Tekno Efisiensi
Jurnal Ilmiah KORPRI Kopertis Wilayah IV,
Vol 1, No. 1, Mei 2016
SISTEM PENGAWASAN PEMERINTAHAN DAERAH Oleh: Uliana Ria Sembiring ABSTRAK - Pemerintah daerah dibentuk untuk mencapai tujuan daerah supaya menjadi teratur, aman, dan sejahtera. Pemerintah daerah sekarang diatur dengan Undang-Undang No.23 / 2014. Masalah di pemrintah daerah sangat luas. Luasnya pemerintahan daerah ditandai dengan banyaknya pulau Indonesia, meningkatnya jumlah daerah otonomi, birokrasi pemerintah daerah menjadi luas, meningkatnya biaya daerah dan faktor lain, demikian mengontrol fungsi-fungsi di semua level pada pemrintah daerah, maka keadaan daerah dicapai dalam kaitan dengan rencana. Kontrol proses mencakup empat fase, yaitu pembentukan standar kontrol, mengukur kinerja, membandingkan kinerja dengan standar kontrol, dan tindakan koreksi, yang mana adalah kesatuan dari semua fase, yang harus diimplementasikan secara efektif dan efisien. Bermacam jenis kontrol yang diimplementasikan pada pemerintah daerah, maka integritas dan efektif daripada fungsi kontrol pada pemerintah daerah diperlukan satu sistem kontrol . Sebagaimana laporan semua kontrol, semua control yang dihasilkan oleh pengawas pada pemerintah daerah, menjadi sia-sia jika tindakan koreksi tidak dilaksanakan, baik berupa jenis hukuman atau berupa sebuah jenis penghargaan oleh pihak yang berwenang. Untuk pengawasan efektif dalam implementasi pemerintah daerah perlu sikap baik dari pemimpin di pemerintah daerah. Kata Kunci: Pemerintah Daerah, Sistem Kontrol, dan tindakan koreksi ABSTRACT - Regional governments was formed in order to achieve regional performance in terms of orderliness and safetiness and welfare. The regional governments of today are governed by Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Problems of governance in the region more complicated. Complicating of regional governments was indicated by the vast area of Indonesia, the increasing number of autonomous regions, the local government bureaucracy becomes big, the growing regions budget and other factors, thus requiring control functions at all levels of local government, so that regional performance is achieved in accordance with a predetermined plan. The control process includes four phases, they are control standards formulation, measuring the performance, comparing performance with control standards and corrective action which are the unity of all phases, that must be implemented effectively and efficiently. Various types of controls which are implemented in regional government, so the effectiveness and integrity of implementation of control functions of regional government are needed one control system. As good as all control reports which are produced by the supervisors in me regional government, there is uselessness, if corrective action is not to be done, either in a punishment types or in a rewards types form by the competent authorities. For the effectiveness of controlling in implementing of local governments need good personality of the leaders in the regional government. For the effectiveness of controlling in implementing Keywords: Regional Governments, Control System and Corrective Actions.
