FUNGSI SOSIAL — 191
Dalam teater tradisi yang bersifat ritual keadatan dan keagamaan, konsep pelaksanaannya sangatlah khas. Prosesi teater ini biasanya bersifat sakral. Dan sesuai dengan sifatnya yang ritual—pelaksanaannya pun dilakukan secara periodik, misalnya sebulan sekali atau setahun sekali. Sistem dan nilai sosialnya pun sudah terbangun, diketahui, dan dihormati oleh masyarakatnya secara turun menurun. Akibat dari sistem dan nilai yang sudah terbangun tersebut, pelaksanaan ritual teater menjadi relatif lebih mudah. Masyarakat pun sudah tahu posisi dan apa yang harus dikerjakan dalam prosesi acara. Meskipun begitu, dalam perencanaan pelaksanaannya, biasanya tetap dilakukan dengan musyawarah desa yang dipimpin pemuka desa didampingi pemuka adat dan agama. Dalam musyawarah tersebut biasanya dibicarakan hal-hal teknis pelaksanaan acara mulai dari pendanaan, pengusahaan properti upacara, penentuan siapa yang menjadi pelaksana upacara, dan lainnya. Dan yang bertanggungjawab pada hal-hal teknis tersebut tentu saja dari anggota masyarakat itu sendiri. Dapat kita lihat bahwa dalam pelaksanaan teater ritual seperti ini aspek komunalnya sangatlah terlihat. Masyarakat desa dalam hal ini berperan sebagai penyelenggara/pengada, pelaku, dan penonton sekaligus. Konsep teater jalanan berbentuk lain. Dalam teater jalanan, penyelenggara dan pelaku teater jadi satu sekaligus. Tak ada pembagian kerja secara kentara. Pemain adalah penyelenggara dan sekaligus sebaliknya. Mereka memilih dan menggelar pertunjukannya di tempat keramaian secara spontan. Motif ekonomi (mencari nafkah) adalah penggerak mereka. Contohnya adalah pertunjukan reyog, kuda kepang, dan bahkan tukang obat. Penontonnya adalah mereka yang kebetulan berada di sekitar keramaian tersebut dan tertarik dengan pertunjukannya. Pemain teater lazimnya memulai pertunjukannya dengan memainkan musik terlebih dahulu. Hal ini untuk menarik perhatian orang-orang di sekitar keramaian bahwa akan ada suatu pertunjukan. Orang-orang di sekitar keramaian yang mendengar musik dari grup teater jalanan tersebut tertarik dan akhirnya rela berjubel mengitari pertunjukan untuk menjadi penonton. Panggung pertunjukan otomatis tercipta dengan kelilingan penonton yang “membungkus” pemain teater. Ada yang duduk, jongkok, dan berdiri. Suasana pertunjukan teater seperti ini biasanya akrab, jenaka, dan bebas. Pemain-pemain teater bebas mengeluarkan “jurus-jurus” pertunjukannya untuk memukau penonton. Dengan mendramatisasi, melucu, dan melakukan akrobat-akrobat spektakuler, mereka mencoba membuat penonton terhibur. Penonton yang merasa terhibur, akan tertawa terkekeh-kekeh. Menonton pertunjukan teater seperti ini tidak hanya searah, artinya penonton tidak hanya menonton pemain teaternya
192 — TEATER
saja. Kadang-kadang ekspresi dan tanggapan dari para penonton lain, juga menjadi efek pertunjukan yang menarik untuk ditonton. Untuk kasus yang lain, teater juga sering dipertunjukkan dalam konteks tanggapan. Pada peristiwa hajatan, misalnya pernikahan, sunatan, ulang tahun, peresmian instansi atau lainnya, sering mereka yang “punya kerja” tersebut menanggap acara hiburan. Di masyarakat Jawa Tengah, acara tanggapan dalam bentuk teater yang sering ada adalah pertunjukan wayang kulit, dan di masyarakat Jawa Barat yang terkenal adalah pertunjukan wayang goleknya. Acara tanggapan seperti ini adalah untuk memeriahkan hajatan yang dilaksanakan, dan sasaran penontonnya adalah para tamu undangan dan masyarakat sekitar hajatan. Dalam bentuk yang lebih modern, pertunjukan teater