TANGGAPAN TERHADAP HASIL PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ATAS PENGADAAN TINTA PEMILU LEGISLATIF 2004 PADA KOMISI PEMILIHAN UMUM
TEMUAN: Penyediaan Anggaran (halaman 53 Hasil Pemeriksaan Investigatif)
Pemerintah melalui APBN TA 2004 telah mengalokasikan dana untuk pengadaan Tinta Pemilu Legislatif 2004 sebesar Rp41.831.164.000,00 yang ditetapkan dalam Surat Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan Nomor S-634/A/2004 tanggal 19 Februari 2004 dengan rincian 2 botol x 556.286 TPS x Rp37.000,00. Anggaran tersebut kemudian direvisi menjadi sebesar Rp33.202.109.000,00 sesuai dengan Surat Dirjen Perbendaharaan Departemen Keuangan Nomor S-1232/PB/2004 tanggal 27 Desember 2004 dengan rincian 2 botol x 585.219 TPS x Rp28.367,00.
Realisasi Anggaran (halaman 57 Hasil Pemeriksaan Investigatif)
Realisasi penggunaan anggaran pengadaan Tinta Pemilu Legislatif 2004 menurut data Biro
Keuangan
KPU
Rp36.143.970.825,00
atau
sampai
dengan
108,86%
dari
Desember anggaran
2004 yang
adalah
sebesar
disediakan
sebesar
Rp33.202.109.000,00. Pelampauan anggaran sebesar Rp2.941.861.825,00 (8,86%) atau sebesar nilai kontrak tinta
lokal
tersebut
terjadi
karena
revisi
anggaran
yang
semula
sebesar
Rp41.831.164.000,00 direvisi menjadi sebesar Rp33.202.109,00 dan revisi anggaran tersebut menjadi hanya sebesar nilai kontrak tinta impor. Dengan adanya revisi tersebut maka anggaran pengadaan tinta lokal menjadi tidak disediakan.
1
TANGGAPAN:
Penyediaan dan Realisasi Anggaran Bagaimana mungkin Panitia Pengadaan Tinta Pemilu Legislatif yang dibentuk tanggal 6 Januari 2004 dan berakhir segera setelah berlangsungnya Pemilu Legislatif tanggal 5 April 2004 itu dapat mengetahui adanya revisi yang dilakukan sesuai dengan Surat Dirjen Perbendaharaan Departemen Keuangan Nomor S-1232/PB/2004 tanggal 27 Desember 2004 (setelah delapan bulan lewat dari akhir tugasnya). Realisasi anggaran tersebut berada di bawah pagu anggaran. Dilihat dari segi ini, investigator mengukur apa yang terjadi di masa lampau dengan ukuran masa mendatang.
TEMUAN:
Penggunaan Data Jumlah TPS Sebanyak 595.733 Mengapa yang dipergunakan oleh Panitia itu adalah jumlah TPS sebanyak 595.733, tidak atas dasar pagu anggaran Dirjen Anggaran tanggal 19 Februari 2004 (556.286 TPS) atau SK KPU No. 16 Tahun 2004 tanggal 25 Februari 2004 (585.218 TPS) (sebagaimana terurai dalam halaman 63-69).
TANGGAPAN:
Dasar Penggunaan Data TPS sebanyak 595.733 Pada saat itu terdapat angka tentatif tentang jumlah TPS produk Biro Perencanaan, yakni sebanyak 595.733 (lihat Lampiran 1: Nota Dinas Kepala Biro Perencanaan kepada EksKetua Panitia tentang Hasil Rapat Koordinasi Teknis antara KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Badan Pusat Statistik tanggal 3-7 Februari 2004 di Hotel Indonesia, tanggal 29 April 2005, butir 2: “....dalam Rapat Pleno tanggal 17 Februari 2004 data tersebut disetujui dan kemudian dipergunakan sebagai bahan untuk menghitung jumlah kebutuhan logistik) yang kemudian dijadikan patokan untuk pengadaan tinta.
2
Sehubungan dengan waktu Pemilu yang makin mendekat, tentunya tidak boleh ada kegiatan
yang
menunggu.
Secara
berturut-turut
dapat
digambarkan
dinamika
perkembangan data tentang jumlah TPS, seperti dalam Tabel berikut:
=============================================================== Data awal Pa-
Data per 17 Feb
Data Dirjen Anggaran
Data per 25 Feb 2004
nitia (11/2/04):
2004 (R.Pleno):
19 Feb 2004:
(Kpts KPU No.16-2004):
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
558.523
595.733
565.285
585.218
===============================================================
Catatan: Di dalam Notulensi Rapat Pleno KPU Selasa 17 Februari 2004 Pukul 14.00 s.d. 17.30, pada halaman 3 dinyatakan bahwa Panitia selama ini berpegang pada jumlah TPS sebanyak 558.523 (data per 11 Februari 2004). Kemudian dalam Kesimpulan Rapat Pleno dinyatakan bahwa “Jumlah tempat pemungutan suara (TPS) meningkat menjadi 595.733 TPS. Harus dibuatkan SK KPU-nya”. Namun ternyata kemudian, yang ditetapkan dalam Keputusan KPU No. 16 Tahun 2004 tanggal 25 Februari 2004 tsb., walau dalam konsideransnya berbunyi: “Memperhatikan: Keputusan Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum tanggal 17 Februari 2004”, tidak menetapkan jumlah 595.733 melainkan 585.218. Hal ini disebabkan adanya validasi data kependudukan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Timur.
