Komposisi Jenis dan Biomasa Stok Ikan di Sungai Banyuasin (Prianto, E., et al.)
KOMPOSISI JENIS DAN BIOMASA STOK IKAN DI SUNGAI BANYUASIN Eko Prianto1) dan Solekha Aprianti
2)
1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan konservasi Sumberdaya ikan 2) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum (BRPPU) Teregistrasi I tanggal: 19 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Februari 2012; Disetujui terbit tanggal: 27 Februari 2012
ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada Maret hingga Desember 2009 di muara sungai Musi Sumatera Selatan, dengan tujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan biomasa stok sumber daya ikan di Sungai Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Pengambilan sampel dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu pada Maret dan Juni 2009. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode observasi lapangan pada 6 stasiun pengambilan contoh yang mewakili perairan Sungai Banyuasin. Biomasa stok ikan diduga dari hasil percobaan penangkapan dengan pukat hela. Komposisi jenis ikan di Sungai Banyuasin pada Maret sebesar 72 jenis dan Juni sebesar 81 jenis,sedangkan secara keseluruhan jumlah jenis ikan yang dijumpai di Sungai Banyuasin sebanyak 92 jenis yang terdiri dari 72 jenis ikan, 1 coelenterata dan 19 jenis krustacea (udang dan kepiting). Hasil tangkapan dengan menggunakan pukat hela diperoleh data hasil tangkapan persatuan area pada Maret berkisar 10119 kg/km2 dan Juni berkisar 4-45 kg/km2, sedangkan total biomassa ikan di perairan Sungai Banyuasin sekitar 6,1 ton pada Maret dan 17,6 ton pada Juni. KATA KUNCI : Stok biomassa, komposisi jenis, Sungai Banyuasin ABSTRACT : Species Compotition and Biomass Stock of Fish in Banyuasin River. By: Eko Prianto and Solekha Aprianti A Field study in order to investigate fish composition and biomass stock of fish resources of Banyuasin River was conducted from March to December 2009. Fish samples were collected in March and June 2009 at 6 sampling sites in Banyuasin river set up based on difference in micro habitat. Fish were collected by using mini trawl experiment and from daily record of fishermen using different fishing gears. Results indicate that fish catch in March and June was composed of 72 and 81 fish species respectively, and the total fish species record was 92 species consist 72 species of fish, 1 species of coelenterate and 19 species of crustacea. The total of biomass of fish resource in Banyuasin river was estimated about 17,6 ton in March and 6,1 ton in June. KEYWORDS : Biomass stock, species compotition, and Banyuasin River
PENDAHULUAN Sungai Banyuasin memiliki peranan yang sangat besar bagi masyarakat pesisir Sumatera Selatan karena memiliki kontribusi penting terhadap berbagai aktifitas pembangunan diantaranya sebagai alur pelayaran, pelabuhan, penangkapan ikan, dan perkebunan. Sebagian masyarakat nelayan memfokuskan segenap aktifitas penangkapannya di wilayah ini, karena merupakan daerah tangkapan yang cukup produktif. Disamping itu, sungai Banyuasin juga dijadikan alur pelayaran yang sangat padat untuk kapal-kapal yang mengangkut minyak, pupuk, batubara, dan kebutuhan pokok lainnya. Peranan wilayah ini tidak hanya ditinjau dari satu sektor saja namun berbagai sektor yang dapat dilakukan di wilayah ini. Kawasan Sungai Banyuasin memiliki luas sebesar + 167 km2 (dengan lebar rata-
rata + 6 km dan panjang + 28 km) (Husnah et al., 2009). Sungai Banyuasin terletak berhadapan langsung dengan selat Bangka dan setiap harinya dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Akibat dipengaruhi oleh pasang surut air, maka salinitas perairan ini berfluktuasi cukup tinggi yaitu 11-24 permil (Husnah et al, 2009). Aktifitas penangkapan di Sungai Banyuasin cukup tinggi terutama pada bulan JuniSeptember, dimana saat itu merupakan musim kemarau. Pada musim kemarau hasil tangkapan ikan didominasi udang. Sebagai contoh, hasil tangkapan udang pepe dengan menggunakan sondong pada musim kemarau dapat mencapai 200-500 kg/hari/ nelayan, sehingga banyak nelayan yang mengalihkan penangkapan pada udang pepe (Metapenaeus ensis).
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta Utara
1
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 1-8
Hasil penelitian Wibowo & Gonner (2001) menunjukkan bahwa sebagian besar hasil tangkapan ikan laut dilakukan di kawasan estuaria termasuk Sungai Banyuasin, penangkapan ini dilakukan oleh nelayan tradisional. Selanjutnya Danielsen & Verheught (1990) dalam Wibowo & Gonner (2001) mengidentifikasi perairan Banyuasin-Sungai Sembilang dan Teluk Lumpur merupakan tempat utama daerah penangkapan yang cukup produktif di Sumatera Selatan. Jika diperkirakan hasil tangkapan ikan di wilayah ini sebesar 25% dari hasil tangkapan ikan laut maka selama setahun produksi dapat mencapai 35.000 ton/tahun. Pada tahun 2006 di Kabupaten Banyuasin terjadi penurunan hasil tangkapan yang berasal dari perairan umum yakni dari 7.535,4 ton pada tahun 2005 menurun menjadi 7.448,6 ton pada tahun 2006 (Dinas Perikanan Sumatera Selatan, 2007). Penurunan hasil tangkapan nelayan di perairan umum juga dialami oleh kabupaten lainnya di Sumatera Selatan dengan kisaran 1-3%. Saat ini ekosistem Sungai Banyuasin telah mengalami degradasi lingkungan (terestrial dan sungai) yang cukup tinggi akibat aktifitas manusia. Pemerintah propinsi Sumatera Selatan, telah melaksanakan pembangunan pelabuhan internasional
seluas + 40.000 ha dan perumahan mewah di kawasan ini. Di samping itu, untuk menghubungkan antara pelabuhan dan kota Palembang dibangun rel kereta api dan jalan raya. Aktifitas ini dapat menyebabkan erosi dan pencemaran perairan yang dikhawatirkan berakibat terhadap penurunan sumber daya ikan di kawasan sungai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan biomass stok sumberdaya ikan di sungai Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Informasi ini dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan sumber daya ikan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Sungai Banyuasin Sumatera Selatan pada bulan Maret dan Juni. Pengambilan sampel dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu pada bulan Maret dan Juni 2009. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode observasi (survey lapangan) dengan jumlah stasiun pengambilan contoh sebanyak 6 titik yang mewakili perairan di sungai Banyuasin. Penentuan stasiun pengambilan contoh dilakukan dengan pendekatan tujuan tertentu (purposive sampling) yang berdasarkan adanya perbedaan mikrohabitat (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel di Sungai Banyuasin Figure 1. Sampling Site in Banyuasin River
2
Komposisi Jenis dan Biomasa Stok Ikan di Sungai Banyuasin (Prianto, E., et al.)
Penangkapan ikan dengan menggunakan mini trawl dimaksudkan untuk mengetahui biomasa stok ikan dan komposisi jenisnya. Pengumpulan sampel ikan dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap mini trawl (Gambar 2) dengan metode swept area (Sparre & Venema, 1999), dan (2) pencatatan hasil tangkapan oleh enumerator yang menggunakan berbagai alat tangkap seperti net (jaring), jala, belat, tuguk, dan rawai. Pukat hela (trawl) yang digunakan merupakan jenis pukat hela permukaan yang ditarik dengan menggunakan kapal dengan bobot 6 GT. Pukat hela ditarik selama 30 menit dengan cara melawan arus dengan lokasi operasional pukat hela meliputi muara sungai dan sungai yang masih dipengaruhi air laut. Pada Gambar 2 tampak bahwa jaring trawl akan menyapu suatu alur tertentu, yang luasnya adalah perkalian antara panjang alur dengan lebar mulut jaring, yang disebut swept area. Luas sapuan a (km2) dapat dihitung dengan rumus (Sparre & Venema, 1999) : a = D* hr*X2
D = V*t ................ (1)
keterangan : V = Kecepatan tarikan jaring pada permukaan dasar perairan (km/jam) hr= Panjang tali ris (m) t = Lama tarikan jaring (jam) X2= Fraksi panjang ris atas (0.67)
Gambar 2. Metode Swept Area yang digunakan dalam penelitian. Figure 2. Swept area method used in this study Hasil sampling dengan menggunakan pukat hela kemudian dirata-ratakan dan dimasukkan ke dalam rumus untuk mencari besaran biomas stok ikan. Besaran biomas stok ikan per satuan area dihitung dengan rumus sebagai berikut Sparre & Venema (1999):
{Cw / a}* A
X1
B =
....................................... (2
keterangan : B = Dugaan total biomas (kg/km2) Cw= Hasil tangkapan dalam bobot pada satu tarikan (kg) a = Luas sapuan (km2) A = Luas keseluruhan perairan (km2) X1 = Fraksi biomas ikan pada alur efektif yang disapu jaring trawl dan yang tertangkap (0,5) HASIL DAN BAHASAN Komposisi Jenis Sumber Daya Ikan Hasil analisis data lapangan diperoleh komposisi jenis ikan di sungai Banyuasin pada bulan Maret adalah 72 jenis dan bulan Juni adalah 81 jenis. Secara keseluruhan jumlah jenis ikan yang dijumpai di sungai Banyuasin adalah 92 jenis (Lampiran 1) yang terdiri dari 72 jenis ikan, 1 jenis coelenterata dan 19 jenis krustacea (udang dan kepiting). Hasil penelitian yang dilakukan Suman et al., (2008) di estuaria Sungai Musi ditemukan jumlah jenis ikan pada bulan Maret sebanyak 38 jenis, bulan Juni sebanyak 26 jenis dan bulan Agustus sebanyak 32 jenis, sedangkan secara keseluruhan jumlah jenis ikan ditemukan di kawasan estuaria Sungai Musi sebanyak 75 jenis. Jenis ikan yang banyak tertangkap merupakan ikan laut sebanyak 70 jenis dan 5 jenis merupakan ikan air tawar. Jumlah jenis ikan yang ditemukan di Sungai Banyuasin lebih banyak dibandingkan dengan di estuaria sungai Musi. Perbedaan ini diduga karena kondisi perairan Sungai Banyuasin cenderung lebih baik dibandingkan dengan estuaria sungai Musi. Lingkungan perairan Sungai Banyuasin masih alami karena banyak ditumbuhi oleh vegetasi mangrove di sepanjang pantainya dan jauh dari pemukiman serta perindustrian, sehingga pencemaran relatif kecil (Prianto, 2009). Gaffar et al., (2006) menyatakan bahwa di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin tahun 2006 telah didapatkan 107 jenis ikan dan udang, dengan sebaran di perairan estuaria Upang dan Sungsang terdapat 59 jenis, estuaria Sembilang 51 jenis dan estuaria Banyuasin 63 jenis. Di perairan estuaria Upang keragaman ikan air tawar dan ikan air asin berimbang, sedangkan di estuaria Sungsang dan Banyuasin ikanikan air asin lebih dominan. Di perairan estuaria Sungai Sembilang tidak ditemukan sama sekali ikan-ikan air tawar. Ikan yang dominan didapatkan di estuaria Sungai Banyuasin dan perairan Sungsang yaitu jenisjenis ikan Duri (Hemipimelodus borneensis) dan Gulamo (Johnius trachycephalus). Di perairan estuaria Upang untuk ikan sungai yaitu ikan Sepengkah (Ambassis gymnocephalus) dan Lais (Kryptopterus
3
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 1-8
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah lainnya, jumlah jenis ikan yang ditemukan di estuaria Sungai Banyuasin lebih sedikit. Perbedaan ini diduga karena faktor fisika, kimia dan biologi masing-masing perairan. Budiman, (2006) menyatakan bahwa kondisi perairan yang berubah– ubah sesuai musim dan faktor fisika-kimia perairan tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap perilaku pengelompokkan ikan.
Hasil Tangkapan (kg/km2)
Blaber, (2000) menyatakan bahwa estuaria Mayang di Peninsular Malaysia ditemukan sekitar 117 spesies yang terdiri dari Sciaenidae, Engraulididae, Ambassidae, Clupeidae, Ariidae, Leioghnathidae, dan Scatophagidae. Daerah estuaria Ranong di bagian Barat Thailand ditemukan sekitar 198 jenis yang terdiri dari 55 famili, famili yang memiliki kelimpahan yang tertinggi adalah Leioghnathidae, Clupeidae, Engraulididae, Ambassidae, Mugilidae dan Carangidae.
119
120 100
85 80 60
51 38
40
14
20
10
Sungai Bungin
Muara Banyuasin
Sungai Terabisan
Sungai Bedil
Sungai Calik
Terusan PU
Lokasi
Gambar 3. Hasil tangkapan ikan pada bulan Maret 2009. Figure 3. Catch of fish on March 2009. 45 45 40
Hasil Tangkapan (kg/km2)
sp) sedangkan ikan air asin yaitu ikan Bilis (Clupeoides borneensis) dan Bulu Ayam (Coilia lindmani).
35 30 25
21
20 15
13
12
15
10
4
5 Sungai Bungin
Muara Banyuasin
Sungai Terabisan
Sungai Bedil
Sungai Calik
Terusan PU
Lokasi
Biomassa Stok Sumber Daya Ikan Penggunaan pukat hela di lokasi studi dilakukan pada 6 lokasi yang meliputi Sungai Bungin, Muara Banyuasin, Sungai Terabisan, Sungai Bedil, Sungai Calik dan Terusan PU. Hasil tangkapan dengan menggunakan pukat hela pada bulan Maret berkisar antara 10-119 kg/km2 (Gambar 3). Pada bulan Juni hasil tangkapan mengalami penurunan dibanding bulan Maret yang berkisar antara 4-45 kg/km 2. Data diatas menunjukkan terjadi perubahan stok biomassa ikan di estuaria Sungai Banyuasin. Perubahan musim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh kepada stok biomassa ikan. Menurut Prianto & Suryati, (2010) dan Badrudin et al., (2011) bahwa hasil tangkapan ikan di estuaria sangat tergantung dengan musim, adanya perubahan musim menyebabkan perubahan arus. Perubahan musim ini juga akan berpengaruh pada tingkah laku ikan, biologi reproduksi dan migrasi, sehingga hasil tangkapan setiap musim akan mengalami perubahan. Pada bulan Juni hasil tangkapan secara umum sangat besar, namun jenis yang tertangkap adalah ubur-ubur yang dapat mencapai 500 kg/1x tarikan trawl. Jika dilihat secara keseluruhan sumberdaya ikan yang tertangkap dalam jumlah yang kecil (Gambar 4).
4
Gambar 4. Hasil tangkapan ikan per satuan area pada bulan Juni 2009. Figure 4. Catch of fish per unit area in June 2009. Hasil tangkapan pada Juni untuk masing-masing lokasi sangat kecil dibandingkan dengan Maret. Perbedaan ini dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau (Juni) perairan Sungai Banyuasin memiliki salinitas yang tinggi akibat dipengaruhi oleh air laut. Kondisi ini menyebabkan ubur-ubur sangat dominan dan diduga ubur-ubur mengalami puncak pertumbuhan dan perkembangan pada bulan Juni. Hasil penelitian yang dilakukan Awong et al., (2011) di teluk Darvel dengan menggunakan swept area diperoleh stok biomassa ikan sebesar 3.639 kg/ km2. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Awong et al, estuaria sungai Banyuasin memiliki stok biomassa yang jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan hasil tangkapan ikan di estuaria Banyuasin lebih didominasi oleh ikan-ikan dengan ukuran juvenil. Tertangkapnya ikan-ikan berukuran juvenil tidak lepas dari fungsi estuaria sebagai daerah pemijahan dan pengasuhan. Ikan-ikan ini selanjutnya akan beruaya ke daerah teluk atau laut lepas untuk proses pembesaran.
Komposisi Jenis dan Biomasa Stok Ikan di Sungai Banyuasin (Prianto, E., et al.)
Gunter dalam Sihotang et al., (1996) menyatakan di perairan estuaria perbandingan jenis ikan air laut dengan air tawar sebesar 2 : 1 untuk spesies dan 25 : 1 untuk individu. Karena ikan-ikan laut lebih mampu beradaptasi pada fluktuasi perubahan salinitas yang tinggi dibandingkan air tawar. Hasil dari pengamatan di lapangan dari 92 jenis ikan yang tertangkap di estuaria, rasio jenis ikan air tawar dan ikan laut yang tertangkap di estuaria adalah 1:29. Jenis ikan air tawar yang ditemukan adalah Ikan Bulu Ayam (Coilia lindmani), Sepengkah (Ambassis gymnocephalus), dan Udang Galah (Macrobranchium rosenbergii). Total biomassa ikan di perairan Sungai Banyuasin sekitar 17,6 ton pada Maret dan 6,1 ton pada Juni. Total biomassa ini merupakan penghitungan sumber daya ikan yang memilki nilai ekonomis sedangkan jenis ikan lain yang tidak dimanfaatkan seperti uburubur tidak dimasukkan kedalam penghitungan. Djamali & Sutomo (1999) menyatakan potensi perikanan Sungai Sembilang (termasuk sungai Banyuasin) cukup tinggi untuk perairan Sumatera Selatan. Produksi yang menonjol yaitu udang dogol (Metapenaeus sp) dan udang jerbung (Penaeus merguiensis) sebanyak 2.236,40 ton, kerang (Anadara spp) sebanyak 130 ton, kepting bakau (Scylla serrata) sebanyak 2.160 ton dan ikan sebanyak 30.373 ton. KESIMPULAN Komposisi jenis dan jumlah stok biomassa ikan di Sungai Banyuasin berubah-ubah seiring dengan perubahan musim. Pada Maret jumlah jenis yang ditemukan sebanyak 72 jenis dan pada Juni sebanyak 81 jenis. Hasil tangkapan persatuan area pada Maret berkisar 10-119 kg/km2 dan pada Juni berkisar 4-45 kg/km2. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset “Status Sumberdaya Perikanan Di Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-Api (South Sumatera Eastern Corridor-Secde)” Tahun Anggaran 2009, di Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Mariana, Palembang. DAFTAR PUSTAKA Awong, H., S. Ibrahim, K. Somo & M. A. Ambak. 2011. Stock Assessment by Swept Area Method in the Darvel Bay, Sabah Malaysia. World Journal of Fish and Marine Sciences. 3 (5). 361-365. Badrudin., Aisyah, & T. Ernawati. 2011. Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub
Area Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 17 ( 1). 11-21. Blaber, J.M.S. 2000. Tropical Estuarine Fishes. Ecology, Exploitation and Conservation. Blackwell Science Ltd. London. 350 p. Budiman. 2006. Analisis Sebaran Ikan Demersal Sebagai Basis Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Di Kabupaten Kendal. Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Tesis. 114 p. Dinas Perikanan Sumatera Selatan. 2007. Statistika Perikanan Propinsi Sumatera Selatan. Palembang. 150 p. Djamali, A & Sutomo. 1999. Kondisi Sosial Ekonomi Budaya dan Perikanan. Ekosistem Perairan Sungai Sembilang Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. p. 67-75. Gaffar, A. K. Rupawan, K. Fattah. M. Jahri & B. Waro. 2006. Riset Perikanan Tangkap Di Perairan Estuaria yang Bermuara Di Selat Bangka. Laporan Teknis. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Pusat Riset Perikanan Tangkapan. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 34 p. Husnah., E. Prianto., S. Aprianto, & N.K. Suryati. 2009. Status Sumberdaya Perikanan Di Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-Api (South Sumatera Eastern Corridor-Secde)”. Laporan Teknis Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Mariana, Palembang. 69 p. Prianto, E & N.K. Suryati. 2010. Komposisi Jenis dan Potensi Sumber Daya Ikan di Muara Sungai Musi. Jurnal Penelitian dan Perikanan Indonesia. 16 (1). 1-8. Prianto, E. 2009. Karakteristik Habitat Lumba-Lumba Bongkok (Sousa chinnese) di Sungai Banyuasin Sumatera Selatan. Forum Perairan Umum Indonesia VI. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Palembang. MSP. p. 279-287. Sparre, P., S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1 : Manual. Diterbitkan Berdasarkan Kerjasama Dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan BangsaBangsa Oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta- Indonesia. 438 p.
5
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 1-8
Suman, A., Husnah., E. Prianto & N.K. Suryati. 2008. Strategi Pengelolaan Perikanan Estuari Sungai Musi. Laporan Teknis. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. 49 p. Sihotang, C & Evawani. 1996. Produktivitas Perairan. Fakultas Perikanan Universitas Riau. Pekanbaru. 41 p.
6
Wibowo, P & C. Gonner. 2001. A Valuation Model of Sembilang National Park. Wetlands InternationalAsia Pacific Indonesia Programme. 27 p.
Komposisi Jenis dan Biomasa Stok Ikan di Sungai Banyuasin (Prianto, E., et al.)
Lampiran 1. Data Komposisi Jenis Ikan-Ikan Di Sungai Banyuasin Appendix 1. Compotition of fishes in Banyuasin river No/Number 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48.
Nama Ikan/ Name of Fish Gulama Keken Miang Buntal mas Bulu ayam Mimi Pepetek Minang (anak senangin) Layur Pirang Bujang Kojor Pari macan Duri Lidah Bilis Lome Buntal pisang Lepu tembaga Waru Cepek Tunjang langit Pari kecus Bawal hitam Permato/puput Keting Kiper Janjan Gabus laut/tematu Bulu ayam air tawar Belut merah Gulama air asin Gulama air tawar Selontok Buntal Lepu Dorek Seluncah Serinding Ikan kapas Buntal Janggut Sepengkah Sebelah Buntal hijau Elang Ulo-ulo Baji-baji Kembung Julung-julung
Nama Latin Ikan/ Scientific Names Johnius belengerii Setipinna taty Lagocephalus lunaris Coilia dussumieri Tachypleus sp Secutor indicius Eleutheronema tetradactylum Trichiurus sp Setpinna breviceps Nibea soldado Urolophus flavomosaicus Hemipimelodus borneensis Cynoglossus lingua Clupeoides borneensis Harpodon nehereus Xenopterus naritus Leptosynanceia asteroblepa Rhinoprenes pentanemus Pampus argentius Triacanthus biaculeatus Hypolophus sephen Parastromateus niger Ilisha elongata Ketengus typus Scatophagus argus Pseudapocryptes lanceolatus Stigmatogobius brocki Coilia lindmani Taenioides cirratus Panna microdon Otolithoides pama Glossogobius giuris Tetraodon nigroviridis Batrachomoeus trispinosus Hemipimelodus borneensis Pseudopocryptes lanceolatus Apogon hyalosoma Gerres kapas Lagocephalus lunaris Polynemus dubius Ambassis gymnocephalus Cynoglossus boeneensis Tetraodon nigriviridis Coius quadrifasciatus Trypauchen vagina Platychepalus indicus Rastrelliger Brachysoma Strongylura strongylura
Kelimpahan/Abundance ** *** * *** * *** * *** ** * * ** ** *** *** ** * * ** * * * *** * * * ** *** * *** *** ** ** * ** * * * * * * * * ** ** * * ***
7
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 1-8
Lampiran 1. Lanjutan…. Appendix 1. Continued... Nama Ikan/ No/Number Name of Fish 49. Teri 50. Sembilang 51. Mirip miang 52. Selontok putih 53. Kakap putih 54. Dukang 55. Buntal 56. Selontok hitam 57. Pari 58. Belut Laut 59. Pirang 60. Sumpit 61. Senangin 62. Baung laut 63. Belanak 64. Belanak 65. Bandeng 66. Tengkorak batu 67. Sebelah 68. Pari 69. Sebelah 70. Parang-parang 71. Udang 72. Udang 73. Udang Burung 74. Udang Putih 75. Udang Windu 76. Udang Udang 77. Udang 78. Udang pepe 79. Udang 80. 81. Udang Galah 82. Udang ket 83. Kepiting 84. Kepiting 85. Kepiting 86. Kepiting Bakau 87. Kepiting 88. Kepiting 89. Kepiting 90. Udang halus 91. Rajungan 92. Ubur-ubur Keterangan/Remarks: * = Kelimpahan Sedikit/rare abundance ** = Kelimpahan Sedang/medium abundance *** = Kelimpahan Tinggi/high abundance
8
Nama Latin Ikan/ Scientific Names Clupeoides borneensis Paraplotasus abilabris Thryssa setirostris Butis butis Lates calcalifer Arius truncantus Xenopterus naritus Bostrychus sinensis Himantura signifer Congresox talabon Setipinna melanochir Toxotes microlepis Eleutheronema tridactylum Mystus gulio Liza tade Liza parmata Chanos chanos Nandus nebulusus Batrachomeus trispinosus Narcine timlei Cynoglossus microlepis Chirocentrus dorab Macrobranchium equidens Exopalaemon vietnamicus Penaeus marquiensis Penaeus indicus Penaeus monodon Metapenaeus sp Parapenaeopsis sp Metapenaeus lysianassa Metapenaeus ensis Metapenaeus affinis Macrobranchium rosenbergii Parapenaeopsis sculptilis Chorybdis fruncata Chorybdis anisodon Chorybdis affinis Scylla serrata Chinoicetes bairdi Harpiosquilla raphidea Varuna Yui Metapenaeus sp Portunus pelagicus Aurelia sp
Kelimpahan/Abundance *** ** ** ** ** ** * * * * * * * * *** *** * * ** * ** ** ** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** ** ** ** *** * ** ** *** * ***
Konservasi Genetik Ikan Betok ….. di Perairan Rawa Kalimantan Selatan (Slamat, et al.)
KONSERVASI GENETIK IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch 1792) DI PERAIRAN RAWA, KALIMANTAN SELATAN Slamat, Marsoedi, Athaillah Mursyid dan Diana Arfiati Dosen pada Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Teregistrasi I tanggal: 10 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 2 Maret 2012; Disetujui terbit tanggal: 5 Maret 2012
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sample ikan betok (Anabas testudineus Bloch 1972) yang berasal dari perairan rawa Kalimantan Selatan, dengan tujuan untuk mendeskripsikan keragaman genetik dan aspek konservasinya dengan metode amplifikasi mtDNA. Proses amplifikasi mtDNA ikan betok terjadi di daerah D Loop. Hasil analisis mt-DNA D Loop ikan betok menunjukkan bahwa, analisis keseimbangan populasi Hardy-Weinberg berkisar antara 0,02 - 0,09, sedangkan haplotipe tertinggi terdapat pada rawa monoton (0,9384), kemudian tadah hujan (0,7111) dan pasang surut (0,6). Heterozigositas ditemukan unik pada populasi rawa monoton (BAAAA) dan rawa pasang surut (BAACA) dan umum di temukan di ketiga ekosistem rawa (AAABA). Ikan betok di bagi menjadi dua stok populasi yaitu populasi rawa monoton dan pasang surut serta stok tadah hujan. Konsep utama dalam konservasi genetik adalah fitness population dimana populasi dipertahankan minimal 500 ekor/kawasan. Untuk meningkatkan keragaman genetik ikan betok, dilakukan dengan cara introduksi individu-individu baru yang memiliki keragaman genetik yang lebih tinggi kedalam populasi lokal, restocking dan membuat kawasan suaka yang dilindungi oleh Dinas Perikanan setempat bersama-sama dengan masyarakat di sekitar perairan rawa tersebut. KATA KUNCI : Ikan betok, mtDNA, konservasi, Perairan Rawa ABSTRACT : Genetic Conservation Of Climbing Perch (Anabas testudineus Block 1792) on Swampy Waters In South Kalimantan. By: Slamat, Athaillah Mursyid and Diana Arfiati The research was conducted using climbing perch samples originated from the swampy waters of the southern Borneo, and the objektive of this study to investigate the genetic diversity and the conservation aspect using mtDNA amplification method. mtDNA amplification process occurs in the D Loop region. The results of the analysis of D-Loop mtDNA of climbing perch showed that, the analysis of Hardy-Weinberg equilibrium population ranged from 0.02 to 0.09, while the highest haplotypes found in swamp bogs (monotonic) (0.9384) then rainfed (0.7111) and tides (0.6). Heterozygosity was found uniquely in the swamp monotonic population (BAAAA) and marsh tides (BAACA) and common in all three ecosystems found in the swampy area (AAABA) . Climbing perch stock divided into two populations monotone and tidal swamp population and rainfed stock. The main concept of genetic conservation is the fitness population where the population is maintained at least 500 tail/region. To increase the genetic diversity of climbing perch, can be done by the introduction of new individuals wich has a higher genetic diversity into the local population, restocking and create reserves of protected areas by the Local Fisheries Authority together with the community around the swampy waters. KEYWORDS : Climbing perch, mtDNA, conservation, Swamp
PENDAHULUAN Upaya eksploitasi terhadap ikan yang kurang memperhatikan kelestarian dan cenderung merusak habitatnya, menyebabkan penurunan tingkat produktivitasnya secara umum. Oleh sebab itu Pemerintah membuat suatu Peraturan PerundangUndangan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya ikan tersebut. Perlindungan serta pemanfaatannya diatur dalam Undang–Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 (Anonim, 2004) dan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan (Anonim, 2007). Salah satu jenis ekosistem perairan lahan basah yang cukup luas yang berada di pulau Kalimantan adalah perairan rawa yang luasnya mencapai + 12 juta hektar (Mackinnon et al., 2001). Secara khusus luas perairan rawa yang ada di Kalimantan Selatan mencapai +1 juta hektar atau sekitar 27% dari luas Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 36.974,50 km2. Perairan rawa tersebar di seluruh Kabupaten yang
Korespondensi Penulis Kantor Jl. A. Yani Km.36 Simpang Empat Banjarbaru Kalimantan Selatan Kotak Pos 6 Telp/Fax. 05114772124, Email:
[email protected] /Rumah Jl. Negara Dipa RT.09 No. 401 Sei Malang Amuntai Kab. HSU
9
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 9-15
ada di Kalimantan Selatan yang dapat dikelompokkan menjadi perairan rawa monoton (452.704 ha), rawa tadah hujan (169.094 ha) dan rawa pasang surut (372.637 ha) (Slamat, 2009).
kelangkaan dan penurunan produktivitas di habitat ekosistem perairan rawa tersebut. Keragaman genetik merupakan bagian dari keragaman hayati yang memiliki pengertian lebih luas, yakni keragaman struktural maupun fungsional dari kehidupan pada tingkat komunitas dan ekosistem, populasi, spesies, dan genetik (Soewardi, 2007). Dalam rangka mempertahankan keragaman hayati, sumber daya genetik memiliki peranan penting karena semakin beragam sumber daya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama, serta semakin tinggi daya adaptasinya terhadap perubahan lingkungan yang semakin besar (Yongshuang et al., 2008).
