun sebesar 799 ton/ha disebabkan karena gambutnya lebih tipis yaitu 127.42 cm.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa bobot isi juga
mempengaruhi nilai cadangan karbon gambut yang pengaruhnya dapat ditunjukkan melalui tingkat kematangan dimana pada plot dengan umur < 1 tahun didominasi oleh saprik sedangkan pada plot umur tanam 11 tahun memiliki variasi kematangan saprik sampai fibrik. Pada gambut yang berada di atas permukaan dengan ketebalan 2 cm cenderung terbentuknya pasir semu karena mengalami pengeringan yang intensif akibat drainase dan penyinaran matahari. Pasir semu yang ringan sangat mudah terbang tertiup angin dan terbawa melalui aliran air kemudian masuk ke dalam saluran drainase atau terbawa air saat banjir akibatnya menjadi salah satu faktor penyebab kehilangan karbon. Peluang untuk terjadinya emisi CO2 pada pasir semu sangat kecil dibandingkan laju erosi yang mungkin terjadi. Jumlah karbon yang mungkin hilang melalui pasir semu tersebut relatif kecil dibandingkan karbon gambut total dengan rasio yang paling maksimal adalah 1:106, tetapi jika terjadi secara terus menerus (kontinu) maka berpotensi besar kehilangan C (Tabel 4). Tabel 4 . Cadangan Karbon Gambut Pada Berbagai Plot Umur Tanam Umur Tanam (tahun) 18 13 11 9 2 1 <1
Ketebalan Gambut (cm) 343.65 352.51 127.42 404.95 502.92 483.98 479.05
Kandungan C Gambut (ton/ha) 2 800 2 602 799 3 134 4 005 3 577 4 516
Kandungan C Pada Pasir Semu (kg/ha) c] 0.60 0.67 0.79 0.90 1.81 1.16 1.86
Selain melalui pasir semu maka kehilangan karbon yang cukup besar tentunya bisa terjadi melalui emisi CO2 sebagai hasil dekomposisi apabila gambut berada pada suasana oksidatif dan juga lepasnya C bisa terjadi melalui drainase air
c]
Pada ketebalan 2 cm dari permukaan tanah
37
gambut. Peranan tata air yang baik memang sangat diperlukan pada lahan gambut agar dapat mencegah kehilangan C dalam berbagai bentuk tersebut. 4.4 Biomassa Kelapa Sawit Biomassa merupakan bahan organik hasil dari proses fotosintesa yang dinyatakan dalam satuan bobot kering.
Tabel 5 menyajikan biomassa hasil
pengukuran secara destruktif dengan penebangan 34 pohon kelapa sawit. Ratarata biomassa kering tertinggi terdapat pada plot umur tanam 17 tahun yaitu 229.8 kg/pohon dan yang terendah terdapat pada plot umur tanam 1 tahun yaitu 9.84 kg/pohon. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tua umur tanam kelapa sawit maka biomassanya akan semakin meningkat, tetapi pada umur tertentu tidak akan terjadi peningkatan biomassa bahkan cenderung terjadi penurunan. Penanaman di areal agroekosistem kelapa sawit di PTPN IV Ajamu umumnya menggunakan jarak tanam 8 x 9 m dan/atau 9 x 9 m tergantung pada kondisi lahannya.
Kerapatan kelapa sawit maksimal setiap hektar adalah
sebanyak 130 pohon. Penetapan jarak tanam disesuaikan dengan tingkat kesuburan lahan yang berkaitan dengan ketebalan gambut, tingkat kematangan, tata air dan teknik pengelolaannya. Apabila ada tanaman yang mati atau mengalami gangguan hama dan penyakit maka dilakukan penyisipan dengan tanaman baru. Berdasarkan jumlah kerapatan kelapa sawit maksimal tersebut maka dihitung biomassa dari masing-masing umur tanam untuk setiap hektar. Tabel 5 menunjukkan biomassa kering pada lokasi penelitian ini berkisar antara 1.28 – 29.87 ton/ha. Tabel 5. Biomassa Kelapa Sawit Pada Berbagai Dimensi Umur Tanam (tahun) 18 17 13 11 9 2 1
Biomassa Kering (kg/pohon) Batang 149.09 175.51 123.59 120.76 90.58 4.03 2.65
Pelepah 32.85 27.52 30.68 31.50 46.51 6.24 4.14
Daun 25.99 26.77 22.93 33.11 32.83 3.84 3.05
Total 207.93 229.80 177.20 185.37 169.92 14.11 9.84
Biomassa Kering (ton/ha) 27.03 29.87 23.04 24.09 22.09 1.83 1.28
38
Biomassa kering kelapa sawit terdapat paling besar pada bagian batang yaitu 67 % diikuti pelepah kemudian daun, masing-masing adalah 18 % dan 15 % (Gambar 8). Hasil serupa juga ditunjukkan pada agroekosistem kelapa sawit yang berada di Nigeria pada lahan berpasir yang masam. Biomassa kelapa sawit antara umur 10 sampai 17 tahun terakumulasi pada batang yaitu berkisar antara 57-69 %, kemudian diikuti pada pelepah berkisar antara 14-20 % dan daun berkisar antara 8-10 % (Hartley 1967). Berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pola ini adalah umum untuk kelapa sawit meskipun ditanam pada tipe lahan yang berbeda. Kecuali pada tanaman muda (<2 tahun) biomassa kering pada pelepah lebih besar dibandingkan pada batang dan daun. Hal ini disebabkan pada umur tersebut batang masih muda dan belum padat serta lebih didominasi oleh besarnya kandungan air yang mencapai lebih dari 6 (enam) kali biomassanya. Daun 15 %
Pelepah 18%
Batang 67%
Gambar 8. Persentase Rata-Rata Biomassa Berbagai Dimensi Kelapa Sawit Umumnya pada agroekosistem kelapa sawit dilakukan pemotongan pelepah dan daun (penunasan) secara periodik agar tidak mengganggu produktivitas tandan buah. Kegiatan ini dilakukan setiap 6 bulan sekali dengan rata-rata jumlah yang dipotong sekitar 2 sampai 3 helai pelepah dan daun. Meskipun demikian, tetapi bisa dilakukan juga saat panen jika memang diperlukan (PPKS 4 Pebruari 2009, komunikasi pribadi).
