Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
Jusrin Efendi Pohan (
[email protected]) Universitas Al Washliyah Labuhan Batu Sumatera Utara Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pengaplikasian nilai sastra dalam konteks pengajaran sastra. Sastra dapat memberikan kontemplasi bagi pembaca (siswa) sebagai bagian dari edukasi memahami nilai yang terkandung dalam sastra itu. Pengajaran sastra bukan saja memahami nilai-nilai yang terkandung dalam sastra itu, melainkan membentuk karakter siswa untuk menyintai dan mengamalkan nilai tersebut. Sastra dicipta untuk menanamkan nilai-nilai atau moral dan budi pekerti bagi pembaca (siswa). Dengan kata lain, sastra bisa dikatakan artefak yang kaya akan ajaran moral yang hendaknya diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Salah satu pendekatan yang mampu mentransformasikan nilainilai yang terkandung dalam sastra, yaitu pendekatan hermeneutik. Pendekatan hermenutik menawarkan usaha memahami makna dalam teks sastra atas dasar logika linguistik. Pemahaman makna yang berorientasi pada interpretasi teks dan konteks makna bahasa, sehingga ditemukan makna secara utuh. Makna kata lebih berorientasi pada semantik teks sastra, sedangkan makna bahasa bersifat struktural. Artinya, pendekatan hermenutik menafsirkan bukan hanya kulit-kulit sastra, melainkan memahami secara mendalam. Pengajaran sastra melalui pendekatan hermenutika berfokus pada siswa agar mampu menggali nilai-nilai dengan menafsirkan teks sastra secara mendalam. Siswa tidak hanya mengetahui saja nilai intrinsik dan ekstrinsik sastra itu, tetapi mendalami bobot sastra itu, menafsirkan hubungan pengarang dengan konten sastra, hubungan latar belakang pengarang dengan teks sastra, dan pengaruh teks sastra terhadap kehidupan sehari-hari sebagai kontemplasi. Kata kunci: Pengajaran sastra, Teks sastra, Hermenutik A. Pendahuluan Membelajarkan sastra merupakan kegiatan yang mengupayakan siswa untuk belajar sastra sesuai kemampuannya. Bersastra bukan hanya sebagai penikmat atau pembaca sastra, melainkan pencipta sastra. Strategi apapun yg dilakukan, kalau sastra tetap dijadikan sebagai bacaan semata, maka hasil pembelajaran yang diperoleh hanya keambiguan. Menyintai sastra hendaknya mengikutsertakan jiwa raga untuk mengekspresikan nilai-nilai apa yang terkandung dalam sastra itu. Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra itu dikemas secara sistematis dan sistemis, agar siswa mampu menganalisis sastra itu dengan menginterpretasikan naskah sastra itu. Pembelajaran sastra itu bersifat apresiatif, yaitu pembelajaran yang menguatkan kompilasi ajakan kepada siswa untuk menghargai karya sastra. Artinya, apresiasi sastra itu diartikan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh untuk, sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan berpikir kritis, dan kepekaan perasaan yang baik dalam karya sastra. Membelajarakan sastra itu juga dapat diartikan pembelajaran yang memfokuskan lebih ke arah literasi kritis, bukan hanya memelajari hakikat teori sastra dan ilmu sastranya, melainkan substansi karya sastra itu. Siswa diarahkan pada kegiatan bersastra, meliputi membaca karya sastra, mendengarkan karya sastra, berbicara karya sastra (sastra lisan), dan menulis karya sastra (sastra tulisan). Karya sastra diasumsikan sebagai curahan gagasan, ide72
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