Seperti diketahui, Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) dan Perjanjian (Kontrak) ditandatangani oleh para pemasok dengan Wakil Sekjen KPU pada tanggal 20 Februari 2004. Dengan demikian Wakil Sekretaris Jenderal tidak mungkin lagi melakukan “updating” jumlah TPS (jumlah botol) di dalam Kontrak karena berhubungan dengan pesanan dari luar negeri. Dengan demikian data tanggal 19 Februari 2004 dari Dirjen Anggaran itu adalah data satu hari sebelum SPMK dan penandatangan Perjanjian.
3
Sedangkan data 25 Februari 2004 (Kpts. KPU No. 16-2004) adalah data yang dibuat lima hari setelah SPMK dan Perjanjian (20 Februari 2004). Jadi temuan tersebut menjadi sangat lemah. Artinya segala yang didalihkan sebagai memesan kelebihan botol menjadi gugur.
Tabel di atas menunjukkan betapa dinamisnya perubahan tersebut yang sangat sukar untuk diikuti oleh Panitia untuk diadakan penyesuaian. Kendati demikian, penyesuaian dilakukan Panitia seperti dipesankan oleh Pleno17 Februari 2004, di mana yang dipakai adalah cadangan 2,5% dan sisa (595.733 – 558.523), yaitu sebanyak 37.210 diberikan kepada pemasok domestik.
Salah satu alasan lain adalah tidak mungkin mengurangi atau menambah pesanan ke luar negeri dalam waktu yang mendadak. Sisa kebutuhan ini juga memberikan pengalaman kepada pemasok domestik (lihat Notulensi Rapat Pleno KPU tgl. 17 Februari 2004) yang menyatakan walau kualitas “produk dalam negeri” itu masih berbeda, namun harganya diputuskan untuk disamakan dengan impor (lihat Lampiran 2 tentang Berita Acara Evaluasi dan Negosiasi Harga No. 12.1/BA-PH/16/II/2004 tanggal 24 Februari 2004, halaman 2: “Harga tersebut sudah termasuk pajak, biaya pengepakan dan pengiriman franco Ibukota Kabupaten/Kota, Logo KPU dan asuransi pengiriman. (Keputusan Pleno KPU tanggal 17 Februari 2004, harga per botol 30 cc untuk setiap wilayah/zona disamakan dengan harga penunjukan langsung untuk tinta impor, sesuai Pasal 43 Keppres N0.80 Tahun 2003)”.
Kemudian dari Minutes of Meeting Rapat Pleno 17 Februari 2004 yang dikerjakan Media Center KPU, sbb.: “Sebaiknya ada bagian untuk tinta lokal. KPU banyak menerima kritikan karena 100% menggunakan tinta impor. .... Jika KPU tidak memberikan kesempatan kepada produsen lokal, mereka jelas tidak akan pernah memenuhi spesifikasi ‘terpercaya
sebagai
tinta
yang
pernah
digunakan
dalam
pemilu’.
Dengan
mengikutsertakan produsen lokal dalam Pemilu Legislatif memberikan peluang bagi mereka untuk terlibat lebih jauh lagi dalam Pemilihan Presiden mendatang” (lihat Lampiran 3 tentang “Minutes of Meeting” tanggal 17 Februari 2004). Hal ini terbukti
4
berguna dalam pengadaan untuk Pilpres I, karena ternyata beberapa pemasok tinta Pemilu Legislatif dipergunakan lagi.
Ada hal yang sangat tidak logis dalam temuan halaman 67 butir d) (2), (3), (4) dan (5), yaitu yang menyebutkan pengajuan Anggaran oleh Biro Keuangan KPU tentang jumlah TPS pada tanggal 10 Mei 2004, 24 Juni 2004, 28 Oktober 2004 dan 27 Desember 2004. Semua tanggal ini adalah tidak bisa diukurkan ke Panitia Pengadaan Tinta Pemilu Legislatif (hanya mungkin untuk Panitia Pengadaan Tinta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden).
TEMUAN:
1. Penetapan Jumlah Botol Untuk Setiap TPS (halaman 61-63) Keputusan KPU No. 4 Tahun 2004 tanggal 23 Januari tentang Alat Kelengkapan Administrasi untuk Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota antara lain menetapkan bahwa kebutuhan tinta untuk setiap TPS adalah 1 botol. Namun demikian, Panitia Pengadaan tidak mengacu pada Keputusan KPU No. 4 tersebut. Panitia Pengadaan Tinta menetapkan kebutuhan tinta tiap TPS adalah dua botol, sebagai acuan dalam menentukan jumlah pengadaan tinta. ......................................................................... Bahwa jumlah tinta yang diadakan sebanyak dua botol untuk setiap TPS Pemilu 2004 menjadi dua kali lipat dari yang seharusnya atau sebanyak 595.733 botol ditambah dengan cadangan 2,5% sebanyak 14.893 atau seluruhnya sebanyak 610.626 botol senilai Rp17.555.497.500,00 (menggunakan harga kontrak pengadaan tinta termurah, yaitu harga untuk Zone 2 sebesar Rp28.750,00 per botol).
