Table of Content: Part 2 Titles and Authors 1.
PENDIDIKAN FORMAL BAGI MASYARAKAT PEKERJA LADANG KELAPA SAWIT DI SABAH MALAYSIA 1
2.
Achmad Sopandi Hasan PhD1 Fakulti Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta, Indonesia WEB BASED LEARNING DESAIN WITH COOPERATIVE LEARNING MODEL 1
3.
Page numbers 1-6
7-14
Ambar Sri Lestari1 STAIN Sultan Qaimuddin Kendari
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA DINI MELALUI LIRIK LAGU
15-21
Budi Hermaini1 dan Nunung Supratmi2 1,2 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas terbuka 4.
PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN KEINOVATIFAN TERHADAP KINERJA GURU FISIKA SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI DI SUMATERA 1
5.
6.
CONNIE1 Dosen FKIP Universitas Bengkulu, Indonesia
PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN DUKUNGAN ORGANISASI, TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KAPRODI Di UNJ `1
22-31
32-40
Corry Yohana1 Program Studi Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
THE EFFECT OF ENTREPRENEURSHIP, PERSONALITY, AND JOB SATISFACTION TO THE AND COMMITMENT (STUDY OF EMPLOYEE IN MINISTRY OF INDUSTRY)
41-52
DEWI SUSITA 7.
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENYUSUN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) KURIKULUM 2013 MELALUI METODE WORKSHOP BERBASIS PROBLEM BASED LEARNING (Kaji Tindak di SMA AL HIKMAH, Jakarta) Dirgantara Wicaksono Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta
53-59
8.
EVALUASI KINERJA GURU TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KOLAKA UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
60-70
Edy Karno1, dan Syahrul2 Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta
1,2
9.
PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN PENJAMINAN MUTU TERHADAP KINERJA GURU SD NEGERI DI KECAMATAN KOTABUMI SELATAN KABUPATEN LAMPUNG UTARA 1,2,3
10.
Ganjar Winata1, Lasiman2, dan Muhammad Misbah3 Universitas Negeri Jakarta, UPBJJ-Universitas Terbuka Bandar Lampung, Universitas Negeri Jakarta
THE DEVELOPMENT OF CONSTRUCTIVISTIC-BASED BLENDED LEARNING MODEL
1
11.
71-78
79-92
Khaeirudin1\ The Departement of Curriculum and Instructional Technology, State University of Jakarta THE IMPACT ANALYSIS OF SCHOOL BRAND IMAGE , SERVICE QUALITY, CUSTOMER SATISFACTION TOWARDS SMART SMS ( SCHOOL MANAGEMENT SYSTEM) (AN EXPERIMENT RESEARCH OF QUALITY EDUCATIONAL MANAGEMENT SERVICES)
93-111
M.Hosnan1 Ministry Of Education And Culture ,Faculty Of Education State University Of Tirtayasa Serang - Banten Indonesia , And International Education Counselor AMEC - TOPSI San Diego CA 92121 – USA
1
12.
OMO HADA SEBAGAI WARISAN BUDAYA DENGAN NILAI PENDIDIKAN YANG DIKANDUNGNYA (Tinjauan Cultural Rumah Adat atau Omo Hada Masyarakat Nias Selatan)
112-120
Martiman S. Sarumaha1 Dosen Tetap Yayasan Pendidikan Nias Selatan di STKIP Nias Selatan pada Program Studi Pendidikan Ekonomi
1
13.
INFLUENCE OF INTRAPERSONAL INTELLIGENCE, LOGICALMATHEMATICAL INTELLIGENCE, AND LEARNING MOTIVATION TOWARDS STUDENTS’ LEARNING ACHIEVEMENTS IN MATH IN CLASS VII OF JUNIOR HIGH SCHOOL IN THE EVEN SEMESTER 1
Pramudjono1 Lecturer of the teaching and educational knowledge faculty, Mulawarman University
121-129
14.
REPRESENTASI GENDER DALAM NOVEL CABAUKAN, KEMBANG JEPON, KERUDUNG MERAH KIRMIZI. 1
15.
130-137
Prima Gusti Yanti1 Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP UHAMKA JAKARTA
PENGAJARAN ENGLISH FOR SPECIFIC PURPOSE (ESP) DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
138-146
Ratna Sari Dewi1 Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Keguruan dan Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta
1
16.
PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS SEORANG PEMANDU WISATA ASAL NIAS SELATAN (Studi Kasus:Pemandu Wisata bernama Sanali Bu’ulolo)
147-155
Rebecca Evelyn Laiya1 Dosen STKIP Nias Selatan pada Program Studi Bahasa Inggris
1
17.
THE EFFECTIVITY OF ASSOCIATON PICTURE MEDIA APPLICATION TOWARD THE KATAKANA LETTER READING COMPREHENSION OF GRADE TEN STUDENTS OF SMK (VOCATIONAL SCHOOL) MANAJEMEN JAKARTA SOUTH JAKARTA SCHOOL YEAR 2010/2011
156-170
Restoe Ningroem1 Faculty of Teacher and Education, University of Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA 18.
PENERAPAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SD GMIM I TOMOHON
171-178
Roeth A.O. Najoan1 Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Manado
1
19.
IMPROVING STUDENTS’ SCIENCE PROCESS SKILL AND ACHIEVEMENT THROUGH EXPERIMENT IN LABORATORY : VOLUMETRIC TITRATION
179-183
1
Sri Hamda and Afnidar2 Open Univercity of Banjarmasin 2 Open Univercity of Jakarta
1
20.
PENGOLAHAN AIR TANAH YANG MEMENUHI SYARAT SEBAGAI SUMBER AIR MINUM PADA RUMAH TANGGA 1
Yusnidar Yusuf1 FFS UHAMKA PRODI FARMASI
184-190
21.
LECTURER’S ORGANIZATION CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) 1
22.
Yuyun Elizabeth Patras,2 Fauzi Ridwan,3 Sumardi4 Dini Kurniani,5 Rais Hidayat 1 Post Graduate student at UNJ, Lecturer of Pakuan University Bogor 2 Lecturer of Muhamadiyah University Palembang 3 Lecturer of Pakuan University Bogor 4 Vice Principal of SMPN 1 Babakan Madang Sentul Bogor 5 Post Graduate student at UNJ, Lecturer of Pakuan University Bogor
LANGUAGE ACQUISITION IN PUBLISHING INDUSTRIES 1
23.
191-199
200-210
Zalzulifa1 Mahasiswa Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta
PENINGKATAN KETERAMPILAN GURU SEKOLAH DASAR DALAM MELAKUKAN PERENCANAAN PEMBELAJARAN MELALUI MODEL KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU.
211-220
Zulfadewina1 Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA)
1
24.
EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGEMBANGAN KEPROFESIAN GURU PADA KKG DAN MGMP DI KABUPATEN BOGOR 1
25.
221-231
Efrini1 Universitas Negeri Jakarta
HYBRID LEARNING UTILIZATION IN IMPROVING THE QUALITY OF VOCATIONAL EDUCATION
232-237
Misbah Fikrianto1 Politeknik Negeri Media Kreatif
1
26.
AN EXPERIMENTAL STUDY ON THE TEACHING OF WRITING TO ENGINEERING STUDENTS UNDER TWO INSTRUCTIONAL MODES 1
27.
Tri Rahmiyati Marsoeki1 Graduate School of Jakarta State University
PENGARUH KUALITAS PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DAN EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP KETERAMPILAN TEKNIS PENGEMUDI BUSWAY TRANSJAKARTA (Survei Pada PT. Transjakarta, 2013) Francis Tantri1 Sekolah Tinggi Manajemen Transpor Trisakti Jakarta
1
238-247
248-254
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENDIDIKAN FORMAL BAGI MASYARAKAT PEKERJA LADANG KELAPA SAWIT DI SABAH MALAYSIA Achmad Sopandi Hasan PhD1 1
Fakulti Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta, Indonesia
[email protected] Abstract
Kajian ini ialah untuk memberi gambaran tentang kepentingan hubungan antara Malaysia-Indonesia dalam memperkasakan, memartabatkan dan memperkokohkan lagi pendidikan serantau. Walau bagaimanapun mengambil kira tahap penyelidikan dan dokumentasi pada masa kini. Penubuhan beberapa Sekolah Rendah, Sekolah Menengah di beberapa negeri bahagian Sabah, Malaysia adalah satu produk usaha sama antara Kerajaan Malaysia dan Republik Indonesia. Kajian ini melihat hubungan antara kecerdasan emosi dengan pencapaian akademik di kalangan pelajar anak-anak pekerja ladang kelapa sawit. Mengikut kumpulan etnik dari segi pemilihan kerja yang realistik di ladang kelapa sawit. Masyarakat pekerja di ladang kelapa sawit yang merupakan minoriti di negara ini yang terdiri daripada pelbagai suku kaum asal daripada Indonesia. Secara khususnya mereka mendiami kawasan-kawasan pedalaman, pinggiran hutan yang dikelilingi tumbuhan dan ladang kelapa sawit. Menimbangkan kepentingan pendidikan formal untuk anakanak pekerja ladang kelapa sawit ini, Kerjasama dari Kementerian Pelajaran Malaysia, dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu Sabah amatlah diperlukan Kaedah kajian yang dijalankan adalah kaedah kajian lapangan, pemerhatian, temu bual analisis keadaan sekolah. Aspek penting yang turut disumbangkan oleh kajian ini ialah dapat menjayakan dan dapat memupuk pembinaan jati diri bangsa, terhadap taraf keilmuan dan pengetahuan rakyat Indonesia. Selain itu juga menguatkan minda mereka keperingkat antara bangsa dan globalisasi. Kertas kerja ini akan membentangkan hasil penyelidikan yang telah dijalankan ke pelbagai Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) dan Community Learning Centre (CLC) yang ada di ladang kelapa sawit di Sabah. Pendidikan formal juga dapat mewujudkan kesedaran dan mendedahkan kepada rakyat Indonesia akan pentingnya ilmu pengetahuan bagi keperluan masa hadapan bangsa Indonesia itu sendiri. Kata Kunci : Sekolah Indonesia, pelajar, pekerja ladang sawit, Sabah-Malaysia
PENGENALAN Universitas Negeri Jakarta, Indonesia diberi penghormatan khas tahun ini untuk mengadakan suatu program antara bangsa iaitu “International Conference on Education” (ICEdu 14), sebagai sebahagian dari pengisian program Dies Natalis Emas ke 50 tahun UNJ 2014 dan Dies Natalis ke 20 tahun UMS 2014. Usaha murni ini juga disahut bersama oleh sebuah institusi terpenting di Sabah, Malaysia yakni Universiti Sabah Malaysia yang telah bersetuju untuk memberi ruang bagi menjayakan conference ini. Program ini adalah hasil daripada satu aktiviti anjuran bersama. Tujuannya antara lain untuk membincangkan beberapa teori mutakhir hasil penyelidikan yang berhubung kait dengan pendidikan dan penerapannya. UMS dan UNJ kini bergerak ke arah penyelidikan dan pembangunan bertaraf dunia. Usaha ini mempunyai kesan langsung kepada pembangunan negara dan perkembangan ilmu supaya menjadi alat untuk menyokong dinamisme, kecemerlangan, dan penghasilan penyelidikan negara. Penyelidikan di
1
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
UNJ adalah merentasi pelbagai disiplin meliputi sains dan teknologi, kependidikan, teknologi maklumat, sains sukan, sains sosial, persekitaran, teknologi pendidikan, dan pengurusan pendidikan. Selain daripada pengajaran, UMS memberikan fokus utamanya dalam menjalankan penyelidikan untuk mengembang dan meneroka ilmu pengetahuan. Melalui institusi penyelidikan yang telah ditubuhkan seperti Institut Biologi Marin Borneo, Institut Penyelidikan Psikologi dan Kerja Sosial, serta Unit Penyelidikan Etnografi dan Pembangunan. Perkembangan institusi penyelidikan dari tahun ke tahun selalu mengalir bagaikan sungai yang panjang dan tiada henti. Walaupun pada kebelakangan ini, hasil penyelidikan telah dibayangi oleh pengembangan inovatif mengikut keperluan semasa. ICEdu 2014 yang memperlihatkan kepelbagaian hasil penyelidikan di bidang pendidikan. Sains dan teknologi ini merangkumi hasil penyelidikan di tanah air yang terserlah dengan kaedah-kaedah pembelajaran di Indonesia dan Malaysia yang unik dan tiada bandingannya. Sememangnya Indonesia dan Malaysia sebagai negara yang terletak dipersimpangan Asia Tenggara amat strategik sebagai pusat penyatuan dan percambahan penyelidikan pendidikan serantau. Penyediaan kertas kerja ini diusahakan sedemikian rupa supaya pembicaraan dan perbincangannya dapat merangkumi seluas mungkin isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan formal dan non formal bagi ahli keluarga kaki tangan pekerja dan pekerja ladang sawit di Sabah. Kemasukan pekerja daripada Indonesia ke Sabah telah menandakan bahawa pembinaan ladang kelapa sawit di daratan Sabah berada dalam fasa yang baru. Kemasukan ini juga mempertingkatkan lagi pembinaan dan penubuhan sarekat ladang kelapa sawit dan kehadiran tenaga kerja ladang akan dipersoalkan untuk diterima dan ditolak. Sejumlah warga Indonesia yang ditemu bual oleh penyelidik menyatakan bahwa kedatangan mereka ke Sabah. Mula-mula mereka berniat mengunjungi sanak keluarganya asal Sulawesi Selatan yang telah puluhan tahun kerja di ladang kelapa sawit di Kudat, Sabah. Menurut Daeng Kahar pemuda asal Bulu Kumba, Sulawesi Selatan, pekerja pemetik buah kelapa sawit mula-mula mereka belajar memetik buah kelapa sawit dengan upah 90 ringgit Malaysia sebulan. Sesungguhnya perasaan yang menggelabakan ini ada kaitan rapat dengan keberadaan mereka itu sendiri yang tanpa dokumen mereka biasa disebut sebagai “pendatang haram”. Mereka telah tertipu para “tekong” atau orang tengah yang telah menjerumuskan mereka ke ladang kelapa sawit yang tersebar di seluruh daratan negara bagian Sabah. Sebagai akibat, mereka tidak terus berusaha untuk meneroka bidang ini dengan lebih gigih dan tekun. Daripada alasan yang diberikan itu, suatu andaian boleh dibuat terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kepada para pekerja haram di ladang kelapa sawit. Ketidakpastian dan status keberadaan mereka sebagai pendatang haram. Menggajikan pekerja asing tanpa izin satu kesalahan. Jika sesiapa yang disabit terhadap mana-mana kesalahan tersebut akan dikenakan denda dan di penjara dibawah seksyen 558 Akta imigresyen,1959/63. Jika sabit kesalahan majikan boleh di denda diantara RM 10.000 dan RM50.000 atau penjara setahun. Kebanyakan mereka disabit kesalahan kerana tidak mempunyai dokumen imigresen dan permit kerja yang sah. Kesalahan pas imigresen mansuh pekerja asing akan di usir atau“deportasi” ke Indonesia. Selain itu juga mereka akan dipenjarakan selama setahun dan akan di senarai hitamkan dari memasuki negara Malaysia. Memang disadari adanya tuntutan agar pengambilan pekerja ladang sawit dilakukan secara mengikut akta imigresen yang menjadi prosedur rasmi untuk kemasukan pekerja ke Sabah, Malaysia. Permit dan bayaran levi yang ditanggung oleh majikan pemilik ladang kelapa sawit. Kelengkapan dokumen pekerja ladang sawit masa kini telah dimajukan dalam beberapa tahun terakhir ini untuk memenuhi kehendak undang-undang tenaga kerja ladang kelapa sawit. Tambah seorang pengusaha ladang kelapa sawit di Sabah , Peter Koon (2013), menyatakan bahawa pekerja ladang kelapa sawitnya ramai menggunakan khidmat pekerja daripada Indonesia yang kemasukannya melalui agen pekerja rasmi di Kota Kinabalu. Perniagaan ladang kelapa sawitnya pengurusannya diusahakan bersama istrinya sehingga berkembang dan berjaya dengan hasil yang melimpah ruah. Ladang yang dijalankan dengan inovasi dan teknologi modern ini, untuk lebih mensejahterakan lagi anak-anak dari pekerja ladang sawitnya. Mereka diberi kemudahan dan peluang untuk menuntut pelajaran dan bersekolah di CLC yang berhampiran dengan ladang kelapa sawitnya di pedalaman Sabah. Sudah sekian lama Malaysia mengimpor pekerja ladang kelapa sawit dari Indonesia, penubuhan ladang sawit di serata “Negeri di Bawah Bayu”, Sabah. Umumnya, bagi tempoh tahun 1970 hingga tahun 1996, keluasan kawasan tanaman dan pengeluaran minyak kelapa sawit di Sabah memperlihatkan arah aliran yang meningkat. Pada tahun 1970 keluasan kawasan tanaman ialah 28947 hektar dan telah meningkat kepada 419637 hektar pada tahun 1996. Pada umumnya, pengeluaran minyak kelapa sawit 2
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
mentah telah meningkat pada kadar lebih kurang 5.1 peratus setahun. Faktor utama yang menerangkan peningkatan di dalam jumlah pengeluaran tersebut terutamanya oleh peningkatan daya pengeluaran serta harga yang memberangsangkan di pasaran antara bangsa (Remali Yusof:1999). Peningkatan di dalam pengeluaran minyak kelapa sawit mentah di sekitar estet. Peningkatan pengeluaran telah membantu meningkatkan datangnya para pekerja dari Indonesia. Kebanyakan ahli keluarga pekerja ladang kelapa sawit bersekolah di rumah setinggan, rumah kedai dan bangunan gereja atau mesjid yang berhampiran dengan ladang kelapa sawit dimana para ibu bapa mereka berkhidmat bekerja. Mereka agak sukar bersekolah menuntut ilmu di sekolah kerajaan Malaysia apalagi di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK). Hal sebegini sebenarnya tidaklah perlu dibimbangkan, kerana sesungguhnya bercambahnya pelbagai sekolah yang ditubuhkan adalah pertanda sihat dan suburnya perkembangan alam persekolahan itu sendiri- bahwa dunia pendidikan di negara jiran masih mampu mendapat perhatian yang saintifik dari pada para ilmuannya. Sesungguhnya sebarang perbincangan tentang persekolahan semestinyalah merupakan perbincangan yang saintifik. Dan oleh sebab itu sekolah memerlukan guru-guru yang cekap dari Indonesia. Kurikulum dan beberapa kaedah pembelajaran untuk mencapai matlamat pendidikan yang sedemikian juga. Kerencaman sekolah-sekolah khususnya CLC yang ditubuhkan oleh pendatang ini sebaliknya, merupakan suatu institusi yang sangat bernilai untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat sekitar ladang kelapa sawit di Sabah. Melalui penubuhan CLC untuk keperluan semua lapisan masyarakat pendatang asal Indonesia, institusi ini berperan sebagai gedung pengetahuan yang boleh ditimba oleh semua. Oleh yang demikian, pendidikan formal dan non formal ini perlu diketengahkan bukan sahaja kepada masyarakat di negara kita, bahkan ke peringkat antarabangsa. Keperluan manusia untuk mendapatkan pengetahuan tampaknya berlaku secara universal dan berlaku sejak lama. Melalui pendidikan dapat mewujudkan kesedaran dikalangan masyarakat pekerja ladang kelapa sawit terutama sekali di kalangan kanak-kanak dan ahli keluarganya untuk menikmati pendidikan serta merakamkan kepentingannya dari aspek sosial, budaya dan ekonomi bagi sebuah negara. Hasil penyelidikan ini memapaparkan pelbagai sikap ibu bapa pelajar dalam aktiviti pengajaran dan pembelajaran di CLC. Pada kenyataannya setelah sekian lama, sikap ibu bapa pelajar itu yang di temu bual selama kajian dijalankan. Hasil kajian menunjukkan kurangnya sokongan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mereka lebih memilih anak-anaknya ikut bantu bekerja di ladang sawit. Seterusnya Yacobus Yahya menyatakan bahawa beliau lebih suka anaknya bekerja membantu memetik buah kelapa sawit di ladang daripada anak itu menuntut pelajaran di sekolah. Kenyataan ini diperkukuhkan oleh Pius Johanes (2014) yang menyatakan bahwa sejak kecil ia tidak bersekolah, akan tetapi dilatih oleh bapaknya asal Flores, NTT, Indonesia untuk bekerja di ladang memetik kelapa sawit, aktiviti sedemikian ini telah di kongsi bersama masyarakat pekerja ladang kelapa sawit selama bertahun-tahun lamanya sebagai teras bagi mengenali dan menghayati aktiviti dan kerjakerja yang telah dijalankan leluhurnya di Sabah, Malaysia. Kertas kerja ini disusun khusus untuk rujukan sesiapa sahaja yang berhasrat mengetahui terselenggaranya sistem persekolahan bagi anak-anak kaki tangan pekerja ladang kelapa sawit di negara bahagian Sabah dengan lebih mudah dan berkesan. Kebanyakan sekolah yang ditubuhkan belum lagi mendapat pengiktirapan dari Kementerian Pelajaran Malaysia. Diharap dengan pembentangan kertas kerja ini objektif dari International Conference on Education bakal tercapai. Semoga masyarakat pendidik umumnya dapat memahami perkembangan pendidikan formal dan kepentingannya dalam kemajuan ilmu. Sekolah Indonesia Kota Kinabalu, Sabah Kewujudan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), sebuah sekolah Indonesia di luar negeri yang ke 15. SIKK ini akan memberikan layanan terbaik bagi pendidikan anak-anak Indonesia di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. SIKK ini telah diiktiraf oleh pemerintah negeri jiran melalui Kementerian Pelajaran Malaysia. Penubuhan SIKK ini juga mendapat sokongan penuh daripada Konsulat Jenderal Republik Indonesia dan berasaskan Surat Keputusan Mendiknas Republik Indonesia tahun 2008, tujuan penubuhan SIKK adalah memberi kemudahan bagi proses pengajaran dan pembelajaran bagi anak-anak warga negara Indonesia yang tinggal di Sabah. SIKK yang bealamat di Lot No. 47-51 1st Floor. Block H. Alamesra Plaza Utama lorong Plaza Utama 1 Jalan Sulaman, 88400, Kota Kinabalu, SabahMalaysia. Mayoriti pelajar SIKK adalah anak-anak yang lahir dan tumbuh kembang di persekitaran 3
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
kehidupan masyarakat berbilang kaum dan komuniti di Kota Kinabalu Sabah, Malaysia, mereka telah hidup bersama dalam adat resam masyarakat Sabah, secara turun temurun daripada beberapa generasi terdahulu. Begitu pula bahasa rasmi yang digunakan adalah bahasa Malaysia. Dadang Herawan kepala sekolah SIKK Sabah, menyatakan pelajarnya telah mendulang prestasi sebagai juara umum dalam pertandingan APKRES SILN di Palembang. Yang dianjurkan oleh Kemendikbud pada 21-28 April 2014. Pertandingan seni dan kreativiti itu membabitkan 13 Sekolah Indonesia Luar Negeri dari 11 negara. Sebagai juara 1 SIKK Sabah akan ikut bertanding lagi di FLSN 2014 pada bulan Juni 2014 di Semarang, Indonesia. Anak-Anak Ladang Dan Community Learning Centre, Sabah, Malaysia Kemunculan dan kewujudan Community Learning Centre (CLC), itu sepatutnya membantu dalam dunia pendidikan. Tercatat sebanyak 146 CLC, sekolah non formal bagi anak-anak pekerja ladang kelapa sawit yang bercirikan dan berasaskan kurikulum daripada Indonesia telah berjaya menstruktur dan mencorakkan sistem pendidikan di Sabah. Setiap tahunnya guru-guru yang berkelayakan telah didatangkan dari berbagai lulusan Institut Pengajian Tinggi Pendidikan di Indonesia, seperti Universiti Negeri Jakarta, Universiti Pendidikan Indonesia, Bandung, Universiti Negeri Surabaya, tenaga pendidik ini bertugas membantu guru-guru yang berasal daripada ladang kelapa sawit yang terlebih dahulu menerokai CLC tersebut diatas. Pendidikan formal dan non formal telah memberi peluang kepada anak ladang rakyat Indonesia di negara jiran untuk menimba ilmu pengetahuan dan merupakan cetusan pemikiran kearah memperkayakan konsep ke ilmuan dalam pelbagai bidang seperti perkembangan pembelajaran, strategi pengajaran dan pendidikan selaras dengan kemajuan semasa era globalisasi. Pada masa sains dan teknologi berkembang dengan pesat, fungsi sekolah tidak terhad kepada penghasilan tenaga kerja di ladang kelapa sawit dan pengayaan khazanah ilmu, tetapi juga meliputi penjanaan hasil-hasil dari pendidikan di sekolah formal yang berpotensi memberi sumbangan kepada tersedianya tenaga mahir di bidang pengeluaran industri kelapa sawit. Perubahan asas industri pengeluaran kelapa sawit negara yang menuju kepada industri berteknologi tinggi memberikan cabaran yang besar kepada ibu bapa pekerja ladang kelapa sawit di pedalaman Sabah, Malaysia, dalam usaha mengukuh dan memantapkan aktiviti pendidikan demi mengukukuhkan lagi asas keilmuan anak-anak pekerja ladang kelapa sawit. Selain Kementerian Pelajaran Malaysia, pihak Konsulat Jendral Republik Indonesia di Kota Kinabalu juga memainkan peranan penting dalam usaha tersebut. selaras dengan cabaran tersebut. Oleh sebab itu adalah menjadi tanggung jawab bersama untuk menggalakkan pendidikan mulai dari sekolah rendah, sekolah menengah hingga ke peringkat pengajian tinggi (IPTA). Berasaskan kepada tanggung jawab inilah maka bagi warga pendatang lebih memberi peluang untuk lebih ramai pihak pelajar warga pendatang daripada Indonesia untuk turut serta dalam meningkatkan khazanah ilmu pengetahuan masamasa yang akan datang. Usaha para orang tua pelajar Indonesia ini membuktikan komitmen mereka dalam proses pembangunan negara melalui aktiviti pembelajaran dalam bidang sains dan teknologi. Penguasaan teknologi dan keupayaan mewujudkan teknologi baru melalui aktiviti tersebut adalah penting untuk industri pengeluaran kelapa sawit dimasa datang. Generasi pekerja ladang kelapa sawit asal Indonesia dapat merebut peluang-peluang yang ditawarkan oleh industri pengeluaran kelapa sawit yang berteknologi tinggi melalui aktiviti pendidikan. Pekerja ladang sawit yang mempunyai kepakaran dalam menangani bidang sains dan teknologi pengeluaran kelapa sawit. Selain itu juga dalam bidang pengurusan, dan teknologi maklumat. Ramai tenaga kerja Indonesia alumni CLC, Sabah yang tersebar di 28 tempat. “Anak Ladang” ini telah menguasai kemahiran praktikal untuk menerajui pembangunan pengeluaran industri kelapa sawit dan menjana kekayaan ladang kelapa sawit di negara jiran, Sabah. Malaysia. Berdasarkan penjelasan Kepala Konsulat Jendral Republik Indonesia di Kota Kinabalu, Soepeno Sahid (2013) menyatakan bahawa banyak anak-anak ladang ini yang tidak bersekolah dari 53.000 anakanak usia sekolah, hanya 18.000 bersekolah di CLC Sabah. Sebelum tahun 2002 anak-anak pekerja ladang kelapa sawit, di bolehkan menuntut ilmu di sekolah Kebangsaan Malaysia, maka setelah tahun 2002 Kementerian Pelajaran Malaysia, melarang pelajar bukan anak tempatan. Dengan itu, amat sukarlah bagi anak pekerja ladang kelapa sawit asal Indonesia untuk bersekolah di Sekolah Kebangsaan Malaysia. Tetapi mereka di arahkan untuk bersekolah di sekolah-sekolah swasta di Sabah.