diselenggarakan dengan cara yang “profesional”. Profesional dalam hal ini adalah adanya manajemen yang matang dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pascaproduksinya. Pada tahap perencanaan, semua persiapan pertunjukan, mulai dari proses latihan, proses pembentukan kepanitiaan, proses pembuatan dan pengedaran proposal kegiatan, proses pencarian dana, penetapan tempat dan waktu pertunjukan, perijinan, pengusahaan properti/peralatan, publikasi, dan lain-lainnya dikerjakan dengan tertib dan terarah. Dalam tahapan ini, lazimnya dibuat dua kelompok kerja. Kelompok pertama adalah kelompok yang mengurusi masalah artistik/kesenian. Di dalamnya termasuk sutradara, penulis naskah, aktor, penata rias dan busana, pemusik, dan penata artistik panggung. Dan kelompok yang kedua adalah kelompok yang mengurusi masalah non-keartistikan atau bisa disebut manajeman produksi. Kelompok ini dipimpin oleh pemimpin produksi (biasanya disingkat pimpro) dan dibantu oleh sekretaris, bendahara, public relation (humas), property (peralatan), dan dokumentasi. Kelompok pertama fokus pada latihan-latihan teateral untuk pertunjukan. Dan kelompok kedua fokus pada kerja-kerja manajeman pertunjukan— merancang, memfasilitasi dan membantu agar pelaksanaan pertunjukan dapat berjalan dengan lancar. Kerja-kerja seperti menyediakan tempat latihan, mengurusi konsumsi selama latihan, membuat proposal kegiatan, mengurus izin tempat dan kegiatan, mengurusi publikasi dan promosi, mengurus tiket apabila pertunjukannya ditiketkan, dan mencari donatur dan sponsor apabila kekurangan dana, adalah beberapa tugas pokok dari kelompok kedua. Dalam kerja-kerjanya, terdapat pembagian tugas secara rinci dan eksplisit. Masing-masing posisi/kru diberi gambaran kerjanya (job description), sehingga tidak terjadi over lapping (tumpang tindih) dalam pelaksanaan kerja.
FUNGSI SOSIAL — 193
Tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Pada tahap ini, pertunjukan teater diadakan. Semua pelaku teater “bekerja” sesuai dengan peran dan posisinya masing-masing. Tahap ini merupakan puncak dari berbagai kerja-kerja teateral sebelumnya. Hasil latihan teater dipertunjukkan kepada penonton secara langsung. Ada “peristiwa teater” yang terjadi. Pelaku teater menyajikan karyanya di atas panggung, dan penonton menikmati dan memberikan apresiasi. Aspek tanggungjawab juga sangat dijunjung tinggi oleh semua pelaku teater. Biasanya usai pertunjukan, akan dilakukan evaluasi dan supervisi oleh sutradara—untuk bagian/kru artistik secara keseluruhan, dan oleh pimpro—untuk kerja-kerja manajemen pertunjukan secara keseluruhan. Tahapan inilah yang disebut tahap pascaproduksi. Hasil evaluasi dijadikan modal pembelajaran untuk pelaksanaan pertunjukan berikutnya. 5.4 Tempat dan Waktu Pertunjukan Dalam suatu pertunjukan teater, aspek tempat dan waktu pertunjukan, amatlah berpengaruh, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk, motif, dan tujuan diadakannya pertunjukan itu sendiri. Dalam beberapa bentuk pertunjukan teater berikut, aspek tempat dan waktu, mempunyai ciri khas dan gambaran yang berbeda-beda. 5.4.1 Ritual Pada teater yang bersifat ritual, konteks tempat dan waktu pertunjukan sangatlah tergantung dengan tema dan tujuan utama upacaranya. Tema dan tujuan upacara ini bisa dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhannya (syukuran/selamatan, doa untuk leluhur/haul, peringatan harihari suci agama) ataupun dalam pola hubungan manusia dengan alamnya (sedekah laut, kabumi, panen padi). Untuk teater ritual yang bertema keagamaan, tempat pelaksanaan ritual teater lazimnya adalah di pelataran tempat ibadah, seperti pura, candi, masjid, dan gereja. