Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu Oleh: Hardinata Abstract In the culture of Elections in Indonesia, one of new challenge for Indonesia is the Regional Election directly initiated by the government through Law No. 32 of 2004 on Local Government which replaced Law No. 22 of 1999. The Law No. 32 of 2004 is considered to be more accommodating to the political interests of the Indonesian nation as a whole as well as accommodate the aspirations of the community in order to guarantee the implementation of democracy in the region. This will be very interesting because this will be a climax of the election results are implemented directly. Keywords: Elections, the election commission authority, judicial review
Pendahuluan Sehubungan dengan pemilihan umum dalam hal pilkada langsung, format politik Indonesia pada saat ini adalah neo-patrimonialisme, yang berarti perkembangan suatu negara atau organisasi sosial yang telah menggunakan sarana yang modern, dengan stabilitas sistem yang terjaga. Hal ini terlebih karena kemampuan pemimpin dalam merekatkan kepentingan kelompok disekitarnya. Neo-patrimonialisme mensyaratkan kesamaan pandangan politik dan ideologi dikalangan elite dan kekuatan utama dan adanya depolitisasi massa. Dalam konstruksi pemikiran neo-patrimonialisme, massa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan politik. Dalam pandangan Miriam Budiarjao, dikebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokarsi itu sendiri. Hasil pemilihan umum yang diselengarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan (agak) akurat partisipasi dan aspirasi masyarakat (2008:461). Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), memang menjadi sebuah pekerjaan yang besar untuk tiap daerah. Karena inilah pesta demokrasi yang pertama secara langsung untuk memilih pimpinan di daerah masing-masing. Namun, ada banyak catatan yang harus dicermati mengenai pelaksanaan pemilukada. Karena kalau diperhatikan proses terbitnya segala aturan pelaksana pemilukada sarat kepentingan politis. Sebagai contohnya di UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah di mana peserta pemilu dicalonkan oleh partai politik yang memiliki jumlah suara (kursi) tertentu di DPRD. Sementara, tanggungjawab pelaksanaan pemilukada kepada DPRD yang notabene adalah representasi dari suara partai politik yang mencalonkan kontestan dalam pemilukada. Di samping itu, PP tentang pemilukada yang dibahas cukup lama dikhawatirkan sebagai proses “bargain politik” antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Menurut Ramlan Surbakti (1992:137), dalam setiap sistem pemilu yang biasanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, setidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu penyuaraan (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula pemilihan.
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja
40
Hardinata; 40 - 44
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Di negara yang demokratis, penyelenggaraan pemilu semestinya dilangsungkan secara bebas dari berbagai kepentingan politik dan pemerintahan. Sebab, pemilu diharapkan tidak dipengaruhi oleh berbagai kepentingan politik, baik itu dari partai politik atau calon peserta pemilu dan juga proses pemerintahan tidak terganggu oleh kepentingan politis dari pemenang pemilu. Oleh karena itu, sebenarnya sudah sangat baik telah diatur oleh konsititusi kita di UUD 1945 pasal 22 ayat 5 yang menyatakan bahwa “pemilihan umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Sayangnya, pengaturan pemilu tidaklah semulus yang kita bayangkan. Aturan pemilu dalam hal organisasi penyelenggara pemilu, di aturan pemilu legislatif dan presiden UU No.12/2003 dan UU No.23/2003 berbeda dengan aturan pemilu kepala daerah di UU No.32/2004. Di UU No.12/2003 dan UU No.23/2003 telah tegas garis yang dituangkan dari pasal 22 ayat (5) UUD 1945 bahwa KPU harus mandiri dan bersifat nasional. Tetapi, di UU No32/2004, peran Depdagri sangat besar dengan adanya Peraturan Pemerintah dan pertanggung jawaban hasil pilkada kepada DPRD. Dalam hal ini, aturan pemilu telah direvisi baik itu legislatif dari UU No.12 Tahun 2003 menjadi UU 10 Tahun 2008 dan aturan Pemilu Pilpres dari UU.23 Tahun 2003 menjadi UU 42 Tahun 2008. Dengan adanya revisi peraturan pemerintah tersebut, hasil pemilukada dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan laporan hasilnya dilaporkan kepada KPU Pusat. Peran KPU sebagai Lembaga Independen Di era reformasi sejak 1999 sampai sekarang, Indonesia melakukan tiga macam pemilu. Pertama pemilu legislatif (DPR-DPD-DPRD), kedua pemilu eksekutif (presiden dan wakil presiden), ketiga pemilu kepala daerah (gubernur, walikota dan bupati beserta wakilnya). Dalam rangka pemilu legislatif dan eksekutif, pelaksana