Hasil pemotongan
sebagian besar hanya ditumpuk pada sekitar pohon kelapa sawit sampai melapuk sehingga berpotensi sebagai sumber pengembalian biomassa ke dalam tanah. Berdasarkan hasil penelitian rata-rata berat basah 1 (satu) helai pelepah dan daun adalah 1.5 kg (pelepah 1.25 kg dan daun 0.25 kg). Jika dalam setahun dipotong
39
sekitar 4 sampai 6 helai pelepah dan daun maka besar biomassa kering yang dikembalikan sebagai bahan organik, berkisar antara 1.39–2.08 kg/tahun. Pada Tabel 6 disajikan pendugaan besarnya biomassa dan C biomassa dari pemotongan pelepah dan daun, kecuali pada kelapa sawit dengan umur tanam < 2 tahun tidak dihitung dalam Tabel 6 karena pada kelapa sawit muda belum dilakukan pemotongan pelepah dan daun. Tabel 6. Pendugaan Biomassa dan C Biomassa Hasil Pemotongan Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Selama Pertumbuhan Tanaman yang Diukur Setelah Umur 3 Tahun Umur Tanam (tahun) 18 17 13 11 9
Biomassa Kering (kg) Pelepah 15.75 - 23.63 14.70 - 22.06 10.50 - 15.75 8.40 - 12.60 6.30 - 9.45
Daun 5.04 - 7.57 4.71 - 7.06 3.36 - 5.04 2.69 - 4.04 2.02 - 3.03
C Biomassa (kg)
Total 20.79 - 31.20 19.41 - 29.12 13.86 - 20.79 11.09 - 16.64 8.32 - 12.48
Pelepah
Daun
Total
8.90 - 13.35 8.41 - 12.62 5.78 - 8.68 4.61 - 6.92 3.43 - 5.15
2.80 - 4.19 2.59 - 3.89 1.86 - 2.79 1.48 - 2.22 1.11 - 1.66
11.70 - 17.54 11.00 - 16.51 7.64 - 11.47 6.09 - 9.14 4.54 - 6.81
Pengembalian biomassa dan C biomassa dalam bentuk pelepah dan daun yang terbesar adalah pada kelapa sawit yang berumur paling tua yaitu 18 tahun, sedangkan yang terendah adalah pada umur tanam 9 tahun. Dari Tabel 6 di atas terlihat bahwa semakin tua umur tanam maka pengembalian biomassa dan C biomassanya juga semakin besar.
Nilai ini dihitung dengan asumsi bahwa
banyaknya tindakan pemotongan pelepah dan daun adalah sama setiap tahunnya. Biomassa yang dikembalikan ini akan menjadi akumulasi bahan organik tanah meskipun tidak akan mampu menggantikan bahan gambut yang telah hilang. Pada penelitian ini tandan buah segar atau TBS tidak dimasukkan dalam total biomassa kering (lihat Tabel 5) karena dari hasil pengamatan pada penelitian ini ternyata diperoleh jumlah tandan dan berat tandan yang sangat beragam baik antar umur yang sama maupun yang berbeda.
Keadaan yang tidak konstan
tersebut akan sangat mempengaruhi dalam penyusunan persamaan alometrik. Selain itu, TBS merupakan dimensi sawit yang dipanen dan dibawa keluar dari kebun ke tempat lain secara periodik dan sangat kecil kemungkinannya dikembalikan lagi ke dalam tanah sebagai bahan organik. Memang ada sebagian janjang yang dikembalikan tetapi dalam bentuk lain yaitu abu janjang yang digunakan untuk menambah unsur hara tetapi belum ada data yang menyajikan
40
berapa kali jumlah pengembalian dan berapa banyak bahan tersebut dikembalikan. Produksi TBS rata-rata kelapa sawit pada kelas kesesuaian lahan S2 yang umumnya berada pada lahan gambut disajikan Tabel 7. Tabel 7. Produksi Kelapa Sawit Pada Umur Tanam 9 – 18 Tahun Umur Tanam (tahun)
Tandan Buah Segar (ton/ha/tahun)
9 11 13 17 18
28.0 28.0 28.0 24.5 23.5
Rerata Berat Tandan (kg/tandan) 16.5 18.5 20.0 24.1 25.2
Rerata Jumlah Tandan (tandan/pohon) 13.1 11.6 10.8 7.8 6.2
Sumber : PPKS 6 Pebruari 2009 (Komunikasi Pribadi)
Besarnya produksi TBS pada Tabel 7 merupakan gambaran besarnya biomassa basah kelapa sawit dari TBS. Pada umur tanam 9-13 tahun maka TBS diperoleh rata-rata 28 ton/ha/tahun kemudian terjadi penurunan pada umur tanam 17 dan 18 tahun berarti akan terjadi penurunan produksi pada umur tanam di atas 17 tahun tersebut. Untuk melihat biomassa kering perlu diketahui kadar air dan kadar minyak dari TBS baik dari buahnya maupun janjang, agar bisa digunakan untuk melakukan konversi. Pada penelitian ini kedua parameter tersebut tidak diukur. 4.5 Cadangan C Biomassa Kelapa Sawit Perhitungan
cadangan
karbon
biomassa
kelapa
berdasarkan persentase kandungan C dalam biomassa.
sawit
ditentukan
Konversi cadangan C
biomassa dilakukan dengan menggunakan faktor konversi yang berasal dari hasil perhitungan rata-rata kandungan C pada batang sebesar 54.14 %, pada pelepah sebesar 55.41 % dan pada daun sebesar 55.15 %. Hasil konversi dari biomassa menjadi C biomassa tersebut disajikan pada Gambar 9 dan Tabel 8. Pada umur tua (> 9 tahun) akumulasi C biomassa pada batang lebih tinggi dibandingkan pada pelepah dan daun. Sementara pada umur muda (< 2 tahun) menunjukkan bahwa akumulasi C biomassa pada pelepah lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya.