ide, cita-cita, pikiran, pengalaman batin seorang pengarang. Dalam hal ini, pengalaman batin pengarang itu telah dimasak, diendapkan, dan dimanifestasikan dalam sebuah karya sastra. Oleh sebab itu, karya sastra bersifat artefak yang sulit berubah, menjadikan karya sastra memiliki nilai estetika. Nilai estetika terdiri atas dua kategori, yaitu intresa dan inscape. Intresa adalah pengaruh yang nyata dari Tuhan terhadap cipta kretaif seorang pengarang/sastrawan, sedangkan inscape adalah kekuatan melihat sesuatu dengan pikiran dan hati sebagai suatu realitas dalam sastra berdasarkan kebenaran Tuhan. Kemampuan siswa bersastra dapat melalui genre sastra yang diminati siswa sesuai dengan bentuk sastra yang diinginkan. Bentuk sastra yang dimaksud adalah puisi, cerita pendek, novel, naskah drama, cerita rakyat (foklor), dan pementasan drama. Semua bentuk sastra tersebut, mediumnya adalah bahasa. Tanpa bahasa, sastra hanya artefak mati yang tidak bermanfaat apa-apa. Padahal, tujuan pembelajaran sastra yang sesungguhnya adalah membangkitkan sastra agar tidak hanya artefak yang tidak berguna, tetapi bagaimana sastra itu dijadikan sebagai kontemplasi dalam kehidupan realita. Oleh sebab itu, pengajaran sastra di sekolah menengah hendaknya memformulasikan sastra sebagai membentuk karakter siswa. Permasalahannya adalah pengajaran sastra di sekolah menengah masih berkutat pada sebatas pengetahuan teori-teori sastra, mengakibatkan siswa hanya hebat dalam berteori sastra. Pada prinsipnya, implikasi pembelajaran sastra itu adalah siswa mampu menginterpretasikan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra tersebut. Atas dasar itulah, pembelajaran sastra untuk siswa diperlukan pemahaman yang mendasar apa tujuan pembelajaran sastra yang sesungguhnya, pendekatan apa yang digunakan, dan apa hasil pemelajaran sastra tersebut. Salah satu pendekatan yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah pendekatan hermenutik (hermenutic). Pendekatan hermenutik (hermenutic) adalah strategi interpretasi atau penafsiran terhadap objek-objek tertentu, seperti, teks, simbol-simbol seni (lukisan, puisi, dan sebagainya) dan perilaku manusia. Pendekatan ini berfokus pada bagaimana siswa mampu menafsirkan atau menginterpretasi teks-teks sastra secara tersirat maupun tersurat. Artinya, siswa mampu memahami nilai-nilai yang terkandung dalam sastra itu melalui teks-teks sastranya. Metode hermenutik dalam sastra disini adalah mengungkapkan sesuatu yang sebelumnya masih dalam alam pikiran dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Selanjutnya, menjelaskan secara rasional sesuatu sebelumnya masih multitafsir atau ambigu, sehingga maksud sesuatu itu dapat dimengerti pembaca/audiens. B. Metodologi Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode analisis konten, yaitu analisis yang menyimak pesan karya sastra. Tujuan analisis konten yang dimaksud adalah membuat inferensi melalui identifikasi dan panafsiran. Langkah-langkah analisis konten yang dilakukan terdiri atas (1) penentuan unit analisis, (2) penentuan sampel, (3) perekaman, dan (4) inferensi dan analisis. Langkah-langkah di atas, dikaitkan dengan pendekatan hermenutik, yaitu menafsirkan teks-teks sastra dengan menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut. C. Temuan Adapun temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Memelajari sastra dengan pendekatan hermeneutik dapat mengembangkan sikap kritis siswa dalam menganalisis teks-teks sastra. 2. Memelajari sastra dengan pendekatan hermeneutik dapat meningkatkan sikap analitis siswa menilai sastra yang berkualitas.