2. Hasil atau Laporan Survey (halaman 62-63) Sampai dengan pemeriksaan berakhir tanggal 1 April 2005, bukti-bukti yang diminta kepada Panitia Pengadaan Tinta berupa hasil atau laporan survey dan penelitian kebutuhan tinta baik untuk Pemilu Tahun 1999 maupun untuk Pemilu Tahun 2004
5
dinyatakan tidak ada. Sehingga disimpulkan bahwa penetapan 2 botol tinta untuk setiap TPS Pemilu 2004 tersebut tidak didasarkan pada hasil survey atau penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
TANGGAPAN:
Tentang Penetapan Jumlah Botol Untuk Setiap TPS Investigator salah membaca, seharusnya bukan 1 botol tapi 1 buah. Oleh karena di dalam Keputusan No. 4 Tahun 2004 tidak terdapat volume atau isi dari 1 buah tinta itu, maka dalam Keputusan KPU No. 15 Tahun 2004 tanggal 24 Februari 2004 memang diubah menjadi 2 botol, namun kembali lagi tidak menyebut isi/volume berapa cc masingmasing botol tersebut. Tanggal 24 Februari 2004 ini adalah setelah SPMK dan Perjanjian dibuat (20 Februari 2004), jadi tidak dapat dijadikan dasar. Yang dijadikan dasar adalah Keputusan KPU No.01 Tahun 2004 tanggal 23 Januari 2004 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan
Suara
dalam
Pemilihan
Umum
Anggota
DPR,
DPD,
DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota dinyatakan 2 botol. Demikian pula dinyatakan dalam Spek (Lampiran 4 tentang SK KPU No. 09.A/SK/KPU/TAHUN 2004 tanggal 5 Februari 2004 tentang Penetapan Spesifikasi Teknis dan Cara Penunjukan Langsung Pengadaan Tinta Sidik Jari untuk Pemilu Tahun 2004 menyatakan berisi tinta 30 cc (Lampiran butir 8). Dengan demikian penyediaan dua kali lipat secara tidak berdasar senilai Rp17.555.497.500,00 menjadi tidak terbukti.
Tentang Hasil Atau Laporan Survey Sehubungan dengan ketersediaan waktu yang sangat terbatas, maka yang dimaksud dengan survey itu adalah survey yang sederhana; yaitu (1) tentang jumlah cc tinta versus jumlah pemilih dengan uji-coba di kalangan pegawai KPU dan para wartawan di KPU, (2) harga perhitungan sendiri (HPS) di mana ada keterbatasan, yakni di pasaran tidak ada yang menjual/menawarkan “indelible ink” (bantuan konsultan yang biasa dipakai di
6
Setjen KPU, yakni Sdr. Syarifuddin pensiunan karyawan BPK), (3) pencarian data melalui internet, (4) mencari perbandingan harga dengan pengadaan tinta sejenis dalam Pemilu 1999, (4) berkonsultasi dengan UNDP sebagai penyandang dana untuk tinta Pemilu 1999 dan (5) membandingkan dengan harga tinta vulpen kelas utama buatan luar negeri, karena “indelible election ink” ini tidak ada di pasaran bebas dan juga karena tidak bisa dicari datanya dari BPS serta sampai hari ini tidak ada asosiasinya seperti tercantum dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 tanggal 3 November 2003.
TEMUAN:
1. HPS disusun tidak secara keahlian dan tidak berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan (halaman 73).
2. HPS dibuat oleh Panitia pada tanggal 16 Pebruari 2004 yaitu setelah panitia menerima penawaran harga dari calon rekanan antara tanggal 6 s/d 10 Pebruari 2004. Dengan demikian, dalam menetapkan HPS Panitia telah terlebih dahulu mempelajari penawaran harga dari para calon rekanan (halaman 73).
TANGGAPAN:
1.HPS disusun setelah diadakan survey sederhana terurai di atas. Para ahli tinta domestik diundang ke KPU dan mereka datang dalam Rapat yang dihadiri oleh Sekretaris Jenderal KPU, Ketua Panitia dan Sekretaris Panitia. Namun setelah berberapa saat bertemu, kemudian mereka menyatakan tidak bersedia untuk menjadi konsultan pembuatan HPS, karena mereka meminta bagian pekerjaan. Akhirnya konsultan yang digunakan adalah konsultan yang biasa dipakai oleh Setjen KPU, yakni Sdr. Syarifuddin.