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa teater ritual agamis juga bisa dilakukan di tempat-tempat umum seperti pendopo desa, alun-alun, ataupun di lapangan. Ritual sekatenan di Keraton Surakarta dan Jogjakarta misalnya. Upacara tradisi Islam ini mempunyai waktu dan tempat pelaksanaan yang khas. Upacara ini diadakan khusus pada bulan Mulud atau Rabiul Awal, yaitu untuk menyambut dan memperingati hari kelahiran Nabi
194 — TEATER
Muhammad. Tempatnya pun selalu di pelataran masjid agung kedua keraton tersebut. Upacara sekatenan di Keraton Cirebon, mempunyai konteks waktu yang berbeda dengan yang ada di Surakarta dan Jogjakarta. Ritual sekatenan di Cirebon ini diadakan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Gbr. 5-27: Sekaten, kata yang berawal dari kata syahadatain, yang artinya dua kalimat syahadat, yaitu pernyataan dan sekaligus persaksian bahwa “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.” Acara ini dilaksanakan di Alun-alun Lor Keraton Jogjakarta Hadiningrat, atau tepat di depan pelataran Masjid Agung, pada sekitar bulan mulud (menurut penanggalan Jawa) atau Rabiul Awal (dalam kalender Islam) yang merupakan hari dimana Nabi Muhammad SAW lahir ke dunia. (a) Para kerabat keraton duduk tertib mengikuti prosesi upacara, (b) dan (c) para pengunjung dan penonton rela berdesakan menyaksikan prosesi upacara, (d) gunungan sekaten yang diarak dan kemudian diperebutkan oleh para pengunjung.
Dalam tradisi Kristen yang ada di Nusantara, upacara ritual juga banyak dipertunjukkan. Dalam ritus Jagong Bayi Gusti Sang Timur di lereng Merapi, Magelang (Jawa Tengah), perayaan hari Natal sebagai lahirnya Yesus Kristus di pertunjukkan dan dikemas dalam balutan budaya Jawa yang kental. Acara pertunjukan ini tentu saja ada pada setiap tanggal 25 Desember. Peristiwa kelahiran Yesus itu diadaptasi dari tradisi jagong bayi (tradisi menjenguk bayi yang baru lahir) yang terdapat di desa mereka. Setting Bethlehem sebagai tempat lahir Yesus Kristus mereka ganti dengan suasana pedesaan Jawa yang eksotis. Acara dimulai dengan pawai obor
FUNGSI SOSIAL — 195
Dalam upacara adat sedekah bumi (kabumi) di sebagian daerah Jawa misalnya. Upacara ini dilakukan secara periodik pascapanen padi, dan biasanya diselenggarakan di balai desa atau alun-alun desa. Upacara ini diselenggarakan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan yang telah
b
a
c
Gbr. 5-28 a,b,c: Prosesi Natalan oleh umat Kristiani di lereng Merapi. (a) ratusan orang berjubel mengikuti ritual, (b) seorang romo memimpin arak-arakan keliling desa, (c) seorang romo memimpin proses pengambilan air yang digunakan untuk pemberkatan kepada umat Kristiani.
dan tetabuhan keliling desa. Ritual itu diikuti oleh ratusan umat Kristiani dari desa-desa sekitar. Seusai arak-arakan, acara dilanjutkan dengan ritual tobat, dialog Natal, dan ritual jagong bayi di Gubuk Selo Merapi. Berbagai macam ritual teateral keagamaan dalam tradisi Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran-aliran kepercayaan lain yang ada di Nusantara tentu sangat beragam baik dalam konteks tujuan, tempat, maupun waktu pertunjukannya. Konteks-konteks ini berjalinan erat dengan keadaan budaya, sosial, dan geografis wilayah-wilayah yang bersangkutan. Konsep ruang (tempat) dan waktu untuk teater ritual yang berorientasi pada penghargaan manusia kepada alamnya juga sangat bergantung dengan sifat, tema, dan tujuan ritual tersebut.