73
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
3. Memelajari sastra dengan pendekatan hermeneutik dapat menguatkan daya tafsir yang kuat bagi siswa dalam menganalisis teks sastra. D. Pembahasan 1. Pentingnya Pengajaran Sastra Mempelajari sastra secara komperehensif berarti memahami kekuatan energi katakata yang dibangun melalui bahasa sebagai mediumnya. Bahasalah yang mengikat keseluruhan aspek kehidupan, disajikan melalui cara-cara yang khas dan unik, berbeda dengan bentuk-bentuk penyajian yang dilakukan narasi nonsastra (Ratna, 2010:15). Dimensi sastra dapat diklasifikasikan menjadi dua arah kajian, yaitu seni untuk seni dan seni untuk dimasyarakatkan. Dalam hal ini, sastra dipandang sebagai bagian dari kontemplasi apa yang sesungguhnya yang diharapkan sipengarang. Kekuatan imajinasi dan kreativitas seorang pengarang sastra dipertaruhkan, dilihat dari seberapa besar pengarang pengalaman batin yang dirasakannya, dan kemampuan sipengarang menstimulasi kata-kata sebagai penikmat sastra itu. Sejalan dengan pendapat (Budianta dkk, 2003:7) mengemukakan bahwa sastra sebagai karya yang bertujuan menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang memberikan kenikmatan unik dan pengetahuan untuk memperkaya wawasan pembacanya. Selain itu, sastra juga dipandang sebagai pancaran kepribadian seorang pengarang. Gambaran imajinasi dan kreativitas pengarang terlukis di dalam karyanya. Sudut pandang (point of view) pengarang dapat ditelisik berdasarkan posisi pengarang di dalam cerita yang diungkapkan. Atmazaki (2007:50) mengemukakan bahwa pengarang merupakan orang yang -kata tersebut dengan nuansa makna baru, sehingga apa yang disampaikannya terasa sebagai sesuatu yang hidup. Di hati. Di samping kekuatan pengarang, di dalam karya sastra penuh syarat dengan ideologi dan pemikiran manusia, tentu hendaknya ditelusuri rahasia makna di balik teks sastra itu. Oleh sebab itu, pengajaran sastra dalam konteks sekolah menengah hendaknya dimulai dengan pemahaman sudut pandang (point of view) pengarang, agar siswa mampu memahami kepribadian si pengarang. Kemudian siswa menelusuri gaya bahasa yang terkandug dalam sastra itu, yang bertujuan untuk memeudahkan siswa menafsirkan katakatanya. Atas dasar itulah, penelitian atau analisis diperlukan dalam pengajaran sastra. Sebelum dibahas lebih mendalam, perlu dibahas epistemologi sastra terlebih dahulu, agar siswa lebih paham tentang konsep sastra itu. 2. Epistemologi Sastra Epistemologi sastra adalah dasar-dasar filosofi ilmu pengetahuan teori dan ilmu sastra. Abrams (dalam Endraswara, 2013:19) mengemukakan bahwa karya sastra terkait dengan work (teks), artis (pengarang), dan audiens (penikmat). Gambar berikut ini memperlihatkan ketiga dimensi dalam sastra.
Author (pengarang)
Audiens (penikmat)
Gambar 1. Hubungan work (teks), artis (pengarang), dan audiens (penikmat) 74
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
Berdasarkan gambar di atas, tiga subjek yang dimaksud meliputi the world of the text (dunia teks), the world oh the author (dunia pengarang) dan the world of the reader (dunia pembaca) yang masing-masing memiliki titik pusaran tersendiri dan saling mendukung dalam memahami sebuah teks. Teks sastra merupakan objek penelitian atau analisis sastra yang amat pelik. Artinya, fenomena teks sastra merupakan persoalan yang amat rumit untuk diamati oleh panca indra, karena teks sastra bersifat imanjinatif yang inherent. Oleh sebab itu, penikmat atau pembaca hendaknya memahami sastra lewat intuisi (panca indera keenam). Teori sastra didasarkan pada kenyataan yang sungguh-sungguh