4
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Proses Pengajaran Dan Pembelajaran Di Sikk Dan Clc Sabah, Malaysia Perlaksanaan pendidikan Sekolah Indonesia di Kota Kinabalu, sama seperti perlaksanaan pendidikan yang berlaku di Indonesia dengan pakaian pelajar merah putih bagi pelajar Sekolah Rendah, kurikulum menggunakan kurikulum Indonesia , dan metode pembelajarannya dilaksanakan sama seperti sistem pembelajaran yang dilaksanakan di Indonesia.. SIKK memiliki kemudahan bilik darjah hanya 9 ruangan sahaja sementara grade kelas 20 darjah, proses pengajaran dan pembelajaran dimulai 07.0017.15. perlaksanaannya dibahagikan kepada dua peringkat iaitu belah pagi dan belah petang, Kelas pagi bermula pada pukul 07.00- 10.30 sedangkan belah petang bermula pukul 10.40-17.15. untuk program sesi pembelajaran 2013-2014 seramai 587 pelajar terdaftar di SIKK. Kedudukan SIKK di rumah kedai dan pusat perbelanjaan juga, menjadi suatu cabaran yang tidak mudah untuk proses pengajaran dan pembelajaran. Para pelajar SIKK, lahir dan tumbuh kembang di kawasan Sabah mengikut ibu bapa yang bekerja sebagai pemetik buah kelapa sawit, pembantu rumah, pemandu lori, pemandu kereta dan kerja-kerja lainnya di seluruh kawasan Sabah. Pendidikan karakter dan budi bahasa yang diajarkan di SIKK berasaskan Pancasila. jelas disini bahawa titik tolak dalam sistem pendidikan yang berteraskan nasionalisme serta kecintaan terhadapse tanah air Indonesia. Tanggapan mengenai keberadaan dan kehadiran sekolah anak ladang yang tidak diiktiraf oleh Kementerian Pelajaran Malaysia, menurut Neneng Zubaidah (2014), ternyata tidak hanya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tanpa izin. Namun Community Learning Centre (CLC) di Kota Kinabalu, wilayah Sabah Malaysia, juga banyak yang tanpa izin dan tidak diiktiraf. Coba kita tengok ke CLC Cerdas dan CLC Insan Kemajuan. Keduanya merupakan institusi pendidikan yang tidak mendapat pengikirafan dari kerajaan yang mayoriti pelajarnya berasal dari kanak-kanak pekerja di sekitar ladang sawit. Kedua sekolah Indonesia tersebut pun tak diikhitiraf dan tanpa izin. tempatnya berlindung di sebuah bangunan gereja Sacred Heart. Kami menyewa khas bangunan kelas ini 1500 ringgit untuk setiap bulannya. Kelas ini kami gunakan untuk proses pembelajaran dan seramai 320 pelajar menuntut disini. Menurut Yohannes Solo, seorang guru besar (kepala sekolah) CLC Cerdas dari suku kaum Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Guru besar itu telah menerokai penubuhan CLC ini beliau seorang yang telah berjaya menyelenggarakan pendidikan bagi pelajar kaki tangan ladang sawit. Sekolah yang telah ditubuhkan olehnya hingga kini belum mendapat izin dari kerajaan Malaysia. Dipilihnya bangunan gereja Sacred Heart agar sekolah tanpa izin ini tidak ditutup dan di saman oleh Kementerian Pelajaran Malaysia kerana izinnya belum keluar. Yohannes Solo menyatakan bahawa, kami pun hairan kenapa CLC di ladang kelapa sawit lainnya di Sabah telah mendapat izin dan di iktiraf kerajaan, padahal CLC Cerdas telah memulakan sesi pengajarannya pada 20 Mei 2010 yang lalu dengan pengambilan sulungnya seramai beberapa puluh pelajar. Namun hingga kini belum keluar izinnya, seperti yang ditegaskan oleh pria kelahiran Flores yang telah bermastahutin (menetap) di Sabah sejak tahun 1976. Kewujudan CLC Cerdas, mendapat sokongan penuh dari pihak pengurusan gereja yang bermurah hati melindunginya dari serbuan penguat kuasa Malaysia. Perakuan masyarakat gereja pengguna sekolah tersebut yang berbilang kaum, bersifat sejagat. Kesejagatan ini diikat oleh kepentingan bersama. Tetapi, kekurangan dari pengiktirafan adalah sekadar satu helah sahaja. Sikap berbelah bagi ini juga ada bahanya, terutamanya terhadap perkembangan pendidikan. Perlakuan begini akan merugikan, kerana pengurusan pendidikan tidak di isi dengan baik. Sebaliknya kesalahan demi kesalahan sahaja yang cuba dicari dan diketengahkan. Kesudahannya penduduk luar bandar dan golongan pendatang daripada Indonesia harus berani menceburi bidang pendidikan bagi meningkatkan taraf ilmu pengetahuan mereka, sekaligus menyumbang kepada pembangunan negara. Sekolah ini juga diharapkan dapat membantu pelajar-pelajar yang berhasrat mempelajari ilmu pengetahuan sesuai dengan kurikulum sekolah Indonesia. Hasil usaha mereka itu sungguh membanggakan. Bidang ilmu telah menjadi kaya dengan disiplin kerana kepelbagaiannya. Maka hasil pendidikan yang diterima pelajar daripada Indonesia dapat dibuktikan daripada berbagai Community Learning Centre yang dianggap haram di negara jiran kerana dijalankan tanpa izin.
5
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
KESIMPULAN Kajian ini dijalankan adalah bertujuan untuk mengkaji dan mengenal pasti potensi Sekolah Indonesia Kota Kinabalu dan Community Learning Centre di seluruh kawasan Sabah, yang didapati dapat menyediakan proses pengajaran dan pembelajaran yang dapat dipindah alihkan dalam proses menghasilkan pelajar yang cekap dan cemerlang bagi keperluan mendidik anak-anak pekerja ladang kelapa sawit. Kesimpulannya daripada dapatan kajian ini didapati bahawa CLC di Sabah memiliki sistem pendidikan yang dapat menjadi agen kepada keperluan hidup harian masyarakat pekerja ladang kelapa sawit. Ini bermakna, perlaksanaan pendidikan di CLC yang diterokai membuahkan kejayaan dalam pengeluaran produk pendidikan yang berteraskan kepada kurikulum yang selaras dengan kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah Indonesia. Kejayaan ini turut disokong oleh kesedaran ibu bapak pelajar dan komitmen yang sepenuhnya dari pelajar itu sendiri dalam membantu kejayaan ini secara berterusan. PENUTUP Sebagai kesimpulannya dapatlah dikatakan bahawa kewujudan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu atau Community Learning Centre bagi “Anak Ladang” di Sabah, Malaysia telah berjaya mengubah identiti masyarakat pendatang daripada Indonesia tersebut. Walaupun pembangunan sekolah di wilayah ladang kelapa sawit sampai saat ini masih lagi banyak yang belum mendapat pengikhtirafan dan izin dari Kementerian Pelajaran Malaysia. Pada tahap penubuhannya dari segi jumlah sekolah adalah tinggi dan mampu menampung permintaan pelajar yang ada di wilayah persekitaran ladang sawit. Ini disebabkan kawasan ladang kelapa sawit masih lagi belum ada sekolah Indonesia yang mencukupi untuk sumber belajar. Kemasukan para pekerja ladang kelapa sawit ke pedalaman Sabah bukan sahaja telah mewujudkan pertempatan yang baru, tetapi apa yang lebih penting lagi ialah membawa bersamanya sistem pendidikan Indonesia yang berteraskan kepada kurikulum Indonesia dan kemudian sistem pembelajaran tersebut telah diberlakukan kepada pelajar “Anak Ladang” daripada Indonesia yang lahir dan membesar di Sabah. RUJUKAN Daeng Kahar (2014), temu bual bersama seorang pekerja ladang kelapa sawit di Kudat, Sabah. Neneng Zubaidah (2014), Kisah Anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah Malaysia Jakarta: Koran Sindo. Peter Koon (2013),. temu bual bersama seorang pengusaha ladang kelapa sawit di Sabah. Remali Yusoff (1999), Kajian Ekonometik Industri Minyak Kelapa Sawit Di Sabah.Manu Jurnal Pusat Penataran Ilmu dan Bahasa; Kota Kinabalu : Universiti Malaysia, Sabah. Soepeno Sahid (2013), temu bual bersama Kepala Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Sabah. Zita Meirina (2012), Anak LadangTKI Sabah Ukir Prestasi SILN. http// m. Antaranews.com Mohd Sarim.
6
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
WEB BASED LEARNING DESAIN WITH COOPERATIVE LEARNING MODEL
Ambar Sri Lestari1 STAIN Sultan Qaimuddin Kendari
[email protected]
1
Abstract This study aims to design a web-based learning with UML (Unified Modeling Language) is a languagebased ongraphics/images for visualizing, specifying, constructing, and documentation ofan OO (Object-Oriented) based software development system. UMLconsists of grouping system diagrams according to a particular aspector point of view. The diagram illustrates the problem and the solution of problems of a model. UML modeling system consists of a use case and use case diagram, activity diagrams, class diagrams and sequence diagrams. The prototype application is designed and implemented http://www.elearningambarsrilestari.web.id/. The results of which form of web development modulestarters, module development and complementary module in e-learning. Keyword: E-learning, Unified Modelling System, Cooperative Learning Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk merancang pembelajaran berbasis web dengan menggunakan metode Unified Modelling Language merupakan sebuah bahasa yang berdasarkan grafik/gambar untuk memvisualisasi, menspesifikasikan, membangun, dan pendokumentasian dari sebuah sistem pengembangan software berbasis OO (Object-Oriented). UML terdiri atas pengelompokkan diagram-diagram sistem menurut aspek atau sudut pandang tertentu. Diagram menggambarkan permasalahan maupun solusi dari permasalahan suatu model. Pemodelan system dengan UML terdiri dari use case dan diagram use case, diagram aktivitas, diagram kelas, diagram sequence. Prototipe aplikasi ini dirancang dan diimplementasikan pada http://www.elearning-ambarsrilestari.web.id/. Hasil pengembangan web diantaranya berupa modul permulaan, modul pengembangan dan modul pelengkap dalam elearning. Kata kunci: E-Learning, Unified Modelling System, Cooperative Learning INTRODUCTION The application of E- learning model has one component that needs it in order for learning model can provide a continuous and influence in the implementation. The component that is the design , application / implementation , and management or maintenance . Related to learning , use of information technology in e-learning it is necessary not only skilled educators take advantage of the technology as well as technologies for the manufacture of teaching materials , but we need a plan in order to implement effective learning . In a lesson plan ( instructional design ) there is a process to guide the actors ( actor ) to design , develop , implement e-learning content to take advantage of the infrastructure and e-learning applications are available . At a later stage in the implementation of elearning evaluation stage are used to revise or adjustments to the stages before. Instructional Design is a dynamic process which can be changed according to the received information and evaluation aims to improve the learning outcomes of students so that learning objectives can be achieved .E-learning is a form of learning models that facilitated and supported the use of information technology and communications. E-learning has the characteristics, among others(Clark &Mayer2008:10): 1) have content relevant to the learning objectives; 2) use instructional methods, such as the presentation of 7
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
examples and exercises to enhance learning; 3) use of media elements such as words and pictures to deliver learning materials; 4) allows for a direct learning-centered teaching(synchronous e-learning) or are designed for self-learning(asynchronous e-learning); 5) build understanding and skills related to the learning objectives either individually or improve learning performance group. Internet technology is present as a multifunctional media. Communication via internet can be done interpersonal (e.g, e-mail and chat) or an message, which is known to one to many communication (eg, mailing list). Internet is also able to present real time audio visual as in the conventional method with the application teleconference. Based on this, internet as a medium of education is able to confront the distinctive characteristic, namely: a) as interpersonal and mass media, b) are interactive, c) enables synchronous or asynchronous communication. This characteristic allows the learner to communicate with sourcer of knowledge more widely when compared to using only conventional media. Internet technology to support learners who have limited space and time to still be able to enjoy education. This method is able to eliminate the gap between experts with students. Cooperative learning (slavin,1995) is a learning strategy with a number of students as members of a small group that different ability levels. In completing the group assignment, each student member of the group must work together and help each other to understand the subject matter. In cooperative learning, learning is not yet finished when one of the friends in the group have not mastered the lesson material. The basic elements in the cooperative learning is as follows. a. The students should have a responsibility to the student in the group in addition to responsibility for your self in learning the material at hand b. The students have the view that they all have the same goal c. The student divided the taks and responsibilities shared among the group members d. The students are given an evaluation or appreciation which will take effect on the evaluation group e. The students share their leadership skills while working together during the study f. Each student will be asked individuallyaccountable forthe material to behandledin acooperativegroup LITERATURE REVIEW Many experts outlining the definition of e-learning from various viewpoints.Definitions are often used by many partiesis as follows. E-learning is a type of learning which allows teaching materials to students using the internet, intranet, or other computer network media (Harley,2001). ELearning is the education system that uses electronic application to support learning and teaching with the internet, computer network, or stand alone computer (LearnFrame.com,2001). Aspects of E-learning Management Planning Learning Lesson plans on the basis of an overview of some of the activities and actions that will be performed during the process of teachings. It can be concluded, planning applications are basis e-learning includes plans, estimatesand general description of the learning activity by utilizinga computernetwork, intranet or the internet. The scope of the learning plan includes four main components, namely the purpose, materials or teaching materials, teaching and learning activities, and evaluation. This is in accordance with the statement Sisco(2010: 25), namely: E-learning solution/strategy: “An e-learning solution of strategy is composed of content, technology, and services. Content includes courses, curriculum, and knowledge or skills development modules. Technology is the method used to deliver the content, including the internet and teleconferencing. Services relate to maintenance, content upgrades, and technical upgrades to both delivery and content. Understanding these com-ponents is an important first step to understanding what e-learning is and how it is “delivered””. Designing and MakingMaterial According Daniswara(2011: 2), in the process of learning content plays an important role because it is directly related the learning process of the participants(students). Content is a learning object to be one of the parameters of success of e-learning through the type, content and weight of the content. Elearning system should be able to: a. Provide content that is teacher-centered content-sional instructor procedural, declarative and well-defined and clearly 8
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
b. Provide content that islearner-centered content presents the results(outcomes) of the instructorsional focused on the development of creativity and maximizing the independence; c. Provide examplesof work (work example) on the material to facilitate understanding of the content and give the opportunity to practice; d. Adding content such as educational games as a media tool-making practice questions. Some principles of learning to make websites or e-learning website by Munir (2009 : 191 ) , among others : a. Formulating learning objectives ; b. Introduce learning materials ; c. Provide assistance and convenience for learners to study learning materials ; d. Provide assistance and facilities for learners to undertake tasks with clear directions and instructions ; e. Learning materials are delivered according to standards generally applicable , and in accordance with the level of development of the learner ; f. Learning materials delivered in a systematic and capable of providing motivation to learn , and at the end of each learning material made the summary ; g. Learning materials delivered in accordance with the fact , so easy to be understood, absorbed, and practiced directly by learners ; h. Effective method of explanation , clear,and easily understood by learners,accompanied by illustrations , examples and demonstrations ; i. As a means to determine the success of learning , it can be evaluated and requested feedback ( feedback ) from the learners . Submission of Learning Learning with e-learning teaching me rupakan using Internet technology to enhance the learning environment with rich content coverage. E-learning is an instructional media utilization using the Internet, to transmit a series of solutions that can improve their knowledge and skills. This is in accordance with the statement Rossenberg (2006: 72) that: “within the learning and performance architecture is e-learning not e-learning as it is traditionally practiced but a broader. E-learning is the use of Internet technologies to create and deliver a rich learning environment that includes a broad array of instruction and infor-mation resources and solutions, the goal of which is to enhance individual and organizational performance.”.Each method of learning should they contain formulas organizing learning materials, delivery strategies, and knowl-lolaan activities by taking into account the purpose of learning, barriers to learning, student characteristics, in order to obtain the effectiveness, effi-ciency, and the attractiveness of learning(Miarso, 2004:550). METHODS This study aims to design a web-based learning with UML(Unified Modeling Language) is a language based ongraphics/images fo rvisualizing, specifying, constructing, and documentation of anOO (ObjectOriented) based software development system. UMLconsists of grouping system diagrams according to a particular aspect or point of view. The diagram illustrates the problem and the solution of problems of a model. UML modeling the system consists of a use case and use case diagram, activity diagrams, class diagrams and sequence diagrams. The prototype application is designed and implemented http://www.elearning-ambarsrilestari.web.id/. The results of which form of web development module starters, module development and complementary module in e-learning. FINDINGS AND DISCUSSIONS Analysis And Design System Description of Web Based Learning Design Model Cooperative Learning Based on the activities of teachers and students in the cooperative approach, then the cooperative learning to be created in the web environment is devided into six phases namely: a) convey the purpose, b) present information, c) organize the students into groups, d) implementation of learning, e) 9
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
presentation, reflection and publications, f) assessment and evaluation. To implement cooperative learning in the web environment required the contruction and development of several devices that support. Here’s general overview of the criteria required. 1. Can support all activities related to learning actors cooperative learning models (teachers, students, friends, admin) 2. Can be use for all methods of learning cooperative learning models 3. Can be used for both local and long distance learning 4. Can be used for various subjects Needs Analysis The following description and analysis of the design of a web based learning system to support the learning process with the cooperative learning approach. People associated with learning activities in shown in Tabel 1. People Students
Teacher
Admin
Table 1. The role ofthe people associatedwith thesystem. The role of people FollowingCLmodel study Seeking/studyresource/learningmaterialsthatsuit Findingresources Ask questions Collaborateinthegroup Activediscussions Mutualtouch withother studentseitherface-to-face orviae-mail Communicatewith theteacherorexperiencedpractitionersin the fieldas appropriate. Planning forlearning Organizelearning resourcesandrelated sites Displaysandupdating informationlearning Bring up thetopic ofdiscussion Servecorrection(either face-to-face orviae-mail) Provideadvice tostudents Assess thestudents Monitor the progress ofstudents Create and managegroups Organizinglearningfacility Organizinguser data Servetechnicalassistance
This design enriches teaching as a center where students (student centered learning), the role of the above is based on a cognitive theory that emphasizes the exploration activities actively, constructively in the problem solving. Students are expected to find and choose the information that is available according to their own pace, according to their own needs and preferences. Teachers as facilitators and guides in the learning process. Modelling System Use Case and Use Case Diagrams a. Use case and actor To explain the use case and actors associated with this system, consider the role and functions described above. Here’s the scenario of this web based learning process. Students must enroll full information into the system and learning profiles for participating in learning activities. Also need to follow the instructions and procedures of learning activities, schedule and taks, answer questions, create reports or presentations, and doing other activities that support the learning process in accordance teacher reference. Teachers are responsible for making the learning framework of subjects which it is responsible resource related, important notes and evaluation format, making the answers requested by the student, display the results and assess student assignment and reports. Examine the fit between the work tasks with a predetermined schedule.
10
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Admin given high authority in making class, adding new faculty and students to the database, registering a particular subject, organize a list of students for certain subjects and list their subject specific teachers. b. Use case diagram Figure 2. Use case diagram of the system. M engelola user
M engelola kelas
M engelola mat ap elajaran
Admin
M engelola kat egori mat ap elajaran
Pesan
M engelola kelomp ok Out line p embelajaran <
> Pengumuman
Dokumen p endukung
Guru
Login
Agenda
Link referensi
Siswa T ugas
Lat ihan
Forum
Chat
c. Activity Diagram Activity flow diagram illustrates the various activities in the system that is being designed, how each flow begins, a decision that may occur and how it ends. An activity can be realized by one or more use case, activity illustrates the ongoing process, where as a use case describes how the actor uses the system to perform the activity. Example activity diagram can be seen as follows. Aktor
Web
Database
Mulai
Pilih daftar pelajaran
Ambil data pelajaran yang ada
Tampilkan daftar komponen pembelajaran
Pilih deskripsi pelajaran
Ambil data deskripsi pelajaran
Tampilkan pesan deskripsi pelajaran belum ada Pilih isi deskripsi pelajaran
tidak ada
cek data deskripsi pelajaran ada
Tampilkan deskripsi pelajaran
tidak dilanjutkan
Tampilkan form tambah/edit deskripsi pelajaran
Isi form deskripsi
Simpan deskripsi ke database Selesai
Figure3. Activitydiagramofa use casedescriptionsubjectsmake(actors: teachers). d. Class Diagram class is a specification that will result in an object and is at the core of development and object oriented design. Class describes the state (attribute/property) of a system, while offering services to manipulate the situation (method/function).
11
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Figure 4. Class diagram for the use login
e.Sequences Diagram Sequences diagrams are commonly used to describe a scenario or series of steps takes in response to on avent to produce a certain output. Starting from what triggers the activity, process and any change that occur internally and outputs are produced. Examples of sequence diagrams in the design of e-learning can be seen as follows. Figure 5. Sequence diagram for use case log
: formLogin
: User
: formUser
: formOtoritas
submit( ) cek userid( ) cek password( ) cek password( ) return verifikasi( ) verifikasi user( ) verifikasi ditolak( ) return verifikasi( )
Implementation and Testing System At this stage the application of web based learning system is implemented based on the model of cooperative learning design has been done in previous stages. The prototype application is designed and implemented http://www.elearning-ambarsrilestari.web.id/. Modules Starters When learning site is opened the user will be faced with the initial information available categories of subjects and other information, is provided for the login form is already registered and the registration option for those who have not registered. Figure 6. The main page and login
Development Module In the model of the development of the learner can use the web to communicate with members of the group in accordance learning model cooperative learning, other than that students can communicate with expers/practitioners who have the appropriate experience and knowledge with the topic and using e-mail, chat rooms, or a forum to communicate with other people, either individually or group.
12
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Figure 7. Communication between the student/teacher
In the discussion forum, students can share their knowledge with other group members to discuss/learn the same topic (focus groups), the student is responsible for part of the group task given to him, so that through the process of sharing this information students can understand the subject matter as a whole and is obliged to explain to the group of origin (home group). The next process is to compile and gather both group and individual tasks into a document in the agreed format (Ms.Word, Pdf,HTML), so that the process of collecting tasks can be done by uploading the file. Figure 8. The Collection of files task group
Complementary Modules In this module is so that students can practice/quiz to illustrate the extent of mastery of the material has been mastered. Affer the quiz, students can immediately see the results, questions given by the teacher displayed randomly and have time constrains in the execution of the test (the data of activation drills, repetition maximum permissible duration of workmanship and ecercise). Teacher can see the progress or activities conducted through the groove learner students that can be seen by the teacher in charge of each lesson. Figure 9. Examples of exercises/quizzes in multiple choice form
CONCLUSION Based on the problems that arise, the results of the analysis and the design and testing of the web based learning system model of cooperative learning, then if the prototype based learning cooperative learning models are implemented, the conclusion that can drawn as follows. 1. Application of web based learning with the cooperative learning models will complement and enrich the learning methods and models that already exist.
13
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
2. Application web based learning with the cooperative learning models will make students to participate actively in the learning process, so in line with the paradigm of student centered learning 3. Application web based learning model with cooperative learning besides improving academic will also develop and train students in social skills such as work in teams and communicate 4. As an alternatives solution of a lack of student interaction with faculty due to limited facilities and infrastructures as well as teaching staff to support the learning process. REFERENCES Arends, Richard. I. (1997), Classroom Instruction and Management, McGraw Hill Companies, New York. Arends, Richard. I. (2007), Learning to Teach, McGraw Hill Companies, New York. Batatia, Hadj (2005), A Model For An Innovative Project-Based Learning Management System For Engineering Education, University Mirail, Toulouse. Boud, D. and Feletti, G.I. (1991), The Challenge of Problem-Based Learning, Kogan Page, London. Brandt, Sheila et Al. (2003), Learning Management Systems Overview, Ocotillopaper, http://www.mcli.dist.maricopa.edu/ocotillo/papers/index.php?yr=0203&id=3, 20 Nopember 2006. Chute, Alan G. (1999), Handbook of Distance Learning, McGraw Hill, New York. Clark, R.C. & Mayer, R.E. (2008). E-learning and the science of instruction: proven guidelines for consumers and designers of multimedia learning, second edition. San Francisco: John Wiley & Sons, Inc Derntl, Michael and Motschnig-Pitrik, Renate (2003), Patterns for Blended, Person-Centered Learning: Strategy, Concepts, Experiences, and Evaluation, Department of Computer Science and Business Informatics, University of Vienna, Austria. Diamond, R.M. (1998), Design and Assessing Course and Curiculla: A Practical Guide, Jossey Bass Inc., San Francisco. Empy Effendi, Hartono Zhuang (2005), E-learning :KonsepdanAplikasinya, Penerbit ANDI, Yogyakarta. Fowler, Martin (2004), UML Distilled: A Briefs Guide to the Standard Object Modeling Language, Pearson Education Inc., New York. Gentry, Edna (2002), Problem-Based Classrooms, Alabama Supercomputing Program Inspire Computational Research in Education, University of Alabama, Huntsville. Hartley Darin E. (2001), Selling e-Learning, American Society for Training and Development, New York. Lie, Anita (2005), Cooperative Learning: mempraktekkan cooperative learning di ruang-ruangkelas, Penerbitgrasindo, Jakarta. Pressman , Roger S.(1997), Software Engineering : A Practitioner Approach, McGraw-Hill, New York Slavin, Robert (1995), Cooperative Learning Theory, Allyn and Bacon Publisher, Massachusetts. Slavin, Robert (1994), Educational Psychology: Theory and Practice, Allyn and Bacon Publisher, Massachusetts. Sisco, Ashley. (2010). Nations First for e-learning of effectiveness the Optimizing. Ottawa: The Conference Board of Canada. Thompson, M., McLaughlin, C.W., and Smith, R.G. (1995), Merril Physical Science Teacher, Glencoe McGraw Hill, New York. Divaharan, shanty (2003), An attempt to enhance the quality of cooperative learning through peer assessment, Australian Journal of Educational Technology, Vol.3, http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet3/divaharan.html, 20 Nopember 2006, 12.30 WIB. McLoughhlin, C. (2002), Computer supported teamwork: An integrative approach to evaluating cooperative learning in an online environment, Australian Journal of Educational Technology, Vol.18, http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet18/McLoughkin.html, 20 Nopember 2006, 12.30 WIB. OkkiMahendraDaniswara. (2011). Aspekpentingpembangunan e-learning system.Diambilpadatanggal 21 Agustus 2011, dari http://mahen-draokki.unpad.ac.id/wp-content/aspek-pentingpembangunan-e-learning -system.pdf
14
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA DINI MELALUI LIRIK LAGU Budi Hermaini1 dan Nunung Supratmi2 1,2
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas terbuka [email protected] [email protected]
Abstrak Language learning in Early Childhood Education (ECD) is still impressively monotony. This is because teachers are less creative in the learning process. Therefore, a new breakthrough strategy is needed in the process of children’s language skill learning. For that reason this study was conducted to obtain an appropriate learning strategy in order to develop children's language skills, especially for 5 to 6 years students in kindergarten. This research was conducted in kindergarten "Plus" Insan Sejati, Cibinong, Bogor using action research method. The design of this study used Kemmis and Mc. Taggart action research model which consists of four components, namely planning, action, observation, and reflection which was done in two cycles. Data was collected by interview, observation, assessment, and analysis of some documents. Processing data used quantitative and qualitative analysis. The result of this research shows that the strategy of using song lyrics can significantly improve language skills of children in the age of 5-6 years (kindergarten group B). One of the things that need to be observed in the use of this strategy is that the selection of song lyrics should match the theme of learning and child development. Key words: improvement, having language, childhood education, song PENDAHULUAN Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada satu negarapun yang tidak memiliki bahasa, bahkan masyarakat primitif sekalipun memiliki bahasa untuk berkomunikasi antarmereka. Sebagai alat komuniksi, bahasa memiliki dua bentuk penggunaan yaitu bahasa lisan (menyimak dan berbicara) dan bahasa tulis (membaca dan menulis). Kedua bentuk penggunaan bahasa ini haruslah dikuasai oleh kita agar dapat melakukan komunikasi dengan baik di muka bumi ini. Kemampuan berbahasa seseorang tidak hadir dengan sendirinya tetapi diperoleh melalui belajar dan latihan secara intensif. Kemampuan berbahasa yang pertama kali dimiliki manusia dan bahkan sejak dalam kandungan adalah kemampuan menyimak. Menurut Adi Tagor dalam Aditya (2006) menyatakan bahwa” kemampuan mendengar suara pada bayi sudah ada sejak ia masih dalam kandungan pada sekitar 2-4 bulan kehamilan. Ada faktor intrinsik yang mengenal irama, kekerasan suara, frekuensi, dan nadanada suara. Karena itu, bayi bisa menerima sinyal-sinyal walaupun belum mengeri.” Pernyataan ini diperkuat dengan pernyataan Don Campbell dalam Lis (2007) bahwa”bayi dalam kandungan ternyata juga menutup telinga mereka sebagai reaksi ketika mendengar bunyi keras.” Kepekaan pendengaran tersebut kemudian terbawa ketika bayi lahir. Ketika mendengar suara keras bayi akan kaget dengan disertai reaksi yaitu mengangkat tangan. Bayi akan memandang orang yang sedang berbicara kepadanya dan akan tertawa atau tersenyum ketika orang yang berbicara kepadanya sambil tertawa atau tersenyum. Kemampuan berbahasa lain akan dipelajarinya bersamaan dengan bertambah usia dan pengetahuan yang diperolehnya. Kemampuan berbahasa seorang anak dapat berkembang melalui lingkungannya. Lingkungan rumah merupakan tempat pertama kali anak belajar bahasa dan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan bahasa anak. Baik tidaknya bahasa anak dan berkembang tidaknya bahasa anak diawali oleh lingkungan rumah. Ketika seorang anak masuk dalam dunia pendidikan, maka lingkungan pendidikan juga memiliki peran yang sangat besar bagi perkembangan kemampuan berbahasa anak. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan yang menangani pendidikan anak usia dini sebaiknya memberikan pelajaran tentang bahasa dengan benar sebagai dasar untuk meletakkan ilmu pengetahuan lainnya. 15
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Mengajarkan kemampuan berbahasa pada anak usia dini tidaklah semudah yang dibayangkan. Diperlukan strategi-strategi pembelajaran yang tepat sehingga anak dengan mudah mempelajarinya dan juga tidak merasa jenuh untuk mempelajarinya. Untuk itu diperlukan sebuah strategi pembelajaran bahasa yang menyenangkan bagi anak . Belajar sambil bermain dan bernyanyi merupakan strategi yang tepat untuk mengajar bahasa pada anak-anak usia dini. Kita ketahui bersama bahwa anak-anak usia dini sangat senang bernyanyi. Tak jarang kita melihat anak-anak bergoyang sambilmengikuti nyanyian yang mereka dengar anak. Dengan bernyanyi, secara tidak langsung mereka belajar kosakata. Untuk mengetahui seberapa besar pembelajaran dengan menggunakan lirik lagu dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak usia dini, maka dilakukan penelitian ini. TINJAUAN PUSTAKA 1. Hakikat Kemampuan Berbahasa a. Pengertian Kemampuan Berbahasa Pengertian tentang bahasa telah banyak dikemukakan oleh para pakar, diantaranya adalah Bromley (1992) yang menjelaskan bahwa “bahasa sebagai sistem simbol yang teratur untuk mentransfer berbagai ide maupun informasi yang terdiri dari simbol-simbol visual maupun verbal. Simbol-simbol visual dapat dilihat, ditulis, dan dibaca; sedangkan simbol-simbol verbal dapat diucapkan dan didengar.” Kridalaksana dalam Abdul Chaer (2003) juga menjelaskan bahwa “bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri”. Berdasarkan pengtian tersebut Abdul Chaer (2013) mengidentifikasi lebih cermat bahwa bahasa memiliki ciri atau sifat, antara lain: (1) bahasa itu adalah sebuah sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu bersifat konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal, (9) bahasa itu bersifat produksi, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis, (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial, dan (13) bahasa itu berfungsi sebagai identitas penuturnya. Berdasarkan pengertian bahasa tersebut maka sangat jelas bahwa bahasa memiliki peran yang begitu besar dan sangat penting dalam kehidupan manusia. Pentingnya bahasa tersebut dalam sistem kehidupan manusia seperti yang dikemukakan Eric Sotto (1994), yaitu, bahwa dengan bahasa kita dapat dengan jelas mengerti dari sesuatu yang kita alami. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan berbahasa adalah kemampuan individu menggunakan bahasa yang dimilikinya untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan dirinya. b. Kemampuan Berbahasa Anak Usia Taman Kanak-kanak Perkembangan berbahasa anak usia 5-6 tahun menempati posisi penting pada usia ini dan selanjutnya. Pada usia 5-6 tahun, kemampuan bahasa anak dalam segala aspeknya berkembang sangat pesat. Pada usia ini perbendaharaan kata anak bertambah kurang lebih 2500 kata. Anak mulai dapat menceritakan kembali kisah yang diceritakan padanya dengan menggunakan kalimat-kalimat kompleks, terdiri dari lima hingga delapan kata. Di usia ini anak lebih bisa diajak komunikasi, bisa mengungkapkan keinginan dan keberatannya secara verbal (Ayahbunda: 2001). Di usia ini pula anakanak mulai mengungkapkan keinginannya, penolakannya, maupun pendapatnya dengan menggunakan bahasa lisan. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia ini anak-anak sudah memiliki kecenderungan untuk percaya diri, keyakinan diri, dan sudah dapat menyesuaikan diri sesuai dengan aturan teman-temannya, kelompok, dan orang-orang di sekitarnya. Gisburg dan Opper dalam Paul Suparno, menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan anak pada awal mereka berbicara adalah bahasa yang nonkomunikatif, dan ditandai dengan: (1) Anak menirukan saja apa yang baru ia dengar. (2) Anak berbicara sendiri (monolog), dan (3) Anak monolog di antara teman-temannya. Oleh karena itu kita sering melihat anak berbicara sendiri. Berdasarkan sudut pandang linguistik, kemampuan berbahasa meliputi: kemampuan menyimak, kemampuan berbicara, kemampuan membaca, dan kemampuan menulis. Sebagian besar, kemampuan berbahasa yang sudah dimiliki anak 5-6 tahun adalah kemampuan menyimak dan berbicara. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran bahasa pada anak usia 5-6 tahun khususnya di taman kanak-kanak (TK) baru sampai pada tahap pembelajaran menyimak dan berbicara. Untuk pembelajaran kemampuan membaca dan menulis akan dipelajari ketika mereka memasuki jenjang pendidikan berikutnya yaitu jenjang pendidikan dasar (SD). 16
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Bagi anak-anak, kemampuan menyimak sangatlah penting mereka miliki karena menurut Sabarti dalam Dhiene dan Fridani (2005) bahwa fungsi menyimak adalah sebagai: (1) dasar belajar bahasa, (2) penunjang keterampilan berbicara, membaca dan menulis, (3) penunjang komunikasi lisan, (4) penambah informasi dan pengetahuan. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa yang lain diperoleh anak setelah memiliki kemampuan menyimak, tak terkecuali kemampuan berbicara seperti yang diungkapkan oleh Tarigan (1981) “Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang didahului oleh keterampilan menyimak, baru kemudian diikuti kemampuan berbicara dan berujar.” Berbicara sudah barang tentu erat hubungannya dengan perkembangan kosakata yang diperoleh anak. Bertambah banyak kosakata yang dimiliki seorang anak, bertambah banyak pembicaraan yang dapat dibuatnya. Kemampuan berbicara dan berbahasa anak biasanya didapat dari hasil imitasi terhadap kemampuan orang-orang dewasa yang ada di sekitarnya dalam berbicara 2. Hakikat Anak Usia Dini Masa anak-anak menurut Bredekamp (1992) sebagai periode sejak kelahiran hingga usia delapan tahun. Sedangkan menurut Seefeldt (1983) masa anak-anak terbagi menjadi lima tahap berdasarkan usia, yaitu infancy (0-1 tahun), toddler (1-3 tahun), preschool (3-4 tahun), early primary years (5-6 tahun) dan later primary years (7-8 tahun). Berbeda dengan Seefeid, Piaget dalam Suparno (2001) membagi masa anak-anak menjadi tiga tahap, yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun) dan tahap praoperasional (2-7 tahun). Juga sebagian anak yang berada pada operasi konkrit (8 tahun), masih masuk dalam kategori anak usia dini. Secara sederhana, karakteristik anak usia dini menurut Hurlock (1995) dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu karakteristik fisik dan psikis. Karakteristik fisik ditandai dengan fase-fase pertumbuhan anak secara biologis, sedangkan karakteristik psikis ditandai dengan fase-fase perkembangan anak, baik itu kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Adapun karakteristik anak usia dini adalah sebagai berikut: a. Karakteristik Anak Usia 3-4 Tahun Pada usia 3-4 tahun, perkembangan kognitif anak ditandai dengan anak mulai belajar menggunakan lambang-lambang mental atau melakukan perbandingan-perbandingan bahasa. Anak mulai bermain peran dengan bentuk simbolik, misal anak bermain seolah-olah mereka adalah dokter atau orangtua. Sedangkan perkembangan emosional anak ditampakkan melalui tertawa atau sambil berlari dari ruang ke ruang, dari satu orang ke orang lain, secara satu-persatu. Untuk menunjukkan kegembiraan dalam kehidupannya, anak mulai menunjukkan rasa humor, rasa takut terhadap sesuatu yang dilihat atau bayangan tertentu. Disamping itu anak juga menunjukkan sikap dan perilaku agresif yang ditampakkan dalam pergaulan dan juga lingkungan keluarga. Perilaku agresif biasanya diekspresikan melalui ucapan dan kadang perilaku menyerang, pukulan terutama pada laki-laki. Perkembangan emosi juga ditandai oleh bertambahnya kesadaran anak pada suatu reaksi bahwa dirinya memiliki perasaan dan sekaligus dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. b.
