Tekno Efisiensi
Jurnal Ilmiah KORPRI Kopertis Wilayah IV,
Vol 1, No. 1, Mei 2016
PERANAN BAHASA INDONESIA TERHADAP PERKEMBANGAN NILAI ESTETIKA KRIYA ANYAM (HANDICRAFTS) DI INDONESIA Oleh: Dheni Harmaen & Dindin Z. Muhyi Universitas Pasundan-Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
ABSTRAK - Bahasa sebagai alat komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk peranan bahasa terhadap pengembagan nilai-nilai seni kriya. Perkembangan nilai-nilai estetik pada kriya telah terjadi perubahan-perubahan dari segi fungsi, bentuk, tampilan bahkan dari segi maknanya, perubahan tersebut akan nampak pula terhadap perubahan nilai estetik pada suatu karya kriya, dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin pesat dewasa ini, maka peranan bahasa sangat dibutuhkan pada hampir diseluruh aspek kehidupan manusia. Bahasa Indonesia fungsional dipergunakan terhadap suatu keilmuan tertentu, dalam tulisan ini adalah ilmu seni, desain dan kriya, misalnya nama-nama motif kriya anyam; ered, kepang, mata itik, rara dan sebagainya, termasuk peristihan dalam bahasa Indonesia fungsional yang berlaku untuk ilmu seni kriya anyam saja, Secara umum peranan bahasa sebagai alat komunikasi, sebagai alat ekspresi diri, sebagai Alat Integrasi/adaptasi sosial, dan sebagai alat kontrol sosial merupakan fungsi bahasa terhadap seluruh keilmuan. kita tidak bisa berinteraksi apaapa tampa menggunakan bahasa. Oleh karena itu bahasa harus dipelajari, baik bahasa Indonesia fungsional (Khusus) atau bahasa Indonesia secara umum. Kata Kunci: Bahasa, Nilai, Kriya, Peranan, Istilah ABSTRACT - Language as a communication tool plays a very important role in human life, including the role of language on developing a craft art values. Development of aesthetic values in the craft have been changes in terms of function, shape, appearance and even in terms of its significance, the changes will appear also to changes in aesthetic values in a work of craft, due to technological developments more rapidly today, the role of language is needed in almost all aspects of human life. Indonesian language functionally used towards a particular science, in this paper is the science of art, design and craft, for example, the names motifs woven crafts; ered, kepang, mata itik, rara and so on including functional terminology in the Indonesian language knowledge applicable to any woven crafts. Generally, the role of language as a communication tool, as a means of self-expression, as a tool for Integration / social adaptation, and as a means of social control is a function of the whole scientific language. we can not interact with anything without using language. Therefore, the language must be learned, both Indonesian Language functional (especially) or the Indonesian Language (generally) Keywords: Language, Values, Craft, Role, Term
PENDAHULUAN Bahasa sebagai bahasa komunikasi, sama tuanya dengan usia manusia, artinya bahasa itu ada sejak manusia itu mampu berbicara. Walaupun usia bahasa sudah sedemikian tua, namun sampai saat ini belum ada satu catatan atau literatur yang membahas tentang waktu dimulainya pemakaian bahasa sampai berkembang menjadi banyak seperti yang dipakai sekarang ini. Suatu hal yang pasti adalah bahwa kita tidak pernah membayangkan apabila hidup kita tampa bahasa, juga kita tidak pernah membayangkan bagaimana jika di dunia ini semua mahluk dapat berbicara seperti manusia.
