KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG YANG DIDARATKAN DI TPI CILINCING JAKARTA
AUSTIN EFFLIN WINDA RUTH
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus Cuvier,1829) dengan Menggunakan Sidik Frekuensi Panjang yang Didaratkan di TPI Cilincing Jakarta adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Austin Efflin Winda Ruth C24070055
iii
RINGKASAN
Austin Efflin Winda Ruth. C24070055. Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) dengan Menggunakan Sidik Frekuensi Panjang yang Didaratkan di TPI Cilincing Jakarta. Dibimbing oleh Mennofatria Boer dan Achmad Fahrudin. Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan kelompok ikan demersal dan jenis ikan lepas pantai, termasuk salah satu tangkapan dominan setelah ikan pepetek dan ruca yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing Jakarta. Statistik perikanan TPI Cilincing Jakarta tahun 2010 menunjukkan jumlah produksi penangkapan ikan kuniran mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Meningkatnya kebutuhan manusia menyebabkan permintaan yang tinggi terhadap sumberdaya ikan kuniran karena harga jualnya terjangkau oleh berbagai kalangan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola pertumbuhan dan mortalitas ikan kuniran melalui analisis sidik frekuensi panjang masing-masing berdasarkan jenis kelamin serta menduga peluang ketidakpastian dari segi produksi dan harga bagi ikan kuniran sehingga dapat dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan Pengambilan data primer untuk identifikasi spesies ikan, jenis kelamin ikan, tingkat kematangan gonad dan pengukuran panjang total dan bobot basah ikan berlangsung dari tanggal 23 Oktober 2010 sampai dengan 18 Desember 2010 dengan interval waktu pengambilan contoh selama empat belas hari. Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) yang diamati dari lima kali pengambilan contoh mencapai 540 ekor, terdiri dari 203 ekor betina dan 247 ekor jantan. Komposisi jumlah ikan jantan dan ikan betina menunjukkan rasio kelamin yang tidak seimbang yaitu 1 : 1,2. Panjang maksimum teoritis ikan betina mencapai 139,76 mm dan ikan jantan mencapai 133,36 mm. Ikan kuniran betina dan jantan memiliki nilai koefisien pertumbuhan masing-masing 0,26 dan 0,25. Laju mortalitas total (Z) ikan kuniran (Upeneus sulhureus) di perairan Teluk Jakarta adalah 0,7915 per tahun untuk ikan betina dan 0,8655 per tahun untuk ikan jantan dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,3879 per tahun untuk ikan betina dan 0,3820 per tahun untuk ikan jantan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa mortalitas penangkapan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) sebesar 0,4036 per tahun untuk ikan betina dan 0,4835 per tahun untuk ikan jantan. Laju eksploitasi ikan Upeneus sulphureus di Teluk Jakarta sebesar 0,5099 untuk ikan betina serta 0,5586 untuk ikan jantan. Nilai ini menunjukkan bahwa laju eksploitasi optimum telah terlampaui (E > 0,5). Peluang ketidakpastian pada ikan kuniran dapat terjadi dari analisis produksi dan harga. Faktor yang mempengaruhinya antara lain keadaan cuaca dan upaya penangkapannya yang tradisional pada lokasi penangkapan di Teluk Jakarta dengan letak fishing ground di sekitar perairan Pulau Damar, Kepulauan Seribu. Laju mortalitas penangkapan yang diperoleh menunjukkan rendahnya mortalitas alami sehingga ikan kuniran dapat mengalami kondisi sedikit tangkap lebih (overfishing) berupa growth overfishing. Mengatur upaya penangkapan dengan cara mengurangi
iv
upaya merupakan salah satu pengelolaan perikanan agar ketidakpastian produksi rendah. Kata kunci : ikan kuniran (Upeneus sulphureus), TPI Cilincing Jakarta, sidik frekuensi panjang, pertumbuhan, ketidakpastian
v
KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG YANG DIDARATKAN DI TPI CILINCING JAKARTA
AUSTIN EFFLIN WINDA RUTH
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
vi
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
: Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) dengan Menggunakan Sidik Frekuensi Panjang yang Didaratkan di TPI Cilincing Jakarta
Nama
: Austin Efflin Winda Ruth
Nomor Pokok
: C24070055
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui, Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA NIP. 19570928 198103 1 006
Dr. Ir. Achmad Fahrudin M. Si NIP. 19640327 198903 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002
Tanggal lulus : 25 Maret 2011
PRAKATA
vii
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus Cuvier,1829) Dengan Menggunakan Sidik Frekuensi Panjang yang Didaratkan di TPI Cilincing Jakarta”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai dengan Desember 2010 di Tempat Pelelangan Ikan Cilincing Jakarta. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak atas waktu, masukan, arahan, serta dukungan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan mengharapkan saran dan kritik untuk penyempurnaan tulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, bagi upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2011
Penulis
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Dr. Ir. Achmad Fahruddin, MS, masingmasing selaku pembimbing I dan pembimbing II skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Ir. Rahmat Kurnia, M.Si selaku dosen penguji tamu serta Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS, masing-masing selaku ketua dan anggota program studi yang telah memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si., selaku pembimbing akademik atas dukungannya kepada penulis selama menuntut studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. 4. Keluarga tercinta: mama, grandma, grandpa dan saudara kandung (Mia dan Ricky), serta seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, semangat, perhatian, kesabaran, dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis. 5. Seluruh staf Tata Usaha dan sivitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor terutama Mba Widar, Mba Maria, Mas Dedi atas bantuan, dukungan dan kesabarannya yang telah diberikan kepada penulis. 6. Para staf TPI Cilincing Jakarta atas segala bantuan dan kerja sama. 7. Teman seperjuangan dalam penelitian ini, Fitriyanti dan Eka Pratiwi, atas bantuan, semangat, dukungan, selama penelitian hingga penyusunan skripsi. 8. Teman-teman MSP 44, MSP 45, MOSI crew dan teman-teman yang lain yang tidak mungkin disebut satu-persatu. 9. Teman-teman MSP angkatan 41 dan 43: Kak Ichel, Kak Prawira, Kak Daniel, Kak Presli, Kak Sasha, atas saran dan arahannya kepada penulis.
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 24 Januari 1989 sebagai putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Ir. Panggabean Sitorus, MBA (alm) dan Linda Manurung. Pendidikan formal pernah dijalani penulis berawal dari TK Regina Pacis Bogor (1993-1995), SD Regina Pacis Bogor (1995-2001), SLTP Negeri 4 Bogor (2001-2004), SMA Negeri 6 Bogor (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI, kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selain mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Biologi Perikanan (2009/2010 dan 2010/2011) dan Asisten Mata Kuliah Pengkajian Stok Ikan (2010/2011)). Penulis juga aktif di unit kegiatan mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB (2008-2010) sebagai anggota
Pendataan
dan
organisasi
kemahasiswaan
Himpunan
Mahasiswa
Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai anggota Keilmuan dan Advokasi Lingkungan (2009-2010) serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpatisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. Pada tahun 2010, penulis pernah mengikuti program kreativitas mahasiswa gagasan tertulis tentang “Inovasi Tumbuhan Air Tawar Penghasil Nori Khas Indonesia”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) dengan Menggunakan Sidik Frekuensi Panjang yang Didaratkan di TPI Cilincing Jakarta”.
1
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xv
1.
2.
3.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 1.3. Tujuan ........................................................................................ 1.4. Manfaat ......................................................................................
1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran ............................................................................ 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama ................................................ 2.1.2. Karakter biologi dan distribusi ....................................... 2.2. Alat Tangkap Ikan Kuniran ..................................................... 2.3. Sebaran Frekuensi Panjang ...................................................... 2.4. Pertumbuhan ............................................................................ 2.5. Hubungan Panjang Bobot ......................................................... 2.6. Faktor Kondisi ......................................................................... 2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ............................................... 2.8. Nisbah Kelamin ....................................................................... 2.9. Kondisi Lingkungan Perairan .................................................. 2.10. Analisis Ketidakpastian ........................................................... 2.11. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ........................................
4 4 5 5 6 7 8 8 9 10 10 11 13
METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu .................................................................... 3.2. Alat dan Bahan ......................................................................... 3.3. Pengumpulan Data ................................................................... 3.3.1. Data primer .................................................................... 3.3.2 Data sekunder ................................................................. 3.4. Analisis Data ............................................................................ 3.4.1. Identifikasi spesies ......................................................... 3.4.2. Sebaran frekuensi panjang ............................................. 3.4.3. Identifikasi kelompok ukuran ........................................ 3.4.4. Pendugaan L∞, K, dan t0.................................................. 3.4.5. Hubungan panjang bobot .............................................. 3.4.6. Faktor kondisi ................................................................ 3.4.7. Mortalitas dan laju eksploitasi ........................................ 3.4.8. Tingkat kematangan gonad ...........................................
15 15 15 16 17 17 17 17 18 18 20 21 21 23
2
3.4.9. Nisbah kelamin ............................................................ 3.4.10. Analisis ketidakpastian .................................................
23 24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ......................................................................................... 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta .................................... 4.1.2. Kondisi perikanan kuniran di TPI Cilincing Jakarta .... 4.1.3. Sebaran frekuensi panjang ........................................... 4.1.4. Tingkat kematangan gonad ........................................... 4.1.5. Produksi dan harga ikan kuniran .................................. 4.2. Pembahasan .............................................................................. 4.2.1. Kelompok umur ............................................................. 4.2.2. Parameter pertumbuhan ................................................. 4.2.3. Hubungan panjang-bobot ............................................... 4.2.4. Faktor kondisi ................................................................ 4.2.5. Nisbah kelamin .............................................................. 4.2.6. Mortalitas dan laju eksploitasi ....................................... 4.2.7. Analisis ketidakpastian produksi dan harga ................... 4.2.8. Implikasi bagi pengelolaan ikan kuniran ........................
26 26 27 28 30 31 32 32 36 38 41 44 45 47 50
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan .............................................................................. 5.2. Saran ........................................................................................
53 54
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
55
LAMPIRAN ..............................................................................................
58
3
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam sistem perikanan ..........................
11
2. Penentuan TKG secara morfologi .............................................................
23
3. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) bulan Oktober-Desember 2010 di Teluk Jakarta ......................................
29
4. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upenenus sulphureus) untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta ..................................
30
5. Sebaran kelompok ukuran ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) betina untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta ........................
33
6. Sebaran kelompok ukuran ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) jantan untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta .........................
33
7. Parameter pertumbuhan model Von Bertalanffy (K, L∞, t0) ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) di Teluk Jakarta .....................................
37
8. Hubungan panjang bobot ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) betina untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta ........................
39
9. Hubungan panjang bobot ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) jantan untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta ........................
39
10. Perbandingan pola pertumbuhan ikan kuniran (genus: Upeneus) ............
41
11. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta .......................................................
44
12. Nisbah kelamin ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta .......................................................
44
13. Laju mortalitas dan laju eksploitasi .........................................................
45
14. Statistik volume produksi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) periode Februari 2010-Februari 2011 .......................................................
48
15. Statistik harga ikan kuniran (Upeneus sulphureus) periode Februari 2010-Februari 2011 ....................................................................................
50
4
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Alur dinamika stok ikan kuniran yang dieksploitasi .................................
2
2. Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) .........................................................
4
3. Cara pengoperasian jaring dogol .............................................................
6
4. Peta lokasi pengambilan contoh dan daerah penangkapan ikan kuniran di Teluk Jakarta ...........................................................................
15
5. Komposisi hasil tangkap ikan dominan menggunakan jaring dogol yang didaratkan di TPI Cilincing ..............................................................
27
6. TKG ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina .....................................
30
7. TKG ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan .....................................
31
8. Grafik produksi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) dari Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing periode Februari 2010 – Februari 2011 ...........................................................................................
31
9. Grafik harga ikan kuniran (Upeneus sulphureus) dari Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing periode Februari 2010 – Februari 2011 ..........................................................................................................
32
10. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) betina .................................................................................
34
11. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) jantan .................................................................................
35
12. Kurva pertumbuhan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina .............
37
13. Kurva pertumbuhan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan .............
37
14. Hubungan panjang-bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) di Teluk Jakarta ............................................................................................
40
15. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) betina di Teluk Jakarta ............................................................................................
42
16. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan di Teluk Jakarta ......................................................................................................
43
17. Kurva hasil tangkapan ikan betina yang dilinearkan berbasis data panjang .....................................................................................................
46
5
18. Kurva hasil tangkapan ikan jantan yang dilinearkan berbasis data panjang .....................................................................................................
46
19. Diagram frekuensi produksi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) periode Februari 2010-Februari 2011 ......................................................
47
20. Diagram frekuensi harga ikan kuniran (Upeneus sulphureus) periode Februari 2010-Februari 2011 ......................................................
49
6
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II ................................................
59
2. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II ................................................
61
3. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan kuniran betina ................................
63
4. Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina .............................................................
64
5. Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan .............................................................
65
6. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina .................................
66
7. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan ..................................
70
8. Perhitungan pendugaan mortalitas total (Z), mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kuniran betina ...........
74
9. Perhitungan pendugaan mortalitas total (Z), mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kuniran jantan ...........
75
10. Data produksi dan harga ikan kuniran (Upeneus sulphureus) untuk analisis ketidakpastian .........................................................................................
77
11. Perhitungan statistik untuk produksi ikan kuniran ..............................................
79
12. Perhitungan statistik untuk harga ikan kuniran ...................................................
79
13. Kuesioner nelayan di TPI Cilincing ....................................................................
80
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perairan Teluk Jakarta adalah sebuah teluk yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa yang masuk ke dalam kawasan Laut Jawa. Teluk Jakarta merupakan salah satu lokasi kegiatan perikanan tangkap di DKI Jakarta baik perikanan pelagis, demersal, maupun karang. Terdapat empat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di sekitar wilayah Jakarta, yaitu TPI Muara Angke, TPI Muara Baru, TPI Kali Baru dan TPI Cilincing. TPI Cilincing merupakan salah satu tempat pendaratan ikan di Jakarta Utara yang berdiri pada tahun 1999. Penangkapan ikan terjadi setelah melewati musim barat yang berlangsung antara bulan Juni hingga Nopember. Potensi permintaan ikan yang tinggi dari penduduk DKI Jakarta dan permintaan pasar (ekspor dan lokal) yang tinggi dan terus meningkat, merupakan peluang bagi usaha penangkapan untuk dapat meningkatkan produksinya. Hasil tangkapan para nelayan khususnya yang didaratkan di TPI Cilincing adalah ikan demersal seperti, kuniran, kurisi, layur, bawal dan pepetek. Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan salah satu produk perikanan pantai di Laut Jawa yang termasuk dalam kelompok ikan demersal dan jenis ikan lepas pantai. Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) ini berpotensi tinggi untuk dikonsumsi dengan nilai jual yang relatif terjangkau bagi semua kalangan ekonomi masyarakat. Selain dalam pemenuhan gizi, ikan kuniran (Upeneus sulphureus) juga berperan dalam peningkatan lapangan kerja masyarakat sekitar melalui jasa pengolahan ataupun perniagaan ikan tersebut. Masyarakat sekitar pelelangan mengolah ikan kuniran sebagai produk ikan asin, terasi, otak-otak siomay, maupun krupuk ikan. Selain itu dapat dimanfaatkan sebagai campuran makanan ternak dan ikan. Tingginya potensi yang dimiliki ikan kuniran, maka dibutuhkan suatu kajian informasi dasar biologi perikanan, dinamika dan stoknya untuk menunjang upaya pengelolaan sumberdaya ikan kuniran yang berkelanjutan demi mewujudkan terciptanya penangkapan ikan yang lestari dan ramah lingkungan. Ikan kuniran perlu dilakukan analisis kajian stoknya karena ikan kuniran merupakan salah satu ikan
2
demersal yang mudah dianalisis untuk mengetahui status stoknya. Selain itu, harga ikan kuniran relatif terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah dalam mencukupi asupan gizi. Pengkajian stok ikan merupakan gambaran mengenai nilai dugaan besarnya biomasa ikan berdasarkan kelompok jenis ikan dalam waktu tertentu menggunakan aplikasi ilmu statistika dan matematika sehingga diperoleh status stok ikan secara kuantitatif untuk kepentingan pendugaan stok ikan dan alternatif kebijakan ke depan. Sebaran frekuensi panjang dan hubungan panjang bobot merupakan informasi dasar yang sangat penting untuk melihat laju pertumbuhan dan merupakan salah satu faktor pertimbangan utama dalam menetapkan strategi pengelolaan perikanan suatu sumberdaya ikan tertentu.