Banyak jenis ikan yang hidup di ekosistem perairan rawa adalah ikan betok (Anabas testudineus Bloch 1792). Ikan betok merupakan jenis ikan yang mampu hidup di hampir semua tipe ekosistem perairan, bahkan dapat hidup di perairan payau dengan salinitas mencapai 15 ppt (Kottelat et al., 1993). Di Kalimantan Selatan pada khususnya, ikan betok merupakan jenis ikan yang sangat digemari oleh masyarakat, selain rasa dagingnya yang gurih juga harganya tergolong mahal yaitu mencapai Rp. 50.000 – 80.000 yang berukuran 5–10 ekor/kg. Karena harganya yang tergolong tinggi tersebut, maka jenis ikan ini banyak diburu oleh para nelayan sampai mengalami tangkapan berlebih sehingga populasi dan produktivitas ikan betok di rawa menurun secara drastis.
Upaya untuk mengkaji keragaman polimorfisme menggunakan DNA mitokondria dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dilakukan terhadap populasi ikan betok yang hidup di tiga tipe ekosistem rawa yaitu rawa monoton, rawa tadah hujan dan rawa pasang surut, yang ada di wilayah Kalimantan Selatan.
Pada saat ini produktivitas ikan di perairan rawa mengalami tren penurunan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti penangkapan ikan dengan alat dan bahan berbahaya, penangkapan anak-anak ikan dalam jumlah yang besar untuk dikonsumsi, pembukaan lahan rawa untuk perkebunan kelapa sawit, pembuangan limbah yang cukup besar akibat aktivitas industri, rumah tangga, dan aktivitas pertambangan batu bara yang sebagian limbahnya yang tidak tertampung mengalir ke perairan rawa. Dalam jangka panjang apabila aktivitas pencemaran tersebut tidak ditangani secara serius, maka akan mengancam seluruh biota di perairan rawa tersebut. Oleh sebab itu diperlukan suatu upaya konservasi genetik ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi seperti betok untuk mengatasi dan mencegah dari
BAHAN DAN METODE Proses penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2010 sampai dengan Juli 2011. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sentrifugasi, vortex, pipet micro, inkubator, vakum, alat elektroforesis, kamera polaraid, mesin PCR. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan diantaranya yaitu botol sample, tabung, eppendrop, alkohol, aquades, Tnes, protein kinase, fenol klorofom, DNA rehydration solution, enzim restriksi (Rsa1, Mbo1, Hae111, Hind111, dan HincVI) dan agar. Lokasi pengambilan sampel di tiga tipe ekosistem perairan rawa dapat dilihat pada gambar 1.
Kalimantan Tengah Kalimantan Timur
3,0
1
Lintang
1,5
2
1,5
3 Kota Baru
Laut Jawa 3,0
111
112
Bujur
113
114
Gambar 1. Peta pengambilan sampel di rawa Kalimantan Selatan Figure 1. Map of sampling sites in the swampy areas of South Kalimantan Keterangan/Remarks :
10
1. Rawa monoton (bogs), 2. Rawa pasang surut (marsh), 3. Tadah hujan (swamp)
Konservasi Genetik Ikan Betok ….. di Perairan Rawa Kalimantan Selatan (Slamat, et al.)
Pengambilan sampel dilakukan di wilayah rawa monoton di Kabupaten Hulu Sungai, Rawa Tadah hujan di Kabupaten Banjar dan rawa pasang surut di Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Analisis sampel DNA dilakukan di Laboratorium Molekoler Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Sempur-Bogor. Karakterisasi Genotip Setiap Sampel diambil di beberapa titik kawasan rawa yang menjadi objek pengambilan sampel. Jumlah sample per kawasan rawa 10 ekor, jadi jumlah sampel dari tiga kawasan rawa tersebut adalah 30 ekor. Sampel dipilih sehingga dapat mewakili populasi dalam habitatnya dengan melihat kondisi tubuh yaitu; normal (sirip, sisik, utuh) panjang dan beratnya seragam.
Elektroforesis Elektroforesis merupakan suatu metode untuk memisahkan fraksi suatu zat, yang berdasarkan migrasi partikel bermuatan atau ion–ion mikro molekul, di bawah pengaruh medan listrik dengan media gel agarose. Sekuen hasil restriksi merupakan partikel bermuatan negatif yang dapat dipisahkan melalui elektroforesis pada gel agarose (Garg et al., 2009). Gel agarose diletakkan pada alat elektroforesis, kemudian ditambahkan larutan TBE 1x pada alat elektroforesis sampai tanda tera atau sampai gel tenggelam. Elektroforesis berlangsung selama + 30 menit pada tegangan 100 volt, pada suhu ruangan. Selanjutnya gel agarose diamati diatas lampu ultraviolet, dan didokumentasikan lewat kamera polaroid khusus. Analisis Data
Ekstraksi Sumber sel yang digunakan untuk ekstraksi DNA ikan betok adalah jaringan otot daging dan ekornya, dengan masing–masing sampel yang digunakan sebanyak 5–10 mg, dengan menggunakan metode standar phenol-chloroform (Nugroho, 1997). Ekstraksi DNA terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap penghancuran sel, tahap eliminasi RNA, tahap pengendapan DNA, dan tahap hidrasi DNA.
Keragaman haplotype dianalisis dengan cara melihat proporsi jumlah individu heterozigot dari seluruh individu dalam sampel. Jarak genetik dihitung dengan cara menghitung frekuensi haplotipe dan nilai varian genetik antar populasi. Analisis data lebih rinci menggunakan sofware dengan program TFPGA (Tools for Population Genetic Analysis). HASIL DAN BAHASAN
Amplifikasi Dengan Teknik PCR
Amplifikasi mt-DNA
Polymerase Chain Reaction (PCR), secara garis besar terdiri dari tiga tahap utama, yaitu tahap denaturasi untuk memisahkan DNA menjadi utas tunggal (single strain), tahap annealing merupakan proses penempelan primer DNA baru pada utas tunggal yang telah terpisah dan tahap ekstensi yang merupakan proses pemanjangan utas DNA baru (Baker & Birt, 2000). Proses amplifikasi menggunakan primer universal mt1 dengan urutan sekuen 5’ATAATAGGGTATCT AATCCTAGTTT 3’.
Amplifikasi mt-DNA ditujukan pada daerah mtDNA D Loop (displacement loop), yaitu sekuen yang tidak berkode atau daerah kontrol (control region), yang fungsinya mengatur proses replikasi dan transkripsi seluruh genom metokondria. Amplifikasi menggunakan primer universal mt1, dengan urutan nukleotidanya 5’ATAATAGGGTATCTAATCCTAGTTT3’, menghasilkan fragmen mt-DNA antara 1600 - 3375 bp.
Restriksi Sekuen yang diperoleh dengan cara pemotongan (restriction) menggunakan enzim restriksi endonuklease, dengan cara menambahkan 1-2 ì l enzim kedalam mikrotube berisi sekuens yang telah diamplifikasi (Xiao et al., 2008). Enzim restriksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah HindIII, Rsa1, HincVI, Mbo1 dan HaeIII, dan markernya 100 bp leader. Setelah itu dilakukan proses elektroforesis pada gel agarosa 1,5%, dan hasilnya dapat dilihat di bawah sinar ultraviolet.
Frekuensi Komposit allel dan Keragaman Haplotipe (Intrapopulasi) Distribusi frekwensi dan identifikasi genotipe (site restriksi) mt-DNA D Loop hasil digesti dengan 5 enzim restriksi disajikan pada Tabel 1. Keragaman genetik intrapopulasi berdasarkan analisis haplotipe pada ketiga populasi ikan betok di peroleh 6 komposit haplotipe. Tiap populasi terdiri dari 2 hingga 5 komposit haplotipe (Tabel 1), haplotipe terendah pada rawa pasang surut (2) dan haplotipe tertinggi terdapat di rawa monoton (5).
11
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 9-15
Tabel 1. Frekwensi komposit haplotipe mt-DNA D Loop ikan betok yang di potong dengan lima jenis enzim endonuklease yaitu RsaI, MboI, HaeIII, HindIII, dan HincVI Table 1. The composite haplotype frequencies of mt-DNA D Loop of Climbing perch which is cut by five types of endonuclease enzyme, RsaI, MboI, HaeIII, HindIII, and HincVI Tipe Komposite Haplotipe / Total type composite haplotype AAAAA 3 AAABA 8 AAACA 5 BAAAA 2 BABDB 1 BAACA 3 ∑ Sampel 22 ∑ Haplotipe Keragaman Haplotipe Diversity haplotype
Berdasarkan analisis keseimbangan populasi Hardy-Weinberg menghasilkan nilai P-value >0,01 yaitu berkisar antara 0,02 hingga 0,09, sedangkan rerata heterozigositas bervariasi antara 0,1347 sampai 0,3758. Hal menunjukkan bahwa dengan keyakinan sekurang-kurangnya 90 hingga 98%, dikatakan frekwensi haplotipe intrapopulasi terdestruksi sesuai dengan keseimbangan Hardy-Weinberg, dan peningkatan heterozigositas diduga terkait dengan mekanisme alamiah aliran gen melalui interbreeding. Menurut Wang et al., (2008) peningkatan keragaman genetik dapat terjadi karena adanya genetic drift dari suatu populasi yang besar dalam ekosistem yang ditempatinya. Populasi ikan betok dari rawa monoton terdiri dari lima komposit dengan proporsi berkisar antara 0,17– 0,32, rawa tadah hujan ada 3 komposit dengan proporsi 0,2–0,4 dan rawa pasang surut meliputi 2 komposit dengan persentasi 0,5 (Tabel 1). Proporsi keragaman haplotipe intrapopulasi pada fragmen mtDNA D Loop ikan betok antara 0,5-0,782. Populasi ikan betok yang berasal dari rawa monoton memiliki tingkat keragaman yang paling tinggi yaitu 0,9384 kemudian diikuti oleh ikan betok dari rawa tadah hujan dengan tingkat keragaman 0,7111 dan yang terendah adalah populasi ikan betok yang berasal dari rawa pasang surut dengan tingkat keragaman 0,6. Komposit haplotipe BAAAA dan BABDP ditemukan unik pada populasi ikan betok rawa monoton, demikian pula BAACA pada rawa pasang surut. Komposite
12
Monoton / bogs 0,17 0,17 0,17 0,32 0,17 6 5 0,9384
Tadah hujan / marshs 0,2 0,4 0,4
10 3 0,7111
Pasang surut / swamps 0,5
0,5 6 2 0,6
haplotipe AAABA terdistribusi pada ketiga populasi dengan frekwensi tertinggi pada populasi ikan betok rawa monoton dan 2 komposite AAAAA dan AAACA hanya terdistribusi pada populasi ikan rawa monoton dan rawa tadah hujan, yang tidak ditemukan di populasi rawa pasang surut. Tingginya komposite haplotipe ikan betok yang berasal dari rawa monoton lebih disebabkan oleh adanya hibridisasi ikan betok dari rawa pasang surut atau rawa tadah hujan yang terjadi di rawa monoton, karena rawa monoton lebih kaya dengan sumber nutrisi dan sumber air tetap stabil meskipun datang musim kemarau. Karakter lingkungan perairan yang ditempati oleh ikan dapat juga memacu variasi heterozigositas pada ikan yang lama tinggal dalam perairan tersebut (Yu et al., 2009). Analisis Jarak Genetik Nei (Interpopulasi) Rerata jarak genetik Nei antara ketiga populasi berkisar antara 0,068-0,106. Jarak genetik terkecil adalah antara populasi rawa tadah hujan dan pasang surut (0,0684), dan yang terbesar jarak genetik antara rawa tadah hujan dengan rawa monoton (0,1060) Hasil analisis keragaman interpopulasi, menunjukkan penstrukturan genetik, populasi ikan betok menjadi dua unit stok populasi yaitu pemisahan populasi ikan betok yang berasal dari ekosistem perairan rawa monoton dan rawa pasang surut dengan
Konservasi Genetik Ikan Betok ….. di Perairan Rawa Kalimantan Selatan (Slamat, et al.)
Monoton (Mtn) Pasang surut (Pst) Tadah hujan (Tdh)
Gambar 2. Dendrogram ikan betok dari tiga tipe ekosistem perairan rawa jarak genetik Nei Figure 2. Dendrogram of climbing perch from three types of aquatic swampy ecosystem based on Nei’s genetic distance stok populasi ikan betok yang berasal dari ekosistem perairan rawa tadah hujan (Gambar 2). Distribusi Ikan Betok Ekosistem perairan rawa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kualitas air, jenis hewan dan tumbuhan serta letak ekosistem perairan rawa terhadap aliran sungai atau adanya intrusi air laut. Kondisi lingkungan yang berbeda-beda, menyebabkan pola genotipe yang terekspresi berbeda–beda. Menurut (Chen et al., 2008), proses perubahan genetik yang diakibatkan oleh lingkungan merupakan sifat adaptasi prokariot atau eukariot untuk mempertahankan hidup terhadap goncangan lingkungannya. Pola penyebaran ikan betok yang ada di ekosistem perairan rawa Kalimantan Selatan mengikuti jalur Sungai Barito yang membentang di sepanjang tepi perairan rawa. Migrasi ikan betok terjadi pada awal musim kemarau atau pada puncak musim penghujan mengikuti arus Sungai Barito. Migrasi ikan betok terjadi disebabkan oleh sumber air yang menipis, pencemaran, ketersedian pakan yang kurang, rangsangan reproduksi serta serangan hama dan penyakit ikan (Slamat, 2009). Pola penangkapan ikan betok yang tidak memperhatikan kelestarian habitatnya, seperti penggunaan bahan beracun serta penggunaan alat tangkap yang berbahaya seperti strum, merupakan salah satu faktor yang mendorong ikan betok untuk melakukan migrasi ke tempat yang lebih aman dari gangguan predator atau bahan pencemar beracun. Gangguan terhadap populasi ikan betok terjadi di semua tipe ekosistem perairan rawa, terlebih lagi terhadap ekosistem perairan rawa tadah hujan dimana areal ekosistem lebih sempit dan perairannya lebih dangkal dibandingkan dengan rawa lainnya.
Migrasi ikan betok yang melakukan reproduksi di rawa monoton, cenderung tidak akan kembali ke asalnya lagi, ini disebabkan kondisi lingkungan rawa monoton lebih stabil, jarak antar rawa sangat jauh dan jumlah pakan yang tersedia lebih banyak. Jika dikaitkan dengan keragaman genetiknya, populasi rawa monoton lebih tinggi, dibandingkan dengan rawa lainnya karena masing-masing individu membawa variasi genetik yang berbeda dalam satu unit reproduksi. Populasi ikan betok dari rawa tadah hujan dan rawa pasang surut merupakan populasi asal yang bermigrasi ke rawa monoton mengikuti jalur Sungai Barito. Strategi Konservasi Genetik Sumberdaya genetik memiliki peranan yang fundamental dalam konteks krisis keragaman hayati. Suatu spesies ikan yang memiliki tingkat keragaman genetik yang tinggi, akan semakin mampu untuk menghadapi perubahan lingkungan yang terjadi setiap saat sehingga tetap lestari. Selain itu sumberdaya genetik dimanfaatkan oleh manusia karena keberadaannya memiliki peran untuk memberdayakan dan memperbaiki produktivitas suatu spesies sehingga bernilai ekonomis untuk mendukung ketahanan pangan. Konsep utama dalam konservasi genetik adalah fitness population. Adanya potensial fitness yang tergambar dari hasil analisa mt-DNA D Loop ikan betok yang memiliki haplotipe yang cukup besar (Tabel 1), mengindikasikan kemampuannya untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan pengembangan dalam lingkungan yang terkontrol sebagai ikan budidaya. Potensial fitness ditentukan oleh keragaman genetik, sedangkan keragaman genetik sangat ditentukan oleh populasi efektif dan berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain inbreeding (silang dalam), mutasi, migrasi dan genetic drift . Salah satu tujuan jangka panjang konservasi genetik adalah mempertahankan keragaman genetik yang cukup untuk adaptasi, keberhasilan ekspansi serta perbaikan kembali populasi ikan betok yang mengalami kerusakan habitatnya. Menurut Li et al., (2009), untuk dapat mempertahankan keragaman genetik, salah satu upaya yang penting adalah menjaga agar populasi efektif tetap tinggi. Populasi efektif yang disarankan oleh Frankham et al., (2002) sebesar 500 ekor untuk dapat mempertahankan keragaman genetik suatu populasi ikan di alam.
13
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 9-15
Mempertahankan keragaman genetik suatu populasi ditengah meningkatnya tekanan eksploitasi maupun pencemaran lingkungan perairan tidaklah mudah. Kondisi ini jika berlangsung dalam kurun waktu lama dan terus–menerus berlangsung, maka tidak mustahil populasi ikan betok khususnya yang berada di perairan rawa akan menurun keberadaannya, dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi langka. Upaya rehabilitasi terhadap kondisi menurunnya keragaman genetik suatu populasi, dapat dilakukan secara preventif diantaranya adalah membuat suatu kawasan reservat, mengurangi tingkat ekploitasinya, mengendalikan pencemaran dan kerusakan habitat populasi ikan di perairan rawa tersebut. Untuk meningkatkan keragaman genetik ikan betok, dapat dilakukan dengan cara restocking individu-individu baru yang memiliki keragaman genetik yang lebih tinggi kedalam populasi lokal. Proses restocking ini dimungkinkan untuk ikan-ikan yang telah berhasil di domestikasi. Apabila proses restocking ini tidak memungkinkan oleh karena belum ada ikan betok yang berhasil di domistikasi atau jumlahnya relatif sedikit untuk melakukan restocking, maka upaya yang ditempuh untuk konservasi genetiknya adalah, membuat suatu kawasan reservat yang dilindungi oleh Dinas Perikanan setempat bersama-sama dengan masyarakat sekitarnya. Kawasan reservat ini berguna untuk menjaga kelangsungan hidup populasi ikan betok, meningkatkan reproduksi dan menjaga keseimbangan genetiknya agar tetap tumbuh dan berkembang di habitatnya.
dengan cara restocking individu-individu baru yang memiliki keragaman genetik yang lebih tinggi kedalam populasi lokal, restocking, dan membuat kawasan reservat yang dilindungi oleh Dinas Perikanan Setempat bersama-sama dengan masyarakat di sekitar perairan rawa tersebut. PERSANTUNAN Konservasi Genetik Ikan Betok (Anabas Testudinius Bloch 1792) Di Perairan Rawa Kalimantan Selatan. Ucapan terimakasih pada UNLAM yang telah membantu sebagian dana dari penelitian dan teman– teman yang telah berpartisifasi dalam kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan. DPRI dan Presiden RI. Anonim. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 Tentang konservasi sumber daya ikan. Presiden RI. Baker, A.J., & P., Birt. 2000. Polymerase Chain Reaction Molecular Methods In Ecology. Blackwell Science Ltd. Oxford. p. 50-63. Chen, S. T., Liu. Z., Li & T, Gao. 2008. Genetic population structuring and demographic history of red spotted grouper (Epinephelus akaara) in South and East China Sea. African Journal of Biotechnology. 7 (20). 3554-3562.
KESIMPULAN Amplifikasi mtDNA ikan betok terjadi di daerah D Loop. Hasil analisis mt-DNA D Loop ikan betok menunjukkan bahwa, analisis keseimbangan populasi Hardy-Weinberg berkisar antara 0,02-0,09, sedangkan haplotipe tertinggi terdapat di rawa monoton (0,9384), kemudian tadah hujan (0,7111) dan pasang surut (0,6). Heterozigositas ditemukan unik pada populasi rawa monoton (BAAAA) dan rawa pasang surut (BAACA) dan umum ditemukan di ketiga ekosistem rawa (AAABA). Ikan betok dibagi menjadi dua stok populasi yaitu populasi rawa monoton dan pasang surut serta populasi tadah hujan. Konsep utama dalam konservasi genetik adalah fitness population dimana populasi dipertahankan minimal 500 ekor/kawasan. Untuk meningkatkan keragaman genetik ikan betok, dapat dilakukan
14
Frankham, R., Ballou, J.D., & Briscoe, D.A. 2002. Introduction To Conservation Genetics. Cambrige University Press. 312 p. Garg, K.R.N., Silawat. P., Sairkar. N., Vijay N.N., & Mehrotran. 2009. RAPD analysis for genetic diversity of two populations of Mystus vittatus (Bloch) of Madhya Pradesh, India. African Journal of Biotechnology. 8 (17). 4032-4038. Kottelat., Anthony, J., Sri, N.K., & Soetikno, W. 1993. The Freshwater Fishes of western Indonesia and Sulawesi. Periplus, Singapore. 650 p. Li, L.Y., Xiao, Y.K., Zi, N.Y., Jie, K. Shen, M & Li, M.C. 2009. Genetic diversity and historical demography of Chinese shrimp Feneropenaeus chinensis in Yellow Sea and Bohai Sea based on mitochondrial DNA analysis. African Journal of Biotechnology. 8 (7). 1193-1202.
Konservasi Genetik Ikan Betok ….. di Perairan Rawa Kalimantan Selatan (Slamat, et al.)
Mackinnon, K., Muhammad, H., H, Halim., & A, Mangalik. 2001. Ekologi Kalimantan. Prenhalindo, Jakarta. p. 800 - 806. Nugroho, E. 1997. Practical Manual On Detection Of DNA Polymorphism In Fish Population Study. In Bulletin Of Marine Science And Fisheries. Kochi University, Japan. p. 109 - 129. Slamat. 2009. Keanekaragaman Genetik Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch 1792) pada Tiga Tipe Ekosistem Perairan Rawa di Provinsi Kalimantan Selatan. Tesis. IPB Press. 91 p. Soewardi, K. 2007. Pengelolaan Keragaman Genetik Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. IPB Press. 153 p.
Wang, M.Z., Xiumei, Y., Tianyan, H., Zhiqiang, Y., Takashi & Tianxiang, G. 2008. Genetic diversity in the mtDNA control region and population structure in the Sardinella zunasi Bleeker. African Journal of Biotechnology. 7 (24). 4384-4392. Xiao, Y.T., Masakazu, Y., Takashi, Z., Yan, G., Tianxiang, Y., Mamoru & S, Yasunori. 2008. Genetic variation and population structure of willowy flounder Tanakius kitaharai collected from Aomori, Ibaraki and Niigata in Northern Japan. African Journal of Biotechnology. 7 (21). 38363844. Yongshuang, X., Masakazu, T., Takashi, Y., Yan, Z., Tianxiang, G., Mamoru, Y & Yasunori, S. 2008. Genetic variation and population structure of willowy flounder Tanakius kitaharai collected from Aomori, Ibaraki and Niigata in Northern Japan. African Journal of Biotechnology. 7 (21). 38363844. Yu, H.D., Gui-ju, H.G., Yi-hui., Xiao-yu, W &Ai-min, W. 2009. Genetic characteristics of hybrid populations derived by crossing Chinese and Indian pearl oysters, Pinctada fucata, based on AFLP markers. African Journal of Agricultural Research. 4 (7). 659-66.
15
Kepadatan Stok dan Biomassa……….. di Sub Area Aru, Laut Arafura (Hargiyatno, I.T., et al.)
KEPADATAN STOK DAN BIOMASSA SUMBERDAYA UDANG WINDU (Penaeus semisulcatus) DAN DOGOL (Metapenaeus endeavouri) DI SUB AREA ARU, LAUT ARAFURA Ignatius Tri Hargiyatno dan Bambang Sumiono Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 2 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 26 Februari 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Februari 2012
ABSTRAK Perikanan udang di Laut Arafura telah mengalami pemanfaatan berlebih sejak awal tahun 2000an. Penelitian ini bertujuan untuk menduga laju tangkap, kepadatan stok dan biomassa udang windu (Penaeus semisulcatus) dan dogol (Metapenaeus endeavouri) di Laut Arafura. Metode luas sapuan digunakan untuk menduga kepadatan stok dan biomassa udang. Hasil observasi dengan mengikuti operasi penangkapan oleh kapal komersial didapatkan distribusi udang P. semisulcatus dan M. endeavouri terutama terdapat di perairan Aru (Sub Area VI) dengan dominasi 70% dari seluruh udang hasil tangkapan. Laju tangkap udang P. semisulcatus adalah 13,8 kg/haul atau 5,9 kg/jam dengan kepadatan stok 110,9 kg/km2 dan biomassa di perairan Aru sebesar 4.845 ton. Laju tangkap M. endeavouri adalah 14,1 kg/haul atau 6,1 kg/jam dengan kepadatan stok 114,5 kg/km2 dan biomassa sebesar 4.995 ton. Total biomassa udang P. semisulcatus dan M.endeavouri adalah 9.840 ton. KATA KUNCI: Laju tangkap, biomassa, sumberdaya udang, overfishing, sub area Aru, Laut Arafura ABSTRACT: Stock Density and Biomass Of Green Tiger (Penaeus semisulcatus) and Blue Tail Prawns (Metapenaeus endeavouri) In The Sub Area Aru, Arafura Sea. By: Ignatius Tri Hargiyatno and Bambang Sumiono Shrimp fishery in the Arafura sea has been over exploited since the early decade of 2000.The objective of this research is to assess catch rate, stock density, and biomass of green tiger prawn (Penaeus semisulcatus) and tail prawn (Metapenaeus endeavouri) in the Arafura Sea. Swept area method was used to assess stock density and biomass of prawn resoures in the Arafura sea. The results showed that distribution of P. semisulcatus and M. endeavouri in Aru waters dominated by 70% of the whole prawn catch. Catch rate of P. semisulcatus was 13,8 kg/haul or 5,9 kg/hours, and stock density 110,9 kg/km2 and biomass estimate was 4.845 tons. Catch rate estimation of M. endeavouri was 14,1 kg/haul or 6,1 kg/hours, and stock density 114,5 kg/km2 and biomass estimate was 4.995 ton. Total biomass P. semisulcatus and M. endeavouri were 9.840 ton. KEYWORDS: Catch rate, biomass, prawn resources, overfishing, sub area Aru, Arafura Sea.