I. PENDAHULUAN Pemerintahan negara pada mulanya setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 dilakukan secara sentralistik, namun seiring dengan 136
pertambahan penduduk, disamping sentralistik dibutuhkan pula sistem pemerintahan desentralistik, bahkan dewasa ini adanya perpaduan antara keduanya dalam rangka mewujudkan tujuan negara sebagaimana tertera dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Mengapa diperlukan pemerintahan daerah? Menurut Swandi (2003) bahwa pemerintahan daerah diperlukan karena wilayah negara terlalu luas dan perlunya diciptakan kesejahteraan secara demokratis. Luasnya wilayah RI menurut Sukaya dkk (2002:37) mengemukakan bahwa” Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan pulau kecil dengan luas keseluruhan 5.193.350 km2 yang terluas di antara negara-negara Asia Tenggara”. Begitu luasnya wilayah Indonesia, sehingga rentang kendali (spans of control) Pemerintah Pusat semakin kompleks dan terbatas. Selain alasan tersebut, terdapat alasan lain yaitu masyarakat daerah lah yang paling mengetahui potensi dan permasalahan daerahnya sendiri. Untuk itu maka diperlukan pemerintahan daerah. Menguatnya desentralisasi pemerintahan dimulai saat dikeluarkan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian undang-undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang sekarang masih berlaku. Dentuman desentralisasi tampak berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Perkembangan daerah otonom berdasarkan Buku Laporan Penyusunan Desain Besar Penataan Daerah di Indonesia, yang disusun oleh Kementerian Dalam Negeri dalam Wasistiono Sadu (2011) dapat digambarkan bahwa “Pertambahan daerah otonom baru sejak 1999 s/d akhir tahun 2009 sebanyak 203 dan total keseluruhan daerah otonom, sampai dengan akhir tahun 2009 sebanyak 524 ( Provinsi sebanyak 33 dan kabupaten/kota sebanyak 491)“. Perkembangan terakhir Wasistiono Sadu (2011) mengemukakan bahwa pemerintahan di daerah menuju desentralisasi berkeseimbangan baik keseimbangan secara horizontal maupun keseimbangan secara vertikal. Desentralisasi berkeseimbangan memperhatikan kebhinekaan daerah, bangsa dan masyarakat menuju jalan tengah atau keharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan filosofi Pancasila, dalam rangka mewujudkan citacita dan tujuan nasional Indonesia. Hubungan pemerintahan provinsi dan pemerintahan Kabupaten/kota di daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, tidak bersifat hierarchies akan tetapi hubungan pemerintahan yang bersifat koordinatif. Penyelenggara pemerintahan daerah berdasarkan pasal 19 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 adalah Pemerintah Daerah dan DPRD. Setiap tingkat pemerintahan daerah mempunyai urusan pemerintahan. Urusan-urusan pemerintahan diklasifikasikan dalam jenis urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan-urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan selanjutnya ditetapkan dalam peraturan daerah tentang urusan pemerintahan daerah. Kewenangan daerah menjadi dasar pembentukan organisasi perangkat daerah 137
sebagai pembantu kepala daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan daerah menjadi kenyataan. Perangkat daerah provinsi terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas-dinas dan lembaga teknis daerah, sedangkan perangkat daerah kabupaten/kota terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan yang dibentuk berdasarkan peraturan daerah. Tugas pokok dan fungsi masing-masing organisasi perangkat daerah selanjutnya dijabarkan dalam bentuk program/proyek dan kegiatan. Untuk mengimplementasikan program/proyek dan kegiatan dalam mewujudkan kinerja organisasi, dibutuhkan sejumlah anggaran belanja. Berkembangnya daerah otonom berdampak pada meningkatnya besaran birokrasi pemerintah daerah meningkatnya kebutuhan dana atau anggaran belanja untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Anggaran Belanja yang dialokasikan berdasarkan APBN Tahun 2010 dan Tahun 2011 adalah sebagai berikut: Tabel 1 APBN Tahun 2010 dan APBN Tahun 2011 Anggaran Belanja APBN Transfer ke Daerah JUMLAH (RP) Pemerintah Pusat % Tahun (Dim Rp) (RP) 2010 1.047.666.142.99 725.243.010.910. 322.423.032.080.000 30,77 0.000 000 2011 1.229.558.465.20 836.578.166.827. 392.980.298.478.200 31,96 6.000 800 Sumber : Undang-Undang RI No 47 Tahun 2009 Tentang APBN Tahun 2010 dan Undang-Undang RI No 10 Tahun 2010 Tentang APBN Tahun 2011. Berdasarkan data tersebut , dapat dikemukakan bahwa anggaran r belanja daerah tahun 2011 meningkat dari anggaran belanja daerah tahun ' 2010 untuk mencapai kinerja daerah. Agar supaya kinerja daerah tercapai sesuai dengan yang direncanakan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat secara nyata di daerah, maka pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara keseluruhan harus dilaksanakan secara terpadu oleh semua stake holders yang terkait, baik pada organisasi tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota maupun pada organisasi tingkat desa. II.