Pertumbuhan Stok ikan yang dieksploitasi
Mortalitas alami
Mortalitas penangkapan
Rekruitmen
Ketidakpastian produksi dan harga
Gambar 1. Alur dinamika stok ikan kuniran yang dieksploitasi
1.2. Rumusan Masalah Sifat dasar sumberdaya ikan adalah milik bersama (common property) yang pemanfaatannya dapat digunakan pada waktu bersamaan oleh lebih dari satu individu atau satuan ekonomi (open acces). Sifat sumberdaya ikan terbatas dan dapat rusak, jika dilakukan upaya penangkapan skala besar semakin mengurangi stok ikan di perairan. Upaya penangkapan yang tinggi mengakibatkan tingginya peluang ketidakpastian produksi. Perikanan memiliki sifat ketidakpastian yang
3
meliputi ketidakpastian produksi, harga, dan tekhnologi penangkapan. Mengatasi hal perikanan tersebut, diperlukan pengelolaan yang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Informasi pertumbuhan sangat penting, baik berdasarkan panjang maupun bobot, serta belum tersedianya informasi tentang ikan kuniran. Dibutuhkan suatu kajian penelitian tentang penyebaran kelompok umur berdasarkan analisis frekuensi panjang berikut hubungan antara panjang total dan bobot tubuh yang dapat menggambarkan kondisi ikan kuniran. Kajian mengenai stok ikan dan analisis ketidakpastian produksi dan harga dilakukan untuk menerapkan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan.
1.3. Tujuan Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menduga parameter pertumbuhan populasi ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta. 2. Menduga mortalitas ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta serta keterkaitannya dengan pengelelolaan stok yang berkelanjutan. 3. Menganalisis ketidakpastian volume produksi dan harga sumberdaya ikan kuniran yang didaratkan di TPI Cilincing 4. Menduga kondisi stok ikan kuniran untuk menentukan alternatif pengelolaan bagi sumberdaya ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta.
1.4. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi biologi berupa laju pertumbuhan, kisaran ukuran panjang ikan kuniran yang tertangkap, hubungan panjang bobot, mortalitas dan status stok serta analisis ketidakpastian nilai produksi ikan kuniran yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan di TPI Cilincing khususnya dan propinsi DKI Jakarta umumnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Subordo
: Percoidei
Famili
: Mullidae
Genus
: Upeneus
Spesies
: Upeneus sulphureus (Curvier, 1829)
Nama Umum : Sulphur goatfish, yellow goatfish, beach goatfish Nama Lokal
: Kuniran (Jakarta)
Gambar 2. Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus) Sumber : www.fishbase.org (1 Desember 2010)
5
2.1.2. Karakter biologi dan distribusi Kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan salah satu ikan demersal dengan bentuk badan yang memanjang hingga mencapai panjang maksimum 23 cm, memilliki dua garis kuning, dan agak pipih. Pada sirip dorsal terdapat 8 jari-jari keras dan 9 jari-jari lemah, sirip anal terdapat 1 jari-jari keras dan 7 jari-jari lemah, sirip pektoral terdapat 15-16 jari-jari lemah. Tubuh tertutup oleh sisik stenoid dengan jumlah sisik pada lateral line sebanyak 34-37 buah sisik (hingga pangkal ekor). Tinggi badan pada sirip pertama hingga sirip terakhir bagian dorsal kurang lebih 29-30% dari panjang standarnya (SL), tinggi pada bagian ekor hingga peduncle sekitar 11-12% dari panjang standarnya, dan tinggi maksimum kepala adalah 23-35% dari panjang standarnya. Ikan ini banyak ditemukan di kedalaman 10-90 meter yang dekat dengan perairan pantai. Hidupnya bergerombol dan tersebar pada iklim tropis yang berada antara
400 LU-300 LS (Cuvier 1829 in
www.fishbase.org 2009). lkan kuniran (Upeneus sulphureus) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan kedalaman, laju tangkap tertinggi ikan kuniran terdapat pada kedalaman perairan 30-40 meter. Secara ekologis mullidae menghuni habitat di dasar atau di dekat dasar perairan. Seperti diketahui, kelompok ikan demersal mempunyai ciri-ciri: bergerombol tidak terlalu besar, aktifitas relatif rendah dan gerak ruaya juga tidak terlalu jauh. Sehingga dari ciri-ciri yang dimiliki tersebut, kelompok ikan demersal cenderung relatif rendah daya tahannya terhadap tekanan penangkapan (Badrudin 2006 in Ernawati dan Sumiono 2006).
2.2. Alat Tangkap Ikan Kuniran Ikan kuniran dapat ditangkap menggunakan alat tangkap demersal seperti jaring arad, cantrang, jaring dogol, lampara dasar, jaring jogol, jaring insang, dan pukat pantai. Berdasarkan data yang diperoleh dari TPI Cilincing ikan kuniran ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring dogol. Alat penangkap ikan berdasarkan Undang-Undang No.9 Tahun 1985 adalah sarana dan perlengkapan atau benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan. Alat tangkap jaring dogol merupakan pukat kantong yang digunakan untuk
6
menangkap ikan dasar (demersal fish). Terdapat sedikit perbedaan antara jaring dogol dengan cantrang, yaitu pada bagian atas mulut jaring (dogol) agak lebih menonjol ke depan sehingga hampir menyerupai jaring trawl. Pada prinsipnya, alat tangkap ini terdiri dari bagian badan berbentuk seperti trapesium memanjang. Selanjutnya pada bagian-bagian tersebut ditautkan tali penguat dan dihubungkan dengan tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (foot rope) serta dilengkapi dengan pelampung dan pembobot (Subani dan Barus 1989 in Sari 2008).
Gambar 3. Cara pengoperasian jaring dogol Sumber : www.beritanyata.blogspot.com Spesifikasi alat tangkap dogol adalah tali selambar sepanjang 8 m, jenis tali marlon dan jaring ukuran panjang 16 m, lebar 10 m. Memiliki ukuran mata jaring bagian kantong 1 inchi – 3 inchi dan ukuran mata jaring bagian selambar 8 inchi. Jenis kapal yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini adalah kapal motor dengan ukuran 5-6 GT.
2.3. Sebaran Frekuensi Panjang Metode pendugaan stok menggunakan masukan data komposisi umur. Data komposisi umur pada perairan beriklim sedang biasanya diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras ikan di tubuhnya, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre dan Venema 1999).
7
Metode numerik mulai dikembangkan dan memungkinkan dilakukannya konveksi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur sehingga pendugaan stok spesies tropis adalah analisis frekuensi panjang total ikan. Tujuan analisis data berdasarkan sidik frekuensi panjang untuk menentukan umur terhadap kelompokkelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre dan Venema 1999). Fungsi analisis frekuensi panjang adalah untuk menentukan umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit (Pauly 1984). Penentuan umur harus menggunakan contoh yang banyak dengan selang waktu yang lebar, diperoleh dari hasil tangkapan awal sehingga dapat diketahui kelompok umur pertama.
2.4. Pertumbuhan Pertumbuhan individu merupakan suatu pertambahan ukuran panjang atau berat pada periode waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi adalah pertambahan jumlah, yang kemudian sering disebut bahwa pertumbuhan merupakan proses biologi kompleks yang secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari luar maupun dari dalam. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan berupa suhu air, kandungan oksigen terlarut, ammonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktor lainnya seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makanan, umur, serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Faktor dalam yang umumnya sangat sulit dikontrol antara lain keturunan, umur, parasit, dan penyakit (Effendie 2002). Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan penentuan ukuran badan sebagai suatu fungsi umur. Penentuan umur ikan pada kawasan yang beriklim sedang dapat diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian-bagian keras ikan seperti sisik dan otolit (Sparre dan Venema 1999). Namun hal tersebut sangat sulit dilakukan pada wilayah beriklim tropis, sehingga untuk menduga pertumbuhan biasa menggunakan analisis kuantitatif.
8
2.5. Hubungan Panjang Bobot Dalam perhitungan untuk menduga suatu pertumbuhan terdapat dua model yang dapat digunakan yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model yang berhubungan dengan panjang (Effendie 1979). Model-model tersebut menggunakan persamaan matematik untuk menggambarkan suatu pertumbuhan Analisis pola pertumbuhan menggunakan data panjang bobot. Persamaan hubungan panjang bobot ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 1979). Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot dipltkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb. Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b) yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memiliki pola pertumbuhan
isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan
pertumbuhan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan allometrik positif (b>3) menyatakan pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan allometrik negatif (b<3) menyatakan pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot.
2.6. Faktor Kondisi Turunan penting dari pertumbuhan adalah faktor kondisi. Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam angka (Lagler 1961 in Effendie 1979). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi. Kondisi disini mempunyai arti dapat memberi keterangan baik secara biologis atau secara komersial. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan (Effendie 2002). Effendie (1979) menyatakan bahwa nilai faktor kondisi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh
9
umur, makanan, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG). Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kali akan menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan
pertumbuhan karena sebagian dari
makanan digunakan untuk
perkembangan gonad.
2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas suatu kelompok ikan merupakan salah satu aspek dalam dinamika stok ikan. Suatu stok yang mengalami eksploitasi perlu dibedakan antara mortalitas alami dengan mortalitas penangkapan. Mortalitas dapat terjadi karena adanya aktivitas penangkapan yang dilakukan manusia dan alami yang terjadi kematian karena predasi, penyakit, dan umur (Sparre dan Venema 1999). Laju mortalitas total merupakan jumlah dari mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas alami (M). Secara matematis dapat dituliskan menjadi Z=F + M (Spare dan Venema 1999). Keterkaitan nilai laju mortalitas alami dan nilai parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu K dan L∞. Hal ini menyatakan bahwa ikan yang pertumbuhannya cepat yang dinyatakan dengan nilai koefisien yang tinggi mempunyai nilai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil, sedangkan ,mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Spare dan Venema 1999). Laju eksploitasi didefinisikan sebagai jumlah ikan yang mati karena penangkapan dibagi dengan jumlah total ikan yang mati baik karena factor alami ataupun penangkapan (Spare dan Venema 1999). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimal maka laju mortalitas penagkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya (M) atau dapat dinyatakan bahwa laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Laju eksploitasi penting untuk diketahui sehingga dapat menduga kondisi dari perikanannya. 2.8. Nisbah Kelamin Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Reproduksi akan berlangsung pada sebagian besar individu yang hidup dengan cara yang berbedabeda tergantung kondisi lingkungan (Fujaya 2004).
10
Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Untuk beberapa spesies ikan, perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal dan Rao 1984 in Rizal 2009). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006). Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina.
2.9. Kondisi Lingkungan Perairan Dibutuhkan informasi lingkungan perairan yang berperan penting dalam menjelaskan hubungan antara spesies target dengan lingkungannya. Parameter yang perlu diketahui merupakan parameter yang secara langsung berpengaruh terhadap potensi perikanan tersebut. Suhu memberikan pengaruh yang besar terhadap proses fisika, kimia, dan biologi perairan yang mampu mengendalikan kondisi ekosistem. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai untuk menunjang pertumbuhannya. Peningkatan suhu akan meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik yang kemudian meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 3-4 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Effendie 2002). Kelarutan oksigen dan gas-gas berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar (Effendie 2002).
11
2.10. Analisis Ketidakpastian Perikanan merupakan sistem yang kompleks dan saling terkait. Undangundang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber ketidakpastian dalam perikanan yang dijelaskan oleh FAO (2002) in Widodo dan Suadi (2006) muncul karena adanya keterbatasan, ketidaktersediaan, dan rendahnya kualitas data yang tersedia (seperti data hasil tangkapan, upaya, ekonomi, dan komunitas). Kondisi ini diperlemah oleh keterbatasan ilmu pengetahuan tentang sumberdaya ikan sehingga mendorong upaya pengelolaan sumberdaya ikan ke arah yang tidak berkelanjutan (unsustainable) (Widodo dan Suadi 2006). Sumber ketidakpastian cakupannya sangat luas, baik dari sisi alamiah maupun sisi manusia atau manajemennya (Tabel 1). Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam sistem perikanan Sumber yang bersifat alami Ukuran stok dan struktur umur ikan Mortalitas alami Predator-prey Heterogenitas ruang Migrasi Parameter "stock-assessment" Hubungan "stock-recuitment" Interaksi multispesies
Sumber yang bersifat dari manusia Harga ikan dan struktur pasar Biaya operasional dan biaya korbanan Perubahan tekhnologi Sasaran pengelolaan Sasaran nelayan Respon nelayan terhadap peraturan Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Perilaku konsumen
Interksi ikan dengan lingkungan Sumber : Charles (2001) Permasalahan dan resiko yang terjadi dalam suatu sistem perikanan akibat dari ketidakpastian mempengaruhi keberlanjutan perikanan di masa yang akan datang. Apabila tidak diatasi, maka dapat mengancam sistem perikanan tersebut (Charles 2001). Oleh karena itu dilakukan pengelolaan yang tepat agar perikanan dapat tetap terjaga dan termanfaatkan secara optimum.
12
Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001), yaitu: 1. Randomness Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak). 2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam: a. Observation Uncertainty, ketidakpastian karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variabel perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management). b. Model Uncertainty, ketidakpastian memprediksi model sistem perikanan. c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian akibat ketidakakuratan estimasi. 3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan. a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan. b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian “value system” dalam perikanan. Pada dasarnya fluktuasi merupakan keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada, terutama apabila nilai yang dihasilkan lebih rendah dari sebelumnya (Charles 2001). Apabila dalam model prediksi nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Menurut Charles (2001) dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Risk Assessment (penaksiran resiko) Digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan scenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu:
13
a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistic dengan menggunakan time-series data. b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah scenario pengelolaan. 2. Risk Management (pengelolaan resiko) Upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu: a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.
2.11. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open access). Persaingan yang dilakukan pelaku perikanan terlihat dari usaha yang dilakukan menggunakan tekhnologi yang terus berkembang dan dieksploitasi secara terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (DKP 2005), pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses terintegrasi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
14
alokasi sumberdaya, implementasi serta penegakkan hokum peraturan perundangan di bidang perikanan, dilakukan pemerintah dan otoritas lain diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati. UU Perikanan No. 45 Tahun 2009 pasal 2 menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia salah satunya dilakuka melalui asas pembangunan yang berkelanjutan, dimana pengelolaan perikanan yang dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang. Pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan baik, dengan salah satu upaya dalam suatu pengelolaan adalah monitoring sehingga kondisi sumberdaya dapat terus terpantau dengan baik. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanana adalah tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer dan Azis 2007).
3. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Pengambilan contoh ikan kuniran dilakukan di TPI Cilincing, Provinsi DKI Jakarta. Ikan contoh yang diperoleh ditangkap dari sekitar Pulau Damar di perairan Teluk Jakarta. Pengambilan data primer dilaksanakan mulai bulan Oktober 2010 hingga Desember 2010 dengan interval waktu pengambilan contoh 14 hari. Sedangkan pengumpulan data sekunder dikumpulkan selama penelitian pada bulan Oktober 2010 hingga Maret 2011 dari Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Cilincing, Jakarta Utara.
Gambar 4. Peta lokasi pengambilan contoh dan daerah penangkapan ikan kuniran di Teluk Jakarta
3.2. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan adalah ikan kuniran, yang merupakan hasil tangkapan nelayan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
16
Cilincing, Jakarta Utara. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain penggaris dengan ketelitian 1 mm, timbangan dengan ketelitian 1 gram, alat bedah, alat tulis, dan alat dokumentasi.
3.3. Pengumpulan Data 3.3.1. Data primer Pengumpulan data primer diperoleh dari pengambilan contoh secara acak pada ikan kuniran yang tertangkap di Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Ikan contoh yang diambil diidentifikasi melalui pengamatan morfolgi ikan. Metode yang digunakan dalam pengambilan contoh ikan adalah metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS) yang ditangkap oleh kapal dengan alat tangkap dogol yang memiliki fishing ground di sekitar Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing. Data dipilih dari satu kapal yang masuk pada satu hari itu. Dari perahu dipilih dua keranjang, kemudian dari setiap pengambilan contoh diamati 50150 ekor ikan kuniran. Ikan contoh akan dilakukan analisis berupa pengukuran panjang, bobot, identifikasi jenis kelamin, dan TKG untuk mengetahui pola pertumbuhan individu dan pertumbuhan populasi ikan kuniran berdasarkan jenis kelamin. Panjang ikan yang diukur adalah panjang total yang meliputi panjang mulai dari ujung mulut terdepan hingga ujung ekor terakhir menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 milimeter, sedangkan bobot yang ditimbang adalah bobot basah total yang meliputi bobot total jaringan ikan serta air yang terkandung dalam tubuh ikan menggunakan timbangan dengan ketelitian 1 gram. Jenis kelamin ikan diketahui melalui cara pembedahan perut ikan yang kemudian menentukan jenis kelamin dan TKG ikan melalui identifikasi gonadnya. Pengumpulan data dan informasi lain diperoleh dengan melakukan observasi di lapangan dan wawancara dengan para nelayan serta pengelola TPI Cilincing. Informasi yang diperoleh berupa data hasil penangkapan ikan yang didaratkan di TPI Cilincing, data unit operasi penangkapan ikan kuniran berupa kegiatan operasi penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya operasi penangkapan.
17
3.3.2. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan penelitian, yang diperoleh dari arsip TPI Cilincing. Data sekunder yang diperoleh berupa data produksi hasil tangkapan ikan kuniran, data alat tangkap yang digunakan, data harga ikan, serta data potensi ikan dominan yang didaratkan di TPI Cilincing, Jakarta Utara.
3.4. Analisis Data 3.4.1. Identifikasi spesies Ikan kuniran yang diperoleh dari TPI Cilincing diidentifikasi jenisnya menggunakan buku identifikasi ikan yang dilakukan di laboratorium Biologi Makro Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi yang dilakukan dengan cara mengamati morfologi tubuh ikan dari ujung kepala hingga ekor ikan. Jenis ikan kuniran dominan yang didaratkan di TPI Cilincing yaitu Upeneus sulphureus. Sedangkan ikan kuniran jenis lain adalah Upeneus moluccensis.
3.4.1. Sebaran frekuensi panjang Analisis sebaran frekuensi panjang ikan dilakukan menggunakan data panjang total ikan kuniran yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing. Analisis data fekuensi panjang ikan yaitu: a. Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan b. Menentukan lebar selang kelas c. Menentukan kelas frekuensi dan memasukan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang serta masing-masing ikan contoh pada selang kelas yang telah ditentukan. Sebaran frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas panjang yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Pada grafik tersebut dapat diduga pergeseran sebaran kelas panjang setiap pengambilan contoh, yang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada dan perubahan posisi ukuran panjang kelompok umur yang sama.
18
3.4.2. Identifikasi kelompok ukuran Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang ikan kuniran. Data frekuensi panjang dianalisis dengan menggunakan salah satu metode yang terdapat di dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan baku. Boer (1996) menyatakan jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-I (i = 1, 2, …, N), µj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2, …, G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {µj, σj ,pj) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum Likelihood function) dengan persamaan sebagai berikut : N
G
i 1
j 1
L f i log p j qij
Dengan ketentuan qij
(1)
1
j 2
exp
1 xi j 2 ( ) 2 j
yang merupakan fungsi kepekatan
peluang sebaran normal dengan nilai tengah µj dan simpangan baku σj. xi merupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj ,pj sehingga diperoleh dugaan µj, σj ,pj yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.
3.4.3. Pendugaan L∞, K, dan t0
Koefisien pertumbuhan (K) dan L∞ dapat diduga dengan menggunakan metode plot Ford-Walford, dan nilai t0 diperoleh dengan menggunakan persamaan Pauly. Parameter tersebut dilakukan analisis ke model pertumbuhan Von Bartalanffy (Sparre dan Venema 1999) : Lt L (1 exp [ k ( t t0 )] )
(2)
19
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu) dan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Penurunan plot Ford Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dengan t0 sama dengan nol, maka persamaanya sebagai berikut: Lt L (1 exp [ k ( t t0 )] )
(3)
L L exp[ Kt )] L Lt L exp [ Kt ] )
(4)
Selanjutnya perbedaan dua panjang ikan suksesif : Lt 1 Lt L (1 exp [ k ( t 1)] ) L (1 exp [ Kt ] )
L (exp[ k (t 1)] ) L (exp[ Kt ] )
L exp[ kt ] (1 exp[ K ] )
(5)
Jika persamaan (3) didistribusikan kedalam persamaan (5) diperoleh persamaan : Lt 1 Lt ( L Lt )(1 exp [ K ] ) L (1 exp [ k ] ) Lt Lt exp [ K ] )
Lt 1 L (1 exp [ k ] ) Lt exp [ K ] )
(6)
Persamaan (5) merupakan bentuk persamaan linear antara Lt (sumbu x) di plotkan terhadap Lt+1 (sumbu y) sedemikian sehingga memilki kemiringan (slope) (b) =
(b) exp[ K ] dan intersep (a) L (1 exp[ K ] ) . Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan t+1 yaitu panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (Pauly 1984). Umur secara teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat di duga secara terpisah menggunakan persamaan empiris pauly (Pauly 1984) sebagai berikut : Log (-t0) = 0,3922-0,2752 (Log L∞) – 1,038 (Log K)
(7)
20
3.4.4. Hubungan panjang bobot
Bobot menggambarkan fungsi dari panjang. Panjang berkaitan erat dengan bobot yang mengikuti hukum kubik, menyatakan bahwa berat ikan sebagai pangkat tiga. Namun tiap ikan memiliki pola pertumbuhan yang berbeda-beda sehingga analisis hubungan panjang dan bobot ikan dapat menggunakan rumus (Effendi 1997): W aLb
(8)
W adalah bobot, L adalah panjang, a adalah intersep (perpotongan kurva hubungan panjang bobot dengn sumbu y), dan b adalah penduga pola pertumbuhan panjangbobot Persamaan linear atau garis lurus menggunakan persamaan berikut : Ln W = Ln a + b Ln L
(9)
Parameter a dan b diperoleh menggunakan analisis regresi dengan Ln W sebagai ‘y’ dan Ln L sebagai ‘x’, maka dapat didapatkan regresi sebagai berikut: y = a + bx
(11)
Pengujian nilai b ≤ 3 atau b > 3 dilakukan melalui uji-t (uji parsial) dengan hipotetis: H0
: b ≤ 3, hubungan panjang dan bobot adalah isometrik atau allometrik negatif
H1
: b > 3, hubungan panjang dan bobot adalah allometrik positif
Hipotesis yang digunakan adalah bila b=3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan bobot). Jika b<3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih cepat daripada bobot). Dan bila b>3 allometrik positif (pola pertumbuhan bobot lebih cepat daripada panjang).
t hitung s 2 b1
b1 b0 sb1
s2 n 1 n xi2 ( xi ) 2 n i 1 i 1
(12)
(13)
21
b1 adalah nilai b (dari hubungan panjang berat), b0 sama dengan tiga, dan Sb adalah simpangan koefisien b Lakukan analisis yang membandingkan nilai thitung dan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Kemudian pola pertumbuhan ikan diperoleh, sehingga keputusan yang diambil adalah : thitung > ttabel
: tolak
hipotesis H0
thitung > ttabel
: gagal
tolak hipotesis H0
3.4.5. Faktor kondisi
Faktor kondisi dihitung menggunakan data panjang dan bobot ikan yang menggunakan rumus: K
W aLb
(14)
Untuk nilai b≠3 (pertumbuhan bersifat allometrik) K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan (gram). L adalah panjang total ikan (millimeter), sedangkan a dan b adalah konstanta. Ikan yang memiliki sifat pertumbuhan allometrik positif memiliki struktur tubuh yang lebih gemuk dibandingkan ikan yang bersifat pertumbuhan allometrik negatif.
3.4.6. Mortalitas dan laju eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre dan Venema 1999) menggunakan langkah-langkah sebagai berikut. Langkah 1
: mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan von Bertalanffy.
t ( L) t 0
1 L Ln1 K L
(15)
22
Langkah 2
: menghitung waktu rata-rata yang diperlukan oleh ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 (t)
t t ( L2 ) t ( L1 )
Langkah 3
1 L L1 Ln K L L2
(16)
: menghitung (t+t/2) yang diasumsikan sama dengan t(L1)+∆t/2 sama dengan
L L2 t 1 2
Langkah 4
1 L L2 t 0 Ln1 1 K 2 L
(17)
: menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang dikonversikan ke panjang
Ln
c( L1 , L2 ) L L2 c Z *t 1 t ( L1 L2 ) 2
(18)
Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z. Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut : Ln M = - 0,0152-0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,463*Ln T
(19)
M exp ( 0,01520, 279*LnL 0,6543*LnK 0, 463*LnT )
(20)
L∞ adalah panjang asimsotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air (0C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F=Z–M
(21)
Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortaliatas total (Z) (Pauly 1984) :
23
E
F F F M Z
(22)
Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah: Foptimum M sehingga E optimum 0,5
(23)
3.4.7. Tingkat Kematangan Gonad
Pengamatan gonad ikan contoh dapat menduga jenis kelamin ikan. Tingkat kematangan gonad ialah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu memijah. Menentukan tingkat kematangan gonad pada ikan ada dua cara yaitu secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, berat gonad, serta perkembangan isi gonad. Sedangkan secara histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik. Berikut ini adalah tabel penentuan TKG ikan menggunakan modifikasi dari Cassie (Effendie 1979) yang disajikan pada tabel 2 : Tabel 2. Penentuan TKG secara morfologi TKG I II III
IV
Betina Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta permukaannya licin Ukuran ovari lebih besar, warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/22/3 rongga perut
Jantan Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti susu Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal
3.4.8. Nisbah kelamin
Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan betina yang ada pada suatu perairan. Untuk mencari nisbah kelamin dapat menggunakan rumus berikut:
24
p=
n 100% N
(24)
p adalah proporsi ikan (jantan/betina), n adalah jumlah jantan atau betina, dan N adalah jumlah total ikan (jantan + betina) Untuk melihat sebaran kelamin ikan dengan menggunakan selang kepercayaan 95% ialah :
p 1,64 x
pq pq p 1,64 x n n
(25)
p adalah proporsi betina, q adalah proporsi jantan, n adalah jumlah ikan betina dan jantan, dan 1,96 adalah nilai z pada selang kepercayaan 95%.
3.4.9. Analisis Ketidakpastian
Analisis ketidakpastian dalam perikanan menggunakan hukum peluang menyatakan kemungkinan keberhasilan hasil tangkapan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu upaya dan harga ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian menggunakan dalil Bayes dengan peluang bersyarat sebagai dasarnya. Dalil Bayes dalam Walpole (1993) sebagai berikut : Jika kejadian-kejadian B1, B2, …, Bk merupakan kejadian yang saling terpisah yang gabungannya ruang contoh S dengan P(Bi) ≠ 0 untuk i = 1, 2, …, k, maka untuk sembarang kejadian A yang bersifat P(A) ≠ 0,
P( Br A)
P ( Br ) P ( A Br ) K
P( B ) P( A B ) i 1
i
untuk r = 1, 2, …, k
(26)
i
Ketidakpastian harga dan produksi dianalisis menggunakan program Crystal ball, merupakan perangkat lunak untuk analisis data. Crystal ball digunakan dalam bidang bisnis, penjualan atau peramalan keuangan, model prediksi, simulasi Monte
25
Carlo, dan optimasi. Program ini meliputi penilaian, teknik, resiko analisis keuangan, estimasi biaya, dan manajemen proyek (www.graduatetutor.com). Program Crystal ball membantu menganalisis resiko dan ketidakpastian yang terkait dengan model spreadsheet suite sehingga dapat membuat keputusan-keputusan taktis yang tepat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keunggulan kompetitif pada kondisi pasar yang tidak pasti.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta
Teluk Jakarta adalah perairan yang terletak di sebelah utara Jakarta yang dibatasi koordinat geografis 106033’ – 107003’ Bujur Timur (BT) dan 5048’30” – 6010’30” Lintang Selatan (LS) yang membentang dari Tanjung Kait di bagian barat hingga Tanjung Kara wang di bagian timur dengan panjang garis pantai kurang lebih 89 km. Garis yang menghubungkan kedua tanjung tersebut, melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar, panjangnya kira-kira 21 mil laut. Perairan Teluk Jakarta dimuarai oleh 13 sungai, beberapa diantaranya adalah sungai besar, seperti Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung, Sungai Citarum, dan Sungai Bekasi (KPPL-DKI dan PPLH-IPB 1997 in Zainab 2001). Teluk Jakarta berperan penting secara ekologis dan ekonomis. Secara ekologis Teluk Jakarta memiliki peranan dalam menopang kehidupan biota di Laut Jawa dan rentan terhadap masukan bahan pencemar yang berasal dari hasil buangan limbah dari kegitan manusia yang berada di sekitarnya. Hasil penelitian Apriadi (2005) pada titik sejauh 3000 meter dari muara sungai, kandungan logam berat di Teluk Jakarta diantaranya timbal (Pb) berkisar antara 0,011 – 0,032 mg/L. nilai tersebut telah melebihi nilai baku mutu yang ditetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 untuk biota laut, yang masing-masing sebesar 0,008 mg/L dan 0,005 mg/L. Ditinjau dari kualitas perairan Muara Kamal, Teluk Jakarta, menunjukkan kondisi yang tercemar berat, hal ini disebabkan oleh kandungan oksigen terlarutnya (DO) rendah atau tidak memenuhi baku mutu serta nilai kecerahan dan kandungan logam berat Cd (kadmium) di perairan ini tidak memenuhi baku mutu (Zainab 2001). Secara ekonomis, perairan teluk Jakarta merupakan tempat kehidupan ribuan manusia, mulai dari nelayan, pelaku bisnis, hingga masyarakat umum lainnya. Pengembangan aktivitas manusia anatara lain kegiatan perikanan, pariwisata, industri, dan perhubungan.