PENDAHULUAN Udang windu dan udang dogol merupakan anggota dari udang famili Penaeidae (selanjutnya disebut udang penaeid) yang mempunyai nilai ekonomis penting. Terdapat 2 jenis udang windu yang banyak tertangkap di Laut Arafura yaitu P. semisulcatus (Green tiger prawn) dan Penaeus monodon (Black tiger prawn). Dari sejumlah jenis udang dogol, dua diantaranya yaitu Metapenaeus ensis (Endeavour prawn) dan Metapenaeus endeavouri (Blue tail prawn) merupakan jenis yang penting. Berdasarkan data Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon (2009), nilai ekspor udang paneid tahun 2008 mencapai 54% dari total ekspor udang dan ikan. Produksi udang windu dan dogol berkontribusi sebesar 60% dari total produksi udang di tahun 2008. Data Statistik Perikanan Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta Utara e-mail:
[email protected];
[email protected]
Tangkap Indonesia 2008 menunjukkan produksi perikanan tangkap untuk udang windu dan dogol berkontribusi lebih dari 50% terhadap total produksi udang di Indonesia. Hasil Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Indonesia Tahun 2001 yang merupakan kerjasama antara Pusat Riset Perikanan Tangkap (PRPT), Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa sumberdaya udang paneid di Laut Arafuru tingkat pemanfaatannya sudah tinggi (mendekati 80% dari nilai potensi) atau melebihi potensi lestarinya (Badrudin et al., 2002). Berdasarkan rasio antara produksi potensial dan MSY menunjukkan pemanfaatan berlebih (over fishing) terhadap stok udang terjadi pada tahun 1992, 1996, dan tahun 1997
17
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 17-25
hingga 2005 (Hufiadi et al., 2011). Oleh karena itu pengkajian keberadaan sumberdaya udang perlu diketahui guna pengelolaan sumberdaya udang di Laut Arafura. Sampai saat ini belum banyak dilakukan penelitian terutama tentang kepadatan stok dan biomass menurut jenis (kelompok jenis) dan sub area di Laut Arafura. Survei trawl dasar dapat digunakan untuk monitoring stok udang dengan menduga kepadatan dari udang tersebut. Metode ini diterapkan melalui survei pukat dasar (bottom trawl survey) di mana ratarata hasil tangkapan (dalam ukuran bobot atau jumlah ikan) per satuan upaya atau per satuan luas, digunakan sebagai indeks kelimpahan (Monintja & Tampubolon, 1989). Metode ini termasuk kedalam katagori metode holistik (holistic method), karena hasil yang diperoleh merupakan suatu besaran tanpa mempertimbangkan struktur populasi dan parameter populasi yang membentuk (generate) stok tersebut (Badrudin, 2010). Besaran stok diperlukan untuk pengendalian pemanfaatan dalam pengelolaan perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis laju tangkap, kepadatan stok dan biomassa udang windu (Penaeus semisulcatus) dan udang dogol (Metapenaeus endeavouri) di Laut Arafura. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian dalam menentukan kebijakan pemanfaatan sumberdaya udang di Laut Arafura. BAHAN DAN METODE Pengumpulan data laju tangkap dan posisi penangkapan udang windu dan udang dogol diperoleh melalui observasi mengikuti penangkapan udang dengan kapal komersial KM Soerya-82 pada bulan April-Juni 2008. Komposisi hasil tangkapan udang diperoleh dari KM Soerya-83 pada lokasi dan waktu yang bersamaan. Kedua kapal tersebut milik salah satu perusahaan Pukat Udang yang berbasis di Ambon. Dimensi kedua kapal tersebut sama, yaitu panjang (LOA) 22,56 m, lebar (B) 7,79 m dan dalam (D) 4,26 m, berbobot 166 GT dengan mesin merk
18
Caterpillar Diesel 402 HP/300 kW. Kapasitas palkah 25 ton. Jumlah anak buah kapal masing-masing 16 orang. Alat tangkap yang digunakan adalah trawl udang ganda (double rigs trawl) milik KM Soerya-82. Berdasarkan pengukuran alat tangkap di dapat panjang tali ris atas (head rope/HR) 20 m. Panjang HR antara jaring yang berada di sisi kiri dan kanan kapal sama karena memiliki kontruksi jaring yang sama (Gambar 1). Daerah penangkapan yang menjadi daerah penelitian adalah di perairan Laut Arafura (WPP-RI 718) di sub Area IV dan sub Area VI (Gambar 2). Waktu yang digunakan untuk menghela jaring berkisar antara 2-2,5 jam. Hal ini disesuaikan dengan hasil tangkapan pada jaring uji coba (try net) dan keadaan/posisi jaring pada saat penarikan (towing). Waktu penarikan jaring rata-rata adalah 2,4 jam. Pencatatan posisi kapal, waktu operasi, kecepatan kapal, kedalaman perairan dan jumlah hasil tangkapan dicatat dalam bentuk fishing log book. Data hasil tangkapan udang dikelompokkan berdasarkan jenis dan posisi penangkapannya. Luas sapuan trawl (km 2 ) dihitung dengan mengalikan jarak sapuan trawl (km) dengan panjang tali ris atas dan konstanta/fraksi tali ris atas (m), yang memiliki panjang ris yang sama antara jaring sisi kiri dengan kanan kapal untuk setiap haul. Metode ini dikenal dengan nama swept area (Spare & Venema,1998). Untuk mencari luas area yang disapu jaring menggunakan persamaan: a = D x hr x X2 ............................................(1) D = v x t .....................................................(2) keterangan: a = luas jalur yang dilalui jaring (km2); hr = panjang tali ris atas (km); X2 = koefisien terbukanya mulut jaring (=0,5)(Pauly, 1980); D = jarak sapuan (km); V = kecepatan kapal waktu haul (km/jam).
Kepadatan Stok dan Biomassa……….. di Sub Area Aru, Laut Arafura (Hargiyatno, I.T., et al.)
HR: 20 m
GR: 24 m
12x1p5b.1p6 b
1p2b 60
60 2m
2m
4.5m
170
PA 210 d 30 # 60mm
1p2b 1m
120
6.5 m
5m
1p2b all p
1m PA 210 d 30 # 60mm
20
20
60
5m
250
60
250 PA 210 d 30 # 60mm
PA 210 d 30 # 60mm
200 200
200
200
all p 1p2b
1p2b 30
45 150 PA 210 d 30 # 40mm
1p2b
170
1p2b
45 30
Gambar 1. Rancang bangun pukat udang (trawl) di KM. Soerya 82 Figure 1. Design of shrimp trawl used by MV. Soerya 82
Gambar 2. Peta daerah penelitian (Naamin, 1984) Figure 2. Map of research area (Naamin, 1984)
19
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 17-25
Laju tangkap diperoleh dengan cara membagi jumlah hasil tangkapan dengan waktu yang diperlukan untuk menghela jaring atau jumlah haul. Laju tangkap persatuan area dapat diketahui dengan menggunakan persamaan:
kepadatan stok dari seluruh haul dengan luas area dari bagian penelitian dibagi dengan fraksi kemampuan ikan meloloskan diri dari sapuan jaring, melalui persamaan:
(Cw/a) x A ...........................................(5) X1 keterangan: B = biomassa di suatu area (ton); A = luasan seluruh area yang disurvei (km2). B=
.................................................. (3) keterangan: Cw = hasil tangkapan (kg); t = durasi waktu (jam).
HASIL DAN BAHASAN
Nilai rata-rata laju tangkap dan kepadatan stok dari seluruh hauling dihitung dengan cara mencari nilai rata-rata dari laju tangkap persatuan area dikalikan dengan fraksi dari ikan yang dapat meloloskan diri dari sapuan jaring (escapement factor) sehingga diperoleh persamaan: =
/ X1 kg/km2.............................................(4)
keterangan: = kepadatan stok (kg/km2); X1 = escapement factor (= 0,5). Dugaan biomassa udang dari seluruh area penelitian dihitung dengan mengalikan rata-rata
1. Komposisi dan Penyebaran Hasil Tangkapan Udang Hasil tangkapan KM. “Soerya-83” selama bulan April-Juni 2008 pada 162 stasiun tangkapan yang tersebar di perairan Dolak dan Aru diperoleh total hasil tangkapan udang penaeid sebanyak 7.240,5 kg. Di perairan Dolak dilaksanakan operasi penangkapan sebanyak 113 haul selama 15 hari dengan jumlah hasil tangkapan udang 5.564,4 kg. Di perairan Aru dilaksanakan operasi penangkapan sebanyak 49 haul selama 8 hari dengan jumlah hasil tangkapan udang 1.676,1 kg. Dengan demikian, hasil tangkapan udang penaeid di perairan Dolak adalah 371 kg/hari dan 49,2 kg/haul. Hasil tangkapan udang di perairan Aru lebih sedikit yaitu 209,5 kg/hari dan 34,2 kg/haul (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi hasil tangkapan udang KM.Soerya-83 di Laut Arafura, April-Juni 2008 Table 1. Prawn catch composition of MV. Soerya-83 in the Arafura Sea, April-June 2008
No.
Jenis udang/ Prawn species
1
Udang Windu (Penaeus semisulcatus) 2 Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) 3 Udang Dogol (Metapenaeus ensis) 4 Udang dogol (Metapenaeus endeavouri) Udang krosok (Solenocera spp. dan 5 Parapenaeopsis spp.) Total (Total catch) Hasil tangkapan/hari (Catch/day) Hasil tangkapan/tarikan (Catch/haul) Keterangan/Remarks : - (tidak tertangkap/no catch)
20
Hasil tangkapan (kg) / Catch (kg) Dolak Aru (15 hari/day, 113 haul) (8 hari/day, 49 haul) Jumlah/ Jumlah/ % % Catch Catch -
-
512,5
31
3460
62
130,8
8
390,4
7
-
-
-
-
693,6
41
1717
31
5564,4
100 371 49,2
339,2
20
1676,1
100 209,5 34,2
Kepadatan Stok dan Biomassa……….. di Sub Area Aru, Laut Arafura (Hargiyatno, I.T., et al.)
Secara keseluruhan terdapat 5 jenis udang yang tertangkap dan dimanfaatkan secara komersial untuk ekspor. Di perairan Dolak tertangkap 3 kelompok jenis udang yaitu udang jerbung (Penaeus merguiensis) sebanyak 62% dari total hasil tangkapan udang, diikuti oleh udang krosok (Parapenaeopsis spp. dan Solenocera spp.) sebanyak 31% dan udang dogol (Metapenaeus ensis) 7%. Tidak tertangkap kelompok jenis udang windu (Penaeus semisulcatus). Komposisi hasil tangkapan di perairan Aru didominasi oleh udang dogol (Metapenaeus endeavouri) sebanyak 41% dari total hasil tangkapan udang, sedangkan udang windu (Penaeus semisulcatus) hanya 30%, udang krosok (Parapenaeopsis spp dan Solenocera spp.) 20% dan udang jerbung (Penaeus merguiensis) paling sedikit yaitu 8%. Udang krosok yang mendominasi sama dengan di perairan Dolak, yaitu jenis Parapenaeopsis spp. Dengan demikian maka sekitar tujuh puluh persen (70%) dari hasil tangkapan udang pada saat survei didominasi oleh udang windu dan udang dogol. Data dari Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Maluku menunjukkan produksi tahunan kelompok udang jerbung dalam kurun waktu 1990-2008 cenderung menurun, sedangkan udang windu sedikit meningkat dan udang dogol mendatar (Sumiono, 2011). Hal ini kemungkinan diakibatkan konsentrasi
penangkapan kapal Pukat Udang yang berbasis di Ambon berada di perairan Aru. Perubahan hasil tangkapan kemungkinan terjadi akibat tekanan terhadap sumberdaya tertentu yang diekploitasi secara berlebih (Wedjatmiko et al, 2009). KM. Soerya-82 beroperasi selama 13 hari penangkapan dengan 97 kali haul di perairan Aru. Penyebaran daerah penangkapan udang windu (P.semisulcatus) dan udang dogol (M.endeavouri) ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4. Gambaran yang sama juga ditunjukkan oleh KM. Soerya-83, dimana konsentrasi daerah tertangkapnya kedua jenis udang tersebut terdapat di perairan Aru. Survei dengan kapal komersial penangkapan udang menyebutkan bahwa jenis udang windu (P.monodon dan P. semisulcatus) dan udang dogol (Metapenaeus endeavouri) lebih banyak tertangkap di perairan Aru pada kedalaman perairan antara 4060m dengan dasar perairan pasir campur lumpur. Penyebaran udang jerbung (P. merguiensis) dan udang dogol (Metapenaeus ensis) lebih banyak terdapat di perairan Dolak dan Kaimana pada kedalaman antara 20-30m dengan dasar perairan lumpur atau lumpur campur pasir (Naamin, 1984; Sumiono & Priyono, 1997).
Gambar 3. Penyebaran laju tangkap udang windu Penaeus semisulcatus hasil tangkapan KM Soerya-82 di sub area Aru, April-Juni 2008. Figure 3. Distribution of stock density of Penaeus semisulcatus caught by MV Soerya-82 in the sub area Aru, April-June 2008
21
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 17-25
Gambar 4. Penyebaran laju tangkap udang dogol (Metapenaeus endeavouri) hasil tangkapan KM Soerya-82 di sub area Aru, April-Juni 2008 Figure 4. Distribution of stock density of Metapenaeus endeavouri caught by MV Soerya-82 in the sub area Aru, April-June 2008 Menurut Crocos (1986) dan Garcia & Le Reste (1981), udang windu Jenis P. monodon dan P. semisulcatus hidupnya tidak suka berkelompok atau bergerombol (schooling). Populasi udang jenis P. semisulcatus menyenangi dasar perairan yang terdiri dari pasir atau pasir campur lumpur sebagaimana dasar perairan di Laut Aru. Pada siang hari lebih banyak membenamkan diri (burrowing) di dasar perairan dan malam hari udang windu bergerak lebih aktif. Udang windu jenis P. semisulcatus tidak memerlukan daerah muara sungai atau perairan di sekitar mangrove dalam siklus hidupnya. Laju Tangkap, Kepadatan Stok dan Dugaan Biomassa Observasi dengan KM Soerya-82 diperoleh total hasil tangkapan udang windu (Penaeus semisulcatus) selama pengamatan di perairan Aru sebanyak 1.341 kg. Dari 97 kali tarikan jaring (haul) diperoleh laju tangkap (catch rate) jenis udang tersebut berkisar 1,5 - 37,5 kg/jam dengan rata-rata 13,8 kg/haul atau 5,9 kg/jam. Laju tangkap tertinggi terdapat pada strata kedalaman antara 20-30 m (39 haul) yaitu 15,5 kg/ haul atau 6,7 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat pada kedalaman kurang dari 20 m (38 haul) yaitu 11,9 kg/haul atau 5,2 kg/jam. Total hasil tangkapan udang dogol (M. endeavouri) adalah 1.527 kg. Laju tangkap jenis udang tersebut berkisar antara 0 – 42 kg/jam dengan rata-rata 14,1
22
kg/haul. Laju tangkap tertinggi terdapat pada kedalaman kurang dari 20 m yaitu 24,2 km/haul atau 10,7 kg/jam. Laju tangkap terendah terdapat pada kedalaman lebih dari 30 m (20 haul) yaitu 5,1 kg/haul atau 2,1 kg/jam. Tali ris atas (head rope) yang digunakan oleh KM Soerya-82 sepanjang 20m. Berdasarkan asumsi udang yang mampu meloloskan diri dari sapuan jaring trawl (escapement factor) di perairan Asia Tenggara sebesar 50% (Spare & Venema, 1998) maka nilai kepadatan stok udang di Laut Arafura dapat dihitung. Kepadatan stok udang windu (P.semisulcatus) di Perairan Arafura sebesar 110,9 kg/km2. Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman antara 20-30 m yaitu 123,6 kg/km2 dan terendah pada kedalaman kurang dari 20 m yaitu 98,4 kg/km2. Kepadatan stok udang dogol (Metapenaeus endeavouri ) sebesar 114,4 kg/ km2. Kepadatan tertinggi terdapat pada kedalaman kurang dari 20 m yaitu 198,5 kg/km2 dan terendah pada kedalaman lebih dari 30 m yaitu 40,4 kg/km2. Laju tangkap dan kepadatan stok menurut strata kedalaman di Laut Arafura dikemukakan pada Tabel 2. Penelitian tentang stok udang di Laut Arafura sudah banyak diperoleh. Data dan informasi tentang kepadatan stok menurut jenis/kelompok jenis dan sub area yang dapat digunakan untuk menghitung biomassanya masih sedikit. Beberapa hasil penelitian mengemukakan terdapat perbedaan nilai kepadatan stok udang di sub area Aru (Tabel 3).
Kepadatan Stok dan Biomassa……….. di Sub Area Aru, Laut Arafura (Hargiyatno, I.T., et al.)
Tabel 2. Total hasil tangkapan, laju tangkap dan kepadatan stok menurut strata kedalaman menggunakan KM Soerya-82 di sub araea Aru, April-Juni 2008 Table 2. Total catch, catch rate and stock density based on depth stratum by MV Soerya-82 in thesub area Aru, April-June 2008 Jenis udang/ Prawn species Penaeus semisulcatus
Kedalaman / Depth (m)
Jumlah haul/ Total haul
Waktu/ Hours
Hasil tngkpan / Total cacth
< 20
38
86,3
20-30
39
>30 Sub Total
Kepadatan Stok/ Stock density 2 (kg/km )
(kg/haul)
(kg/jam) (Kg/hours)
451,5
11,9
5,2
98,4
91,46
608,5
15,5
6,7
123,6
20
47,82
281
14,1
5,9
110,9
97
225,58
1341
41,5
17,8
332,9
13,8
5,9
110,9
Rata-rata Metapenaeu s endeavouri
Laju Tangkap/ Catch rate
< 20
38
86,3
919
24,2
10,7
198,5
20-30
39
91,46
506
12,9
5,5
104,1
>30
20
47,82
102
5,1
2,1
40,4
97
225,58
1527
42,2
18,3
343,0
14,1
6,1
114,4
27,9
12,0
170,7
Sub Total Rata-rata
TOTAL
Tabel 3. Kepadatan stok udang penaeid di sub area Aru *) Table 3. Stock density of peneid shrimps in sub area Aru*) Tahun/ Year 1983 1997 1998 2000 2008 *)
Kepadatan / Density (kg/km²) 297 318 240 262 125
Kelompok jenis/ Species group Windu,jerbung Windu,jerbung,dogol Windu,jerbung,dogol Windu,jerbung,dogol Windu,dogol
Sumber/ Source Naamin & Sumiono (1983) Nasution (1997) Sumiono & Priyono (1998) Anonimus (2000) Tim Survei (2010)
Luas sub area = 32.000 km2 (Naamin, 1984)
Luas perairan di sub area Aru (sub area VI) adalah 32.000 km2 (Naamin, 1984). Dengan mengacu Tabel 2, maka diperoleh dugaan biomassa jenis Penaeus semisulcatus sebesar 3.552 ton dan jenis Metapenaeus endeavouri sebesar 3.662 ton. Menurut (Wedjatmiko et al., 2009), biomassa udang Penaeus semisulcatus besarnya 5,1 % dari biomassa ikan demersal yang ada di Perairan Aru. Tabel 3 menunjukkan terdapat kecenderungan yang menurun bagi kelompok udang windu, jerbung dan dogol di perairan sub area Aru. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh ekspolitasi penangkapan yang berlebihan. Perkembangan yang pesat dari kapasitas penangkapan armada perikanan pukat udang dan pukat ikan berdampak pada penurunan kelimpahan stok udang dan ikan demersal.
Berubahnya faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap kondisi hasil tangkapan udang di Laut Arafura, sebagaimana dilaporkan oleh Purwanto, (2010). Kemungkinan lain adalah akibat adanya illegal, unregulated and unreported (IUU) fishing. Praktek IUU fishing menyebabkan hasil tangkapan tidak tercatat. Jumlah kapal berlisensi yang berlebihan juga mendorong terjadinya IUU fishing (Badrudin et al., 2008). Termasuk dalam kategori IUU fishing yang lain adalah praktek penjualan hasil tangkapan di laut (transhipment) yang tidak tercatat. Praktek IUU fishing juga berdampak pada kerugian negara secara ekonomi. Menurut Purwanto, (2010), dalam kurun waktu 2000-2005 praktek IUU fishing ini mulai berkurang dengan adanya peningkatan pelayanan izin
23
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 17-25
perikanan, pendaftaran ulang kapal berlisensi, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum. KESIMPULAN 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi udang windu khususnya jenis Penaeus semisulcatus dan udang dogol jenis Metapenaeus endeavouri terdapat di perairan Aru (Sub Area VI) dengan komposisi 70% dari seluruh udang hasil tangkapan. 2. Dengan menggunakan trawl berukuran tali ris atas (head rope) 20m, diperoleh nilai laju tangkap udang P. semisulcatus adalah 13,8 kg/haul atau 5,9 kg/ jam dengan kepadatan stok 110,9 kg/km2 dan biomassa di perairan Aru sebesar 4.845 ton. Laju tangkap M. endeavouri adalah 14,1 kg/haul atau 6,1 kg/jam dengan kepadatan stok 114,5 kg/km2 dan biomassa sebesar 4.995 ton. Total biomassa udang P. semisulcatus dan M.endeavouri adalah 9.840 ton. 3. Terdapat indikasi adanya penurunan laju tangkap dan kepadatan stok kelompok udang windu dan udang dogol di perairan Aru. Penurunan besaran stok sumberdaya udang di Laut Arafura khususnya sub area Aru karena penangkapan yang berlebih termasuk akibat dari praktek IUU fishing. Pengendalian dan pengawasan penangkapan perlu ditingkatkan guna membatasi praktek IUU fishing. Pengaturan upaya penangkapan perlu diterapkan guna pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Badrudin. 2010. Pengkajian Stok Ikan Demersal Metode Swept Area. Makalah disajikan dalam Pelatihan Stok Sumberdaya Ikan. Tegal, Agustus 2010. Pusat Riset Perikanan Tangkap: 13 p. (Tidak diterbitkan). Crocos, P.J. 1987. Reproductive dynamics of the grooved tiger prawn, Penaeus semisulcatus, in the north-western Gulf of Carpentaria. Austr. J. Mar. Freshw. Res (38). 79-90. Direktorat Sumberdaya Ikan, 2009. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2008. Jakarta: DJPT-KKP. Garcia, S., & L. Le Reste. 1981. Life Cycles, Dynamics, Exploitation and Management of Coastal Penaeid Shrimp Stocks. FAO Fish. Tech. Pap. No. 203. Rome, Italy: 215 p. Hufiadi, Mahisworo., M. Natsir., Wahyu Tri, & Purwanto. 2011. Perkembangan kapasitas penangkapan di Laut Arafura: studi kasus perikanan udang. Makalah disajikan pada Forum1 Laut Arafura. Bogor 8-11 Juni: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Monintja, D. R., & G. H. Tampubolon. 1989. Pendugaan stok ikan demersal dengan metode swept area. Proyek Pengembangan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor : 10 p. (Tidak diterbitkan).
PERSANTUNAN Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Kebijakan Pengembangan Produksi Ikan Demersal Berukuran Kecil (HTS Perikanan Udang) di Laut Arafura TA. 2009 Pusat Riset Perikanan Tangkap. DAFTAR PUSTAKA Badrudin, Sumiono, B., & N. Wirdaningsih. 2002. Laju tangkap, hasil tangkapan maksimum (MSY), dan upaya optimum perikanan udang di Laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 8 (4). 2329. Badrudin, Nurhakim, S., & B.I. Prisantoso. 2008. Estimated unrecorded catch related to the number of licensed fishing vessel in the Arafura Sea. Indonesian Fish. Res. Jour. Research Center of Capture Fisheries. 14 (1). 11-23.
24
Naamin, N & B. Sumiono, 1983. Hasil sampingan (by-catch) pada penangkapan udang di perairan Laut Arafura dan sekitarnya. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 24. BPPL, Jakarta: 45-55. Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi Doktor. Fakultas Pasca Sarjana IPB: 281 p. Nasution, C. 1997. Highlight of shrimp trawling in the Arafura Sea: fleet, shrimp catch and export in 1995-1996. Paper in Program of FAO’s Cooperative Research Network in Asia and Indian Ocean Region on Selective Tropical Shrimp Trawling. Res. Inst. For Mar. Fish. Jakarta: 33 p. (Unpublished). Pauly. D. 1980. A Selection of Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stock. FAO Fisheries Circular. (729). 54 p.
Kepadatan Stok dan Biomassa……….. di Sub Area Aru, Laut Arafura (Hargiyatno, I.T., et al.)
Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon. 2009. Laporan Tahunan PPN Ambon 2008. DJPT-KKP. Purwanto, 2010. The Biological optimal level of the Arafura Sea shrimp fishery. IFRJ. Research Center of Capture Fisheries. 16 (2). 22-34. Purwanto, & D. Nugroho. 2010. Tingkat optimal pemanfaatan stok udang, ikan demersal dan pelagis kecil di Laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. P4KSI. 16 (4). 311-312. Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP, DKP dan Pusat Penelitian Oceanografi, LIPI. 2001. Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan di Indonesia. Jakarta.
Sumiono, B., & B.E. Priyono, 1997. Sumberdaya udang dan krustase lainnya dalam Priyono, B.E., Widodo,J., Azis, K.A., Merta, I.G.S., Djamali, A & G.H.Tampubolon. (Eds.): Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Buku II. Ditjenkan. Deptan: 80-111. Tim Survei. 2010. Survei sumberdaya ikan demersal dan udang di perairan Laut Timor dan Laut Arafura dengan Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Laporan Survei. Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta: 32 p. (Tidak Diterbitkan). Wedjatmiko, Wijopriono & Suprapto 2009. Populasi ikan demersal di Perairan Aru Provinsi Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 15 (3). 9-18.
Sparre, P., & S. C. Venema. 1998. Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1 Manual. Rome FAO. Fisheries Technical Paper (306/1).
25
Interaksi Trofik Juvenil Ikan ...….. di Laguna Segara Anakan, Cilacap (Tjahjo, D.W.H., et al.)
INTERAKSI TROFIK JUVENIL IKAN DAN UDANG DALAM PEMANFAATAN MAKANAN ALAMI DI LAGUNA SEGARA ANAKAN, CILACAP Didik Wahju Hendro Tjahjo dan Riswanto Peneliti pada Balai Penelitian Pemulihan Sumber Daya Ikan Teregistrasi I tanggal: 11 Juli 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 13Maret 2012; Disetujui terbit tanggal: 15 Maret 2012
ABSTRAK Segara Anakan mempunyai peran penting sebagai kawasan pengelolaan sumber daya ikan dan udang. Beberapa jenis ikan dan udang menggunakan laguna ini sebagai daerah asuhan. Penelitian dengan tujuan untuk mengetahui aspek biologi juvenil ikan dan udang dalam memanfaatkan sumber daya makanan alami dilakukan di perairan laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap pada tahun 2010. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode tersratifikasi dengan menetapkan 9 stasiun pengamatan. Analisis data meliputi kebiasaan makan, tingkat trofik, luas relung serta interaksi juvenile ikan dan udang dalam memanfaatkan sumber daya makanan alami. Hasil analisis kebiasaan makan menunjukkan bahwa juvenil ikan dan udang dapat dikelompokan menjadi tiga tingkatan trofik yaitu herbivora (2,00 – 2,50), omnivora (2,51 – 3,00) dan karnivora (3,01 – 3,50). Luas relung makanan juvenil ikan dan udang adalah relatif sempit atau bersifat spesialis dengan nilai indeks berkisar antara 1,00 – 3,02. Hasil analisis kesamaan dalam pemanfaatan sumber daya makanan menunjukkan bahwa interaksi antar jenis ikan dan udang relatif rendah, sehingga peluang terjadinya kompetisi antar jenis rendah. Kondisi ini dapat diartikan bahwa ketersediaan makanan alami di perairan laguna tidak menjadi faktor pembatas. KATA KUNCI : Kebiasaan makan, tingkat trofik, luas relung, juvenile ikan dan udang, Segara Anakan ABSTRACT : Thropic Interaction of fish and shrimp juveniles in Segara Anakan lagoon, Cilacap. By: Didik Wahju Hendro Tjahjo and Riswanto Segara Anakan loogon plays an important role as the management area of fish and shrimp resources. Several species of fish and shrimp use this lagoon as an area of nursery ground. A research aimed to investigate the biological aspects of juvenile fish and shrimps in the utilization of natural food resources. Have been conductcd in the lagoon of Segara Anakan, Cilacap District in 2010. Sampling was done by using a stratification method with 9 research stations. Food habits, trophic level, niche width and interactions in the utilization of natural food resources were analyzed. Results showed that the juveniles of fish and shrimp could be grouped into three trophic levels i.e. herbivores (2.00 - 2.50), omnivores (2.51 - 3.00) and carnivores (3.01 - 3.50). The niche range of juveniles of fish and shrimp are relatively narrow or specialized indicated by index value ranging between 1.00 - 3.02. The similarity in food resource utilization, suggested that the interaction among species of fish and shrimp might be relatively low, so the possibility of competition between species would also be low. This condition indicated that the occurrence of natural food resources in the lagoon was not a limiting factor. KEYWORDS : Food habit, trophic level, niche, juvenile of fish and shrimp, Segara Anakan Lagoon
PENDAHULUAN Perairan estuari merupakan daerah pertemuan antara air tawar dan air laut sehingga keadaan lingkungannya sangat ekstrim dan fluktuasinya lebih besar dibandingkan habitat air laut dan habitat air tawar. Hal ini menyebabkan perairan estuaria bersifat spesifik dan labil, sehingga sifat-sifat fisik kimia dan biologi bervariasi. Karakteristik lain yang menyebabkan ekosistem ini menjadi penting adalah peranannya sebagai perangkap nutrien (Clark, 1974).