PENGERTIAN, TUJUAN DAN SISTEM PENGAWASAN PEMBAHASAN
Beberapa pengertian pengawasan diuraikan berikut ini. Menurut pendapat Ya’qub (1984 : 48) menyatakan bahwa : “Meskipun rencana yang mantap telah ada, sudah diatur dan digerakkan, belumlah terjamin bahwa tujuan akan tercapai secara otomatis. Disini diperlukan pula adanya pengawasan (Controlling) untuk mengawasi segala sesuatunya berjalan menurut rencana atau tidak. Controlling ialah mengamati kegiatan secara konstan, apakah segala aktivitas manajemen berjalan lurus atau menyimpang. Controlling berusaha 138
mempertahankan agar seluruh kegiatan berjalan lurus di atas garis yang telah ditetapkan. Dan jika ditemukan penyimpangan, maka diluruskanlah sedini mungkin, supaya penyimpangan itu tidak berkepanjangan yang menimbulkan bencana yang lebih besar. “ Selanjutnya Terry berpendapat bahwa fungsi fundamental manajemen adalah : Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling disingkat dengan POAC yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terry (1977 : 481) mendefinisikan bahwa “controlling is determining what is being accomplished, that is evaluating the performance and, if necessary, applying corrective measures so that the performance takes place according to plans “ Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen yaitu proses kegiatan untuk mengetahui apa yang telah dikerjakan, yang berkaitan dengan evaluasi prestasi kerja, jika perlu melakukan tindakan perbaikan atau tindak lanjut berdasarkan standar atau tolok ukur yang ditetapkan sebelumnya, agar supaya prestasi kerja tercapai sesuai dengan rencana. Fungsi-fungsi fundamental manajemen tersebut juga merupakan sistem. Tujuan pengawasan dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Hasil kerja diperoleh secara berdaya guna (efektif) dan berhasil guna (efisien) sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan; b. Untuk mengetahui dimana letak kelemahan/penyimpangan, sebab- sebab terjadinya penyimpangan, dampaknya serta pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kelemahan/penyimpangan tersebut; c. Mencegah kemungkinan terjadinya pemborosan sumber daya (in efficiency) penyimpangan, kelalaian, dan kelemahan; d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana; e. Mempertebal rasa tanggungjawab pegawai; f. Membimbing pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya; Pengawasan bukan mencari-cari kesalahan terhadap orangnya, tetapi pengawasan berupaya untuk menemukan apa yang tidak benar dalam pencapaian hasil kerja dari pelaksanaan pekerjaan pegawai dan organisasi secara keseluruhan. Sehubungan dengan itu maka dalam implementasi fungsi pengawasan tersebut harus ada pedoman berupa asas atau prinsip yang dijadikan pegangan oleh pengawas dan pihak yang terkena pengawasan. Silalahi (1999) mengemukakan prinsip pengawasan bahwa pengawasan itu harus berlangsung terns menerus, menemukan fakta, tidak mencari-cari kesalahan, memberi bimbingan, tidak menghambat pelaksanaan pekerjaan, fleksibel, berorientasi pada rencana dan tujuan, dilakukan pada tempat-tempat strategis dan pengawasan melakukan tindakan koreksi. Apabila prinsip-prinsip pengawasan tersebut di atas dilakukan secara konsisten dan benar dalam keseluruhan proses administrasi, maka hasil kerja dan tujuan organisasi yang telah ditentukan sebelumnya, akan dapat dicapai secara lebih efektif dan efisien. Sistem dalam arti sempit adalah cara, metode, prosedur atau aturan. Buyung (1986 : 4) memberikan pengertian sistem dalam arti yang luas bahwa 139
“Sistem merupakan gabungan atau kombinasi dari sekelompok, seperangkat atau serangkaian bagian, unsur atau elemen yang satu sama lain saling jalin menjalin, saling mengadakan interaksi dan saling ketergantungan (interdependensi), sehingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang bulat, utuh atau terpadu, atau merupakan suatu totalitas, satu entity dan kesatuan itu mempunyai tujuan, fungsi atau output tertentu”. Muhammadi dkk (2001:3) memberikan pengertian bahwa “Sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian dari keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan (aggregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan”. Muhammadi dkk, mengklasifikasi sistem itu menjadi tiga yaitu sistem hidup, sistem fisik dan sistem non fisik. Pada sistem hidup, tubuh manusia merupakan keseluruhan interaksi dari otak, paru, jantung, dan pencernaan melalui jaringan syaraf, kekuatannya jauh lebih besar dibandingkan mayat manusia yang merupakan penjumlahan atau susunan otak, paru, jantung, pencernaan yang tidak interaktif. Pada sistem fisik, dinding bata merupakan keseluruhan interaksi batu bata melalui semen pengikat kekuatannya jauh lebih besar dibandingkan tumpukan atau susunan batu bata berbentuk dinding tanpa semen pengikat atau tidak interaktif. Pada sistem non fisik, organisasi bisnis merupakan keseluruhan interaksi dari bagian produksi, pemasaran, keuangan dan personalia melalui jaringan kerja sama tim. Kekuatannya jauh lebih besar dibandingkan organisasi bisnis dan merupakan keseluruhan interaksi dari bagian produksi, pemasaran, keuangan dan personalia yang berjalan sendiri-sendiri. Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat diuraikan bahwa sistem dalam arti yang luas, terdiri dari berbagai unsur, elemen atau bagian; elemen- elemen, unsur-unsur atau bagian-bagian itu satu sama lain jalin-menjalin, pengaruh-mempengaruh, terjadi interaksi dan interdependensi; keseluruhannya terpadu menjadi kesatuan yang utuh, suatu totalitas dan kesatuan itu mempunyai tujuan, fungsi atau Output tertentu. Untuk itu dapat digambarkan sebuah sistem sebagai berikut:
Gambar: 1 Sistem Keterangan: S = Sistem SS = Sub Sistem T = Tujuan 140
Berdasarkan gambar sistem tersebut dapat dijelaskan sebuah sistem terdiri dari subsub sistem, berada dalam lingkungan/ruang yang terbuka, dapat dipengaruhi oleh lingkungan internalnya maupun oleh lingkungan eksternalnya, Sub-sub sistem sebagai unsur atau komponen mempunyai fungsi sendiri yang saling berhubungan, bekerjasama dan saling ketergantungan dalam mencapai tujuan tertentu. Masingmasing sub sistem dapat saling memperlemah dan dapat pula saling memperkuat, tergantung keberadaan pengendali sistem. Apabila salah satu sub sistem kurang berfungsi, maka dapat mengganggu sub sistem lain, sehingga sistem secara keseluruhan juga tidak dapat mencapai tujuannya sesuai dengan yang telah digariskan. Sistem pengawasan atas penyelenggaraan semua urusan yang menjadi kewenangan daerah terlaksana berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Setiap sistem berada dalam lingkungan tertentu yang ikut mempengaruhinya, karena itu sistem tersebut harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya. agar sistem tersebut efektif. Dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, terdapat banyak sistem seperti sistem hukum, sistem ekonomi, sistem administrasi dan sistem lain. Kombinasi atau kerjasama sistem-sistem tersebut dinamakan supra sistem, yang diharapkan berfungsi secara efektif di daerah. PROSES PENGAWASAN Winardi pada Sujamto (1983:96) mengatakan bahwa proses pengawasan terdiri dari empat langkah yaitu: 1. Menetapkan standar atau dasar untuk pengawasan ; 2. Meneliti hasil yang dicapai; 3. Membandingkan pelaksanaan dengan standar, dan menetapkan perbedaannya (bilamana ada perbedaan ) ; 4. Memperbaiki penyimpangan dengan tindakan-tindakan korektif. Terry (1977:483) mengatakan proses pengawasan sebagai berikut: 1. Measuring the performance; 2. Comparing performance with the standar, and ascertaining the difference, if any; 3. Correcting unfavorable deviation by means of remedial action; Lubis (1985:160) mengemukakan proses pengawasan sebagai berikut: a. Penentuan ukuran atau pedoman baku (Standar); b. Penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang sudah senyatanya dikerjakan; c. Perbandingan antara pelaksanaan pekerjaan dengan ukuran atau pedoman baku yang telah ditetapkan untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi; d. Perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan- penyimpangan yang terjadi, sehingga pekerjaan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Berdasarkan ketiga pendapat sarjana tersebut di atas dapat dikemukakan, bahwa proses pengawasan adalah : 141
1. 2. 3. 4.
