KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU
ARMANSYAH DWI GUMILAR
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Kajian
Stok
dan
Analisis
Ketidakpastian
Sumberdaya
Ikan
Kurisi
(Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Armansyah Dwi Gumilar C24070044
RINGKASAN
Armansyah Dwi Gumilar. C24070044. Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) yang Didaratkan di PPN Karangantu. Dibawah bimbingan Achmad Fachrudin dan Mennofatria Boer
lkan kurisi (Nemipterus furcosus) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan ikan ini tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, salah satunya di perairan Teluk Banten. Ikan kurisi merupakan salah satu ikan tangkapan yang dominan yang didaratkan di PPN Karangantu. Akibat ancaman penangkapan yang dilakukan secara terus menerus, dikhawatirkan populasinya akan semakin menurun, maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji mengenai stok ikan kurisi melalui aspek biologi seperti nisbah kelamin, TKG (Tingkat Kematangan Gonad), hubungan panjang bobot, pola pertumbuhan, faktor kondisi, laju mortalitas dan eksploitasi, model produksi surplus, dan analisis ketidakpastian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011-Mei 2011. Lokasi pengambilan contoh ikan dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu yang mewakili perairan Teluk Banten. Ikan contoh diambil dengan selang waktu dua minggu sekali. Jumlah total ikan yang diambil selama penelitian ini adalah 679 ekor. Data yang dikumpulkan adalah panjang total dan bobot basah serta TKG melalui pembedahan ikan. Metode yang digunakan antara lain metode regresi linier (analisis hubungan panjang bobot, faktor kondisi, serta mortalitas dan laju eksploitasi), metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) untuk identifikasi kelompok ukuran, metode Ford Walford untuk analisis parameter pertumbuhan, metode visual (analisis TKG dan nisbah kelamin), model Schaefer untuk analisis model produksi surplus, dan metode Monte-Carlo yang terdapat dalam program Crystalball. Berdasarkan hasil penelitian penangkapan terhadap ikan kurisi sudah mengalami over exploited atau tangkap lebih. Beberapa indikasi tersebut diantaranya ukuran ikan maksimum yang tertangkap di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu adalah 248 mm untuk ikan kurisi jantan dan 230 mm untuk ikan kurisi betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar 322,95 mm untuk ikan kurisi jantan dan 319,84 mm untuk ikan kurisi betina. Ikan kurisi yang dominan tertangkap di Teluk Banten memiliki TKG 2 dan TKG 3. Laju eksploitasi ikan kurisi jantan sudah mencapai 68,52% dan ikan kurisi betina sebesar 82,26% telah menunjukkan laju eksploitasi ikan kurisi melebihi nilai eksploitasi optimum (0,5). Dibuktikan dengan upaya penangkapan dan hasil tangkapan aktual pada tahun 2010 yang mencapai 3280 trip/tahun dan 141,47 ton sedangkan upaya penangkapan optimum dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan masing-masing adalah 1541,67 trip/tahun dan 114,08 ton/tahun. Hasil analisis ketidakpastian hasil tangkapan menunjukkan adanya ketidakpastian dengan rata-rata produksi per tahun sebanyak 8500,44 kg dan simpangan baku atau fluktuasi produksi ikan per tahun mencapai 5759,27 kg.
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa di Teluk Banten terjadi gejala penurunan populasi sumberdaya ikan kurisi yang disebabkan tangkap lebih (overfishing). Tingkat eksploitasi yang tinggi harus diimbangi dengan pengelolaan sumberdaya ikan kurisi secara berkelanjutan. Upaya pengelolaan dapat berupa mengurangi jumlah armada untuk menangkap ikan kurisi, pembuatan jadwal secara bergantian dalam penangkapan ikan kurisi untuk mengurangi upaya penangkapan ikan tersebut, serta penggantian ke alat tangkap yang selektif.
Kata kunci : Stok, ikan kurisi, Teluk Banten, ketidakpastian, pengelolaan
KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU
ARMANSYAH DWI GUMILAR C2070044
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
:
Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu
Nama Mahasiswa
: Armansyah Dwi Gumilar
Nomor Pokok
: C24070044
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. H. Achmad Fachrudin, M.Si NIP. 19640327 198903 1 003
Prof. Dr. Ir.Mennofatria Boer, DEA NIP. 19570928 198103 1 006
Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus
: 25 Juli 2012
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw. dan segenap keluarganya, shahabatnya dan para pengikutnya. Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Illahi yang telah memberikan nikmat dan kekuatan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PPN Karangntu pada Februari 2011-Mei 2011. Hal ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penyusunan skripsi ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis sangat mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Dr. Ir. H. Achmad Fachrudin, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi serta Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.
2.
Dr. Ir. Etty Riani, MS dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil masing-masing selaku dosen penguji dan ketua komisi pendidikan program S1, atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan.
3.
Para staf Tata Usaha MSP serta staf Lab. Model dan Simulasi (MOSI) yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini.
4.
Seluruh Pegawai dan nelayan di PPN Karangantu atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian.
5.
Rekan-rekan seperjuanganku (Tim Karangantu); Endah Tri S, Nuralim Pasisingi dan Danuta Diskibiony atas dukungan, semangat, perjuangan, suka duka, dan kerjasamanya.
6.
Sahabat-sahabatku khususnya Reza Zulmi yang ikut membantu Tim Karangantu di lapangan serta selalu memberi kritik, saran, motivasi dan dorongan kepada penulis.
Serta rekan-rekan MSP 44 yang tidak bisa
disebutkan satu persatu atas perjuangan, suka duka, kekompakan dan kerjasamanya selama ini. 7.
Keluarga tercinta, Papah, Mamah, Kakak, Adik-adikku atas doa, kasih sayang, motivasi dan dukungannya.
8.
Kekasih tersayang Yuli Handayani yang selalu memberi dukungan, semangat, motivasi serta bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 17 Desember 1989 dari pasangan Bapak Sutarman dan Ibu Sugiarsih. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu TK Rizky (1993-1995), SDN Panaragan 1 Bogor (1995-2001) Penulis melanjutkan pendidikan formal di SLTPN 6 Bogor (2001-2004), kemudian melanjutkan ke SMAN 2 Bogor (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis sangat menyukai olahraga, terutama bulutangkis, futsal dan voli. Selain mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Badminton IPB sebagai anggota dan organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu”.
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xv
1.
PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3 Tujuan .......................................................................................... 1.4 Manfaat ........................................................................................
1 1 2 4 4
2.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1 Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) .................. 2.2 Distribusi dan Alat Tangkap Ikan Kurisi (N. furcosus) ............... 2.3 Nisbah Kelamin .......................................................................... 2.4 Tingkat Kematangan Gonad ........................................................ 2.5 Sebaran Frekuensi Panjang .......................................................... 2.6 Pertumbuhan ................................................................................ 2.6.1 Hubungan panjang bobot ................................................... 2.6.2 Parameter pertumbuhan (L∞, K, dan t0) ............................. 2.6.3 Faktor kondisi .................................................................... 2.7 Mortalitas dan Laju Eksploitasi ................................................... 2.8 Model Produksi Surplus............................................................... 2.9 Ketidakpastian Hasil Tangkapan ................................................. 2.10 Pengelolaan Perikanan .................................................................
5 5 6 8 8 9 10 10 11 11 12 12 15 18
3.
METODE PENELITIAN .................................................................. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 3.2 Alat dan Bahan.............................................................................. 3.3 Pengumpulan Data ....................................................................... 3.4. Analisis Data ............................................................................... 3.4.1 Nisbah kelamin .................................................................. 3.4.2 Sebaran frekuensi panjang ................................................. 3.4.3 Identifikasi kelompok ukuran ............................................ 3.4.4 Tingkat kematangan gonad ................................................ 3.4.5 Pertumbuhan ...................................................................... 3.4.5.1 Hubungan panjang bobot ....................................... 3.4.5.2 Plot Ford Walford (L∞, K dan t0) .......................... 3.4.5.3 Faktor kondisi ........................................................ 3.4.6 Mortalitas dan laju eksploitasi ........................................... 3.4.7 Model produksi surplus...................................................... 3.4.8 Analisis ketidakpastian hasil tangkapan ............................
20 20 20 21 21 22 22 23 24 24 24 26 27 28 29 30
x
xi
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten ......................... 4.2. Kondisi Perairan Teluk Banten ................................................ 4.3. Nisbah Kelamin ....................................................................... 4.4. Tingkat Kematangan Gonad .................................................... 4.5. Sebaran Frekuensi Panjang ..................................................... 4.6. Kelompok Umur ....................................................................... 4.7. Pertumbuhan ............................................................................. 4.7.1. Hubungan panjang bobot ............................................ 4.7.2. Faktor kondisi ............................................................. 4.7.3. Parameter pertumbuhan .............................................. 4.8. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ................................................ 4.9. Model Produksi Surplus ........................................................... 4.10. Ketidakpastian Hasil Tangkapan .............................................. 4.11. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi di Teluk Banten............
32 32 33 34 35 36 38 42 42 46 46 49 51 53 56
5.
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 5.1. Kesimpulan ............................................................................... 5.2. Saran .........................................................................................
57 57 58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
59
LAMPIRAN................................................................................................
63
xi
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Produksi (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi di Teluk Banten ...................................................................................................
2
2.
Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan .................................
16
3.
Penentuan TKG secara morfologi .........................................................
24
4.
Proporsi kelamin ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh .......................
34
Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu Teluk Banten .....................................................................
37
Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ................
41
Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ...............
41
Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ................
42
Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ................
42
10.
Perbandingan pola pertumbuhan ikan kurisi (genus: Nemipterus) .......
43
11.
Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten ....................................................................
47
Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten............................................................
50
Data hasil tangkapan dan upaya dari perikanan kurisi dengan alat tangkap jaring dogol di perairan Teluk Banten ....................................
51
Nilai statistik produksi ikan kurisi periode 2000-2010 di PPN Karangantu, Teluk Banten....................................................................
55
5. 6. 7. 8. 9.
12. 13. 14.
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten ..................................
3
2.
Ikan kurisi (Nemipterus furcosus)...........................................................
6
3.
Daerah sebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) .................................
7
4.
Alat tangkap jaring dogol .........................................................................
7
5.
Peta lokasi penelitian Teluk Banten ........................................................
20
6.
Hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu ..............................................................................................
32
TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ................................
35
TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ................................
35
Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan dan betina di PPN Karangantu Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ........................................................................................ .
38
Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan periode Februari 2011–Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten ..................
39
Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina periode Februari 2011–Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten ..................
40
Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ..........................................
44
Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ................................
44
Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ................................
45
Faktor kondisi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten berdasarkan waktu pengambilan contoh ..........................
46
Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten ......................................................................
47
Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten ......................................................................
48
7. 8. 9.
10. 11. 12.
13.
14.
15. 16. 17.
xiii
xiv
18.
Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang .............
49
19.
Grafik hasil tangkapan ikan kurisi per satuan upaya ..............................
51
20.
Trend hasil tangkapan per unit upaya dengan model Schaefer...............
52
21.
Grafik produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten periode 2006-2010...........................................................
53
Diagram frekuensi produksi ikan kurisi periode 2000-2010 yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten ........................................
54
22.
xiv
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11.
12. 13.
Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di PPN Karangntu, Teluk Banten ........................................................................
64
Panjang total dan bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh... .......................
65
Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Februari 2011... ......................
71
Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 10 Maret 2011... ..........................
73
Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Maret 2011... ..........................
75
Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 7 April 2011... .............................
77
Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 21 April 2011... ...........................
79
Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 12 Mei 2011... .............................
81
Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada Februari 2001 - Mei 2011... ........
83
Pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K, dan t0) ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten dengan menggunakan metode Ford Walford ......................................................
85
Perhitungan Pendugaan mortalitas Total (Z), Mortalitas Alami (M), penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten ..............................................................
87
Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten ..........
89
Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten ..........
92
xv
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ikan merupakan sumber protein hewani yang mulai digemari saat ini. Kadar kolesterol ikan rendah serta mengandung asam amino esensial yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan manusia.
Seiring meningkatnya
permintaan ikan, teknologi dan intensitas penangkapan ikan semakin bertambah. Perairan Teluk Banten memiliki potensi perairan berupa sumberdaya ikan dan non ikan. Sumberdaya ikan yang berada di Teluk Banten diantaranya ikan pepetek, cumi, kuniran, kembung, kurisi, dan rajungan. Ikan kurisi merupakan salah satu sumberdaya ikan bernilai ekonomis yang tertangkap di Teluk Banten. Berdasarkan data statistik Ditjen Tangkap-DKP 2011 menunjukkan bahwa ikan kurisi bukan merupakan ikan yang paling dominan di Teluk Banten, namun demikian ikan kurisi memiliki harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat sehingga ikan ini menjadi salah satu jenis ikan yang diminati oleh masyarakat dan perburuan ikan kurisi terus menerus dilakukan. Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2006-2010 upaya penangkapan ikan kurisi terus mengalami peningkatan dari 666 trip pada tahun 2006 hingga mencapai 3280 trip pada tahun 2010 (Ditjen Tangkap-DKP 2011).
Pemenuhan terhadap permintaan ikan kurisi yang terus
meningkat menyebabkan semakin intensifnya tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan kurisi. Menurut Widodo & Suadi (2006) proses penipisan stok di wilayah Indonesia merupakan konsekuensi alamiah dari penangkapan dalam perikanan yang pemanfaatannya bersifat open access, dimana tidak ada pemilikan individual atas daerah penangkapan, nelayan secara individual tidak dapat melindungi stok ikan. Penipisan stok ikan sering diikuti oleh penurunan produksi perikanan, penurunan hasil tangkapan yang didaratkan, penurunan bobot rata-rata ikan, perubahan dalam struktur umur ikan, dan perubahan komposisi spesies. Hal inilah yang mendorong perlu dilakukannya kajian mengenai stok ikan kurisi di Teluk Banten untuk mengetahui kondisi aktual dari sumberdaya tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan perikanan kurisi yang lestari.
2
Pengelolaan sumberdaya ikan kurisi harus terus dilakukan agar tetap lestari. Menurut Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 mengatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya.