27
Substrat perairan Teluk Jakarta umumnya didominasi lumpur, pasir, dan kerikil. Lumpur banyak terdapat di bagian pinggir dan tengah teluk, sedangkan pasir semakin menonjol di bagian laut lepas. Teluk Jakarta termasuk dangkal, umumnya kurang dari 30 meter ke utara (Nontji 1984 in Zainab 2001). Teluk Jakarta termasuk wilayah yang memiliki curah hujan agak rendah dan menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson bertipe iklim D, dengan nisbah antara rata-rata jumlah bulan kering dan rata-rata jumlah bulan basah sebesar 60100%. Suhu rata-rata berkisar antara 26,0 0C pada bulan Februari sampai 27,00C pada bulan Oktober (KPPL-DKI dan PPLH-IPB 1997 in Zainab 2001).
4.1.2. Kondisi perikanan kuniran di TPI Cilincing Jakarta
TPI Cilincing sebagai salah satu tempat pendaratan ikan dari empat TPI yang berlokasi di propinsi DKI Jakarta, berdiri tahun 1999 digunakan sebagai fasilitas yang disediakan pemerintah kepada masyarakat nelayan di sekitar DKI Jakarta untuk melakukan transaksi kegiatan perikanan. Ikan kuniran merupakan hasil tangkapan dominan ketiga (10%) setelah ikan pepetek (59%) dan ruca (25%) yang ditangkap di Teluk Jakarta dan didaratkan di tempat pendaratan ikan (TPI) Cilincing seperti yang disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Komposisi hasil tangkap ikan dominan menggunakan jaring dogol yang didaratkan di TPI Cilincing Sumber: modifikasi data sekunder TPI Cilincing tahun 2010
28
Jenis ikan kuniran yang dominan tertangkap adalah Upeneus sulphureus dengan daerah penangkapan sekitar Pulau Damar, perairan Teluk Jakarta. Penangkapan ikan kuniran menggunakan alat tangkap jaring dogol yang dioperasikan dengan menggunakan kapal motor berukuran 5-6 GT. Spesifikasi alat tangkap jaring dogol adalah panjang kantong 16 m, lebar kantong 10 m, panjang selambar 8 m. Ukuran mata jaring bagian kantong adalah 1,5 inchi – 3 inchi dan ukuran mata jaring bagian selambar adalah 8 inchi. Jenis tangkapan yang dihasilkan alat tangkap tersebut diantaranya ikan kuniran, pepetek, kurisi, pari, dan kapasan. Penduduk sekitar TPI Cilincing Jakarta sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional berupa jaring dogol, jaring puslon, jaring purse-seine, dan rumpon. Kapal-kapal yang digunakan oleh nelayan di TPI Cilincing dominan berukuran kurang dari 10 GT.
4.1.3. Sebaran frekuensi panjang
Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) yang diamati selama penelitian pada tanggal 23 Oktober 2010 sampai dengan tanggal 18 Desember 2010 yang dihasilkan dari lima kali pengamatan berjumlah 540 ekor, terdiri dari 206 ekor betina dan 247 ekor jantan. Kisaran panjang total ikan yang tertangkap antara 55,0 mm sampai 135,0 mm. Pada pengamatan ini diketahui panjang tertinggi yang diperoleh ikan betina 135,0 mm dan ikan jantan 125,0 mm. Pada pengambilan contoh pertama,ikan kuniran terletak pada kisaran 67,0–130,0 mm dengan frekuensi tertinggi pada ratarata ukuran panjang 107,0-110,0 mm. Pada pengambilan contoh kedua, ikan kuniran terletak pada kisaran 83,0-134,0 mm dengan frekuensi tertinggi pada rata-rata ukuran panjang 95,0-98,0 mm untuk ikan betina dan 91,0-94,0 untuk ikan jantan. Pada pengambilan contoh ketiga, ikan kuniran terletak pada kisaran 55,0-106,0 mm dengan frekuensi tertinggi pada rata-rata ukuran panjang 63,0-66,0 mm untuk ikan betina dan jantan. Pada pengambilan contoh keempat, ikan kuniran terletak pada kisaran 67,0-122,0 mm dengan frekuensi tertinggi pada rata-rata ukuran panjang 103,0-110,0 mm untuk ikan betina dan 103,0-106,0 untuk ikan jantan. Pada pengambilan contoh kelima, ikan kuniran terletak pada kisaran 75,0-138,0 mm dengan frekuensi tertinggi pada rata-rata ukuran panjang 87,0-90,0 mm untuk ikan betina dan 91,0-94,0 untuk ikan jantan.
29
Tabel 3. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) bulan Oktober-Desember 2010 di Teluk Jakarta Sabtu
Sabtu
Sabtu
Sabtu
Sabtu
23 Oktober 2010
6 Nopemeber 2010
20 Nopember 2010
4 Desember 2010
18 Desember 2010
T
B
J
T
B
T
B
J
T
B
J
T
55-58
0
0
0
0
0
2
2
0
0
0
0
0
0
59-62
0
0
0
0
11
13
24
0
0
0
0
0
0
63-66
0
0
0
0
21
27
48
0
0
0
0
0
0
67-70
1
0
0
0
6
7
13
1
1
2
0
0
0
71-74
0
0
0
0
0
4
4
3
0
3
0
0
0
75-78
2
0
0
0
2
1
3
3
3
6
1
1
2
79-82
10
0
0
0
0
0
0
2
1
3
2
2
4
83-86
4
3
9
12
0
0
0
1
0
1
3
4
7
87-90
7
2
10
12
7
7
14
1
0
1
11
6
17
91-94
0
0
12
12
7
4
11
0
0
0
9
13
22
95-98
1
6
6
12
7
3
10
11
6
17
12
11
23
Selang Kelas
J
99-102
9
0
7
7
0
2
2
11
9
20
4
10
14
103-106
14
3
2
5
1
1
2
14
13
27
4
4
8
107-110
16
2
3
5
0
0
0
14
10
24
4
8
12
111-114
3
0
0
0
0
0
0
1
1
2
0
7
7
115-118
10
2
1
3
0
0
0
0
3
3
2
6
8
119-122
6
5
2
7
0
0
0
1
0
1
0
2
2
123-126
2
0
3
3
0
0
0
0
0
0
1
0
1
127-130
2
1
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
131-134
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
135-138
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
Total
87
25
55
80
62
71
133
63
47
110
56
74
130
Nb : B= betina; J= jantan; T= total Nelayan di TPI Cilincing yang menangkap ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta menggunakan alat tangkap dogol. Secara temporal, jumlah ikan kuniran yang tertangkap di Teluk Jakarta cenderung fluktuatif. Berdasarkan hasil pengamatan, ikan yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember lebih sedikit karena dipengaruhi oleh musim. Waktu pengambilan contoh yang dilakukan merupakan musim barat sehingga hasil tangkapan ikan menurun. Analisis frekuensi panjang berguna dalam menentukan parameter pertumbuhan dengan cara mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan
30
menggunakan modus panjang kelas untuk mengetahui umur ikan. Analisis frekuensi panjang ini menghasilkan fluktuasi yang menggambarkan adanya pengelompokkan modus.
4.1.4. Tingkat kematangan gonad
Tingkat kematangan gonad menunjukkan perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Dari pengetahuan kematangan gonad akan diperoleh keterangan ketika akan memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah. (Effendie 2002). Ikan kuniran yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta menunjukkan lebih dominan memiliki TKG 1 pada ikan berjenis kelamin jantan dan betina untuk setiap pengambilan contohnya (Tabel 4, Gambar 6 dan Gambar 7). Tabel 4. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus sulphureus) untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta Pengambilan contoh
TKG Waktu
2
06 Nopember 2010
3 4
20 Nopember 2010 2 Desember 2010
5
18 Desember 2010
Betina I 9 41 37 37
Jantan
II 12 21 24
II 4 0 2
14
2
IV 0 0 0 2
I 11 59 14 31
II 40 11 29
III 4 1 4
29
13
Gambar 6. TKG ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina
IV 0 0 0 1
31
Gambar 7. TKG ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan
4.1.5. Produksi dan harga ikan kuniran
Hasil tangkapan ikan kuniran periode bulan Februari 2010 hingga bulan Februari 2011 mengalami fluktuasi (Gambar 8). Ikan kuniran yang ditangkap pada periode tersebut menggunakan alat tangkap jaring dogol.
Gambar 8. Grafik produksi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) dari Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing periode penangkapan Februari 2010 – Februari 2011 Gambar 8 memperlihatkan hasil tangkapan tertinggi 150 kg yang terjadi pada operasi penangkapan ikan yang ke-96 tanggal 5 Oktober 2010, sedangkan hasil tangkapan terendah 30 kg pada perjalanan ke 126, 127, 130, 133, 134, 135 yang
32
terjadi pada operasi penangkapan ikan periode Januari 2011 hingga Februari 2011. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan di TPI Cilincing Jakarta bersifat tradisional menggunakan alat tangkap jaring dogol sehingga hasil tangkapan ikan kuniran masih belum optimal. Oleh karena itu, terdapat ketidakpastian dalam hal produksi penangkapan. Selain produksi, harga ikan kuniran juga mengalami fluktuasi, dapat dilihat pada Gambar 9. Terjadi perbedaan antara produksi dan harga ikan kuniran, harga ikan kuniran tidak banyak terjadi fluktuasi. Hal ini dikarenakan penentuan harga ikan kuniran tidak dipengaruhi oleh faktor alam, tetapi ditentukan oleh manusia (nelayan atau pemilik kapal).
Gambar 9. Grafik harga ikan kuniran (Upeneus sulphureus) dari Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing periode Februari 2010 – Februari 2011
4.2. Pembahasan 4.2.1 Kelompok umur
Analisis kelompok ukuran dilakukan pada setiap pengambilan contoh. Analisis ini dilakukan untuk melihat posisi dan perubahan posisi rata-rata masingmasing ukuran kelompok panjang yang disajikan dalam Lampiran1 dan Lampiran 2. Dalam pemisahan kelompok ukuran sangat penting memperhatikan nilai indeks
33
separasi yang diperoleh. Pada Tabel 5 dan Tabel 6 disajikan hasil analisis sebaran kelompok ukuran ikan kuniran setiap pengambilan contohnya. Tabel 5. Sebaran kelompok ukuran ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina setiap pengambilan contohnya di Teluk Jakarta Nilai tengah panjang total (mm)
Pengambilan contoh
Waktu
n
2 3
06 Nopember 2010 20 Nopember 2010
25 62
94,92 ± 8,42 73,19 ± 14,15
120 ± 5,52
3.6 0
4
4 Desember 2010
63
74,95 ± 4,95
101,79 ± 5,402
5,19
5
18 Desember 2010
56
92,73 ± 7,65
123,57 ± 8,66
2,66
kelompok ukuran 1
kelompok ukuran 2
Indeks Separasi
Tabel 6. Sebaran kelompok ukuran ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan setiap pengambilan contohnya di Teluk Jakarta Nilai tengah panjang total (mm)
Pengambilan contoh
Waktu
n
kelompok ukuran 1
kelompok ukuran 2
Indeks Separasi
2 3 4
06 Nopember 2010 20 Nopember 2010 4 Desember 2010
55 71 47
105,28 ± 7,33 63,04 ± 3,92 74,2 ± 3,92
122,50 ± 4,20 91,57 ± 5,19 103 ± 5,31
3,16 6,26 6,24
5
18 Desember 2010
74
93,29 ± 7,33
111,51± 4,20
3,16
Umur ikan diduga melalui analisis sebaran frekuensi panjang yang dapat menduga kelompok umur, karena ikan frekuensi panjang tertentu umumnya berasal dari umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran normal. Berdasarkan metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) dapat menggambarkan jumlah kohort dari sebaran frekuensi panjang ikan. Grafik pertumbuhan ikan kuniran betina (Gambar 10) mengambarkan terdapat dua modus sebaran panjang pada pengambilan contoh kedua, keempat, dan kelima, namun pada pengambilan contoh ketiga hanya ditemukan satu modus saja. Modus pertama, pergeseran pertama pada tanggal 20 Nopember 2010 dan 4 Desember 2010 dimana terjadi pertumbuhan panjang 1,76 mm selama empat belas hari kemudian pergeseran panjang tanggal 18 Desember 2010 terjadi pertumbuhan panjang 17,78 mm selama empat belas hari. Pada modus kedua laju pertumbuhan panjang terjadi pada tanggal 4 Desember 2010 dan 18 Desember 2010 sebesar 21,78 mm selama empat belas hari.
34
Gambar 10. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina
35
Gambar 11. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan
36
Grafik pertumbuhan ikan kuniran jantan (Gambar 11) menggambarkan terdapat dua modus pertumbuhan panjang. Pada modus pertama, terjadi pergeseran laju pertumbuhan panjang pada tanggal 20 Nopember 2010 dan 4 Desember 2010 sebesar 11,16 mm selama empat belas hari, kemudian terjadi pergeseran panjang pada tanggal 4 Desember 2010 dan 19 Desember 2010 sebesar 19,09 mm selama empat belas hari. Modus kedua dimulai dari sebaran panjang pada tanggal 20 Nopember 2010 dan 4 Desember 2010 sebesar 11,43 mm selama empat belas hari, kemudian terjadi pergeseran pertumbuhan panjang pada tanggal 4 Desember 2010 dan 18 Desember 2010 sebesar 8,51 mm selama empat belas hari. Pada pengambilan contoh ikan tanggal 20 Nopember 2010 terjadi pergantian ikan-ikan tua menjadi ikan-ikan muda yang dibuktikan dengan pergeseran modus frekuensi panjang ikan tanggal 6 Nopember 2010. Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran dialami oleh ikan kuniran jantan dan betina (Gambar 10 dan Tabel 11). Hal ini menjelaskan bahwa ikan-ikan tua terganti oleh ikan-ikan muda dengan adanya rekruitmen. Analisis pemisahan kelompok ukuran ikan kuniran dengan metode NORMSEP menghasilkan panjang rata-rata ikan, simpangan baku ikan, dan jumlah populasi setiap kelompok umur serta indeks separasi (Tabel 5 dan Tabel 6). Menurut Haselblad (1966), McNew dan Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre dan Venema (1999), indeks separasi menggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Bila indeks separasi kurang dari dua (I<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan diantara kedua kelompok umur, karena terjadi tumpang tindih yang besar antar keduanya atau modus yang diperoleh berupa modus palsu.