Karakteristik Anak Usia 4-5 Tahun Pada usia usia 4-5 tahun, anak mulai menyadari bahwa pemahamannya tentang benda-benda di sekitarnya tidak hanya melalui kegiatan sensorimotor tetapi juga dapat dilakukan melalui kegiatan yang bersifat simbolik. Pada masa ini anak telah memiliki kemampuan berpikir setengah logis, serta perkembangan bahasanya meningkat cepat yang ditandai dengan kemampuan monolognya. Pada tahap ini pula anak membangun kemampuannya untuk berpikir meskipun belum terlalu stabil dan bersifat egosentris. Berpikir secara egosentris ditandai dengan tidak mampunya anak memahami perspektif orang lain. Cara berpikir anak usia dini juga disebut dengan berpikir intuitif, artinya anak belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang suatu kejadian. Menurut Ericcson anak usia 4-5 tahun berada pada tahap inisiatif vs rasa bersalah (initiative vs guilt). Anak usia ini mampu menghadapi situasi sosial yang lebih luas. Mereka sangat aktif dan lebih tertantang daripada masa sebelumnya. Oleh sebab itu, pengembangan rasa tangggung jawab dapat meningkatkan inisiatif. Namun rasa bersalah akan muncul bila anak tidak melewati masa sebelumnya.
17
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
c. Karakteristik Anak Usia 5-6 Tahun Pada tahun pertama usia sekolah anak usia 5-6 tahun telah mulai memperluas pengetahuannya tentang kehidupan dunia dan alam semesta. Bahasa anak mulai berkembang secara ekspresif, anak dapat mengungkapkan keinginannya, penolakannya, maupun pendapatnya dengan menggunakan bahasa lisan yang sudah mereka gunakan sebagai alat faktor yang ada. Anak-anak pada usia 5-6 tahun ini sudah memiliki kecenderungan untuk percaya diri, keyakinan diri, dan sudah dapat menyesuaikan diri sesuai dengan aturan teman-temannya, kelompok, dan orang-orang di sekitarnya. Perkembangan afektif anak usia 5-6 tahun lebih meningkat. Perasaan humor mulai berkembang, dapat mempelajari mana yang benar dan yang salah, mengerti perintah, dapat menerima peraturan dan disiplin, menunjukkan perasaan, mampu menenangkan diri sendiri, mendominasi sesuatu tetapi mampu menerima nasehat, menjalin persahabatan, menolong sesama teman serta mengembangkan pemahaman dan pengalaman emosi. 3. Hakikat Strategi Pembelajaran Dengan Menggunakan Lirik Lagu Definisi tentang strategi pembelajaran telah banyak diungkapkan oleh para pakar, salah satunya diungkapkan oleh Dick dan Carey (1995) yang menyebutkan bahwa “strategi pembelajaran sebagai suatu set bahan pembelajaran dan prosedur yang digunakan secara bersama-sama untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa”. Jika guru menggunakan strategi yang tepat maka tujuan pembelajaran akan dapat tercapai. Strategi pembelajaran jika dihubungkan dengan siswa TK menurut Bandura (1986) maka kita mengatakan bahwa pembelajaran yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan berbahasa anak usia dini mengacu kepada bagaimana anak dapat belajar dengan baik atas dasar bimbingan gurunya. Belajar dengan baik di sini, meliputi bagaimana berpikir agar dapat merangsang siswa berpikir, belajar bagaimana berbuat, yang dapat dilihat dari bagaimana guru memberikan bimbingan melakukan sesuatu, dan belajar bagaimana bergaul dengan melihat bagaimana guru mengarahkan siswa-siswa pada kegiatan bersama seperti bermain bersama. Strategi pembelajaran dengan menggunakan lirik lagu, pada hakikatnya adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak dalam mencapai kompetensi tertentu yang dituntut oleh sebuah kurikulum. Menurut Armstrong, strategi pembelajaran dengan menggunakan musik dapat dilakukan guru dengan beberapa cara, antara lain: Ambillah inti atau garis besar dari apa yang anda ajarkan, kemudian kemaslah dalam format berirama yang dapat dinyanyikan, disenandungkan, atau dinyanyikan secara rap. Perbanyaklah koleksi musik (instrumentalia) Anda, sesuai dengan tema-tema pembelajaran yang ada dalam kurikulum Bangunlah suasana ruangan Anda dengan musik latar (sejenis musik barok), pada saat menyampaikan informasi, dan biarkan siswa dalam keadaan rileks pada saat menjelaskan pendengaran Anda. Gunakan musik yang membangun suasana hati siswa Anda dengan menggunakan musik-musik berupa “sound effect”, suara alam misalnya, atau kicauan burung, deburan ombak atau suara-suara lainnya.
18
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Berikut adalah skema strategi pembelajaran berbasis lirik lagu.
Berdasarkan strategi pembelajaran dengan menggunakan lirik lagu di atas, dapat dijelaskan bahwa untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak dengan menggunakan lirik lagu dapat dilakukan dengan menyimak lirik yang ada dalam lagu-lagu, mengemas lirik dalam lagu dan menyanyikannya, memberi komentar pada lagu yang didengarnya, dan menceritakan lirik yang ada dalam lagunya. METODE DAN SAMPLING Penelitian ini merupakan penelitian tindakan. Alasan dipilihnya penelitian tindakan ini karena dianggap tepat digunakan untuk meningkatkan kualitas suatu program pembelajaran di kelas melalui penggunaan strategi pembelajaran yang relatif baru bagi kalangan guru, khususnya guru-guru di Taman Kanak-kanak. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2011 di Taman Kanak-kanak (TK) Plus Insan Sejati - Cibinong, yang beralamat di Jl. Roda Pembangunan No. 2 – Kelurahan Nanggewer, RT 02 RW 08, Cibinong, Bogor. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan prosedur Kemmis dan Mc Taggart, yaitu mengunakan siklus spiral dan meliputi tahap-tahap: a) perencanaan (planning), b) tindakan (acting), c) pengamatan (observing), dan d) refleksi (reflecting). Di dalam penelitian ini pengertian siklus adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Penelitian ini terdiri dari dua siklus. Siklus pertama merupakan aksi yang dilakukan untuk mengidentifikasi kemampuan bahasa anak usia Taman Kanak-Kanak Kelompok - B melalui strategi pembelajaran dengan menggunakan lirik lagu yang disesuaikan dengan kurikulum. Siklus I meliputi kegiatan: a) perencanaan, b) pelaksanaan tindakan, dan c) observasi. Berdasarkan hasil refleksi dan evaluasi dari siklus I dilanjutkan dengan diskusi kedua untuk mencari alternatif tindakan lain yang cocok dengan hasil tindakan siklus I atau memodifikasi pembelajaran tanpa tekanan, yang meliputi kegiatan: a)Pengamatan, dilakukan dengan instrumen pengamatan yang telah diperbaharui sesuai dengan tindakan yang telah disepakati, b) mengadakan penilaian untuk menggambarkan atau mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan, c) refleksi
19
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
TEMUAN DAN KESIMPULAN Kemampuan bahasa yang ingin dikembangkan melalui lirik lagu adalah kemampuan mendengarkan/menyimak, menyebutkan kembali, dan mengubah lirik lagu dengan kata yang lain. Tema yang diajarkan pada siklus pertama ini adalah pekerjaan dengan sub tema tukang bakso, tukang kayu, guru, dan pak kusir. Sub tema tersebut kemudian dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran, materi, metode, dan proses penilaian Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di lapangan dapat dijelaskan bagimana pelaksanaan pengembangan kemampuan bahasa anak melalui lirik lagu, yaitu: a. Membuat perencanaan pembelajaran bahasa meliputi: a. Materi yang akan diberikan yang sering didengar anak. Hal ini memiliki pengertian materi mudah dihafalkan dan dimengerti oleh anak, b. Media yang digunakan adalah kaset, tape recorder, dan format penilaian, c. Metode yang digunakan seperti praktek langsung, bercerita, penugasan, tanya jawab, dan demonstrasi. b. Menentukan tujuan dari pembelajaran bahasa serta kemampuan apa yang ingin dikembangkan sehubungan dengan pengembangan bahasa tersebut. Kemampuan yang relevan dan fungsional bagi anak, hendaknya pendapat anak sering didengarkan dan melibatkan anak dalam proses pembelajaran, sehingga kemampuan bahasa dan percaya diri anak meningkat dan berkembang secara optimal. c. Karakteristik dan tahap perkembangan anak harus menjadi masukan bagi guru untuk menentukan pembelajaran bahasa yang tepat. Dengan memperhatikan karakteristik anak, maka tingkat intelegensi, kreativitas, imajinasi, dan percaya diri, serta kemampuan anak khususnya dalam pengembangan bahasa akan menjadi sumber pengetahuan/inspirasi dan daya pikir bagi seorang perencana. d. Kegiatan pembelajaran pengembangan bahasa dilakukan oleh anak dan guru, dimana anak mendapatkan waktu yang lebih untuk mengekspresikan dirinya dalam alunan lagu. Cara ini lebih efektif dibandingkan kegiatan yang hanya berpusat pada guru, dimana anak hanya menjadi pendengar saja dalam setiap proses pembelajaran. Guru lebih sering memberi kegiatan pengembangan kemampuan bahasa sekedar rutinitas saja seperti tanya jawab, bernyanyi lagu yang sama setiap harinya, tidak ada jadwal bagi anak untuk membuat dirinya senang, gembira, berekspresi, berimajinasi dalam proses pembelajaran khususnya dalam pengembangan bahasa. Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Penggunaan strategi pembelajaran dengan menggunakan lirik lagu pada anak TK kelompok B terbukti dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak (kemampuan menyimak dan berbicara) secara signifikan. Hal ini terbukti dari hasil tes awal dan tes akhir yang menunjukkan ada peningkatan kemampuan rata-rata dari 17,625 menjadi 19,125; atau terdapat peningkatan sebesar 1,40. Dari hasil Uji-t dengan taraf signifikan 0.05, maka diperoleh kesimpulan ada peningkatan yang signifikan terhadap kemampuan berbahasa anak dengan menggunakan lirik lagu sebagai strategi pembelajarannya. Khususnya untuk kemampuan menyimak dan berbicara. b. Strategi pembelajaran pengembangan bahasa anak menggunakan lirik lagu ternyata efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak, khususnya kemampuan menyimak dan berbicara. Hubungan logis antara penggunaan lirik lagu dengan kemampuan berbahasa anak adalah pada kronologisnya. Misalnya, sebelum anak mampu berbicara terlebih dahulu ia harus memiliki kemampuan menyimak yang baik. Sedangkan kemampuan menyimak akan efektif apabila anak memiliki kosa kata yang cukup memadai. Dengan kosa kata yang memadai anak akan memiliki kemampuan berbicara yang baik pula, demikian seterusnya. Intinya, kemampuan berbicara anak akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya kosa kata yang dimilikinya. Penambahan kosa kata inilah yang diupayakan melalui strategi pembelajaran pengembangan bahasa anak menggunakan lirik lagu. Caranya sangat sederhana. Setelah anak hafal sebuah lagu, kemudian guru meminta anak untuk mengganti lirik lagu yang ada dengan dengan kata lain. Tentu kata yang dipilih harus sesuai dengan temanya. Dengan cara demikian, satu lagu dapat diganti-ganti liriknya sesuai keinginan anak atau atas arahan gurunya. Bertambah sering anak mengubah lirik lagu, bertambah banyak kosa kata yang dimilikinya. Bertambah banyak kosa kata yang dimiliki bertambah pula kemampuan berbicaranya. Dengan demikian Strategi pembelajaran pengembangan bahasa anak menggunakan lirik lagu sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak, khususnya kemampuan menyimak dan berbicara. 20
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
REFERENSI Armstrong,Thomas. (2002). Setiap Anak Cerdas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Ayahbunda. (2001). Balita dan Masalah Perkembangannya, Buku Pegangan untuk Mengatasi Masalah Tumbuh Kembang Balita. Jakarta, Yayasan Aspira Pemuda Jakarta,) Bandura, A. (1986).Social Fondations of Thought and Action . Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. Bredekamp, Sue.(1992). Develeopmentally Apropriate Practcem Early Childhood, Washington, DC: NAEYC. Bromley, K.D. (1992). Language Arts: Exploring Connections (2nd ed). Boston: Ally and Bacon. Campbell et. al, Multiple Intelligences, Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan, (Depok Inisiasi, 2002), Chaer, Abdul.(2003). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Dhiene, Nurbiana dan Lara Fridani.(2005). Modul Perkembangan Bahasa Anak, (Jakarta: Pusbit. UT Dick, Walter and Lou Carey. (1995).The Systematic Design of Instruction. Glenview, Illinois: Scoot, Foresman and Company. Hurlock,Elizabeth. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga Sotto, Eric. (1994). When Teaching Becomes Learning. Singapore: Typeset by Colset Private Limited Suparno, Paul.( 2001).Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Tarigan, Henry Guntur. (1981). Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa.
21
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN KEINOVATIFAN TERHADAP KINERJA GURU FISIKA SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI DI SUMATERA CONNIE1 1
Dosen FKIP Universitas Bengkulu, Indonesia [email protected] ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi kerja dan keinovatifan guru fisika terhadap kinerja guru fisika Sekolah Menengah Atas Negeri di Sumatera. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pendekatan kuantitatif. Sampel terdiri dari 90 orang guru Sekolah Menengah Atas Negeri yang dipilih menggunakan teknik simple random sampling. Data dianalisis dengan menggunakan analisis jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kerja dan keinovatifan guru fisika berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja guru fisika. Selain itu juga ditemukan bahwa motivasi kerja guru fisika berpengaruh tidak langsung positif dan signifikan terhadap kinerja guru fisika melalui keinovatifan guru fisika. Kata kunci: motivasi kerja, keinovatifan dan kinerja guru fisika
ABSTRACT The objective of this research was to analyze the influence of the work motivation and innovativeness of physics teacher on the performance of physics teacher in the state senior high school in Sumatera. This research was conducted by surveying physics teachers in the state high school with a sample of 90 teachers of physics, were selected by using simple random sampling technique. Data were analyzed by using path analysis method. The results concluded that there are a direct, positive, and significant influence of work motivation and innovativeness of physics teacher toward the performance of the physics teacher. And the the work motivation of the physics teacher have an indirect, positive, and significant influence toward the performance of physics teacher through innovativeness of the physics teacher itself. Keywords: work motivation, innovativeness and performance of physics teacher.
PENDAHULUAN Pendidikan dapat dipandang sebagai sesuatu yang dapat dipercaya mempersiapkan manusia menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang bersifat statis tetapi merupakan sesuatu yang bersifat dinamis sehingga selalu menuntut perbaikan yang bersifat terus-menerus. Permasalahan yang dihadapi saat ini yaitu rendahnya hasil pendidikan yang disebabkan rendahnya kualitas guru. Hasil Uji Kompetensi Awal berskala Nasional (UKA) 2012 untuk mata pelajaran fisika SMA daya serap 47,52 menunjukkan bahwa kemampuan guru SMA dalam memahami aspek-aspek kurikulum dinilai secara rata-rata masih rendah, penguasaan guru terhadap materi pelajaran fisika tergolong rendah, pengetahuan guru tentang metode mengajar belum 22
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
memadai (DIKBUD, 2012). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pembelajaran yang diterapkan oleh guru di lapangan, terdapat kecenderungan bahwa proses belajar mengajar di kelas berlangsung secara klasikal, dan hanya bergantung pada buku teks, dengan metode pengajaran yang menitikberatkan proses menghafal dari pada pemahaman konsep dan guru sebagai pusat pembelajaran. Pengembangan keterampilan proses pada siswa sangat jarang dilakukan. Dampak semua ini bermuara pada hasil belajar siswa khususnya mata pelajaran fisika yang belum maksimal. Pembelajaran fisika belum menjadi favorit bagi siswa, malah sangat membebani siswa dan terkesan menakutkan. Pada hal negara kita butuh generasi muda yang memahami ilmu fisika dan memilih bidang fisika untuk memajukan teknologi. Fisika adalah ilmu yang mendasari teknologi, sehingga kepada siswa perlu ditanamkan rasa suka pada pembelajaran fisika. Melalui strategi dan metode pembelajaran fisika yang sesuai siswa dapat mengembangkan sejumlah kemampuan yang selalu menduduki peringkat teratas dalam hasil survei tentang kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja, yaitu kemampuan problem solving, interpersonal, dan berkomunikasi. Pembelajaran fisika berpotensi mengembangkan kemahiran fisika generik yang kelak sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, baik bagi mereka yang akan meniti karier dalam bidang sains maupun yang tidak (Sutopo, 2011, http:// www.google.co.id/url). Kemampuan guru dalam mengelola suatu pembelajaran fisika yang menarik sangat diharapkan, maka kinerja guru fisika perlu diteliti. Kinerja guru fisika merupakan faktor yang amat menentukan bagi mutu pendidikan/pembelajaran fisika yang akan berimplikasi pada kualitas output pendidikan setelah menyelesaikan sekolah. Upaya untuk memperbaiki secara terus-menerus kualitas pembelajaran perlu menjadi suatu sikap profesional sebagai pendidik. Pengembangan hal -hal yang inovatif perlu dilakukan guru fisika dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran fisika. Dengan demikian kreaktivitas dan keinovatifan menjadi amat penting (Uhar Suharsaputra, 2011). Kecepatan untuk menerima suatu inovasi atau yang disebut keinovatifan menurut Rogers adalah derajat atau tingkatan dimana seorang individu atau suatu unit penerima tertentu menerima suatu gagasan atau inovasi baru relatif lebih awal dibandingkan dengan anggota lainnya (Rogers, 1995: 264-266). Inovasi yang berbentuk metode dapat berdampak pada perbaikan, meningkatkan kualitas pendidikan serta sebagai alat atau cara baru dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam kegiatan pendidikan. Iskandar dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa 20,12% kemampuan pembelajaran guru atau kinerja guru ditentukan oleh keinovatifan ( http://isjd.pdii.lipi.go.id /admin/ jurnal /9207171128.pdf.) Keith Davis (1994: 484) mengemukakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja antara lain adalah faktor motivasi dan faktor kemampuan (Ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (Knowledge + Skill). Sesuai dengan pendapat Kreitner dan Angelo (2001: 205), motivasi merupakan proses psikologis yang membangkitkan dan mengarahkan perilaku kepada pencapaian tujuan atau goal-directed behavior. Sedangkan Gibson et al (2000: 87), mengatakan motivasi berhubungan erat dengan perilaku dan prestasi kerja, motivasi diarahkan untuk mencapai tujuan. Hubungan kausal antar motivasi dan kinerja dikemukakan oleh Mangkunegara (2005: 67) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah motivasi yang terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian Pranawa bahwa besar pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja menyumbang 21,8 % (http://mm.unsoed.ac.id/id/content/pengaruh-motivasi-kerja). Motivasi merupakan kondisi yang menggerakan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri pegawai untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal. Pegawai akan mampu mencapai kinerja maksimal jika ia memiliki motivasi tinggi. Kinerja mempunyai hubungan kausal dengan kompetensi. Kinerja merupakan keterampilan, perilaku, sikap dan tindakan. Kompetensi menunjukan karakteristik pengetahuan, keterampilan, perilaku dan pengalaman dalam melakukan pekerjaan (Wirawan, 2009: 9-10). Berdasarkan beberapa pendapat di atas penelitian ini ingin menganalisis apakah motivasi kerja guru fisika dan keinovatifan guru fisika berpengaruh terhadap kinerja guru fisika SMA? Secara khusus rumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Apakah motivasi kerja guru fisika berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru fisika SMA? 2. Apakah keinovatifan guru fisika pengaruh langsung positif terhadap kinerja guru fisika SMA? 3. Apakah motivasi kerja guru fisika berpengaruh langsung positif terhadap keinovatifan guru fisika SMA?