1.2. Perumusan Masalah Ikan di laut merupakan milik bersama (common property) sehingga setiap orang berhak untuk memanfaatkannya (open access) yang mengakibatkan terjadinya persaingan antara setiap pelaku perikanan yang akan menangkap sumberdaya ikan dengan sebanyak-banyaknya. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih. Namun, bila pemanfaatan dilakukan terus-menerus tanpa diikuti oleh pengelolaan
dapat
menyebabkan
penurunan
stok
ikan
dan
terancamnya
keberlangsungan sumberdaya ikan di perairan tersebut. Upaya pemanfaatan ikan kurisi di Teluk Banten pada tahun 2006-2010 terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat diketahui dari perkembangan produksi (ton) dan upaya (trip alat tangkap dogol) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Produksi (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi di Teluk Banten Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi (ton) Upaya (trip) 108,60 666 161,11 1050 114,72 1902 83,41 2463 141,47 3280
Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2011)
Peningkatan upaya dapat meningkatkan volume produksi ikan kurisi, namun apabila kontrol terhadap tekanan eksploitasi tidak diperhatikan dapat menyebabkan upaya tangkap lebih (overfishing) sehingga stok ikan kurisi di perairan mengalami penurunan. Berdasarklan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan dari pengelolaan perikanan kurisi yang lebih difokuskan pada pengkajian stok ikan kurisi
3
dengan batasan daerah penangkapan Teluk Banten yang berpangkalan di PPN Karangantu, disajikan dalam Gambar 1. Sumberdaya ikan kurisi
Upaya penangkapan terus menerus Over exploited
Under exploited
Populasi turun
Populasi normal
Ukuran tubuh mengecil
Ukuran tubuh normal
Pergeseran modus panjang tubuh
Kajian stok
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten Upaya penangkapan yang dilakukan terhadap sumberdaya ikan kurisi dapat menyebabkan under exploited ataupun mengalami over exploited.
Kedua hal
tersebut dapat dilihat dari ada tidaknya pergeseran modus panjang tubuh ikan, bila terjadi pergeseran modus panjang ikan ke kiri atau ukuran tubuh ikan semakin mengecil, hal tersebut mengindikasikan adanya tekanan dari penangkapan atau sudah terjadi over exploited atau tangkap lebih.
4
1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji stok ikan kurisi (Nemipterus fuscosus) di perairan Teluk Banten yang meliputi pendugaan model pertumbuhan, pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi, model produksi surplus, analisis ketidakpastian hasil tangkapan, serta menentukan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten.
1.4. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai langkah awal dalam merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di daerah Teluk Banten yang mendukung pola pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimum namun dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian sumberdaya tersebut.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran kecil, badan langsing dan padat. Tipe mulutnya terminal dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas. Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Sisik dibagian badan lebih besar dan berbentuk seperti sisir dan kasar bila disentuh. Sebuah garis rusuk (linea lateral) dengan satu sisik atau lebih.
Warna sangat bervariasi, seperti kemerah-merahan, kecoklat-
coklatan, merah kekuningan ataupun kehijau-hijauan (Fischer & Whitehead 1974). Ciri-ciri ikan kurisi lainnya yaitu sirip dorsal terdiri dari 10 duri keras dan 9 duri lunak, sirip anal terdiri dari 3 duri keras dan 7 duri lunak. Ikan betina umumnya mendominasi pada ukuran tubuh yang lebih kecil dan ikan jantan mendominasi ukuran tubuh yang lebih besar. Terdapat totol berwarna jingga atau merah terang dekat pangkal garis rusuk (linea lateral). Sirip dorsal berwarna merah, dengan garis tepi berwarna kuning atau jingga (www.fishbase.org). Klasifikasi
ikan
kurisi
(Nemipterus
furcosus)
tersebut
www.zipcodezoo.com (2011) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Famili
: Nemipteridae
Genus
: Nemipterus
Spesies
: Nemipterus furcosus (Valenciennes, 1830)
Nama Indonesia
: Kurisi
Nama Internasional
: Fork-tailed threadfin bream
berdasarkan
6
Gambar 2. Ikan kurisi (Nemipterus furcosus)
Semua famili Nemipteridae adalah karnivor yang memakan ikan-ikan kecil, crustacea, dan Polychaeta (Russell 1990). Oleh karena itu ikan kurisi termasuk hewan karnivor. Hal ini dapat dilihat dari susunan giginya yang tajam. Makanan ikan kurisi yang dominan adalah crustacea dan ikan kecil. Pada perairan yang dangkal (10-30 meter) komponen makanan yang lebih dominan adalah jenis udang (Crustacea), misalnya Metapenaeus, Parapenaeus dan Parapenaeosis. Sedangkan pada perairan yang lebih dalam (30-50 meter) komponen makanan yang paling penting adalah ikan-ikan kecil (Burhanuddin et al. 1984). 2.2. Distribusi dan Alat Tangkap Ikan Kurisi (N. furcosus) Ikan-ikan famili Nemipteridae hidup di dekat dasar dengan tipe substrat berlumpur dan berpasir pada daerah pantai (inshore) dan paling baik pada daerah lepas pantai (offshore) sampai pada kedalaman lebih kurang 3000 meter, meskipun pada kebanyakan spesies terdapat pada perairan dangkal (Russell 1990). Tarigan (1995) menyatakan bahwa ikan-ikan berukuran kecil hidup di perairan dangkal, sedangkan yang berukuran lebih besar hidup pada kedalaman lebih dari 60 meter. Widodo (1980) in Tarigan (1995) menyatakan bahwa hasil tangkapan tertinggi famili Nemipteridae di Laut Jawa adalah pada kedalaman lebih dari 60 meter. Ikan kurisi termasuk jenis ikan demersal berdasarkan tempat hidupnya. Direktorat Jendral Perikanan in Tarigan (1995) menginformasikan bahwa ikan demersal di perairan Indonesia umumnya terkonsentrasi pada kedalaman antara 30– 60 meter. Umumnya ikan kurisi (Nemipterus spp.) dapat hidup di perairan tropik
7
dan subtropik. Daerah penyebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di perairan Indonesia hampir terdapat di seluruh perairan Nusantara. Penyebaran ikan ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Daerah sebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) Sumber : www.fishbase.org (2011) Pada prinsipnya alat tangkap dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu tipe statis, ditarik oleh kapal, dilingkarkan pada gerombolan ikan dan alat tangkap aktif lainnya (Siregar 1997). Ikan kurisi dapat tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik, payang, jaring insang, rawai, pancing, sero, trawl dan bubu (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005). Namun umumnya ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu ini tertangkap dengan jaring dogol. Jaring dogol biasanya digunakan untuk menangkap ikan yang berada di dasar perairan atau termasuk ikan demersal. Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan kurisi ini umumnya berukuran 6 GT.
Gambar 4. Alat tangkap jaring dogol Sumber : www.kabarpagimu.blogspot.com (2011)
8
Dogol merupakan alat tangkap ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut jaring. Pengoperasian alat ini menggunakan alat bantu mesin gardan berkekuatan sekitar 6 PK yang berfungsi untuk menarik jaring.
Menurut Monintja &
Martasuganda (1991), jaring dogol terdiri dari kantong, dua buah sayap, dua buah tali ris, tali selembar serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir atas dan mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas untuk mencegah ikan lari ke arah vertikal.
2.3. Nisbah Kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006). Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. kelamin dapat berubah menjelang pemijahan.
Keseimbangan nisbah
Ikan yang melakukan ruaya
pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina.
2.4. Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi maupun yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan tahap pematangan gonad (Affandi et al. 2007).
9
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah.
Pendugaan puncak pemijahan dapat
dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan matang gonad pada suatu waktu (Sulistiono et al. 2001 in Tampubolon 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Tampubolon 2008). Secara alamiah TKG akan berkembang menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006).
Umumnya
semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan bobot tubuh pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina 2002).
2.5. Sebaran Frekuensi Panjang Pada dasarnya metode pendugaan stok memerlukan masukan data komposisi umur. Data komposisi umur pada perairan beriklim sedang biasanya diperoleh dengan melakukan perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras tubuh ikan, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre & Venema 1999). Beberapa metode numerik mulai dikembangkan untuk melakukan konversi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur. Oleh karena itu, pendugaan stok spesies tropis merupakan analisis frekuensi panjang total ikan. Tujuan dilakukannya analisis data frekuensi panjang ialah untuk menentukan umur terhadap kelompokkelompok panjang tertentu. Analisis tersebut digunakan dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999). Metode pendugaan pertumbuhan berdasarkan data frekuensi panjang telah digunakan secara luas di bidang perikanan, biasanya digunakan jika metode lainnya seperti mengetahui umur tidak dapat dilakukan (Sparre & Venema 1999).
10
2.6. Pertumbuhan Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan faktor luar.
Faktor dalam merupakan faktor yang sukar dikontrol, seperti
keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan, namun masih ada faktor luar lainnya yang mempengaruhi seperti, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari) (Effendie 2002).
Menurut King (1995)
bahwa sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas dan produksi.
Hanya sepertiga
bagian yang digunakan untuk pertumbuhan.
2.6.1.
Hubungan panjang bobot Analisis hubungan panjang bobot bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan di alam.
Hal tersebut dapat digunakan untuk kegiatan
pengelolaan perikanan. Effendie (2002) menyatakan bahwa bobot dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya, dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang. Hasil analisis hubungan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memilki pola pertumbuhan isometrik (b=0), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot.
Sebaliknya pada ikan dengan pola
pertumbuhan allometrik (b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot.
Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik
positif, bila b>3, yang menandakan bahwa pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik negatif apabila b<3, ini menandakan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot (Ricker 1970 in Effendie 2002).
11
2.6.2. Parameter Pertumbuhan (L∞, K, dan t0) Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat memberikan representasi pertumbuhan populasi dengan baik. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga dapat digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan (Beverton & Holt 1957). Menurut Sparre & Venema (1999) parameter ikan memilki peran yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat diketahui umur ikan pada saat panjang tertentu. Dengan demikian, penyusunan perencanaan pengelolaan akan lebih mudah. Metode Ford Walford merupakan metode sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999).
Metode ini
memerlukan masukan data panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan dengan menggunakan metode Battacharya (Sparre & Venema 1999).
2.6.3. Faktor Kondisi Faktor Kondisi menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Faktor kondisi ini disebut juga Ponderal’s index (Legler 1961 in Effendie 2002). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan Faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain atau satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Variasi nilai kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 2002). Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan makanan (Effendie 2002).
12
2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Laju mortalitas total (Z) dapat digunakan untuk menduga mortalitas penangkapan (F) dan mortalitas alami (M). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan, seperti pemangsaan, termasuk kanibalisme, penyakit, stres, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Laju mortalitas akan berbeda pada spesies yang sama dengan wilayah yang berbeda tergantung dari kepadatan pemangsaan dan pesaing yang kelimpahannya dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan (Sparre & Venema 1999). Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu K dan L∞. Semakin tinggi nilai K (pertumbuhan cepat) maka mortalitas alami (M) juga semakin tinggi dan begitu pun sebaliknya.
Nilai M juga berkaitan dengan nilai L∞ karena
pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1984), faktor yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L∞) dan laju pertumbuhan.
Sedangkan mortalitas
penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Dengan kata lain laju eksploitasi adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik alami maupun penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimum, maka laju mortalitas penagkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Menurut King (1995), penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan. 2.8. Model Produksi Surplus Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktifitas stok secara jangka panjang,
13
yang bisa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari.
Model produksi
surplus bisa diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya per spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun.
Upaya penangkapan harus
mengalami perubahan yang substantial selama waktu yang dicakup (Sparre & Venema 1999). Model produksi surplus merupakan model yang sangat sederhana dan murah biayanya.
Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat
sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan (Sparre & Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus hasil tangkapan banyak digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model produksi surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999). Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang benarbenar efektif dan bukan sekedar nominal yang sulit ditentukan. Oleh sebab itu, penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan menggunakan beberapa metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, demersal kecil, demersal besar, udang dan krustasea lainnya, serta moluska (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009).
14
Persyaratan untuk analisis model produksi surplus hasil tangkapan adalah sebagai berikut (Sparre & Venema 1999): 1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif. 2) Distribusi ikan menyebar merata. 3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam. Asumsi yang digunakan dalam model surplus hasil tangkapan menurut Sparre &Venema (1999) adalah : 1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium Pada keadaan ekuilibrium, hasil tangkapan biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam. 2) Asumsi biologi Alasan biologi yang mendukung model surplus hasil tangkapan telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut : a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi hasil tangkapan berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen. b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit, dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup dan dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan. c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi.
15
3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap Pada model surplus hasil tangkapan diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya.
Namun demikian upaya ini tidak selamanya
benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.
2.9. Ketidakpastian Hasil Tangkapan Perikanan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan saling terkait. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendefinisikan perikanan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karakteristik yang berbeda tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian serta menimbulkan resiko yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut. Sumberdaya perikanan tidak hanya dibutuhkan saat ini saja akan tetapi generasi yang akan datang memerlukan sumberdaya perikanan untuk berbagai kepentingan.
Sumberdaya perikanan ini
memerlukan pengolahan yang tepat dan cermat oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles 2001). Sumber ketidakpastian muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen yang dapat dilihat pada Tabel 2. Dampak ketidakpastian akan menimbulkan resiko dalam sistem perikanan apabila tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan (Charles 2001).
16
Tabel 2. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan Sumber yang bersifat dari manusia Sumber yang bersifat alami dan manajemen Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya Predator-prey Perubahan tekhnologi Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan Migrasi Sasaran nelayan Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen Interksi ikan dengan lingkungan Discount rate Sumber : Charles (2001)
Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi berbeda dengan kegiatan perekonomian lainnya, tidak ada satu orang pun dapat memastikan berapa banyak sumberdaya setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap tahun, atau berakibat terhadap produksi dimasa yang akan datang ketersediaan ikan (Charles 2001). Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001) yaitu: 1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak). 2.
Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam: a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variable perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management. b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan. c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi.
3.
Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan.
17
a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan. b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian “value system” dalam perikanan. Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada.
Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka
keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Pemahaman mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat dibutuhkan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi. Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004), yaitu : 1.
Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan dengan nilai-nilai finansial.
2.
Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisis yang menentukan resiko tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan intuisi, tingkat keahlian dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya. Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan
menjadi dua, yaitu : 1. Risk
Assessment
(penaksiran
resiko)
digunakan
untuk
menganalisis
ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistik dengan menggunakan time-series data. b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan.