19
Menurut Ariffin, (2001:9) menjelaskan bahwa kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya bukan hanya terletak pada kelebihan akalnya saja melainkan juga kelebihan dalam kemampuan berbahasanya. Tampa kemampuan berbahasa, manusia tidak bisa mengembangkan kebudayaannya, sebab tampa kemampuan berbahasa hilang pula untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Disamping itu tampa kemampuan berbahasa tersebut manusia tidak dapat melakukan berpikir secara sistematis dan teratur. Bagaimana dengan posisi bahasa Indonesia pada saat era globalisasi yang ditandai dengan arus komunikasi yang begitu dahsyat, menuntut cara pengambil kebijakan di bidang bahasa bekerja lebih keras untuk lebih menyempurnakan dan meningkatkan semua sektor yang berhubungan dengan masalah pembinaan bahasa. Sebagaimana dikemukakan oleh Featherston (1996:34), globalisasi menembus batas-batas budaya melalui jangkauan luas perjalanan udara, semakin luasnya komunikasi, dan meningkatnya turis (wisatawan) ke berbagai negara. Melihat perkembangan bahasa Indonesia di dalam negeri yang cukup pesat, perkembangan di luar negeri pun sangat menggembirakan. Menurut Sulaeman (2002:32) data terakhir menunjukkan setidaknya 52 negara asing telah membuka program bahasa Indonesia (Indonesian Language Studies). Bahkan, perkembangan ini akan semakin meingkat setelah terbentuk Badan Asosiasi Kelompok Bahasa Indonesia (BAKB) penutur bangsa asing di Bandung tahun 1999. Walaupun perkembangan bahasa Indonesia semakin pesat di satu sisi, di sisi lain peluang dan tantangan terhadap bahasa Indonesia semakin besar pula. Berbagai peluang bahasa Indonesia dalam era globalisasi ini antara lain adanya dukungan luas dari berbagai pihak, termasuk peran media massa. Sementara itu, tantangannya dapat dikategorikan atas dua, yaitu tantangan internal dan tantang eksternal. Tantang internal berupa pengaruh negatif bahasa daerah berupa kosakata, pembentukan kata, dan struktur kalimat. Tantangan eksternal datanga dari pengaruh negatif bahasa asing (teruatama bahasa Inggria) berupa masuknya kosakata tanpa proses pembenukan istilah dan penggunaan struktur kalimat bahasa Inggris (penyerapan). PEMBAHASAN Pengertian Istilah Kriya Bahasa fungsional dalam bahasa Indonesia telah dijelaskan oleh Soelaeman Adiwijaya (2002:7) bahwa sejak seorang bayi lahir dari rahim ibunya, bahasa sudah diajarkan, mulamula bahasa diajarkan tanpa struktur dan sistematis, lalu setelah anak mulai bersekolah bahasa diajarkan secara terstruktur dan sistematis, sampai dengan bahasa indonesia fungsional. Bahasa Indonesia fungsional mengandung pengertaian bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam bidang masing-masing disiplin ilmu (sesuai fungsinya) dalam hal ini adalah bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang ilmu seni (seni kriya). Istilah yang digunakan dalam bidang ilmu seni kriya (kriya), Soedyawati (2009:3) mengemukakan dalam makalahnya bahwa kata kriya yang digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu Krya. Apabila dialihkan kepada bahasa Jawa memiliki arti pekerjaan atau tindakan, dan khususnya pekerjaan yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Dalam kitab keagamaan Hindu yang disebut dengan kitab agama menjelaskan satu dari empat bagiannya adalah kriya. Adapun tiga bagian yang lain 20
