Jurnal Penelitian Vol.l,No. 1,2004
Pemilu Legislatif 2004 • Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum • Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 • Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia • Pemilih Hijau di Kota Santri • Pemilu Legislatif 2004 di Aceh • Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek Gerakan Reformasi di Iran • Partai Politik, Pemilu dan Pemerintahan Rusia RESENSI BUKU
Strategi Kontemporer Partai-partai Politik di Indonesia 2004-2009
Jurnal Ftenelitian
ISSN: 1829-8001
Vol. 1 No. 1, 2004
DAFTAR ISI Catatan Redaksi Artikel • Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum Arbi Sanit • Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 Heru Cahyono •
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia Lili Romli
• Pemilih “Hijau” di Kota Santri: Kasus Pemilu 2004 di Pekalongan M. Hamdan Basyar
1-2
3-7 9-27 29-48
49-60
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi, Partisipasi dan Mobilisasi Politik Moch. Nurhasim
61-76
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek Gerakan Reformasi di Iran Indriana Kartini
77-94
• Partai Politik, Pemilu dan Pemerintahan Rusia Emilia Yustiningrum
95-110
•
•
Resensi Buku • Strategi Kontemporer Partai-Partai Politik di Indonesia 2004-2009 Mardyanto Wahyu Tryatmoko Tentang Penulis
111-119 121-122
Catatan Redaksi Jurnal ilmiah merupakan salah satu tolok ukur penting bagi kualitas dan kapasitas sebuah lembaga akademis. Tanpa kemampuan menerbitkan tulisan-tulisan ilmiah semacam jurnal sebuah lembaga akademis, universitas maupun lembaga riset, eksistensi intelektualitas dan keilmiahan lembaga patut “dipertanyakan”. Mungkin tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa bagi lembaga akademis, terbitan ilmiah semisal jurnal dapat diibaratkan taring bagi seekor macan. Dalam konstelasi sosial di Indonesia, berbagai bacaan ilmiah semisal jurnal selama ini memang mengalami kelesuan. Artinya, buku-buku ilmiah relatif sepi pembaca, jurnal pun jarang dilirik pengunjung toko buku. Masyarakat Indonesia memang masih berada pada kisaran kultur koran, majalah, serta bacaan ringan dan atau populer lainnya. Dapat dipahami jika penerbitan karya-karya berkualitas dan sarat ilmu semisal jurnal umumnya kurang laku di pasaran. Alhasil, karya-karya seperti itu umumnya menjadi penerbitan non-profit atau bahkan lini penerbitan merugi, sehingga sangat jarang penerbitan jurnal di Indonesia mampu bertahan dalam kurun waktu lama. Kendati demikian, bagi lembaga akademis, jurnal menjadi barometer kualitas dan kapasitas eksistensinya, sehingga dalam situasi apapun lembaga akademis memiliki tanggung jawab moral bagi dihasilkannya karya-karya ilmiah bermutu semisal jurnal ilmiah. Al asannya, pertama, jurnal merupakan media komunikasi, bahkan sarana diskusi ilmiah paling efektif di antara para ilmuwan dan atau akademisi. Kedua, jurnal merupakan sarana sosialisasi berbagai hasil pemikiran ilmiah dan penelitian yang telah dilakukan para akademisi. Ketiga, jurnal sebagai sarana membangun tradisi intelektual, terutama melalui pengembangan kemampuan penulisan ilmiah. Berdasar argumentasi itu maka Jurnal Penelitian Politik dihadirkan ke hadapan pembaca. Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) ketika masih bernama Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN) telah menerbitkan jurnal bernama Masalah-masalah Internasional Masa Kini. Pada tahun 1986 terjadi reorganisasi di lingkungan LIPI, yang antara lain membentuk Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan (PPW). Berbagai upaya untuk menerbitkan jurnal ilmiah kembali dilakukan oleh PPW. Namun akibat berbagai kendala, maka realisasi penerbitan jurnal baru bisa dilakukan pada tahun 1996 dengan nama Jurnal Studia Politika (bekeijasama dengan Yayasan Insan Politika). Pada 2001 terjadi reorganisasi di lingkungan LIPI, di mana PPW berubah nama menjadi Pusat Penelitian Politik (P2P). Kini P2P kembali merintis kembali menerbitkan jurnal baru bernama iwrna/ Penelitian Politik. Jurnal baru ini secara umum akan menelaah seputar empat topik besar, yakni: kajian politik nasional, politik lokal, politik internasional, serta tinjauan teoritis terkait dengan tema terkait. Selain itu, sebagai tambahan disertakan pula book review, tentu saja dengan memilih buku yang bertema selini dengan tema topik besar yang sedang dikaji. Pada edisi perdana ini, Jurnal Penelitian Politik menyoroti soal pemilihan umum di Indonesia, khususnya pemilu parlemen, yang telah dilakukan pada April 2004. Pemilu 2004 sangat menarik untuk dicermati, mengingat untuk pertama kali pemilu memberlakukan sistem proporsional terbuka, yakni dengan disertakannya foto para calon legislator di samping gambar partai politik peserta pemilu, pemilihan calon independen (DPD), serta pembagian berdasarkan daerah-daerah pemilihan. Substansi tema ini mencakup satu tinjauan teori, dua analisis pada tingkat nasional, dua analisis pada tingkat lokal, dan analisis dua kasus pemilu di luar negeri (baca: perbandingan kasus internasional). Kami juga memuat sebuah resensi buku tentang strategi kontemporer partai politik di Indonesia.
1
Redaksi berharap, hadirnya Jurnal Penelitian Politik ini bisa disambut baik oleh para pembaca serta dapat mengisi waktu senggang dengan substansi yang serius sebagai wahana diskusi dan sosialisasi karya-karya ilmiah dari masyarakat ilmu, khususnya akademisi bidang sosial politik. Pada edisi perdana ini pula, kami mengundang para akademisi untuk aktif terlibat membesarkan jurnal ini dengan cara mengirim karya-karya ilmiahnya berupa artikel, resensi, bahkan berupa kritik dan saran membangun. Dukungan moral dan material juga sangat kami nantikan guna membantu peningkatan kualitas di samping menjamin kontinuitas eksistensi jurnal ini. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca. REDAKSI
2
Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum Oleh: Arbi Sanit Abstract S o cia l co n tra ct is a con ception a b o u t new p o w e r relation sh ip betw een elite a n d p eo p le which is fo rm u la ted in o rd e r to fu lfill a d e m a n d fo r p o litic a l renew al w hich is n eed a continuity, not stagnation nor deterioration . We n e e d to recon stru ct any a sp ect o f so cia l co n tra ct th eory in o rd er to understand about socia l con tract relevance with gen eral election. The general election a s a contract social guaranteed rights an d oblig a tio n o fth e vo te rs a n d the lea d ers. The co n tra ct m echanism betw een voters an d p o litica l can didate is rela ted by trust. The o b je c t o f tru st its e lf in gen era l election is m orality. The p o litica l contract co n sisten cy b a se d on tru st is a fo u n d a tio n f o r building a State as a m o ra l entity, which is m ade by m ora lly human being.
K in erja p e n g u asa sistem dan pemerintahan negara Indonesia dalam lima tahun terakhir yang jauh dari harapan rakyat dan pemilih dalam pemilu pertama di era reformasi pada 1999, tampaknya melatari w acana p o litik ten tan g ko n trak sosial menjelang Pemilu 2004. Diperbincangkan argumen penggunaannya untuk memperbaiki proses P em ilu dan te ru ta m a k in e rja pemimpin yang terpilih dan berkuasa atas negara. D ip e rd e b atk a n kem ungkinan formatnya yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia dewasa ini. Dibahas pula strategi untuk menerapkannya dalam rangka pemilu. Sejauh ini berbagai gagasan sudah dikemukakan. Akan tetapi belum diperoleh kem ajuan yang b e ra rti, baik secara konsepsional maupun aplikatif. Karena itu, ada baiknya ditelusuri konsepsi tentang aspek-aspeknya sejauh berkaitan dengan Pemilu, dengan harapan berguna sebagai pemancing inspirasi. Kontrak sosial sebagai perjanjian di antara masyarakat dengan kaum elite yang diwakili oleh penguasa, berakar kepada pemikiran politik dari abad ke-16 sampai k e -18 di Eropa Barat, terutama k ary a Thom as Hobbes, Jhon Locke, dan Jean Jacques R ousseau. M ereka adalah bagian dari golongan p e m ik ir b e sa r E ro p a yang merespons peralihan era revolusi pertanian pertama di pertengahan abad ke-16 menuju Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum (Arbi Sanit)
rev o lu si keagungan dan revolusi ilmu pengetahuan di akhir abad ke-18. Pemikiran m erek a m enapaki p e rja lan a n panjang pergeseran kekuasaan dari raja dan kaum b an g saw an k ep ad a kaum feodal yang semakin mendominasi parlemen, sebagai imbalan bagi kontribusi pajak mereka yang sem akin m enentukan sum ber keuangan kerajaan. Kontrak sosial merupakan konsepsi tentang hubungan kekuasaan baru di antara penguasa dengan rakyat, yang dirumuskan untuk m enjaw ab tuntutan pem baharuan politik yang m em erlukan keberlanjutan, bukan kemandekan apalagi kemunduran. Itulah sebabnya maka para pemikir tersebut, m en g eten g ah k an k o n tra k sosial guna menegaskan bahwa bukan raja, akan tetapi rakyat yang merupakan pemilik kedaulatan. B ahw a p e n g u asa h aru s m em peroleh kepercayaan rakyat supaya bisa memerintah secara sah. Bahwa untuk itu, baik penguasa maupun rakyat harus mempunyai tanggung jaw ab m asing-m asing, atas keterkaitan mereka satu sama lain di dalam negara. Pemikiran atau teori kontrak sosial dimulai dengan asumsi mengenai kondisi alami m anusia dan m asyarakatnya yang dikenal dengan konsep State o f nature. Di dalam kondisi alami kehidupan bersama, pada saatnya manusia akan terjebak oleh situasi konflik (perang). Konflik hadir karena 3
adanya kepentingan dan nilai sebagai unsur pembentuk tujuan yang tidak berkecocokan (tidak sesuai), sekalipun manusia berada dalam kondisi yang tidak berbeda. Hobbes misalnya mengasumsikan manusia dalam kondisi takut, sehingga pembelaan diri malah memicu perang. Locke berpikir sebaliknya, bahwa di dalam kondisi alami manusia bebas dan sam a, tapi p e m an faa ta n n y a yang memerlukan dukungan kekuasaan malah m enjadi akar k o n flik . R ousseau yang mengasumsikan manusia lemah di dalam situasi alam i, m enyebabkannya rentan terhadap sesamanya sehingga memberikan peluang bagi kehadiran konflik. K ondisi perang adalah situasi k ebencian dan p e n g h an cu ran yang diekspresikan dengan kata dan tindakan, tulis Jhon L ock dalam Two Treatises o f G overnm ent. In d iv id u sep erti h aln y a masyarakat menjadi sensitif akan kekuatannya untuk memperjuangkan keuntungan di bawah prinsip peningkatan, sehingga tercip ta kondisi peperangan dalam kalangan individu, kata Montesquieu dalam The Spirit o f the Laws. Malah Thomas Hobbes yang percaya bahwa: “Alam membuat m anusia begitu sama secara fisik dan a k a l,... dan perbedaan antarmanusia tidak begitu ditimbang ...”, melihat adanya tiga dasar konflik dalam diri manusia yaitu persaingan, kemalasan, dan keagungan untuk mendapatkan keuntungan, keamanan, dan kehormatan (Leviathan). A dalah untu k m en ghindarkan manusia dari menjadi objek dan sekaligus korban k o n flik atau p eran g , seh in g g a k e tak u tan n y a (H obbes) h ilan g atau kelemahannya (Rousseau) tidak dieksploitasi ataupun k e b eb a san n y a (L ocke) tid ak tersirnakan, m aka diperlukan perjanjian sosial. Ada berbagai hal yang dianggap perlu untuk dijadikan fungsi dan substansi kontrak sosial. Hobbes melihatnya sebagai jaminan atas kedaulatan (sovereignty) manusia untuk memilih di antara kebebasan (liberty) yang disertai risiko anarki, dengan kepatuhan kepada pem erintah dengan konsekuensi mendapat keamanan (security). Locke dari sisi berbeda memahami kontrak sosial sebagai kesepakatan untuk 4
membedakan antara hak berkuasa dalam b en tu k m em ak sa yang m endom inasi kehidupan dalam State ofnature, dengan hakhak lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Lebih detil, perjanjian masyarakat merupakan kesepakatan bahwa hak untuk memaksa itu diserahkan kepada pihak yang m em erintah yang sekaligus membatasi kekuasaannya dari kecenderungan totaliter. Isi kontrak itulah yang selanjutnya menentukan hukum positif dengan konstitusi negara sebagai bentuk utamanya. Rousseau menggambarkan kesepakatan kekuatan berbeda dengan melihat isi pokok dari k o n trak so sial yang terd iri dari k ed au latan (so v e r e ig n ty ) dan o to ritas (authority) sebagai hasil kesepakatan yang tercipta. O toritas yang berbasis kepada kebebasan, tidak tertutup kemungkinannya u n tu k te rje ru m u s m en jad i nepotism e misalnya, karena ambisi penguasa. Karena itu, so ve reig n ty yang b isa m enjam in kebebasan manusia sebagaimana adanya, hendaklah dikombinasikan dengan hukum yang seharusnya dijadikan alat mengatur. Bagi Rousseau, sovereignty bersifat absolut tapi tidak tak terbatas. Variasi gambaran tentang fungsi dan substansi kontrak sosial antar pem ikir tersebut, ju stru m em perkaya pengertian tentangnya. Pertama, kesepakatan tentang kedaulatan untuk memilih di antara anarki dengan keamanan. Kedua, penyerahan hak berkuasa yang tidak disertai dengan hak lainnya supaya penguasa hanya berwenang secara terbatas. Ketiga, baik warga maupun penguasa sebagai peserta kontrak, dibebani dengan tanggung jawab. Keempat, perjanjian ten tan g hak m erupakan landasan bagi penetapan konstitusi sebagai hukum positif. Dan kelima, kontrak menyepakati pembedaan kedaulatan yang dim iliki rakyat dengan otoritas yang terbentuk oleh pem berian kepercayaan rakyat. Jad i, k eselu ru h an substansi dan fungsi kontrak sosial dimaksudkan untuk m enghasilkan bentuk kehidupan bersam a yang teratur dan sekaligus bermanfaat bagi semua pihak. Dalam kaitan itu, secara bersama para pemikir kontrak sosial mengemukakan Jurnal Penelitian Politik, Vol. 1 N o .l, 2004: 3-8
tiga tingkat struktur kehidupan bersama yaitu manusia, masyarakat, dan negara. Manusia yang diidamkan adalah manusia moral dalam artian individu yang berdaulat serta tahu batasannya, sehingga mematuhi hukum demi keamanannya sendiri. Karena itu manusia harus m em punyai k eb eb asan m em ilih sebagai haknya. Masyarakat dibedakan atas masyarakat sipil dengan masyarakat politik, untuk m enjam in d em o k rasi karena persaingan di antaranya m enghindarkan dominasi dan penindasan. Negara sebagai produk akhir perjanjian masyarakat yang merupakan entitas kekuasaan (kedaulatan) kolektif harus tunduk pula kepada konstitusi sebagai hukum positif. Negara menjamin demokrasi lewat pembagian kekuasaannya atas legislatif, ek sek u tif dan yudikatif. Dengan begitu warganegara bisa bebas atas sesamanya, dan sekaligus tergantung kepada republik (negara) kata Rousseau. P erkem bangan teori (pem ikiran politik) kontrak sosial mengalami pasang surut justru karena pemekaran pemikiran baru yang berakar kepadanya. Di akhir abad ke18, p ad a saat p erk em b an g an ilm u pengetahuan di Eropa Barat meningkat tajam, dan raja serta bangsawan semakin kehilangan dominasi, pemikiran tentang individualisme tum buh pesat b ertolak dari penajam an perhatian kepada kebebasan rakyat yang digagaskan dalam kontrak sosial. Dipelopori oleh Jerem y B entham yang hidup dari pertengahan abad ke-18 sampai awal abad ke19, di puncak perkembangannya pemikiran utilitarianisme yang mengkonsepsionalkan individualism e, m enam pilkan sejum lah prinsip. Pertama, manusia bertindak untuk m em aksim alkan kepentingan dalam arti kebahagiaannya sendiri. Kedua, nilai moral hendaklah memuat prinsip bahwa manfaat kegiatan atau institusi publik hendaklah membahagiakan sebanyak mungkin orang. Dan ketiga, prinsip kebahagiaan orang banyak itu hendaklah menentukan kekuasaan negara seperti legislatif. Perkembangan teori negara kontrak sosial keutillitarianisme merupakan dasar bagi pemikian liberalisme klasik. Dengan tetap mempertahankan kebebasan individu, Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum (Arbi Sanit)
lebih jauh pem ikiran liberalism e klasik menawarkan peran negara yang amat terbatas, sehingga dikenal sebagai “negara penjaga malam”. Teori negara kontrak sosial semakin hilang dari peredaran, tatkala filsafat utilitaria yang m engilham i berbagai teori negara liberal, mendapat saingan dari filsafat Marxis yang juga melandasi berbagai teori negara (sosialis). Tetapi pada pertengahan abad ke-20, di saat dunia berhadapan dengan ketidakadilan yang serius, mulai dari keterbelakangan ekonomi dan sosial negara-negara bekas jajahan, kesenjangan utara-selatan dan timurbarat, sampai kepada ketergantungan politik dan ekonom i D unia K etiga, maka teori kontrak sosial mendapat perhatian kembali. Dalam tulisannya tentang Keadilan Sebagai Kejujuran di tahun 1958, John Rawls menulis tentang ketidaktepatan kaum utilitarian m em bedakan dan m em isahkan konsep keadilan (justice) dengan kejujuran (faimess). B ag in y a p em ik iran k o n trak sosial menginspirasikan pengembangan argumen bahwa gagasan fundamental dari konsep keadilan justru kejujuran (Crespigny dan Wertheimer, eds,. 1970). Di dalam bukunya A Theory o f Justice (1971) R aw ls m en ap ak i trad isi para penggagas teori kontrak sosial tentang pencapaian kesamaan (equality) melalui perubahan masyarakat dari kondisi alami menjadi negara secara sekuler. Maka bagi mereka, keadilan dihasilkan melalui kontrak di antara rakyat dengan penguasa untuk merubah State ofnature. Dalam mengembangkan teori keadilan, Rawls bertitik tolak kepada konsep keadilan, bukan k ep ad a p eru b ah an m asy arak at. Baginya, memaksimalkan keadilan berarti memaksimalkan alokasi penunaian tugas dengan m engurangi im balan. K eadilan terw u ju d b ila sem ua barang utam a m asy arak at sep erti k eb eb asan dan kesempatan, penghasilan dan kemakmuran, dan harga diri yang dalam, harus terdistribusi secara m erata, setid ak n y a peningkatan distribusinya. Baginya harus tems diupayakan kontrak sosial baru tentang upah kerja, investasi yang tepat, kegiatan kreatif, dan 5
inovasi yang tidak hanya merupakan jaminan bagi yang tidak beruntung, melainkan harus merupakan hak khusus dan manfaat dari kekuasaan para distributor, pengatur, praktisi hukum dan siapapun pejabat keadilan sosial. Rekonstruksi berbagai unsur atau aspek teori kontrak sosial sebagaim ana dikemukakan oleh penggagasnya tersebut, dengan m enggunakan pem ilihan umum (pemilu) sebagai pusat telaah, maka akan diperoleh pemahaman tentang relevansi teori kontrak sosial dengan pemilu di Indonesia. M etodenya ialah dengan jalan membuat berbagai analogi kondisional di antara kondisi alami, kontrak sosial dan hadirnya negara, dengan keadaan pra, proses, dan pasca-pemilu. Politik pra-pemilu berperan sebagai kondisi yang menentukan perjalanan dan hasilnya. Pemilu bertolak dari asumsi hampa kekuasaan negara karena para pejabatnya akan mengakhiri masa berkuasa. Karena itu, harus d iselen g g a ra k an pem ilu untuk memperbaharui mandat penguasa lama, atau menentukan penguasa baru, supaya tidak terjadi kekosongan kekuasaan negara, sebagaimana diasumsikan di dalam alasan untuk m em bentuk kontrak sosial. M aka dipersiapkanlah UU Pemilu beserta peraturan lainnya, untuk m em astik an hak dan kew ajiban sem ua pihak yang terkait, di samping untuk memastikan prosedur yang harus d item puh oleh p e se rta dan pelaksananya. B egitu pula dengan cara kontrol dan hukum an pelanggaran atas peraturan tersebut. P em ilu seb ag ai ko n trak so sial, tentulah m enjam in hak dan kew ajiban pemilih di satu pihak dan hak serta kewajiban para pemimpin di pihak lainnya. Hak pemilih ialah berdaulat menentukan pilihan yang dioperasikan melalui kebebasan menentukan pilihannya atau tidak memilih siapa pun dan m erahasiakannya atau bukan. Imbangan terhadap hak itu adalah kewajiban, berupa menjatuhkan pilihan kepada calon yang tepat secara benar, berdasar pertimbangan bahwa hasilnya akan mendatangkan faedah bagi diri, golongan, m asyarakat dan negara secara berimbang dalam artian berbagai keuntungan. 6
Dalam rangka menjamin penggunaan hak dan kewajiban, pemilih berhak pula mendapat p erlin d u n g a n keam an an d irin y a dan keluarganya, bersama jaminan untuk bersikap atau b e rtin d a k dalam ran g k a hak dan kew ajiban dim aksud. Dan usai pemilu p em ilih b erh ak m en u n tu t dan m enilai penguasa tentang janji pemilunya. Sebaliknya, para kandidat dalam pemilu berhak mendapatkan suara pemilih sebanyak mungkin, sebagai syarat, untuk memperoleh posisi kekuasaan negara yang diingini dan diincarnya. Operasionalisasi hak itu memungkinkannya membujuk pemilih dengan cara yang sah dan benar, sesuai dengan p rin sip p ersu asi dem okratik. Konsekuensinya ialah, adanya kewajiban untuk m em pertanggungjaw abkan segala upayanya dalam mendapatkan suara pemilih. Lebih dari itu, kandidat pemilu yang berhasil menjadi penguasa, berkewajiban melakukan upaya secara sah untuk menunaikan janjinya ketika pemilu. Mekanisme hubungan kontraktual di antara pemilih dengan calon atau kandidat ialah kepercayaan (trust). Artinya, di dalam proses pemilu para pemilih mempercayakan kedaulatannya untuk memerintah (berkuasa) kepada calon dengan keyakinan bahwa k ed au la ta n itu tid a k d isalah g u n ak an , melainkan dipergunakan untuk melakukan tugas kenegaraan berupa penanggulangan m asalah dan pengem bangan kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Di dalam kecenderungan operasinya, kepercayaan politik mengarah kepada bentuk perwalian ( tr u s te e ), u tu san (d e le g a te ) ataupun campuran wali dengan delegasi (politico). Tapi tidak dibenarkan adanya pilihan aspek k eh id u p an d alam p ro ses pem berian kepercayaan itu, kecuali moral. Dengan begitu, objek dalam pemberian kepercayaan di dalam pemilu adalah moral. Akibatnya proses tersebut tidak dibenarkan bila untuk mendapatkan kepercayaan politik, calon mengimingi atau m engim balinya dengan materi. Sebab proses transaksi politik yang dilandasi moral, menjadi tidak sah apabila d iu b ah m enjadi p ro ses ekonom i yang dilandasi dengan prinsip untung rugi. Lebih Jurnal Penelitian Politik, Vol. 1 N o .l, 2004: 3-8
jauh, kontraktual politik dengan menggunakan kepercayaan, m erupakan landasan bagi pembentukan negara sebagai entitas moral yang dibentuk oleh manusia moral. Trust didefinisikan oleh Fukuyama sebagai harapan terh ad ap k eteratu ran , kejujuran, dan kerja sama yang hadir di dalam masyarakat, dan bertolak dari norma-norma yang dihadirkannya dalam kehidupan seharihari. Norma yang berakar kepada nilai luhur dikembangkan m enjadi kode dan aturan bersikap serta berperilaku sebagai orang terhormat karena jujur dan adil. Untuk merealisasikan trust di dalam pemilu sebagai kontrak sosial, masyarakat yang berpengalam an dengan dem okrasi lazim nya m enggunakan kesep ak atan terhormat (gentlemen agreement) yang terdiri dari pemberian suara kepada calon sebagai tanda persetujuan pemilih atau figur dan program calon. Tapi perjanjian terhormat yang berlaku di antara dua pemilu itu, juga menyepakati kewajiban calon terpilih untuk menunaikan janjinya dengan upaya yang keras dan atau hasil kerjanya mengatasi masalah dan m em perbaharui kehidupan b erm asy arak at dan b e rn e g ara yang relevansinya berkenaan dengan pemilih. B agi m a sy a ra k a t yang belum b e rp e n g a la m a n d e n g a n k e h id u p a n demokrasi, tampaknya memerlukan bentuk kreatif untuk mewujudkan kesepakatan atas tru st politik . A lasannya adalah belum melembaganya “persetujuan terhormat” di antara calon atau kandidat dengan pemilih. Calon terpilih yang berupaya menepati janji, berkecenderungan besar gagal karena berbagai sebab. Ada yang popularitasnya jauh melebihi kemampuan politisi, negarawan,
Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum (Arbi Sanit)
dan manajerial politik yang dimiliki. Ada pula karena sistem politik dan pemerintahan tidak mendukung upayanya. Dan kebanyakan karena gabungan kedua alasan tersebut. Selain dari alasan-alasan tersebut, tidak dapat dipungkiri adanya kandidat terpilih yang tidak memahami seluk-beluk demokrasi, term asuk k ew ajib an n y a m enepati janji pemilu. Dalam rangka itulah muncul wacana tentang perlunya kontrak sosial di antara pemilih dengan calon yang diajukan dalam pem ilu. Dari telaah di atas bisa direka alternatif form atnya yang bisa berbentuk deklarasi calon secara tertulis atau lisan, perjanjian pem ilih dengan calon secara tertulis, atau sumpah yang dikemukakan calon seperti sumpah palapanya Gajah Mada. D alam pad a itu lin g k u p dan je n is substansinya dapat mengacu kepada berbagai teori yang dikemukakan oleh para pemikir Kontrak Sosial mulai dari Hobbes sampai Rousseau. Daftar Pustaka Hobbes, Thomas. Leviathan. Oxford, Oxford University Pers, 1974. Lock, John. Two Treaties o f Government. Cambridge, Cambridge University Press, 1970. Montesquieu, The Spirit o fth e Laws. Rawls, J. A Theory o f Justice. Cambridge, Mass. University Press, 1971. Rousseau, J.J. Social Contract. 1762.
Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 Oleh: Heru Cahyono
Abstract In general, the campaign p eriod in the legislative election has passed in a safe and orderly way. But, in the whole process o f general election, we stillfin d many basic problem ofviolation. There are many violations consists o f adm inistrative violations and criminal violations. The political parties still using public funds and facilities fo r their own interests. People alleged that all big parties have been involved in som eform o f vote-buying, known as money politics which included the distribution of free basic needs, free m edical Services and transportation fees. T hisfact contrary to the agreement signed by the political p arty before the 2004 election day o f which agree to avoid any type and motives of violence in order to reach objectives and to settle problems. The Election Supervisory Committees (Panwaslu) -which is established with the main purpose o f supervising elections—fa ile d to ca rn ’ out an effective supervising especially in money politics violation and manipulation o f vote count result.
Pendahuluan Pemilu legislatif 2004 dapat di katakan merupakan pemilu yang masa kampanye secara keseluruhan dinilai ber langsung aman dan damai. Kesan brutal sepanjang masa kampanye yang ber langsung antara 11 Maret hingga 1 April 2004 sudah jauh berkurang, meski masih tercatat adanya bentrokan di Solo, Yogyakarta, Ngawi, Jatim (antara massa PDIP-Golkar), Pamekasan (massa PPP berhadapan dengan PBB), dan Sukabumi.' Beberapa faktor turut mempengaruhi terciptanya masa kampanye yang relatif aman, di antaranya ialah kian menurunnya minat masyarakat menghadiri kampanye karena masyarakat terkesan sudah tidak percaya dan bosan mendengarkan janjijanji kampanye. Terlebih lagi, beberapa juru kampanye meneriakkan slogan-slogan anti-korupsi, pemerintahan yang bersih, dan semacamnya: sebagai suatu slogan yang sama sekali bertentangan dengan perilaku mereka selama ini.*12* Faktor lain
yang mempengaruhi ialah adanya aturan yang dibuat KPU, sehingga partai politik tidak lagi memfokuskan pada kampanye terbuka berupa pengerahan massa, dan sebagai gantinya partai lebih banyak menggunakan media massa sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan politik dan propagandanya kepada publik.1 Faktor berikutnya ialah, pembagian wilayah kampanye sesuai dengan daerah pemilihan dan tidak diperkenankannya massa dari satu daerah pemilihan mengikuti kampanye di daerah pemilihan lain. Secara keseluruhan nilai positif Pemilu 2004 agaknya baru sebatas pada kemajuan pada masa kampanye, namun kurang diikuti oleh aspek-aspek lainnya. Berbagai pelanggaran masih terjadi, sehingga pada masa-masa penghitungan suara, kritik dan ketidakpuasan muncul dari berbagai pihak dan nyaris meluas di sejumah daerah.4
‘ htti>:www//republika.co.id., 2 April 2004. ' Gatra.Com., 17 Maret 2004. Sebagian besar materi kampanye yang disampaikan para juru kampanye partai peserta Pemilu belum menampilkan program, isi dan misi partai yang berkualitas. Mereka dinilai masih cenderung menjual mimpi. Bukan solusi nyata bagi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini. Materi kampanye lainnya masih dijumpai
sejumlah juru kampanye parpol tertentu yang menjelek-jelekkan partai lain. 1 Namun, bersamaan dengan meningkatnya kuantitas kampanye di media elektronika, maka pelanggaran justru banyak terjadi pada modus kampanye ini, sementara di lain pihak masyarakat belum serius memantau media elektronik yang menayangkan kampanye maupun iklan parpol, terutama di daerah. Hanya sedikit laporan pelang-garan durasi dan frekwensi ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 4 Ketidakpuasan melanda di beberapa wilayah di Tanah Air, mulai dari Provinsi Nangro Aceh
Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
9
Akibat sejumlah pelanggaran yang berlangsung pada Pemilu 2004, maka sementara pihak termasuk Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menilai bahwa Pemilu 2004 lebih buruk daripada Pemilu 1999. Pemilu yang diharapkan sebagai pesta demokrasi yang jujur dan adil (jurdil) ternyata hanya mimpi. Di sana-sini masih terjadi pelanggaran, dari soal money politics (pemberian uang, sembako), intimidasi politik, teror politik sampai manipulasi penghitungan suara.5 Pelanggaran pemilu juga menyang kut hal-hal yang sangat mikro, yakni berupa kelalaian petugas KPPS dan TPS di lapangan akibat ketidaktahuan aturan. Kekisruhan hasil perhitungan suara TPS di samping karena masih banyaknya tindak manipulasi/kecurangan juga disebabkan KPPS setempat kurang memahami prosedur pengisian formulir pemungutan dan perhitungan suara. Para petugas tidak mendapatkan pelatihan mengenai mekanis me pengisian formulir hasil perhitungan suara. Bahkan ditemukan pula terjadi ke tegangan di antara petugas pemungutan suara mengenai kejelasan proses pen coblosan.6 Di sisi lain, Pemilu 2004 ditandai dengan terjadinya penolakan pengesahan hasil pemilu dari partai-partai politik peserta pemilu di daerah-daerah. Menyikapi pelaksanaan pemilu, para pemimpin partai politik yang tergabung dalam Aliansi Parpol untuk Pemilu Bersih menyatakan tidak bersedia menanda tangani berita acara pengesahan hasil pemilu legislatif 2004 karena tidak bersih. Aliansi menghendaki adanya pemilu yang bersih dan menghasilkan pemerintahan yang legitimate.7 Aliansi berpendapat,
pemilu legislatif 2004 ditandai oleh pelanggaran UU, khususnya menyangkut: (1) tidak terdaftarnya sebagian pemilih yang diperkirakan mencapai 30 persen dari jumlah pemilih yang berhak (pelanggaran UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 13 dan 14); (2) terjadinya politik uang secara massal (pelanggaran UU No. 12/2003 Pasal 7); (3)
Darussalam, Sumut, Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Yogya, Jatim, Bali, NTB, Kalbar, Sulsel, dan Papua. 5 Era Muslim, 13 April 2004. 6 http://www.republika.co.id, 12 April 2004. 7 Kompas, 21 April 2004. Pernyataan dibacakan Ketua Umum Partai Pelopor Rachmawati Soekarnoputri ketika bersama sejumlah tokoh aliansi lainnya berkunjung ke Redaksi Kompas dan diterima Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo, Selasa (20/4). Pernyataan ter-
sebut dikeluarkan sehubungan dengan penolakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap per mintaan penghitungan ulang surat suara Pemilihan Umum 2004. Tokoh Aliansi yang hadir di antaranya adalah Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Partai Merdeka Adi Sasono, Ketua Umum Partai Nasional Banteng Kemerdekaan Eros Djarot, dan Ketua Umum Partai Buruh Sosial Demokrat Muchtar Pakpahan. Perwakilan partai lainnya berasal dari Partai Sarikat Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. Sikap ini merupakan kelanjutan sikap dari keputusan hasil rapat di Hotel Indonesia, Jakarta, 9 April 2004, dan hasil rapat konsultasi dengan KPU di Hotel Indonesia, 13 April 2004. Pada intinya Aliansi meminta KPU untuk menghitung ulang surat suara mulai dari tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dengan pemeriksa an hasil suara di TPS yang dilakukan secara terbuka dengan saksi dari parpol peserta pemilu. "Penolakan KPU terhadap permintaan parpol yang merasa dirugikan dengan berbagai kecurangan telah membuktikan bahwa KPU sudah melecehkan parpol peserta pemilu dengan meremehkan bukti-bukti pelanggaran yang sudah kami serahkan tanggal 13 April lalu dan yang telah diserahkan sebelumnya melalui Panitia Pengawas Pemilu.” Hingga akhirnya hasil akhir pemilu di umumkan oleh KPU pada 5 Mei 2004, sebanyak 14 parpol yang tergabung dalam Presidium Aliansi Nasional untuk Demokrasi dan Pemerintahan Bersih — dengan beberapa tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Eros Djarot. Sukmawati tetap menolak pengumuman hasil akhir pemilu oleh KPU dan menganggap proses pemilu legislatif berlangsung sangat kotor. Lihat, Republika, 6 Mei 2004. Mulai 6 Mei 2004, Mahkamah Konstitusi membuka posko pengaduan pemilu. Sejumlah parpol belum bersedia menandatangani penetapan hasil pemilu pada 5 Mei 2004 dan berniat mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilu lantaran merasa tidak puas dengan penetapan perolehan suara oleh KPU.
10
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 9-27
terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan secara sistematis sewaktu pendataan hasil penghitungan suara TPSTPS di PPK. Telah ditemukan banyak suara yang didapat di TPS berbeda dengan perhitungan di PPS atau PPK. Kelemahan pelaksanaan pemilu dapat dilihat pula dari indikator amat besarnya jumlah invalid votes (suara tidak sah) — baik itu karena pemilih tidak hadir,8*10 kertas suara tidak dicoblos, salah mencoblos, mencoblos di dua tempat atau lebih, dsb — mencapai 34,5 juta suara yang tidak sah. Dari total pemilih terdaftar 148.000.369, jumlah suara sah untuk pemilu DPR hanya 113.498.755. Jumlah suara tidak sah tersebut mencapai lebih dari 8,5%.lJ Yang cukup merisaukan ialah surat suara untuk DPD di mana terdapat suara tidak sah mencapai 12,128 juta."1Hal ini menunjukkan kurangnya sosialisasi KPU mengenai DPD, sehingga masyarakat tidak mengetahui mengenai sosok DPD itu sendiri maupun tidak mengenal caloncalon DPD yang harus dipilih. Pihak KPU beralasan bahwa peningkatan suara tidak sah adalah akibat kompleksitas dari pemilu legislatif 2004 serta keterbatasan waktu dalam diseminasi informasi." Tentu saja soal keterbatasan waktu tidak dapat dijadikan alasan, mengingat pihak KPU terbukti telah memboroskan waktunya untuk mengurusi hal-hal teknis (seperti 8
Menurut data terakhir KPU, dari total 148.000.369 pemilih terdaftar, yang hadir ke bilik suara hanya 124.449.038 orang. Dengan demikian, KPU berpendapat bahwa invalid votes (suara tidak sah) hanyalah 10.957.925. Hal ini berbeda dengan penafsiran pihak Panwas Pemilu yang menghitung suara tidak sah mencapai 34,5 juta. Lihat, Republika, 6 Mei 2004. Data terakhir yang diumumkan oleh KPU pada 5 Mei 2004. Per-tangga! 19 April 2004, menurut data Panwas Pemilu dari 448.618 TPS (menurut data KPU hanya ada 393.050 TPS) yang sudah menyetorkan datanya ke KPU, sudah ketahuan ada 33 juta suara tidak sah. Lihat, the Jakarta Post, 20 April 2004. 10 Untuk DPR suara yang rusak mencapai 6,69 juta (atau 6,8% dari 97,96% suara yang dihitung), DPRD Propinsi rusak sebanyak 7,92 juta (8% dari 97,58%), DPRD Kabupaten/Kota terdapat rusak 6,29 juta (atau 6,7% dari 93,29% suara yang dihitung). Ibid. 11 The Jakarta Post, 22 April 2004.
Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
urusan logistik dan pengadaan TI), sehingga tugas pentingnya sosialisasi justru kurang diurus secara serius, bahkan terkesan diabaikan. Berbagai Pelanggaran Pemilu Telah ditemukan pelbagai bentuk pelanggaran selama penyelenggaraan Pemilu 2004, mulai dari pelanggaran mencuri start kampanye, memasang atribut pada lokasi yang dilarang, politik uang (dalam beragam bentuk mulai dari membagi-bagi sembako, uang tunai, memberi santunan/sodaqoh, membagi-bagi paket lebaran seperti sarung, A\\,doorpriz.e bagi yang menghadiri kampanye, imingiming hadiah bagi TPS yang paling banyak menangguk suara bagi partai tertentu, dan lain sebagainya), uang kutipan atau uang suap yang mengotori proses verifikasi caleg DPD dan caleg parpol, penggunaan ijazah palsu,12 intimidasi, penggunaan fasilitas negara untuk kampanye,11 12 http://www.republika.co.id., 15 April 2004. Beberapa pelaku pengguna ijazah palsu telah dibawa ke pengadilan. Di antaranya, seorang caleg PBR dihukum Rp 1 juta atau kurungan selama dua bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lantaran terbukti menggunakan ijasah SMA palsu untuk mencalonkan diri sebagai caleg dari Partai Bintang Reformasi (PBR). Yang bersangkutan melanggar pasal 137 ayat (7) UU No.12 tahun 2003 tentang pemilu. Setidaknya terdapat 23 caleg DPRD Provinsi DKI yang diduga telah menggunakan ijasah palsu untuk mendaftar sebagai caleg. Beberapa di antaranya telah mulai disidangkan. 13 Para pejabat negara di pusat dan daerah masih dijumpai menggunakan fasilitas negara untuk kampanye tertentu, berarti melanggar pasal 75 UU No.l 2/2003 tentang Pemilu. Lihat, Catra.com, 17 Maret 2004. Para pejabat publik yang juga ketua umum parpol telah menyalahgunakan jabatan mereka dengan menggunakan berbagai fasilitas negara untuk berkampanye. Dalam beberapa kampanye tercatat adanya pelanggaran yang dilakukan para pejabat publik itu, terutama dalam kaitannya dengan penggunaan fasilitas negara untuk ber kampanye. Di antara pelanggaran tersebut, ada yang dilakukan Ketua Umum PPP Hamzah Haz saat berkampanye di Sumedang, Jawa Barat (14/3), dengan menggunakan helikoter Puma TNI AU. Juga kampanye Taufiq Kiemas yang beberapa di antaranya diikuti anggota kabinet. Kunjungan kampanye Ketua Umum PD1P
11
pelanggaran waktu kampanye oleh para pejabat negara,*14 mencoblos di dua tempat, memobilisir warga untuk mencoblos di dua tempat,15 petugas KPPS mencoblos banyak suara untuk partai tertentu16, membagi-bagi kartu pemilih palsu, dsb. Dari beragam bentuk pelanggaran, tercatat ada empat bentuk pelanggaran yang penting untuk disoroti, yakni ke kisruhan dalam pendaftaran pemilih, manipulasi penghitungan suara, ketidaknetralan birokrasi sipil, tetap merebaknya tindak politik uang, serta aroma politik uang yang justru menyelimuti KPU.
Megawati di beberapa daerah yang juga dihadiri pejabat daerah, dengan menggunakan mobilmobil dinas pelat merah. Demikian pula dengan Ketua MPR Amien Rais juga bisa dinilai pernah melakukan pelanggaran kampanye, ketika beberapa pejabat setempat menyambutnya dengan menggunakan fasilitas negara. 14 Lihat http://www.republika.co.id., 30 Maret 2004. KPU bertindak tegas menghentikan kampanye Yusril Ihza Mehendra selaku Menkeh/HAM terhitung sejak 29 Maret hingga 1 April 2004. Keputusan itu diambil KPU karena Yusril tetap melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 9/2004 tentang Kampanye Pemilu oleh Pejabat Negara, selaku Menkeh/HAM. Yusril di temukan telah melakukan kampanye di Kota Padang pada 29 Maret, di luar cuti yang diberikan. 15 Lihat Panwaspemilu online, 8 April 2004. Di antaranya seorang caleg PDIP untuk DPRD II Kota Manado, Nova Watalangi, terancam pidana akibat memobilisasi warga untuk melakukan pencoblosan dua kali di TPS berbeda. Manuver Nova tertangkap basah oleh seorang polisi yang tengah melakukan pengamanan di TPS 11. Nova menyuruh beberapa pemilih yang dijemputnya dari suatu TPS untuk mencuci tinta yang nempel di jari dengan menggunakan minyak dan batu gosok. Setelah menyerahkan kartu pemilih, mereka bisa mencoblos dua kali di TPS berbeda. 16 DPW Partai Bintang Reformasi (PBR) Muara Enim, Sumsel, memberikan laporan bahwa di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Muara Enim ada petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang mencoblos 56 kertas suara untuk Partai Demokrat. Di Kabupaten Brebes (Jateng) dilaporkan ada Panitia Pemungutan Suara (PPS) di salah satu kecamatan melakukan kecurangan dengan mengisi sejumlah kertas suara untuk meningkatkan perolehan suara partai tertentu, yang kemudian memicu sengketa. Republika.co.id., 8 April 2004.
12
Kisruh Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) Pemilu 2004 adalah pemilu yang buruk dalam hal pendaftaran pemilih. Hal ini terlihat dari fakta terdapatnya 30% masyarakat dari pelbagai daerah di Indonesia tidak bisa mengikuti Pemilu 2004, sebab kendati memiliki hak untuk mengikuti pemilu, mereka tidak terdaftar sebagai pemilih. KPU sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemilu dapat di anggap bersalah karena telah meng hilangkan hak rakyat untuk memilih, apalagi dengan melihat besaran jumlah pemilih yang tidak terdaftar. Proses pendataan pada Pemilu 1999 dan pemilu sebelumnya dinilai jauh lebih efektif dibandingkan untuk Pemilu 2004, di mana pelaksanaan di lapangan sepenuhnya dilakukan oleh BPS. Kelemahan muncul tatkala petugas BPS tidak melakukan pendataan orang perorang melainkan hanya memanfaatkan jasa informan. Petugas BPS di lapangan tidak mengetahui secara persis peta demografis masyarakat setempat, sedangkan mereka tidak didampingi RT dan RW. Inilah yang membedakan dengan pelaksanaan pen dataan pemilu-pemilu sebelumnya yang melibatkan RT dan RW secara langsung, sehingga petugas mengetahui bahwa si A adalah warga di daerah ini, kapan pulang kerja, dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan proses pendataan yang dilakukan oleh BPS, bahwa bila itu dilaksanakan di siang hari, maka akan banyak warga tidak berada di rumah khususnya bagi yang bekerja di luar rumah. Kelemahan di atas sebenarnya mungkin masih bisa dihindari apabila KPU konsisten terhadap jadwal tahapan pemilu. Berdasarkan jadwal tahapan pemilu, setelah proses pendataan pemilih dan penduduk serta menghasilkan daftar pemilih sementara (DPS), KPU ber kewajiban mengumumkan siapa saja masyarakat yang telah terdaftar di masingmasing desa/kelurahan. Namun, tahapan ini banyak tidak dilaksanakan, sementara
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 9-27
hal itu penting agar mereka yang belum tercatat dapat mendaftar ulang. Terdapatnya warga-warga masyara kat yang belum terdaftar telah menimbul kan celah bagi pihak-pihak yang ber maksud memanfaatkan situasi tersebut guna keuntungan partai tertentu. Di kota Sorong, umpamanya, Ketua DPC PPP menyebar 106 kartu pemilih palsu, seraya mengajak para pedagang untuk mencoblos PPP. Pihak Panwas Pemilu setempat dalam kasus ini terkesan melindungi aksi ter sebut.17 Manipulasi Data Penghitungan Suara dan Kisruh Sistem TI “Keanehan muncul di Pusat Tabulasi N asional Pem ilu 2004 di Jakarta, pada tanggal 7 April 2004, telah terjadi lonjakan suara yang diraih Partai Golkar dalam tabulasi nasional yang secara tiba-tiba hingga melampaui partai pesaing utamanya, PDIP, dengan selisih sebanyak 415 .7 3 3 suara. Kendati Panwaslu juga tidak m engesam pingkan kemungkinan terjadinya kesalahan akibat ketidaktelitian petugas K elom pok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) atau keterampilan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam menyuplai data ke Kom isi Pemilihan Umum (KPU) yang masih m inim .18 17 Panwaslu Online. 8 April 2004. Sikap Panwas setempat berbeda dengan berita acara yang mereka keluarkan. Dalam berita acara laporan Panwas Sorong ke Panwas Pemilu Provinsi Papua disebutkan terungkapnya pembuatan dan penyebaran kartu pemilih palsu ini berawal dari ccritera warga bernama Ladani, seorang pedagang Kota Sorong. Ladani mengeluh kepada tetangganya bernama Daeng karena tidak mendapat kartu pemilih padahal yang bersangkutan berniat mencoblos. Oleh Daeng, Ladani diantar ke rumah Sanusi selaku Ketua DPC PPP Kota Sorong. Sanusi menganjurkan Ladani, untuk mencatat nama warga yang tidak terdaftar dan berniat memiliki kartu pemilih. Selang beberapa waktu, Sanusi menyerahkan 106 kartu pemilih berwarna putih tanpa identitas kepada Ladani untuk dibagi-bagikan kepada warga yang membutuhkan. Warga masyarakat yang menerima kartu pemilih dari Ladani tersebut dianjurkan oleh H. Sanusi untuk mencoblos PPP di TPS 22 dan 23 Kelurahan Mal awai. Kota Sorong. 18 http://www.republika.co.id., 07 April 2004. Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
Sebagaimana pemilu-pemilu se belumnya, sejumlah pelanggaran berarti berlangsung pada saat penghitungan suara. Ditemukan banyak TPS yang hasil suara sebenarnya tidak sesuai dengan yang tertera di dalam dokumen pada tingkat di atasnya. Dalam hal ini, penyimpangan dilakukan oleh petugas pemungutan suara atau panitia pemilihan suara di tingkat TPS dan tingkat PPK. Pada Pemilu 1999 hal tersebut dimungkinkan terjadi karena kala itu partai-partai baru yang belum bisa menempatkan saksi-saksinya di setiap TPS, di lain pihak jaringan pemantau independen dan Panwaslu belum mampu menjangkau semua TPS khususnya TPSTPS yang berlokasi di pelosok, akibatnya petugas panitia pemilu dapat melakukan manipulasi hasil perhitungan suara demi keuntungan partai tertentu. Di papan pengumuman yang terpampang di TPS masyarakat biasanya masih bisa menyaksi kan hasil perhitungan yang benar, namun ketika data tersebut dipindahkan ke dokumen maka angka-angkanya sertamerta berubah.19 Untuk Pemilu 2004 sebenarnya partai-partai politik baru relatif sudah lebih siap karena kini telah memiliki jaringan hingga ke pelosok dan memiliki anggota lebih banyak, sehingga umumnya dapat menyediakan saksi di TPS-TPS yang ada. Hal serupa diupayakan pengadaan saksi di tingkat PPK (kecamatan), sehingga di setiap simpul pemindahan dokumen akan terawasi. Simpul-simpul penyelewengan suara yang biasa terjadi dan mesti diawasi dengan ketat ialah jalannya suara dari TPS ke PPS maupun proses rekapitulasi suara dari PPS ke tingkat kecamatan. Bila pengawasan terhadap simpul-simpul pemindahan dokumen tidak dijaga ketat, pelanggaran jenis ini senantiasa tetap ber langsung, mengingat modus pelanggaran 19 Contohnya, KPU Bekasi menemukan adanya praktik manipulasi suara di TPS 118 RW 030 Kelurahan Pengasinan. Kecamatan Rawa Lumbu. Saat penghitungan suara di TPS itu, Partai Golkar meraih 9 suara untuk DPRD Kota Bekasi. Namun dalam berita acara ditulis 50 suara. Htlp://www.republika.co.id., 12 April 2004.
13
semacam itulah yang paling gampang dilakukan, namun di sisi lain bila hal itu terjadi maka akibatnya akan merugikan partai yang menjadi korban manipulasi data. Sebagai contoh, raihan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) — dari hasil pemungutan suara pemilihan umum (pemilu) — di Kecamatan Regol yang dilaporkan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) lebih kecil daripada data yang dikumpulkan partai. Perbedaan data terjadi akibat kesalahan rekapitulasi yang di lakukan oleh PPK Regol.211Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menjadi korban manipulasi hasil penghitungan suara Pemilu 2004, di salah satu TPS di Kelurahan Enggal, Kecamatan Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung. Semesti nya jumlah suara PKS di sana 668 suara tapi ketika dimasukkan ke data entry di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Tanjung Karang Pusat berubah menjadi 88 suara.21 Partai-partai politik merasa dirugikan oleh tindakan oknum-oknum anggota PPK. Kecurangan-kecurangan demikian mudah ditemui kendati pihak partai politik senantiasa berusaha me mantau agar catatan suara sesuai dengan hasil rekap dari TPS, antara lain dengan menginstruksikan para saksi partai untuk “mengawal" data hingga petugas mengirimkan data ke Pusat Tabulasi Nasional Pemilu di Jakarta. Akibat timbulnya permasalahan dalam rekapitulasi suara dari tingkat ter bawah ke pusat, hingga pengumuman penetapan hasil pemilu oleh KPU pada 5 Mei 2004, beberapa parpol belum bersedia menandatangani berita acara penetapan. Sebanyak 14 parpol — yang tergabung dalam Presidium Aliansi Nasional untuk Demokrasi dan Pemerintahan Bersih —
menyatakan penolakan, karena mereka menganggap bahwa proses pemilu legislatif diliputi praktek-praktek ke curangan. Mereka juga menengarai banyaknya persoalan yang sebetulnya muncul dalam proses penghitungan suara. Persoalan-persoalan mana sebetulnya mesti dituntaskan di tingkat bawah sebelum rekapitulasi penghitungan suara dibawa ke tingkat pusat.2223 Menyikapi kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam penghitungan suara, Panwas Pemilu menilai bahwa hal itu akibat kekurangtertiban administrasi dokumen pemilu serta akibat kecurangan yang disengaja.21 Terkesan bahwa proses peng hitungan suara di tingkat pusat (oleh KPU) mengabaikan berbagai persoalan dan sengketa penghitungan suara yang muncul di bawah. KPU bersikap menghindar dari laporan-laporan kecurangan yang terjadi di lapangan. Sembari menafikan berbagai protes, KPU senantiasa berargumen bahwa: parpol yang tidak setuju dengan rekapitulasi penghitungan suara, meng ajukan permohonan sengketa hasil pemilu kepada Mahkamah Konstitusi. Berbagai daerah mencatat sikap defensif KPU, antara lain pada kasus yang terjadi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. KPU Kabupaten Cianjur menolak peng hitungan suara ulang yang dituntut oleh 12 partai politik yang menamakan diri Aliansi Partai Politik (Parpol) peserta Pemilu 2004 Kab. Cianjur, mendatangi Kantor KPU. Aliansi parpol24 menengarai indikasi terjadinya kecurangan dan penyimpangan, baik karena unsur kesengajaan seperti memanipulasi data maupun unsur ke khilafan dan perlakuan tidak adil, dari aparatur pelaksana pemilu. Pihak Aliansi Parpol menyatakan telah berulang kali membuat pengaduan secara resmi tentang
Kompas, 20 April 2004.Menurut Ketua KPU Kota Bandung Benny Moestofa, data KPU perolehan suara PKS untuk DPR, DPRD Jabar, dan DPRD Kota Bandung adalah 8.355, 8.371, dan 7.647. Adapun data yang dicatat saksi PKS secara berurutan adalah 8.371, 8.409, dan 8.408. Kesalahan penulisan raihan suara PKS terjadi pula di Kelurahan Cigereleng, Kelurahan Pungkur, dan lain-lain di Jabar. 21 http://www.republika.co.id., 07 April 2004.
22 Republika, 6 Mei 2004 dan Kompas, 5 Mei 2004. 23 Kompas, 6 Mei 2004. 24 Yakni dari Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Indonesia Baru, Partai Bulan Bintang, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, Partai Patriot Pancasila, Partai Bintang Reformasi, Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia, Partai PNI Marhaenisme, Partai Persatuan Daerah, Partai Demokrasi Kebangsaan, dan Partai Karya Peduli Bangsa.
'
14
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 9-27
adanya penyimpangan penghitungan suara, baik kepada Panwaslu maupun kepada KPU Daerah, tetapi pengaduan tersebut tidak pernah ditanggapi secara serius. Padahal, pengaduannya sudah melalui prosedur dan didukung bukti-bukti. "Berdasarkan temuan kami di lapangan, dalam pelaksanaan pemilu lalu telah terjadi banyak kecurangan mulai dari TPS, PPS, PPK, hingga KPU. Untuk itu, kami meminta KPU melakukan penghitungan ulang.”25 Menanggapi tuntutan tersebut, pihak KPU Cianjur menolak permintaan penghitungan ulang, karena KPU beralasan bahwa penghitungan ulang merupakan “pintu” menuju terjadinya pemilu ulang. Alasan penolakan ini tidak diterima oleh pihak partai politik. Sukar diterima bila kemudian diketahui bahwa sikap KPU Daerah itu berdasarkan instruksi KPU Pusat yang menyatakan tidak akan ada penghitungan ulang. KPU Daerah senantiasa berargumen, "Penghitungan suara ulang merupakan bahasa lain untuk menggagalkan pemilu dan sesuai instruksi dari KPU Pusat, kami tetap tidak akan me lakukan penghitungan ulang kecuali atas perintah KPU Jawa Barat, KPU Pusat, atau Mahkamah Konstitusi." Terhadap catatan yang diajukan oleh pihak Panwas Pemilu maupun protes yang berdatangan dari parpol, KPU bersikap enggan melakukan pengecekan ulang di lapangan dan cenderung percaya begitu saja atas laporan dari daerah. Dalam rapat pleno KPU tanggal 2/5 dan 3/5 tahun 2004 memang sempat diputuskan bahwa KPU akan melakukan pengecekan ulang hasil penghitungan suara yang dicurigai digelembungkan, yakni untuk daerah pemilihan Sumatera Utara II, Kepulauan Riau, Jawa Timur X, dan Papua. Namun, pengecekan rekapitulasi itu hanya sebatas meneliti keaslian dokumen yang itupun hanya dilakukan sampai tingkat PPK, sementara muncul laporan-laporan mengenai terjadinya manipulasi suara yang terjadi sebelum proses pendokumentasian tertulis oleh PPK, khususnya manipulasi dalam rekapitulasi data yang tidak sesuai 25 Pikiran Rakyat.com, 21 April 2004. Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
dengan berita acara hasil suara yang dikeluarkan di tingkat KPPS. Netralitas Birokrasi Sipil Kecuali masalah penghitungan suara, hal rawan lainnya ialah keterlibatan kepala-kepala desa atau camat yang menjadi tim sukses salah satu partai. Sebagaimana diketahui bahwa birokrasi sipil selama puluhan tahun terlanjur mengabdi pada kekuatan politik tertentu sehingga dukungan tradisional itu bagaikan sudah mengakar. Maka tatkala Pemerintah Orde Baru telah runtuh sekalipun, dukungan birokrasi terhadap Partai Golkar tetap kuat, di samping ada sebagian kecil yang menggeser dukungannya kepada partai-partai lain. Ihwal masih terdapatnya dukungan beberapa lurah/kepala desa atau camat kepada partai tertentu merupakan sesuatu hal yang sulit dibuktikan. Padahal tokoh semacam kepala desa memiliki pengaruh yang kuat terhadap warga masyarakatnya, sehingga apabila dalam pemilu ia masih condong pada kekuatan politik tertentu maka kemungkinan besar akan diikuti oleh rakyatnya. Jauh sebelum pemilu di langsung kan, di beberapa daerah telah tercium adanya kasus caleg-caleg dari partai tertentu yang mengirim uang kepada kepala-kepala desa. Momen yang diguna kan adalah bertepatan dengan Idul Fitri, sehingga ini sulit untuk dibuktikan, karena tradisi masyarakat yang menganggap bahwa itu hanya sekadar pemberian THR. Seorang kepala desa misalnya dikirimi uang Rp 600 juta, sarung, dan lain-lain. Uang tersebut kemudian dibagi-bagikan ke tokoh-tokoh masyarakatnya yang jumlah nya mencapai 20 orang untuk setiap rukun tetangga, entah itu Ketua RT, tokoh agama, tokoh pemuda.26 Dalam hal ini, Partai Bintang Reformasi mencatat masuknya laporan dari berbagai daerah yang menyebutkan bahwa aparat birokrasi di tingkat kecamatan “6 Lihat Tim Peneliti P2P LIPI, “Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu”, (Jakarta: P2P LIPI, 2004).
15
hingga lurah atau desa, termasuk aparat Babinsa (Bintara Pembina Desa), "bermain" untuk kepentingan partai ter tentu.27 Termasuk, pada hari pemungutan suara ditemukan adanya aparat-aparat desa yang mencoblos beberapa kertas suara untuk suatu parpol.28 Pada masa kampanye hingga hari pencoblosan, pelanggaran yang dilakukan oleh aparat desa masih berlangsung.29 Pelanggaran selama masa kampanye bukan lagi sekadar pemasangan atribut parpol pada ruas jalan maupun penggunaan fasilitas negara, namun pelanggaran yang terjadi dengan melibatkan oknum aparat pemerintahan desa. Dalam hal ini tidak terlihat adanya tindakan tegas dari pihak terkait. Keterlibatan aparat birokrasi untuk memihak salah satu parpol peserta pemilu membuat risau masyarakat, sehingga di beberapa daerah tak urung menyulut gerakan-gerakan protes. Di Desa Sambimaya, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu misalnya, puluhan massa yang tergabung dalam aliansi partai politik (parpol) memprotes tindakan kepala desa dan aparat desa setempat. Mereka menilai, tindakan yang dilakukan kepala desa dan aparatnya itu, telah mencampur-adukan antara program pemerintah dengan parpol tertentu. Massa pemrotes mendatangi kantor balai desa dan meminta agar kepala desa bersikap netral pada Pemilu 2004 ini. Dalam aksi itu, nyaris terjadi bentrokan antara kedua belah pihak, namun akhirnya dapat dilerai. Sejumlah kasus pelanggaran yang melibatkan aparat birokrasi tidak dapat dideteksi oleh Panwaslu maupun tidak terselesaikan secara hukum, kecuali ada sedikit di antaranya yang cukup menarik adalah sidang pengadilan terhadap istri Walikota Manado, berkaitan dengan kasus politik uang sewaktu kampanye pemilihan umum legislatif. Istri walikota itu sendiri adalah calon anggota legislatif nomor urut satu untuk DPRD Provinsi Sulut. Aksi istri walikota tertangkap tangan oleh Panwaslu 27 http://www.republika.co.id., 8 April 2004. 28 Ditemukan di Sanggau, Kalbar. Lihat, Kompas, 20 April 2004. 29 http://www.republika.co.id., 18 Maret 2004.