Hal ini dapat dianalisis dengan
18
pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan. 2. Risk Management (pengelolaan resiko) merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. management.
Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive
Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah
menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu: a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.
2.10. Pengelolaan Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (FAO 1997).
Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah
menjamin bahwa mortalitas akibat penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suadi 2006). Menurut Sinaga (2010), pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open access). Persaingan yang dilakukan pelaku perikanan terlihat dari usaha yang dilakukan menggunakan teknologi yang terus berkembang dan dieksploitasi secara
19
terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis. Pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer & Azis 2007).
20
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2011. Lokasi penelitian berada di Teluk Banten, pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan kurisi yang ditangkap di Teluk Banten (Gambar 5) dan didaratkan di PPN Karangantu, sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan selama penelitian berlangsung.
Lokasi Penelitian : PPN Karangantu
Gambar 5. Peta lokasi penelitian Teluk Banten
3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, penggaris dengan ketelitian 1 milimeter, timbangan dengan ketelitian 0,1 gram, kamera untuk dokumentasi, alat tulis, alat bedah, dan wadah. Bahan yang digunakan yaitu es batu dan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) yang didaratkan di PPN Karangantu.
21
3.3. Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Proses pengumpulan data primer yang dilakukan meliputi pengukuran panjang dan bobot ikan contoh dengan interval waktu setiap dua minggu sekali. Ikan kurisi yang digunakan sebagai ikan contoh didapatkan dari beberapa nelayan yang ada. Proses pengambilan ikan contoh dilakukan secara random sampling yang mengandung unsur purposive sampling, dari beberapa keranjang nelayan ikan contoh diambil secara acak, akan tetapi karena dalam satu keranjang terdapat lebih dari satu spesies apabila terambil spesies yang bukan merupakan objek penelitian maka tidak dilakukan pengukuran. Panjang ikan kurisi yang diukur adalah panjang total, yaitu panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan bagian mulut sampai ujung terakhir bagian ekornya menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 milimeter. Bobot ikan kurisi yang ditimbang adalah berat basah total menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 gram. Data tingkat kematangan gonad (TKG) diperoleh dengan cara membedah ikan kemudian melihat secara visual tingkat kematangan gonadnya. Selain itu juga dilakukan wawancara kepada para nelayan ikan kurisi sebagai data pendukung. Informasi yang dikumpulkan pada saat wawancara antara lain unit penangkapan (kapal, jumlah anak buah kapal dan alat tangkap) serta daerah penangkapan ikan kurisi. Data sekunder di dapat dari arsip PPN Karangantu Teluk Banten dan Dinas Perikanan Provinsi Banten. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data hasil tangkapan, data harga ikan kurisi, alat tangkap yang digunakan nelayan kurisi, serta kondisi umum daerah penangkapan.
3.4. Analisis Data Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis data primer dan data sekunder.
Analisis data primer digunakan untuk menduga pertumbuhan,
mortalitas, dan laju eksploitai ikan kurisi. Analisis data distribusi frekuensi panjang digunakan untuk melihat sebaran panjang ikan kurisi yang tertangkap di PPN Karangantu,
Teluk
Banten.
Metode
Bhattacharya
di
gunakan
untuk
mengidentifikasi kelompok ukuran ikan kurisi. Setelah itu metode Ford Walford digunakan untuk menduga pertumbuhan populasi dari persamaan Von Bartalanffy
22
melalaui data yang dipisah berdasarkan kelompok ukuran ikan kurisi. Analisis penduga mortalitas dan laju eksploitasi dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data posisi panjang. Analisis hubungan panjang bobot digunakan untuk menduga pola pertumbuhan ikan kurisi.
3.4.1. Nisbah kelamin Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan betina yang ada pada suatu perairan.
Untuk mencari nisbah kelamin dapat
menggunakan rumus berikut:
(1)
P adalah proporsi ikan (jantan atau betina), n adalah jumlah ikan (jantan atau betina) dan N adalah jumlah total ikan (jantan dan betina).
3.4.2. Sebaran frekuensi panjang Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah panjang total dari ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu. Tahapan untuk menganalisa frekuensi panjang adalah sebagai berikut : a) Menentukan banyaknya kelas dengan menggunakan rumus :
∑ kelas = 1 + 3.32 log n Keterangan : n = Jumlah keseluruhan data b) Menentukan lebar selang kelas dengan menggunakan rumus :
SK =
X max − X min ∑ kelas
c) Menentukan frekuensi setiap kelas dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang dan masing-masing ikan contoh pada selang kelas yang telah ditentukan. Distribusi frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan kedalam sebuah grafik.
Grafik tersebut akan
23
menggambarkan pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran distribusi kelas panjang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada (kohort). Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort.
3.4.3. Identifikasi kelompok ukuran Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang ikan kurisi. Data frekuensi panjang dianalisis dengan menggunakan salah satu metode yang terdapat di dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan baku. Boer (1996) menyatakan jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2, …, N), µj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2, …, G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {µj, σj, pj) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function) dengan persamaan sebagai berikut : N
G
i =1
j =1
L = ∑ f i log ∑ p j qij Dengan ketentuan q ij =
(2) 1
σj 2π
exp
1 xi − μ j 2 − ( ) 2 σj
yang merupakan fungsi kepekatan
peluang sebaran normal dengan nilai tengah µj dan simpangan baku σj.
xi
merupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj, pj sehingga diperoleh dugaan µj, σj, pj yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan. Dalam penggunaan metode NORMSEP sangat diperhatikan nilai indeks separasi. Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi merupakan
24
kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok ukuran karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok ukuran tersebut.
3.4.4. Tingkat kematangan gonad
Pengamatan gonad ikan contoh dapat menduga jenis kelamin ikan. Tingkat kematangan gonad ialah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu memijah. Menentukan tingkat kematangan gonad (TKG) pada ikan ada dua cara yaitu secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, serta perkembangan isi gonad.
Sedangkan secara
histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik. Berikut ini adalah tabel penentuan TKG ikan menggunakan modifikasi dari Cassie (Effendie 1979) yang disajikan pada Tabel 3 :
Tabel 3. Penentuan TKG secara morfologi TKG I II III IV
Betina Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta permukaannya licin Ukuran ovari lebih besar, warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut
Jantan Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti susu Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal
3.4.5. Pertumbuhan 3.4.5.1. Hubungan panjang bobot
Analisis pola pertumbuhan ikan kurisi menggunakan hubungan panjang bobot masing-masing spesies dengan rumus sebagai berikut (Effendie 2002): (3)
25
W adalah bobot, L adalah panjang, a adalah intersep (Perpotongan kurva hubungan panjang berat dengan sumbu y), b adalah penduga pola pertumbuhan panjang-bobot. Untuk mendapatkan persamaan linear atau garis lurus di gunakan persamaan sebagai berikut : Log W = Log a + b Log L
(4)
Untuk mendapatkan parameter a dan b digunakan analisis regresi dengan Log W sebagai ‘y’ dan Log L sebagai ‘x’, maka dapat didapatkan regresi sebagai berikut: y = b0 + b1x
(5)
Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial) dengan hipotetis : H0
: b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik
H1
: b ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik Hipotesis yang digunakan adalah bila b = 3 maka disebut isometrik (pola
pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot). Jika b < 3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan). Dan bila b > 3 allometrik positif (pola pertumbuhan bobot lebih dominan).
t hitung =
b1 − b0 sb1
(6)
(7)
b1 adalah Nilai b (dari hubungan panjang bobot), b0 adalah 3, Sb1 adalah simpangan koefisien b
26
Bandingkan nilai thitung dan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan kurisi, maka kaidah keputusan yang diambil adalah : thitung > ttabel
: tolak
hipotesis H0
thitung < ttabel
: gagal
tolak hipotesis H0
3.4.5.2. Plot Ford Walford (L∞, K dan t0)
Plot Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan dari persamaan Von Bartalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang tetap. Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy (King 1995). Lt = L∞ (1 - exp[-K(t-t0)]) Lt = L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)]
(8)
atau, L∞ - Lt =
L∞ exp[-K(t-t0)]
(9)
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t sama dengan t+1, persamaaan menjadi: Lt+1 = L∞ (1 - exp[-K(t+1-t0)]) Lt+1 = L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)] exp[-K]
(10)
sehingga, Lt+1 - Lt = L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)] exp-K - L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)] Lt+1 - Lt = L∞ exp[-K(t-t0)] (1 - exp[-K])
(11)
Persamaan (9) didistribusikan kedalam persamaan (11) sehingga di peroleh persamaan berikut. Lt+1 - Lt = (L∞ - Lt) (1 - exp[-K])
(12)
27
atau, Lt+1 = Lt + L∞ (1 - exp[-K]) - Lt + Lt exp[-K] Lt+1 = L∞ (1 - exp[-K]) + Lt exp[-K]
(13)
Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan t+1 yang merupakan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (Pauly 1984). Persamaan (13) dapat diduga dengan persamaan regresi linear y = b0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) di plotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan exp[-K] dan titik potong dengan absis sama dengan L∞(1-exp[-K]). Nilai K dan L∞ di peroleh dengan cara sebagai berikut: K
= -ln (b)
(14)
L∞ = a / (1 - b)
(15)
dan
Umur secara teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris pauly sebagai berikut. Log (-t0) = 0,3922 - 0,2752 (Log L∞) – 1,038 (Log K)
(16)
3.4.5.3. Faktor kondisi
Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan bobot.
Faktor kondisi
menunjukkan keadaan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup maupun reproduksi. Jika pertumbuhan ikan kurisi termasuk pertumbuhan allometrik (b≠3), maka nilai faktor kondisi (K) dapat dihitung dengan rumus berikut (Effendie 2002):
K = W/ aLb
(17)
28
K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan contoh (gram), L adalah panjang ikan contoh (mm), a dan b adalah konstanta regresi. Jika pertumbuhan bersifat allometrik positif umumnya ikan diamati lebih gemuk dibandingkan ikan yang bertipe allometrik negatif.
3.4.6. Mortalitas dan laju eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkahlangkah sebagai berikut. Langkah 1
: mengkonversikan data panjang ke data umur dengan mengunakan inverse persamaan Von Bertalanffy.
(18) Langkah 2
: menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 (Δt) (19)
Langkah 3
: menghitung (t+Δt/2) (20)
Langkah 4
: menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang dikonversikan ke panjang (21)
persamaan di atas adalah bentu persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut. Ln M = - 0,0152 - 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,463*Ln T
(22)
M = exp(- 0,0152 - 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,463*Ln T)
(23)
29
M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjang asimsotik pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, T adalah rata-rata suhu permukaan air (0C) Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F=Z–M
(24)
Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortaliatas total (Z) (Pauly 1984) : E=
F F = F+M Z
(25)
Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah: Foptimum = M dan Eoptimum = 0,5
(26)
3.4.7. Model produksi surplus
Tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in (Sparre & Venema 1999). Dapat diketahui melalui persamaan berikut : 1)
Hubungan antara hasil tangkapan (Y) dengan upaya penangkapan (f), Y = af + bf 2
2)
Upaya penangkapan optimum (fmsy) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol atau dy/df = 0 : Y = af + bf 2 Y’= a + 2bf Y’= 0 a = -2bf
fmsy = -a/2b
30
3)
Maximum sustainable yield (MSY) atau merupakan hasil tangkapan
maksimum
lestari
diperoleh
dengan
mensubtitusikan
nilai
upaya
penangkapan optimum (fmsy) ke persamaan pada butir 1 di atas, Y = af + bf 2 MSY = (a) fmsy+ (b) fmsy2 MSY = -a2/4b Pada model ini, untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya penangkapan (f) terhadap hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) dan untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b pada rumus di atas digunakan analisis regresi dengan melinierkan model Schaefer seperti berikut: Y = af + bf 2 CPUE (Y/f) = a+bf
Rumus yang digunakan untuk mengetahui CPUE adalah sebagai berikut: CPUE = Catch / Effort Keterangan : CPUE : Hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit) Catch : Hasil tangkapan per tahun (kg) Effort : Upaya penangkapan per tahun (unit)
3.4.8. Analisis ketidakpastian hasil tangkapan
Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam menghasilkan tangkapan.
Hal
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan Kaidah Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Kaidah Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993) , yaitu: Jika kejadian-kejadian B1, B2, …, Bk merupakan kejadian yang saling terpisah dari ruang contoh S dengan P(Bi) ≠ 0 untuk i = 1, 2, …, k, maka untuk sembarang kejadian A yang bersifat P(A) ≠ 0 : (27)
31
untuk r = 1,2,…,k Metode Bayes merupakan metode yang baik dalam pembelajaran berdasarkan data training, dengan menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Metode Bayes hanya bisa digunakan untuk persoalan klasifikasi dengan supervised learning dan data-data kategorikal. Metode Bayes memerlukan pangetahuan awal untuk mengambil suatu keputusan. Tingkat keberhasilan metode ini sangat tergantung pada pengetahuan awal yang diberikan. Dalam menganalisis ketidakpastian ini digunakan alat bantu berupa perangkat lunak Crystall ball yang berbasis aplikasi spreadsheet suite untuk model prediksi, ramalan, simulasi dan optimasi.
Menggunakan Crystall ball dapat membuat
keputusan taktis yang tepat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keunggulan kompetitif pada kondisi pasar paling tidak pasti. Crystall ball dapat membantu menganalisis resiko dan ketidakpastian yang terkait dengan model spreadsheet suite meliputi analisis simulasi Monte Carlo (Crystall ball), time-series peramalan (CB Prediction), dan optimisasi (Opt Quest) serta pengembangan antar muka kostum dan
proses (Goldman 2002 in Wardani 2010).
32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten
Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan adalah jaring dogol, bagan, jaring insang, payang dan lain-lain. Kapal yang digunakan umunya berukuran 6 GT. Hasil tangkapan utama nelayan di Teluk Banten berupa ikan pepetek, cumi-cumi, kurisi, kembung, kuniran dan lain-lain. Berikut ini disajikan gambar hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu (Gambar 6).
Gambar 6. Hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu Sumber : Ditjen-Tangkap (DKP 2011) Ikan kurisi di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu sebagian besar
ditangkap
dengan
menggunakan
alat
tangkap
jaring
dogol/gardan.