4.2.2. Parameter pertumbuhan
Parameter pertumbuhan dengan metode Von Bertalanffy (parameter K dan L∞) diduga dengan metode plot Ford Walford. Metode plot Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam menduga suatu parameter pertumbuhan dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama. Analisis pertumbuhan panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) untuk menghasilkan nilai K dan L∞ yang menggunakan program FISAT II dengan metode
37
NORMSEP (Normal Separation) menunjukkan bahwa ikan kuniran di Teluk Jakarta memiliki nilai K dan nilai L∞ yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Parameter pertumbuhan model von Bertalanffy (K, L∞, t0) ikan kuniran (Upeneus sulphureus) di Teluk Jakarta Parameter Pertumbuhan L∞ (mm) k t0
Betina 139,76 0,26 -1,8435
Jantan 133,36 0,25 -2,8104
Gambar 12. Kurva pertumbuhan ikan kuniran betina
Gambar 13. Kurva pertumbuhan ikan kuniran jantan Diperoleh persamaan pertumbuhan panjang ikan kuniran betina dan jantan di Teluk Jakarta menyatakan kecepatan pertumbuhan menggunakan fungsi Von
38
Bartalanffy masing-masing adalah Lt = 139,76 (1-e-0,26(t+1,8435)) dan Lt = 133,36 (1-e0,25(t+2,8104)
). Koefisien pertumbuhan ikan kuniran betina mencapai 0,26 dan ikan
kuniran jantan mencapai 0,25. Menurut Sparre dan Venema (1999), semakin rendah koefisien pertumbuhan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh spesies tersebut untuk mendekati panjang infinitif dan sebaliknya semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhan semakin cepat waktu yang dibutuhkan oleh spesies tersebut untuk mendekati panjang infinitif. Panjang total maksimum ikan kuniran yang tertangkap di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing adalah 135 mm untuk ikan betina dan 125 mm untuk ikan jantan. Dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang teoritis (mm) ikan menghasilkan kurva pertumbuhan ikan. Diduga waktu yang dibutuhkan ikan kuniran betina dan jantan untuk mencapai ukuran maksimum masing-masing selama 6 bulan dan 5 bulan. Panjang ikan kuniran akan mulai berhenti pada saat ikan kuniran betina berumur 20 bulan dan ikan kuniran jantan berumur 29 bulan. Ikan muda memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan tua (mendekati L∞). Parameter pertumbuhan berperan penting dalam pengkajian stok ikan dan dalam menyusun rencana pengelolaan perikanan. Aplikasi yang paling sederhana untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan von Bhartalanffy agar dapat diketahui umur ikan pada panjang tertentu.
4.2.3. Hubungan panjang-bobot
Hubungan panjang dan bobot ikan kuniran di Teluk Jakarta pada setiap pengambilan contoh menunjukkan tipe pertumbuhan yang sama (Tabel 8 dan Tabel 9). Tipe pertumbuhan ikan kuniran pada pengambilan contoh pertama sampai dengan kelima menunjukan allometrik positif atau laju pertumbuhan bobot lebih besar dari pada laju pertumbuhan panjangnya (P<0,05, Lampiran 3). Tabel 8. Hubungan panjang bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina setiap pengambilan contohnya di Teluk Jakarta Pengambilan contoh
Waktu
n
a
b
R2
keterangan
39 1 2 3 4
23 Nopember 2010 6 Nopember 2010 20 Nopember 2010 4 Desember 2010
87 25 62 63
0,000005 0,00001 0,000007 0,000005
3,497 3,059 3,139 3,214
0,938 0,864 0,927 0,929
allometrik positif allometrik positif allometrik positif allometrik positif
5
18 Desember 2010
56
0,000008
3,1
0,907
allometrik positif
206
0.00001
3,052
0,953
allometrik positif
Gabungan
Tabel 9. Hubungan panjang bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan setiap pengambilan contohnya di Teluk Jakarta Pengambilan contoh
Waktu
n
a
b
R2
1 2 3
23 Nopemebr 2010 06 Nopember 2010 20 Nopember 2010
87 55 71
0,000005 0,000003 0,000007
3,497 3,337 3,139
0,938 0,873 0,896
allometrik positif allometrik positif allometrik positif
4 5
4 Desember 2010 18 Desember 2010
47 74
0,000009 0,000006
3,064 3,172
0,834 0,892
allometrik positif allometrik positif
247
0.000009
3,082
0,944
allometrik positif
Gabungan
keterangan
Pola pertumbuhan ikan kuniran dianalisis menggunakan data panjang dan bobot ikan sehingga dapat dilihat hubungan antara panjang dan bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) yang didaratkan di TPI Cilincing Jakarta. Hubungan panjangbobot ikan kuniran disajikan pada Gambar 14. Persamaan hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina adalah W=0,000001L3,052. Sedangkan hasil analisis hubungan panjang
dan
bobot
ikan
kuniran
(Upeneus
sulphureus)
jantan
adalah
W=0,000009L3,082. Nilai b dari analisis regresi hubungan panjang dan berat lebih dari tiga menyatakan bersifat allometrik positif. Setelah dilakukan uji t (α= 0.05)
40
Nilai b dari analisis hubungan panjang dan bobot lebih dari tiga, menunjukkan pola pertumbuhan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) bersifat allometrik positif, artinya laju pertumbuhan bobot lebih cepat dari pada laju pertumbuhan panjangnya (Effendie 2002). Hasil regresi hubungan panjang-bobot secara logaritma menghasilkan nilai determinasi (R2) rata-rata di atas 0,8 yang menunjukkan nilainya baik dan dapat digunakan dalam analisis data.
Gambar 14. Hubungan panjang-bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) di Teluk Jakarta
41
Tabel 10. Perbandingan pola pertumbuhan ikan kuniran (genus: Upeneus) Spesies Upeneus sulphureus
Upeneus sulphureus Upeneus sulphureus
Upeneus sulphureus
Daerah Penangkapan Teluk Jakarta (penelitian ini) Pantai utara Jawa Timur (Syamsiyah 2010) Perairan Semarang (Martasuganda et al. 1991 in Susilawati 2000) Laut Jawa (Marzuki et al. 1987 in Susilawati 2000)
Pola Pertumbuhan Allometrik Positif Allometrik Negatif Isometrik
Isometrik
Pola pertumbuhan ikan kuniran yang diperoleh dari hasil analisis penelitian ini berbeda dengan pola pertumbuhan ikan kuniran di perairan Semarang, dan perairan Laut Jawa yaitu bersifat isometrik. Sedangkan pola pertumbuhan ikan kuniran di perairan pantai utara Jawa Timur bersifat allometrik negatif. Perbedaan pola pertumbuhan tersebut, disebabkan perbedaan spesies, waktu, tempat, dan kondisi lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nikolski (1963) in Susilawati (2000) bahwa pola pertumbuhan organisme perairan bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan dimana organisme tersebut berada serta ketersediaan makanan yang
dapat
dimanfaatkan
untuk
menunjang
kelangsungan
hidup
dan
pertumbuhannya. Perbedaan pola pertumbuhan juga mungkin disebabkan oleh musim, jenis kelamin, temperatur, waktu penangkapan, ketersediaan makanan dan jumlah populasi ikan yang dijadikan objek penelitian.
4.2.4. Faktor kondisi
Selama pengamatan berlangsung diperoleh nilai faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina dan jantan di Teluk Jakarta masing-masing berkisar antara 0,6793 – 1,1544 dan 0,8178 -1,1777. Faktor kondisi ikan kuniran total berkisar antara 0,6641 – 1,2456. Nilai faktor kondisi ikan kuniran di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 11. Faktor kondisi yang diperoleh dari pengamatan selama penangkapan disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16.
42
Gambar 15. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina di Teluk Jakarta
43
Gambar 16. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan di Teluk Jakarta
44
Tabel 11. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta Pengambilan contoh
betina
Waktu n
jantan
Faktor Kondisi
n
total
Faktor Kondisi
n
Faktor Kondisi
0,7286-0,9162 0,7354-0,9688 0,7610-1,0998
1 2 3
23 Oktober 2010 20 Nopember 2010
25 62
0,8559-1,1301 0,9291-1,1085
55 71
0,8178-1,0237 0,8185-1,1777
87 80 133
4
4 Desember 2010
63
0,6793-1,0827
47
0,8197-1,1325
110
0,6641-1,0297
5
18 Desember 2010
56
0,9103-1,1544
74
0,8942-1,0259
130
1,0548-1,2456
06 Nopember 2010
Faktor kondisi tertinggi ikan betina terdapat pada pengambilan contoh kelima (18 Desember 2010) sebesar 0,9103-1,1544 dan faktor kondisi tertinggi ikan jantan terdapat pada pengambilan contoh ketiga (20 Nopember 2010) sebesar 0,8185-1,1777. Faktor kondisi rata-rata jantan lebih kecil daripada betina, sehingga dapat diduga ikan betina agak gemuk daripada ikan jantan. Effendie (1979) menyatakan faktor yang mempengaruhi fluktuasi faktor kondisi adalah perbedaan umur, TKG, kondisi lingkungan, dan ketersediaan makanan.
4.2.5. Nisbah Kelamin
Komposisi ikan kuniran betina dan jantan berdasarkan 453 ekor ikan contoh adalah 206 ekor ikan betina dan 247 ekor ikan jantan. Hasil analisis nisbah kelamin ikan kuniran tiap pengambilan contoh terdapat pada Tabel 12. Tabel 12. Nisbah kelamin ikan kuniran (Upeneus sulphureus) untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta Proporsi
Selang Kepercayaan 95%
Pengambilan contoh
Waktu
Betina
Jantan
Betina
Jantan
2 3 4
6 Nopember 2010 20 Nopember 2010 4 Desember 2010
0,3125 0,4701 0,5727
0,6875 0,5299 0,4273
0,1308
0,5650
5
18 Desember 2010
0,4394
0,5606
0,3117
0,4475
Komposisi jumlah ikan jantan dan ikan betina menunjukkan rasio kelamin yang tidak seimbang yaitu 1 :1,2. Hal ini menyatakan bahwa populasi ikan jantan
45
sedikit lebih banyak dari pada ikan betina, karena pola adaptasi pertumbuhan ikan jantan lebih kuat dibandingkan ikan betina.
4.2.6. Mortalitas dan laju eksploitasi
Pada stok yang telah dieksploitasi perlu dianalisis untuk membedakan mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan kumulatif berdasarkan data komposisi panjang yang dianalisis dengan laju kematian alami (M) menggunakan rumus empiris Pauly dengan suhu rata-rata permukaan 28,950C. Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kuniran dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Laju mortalitas dan laju eksploitasi Laju
Nilai (per tahun) Betina Jantan
Mortalitas Total (Z) Mortalitas Alami (M)
0,7915 0,3879
0,8655 0,3820
Mortalitas Penangkapan (F) Eksploitasi (E)
0,4036 0,5099
0,4835 0,5586
Menurut Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999), faktor yang mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) adalah panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan. Laju mortalitas total (Z) ikan kuniran (Upeneus suplhureus) betina dan jantan di perairan Teluk Jakarta masing-masing adalah 0,7915 per tahun dan 0,8655 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) masing-masing sebesar 0,3879 per tahun dan 0,3822 per tahun. Hasil analisis data membuktikan mortalitas penangkapan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina dan jantan masing-masing sebesar 0,4036 per tahun dan 0,4835 per tahun. Laju mortalitas penangkapan ini lebih besar dibandingkan laju mortalitas alaminya. Hal ini menunjukkan faktor kematian ikan kuniran lebih dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan.
46
Gambar 17. Kurva hasil tangkapan ikan betina yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z)
Gambar 18. Kurva hasil tangkapan ikan jantan yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z) Laju eksploitasi ikan Upeneus sulphureus betina dan jantan di Teluk Jakarta masing-masing sebesar 0,5099 atau 50,99% dan 0,5586 atau 55,86%. Laju eksploitasi ikan kuniran di Teluk Jakarta telah melebihi nilai eksploitasi optimum sebesar 0,5. Nilai laju eksploitasi ikan kuniran ini menyatakan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh laju eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi, makin tinggi mortalitas penangkapan. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat
47
menunjukkan dugaan terjadi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Sparre dan Venema 1999) karena ikan muda tidak diberikan kesempatan untuk tumbuh sehingga dibutuhkan pengurangan dalam penangkapan ikan kuniran. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) dilakukan melalui kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang yang digunakan (Gambar 16 dan Gambar 17).
4.2.7. Analisis ketidakpastian produksi dan harga
Pola distribusi analisis ketidakpastian meramalkan produksi dan harga ikan dilihat dari standar deviasi yang dihasilkan oleh pengolahan data berkala. Analisis ini digunakan sebagai suatu pendekatan yang digunakan untuk memahami suatu resiko yang ditimbulkan dari adanya suatu ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan. Hasil analisis ketidakpastian terhadap produksi ikan kuniran disajikan pada Gambar 19.
Crystal Ball Student Edition Not for Commercial Use
Forecast: Produksi
1,000 Trials
Frequency Chart
4 Outliers
.031
31
.023
23.25
.016
15.5
.008
7.75
.000
0 6.70
43.98
81.25
118.52
155.79
Gambar 19. Diagram frekuensi volume produksi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) periode Februari 2010-Februari 2011 Analisis ketidakpastian terhadap produksi ikan kuniran pada Gambar 19 memperlihatkan grafik kurva distribusi sebaran normal. Kurva ini memperlihatkan penyebaran secara normal terhadap hasil produksi yang menceminkan banyaknya ketidakpastian dalam upaya penangkapan ikan. Ketidakpastian dalam perikanan
48
tangkap terlihat dari hasil perhitungan statistik yang didasarkan pada nilai rata-rata dan simpangan baku, terlihat pada Tabel 14. Tabel 14. Statistik produksi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) periode Februari 2010-Februari 2011 Statistik deskriptif Rata-rata Nilai tengah Mode Simpangan baku Ragam Kemiringan Kurtosis Koefisien keragaman Jarak interval Minimum Maksimum Rata-rata standar kesalahan
81,29 82,68 --27,11 734,90 -0,22 2,99 0,33 163,79 -7,29 156,50 0,86
Hasil simulasi statistik sebanyak 1000 percobaan simulasi untuk produksi ikan kuniran diperoleh simpangan baku sebesar 27,11 kg dengan rata-rata produksi setiap sekali operasi penangkapan sebesar 81,29 kg. Hal ini menunjukkan terjadi fluktuasi volume produksi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) setiap sekali operasi penangkapan sebesar 27, 11 kg dari rata-rata volume produksi per perjalanan sebesar 81,29 kg, sehingga peluang terjadinya ketidakpastian tangkapan terhadap ikan kuniran di lokasi penangkapan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Jakarta cukup tinggi. Nilai koefisien keragaman volume produksinya sebesar 0,33 menunjukkan ketidakpastian, semakin besar nilai koefisien keragaman maka semakin menunjukkan ketidakpastian. Hasil penelitian Mayangsoka (2010) dengan jenis kegiatan perikanan modern menunjukkan nilai koefisien kergaman yang lebih tinggi yaitu sebesar 0,70. Hal ini disebabkan fishing ground perikanan tangkap di TPI Cilincing tergolong dekat dan alat tangkap yang dioperasikan di sekitar Teluk Jakarta, sedangkan fishing ground perikanan tangkap modern jaraknya jauh sehingga ketidakpastiannya lebih tinggi. Nilai skewness yang dihasilkan melalui simulasi statistik hampir mendekati nol sehingga menggambarkan grafik berupa
49
sebaran normal dan dapat dikatakan terdapat ketidakpastian pada volume produksi ikan kuniran. Analisis ketidakpastian dapat diaplikasikan untuk harga ikan kuniran (Upeneus sulphureus) yang menghasilkan kurva berbentuk distribusi sebaran normal. Gambar 20 memperlihatkan frekuensi untuk harga per perjalanan ikan kuniran dan hasil analisis statistik terhadap harga ikan kuniran disajikan pada Tabel 15. Crystal Ball Student Edition Not for Commercial Use
Forecast: Harga
1,000 Trials
Frequency Chart
22 Outliers
.018
18
.014
13.5
.009
9
.005
4.5
.000
0 2,023.89
2,266.88
2,509.86
2,752.85
2,995.83
Gambar 20. Diagram frekuensi harga ikan kuniran (Upeneus sulphureus) periode Februari 2010-Februari 2011 Frekuensi analisis harga ikan kuniran menggunakan metode Monte-Carlo menghasilkan bentuk kurva yang menyerupai frekuensi sebaran seragam. Kurva frekuensi volume produksi ikan kuniran lebih menyerupai kurva distribusi seragam dibandingkan kurva frekuensi harga per perjalanan. Hal ini menunjukkan ketidakpastian lebih besar terjadi dalam penentuan volume produksi ikan kuniran. Hasil
analisis
statistik
harga
ikan
kuniran
(Upeneus
sulphureus)
menggunakan 1000 percobaan simulasi menghasilkan simpangan baku sebesar Rp.287,15 dengan rata-rata harga ikan kuniran sebesar Rp.2.509,08. Menunjukkan terjadi fluktuasi harga ikan kuniran per perjalanan sebesar Rp. 287,15 dari rata-rata harga ikan kuniran per perjalanan sebesar Rp. 2.509,08. Nilai koefisien keragamannya sebesar 0,11 yang nilainya lebih rendah dari koefisien keragaman hasil produksi. Nilai kemiringan hampir mendekati nol seperti hasil produksi yang menggambarkan bahwa grafik tersebut memang grafik sebaran normal.