Menetapkan standar; Mengukur hasil pekerjaan; Membandingkan hasil pekerjaan dengan standar; Melakukan tindakan koreksi (Corrective action).
Standar pengawasan adalah alat pembanding di dalam pengawasan, alat pengukur untuk menjawab pertanyaan seberapa besar suatu kegiatan atau sesuatu hasil telah dilaksanakan dari keseluruhan rencana dicapai. Standar itu menjadi pernyataan tujuan dari organisasi atau bagian daripada tujuan dengan mana tugas-tugas yang dilaksanakan dapat diukur. Sujamto (1983:97) mengatakan bahwa standar pengawasan itu mengandung 3 aspek yaitu : “Rencana yang telah ditetapkan; ketentuan serta kebijaksanaan yang berlaku, dan prinsip-prinsip daya guna dan hasil guna dalam melaksanakan pekerjaan” Pengawas dalam hal ini bukan membuat standar, akan tetapi memilih di antara materi yang sudah ada dan sudah dibuat oleh orang lain yang berkompeten. Langkah berikutnya adalah mengukur hasil pekerjaan yang sedang atau telah dilaksanakan. Aktivitas ini dapat ditempuh melalui laporan tertulis dan laporan lisan, buku catatan harian, inspeksi langsung, pertemuan dan sebagainya. Membandingkan hasil pekerjaan dengan standar dengan maksud untuk mengetahui apakah diantaranya terdapat perbedaan dan jika ada perbedaan seberapa besar perbedaan itu, dan untuk menentukan perbedaan itu perlu diperbaiki atau tidak. Proses pembandingan itu harus dilaksanakan secara obyektif dan penuh kejujuran sehingga hasil kerja dapat diketahui sesuai dengan semestinya atau tidak. Jika telah diketahui adanya perbedaan tersebut, sebabnya perbedaan dan letak sumbernya perbedaan maka langkah terakhir adalah mengusahakan dan melaksanakan tindakan perbaikan (corrective action), Ada perbaikan yang mudah dilakukan, tetapi ada juga yang tidak mungkin untuk diperbaiki dalam jangka waktu rencana yang telah ditentukan. Menghadapi hal demikian, dilaksanakan perbaikannya pada periode berikutnya dengan penyusunan rencana/standar barn, di samping membereskan faktor lain yang menyangkut penyimpangan (reorganisasi satuan, peringatan bagi pelaksana yang bersangkutan, dan sebagainya). Proses pengawasan tersebut dapat di gambarkan berikut ini:
1
2
3
4 Gambar 2 Proses Pengawasan
Sumber: Lubis (1985:161) Keterangan: 1. Menetapkan standar; 2. Mengukur hasil pekerjaan; 3. Membandingkan hasil pekerjaan dengan standar; 142
4.
Melakukan tindakan koreksi.