196 — TEATER
memberikan rejeki (panen padi yang melimpah) kepada seluruh penduduk desa. Setiap keluarga membawa setampah nasi bersama lauknya. Masingmasing keluarga umumnya mengkreasi tampah dan isinya (nasi+lauk) secara kreatif, sehingga layaknya pameran makanan, tampah-tampah (beserta isinya) tersebut sangat menarik dilihat. Tampah-tampah berisi makanan itu kemudian dikumpulkan menjadi satu secara acak. Setelah acara doa dan sambutan dari pemuka desa, tampah-tampah berisi makanan itupun dibagikan kepada peserta upacara untuk dimakan secara bersamasama. Bentuk upacara syukuran pascapanen padi di Banyuwangi Jawa Timur, yaitu ritual kebo-keboan. Upacara ini diselenggarakan di area sawah milik masyarakat desa dan dilakukan pascapanen padi.
Gbr. 5-29: Ritual kebo-keboan di Banyuwangi: sebagian prosesinya dilakukan di areal persawahan sebagai perwujudan rasa terima kasih kepada Tuhan yang memberi panen melimpah.
Untuk masyarakat di daerah pantai, ritual teater yang ada tentu ada hubungannya dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan geografis daerah tersebut. Masyarakat sepanjang pantai tentu banyak yang berpencaharian sebagai nelayan. Hubungan manusia dengan lingkungannya ini menghasilkan suatu pola hubungan yang mesra. Manusia (nelayan) bebas menggali kekayaan yang ada di laut, biasanya berupa ikan yang mereka tangkap, dan mereka pun tidak lupa berterima
FUNGSI SOSIAL — 197
kasih. Ungkapan terima kasih ini kalau dalam masyarakat sepanjang pesisir pantai utara Jawa dilakukan dengan upacara ritual larungan sesaji (penghanyutan sesaji) ke laut. Sebagai contoh, upacara ritual larungan sesaji berupa kepala kerbau dipertunjukkan oleh masyarakat pesisir pantai Jepara (Jawa Tengah), setiap hari ketujuh pada bulan Syawal (tujuh hari pasca Idul Fitri).
Gbr. 5-30: Ritual tabuik di Pantai Gondoriyah, Pariaman, Sumatera Barat, yang diadakan setiap 10 Muharam tahun Hijriyah .
5.4.2 Tanggapan Teater tanggapan, hadir karena adanya permintaan pentas (tanggapan) dari pihak-pihak tertentu, misalnya instansi pemerintah/swasta, lembaga sosial, maupun perseorangan. Pertunjukan teater tanggapan adalah sebagai suplemen hiburan dalam mengiringi suatu acara hajatan tertentu, misalnya ulang tahun instansi, peringatan hari besar, upacara pernikahan, upacara khitanan, dan lain-lainnya. Dan sasarannya adalah untuk menghibur para tamu undangan dan masyarakat sekitar tempat hajatan. Dalam hubungannya dengan konteks tempat dan waktu pertunjukannya, tentu teater tanggapan bergantung sepenuhnya pada si penanggap. Lazimnya, tempat pertunjukan teater tanggapan berada di sekitar tempat hajatan. Si empunya hajat biasanya telah menyediakan tempat tersendiri yang cukup strategis sebagai panggung pertunjukannya. Panggung pertunjukannya dibuat dengan tidak permanen. Artinya, pemasangan panggung dilakukan sebelum pertunjukan (biasanya sehari atau dua hari sebelum pertunjukan),
198 — TEATER
dan bisa dibongkar usai pertunjukan. Dalam pertunjukan untuk hajatan di pedesaaan, panggung non-permanen ini dibuat dengan bahan-bahan sederhana, biasanya dari bambu dan kayu. Pembuatannya biasa dilakukan secara gotong royong oleh para tetangga dan para handai taulan dari yang empunya hajat. Untuk pertunjukan hajatan di perkotaan, panggung bisa di sewa di tempat sewa alat-alat pesta. Atau biasanya, grup kesenian yang ditanggap sudah punya properti panggung sendiri sebagai kelengkapan untuk pentas. Sehingga si punya hajat biasanya sekalian menyewa propertinya tersebut. Perihal waktu untuk pertunjukan teater tanggapan, tentu juga bergantung dengan jadual inti acara hajatan, bisa di depan acara, di sela-sela acara, atau bisa di akhir acara inti. Durasi lama tidaknya pertunjukan, juga menjadi faktor penempatan waktu pertunjukannya. Sebagai contoh, dalam pertunjukan kentrung dan wayang kulit di Jawa Tengah, pertunjukannya lazim diselenggarakan pada malam hari usai acara (hajatan) yang inti. Pertunjukan kentrung dan wayang kulit ini lazimnya berdurasi lama, bahkan sampai semalaman, sehingga penempatan waktu pertunjukannya biasanya ditempatkan di waktu yang betul-betul longgar, dan biasanya adalah pada malam hari selepas acara inti. Adapula pertunjukan tanggapan yang berada di sela-sela acara inti, misalnya pertunjukan tarian piring
Gbr. 5-31: Suatu adegan bodoran pertunjukan topeng dalam suatu acara hajatan di Indramayu, Jawa Barat.
