sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXX, Nomor 2, 2005 : 11 - 18
ISSN 0216-1877
TERIPANG INDONESIA : KOMPOSISI JENIS DAN SEJARAH PERIKANAN Oleh Pradina Purwati 1) ABSTRACT INDONESIAN TREPANG : SPECIES COMPOSITION AND HISTORICAL BACKGROUND OF THE FISHERY. Indonesia is considered to be the oldest and major trepang producer. Despite, publication to promote understanding on historical background of Indonesian trepang fishery is only limited. Period when the fishers begin to get involved in trade and which holothurian species have been fished to produce trepang are discussed. Internationally, trepang (the word is believed to be originated from Indonesia), or beche-de-mer refers to processed and commercial holothurian species. Whilst in Indonesia, the word teripang seems to be used to point any member of Holothuroidea. This slight difference may generate misinterpreting when we deal with international issues such as CITES (Commission on International Trade of endangered species of flora and fauna). The substence of the terms is presented here, as well as the importence of verifiying local names of trepang species. It is a hope that the issues in this essay generate understanding on the relationship between trepang and Indonesian fishermen that has been developed for at least three centuries. dengan sistem kuota dan dengan memberlakukan ukuran individu yang diperbolehkan untuk diambil. Strategi yang manapun yang akan dijadikan sistem pengaturan nantinya, Indonesia masih membutuhkan banyak data dan informasi tentang teripang. Seperti telah diketahui bersama, Indonesia belum pernah memberlakukan sistem pengaturan penangkapan teripang, karena memang penelitian yang mengarah ke penyediaan perangkat manajemen termasuk pola
PENDAHULUAN Saat ini, teripang merupakan calon komoditas untuk masuk ke Daftar Appendix II CITES (Comission of International Trade on Endangered Species), tentang pembatasan perdagangan internasional. Negara-negara produsen teripang akan dianjurkan memiliki aturan pemanfaatan, sehingga tidak merugikan kehidupan sumberdaya bersangkutan di alam. Secara umum, ada dua alternatif yang bisa dilakukan untuk pembatasan produksi, yaitu 1)
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta
11
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
reproduksi, siklus hidup dan kecepatan pertumbuhan masih kurang. Sementara itu, isu tentang tangkap lebih (over fishing) semakin sering terdengar, walaupun tidak jelas apakah isu tangkap lebih ini berlaku dalam skala lokal atau nasional, dan untuk jenis-jenis teripang tertentu saja atau semuanya. Disamping itu juga belum diketahui apakah masing-masing daerah memiliki jenis teripang unggulan, karena data statistik ekspor tidak memilah komoditi teripang berdasarkan jenisnya. Belum ada publikasi yang memberikan perkiraan awal keterlibatan nelayan Indonesia dalam perikanan teripang, padahal sudah muncul dugaan bahwa istilah trepang yang digunakan di pasar internasional berasal dari Bahasa Indonesia. Sejauh ini, belum diketahui jumlah jenis timun laut Indonesia yang diolah menjadi teripang, padahal Indonesia termasuk produsen terbesar dan mungkin yang tertua. Hal-hal yang bersifat mendasar tersebut akan dibahas disini dengan harapan akan terbangun persepsi yang sama pada saat menanggapi CITES.
