Jurnal Keuangan & Binsis Volume 2 No. 1, Maret 2010
SUMATERA UTARA SEBAGAI BAROMETER INDUSTRI PERKEBUNAN BERBASIS KELAPA SAWIT Alda Kartika (alda-kartika@yahoo.com) Staf Bagian Pemasaran PTPN II Tanjung Morawa
ABSTRACT Plantation sub sector provide an important contribution to the national economy. Therefore plantation sub sector should be actively encouraged to develop in the future. One of the commodities that need to be developed is palm oil.Opportunities to develop palm oil agribusiness is still quite large, especially because of the availability of land, skilled labor and technology to improve productivity and quality of palm oil commodities. To obtain the added value of the commodity of palm oil is needed development of downstream industries. That strategy objected to Indonesia palm oil are no longer in the form of raw materials (Crude Palm Oil), but in the form of processed products. Northern Sumatera can be used as a barometer of world trade in palm oil because it has a lot of potential that can be relied upon. The concept of integrated development of the palm by providing facilities oil industry internationally (North Sumatra Oil Palm Valley) is realize by providing facilities. This is starting point for the development of an integrated region from upstream to downstream I ndustries so as to produce a variety palm oil derivative products. The North Sumatra is expected not only existed as a palm oil producer, but also palm oil managers. In the long term, these activities will provide a multiplier effect, not only for local economic growth but also national economic.
Keywords : Plantation Industry, Palm Oil
PENDAHULUAN Subsektor Perkebunan mempunyai kontribusi sangat penting dalam perekonomian Nasional. Prajogo et.,al (2007) mengatakan alasannya, Pertama, sebagai salah satu sumber pendapatan nasional. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2004), pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor ini mencapai rata-rata 15,63% dari PDB sektor pertanian atau 2,46% dari PDB nasional. Kedua, sebagai salah satu sumber devisa nonmigas, dimana sebagian besar komoditas perkebunan merupakan komoditas andalan ekspor. Ketiga, sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi jutaan penduduk pedesaan, baik pada kegiatan on-farm maupun off-farm. Keempat, memberikan kesempatan investasi bagi pengusaha domestik dan asing di semua lini vertikal agribisnis komoditas perkebunan. Kelima, mendorong pertumbuhan berbagai sektor perekonomian lain melalui kaitan ke depan dan ke belakang. Keenam, agroindustri
perkebunan merupakan pionir dalam proses industrialisasi pedesaan. Ketujuh, secara umum berdampak positif pad a lingkungan hidup, dimana sebagian besar tanaman perkebunan adalah tanaman keras yang mempunyai sifat konservasi. Ke delapan, akhir-akhir ini beberapa komoditas perkebunan dijadikan sumber energi terbarukan, utamanya kelapa sawit dan jarak pagar untuk biodiesel sebagai pengganti solar dan tebu untuk bioethanol sebagai pengganti premium. Oleh karena itu, subsektor perkebunan perlu terus didorong untuk terus tumbuh dan berkembang di masa yang akan datang. Dalam upaya membangun subsektor perkebunan, setiap tahun pemerintah melakukan evaluasi terhadap kinerja pembangunan tahun berjalan dan kemudian membuat rencana untuk tahun berikutnya. Dalam kaitan itu, pada T.A. 2006 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian mencoba mendeskripsikan kinerja
Jurnal Keuangan & Bisnis
pembangunan tahun 2005-2006 dan menganalisis prospek tahun 2007 untuk empat komoditas yang termasuk ke dalam Rencana Kegiatan Pembangunan Perkebunan Tahun 2007 dari Direktorat Jenderal Perkebunan, yaitu (a) tebu melalui program Akselerasi Peningkatan Produksi dan Produktivitas; (b) kelapa sawit, karet, dan kakao melalui program Revitalisasi Perkebunan; dan (c) jarak pagar melalui program Pengembangan Bahan Baku BioEnergi (Ditjenbun, 2006a). Aspek-aspek yang dianalisis adalah produksi (termasuk luas areal dan produktivitas), perdagangan dan konsumsi dengan menggunakan kombinasi metode ekonometrik (Nerlove, 1958), dan deskriptif. Hasil analisis diharapkan akan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan/masukan bagi pemerintah dalam menyusun rencana pembangunan komoditaskomoditas terpilih tersebut.