FUNGSI SOSIAL — 199
di Sumatera Barat dan tarian saman di Aceh. Pertunjukan hiburan ini biasanya menjadi pengisi jeda, ketika prosesi inti acara dilakukan. Dan durasi pertunjukannya pun relatif tidak lama. 5.4.3 Ngamen Pada pertunjukan teater yang berbentuk ngamen, konteks tempat dan waktu pertunjukan sangat fleksibel. Sifat dari teater ngamen yang selalu berpindah-pindah tempat, menjadikannya bisa tampil di mana saja, asal tempat pertunjukan tersebut ramai dan potensial menyedot penonton. Tempat yang lazim dijadikan tempat pertunjukan teater ini adalah di pasar-pasar tradisional, di alun-alun desa, di lapangan, di pasar malam, dan lain sebagainya. Mereka cukup datang dengan rombongannya di salah satu tempat ngamen tersebut, menggelar peralatannya, dan mulai “mengundang” calon penontonnya dengan pengeras suara ataupun permainan musik yang biasanya menggaduhkan tempat pertunjukan. Orang-orang disekitar yang tertarik segera menonton dengan mengelilingi tempat pertunjukan. Panggung pertunjukan adalah ruang teater yang otomatis tercipta akibat kelilingan para penontonnya. Panggung ini pun akan hilang dengan beranjaknya penonton usai pertunjukan. Konteks waktu pertunjukan teater ngamen ini biasanya juga disesuaikan dengan keadaan dan kondisi sosial dan kultural tempat pertunjukan. Di pasar-pasar tradisional di pedesaan, umumnya ada harihari tertentu yang disebut pasaran. Di hari-hari pasaran ini (misalkan setiap hari Senin dan Jumat), umumnya keadaan pasar lebih ramai daripada keadaan pasar dalam hari-hari biasa. Penentuan hari pasaran ini merupakan konvensi (aturan/kesepakatan yang tidak tertulis) yang bersifat kultural dari masyarakat pasar itu sendiri. Pada hari pasaran inilah biasanya para grup teater ngamen menggelar pertunjukannya, sehingga menambah semarak suasana pasar tradisional tersebut. Pertunjukan teater ngamen ini biasanya juga digelar ketika desa sedang mengadakan festival/pesta desa setiap tahunnya. Dengan mendatangi pusat festival tersebut, mereka mencoba menggelar pertunjukannya secara frontal. Pada contoh kasus lain, ada pertunjukan teater ngamen yang unik, yaitu warilais (semacam sintren) di daerah pantai utara Jawa (Pekalongan, Cirebon, Indramayu). Pertunjukan teater ini dilakukan dengan berkeliling (ngamen) pada waktu hujan telat turun. Konon menurut kepercayaan setempat, pertunjukan ini diadakan sebagai sarana spiritual agar hujan segera turun.
200 — TEATER
Gbr. 5-32: Teater ngamen warilais di daerah pantai utara Jawa, yang dipentaskan sebagai sarana spiritual musim kering, agar hujan segera turun.