keanegaragaman, biologi, ekologi maupun taksonomi. Dalam subyek-subyek ini, terminologi yang dipakai untuk menggambarkan kelompok hewan ini adalah sea cucumbers atau holothurians (disebut holothurians karena hewan ini dimasukkan dalam kelas Holothuroidea). Sebaliknya, tulisan-tulisan yang topik atau wawasannya adalah perikanan dan perdagangan (komoditi), terminologi trepang atau beche-de-mer lah yang digunakan. DWYER (2001) mendiskripsikan dengan jelas : "trepang is a general term for edible seacucumbers (Holothuroidea) which are collected from seabeds, boiled and dried, then sold to the Chinese market". Di Indonesia, mestinya istilah teripang dipakai untuk menunjuk jenis-jenis timun laut yang diperdagangkan saja. Kelompok timun laut (Holothuroidea) yang ada di dunia ini lebih dari 1200 jenis, dan sekitar 30 jenis di antaranya adalah kelompok teripang. Peneliti-peneliti Indonesia lebih suka menggunakan istilah teripang untuk semua topik yang menyangkut anggota Holothuroidea, walaupun isi tulisan (terutama yang bertopik ekologi) tidak berhubungan dengan aspek perikanan atau perdagangan. Beberapa contoh dapat dilihat AZIZ & SUGIARTO (1994), AZIZ & AL HAKIM (2001), AZIZ & DARSONO (1997) dan YUSRON (2001). Tidak jarang hal ini menimbulkan keraguan dalam usaha mengerti esensi tulisan, misalnya dalam mempresentasikan jenis-jenis yang dijumpai di suatu habitat, apakah peneliti hanya berfokus pada jenis yang bisa diperdagangkan dan mengabaikan jenis-jenis yang non komersial, ataukah memang tidak dijumpai jenis-jenis yang non-komersial. Bagaimanapun juga, pengertian kedua istilah tersebut harus diperjelas, sehingga dalam menanggapi surat edaran CITES tahun 2002 misalnya, yang menjajagi kemungkinan pembatasan perdagangan internasional teripang, kita tahu jenis-jenis timun laut yang mana yang sedang dibicarakan.
TIMUN LAUT ATAU TERIPANG Trepang diakui sebagai kosa kata Indonesia teripang, dan dipakai sejajar dengan beche-de-mer (lafal Perancis). Dua kata ini merupakan istilah yang paling populer di pasar internasional, walaupun Jepang dan Cina sebagai konsumen utama trepang, memiliki istilah sendiri : iriko dan hai-som (MORGAN & ARCHER, 1999). Di Indonesia, teripang atau trepang tidak memiliki arti khusus, paling tidak belum pernah ada yang menjelaskan apa arti teripang. Lain halnya dengan istilah timun laut atau sea cucumbers yang menggambarkan ciri kelompok hewan yang dimaksud : berbentuk seperti timun dan hidup di laut. Teripang merupakan anggota dari timun laut, namun tidak semua jenis timun laut merupakan teripang. Di dalam jurnal-jurnal internasional, istilah trepang atau beche-de-mer tidak pernah dipakai dalam topik-topik
12
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
AWAL MULA PERDAGANGAN TERIPANG DI INDONESIA
Jawa sampai ke daerah kering yang terletak di selatan Pulau Rote dan Pantai Kimberly, Australia Barat (CLARK, 2000; McKNIGHT, 1976). Peninggalan tahun 1623 yang ditemukan di Jakarta (waktu itu bernama Batavia) yang berupa wadah-wadah teripang dari Cina, ikut mendukung peninggalan sejarah perikanan teripang Indonesia (STACY, 2001; DWYER, 2001, CAMPBELL & WILSON, 1993). Teripang menjadi jembatan pertemuan dua budaya, Aborigin di Australia dan Makassar di Indonesia. Bukti pelayaran orang Makassar ke pantai barat laut dan utara Australia banyak terdokumentasi dalam bentuk lukisan tradisional bangsa Aborigin di dinding-dinding goa. Peninggalan sejarah yang lain adalah model kano (canoe) dan penggunaan kosa kata oleh orang-orang Aborigin seperti 'balanda' untuk menunjuk orang kulit putih. Selain itu, ditemukan juga dokumen peraturan pajak dan perizinan tahun 1882 untuk nelayan Makassar yang mengambil teripang di perairan Northern Territory. Suku Makassar diakui sebagai penemu Pulau Pasir (yang kemudian diberi nama Ashmore Reefs) yaitu sekitar tahun 1728, bukan Samuel Ashmore yang berlayar mencapai daerah tersebut pada tahun 1811 (BANNETT, 2001; CLARK, 2000; DWYER, 2001; McKNIGHT, 1976; FOX 1992; STACY 2001). Perburuan teripang oleh nelayan Nusantara terus berlanjut hingga sekarang terutama oleh suku Bajo, Makassar, Bugis, Buton dan Madura, dengan daerah perburuan yang terus bertambah sempit. Teripang, bersama-sama dengan sirip ikan hiu dan penyu diekspor ke Cina. Dalam review McKNIGHT (1976) dikatakan bahwa awal abad 18, bangsa Eropa memberi batasan perdagangan bagi bangsa Cina, termasuk mengadakan transaksi di timur Indonesia. Ini mendorong nelayan nusantara membawa dagangan yang berupa produk laut termasuk teripang ke Singapura dan Kalimantan Utara. Nelayan Bugis menjadi salah satu yang mencatat sejarah dalam perdagangan ini. Tahun 1830 misalnya, sebanyak 180 perahu Bugis mendarat di
