Tekno Efisiensi
Jurnal Ilmiah KORPRI Kopertis Wilayah IV,
Vol 1, No. 1, Mei 2016
PENEGAKAN HUKUM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DI KABUPATEN GARUT Oleh: Yuli Susanti
ABSTRAK - Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak sebagai korban merupakan salah
satu masalah sosial yang sangat meresahkan masyarakatsehingga perlu dicegah dan ditanggulangi. Oleh karena itu masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan terutama kalangan kriminolog dan penegak hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Garut. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, dan metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian diperoleh bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak di Kabupaten Garut belum berjalan secara optimal seperti apa yang diharapkan, karena tidak ada kerjasama antara penegak hukum dan lembaga-lembaga yang berwenang untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Oleh karena itu, dalam menegakkan hukum, diharapkan aparat penegak hukum terutama pihak Kepolisian dapat mewujudkan perlindungan hukum terhadap korban dengan memberikan pendampingan psikiater untuk menjaga kejiwaan dari rasa trauma akibat tindak pidana pencabulan tersebut. Kata Kunci : Penegakan Hukum, Pencabulan, Anak ABSTRACT - Criminal acts of sexual abuse against childrenas victimsis one of the social
problems and Very unsettling, so it needs to be prevented and tackled. This problem needs to be addressed seriouslyfrom all circlesespecially among criminologists and law enforcement. the purpose of this research isto knowhow law enforcement for criminal sexual abuseagainst childrenin Garut. This type of research is descriptive analyticand the research method used is normative. Results of the research arelaw enforcement against criminal acts of abuseagainst childrenin Garutis not already running optimallyas expected, because there is no co-operationbetween law enforcement agencies and institutions authorizedto give a protection for children. So in upholding the law, law enforcerespecially the Policecan realize the legal protectionagainst victimby providing psychiatric assistanceto keep the psychiatricfrom a sense of traumaas a result of the criminal act of abuse. Keywords: Law enforcement, Sexual abuse, Child. PENDAHULUAN
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya seorang laki-laki meraba kelamin seorang perempuan. Tindak pidana pencabulan diatur dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) pada bab XIV Buku ke-II yakni dimulai dari Pasal 289-296 KUHP, yang selanjutnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. 88
Tindak pidana pencabulan tidak hanya di atur dalam KUHP saja namun di atur pula pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anakyang menetapkan bahwa: “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancamankekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidanapenjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan paling sedikit 60 juta rupiah”. Pencabulan cukup beragam, ada beberapa jenis istilah tentang pencabulan adalah: 1. Exhibitionism seksual : sengaja memamerkan alat kelamin pada anak 2. Voyeurism : orang dewasa mencium anak dengan bernafsu 3. Fonding : mengelus/meraba alat kelamin seorang anak 4. Fellatio : orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak mulut. Tindak pidana pencabulan ini tidak hanya terjadi dikota-kota besar, bahkan terjadi di desa-desa terpencil. Salah satunya di wilayah Kabupaten Garut yang menangani kasus pencabulan yang semakin meningkat dan memprihatinkan. Terbukti sepekan terakhir Polres Garut mencatat laporan pencabulan terhadap anak di bawah umur sebanyak lima kasus. Kelima kasus tersebut, dilakukan oleh orang-orang yang masih terbilang dekat dengan korban.Hal ini diungkapkan oleh Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Garut Ipda Wien Chirtianingsih. Dia mengungkapkan bahwa : “anak yang menjadi korban dari kasus pencabulan berusia antara 5 sampai 16 tahun. Sementara pelaku pencabulan, merupakan orang-orang yang usianya sudah lebih dewasa dan merupakan orang yang dikenal oleh korban dan keluarga korban. Kemudian dia melihat bahwa tingginya kasus pencabulan ini terjadi karena rendahnya pengawasan orang tua kepada anak-anaknya. Para pelaku, melakukan aksinya saat anak lepas dari pengawasan orang tua. Selain itu para pelaku juga orang yang kenal korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, ia berharap, orang tua dapat meningkatkan pengawasan terhadap anak mereka dalam pergaulan di luar rumah. Dari lima kasus yang kita tangani, tiga kasus cabul dilakukan di rumah korban saat orang tua