Maret
tenaga kerja perkebunan dengan penyerapan tenaga kerja baru sebanyak 670 ribu orang; dan (e) pertumbuhan PDB perkebunan diproyeksikan sebesar 6,2% sebagai hasil upaya peningkatan produktivitas dan pengembangan baru (Ditjenbun, 2006b). KEBIJAKAN SPESIFIK KOMODITAS KOMODITAS KELAPA SAWIT Peluang untuk pengembangan agribinis kelapa sawit masih cukup besar, terutama karena tersedianya sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi, dan tenaga ahli. Peluang itu perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, sehingga posisi Indonesia yang semula menjadi negara produsen terbesar kedua setelah Malaysia meningkat menjadi produsen terbesar pertama (leading country) di masa yang akan datang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bersamaan dengan itu, upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani tetap dilakukan. Berkaitan dengan itu, visi pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah “Pembangunan sistem dan usaha agribisnis kelapa sawit yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan danterdesentralisasi”. Untuk melaksanakan visi ini, strategi yang tepat adalah memberdayakan bagian hulu dan memperkuat bagian hilir, yang didukung oleh organisasi semacam Sawit Board. Pendekatan pengembangan kelapa sawit yang ditempuh adalah mekanisme pasar, dimana alokasi sumberdaya diarahkan oleh mekanisme insentif/disinsentif. Pendekatan ini diperlukan karena kelapa sawit merupakan komoditas perdagangan dunia, dimana keberhasilan untuk menembus pasar dunia sangat tergantung pada daya saingnya terhadap komoditas sejenis yang berasal dari negara lain. Dalam kaitan ini, peran pemerintah lebih bersifat sebagai pendorong terjadinya integrasi kegiatan dari hulu sampai dengan hilir, serta mengembangkan sistem dan mekanisme untuk memperkecil risiko dan ketidakpastian. Melalui integrasi ini juga diharapkan bahwa nilai tambah dari komoditas lebih banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan petani, karena selama 30 tahun terakhir harga produk primer cenderung menurun, harga produk-produk hilir cenderung meningkat.
TUJUAN DAN SASARAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN Tujuan pembangunan perkebunan adalah (a) meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, dan daya saing perkebunan; (b) meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan; (c) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perkebunan; (d) meningkatkan penerimaan dan devisa negara dari subsektor perkebunan; (e) meningkatkan peran subsektor perkebunan sebagai penyedia lapangan kerja; (f) memenuhi kebutuhan konsumsi dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri dalam negeri; (g) mendukung penyediaan pangan di wilayah perkebunan; dan (h) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong pengembangan wilayah (Ditjenbun, 2006b). Sasaran pembangunan perkebunan antara lain adalah (a) meningkatnya produktivitas perkebunan hingga mencapai 75% dari potensi produksi di lapangan; (b) meningkatnya penerimaan devisa ekspor komoditas perkebunan menjadi sebesar US$ 9 milyar; (c) meningkatnya pendapatan petani yang mempunyai usaha pokok perkebunan hingga mencapai rata-rata US$ 2.000/KK (luas lahan 2 ha/KK), yang diikuti dengan peningkatan kualitas hidup petani dan masyarakat perkebunan; (d) meningkatnya kemampuan untuk menyerap 2
2010
Alda Kartika