dalam kitab agama tersebut Jhana, Yoga, dan Carya. Jhana menjelaskan tentang konsepkonsep kebenaran agama, Yoga menjelaskan metode tindakan pisik dan mental untuk menyatukan diri dengan kebenaran tertinggi, Carya menjelaskan tentang prilaku baik dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan kriya menjelaskan tentang candi dan arca-arca dewata, menyatukan diri dengan kebenaran tertinggi. Ditambahkan pula pengertian seni kriya oleh Agus (2002:12) bahwa seni kriya berasal dari bahasa Sangsakerta Krya yang berarti mengerjakan, dari kata dasar tersebut kemudian berkembang menjadi kata yang beragam, mulai dari kata karya, kriya, dan kerja. Dalam arti khusus kriya adalah mengerjakan sesuatu hal untuk menghasikan benda atau objek, namun seiring dengan perkembangannya semua hasil suatu pekerjaan termasuk juga berbagai ragam teknik pembuatannya yang kemudian menghasilkan sebuah benda seni yang memiliki fungsi tertentu disebut juga dengan seni kriya. Kata kriya sendiri jika dilihat pada kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti pekerjaan (Kerajinan Tangan), dalam bahasa Inggris disebut dengan Craft yang berti energy atau kekuatan. Arti lainnya adalah suatu keterampilan dalam mengerjakan atau membuat sesuatu. Istilah tersebut diartikan juga sebagai keterampilan yang sering dikaitkan dengan suatu profesi seperti craftworker atau Craftman yang berarti perajin atau kriyawan. Kriyawan Jepang Soetsu Yanagi (1972:47) bahwa kriya dapat disepadankan sebagai suatu hasil karya manusia yang dipergunakan dalam keseharian, ditambahkan pula bahwa kriya berbeda dengan seni murni, yang dalam pembuatannya bertujuan untuk dilihat. Kriya lebih sekadar untuk dilihat, namun juga membawa aspek guna pada setiap bendanya. Dari pendapat tersebut terdapat adanya penekanan pada kata ‘guna’ yang menonjol pada kriya, bahkan aspek guna ini berhubungan dengan leindahan yang terdapat pada kriya tersebut. Sebuah karya kriya yang indah lahir membawa aspek guna bersamanya, sebuah karya kriya tampa memiliki aspek guna, menurutnya keindahan dengan sendirinya tidak ditemukan pada karya kriya tersebut. Pengertian kriya secara umum telah digambarkan lebih jauh dalam seminar seni kriya dan kerajinan tangan, yang dibawakan oleh Sidharta (1995:4-5) bahwa kerajinan tangan sebagai cara mengerjakan benda-benda tradisional, melihat pada benda-benda tersebut kita mengetahui dan mengagumi adanya ketelitian melihat, keterampilan tangan, dan keterampilan menguasai bahan yang digunakan sebagai dasar perwujudan. Sebagai praktisi seni (seniman) barangkali tidak penting mempermasalahkan istilah kriya, tetapi sebagai akademisi hal itu teramat penting untuk dibicarakan, karena suatu istilah/kata adalah simbol yang digunakan untuk menggambarkan makna secara keseluruhan yang melingkupinya. Nilai Estetik Kriya Esensi dari estetik adalah nilai, menguraikan lebih jauh tentang estetik, berarti membahas perihal nilai-nilai keindahan. Pada akhirnya pengertian estetik berhubungan dengan filsafat keindahan yang meliputi totalitas kehidupan, yang mampu menggerakkan jiwa manusia dan berlaku terhadap apa saja yang dirasa sejalan dengan konsepsi hidup dan zamannya. Aristoteles secara bijaksana masuk ke dalam simbol-simbol keindahan itu dapat kita jumpai 21
pada barang-barang yang indah, karya sastra, kerajinan, musik atau bangunan-bangunan yang agung dan sebagainya. Nilai keindahan di sejumlah wilayah pada dasarnya mempunyai kesamaan. Latar belakang manusia dengan kreativitas dan budaya yang berbeda, menyebabkan paham keindahan setiap bangsa akan terlihat berlainan, meskipun rohnya, cita-cita, nilai-nilai dan orientasi yang dianutnya tetap sama. Estetik pada akhirnya adalah sesuatu yang relatif. Untuk itu perlu diketahui pengertian estetik khususnya pada kria, Yudoseputro (2003:159) mengemukakan dalam buku seni kerajinan Indonesia bahwa Sebagai karya seni, benda kerajinan harus menampilkan nilai estetik atau nilai keindahan rupa, sedangkan seni terapan, nilai estetik karya kerajinan tidak dapat dipisahkan dari nilai gunanya. Tidak seperti pada karya seni murni, dimana nilai estetik tampil pada wujud sebagai media ekspresi seniman secara bebas tampa memperhitungkan