Pengoperasian alat tangkap ini dengan menggunakan alat bantu mesin gardan berkekuatan sekitar 6 PK untuk menarik jaring. Daerah penangkapannya di utara Pulau Panjang yang memiliki dasar pantai pasir berlumpur dengan kedalaman diatas 16 meter. Penangkapan ikan dilakukan pada siang hari, dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore. Ikan kurisi akan didistribusikan ke daerah Serang, Cilegon, Tangerang dan Jakarta dalam bentuk segar maupun olahan (ikan asin).
33
4.2. Kondisi Perairan Teluk Banten
Pada wilayah pantai utara Jawa, ada beberapa teluk yang dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan tangkap, salah satunya adalah Teluk Banten yang terletak di Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Perairan Teluk Banten secara geografis terletak pada 05º49’45”–06º02’00” LS dan 106º03’00”–106º16’00” BT. Teluk Banten ini terletak pada jarak 60 km sebelah Barat kota Jakarta. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dan luasnya kira-kira 150 km2 dengan berbagai variasi kedalaman mulai dari 0,2 m sampai 9 m, oleh sebab itu Teluk Banten termasuk perairan yang dangkal dengan turbiditas tinggi (Tiwi 2004). Dasar perairan pada umumnya lumpur berpasir.
Pada teluk terdapat beberapa pulau kecil dengan
beberapa yang terbentuk dari gosong karang. Pulau Panjang merupakan pulau yang terbesar, yang berpenduduk dan pulau yang terluar yaitu Pulau Kali (Nuraini 2004). Sebagian besar kawasan teluk bagian barat yang meliputi Kecamatan Kepuh dan Bojonegara dimanfaatkan untuk kawasan industri dan Pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan yang meliputi Kecamatan Kasemen dan Karangantu dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan seperti kawasan industri, perumahan nelayan, pertambakan dan pelabuhan perikanan Karangantu yang berdampingan dengan pelabuhan niaga kayu. Bagian timur dari teluk ini yang meliputi Kecamatan Tirtayasa dan Pontang merupakan kawasan peruntukan pertambakan dan sebagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi 2004). Perairan teluk dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat merupakan musim hujan, pada bulan Desember hingga Februari curah hujan tertinggi.
Musim timur merupakan musim kemarau.
Musim
penangkapan di Teluk Banten ini yaitu pada musim timur (Nuraini 2004). Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk Banten secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya salinitas menurun pada musim hujan.
Pengamatan pada tahun 1998-1999,
menunjukkan bahwa suhu air di Teluk Banten berkisar antara 28–31,5 ºC dengan rata-rata 29,5 ºC.
Salinitas di daerah penangkapan ikan sekitar 28–33,8 ppm,
salinitas rendah (<20 ppm) terjadi pada musim hujan Januari-Februari di perairan dekat muara sungai. Rendahnya salinitas akibat masuknya air hujan dari sungai
34
yang bermuara di Teluk Banten. Kecerahan disekitar pulau-pulau karang di tengah Teluk Banten hingga utara Pulau Panjang bervariasi antara 2–10 m (Nuraini 2004).
4.3. Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin perlu diketahui untuk mengetahui kestabilan populasi ikan yang ada di perairan. Jumlah total ikan kurisi yang terambil sebagai contoh dalam penelitian ini yaitu sebanyak 679 ekor. Frekuensi ikan kurisi jantan sebanyak 417 ekor dan ikan kurisi betina sebanyak 262 ekor. Perbandingan jumlah ikan kurisi jantan dengan betina yaitu sebesar 1,6:1. Proporsi kelamin ikan kurisi pada setiap pengambilan contoh dijelaskan pada Tabel 4. Tabel 4. Proporsi kelamin ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Pengambilan Contoh 1 2 3 4 5 6
Waktu 24 Februari 2011 10 Maret 2011 24 Maret 2011 7 April 2011 21 April 2011 12 Mei 2011
n 70 166 100 107 85 151
Nisbah Jenis Kelamin (%) Jantan Betina 44 56 68 32 59 41 59 41 64 36 64 36
Tabel 4 menunjukkan bahwa secara keseluruhan proporsi ikan kurisi jantan di Teluk Banten lebih dominan dibandingkan ikan betina. Nisbah kelamin yang diperoleh yaitu sebesar 1,6:1 ini tidaklah mutlak, perbandingan nisbah kelamin ini dapat berbeda menurut waktu dan tempat. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik ikan itu sendiri yang tidak dapat dikendalikan. Effendie (2002) menyatakan bahwa perbandingan atau rasio jenis kelamin yang ada di alam bersifat relatif.
Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pola penyebaran, ketersediaan
makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Perbandingan 1:1 sering menyimpang pada kenyataannya di alam, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, faktor genetik, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).
35
4.4. Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad merupakan tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah.
Berikut adalah grafik Tingkat
Kematangan Gonad (TKG) pada setiap pengamatan ikan kurisi jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8:
Gambar 7. TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011
Gambar 8. TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011
36
Ikan kurisi yang diperoleh selama penelitian dibagi menjadi 4 (empat) tingkat kematangan gonad, (TKG) I, II, III, dan IV. Persentase tingkat kematangan gonad ikan kurisi pada setiap pengambilan waktu berbeda-beda, baik jantan maupun betina.
Dari pengetahuan tentang kematangan gonad akan diperoleh informasi
kapan ikan akan memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah (Effendie 2002). Ikan kurisi yang ditangkap di perairan Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 menunjukkan ikan jantan yang tertangkap lebih dominan memiliki TKG 1 dan TKG 2. Pada ikan kurisi betina didominasi ikan yang memiliki TKG 2 dan TKG 3. Dari informasi tersebut, diduga bahwa ikan kurisi sudah memijah dan dalam masa perkembangan kembali gonadnya. 4.5. Sebaran Frekuensi Panjang
Ikan kurisi yang diamati selama penelitian dari bulan Februari 2011 sampai bulan Mei 2011 berjumlah 679 ekor, yang terdiri dari 417 ikan jantan dan 262 ikan betina. Pada pengambilan contoh pertama 24 Februari 2011, frekuensi ikan kurisi jantan yang banyak tertangkap yaitu pada selang ukuran 121-137 mm sedangkan ikan kurisi betina pada selang 155-171 mm. Pada pengambilan contoh kedua 10 Maret 2011, frekuensi ikan kurisi jantan yang tertinggi berada pada selang ukuran 155-171 mm sedangkan ikan betina pada selang 138-154 mm. Frekuensi ikan kurisi jantan dan betina yang dominan pada 24 Maret 2011 berada pada selang ukuran 138154 mm. Ikan kurisi jantan yang dominan tertangkap pada 7 April 2011 yaitu pada selang 104-120 mm dan 155-171 mm sedangkan kurisi betina pada selang 104-120 mm. Pengambilan contoh 21 April 2011, frekuensi yang dominan tertangkap untuk ikan kurisi jantan pada selang 138-154 mm, sedangkan ikan kurisi betina pada selang 172-188 mm. Pada pengambilan contoh 12 Mei 2011, ikan kurisi jantan yang dominan tertangkap yaitu ukuran 104-120 mm sedangkan ikan kurisi betina pada ukuran 121-137 mm.
Berdasarkan hasil pengelompokkan dalam kelas panjang
didapatkan 11 kelas panjang dengan frekuensi berbeda-beda (Tabel 5).
37
Tabel 5. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu Teluk Banten 24 Februari 2011 J B
10 Maret 2011 J B
24 Maret 2011 J B
J
B
J
B
J
B
70-86
0
0
2
0
1
0
0
0
0
1
0
1
87-103
0
0
1
4
1
0
4
7
6
0
19
1
104-120
3
4
11
0
3
1
11
13
9
0
25
5
121-137
10
10
30
13
6
4
9
5
3
8
4
13
138-154
5
8
21
20
18
23
7
4
17
4
8
10
155-171
7
15
35
12
10
12
11
5
6
4
20
12
172-188
3
2
9
3
6
1
9
2
10
9
7
9
189-205
2
0
3
0
5
0
5
3
3
2
7
3
206-222
1
0
1
0
5
0
4
4
0
0
3
0
223-239
0
0
0
1
4
0
3
1
0
3
2
0
240-256 Jumlah
0 31
0 39
0 113
0 53
0 59
0 41
0 63
0 44
0 54
0 31
2 97
0 54
Selang Kelas
7 April 2011
21 April 2011
12 Mei 2011
Keterangan: J = jantan ; B = betina Jumlah ikan kurisi jantan lebih banyak dibandingkan dengan ikan kurisi betina (Gambar 9). Ikan contoh yang digunakan dalam analisis sebaran ukuran panjang terdiri dari 417 ekor ikan kurisi jantan dan 262 ekor ikan kurisi betina. Secara keseluruhan diketahui bahwa frekuensi tertinggi ikan kurisi jantan pada selang kelas 155-171 mm dan frekuensi tertinggi untuk ikan kurisi betina pada selang 138-154 mm.
Menurut Lagler (1977), perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin
kemungkinan disebabkan faktor genetik.
38
Gambar 9. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan dan betina di PPN Karangantu Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 Perbedaan ukuran panjang total disebabkan beberapa faktor seperti tempat pengambilan contoh ikan, keterwakilan contoh yang diambil, dan kemungkinan tekanan penangkapan yang tinggi. Untuk jenis ikan yang sama ukuran panjang totalnya belum tentu sama di daerah yang berbeda, karena adanya faktor luar yang dapat mempengaruhi hal tersebut. Effendie (2002) menyatakan faktor dalam yang mempengaruhi seperti keturunan, jenis kelamin, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah suhu dan makanan. Hal tersebut yang menyebabkan berbedanya pertumbuhan ikan di setiap tempat dan waktu. Dengan asumsi bahwa ikan contoh sudah mewakili populasi yang ada maka ukuran panjang total maksimum ikan yang semakin mengecil dapat mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang tinggi.
4.6. Kelompok Umur
Analisis kelompok umur dilakukan pada setiap pengambilan contoh. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata panjang pada setiap pengambilan contoh.
39
Gambar 10. Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan periode Februari 2011–Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten
40
Gambar 11. Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina periode Februari 2011–Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten
41
Pada Gambar 10 dan Gambar 11 diketahui bahwa ikan kurisi mengalami pertumbuhan panjang, pergeseran modus ke arah kanan dan perubahan ukuran panjang ikan setiap pengambilan contoh baik jantan maupun betina.
Dalam
penggunaan metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) sangat diperhatikan nilai indeks separasi (Tabel 6 dan Tabel 7). Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi menggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok umur karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok umur tersebut. Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7, dapat dilihat tidak ada indeks separasi yang diperoleh kurang dari dua (<2). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok umur ikan kurisi dapat diterima dan digunakan untuk analisis berikutnya. Ikan kurisi pada umumnya memiliki 1 atau 2 kelompok umur yang cenderung membentuk sebaran normal. Tabel 6. Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Tanggal 24 Februari 2011 10 Maret 2011 24 Maret 2011 7 April 2011 21 April 2011 12 Mei 2011
Nilai Tengah
Simpangan
Jumlah
(mm)
Baku
Populasi
131.29 133.04 148.15 215.49 153.86 165.65 105.71 170.53
12.34 14.58 21.24 20.45 40.88 21.73 11.71 25.91
19.00 68.00 45.00 16.00 68.00 44.00 52.00 52.00
Indeks separasi 3.23 3.45
Tabel 7. Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Tanggal 24 Februari 2011 10 Maret 2011 24 Maret 2011 7 April 2011 21 April 2011 12 Mei 2011
Nilai Tengah (mm) 134.17 145.35 149.89 110.18 170.52 120.50 178.11 148.20
Simpangan Baku 15.93 17.84 10.97 13.55 35.26 20.42 10.86 22.92
Jumlah Populasi 25.00 53.00 41.00 27.00 23.00 13.00 15.00 48.00
Indeks separasi 2.47 3.68 -
42
4.7. Pertumbuhan 4.7.1. Hubungan panjang bobot
Analisis hubungan panjang dan bobot menggunakan data panjang total dan bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan individu ikan kurisi di perairan Teluk Banten. Hubungan panjang bobot ikan kurisi jantan pada setiap pengambilan contoh di Teluk Banten disajikan pada Tabel 8 dan ikan kurisi betina pada Tabel 9. Tabel 8. Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Pengambilan Contoh 1 2 3 4 5 6 Gabungan
Waktu
24 Februari 2011 10 Maret 2011 24 Maret 2011 7 April 2011 21 April 2011 12 Mei 2011
N 31 113 59 63 54 97 417
b
R2
keterangan
2,77 2,77
0,97 0,92 0,98 0,99 0,99 0,99 0,96
Allometrik negatif Allometrik negatif isometrik isometrik isometrik Allometrik negatif Allometrik negatif
3,07 3,05 3,07 2,80 2,88
Tabel 9. Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh Pengambilan Contoh 1 2 3 4 5 6 Gabungan
Waktu
24 Februari 2011 10 Maret 2011 24 Maret 2011 7 April 2011 21 April 2011 12 Mei 2011
N 39 53 41 44 31 54 262
b
R2
keterangan
3.14 2.99 2.89 2.83 2.78 2.54 2,77
0.97 0.98 0.94 0.98 0.93 0.95 0,95
isometrik isometrik isometrik Allometrik negatif isometrik Allometrik negatif Allometrik negatif
Contoh ikan kurisi yang digunakan selama penelitian ini yaitu sebanyak 679 ekor. Pengambilan contoh yang dilakukan selama enam kali menunjukkan bahwa secara umum pertumbuhan ikan kurisi jantan maupun betina bersifat allometrik negatif yaitu laju pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot yang didukung dengan dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95%.