41
120
C biomassa (kg /po ho n)
100 80 60
Batang Pelepah
40
Daun
20 0 1
2
9
11
13
17
18
Umur Tanam (tahun)
Gambar 9. Cadangan C Biomassa (kg/pohon) Pada Berbagai Umur Tanam Tabel 8. Cadangan C Biomassa Pada Berbagai Dimensi Kelapa Sawit Umur Tanam (tahun) 18 17 13 11 9 2 1
Batang 10.59 12.47 8.65 8.45 6.24 0.28 0.19
C Biomass (ton/ha) d] Pelepah Daun 2.41 1.87 2.05 1.92 2.20 1.65 2.25 2.37 3.29 2.35 0.44 0.27 0.30 0.22
Total 14.88 16.43 12.49 13.07 11.88 1.00 0.70
Cadangan C biomassa total tertinggi berdasarkan pengukuran secara destruktif didapat pada plot umur tanam 17 tahun yaitu sebesar 16.43 ton/ha, yang sebagian besar C biomassa tersebut terakumulasi pada batang yaitu sebesar 12.47 ton/ha. Sementara itu cadangan C biomassa total terendah adalah pada plot umur tanam 1 tahun sebesar 0.7 ton/ha yang sebagian besar terakumulasi pada pelepah sebesar 0.3 ton/ha. Hubungan antara umur tanam kelapa sawit dengan C biomassanya cenderung menunjukkan pola sigmoid. Pada umur tanam masih muda terjadi peningkatan C biomassa yang relatif lambat selanjutnya akan semakin cepat
d]
Perhitungan berdasarkan jumlah pohon sebanyak 130 pohon/ha
42
seiring dengan bertambahnya pertumbuhan. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa C biomassa mulai umur tanam 17 tahun cenderung menunjukkan nilai yang konstan dan terjadi penurunan pada umur 18 tahun. Berarti cadangan C biomassa akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur kelapa sawit tetapi pada umur tertentu cadangan C biomassa mulai mencapai kondisi yang cenderung tidak lagi mengalami perubahan. Namun pola ini masih berupa pendugaan sementara karena data ini belum mencakup umur tanam antar 3 sampai 8 tahun dan umur tanam yang diatas 18 tahun. 140
Biomassa Kering (kg/pohon)
120 100 80 60 40 20 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Umur Tanam (tahun)
Gambar 10. Pola C Biomassa Berdasarkan Umur Tanam 4.6 Dimensi-Dimensi Kelapa Sawit dan Hubungannya dengan Biomassa Fenomena yang menarik pada pertumbuhan kelapa sawit di lahan gambut adalah umur tanam tidak selalu berbanding lurus dengan diameter batang dan tinggi tanaman. Pengukuran diameter batang yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan sejajar tanah dan tegak lurus batang baik yang dengan pelepah maupun tanpa pelepah. Sementara ukuran tinggi merupakan tinggi vertikal yang diukur dari permukaan tanah sampai pucuk, tinggi bebas percabangan dan panjang batang miring (Tabel 9).
43
Tabel 9. Diameter (D) dan Tinggi (H) Rata-Rata Pada Berbagai Umur Tanam Kelapa Sawit Diameter (cm) Dengan Pelepah
Umur Tanam (tahun)
18 17 13 11 9 2 1
Tinggi (cm)
Tanpa Pelepah
Sejajar Tanah D1
Tegak Lurus Batang D2
Tegak Lurus Batang D3
Total H1
Bebas Percabangan H2
78.4 80.5 70.0 81.5 83.5 44.6 35.3
78.4 74.4 72.0 81.5 82.0 44.6 35.3
50.6 51.2 46.0 55.2 60.6 26.8 22.8
1502 1236 1106 1029 1136 336 308
518 610 314 269 244 53 46
Panjang Batang Miring H3 528 592 295 257 236 53 46
Dari Gambar 11 dan 12 dapat dilihat pola pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman kelapa sawit menurut umurnya. Pengukuran diameter baik dengan pelepah yang sejajar tanah (D1) dan tegak lurus batang (D2) maupun yang tanpa pelepah (D3) menunjukkan pola yang sama. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa ukuran diameter meningkat cukup jelas dari umur tanam 1 tahun sampai 9 tahun, selanjutnya terjadi penurunan sampai umur tanam 13 tahun kemudian meningkat kembali. 90 80 70
Diameter (cm)
60 50 40 30 D1 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Sejaja r Tanah)
20
D2 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Tegak Lurus Ba tang)
10
D3 (Diameter Tanpa Pelepah)
0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Umur Tanam (tahun)
Gambar 11. Diameter Kelapa Sawit Sesuai dengan Umur Tanam
20
44
Tinggi tanaman yang diukur sampai pucuk atau tinggi total (H1) menunjukkan pola yang berbeda dibandingkan tinggi bebas percabangan (H2) dan panjang batang miring (H3) seperti terlihat pada Gambar 12. Tinggi total kelapa sawit terus meningkat dari umur tanam 1 tahun sampai 9 tahun, setelah itu terjadi penurunan sampai umur tanam 11 tahun dan kemudian meningkat kembali. Sementara itu, tinggi bebas percabangan dan tinggi batang miring menunjukkan pola yang sama yaitu terjadi peningkatan terus sampai umur tanam 17 tahun dan kemudian mengalami penurunan. 1600 1400
Tinggi (cm)
1200 1000 800 600 400 H1 (Tinggi Tota l) 200
H2 (Tinggi Beba s Perca ba nga n) H3 (Panjang Ba ta ng Miring)
0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Umur Tanam (tahun)
Gambar 12. Tinggi Kelapa Sawit Sesuai dengan Umur Tanam Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa terjadi gangguan fisiologis berupa serangan rayap yang menyebabkan pelepah menjadi cepat lapuk dan gugur sehingga semakin tua tanaman sehingga diameternya mengecil. Rayap adalah salah satu makrofauna tanah yang berfungsi dalam proses dekomposisi tahap awal tetapi juga bisa bersifat pengganggu bagi tanaman hidup. Sehubungan dengan fungsinya sebagai pendekomposer maka substrat yang diperlukan oleh rayap adalah bahan organik. Apabila substratnya yang terdapat pada lahan gambut telah terdekomposisi maka rayap akan menyerang kelapa sawit yang juga merupakan sumber bahan organik.