Publikasi ilmiah pertama tentang timun laut Indonesia dilakukan oleh SELENKA (1867) yang spesimennya dikumpulkan dari Ambon. Sebelumnya, expedisi besar Rhumphius melakukan pengumpulan biota dari perairan Maluku tahun 1705 (MASSIN, 1996). Beberapa catatan sejarah menunjukkan adanya perdagangan teripang sejak lebih dari 300 tahun. Menengok abad 13-17, Nusantara merupakan negara maritim yang menjadi salah satu pusat perdagangan dunia. Sistem perkotaannya terbentuk di tepi laut seperti pesisir utara Jawa. Ini memberi kemudahan masyarakat (nelayan) Nusantara pada zaman itu untuk melakukan kontak dagang hasil laut dengan dunia internasional. Salah satunya adalah dengan bangsa Cina di abad 16-17 yang diduga mendorong munculnya perikanan teripang Indonesia (STACY, 1999; HAM, 2002). Ke arah selatan, sejarah membawa kita ke kunjungan nelayan nusantara untuk berburu teripang ke perairan Australia sejak awal abad 17. Wajar jika kemudian Indonesia termasuk negara pengekspor teripang tertua. Istilah 'trepang' di pasar internasionalpun berasal dari kata teripang yang digunakan oleh nelayan Indonesia (FOX, 2000; MORGAN & ARCHER, 1999; CONAND, 1990; CONAND & BYRNE, 1993). Saat Belanda mengalahkan Makassar di Buton tahun 1667, dan membuat batasan perdagangan bagi orang Makassar, banyak di antara mereka yang melarikan diri ke Teluk Carpentaria di Australia, dan mereka kembali dengan memuat teripang. Periode ini yang kemudian menjadi perkiraan awal dimulainya industri teripang di Indonesia (McKNIGHT 1976). Bukti lain yang mendukung sejarah ini adalah catatan Flinder dan Pobasso di tahun 1803, yaitu tentang nelayan Makassar yang sudah sejak dua puluh tahun sebelumnya berlayar mencari teripang ke pulau-pulau sekitar
13
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Singapura membawa hasil laut dari perairan timur Indonesia. Namun demikian, FOX (2000) percaya bahwa teripang, sirip ikan hiu dan penyu sudah menjadi produk perdagangan bagi suku Makassar, Bugis, Bajo dan Buton sejak lebih dari 500 tahun yang lalu. CHEN (2003) memaparkan kembali informasi dari hasil penelitian terdahulu, bahwa sejak dari awal sejarah perikanannya, teripang dikumpulkan untuk mensuplai kebutuhan bangsa Cina. Di Cina sendiri, sebagai negara konsumen terbesar hingga saat ini, pengenalan teripang dimulai sejak Dinasti Ming (1368-1644 BC). Teripang tertulis di buku medis tradisional sebagai tonic dan obat tradisional, antara lain mengandung banyak protein dan rendah lemak. Diramu dengan komponen yang lain, teripang dipakai sebagai obat untuk memelihara kesehatan darah, penyembuh penyakit ginjal dan sistem reproduksi. Melihat sejarahnya, dimana istilah teripang sudah dipakai sejak lebih dari 3 abad yang lalu, mungkin bisa dikatakan bahwa teripang yang sekarang ada di perairan kita, juga merupakan hewan asli (indigenous species) Indonesia. Selain tidak memiliki pola migrasi dan hidup sebagai hewan bentik di berbagai ekosistem laut dangkal, dengan pergerakan kurang dari 300 cm/hari (HAMEL et al., 2001), jenis-jenis teripang tidak pernah dilaporkan diintroduksi ke perairan Indonesia. Bisa dimengerti karena memang bentuknya yang tampak tidak terlalu indah, dan walaupun harganya mahal, namun sifat-sifat alamiah kelompok teripang bisa jadi menyulitkan transportasinya. Jika ada gangguan, beberapa jenis teripang mengeluarkan tubulus Cuvier yang sangat mengganggu karena bergetah. Jika gangguan berlanjut, maka organ dalamnya didorong keluar tubuh (evisceration). Kulit teripang juga mudah terluka jika terjadi gesekan. Luka ini mudah terinfeksi, dan menular ke individu yang lain. Jika ini dibiarkan, akan membawa ke kematian individu yang terluka. Sayang sekali Indonesia belum memiliki ahli sistematika atau evolusi timun laut, karena dari
ilmu inilah akan diketahui sejarah evolusi dan penyebaran timun laut.