Dari berbagai kajian teoritis dan empiris, pengembangan agribisnis kelapa sawit lebih efektif bila menggunakan pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun) dengan melibatkan petani dalam wadah koperasi/badan usaha yang secara bersama-sama dengan perusahaan mitra mengembangkan kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan prinsip saling menguntungkan (win-win solution) (Ditjenbun, 2006b). Salah satu kebijakan yang ditempuh untuk komoditas kelapa sawit melalui kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu hasil. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkat kan produktivitas tanaman dan mutu hasil kelapa sawit secara bertahap, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Kebijakan ini ditempuh dengan (a) mendorong pengembangan industri benih yang berbasis teknologi dan pasar dengan peran serta swasta dan masyarakat; (pengembangan teknologi benih yang disesuai kan dengan kondisi wilayah, budidaya, dan sosial ekonomi masyarakat, serta keamanan lingkungan di wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit; (c) perlindungan plasma nutfah kelapa sawit; (d) peremajaan tanaman kelapa sawit secara bertahap yang didukung dengan perencanaan komprehensif; (e) pengembangan kemitraan kelapa sawit antara petani dan pengusaha; mengupayakan dukungan sarana-prasarana pendukung untuk pengembangan kelapa sawit, antara lain permodalan, jalan/jembatan, tanki timbun dan pelabuhan yang memadai melalui kerja sama dengan pihak-pihak terkait; (g) pningkatan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan melalui berbagai kegiatan pendidikan, pelatihan, dan pendampingan; (h) revisi SNI dan olein; (i) mendorong peningkatan mutu produksi antara lain melalui panen tepat waktu, pengolahan tandan buah segar (TBS) yang lebih efisien, dan perbaikan jaringan transportasi TBS (Ditjenbun, 2006b). Peran komoditas kelapa sawit bukan hanya signifikan bagi perekonomian dunia, namun memiliki prestise tersendiri karena Indonesia pemilik areal kebun kelapa sawit terluas di dunia yaitu 7,4 juta ha pada tahun ini. Diperkirakan produksi CPO terbesar di dunia diproyeksikan melampaui 21 juta ton pada tahun ini bukanlah hal yang mustahil. Indonesia akan memproduksi 40 juta ton CPO pada tahun 2020, yang menempatkan
Indonesia sebagai satu-satunya produsen minyak nabati yang mensupplay lebih dari seperempat kebutuhan dunia. Produksi CPO Indonesia tahun 2008, lebih dari 19 juta ton dan telah melampaui Malaysia.Namun angka yang spektakuler itu dirasa masih belum membawa keuntungan maksimal bagi lini bisnis. Pasalnya selama ini belum banyak nilai tambah produk CPO yang bisa dinikmati. Sebagian besar hasil sawit masih dijual dalam bentuk CPO (mentah) padahal seharusnya bisa diolah lebih jauh agar menambah nilai tukar ekonominya. Sementara itu, menurut Harahap (2009), di tahun 2008 devisa yang diperoleh dari ekpor minyak kelapa sawit sekitar USD 13 miliar dan dari pungutan ekspor, pemerintah memperoleh penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp12 triliun. FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PERKEMBANGAN KOMODITAS KELAPA SAWIT Menurut Prajogo et., al (2007) bahwa prospek suatu komoditas ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor yang mendukung pengembangan produksi dan faktor yang mendukung peningkatan permintaan. Di Indonesia, faktor-faktor yang mendukung pengembangan produksi adalah tersedianya sumberdaya alam (tanah dan air) yang luas dan iklim yang sesuai, tenaga kerja yang berlimpah dan relatif murah, tenaga ahli yang cukup banyak dan kebijakan pemerintah. Faktor-faktor yang mendukung permintaan terdiri dari faktor domestik dan faktor eksternal. Faktor domestik adalah meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Faktor ekternal adalah permintaan dari negara-negara lain dan harga dunia. Harga produk yang terbentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran merupakan indikator mengenai prospek suatu komoditas ke depan. Selanjutnya Prajogo et., al (2007) mengatakan bahwa, Bahan Bakar Nabati (BBN) sedang dan akan dikembangkan di Indonesia. Untuk pengembangan BBN dibutuhkan dana Rp 200 triliun, yang 50% di antaranya untuk budidaya bahan baku (on farm), serta 50% untuk pengolahan, pemasaran, dan lain-lain (off farm). Diharapkan pada tahun 2010 BBN bisa menggantikan 10% dari konsumsi BBM konvensional, menciptakan lapangan kerja 3