korban tidak ada, sementara dua kasus lainnya dilakukan di penginapan”. Selain itu, dari laporan kasus pencabulan terhadap anak yang terakhir diterima Polres Garut juga menimpa salah seorang gadis berusia 16 tahun. Yang membuatnya khawatir adalah, setelah dilakukan visum dokter, ternyata korban telah melakukan hubungan badan lebih dari 10 kali dalam kurun waktu yang lama. Oleh karena itu, Wien berharap orang tua agar dapat lebih berhati-hati dan melakukan pengawasan ketat kepada para anaknya”. Tindak pidana pencabulan terhadap anak sebagai korbannya merupakan salah satu masalah sosial yang sangat meresahkan masyarakat sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi. Oleh karena itu masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan terutama kalangan aparat penegak hukum. 89
Berdasarkan uraian tersebut, satu permasalahan yang perlu dikaji lebih lanjut adalah bagaimana penegakkan hukum terhadap tindak pidana pencabulan anak khususnya di Kabupaten Garut dikaitkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalan penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu metode pengkajian didasarkan pada data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan hukum primer, dalam hal ini peraturan perundangan hukum pidana positif yang relevan dengan permasalahan yang ada. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas hukum positif dikaitkan dengan teoti hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam masyarakat. Penelitian deskriptif merupakan penelitian untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang (masalah aktual) dengan mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis dan menginterpretasikannya. Dengan demikian, dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai penegakkan hukum terhadap tindak pidana pencabulan anak dalam hukum pidana, dan oleh karena penelitian ini lebih menitikberatkan pada pendekatan yuridis normatif, maka penentuan populasi, sample dan teknik sampling bukan merupakan suatu keharusan. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A.
Tinjauan Tentang Pencabulan
1. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Pencabulan oleh Moeljatno dikatakan sebagai segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya. Definisi yang diungkapkan Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminanya, di mana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana. R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji,semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan Untuk dapat menyatakan seseorang bersalah telah melakukan perbuatan cabul yang melanggar Pasal 290 KUHP maka harus memenuhi unsur- unsur sebagai berikut: Unsur-unsur Pasal 290 sub 1e. a. Unsur objektif: 1) Barang siapa; Yang dimaksud dengan perkataan barang siapa adalah menunjukkan bahwa siap saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang 90
dimaksud di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 1 e KUHP, maka ia dapat disebut sebagai palaku dari tidak pidana tersebut. 2) Melakukan pencabulan dengan seseorang; Yang dimaksud dengan malakukan pembuatan cabul adalah melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba, buah dada dan sebagainya. b. Unsur subjektif: Diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. Bahwanya seseorang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya harus diketahui oleh pelaku. Dimaksud dengan pingsan adalah berada dalam keadaan tidak dasar sama sekali, sehingga ia tidak dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Unsur-unsur Pasal 290 sub 2e a. Unsur Objektif: 1) Barang siapa; Yang dimaksud dengan perkataan barang siapa adalah menunjukkan bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pindana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 2e KUHP, maka ia dapat sebut dari tidak pidana tersebut. 2) Melakukan perbuatan cabul dengan seseorang; Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji dalam kelingkungan nafsu birahi kelamin,misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba dada dan sebagainya. b. Unsur Subjektif: Ketahui atau patut harus disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup 15 (lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun. Perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita umur 16 (enam belas) tahun dengan kemungkinan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pria maupun wanita. Unsur-unsur Pasal 290 sub 3e a. Unsur Objektif: 1) Barang siapa Yang dimaksud dengan perkataan batrang siapa adalah menunjukkan bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang 91
dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 2e KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari pidana tersebut. 2) Membujuk (menggoda) seseorang Pengertian “membujuk” tidak persyaratan dipergunakannya cara-cara tertentu agar seseorang melakukan suatu perbuatan. Hal ini dapat terjadi dengan permintaanpelaku agar dipegannya alatkelaminnya. 3) Untuk melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin. Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah malakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Persetubuhan yang dimaksud disini adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang yang dewasa dengan seseorang yang belum berumur 15 tahun. b. Unsur Subjektif: Diketahui atau patut harus disangkanya bahwa orang itu belum cukup 15 (lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya. Bahwa orang itu belum masanya buat dikawini. B. Penegakan Hukum Pidana di Indonesia Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan secara khusus banyak diatur di peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ketentuan pidana. Begitu juga dengan hukum pidana formil di Indonesia, diatur secara umum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan secara khusus ada yang diatur di undang-undang yang mencantumkan ketentuan pidana. Berpijak pada kedua aturan hukum positif tersebut, penegakan hukum pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan secara bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana secara penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum acara pidana secara instansional (Diferensiasi Fungsional) dan sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan (Intregated Criminal Justices system). Pada strukturnya, penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir ditangani lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah dan mempunyai tugas serta wewenangnya masing-masing. Misalnya penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh kepolisian, penuntutan dilakukan oleh kejaksaan, dan pemeriksaan persidangan beserta putusan menjadi tanggung jawab dari hakim yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Antara kepolisian dan kejaksaan, ketika melakukan penyidikan kepolisian akan menyusun berita acara pemeriksaan yang nantinya menjadi dasar dari kejaksaan 92
untukmenyusun surat dakwaan. Sementara itu, ada juga proses yang dinamakan pra penuntutan, yakni ketika berkas dari kepolisian di anggap belum lengkap untuk menyusun surat dakwaan oleh kejaksaan, maka berkas tersebut dikembalikan ke kepolisian untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk dari jaksa yang bersangkutan. a. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam menegakkan hukum, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Oleh karena itu Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Penegakan hukum harus berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, karena hukum diciptakan semata-mata untuk kepetingan masyarakat. Sehingga dengan adanya penegakan hukum diharapkan masyarakat dapat hidup aman, damai, adil, dan sejahtera. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, artinya bahwa dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. b. Aparatur Penegak Hukum Aparat penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penegakan hukum antara lain: 1. Polisi, adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib. 2. Jaksa, adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 93
3. Hakim, adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. 4. Penasehat hukum, adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. 5. Petugas Lembaga Pemasyarakatan, adalah seseorang yang diberikan tugas dengan tanggung jawab pengawasan, keamanan, dan keselamatan narapidana di penjara maupun rutan. Dalam proses bekerjanya aparat penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhinya, yaitu: a. Institusi penegak hukum beserta perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya. b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya. c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materiilnya maupun acaranya. c. Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana di Indonesia Dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, yang menjadi masalah pokok sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu : 1. Faktor hukumnya sendiri/substansi. Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin memungkinkan penegakannya. Sebaliknya, samakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkannya. Di dalam menyusun hukum yang baik, maka diperlukan ilmu dan teknologi hukum yang cukup. Untuk menyusun peraturan perundang-undangan tertentu misalnya, selain diperlukan kemahiran membuat peraturan secara teknis, juga diperlukan pengetahuan yang sistematis mengenai materi atau substansi yang akan diatur dengan peraturan tersebut secara: a) Yuridis, yaitu apabila peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. b) Sosiologis, yaitu apabila hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebutditujukan/diberlakukan. c) Filosofis, yaitu apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi, yaitu masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