5.4.4 Tobong Pertunjukan teater tobong dengan karcis tanda masuk untuk penontonnya adalah bentuk pertunjukan teater yang juga banyak terdapat di Nusantara. Grup ketoprak di Jawa Tengah dan ludruk di Jawa Timur adalah contoh grup teater yang sering disebut teater tobong karena menggunakan tobong untuk pertunjukannya. Istilah tobong di sini mengacu pada tempat pertunjukannya yang berupa bangunan pertunjukan (dengan panggungnya) yang bersifat semi permanen. Bangunan tempat pertunjukan ini terbuat dari bahan-bahan semi permanen misalnya kayu, bambu, seng, dan tripleks. Bangunan ini bisa bertahan lumayan lama, bahkan bisa dalam jangka waktu berminggu-minggu. Namun karena sifatnya yang memang dibuat semi permanen, bangunan tobong ini gampang dibongkar apabila serial pertunjukan di suatu daerah telah selesai dan akan berpindah tempat untuk pentas di daerah lain. Grup teater tobong biasa membuat pertunjukannya memang dengan berkeliling daerah, dari satu kota ke kota lain. Dalam pertunjukannya di satu kota, grup teater tobong ini bisa pentas berhari-hari, bahkan bisa dalam jangka waktu mingguan. Tempat mendirikan tobong biasanya di lapangan ataupun alun-alun kota. Pertunjukan teater tobong ini lazim dilakukan pada malam hari. Para penonton diwajibkan membeli tiket masuk untuk menonton pertunjukan nya. Harga tiket umumnya sama, tidak ada pembedaan tingkat harga.
FUNGSI SOSIAL — 201
Keberadaan teater to bong sempat mencapai zaman keemasannya pada era tahun 1970-an hingga tahun1980-an. Dalam kurun waktu itu banyak muncul grup-grup teater tobong yang ngetop dan menjadi idola di masyarakat. Grup ketoprak Siswo Budoyo asal Tulungagung Jawa Tengah, Sapta Mandala dan Dharma Muda keduanya dari Surakarta Jawa Tengah, adalah contoh grup-grup ketoprak tobong yang pernah berjaya di era 1980-an.
Gbr. 5-33: Penari-penyanyi ngremo dari grup ludruk tobong Irama Budaya pada suatu pentas di pinggiran kota Surabaya.
5.4.5 Gedung Pertunjukan Seiring dengan pesatnya permintaan untuk mengadakan pertunjukan, grup-grup teater pun mulai memikirkan, bagaimana caranya untuk bisa mengadakan pertunjukan secara rutin di suatu tempat, dan waktu tertentu. Dan pada perkembangannya, para grup teater itu pun membeli atau menyewa sebuah gedung pertunjukan, dimana di situ mereka akan mengadakan pertunjukannya secara rutin. Di samping sebagai tempat pertunjukan, gedung pertunjukan yang mereka sewa atau beli itu biasanya juga sebagai tempat sekretariat, latihan, musyawarah, menaruh properti, dan bahkan juga menjadi tempat tinggal beberapa personel grup mereka. Singkatnya gedung pertunjukan tersebut juga bisa menjadi markas besar mereka. Berdasarkan sifatnya, gedung pertunjukan yang digunakan pertunjukan rutin oleh grup-grup teater harus mengacu pada sifat permanennya bangunan. Tidak seperti tobong yang digunakan untuk pertunjukan keliling yang sifatnya tidak permanen itu, gedung pertunjukan biasanya bersifat lebih permanen. Artinya gedung tersebut biasanya terbuat dari tembok atau bahkan beton. Dengan bahan tembok atau beton tersebut, konstruksi gedung menjadi kuat dan dapat bertahan lama. Standar unsur ruang yang harus ada dalam gedung pertunjukan pun perlu diperhatikan. Pada umumnya, suatu gedung pertunjukan terdapat ruang pementasan/panggung, ruang penonton (tempat duduk), ruang tata rias, ruang musik, dan ruang operator suara dan lampu. Biasanya juga
202 — TEATER
ada ruang loket karcis, ruang tunggu penonton dan toilet umum. Bentuk panggung pun ada dua macam, pertama adalah bentuk prosenium, yaitu panggung yang hanya dapat dilihat oleh penonton dari sisi depan saja. Dan kedua adalah bentuk arena, yaitu panggung yang dikelilingi penonton, sehingga setiap sudut bisa dilihat penonton. (Mengenai konsep yang lebih jelas tentang bentuk prosenium dan arena ini dapat dilihat di buku LPSN seri Tari Tontonan).
Gbr. 5-34: Teater Kecil TIM. (a) ruang tunggu penonton, (b) lorong pintu masuk, (c) tempat duduk penonton, (d) panggung berbentuk prosenium.
Gbr. 5-35: Bentuk panggung prosenium: hanya dilihat oleh penonton dari sisi depan saja (tampak seniman sedang latihan)