Keberadaan rayap tersebut sangat mengganggu bagi
pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit.
Faktor lainnya diduga akibat
kekurangan unsur hara yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tanaman yang
45
akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya pertumbuhan tanaman tersebut.
Meskipun telah dilakukan pemupukan tetapi sebagian dikelat oleh
senyawa organik sehingga tidak bisa diambil oleh tanaman, dan sebagian lagi akan hilang dengan cepat melalui aliran air permukaan (runoff) maupun pencucian (leaching). Tinggi tanaman seolah-olah berkurang seiring bertambahnya umur tanaman. Sebenarnya hal ini diakibatkan oleh daya dukung gambut yang rendah menyebabkannya tidak mampu menopang tanaman sehingga tanaman tumbuh miring dan bengkok. Faktor lainnya yang diduga adalah kondisi lahan gambut yang miskin hara yang menyebabkan kelapa sawit lebih cepat mengalami masa stagnasi dalam pertumbuhannya jika dibandingkan pada pada kelapa sawit yang tumbuh pada tanah mineral.
Gambar 13.
Kelapa Sawit yang Terserang Hama Rayap dan Tumbuh Miring di Lahan Gambut
4.7 Persamaan Alometrik Metode pendugaan cadangan karbon atas permukaan dengan pendekatan biomassa merupakan salah satu metode yang bisa diterapkan (Gibbs et al. 2007). Biomassa dapat diduga melalui pengukuran lapangan yang intensif atau dikembangkan dengan persamaan alometrik yang telah disusun sebelumnya (Brown 1997). Model pendugaan biomassa dapat disusun berdasarkan parameter tinggi dan diameter pohon (Johnsen et al. 2001).
46
Persamaan alometrik merupakan persamaan yang menghubungkan dimensi-dimensi dari pohon dengan nilai biomassa pohon. Setiap tanaman yang berbeda akan memiliki pola yang berbeda untuk membentuk persamaan alometrik ini. Penyusunan persamaan alometrik untuk kelapa sawit yang telah dilakukan oleh Thenkabail et al. (2004) menghasilkan persamaan berikut : Berat Kering (kg) = 0.3747*tinggi (cm) + 3.6334 (R2= 0.9804) Tetapi persamaan tersebut disusun berdasarkan data biomassa dan dimensi kelapa sawit yang ditanam pada lahan mineral di Afrika, sehingga kurang tepat jika diterapkan pada kelapa sawit yang tumbuh di lahan gambut. Penelitian ini mencoba untuk pertama kalinya menyusun persamaan alometrik untuk kelapa sawit yang ditanam pada lahan gambut berdasarkan contoh kelapa sawit yang ditebang sebanyak 34 pohon mewakili berbagai umur tanam. Persamaan ini menghubungkan total biomassa dari batang, pelepah dan daun dengan peubah bebas diameter (D), tinggi (H) dan D2H yang berasal dari 7 (tujuh) plot penelitian yang mewakili umur tanam 18, 17, 13, 11, 9, 2, dan 1 tahun yang kondisinya ditampilkan pada Lampiran 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11. Karena pada penelitian ini tidak diperoleh data umur 3-8 tahun, maka persamaan yang dibangun belum sesungguhnya menggambarkan hubungan yang kuat antara biomassa dan dimensi-dimensi kelapa sawit yang diukur. Untuk memperoleh persamaan yang lebih baik maka digunakan berbagai kombinasi peubah diameter meliputi diameter dengan pelepah yang diukur sejajar tanah (D1), diameter dengan pelepah yang diukur tegak lurus batang (D2) serta diameter tanpa pelepah (D3), dan peubah tinggi meliputi tinggi total kelapa sawit (H1), tinggi bebas percabangan (H2) dan panjang batang miring (H3). Hubungan antara biomassa kelapa sawit dengan dimensinya tersebut disajikan pada Gambar 14, 15, 16, dan 17.
47
Biomassa Kering (kg/pohon)
25 0
20 0
150
10 0
50
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Diameter (cm) y1 = 8E-06x3,89 R² = 0,96
D1 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Sejajar Tanah)
y2 = 6E-06x3,97 R² = 0,95
D3 (Diameter Tanpa Pelepah)
y3 = 0,0002x3,49 R² = 0,93
Power (D2 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Tegak Lurus Batang))
D2 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Tegak Lurus Bata ng) Power (D1 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Sejajar Ta nah)) Power (D3 (Diameter Tanpa Pelepah))
Gambar 14. Hubungan antara Biomassa Kering dengan Diameter Batang (Berdasarkan Model Persamaan I) 250
Biomassa Kering (kg/pohon)
200
150
100
50
0 0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
D2H y1 = 2E-05x + 8,30 R² = 0,92
D1H1 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Sejajar Tanah dan Tinggi Total) D2H1 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Tegak Lurus Batang dan Tinggi Total)
y2 = 2E-05x + 8,89 R² = 0,89
D3H1 (Diamater Tanpa Pelepah dan Tinggi Total)
y3 = 5E-05x + 17,59 R² = 0,84
Linear (D2H1 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Tegak Lurus Batang dan Tinggi Total))
Gambar 15.
Linear (D1H1 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Sejajar Tanah dan Tinggi Total))
Linear (D3H1 (Diamater Tanpa Pelepah dan Tinggi Total))
Hubungan Biomassa Kering dengan Diameter Batang dan Tinggi Total (Berdasarkan Model Persamaan II)
48
300
Biomassa Kering (kg/pohon)
250
200
150
100
50
0 0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
3500000
4000000
4500000
D2 H y1= 6E-05x + 41,57 R² = 0,82
D1H2 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Sejajar Tanah dan Tinggi Bebas Percabangan)
y2 = 6E-05x + 32,97 R² = 0,87
D3H2 (Diameter Tanpa Pelepah dan Tinggi Bebas Percabangan)
y3 = 0,0001x + 32,15 R² = 0,87
Linear (D2H2 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Tegak Lurus Batang dan Tinggi Bebas Percabangan))
Gambar 16.