16
setempat saat membagi uang pecahan Rp 50.000,00 kepada masyarakat.3" Politik Uang “Wajah Syamsu hari itu berbinar-binar. Hari itu, seperti biasanya ia harus ngojek di sekitar stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Tapi lantaran diajak rekannya seprofesi untuk ikut kampanye Partai Golkar, ia pun urung ngojeg. Sejurus kemudian ia memakai kaos warna kuning bernomor 20. Ia mengaku tak sia-sia, pasalnya ia mendapat imbalan Rp 25 ribu. Rekan Syam su lebih ber untung lagi. D odi, sebut dem ikian pria muda itu, mendapat uang Rp 50 ribu. Kok, beda dapatnya? M aklum Dodi lebih pintar, ia datang ke ‘loket’ kampanye dua kali dengan baju berbeda. Soal bagi-bagi duit di masa kampanye bukan barang rahasia lagi. Istri W ali Kota Sulaw esi Utara (Sulut) saat kampanye bagi-bagi ‘rezeki nom plok itu’. Di depan massa, saat kampanye untuk Partai Golkar (PG) di M anado ia membuat kuis. Siapa bisa menjawab dapat duit berlimpah. D engan cara ingin m assa berbondongbondong datang m engikuti 'kuis p olitik ’. Partai pecahan pohon beringin. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) juga tak mau ketinggalan dengan partai induk semangnya, PG. Partai yang m engusung Hardiyanti Rukmana, Mbak Tutut sebagai calon presiden (capres), saat kampanye di Jl. Raden Saleh, Jakarta Pusat, bagi-bagi sembako kepada masyarakat sekitar.”31
Perilaku partai-partai besar dengan dana besar ini merisaukan partai-partai kecil, sebagaimana diungkapkan seorang pengurus wilayah Partai Bintang Reformasi (PBR) Kabupaten Majalengka (Jabar) yang melaporkan terjadinya praktek politik uang (money politics) dari partai-partai tertentu terhadap masyarakat setempat:32 "Saya mengetahui secara persis bagaimana partai-partai besar itu m em bagi-bagikan
3HKompas, 5 Mei 2004. 31 Eramuslim, 25 Maret 2004. 32 http://www.republika.co.id., 08 April 2004
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 9-27
uang kepada masyarakat, sehingga kerja ■keras partai kami dengan membentuk jaringan pengurus dari tingkat cabang hingga anak ranting menjadi hancur dan sia-sia.” Politik uang tak pelak merupakan salah satu musuh paling berbahaya ter hadap kehidupan demokrasi di Tanah Air, sementara praktek semacam itu sudah biasa terjadi dari pemilu ke pemilu; apalagi bila dana yang digunakan itu merupakan hasil korupsi. Namun, politik uang tetap akan sulit diberantas, mengingat sifatnya sudah melembaga dan menjadi budaya bangsa yang menyatu dalam praktek sehari-hari, baik di kalangan elite politik maupun di tengah kehidupan masyarakat. Dalam Pemilu 2004, praktek politik uang terkesan dilakukan secara kian masif dan terang-terangan, khususnya oleh partai-partai seperti Partai Golkar, PDIP, maupun partai baru yang memiliki dana besar yakni Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang mengusung nama anak mantan presiden Soeharto sebagai calon presiden, serta politik uang yang secara individu dilakukan oleh para caleg partai.”
Praktek demikian inilah yang membuat Nurcholis Madjid menyebut sukses pemilu legislatif 2004 baru sebatas keberhasilan prosedural, pemilu yang demokratis secara prosedural, tanpa diikuti keberhasilan substansial.**34 Hal ini karena siapa yang terpilih masih belum sepenuhnya dipilih rakyat secara mumi tanpa adanya unsur money politics. Tetap maraknya praktek politik uang ini terutama dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang berada dalam sosial politik dan sosial ekonomi tertekan, sehingga rakyat akan dengan mudah luntur idealisme oleh sekadar 2-3 liter beras atau lembaran uang dua puluh hingga lima puluh ribuan. Mungkin butuh waktu dua hingga tiga pemilu lagi baralah politik uang dapat dikurangi, dengan catatan kalau ekonomi masyarakat dan pendidikan telah membaik. Akibat kemiskinan rakyat itu pulalah, saat ini orang yang memberi uang atau barang malah dianggap sebagai orang baik. Atau, justru rakyatlah yang datang ke partai untuk meminta/menagih, karena boleh jadi rakyat kecil menganggap pemilu sebagai rezeki lima tahunan sekali. Masyarakat bagaikan tidak merasa bahwa berbagai pemberian, baik dalam bentuk uang maupun barang itu, merupakan tindak politik uang. Menanggapi fenomena politik uang, pihak Panwaslu belum memainkan peranan berarti dalam menghentikannya, bahkan tersiar kabar bahwa Panwaslu di beberapa daerah tertentu juga menerima uang dari partai politik. Di media massa, Panwaslu hanya sebatas meminta masyarakat untuk melaporkan partai-partai yang bermain politik uang jika memang ada bukti dan saksi.
” Setiap caleg parpol mesti mengeluarkan dana yang tidak kecil, entah itu untuk uang pendaftaran ke parpol, uang untuk menentukan nomor urut caleg, sumbangan suka rela, uang dana kampanye berupa pengadaan kaos, bendera, atribut, dan lain-lain. Banyak caleg rela mengeluarkan dana hingga ratusan hingga miliaran rupiah karena berharap bila berhasil menjadi anggota legislatif selama lima tahun maka mereka berhitung bisa mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Tidak sedikit dari mereka gagal memenuhi kuota suara yang dibutuhkan untuk merebut kursi di legislatif, sehingga kemudian banyak tersiar kabar banyak caleg gagal yang kemudian menderita stress (Tempo, 25 April 2004), ada yang tidak berani pulang ke rumah, atau yang nekad melakukan tindakan anarkis membakar kembali jembatan yang pernah dibangunnya sehingga harus berurusan dengan polisi. Lihat, Tempo, 18 April 2004. Kasus serupa di Probolinggo, Jatim, Ketua PDIP setempat, Sulaiman, memerintahkan pembongkaran paving block yang sebelum pemilu dipasang di halaman musholla Ponpes Salafiyah pimpinan KH Hasan Subechi, pasalnya perolehan suara PDIP anjlok sehingga Sulaiman gagal mendapat jatah kursi. Lihat, Tempo, 25 April 2004. Di Aceh ada caleg yang mulai
terlihat marah-marah karena kadernya di desa tidak mampu mempengaruhi masyarakat untuk memperoleh suara pada Pemilu 5 April 2004. "Bagaimana tidak stres, saya sudah berjuang dan mengeluarkan modal banyak untuk menjadi caleg, akan tetapi suara yang masuk itu dipastikan tidak cukup untuk saya melaju ke kursi legislatif," kata salah seorang caleg. Lihat, http://www.republika. co. id., 07 April 2004 34 Republika Online, http://www.republika.co.id., 23 April 2004.
Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
17
Sebagai contoh apa yang terjadi di Kota Solo. Menjelang pemilu legislatif 5 April 2004, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) setempat mengakui pihaknya mendapatkan sejumlah informasi berkaitan dengan 'serangan fajar' yang dilakukan be berapa partai politik peserta pemilu atau para caleg sepanjang Minggu (4/4 2004), namun Panwaslu Solo menyatakan kesulitan untuk menindak karena ke terbatasan saksi dan bukti untuk dapat menyeret para pelakunya. Panwaslu ber alasan bahwa ketentuan mengenai money politics dalam UU Pemilu sangat sulit untuk diterapkan karena harus dibuktikan kesengajaan pemberian materi atau uang yang diterima calon pemilih dimaksudkan untuk mempengaruhi mereka. Dicontoh kan, Panwaslu mendapatkan informasi dari seorang warga di Kampung Joyosuran, Pasar Kliwon, bahwa ada seorang caleg yang menghimpun warga setempat untuk mengumpulkan kartu pemilihnya. Sejauh ini, Panwaslu belum dapat menindak karena warga yang mengumpulkan kartu pemilihnya tidak diberi arahan apa pun semisal diminta mencoblos partai atau calon tertentu.35 Pemberian beasiswa merupakan modus lain yang tidak mungkin bisa dijerat oleh UU tersebut. Pasalnya, caleg yang memberikan beasiswa dengan harapan akan ada balas budi atau tahu sama tahu dari keluarga yang diberi bea siswa tersebut tanpa harus meminta agar dirinya dipilih. Si penerima yang diharapkan menjadi saksi tidak ada yang mau buka suara. Atau, dalam kasus lain sang caleg sudah setahunan lebih membagi-bagi beasiswa kepada masyarakat miskin. Selain pemberian uang, pembagian sembako dengan kedok penjualan sembako murah secara pintu ke pintu juga dilapor kan terjadi di beberapa kampung. Sebuah partai politik melakukan penjualan sembako di wilayah Solo senilai kurang lebih Rp 25 ribu dengan harga di bawah Rp 5.000,00.36 35 Tempointeraktif.com, 4 April 2004. 3<’ Dalam kasus ini Panwaslu kota Solo mengaku tidak dapat bertindak karena tidak memiliki bukti bahwa penjualan sembako itu dimaksudkan
Masih berlangsungnya praktekpraktek politik uang inilah yang belakang an antara lain mendorong terjadinya be berapa penolakan hasil pemilu yang merebak di berbagai daerah. Di Jakarta sejumlah 17 parpol menolak hasil pemilu. Ke-17 parpol37 yang tergabung dalam Aliansi Penyelamat Bangsa itu, secara resmi melaporkan kecurangan pemilu kepada Panitia Pengawas Pemilu pada 15 April 2004. Mereka mensinyalir bahwa KPU pusat tidak melakukan tindakan apa pun terhadap pelanggaran yang dilakukan aparatnya di tingkat kelurahan dan kecamatan itu. Persoalan politik uang ini sebagaimana biasa tidak dapat ditindak lanjuti, mengingat kalangan parpol umum nya mengalami kesulitan besar bila harus melengkapi dengan bukti-bukti yang jelas, karena modus politik uang terjadi secara terselubung. Dengan demikian pemilu yang diikuti 24 peserta partai politik ini tidak dapat dikatakan demokratis. KIPP mem beberkan sejumlah kecurangan oleh partaipartai besar, khususnya dominasi ke curangan oleh Partai Golkar dan PDIP.38 Tapi partai-partai kecil juga melakukan pe langgaran, namun dalam beberapa kasus kecil. Bentuk pelanggaran itu meliputi pemberian uang dan sembako, meng undang pemilih ke rumah orang partai, lalu dikasih uang. Ada juga pemberian sembako-sembako bermerek partainya. Itu banyak dilakukan Partai Golkar dan PDIP.39* mempengaruhi, karena dari laporan warga memang tidak ada pernyataan apa pun dari si penjual agar memilih partai tertentu. Lihat, Tempointeraktif.com, 4 April 2004. 37 Kompas Cyber Media, 15 April 2004. Mereka adalah parpol peserta pemilu minus Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, PPP, PAN, PKS dan PBB. 38 Laporan KIPP diterima dari daerah-daerah di Jawa Tengah dan Sulawesi di mana relawan lembaga itu diterjunkan. Secara umum pelanggaran berlangsung di 18 provinsi. Lihat wawancara Era Muslim dengan Koordinator KIPP Ray Rangkuti, 13 April 2004. 39 PDI-P dan Golkar adalah dua partai yang mengeluarkan belanja paling besar selama masa kampanye legislatif, di mana sampai tulisan ini dibuat mereka belum mengumumkan kepada
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 9-27
Praktek politik uang telah termasuk dalam tindak pidana. Cara-cara semacam itu mungkin tidak sepenuhnya berhasil menipu rakyat, khususnya di perkotaan — mengingat rakyat ada pula yang berprinsip terima uangnya, tapi tidak mencoblos partainya — namun di beberapa daerah pedesaan faktor politik uang masih relatif berpengaruh dalam mempengaruhi keputusan memilih. Terdapat tiga tafsiran yang dapat diberikan guna menjelaskan mengapa fenomena politik uang terjadi.40 Pertama, anggota masyarakat mungkin memiliki persepsi, para caleg adalah orang-orang yang memiliki uang. Persepsi ini kemungkinan diiringi perilaku sebagian anggota legislatif yang tidak responsif terhadap pemilih, bahwa setelah terpilih jarang sekali anggota legislatif berinteraksi dengan rakyat pemilih. Dengan kata lain, "meminta uang" dari para caleg merupakan semacam "politik balas dendam" dari rakyat pemilih. Kedua, rakyat pemilih mungkin berpikir, masa kampanye tidak hanya merupakan momen tepat, tetapi sekaligus instrumen efektif untuk meningkatkan kesejahteraan sesaat. Ketiga, rakyat pemilih mungkin memaha mi proses kampanye dalam pemilu dalam kerangka hukum ekonomi, yaitu per mintaan dan penawaran. Dari sisi per mintaan, rakyat pemilih menyadari, para caleg berhasrat untuk terpilih namun kursi yang tersedia terbatas. Dari sisi penawaran, rakyat pemilih menyadari, mereka menjadi bernilai untuk memenuhi hasrat para caleg.
publik — untuk kemudian diaudit oleh akuntan publik yang independent — berapa besar dana kampanye yang mereka sediakan dan berapa jumlah belanja kampanye yang sudah mereka habiskan dalam pemilu legislatif lalu. Dari hasil pemantauan Transparency International (TI) Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (1CW), 11 Maret-1 April 2004, di 53 kabupaten/ kota, PDI-P menghabiskan biaya Rp 69,2 miliar, Partai Golkar (Rp 56,7 miliar), PAN (Rp 16,9 miliar), PKB (Rp 15,7 miliar), PPP (Rp 14,8 miliar), PKPB (Rp 12,3 miliar), PKS (Rp 10,5 miliar), dan Partai Demokrat (Rp 9,5 miliar). Lihat, Kompas, 28 April 2004. Makmur Keliat, “Tirani Uang?” dalam Kompas, 27 April 2004.
Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
Fenomena politik uang memberi dampak pada penyederhanaan pehamaman tentang politik sebagai mekanisme bisnis. Uang yang dikeluarkan para caleg agar dapat terpilih dapat diumpamakan sebagai investasi yang tingkat pengembaliannya harus diperoleh dengan berbagai cara setelah seorang politisi terpilih. Jika ini terjadi dalam skala makro, maka upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme akan mengalami kendala dan ekonomi biaya tinggi akan terus berlangsung di negeri ini. Mental Proyek dan Aroma Politik Uang di KPU “Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus-kampus se-Jabotabek pada 24 Maret 2004 mendatangi kantor KPU Pusat di Jl. Imam Bonjol, Jakarta. Massa mahasiswa itu memberikan uang fotokopi an 100 ribu rupiah sebanyak satu koper. Seorang juru bicara aksi tersebut menyata kan KPU Pusat hanya menjadi tempat baru penguapan triliunan dana pemilu oleh segelintir orang, tanpa tersentuh oleh pertanggungjawaban hukum.” 41 Ungkapan di atas merupakan salah satu cerminan keprihatinan sementara pihak mengenai kinerja KPU sebagai penyelenggara pemilu yang dianggap tidak memenuhi harapan. Penyelenggaraan Pemilu 2004 ditandai pula oleh kisruh pengadaan dan distribusi logistik, serta lemahnya sistem teknologi informasi KPU. Dalam mekanisme penghitungan suara, KPU menghabiskan biaya sekitar Rp 200 miliar untuk pengadaan sistem teknologi informasi yang kemudian terbukti ter kadang macet, sehingga kemudian me nimbulkan masalah, serta membuka peluang bagi tindak manipulasi. TI kemudian menjadi proyek besar yang mubazir. Berbagai permasalahan di atas muncul akibat KPU sebagai penyelenggara pemilu terlibat dalam hal-hal teknis, di lain pihak KPU kurang konsentrasi pada tugastugas utamanya yang lebih penting seperti sosialisasi pemilu dan proses pelaksanaan 41 Eramuslim, 24 Maret 2004.
19
tahapan-tahapan pemilu. Dapatlah dikata kan, dengan dana triliunan rupiah, KPU justru menunjukkan performa yang tidak lebih baik dibandingkan Pemilu 1999. Beberapa kali KPU melakukan pelanggar an terhadap UU, termasuk melanggar batas waktu distribusi logistik, pelanggaran pengumuman hasil penghitungan suara, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya, mulai dari tahap pendaftaran pemilih hingga tahap pasca pemilihan umum. Kelemahan kinerja KPU di pusat dan daerah telah terlihat sedari awal berlangsungnya proses pemilihan umum. Lembaga ini di pusat disoroti karena dirinya tercitra sebagai lembaga pengejar proyek, khususnya menyangkut pengadaan logistik dan kertas suara yang di sentralisasikan; sementara tindakan itu membawa dampak yang merugikan bagi bangsa dan negara berupa keterlambatan penyelenggaraan pemilu di beberapa daerah akibat logistik yang belum tiba, serta kertas suara yang tertukar dengan daerah lain. Hal-hal mana akan kecil kemungkinan terjadi bila KPU merelakan proyek pengadaan logistik dan kertas suara diserahkan saja kepada daerah (desentralisasi logistik). Dalam kasus pengadaan logistik agak tidak masuk akal bila dikatakan bahwa keterlambatan penyediaan surat suara dan kotak suara hanya merupakan keteledoran tim konsorsium atau distributornya saja. Itu tiada lain justru merupakan fakta tak terbantahkan mengenai kegagalan KPU dalam mengontrol kesiapan pemilu yang dipegang oleh pihak-pihak pemegang tender penyediaan logistik pemilu. Terabaikannya diseminasi infor masi terbukti dari temuan-temuan bahwa banyak orang tidak mengetahui bagaimana cara mencoblos, misalnya hanya men coblos tanda gambar saja dan tanpa men coblos nama caleg. Bahwa pengetahuan masyarakat tentang pemilu legislatif 2004, minim. KPU agaknya telah mengabaikan dua masalah yang mestinya disikapi serius yakni kompleksitas sistem Pemilu 2004 dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya serta soal keterbatasan waktu. Kinerja KPU di daerah cukup bervariasi, di
20
beberapa tempat masih menempatkan sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang relatif profesional dan independen, namun di sejumlah daerah lainnya justru KPU tercitra sebagai lembaga yang diduga justru menjadi sumbernya praktek KKN dan money politics. Salah satu pemberitaan yang sempat mengemuka adalah tudingan langsung yang dilontarkan oleh anggota Panwas Pemilu Provinsi Banten kepada media massa setempat.42 Diungkapkan bahwa Panwas Pemilu sudah menerima laporan dari sejumlah calon DPD yang lolos verifikasi bahwa mereka dimintai uang oleh staf KPU atas perintah Ketua KPU Banten. Namun, beberapa orang yang melaporkan uang kutipan belum mau dijadikan saksi. Panwas dalam hal ini berpendirian bahwa lembaganya akan menindaklanjuti laporan tersebut kalau korban money politics bersedia menjadi saksi.43 Padahal, Panwaslu mensinyalir bahwa salah satu simpul politik uang justru ada di KPU, di mana peluang itu muncul 42 Lihat, Fajar Banten, 15 Desember 2003. Ketua Panwas Pemilu Banten, Muzakki, dalam pemberitaan itu mengemukakan pula penilaian Panwas mengenai hasil kerja KPU yang dinilainya kurang baik. Contoh, di antara balon DPD ada yang bermasalah, yakni Efi Silvi. la disinyalir mendapatkan dukungan dari warga yang juga mendukung balon DPD lain, yakni Badiah. Calon DPD lain yang bermasalah adalah: Agus Fatah, Yasin, Odi Sunardi, Kasmin. Mereka saat ini masih menjadi anggota DPRD. Sementara, Drs. Arifin Tanudjiwa bermasalah mengenai domisili, sebab yang bersangkutan tinggal di Bogor. Dalam hak jawabnya, Ketua KPU Banten, Tb. Didi, menangkis tuduhan KKN di lembaga yang dipimpinnya, dan ia menyatakan tidak pernah menyuruh meminta uang. “Itu fitnah!” katanya. Lihat, Fajar Banten, 16 Desember 2003. 43 Kinerja KPU Banten dalam proses verifikasi balon DPD dipertanyakan masyarakat. Panwas setempat menyampaikan surat keberatan resmi yang ditujukan ke KPU menyangkut beberapa nama yang terindikasi melakukan pelanggaran yakni memanipulasi data pendukung, dan bahkan ada yang sampai pada tingkat pemalsuan. Surat itu telah disampaikan oleh Panwas Pemilu kepada KPU. Namun, karena kewenangan meluluskan calon DPD ada pada KPU, maka Panwas merasa tidak memiliki kewenangan kendati kemudian KPU meloloskan calon yang dianggap bermasalah.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 9-27
pada tahapan seperti verifikasi bakal calon DPD dan verifikasi parpol. Panwas Banten menuntut tersedianya akses data ke KPU, mengingat telah masuk laporan mengenai kutipan uang bagi calon DPD oleh Ketua KPUD. Namun belakangan, berita acara laporan itu tidak bisa dibuat lantaran tidak ada yang bersedia menjadi saksi, dengan alasan enggan berurusan dengan polisi. Keengganan para saksi kunci ini juga karena ketiadaan undang-undang per lindungan saksi. Verifikasi calon anggota DPD tak pelak merupakan salah satu simpul yang menyisakan tanda tanya di kalangan masyarakat di beberapa daerah, khususnya menyangkut sikap KPUD yang tertutup, sementara di lain pihak ketidakterbukaan itu membuka peluang bagi munculnya tindak politik uang (money politics).44 Hingga awal Januari, KPU di daerahdaerah masih menganggap data-data DPD sebagai bagian dari rahasia negara, di mana Panwas Pemilu setempat sekalipun tidak diperkenankan masuk, termasuk KPU karena tidak pernah melibatkan Panwas dalam proses verifikasi DPD maupun verifikasi parpol.45 Panwas Pusat dalam hal ini mendukung upaya yang dilakukan oleh Panwas-Panwas daerah, serta berpendapat jika menginginkan fungsi pengawasan berjalan efektif, akses untuk memperoleh informasi dari KPU provinsi dan kabupaten/kota harus dibuka seluasluasnya bagi Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) di seluruh tingkatan. Kenyataan nya, Panwas mensinyalir setidaknya 40 persen dari KPU provinsi dan kabupaten/ kota tidak cukup memberikan akses yang memadai sepanjang proses verifikasi calon peserta Pemilihan Umum Tahun 2004.46 Panwas pusat mensinyalir pula bahwa peluang pelanggaran semakin terbuka manakala KPU daerah mulai melakukan verifikasi faktual calon peserta Pemilu 2004. Karena itu, akses dari KPU daerah diperlukan untuk mendapatkan 44 Lihat hasil penelitian P2P LIPI, Pengawasan
Penyelenggaran Pemilu 2004. 45
I b ic i.
46 Kompas, 4 November 2003. Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
temuan pelanggaran aturan pemilu, termasuk tindak pidana pemilu yang bisa diteruskan kepada penyidik. Pada kenyataannya Panwas mengalami kesulitan akses mendapatkan data dan informasi itu dijumpai Panwas dalam kerja samanya dengan KPU daerah. Dalam verifikasi perseorangan calon anggota DPD — untuk mendapatkan sampel sepuluh persen yang diambil untuk verifikasi faktual saja, misalnya — tidak semua Panwas bisa mendapatkannya dengan mudah dari KPU daerah. Akses yang terbatas ini akan menghambat fungsi pengawasan proaktif yang diharapkan dari Panwas dalam seluruh tingkatan.47 Di beberapa daerah diperoleh pula temuan mengenai terdapatnya indikasi bahwa balon DPD melakukan manipulasi dukungan yang secara administratif dapat disahkan oleh KPU. Di samping itu ditemukan pula beberapa balon DPD yang merupakan anggota dari partai tertentu. Pe langgaran administratif menyangkut pula masalah domisili, salah seorang balon DPD berasal dari daerah lain dan yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan harus empat tahun terakhir tinggal di daerah bersangkutan, tetapi yang ber sangkutan diluluskan oleh KPU. KPU dalam kasus-kasus demikian beralasan mengenai masalah waktu yang sempit, namun yang nampak justru itu terkait dengan adanya faktor-faktor tertentu ter masuk menyangkut kepentingan sejumlah oknum di KPU maupun adanya kedekatan pribadi balon DPD dengan anggota KPU.48
47 Panwas berkeras agar diberi keleluasaan mengakses data dan informasi dari KPU daerah dalam tahapan penelitian faktual terhadap parpol calon peserta pemilu. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 122 Ayat (3) UU 12/2003 yang bunyinya adalah, "Guna menunjang pelaksanaan pengawasan Pemilu, penyelenggara Pemilu dan pihak terkait lainnya harus memberikan kemudahan kepada pengawas Pemilu untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan." 48 Jbid.
21
Permasalahan lain ialah tentang proses pembuktian terhadap daftar dukungan melalui penarikan sampel. Menurut peraturan, penarikan sampel semestinya dilakukan secara random penuh, sehingga membuka kesempatan bagi pendukung di semua wilayah untuk menjadi sampel. Tapi, KPU tidak memenuhi itu, dan lebih memilih penarikan sampel berdasarkan wilayah, di mana untuk setiap kecamatan diambil sampel 10 persen. Cacat metodologis mulai muncul ketika jumlah dukungan terhadap seorang calon DPD di suatu kecamatan tidak lebih dari lima orang, dan sebaliknya menumpuk di kecamatan lain. Cacat metodologis serupa didapati pada proses verifikasi parpol. Bahkan lebih aneh lagi, untuk pembuktian kartu tanda anggota parpol (KTA), anggota parpol yang akan diverifikasi dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di kantor partai tingkat kecamatan. Hal ini telah menyalahi prosedur pengecekan yang telah ditentu kan, di mana KPU mestinya mendatangi dari rumah ke rumah dalam verifikasi faktual, sehingga memberi kesempatan secara jujur kepada masyarakat untuk me nyatakan benar atau tidak mereka merupa kan anggota suatu partai politik. Persoalan lain terjadi pada kasus yang berindikasi pidana, seperti pemalsuan KTP atau pemalsuan tanda tangan. Panwas Pemilu memang telah meneruskan kasus demikian ke kepolisian, namun setelah tujuh hari diterima oleh kepolisian dan institusi itu tidak menindaklanjuti maka kasus itu batal demi hukum. Panwas Pemilu di berbagai daerah mengakui bahwa hal semacam ini menjadi catatan kelemahan UU Pemilu saat ini, karena tidak tertera bentuk sanksi bagi kepolisian yang tidak melanjutkan tindak pidana yang terjadi. Bila ini tidak disikapi secara serius maka akan banyak tindak pidana pemilu yang mungkin akan berhenti di meja penyidik dan tidak diteruskan. Tatkala hal ini ditanyakan ke polisi, mereka menjawab belum siap baik kesiapan sumber dayanya maupun belum siap untuk menangani tindak pidana pemilu, mengingat beberapa
22
peraturan yang menyangkut tindak pidana merupakan hal baru.49 Catatan Kecil Tindak Kekerasan yang Masih Berlangsung Kendati mengalami penurunan cukup signifikan dibandingkan pemilupemilu sebelumnya, kekerasan yang di lakukan oleh anggota parpol terhadap anggota parpol lainnya semasa kampanye masih terjadi. Di Solo, kader PKS telah dianiaya oleh massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan di Madiun kader dari partai yang sama juga menjadi korban pemukulan oleh parpol lain. Peristiwa serupa terjadi di Kota Bekasi. Salah seorang pengurus PKS Ranting, Kel. Mustika Sari, Kec. Bantargebang dianiaya oleh kader PDIP.5" Massa PDIP tercatat paling banyak melakukan tindak kekerasan dan bahkan beberapa kali menjurus tindak pelecehan seksual terhadap massa partai lain. Di Solo kader PKS jadi korban massa PDIP sehingga mendorong Koalisi Perempuan setempat untuk meminta agar KPU meng hentikan kampanye terbuka di kota Surakarta, mengingat terbukanya peluang bagi terjadinya kekerasan, teror atau bahkan pelecehan seksual.51 Aksi negatif massa PDIP kembali berlangsung pada kampanye partai tersebut di Kota Nganjuk, Jatim. Kejadian saat massa partai berlambang “moncong putih” hendak menuju Stadion Anjuk Ladang guna mendengarkan pidato politik ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, pada 20 Maret 2004. Saat itu, puluhan pelajar Sekolah Menengah Umum (SMU) sedang menyaksikan massa PDIP menuju ke stadion, tanpa diduga massa konvoi memeluk dan mencium pelajar puteri, serta mengeluarkan kata-kata kotor. Sejumlah siswa putra ditendang hingga jatuh ke parit bersama sepeda yang dinaiki. Kekerasan massa PDIP juga terjadi di Klaten, Jateng, ketika dua orang wartawan jadi sasaran amuk simpatisan PDIP ketika terjadi 49 Ibid.
5,1 Republika, 24 Maret 2004. 51 Republika, 21 Maret 2004.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 9-27
konvoi kendaraan di pertigaan Gondang, Klaten, 24 Maret 2004.52 Pada 29 Maret 2004 terjadi bentrokan fisik massa PDIP dan PNBK di Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.53 Pihak Panwas setempat kemudian mengadakan pertemuan dengan jajaran pengurus kedua partai politik yang menghasilkan kesepakatan damai dan perjanjian tertulis yang berisi komitmen untuk tidak melanjutkan konflik. Pihak Panwas menyerahkan kasus tersebut untuk ditangani jajaran Kepolisian Resort Sukabumi, namun Panwas memutuskan untuk tetap mengizinkan parpol yang terlibat bentrokan fisik untuk me nyelenggarakan kampanye pada putaran terakhir, dengan alasan jika terjadi pelarangan kampanye, justru dikhawatir kan kerusuhan akan kembali terjadi karerta massa tidak puas dengan keputusan Panwas. Di Bantul, seorang anggota Kepolisian Resort Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tak luput dari tindakan kekerasan massa PDIP, yang bersangkutan dipukuli dengan galah bambu oleh sejumlah simpatisan PDIP karena anggota polisi itu berusaha menyita sebuah celurit yang dibawa simpatisan PDIP. Sekelompok pendukung PDIP lain nya di Kota Yogyakarta juga menyerang sebuah posko Partai Persatuan Pembangunan di Purbayan, Kotagede, dan menyerang warga di Kampung Jetisharjo.54 Massa PDIP juga melakukan kekerasan di Malang. Mereka menyerang sekretariat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) setempat pada 26 Maret 2004. Mereka merusak bangunan kantor berlantai dua berikut toko bukubuku agama yang terletak di sebelah kantor tersebut.55 Aksi penyerangan mengakibat kan lima orang luka-luka.
Kejadian kekerasan lain tercatat di Palu, Sulawesi Tengah, ketika enam orang pemuda menyerang Kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Palu yang terletak di Jalan Cendrawasih. Aksi penyerangan sekitar pukul 01.30 WITA 7 Maret 2004 dengan menggunakan batu tersebut, mengakibat kan kerusakan ringan pada sisi depan kantor parpol serta merusak sebuah baliho lukisan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), calon presiden Partai Demokrat. Pelaku adalah satgas partai politik besar di Palu.56 Terlepas dari menurunnya tindak kekerasan selama pemilu legislatif 2004, prosesi Pemilu 2004 ditandai dengan tetap dilangsungkannya pemungutan suara di daerah-daerah konflik, seperti Poso, Ambon, Papua, dan Aceh. Penyelenggara an pemilu di daerah-daerah konflik sangat rawan terhadap praktek intimidasi dan ancaman kekerasan. Bahkan khusus Aceh masih berada dalam kondisi darurat militer, sehingga dipertanyakan karena dianggap bertentangan dengan prinsip pemilu demokratis.57 Masyarakat di Aceh dapat di anggap tidak mempunyai peluang sama untuk memilih, hanya partai-partai besar tertentu yang dapat menyelenggarakan kampanye, serta keputusan memilih yang boleh jadi bias karena rakyat memilih ketika berada dalam situasi tekanan dan ancaman keamanan. Intimidasi untuk mempengaruhi pemilih bukan hanya terjadi di daerah konflik, namun di daerah yang tergolong aman pun masih berlangsung praktek demikian, di antaranya hal ini dijumpai di Sulawesi Selatan. Sejumlah Perguruan
52 http://www.republika.co.id., 25 Maret 2004. 53 Kompas, 30 Maret 2004. 54 Kejadian berlangsung pada kampanye PDIP 31 Maret 2004. Sumber, www.golkar.or.id, 1 April 2004. 55http://www.republika.co.id., 27 Maret 2004. Latar belakang penyerangan itu, ditengarai karena aksi bakar kaos PDIP yang dilakukan KAMMI pada
saat Megawati Sukamoputri berkampanye di daerah tersebut beberapa hari sebelumnya. 56 Republika, 28 Maret 2004. 57 Cetro menilai pemilu di Aceh tidak sah. "Pemilu yang berlangsung di bawah darurat militer mengkhianati prinsip pemilu demokratis," kata Direktur Eksekutif Cetro, Smita Nutosusanto. Hasil pemilu di Aceh tidak dapat diterima karena cacat hukum, pasalnya tidak dilaksanakan sesuai UU Pemilu tapi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Keadaan Darurat. Kompas, 1 April 2004.
Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
23
Tinggi di Sulsel yang tergabung dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) dari pemantauan yang dilakukan di 4.000 TPS dan tersebar di wilayah Sulsel menemukan adanya intervensi parpol tertentu yang berusaha mempengaruhi pemilih saat pencoblosan dan menunggui pemilih hingga selesai memberikan hak pilihnya. Beberapa partisan parpol yang mengena kan atribut tertentu terlihat berkeliaran di sekitar TPS saat sedang berlangsung pencoblosan atau penghitungan suara.58 Penutup: Analisis Pelanggaran dan Pengawasan Pemilu Pelanggaran terhadap penyelenggara an pemilihan umum dapat dikategorikan dua, yakni pertama pelanggaran yang memiliki dampak signifikan terhadap hasil pemilihan umum, serta kedua adalah jenis pelanggaran yang kurang memberi dampak terhadap hasil pemilihan umum. Pihak berwenang yang menangani pelanggaran pemilu, baik Panwaslu mau pun kepolisian, umumnya berkemampuan menangani pelanggaran jenis kedua, khususnya bagi kepolisian adalah pelanggaran lalu lintas yang selama ber langsungnya masa kampanye mencapai puluhan ribu kasus yang dapat ditangani.59 Hal demikian memperlihatkan adanya kemajuan dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya, di mana untuk jenis pelanggaran “kecil” pun banyak yang luput dari aparat penegak hukum. Akan tetapi bila kita menilik pada jenis pelanggaran pertama, yakni yang secara signifikan memiliki dampak ter hadap hasil pemilu, maka terlihat ke lemahan mendasar. Banyak pelanggaran jenis demikian, termasuk politik uang, intimidasi, manipulasi dan kecurangan
58 http://www.republika.co.id., 12 April 2004. 59Selama masa kampanye pihak kepolisian RI menangani sebanyak 121 ribu lebih pelanggaran lalu lintas di seluruh Indonesia. Tercatat pula 44 kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 31 orang tewas, 66 luka berat, dan 225 orang luka ringan. Lihat, http: //www.Republika.co.id., 2 April 2004.
24
perhitungan suara, yang tidak terpantau oleh Panwaslu. Panwaslu secara khusus gagal melakukan pengawasan secara efektif ter hadap pelanggaran politik uang dan manipulasi perhitungan suara. Selama berlangsungnya proses pemilihan umum, di berbagai daerah di sepenjuru Tanah Air bagaikan sudah menjadi rahasia umum bahwa partai-partai besar (yakni PDIP dan Golkar) ditambah PKPB (partai yang mengusung nama Siti Hardiyanti Rukmana sebagai capres) gencar melakukan praktek politik uang. Dalam beberapa kejadian, kasus politik uang yang dilakukan secara transparan, di mana untuk praktek pengerahan massa bayaran maka jutaan masyarakat Indonesia di tingkat akar rumput adalah saksi-saksi yang niscaya tidak bisa ditutup-tutupi lagi.60 Mungkin belajar dari kasus pelanggaran-pelanggaran pemilu pada masa-masa sebelumnya yang nyaris tidak terusut secara tuntas oleh hukum, maka beberapa partai besar berani melakukan praktek-praktek money politics secara terang-terangan, lantaran mereka tetap berkeyakinan bahwa kali ini pun mereka tidak akan dijerat oleh hukum. Terjadinya pelanggaran-pelanggar an oleh parpol tanpa dibarengi oleh penyelesaian hukum yang signifikan terhadap para pelaku pelanggaran, semakin mengukuhkan bukti bahwa persoalan penegakan hukum di Indonesia memang baru sebatas lips Service. Bahkan ketika ada sebuah kasus yang oleh Panwas Pemilu setempat sudah diteruskan ke kepolisian, namun ketika polisi tidak menindaklanjutinya maka Panwas Pemilu di daerah biasanya merasa bahwa kasus tersebut sudah bukan lagi urusan mereka. 6
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 9-27
Dalam hal ini Panwas agaknya ter kungkung pada wilayah-wilayah yang menurut penafsiran mereka sebagai bidang tugas mereka. Tugas itu ialah pertama, mengawasi setiap tahapan pemilu, atau menerima laporan masyarakat, dan kemudian menyelesaikannya kalau ada sengketa. Kedua, bila temuan pelanggaran atau laporan masyarakat berindikasi pe langgaran administratif maka Panwas akan melaporkannya ke KPU. Ketiga, jika ber indikasi pidana maka Panwas meneruskan nya ke polisi sebagai penyidik. Berangkat dari tiga koridor tugas itu, maka Panwas merasa bahwa mereka hanya berkewajiban menyelesaikan suatu pelanggaran apabila hal tersebut menyangkut sengketa. Panwas Pemilu di beberapa daerah masih menunjukkan sikap kekurangtegasan mereka. Panwas di daerah dianggap kurang gigih, dan dalam beberapa kasus lebih banyak mengambil posisi diam. Mereka cenderung peka pada pelanggaran-pelanggaran yang tidak mem bawa dampak pada hasil pemilu, namun justru kurang peka terhadap tindak-tindak pelanggaran yang justru dapat berpengaruh signifikan terhadap hasil pemilu, seperti masalah politik uang, intimidasi, ke berpihakan birokrasi sipil, camat atau kepala desa. Minimnya anggaran dan terbatas nya jumlah personel di satu sisi, sementara di sisi lain wilayah yang harus diawasi begitu luas, adalah keluhan umum yang dijumpai sekaligus muara dari penyebab kelemahan yang terdapat pada lembaga Panwas di berbagai daerah. Disadari personel Panwas yang hanya lima orang di tingkat provinsi, lima di masing-masing kabupaten/kota, dan tiga orang di kecamatan merupakan jumlah yang jauh dari memadai untuk menghasilkan pengawasan yang efektif dan kompre hensif. Metode apa pun yang hebat tidak bakal jalan dengan tiga orang per kecamatan. Menilik kendala ini, Panwas Pemilu di daerah biasanya mempertaruh kan kredibilitasnya melalui metode pengawasan dengan cara sampling, yakni
Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
mendatangi lokasi-lokasi yang diduga kuat bakal terjadi pelanggaran. Dinamika suasana Pemilu 2004 tidak terlepas dari peranan media massa yang di era keterbukaan secara terusmenerus melakukan pemberitaan mengenai pelbagai kecurangan di segenap pelosok Tanah Air. Hanya sayangnya liputan media massa ini kurang disikapi secara relatif layak oleh pihak KPU, yang justru terkesan di sana-sini bersikap defensif. Sementara itu, pihak Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) yang diharapkan mampu mengawasi pemilu, ternyata tidak punya cukup kewenangan karena keberadaannya di bawah KPU. Hal ini terbukti dari ribuan kasus yang ada, tidak ditanggapi KPU secara memadai. Dari data yang dihimpun oleh Panwas Pemilu, pada masa kampanye di seluruh provinsi di Indonesia terjadi 2.825 kasus pelanggaran administrasi dan 231 berupa tindak pidana pemilu, di mana 35 di antaranya merupakan pelanggaran yang menimbulkan sengketa antarparpol.61 Pada tahapan pemungutan suara kasus-kasus pelanggaran meliputi 3.853 kasus terdaftar sebagai pemilih namun tidak bisa memilih,62 menuntut memilih meski tidak terdaftar (2.405), tidak terdaftar tetapi memilih (633), kasus politik uang (246), tidak terdaftar tapi punya kartu pemilih (12), dan pidana lainlain (33). Upaya Panwaslu baru sebatas pada memberikan rekomendasi untuk pelak sanaan pemilihan suara atau penghitung ulang, itu pun umumnya tidak dipenuhi. Akan tetapi, jumlah penghitungan dan pemilu ulang yang direkomendasikan oleh Panwaslu juga dianggap kurang signifikan dibandingkan dengan total pelanggaran yang berlangsung di lapangan. Menurut data Panwaslu per 19 April 2004, pe langgaran atau penyimpangan prosedur yang memungkinkan harus dilakukannya pemungutan suara ulang ditemukan setidaknya pada 484 tempat pemungutan suara (TPS), dari total 585.218 TPS yang
61 Data Panwas Pemilu per 19 April 2004. 62 Dengan kasus terbanyak di Kalteng (2.640) dan Sumbar (900).
25
ada di seluruh Indonesia. Adapun pelanggaran yang mengharuskan peng hitungan suara ulang ditemukan pada 1.861 titik, mulai dari tingkatan TPS, Panitia Pemungutan Suara (PPS) di desa/ kelurahan, sampai Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).63 Beberapa pelanggaran yang mengharuskan pemungutan suara ulang, di antaranya tertukarnya surat suara dengan daerah pemilihan lain, pemilih tidak terdaftar tapi bisa memilih, serta petugas Kelompok Penyelenggara Pe mungutan Suara yang mencoblos surat suara, dan manipulasi penghitungan suara. Ditilik dari jumlah TPS yang harus melakukan pemilu dan penghitungan suara ulang memang kecil, namun masalah ini dapat meruntuhkan legitimasi proses pemilihan umum, mengingat Panwaslu mengakui bahwa di beberapa TPS masalah-masalah yang ditemukan adalah tergolong serius.64 Pihak Panwas Pemilu telah meng ajukan rekomendasi untuk dilakukannya penghitungan ulang maupun pemilu ulang. Namun KPU cenderung mengabaikan begitu saja rekomendasi yang diajukan oleh Panwas Pemilu, karena proses peng hitungan ulang tidak seluruhnya di laksanakan. Akibatnya, rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara yang diselenggarakan oleh KPU sempat meng hangat ketika saksi parpol dan Panwas kabupaten menyampaikan bukti-bukti kecurangan yang dilakukan oleh KPU kabupaten/kota. Sikap KPU yang cenderung menutup diri terhadap dialog dengan pihak parpol, masyarakat, pemantau, atau panwas merupakan salah satu faktor kunci terabaikannya berbagai pelanggaran pemilu. Bahkan dalam hal ini Panwas Pemilu menilai bahwa KPU lebih banyak diam ketika indikasi pelanggaran pidana menyeruak ke permukaan. Tidak terdapat 63 Kompas, 20 April 2004. Data ini belum merangkup Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sulawesi Selatan. Pelanggaran terburuk terjadi di Papua, di mana terdapat 201 TPS harus pemungutan suara ulang, disusul Jatim 68 TPS, serta Maluku dan Malut 31 TPS. 64 The Jakarta Post, 20 April 2004.
26
tindakan pro-aktif dari KPU, kendati pelaku pelanggaran adalah pelaksana pemilu di bawah KPU, mulai dari KPU kabupaten/kota hingga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara.65 Menyimak semua kecenderungan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecuali menurunnya tindak kekerasan selama masa kampanye, beberapa pelanggaran masih marak berlangsung pada Pemilu 2004, di lain pihak KPU terkesan “menutup mata” dan bersikap “defensif’, sementara — akibat beberapa keterbatasan yang melekat pada dirinyalembaga Pengawas Pemilu belum menunjukkan kinerja yang efektif dalam menjalankan fungsi pengawasan secara optimal.
Daftar Pustaka
A. Buku dan Artikel Alfian. “Pemilihan Umum dan Prospek Demokrasi di Indonesia”, dalam Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta, LP3ES, 1983. Budiardjo, Miriam, ed. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998. ______________ Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demo krasi Pancasila. Jakarta, Gramedia, 1994. Forum Pemurnian Kedaulatan Rakyat. Perjuangan Belum Selesai: Kedaulatan Rakyat Masih Perlu Ditegakkan. Jakarta, Agustus, 1993. Haris, Syamsuddin, ed. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998. Kusumah, Mulyana W, dkk. Menata Politik Paska Reformasi. Jakarta, Komite Independen Pemantau Pemilu,
2000.
65 Kompas, 5 Mei 2004.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 9-27
Irwan, Alexander dan Edriana. Pemilu Pelanggaran Asas Luber. Jakarta, Sinar Harapan, 1995. Keliat, Makmur. “Tirani Uang?” dalam Kompas, 27 April 2004. Liddle, William. Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta, LP3ES, 1992. O’Donnel, Guillermo, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead. Ed. Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Eropa Selatan. Jakarta, LP3ES, 1992. Rasyid, Muhammad Ryaas. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta, PT Mutiara Sumber Widya, 2000. Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta, Rajawali, 1985. Tim Peneliti LIPI. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Sebuah Laporan Penelitian. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1998. _______________ “Kesiapan Masyarakat Pedesaan dalam Pemilihan Presiden dan Wapres secara Langsung”. Jakarta, P2P-LIPI, 2004. Tim peneliti P2P LIPI. Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu. Jakarta: P2P LIPI, 2004.
Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004 (Heru Cahyono)
B. Majalah, Surat Kabar, dan Media Internet Eramuslim, 24 Maret 2004, 25 Maret 2004, 13 April 2004. Fajar Banten, 15 Desember 2003, 16 Desember 2003. Gatra.Com., 17 Maret 2004. http://www.golkar.or.id., 1 April 2004. The Jakarta Post, 20 April 2004, 22 April 2004. Kompas, 2004, April 2004,
4 November 2003, 30 Maret 1 April 2004, 15 April 2004, 20 2004, 21 April 2004, 28 April 5 Mei 2004, 6 Mei 2004.
Panwaspemilu online, 8 April 2004. Pikiran Rakyat.com, 21 April 2004. http://www.republika.co.id., 18 Maret 2004, 25 Maret 2004, 30 Maret 2004, 2 April 2004, 07 April 2004, 8 April 2004, 12 April 2004, 23 April 2004. Republika, 21 Maret 2004, 24 Maret 2004, 6 Mei 2004. Tempointeraktif.com., 4 April 2004. Tempo, 18 April 2004, 25 April 2004.
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia Oleh: Lili Romli
Abstract The resurgent o f Islamic parties occurs in the reform era because o f many fa ctors which are theological, sociological, historical, reformation and democratization. Unfortunately the resurgent of Islamic parties cannot be endorsed by the Islamic voters. This can be seen from a small and unsignificant vote reached by the Islamic parties. In the 1999 general election, the Islamic parties only have !7,8 percent vote and in the 2004 general election only have 2 1 ,1 7 percent vote. This small and unsignificant vote o f the Islamic parties happened because o f fragm entation o f Islamic parties and ideological orientation change o f Islamic voters.
Pendahuluan Fenomena berdirinya partai-partai politik Islam pada pasca Orde Baru, ada beberapa faktor yang menjadi penjelas, yaitu faktor teologis, historis, sosiologis, dan faktor reformasi. Pertama, faktor teologis. Dalam pandangan ini agama merupakan suatu yang integrated, yang bersatu tak terpisahkan dengan politik. Islam adalah din wa daulah, berdasarkan ini maka masalah kemasyarakatan, ter masuk di dalamnya masalah negara atau politik, merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari persoalan agama. Sebagai manifestasi dari pandangan ini adalah perlunya kekuasaan politik. Kekuasaan ini diperlukan dalam upaya untuk menerapkan syariat Islam, hukum-hukum Islam, baik perdata maupun pidana. Dalam rangka itu maka diperlukan partai politik untuk memperjuangkan dan menegakkan syariat Islam. Dengan demikian, pendirian partai politik Islam merupakan panggilan dan perwujudan dari pandangan teologis tentang hubungan agama dan negara. Kedua, faktor sosiologis. Islam di Indonesia merupakan agama mayoritas. Pemeluknya mencapai sekitar 90% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 200 juta orang. Dengan jumlah yang mayoritas tersebut sudah se pantasnya dalam upaya penyaluran aspirasi politik sesuai dengan nilai-nilai dan perjuangan Islam. Dalam konteks ini maka partai politik Islam dianggap sebagai
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia (Lili Romli)
wadah penyalur aspirasi perjuangan Islam. Sehubungan dengan itu maka pendirian partai politik Islam merupakan suatu ke niscayaan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini karena secara sosiologis umat Islam di Indonesia merupakan pemeluk mayoritas dan mereka akan merasa nyaman dan aman apabila penyaluran aspirasi politik disampaikan melalui partai politik Islam. Konteks sosiologis ini tampaknya digunakan oleh elit-elit politik Islam untuk mendirikan partai politik Islam. Dengan jumlah umat Islam yang mayoritas tentu dengan sendirinya akan mendapat dukungan dari umat Islam. Oleh karena itu adanya partai-partai politik Islam secara otomatis akan didukung oleh umat Islam. Apalagi ditambah dengan perspektif teologis, di mana perlunya alat perjuangan untuk mewujudkan aspirasi Islam. Dengan konteks ini maka antara faktor sosiologis dan teologis bertemu, saling mengisi dan menunjang satu sama lain. Ketiga, faktor historis. Dalam sejarah di Indonesia Islam merupakan suatu kekuatan yang sangat berperan dalam perlawanan menentang penjajah. Islam pada masa itu merupakan salah satu garda terdepan dalam mengusir penjajahan. Dalam rangka mengusir penjajahan tersebut diperlukan alat organisasi sebagai penyatu aspirasi dan tujuan. Maka tercatatlah berdirinya Sarekat Islam (SI), organisasi pertama kekuatan politik yang anggota terbanyak di antara organisasiorganisasi pergerakan lainnya. 29
Keempat, faktor reformasi. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dalam menumbangkan rezim Orde Baru melahirkan era kebebasan. Dalam era ini setiap kelompok atau golongan diberi kesempatan untuk menyalurkan atau mem bentuk partai politik sesuai asas dan aspirasi politiknya. Kesempatan ini tampaknya tidak disia-siakan oleh para elite politik, termasuk elite politik Islam untuk mendirikan partai politik. Islam dan Politik: Pendekatan Teoritis Dalam pemikiran politik Islam, pandangan tentang masalah hubungan agama dan negara ada tiga paradigma. Pertama, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan (integrated). Kedua, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang saling terkait dan berhubungan (simbiotik). Ketiga, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang harus terpisah (sekularistik).' Paradigma pertama yang menyata kan agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena melihat bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap dan sempurna, yang di dalamnya bukan hanya mengatur masalah ibadah tetapi juga mencakup politik atau negara. Tuhan melalui Nabi Muhammad telah menurunkan aturan-aturan untuk kehidupan manusia. Karena Tuhan Maha Benar dan Maha Adil, maka aturan-aturanNya pastilah benar dan adil. Karena manusia merupakan khalifah Tuhan di muka bumi, maka manusia berkewajiban ' Din Syamsuddin menyebutnya atas ketiga hal tersebut terdiri dari paradigma integrated, simbiotik, dan sekularistik. Sementara Umaruddin Masdar menyebutnya dengan konservatif, modernis, dan liberal. Lihat Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV tahun 1993. Umaruddin,
Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
30
untuk mengelola kehidupan ini sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Tuhan. Oleh karena itu manusia harus taat dan tunduk pada Tuhan. Berdasarkan itu maka untuk mengelola negara, tinggal melaksanakan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam pandangan kelompok ini, syari’ah dipahami sebagai totalitas yang par excelent bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan dan ke manusiaan. Karena itu legitimasi politik negara harus berdasarkan syari’ah. Pendekatan kedua yang menyata kan bahwa antara agama dan negara saling terkait dan berhubungan berdasarkan pada argumen bahwa agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat ber kembang. Begitupun, negara memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.2 Para pemikir Islam yang termasuk dalam paradigma ini antara lain adalah Ibnu Taimiyah, Al-Mawardi, dan AlGhazali. Ketiga adalah paradigma yang menyatakan perlunya adanya pemisahan antara agama dan negara. Paradigma ini menolak paradigma yang pertama dan paradigma yang kedua. Pelopor paradigma ini adalah Ali Abdul Raziq, ulama dan pemikir dari Mesir. Dalam kalangan Islam, pemikiran tentang pemisahan antara agama dan negara yang dikemukakan oleh Ali Abdul Raziq ini bukan saja ditolak, tetapi juga bersifat kontroversial karena pandangan-pandangan dan hujah-hujah yang dilontarkannya tidak sesuai dengan sumber dan fakta yang ada. Dalam bukunya yang berjudul Al-Islam Wa Usul al-Hukm mengemukakan bahwa: (1) syari’at Islam semata-mata bercorak spiritual yang tidak memiliki kaitan dengan hukum dan praktek duniawi; (2) Islam tidak mempunyai kaitan apa pun dengan sistem pemerintahan pada periode Nabi maupun Khulafaur Rashidin; (3) kehkalifahan bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi; (4) 2 Din Syamsuddin, op.cit., hlm.6.
Jurnal Penelitian Politik, V ol.l No. 1, 2004: 29-48
kekhalifahan tidak mempuyai dasar baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Dalam bagian lain, Ali Abdul Raziq menolak keras pendapat bahwa Nabi pernah men dirikan negara Islam. Menurutnya, Nabi tidak pernah mendirikan negara Islam di Madinah. Misi dari Nabi Muhammad adalah semata-mata utusan Tuhan. Ia bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.3 Pendapat Ali Abdul Raziq tersebut mendapat kritikan tajam dari Dhiya Din arRais. Dalam bukunya yang berjudul A lIslam w a a l- K h alifah f i a l-'A sh r alH adist, ia mengatakan bahwa apa yang
ditulis oleh Ali Abdul Raziq hanyalah sekedar pernyataan-pernyataan kosong tanpa pijakan dalil. Ali Abdul Raziq lebih layak disebut sebagai dongeng dan khurafat. Di sini Dhiya Din memberikan bukti-bukti dengan mengutip dalil dan kesepakatan atau ijma ulama tentang adanya negara Islam dan bahwa Nabi bukan hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga sebagai Kepala Negara.4 Meskipun tulisan Ali Abdul Raziq mendapat kecaman dan kritikan, tetapi garis pemikirannya terus berlanjut. Di antaranya yang segaris dengan pemikiran Raziq adalah Thoha Husein dan Qomaruddin Khan. Thoha Husein ber pendapat bahwa Al-Qur’an tidak mengatur sistem pemerintahan baik secara umum maupun secara khusus. Pemerintahan pada masa Nabi dan Khulafaur Rashidin bukanlah pemerintahan yang didasarkan pada wahyu, tetapi pemerintahan insani, sehingga tidak pantas dianggap sakral dan suci.5 Sedangkan Qamaruddin Khan ber pendapat bahwa teori politik Islam tidak muncul dari Al-Qur’an tetapi dari keadaan ' Din Syamsuddin, op.cit., hlm.8. 4 Buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Khilafah, (Bandung: Pustaka, 1985). Untuk melihat lebih jauh pemikiran Thoha Husein lihat Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan
Sekulerisme: Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thoha Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994).
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia (Lili Romli)
dan bahwa negara bukanlah merupakan hal yang dipaksakan secara Ilahiah atau pun sangat dibutuhkan sebagai institusi sosial. Kaum muslimin perlu memahami bahwa tidak ada sesuatu pun yang telah tertetapkan mengenai percampur-adukan agama dan politik. Klaim bahwa Islam merupakan sebuah panduan agama dan politik yang harmonis adalah sebuah slogan modern, yang jejaknya tidak dapat ditemukan dalam sejarah masa lalu Islam, Istilah “Negara Islam” tidak pernah di gunakan dalam teori atau praktek ilmu politik muslim sebelum abad ke-20.6 Eickleman dan Piscatori sendiri tampak setuju dengan pendapat di atas. Hal ini terlihat dari ketidaksetujuannya dengan konsep menyatunya agama dan politik. Dalam konteks ini mereka memberikan beberapa alasan. Pertama, ia melebihlebihkan keunikan politik muslim. Agama jelas merupakan perkara penting bagi ke hidupan politik rakyat seluruh dunia, tidak hanya bagi umat Islam. Kedua, penekanan pada al-din w a al-dau lah tanpa disadari mengekalkan prasangka para orientalis bahwa politik muslim tidak seperti politik lain, adalah tidak . diarahkan oleh perhitungan-perhitungan berdasarkan ke pentingan rasional. Ketiga, asumsi-asumsi al-din w a al-d a u la h memberi kontribusi terhadap pendapat bahwa politik muslim adalah sebuah jaringan tidak bertepi, tidak bisa dibedakan bagian-bagiannya karena saling interpenetrasi antara agama dan politik.7 Abdelwahab juga setuju bahwa konsep negara Islam harus ditinggalkan sama sekali. Juga harus meninggalkan ilusi milenium yang dijanjikan oleh pembaharu negara utopia yang menghadirkan orang saleh dan suci secara ajaib untuk mengembalikan zaman keemasan Islam yang sudah lama hilang. Kesalahpahaman utama pemikir politik Islam kontemporer terletak pada asumsi bahwa negara 6 Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 67-68. 7 Ibid., hlm. 71.