94
2. Faktor penegak hukum Penegak hukum pihak-pihak yang membentuk maupunmenerapkan hukum. Mentalitas penegak hukum merupakan titik sentral daripada proses penegakan hukum. Hal ini disebabkan karena pada masyarakat Indonesia masih terdapat kecenderungan yang kuat, untuk senantiasa mengidentifikasikan hukum dengan penegaknya. Apabila penegaknya bermental baik, maka dengan sendirinya hukum yang diterapkannya juga baik. Kalau saja penegak hukum tidak disukai, maka secara serta merta hukum yang diterapkan juga dianggap buruk. 3. Faktor sarana atau fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. 4. Faktor masyarakat Semakin tinggi kesadaran masyarakat akan hukum maka semakin memungkinkan adanya penegakan hukum di masyarakat. Karena hukum adalah berasal dari masyarakat dan diperuntukkan mencapai keadilan di masyarakat pula. 5. Faktor kebudayaan/culture Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Kebudayaan mendasari adanya hukum adat, yakni hukum kebiasaan yang berlaku. C. Penegakan Hukum untuk Mengatasi Tindak Pidana Pencabulan Anak di Kabupaten Garut Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Penegakkan hukum terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Garut menghadapi berbagai permasalahan, diantaranya adalah bahwa dalam hal keadilan bagi para pelaku pencabulan yang telah mendapatkan hukuman ternyata tidak membuat perilaku para pelaku pencabulan tersebut jera atau berubah menjadi lebih baik, sehingga hal ini menyebabkan korban merasa tidak mendapatkan keadilan, karena hukum merupakan peraturan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Penegakan hukum dalam suatu tindak pidana pencabulan di Kabupaten Garut yang dilakukan oleh pelakunya orang dewasa terhadap korban yang masih di bawah umur belum efisien, karena terdapat faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut yang antara lain sebagai berikut: 1. Faktor Hukum Faktor hukumnya, maksudnya dalam hal kaitannya mengenai undang-undang yang berlaku di Indonesia yang semakin beragam bentuk serta tujuannya dan hampir dalam 95
kehidupan sehari-sehari masyarakat harus mentaati peraturan tersebut. Setiap peraturan perundang-undangan memiliki kelemahan-kelemahan dalam setiap pasalnya, banyaknya perundang-undangan dibuat yang bertujuan untuk menekan angka pelanggaran dan kejahatan, akan tetapi dalam kenyataannya angka pelanggaran dan kejahatan itu semakin meningkat dari tahun ke tahun di Kabupaen Garut terutama tindak pidana pencabulan, peningkatan tersebut disebabkan ialah kurangnya meratanya masyarakat memahami undang-undang tersebut serta kurangnya sosialisasi mengenai penyuluhan hukum mengenai undang-undang pada masyarakat. Menurut pernyataan dari Kanit PPA Polres Garut menyatakan bahwa: ”Proses penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan di Kabupaten Garut selama ini sudah sesuai dengan prosedural penyidikan dan telah menerapkan undang-undang yang sesuai dengan perlindungan anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Walaupun pada kenyataannya kami masih menemukan beberapa kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi misalnya faktor keluarga dimana yang menjadi korbannya anggota keluarga itu sendiri (anak dicabuli oleh ayahnya). Disatu sisi anak aharus mendapatkan keadilan, disisi lain yang menjadi pelaku pencabulan adalah ayahnya sendiri sehingga hal ini menjadi aib keluarga”. 2. Faktor Penegak Hukumnya Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Penegakan hukum harus berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, karena hukum diciptakan semata-mata untuk kepetingan masyarakat. Sehingga dengan adanya penegakan hukum diharapkan masyarakat dapat hidup aman, damai, adil, dan sejahtera. Kehormatan, keberanian, komitmen, integritas, dan profesionalisme adalah merupakan dasar bagi para penegak hukum. Sudah sejak dahulu profesi para penegak hukum dianggap sebagai profesi mulia. Oleh karena itu seorang penegak hukum dalam bersikap haruslah menghormati hukum dan keadilan, sesuai dengan kedudukan aparat penegak hukum tersebut sebagai the officer of the criminal. Sudah merupakan suatu keharusan bagi para penegak hukum memahami kode etik profesi dalam menjalankan tugasnya masingmasing. Dalam memberikan keadilan dan perlindungan terhadap korban terutama dalam tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Garut, para penegak hukum telah menerapkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam kasus pencabulan yang korbannya menimpa seorang anak di bawah umur ini menyangkut tentang hak asasi anak sebagai korbannya yang tidak baik mendapatkan perlakuan dalam hal kekerasan seksual sesuai dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 pada Pasal 82 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. 96