D2H2 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Tegak Lurus Batang dan Tinggi Bebas Percabangan)
Linear (D1H2 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Sejajar Tanah dan Tinggi Bebas Percabangan))
Linear (D3H2 (Diameter Tanpa Pelepah dan Tinggi Bebas Percabangan))
Hubungan Biomassa Kering dengan Diameter Batang dan Tinggi Bebas Percabangan (Berdasarkan Model Persamaan II)
300
Bio massa Kering (kg/ poho n)
250
200
150
100
50
0 0
500000
1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 3500000 4000000 4500000 D2 H
y1 = 6E-05x + 43,74 R² = 0,80
D1H3 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Sejajar Tanah dan Panjang Batang Miring) D2H3 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Tegak Lurus Batang dan Panjang Batang Miring)
y2 = 6E-05x + 36,19 R² = 0,84
D3H3 (Diameter Tanpa Pelepah dan Panjang Batang Miring)
y 3= 0,0001x + 34,49 R² = 0,86
Linear (D2H3 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Tegak Lurus Batang dan Panjang Batang Miring))
Gambar 17.
Linear (D1H3 (Diameter dengan Pelepah yang Diukur Sejajar Tanah dan Panjang Batang Miring))
Linear (D3H3 (Diameter Tanpa Pelepah dan Panjang Batang Miring))
Hubungan Biomassa Kering dengan Diameter Batang dan Panjang Batang Miring (Berdasarkan Model Persamaan II)
49
Pada Tabel 10 disajikan berbagai konstanta regresi dari persamaan alometrik yang disusun berdasarkan hubungan antara biomassa dengan diameter dan tinggi dari kelapa sawit. Tabel 10. Konstanta Regresi dari Berbagai Model Persamaan Alometrik untuk Menduga Biomassa Persamaan Alometrik Model I : Ŷ = β0Dβ1
Peubah
Model II : Ŷ = β0 + β1D2H
Model III :Ŷ = β0Dβ1H β2
D1 D2 D3
β1
8.00 exp-6 6.00 exp-6 2.00 exp-4
3.89 3.97 3.49
0.96 0.95 0.93 0.92 0.89 0.84 0.82 0.87 0.87 0.80 0.84 0.86
D1;H1 D2;H1 D3;H1 D1;H2 D2;H2 D3;H2 D1;H3 D2;H3 D3;H3
8.30 8.89 17.59 41.57 32.97 32.15 43.74 36.19 34.49
2.00 exp-5 2.00 exp-5 5.00 exp-5 6.00 exp-5 6.00 exp-5 1.00 exp-4 6.00 exp-5 6.00 exp-5 1.00 exp-4
D1;H1 D2;H1 D3;H1 D1;H2 D2;H2 D3;H2 D1;H3 D2;H3 D3;H3
2.29 exp-5 2.14 exp-5 7.08 exp-5 2.69 exp-4 2.45 exp-4 2.24 exp-3 1.38 exp-4 1.95 exp-4 1.95 exp-3
1.55 1.51 1.11 2.31 2.30 1.85 2.41 2.39 1.93
β2
R2
β0
1.29 1.33 1.47 0.57 0.60 0.68 0.55 0.58 0.66
0.99 0.93 0.98 0.98 0.99 0.99 0.98 0.98 0.98
Keterangan : D1 : Diameter dengan pelepah yang diukur sejajar tanah D2 : Diameter dengan pelepah yang diukur tegak lurus batang D3 : Diameter tanpa pelepah yang diukur tegak lurus batang H1 : Tinggi total H2 : Tinggi bebas percabangan H3 : Panjang batang miring Ŷ : Peubah biomassa pohon β0,β1,β2 : Konstanta regresi R2 : Koefisien determinasi
Model persamaan alometrik I dan III disusun berdasarkan persamaan regresi non linier tunggal dan berganda , dimana peubah yang digunakan adalah fungsi logaritma (log).
Sementara model II disusun berdasarkan persamaan
50
regresi linier tunggal.
Masing-masing model diuji berdasarkan koefisien
2
determinasi (R ). Dari hasil perhitungan ternyata semua model yang disusun memiliki kemampuan untuk menjelaskan peubah biomassa dengan baik. Jadi berbagai persamaan alometrik ini sebenarnya bisa digunakan sebagai dasar untuk menduga C biomassa kelapa sawit. Namun jika harus dilakukan pemilihan maka model III merupakan model terbaik. Model tersebut adalah yang disusun berdasarkan (i) peubah kombinasi diameter batang dengan pelepah yang diukur sejajar tanah (D1) dengan tinggi total (H1), (ii) peubah kombinasi diameter dengan pelepah yang diukur tegak lurus batang (D2) dengan tinggi bebas percabangan (H2) dan (iii) kombinasi peubah diameter batang tanpa pelepah (D3) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dimana R2 masing- masing persamaan adalah 0.99. 4.8 Pendugaan Cadangan C Biomassa Kelapa Sawit Hasil pendugaan C biomassa memiliki nilai yang bervariasi karena sangat ditentukan umur tanaman, kerapatan per satuan luas, iklim dan pengolahan lahan serta lingkungan pertumbuhan kelapa sawit terutama jenis lahannya dan juga teknik pengukuran yang digunakan (Hartley 1967). Kandungan C biomassa dapat diduga dengan menghitung biomassa menggunakan persamaan regresi alometrik yang didasarkan pada dimensi dari tanaman dan pengukuran lansung. Beberapa penelitian terdahulu juga telah melakukan penelitian tentang pendugaan C biomassa kelapa sawit pada berbagai jenis lahan.