50
Tabel 15. Statistik harga ikan kuniran (Upeneus sulphureus) periode Februari 2010Februari 2011 Statistik deskriptif Rata-rata Nilai tengah Mode Simpangan baku Ragam Skewness Keruncingan Koefisien keragaman Jarak interval Minimum Maksimum Rata-rata standar kesalahan
2,509.08 2,519.09 --287.15 82,457.09 -0.06 1.78 0.11 997.84 2,001.32 2,999.15 9.08
Bila dibandingkan dengan nilai koefisien keragaman harga ikan yang dihasilkan dari penelitian Mayangsoka (2010) sebesar 0,19, ikan cakalang memiliki variasi harga yang lebih tinggi dibandingkan ikan kuniran. Hal ini disebabkan ikan cakalang merupakan komoditas ekspor dalam skala besar sehingga penentuan harga ditentukan oleh Negara pengimpor. Berbeda dengan ikan kuniran yang merupakan komoditas lokal, penentuan harga dilakukan oleh pemilik kapal atau pengumpul. Hal ini menunjukkan hasil tangkapan jenis kegiatan perikanan tradisional dan modern memiliki peluang ketidakpastian berbeda. Kegiatan perikanan tradisional memiliki peluang ketidakpastian yang lebih kecil daripada upaya penangkapan modern.
4.2.8. Implikasi bagi pengelolaan ikan kuniran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menghasilkan beberapa indikasi tingginya tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan kuniran. Dibuktikan dengan nilai laju eksploitasi ikan kuniran yang telah melebihi nilai laju eksploitasi optimum 0,5. Penangkapan berlebih diartikan sebagai jumlah usaha penangkapan sedemikian tinggi dimana stok ikan tidak mempunyai kesempatan (waktu) untuk
51
berkembang, sehingga total hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan pada jumlah usaha yang lebih rendah (Sparre dan Venema 1999). Jika dilihat dari ukuran ikan yang digunakan saat penelitian pada bulan Oktober 2010 sampai Desember 2010, ikan yang banyak tertangkap adalah ikanikan muda. Apabila banyak ikan muda yang tertangkap di perairan dikhawatirkan stok ikan akan semakin sedikit, ditunjukkan dari panjang infinitif yang semakin kecil karena ikan tidak memiliki waktu pulih untuk pertumbuhannya. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya tekanan penangkapan yang terlihat pada Tabel 10. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sumberdaya ikan kuniran yang ditangkap di Teluk Jakarta mengarah pada kondisi growth overfishing. Sumberdaya perikanan yang mengalami tangkap lebih akan menghambat pertumbuhan populasi ikan sehingga stok yang berada di dalam perairan tersebut semakin menurun. Hal ini mempengaruhi ketidakpastian produksi ikan yang tinggi. Semakin tinggi ketidakpastian produksi maka produksi ikan semakin rendah. Pengelolaan yang tepat terhadap permasalahan sumberdaya ikan dilakukan dengan cara mengurangi upaya penangkapan agar dapat menghasilkan produksi yang tinggi dan ketidakpastian produksinya rendah. Terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan di wilayah perairan tersebut dapat dihindari dengan melakukan pengaturan dan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan yang ada. Untuk mengimbangi kondisi di atas agar tidak terjadi dugaan growth overfishing maka dibutuhkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan kuniran di Teluk Jakarta yang berlangsung secara berkelanjutan dan tetap lestari. Pengelolaan dapat dilakukan dengan penentuan daerah penangkapan pada musim pemijahan, pengaturan upaya penangkapan, dan pengaturan ukuran mata jaring. Menurut Susilo (2009), pada perikanan laut dengan biaya operasi penangkapan yang rendah (low cost) yang dipengaruhi oleh kenaikan komponen biaya operasi penangkapan ikan seperti kenaikan harga bahan bakar sebenarnya baik untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Keadaan ini menunjukkan akan terjadi keseimbangan stok ikan di perairan tersebut, walaupun memberikan keuntungan yang terbatas bagi nelayan.
52
Pengaturan upaya penangkapan (trip) dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan perikanan stok sumberdaya ikan kuniran di Teluk Jakarta dilaksanakan dengan cara mengurangi pengurangan nelayan dogol atau tidak menambah lagi jumlah unit kapal yang digunakan dalam proses penangkapan ikan kuniran. Langkah ini dilakukan agar sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan kuniran sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat tercapai kembali. Agar tidak terjadi masalah baru maka dibutuhkan kerjasama antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pengelola, masyarakat khususnya nelayan serta pihak yang terkait untuk memahami pentingnya kebijakan ini dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan ke depannya.
53
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Pertumbuhan ikan kuniran (Upeneus sulphurensis) di Teluk Jakarta berpola allometrik positif. Faktor kondisi ikan kuniran yang terjadi pada bulan OktoberDesember diduga sebagai awal munculnya ikan-ikan muda. 2. Pertumbuhan panjang Upeneus sulphureus di perairan Teluk Jakarta mengikuti model Von Bartallanfy Lt = 139.76 (1-e-0.2571(t+1.8435)) untuk ikan betina dan Lt = 133.36 (1-e-0.2462(t+2.8104)) untuk ikan jantan. Semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhannya maka akan semakin pendek umur ikan tersebut. 3. Ikan kuniran yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta memiliki rasio antara Betina dan Jantan sebesar 1 : 1,2. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran jantan dan betina terbanyak pada TKG I. Hal ini membuktikan ikan yang diamati selama penelitian merupakan ikan-ikan muda. 4. Laju mortalitas total (Z) sebesar 0,7915 per tahun untuk ikan betina dan 0,8655 per tahun untuk ikan jantan dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,3879 untuk ikan betina dan 0,3820 untuk ikan jantan dan laju mortalitas tangkap (F) sebesar 0,4036 untuk ikan betina dan 0,4835 untuk ikan jantan sehingga diketahui bahwa kematian Upeneus sulphureus di perairan Teluk Jakarta diakibatkan oleh aktivitas penangkapan dengan laju eksploitasi (E) sebesar 0,5099 untuk ikan betina dan 0,5586 untuk ikan jantan. Hasil analisis menyatakan Upeneus sulphureus di perairan Teluk Jakarta mengalami kondisi sedikit tangkap lebih (overfishing) yang ditandai dengan growth overfishing. 5. Tingginya tingkat eksploitasi ikan kuniran akan menurunkan stok populasi ikan di suatu perairan, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian produksi yang tinggi. Apabila upaya penangkapan dikurangi maka hasil produksi ikan kuniran akan semakin meningkat, ketidakpastian produksi akan menurun. 6. Penurunan potensi sumberdaya ikan di perairan Teluk Jakarta dapat dilakukan dengan cara penutupan daerah penangkapan pada periode waktu tertentu, pengaturan upaya penangkapan, dan pengendalian alat tangkap.
54
5.2. Saran
Ikan contoh yang diambil sebaiknya dapat mewakili setiap musim penangkapan dan pengambilan contoh ikan lebih banyak, agar dapat mewakili kondisi perikanan ikan kuniran di Teluk Jakarta. Selain itu dibutuhkan analisis mengenai aspek dinamika stok dan bioekonomi mengenai ikan kuniran untuk mendukung pengelolaan perikanan yang lebih tepat sasaran.
55
DAFTAR PUSTAKA
Allen G. 2000. Marine Fishes of South-East Asia. Singapore. Periplus Edition (HK) Ltd. Apriadi D. 2005. Kandungan logam bobot Hg, Pb, dan Cr pada air, sedimen, dan kerang hijau (Perna viridis) di perairan Muara Kamal, Teluk Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 24-29 hal. Boer M. 1996. Pendugaan koefisien pertumbuhan (L∞, K, dan t0) berdasarkan data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 4(1): 75-84. Boer M dan Azis KA. 2007. Rancangan pengambilan contoh upaya tangkapan dan hasil tangkap untuk pengkajian stok ikan. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia.14(1): 67-71. Charles A. 2001. Sustainable Fishery System. United Kingdom. Blackwell Science. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Data Statistik Perikanan Indonesia. [terhubung berkala]. http://dkp.go.id. [ 10 Oktober 2010] Effendie MI. 1979. Metoda biologi perikanan. Cetakan Pertama. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal. Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. Ernawati T dan Sumiono B. 2006. Sebaran dan kelimpahan ikan kuniran (mullidae) di perairan selat makassar. Prosiding seminar nasional ikan IV. Jatiluhur, Jakarta. Fujaya Y. 2004. Fisiologi ikan dasar pengembangan teknik perikanan. Rineka Cipta. Jakarta. 179 hal. Handayani T. 2006. Aspek biologi ikan lais di danau Lais. Journal of Tropical Fisheries. 1(1) : 12-23. Mayangsoka ZA. 2010. Aspek biologi dan analisis ketidakpastian perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di PPS Nizam Zachman Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 82 hal. Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculator. ICLARM. Manila. Filipina. 325p.
56
Rizal DA. 2009. Studi biologi reproduksi ikan senggiringan (Puntius johorensis) di daerah aliran sungai (DAS) Musi, Sumatera Selatan [skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 79 hal. Sari FA. 2008. Karakterisasi alat penangkap ikan demersal di perairan Pantai Utara Jawa Barat [skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hal. Spare P dan Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku- i manual (edisi terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hal. Susilawati R. 2000. Aspek biologi reproduksi, makanan, dan pola pertumbuhan ikan biji nangka (Upenenus moluccensis Blkr.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 hal. Susilo SB. 2009. Kondisi stok ikan perairan pantai selatan Jawa Barat. Jurnal Ilmuilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 16(1): 39-46. Syamsiyah NN. 2010. Studi dinamika stok ikan biji nangka (Upeneus sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole RE. 1993. Pengantar statistika. Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 516 hal. Widodo J and Suadi. 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 252 hal. www.beritanyata.blogspot.com. Dogol. [terhubung berkala]. http://beritanyata. blogspot.com/2010/01/10-macam-alat-penangkap-ikan-di. [ 26 Februari 2011] Upeneus sulphureus [terhubung berkala]. www.fishbase.org. http://www.fishbase.org/Summary/speciesSummary.php?ID=4444&genusna me=Upeneus&speciesname=moluccensis&AT=Upeneus+moluccensis&lang =English. [31 Januari 2010]. www.graduatetutor.com. Simulation using crystal ball software: tutoring and homework help. [terhubung berkala]. http://www.graduatetutor.com/crystal-ballsimulation-homework-tutoring.php. [4 Januari 2011]
57
Zainab S. 2001. Struktur komunitas makrozoobenthos di perairan Teluk Jakarta dan Teluk Banten [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 86 hal.
58
59
Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II
60
Lampiran 1. (lanjutan)
61
Lampiran 2. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II
62
Lampiran 2. (lanjutan)
63
Lampiran 3. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan kuniran betina Waktu pengambilan contoh: 6 Nopember 2010 Ukuran contoh (n): 25
Statistik regresi R2
0.86479
SK Regresi Sisa Total
db 1 23 24
JK 0.7657 0.1197 0.8854
KT 0.7657 0.0052
F hitung F tabel 147.1090 0.000000000018
Koefisien Simpangan Baku Intercept (a) slope (b)
-4.9901 3.05941
0.509211216 0.252242499
Contoh perhitungan: H0 : b = 3 H1 : b ≠ 3 t(0,05;25-2) = 0,6844 thitung thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0), sehingga nilai b>3 maka hubungan panjang dan bobot berpola pertumbuhan allometrik positif (pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan pertumbuhan panjang) pada selang kepercayaan 95%
64
Lampiran 4. Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina Regresikan Lt pada sumbu x dan Lt+1 pada sumbu y L
Lt
L t+1
Ln (L∞-Lt)
(X2)
(X1)
(Y1)
(Y2)
1 2 3 4 5
74.95 92.73 94.92 101.79 120
92.73 94.92 101.79 120 123.57
4.17 3.85 3.8 3.64 2.98
Regresi 1
Intersept Variabel x
Koefisien Simpangan baku 31.6842 23.6344 0.77332 0.24125
a = 31,6842 b = 0,7733 k = -Ln (b) = -Ln(0,7733) = 0,2571 L
31,6842 a 139,7627 k 1 exp 1 exp 0, 2571
Regresi 2 Intersept Variabel x
Koefisien Simpangan baku 4.46604 0.19301 -0.259 0.05819
a = 4,4660 b = -0,259
t0
a Ln( L) 4,4660 Ln(139,7627) 1,8435tahun k 0,2571
65
Lampiran 5. Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan L
Lt
L t+1
Ln (L∞-Lt)
(X2)
(X1)
(Y1)
(Y2)
1 2 3 4 5 6
74.2 91.57 93.29 103 105.28 111.51
91.57 93.29 103 105.28 111.51 122.5
4.0802 3.7326 3.69057 3.41304 3.33497 3.08409
Regresi 1 Koefisien Simpangan baku 29.1067 18.9497 0.78174 0.1949
Intersept Variabel x a = 29,1067 b = 0,7817 k = -Ln (b) = -Ln(0,7817) = 0,2462 L
a 29,1067 133,3575 k 1 exp 1 exp 0, 2462
Regresi 2 Intersept Variabel x
Koefisien Simpangan baku 4.20101 0.06837 -0.1843 0.01756
a = 4,2010 b = -0,1843
t0
a Ln( L) 4,2010 Ln(133,3575) 2,8104tahun k 0,2462
66
Lampiran 6. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina Pengambilan contoh kedua No.
L (mm)
W (gram)
W/(aL^b)
No.