23
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
TINJAUAN PUSTAKA 1. Kinerja Guru Fisika Kinerja merupakan terjemahan dari kata performance (Job Performance), secara etimologis performance berasal dari kata to perform yang berarti menampilkan atau melaksanakan, sedang kata performance berarti The act of performing; execution, Menurut Henry Bosley Woolf performance berarti The execution of an action. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja atau performance berarti tindakan menampilkan atau melaksanakan suatu kegiatan, Oleh karena itu performance sering juga diartikan penampilan kerja atau perilaku kerja (Suharsaputra, 2011). Sejalan dengan pendapat Armstrong dan Baron (1998: 15), kinerja merupakan hasil kerja dan tingkah laku. 2 Sebagai tingkah laku, kinerja merupakan aktivitas manusia yang diarahkan pada pelaksanaan tugas organisasi yang menjadi wewenang dan tanggung jawab setiap anggota organisasi. Tingkah laku tersebut diperkuat oleh motivasi. Semakin kuat motivasi seseorang maka akan semakin terarah tingkah lakunya ke arah pencapaian kinerjanya dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian hasil kerja akan sesuai dengan yang diharapkan. Kinerja adalah perilaku mental dan fisik individu dalam mengejar tujuan organisasi (the behavior, both mental and physical, that individuals exhibit in persuit of organizational goal). Perilaku di sini adalah perilaku yang berkaitan dengan tugas yang harus dikerjakan. Hal ini untuk menjelaskan bagaimana karyawan berperilaku pada pekerjaan dalam mengejar tujuan organisasi yang telah ditentukan (Rae, 2006: 7). Faktor yang mendorong kinerja adalah perilaku yaitu bagaimana seseorang bertindak (how you act), dan tentang apa dan siapa anda( what you are or who you are). Perilaku adalah suatu cara bagaimana seseorang melakukan, karena dapat menentukan apa yang akan dilakukan dalam setiap situasi, sehingga orang dapat menentukan kinerjanya (Kottze, 2006:3). Kinerja Guru fisika pada dasarnya merupakan kinerja atau unjuk kerja yang dilakukan oleh guru fisika dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Kualitas kinerja guru fisika akan sangat menentukan pada kualitas hasil pendidikan dan pembelajaran fisika, karena guru merupakan pihak yang paling banyak bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan. Sesuai dengan pendapat Mangkunegara, kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang yang diberikan kepadanya Prestasi kerja atau penampilan kerja (performance) diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu (Mangkunegara, 2006:67). Uhar Suharsaputra (2011: 2) menyatakan kinerja adalah akumulasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yaitu keterampilan, upaya, dan sifat-sifat keadaan eksternal. Keterampilan dasar yang dibawa seseorang ke tempat pekerjaan dapat berupa pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan teknis. Keterampilan diperlukan dalam kinerja karena keterampilan merupakan aktivitas yang muncul dari seseorang akibat suatu proses dari pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan teknis. Upaya dapat digambarkan sebagai motivasi yang diperlihatkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Tingkat keterampilan berhubungan dengan apa yang “dapat dilakukan”, sedangkan “ upaya” berhubungan dengan apa yang “akan dilakukan”. Atkinson (1997 : 16) mengindikasikan bahwa kinerja merupakan fungsi motivasi dan kemampuan,7 sedangkan Lyman Porter dan Edwar Lawler mengatakan kinerja merupakan fungsi keinginan melakukan pekerjaan, keterampilan yang diperlukan untuk menyelasaikan tugas, pemahaman yang jelas atas apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh faktor yang bersumber dari pekerja sendiri seperti kemampuan atau kompetensinya dan yang bersumber dari organisasi seperti seberapa baik pemimpin memberdayakan pekerjanya, memberikan penghargaan, dan bagaimana pimpinan membantu meningkatkan kemampuan kinerja pekerjanya (Hersey, 1996: 386). Gibson et al ( 2009 : 56) , memberikan gambaran lebih rinci dan komprehensif tentang faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kinerja, yaitu : 1) Variabel Individu, meliputi kemampuan, keterampilan, mental fisik, latar belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman, demografi (umur, asalusul, jenis kelamin). 2) Variabel Organisasi, meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur desain pekerjaan. 3) Variabel psikologis yang meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Pendapat tersebut menggambarkan tentang hal-hal yang dapat membentuk atau mempengaruhi kinerja seseorang. Faktor individu dengan karakteristik psikologisnya yang khas serta 24
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
faktor organisasi berinteraksi dalam suatu proses yang dapat mewujudkan suatu kualitas kinerja yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan peran dan tugasnya dalam organisasi. Kinerja guru fisika pada dasarnya merupakan kegiatan guru fisika dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pengajar dan pendidik di sekolah yang dapat menggambarkan mengenai prestasi kerjanya dalam melaksanakan semua itu. Hal ini jelas bahwa pekerjaan sebagai guru fisika tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang tanpa memiliki keahlian dan kualifikasi tertentu sebagai guru. Kinerja guru fisika dalam melaksanakan peran dan tugasnya di sekolah khususnya dalam proses pendidikan/pembelajaran dalam konteks sekarang ini memerlukan pengembangan dan perubahan kearah yang lebih inovatif (Suharsaputra, 2011). Berdasarkan dari berbagai pendapat sebelumnya maka yang dimaksud dengan kinerja guru fisika dalam penelitian ini adalah unjuk kerja yang dilakukan oleh guru fisika yang tampak dari perilaku guru fisika dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar dengan indikator : a) merencanakan pembelajaran fisika yang bermutu, b) melaksanakan proses pembelajaran fisika yang bermakna, serta c) menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran fisika secara authentik, d) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan e) bertindak objektif dan tidak diskriminatif pada peserta didik, f) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan dan kode etik guru g) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan dalam pelaksanan tugas . 2. Keinovatifan Guru Fisika Keinovatifan berasal dari kata inovasi (innovation) sering diterjemahkan sebagai pembaharuan. Menurut Miles (1973 : 14) , Innovation is species of the genus change, inovasi sebagai spesies dari jenis perubahan yaitu perubahan yang sifatnya khusus, memiliki nuansa baru dan disengaja melalui suatu program yang jelas dan direncanakan terlebih dahulu, serta dirancang untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari suatu sistem tertentu. Agar inovasi dapat dilaksanakan dengan berhasil diperlukan adanya strategi, A means (usually involving sequence of activities) for causing and advocated innovation to become successful. Keinovatifan adalah proses penerapan ide-ide baru secara aktual dan faktual ke dalam kehidupan sehari-hari (Depdiknas, 2002: 2). Variabel keinovatifan meliputi sifat-sifat, nilai-nilai atau unsur-unsur yang menunjukkan sesuatu yang baru dalam performansi guru fisika ketika melaksanakan tugasnya. Hal ini merupakan penampilan hasil dari penyesuaian dan penerimaan terhadap sesuatu yang baru dari luar dan atau juga kreasi sendiri. Koontz (1996:15) mengartikan keinovatifan sebagai penggunaan atau penerapan gagasan-gagasan baru. Proses penerapan gagasan baru yang inovatif didasarkan pada kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan pertumbuhan merupakan kebutuhan yang mendorong seseorang untuk kreaktif dan produktif terhadap diri sendiri dan lingkungan. Kaitannya dengan tugas dan tanggung jawab guru adalah upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran perlu dilakukan berbagai cara yang efektif dan efisien. Oleh karena itu dengan motivasi kerja dan keinovatifan yang tinggi guru berusaha mencari, menemukan, dan menerapkan sesuatu yang baru baik metode, strategi maupun teknik-teknik yang berbeda dan baru dalam proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Koonzt bahwa motif didasarkan pada kebutuhan dan kebutuhan itulah yang melandasi perilaku. Upaya untuk memperbaiki secara terus-menerus kualitas pembelajaran perlu menjadi suatu sikap profesional sebagai pendidik. Pengembangan hal-hal yang inovatif perlu dilakukan guru fisika dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran fisika. Dengan demikian kreaktivitas dan keinovatifan menjadi amat penting. Robbins (2003: 23) menyebutkan inovasi sebagai suatu gagasan baru yang diharapkan untuk memperkarsai atau memperbaiki suatu produk atau proses, dan jasa. Dalam hal ini lebih difokuskan pada tiga prinsip utama yaitu; gagasan baru, produk dan jasa, dan upaya perbaikan. Adanya gagasan baru dari suatu olah pikir dalam mengamati bidang pendidikan, kemudian dilanjutkan dengan aktivitas, kajian, dan penelitian melahirkan konsep yang lebih kongkrit dalam bentuk produk dan jasa yang siap dikembangkan dan diimplementasikan. Selanjutnya dilakukan penyempurnaan dan perbaikan secara terus-menerus sehingga hasil inovasi bidang pendidikan itu bisa dirasakan manfaatnya. Rogers (1995 : 252) kemudian mengatakan, terdapat lima ciri utama yang seharusnya ada dalam gagasan baru atau inovasi untuk dapat diterima sebagai bagian dari kehidupan kelompok, yaitu: 1) memiliki keuntungan relatif (relative advantage), 2) mempunyai kecocokan dengan nilai atau karakter budaya individu dan kelompok (compatibility), 3) tingkat kesulitan yang sedang 25
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
(complexity), dapat diujicobakan (trialability), dan dapat diamati (observability).26 Inovasi dalam konteks pendidikan dan pembelajaran fisika berhubungan dengan pengetahuan - pengetahuan baru yang berhubungan dengan mata pelajaran fisika, metode atau strategi baru pembelajaran fisika, strategi baru mengorganisasikan bahan pelajaran fisika dan strategi baru penyampaian pembelajaran fisika. Semua itu merupakan bentuk- bentuk inovasi dalam pembelajaran fisika yang terkait langsung dengan profesi guru fisika. Para guru dalam menyikapi suatu inovasi nampaknya beragam. Ada yang langsung menerimanya. Ada yang meneliti lebih dahulu dan memutuskan untuk menerimanya untuk dirinya sendiri. Ada yang berinteraksi dengan sistem terlebih dahulu baru kemudian mempertimbangkan untuk menerima inovasi tersebut, namun tidak sedikit pula yang menolak inovasi tersebut. Proses keputusan inovatif menurut Rogers melewati lima tahap yaitu: 1) tahap pengetahuan, 2) tahap persuasi, 3) tahap keputusan, 4) tahap implementasi, dan 5) tahap konfirmasi. Keinovatifan guru fisika berkaitan erat dengan cepat atau lambatnya guru dalam mengadopsi suatu inovasi tertentu. Kecepatan guru untuk menerima inovasi sangat berbeda-beda dari satu individu dengan individu lainnya. Misalnya para guru fisika dalam suatu sekolah bisa menerima inovasi strategi pembelajaran yang berbeda-beda. Guru fisika yang satu mungkin akan segera menerima dan mengimplementasikan inovasi tersebut segera setelah inovasi itu diperkenalkan. Sementara guru fisika yang lainnya barangkali agak lambat dalam menerimanya karena masih mempertimbangkan banyak hal. Kecepatan untuk menerima suatu inovasi atau yang disebut keinovatifan menurut Rogers adalah derajat atau tingkatan dimana seorang individu atau suatu unit penerima tertentu menerima suatu gagasan atau inovasi baru relatif lebih awal dibandingkan dengan anggota lainnya. Dilihat dari kecepatan seseorang menerima inovasi, Rogers mengklasifikasikannya atas lima kategori yakni: inovator, penerima awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, dan laggard. Keinovatifan adalah tingkat yang berkenaan dengan seberapa lama seseorang /kelompok / sistem sosial lebih dahulu dalam mengadopsi ide-ide baru dari konsep-konsep difusi inovasi dibandingkan dengan yang lain. Keinovatifan menjadi peubah utama dalam proses difusi inovasi yang disponsori oleh agen perubahan. Pada negara berkembang keinovatifan dipandang sebagai salah satu indikator kesuksesan program-program pembangunan. Inovasi di sini yaitu sebagai sasaran yang dapat menjadi instrumen untuk melakukan perubahan sosial sedangkan keinovatifan merupakan tingkat pengadopsian dari kelompok masyarakat dan juga menjadi ciri pokok masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan. Proses perubahan tergantung pada waktu, objek dan sasaran. Ada yang gampang menerima atau bahkan sebaliknya yaitu sulit menerima atau menerima tetapi memerlukan waktu yang sangat lama. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang namanya keinovatifan adalah sebuah proses seseorang dalam menerima gagasan, objek yang menyangkut metode, strategi baru dan produk kategori lebih awal apabila dibandingkan dengan yang lain dalam sistem sosialnya. Inovasi yang berbentuk metode dapat berdampak pada perbaikan, meningkatkan kualitas pendidikan serta sebagai alat atau cara baru dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam kegiatan pendidikan. Dengan demikian metode baru atau cara baru dalam melaksanakan metode yang ada seperti dalam proses pembelajaran fisika dapat menjadi suatu upaya meningkatkan efektivitas pembelajaran. Pembelajaran fisika yang inovatif mengandung arti pembelajaran fisika yang dikemas oleh guru yang merupakan wujud gagasan atau teknik yang dipandang baru agar mampu memfasilitasi siswa untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar fisika. Paradigma pembelajaran fisika yang inovatif diyakini mampu memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kecakapan hidup dan siap terjun di masyarakat. Dengan begitu, pembelajaran fisika yang inovatif ditandai dengan prinsip-prinsip berikut; 1) pembelajaran bukan pengajaran. 2) guru sebagai fasilitator bukan instruktur. 3) siswa sebagai subjek bukan objek. 4) multimedia bukan monomedia. 5) sentuhan manusiawi bukan hewani. 6) pembelajaran induktif bukan deduktif. 7) materi bermakna bagi siswa bukan sekedar dihafal. 8) keterlibatan siswa partisipatif bukan pasif. Prinsip Pembelajaran fisika yang Inovatif dapat digunakan dalam pelaksanaan proses pembelajaran fisika dengan segala kompetensi yang akan dicapai berdasarkan mata pelajaran fisika yaitu ; berpusat pada siswa, berbasis masalah, terintegrasi, berbasis masyarakat, memberikan pilihan, tersistem, dan berkelanjutan. Jika guru fisika termasuk orang yang kreatif, berarti guru fisika mempunyai sikap kreatif. Sikap kreatif ditandai dengan hal-hal berikut : keterbukaan terhadap pengalaman baru, kelenturan dalam berfikir, kebebasan dalam ungkapan diri, menghargai fantasi, minat terhadap kegiatan kreatif, kepercayaan terhadap gagasan sendiri, dan kemandirian dalam memberikan
26
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
pertimbangan sendiri. Guru fisika perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai strategi pembelajaran yang didalamnya terdapat pendekatan, model, dan teknik pembelajaran secara spesifik. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dipaparkan, maka yang dimaksud dengan keinovatifan guru fisika adalah menunjukan perubahan tingkah laku dari proses menerima suatu inovasi, sehingga tingkat keinovatifan guru fisika adalah derajat penerimaan guru fisika terhadap suatu inovasi pembelajaran fisika dengan indikator 1) pengetahuan hal-hal baru tentang, 2) penerimaan terhadap hal-hal baru, dan 3) penerapan hal-hal baru tersebut dalam praktek profesionalnya serta 4) kecenderungan untuk berani mengambil resiko atas sikapnya menerima dan menerapkan hal-hal baru tentang pembelajaran fisika tersebut. 3. Motivasi Kerja Guru Fisika Motif merupakan alasan atau pendorong bagi guru fisika untuk melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran dengan baik, sebab motivasi kerja guru fisika berhubungan dengan perilaku dan kinerjanya. Sesuai dengan pendapat Kreitner dan Kinicki (2001 : 205), motivasi merupakan proses psikologis yang membangkitkan dan mengarahkan perilaku kepada pencapaian tujuan atau goaldirected behavior. Sejalan dengan pendapat ini Gibson et al (2000:87), mengatakan motivasi berhubungan erat dengan perilaku dan prestasi kerja, motivasi diarahkan untuk mencapai tujuan. Pengertian tentang motivasi antara lain oleh Heller (1998 : 6) menyatakan bahwa motivasi adalah keinginan untuk bertindak. Pendapat lain tentang motivasi adalah motivation is general defined as an internal state that stimulates, directs, and maintains behavior. Motivasi didefinisikan secara umum sebagai suatu keadaan internal yang mendorong, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Sedangkan Robbins (2003 : 156) menyatakan, motivasi sebagai suatu proses yang menyebabkan intensitas, arah, dan usaha terus-menerus individu menuju pencapaian tujuan. Intensitas menunjukan seberapa keras seseorang berusaha. Usaha itu dilakukan dalam arah yang menguntungkan organisasi dan berapa lama seseorang dapat menjaga usaha mereka. Individu yang termotivasi akan menjalankan tugasnya cukup lama untuk mencapai tujuan. Baron seperti yang dikutip Wibowo (2010: 379) berpendapat bahwa motivasi merupakan serangkaian proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan menjaga perilaku manusia menuju pada pencapaian tujuan. Membangkitkan berkaitan dengan dorongan atau energi dibelakang tindakan. Motivasi juga berkepentingan dengan pilihan yang dilakukan orang dan arah perilaku mereka. Sedangkan perilaku menjaga atau memelihara berapa lama orang akan terus berusaha untuk mencapai tujuan. Selain itu dalam melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan yang bersifat sadar, seseorang selalu didorong oleh maksud atau motif tertentu, baik yang obyektif maupun subyektif. Motif atau dorongan dalam melakukan sesuatu pekerjaan itu sangat besar pengaruhnya terhadap moral kerja dan hasil kerja. Seseorang bersedia melakukan sesuatu pekerjaan bilamana motif yang mendorongnya cukup kuat yang pada dasarnya tidak mendapat saingan atau tantangan dari motif lain yang berlawanan. Hubungan kausal antar motivasi dan kinerja dikemukakan oleh Mangkunegara (1995 : 67) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah motivasi yang terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri pegawai untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal. Pegawai akan mampu mencapai kinerja maksimal jika ia memiliki motivasi tinggi. Kinerja merupakan dimensi perwujudan dari perilaku sedangkan motivasi merupakan dimensi internal dari perilaku seseorang. Pertama ada faktor kebutuhan yang perlu dipuaskan dan perwujudannya ditentukan oleh bagaimana sikap manajer dan organisasi dalam berupaya memenuhinya, keadaan ini akan diikuti dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh organisasi dalam menawarkan pemuas kebutuhan tersebut. Penawaran pemuasan tersebut akan diperhatikan dan direspon sesuai dengan pertimbangan perbandingan antara pemuas dan tindakan yang disyaratkan atau diminta oleh organisasi. Jika penilaian terhadap pemuas kebutuhan tersebut positif maka seseorang (pekerja) akan terdorong untuk melakukan atau meningkatkan upaya-upaya dalam melaksanakan pekerjaan. Namun upaya tersebut tidaklah cukup melainkan perlu dibarengi dengan kemampuan yang berkaitan dengan pekerjaan yang harus dilakukannya. Kombinasi antara upaya yang termotivasi dengan kemampuan akan melahirkan kinerja. Dengan kinerja yang telah diwujudkan maka akan diperoleh pemuas kebutuhan. Hal itu akan dinilai oleh pekerja yang kemudian akan memutuskan apakah akan melanjutkan dengan kinerja yang sama atau tidak (Suharsaputra, 2011). 27
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan sebelumnya maka yang dimaksud dengan motivasi kerja guru fisika adalah dorongan atau keinginan guru fisika menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar dalam meningkatkan prestasi untuk mencapai tujuan pembelajaran fisika dengan indikator: 1) bertanggung jawab, 2) disiplin yang tinggi, 3) semangat yang tinggi, 4) menerima dan menuntaskan tugas, 5) menyelasaikan tugas dengan baik , 6) komitmen terhadap tugas. METODE DAN SAMPLING Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan penelitian kuantitatif. Jenis penelitian survey ini memfokuskan pada pengungkapan hubungan kausal antar variabel. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kinerja guru fisika (Y) dan tiga variabel bebas yaitu, motivasi kerja guru fisika (X1), dan keinovatifan guru fisika (X2). Adapun teknik analisis yang digunakan untuk meneliti hubungan sebab akibat tersebut adalah analisis jalur (path analysis). Data tentang variabel keinovatifan guru fisika, motivasi kerja guru fisika dan kinerja guru fisika dikumpulkan dengan memberikan kuesioner yang telah disusun berdasarkan indikator dari setiap variabel kepada guru fisika. Populasi dalam penelitian ini adalah semua guru fisika SMA Negeri yang sudah bekerja minimal 3 tahun dan pendidikan minimal S1 Pendidikan Fisika. Populasi terjangkau berjumlah 177 orang, dan populasi target berjumlah 122 orang. Sampel 90 orang guru fisika ditentukan dengan persamaan yang dikembangkan oleh Slovin dalam Sevilla (1993 : 161-162) dan dengan teknik simple random sampling (Sugiyono, 2010) Uji validitas instrumen untuk mengukur kinerja guru fisika, motivasi kerja, dan keinovatifan guru fisika menggunakan statistik product moment. Jika r hitung lebih besar dari r tabel maka butir kuesioner dapat dinyatakan valid. Berdasarkan hasil akhir uji coba dari instrumen kinerja guru fisika, dari 36 butir pertanyaan terdapat 34 butir item pertanyaan yang valid. Perhitungan reliabilitas instrumen kinerja guru fisika, motivasi kerja, dan keinovatifan guru fisika menggunakan formula Alpha Cronbach. Hasil perhitungan terhadap koefisien reliabilitas instrumen kinerja guru fisikan diperoleh 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,920. Hasil akhir uji coba dari instrumen keinovatifan guru fisika, dari 35 butir pertanyaan terdapat 31 butir item pertanyaan yang valid. Hasil perhitungan terhadap koefisien reliabilitas instrument keinovatifan guru fisika diperoleh rhitung = 0,944. Hasil akhir uji coba dari istrumen motivasi kerja guru fisika, dari 35 butir pertanyaan terdapat 27 butir item pertanyaan yang valid. Hasil perhitungan koefisien reliabilitas instrumen motivasi kerja guru fisika diperoleh 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,903. Sehingga dapat disimpulkan bahwa instrument yang digunakan untuk mengukur ke empat variabel sangat layak digunakan dalam penelitian ini. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif menyajikan karakteristik data dari masing-masing variabel dalam bentuk penyajian data, ukuran sentral dan penyebaran data. Analisis inferensial menggunakan analisis jalur, diawali dengan pengujian persyaratan analisis yaitu uji normalitas galat taksiran menggunakan uji KolmogorovSmirnov Z, uji linearitas dan signifikansi regresi menggunakan uji Fisher. Alat bantu yang dipakai untuk analisis menggunakan program paket aplikasi yang khusus dirancang untuk kepentingan statistik yaitu SPSS 17. SPSS 17 dipilih karena otomatis memunculkan nilai beta, yaitu koefisien regresi yang telah distandarkan yang tidak lain adalah merupakan koefisien jalur. TEMUAN DAN PEMBAHASAN 1.Temuan Hasil perhitungan terhadap 90 sampel ditemukan bahwa nilai rata-rata skor kinerja guru fisika adalah 142,28. Nilai modus untuk kinerja guru fisika adalah 136,00 dengan median sebesar 142,00 dan standar deviasi 8,14. Ditemukan sebanyak 36 orang (40%) guru fisika yang memiliki kinerja pada kelompok rata-rata ini. 27 orang ( 30%) guru fisika kinerjanya berada diatas rata-rata, dan sebanyak 27 orang (30%) guru fisika kinerjanya berada di bawah rata-rata. Nilai rata-rata skor keinovatifan guru fisika adalah 134,65. Nilai modus untuk keinovatifan guru fisika adalah 155,00 dengan median sebesar 135,00 dan standar deviasi 12,80. Ditemukan sebanyak 23 orang ( 25,6%) guru fisika yang keinovatifannya berada pada kelompok rata-rata ini, 25 orang (27,8%) 28
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
guru fisika keinovatifan berada di atas rata-rata, dan sebanyak 42 orang (46,6%) guru fisika keinovatifannya berada di bawah rata-rata. Nilai rata-rata skor motivasi kerja guru fisika adalah 129,58. Nilai modus untuk motivasi kerja guru fisika adalah 135,00 dengan median sebesar 132,00 dan standar deviasi 6,93. Ditemukan sebanyak 25 orang (27,8%) guru fisika motivasi kerjanya berada pada kelompok rata-rata ini. 46 orang (51,1%) guru fisika motivasi kerjanya berada di atas rata-rata, dan sebanyak 19 orang (21,1%) guru fisika motivasi kerjanya berada di bawah rata-rata. Sebelum data dianalisis dilakukan uji persyaratan analisis normalitas galat menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov dan Uji signifikansi dan linearitas model regresi mengunakan uji Fisher dengan program SPSS versi 17, berdasarkan hasil perhitungan uji normalitas didapat hasil data galat terdistribusi normal dengan kriteria nilai signifikansi lebih besar dari α = 0,05. Demikian juga Uji signifikansi dan linearitas model regresi mengunakan uji Fisher menunjukkan bahwa semua hubungan kausal antar variabel adalah signifikan dan linear. Hasil pengujian koefisien jalur baik untuk substruktural-1 maupun substruktural-2 dapat dikemukakan diagram lengkap yang menggambarkan hubungan kausal empiris antar variabel penelitian X1, dan X2 terhadap Y. Hasil perhitungan koefisien jalur sebagaimana ditampilkan pada Gambar sbb. ε3 = 0.93 ε4 = 0,84
Keinovatifan (X2)
βy.2= 0,271
Kinerja guru fisika (Y)
β2.1= 0,219 Motivasi kerja (X1)
βy.1 = 0,207
Gambar1. Model hubungan kausal Empiris Antar Sub-struktural 1 dan 2. Model hubungan Kausal empiris menunjukkan bahwa terdapat 5 koefisien jalur yang signifikan pada α = 0,05, dengan alasan memiliki Signifikansi lebih kecil dari α = 0,05 ,maka koefisien jalur antar variabel motivasi kerja guru fisika (X1) dan keinovatifan guru fisika (X2) terhadap kinerja guru fisika (Y) adalah signifikan. Artinya model kausal teoritis sesuai dengan model empiris, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja guru fisika, dan keinovatifan guru fisika berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru fisika. Model analisis jalur juga menunjukkan pengaruh tidak langsung positif motivasi kerja guru fisika terhadap kinerja guru fisika melalui keinovatifan guru fisika. Dengan demikian keinovatifan merupakan variabel perantara atau intervening variable dari variabel motivasi kerja guru fisika. 2.Pembahasan Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa motivasi kerja guru fisika berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja guru fisika ditunjukan dengan nilai koefisien jalur sebesar βY.1 = 0,207. Dengan demikian variabel motivasi kerja guru fisika sangat penting dalam meningkatkan kinerja guru fisika. Hasil penelitian Pranawa (2011) menemukan bahwa motivasi kerja berpengaruh 21,8 % terhadap kinerja guru. Sejalan dengan pendapat Higgins dalam Uhar (2011) mengemukakan bahwa kinerja seseorang berkaitan dengan berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya baik yang bersifat internal yang melekat dalam individu itu sendiri maupun yang bersifat eksternal dari lingkungan kerja. Kinerja dan motivasi merupakan sesuatu yang terus menerus berinteraksi. Kinerja merupakan dimensi perwujudan dari perilaku sedangkan motivasi merupakan dimensi internal dari perilaku seseorang. Analisis deskriptif data motivasi kerja guru fisika diperoleh skor rata-rata 129,58. Jika skor rata-rata ini dibagi dengan skor ideal yaitu 135 kemudian dikali 100, maka dapat diklasifikasikan skor rata-rata motivasi kerja guru fisika berada pada katagori baik (96). Walaupun motivasi kerjanya sudah baik tetapi belum mampu memaksimalkan kinerja guru fisika khususnya yang berhubungan dengan proses pembelajaran fisika. 29
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Hasil pengujian hipotesis yang kedua menunjukkan bahwa keinovatifan guru fisika berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja guru fisika ditunjukan dengan nilai koefisien jalur sebesar βY.2 = 0,271. Dengan demikian keinovatifan guru fisika merupakan variabel paling penting dalam meningkatkan kinerja guru fisika. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Iskandar (2012) bahwa kinerja guru dipengaruhi oleh keinovatifan dengan besar pengaruh 20,12%. Uhar Suharsaputra (2011) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat baik melalui input maupun lingkungan masyarakat secara keseluruhan menuntut pada kemampuan guru yang makin meningkat dalam melaksanakan tugasnya. Guru fisika perlu mengembangkan berbagai cara baru yang dapat meningkatkan kualitas belajar peserta didik. Hasil penelitian menunjukan bahwa keinovatifan guru fisika berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru fisika yang ditunjukan oleh nilai koefisie jalur sebesar βy.2 = 0,271. Hasil analisis deskriptif data penelitian diperoleh skor rata-rata keinovatifan guru fisika SMA sebesar 134,65 dan terdapat 53,4% guru fisika keinovatifannya berada di rata-rata dan diatas rata-rata dengan kategori baik (86). Sesuai dengan fakta di lapangan, guru fisika yang memiliki keinovatifan yang tinggi akan melakukan inovasi-inovasi dan senantiasa menyesuaikan pembelajarannya dengan perubahan atau dinamika dalam masyarakat sehingga berpengaruh pada kinerjanya. Hasil pengujian hipotesis yang ketiga menunjukkan bahwa motivasi kerja guru fisika berpengaruh langsung positif dan signifikan terhadap keinovatifan guru fisika yang ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur sebesar β 2.1 = 0,219. Dengan demikian motivasi kerja guru fisika merupakan variabel penting dalam meningkatkan keinovatifan guru fisika. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Dimpundus bahwa 13,03% variasi keinovatifan disebabkan oleh motivasi. Selain itu temuan ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Koontz (1996 : 15) yang menyatakan peran motivasi sangat penting untuk mendorong guru fisika melakukan inovasi guna merekayasa pembelajaran dan melakukan adaptasi terhadap tuntutan lingkungan dan perubahan. Motivasi kerja yang tinggi dari seorang guru fisika akan memunculkan dan meningkatkan kreaktivitas dan keinovatifannya. Hasil penelitian menunjukkan berdasar model teoritis dan empiris analisis jalur, motivasi kerja berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru fisika dan juga berpengaruh tidak langsung positif dan signifikan terhadap kinerja guru fisika melalui keinovatifan. Dengan demikian keinovatifan guru fisika merupakan variabel perantara atau intervening variable dari motivasi kerja terhadap kinerja guru fisika. Peningkatan motivasi kerja melalui peningkatan keinovatifan guru fisika akan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja guru fisika, yang ditunjukkan dengan nilai total koefisien jalur sebesar β 2.1 = 0,219 dan βY.2 = 0,271 menjadi 0,490. Sesuai dengan fakta di lapangan bahwa guru fisika yang memiliki motivasi kerja yang tinggi akan mudah melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajarannya, sehingga berdampak terhadap keinovatifan guru fisika dan pada akhirnya pada kinerjanya serta kualitas pembelajaran. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan : 1. Motivasi kerja guru fisika berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru fisika. Artinya, motivasi kerja yang tinggi dari guru fisika akan meningkatkan kinerja guru fisika SMA. 2. Keinovatifan guru fisika berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru fisika. Artinya, keinovatifan guru fisika yang tinggi akan meningkatkan kinerja guru fisika SMA. 3. Motivasi kerja guru fisika berpengaruh langsung positif terhadap keinovatifan guru fisika. Artinya, motivasi kerja yang tinggi dari guru fisika akan meningkatkan keinovatifan atau kecepatan guru fisika SMA melakukan inovasi terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Hasil analisis data penelitian, secara umum dapat disimpulkan bahwa variasi dalam kinerja guru fisika SMA secara positif dipengaruhi langsung oleh variasi motivasi kerja guru fisika dan keinovatifan guru fisika. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka saran dapat dikemukakan terutama bagi guru-guru fisika dan pihak-pihak terkait lainnya seperti, kepala sekolah, Pemerintah Daerah melalui Dinas DIKBUD, dan peneliti lain bidang pendidikan dapat memperhatikan bahwa betapa pentingnya untuk meningkatkan motivasi kerja dan keinovatifan guru secara terus-menerus melalui program-program tertentu sehingga berpengaruh pada peningkatkan kinerja guru. Program-progam tersebut antara lain studi lanjut bagi guru, pelatihan
30
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
keprofesionalan, seminar, lokakarya dan workshop yang pada akhirnya berdampak pada mutu dan proses pendidikan dan pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Davis, Keith Organizational Behavior. New York : McGraw Hill,1994. Depdiknas. Memiliki dan Melaksanakan Kreaktivitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan. Jakarta: Depdiknas, 2002. Dimpundus , Ariantje . “Motif maju, kreaktifitas dan keinovatifan pembelajaranguru matematika dan IPA di SMA Negeri Menado”. http: // isjd. pdii. Lipi /Admin /jurnal/8307232240. pdf (diakses 3 September 2011). Gibson,James L, John M. Ivancevich, James H. Donnely. Organization. Boston : McGraw Hill Compa nies Inc, 2000. Heller, Robert. Motivating People. London: Dorling Kindersley,1998. Hersey, Paul, Kenneth H. Blanchard and Dewey E. Johnson. Management of Organizational Behavior. New Jersey : Prentice Hall Inc, 1996. Iskandar,Sofyan.“Studi korelasional antara kemampuan mengelola konflik, keinovatifan, dan sikap terhadap profesi guru dengan kemampuan pembelajaranguru”,http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/9207171128. pdf. (diakses 3 Juli 2012). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil Uji Kompetensi Awal Tahun 2012. Jakarta, 2012. Kreitner, Robert, dan Kinicki, Angelo. Organizational Behavior. Seventh Edition.New York: Mc Graw Hill, 2007 Kingkin. ”Pengaruh motivasi berprestasi dan kompetensi profesi guru terhadap kinerja guru SMP Negeri di Kecamatan Kutowinangun Kabupaten Kebumen”, http://mm.unsoed.ac.id/id /content/pengaruh-motivasi-berprestasi-dan-kompetensi profesi guru terhadap-kinerja-guru-smp-negeri. (diakses 3 September 2011). Koontz. Manajemen.Jilid 2. Jakarta : Erlangga, 1996. Mangkunegara, Anwar Prabu. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung : PT. Refika Aditema. 2006. Pranawa. ”Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Guru SMP Dan SMA Negeri di Kabupaten Banjarnegara”. http://mm.unsoed.ac.id /id / content /pengaruh-motivasi-kerja-kepemimpinankepala-sekolah-dan-lingkungan-kerja-terhadap-kinerja-guru. (diakses 3 September 2011). Rogers, Everett M. Diffusion of Innovation. New York ; The Free Press,1995 Sevilla, Consuelo G. Metode Penelitian Administrasi. Jakarta: UI, 1993. Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi bagi para Peneliti,. Bandung, Tarsito, 1992. Suharsaputra, Uhar.”Pengembangan Kinerja Guru”, http//uharsputra. Word press. com (diakses 3Juli 2011). Sutopo. “Kontribusi Mata Pelajaran Fisika pada Pendidikan Karakter”, http:// www. google. co.id/url.(diakses 3 Desember 2011). Stuart-Kottze, Robin. Performance. London : Prentice Hall, 2006. Wibowo, Manajemen Kinerja. Jakarta, Rajawali Pers, 2010. Wirawan. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia ,Teori, Aplikasi dan Penelitian. Jakarta: Salemba empat 2009.
31
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN DUKUNGAN ORGANISASI, TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KAPRODI Di UNJ Corry Yohana1 `1
Program Studi Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta [email protected] Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan pengaruh kepemimpinan, dukungan organisasi terhadap kualitas pelayanan ketua program studi di Universitas Negeri Jakarta.Populasi penelitian ini adalah Ketua Program Studi Universitas Negeri Jakarta.Sampel penelitian adalah 55 Ketua Program Studi yang dipilih secara acak sederhana. Data penelitian diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner yang selanjutnya dianalisis menggunakan statistik deskriptip dan analisa jalur. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) kualitas pelayanan ketua prodi dipengaruhi secara langsung positif oleh kepemimpinan dan dukungan organisasional (2) dukungan organisasional dipengaruhi secara langsung positif oleh kepemimpinan. Dengan demikian untuk meningkatkan kualitas pelayanan maka kepemimpinan dan dukungan organisasional harus ditingkatkan. Kata kunci: kepemimpinan, dukungan organisasi, kualitas pelayanan.