31
berdasarkan prinsip-prinsip Islam tidak lain adalah negara yang memaksakan untuk hidup sesuai dengan Islam. Yang benar adalah tujuan komunitas politik Islam untuk memberi kemungkinan kepada umat Islam secara individual untuk hidup sesuai Islam dan melindungi mereka dari paksaan yang cenderung meruntuhkan komitmen mereka pada Islam.K Dari keseluruhan penjelasan di atas menunjukkan bahwa dalam pemikiran politik Islam, masalah hubungan agama dan negara, terdapat tiga paradigma, yaitu paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang saling terkait dan berhubungan, dan paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang harus ter pisahDalam kaitan dengan tulisan ini pembahasan difokuskan pada paradigma pertama, yaitu bersatunya antara agama dan negara atau politik. Paradigma ini disebut pula sebagai integrated paradigm. Paradigma ini berpandangan bahwa antara agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pan dangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap dan sempurna, yang di dalamnya bukan hanya mengatur masalah ibadah tetapi juga mencakup politik atau negara. Tuhan melalui Nabi Muhammad telah 8
Abdelwahab
Bernegara:
el-Affendy,
Kritik
Teori
Masyarakat Tak Politik Islam,
Yogyakarta: LKiS, 1994, hlm. 89-90. l) Dalam melihat ketiga paradigma ini masingmasing penulis memberikan sebutan yang berbeda. Din Syamsuddin menyebutnya atas ketiga hal tersebut terdiri dari paradigma integrated, simbiotik, dan sekularistik. Sementara Umaruddin Masdar menyebutnya dengan kon servatif, modernis, dan liberal. Lihat Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV tahun 1993. Umaruddin,
Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
32
menurunkan aturan-aturan untuk ke hidupan manusia. Karena Tuhan Maha Benar dan Maha Adil, maka aturan-aturanNya pastilah benar dan adil. Karena manusia merupakan khalifah Tuhan di muka bumi, maka manusia berkewajiban untuk mengelola kehidupan ini sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Tuhan. Oleh karena itu manusia harus taat dan tunduk pada Tuhan. Berdasarkan itu maka untuk mengelola negara, tinggal melaksanakan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam pandangan kelompok ini, syari’ah (hukum Islam) dipahami sebagai totalitas yang par excelent bagi tatanan kehidupan ke masyarakatan dan kemanusiaan. Karena itu legitimasi politik negara harus berdasarkan syari’ah (hukum Islam). Paradigma bersatunya agama dan negara ini dalam melakukan praktek politik menggunakan pendekatan formalistik. Pendekatan formalistik adalah pendekatan yang cenderung mementingkan bentuk daripada isi. Pendekatan ini menampilkan konsep tentang negara dengan simbolisme keagamaan, berbeda dengan pendekatan substansialistik yang cenderung menekan kan isi daripada bentuk. Pendekatan substansialistik tidak mempersoalkan bagaimana bentuk atau format dari negara itu, tetapi memusatkan perhatian kepada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama. Dalam konteks politik, menurut M. Syafii Anwar, pendekatan formalistik menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik yang dibayangkan (imagined Islamic polity), seperti terwujudnya suatu sistem politik Islam, munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom-idiom politik Islam, dan lain-lain.10* Sehubungan dengan itu maka mereka sangat menekankan ideologi sasi dan politisasi simbolisme keagamaan secara formal. Doktrin keagamaan 10 M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 144-145.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 29-48
diterjemahkan bukan sekedar rumusan teologis tetapi juga suatu sistem keimanan dan tindakan politik yang komprehensif dan eksklusif. Secara garis besar pendekatan formalistik ini berpandangan: Islam harus menjadi dasar negara, syariah harus diterima sebagai konstitusi negara, kedaulatan politik ada di tangan Tuhan, gagasan tentang negara bangsa (nation state) bertentangan dengan konsep ummah yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan, dan sistem politik modem diletakkan dalam posisi yang berlawanan dengan negara Islam.11 Pendekatan formalistik ini menurut terminologi Gulalp masuk dalam kategori “Islam politik”. Islam politik, menurut Gulalp, adalah Islam yang muncul atau ditampilkan sebagai kerangka atau basis ideologi politik yang kemudian menjelma dalam bentuk partai politik.12 Dengan demikian Islam politik adalah Islam yang berusaha diwujudkan dan diaktualisasikan dalam kekuasaan atau kelembagaan politik resmi, khususnya pada bidang legislatif dan eksekutif. Fenomena berdirinya partai-partai politik Islam pasca Orde Baru ini dapat dijelaskan dengan pendekatan Islam formalistik atau pendekatan Islam politik. Pendekatan ini bisa membantu memahami bangkitnya kembali partai-partai politik Islam era reformasi ini. Karena bagaimana pun bangkitnya kembali partai-partai politik Islam ini dapat dikatakan sebagai fenomena bangkitnya kembali Islam politik. Geneologi Partai Politik Islam di Indonesia Setelah keluarnya Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945 yang mem11 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 12. 12 Halil Gulalp, “Political Islam in Turkey: The Rise and Fail o f The Rifah Party”, The Muslim World, Hartford Seminary, Vol89, N o.l, 1999. Dikutip dari Azyumardi Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi”, dalam Abdul Mu’nim D.Z., Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta: Kompas, 2000), hlm.xiii.
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia (Lili Romli)
perbolehkan berdirinya partai-partai politik, umat Islam merespons Maklumat tersebut dengan mendirikan partai politik Masyumi. Berdirinya Masyumi ini di maksudkan sebagai satu-satunya partai pilitik yang akan memperjuangkan aspirasi dan nasib umat Islam Indonesia. Partai politik ini didukung, antara lain, oleh dua kekuatan ormas besar Islam, yaitu NU dan Muhammadiyah. Namun dalam perjalanannya, para pendukung partai Masyumi keluar satu persatu. Bermula dengan keluarnya PSII tahun 1947, menyusul kemudian NU tahun 195213. Akibatnya pada Pemilu 1955, yang merupakan pemilu pertama semenjak Indonesia merdeka, kekuatan politik Islam menjadai terpecah-pecah, bukan hanya Masyumi, NU, PSII, Perti, tetapi juga ada PPTI, dan AKUI. Tentu saja perpecahan di kalangan partai-partai Islam ini meng akibatkan kekuatan Islam menjadi lemah. Dampak perpecahan itu pada gilirannya akan membuat umat Islam menjadi bingung karena siapa sesungguh nya yang menjadi representasi dari Islam. Ini terjadi karena partai-partai Islam itu semuanya mengklaim sebagai perwujudan representasi dan aspirasi Islam. Hasil pemilu menunjukkan ternyata partai-partai Islam tidak memperoleh dukungan suara mayoritas dari umat Islam. Masyumi hanya memperoleh suara 20,9%, NU 8,4%, PSII 2,0%, Perti 1,3%, serta PPTI dan AKUI masing-masing memperoleh suara 0,2%.14* Masa Demokrasi Terpimpin, partaipartai Islam dipaksa untuk mendukung ideologi Nasakom. Dalam hal ini partaipartai Islam terpecah atas dua kelompok, yaitu kelompok yang mendukung ideologi Nasakom yang diwakili oleh NU dan kelompok yang menentang yang diwakili oleh Masyumi. Akibat penolakan itu, pada tahun 1960 Soekarno membubarkan 13 Keluarnya NU dari Masyumi karena perebutan kursi Menteri Agama, yang seharusnya diberikan kepada NU bukan kepada Muhammadiyah. Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafitipers, 1987). 14 Hebert Feith, The Indonesian Election of 1955, (Ithaca: Cornell University Press, 1957), hlm.58.
33
Masyumi. Dengan bubarnya Masyumi praktis kekuatan politik Islam terpinggirkan dari arena kekuasaan. Hal ini karena meskipun NU berada dalam lingkaran kekuasaan, ternyata ia tidak mempunyai peranan dan kekuatan apa pun.15 Ketika Orde Baru tampil me megang kendali kekuasaan, umat Islam mempunyai harapan besar akan tampilnya kembali Masyumi. Harapan itu berubah menjadi kekecewaan karena rezim Orde Baru tidak memperbolehkan Masyumi tampil kembali sebagai partai politik. Sebagai gantinya, rezim Orde Baru meng izinkan berdirinya Parmusi. Itupun dengan catatan: tokoh-tokoh eks-Masyumi dilarang terlibat dalam kepengurusan partai.16 Tindakan pemerintah ternyata tidak hanya sampai di situ. Demi alasan menciptakan stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, Orde Baru kemudian melakukan restrukturisasi sistem kepartaian. Dengan adanya ke bijaksanaan ini, partai-partai Islam (Parmusi, NU, PSII, dan Perti) dan juga partai-partai yang lainnya (PNI, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI) dipaksa melakukan fusi. Keempat partai Islam yaitu Parmusi, NU, PSII dan Perti bergabung dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan demikian PPP merupakan satu-satunya kekuatan politik Islam. Proses marginalisasi yang di lakukan rezim Orde Baru terhadap Islam politik ternyata terus berlanjut, yaitu dengan mengeluarkan kebijakan de ideologisasi. Dalam kebijaksanaan ini, partai-partai politik tidak diperbolehkan menggunakan asas lain selain asas Pancasila. Akibat kebijaksanaan itu maka partai-partai politik tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya PPP, sebagai benteng terakhir kekuatan politik Islam, 15 Para pengamat menilai bahwa NU menerima idelogi Nasakom sebagai sikap politik yang oportunistik. Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafitipers, 1987). 16 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan baru Islam, (Jakarta: Mizan, 1986), hlm. 108.
34
menanggalkan asas Islam dan mengganti nya dengan asas Pancasila. Begitupun dengan lambangnya dari “Ka’bah” diganti menjadi “Bintang” pada tahun 1985. Lambang Bintang merupakan lambang sila pertama Pancasila yang terdapat dalam “tubuh Garuda Pancasila”. Pergantian ideologi dan lambang PPP tersebut, menurut Nasir Tamara, merupakan proses deislamisasi politik dan depolitisasi Islam.1718 Rangkaian tindakan rezim Orde Baru yang secara sistematis melakukan marginalisasi terhadap Islam politik tersebut sebangun dengan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda terhadap Islam.111 Rezim Orde Baru berpandangan bahwa keterlibatan Islam dalam politik cenderung mengganggu kestabilan politik, dan karena itu mengganggu gerak pembangunan. Oleh karena itu pandangan rezim Orde Baru terhadap Islam adalah pandangan yang menganggap Islam sebagai suatu agama dalam pengertian ibadah dan soal-soal kemasyarakatan yang tidak bersifat politik praktis. Berdasarkan itu maka rezim Orde Baru akan mendukung sepenuhnya kegiatan umat Islam yang berhubungan dengan masalah ibadah dan kemasyarakatan, tetapi yang berkaitan dengan politik akan mem batasinya bahkan melarangnya.19* Terpinggirnya Islam politik dalam percaturan nasional, ternyata membawa dampak lain bagi perkembangan Islam di Indonesia. Artinya, meskipun perkembang an Islam dalam bidang politik kurang 17 Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru”, Prisma, No.5/1988, hlm.45. 18 Tentang sikap pemerintah kolonial Belanda terhadap Islam, lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985). 19 Atas nasehat Snouck Horgronje, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijaksanaan pada umat Islam Indonesia. Pertama, dalam bidang ibadah, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Kedua, dalam bidang politik atau ketatanegaraan, pemerintah kolonial melarang setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam. Lihat Aqib Suminto, op.cit., hlm. 12.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 29-48
menggembirakan akibat serangkaian ke bijaksanaan yang dilakukan rezim Orde Baru, tetapi dalam dimensi ritual dan kemasyarakatan mengalami perkembangan yang pesat. Ini dapat dilihat dengan semakin maraknya kehidupan keagamaan, seperti semakin meningkatnya orang pergi haji dari kalangan priyayi, banyaknya bangunan masjid, banyaknya kelompok studi Islam, dan lain-lain. Sehingga akibat berkembangnya kegiatan keagamaan ter sebut, menurut Kuntowijoyo, telah terjadi konvergensi di kalangan kaum santri dan kaum abangan, antara tradisionalis dan modernis.20 Maraknya kehidupan keagamaan tersebut dampak dari gerakan Islam kultural.21 Gerakan ini menawarkan wacana bahwa gerakan Islam tidaklah harus berkutat dalam dataran politik, tetapi dalam dataran kultural. Dengan Islam sebagai gerakan kultural maka Islam hadir dalam kehidupan bernegara sebagai nilai dan sumber etik. Dengan dikembangkan nya pendekatan Islam kultural bukanlah berarti mengosongkan sama sekali ruang kesadaran umat dari politik. Kesadaran politik tetap ada dan dikembangkan, hanya saja ia tidak terpusat dalam bentuk politik praktis yang bersifat temporer, jangka pendek, dan secara sempit mengembang kan politik partisan. Dalam konsep Islam kultural, power politics bukanlah satusatunya alternatif bagi perjuangan Islam di Indonesia. Tersedia berbagai peluang dan sarana bagi keberhasilan perjuangan umat Islam, antara lain melalui dakwah,
20 Lihat kata pengantar Kuntowijoyo dalam buku Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, (Jakarta, 1994). Gerakan Islam kultural ini di antaranya dipelopori oleh Nurcholis Madjid dan Abdurahman Wahid. Untuk melihat bagaimana pemikiran kedua orang tersebut dapat dibaca dalam buku Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Jakarta: Mizan, 1986), M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998), dan Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta; Paramadina, 1999).
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia (Lili Romli)
pendidikan, sosial ekonomi, budaya dan lain-lain. Munculnya Kembali Partai Politik Islam Era Reformasi Dengan berkembangnya gerakan Islam kultural pada masa Orde Baru, banyak pengamat menilai bahwa kekuatan Islam politik tidak akan muncul lagi. Apalagi setelah PPP sebagai satu-satunya representasi kekuatan Islam politik sudah menanggalkan asas Islam dan menerima asas Pancasila. Taufik Abdullah mengata kan bahwa dengan PPP menerima Pancasila sebagai asasnya maka hal itu merupakan “halaman akhir Islam politik di Indonesia”.2223Dengan analisis yang berbeda namun dalam format yang sama dinyatakan pula oleh R. William Liddle dalam tulisannya yang berjudul Skripturalisme Media DakwahP Dalam tulisan ini ia mengemukakan tesis bahwa kelompok skripturalisme (kelompok Islam for malistik) tidak akan berkembang, hal ini karena ada tiga hambatan yang akan dihadapi, yaitu: (1) komunitas abangan, yang meski semakin sedikit namun masih tetap vital; (2) santri tradisionalis yang tetap akomadisionis, dan (3) kalangan modernis sendiri.24 Tesis Liddle itu memang ditulis saat mesra-mesranya “bulan madu” antara Islam dan pemerintah Orde Baru. Semua orang pun, saya kira, akan setuju dengan tesis tersebut. Tetapi ketika angin re formasi menerpa pemerintah Orde Baru, yang menyebabkan jatuhnya Soeharto, keberlakuan tesis tersebut menumbuhkan pertanyaan: apakah masih relevan tesis tersebut? Hal itu karena pada masa pasca Orde Baru ini telah muncul partai-partai politik Islam.
2" Lihat Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm.2. 23 Artikel ini dibukukan dalam buku kumpulan karangan R. William Liddle yang diterbitkan oleh Sinar Harapan tahun 1997. Buku tersebut berjudul Islam, Politik, dan Modernisasi. 24 R.William Liddle, Ibid., hlm.127.
35
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia pasca Orde Baru, akibat gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa, telah terjadi ledakan partisipasi politik. Ledakan partisipasi politik itu bukan hanya menimpa kalangan masa akar rumput tetapi juga menghinggapi kalangan elite politik. Sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para elite politik berlomba-lomba mendirikan atau meng hidupkan kembali partai politik, tak terkecuali elite Islam. Partai-partai politik Islam yang muncul pada era reformasi ini mencapai 32, dan dari jumlah tersebut yang lolos Pemilu 1999 sebanyak 17 partai, yaitu PPP, PBB, PK, PUI, PSH, PSII 1905, PNU, PKU, Partai Politik Islam Masyumi, PMB, PAY, PID, PDB, KAMI, PP, PUMI, dan Partai SUNI. Fenomena berdirinya partai-partai politik, khususnya yang berbasis Islam, dianggap sebagai bangkitnya politik aliran. Dikatakan sebagai bangkitnya kembali politik aliran karena selama Orde Baru, politik aliran diberangus. Pada masa itu, rezim Orde Baru melakukan kebijakan dealiranisasi dengan serangkaian ke bijakan: depolitisasi massa, floating mass, dan de-ideoligisasi dengan memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal. Kini setelah rezim Orde Baru jatuh, aliran-aliran politik itu, termasuk aliran politik Islam, bangkit kembali dengan wujud berdirinya partai-partai politik Islam. Sehubungan dengan itu, Th. Sumartana mengemukakan beberapa hal yang menyebabkan muncul nya partai politik berdasarkan agama. Pertama, karena agama itu sendiri memiliki dukungan teologis untuk mencapai cita-cita berdasarkan gagasangagasan keagamaan yang dipercayai. Kedua, karena ikatan politik dari para warganya menyebabkan agama sebagai faktor pengikat untuk mendukung pemimpin dari kelompok agama tersebut. Ketiga, karena umat agama tersebut merasa lebih nyaman dengan pemimpin politik yang lahir dari komunitasnya sendiri dan
tidak percaya manakala politik dikuasai oleh golongan agama lain.25 Dalam konteks berdirinya partaipartai Islam era reformasi ini ada beberapa hal sebagai penjelas. Berdirinya partaipartai Islam berkaitan dengan realitas sosial yang menjadi tempat hidup umat, yang tidak ada jalan untuk menghadapinya kecuali dengan memberi kesempatan bagi munculnya partai Islam. Di sana terdapat kaidah agung dari kalangan masyarakat, yang membentuk kehidupan mereka di bawah naungan ajaran-ajaran Islam. Partai Islam merupakan bentuk yang terkonsep dalam aktivitas politik agama untuk meng ekspresikan keinginan tersebut. Berdirinya partai-partai Islam ber kaitan juga dengan realitas ideologis. Realitas ini yang mengharuskan pem bentukan partai Islam. Seorang muslim dalam kehidupan praktisnya diberikan tugas-tugas yang tidak dapat dilaksanakan kecuali melalui sistem kehidupan Islami. Untuk sampai pada tujuan tersebut maka harus diberikan kesempatan untuk me realisasikan programnya dengan cara yang dapat diterima baik dari segi politik maupun demokrasi. Di samping itu, seorang muslim berkecimpung dalam aktivitas politik merupakan bagian dari ketaatan pada agama. Hal ini berbeda dengan agama Kristen, yang membedakan antara aktivitas agama dan dunia. Dalam Islam, bagi seorang muslim yang sejati adalah yang memenuhi tuntutan-tuntutan agamanya dan sekaligus dunianya. Dalam konteks ini maka partai Islam mendapatkan dalam ajaran-ajaran Islam kandungan akidah yang mewarnai program politik, ekonomi dan sosial yang dicanangkan.26 Selain itu, pembentukan partai Islam juga tidak bertentangan dengan 25 Th. Sumartana, “Menakar Signifikansi Partai Politik Agama dan Partai Pluralis dalam Pemilu 1999 di Indonesia”, dalam, Arief Subhan, ed.,
Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi, (Jakarta: LSAF, 1999), hlfn.101. 26 Fahmi Huwaydi, Demokrasi,
Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-Isu Besar Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 407-410-
36
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: -29-48
prinsip-prinsip demokrasi. Dalam negara yang menganut demokrasi, setiap kelompok maupun golongan diakui ke beradaannya untuk membentuk organisasi kekuatan politik yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya. Hal ini di dukung pula dengan perundang-undangan di mana tidak ada larangan membentuk partai politik berdasarkan agama asal tidak bertentangan dengan Pancasila. Keberada an partai Islam tentu saja tidak ber tentangan dengan falsafah Pancasila sebagai ideologi negara. Apalagi dilihat dari tujuan dan program pendirian partai Islam tidak ada yang menyebutkan mereka akan mendirikan negara Islam atau meng ganti ideologi Pancasila. Dengan demikian keberadaan partai Islam sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Nurcholis Madjid sangat me nyayangkan dengan berdirinya kembali partai-partai Islam. Bahkan lebih jauh Ia mengatakan bahwa pendirian partai-partai Islam tersebut sebagai gejala tumbuhnya komunalisme. Penilaian Nurcholis seperti itu bisa dipahami. Hal ini karena selama ini ia dikenal sebagai orang yang ber pandangan tidak perlu adanya partai politik Islam. Slogan yang terkenal adalah: Islam Yes. Partai Islam N o .21 Sementara di kalangan non-Islam, dengan berdirinya partai-partai Islam ter nyata menimbulkan kekhawatiran ter sendiri. Ini tercermin dari tulisan Th. Sumartana dan Frans Magnis Suseno. Dalam tulisannya Sumartana mengatakan bahwa bisakah partai Islam yang muncul saat ini memberikan payung bagi golongan minoritas dan memberi jaminan tidak akan ada perlakuan diskriminatif kepada golongan-golongan minoritas. Ia ber pendapat bahwa banyak kesangsian tergambar dalam diskursus tentang nasib masa depan golongan minoritas. Ia bertanya: “Jika Islam berkuasa apakah ada27 27 Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan d(in Keindonesiaa,' (B^ndyng: Mizan, 1987). Gagasan ' Nurchojis ini lebibjauh dibahas dleh Muhammad '' Kamal Hasan, Modernisasi Indbnesia, Respon Cendekiawan Muslim, (Jakarta; Lingkaran. Studi Ind«nes“a,M9&7)- , * '
l '.
Partai Islam dan Pt&ifoi Islam di Indonesia (Lili Romli)', . /- “ • 1 * M •
jaminan bagi tempat, kedudukan serta peran mereka di masyarakat dan negara di masa depan? Apakah hak-hak mereka terlindungi? Apakah kesetaraan akan dijamin?11.28 Frans Magnis Suseno juga khawatir akan munculnya kembali gagasan negara Islam. Menurutnya, bila gagasan negara Islam muncul kembali merupakan pertanda kemunduran dalam proses modernisasi bangsa, suatu gejala yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Di Indonesia, memang golongan non-Muslim terutama Kristen dan Katolik khawatir dengan gagasan negara Islam. Kekhawatiran ini bisa dimengerti karena memang dalam sejarah politik di Indonesia partai-partai Islam pernah memperjuang kan dasar negara Islam. Oleh karena itu ketika Indonesia pasca Orde Baru ini berdiri partai-partai Islam, mereka merasa khawatir jangan-jangan sejarah berulang kembali di mana partai-partai Islam akan kembali memperjuangkan dasar negara Islam. Benarkah demikian? Ranah Perjuangan Piagam Jakarta Pada era reformasi ini partai-partai Islam yang menekankan pendekatan formalistik memperjuangkan kembali Piagam Jakarta dalam Sidang Tahunan (ST) MPR 2000. Namun partai Islam yang memperjuangkan Piagam Jakarta hanya PPP dan PBB serta partai-partai Islam yang tidak memperoleh kursi, seperti PUI, PSII, dan Partai Islam Masyumi; sedangkan partai-partai Islam lainnya kurang mendukung perjuangan tersebut. Apabila kita mengikuti pe ngelompokan partai-partai politik Islam era' reformasi yang terdiri dari (1) kelompok tradisionalis, (2) kelompok modernis, dan (3) kelompok reyivalijv maka ternyata sikap mereka terhadap* ■Piagam Jakarta berbeda-beda. ^Kelomps^: ■ tradisionalis, meskipun d^Jam sejarah'2perjuangannya pernah dehgan teg’ag^ ' Memperjuangkan Piagam' Jakatja, dari,- semenjak awal •V’* ‘O f ‘V' / . •■V- <-■ r7-— : . '-—*V----------------- v — * t
28r Th.lSumartana, “Politik telam dan pluralisme Bangsa-,- dajam Majalah D&R,y15 Agustus 1998.
37
Kemerdekaan sampai awal Orde Baru, kini pada era reformasi ini (pada ST MPR 2000) tidak lagi memperjuangkan Piagam Jakarta. Bukan hanya itu saja bahkan kelompok ini sebagai salah satu kelompok yang menentang masuknya kembali Piagam Jakarta. Bagi kelompok tradisionalis perjuangan memasukkan kembali Piagam Jakarta adalah sesuatu yang setback. Dengan tidak lagi memperjuangkan kembali atau menolak Piagam Jakarta tersebut berarti kelompok Islam tradisonalis ini mengalami pergeseran pemikiran yang bersifat ideologis dalam melihat Islam dalam kehidupan bernegara. Padahal pada masa lalu kelompok ini termasuk yang keras memperjuangkan Piagam Jakarta. Dengan adanya pergeseran ini maka meskipun mereka secara formal membentuk partai-partai politik Islam, tetapi dengan demikian pembentukan itu tidak ada kaitannya dengan usaha mendirikan atau memperjuangkan kembali Piagam Jakarta. Pembentukan partai-partai Islam, dengan demikian, hanya berkaitan dengan upaya representasi kekuatan Islam dalam parlemen atau eksekutif. Berbeda dengan kelompok tra disionalis yang menentang Piagam Jakarta, maka bagi kelompok Islam fundamentalis (PK) adalah meskipun mendukung Piagam Jakarta masuk dalam amandemen Pasal 29 UUD 1945, tetapi dukungan itu dalam arti substansi bukan bentuk (kata). Oleh karena itu yang diperjuangkan kelompok fundamentalis bukan Piagam Jakarta an sich. Karena bagi kelompok ini persoalan bahasa (istilah atau kata Piagam Jakarta) bisa dicari solusinya, yang penting adalah isi dari pasal tersebut. Dalam konteks itu kelompok ini lalu mengusulkan bentuk kompromi, yaitu dengan mengusulkan “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan ibadah menurut agamanya masing-masing”. Berbeda dengan kedua kelompok di atas, kelompok modernis tetap berusaha memperjuangkan Piagam Jakarta. Dalam arti kelompok ini dari dulu hingga saat ini tetap memperjuangkan Piagam Jakarta
38
masuk dalam UUD 1945. Oleh karena itu ketika ada Amandemen UUD 1945, mereka mengusulkan agar Piagam Jakarta masuk dalam amandemen Pasal 29 UUD 1945. Kelompok ini, baik yang ada di dalam MPR, yaitu PPP dan PBB, maupun yang tidak memperoleh kursi di MPR seperti PUI, Partai Islam Masyumi, PSII, dan lain-lain terus berusaha berjuang agar Piagam Jakarta masuk dalam amandemen Pasal 29 UUD 1945. Sikap kelompok modernis yang tetap memperjuangkan kembali Piagam Jakarta ini menunjukkan konsistensi perjuangan mereka. Apabila kelompok tradisionalis berhenti dalam memperjuang kan Piagam Jakarta, maka kelompok modernis dari semenjak awal kemerdekaan hingga era reformasi ini tetap terus mem perjuangkan Piagam Jakarta. Namun demikian dalam memperjuangkan Piagam Jakarta tersebut terdapat pergeseran. Artinya perjuangan mengusulkan kembali Piagam Jakarta bukan dalam rangka ingin mendirikan negara Islam. Kelompok ini tetap berpegang teguh pada Pancasila sebagai dasar negara. Di samping itu, Piagam Jakarta cukup masuk dalam Pasal 29 Ayat (1), tidak dalam Pembukaan UUD 1945. Namun dalam memperjuangkan kembali Piagam Jakarta, baik PPP maupun PBB, tidak merumuskan secara jelas dan sistematis mengenai bagaimana pendirian itu diwujudkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah nanti Piagam Jakarta mengatur hukum perdata dan pidana, atau hanya perdata saja. Atau lebih luas dari itu. Hal-hal itu tidak dikemukakan oleh PPP dan PBB dalam memberikan alasan memasukkan kembali Piagam Jakarta pada UUD 1945. Di samping itu juga mereka tidak menjelaskan bagaimana cara menjabarkan Piagam Jakarta apabila dipraktekkan. Akibat tidak ada penjelasan itu terdapat kesan bahwa memperjuangkan Piagam Jakarta hanya sekedar simbol. Kemudian muncul kesan bahwa perjuangan PPP dan PBB tersebut adalah dalam upaya “politik pencitraan”,
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 29-48
yang menunjukkan bahwa mereka adalah partai politik Islam. Terlepas dari hal tersebut per juangan kelompok modernis dalam memperjuangkan Piagam Jakarta ini mendapat dukungan dari ormas-ormas Islam, meskipun ormas Islam kecil dan Partai-Partai Islam yang tidak memperoleh kursi. Tetapi mereka tidak mendapat dukungan dari kelompok tradisonalis dan fundamentalis. Di samping itu kalangan Islam substansialistik (PAN dan PKB) dan ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta beberapa tokoh gerakan Islam kultural, seperti Nurcholis Madjid, tidak mendukung dan menolak Piagam Jakarta yang diperjuangkan oleh kalangan modernis. Memang, pensoalan hubungan agama (Islam) dan negara di dunia Islam, masih belum selesai. Di kalangan pemikir Islam ada tiga pandangan tentang hubungan agama dan negara dalam dunia Islam, yaitu integrated, simbiotik, dan sekularistik. Ketiga pandangan tersebut mewarnai pula padangan umat Islam Indonesia tentang hubungan agama dan negara. Di Indonesia, secara garis besar, yang kemudian terjadi benturan adalah antara pandangan integrated dan sekularistik. Sedangkan pandangan yang simbiotik, kemudian lebih dekat ke pandangan sekularistik dengan mengguna kan pendekatan Islam kultural. Benturan pandangan antara sekularistik dan integrated, bila ditelusuri dalam sejarah Indonesia, sudah terjadi semenjak zaman pergerakan Indonesia. Pada masa itu telah terjadi perdebatan yang sengit antara Muhammad Natsir (sebagai representasi pandangan integrated) dengan Soekarno (sebagai representasi pandangan sekularistik) tentang masalah hubungan agama dan negara. Kedua tokoh pergerakan ini terlibat perdebatan yang sengit tentang hubungan agama dan negara. Natsir berpendapat bahwa agama dan negara merupakan suatu yang tidak bisa dipisahkan, sedangkan Soekarno ber pendapat sebaliknya. Kemudian Soekarno
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia (Lili Romli)
dalam upaya membela pendapatnya mengutip pendapat Ali Abdul Raziq dan Kemal Attaturk, tokoh dan Bapak gerakan sekularisasi Turki.29 Perdebatan itu kemudian berlanjut secara formal di BPUPKI dan PPKI tahun 1945, dan kemudian juga terjadi di Konstituante pada tahun 1957-1959. Dari penjelasan tersebut menunjuk kan bahwa persoalan masalah hubungan agama dan negara sudah lama terjadi. Sebenarnya, ketika BPUPKI berhasil merumuskan Piagam Jakarta, merupakan bentuk jalan tengah untuk menengahi aspirasi yang berbeda antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Jalan tengah ini karena kemudian dihilangkan dari UUD 1945, membuat umat Islam terus berjuang agar jalan tengah itu kembali ke UUD 1945. Inilah yang kemudian terjadi ketika dalam Konstituante pemerintah mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945 dan pada awal Orde Baru, umat Islam menuntut agar Piagam Jakarta dimasukkan kembali ke UUD 1945. Peristiwa yang sama juga terjadi pada Sidang Tahunan (ST) MPR 2000, di mana PPP dan PBB menuntut agar Piagam Jakarta masuk dalam UUD 1945. Tidak seperti tuntutantuntutan sebelumnya, tuntutan PPP dan PBB memasukkan Piagam Jakarta dalam UUD 1945 cukup dalam Pasal 29 ayat (1), tidak pada Pembukaan UUD 1945. Selain itu juga mereka menegaskan bahwa tuntutan itu bukan bermaksud untuk mengganti ideologi Pancasila dan mendirikan negara Islam. Dengan adanya perjuangan PPP dan PBB tentang Piagam Jakarta, menunjukkan bahwa setiap partai Islam akan selalu memperjuangkan Piagam Jakarta. Tampaknya bagi partai-partai Islam, Piagam Jakarta merupakan suatu simbol keislaman yang merupakan warisan perjuangan golongan Islam di BPUPKI 29 Tentang perdebatan antara Natsir dan Soekarno dapat dibaca dalam buku Ahmad Suhelmi, Natsir Vs Soekarno, (Jakarta: Darul Falah, 2000). Dalam buku ini Ahmad Suhelmi membahas perdebatan kedua tokoh ini dengan melihat latar belakang sosialisasi pendidikan politiknya.
39
yang harus terus diperjuangkan setiap ada kesempatan. Seperti tercatat dalam sejarah, partai-partai Islam setiap ada kesempatan, baik itu pada masa Orde Lama maupun masa Orde Baru, selalu memperjuangkan Piagam Jakarta, meskipun kemudian mengalami kegagalan. Saat ini pun pada era reformasi ini, kembali partai-partai Islam memperjuangkan kembali Piagam Jakarta. Persoalannya adalah, ketika mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, mereka dalam memberikan argumentasi-argumen tasi selalu diulang-ulang tanpa memberikan alasan lebih jauh bagaimana konsep Piagam Jakarta itu apabila nanti di aplikasikan. Sejauh mana ruang lingkup dan penjabaran dari Piagam Jakarta? Di sinilah seharusnya partai-partai Islam memberikan argumentasi secara sistematis tentang ruang lingkup dan penjabaran Piagam Jakarta. Argumen yang disampai kan selama ini berkutat pada bahwa Piagam Jakarta adalah hasil kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan; bahwa Piagam Jakarta merupakan jiwa dari UUD 1945; bahwa Piagam Jakarta sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959; dan bahwa Piagam Jakarta hanya untuk umat Islam serta tidak bermaksud untuk mendirikan negara Islam. Yang perlu diperhatikan bahwa dewasa ini persoalan Piagam Jakarta tampaknya kurang memperoleh dukungan yang signifikan dari umat Islam secara keseluruhan. Kurangnya dukungan itu terkait dengan perubahan orientasi ideologis yang sedang terjadi pada ummat Islam. Dampak gerakan pembaharuan yang dimotori oleh Nurcholis Madjid, yang mengusung gerakan Islam kultural yang mementingkan substansi daripada formalistik dari ajaran Islam dalam kehidupan bangsa dan negara memberikan pengaruh pada umat Islam. Mereka tampaknya tidak lagi mementingkan simbol-simbol Islam tetapi lebih pada substansi ajaran Islam. juga,
40
Di kalangan kaum nahdiyin (NU) akibat gerakan kultural KH.
Abdurahman Wahid, terjadi pergeseran orientasi ideologis. Mereka, sama seperti apa yang diinginkan oleh kelompok pembaharu, tidak menginginkan formalisme Islam dalam negara. Sehingga tidak heran kemudian di kalangan NU ada kelompok besar yang tidak lagi mem bentuk partai Islam tetapi partai yang berwawasan kebangsaan, yaitu PKB. Dalam hal ini mereka lalu tidak lagi mendukung Piagam Jakarta, meskipun sebelumnya pada tahun 1950-an mereka (kalangan NU) masih gigih memperjuang kan Piagam Jakarta. Pandangan dan sikap Partai Keadilan (PK) juga perlu diperhatikan. Partai ini, yang dianggap sebabagai partai yang diilhami oleh gerakan Ikhwanul Muslimin (Mesir) dan Jama’at Islami (Pakistan), tidak memberikan dukungan terhadap perjuangan PPP dan PBB. Sebaliknya ia memberikan alternatif lain sebagai jalan tengah untuk mencairkan kebekuan, yaitu dengan mengusulkan Piagam Madinah, suatu piagam ke sepakatan yang dibuat oleh Nabi Muhammad ketika bersepakat untuk membentuk masyarakat Madinah yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Dukungan Pemilih Islam terhadap Partai Politik Islam Pemilu 1999 merupakan momen tum untuk membuktikan apakah partaipartai Islam akan mendapatkan dukungan dari konstituennya, yakni umat Islam yang mencapai 90% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 120 Juta orang. Pada Pemilu 1999, partai Islam yang bertarung untuk memperebutkan konsti tuen (pemilih) Islam ada 17 partai. Ke-17 partai politik Islam tersebut yaitu PPP, PBB, PK, PP, PUI, PMB, PPIM, PID, PIB, PSII, PSn 1905, PNU, PKU, SUNI, KAMI, PAY, dan PUMI. Saat hasil Pemilu 1999 di umumkan, perolehan suara partai-partai Islam merosot jauh. Dari 17 partai Islam, hanya PPP yang masuk lima besar dengan memperoleh suara 10,72% (59 kursi).
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1. 2004: 29-48
Sedangkan sebagian besar partai Islam lainnya tidak memperoleh suara yang signifikan untuk meraih satu kursipun di DPR. Partai Bulan Bintang (PBB) yang dianggap sebagai pewaris utama dari Masyumi hanya meraih 1,9% suara atau 13 kursi, sementara Partai Keadilan hanya mampu mengumpulkan suara 1,4% (7 kursi). Beberapa partai Islam lainnya seperti Partai Nahdlatul Ummah (NU), Partai Persatuan (PP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), PPI Masyumi, dan Partai Kebangkitan Umat (PKU) hanya memperoleh masing-masing satu kursi. Sedangkan sejumlah partai Islam lainnya tidak mampu meraih dukungan untuk mendapatkan kursi di DPR. Partai-partai Islam yang tidak memperoleh kursi ini layak disebut sebagai “partai desimal”, karena memperoleh suara kurang dari satu persen. Hasil Pemilu 1999 yang menunjuk kan kekalahan atau kegagalan partai-partai Islam tersebut sangat menarik mengingat mayoritas pemilih 90% adalah umat Islam. Meski ada seruan MUI dan elit-elit Islam untuk memilih partai-partai Islam dan tidak boleh memilih partai-partai yang mayoritas calegnya non-Muslim, ternyata hal itu tidak dihiraukan oleh massa Islam, ter utama massa Islam kalangan akar rumput (grass root). Kekalahan atau kegagalan partaipartai Islam pada Pemilu ini menarik pula karena terjadi pada sikap antusiasisme para pemimpin Islam yang sangat percaya diri akan kemampuan merebut suara mayoritas dari penduduk negeri ini. Ini terlihat dari keyakinan para pemimpin partai yang masing-masing mengklaim akan mendapat dukungan yang banyak dari umat Islam. PPP, misalnya, yakin akan dapat mem pertahankan perolehan suaranya seperti di capai pada Pemilu 1997, yaitu sebesar 22%. Sementara PK yakin akan mendapat dukungan suara sekitar 10-15%.30*
Tabel No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1. Perolehan Suara dan Kursi Partai Politik Islam Dalam Pem ilu 1999 Partai P olitik PPP PBB PK PNU PP PPI M asyum i P S II PKU KAM I PUI PAY P IB SUNI P S II 19 05 PMB P ID PUM I
Sudra 1 1 .3 2 9 .9 0 5 2 .0 4 9 .7 0 8 1 .4 3 6 .5 6 5 6 7 9 .1 7 9 5 5 1 .0 2 8 4 5 6 .7 1 8 3 7 5 .9 2 0 3 0 0 .0 6 4 2 8 9 .4 8 9 2 6 9 .3 0 9 2 1 3 .9 7 9 1 9 2 .7 1 2 1 8 0 .1 6 7 1 5 2 .8 2 0 1 5 2 .5 8 9 62 .901 4 9 .8 3 9
% 10,72 1,94
:
Kursi
1,36 0 ,6 4 0 ,5 2 0 ,4 3
58 13 7 5 1 1
0 ,3 6 0 ,2 8 0 ,2 7 0 ,2 5 0 ,2 0 0 ,1 8 0 ,1 7 0 ,1 4 0 ,1 4 0 ,0 6 0 ,0 5
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Sumber: Diolah dari Kompas, 1999.
Tetapi, seperti terlihat pada tabel di atas, partai-partai Islam mayoritas tidak memperoleh dukungan yang siginifikan. Dukungan suara pemilih Islam terhadap partai-partai Islam ternyata “sangat” sedikit. Akibatnya, sebanyak sembilan partai politik Islam (KAMI, PUI, P AY, PDB, SUNI, PSD 1905, PMB, PID, dan PUMI) tidak memperoleh satu kursi pun di DPR; sebanyak empat partai Islam (PP, PPI Masyumi, PSII, dan PKU) hanya memperoleh satu kursi di DPR, sedangkan PNU dan PK masing-masing memperoleh lima dan tujuh kursi. Dari ke 17 partai Islam yang ikut Pemilu, hanya PPP (58 kursi) dan PBB (13 kursi) yang lolos electoral threshold. Sedangkan yang lain nya, yaitu sebanyak 15 partai Islam tidak lolos electoral threshold. Sementara partai yang berbasiskan massa Islam yaitu PKB dan PAN masingmasing memperoleh suara 12,6 % dan 7,1%. Sedangkan, partai-partai sekuler pluralis banyak mendapat dukungan rakyat. PDIP sebagai partai sekuler keluar sebagai pemenang dengan memperoleh suara 33,8% (153 kursi), kemudian disusul Partai Golkar dengan memperoleh suara 22,5% (120 kursi). Kemenangan partai-partai ter sebut sudah diduga sebelumnya. Banyak analisis yang sudah memperkirakan bahwa partai-partai tersebut di atas akan menjadi
30 Lihat dalam buku, Tujuh Mesin Pendulang Suara, (Jakarta: LKiS, 1999).
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia (Lili Romli)
41
partai-partai yang berpeluang besar dalam perolehan suara.31 Dalam menghadapi Pemilu 2004, tampaknya untuk sebagian besar kalangan elit Islam belum atau bahkan tidak menyadari32 relatifnya kecilnya dukungan umat Islam terhadap partai-partai Islam. Ini tercermin dari bukannya mereka (partaipartai Islam) itu bergabung menjadi satu atau hanya beberapa partai Islam, katakan lah tiga partai Islam yang mewakili kalangan tradisionalis, modernis, dan revivalis, sebaliknya mereka tetap “mempermak” kembali partainya dengan nama baru. Sebagian lagi bahkan, akibat per pecahan internal, mendirikan partai politik baru. Sebut saja, misalnya, PBR dan PPP Reformasi merupakan partai baru hasil konflik internal dalam tubuh PPP. Sementara lahirnya PAS dan PII produk konflik internal dalam tubuh PBB. Baik partai-partai Islam yang “dipermak” kembali maupun lima partaipartai Islam yang lahir dari produk konflik internal, yang lolos verifikasi hanya lima, yaitu terdiri dari dua partai Islam (PPP dan PBB) yang lolos electoral threshold, dua partai Islam (PKS dan PPNU) dengan nama baru karena tidak lolos electoral threshold, dan satu (PBR) produk konflik internal PPP.33 Dengan demikian, partai Islam yang ikut Pemilu 2004 hanya lima partai, yaitu PPP yang dipimpin oleh Hamzah Haz, PBB yang dipimpin oleh Yusril Ihza Mahendra, PKS yang dipimpin 31 Lihat dalam buku, 5 Partai Dalam Timbangan: Analisis dan Prospek, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999). 32 Mungkin sebaliknya, mereka sesungguhnya sangat sadar dan tahu. Apabila hal ini yang benar berarti motif mendirikan partai Islam bukan untuk kepentingan umat melainkan kepentingan kekuasaan itu sendiri. 33 Partai Islam yang tidak lolos verifikasi KPU ada tiga yaitu Partai Islam pimpinan H. Andi Rasyid Djalil, Partai Islam Indonesia pimpinan HM Tohir Asharry, dan PPP Reformasi pimpinan HM Saleh Khalid. Sebagian besar partai Islam yang lain tidak memenuhi persyaratan dan/atau dibatalkan sebagai badan hukum. Lihat Tim Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, )Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004).
42
oleh Hidayat Nur Wahid, PPNU yang dipimpin oleh Syukron Ma’mun, dan PBR yang dipimpin oleh KH Zaenuddin MZ. Jumlah partai Islam yang hanya lima itu tentu saja lebih sedikit di bandingkan dengan jumlah partai Islam pada Pemilu 1999 yang mencapai 17 partai Islam. Dengan jumlah yang sedikit itu, di dalam benak mereka tentu ada harapan bahwa partainya akan memperoleh dukungan yang besar dari pemilih Islam. Dalam konteks itu, tidak heran kemudian mereka pun lalu memiliki keyakinan yang besar bahwa mereka akan mendapat dukungan dari pemilih Islam. Keyakinan itu tercermin, seperti juga pada Pemilu 1999, mereka memasang target yang relatif besar dalam perolehan suara pada Pemilu 2004. PPP, misalnya, memasang target antara 20% sampai 30%.34 PBB memasang target 25% dan membawa PBB sebagai tiga besar partai pemenang Pemilu 2004.35 PBR dalam menghadapi Pemilu 2004 menargetkan suara sekitar 20% atau menjadi pemenang lima besar.36 PPNUI mempunyai target perolehan suara 3% hingga 4% untuk DPR, 5% dari kursi DPRD Propinsi, dan 6% jumlah kursi DPRD Kabupaten/ Kota.37 Mencermati target dari masingmasing partai Islam itu menunjukkan mereka cukup percaya diri (atau malah sebaliknya over confidence) bahwa, sekali lagi, partai-partai Islam pasti akan mendapat dukungan yang besar dari pemilih Islam. Namun bila kita mem perhatikan target yang mereka canangkan, jika digabung, ternyata melebihi jumlah umat Islam di Indonesia itu sendiri yang mencapai kurang lebih 89% dari 120 juta penduduk Indonesia. Ini sesuatu yang ironis dan tidak masuk akal. Dengan kata lain, ternyata mereka dalam menentukan target tersebut tidak cukup realistis, bahkan bertentangan dengan fakta (jumlah umat Islam di Indonesia) yang ada. 34 Ibid., 35 Ibid., 36 Ibid., 37 Ibid.,
hlm. 100. hlm. 59. hlm. 338. hlm. 225.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 29-48
Selain mereka tidak realistis, tampaknya mereka pun kurang atau tidak berkaca pada perolehan suara partai-partai Islam pada Pemilu 1999 yang lalu, di mana sebagaimana dalam tabel di atas, hasil partai-partai Islam “jeblok”. Berdasarkan argumentasi ini, dengan demikian bahwa target yang mereka canangkan itu se sungguhnya “jauh panggang dari api”. Dalam konteks di atas kemudian pertanyaan yang muncul: dari mana mereka mendasarkan pencapaian target sebanyak itu? Apakah terkait dengan jumlah partai Islam yang sedikit? Memang bila dikaitkan dengan jumlah partai Islam, pada Pemilu 2004 jumlahnya semakin sedikit, hanya 5 parpol Islam. Akan tetapi penciutan jumlah partai Islam yang maju dalam Pemilu 2004 bukan karena faktor kesadaran para elit Islam itu sendiri untuk bergabung menjadi beberapa partai Islam, tetapi lebih pada faktor eksternal yaitu di mana partai-partai Islam banyak yang tidak lolos sebagai badan hukum dan verifikasi yang dilakukan oleh KPU. Banyaknya partai Islam yang tidak lolos sebagai badan hukum dan tidak lolos dalam verifikasi yang dilakukan KPU, sebenarnya menunjukkan bahwa partai Islam itu sendiri kurang mendapat dukungan dari umat Islam. Seharusnya hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi partai-partai Islam dalam menentukan target di atas yang lebih realistis. Pertimbangan yang lain harus ditujukan kepada keberadaan partai-partai nasionalis sekuler, sosialis, dan partai-partai yang berbasiskan massa Islam itu sendiri (PKB dan PAN). Yang disebut terakhir ini, dukungan dari umat Islam, terutama NU dan Muhammadiyah relatif besar bahkan signifikan. Target yang besar dari masingmasing partai Islam tersebut di atas, berdasarkan hasil Pemilu 2004 ternyata betul-betul “jauh panggang dari api”, tidak realistis dan over confidence. Dari lima partai Islam yang ikut Pemilu 2004, PPP memperoleh suara 8,15%, PKS mendapat dukungan suara 7,34%, PBR 2,44%, PBB 2,62%, dan PPNUI 0,79%. Berdasarkan Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia (Lili Romli)
jumlah dukungan suara dari masingmasing partai Islam itu, terlihat hanya PKS saja yang naik suaranya sedangkan partai Islam lainnya turun. PPP yang pada Pemilu 1999 mendapat dukungan dari pemilih Islam 10,72%, pada Pemilu 2004 ia hanya memperoleh 8,15%. PPNUI, meskipun perolehan suaranya naik dari 0,64% pada Pemilu 1999 menjadi 0,79% pada Pemilu 2004, tetapi ia tidak memperoleh kursi satu pun, padahal pada Pemilu 1999 ia men dapat 5 kursi di DPR. Begitu pun dengan PBB, yang pada Pemilu 1999 memperoleh 1,94% naik menjadi 2,62%. Namun ia dalam perolehan kursinya menjadi ber kurang, dari 13 kursi menjadi 11 kursi di DPR. Bukan itu saja, ternyata PBB “tereliminasi” dari Pemilu 2009 karena ia tidak lolos electoral threshold, padahal pada Pemilu 1999 ia lolos electoral threshold. Sedangkan PBR, sebagai partai baru pecahan dari PPP, meski dipimpin oleh Dai Sejuta Umat, KH Zaenuddin MZ, tampaknya tidak sepopuler atau dikenal seperti KH. Zaenuddin MZ itu sendiri, sehingga ia hanya memperoleh 2,44% atau 13 kursi di DPR. Dengan demikian, sama dengan PPNUI dan PBB, PBR juga tidak lolos electoral threshold. Tabel 2. Perolehan Suara dan Kursi Partai Islam Pada Pemilu 2004 No
Nama Partai
Suara Jum lah
%
Kursi Jum lah
%
1
PPP
9 .2 4 8 .7 6 4
8 ,1 5
58
10,55
2
PKS
8 .3 2 5 .0 2 0
7 ,3 4
45
8 ,1 8
3
PBR
2 .7 6 4 .9 9 8
2 ,4 4
13
2 ,3 6
4
PBB
2 .9 7 0 .4 8 7
2 ,6 2
11
2 ,0 0
5
PPNUI
8 9 5 .6 1 0
0 ,7 9
0
0 ,0 0
Jum lah
24.204.879
21,34
127
23,09
Sumber: Diolah dari Hasil Pemilu 2004 Rapat KPU 5 Mei 2004.
Kurangnya dukungan partai-partai Islam di atas, menunjukkan bahwa ternyata partai Islam “kurang laku” di mata pemilih Islam. Pemilih Islam ternyata lebih memilih partai-partai non-Islam. Partai Golkar, yang pada Pemilu 1999 dihujat, pada Pemilu 2004 ini memperoleh suara
43
21,58%, PDIP memperoleh dukungan 18,53%, dan PD, sebagai partai baru, men dapat dukungan cukup “fantastis” yaitu 7,45%. Partai-partai tersebut bila digabung perolehan suaranya mencapai 53,45%. Sementara partai yang berbasiskan massa Islam (NU dan Muhammadiyah) masingmasing PKB memperoleh suara 10,57% dan PAN 6,44%, yang bila mereka digabung perolehan suaranya mencapai 18,90%. Dengan menurunnya jumlah dukungan pemilih Islam terhadap partai Islam di satu sisi dan besarnya jumlah suara yang diperoleh partai-partai nonIslam di sisi lain memperlihatkan bahwa para pemilih Islam tidak lagi tertarik pada partai-partai Islam, yang masih mengusung formalisme Islam, termasuk di dalamnya perjuangan menegakkan syariat Islam (Piagam Jakarta). Ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI). Survei itu menunjukkan mereka yang memilih PKS, ternyata mayoritas karena alasan program/platform (53%), bukan pada partai Islam (18%), pemimpin (18%), keluarga (4%), dan lainlain (7%). Dengan demikian, mereka yang memilih PKS bukan faktor Islamnya tetapi lebih pada program-program yang diusung nya. Pada Pemilu 2004 ini perolehan suara PKS mencengangkan semua kalangan, termasuk para pengamat baik dalam negeri maupun dari luar negeri (Indosianist). PKS, yang merupakan salah satu partai Islam yang dipimpin, dan terdiri dari kalangan anak muda dari Kampus, pada Pemilu 1999 yang hanya memperoleh 1,36% suara atau 7 kursi di DPR, pada Pemilu 2004 ini ia memperoleh suara 7,34% atau memperoleh 45 kursi di DPR. Bukan hanya itu, di Jakarta sebagai ibukota Indonesia dan barometer, PKS keluar sebagai pemenang dengan memperoleh 18 kursi, mengalahkan PDEP yang pada Pemilu 1999 keluar sebagai pemenang. Dengan kenaikan suara yang fantastis itu, PKS (bersama PD) mendapat julukan baru dari kalangan pengamat yaitu sebagai partai “rising stars". Bahkan bukan
44
hanya itu saja, mereka itulah yang sesungguhnya keluar sebagai “pemenang” pada Pemilu 2004 ini, bukan Partai Golkar. “Kemenangan” kedua partai itu dinilai sebagai sebuah sanksi dari para pemilih Indonesia terhadap partai-partai lama yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat dengan memberikan dukungan kepada PKS dan PD. Selain itu, PKS selama kiprahnya di dunia politik dikenal sebagai partai yang bersih dan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberantas KKN. Komitmen itu bukan hanya janji tetapi juga dengan bukti melalui perilaku dan sikap para kadernya yang duduk di lembaga perwakilan (DPR dan DPRD). Dengan demikian, faktor ke menangan PKS tidak lepas dari kebijakan politik ganda yang diperankan oleh PKS, yaitu Islamisme dan pemerintahan yang baik (good governance). Sebagai partai Islam, PKS tetap mengusung nilai-nilai Islam sebagai kehidupan politik di Indonesia. Dalam mengusung ini, ia menyebutnya sebagai “Partai Dakwah”. Sedangkan dalam mengusung program pemerintahan yang baik, PKS mendasarkan pada partai yang bersih dan jujur. Dua faktor ini yang lalu menjadi daya tarik bagi pemilih untuk memilih PKS. Namun demikian, mereka yang memilih PKS sebagian besar dari pemilih partai-partai Islam atau partai yang berbasis Islam itu sendiri bukan berasal dari basis dukungan PDIP maupun Golkar. Mereka yang kecewa pada PDIP, dukungannya diberikan kepada PD. Sedangkan dukungan terhadap PKS diperoleh dari mereka yang kecewa terhadap PAN, PBB dan PPP. Terlepas dari naiknya perolehan suara PKS yang cukup fantastis itu, secara keseluruhan dukungan pemilih Islam terhadap partai Islam masih relatif sedikit. Dalam kaitan ini ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan tentang relatif sedikit nya dukungan pemilih Islam terhadap partai-partai Islam. Pertama, estimasi verlebihan dari kekuatan politik Islam di mana para elit Islam dengan yakin bahwa umat Islam Indonesia yang mayoritas ini akan secara otomatis mendukung partai Islam.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 29-48
Estimasi dan optimisme itu jauh dari kenyataan. Ada kesenjangan antara angka sosiologis dan angka politik. Memang, secara sosiologis umat Islam Indonesia mayoritas, tetapi realitas politik mereka (umat Islam) dalam mendukung partai Islam tidak sebanding dengan jumlah umat Islam itu sendiri, bahkan hanya sebagian kecil saja. Pada Pemilu 1955, partai-partai Islam hanya memperoleh suara 43,9%, Pemilu 1971 turun menjadi 27,3%, Pemilu 1977 naik menjadi 29,3%, Pemilu 1982 turun kembali menjadi 27,8%, Pemilu 1987 turun lagi menjadi 16,0%, Pemilu 1992 tetap 16,0%, Pemilu 1997 naik menjadi 22,0, Pemilu 1999 (di luar PAN dan PKB) turun menjadi 17,8% dan Pemilu 2004 naik menjadi 21,17%. Meskipun jumlah suara dukungan partai-partai Islam naik-turun tetapi perolehan suara mereka tidak dapat menyamai perolehan suara pada Pemilu 1955. Ini mengindikasikan bahwa dukungan umat Islam terhadap partai Islam terus menurun. Dengan demikian, para elit Islam masih terjebak dalam “mitos politik kuantitas”. Pandangan bahwa mayoritas penduduk Indonesia ber agama Islam akan berbanding lurus dengan sikap pilihannya sehingga dengan serta merta mereka akan memilih partai Islam. Ternyata mitos tersebut tidak sampai pada realita. Tabel 3. Perolehan Suara Partai Islam Selama Pemilu 1955-2004 P e m ilu
P a rta i
1955
M asyum i, NU, PSII, Perti, PPTI, dan AKU I NU, P arm u si, PSII, Perti PPP PPP PPP PPP PPP PPP, PBB, PK, PN U , PP, P P IM asyu m i, PSII, PKU, KAM I, PUI, PAY, PIB, S U N I, PSII 1905, PM B, dan PID* PPP, PBB, PKS, PBR, da n P P N U I
1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999
2004
S u a ra (% ) 43,9 27,1 29 ,3 27,8 16,0 16,0 22,0 17,8
21,17
Sumber: Diolah dari Berbagai Sumber
*) PAN dan PKB tidak masuk sebagai kategori partai Islam karena kedua partai
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia (Lili Romli)
tersebut tidak berdasarkan pada asas Islam meski basis dukungannya pemilih Islam. Kedua, merosotnya dukungan umat Islam terhadap partai Islam ini terkait juga dengan keberadaan umat Islam itu sendiri yang sebagian besar bersifat sosiologis daripada ideologis sehingga mereka (umat Islam) memiliki pandangan yang berbeda terhadap Islam sebagai sebuah ideologi (dengan perwujudannya melalui pem bentukan partai politik Islam). Apabila mengikuti tipologi Geertz, umat Islam Indonesia terdiri atas Islam santri dan Islam abangan. Yang disebut terakhir mempunyai pandangan bahwa agama harus terpisah dari urusan-urusan politik. Sementara di kalangan santri sendiri terjadi fragmentasi juga dalam memandang hubungan Islam dan politik, ada yang bersifat substansialis dan ada yang formalis. Mereka yang substansialis cenderung mendukung partai-partai nonIslam. Ketiga, terkait dengan faktor kedua, hal itu terjadi karena di kalangan umat Islam telah terjadi perubahan orientasi dalam pandangan politiknya. Akibat modernisasi yang dilakukan pemerintah dan gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Nurcholis Madjid, membawa dampak terhadap cara pandang umat Islam yang tidak lagi terikat dengan simbol-simbol keIslaman. Umat tidak lagi melihat partai Islam sebagai representasi ke-Islaman, tetapi yang dilihat sejauh mana suatu partai menerapkan nilai-nilai ke-Islaman. Jadi yang dipentingkan oleh umat adalah substansi bukan formalisme. Mereka tidak melihat label apa yang dipakai suatu partai tetapi lebih melihat sejauhmana suatu partai memperjuangkan, misal, tentang demokratisasi, penegakan hak asasi manusia, keterbukaan, dan lain-lain. Keempat, partai-partai politik yang ada terfragmentasi dan terpecah-pecah dalam kekuatan-kekuatan kecil. Dengan banyaknya partai Islam tersebut mem bingungkan umat Islam. Selain itu dengan terfragmentasi dan terpecah-pecahnya partai-partai Islam dengan sendirinya mem 45
perlemah partai Islam itu sendiri sebagai sebuah kekuatan politik. Tampaknya fragmentasi ini tidak lepas dari akar historis kekuatan politik Islam Indonesia pada masa pergerakan, meski kemudian pada awal kemerdekaan dicoba dalam satu kekuatan politik, tetapi kemudian hal itu tidak berlangsung lama. Pada masa Orde Baru, dengan kekuatan eksternal dipaksa untuk bersatu dalam wadah PPP tetapi di dalamnya tidak luput didera konflik internal yang menyebabkan NU ke luar dari PPP. Akar historis itu mendapatkan lahan subur pada era reformasi ini di mana begitu banyak partai Islam berdiri. Kelima, kegagalan partai-partai Islam berkaitan dengan proyek modernisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru yang pada gilirannya akibat modernisasi tersebut melahirkan pandangan yang pragmatis dan sekuler di kalangan umat Islam. Akibat modernisasi terjadi transformasi sosialekonomi di kalangan umat Islam, terutama kalangan kelas menengah atau terdidik. Mereka ini kemudian dalam pandangan politik terjadi pergeseran orientasi, yang tadinya bersifat formalistik dalam memandang hubungan antara agama dan politik menjadi bersifat substansialistik di mana Islam cukup sebagai pedoman etik dan moral dalam mewarnai kehidupan bangsa dan negara. Penutup Pada era reformasi muncul kembali partai politik yang berasas Islam (partai Islam). Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunculan kembali partaipartai Islam tersebut. Pertama, faktor teologis yang melahirkan doktrin bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik dan negara. Kedua, faktor sosiologis di mana umat Islam Indonesia mayoritas sehingga perlu adanya wadah untuk mereka. Ketiga, faktor historis di mana keberadaan partai Islam tidak bisa lepas dari sejarah masa lalu di mana partai Islam telah ada dan ikut andil dalam perjuangan bangsa Indonesia. Ke empat, faktor reformasi yang melahirkan
46
kebebasan dan demokratisasi di mana setiap golongan dan kelompok dibuka peluang untuk membentuk/mendirikan partai politik. Namun kemunculan kembali partai politik Islam tersebut mengalami per pecahan atau fragmentasi di mana partai Islam yang dibentuk atau berdiri begitu banyak (dalam bahasa AM Fatwa, satu Islam banyak partai). Tampaknya sifat fragmentasi ini sudah menjadi hal yang lumrah bagi kekuatan-kekuatan Islam di Indonesia semenjak zaman perjuangan dulu. Oleh karena itu tidak heran ketika dari kalangan Islam modernis lahir partaipartai politik seperti PBB, PUI, Masyumi Baru dan Partai Islam Masyumi (serta PAN yang tidak berdasarkan asas Islam tetapi nasionalis-religius). Sedangkan dari ka langan tradisionalis lahir partai politik seperti PKU dan PNU (di samping PKB yang tidak berdasarkan pada asas Islam namun nasionalis-religius). Sementara dari rahim Sarekat Islam, telah lahir partai politik seperti PSII dan PSII 1905. Ketika menghadapi Pemilu 1999, partai politik Islam yang ikut pemilu adalah 17 partai. Dari jumlah tersebut, ternyata yang memperoleh kursi hanya 7 partai politik, yaitu PPP, PBB, PK, PKU, PNU, PP, dan PSII. Dari enam partai politik itu bila dijumlah secara keseluruhan hanya memperoleh suara 17 persen. Dengan demikian partai-partai politik Islam dalam Pemilu 1999 kurang mendapat dukungan dari pemilih Islam. Malahan yang keluar sebagai pemenang adalah PDI Perjuangan, yaitu sebuah partai nasionalis sekuler. Dengan demikian partai-partai Islam mengalami kekalahan dengan partai nasionalis sekuler. Begitu pun dengan Pemilu 2004, dari lima partai Islam yang ikut permilu hanya dua yang lolos electoral threshold yakni PPP dan PKS. Kekalahan partai-partai Islam itu sudah dapat diprediksi sebelumnya. Hal ini karena di samping jumlah partai politik Islam yang banyak juga karena faktor eliteelite politik Islam yang mendirikan partai politik yang berorientasi nasionalis-religius dan pluralis, seperti PKB dan PAN. Kedua
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 29-48
partai tersebut mempunyai basis yang kuat dan besar, yaitu NU dan Muhammadiyah. Selain itu juga, di kalangan umat Islam telah terjadi perubahan ideologis di mana mereka lebih melihat substansi Islam daripada formalisme Islam dalam bentuk partai Islam. Argumentasi tersebut di atas semakin mendapat justifikasi, terlihat dari menurunnya dukungan umat Islam ter hadap PPP dan PBB, padahal kedua partai ini mengusung syari’at Islam dalam per juangannya. Sementara itu, PKS meski sebagai partai Islam tidak mengusung tema-tema Islam yang membuat orang takut tetapi pada tema-tema yang selama ini menjadi perhatian masyarakat luas, yaitu pemerintahan yang bersih, bebas dari KKN, penegakan keadilan dan kejujuran. Kenaikan suaran PKS pada Pemilu 2004, saya kira, tidak lepas dari strategi tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, tematema yang bersifat keagamaan tampaknya kurang menarik lagi bagi pemilih Islam, sebaliknya menginginkan tema-tema yang berkaitan dengan persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat selama ini. Daftar Pustaka Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta, LP3ES, 1987. Anwar, M. Syafii. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta, Parama dina, 1995. Abdul Mu’nim D.Z. Islam di Tengah Arus Transisi. Jakarta, Kompas, 2000. Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy. Me rambah Jalan Baru Islam. Jakarta, Mizan, 1986. Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta, Paramadina, 1999. Eickelman, Dale F. dan James Piscatori. Ekspresi Politik Muslim. Bandung, Mizan, 1998.
Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia (Lili Romli)
El-Affendy Abdelwahab. Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam. Yogyakarta, LKiS, 1994. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara. Jakarta, Paramadina, 1998. Feith, Hebert. The Indonesian Election of 1955. Ithaca, Cornell University Press, 1957. Gulalp, Halil. “Political Islam in Turkey: The Rise and Fail of The Rifah Party”. The Muslim World. Hartford Seminary, Vol.89, No.l, 1999. Huwaydi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-Isu Besar Politik Islam. Bandung, Mizan, 1996. Harahap, Syahrin. Al-Qur’an dan Sekulerisme: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thoha Husein. Yogya karta, Tiara Wacana, 1994. Hasan, Muhammad Kamal. Modernisasi Indonesia, Respon Cendekiawan Muslim. Jakarta, Lingkaran Studi Indonesia, 1987. Liddle, R. William. Islam, Politik, dan Modernisasi. Jakarta, Gramedia, 1996. Madjid, Nurcholis. Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung, Mi zan, 1987. Mulkham, Abdul Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri. Jakarta, 1994. Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta, Grafitipers, 1987. Suhelmi, Ahmad. Natsir Vs Soekarno. Jakarta, Darul Falah, 2000. Sumartana, Th. “Politik Islam dan Plural isme Bangsa”, Majalah D&R, 15 Agustus 1998. Subhan, Arief. ed. Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi. Jakarta, LSAF, 1999.
47
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta, LP3ES, 1985. Syamsuddin, Din “Usaha Pencarian Kon sep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”. Ulumul Qur’an, Vol.4, No.2, 1993. Tamara, Nasir. “Sejarah Politik Islam Orde Baru”, Prisma, No.5/1988.
48
Tim
Kompas. Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004.
Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 29-48
Pemilih ”Hijau” di Kota Santri: Kasus Pemilu 2004 di Pekalongan Oleh: M. Hamdan Basyar
Abstract The victory o fth e political party that carries the Islamic symbol or well known as the "green" (this is not to be confused with the green politics in ecological term) in the 2004 election in Pekalongan Regency, can not directly be im plied that they will propose the "green" symbol (it is ju st like Islamic sharia, etc). The Pekalongan people and their influential leaders are more pragm atic to their interests than imposing the "green" politics. Furthermore, the Green didn't absolutely win in the local parliament. It has only a f e w more number than the "red" and "yellow" symbols. This means that the Green solidity is still questioned. A sim ilar event o f2 0 0 I -when the election o fth e M ayor and the Deputy o f M ayor was taken place- could happen again. In that time the Green was fragmented, fighting with their own individual o r party interests. Therefore, the Pekalongan people needs to prove that their city deserve a called "the Santri City" -a city o f Islamic scholar-. The victory o fth e political party with the Green sym bol doesn't have any effect yet, without real implementation in their daily life.
Pendahuluan Selama ini, Pekalongan dikenal dan dilabel sebagai ”kota santri,” kota yang biasanya dilambangkan dengan warna hijau. Simbolisasi warna hijau pada masa Orde Baru dapat dikaitkan dengan "militer” atau ”Islam”. Di Pekalongan warna hijau dikaitkan dengan keislaman atau kesantrian. Soal warna mewarnai, pada masa Orde Baru, adalah hal yang sensitif setiap menjelang pemilihan umum (pemilu). Pada pemilu tahun 1997, misalnya, di Jawa Tengah muncul apa yang dinamakan sebagai ”kuningisasi”.‘ Waktu itu, berbagai hal, seperti: pagar rumah, pintu toko, pepohonan, dan hal lain di tempat umum, dicat warna kuning. Hal ini berkaitan dengan kampanye Golongan Karya (Golkar) yang menggunakan warna kuning sebagai simbol dalam pemilu. Kuningisasi ini hampir menyeluruh di Jawa Tengah, tidak terkecuali di wilayah Pekalongan. Hanya saja, di kota santri ini, ada penentangan terhadap simbol kuning. Kerusuhan massa di Pekalongan menjelang pemilu 1997 adalah salah satu wujud 1
Warna kuning adalah simbol dan lambang Golongan Karya (Golkar).
Pemilih "Hijau” di Kota Santri: Kasus Pemilu 2004
penolakan dominasi warna kuning yang melambangkan Golkar.23 Masyarakat Pekalongan tidak begitu menyukai penguasa Golkar. Begitu kesalnya terhadap hal yang berbau Golkar, semua yang berwarna kuning tidak disukai. Di daerah Buaran, misalnya, lampu lalu lintas (traffic light) yang berwarna merah, kuning, dan hijau, tidak dapat berfungsi dengan benar. Lampu kuning sengaja dipecahkan/dirusak. Sementara merah dan hijau tidak dirusak.1 Tidak itu saja, pada waktu sekitar kampanye pemilu 1997, tahu (makanan dari bahan kedelai) yang biasanya ber warna kuning ditolak (tidak diberi warna). Bahkan, pada masa kampanye pemilu, pernah terjadi petugas kebersihan yang memakai baju kuning diminta melepas bajunya. Pertanyaannya adalah apakah benar Pekalongan adalah kota santri yang pemilihnya benar-benar memilih ”warna hijau” dalam pemilihan umum? Hal ini menarik untuk diperhatikan, karena banyak kalangan yang taken for granted bahwa 2 Lihat M. Hamdan Basyar, Ulama dan Kekerasan Politik: Kasus Pemilu 1997 dan 1999 di Pekalongan. (Depok: Hamra Pustaka, 2004). 3 Ketika penulis mengadakan penelitian tentang “Kerusuhan di Pekalongan” (Oktober 1997), lampu lalu lintas tersebut masih tetap dibiarkan rusak.
(M. Hamdan Basyar)
49
Pekalongan adalah kota santri yang mem peroleh predikat ”hijau”. Wajah Pekalongan Nama “Pekalongan” bisa mengacu pada Kabupaten Pekalongan atau Kota Pekalongan. Sebelum lahir Kota Pekalongan, kedua daerah ini dalam satu wilayah, yaitu Kabupaten Pekalongan. Pada saat ini, secara de jure, kedua wilayah itu telah terpisah. Kota Pekalongan dipimpin oleh seorang Walikota dan Kabupaten Pekalongan dipimpin oleh seorang Bupati. Sejak Agustus 2001, ibukota Kabupaten Pekalongan di pindahkan ke wilayah selatan, suatu wilayah yang dekat dengan pegunungan, yaitu di Kecamatan Kajen. Secara bertahap, beberapa kantor dinas dipindah kan ke pusat pemerintahan baru tersebut. Sebelum diputuskan wilayah mana yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Pekalongan, ada tarik menarik kepentingan. Sekelompok masyarakat menginginkan pusat pemerintahan berada di wilayah pantai, yakni di Kecamatan Wiradesa. Mereka berpendapat, bahwa wilayah ini mudah dikembangkan, karena terletak di jalur pantura (pantai utara) Jawa yang dilalui oleh lalu lintas dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Mengingat kepentingan ini, maka sebagian kantor dinas Kabupaten Pekalongan membangun kantor baru di Kecamatan Wiradesa. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya, ada sekelompok masyarakat lain yang menginginkan pusat pemerintahan Kabupaten Pekalongan ber ada di daerah selatan (pegunungan). Alasan yang mereka kemukakan adalah untuk pengembangan wilayah baru dan sekaligus menghidupkan wilayah tengah. Mereka juga beralasan, bahwa pusat pemerintahan di Kecamatan Wiradesa kurang membantu pengembangan wilayah lain, terutama wilayah pegunungan. Tanpa pusat pemerintahan berada di sana, Kecamatan Wiradesa akan berkembang dengan cepat, karena terletak di pantura. Setelah melalui pembahasan yang men dalam, akhirnya DPRD II Kabupaten
50
Pekalongan memilih Kecamatan Kajen sebagai pusat pemerintahan yang baru. Nama Pekalongan berasal dari kata “kalong” yang berarti kelelawar. Konon, pada masa dahulu, ada seorang pendekar yang bertapa dengan cara “ngalong” (seperti kelelawar). Ketika bertapa sang tokoh ini menggantungkan kakinya di pohon, sementara itu kepalanya meng gantung ke bawah. Cara itu persis seperti “kalong” sedang tidur. Dia melakukan cara “ngalong” tersebut untuk menambah ke saktiannya. Kabar bertapa “ngalong” itu kemudian menyebar ke wilayah sekitarnya. Maka, berdatanganlah orang-orang yang ingin tahu cara bertapa “ngalong” dan mereka berguru di sana. Kemudian tempat pertapaan itu disebut sebagai “Pekalongan” (tempat bertapa dengan cara “ngalong”). Cerita lain yang beredar adalah bahwa pada suatu ketika Baurekso menjadi Bupati Pekalongan dan juga sebagai Tokoh Panglima Kerajaan Mataram. Karena men dapat perintah dari Sultan Agung untuk menyerang kompeni di Batavia kurang lebih tahun 1628, maka ia berjuang keras bahkan diawali dengan bertapa seperti kalong/kelelawar. Pertapaannya di hutan gambiran (sekarang: kampung Gambaran). Dalam bertapa Ki Baurekso digoda dan diganggu prajurit siluman utusan Dewi Lanjar, namun tidak berhasil bahkan Dewi Lanjar dipersunting Baurekso sebagai isterinya. Nama Pekalongan juga berasal dari kata Apek dan Along (bahasa Jawa: apek (mencari), along (banyak) ini berkaitan dengan perairan laut yang kaya hasil ikannya. Kebenaran cerita asal muasal nama Pekalongan belum terbukti secara ilmiah. Akan tetapi cerita yang beredar di tengah masyarakat adalah demikian adanya. Dari Pemilu ke Pemilu Pekalongan dianggap "hijau” bisa jadi ada benarnya bila melihat sebagian hasil pemilu di Kota Pekalongan. Pada masa Orde Baru, masyarakat Kota Pekalongan lebih mendukung PPP di bandingkan dengan Golkar maupun PDI. Pendukung PPP kebanyakan berasal dari
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 49-60
Ormas NU. PPP maupun NU meng gunakan warna ”hijau” sebagai simbol mereka. Tetapi kemudian pemimpin NU (di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid) mengatakan, bahwa NU tidak berpolitik praktis.4Mereka dapat menyalur kan aspirasi politiknya di PPP, Golkar, maupun PDI. Kebijakan pemimpin NU ini membingungkan masyarakat. Mereka tidak mengerti dan tidak memahami kebijakan ini. Mereka tetap berpendapat, NU adalah hijau dan pendiri PPP, maka orang NU harus mendukung PPP. Oleh karena itu, mereka tidak senang pada Golkar. Aparat pemerintah yang dianggap membela Golkar ikut dibenci. Hal itu, misalnya, ditunjukkan pada pemilu 1997. Di Kota Pekalongan, per olehan suara terbesar diraih oleh PPP. Kemenangan partai berlambang bintang ini bukan yang pertama kalinya. Pada pemilu 1992, PPP juga mendapatkan kursi DPRD II terbanyak. Perbandingan perolehan kursi DPRD II pada pemilu 1987, 1992, 1997, dan 1999 dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 1. Jumlah Kursi A nggota D PRD II Kota Pekalongan
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Dari tabel tersebut terlihat bahwa masing masing partai mengalami naik turunnya perolehan suara dalam pemilu dan kursi DPRD II. Pada pemilu 1987, suara terbesar diperoleh Golkar dengan 8 kursi. Sementara PPP memperoleh 5 kursi dan PDI memperoleh 3 kursi. Beberapa kalangan menjelaskan,5 bahwa kalahnya 1 Hal ini yang biasa disebut sebagai NU kembali ke khittah 1926. 1 Menurut tokoh PPP Kab. Pekalongan, khittah NU yang dilancarkan sejak 1984 dimanfaatkan untuk “menggembosi” PPP. Khittah itu diartikan
Pemilih "Hijau” di Kota Santri: Kasus Pemilu 2004
PPP pada tahun itu karena adanya “penggembosan” yang dilancarkan oleh kalangan Nahdhatul Ulama (NU). Padahal NU menjadi “tulang punggung” PPP di Pekalongan. Pada tahun 1992, PPP memperoleh 8 kursi; Golkar 7 kursi; dan PDI 4 kursi. Pemilu 1992 menempatkan PPP di atas Golkar. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi “penggembosan” dari kalangan NU. Pada pemilu tahun 1997, PDI terpuruk. Konflik internal PDI pusat berimbas ke daerah. Partai berlambang Kepala Banteng yang memang kecil ini tidak mendapatkan satu kursi pun di DPRD II Kota Pekalongan. Mereka kehilangan 4 kursi perwakilan yang diperolehnya pada pemilu 1992. Kondisi PDI tersebut menguntungkan PPP dan Golkar. Hasil pemilu menunjukkan, PPP menambah perolehan kursi menjadi 12 dan Golkar menambah satu menjadi 8 kursi. Walaupun PPP mengungguli Golkar dalam pemilu di Kota Pekalongan, tetapi selama Orde Baru tokoh-tokoh PPP tidak pernah menduduki jabatan eksekutif (Walikota). Bahkan Ketua DPRD Kota Pekalongan, selalu dipegang fraksi TNI/ Polri. Pada masa reformasi, ketika di perkenalkan sistem multipartai, maka berbagai partai politik bermunculan. Pemilu 1999 telah mengubah komposisi anggota DPRD II Kota Pekalongan. Berdasarkan perolehan suara dalam pemilu 7 Juni 1999, maka komposisi anggota DPRD II Kota Pekalongan adalah: PDI Perjuangan (9 kursi), PPP (7 kursi), PKB (5 kursi), Partai Golkar (3 kursi), PAN (2 kursi), PBB (1 kursi), dan Fraksi TNI/Polri
tidak berpartai, tidak lagi ikut PPP, tetapi ikut Golkar. Jadi khittah adalah ikut Golkar. NU tidak berdaya untuk menyampaikan kepada masyarakat apa sebenarnya khittah itu. Ketidak berdayaan NU itu, karena kiai-kiai NU sudah “dikekepi” oleh Golkar dan diberi fasilitas macam-macam. Misalnya, tanah yang digunakan untuk kantor cabang NU Pekalongan (yang terletak di Bebekan, Paesan). Tanah itu milik pemerintah yang diserahkan kepada NU dan pemerintah memberikan fasilitas sampai berdirinya kantor.
(M. Hamdan Basyar)
5]
(3 kursi).6 Ada pergeseran tingkat per olehan kursi. PDI-P mengungguli PPP dan Golkar. Dengan slogan “pembela wong cilik”, PDI-P berhasil mengalahkan dominasi PPP. Selain faktor PDI-P yang berhasil menggalang kekuatan massa bawah dan kaum muda, merosotnya perolehan PPP itu juga tidak terlepas dari berdirinya PKB. Partai yang berbasis massa NU ini telah menyedot massa yang sebelumnya mendukung PPP. Bila per olehan kursi PPP dan PKB pada pemilu 1999 digabung, maka akan berjumlah 12 kursi, suatu jumlah yang sama dengan perolehan kursi PPP dalam pemilu 1997. Jumlah tersebut di atas perolehan PDI-P (9 kursi). Hal itu dapat diartikan, bahwa masyarakat Kota Pekalongan tetap memilih partai politik yang mempunyai afiliasi kuat dengan massa NU. Dengan kondisi seperti di atas, maka wajarlah bila kota Pekalongan dilabeli dengan warna ”hijau”. Walaupun pada pemilu 1999, kursi terbanyak diperoleh PDI-P (9 kursi), tetapi bila kursi PPP dan PKB digabungkan, maka jumlah kursi ”hijau” menjadi 12 kursi, suatu jumlah yang terbanyak. Berbeda dengan Kota Pekalongan, di Kabupaten Pekalongan, selama Orde Baru, warna ”hijau” tidak pernah menjadi juara. PPP tidak pernah menang dibandingkan perolehan Golkar. Sampai pemilu 1997, Golkar selalu mengungguli parpol yang lain. Tetapi dalam pemilu masa reformasi, Golkar mengalami penurunan yang cukup drastis. PPP juga mengalami nasib yang sama. Dari 15 kursi yang diperoleh dalam pemilu 1997, PPP tinggal memperoleh 4 kursi dalam pemilu 1999.7 Secara terinci dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut.
6
Di Kota Pekalongan, partai politik yang ikut pemilu 1999 berjumlah 33 partai. Dari jumlah itu, hanya enam partai yang mendapatkan kursi DPRD II. Sedangkan Fraksi TNI/Polri diangkat. 7 Di Kabupaten Pekalongan, partai politik peserta pemilu 1999 berjumlah 30 partai. Dari jumlah itu, yang memperoleh kursi DPRD II hanya enam partai. Fraksi TNI/Polri tidak dipilih.
52
T a b el 2. Jumlah Kursi A nggota DPRD II Kabupaten Pekalongan
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Kekalahan PPP di Kabupaten Pekalongan, selama Orde Baru itu, sangat berhubungan dengan ulah aparat pemerintah yang membela dan mendukung Golkar. Wilayah Kabupaten Pekalongan yang cukup luas menyulitkan aktivitas partai di pelosok desa. Peraturan ke partaian yang melarang pengurus partai di tingkat kecamatan mempersempit ruang gerak partai politik. Sebaliknya, Golkar menggunakan aparat pemerintah sampai ke tingkat yang paling bawah (desa) untuk menggalang kekuatannya. Akibatnya di daerah terpencil, partai politik (baik PPP maupun PDI) tidak pernah memperoleh ke menangan. Selama Orde Baru, kekuatan Golkar selalu dominan di wilayah Kabupaten Pekalongan bagian selatan (wilayah pedesaan dan pegunungan). Pertambahan perolehan kursi PPPK pada pemilu 1997 lebih disebabkan karena faktor PDI yang dilanda masalah internal partai.89 Pada waktu kampanye menjelang pemilu 1997, di Jawa Tengah dikenal simbol Mega-Bintang yang menyebabkan
8 Di DPRD II Kab. Pekalongan dari 9 kursi (1992) menjadi 15 kursi (1997) dan di DPRD II Kota Pekalongan dari 8 kursi (1992) menjadi 12 kursi (1997). 9 Kongres PDI di Medan (1996) yang menghasilkan DPP pimpinan Suryadi men dapatkan tantangan dari kelompok Megawati. Hal itu kemudian berlanjut dengan adanya “penguasaan” kantor DPP PDI di Jakarta oleh sekelompok simpatisan PDI yang tidak puas (PDI di bawah Megawati). Dan “penguasaan” itu berakhir dengan adanya penyerbuan kantor DPP oleh sekelompok orang (PDI di bawah Suryadi). Peristiwa itu kemudian dikenal dengan peristiwa 27 Juli 1996.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 49-60
sebagian pengikut PDI memilih PPP.10 Sementara itu, merosotnya perolehan PPP pada pemilu 1999, baik di Kota maupun Kabupaten Pekalongan, tidak terlepas dari berdirinya PKB. Partai yang berbasis massa NU ini telah menyedot massa yang sebelumnya mendukung PPP. Pada waktu kampanye menjelang pemilu 1999, kedua partai yang didukung oleh kalangan NU itu saling bentrok. Mereka berebut untuk memperoleh dukungan dari massa NU. Akibat bentrokan itu, beberapa mobil dan rumah terbakar. Mobil milik PPP dan rumah tinggal mantan Ketua DPC PPP Kabupaten Pekalongan, Abdurrahman Thobari, terbakar. Beberapa orang mengungsi, karena takut dikejar pihak lawan. Kerusuhan pada tahun 1999 itu mengingatkan kerusuhan pada tahun 1997, ketika terjadi bentrokan antara pendukung PPP dan pendukung Golkar yang kemudian merembet menjadi kerusuhan massal dan pembakaran. Dua kejadian kerusuhan itu terjadi menjelang pemilu. Hal ini mengindikasikan, bahwa masyarakat Pekalongan begitu rentan ter hadap masalah yang berhubungan dengan politik. Mereka dengan mudah dapat diprovokasi untuk melakukan suatu pengrusakan." Kondisi masyarakat Pekalongan yang cepat meledak itu menimbulkan sebutan, bahwa wilayah mereka adalah “sumbu pendek”. Istilah itu dikaitkan dengan
111
Mega-Bintang dipakai untuk melambangkan “bersatunya” kepentingan politik PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri yang tidak direstui oleh penguasa Orde Baru dan kepentingan politik PPP. Istilah itu, semula dilontarkan oleh Ketua DPC PPP Surakarta, Mudrick Setyawan Sangidoe. Pada waktu itu, ia menggagas dan menghimbau simpatisan PDI Mega untuk memilih PPP dalam pemilu 1997. Kondisi di Surakarta itu kemudian berimbas ke wilayah Jawa Tengah lainnya, termasuk Pekalongan. Bahkan kemudian fenomena Mega-Bintang ikut terhembus ke Jakarta. Lihat antara lain Tempo Interaktif (Edisi 10/02 - 10/Mei/97 dan Edisi 11/02 - 17/Mei/97). 11 Lihat kembali M. Hamdan Basyar, Ulama dan Kekerasan Politik.......hlm. 132-184.
Pemilih "Hijau” di Kota Santri: Kasus Pemilu 2004
pengertian dalam “sumbu petasan”, “sumbu granat”, atau yang sejenisnya. Bila sumbu itu panjang, maka petasan atau granat tidak cepat meledak. Sebaliknya, bila sumbu itu pendek, maka petasan segera akan meledak begitu ada pemicu nya. Bila pemilu tahun 1999 dijadikan acuan untuk mengukur peta kekuatan politik di Kota Pekalongan, maka PDI-P menempati posisi teratas, seperti diterangkan di atas. PDI-P unggul di tiga kecamatan: Barat, Utara, dan Timur. PPP yang menempati posisi kedua, berjaya di Kecamatan Pekalongan Selatan. Secara terinci perolehan suara enam partai politik teratas adalah sebagaimana dalam Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa di Pekalongan Selatan (tempat terjadinya kekerasan politik), jumlah suara yang diperoleh PPP dan PKB hampir seimbang. Seperti disebutkan sebelumnya, kedua partai politik inilah yang saling bentrok ketika terjadi kampanye pemilu tahun 1999. Bila dilihat lebih terinci lagi di lima kelurahan (Kelurahan Kradenan, Banyurip Alit, Banyurip Ageng, Buaran, dan Jenggot) yang menjadi ajang persaingan nyata, maka PPP memenangkan suara di tiga kelurahan dan PKB memenangkan di dua kelurahan. Persaingan kedua kelompok itu menarik untuk diperhatikan. Mereka pada pemilu tahun 1997 tampak dalam satu wadah, yakni PPP. Akan tetapi kemudian sebagian dari mereka memilih wadah lain pada pemilu tahun 1999. Pergeseran ori entasi politik mereka terlihat pada Tabel 4. Pada pemilu tahun 1999, PPP mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bahkan di dua kelurahan, yakni Banyurip Alit dan Banyurip Ageng, PPP mengalami kekalahan dari PKB. Pada pemilu tahun 1999 itu, PDI-P unggul di Kota dan Kabupaten Pekalongan, karena adanya bentrokan PPP dan PKB. Kaum muda kedua partai berbasis NU tersebut merasa kecewa dan mereka kemudian memilih PDI-P.
(M. Hamdan Basyar)
53
T ab el 3. Perolehan Suara Enam Partai P olitik Pada Pem ilu 1999 Di Kecamatan Kota Pekalongan
K e c a m a ta n
P a rta i
J u m la h
B a ra t
U ta r a
T im u r
S e la t a n
P D I- P
1 4 .5 8 3
1 4 .8 1 5
1 2 .4 2 2
4 .9 8 8
PPP
1 1 .9 1 7
8 .5 0 5
9 .2 0 0
9 .6 2 6
3 9 .2 4 8
PKB
7 .2 0 2
3 .3 9 7
4 .4 8 9
8 .6 6 6
2 3 .7 5 4
P . G o lk a r
5 .5 4 0
4 .8 4 9
2 .9 8 4
849
1 4 .2 2 2
PAN
4 .8 9 3
3 .2 6 7
3 117
1 .2 0 6
PBB
792
624
775
13 1
4 6 .8 0 8
1 2 .4 8 3 | 2 .3 2 2
Sumber: Kantor Sosial Politik Kota Pekalongan, Peta Politik Kota Pekalongan Tahun 1999
Tabel 4. Perolehan Suara PPP, Golkar, dan PKB Pada Pemilu 1997 dan 1999 di Lima Kelurahan, Kecamatan Pekalongan Selatan Kelurahan K ra d e n a n B a n y u rip A lit B a n y u rip A g e n g B u a ra n Jenggot
PPP 1997 1999 3.248 2.346 (87,10%) (60,77%) 2,050 325 (91,85%) (13,21%) 2.085 413 (90,22%) (16.63%) 741 1.482 (93,09%) (45,24%) 4.147 2.948 (87,62%) (61,53%)
Golkar 1997 1999 94 461 (12,36%) (2,44%) 34 165 (7,39%) (1,38%) 24 203 (8.78%) (0,97%) 107 18 (6.72%) (1,10%) 554 145 (11,71%) (3,03%)
PKB 1999 926
(23,99%! 1 .8 2 6
(74,23%) 1 733 (69,77%) 675 (41,21%) 1.007 21.02%)
Sumber: Diolah dari Kantor Sosial Politik Kota Pekalongan, Peta Politik Kota Pekalongan Tahun 1999: dan Kantor Sosial Politik Kotamadya Dati II Pekalongan, Peta Politik Kotamadya Dati II Pekalongan
Tahun 1997.
Kemenangan Warna ”Hijau” 12* Pemilu tahun 2004 di Pekalongan menunjukkan dinamika yang cukup menarik. Bila pada pemilu 1999, PDI-P unggul baik di Kota Pekalongan maupun di Kabupaten Pekalongan, maka pada pemilu 2004, PDI-P mengalami penurunan perolehan suara untuk DPRD Kota dan Kabupaten Pekalongan. Seperti dijelaskan di atas, kondisi Kabupaten Pekalongan tidak sama persis dengan Kota Pekalongan yang berwarna ”hijau”. Selama Orde Baru, di Kabupaten Pakalongan justru warna "kuning” yang berkibar terus. Pada pemilu 1992, misalnya 12 Mengingat sampai penulisan ini dibuat, penulis belum memperoleh data hasil pemilu di Kota Pekalongan, maka pembahasan berikutnya akan difokuskan pada pemilu di Kabupaten Pekalongan.
54
simbol kuning, Golkar, memperoleh 18 kursi, sedangkan PPP hanya 9 kursi. Pada pemilu 1997, walaupun PPP naik menjadi 15 kursi, tetapi Golkar tetap unggul menjadi 20 kursi. Pada pemilu masa Reformasi, tahun 1999, kondisi berubah. Golkar mengalami “terjun bebas”. Mereka hanya memperoleh 4 kursi. Dengan kondisi ini, dominasi warna “kuning” berakhir. Tetapi apakah pemilih di kota santri memilih warna “hijau”? Ternyata tidak. Pada pemilu 1999 yang unggul justru warna “merah” sebagai simbol PDI-P. Mereka mengantongi 17 kursi dari 45 kursi DPRD Kabupaten Pekalongan. Dari data tersebut, tampaknya masyarakat Kabupaten Pekalongan sampai tahun 1999, belum dapat mempercayakan
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 49-60
sikap politiknya pada simbol warna “hijau”. Padahal Pakalongan dikenal sebagai kota santri.13 Tampaknya, labelisasi Pekalongan dengan warna ”hijau” dan kota santri itu berkaitan dengan banyaknya pondok pesantren yang ada di sana. Di Kabupaten Pekalongan, jumlah pesantren tidak kurang dari 67 pondok. Di pesantren tersebut, terdapat 13.767 orang santri, dengan perincian: 3.935 santri murni, 8.708 santri tidak murni, dan 1.124 santri musiman. Mereka diasuh oleh 107 Kiai, 44 Nyai, 55 Badai Kiai, 21 Badai Nyai, 356 Ustadz, 194 Ustadzah, 88 Badai Ustadz, dan 70 Badai Ustadzah.14 Walaupun demikian, pilihan politik mereka, selama Orde Baru, tidak menunjukkan warna ”hijau”. Warga Kabupaten Pekalongan lebih banyak "memilih” simbol warna "kuning”, yaitu Golkar. Kejadian itu menurut seorang narasumber,15 karena adanya mobilisasi dan target pencapaian suara Golkar. Pada pemilu 1992, misalnya, narasumber tersebut mendapatkan perintah dari Camat untuk memenangkan Golkar dengan suara minimum 60% di tempat kerjanya. Setiap ada kampanye Golkar, dia harus mengerahkan massa minimal 1 truk, di tambah uang saku dan kaos. Narasumber ini merasa tertekan, tetapi tidak berdaya untuk menolak perintah Camat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa secara nasional, Golkar meng gunakan tiga jalur ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) untuk memenangkan suara n
Menurut seorang narasumber, sebenarnya Pekalongan tidak bisa disebut sebagai kota santri yang berlambang warna "hijau”. Hal ini menurutnya, karena sejak pemilu tahun 1955 sampai pemilu 1999, partai politik yang bersimbolkan warna "hijau” tidak pernah menang. Pekalongan lebih pas disebut sebagai "abangan” yang pada masa Orde Lama, masyarakatnya lebih memilih PNI dan pada masa Orde Baru, mereka memilih Golkar. Sayangnya, penulis sendiri belum menemukan data lengkap hasil pemilu DPRD di Kabupaten Pekalongan sejak tahun 1955. N Liljat Depag. RI, Statistical Report of Pondok Pesantren, Jawa Tengah, Kabupaten Pekalongan, April 2001. 15 Mantan Kepala Desa pada masa Orde Baru.
Pemilih "Hijau” di Kota Santri: Kasus Pemilu 2004
dalam setiap pemilu. Perintah seorang Camat kepada bawahannya adalah bagian dari jalur birokrasi yang terbukti efektif. Selain jalur birokrasi, di Pekalongan, Golkar menggunakan jalur G, yakni berbagai organisasi underbow Golkar. Akibat tekanan yang terus menerus untuk mendukung Golkar, sebagian warga Pekalongan ada yang memprotes. Seperti sudah dijelaskan di depan, ada penolakan yang cukup kuat, terutama di perkotaan, untuk memilih Golkar. Kerusuhan menjelang pemilu 1997 adalah salah satu contoh. Maka, tidak mengherankan begitu kekuasaan Orde Baru runtuh dan diadakan pemilu tahun 1999, suara Golkar juga ikut runtuh. Pada waktu itu, masyarakat Pekalongan beralih ke warna “merah” sebagai simbol PDIP. Beralihnya masyarakat Pekalongan dari “kuning” ke “merah”, akibat kekecewaan mereka, ter utama kalangan muda, kepada pemimpin dan tokoh simbol warna “hijau” yang saling bertikai menjelang pemilu tahun 1999. Kebebasan mendirikan partai politik pasca Orde Baru, telah menyebab kan kalangan warna “hijau” berlomba membuat partai. Nahdhatul Ulama (NU) yang menjadi salah satu tulang punggung PPP pada masa Orde Baru, akhirnya membuat partai sendiri, dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dengan berdirinya PKB ini, maka timbul persaingan antara PKB dan PPP dalam memperebutkan suara warga NU. Kerusuhan di Pekalongan menjelang pemilu tahun 1999 berkaitan dengan pe rebutan tersebut. Warga yang terlibat dalam kerusuhan itu, sebelumnya bernaung dalam satu wadah, yakni PPP.16 Hasil pemilu tahun 1999 menun jukkan kemenangan simbol warna “me rah”. Akan tetapi, dominasi warna “merah” tidak dapat berlangsung terus. Pada pemilu tahun 2004, PKB yang bersimbol warna ”hijau” memperoleh kursi terbanyak, yakni 16 Keterangan terinci masalah kerusuhan di Pekalongan menjelang pemilu 1999, antara lain dapat dilihat pada M. Hamdan Basyar, Ulama dan Kekerasan Politik ......, hlm.. 159-174.
.,. (M. Hamdan Basyar)
55
15 kursi. Jumlah kursi akan bertambah banyak lagi, bila digabungkan dengan partai bersimbol warna ”hijau” lainnya, seperti PPP, PBB, maupun PAN. Sedangkan PDI-P memperoleh 13 kursi yang berarti mengalami penurunan perolehan kursi dibandingkan pemilu tahun 1999. Pada pemilu tahun 2004, Kabu paten Pekalongan dibagi menjadi 5 (lima) daerah pemilihan (DP), yaitu DP 1 (Pekalongan 1) mencakup lima kecamatan, yaitu Petungkriyono, Talun, Karanganyar, Lebakbarang, dan Doro; DP 2 (Pekalongan 2) meliputi tiga kecamatan, yaitu Kajen, Kandang Serang, dan Paninggaran. DP 3 (Pekalongan 3) terdiri dari tiga kecamatan, yaitu: Kesesi, Bojong, dan Sragi; DP 4 (Pekalongan 4) meliputi empat kecamatan, yaitu Wonopringgo, Kedungwuni, Buaran, dan Karang Dadap; DP 5 (Pekalongan 5) mencakup empat kecamatan, yaitu: Tirto, Wiradesa, Siwalan, dan Wonokerto.
untuk menduduki 45 kursi DPRD Kabupaten Pekalongan. Ada 2.046 TPS yang digunakan untuk pemilihan umum. Jumlah pemilih dan TPS di masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 5. Dari jumlah pemilih tersebut, suara yang dianggap sah hasil pemilu tahun 2004 adalah 433.128 suara (78,44 % dari total pemilih). Persentase jumlah suara sah tertinggi dibandingkan jumlah pemilih adalah di DP 4 (80,25%). Sedangkan persentase jumlah suara sah terendah adalah di DP 3 (74,32%). Sementara itu, persentase suara sah di DP 1 adalah 79,18 %; di DP 2 adalah 79,50%; serta di DP 5 adalah 79,52%. Menurut Ketua KPUD Kabupaten Pekalongan, H. Hasan Bisri, jumlah suara sah pemilih yang rata-rata kurang dari 80% itu akibat adanya salah coblos, rusak, dan pemilih tidak hadir.17 Perincian berapa yang salah coblos atau rusak maupun pemilih yang tidak hadir, tidak ditemukan datanya.
Tabel 5.. Jumlah Pemilih, TPS dan kursi DPRD Pemilu 2004 di Kabupaten Pekalongan D a e ra h P e m ilih a n
K e c a m a ta n
P e k a lo n g a n 1
1. 2 3. 4. 5.
P e tu n g k riy o n o T a lu n K a ra n g a n y a r L e b a k b a ra n g D o ro
J u m la h P e k a lo n g a n 1 P e k a lo n g a n 2
1. 2 3. 1. 2.
■
30 94
i
8 0 .2 1 5
310 13 7 76
P a n in g g a ra n
2 2 .9 4 3
96
8 0 .7 0 2
309
4 3 .2 5 7 4 4 .0 2 9 4 1 .0 2 5
160 175 144
1 2 8.31 1
479
2 7 .6 8 3 2 7 .1 3 2 5 7 .8 1 7
100 95 209 75
3.
Kesesi B o jo n g S ra g i
1. 2. 3. 4.
W o n o p rin g g o B u a ra n Kedungw uni K a ra n g d a d a p
1. 2.
T irto W ira d e s a S iw a la n
J u m la h P e k a lo n g a n 4 P e k a lo n g a n 5
2 0 .3 9 3 1 3 3 .0 2 5
3. 4.
K u rs i D P R D 32 60 94
3 6 .9 1 5 2 0 .8 4 4
J u m la h P e k a lo n g a n 3 P e k a lo n g a n 4
TPS
7 .8 6 0 1 6 .7 5 0 2 5 .2 5 4 6 .7 8 3 2 3 .5 6 8
K a je n K a n d a n g s e ra n g
J u m la h P e k a lo n g a n 2 P e k a lo n g a n 3
P e m ilih
W o n o k e rto
3 9 .3 0 9 3 7 .1 5 1 2 5 .7 6 8
479 141 134 94
7
j
i 7
j j j
10
j S
11 ;
2 7 .7 2 3
100
J u m la h P e k a lo n g a n 5
1 2 9 .9 5 1
469
10 :
T o ta l K a b u p a te n P e k a lo n g a n
5 5 2 .2 0 4
2 .0 4 6
45 '
Sumber: KPUD Kab. Pekalongan
Jumlah seluruh pemilih yang terdaftar adalah 552.204 pemilih. Suara mereka diperebutkan oleh 24 partai politik
56
17 Keterangan diberikan ketika penulis bertemu dengan Ketua KPUD Kab. Pekalongan, pada tanggal 14 Mei 2004, di kantor KPU Kajen, Pekalongan.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 49-60
Seluruh partai politik yang ikut pemilu tahun 2004 ada perwakilannya di Kabupaten Pekalongan. Hanya saja, tidak seluruh partai politik memperoleh suara di masing-masing DP. Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) tidak memperoleh suara di DP 1 dan DP 4; Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) tidak punya suara di DP 3 dan DP 4; Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) tidak ada suara di DP 1 dan DP 2; Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) tidak punya suara di DP 2; Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) tidak memperoleh suara di DP 2 dan DP 3; Partai Damai Sejahtera (PDS) tidak mendapat suara di DP 4; Partai Patriot Pancasila (PP Pancasila) tidak punya suara di DP 2 dan DP 5; serta Partai Persatuan Daerah (PPD) tidak mendapat suara di DP 1. Partai politik yang tidak memperoleh suara dari semua DP itu seluruhnya merupakan partai baru. Beberapa kalangan menduga, ketidakberhasilan partai baru tersebut dikarenakan kekurangan sumber daya dan sosialisasi. Masyarakat sendiri kebingungan melihat betapa banyak partai yang mesti dipilih. Akibatnya, sebagian besar mereka memilih apa yang sudah dikenalnya atau apa yang sudah dipesan kan oleh tokoh masyarakat dalam kampanye partai politik. Bila melihat hasil pemilu, maka terdapat dinamika suara perolehan partai politik di antara masing-masing DP. Secara lengkap hasil pemilu 2004 dan perolehan kursi untuk DPRD Kabupaten Pekalongan, dapat dilihat pada Tabel 6. Dari Tabel 6 terlihat, bahwa akumulasi jumlah perolehan suara tidak langsung mendapatkan kursi DPRD. Bila dibagi antara total perolehan suara sah dan total perolehan kursi, maka akan terlihat angka yang cukup “aneh”. PKB yang memperoleh total 137.776 suara men dapatkan 15 kursi DPRD. Ini bila dibagi, maka satu kursi bernilai 9.185 suara. Nilai satu kursi untuk PDIP 8.691 suara. PPP mendapatkan satu kursi DPRD dengan harga 8.408 suara. Golkar dan PAN memperoleh harga kursi lebih murah
Pemilih "Hijau” di Kota Santri: Kasus Pemilu 2004
lagi. Golkar dengan 7.944 suara dapat satu kursi, sedangkan PAN hanya dengan 7.657 suara dapat satu kursi DPRD. Hal ini tentu berbeda dengan P. Demokrat yang mem punyai total 13.916 suara, tetapi hanya mendapatkan satu kursi DPRD. Nasib PKS lebih tidak beruntung. Partai yang banyak diminati kalangan muda Islam ini tidak mendapatkan satu kursi pun dalam DPRD Kab. Pekalongan. Padahal mereka mem peroleh total 11.410 suara. Sebaliknya, PBB yang mendapatkan total 7.930 suara mendapatkan satu kursi DPRD. Perolehan kursi DPRD seperti di Tabel 6, karena didasarkan pada perolehan suara partai di masing-masing DP, bukan akumulasi total perolehan suara. Menarik juga dilihat perbandingan perolehan kursi di DP. PPP, misalnya, di DP 1 men dapatkan 3.130 dan mereka tidak mem peroleh kursi DPRD. Akan tetapi, PBB di DP 5 yang hanya memperoleh 2.691 suara, mendapatkan satu kursi DPRD. Di DP yang sama (DP 5), PKS yang memperoleh 2.491 suara (selisih 200 suara dari PBB), tidak mendapatkan kursi. Di DP 4, Golkar yang mendapatkan 3.137 suara, bisa mem peroleh satu kursi DPRD. Sedangkan Partai Demokrat yang memperoleh 3.106 suara (selisih 31 suara dari Golkar), tidak mendapatkan kursi DPRD dari DP 4. Memang banyak partai yang mendapatkan kursi DPRD, karena sisa suara di DP yang bersangkutan. Di DP 1 yang memperebutkan 7 kursi, partai yang mendapatkan suara di atas BPP (9.073) hanya tiga partai, yaitu PKB, PDIP, dan Golkar. Di DP 2, partai yang memperoleh suata di BPP (9.165) juga tiga, yaitu PKB, PDIP, dan Golkar. Demikian juga di DP 3, partai yang mempunyai suara di atas BPP (9.537) adalah PKB, PDI-P, dan Golkar. Sedangkan di DP 4, partai yang mendapat kan suara di atas BPP (9.705) adalah PPP, PAN, PKB, dan PDIP. Sementara itu, di DP 5, partai yang mempunyai suara di atas BPP (10.333) adalah PAN, PKB, dan PDIP. Dengan demikian, yang mempunyai suara di atas BPP di semua DP hanyalah PKB dan PDIP.
(M. Hamdan Basyar)
57
Tabel 6. Perolehan Suara dan Kursi DPRD Kabupaten Pekalongan Hasil Pemilu 2004 No
S ua ra i
PN! M a rh a e n ism e
2
PBSD
; 3
PBB
' 4
P M e rd e ka
j 5
P PP
K ursi
324
0
S ua ra 2 43
0
0
1.568
0
109 279
146
0
113
3 .1 3 0 194
0 0
0 154
DP 4
DP 3
DP 2
DP 1
P arta i P olitik
K u rsi
2 .1 5 7
0
S ua ra 3 44
853
0 0
0 1 117 271
S ua ra 0
_____ 0 _ ,
K ursi
DP 5 S u a ra
K u rs i
T o la i
K u rsi
5 98
0
0
2 44
0
2.691
0
330
0
S u a ra
; K ursi
3 6 66
0
0
1 2 06
0
1
7 930
1
0
1 .316
0
2 .2 7 5
0
456
5 .1 5 9
1
4 335
1
12 221
1
8 788
1
33 6 33
0 4
115
0
0
0
0
0
366
0
6 75
0
0
0
0
2 24
0
50
0
187
0
461
0
0
0
0
516
0
539
0
3 22
0
1.531
c
___ 0_,
6
PPDK
7
P PIB
8
PNBK
9
P D krat
4 447
1
995
0
2 .9 5 8
0
3 .1 0 6
0
2 .4 1 0
0
13916 :
1
10
PKPI
125
0
4 17
0
292
0
0
966
0
1 862
0
11
P PD I
5 78
0
652
(T
1 .290
0
62 3 27
0
615
0
3 4 62
0
12
PPNUI
9 18
0
0
0
0
0
418
0
318
0
1 654
oI
13
PAN
4 .0 9 8
1
4 .6 8 9
1
5 .3 0 4
1
1 1.0 26
1
1 2 .3 6 8
1
38 285
5
14
PKPB
0
1 261
0
1 2 40
0
979
0
772
0
5 .3 8 8
0
15
P KB
1 .1 3 6 14.4 84
2
13.4 70
1
2 3.9 77
3
54 4 4 2
6
31 4 0 3
3
137 776
15
16
P KS
1.620
0
2 3 69
0
2 8 58
r
2 .0 7 2
0
2491
0
11 41G
0
17
PBR
455
0
301
7 53
o
1 .1 5 2
0
3 .403
0
P D IP
19 838
2
17 267
31 9 87
4
742 14 757
0
18
0 2
2
29.1 31
3
112 98C
13
19
20
P DS P G o lk a r
21
~1T
0
83
0
231
0
0
332
0
1
16 2 6 3
2
11.2 89
1
3 .1 3 7
1
7 .2 8 5
1
963 : 47 664
0
9690
P P P a n ca sila
141
0
0
0
635
0
115
0
0
0
891
0
22
PS!
104
0
2 14
0
1 .173
0
103
0
323
0
1 .9 1 7 1
0
23 24
PPD
0
0
129
0
4 89
0
92
0
75
0
785
0
46
0 7
29
0
73
0
39
0
167
0
354
0
6 4 .1 5 7
7
95 3 6 5
10
1 0 6 .7 5 9
11
103 3 34
10
4 3 3 128
45
P P e lo p o r Ju m la h BPP
317
6 3 5 13 9 .0 7 3
9 165
9 .537
9 7 05
6
1 0 .3 3 3
Sumber: KPU Kab. Pekalongan
Dari Tabel 6 di atas, terlihat juga bahwa hasil pemilu tahun 2004 menunjukkan warna “hijau” cukup mendominasi DPRD Kabupaten Pekalongan. Bila diamati secara lebih mendalam faksi “hijau” dan gabungan faksi “merah/kuning”, maka terlihat kekuatan mereka cukup seimbang.18 Di DP 1 dan DP 2, gabungan kekuatan faksi “merah/kuning” lebih banyak di bandingkan dengan faksi “hijau.” Akan tetapi, sebaliknya, di DP 4 dan DP 5, kekuatan faksi “hijau” lebih dominan. Sedangkan di DP 3, kedua kekuatan mempunyai jumlah kursi yang sama. Memang, bila faksi “merah” dan “kuning” dipisah, maka kekuatan faksi “hijau”
IK Pembagian faksi ini tidak berdasarkan fraksi yang ada dalam DPRD. Faksi yang dimaksud di sini sengaja dilambangkan dengan warna "Merah,” "Kuning,” dan "Hijau.” Warna ini untuk mempermudah berbagai warna yang ada dalam lambang partai politik. Dan ketiga warna itu "sebagai kelanjutan” dari warna yang sudah dikenal selama masa pemerintahan Orde Baru. Faksi "Merah” adalah PDIP; Faksi "Kuning” adalah P Golkar dan P Demokrat; Sedangkan faksi "Hijau” adalah PKB, PAN, PPP.dan PBB.
58
unggul di setiap DP. Tabel 7 berikut ini menunjukkan hal itu. Tabel
F ak s i
H ijau K un in g M era h T o ta l
7.
Kekuatan Kursi DPRD Kab. Pekalongan dari Faksi Merah, Kuning dan Hijau
DP1 3 2 2 7
DP2 3 2 2 7
DP3 5 1 4
DP4
DP5
T o tal
8 1 2 11
6 1 3 10
25 7 13 45
10
Sumber: KPUD Kab. Pekalongan
Secara total memang partai yang bisa diberi simbol warna “hijau” lebih banyak, dibandingkan dengan partai dengan simbol warna “merah” maupun “kuning”. Memang, pelabelan ini ber dasarkan pada warna “ideologi” yang mereka perjuangkan. Akan tetapi, apakah mereka yang diberi label warna “hijau”, misalnya, akan bersatu dalam perjuangan mereka? Atau apakah warna “merah” akan bisa bersatu dengan warna “kuning”? Hal ini tentunya tidak mudah untuk dijelaskan. Seringkah suara partai politik dalam realitas kehidupan kesehariannya akan melihat hal-hal yang lebih bersifat pragmatis. Kesamaan warna bisa jadi tidak
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 49-60
dapat mempersatukan mereka. Malahan mungkin saja, partai politik yang berwarna beda, dapat bersatu dalam memperjuang kan sesuatu yang sama kepentingannya. Kejadian itu, misalnya, ketika pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pekalongan, tahun 2001 lalu. Ketika itu, terjadi persaingan dua kubu. Pertama, calon yang diajukan oleh PDIP dan PKB. Kedua, calon yang didukung oleh PAN, PPP, Golkar, dan TNI/Polri. Dan persaingan itu dimenangkan oleh kubu PDIP (yang punya 17 kursi) dan PKB (10 kursi). Kursi Bupati diduduki oleh orang PDIP dan kursi Wakil Bupati diduduki oleh orang PKB. Koalisi “merah” dan sebagian “hijau” ini melawan koalisi “kuning” dan sebagian “hijau” lainnya. Terlihat adanya perpecahan antara partai yang punya simbol warna “hijau”. Mereka pecah dan berbeda, karena kepentingan pragmatis yang kebetulan berbeda. Maka, bukanlah hal yang mustahil, apabila kemenangan partai politik warna “hijau” pada pemilu tahun 2004 ini juga tidak dapat mempersatukan mereka, bila kepentingannya berbeda. Tampaknya kepentingan pragmatislah yang dapat menyatukan partai politik, tanpa melihat latar belakang warna dan simbol mereka.19 Dengan demikian, sebenarnya simbol warna tidak begitu penting dan tidak diperlukan. Mereka bisa bersatu atau berpisah, demi kepentingan pragmatis, bukan demi simbol warna yang mereka emban. Dengan mengabaikan simbol warna partai politik, bila kita melihat hasil pemilu tahun 2004, maka akan tampak naik turunnya suatu partai politik. PDIP yang pada tahun 1999, dengan gagahnya “naik ke panggung”, pada tahun 2004 ini, harus mengakui keunggulan PKB. Golkar yang Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Ketua MUI Kab. Pekalongan, bahwa masyarakat Pekalongan adalah pragmatis dalam menghadapi sesuatu. Menurutnya, walaupun Pekalongan dikenal sebagai kota santri, misalnya, tetapi perjudian dan perbuatan haram lainnya masih marak di sana. Bahkan perjudian ada yang dilakukan di belakang masjid. Wawancara dengan Ketua MUI Kab. Pekalongan, pada bulan Februari 2004.
Pemilih "Hijau” di Kota Santri: Kasus Pemilu 2004
pada tahun 1999 terpuruk, kini mulai bangkit. Tabel 8 berikut ini menujukkan naik turunnya kursi DPRD Kabupaten Pekalongan. Tabel 8. Jumlah Kursi A nggota D PRD Kabupaten Pekalongan
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Naiknya PKB dan turunnya PDIP sudah diperkirakan dari sebelum pemilu. Sebelum dan ketika masa kampanye, penulis melihat sendiri bagaimana antusiasme masyarakat Pekalongan ter hadap PKB. Pengurus PKB juga terlihat sibuk mempersiapkan hajat lima tahunan ini. Sebaliknya, masyarakat Pekalongan merasakan ketidakpuasan terhadap pemerintah Megawati, yang menjadi simbol PDIP. Masalah ekonomi dirasakan semakin berat oleh mereka, sehingga ada sebagian dari mereka yang merindukan “masa dulu yang aman dan mudah cari uang.” Tidak hanya itu, sebagian masyarakat juga mengkritik beberapa tokoh partai “moncong putih” ini yang duduk di legislatif.20 Ketidakpuasan masyarakat ter hadap PDIP dimanfaatkan oleh Golkar. Oleh karenanya, Golkar bisa menambah
2(1 Ketika penulis bertemu dengan Pengurus Cabang PKB, sebelum maupun saat kampanye, mereka terlihat antusias untuk memenangkan pemilu. Berbagai peraga kampanye juga dipersiapkan dengan cukup rapi. Mereka juga memasang target tertentu dalam perolehan pemilu. Sebaliknya, ketika penulis bertemu dengan Pengurus Daerah PDIP, mereka terlihat menanggung beban yang cukup berat. Kritik masyarakat terhadap anggota DPRD dari PDIP, membebani pengurus. Mereka harus berhadapan dengan massa pemilih untuk mempertanggung jawabkan wakil mereka di DPRD.
... (M. Hamdan Basyar)
59
dua kursi. Menurut narasumber yang mantan Ketua DPD Golkar, suara PDIP dan Golkar itu bagaikan dua balon yang disambung. Bila balon A ditekan dan mengecil, maka balon B membesar. Sebaliknya, bila B ditekan dan mengecil, maka balon A membesar. Hal ini menurut nya, terlihat pada pemilu tahun 1997 dan tahun 1999. Tahun 1997, Golkar memperoleh 20 kursi, sedangkan PDI hanya mendapatkan satu kursi. Tahun 1999, Golkar mengecil menjadi empat kursi, sedangkan PDIP membesar menjadi 17 kursi. Dia meramalkan, pada pemilu 2004 juga demikian. Dan, ramalannya tidak meleset.21 Penutup Kemenangan partai politik yang bersimbolkan warna “hijau” dalam pemilu 2004 tidak serta merta memperlihatkan bahwa mereka akan memperjuangkan berbagai hal yang berkaitan dengan simbol “hijau”, seperti syariat Islam, misalnya. Masyarakat Pekalongan yang pragmatis dan wakil mereka yang juga lebih melihat kepentingan pragmatis, tidak akan begitu peduli pada politik simbol “hijau”. Kalau toh ada yang berjuang untuk kepentingan simbol, maka wakil dari DP 4 yang akan bergerak didukung oleh wakil dari DP 5. Itu pun tingkat keberhasilannya masih dipertanyakan. Hal ini mengingat partai dengan simbol warna “hijau” belum memenangkan kursi DPRD secara mutlak. Mereka hanya sedikit lebih banyak jumlahnya, dibandingkan partai warna “merah” dan “kuning.” Kesolidan mereka juga masih dipertanyakan. Kejadian tahun 2001, ketika pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, masih dapat berulang kembali, pada saat mereka harus memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Dengan demikian, masyarakat Pekalongan masih perlu membuktikan, bahwa mereka pantas menyandang gelar1
“kota santri” yang biasanya berlambang kan warna “hijau.” Kemenangan partai politik warna “hijau” belum menjadi bukti kepantasan itu, tanpa perbuatan nyata dalam kehidupan keseharian mereka. Daftar Pustaka Basyar, M. Hamdan. Keamanan Di Wila yah “Sumbu Pendek”: Sebuah Pene litian di Kabupaten Pekalongan. De pok, Ulinnuha Press, 2002. __________________ Ulama dan Keke rasan Politik: Kasus Pemilu 1997 dan 1999 di Pekalongan. Depok, Hamra Pustaka, 2004. BPS Kab. Pekalongan. Kabupaten Peka longan Dalam Angka 2003. Depag. RI. Statistical Report o f Pondok Pesantren. Jawa Tengah, Kabupaten Pekalongan, April 2001. Kantor Sosial Politik Kota Pekalongan. Peta Politik Kota Pekalongan Tahun 1999. Kantor Sosial Politik Kotamadya Dati II Pekalongan. Peta Politik Kotamadya Dati II Pekalongan Tahun 1997. KPUD Kab. Pekalongan. "Penetapan Ca lon Terpilih Anggota DPRD Kabu paten Pekalongan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004.” Kajen, 8 Mei 2004. ___________________ "Penetapan Per olehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Pekalongan.” Kajen, 8 Mei 2004. Tempo Interaktif (Edisi 10/02- 10/Mei/97 dan Edisi 11/02-17/Mei/97).
1 Penulis bertemu dengan narasumber pada waktu kampanye Maret 2004. Kenyataannya hasil pemilu 5 April 2004, Golkar membesar menjadi tujuh kursi DPRD dan PDIP mengecil menjadi 13 kursi. Lihat wawancara dengan mantan Ketua DPD Golkar Kab. Pekalongan, pada Maret 2004.
60
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 49-60
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi, Partisipasi dan Mobilisasi Politik Oleh: M och. Nurhasim
Abstract The 2004 legislative election in Aceh descrihing a very fundam ental change o f political constellation. The pow etful o fth e Islamic basis party is an astonished phenomenon in the political constellation o f Aceh based on the 2004 legislative election results. However, the victory o f Golkar party which is in balanced with P P P (Partai Persatuan Pembangunan) must be underlined that this New O rder party in Aceh is also powetful. Eventhough there are fundamental political changes, we stillfin d an intimidation, terror, and political mobilisation in the 2004 legislative election. It happened because o f this election was carried out in m ilitary emergency situation.
"Saya tidak berani tidak datang ke TPS, karena disuruh aparat untuk datang sem ua” kata Ibu Aisyah (50) warga D esa Rambong Payong, Kecamatan Sawang, Kabupaten A ceh Utara.1
Kisah Ibu Aisyah, seorang warga Desa Rambong Payong, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara, meng gambarkan pelaksanaan Pemilu 2004 di Aceh yang tipis antara mobilisasi dan partisipasi politik. Antusiasme masyarakat Aceh dalam pelaksanaan Pemilu 2004 sangat besar dibandingkan dengan proses Pemilu 1999 yang hanya diikuti oleh 30 % jumlah pemilih karena situasinya yang tidak memungkinkan. Dalam pelaksanaan Pemilu 1999, pemantau pemilu sulit untuk dapat melakukan tugasnya di sana. Sementara dalam Pemilu 2004, jumlah pemilih meningkat drastis kurang lebih 8090 % menggunakan hak suaranya. Bila kita jeli menangkap makna dari menguatnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu tahun 2004, sekurang-kurangnya menandakan beberapa fenomena aktual dalam politik di Aceh. Pertama, ada gejala yang menarik bahwa proses pemilu tampaknya sarat dengan mobilisasi politik kaum serdadu. Pengakuan Ibu Aisyah di atas memperkuat dugaan ini. Di sisi yang lain, banyak hal yang sama juga dialami oleh pemilih yang lain sebagaimana pengalaman Ibu Aisyah. Artinya, batas antara partisipasi dan ke-1 1 http://wwv/.du:ehkita.com, 9 April 2004.