Dipihak lain, sungai-sungai yang masuk ke perairan Segara Anakan tersebut mengalami peningkatan muatan sedimen yang sangat signifikan, yaitu dari 0-40 mg/l di tahun 1978 menjadi 40-320 mg/l tahun 2003 (Carolita et al., 2005).Tingginya laju sedimentasi di laguna tersebut, terutama berasal dari DAS Citanduy (70%) dan DAS Cibereum (30%) (Purba & Sutarno, 2004 dalam Ardli, 2008). Kawasan ini terancam terdegradasi akibat sedimentasi dari lahan hulu yang dicirikan dengan semakin sempit dan dangkalnya perairan Segara Anakan yakni dari 3.491 ha (1978) menjadi 1.173,2 ha (1998), dan menjadi 991,6 ha (2003) (Ardli & Wolff, 2008).
Korespondensi Penulis : Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 41152 Tlp. 0264-208768
27
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 27-33
Kekayaan sumber daya ikan Segara Anakan dicirikan dengan kemelimpahan berbagai biota khas dan potensial meliputi 60 jenis ikan, 19 jenis udang yang dominasi oleh jenis udang jerbung (Penaeus marguiensis), Udang peci (P. indicus) dan udang jari (Metapenaeus elegans), dua jenis krustasea ekonomis penting yaitu rajungan dan kepiting bakau yang didominasi oleh jenis Scylla olivacea dan S. serrata dan beberapa spesies penting lain. (Dudley, 2000). Sebanyak 8% dari total tangkapan ikan dan 34% dari total tangkapan udang menetas dan dibesarkan di kawasan laguna Segara Anakan (Dudley, 2000). Hal tersebut berarti Segara Anakan memiliki peran penting dalam pengelolaan perikanan udang di daerah pesisir pantai khususnya Teluk Penyu dimana beberapa jenis udang menggunakan laguna ini sebagai daerah asuhan. Beberapa jenis udang tersebut ditemukan di Segara Anakan pada stadia juvenil sampai remaja yang ukuran sedang dan selanjutnya ketika telah mencapai ukuran yang lebih besar akan beruaya dari laguna menuju laut pesisir. Penyempitan dan pendangkalan perairan laguna Segara Anakan juga dapat mempengaruhi populasi larva dan juvenil ikan potensial dan udang pada khususnya. Hal tersebut terbukti bahwa produksi sumber daya ikan potensial antara lain semakin menurunnya produksi tangkapan udang dari 5.250 ton (1979) saat ini tinggal 2.000-3.000 ton/tahun dengan jumlah tangkapan per nelayan berkisar antara 1,5-3 kg/trip. Demikian juga sumber daya ikan yang pada awalnya berjumlah lebih dari 60 spesies (10 famili) dengan dominasi spesies potensial dari kelompok Anguillidae seperti sidat (Anguilla SP.) dan Scatophagidae, pada tahun 2000 hanya tinggal 45 jenis tanpa ada dominansi spesies (Dudley, 2000). Perubahan ekosistem perairan laguna dapat mendorong terjadinya peningkatan interaksi antar jenis ikan dan udang, serta dapat mendorong terjadinya pergeseran atau perubahan luas relung sehingga jenis ikan dan udang yang ada harus mengubah strategi pemanfaatan sumber daya makanan agar jenis ikan dan udang dapat hidup bersama. Akhirnya kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap keberadaan ikan dan udang di perairan Segara Anakan, sehingga jenis ikan ataupun udang yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan relung ekologinya pertumbuhannya akan terhambat, ataupun punah. Oleh karena itu, penelitian
28
yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui aspek biologi juvenil ikan dan udang dalam memanfaatkan sumber daya makanan alami. Pengamatan peran jenis ikan dalam memanfaatkan sumber daya makanan alami meliputi analisis terhadap kebiasaan makan, tingkat trofik, luas relung, dan interaksi dalam pemanfaatan sumber daya antar jenis ikan. Hasil analisis kegiatan ini diharapkan mampu memberikan informasi terhadap pemanfaatan sumber daya makanan yang ada, apakah ada relung ekologi yang masih kosong dan dapat dimanfaatkan? sehingga mampu meningkat produksi hasil tangkapan ikan dan udang. BAHAN DAN METODE 1. Metoda Pengumpulan Data Penelitian dilakukan di perairan laguna Segara Anakan yang terletak di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pengumpulan data dilaksanakan dengan menggunakan metode survei (stratified sampling method) (Nielsen & Johnson, 1985). Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada bulan Juni, Agustus dan Oktober 2010. Lokasi sampling dilakukan di 9 stasiun pengamatan, yaitu: (1) Tritih, (2) Donan, (3) Kebon Sayur, (4) Sapuregel, (5) Montean, (6) Menara Dua, (7) Kleces, (8) Majingklak dan (9) Plawang (Gambar 1). Data sumber daya udang dan ikan dikumpulkan melalui percobaan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap “beam trawl”. Alat tangkap ditarik prahu dengan kecepatan 2 knot selama 10 menit. Informasi mengenai posisi titik pengambilan contoh masing-masing diperoleh dengan menggunakan GPS dan informasi kedalaman perairan diperoleh dengan menggunakan alat depth meter. Hasil pengambilan contoh udang dan ikan diseleksi dan diidentifikasi, diukur panjang dan bobotnya, serta dibedah, diambil lambungnya dan dimasukkan dalam kantong plastik dan diawetkan dalam formalin 5% serta diberi label. Analisis isi lambung ikan dan udang dilakukan di laboratorium Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan Jatiluhur.
Interaksi Trofik Juvenil Ikan ...….. di Laguna Segara Anakan, Cilacap (Tjahjo, D.W.H., et al.)
Gambar 1. Gambar laguna Segara Anakan (Ardli & Wolff, 2008) dan stasiun pengamatan Figure 1. Segara Anakan lagoon (Ardli & Wolff, 2008) and observer station 2. Analisis Data Analisis peran jenis ikan dalam memanfaatkan sumber daya makanan alami dilakukan dengan menghitung: • Kebiasaan makan dengan menggunakan Indeks Preponderance (Natarajan & Jhingran dalam Effendie, 1979) dengan rumus:
Ii =
Vi × Oi ×100 …………….………......… 1) ∑ (Vi × Oi )
Keterangan: Vi = presentase volume satu macam makanan Oi = presentase frekuensi kejadian satu macam makanan Ó(Vi x Oi ) = jumlah VixOi dari semua macam makanan •
Estimasi Tingkat Trofik. Estimasi tingkat trofik jenis ikan dihitung dengan menggunakan cara yang dikemukakan oleh Mearns et al. (Caddy & Sharp, 1986), dengan rumus:
Ttp × I p Tt = 1 + ∑ ………….…........…………2) 100 Keterangan: Tt = tingkat trofik
Ttp = tingkat trofik kelompok makanan ke-p Ip = indeks preponderan kelompok makanan ke-p •
Luas Relung. Luas relung dievaluasi berdasarkan pakan yang dimanfaatkan oleh ikan dan dihitung dengan menggunakan Indek Levin (Hespenheide, 1975),
Bj =
(∑ p )
2 −1 ……………….......…………….3) i
keterangan: Bj = luas relung pi = proposional kelompok makanan ke-i yang dimanfaatkan oleh ikan ke-j •
Interaksi antar jenis ikan. Interaksi antar jenis ikan dievaluasi berdasarkan makanan alami yang dikonsumsi oleh ikan, serta dihitung dengan menggunakan jarak Euclidiean (Legendre & Legendre, 1983; Ludwig & Reynolds, 1988; Sokal & Rohlf, 1995), dengan rumus sebagai berikut,
D1 (x1 , x 2 ) =
n
∑ (y i =1
− y i 2 ) ……………......….4) 2
i1
Keterangan: 1 dan 2 = indeks untuk individu, x = jenis ikan, y = kelompok makanan yang dikonsumsi ikan,
29
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 27-33
i
= jenis kelompok makanan bervariasi dari 1 sampai n
HASIL DAN BAHASAN Jenis ikan yang dianalisis kebiasaan makanannya adalah: ikan sembilang (Arius maculatus), belanak (Mugil cephalus), petek (Leioghnatus splendens), lidah (Cynoglossus lingua), bobosok(Glossogobius biocellatus), bucu minyak (Glossogobius aureus) dan bucu gedang (Butis koilomatodon), Udang yang dianalisis adalah: udang krosok (Metapenaeus dobsoni), menthol (Palaemon SP.), jahe (Metapenaeus elegans), wuku (Palaemon SP1), tepus (Penaeus monodon), galah (Macrobrachium rosenbergii) dan kuri (Macrobrachium SP.). Kelompok udang dan ikan herbivora mempunyai proposi jumlah jenis yang cukup besar (40%) dari 15 jenis yang dengan tingkat trofik berkisar antara 2,00 – 2,50. Jenis ikan yang termasuk herbivora adalah sembilang, belanak, pepetek, lidah, udang krosok, udang menthol, udang jahe dan udang wuku (Tabel 1 dan Gambar 2). Juvenil ikan sembilang mempunyai makanan utama berupa serasah tumbuhan, ikan belanak dan udang krosok mempunyai makanan utama berupa fitoplankton dan detritus, sedangkan ikan pepetek, ikan lidah dan udang menthol sangat banyak lebih dari 75% memanfaatkan detritus. Detritus merupakan salah satu kelompok makanan yang sangat berlimpah tersediaannya di perairan ini. Hasil kebiasaan makanan ikan belanak tersebut relatif berbeda dengan hasil pengamatan Sugiharto et al., (2007) di perairan yang sama, dimana ikan belanak mengkonsumsi fitoplankton dan bagian tubuh hewan, sedangkan Menurut fishbase (2011a) bahwa makanan ikan belanak adalah zooplankton, detritus, mikroalgae dan organisme bentik. Makanan juvenil ikan sembilang, pepetek dan lidah ini relatif berbeda dengan fishbase (2011b) bahwa ikan sembilang memanfaatkan invertebrata dan ikan kecil sebagai makanannya. Ikan pepetek mempunyai makanan berupa udang kecil, polychaeta dan ikan kecil (fishbase, 2011c), dan ikan lidah mempunyai makanan berupa bentik invertebrata (fishbase, 2011d). Perbedaan tersebut membuktikan bahwa ikan-ikan tersebut mampu menyesuaikan terhadap perubahan kesediaan makanan alami. Udang jahe mempunyai makanan utama detritus dan udang-udang kecil, dan udang wuku mempunyai makanan utama serasah tumbuhan dan udang-udang kecil. Udang jahe dan wuku ini termasuk kelompok udang herbivora yang cenderung bersifat omnivora, karena kedua udang
30
tersebut cukup banyak memanfaatkan udang sebagai makanannya yang berkisar antara 37,8-47,5%. Kelompok omnivora dengan tingkat trofik berkisar antara 2,51 – 3,00 yang terdiri dari udang tepus, udang galah, udang kuri, dan bobosok. Kelompok omnivora ini mempunyai makanan utama yang beragam, yaitu detritus, serasah tumbuhan, moluska, dan udangudang kecil. Udang tepus dan galah mempunyai makanan utama berupa detritus dan moluska. Makanan udang galah tersebut relatif berbeda dengan udang galah di Waduk Darma yang mempunyai makanan utama sersah tumbuhan (Tjahjo & Purnamaningtyas, 2004). D’Abramo & Brunson (1996) menyatakan bahwa makanan udang galah adalah potongan hewan dan tumbuhan, larva dan serangga dewasa, algae, moluska, cacing, ikan dan kotoran ikan, serta udang ini cenderung bersifat kanibal pada kondisi kepadatan tinggi dan makanan yang tersedia terbatas. Samuel et al., (1991) menyatakan bahwa udang galah di Sungai Lempuing makanan utamanya adalah detritus. Hal tersebut menunjukkan bahwa udang galah mempunyai daya adaptasi yang tinggi dalam menyesuaikan terhadap makanan alami yang tersedia. Kelompok ikan karnivora di perairan ini mempunyai tingkat trofik berkisar antara 3,01 – 3,50, dan terdiri dari bucu minyak, bucu gedang dan prempeng. Kelompok karnivora ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, kelompok I merupakan golongan pemakan moluska, yaitu ikan bucu minyak, sedangkan kelompok II merupakan golongan pemakan udang-udang kecil, yaitu bucu gedang dan prempeng. Dari analisis luas relung makanan, juvenil ikan dan udang yang ada dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar (Tabel 1 dan Gambar 3). Garis merah pada Gambar 3 menunjukkan rata-rata luas relung pakan terhadap tingkat trofik untuk masing-masing juvenil ikan dan udang. Luas relung ikan atau udang yang berada di atas garis merah menunjukkan bahwa ikan atau udang tersebut bersifat generalis, dan sebaliknya jika luas relung tersebut berada di bawah garis merah. Kelompok I (pertama) adalah ikan herbivora yang terdiri dari sembilang, belanak, pepetek, lidah, udang krosok, udang menthol, udang jahe dan udang wuku. Kelompok ini mempunyai luas relung makanan berkisar antara 1,03 – 2,70. Udang krosok, belanak, udang menthol dan pepetek mempunyai luas relung yang relatif lebih luas dibandingkan ikan dan udang lainnya dalam kelompok I. Hal tersebut berarti ikan dan udang tersebut termasuk kelompok herbivora yang mempunyai
Interaksi Trofik Juvenil Ikan ...….. di Laguna Segara Anakan, Cilacap (Tjahjo, D.W.H., et al.)
Tabel 1. Tingkat trofik, luas relung dan kelompok kebiasaan makan ikan dan udang Table 1. Trophic level, niche width and fishes and prawns groups
Jenis
Tingkat Trofik
Luas Relung
Kelompok
Jenis Ikan Sembilang
Arius maculatus
2,19
1,93
Herbivora
Belanak
Mugil cephalus
2,00
2,15
Herbivora
Bobosok
Glossogobius biocellatus
2,91
1,34
Omnivora
Petek
Leioghnatus splendens
2,00
1,03
Herbivora
Bucu Minyak
Glossogobius aureus
3,21
1,55
Carnivora
Lidah
Cynoglossus lingua
2,20
1,47
Herbivora
Bucu Gedang
Butis koilomatodon
3,00
1,00
Carnivora
Prempeng
Apogon aureus
3,09
1,20
Carnivora
U. Jahe
Metapenaeus elegans
2,38
1,93
Herbivora
U. Wuku
Palaemon SP1.
2,49
2,72
Herbivora
U. Tepus
Penaeus monodon
2,56
2,86
Omnivora
Jenis Udang
U. Galah
Macrobrachium rosenbergii
2,63
3,02
Omnivora
U. Kuri
Macrobrachium SP.
2,76
1,62
Omnivora
U. Krosok
Metapenaeus dobsoni
2,16
2,70
Herbivora
U. Menthol
Palaemon SP.
2,02
1,04
Herbivora
Gambar 2. Grafik kebiasaan makan jenis ikan dan udang di Laguna Segara Anakan Figure 2. Graph food habit of fishes and prawns in Segara Anakan Lagoon. kemampuan yang lebih tinggi dalam menyesuaikan fluktuasi makanan alami yang tersedia. Kelompok II (kedua) merupakan ikan omnivora yang terdiri dari udang tepus, udang galah, udang kuri, ikan bobosok dan bucu gedang. Kelompok ini mempunyai luas relung makanan berkisar antara 1,93 – 3,02. Secara umum kelompok ini mempunyai luas relung yang relatif luas atau bersifat generalis, sehingga
kelompok ini merupakan kelompok yang paling adaptif terhadap perubahan ketersediaan makanan alami. Kelompok III (ketiga) merupakan ikan karnivora yang terdiri dari bucu minyak, bucu gedang dan prempeng dengan luas relungnya berkisar antara 1,00 – 1,62. Kelompok ini sangat spesialis dalam memanfaatkan sumber daya pakan yang tersedia,
31
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 27-33
Gambar 3. Hubungan luas relung pakan dan tingkat trofik untuk masing-masing jenis ikan dan udang di Laguna Segara Anakan (I= herbivora; II= omnivora; III= karnivora; U.Tp= udang tepus; U.Gl= udang galah; Blk= belanak; U.Ks = udang krosok; BM= bucu minyak; PP= prempeng; U.Jh= udang jahe; Bbk= bobosok; Ptk= petek; U.Kr= udang kuri; U.Wk= udang wuku; U.Mt= udang menthol; Sbl= sembilang; BG= bucu gedang; Ldh= ikan lidah) Figure 3. Relationship between niche width and trophic level of fish and prawn species in Segara Anakan Lagoon (I= herbivour; II= omnivour; III= carnivour;U.Tp= tiger prawn; U.Gl= freshwater giant prawn; Blk= belanak; U.Ks = krosok prawn; BM= bucu minyak; PP= prempeng; U.Jh= jahe prawn; Bbk= bobosok; Ptk= petek; U.Kr= kuri prawn; U.Wk= wuku prawn; U.Mt= menthol prawn; Sbl= sembilang; BG= bucu gedang; Ldh= tongue fish) sehingga kelompok III ini relatif kurang adaptif terhadap perubahan ketersediaan pakan. Berdasarkan pada nilai indeks jarak Euclidiean, kesamaan dalam pemanfaatan sumber daya makanan menunjukkan bahwa interaksi antar jenis ikan dan udang relatif rendah, sehingga peluang terjadinya kompetisi antar jenis rendah. Hal tersebut disebabkan ketersediaan sumber makanan relatif berlimpah dimana kondisi tersebut ditunjukkan luas relung makanan masing-masing jenis ikan dan udang yang relatif rendah. Dari pola kesamaan dalam memanfaatkan makanan, jenis udang dan ikan yang ada dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok (Gambar 4). Kelompok pertama merupakan udang dan ikan yang banyak memanfaatkan zooplankton sebagai makanannya. Kelompok ini terdiri udang tepus, udang
32
galah, bucu minyak, dan bobosok. Kelompok ke dua merupakan udang dan ikan yang banyak memanfaatkan serasah tumbuhan (makrofita) sebagai makanannya, kelompok ini terdiri dari udang wuku dan sembilang. Kelompok ke tiga merupakan udang dan ikan yang banyak memanfaatkan fitoplankton dan detritus sebagai makanannya, kelompok ini terdiri dari belanak dan udang krosok. Kelompok empat merupakan udang dan ikan yang sangat banyak memanfaatkan detritus sebagai makanannya (udang jahe, ikan lidah, petek dan udang menthol). Kelompok ke lima merupakan kelompok ikan dan udang yang sangat banyak memanfaatkan udang sebagai
Gambar 4. Dendrogram pengelompokan jenis ikan dan udang menurut pemanfaatan makanan alami Figure 4. Dendrogram of prawns and fishes grouping according to food utilization makanannya (prempeng, bucu gedang dan udang kuri). KESIMPULAN 1. Berdasarkan makannanya teridentifikasi tiga kategori kelompok juvenil udang dan ikan. Kelompok herbivora meliputi: sembilang, belanak, pepetek, lidah, udang krosok, dan udang menthol dengan tingkat trofik berkisar antara 2,00 – 2,50. Kelompok omnivora dengan tingkat trofik berkisar: 2,51 – 3,00 terdiri atas: udang tepus, udang galah, udang jahe, dan udang wuku. 2. Kelompok karnivora dengan tingkat trofik berkisar 3,01 – 3,50 terdiri atas: udang kuri, ikan bobosok, bucu minyak, bucu gedang dan prempeng. Luas relung makanan komunitas ikan dan udang relatif sempit atau bersifat spesialis, yaitu berkisar antara 1,00 – 3,02. 3. Interaksi trofik antar jenis ikan dan udang menunjukkan nilai yang relatif rendah, yang berarti peluang terjadinya kompetisi antar jenis rendah.
Interaksi Trofik Juvenil Ikan ...….. di Laguna Segara Anakan, Cilacap (Tjahjo, D.W.H., et al.)
4. Kondisi kesediaan makanan alami di perairan laguna Segara Anakan tidak menjadi faktor pembatas bagi kehidupan juvenil ikan dan udang. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil kajian Resiko Perubahan Lingkungan Terhadap Sumber Daya Udang di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap. Tahun Anggaran. 2010, di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya IkanJatiluhur.
speciesSummary.php?ID=785&genusname= M u g i l & s p e c i e s n a m e = c e p h a l u s & AT = Mugil+cephalus&lang=English. 10 Januari 2011. _______, 2011b. Arius maculatus (Thunberg, 1792). h t t p : / / w w w. f i s h b a s e . o r g / S u m m a r y / speciesSummary.php?ID=1280&genusname=Arius& speciesname=maculatus&AT=arius+maculatus&lang =Bahasa 10 Januari 2011. _______, 2011c. Leiognathus fasciatus (Lacepede, 1803). http://www.fishbase.org/Summary/ SpeciesSummary.php?id=4452 10 Januari 2011.
DAFTAR PUSTAKA Ardli, E.R. 2008. A trophic flow model of the Segara Anakan lagoon, Cilacap, Indonesia. A dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor in Natural Sciences. Faculty of Biology and Chemistry (FB 2) University Of Bremen, Bremen. 123 p. Ardli, E.R. & M. Wolff. 2008. Assessment of changes in trophic flow structure of the Segara Anakan lagoon ecosystem between 1980’s and 2000’s. Wetlands Ecology and Management Journal. p. 62-89. Caddy, J.F. & G.D. Sharp. 1986. An Ecological framework for marine fishery investigations. FAO Fish. Tech Pap. 283 p. Carolita, I., Ety Parwati, B., Trisakti, T., Kartika, & G. Nugroho, 2005. Model prediksi perubahan lingkungan di kawasan perairan Segara Anakan. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 6 p. Clark. 1974. Costal ecosystems: ecological considerations for management of the coastal zone. The conservation Foundation, Washington, D.C. 173 p. Dudley, G.R., 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plant. Segara Anakan Conservation and Development Project Componen B & C Consultant Report. 89 p. Effendie, M.I. 1979. Metoda biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 112 p.
_______, 2011d. Cynoglossus lingua Hamilton, 1822. h t t p : / / w w w. f i s h b a s e . o r g / S u m m a r y / SpeciesSummary.php?id=8238 10 Januari 2011. Legendre, L & P. Legendre 1983. Numerical Ecology. Elsevier Scientigic Publ. Co, New York. 419 p. Lutdwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical ecology: a primer on methods and computing. John Wiley & Sons, New York. 335 p. Nielsen, L.A. & D.L. Johnson.1985. Fisheries Techniques. American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. 468 p. Sokal, R.R. & F.J. Rohlf, 1995. Biometry: the principles practice of statistics in biological research. W.H. Freeman and Company. 877 p. Sugiharto, A.S. Siregar & E. Yuwono., 2007. Analisis isi lambung ikan pelajis di Segara Anakan Cilacap. Sain Akuatik 10 (2): 141-147. Tjahjo, D.W.H. & S.E. Purnamaningtyas, 2004. Evaluasi penebaran udang galah di Waduk Darma: Pemanfaatan makanan dan interaksi antar jenis ikan. JPPI Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. 10 (6): 31-39. D’Abramo, L.R. & M.W. Brunson, 1996. Production of freshwater prawn in pond. Southern Regional Aquaculture Center Publication. (484). 6 p. Samuel, S. Adjie & A.D Utomo 1991. Aspek Biologi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) di Sungai Lempuing Sumatera Selatan. Bulletin Penelitian Perikanan Darat Bogor. 10 (2): 32-39.
Fishbase, 2011a. Mugil Cephalus Linnaeus, 1758. h t t p : / / w w w. f i s h b a s e . o r g / S u m m a r y /
33
Hubungan Panjang Berat, Tingkat Eksploitasi ………di Samudera Hindia (Triharyuni, S., et al.)
HUBUNGAN PANJANG BERAT, TINGKAT EKSPLOITASI DAN FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN ALBAKORA (Thunnus alalunga, Bonnaterre) DI SAMUDERA HINDIA Setiya Triharyuni1), Priyo Suharsono Sulaiman1) dan Joko Rianto2) 1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol-Jakarta 2) Staf pada Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap Teregistrasi I tanggal: 8 Juni 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 29 Februari 2012; Disetujui terbit tanggal: 1 Maret 2012
ABSTRAK Albakora (Thunnus alalunga, Bonnaterre) merupakan salah satu jenis tuna yang ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan pancing rawai dan jaring insang hanyut. Produksi Albakora yang didaratkan di Cilacap cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2002-2010, namun pada tahun 2004, 2007, dan 2009 mengalami penurunan. Penelitian sumberdaya albakora di Samudera Hindia telah dilakukan dengan tujuan untuk menentukan hubungan panjang dan berat, ukuran ratarata tertangkap, tingkat eksploitasi albakora dan fluktuasi hasil tangkapan. Data yang digunakan adalah data sampling enumerator hasil tangkapan rawai tuna dan data statistik perikanan PPS Cilacap tahun 2002-2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan panjang dan berat bersifat isometric dengan persamaan W= 3.10-6L3.42, ukuran rata-rata tertangkap ikan albakora adalah 99.7 cm, ukuran ini lebih besar dari setengah panjang infinitifnya (L∞ ). Tingkat eksploitasi albakora berdasarkan data tahun 2002-2010 telah berada pada taraf lebih langkap (Over fishing). Hasil tangkapan albakora yang didaratkan di PPS Cilacap pada bulan April-Mei lebih tinggi dibandingkan pada bulan November-Desember. KATA KUNCI : Albakora (Thunnus alalunga), panjang, berat, tingkat eksploitasi, rawai tuna, jaring insang hanyut ABSTRACT: Length weight relation, exploitation rate and catch fluctuation of albacore (Thunnus alalunga, Bonnaterre) in the Indian ∞ Ocean. By: Setiya Triharyuni, Priyo Suharsono Sulaiman and Joko Rianto Albacore (Thunnus alalunga, Bonnaterre) is one of tuna species caught using longline and drift gill nets. Albacore production landed in Cilacap fishing port generally tend to increase from the year 2002 to 2010, except in years 2004, 2007, and 2009. The research on albacore resource in the Indian Ocean was conducted, to investigate the length weight relationship, average size of fish caught, exploitation rate and catch fluctuation of albacore. Length and weight of albacore was analyzed using data from tuna longline catch and fishery statistic data from Cilacap fishing port in 2002-2010. The results showed that length and weight relation of albacore was isometric following the formula W= 3.10-6L3.42, the average length was 99.7cm higher than length infinitif (L ). Based on production and effort of albacore (2002-2010), the albacore resourcss was at the level of over exploited. The albacore caught in April-May was higher than in November-December. KEYWORDS : Albacore (Thunnus alalunga), length, weight, exploitation rate, tuna longline, drift gill nets
PENDAHULUAN Albakora (Thunnus alalunga, Bonnaterre) dikelompokkan dalam sumberdaya ikan pelagis besar dan merupakan kelompok ikan tuna. Tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan Indonesia (Uktolseja et al., 1991), yaitu Indonesia bagian barat yang meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara
Irian Jaya, dan Selat Makassar. Di Samudera Hindia, albakora dapat ditemukan di sekitar 10ºLU - 30ºLS (Collette et al., 2001) dan selanjutnya Anonimous, (2000) dalam Huang et al., (2003) menambahkan bahwa albakora menyebar sekitar 15º - 45º LS. Kajian tentang stok albakora di Samudera Hindia dengan menggunakan laju tangkap/catch per unit effort (CPUE) sebagai indeks kelimpahan stok telah dilakukan dengan model produksi, analisis yield per recruit dengan parameter ketidakpastian umur, analisis virtual population dan model a fuzzy
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta Utara
35
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 35-41
production. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status eksploitasi albakora dalam kondisi fully exploitation (Huang et al., 2003).
menggunakan kapal berukuran 20-30 GT, dan data produksi bulanan ikan albakora yang didaratkan di PPS Cilacap.
Sebagai salah satu sentra pendaratan tuna termasuk albakora, Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPS Cilacap) memiliki posisi yang sangat strategis karena letaknya berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang merupakan fishing ground tuna. Kajian tentang tuna yang didaratkan di Cilacap menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan dari ikan tuna masih berada di bawah nilai potensi lestarinya/maximum sustainable yield (MSY), kecuali pada tahun 2000 sedangkan tingkat upaya yang dilakukan sudah melebihi upaya optimumnya sehingga sebaiknya tidak dilakukan penambahan penangkapan (Irnawati et al., 2006).