fungsi pakainya. Seperti pada seni kerajinan nilai estetik juga menentukan kualitas karya seninya. Perbedaanya adalah bahwa jika pada karya seni murni kemampuan atau keterampilan teknik dalam seni kerajinan selain merupakan usaha mengekplotasikan bahan juga menciptakan bentuk yang mampu menjawab fungsi pakainya. Menurut Sachari, 1993:15), Istilah estetika berasal dari bahasa latin aestheticus atau bahasa Yunani aestheticos yang bersumber dari kata aithe yang berarti merasa. Estetika dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang mengandung pola. Pola yang berfungsi untuk mempersatukan bagian-bagian tersebut yang mengandung keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga menimbulkan keindahan. Nilai keindahan di sejumlah wilayah pada dasarnya mempunyai kesamaan. Latar belakang manusia dengan kreativitas dan budaya yang berbeda, menyebabkan paham keindahan setiap bangsa akan terlihat berlainan, meskipun rohnya, cita-cita, nilai-nilai dan orientasi yang dianutnya tetap sama. Estetik pada akhirnya adalah sesuatu yang relatif. Untuk itu perlu diketahui pengertian estetik khususnya pada kriya, Yudoseputro (2003:159) mengemukakan dalam buku seni kerajinan Indonesia bahwa sebagai karya seni, benda kerajinan harus menampilkan nilai estetik atau nilai keindahan rupa, sedangkan seni terapan, nilai estetik karya kerajinan tidak dapat dipisahkan dari nilai gunanya. Tidak seperti pada karya seni murni, dimana nilai estetik tampil pada wujud sebagai media ekspresi seniman secara bebas tampa memperhitungkan fungsi pakainya. Seperti pada seni kerajinan nilai estetik juga menentukan kualitas karya seninya. Perbedaanya adalah bahwa jika pada karya seni murni kemampuan atau keterampilan teknik dalam seni kerajinan selain merupakan usaha mengekplotasikan bahan juga menciptakan bentuk yang mampu menjawab fungsi pakainya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa benda kerajinan (kriya) sebagai seni terapan akan nampak nilai keindahannya apabila dibarengi dengan nilai guna pada setiap bendanya, berbeda dengan seni murni, nilai estetik tampil sebagai wujud media ekspresi seniman secara bebas tanpa memperhitungkan fungsi pakainya. Pengertian yang diuraikan di atas tersebut termasuk kepada pengertian nilai estetik berdasarkan ide. Seni adalah salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang sejajar dengan perkembangan manusia selaku penggubah dan penikmat seni. Sedangkan kebudayaan adalah hasil pemikiran, karya dan segala aktivitas yang merefleksikan naluri secara murni. Yudosaputro (1996:76) 22
1) 2)
3)
4) 5)
6)
1) 2)
3) 4)
5)
Seni memiliki nilai estetis (indah) yang disukai oleh manusia dan mengandung ide-ide yang dinyatakan dalam bentuk aktivitas atau rupa sebagai lambang. Dengan seni kita dapat memperoleh kenikmatan sebagai akibat dari refleksi perasaan terhadap stimulus yang kita terima. Kenikmatan seni bukanlah kenikmatan fisik lahiriah, melainkan kenikmatan bathiniah yang muncul bila kita menangkap dan merasakan simbol-simbol estetika dari penggubah seni. Dalam hal ini seni memiliki nilai spiritual. Kedalaman dan kompleksitas seni menyebabkan para ahli membuat definisi seni untuk mempermudah pendekatan kita dalam memahami dan menilai seni. Konsep yang muncul bervariasi sesuai dengan latar belakang pemahaman, penghayatan, dan pandangan ahli tersebut terhadap seni. Lebih lanjut Yudosaputro merumuskan definisi seni dari para ahli yaitu: Ensiklopedia Indonesia, seni adalah penciptaan benda atau segala hal yang karena keindahan bentuknya, orang senang melihat atau mendengar. Ki Hajar Dewantara, Seni merupakan perbuatan manusia (penggubah) yang timbul dari perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan manusia (penerima). Achdiat Kartamihardja, seni