S = Standar; FB = Feed Back; P = Performance; CA = Corrective Actions Ada kalanya proses pengawasan tidak selalu diikuti dengan tindakan koreksi, melainkan hanya pada tahap menilai hasil kerja dan membandingkannya dengan standar, sebab tidak semua pengawas mempunyai kewenangan melakukan tindakan koreksi. Sebagai contoh pengawasan yang dilakukan oleh APFP (Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah) dari Inspektorat di Provinsi dan di kabupaten dan kota, BPKP, BPK dan aparat eksternal lainnya, tugasnya hanya sampai pada penyampaian laporan kepada pihak yang berkompeten, tetapi tindakan koreksi dilakukan oleh Kepala Daerah, Kepala Dinas, Kepala Badan dan Kepala unit lain yang ada di Daerah, yang berwenang melakukan tindakan koreksi. Tindakan koreksi sering juga disebut sebagai tindak lanjut yaitu berupa pemberian penghargaan kepada pegawai yang berprestasi (Rewards) disebut sebagai tindak lanjut pengawasan positif (TLPP) dan pemberian hukuman kepada pegawai yang melakukan pelanggaran peraturan atau yang telah menyimpang dari standard yang telah ditetapkan (Punishment) disebut sebagai tindak lanjut pengawasan negatif (TLPN). BEBERAPA JENIS PENGAWASAN PEMERINTAHAN DAERAH
DALAM
PENYELENGGARAAN
Jenis pengawasan di daerah dapat ditinjau dari berbagai aspek yaitu dari aspek bidang kerja atau obyek yang diawasi, aspek sumber pengawas (intern dan ekstern organisasi), aspek waktu pengawasan (sebelum, sedang dan sesudah pelaksanaan pekerjaan), aspek metode/jarak (langsung dan tak langsung), aspek tugas pokok (Aparat Pengawasan Fungsional diluar Pemerintah seperti BPK, dan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah seperti BPKP, Itjen, dan Inspektorat Daerah), aspek gradasi/ subyek yang mengawasi seperti Pengawasan Melekat, Pengawasan Fungsional, Pengawasan Politis dan Pengawasan Masyarakat dan aspek jenis pengawasan lainnya (PP No. 79 Tahun 2005, Permendagri No 1 Tahun 2010, dan KPK). Pada kesempatan ini jenis pengawasan yang dibahas dari aspek subyek yang mengawasi dan jenis pengawasan lainnya. PENGAWASAN DARI ASPEK SUBYEK YANG MENGAWASI 1) Pengawasan Melekat (Waskat) Waskat atau pengawasan atasan langsung (PAL) atau disebut juga pengawasan manajerial. Waskat pada dasarnya dilakukan secara berjenjang di dalam struktur organisasi meliputi level manajemen tingkat bawah, level manajemen tingkat menengah dan level manajemen tingkat atas. Berdasarkan Inpres RI Nomor 1 Tahun 1989, disebutkan bahwa tujuan Waskat adalah terciptanya kondisi yang mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, kebijaksanaan, rencana, perundang-undangan yang berlaku, yang dilakukan oleh atasan langsung. Sasaran Waskat menurut Inpres tersebut adalah: 1.
Peningkatan disiplin serta prestasi kerja dan pencapaian sasaran pelaksanaan tugas; 143
2. 3. 4. 5.
Menekan hingga sekecil mungkin penyalahgunaan wewenang; Menekan hingga sekecil mungkin kebocoran serta pemborosan keuangan negara dan segala bentuk pungutan liar; Mempercepat penyelesaian perijinan dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat; Mempercepat pengurusan kepegawaian sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Waskat seharusnya dilaksanakan di lingkungan organisasi perangkat daerah. Ada asumsi bahwa jika Waskat sudah berjalan secara efektif di daerah maka jenis pengawasan lainnya kurang diperlukan, karena atasan langsung pegawailah yang paling mengetahui yang pertama dan terutama dalam unit organisasi yang ia pimpin. Kendala implementasi Waskat menurut Yusup (1990) adalah; 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Salah kaprah beberapa pejabat tentang pengawasan yang dilakukannya; Pandangan budaya pengawasan untuk mencari-cari kesalahan; Enggan melakukan Waskat, karena sudah ada pengawasan fungsional (Wasnal); Perasaan ewuh pakewuh (rasa kekeluargaan) terhadap bawahan; Kurangnya kemampuan atasan; dan Pejabat struktural (atasan langsung) terlibat sendiri dalam penyimpangan keuangan negara.