Cadangan C
biomassa pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkisar antara 31-101 ton/ha (Sitompul et al. 2000 dalam Lasco 2002). Nilai tersebut 2-6 kali lebih besar jika dibandingkan hasil biomassa tertinggi pada penelitian ini (lihat Tabel 8). Apabila dikonversi ke dalam bobot biomassa basah menjadi 372 - 1 212 ton/ha. Jika kerapatan kelapa sawit per hektar adalah 130 pohon berarti 1 (satu) pohon kelapa sawit memiliki biomassa basah antara 2.9–9.3 ton. Hal ini tidaklah mungkin karena biomassa basah kelapa sawit maksimal hanya mencapai antara 2-4 ton per pohon meskipun tempat tumbuhnya adalah lahan yang sangat subur (Hartley 1967). Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Thenkabail (2004) menyatakan bahwa kandungan C biomassa per hektar hanya antara 14.75–14.94 ton pada umur tanam 1-5 tahun. Padahal
51
pada penelitian ini nilai C biomassa sebesar itu diperoleh pada umur tanam 18 tahun (lihat Tabel 8). Terjadi perbedaan pertumbuhan kelapa sawit yang cukup mencolok antara yang berada pada lahan mineral dan lahan gambut seperti pada penelitian ini, karena pada lahan mineral lebih subur dibandingkan pada lahan gambut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Htut (2004) pada perkebunan kelapa sawit di Riau menyebutkan rata-rata kandungan C biomassa kelapa sawit adalah sebesar 9.29 ton/ha dengan kisaran umur 6-14 tahun. Besaran nilai tersebut relatif sama dengan hasil pendugaan pada penelitian ini.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1.
Cadangan C gambut dari agroekosistem kelapa sawit yang terletak pada Kebun Meranti Paham dan Kebun Panai Jaya, PTPN IV Ajamu berada pada kisaran antara 799–4 516 ton/ha. Nilai tersebut akan berkurang akibat dari kehilangan C. Pada ketebalan gambut yang sama, saprik menunjukkan cadangan C lebih tinggi dibandingkan cadangan C hemik dan fibrik.
2.
Berdasarkan hasil konversi dari biomassa dengan menggunakan kandungan C dari dimensi-dimensi kelapa sawit diperoleh C biomassa kelapa sawit pada kisaran antara 0.7-16.43 ton/ha.
Akumulasi C biomassa terbesar
terdapat pada batang kecuali pada tanaman kelapa sawit muda C biomassa terakumulasi pada pelepah. Sementara itu hubungan antara umur tanam kelapa sawit dengan C biomassanya menunjukkan pola sigmoid yaitu terjadi peningkatan secara perlahan pada awal pertumbuhan kemudian akan terus meningkat dan pada umur tertentu cenderung tidak mengalami perubahan lagi (konstan). 3.
Model persamaan alometrik yang terbaik adalah model III dengan bentuk Ŷ = β0Dβ1H β2. Peubah yang digunakan adalah kombinasi (i) antara diameter
batang dengan pelepah yang diukur sejajar tanah (D1) dengan tinggi total (H1), (ii) antara diameter batang dengan pelepah yang diukur tegak lurus batang (D2) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dan (iii) antara diameter batang tanpa pelepah (D3) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dimana R2 masing- masing persamaan adalah 0.99.
53
5.2 Saran 1. Untuk mengetahui cadangan C gambut dan biomassa kelapa sawit pada areal yang lebih luas maka dilakukan dengan kombinasi data penginderaan jauh resolusi tinggi berdasarkan plot yang mewakili berbagai keragaman yang ada di agroekosistem kelapa sawit, dengan syarat titik sampel yang diambil harus lebih banyak lagi sehingga dapat mewakili kondisi lahan gambut yang heterogen. 2. Untuk mencegah kehilangan C dari gambut maka sebaiknya diperlukan pengelolaan tata air yang baik dalam rangka mengkonservasi gambut dengan memperhatikan sifat fisika, kimia maupun biologi dari lahan gambut tersebut. 3. Untuk penyusunan persamaan alometrik yang lebih akurat sebaiknya tanaman yang digunakan berdasarkan perbedaan umur dengan kisaran antara 1 atau 2 tahun saja, mulai dari tanaman muda sampai yang tidak produktif lagi untuk memperoleh pola pertumbuhan yang lebih detil.
DAFTAR PUSTAKA
Andriesse, J. P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water Development Division. FAO. Rome. p 50-52. Azri. 1999. Sifat Kering Tidak-Balik Tanah Gambut dari Jambi dan Kalimantan Tengah: Analisis Berdasarkan Kadar Air, Kemasaman Total, Gugus Fungsional COOH dan OH-Fenolat. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bisdom, E.B.A., L.W. Dekker and JU.F.Th. Scoute. 1993. Water Repelency of Sieve Fraction from SandySoils and Relationships with Organic Material and Soil Structure. Geoderma 56, p 105-118. Black, C.A. 1965. Methods of Soil Analysis. Part 2. Chemical and Microbiological Properties. Am. Soc. Agron. Inc. Publ. Wisconsin. USA. p 1582. Blakemore, L.C., P.L. Searle and B.K. Daly. 1987. Methods for Chemical Analysis of Soils. NZ Soil Bureau Scientific Report No. 80. New Zealand. p 103. Boehm, V. H. D and Y. Sulistiyanto. 2006. Peat Depth, Minerals Below Peat, Carbon, Fires and Its Characteristics A Long Transect Between Tangkiling and Kasongan, Central Kalimantan. Tropical Rain Forest and Boreal Forest Disturbance and Their Affect on Global Warming. International Workshop in Palangkaraya, Kalimantan, Indonesia, 17-18 September 2006. Brady, N.C. 1990. The Nature and Properties of Soils. New York. p 621.
The Macmillan Co.