dapat disaksikan dengan pengalaman pancaindera. Penikmat (audiens) juga menginterpretasi teks sastra lewat kekuatan pancaindera si penikmat sastra itu. Misalnya, membaca puisi, kegiatan membaca puisi tidak hanya membaca bai-per bait, melainkan menafsirkan nilai yang terkandung dalam kata-kata (syair). Selanjutnya, menganalisis arah dan sasaran makna lewat simbol-simbol yang ada dalam kata-kata tersebut. Penikmat atau pembaca hendaknya menyadari bahwa akumulasi keinginan, pikiran, dan perasaan merupakan kiat memudahkan penafsiran teks sastra. Interaksi pembaca terhadap teks sastra melalui kesadaran dengan menggunakan kode-kode, seperti kode bahasa, kode kultural, dan kode sastra. Selain itu, pemahaman nonempiris juga salah satu kiat untuk menginterpretasi teks sastra yang lebih mementingkan subyektivitas ilmiah, karena sastra sebagai objek untuk pemahaman makna. 3. Pendekatan Hermeneutik Hermeneutik berasal dari akar kata herme (Yunani) berarti mengatakan sesuatu. Dalam bentuk kata kerja hermeneuein berarti menafsirkan, dan dalam bentuk kata benda hermeneia berarti interpretasi itu sendiri, sedangkan orang yang menafsirkan disebut hermeneus (Ratna, 2009:230). Ciri interpretasi yang dimaksudkan, yaitu (a) mengungkapkan kata-kata secara lisan, (b) menjelaskan suatu situasi sehingga masuk akal, dan (c) menterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain. Objek yang paling banyak memanfaatkan hermeneutik adalah teks religi dan sastra kontemporer. Dalam filsafat kontemporer, tema hermeneutik digunakan dalam pengertian yang lebih luas, meliputi hampir semua tema filsafat tradisional, sejauh berkaitan dengan persoalan bahasa. Proses memahami sesuatu yang dilakukan baik berupa teks maupun konteks, akan lahir beragam teori dan metode. Hermenutika adalah salah satu di antara sekian teori dan metode untuk menyingkap makna, sehingga dapat dikatakan bahwa hermeneutika memiliki tanggungjawab utama dalam menyingkap dan menampilkan makna yang ada di balik simbolsimbol yang menjadi obyeknya (Faiz, 2003:20). Hal yang sama Endraswara (2013:42) mengemukakan bahwa sumbangan penting pendekatan hermeneutik adalah sebagai berikut. Pertama, hermeneutik menginkorporasikan dari suatu kebudayaan atau masyarakat pada level ideologi fundamental atau pandangan dunia, misalnya dengan melihat sifat historis suatu kebenaran. Kedua, sifat sastra dalam kehidupan sosial sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi sosial manusia. Ketiga, hermeneutik membuka kemungkinan pemahaman tras-historis dengan konsep fungsi antara masa lalu dengan masa kininya. Lebih lanjut, hermeneutik juga kiat untuk menafsirkan teks atas dasar logika linguistik. Logika linguistik membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan makna kata maupun makna bahasa. Makna kata lebih berhubungan dengan 75
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
konsep semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa. Oleh sebab itu, kata-kata itu akan tercermin makna kultural teks sastra. Menurut Ratna (2009:246), dalam sastra hermeneutik dan stilistika jelas berhubungan erat. Secara tradisional sastra adalah curahan perasaan, bahasanya, bersifat subjektif. Untuk menunjukkan ciri subjektivitasnya sastra menggunakan gaya bahasa. Tujuannya adalah untuk mencapai kualitas estetis dan menyembunyikan maksud yang sesungguhnya. Secara teoritis, makin halus gaya bahasanya, makin banyak maksud-maksud yang dapat disembunyikan, maka karya tersebut dianggap makin berkualitas. Penggunaan gaya bahasa, khususnya dalam puisi, baik sebagai aspek estetis maupun untuk menyembunyikan maksud tertentu dapat dipahami semata-mata dengan memanfaatkan teori penafsiran. Setiap pengarang memiliki kekhasan penggunaan bahasanya masing-masing. Kekhasan inilah yang harus dipecahkan secara hermeneutik. 