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi
terlibatan masyarakat secara murni untuk memilih dengan mobilisasi sangat tipis. Fenomena kedua, walaupun Pemilu 2004 diselenggarakan dalam suasana darurat militer, pelaksanaan pemilu relatif berjalan lancar dengan minimnya tingkat kerawanan dan benturan antara GAM dan TNI, meskipun kontak senjata diantaranya tidak dapat dihindari. Namun secara umum pemilu berjalan dengan lancar, walaupun masyarakat masih tampak “ketakukan” dengan adanya intimidasi dari kedua belah pihak, baik GAM maupun TNI. Bila mereka tidak memilih, mereka takut akan adanya interogasi dari pihak TNI sebagai penguasa darurat militer di Aceh; sebaliknya, bila mereka mengikuti Pemilu 2004, mereka juga takut diintimidasi oleh GAM. Kenyataan ini menunjukkan posisi dilematis masyarakat Aceh dalam pelak sanaan Pemilu 2004 yang diselenggarakan dalam situasi darurat militer. Fenomena ketiga, meskipun unsur “rekayasa dan mobilissi”, serta bentukbentuk kecurangan pemilu tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan Pemilu 2004 di Aceh, sejumlah harapan muncul dari hasil Pemilihan Umum 2004 di Aceh. Itu terlihat dari gambaran konstelasi hasil pemilu 2004 di Aceh, di mana fenomena pemilih cenderung hampir mirip kom posisinya dengan Pemilu 1997, yang ditandai oleh menangnya partai-partai ber ideologi Islam, dan minimnya pemilih yang mencoblos partai nasionalis. Dalam sejarah politiknya, Aceh merupakan basis
(Moch. Nurhasim)
61
partai-partai Islam di masa Pemilu 1955 hingga Pemilu 1977. Setelah itu, Golkar dengan berbagai rekayasa dan pe nyimpangannya, menang di Aceh tetapi tidak terlalu telak memperoleh suara bila dibandingkan dengan PPP yang merupakan fusi dari partai-partai Islam di masa lalu. Dalam situasi darurat militer, bagaimana kah Pemilu 2004 dilangsungkan? Adakah independensi dan kebebasan pemilih untuk menentukan pilihan politiknya? Dan bagai manakah kita memaknai hasil Pemilu 2004, khususnya untuk anggota DPR-RI di J akarta? Memaknai Proses dan Hasil Pemilu Legislatif 2004 di Aceh Pemilu 2004 adalah pemilu kedua di masa transisi yang dilaksanakan dalam suasana konflik di Aceh. Sebagaimana telah disinggung di muka, pelaksanaan Pemilu 2004 lebih bergairah dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu 1999. Pemilu 2004 di Aceh diikuti oleh 24 Partai Politik yang telah dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum. Salah satu faktor yang menyebabkan Pemilu 2004 di Aceh dapat diselenggarakan adalah adanya “ke berhasilan” operasi militer dalam men jamin pelaksanaan pemilu. Namun, justru faktor mobilisasi militer merupakan per bedaan yang paling mencolok antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 2004. Dalam Pemilu 1999, militer dan birokrasi telah “dipotong,” akar politiknya dengan adanya aturan bahwa mereka harus bersikap netral dalam pelaksanaan Pemilu 1999. Sementara dimasa darurat militer, tentu tentara mempunyai sejumlah alasan untuk terlibat dalam pelaksanaan Pemilu 2004 dengan alasan keamanan. Meskipun pada tahun 1999 di Aceh dilakukan operasi pemulihan keamanan dengan nama PPRM (Pasukan Penindak Rusuh Massa) di bawah komando Polri, Pemilu 1999 relatif dapat dikatakan gagal dilakukan. Hanya sebagian kabupaten saja yang dapat melaksanakannya, seperti di Banda Aceh, dan Pemilu 1999 gagal dilaksanakan di kawasan Aceh yang terlibat dalam konflik dan kekerasan.
62
Kegagalan itu sebagai dampak dari takut nya Panitia Pemilihan Daerah I (PPD I) dan PPD II serta PPK untuk melaksanakan pemilihan umum. Beberapa TPS yang sempat didirikan pun sangat sedikit jumlah pemilihnya. Hal itu sebagai dampak dari kurang adanya jaminan keamanan dan kekuatan GAM relatif masih sangat besar waktu itu. Sebagai ilustrasi atas pe nyelenggaraan Pemilu 1999 seperti yang diulas di atas, data di bawah memperkuat perbandingan pelaksaan Pemilu 2004 dan Pemilu 1999 yang sepi pemilih. “ ..........Di daerah rawan peperangan dan konflik seperti A ceh Utara, penduduk yang berhak m em ilih sebanyak 1.01 6 .1 0 0 orang. KPPS dan PPK hanya berhasil melakukan pen daftaran sebanyak 125.723 orang. Dari jum lah itUj yang berani menyalurkan aspirasi politiknya sebanyak 1,39 persen atau 1.744 orang. Sementara itu di daerah P idie sebagai daerah yang juga rawan konflik dan peperangan, penduduk yang berhak m em ilih se banyak 2 7 3 .4 1 6 orang. Panitia Pe mungutan Suara hanya berhasil m en daftar pem ilih sebanyak 58.615 orang. Dari jum lah pem ilih yang terdaftar tersebut, hanya 11,19 persen atau 6 .558 orang yang menyalurkan suara nya. A ceh Timur juga m engalami hal yang serupa. Dari 389.391 penduduk yang berhak m em ilih, 294.551 berhasil didaftar oleh panitia pem ilu di tingkat desa, namun yang memberikan suaranya agak tinggi dibandingkan dengan kedua daerah yang telah di sebut sebelum nya. Di A ceh Timur, sekitar 50 persen jum lah penduduk yang telah terdaftar sebagai pem ilih, dapat m engikuti pem ilu pada 7 Juni 1 9 9 9...... ”2
Jaminan keamanan merupakan masalah utama, yang menyebabkan mengapa PPD I, PPD II, PPK dan KPPS tidak dapat menjalankan fungsinya. Mereka juga gagal untuk melakukan pen daftaran pemilih secara langsung di ketiga daerah yang terlibat konflik dan adanya 2 Kondisi di atas merupakan suatu gambaran akan dampak konflik terhadap pelaksanaan Pemilu 1999 di Aceh. Lihat, Kompas, 17 Juni 1999.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 61-76
Gerakan Aceh Merdeka. Tata cara pen daftaran pemilih antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 2004 memang berbeda. Pada Pemilu 1999, sifat pendaftarannya adalah aktif dan bukan pasif. Pemilih yang mendatangi KPPS, dengan menggunakan beberapa identitas diri yang telah di sebutkan dalam persyaratan menurut UU No. 2/1999 tentang Pemilihan Umum. Sementara dalam Pemilu 2004, pendaftaran pemilih dilakukan melalui Panitia Pendaftaran Pemilihan Pemilih Berkelanjutan (P4B). Hasilnya, sekitar 2.580.687 pemilih berhasil didaftar, dan hampir semuanya atau sekitar 2.105.477 dapat memberikan suaranya pada Pemilu 5 April 2004. Namun demikian, apakah mereka menentukan pilihan politiknya atas dasar aspirasi mumi atau mobilisasi? Sejauhmana independensi dan kebebasan mereka dalam menentukan pilihan? Pemilu, Kebebasan dan Penindasan Pemilu 2004 di Aceh dilaksanakan di bawah bayang-bayang aksi dan situasi "militerisme”. Karena itu, Pemilu 2004 di Aceh bukan saja menimbulkan perdebatan, kontroversi, dan manipulasi, tetapi sekali gus merupakan ajang pertaruhan kaum serdadu atas kinerja mereka selama hampir 14 bulan darurat militer di Aceh. Dalam situasi seperti itu, Pemilu 2004 di Aceh, dapat dikatakan sebagai pemilu yang menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah pemilu dapat memenuhi asas luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) serta jujur dan adil? Pertanyaan ini penting, karena seharusnya pemilu tidak boleh dilakukan dalam situasi darurat militer, karena akan berdampak pada kebebasan pemilih, karena pemilih akan merasa tertekan. Karena itu, Pemilu di Aceh, adalah pengecualian, karena situasi konflik dan perang yang tidak kunjung usai. Sebagai contoh, pelaksanaan Pemilu 2004 di Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe dan Bireuen dengan jumlah 2.493 TPS, dibagi dalam tiga rayon. Masing-masing rayon aman sebanyak 988 TPS, rayon rawan satu (1) sebanyak 816 TPS dan sisanya rayon rawan dua (2).
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi
Rayon rawan ini dibagi berdasarkan posisi dari letak desa tempat TPS berada. Untuk rayon rawan dua (2), TNI menyiapkan 212 tim, dimana masing-masing terdiri atas 15 orang. Rayon rawan dua (2) juga didukung oleh pasukan mobil yang bisa bergerak setiap saat jika ada gangguan di TPS-TPS.3 Di Aceh terdapat sekitar 11.049 TPS. TPSTPS ini akan diamankan oleh 11.258 pasukan polri yang dibantu 22.098 petugas Linmas (perlindungan masyarakat) dan diperkuat sebanyak 654 tim cadangan dari pihak TNI. Untuk mendeskripsikan keada an di kecamatannya, Camat Sawang Lettu Marinir Abdul Barry mengungkapkan kecamatan yang terletak di Aceh Utara itu akan mengupayakan penambahan pos TNI di desa-desa yang masuk kategori cukup rawan. Sawang adalah "daerah bebas Pemilu 1999", sebab wilayah yang berjarak 40 kilometer dari Lhokseumawe ini merupakan "Cilangkap-nya" GAM-markas besar GAM.4 Pasukan TNI paling kurang akan ditempatkan dalam jarak 200 meter di luar TPS. Sebuah jarak efektif untuk menembak bila ada gangguan dari pengacau. Juga jarak efektif untuk mengirim pesan: “Jangan coba-coba golput”.5 Jumlah pasukan yang difungsikan untuk mengamankan Pemilu 2004 di Aceh, menurut keterangan resmi justru jumlah nya sangat besar, hampir 2/3 dari pasukan yang ada di Aceh. Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) akan menurunkan 22.000 personel pasukan untuk mengamankan pemilihan umum di provinsi tersebut. Tetapi lembaga ini juga berjanji tidak akan melakukan intervensi terhadap pelaksanaan pemilu di provinsi yang terletak di ujung barat itu. Personel sebanyak itu merupakan 2/3 dari jumlah seluruh personel yang bertugas di Aceh yang jumlahnya berkisar 34.000 personel. Ketua KPU tidak sependapat terhadap pandangan yang disampaikan oleh sebagi an Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 3 Lihat http://www.acehkita.com dan Koran Tempo. 1 Maret 2004. 4 Ibid. 5 Moh Samsul Arifin, 2004-03-10 12:11:59 dalam
http://www.acehkita. com
(Moch. Nurhasim)
63
yang menyatakan bahwa kehadiran pasukan yang besar justru akan kontra produktif karena akan menimbulkan ketakutan dan kecemasan.6 Kondisi ini menggambarkan bahwa pelaksanaan Pemilu 2004 di Aceh memang dibayang-bayangi oleh ketakutan akan timbulnya serangan dari pihak GAM di satu sisi, dan di sisi lain, bila masyarakat tidak datang, mereka juga ketakutan dengan pola “labelisasi,” takut dianggap tidak cinta NKRI, membangkang, dan sebagainya. Dengan kondisi seperti itu, tidaklah heran, bila pemilih tanpa disadari telah “tertekan,” dan bagian dari tekanan itu dapat dikategorikan sebagai gejala mobilisasi secara tidak langsung dan dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari kekerasan politik dan ketertindasan. Ilustrasi dalam pengantar dan beberapa perbincangan pemilih sebagaimana dikutip di atas, adalah sebagian dari gambaran mobilisasi secara tidak langsung dan tekanan psikologis yang dialami oleh pemilih. Bila di tempat lain, pemilu identik dengan “pesta demokrasi,” di Aceh, Pemilu 2004 adalah pertaruhan “ideologi,” bukan hanya ideologi politik, tetapi sekaligus wujud dari sejauhmana mereka mampu “menyenangkan” pihak-pihak yang berkuasa, termasuk Penguasa Darurat Militer di Aceh. Tidaklah mengherankan, bila kita menyaksikan warga Aceh berbondongbondong mengalir menuju ke tempat pemungutan suara (TPS), sama persis dengan gaya mereka ketika disuruh apel kesetiaan NKRI. Apakah kehadiran mereka dianggap sebagai partisipasi politik yang sangat tinggi, sebagaimana angka yang telah disebut di atas. Adalah Abdullah (25), seorang warga, bercerita. Hari itu dia harus datang karena bila tidak, ia khawatir akan berhadapan dengan sejumlah pertanyaan dari "orang-orang" yang
mempersoalkan kenapa dia tak datang, padahal dia telah mendapat undangan untuk mencoblos. Warga lain mengemuka kan alasan berbeda. Datang ke TPS lebih sebagai "penghormatan" mereka kepada pihak yang melaksanakan pemilu, meskipun sebelumnya mereka merasa tak dihormati. Yang lain mengemukakan alasan datang ke TPS karena memang merasa harus datang, dan banyak pula yang datang lantaran kesadaran akan haknya untuk memilih.7 Gambaran ini merupakan tingkat variasi sikap pemilih warga Aceh dalam Pemilu 2004 yang lalu. Fenomena “ketakutan,” warga Aceh seperti itu bukanlah hal baru. Dalam sejarah pemilu-pemilu Orde Baru misal nya, khususnya sejak 1982-1997, nuansa ketakutan juga sering mereka rasakan. Dalam suatu kesempatan ke Aceh pada November-Desember 1999, dan Februari 2000, penulis pernah bertemu dengan seorang narasumber. Ia mengatakan begini: “ ....D u lu , ketika di masa D O M masih diberlakukan, daerah ini kebanyakan m em ilih PPP. Setelah pem ilu, saya masih ingat, ada tentara yang menyuruh orang untuk m enyelam ke sungai dengan tujuan untuk mencari bintang...... Setelah berjam-jam tidak ditemukan, tentara tersebut mengata kan, ‘Tidak ada bintang khan?’ karena mereka jen gkel Golkar kalah dan tidak dipilih, sehingga ada paksaan seperti itu ....”
Kutipan di atas merupakan cuplikan dari gambaran pelaksanaan pemilu di Aceh. Kekerasan politik dan politik kekerasan memang sulit untuk dihindari, terutama dalam situasi konflik. Pada Pemilu 2004 yang baru saja diselenggarakan, kekerasan juga tidak dapat dihindari. Menurut data yang di temukan atau dicatat oleh beberapa relawan yang melakukan pemantauan Pemilu 2004 menunjukkan bentuk dan
6 Hal itu dikemukakan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Prof. Nazaruddin Sjamsuddin kepada pers di Media Center KPU, Jakarta, Jum’at, 19 Desember. Ketua KPU memberikan keterangan itu setelah melakukan kunjungan ke Aceh yang salah satu agendanya adalah menghadiri sebuah seminar.
7 Kompas, 10 April 2004.
64
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 61-76
P o la k e k e r a s a n y a n g te r ja d i, s e b a g a im a n a d ig a m b a r k a n d a la m T a b e l 1.
Tabel 1.
Kekerasan dan Intimidasi selam a Pem ilu 2004 di Aceh* □
M
a h y u d d in
U ta r a
d ig o r o k K e c a m
M
a ta n
u h a m
m
a d
p u n g g u n g A b u
p o k
M
u r ,
a k m
in
( 3 2 ) .
o r a n g
d i D e s a
B a k a r
d id u g a
k e lo m
A c e h
U ta r a
s e ju m la h D
P D
d i
A
M
.
h a r i T e m
e n ja d i
K
) ,
2 0 0 4 ,
tid a k
I- P
m
u n tu k
s e b a g a i
te r te m
b a k
m
( P D
F e b r u a r i
k a r e n a
P R D
d ik e n a ln y a
G
y a n g
e m
c a le g
n o m o r
d i
D P R D A c e h
u r u t
r u m a h
e n u h i
p e r m
2 .
te w a s
m e r tu a n y a
in ta a n
j !
d i
k e lo m p o k
u a n g .
ln d r a p u r i,
a n g g o ta
K r e u n g
K e b a n g s a a n 1 6
L a m p a n a h ,
( 3 0 ) ,
s e b a g a i
K e u d e o k r a s i
b e r s e n ja ta ,
c a le g
y a n g
S D
D e m
m e n y e d ia k a n
A m
o le h
k o n tr a k
P e rs a tu a n
K u ta
u n tu k
d ib a c o k
□
g u ru
P a r ta i
a n g g o ta
te r s e b u t □
( 2 7 ) ,
d a r i
A c e h
G
A
p e m
M
ilih a n
( 2 1 /3 )
d i
I
A c e h
b a g ia n
B e s a r,
le h e r
d a n
B e s a r.
p e m u n g u ta n
b a k a n
d a e r a h
a n g g o ta
s u a ra
b e ra s a l
d a r i
( 5 /4 )
a r a h
s a a t
p o s
b e r tia r a p
B r im
o b
k a r e n a
D e s a
B ia n g
K e k e r a s a n R h e u n i, te rh a d a p
J e u m p a ,
w a r g a
B ir e u e n
( 0 7 .0 0
W
IB
) .
P a d a
h a r i
y a n g
s a m a ,
s e o ra n g
la in
m
e n d e r ita
R h e u m
p ih a k □
G
P a d a
A
d a n
m
a in a n
G
K e c a m T N
I
s e te la h
d e s a
□
t id a k
a k s i
p e n e m b a k a n
d i
P a k s a a n □
d a n
D e n g a n
□
ilik
I I I ,
k o m
p ih a k
G
V
l l l ,
1 2 7
tid a k
d i
( 1 1 )
a r e a l
e le d a k
8
r e m
A
M
d i
T P S
k e d u a n y a
p e s a w a h a n
d i
D e s a
m
e n g a la m
a ja
k e h ila n g a n
ta n g a n
d a n
m
k e
D e s a
d ite m b a k
P a y a i
L ip a h ,
lu k a
b e ra i
k a n a n n y a .
e le d a k
s a a t
G
L M
d ija d ik a n
ilik
k e lo m
a n a n
d a n
a r e t
p o k
G
A
b e r s e n ja ta
M
d i
a r e a l
y a n g
te rs e b u t
( 4 /4 ) .
d i
A c e h
2 0 0 4 .
p a r ta i
M
e r e k a
d e n g a n
D e s a
ja la n a n
d e s a ,
d ip e r in ta h k a n
a n c a m a n
T e u n o n g ,
p e n d u d u k
y a n g
A b d u l u n tu k
P e ltu
d e m
ik ia n ,
K e c .
t e la h
w a r g a
b e r k u m
m
a k a n
e n y e m
P a lo h
p u l
N y e u .
o le h
p ih a k
a r a k k a n
s u a s a n a
te r lib a t
g e ra k a n
d itu d u h
B a r r i
( N R
( N R P
s e o ra n g
P
m
M
m
a r in i r
tid a k d i
p a s u k a n
d a ta n g
k e
T P S .
p ih a k n y a
b e r a d a
D e s a
y a n g
m e la k u k a n p e n c o b lo s a n
e m b a n ta h
tid a k
e n y a ta k a n
y a n g
p e n d u d u k
U ta r a )
e la k u k a n
y a n g
4 9 1 0 8 0 )
a n g g o ta
m
1 3 4 I 7 /P )
R a id e r
m e n g u s ir
( A c e h
u n tu k
p e n d u d u k
p a s u k a n
a k a n
S a w a n g
k o s o n g
m e n c a r i
S y a m s u a r
p e r g e r a k a n
I ,
F r o n t
d e n g a n
P e r la w a n a n
a la s a n in i
J u m a t a d a
m a s ih K o ta T P S
S y a m ,
m
k e a m
d ip e r in ta h k a n
w a r ta w a n
p e r u m a h a n
r u s a k .
d id u g a
a p a r a t
d i
R is e h
k e d a p a ta n
tid a k
j
b a w a h
T e u n o n g b e r a d a
d i
T P S .
T N
b ila
te r s e b u t
U ta r a
k a r tu
k e
T P S
B ir e u e n ,
m
S e n in
d a e ra h
K e c .
K e tu a
( 5 /4 )
S e d a n g k a n
s o re
s u a ra
m
B u p a ti
e n g a la m
d id o m in a s i
p o lr i.
s e h a ri
d e s a -d e s a ,
y a n g
G
a n g g o ta
A
M
( F S P G
)
m e n g g e le d a h
g e r ily a w a n ,
e n je la n g
p e m
d i
ilu
K e c .
d e n g a n
r u m a h -
]
G a n d a p u r a . m
e m
in ta
si
k e lu a r g a .
d ig o lo n g k a n
in i
S e p a r a tis
m e n c a r i
d ila k u k a n
m e n u n ju k k a n
lo k a s i
E d d i
m
e n g a k ib a tk a n
a n ta r a
S a w a n g ,
K e n d a ti
te r s e b u t
s u a ra
a ja
L M
p a r ta i
d i
d a n
k u n ju n g a n
d i
e la p o r k a n
b e n d e r a -b e n d e r a
M
P e n g g e le d a h a n
p le k s
m
K a b u p a te n
S a w a n g ,
K e lu r a h a n
s u a ra
m
G
R a s y id in
m a la m
p e n y is ir a n
k e p a d a
e n y a ta k a n ,
d a e r a h V
a t
ta r g e t
r u m a h
D a la m m
il
p e n d u d u k
B ir e u e n . p e m
1 9
te r lih a t
d ik a w a l
r u m a h
e d ia
m e la k u k a n n y a .
C a m
D a n r a m
e n y a ta k a n
r u m a h
s e b u a h
u r
a k t if
a tr ib u t-a tr ib u t tid a k
k o m a n d o n y a . m
B a tu ,
m e la k u k a n
u n
r e m
in g g u
p e r k a m p u n g a n
m e n g e ta h u i
d a n
M
J u m a t.
T P S - T P S .
N a m
m
!
ilu ,
T im
s e n ja ta
e n a ik k a n
R a id e r k e
te r s e b u t
s e ju m la h
T P S .
k o r b a n ,
m a s ih
u a r a
h a r i
b ila
P a s u k a n
u n
p e m
A c e h
k o n ta k
n y a ,
m
M
d e n g a n
o p e r a s i
k e
s e o ra n g
y a n g
p a s c a
a ta n
s e p a r a tis
N a m
d ip u k u l-p u k u l.
L M
p a d a
) .
s e o r a n g
u k a n
s e b e lu m
K a r e n a
IB
h e n d a k
S a la h
d a n
P e lu r u
W
P e u r e u la k ,
d ite m
te r tin g g a l
□
k a r e n a
a t a n
s e h a ri
( 0 5 .3 0
b e r la n g s u n g n y a
r in g a n .
te r s e b u t
□
M
s a a t
K e c a m
In t im id a s i
lu k a -lu k a
s ip il B ia n g
K
K a b .
C a le g w a r g a
d a n
K e c .
i
r a w a n
J e u m p a , is tr i-is tr i
K e lo m
s a h
a ta u
7 5 % p o lis i
p o k
h a n y a
d a r i 7 0
m e n g a n c a m
s u a r a
d i
h ita m .
s u a ra
to ta l s u a ra
a ta s
N a m
r u s a k
k a r e n a
P e la k s a n a
m e n g a ta k a n ,
y a n g
B ir e u e n
k e r u s a k a n
w a r g a 5 0
u n
te r n y a ta ,
( tid a k
lo k a s i
s a h )
b e r d e k a ta n
P e m u n g u ta n 1 9 7
s u a ra
d e n g a n
p e rs e n ,
S u a r a
p e m
ilih ,
d i
m a k a T P S
P a d a h a l, d e n g a n ( K P P S ) te r d a p a t
s a ja .
Sumber: http://www.koalisi-ham.ore/ lim77 nelaneearan pemilu di nad2004.htm
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi
(Moch. Nurhasim)
65
□
M e n je la n g P e m ilu 2 0 0 4 , p u lu h a n p ria d e w a s a d a ri s e ju m la h k e c a m a ta n di K a b u p a te n P id ie (K e c a m a ta n M e u re u d u , M e u ra h D u a , U lim d a n B a n d a r D u a )
□
h e n g k a n g d a ri ru m a h n y a s a a t m e n je la n g m a la m . P a ra w a r g a d e s a te rs e b u t s e b a g ia n b e s a r m e n g in a p d i ib u k o ta k e c a m a ta n d e n g a n a la s a n u n tu k m e n g h in d a ri h a l-h a l y a n g tid a k d iin g in k a n m e n je la n g
□
p e m ilu d i d e s a n y a . M e n je la n g s ia n g , m e re k a b a ru k e m b a li k e d e s a n y a . W a r g a L o ro n g U ta m a I, S e u le u m a k , L a n g s a B a ra t m e n g a k u k h a w a tir jik a s a m p a i h a ri M in g g u (4 /4 ) b e lu m m e n e rim a k a rtu p e m ilih k a re n a ta k u t d ic u rig a i s e b a g a i s im p a tis a n G A M . H al ini m e m b u a t p e tu g a s p e n d a fta ra n p e m ilih G a m p o n g P a y a B u ju k , S e u le u m a k , K e c a m a ta n L a n g s a B a ra t, K a b u p a te n K o ta L a n g s a , M in g g u (4 /4 ) te rp a k s a k e rja le m b u r. M e re k a b e rk e lilin g d o o r to
P e ra s a a n T e rte k a n d a n K e ta k u ta n
d o o r, m e n d a ta k e m b a li w a rg a y a n g b e lu m d a p a t k a rtu p e m ilih □
S e m e n ta ra d i D e s a B a e t, K a b u p a te n A c e h B e s a r, w a r g a m e n g a k u p e rn a h d ip e rik s a o le h p a s u k a n R a id e r te n ta n g k e p e m ilik a n K a rtu P e m ilih (A p ril 2 0 0 4 ).
□
K a m a ru lla h , K e p a la D e s a P u lo K e n a ri, K e c a m a ta n T iro , K a b u p a te n P id ie (4 /4 ) m e n y a ta k a n k h a w a tir w a rg a n y a a k a n s a la h d a la m m e la k u k a n p e n c o b lo s a n k a re n a u k u ra n s u ra t s u a ra y a n g le b ih le b a r d a rip a d a b ilik su a ra y a n g d is e d ia k a n . B ila te rja d i k e ru s a k a n s u ra t s u a ra , p ih a k n y a m e n y a ta k a n k h a w a tir d itu d u h te la h d e n g a n s e n g a ja m e la k u k a n n y a . P a d a ta h u n 1 9 9 9 di
□
K e c a m a ta n T iro tid a k a d a p e m ilu . D i T P S P a s a r L a m b a ro , A c e h B e s a r w a rg a y a n g tid a k p u n y a k a rtu p e m ilih b e rta h a n di T P S u n tu k m e la k u k a n p e n c o b lo s a n a g a r ta n g a n m e re k a te rk e n a tin ta
u n tu k
m e n g h in d a ri
tu d u h a n
sebagai
s im p a tis a n
GAM.
P ih a k
TPS
m e n ja n jik a n m e n g iz in k a n m e re k a m e n c o b lo s s e te la h p e rs d a n p e n g a m a t d a ri U n i E ro p a m a s in g -m a s in g P a a v o P itk a n e n d a n P a u l H o rs tin g , p u la n g .
Dokumen dari NGO HAM Aceh di Tabel 1, menggambarkan bahwa potensi kekerasan dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertikai, baik GAM maupun TNI-Polri. Dari segi bentuknya, kekerasan yang terjadi adalah pembunuhan. Sementara itu, tekanan lebih bersifat pada mobilisasi dan penggeledahan. Sedangkan tekanan psikologis lebih pada upaya untuk membersihkan diri dari labelisasi sebagai bagian dari Gerakan Aceh Merdeka bila mereka tidak memberikan suaranya. Karena itu, sulit untuk mengatakan bahwa kebebasan untuk menentukan pilihan ter jaga dalam proses Pemilu 2004 di Aceh. Konstelasi Politik Aceh 2004: Kembali ke Basis Politik Lama Secara geografis, Nanggroe Aceh Darussalam (Provinsi NAD) terbagi atas tiga kawasan, yaitu kawasan atas, kawasan tengah dan kawasan bawah. Kawasan atas meliputi: Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Bireun, Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Kotif Aceh Timur, dan Kotif Lhokseumawe. Sementara kawasan bawah meliputi Kabupaten Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Selatan, dan Kabupaten Gayo Alas.
66
Sedangkan kawasan tengah meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Simeulu, dan Aceh Tamiang. Kategori pembagian wilayah Aceh inilah yang dijadikan sebagai basis analisis dalam menggambarkan pelaksana an Pemilu 2004 di Aceh. Tabel 2. Kabupaten/Kotamadya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No
K a b u p a te n /K o ta m a d y a
Ib u k o ta
1
Kodya Sabang
2
Kodya Banda Aceh
B and a A ceh
3
K a b u p a te n A c e h B e s a r
J a n th o
4
K a b u p a te n P id ie
S ig li
5
K a b u p a te n A c e h U ta ra
Lhokseum aw e
6
K a b u p a te n A c e h T e n g a h
Takengon
7
K a b u p a te n A c e h T im u r
Langsa
8
K a b u p a te n A c e h T e n g g a ra
K o ta c a n e
9
K a b u p a te n A c e h B a ra t
M e u la b o h
10
K a b u p a te n A c e h S e la ta n
T apak Tuan
Sabang
11
K a b u p a te n S im e u le u
S in a b a n g
12
K o tif A c e h T im u r
Langsa
13
K o tif L h o k s e u m a w e
Lhokseum aw e
14
K a b u p a te n B ire u e n
B ire u e n
15
K a b u p a te n S in g k il
S in g k il
16
K a b u p a te n A c e h T a m ia n g
T a m ia n g
17
K a b u p a te n A c e h J a y a
C a la n g
18
K a b u p a te n N a g a n R a y a
J e u ra n
19
K a b u p a te n A c e h B a ra t D a y a
B ia n g P id ie
20
K a b u p a te n G a y o L u e s
B ia n g K e je ra n
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 61-76
Kawasan atas, khususnya di Pidie, Biruen, Lhokseumawe, Aceh Utara dan Aceh Timur merupakan basis dari Gerakan Aceh Merdeka. Namun, basis yang paling kuat terletak diantara Aceh Utara dan Aceh Timur. Dalam Pemilu 2004, pembagian kawasan tersebut tidak digunakan sebagai alasan dalam menentukan daerah pemilihan. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dibagi menjadi dua daerah pemilihan yaitu NAD I dan NAD II. NAD I meliputi: Kab. Simeuleu, Kab. Aceh Singkil, Kab. Aceh Selatan, Kab. Aceh Tenggara, Kab. Aceh Barat, Kab. Aceh Besar, Kab. Pidie, Kab. Aceh Barat Daya, Kab. Gayo Lues, Kab. Nagan Raya, Kab. Aceh Jaya, Kota Banda Aceh, dan Kota Sabang. Sedangkan NAD II meliputi: Kab. Aceh Timur, Kab. Aceh Tengah, Kab. Bireuen, Kab. Aceh Utara, Kab. Aceh Tamiang, Kab. Bener Meriah, Kota Langsa, dan Kota Lhokseumawe. Eksistensi Partai-partai Islam dalam Pemilu 2004 di Aceh Seperti telah disinggung di awal, Aceh merupakan basis politik partai-partai Islam dalam sejarah politik di Indonesia. Suara PPP relatif menonjol di masa pemilu-pemilu Orde Baru, meskipun Golkar juga menuai suara yang tidak sedikit. Namun, secara umum, Aceh adalah basis politik yang bersendikan agama. Hasil penelitian Herbert Faith untuk Pemilu 1955, menunjukkan bahwa Aceh adalah basis politik dari Partai Masjumi. Dalam pemilu Orba, PPP sangat menonjol memperoleh suara di Aceh, bahkan provinsi ini merupakan basis terkuatnya. Namun, setelah Orde Baru mem berlakukan Aceh sebagai daerah operasi militer dengan operasi jaring merah I-X, praktis mulai tampak ada perubahan konstelasi di beberapa kabupaten. Secara umum sejak Pemilu 1982-1997 dimana Golkar kalah oleh PPP, maka pada Pemilu 1987 suara Golkar meningkat cukup tajam. Namun, peningkatan tersebut sifatnya masih sangat semu, karena adanya intimi dasi dan tekanan politik. Kesulitan lainnya dalam mengukur basis politik partai juga
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi
tampak dari hasil Pemilu 2004 yang berhasil diselenggarakan di Aceh pada 5 April 2004 yang lalu. Apakah hasil Pemilu 2004 dapat dimaknai sebagai pemilu yang memberi ruang kebebasan bagi pemilih dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Dalam situasi yang tertekan, ter mobilisasi, dan “rendahnya partisipasi dan kebebasan pemilih,” bukan berarti Pemilu 2004 tidak dapat dimaknai hasil akhirnya. Dari tiga kawasan yang dijadikan sebagai basis analisis, tampak bahwa partai-partai Islam, lebih menonjol di kawasan atas Aceh ketimbang kawasan tengah dan bawah. Data yang dianalisis dari perolehan suara sah anggota DPR-RI (dengan asumsi bahwa tidak terlalu berbeda jauh dengan perolehan suara sah DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota), memperlihatkan tingkat perbandingan perolehan suara yang cukup tajam antara kawasan Aceh bawah dan kawasan Aceh Atas. Hasil Pemilu 2004 di kawasan Aceh atas ditandai oleh menguatnya dukungan masyarakat terhadap partaipartai Islam, dan Partai Golkar. Daerah ini dalam sejarahnya memang merupakan basis pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagaimana telah di singgung di atas. Perbandingan perolehan suara sah DPR RI di DP NAD I dan NAD II tampak dalam Tabel 3. Tabel 3 meng gambarkan perubahan konstelasi politik hasil Pemilu 1999, dimana di NAD I, perolehan suara antara Partai Golkar, PAN, dan PPP relatif imbang. Namun, Golkar tetap menjadi pemenang pemilu walaupun selisihnya tidak terlalu tajam dengan PAN dan PPP. Sementara di NAD II, Golkar unggul sebagai pemenang, disusul oleh PPP dan PAN. Selain menunjukkan tiga partai yang relatif besar memperoleh dukungan, Tabel 3 tersebut juga meng gambarkan bahwa partai-partai yang berbasis Islam cenderung dipilih oleh masyarakat Aceh baik di daerah pemilihan NAD I maupun di daerah pemilihan NAD II. Dengan hasil seperti itu, maka hanya 6 partai di NAD I yang mampu mendudukkan wakilnya untuk duduk di kursi DPR, sedangkan di NAD II hanya 5
(Moch. Nurhasim)
67
partai. Tabel Partai-partai yang mempunyai wakil DPR dari NAD I dan NAD II tergambar di Tabel 4. T ab el 3. Perbandingan Perolehan Suara Sah DPR-RI di N A D I dan II
Sumber: diolah dari data KPU. T ab el 4. Perbandingan Perolehan Kursi D PR N A D I dan N A D II
Sumber: diolah dari data KPU tentang Perolehan Kursi Dapil NAD I dan NAD II
Tabel di atas menggambarkan bahwa partai-partai Islam umumnya yang dipilih oleh masyarakat Aceh seperti: PBB, PPP, PAN, PKS, dan PBR. PDI-P sebagai partai penguasa tidak memperoleh dukungan, dibandingkan dengan Partai Demokrat yang mampu meloloskan satu wakilnya sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan NAD I dan NAD II. Gejala ini menggambarkan bukan saja prestasi dari Partai Demokrat sebagai partai baru, sekaligus menunjukkan Susilo Bambang Yudhoyono lebih populer ketimbang Megawati Soekarnoputeri.
Tabel tersebut juga mengindikasi kan bahwa hampir keenam partai yang memiliki wakil di DPR seimbang hasilnya. Secara umum, hasil pemantauan yang dilakukan oleh sejumlah relawan di Aceh yang memantau pelaksanaan Pemilu 5 April 2004 yang lalu, sekurangkurangnya mengindikasikan hal itu. Namun, meskipun PDI-Perjuangan me rupakan partai “penguasa” saat ini, perolehan suara PDI-P di NAD I dan II kecil dibandingkan dengan Partai Demokrat. Secara umum di NAD I, 10 partai yang memperoleh dukungan signifikan adalah: Partai Golkar, PAN, PPP, PKS, PBR, PBB, Partai Demokrat,
68
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 61-76
PDI-P, PNUI, dan PKB. Sedangkan di NAD II, 10 partai yang memperoleh suara signifikan adalah: Partai Golkar, PPP, PAN, PBR, PKS, Partai Demokrat, PBB, PKB, PDI-P, dan PKPI. Kemenangan Partai Golkar di Aceh memang di luar dugaan, karena jika ada pemilu yang bebas dan demokratis, hasil pemilihan umum di Aceh relatif tidak akan jauh berbeda dengan hasil Pemilu 1955 atau Pemilu pada awal-awal Orba (19711977) di mana partai Islam yang dilambangkan oleh PPP selalu menjadi pemenangnya. Masih kuatnya Partai Golkar di Aceh, padahal partai ini adalah partai eks Orde Baru, penopang utama kekuasaan ' Soeharto, seharusnya masyarakat akan meninggalkannya. Namun, tampaknya masyarakat Aceh masih cenderung memilihnya. Dugaan sementara dari kemenangan Golkar di NAD I dan II, dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah pengaruh dan peran birokrasi lokal, dalam hal ini adalah gubernur, sebagian bupati dan walikota yang memfasilitasi partai ini dalam melakukan mobilisasi massa dan mem berikan fasilitas serta kemudahan dan iming-iming bagi para pemilih. Gubernur Aceh adalah kader Partai Golkar sejak di masa Orde Baru.
memperoleh jatah kursi DPRD NAD yang hampir sama. Dalam Pemilu Legislatif 2004, untuk memilih anggota DPRD NAD ada 8 daerah pemilihan. Dari hasil ke seluruhan sebagaimana tampak pada Tabel 5 menunjukkan sekitar 11 partai yang memperoleh kursi untuk DPRD NAD. Konstelasi ini sekaligus menunjukkan partai mana yang paling eksis di Aceh, karena komposisi DPRD akan sangat menentukan langkah politik mereka. Dari data pada Tabel 5 terlihat bahwa dari 11 partai yang memperoleh kursi di DPRD NAD, 63 persen atau 7 partai adalah partai Islam. Sisanya, satu partai nasionalis yaitu PDI-P, satu partai berorientasi demokrasi yaitu Partai Demokrat, satu partai berbasis pada akar militer yaitu PKPI, dan partai bekas Orde Baru yaitu Partai Golkar. Komposisi DPRD NAD hasil Pemilu 2004 ini menggeser komposisi DPRD NAD hasil Pemilu 1999 di mana PPP sangat dominan waktu itu, yang diikuti oleh Golkar. Dengan kuatnya partai-partai yang berbasis Islam di Aceh yang anggota-anggotanya duduk di DPRD NAD sekitar 69%, dapat dikatakan bahwa Pemilu Legislatif 2004 di Aceh merupakan kemenangan partai Islam, walaupun ideologi mereka “relatif
Tabel 5. Komposisi Kursi DPRD NAD Hasil Pemilu 2004 14 1? • 10 8 6 4 2 : 0 ■"
^
12
12
6
1
2
1
^
■
2
^
J ?
O*
<**■
^
Sr
Sumber: Komisi Pemilihan Umum Provinsi NAD yang ditetapkan di Banda Aceh, 11 Mei 2004.
Perolehan suara untuk DPR di tingkat pusat, hampir mirip dengan per olehan suara untuk DPRD NAD, khusus nya antara Golkar dengan PPP. Walaupun di antaranya ada perbedaan perolehan suara tipis, namun masing-masing
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi
berbeda,” antara partai Islam yang satu dengan partai Islam lainnya. Walaupun secara umum peta politik di tingkat lokal demikian, namun secara umum, kemenangan partai Golkar di Aceh, menunjukkan bahwa mesin-mesin
(Moch. Nurhasim)
69
politik berupa mobilisasi massa sebagai mana sering terjadi di masa darurat militer merupakan sarana efektif untuk meng arahkan massa untuk memilih. Apalagi secara prakteknya, pencoblosan pada 5 April 2004 di Aceh fasilitas dan tata cara pemilihannya kurang menjamin kerahasia an pemilih dalam menyalurkan aspirasi politiknya.9 Tidaklah mengherankan bila ada ketakukan akan adanya “intimidasi dan tekanan politik,” bila yang bersangkutan ketahuan dalam memilih. Mengapa demi kian? Karena semuanya serba mungkin dan dimungkinkan dalam situasi yang tidak menentu di Aceh. Selain itu, sejumlah praktek politik uang juga tidak mungkin dapat dihindari. Faktor-faktor itulah yang me nyebabkan dugaan mengapa Golkar masih kuat di Aceh. Padahal secara logika, bila di Aceh timbul konflik dan pertentangan politik, dan gejala politik sejak tahun 1998 di mana partai Golkar dan Orde Baru dianggap telah merusak masa depan Aceh dan menjadi penyebab utama timbulnya konflik Aceh dengan kebijakan daerah operasi militer selama hampir 10 tahun, mengapa masyarakat masih percaya ter hadap partai politik ini? Apakah memang faktor mobilisasi atau faktor intimidasi dan tekanan politik serta “ketakutan” masyarakat terhadap situasi menyebabkan seperti itu? Inilah makna dari pemahaman kita dalam menganalisis hasil Pemilu 2004 di Aceh. Artinya, kemenangan dan perubahan konstelasi perlu dipahami dalam situasi yang abnormal, situasi yang penuh dengan tekanan dan ketakutan. Akibatnya, analisis terhadap peta politik 2004 di Aceh harus dilakukan secara hati-hati, karena peta politik ter sebut belum tentu mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Walaupun demikian, dalam situasi seperti itu, analisis tentang hasil Pemilu 2004 di Aceh, tetap dapat dilakukan dengan catatan dan asumsiasumsi bahwa hasil yang ada sekarang 9 Laporan hasil pemantauan tim relawan Aceh dalam Pemilu 2004 yang lalu. Lihat laporan bentuk pelanggaran yang dimuat dalam
http://www.koalisi-Ham.ore/lim 77peianggaran pemilu di nad2004.htm.
70
merupakan pilihan rakyat Aceh dalam situasi yang harus mereka terima. Namun, kita juga tidak dapat menafikkan bahwa ada pemilih yang menentukan sikap politiknya sesuai dengan hati nurani, walaupun mereka dalam situasi yang “kurang” mendukung. Ilustrasi di bawah ini memperkuat asumsi tersebut: “.... Ada contoh menarik ketika seorang pria separo baya datang ke sebuah TPS dengan kaos Partai Golkar. Dia menggunakan kemeja warna putih tipis, namun kaus Partai Golkar terlihat mencolok di dalamnya. Setelah memilih di TPS, dia mengata kan tak punya beban apa-apa saat mencoblos tanda gambar, nama orang, dan foto calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketika ditanyakan apakah dia memang memilih Golkar, dia menggeleng. Dia menyebutkan kaos Golkar yang dipakainya diberikan oleh pengurus partai itu di desanya. "Kami dikasih, siapa yang tak mau. Kalau dikasih lima lagi, saya juga mau ambil," katanya. Kalau dana pun diberikan, dia akan mengambilnya dengan senang hati karena pemberian dan tak di minta... Dengan kata lain, meskipun pemilu di bawah bayang-bayang militer, namun, pemilih tentu masih ada yang dapat menentukan pilihan politiknya sesuai dengan hati nurani. Memang dapat dikata kan bahwa kecenderungan semacam ini bukanlah kecenderungan umum, hanya ter jadi pada beberapa orang yang mempunyai tingkat informasi yang cukup. Peran para relawan di Aceh, salah satunya adalah jaringan relawan YAPPIKA dalam me lakukan pendidikan politik memang sangat berarti. Namun, pengaruhnya memang belum signifikan, karena KPU di Nanggroe Aceh Darussalam tidak sempat melakukan training atau sosialisasi perubahan sistem pemilu. Hal ini bukan hanya terjadi di Aceh, apalagi Aceh merupakan kategori daerah konflik dan rawan secara ke-
10 Harian Republika, Mei 2004.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 61-76
amanan. Di daerah damai saja, sebagai contoh Jawa, sosialisasi KPU sangat minim. Karena itu, pemilu juga diwarnai oleh beberapa ketidakmengertian para pemilih atas proses pemilu yang se sungguhnya, khususnya apa makna dari perubahan sistem pemilihan bagi ke hidupan dan nasib yang harus mereka alami. Konstelasi Politik Pemilu 2004 di Daerah Sumbu Konflik Setelah membandingkan kedua kawasan tersebut, ada baiknya dibanding kan hasil perolehan Pemilu 2004 untuk daerah yang menjadi sumbu konflik, yaitu Kabupaten Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Perbandingannya adalah:
menawarkan solusi-solusi yang umum, seperti kesejahteraan, pendidikan, harga murah, dan fasilitas-fasilitas lainnya. Secara spesifik mengenai bentuk Aceh ke depan, relatif hampir semua partai gagal memberikan solusi alternatif atau tawaran yang cerdas. Namun secara khusus berdasarkan perolehan kursi, di Aceh Utara adalah PPP, Golkar, PBR, PAN, PKB, Partai Demokrat, PBB, PKS, PPD, PSI, PKPI, dan PDI-P seperti terlihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 6. Perbandingan Suara Sah DPR-RI di Daerah Sumbu Konflik
Sumber: diolah dari data KPU Jakarta.
Secara signifikan, di kawasan sumbu konflik di Aceh, partai yang mem peroleh dukungan masyarakat di sana (tanpa memperhatian urutan) adalah PPP, PAN, Golkar, PBR, PKS, PBB, PKB dan Partai Demokrat. Pertanyaan adalah apakah partai-partai yang dipilih oleh masyarakat di kawasan sumbu konflik di Aceh ini mempunyai program untuk penyelesaian Aceh secara rinci? Dari beberapa dokumen yang diperoleh dan ditemukan oleh penulis, tidak terlalu banyak perbedaan apa yang ditawarkan oleh partai-partai di ketiga daerah konflik yang didukung atau dipilih oleh masyarakat. Umumnya mereka hanya
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi
Tabel 7. K om posisi Hasil Perolehan Kursi Partai pada Pem ilu 2 0 0 4 Kabupaten A ceh Utara Nama Partai
Jum lah
P PP G o lk a r PBR PAN P KB D e m o kra t P BB PKS P PD PSI PKPI P D I-P J u m la h
8 8 5 5 3 3 2 2 1 1 1 1 40
Sumber: diolah dari berita-berita Waspada, 5 April - 14 Mei 2004
(Moch. Nurhasim)
71
Sementara di Kabupaten Pidie, PPP memperoleh 9 kursi, dan PAN, 8 kursi. Di kabupaten ini, PDI-P tampak terpuruk karena tidak berhasil memperoleh satu kursi pun, padahal pada Pemilu 1999 yang lalu, di Kabupaten Pidie, PDI-P masih memperoleh empat kursi. Penurunan drastis PDI-P memang sudah dapat ditebak, karena performa partai ini dan khususnya Megawati sebagai ketua umum partai dan sekaligus sebagai presiden RI mempunyai persoalan dengan Aceh khususnya dengan adanya operasi militer dalam suasana darurat militer di Aceh. Namun, tidak demikian halnya dengan PPP, meskipun Hamzah Haz sebagai wakil presiden, namun partai ini memang sejak lama kuat di daerah Pidie, karena daerah ini merupakan basis partai-partai Islam. Bila dilihat dari masing-masing kabupaten di kawasan Aceh atas, tampak ada perbedaan-perbedaan yang unik. PKB agak relatif memperoleh dukungan di Kabupaten Aceh Utara ketimbang di kabupaten lainnya. Perolehan suaranya di Kabupaten Aceh Utara, hampir sama dengan perolehan PAN dan PKS. Namun, yang tetap mayoritas didukung oleh masyarakat Kabupaten Aceh Utara adalah PPP dan Golkar. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) relatif tidak didukung oleh masyarakat di kawasan Aceh atas. Perolehan suara PDI-P bahkan kalah oleh partai saingannya, PPDI. PPDI banyak memperoleh suara di Kabupaten Pidie. Namun, PPDI juga tidak memperoleh suara signifikan di kabupaten lainnya. Di Pidie, pemenang Pemilu 2004 adalah PPP, disusul oleh PAN, PKS, PPDI, PBR, PBB dan Golkar. Sementara konstelasi politik hasil Pemilu 2004 di Aceh Timur, Partai Golkar menjadi pemenang pemilu disusul oleh PPP, PBR, PAN, PBB, PKS dan Partai Demokrat. Sedangkan di Kabupaten Bireun, kabupaten pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara, pemenang pemilu nya adalah Partai Amanat Nasional. PAN mengalahkan PPP, dan partai-partai ber karakter Islam lainnya. Urutan keduanya adalah PPP, Golkar, PBR, PKS, PBB dan PKB. Di Kotif Lhokseumawe, PAN unggul
sebagai pemenang pemilu disusul oleh PKS, PPP, PBR, dan Partai Golkar. Dengan kata lain, pemenang Pemilu 2004 di kawasan Aceh atas adalah PPP (Aceh Utara, Pidie), Partai Golkar di Aceh Timur, PAN (Kabupaten Bireun dan Kotif Lhokseumawe). Dari gambaran per olehan suara di Aceh tersebut tampak bahwa PDI-P relatif kurang memperoleh dukungan, karena secara riil politik, mereka relatif kurang memiliki basis dukungan. Namun, menariknya, partai baru yang cukup diminati oleh masayarakat Aceh kawasan atas adalah PKS dan PBR, serta sebagian berminat untuk memilih Partai Demokrat. Tidaklah mengherankan bila konstelasi politik Aceh kawasan atas cenderung relatif tetap dari basis politik sebelumnya (khususnya di masa Pemilu 1955) di mana partai-partai yang memperoleh dukungan adalah partai-partai yang berideologi Islam. Konstelasi yang unik dan menarik dari Aceh kawasan atas memang berbeda tajam dengan konstelasi politik hasil Pemilu 2004 di Aceh kawasan bawah. Di kawasan bawah ini, secara umum suara tampaknya relatif menyebar ketimbang mengerucut tajam pada salah satu partai politik. Di Daerah Pemilihan NAD I, perolehan suara antara Golkar, PPP dan PAN relatif imbang dan memperoleh dukungan paling besar ketimbang partaipartai lainnya. Setelah itu, PKS menempati urutan keempat disusul oleh PBR, PBB dan Partai Demokrat. Perolehan suara PDIP lebih kecil dibandingkan dengan Partai Demokrat. PDI-P relatif memperoleh suara yang hampir sama dengan PPNUI (partai baru yang pada Pemilu 1999 bernama PNU) dan PKB. Sementara itu di Aceh Besar perolehan suara PKS hampir imbang dengan PPP, bedanya hanya sedikit, namun PPP tetap lebih unggul dibandingkan PKS, baru disusul oleh PAN dan PBR. Sedangkan suara Partai Golkar hampir sama dengan suara PDI-P. Karenanya, di Aceh Besar mumi partai-partai Islam menjadi pemenang pemilu dari urutan pertama hingga keempat. Di Aceh Barat, pemenang pemilu nya adalah PAN, disusul oleh PPP, Golkar,
72
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 61-76
Partai Demokrat, dan PPNUI. Partai-partai lainnya relatif sangat kecil mendapatkan suara dibandingkan dengan kelima partai yang telah disebut. Fenomena Aceh Barat ini hampir mirip dengan perolehan suara di Aceh Selatan. PAN unggul lebih besar ketimbang partai lainnya, disusul oleh PPP, Golkar, PBB, Demokrat, dan PKS. Orientasi Kekuasaan Wakil Rakyat Orientasi para calon dari PPP, PAN, Golkar, PBR, PKS, PBB, PKB dan Partai Demokrat umumnya tidak terlalu jauh berbeda, mereka mengejar kekuasaan. Gejala-gejala seperti itu bukanlah fenomena yang terjadi di daerah ini saja, karena di kabupaten lainnya, hal serupa juga menjadi kecenderungan umum. Bahkan lebih tragis, karena sebagian dari calon-calon terpilih banyak yang me manipulasi data kelulusan ijazah mereka. Di Aceh singkil, KPU telah menetapkan bahwa ada 4 calon terpilih yang melakukan pelanggaran ijazah palsu. Mereka adalah Haris Muda Bancin (Partai Kebangkitan Bangsa) daerah pemilihan (DP)-3 dengan nomor urut-1, Tgk. Alaudin (PKB) DP-2 nomor urut-1, Rustam Bancin (PKB) DP-4 nomor urut-1, dan Chalidin (Partai Golkar) DP-4 nomor urut-1 memalsukan data yakni masih berstatus pegawai negeri sipil (PNS) pada Sekdakab Aceh Singkil." Kasus ijazah palsu juga menimpa caleg di Kabupaten Bireun. Pengadilan Negeri Bireuen memvonis delapan caleg berijazah palsu dan seorang lainnya masih dalam proses. Ketua PN Bireuen Syukri, SH menyebutkan, dalam sidang maraton PN Bireuen, delapan terdakwa caleg dari beberapa parpol berdasarkan bukti dan keterangan para saksi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah memalsukan ijazah untuk menjadi caleg melanggar Undang-Undang No 12 tahun 2003 pasal 137 ayat (3). Mereka adalah Jumali Bin Muhammad caleg Partai PKPB dari DP-2 Peusangan, M. Nur bin Rahmat caleg PDIP DP-1, TM Yusuf Saidi caleg Partai Pelopor DP-1, H. Nurdin bin Budiman
caleg PPDK DP-4 Gandapura/Makmur, Zulkifli bin Abdullah caleg PKB DP-4 Gandapura/Makmur, Tgk. Razali bin Umar caleg PPP DP-3 Peudada, Jeunieb, Pandrah, Samalanga, Bachtiar Abdullah caleg PPP Dp-1 Juli/Jeumpa, RbH caleg PBR DP-3 Pandrah, masih dalam proses PN dalam waktu dekat akan segera divonis.12 Kasus serupa juga terjadi di Takengan, Aceh Tengah, yang menimpa kader Partai Golkar.13 Pemalsuan ijazah di Aceh tersebut menunjukkan bahwa wakil rakyat yang telah terpilih cenderung mempunyai tingkat performa yang kurang etis dan membohongi diri dan konstituennya. Terungkapnya kasus ijazah palsu bagi calon-calon yang telah dinyatakan jadi sebagai anggota DPRD yang baru, juga mengisyaratkan bahwa proses nominasi calon dilakukan sembarangan, tanpa melibatkan konstituen dan proses seleksi, baik administratif maupun verifikasi yang memadai. Walaupun sebagian besar mereka kemudian dianulir sebagai calon yang memperoleh kursi, namun hal tersebut justru merendahkan makna demokrasi di tingkat lokal. Betapa sistem baru dalam Pemilu 2004 masih cenderung menafikkan suara pemilih, padahal suara pemilih/suara rakyat adalah suara Tuhan. Kontrol yang lemah dari konstituen, disebabkan karena proses seleksi yang cenderung tertutup dan KPU tidak melakukan proses pencalonan secara transparan. Bukti dari hal itu, tergambar secara jelas dari kutipan di bawah ini: “.... Di 492 TPS di seluruh NAD terpaksa dilakukan penghitungan ulang hasil perolehan suara Pemilu 2004. Penghitungan ulang itu di lakukan oleh KPU, menyusul adanya bukti kecurangan dan kesalahan dalam penghitungan suara Pemilu 5 April lalu. Baik di tingkat TPS, PPK, dan KPU kabupaten. Wakil Ketua Panwaslu, Erismawati kepada Serambi kemarin mengatakan, setelah beberapa hari hasil peng hitungan suara selesai dilakukan di 12 Harian Waspada, 12 Mei 2004.
11 Harian Waspada, 21 Mei 2004.
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi
"ibid.
(Moch. Nurhasim)
73
tingkat TPS dan PPK. Panwaslu kabupaten/kota dan provinsi terus kebanjiran pengaduan dari sejumlah partai politik peserta pem ilu. Tak lain melaporkan banyak terjadi kecurangan dan kesalahan dalam penghitungan suara 6 00 TPS di seluruh N A D . Namun setelah di lakukan pengusutan oleh Panwaslu di lapangan, 4 92 TPS terbukti adanya kesalahan dan kecurangan dalam penghitungan suara. Dari jum lah TPS tersebut sebanyak 417 TPS sudah selesai dilakukan peng hitungan ulang oleh K PU dan Panwaslu kabupaten/kota m eliputi. A ceh Singkil 83 TPS, A bdya 7 TPS, A ceh Barat 9 TPS, Nagan Raya 26 TPS, A ceh Jaya 118 TPS, dan A ceh Besar 3 TPS. Kemudian, Pidie 26 TPS, Bireun 135 TPS, A ceh Tengah 27 TPS, A ceh Utara 35 TPS, Lhokseum aw e 4 TPS, dan A ceh Tenggara 13 T P S . . . / 14
Ilustrasi di atas merefleksikan betapa pelaksana Pemilu 2004 di tingkat bawah tidak memahami mekanisme pemilu, sehingga 492 TPS di seluruh NAD terpaksa penghitungan suaranya diulang, karena faktor kesalahan teknis atau lebih tepatnya ketidaktahuan mereka tentang tata cara penghitungan. Walaupun di satu sisi tampak kecenderungan manipulatif pelaksana pemilu, hum an e ro r, dan manipulasi para calon, namun, dari segi prosesnya, tampak bahwa ada perkembangan yang meng gembirakan dalam proses pemilu legislatif 2004, khususnya untuk anggota DPRD provinsi, kabupaten dan kota. Sebagian besar mereka adalah calon-calon yang relatif baru, seperti yang terpilih untuk DPRD Kabupaten Aceh Utara. Dari 45 kursi yang diperebutkan, anggota lama yang memperoleh kursi hanya empat orang, sisanya atau 41 orang adalah anggota DPRD yang baru. Selain itu, dari 45 orang yang terpilih, tujuh (7) orang ditetapkan sebagai anggota DPRD Kabupaten Aceh Utara, karena memenuhi bilangan pembagi pemilih. Mereka adalah
H. Syamsul Bahri, SH, Tgk. H Abu Saifuddin Ilyas, H. Abdul Manan dan Basyaruddin Ben M. Daud (PPP), H. Zulkifli Hanafiah, SE, Lidan Hasan, Saifullah Muhammad BA (Golkar).15 Angka ini relatif tinggi karena ternyata masyarakat juga di satu sisi mempunyai harapan dengan memilih tokoh yang mereka kenal untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Dibandingkan dengan di Jawa, seperti di Jakarta, calon yang rata-rata terpilih justru tidak dapat memenuhi bilangan pembagi. Namun, rata-rata calon memang jarang yang dapat memenuhi BPP sehingga secara otomatis ditetapkan sebagai calon. Di Pidie misalnya, tidak ada calon yang dapat memenuhi BPP, sehingga semuanya ditetapkan sebagai anggota dewan melalui penghitungan suara yang diperoleh dari partainya masing-masing. Dengan kasus seperti itu, ada per kembangan yang “unik dan cenderung bodoh,” dalam proses Pemilu 2004. Walaupun calon A misalnya memperoleh dukungan 516 suara, dibandingkan dengan calon B yang memperoleh dukungan suara I. 938, namun karena tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih, maka suara mereka tidak dianggap, karena yang digunakan adalah mekanisme peng hitungan suara partai, sehingga calon A terpilih karena menempati urutan nomor atas dibandingkan dengan calon B. Anggota Legislatif “Baru” dan Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Apakah dengan berhasilnya Pemilu 2004 di Aceh dengan tampilnya legislatif baru, mereka akan memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, dan penyelesaian akar-akar konflik Aceh? Jawabanya sangat variatif, bila dilihat dari program yang ditawarkan oleh partai politik dan calon anggota legislatif di tingkat lokal dan nasional. Pemilu 2004 memang secara riil telah mengantarkan calon-calon baru dan menjungkirkan beberapa calon lama yang tidak terpilih kembali.
!J Harian Waspada, 23 April 2004.