2. HPS telah disusun setelah dilakukan survey seperti terurai di atas. HPS ini dituangkan dalam Berita Acara Penentuan HPS tanggal 16 Februari 2004 (Lampiran 5). Sedangkan penawaran dari calon rekanan itu memang bertanggal antara 6 s.d. 10
7
Februari 2004, namun semuanya masih dalam sampul tertutup dimasukkan ke dalam kotak. Pembukaan Surat Penawaran dilakukan pada tanggal 17 Februari 2004 (kesemuanya dituangkan dalam Berita Acara tentang Penilaian Kewajaran Harga Pengadaan Tinta Sidik Jari untuk Pemilihan Umum Tahun 2004 dan Berita Acara Evaluasi dan Negosiasi Harga berdasarkan Surat Undangan Rapat No. 76/UND/II/2004 tanggal 17 Februari 2004 (Lampiran 6) kepada para calon rekanan dengan acara Rapat Lanjutan Pencabutan Skorsing, Rapat Lanjutan Pemasukan Harga Penawaran, Penunjukan Rekanan dan evaluasi serta Negosiasi Harga) yang dijadwalkan pukul 16.00 WIB. Rapat awal ditunda dan diskors, karena ada jadwal Rapat Pleno KPU pk. 16.0017.30 WIB.
Perhitungan perbandingan Harga Tinta menurut HPS dan menurut BPK, juga tidak bisa valid, karena dilakukan secara a posteriori (setelah kejadian) [lihat halaman 74], sedangkan HPS itu bersifat hipotetis. Bila keduanya dibandingkan akan selalu ada perbedaan. Faktor lainnya adalah HPS dibuat dalam tekanan waktu yang terbatas, sedangkan perhitungan BPK adalah dalam keadaan biasa. Hal lainnya lagi adalah karena masalah harga pemasokan itu adalah “isi perut” dari para rekanan yang tidak bisa dicampuri.
TEMUAN:
Penetapan harga kontrak pengadaan tinta impor dengan menggunakan harga ratarata dari harga penawaran yang diajukan oleh para calon pelaksana pengadaan merugikan keuangan negara sebesar Rp959.288.200,00
TANGGAPAN:
Kebijakan ini disebabkan keempat perusahaan, yakni P.T. Fulcomas Jaya, P.T. Lina Permai Sakti, P.T. Mustika Indra Mas dan P.T. Wahgo International dalam Rapat Pemasukan Harga Penawaran tanggal 17 Februari 2004 itu sudah dinyatakan sebagai para
8
pemenang. Hal ini dilakukan karena tidak diinginkan adannya pemenang tunggal (single winner).
Kebijakan untuk menentukan harga yang dirata-ratakan itu ditempuh agar diperoleh keseragaman harga dan keadilan bagi semua pemasok. Di samping akan terpilih pemenang jamak (multiwinner) tadi, juga hal ini dapat menciptakan kesamaan tanggung jawab setiap pemasok di setiap zone dan adanya keseragaman harga di setiap zone.
Apabila terpilih hanya satu perusahaan yang mengajukan harga terendah dikhawatirkan pabrikan di India tidak dapat memenuhi jumlah pesanan sebanyak 1,2 juta botol. Hal ini sungguh menjadi rawan bagi Pemilu Legislatif.
Tiga perusahaan, yakni P.T. Fulcomas Jaya, P.T. Lina Permai Sakti dan P.T. Wahgo International tidak bersedia lagi untuk menurunkan harga setelah dua kali negosiasi. Sedangkan P.T. Mustika Indera Mas menawarkan harga terendah di Zone I, II, dan III. Di Zone IV juga menawarkan harga terendah bersama-sama dua perusahaan lainnya (P.T. Fulcomas Jaya dan P.T. Lina Permai Sakti). Artinya apabila harga terendah itu diterapkan, maka P.T. Mustika Indra Mas akan menguasai hampir seluruh Zone (lihat halaman 76 Tabel pertama Hasil Pemeriksaan Investigatif), dan ini tidak dikehendaki, karena akan berisiko bagi pengadaan secara tepat waktu dan tepat sasaran.
Dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa terdapat empat pemenang di empat zone, dengan beban pemasokan yang satu sama lain relatif sama (antara 282.485 s.d. 287.396 botol) dan harga yang sama (tidak dengan harga yang berbeda-beda) [lihat Lampiran 7 tentang “Perhitungan atas Dasar Harga dari 4 (empat) Perusahaan Pemenang Pengadaan Tinta Pemilu Legislatif 5 April 2004 (perhitungan berdasarkan harga yang dirata-ratakan).
Sebagai kesimpulan tidak ada tindakan yang merugikan uang negara sebanyak Rp959.288.200,00.