Abstract The purpose of this study was to find out the influence of leadership and organizational support toward service quality of the Chairman of the Program study at the State University of Jakarta.The population of this study is the Head of Department, State University of Jakarta. The study sample was 55 Chairman of the Program are selected randomly. The research data obtained by distributing questionnaires were then analyzed using descriptive statistics and path analysis. These results indicate that: (1) chairman of the department of service quality directly influenced positively by the leadership, and organizational support (2) organizational support directly positively affected by leadership. Thus to improve the service quality, the leadership and organizational support have be improved. Keywords: leadership, organizational support, service quality. PENDAHULUAN Program studi merupakan bagian dari penyelenggara pendidikan tinggi yang dikelola oleh Kaprodi sebagai satuan unit pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi dan mendapatkan akreditasi pada saat mendapat izin penyelenggaraan, hal ini berlaku baik terhadap perguruan tinggi negeri maupun swasta.(UU RI No.12 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 33, ayat 5) Globalisasi mengakibatkan perubahan lingkungan eksternal seperti lingkungan sosial, budaya, teknologi, dan internasional.Hal ini mengakibatkan pula terjadinya perubahan selera dan kebutuhan pada masyarakat. Salah satu perubahan kebutuhan tersebut diantaranya adalah perubahan kebutuhan akan perguruan tinggi. Perguruan tinggi sebagai penyedia jasa pendidikan, harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumennya, karena perguruantinggi tidak terlepas dari kondisi dan situasi persaingan. Bahkan HELT (Higher Education Long Terms Strategy atau Strategi jangka panjang perguruan tinggi tahun 2003) menyatakan perguruan tinggi pada dasarnya didirikan untuk menghadapi 32
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
persaingan itu sendiri. Demikian pula UU No 12 Tahun 2012 tentang perguruan tinggi pada pembukaan poin C, menyatakan salah satu tujuan dari perguruan tinggi adalah untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang. Agar dapat menghasilkan peningkatan mutu keluaran (lulusan), perguruantinggi memerlukan peningkatan strategi pengelolaan.Salah satu strategi pengelolaan yang penting adalah pengelolaan kualitas pelayanan(service quality). Kualitas Pelayanan adalahconsistently metting or exceeding customer expextations(LoveLock dan Jochen Wirtz, 2011:406)hal ini berarti kualitas pelayanan adalah upaya secara konsisten untuk memenuhi ekspetasi konsumen.Hal ini berarti pula pada lingkup pendidikan khususnya di perguruan tinggi,peningkatan kualitas pelayanan harus meliputi proses yang dapat terus menjamin secara berkesinambungan peningkatan layanan untuk memenuhi harapan dari kelompok-kelompok klien yang selalu menuntut semakin tajam (Hoy dan Jardine, 2000: 26). Kualitas pelayanandi pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kepemimpinan fakultas, kinerja kaprodi, komunikasi antar dosen, komunikasi kaprodi dengan dosen, komunikasi antara dosen dengan mahasiswa, dukungan organisasi, organization citizenship behavior (OCB), aksesibilitas informasi, prasarana dan sarana yang tersedia, kualitas lingkungan kerja, citra organisasi, iklim organisasi, motivasi dosen, staf, mahasiswa dan pihak terkait lainnya, peraturan pemerintah, sistem informasi manajemen kepuasan kerja, komitmen organisasi, sistem penghargaan, karekteristik pekerja dan kecerdasan emosional. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan tersebut, penelitian ini difokuskan pada faktor kepemimpinan dan dukungan organisasi. Perumusan Masalah 1. Apakah kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap kualitas pelayanan ? 2. Apakah dukungan organisasi berpengaruh langsung terhadap kualitas pelayanan ? 3. Apakah kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap dukungan organisasi ? TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan terdiri dari dua kata yaitu kualitas (quality) dan pelayanan (service).Tentang kualitas Stoner (1995: 121) menyatakan tidak ada orang yang dapat menyetujui dengan tepat bagaimana mendefinisikan kualitas.Hal ini berarti setiap orang memiliki kreteria sendiri tentang apa yang menurutnya berkualitas, meskipun demikan terdapat beberapa persamaan yaitu 1) kualitas mencakup aktivitas untuk mencapai atau melebihi harapan pelanggan, 2) kualitas berlaku untuk produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan serta 3) kualitas adalah suatu keadaan dinamik yang di asosiasikan dengan produk, jasa, orang, proses, dan lingkungan yang mencapai atau melebihi harapan(Goetsch dan Davis, 2002: 2). Pada sisi lain, pelayanan (service) di difinisikan sebagai setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan satu pihak ke pihak yang lain, tindakan atau kinerja yang ditawarkan ini pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun, produksi dari pelayanan ini mungkin terkait atau tidak terkait dengan sesuatu yang berwujud secara fisik(Kotler dan Keller, 2009: 444). Pelayananmemiliki tigakarakteristik dasar yaitu: (1) Pelayanan adalah proses yang terdiri dari serangkaian aktivitas bukan benda, (2)Sampai t a r a f t e r t e n t u , p e l a y a n a n diproduksi dan dikonsumsi secara simultan, dan (3) Sampai taraf tertentu, pelanggan ikut berpartisipasi dalam proses produksi pelayanan(Gronroos, 2000:21). Hal ini dapat kita lihat dan rasakan pada proses perkuliahan. Proses perkulahan adalah aktivitas bukan benda, diproduksi (oleh dosen) dan dikonsumsi (oleh mahasiswa) secara simultan dan mahasiswa sebagai pelanggan turut berpartisipasi dalam proses produksi tersebut. Dari pengertian kualitas dan pelayanan, Zeinthaml dan kawan -kawan, (1996:117),menyatakan kualitas pelayanan adalah: bagaimana menyampai-kan pelayanan dengan sangat baik (excellient) atau pelayanan yang sangat baik sempurna (superior service relative) sesuai harapan konsumen.Pendapat Zeintham ini sejalan dengan pendapat Long dan kawan-kawan,(2002:89) yang menyatakan:kualiatas pelayanan adalah suatu bentuk penilaian konsumen terhadap tingkat pelayanan yang diterima (perceived service) dengan tingkat pelayanan yang diharapkan (expected service). Dalam menilai kualitas pelayanan, Evans (2005: 15) menyatakan terdapat enam dimensi yang digunakan pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan meliputi: 1) Time yang berarti: berapa lama waktu yang disediakan bagi pelanggan untuk menunggu, 2) Timeliness yang berarti: ketepatan waktu sesuai aturan layanan, 3) Completeness yang berarti: kelengkapan setiap unsur/aspek layanan, 4) 33
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Courtesy yang berarti: kesopanan dalam pemberian layanan, 5) Consistency yang berarti: konsistensi dalam pemberian layanan, dan 6) Accessibility dan Convenience yang berarti: kemudahan dan kenyamanan dalam layanan Adapun penyebab terjadinya perbedaan antara harapan pelanggan (expected service) dengan tingkat pelayanan yang sesungrguhnya diterima (perceived service)menurut Kotler dan Keller (2009: 400)adalah karena adanya lima gaps atau kesenjangan yaitu : (1) Kesenjangan antara persepsi pelanggan dengan persepsi manajemen (knowledge gap), (2) Kesenjangan antara persepsi manajemen dengan spesifkasi kualitas pelayanan (standards gap), (3) Kesenjangan antara spesifkasi kualitas pelayanan dengan pelayanan yang diberikan (delivery gap), (4) Kesenjangan antara pelayanan yang diberikan dengan komunikasi ekstenal (communications gap) dan (5) Kesenjangan antara pelayanan yang dipersepsikan dengan pelayanan yang diharapkan (service gap). Dengan demikian kesenjangan pelayanan adalah sebuah fungsi dari kesenjangan pengetahuan, kesenjangan standar, kesenjangan penyampaian dan kesenjangan komunikasi. Bila fungsi kesenjangan tersebut bertambah, bertambah pula kesenjangan pelayanan, demikian pula sebaliknya, apabila fungsi kesenjangan tersebut turun, maka turun pula kesenjangan pelayanan. Berdasarkan uraian diatas dapat disintesiskan bahwa kualitas pelayanan adalah produk pemberian jasa layanan kepada pelanggan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dengan indikator–indicator: ketepatan, penggunaan fasilitas (tangible). konsistensi, kecepatan, keramahan dan kemudahan Kepemimpinan There no substitutes for leadership, menunjukan bahwa Keberadaan pemimpin merupakan sesuatu yang tak tergantikan. Jhon M. Bryson (2004:297) Terdapat beberapa pendekatan untuk menganalisa tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan kepemimpinan, bagaimana pola hubungan antara pemimpin dan bawahan serta bagaimana proses mempengaruhi yang dilakukan seorang pemimpin. Pendekatan-pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar antara lain pendekatan berdasarkan ciri-ciri pemimpin atau sifat-sifat pemimpin (the trait approach), pendekatan berdasarkan perilaku pemimpin ketika menjalankan kepemimpinannya (behavior approaches), pendekatan berdasarkan kontingensi (contingency approach) dan pendekatan berdasarkan situasi dan kondisi bawahan yang dihadapi pemimpin (situational approach) Meskipun banyak pendekatan untuk menilai kepemimpinan namun eksistensi pemimpin dalam organisasi adalah untuk mengarahkan, mempengaruhi dan menjalin kerjasama dengan individudan kelompok yang dipimpinnya untuk melaksanakan berbagai aktivitas dalam pencapaian tujuan dan sasaran dalam organisasi, termasuk dalam membangun dan meningkatkan kualitas pelayanan organisasi.Padakenyataannya banyak pemimpin yang kurang memiliki kemampuan dalam mengarahkan, mempengaruhi dan menjalin kerjasama dengan orang-orang yang menjadi bawahannya. Penyebab terjadinya halini adalah karena lemahnya beberapa elemen kepemimpinan dari para pimpinan fakultas dalam mengarahkan, mempengaruhi dan menjalin kerjasama dengan para kaprodi.Contoh dari hal ini misalnya adalah tidak meratanya beban kerja dosen (BKD), situasi ini dapat terjadi kemungkinan karena lemahnya komunikasi pimpinan fakultas dengan kaprodi dan dosen pada umumnya. Lemahnya kepemimpinan tentu saja akan mempengaruhi usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan Berdasarkan uraian diatas dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud kepemimpinan adalah tindakan seorang pemimpin dalam mengarahkan, mempengaruhi dan menjalin kerjasama dengan individu, orang-orang atau kelompok yang dipimpinnya untuk melaksanakan aktivitas terhadap pencapaian tujuan dan sasaran dalam program yang telah ditetapkan dengan indikator (1) kemampuan komunikasi (2) Membina dan membimbing (3) Membuat rencana (4) membuat prosedur kerja (5) memberikan perhatian dan dorongan pada bawahan (6) kemampuan menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan. DukunganOrganisasi Untuk dapat memperbaiki kualtas pelayanan, anggota organisasi memerlukan adanya dukungan organisasi, Pengertian dukungan organisasi dinyatakan oleh. Robbins dan. Judge (2013: 112)yaitu; organizational support is the degree to which employees believe the organization values their contribution and cares about their well-being. Hal ini berarti dukungan organisasi merupakan
34
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
tingkat kepercayaan anggota organisasi tentang seberapa besar organisasi menghargai kontribusi dan kesejahteraan mereka. Pengertian tentang dukungan orgasnisasi juga disampaikan Kroth (2007: 58) yang menyatakan; Organizational Support is the belief employees have about how much the organization values and cares for them. What is particularly interesting about Organizational Support is that it results from what employees believe the organization is doing voluntarily, by choice, to support employees.Pernyataan ini menunjukan bahwa dukungan organisasi adalah rasa percaya anggota organisasi mengenai seberapa besar organisasi menilai dan peduli kepada mereka, dan hal yang menarik adalah dukungan organisasi merupakan hasil dari rasa percaya anggota organisasi bahwa organisasi melakukan penilaian dan memberikan kepedulian secara sukarela, dengan sebuah pilihan saja, yaitu untuk mendukung mereka. Pendapat ini pada dasarnya merupakan teori pertukaran sosial dimana anggota organisasi akan bekerja lebih maksimal untuk organisasi ketika diberikan dukungan secara sukarela dan bukan karena faktor lainnya. Rhoades dan Eisenberger (2002:708) menyatakan perlakuan organisasi, yang akan dirasakan anggota organisasi sebagai bentuk dukungan organisasi pada mereka adalah; Fairness had the strongest positive relationship with organization support, followed by supervisor support and rewards/job conditions, respectively. Fairness may be considered by employees to be readily controlled by upper management and therefore highly discretionary. Pernyataan ini menunjukan, perlakuan adil sebagai yang terkuat dalam hubungannya dengan dukunganorganisasi diikuti dukungn dari atasan (supervisor), dan selanjutnya hadiah/kondisi kerja. Perlakuan adil adalah perhatian pertama dari anggota organisasi, ketika anggota organisasi merasakan suatu tindakan oleh organisasi sebagai sesuatu yang adil, maka organisasi dianggap telah melakukan sesuatu yang positif dan peduli. Secara lebih luas Kroth (2007: 58) menyatakan hal-hal yang dapat meningkatkan dukungan organisasi adalah; The best ways to increase Organizational Support is to trait employee fairly. That is because employees believe management can choose to be fair or not. Employees who believe they are treated fairly are more likely to have higher job performance and go above and beyond the call of duty (OCBS). The second most effective way to increase Organizational Support is through supervisor support, and the third through rewards and positive job conditions. Pernyataan Kroth diatas, berarti cara terbaik untuk meningkatkan dukungan organisasiadalah dengan berlaku adil terhadap anggota organisasi. Karena anggota organisasi yakin sistem manajemen dapat memilih untuk berlaku adil atau tidak. Anggota organisasi yang yakin diperlakukan secara adil memiliki kinerja yang lebih tinggi dan melakukan perilaku lebih dari pekerjaan dan di luar panggilan tugas. Cara kedua yang efektif untuk meningkatkan dukungan organisasi adalah melalui dukungan yang diberikan atasan, dan yang ketiga melalui imbalan dan kondisi kerja yang positif. Berdasarkan uraian diatas dapat disintesiskan bahwayang dimaksud dukungan organisasi adalah tindakan - tindakan organisasi yang diberikan kepada anggota organisasi untuk menunjang efektivitas pelaksanaan tugas atau kerja dengan indikator - indikator (1) perlakuan adil (2) perhatian atasan 3) imbalan (4) kondisi kerja METODE DAN SAMPLING Penelitian ini merupakan atau termasuk kedalam penelitian menjelaskan(explanatory research) hubungan kausal antar variabel dengan metode survey melalui pengujian hipotesis. Berikut model hipotetik jalur pengaruh penelitian sebagai berikut:
Gambar 1. Model Teoretik Penelitian 35
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Model di atas menunjukkan, path analysis yang digunakan adalah correlated path model, memiliki dua sub-struktur. Sub-struktur pertama menyatakan hubungan kausal X1, X2, terhadap Y, X1 danX2 merupakan variabel exogen terhadap Ysebagai variabel endogen dan sub-sub-struktur kedua menyatakan hubunganX1 terhadap X2. Populasi penelitian adalah 64 ketua-ketua program studi yang berasal dari 7 Fakultas di UNJ.Sampel penelitian ini berjumlah 55 ketua program studi yang diambil secara simple random samplingatauacak sederhana. Tabel 1. Sumber, Jenis dan Teknik Pengumpulan Data No
Sumber Data
1
Mahasiswa
2
Ketua Program studi
Jenis Data Persepsi mahasiswa terhadap variabel kualitas pelayanan ketua prodi Persepsi Ketua program studi (kaprodi) terhadap variabel kepemimpinan dan dukungan organisasi
Teknik Pengumpulan Data Kuesioner
Kuesioner
Keterangan Lembaran kuesioner Lembaran kuesioner
Analisis data penelitian menggunakan teknik analisis jalur (path analisys) dengan program SPSS. Analisis memakai metode statistik deskriptif dan inferensial, dan juga menggunakan uji persyaratan analisis. HASIL Beberapa persyaratan uji statistik, yaitu: (1) uji normalitas, (2) uji homogenitas, dan (3) uji signifikansi dan linearitas koefisien regresi,dlakukan sebelum analisis jalur (path analysis) dilaksanakan Rangkuman data dasar penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 2. Rangkuman Statistik Data Dasar Penelitian Nilai Tendensi Sentral n Mean Median Mode Std. Deviation Variance
kepemimpinan (X1) 55 116,40 116,00 115,00 7,66 58,6148
Dukungan organisasi (X2) 55 90,05 92,00 94,00 15,00 224,9785
Kualitas pelayanan (Y) 55 119,62 121,00 121,00 13,20 174,3145
Proses perhitungan analisis diawali dengan penegasan kerangka pikir analisis (konstelasi) berdasarkan struktur jalur pengaruh yang dibangun dalam penelitian ini, yaitu:
Gambar 2.Struktur Jalur Pengaruh Penelitian yang Dihipotesiskan.
36
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Keterangan: X1 = Kepemimpinan Y = Kualitas pelayanan X2 = Dukungan organisasi β = Koefisien Jalur (path coefficient) = Error atau factor lain atau variabel lain. e Dari hasilperhitungan analisis jalur yang dilakukan secara bertahap, diperoleh nilai-nilai koefisien jalur yang menunjukkan hubungan kausal dalam model struktur yang dianalisis seperti dalam gambar berikut:
Gambar 3. Rangkuman Hasil Uji Koefisien Jalur dalam Struktur Penelitian.
Dari gambar tiga diatas terlihat nilai-nilai koefisien menunjukan semua jalur terbukti signifikandan telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan pengujian hipotesis stastistik. Perhitungan statistik secara keseluruhan dari ke tiga variabel yang di teliti saling berpengaruh satu dengan yang lainnya secara positif, hal ini sesuai dengan teori terdahulu dan kajian empirik yang ada.Hal ini berarti terdapat pengaruh positif kepemimpinan oleh dukungan organisasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan ketua program studi.Dengan demikan ke tiga variabel tersebut terbukti dan teruji berpengaruh secara positif dan signifikan dalam meningkatkan kinerja kualitas pelayanan ketua program studi. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Hasilperhitungan koefisien jalur menunjukan kepemimpinan berpengaruhlangsung positip terhadap kualitas pelayanan ketua Prodi. Kualitas pelayanan adalah suatu bentuk penilaian konsumen terhadap tingkat pelayanan yang diterima (perceived service) Pengertian ini menunjukan bahwa kualitas pelayanan merupakan suatu proses yang terjadi dalam organisasi untuk memenuhi harapan konsumennya. Kaprodi berkualitas tentu tidak terlepas dari pengaruh keberadaan seorang pemimpin, karena seperti dikatakan Bryson, (2004: 297) keberadaan pemimpin adalah sesuatu yang tak tergantikan.pemimpinlah yang mengarahkan, mempengaruhi dan menjalin kerjasama dengan individu, orang-orang atau kelompok yang dipimpinnya untuk melaksanakan berbagai aktivitas pencapaian tujuan dan sasaran bersama termasuk didalamnya adalah memberikan kualitas pelayanan sesuai yang diharapkan konsumen. Perhitunganpengujian hipotesis juga menunjukan bukti empris bahwa kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan. Hasil ini menunjukan bahwa kepemimpinan akan berdampak terhadap peningkatan kualitas pelayanan. Pengaruh kepemimpinan terhadap kualitas pelayanan juga berlaku dalam perguruan tinggi. Apabila pimpinan fakultas atau dekan dapat memberikan arahan, pengaruh dan menjalin kerjasama dengan orang-orang atau kelompok yang dipimpinnya maka hal itu akan berdampak positif terhadap kualitas pelayanan para kaprodi di prodi nya masing-masing.
37
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Penelitiansebelumnya yang dilakukan Hui dan kawan-kawan(2007:152)juga menemukan bahwa kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan.Jadi temuan dalam penelitian ini semakin mempertegas temuan-temuan terdahulu mengenai adanya pengaruh positif kepemimpinanterhadap peningkatan kualitas pelayanan ketua program studi. Keduaterdapat pengaruh langsung positif dukungan organisasi terhadap kualitas pelayanan ketua program studi.Temuan ini memberikan gambaran bahwa kualitas pelayanan tergantung dari proses yang dilakukan oleh SDM organisasi itu sendiri.SDM akan dapat bekerja dan berkontribusi secara optimal ketika mereka merasa berada pada situasi dan kondisi yang nyaman. Situasi dan kondisi yang nyaman dapat terbentuk apabila SDM merasakan adanya dukungan organisasi pada mereka. Jacqueline dan kawan-kawan,(2005:207) menyatakan dukungan organisasi adalah kepercayaan umum yang dibentuk anggota organisasi mengenai penilaian mereka terhadap organisasi. Anggota organisasi akan merasakan adanya dukungan organisasi melalui empat bentuk yaitu perlakuan adil, perhatian atasan, imbalan, dan kondisi kerja. Anggota organisasi yang merasa mendapat dukungan organisasi akan memiliki kinerja yang lebih tinggi dan melakukan perilaku pekerjaan lebih dari yang menjadi tanggung jawabnya termasuk dalam meningkatkan kualitas pelayanan organisasi. Hal ini juga berlaku pada perguruan tinggi. Kaprodi yang merasakan adanya dukungan organisasi akanmemberikan kualitas pelayanan yang baik pada program studi dimana ia berada. Hasil penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa dukungan organisasi yang dirasakan berpengaruh positif secara signifikan pada kemampuan anggota organisasi membangun hubungan dengan pelanggan dalam kerangka meningkatkan kualitas pelayanan (Herington dan Weaven,2009:692). Jadi hasil penelitian ini semakin menguatkan adanya pengaruh dukungan organisasi terhadap kualitas pelayanan Ke tiga terdapat pengaruh langsung positif kepemimpinan terhadap Dukungan organisasi. Dukunganorganisasi didifinisikan sebagaikepercayaan umum yang dibentuk anggota organisasi mengenai penilaian mereka terhadap organisasi.Tiga bentuk umum perlakuan baik yang dapat meningkatkan dukungan organisasi adalah keadilan organisasi, dukungan dari atasan, dan praktek sumber daya manusia (Jacqueline dan kawan-kawan, 2005: 207). Ketiga bentuk ini jika kita perhatikan dengan seksama terkait dengan atasan atau pimpinan. Misalnya keadilan organisasi dalam kenyataannya adalah bagaimana penerapan peraturan organisasi dilakukan oleh pemimpin, jika ia menerapkan peraturan tersebut pada semua anggota organisasi tanpa membeda-bedakan maka dikatakan organisasi telah berlaku adil, demikian pula dalam praktek manajemen sumber daya manusia dan dukungan dari atasan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hyatt (2010:356), juga menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan organisasi dan praktek kepemimpinan dalam menantang proses kerja. Pengaruh kepemimpinanterhadap dukungan organisasi juga berlaku pada perguruan tinggi. Kepemimpinan yang efektif dari fakultas akan meningkatkan dukungan organisasi yang dirasakan oleh Kaprodi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) kepemimpinan ketua fakutas berpengaruh langsung positif terhadap kualitas pelayanan ketuaprogram studi di Universitas Negeri Jakarta. Artinya kepemimpinan ketua fakultas yang efektif akan meningkatkan kualitas pelayanan ketua prodi di UNJ (2) dukungan organisasi yang dirasakan ketua prodi UNJ berpengaruh langsung positif terhadap kualitas pelayanan di program studi masing-masing. Artinya peningkatan dukungan organisasi yang dirasakan kaprodi akan meningkatkan kualitas pelayanan ketua prodi UNJ. (3) kepemimpinan fakultas berpengaruh langsung terhadap dukungan organisasi. Artinya kepemimpinan fakultas yang efektif akan mengakibatkan peningkatan dukungan organisasi yang dirasakan ketua prodi
38
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
DAFTAR PUSTAKA Asgari, Mohammad Hadi, Alireza Khaliliyan, dan Babak Baba. “Comparison Interactive Leadership Styles withOCB of Mazandaran Province Municipalities’ Employees.” International Research Journal of Applied and Basic Sciences, Vol. 3 (10), 2012: 2127-2134. Bryson, John M. Strategi Planning for Public and Non Profit Organization. San Francisco: Jossey Bass, A Wiley Imprint, John Wiley & Son Inc., 2004. Colquit, Jason A., Jeffry A. Lepine, dan Michael J. Wesson. Organization Behavior, Improving Performance and Commitment in Workplace. New York: McGraw-HillIrwin, 2011. Duffy, Jo Ann dan Juliana Lilly. ”Do Individual Needs Moderate the Relationships between Organizational Citizenship Behavior, Organizational Trust and Perceived Organizational Support.” Journal of Applied Psychology Sam Houston State University, Vol. 94 (1), 2013: 945-959. Goetsch, David L., dan Stanley B. Davis. Introduction to Total Quality: QualityManagement forProduction,Processing, and Service, terjemahan Benyamin Molan. Jakarta: PT. Prenhallindo, 2002. Gronroos,C.Service Management & Markerting: A Customer Relationship Management Approach. Chichester: John Wiley & Son Ltd., 2000. Herington, Carmel dan Scott Weaven. “The Relationship between Perceived Organizational Support and the Ability of Frontline Personnel to Build Relationships with Customers.” Journal of Hospitality Marketing and Menagement. Vol. 18 (7), 2009: 692-717. Hoy, Charles dan Colin Bayne Jardine. Improving Quality in Education. London: Falmer Press, 2000. Hui, Harry, C., C. K. Warren, Philip L. H. Yu¸ Kevin Cheng, dan Herman M. Tse. “The Effects of Service Climate and the Effective Leadership Behaviour of Supervisors on Frontline Employee Service Quality: A Multi-Level Analysis.” British Psychological Society, Vol. 80 (1), 2007: 151-172. Hyatt, Katherine.The Influence of The Leadershiip Practice“Challenging The Process” On Perceived Organizational Support. Las Vegas: ASBBS Annual Conference, Vol. 17 (1), 2010: 315-365. Jacqueline, A. M., L. Shore, M. S. Taylor, dan L. Tetrick. The Employment Relationship: Examining Psychological and Contextual Perspectives. London: Oxford University Press, 2004. Kolb, David A., Joyce S. Osland, dan Irwin M. Rubin. Organizational Behavior, An Experimental Approach. New Jersey: Prentice Hall International Inc., 1995. Kotler, Phillip dan Kevin L. Keller. Marketing Management. New Jersey: Pearson Education Inc. 2009. Kroth, Michael S. The Manager as Motivator. Connecticut: Greenwood Publishing Group, 2007. Long, Angus, Moira Fishbache, Gillian Hongg, dan Anne Smith. Managing and Marketing Health. London: The Thompson High Holborn House, 2002. LoveLock,Christopher,Jochen Wirtz, Service Marketing. Boston, Pearson Education Limited, 2011 Organ, Dennis W., Philip M. Podsakoff, dan Scott Bradley Mackenzie. Organizational Citizenship Behavior: Its Nature, Antecedents, and Consequences. London: SAGE Publications, 2005. Stoner, James A., F. Stoner, R. Edward Freeman, dan Daniel R. Gilbert JR. Management. New Jersey: Prentice Hal, Inc., 1995. Wulani, Fenika. “Analisis Hubungan Politik dan Dukungan Organisasi dengan Sikap Kerja, Kinerja, dan Perilaku Citizenship Organisasional.”Kinerja, Vol. 8 (2), 2004: 115-140. Yaghoubi, Nour Mohammad, Mahdi Salehi, dan Jamshid Moloudi. “Improving Service Quality by Using OrganizationalCitizenship Behavior: Iranian Evidence” Iranian Journal of 39
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Management Studies (IJMS),Vol. 4 (2), 2011: 79-97. Zeinthaml, Valerie A., Mary Jo Bitner, dan Dwayne D. Gremler. Service Marketing: Integrating Customer Focus Across the Firm. New York: McGra-Hill Co, Inc., 2009.