4. Aplikasi Pengajaran Sastra dengan Pendekatan Hermeneutik a. Pengajar Sastra Di awal pembelajaran sastra, seorang pengajar akan memulai dengan memberikan sastra. Dengan pertanyaan itu, siswa dituntut memberikan jawaban sesuai pemahamannya sendiri. Setelah siswa memberikan jawaban, kemudian guru mengakumulasikan jawabanjawaban itu dengan menjelaskan apa sastra itu dalam konteks bacaan sebuah sastra dan nonsastra. Dengan demikian, siswa mengenal tulisan yang bersifat sastra dan non-sastra melalui bacaan yang disajikan. Setelah itu, guru menjelaskan kekhasan sastra dibandingkan tulisantulisan lainnya, diantaranya fungsi sastra, konvensi sastra dalam konteks masyarakat. Fokus selanjut sastra dalam sebuah bacaan yang disajikan untuk melihat refresentasi sastra tersebut dalam konteks nyata. Misalnya, apakah sama masyarakat sumatera utara memaknai legenda n masyarakat Minang? Dalam hal ini, penting sekali siswa diajak menjadikan sayembara pemahamannya untuk menikmati sastra tersebut melalui bacaan yang diasajikan. Jadi, siswa tidak hanya hebat teoritis, melainkan langsung menikmati keindahan estetis sastra itu. Selanjutnya, pengajar atau guru dapat membagi naskah drama yang berbeda-beda. Siswa diajak membaca naskah tersebut, kemudian siswa diperintahkan untuk melihat unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra tersebut. Adapun hal-hal yang mendasari yang diperlu diperhatikan dalam naskah drama adalah penulis, kritikus, dialog-dialog, respon pembaca, dan sebagainya. Siswa diperintahkan memahami makna-makna yang terkandung dalam naskah drama tersebut. Memahamai makna yang dimaksud adalah dengan menafsirkan atau interpretasi bait-bait (dalam puisi), dialog-dialog (drama), kalimat, kata, dan simbol (puisi), dan cerita yang dideskripsikan (cerpen/novel). Pengajar dapat menggunakan tugas-tugas kelompok dan partisipasi kepada siswa dalam berdikusi di kelas. Dalam hal ini, pengajar hendaknya lebih bersifat medorong dan memotivasi siswa daripada memberikan penilaian. b. Siswa Pengajaran sastra dengan pendekatan hermeneutik lebih menekankan pada membangun kesadaran kritis siswa dalam menafsirkan materi atau pesan-pesan teks sastra. Siswa menfasirkan teks-teks sastra itu sesuai dengan pola-pola bahasa yang tertuang dalam sastra tersebut. Pada prinsipnya, sastra dalam konteks novel bertujuan untuk menyuarakan 76
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
ide-ide tentang kekuasaan, penindasan yang didasarkan ras, kelas sosial, dan gender. Ketika siswa mau menafsirkan teks dalam novel tersebut, maka siswa hendaknya menemukan ideologi apa yang dianut si pengarang, saat apa peristiwa yang berlangsung, dan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh pengarang. Kalau dalam konteks genre sastra puisi, siswa ditekankan pada bagaimana siswa memahami simbol-simbol dan pengagalaian makna dalam puisi tersebut. Upaya pemahaman hermeneutik, siswa menggunakan sistem bolak-balik, yakni siswa melakukan dekontekstualisasi (pembebasan teks). Langkah dekontekstualisasi yang digunakan saat siswa memahami makna teks puisi tersebut. Di dalam teks sastra juga menyimpan konteks yang oleh pengarang tidak dijelaskan secara eksplisit. Teks yang dimaksud adalah intensi atau maksud pengarang, situasi kultural, dan untuk siapa teks itu ditujukan. 