2)Pengawasan Fungsional (Wasnal) Sehubungan dengan pertumbuhan organisasi yang semakin kompleks, maka Pemerintah membentuk lembaga yang sering disebut Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah, yang tugas pokoknya di bidang pengawasan yang berperan untuk membantu pimpinan lembaga yang bersangkutan dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Wasnal menurut Supriyono (1990) adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern pemerintah yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan. Pengawasan yang dilaksanakan oleh aparat pengawasan fungsional Pemerintah di tingkat pusat adalah BPKB, Itjen Kementerian dan Satuan Pengawasan Intern (SPI) Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Aparat Pengawasan Fungsional di luar Pemerintah dilakukan oleh BPK. BPKP, Itjen Kementerian, SPI dan BPK dapat di lingkungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan aparat pengawasan fungsional di tingkat daerah dilakukan oleh Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten dan Inspektorat Kota yang berperan membantu Kepala Daerah dalam melakukan fungsi pengawasan di daerah. Agar supaya tidak tumpang tindih pelaksanaan tugas masing-masing APFP (Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah), maka Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) disusun oleh BPKP. Jika tidak mengikuti PKPT, maka pelaksanaan Wasnal dapat tumpang tindih, dan hal tersebut berdampak pada motivasi kerja pegawai yang diawasi menurun dalam arti Wasnal tidak berjalan secara efektif dan terpadu. 144
3) Pengawasan Politis Pengawasan politis yang dimaksudkan disini adalah pengawasan kebijakan seperti pengawasan peraturan daerah (Perda) yang dilakukan oleh DPRD. DPRD berdasarkan pasal 41 UU No 32 Tahun 2004 memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Bidang pengawasan yang dilakukan oleh DPRD berdasarkan pasal 42 ayat (1) poin c, adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama Internasional di daerah. Menurut pengamatan penulis bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD tidaklah mudah, memerlukan kerja keras, kompetensi dan komitmen. Wasistiono dan Wiyoso (2009), mengemukakan tiga hambatan pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD yaitu “belum tersusunnya agenda pengawasan DPRD, belum adanya standar, sistem dan prosedur baku pengawasan DPRD dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan belum optimal. Sehubungan dengan hal tersebut untuk peningkatan fungsi pengawasan DPRD perlu dirumuskan proses pengawasan politis DPRD supaya tidak tumpang tindih dengan fungsi pengawasan lainnya. 4) Pengawasan Masyarakat Pengawasan masyarakat (social - control) terhadap pelaksanaan fungsi pengaturan dan pelayanan Pemda adalah sangat penting, sebab merekalah yang terutama yang paling mengetahui dan merasakan kinerja Pemda, yang merupakan feedback (masukan balik) kepada Pemda. Pengawasan tersebut dapat dilakukan melalui mas media, pernyataan pendapat (demonstrasi) dan lainnya. Pada pemerintahan ORBA, pernah disiapkan kotak Pos 5000 sebagai tempat pengaduan masyarakat, namun hal tersebut belum berjalan secara efektif. Tampaknya kepedulian masyarakat terhadap implementasi fungsi pengawasan masyarakat masih perlu ditingkatkan. JENIS PENGAWASAN LAINNYA Jenis pengawasan lainnya antara lain berdasarkan Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Sistem Informasi Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional, dan Pengawasan oleh KPK terutama tindak pidana korupsi. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan/ atau Gubemur selaku Wakil Pemerintah di Daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah sedangkan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah mengenai proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dikoordinasikan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri, pelaksanaan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Inspektorat Provinsi dan pelaksanaan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah kecamatan dan desa dikoordinasikan oleh Inspektorat Kabupaten/Kota. 145