40
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
THE EFFECT OF ENTREPRENEURSHIP, PERSONALITY, AND JOB SATISFACTION TO THE AND COMMITMENT (STUDY OF EMPLOYEE IN MINISTRY OF INDUSTRY) DEWI SUSITA [email protected]
ABSTRACT The aim of this research is to study the causal relationship between entrepreneurship, personality, job satisfaction and commitment. Survey was conducted in this with 189 sample of employees selected randomly. Data has been analyzed using regression analysis. Based on the findings of this research it can be concluded that: (1) there is a positive and significant relation between entrepreneurship and commitment, (2) there is a positive and significant relation between personality and commitment, and (3) there is a positive and significant between job satisfaction and commitment in Ministry of Industry, Indonesia. Keywords: entrepreneurship, personality, job satisfaction, and commitment PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam era hiperkompetisi yang semakin turbulen dan menantang, setiap organisasi dituntut memiliki core competence, begitu juga organisasi pemerintahan. Organisasi pemerintah harus mengunakan manajemen publik yang efektif dan efisien, karena harus tetap mempertanggung jawabkan segala sesuatunya kepada publik. Organisasi pemerintah harus siap menghadapi lingkungan tantangan yang unik komplek dan bergejolak (Cohen,2008 : 1). Tugas pemerintah antara lain memberikan pelayanan prima, seperti yang tercantum dalam SK Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/M.PAN/7/2003. Hambatan yang sering terjadi dalam melakukan pelayanan berasal dari internal, seperti kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas. Kementerian Perindustrian merupa-kan suatu instansi Pemerintah yang mempunyai peran dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan industri, dengan target mencapai 7% pada tahun 2013, namun sekarang masih 6,3%. Target ini akan bisa diwujudkan dengan cara memperhatikan SDM yang dipunyai. Jumlah karyawan yang besar dan komposisi karyawan, yang banyak di usia produktif, diharapkan terjadi peningkatan efektifitas kerja, namun menurut data tahun 2010, terlihat bahwa kegiatan yang terlaksana lebih rendah dari anggaran yang tersedia, yaitu pada tahun 2010 sebesar 88%, tahun 2011 sebesar 84,5% dan tahun 2013 sebesar 91,70%. Keban. Y (2004), berpendapat bahwa sistem manajemen PNS memiliki sejumlah kelemahan mendasar antara lain: (1) kurangnya rasa keberpihakan terhadap tujuan organisasi karena hanya sebatas tanggung jawab administratif saja, (2) kurang keterlibatan dalam pencapaian tujuan organisasi secara menyeluh, (3) loyalitas terhadap organisasi masih lemah karena kurang didukung oleh sistem internal kepegawaian yang memadai, dan kurang mengaplikasikan prinsip sistem merit secara tegas, serta tidak memberi ruang atau dasar hukum bagi pengangkatan pejabat non karier Faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya komitmen karyawan antara lain berasal dari faktor internal (Eris Y, 2007). Hal ini terlihat dari beberapa sikap pegawai antara lain: (1) Lebih banyak bekerja berdasarkan ketentuan yang ada saja, dan kurang kreatif. (2) Kondisi pegawai Kementerian Perindustrian seperti halnya kondisi pegawai pemerintahan lainnya, cenderung melaksanakan kegiatan berdasarkan petunjuk teknis (juknis) saja, dan kurang berani mengambil resiko untuk melakukan inovasi. (3) Kurang disiplin, hal ini terlihat dari data absensi yang ada, hanya 20 % pada tahun 2011, dan 30,05% pada tahun 2012 yang masuk sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, sedangkan persentase kehadiran yang terbesar adalah pada jadwal yang masih bisa ditolerir. (4) Penyerahan laporan hasil 41
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
kerja yang diberikan pegawai relatif sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, namun laporan yang diberikan hanya sebatas laporan yang sesuai dengan yang diperlukan untuk administratif saja. (5) Pegawai mengerjakan pekerjaan tidak memikirkan apakah, mereka senang atau tidak, terhadap pekerjaan yang dilakukan. (6) karyawan kurang terlibat dalam tujuan organisasi secara menyeluruh. (7) Pengawasan yang dilakukan masih kurang, karena keterbatasan waktu, sedangkan pekerjaan relatif kompleks. (8) Pembelajaran yang diberikan kepada seorang karyawan juga tidak sesuai dengan bidang pekerjaan yang dilakukannya. (9) Pengembangan pegawai hanya ditentukan oleh organisasi, dan posisi jabatan tergantung pada ketersediaan dan penilaian lainnya diluar pendidikan yang dilakukan. (10) sulit untuk menentukan pola karir yang jelas (11) Instrumen penilaian karyawan yang efektif menurut pendapat Cascio (2006: 334), adalah sebagai berikut: a) relevan, b) sensitivitas, c) reliability, d) acceptability, e) praktis, f)kepemimpinan. Penilaian PNS, menggunakan DP3, tidak cukup teliti untuk mengetahui bagaimana kinerja pegawai, karena persyaratan di atas belum semuanya terpenuhi. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian singkat diatas, penulis mengemukakan beberapa permasaalahan penelitian; (1) Apakah terdapat pengaruh sikap Kewirausahaan terhadap komitmen? (2) Apakah terdapat pengaruh kepribadian terhadap komitmen? (3) Apakah terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen? KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Komitmen (Commitment) Colquitt (2010: 69), yang menyata-kan bahwa: organizational commitment is defined as the desire on the part of an employee stays a member of the organization. (komitmen organisasi adalah keinginan seseorang untuk tetap bekerja dalam organisasinya) Pengertian lain mengenai komitmen, salah satunya menurut Adam. J dan Jones, W.H. (199: 175) sebagai berikut: Commitment is defined as the extend to which an individual believes in the veracity and utility of his or her actions, and may be contrasted with the debilitating sense of alienation that results from feelings of powerlessness and resignation in the face of stressful events. Komitmen menurut pendapat tersebut diatas adalah sejauh mana seorang individu percaya pada kebenaran dan kegunaannya atau tindakannya, dan menghilangkan ketidakberdayaan dalam menghadapi stres. Pengertian komitmen menurut Newstrom dan Davis (2002 : 211), keterlibatan seseorang terhadap organisasi, dapat dilihat antara lain sebagai berikut: Organizational commitment is the degree to which an employee identifies with the organization and wants to continue actively participating in it. Komitmen organisasi adalah tingkat kebersamaan seseorang terhadap organisasi dan keinginannya untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2007 : 74), antara lain yaitu: Organizational commitment is defined as a state in which an employee identifies with a particular organization and its goals and wishes to maintain membership in the organization. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai keadaan di mana seseorang berpihak pada organisasi tertentu dan tujuannya, serta keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Secara terperinci Gibson et al. (2009: 183) menyatakan sebagai berikut: Organizational commitment involves three attitude: (1) a sense of identification with the organization’s goals; (2) a feeling of involvement in organizational duties; and (3) a feeling of loyalty for the organization. Komitmen organisasi meliputi tiga sikap, yaitu: (1) rasa keberpihakan terhadap tujuan organisasi; (2) perasaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi; dan (3) perasaan loyalitas terhadap organisasi. Pendapat senada disampaikan oleh McShane dan Von Glinow (2010: 119) bahwa: Organizational commitment refers to the employee’s emotional attachment to, identification with, and involvement in a particular organization. Komitmen organisasi mengacu pada ikatan emosional, keberpihakan, dan keterlibatan dalam suatu organisasi tertentu. Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa komitmen adalah keinginan untuk tetap bekerja dan berpihak serta berpatisipasi kepada organisasi dengan alasan afektif, berkelanjutan dan normatif, yang ditunjukan dengan keinginan untuk tetap bekerja di organisasi, keinginan untuk terlibat aktif di organisasi, keinginan untuk memberikan kontribusi keberhasilan organisasi, keinginan untuk
42
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
identifikasi dengan tujuan dan visi organisasi, keinginan untuk tetap bekerja di organisasi, keinginan untuk tetap ikut bertanggung jawab pada organisasi. 2. Sikap Kewirausahaan Sikap Kewirausahaan ada dua kata, yaitu sikap dan kewirausahaan. Sikap menurut Robbin (2007:374), mengatakan bahwa sikap adalah sebagai berikut: attitudes are evaluative statements favorable or unfavorable concerning objects, people, or events. Maksudnya sikap merupakan pernyataan evaluatif baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu atau peristiwa. Kreitner dan Kinicki (2011: 182), mengatakan bahwa sikap adalah sebagai berikut: An attitude is defined as a learned predisposition to respond in a consistently favorable or unfavorable manner with respect to a given object. Sikap sebagai kecendrungan merespon sesuatu secara konsisten untuk mendukung atau tidak mendukung dengan memperhatikan objek tertentu. Berkaitan dengan komponen sikap menurut pendapat Robbin, terdapat tiga komponen antara lain; (1) affect; the emotional segment of an attitude, yaitu berkaitan dengan rasa senang (pos) atau tidak senang (neg), terhadap objek sikap (2) cognition; the perception, opinion or belief segment of an attitude, yaitu berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan dalam hal yang berhubungan dengan bagaimana persepsi orang terhadap suatu obyek dan (3) behavior; the behavior segment of an attitude, yaitu yang berkaitan dengan kecenderungan bertindak atau berperilaku terhadap obyek sikap. Entrepreneuship is the process of creating something new with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, psychic, and social risk, and receiving the resulting rewards of monetary and personal satisfaction and independence. (Hisrich and Peters, 2002: 10). Kewirausahaan merupakan proses menciptakan sesuatu yang baru yang dimiliki setiap individu dalam organisasi untuk menciptakan sesuatu yang bernilai, dengan tujuan pencapaian kepuasan diri dan mandiri. Selanjutnya Inderjit S (2007: 34) berpendapat bawa kewirausahaan: Entrepreneurship is about more than just creating new companies. It is in fact about the mindset one has, about doing new things and creating something from nothing. You can have an entrepreneurial mindset as an employee, as a parent, as a techer, as a politician, or in anything you want to do. When anything is done in a manner that is innovative, pioneering, or out of the norm, and whether in business or other aspects of life- it is what really constitutes entrepreneurship and having an entrepreneurial mindset. (maksudnya kewirausahaan adalah tidak hanya membuat perusahaan baru, tetapi berhubungan dengan pola pikir seseorang dalam melakukan sesuatu yang baru. Pola pikir tersebut bisa sebagai karyawan, guru, orang tua, sebagai politisi, dan apapun yang ingin kita lakukan) Hal di atas didukung oleh Zimmerer (2005: 6), mengatakan bahwa: “Applying creativity and innovation to solve the problems and to exploit opportunities that people face everyday” (maksudnya kewirausahaan adalah seorang yang kreatif dan inovatif dalam memecahkan masalah dan mendapatkan peluang). Sikap kewirausahaan menurut Meredith dalam Suryana (2000:15), yaitu: (1) Percaya diri (selfconfidence). (2) Berorientasi tugas dan hasil. (3) Keberanian mengambil resiko. Sikap yang lebih menyukai usaha-usaha yang lebih menantang untuk mencapai kesuksesan. (4) Sifat kepemimpinan, kepeloporan, dan keteladanan. (5) Berorientasi dan memiliki perspektif dan pandangan ke masa depan. (6) Keorisinilan: Kreativitas dan inovasi. Wirausaha yang inovatif adalah orang yang kreatif dan yakin dengan cara-cara baru yang lebih baik. Berdasarkan uraian konsep di atas dapat disintesiskan bahwa sikap kewira-usahaan adalah suatu pernyataan-pernyataan proporsional seseorang terhadap cara mengenali, cara pandang, perasaan dan kecendrungan melakukan sesuatu dalam lingkup aspek pelayanan ke pelaku usaha, dengan indikator sebagai berikut: berpikir inovatif, berpikir fleksibel, teguh pendirian, percaya diri, mempengaruhi orang lain, suka tantangan, tanggap terhadap perubahan, pengambil keputusan, dan memanfaatkan peluang. 3. Kepribadian Individu Pendapat Schermerhorm (2010: 31),Personality is the overall combination of characteristics that capture the unique nature of a person as that person reacts to and interacts with others. Kepribadian adalah kombinasi keseluruhan karakteristik yang menangkap sifat unik seseorang sebagai pribadi yang bereaksi terhadap dan berinteraksi dengan orang lain.
43
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Menurut Qolquitt (2009 : 294) kepribadian adalah: Personality refers to the structures and propensities inside people that explain their characteristic patterns of thought, emotion, and behavior.personality creates people's social reputations the way they are perceived by friend,family, coworkers and supervisors. Kepribadian mengacu pada struktur dan kecenderungan dalam masyarakat yang menjelaskan pola dan karakteristik pemikiran, emosi, dan perilaku seseorang. Pendapat lain mengenai kepribadian dikemukakan oleh Luthan F (2008: 126), yang mengatakan bahwa: Personality will mean how people effect others and how they understand and view themselves, as well as their of inner and outer measurable traits and the person-situation interaction. How people effect others depends primarily on their external appearance (height, weight, facial features, color, and other physical aspects) and traits. Kepribadian memperlihatkan bagai-mana seseorang mempengaruhi orang lain dan bagaimana mereka melihat dan mengerti dengan diri mereka dan bisa berinteraksi dengan cara menyesuaikan dengan berbagai situasi baik dalam maupun luar. Pendapat lain mengenai kepribadian dikemukakan oleh Gibson, et al (2009: 112), sebagai berikut: Personality is influenced by hereditary, cultural, and social factors. Regardless of how it’s defined, however, psychologists generally accept certain principles. Karakteristik kepribadian menurut Gibson et al (2009: 117) antara lain: Conscientioness, extraversion-intraversion, agreeableness, emotional stability dan openness to experience. Kelima karakter tersebut mempunyai perbedaan satu sama lain, antara lain: (1) Conscientioness; the hard working, diligent, organized, dependable, and persistent behavior of a person. (2) Extraversion; the degree to which a person is sociable, gregarious, and assertive versus reserved, quiet, and timid; sejauh mana seseorang bersosialisasi, suka berteman, dan tegas dibandingkan pendiam, tenang, dan pemalu. Atau ekstraversion, menggambarkan keramahan, suka berteman, tegas. (3) Agreeableness; the degree of working well with others by sharing trust, warmth, and cooperativeness. People who are low scorers on this dimension are cold, insentive, and antagonistic. (4) Emotional stability; the ability a person display in handling stress by remaining calm, focused, and self-confident, as opposed to insecure, anxious,and depressed. (5) Openness to experience; a person’s range of interest in new things. Open people are creative, curious, and artistically sensitive, as opposed to being closed-minded. Berdasarkan uraian diatas, dapat disintesiskan bahwa Kepribadian adalah pola perilaku dan cara berpikir yang khas yang menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungan, dengan indikator sebagai berikut: conscientiousness (C), ekstraversion (E), agreeableness (A),emotion stability(E), dan openess to experience (O). 4. Kepuasan Kerja Pendapat Newstrom dan Davis (2002: 208) yang mengemukakan: Job satisfaction is a set of favorable feelings and emotions with which employees view their work. Jobsatisfaction is an effective attitude a feeling of relative like or dislike toward something Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, dan emosi-emosi yang dirasakan oleh seseorang terhadap pekerjaannya. Wexley dan Yulk (2006 : 272), mendefinisikan kepuasan kerja, ”Job satisfaction is emotional reactions to employment experiences are inevitable. One’s thinking and feeling toward work”. yang menggambarkan bagaimana perasaan dan reaksi emosional karyawan dengan pengalaman kerja yang dipikirkan dan dirasakan terhadap pekerjaan Kepuasan kerja menurut Schermerhorn (2010: 72) adalah sebagai berikut: “Job satisfaction is the degree to which individuals feel positively or negatively about their jobs” (kepuasan kerja adalah suatu tingkatan yang mana para pekerja merasakan secara positif atau negatif tentang pekerjaannya). McShane/Von Glinow (2010: 108), dengan memperhatikan apa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan tersebut, seperti yang terlihat dalam pengertian di bawah ini: “job satisfaction a person’s evaluation of his or her job and work content” Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emotional yang menyenangkan atau tidak me-nyenangkan para 44
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
karyawan, dalam me-mandang pekerjaan, yang dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosi dalam bekerja mereka. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Colquitt, Lepine dan Wesson (2010: 105), bahwa kepuasan kerja adalah sebagai berikut: Job satisfaction as a pleasurable emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experiences. It represents how you feel about your job and what you think about your job. Kepuasan kerja merupakan ungkapan emosional yang menyenangkan yang diperoleh dari penilaian terhadap suatu pekerjaan atau suatu pengalaman dalam pekerjaan atau ungkapan seseorang terhadap pekerjaannya. Kemudian Ivancevich, Kanopaske and Matteson (2008 : 153), berpendapat bahwa, “Job Satisfaction an attitude that workers have about their jobs. It results from their perception of the jobs” Kepuasan kerja adalah suatu sikap yang dipunyai individu mengenai pekerjaan-nya. Hal ini dihasilkan dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya, lingkungan kerjanya, serta kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi kerja, gaji dan tunjangan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan suatu sintesis bahwa kepuasan kerja karyawan merupakan suatu keadaan emosional positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja, yang ditandai dengan indikator-indikator: pekerjaan dan tugas yang dikerjakan, imbalan gaji/honor yang diterima, kesempatan promosi yang diperoleh, posisi dan jabatan yang diberikan, standar kerja yang ditetapkan, kondisi kerja yang ada, adanya pengakuan kerja dan dukungan rekan kerja. D. Hipotesis Penelitian Dengan memperhatikan uraian di atas, dan berdasarkan kajian teori yang dikemukakan, dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh positif sikap kewirausahaan terhadap komitmen 2. Terdapat pengaruh positif kepribadian terhadap komitmen 3. Terdapat pengaruh positif kepuasan kerja terhadap komitmen METODE A. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh langsung positif model penelitian tentang komitmen ditinjau dari sikap kewirausahaan, kepribadian, dan kepuasan kerja. Dalam penelitian ini akan membahas hubungan kausal antar keempat variabel diatas. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kementerian Perindustrian dengan waktu penelitian pada tahun 2013. C. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei, dan kajian hubungan kausal, karena metode ini dianggap tepat untuk menjelaskan sebuah fenomena sosial. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis hubungan langsung yang berjalan searah atau disebut hubungan kausal. Untuk menganalisis ada atau tidaknya pengaruh antara satu variabel dengan variabel lain dengan menggunakan analisis regresi berganda, yakni suatu teknik yang menganalisis pola hubungan antar variabel dependent dan independent seberapa besar pengaruh variabel tersebut. Variabel yang akan dianalisis terdiri dari empat variabel yaitu : 1) Sikap Kewirausahaan, 2) Kepribadian, 3) Kepuasan Kerja, dan 4) Komitmen. Pengaruh antara variabel tersebut, digambarkan dalam bentuk konstelasi pengaruh antar variabel-variabel seperti gambar berikut:
45
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Gambar 1. Model Konstelasi Penelitian Keterangan: X1 = Sikap kewirausahaan X2 = Kepribadian X3 = Kepuasan kerja Y = Komitmen D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua karyawan eselon IV di Kementerian Perindustrian, (beserta kelima karakteristik yang dipelajari yaitu: sikap kewirausahaan, kepribadian, kepuasan kerja dan komitmen berjumlah 358 orang. 1. Sampel Jumlah sampel penelitian yang diperoleh secara acak dengan menggunakan rumus Solvin diperoleh sample sebesar 189 responden. E. Instrumen Penelitian Penelitian dilakukan terhadap 4 instrumen penelitian, yaitu instrumen komitmen karyawan (Y), sikap kewirausahaan (X1), kepribadian (X2), dan kepuasan kerja (X3) F. Teknik Analisis Data 1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan perhitungan rata-rata hitung (mean) dan standar deviasi dari skor keempat variabel. Hasil perhitungan tersebut divisualisasikan dalam daftar 2. Analisis Induktif Analisis induktif atau inferensial dilakukan untuk mengambil kesimpulan dan menguji hipotesis analisis regresi serta uji normalitas dan homogenitas varians. G. Hipotesis Statistik Model spesifikasi hipotesis diatas dapat digambarkan dalam hipotesis statistik yang akan diuji pada penelitian ini, yaitu : 1. Hipotesis pertama: pengujian pengaruh positif sikap kewirausahaan (X1), terhadap komitmen (Y) Ho : β y1 ≤ 0 Ha : β y1 > 0 2. Hipotesis kedua: pengujian pengaruh positif kepribadian (X2), terhadap komitmen (Y) Ho : β y2 ≤ 0 Ha : β y2 > 0 3. Hipotesis ketiga: pengujian pengaruh positif kepuasan kerja (X3), terhadap komitmen (Y) Ho : β y3 ≤ 0 Ha : β y3 > 0 46
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Hasil rangkuman instrumen deskriptif dari instrumel-variabel yang diteliti dapat dilihat dalam tabel berikut Tabel 1. Rangkuman Statistik Deskriptif Mean 127.40 145.76 136.14 116.81
Komitmen Sikap Kewirausahaan Kepribadian Kepuasan Kerja
Std Deviation 13.810 9.266 15.709 10.672
N 189 189 189 189
B. Pengujian Persyaratan Analisis Data Persyaratan yang harus dipenuhi dalam analisis regresi berganda adalah bahwa sampel penelitian berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan hubungan antara 47instrumen-variabel dalam model haruslah signifikan dan linier. Berkaitan dengan hal tersebut, sebelum dilakukan pengujian model, pengujian analisis yang dilakukan adalah : 1. Uji Normalitas Dari hasil pengujian terhadap sampel penelitian digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa apakah populasi yang diamati berdistribusi normal atau tidak. Untuk pengujian normalitas, digunakan uji Lilliefors. Dari hasil perhitungan uji normalitas diperoleh beberapa hasil pada tabel 2, sebagai berikut: Tabel 2. Rangkuman Hasil Perhitungan Normalitas Galat Taksiran No
1 2 3
Galat Taksiran Regresi Y atas X1 Y atas X2 Y atas X3
N
Lhitung
189 189 189
Ltabel
Keterangan
α = 5%
α = 1%
0,064 0,064 0,064
0,074 0,074 0,074
0,0562 0,0547 0,0626
Normal Normal Normal
2. Uji Signifikansi dan Linieritas Regresi Pengujian hipotesis penelitian dilaksanakan dengan menggunakan teknik analisis regresi 47instrumen terikat atas 47instrumen bebas. Analisis regresi digunakan untuk memprediksi model hubungan antar variable, dengan menggunakan uji F. jika nilai F hitung< F tabel, maka regresi berbentuk linear. Hasil perhitungan menunjukan bahwa semua koefisien regresi signifikan, dan semua hubungan kausal antar variable linear. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 3, sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Uji Linearitas dan Keberartian Koefisien Regresi Model Regresi Y atas X1, Y= 22,44 + 0,72X1 Y atas X2, Y= 72,54 + 0,40X2 Y atas X3, Y= 49,69 + 0,67X3
Fhitung 56,95 1,27 49,74 1,14 67,18 1,32
Ftabel 3,89 1,46 3,89 1,45 3,89 1,46
Kesimpulan Koefisien regresi signifikan Bentuk regresi linear Koefisien regresi signifikan Bentuk regresi linear Koefisien regresi signifikan Bentuk regresi linear
47
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Model Hubungan Kausal antar Variabel Nilai koefisien regresi yang memperlihatkan pengaruh sikap kewirausahaan (X1), kepribadian (X2), dan kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y). Nilai koefisien regresi sikap kewirausahaan (X1) terhadap komitmen (Y) sebesar 0,409 dengan nilai thitung sebesar 4,325. Oleh karena nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel pada dk = 185 untuk α = 0,05 sebesar 1,96 dan untuk α = 0,01 sebesar 2,58. Kepribadian (X2) terhadap komitmen (Y) sebesar 0,209 dengan nilai thitung sebesar 3,747. Oleh karena nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel pada dk = 185 untuk α = 0,05 sebesar 1,96 dan untuk α = 0,01 sebesar 2,58. Dan kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) sebesar 0,411 dengan nilai thitung sebesar 4,964. Oleh karena nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel pada dk = 185 untuk α = 0,05 sebesar 1,96 dan untuk α = 0,01 sebesar 2,58.
Gambar 2. Model Hubungan antara X1,X2,X3, dan Y D. PEMBAHASAN 1. Pengaruh Sikap Kewirausahaan terhadap Komitmen Karyawan Kementerian Perindustrian Berdasarkan hasil regresi, ternyata sikap kewirausahaan berpengaruh positif terhadap komitmen karyawan Kementerian Perindustrian. Hal ini memperlihatkan bahwa jika karyawan mempunyai sikap kewira-usahaan, maka komitmen karyawan terhadap organisasi akan meningkat. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Bruce dan Bleedorn (1999: 421), yang mengemukakan bahwa kecendrungan sikap kewirausahaan seseorang, seperti berpikir inovatif, berani mengambil resiko dan tantangan dalam bekerja serta kreatif dapat menyebakan keterlibatan dan komitmen terhadap organisasi sehingga memberikan kontribusi pada kinerja organisasi. Dalam pengambilan keputusan juga diperlukan percaya diri. Hal tersebut diatas juga sesuai dengan pendapat Venkataraman dan Sarasvathy. Temuan hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Inderjit,S, yang mengatakan bahawa kewirausahaan merupakan ola pikir yang kreatif ini tidak saja diperuntukkan bagi wirausaha saja, tapi bagi setiap individu, termasuk karyawan yang bekerja di instansi publik. 2. Pengaruh Kepribadian terhadap Komitmen Karyawan Kementerian Perindustrian Berdasarkan hasil regresi, ternyata kepribadian berpengaruh positif terhadap komitmen karyawan Kementerian Perindustrian. Hal ini bermakna jika kepribadian karyawan baik, akan meningkatkan komitmennya dalam organisasi. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Baek - Kyoo Joo (2009: 48-60) yang menggambarkan pengaruh kepribadian proaktif terhadap komitmen secara signifikan. 3. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Karyawan Kementerian Perindustrian Berdasarkan hasil regresi, ternyata kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen karyawan Kementerian Perindustrian. Hal ini berarti bahwa jika karyawan puas dalam bekerja, maka 48
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
komitmen karyawan terhadap organisasi akan meningkat. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Ayeni, C.O & Popoola, S.O (2007), yang menemukan bahwa adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen karyawannya, terlihat hasilnya signifikan. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan perhitungan statistik terhadap hasil penelitian tentang efektivitas karyawan Kementerian Perindustrian dapat di-simpulkan bahwa: 1. Sikap Kewirausahaan berpengaruh positif terhadap komitmen. Temuan ini berarti jika karyawan mempunyai sikap kewirausahaan yang kredibel, handal, maka komitmen karyawan meningkat. 2. Kepribadian berpengaruh positif terhadap efektivitas kerja karyawan. Temuan ini berarti bahwa jika karyawan mempunyai kepribadian yang baik, maka komitmen karyawan meningkat. 3. Kepuasan kerja berpengaruh langsung positif terhadap efektivitas kerja karyawan. Temuan ini berarti bahwa jika kepuasan kerja karyawan tinggi, maka komitmen karyawan meningkat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan Kementerian Perindustrian dipengaruhi positif oleh variasi sikap kewirausahaan, kepribadian, dan kepuasan kerja. B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan di atas, maka hasil penelitian ini memiliki implikasi sebagai berikut: 1. Sikap kewirausahaan berpengaruh positif terhadap komitmen karyawan Kementerian Perindustrian. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah untuk meningkatkan komitmen perlu diperhatikan sikap kewira-usahaan. Upaya meningkatkan sikap kewirausahaan karyawan yang ber-hubungan dengan komitmen, bisa dilakukan dengan cara Upaya peningkatan sikap kewirausahaan karyawan, antara lain dengan: berpikir inovatif, berpikir fleksibel, dapat menimbulkan keinginan dan keberpihakan karyawan terhadap penyelesaian pekerjaan. Teguh pendirian, percaya diri, mempengaruhi orang lain, suka tantangan, tanggap terhadap perubahan juga merupakan modal seorang karyawan dalam meningkatkan keterlibatannya dalam melaksanakan pekerjaan. 2. Kepribadian berpengaruh positif terhadap komitmen karyawan Kementerian Perindustrian. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah, untuk meningkatkan komitmen karyawan perlu pembentukan ke-pribadian yang baik. Upaya yang dilakukan dalam pembentukan kepribadian karyawan tersebut adalah conscientiousness (C), ekstraversion (E), agreeableness (A), emotion stability (E), dan openess to experience (O). Kepribadian tersebut di atas dapat tercipta jika menciptakan dengan melibatkan karyawan dalam pekerjaan, karena akan membentuk semangat menyelesaikan pekerjaan. 3. Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen karyawan Kementerian Perindustrian. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah untuk meningkatkan komitmen karyawan perlu peningkatan kepuasan kerja. Upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kepuasan kerja antara lain dengan pekerjaan dan tugas yang dikerjakan, imbalan gaji/honor yang diterima, kesempatan promosi yang diperoleh, posisi dan jabatan yang diberikan, standar kerja yang ditetapkan, kondisi kerja yang ada, adanya pengakuan kerja dan dukungan rekan kerja menciptakan suasana kerja yang baik yang berdampak kepada keinginan karyawan untuk selalu menyukai tugas yang diberikan. C. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, kesimpulan dan implikasi yang telah diuraikan di atas, maka saran-saran untuk meningkatkan efektivitas karyawan di Kementerian Perindustrian, adalah sebagai berikut: 1. Bagi karyawan Kementerian Per-industrian, hendaknya melatih diri dan berusaha memperoleh sikap kewirausahaan, kepribadian yang baik, kepuasan dalam melakukan pekerjaan serta komitmen yang tinggi terhadap organisasi. Hal ini diperlukan dalam meningkatkan kemauan, semangat serta keterlibatan dalam pekerjaan, dan cara berpikir/cara pandang untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dan bernilai tambah dalam bekerja, menggunakan kreativitas dan inovasi dalam meng-atasi masalah pekerjaan, sehingga pekerjaan yang dilakukan lebih berkualitas dan komitmen karyawan meningkat. 49
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
2. Bagi pimpinan di Kementerian Perindustrian yang membawahi karyawan dapat memperhatikan gaya pimpinan dan sistem kerja yang sistematik dan bisa membentuk suasana yang kondusif bagi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan nya. Selanjutnya pimpinan langsung maupun tidak, harus melakukan usaha-usaha untuk mendorong dengan cara menghargai hasil yang positif serta inisiatif dan ide-ide baik dan terlibat pada aktivitas-aktivitas yang menstimulir pembelajaran organisasi, baik dalam sesi curah pendapat informal atau formal. 3. Kementerian Perindustrian, secara aktif dapat membuat program rekruitment dan pengembangan karyawan. Sistem perekrutan yang memungkinkan untuk merekrut orang-orang yang paling memenuhi persyaratan, sehingga diperoleh orang-orang yang terbaik, 4. Saran buat penelitian selanjutnya. Penelitian ini hanya terbatas pada penelitian tentang efektivitas kerja karyawan yang dilihat dari sikap kewirausahaan, kepribadian, kepuasan kerja dan komitmen pada Kementerian Perindustrian. Selanjutnya diharapkan adanya penelitian lanjutan yang berhubungan dengan adanya variabel lain yang mempengaruhi komitmen karyawan Kementerian Per-industrian, atau penelitian dengan variable yang sama, tapi dilakukan di instansi lainnya. Sehingga bisa diambil perbedaan dan persamaan untuk perbaikan penelitian di bidang yang sama. DAFTAR PUSTAKA Akehurst, G & Comeche, J.M & Comeche, J. M & Galindo, M,A, Job Satisfaction and Commitment in the Entrepreneurial SME, Small Business Economics, volume 31, 2009 Alexander, A,: Cardoso, R; dan Ray, S, A Theory of Entrepreneurial Opportunity Identification and Development, Journal of Business Venturing, vol 18, No. 1, 2003 Baba,z Vishwanath V.; Tourigny, Louise; Wang, Xiaoyun; Liu, Weimin Author Affiliation: McMaster U; U WI, Whitewater; U Manitoba; China Civil Aviation Management Institute Capital International Airport Source: Revue Canadienne des Sciences de l'Administration/Canadian Journal of Administrative Sciences, vol, 26. Iss, March 2009 Baek-Kyoo Joo, The Effects of Organizational Learning Culture, Perceived Job Complexity, and Proactive Personality on Organi-zational Commitment and Intrinsic Motivation, Journal of Leadership & Organizational Studies, vol 16 no 1, Baker College, 2009 Cascio, F, W, Managing Human Resources, Productivity Quality of Work Life, Profits, 6th Edition, New York: McGraw Hill, 2006 Clugston, M, R. The Mediating Effects of Multidimensional Commitment on Job Satisfaction and Intent to Leave. Journal of Organizational Behavior, 2000 Cohen, S, Eimicke.W, Heikkila, T, Menjadi Manajer Publik Effektif Menciptakan Kinerja Tinggi Organisasi Pemerintah, versi Bahasa Indonesia, Jakarta Pusat : PPM, 2011. Colquitt,A, J and Lepine, A, J and Wesson J. M, Organizational Behavior Improving Performance and Com-mitment in the Workplace, New York: McGraw-Hill Irwin, 2010. Cristensen, K, S, A Classification of the Corporate Entrepreneurship Umbrella: Labels and Perspectives, International Journal Management Enterprise Development, Vol 1, No 4, 2004 Cruen, W.T, Summers & Acito, Relationship Marketing Activities, Commitment, and Membership Behaviors in Professional Associations, Journal of Marketing 64(3):2000. Dundon, E, The Deeds of Innovationsa Cultuating the Synergy that Foster New Idea, USA: American Management Association, 2002. Feist, J & Gregory, J. Feist, Theories of Personality, America: McGraw Hill, 2010 Francis et al, The Influence of Entre-preneurs on Employees Affective Commitment in Micro and Small Organizations, Tilburg University, 2011 Gibson L. James, et al., Organizations: Behavior, Structure, Process. New York: McGraw-Hill, 2009. Griffin, W, Ricky, and Moorhead Gregory, Organization Behavior Managing People and Organization, New-York: Houghton Miffin Comp, 2007. Harton, C, Kepribadian seseorang, Buletin Manajemen KWU, Program Magister Management FEUI, Bandung: Pajajaran Edisi September, 2010 Hersey, P and Kenneth H. Blanchard, Management Of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 2000 Hisrich, Robert.D, Entrpreneurship, Sixth edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2003 Howard. J, Doing Job Better,. 2001, http://www.Mng.Djbet.Com 50
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Ivancevich, M. John M, Konopaske, R, and Matteson, T, M, Organizational Behavior and Management. New York: McGraw-Hill, 2008. James, L.R and Mazerolle, Personality and Work Organizations, Thousand Oaks, CA: Sage Publication, 2002 Jennifer M. George dan Gareth R. Jones. Understanding and Managing; Organizational Behavior. Fifth edition, New Jersey, Pierson Education, Inc, 2008 Keban, Yeremias T, Pokok-pokok Pikiran Perbaikan Sistem Manajemen SDM PNS di Indonesia, jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, volume 8 no 2, 2004 Kreiser, Patrick; Louis Marino; dan K. Mark Weaver, Assessing the Psychometric Properties of the Entrepreneurial Orientation Scale: A Multy-Country Analysis. Entre-preneurship: Theory & Practice, vol 26, 2002 Kreitner and Kinicki, Organizational Behavior: Key Concept, Skill and best Practices, New York: Mc Graw Hill Irwin, 2011 Larsen & Buss, Personality Psychology Domains of Knowledge About Human Nature, New York: McGraw-Hill, 2010. Lazzarini G. Sergio, The Impact of Membership in Competing Alliance Constellations: Evidence on the Operational Performance of Global Airlines. Strategic Management Journal, April 2007 Luthans, F, Organizational Behaviors. New York: McGraw Hill, Inc., 2008. Matsuno, Mentzer dan Ozsomer, The Efects of Entrepreneurual Proclivity and Market Orientation and Bussiness Performance, Journal of Marketing, 66 July, 2002 Maynihan, M. L, The Influence of Job Satisfaction and Organizational Commitment on Executive Withdrawal and Performance, Cahrs working Paper, Cornell University, 2000 McGrath, R.G, Entrepreneurship, Small Firms and Wealth Creation: A Framework Using Real Options Reasoning, In Andrew Pettigrew, Howard Thomas, and Richard Whittington (Eds), (New Jersey: Handbook of Strategy and Management, Sage Publication Ltd, 2002 McShane and Von Glinow, Organi-zational Behavior, New York, Mc Graw-Hill Irwin, 2010 Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi (MenPan dan RB), Azwar Abubakar, rapat kerja Sosialisasi Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah Regional III, Jakarta, 2012 Meyer, J.P. and Allen, N.J. A Three-Component Conceptualization Of Organizational Commitment: Some Methodological Considerations, Human Resource Management Review, 1, 2001 Mullins, L.J, Management and Organisation Behaviour, England: Prentice Hall, 2005 Newstrom, J,W and Davis, K, Organi-zational Behavior, Human Behavior at Work” Tent Edition, New York: McGraw-Hill International Edition, 2002. Noe et al, Human Resource Management Gaining A Competitive Advantage, New York: McGrawHill/Irwin, 2003 Othman, A. K & Karim, Z. A, Personality and Leadership Styles Among Top Management in Public Listed Companies in Malaysia, Indonesia: Proceeding, USM, 2005. Ramosidi, J, Factors Influencing Job Satisfaction Among Health Care Proffesionals at South Rand Hospitas, South Africa: Mendusa Research, Unicersity of Limpopo, 2010 Renzulli, S. Joseph, Grited and Talented Behavior and Education: A Special Issue of Exceptionality, London: Lawrence Erlbaum Associates, 2002. Robbin P, Stephen and Judge A, Timothy, Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Education, Inc., 2007. Robbin, P.S dan Coulter, M, Management, England: Pearson education Limited, 2013 Sarasvathy, Saras D. and Venkataraman, Sankaran, Entrepreneurship as Methods: Open Questions for an Entrepreneurial Future, Entre-preneurship Theory and Practice, Vol 35, Issue 1. 2011 Seniati, L Pengaruh Masa Kerja, Kepribadian dan Kepuasan Kerja, dan Iklim Psikologis terhadap Komitmen Dosen pada Universitas Indonesia, Jakarta: Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No 2, 2006 Shaw, Delery & Abdula, Organization Commitment and Performance Among Guest Workers and Citizens of An Arab Country. Journal of Business Research, 56, 2003. Singh, Inderjit, The Art and Science of Entrepreneurship by Inderjit Singh, Singapore: ALVIN, 2007.