9
TEMUAN:
Penetapan harga kontrak pengadaan tinta lokal disamakan dengan harga tinta impor dengan alasan preferensi harga, merugikan keuangan negara sebesar Rp461.584.315,00 (halaman 78-81)
TANGGAPAN:
Dasar Panitia Menyamakan Harga Produk Dalam Negeri Dengan Harga Produk Impor Keputusan untuk menyamakan dengan harga eks-dalam negeri dengan harga eks-impor di setiap zone itu bukan keputusan Panitia, namun kebijakan Pleno KPU, yaitu untuk mendorong tumbuhnya pengalaman untuk masa mendatang (lihat Notulensi Rapat Pleno KPU tgl. 17 Februari 2004 [Lampiran 8] dan “Minutes of Meeting”, Media Center, tgl 17 Februari 2004, pk. 14.00-17.30, halaman 6, sbb.: “Sebaiknya ada bagian untuk tinta lokal. KPU banyak menerima kritikan karena 100% menggunakan tinta impor. .... Jika KPU tidak memberikan kesempatan kepada produsen lokal, mereka jelas tidak akan pernah memenuhi spesifikasi ‘terpercaya sebagai tinta yang pernah digunakan dalam pemilu’. Dengan mengikutsertakan produsen lokal dalam Pemilu Legislatif memberikan peluang bagi mereka untuk terlibat lebih jauh lagi dalam Pemilihan Presiden mendatang”.). Ternyata di dalam Pemilu Presiden/Wakil Presiden, terdapat pemasok tinta Pemilu Legislatif dipakai di dalam Pemilu Presiden/Wakil Presiden yang pertama.
TEMUAN:
Pemberian rekomendasi pembebasan bea masuk menyimpang dari kontrak pengadaan tinta impor dan negara dirugikan senilai Rp1.155.490.100,00 (halaman 81-85)
10
TANGGAPAN:
Pertanggungjawaban Pribadi ybs Apa yang dikerjakan oleh Sdr. AR. pada 19 Mei 2004 (jauh setelah Pemilu Legislatif berlangsung) adalah bukan tanggung jawab Panitia dan Eks-Ketua Panitia tidak tahu menahu. Di samping itu surat tersebut ditandatangani oleh yang bersangkutan secara eksplisit dalam kualitas sebagai Kepala Bagian Penyusunan Rencanaan Kebutuhan, Biro Logistik dan Distribusi KPU (lihat Lampiran 9 dan Lampiran 10: Surat No. 33/LD/K/U/2004 tanggal 19 Mei 2004 dan Surat No. 1/LD/I/2005 tanggal 10 Januari 2005).
Yang menjadi persoalan adalah yang berhak menulis surat ke luar itu, apalagi ini ditujukan kepada Menteri Keuangan RI, hanyalah Ketua KPU. Bahkan Ketua KPU pun hanya menulis surat kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai (tidak kepada Menteri Keuangan) pada tanggal 27 Februari 2004 yang menyatakan bahwa atas dasar usul dari keempat
perusahaan
yang
ditunjuk
berdasarkan
Keputusan
KPU
No.
21/SK/KPU/TAHUN 2004 tanggal 19 Februari 2004, untuk menjajagi kemungkinan mendapatkan pembebasan bea masuk. Mungkin disinilah letak kekurangan koordinasi antara Sekretariat Jenderal dengan dengan Ketua KPU (karena baik Perjanjian maupun naskah usulan dari Panitia kepada Ketua KPU, masing-masing melalui paraf dari Sdr. AR).
Kemudian atas surat Ketua KPU ini pun sudah ada jawaban dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang ditujukan kepada Ketua KPU, bahwa yang berwenang untuk memberikan fasilitas pembebasan ini hanyalah Menteri Keuangan (lihat Lampiran 11: Surat Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No. S53/BC.21/2004 tanggal 18 Maret 2004 yang a.l. menyatakan: “Sesuai ketentuan yang berlaku bahwa yang berwenang memberikan fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk adalah Menteri Keuangan RI.”).
11
Dengan tidak disusulkan surat dari Ketua KPU kepada Menteri Keuangan, maka dengan sendirinya hal tersebut tidak diproses lebih lanjut, terutama karena proses pembuatan Perajanjiannya telah lebih cepat dikerjakan (ditandatangani oleh Wakil Sekretaris Jenderal pada tanggal 20 Februari 2004). Kecepatan pembuatan Perjanjian ini tentunya disebabkan karena alasan tekanan waktu.
Mengenai tindakan Sdr. AR selaku Kepala Bagian Penyusunan Rencana Kebutuhan KPU yang menulis surat kepada Menteri Keuangan, tentunya merupakan kompetensi dari Sekretaris Jenderal/Wakil Sekretaris Jenderal untuk meluruskan atau menindaknya lebih jauh, karena ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pribadi Sdr. AR.
Lebih jauh lagi sebagai seorang petugas Biro Logistik dan Distribusi sepatutnya mengetahui ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian yang selalu diparaf olehnya. Hal yang sama secara sadar diulanginya lagi (tetapi keburu dicegah oleh Wakil Sekretais Jenderal). Percobaan serupa dilakukan lagi oleh yang bersangkutan, dengan menulis surat sejenis untuk atas nama P.T. Lina Permai Sakti (lihat Surat Kepala Bagian Penyusunan Rencana Kebutuhan Biro Logistik dan Distribusi KPU tanggal 10 Januari 2005). Surat tersebut berisikan permohonan agar P.T. Lina Permai Sakti mendapatkan pembebasan bea masuk dari Menteri Keuangan. Surat termaksud bertanggal 10 Januari 2005 (lihat Lampiran Ib di atas). Tanggal ini sangatlah jauh dengan masa akhir tugas Panitia. Hal ini tidak terjadi karena lebih dahulu dapat tercegah oleh Wakil Sekretaris Jenderal KPU.