Dalam rangka membentuk database pengawasan yang terpadu mulai dari perencanaan, pelaksanaan pemeriksaan sampai tindak lanjut dalam bentuk elektronik diperlukan sistem informasi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional (Siwasdanas), maka dikeluarkanlah Permendagri Nomor 1 Tahun 2010 dengan ruang lingkup : aplikasi pemeriksaan reguler, aplikasi pemeriksaan akhir masa jabatan kepala daerah dan aplikasi pengaduan masyarakat. Aplikasi Siwasdanas digunakan oleh aparat pengawas internal Itjen Kementerian Dalam Negeri, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota. Karena lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi (tipikor) belum berfungsi secara efektif dan efisien memberantas korupsi, maka pada tahun 2002 dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang No 30 Tahun 2002. KPK juga dapat melakukan tugasnya pada penyelenggaraan pemerintahan daerah kuasanya tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akhir-akhir ini kinerja KPK banyak mendapat sorotan ketidak puasan dari publik . Kinerja KPK tersebut pernah didiskusikan pada acara The Lawyer Club TV One Tahun 2011. TINDAK LANJUT PENGAWASAN? Berjenis-jenis pengawasan dilaksanakan di daerah baik internal maupun eksternal dan bermacam-macam laporan pengawasan sudah dihasilkan dan yang menjadi persoalan yang paling pelik adalah tindak lanjut pengawasan tersebut baik tindak lanjut pengawasan positif maupun tindak lanjut pengawasan negatif. Tidak ada gunanya berjenis-jenis pengawasan dilakukan di daerah dengan anggaran belanja pengawasan yang tinggi, jikalau tidak disertai dengan tindak lanjut (corrective actions). Pejabat yang menyimpang dari peraturan dihukum (Punishment) supaya ada efek jera, dan untuk keseimbangan, pejabat yang memberikan prestasi yang baik diberikan juga penghargaan (Rewards). Masyarakat mengharapkan bukti nyata, bukan sekedar pidato yang muluk-muluk. Dalam hal tindak lanjut pengawasan ini syarat mutlak adalah pengendali atau leader harus menjadi contoh teladan yang baik dalam pelaksanaan tugasnya karena masyarakat di daerah cenderung melihat ke atas (Paternalistik). III. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: pengawasan adalah salah satu fungsi fundamental manajemen yang dilaksanakan untuk mencapai kinerja organisasi sesuai rencana yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien, berbagai jenis pengawasan dilaksanakan di daerah karena itu diperlukan satu sistem pengawasan di daerah dan tindak lanjut pengawasan baik sifat negatif maupun positif juga merupakan keharusan oleh pihak yang berwenang. Berdasarkan kesimpulan di atas, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, disarankan kepada Pemerintah dan Pemda bahwa perlu dibangun sistem pengawasan yang efektif dan efisien, perlunya lembaga pengendali sistem pengawasan yang jelas, dan perlu tindak lanjut atas semua jenis pengawasan oleh pihak yang berwenang secara konsisten dan komitmen. 146
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Buyung, Bulizuar, 1986, Sistem Administrasi Negara Indonesia, Penerbit Karunika, Jakarta Lubis, Ibrahim, 1985, Pengendalian dan Pengawasan Proyek Dalam Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta. Muhammadi, dkk, 2001, Analisis Sistem Dinamis, UMJ Press, Jakarta. Silalahi, 1999, Studi Tentang Ilmu Administrasi, Sinar Baru Algensindo, Bandung. Sujamto, 1989, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Sujamto, 1983, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Supriyono, RA, 1990, Pemeriksaan Manajerial dan Pengawasan Pemerintahan Indonesia, BPFE, Yogyakarta; Terry, R, George, 1977, Principles Of Management, Dorsey Limited, Ontario. Wasistiono, Sadu dan Wiyoso, Yonatan, 2009, Meningkatkan Kinerja DPRD, Fokus Media, Bandung. Winardi, 1983, Azas-Azas Manajemen, Alumni, Bandung. Yaqub, Hamzah, 1984, Menuju Keberhasilan Manajemen dan Kepemimpinan, Diponegoro, Bandung. B. Dokumen 1. Undang-Undang Dasar RI 1945. 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; 3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; 4. Undang-Undang No 30 Tahun 2002, Tentang KPK; 5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 6. Swandi, Made, 2003, Makalah Pemerintahan Daerah, Jakarta; 7. Wasistiono, Sadu, Makalah Menuju Desentralisasi Berkeseimbangan, Disampaikan Dalam Seminar Antara Jurusan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN, Di Jatinangor, Tanggal 15 Juli 2011; 8. Inpres RI No 1 Tahun 1989, Tentang Waskat.
147