JENIS-JENIS TERIPANG INDONESIA Di Indonesia sedikitnya ada 26 jenis timun laut yang pernah atau masih tercatat diolah untuk diperdagangkan sebagai teripang (Tabel 1). Semuanya termasuk ordo Aspidochirotida atau Dendrochirotida. Daftar ini sebagian besar diperoleh dari publikasi peneliti Indonesia di bidang perikanan, dan bukan tulisan taksonomi. Pemberian nama tersebut sering dikonfirmasikan dengan istilahistilah yang dipakai nelayan. Pada kenyataannya, kadang penamaan ini membingungkan : satu nama ilmiah (internasional, Latin) merujuk ke lebih dari satu nama daerah, atau sebaliknya. Atau, beberapa daerah menggunakan nama lokal yang sama namun merujuk pada jenis yang berbeda. Contohnya, teripang gamet untuk menunjuk Stichopus variegatus dan Actinopyga miliaris, atau teripang lotong untuk menunjuk Holothuria nobilis dan Actinopyga miliaris. Memang akan besar kemungkinannya, nelayan memberi nama yang sama pada 2 atau lebih jenis teripang. Sangat disadari bahwa untuk peneliti pun, identifikasi jenis melalui sampel yang telah dikeringkan (diproses) merupakan hal yang sulit, apalagi jika hasil pengeringannya tidak baik. Berdasarkan hal ini, perlu dilakukan penyeragaman nama lokal menjadi nama nasional teripang-teripang Indonesia, untuk menghilangkan keraguan dalam penentuan jenis, dan memberi kemudahan dalam monitoring dan pengelolaan. Pembakuan nama jenis teripang ini penting karena setiap jenis memiliki karakter yang spesifik (jenis dan kebiasaan makan, pilihan habitat, pola reproduksi, kecepatan tumbuh dan sebagainya). Dengan demikian, sistem pengelolaannyapun, pada level tertentu, akan berbeda. Penyeragaman nama ini akan memudahkan komunikasi antara nelayan-peneliti-pedagang dan pengambil keputusan.
14
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Ada yang menarik dalam penamaan dagang teripang di pasar dunia. Beberapa jenis teripang diberi nama sesuai dengan nama Indonesia (atau sebaliknya), seperti teripang susu, teripang pasir dan teripang batu masing-masing untuk susufish/white teatfish, sandfish dan stonefish (Tabel 1). Perlu pembuktian lain agar dapat dipastikan bahwa Indonesia merupakan produsen dan eksportir teripang tertua, sehingga nama yang diberikan di pasar
internasional adalah nama yang berasal dari nelayan Nusantara. Hingga sekarang, di dalam daftar komoditi ekspor hasil laut yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, teripang tidak pernah dipisahkan berdasarkan jenisnya. Dengan demikian, amatlah sulit mengetahui daerahdaerah yang merupakan kantong produksi untuk jenis tertentu.
Tabel 1. Timun laut yang termasuk teripang di Indonesia, berdasarkan publikasi nasional No.