L (mm)
W (gram)
W/(aL^b)
1
84
6
0.78
21
120
26
1.13
2
84
8
1.04
22
120
25
1.09
3
86
13
23
121
24
1.02
4
89
9
0.98
24
128
24
0.86
5
90
10
1.05
25
131
33
1.10
6
95
12
1.07
7
95
12
1.07
8
96
16
1.38
9
96
11
0.95
10
97
10
0.84
11
98
13
1.05
12
103
13
0.91
13
104
11
0.74
14
105
14
0.92
15
107
17
1.05
16
109
16
0.94
17
115
21
1.04
18
117
23
1.08
19
119
28
1.25
20
119
23
1.03
SB
SA
Xi
1.57
Fi
Rata2 Fk
SD
SB
SA
Xi
Fi
Rata2 Fk
SD
55
58
56.5
0
99
102
100.5
0
0.00
0.00
59
62
60.5
0
103
106
104.5
3
0.86
0.10
63
66
64.5
0
107
110
108.5
2
1.00
0.08
67
70
68.5
0
111
114
112.5
0
0.00
0.00
71
74
72.5
0
115
118
116.5
2
1.06
0.03
75
78
76.5
0
119
122
120.5
5
1.11
0.09
79
82
80.5
0
123
126
124.5
0
0.00
0.00
83
86
84.5
3
1.13
0.40
127
130
128.5
1
0.86
0.00
87
90
88.5
2
1.02
0.05
131
134
132.5
1
1.10
0.00
91
94
92.5
0
0.00
0.00
135
138
136.5
0
95
98
96.5
6
1.06
0.18
Keterangan: SB = selang bawah, SA = selang atas, Xi = nilai tengah, FK = faktor kondisi, SD = standar deviasi (simpangan baku)
67
Lampiran 6. (lanjutan) Pengambilan contoh ketiga No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
1
60
3
1.12
22
65
3
0.87
43
90
12
1.26
2
60
5
1.87
23
65
3
0.87
44
90
10
1.05
3
60
2
0.75
24
65
3
0.87
45
90
10
1.05
4
60
3
1.12
25
65
4
1.16
46
90
12
1.26
5
60
3
1.12
26
65
4
1.16
47
90
11
1.15
6
60
2
0.75
27
65
3
0.87
48
92
11
1.08
7
62
2
0.68
28
65
3
0.87
49
93
10
0.95
8
62
3
1.01
29
65
4
1.16
50
93
10
0.95
9
62
3
1.01
30
65
3
0.87
51
93
11
1.04
10
62
3
1.01
31
65
4
1.16
52
93
12
1.14
11
62
4
1.35
32
65
4
1.16
53
93
11
1.04
12
63
3
0.96
33
67
4
1.06
54
94
9
0.82
13
63
3
0.96
34
67
4
1.06
55
95
11
0.97
14
63
3
0.96
35
69
4
0.97
56
95
11
0.97
15
63
4
1.28
36
69
4
0.97
57
95
13
1.15
16
63
4
1.28
37
70
4
0.92
58
95
12
1.06
17
63
3
0.96
38
70
5
1.15
59
95
12
1.06
18
63
4
1.28
39
75
5
0.93
60
95
13
1.15
19
63
3
0.96
40
75
5
0.93
61
95
12
1.06
20
63
4
1.28
41
87
9
1.05
62
103
14
0.96
21
65
4
1.16
42
90
9
0.94
Rata2 Fk
SD
SB
SA
Xi
Fi
Rata2 Fk
SD
99
102
100.5
0
0.00
0.00
103
106
104.5
1
0.96
0.00
SB
SA
Xi
Fi
55
58
56.5
0
59
62
60.5
11
63
66
64.5
21
1.06
0.16
107
110
108.5
0
67
70
68.5
6
1.02
0.09
111
114
112.5
0
71
74
72.5
0
0.00
0.00
115
118
116.5
0
75
78
76.5
2
0.93
0.00
119
122
120.5
0
79
82
80.5
0
0.00
0.00
123
126
124.5
0
83
86
84.5
0
0.00
0.00
127
130
128.5
0
87
90
88.5
7
1.11
0.12
131
134
132.5
0
91
94
92.5
7
1.00
0.10
135
138
136.5
0
95
98
96.5
7
1.06
0.07
1.07
0.33
Keterangan: SB = selang bawah, SA = selang atas, Xi = nilai tengah, FK = faktor kondisi, SD = standar deviasi (simpangan baku)
68
Lampiran 6. (lanjutan) Pengambilan contoh keempat No
L(mm)
W(gram)
1
70
4
2
73
4
3
74
5
4
74
5
5
75
5
6
75
5
7
77
6
8
80
6
9
80
6
10
83
5
11
90
10
12
95
12
13
95
11
14
95
13
15
95
15
16
95
13
17
95
18
W/(aL^b)
No
L(mm)
W(gram)
0.94
22
98
13
0.82
23
99
12
0.98
24
99
13
0.98
25
100
12
0.94
26
100
14
0.94
27
100
16
1.04
28
100
13
0.92
29
100
13
0.92
30
100
14
0.68
31
100
14
1.05
32
100
15
1.06
33
100
13
0.97
34
103
13
1.14
35
105
15
1.32
36
105
13
1.14
37
105
16
12
1.06
38
105
15
95
11
0.97
39
105
19
95
13
1.14
40
20
98
15
1.19
21
98
11
0.88
W/(aL^b)
No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
1.04
43
105
14
0.89
0.93
44
105
14
0.89
1.00
45
105
15
0.96
0.90
46
105
13
0.83
1.05
47
106
17
1.05
1.19
48
107
17
1.02
0.97
49
108
15
0.87
0.97
50
108
15
0.87
1.05
51
108
16
0.93
1.05
52
109
17
0.96
1.12
53
109
19
1.08
0.97
54
110
17
0.93
0.88
55
110
17
0.93
0.96
56
110
14
0.77
0.83
57
110
17
0.93
1.02
58
110
20
1.10
0.96
59
110
17
0.93
14
0.89
60
110
16
0.88
105
14
0.89
61
110
17
0.93
41
105
17
1.08
62
112
18
0.93
42
105
13
0.83
63
120
23
0.96
SB
SA
Xi
Fi
Rata2 Fk
SD
0
99
102
100.5
11
1.02
0.09
60.5
0
103
106
104.5
14
0.93
0.08
SB
SA
Xi
Fi
55
58
56.5
59
62
Rata2 Fk
SD
63
66
64.5
0
107
110
108.5
14
0.94
0.08
67
70
68.5
1
0.94
0.00
111
114
112.5
1
0.93
0.00
71
74
72.5
3
0.93
0.09
115
118
116.5
0
0.00
0.00
75
78
76.5
3
0.97
0.06
119
122
120.5
1
0.96
0.00
79
82
80.5
2
0.92
0.00
123
126
124.5
0
83
86
84.5
1
0.68
0.00
127
130
128.5
0
87
90
88.5
1
1.05
0.00
131
134
132.5
0
91
94
92.5
0
0.00
0.00
135
138
136.5
0
95
98
96.5
11
1.08
0.12
Keterangan: SB = selang bawah, SA = selang atas, Xi = nilai tengah, FK = faktor kondisi, SD = standar deviasi (simpangan baku)
69
Lampiran 6. (lanjutan) Pengambilan contoh kelima No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
L(mm)
W(gram)
75
6
80
6
82
6
83
9
85
9
86
8
87
6
88
9
88
8
89
9
89
9
89
9
89
10
90
9
90
8
90
9
90
11
91
8
91
10
91
9
W/(aL^b) 1.15
21
0.95
22
0.88
23
1.26
24
1.17
25
1.01
26
0.73
27
1.06
28
0.94
29
1.02
30
1.02
31
1.02
32
1.13
33
0.98
34
0.87
35
0.98
36
1.20
37
0.85
38
1.06
39
0.95
SB
SA
Xi
55
58
56.5
59
62
60.5
63
66
64.5
67
70
71
74
75 79
No
Fi
40
Rata2 Fk
L(mm)
W(gram)
92
9
92
11
93
11
94
10
94
11
94
8
95
12
95
11
95
12
95
10
96
11
96
10
97
9
97
12
98
12
98
11
98
10
98
12
99
11
101
14
SD
W/(aL^b)
No
0.92
41
1.12
42
1.09
43
0.96
44
1.05
45
0.76
46
1.11
47
1.02
48
1.11
49
0.92
50
0.98
51
0.90
52
0.78
53
1.04
54
1.01
55
0.92
56
L(mm)
W(gram)
101
12
102
11
104
14
104
13
106
16
106
16
107
15
108
19
110
14
110
15
117
21
117
25
126
29
128
29
132
29
135
32
W/(aL^b) 0.92 0.82 0.98 0.91 1.05 1.05 0.96 1.18 0.82 0.88 1.02 1.21 1.12 1.06 0.97 1.00
0.84 1.01 0.90 1.07
SB
SA
Xi
Fi
Rata2 Fk
SD
99
102
100.5
4
0.92
0.11
0
103
106
104.5
4
1.00
0.07
0
107
110
108.5
4
0.96
0.16
68.5
0
111
114
112.5
0
0.00
0.00
72.5
0
115
118
116.5
2
1.11
0.14
78
76.5
1
1.15
0.00
119
122
120.5
0
0.00
0.00
82
80.5
2
0.91
0.05
123
126
124.5
1
1.12
0.00
83
86
84.5
3
1.15
0.13
127
130
128.5
1
1.06
0.00
87
90
88.5
11
1.00
0.12
131
134
132.5
1
0.97
0.00
91
94
92.5
9
0.97
0.12
135
138
136.5
1
1.00
0.00
95
98
96.5
12
0.97
0.10
Keterangan: SB = selang bawah, SA = selang atas, Xi = nilai tengah, FK = faktor kondisi, SD = standar deviasi (simpangan baku)
70
Lampiran 7. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan Pengambilan contoh kedua No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
1
84
7
0.88
21
92
9
0.84
41
100
13
0.92
2
84
7
0.88
22
92
9
0.84
42
101
14
0.96
12
0.82
3
85
9
1.09
23
92
10
0.93
43
101
4
85
9
1.09
24
93
9
0.81
44
102
15
0.99
5
86
7
0.82
25
94
13
1.13
45
103
19
1.22
6
86
8
0.93
26
94
12
1.04
46
103
13
0.83
7
86
9
1.05
27
94
11
0.95
47
107
13
0.73
8
86
9
1.05
28
94
11
0.95
48
110
21
1.08
9
86
8
0.93
29
94
9
0.78
49
110
13
0.67
10
87
8
0.90
30
94
10
0.87
50
115
22
0.97
11
88
9
0.97
31
94
10
0.87
51
120
26
1.00
12
88
8
0.87
32
95
9
0.75
52
121
26
0.97
13
88
9
0.97
33
95
9
0.75
53
124
28
0.96
14
89
9
0.94
34
96
10
0.81
54
125
33
1.11
15
89
9
0.94
35
97
8
0.63
55
125
23
0.77
16
89
7
0.73
36
98
14
1.06
17
89
9
0.94
37
98
12
0.91
18
89
8
0.83
38
99
10
0.73
19
90
9
0.90
39
99
12
0.88
20
91
9
0.87
40
100
14
0.99
SB
SA
Xi
Fi
Rata2 Fk
SD
SB
SA
Xi
Fi
Rata2 Fk
SD
55
58
56.5
0
99
102
100.5
7
0.90
0.10
59
62
60.5
0
103
106
104.5
2
1.02
0.27
63
66
64.5
0
107
110
108.5
3
0.83
0.22
67
70
68.5
0
111
114
112.5
0
0.00
0.00
71
74
72.5
0
115
118
116.5
1
0.97
0.00
75
78
76.5
0
119
122
120.5
2
0.99
0.02
79
82
80.5
0
123
126
124.5
3
0.95
0.17
83
86
84.5
9
0.97
0.10
127
130
128.5
0
87
90
88.5
10
0.90
0.07
131
134
132.5
0
91
94
92.5
12
0.91
0.10
135
138
136.5
0
95
98
96.5
6
0.82
0.15
Keterangan: SB = selang bawah, SA = selang atas, Xi = nilai tengah, FK = faktor kondisi, SD = standar deviasi (simpangan baku)
71
Lampiran 7. (lanjutan) Pengambilan contoh ketiga No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
1
55
3
1.4758
25
65
4
1.1647
49
70
4
0.9230
2
57
2
0.8795
26
65
3
0.8736
50
72
4
0.8449
3
59
2
0.7893
27
65
4
1.1647
51
72
4
0.8449
4
60
4
1.4974
28
65
3
0.8736
52
73
4
0.8091
5
60
3
1.1231
29
65
3
0.8736
53
74
4
0.7753
6
60
3
1.1231
30
65
3
0.8736
54
75
6
1.1149
7
60
2
0.7487
31
65
3
0.8736
55
88
10
1.1250
8
60
3
1.1231
32
65
3
0.8736
56
88
10
1.1250
9
60
3
1.1231
33
65
3
0.8736
57
89
8
0.8687
10
60
3
1.1231
34
65
3
0.8736
58
90
11
1.1533
11
60
3
1.1231
35
65
4
1.1647
59
90
11
1.1533
12
60
3
1.1231
36
65
5
1.4559
60
90
11
1.1533
13
62
3
1.0132
37
65
4
1.1647
61
90
10
1.0484
14
62
3
1.0132
38
65
4
1.1647
62
92
11
1.0764
15
62
2
0.6755
39
65
4
1.1647
63
92
11
1.0764
16
63
2
0.6424
40
65
4
1.1647
64
93
10
0.9459
17
63
3
0.9636
41
66
3
0.8327
65
93
11
1.0405
18
63
3
0.9636
42
66
4
1.1102
66
95
9
0.7963
19
64
4
1.2228
43
67
5
1.3238
67
95
12
1.0617
20
64
3
0.9171
44
67
3
0.7943
68
97
11
0.9116
21
64
3
0.9171
45
67
3
0.7943
69
99
12
0.9328
22
64
2
0.6114
46
69
4
0.9656
70
100
14
1.0545
23
64
3
0.9171
47
69
4
0.9656
71
105
14
24
64
3
0.9171
48
70
4
0.9047
0.9230
SB
SA
Xi
Fi
Rata2 Fk
SD
SB
SA
Xi
Fi
Rata2 Fk
SD
55
58
56.5
2
1.18
0.42
99
102
100.5
2
0.99
0.09
59
62
60.5
13
1.05
0.21
103
106
104.5
1
0.90
0.00
63
66
64.5
27
0.99
0.19
107
110
108.5
0
67
70
68.5
7
0.96
0.18
111
114
112.5
0
71
74
72.5
4
0.82
0.03
115
118
116.5
0
75
78
76.5
1
1.11
0.00
119
122
120.5
0
79
82
80.5
0
0.00
0.00
123
126
124.5
0
83
86
84.5
0
0.00
0.00
127
130
128.5
0
87
90
88.5
7
1.09
0.10
131
134
132.5
0
91
94
92.5
4
1.03
0.06
135
138
136.5
0
95
98
96.5
3
0.92
0.13
Keterangan: SB = selang bawah, SA = selang atas, Xi = nilai tengah, FK = faktor kondisi, SD = standar deviasi (simpangan baku)
72
Lampiran 7. (lanjutan) Pengambilan contoh keempat No
L(mm)
W(gram)
1
70
4
No
L(mm)
W(gram)
0.99
21
103
16
2
75
5
1.00
22
103
15
3
75
5
1.00
23
103
13
4
75
6
1.20
24
103
13
5
80
5
0.82
25
104
13
6
95
11
1.07
26
105
12
7
95
6
0.58
27
105
12
8
96
12
0.86
1.13
28
105
18
1.28
9
96
13
1.22
29
105
16
10
1.14
97
11
1.00
30
105
13
0.93
11
98
13
1.14
31
105
16
1.14
12
100
15
1.24
32
105
16
1.14
13
100
14
1.16
33
106
18
1.25
14
100
13
1.08
34
108
18
1.18
15
100
14
1.16
35
108
15
0.98
16
100
13
1.08
36
108
18
1.18
17
100
14
1.16
37
109
15
0.95
18
100
15
1.24
38
110
18
1.11
19
100
12
39
110
18
1.11
20
102
14
40
110
20
1.24
W/(aL^b)
0.99 1.09
SB
SA
Xi
Fi
55
58
56.5
59
62
63
66
67 71
No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
1.21
41
110
15
0.93
1.13
42
110
14
0.87
0.98
43
110
18
1.11
0.98
44
112
19
1.11
0.95
45
115
15
0.81
0.86
46
115
17
0.92
47
116
14
0.74
W/(aL^b)
SB
SA
Xi
Fi
Rata2 Fk
SD
0
99
102
100.5
9
1.13
0.08
60.5
0
103
106
104.5
13
1.07
0.15
64.5
0
107
110
108.5
10