adalah kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitas ke dalam suatu karya. Bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam batin penerimanya. Aristoteles, seni adalah peniruan bentuk alam dengan kreatifitas dan ide penggubahnya agar lebih indah. Leo Tolstoy, seni adalah suatu kegiatan manusia (penggubah) yang secara sadar dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain (penerima) sehingga ikut merasakan perasaan-perasaan seperti yang ia (penggubah) alami. Schopenhauer, seni adalah suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Meskipun musik adalah seni yang paling abstrak, tapi tiap orang Sedangkan seni sebagai estetika berada di luar lingkup logika ataupun etika. Definisi menurut para ahli sebagai langkah pendekatan memahaminya antara lain sebagai berikut. AlGhazali, keindahan suatu benda terletak pada perwujudan dari kesempurnaan karakteristik benda itu dan ditambah dengan adanya jiwa atau roh di dalamnya. Alexander Baumgarten, keindahan itu dipandang sebagai kesatuan yang merupakan susunan yang teratur dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat satu dengan yang lain secara keseluruhan. Herbert Read, keindahan adalah suatu kesatuan hubungan formal dari pengamatan yang menimbulkan rasa senang. Immanuel kant, keindahan ditinjau dari dua sisi, yaitu objektif. Keindahan adalah keserasian suatu objek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh objek tersebut tidak ditinjau dari segi fungsi subjektif . Zulser, keindahan adalah sesuatu yang baik dan dapat memupuk rasa moral. Penganut teori objektif menempatkan rasa estetis lebih utama sehingga memliki konsep, pola pikir, atau alasan logis mengapa sesuatu itu dikatakan indah. Penganut teori subjektif meletakkan keindahan secara pribadi dalam diri si penikmat karya seni sehinga tidak dapat memberi alasan mengapa sesuatu itu dikatakan indah. Keindahan seni adalah keindahan ekspresi, kreasi seniman. Jadi, pemandangan alam bukan keindahan seni.
23
Lebih lanjut Yudoseputro (2003:167) menguraikan tentang nilai estetik berdasarkan visual bahwa apabila orang memandang atau menikmati karya senirupa,maka ia tidak sadar bahwa ia melihat garis, bentuk, tektur, warna. Karya senirupa itu tampil secara utuh yang memberikan pesan dan kesan tertentu kepada yang memandangnya. Pada tahap permulaan orang tertarik pada fungsi pakai pada cangkir tersebut. Apabila orang lebih terlatih daya apresiasi seninya, maka ia tidak hanya tertarik semata-mata pada fungsi dari benda kerajinan tersebut, tetapi mulai mengamati, menghayati unsur-unsur fisiknya. Ia tertarik juga teknik pembuatanya serta watak kualitas bahanya. Kemudian ia tertarik pada bentuk dan hiasanya,bias mulai menilai dari warnyanya, tektur atau desain keseluruhanya dari benda kerajinan, dari pengalaman apresiasi tersebut, maka orang akan berlatih menghayati hakekat tentang garis, bentuk, warna, tektur dan desain. Nilai estetik berdasarkan visual berarti penilaian terhadap unsur estetik yang menyangkut warna, bentuk, tektur, garis, desain, komposisi, dan sebagainya. Timbul Haryono, (2002:12) mengemukakan bahwa seni kria adalah cabang seni yang menekankan pada ketrampilan tangan yang tinggi dalam proses pengerjaannya. Seni kriya berasal dari kata “Kr” (bhs Sanskerta) yang berarti mengerjakan, dari akar kata tersebut kemudian menjadi karya, kriya dan kerja. Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda atau obyek yang bernilai seni, menyimak pendapat Prof. SP. Gustami yang menguraikan bahwa seni kriya merupakan warisan seni budaya yang adi luhung, yang pada zaman kerajaan di Jawa mendapat tempat lebih tinggi dari kerajinan. Seni kriya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan dan masyarakat elit sedangkan kerajinan didukung oleh masyarakat umum atau kawula alit, yakni masyarakat yang hidup di luar tembok keraton. Seni kriya dipandang sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi karena didukung oleh craftmanship yang tinggi, sedangkan kerajinan dipandang kasar dan terkesan tidak tuntas. Bedakan pembuatan keris dengan pisau baik proses, bahan, atau kemampuan pembuatnya. Lebih lanjut. SP. Gustami (2009:25) menjelaskan perbedaan antara kriya dan kerajinan dapat disimak pada keprofesiannya, kriya dimasa lalu yang berada dalam lingkungan istana untuk pembuatnya diberikan gelar Empu. Dalam perwujudannya sangat mementingkan nilai estetika dan kualitas skill. Sementara kerajinan yang tumbuh di luar lingkungan istana, si-pembuatnya disebut dengan Pandhe. Perwujudan benda-benda kerajinan hanya mengutamakan fungsi dan kegunaan yang diperuntukkan untuk mendukung kebutuhan praktis bagi masyarakat (rakyat). Lebih dalam lagi dijelaskan, pengulangan dan minimnya pemikiran seni ataupun estetika adalah satu ciri penanda benda kerajinan. Seni sebagai kreativitas, manusia memiliki kelebihan berupa akal pikiran, kalbu, emosi, nafsu, dan kemampuan membuat sesuatu. Usaha menggunakan akal pikiran untuk membuat sesuatu (kreasi) yang baru, baik, nyata atau abstrak disebut kreativitas. Proses kreasi seni mempunyai ciri khusus antara lain seperti dibawah ini: 1) Unik, unik artinya sesuatu yang lain dari pada yang lain, yang belum pernah dibuat orang sebelumnya, baik dalam hal ide, teknik, dan media. Alangkah baiknya jika karya senimu adalah hasil kreasimu sendiri, bukan mencontoh dari yang sudah ada. Karya lain dapat digunakan sebagai pemicu munculnya gagasan. Kembangkanlah gagasan tersebut menjadi sesuatu yang unik dan baru. Dengan demikian, kreativitasmu akan terasah. 2) Individual (pribadi), artinya memiliki kekhususan ciri dari seniman pembuatnya, yang 24
berbeda dengan seniman lain karena perbedaan pandangan, penghayatan, pengalaman, dan tehnik dalam membuat karya seni. Bandingkanlah karyamu dengan karya temanmu. Objek yang dipakai sebagai pemicu gagasan seni bisa jadi sama. Tapi karena pandangan, penghayatan, pengalaman, dan teknik yang berbeda, hasilnya tentu akan berbeda. 3) Ekspresif, karya seni merupakan hasil curahan bathin berupa penjabaran dari ide, renungan, perasaan, atau pengalaman seniman. Seni yang tanpa curahan bathin seolah-olah kering dan tak dapat menyentuh perasaan yang menikmatinya. 4) Universal, karya seni dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bangsa, dan generasi karena adanya persamaan rasa estetik dan artistik. 5) Estetika atau nilai-nilai keindahan ada dalam seni maupun desain, yang membedakan adalah estetika dalam seni untuk diapresiasi, sedangkan estetika dalam desain adalah bagian dari sebuah fungsi suatu produk. Dengan demikian keindahan seni adalah keindahan ekspresi, kreasi seniman. Jadi, pemandangan alam bukan keindahan seni, seni dikatakan indah apabila mengandung unsurunsur, cara-cara memahmi serta ciri-ciri tertentu seperti yang telah dijelaskan di atas. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa wujud awal seni kriya lebih ditujukan sebagai seni pakai (terapan). Praktek seni kriya pada awalnya bertujuan untuk membuat barangbarang fungsional, baik ditujukan untuk kepentingan keagamaan (religius) atau kebutuhan praktis dalam kehidupan manusia seperti; perkakas rumah tangga. Benda-benda tersebut dipakai sebagai perhiasan, prosesi upacara ritual adat (suku) serta kegiatan ritual yang bersifat kepercayaan seperti penghormatan terhadap arwah nenek moyang. Dengan demikian perbandingan nilai estetika pada seni, desain, dan kria dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini: PERBANDINGAN DAN PERSAMAAN NILAI ESTETIKA SENI, DESAIN, DAN KRIYA
No.