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Sarana atau fasilitas di bidang hukum harus benar-benar berjalan secara baik, seperti: mobil/motor patroli dan pos-pos polisi. Sarana atau fasilitas tersebut menjadi sebuah dukungan demi kelancaran penegakan hukum di Indonesia. Sarana atau fasilitas yang dimaksud mencakup mengenai proses perkara pidananya. 4. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan Penegakan hukum menjadi tolok ukur bagi masyarakat untuk merasakan suatu keadilan. Mengenai kasus pencabulan dimana masyarakat sangat berperan aktif dalam masalah penegakan hukum, maksudnya masyarakat harus mendukung secara penuh dan berkerja samadengan para penegak hukum dalam usaha penegakan hukum. Untuk menanggulangi tindak pidana kesusilaan terutama tindak pidana Pencabulan di Kabupaten Garut, penegakan hukumnya dilakukan dengan upaya-upaya pencegahan (preventif) dan upaya penanggulanggan (refresif). 1. Upaya Preventif (pencegahan) a. Individu Harus dilakukan oleh setiap individu adalah berusaha untuk terus mencoba agar tidak menjadi korban kejahatannya khususnya pencabulan, salah satunya adalah tidak memberikan kesempatan atau ruang kepada setiap orang atau setiap pelaku untuk melakukan kejahatan b. Masyarakat Kehidupan masyarakat adalah suatu komunitas manusia yang memiliki watak yang berbeda-beda satu sama lainnya, sehingga kehidupan masyarakat merupakan salah satu hal yang penting dimana menentukan dapat atau tidaknya suatu kejahatan dilakukan. c. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah Banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Garut sebagai upaya penanggulangan kejahatan asusila terutama pencabulan, diantaranya: 1) Mengadakan penyuluhan hukum.
Upaya penyuluhan hukum sangatlah penting dilakukan, mengingat bahwa pada umumnya pelaku kejahatan, khususnya tindak pidana pencabulan adalah tingkat kesadaran hukumnya masih relatif rendah, sehingga dengan adanya kegiatan penyuluhan ini diharapkan mereka dapat memahami dan menyadari, bahwa tindak pidana pencabulan itu merupakan perbuatan melanggar hukum serta merugikan masyarakat, yang diancam dengan Undangundang. 2) Mengadakan penyuluhan keagamaan
Melalui penyeluhan keagamaan diharapkan keimanan seseorang terhadap agama kepercayaannya semakin kokoh, serta dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari di dalam masyarakat, serta untuk melakukan kejahatan menyangkut tindak pidana asusila terutama tindak pidana pencabulan dapat dialihkan kepada hal-hal yang positif. 97
d. Kepolisian Usaha yang dilakukan polisi Kabupaten Garut dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencabulan diantaranya adalah melakukan patroli/razia rutin untuk meningkatkan suasana kamtibmas dalam kehidupan masyarakat, selain itu kepolisian juga secara rutin memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarakat dibantu lembaga terkait. 2. Upaya Represif (penanggulangan) Upaya represif merupakan upaya penanggulangan kejahatan asusila termasuk pencabulan. Penanggulangan yang dilakukan secara represif adalah upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, berupa penjatuhan atau pemberian sanksi pidana kepada pelaku kejahatan, dalam hal ini dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga permasyarakatan. Upaya represif harus mendapat perintah dari atasan dikarenakan jika terjadi kesalahan prosuder dan lain sebagainya yang mengakibatkan kerugian bagipelaku ataupun masyarakat, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab atasan. Sehingga aparat yang bekerja dilapangan dalam melakukan tindakan tidak sewenang-wenang. Tindakan tersebut dapat berupa pelumpuhan terhadap pelaku, melakukan penangkapan, penyelidikan, penyidikan dan lain sebagainya. Sementara bagi pihak kejaksaan adalah meneruskan penyidikan dari kepolisian dan melakukan penuntutan dihadapan majelis hakim pengadilan negeri. Sementara di pihak hakim adalah pemberian pidana maksimal kepada pelaku diharapkan agar pelaku dan calon pelaku mempertimbangkan kembali untuk melakukan dan menjadi takut