15 Ibid., 14 Mei 2004.
74
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 61-76
Namun, dari segi “kejujuran,” para calon yang terpilih di Aceh, baik yang akan duduk di DPRD Provinsi, Kabupaten/ Kotamadya, dengan timbulnya kasus-kasus ijazah palsu seperti digambarkan di atas, adakah masa depan Aceh akan cerah dengan profil dan karakteristik legislatif seperti itu? Harapan memang tetap ada dengan munculnya calon-calon baru anggota DPR-RI dari Aceh. Berdasarkan hasil penghitungan suara sementara Pemilu anggota DPR-RI, caleg asal Aceh akan didominasi wajah-wajah baru. Terbukti, dari 13 kursi jatah Aceh di DPR-RI, hanya dua caleg yang tetap bertahan, sedangkan 11 caleg lainnya tergusur.16 Artinya, 11 caleg tersebut adalah orang-orang baru yang akan menggantikan caleg-caleg lama yang diusulkan kembali oleh partai-partai politik. Namun, berdasarkan pengalaman politik selama lima tahun terakhir, anggota legislatif dari Aceh kurang maksimal dalam memperjuangkan nasib rakyat Aceh di legislatif, khususnya dalam mengguna kan hak interpelasi dan hak lainnya demi alasan kemanusiaan dan menyelamatkan peradaban Aceh dari perang dan per tikaian. Sementara itu, dari segi asalusulnya di legislatif lokal (DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota), meskipun tampak per ubahan yang signifikan dari unsur lama dan baru, namun pertanyaan skeptis masih tetap ada. Mengapa? Karena secara sistem parlemen, Indonesia tampaknya masih belum melakukan perubahan filosofi, aturan dan tata cara berpolitik dari caracara yang dibangun oleh Orde Baru. Bahkan, selama lima tahun transisi demokrasi, tampak terjadi perubahan kecenderungan dari executive heavy menjadi legislative heavy dan dari ke cenderungan birokratik rente menjadi legislatif rente. Fenomena dan dugaan korupsi di Aceh bukan saja dilakukan oleh gubernur, tetapi telah melanda apa yang disebut dengan “mereka yang duduk dalam jabatan yang memiliki kekuasaan.” Korupsi hampir terjadi secara massal, melibatkan unsur eksekutif dan legislatif
dengan berbagai macam variasinya. Apa yang terjadi di Padang Sumatera Barat, di mana 43 orang anggota legislatif Padang divonis hakim melakukan penyimpangan anggaran, juga menjadi gambaran umum di Aceh. Selain mereka diduga melakukan koruspsi massal, beberapa di antaranya bahkan telah mendekam di sel tahanan, seperti Ketua DPRD Kota Payakumbuh Chin Star dan Ketua DPRD Kota Banda Aceh M Amin Said.17 Selain ketua DPRD Banda Aceh, Wakil Ketua DPRD Kota Banda Aceh Akhyar Abdullah ditahan pihak kejaksaan sehubungan dengan kasus dugaan korupsi miliaran rupiah. Menurut catatan media, di Aceh telah ditahan 10 anggota DPRD, termasuk Ketua DPRD Banda Aceh M Amin Said, karena kasus korupsi.18 Problematika utamanya adalah masalah pembenahan dan perubahan kultur, filosifi dalam sistem parlemen di Indonesia. Menurut hemat penulis, dengan hampir samanya pola dan tata cara legislatif dalam bekerja sebagaimana yang diwarisi di masa Orde Baru, peran legislatif agak sulit diharapkan dapat menjadi penggerak perubahan yang lebih baik untuk mensejahterakan konstituen yang memilihnya. Karena itu, perubahan sistem parlemen yang kita anut baik dalam bentuk perundang-undangan maupun tata cara bekerjanya serta susunan anggaran nya, akan berdampak banyak, bila perubahan tersebut dilakukan. Sebaliknya, bila model legislatif masih cenderung mempertahankan model Orba yang di tambal sulam, peran legilatif di masa transisi lima tahun yang lalu akan terulang kembali. Walhasil, legislatif di tingkat lokal bukan sebagai lembaga aspirasi masyarakat, tetapi akan berubah menjadi “birokrasi politik,” dan kepanjangan tangan kekuasaan, apakah itu kekuasaan partai politik, dan/atau orang-orang yang mempunyai sumber-sumber kekuasaan untuk memerintah. Selain itu, dengan menangnya partai-partai berbasis Islam di Aceh, 17
16 Harian Waspada, 23 April 2004.
18
Kompas, 10 Juni 2004. Ibid.
Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi................ (Moch. Nurhasim)
75
apakah akan ada perubahan politik yang signifikan khususnya menyangkut masalah syariat Islam, kekuasaan legislatif dan eksekutif yang dulu terkesan didominasi oleh Golkar. Menurut hemat penulis, apabila partai-partai Islam yang saat ini dominan dalam politik legislatif di Aceh “akur” dalam menyusun agenda politik, maka perubahan dari dominasi politik Golkar di eksekutif akan mengalami per ubahan. Di samping karena citra mereka yang telah rusak, ada harapan bahwa munculnya orang-orang baru dalam legislatif akan memompa perubahan sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat Aceh saat ini. Namun semua itu amat tergantung dari beberapa faktor. Pertama, apakah partai-partai Islam mampu menyusun agenda reformasi birokrasi dan legislatif yang lebih sehat, setelah citra kedua lembaga ini kotor oleh korupsi. Kedua, sejauhmana partai-partai Islam mampu mengadopsi pemikiran-pemikiran yang cerdas untuk menyelesaikan persoalan Aceh dan mengganti kepemimpinan politik
76
eksekutif yang lebih sehat dan terfokus pada penyelesaian konflik. Bila faktor ini tidak dijadikan sebagai fokus, dan perilaku politik legislatif tetap sama dengan yang lalu, perubahan-perubahan yang diharap kan oleh konstituen dan masyarakat Aceh secara umum akan sulit terjadi. Daftar Pustaka Arifin, Moh Samsul 2004-03-10 12:11:59 dalam http://www.acehkita.com. http://www.acehkita.com, 9 April 2004. , 1 Maret 2004. http://www.koalisi-ham.org/lim77 pelanggaran pemilu di nad2004.htm. h t t p : //w
w
w
.a c c h k it a .c o m
Harian Waspada, 23 April 2004, 12 Mei 2004, 21 Mei 2004, 14 Mei 2004. Kompas, 10 April 2004, 10 Juni 2004, 17 Juni 2004. Koran Tempo, 1 Maret 2004. Republika, Mei 2004.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 61-76
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek Gerakan Reformasi di Iran Oleh : Indriana Kartini
Abstract Reformism is the b elief that gradual changes in a society can change its fundamental structures. This b elief also has a great influence in the mind o f many Iranian people whose struggle for a change, including the mullahs and politicians that led them changed their fa ce from radical to moderat e in a tremendous movement called “the reform m ovem ent”. This movement has crystallized since Mohammad Khatami has been elected as the President o fth e Islamic Republic o f Iran in 1997 and this event becam e the first victory o fth e reform movement. The second victory was obtained by the reformist or the leftist in the 6th parliam entary (Majlis) election in 2000, which strengthened the reform movement. But the scene o f victory now has been turning back into the hands o f the conservative o r the rightist. In the 7lh parliam entary election, the rightist who has changed to pragmatic fa ce won the m ajority o f the M ajlis seat. This political change happened because o f the disillusioned o f Iranian people has frustrated by the leftist due to their failure to bring into reality their reform promises. Therefore, solving the p e o p le ’s problem will be the big task o f the seventh Majlis, regardless o f which faction form s the majority.
Pendahuluan Dinamika politik Iran senantiasa mengundang sorotan dunia internasional. Menginjak 25 tahun usia Revolusi Islam Iran, negeri kaum “mullah” di Teluk Persia tersebut melangsungkan hajat nasional. Yakni berlangsungnya pemilu parlemen ke-7 pada 20 Februari 2004 yang dilaksanakan secara serentak di Iran meski sempat terancam gagal akibat situasi politik yang memanas menjelang pemilu. Memanasnya suhu politik di Iran diwarnai oleh ancaman kubu “reformis” (kiri) yang menguasai parlemen (Majlis) untuk memboikot pemilu sebagai respons terhadap keputusan Dewan Garda yang mendiskualifikasi ribuan calon anggota Majlis yang berasal dari kubu kiri. Bahkan, kubu kiri juga mengusulkan agar pemilu ditunda karena dipandang tidak legitimate, namun usulan tersebut dimentahkan oleh keputusan Pemimpin Spiritual Ali Khamenei yang juga didukung oleh Presiden Khatami untuk melangsungkan pemilu sesuai jadwal yang ditetapkan. Sesuai dengan prediksi sebelum nya, pemilu parlemen ke-7 Iran pada akhirnya memang dimenangkan oleh kubu “konservatif’ (kanan). Kemenangan kubu
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek
kanan menandai pula berakhirnya domi nasi kubu kiri di parlemen yang hanya bertahan satu periode dan mengembalikan dominasi ke tangan kubu kanan yang telah menguasai parlemen sejak berdirinya Republik Islam Iran 1979. Kembalinya dominasi kaum mullah “konservatif’ di parlemen tentu saja menimbulkan kekhawatiran tidak hanya bagi publik Iran namun juga bagi masyarakat internasional. Akankah gerakan reformasi Iran yang dikomandoi kubu kiri akan lumpuh seiring dengan derasnya gempuran kubu kanan, ataukah kekalahan kubu kiri ini merupakan strategi untuk merapatkan kembali barisan reformis yang terpecah-belah belakangan ini? Oleh karena itu tulisan ini akan mengulas isu tersebut dan mencoba menganalisis prospek gerakan reformasi di Iran pasca pemilu parlemen ke-7. Manuver Politik Kubu Kanan Menjelang Pemilu Menjelang pemilu parlemen ke-7 situasi politik Iran menunjukkan derajat ketegangan yang cukup tinggi. Hal ini dipicu oleh manuver Dewan Garda yang juga salah satu pilar kekuatan kubu kanan,
( Indriana Kartini)
77
dengan mendiskualifikasi sekitar 2.500 calon anggota Majlis (parlemen) dari 8.200 calon yang terdaftar. Tindakan Dewan Garda tersebut bukan sesuatu hal baru karena memang Dewan Garda memiliki otoritas untuk menyeleksi dan meloloskan calon anggota Majlis. Dalam sistem politik Iran, badan legislatif terdiri dari dua institusi penting, yakni Parlemen (Majlis) dan Dewan Garda. Majlis-e-Shura-ye Islami (Majlis Konsultatif Islam) yang berperan sebagai parlemen Iran, terdiri dari 290 anggota yang dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Kekuasaan dan fungsi Majlis diatur dalam Konstitusi Republik Islam Iran pasal 71-90. Lembaga ini memiliki peran strategis dalam sistem politik Iran yang dijamin dalam Konstitusi Republik Islam Iran yang menekankan peran Majlis dalam pembuatan kebijakan dan pembuatan keputusan fundamental di negara tersebut. Dalam pasal 84 Konstitusi Republik Islam Iran disebutkan tanggung jawab yang diemban anggota Majlis secara umum, yaitu: “Setiap anggota Majlis bertanggung jawab kepada seluruh bangsa dan berhak melahirkan pandangan-pan dangan mengenai seluruh urusan negara dalam negeri maupun luar negeri.” Berdasarkan pasal 93 Konstitusi Republik Islam Iran, lembaga Majlis tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa keberadaaan Dewan Garda. Sementara itu, dalam pasal 91 disebutkan bahwa Dewan Garda mempunyai tugas utama menjamin agar keputusan-keputusan Majlis tidak mengabaikan ajaran-ajaran Islam dan prinsip-prinsip Konstitusi. Dewan Garda memiliki 12 anggota yang terdiri dari enam orang fuqaha yang ditunjuk oleh Dewan Keimaman dan enam ahli hukum yang diajukan kepada Majlis oleh Dewan Kehakiman Tertinggi untuk masa jabatan enam tahun. Semua anggota Dewan Garda ditunjuk oleh Khamenei sebagai Pemimpin Spiritual, baik secara langsung maupun tak langsung.
78
Dalam sistem politik Iran, lembaga transendental memiliki otoritas yang lebih besar dibandingkan lembaga profan.1 Sehingga dalam hal ini, secara kelembagaan otoritas Dewan Garda kurang signifikan karena pengaruh pemimpin spiritual yang sangat besar terhadap institusi tersebut. Namun, dalam konteks politik kontemporer Iran dewasa ini yang diwarnai oleh pertarungan kubu kanan dan kiri, otoritas Dewan Garda sangatlah besar. Dalam proses pemilu di Iran, mulai dari pemilihan anggota Dewan Ahli hingga pemilihan presiden, Majlis, dan pejabat pemerintah harus dilakukan di bawah kontrol Dewan Garda. Lembaga tersebut memiliki kewenangan menolak atau me nerima calon anggota parlemen. Manuver yang dilakukan Dewan Garda menjelang pemilu parlemen kali ini menjelma menjadi sebuah kontroversi karena mayoritas caleg yang didiskualifikasi berasal dari kubu kiri termasuk sejumlah anggota Majlis yang masih aktif dengan alasan mereka tidak memenuhi syarat dilihat dari sudut pandang agama. Sebanyak 1.200 kandidat didiskualifikasi karena dianggap tidak menghormati ajaran Islam, sedangkan 1.370 kandidat lainnya didiskualifikasi karena dianggap tidak mampu. Sebagian besar kandidat yang didiskualifikasi berasal dari kubu kiri termasuk lebih dari 80 anggota Majlis (parlemen) saat ini, dari total 290 anggota Majlis Iran.2 Manuver politik tersebut justru membawa Iran kepada krisis politik — yang bisa dikatakan terburuk -— semenjak Revolusi Islam Iran 1979. Ketegangan semakin memuncak tatkala kaum garis keras Iran menyerang anggota parlemen kiri “reformis” dalam 1 Lembaga transendental seperti Velayat-e Faqih (pemimpin spiritual), Pengawal Tradisi, Lembaga Keilmuan (Khuzah Al Ilmiyah), dan Dewan Ahli. Sedang lembaga profan seperti Lembaga Kepresidenan, Dewan Pengawas Kepentingan Negara, Dewan Tinggi Keamanan Nasional, Parlemen, dan Dewan Garda. Lihat, Musthafa Abd. Rahman, Iran Pasca Revolusi:
Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif, (Jakarta: Kompas, 2003), hlm.87. 2 “Buyarnya Harapan Kubu Reformis Iran”, dalam Kompas, 17 Februari 2004.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1.2004: 77-94
sebuah pertemuan untuk menggalang upaya pemboikotan pemilu. Menurut kantor berita IRNA, sekitar 200 anggota gerakan radikal Hezbollah Islam menyerbu masuk ke gedung tempat diselenggarakan nya pertemuan di kota Hamedan dan mencederai sejumlah pembicara, termasuk pemimpin mahasiswa Said Razavi Fagih, anggota parlemen reformis Hossein Loghmanian, serta Hossein Mojahed, ketua partai pro-reformasi Front Partisipasi Islam Iran (IIPF).3 Dalam rangka mengakhiri krisis politik yang terjadi maka Majlis mengeluarkan rancangan undang-undang (RUU) yang pertama kali dilakukan sejak Revolusi Islam 1979. RUU ini disusun dengan tujuan utama membatalkan pendiskualifikasian ribuan caleg reformis yang akan bertarung dalam pemilu parlemen ke7. Pasal-pasal yang menjadi inti dari RUU di antaranya adalah: Pertama, RUU disusun sebagai dasar mengamandemen UU Pemilu; Kedua, mendesak Dewan Garda untuk membatalkan pendiskualifikasian anggota parlemen yang sudah disetujui kelayakannya pada pemilu parlemen lalu dapat berkompetisi dalam pemilu, kecuali terdapat bukti-bukti hukum kuat yang menunjukkan bahwa mereka memang tidak layak dipilih; Ketiga, menuntut Dewan Garda untuk meloloskan siapa pun yang akan menjadi calon anggota legislatif jika yang bersangkutan telah dinilai oleh dewan pengawas pemilu daerah sebagai tokoh yang setia terhadap Islam dan pemerintah Islam yang berkuasa. RUU darurat yang diajukan Majlis dengan harapan mengakhiri krisis politik ternyata sia-sia belaka. Dewan Garda kembali menggunakan hak vetonya untuk menolak RUU tersebut karena dianggap inkonstitusional atau tidak sesuai dengan syariat Islam. Penolakan tersebut pada akhirnya semakin meningkatkan ke tegangan politik yang telah terjadi antara kubu kiri dan kanan. Dalam sidang parlemen yang disiarkan secara langsung melalui radio, anggota parlemen reformis terkemuka, Mohsen Mirdamadi, menyata Kompcts Cyber Media, 24 Januari 2004.
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek
kan bahwa usaha legislasi untuk memper baharui UU Pemilu harus ditinggalkan karena melanjutkan usaha ini hanyalah siasia. Sebenarnya dalam mekanisme politik Iran, Dewan Kemaslahatan Negara (Expediency Council) yang saat ini dipimpin oleh mantan Presiden Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, bertugas menyelesai kan perselisihan antara Majlis dan Dewan Garda. Namun, kemungkinan besar Dewan Kemaslahatan Negara akan menentang usaha kubu kiri dan cenderung membela kepentingan kubu kanan. Oleh karena itu bagi kubu kiri di parlemen, mengirim RUU kepada Dewan Kemaslahatan Negara juga tak akan menyelesaikan persoalan karena netralitas Dewan Kemaslahatan Negara diragukan. Keputusan Dewan Garda tentu saja menimbulkan reaksi keras dari politisi kiri khususnya di tubuh Majlis yang mereka kuasai. Sebagai protes atas keputusan Dewan Garda, lebih dari sepertiga anggota Majlis Iran atau sekitar 117 anggota mengundurkan diri. Pengunduran diri massal tersebut tentu saja akan mem pengaruhi parlemen dalam menjalankan fungsinya, karena untuk memulai sebuah sidang parlemen harus mencapai kuorum sebanyak dua pertiga anggota. Reaksi keras lainnya juga dilakukan oleh sekitar 54 anggota Majlis yang mengancam akan memboikot pemilu parlemen jika Dewan Garda tetap tidak meloloskan caleg reformis dan membatasi hak pilih rakyat Iran. Kubu kiri menganggap kubu kanan melancarkan taktik totaliter dan diktator untuk memuluskan jalan memenangkan pemilu parlemen sekaligus mengembalikan dominasi kubu mullah “konservatif’ atas parlemen Iran yang direbut kubu mullah “reformis” pada pemilu sebelumnya. Situasi tersebut pada akhirnya membawa posisi yang dilematis bagi Presiden Khatami dalam menyikapi krisis politik yang terjadi. Presiden Khatami yang tentunya akan kehilangan banyak pendukungnya di Majlis, bereaksi keras dan menyetujui untuk menunda pemilu perlemen 20 Februari mendatang. Namun, kekuasaan presiden Iran sangatlah terbatas,
( Indriana Kartini)
79
sehingga mau tidak mau, Khatami harus tunduk pada keputusan pemimpin tertinggi, Iran, Ali Khamenei yang tetap menginginkan pemilu parlemen dilaksana kan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Oleh karena itu untuk meredakan ketegangan politik yang terjadi, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Hoseini Khamenei pada akhirnya meminta Dewan Garda untuk “mempertimbangkan kembali” keputusan pendiskualifikasian calon anggota legislatif dari kubu kiri. Hal ini di khawatirkan dapat menimbulkan per pecahan dalam tubuh pemerintahan. Setelah Khamenei turun tangan, pada akhirnya Dewan Garda melunak dan merevisi kembali keputusannya dengan meloloskan sekitar 1.160 nama dari jumlah 3.600 nama yang sempat didiskualifikasi. Namun, lebih dari 2.400 kandidat tetap terdiskualifikasi, termasuk para pemimpin kubu kiri, seperti Mohammad Reza Khatami, pemimpin Front Partisipasi Islam Iran sekaligus adik kandung Presiden Khatami, Behzad Nabavi, Deputi jubir parlemen, serta Elaheh Koulaee dan Fatemeh Haqiqatjou, aktivis pembela hakhak wanita. Menjelang pemilu parlemen juga diwarnai oleh aksi pembredelan dua media massa kiri, yakni Shargh dan Yas-e No oleh Pengadilan Republik Islam Iran yang dikuasai kubu kanan.4 Kedua surat kabar tersebut berani mempublikasikan sebuah surat terbuka dari para anggota parlemen yang aktif dari kubu kiri yang mem pertanyakan peran Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dalam pendiskualifikasian massal yang dilakukan Dewan Garda terhadap para kandidat kubu kiri.5 Surat terbuka sebanyak enam 4 Bersamaan dengan berita pembredelan tersebut, tersiar kabar bahwa partai kiri pro-reformis terbesar pimpinan Reza Khatami, IIPF, juga diperintahkan untuk dibubarkan oleh pengadilan Republik Islam Iran. Lihat,
http://www.irannewsdailv.coni/asp /iran_news.asp. 5 Dalam surat terbuka itu, sekitar 70 politisi kiri yang mengundurkan diri dari parlemen sebagai protes menyatakan tindakan pendiskualifikasian itu telah memperlebar jurang pemisah antara rezim dan rakyat. Mereka juga mempertanyakan
80
halaman yang dibacakan dalam aksi protes anggota parlemen dari kubu kiri juga mengungkapkan keprihatinan mereka akan masa depan negara. “A parliament elected in a sham election will not be able to defend the rights o f the people or the security ofthe country. ”6 Meski dilaporkan telah menerima perintah dari Dewan Tertinggi Keamanan Nasional agar tak memuat surat tersebut, namun kedua surat kabar tersebut tetap menerbitkannya. Karena para pemilik surat kabar tersebut telah menyadari bahwa cepat atau lambat surat kabar mereka akan dibredel akibat artikel-artikel dalam surat kabar tersebut yang isinya menyerang kubu kanan dan proses diskualifikasi kandidat kubu kiri.7 Dalam menghadapi pemilu parlemen kali ini, juga tersiar kabar bahwa kubu kanan bahkan telah mencetak kartukartu pemilih palsu. Namun, Menteri Intelijen Ali Yunesi segera menepis tuduhan yang dilansir kubu kiri tersebut dan sebagaimana yang dikutip kantor berita resmi Iran, IRNA, menyatakan bahwa “tidak benar telah terjadi penyebaran kartu-kartu identitas palsu dalam jumlah besar yang tak terdeteksi oleh organisasi-organisasi pengawas dan apakah Khamenei telah ikut merestui pendis kualifikasian 2.400 calon legislator dan menutup peluang mereka untuk berkompetisi dalam pemilu, lihat, http://www.kompas.com, 4 Februari 2004. 6 Lihat, http://www.cnn.com, 19 Februari 2004. 7 Berdasarkan laporan dari sumber non pemerintah, keputusan pembredelan surat kabar Shargh akan dicabut dan Shargh diizinkan untuk terbit kembali. Analis mempercayai bahwa mantan presiden Hashemi Rafsanjani kemungkinan melakukan intervensi atas kasus pemberedelan Shargh. Hal ini dimungkinkan karena pemegang lisensi Shargh, Mohammad Atrianfar, memiliki kedekatan hubungan dengan Rafsanjani mengingat Atrianfar pernah menjabat sebagai ketua Executives of Construction Party (ECP), partai yang didirikan oleh Rafsanjani. Lihat,
http://www.irannewsdaily.com/asp/iran_news.as p. Dan memang setelah pemilu parlemen terselenggara, pemerintah mencabut kembali keputusan pembredelan Shargh pada 28 Februari 2004, dan surat kabar tersebut terbit kembali sejak 3 Maret 2004.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 77-94
pelaksana pemilu.” Ali Yunesi menambah kan bahwa tuduhan-tuduhan tersebut merupakan bagian dari perang urat saraf yang dilancarkan terhadap Republik Islam yang telah berusia 25 tahun.8 Kemenangan Kubu Kanan Pragmatis: Kekalahan Musuh Iran? Meski dibayang-bayangi oleh per seteruan keras antara kubu kanan dan kubu kiri yang termanifestasi dalam per tentangan Dewan Garda dan Majlis, namun pada akhirnya pemilu parlemen ke-7 tetap digelar pada 20 Februari 2004. Pemungutan suara dimulai secara serentak di seluruh penjuru Iran pada pagi hari tepatnya pukul 08.00 pagi, kecuali kota Bam.9 Sekitar 46 juta rakyat Iran berusia di atas 15 tahun yang memiliki hak suara akan memilih 4.679 kandidat legislatif yang bertarung untuk memperebutkan 290 kursi parlemen. Namun, suasana per seteruan antara kubu kanan dan kubu kiri masih kental terasa. Di satu sisi, kubu kanan berusaha keras meyakinkan rakyat Iran untuk berpartisipasi dan melakukan pencoblosan di tempat-tempat pemungutan suara (TPS) yang terdapat di mesjid-mesjid dan berbagai sekolah. Radio dan televisi pemerintah secara terus-menerus menyiar kan berbagai komentar dari berbagai kalangan yang menyatakan bahwa pem berian suara menunjukkan perlawanan rakyat Iran terhadap musuh dan setiap suara merupakan tamparan ke wajah Amerika. Hal ini juga diperkuat oleh desakan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei agar rakyat Iran berbondongbondong memberikan suara sebagai sebuah langkah untuk menampar wajah “musuhmusuh” Iran. Sementara di sisi lain, kubu kiri berharap partisipasi rakyat pemilih akan merosot hingga separuh di daerahdaerah basis kekuatan mereka seperti di 8 Lihat, http://www.kompas.com, 4 Februari 2004. 9 Gempa dahsyat menimpa kota Bam pada Desember 2003, menghancurkan kota bersejarah tersebut dan menewaskan sekitar 30.000 jiwa, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pemungutan suara di kota tersebut.
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek
Teheran. Mereka juga berusaha memboikot pemungutan suara untuk menjatuhkan legitimasi pemilu sekaligus memper malukan kubu kanan.10 Yang menarik dalam pemilu parlemen Iran kali ini, perseteruan kubu kiri dan kanan juga berlangsung dalam dunia maya dan elektronik. Seperti halnya pada pemilu legislatif di Indonesia April 2004, di mana kelompok pendukung partai politik tertentu melakukan kampanye positif maupun negatif melalui perangkat elektronik, dalam pemilu legislatif Iran kali ini, para pendukung aksi boikot juga memanfaatkan internet dan layanan pesan pendek (SMS) telepon genggam untuk mempengaruhi bahkan mendesak rakyat pemilih agar tidak mencoblos atau bersikap golput. Sedangkan para pendukung kubu kanan juga berusaha menyebarkan pesanpesan yang mendesak rakyat pemilih untuk mencoblos. Menurut analis politik Iran, Davoud Hermidas Bavand, “makin kecil jumlah warga yang mencoblos, semakin besar “kemenangan diam” kubu kiri. Namun aksi boikot pemilu yang dilakukan kubu kiri tidak berhasil mem bendung kekuatan konservatif untuk memenangkan pemilu parlemen ke-7. Sesuai dengan perkiraan sebelumnya, kubu kanan pada akhirnya berhasil menguasai parlemen yang sempat direbut kubu kiri dalam pemilu parlemen ke-6. Berdasarkan perhitungan Kementerian Dalam Negeri Iran, dalam pemilu putaran pertama, kubu kanan berhasil memperoleh 150 dari 290 kursi parlemen, dan bahkan unggul di Teheran yang notabene daerah basis kekuatan kubu kiri. Sementara kubu kiri memperoleh 40 kursi dan kelompok independen memperoleh 30 kursi. Sehingga jumlah kandidat yang mem peroleh suara minimal 25 persen dan lolos pada putaran pertama sekitar 225 kandidat dari total 4.679 kandidat yang ber kompetisi. Sedangkan pemilu parlemen putaran kedua, dilaksanakan pada hari 10 Pada pemilu parlemen ke-6, tahun 2000, kubu kiri berhasil mengajak 67,2 % rakyat pemilih di seluruh negeri dan secara khusus 46,6 persen pemilih di Teheran, lihat Kompas, 22 Februari 2004.
( Indriana Kartini)
81
Jum’at, 30 April 2004 untuk memilih kandidat yang akan mengisi 64 kursi yang masih kosong." Pada pemilu parlemen kali ini, dunia internasional untuk kesekian kalinya kembali keliru dalam membaca per kembangan politik di Iran. Sejak beberapa bulan sebelum pemilu, media massa asing memprediksikan bahwa akan terjadi penurunan rakyat pemilih secara drastis akibat manuver politik Dewan Garda yang mempertajam krisis politik di Iran. Namun, kenyataan berkata lain. Pada hari Jum’at, 20 Februari 2004 dunia kembali me nyaksikan jutaan rakyat Iran berduyunduyun mendatangi tempat-tempat pe mungutan suara. Meski mengalami penurunan jumlah pemilih, namun tidak sedrastis yang diprediksikan oleh media-media lokal maupun asing. Menurut kantor berita IRNA, diperkirakan sekitar 2 juta dari 6,4 juta pemilih di Teheran, atau sekitar lebih dari 31 persen menggunakan hak pilihnya. Sementara berdasarkan informasi yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri Iran, jumlah bilik suara yang tersedia sebanyak 39.885 dengan jumlah petugas sekitar 600.000 orang, dan jumlah pemilih yang memiliki hak suara sekitar 23.725.724, dan di Teheran terdapat sekitar 1.971.748 pemilih. 12 Sedangkan pada pemilu parlemen empat tahun yang lalu, jumlah pemilih di Teheran mencapai 42 %. Sementara itu, terdapat perbedaan dalam laporan mengenai jumlah pemilih secara nasional. Media massa pemerintah melaporkan sekitar 46 juta pemilih menggunakan hak pilihnya meskipun terdapat seruan pem boikotan pemilu oleh kubu kiri. Sedangkan pihak oposisi menyebutkan terjadinya
11 Pemilu putaran kedua di Teheran — yang masih terdapat satu kursi kosong — mengalami penundaan karena alasan efisiensi biaya, hingga pemilu presiden tahun 2005. Lihat, http://en. wikipedia.org/wiki/Majlis_of_lran dan
http ’V/news. bbc.co. uk/go/pr/fr/-/l/hi/ middle_east/36452I7stm, 6 Mei 12
world/ 2004. Lihat,
hitp://en. wikipedia. org/wiki/Majlis_of_Iran.
82
penurunan jumlah pemilih, yakni hanya mencapai 20%, jauh lebih rendah dibandingkan pemilu parlemen ke-6 yang mencapai 67% pemilih yang turut ber partisipasi. Hasil pemilu parlemen menunjuk kan kemenangan kubu kanan. Namun, apabila dicermati, sebenarnya yang berhasil meraih suara terbanyak adalah kelompok kanan pragmatis atau kelompok tengah yakni Abadgaran atau Koalisi untuk Pembangunan Iran Islami {the Coallition on Developers o f Islamic Iran) yang berhasil meraih 60 persen kursi di Majlis. Platform kelompok tengah tersebut berisi seruan untuk “menghormati privasi” dan “pemberdayaan perempuan”, dan menuntut pengurangan “intervensi pemerintah dalam perekonomian.”13 Sementara itu, reformis akan diwakili oleh koalisi baru, yakni Coallition for Iran, yang terbentuk sebelum pemilu parlemen berlangsung dan terdiri dari delapan kelompok reformis. Juru bicara koalisi reformis, Ali Akbar MohthasamiPur, memutuskan untuk berkompromi dan bekerja sama dengan kelompok konservatif pragmatis dengan fokus utama pada upaya perbaikan dan kemajuan ekonomi. Pada pemilu putaran pertama telah melahirkan tokoh politik baru dari kelompok tengah, yakni Gholamali Haddad-Adel yang memperoleh suara terbanyak di kota Teheran. Haddad-Adel yang bukan berasal dari kaum mullah kemudian terpilih sebagai ketua parlemen menggantikan Mehdi Karroubi dengan perolehan suara sebesar 196 suara. Sementara itu, Mohammad-Reza Bahonar 13 Kelompok kanan pragmatis atau kelompok tengah ini didukung oleh kalangan bisnis dan kaum Bazaar (pedagang pasar). Kaum Bazaar berperan penting dalam mendanai Revolusi Islam Iran 1979. Sejak saat itulah hubungan antara kaum mullah “konservatif’ dan kaum Bazaar terjalin sangat erat. Bahkan, banyak kaum mullah “konservatif’ yang berasal dari lingkungan Bazaar, misalnya Rafsanjani, dikenal sebagai pengusaha sukses sebelum menjadi Presiden Iran (1989-93; 1993-97). Lihat Riza Sihbudi, “Geliat Negeri Kaum “Mullah”, dalam http://www.pikiranrakyat.co.id., 28 Juni 2004.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 77-94
terpilih sebagai wakil ketua I Majlis, Mohammad Hassan Abotorabi sebagai wakil ketua II, Mohsen Kohaki, Ahmad Nateq Nuri dan Hassan Nuei sebagai Komisioner, dan Hamid-Reza Haj Babaei, Jahanbakhsh Mohebinia, Alireza Zakani, Hossein Sobhani-Nia, Ahmad Musavi dan Elyas Naderan sebagai Sekretaris Majlis. Parlemen baru hasil pemilu dijadwalkan akan mulai bertugas pada 27 Mei 2004. Ketua Majlis terpilih, HaddadAdel menegaskan bahwa prioritas utama Majlis ke-7 adalah upaya perbaikan dan kemajuan ekonomi yang selama ini cenderung diabaikan oleh Majlis sebelumnya. Kubu kiri yang menguasai Majlis sebelumnya dianggap mengabaikan ekonomi di mana sektor ekonomi berada di bawah kontrol negara yang cukup ketat sehingga membuka peluang bagi praktek korupsi di kalangan birokrasi serta tidak mampu menyediakan lapangan kerja bagi dua pertiga rakyat Iran di bawah usia 30 tahun. Majlis ke-7 juga diharapkan tidak lagi bersifat faksional. Haddad-Adel mengungkapkan harapannya: “I hope the high w ali separating the political faction s in the 6"' M ajlis will be dismantled, a w ali that has caused tension in the previous parliament. ”14
Bagi kubu kanan, pemilu parlemen kali ini juga mengekspresikan bukti tetap kuatnya loyalitas rakyat Iran terhadap revolusi Islam yang menginjak usia 25 tahun. Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei juga menyebutkan bahwa pemilu parlemen yang dimenangkan kubu kanan pragmatis merupakan sebuah ke menangan bangsa Iran dan Islam. Sebalik nya, menurut Khamenei, pihak yang kalah adalah Amerika, Zionisme, dan musuhmusuh bangsa Iran. Sementara itu, bagi kubu kiri, hasil pemilu parlemen tersebut merupakan sebuah “kegagalan historis” di mana rakyat Iran tidak memiliki kebebasan memilih akibat pembatasan caleg reformis oleh Dewan Garda. Rasoul Mehrparvar, salah
seorang anggota parlemen yang namanya didiskualifikasi dalam pemilu menyatakan dalam sidang terbuka parlemen yang disiarkan secara langsung oleh radio pemerintah bahwa kemenangan dalam sebuah kompetisi tanpa saingan bukan sesuatu yang hebat, melainkan sebuah kegagalan historis. Antusiasme rakyat Iran dalam pemilu parlemen kali ini juga mengejutkan berbagai media asing yang meliput secara langsung berlangsungnya pemilu parlemen di Iran. Salah seorang koresponden jaringan televisi Spanyol TVE meng gambarkan partisipasi rakyat Iran sebagai berikut: “The world has not corne to know the Iranians yet. I thought that the people would not take p a rt in the election bui now I see that like the year 2000 elections in Iran, the people ’s turn out was excellent and glorious and this warrisome fo r the Iranian's enemies. ”15*
Tingginya partisipasi rakyat Iran membuat frustasi propaganda media Barat dalam pemilu parlemen kali ini. Besarnya partisipasi rakyat dalam pemilu merupakan Sebuah pesan bagi dunia luar bahwa mereka kembali keliru membaca mengenai bangsa Iran. Antusiasme rakyat Iran tersebut juga membuktikan bahwa meski pun terdapat keinginan dan upaya AS untuk menggoyahkan dukungan rakyat Iran terhadap pemerintahan Islam, namun sebagian besar rakyat Iran tetap men dukung sistem pemerintahan Republik Islam Iran. Hal ini juga menunjukkan kematangan politik rakyat Iran yang telah berpartisipasi dalam 24 pemilihan umum sejak kemenangan Revolusi Islam 25 tahun lalu. Dan nampaknya rakyat Iran tetap memegang teguh ajaran Pemimpin Revolusi Islam Iran Imam Khomeini bahwa mengabaikan pemilihan umum sama saja dengan mengkhianati Islam dan negara.
15 14 http://www.tehrantimes.com., 23 Februari 2004.
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek
Lihat, http://www.irib.ir/worldservice/english radio , 27 Februari 2004.
( Indriana Kartini)
83
Respons Internasional dan Sikap Iran Pemilu parlemen ke-7 Iran tentu saja mengundang respons internasional. Amerika Serikat dan Uni Eropa menyata kan keprihatinannya atas pendiskualifikasi an kandidat dari kubu kiri oleh Dewan Garda dalam pemilu parlemen. Sebelum pemilu parlemen terselenggara, pemerintah AS mengingatkan bahwa parlemen Iran yang akan datang kemungkinan tak akan merefleksikan aspirasi rakyat Iran, yang pada pemilu parlemen terdahulu telah mengalihkan dukungan mereka dalam jumlah besar kepada para pemimpin reformis. Pemerintah AS melalui juru bicara Departemen Luar Negeri, Adam Ereli, menegaskan bahwa tindakan Dewan Garda tersebut tidak mencerminkan pemilihan bebas, dan jujur serta tidak sesuai dengan norma-norma internasional. Ereli menambahkan bahwa pemerintah AS mendorong pemerintah Iran untuk men dengarkan pendapat rakyat Iran dan melangsungkan pemilihan umum secara bebas dan adil.16 Menanggapi hasil pemilu, juru bicara Departemen Luar Negeri Richard Boucher mengekspresikan kekecewaan pemerintah Amerika dengan menyatakan bahwa: "It was not an electoral process that met International standards and I think you've seen other members o fth e International community say that. But we do continue to believe the Iranian people deserve a government that rcsponds to their aspirations, and we believe that desire on the p a rt o f the Iranian people w ill continue to be expressed in a variety o fw a y s ." 17
Keprihatinan yang sama juga dilontarkan oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Javier Solana. Mengomentari keputusan Dewan Garda Iran mendiskualifikasi kandidat kubu kiri dalam pemilu parlemen, Solana mengungkapkan bahwa pemilu parlemen 16 http://www.cnn.com., 14 Januari 2004. 17 http://www.parstimes.com/news/archive/
2004/voa/boucher_election. htm 1US, 23 Februari 2004.
84
Iran tidak akan dipercaya kecuali keputusan diskualifikasi tersebut dibatal kan. Dalam kunjungannya ke Teheran untuk membahas mengenai hubungan Iran dengan Eropa, Solana mengungkapkan bahwa sulit untuk menjelaskan kepada parlemen Eropa bagaimana anggota parlemen Iran yang terpilih pada pemilu sebelumnya tidak dapat berkompetisi kembali dalam pemilu kali ini.1819 Sebagai respons atas perkembangan politik yang terjadi di Iran, para menteri luar negeri Uni Eropa mengadakan pertemuan dan mengeluarkan draft pernyataan yang berbunyi: "The Council o f EU foreign ministers expressed its deep regret and disappointm ent that large numbers of candidates were prevented from standing in this year's parliam entary elections... making a genuine dem ocratic choice by the Iranian people impossible. "|lJ
Menyikapi kritikan pemerintah AS dan Uni Eropa, Pemerintah Iran melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Hamid Reza Asefi, menyatakan bahwa hal tersebut mengindikasikan campur tangan secara terang-terangan terhadap urusan dalam negeri republik Islam dan campur tangan asing tersebut hanya akan memperkeruh situasi dalam negeri Iran. Asefi juga menyatakan kemarahannya terhadap pemerintah AS bahwa “Ameri can’s statements concerning Iran's elec tions, while they avoid Holding elections in Iraq... indicate a contradiction in Ameri can policies. ”20 Kritik pemerintah AS tersebut juga dapat berlaku bagi AS sendiri. Justru pada pemilu presiden AS tahun 2000, George W. Bush memasuki Gedung Putih ber dasarkan keputusan pengadilan AS bukan berasal dari mayoritas suara rakyat, karena Bush hanya memperoleh 25 % suara. Sehingga jika AS menyebut pemilu 18 Ibid. 19http://news.bbc.co. uk/go/pr/fr/-/l/hi/world/middle east/35I2985.stm, 23 Februari 2004. 20 http://www.washingtontimes.com/upi- breaking, 10 Februari 2004.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 77-94
parlemen Iran tidak legitimate karena minimnya suara rakyat, maka berdasarkan asumsi tersebut, tentu pemilihan presiden AS tahun 2000 juga bisa dikatakan tidak legitimate pula. Gerakan Reformasi Iran dan Resistensi Kubu Kanan Naiknya Mohammad Khatami ke kursi presiden menggantikan Hojjatul Islam Hashemi Rafsanjani turut menandai era baru dalam percaturan politik Iran yang selama ini dikuasai oleh kubu kanan. Pada saat pemilu presiden 1997 untuk pertama kalinya seorang kandidat dari kubu kiri berhasil meraih suara sebesar 69% mengalahkan kandidat dari kubu kanan, yakni Ali Akbar Nateq-Nouri. Kemenang an Khatami dapat dikatakan pula sebagai kemenangan awal bagi kubu kiri. Bahkan para analis Iran melukiskan peristiwa 2 Khordad 1374 (kalender versi Persia yang bertepatan dengan 22 Mei 1997) sebagai titik balik sejarah negeri mullah pasca Revolusi Islam Iran 1979 dan menyebut nya sebagai silent revolittion dari kaum muda Iran. Meskipun terasa berlebihan, namun kemenangan Khatami mengusung gagasangagasan akan keterbukaan dalam perpolitikan Iran dan reformasi, serta komitmennya untuk menegakkan hak asasi manusia, hak-hak wanita, dan politik detente (peredaan ketegangan) dengan negara Barat dan Dunia Islam, me nunjukkan keberhasilannya menangkap aspirasi rakyat Iran yang selama ini merasa bahwa sistem politik Iran (baca: Velayat-e Faqih) tidak cukup memberi ruang bagi rakyat Iran untuk mengekspresikan pikiran dan tindakannya lebih bebas namun tetap dalam nafas Revolusi Islam yang digaris kan Imam Khomeini. Sejak saat itulah fenomena gerakan reformasi di Iran mulai muncul dan diperhitungkan dan menandai lahirnya dikhotomi kekuatan di pentas politik Iran, yakni kubu kiri “reformis” dan kubu kanan “konservatif’. Namun, kekisruhan politik mulai mewarnai periode awal pemerintah an Khatami di tahun 1998. Kelompok yang
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek
merasa tidak puas akan langkah perubahan yang diusung Khatami dan terbatasnya kebebasan berekspresi yang dirasakan di bawah pemerintahan Islam mulai melaku kan demonstrasi dalam skala besar pada awal Maret, April, dan pertengahan Mei 1998. Hal ini kemudian diperkeruh oleh serangan yang dilakukan kubu kanan yang menggunakan dua institusi politik yang dikuasainya, yakni Majlis dan lembaga yudikatif untuk menahan tokoh-tokoh yang melakukan pembangkangan. Walikota Teheran, Gholam-Husein Karbaschi di tahan pada 5 April 1998 atas tuduhan korupsi. Kemudian pada 21 Juni 1998, Abdullah Nuri diberhentikan dari jabatan sebagai menteri dalam negeri atas sikapnya mendukung aksi protes mahasiswa menentang represi konservatif serta dukungannya terhadap kebebasan pers. Tentu saja, perkembangan tersebut menunjukkan bangkitnya kembali ke kuatan konservatif untuk menghalau laju reformasi yang diusung pemerintahan Khatami sekaligus menambah kesuraman situasi politik di Iran. Perkembangan politik di tahun 2000 memberikan angin segar bagi gerakan reformasi Iran. Pada pemilu Majlis ke-6, kubu kiri sebagai kekuatan politik yang menopang Khatami berhasil menguasai 70% kursi di Majlis. Kubu reformis terdiri dari kelompok besar seperti Front Partisipasi Islam Iran (Islamic Iran Participation Front) yang memiliki kedekatan hubungan dengan Presiden Khatami dan Liga Ulama Militan (League o f Militant Clerics) yang sebagian besar diikuti ulama moderat, serta Executive of Construction Party yang beraliran tengah. Sementara kubu kanan — yang men dominasi keanggotaan parlemen sebelum nya - terdiri dari koalisi pengikut garis keras Imam (Coallition o f Followers ofthe Line o f Imam). Komponen utama koalisi tersebut di antaranya terdapat Masyarakat Ulama Militan (Society o f Militant Clergy) yang merupakan kelompok ulama konservatif terbesar dan Masyarakat Koalisi Islam (Islamic Coallition Society)
( Indriana Kartini)
85
yang dikenal sebagai kelompok garis keras. Kemenangan kubu kiri dalam pemilu parlemen tersebut menandai berakhirnya dominasi kubu kanan di tubuh parlemen Iran sejak masa Revolusi Islam Iran 1979.21 Kemenangan tersebut me nunjukkan menguatnya kekuatan kubu kiri di Iran dan menambah optimisme dan kepercayaan diri bagi Khatami untuk mewujudkan program reformasi sosial dan politik di Iran, yakni meningkatkan kebebasan pers, mereformasi lembaga pengadilan, membangun pemerintahan yang lebih transparan dan memperbaiki hubungan dengan AS. Selama tiga tahun pemerintahannya, sulit bagi Khatami untuk merealisasikan janji-janji reformisnya karena tidak didukung oleh pusat-pusat kekuatan politik Iran, termasuk Majlis yang selama ini dikuasai kalangan konservatif. Oleh karena itu, kemenangan reformis dalam pemilu parlemen tersebut memuluskan jalan Khatami untuk terpilih kembali menjadi presiden dalam pemilu tahun 2001. Namun, laju gerakan reformis Iran untuk melakukan pembaharuan sosial politik di Iran tampaknya mengalami banyak batu sandungan, khususnya dalam konteks pertarungan politik antara kubu kiri dan kubu kanan. Kendala terkini yang dihadapi bersumber pada perbedaan persepsi dalam menerjemahkan esensi Revolusi Islam Iran yang telah digariskan Imam Khomeini. Khatami bersama kubu kiri berusaha meliberalisasikan Iran dari kontrol sosial dan politik yang ketat dalam sistem Velayat-e Faqih, sementara kubu kanan yang juga mendapat dukungan dari pemimpin Velayat-e Faqih Ali Khamenei, menganggap bahwa perubahan sosial dan politik yang diusung kubu reformis justru akan mengikis nilai-nilai dan semangat revolusi Islam yang pada akhirnya bisa 21 Meskipun kubu kanan kehilangan kursi presiden, para dewan wali kota, dan parlemen, namun mereka masih kuat di departemen-departemen, Dewan Penjaga Undang-Undang, Dewan Konsultan, Dewan Pemelihara Kemaslahatan, lembaga yudikatif, sektor ekonomi, dan aparat keamanan, khususnya pengawal revolusi.
86
meruntuhkan Republik Islam Iran. Seperti halnya Glasnost dan Perestroika-nya Mikhail Gorbachev yang justru mengantar pada keruntuhan negara komunis Uni Soviet. Berangkat dari kekhawatiran itulah, kubu kanan menghantam salah satu pilar kekuatan reformis, yakni media massa, yang merupakan ujung tombak dalam memobilisasi rakyat guna mendukung agenda reformasi. Sejak akhir Maret 2000, tak lama setelah kubu kiri memenangkan pemilu parlemen ke-6, sekitar 16 media massa kiri telah dibredel, serta sejumlah wartawan dan intelektual ditahan. Termasuk koran proreformis Mosharekat — dengan tiras mencapai satu juta eksemplar dalam sehari — yang diterbit kan oleh saudara kandung Presiden Khatami, Dr Reza Khatami, juga dibredel. Koran reformis yang tersisa hanya satu, yakni harian Bayan yang beroplah kecil.22* Blunder politik kubu kanan tersebut diawali oleh keprihatinan pemimpin spiritual Ali Khamenei yang menyerang media massa kiri dengan sebutan corong musuh-musuh Islam serta mengadopsi “reformasi ala Amerika” yang notabene masih dianggap sebagai Syaitan Buzurg (Setan Besar) oleh bangsa Iran. Kubu kanan kemudian memperoleh momentum di mana pada saat konferensi di Berlin yang diselenggarakan oleh oposisi Iran di luar negeri, sejumlah tokoh reformis turut menghadiri konferensi yang mengutuk pelanggaran hak asasi manusia di Iran sejak kemenangan revolusi tahun 1979. Televisi Iran kemudian menyiarkan langsung adegan dansa pria dan wanita
22 Sejumlah koran kiri, untuk pertama kalinya membongkar oknum-oknum dari dinas intelijen yang terlibat aksi pembunuhan terhadap sejumlah intelektual dan budayawan Iran. Menurunnya posisi mantan Presiden Hashemi Rafsanjani dalam pemilu anggota parlemen putaran pertama (menduduki urutan terakhir dari 30 anggota parlemen terpilih, dari wilayah Kota Teheran-Red), antara lain juga akibat peran media massa kiri yang mengkritik tajam berbagai penyimpangan pada era pemerintahannya 19891997. Lihat, Mustafa Abd. Rahman, op.cit, hlm.68.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 77-94
Iran dengan busana terbuka dalam konferensi itu. Akibatnya kubu kiri menuai kutukan keras bahkan Presiden Khatami turut merasa terpojok oleh skandal konferensi Berlin tersebut. Oleh karena itu kecaman pemimpin spiritual Iran kemudian disambut oleh kubu konservatif dengan memberangus sejumlah besar koran reformis. Karena bagi kubu kanan, kebebasan berbicara, mengeluarkan pen dapat, dan menerbitkan surat kabar — yang menjadi salah satu agenda utama pemerintahan Khatami — sangat berlebihan dan mengancam ideologi revolusi Islam Iran.2’ Sementara bagi kubu kiri “the press is the reform movement and the reform movement is the press. ” Disilusi Rakyat Iran Terpilihnya Mohammad Khatami sebagai Presiden Iran pada pemilu 1997 dianggap sebagai simbol kemenangan kelompok kiri bahkan Khatami dianggap sebagai simbol modernisme Iran. Rakyat Iran yang haus akan perubahan memberikan dukungan penuh terhadap presiden yang juga memiliki pemahaman mendalam mengenai peradaban Barat. Dalam kampanye pemilu, Khatami meng angkat isu yang bernuansa retorika filsafat Barat, yakni “toleransi, modernisme, dan keterbukaan”. Gagasan-gagasan reformis Khatami telah memikat tidak hanya publik Iran, tapi juga masyarakat internasional pun me nyambut gagasannya mengenai dialog antarperadaban, khususnya antara Islam dan Barat yang dikampanyekan dalam pidato kenegaraannya di hadapan parlemen Iran setelah terpilih sebagai presiden 1997 dan pada saat konferensi VIII OKI 9 Desember 1997 di Teheran. Kerinduan rakyat akan keterbukaan, pembaruan, dan keadilan telah mempertemukan mereka dengan misi Khatami yang mengusung isu “toleransi, modernisme, dan keterbukaan”. Hal tersebut menciptakan sinergi kuat antara rakyat dengan pemimpin negara 21Ibid. Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek
karena legitimasi rakyat diberikan sepenuhnya kepada pemerintahan Khatami yang diharapkan akan melakukan per ubahan di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Meskipun mendapat dukungan dari Majlis yang dikuasai kubu kiri, namun perubahan yang dijanjikan Khatami belum dirasakan rakyat Iran. Jika sebelumnya rakyat memberikan kepercayaan penuh kepada Khatami, kini kepercayaan tersebut perlahan memudar, tak terkecuali generasi muda Iran yang merupakan agen utama perubahan di Iran. Kekecewaan tersebut mencapai puncaknya tatkala terjadi aksi unjuk rasa berdarah mahasiswa Iran bulan Juli tahun 1999 yang sekaligus menjadi lonceng awal kegagalan strategi moderasi Khatami. Bahkan aksi unjuk rasa mahasiswa di Iran yang berkobar selama pertengahan Juni 2003 mengingatkan kembali memori akan gerakan-gerakan mahasiswa yang bersejarah dan membawa perubahan mendasar di Iran.24* Namun, apabila dicermati secara seksama, terdapat perbedaan antara aksi unjuk rasa mahasiswa tahun 1999 dengan tahun 2003. Aksi unjuk rasa mahasiswa tahun 1999 yang memprotes RUU pers baru yang diajukan kubu kanan di Majlis dan pembredelan Koran pro-reformasi Salam, masih menggunakan payung politik kubu kiri dan berada dalam koridor gerakan reformis. Sementara itu, aksi unjuk rasa mahasiswa tahun 2003, tidak mengusung program reformis, melainkan menyerang simbol negara, termasuk Presiden Khatami yang selama ini menjadi inspirator gerakan mahasiswa. Oleh karena itu timbul kecurigaan bahwa aksi unjuk rasa tersebut bukanlah gerakan mahasiswa mumi. Melainkan telah ditunggangi oleh pihak-pihak asing yang menginginkan perubahan radikal dalam republik Islam Iran, khususnya melemahkan posisi Velayat-E Faqih sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam sistem politik Iran.
24 Besarnya peranan mahasiswa dapat dicermati dalam Revolusi Konstitusi Iran tahun 1906 pada masa Dinasti Pahlevi, serta Revolusi Islam Iran tahun 1979 pimpinan Ayatollah Khomeini.
( Indriana Kartini)
87
Berdasarkan kecurigaan tersebut, Pemim pin Spiritual Ali Khamenei menyebut para pengunjuk rasa sebagai antek-antek AS dan Zionis. Para mahasiswa Iran saat ini merupakan generasi muda yang tidak turut menyaksikan luapan kegembiraan atas kemenangan revolusi Islam maupun masa isolasi dunia internasional. Bahkan mereka tidak merasakan pengalaman unifikasi atau konsolidasi kekuatan ketika terjadi perang melawan Irak.25 Bagi generasi muda Iran saat ini, revolusi Islam 1979 merupakan sebuah kenangan lama dengan gaung yang lemah. Sementara itu upaya kaum konservatif untuk terus menyegarkan memori akan jasa-jasa para syuhada Iran dapat dikatakan sebagai sebuah langkah untuk mempertahankan patronasi dan hakhak istimewa yang dinikmati sejak revolusi Islam. Faktor-faktor yang memobilisasi kaum muda Iran adalah represi sosial dan budaya yang mereka tanggung serta masa depan yang kurang menjanjikan akibat meningkatnya angka pengangguran. Dalam sebuah polling yang ditujukan bagi para mahasiswa, sekitar 84% mahasiswa tidak setuju dengan haluan negara Republik Islam Iran.26 Kekhawatiran akan masa depan dirasakan generasi muda Iran mengingat lapangan kerja yang tersedia hanya sekitar 350.000 bagi satu juta pencari kerja di Iran. Akibat adanya deprivasi ekonomi dan pembatasanpembatasan kultural telah mengubah arah gerakan kelompok-kelompok mahasiswa Iran. Jika sebelumnya mereka berperan sebagai perangkat pemerintah dan cenderung bersikap lunak dan partisipatoris terhadap pemerintah, namun kini gerakan mereka bersifat radikal. Salah satu organisasi mahasiswa yang mengilustrasikan evolusi tersebut 25 Untuk memahami konsolidasi kekuatan di Iran masa revolusi, lihat Riza Sihbudi, Dinamika
Revolusi Islam Iran, Dari Jatuhnya Syah Hingga Wafatnya Ayatullah Khomeini, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 179-182; Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, Perang Iran-Perang Irak, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm.63-75. 26 Iran Times, 2 Agustus 2002.
88
ialah Kantor Pengokohan Persatuan (Office for Consolidation o f Unity). Organisasi ini dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1980an sebagai instrumen indoktrinasi revolusi. Organisasi ini kemudian menjadi salah satu pendukung utama strategi reformasi gradual Khatami. Kini, setelah beberapa pemimpinnya berada di balik penjara, organisasi tersebut kemudian mulai meninggalkan dukungannya terhadap reformasi yang dilakukan bertahap dan menginginkan perubahan secepatnya. Sehingga aksi unjuk rasa di jalan pun menjadi pilihan terbaik saat ini. Semangat defian dalam diri kaum muda terefleksi dalam pernyataan salah seorang pemimpin mahasiswa, ‘Ali Afshari, yang menyerang kebijakan kaum konservatif sebagai “destruktif dan represif,” serta menganggap strategi gradualisme-nya Khatami bersifat “mandul.”27 Protes yang dilancarkan para mahasiswa tersebut mengganggu bahkan mengejek Presiden Khatami dengan meneriakkan “moderasi merupakan peng halang reformasi”28 Demonstrasi mahasis wa Iran juga menjadi pelopor oposisi nasional terhadap putusan hukuman mati Hashem Aghajari29*, seorang Guru Besar Sejarah yang menyerukan “pembaharuan religius” dan menantang para ulama dengan menyatakan bahwa Muslim
27 Financial Times, 5 September 2002. 28IRNA, 23 Desember 2001. 29 Pada musim panas 2002, Hashem Aghajari. seorang veteran perang yang mengalami cacat tubuh sekaligus guru besar sejarah menyampaikan pidato yang eksplosif di kota Hamedan yang isinya mengecam negara agama yang berkuasa di Iran saat ini. Pada November 2002, hakim di Hamedan mendakwa Aghajari atas perbuatan menghujat negara, sehingga berdasarkan hukum Islam dan Iran patut diganjar hukuman mati. Namun, setelah protes yang dilancarkan mahasiswa dan pejabat pemerintah dari kalangan reformis di parlemen. Pemimpin Spiritual Ali Khamenei kemudian meminta agar keputusan terhadap Aghajari dipertimbangkan kembali. Pada Januari 2003, pengadilan tinggi Iran membatalkan putusan tersebut dan memerintahkan persidangan ulang atas kasus Aghajari.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 77-94
“seharusnya tidak secara buta mematuhi para pemimpin agama.”30 Kasus Aghajari menggambarkan bagaimana sebuah keyakinan revolusioner yang bersumber dari aspirasi rakyat dianggap sebagai melawan sistem, juga menggambarkan kapasitas gerakan mahasiswa sebagai mobilisator nasional. Perjuangan kaum muda Iran untuk menciptakan tatanan yang berbeda serta menolak menjadi kaum marjinal, diawali melalui pemilihan umum dan kini melalui konfrontasi dijalan. Demonstrasi mahasiswa bahkan telah mendobrak salah satu tabu utama dalam republik Islam, yakni dengan me nyerukan penghapusan jabatan Pemimpin Spiritual dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran. Dalam sebuah demonstrasi, slogan yang diusung adalah mengenai keputusasaan akibat berbagai kesulitan yang dialami rakyat. Para mahasiswa tersebut menuntut pemerintah untuk memahami perkembangan terkini dan memetik pelajaran dari pengalaman pahit pemerintahan-pemerintahan nondemokratis yang tidak mendapat dukungan rakyat. Masalah ekonomi (baca: peng angguran) yang dialami kaum muda juga dirasakan oleh kalangan menengah yang mengalami penurunan standar hidup akibat penghasilan yang stagnan serta tingginya inflasi. Pada tahun 2003, aksi unjuk rasa para pekerja dan mahasiswa berlangsung di beberapa kota termasuk Teheran, Isfahan, Arik, Alborz, dan Shiraz. Pada musim dingin 2001-2002, sekitar 2 juta guru juga profesional yang mempunyai penghasilan antara US $130 dan US $200 per bulan - berkali-kali turun ke jalan memprotes memburuknya daya beli masyarakat. Sebenarnya, Iran memiliki potensi pasar terbesar di kawasan Teluk Persia sehingga memungkinkan terjadinya per tumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Lihat, Ray Taykeh, “Iran at Crossroads”, Middle East Journal, Vol. 57, N o.l, Winter 2003, hlm.49.