43
Pada ikan kurisi jantan dan betina secara keseluruhan pertumbuhannya bersifat allometrik negatif. Namun, pada pengambilan contoh ke-3, 4 dan 5 untuk ikan kurisi jantan dan pada pengambilan contoh ke-1, 2, 3, dan 5 untuk ikan kurisi betina menunjukkan pola pertumbuhannya isometrik setelah dilakukan uji t yang menyatakan gagal tolak H0. Pola pertumbuhan ikan kurisi di Teluk Banten bersifat allometrik negatif diduga karena faktor genetik, hal ini didukung oleh hasil penelitian lainnya yang juga menyatakan bahwa pola pertumbuhan ikan kurisi bersifat allometrik negatif yang dapat dilihat pada Tabel 10. Adanya perbedaan pola pertumbuhan untuk setiap pengambilan contoh dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu sehingga mempengaruhi kualitas dan jumlah ketersediaan makanannya. Sesuai dengan pernyataan Effendie (2002) yang menyatakan bahwa adanya perbedaan pola pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kualitas dan jumlah ketersediaan makanan, selain itu faktor dalam seperti gen, umur, jenis kelamin, hormon serta penyakit. Tabel 10. Perbandingan pola pertumbuhan ikan kurisi (genus: Nemipterus) Spesies Nemipterus furcosus Nemipterus tambuloides Nemipterus balinensis
Daerah Penangkapan PPN Karangantu Teluk Banten (penelitian ini) PPI Labuan Teluk Banten (Robiyani 2000) TPI Cilincing Teluk Jakarta (Fitriyanti 2011)
Pola Pertumbuhan Allometrik Negatif Allometrik Negatif Allometrik Negatif
Pola pertumbuhan ikan kurisi yang diperoleh dari hasil analisis penelitian ini sama dengan pola pertumbuhan ikan kurisi di perairan Teluk Banten tahun 2000 dan juga di Teluk Jakarta.
Hal ini menunjukkan bahwa ikan kurisi secara umum
memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif.
44
Gambar 12. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011
Dengan menggunakan analisis hubungan panjang bobot (Gambar 12) diketahui persamaan W = 0,00003L2,848 dengan nilai b sebesar 2,848 berdasarkan uji t dilakukan terhadap nilai b dengan α = 0,05 diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan kurisi bersifat allometrik negatif yaitu pola pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan bobot. Pada persamaan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan Log W = 2,848 Log L – 4,588 yang artinya setiap penambahan logaritma panjang sebesar 1 mm akan menurunkan logaritma bobot sebesar 2,848 gram.
Gambar 13. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011
45
Pada ikan kurisi jantan hubungan panjang bobot ikan kurisi di Teluk Banten adalah W = 0,00002 L2,882 dan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan Log W = 2,882 Log L – 4,662 (Gambar 13). Nilai koefisien sebesar 96% menunjukkan bahwa formula ini dapat menjelaskan keadaan sebenarnya di alam sebesar 96%. Nilai b = 2,882 setelah dilakukan uji t (α=0,05) diketahui bahwa ikan kurisi jantan di Teluk Banten bersifat allometrik negatif yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot (Effendie 2002). Hal ini terlihat dari bentuk tubuh ikan yang pipih memanjang.
Gambar 14. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011
Persamaan hubungan panjang bobot ikan kurisi betina adalah W = 0,00004 2,765
L
dan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan Log W =
2,765 Log L - 4,406. Dari persamaan tersebut menunjukkan setiap penambahan logaritma panjang maka akan menurunkan logaritma bobot sebesar 2,765 gram. Nilai koefisien sebesar 95% menunjukkan bahwa menjelaskan keadaan sebenarnya di alam sebesar 95%. Nilai b = 2,765 setelah dilakukan uji t (α=0,05) diketahui bahwa ikan kurisi betina di Teluk Banten menunjukkan allometrik negatif yang menunjukkan pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot disajikan pada Gambar 14.
46
4.7.2. Faktor kondisi
Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokkan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data panjang dan bobot. Rata-rata faktor kondisi ikan kurisi bervariasi untuk setiap pengambilan data. Pada ikan kurisi jantan, faktor kondisi terbesar pada waktu 24 Maret 2011 sebesar 1,1960 dan terendah pada waktu 12 Mei 2011 sebesar 0,8891. Faktor kondisi ikan kurisi betina tertinggi terdapat pada waktu 10 Maret 2011 sebesar 1,2406 dan terendah pada waktu 12 Mei 2011 sebesar 1,0467 (Gambar 15). Secara keseluruhan nilai rata-rata faktor kondisi ikan kurisi betina lebih besar dibandingkan ikan kurisi jantan.
Gambar 15. Faktor kondisi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten berdasarkan waktu pengambilan contoh Faktor kondisi ikan kurisi jantan berkisar antara 0,8891-1,1960 sedangkan faktor kondisi ikan kurisi betina berkisar antara 1,0467-1,2406.
Berdasarkan
Gambar 15 dapat terlihat bahwa faktor kondisi ikan kurisi betina selama penelitian lebih tinggi dibandingkan ikan jantan, hal tersebut diduga terkait dengan tingkat kematangan gonadnya dimana tingkat kematangan gonad ikan kurisi betina selama penelitian ini lebih tinggi dibandingkan ikan jantan. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Effendie (2002) juga menyatakan bahwa faktor kondisi juga akan berbeda tergantung makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad.
4.7.3. Parameter pertumbuhan
Parameter pertumbuhan diduga menggunakan metode plot Ford-Walford. Ford-Walford merupakan metode paling sederhana untuk menduga parameter
47
pertumbuhan dengan interval pengambilan contoh yang sama (King 1995) serta memerlukan data panjang rata-rata ikan setiap kelompok ukuran panjang (Sparre & Venema 1999).
Pertumbuhan ikan kurisi jantan menggunakan persamaan Von
Bartalanffy dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,21 dan panjang asimtotik
sebesar 322,95 mm. Koefisien pertumbuhan (K) untuk ikan kurisi betina sebesar 0,31 dan panjang asimtotik sebesar 319,84 mm (Tabel 11). Tabel 11. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten Parameter pertumbuhan K (tahun) L∞(mm) t₀ (tahun) 0,21 322,95 -2,54 0,31 319,84 -1,70
Contoh ikan Jantan Betina
Persamaan Von Bartalanffy yang terbentuk untuk ikan kurisi jantan adalah dan Lt = 322,95 [1 - e-0,21(t
+ 2,54)
] (Gambar 16) dan persamaan untuk ikan kurisi
betina adalah Lt = 319,84 [1 - e-0,31 (t + 1,70)] (Gambar 17). Metode untuk pendugaan umur ikan di daerah tropis dapat melalui analisis frekuensi panjang.
Umur
bertambah sehingga panjang ikan semakin bertambah. Ikan yang memiliki nilai koefisien pertumbuhan rendah maka umurnya semakin tinggi karena lama untuk mencapai nilai asimtotiknya (Spare dan Venema 1999).
Gambar 16. Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten
48
Gambar 17. Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten
Faktor penyebab kecepatan pertumbuhan ikan adalah kesediaan makanan di perairan. Parameter pertumbuhan sangat penting dalam pendugaan stok karena dapat menentukan panjang asimtotik suatu ikan. Panjang maksimum ikan kurisi yang tertangkap di PPN Karangantu, Teluk Banten adalah 248 mm untuk ikan kurisi jantan dan 230 mm untuk ikan kurisi betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar 322,95 mm untuk ikan kurisi jantan dan 319,84 mm untuk ikan kurisi betina.
Semakin jauhnya ukuran panjang maksimum ikan dari panjang
infinitifnya (asimtotik) dapat menjadi indikasi bahwa ikan tersebut sudah mengalami overfishing akibat tekanan penangkapan yang tinggi. Pada Gambar 16 dan 17 dapat
dilihat bahwa laju pertumbuhan ikan kurisi tidak sama setiap rentang kehidupannya. Ikan yang berumur muda memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan ikan berumur tua. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa tempat memiliki nilai K dan L∞ yang berbeda-beda. Nilai K yang besar maka L∞ akan semakin kecil dan memiliki umur yang relatif pendek karena semakin besar nilai koefisien pertumbuhan (K) maka ikan semakin cepat untuk mencapai panjang infinitifnya sehingga umurnya relatif lebih pendek.
Perbedaan nilai K dan L∞ ikan kurisi
dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan yang berbeda. Faktor keterwakilan data ikan kurisi contoh yang diambil dan waktu pengambilan contoh juga dapat menyebabkan perbedaan tersebut.
49
4.8. Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan kurisi dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang (Gambar 18). Laju mortalitas alami diduga menggunakan rumus empiris Pauly (Sparre & Venema 1999) dengan suhu rata-rata permukaan perairan Teluk Banten 29,50C (Nuraini 2004).
Gambar 18. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi menduga Z) Hasil analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi dapat dilihat dalam Tabel 12. Laju mortalitas total ikan kurisi betina sebesar 1,0436 per tahun dengan laju mortalitas alami 0,3285 per tahun dan laju mortalitas penangkapan sebesar 0,7151 per tahun, sehingga diperoleh laju eksploitasi sebesar 0,6852 atau 68,52% per tahun. Sedangkan laju mortalitas total ikan kurisi jantan sebesar 2,4211 per tahun dengan laju mortalitas alami 0,4295 dan laju mortalitas penangkapan sebesar 1,9916 per tahun, sehingga diperoleh laju eksploitasi sebesar 0,8226 atau 82,26% per tahun.
50
Tabel 12. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten Nilai (per tahun) Parameter Betina Jantan Mortalitas total (Z) 1,0436 2,4211 Mortalitas alami (M) 0,3285 0,4295 Mortalitas penangkapan (F) 0,7151 1,9916 Eksploitasi (E) 0,6852 0,8226 Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Beverton & Holt (1957) menduga bahwa faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami yaitu adanya predasi. Menurunnya laju mortalitas alami disebabkan oleh berkurangnya jumlah ikan yang tumbuh hingga usia tua dan mengalami kematian secara alami akibat telah tertangkap lebih dahulu oleh aktifitas penangkapan yang tinggi. Laju mortalitas penangkapan ini lebih besar dibandingkan laju mortalitas alaminya. Hal ini menunjukkan faktor kematian ikan kurisi lebih dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan. Hal ini dapat dilihat dari data TKG ikan yang tertangkap yaitu dominan TKG 2 dan TKG 3. Berdasarkan hasil analisis laju eksploitasi ikan kurisi betina 68,52% dan ikan kurisi jantan 82,26%. Laju eksploitasi di Teluk Banten cukup tinggi disebabkan permintaan terhadap ikan kurisi yang tinggi pula, sehingga terjadi penangkapan ikan secara terus menerus, serta penggunaan alat tangkap jaring dogol yang sangat tidak selektif. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh laju eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi, makin tinggi mortalitas penangkapan. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukkan dugaan terjadi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Sparre dan Venema 1999) karena ikan muda tidak diberikan kesempatan untuk tumbuh sehingga dibutuhkan pengurangan dalam penangkapan ikan.
Menurut
Gulland (1971) in Pauly (1984) laju eksploitasi optimum adalah sebesar 0,5 atau 50%, sedangkan laju eksploitasi ikan kurisi betina dan jantan di Teluk Banten masing-masing mencapai 68,52% dan 82,26%, maka laju eksploitasi ikan kurisi telah melewati batas optimum yang disebabkan adanya tekanan penangkapan terhadap ikan kurisi di Teluk Banten.
51
4.9.
Model Produksi Surplus
Analisis CPUE (catch per unit of effort) menunjukkan hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (E) yang dilakukan pada waktu tertentu. Berikut merupakan grafik hasil tangkapan ikan kurisi per unit upaya.
Gambar 19. Grafik hasil tangkapan ikan kurisi per satuan upaya Tabel 13. Data hasil tangkapan dan upaya dari perikanan kurisi dengan alat tangkap jaring dogol di perairan Teluk Banten Tahun Hasil tangkapan (ton) Upaya penangkapan (trip) CPUE 2000 125,05 2001 141,50 2002 92,35 2003 16,02 2004 24,19 2005 116,09 2006 108,60 2007 161,11 2008 114,72 2009 83,41 2010 141,47 Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2011)
1182 1233 1852 2683 2358 2161 666 1050 1902 2463 3280
0,1058 0,1148 0,0499 0,0060 0,0103 0,0537 0,1631 0,1534 0,0603 0,0339 0,0431
Berdasarkan Gambar 19 dan Tabel 13, nilai CPUE terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,1631 ton per trip dan CPUE terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 0,0060 ton per trip. Semakin meningkatnya upaya penangkapan yang tidak diimbangi dengan semakin tingginya hasil produksi atau berfluktuasinya hasil
52
produksi dapat menjadi indikasi bahwa sudah terjadinya gejala tangkap lebih, dapat dilihat pula bahwa nilai CPUE pada 5 tahun terakhir cenderung menurun. Model yang digunakan untuk menganalisis model produksi surplus ini adalah model Schaefer, ditulis dengan persamaan : y = -0,00006x + 0,19 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 77,6%.
Gambar 20. Trend hasil tangkapan per unit upaya dengan model Schaefer
Hasil analisis model produksi surplus dengan menggunakan model Schaefer didapakan nilai a sebesar 0,185 dan b sebesar -0,00006 sehingga diperoleh nilai fMSY atau upaya tangkapan optimum sebesar 1541,67 trip/tahun dan MSY atau hasil tangkapan optimum sebanyak 142,60 ton/tahun, sedangkan untuk nilai TAC atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebanyak 114,08 ton/tahun.
Data hasil
tangkapan ikan kurisi di PPN Karangantu pada tahun 2010 menunjukkan hasil tangkapan sebanyak 141,47 ton. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2010 terjadi tangkap lebih, selain itu juga upaya tangkapan pada tahun 2010 sebanyak 3280 trip/tahun jauh melebihi upaya tangkapan optimumnya sebesar 1541,67 trip/tahun. Grafik di atas (Gambar 20) juga memperlihatkan nilai CPUE semakin menurun seiring peningkatan effort (upaya) yang menunjukkan bahwa sudah terjadinya gejala tangkap lebih terhadap ikan kurisi di Teluk Banten.
53
4.10. Ketidakpastian Hasil Tangkapan
Berdasarkan data sekunder periode 2006-2010, produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu Teluk Banten mengalami fluktuasi (Gambar 21). Hal ini sangat dipengaruhi oleh upaya penangkapan nelayan di PPN Karangantu. Penangkapan ikan kurisi tidak hanya dipengaruhi dari faktor manusia tetapi juga dipengaruhi faktor alam seperti kondisi cuaca, musim, dan arus.