1.07
0.12
70
68.5
1
0.99
0.00
111
114
112.5
1
1.11
0.00
74
72.5
0
0.00
0.00
115
118
116.5
3
0.82
0.09
75
78
76.5
3
1.07
0.12
119
122
120.5
0
79
82
80.5
1
0.82
0.00
123
126
124.5
0
83
86
84.5
0
0.00
0.00
127
130
128.5
0
87
90
88.5
0
0.00
0.00
131
134
132.5
0
91
94
92.5
0
0.00
0.00
135
138
136.5
0
95
98
96.5
6
1.02
0.23
Rata2 Fk
SD
Keterangan: SB = selang bawah, SA = selang atas, Xi = nilai tengah, FK = faktor kondisi, SD = standar deviasi (simpangan baku)
73
Lampiran 7. (lanjutan) Pengambilan contoh kelima No
L(mm)
W(gram)
1
78
6
No
L(mm)
W(gram)
1.00
26
94
10
2
81
7
1.03
27
95
10
3
82
7
0.99
28
95
11
4
84
8
1.05
29
95
10
5
85
6
0.76
30
95
11
6
85
8
1.01
31
96
11
7
86
8
0.97
32
96
10
8
87
8
0.94
33
96
11
9
88
9
1.02
34
97
10
10
89
9
0.98
35
97
11
11
90
10
1.05
36
97
10
12
90
10
1.05
37
98
11
13
90
9
0.95
38
99
11
14
91
9
0.92
39
99
12
15
91
9
0.92
40
100
13
16
91
10
1.02
41
100
12
17
91
9
0.92
42
100
13
18
92
10
0.98
43
100
12
19
92
10
44
100
12
20
92
9
0.89
45
101
13
21
92
8
0.79
46
101
13
22
92
10
0.98
47
102
15
23
93
9
0.86
48
104
15
24
93
11
1.05
49
105
17
1.10
25
94
9
0.83
50
105
15
0.97
SB
SA
Xi
55
58
56.5
59
62
63
66
67 71
W/(aL^b)
0.98
Rata2 Fk
No
L(mm)
W(gram)
W/(aL^b)
0.92
51
105
16
1.03
0.89
52
107
19
1.16
0.98
53
108
18
1.06
0.89
54
110
16
0.89
0.98
55
110
17
0.95
0.95
56
110
18
1.00
0.86
57
110
17
0.95
0.95
58
110
19
1.06
0.83
59
110
18
1.00
0.91
60
111
19
1.03
0.83
61
111
18
0.98
0.89
62
111
16
0.87
0.86
63
112
17
0.90
0.94
64
112
9
0.47
0.98
65
113
17
0.87
0.91
66
114
23
1.15
0.98
67
115
21
1.02
0.91
68
115
23
1.11
69
116
22
1.04
0.95
70
116
19
0.90
0.95
71
117
21
0.96
1.06
72
118
22
0.98
1.00
73
121
22
0.91
74
121
23
0.95
W/(aL^b)
0.91
Fi
Rata2 Fk
SD
100.5
10
0.94
0.06
106
104.5
4
1.03
0.06
110
108.5
8
1.01
0.08
111
114
112.5
7
0.89
0.21
115
118
116.5
6
1.00
0.07
0.00
119
122
120.5
2
0.93
0.03
0.03
123
126
124.5
0
0.95
0.13
127
130
128.5
0
1.00
0.05
131
134
132.5
0
13
0.93
0.08
135
138
136.5
0
11
0.90
0.05
SB
SA
Xi
0
99
102
60.5
0
103
64.5
0
107
70
68.5
0
74
72.5
0
75
78
76.5
1
1.00
79
82
80.5
2
1.01
83
86
84.5
4
87
90
88.5
6
91
94
92.5
95
98
96.5
Fi
SD
Keterangan: SB = selang bawah, SA = selang atas, Xi = nilai tengah, FK = faktor kondisi, SD = standar deviasi (simpangan baku)
74
Lampiran 8. Perhitungan pendugaan mortalitas total (Z), mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kuniran betina 1. Menduga laju mortalitas total (Z) dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang SB
(
SA
Xi
Fi
t(L1)
∆t
t(L1/L2)/2
Ln(fi/∆t)
(x)
(y)
55
58
56.5
0
0.1017
0.1880
0.1711
0.0000
59
62
60.5
11
0.2897
0.1976
0.3626
4.0195
63
66
64.5
21
0.4873
0.2082
0.5640
4.6140
67
70
68.5
7
0.6954
0.2199
0.7765
3.4604
71
74
72.5
3
0.9154
0.2331
1.0012
2.5548
75
78
76.5
6
1.1485
0.2480
1.2396
3.1862
79
82
80.5
4
1.3965
0.2649
1.4937
2.7148
83
86
84.5
7
1.6613
0.2842
1.7655
3.2038
87
90
88.5
21
1.9456
0.3067
2.0578
4.2265
91
94
92.5
16
2.2522
0.3329
2.3738
3.8724
95
98
96.5
36
2.5852
0.3641
2.7178
4.5938
99
102
101
15
2.9493
0.4018
3.0951
3.6200
103
106
105
22
3.3510
0.4481
3.5131
3.8938
107
110
109
20
3.7991
0.5065
3.9814
3.6760
111
114
113
1
4.3056
0.5825
4.5140
0.5405
115
118
117
4
4.8881
0.6853
5.1312
1.7641
119
122
121
6
5.5735
0.8325
5.8652
1.9751
123
126
125
1
6.4059
1.0606
6.7706
-0.0588
127
130
129
2
7.4665
7.9530
0.3127
131
134
133
2
8.9295
1.4629 8.9295
9.6600
0.0000
135
138
137
1
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
angka yang digunakan dalam analisis regresi menduga Z)
Koefisien Intersept (a) 6.00415 Variabel X(b) -0.7915 Z = (-b) = -(-0,7915) = 0,7915 2.
Laju mortalitas alami (M) M = 0,8 exp(-0,0152 - 0,2790*Ln L∞ + 0,6543*Ln k + 0,463*Ln T) M = 0,3879 per tahun
3. Laju mortalitas penangkapan (F) F = Z- M F = 0,7915 – 0,3879 = 0,4036 per tahun
75
Lampiran 8. (lanjutan) 4. Laju eksploitasi E=F/Z E = 0,4036/0,7915 = 0,5099
Lampiran 9. Perhitungan pendugaan mortalitas total (Z), mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kuniran jantan 1. Menduga laju mortalitas total (Z) dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang SB
SA
Xi
Fi
t(L1)
∆t
t(L1/L2)/2 (x)
(y)
55
58
56.5
2
0.1017
0.1880
0.1711
2.3643
59
62
60.5
13
0.2897
0.1976
0.3626
4.1866
63
66
64.5
27
0.4873
0.2082
0.5640
4.8653
67
70
68.5
8
0.6954
0.2199
0.7765
3.5939
71
74
72.5
4
0.9154
0.2331
1.0012
2.8425
75
78
76.5
5
1.1485
0.2480
1.2396
3.0038
79
82
80.5
3
1.3965
0.2649
1.4937
2.4271
83
86
84.5
13
1.6613
0.2842
1.7655
3.8229
87
90
88.5
23
1.9456
0.3067
2.0578
4.3175
91
94
92.5
29
2.2522
0.3329
2.3738
4.4671
95
98
96.5
26
2.5852
0.3641
2.7178
4.2684
99
102
100.5
28
2.9493
0.4018
3.0951
4.2441
103
106
104.5
20
3.3510
0.4481
3.5131
3.7985
107
110
108.5
21
3.7991
0.5065
3.9814
3.7247
111
114
112.5
8
4.3056
0.5825
4.5140
2.6199
115
118
116.5
10
4.8881
0.6853
5.1312
2.6804
119
122
120.5
4
5.5735
0.8325
5.8652
1.5696
123
126
124.5
3
6.4059
1.0606
6.7706
1.0398
127
130
128.5
0
7.4665
1.4629
7.9530
0.0000
131
134
132.5
0
8.9295
9.6600
0.0000
138
136.5
0
11.3019
2.3724 10.9199
12.7742
0.0000
135
(
Ln(fi/∆t)
angka yang digunakan dalam analisis regresi menduga Z)
Koefisien Intercept 6.83547 X Variable 1 -0.8655 Z = (-b) = - (-0,8655) = 0,8655
76
Lampiran 9. (lanjutan) 2. Laju mortalitas alami (M) M = 0,8 exp(-0,0152 - 0,2790*Ln L∞ + 0,6543*Ln k + 0,463*Ln T) M = 0,3820 per tahun 3. Laju mortalitas penangkapan (F) F = Z- M F = 0,8655 – 0,3820 = 0,4835 per tahun 5. Laju eksploitasi E=F/Z E = 0,4835/0,8655 = 0,5586
77
Lampiran 10. Data produksi dan harga ikan kuniran (Upeneus sulphureus) untuk analisis ketidakpastian No
Tahun
Bulan
1
2010
Februari
Trip
Produksi (kg)
Harga (Rp)
No
Tahun
Bulan
Trip
Produksi (kg)
Harga (Rp)
1
50
2000
46
10
85
2000
2
2
60
2000
47
11
50
2000
3
3
70
2000
48
12
75
2000
4
4
75
2000
49
1
70
2000
5
5
80
2000
50
2
110
2000
6
6
60
2000
51
3
95
2000
7
7
50
2000
52
4
80
2000
8
8
75
2000
53
5
100
2000
9
9
70
2000
54
6
70
2000
10
10
80
2000
55
7
60
2000
11
11
70
2000
56
8
85
2000
12
12
50
2000
57
9
50
2000
1
110
2000
58
10
75
2000
14
2
90
2000
59
11
100
2000
15
3
85
2000
60
12
80
2000
16
4
80
2000
61
1
95
2000
17
5
95
2000
62
2
100
2000
18
6
50
2000
63
3
100
2000
19
7
75
2000
64
4
60
2000
20
8
70
2000
65
5
125
2000
21
9
80
2000
66
6
110
2000
22
10
70
2000
67
7
75
2000
23
11
80
2000
68
8
70
2000
24
12
75
2000
69
9
70
2000
1
75
2000
70
10
110
2000
26
2
80
2000
71
11
100
2000
27
3
70
2000
72
12
80
2000
28
4
80
2000
73
1
80
2000
29
5
60
2000
74
2
80
2000
30
6
80
2000
75
3
80
2000
31
7
40
2000
76
4
90
2000
32
8
110
2000
77
5
100
2000
33
9
60
2000
78
6
50
2000
34
10
75
2000
79
7
70
2000
35
11
50
2000
80
8
70
2000
36
12
50
2000
81
9
60
2000
1
120
2000
82
10
50
2000
38
2
110
2000
83
11
70
2000
39
3
100
2000
84
12
70
2000
40
4
70
2000
85
1
110
2000
41
5
70
2000
86
2
100
2000
42
6
110
2000
87
3
80
2000
43
7
100
2000
88
4
80
2000
44
8
80
2000
89
5
90
2000
45
9
60
2000
90
6
100
2000
13
25
37
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
78
Lampiran 10. (lanjutan) No
Tahun
Bulan
Trip
Produksi (kg)
Harga (Rp)
91
7
90
2000
92
8
105
2000
93
9
115
2000
94
10
110
2000
1
115
2000
96
2
150
2000
97
3
125
2000
98
4
105
2000
99
5
110
2000
100
6
100
2000
101
7
130
2000
102
8
140
2000
103
9
90
2000
104
10
120
2000
105
11
125
2000
1
110
2000
107
2
120
2000
108
3
100
2000
109
4
120
2000
110
5
120
2000
111
6
90
2000
112
7
110
2000
113
8
115
2000
114
9
110
2000
115
10
120
2000
116
11
110
2000
117
12
130
2000
1
50
3000
119
2
40
3000
120
3
40
3000
121
4
40
3000
122
5
50
3000
123
6
35
3000
124
7
40
3000
125
8
35
3000
126
9
30
3000
1
30
3000
128
2
35
3000
129
3
50
3000
130
4
30
3000
131
5
35
3000
132
6
35
3000
133
7
30
3000
134
8
30
3000
135
9
30
3000
95
Oktober
106
118
127
Desember
2011
Januari
Februari
Sumber: Data sekunder TPI Cilincing 2010-2011
79
Lampiran 11. Perhitungan statistik untuk produksi ikan kuniran Statistik deskriptif Rata-rata Nilai tengah Mode Simpangan baku Ragam Skewness Keruncingan Koefisien variasi Jarak interval Minimum Maksimum Rata-rata standar kesalahan Keterangan :
81.29 82.68 --27.11 734.90 -0.22 2.99 0.33 163.79 -7.29 156.50 0.86
= nilai yang digunakan dalam analisis Monte-Carlo
Lampiran 12. Perhitungan statistik untuk harga ikan kuniran Statistik deskriptif Rata-rata Nilai tengah Mode Simpangan baku Ragam Skewness Keruncingan Koefisien variasi Jarak interval Minimum Maksimum Rata-rata standar kesalahan Keterangan :
2,509.08 2,519.09 --287.15 82,457.09 -0.06 1.78 0.11 997.84 2,001.32 2,999.15 9.08
= nilai yang digunakan dalam analisis Monte-Carlo
80
Lampiran 13. Kuesioner nelayan di TPI Cilincing Hari/ Tanggal wawancara
: Sabtu/ 19 Maret 2011
Nama kapal
: Alpin Jaya
Nama nelayan
: Isdrajat
Pekerjaan
: pemilik kapal nelayan (Juragan)
Usia
: 67 tahun
Jenis alat tangkap
: jaring dogol
Spesifikasi Jaring
: Panjang kantong = 16 m, lebar kantong = 10 m, panjang selambar = 8 m, bahan benang terbuat dari plastik
Ukuran mata jaring
: kantong = 1,5 inch – 4 inch, selambar = 8 inch
Jenis perahu
: sopean (depan dan belakang kapal meruncing)
Ukuran perahu (GT)
: 5 GT
Jumlah ABK
: 5 – 7 orang
Daerah penangkapan
: sekitar Teluk Jakarta
Biaya operasional
: Rp. 400.000,00 – Rp. 500.000,00
Penghasilan
: Rp. 1.000.000,00 – Rp. 3.000.000,00
Jenis ikan tertangkap
: ikan kuniran, ikan kurisi, ikan pepetek, ikan pari, ikan-ikan demersal lainnya
81
Lampiran 13 (lanjutan)
Hari/ Tanggal wawancara
: Sabtu/ 19 Maret 2011
Nama kapal
: Makmur
Nama nelayan
: Ahmad
Pekerjaan
: pemilik kapal nelayan (Juragan)
Usia
: 61 tahun
Jenis alat tangkap
: jaring dogol
Spesifikasi Jaring
: Panjang kantong = 30 m, lebar kantong = 10 m, panjang selambar = 1000 m, bahan benang terbuat dari plastik
Ukuran mata jaring
: kantong = 1 inch – 3 inch, selambar = 20 inch
Jenis perahu
: sopean (depan dan belakang kapal meruncing)
Ukuran perahu (GT)
: 6 GT
Jumlah ABK
: 5 – 7 orang
Daerah penangkapan
: sekitar Teluk Jakarta
Biaya operasional
: ±Rp. 500.000,00
Penghasilan
: Rp. 30.000,00 – Rp. 1.000.000,00
Jenis ikan tertangkap
: cumi-cumi, sotong, tapi-tapi, ikan kembung, ikan kuniran, ikan kurisi, ikan pepetek, ikan pari, ikan-ikan demersal lainnya