Hubungan Panjang Berat
Albakora yang merupakan jenis dari tuna dan merupakan komoditas yang banyak didaratkan di Cilacap belum diketahui tingkat eksploitasinya. Berdasarkan data statistika perikanan PPS Cilacap (2010), produksi ikan albakora yang didaratkan di Cilacap cenderung menurun pada tahun 2008-2009 yaitu dari 180,79 ton menjadi 72,51 ton, kemudian meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 195,74 ton. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat hubungan panjang dan berat, fluktuasi hasil tangkapan dan tingkat eksploitasi albakora berbasis data hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Cilacap. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei tahun 2010 di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC). Pelabuhan ini berlokasi di Kelurahan Tegal Kamulyan, Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, pada posisi 109001’18.4" BT dan 07043’31.2" LS. Data yang Dikumpulkan Data yang digunakan merupakan data hasil sampling yang dilakukan oleh enumerator dari kapal rawai tuna selama tahun 2009-April 2010 dan data statistika PPS Cilacap tahun 2002–2010. Data sampling tersebut merupakan data pengukuran panjang cagak (cm) dan berat ikan (kg) albakora yang telah mengalami pendinginan pada suhu -40C sampai dengan -9 0C (n=817 ekor) dari kapal rawai tuna yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPS Cilacap. Data sekunder meliputi data produksi tahunan selama 9 tahun terakhir, upaya penangkapan (trip) rawai tuna dan jaring insang hanyut di perairan Cilacap
36
Analisis hubungan panjang dan berat dihitung menggunakan metode Effendie, (2002), sebagai berikut : W=a.L
b
keterangan: W = berat (kg), dimana ukuran berat ini merupakan berat ikan yang didinginkan pada suhu -40C sampai dengan -9 0C sebelum didaratkan (Frozen). L = panjang cagak (cm) a = konstanta atau intersep b = eksponen atau sudut tangensial. Persamaan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk linier dengan membuat logaritma sehingga menjadi log W = log a + b log L. Jika b sama dengan 3 (b = 3) maka pertumbuhan bersifat isometrik dan jika b tidak sama dengan 3 (b 3) maka pertumbuhan bersifat alometrik (b > 3 adalah alometrik positif dan b < 3 adalah alometrik negatif). ≠ Untuk menguji ketepatan model hubungan panjang berat, dilakukan uji F, apabila Fhitung > Ftable, maka hipotesis nol ditolak (model signifikan) Hal ini berarti model tersebut tepat digunakan. Untuk mengetahui sifat pertumbuhannya, dilakukan uji t pada nilai b. Apabila thitung > ttable maka hipotesis nol diterima (nilai b tidak berbeda nyata dengan 3). Ukuran Rata-rata Tertangkap Metode penentuan ukuran ikan rata-rata tertangkap (L50%) dilakukan dengan menggunakan metode kurva logistik baku, yaitu dengan memplotkan persentase frekuensi kumulatif dengan panjangnya. Tingkat Eksploitasi Albakora Tingkat ekspoitasi albakora ditentukan dari trend hasil tangkapan per upaya penangkapan dan laju tangkap (CPUE). Hasil tangkapan per upaya penangkapan adalah pembagian antara produksi hasil tangkapan dengan upaya penangkapan yang beroperasi dari suatu perairan. Hasil tangkapan berupa jumlah ikan hasil tangkapan dengan satuan berat (ton), sedangkan upaya penangkapan berupa trip. Laju tangkap (CPUE) merupakan pembagian total hasil tangkapan dengan total upaya standar. Unit
Hubungan Panjang Berat, Tingkat Eksploitasi ………di Samudera Hindia (Triharyuni, S., et al.)
penangkapan yang dijadikan sebagai standar adalah jenis unit penangkapan yang paling dominan menangkap ikan tertentu di suatu daerah (mempunyai laju tangkapan rata-rata per CPUE terbesar pada periode waktu tertentu) dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power index) sama dengan satu. Fishing Power Index dari masing-masing unit penangkapan lainnya dapat diketahui dengan cara membagi laju tangkapan rata-rata masing-masing unit penangkapan dengan laju tangkapan rata-rata unit penangkapan yang dijadikan standar. Dalam penelitian ini yang dijadikan upaya standar adalah rawai tuna. Suatu perikanan yang di eksploitasi yang mengalami overfished indikatornya adalah bahwa naiknya total upaya (effort) diikuti oleh naiknya hasil tangkapan (catch) yang kemudian diikuti oleh turunnya hasil tangkapan per-satuan upaya (CPUE). Pada saat
menjelang overfishing, adanya peningkatan upaya ternyata tidak dapat lagi meningkatkan hasil tangkapan, bahkan CPUE akan terus menurun. HASIL DAN BAHASAN Ukuran Albakora Dari hasil pengukuran panjang dan berat albakora, diperoleh kisaran ukuran panjang 94-113 cm dan berat 15-30 kg. Frekuensi panjang terbanyak pada kisaran 98-101 cm dan frekuensi berat terbanyak pada kisaran 19-22 kg (Gambar 1). Lokasi penangkapan kapal rawai tuna ini berada pada 100-140 LS yang merupakan perairan dengan suhu relatif hangat. Suhu perairan memegang peranan penting dalam penyebaran albakora. Albakora berukuran kecil menyenangi perairan dengan suhu rendah sedangkan albakora berukuran lebih besar menyenangi perairan yang lebih
(a)
(b)
Gambar 1. Panjang (a) dan berat (b) albakora pada Januari 2009–April 2010 Figure 1. Length (a) and weight (b) of albacores in January 2009–April 2010
Hubungan Panjang Berat Pengamatan ukuran panjang dan berat albakora berguna untuk mengetahui komposisi ukuran dan hubungan panjang beratnya. Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang berat albakora, diperoleh persamaan W= 3.10-6L3.42 dengan R2=85,8 (Gambar 2). Hal ini berarti bahwa berat albakora dipengaruhi oleh panjang cagaknya sebesar 85,8%, dan hanya sebesar 14,2% dipengaruhi oleh faktor lainnya. Uji ketepatan model, dilakukan dengan menggunakan uji F pada taraf nyata 95%, hasil uji F tersebut menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel (F 4945,998 > F 254,157). Hal ini berarti bahwa variabel panjang secara signifikan menjelaskan variabel berat, sehingga model tersebut layak digunakan. Sifat pertumbuhannya, ditunjukkan dengan nilai thitung (70,33) > ttable (1,963) pada taraf
kepercayaan 95%. Nilai ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan nilai b dengan nilai 3, sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan albakora bersifat isometrik yaitu pertambahan berat sama cepatnya dengan pertambahan panjang. 35 y = 3E-06x3.4205 R² = 0.8585
30 25 20 Berat (kg)
hangat. Albakora di Samudera Hindia berkonsentrasi di sebelah selatan 80 LS (Sumadiharga, 2009).
15 10 5 0 90
95
100
105
110
115
Panjang (cm)
Gambar 2. Hubungan panjang berat albakora Figure 2. Lenght and weight relationship of albacores
37
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 35-41
Ukuran Rata-rata Tertangkap Ukuran rata-rata ikan tertangkap dapat dilihat dari titik tengah 50% hasil tangkapan. Pada sampel penelitian diperoleh ukuran panjang cagak rata-rata albakora yang tertangkap adalah sebesar 99,7 cm, dengan kisaran ukuran ikan sampel dengan panjang 94-113 cm (Gambar 3). 100 90 80
% kumulatif
70 60 50 40 30 20 10 0 90
95
100
105
110
115
120
Panjang cagak (cm)
dipergunakan tahun 1986-1989, hasil yang diperoleh adalah L =163,7 (Walfort) dan L =167,1 (non linear), c) estimasi oleh Chang et al., (1993) menggunakan data rawai tuna metode MULTIFAN menghasilkan L =171,4 (1983-1986) dan L =147,2 (1988-1990). Hasil Tangkapan Albakora Produksi albakora selama sembilan tahun terakhir berfluktuatif dan cenderung meningkat, namun pada tahun 2004, 2007, dan 2009 mengalami penurunan (Gambar 4). Penurunan dan kenaikan produksi ini disebabkan oleh banyak sedikitnya kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPS Cilacap. Hal ini tergantung dari wilayah operasi tangkapannya, apabila wilayah operasi penangkapan terdapat di sekitar Cilacap maka kapal tersebut mendaratkan hasilnya di Cilacap, sedangkan apabila lokasi penangkapannya semakin jauh maka kapal tersebut mendaratkan hasilnya di tempat pendaratan lain yang lebih dekat. 250
Ukuran panjang maksimum albakora dapat mencapai 140 cm (Torres, 1991) dan pada umumnya mempunya panjang 100 cm (Collette, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa albakora memiliki panjang ratarata tertangkap yang cukup besar. Ukuran rata-rata tertangkap atau ukuran pertama kali tertangkap idealnya tidak lebih kecil dari setengah panjang infinitif (L∞)-nya. Panjang L dapat diperoleh dengan cara mengalikan nilai 1/0,95 panjang maksimum ikan yang ada pada sampel (Sparre & Venema, 1999). Panjang maksimal dalam sampel adalah 113 cm, sehingga L =118,95 cm. Berdasarkan hal tersebut maka panjang rata-rata tertangkap seharusnya tidak boleh lebih kecil dari 59,473 cm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ukuran rata-rata albakora yang tertangkap dan didaratkan di Cilacap lebih besar dari setengah ukuran panjang infinitif-nya. Penggunaan metode dan data yang berbeda akan menghasilkan estimasi panjang infinitif (L ) yang berbeda pula (Chang & Hsu, 1992). Dalam Chang et al., (2000), disebutkan beberapa hasil estimasi L dengan data dan metode yang berbeda, yaitu a) estimasi oleh Huang et al., (1990) menggunakan data rawai tuna, jaring insang hanyut tahun 1987-1990, dengan metode Walford dan non linear, menghasilkan L = 128,1 dan L =132,2, b) estimasi oleh Lee & Liu, (1992) menggunakan metode yang sama dengan Huang et al., (1990), hanya saja data yang
38
200
Produksi (ton)
Gambar 3. Kurva ukuran rata-rata panjang albakora yang tertangkap Figure 3. The curve of average fork length of albacores caught
∞
150
100
50
0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 4. Produksi albakora yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2002-2010 Figure 4. Production of albacores landed in PPS Cilacap years 2002- 2010 Albakora yang didaratkan di PPS Cilacap ini ditangkap menggunakan alat tangkap rawai tuna dan jaring insang hanyut. Sebagian besar albakora yang didaratkan merupakan hasil tangkapan dari rawai tuna. Selama kurun waktu 2002-2010, rata-rata sebanyak 98% albakora berasal dari rawai tuna dan hanya 2% berasal dari jaring insang hanyut. Tingkat Eksploitasi Albakora Albakora yang didaratkan di Cilacap ditangkap dengan kapal rawai tuna dan jaring insang hanyut. Pendugaan tingkat eksploitasi stok albakora di perairan Cilacap dihitung menggunakan data hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) dengan standar alat tangkap rawai tuna selama sembilan tahun terakhir (Tabel 1).
Hubungan Panjang Berat, Tingkat Eksploitasi ………di Samudera Hindia (Triharyuni, S., et al.)
HUBUNGAN PANJANG BERAT, TINGKAT EKSPLOITASI DAN FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN ALBAKORA (Thunnus alalunga, Bonnaterre) DI SAMUDERA HINDIA Setiya Triharyuni1), Priyo Suharsono Sulaiman1) dan Joko Rianto2) 1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol-Jakarta 2) Staf pada Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap Teregistrasi I tanggal: 8 Juni 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 29 Februari 2012; Disetujui terbit tanggal: 1 Maret 2012
ABSTRAK Albakora (Thunnus alalunga, Bonnaterre) merupakan salah satu jenis tuna yang ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan pancing rawai dan jaring insang hanyut. Produksi Albakora yang didaratkan di Cilacap cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2002-2010, namun pada tahun 2004, 2007, dan 2009 mengalami penurunan. Penelitian sumberdaya albakora di Samudera Hindia telah dilakukan dengan tujuan untuk menentukan hubungan panjang dan berat, ukuran ratarata tertangkap, tingkat eksploitasi albakora dan fluktuasi hasil tangkapan. Data yang digunakan adalah data sampling enumerator hasil tangkapan rawai tuna dan data statistik perikanan PPS Cilacap tahun 2002-2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan panjang dan berat bersifat isometric dengan persamaan W= 3.10-6L3.42, ukuran rata-rata tertangkap ikan albakora adalah 99.7 cm, ukuran ini lebih besar dari setengah panjang infinitifnya (L∞ ). Tingkat eksploitasi albakora berdasarkan data tahun 2002-2010 telah berada pada taraf lebih langkap (Over fishing). Hasil tangkapan albakora yang didaratkan di PPS Cilacap pada bulan April-Mei lebih tinggi dibandingkan pada bulan November-Desember. KATA KUNCI : Albakora (Thunnus alalunga), panjang, berat, tingkat eksploitasi, rawai tuna, jaring insang hanyut ABSTRACT: Length weight relation, exploitation rate and catch fluctuation of albacore (Thunnus alalunga, Bonnaterre) in the Indian ∞ Ocean. By: Setiya Triharyuni, Priyo Suharsono Sulaiman and Joko Rianto Albacore (Thunnus alalunga, Bonnaterre) is one of tuna species caught using longline and drift gill nets. Albacore production landed in Cilacap fishing port generally tend to increase from the year 2002 to 2010, except in years 2004, 2007, and 2009. The research on albacore resource in the Indian Ocean was conducted, to investigate the length weight relationship, average size of fish caught, exploitation rate and catch fluctuation of albacore. Length and weight of albacore was analyzed using data from tuna longline catch and fishery statistic data from Cilacap fishing port in 2002-2010. The results showed that length and weight relation of albacore was isometric following the formula W= 3.10-6L3.42, the average length was 99.7cm higher than length infinitif (L ). Based on production and effort of albacore (2002-2010), the albacore resourcss was at the level of over exploited. The albacore caught in April-May was higher than in November-December. KEYWORDS : Albacore (Thunnus alalunga), length, weight, exploitation rate, tuna longline, drift gill nets
PENDAHULUAN Albakora (Thunnus alalunga, Bonnaterre) dikelompokkan dalam sumberdaya ikan pelagis besar dan merupakan kelompok ikan tuna. Tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan Indonesia (Uktolseja et al., 1991), yaitu Indonesia bagian barat yang meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara
Irian Jaya, dan Selat Makassar. Di Samudera Hindia, albakora dapat ditemukan di sekitar 10ºLU - 30ºLS (Collette et al., 2001) dan selanjutnya Anonimous, (2000) dalam Huang et al., (2003) menambahkan bahwa albakora menyebar sekitar 15º - 45º LS. Kajian tentang stok albakora di Samudera Hindia dengan menggunakan laju tangkap/catch per unit effort (CPUE) sebagai indeks kelimpahan stok telah dilakukan dengan model produksi, analisis yield per recruit dengan parameter ketidakpastian umur, analisis virtual population dan model a fuzzy
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta Utara
35
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 35-41
production. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status eksploitasi albakora dalam kondisi fully exploitation (Huang et al., 2003).
menggunakan kapal berukuran 20-30 GT, dan data produksi bulanan ikan albakora yang didaratkan di PPS Cilacap.
Sebagai salah satu sentra pendaratan tuna termasuk albakora, Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPS Cilacap) memiliki posisi yang sangat strategis karena letaknya berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang merupakan fishing ground tuna. Kajian tentang tuna yang didaratkan di Cilacap menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan dari ikan tuna masih berada di bawah nilai potensi lestarinya/maximum sustainable yield (MSY), kecuali pada tahun 2000 sedangkan tingkat upaya yang dilakukan sudah melebihi upaya optimumnya sehingga sebaiknya tidak dilakukan penambahan penangkapan (Irnawati et al., 2006).
Hubungan Panjang Berat
Albakora yang merupakan jenis dari tuna dan merupakan komoditas yang banyak didaratkan di Cilacap belum diketahui tingkat eksploitasinya. Berdasarkan data statistika perikanan PPS Cilacap (2010), produksi ikan albakora yang didaratkan di Cilacap cenderung menurun pada tahun 2008-2009 yaitu dari 180,79 ton menjadi 72,51 ton, kemudian meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 195,74 ton. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat hubungan panjang dan berat, fluktuasi hasil tangkapan dan tingkat eksploitasi albakora berbasis data hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Cilacap. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei tahun 2010 di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC). Pelabuhan ini berlokasi di Kelurahan Tegal Kamulyan, Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, pada posisi 109001’18.4" BT dan 07043’31.2" LS. Data yang Dikumpulkan Data yang digunakan merupakan data hasil sampling yang dilakukan oleh enumerator dari kapal rawai tuna selama tahun 2009-April 2010 dan data statistika PPS Cilacap tahun 2002–2010. Data sampling tersebut merupakan data pengukuran panjang cagak (cm) dan berat ikan (kg) albakora yang telah mengalami pendinginan pada suhu -40C sampai dengan -9 0C (n=817 ekor) dari kapal rawai tuna yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPS Cilacap. Data sekunder meliputi data produksi tahunan selama 9 tahun terakhir, upaya penangkapan (trip) rawai tuna dan jaring insang hanyut di perairan Cilacap
36
Analisis hubungan panjang dan berat dihitung menggunakan metode Effendie, (2002), sebagai berikut : W=a.L
b
keterangan: W = berat (kg), dimana ukuran berat ini merupakan berat ikan yang didinginkan pada suhu -40C sampai dengan -9 0C sebelum didaratkan (Frozen). L = panjang cagak (cm) a = konstanta atau intersep b = eksponen atau sudut tangensial. Persamaan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk linier dengan membuat logaritma sehingga menjadi log W = log a + b log L. Jika b sama dengan 3 (b = 3) maka pertumbuhan bersifat isometrik dan jika b tidak sama dengan 3 (b 3) maka pertumbuhan bersifat alometrik (b > 3 adalah alometrik positif dan b < 3 adalah alometrik negatif). ≠ Untuk menguji ketepatan model hubungan panjang berat, dilakukan uji F, apabila Fhitung > Ftable, maka hipotesis nol ditolak (model signifikan) Hal ini berarti model tersebut tepat digunakan. Untuk mengetahui sifat pertumbuhannya, dilakukan uji t pada nilai b. Apabila thitung > ttable maka hipotesis nol diterima (nilai b tidak berbeda nyata dengan 3). Ukuran Rata-rata Tertangkap Metode penentuan ukuran ikan rata-rata tertangkap (L50%) dilakukan dengan menggunakan metode kurva logistik baku, yaitu dengan memplotkan persentase frekuensi kumulatif dengan panjangnya. Tingkat Eksploitasi Albakora Tingkat ekspoitasi albakora ditentukan dari trend hasil tangkapan per upaya penangkapan dan laju tangkap (CPUE). Hasil tangkapan per upaya penangkapan adalah pembagian antara produksi hasil tangkapan dengan upaya penangkapan yang beroperasi dari suatu perairan. Hasil tangkapan berupa jumlah ikan hasil tangkapan dengan satuan berat (ton), sedangkan upaya penangkapan berupa trip. Laju tangkap (CPUE) merupakan pembagian total hasil tangkapan dengan total upaya standar. Unit
Hubungan Panjang Berat, Tingkat Eksploitasi ………di Samudera Hindia (Triharyuni, S., et al.)
penangkapan yang dijadikan sebagai standar adalah jenis unit penangkapan yang paling dominan menangkap ikan tertentu di suatu daerah (mempunyai laju tangkapan rata-rata per CPUE terbesar pada periode waktu tertentu) dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power index) sama dengan satu. Fishing Power Index dari masing-masing unit penangkapan lainnya dapat diketahui dengan cara membagi laju tangkapan rata-rata masing-masing unit penangkapan dengan laju tangkapan rata-rata unit penangkapan yang dijadikan standar. Dalam penelitian ini yang dijadikan upaya standar adalah rawai tuna. Suatu perikanan yang di eksploitasi yang mengalami overfished indikatornya adalah bahwa naiknya total upaya (effort) diikuti oleh naiknya hasil tangkapan (catch) yang kemudian diikuti oleh turunnya hasil tangkapan per-satuan upaya (CPUE). Pada saat
menjelang overfishing, adanya peningkatan upaya ternyata tidak dapat lagi meningkatkan hasil tangkapan, bahkan CPUE akan terus menurun. HASIL DAN BAHASAN Ukuran Albakora Dari hasil pengukuran panjang dan berat albakora, diperoleh kisaran ukuran panjang 94-113 cm dan berat 15-30 kg. Frekuensi panjang terbanyak pada kisaran 98-101 cm dan frekuensi berat terbanyak pada kisaran 19-22 kg (Gambar 1). Lokasi penangkapan kapal rawai tuna ini berada pada 100-140 LS yang merupakan perairan dengan suhu relatif hangat. Suhu perairan memegang peranan penting dalam penyebaran albakora. Albakora berukuran kecil menyenangi perairan dengan suhu rendah sedangkan albakora berukuran lebih besar menyenangi perairan yang lebih
(a)
(b)
Gambar 1. Panjang (a) dan berat (b) albakora pada Januari 2009–April 2010 Figure 1. Length (a) and weight (b) of albacores in January 2009–April 2010
Hubungan Panjang Berat Pengamatan ukuran panjang dan berat albakora berguna untuk mengetahui komposisi ukuran dan hubungan panjang beratnya. Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang berat albakora, diperoleh persamaan W= 3.10-6L3.42 dengan R2=85,8 (Gambar 2). Hal ini berarti bahwa berat albakora dipengaruhi oleh panjang cagaknya sebesar 85,8%, dan hanya sebesar 14,2% dipengaruhi oleh faktor lainnya. Uji ketepatan model, dilakukan dengan menggunakan uji F pada taraf nyata 95%, hasil uji F tersebut menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel (F 4945,998 > F 254,157). Hal ini berarti bahwa variabel panjang secara signifikan menjelaskan variabel berat, sehingga model tersebut layak digunakan. Sifat pertumbuhannya, ditunjukkan dengan nilai thitung (70,33) > ttable (1,963) pada taraf
kepercayaan 95%. Nilai ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan nilai b dengan nilai 3, sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan albakora bersifat isometrik yaitu pertambahan berat sama cepatnya dengan pertambahan panjang. 35 y = 3E-06x3.4205 R² = 0.8585
30 25 20 Berat (kg)
hangat. Albakora di Samudera Hindia berkonsentrasi di sebelah selatan 80 LS (Sumadiharga, 2009).
15 10 5 0 90
95
100
105
110
115
Panjang (cm)
Gambar 2. Hubungan panjang berat albakora Figure 2. Lenght and weight relationship of albacores
37
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 35-41
Ukuran Rata-rata Tertangkap Ukuran rata-rata ikan tertangkap dapat dilihat dari titik tengah 50% hasil tangkapan. Pada sampel penelitian diperoleh ukuran panjang cagak rata-rata albakora yang tertangkap adalah sebesar 99,7 cm, dengan kisaran ukuran ikan sampel dengan panjang 94-113 cm (Gambar 3). 100 90 80
% kumulatif
70 60 50 40 30 20 10 0 90
95
100
105
110
115
120
Panjang cagak (cm)
dipergunakan tahun 1986-1989, hasil yang diperoleh adalah L =163,7 (Walfort) dan L =167,1 (non linear), c) estimasi oleh Chang et al., (1993) menggunakan data rawai tuna metode MULTIFAN menghasilkan L =171,4 (1983-1986) dan L =147,2 (1988-1990). Hasil Tangkapan Albakora Produksi albakora selama sembilan tahun terakhir berfluktuatif dan cenderung meningkat, namun pada tahun 2004, 2007, dan 2009 mengalami penurunan (Gambar 4). Penurunan dan kenaikan produksi ini disebabkan oleh banyak sedikitnya kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPS Cilacap. Hal ini tergantung dari wilayah operasi tangkapannya, apabila wilayah operasi penangkapan terdapat di sekitar Cilacap maka kapal tersebut mendaratkan hasilnya di Cilacap, sedangkan apabila lokasi penangkapannya semakin jauh maka kapal tersebut mendaratkan hasilnya di tempat pendaratan lain yang lebih dekat. 250
Ukuran panjang maksimum albakora dapat mencapai 140 cm (Torres, 1991) dan pada umumnya mempunya panjang 100 cm (Collette, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa albakora memiliki panjang ratarata tertangkap yang cukup besar. Ukuran rata-rata tertangkap atau ukuran pertama kali tertangkap idealnya tidak lebih kecil dari setengah panjang infinitif (L∞)-nya. Panjang L dapat diperoleh dengan cara mengalikan nilai 1/0,95 panjang maksimum ikan yang ada pada sampel (Sparre & Venema, 1999). Panjang maksimal dalam sampel adalah 113 cm, sehingga L =118,95 cm. Berdasarkan hal tersebut maka panjang rata-rata tertangkap seharusnya tidak boleh lebih kecil dari 59,473 cm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ukuran rata-rata albakora yang tertangkap dan didaratkan di Cilacap lebih besar dari setengah ukuran panjang infinitif-nya. Penggunaan metode dan data yang berbeda akan menghasilkan estimasi panjang infinitif (L ) yang berbeda pula (Chang & Hsu, 1992). Dalam Chang et al., (2000), disebutkan beberapa hasil estimasi L dengan data dan metode yang berbeda, yaitu a) estimasi oleh Huang et al., (1990) menggunakan data rawai tuna, jaring insang hanyut tahun 1987-1990, dengan metode Walford dan non linear, menghasilkan L = 128,1 dan L =132,2, b) estimasi oleh Lee & Liu, (1992) menggunakan metode yang sama dengan Huang et al., (1990), hanya saja data yang
38
200
Produksi (ton)
Gambar 3. Kurva ukuran rata-rata panjang albakora yang tertangkap Figure 3. The curve of average fork length of albacores caught
∞
150
100
50
0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 4. Produksi albakora yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2002-2010 Figure 4. Production of albacores landed in PPS Cilacap years 2002- 2010 Albakora yang didaratkan di PPS Cilacap ini ditangkap menggunakan alat tangkap rawai tuna dan jaring insang hanyut. Sebagian besar albakora yang didaratkan merupakan hasil tangkapan dari rawai tuna. Selama kurun waktu 2002-2010, rata-rata sebanyak 98% albakora berasal dari rawai tuna dan hanya 2% berasal dari jaring insang hanyut. Tingkat Eksploitasi Albakora Albakora yang didaratkan di Cilacap ditangkap dengan kapal rawai tuna dan jaring insang hanyut. Pendugaan tingkat eksploitasi stok albakora di perairan Cilacap dihitung menggunakan data hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) dengan standar alat tangkap rawai tuna selama sembilan tahun terakhir (Tabel 1).
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Kapal …………Yang Berbasis di Benoa (Setyadji, B. et al.)
HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS) KAPAL RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA YANG BERBASIS DI BENOA Bram Setyadji dan Budi Nugraha Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa-Bali Teregistrasi I tanggal: 9 Mei 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 11 Januari 2012; Disetujui terbit tanggal: 15 Januari 2012
ABSTRAK Hasil tangkap sampingan (HTS) hampir terdapat pada semua jenis perikanan tangkap di Indonesia, termasuk pada perikanan rawai tuna di Samudera Hindia. Kebanyakan jenis HTS merupakan spesies yang tidak diinginkan atau jenis ikan target tapi ukurannya di bawah standar yang diinginkan (yuwana atau ikan muda) dan pada kasus tertentu merupakan jenis ikan yang terancam keberadaannya (Endangered species). Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang komposisi hasil tangkap sampingan, laju pancing dan hubungan antara tuna dengan ikan yang berasosiasi dengannya pada area penangkapan yang sama. Pengamatan dilakukan pada bulan Maret – Juli 2010 dengan mengikuti kegiatan operasi penangkapan 2 kapal rawai tuna komersial yang berbasis di Pelabuhan Benoa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 18 jenis hasil tangkap sampingan yang didominasi dari family Alepisauridae; ikan naga (Alepisaurus sp.); Gempylidae; ikan gindara (oilfish), dan Dasyatidae; pari lumpur (Dasyatis spp.). Jenis ikan lain adalah ikan paruh panjang (billfish), berbagai jenis cucut dan pari, ikan teleostei, serta penyu lekang. Kebanyakan dari hasil tangkap sampingan merupakan by-product yang mempunyai nilai ekonomis tinggi kecuali jenis ikan naga dan pari lumpur yang merupakan discard/buangan. KATA KUNCI: Hasil tangkap sampingan, komposisi, laju tangkap, tuna longline, Samudera Hindia, Benoa ABSTRACT: By-Catch of Tuna Longliner Based at Benoa in the Indian Ocean. By: Bram Setyadji and Budi Nugraha By-catch products are mostly available in every kind of capture fisheries in Indonesia including tuna longline fisheries in Indian Ocean. Most of these are unwanted species or juvenile target fish, sometimes endangered species. The research intended to reveal the by-catch from tuna fisheries and its relationship between tuna and its associate in the same fishing ground. Surveillance was conducted on March – July, 2010 by following two commercial tuna longliners vessel based in Port of Benoa. The result showed that there were 18 by-catch species that managed to be retrieved and indentified, family Alepisauridae; lancetfish (Alepisaurus sp.); Gempylidae; oilfish (Ruvettus pretiosus), and Dasyatidae (Dasyatis spp.) were those which dominated the composition, followed by group of billfishes, sharks and stingrays, teleostei fishes, and sea turtle. By-catch in this research mostly categorised as by-product due to its high economic value except for lancetfish and rays (Dasyatidae) which still categorised as discards. KEYWORDS: By-catch, composition, hook rate, tuna longline, Benoa, Indian ocean
PENDAHULUAN Hasil tangkap sampingan (HTS) hampir terdapat pada semua jenis perikanan tangkap di Indonesia, termasuk pada perikanan rawai tuna di Samudera Hindia. Kebanyakan jenis HTS merupakan spesies yang tidak diinginkan atau jenis ikan target tapi ukurannya di bawah standar yang diinginkan (yuwana atau ikan muda) dan pada kasus tertentu merupakan jenis ikan yang terancam keberadaannya (endangered species). HTS atau by-catch dapat diartikan sebagai ikan hasil tangkapan non target pada suatu perikanan tangkap tertentu (Pauly, 1984; Alverson & Hughes, 1996). ___________________ Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa Jl. Pelabuhan Benoa-Bali
Pada perikanan rawai tuna misalnya, jenis-jenis ikan cucut, pari, setuhuk, layaran dan lainnya sering tertangkap sebagai HTS. Pada perikanan pukat cincin tuna tertangkap ikan-ikan tuna muda (Juvenile tuna). Saville (1980) dalam Pascoe (1997) mengatakan bahwa dampak dari tertangkapnya yuwana atau ikan muda sebagai HTS mengakibatkan terjadinya penurunan populasi ikan. Akibat selanjutnya adalah hilangnya pendapatan nelayan di masa mendatang. Sejauh ini, fokus penelitian terkait HTS adalah pada perikanan demersal, khususnya perikanan trawl dan purse seine (Forget et al., 2010), baik secara lingkungan, biologi maupun ekonomi, berbeda dengan
43
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 43-51
perikanan pelagis besar atau perikanan tuna pada khususnya, beberapa riset HTS pada perikanan tuna kebanyakan subyeknya adalah jenis yang terancam punah terutama penyu (Amandè et al., 2010; Read, 2007) dan burung laut (Huang et al., 2008), spesies lainnya seperti halnya setuhuk, cucut dan pelagis besar lainnya pada perikanan tuna belum banyak diteliti, di Samudera Hindia sebelah barat Sumatera (Nugraha & Nurdin, 2006), di selatan Jawa (Prisantoso et al., 2010), dan Laut Banda (Nugraha & Wagiyo, 2006). Disamping memberikan informasi awal mengenai komposisi hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna yang berbasis di Benoa tulisan ini juga mencoba menganalisis hubungan antara tuna dengan ikan yang berasosiasi dengannya pada area penangkapan (fishing ground) yang sama. BAHAN DAN METODE Wahana, Waktu dan Lokasi Penelitian Kapal rawai tuna KM. A yang diikuti operasi penangkapannya pada bulan Maret-Mei 2010 terbuat dari kayu. Mesin utama bermerk Nissan yang mempunyai kekuatan 350 PK dan mempunyai 2
mesin bantu bermerk Chaming 250 PK. Palka untuk menyimpan hasil tangkapan berjumlah 9 buah dengan kapasitas 9 ton per palka. ABK berjumlah 12 orang. Panjang tali cabang 24 m dengan jarak antar tali cabang 45 m. Panjang tali pelampung 26 m. Jumlah pancing dan jumlah pelampung yang digunakan setiap setting bervariasi. Jumlah pancing yang digunakan mulai dari 432 hingga 1.056 buah pancing, sedangkan jumlah pelampung 36 hingga 88 buah. Jumlah pancing antar pelampung tetap yaitu 12 buah. Umpan yang digunakan adalah ikan lemuru (Sardinella lemuru) dan ikan layang (Decapterus spp.). Daerah penangkapan (fishing ground) terletak pada koordinat 120 00,056 – 120 55,473 LS dan 1180 50,713 – 1200 43,309 BT. Kapal tuna longline KM. B yang diikuti operasi penangkapannya pada bulan Juni-Juli 2010 terbuat dari fiberglass. Mempunyai panjang tali cabang 22 m dengan jarak antar tali cabang 45 m. Panjang tali pelampung 25 m. Jumlah pancing yang digunakan 1.200 buah pancing, sedangkan jumlah pelampung 80 buah. Jumlah pancing antar pelampung tetap yaitu 15 buah. Umpan yang digunakan adalah ikan lemuru (Sardinella lemuru). Daerah penangkapan (fishing ground) terletak pada koordinat 130 00,081 – 140 58,4457 LS dan 1100 02,529 – 1130 55,079 BT (Gambar 1).
Gambar 1. Daerah penangkapan kapal rawai tuna selama penelitian di Samudera Hindia Figure 1. Fishing ground of tuna longliners during observation in Indian Ocean Analisis Data Ikan hasil tangkap sampingan adalah ikan yang ikut tertangkap pada rawai tuna longline selain ikan target, yakni tuna mata besar (bigeye tuna/Thunnus
44
obesus), tuna sirip kuning (yellowfin tuna/Thunnus albacares), tuna sirip biru selatan (southern bluefin tuna/Thunnus maccoyii), dan albakora (albacore/ Thunnus alalunga). Data jenis hasil tangkap sampingan digunakan untuk memperoleh komposisi
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Kapal …………Yang Berbasis di Benoa (Setyadji, B. et al.)
hasil tangkap sampingan tuna longline yang beroperasi di perairan Samudera Hindia dan dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Office Excel. Ukuran panjang (FLT/Fork Length Tape) digunakan untuk mengetahui rentang panjang dari ikan-ikan hasil tangkap sampingan dan dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Office Excel. Analisis deskriptif digunakan dalam upaya untuk mengetahui hubungan antara ikan tuna dengan ikan yang berasosiasi dengannya. Upaya penangkapan dalam perikanan rawai tuna dinyatakan dalam jumlah pancing yang digunakan pada suatu daerah tertentu, sedangkan hasil tangkapan per satuan upaya dihitung sebagai jumlah ikan/bobot ikan yang tertangkap per 100 atau 1.000 pancing (Klawe, 1980). Rumusan ini disebut juga dengan laju pancing (hook rate) yang ditulis dalam persamaan berikut:
………………………..………...…. (1 keterangan: HR = Laju pancing (ekor/100 pancing) JI = Jumlah ikan (ekor) JP = Jumlah pancing A = 100 atau 1.000 (per 100 atau 1.000 pancing)
Penyu lekang
HASIL DAN BAHASAN HASIL Hasil tangkap sampingan KM. A berturut-turut terdiri dari ikan naga (lancetfish; Alepisaurus spp.) 43,2% dengan hook rate rata-rata sebesar 0,79 dan hook rate tertinggi diperoleh pada setting ke 27 yaitu 1,85 dengan menggunakan 432 buah pancing, pari lumpur (Dasyatis spp.) 31%, cakalang (Katsuwonus pelamis) 8,6% dan bawal sabit (sickle pomfret; Taractichthys steindachneri) 7,1%, kemudian jenis lain seperti lemadang (Coryphaena hippurus), ikan pedang (Xiphias gladius), hiu selendang biru (Prionace glauca), ikan gindara (oilfish; Ruvettus pretiosus), setuhuk biru (Makaira mazara), setuhuk hitam (M. indica), ikan opah (moonfish; Lampris guttatus), ikan mola (sunfish; Mola mola) dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) yang jumlahnya dibawah 5% (Gambar 2; Tabel 1). Ikan naga yang tertangkap memiliki ukuran panjang 85-150 cm. Setuhuk biru, yang merupakan salah satu HTS dari jenis ikan berparuh (billfishes) mempunyai ukuran yang cukup besar yakni 140-210 cm (Tabel 2).
0.6
Pari Lumpur
31
Hiu selendang biru
0.2
Ikan naga
43.2
Spesies
Ikan setan
3.8
Mola-mola
0.8
Lemadang
0.4
Opah
2.6
Bawal sabit
7.1
Cakalang
8.6
Ikan pedang
0.9
Setuhuk biru
0.6
Setuhuk hitam
0.2 0
10
20
30
40
50
Frekuensi Hasil Tangkapan (%)
Gambar 2. Komposisi hasil tangkap sampingan kapal rawai tuna KM. A pada bulan Maret-Mei 2010 di Samudera Hindia Figure 2. By-catch composition of tuna longliners vessel (KM. A) on March – May 2010 in Indian Ocean
45
Setting
Jumlah Pancing
Ikan Naga HR (%)
Ikan Pari HR (%)
Bawal Sabit HR (%)
Ikan gindara HR (%)
Lemadang HR (%)
Ikan Mola HR (%)
Ikan Opah HR (%)
Ikan Pedang HR (%)
Setuhu k Biru HR (%)
Cakalan g HR (%)
1
864
0,35
0,23
0,23
0,12
0,12
0,00
0,00
0,00
0,12
0,00
2
864
0,46
0,46
0,23
0,23
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3
864
0,35
0,58
0,46
0,00
0,00
0,12
0,23
0,00
0,00
0,00
4
1.056
0,57
0,47
0,66
0,09
0,00
0,00
0,09
0,19
0,09
0,00
5
1.056
0,76
0,28
0,00
0,00
0,00
0,00
0,28
0,00
0,00
0,00
6
1.056
0,76
1,14
0,28
0,09
0,00
0,00
0,09
0,00
0,00
0,00
7
819
0,37
0,61
0,12
0,00
0,00
0,00
0,00
0,12
0,00
0,00
8
1.056
0,09
0,76
0,19
0,19
0,00
0,00
0,19
0,00
0,00
0,00
9
720
1,11
0,56
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
10
1.008
0,50
0,79
0,10
0,10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
11
1.056
0,76
0,57
0,09
0,19
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
12
1.056
1,04
0,57
0,19
0,00
0,00
0,00
0,09
0,00
0,00
0,00
13
768
1,30
0,65
0,13
0,00
0,00
0,00
0,13
0,00
0,00
0,00
14
960
1,25
0,73
0,00
0,21
0,00
0,10
0,00
0,00
0,00
0,00
15
768
0,91
0,91
0,13
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
16
768
1,56
0,91
0,13
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
17
720
0,28
0,42
0,28
0,14
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,14
18
960
1,77
0,63
0,10
0,00
0,00
0,00
0,21
0,00
0,00
0,00
19
960
1,46
1,15
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
20
864
0,58
0,23
0,00
0,00
0,00
0,00
0,12
0,00
0,00
0,12
21
1.056
0,57
0,57
0,09
0,09
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
22
1.056
0,66
0,38
0,09
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Selenda ng Biru HR (%)
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 43-51
46
Tabel 1. Laju pancing (hook rate) hasil tangkap sampingan kapal rawai tuna KM. A per setting Table 1.Hook rate of by-catch of tuna longliners (KM. A) per setting
Tabel 1. Lanjutan ……. Table 1. Continue …….
Setting
Jumlah pancing
Ikan naga HR (%)
Pari lumpur HR (%)
Bawal sabit HR (%)
Ikan gindara HR (%)
Lemadan g HR (%)
Ikan mola HR (%)
Ikan opah HR (%)
Ikan pedang HR (%)
Setuhu k biru HR (%)
Cakalan g HR (%)
576
0,52
0,35
0,17
0,00
0,17
0,00
0,00
0,00
0,17
0,00
24
480
1,04
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,21
25
1.008
0,50
0,89
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,10
26
1.056
0,47
0,57
0,00
0,09
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
27
432
1,85
0,93
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
28
1.056
1,23
0,47
0,09
0,09
0,00
0,00
0,00
0,09
0,00
0,38
29
768
0,52
0,26
0,13
0,26
0,00
0,13
0,00
0,00
0,00
0,39
30
1.008
0,69
0,20
0,10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,29
31
576
1,04
0,52
0,17
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,04
32
576
1,39
0,35
0,00
0,17
0,00
0,17
0,00
0,00
0,00
1,04
33
624
0,32
0,48
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,16
0,00
0,48
34 Total
768 29.283
0,52 0,79
0,13 0,56
0,00 0,13
0,13 0,07
0,00 0,01
0,00 0,01
0,00 0,05
0,00 0,02
0,00 0,01
0,91 0,16
HR (%)
47
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Kapal …………Yang Berbasis di Benoa (Setyadji, B. et al.)
23
selendan
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 43-51
Tabel 2. Ukuran ikan hasil tangkap sampingan yang tertangkap kapal rawai tuna KM. A pada bulan MaretMei 2010 di Samudera Hindia Tabel 2. Size of captured by-catch fishes of tuna longliners (KM.A) on March – May 2010 in Indian Ocean Spesies / Species Bawal sabit (Taractichthys steindachneri) Cakalang (Katsuwonus pelamis) Hiu selendang biru (Prionace glauca) Ikan mola (Mola mola) Ikan naga (Alepisaurus spp.) Ikan opah (Lampris guttatus) Ikan pedang (Xiphias gladius) Ikan setan (Ruvettus pretiosus) Layur (Trichiurus spp.) Lemadang (Coryphaena hippurus) Setuhuk hitam (M. indica) Setuhuk biru (Makaira mazara) Pari lumpur (Dasyatis spp.) Penyu lekang (Lepidochelys olivacea)
Hasil tangkap sampingan KM. A terbesar berturutturut terdiri dari ikan naga (lancetfish; Alepisaurus spp.) 21,5% dengan hook rate rata-rata sebesar 0,20 dan hook rate tertinggi diperoleh pada setting ke 10 yaitu 0,50 dengan menggunakan 1.200 buah pancing, kemudian diikuti oleh ikan gindara (oilfish; Ruvettus pretiosus) 16,5%, hiu selendang biru (Prionace glauca) 13,3%, dan bawal sabit (sickle pomfret; Taractichthys steindachneri) sebesar 11,4%, kemudian dari jenis lemadang (Coryphaena hippurus), ikan pedang (Xiphias gladius), pari lumpur (Dasyatis spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), setuhuk biru (Makaira mazara), ikan opah (moonfish; Lampris guttatus), layur (Trichiurus spp.), ikan todak berparuh pendek (Tetrapturus angustirostris), hiu koboy (Carcharhinus longimanus), ikan layaran (Istiophorus platypterus), tenggiri laki (Acanthocybium solandri), hiu botol (Pseudocarcharias kamoharai) dan hiu martil (Sphyrna spp.) yang persentasenya dibawah 8% (Gambar 4; Tabel 3). Ikan naga yang merupakan hasil tangkap sampingan dominan tidak terukur panjangnya. Ikan pedang yang merupakan salah satu HTS dari jenis ikan berparuh (billfishes) mempunyai ukuran yang cukup besar yaitu memiliki panjang antara 90-220 cm,
48
Panjang / Length (cm) 40 - 74 30 - 96 52 85 - 150 90 - 114 70 - 138 50 - 130 12 97 170 140 - 210 45 - 50
sedangkan dari jenis hiu (sharks) memiliki ukuran yang cukup besar yaitu hiu koboy yang memiliki panjang antara 150-220 cm (Tabel 4).
Spesies
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pari lumpur Hiu koboy Hiu botol Hiu martil Hiu selendang biru Ikan naga Ikan setan Layur Tenggiri laki Lemadang Opah Bawal sabit Cakalang Layaran Ikan todak berparuh pendek Ikan pedang Setuhuk biru
7.6 2.2 0.6 0.3 13.3 21.5 16.5 1.9 3.5 0.3 3.8 11.4 4.7 0.3 6.3 5.4 0.3 0
5
10
15
20
25
Frekuensi Hasil Tangkapan (%)
Gambar 4. Komposisi hasil tangkap sampingan kapal rawai tuna KM. B pada bulan Juni – Juli 2010 di Samudera Hindia Figure 4. By-catch composition of tuna longliners (KM. B) on June – July 2010 in Indian Ocean
Tabel 3. Laju pancing (hook rate) hasil tangkap sampingan kapal rawai tuna KM. B per setting Table 3. Hook rate of by-catch of tuna longline vessel (KM. B) per setting Ikan naga HR (%)
Pari lumpur HR (%)
Setuhuk biru HR (%)
Baw al sabit HR (%)
Ikan gindara HR (%)
Lemadang HR (%)
Ikan opah HR (%)
Ikan pedang HR (%)
Cakalang HR (%)
Hiu selendang biru HR (%)
Layur HR (%)
Ikan todak berparuh pendek HR (%)
Hiu koboy HR (%)
Layaran HR (%)
1
1.200
0,42
0,17
0,00
0,25
0,00
0,00
0,00
0,17
0,00
0,08
0,08
0,00
0,00
0,00
2
1.200
0,58
0,17
0,00
0,08
0,25
0,00
0,08
0,08
0,00
0,08
0,00
0,08
0,00
0,00
3
1.200
0,08
0,08
0,00
0,00
0,33
0,00
0,17
0,00
0,00
0,17
0,00
0,00
0,00
0,00
4
1.200
0,08
0,17
0,00
0,00
0,25
0,00
0,00
0,08
0,00
0,17
0,00
0,25
0,00
0,00
5
1.200
0,08
0,00
0,00
0,25
0,08
0,00
0,08
0,08
0,00
0,17
0,00
0,17
0,00
0,00
6
1.200
0,33
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,25
0,00
0,08
0,08
0,00
7
1.200
0,25
0,08
0,00
0,00
0,17
0,00
0,08
0,00
0,00
0,08
0,00
0,08
0,08
0,00
8
1.200
0,08
0,17
0,00
0,00
0,17
0,00
0,00
0,00
0,00
0,33
0,08
0,08
0,17
0,08
9
1.200
0,08
0,00
0,00
0,00
0,08
0,00
0,17
0,00
0,00
0,25
0,08
0,08
0,00
0,00
10
1.200
0,50
0,08
0,00
0,08
0,17
0,00
0,00
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
11
1.200
0,17
0,00
0,00
0,17
0,67
0,08
0,00
0,08
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
12
1.200
0,08
0,00
0,00
0,00
0,25
0,00
0,00
0,08
0,08
0,17
0,00
0,00
0,17
0,00
13
1.200
0,42
0,00
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,17
0,17
0,08
0,00
0,17
0,00
0,00
14
1.200
0,00
0,00
0,00
0,08
0,08
0,00
0,00
0,08
0,08
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
15
1.200
0,08
0,00
0,00
0,25
0,25
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,17
0,08
0,00
0,00
16
1.200
0,08
0,08
0,00
0,58
0,50
0,00
0,00
0,08
0,00
0,17
0,00
0,08
0,00
0,00
17
1.200
0,25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,08
0,08
0,00
0,08
0,00
0,00
18
1.200
0,17
0,17
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,17
0,17
0,33
0,00
0,17
0,00
0,00
19
1.200
0,00
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,08
0,17
0,00
0,00
0,17
0,00
0,00
20
1.200
0,08
0,08
0,00
0,00
0,08
0,00
0,25
0,08
0,00
0,17
0,00
0,00
0,00
0,00
21
1.200
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,17
0,00
0,00
0,08
0,00
22
1.200
0,25
0,08
0,00
0,17
0,08
0,00
0,08
0,00
0,25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
23
1.200
0,08
0,08
0,00
0,33
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
24
1.200
0,33
0,00
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
25
1.200
0,17
0,08
0,00
0,08
0,25
0,00
0,08
0,00
0,08
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
26
1.200
0,33
0,17
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,08
0,17
0,00
0,00
0,00
0,00
27
1.200
0,42
0,25
0,00
0,33
0,42
0,00
0,00
0,08
0,00
0,25
0,00
0,00
0,00
0,00
28
1.200
0,25
0,08
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,08
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
Total
33.600
0,202
0,071
0,003
0,107
0,155
0,003
0,036
0,051
0,045
0,125
0,018
0,060
0,021
0,003
Setting
Tenggiri HR (%)
0,033
49
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Kapal …………Yang Berbasis di Benoa (Setyadji, B. et al.)
Jumlah pancing
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 43-51
Tabel 4. Ukuran ikan hasil tangkap sampingan yang tertangkap kapal rawai tuna KM. B pada bulan Juni – Juli 2010 di Samudera Hindia Tabel 4. Size of captured by-catch fishes of tuna longliners (KM. B) on June – July 2010 in Indian Ocean No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Spesies / Species Setuhuk biru (Makaira mazara) Ikan todak berparuh pendek (Tetrapturus angustirostris) Ikan pedang (Xiphias gladius) Ikan layaran (Istiophorus platypterus) Hiu botol (Pseudocarcharias kamoharai) Hiu selendang biru (P rionace glauca) Hiu koboy (Carcharhinus Longimanus) Hiu martil (Sphyrna spp. ) Pari lumpur (Dasyatis spp.) Layur (Trichiurus spp.) Ikan opah (Lampris guttatus) Ikan naga (Alepisaurus spp.) Ikan gindara (Ruvettus pretiosus) Cakalang (Katsuwonus pelamis) Tenggiri laki (Acant hocybium solandri) Bawal sabit (Taractichthys steindachneri) Lemadang (Coryphaena hippurus)
BAHASAN Komposisi ikan naga (lancetfish; Alepisaurus spp.), bawal sabit (sickle pomfret; Taractichthys steindachneri) dan jenis pari (Stingray) yang ikut tertangkap sebagai hasil sampingan dominan juga ditemukan di perairan Banda yakni sebesar 33,52%, 38,52%, dan 25,74% (Nugraha & Wagiyo, 2006), dan perikanan rawai tuna Samudera Hindia selatan Jawa (Barata & Prisantoso, 2009; Prisantoso et al., 2010; Nugraha & Triharyuni, 2009) sedangkan di Samudera Hindia barat Sumatera didominasi oleh jenis Lepidocybium flavobrunneum (escolar) 32,65%, Alepisaurus ferox (Lancetfish) 18,39% dan Prionace glauca (blue shark) 14,29% (Nugraha & Nurdin, 2006). Lancetfish hampir ditemukan sebagai hasil tangkap sampingan di semua perikanan rawai tuna di perairan Indonesia. Hal ini dikarenakan spesies ini mempunyai peranan penting pada rantai makanan pelagis yakni sebagai predator pada organisme mikronekton (Romanov et al., 2008) dan sebagai mangsa dari jenis ikan berparuh (billfish) dan tuna (Potier et al., 2007). Keberadaan family Bramidae seperti bawal sabit (Taractichthys steindachneri) telah lama dijadikan acuan akan keberadaan tuna, sedangkan menurut Beverly et al., (2003) species yang memliki nilai ekonomis seperti pomfret, escolar, dan opah ditemukan di perairan laut dalam dan berkelompok dengan bigeye tuna sedangkan snake mackerel, lancetfish, dan pelagic rays dapat tertangkap pada
50
Panjang / Length (cm) 185 100-190 90-220 130 70-120 150-220 160 120 100-120 40-150 50-75 90-150 40-70 120
setiap kedalaman mata pancing. Pada dasarnya hasil tangkap sampingan dapat dimanfaatkan seperti Southern Bluefin Tuna walaupun bukan merupakan target utama penangkapan sering dianggap sebagai bycacth, namun karena nilai ekonomisnya yang tinggi maka disebut hasil tambahan (byproduct). Terdapat 4 jenis ikan cucut tertangkap dari 61 jenis yang berada di Samudera Hindia hasil tangkap sampingan rawai tuna maupun alat-alat tangkap lainnya (Prisantoso et al., 2010) yakni hiu botol (Pseudocarcharias kamoharai), hiu selendang biru (Prionace glauca), hiu koboy (Carcharhinus longimanus), dan hiu martil (Sphyrna spp.), walaupun kebanyakan cucut yang tertangkap merupakan hasil sampingan yang mulai dimanfaatkan mulai dari pemanfaatan sirip dan dagingnya oleh industri perikanan yang menampung jenis ikan tersebut (Nugraha & Wagiyo, 2006). Komposisi hasil tangkap sampingan yang berada bersamaan dengan tangkapan utama membentuk asosiasi yang unik dimana terjadi proses rantai makanan dan ketergantungan antar spesies (Foumanoir, 1971). KESIMPULAN 1. Terdapat 18 jenis hasil tangkap sampingan yang didominasi dari family Alepisauridae; ikan naga (Alepisaurus sp.); Gempylidae; ikan gindara
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Kapal …………Yang Berbasis di Benoa (Setyadji, B. et al.)
(oilfish; Ruvettus pretiosus) dan Dasyatidae; Pari Lumpur (Dasyatis spp.) sedangkan lainnya merupakan jenis-jenis ikan paruh panjang (Billfish), berbagai jenis cucut dan pari, ikan teleostei lainnya, serta penyu. 2. Ada hubungan antara tuna dengan ikan yang berasosiasi dengannya dalam proses rantai makanan dan ketergantungan antar spesies. 3. Kebanyakan dari hasil tangkap sampingan merupakan by-product yang mempunyai nilai ekonomis tinggi kecuali jenis ikan naga dan pari lumpur yang merupakan discard/buangan.
Huang, H.W., Chang, K.Y. & J.P. Tai. 2008. Preliminary estimation of seabird bycatch of Taiwanese longline fisheries in the Indian Ocean. IOTC-2008-WPEB-17. 5 p. Nugraha, B & E. Nurdin. 2006. Penangkapan tuna dengan menggunakan kapal riset M.V. SEAFDEC di perairan Samudera Hindia. BAWAL. 1 (3). 95– 105. Nugraha, B & K. Wagiyo. 2006. Hasil tangkap sampingan (by-catch) tuna long line di perairan Laut Banda. BAWAL. 1 (2). 71-75.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset pemanfaatan hasil tangkap sampingan perikanan tuna di Samudera Hindia T.A. 2010, di Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Alverson, D.L. & S.E. Hughes. 1996. By-catch: from emotion to effective natural recource management. Review in fish Biology and fisheries 6. p. 443-442. Amandè, M.J., Lennert-Cody, C.E., Bez, N., Hall, M. & A.C. Chassot. 2010. How much sampling coverage affects bycatch estimates in purse seine fisheries? IOTC-2010-WPEB-20. 16 p. Barata, A & B.I. Prisantoso. 2009. Beberapa jenis ikan bawal (Angel fish, Bramidae) yang tertangkap dengan rawai tuna (tuna long line) di Samudera Hindia dan aspek penangkapannya. BAWAL. 2 (5). 223–227. Beverly, S., Chapman, L & W. Sokimi. 2003. Horizontal longline fishing methods and techniques: a manual for fisherman. Multipress, Noumea, New Caledonia. 130 p. Forget, F.R.G., Dagorn, L., Filmalter, J.D., Soria, M. & R. Govinden. 2010. Behaviour of two major bycatch species of tuna purse-seiners at FADs: oceanic triggerfish (Canthidermis maculatus) and rainbow runner (Elagatis bipinnulata). IOTC-2010WPEB-11. 10 p. Foumanoir, P. 1971. Liste des espèces de poissons contenus dans les estomacs de thons jaunes, Thunnus albacares (Bonnaterre) 1788 et de thons blancs, Thunnus alalunga (Bonnaterre) 1788. Cah. ORSTOM, Ser. Oceanogr. (9): 109–118.
Nugraha, B & S. Triharyuni. 2009. Pengaruh suhu dan kedalaman mata pancing rawai tuna (tuna long line) terhadap hasil tangkapan tuna di Samudera Hindia. J. Lit. Perikan. Ind. 15 (3). 239–247. Pascoe, S. 1997. By-catch management and economics of discarding. FAO Fisheries Technical Paper. No. 370 Rome, FAO. 137 p. Pauly, D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters: A manual for use with program-mable calculators. ICLARM Studies reviews. (8). 325 p. Potier, M., Marsac, F., Cherel, Y., Lucas, V., Sabati´e, R., Mauryb, O & F. M´enard. 2007. Forage fauna in the diet of three large pelagic fishes (lancetfish, swordfish and yellowfin tuna) in the western equatorial Indian Ocean. Fisheries Research. 83: 60–72. Prisantoso, B.I., Widodo, A.A., Mahiswara. & L. Sadiyah. 2010. Beberapa jenis hasil tangkap sampingan (by-catch) kapal rawai tuna di Samudera Hindia yang berbasis di Cilacap. J. Lit. Perikan. Ind. 16 (3). 185-194. Read, A.J. 2007. Do circle hooks reduce the mortality of sea turtles in pelagic longlines? A review of recent experiments. Biological Conservation I. 35: 155-169. Romanov, E.V., Ménard,F., Zamorov, V.V & M. Potier. 2008. Variability in conspecific predation among longnose lancetfish Alepisaurus ferox in the western Indian Ocean. Fisheries Science. 74: 62– 68.
51
Optimasi Jumlah Rumpon, Unit Armada ……………………...di Perairan Prigi, Jawa Timur (Nurdin, E., et al.)