Uraian
Nilai Estetika Seni
1.
Perwujudan
mengungkapkan ide (gagasan) tertentu.
2.
Fungsi
Untuk diapresiasi
3
Penciptaan
Memenuhi ekspresi pribadi.
Nilai Estetika Desain Mengandung aspek keamanan (safety), kenyamanan (ergonomic, dan keindahan (estetika). Untuk diaprsiasi dan Mengandung aspek Guna (Fungsi) Memenuhi fungsi kegunaan.
Nilai Estetika Kriya Mengandung kualitas skill pembuatnya dengan unsur warna, bahan baku, keakraban, tekstur, garis, bentuk, komposisi, dsb. Benda pakai dan benda hias
Memenuhi ekspresi pribadi dan memenuhi fungsi kegunaan. 25
Peranan Bahasa Terhadap Perkembangan Seni Kria Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa bahasa semua komunikasi tidak akan pernah terjadi. Oleh karena itu untuk mencapai komunikasi yang terstruktur dan sistematik, dipelajarilah bahasa. Adiwijaya ( 2002:7) menjelaskan bahwa sejak seorang bayi lahir dari rahim ibunya, bahasa sudah diajarkan, mula-mula bahasa diajarkan tanpa struktur dan sistematis, lalu setelah anak mulai bersekolah bahasa diajarkan secara terstruktur dan sistematis, sampai dengan bahasa indonesia fungsional. Bahasa fingsionala artinya penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dalam bidang masingmasing disiplin ilmu, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang ilmu seni (seni kriya) Menurit Arifin, (1995), bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti tercantum pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional, kedudukannya berada diatas bahasabahasa daerah. Selain itu juga terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945, tercantum pada pasal khusus ( BAB XV, pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa bahasa Negara ialah bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan sumpah pemuda 1928, kedua, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa Negara sesuai dengan Undang-undang dasar 1945. Kriya anyam merupakan salah contoh dari salahsatu jenis kria sebagai produk unggulan budaya yang mampu melayani masyarakat domestik dan asing, yang dituntut untuk mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan, hal ini akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi. Konsepkonsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Terlebih pula terhadap barang-barang ekspor seperti kriya anyam (kerajinan) yang sudah bertahuntahun diekspor ke bergai Negara. Menurut Nasution (1998:6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) ipteks tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran). Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai 1) Lambang kebanggaan kebangsaan, 2) lambang identitas nasional, 3) alat perhubungan antar warga, antar daerah, dan antar budaya,dan 4) alat yang memungkinkan penyatuan berbagaibagai suku bangsa dengan latar belakang social budaya dan bahasanya masing-masing kedalam kesatuan kebangsaan Indonesia. 26
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia kita junjung disamping bendera dan lambang Negara kita. Di dalam melaksanakan fungsi ini bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri pula sehingga ia serasi dengan lambang kebangsaan kita yang lain. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain. Fungsi bahasa Indonesia yang ketiga sebagai bahasa nasional yaitu sebagai alat perhubungan antar warga, antar daerah, dan antar suku bangsa. Menurut Gorys Keraf (1997:1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah. Menurut Sckermerhorn, (2001:1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari. Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa yang baik dan benar. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa fungsi bahasa sebagai berikut” 1) Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita. Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam hati kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain. 2) Bahasa sebagai Alat Komunikasi Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita. 27