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: A Primer. FAO Forestry Paper 134. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Chave, J., C. Andalo, S. Brown, M. A. Cairns , J. Q. Chambers , D. Eamus, H. Fö lster, F. Fromard, N. Higuchi, T. Kira, J. P. Lescure, B. W. Nelson, H. Ogawa , H. Puig, B. Rie´ra, , and T. Yamakura, 2005. Tree Allometry and Improved Estimation of Carbon Stocks and Balance in Tropical Forests. Ecosystem Ecology. DOI 10.1007/s00442-005-0100-x. Spinger Verlag. Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Sawit Indonesia. Jakarta.
2006.
Profil Kelapa
55
Direktorat Perlindungan Perkebunan Departemen Pertanian. 2007. Peranan Tanaman Perkebunan Dalam Penyerapan CO2. Http://www.Direktorat Perlindungan Perkebunan - Peranan Tanaman Perkebunan Dalam Penyerapan CO2.htm. Diunduh 17 Mei 2008. Furukawa, H. 1994. Coastal Wetlands of Indonesia : Enviroment, Subsistence and Exploitation. Peter Hawkes, Translater ; Japan: Kyoto University Press. Gibbs, H. K., S. Brown, J. O. Niles , and J. A. Foley. 2007. Monitoring and Estimating Tropical Forest Carbon Stock : Making REDD A Reality. Enviromental Research Letters 2. IOP Publishing Ltd. United Kingdom. Gorham, E. 1991. Nothern Peatland : Role in Carbon Cycle and Probable Responses to Climate Warning. Ecological applications 1 : 182 -195. Geudens, G., J. Staelens, V. Kint, R. Goris and N. Lust. 2004. Allometric Biomass Equation for Scots Pine (Pinus sylvestris L.) Seedling During The First Years of Establishment in Dense Natural Regeneration. Annual Forest Science vol 61. p 653-659. Haris, A. 1998. Sifat Fisiko-Kimia Bahan Gambut Dalam Hubungannya dengan Proses Kering Tak Balik (Irreversible Drying). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hairiah, K dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan Di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Worl Agroforestry Centre-ICRAF, South East Asia. Bogor. Hardjowigeno, S. 1993. Pressindo. Jakarta.
Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis.
Akademika
(_____________). 1995. Ilmu Tanah . Akademika Pressindo. Jakarta.
Hartley, C.W.S. 1970. The Oil Palm. Longman Group Limited. London. Henson, I . 1999. Comparative Ecophysiology of Oil Palm and Tropical Rain Forest. Oil Palm and The Environment - A Malaysian Perspective . In Gurmit, S; Lim, K H; Teo Leng and Lee Kow eds. Malaysian Oil Palm Growers Council, Kuala Lumpur. p. 9-39. Hooijer, A., M. Silvius, H. Wösten, and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Q3943 (2006), in Cooperation with Wetlands International and Alterra, Http://www.wetlands.org/publication.. Diunduh 22 Juni 2008.
56
Http:// www.FitAgri.com. Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacquin). Diunduh 27 April 2008. Http://www. id.wikipedia.org. Siklus Karbon. Diunduh 22 Juni 2008. (______________________). Kelapa Sawit. Diunduh 27 April 2008. Htut, T.M. 2004. Combination Between Empirical Modelling and Remote Sensing Technology in Estimating Biomass An Carbon Stock of Oil Palm in Salim Indoplantation Riau Province. Tesis. Graduate School Bogor Agricultural University. Bogor. IPCC, Intergovernmental Panel on Climate Change (2007). Climate Change 2007 – The Physical Science Basis, Contribution of Working Group I to The Fourth Assessment Report of the IPCC.. Http://Ipccwg1.Ucar.Edu/Wg1/Wg1-Report.Html. Diunduh 21 April 2008. Iriawan, N dan S. P. Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. PENERBIT ANDI. Yogyakarta. Johnsen, K., L. Samuel, R. Teskey, S. McNulty and T. Fox. 2001. Process Models as Tool in Forest Research and Management. Forest Science. 49(1). p 2-8. Lasco. R.D. 2002 Forest Carbon Budgets in Southeast Asia Following Harvesting and Land Cover Change. Science in China. Vol 45 supp Oktober 2002. p 55-64. Melling, L., K.J. Goh , C. Beauvais and R.Hatano. 2008. Carbon Flow and Budget in A Young Mature Oil Palm Agroecosystem on Deep Tropical Peat. The Planter 84(9820):21-25. Mitsch, W.J and J.G. Gosselink. 1993. Wetlands. Van Nostrand Reinhold. NY. p 722. Murdiyarso, D. 2003. Protokol Kyoto Implikasi Bagi Negara Berkembang. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Najiyati, S., L.Muslihat. dan I N. N. Suryadiputra. 2005. Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Nelson, B.W., R. Mesquita, J.L.G. Pereira, S.G. Aquino de Souza, G.T. Batista, and L.B. Couto. 1999. Allometric Regression for Improved Estimate Secondary Forest Biomass in The Central Amazon. Forest Ecology and Management vol 177. p 149-167.