51
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Slocum dan Hellriegel, Principles of Organizational Behavior 12th Edition. New York: South-Western Changage Learning International Student, 2009.. Vecchio, P. Robert, Organizational Behavior Core Concepts, United State: Thomson South-Western, 2006 Wagner A, John and Hollenbeck, R. J, Organizational Behavior, New Delhi: McGraw-Hill Publishing Company, Ltd, 2007. Wardani, S, et al, Analisis Efektifitas SIAP-PSB On Line dan Kinerja Panitia terhadap Kepuasan User di Wilayah Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Jurnal Teknologi, Vol 4, No.1, Juni, 2011 Zimmerer, W. T, Norman M. Scarborough. Essentials of Entrepreneurship an Small Bussinss Management. Fourth edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2005
52
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENYUSUN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) KURIKULUM 2013 MELALUI METODE WORKSHOP BERBASIS PROBLEM BASED LEARNING (Kaji Tindak di SMA AL HIKMAH, Jakarta) Dirgantara Wicaksono Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta [email protected] Abstrak: penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui apakah pelaksanaan workshop berbasis problem based learning dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan dan pembelajaran berjalan dengan sebaik-baiknya; (2) Untuk mengetahui apakah workshop berbasis problem based learning yang dilakukan peneliti dapat membantu guru SMA Al-Hikmah Jakarta Timur mengatasi kesulitan dalam menyusun RPP Kurikulum 2013 dan pelaksanaannya di kelas; dan (3) Untuk meningkatkan kemampuan guru SMA Al-Hikmah Jakarta Timur dalam menyusun RPP kurikulum 2013 dan pelaksanaannya di kelas melalui workshop berbasis problem based learning. Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) ini dilaksanakan di SMA Al-Hikmah beralamat di jalan jatibarang V no 40, dalam bentuk pelaksanaan workshop penyusunan RPP kurikulum 2013 kepada guru-guru SMA Al-Hikmah dengan pendekatan problem based learning. Adapun penelitian ini dilaksanakan mulai awal bulan Juli 2013 sampai dengan awal bulan Maret 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan peserta workshop dalam memecahkan masalah penyusunan RPP kurikulum 2013 di SMA Al-Hikmah Jakarta Timur. Selain itu Peran Teknologi Pendidikan begitu dirasakan manfaatnya terutama dalam hal penentuan pendekatan, strategi serta model pembelajaran apa yang paling efektif digunakan dalam workshop ini sehingga dapat meningkatkan pemahaman guru tentang penyusunan RPP. Abstract: This study aims to: (1) determine whether the implementation of problem based learning workshops can be run as planned and learning work out; (2) To determine whether the problem based learning workshops conducted by researchers can help high school teachers of Al-Hikmah East Jakarta overcome the difficulties in preparing lesson plans Curriculum 2013 and its implementation in the classroom; and (3) To improve the ability of high school teachers of Al-Hikmah East Jakarta in preparing lesson plans curriculum 2013 and its implementation in the classroom through problem based learning workshop. Action Research School was held at the Al-Hikmah Senior High School is located at street Jatibarang V No. 40, in the form of implementation of the lesson plan curriculum 2013 workshops to high school teachers of Al-Hikmah with problem-based learning. The study was conducted from early January to early March 2014. The results showed that the Problem Based Learning approach can improve the participant's ability to solve problems in the preparation of lesson plans curriculum 2013 at Al-Hikmah East Jakarta. Additionally Role of Technology Education is so perceived benefits especially in terms of determining approaches, strategies and models of learning what is most effectively used in the workshop so as to enhance teachers' understanding of the preparation of the RPP. Keywords: ability, design instructional, curriculum, workshop. PENDAHULUAN Dalam kegiatan belajar mengajar guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa unjuk kerja (performance) guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar sangat bervariasi, kualifikasi pendidikannya beraneka ragam, dan kompetensinya pun masih belum merata. Dalam melaksanakan kurikulum guru masih mengalami kesulitan karena kurangnya pengetahuan guru tentang kurikulum itu sendiri serta beratnya beban tugas lain diluar mengajar. Guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya, terutama pada saat diberlakukannya Kurikulum baru yakni kurikulum 2013. Untuk melaksanakan kurikulum 2013 guru
53
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
harus membuat perencanaan. Perencanaan yang dibuat oleh guru berupa Program tahunan, program semester, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi Inti yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) harus dibuat oleh guru sebelum mengajar. Agar guru dapat menyusun RPP dan melaksanakannya di kelas, maka guru dituntut memiliki kemampuan atau kompetensi untuk itu. Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2005 pasal 10 guru dituntut memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pengembangan keprofesionalan guru perlu dilakukan dalam bentuk peningkatan kompetensi serta kemampuan mereka dalam bidang pengelolaan proses pembelajaran, pemanfaatan sumber belajar yang dapat dilakukan melalui pendidikan profesi, pelatihan, workshop, seminar, kegiatan ilmiah, MGMP, dan supervisi. Kondisi nyata di lapangan yaitu di Sekolah Menengah Atas (SMA) Al Hikmah menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1) masih kurangnya penguasaan materi pembelajaran oleh guru sehingga guru tidak dapat mengajar dengan baik; 2) kurang bervariasinya metode mengajar yang dikuasai guru; 3) kurang tepatnya pengelolaan kelas pada saat guru mengajar di kelas; 4) media pembelajaran yang ada belum digunakan secara maksimal oleh guru; dan 5) kurang pahamnya guru dalam membuat perencanaan pembelajaran yang akan digunakan untuk mengajar di kelas, yang dikenal dengan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Sesuai dengan uraian di atas, maka penulis ingin meningkatkan kemampuan/ kompetensi guru di sekolah terutama dalam menyusun RPP dan melaksanakannya di kelas melalui workshop dalam bentuk penelitian tindakan sekolah dengan judul: “Peningkatan Kemampuan Guru SMA Al-Hikmah Jakarta Timur dalam Menyusun RPP berbasis Kurikulum 2013 Melalui Workshop.” TINJAUAN PUSTAKA Pelatihan Secara filosofis pelatihan dapat dikategorikan sebagai pekerjaan membangun, oleh sebab itu harus didirikan di atas fondasi yang kuat. Di dalam konsep ini hasil akhirnya lebih dititikberatkan kepada peningkatan kemampuan individu melalui perubahan perilaku manusia yang kompleks (Satmoko, 2004: 21). Kegiatan pelatihan merupakan siklus kegiatan berkelanjutan yang terdiri atas: (i) analisis kebutuhan pelatihan; (ii) perencanaan program pelatihan; (iii) penyusunan bahan pelatihan; (iv) pelaksanaan pelatihan; (v) penilaian pelatihan. Kegiatan-kegiatan itu bersifat urut (Mujiman, 2009: 56). Urutan pelatihan tersebut dapat digunakan untuk keperluan pelaksanaan workshop. Namun demikian dalam workshop, urutan pelaksanaannya tidak memiliki siklus kegiatan berkelanjutan. Artinya workshop berlangsung satu event atau moment untuk mengatasi secara ringkas, cepat dan padat suatu permasalahan yang sedang dihadapi, dalam hal ini permasalahan kompetensi guru dalam menyusun RPP. Dengan demikian urutan pelaksanaan workshop adalah: (i) analisis kebutuhan workshop; (ii) perencanaan program workshop; (iii) penyusunan bahan workshop; (iv) pelaksanaan workshop; (v) penilaian workshop. Kemampuan guru Kemampuan guru tidak lain adalah kompetensi seorang guru yang memenuhi standar yang terdiri dari empat komponen kompetensi yang terdiri dari: kompetensi pengelolaan pembelajaran, kompetensi wawasan kependidikan, kompetensi akademik/vokasional, dan kompetensi pengembangan profesi. Dalam penelitian action research ini lebih ditekankan dan dibatasi hanya kepada komponen kompetensi pengelolaan pembelajaran saja. Itupun dibatasi hanya kepada kemampuan menyusun rencana pembelajaran, dan kemampuan melaksanakan pembelajaran. 1. Kemampuan Menyusun Rencana Pembelajaran Kompetensi secara umum diartikan sebagai kesanggupan untuk melakukan tindakan tertentu, baik secara fisik maupun mental, baik sebelum maupun setelah mendapat latihan. Greenberg dan Baron memberikan pengertian kemampuan sebagai kapasitas mental dan fisik untuk mengerjakan berbagai tugas (Greenberg and Baron, 1995: 15). Hensey dkk (1996: 1) tidak memisahkan secara tegas antara kemampuan fisik dan kemampuan mental. Mereka memberikan pengertian kemampuan sebagai pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dibawa individu atau kelompok pada tugas 54
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
atau aktivitas tertentu. Kemampuan dapat dipisahkan dalam dua kategori utama yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Gagne (1979: 51) menyatakan bahwa kemampuan memiliki lima kategori yaitu: (1) keterampilan intelektual; (2) informasi verbal; (3) strategi kognitif; (4) keterampilan motorik dan (5) sikap, tiap kategori kemampuan didukung oleh kondisi internal maupun kondisi eksternal. Dalam ranah kognitif, seseorang belajar mulai dari informasi verbal, kemudian ketrampilan intelektual dan strategi kognitif. Selain itu seseorang juga belajar keterampilan motorik dan sikap secara bersamaan ataupun secara berurutan. Menurut Bloom (1982: 28) tujuan pendidikan memiliki tiga ranah yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik. Kegiatan belajar di sekolah pada umumnya lebih menekankan aspek kognitif. Klasifikasi kemampuan dari tingkatan rendah sampai kemampuan penalaran yang paling tinggi dalam ranah kognitif secara berturut-turut adalah: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Adapun standar kompetensi guru yang utama adalah: kemampuan menyusun rencana pembelajaran, kemampuan melaksanakan pembelajaran, dan kemampuan menilai prestasi belajar. Kemampuan menyusun rencana pembelajaran meliputi: (a) mendeskripsikan tujuan pembelajaran; (b) menentukan materi sesuai dengan kompetensi yang telah ditentukan; (c) mengorganisasikan materi berdasarkan urutan dan kelompok; (d) mengalokasikan waktu; (e) menentukan metode pembelajaran yang sesuai; (f) merancang prosedur pembelajaran; (g) menentukan media pembelajaran/peralatan praktikum (dan bahan) yang akan digunakan; (h) menentukan sumber belajar yang sesuai (berupa buku, modul, program komputer dan sejenisnya), dan (i) menentukan teknik penilaian yang sesuai (Satmoko, 2004: 8). 2. Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran Mengajar, bagi Nasution (1995: 6) berarti; membimbing aktivitas siswa, membimbing pengalaman anak, dan membantu anak berkembang dan menyesuaikan diri kepada lingkungan. Dalam paradigma ‘pembelajaran’, kata ‘mengajar’ tidak berdiri sendiri lagi. Dia harus disandingkan dengan kata ‘belajar’, jadilah ‘belajar-mengajar’. Sementara itu Proses belajar mengajar menurut (Makmun, 2000: 156) dapat diartikan sebagai, “…suatu rangkaian interaksi antara siswa dan guru dalam rangka mencapai tujuannya.” Ditinjau dari aspek proses, belajar mengajar paling tidak mengandung 3 (tiga) proses (Sukmadinata, 1999: 144). Pertama, proses mendapatkan atau memperoleh informasi baru. Kedua, proses transformasi. Ketiga, proses evaluasi. Kemampuan mengajar guru merupakan fungsi dari usaha, ke-cermatan, peranan, persepsi dan kemampuan dalam mengajar. Untuk dapat mengajar dengan baik, seorang guru harus memiliki motivasi dan kapasitas atau kecakapan (capacity) untuk mengajar. Kapasitas tersebut meliputi; kemampuan, bakat, keterampilan, latihan, peralatan, dan teknologi yang dapat digunakan untuk mengajar. Dengan demikian kompetensi guru memiliki empati dimensi, yaitu: motivasinya dalam mengajar, pengetahuan, keterampilan dan persepsinya tentang profesi sebagai pendidik, dengan indikator: dapat dan mampu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan suatu lingkungan pembelajaran di mana permasalahan mengarahkan pembelajaran. Artinya, sebelum siswa belajar beberapa pengetahuan, kepada mereka diberikan suatu permasalahan. Permasalahan dikemas sedemikian yang membuat para siswa menemukan sendiri bahwa mereka butuh mempelajari beberapa pengetahuan baru sebelum mereka dapat mengatasi permasalan. Beberapa lingkungan pembelajaran berbasis masalah di antaranya adalah: proyek-proyek penelitian, proyek-proyek desain perekayasaan yang lebih dari sekadar suatu sintesis berbagai pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya. (http://chemeng.mcmaster.ca/pbl/pbl.htm) Tujuan dari implementasi Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning) adalah untuk membentuk pembelajar yang akan: (a) dapat menghadapi berbagai permasalahan yang ditemukan dalam kehidupan dan karir dengan penuh inisiatif dan minat; (b) secara efektif menggunakan suatu dasar pengetahuan yang terintegrasi, lentur dan dapat digunakan; (c) mengimplementasikan secara efektif dan langsung keterampilan pembelajaran untuk melanjutkannya sebagai suatu kebiasaan sepanjang hidup; (d) secara kontinyu memonitor dan menilai pengetahuan mereka, pemecahan masalah dan keterampilan belajar sendiri, dan (e) secara 55
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
efektif dapat berkolaborasi (http://www.pbli.org/pbl/pbl.htm).
Sabah, Malaysia
sebagai
anggota
suatu
kelompok
pembelajar
Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai tantangan yang dihadapi dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal. Pada Kurikulum 2013, penyusunan kurikulum dimulai dengan menetapkan standar kompetensi lulusan berdasarkan kesiapan peserta didik, tujuan pendidikan nasional, dan kebutuhan. Setelah kompetensi ditetapkan kemudian ditentukan kurikulumnya yang terdiri dari kerangka dasar kurikulum dan struktur kurikulum. Satuan pendidikan dan guru tidak diberikan kewenangan menyusun silabus, tapi disusun pada tingkat nasional. Guru lebih diberikan kesempatan mengembangkan proses pembelajaran tanpa harus dibebani dengan tugas-tugas penyusunan silabus yang memakan waktu yang banyak dan memerlukan penguasaan teknis penyusunan yang sangat memberatkan guru.Untuk menjamin ketercapaian kompetensi sesuai dengan yang telah ditetapkan dan untuk memudahkan pemantauan dan supervisi pelaksanaan pengajaran, perlu diambil langkah penguatan tata kelola antara lain dengan menyiapkan pada tingkat pusat buku pegangan pembelajaran yang terdiri dari buku pegangan siswa dan buku pegangan guru. Karena guru merupakan faktor yang sangat penting di dalam pelaksanaan kurikulum, maka sangat penting untuk menyiapkan guru supaya memahami pemanfaatan sumber belajar yang telah disiapkan dan sumber lain yang dapat mereka manfaatkan.dalam kurikulum 2013 menuntut guru yang berkualitas dan profesional untuk melakukan kerjasama dengan pesertadidik dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Meskipun demikian, Kurikulum 2013 ini tentu saja bukanlah ‘resep atau obat segala penyakit pendidikan, namun dapat memberi sumbangan yang signifikan terhadap perbaikan pendidikan. Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Suatu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) secara operasional didefinisikan sebagai deskripsi terperinci yang dibuat guru tentang pengajaran untuk suatu pelajaran individual (http://en.wikipedia.org/wiki/Lesson_plan). Pengembangan RPP yang baik merefleksikan ketertarikan dan berbagai kebutuhan siswa. Hal itu menyelaraskan praktik-praktik yang lebih baik untuk kawasan pendidikan. RPP terkait dengan filsafat pendidikan yang dianut guru yang bersangkutan, dalam mana guru merasakan tujuan dari mendidik siswa. Guru harus memberikan jaminan bahwa tujuan RPP sesuai dengan level pengembangan siswa. Guru juga harus memberikan jaminan ekspektasi prestasi siswa yang masuk akal dan beralasan (Carey and Dick, 1990: 28). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Rencana Program Pembelajaran meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Rencana Program Pembelajaran disusun untuk setiap Kompetensi Dasar yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih; (2) Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar; (3) Tujuan pembelajaran bisa meliputi sejumlah indikator, atau satu tujuan pembelajaran untuk beberapa indikator, yang penting tujuan pem-belajaran harus mengacu pada pencapaian indikator; (4) Kegiatan pembelajaran (langkah langkah pembelajaran) dibuat setiap pertemuan, bila dalam satu RPP terdapat 3 kali pertemuan, maka dalam RPP tersebut terdapat 3 langkah pembelajaran; (5) Bila terdapat lebih dari satu pertemuan untuk indikator yang sama, tidak perlu dibuatkan langkah kegiatan yang lengkap untuk setiap pertemuannya. METODE DAN SAMPLING Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Action Research yang dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas Al-Hikmah Jakarta, dengan jumlah responden 30 orang dan dilaksanakan mulai awal bulan juli 2013 sampai dengan awal bulan maret 2014. Untuk mengatasi masalah yang dihadapi guru yang masih kurang paham dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) kurikulum 2013 dan pelaksanaannya di kelas dengan cara meningkatkan kemampuannya melalui workshop atau lokakarya dengan pendekatan problem based learning. Dalam workshop dengan pendekatan problem based learning ini peneliti melaksanakan penelitian tindakan melalui tahapantahapan: (1) Pertemuan perencanaan. Pada pertemuan perencanaan ini peneliti memberikan penjelasan tentang rencana workshop untuk cara menyusun Rencana Program Pembelajaran, membuat 56
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
perencanaan kapan guru harus membuat RPP, dan kapan guru siap diobservasi, dan sebagainya; (2) Observasi kelas, Pada tahab ini peneliti menilai Rencana Program Pembelajaran yang dibuat guru dalam kegiatan workshop dan mengamati guru mengajar di kelas. Peneliti membuat catatan-catatan dari hasil observasinya di kelas; (3) Pertemuan balik/pertemuan akhir. Setelah guru mengajar, peneliti menyampaikan catatan-catatan hasil observasinya. Kekurangan-kekurangan guru didiskusikan antara guru dan peneliti. Dari diskusi ini diharapkan masalah yang dihadapi guru akan teratasi. Data dikumpulkan melalui pengamatan langsung oleh peneliti dan juga studi dokumenasi berupa Rencana Program Pembelajaran yang telah dibuat oleh guru. Instrumen untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah: (a) Lembar Observasi untuk peneliti; (b) Lembar Evaluasi untuk peneliti; (c) Lembar Kerja Mandiri untuk guru peserta workshop; dan (e) Tes Tertulis. Teknis analisis data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan statistika deskriptif (persentase). TEMUAN DAN PEMBAHASAN Dalam pelaksanaan penelitian di kelas, peneliti terjun langsung sebagai tenaga tutor atau fasilitator sedang 1 orang guru bertindak sebagai kolaborator yang membantu peneliti dalam mengamati jalannya seluruh kegiatan penelitian tindakan tentang pelaksanaan workshop untuk mengembangkan kemampuan guru-guru SMA Al-Hikmah dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kurikulum 2013. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk melakukan peningkatan kemampuan atau kompetensi guru dalam menyusun RPP melalui workshop dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning). Penelitian tindakan sekolah ini dikerjakan dalam dua siklus, dan setiap siklus terdiri dari 5 kali pertemuan yang pada pertemuan kedua dilakukan post-test. Pertimbangan penelitian dalam lima siklus atau sepuluh kali pertemuan dalam satu semester disesuaikan dengan kalender akademis yang sedang berlangsung pada SMA Al-Hikmah Jakarta Timur. Siklus I Pertemuan Pertama Kegiatan penelitian siklus pertama adalah sebagai berikut: (1)Menyiapkan rencana tindakan workshop, dengan mengidentifikasi masalah dan penetapan alternatif pemecahan masalah; (2) Pelaksanaan tindakan: menyiapkan sarana dan prasarana untuk workshop penyusunan Rencana Program Pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan menyiapkan materi untuk tugas workshop ; (3) Melaksanakan kegiatan workshop penyusunan Rencana Program Pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang diamati kolaborator; (4) Bersama dengan kolaborator memeriksa tugas yang dikerjakan peserta workshop penyusunan Rencana Program Pembelajaran. Siklus II Pertemuan Kedua Kegiatan penelitian siklus kedua adalah sebagai berikut: (1) Sebagaimana siklus I, pada siklus II peneliti kembali menyiapkan rencana tindakan, rencanan workshop II; (2) Pelaksanaan tindakan: menyiapkan sarana dan prasaranan untuk kegiatan workshop II dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan menyiapkan worksheet kembali untuk tugas peserta workshop; (3) Melaksanakan kegiatan workshop dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang diamati kolaborator; (4) Bersama dengan kolaborator memeriksa tugas yang dikerjakan peserta workshop. Menyiapkan rencana tindakan, rencana pembelajaran, pembahasan kembali kompetensi dasar: kemampuan menyusun Rencana Program Pembelajaran; (5) Pelaksanaan tindakan: menyiapkan teks yang terkait dengan penyusunan Rencana Program Pembelajaran dan menyiapkan worksheet untuk tugas peserta workshop; (6) Bersama dengan kolaborator memeriksa tugas yang dikerjakan peserta workshop. Siklus III Pertemuan Ketiga Kegiatan penelitian siklus ketiga adalah sebagai berikut: (1) Sebagaimana siklus II, pada siklus III peneliti kembali menyiapkan rencana tindakan, rencanan workshop III; (2) Pelaksanaan tindakan: menyiapkan sarana dan prasaranan untuk kegiatan workshop III dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan menyiapkan worksheet kembali untuk tugas peserta workshop; (3) Melaksanakan kegiatan workshop dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang diamati kolaborator; (4) Bersama dengan kolaborator memeriksa tugas yang dikerjakan peserta workshop. Menyiapkan rencana tindakan, rencana pembelajaran, pembahasan kembali kompetensi dasar: kemampuan menyusun Rencana Program Pembelajaran; (5) Pelaksanaan tindakan: menyiapkan teks yang terkait dengan penyusunan Rencana Program Pembelajaran dan 57
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
menyiapkan worksheet untuk tugas peserta workshop; (6) Bersama dengan kolaborator memeriksa tugas yang dikerjakan peserta workshop,dengan melakukan evaluasi. Siklus IV Pertemuan Empat Kegiatan penelitian siklus ketiga adalah sebagai berikut: (1) Sebagaimana siklus III, pada siklus IV peneliti kembali menyiapkan rencana tindakan, rencanan workshop IV; (2) Pelaksanaan tindakan: menyiapkan sarana dan prasaranan untuk kegiatan workshop IV dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan menyiapkan worksheet kembali untuk tugas peserta workshop; (3) Melaksanakan kegiatan workshop dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang diamati kolaborator; (4) Bersama dengan kolaborator memeriksa tugas yang dikerjakan peserta workshop. Menyiapkan rencana tindakan, rencana pembelajaran, pembahasan kembali kompetensi dasar: kemampuan menyusun Rencana Program Pembelajaran; (5) Pelaksanaan tindakan: menyiapkan teks yang terkait dengan penyusunan Rencana Program Pembelajaran dan menyiapkan worksheet untuk tugas peserta workshop; (6) Bersama dengan kolaborator memeriksa tugas yang dikerjakan peserta workshop. Siklus V Pertemuan Lima Kegiatan penelitian siklus ketiga adalah sebagai berikut: (1) Sebagaimana siklus IV, pada siklus V peneliti kembali menyiapkan rencana tindakan, rencanan workshop V; (2) Pelaksanaan tindakan: menyiapkan sarana dan prasaranan untuk kegiatan workshop V dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan menyiapkan worksheet kembali untuk tugas peserta workshop; (3) Melaksanakan kegiatan workshop dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) yang diamati kolaborator; (4) Bersama dengan kolaborator memeriksa tugas yang dikerjakan peserta workshop. Menyiapkan rencana tindakan, rencana pembelajaran, pembahasan kembali kompetensi dasar: kemampuan menyusun Rencana Program Pembelajaran; (5) Pelaksanaan tindakan: menyiapkan teks yang terkait dengan penyusunan Rencana Program Pembelajaran dan menyiapkan worksheet untuk tugas peserta workshop; (6) Bersama dengan kolaborator memeriksa tugas yang dikerjakan peserta workshop. Dari lima siklus kegiatan workshop dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) ini didapatkan bahwa peserta workshop; (a) dapat menghadapi berbagai permasalahan yang ditemukan dalam kehidupan dan karir dengan penuh inisiatif dan minat; (b) secara efektif menggunakan suatu dasar pengetahuan yang terintegrasi, lentur dan dapat digunakan; (c) mengimplementasikan secara efektif dan langsung keterampilan selama workshop untuk melanjutkannya sebagai sutu kebiasaan sepanjang hidup; (d) secara kontinyu memonitor dan menilai pengetahuan mereka, pemecahan masalah dan keterampilan belajar sendiri, dan (e) secara efektif dapat berkolaborasi sebagai anggota suatu kelompok pembelajar. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pada bab IV di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan guru peserta workshop dalam memecahkan masalah penyusunan Rencana Program Pembelajaran kurikulum 2013 di SMA Al-Hikmah Jakarta Timur. Selain itu Peran Teknologi Pendidikan begitu dirasakan manfaatnya terutama dalam hal penentuan pendekatan, strategi serta model pembelajaran apa yang paling efektif digunakan dalam workshop ini sehingga dapat meningkatkan pemahaman guru tentang penyusunan Rencana Program Pembelajaran. Dampaknya juga menunjukkan adanya peningkatan kualitas performa atau kinerja guru berdasarkan persepsi siswa tentang: (a) kemampuan guru membuka/menutup pelajaran; (b) kemampuan guru mengelola kelas; (c) penampilan guru; (d) penyampaian materi; (e) keterampilan guru bertanya; dan (f) penggunaan media pembelajaran, setelah guru mengikuti workshop penyusunan Rencana Program Pembelajaran. Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disarankan agar: (1) Kegiatan penyusunan RPP kurikulum 2013 oleh guru melalui workshop dapat menggunakan pendekatan Problem Based Learning; (2) Melalui pembelajaran pendekatan Problem Based Learning, peneliti atau instruktur dapat dengan mudah merespon potensi atau modalitas guru sebagai peserta workshop dalam setiap kelompok belajar, apakah tergolong kepada kelompok visual, atau kelompok auditorial atau kelompok kinestetik. Dengan demikian seorang instruktur workshop yang profesional dapat lebih efektif dapat melakukan kegiatan
58
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
proses belajar mengajar, serta dengan mudah dapat merespon perbedaan-perbedaan potensi yang dimiliki peserta didiknya (dalam hal ini guru sebagai peserta workshop). REFERENSI Bloom, Benjamin S. (1982). Taxonomy of Educational Objectives, Cognitive Domain, Book I, New York : Logman. Carey, Lou and Walter Dick. (1990). The Systematic Design of Instruction. Tampa: Harper Collins. De Cecco, John P. dan William Crawford. (1977). The Psychology of Learning and Instruction: Educational Psychology, New Delhi: Prentice-Hall of India Private Ltd. Diez, Mary E., Jacqueline M Hass. (1997). “No more piecemeal reform: using performance-based approaches to rethink teacher education” in Action in Teacher Education, v.19. Summer. Djamarah, Syaiful Bakri. (1994). Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional. Gagne, Robert M, and Leslie J. Briggs. (1979). Principles of Instructional Design, 2nd Edition, New York: Holt, Rinehart and Winston. Greenberg, John and Robert A. Baron. (1995). Behavior in Organization, New York: Prentice Hall International, Inc. Hensey, Paul, Kenneth H. Blounchald and Downey E. Johnson. (1996). Management of Organizational Behavior, New York: Prentice Hall International, Inc. Ismawan, Indra. (2005). Learning Organization: Membangun Paradigma Baru Organisasi Pembelajar. Jakarta: Cakrawala. Makmun, Abin Syamsuddin. (2003). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja. Makmun, Abin Syamsudin. (2000). Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. McNeil, John D. (1977). Curriculum A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company. Mujiman, Haris. (2009). Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Nasution, S. (1995)Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta; Bumi Aksara. Satmoko, Soejitno Irmim. (2004). Mendesain Strategi Pelatihan Karyawan. N.p: Seyma Media. Senjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.. Sukmadinata, Nana Syaodih. (1999). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya. Suparno, Paul. (2004). Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta: Grasindo. Supriawan, Dedi dan A. Benyamin Surasega. (1990). Strategi Belajar Mengajar (Diktat Kuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung. Undang-Undang Guru dan Dosen (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005).