Jurnal Keuangan & Bisnis
baru 3 juta orang, penghematan devisa US$ 10 milyar, dan pemanfaatan lahan kritis seluas sekitar 5 juta ha. Namun perlu diingat bahwa penggunaan minyak sawit untuk biodiesel jangan sampai mengganggu pasokan untuk kebutuhan minyak sawit dalam negeri dan ekspor, baik untuk minyak goreng maupun lainnya. Jika pasokan minyak goreng dalam negeri terganggu maka akan terjadi gejolak harga komoditas ini. Demikian pula jika pasokan ekspor terganggu, maka reputasi Indonesia akan menjadi buruk dan tidak lagi dapat dipercaya sebagai eksportir. Untuk itu, pemerintah telah merencanakan untuk mengembangkan dedicated area kelapa sawit untuk biodiesel. Namun akhir-akhir ini tuntutan terhadap pengembangan industri sawit berwawasan lingkungan gencar disuarakan oleh LSM. Misalnya, Principle and Criteria for Sustainable yang saat ini sedang disosialisaikan oleh Roundtable on Sustainable on Palm Oil (RSPO). Masalahnya adalah bahwa permintaan minyak sawit akan terus meningkat dan diperkirakan akan meningkat lebih cepat lagi, terutama untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel yang dipromosikan sebagai bentuk energi yang terbarukan yang dapat mengurangi emisi CO2 ke udara secara signifikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian lebih serius, antara lain (a) pasokan minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor jangan sampai terganggu, baik untuk minyak goreng maupun lainnya (Dradjad, 2006) (b) mendorong proses produksi CPO yang mengandung beta karoten dan DOBI minimal sama dengan standar internasional, yaitu masing-masing 550 ppm dan 2,8 (Prajogo et., al, 2007).
Maret
(b) pengembangan industri hilir di berbagai sentra produksi; (c) peningkatan kerja sama di bidang promosi, penelitian, dan pengembangan serta pengembangan sumberdaya manusia dengan negara lain penghasil CPO; (d) fasilitasi pengembangan biodiesel asal CPO; dan (e) pengembangan market research dan market inteligence untuk memperkuat daya saing. POTENSI PROVINSI SUMATERA UTARA DAN BAROMETER INDUSTRI PERKEBUNAN BERBASIS KELAPA SAWIT Peran sentral Sumatera Utara dalam perkelapasawitan Indonesia di masa lampau tidak dapat dilupakan begitu saja di masa sekarang. Bila barometer perdagangan kelapa sawit dunia telah beralih ke Rotterdam di masa lampau, dan saat ini mulai diimbangi dengan Kuala Lumpur, maka layak bagi Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit untuk memindahkan barometer tersebut ke Indonesia. Sumatera Utara punya potensi terbesar untuk ditempatkan sebagai barometer tersebut. Diharapkan di Sumatera Utara akan ada industri biodiesel, dan direncanakan di tahun 2010 sudah dibangun industri biodiesel. Sumut punya banyak potensi yang bisa diandalkan, misalnya cangkang bisa dijadikan sumber bahan bakar. Di Eropa cangkang bisa dipakai dan dicampur dengan batubara. Namun di Jepang penggunaan batubara sudah dikurangi. Diharapkan penggunaan kulit cangkang dapat digunakan untuk pembangkit listrik. Provinsi Sumatera Utara memiliki keunikan tersendiri dalam kerangka perekonomian nasional. Provinsi ini adalah daerah agraris yang menjadi pusat pengembangan perkebunan dan hortikultura di satu sisi, sekaligus merupakan salah satu pusat perkembangan industri dan pintu gerbang pariwisata di Indonesia di sisi lain. Ini terjadi karena potensi sumber daya alam dan karakteristik ekosistem yang memang sangat kondusif bagi pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Di sektor perkebunan, menunjukkan progress menggembirakan. Pada 2005, misalnya, luas areal perkebunan 1.746.340 ha, lalu bertambah menjadi 1.788.943 ha pada 2006, terdiri atas 1.008.525 ha perkebunan rakyat, 363.106 ha perkebunan pemerintah, dan 365.992 ha perkebunan swasta dengan
PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KOMODITAS KELAPA SAWIT DAN PENINGKATAN NILAI TAMBAH Pengembangan industri hilir ini bertujuan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tetapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri. Kebijakan ini ditempuh antara lain melalui: (a) fasilitasi pendirian pabrik kelapa sawit (PKS) terpadu dengan refinery skala 5–10 ton TBS/jam, dan pendirian pabrik minyak goreng sawit (MGS) berskala kecil di lokasi produksi CPO yang belum ada pabrik MGS; 4
2010
Alda Kartika
total hasil produksi 4.199.834 ton. Total produksi perkebunan pada 2006 mencapai 1.788.943 ton, meningkat dibandingkan total produksi 2005 sebesar 4.048.411 ton. Komoditas unggulan sektor perkebunan antara lain karet dan kelapa sawit. Dengan luas areal 479.174 ha, berhasil diproduksi 367.113 ton karet setiap tahunnya. Perkebunan sawit juga cukup luas, mencakup areal 908.080 ha dengan hasil produksi 13.830 ton. Luas perkebunan kelapa 125.969 ha dengan hasil produksi 99.529 ton (Indonesia Tanah Airku, 2007). Berdasarkan Vibiznews (2008) bahwa Sumatera Utara didominasi oleh lahan-lahan areal perkebunan dan pertanian. Luas area lahan pertanian untuk jenis sawah sampai pada sensus 2005, sebesar 277255 ha. Pada tahun yang sama, produksi padi yang dihasilkan dari area persawahan tersebut mencapai 3.447.784 ton, sekitar 12 ton/hektar. Tidak hanya padi sebagai pemenuhan kebutuhan pangan domestik, lahan pertanian dan perkebunan Sumatera Utara juga difokuskan pada komoditi perdagangan internasional, sebagai orientasi ekspor. Berbagai komoditi perkebunan yang difokuskan untuk perdagangan global yaitu seperti Jagung, Kedelai, Kopi, Kelapa Sawit, Kakao dan Karet. Luas area perkebunan yang dikelola secara total untuk kebutuhan tanaman tersebut mencapai 1.594.601 ha, yang didominasi oleh luas perkebunan sawit sebesar 57% dari keseluruhan. Namun, jika dibandingkan produktivitas dari berbagai hasil perkebunan tersebut maka Karet sebesar 0.77 ton/ha, Kopi 0.71 ton/ha, Kakao 18 ton/ha, Kedelai 1.2 ton/ha, Sawit 15 kuintal/ha, sedangkan Jagung 56 ton/ha. Berdasarkan kapasitas produksi di atas, terdapat kondisi inefisien dalam mencapai optimisasi produktivitas, dimana sawit mendapat pengelolaan lahan terbesar namun, masih sedikit menghasilkan. Hal ini terjadi diakibatkan bahwa pemerintah daerah baru memulai pengembangan perkebunan sawit tersebut. Berdasarkan data ini, terdapat indikasi masih besar dana investasi yang dibutuhkan untuk mendorong perkebunan kelapa sawit di Sumatera, mengingat potensinya yang besar di pasar dunia. Minyak Kelapa Sawit memiliki manfaat pangan dan energi di masa mendatang, dan dengan pasar finansial dalam kondisi fluktuatif, dana