57
Niles J.O., S. Brown, J. Pretty, A.S. Ball and J. Fay. 2002. Potential Carbon Mitigation and Income in Developing Countries From Changes in Use and Management of Agricultural and Forest Lands. The Royal Society. London. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Kanisius. Yogyakarta. Notohadiprawiro, T. 1997. Twenty-five Years Experience in Peatland Development for Agriculture in Indonesia. Proceedings Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. J. O. Rieley and S. E. Page. Eds. Samara Publ. Ltd. Cardigan. p. 303. Nyman, J.A and R.D. DeLaune. 1991. CO2 Emission and Soil Eh Responses to Defferent Hydrological Condition in Fresh, Brackish, and Saline Marsh Soils. Limnol. Oceanogr, 36 (7): 1406-1414. Ogawa, H., K. Yoda, K. Ogino, and T. Kira. 1965. Comparative Ecological Studies on Three Main Types of Forest Vegetation in Thailand. In Hernandez, R.P. Assesing Carbon Stocks and Modelling Win-Win Scenarios of Carbon Sequentration Through Land Use Changes. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Page, S.E., F. Siegert , J.O. Rieley, H.V. Boehm, A. Jaya , and S. H. Limin. 2002. The Amount of Carbon Released From Peat and Forest Fires in Indonesia During 1997. Nature vol. 42. Published 7 November 2002. p 61-65. Pearson,T., S. Walker and S. Brown. 2005. Land Use, Land-use Change and Forestry Projects. Winrock International. Washington, D.C. Pearson. T.R.H., S.L. Brown and R.A. Birdsey. 2007. Measurement Guidelines for The Sequestration of Forest Carbon. United States Department of Agriculture Forest Service. Delaware. Rieley, J. O., S. Page, and A.P. Shepherd. 1997a. Tropical Bog Forest of South East Asia. In Conserving Peatlands. CAB International. Biddle Ltd, Guildford and King’s Lynn. Great Britain. p 35-41. Rieley, J. O., S. Page, S. H. Limin,., and S.Winarti. 1997b. The Peatland Resource of Indonesia and The Kalimantan Peat Swamp Forest Research Project. In. Proc. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. (J. O. Rieley and S. E. Page. Eds.). Samara Publ Lt. Sabiham, S. 2006. Pengelolaan Lahan Gambut Indonesia Berbasis Keunikan Ekosistem. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Pengelolaan Tanah. Fakultas Pertanian Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
58
Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Shimada,S., H. Takahashi, M. Kaneko, and A. Haraguchi. 2000. The Estimation of Carbon Resource in A Tropical Peatland : A Case Study in Central Kalimantan, Indonesia. Proceeding of The International Symposium in TROPICAL PEATLANDS, 22-23 November 1999. Hokkaido University and Indonesia Institute of Sciences. p 9-18. Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Suhardjo, H and I. P. G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical Characteristics of The Upper 30 cm of Peats Soils from Riau. In. Proc. Peat and Podzolic Soils and Their Potential for Agriculture in Indonesia. Soil Research Institute. Bogor. Bull 3. p. 74-92. Sulaiman, W. 2004. Analisis Regresi Menggunakan SPSS Contoh dan Pemecahannya. PENERBIT ANDI. Yogyakarta. Tan, K.H. 1998. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. Tjitrosemito, S dan I. Mawardi. 2001. Terresterial Carbon Stock in Oil Palm Plantation. Biotrop. Bogor. Thenkabail, P. S., N. Stucky, B. W. Griscom, M. S. Ashton, J. Diels, B. Van Der Meer, and E. Enclona. 2004. Biomass Estimations and Carbon Stock Calculations in The Oil Palm Plantations of African Derived Savannas Using Ikonos Data. International Journal of Remote Sensing, Vol 25, Issue 23 December 2004 , p 5447 – 5472. Wahyunto dan S. Ritung. 2003. Kandungan Karbon Tanah Gambut di Pulau Sumatera. Workshop on Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices at October 13th -14th 2003. Bogor. Wojick, D. E., Carbon Storage in Soils: The Ultimate No-Regrets Policy ? A Report to Greening Earth Society, 1999 in Mitra, Sudip., Reiner Wassmann and Paul L. G. Vlek. 2005. An Appraisal of Global Wetland Area and Its Organic Carbon Stock. Current Science, Vol. 88, No. 1, 10 January 2005.
LAMPIRAN
60
Lampiran 1. Sifat-Sifat Gambut Pada Lokasi Penelitian Umur Tanam (tahun)
Tingkat Kematangan
Bobot Isi (g/cc)
Pasir Semu (%) 0-2 cm
pH H2O
Kedalaman Air RataRata (cm)
Kadar Air (%) 0-60 cm
Saprik Hemik Saprik Hemik Fibrik Saprik Hemik Fibrik Saprik Hemik Fibrik
0.173 0.115 0.175 0.115 0.119 0.135 0.073 0.122 0.171 0.115 0.119
3.09
3.13 3.00 3.10 3.10 3.35 3.15 3.50 3.35 3.15 3.25 3.25
33.04
520.73
44.14
415.52
36.24
603.05 978.57 711.02 450.98
Saprik Hemik Fibrik Saprik Hemik Fibrik Saprik
0.170 0.122 0.119 0.140 0.150 0.100 0.166
11.35
Meranti Paham 18 13
11
9
3.54
5.13
4.58
35.85
Panai Jaya 2
1
<1
3.30 2.90 3.25 2.95 3.55 3.10 3.05
7.86
9.88
27.21
453.47 760.81 629.44 525.80 620.12 851.50 526.59
41.70
31.08
Lampiran 2. Hubungan Persentase Pasir Semu (Psedousand) Dengan Plot Umur Tanam 20 18
Umur Tanam (tahun)
16 14 y = -1,9221x + 20,189 R² = 0,82
12 10 8 6 4 2 0 2
4
6
8
% Pasir Semu (Pseoudosand)
10
12
61
Interval Waktu Pengeringan (menit)
Lampiran 3.
Hubungan Kadar Air (%) dengan Interval Waktu Pengeringan (menit)
150 135 120 105 90 75 65 55 45 Fibrik
Hemik
Saprik
30 15 0
20
40
60
80
100
120
140
Kadar Air yang Hilang (%)
Lampiran 4. Hasil Uji Korelasi Beberapa Sifat Gambut dan Cadangan Karbon dengan SPSS Vers. 11 Ketebalan Gambut Ketebalan Gambut BI
Cadangan C Gambut
Pearson Correlation N Pearson Correlation N Pearson Correlation N
Cadangan C Gambut
BI
1
.380
.931(**)
18
18
18
.380
1
.649(**)
18
18
18
.931(**)
.649(**)
1
18
18
18
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
62
Lampiran 5. Sampel Kelapa Sawit Umur 1 Tahun
Lampiran 6. Sampel Kelapa Sawit Umur 2 Tahun
63
Lampiran 7. Sampel Kelapa Sawit Umur 9 Tahun
Lampiran 8. Sampel Kelapa Sawit Umur 11 Tahun
64
Lampiran 9. Sampel Kelapa Sawit Umur 13 Tahun
Lampiran 10. Sampel Kelapa Sawit Umur 17 Tahun
65
Lampiran 11. Sampel Kelapa Sawit Umur 18 Tahun