dan jera untuk mengulangi kembali. Sementara bagi pihak Lembaga Permasyarakatan memberikan pembinaan terhadap narapidana yang berada di Lembaga Permasyarakatan berupa pembinaan mental agama, penyuluhan hukum serta berbagai macam keterampilan. Selain upaya-upaya tersebut, bentuk perlindungan lain terhadap anak sebagai korban kejahatan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah: a. Melarang orang melakukan pebuatan persetubuhan dengan anak dengan cara kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang terkadung di dalam Pasal 81 ayat (1). Melarang orang melakukan perbuatan persetubuhan dengan anak dengan cara apapun misalnya, membujuk, merayu, menipu serta mengiming-imingi anak untuk diajak bersetubuh yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2). Melarang orang melakukan perbuatan cabul dengan anak dengan cara apapun misalnya dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, membujuk, menipu dan sebagainya dengan maksud agar anak dapat dilakukan pencabulan yang diatur dalam Pasal 82. b. Melarang orang memperdagangkan anak atau mengekspoiltasi anak agar dapat menguntungkan dirinya sendirinya atau orang lain diatur dalam Pasal 88. Bentuk perlindungan terhadap anak tersebut merupakan suatu bentuk atau usaha yang diberikan oleh undang-undang perlindungan anak kepada anak, agar anak tidak menjadi korban dari suatu tindak pidana akan tetapi apabila anak telah menjadi korban tindak pidana maka usaha yang dilakukan menurut Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada pasal 64 ayat (2) yang pada dasarnya memuat tentang segala upaya yang diberikan pemerintah dalam melindung anak yang menjadi korban tindak pidana yang meliputi: 98
a. Upaya rehabilitasi yang dilakukan di dalam suatu lembaga maupun di luar lembaga, usaha tersebut dilakukan untuk memulihkan kondisi mental, fisik, dan lain sebagainya setelah mengalami trauma yang sangat mendalam akibat suatu peristiwa pidana yang dialaminya. b. Upaya perlindungan pada identitas korban dari publik, usaha tersebut diupayakan agar identitas anak yang menjadi korban ataupun keluarga korban tidak diketahui oleh orang lain yang bertujuan untuk nama baik korban dan keluarga korban tidak tercemar. c. Upaya memberikan jaminan keselamatan kepada saksi korban yaitu anak dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosialnya adri ancaman pihak-pihak tertentu, hal ini diupayakan agar proses perkaranya berjalan dengan efisien. d. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkaranya, hal ini diupayakan agar pihak korban dan keluarga mengetahui mengenai perkembangan proses perkaranya. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak pada pasal 20, yang menyebutkan pada dasarnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. PENUTUP Kesimpulan Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak di Kabupaten Garut sebagian sudah dijalankan sesuai dengan prosedur yang berlaku walaupun belum berjalan secara optimal seperti apa yang diharapkan, misalnya terhadap pelaku pencabulan masih ada dari pihak korban yang berusaha memaafkan pelaku. Hal ini terlihat dari prilaku dan tindakan penegakan hukum pidana secara penegasan pembagian tugas dan wewenang anatara aparat penegak hukum acara pidana tidak ada kerjasama yang baik antara penegak hukum dan lembaga-lembaga yang berwenang untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Saran Dalam menegakkan hukum, diharapkan aparat penegak hukum terutama pihak Kepolisian dapat mewujudkan perlindungan hukum terhadap korban dengan memberikan pendampingan psikiater untuk menjaga kejiwaan dari rasa trauma akibat tindak pidana pencabulan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Bambang Sunggono, 2002, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Kartini Kartono, 1985, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung, Mandar Maju. Leden Marpaung, 2004, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta, 99
Sinar Grafika. Moch, Anwar, 1981, Hukum Pidana Bagian Khusus (kuhp buku II) jilid 2, Bandung, Alumni. Moeljatno, 2003Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta, Bumi Aksara. Philipus M. Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum”, Makalah, ‘Penataran dan LokakaryaSehari Menggagas Usulan dan Laporan Penelitian Hukum Normatif’, Fakultas Hukum Brawijaya, Malang 22 Pebruari, 1997 R. Soesilo. 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentarkomentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor , Politeia. Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung , PT Citra Aditya Bakti. Wawancara, hari Rabu tanggal 21 Nopember 2014 dengan Kanit PPA Polres Garut.
100