3)
Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5). 4)
Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. PENUTUP Kriya ada dan berkembang sejak jaman dahulu, mulai dari peradaban Animis, Dinamis sampai dengan peradaban Ekotek informasi (Ipteks) atau biasa kita sebut dengan masyarakat global yang memposisikan kria sebagai komoditas. dan bertahan sampai hari ini. Hasil karya kriya masih dapat kita temukan sebagai pelengkap kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Di rumah sebagai tempat tinggal kita (dapur) dapat temukan berbagai kriya antara lain: aseupan (kukusan), nyiru (nyiru), ayakan dsb. Itu tempo dulu, mungkin sekarang istilah kria mengalami transformasi pengertian. Kria dalam konteks masa lampau dimaknai sebagai suatu karya seni yang unik dan karakteristik yang di dalamnya terkandung muatan nilai estetik, simbolik, filosofis, dan fungsional serta ngrawit dalam pembuatannya. Adapun kria dalam konteks masa kini memiliki pengertian yang berbeda yakni; suatu cabang seni yang aktivitasnya; (1) dapat menghasilkan produk fungsional dengan craftmansif yang tinggi untuk kepentingan ekonomi-komersial, dan (2) dapat pula menghasilkan karya-karya seni yang merupakan ekspresi individual untuk kepentingan prestise kesenimanan. Pada kenyataanya kria merupakan istilah yang lebar dan umum yang memiliki banyak istilah turunan yakni: Kria Seni, Kria-ekspresi, Disain Kria, Kria Disain, Kria Produk, dan Kria Kontemporer. Istilah-istilah tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokan kedalam dua kategori yaitu kria desain dan kriya seni.Perbedaan mendasar dari kedua kategori ini terletak pada motivasi dalam penciptaan karyanya.Hal ini dapat dijelaskan bahwa aktivitas kria disain selalu berurusan dengan persoalan penciptaan benda-benda fungsional untuk kepentingan ekonomi-komersial sedang kria seni aktivitasnya berurusan dengan penciptaan karya-karya seni murni untuk kepentingan ekspresi.
28
Pada akhirnya dapat penulis bandingkan antara perbedaan dan persamaan nilai estetika seni, desain dan kriya. DAFTAR PUSTAKA Adiwidjaya, S. B., 2003, Bahasa Indonesia Hukum. Penerbit, Bandung: Penerbit CV. Pustaka. Ariffin, E. Zaenal (2001). Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Penerbit CV Akademika Pressindo. Badan Pembinaan Hukum Nasional ( BPHN). 1974. Bahasa dan Hukum, Medan: Penerbit CV.Binacipta. Badudu, JS. (1995) Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Featherson J.R, 2000, Hunt and Osborn, R.V, Managing Organizational Bahavior,: John Willeymd Son, New York. Gustami,Sp. 2004. “Seni Kriya Indonesia Dilema Pembinaan dan Pengembangan", SENI: Jurnal Pengetahuan dan Pencitaan Seni. 1/03 – 14-II. Yogyakarta. Gustami, SP. 2009. Filosofi Seni Kria Tradisional Indonesia. Artikel: Majalah Seni Edisi XV.Jogjakarta. Haryono, Timbul,(2000) Dilema Pendidikan Kriya, dalam Refleksi Seni Rupa Indonesia Dulu Kini dan Esok., Penyunting Baranul Anas, Jakarta: penerbit Balai Pustaka. Keraf, (1997), Komposisi dalam Bahasa Indonesia : Jakarta: Penerbit CV Akademika Pressindo. Nasution, B. Johan. 1998. Bahasa Indonesia Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Sachari, Agus, 1993, Estetika Terapan, Spirit-spirit yang menikam Desain, Bandung: Penerbit PT Nova. Bandung Sedyawati, Edi, 1999, Kria dalam Kebudayaan Indonesia, Makalah Kria dalam Konfrensi dan Pameran Rekayasa, Institut Teknologi:Bandung Soegijo, Shidarta, 2009, Seni Kria dan Kerajinan Tangan, Jakarta Makalah Seminar Sehari ISBI Jogjakarta. Sckermerhorn, J.R, 2000, Hunt and Osborn, R.V, Managing Organizational Bahavior, NewYork:John Willeymd Son. Yanagi, Suetsu, 1972,”The Unknown Craftman Javanese Insight Inti Beauty: USA: Kodansa International. Yudosaputro, Wiyoso, 2003, Perjalanan Seni Rupa Indonesia, Dari Zaman Prasejarah hingga Masa Kini,: Pameran Seni Budaya. Bandung. Yudosaputro, Wiyoso, 1996, Seni Anyaman, Penerbit Craftman Malayasia: Kualalumpur
29