dan penanggungjawabnya adalah KPU dan KPUD, bersama-sama satu kesatuan dari atas ke bawah berdasarkan prinsip subordinasi dan koordinasi. Sedangkan eksekutif dan legislatif tak ikut campur, agar pemilu itu berjalan jujur dan adil. Tentunya dalam proses pelaksanaan pilkada langsung juga memiliki kelemahan sebagaimana kebijakan pemerintah lainnya. Kelemahan seperti (terkadang) adanya berbagai ketidaksiapan dalam proses penyelengaraan pemilukada yang berlangsung di sejumlah daerah. Satu diantaranya adalah persiapan KPUD yang kurang memadai, logistik yang belum terurus, serta molornya masa pendaftaran calon maupun dana pemilukada yang belum turun. Selain itu, kesadaran politik rakyat (di daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada) belum terbangun. Hal ini terlihat dari sering terjadinya bentrok fisik antara pendukung kandidat serta minimnya partisipasi masyarakat. Selain itu, kehadiran desk pemilukada pun yang salah satunya diperbantukan untuk membantu sosialisasi tidak berjalan efektif. KPUD dengan pemerintah daerah pada dasarnya hanya sifatnya koordinasi dalam kesuksesan pemilukada, selanjutnya KPUD saat ini dalam penyelengaraannya tetap dalam naungan KPU Pusat dalam hal regulasi pemilukada. Terkait dengan itu, kewenangan KPU dilihat dengan produk hukumnya, yaitu Keputusan KPU dapat diinterpretasikan secara hukum yang setara sebagai peraturan pelaksana undangundang yaitu peraturan pemerintah. Sementara, pertanggungjawaban KPU sebenarnya hanya membuat laporan kepada Presiden dan DPR. Di samping itu, KPU bersifat nasional dengan tanggungjawab dan koordinasinya secara nasional. Sehingga dapat dilihat jelas bahwa 41
Hardinata; 40 - 44
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
semestinya posisi dan kewenangan KPU secara mandiri berada dalam produk hukum serta pertanggungjawabannya. Tetapi dalam pemilu kepala daerah (pemilukada), KPU Pusat tidak diikutsertakan (beristirahat). Pemilukada hanya dilaksanakan KPUD propinsi, kabupaten dan kota. Mulamula menurut UU No 32/2004 pasal 67, KPUD bertanggungjawab kepada DPRD, yaitu menyampaikan laporan untuk setiap tahap pelaksanaan pemilukada, dan laporan penggunaan anggaran untuk pemilukada tersebut. Tetapi hubungan KPUD dengan kepala daerah (gubernur, walikota dan bupati), tidak ada aturannya dalam UU No 32/2004 dan PP No. 6/2005. Berarti, KPUD tak bertanggungjawab kepada pemerintah atau ke KPU Pusat. Sementara itu, kalau merujuk pada UU No.32/2004 tentang kewenangan KPUD, maka terlihat bahwa hubungan yang terjalin nantinya akan bernuansa politis antara penyelenggara, peserta dan pemerintah. KPUD harus mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Sementara, calon peserta pilkada dicalonkan oleh fraksi di DPRD. Dan terakhir, aturan pelaksana pilkada merujuk pada PP yang dibuat oleh Depdagri. Hubungan tersebut dapat dilihat sebagai berikut: KPUD sebagai pelaksana yang mandiri tentu akan mudah diintervensi oleh kepentingan calon melalui partai politik sebagai penguasa, karena harus bertanggungjawab kepada DPRD. Sejak ada UU tentang penyelengara pemilu No.22/2007, kegiatan dalam hal pelaksanaan pemilukada, KPUD melaporkan hasil pemilukada ke KPU Pusat dalam seluruh penyelangaraannya. Dan KPUD tidak bertanggungjawab penuh kepada DPRD dalam segala penyelengaraan, tetapi masih ada tingkat koordinasi dengan DPRD dan pemerintah daerah dalam hal pemilukada langsung. Otoritas KPU sebagai Penyelenggara Pemilu Dengan posisi KPU dan KPUD pada saat ini terlihat minim otoritas. Dengan sejumlah tahapan pilkada seperti pendaftaran pemilih dan sosialisasi pilkada dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Tidak hanya itu otoritas pendanaan pun ada pada Pemda. KPUD seolah hanya menjadi pelaksana administratif dan subordinatif terhadap Pemda dan Departemen Dalam Negeri. Terkait dengan otoritas ini, ada dua hal utama yang patut menjadi catatan. Pertama, minimnya otoritas KPU. Dalam hal minimnya otoritas, pemerintah pusat melalui Depdagri juga ingin menutupi rasa malunya dengan ide percepatan tahapan pemilukada akibat proses pembahasan PP yang berlarut-larut. Padahal tahapan pemilukada yang dipersingkat tersebut diakui oleh KPUD sangat menyulitkan gerak dan langkah dalam menyukseskan pilkada. Ringkasnya, proses pilkada memang banyak kelemahan secara konstitusi. Kalaupun sekarang ini KPUD sangat berharap banyak terhadap terbitnya PP tentang pemilukada, karena mereka sebagai penyelenggara pemilukada tidak bisa berbuat banyak untuk memulai tahapan pemilukada. Mestinya memang saat ini sosialisasi menjadi agenda paling penting. Namun hambatan yang jelas adalah masalah anggaran dananya, yang berasal dari APBN untuk persiapan pemilukada itu sendiri. Belum lagi dugaan korupsi yang semakin menguat dari penyimpangan anggaran oleh anggota DPRD.