OPTIMASI JUMLAH RUMPON, UNIT ARMADA DAN MUSIM PENANGKAPAN PERIKANAN TUNA DI PERAIRAN PRIGI, JAWA TIMUR Erfind Nurdin1), Am Azbas Taurusman2) dan Roza Yusfiandayani2) 1)
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut-BRPL 2) Dosen pada Institut Pertanian Bogor-IPB Teregistrasi I tanggal: 22 Desember 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 12 Maret 2012; Disetujui terbit tanggal: 14 Maret 2012
ABSTRAK Sebagai alat bantu penangkapan ikan, rumpon berfungsi untuk menarik kelompok ikan agar berkumpul di sekitarnya. Dalam jangka pendek rumpon dapat meningkatkan produksi hasil tangkapan, efisiensi dan efektivitas operasi penangkapan ikan. Namun rumpon juga dapat berdampak negatif terhadap keberlajutan stok sumberdaya. Penelitian ini dilakukan di PPN Prigi, Jawa Timur, dengan tujuan untuk mengkaji status pemanfaatan perikanan tuna, optimasi jumlah unit armada dan rumpon serta musim penangkapan ikan. Beberapa analisis yang digunakan antara lain linear goal programming (LGP), fishing power indeks (FPI), catch per unit of effort (CPUE), maximum sustainable yield (MSY), dan untuk mengetahui pola musim tangkap menggunakan Metode Persentase Ratarata. Hasil penelitian menunjukkan terdapat indikasi pemanfaatan perikanan tuna yang berlebih pada tingkat pengupayaan yang melampaui batas maksimum (MSY = 2334,9 ton/tahun). Jumlah optimum untuk armada jaring insang sebanyak 43 unit, pancing tonda 63 unit dan rumpon 33 unit pada luasan area penelitian 8.940 km². Musim tangkap berlangsung pada Bulan Juni sampai Desember dengan puncak musim di bulan Juli. KATA KUNCI: Rumpon, MSY, musim penangkapan ikan, perikanan tuna, PPN Prigi-Jawa Timur ABSTRACT: Optimization of FADs number, fishing fleets and fishing season of tuna fishery in Prigi Waters, East Java. By: Erfind Nurdin, Azbas Taurusman and Roza Yusfiandayani Fish Aggregating Device (FADs) has a function to attract and aggregate fish schooling. In short term, the advantage of FADs used is to increase the efficiency and effectiveness of fishing operations and the fish caught by the fishers; however FADs might also result a negative impact on the sustainability of fish stock.This study was conducted in fishing area of Prigi National Fishing Port, East Java. The objective of this study is to investigate the tuna fisheries status, optimization number of fishing units and number of FADs. Some analysis methods applied in this study were linear goal programming (LGP), fishing power index (FPI), catch per unit of effort (CPUE), maximum sustainable yield (MSY), and analysis of fishing season using the Average Percentage Methods. The results showed that the tuna fisheries in Prigi have indicated over-exploitation (MSY = 2334,9 tons/year). The optimum allocation of gillnets is 43 units, troll 63 units and FADs 33 units operated in the fishing ground area of 8,940 km². The fishing season occurred during June to December with the peak season in July. KEYWORDS: FADs, MSY, fishing season, Tuna fisheries, PPN Prigi-East Java
PENDAHULUAN Penggunaan alat bantu pengumpul ikan seperti rumpon banyak ditemukan pada perikanan tuna skala kecil. Rumpon terbukti dapat meningkatkan efisiensi penangkapan melalui ketepatan daerah penangkapan. Pengembangan penggunaan rumpon yang terjadi saat ini diikuti dengan berkembangnya usaha penangkapan tuna dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Saat ini kompetisi antara unit penangkapan ikan dalam penggunaan rumpon semakin tinggi sehingga mengakibatkan kontra produktif terhadap efisiensi penangkapan dan dapat menimbulkan dampak negatif tehadap sumberdaya ikan.
Tingkat pemanfaatan rumpon saat ini menunjukkan perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya jumlah armada kapal yang melakukan operasi penangkapan di sekitar rumpon. Penerapan teknologi rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan akan memberikan keuntungan dan juga kerugian. Dalam jangka pendek, adanya rumpon akan meningkatkan pendapatan nelayan, sedangkan pada jangka panjang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap penurunan stok dan kelestarian sumber daya ikan, produksi hasil tangkapan dan akhirnya terhadap kesejahteraan nelayan.
53
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 53-60
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat pemanfaatan perikanan tuna, optimalisasi jumlah rumpon dan unit armada penangkapan serta mengkaji musim penangkapan ikan. Dasar pertimbangan yang menjadi kerangka pemikiran adalah peningkatan pemasangan rumpon yang menyebabkan peningkatan aktivitas penangkapan di lokasi penelitian. Peningkatan aktivitas penangkapan pada awalnya dapat meningkatkan produksi, namun seiring dengan berjalan waktu dapat mengakibatkan penurunan hasil tangkapan akibat dari semakin berkurangnya stok ikan. Untuk itu perlu adanya pengelolaan dengan cara mengoptimalkan jumlah rumpon dan unit armada yang beroperasi sehingga terjadi keseimbangan hasil tangkapan dan ketersediaan stok ikan. BAHAN DAN METODE Penentuan posisi rumpon menggunakan alat bantu global positioning system (GPS), selanjutnya diolah menggunakan program arcview GIS 33 sebagai transformasi data dalam bentuk peta lokasi rumpon. Penentuan luas wilayah, jarak dan jumlah rumpon menggunakan software MS Excel mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian no, 51/Kpts/ik,250/1/ 97 bahwa jarak pemasangan antar rumpon minimal 10 mil laut. Untuk mengetahui status pemanfaatan ikan tuna di PPN Prigi, menggunakan data produksi hasil tangkapan dan effort tahun 2004-2009 yang diperoleh dari logbook pendaratan yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi Trenggalek Jawa Timur, yang kemudian ditampilkan ke dalam laporan statistik PPN Prigi. Analisis yang digunakan untuk mengetahui status pemanfaatan ikan tuna di PPN Prigi adalah analisis surplus produksi dengan parameter:
Disequilibrium Schaefer: Ds = ln
U t + 1 − U t −1 r =r− U t − qE t ………..… 2) qK 2U t
Walter Hilborn: WH =
U t +1 r −1 = r − U t − qEt .......………….. 3) Ut qK U t +1 r U t +1 + U t ( E + Et +1 ) )−q t Schnute: ln U = r − qK ( ..4) 2 2 t
Clark Yashimoto Pooley (CYP): CYP =
ln(U t +1 ) =
Formula yang digunakan untuk menduga nilai MSY menggunakan lima model pendekatan sebagai berikut: Equilibrium Schaefer:
ht = qKE t − Q 2 K / rE t2 54
….......……….. 1)
....5)
keterangan: Ut : Catch per unit effort (CPUE) pada periode t U t+1 : Catch per unit effort (CPUE) pada periode t+1 Et : Effort pada periode t E t+1 : Effort pada periode t+1 Ht : Hasil tangkapan pada periode t K : Konstanta daya dukung alam r : Konstanta laju pertumbuhan alami Q : Koefisien daya tangkap Untuk mengetahui kelayakan teknis dalam penentuan jumlah unit armada yang beroperasi di sekitar rumpon menggunakan analisis Linear Goal Programming (LGP) dengan software LINDO 6.3. LGP digunakan untuk menyelesaikan masalah dengan sasaran lebih dari satu fungsi tujuan. Fungsi tujuan tersebut untuk meminimumkan deviasi terhadap target yang telah ditetapkan dengan memperhatikan berbagai kendala yang ada (kendala tujuan). l
MinZ =
k =0
MinZ =
m
∑ ∑ Pk ( dBi n
∑ aijXj j =1
a) Fishing power index (FPI) untuk standarisasi alat tangkap (Gulland, 1983), b) Pendugaan potensi dan tingkat upaya pemanfaatan dilakukan berdasarkan Model Produksi Surplus. Analisis Catch Per Unit Effort (CPUE) dan MSY (Maximum sustainable yield) menurut Sparre & Venema (1999).
2r (2 − r ) q ln(qK ) + ln(U t ) − ( Et + Et +1 ) 2+r 2 + r) (2 + r )
i =1
+ dAi ) ..........6)
+ dBi − dAi = bi ….……....7)
keterangan: P k = Urutan prioritas a ij = Koefisien dBi = Deviasi ke bawah X j = Variable keputusan dAi = Deviasi ke atas Analisis pola musim penangkapan menggunakan metode persentase rata-rata (the average percentage methods) dengan minimal data 5 tahun yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Time Series Analysis) (Spiegel, 1961).
Optimasi Jumlah Rumpon, Unit Armada ……………………...di Perairan Prigi, Jawa Timur (Nurdin, E., et al.)
a) Menghitung nilai hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE = Catch Per Unit Effort = U) per bulan (Ui) dan rata-rata bulanan CPUE dalam setahun ( U ) .
U =
1 m ∑ U i ............................................ 8) m i =1
seiring dengan awal-awal penggunaan alat bantu rumpon, unit armada mengalami perkembangan yang cukup pesat hingga 2007 (Gambar 1). Hal ini disebabkan pada saat itu penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan sangat berpengaruh terhadap produksi hasil tangkapan.
U =CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip) i = CPUE per bulan (ton/trip) m = 12 (jumlah bulan dalam setahun) b) Menghitung nilai U p yaitu rasio U i terhadap
U dinyatakan dalam persen:
Up =
Ui U
x 100% .........................................9)
c) Selanjutnya dihitung: IMi = 1 t Up .............................................10) ∑ t i =1 IMi = Indeks Musim ke i t = Jumlah tahun dari data
Gambar 1. Perkembangan armada penangkapan di PPN Prigi. Figure 1. Development of fishing fleets in Prigi fishing port
d) Jika jumlah IMi tidak sama dengan 1200% (12 bulan x 100%), maka diperlukan penyesuaian dengan rumus (3) sebagai berikut:
Produksi tertinggi armada jaring insang pada 2004 sebesar 675 ton dan yang terendah pada 2007 sebesar 226 ton, sedangkan armada tonda tertinggi pada tahun 1200 X IMi .....................................11) 2005 hingga mencapai 2.155 ton dan terendah pada IMSi = m 2008 sebesar 872 ton (Gambar 2). Terjadi peningkatan ∑ IMi produksi pada 2004 dan 2005 akibat dari penggunaan i =1 U rumpon oleh nelayan Prigi, namun pada 2006 hingga IMSi = Indeks Musim ke i yang disesuaikan e) Jika dalam perhitungan ada nilai ekstrim pada Up, 2009 terjadi penurunan produksi yang disebabkan maka nilai Up tidak digunakan dalam perhitungan oleh penambahan jumlah rumpon dan unit armada Indeks Musim (IM), yang digunakan ialah median pada lokasi penangkapan yang sama. (Md) dari IM tersebut. Jika jumlah nilai Md tidak 2,500 sebesar 1200 %, maka perlu dilakukan Jaring insang penyesuaian sebagai berikut: 2,000
IMMdS i = Indeks Musim dengan Median yang disesuaikan ke i.
Tonda
Ton
1200 X Mdi .................................12) IMMdSi = m Mdi ∑ i =1
1,500 1,000 500 0 2003
Penentuan musim ikan jika indeks musim (IM) lebih dari 1 (lebih dari 100%), dan bukan musim jika IM kurang dari 1 (kurang dari 100%). Apabila IM= 1 (100%), dikatakan dalam keadaan normal atau berimbang (Spiegel, 1961). HASIL DAN BAHASAN Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Penangkapan ikan di sekitar rumpon oleh nelayan Prigi dilakukan oleh dua jenis unit armada yaitu unit armada pancing tonda dan jaring insang. Pada 2004
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 2. Produksi armada penangkapan di sekitar rumpon, PPN Prigi. Figure 2. Fishing fleets production around FADs, in Prigi fishing port Pemanfaatan jenis tuna di rumpon secara terus menerus dilakukan oleh nelayan Prigi menggunakan alat tangkap tonda dan jaring insang dan umumnya menggunakan kapal motor dengan bobot < 10 GT. Hasil perhitungan pada 2004 sampai 2009
55
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 53-60
Setiap alat tangkap ikan dapat melakukan penangkapan pada lokasi yang sama atau tujuan komoditas tangkapan yang sama pula, namun masing-masing alat tangkap tersebut memiliki kemampuan menangkap ikan yang berbeda. Untuk menyetarakan kemampuan dari alat tangkap yang berbeda tersebut dilakukan dengan cara standarisasi alat tangkap.
Standarisasi hasil tangkapan terhadap setiap alat tangkap perlu dilakukan sebelum perhitungan nilai catch per unit effort (CPUE) yaitu dengan membandingkan hasil tangkapan ikan per unit upaya masing-masing alat tangkap. Rata-rata CPUE amada tonda lebih besar dari jaring insang, maka armada tonda dijadikan standar dengan nilai Fishing Power Indeks (FPI) sama dengan satu. Hasil standarisasi menunjukkan nilai CPUE yang fluktuatif. Nilai CPUE tertinggi pada tahun 2005 sebesar 42,25 ton/unit dan terendah pada tahun 2008 sebesar 12,11 ton/unit dengan rata-rata 22,06 ton/unit (Gambar 3). Analisis potensi menggunakan model pendekatan Equilibrium Schaefer, karena setelah dilakukan validasi terhadap lima model pendekatan diperoleh nilai rata-rata hasil validasi model terendah (0,21) dibandingkan dengan model yang lainnya (Tabel 2).
Tahun/ Year 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
CPUE (ton/unit) Tonda Gillnet 35,79 39,71 42,25 9,65 16,77 10,86 12,15 5,26 12,11 8,70 13,31 6,58 22,06 13,46
FPI Tonda Gillnet 1 1,11 1 0,23 1 0,65 1 0,43 1 0,72 1 0,49 1 0,61
Tabel 2. Model surplus produksi Table 2. Surplus production model
Rata-rata produksi hasil tangkapan aktual rumpon pada 2005 sampai 2009 sebesar 1498,83 ton, dengan rata-rata jumlah upaya penangkapan setelah standarisasi sebanyak 86 unit armada. Dengan menggunakan perhitungan surplus produksi model equilibrium schaefer, diperoleh rata-rata produksi hasil tangkapan sebesar 1498,83 ton dengan nilai rata-rata validasi sebesar 0,214 (Tabel 3).
56
Produksi (ton)
3000.00
Tabel 1. Standarisasi alat tangkap Table 1. Fishing gear standardization
120.00 105.00 90.00 75.00 60.00 45.00 30.00 15.00 0.00
2500.00 2000.00 1500.00 1000.00 500.00 0.00 2004
2005
2006
2007
2008
Indek
menunjukkan bahwa pemanfaatan hasil tangkapan di rumpon cukup tinggi dengan nilai catch per unit effort (CPUE) armada tonda lebih besar dari nilai CPUE armada jaring insang. Nilai CPUE armada tonda tertinggi pada 2005 sebesar 42,25 ton/unit dan terendah pada 2008 sebesar 12,11 ton/unit dengan rata-rata 22,06 ton/unit/tahun. Armada jaring insang nilai CPUE tertinggi pada 2004 sebesar 39,71 ton/ unit dan terendah pada 2007 sebesar 5,26 ton/unit dengan rata-rata 13,46 ton/unit (Tabel 1).
2009
Tahun Prod (ton)
E std (unit)
CPUE std (ton/unit/tahun)
Kesesuaian R Model Square Gambar 3. Produksi, upaya (E) tanda dan CPUE standar. (R²) Figure 3. Production, effort and CPUE standard Equilibrium Schaefer Sesuai 0,9 Disequilibrium Sesuai 0,6 schaefer Walter Hilborn Tidak sesuai 0,8 Schnute Sesuai 1,0 CYP Tidak sesuai 1,0
Hasil perhitungan dengan model ini diperoleh nilai hasil tangkapan lestari (CMsy) sebesar 2.334,9 ton per-tahun. Kurva hubungan antara produksi (catch), upaya penangkapan (effort) dan hasil tangkapan perupaya (cpue) menunjukkan pada 2005 sampai 2009 hasil tangkapan terus menurun seiring dengan pertambahan upaya penangkapan (Gambar 4).
Intercept 83,37 6,21 -0,15 1,32 4,06
V
Optimasi Jumlah Rumpon, Unit Armada ……………………...di Perairan Prigi, Jawa Timur (Nurdin, E., et al.)
Tabel 3. Validasi model equilibrium schaefer Table 3. Validation of equilibrium Schaefer model Tahun
C-aktual
E-std
C-dugaan
Validasi
2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
2483 1423 1101 1246 1241,14 1498,83
58,76 84,84 90,60 102,88 93,26 86,07
2329,30 1716,50 1445,08 700,59 1302,67 1498,83
0,06 0,21 0,31 0,44 0,50 0,21
Gambar 5. Posisi rumpon nelayan Prigi. Figure 5. FADs position of Prigi fisherman.
Gambar 4. Kurva produksi dan upaya penangkapan di rumpon Figure 4. Production and effort curve in FADs Optimasi rumpon dan unit armada penangkapan ikan
Keputusan Menteri Pertanian nomor: 51/Kpts/ ik.250/1/97, rumpon dipasang dengan jarak antar rumpon minimal 10 mil laut. Menurut peraturan tersebut untuk wilayah penyebaran rumpon yang berhasil didata 8.940 km² jumlah rumpon yang layak pada wilayah tersebut 33 unit dengan jarak pengaruh rumpon 9,26 km (H”5nmil) dengan area luasan per unit rumpon 270 km². Kleiber & Hampton (1994), Dagorn et al., (2000) menyatakan bahwa rumpon berpengaruh pada radius 9 km (H”5nmil), dengan asumsi jarak antar rumpon 18 km (H” 10 nmil).
Rumpon yang berhasil dicatat selama penelitian berjumlah 55 unit dengan posisi seperti disajikan pada Gambar 5. Namun tidak menutup kemungkinan masih terdapat rumpon lain yang belum tercatat. Hal ini disebabkan tidak adanya pendataan jumlah dan posisi rumpon yang akurat oleh aparat setempat yang berwenang, dan nelayan merahasiakan lokasi rumpon mereka.
Pendekatan optimalisasi unit armada penangkapan ikan menggunakan linear goal programming (LGP) dengan program LINDO 6.3 untuk memperoleh jumlah alokasi masing-masing unit armada yang optimal di sekitar rumpon.
Posisi rumpon nelayan Prigi dari fishing base (PPN Prigi) tercatat sebelah paling barat hingga ke lokasi selatan Yogyakarta pada posisi 08º442 243 LS, 110º402 393 BT, sedangkan yang terjauh ke arah selatan hingga 09º202 123 LS, 110º552 293 BT, dan rumpon terdekat pada posisi 08º342 093 LS, 111º422 043 BT. Hasil perhitungan menunjukkan jarak terdekat antar rumpon berjarak 1,80 mil-laut dan jarak terjauh antar rumpon berjarak 12,88 mil-laut, dengan rata-rata antar rumpon berjarak 5,16 mil-laut.
1) Mengoptimalkan hasil tangkapan tuna sesuai nilai
Fungsi tujuan, fungsi pembatas dan variabel keputusan dirumuskan sebagai berikut: Z = Min DB1 + DA1 + DB2 + DA2 + DA3 + DA4 + DA5 + DB6 ................................................7) Fungsi pembatas:
TAC 1,39X1 + 14,08X2 + DB1 - DA1 = 959 (ton/tahun) 2) Mengoptimalkan hasil tangkapan cakalang sesuai nilai TAC 2,8X1 + 15,28X2 + DB2 - DA2 = 872 (ton/tahun) 3) Mengoptimalkan penggunaan es 1,1X1 +1,36X2 - DA3 d” 6367 (ton/tahun) 4) Mengoptimalkan penggunaan air tawar
57
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 53-60
0,2X1 + 0,36X2 - DA4 d” 7242 (ton/tahun)
5) Mengoptimalkan penggunaan bahan bakar 0,35X1 + 0,425X2 - DA5 d” 3013 (ton/tahun)
dan Desember, sedangkan pada bulan Januari sampai Mei terindikasi bukan musim ikan atau paceklik (Gambar 6).
6) Mengoptimalkan jumlah ABK 4X1 + 4X2 + DB6 e” 460 (orang/tahun) Variabel keputusan: 1. X1 d” 43 2. X2 d” 72
Tabel 5. Nilai Indeks Musim (IM) perikanan tuna di PPN Prigi Table 5. Seasonal index of tuna fisheries in Prigi fishing port No
Hasil analisis diperoleh alokasi unit armada penangkapan di sekitar rumpon untuk jaring insang hanyut (X1) sebanyak 43 unit, yang mana tidak terjadi perubahan terhadap kondisi aktual di lapangan. Sedangkan untuk armada tonda (X2) mengalami perubahan pengurangan alokasi unit armada penangkapan sebanyak 9 armada (dari 72 unit menjadi 63 unit). Perbandingan alokasi unit armada penangkapan di sekitar rumpon pada kondisi aktual saat ini dengan hasil analisis optimasi dapat dilihat dalam Tabel 4.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tabel 4. Alokasi unit armada penangkapan ikan di rumpon Table 4. Fishing fleets allocation in FADs
Bulan / Month Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Indeks / Index (%) 82.51 74.06 79.87 80.32 93.49 98.33 125.49 124.55 111.80 114.49 114.40 100.69
140.00 120.00
Jaring insang hanyut Tonda
100.00
Indeks
Jenis armada/ Vessel type
Alokasi unit armada penangkapan ikan/ Vessel allocation (unit) Kondisi aktual/ Hasil optimasi/ Actual condition Optimalization 43 43 72 63
80.00 60.00 40.00
Indeks
20.00
Normal
0.00 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Bulan
Musim penangkapan ikan Tidak pastinya musim penangkapan ikan dapat menyebabkan operasi penangkapan tidak efisien dengan biaya yang tinggi. Pengetahuan nelayan mengenai musim penangkapan ikan diharapkan mampu mengurangi beban biaya operasional dengan penentuan waktu yang lebih baik sebelum melaut. Hasil perhitungan pendugaan indeks musim (Tabel 5) terlihat bahwa musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Juli sampai Desember dengan nilai indeks diatas nilai 100%. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas penangkapan ikan di sekitar rumpon pada periode bulan tersebut memberikan hasil produksi yang lebih baik. Dari hasil perhitungan pendugaan indeks musim terlihat bahwa musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Juli sampai November dengan nilai indeks diatas nilai 100% dan puncak musim pada bulan Juli dan Agustus. Keadaan normal terjadi pada bulan Juni
58
Gambar 6. Indeks musim penangkapan Figure 6. Seasonal fishing index Puncak musim penangkapan terjadi pada musim timur (Juli dan Agustus) dimana kondisi perairan pada bulan tersebut relatif tenang hingga musim peralihan II (September – November). Pada bulan Desember terjadi perubahan musim menuju ke musim barat (Desember – Februari) yang mana pada saat ini kondisi alam perairan kurang baik sehingga banyak nelayan yang tidak melaut yang mengakibatkan penurunan trend musim penangkapan ikan karena terjadi angin barat yang bertiup kencang dan ombak besar sehingga jumlah trip penangkapan berkurang. Perbedaan musim tangkap, bisa saja disebabkan oleh perbedaan jumlah armada penangkapan pada saat penelitian dilakukan. Musim peralihan I (Maret–Mei) kondisi perairan masih dalam penyesuaian menuju musim timur sehingga masih terjadi kondisi alam yang buruk, pada
Optimasi Jumlah Rumpon, Unit Armada ……………………...di Perairan Prigi, Jawa Timur (Nurdin, E., et al.)
bulan-bulan ini walaupun terlihat tren nilai indeks musim penangkapan masih dibawah normal tetapi terjadi kenaikan tren yang menuju nilai normal.
ada tuntutan dari nelayan huhate (pole and line) Sulawesi Utara bahwa hasil tangkapan mereka menurun tajam.
Hasil perhitungan musim penangkapan ikan (tuna dan cakalang) di PPN Prigi hampir sama dengan puncak musim di Samudera Hindia dengan basis Sumatera barat menggunakan alat tangkap tonda berlangsung pada bulan Oktober, di Pelabuhanratu dengan alat tangkap jaring insang berlangsung pada bulan Juli- Oktober dengan puncak musim pada bulan September, Cilacap dengan alat tangkap tonda dan jaring insang berlangsung pada bulan Juni sampai Oktober dengan puncak musim pada bulan September (BRPL, 2004).
Naamin & Chong (1987) menyatakan pada awal penggunaan rumpon laut dalam di Sorong antara tahun 1985 sampai 1986, ternyata dapat meningkatkan hasil tangkapan. Namun demikian dengan bertambahnya penggunaan rumpon pada tahun-tahun berikutnya terlihat kecenderungan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE).
Salah satu penentu kesuburan perairan yang dapat berpengaruh terhadap produksi dan musim penangkapan ikan adalah terjadinya upwelling. Nontji (1987) menyatakan bahwa upwelling berskala besar terjadi di Perairan Selatan Jawa, sedangkan berskala kecil terjadi di Selat Bali dan Selat Makasar. Upwelling di perairan Indonesia bersifat musiman yang terjadi pada musim timur (Mei–September), hal ini menunjukan adanya hubungan antara upwelling dan musim. Pengembangan dan Pengelolaan Pengembangan penggunaan rumpon berguna untuk upaya peningkatan produksi perikanan, tetapi pengembangan rumpon yang tidak teratur dan dengan jarak antar rumpon yang terlalu dekat dapat menimbulkan beberapa masalah, antara lain merusak pola ruaya ikan yang berimigrasi jauh sehingga mengganggu keseimbangan dan konflik antar nelayan, kemudahan penangkapan ikan dengan menggunakan rumpon dapat menimbulkan lebih tangkap (over fishing), dan kelebihan kapasitas penangkapan (over capacity). Nahib (2008) menyatakan bahwa sistem pengelolaan perikanan tuna di perairan Teluk Palabuhanratu berdasarkan atas analisis Phase Plane biomass ikan dan effort termasuk dalam sistem kuadran 3 yang mana peningkatan effort akan menyebabkan penurunan biomass ikan. Gafa et al., (1993) menyatakan sejak akhir 1990 dilakukan kerjasama antara pengusaha swasta nasional dari Filipina untuk mengeksploitasi bersama ZEEI di bagian Utara Sulawesi. Alat tangkap yang digunakan ialah pukat cincin dengan memasang 150 rumpon. Setelah satu tahun pemasangan rumpon,
Menard et al., (2000) menyatakan bahwa pemanfaatan rumpon secara besar-besaran pada suatu area penangkapan akan merubah pola migrasi dan pertumbuhan ikan, yang berpengaruh negatif terhadap distribusi, produksi yield per – recruitment. Penerapan jumlah rumpon dan unit armada penangkapan ikan pada pengelolaan perikanan tuna di Prigi merupakan bentuk pengurangan jumlah effort. Pengelolaan harus memperhatikan jumlah rumpon dan armada terhadap luas aktual perairan tempat penyebaran rumpon yang berhasil didata sebesar 8.940 km² Strategi optimasi pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap berbasis rumpon di PPN Prigi direkomendasikan untuk unit armada jaring insang hanyut sebanyak 43 unit dan pancing tonda sebanyak 63 unit dengan jumlah rumpon 33 unit untuk wilayah luas perairan penyebaran rumpon 8.940 km². Pengaturan jumlah rumpon dan armada penangkapan perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan usaha perikanan rumpon yang berkelanjutan. Pemanfaatan dan pengelolaan secara bersama oleh beberapa kelompok nelayan (comanagement), pengendalian terhadap jumlah upaya penangkapan ikan (effort), khususnya unit armada, jumlah dan jarak rumpon, diharapkan dapat memperbaiki tingkat pemanfaatan sumber daya ikan. Pengaturan waktu penangkapan ikan juga perlu dilakukan dengan harapan nelayan dapat menangkap ikan dengan lebih terencana dan efisien dengan mengatur jumlah armada tangkap pada bulan-bulan musim tangkap. Namun demikian dalam rangka pengelolaan perikanan tuna berbasis rumpon yang berkelanjutan, ketersediaan sumberdaya perikanan dan pemanfaatan yang bertanggungjawab menjadi hal yang sangat penting. Pengetahuan tentang hal ini sangat diperlukan dalam upaya manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan agar dapat memberikan hasil yang optimal dan berkelanjutan.