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek
mingguan ekonomi, Business Week (edisi 2 Juni 2004), menunjukkan bahwa Iran dengan populasi sekitar 69 juta jiwa memiliki cadangan hard currency (mata uang negara yang stabil secara politik dan ekonomi) sebesar $35 miliar, PDB per kapita $6.800, dan pertumbuhan PDB 5,9%. Oleh karena itu, menurut ekonom Iran Saeed Laylaz, apabila pemerintah saat ini bisa mengatasi masalah politik dan sosial maka Iran dapat membukukan pertumbuhan sebesar dua digit. Disilusi yang dirasakan generasi muda Iran dirasakan pula oleh beberapa ulama. Di antaranya adalah ulama senior, Ayatullah Jalaleddin Taheri.31 Dalam pidato pengunduran dirinya sebagai Imam Jumat Isfahan, Taheri mengungkapkan kekecewaannya terhadap kaum konservatif bahwa: Genghis-like behavior, acting against the people and the law, isolating thinkers, paralyzing the government and throwing the country to the wind which will lead things to an inauspicious end... When the fire begins, it burns absolutely everything,32 Tersendatnya reformasi sosial dan politik yang dijalankan Presiden Khatami sejak 1997 - bahkan oleh sebagian besar kalangan dianggap gagal-serta kontroversi menjelang pemilu parlemen ke-7 dengan dicoretnya sebagian besar caleg reformis turut menambah daftar kekecewaan rakyat, termasuk kaum muda Iran. Hal ini mengakibatkan sebagian kaum muda Iran memilih untuk bersikap golput karena kebebasan yang mereka harapkan tidak kunjung mereka peroleh. Sehingga bagi mereka sia-sia belaka memberikan suara kepada reformis dalam pemilu parlemen 31 Sebelumnya, ulama senior Ayatullah Hussein Ali Montazeri yang pernah menjadi calon pengganti Khomeini, juga mengkritik pemerintah yang mengakibatkan dirinya dibungkam dan dikenai tahanan rumah pada tahun 1989. Setelah Montazeri, tidak ada lagi ulama yang berani menentang sikap otoriter pemerintah, hingga muncullah Taheri yang juga mengkritik kubu kanan yang menguasai pemerintahan saat ini. 32 Nowruz, 10 Juli 2002, dalam Taykeh, hlm.47.
( Indriana Kartini)
89
ke-7, karena reformis pun tak mampu menghadapi status quo yang dinikmati kaum konservatif. “Young people are disappointed now. We want more freedoms, but we dori’t have them, so I think most ofus will not be voting. There is no point. ”33
satunya pilihan yang ada saat ini. Menurutnya, rakyat Iran telah menyadari bahwa selama berkuasanya pemerintahan reformis di bawah Khatami, pemeliharaan dan perlindungan atas status quo tidak akan membawa kemajuan maupun perubahan. Aghajari menambahkan bahwa:
Besarnya angka pengangguranmeliputi dua pertiga rakyat Iran berusia di bawah 30 tahun - juga mengakibatkan kekecewaan kaum muda yang berujung pada pilihan golput yang diambil sebagai sebuah sikap politik kaum muda yang dialamatkan kepada kubu kiri maupun kanan. Bagi mereka, para politisi hanya berjuang untuk kepentingan diri sendiri, sehingga sebuah hal yang memalukan apabila para politisi tersebut meng harapkan generasi muda memberikan suara, sementara para politisi itu sendiri tidak memperjuangkan nasib mereka. “The reformists are always talking about freedom and democracy. And the conservatives talk about religion. But what good is any o f that ifyou can’t get a job?34 Hal ini menunjukkan bahwa pragmatisme tumbuh dalam diri generasi muda Iran akibat kekecewaan terhadap pemerintahan Khatami, meski angin perubahan telah dihembuskan sejak Khatami terpilih menjadi presiden Iran 1997. Di samping generasi muda Iran yang terus meneriakkan perubahan, Hashem Aghajari yang saat ini masih mendekam di penjara dengan tuntutan hukuman mati, juga mengungkapkan kecamannya dalam surat terbuka yang dipublikasikan oleh surat kabar mahasiswa Iran, ISNA. Aghajari mengungkapkan bahwa dengan diadakannya pemilu legislatif di mana rakyat tidak memiliki kebebasan untuk memilih kandidat mereka merupakan titik akhir bagi reformasi dalam rezim republik Islam dan perlawanan yang bersifat pasif tampaknya merupakan satu-
“We are witnessing a comical repetition o f history: in a very short period o f time, the democratic fa ce of the Iranian constitution is going to be turned into an autocratic face. The current generation should be given the right to choose their own structure o f govem m ent and constition. The Iranian people should..., with passive resistance, tell the totalitarians: No.
t
33 Pernyataan ini diungkapkan oleh Leila, gadis Iran berusia 21 tahun dalam sebuah wawancara, lihat http://www.cnn.com., 16 Februari 2004. 1 Ali, pemuda Iran berusia 19 tahun, mengungkapkan kekecewaannya atas sulitnya memperoleh pekerjaan di Iran, lihat http://www.cnn.com., 16 Februari 2004.
90
Prospek Gerakan Reformasi Iran Disilusi yang dirasakan rakyat Iran, termasuk generasi muda dan ulama serta akademisi menimbulkan kekhawatiran akankah gerakan reformasi di Iran akan lumpuh seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak baik di dalam negeri maupun dunia internasional. Tampaknya, kita tidak bisa dengan mudah memvonis mati reformasi yang tengah berlangsung di Iran. Sebab, meskipun bermunculan nada pesimistis khususnya yang diungkapkan para pengamat di Barat, gerakan reformasi di Iran belum habis sama sekali. Bahkan gerakan tersebut justru baru memulai fase baru dan signifikan. Di bawah kendali generasi politisi muda dan aktivis mahasiswa, gerakan reformasi telah mengubah taktik mereka, yakni diawali perjuangan melakukan perubahan dari dalam sistem menjadi melakukan tekanan dari luar sistem. Fase baru dari gerakan reformasi tersebut dimulai pada Juli 2002 dalam pertemuan tahunan partai pro-reformasi terbesar Iran, yakni Front Partisipasi Islam yang diketuai oleh Muhammad Reza Khatami dan saat itu menguasai 130 dari 290 kursi parlemen Iran. Dalam pertemuan tersebut Reza Khatami menegaskan sikap partainya bahwa “I f the conservatives do not heed the public demands we will 35 Lihat http://www.cnn.com., 15 Februari 2004.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 77-94
withdraw the reformist present from the regime, leaving power that lacks sufficient base o f legitimacy. ”36 Pernyataan tersebut mencerminkan pencanangan strategi baru kubu kiri “reformis” guna menekan rezim dari luar sistem. Termasuk di dalamnya penarikan mundur perwakilannya dari dalam sistem guna mengurangi legitimasi rakyat terhadap pemerintah. Senada dengan Reza Khatami, tokoh reformis lainnya seperti Rajab ‘Ali Mazru’i, juga menekankan bahwa “I f we come to a point where reforms fail to give results, we will leave the government. ” Mencermati perubahan sikap kubu kiri “reformis” tersebut, surat kabar Nowruz menggambarkan fenomena tersebut dengan mengungkapkan bahwa “Apparently, there is no common language for the two sides. There is no optionfor (President) Khatami but to change his languange and send a message his opponents will be able to understand. ”v Taktik kubu kiri tersebut digunakan sebagai upaya untuk menyelamatkan gerakan reformasi Iran yang digulirkan Presiden Khatami sejak 1997. Hal ini dilakukan mengingat langkah-langkah perubahan yang dilakukan melalui parlemen maupun media massa mengalami kebuntuan akibat perlawanan yang di lancarkan kubu kanan yang senantiasa menjegal agenda-genda reformasi yang dilancarkan kubu kiri baik melalui lembaga eksekutif maupun legislatif. Taktik terbaru yang dilakukan kubu kiri ini terlihat dalam aksi pemboikotan pemilu yang dilakukan oleh kubu kiri yang berada di parlemen pada pemilu parlemen Iran ke-7. Kubu kiri tidak lagi segan berkonfrontasi dengan kubu kanan meskipun dengan konsekuensi dianggap menyerang bahkan menghancurkan pilarpilar republik Islam yang dibangun sejak Revolusi Islam 1979. Meskipun pada akhirnya kubu kanan keluar sebagai pemenang dalam pemilu parlemen ke-7,*17
M' Iran Daily, 28 Juli 2002, dalam Taykeh, hlm.47. 17 Mardom Salari, 20 Juli 2002, Nowruz, 6 Mei 2002, dalam Taykeh, hlm.47.
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek
namun sulit dipungkiri bahwa kubu reformis tetap memegang legitimasi rakyat. Oleh karena itu, apabila dicermati tampak bahwa arah baru gerakan reformasi ini terbentuk oleh koalisi para anggota parlemen reformis yang frustasi, generasi muda, kalangan menengah, akademisi dan para ulama yang mengalami disilusi terhadap status quo. Kubu kiri inilah yang kemudian menantang fondasi ideologis negara dengan menawarkan visi alternatif, yakni penerimaan atas peran agama dalam urusan negara yang disertai oleh demokratisasi, transparansi, akuntabilitas pejabat pemerintah, kebebasan, hak-hak sipil, dan penegakan hukum. Pasca pemilu parlemen ke-7, pertarungan dan perdebatan seputar ide-ide reformis tersebut kini bergerak ke dalam dua arena. Di luar sistem, kelompok reformis akan kembali ke masyarakat akar rumput dalam rangka membangun kembali partai dan mengembangkan organisasi non-pemerintah dan organ-organ civil society lainnya. Sedangkan di dalam sistem, tidak lagi difokuskan pada seputar perdebatan antara kubu kiri dengan kubu kanan, melainkan di dalam kubu kanan itu sendiri yang saat ini mendominasi keanggotaan Majlis. Transformasi gerakan reformasi tersebut menunjukkan tetap eksisnya gerakan reformasi di Iran. Makna Hasil Pemilu Parlemen: Catatan Penutup Pemilu parlemen ke-7 Iran telah usai dan kali ini kubu kanan pragmatis keluar sebagai pemenang mengalahkan kubu kiri “reformis”. Tampaknya, patut dicermati mengapa pada pemilu parlemen kali ini kubu kiri menderita kekalahan besar. Beberapa faktor yang mem pengaruhi diantaranya adalah Pertama, menurunnya kredibilitas kubu kiri di mata rakyat Iran akibat kegagalan mereka memenuhi janji-janji reformis. Kendati rakyat Iran tidak memungkiri realitas bahwa kubu kanan yang menguasai pilarpilar kekuatan negara menjadi faktor penghalang terealisasinya programprogram reformis, namun rakyat tetap
( Indriana Kartini)
91
memandang bahwa kubu kiri telah gagal memenuhi aspirasi rakyat yang meng inginkan perubahan. Bahkan, seandainya Dewan Garda membatalkan diskualifikasi ribuan kandidat reformis, mereka tidak secara otomatis akan memilih kembali kandidat reformis. Tanda-tanda melemah nya dukungan terhadap reformis juga tampak dalam aksi unjuk rasa para mahasiswa Juni 2003, yang mulai berani menuntut agar Presiden Khatami — yang notabene sebagai inspirator gerakan reformis — mengundurkan diri karena dinilai lemah menghadapi kubu kanan “konservatif’. Kedua, terjadinya perpecahan dalam barisan kubu kiri. Indikasi ini terlihat sebelum pemilu parlemen ke-7, tepatnya ketika pemilihan walikota pada 28 Februari 2003 lalu di mana kubu kiri ternyata maju dengan berbagai bendera, tidak lagi di bawah satu bendera yang sama. Akibatnya, secara mengejutkan kubu kanan memenangkan pemilihan wali kota tersebut3*. Kubu Al Thani Al Khordad (2 Mei) yang selama ini menjadi payung semua faksi kiri beraliran reformis dianggap tidak relevan lagi menjadi wadah politik bagi semua faksi kiri. Faksi kiri radikal, khususnya Front Partisipasi Islam (IIPF) yang secara terang-terangan menggugat sistem Velayat-e Faqih kini dianggap menjadi beban politik Al Thani Al Khordad. Dan dalam pemilu parlemen kali ini, kubu kiri diwakili oleh Coallition for Iran yang memayungi delapan kelompok reformis yang tidak turut serta memboikot pemilu. Ketidakkompakan kubu reformis pun diakui oleh Mohammad Reza Khatami - yang turut serta dalam aksi boikot - bahwa masalah utama yang dihadapi gerakan reformasi saat ini adalah kurangnya organisasi dan partai yang kuat. Oleh karena itu langkah keluar dari Majlis dan keluar dari pusat kekuasaan merupakan kesempatan bagi reformis untuk melakukan reorganisasi partai.18 18 Kubu kanan berhasil menguasai sebagian besar kursi wali kota di kota-kota besar seperti kota suci Qom, Mashad, dan Isfahan. Bahkan, kubu konservatif menang telak di ibu kota Teheran dengan meraih 14 suara dari 15 suara.
92
Ketiga, keinginan kubu kanan menguasai kembali lembaga legislatif dan eksekutif. Kubu kanan sangat cemas melihat terus meningkatnya pengaruh kubu kiri dalam kehidupan politik Iran dewasa ini. Keberhasilan kubu kiri menguasai lembaga eksekutif dan legislatif dan senantiasa mendengungkan reformasi ke telinga rakyat melalui corong media massa, membuat kubu kanan mengambil langkah keras demi meredam langkah reformis yang mereka anggap membahayakan kelestarian ideologi revolusi Islam. Kubu kiri pula yang menggulirkan isu normalisasi hubungan dengan AS, yang bagi kubu kanan merupakan sebuah isu yang tabu untuk dibicarakan. Sehingga kubu kanan terus membangun opini bahwa kontak dengan AS dapat mengancam eksistensi Republik Islam Iran dan peran kaum mullah di Iran. Sikap kubu kanan ini terlihat tatkala Ayatollah Jannati, Ketua Dewan Garda, menegaskan bahwa meski Iran bersedia menerima bantuan kemanusiaan dari AS atas musibah gempa bumi di kota Bam, namun hal itu bukan berarti hubungan kedua negara otomatis membaik. Oleh karena itulah, penting bagi kubu kanan untuk menguasai kembali lembaga legislatif demi memuluskan jalan bagi kandidat konservatif memenangkan pemilu presiden di tahun mendatang. Hal ini sangat memungkinkan mengingat masa jabatan dan kesempatan Mohammad Khatami menjadi presiden akan berakhir. Di samping itu tidak ada kandidat kubu kiri yang kuat selepas Khatami. Sementara itu, kubu kanan telah menyiapkan calon kuatnya untuk pemilu presiden 2005, yakni Dr. Mir Husein Musavi (mantan PM Iran di era 1980-an) yang bukan dari kalangan mullah. Dan, tampaknya hal ini meng indikasikan bahwa kaum mullah konservatif secara perlahan mulai menarik diri dari panggung politik Iran, agar tidak terlihat secara frontal menguasai posisiposisi strategis meski secara real politik mereka tetap sebagai “penguasa” di belakang layar. Keempat, Sikap kubu kanan yang kini juga mengangkat slogan-slogan
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 77-94
reformasi, khususnya reformasi di bidang ekonomi yang selama ini bukan menjadi prioritas utama kubu kiri. Selama tujuh tahun terakhir, kubu kiri lebih mem prioritaskan reformasi politik ketimbang ekonomi. Sementara itu, kaum muda dan kalangan menengah kota telah mengalami frustasi akibat kondisi ekonomi yang stagnan dan jumlah pengangguran yang semakin meningkat. Realitas inilah yang kemudian digarap oleh kubu kanan dan menjadi slogan reformasi mereka dalam kampanye pemilu dengan menggunakan nama Abadgaran atau Koalisi untuk Pembangunan Iran Islami (the Coallition on Developers o f Islamic Iran). Dengan slogan tersebut, kubu kanan mencoba meyakinkan rakyat agar mengesampingkan pertikaian faksional dan memberi kesempatan bagi pemerintah untuk kembali bekerja. Dan tampaknya strategi kubu kanan pun membawa hasil yang signifikan terbukti dengan kemenangan mereka dalam pemilu wali kota dan pemilu parlemen kali ini. Kekalahan kubu kiri dalam pemilu parlemen kali ini tentu saja mengakibatkan terjadinya pergeseran kekuatan dalam peta politik Republik Islam Iran. Realitas politik Iran tujuh tahun belakangan ini menunjukkan kekuatan kubu kiri mulai mengimbangi kekuatan kubu kanan dengan dikuasainya lembaga eksekutif dan yudikatif. Namun, saat ini peta politik Iran kembali diwarnai oleh dominasi kubu kanan (pragmatis) di setiap pilar pemerintahan Republik Islam Iran. Realitas ini tentu saja mengundang kekhawatiran tidak hanya publik Iran tapi juga dunia internasional. Akankah Republik Islam Iran kembali menampilkan “wajah garang”-nya — seperti masa Imam Khomeini — dan membawa Iran kembali terisolasi dari dunia internasional. Kendati kekhawatiran tersebut cukup beralasan, namun tampaknya kita tidak bisa mena fikan adanya angin perubahan di republik Islam sepeninggal Pemimpin Besar Revo lusi Islam Imam Khomeini, khususnya semenjak Ali Akbar Hashemi Rafsanjani menjadi presiden hingga masa Khatami saat ini.
Pemilu Parlemen ke-7 dan Prospek
Doktrin reformasi yang di kampanyekan Khatami bersama kubu kiri juga telah mempengaruhi pemikiran kubu kanan. Sehingga dapat diungkapkan bahwa pemikiran reformis telah diterima oleh bangsa Iran secara luas, termasuk kalangan konservatif. Realitas ini disadari penuh oleh kubu kanan, sehingga anggota par lemen dari kubu kanan yang terpilih dalam pemilu parlemen ke-7 menegaskan bahwa mereka akan berusaha sebaik- baiknya untuk bekerja sama dengan pemerintahan Presiden Khatami di mana Khatami diya kini tetap membawa pengaruh moderasi di kalangan konservatif. Bahkan, banyak kalangan yang meyakini bahwa kubu kanan telah memberi sinyal positif dan menunjukkan itikad baik untuk menjadi bagian dari komunitas internasional. Hal ini sangat penting mengingat dalam kampanye pe milu parlemen ke-7, mereka menjanjikan reformasi ekonomi khususnya menciptakan lapangan kerja bagi ribuan kaum muda Iran, keadilan sosial dalam hal pemberan tasan korupsi, serta kebebasan politik khu susnya di lingkungan universitas sekaligus menepis rumor bahwa parlemen baru yang terbentuk justru akan mengekang kebe basan politik. Mengingat kemajuan eko nomi menjadi agenda utama pemerintahan kali ini, maka itu berarti pemerintah Iran membutuhkan investasi besar yang mustahil dilakukan tanpa bantuan investasi asing. Sehingga bukan tindakan yang bijaksana apabila pemerintah Iran saat ini mengasingkan diri dari komunitas inter nasional. Oleh karena itu harapan rakyat Iran saat ini digantungkan kepada sayap kanan konservatif yang lebih moderat, pragmatis, berpendidikan, dan profesional, maupun sayap kanan reformis yang kemungkinan besar dapat muncul sebagai kekuatan politik baru, yakni kelompok tengah yang diharapkan mampu menyelamatkan ge rakan reformasi di Iran. Tanpa menafikan besarnya peran revolusi Islam bagi bangsa Iran, tentunya kembali ke masa revolusi bukanlah pilihan rasional bagi bangsa Iran saat ini. Karena dalam evolusi kehidupan demokrasi di Iran saat ini, bangsa Iran
( Indriana Kartini)
93
berada pada “point o f no return" di mana reformisme merupakan pemikiran sekali gus gerakan masa depan Iran yang ten tunya diharapkan mampu mengurangi bah kan menghapus disilusi rakyat Iran.
http://www. tehrantimes. com, 23 Februari 2004.
Daftar Pustaka
http://eb.wikipedia. org/wiki/ Majlis_of_Iran.
Abd. Rahman, Musthafa. Iran Pasca Revolusi: Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif Jakarta, Kompas, 2003. Arab News, 27 Juli 2002. Business Week, No.51/II/ 2 Juni 2004. Financial Times, 5 September 2002.
http://www. irib. ir/worldservice/english radio, 27 Februari 2004. http://www. irannewsdaily. com/asp/iran_ne ws.asp.
IRNA, 23 Desember 2001. Iran Daily, 28 Juli 2002. Iran Times, 2 Agustus 2002. Mardom Salari, 20 Juli 2002. Nowruz, 6 Mei 2002, 10 Juli 2002.
http://www.cnn.com, 14 Januari 2004, 15 Februari 2004, 16 Februari 2004, 19 Februari 2004.
Sihbudi, Riza. Dinamika Revolusi Islam Iran, Dari Jatuhnya Syah Hingga Wafatnya Ayatullah Khomeini Jakarta, Pustaka Hidayah, 1989.
http://www.kompas.com, 24 Januari 2004, 4 Februari 2004, 17 Februari 2004, 22 Februari 2004.
________________ “Geliat Negeri Kaum Mullah”’, http://www.pikiranrakyat. co.id, 28 Juni 2004.
http://www. washingtontimes. com/upibreaking, 10 Februari 2004.
Tamara, Nasir dan Agnes Samsuri. Perang Iran - Perang Irak. Jakarta, Sinar Harapan, 1981.
http://www.parstimes.com/news/archive/20 04/voa/boucher_election.htmlUS, 23 Februari 2004. http://www.news. bbc. co. uk/go/pr/fr//hi/world/middle_east/3512985. stm, 23 Februari 2004, 6 Mei 2004.
94
Taykeh, Ray. “Iran at Crossroads” dalam Middle East Journal, Vol.57, No.l, Winter 2003.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 77-94
Partai Politik, Pemilu, dan Pemerintahan Rusia Oleh: E m ilia Yustiningrum
Abstract The changing o f Russian domestic politics has been running fast. Many political changings have been caused by the internal push factors that have changed political policies dramatically against the past. The political changing has covered the changing o f political party system from single part\’ into multiparty system. The unpopular election at the national level in the p a st has been changed into the need to do the election a t the national level either to the Parliam ent's members or the President. The follow ing political changing covered the push to change the role o f government institution to be more structuralized and not centralized anymore into one single position. These domestic political changings were the sign o f running to be dem ocratic State. This study has the aim to analyze the historical changing o f Russian domestic politics that has been the basic argument fo r the future o f political condition.
Latar Belakang Sejarah Perkembangan politik di Rusia selalu menarik untuk diikuti. Khususnya bagi Indonesia, hal ini berkaitan dengan mulai mesranya hubungan bilateral antara Indonesia-Rusia yang dirintis oleh presiden Megawati Sukarnoputri dalam kunjungan kenegaraan ke negara Beruang Merah tersebut pada bulan April 2003. Rusia telah mengalami perkembangan politik yang pesat yang secara umum berbeda daripada ketika masih menjadi satu di bawah Uni Soviet. Momentum pemilihan presiden yang dilaksanakan tanggal 14 Maret 2004 lalu dengan kemenangan mutlak 71,2 % di tangan Vladimir Putin12, tidak 1 Vladimir Putin lahir di Leningrad, St. Petersburg, 2 Oktober 1952. Sejak masih berusia muda sudah berkeinginan untuk menjadi anggota KGB dan akhirnya direkrut oleh agen spionase tersebut ketika masih belajar di Fakultas Hukum Universitas Leningrad hingga lulus tahun 1975. Putin mulai tertarik pada bidang politik sejak menjadi asisten Anatoli Sobchak, kepala Leningrad-Soviet tahun 1990. Posisinya meningkat menjadi Deputi Satu Walikota St. Petersburg, Anatoli Sobchak, tahun 1991-1996. Kemudian Putin berpindah ke Moskow dan bekerja di administrasi kepresidenan tahun 1996 dan menduduki posisi Kepala Deputi Satu pada bulan Mei 1998. Selanjutnya Putin menjabat sebagai direktur the Federal Security Service, organisasi spionase Rusia pasca dibubarkannya
hanya membuat mantan pegiat spionase Rusia pada masa Perang Dingin yang selama ini tidak diketahui latar belakang nya secara luas, mampu meningkatkan harapan para pemilihnya atas ketegasan komitmen tentang pelaksanaan demokrasi di Rusia. Dalam pemilu presiden Rusia tahun 2004, kemenangan Putin sudah dapat diduga sebelumnya. Perolehan suara Putin di posisi puncak dibayangi oleh Nikolai Kharitonov dari Communist Party yang memperoleh suara 13,69%, disusul oleh empat kandidat presiden lain dengan perolehan suara kurang dari lima persen yaitu Sergei Glazev, deputi the State D um a dan ketua faksi Motherland NationalPatriotic Union memperoleh suara 4,10 %, Irina Khakamada, mantan juru bicara the State Duma dan anggota the Union of Rightist Forces mendapatkan suara 3,84%, Oleg Malyshkin, mantan atlet profesional yang kemudian bergabung dalam the Liberal Democratic Party o f Russia mendapatkan suara 2,02%, dan posisi KGB. Bulan Agustus 1999 terpilih sebagai Perdana Menteri sementara di bulan Desember tahun yang sama Boris Yeltsin yang mengundurkan diri, dan pada tanggal 26 Maret 2000 untuk pertama kali terpilih sebagai presiden Rusia. Dalam
http://www.rferl. org/special/russianelection/bio/ putin.asp, 7 April 2004 dan Kompas, 16 Maret 2004.
Partai Politik, Pemilu, dan Pemerintahan Rusia (Emilia Yustiningrum)
95
terakhir adalah Sergei Mironov, ketua the Federation Council dan juga the Russian Party of Life hanya mampu mengumpulkan suara 0,75%. Usai dipastikan menang, Putin berjanji untuk mempertahankan prinsip-prinsip demo krasi dan kebebasan pers di masa jabatan nya yang kedua.2 Gambaran di atas merupakan bentuk kehidupan politik demokratis terkini yang dijalankan di Rusia. Ragam aktivitas politik yang dilaksanakan di Rusia tidak bisa dipisahkan dari pengalaman sejarah masa lalu. Perubahan kondisi politik di Rusia disebabkan oleh hal-hal yang berasal dari dalam negeri. Dalam kehidupan internal negara, secara umum muncul tekanan yang lebih luas terhadap keterbukaan dan publikasi, yang kemudian lebih dikenal dengan glasnots. Salah satu indikasi yang muncul adalah pendekatan yang berbeda dalam menyusun keputusan, seperti dalam rapat akbar Central Committee pada bulan Juni 1983, untuk membentuk Pusat Opini Publik Nasional, yang merupakan kelanjutan tradisi Krushchev untuk mempublikasikan semua hasil rapat akbar Central Committee. Dari semua kebijakan yang dijalankan Gorbachev, glasnots adalah yang paling maju, yang memberi tekanan paling besar bagi berakhirnya sistem komunis. Glasnots —yang sering diterjemah kan sebagai keterbukaan atau transparansi tidak sama dengan kebebasan pers atau hak untuk mendapatkan informasi, yang langsung diartikan sendiri oleh Gorbachev, dengan dasar Konstitusi 1977 yang diadopsi pada masa Leonid Breshnev. Glasnots lebih merupakan pemahaman dan keyakinan Gorbachev bahwa tanpa kesadaran yang tinggi atas kondisi yang berlangsung di internal negara dan pertimbangan yang dibuat untuk tujuan tersebut, maka tidak ada keyakinan bagi warga Soviet untuk memulai pelaksanaan perestroika, yaitu semakin baik penduduk adalah yang semakin mendapat banyak informasi. Gorbachev juga meyakinkan
Central Committee yang memilihnya sebagai sekretaris jenderal Communist Party o f Soviet Union-CPSU bahwa semakin sadar dalam bertindak maka penduduk akan semakin aktif mendukung CPSU, juga dalam perencanaan dan tujuan programnya. Perestroika telah mencapai titik impasnya ketika negara menjadi tidak tertata dengan baik, banyak kekuatan ekstrimis yang mendesak untuk memecah Soviet dari dalam, dan memperjuangkan kekuatan politik untuk mereka sendiri.3 Pecahnya Uni Soviet pada 25 Desember 1991 menandai proses expanding the pie o f all new republics. Fenomena ini membuka kesempatan bagi republik-republik baru, sebagai legal successor, untuk memisahkan diri dari Uni Soviet dan mulai menentukan sistem politik nasional yang akan terus dijalankan oleh masing-masing negara. Pembubaran tersebut juga menandai 12 partai politik yang terdaftar di Soviet, di samping hanya satu Communist Party pada masa sebelum nya.4 Sistem kepartaian yang ber langsung di Rusia saat ini tidak dapat dipisahkan dari latar belakang kehidupan kepartaian pada masa Uni Soviet. Pada masa itu peran hegemoni Communist Party o f Soviet Union-CPSU dijalankan melalui sistem nomenklatura.5 Dalam setiap tingkatan partai terdapat dua posisi yang harus dipenuhi yaitu posisi yang paling penting di level negara dan level individual yang diisi oleh orang-orang yang punya kapabilitas untuk mengisi tingkat tersebut. Tujuan pemisahan posisi tersebut untuk 3 Stephen White, Russia's New Politics: The
Management of a Post Communist Society,
2 Media Indonesia, 16 Maret 2004.
(United Kingdom: Cambridge University Press. 2000), hlm. 14-29. 4 Ibid., hlm.33. 5 Sistem nomenklatur memungkinkan CPSU terlibat dalam semua proses pemilihan anggota masyarakat untuk menempati satu posisi tertentu, tidak hanya di dalam partai itu sendiri, namun juga di dalam administrasi negara, kepolisian, militer, sistem hukum, pendidikan, ekonomi, termasuk pemilihan manajer perusahaan, organisasi wanita, organisasi buruh, dsb. Sistem ini merupakan senjata ampuh bagi CPSU untuk mengendalikan negara termasuk memberikan sanksi bagi yang tidak melaksanakannya.
96
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 95-110
membangun hubungan yang optimum antara pejabat terkait dalam posisi tersebut dengan CPSU yang memberikan legalitas posisi tertentu. Jabatan tersebut tergantung pada iklim politik yang sedang ber langsung. Keseimbangan untuk mem bangun posisi ini tergantung pada keahlian seseorang dan kadar ideologi yang diyakini dan pengalaman politik kandidat. Hal ini mengakibatkan semua editor pada majalah, koran, dan televisi yang berada di bawah sistem nomenklatur CPSU mengalami kontrol yang ketat atas semua pemberitaan media massa, termasuk yang disebarluas kan kepada masyarakat. Sebenarnya semenjak tahun 1990 CPSU telah membangun kesepakatan untuk mengurangi monopoli sistem kepartaian negara dengan meng amandemen Artikel 6 yang kemudian menyatakan bahwa CPSU dan partai politik lain, sebagaimana organisasi per dagangan, organisasai pemuda, organisasi politik dan gerakan massa, berpartisipasi dalam membentuk kebijakan negara Soviet, menjalankan kebijakan negara, dan hubungan dengan masyarakatnya, dengan menempatkan para wakil partai yang terpilih dalam Parlemen Uni Soviet, Congress o f People’s Deputies, atau melalui mekanisme yang lain. Pemahaman tentang partai politik dirumuskan lagi dalam Artikel 7 yang memperjelas posisi ' semua partai politik, organisasi publik, dan gerakan massa, yang harus dijalankan berdasarkan hukum negara yang sah. Warga negara mempunyai hak untuk bergabung dalam partai politik dan organisasi publik, juga untuk berpartisipasi dalam gerakan massa sehingga memperbesar kontribusi dalam aktivitas politik dan memuaskan berbagai kepentingan yang berbeda, yang dijelaskan dalam Artikel 51,6 Penerapan sistem multipartai secara resmi ditetapkan pada bulan Oktober 1993, ketika aturan negara yang baru tentang perkumpulan publik telah dikeluarkan. Perkumpulan tersebut mengatur tentang partai politik, organisasi perdagangan,
organisasi wanita, perkumpulan kaum veteran, dan perkumpulan olah raga. Sedikitnya dibutuhkan sepuluh orang warganegara agar dapat membentuk sebuah perkumpulan yang resmi menurut hukum negara, yang diharuskan telah mempunyai kongres pembentukan, dan pengurus harian yang terpilih. Partai politik, diharuskan mem punyai dasar tujuan yang jelas dalam pe merintahan, dan juga mempunyai program yang harus dipublikasikan di media massa. Partai politik juga mempunyai hak untuk menominasikan kandidat partai dalam pemilu, melakukan kampanye, membentuk badan-badan yang terorganisir di dalam struktur partainya yang menjadi tempat bagi para kandidat terpilih. Pendaftaran partai politik baru dan juga CPSU dimulai tahun 1991, di mana menjadi 25 partai politik yang terdaftar pada musim panas 1992, yang mengklaim masing-masing parpol punya ratusan anggota, dan lebih kurang menjadi 30.000 anggota aktif bila seluruh anggota partai politik disatukan. 7 Pada November 1992 melalui pembahasan dalam Majelis Konstitusi Rusia, dan akhirnya pada Februari 1993 terbentuk Communist Party of Russian Federation-CPRF yang baru. Partai baru ini kemudian melaksanakan kongres yang pertama di mana banyak anggotanya adalah anggota lama CPSU. Anggota CPRF sebanyak 600.000 orang, menjadikannya partai terbesar di Rusia, yang juga menjadi partai paling populer dalam pemilu parlemen bulan Desember tahun 1995. Namun demikian format baru pemerintahan yang masih otoritarian tidak mampu mengubah demokrasi yang masih berada pada masa transisi. Pasca runtuhnya Uni Soviet, karena adanya dorongan dari dalam, tumbuh partai-partai politik baru di Rusia. Konstitusi baru memperjelas situasi pasca komunis di Rusia, yang secara halus berkomitmen membentuk keanekaragaman politik dan sistem multipartai, yang mengatur juga tentang rekruitmen dan syarat-syarat pembentukan partai politik
6 Stephen White, op. cit., hlm.36
7 Ibid.
Partai Politik, Pemilu, dan Pemerintahan Rusia (Emilia Yustiningrum)
97
dan perkumpulan lain. Partai politik ini harus sesuai dengan tujuan negara dan mampu mengakomodasi perubahan sosial, etnis, dan religi yang ada di dalamnya. Hal ini membuat negara menyusun aturan tentang organisasi publik disetujui oleh Parlemen Rusia, the State Duma, pada bulan April 1995. Sementara itu Rusia yang telah menjadi negara yang berdiri sendiri mulai mengadopsi sistem presidensial di mana pemilihan presiden dilakukan untuk menjabat posisi kepala negara. Maka untuk pertama kalinya Rusia menjalankan pemilihan presiden langsung pada 12 Juni 1991, di mana satu tahun sebelumnya pemilihan presiden masih merupakan pemilihan tidak langsung. Pada pemilu presiden 1991, Boris Yeltsin terpilih sebagai Presiden Rusia, namun hal ini mengakibatkan hubungannya dengan Mikhail Gorbachev, mantan Presiden Uni Soviet, menjadi renggang.8 (Lihat Lampiran 1) Memasuki kehidupan sebagai negara yang liberal demokratis, dalam kondisi politik domestik Rusia muncul tekanan untuk melaksanakan pemilu. Peristiwa ini merupakan tuntutan nasional karena semua warga negara mempunyai hak pilih yang sama dalam pemilu, juga merupakan peristiwa yang sama rata, sederajat, artinya satu warganegara mempunyai hak satu suara. Penghitungan suara pemilih merupakan proses yang rahasia. Di sisi lain hal ini membuat takut masyarakat pasca komunis pada aktivitas pasca pemungutan suara, karena pengalaman terhadap hal tersebut belum melembaga. Pada masa sebelumnya pemilihan dilakukan di bawah tekanan ketika penguasa ingin mendapatkan suara yang tinggi dan dukungan yang kuat, yang lebih merupakan kewajiban daripada sekadar hak bagi pemilih.9 Apabila pemilu dilaksanakan secara adil, maka berarti tidak ada ancaman atau intimidasi terhadap
pemilih. Pemiludilaksanakan secara langsung, artinya pemilihdapat memilih wakilnya di Parlemen atau pemimpinnya secara langsung. Pemungutan suara dilakukan secara menyeluruh yang berarti bahwa masyarakat secara formal diajak untuk memilih. Berdasarkan hal tersebut, Rusia untuk pertama kali melakukan pemilu parlemen pada tahun 1993. Pemilu merupakan ajang bagi partai politik. Sistem pemilu parlemen Rusia menganut sistem proporsional representatif yang berarti partai-partai politik harus mampu mengumpulkan suara minimum sebelum mendapatkan kesempatan untuk me nempatkan wakilnya di Parlemen yang dikenal dengan proses electoral treshold dengan batas minimal lima persen. Akibat nya sistem pemilu parlemen ini tidak mengakomodasi partai-partai politik kecil untuk menempatkan wakilnya di Parlemen, bahkan tidak ada kandidat yang masuk dalam nominasi anggota Parlemen. Namun demikian, ketika menjabat sebagai Presiden Rusia, Boris Yeltsin pada tahun 1993 membubarkan Parlemen Rusia, Congress o f People Deputies, karena sistem parlemennya kolaps. Pada bulan Januari 1994, Yeltsin membentuk Parlemen Rusia yang baru, the Federal Assembly, yang memiliki dua kamar yaitu the Federal Council (Majelis Tinggi) dan the State Duma (Majelis Rendah). The Federal Council mewakili 89 republik dan wilayah berdasarkan kategori etnis yang ada di Rusia, yang masing-masing republik diwakili oleh dua orang anggota sehingga total anggota adalah 178 anggota. Sedangkan the State Duma terdiri atas 450 wakil, di mana yang setengahnya (225 anggota) dipilih melalui sistem perwakilan proporsional berdasarkan partai politik peserta pemilu parlemen yang lolos batas minimal lima persen electoral treshold, dan setengahnya lagi (225 anggota) dipilih melalui single member konstituensi dengan basis simple majority pada saat ber langsungnya pemilu parlemen. 10
8 Leslie Holmes, Post-Communism: An Introduction, (United Kingdom: Polity Press, 1997), hlm. 112. 9 Ibid., hlm. 115.
10 Stephen White, op. cit., hlm.39.
98
Jurnal Penelitian Politik, V ol.l No. 1,2004: 95-110
Tugas utama Parlemen dapat di kategorikan menjadi dua yaitu meng hasilkan undang-undang atau aturan negara dan memonitor kerja-kerja badan eksekutif dan juga berinteraksi dengan badan-badan eksekutif. Dengan demikian peran yang dijalankan seperti halnya Parlemen di negara-negara Barat. Aktivitas yang dilakukan Parlemen Rusia berupa mem buka ruang diskusi, jika perdebatan me manas maka akan diputuskan melalui pemungutan suara. Dalam pemilu Parlemen 1993, partai politik yang meraih suara tertinggi adalah Russia’s Choice, pimpinan mantan Perdana Menteri Yegor Gaidar, yang mempunyai komitmen kuat untuk men dukung kebijakan Presiden Boris Yeltsin. Partai ini mampu mengumpulkan 70 kursi dalam the State Duma. Namun hasil yang sensasional dalam daftar partai politik pemenang pemilu ada pada posisi kedua yang dimenangkan oleh partai nasionalis sayap kanan, the Liberal Democratic Party, pimpinan Vladimir Zhirinovsky yang dipilih oleh seperempat total pemilih. Posisi ketiga adalah Communist Party of Russian Federation-CPRF yang hanya mencapai level 54,8 % yang terus menurun dalam pemilu parlemen pertama sejak runtuhnya Uni Soviet. (Lihat Lampiran 2) Pemilahan Partai-partai Politik di Rusia Partai-partai politik dan aliansinya dalam kehidupan politik dan pada saat pemilu di Rusia pada tahun 1990-an dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok. Pertama, kelompok demokrat reformis. Partai-partai politik yang termasuk dalam kelompok ini adalah (a) Russia’a Democratic Choice- United Democrats. Partai ini dipimpin oleh mantan PM Yegor Gaidar, berkomitmen pada transisi demokrasi yang lebih mendalam menuju bentuk ekonomi pasar yang melegalkan kepemilikan perusahaan negara oleh pihak swasta. Partai ini dibentuk tahun 1994, yang awalnya bernama Russia’s Choice, yang meng utamakan asas perdamaian, kesejahteraan,
dan keadilan hukum, sebagai slogan pada masa pemilu. Partai ini juga merumuskan gagasan untuk reformasi perpajakan, privatisasi di bidang pertanian, menuntut militer Rusia lebih profesional dan bukan hanya sebagai tentara penjaga batas wilayah negara, menuntut pengurangan peran negara, penyederhanaan birokrasi pemerintah, mendukung usaha kecil dan menengah, dan menuntut negara mengurangi anggaran belanja militer. Partai lain yang juga termasuk demokrat reformis adalah Yabloko (Apple), dibentuk oleh ekonom Grigorii Yavlinsky, yang mempunyai komitmen pada reformasi ekonomi dalam tahapan semakin meningkat. Partai ini menjadi kritikus kebijakan-kebijakan ekonomi yang dijalan kan oleh Boris Yeltsin-Yegor Gaidar sejak tahun 1992. Partai ini dibentuk bulan Januari 1995 oleh tiga founding fathers, yaitu Gregorii Yavlinskii, Andrei Boldyrev, dan Lukin yang namanya dijadi kan nama partai ini. Yabloko telah ber partisipasi dalam pemilu parlemen 1993 dan mempunyai fraksi dalam the State Duma. Program partai Yabloko yang dipublikasikan bulan September 1995 mendeklarasikan pihaknya sebagai gerakan demokratis yang berkomitmen pada pembentukan negara hukum yang di dukung oleh ekonomi pasar, juga dalam kehidupan sosialnya, yang didukung oleh militer yang kuat. Selanjutnya adalah Forward, Russia!, partai ini dipimpin oleh mantan menteri keuangan, Boris Fedorov. Dibentuk pada bulan Februari 1995, yang berkomitmen kuat untuk mempertahankan kesatuan Rusia termasuk Republik Chechnya. Pada saat yang sama Forward, Rusia! menduduki posisi yang penting dalam administrasi kepresidenan Yeltsin dan menuntut agar lebih cepat dan lebih ekstensif dalam melaksanakan privatisasi dan menyederhanaan parameter birokrasi negara. Kelompok demokrat reformis lain adalah Party o f Beer Lovers, juga dinyatakan sebagai partai demokrat dalam orientasi politiknya, tujuannya membentuk Rusia menjadi negara yang aman,
Partai Politik, Pemilu, dan Pemerintahan Rusia (Emilia Yustiningrum)
99
sejahtera, dan tercukupi kebutuhan pangan, dan hidup dalam suasana damai, berdasarkan pada kehidupan buruh yang jujur dan adil dan mempunyai kenyamanan untuk meminum bir. Namun demikin posisinya selalu mendapatkan tantangan dari gerakan pro-vodka. Partai The Social Democrats juga masuk golongan demokrat reformis, dipimpin oleh mantan Walikota Moskow, Gavriil Popov, yang menuntut pem bentukan model reformasi yang merupakan perpaduan antara perubahan demokratis dengan unsur utama memperbaiki kehidupan masyarakat umum. Juga The Party o f Worker ’s Self-Management, partai politik yang dipimpin oleh dokter bedah mata terkenal, Svyatuslav Fedorov. Salah satu publikasi kampanyenya menyatakan, “Sangat memalukan melihat pandangan mata orang-orang telah saya perbaiki, namun melihat kondisi negara yang kolaps.” Partai ini merupakan demokrasi kiri, yang mendukung kepemilikan perusahaan negara oleh swasta atau masyarakat dan menolak mafia komprador kapitalis, yang diperjuangkan bersamasama kaum reformis dalam pemerintahan. Kelompok demokrat reformis terakhir adalah Fatherland (Otechestva), yaitu partai demokrat kiri yang dibentuk ada akhir tahun 1998 di bawah pimpinan Walikota Moskow yang masih berkuasa, Yuri Luzhkov, dengan didukung oleh beragam organisasai perdagangan, pegawai profesional, dan organisasi nasional patriotis. Partai ini selalu mengkritik kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Boris Yeltsin dan Viktor Chemomyrdin, sangat menghormati pada pencapaian tujuan negara Uni Soviet, namun yang ingin dicapai adalah membentuk negara Rusia yang kuat namun tidak otoriter, kekuatan negara mampu memerangi kriminalitas, pemungutan pajak dan menjaga agar tidak terjadi sparatisme, dan kebijakan luar negeri yang asertif. Rusia membutuhkan sistem negara yang mem punyai modal sosial demokrat yang merupakan kombinasi antara ekonomi pasar dan kebijakan sosial. Partai ini selalu menggalang massa untuk tujuan yang lebih
spesifik seperti tujuan partainya, dan men dorong pemimpinnya untuk maju menjadi kandidat presiden dalam pemilu Presiden Rusia." Kelompok kedua adalah partai politik pro-pemerintah. Yang termasuk partai politik kategori ini adalah Our Home is Russia (Nash Dom Rossiya), dibentuk pada musim semi 1995, sebagai suatu gerakan politik yang mempertahankan pemerintahan PM Viktor Chemomyrdin dalam pemilu the State o f Duma dan mendukung kampanye pemilu presiden dengan kandidat utama Boris Yeltsin pada musim panas 1996. Partai ini merupakan partai kekuasaan karena merupakan koalisi antara tujuan politik pasca komunis dan ekonomi nomenklatur yang mempunyai berbagai sudut pandang namun kepenting an utamanya adalah untuk mempertahan kan posisi partai dalam pemerintahan. Women o f Russia juga merupakan partai politik pendukung pemerintah. Partai yang memiliki posisi ambigu dalam pemerintahan. Dasar pembentukannya pada Committee o f Soviet Women pada masa kekuasaan Communist Party of Soviet Union-CPSU dan relatif berhasil mengumpulkan suara 8 % dalam pemilu parlemen 1993. Women o f Russia merupakan partai poros tengah yang mendukung presiden berkuasa, dipimpin oleh Yekaterina Lakhova, seorang doktor dari wilayah asal yang sama dengan Boris Yeltsin, yang telah membangun komisi untuk perempuan, keluarga, dan demografi dalam administrasi kepresidenan Boris Yeltsin. 112 Ketiga, kelompok partai nasional patriotik, yaitu The Congress o f Russian Communities. Pemimpinnya merupakan perwakilan representatif kunci yaitu mantan kepala Security Council, Yuri Skokov, yang mempunyai hubungan dekat dengan military industrial complex Russia, ekonom Sergei Glazev, yang menjadi menteri peningkatan perdagangan pada masa Boris Yeltsin yang mundur pada bulan Oktober 1993 ketika melakukan
100
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 95-110
11 Ibid.., hlm.42-44. 12 Ibid., hlm.44-46.
protes melawan kebijakan Boris Yeltsin yang membubarkan parlemen, dan juga Alexander Lebed, mantan jenderal angkatan bersenjata Rusia ke-14 di wilayah Transdenester sampai dengan terjadinya gencatan senjata di wilayah tersebut ketika laporannya banyak mem permalukan Kementerian Pertahanan Rusia. Partai ini didirikan pada bulan Maret 1993, yang mewakili penduduk Rusia yang tinggal di luar wilayah Federasi Rusia, yang secara bertahap berkembang menjadi kelompok nasionalis modem. Program partai the Congress of Russian Communities mendukung ke bebasan dengan tujuan utama melakukan restrukturisasi bertahap atas wilayah Uni Soviet dalam suasana damai, mem pertahankan kepentingan Rusia di luar negeri, pemberantasan kriminal, men dukung institusi tradisional Rusia, seperti keluarga dan gereja. Partai ini juga merestorasi posisi superpower Rusia, mempromosikan ekonomi pasar tingkat tinggi, yang akan melindungi produksi dalam negeri sebagaimana dukungan atas penggunaan teknologi canggih dalam military industrial complexn Rusia. Kelompok nasional patriotik lain adalah Great Power (Derzhava), yang dipimpin oleh mantan PM Alexander Rutskoi dan Vladimir Zhirinovsky dari Liberal Democrats Party. Ketika Liberal Democrats Party merupakan partai yang sensasional dalam memperoleh suara pemilu parlemen 1993 namun faksinya dalam the State Duma tidak stabil, maka Vladimir Zhirinovsky menunjukkan ke! Military industrial complex adalah keterkaitan antara perkembangan industri yang memproduksi peralatan dan senjata militer dengan kepentingan negara dalam bidang pertahanan keamanan. Pada awalnya dicetuskan oleh presiden Amerika Serikat, Eisenhower, yang membangun industri militer AS guna menghadapi perkembangan industri militer Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Pengembangan industri militer di AS merupakan kebijakan negara namun penjualan hasil industri senjata secara parsial dapat dijalankan oleh swasta. Sementara pada masa Uni Soviet, military industrial complex menjadi kebijakan negara di mana semua proses produksi hingga penjualan hasil industri militer dimonopoli oleh negara.
inginan untuk berkoalisi dengan pemerintahan PM Viktor Chemomyrdin dengan dukungan anggaran yang suksesif. Partai ini muncul dengan disertai oleh munculnya kelompok radikal seperti the Congress o f Russian Communities. Kelompok Liberal Democrats Party dibentuk tahun 1989 yang merupakan pendukung organisasi spionase KGB dan CPSU yang merupakan partai nasionalis dan mempunyai kebijakan luar negeri yang anti negara Barat, yang mengupayakan dilaksanakannya kontrol federal terhadap wilayah Chechnya, mendukung ekonomi pasar yang tetap menjalankan proteksionis me dalam strategi kebijakan ekonomi domestik. 14 Keempat adalah kelompok komunis agraria kiri. Partai politik yang termasuk kategori ini adalah Communist Party o f Russian F'ederation-CPRF, dibentuk tahun 1990 dengan kerangka dasar dari Communist Party o f Soviet Union-CPSU, dipimpin oleh Gennadii Zyuganov. Partai ini mempunyai keunggulan, tidak hanya sebagai satusatunya partai massa yang mempunyai jaringan hingga ke masyarakat lokal di seluruh wilayah negara, namun juga organissai ini secara struktural memenuhi kriteria sebagai partai politik. Pada tahun 1991 partai ini menjelaskan platform pemilu yang merupakan bentuk perombakan negara yang semula masih menggunakan pola nomenklatur lama. Partai kiri lainnya adalah Agrarian Party, dibentuk tahun 1993, mewakili negara dan pertanian kolektif daripada sekadar pertanian komersial. Partai ini unik karena merupakan partai politik yang tumbuh tidak dalam suasana kantor yang formal, namun tumbuh dalam kelompok masyarakat pedesaan, yaitu pada gerakan petani yang muncul pada pertengahan tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, dan pada masa vakum yang dibentuk oleh Communist Party o f Soviet Union-CPSU. Tujuan dan program partai ini sangat dekat dengan tujuan dan program CPSU, namun Agrarian Party mempunyai program yang 14 Stephen White, op. cit., hlm.46-48.
Partai Politik, Pemilu, dan Pemerintahan Rusia (Emilia Yustiningrum)
101
lebih spesifik dan lebih daripada sekadar saudara muda CPSU. Agrarian Party meyakini bahwa tanah pertanian seharusnya dimiliki oleh orang-orang yang secara ekstensif bekerja dan hidup di wilayah tersebut dan melawan gerakan ke arah ekonomi pasar, dengan dasar argumen bahwa pada masa awal pasca komunis, Rusia dipimpin oleh suatu distribusi acak yang hanya akan membuka jalan spekulasi dan ekstraksi dari tujuan peningkatan pendapatan yang tidak akan dapat diperoleh. Pemimpin partai ini adalah Mikhail Lapshin, seorang direktur pertanian Behests o f Lenin di wilayah Moskow, yang melaksanakan kongres partai yang keempat pada bulan September 1995, memperkenalkan model luar negeri dalam pengelolaan ekonomi Rusia yang dikenal dengan jual beli tanah yang dilarang oleh hukum serta mendukung upaya negara-negara Commonwealth of Independence States (CIS) untuk tetap menjadi negara kesatuan. Power to the People juga merupakan partai kiri, dipimpin oleh mantan PM Nikolai Ryzhkov, dan deputi the State Duma, Sergei Baburin, yang berjuang untuk mempertahankan standar hidup atas kelas pekerja tanpa harus kembali pada sistem yang sangat tersentralisir berikut distribusi standar hidupnya. Dan kelompok kiri terakhir adalah Community Working Russia for the Soviet Union, merupakan koalisi antara the Russian Communist Workers Party dan the Russian Party o f Communist, yang mempunyai komitmen untuk merestorasi kekuatan Uni Soviet kembali ke dalam USSR dan sosialisme secara umum. Partai ini dipimpin oleh seorang pakar orasi jalanan, Viktor Ampilov. 15 Pada bulan Desember 1995, Federasi Rusia melakukan pemilu parlemen untuk yang kedua kali, untuk memilih anggota Majelis Tinggi (the Federal Council) yang dilaksanakan secara tidak langsung. Terdapat 43 partai politik dan blok yang saling bersaing untuk mendapatkan kursi di Parlemen Rusia, the 15 Ibid., hlm 48-50
102
Federal Assembly. Namun hanya 28 partai politik yang mempunyai wakil di Majelis Rendah (the State Duma). Partai-partai tersebut menang dengan suara tipis dan hanya mendapatkan satu kursi di Parlemen. Partai-partai besar yang mendapatkan suara mayoritas adalah Communist Party o f Russian Federation-CPRF, Liberal Democratic Party, Our Home is Russia, dan Yabloko. Keempat partai tersebut memiliki minimal suara 5% suara dari keseluruhan jatah kursi di the State Duma. (Lihat Lampiran 3) Sementara itu pemilu Parlemen Rusia yang terakhir dilaksanakan pada 19 Desember 2003 yang memilih anggota the State Duma. Dalam pemilu ini tercatat 55,75% pemilih yang terdaftar telah menggunakan hak suaranya. Posisi paling atas diduduki oleh Unified Russia yang mampu mengumpulkan suara 37,57%, disusul oleh Communist Party o f Russian F ederation-CPRF 12,61%, Liberal Democratic Party o f Russia 11,45%, dan Blok Motherland 9,02%. Keempatnya merupakan partai politik yang lolos dalam electoral treshold yang memiliki suara minimal 5% dalam the State Duma. (Lihat Lampiran 4) Sistem Pemerintahan Rusia Pembentukan lembaga kepresiden an merupakan hal yang muncul di antara berbagai proposal perubahan radikal yang diajukan oleh Gorbachev pada pertemuan akbar Central Committee pada bulan Februari 1990. Perubahan radikal dalam bidang pemerintahan ini secara institusional telah mengurangi peran dominan Communist Party o f Soviet Union-CPSU dalam politik. Berdasarkan rancangan tersebut, maka muncul tuntutan untuk menunjuk presiden, menjadi agenda bagi Mahkamah Agung Soviet untuk menyepakati usulan tersebut dengan suara mayoritas. Pem bentukan institusi pemerintahan berupa presiden juga merupakan isu utama di dalam Parlemen Soviet, the Congress of People’s Deputies. Anatolii Lukyanov, ketua Congress o f People Deputies, yang
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 95-110
mengajukan proposal tersebut menyatakan bahwa kepemimpinan seorang presiden dapat menjangkau pada wilayah publik, bahkan ketika negara dalam kondisi darurat. Namun demikian, hal ini tidak akan menumbuhkan ketakutan karena presiden justru akan membentuk pemerintahan yang otoriter, karena banyak sistem yang akan membatasi kekuasaan presiden, termasuk batasan usia dan lama waktu yang bisa dijabat oleh seorang presiden. Congress o f People’s Deputies juga mempunyai kemampuan dengan suara mayoritas anggotanya untuk menurunkan presiden apabila terbukti telah melampaui batas kekuasaannya. Semua warga negara yang berusia antara 35 hingga 60 tahun dapat mencalonkan diri dan dipilih menjadi presiden Uni Soviet untuk masa jabatan maksimal dua periode. Presiden akan dipilih secara nasional, adil, dan melalui pemilihan langsung, meskipun pengecuali an pada diri Gorbachev karena ia baru akan dipilih oleh Congress o f People’s Deputies pada usia 65 tahun, suatu batasan usia yang matang menurut ukuran CPSU. Sebagai permulaan, kekuasaan presiden dapat dijatuhkan melalui suara dua pertiga mayoritas anggota yang ada di dalam Congress o f People’s Deputies. Ketentuan ini telah disetujui dalam kongres keempat CPSU dengan pemungutan suara yang disepakati oleh semua anggota Parlemen Uni Soviet. Pada bulan Maret 1991, suatu referendum diberlakukan untuk membahas masa depan Uni Soviet sebagai federasi yang telah diperbarui. Dalam referendum tersebut juga membebaskan para pemilih untuk mendukung institusi yang men dukung pemilihan presiden secara langsung. Parlemen Soviet, Congress of People ’s Deputies menyepakati hal ini dan langsung melakukan pemilu presiden pada bulan Juni 1991, di mana Boris Yeltsin terpilih sebagai pemenang. Aturan negara tentang presiden disahkan oleh Mahkamah Agung Soviet pada bulan April 1991. Sebulan kemudian Congress o f People’s Deputies menyetujui amandemen konstitusi yang berkaitan
dengan perubahan aturan tentang presiden bahwa kandidat presiden Rusia haruslah penduduk Rusia yang berusia antara 35 hingga 65 tahun. Kandidat presiden tidak sedang menjabat sebagai jabatan politik atau jabatan publik dan tidak menjadi anggota organisasi komersial. Masa jabatan presiden maksimal dua kali dua periode di mana satu periode adalah lima tahun. Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Federasi Rusia dan kepala badan eksekutif. Presiden dapat menjalankan hak dari legislatif, dapat memveto keputusan lembaga legislatif melalui Mahkamah Agung Soviet. Presiden mempertanggungjawab kan jabatannya pada Congress o f People's Deputies sekali dalam setahun, yang juga berdasarkan ketentuan dalam Mahkamah Agung Uni Soviet. Aturan ini juga mengatur posisi tentang wakil presiden yang juga disebut perdana menteri, yang dipilih pada saat yang sama dengan pemilihan presiden. Mahkamah Agung Uni Soviet dapat membebaskan hak veto presiden melalui kesepakatan simple majority di kedua majelis dalam Congress o f People ’s Deputies dan dapat menurun kan jabatan presiden dan wakil presiden apabila melanggar konstitusi atau hukum, dan juga apabila presiden melanggar sumpah jabatan pada waktu pelantikan. Kandidat yang sedang menjabat sebagai perdana menteri juga dapat mencalonkan sebagai presiden. Hal ini pernah dilakukan oleh Alexander Rutskoi yang menjabat sebagai perdana menteri pada masa jabatan presiden Boris Yeltsin yang pertama. Congress o f People ’s Deputies menawarkan alternatif politik sebagaimana halnya mekanisme yang dapat dijalankan seandainya presiden mangkat atau tidak dapat menjalankan tugas negara. Draft April 1993 yang mengatur tentang presiden telah diterbitkan dengan terlebih dulu mengatur tentang Parlemen dan Mahkamah Agung. Aturan hukum tentang presiden dan wakil presiden untuk pertama kali terbit pada bulan September 1993.
Partai Politik, Pemilu, dan Pemerintahan Rusia (Emilia Yustiningrum)
103
Aturan tentang presiden dan wakil presiden diatur dalam Konstitusi Rusia yang dituangkan melalui Artikel 80, yang menyatakan bahwa presiden merupakan kepala negara dan menjadi penjamin atas konstitusi negara yang ia janjikan pada waktu pelantikan. Presiden merupakan perwakilan Federasi Rusia di dalam politik domestik dan kebijakan luar negeri, dan menerapkan arahan yang langsung atas kebijakan negara, baik domestik maupun asing. Presiden merupakan perwakilan negara dalam sidang tahunan negara yang dijalankan oleh kedua majelis dalam Parlemen. Presiden juga dapat mem berlakukan legislasi dan membubarkan Parlemen, the State Duma, dalam kondisi tertentu, yang dijelaskan dalam Artikel 84. Masa jabatan presiden diatur dalam Artikel 81 yang menyatakan bahwa presiden dipilih selama masa periode empat tahun melalui pemilihan secara nasional, langsung, dan adil, yang tidak dapat dipilih lagi untuk masa jabatan lebih dari dua periode jabatan. Presiden Rusia harus berusia antara 35 tahun hingga 65 tahun, dan pernah hidup menetap di dalam wilayah Federasi Rusia minimal selama 10 tahun. 16 Masalah kekuasaan yang dimiliki presiden diatur dalam Artikel 83 yang menyatakan bahwa presiden mempunyai kekuasaan luas untuk memilih para pembantunya. Presiden memilih Perdana Menteri dengan persetujuan dari the State Duma dan dapat mengusulkan rapat pemerintahan. Presiden menominasikan calon kepala Bank Negara, memilih dan memberhentikan deputi presiden dan para menteri, menominasikan anggota Komisi Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Procyrasy. Presiden membentuk dan mengepalai Security Council17, memilih dan memberhentikan wakilnya dalam wilayah-wilayah Rusia sebagaimana komandan tentara wilayah dan duta besar negara-negara sahabat.