Untuk lebih memperjelas, surat dari Ketua KPU No. 351.1/15/II/2004 tanggal 27 Februari 2004 itu ditujukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai itu merupakan penjajagan akan kemungkinan pembebasan bea masuk seperti juga untuk pengadaan IT. Surat itu diajukan atas usulan dari keempat perusahaan yang “ditunjuk berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum No. 21/SK/KPU/TAHUN 2004 tanggal 19 Februari 2004”. Secara eksplisit surat tersebut harus diproses secara kolektif (untuk keempat perusahaan, bukan hanya untuk P.T. Fulcomas Jaya atau untuk P.T. Lina Permai Sakti saja). Rupanya dalam kenyataan proses pembuatan Perjanjian/Kontrak lebih cepat daripada surat Ketua KPU tersebut.
12
TEMUAN: Restitusi Bea Masuk a.n. P.T. Fulcomas Jaya yang bertentangan dengan Kontrak
TANGGAPAN: Pertanggungjawaban Perusahaan Pemasok: P.T. Fulcomas Jaya
Seharusnya P.T. Fulcomas Jaya memahami dan mengerti bahwa Perjanjian yang ditandatanganinya dengan Wakil Sekretaris Jenderal KPU itu tidak dengan klausula bebas dari bea masuk (lihat Lampiran 12: Perjanjian Nomor: 29/16-A/II/2004 tanggal 20 Pebruari 2004 Pasal 6 ayat (2): “Jumlah harga sebagaimana dimaksud ayat (1) sudah termasukpengepakan, pendistribusian, bea masuk dan pajak;”) .
Tentunya, dalam hal ini Wakil Sekretaris Jenderal sebagai penanda tangan Perjanjian/Kontrak harus menjadi pengendali akan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam kontrak dan bisa mengontrol para pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal KPU. Surat Sdr. AR tersebut ternyata tidak ditembuskan kepada Wakil Sekretaris Jenderal, melainkan kepada Kepala Biro Logistik dan Distribusi KPU sebagai atasan langsungnya. Dalam hal ini pun Eks-Ketua Panitia tidak tahu, bahkan kaget. Demikian pula Ketua KPU.
Seandainya terbukti P.T. FJ itu melakukan manipulasi bea masuk dan bahkan melakukan kolusi dengan pihak tertentu (lihat halaman 83-85 Hasil Pemeriksaan, halaman 30-33 Konsep Pemeriksaan), Kerugian Keuangan Negara sebesar Rp1.155.490.100,00 itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab yang bersangkutan untuk diproses secara hukum.
13
TEMUAN: Dugaan penggelapan bea masuk dan pajak dalam rangka impor Tinta Pemilu Legislatif 2004 oleh PT Bandar Mutiara Cemerlang (importir rekanan PT MIM) sehingga negara dirugikan sebesar Rp820.555.050,00
TANGGAPAN: Demikian pula masalah kemungkinan penggelapan bea masuk dan pajak yang dilakukan P.T. Mustika Indra Mas (lihat halaman 86-88) adalah tanggung jawab sepenuhnya dari yang bersangkutan. KPU tidak tahu menahu mengenai disubkontrakkannya kepada P.T. Bandar Mutiara Cemerlang/P.T. Nugraha Karya Oshinda. Apabila demikian, maka KPU dapat memproses denda (penalti) terhadap pelanggaran atas Perjanjian/Kontrak.
Kemudian, tentunya KPU bukanlah instansi penyidik, oleh karena itu sepanjang dapat dibuktikan adanya kolusi dengan pabean di Bandara Soekarno Hatta, maka perbedaan nilai pabean sebesar Rp2.719.428.936,00 tersebut bukanlah tanggung jawab KPU (lihat halaman 35-37 Konsep Pemeriksaan dan halaman 86-88 Hasil Pemeriksaan), melainkan menjadi tanggung jawab dari perusahaan yang bersangkutan. KPU dalam hal ini Biro Pengawasan dan Biro Keuangan hanya menerima surat-surat resmi dari Pabean.
KESIMPULAN:
Setelah semua indikasi kerugian keuangan negara dan potensi kerugian negara telah ditanggapi, maka dapatlah digolongkan bahwa apa yang dikerjakan oleh Panitia itu semuanya mempunyai dasar-dasar yang kuat.
Penetapan kontrak pengadaan tinta impor dengan menggunakan harga yang dirataratakan dan tidak menggunakan harga penawaran terendah sudah terurai di atas, dengan demikian indikasi merugikan keuangan negara sebesar Rp959.288.200,00 menjadi tidak terbukti pula.
14
Penetapan kontrak pengadaan tinta lokal dengan disamakan harganya dengan harga eksimpor tidaklah merupakan
penyimpangan, karena jelas tujuannya untuk mendorong
peningkatan pengalaman bagi pemasokan bagi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dipesankan oleh Pleno tanggal 17 Februari 2004. Dengan demikian indikasi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp461.584.315,00 tidaklah terbukti.