transaksi yang sifatnya spekulatif mengalihkan ke perdagangan kelapa sawit atau CPO di pasar Malaysia, sehingga harga menguat. Menurut Lumbangaol (2009), bahwa Sumatra Utara siap menjadi barometer perkelapasawitan nasional sebagai upaya perwujudan pengembangan industri kelapa sawit terpadu bertaraf internasional atau North Sumatra Palm Oil Valley dengan menyediakan fasilitas pendukung infrastruktur seperti dermaga, energi listrik dan jalan, serta kemudahan proses administrasi yang lebih cepat, harus lebih baik agar target di atas dapat terwujud. Hal ini merupakan titik awal pembangunan suatu kawasan terintegrasi mulai dari industri hulu ke hilir sehingga dapat melahirkan aneka produk turunan kelapa sawit. Indonesia sudah seyogianya memiliki suatu kawasan bisnis kelapa sawit. Artinya tidak hanya sebagai produsen sawit tapi juga pengembangan industri kelapa sawit dari hulu ke hilir sehingga menjadi multiplier effect bagi daerah. Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Negara BUMN, lanjutnya, yakni menggerakkan sinergi BUMN dengan semua pihak yang terkait, guna mendorong industri kelapa sawit menjadi kenyataan, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% bisa tercapai. Selanjutnya disampaikannya, bahwa dinilai, Sumut layak menjadi patokan pembangunan kelapa sawit karena sejak 1911 sudah ada kebun kelapa sawit di daerah itu. Apalagi, sejumlah fasilitas dan perusahaan kelapa sawit sudah berkembang di provinsi ini, seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP), Kantor Pemasaran Bersama (KPB), Sucofindo, dan PT London Sumatera (Lonsum). Yang pasti, didukung letak geografis yang berada di Selat Malaka dan merupakan kawasan The Golden Triangle, serta tanah subur dan iklim yang sesuai. Guna mendukung program ini dan mewujudkan NSPV dengan konsep clustering tentu saja membutuhkan kerjasama yang harmonis dan sinergi dengan semua pihak, PT Perkebunan Nusantara (PT PN) II, PT PN III, dan PT PN IV akan melakukan kerja sama dengan Kementerian Negara BUMN, Pemprov Sumut, PPKS, dan para
5
Jurnal Keuangan & Bisnis
pemangku kepentingan lainnya. Dalam jangka panjang kawasan NSPV katanya menjadi pelopor bagi penghasil energi alternatif berbasis kelapa sawit yang jadi referensi utama dunia. Produk-produk hilir kelapa sawit yang bernilai tambah diharapkan akan lahir dari kawasan ini sehingga NSPV menjadi pusat pertumbuhan ekonomi kawasan yang berbasis industri kelapa sawit. Kementerian BUMN akan berupaya semaksimal mungkin agar program ini segera terwujud. Selain itu, Kementerian BUMN juga akan berkoordinasi dengan kementerian lain, seperti Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan. Pemerintah daerah juga harus serius terhadap rencana ini.Kerja sama dengan semua pihak baik swasta dan petani harus ada. Sofian (2009) mengatakan, persaingan usaha kelapa sawit di Asia maupun internasional saat ini cukup besar sehingga pemerintah daerah harus serius dalam menyukseskan program ini. "Sumut dianggap sudah siap menjadi sentra perkebunan nasional mengingat dari luas perkebunan Indonesia sebesar 1,9 juta Ha (10,5%), 26,36% merupakan lahan perkebunan dari luas Provinsi Sumut di mana 1 juta ha merupakan perkebunanan inti rakyat (PIR) dan 400.000 ha dikelola oleh PTPN dan perusahaan perkebunan nasional 500.000 Ha," ujarnya pada Workshop Nasional North Sumatera Palm Oil Valley (NSPV) dengan tema Menjadikan Sumatera Utara sebagai Barometer Perkelapasawitan Nasional. Sementara itu, Nasution (2009), mengatakan bahwa untuk menjadikan Sumut barometer perkelapa sawitan nasional, PT PN II sudah menyiapkan sedikitnya 8.000 ha lahan untuk menambah pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sebagai langkah awal, PTPN II sudah menyiapkan lahan seluas 8.171 hektare (Ha). Rinciannya, kebun Bandar Klippa seluas 3.567 ha, SampaliSaentis seluas 3.225 ha, kebun Helvetia 1.128 ha, dan Kuala Namu 250 ha. Lahan-lahan milik PT PN II yang berada di posisi Belawan-Medan dan Bandara Kuala Namu sangat strategis untuk menjadi kawasan North Sumatera Palm Oil Valley. Serta sebagai transformasi bisnis bagi PT PN II dan peluang bagi investor. Beberapa daerah tersebut kegiatan ekonominya akan ditata dari awal agar pertumbuhan industri hilir dan turunan kelapa sawit dan perdagangannya seperti