Presiden harus menyetujui doktrin militer Federasi Rusia yang merupakan hasil kesepakatan konstitusional. Presiden dapat menuntut diadakan referendum, bukan oleh Parlemen, apabila kondisi dan syarat negara telah terpenuhi untuk me lakukan hal tersebut. Kekuasaan presiden juga diperkuat melalui Artikel 87 dan 8 8 yang menyatakan bahwa Presiden merupakan panglima angkatan bersenjata negara, dan dapat mendeklarasikan negara dalam kondisi perang atau negara dalam keadaan darurat. Presiden dapat mengusul kan diadakan dekrit yang mengikat secara hukum di seluruh wilayah Federasi Rusia seperti yang tercantum dalam Artikel 90.IS Namun demikian terdapat batasanbatasan kekuasaan presiden Rusia. Presiden dapat dijatuhkan melalui proses impeachment, namun harus mendapat persetujuan dari dua pertiga anggota the State Duma (Parlemen-Majelis Rendah) atas dasar suara mayoritas, dan disetujui minimal oleh tiga deputi presiden dengan tugas khusus yang dibebankan kepada masing-masing deputi, yang dapat men jatuhkan presiden sebagaimana men jatuhkan hukuman kriminal. Mahkamah Agung Rusia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan bahwa proses impeachment terhadap presiden merupakan proses yang sah menurut hukum negara. Komisi Konstitusi mempunyai kekuasaan untuk menyatakan bahwa proses impeachment terhadap presiden telah melalui jalur yang sah. Anggota the Federal Council (Parlemen Majelis Tinggi) mempunyai hak untuk menyepakati impeachment dengan total suara mayoritas dua pertiga jumlah anggota, namun tidak lebih dari tiga bulan semenjak impeachment terhadap presiden pertama kali dikeluarkan. Hal ini secara gamblang dijelaskan dalam Artikel 93.|lJ Pemilu presiden Rusia yang pertama kali telah dijalankan pada bulan Juni 1992 dengan terpilihnya Boris Yeltsin. Pemilu presiden Rusia selanjutnya dilaksanakan pada tahun 1996 di mana untuk kedua kalinya Boris Yeltsin terpilih
16 Ibid.., hlm.82-83. 17 Security Council adalah insitusi pertahanan keamanan negara yang dibentuk untuk menggantikan KGB.
18 Stephen White, op. cit., hlm.82-83. “J Ibid.
104
Jurnal Penelitian Politik, V ol.l No. 1, 2004: 95-110
sebagai presiden. Namun demikian posisi Boris Yeltsin mengalami tantangan karena ia telah berusia 65 tahun ketika menyelesaikan jabatannya yang pertama, yang bertentangan dengan aturan dari the State Duma bahwa kandidat presiden Rusia berusia maksimal 65 tahun. Tidak ada yang dapat menentang hal tersebut karena Konstitusi Rusia masih menjadi valid hingga Boris Yeltsin mengeluarkan dekrit pada bulan September 1993 yang menyatakan bahwa presiden tidak bisa membubarkan Parlemen dan Mahkamah Agung Soviet, atau menghambat aktivitas lembaga tersebut. (Lihat Lampiran 5) Pasca pemilu presiden 1996 yang diwarnai oleh kemenangan Boris Yeltsin, mengalami perubahan pada pemilu presiden selanjutnya yaitu tahun 2 0 0 0 . Dalam pemilu kali ini nama Vladimir Putin untuk pertama kali muncul di muka publik. Putin sebelumnya telah berada dalam administrasi kepresidenan pada masa Boris Yeltsin sebagai deputi presiden bidang manajemen bisnis dan ketika Yeltsin terpilih untuk keduakalinya pada tahun 1996, Putin sebagai kepala Departemen Pengawasan Rusia. Masyarakat Rusia baru mendengar nama Putin ketika Boris Yeltsin mengganti PM Rusia, Sergei Stephasin dengan Vladimir Putin pada 9 Agustus 1999. Vladimir Putin mengawali karier sebagai agen KGB di Leningrad yang kemudian ditempatkan di Jerman Timur selama kurang lebih tujuh belas tahun. Karier politiknya dimulai ketika bekerja sebagai penasehat bidang privatisasi walikota Leningrad, Anatoly Sobchak, pada tahun 1990, dan juga sebagai deputi walikota. Ketika Anatoly Sobchak mengalami kekalahan atas Vladimir Yakovlev untuk mempertahankan posisi dalam pemilu walikota 1996, Putin kemudian pindah ke Moskow dan bekerja di dalam administrasi presiden Boris Yeltsin. Putin sempat menjadi kepala Intelijen Domestik tahun 1998 dan sekretaris National Security Council tahun
1 9 9 9 2» posisi tersebut membuat Putin mengeluarkan kebijakan tentang rencana Perang Chechnya kedua tahun 1999 dan pendeklarasian doktrin keamanan nasional baru pada bulan Januari 2000 dengan esensi utama pengurangan penggunaan senjata nuklir. Semenjak pengunduran diri Yeltsin bulan Desember 1999, Putin telah mengeluarkan dua belas dekrit presiden yang hampir separonya berkaitan dengan kebijakan militer. Putin tidak mengembangkan visi tentang membangun kembali kekuasaan Rusia di masa lampau yang meliputi wilayah republik-republik bekas Uni Soviet dan juga tidak berusaha membangun posisi superpower Rusia sebagai tandingan Amerika Serikat. Dalam pemilu presiden Rusia yang dilaksanakan pada 26 Maret 2000, Putin mendapatkan kesuksesan, yang secara politik dibangun melalui kebijakan kontroversialnya mengenai perang brutal di Chechnya. Trauma berkepanjangan akibat konflik Chechnya, pengeboman apartemen sipil di Moskow dan warga negara Rusia lain, ditambah dengan aksi penculikan membuat Putin mengeluarkan kebijakan pengiriman tentara Rusia dalam perang Chechnya. Hal inilah yang kemudian memacu popularitas Putin dalam pemilu presiden 2 0 0 0 , mengalahkan kandidat-kandidat presiden lain. (Lihat Lampiran 6 ) Tahun 2004 untuk kedua kalinya Vladimir Putin terpilih sebagai presiden Rusia dalam pemilu presiden yang diselenggarakan pada 14 Maret 2004. Kebijakan Putin selama periode pertama masa jabatan presiden yang pertama telah dibangun untuk meningkatkan per tumbuhan ekonomi, memperkuat institusi masyarakat sipil, dan menjamin kebebasan media massa.21 Media massa Rusia di kembangkan menjadi media yang independen, yang memberi dampak luar biasa pada jaringan televisi nasional yang selalu mengeluarkan pemberitaan mengenai kebijakan Putin. Hal ini semakin
20 Dalam http://cdition.cnn.com/SPEClALS/2000 / russia/story/analysis/putin, 21 Mei 2004 Partai Politik, Pemilu, dan Pemerintahan Rusia (Emilia Yustiningrum)
105
meningkatkan popularitas Putin bahkan pada saat pemilu presiden belum di langsungkan. Pemilu presiden Rusia pada 14 Maret 2004 menyita waktu selama 22 jam yang meliputi 11 zona waktu Rusia yang berakhir pada pukul 8 malam di wilayah laut Baltik hingga Kaliningrad. Meskipun kampanye pemilu presiden Putin tidak di laksanakan secara terbuka, namun sosok nya yang stabil dan merupakan pemimpin yang disiplin mampu mengatasi trauma yang muncul pada pengalaman sejarah masa lalu ketika terjadi pergolakan sosial dan politik menyusul bubarnya Uni Soviet tahun 1991. Saat ini, ketika Rusia telah berdiri sendiri sebagai negara yang demokratis, Putin menjalankan strategi politik domestik yang dapat dikategorikan menjadi tiga komponen penting yaitu mempertahankan prinsip-prinsip demo krasi, memperbaiki sistem multipartai, dan memperkuat masyarakat sipil. Dan hasil nya Putin tetap berjaya sebagai Presiden Rusia dalam pemilu presiden tahun 2004 hingga empat tahun ke depan. (Lihat Lampiran 7)
pro-pemerintah, kelompok nasionalpatriotis, dan kelompok komunis-agraria kiri. Keempat karakter partai-partai politik tersebut mewarnai kehidupan politik dengan menuntut diadakannya pemilihan umum untuk memilih anggota Parlemen. Pemilihan umum menjadi kebutuhan yang sifatnya nasional untuk memilih anggota parlemen dan presiden. Dalam bidang pemerintahan, kekuasaan eksekutif tidak lagi di tangan pimpinan partai politik tunggal yang tersentralisasi, namun di tangan presiden yang disahkan melalui amandemen konstitusi. Hal ini juga mengatur tentang pemilahan peran presiden dan para pembantunya. Pemilu presiden menjadi hal yang menarik karena presiden mempunyai kekuasaan yang besar untuk merumuskan garis kebijakan politik domestik. Latar belakang presiden juga mempengaruhi bentuk-bentuk kebijakan politik nasional yang dibuatnya, baik dalam bidang ekonomi maupun pertahanan.
Penutup
A. Buku dan Artikel
Perubahan kondisi politik domestik Rusia tidak bisa dipisahkan dari per kembangan sejarah pada masa lalu. Perubahan yang terjadi merupakan hasil dari dorongan dan tuntutan dari dalam negeri yang menginginkan bentuk kehidupan politik yang berbeda. Perubahan sistem kepartaian dari sistem partai tunggal menjadi sistem multipartai membuat suasana kebangkitan partai-partai politik sangat marak di Rusia. Selama berkembangnya partai-partai politik tersebut dapat dikategorikan men jadi empat kelompok yaitu kelompok demokrat-reformis, kelompok tengah yang
Haryanto. Sistem Politik: Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta, 1982.
21 Dalam http://www.auardian.eo.ulc/vvorkllatest /story/0,1280,-3861047,00.html, 16 Maret 2004
106
Daftar Pustaka
Higley, John, Jan Pakulski, Wloddzimierz Wesolowski. Postcommunist Elites and Democracy in Eastern Europe. London, Macmillan Press Ltd., 1998, Holmes, Leslie. Post-Communism: An Introduction. United Kingdom, Polity Press, 1997. The National Institute for Defense Studies. East Asian Strategic Review 2001. Japan, 2 0 0 1 . The National Institute for Defense Studies. East Asian Strategic Review 2003. Japan, 2003. White, Stephen. Russia’s New Politics: The Management o f a Post Communist Society. United Kingdom, Cambridge University Press, 2000.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1,2004: 95-110
B. Majalah, Surat Kabar, Media Internet
Lampiran
Kompas, 16 Maret 2004.
Lampiran 1
Media Indonesia, 16 Maret 2004.
Tabel 1. Pem ilu
http://www.guardian. co. uk/worldlatest/stor y/0,1280, -3861047,00. html, 16 Maret 2004.
P e ro le h a n S u a ra
K a n d id a t B oris Y eltsin N ikolai R yzh ka n o v V la d im ir Z h irin o vsky A m a n -G e ld y T u le ye v
http://www.rferl.org/specials/russianelecti on/bio/putin. asp, 7 April 2004. http://www.rferl. org/special/russianelectio n/archives/partywinners.asp, 7 April 2004.
A lb e rt M a ka sh o v V ad im B aka tin K a n d id a t lain S u a ra tid a k sah
http.V/edition. cnn. com/SPECIALS/2000/rus sia/story/analysis/St. Petersburg. reax, 21 Mei 2004.
Presiden R usia 12 Juni 1991
T o ta l s u a r a
P e rs e n ta s e
45 .552.041
57,3
1 3 .3 9 5 .3 3 5
16,9
6 .2 1 1 .0 0 7
7,8
5 .4 1 7 .4 6 4
6,8
2.969.511
3,7
2 .7 1 9 .7 5 7
3,4
1 .5 25.41 0
1,9
1 .7 16.75 7
2,2
7 9 .5 0 7 .2 8 2
7 4 .7
http.V/edition. cnn. com/SPECIALS/2000/rus sia/story/analysis/putin, 21 Mei 2004.
Sumber: Stephen White, R ussia’s New Politics: The Management o fa Post Communist Society, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2000), hlm.78.
Lampiran 2 Table 2. Pem ilu
1993
Parlemen
(the State Duma) D esem ber Suara Partai Politik
Partai Politik
Jumlah % kursi kursi Paru,'i vattg lolos e lec to ra l tre sh a ld m inim al 5 % suara
Russia's Clioice Liberal Democratic Party of Russia Communist Party of Russian 1ederation Agraria n Party Women of Russia Yabloko l’any of Russian fjnity and Concord Democratic Party of Russia
% suara
15.51
40
Single member constituensi jumlah % kursi kursi
17,8
30
13.3 o
22.92
59
26.2
5
12.40
32
14.2
16
7.1
7.99 8,13 7.86
21 21 20
9,3 9.3 8.9
12 2 3
5,3 0.9 1.3
6,76
18
8,0
1
5-52
14
6,2
Total kursi Jumlah
%
70
15.6
64
14.2
48 ->-»
10.7 j
23 23
7,3 5.1 5.1
0,4
19 ,
4.2
1
0,4
15 i
3,3
4
1.8
4
0,9
0,9 0,4 0,4
2 I 1
0.4 0.2 0.2
-
2 i i *
-
-
Partai yang tidak lolos e lec to ra l tresh o ld
Democratic Reform of Mov ement Diunits andCharity Civie Union Russia's Future-New Names Ccdar Partai politik lain Suara tidak sah Kandidat independen Kursi tidak diisi Total
4.08 0,70 1,93 1.25 0.76 4,36 3,10 -
-
-
-
141 6
225
225
-
62,7
141 6
3 1.3
450
Sumber: Stephen White, Russia ’s New Politics: The Management o fa Post Communist Society, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2000), hlm.40
Partai Politik, Pemilu, dan Pemerintahan Rusia (Emilia Yustiningrum)
107
Lampiran 3 Table 3. Pemilu Parlemen ( th e
S ta te D u m a )
Desember 1995
S u a ra P a rta i P o litik
: P a rta i P o litik dan B lo k
% suara
J u m la h kursi
% k u rsi
1Partai politik yang lolos electoral treshold 5 persen 99 | 44,0 | Communist Party 22,3 50 22,2 i Liberal Democrats 11,2 45 20.0 ! Our Home is Russia 10.1 31 13.8 i Yabloko 6.9 : P a rta i politik yang tidak lolos electoral treshold 5 persen • Agrarian Party 3,8 1 Pow er to the Peopie ! 1.6 Russia's Democratic Choice ! 3,9 Congress of Russian ... .. 4..1 Uommunities Woinen of Russia 1 4,6 1,9 ; Forward, Russia ! 1.1 Blok Ivan Rybkin 1 Blok Pamfilova-Gurov1,6 Lvsenko Co m m un ist- Wo rk ing 4,5 Russia-For the Soviet Union Party of Workers’ Self4,0 Management Trade Unions and 1,6 Industrialists 1.0 Blok Govorukhin 0,7 Fatherland 0,7 Common Cause Fransformation of the 0,7 Fatherland Party of Russian Unity and 0,4 Concord 0,1 Partv of Economic Freedom 89 wilayah di Rusia 0.1 0.1 Blok Indepetidents 8,9 Partai politik lain Kandidat independen 2,8 Suara tidak diisi 1,2 Suara tidak sah i
S in g le m e m b e r c o n s titu e n s i
T o ta l kursi
J u m la h k u rs i
J u m la h
% k u rs i
%
58 1 10 14 ;
25,8 0,4 4.4 6,2
157 51 55 45
34,9 11,3 12.2 10.0
20 ; 9 9
8.9 4,0 4,0
20 9 9
4.4 2.0 2.9
5
2,2
5
1.1
"*
1,3 1,3 1.3
3 ; .3 3 :
0.7 0.7 0.7
D
0,9
2
0 . 4
1
0,4
1
0,2
1
0,4
1
0.2
1
0,4
1
0.2
1 1i 11
0.4 0,4 0,4
1 1 1
1
0,4
1
0.2
1
0,4
1
0.2
1 I 1 0
0.4 0,4 0,4
77
34,2
3 3
•
-
-
-
-
0 . 2
0.2 0 . 2
1 0.2 1 0.2 1 1 0.2 0 77 i 17.1 - 1_____YJ - 1
Sumber: Stephen W h ite, R u s s ia 's N e w P o litic s : T h e M a n a g e m e n t o f a P o s t C o m m u n is t S o c ie ty , (U nited Kingdom: Cam bridge University Press, 2 00 0), hlm .52.
108
Jurnal Penelitian P olitik, V o l.l No. 1, 2004: 95-110
Lampiran 4
Lampiran 5
Tabel 4. Pemilu Parlemen (the State Duma) Desember 2003
Tabel 5.1. Pemilu Presiden Rusia Putaran I 16 Juni 1996
P a rta i p o litik U n ified Russia C o m m u n ist P arty of R ussian F e de ratio n L ibe ral D e m o cra tic P arty of Russia Blok M othe rla nd Y abloko U nion of R ightist F orces-S P S A g ra ria n P arty of R ussia B lok R ussian P e n s io n e rs ’ PartyP arty of Social Justice B lok P arty of R u ssia ’s R ebirthR u ssian P arty of Life P e o p le ’s P arty
P e rs e n ta s e
K u rsi d i P a r le m e n
K a n d id a t
3 7 ,5 7
120
12,61
40
11,45
36
9,0 2
29 D ata not a va ila b le D ata not ava ila b le D a ta not ava ila b le
4,3 0 3,97 3 ,6 4
3 ,0 9
D a ta not a va ila b le
1,88
D ata not a va ila ble
1,18
Sumber: http://www.rferl.ore/snecials/ russianelection / archives/ partywinners.asp, 7 April 2004.
D ata not a va ila ble
B o ris Y eltsin G e n n a d ii Z yu g a n o v A le x a n d e r Le be d G rig o rii Y a v lin s k y V la d im ir Z h irin o vsky S vyto sla v F edo rov M ikh ail G o rb a ch e v M a rtin S h a kku m Y u ri V la so v V la d im ir B ryn tsa lo v A m a n G e ld y T u le ye v S u a ra ka n d id a t lain S u a ra tid a k sah
T o ta l
T o ta l S u a r a
P e rs e n ta s e
2 6 .6 6 5 .4 9 5
35,3
2 4 .2 1 1 .6 8 6
32,0
1 0 .9 7 4 .7 3 6 5 .5 5 0 .7 5 2
14,5 7,3
4 .3 1 1 .4 7 9
5,7
6 9 9 .1 5 8
0,9
386. 06 9
0,5
2 7 7 .0 6 8 1 5 1.28 2
0,4 0,2
123.06 5
0,2
30 8
0,0
1.163.921
1,5
1 .0 72.12 0
1,4
7 5 .5 8 7 .1 3 9
69 ,7
Sumber: Stephen White, Russia's New Politics: The M anagement o fa Post Communist Society, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2000), hlm.98.
Tabel 5.2. Pemilu Presiden Rusia Putaran II 3 Juli 1996 K a n d id a t
T o ta l S u a r a
P e rs e n ta s e
B o ris Y eltsin G e n n a d ii Z yu g a n o v S u a ra .ka n d id a t lain S u a ra tid a k sah
4 0 .2 0 3 .9 4 8
53,8
3 0 .1 0 2 .2 8 8
40,3
3 .6 0 4 .4 6 2
4,8
7 8 0 .5 9 2
1,0
T o ta l
7 4 .6 9 1 .2 9 0
6 8 ,8
Sumber: Stephen White, Russia ’s New Politics: The M anagement o fa Post Communist Society, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2000), hlm.98.
Partai Politik, Pemilu, dan Pemerintahan Rusia (Emilia Yustiningrum)
109
Lampiran 6 Tabel 6. Pem ilu Presiden Rusia 26 Maret 2000 Kandidat Vladimir Putin Gennady Zyuganov Grigory Yavlisnky Aman Tuleyev Vladimir Zhirinovsky
Total Suara
Persentase
39.740.434
Partai Politik
53,44 Kandidat Independen ao Communist Party o f Soviet ‘ ! Union-CPRF 5,85 Yabloko 2,98 Kandidat Independen
21.928.471 4.351.452 2.217.361
2
2.026.513
'
*
i
Liberal Democratic Party o f Russia
Sumber: http://edition.cnn.com/SPECIALS/2000/russia/story/analysis/St.Petersburg.reax, 21 Mei 2004
Lampiran 7 Tabel 7. Pem ilu Presiden Rusia 14 Maret 2004 Kandidat
Persentase
Total Suara 4 9 .5 6 5 .2 3 8
7 1 .3 1
N ik o la i K h a r it o n o v
9 .5 1 3 .3 1 3
1.3.69
S e rg e i G la z e v
2 .8 5 0 .0 6 3
4 .1 0
Irin a K h a k a m a d a
2 .6 7 1 .3 1 3
3 ,8 4
O lc g M a l y s h k in
1 .4 0 5 .3 1 5
2 ,0 2
S e rg e i M ir o n o v
5 2 4 .3 2 4
0 .7 5
2 .3 9 6 .2 1 9
3 .4 5
V la d im ir P u tin
S u a ra k a n d id a t la in
Sumber: http://www.rferl.org/specials/russianelection/archives/partywinners.asp, 7 April 2004.
110
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 95-110
Strategi Kontemporer Partai-partai Politik di Indonesia 2004-2009 Oleh: Mardyanto Wahyu Tryatmoko Resensi Buku Judul Penulis Penerbit Tebal buku
: Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009 : Litbang Kompas : Penerbit Buku Kompas, Februari 2004 : X + 550 halaman Abstract
The public perception and choice to a specific political party o r politician, which based on intuition or rationality, are absolutely depended on historical experiences and the rise o f discourse oj political parties and p o liticia n s’ behavior it selves. However, every performance o f political parties with all o f their conflicting interests that happens to them is directly influenced by the electoral and parties system. On the other hand, this system converts votes in the polling booth into seats in the assembly and simultaneously converts the behavior o f political parties -including the politicians- on the intra o r extra parliament. In the meantime, when the people are in deep participation towards democratization o f the electoral and parties system, will political parties be able to be more mature and wise as their role, including fa irly competition during elections? Will the national bad experiences be made a s fu e l o f struggle that is stated in their program s? It is not false, if undecided voters and violence by the people because o f an endless oligarchy usually respond these questions. One o f Solutions that can avoid it is the maturity o f political culture and the reinforcement o f parties system.
Menarik mengikuti pelaksanaan pemilu 2004 di beberapa daerah di republik ini. Fenomena konstituen dalam menentukan pilihannya memiliki latar belakang yang bervariasi bukan saja karena interest-nya terhadap kesamaan ideologi, program, atau figur, namun juga banyak faktor yang muncul akibat “keterpaksaaan”. Seperti halnya, potret pelaksanaan pemilu yang terjadi di beberapa daerah rawan konflik seperti Aceh dan Papua. Partisipasi masyarakat di Aceh dalam menentukan pilihannya seperti hanya sekadar mencoblos, atau datang ke bilik suara karena khawatir akan berhadapan dengan sejumlah pertanyaan dari “orang-orang” yang akan mem pertanyakan ketidakhadirannya. Bahkan ada yang memiliki alasan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai “penghormatan” kepada pihak yang melaksanakan pemilu meskipun sebelum
Strategi Kontemporer Partai-partai Politik
nya mereka merasa tidak dihormati. Fenomena yang terjadi di Papua lebih menarik lagi ketika masyarakat yang terlihat begitu antusias datang ke TPS lebih dikarenakan ketakutannya jika dianggap OPM, sehingga banyak penduduk yang di tolak melakukan hak pilihnya ketika datang ke TPS hanya karena tidak memiliki kartu pemilih. Banyak lagi yang beranggapan jika memilih semakin banyak partai (dalam satu surat suara), maka hasilnya akan sinergis dengan banyaknya perhatian pemerintah yang akan diberikan kepada masyarakat Papua. Alhasil, banyak surat suara yang tidak sah . 1 Gambaran itulah yang merupakan sisi lain dari alasan masyarakat untuk memberikan pilihannya dalam pemilu 2004. Fenomena di atas sangatlah wajar mengingat kondisi mereka yang berada di 1 Lihat pemberitaan Kompas, 10 April 2004. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko)
kantong-kantong ‘separatis’. Namun di luar “keterpaksaan” tersebut, bagaimana dengan masyarakat yang secara sadar memberikan pilihannya baik atas per timbangan hati nurani maupun rasio nalitasnya? Motif kuat apa yang mendasari pilihannya, dari sekian banyak alternatif calon politisi maupun partai itu sendiri? Apakah sebenarnya yang ditawarkan oleh parpol untuk mempengaruhi pilihan masyarakat? Penilaian dan pilihan masyarakat terhadap suatu partai atau politisi tertentu yang didasarkan atas intuisi maupun rasionalitasnya pastilah didasarkan dari pengalaman historis dan wacana yang berkembang atas perilaku partai atau politisi tersebut. Padahal, segala tingkah laku partai politik dengan segala konflik kepentingan yang mereka jalani di pengaruhi secara langsung oleh sistem kepartaian dan pemilu. 2 Dengan kata lain, sistem inilah yang bisa mengubah suara di dalam kotak suara menjadi kursi di dalam dewan, dan sekaligus juga mengubah perilaku partai — termasuk para politisi nya — baik intra maupun ekstraparlementer. Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan sistem multipartai keempat setelah pemilu tahun 1955, 1971, dan 1999 yang lebih menganut pluralism party system dibandingkan dengan pemilu lainnya yang lebih mengarah pada hegemonic party system. Meskipun sebenarnya pluralism yang dimaksud masih dalam koridor pembatasan “administratif’. Keterbukaan ini me nyebabkan munculnya banyak nama partai politik baru di samping partai politik lama yang lolos electoral threshold. Hal ini jelas berimplikasi pada besarnya jumlah parpol dalam pemilu 2004 yang tidak seimbang dengan diferensiasi ideologi atau platform, karena ideologi dan platform bahkan program partai politik di Indonesia cenderung bernilai relatif konstan. Sedang kan ideologi, platformlprogram yang ‘ Anthony H. Birch, The Concepts and Theories of Modern Democracy, (Routledge, London and New York, 2nd Edition, 2002).
112
nilainya konstan tersebut, praktis tidak akan mampu dibagi lagi menjadi banyak kepengurusan kuat dengan banyak label partai politik baru. Inilah sebabnya mengapa banyak partai politik yang tidak lolos dalam verifikasi (penentuan) sebagai peserta pemilu 2004 ketika ada pem batasan syarat minimal jumlah kepengurusan. Peserta pemilu 2004 lebih sedikit dibandingkan dengan peserta pemilu 1999. Hal ini mungkin disebabkan oleh peraturan yuridis formal yang lebih memberikan batasan tentang syarat keikutsertaan parpol dalam pemilu 2004. Verifikasi yang di lakukan oleh Departemen Kehakiman dan HAM serta KPU menghasilkan 24 parpol yang berhak ikut dalam pemilu 2004, sedangkan partai politik yang tidak lolos verifikasi KPU sebanyak 26 parpol, partai politik yang dibatalkan sebagai badan hukum berjumlah 153, dan partai politik yang tidak memenuhi persyaratan UU No. 31 Tahun 2004 sebanyak 58. Jumlah ini cukup fantastis untuk dijadikan sebagai indikator keterwakilan kepentingan masyarakat. Asumsi yang bisa ditarik dari realitas di atas adalah banyak “pejuang baru” di negara ini yang ingin menunjuk kan eksistensinya dalam merepresentasi kan kepentingan masyarakat meskipun terkadang hanya dengan modal janji-janji “reformis”. Setidaknya, banyak alasan yang menjadi dasar pembentukan beberapa partai politik baru. Pertama, kemunculan partai baru sebagai pecahan partai lama lebih dimunculkan akibat kekecewaan politisi lama terhadap gaya politik “penguasa” partai yang bersangkutan. Kedua, keyakinan politisi partai yang memiliki peluang untuk menunjukkan kemampuannya yang lebih marketable dibanding jika dia masih berada dalam posisi lama. Ketiga, bagi politisi di dalam partai yang benar-benar baru, ia akan mencoba menjual ketokohannya dengan jalan mengembangkan jaringan dan dukungan dari jabatan yang dipegangnya saat itu. Bagaimanapun, yang sedang atau masih trend di Indonesia saat ini adalah mengentalnya politik ketokohan.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 111-119
Kemunculan partai baru juga lebih disebabkan karena fenomena neo konservatisme yang melekat di dalam kepengurusan partai politik. Fenomena ini akan selalu mengkultuskan sosok populer yang relatif laku jual, dan tentu saja akan menyingkirkan rasio rivalitasnya. Ke menangan itulah yang menyingkirkan dan mengakibatkan tokoh penting lain yang akan segera membentuk sistem oligarki baru. Teori trickle down effect pem bentukan partai baru akan sangat menjelaskan bagaimana ideologi yang sama akan muncul akibat perpecahan tersebut. Beberapa tokoh partai lama yang mengalami kekecewaan akibat kedudukan nya, secara otomatis membentuk partai baru yang memiliki kesamaan ideologi. Bagaimanapun juga politik aliran yang dikemukakan oleh Cliford Gertz tampak nya masih berlaku dan menjadi strategi bagi beberapa partai baru. Sebaliknya, pembentukan partai baru -di luar sebab perpecahan dari partai lamacenderung menyebabkan berkembangnya asas baru yang lambat laun akan memudar kan politik aliran. Bahkan beberapa partai lama dan baru memiliki strategi untuk tidak terpaku pada politik aliran ini. Memang beberapa di antaranya mem bentuk partai baru dengan asas yang relatif sedikit berbeda untuk bisa lebih diterima massa. Ditambah lagi kemudian partai baru dengan tokoh baru membentuk platform yang lebih “majemuk” untuk bisa mengcover banyak aspirasi dan ideologi massa. Sangat mustahil terjadi bagi partai politik yang baru mencalonkan sebagai peserta pemilu akan berafiliasi dengan partai lama karena telah sadar akan kapasitasnya, kecuali jika kemampuannya sudah benar-benar disaring oleh per undangan yang berlaku. Hal itu pun sangat jarang terjadi aliansi. Seperti halnya beberapa partai politik yang tidak lolos verifikasi kemudian bergabung dengan parpol yang lolos.3 Letak permasalahan
3 Fenomena ini banyak sekali terjadi di tingkat lokal. Di Kalimantan Selatan misalnya, di mana beberapa partai politik yang tidak lolos verifikasi berkoalisi membentuk kepengurusan PNI Strategi Kontemporer Partai-partai Politik
yang sebenarnya adalah banyaknya “politisi baru” yang ingin segera berkuasa dengan strategi “jalan pintas”. Alasan kuat mereka adalah tidak mungkin untuk tetap bertahan dalam partai lama atau bergabung dengan partai lain tanpa memiliki daya tawar tinggi yang akan bisa mendudukkan mereka dalam kursi legislatif. Strategi yang paling memungkinkan adalah mem bentuk aliansi baru dengan kesamaan tujuan kekuasaan dalam suatu wadah baru. Hitung-hitungan dukungan yang mereka lakukan sebenarnya hanyalah atas dasar intuisi dan jaringan semu. Banyak politisi parpol baru beranggapan dan berkeyakinan bahwa banyak dukungan yang mengarah kepadanya. Baik itu dukungan yang bersifat lokal atau sekedar menempatkan dia menjadi politisi lokal, sampai dengan asumsi jaringan yang lebih luas misalnya dukungan militer, birokrat, ataupun pengusaha. Memperjelas uraian di atas, sebenarnya kita bisa mencermati dengan jelas apa sebenarnya yang ditawarkan oleh partai politik peserta pemilu 2004. Dari database yang dikeluarkan oleh Litbang Kompas berupa buku mengenai profil partai politik peserta pemilu 2004 dengan judul Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, kita bisa membaca platform atau program partai dengan lengkap. Terlebih lagi, dari buku ini sebenarnya kita bisa lebih memetakan atau memperkuat analisis tentang sistem kepartaian atau partai politik itu sendiri. Karena di dalam buku setebal 550 halaman ini, kita bisa membaca dengan jelas juga tentang sejarah kemunculan partai politik peserta pemilu 2004. Selain itu, kita akan lebih mudah mengidentifikasi siapa sebenarnya “aktor” utama yang ingin berkuasa dengan mengusung “imingiming” ataupun ketokohannya.
Marhaenisme yang pada awalnya kepengurusan di wilayah ini. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko)
tidak ada
113
Genealogi Ideologi atau Kepentingan Di dalam bab pertama dari buku ini, terdapat bagan genealogi ketiga partai besar (Golkar, PDI, dan PPP) yang mungkin sengaja dibuat oleh Daniel Dhakidae untuk memberikan gambaran ringkas tentang pembentukan partai politik 2004-2009 yang dijelaskan secara rinci dalam bab berikutnya. Namun jika telah membaca genealogi ini secara lengkap di dalam bab kedua, dan kemudian men cermati perolehan suara dari partai yang merupakan pecahan dari partai besar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa partai yang masih memiliki strategi politik aliran akan tergilas oleh partai besar yang memiliki kesamaan ideologi. Hal ini ter bukti bahwa partai baru sebagai bentukan dari pecahan partai lama hanya akan memperoleh suara rata-rata maksimal 2 %. Namun begitu, perolehan suara induknya akan mengalami pengurangan. Lihat saja PDI-P yang melahirkan dua pecahan partai baru yang masih berideologikan sama. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (Partai PDI) yang diketuai oleh Dimmy Haryanto dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) yang diketuai oleh Eros Djarot tidak bisa menembus perolehan suara 2% karena masih relatif memiliki kesamaan ideologi. Hanya saja PNBK yang lebih mengentalkan paham Marhaenisme-nya bisa meraup lebih banyak suara dibandingkan dengan Partai PDI. Jika Partai PDI dan PNBK mengharapkan limpahan swing voter dari PDI-P karena citranya yang melemah, tentu saja masih jauh dari harapan. Massa mengambang yang tidak lagi percaya pada Mega, juga akan mengalihkan ideologi nasionalisnya kepada ideologi dan platform lain. Kecuali para kader yang telah terbina baik namun kecewa dengan Mega, mereka tentu akan mencari figur lain dengan basis ideologi maupun ketokohan yang hampir serupa. Berbeda halnya dengan Golkar, partai ini menghasilkan dua partai sempalan yaitu Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP Indonesia) yang diketuai oleh Edi Sudradjat dan Partai
114
Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang diketuai oleh R. Hartono. Kedua partai ini sebenarnya bisa dikategorikan ke dalam “partai militer”. Sosok pengurus dan jaringan yang coba dibangun berkisar pada elemen militer. Para mantan jenderal yang duduk dalam kepengurusan kedua partai ini mencoba mengakomodasi suara militer melalui jaringan purnawirawan maupun keluarga militer meski TNI dan Polri me miliki kebijakan untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Meskipun begitu, dengan meminjam istilahnya Ikrar Nusa Bhakti, keluarga besar TNI melalui istri dan anak-anaknya adalah “satu suara”. Tetapi logika kemudian adalah suara militer tidak akan kuat jika terbagi ke dalam dua kubu (partai) atau lebih, apalagi ada mantan jenderal lain yang dicalonkan sebagai presiden oleh beberapa partai. Maka dari itu, untuk terlihat lebih moderat dan relatif bisa diterima oleh sipil, program yang ditawarkan oleh PKP Indonesia adalah reposisi TNI dan Polri. Bahkan oleh PKP Indonesia, program reposisi ini dijabarkan secara lebih detail dalam lima poin fungsi profesionalisme TNI dan Polri. 4 Berbeda halnya dengan PKPB, partai ini tidak memiliki program konkret atau hanya menyebutkan program di bidang agama, ekonomi, dan pendidikan tanpa menyebutkan lebih lanjut apa yang diinginkan dalam bidang itu .5 Selain mendukung peningkatan profesionalisme TNI dan Polri yang disebutkan dalam ‘usaha’ PKPB, lebih frontal lagi partai ini mencoba mengembalikan memori dengan mengedepankan “antek Soeharto”. Wacana kerinduan atas situasi Orde Baru yang identik dengan “kestabilan” ekonomi, dan keamanan dicoba lagi dengan mempersonifikasikan Mbak Tutut sebagai penerus tahta Soeharto. Friksi yang terjadi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setelah pemilu 1999 lebih dikarenakan keputusan penundaan Muktamar II yang menimbul kan kecurigaan adanya keengganan 4 Seperti diuraikan di hlm.207-208 5 Program yang dimiliki oleh PKPB adalah terpendek dibanding dengan partai lainnya, yaitu hanya 26 kata. Bisa dilihat di hlm.249.
Jurnal Penelitian Politik, V ol.l No. 1, 2004: 111-119
“penguasa” partai saat itu untuk melaku kan regenerasi dan restrukturisasi jabatan dalam PPP. Alhasil, Zainuddin MZ, Djafar Badjeber, dan beberapa kader yang proMuktamar 2003 menyatakan keluar dari PPP dan kemudian mendirikan PPP reformasi. Partai Bintang Reformasi (PBR) yang dipakai untuk menggantikan nama PPP reformasi menggunakan ketua umum nya Zainuddin MZ untuk bisa meraih perhatian massa. Sayangnya, kepopuleran Zainuddin MZ yang dijuluki sebagai “Dai sejuta ummat” tidak bisa secara sertamerta meningkatkan popularitas politisnya, karena mungkin massa lebih rasional dengan membedakan antara dakwah untuk ke-taqwa-an dengan kampanye untuk ke kuasaan. Fenomena inilah yang memaksa PBR harus puas mendapat suara sekitar 2%. Meskipun begitu, suara ini cukup signifikan mengurangi “hak suara” PPP. Strategi Jitu Modernisasi Politik Partai Politik Jika kita mencermati karakteristik strategi pemenangan pemilu yang dimiliki oleh beberapa partai politik 2004-2009 tampaknya mulai ada perubahan metode. Politik aliran yang dahulu sering dipakai untuk penjaringan massa, kini sudah mulai ditinggalkan. Pemilahan parpol ke dalam nasionalis, Islamis (NU atau Muhammadiyah), sosialis, dan lain sebagainya kini mulai tidak jelas lagi. Banyak partai sekarang yang mengusung nilai-nilai demokratis dan juga reformis. Malahan kemudian beberapa partai tertentu bangga dengan nilai-nilai lama seperti “Soekarnois” dan “Soehartois”, sehingga program yang disusun dan asas yang di jadikan landasan partai semakin bias dengan strategi baru pengumpulan massa. Sebenarnya, kita bisa melihat apa yang menjadi preferensi perjuangan suatu partai politik dari dua elemen politik sekaligus. Yang pertama adalah dari sisi masyarakat, dan yang kedua adalah dari sisi partai itu sendiri. Dari sisi masyarakat, mau tidak mau kita harus menyatakan bahwa yang masih terjadi adalah fenomena pragmatisme. Wacana yang telah ber
strategi Kontemporer Partai-partai Politik
kembang lama di masyarakat dijadikan pelajaran bagi preferensi politik mereka. Terlebih lagi semakin bertambahnya middle class menjadikan pilihan-pilihan politik mereka lebih realistis. Memang, sejak awal masyarakat tidak pernah mem baca program partai. Realitas politik-lah yang menjadi preferensi pilihan mereka, karena di sisi yang kedua, partai politik hanya beretorika dengan program semu dan mengedepankan platform atau ideologi lama peninggalan “nenek moyang”. Program-program partai yang disusun sedemikian rupa hanyalah bersifat administratif atau sebagai pelengkap kepengurusan. Sedangkan ideologi seperti nasionalis, militeris-birokratis, sosialis, dan religius yang lebih dijadikan jargon kampanye hanya dipakai untuk mengelabui masyarakat. Sistem proporsional terbuka juga memberikan peluang bagi partai meng gunakan caleg nomor jadi sebagai vote getter-nya. Sistem inilah kemudian juga turut dalam melunturkan politik aliran tersebut. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sepertinya lebih menerapkan strategi berlapis. Di satu sisi, PKB tetap mengusung Gus Dur sebagai calon presiden tunggalnya, dan di sisi lain meng gunakan mekanisme pencalonan anggota legislatif dengan menampilkan sosok populis. Mekanisme yang dilakukan oleh PKB dengan political appointee mem berikan nuansa penjaringan massa dengan tetap memperhatikan jasa pengurus partaisedangkan mekanisme professional appointee lebih memberikan nuansa kualifikasi profesi caleg partai meskipun harus mengambil dari luar struktur ke pengurusan. “Keterbukaan” aliran inilah membuat PKB mengumpulkan suara yang cukup signifikan. Sebagai contoh yang terjadi di NTT, dari 19 orang caleg PKB Ende, 9 orang (47,4%) adalah caleg beragama Katolik. Di daerah pemilihan Ende 4, empat orang dari lima calegnya beragama Katolik, kendati berada di nomor urut 2, 3, 4, dan 5, sementara caleg ber
(Mardyanto Wahyu Tryatmoko)
115
agama Islam di nomor urut 1 daerah pemilihan yang sama. 6 Hampir sama halnya dengan PDIP, partai ini mengusung nama-nama beken termasuk artis di beberapa daerah pemilihan strategis, sehingga Taufik Kiemas harus menerima kenyataan dikalahkan oleh Marisa Haque di daerah pemilihan Jawa Barat II. Meski banyak opini mengenai keterpurukan PDI-P akibat kegagalan pemerintahan Mega, namun dalam kenyataannya perolehan suara partai ini tetap tinggi meski mengalami penurunan sekitar 14% dibanding hasil pemilu 1999. Kepintaran Mega dalam menjual “Moncong Putih”nya patut di acungi jempol, sehingga sempat me munculkan kecurigaan beberapa pihak terhadap PDI-P (partai pemerintah) dalam melakukan rekayasa. Mereka menilai perhitungannya tidak sinkron dengan hasil penghitungan suara di pelbagai daerah. Alhasil, kemudian aliansi 19 partai muncul untuk menolak hasil pemilu 2004.7 Sebagai partai yang berkuasa di masa Orde Baru, Golkar masih tetap menancapkan pengaruh kuatnya dalam pemilu 2004. Kasus yang menimpa Akbar Tandjung ternyata tidak menyurutkan perolehan suara partai yang berlambang kan pohon beringin ini. Memang tampak nya Golkar sekarang lebih hebat dengan komposisi kadernya yang lebih beragam dan modem. Beberapa pengusaha, purna wirawan, dan politisi beken mewarnai partai ini untuk menjaring massa di daerah 6 Hasil penelitian Syamsuddin Haris tentang “Proses Pencalonan Anggota Legislatif Lokal 2004”, (Jakarta, 2004). 7 Kemunculan Aliansi- 19 partai merupakan fenomena yang lebih meyakinkan kepada kita bahwa banyak oportunis politik yang tidak bisa berpikir panjang mengenai proses yang sewajarnya. Jelas keberatan mereka hanya didasarkan pada prasangka buruk yang tanpa bukti. Radikalisasi keputusan beberapa anggota (elite) parpol tersebut layaknya seperti sikap partisan yang hanya mengandalkan emosi belaka. Seperti halnya peristiwa pengeroyokan terhadap ketua KPU Kabupaten Seluma, Bengkulu oleh para partisan parpol yang tidak puas dengan hasil pemilu 2004, fenomena ini mengindikasikan budaya kekerasan massa yang masih sukar untuk dihilangkan.
116
urban. Namun sayang sekali, tampaknya perolehan suara terbanyak partai Golkar lebih berasal dari daerah rural. Banyak warga pedalaman yang masih susah melepaskan kepercayaan atau memorinya akan “jasa-jasa” yang diberikan Golkar. Banyak “orang lama” yang percaya bahwa keberhasilan anak-anaknya dalam bekerja akibat jasa Golkar yang hingga kini menggajinya. Ditambah lagi fasilitas dan “kemakmuran” yang sekarang berkembang adalah akibat kinerja Golkar. Sebagai contoh lagi di daerah pedalaman Kalimantan, khususnya di Kalimantan Selatan dan beberapa daerah di Sumatera yang masih kuat memori sosialnya terhadap nama Golkar, meski reformasi menyudutkannya, namun nama ini tidak gampang tergantikan oleh nama lain yang juga mengusung janji lain . 8 Untuk itulah, hal terpenting bagi Golkar adalah membuat strategi awal dalam menaikkan popularitas partainya dalam pemilu legislatif. Konvensi yang dilakukan Golkar dengan dalih mengatasi krisis kepemimpinan partai lebih tepat dikatakan sebagai cara untuk mengatasi krisis kepercayaan terhadap partai ini. Jauh hari sebelum pemilu legislatif, Surya Paloh hadir setiap malam di saluran TV pribadinya dan sengaja keliling Indonesia dengan pesawat yang khusus dibeli dari Inggris. Jusuf Kalla berkampanye di daerah Timur, Sultan Hamengku Buwono X mewakili “kawula Yogya”, dan lain sebagainya dalam berkampanye untuk menjadi presiden tetap tidak lepas dengan membawa atribut Golkamya. Itulah skenario luar biasa hebat dalam per tunjukan opera politik kepartaian. Perlu untuk dicermati juga bahwa ideologi dan program yang ditawarkan bukanlah suatu alat bagi perjuangan beberapa partai politik di Indonesia. Hanya sedikit parpol yang menggunakan programnya untuk menarik simpati massa. Misalnya saja, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhasil menaikkan pamornya 8 Pendapat ini terutama dikemukakan oleh orangorang tua yang tidak terpengaruh oleh isu reformasi. Hasil observasi langsung di Palembang dan Banjarmasin.
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 111-119
melalui program anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Perolehan suara PKS yang naik secara signifikan dari 1,35% (1999) menjadi sekitar 6 % secara nasional pada pemilu 2004, memang dibangun atas realitas kesuksesan beberapa kadernya yang duduk dalam lembaga legislatif. Memang sebenarnya, basis massa PKS sebagian besar berada di wilayah per kotaan. Karena bagaimanapun rasionalitas yang dibangun oleh PKS sangat mudah dipahami oleh middle class dan elite. Tampaknya untuk wilayah rural, masih terlalu patemalistik untuk bisa menerima PKS. Patronase dan politik aliran yang masih melekat kuat akan menyebabkan terfokusnya suara ke partai-partai besar yang berideologikan Nasionalis, Islam (NU dan Muhammadiyah), dan bahkan kekuatan lama Orde Baru melalui Golkarnya. Kader Oportunis dan Kader Nominatif Jika kita juga mencermati feno mena kemenangan dan juga kekalahan beberapa parpol dalam pemilu legislatif 2004, maka kita bisa melihatnya lebih dalam dari caleg dan capres yang diunggulkan. Pemunculan caleg ini sangat penting karena paling tidak kita bisa melihat kualitas dan soliditas partai. Kemudian pemunculan wacana capres dalam pemilu legislatif juga bisa mem berikan gambaran kepada kita tentang apa sebenarnya yang menjadi motif atau tujuan partai politik. Dari sanalah juga kita bisa mencermati kesungguhan partai politik dalam kerangka fungsi yang sebenarnya, dan juga kita bisa mencermati fungsi partai yang hanya dipakai sebagai mesin politik segelintir orang untuk bisa berkuasa. Dari persoalan tersebut, kita bisa membagi dua pengertian yang bisa dipakai sebagai pisau analisisnya. Yang pertama adalah apa yang disebut dengan ‘kader oportunis’. Kader oportunis lebih meng arah ke persoalan pencalonan hanya karena kedekatan dengan salah seorang pengurus atau yang diperkirakan memiliki basis massa yang kuat, dan bukan tempaan dari dalam. Pembilahan kedua adalah ‘Kader
Strategi Kontemporer Partai-partai Politik
nominatif yang lebih bermakna ‘positif' karena penentuan caleg merupakan ke sepakatan besar dari pengurus dan kader partai dalam rangka pemenangan pemilu. Perbedaan yang sebenarnya adalah terletak pada tingkat akseptabilitas massa (kader) partai. Jika ‘Kader oportunis’ relatif lebih oligarki, sedangkan ‘kader nominatif’ lebih populis dalam penentuannya sebagai caleg atau capres. Fenomena kader oportunis sebenar nya merupakan hasil dari sistem oligarki atau kekuasaan besar yang dimiliki oleh segelintir orang di dalam kepengurusan parpol. Misalnya saja yang telah menimpa PAN. Diakui pula oleh beberapa kader PAN bahwa banyak orang-orang oportunis di lingkungan terdekat Amien yang mengisi caleg tidak berkualitas dari luar partai yang dipaksakan oleh kaum oportunis tersebut, sehingga tidak dikenal oleh masyarakat. Kemunculan calon itu tidak lain karena direkrut oleh segelintir pengurus yang memiliki kekuasaan di dalam partai tersebut.9 Oportunisme atau oligarki di dalam tubuh partai sebenarnya memiliki potensi yang signifikan terhadap perolehan suara. Sebab bagaimanapun juga, apa yang dipikirkan oleh elit (pengurus) tidaklah sama dengan apa yang dirasakan oleh kader atau massa. Jelas, kader yang kecewa akan bisa berubah menjadi swing voters atau undecided voters jika calon mereka tidak berada dalam posisi yang diharapkan. Dari situlah masyarakat akan menilai kadar soliditas partai. Berbeda dengan yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrat. Soesilo B ambang Yodhoyono (S BY) yang bukan merupakan fungsionaris Partai Demokrat sengaja dinominasikan oleh partai ini untuk mendapatkan suara yang signifikan. 9 Untuk kasus lokal lain misalnya, fenomena ini terjadi dalam pencalonan caleg PDI-P Pandeglang. Dimana sejumlah pengurus memasang kakak seorang bupati — yang notabene hanya partisan — dalam nomor urut dua, dan menyingkirkan tokoh yang dianggap populis oleh para kader. Alhasil, memunculkan protes dari hasil kekecewaan para kadernya. Hasil penelitian Lili Romli tentang “Proses Pencalonan Anggota Legislatif Lokal 2004”. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko)
117
Pengaruh suara SBY sangat besar sehingga cukup signifikan juga dalam memberikan porsi kepada calegnya untuk duduk di kursi legislatif. Bahkan secara ekstrem, Partai Demokrat sengaja didirikan hanya sebagai mesin politik bagi SBY untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu 2004. Jika kita baca buku dari Kompas ini di halaman 172-173, maka Partai Demokrat adalah partai yang dengan jeli membaca momentum keunggulan SBY, mengingat pencalonan SBY sebagai calon wakil presiden pada tahun 2001 berada di urutan ketiga. Di halaman 174 juga disebutkan bahwa langkah Partai Demokrat akan meniru strategi Partai Thai Rak Tai (Partai Cinta Thai atau PTRT) yang menang karena mengajukan program konkret dan janji besar kepada para petani di pedesaan seperti akan menaikkan harga barangbarang produksi petani sampai dua-tiga kali lipat. Menariknya, ketika kita telusuri program kerja Partai Demokrat ini, tidak ada satu pun yang menyebutkan masalah pangan ataupun produksi petani. Hampir sama dengan partai lainnya, program Partai Demokrat yang menurutnya paling konkret ternyata hanya memberikan alternatif yang sifatnya relatif “permukaan” saja, sedang kan semangat untuk memperjuangkan rakyat kecil tidak disertai dengan program khusus untuk itu. Penutup Perlu sekali lagi digarisbawahi bahwa program partai bukanlah barang yang laku untuk dijual kepada massa. Secara pragmatis, yang lebih diyakini masyarakat adalah sosok seorang pemimpin yang diharapkan mampu mem bawa perubahan konkret bagi peningkatan sumber daya masyarakat dan negara. Pengalaman pahit masyarakat akibat janji PDI-P menyebabkan resistensi masyarakat terhadap bentuk program. Masyarakat kini semakin kritis dalam menyikapi janji-janji politik dari parpol. Di beberapa daerah, kita lihat adanya mekanisme baru kontrak politik atau kontrak sosial yang terjadi antara masyarakat dengan partai politik
118
dalam menyikapi segala janji parpol. Meskipun intuisi yang digunakan dalam melakukan pilihan, namun kerinduan seorang sosok adalah hal terpenting bagi alasan pemilih. Seperti halnya yang telah di ungkapkan oleh Daniel Dhakidae dalam bab pertama buku ini adalah masih muncul dan semakin menguatnya oligarki partai dalam sistem kepartaian di Indonesia. Oligarki yang dianggap strategis bagi pengurus partai politik dalam manajemen organisasinya, justru akan menimbulkan problem mendasar bagi keberlangsungan partai politik yang bersangkutan. Masalah pertama adalah akan menyebabkan keputus-asaan beberapa kader yang tidak terakomodasi; kedua, jika oligarki ini semakin mengental menjadi oportunis maka bisa menyebabkan kekecewaan konstituen; dan akhirnya ketiga, akan terpecahnya partai ini menjadi beberapa partai lain, dan atau kemudian semakin hilangnya perolehan suara untuk partai ini. Kalau dilihat dari banyaknya persoalan di atas, sebenarnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa sistem ke partaian di Indonesia masih mencari bentuknya yang stabil. Stabil dalam hal jumlah dan karakter maupun fungsi. Memang, kondisi saat ini masih susah untuk menempatkan fungsi parpol sebagaimana seharusnya. Pertama, sifat oligarki yang masih melekat dalam kepengurusan parpol sangat susah untuk memfungsikan partai sebagai pembentuk kader politik. Apalagi jika kemudian di sana masih dihadapkan oleh fenomena oportunis yang jelas-jelas bertolak belakang dengan semangat kebersamaan dan merit system di dalam mekanisme partai ‘Kader’ bahkan di dalam partai ‘Massa’ sekalipun. Kedua, partai politik sering mengalami friksi atau konflik internal yang juga bertolak belakang dengan fungsinya dalam mengendalikan konflik masyarakat. Fokus mereka sebenarnya adalah bagaimana mem perebutkan jabatan di dalam partai dan bagaimana bisa tampil di kursi dewan meski harus berakibat perpecahan di dalam tubuh partai itu. Padahal, konflik massa
Jurnal Penelitian Politik, Vol.l No. 1, 2004: 111-119
lebih bersifat irasional dan berpeluang destruktif, dan akan lebih anarkis jika elit nya oportunis. Ketiga, tertutupnya sosialisasi politik yang seharusnya juga merupakan fungsi parpol tergantikan dengan fungsi KKN di dalam parlemen, dan fungsi penguatan oligarki ekstra parlemen. Keempat, fungsi komunikasi politik yang seharusnya menempatkan partai politik dalam posisi tengah antara eksekutif dan masyarakat, ternyata hanya berat sebelah karena posisi hitung-hitungan yang lebih saling menguntungkan dengan eksekutif dibandingkan jika berpihak kepada masyarakat. Akhirnya, buku ini merupakan terobosan baru yang bisa dipakai sebagai
voters education maupun cermin bagi partai yang bersangkutan untuk mem berikan warna yang lebih demokratis bagi sistem kepartaian di Indonesia. Sangat sulit menemukan kelemahan dari buku ini, mengingat sejarah singkat yang dibumbui dengan profil ketua umum, misi dan visi partai, platform, dan program partai politik 2004 cukup menjelaskan mengenai karakternya. Namun akan lebih kompre hensif jika di dalam buku ini dilengkapi dengan peta basis kekuatan — kepe ngurusan dan analisis basis massa partai politik sampai dengan kepengurusan paling bawah, sehingga akan lebih mudah bagi pembaca untuk menilai kapasitas parpol peserta pemilu.
Selamat Membaca.
Strategi Kontemporer Partai-partai Politik
(Mardyanto Wahyu Tryatmoko)
119
TENTANG PENULIS Arbi Sanit lahir di Painan, Sumatera Barat, pada 4 Juni 1939. Ia adalah staf pengajar senior pada FISIP Universitas Indonesia. Lulusan UI (1969) ini pernah mengikuti studi bebas mengenai sistem politik di University of Wisconsin, Amerika Serikat. Selanjutnya ia pernah memberikan kuliah di Universitas Nasional, Universitas Muhammadiyah, IKIP Jakarta, serta Seskoal dan Sesdilu. Buku yang ditulis antara lain, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan (1981), Perwakilan Politik di Indonesia (1985), dan Partai, Pemilu, dan Demokrasi (1997). Secara tidak berkala menjadi peneliti tamu pada Puslit Politik LIPI. Heru Cahyono adalah peneliti pada Puslit Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1991sekarang). Lulusan FISIP Universitas Indonesia ini (1990) pernah menjadi wartawan (19911999). Karya yang telah dipublikasikan antara lain, Peranan Ulama dalam Golkar: dari Pemilu sampai Malari (1992), Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari’74 (1998). Kontributor pada buku Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (1998), Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru (1998), Menata Negara: Usulan LIPI Tentang RUU Politik (1998), Kecurangan dan Perlawanan Rakyat dalam Pemilu 1997 (1999), Tentara Mendamba Mitra (1999), Tentara yang Gelisah (1999), Soemitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000), serta Kerusuhan Sosial di Indonesia (2001). Lili Romli, lahir di Serang-Banten. Ia merupakan peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI. Selain itu, ia juga mengajar di almamaternya, pada Jurusan Ilmu Politik FISIP UI. Saat ini ia sedang melanjutkan program doktor ilmu politik di Universitas Indonesia. Menulis di beberapa jurnal ilmiah dan aktif melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemilu, partai politik, lembaga perwakilan, dan otonomi daerah. M. Hamdan Basyar, adalah lulusan Magister (S2) bidang Kajian Strategik Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia. Sejak 1984, ia berkarier sebagai peneliti bidang sosial-politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Selain itu, juga sebagai Dosen Luar Biasa di Fakultas Sastra UI (1984-2003); Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI ( 1992-sekarang); dan Program Magister Kajian Timur Tengah dan Islam (2002-sekarang). Dari kajian penelitiannya, ia bersama teman telah menerbitkan beberapa buku, antara lain: Konflik dan D iplom asi di Timur Tengah (1993); Pembangunan, D em okratisasi & Kebangkitan Islam di Timur Tengah (1995); Profil Negara-Negara Timur Tengah (1995); Bila ABRI Menghendaki: Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep Dwifungsi AB RI (1998); Bila ABRI Berbisnis (1998); Menata Negara: Usulan LIPI Tentang RUU Politik (1998); Tentara Mendamba Mitra (1999); Tentara Yang Gelisah (1999); Syiah dan Politik di Indonesia (2000); Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru (2001). Sedangkan karya mandiri adalah Keamanan di Wilayah ”Sumbu Pendek” (2002); dan Ulama dan Kekerasan Politik (2004). Moch. Nurhasim, memperoleh gelar SI Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 1996. Sekarang ia bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Selain itu, ia menjadi Ketua Center For Alternative Defence and Studies pada the Ridep Institute, sebuah lembaga independen yang konsern terhadap demokrasi dan perdamaian.
121
Indriana Kartini, (lahir di Jakarta, 21 April 1980) adalah sarjana hubungan internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2002. Sekarang ia bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2PLIPI) serta aktif di ISMES (the Indonesian Society f or Middle East Studies). Selain itu, menjadi kontributor buku Saddam Melawan Amerika (2003). Emilia Yustiningrum, adalah Kandidat Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, menekuni kajian politik internasional kawasan Eropa dan konflik. Lahir di Sleman, 12 Oktober 1977. Meraih sarjana hubungan internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Pernah aktif di KOMAHI-Fisipol UGM dan beberapa LSM di Yogyakarta. Mardyanto Wahyu Tryatmoko, merupakan peneliti pada Bidang Perkembangan Politik Lokal Pusat Penelitian Politik LIPI. Alumni dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
122
B E B E R A P A K A R Y A P E N E L IT I P 2 P -L IP I
Selain beberapa karya tersebut masih terdapat karya-karya lain. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Pusat Dokumentasi dan Informasi P2P-LIPI, Gd. Widya Graha Lt. IH. Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta.
m
M
y
b
ak i
Editor:
Kebijakan Austrailia Terhadap integritas Teritorial Indonesia
A fa d l.il
Evaluasi Reformasi TNI (
1998- 2003 )
E d i t o r : Sri Y . m u . i r t i
829-800
9
771829
800195