Gambar 21. Grafik produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten periode 2006-2010 Pendugaan analisis ketidakpastian dengan analisis Monte-Carlo terhadap produksi ikan kurisi dapat dilihat dari standar deviasi yang diperoleh dari pengelolaan yang berkala (times series data). Simulasi ini diharapkan dapat terlihat peramalan (forecasting) yang terjadi mengenai pergerakan hasil tangkapan ikan kurisi. Pendugaan tersebut merupakan resiko secara kuantitatif terhadap hal-hal yang dapat terjadi namun tidak diinginkan.
Hasil analisis Monte-Carlo pada
produksi ikan kurisi (Gambar 22) memperlihatkan grafik yang menyerupai kurva sebaran normal.
Penyebaran ini menyatakan adanya ketidakpastian dalam
penangkapan ikan kurisi. penangkapannya
sangat
Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa puncak berfluktuasi
dan
tidak
menentu,
hal
tersebut
menggambarkan bahwa penangkapan ikan kuisi di Teluk Banten mengandung ketidakpastian.
54
Cry stal Ball Student Edition Not f or Commercial Use
Forecast: Produksi
1,000 Trials
Frequency Chart
6 Outliers
.028
28
.021
21
.014
14
.007
7
.000
0 -6328.51
1484.83
9298.17
17111.51
24924.85
Gambar 22. Diagram frekuensi produksi ikan kurisi periode 2000-2010 yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten Ketidakpastian dalam penangkapan dapat terlihat dari hasil perhitungan secara statistik yang didasarkan kepada nilai rata-rata dan galat baku (Tabel 14). Perhitungan statistik dengan 1000 percobaan simulasi diperoleh galat baku sebesar 182,12.
Rata-rata produksi per tahun diperoleh sebanyak 8500,44 kg dengan
fluktuasi produksi ikan kurisi per tahun sebesar 5759,27 kg. Galat baku yang didapatkan lebih kecil dibandingkan nilai rata-ratanya namun memiliki nilai cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa peluang ketidakpastian tangkapan terhadap nilai kurisi pada PPN Karangantu cukup terjadi kemungkinannnya. Keruncingan sebesar 2,81 dan nilai kurtosis yang tinggi menunjukkan grafik sebaran normal semakin landai berarti volume produksi yang dihasilkan semakin bervariasi.
Nilai
kemiringan sebesar 0,08 hampir mendekati nol menggambarkan gafik tersebut grafik sebaran normal. Nilai kurtosis menggambarkan keruncingan atau kerataan suatu distribusi data dibandingkan dengan distribusi normal. Pada distribusi normal, nilai kurtosis sama dengan nol. Berdasarkan hasil analisis didapatkan angka 2,81 artinya bahwa grafik sebaran normal di atas menunjukkan distribusi yang relatif merata.
55
Tabel 14. Nilai statistik produksi ikan kurisi periode 2000-2010 di PPN Karangantu, Teluk Banten Statistik deskriptif Percobaan Rata-rata Nilai tengah Mode Simpangan baku Ragam Kemiringan Kurtosis Koefisien keragaman Rata-rata standar kesalahan
1000 8500,44 8471,47 --5759,27 33169247,69 0,08 2,81 0,68 182,12
Apabila grafik membentuk sebaran normal, maka dapat dikatakan bahwa terjadi ketidakpastian terhadap produksi ikan kurisi. Hasil yang menyatakan sebaran normal pada produksi ikan kurisi menunjukan fluktuasi produksi ikan tersebut. Semakin kecil nilai standar deviasi terhadap rata-rata maka tingkat keseragaman data (nilai) semakin tinggi. Nilai deviasi produksi tinggi maka dapat dikatakan keadaan produksi ikan kurisi memiliki faktor ketidakpastian yang tinggi. Ketika kegiatan penangkapan terganggu maka produksi dalam penangkapan ikan juga terganggu. Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada. Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut (Surya 2004). Hasil tangkapan yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya musim penangkapan, cuaca, daerah penangkapan, berubah dari alat tangkap yang digunakan dan jumlah armada penangkap ikan, perilaku nelayan serta teknologi atau sarana lain yang mendukung keberhasilan kegiatan penangkapan. Faktor tersebut membuat volume produksi sumberdaya perikanan yang ditangkap dapat berubah dari waktu ke waktu dan tidak dapat diramalkan.
Banyaknya
ketidakpastian dalam kegiatan perikanan dapat menimbulkan resiko bagi kelangsungan kegiatan perikanan.
56
4.11. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi di Teluk Banten
Berdasarkan hasil penelitian penangkapan terhadap ikan kurisi sudah mengalami over exploited atau tangkap lebih.
Beberapa indikasi tersebut
diantaranya ukuran ikan maksimum yang tertangkap di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu adalah 248 mm untuk ikan kurisi jantan dan 230 mm untuk ikan kurisi betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar 322,95 mm untuk ikan kurisi jantan dan 319,84 mm untuk ikan kurisi betina. Semakin mengecilnya ukuran ikan kurisi disebabkan karena adanya tekanan akibat penangkapan sehingga memaksa ikan-ikan muda untuk matang gonad lebih cepat, sementara ikan kurisi tidak diberi kesempatan untuk bereproduksi karena ikan kurisi yang dominan tertangkap di Teluk Banten memiliki TKG 2 dan TKG 3. Semakin mengecilnya ukuran tubuh ikan kurisi dan banyaknya ikan kurisi yang memiliki TKG 2 dan TKG 3 yang tertangkap disebabkan karena laju mortalitas dan eksploitasi terhadap ikan kurisi yang sudah melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Laju eksploitasi ikan kurisi jantan sebesar 68,52% dan ikan kurisi betina sebesar 82,26% telah menunjukkan laju eksploitasi ikan kurisi melebihi nilai eksploitasi optimum (0,5). Dibuktikan dengan upaya penangkapan dan hasil tangkapan aktual pada tahun 2010 yang mencapai 3280 trip/tahun dan 141,47 ton sedangkan upaya penangkapan optimum dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan masing-masing adalah 1541,67 trip/tahun dan 114,08 ton/tahun. Hal ini menyebabkan ikan kurisi diperairan Teluk Banten tergolong growth overfishing sehingga perlu suatu pengelolaan yang berkelanjutan bagi sumberdaya ikan kurisi. Menurut FAO (1997) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sekunder dan penyampaian tujuan perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan karena semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Pengelolaan ikan kurisi di Teluk Banten dapat berupa pengaturan upaya penangkapan yang mengacu pada jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan upaya penangkapan optimumnya, selain itu juga penangkapan hanya boleh dilakukan menggunakan alat tangkap yang selektif.
57
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1.
Ikan kurisi di perairan Teluk Banten sudah mengalami overfishing yang ditandai dengan jauhnya perbedaan antara ukuran panjang maksimal ikan yang tertangkap dengan panjang infinitifnya (asimtotik). Panjang maksimum ikan kurisi yang tertangkap di PPN Karangantu, Teluk Banten adalah 248 mm untuk ikan kurisi jantan dan 230 mm untuk ikan kurisi betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar 322,95 mm untuk ikan kurisi jantan dan 319,84 mm untuk ikan kurisi betina.
2.
Pola pertumbuhan ikan kurisi di perairan Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu bersifat allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot.
3.
Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi di Teluk Banten yaitu sebesar 68,52% untuk ikan kurisi betina dan 82,26% untuk ikan kurisi jantan. Berdasarkan hasil analisis tersebut ikan kurisi di Teluk Banten mengalami growth overfishing karena laju eksploitasinya melebihi laju eksploitasi optimum
sebesar 0,5. 4.
Hasil analisis model produksi surplus dengan menggunakan model Schaefer didapakan nilai fMSY sebesar 1541,67 trip/tahun dan MSY sebanyak 142,60 ton/tahun, sedangkan untuk nilai TAC atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebanyak 114,08 ton/tahun.
5.
Perhitungan statistik ketidakpastian dengan 1000 percobaan simulasi diperoleh rata-rata produksi per tahun diperoleh sebanyak 8500,44 kg dengan fluktuasi produksi ikan kurisi per tahun sebesar 5759,27 kg. Nilai fluktuasi yang relatif besar dibandingkan dengan rata-rata produksinya menunjukkan bahwa ketidakpastian hasil tangkapan ikan kurisi di PPN Karangantu cukup tinggi ketidakpastiannya.
6.
Pengelolaan ikan kurisi di Teluk Banten dapat berupa pengaturan upaya penangkapan yang mengacu pada jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan
58
upaya penangkapan optimumnya, selain itu juga penangkapan hanya boleh dilakukan menggunakan alat tangkap yang selektif.
5.2. Saran
Untuk penelitian sumberdaya ikan kurisi perlu dilakukan lebih lanjut pada waktu yang berbeda agar dapat mewakili setiap musimnya untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas kapan ikan akan memijah, mulai memijah, atau sudah memijah serta mengetahui pola spawning agar dapat dilakukan pengelolaan yang tepat sasaran. Selain itu juga disarankan agar upaya penangkapan ikan kurisi di Teluk Banten mengacu pada upaya tangkapan optimumnya serta penggunaan alat tangkap yang memiliki ukuran mata jaring lebih besar dan selektif.
59
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, et al. 2007. Aspek biologi ikan butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 14(1) : 13-22. Afdal & Sumijo HR. 2007. Kualitas perairan Teluk Banten pada musim timur ditinjau dari konsentrasi klorofil-a dan indeks autotrofik. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2007) 33 : 339-354. Beverton RJH & Holt SJ. 1957. On the dynamics of exploited fish population. Her Majesty’s Statinery Office. London, USA. 533 p. Boer M. 1996. Pendugaan koefisien pertumbuhan (L∞, K, dan t0) berdasarkan data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 14 (1) : 75-84. Boer M & Aziz KA. 2007. Gejala tangkap lebih perikanan pelagis kecil di Perairan Selat Sunda. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 14 (2) : 167172. Burhanuddin, Sularto, Martosewojo, Djamali A, dan R Moeljanto. 1984. Perikanan demersal di Indonesia. Lembaga Oseanografi Nasional. Jakarta. 123 hal. Charles A. 2001. Sustainable Fisheries System. United Kingdom. Blackwell Science. 203-2004 p. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 2010. Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Cetakan pertama Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hlm Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization. 1997. Code of conduct for responsible fisheries. FAO Rome. Italy. 41 p Fischer W & PJP Whitehead. 1974. FAO species identification sheets for fisheries purpose. Eastern Indian Ocean (fishing Area 57) and Western Central Pacific (fishing Area 71). Rome. Vol III. P 11. 508 hal.
60
Fitriyanti. 2011. Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan terisi (Nemipterus balinensis Bleeker, 1859) di perairan Teluk Jakarta. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Handayani T. 2006. Aspek biologi ikan lais di danau Lais. Journal of Tropical Fisheries 1(1) : 12-23. Ismail, MI. 2006. Beberapa aspek biologi reproduksi ikan tembang di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 46 hlm. King M. 1995. Fisheries biology, assessment, and management. Fishing News Books. London, USA. 341 P. Lagler KF, JE Bardach, RR Miller, & Dora M Passino. 1977. Ichthyology. John Willey and Sons, Inc. New York. 505 p. Monintja & Martasuganda S. 1991. Teknologi pemanfaatan sumberdaya laut II. Diktat kuliah. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut pertanian Bogor. Bogor. 46 hlm. Nuraini S. 2004. Potret perikanan di Teluk Banten tahun 1997-1999 disertai paparan peranan ikan kerapu lumpur sebagai bioindikator kestabilan perairan Teluk Banten. Balai Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. 35 hlm Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculator. ICLARM. Manila. Filipina. 325p. Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan. 2005. Ikan kurisi. [terhubung berkala] http://www.pipp.dkp.go.id/pipp2/species.html?idkat=10&idsp=70. [18 Juni 2010] Robiyani. 2000. Kebiasaan makanan, pertumbuhan, dan faktor kondisi ikan kurisi (Nemipterus tambuloides Blkr.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Russell BC. 1990. FAO species catalogue., Nemipterid fishes of the world. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. FIR/S : 125 (2). 149 p. Sinaga P. 2010. Dinamika stok dan analisis bio-ekonomi ikan kembung lelaki (Rastreliger kanagurta) di TPI Blanakan, Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
61
Siregar EB. 1997. Pendugaan stok ikan dan parameter biologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Lampung. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hlm. Sparre P & Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku i-manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan BangsaBangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Suprapto, Amrul, Sjahril, Pasaribu, Taopik. 2008. Laporan tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu tahun 2008. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorak Jenderal Perikanan Tangkap Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu : Serang. 69 hlm. Surya. 2004. Analisis resiko. [terhubung berkala]. www.cert.or.id/~budi/courses/ ec7010/2004-2005/surya-proposal.doc. [17 Desember 2011] Syakila S. 2009. Studi dinamika stok ikan tembang (sardinella fimbriata) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 hlm. Tampubolon AP 2008. Biologi reproduksi ikan motan (Thynnichthys thynnoides) perairan rawa banjiran sungai kampar kiri, riau [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hlm. Tarigan I. 1995. Pendugaan potensi lestari maksimum ikan kurisi (Nemipterus furcosus) dengan menggunakan metode “Swept Area” di perairan Timur Kalimantan Timur. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hlm. Tiwi DA. 2004. Gambaran ekosistem kawasan Teluk Banten tahun 1998-1999. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. 19 hlm. Wardani, Wulan Agung. 2010. Analisis ketidakpastian hasil tangkapan ikan layur (Lepturacanthus savalai) di TPI Cilauteureun, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole RE. 1993. Pengantar statistika. Edisi ketiga. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 516 hlm. Widodo J & Suadi. 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm.