42
Hardinata; 40 - 44
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Sementara itu, semua aturan pelaksana pemilu yang nantinya dibuat oleh KPUD harus merujuk kepada peraturan pemerintah, bukan kepada Keputusan KPU Pusat. Sehingga pelaksanaan pilkada sebenarnya lebih mengkhawatirkan. Paling tidak, nuansa intervensi politik dan keterlibatan pemerintah pusat seperti zaman Orde Baru akan terasa dialami oleh pelaksana pemilukada yaitu KPUD dan juga para calon peserta pilkada nanti. Kedua, otoritas KPU terhadap judicial review. Dalam hal ini, KPUD dalam otoritasnya sebagai lembaga penyelengara pemilukada mengajukan judicial review terhadap UU No.32/2004 untuk merubah bab tentang pemilukada, khususnya masalah kemandirian pemilu. Alasannya sangat jelas bahwa aturan pemilukada merugikan banyak pihak yaitu pemilih, penyelenggara dan tentu calon peserta. Kalaupun akhirnya pemerintah pusat melihat upaya ini sebagai pengganjalan terhadap pemilukada, yang hanya terkesan terlihatnya kelemahan pemerintah pusat. Sehubungan itu, konsekuensi pemilukada bukan disebut sebagai pemilu, akan tetapi memutus hubungan hirarkis antara KPU Daerah (KPUD) dengan KPU yang mengangkat KPUD itu sendiri. KPUD sebagai penyelenggara pilkada tidak bertanggungjawab kepada KPU melainkan kepada DPRD. Masalahnya kalimat KPUD bertanggungjawab kepada DPRD sudah dihapus Mahkamah Konstitusi hasil judicial review dan diganti dengan KPUD bertanggungjawab kepada rakyat. Tetapi pengaturan ini pun belum jelas karena rakyat bermakna luas. Penutup Dalam proses pemilihan langsung, baik itu pilpres, pileg dan pemilukada tampaknya tidak akan berjalan jujur dan adil, tetapi langsung dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Soal kejujuran atau keterbukaan kelihatannya ada usaha untuk mempretelinya. KPU sebagai lembaga yang punya otoritas dalam mengurusi proses pemilu, salah satunya adalah dalam proses pemilukada. KPU Pusat tak diikutsertakan bertanggungjawab melaksanakannya. Otomatis KPU Pusat tak mendapat jatah anggaran pemilukada. Padahal KPU adalah Komisi Pemilihan Umum, sedangkan di Depdagri dibentuk desk pemilukada yang bertugas memonitor pelaksanaan pemilukada, yang tentu dibantu gubernur, walikota, dan bupati. Artinya pembentukan desk pemilukada, menunjukkan adanya intervensi pemerintah terhadap kemandirian KPUD. Di mana nanti mungkin akan timbul peraturan bahwa penanggungjawab pemilukada adalah pemerintah, sedangkan KPUD hanya sebagai pelaksana. Jika ini terjadi maka merupakan suatu kemunduran pemilukada, dibanding pemilihan legislatif dan pilpres, walaupun dilegitimasi dengan menertibkan perpu. Perpu sebenarnya tidak boleh dibuat sekehendak hati, tapi harus dibuat berdasarkan keadaan darurat dan mendesak. Soal kekosongan ketentuan dalam UU dan PP karena adanya judicial review, sehingga DPRD tak menjadi penanggungjawab pemilukada, tampaknya terdapat unsur rekayasa dari pihak pembentuk UU sendiri. 43
Hardinata; 40 - 44
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramendia Pustaka Utama Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.12 Tahun 2003 dan UU No.23 Tahun 2003 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
44
Hardinata; 40 - 44