Maret
minyak goreng, mentega dan sabun dapat berkembang dan mengalahkan Rotterdam dan Kuala lumpur. KESIMPULAN 1. Subsektor Perkebunan mempunyai kontribusi sangat penting dalam perekonomian nasiona karena sebagai salah satu sumber pendapatan nasional. devisa nonmigas, pendapatan dan kesempatan kerja baik pada kegiatan onfarm maupun off-farm, memberikan kesempatan investasi bagi pengusaha domestik dan asing, mendorong pertumbuhan berbagai sektor perekonomian lain melalui kaitan ke depan dan ke belakang, merupakan pionir dalam proses industrialisasi pedesaan, berdampak positif pada lingkungan hidup, dimana sebagian besar tanaman perkebunan adalah tanaman keras yang mempunyai sifat konservasi. beberapa komoditas perkebunan dijadikan sumber energi terbarukan. 2. Tujuan dan sasaran pembangunan perkebunan antara lain adalah meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, dan daya saing perkebunan serta kemampuan untuk menyerap tenaga kerja perkebunan dengan penyerapan tenaga kerja. 3. Visi pembangunan perkebunan kelapa sawit diarahkan kepada pembangunan sistem dan usaha agribisnis kelapa sawit yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. 4. Faktor-faktor yang mendukung selain faktor pengembangan produksi juga adalah faktor domestik dan faktor eksternal. 5. Diperlukan pengembangan industri hilir ini bertujuan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tetapi dalam bentuk hasil olahan sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri. 6. Sumatra Utara dapat dijadikan barometer perkelapasawitan nasional dengan mewujudkan pengembangan industri kelapa sawit terpadu bertaraf internasional atau North Sumatra Palm Oil Valley (NSPV) dan merupakan titik awal pembangunan suatu kawasan
6
2010
Alda Kartika
terintegrasi mulai dari industri hulu ke hilir sehingga dapat melahirkan aneka produk turunan kelapa sawit. sehingga menjadi multiplier effect bagi daerah.
Oil Valley (NSPV). Harian Bisnis Indonesia. Nerlove, M. (1958). Distributed Lags and Estimation Long-run Supply and Demand Elasticities Theoretical Considerations. Journal of Farm Economics, 40(2): 301-314. Sofian, Aspan. (2009). Workshop Nasional Kelapa Sawit Palm Oil Valley (NSPV). Harian Bisnis Indonesia. Vibiznews. (2008). Kekayaan Alam Sumatera Utara; Potensi Investasi dan Pasar Global. http://www.vibiznew.com.
DAFTAR PUSTAKA Ditjenbun. (2006a). Rencana Kegiatan Pembangunan Perkebunan Tahun 2007. Prosiding Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kinerja Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. . (2006b). Rencana Stratejik Pembangunan Perkebunan 2005-2009. Prosiding Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kinerja Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. Drajad, Bambang. (2006). Agribisnis Kelapa Sawit Tahun 2006-2010. http://www.litbang.deptan.go.id. Prajogo, Hadi, Djulin, A., Zakaria, A.K., Darwis, V., dan Situmorang. (2007). Prospek Pengembangan Sumber Energi Alternatif (Biofuel): Fokpada Jarak Pagar. Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Harahap, Dahlan. (2009). Workshop Nasional Kelapa Sawit Palm Oil Valley (NSPV). Harian Sinar Indonesia Baru. Indonesia Tanah Airku. (2007). Sumber Daya Alam Sumatera Utara. http://www.indonesia.go.id. Lumbangaol, Sahala. (2009). Workshop Nasional Kelapa Sawit Palm Oil Valley (NSPV). Harian Bisnis Indonesia. Nasution, Bhatara Moeda. (2009). Workshop Nasional Kelapa Sawit Palm
7