Nama jenis
Nama daerah
Nama di pasar dunia
1
Actinopyga echinites
deepwater redfish
2 3 4
A. lecanora A. mauritania A. miliaris
5
Bohadschia argus
kunyit, ladu-ladu, kapok/kapuk, bilalo batu, balibi buntal kapok/kapuk, lotong, gamet, sepatu ular mata, cempedak
6
B. marmorata
7 8 9 10
B. tenuissima* Holothuria atra H. coluber H. edulis
11 12 13 14 15 16 17 18 19
H. fuscopunctata H. fuscogilva H. hilla* H. impatiens H. leucospilota H. nobilis H. ocelata H. pervicax H. scabra
20 21 22 23 24
H. similis Pearsonothuria graeffei Stichopus chloronotus S. horrens S. variegatus
25
Thelenota ananas
olok-olok, getah putih, pulut, benang, krido polos karet teripang hitam, dara/darah taikokong dada merah, takling, perut merah, cerak, batu keling ? susu putih ? donga, babi, ular-ular, tempulo salengko, talengko, getah susu hitam, lotong, koro, susuan kacang goreng ? pasir, buang kulit, gosok, putih, kamboa krido, krido bintik bintik merah jepung, jepun kacang goreng, kacang, susu gamet, kasur, taikokong, anjing, kapok, gama nanas/nenas
26
T. anax
duyung
* : jarang
15
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
stonefish surf redfish blackfish leopard fish/tigerfish/ spottedfish lollyfish/black trepang snakefish pinkfish elephant trunkfish white teatfish, susufish black teatfish tiger spotted trepang sandfish chalkfish/whitefish flowerfish greenfish/squarefish dragonfish curryfish/yellow meat prickly redfish/plum flower trepang amberfish
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Di antara ke 26 jenis teripang dari Indonesia di atas, belum bisa diketahui jenis mana yang merupakan jenis unggulan untuk daerah tertentu, atau mana yang masih bertahan dan mana yang menghilang dari pasar. Cukup sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Alternatif yang bisa dilakukan adalah menggali informasi melalui angket (questioners) kepada nelayan dan pengumpul teripang di daerah-daerah penghasil teripang. Misalnya jenis yang dipanen : apakah jenis-jenis yang dipanen ada penambahan atau berganti; lokasi pencarian, cara penangkapan, dan volume tangkapan; kemana teripang dijual. Jawaban dari pertanyaan ini akan menjadi informasi penting tentang kekayaan jenis, kantong-kantong populasi, jenis tangkapan yang dominan, rantai pasar, dan apakah ada dan sejauh mana 'illegal export' terjadi.
diarahkan pada penentuan kantong-kantong produksi, potensi dari jenis-jenis teripang yang bisa diunggulkan untuk masing-masing daerah. Untuk penelitian-penelitian yang memerlukan banyak spesimen seperti reproduksi mungkin agak sulit. Hasil penelitian terhadap Holothuria scabra (teripang pasir) yang hidup di Indonesia dari tiga daerah yang mewakili perairan sebelah timur, tengah dan barat mungkin merupakan satu-satunya yang dapat dirujuk, dan telah dibahas kembali oleh PURWATI (2005 in press). Bersama dengan informasi kecepatan pertumbuhan, aspek ini penting untuk menentukan 'open and close season' dan 'permittable size'. Selain itu, upaya penambahan populasi di alam seperti produksi benih dan pemanfaatan potensi reproduksi aseksual perlu diberi proporsi yang cukup besar untuk dikembangkan. Seiring dengan itu, kualitas standard internasional untuk teripang hasil olahan harus diperkenalkan kepada nelayan dan kolektor kecil, supaya harga jualnya bisa maksimal.
PENUTUP Untuk menanggapi CITES, sangat diharapkan penelitian teripang di Indonesia
Teripang segar
Pengolahan
Teripang pasir kering
Teripang di pasar Singapura
Gambar 1. Perjalanan teripang pasir (H.scabra) dari alam sampai pasar dunia
16
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
UCAPAN TERIMAKASIH
CHEN, J. 2003. Overview of seacucumber farming and sea ranching practices in China. SPC Beche-de-mer Info. Bull. 18 : 18-23. CLARK, P. 2000. Ashmore reef, a preliminary survey for archeological sites. MAGNT Research Report No.8 : 13 pp. CONAND, C. and M. BYRNE 1993. A review on recent development in the world sea cucumber fisheries. Marine fisheries Review. 55 (4) : 1-13. CONAND, C. 1990. Fisheries resources of Pacific Island countries. Part 2 : Holothurians. FAO Fish. Tech. Paper 272.2. Rome : FAO 143 pp. DWYER, D. 2001. Borders and Bounders from ref fishing to refugees : the changing role of Indonesia sailors and their perahu at Ashmore reef, north Australia. Presented in workshop on Indonesia fishing in North Australian waters : Questions of access and utilization. Center for Southeast Asian Studies, NTU. 10 pp. FOX, J.J. 1992. A report on eastern Indonesian fishermen in Darwin. Illegal entry. Occasional Paper Series 1. Centre for Southeast Asian Studies, NTU. 13-24. FOX, J..J. 2000. Maritime communities in the Timor and Arafura region : Some historical and anthropological perspectives. Mod. Quarternary Re. SE. Asia. 16 : 337356. Balkema, Rotterdam. HAM, O.H. 2002. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Refleksi Historis Nusantara. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. 79-89. HAMEL, J.F.; C. CONAND; D.L. PAWSON and ANNIE MERCIER 2001. The sea cucumber Holothuria scabra (Holothuroidea : Echinodermata) : its biology and exploitation as Beche-de-mer. In : Advances in Marine Biology, IV. Eds. A.J. Southward, P.A. Tyler, C.M. Young and A.A. Fuiman. Academic Press. Tokyo : 131219.