5. Hermeneutik pendekatan hermeneutik model analisis Paul Recouer Rocouer. (Rafiek 2010:7) menjelaskan tentang tata cara kerja hermeneutik sebagai berikut: (1) symbolic dari simbol ke simbol, (2) pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna, dan (3) langkah yang benar-benar filosofis, yaitu menggunakan symbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut mempunyai hubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa, yaitu semantik (tingkat ilmu bahasa yang murni), refleksif (tingkat ilmu yang lebih tinggi, yang mendekati tingkat ontologi), dan eksistensial atau ontologis (pemahaman tingkat being atau keberadaan makna). Langkah-langkah analisis teks menurut Paul Recouer dengan pendekatan Hermeneutik sebagai berikut: (1) teks (seni), (2) objektivasi struktur, (3) simbolisasi, (4) seniman dan aspek referensial, (5) disiplin ilmu yang relevan, (6) makna. Adapun analisis Novel Canting Kajian Pendekatan Hermeneutik dengan karya Eka Kurniawan menceritakan tetang peran perempuan tidak hanya sebagai ibu, tetapi juga berperan sebagai anak, adik, istri, dan sebagai warga masyarakat di dalam kehidupan. Artinya, permasalahan perempuan yang multifungsi ini seringkali diungkapkan oleh pengarang dalam karya-karyanya, seperti novel maupun cerpen. Perempuan dianggap atau dipersepsikan sama kedudukannya dengan laki-laki, meskipun secara biologis berbeda. Novel Cinta Itu Luka menggambarkan permasalahan yang dihadapi kaum perempuan yang bersumber dari kehidupan kenyataan dalam masyarakat. Eka Kurniawan dalam Cinta Itu Luka menyajikan potret kehidupan melalui bahasa. Pengarang menggambarkan adanya citra perempuan dilihat dari sisi seorang tokoh perempuan yang dipaksa menjadi pelacur oleh prajurit Belanda dan Jepang, dianggap sebagai objek perilaku seksual. Artinya, perempuan dalam novel ini hanya menerima perlakuan yang tidak baik dan cenderung sebagai bawahan atau diperintah saja. Karakter perempuan oleh pengarang laki-laki dan perempuan berdasarkan kedudukan dan peran kekerabatan/keluarga terdiri atas (a) karakter perempuan berperan sebagai anak, (b) karakter perempuan berperan sebagai istri, dan (c) karakter perempuan berperan sebagai ibu. a. Perempuan Berperan sebagai Anak Dalam novel Cinta Itu Luka (CIL) karya Eka Kurniawan, ada empat tokoh yang berperan sebagai anak, yaitu Maya Dewi, Alamanda, Adinda, dan Cantik. Tokoh Maya Dewi
77
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
Maya dewi merupakan anak yang baik dan penurut serta patuh terhadap Ibu (Dewi Ayu) dengan sangat rajin mengerjakan pekerjaan rumah agar ibu dan kakaknya selalu senang berada di dalam rumahnya, seperti kutipan berikut ini. (1) badungnya. Tangannya jauh lebih banyak bergerak daripada tangan siapa pun di rumah untuk membuat segalanya menyenangkan. Ia memetik bunga mawar dan anggrek untuk dipajang di vas bunga dan diletakkan di meja tamu setiap pagi. Setiap minggu Maya Dewi membasmi sarang laba-laba di langit-langit rumah. Guru-guru di sekolah melaporkan perilaku baiknya, mengerjakan semua Kutipan di atas, menjelaskan bahwa Maya Dewi merupakan anak yang baik dan penurut serta patuh kepada Ibu dengan cara mengerjakan segala pekerjaan rumah memasak, membersihkan rumah agar Ibu dan kakak-kakaknya senang berada di rumah. Kutipan berikut ini juga menunjukkan sikap Dewi Ayu yang penurut dan patuh terhadap Dewi Ayu (Ibunya) tentang calon pendamping hidupnya. (2) akan kawin sebagaimana kakakmu Alamanda, kata Dewi Ayu ibunya. Terdengar seolah kawin merupakan hal yang Di sini pengarang laki-laki menggambarkan tokoh perempuan berperan sebagai anak, yakni anak yang baik dan patuh terhadap ibunya, terbukti ketika tokoh Dewi Ayu