Pembebasan Bea Masuk sebesar Rp1.155.490.100,00 oleh P.T. Fulcomas Jaya atas dasar surat Kepala Bagian Penyusunan Rencana Kebutuhan Biro Logistik dan Distribusi KPU, bukan selaku Sekretaris Panitia karena dilakukan melalui surat tanggal 19 Mei 2004 kepada Menteri Keuangan RI yang menurut Tata Naskah Surat yang berlaku di KPU adalah meliwati wewenangnya, dengan sendirinya hal itu merupakan tanggung jawab pribadi dari Sdr. AR sendiri dan P.T. Fulcomas Jaya.
Demikian pula “underpricing” dan “under invoice” sebesar Rp820.555.050,00 yang dilakukan oleh P.T. Mustika Indra Mas bersama-sama P.T. Bandar Mutiara Cemerlang, P.T. Nugraha karya Oshinda dan P.T. Citra Eshapratama di luar sepengetahuan KPU. Seandainya terjadi penyimpangan dan juga kolusi dengan instansi pabean, sepenuhnya diserahkan kepada yang berwajib.
Kemudian terakhir, karena sudah jelas yang dibutuhkan (atas dasar SK KPU No. 4 Tahun 2004 tanggal 23 januari 2004 tentang Alat Kelengkapan Administrasi untuk Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten Kota , SK KPU No. 15 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan KPU No. 4 Tahun 2004, dan SK KPU No. 15 Tahun 2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang Spek) adalah 2 botol @ 30 cc untuk setiap TPS, maka tidak terdapat potensi kerugian negara senilai Rp17.555.497.500,00. Di atas itu semua Panitia tidak merugikan Keuangan Negara, tidak boros, dan bahkan hemat
15
Salah satu indikator bahwa Panitia itu tidak menyimpang dan tidak boros, adalah harga untuk zone yang termahalpun, yakni zone NTB, NTT, Maluku dan Papua (Rp30.275,00) masih berada di bawah Harga Perhitungan Sendiri (HPS) (yang ditetapkan tgl. 16 Februari 2004 dalam Berita Acara Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri Pekerjaan Pengadaan Tinta Sidik Jari Yang Digunakan Dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2004) [terlampir] dan pagu anggaran dari Departemen Keuangan yang ditetapkan tanggal 19 Februari 2004 (Rp37.000,00) (telampir) serta harga pada Pemilu 1999 (Rp36.500,00) (Surat Perjanjian Pengadaan Tinta Sidik Jari untuk Keperluan Pemilu 1999, terlampir). HPS ini layak karena harga Pemilu 1999 itu hanya franco gudang KPU di Jakarta dan mengingat pula inflasi selama lima tahun. Menurut data Bank Indonesia, pada Pemilu 1999, bulan Mei 1999 kurs untuk US $ 1.00 = Rp 8.105,00; sedangkan pada Pemilu 2004, bulan Februari 2004 untuk US $ 1.00 = Rp 8.447,00.
Total belanja untuk tinta (impor dan dalam negeri) ternyata hanya Rp 33.202.109.000,00 + Rp2.941.861.825,00 = Rp36.143.970.825,00. Artinya terdapat penghematan dari pagu anggaran yang disediakan tanggal 19 Februari 2004 itu sebanyak Rp5.687.119.175,00 (Rp
41.831.090.000,00
minus
Rp36.143.970.825,00).
Namun
anehnya
BPK
menghubungkan hal ini dengan Realisasi Anggaran, dalam halaman 57-nya menyatakan bahwa “Realisasi penggunaan anggaran pengadaan Tinta Pemilu Legislatif 2004 menurut data Biro Keuangan KPU sampai dengan 31 Desember 2004 adalah sebesar Rp36.143.970.825,00
atau
108,86%
dari
anggaran
yang
disediakan
sebesar
Rp33.202.109.000,00. Pelampauan anggaran sebesar Rp2.941.861.825,00 (8,86%) atau sebesar nilai kontrak tinta lokal tersebut terjadi karena revisi anggaran yang semula sebesar Rp41.831.164.000,00 direvisi menjadi sebesar Rp33.202.109.000,00 dan revisi anggaran tersebut menjadi hanya sebesar nilai kontrak tinta impor. Dengan adanya revisi tersebut maka anggaran pengadaan tinta lokal menjadi tidak disediakan”? Panitia tidak mengetahui adanya revisi tanggal 31 Desember 2004, yang diketahui Panitia adalah pagu anggaran 19 Februari 2004.
16
Hal ini aneh, karena mengukur kinerja Panitia yang berkerja sejak 6 Januari 2004 s.d. 5 April 2004 dengan “yardstick” tanggal 31 Desember 2004! (lihat halaman 57 butir 5 Hasil Pemeriksaan).
Panitia hanya mengetahui pagu anggaran 19 Februari 2004, dan Panitia tidak tahu menahu dengan anggaran yang disediakan sebesar Rp33.202.109.000,00 pada 31 Desember 2004 [setelah lebih dari 8 (delapan) bulan setelah Pemilu Legislatif berlangsung].