Manuskrip ini dipersiapkan sebagai tahap awal pelaksanaan Proyek Kompetitif LIPI 2005, Teripang Indonesia : biodiversitas dan permasalahannya. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Z. Arifin dan Dr. M. Hutomo yang 'somehow' memberi dukungan berharga, dan kepada Dr. D. Dwyer yang menyediakan sebagian besar artikel aspek antropologi. Terimakasih juga ditujukan kepada Drs. Pramudji, M.Sc. dan Drs. M. H. Azkab yang telah meluangkan waktu membaca manuskrip ini.
DAFTAR PUSTAKA AZIZ, A. dan H. SUGIARTO 1994. Fauna ekhinodermata padang lamun di pantai Lombok Selatan. Dalam : Proyek Pengembangan Kelautan/MREP 93-94. P3O Jakarta. Ed. Kiswara : 52-63. AZIZ, A. dan I. AL HAKIM 2001. Fauna ekhinodermata perairan terumbu karang Bakauheni dan sekitarnya, Pulau-pulau Seribu. Dalam : Pesisir dan pantai Indonesia. VI. P2O-LIPI : 65-74. AZIZ, A. dan P. DARSONO 1997. Beberapa catatan megenai fauna ekhinodermata di daerah rataan terumbu bagian selatan gugus Pulau Pari. Dalam : Inventarisasi dan evaluasi potensilaut-Pesisir II. Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi. P3O-LIPI Jakarta : 72-77. BANNETT, J. 2001. Present day identity in a historical context, an observation on the historical and cultural context of eastern Indonesian fishermen. Paper in workshop on Indonesian fishing in North Australian waters : questions of access and utilization. 4pp. CAMPBELL B.C. and BU V.E. WILSON 1993. The politics of exclusion, Indonesian fishing in the Australian fishing Zone. Indian Ocean Centre for Peace Studies Monograph No.5 : 221 pp.
17
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
REID, A. 1992. Indonesian fishermen detained in Broom : A report on the social and economic background. Illegal entry. Occasional Paper Series 1. Centre for Southeast Asian Studies, NTU. 1-12. STACY, N. 1999. Boat to burn : Bajo fishing activity in the Australian fishing zone. Ph.D Thesis NTU. 360 pp. STACY, N. 2001. Crossing borders : implications of the Memorandum of Understanding on Bajo fishing activity in northern Australian waters (draft) paper on symposium on Understanding the cultural and natural heritage values and management challenges on the Ashmore region, Darwin : 9 pp. YUSRON, E. 2001. Struktur komunitas teripang (Holothuroidea) di rataan terumbu karang perairan pantai Morella, Ambon. Dalam : Pesisir dan Pantai Indonesia. IV. P2O-LIPI : 227-233.
McKNIGHT, C.C. 1976. The voyage to Marege': Macassan trepangers on northern Australia. 7. When did the Industry Begin?. Melbourne Univ. Press. 93-99. MASSIN, C. (1996). The Holothuroidea (Echinodermata) collected at Ambon during the Rhumphius Biohistorical Expedition. In : Results of the Rhumphius Biohistorical Expedition to Ambon (1990). Part 4., pp. 54pp. Zoo. Verh. Leiden. MORGAN, A. and J. ARCHER. 1999. Overview : aspects of seacucumber industry research and development in the south Pacific. SPC Beche-de-mer Info. Bull. #12 : 15-17. PURWATI, P. 2005. Reproductive pattern on Holothuria scabra (Echinodermata : Holothuroidea) in Indonesian waters. (In press). Marine Research in Indonesia.
18
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005