selalu rajin mengerjakan pekerjaan rumah serta mempunyai sifat yang penurut ketika ibunya memilihkan calon pendamping hidupnya. b. Perempuan Berperan sebagai Istri Perempuan berperan sebagai istri mencakup sikap hidup yang mantap,bisa mendampingi suami dalam situasi yang bagaimanapun disertai rasa kasih sayang terhadap suami dan anaknya, cinta kasih, loyalitas, dan kesetiaan pada teman hidupnya. Ia juga mendorong suaminya untuk berkarir dengan cara-cara yang sehat. Tokoh Alamanda Dalam novel Cinta Itu Luka (CIL), tokoh Alamanda berperan sebagai istri Shodancho. Alamanda adalah istri yang kurang baik, kasar, dan tidak bisa melayani serta tidak mencintai suaminya. Hal ini disebabkan oleh Alamanda tidak mencintai suaminya sejak pertama kali ia menikah. Ia menikah dengan Shodancho karena suaminya telah memperkosanya. Sebagai istri baik, Alamanda seharusnya melayani suami dengan baik dan menjadi istri yang soleha, tetapi hal tersebut tidak terjadi pada Alamanda. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini. (3) kekuatan hati seorang perempuan yang teraniaya. Jika kau tak tahan untuk menumpahkan isi pelirmu, pergilah ke rumah pelacuran. Aku tak akan marah karena itu, dan sebaliknya aku akan bersenang hati Di sini pengarang laki-laki mengagambarkan bahwa tokoh Alamanda adalah seorang istri yang kurang baik dengan cara tidak melayani dan merawat suaminya. Alamanda juga berkata kasar terhadap suaminya seperti mengeluarkan sumpah 78
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
kau tak tahan dengan isi pelirmu, pergilah ke rumah -laki juga mengambarkan bahwa tokoh Alamanda seorang istri yang selalu dijadikan objek perilaku seksual dalam keluarga dan seorang istri yang kurang baik, serta tidak pernah bersyukur dengan kehadiran calon bayi dlam kandungannya. Hal ini disebabkan bahwa Alamanda tidak ingin melahirkan bayi dari lelaki yang tidak pernah ia cintai (Shodansho) dengan berkata bahwa meskipun kelak ia hamil tujuh bulan atau sembilan bulan, Alamanda akan tetap menggugurkan bayinya, jika suaminya memaksa untuk melayani nafsunya. c. Perempuan berperan sebagai Ibu Tokoh Dewi Ayu Dewi Ayu merupakan tokoh yang memegang peranannya sebagai seorang ibu. Dewi Ayu adalah seorang ibu yang baik dan memiliki kasih sayang serta perhatian terhadap anaknya. Ia berpendapat bahwa jika ia pelacur, tetapi suatu saat anak-anaknya tidak boleh menjadi pelacur. Dewi Ayu seorang pelacur yang mempunyai empat anak perempuan dan satu anak perempuannya buruk rupa yang membesarkan anaknya tanpa seorang suami. Hal ini terlihat pada kutipan di bawah ini. (4) -baju kecil untuk bayinya. Kini, dibantu teman-temannya, ia telah memiliki nyaris sekeranjang pakian, berasal dari kai-kain yang mereka dari lemari pemilik Kutipan di atas, menunjukkan bahwa Dewi Ayu adalah seorang ibu yang baik dan peduli terhadap anaknya, walaupun malam hari ia harus melayani beberapa lakilaki hidung belang, karena itu ia lakukan demi membesarkan anaknya tanpa suami. Daftar Pustaka Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: UNP Press. Budianta, Melani, dkk. 2003. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesiatera. Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS. Faiz, Faharuddin. 2003. Yogyakarta:Qalam. Kurniawan, Eka. 2012. Cantik Itu Luka. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Priyatni, Tri Endah. 2010. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara. Rafiek. 2010. Teori Sastra, Kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika Utama. Ratna, Kutha Nyoman. 2010. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
79