62
Wiyono ES. 2005. Stok sumberdaya ikan dan keberlanjutan kegiatan perikanan. Inovasi Online, Volume 4: XVII/Agustus 2005. [terhubung berkala]. http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=82. [12 Maret 2011] Nemipterus furcosus. [terhubung berkala]. www.fishbase.org. http://www.fishbase.org/Summary/SpeciesSummary.php?ID=5843&genusna me=Nemipterus&speciesname=furcosus [12 Maret 2011]
www.kabarpagimu.blogspot.com. Jaring dogol. [terhubung berkala]. http://kabarpagimu.blogspot.com/2011/04/mengenal-jenis-jenis-penangkapikan.html [12 Maret 2011] Nemipterus furcosus. [terhubung berkala]. www.zipcodezoo.com. http://zipcodezoo.com/Animals/N/Nemipterus_furcosus/ [12 Maret 2011]
Yustina A. 2002. Aspek reproduksi ikan kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) di sungai Rangau, Riau, Sumatera. Jurnal Matematika dan Sains 7(1) : 5-14
63
LAMPIRAN
64
Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di PPN Karangntu, Teluk Banten
Ikan kurisi (Nemipterus furcosus)
Timbangan digital
Kamera Digital
Meteran jahit dan penggaris 30 cm
Alat bedah
65
Lampiran 2. Panjang total dan bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh 1. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 24 Februari 2011
P 124 155 119 170 199 142 166 126 163 144 131 124 130 173 132 145 131 184 215 180 147 115 144 165 125 165 166 127 105 134 195
Jantan B 21,1 43,7 22,1 61,9 88,8 39,5 54,3 24,7 52,0 35,4 27,3 22,9 26,4 62,8 28,8 37,2 26,9 78,6 113,9 68,5 38,8 18,6 39,0 58,5 23,3 59,7 56,9 26,5 16,3 32,5 58,9
TKG 1 2 1 3 2 2 2 1 1 2 2 3 4 3 4 2 3 2 3 4 2 1 4 3 1 2 3 1 1 2 3
P 148 170 112 129 172 160 150 158 152 157 136 159 130 171 168 170 115 136 164 158 175 142 168 135 121 129 127 167 119 149 118
B 33,6 53,3 14,9 23,2 61,8 50,1 38,4 48,0 42,4 45,7 33,5 49,0 30,4 67,3 55,4 64,5 16,9 29,5 57,6 50,6 72,8 34,1 62,8 29,3 21,1 26,4 23,4 50,4 21,7 41,6 20,3
Betina TKG P 2 162 1 150 1 130 2 134 4 156 1 168 3 152 1 153 3 2 3 4 4 4 2 4 2 3 4 3 2 3 4 2 2 2 2 3 2 2 2
B 57,8 44,3 28,7 33,3 49,3 61,8 45,1 42,6
P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad (belum dianalisis)
TKG 4 4 1 2 4 2 2 2
66
Lampiran 2. (lanjutan) 2. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 10 Maret 2011 P
B
TKG
P
148
33,2
2
155
179
58,0
2
167
50,5
2
186
82,0
151
46,3
135 167
Jantan B
Betina TKG P
TKG
P
B
TKG
P
B
B
TKG
39,3
2
145
37,7
1
176
61,6
3
158
45,0
4
105
13,2
3
140
37,9
1
145
38,5
2
154
43,8
2
125
25,3
1
130
28,2
2
162
51,1
4
136
30,6
2
2
130
22,5
1
115
22,5
3
145
37,0
2
134
26,2
1
3
154
21,9
1
171
67,2
3
158
46,9
3
158
46,9
4
33,6
1
113
16,7
1
169
61,9
1
183
81,1
4
137
29,1
2
74,3
2
130
23,4
1
160
60,9
1
137
31,2
1
160
51,7
3
154
52,8
2
155
46,5
2
152
40,7
2
156
42,7
3
99
11,2
1
185
79,7
2
160
43,6
1
140
29,7
1
149
40,1
2
140
31,0
2
122
29,2
1
145
34,6
1
75
6,1
4
148
38,7
2
122
21,2
1
181
75,2
2
155
40,4
2
124
23,2
1
154
41,5
3
151
43,7
3
190
75,2
4
87
10,8
1
145
28,5
1
145
36,0
2
158
48,9
3
178
64,2
2
125
31,9
1
121
20,1
2
157
45,4
3
131
23,9
1
125
29,7
1
155
38,4
2
140
36,1
2
103
15,1
4
132
27,4
1
163
60,5
4
160
45,4
2
125
23,1
2
148
37,4
1
137
32,1
2
170
54,6
3
156
39,7
2
165
49,3
1
101
13,4
1
156
46,0
1
119
16,0
1
123
21,1
2
135
28,5
2
160
54,5
2
174
59,7
3
174
56,7
1
164
52,2
4
155
57,4
3
122
20,7
1
135
31,4
1
145
32,7
4
137
32,3
1
169
55,1
2
140
30,3
3
134
28,0
1
144
40,9
2
163
61,3
2
180
67,4
1
148
41,1
4
120
28,5
1
157
45,9
2
80
7,4
2
173
64,5
3
118
27,2
2
125
30,0
1
125
23,9
1
163
48,3
4
150
39,5
1
130
27,6
1
126
24,9
1
137
33,0
2
156
41,2
1
130
24,6
1
110
15,3
2
141
39,5
3
160
48,2
2
165
48,1
1
158
49,1
1
143
34,6
3
170
53,2
3
155
45,7
2
145
40,3
2
161
49,3
4
140
35,3
1
120
25,6
1
150
38,3
2
148
33,4
3
153
42,4
2
215
123,5
3
130
20,7
1
158
47,2
4
132
27,1
1
125
27,0
1
120
16,9
1
152
39,2
3
121
23,9
2
146
38,1
2
120
22,2
2
100
10,9
1
146
36,8
1
160
53,4
2
160
36,4
1
141
33,0
2
135
34,0
2
158
43,0
1
115
13,9
1
226
131,6
4
135
31,4
1
170
58,5
1
165
50,4
1
127
23,7
2
158
57,4
2
181
67,3
4
155
39,0
2
130
23,7
2
122
24,0
2
130
26,1
1
200
88,1
3
151
44,1
4
130
25,3
2
152
45,1
2
190
87,5
4
157
40,7
2
131
31,3
1
147
39,1
3
151
40,2
3
P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad
67
Lampiran 2. (lanjutan) 3. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 24 Maret 2011 P 150 132 189 140 145 220 120 220 222 175 150 231 145 160 155 225 185 185 150 130 125 150 150 220 160 150 135 180 125 150
B 38,2 27,5 85,2 34,5 42,5 128,5 18,4 118,2 121,0 61,8 45,3 139,6 34,3 43,5 38,7 133,4 64,7 78,5 34,5 24,0 25,5 40,2 35,7 111,8 52,1 42,6 28,4 68,5 24,1 44,0
Jantan TKG P 2 215 2 150 2 205 2 115 1 160 3 160 2 140 2 150 2 145 1 175 2 100 2 235 1 230 1 195 3 205 4 205 2 145 1 170 2 180 3 170 1 145 2 115 4 155 1 155 1 155 2 150 3 125 1 140 2 80 2
B TKG 109,6 2 44,3 2 118,5 1 17,5 2 56,0 2 49,8 1 33,1 3 38,2 2 34,7 1 69,9 1 10,7 1 169,0 3 160,0 3 88,3 2 111,3 2 112,5 2 40,2 1 55,3 2 75,9 3 60,1 1 36,2 2 11,3 1 43,8 1 42,4 1 43,5 1 51,3 1 23,6 1 35,3 1 6,4 1
P 147 168 153 149 145 168 156 157 178 146 157 146 154 143 157 110 144 168 143 167 166 141 156 170 142 145 151 144 154 148
B 34,3 46,8 37,2 33,5 30,5 46,5 39,2 42,6 68,7 31,7 38,6 32,1 44,6 32,6 37,8 14,8 33,5 57,0 31,9 50,6 50,6 29,9 39,3 51,6 35,1 32,6 38,1 30,5 40,9 36,4
Betina TKG P 2 151 2 160 2 136 2 143 2 151 3 144 3 135 4 136 3 132 1 152 2 152 2 2 1 2 1 2 3 3 2 3 2 3 3 3 2 2 2 2 2
P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad
B 36,7 42,0 26,0 30,9 36,6 33,4 27,5 28,6 28,5 40,1 40,9
TKG 2 2 1 2 3 2 1 2 2 3 2
68
Lampiran 2. (lanjutan) 4. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 7 April 2011 P
B
154 165 190 212 159 103 181 164 157 129 133 118 182 226 210 216 107 184 175 217 170 149 114 107 172 120 198 141 173 179 200 151 117
40,4 50,1 87,1 119,8 47,5 12,9 71,9 51,2 43,0 24,6 27,5 20,3 65,2 145,6 108,2 117,9 13,5 71,5 58,7 126,0 64,2 37,5 17,2 15,6 57,8 20,3 88,2 35,3 65,8 70,0 89,4 42,7 20,0
Jantan TKG P 2 1 2 3 1 1 1 1 1 1 2 1 1 3 2 2 1 2 2 2 2 1 1 1 1 1 2 2 3 3 2 1 1
199 145 184 191 164 99 146 132 158 165 123 225 223 150 164 125 97 164 172 171 126 102 130 133 113 115 120 112 129 119
B
TKG
P
B
101,4 34,2 72,0 89,4 47,2 11,5 38,7 27,0 44,3 51,9 20,4 142,1 127,3 39,4 48,0 22,0 11,4 52,2 53,4 61,9 23,9 10,8 24,2 26,7 17,7 16,5 18,9 15,1 25,3 19,4
3 2 1 2 1 1 2 2 2 3 2 3 2 2 2 3 1 1 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1
224 113 102 116 174 125 193 184 190 137 142 122 145 166 129 106 212 190 213 217 206 142 159 150 156 132 161 164 112 114 115 109 116
141,7 19,9 16,3 23,7 76,6 26,9 89,7 92,7 84,1 37,7 39,9 26,9 36,4 68,7 25,5 15,2 135,3 78,9 116,4 143,9 118,8 47,5 52,8 49,6 39,1 34,2 43,6 64,9 19,7 20,0 21,1 17,7 22,3
Betina TKG P 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 3 4 4 4 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1
117 95 115 103 97 119 101 97 112 98 112
P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad
B
TKG
23,7 12,6 21,7 17,2 13,3 25,4 16,2 13,7 19,6 13,5 19,6
2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1
69
Lampiran 2. (lanjutan) 5. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 21 April 2011 P
B
185 188 194 156 106 112 174 136 142 155 185 142 148 116 179 191 170 155 192 142 132 173 181 183 143 150 141 146 176 142 160 149 150
70,2 74,9 83,5 43,8 12,2 14,7 57,2 27,4 30,0 41,9 67,3 30,1 37,6 17,6 63,4 75,5 54,3 40,3 74,8 31,6 23,9 56,0 60,9 57,6 29,3 36,1 30,3 34,2 59,3 30,9 44,6 32,9 36,1
Jantan TKG P 2 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 3 3 2 2 2 1 1 1 2 2 1 2 2 1 2 2 2 1 2
139 142 145 99 92 104 175 101 103 112 135 104 113 102 96 110 106 140 150 164 148
B
TKG
P
Betina B
29,3 31,1 34,7 10,5 7,8 10,7 53,9 10,5 11,8 14,9 26,4 11,4 15,3 10,7 9,5 14,2 12,0 32,6 35,4 44,5 36,5
1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2
153 227 130 225 135 140 133 230 200 190 180 125 70 175 150 165 175 175 125 130 155 175 130 175 180 180 180 155 155 140 130
38,8 136,9 25,8 131,7 32,5 27,1 26,2 143,9 84,5 76,2 67,4 23,8 4,8 65,2 37,6 54,1 63,7 59,7 23,0 26,3 49,3 62,8 28,8 61,5 67,5 60,1 75,8 45,0 50,2 32,1 25,5
P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad
TKG 3 4 2 4 2 2 2 3 3 4 1 1 2 4 3 3 2 3 2 2 2 4 1 3 4 2 4 4 3 2 1
70
Lampiran 2. (lanjutan) 6. Pengambilan contoh ikan kurisi pada 12 Mei 2011 P
B
TKG
P
Jantan B
TKG
P
B
TKG
P
B
Betina TKG P
248
221,3
2
202
110,4
2
118
23,9
2
149
31,4
147
35,4
1
211
119,2
3
116
22,1
2
182
63,3
2
172
51,1
2
155
44,3
1
159
45,1
1
92
11,4
1
133
26,2
2
151
39,5
4
215
131,9
2
155
45,7
1
106
17,9
1
134
31,5
1
156
51,9
2
139
28,7
1
158
44,4
1
110
18,7
1
160
51,6
1
160
43,3
3
224
151,5
1
150
41,3
1
98
13,8
1
165
65,5
3
105
16,4
2
162
48,3
1
157
43,1
1
96
12,8
1
133
30,2
1
161
43,3
1
181
70,4
2
164
49,4
1
91
11,3
1
131
34,7
1
135
32,0
2
223
149,7
1
162
46,7
2
119
24,4
2
175
70,5
3
115
22,9
1
210
113,5
1
164
49,8
1
107
18,0
1
172
59,2
2
150
37,9
2
190
93,6
1
159
58,9
1
113
19,8
2
172
54,3
2
75
6,8
2
133
26,0
1
153
38,2
2
113
19,7
1
111
19,9
2
183
68,3
4
167
54,0
1
160
48,9
1
114
20,2
1
120
23,6
2
130
26,6
2
242
197,6
2
130
31,8
1
105
17,5
1
140
38,8
4
175
59,2
3
164
45,1
1
163
54,1
2
93
11,9
1
154
41,3
2
195
84,4
3
120
24,9
1
157
48,9
1
91
11,3
1
122
25,8
2
204
88,2
3
130
29,7
1
92
11,7
1
110
18,8
1
135
34,5
2
191
97,5
1
99
13,4
1
94
12,1
1
123
24,6
2
157
57,9
1
117
23,6
2
90
11,0
1
145
39,3
2
173
60,2
1
95
12,9
1
93
11,8
1
165
53,5
3
141
31,4
1
112
19,5
2
95
12,6
1
160
55,8
3
154
36,4
1
102
16,6
1
134
34,9
2
173
66,7
1
108
18,0
1
188
80,5
3
160
46,5
1
118
23,9
1
155
51,1
3
124
27,7
1
114
19,8
1
134
32,3
2
162
62,8
1
115
21,5
1
159
52,9
3
184
81,3
2
109
18,5
1
180
63,5
4
202
108,9
2
95
12,4
1
118
27,8
3
194
92,2
2
95
12,8
1
143
30,3
2
188
84,4
1
91
11,1
1
158
54,0
3
168
61,9
1
114
20,4
1
144
32,5
3
198
113,8
2
111
19,1
1
140
38,2
3
204
119,4
1
102
16,6
1
134
27,0
2
175
65,0
2
99
13,6
1
152
37,3
3
163
53,1
1
110
18,7
1
157
42,5
2
151
50,5
2
110
18,9
1
133
35,2
2
152
51,4
1
110
18,5
2
100
15,5
4
179
80,4
2
118
24,5
2
205
117,9
2
2
170
P adalah panjang (mm), B adalah bobot (gram), dan TKG adalah tingkat kematangan gonad
B
TKG
49,7
3
71
Lampiran 3. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Februari 2011 Jantan
H0
:b=3
H1
:b<3 2
R
Statistik regresi 0.9684
Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
Intersept Slope
db 1 29 30
Jumlah Kuadrat (JK) 1.3532 0.0441 1.3973
-4.4119 2.7683
Simpangan baku 0.2014 0.0928
Kuadrat Tengah (KT) 1.3532 0.0015
F hitung 889.29
P-value 1,38E-19 2,6E-23
tab
= (0.05,29) = 2.0452 thit > ttab maka tolak hipotesis nol (H0), maka b < 3 maka
hubungan bersifat allometrik negatif.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 24 Februari 2011 (jantan)
72
Lampiran 3. (lanjutan) Betina
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R 0.9663 2
Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 37 38
Jumlah Kuadrat (JK) 1.1673 0.0407 1.2080
Perpotongan -5.2145 Kemiringan 3.1401
Simpangan baku 0.2089 0.0964
Kuadrat Tengah (KT) 1.1673 0.0011
F hitung 1060.71
P-value 9,57E-25 7,67E-29
tab
= (0.05,37) = 2.0262 thit < ttab maka gagal tolak hipotesis nol (H0), maka b = 3
maka hubungan bersifat isometrik.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 24 Februari 2011 (betina)
73
Lampiran 4. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 10 Maret 2011 Jantan
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9163 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 111 112
Jumlah Kuadrat (JK) 4.9349 0.4506 5.3855
Perpotongan -4.4283 Kemiringan 2.7737
Simpangan baku 0.1717 0.0796
Kuadrat Tengah (KT) 4.9349 0.0041
F hitung 1215.73
P-value 1,11E-48 1,25E-61
tab
= (0.05,111) = 1.9816 thit > ttab maka tolak hipotesis nol (H0), maka b < 3 maka
hubungan bersifat allometrik negatif.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 10 Maret 2011 (jantan)
74
Lampiran 4. (lanjutan) Betina
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9795 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 51 52
Jumlah Kuadrat (JK) 1.8421 0.0386 1.8807
Perpotongan -4.8983 Kemiringan 2.9873
Kuadrat Tengah (KT) 1.8421 0.0008
Simpangan baku 0.1308 0.0605
F hitung 2435.47
P-value 9,17E-39 1,01E-44
tab
= (0.05,51) = 2.0076 thit < ttab maka gagal tolak hipotesis nol (H0), maka b = 3
maka hubungan bersifat isometrik.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 10 Maret 2011 (betina)
75
Lampiran 5. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Maret 2011 Jantan
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9764 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 57 58
Jumlah Kuadrat (JK) 4.9913 0.1207 5.1119
Perpotongan -5.0699 Kemiringan 3.0659
Kuadrat Tengah (KT) 4.9913 0.0021
Simpangan baku 0.1392 0.0631
F hitung 2357.86
P-value 3,65E-41 4,54E-48
tab
= (0.05,57) = 2.0025 thit < ttab maka gagal tolak hipotesis nol (H0), maka b = 3
maka hubungan bersifat isometrik.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 24 Maret 2011 (jantan)
76
Lampiran 5. (lanjutan) Betina
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9381 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 39 40
Jumlah Kuadrat (JK) 0.4528 0.0299 0.4826
Perpotongan -4.7314 Kemiringan 2.8926
Kuadrat Tengah (KT) 0.4528 0.0008
Simpangan baku 0.2588 0.1189
F hitung 591.54
P-value 9,95E-21 3,53E-25
tab
= (0.05,39) = 2.0227 thit < ttab maka gagal tolak hipotesis nol (H0), maka b = 3
maka hubungan bersifat isometrik.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 24 Maret 2011 (betina)
77
Lampiran 6.
Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 7 April 2011
Jantan
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9938 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 61 62
Jumlah Kuadrat (JK) 5.9447 0.0373 5.9820
Kuadrat Tengah (KT) 5.9447 0.0006
Simpangan baku 0.0675 0.0309
Perpotongan -5.0407 Kemiringan 3.0497
F hitung 9721.77
P-value 1,1E-61 5,65E-69
tab
= (0.05,61) = 1.99 thit < ttab maka gagal tolak hipotesis nol (H0), maka b = 3
maka hubungan bersifat isometrik.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 7 April 2011 (jantan)
78
Lampiran 6. (lanjutan) Betina
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9835 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 42 43
Jumlah Kuadrat (JK) 4.3557 0.0730 4.4287
Kuadrat Tengah (KT) 4.3557 0.0017
Simpangan baku 0.1210 0.0567
Perpotongan -4.5051 Kemiringan 2.8341
F hitung 2505.73
P-value 8,57E-34 4,47E-39
tab
= (0.05,42) = 2.02 thit > ttab maka tolak hipotesis nol (H0), maka b < 3 maka
hubungan bersifat allometrik negatif.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 7 April 2011 (betina)
79
Lampiran 7. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 21 April 2011 Jantan
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9951 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 52 53
Jumlah Kuadrat (JK) 4.2406 0.0207 4.2614
Kuadrat Tengah (KT) 4.2406 0.0004
Simpangan baku 0.0639 0.0397
Perpotongan -5.1117 Kemiringan 3.0653
F hitung 10624.08
P-value 4,28E-56 8,32E-62
tab
= (0.05,52) = 2.01 thit < ttab maka gagal tolak hipotesis nol (H0), maka b = 3
maka hubungan bersifat isometrik.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 21 April 2011 (jantan)
80
Lampiran 7. (lanjutan) Betina
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9315 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 29 30
Jumlah Kuadrat (JK) 2.3654 0.1739 2.5392
Kuadrat Tengah (KT) 2.3654 0.0059
Simpangan baku 0.3078 0.1400
Perpotongan -4.4702 Kemiringan 2.7815
F hitung 394.53
P-value 7,72E-15 1,98E-18
tab
= (0.05,29) = 2.05 thit > ttab maka tolak hipotesis nol (H0), maka b < 3 maka
hubungan bersifat allometrik negatif.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 21 April 2011 (betina)
81
Lampiran 8. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada 12 Mei 2011 Jantan
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9852 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 95 96
Jumlah Kuadrat (JK) 10.8934 0.1638 11.0572
Kuadrat Tengah (KT) 10.8934 0.0017
Simpangan baku 0.0754 0.0353
Perpotongan -4.4520 Kemiringan 2.8026
F hitung 6316.48
P-value 1,1E-76 1,06E-88
tab
= (0.05,95) = 1.98 thit > ttab maka tolak hipotesis nol (H0), maka b < 3 maka
hubungan bersifat allometrik negatif.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 12 Mei 2011 (jantan)
82
Lampiran 8. (lanjutan) Betina
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9469 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 52 53
Jumlah Kuadrat (JK) 2.2604 0.1266 2.3870
Kuadrat Tengah (KT) 2.2604 0.0024
Simpangan baku 0.1809 0.0834
Perpotongan -3.9110 Kemiringan 2.5419
F hitung 928.41
P-value 1,18E-27 7,81E-35
tab
= (0.05,52) = 2.01 thit > ttab maka tolak hipotesis nol (H0), maka b < 3 maka
hubungan bersifat allometrik negatif.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh 12 Mei 2011 (betina)
83
Lampiran 9. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada Februari 2001 - Mei 2011 H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9641 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 415 416
Jumlah Kuadrat (JK) 33.4740 1.2450 34.7190
Kuadrat Tengah (KT) 33.4740 0.003
Simpangan baku 0.05905 0.02729
Perpotongan -4.6626 Kemiringan 2.8823
F hitung 11158.25
P-value 4E-252 4,8E-302
tab
= (0.05,415) = 1.97 thit > ttab maka tolak hipotesis nol (H0), maka b < 3 maka
hubungan bersifat allometrik negatif.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh Februari 2001 - Mei 2011 (jantan)
84
Lampiran 9. (lanjutan) Betina
H0
:b=3
H1
:b<3
Statistik regresi R2 0.9545 Tabel Sidik Ragam (TSR) Regresi Sisa Total
db 1 260 261
Jumlah Kuadrat (JK) 12.6454 0.6027 13.2481
Kuadrat Tengah (KT) 12.6454 0.0023
Simpangan baku 0.0811 0.0374
Perpotongan -4.4063 Kemiringan 2.7654
F hitung 5455.40
P-value 6,1E-144 1,7E-176
tab
= (0.05,260) = 1.97 thit > ttab maka tolak hipotesis nol (H0), maka b < 3 maka
hubungan bersifat allometrik negatif.
Hubungan panjang dan bobot pengambilan contoh Februari 2001 - Mei 2011 (betina)
85
Lampiran 10. Pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K, dan t0) ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten dengan menggunakan metode Ford Walford Jantan
Regresikan Lt pada sumbu x dan Lt+1 pada sumbu y Lt 131.29 133.04 148.15 153.86 165.65
Lt+1 133.04 148.15 153.86 165.65 170.53
a = 14.21, b = 0.956, R = 0.87 K = -ln(b) K= -ln(0.96) K= 0.0449 (per 78 hari) K = (0.0449/78)*365 = 0.2105 per tahun L∞ = a/(1-b) L∞ = 14.21/(1-0.956) L∞ = 322.95 mm Log (-t0)
= 0.3922-0.2752 (Log L∞) – 1.038 (Log K) = 0.3922-0.2752 (Log 322.95) – 1,038 (Log 0.21) = 0.4040
(-t0)
= 10^(Log(-t0)) = 10^(0.4040) = 2.54
t0
= -2.54
86
Lampiran 10. (lanjutan) Betina
Regresikan Lt pada sumbu x dan Lt+1 pada sumbu y Lt 134.17 145.35 149.89 170.52
Lt+1 145.35 149.89 170.52 178.11
Regresi dari parameter tersebut yaitu: a = 20.47, b = 0.936, R = 0.81 K = -ln(b) K= -ln(0.936) K= 0.0661 (per 78 hari) K = (0.0661/78)*365 = 0.3095 per tahun L∞ = a/(1-b) L∞ = 20.47/(1-0.936) L∞ = 319.84 mm Log (-t0) = 0.3922-0.2752 (Log L∞) – 1.038 (Log K) = 0.3922-0.2752 (Log 319.84) – 1.038 (Log 0.31) = 0.2315 (-t0)
= 10^(Log(-t0)) = 10^(0.2315) = 1.70
t0
= -1.70
87
Lampiran 11. Perhitungan Pendugaan mortalitas Total (Z), Mortalitas Alami (M), penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kurisi (N. furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten Jantan frekuensi
selang atas
selang bawah
xi
t(L1)
∆t
t(L1/L2)/2=x
ln(f/dt)=y
3
86
70
78
-1,31
0.35
-1.15
2.15
31
103
87
95
-0.96
0.37
-0.79
4.42
62
120
104
112
-0.59
0.40
-0.41
5.03
62
137
121
129
-0.19
0.44
0.01
4.95
76
154
138
146
0.25
0.48
0.47
5.06
89
171
155
163
0.73
0.53
0.98
5.12
44
188
172
180
1.27
0.60
1.54
4.30
25
205
189
197
1.86
0.68
2.17
3.61
14
222
206
214
2.54
0.78
2.90
2.88
9
239
223
231
3.33
0.93
3.75
2.27
2
256
240
248
4.26
-
-
-
Regresi yang diperoleh yaitu : y = -1,0436 x + 5,8952 Didapat Z(-b) = -1,0436 Z = 1,0436 Laju mortalitas alami (M) M = e(-0.0152-0.279*Ln 322.95 +0.6543* ln 0.210 + 0.463*ln 29.5) M = 0.3285 Laju Mortalitas Penangkapan (F) F = Z-M F = 1.0436 – 0.3285 F = 0.7151 Laju Eksploitasi (E) E = F/Z E = 0.7151/1.0436 = 0.6852
88
Lampiran 11. (lanjutan) Betina frekuensi
selang atas
selang bawah
xi
t(L1)
∆t
t(L1/L2)/2=x
ln(f/dt)=y
2
86
70
78
-0.88
0.23
-0.77
2.14
12
103
87
95
-0.65
0.25
-0.53
3.86
23
120
104
112
-0.39
0.27
-0.27
4.43
53
137
121
129
-0.12
0.30
0.02
5.18
69
154
138
146
0.18
0.33
0.33
5.35
60
171
155
163
0.51
0.36
0.67
5.11
26
188
172
180
0.87
0.41
1.05
4.16
8
205
189
197
1.28
0.46
1.49
2.85
4
222
206
214
1.74
0.54
1.98
2.00
5
239
223
231
2.28
0.64
2.57
2.05
0
256
240
248
2.92
-
-
-
Regresi yang diperoleh yaitu : y = -2.4211 x + 6.6717 Didapat Z(-b) = -2.4211 Z = 2.4211 Laju mortalitas alami (M) M = e(-0.0152-0.279*Ln 319.84 +0.6543* ln 0.31+ 0.463*ln 29.5) M = 0.4295 Laju Mortalitas Penangkapan (F) F = Z-M F = 2.4211– 0.4295 F = 1.9916 Laju Eksploitasi (E) E = F/Z E = 1.9916/2.4211 = 0.8226
89
Lampiran 12.
Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten
Pengambilan contoh 24 Februari 2011
Pengambilan contoh 10 Maret 2011
90
Lampiran 12 (lanjutan) Pengambilan contoh 24 Maret 2011
Pengambilan contoh 7 April 2011
91
Lampiran 12 (lanjutan) Pengambilan contoh 21 April 2011
Pengambilan contoh 12 Mei 2011
92
Lampiran 13. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten
Pengambilan contoh 24 Februari 2011
Pengambilan contoh 10 Maret 2011
93
Lampiran 13 (lanjutan) Pengambilan contoh 24 Maret 2011
Pengambilan contoh 7 April 2011
94
Lampiran 13 (lanjutan) Pengambilan contoh 21 April 2011
Pengambilan contoh 12 Mei 2011