59
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 53-60
KESIMPULAN 1. Status pemanfaatan sumberdaya ikan tuna dan cakalang berbasis rumpon di wilayah sekitar Perairan Selatan PPN Prigi telah tereksploitasi secara berlebih pada tingkat pengupayaan yang melampaui batas maksimum (MSY sebesar 2334,9 ton/tahun) yang mengakibatkan penurunan CPUE. 2. Optimasi jumlah unit armada perikanan tuna direkomendasikan untuk jaring insang hanyut sebanyak 43 unit, tonda 63 unit dan rumpon 33 unit pada wilayah luas perairan tempat penyebaran rumpon 8.940 km². 3. Musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Juli sampai November dengan puncak musim pada bulan Juli dan Agustus. Keadaan normal pada bulan Juni dan Desember, sedangkan pada bulan Januari sampai Mei bukan musim penangkapan ikan PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset karakteristik perikanan rumpon skala kecil di Selatan Jawa tahun 2010, di Balai Riset Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA BRPL (Balai Riset Perikanan Laut). 2004. Musim Penangkapan Ikan Di Indonesia. Jakarta: DKP. 116 p. Dagorn, L., E. Josse & P. Bach. 2000. Individual differences in horizontal movement of yellowfin tuna in near shore areas in french polynesia, determined using ultrasonic telemetry. Aquat Living Resour. 13: 193–202. Deptan (Departemen Pertanian). 1997. Surat Keputusan Menteri Pertanian. No.51/Kpts/IK.250/ 1/97. Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon. Jakarta.13 p. Gafa, B., I.G.S. Merta, H.R. Barus, E.M. Amin. 1993. Penurunan hasil tangkapan ikan tuna dan cakalang di perairan Sulawesi Utara dan faktor-faktor yang
60
mempengaruhinya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 72: 11 – 19. Gulland, J.A. 1983. Fish Stock Assesment, A Manual of Basic Methods. Rome: FAO. 223 p. Kleiber, P., & J. Hampton. 1994. Modelling effects of FADs and islands on movement of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis): estimating parameters from tagging data. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 51: 2642– 2653. Menard, F., A. Fanteneau, D. Gartuer, V. Nordstorm, B. Stequert, & E. Marchal. 2000. Exploitation of small tunas by purse-seine fishery with fish aggregating device from accoustic surveys in French Polynesia. Aquat Living Resour 13: 183-192. Naamin, N & K. C. Chong. 1987. Technological and economic aspect of FAD based on skipjack and tuna fishing in Indonesia. Paper presented to the fourth Int. Conf. on artificial habitat for fisheries. Nov 2-6, 1987. Miami Florida,USA. [terhubung berkala] http.www.spc.int/digital library/Doc/ FAME/meeting/ WPYRG/2/Doc.pdf. [10 Maret 2011]. Nahib, I. 2008. Analisis bioekonomi dampak keberadaan rumpon terhadap kelestarian sumberdaya perikanan tuna kecil (studi kasus di perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi) [tesis]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 122 p. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Siswanto. 1990. Sistem Komputer Manajemen LINDO. Penerbit PT Elex Media Komputindo, Gramedia. Jakarta. 242 p. Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Penerjemah; Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. 483 p. Spiegel, M.R. 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ. Co., New York. 359 p.
Pengaruh Pemasangan Sirdam ………………… Pengangkut Ikan Hidup (Nopita Y., et al.)
PENGARUH PEMASANGAN SIRDAM TERHADAP FREE SURFACE MUATAN CAIR PADA MODEL PALKA KAPAL PENGANGKUT IKAN HIDUP Yopi Novita, Budhi H. Iskandar, Bambang Murdiyanto, Budy Wiryawan dan Hariyanto Dosen pada Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor Teregistrasi I tanggal: 3 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 20 Februari 2012; Disetujui terbit tanggal: 27 Februari 2012
ABSTRAK Muatan cair merupakan salah satu jenis muatan yang ada di atas kapal. Sebagaimana sifat muatan cair, apabila di bagian permukaannya tidak dibatasi, maka akan munculah permukaan bebas. Pengaruh permukaan bebas bagi kapal adalah dapat mempengaruhi posisi titik berat yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas stabilitas kapal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pemasangan sirip peredam dalam mengurangi efek permukaan bebas di dalam model palka. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental. Model palka yang telah dipasangi sirip peredam di sepanjang sisi dalamnya diisi dengan air laut dan kemudian digoyang-goyangkan sebagaimana gerakan rolling kapal terjadi. Selanjutnya, profil permukaan dan waktu redam permukaan bebas pada model kapal yang dilengkapi dan yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam diamati dan dianalisis. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan sirip peredam mampu mengurangi efek free surface di dalam model palka. KATA KUNCI: Sirip peredam (sirdam), permukaan bebas, muatan cair ABSTRACT: Influence of Free Surface damper construction to Free Surface of liquid cargo in Fish Hold Model of Live Fish Carrier. By: Yopi Novita, Budhi H. Iskandar, Bambang Murdiyanto, Budi Wiryawan and Hariyanto Liquid cargo in a ship is one kind of cargo that has free surface. The effect of free surface on board might influence center of gravity position that cause lack of ship’s stability. The objective of the research is to analyze the effect of free surface damper constructed in the fish hold model. The research was carried out by experimental method. A fish hold model with and without free surface damper constructed in it was filled with sea water, then the profile and damping duration of free surface effect on fish hold model were observed and analyzed. The result show that the fish hold model with free surface damper is able to decrese significantly of free surface effect on the fish hold model. KEYWORDS: Free surface damper (sirdam), free surface and liquid cargo
PENDAHULUAN Kapal pengangkut ikan hidup berfungsi untuk mengangkut ikan dalam kondisi hidup di dalam sebuah palka yang berisi air (dalam hal ini adalah air laut). Muatan kapal tersebut yang terdiri dari ikan dan air, menjadikan muatan kapal pengangkut ikan hidup termasuk dalam jenis muatan cair. Sebagaimana sifat cair, maka muatan cair di dalam palka akan bergerak bebas apabila kapal melakukan gerakan rolling. Pergerakan cair ini terjadi dikarenakan muatan cair tersebut memiliki free surface (permukaan bebas) di permukaannya. Apabila efek free surface ini sangat besar, maka akan memperburuk stabilitas kapal dan bahkan keberadaan free surface ini dapat menjadi sumber risiko terbaliknya kapal. Novita, (2011) dalam kajiannya menunjukkan bahwa keberadaan free surface pada kapal pengangkut ikan hidup, mengakibatkan penurunan nilai sebesar 10%, nilai
sebesar 3,9 %, nilai initial sebesar 10,6 % dan peningkatan nlai periode rolling sebesar 3,9 %. Upaya yang sering dilakukan untuk mengurangi efek free surface yang berlebihan saat membawa atau mengangkut muatan cair, adalah dengan memenuhi palka/tangki dengan muatan cair hingga penuh sehingga tidak ada ruang kosong di antara permukaan muatan cair dengan tutup atau dinding atas palka. Hal ini dimaksudkan agar muatan cair tersebut tidak memiliki free surface. Akan tetapi pada kapal pengangkut ikan hidup, palka tidak dapat diisi secara penuh, karena keberadaan ruang kosong di atas permukaan muatan cair akan membantu dalam penyediaan tambahan oksigen terlarut di dalam air, sehingga kebutuhan ikan hidup akan oksigen terlarut dapat lebih terpenuhi. Kondisi ini mengakibatkan efek free surface akan terjadi cukup besar pada kapal pengangkut ikan hidup.
Korespondensi Penulis Departemen PSP, FPIK IPB, Jl. Agathis, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Email:
[email protected]; Telp. 081281826194
61
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 61-68
Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu dilakukan modifikasi terhadap desain palka yang mampu meredam efek free surface yang akan terjadi. Novita et al.,(2010) mencoba mengkaji efek free surface pada bentuk palka yang berbeda. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa palka berbentuk kotak memiliki kemampuan yang lebih baik untuk meredam efek free surface jika dibandingkan dengan palka berbentuk silinder. Di dalam teknologi perkapalan, untuk meningkatkan stabilitas kapal digunakan bilge keel yang dipasang di dinding kasko kapal bagian luar yang terendam air. Pemasangan bilge keel ini dimaksudkan untuk menahan laju gerakan rolling kapal sehingga sudut oleng kapal menjadi lebih kecil. Pada prinsipnya, bilge keel tersebut dipasang untuk menahan gerakan aliran air yang bergerak sepanjang kasko kapal saat terjadinya rolling. Terilhami dari sirip keseimbangan tersebut, maka peneliti mencoba menggunakan sirdam (sirip peredam) yang akan dipasang di bagian dalam dinding palka (Gambar 2). Sirip tersebut diharapkan dapat menahan gerakan atau aliran air yang akan melewatinya, sehingga gerakan free surface dapat tertahan dan gerakannya akan teredam. Penelitian tentang efek free surface pada kapal pengangkut ikan hidup telah dilakukan oleh Lee et al. (2005) secara simulasi dengan menggunakan model kapal skala laboratorium. Adapun Braathen & Faltinsen (2002), Naito & Sueyoshi (2002), Shiotani & Kodama (1998), dan Shibata et al. (2007) mencoba mengkaji tentang free surface secara numerik. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ketinggian muatan cair dalam tangki, sudut oleng dan periode rolling kapal sangat mempengaruhi besar kecilnya efek free surface yang akan terjadi. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari rangkaian penelitian yang dilakukan penulis dengan tujuan untuk menghasilkan desain kapal pengangkut benih ikan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan sirip peredam (sirdam) dalam meredam atau mengurangi efek free surface yang akan terjadi.
Alat yang digunakan terdiri dari: 1) Dua buah model palka berbentuk kotak, dengan ukuran p × l × t = (25 × 25 × 25) cm3 (Gambar 1), dimana salah satunya dilengkapi dengan sirip peredam dengan lebar = 2 cm (Gambar 2); 2) Peranti jungkat-jungkit untuk memberikan dampak gerakan rolling kapal (Gambar 3); 3) Video camera dan 4) Stopwatch. Bahan yang digunakan adalah: air laut dan zat perwarna merah. Rasio luas permukaan sirip peredam terhadap luas free surface adalah 0,3. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari: 1) Profil permukaan air saat terjadi rolling; 2) Profil permukaan air selama ± 1,0 detik mulai saat kapal kembali tegak setelah terjadi gerakan rolling; dan 3) Waktu redam, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air untuk kembali tenang yang dihitung mulai saat palka kembali tegak setelah terjadi gerakan rolling.
25 cm
25 cm 25 cm Gambar 1. Model palka tanpa sirdam Figure 1. Fish hold model without sirdam
Sirip peredam 25 cm
14,6 cm 25 cm 25 cm
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan dengan model eksperimen selama satu bulan pada bulan Agustus 2010, bertempat di Laboratorium Desain dan Dinamika Kapal, Bagian Kapal dan Transportasi Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB.
62
Gambar 2. Model palka dengan sirdam Figure 2. Fish hold model with sirdam
Pengaruh Pemasangan Sirdam ………………… Pengangkut Ikan Hidup (Nopita Y., et al.)
Penggunaan model palka berbentuk kotak adalah dikarenakan bentuk palka kotak merupakan bentuk palka yang sering digunakan pada kapal. Selain itu, dari hasil kajian Novita et al., (2010) terhadap dua bentuk model palka yaitu bentuk silinder dan kotak diketahui bahwa pergerakan free surface pada model palka berbentuk silinder lebih dinamis dibandingkan pada model palka berbentuk kotak, sehingga disimpulkan bahwa palka berbentuk kotak memiliki kemampuan yang lebih baik dalam meredam efek free surface. Pengumpulan data dilakukan dengan cara eksperimen. Pada kedua model palka dimasukkan air laut yang telah diberi warna merah hingga ketinggian yang sama yaitu mencapai sirip peredam. Ketinggian sirip peredam dari dasar model palka adalah sekitar 14,6 cm. Selanjutnya kedua palka tersebut diletakkan di atas jungkat-jungkit yang nantinya dimiringkan ke kanan dan ke kiri selayaknya gerakan rolling yang terjadi pada kapal (Gambar 3).
Kemiringan jungkat-jungkit ± 10º ke kiri dan kanan dengan periode rolling 2 detik. Diperkirakan panjang lintasan gerakan rolling dari kemiringan di sisi kiri ke kemiringan di sisi kanan kapal dan kembali ke kemiringan di sisi kiri kapal sekitar 40º atau 0,698 radian. Pada saat model palka diolengkan ke kiri dan ke kanan, pergerakan permukaan air di dalam model palka direkam dengan menggunakan video. Rekaman gerakan permukaan air di dalam model palka bertujuan untuk mendapatkan data yang terdiri dari 1) Profil permukaan air saat terjadi rolling dan 2) Profil permukaan air selama ± 1,0 detik mulai saat kapal kembali tegak setelah terjadi gerakan rolling. Adapun data yang berupa waktu redam, diperoleh dengan menghitung lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air di dalam model palka untuk kembali relatif tenang setelah model palka tidak diolengkan. Pengambilan data untuk masing-masing jenis data dilakukan sebanyak 10 kali atau 10 ulangan.
sirip peredam piranti jungkat jungkit
tanpa sirip peredam
s
dengan sirip peredam
Gambar 3. Posisi kedua palka di atas peranti jungkat-jungkit saat eksperimen Figure 3. Position of fish hold on the swing instruments during experiments Pengolahan data dilakukan secara numerik, dengan terlebih dahulu merubah garis air yang terdapat pada dinding model palka dalam format foto menjadi grafik garis air. Pengujian secara statistik dilakukan dengan terlebih dahulu data ulangan dari setiap perlakuan diuji kenormalannya dengan menggunakan uji satu-contoh Kolmogorov-Smirnov. Perlakuan yang diuji adalah perbedaan desain model palka, yaitu antara model palka yang tidak dilengkapi sirip peredam dengan model palka yang dilengkapi sirip peredam. Apabila dari hasil uji kenormalan data, menunjukkan data menyebar normal, barulah dilakukan uji anova dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel & Torrie, 1995).
HASIL DAN BAHASAN Sirip Peredam Prinsip kerja sirip peredam dapat dikatakan hampir sama dengan break water di pelabuhan dan bilge keel pada kapal. Break water yang di pasang di depan jalur kolam pelabuhan, berfungsi untuk mengurangi energi gelombang yang akan masuk ke kolam pelabuhan. Adapun bilge keel pada kapal berfungsi untuk meredam pergerakan oleng kapal dengan menahan sejumlah luasan massa air yang tertahan oleh luasan permukaan bilge keel.
63
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 61-68
Sirip peredam dipasang di sisi bagian dalam di sekeliling dinding model palka (Gambar 2). Luas sirip peredam yang dipasang di dua sisi dinding bagian dalam model palka adalah sebesar lebar sirip peredam (ls) dikalikan dengan panjang seluruh sirip peredam yang dipasang di sisi bagian dalam model palka. Panjang sirip peredam yang dipasang di sisi dinding dalam model palka terdiri dari dua ukuran, yaitu: 1) Ukuran panjang sirip peredam pertama (ps1) adalah = panjang palka (pp) 2) Ukuran panjang sirip peredam kedua (ps2) adalah = lebar palka (lp) dikurangi dua kali lebar sirip peredam (ls), sehingga ps2 = lp – 2ls. Dikarenakan dinding palka berbentuk kotak terdiri dari empat sisi, maka penentuan panjang sirip sebagaimana dijelaskan di atas mengakibatkan tiap ukuran panjang sirip peredam masing-masing terdiri dari dua unit. Oleh karena itu, maka luas sirip peredam adalah: ..........................(1), atau .......................... (2) dimana Asp adalah luas sirip peredam. Dengan demikian total luas sirip peredam yang dipasang di sekeliling model palka dengan ukuran panjang palka (pp) × lebar palka (lp) = 25 cm × 25 cm adalah sebesar {(50 cm × 2) + (42 cm × 2)} = 184 cm2. Adapun luas permukaan muatan cair (Afs) di dalam model palka tersebut adalah sebesar 625 cm2. Pada saat terjadi gerakan oleng, dapat dikatakan bahwa permukaan cair yang bergerak adalah seluas permukaan palka yaitu 625 cm2. Akan tetapi karena adanya sirip peredam yang dipasang di sekeliling dinding model palka yaitu tepat di bagian atas permukaan cair, maka permukaan cair seluas sirip peredam yaitu 184 cm2 akan tertahan oleh sirip peredam. Jika luas sirip peredam dibandingkan dengan luas permukaan cair yang terdapat di dalam model palka, maka akan diperoleh rasio sebagai berikut:
.
.......... (3)
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa luas sirip peredam yang menghambat pergerakan free surface adalah sebesar 29 % dari luas free surface. Profil kemiringan permukaan air Pengamatan terhadap kemiringan permukaan air dilakukan sesaat palka mencapai kemiringan maksimal yaitu 10º ke kiri dan ke kanan. Contoh profil kemiringan permukaan air yang terjadi disampaikan pada Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat bahwa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak tanpa sirip peredam dan model palka kotak dengan sirip peredam memiliki profil yang berbeda. Sumbu x pada grafik menunjukkan posisi ordinat pengukuran ketinggian air dimulai dari sisi kiri model palka. Adapun sumbu y pada grafik menunjukkan ketinggian permukaan air pada tiap posisi ordinat yang diukur. Pada grafik tersebut terlihat bahwa profil permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam tidak terlalu miring jika dibandingkan dengan profil permukaan air pada palka tanpa sirip peredam. Berdasarkan besarnya sudut yang terbentuk antara kemiringan permukaan air dengan garis rata air saat tidak terjadi rolling, terlihat bahwa sudut kemiringan pada palka yang tidak [2( ps1peredam Asp Xlpermukaan s ) ]+ [2( ps 2 Xlsair )] 184 Luas= sirip Asp = = 0,29lebih besar jika dilengkapi dengan=sirip Luas free surface Afs peredam 625 dibandingkan Asp = [2( ppXls)]dengan + [2({lp − 2sudut ls}Xls)]kemiringan permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Rata-rata besarnya sudut kemiringan permukaan air pada kedua palka tersebut disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil uji statistik, menunjukkan bahwa nilai Fhit > FTab, atau nilai P-Value < 0,05. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemiringan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam dan tanpa sirip peredam. Artinya penggunaan sirip peredam berpengaruh nyata terhadap perbedaan kemiringan air pada palkah.
Tabel 1. Sudut kemiringan permukaan air saat rolling Table 1. Angle of water surface slope during rolling
Posisi/Position
Kemiringan air (º)/Water surface slope Tanpa Dengan sirdam/with sirdam/without sirdam sirdam
Beda kemiringan/water surface stope differences (º)
Nilai kisaran kiri
5–6
2–4
2-3
Nilai kisaran kanan
4-6
2-4
2-3
Rata-rata kiri
5,3
2,9
2,4
Rata-rata kanan
5,3
2,9
2,4
64
24.0 21.0 18.0 15.0 12.0 9.0 6.0 3.0 0.0 0
10
20
Ketinggian air (mm)
Ketinggian air (mm)
Pengaruh Pemasangan Sirdam ………………… Pengangkut Ikan Hidup (Nopita Y., et al.)
30
24.0 21.0 18.0 15.0 12.0 9.0 6.0 3.0 0.0 0
10 20 Ordinat
Ordinat
Kiri 1 Keterangan: dengan sirdam
30
Kanan 1 tanpa sirdam
Rata air
Gambar 4. Contoh profil permukaan air saat rolling Figure 4. Sample of water surface profile during rolling berlawanan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Triatmodjo (1999) bahwa apabila gelombang mengenai dinding pembatas, maka akan terjadi refleksi gelombang. Tinggi gelombang yang dipantulkan terkadang akan sama dengan tinggi gelombang datang. Munculnya aliran refleksi akibat terpantul oleh sirip peredam ini mengakibatkan pula munculnya aliran turbulensi yang pada akhirnya juga akan menghambat gerakan aliran free surface. Fenomena inilah yang diduga sebagai penyebab tertahannya aliran free surface. Profil Permukaan Air Setelah Terjadi Rolling Profil permukaan air setelah gerakan rolling diamati sesaat setelah gerakan rolling tersebut dihentikan dan palka kembali diposisikan tegak. Pengamatan mulai dilakukan terhadap profil permukaan air mulai saat posisi model palka tegak hingga 1 detik kemudian. Profil permukaan sesaat setelah posisi model palka ditegakkan (s= 0 detik ) dapat dilihat pada Gambar 5.
Ketinggian air (mm)
Berdasarkan perbedaan sudut kemiringan permukaan air tersebut, maka diperkirakan bahwa keberadaan sirip peredam mampu menahan pergerakan free surface antara 40 - 60 %. Fenomena ini terjadi karena pada saat gerakan rolling berlangsung, free surface pada model palka tanpa sirip peredam mengalir dengan bebas ke arah kemiringan palka hingga kondisi free surface kembali rata. Lain halnya dengan yang terjadi pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, saat terjadi gerakan rolling, free surface juga mengalir ke arah kemiringan palka. Akan tetapi pada saat free surface bergerak dan hingga akhirnya mengenai sirip peredam, aliran free surface tersebut ditahan oleh sirip peredam. Bukan saja tertahan, akan tetapi juga terjadi refleksi dari aliran free surface yang mengenai sirip peredam. Refleksi aliran free surface yang terjadi biasanya memiliki gaya atau tekanan yang sama besarnya dengan gaya atau tekanan aliran free surface saat mengenai sirip peredam. Hanya saja arahnya
24.0 21.0 18.0 15.0 12.0 9.0 6.0 3.0 0.0 0
10
20
30
Ordinat no sirdam
sirdam
rata air
Gambar 5. Profil permukaan air saat model palka kembali tegak setelah rolling Figure 5. Profile of water surface when fish hold model on upright position after rolling
65
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 61-68
Pada Gambar 5 terlihat bahwa profil permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam, sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, membentuk gelombang di salah satu ujung aliran free surface. Lain halnya dengan yang terjadi pada profil permukaan air di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Profil permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, banyak membentuk riak di sepanjang free surface. Berdasarkan data ketinggian riak air maksimum pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam (non sirdam) dan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam (sirdam), terlihat bahwa pada pengamatan 1 detik setelah gerakan rolling model palka dihentikan, ketinggian riak air maksimum pada model palka tanpa sirdam sebesar 2,0 mm dan pada model palka dengan sirdam sebesar 0,5 mm.
Ketinggian air (mm)
Kondisi tersebut di atas, menunjukkan bahwa permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam tersebut lebih dinamis
dibandingkan pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Apabila permukaan muatan cair di dalam palka sangat dinamis, maka kondisi kapal untuk kembali tegak setelah gaya yang mengakibatkan gerakan rolling kapal hilang akan lebih sulit. Perlu diketahui bahwa walaupun palka sudah tidak diolengkan, akan tetapi gerakan fluida cair masih terus terjadi terlebih jika fluida cair tersebut terus bertubrukan dengan dinding pembatas. Berdasarkan uji statistik, diperoleh nilai Fhit > FTab, atau nilai P-Value < 0,05. Artinya bahwa terdapat perbedaan ketinggian riak air maksimum pada palka yang dilengkapi dengan sirdam dan tanpa sirdam. Dengan kata lain, bahwa penggunaan sirdam berpengaruh nyata terhadap perbedaan ketinggian riak air yang terjadi di dalam kedua model palka. Pada Gambar 6 disajikan profil permukaan air pada kedua model palka setelah 1 detik. Terlihat bahwa permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam relatif telah banyak yang sejajar dengan garis rata air dibandingkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.
24.0 21.0 18.0 15.0 12.0 9.0 6.0 3.0 0.0 0
Gambar 6. Profil permukaan air setelah 1 detik palka kembali tegak Figure 6. Profile of water surface after 1 second fish hold model on upright position Waktu Redam Waktu redam adalah lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air di dalam model palka, mulai saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air tersebut kembali relatif tenang atau stabil. Dari 10 kali pengukuran terlihat bahwa waktu redam permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam adalah antara 14–18 detik. Adapun waktu redam di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam adalah antara 5–7 detik. Dengan demikian waktu redam permukaan air di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam 2–3 kali lebih cepat dibandingkan di model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.
66
Pada kondisi yang normal, bentuk profil permukaan air sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, seperti yang terjadi pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam. Permukaan air terus bergerak bebas cenderung ke atas dinding pembatas searah gerakan rolling yang telah ditiadakan. Akan tetapi, pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, setiap gerakan air tertahan oleh permukaan sirip peredam. Tertahannya gerakan air inilah yang memungkinkan waktu redam pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam lebih cepat jika dibandingkan dengan model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.
no sirdam
10
Pengaruh Pemasangan Sirdam ………………… Pengangkut Ikan Hidup (Nopita Y., et al.)
Berdasarkan hasil kajian terhadap profil permukaan air di dalam model palka baik pada saat diolengkan maupun sesaat setelah dioleng, maka dapat diperkirakan bahwa pemasangan sirip peredam pada sisi bagian dalam model palka mampu meredam efek free surface hingga 40–60%. Akan tetapi berdasarkan waktu redam, keberadaan sirip peredam mampu meredam efek free surface antara 33,3–50%. Berdasarkan hasil kajian terhadap profil kemiringan permukaan air dan waktu redam, maka dapat dikatakan bahwa luas permukaan sirip peredam yang hanya sebesar 29% dari luas free surface telah mampu meredam atau mereduksi efek free surface yang akan muncul saat terjadinya gerakan oleng pada kapal. Jika luas sirip peredam yang digunakan lebih dari 29%, maka akan lebih banyak lagi free surface yang dapat ditahan oleh sirip peredam. Lee et al., (2005) dalam penelitiannya yang mengkaji keragaan gerakan rolling kapal ikan yang dilengkapi dengan palka ikan hidup, mengemukakan bahwa keberadaan free surface akan meningkatkan damping moment coefficient kapal. Jika damping moment meningkat maka kemampuan kapal untuk meredam gaya eksternal yang mengenai kapal (gelombang), akan semakin berkurang. Berdasarkan kajian terhadap profil permukaan air saat terjadi gerakan rolling, penggunaan sirip peredam dapat mengurangi besarnya sudut yang dibentuk oleh profil permukaan air saat oleng dengan pernukaan air saat tidak oleng. Jika dihubungkan dengan damping moment coefficient kapal, maka diperkirakan damping moment coefficient pada kapal yang menggunakan palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam akan lebih besar dibandingkan dengan kapal yang menggunakan palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam. Oleh karena itu kemampuan kapal dengan palka kotak tanpa sirip peredam untuk meredam gaya eksternal akan lebih kecil dibandingkan kapal dengan palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam. Mengecilnya kemampuan redam kapal akan mengakibatkan stabilitas kapal menurun dikarenakan dinamika kapal lebih dipengaruhi oleh gaya eksternal.
1) Sirip peredam yang dikonstruksikan dapat meredam efek permukaan bebas (free surface effect) pada model palka. 2) Dari profil kemiringan permukaan air saat model palka diolengkan, pengkonstruksian sirip peredam dengan rasio luas sirip peredam terhadap luas free surface pada model palka sebesar 0,29, dapat meredam efek free surface sebesar 40-60%. 3) Dari sisi waktu redam, pengkonstruksian sirip peredam dengan rasio luas sirip peredam terhadap luas free surface pada model palka sebesar 0,29, mampu meredam efek free surface sebesar 33,350%. SARAN Perlu dilakukan kajian terhadap lebar optimum sirip peredam yang masih efektif untuk mengeliminir efek free surface. DAFTAR PUSTAKA Braathen, A. & O.M. Faltinsen. 1988. Interaction Between Shed Vorticity, Free Surface Waves and Forced Roll Motion of a Two-Dimensional Floating Body. Fluid Dynamics Research. 3 (1-4). 190-196. Lee, S.K., S. Surendran & G. Lee. 2005. Roll Performance of Small Fishing Vessel with Live Fish Tank. Ocean Engineering 32. p. 1873-1885. Naito, S. & M. Sueyoshi. 2002. A Numerical Analysis of Violent Free Surface Flow by Particle Method. Proceedings of The Fifth (2002) ISOPE Pacific/ Asia Offshore Mechanics Symposium, Daejeon, Korea. p. 17-20. Novita, Y., B.H. Iskandar, B. Murdiyanto & B. Wiryawan. 2010. Keragaan Free Surface Pada Model Palka Kotak dan Silinder. MARINE FISHERIES, Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut. 1 (2). 133–140. Novita, Y. 2011. Pengaruh free surface terhadap stabilitas kapal pengangkut ikan hidup. Buletin PSP. XIX (2). 34 – 43.
KESIMPULAN Berdasarkan kajian terhadap profil permukaan air baik pada saat terjadi oleng maupun setelah oleng dan waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air untuk kembali tenang setelah terjadi gerakan oleng, maka disimpulkan bahwa:
Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 748 p. Shibata, K., K. Tanizawa & S. Koshizuka. 2007. Numerical Analysis of Coupling Between Ship Motion and Green Water on Deck using MPS
67
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 1 Maret 2012 : 61-68
Method. Proceeding of International Conference on Violent Flows (VF-2007), Fukuoka, Japan.
Shiotani, S. & Y. Kodama. 1998. Numerical Analysis on Free Surface Waves and Stern Viscous Flow
68
of a Ship Model. Journal of Marine Science and Technology. 3. p. 130-144. Triadmojo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta. 397 p.