Keadaan Ekstraordiner Hal ini ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tanggal 2 April 2004 dan Keppres No. 20 Tahun 2004 tentang Dukungan Darurat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2004 untuk Pelaksanaan Pemilu Tahun 2004 tanggal 18 Maret 2004.
Waktu yang sangat singkat terutama apabila dihubungkan dengan harus adanya pesanan ke luar negeri. Tidak ada satu pun produsen tinta di luar negeri yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan KPU dalam waktu yang terbatas dan singkat. Oleh karena itu pabrikannya juga tidak hanya satu, melainkan 3 (tiga) pabrik; yakni Kores, Coral, dan Rehmani. Pemilihan/penunjukan tunggal akan sangat berisiko. Dalam hal ada kegagalan, walaupun sekecil apapun akan selalu berdampak politis, karena adanya cacat dalam pelaksanaan pemilihan umum. Pertimbangan untuk menjaga stabilitas inilah yang ingin dijaga oleh Panitia. Ternyata dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif ini, penyediaan tinta ini tidak melahirkan masalah.
Demikian pula untuk penyediaan tinta eks-domestik dalam waktu yang singkat (perintah Pleno tgl 17 Februari 2004), Panitia mencari dari daftar prakualifikasi. Ternyata tidak ada satu pun perusahaan yang bergerak dalam produksi tinta. Dari sekian banyak, Panitia memilih tiga perusahaan yang lebih serius, dalam arti sudah memberikan sampel dan
17
telah mempresentasikan “produk”-nya dalam suatu ekspose pada Pleno. Di samping itu mereka dapat dan bersedia melakukan “alih fungsi”, misalnya dari produsen cat atau cat tembok menjadi tinta. P.T. PrintColor Indonesia, P.T. Cipta Tora Utama, dan P.T. Mega Buana Internasional yang dialihkan secara notarial ke P.T. Asgarindo Utama (terlampir Akte Notaris Ny. Nofriwati Amiruddin, SH No. 12, Jakarta tanggal 26 Februari 2004 tentang Perubahan Perjanjian Kemitraan (Konsorsium) a.n. P.T. Mega Buana Internasional, P.T. Gunung Jati Selaras, dan P.T. Asgarindo Utama). Mereka telah mengajukan sampel dan sudah mendapatkan sertifikat tidak membatalkan wudlu dari Majelis Ulama Indonesia dan sertifikat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) Departemen Kesehatan RI untuk keterangan tidak mengganggu kesehatan kulit pemakainya. Perusahaan-perusahaan lainnya seperti tercantum dalam halaman 7071 Hasil Pemeriksaan tidak menunjukkan aktivitas. Perlu pula ditambahkan bahwa di dalam Pemilu 1999 itu pemakaian 2 botol @ 30 cc itu cukup untuk jumlah pemilih yang melebihi 700 orang. Hal ini disebabkan karena dipakainya aplikator dari busa.
PENUTUP
Eks-Panitia berterima kasih, karena ternyata dalam halaman-halaman akhir dari Konsep Hasil Pemeriksaan Investigatif ini, ternyata para investigator memahami kesukarankesukaran
Panitia (halaman 40-41 Konsep Pemeriksaan). Secara implisit tergambar
bahwa apabila tinta tanda khusus ini tidak datang tepat-waktu, maka ada kemungkinan terjadi kecurangan (fraud) dalam Pemilu Legislatif sebagai awal dari rentetan Pemilupemilu lainnya.
Namun anehnya, di mana Pleno BPK diharapkan lebih bersifat bijak bestari sebagai suatu Lembaga Negara, justru tidak lagi menyertakan pemahaman atas kondisi KPU ketika itu, khususnya dalam penyediaan tinta pemilu.
18
Disadari bahwa biaya politik yang disebabkan oleh kegagalan penyediaan perlengkapan untuk Pemilu ini yang sangat tinggi, maka apabila penyelenggaraan penyediaan tinta pemilu ini kurang berhasil, hal ini dapat mengganggu kemantapan yang telah kita raih bersama. Dengan demikian tidak sedikit pun terbersit itikad Panitia untuk cenderung bersifat boros, apalagi merugikan keuangan negara. Satu tujuan saja yang selalu diingat oleh Panitia adalah agar Pemilu bisa berlangsung dengan lancar dan baik, sehingga tumbuh kepercayaan dari dalam negeri dan luar negeri, yang akhirnya melahirkan ekonomi Indonesia yang tumbuh dengan wajar berselaras dengan proses demokratisasi.
Perlu pertimbangan yang menyeluruh sehubungan dengan penyediaan tinta, baik impor maupun dalam negeri, yang ternyata “goal”-nya tercapai yaitu tidak menyebabkan penyelenggaraan Pemilu Legislatif tertunda. Demikian pula harganya masih berada di bawah HPS, di bawah Pagu Anggaran, dan juga di bawah harga Pemilu Tahun 1999. Yang jelas hal ini merupakan upaya penghematan.
Jakarta, 9 Mei 2005
19