59
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
EVALUASI KINERJA GURU TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KOLAKA UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA Edy Karno1, dan Syahrul2 1,2
Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta [email protected] [email protected] ABSTACT
Ministry of National Teacher Certification executed since 2006 in an effort to set standards and improve teacher quality. Teacher certification is done through portfolio assessment for teachers S1/D4 minimally educated, both civil servants and non - civil servants kindergarten, elementary, junior high school, and senior high school / vocational public and private. Teachers who pass will receive a certificate educator, teacher registration number, and the allowance of one-time base salary. In order to know the teacher certification process in 2009 and as a teaching tool for the improvement of the implementation of the program, in 2012/2013 teacher certification study conducted in North Kolaka. The study used a combination of qualitative and quantitative methods. Research conclusions are : 1) pedagogical competencies of teachers who have passed the certification in North Kolaka generally been good, especially on the pedagogical aspects of such an understanding of the learners (88 %), plan the implementation of learning (88 %), evaluation of learning outcomes (84 %), and the development of the learners (76 %). 2) In the aspect of learning technology utilization (44 %) still unwell , it is because most teachers are not able to use and operate the media , especially media -based information and communication technology. 3) In general, the performance of teachers in North Kolaka is good enough because of the results achieved by the teachers at the school in the planning, implementation, evaluation and disciplinary duties. Walking with the existing responsibilities of the profession that has the ability to score or performance. 4 ) In general, the results or the value of performance is the result of the teachers' performance in carrying out tasks that can be accomplished with good results and efficient. Keywords: Teacher Certification, Evaluation of Performance, Competence ABSTRAK Sertifikasi Guru dilaksanakan Depdiknas sejak 2006 sebagai upaya menetapkan standar dan meningkatkan kualitas guru. Sertifikasi guru dilakukan melalui penilaian portofolio terhadap guru berpendidikan minimal S1/D4, baik PNS maupun non-PNS tingkat TK, SD,SMP, dan SMA/SMK swasta dan negeri. Guru yang dinyatakan lulus akan memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi guru, dan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Dalam rangka mengetahui proses pelaksanaan sertifikasi guru 2009 dan sebagai bahan pelajaran bagi perbaikan pelaksanaan program, pada 2012/2013 dilakukan studi sertifikasi guru di Kabupaten Kolaka Utara. Penelitian menggunakan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif. Kesimpulan penelitian adalah: 1) Kompetensi pedagogik guru yang telah lulus sertifikasi di Kolaka Utara pada umumnya sudah baik, terutama pada aspek-aspek pedagogik seperti pemahaman terhadap peserta didik (88%), rencana pelaksanaan pembelajaran (88%), evaluasi hasil belajar (84%), dan pengembangan peserta didik (76%). 2) Pada aspek pemanfaatan teknologi pembelajaran (44%) dinilai masih kurang baik,hal ini disebabkan karena sebagian besar guru tidak mampu menggunakan dan 60
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
mengoprasikan media khususnya media berbasis teknologi informasi dan komunikasi; 3) Pada umumnya kinerja guru di Kolaka Utara sudah cukup baik karena hasil yang dicapai oleh para guru di sekolah dalam perencanaan,pelaksanaan, evaluasi serta disiplin tugas. Berjalan dengan tanggung jawab yang ada pada kemampuan terhadap profesi yang mempunyai nilai atau hasil prestasi kerja. 4) Pada umumnya hasil atau nilai prestasi kerja merupakan hasil kinerja para guru dalam menjalankan tugas sehingga dapat dicapai dengan hasil yang cukup baik dan efisien. Kata kunci: sertifikasi guru, evaluasi Kinerja, Kompetensi LATAR BELAKANG Guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Kinerja guru dalam merencanakan danmelaksanakan pembelajaran, merupakan faktor utama dalam pencapaian tujuanpengajaran, keterampilan peguasaan proses pembelajaran ini sangat erat kaitannyadengan tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar dan pendidik. Secara sempit dapat di interpretasikan sebagai pembimbing atau fasilator belajarsiswa. Menurut Pedoman Pelaksanaan Sertifikasi melalui jalur Pendidikan menerangkan tentang tujuan Pendidikan Profesi Guru memalui Jalur Pendidikan. Mengacu pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan umum program PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan khusus program PPG seperti yang tercantum dalam pasal 2 Permendiknas Nomor 8 Tahun 2009 adalah untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian, melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik serta melakukan penelitian, dan mampu mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan. Menurut DIKTI (2006) tujuan diadakannya sertifikasi guru, yaitu: (1) menentukan kelayakan seseorang dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran; (2) peningkatan mutu proses dan hasil pendidikan; dan (3) peningkatan profesionalisme guru. Sementara itu, Pedoman dan Rambu-Rambu Pelaksanaan PLPG Sertifikasi Guru dalam Jabatan, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) memiliki tujuan sebagai berikut:(1)Untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitas guru peserta sertifikasi yang belum mencapai batas minimal skor kelulusan melalui penilaian portofolio; dan (2) Untuk menentukan kelulusan peserta sertifikasi guru melalui uji kompetensi di akhir PLPG. Sedangkan tujuan sertifikasi guru menurut UU, Permen, PP dan Fatwa Menteri Hukum dan HAM dijabarkan sebagai berikut: (1) Menentukan kelayakan seseorang dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran; (2). Peningkatan mutu proses dan hasil pendidikan; (3) Peningkatan profesionalisme guru; (4) Meningkatkan mutu dan kualifikasi guru sebagai tenaga terdidik; (5) Meningkatkan Kesejahteraan guru secara Nasional; (6) Meningkatkan kompetensi guru; dan (7) Meningkatkan kinerja atau performa guru di Indonesia Pemerintah telah membuat kebijakan sertifikasi guru dan menyelenggarakannya sejak tahun 2007 sampai sekarang dan akan berlanjut ke depan untuk perbaikan mutu pendidikan. Kebijakan ini didasarkan pada beberapa permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan khususnya yang berkaitan dengan guru. Beberapa masalah tersebut antara lain sebagai berikut: (a) Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2012), jumlah guru yang dinilai layak mengajar masih di bawah 70%, dan mendapatkan skor yang sangat rendah untuk tes mata pelajaran yang diampu; (b) Berdasarkan catatan Human Development Index (HDI), terdapat 60% guru SD, 40% SMP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu, 17,2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan pada bidang studinya. Dengan demikian, kualitas SDM guru kita adalah urutan 109 dari 179 negara di dunia. Untuk itu, perlu dibangun landasan kuat untuk meningkatkan kualitas guru dengan standardisasi rata-rata bukan standardisasi minimal; (c).Berdasarkan ujian kompetensi yang dilakukan terhadap tenaga kependidikan tahun 2012 lalu, secara nasional, penguasaan materi pelajaran oleh guru ternyata tidak mencapai 50 persen dari seluruh materi keilmuan yang harus menjadi kompetensi guru; (d).Skor mentah yang diperoleh oleh guru untuk semua jenis pelajaran juga 61
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
memprihatinkan. Guru PKn, sejarah, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, fisika, biologi, kimia, ekonomi, sosiologi, geografi, dan pendidikan seni hanya mendapatkan skor sekitar 20-an dengan rentang antara 13 hingga 23 dari 40 soal; dan (e).Kebijakan sertifikasi guru telah berjalan selama empat tahun (2007- 2011). Diharapkan kebijakan ini dapat membawa perubahan menuju ke arah yang diinginkan yakni perbaikan mutu guru yang akan berdampak pula pada perbaikan mutu pendidikan. Evaluasi terhadap kebijakan tersebut dipandang penting untuk mengetahui sejauh mana hasil dan dampak kebijakan sertifikasi guru terhadap konteks yang terkait dengan kebijakan tersebut. Oleh karena itulah, evaluasi kebijakan sertifikasi guru ini dilaksanakan. MASALAH a. Bagaimana Penerapan hasil PLPG dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru yang telah tersertifikasi di Kabupaten Kolaka Utara? b. Apakah ada korelasi antara hasil pelatihan dengan peningkatan mutu pembelajaran di Kabupaten Kolaka Utara? TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini bertujuan memberikan informasi yang akurat bagi pemerintah Kabupaten Kolaka Utara dalam hal sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui Penerapan hasiL PLPG dalam pembelajaran yang dilakuakan oleh guru-guru yang telah tersertifikasi; 2) Untuk mengetahui korelasi antara hasil pelatiah dengan peningkatan mutu pembelajaran. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1) Secara teoritis, untuk kajian lebih dalam mengenai evaluasi kebijakan dalam dunia pendidikan khususnya mengenai sertiifikasi bagi guru-guru Kabupaten Kolaka Utara; 2) Secara praktis, untuk dasar dan bahan perbaikan kebijakan serta bahan rumusan kebijakan Pemerintah daerah Kabupaten Kolaka Utara tentang optimalisasi peran guru tersertifikasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Kabupaten Kolaka Utara; 3) Informasi faktual tentang kinerga guru tersertifikasi dalam menjalankan tugas profesionalnya di Kabupaten kolaka Utara. KAJIAN PUSTAKA Konsep Kinerja Guru Istilah kinerja guru berasal dari kata job performance/actual permance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang).Jadi, menurut bahasa kinerja bisa diartikan sebagai prestasi yang nampak sebagai bentuk keberhasilan kerja pada diri seseorang. Keberhasilankerja juga ditentukan dengan pekerjaan serta kemampuan seseorangpada bidang tersebut. Keberhasilan kerja juga berkaitan dengan kepuasankerja seseorang (Mangkunegara, 2000: 67). Menurut Ivor K. Davies bahwa terdapat empat fungsi umum yang merupakan ciri pekerja seorang guru, adalah sebagaiberikut: a. Merencanakan, yaitu pekerjaan seorang guru menyusun tujuan belajar. b. Mengorgasisasikan, yaitu pekerjaan seorang guru untuk mengatur dan menghubungkansumbersumber belajar sehingga dapat mewujudkan tujuan belajardengan cara yang paling efektif, efesien, dan ekonomis mungkin. c. Memimpin, yaitu pekerjaan seorang guru untuk memotivasikan, mendorong, danmenstimulasikan murid-muridnya, sehingga mereka siap mewujudkantujuan belajar. d. Mengawasi, yaitu pekerjaan seorang guru untuk menentukan apakah fungsinyadalam mengorganisasikan dan memimpin di atas telah berhasil dalammewujudkan tujuan yang telah dirumuskan. Jika tujuan belum dapatdiwujudkan, maka guru harus menilai dan mengatur kembalisituasinya dan bukunya mengubah tujuan (Ivor K. Devies, 1987: 35-36). Sejalan dengan upaya peningkatan kinerja Guru, Pemerintah menlalui PP RI No. 19/2005, tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, menyebutkan bahwa pendidik (guru) adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Dalam konteks itu, maka kompetensi guru dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang calon guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman peserta 62
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi professional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum matapelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru. Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi nomor 16 Tahun 2009, Penilaian Kinerja Guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir, kepangkatan, dan jabatannya. Pelaksanaan tugas utama guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuan seorang guru dalam penguasaan pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, sebagai kompetensi yang dibutuhkan sesuai amanat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Sertifikat pendidik menurut Undang Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Di beberapa negara, missal Amerika Serikat, National Commision on Educatinal Services (NCES) secara umum memberikan batasan sertifikasi, yaitu “certification is a procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to teach” (Illinois State Board of Education, 2003). Dalam Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan tersirat bahwa empat kompetensi guru profesional ini dapat diukur melalui 10 komponen, yaitu: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. METODE PENELITIAN Penelitian Evaluasi kinerja guru tersertifikasi dilakukan di Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Populasi dalam penelitian evaluasi kebijakan sertifikasi guru ini adalah semua guru di Kabupaten Kolaka Utara yang mengikuti sertifikasi. Sampel dalam penelitian ini yaitu guru-guru yang telah tersertifikasi se Kabupaten Kolaka Utara yang dipilih secara random, diambil dengan convernience technique yaitu guru-guru tersertifikasi dari masing-masing sekolah yang berada ditempat atau sementara mengajar dikelas. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa cara, antara lain: 1) Untuk data observasi, instrumen yang digunakan adalah pedoman observasi, lembar observasi, lembar checklist; 2) Untuk data wawancara, instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara; 3) Untuk data angket, instrumen yang digunakan adalah kisi-kisi angket; 4) Untuk dokumentasi, instrumen yang digunakan adalah dokumen-dokumen terkait. Teknik analisis data memadukan antara paradigma kualitatif dan paradigma kuantitatif (mixed). HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN Potret Umum Pembangunan Pendidikan Di Kabupaten Kolaka Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap warga negara, keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduknya. Kualitas sumber daya manusia dapat dicapai melalui pendidikan yang terarah. Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Kabupaten Kolaka Utara berdasarkan jenjang pendidikan sebagai berikut.
63
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 1. APK, APM, dan APS Tingkat TK/RA Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2011
N o
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Batu Putih Purehu Lasusua Katoi Pakue Pakue Tengah Pakue Utara Ngapa Wawo Watunohu Ranteangin Kodeoha Lambai Tiwu Tolala Kab. Kolaka Utara
Usia 4-6 Tahun
Siswa TK/R A
663 648 1.378 472 738 520 534 1.190 375 414 386 819 409 342 319
123 55 586 133 334 263 254 265 158 325 211 358 182 113 86
TK/R A Usia 4-6 Thn 90 40 475 84 254 207 190 234 125 270 180 275 140 80 65
9.207
3.446
2.709
PAUD Non Siswa Formal Usia 4Usia 4- 6 Thn 6 Thn 0 97 0 45 0 486 0 92 0 269 0 213 0 194 0 240 0 133 0 280 0 186 0 290 0 147 0 83 0 71 0
APK
APM
APS Kab/ Provin si
123 55 586 133 334 263 254 265 158 325 211 358 182 113 86
18,55 8,49 42,53 28,18 45,26 50,58 47,57 22,27 42,13 78,50 54,66 43,71 44,50 33,04 26,96
13,57 6,17 34,47 17,80 34,42 39,81 35,58 19,66 33,33 65,22 46,63 33,58 34,23 23,39 20,38
14,63 6,94 35,27 19,49 36,45 40,96 36,33 20,17 35,47 67,63 48,19 35,41 35,94 24,27 22,26
3.446
37,43
29,42
30,69
Total Siswa
2.826
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda Olah Raga Kab. Kolaka Utara, diolah 2013. Tabel 2. APK, APM, dan APS Tingkat SD/SDLB Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2011
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Batu Putih Purehu Lasusua Katoi Pakue Pakue Tengah Pakue Utara Ngapa Wawo Watunohu Ranteangin Kodeoha Lambai Tiwu Tolala Kab. Kolaka Utara
Usia 7-12 Tahun
Siswa SD/ SDLB
SD/SDLB Usia 7-12 Thn
Siswa Usia 712 Thn
Total Siswa
APK
APM
APS
1.080 1.062 2.384 817 1.427 972 1.031 2.339 801 814 826 1.589 870 662 519
1.309 575 3.141 984 1.487 1.284 1.183 1.941 866 1.099 891 1.726 1.098 520 575
1.057 470 2.033 788 1.216 996 953 1.242 675 912 730 1.369 902 458 470
1.068 475 2.053 796 1.228 1.006 963 1.254 682 921 737 1.383 911 463 475
1.309 575 3.141 984 1.487 1.284 1.183 1.941 866 1.099 891 1.726 1.098 520 575
121,20 54,14 131,75 120,44 104,20 132,10 114,74 82,98 108,11 135,01 107,87 108,62 126,21 78,55 110,79
97,90 44,26 85,28 96,45 85,21 102,47 92,43 53,10 84,27 112,04 88,38 86,15 103,68 69,18 90,56
98,89 44,70 86,13 97,41 86,07 103,49 93,36 53,63 85,11 113,16 89,26 87,02 104,71 69,88 91,46
17.193
18.679
14.271
14.414
18.679
108,64
83,01
83,84
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda Olah Raga Kab. Kolaka Utara, diolah 2013
64
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 3. APK, APM, dan APS Tingkat SMP se Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2011
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Batu Putih Purehu Lasusua Katoi Pakue Pakue Tengah Pakue Utara Ngapa Wawo Watunohu Ranteangin Kodeoha Lambai Tiwu Tolala Kab. Kolaka Utara
Usia 13-15 Tahun
Siswa SMP
Usia 13-15 Thn
Usia 13-15 Thn
Total Siswa
APK
APM
APS
485 476 1.044 358 623 406 449 1.077 388 375 399 717 420 300 232
536 307 1.111 285 772 501 154 319 378 643 149 710 445 278 200
385 270 964 198 598 365 146 256 285 431 93 541 307 150 137
389 273 974 200 604 369 147 259 288 435 94 546 310 152 138
536 307 1.111 285 772 501 154 319 378 643 149 710 445 278 200
110,52 64,50 106,42 79,61 123,92 123,40 34,30 29,62 97,42 171,47 37,34 99,02 105,95 92,67 86,21
79,40 56,78 92,36 55,31 95,98 89,98 32,41 23,81 73,48 114,84 23,32 75,39 73,07 50,16 58,89
80,21 57,35 93,29 55,86 96,94 90,88 32,74 24,05 74,22 115,99 23,56 76,14 73,80 50,66 59,48
7.749
6.788
5.126
5.178
6.788
87,60
66,15
66,82
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda Olah Raga Kab. Kolaka Utara, diolah 2013 Tabel 4. APK, APM, dan APS Tingkat SMA se Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2011
N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kab/Kota
Batu Putih Purehu Lasusua Katoi Pakue Pakue Tengah Pakue Utara Ngapa Wawo Watunohu Ranteangin Kodeoha Lambai Tiwu Tolala Kab. Kolaka Utara
Usia 16-18 Tahun
Siswa SMA
SMA Usia 16-18 Thn
Siswa Usia 1315 Thn
Total Siswa
APK
APM
APS
499 488 1.023 351 557 365 401 980 331 343 342 625 361 260 239
532 0 962 59 695 0 0 82 0 0 154 484 124 0 0
421 0 844 39 546 0 0 60 0 0 104 374 94 0 0
425 0 853 39 552 0 0 61 0 0 105 378 95 0 0
532 0 962 59 695 0 0 82 0 0 154 484 124 0 0
106,61 0,00 94,04 16,81 124,78 0,00 0,00 8,37 0,00 0,00 45,03 77,44 34,35 0,00 0,00
84,32 0,00 82,55 11,00 98,11 0,00 0,00 6,16 0,00 0,00 30,39 59,88 26,05 0,00 0,00
85,17 0,00 83,37 11,11 99,09 0,00 0,00 6,22 0,00 0,00 30,70 60,47 26,31 0,00 0,00
7.165
3.092
2.483
2.508
3.092
43,15
34,65
35,00
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda Olah Raga Kab. Kolaka Utara, diolah 2013
65
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 5. APK, APM, dan APS Tingkat SMK se Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2011
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Batu Putih Purehu Lasusua Katoi Pakue Pakue Tengah Pakue Utara Ngapa Wawo Watunohu Ranteangin Kodeoha Lambai Tiwu Tolala Kab. Kolaka Utara
SMK Usia 16-18 Thn
Usia 16-18 Tahun
Siswa SMK
499 488 1.023 351 557 365 401 980 331 343 342 625 361 260 239
0 0 261 385 0 0 0 0 328 275 0 0 0 0 0
0 0 193 212 0 0 0 0 292 205 0 0 0 0 0
0 0 195 214 0 0 0 0 295 207 0 0 0 0 0
0 0 261 385 0 0 0 0 328 275 0 0 0 0 0
0,00 0,00 25,51 109,69 0,00 0,00 0,00 0,00 99,09 80,17 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 18,87 60,36 0,00 0,00 0,00 0,00 88,23 59,75 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 19,06 60,96 0,00 0,00 0,00 0,00 89,11 60,34 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
7.165
1.249
902
911
1.249
17,43
12,59
12,71
Siswa Usia 16-18 Thn
Total Siswa
APK
APM
APS
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda Olah Raga Kab. Kolaka Utara, diolah 2013 Proses Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dinas Pendidikan Kabupaten Kolaka Utara memilih dan menetapkan guru peserta dengan menerapkan persyaratan pendidikan S1/D4, menggunakan urutan kriteria yang ditentukan, dan menjadikan masa kerja sebagai kriteria utama. Peserta menilai PLPG sangat bermanfaat karena banyak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar. Materi yang disampaikan dinilai relevan dan tidak terlalu berat karena merupakan hal-hal yang biasa dilakukan guru. Peserta juga menilai instruktur sangat kompeten baik dalam penguasaan maupun penyampaian materi, apalagi banyak yang bergelar doktor bahkan profesor. Umumnya peserta PLPG dinyatakan lulus dan hanya sedikit yang harus mengikuti ujian ulang. Hal tersebut berarti seluruh peserta sertifikasi dari 2007 s/d 2009 dinyatakan lulus kecuali yang gugur karena tidak memenuhi persyaratan peserta, tidak memasukkan portofolio, atau tidak mengikuti PLPG. Karenanya, beredar informasi bahwa pada akhirnya semua peserta sertifikasi yang memenuhi persyaratan kepesertaan akan diluluskan, hanya tahapan kelulusannya saja yang berbeda. Menurut ketentuan, peserta yang lulus akan memperoleh sertifikat pendidik dari LPTK dan nomor registrasi guru dari Depdiknas, dan, hingga studi ini dilakukan, seluruh peserta yang lulus sudah memiliki nomor registrasi dan telah memperoleh sertifikat pendidik semua peserta. Peserta yang lulus telah menerima tunjangan profesi. Pembayaran tunjangan profesi kadangkala masih terhambat. Tunjangan yang mereka terima per triwulan pertama sampai sekarang sudah berjalan dengan baik, walaupun kadangkala tidak ada kepastian kapan tunjangan akan dibayarkan. Keterlambatan pembayaran tersebut disebabkan banyak faktor yang terkait dengan proses administrasi. Program sertifikasi guru didanai melalui APBN, APBD, dan sumber lain yang sah. APBN membiayai, antara lain, pelaksanaan sertifikasi yang dilakukan oleh LPTK dan pembayaran tunjangan profesi. Adapun APBD membiayai kegiatan sertifikasi terkait dengan tugas dan peran instansi pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Koordinasi, Pengaduan, serta Monitoring dan Evaluasi Sebagai bentuk tanggung gugat dan pelayanan informasi, Depdiknas membuka unit pelayanan masyarakat (UPM) yang berkedudukan di Jakarta. Keberadaan unit tersebut hanya diinformasikan dalam buku pedoman bagi lembaga pelaksana sedangkan dalam buku pedoman untuk guru tidak. 66
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Karenanya, umumnya guru tidak mengetahui adanya UPM dan informasi tentang penyimpangan hanya beredar di kalangan guru atau lembaga terkait tanpa adanya upaya pengaduan. Pedoman sertifikasi mengatur kegiatan monev lebih luas. Namun, terkesan hanya sebagai anjuran yang tidak mengikat, sangat umum, dan tidak mengatur tentang cara kerja dan sumber pembiayaannya sehingga pelaksanaannya diragukan. Pedoman ini juga mengatur sistem pengawasan bagi guru peserta penerima tunjangan profesi, tetapi hanya untuk data terkait SK kepegawaian dan pemenuhan jam mengajar, sedangkan kualitas atau kompetensi guru yang merupakan unsur yang dinilai dalam sertifikasi tidak diawasi. Atas dasar itulah, maka Evaluasi Kinerja Guru-Guru Tersertifikasi di Kabupaten Kolaka Utara dianggap penting untuk tetap ditindak lanjuti guna menjaga keberlanjutan peningkatan peforman guru. Pendidikan Dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) Sasaran peserta PLPG yang tidak mengikuti diklat di seluruh wilayah studi relatif kecil, yakni kurang dari 1,5%. Mereka tidak mengikuti PLPG karena mempunyai halangan pribadi yang sulit dihindari, seperti sedang naik haji, sakit, atau cuti melahirkan. PLPG dilaksanakan berdasarkan kelompok jenjang pendidikan dan mata pelajaran yang diajarkan peserta, dan dibagi ke dalam kelas-kelas. Jumlah peserta per kelas berkisar antara 20-40 orang tanpa membedakan jenis kelamin, usia, atau daerah asal. Materi PLPG mencakup empat kompetensi guru, yaitu pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial serta disampaikan oleh para instruktur dari LPTK. Rincian materi PLPG disusun dalam bentuk modul yang ditulis oleh instruktur, baik secara individual maupun tim, dengan mengacu pada rambu-rambu yang ditetapkan oleh Konsorsium Sertifikasi Guru. Ketentuan lamanya penyelenggaraan PLPG pada sertifikasi 2009 mengalami perubahan. Pada awal pelaksanaan, penyelenggaraan PLPG ditentukan selama 6 hari atau 60 jam pertemuan, yang terdiri dari 28 jam teori dan 32 jam praktik mengajar. Tidak lama berselang, ketentuan tersebut berubah menjadi selama 9 hari atau 90 jam pertemuan dengan alokasi 30 jam teori dan 60 jam praktik mengajar. Satu jam pertemuan setara dengan 50 menit. Selama PLPG berlangsung, LPTK menyediakan fasilitas yang agak bervariasi, namun umumnya mencakup biaya penginapan, konsumsi, dan materi. Fasilitas ruangan untuk pelaksanaan PLPG pada umumnya cukup baik. Selama berlangsung PLPG, umumnya peserta harus mengeluarkan biaya untuk kebutuhan pribadi dan transportasi dari rumah masing-masing. Terkadang peserta juga harus mengeluarkan dana pribadi untuk memfotokopi materi tertentu, sewa komputer, atau jasa pengetikan. Peserta PLPG dari beberapa sekolah di Bekasi tidak mengeluarkan biaya karena sekolah mereka menyediakan dana Rp200.000–Rp350.000 per peserta. Penyelenggaraan PLPG diakhiri dengan ujian yang mencakup ujian tertulis dan ujian praktik mengajar. Ujian tertulis terdiri atas ujian materi dan ujian akhir. Ujian materi diberikan setiap selesai pembahasan satu materi. Ujian akhir diberikan pada hari terakhir pelaksanaan PLPG. Soal ujian dibuat oleh masing-masing instruktur dengan mengacu pada rambu-rambu yang ditetapkan oleh Konsorsium Sertifikasi Guru. Sementara ini, belum ada uji validitas soal dan perlu direncanakan akan dilakukan untuk sertifikasi 2013. Dalam ujian praktik mengajar, peserta harus mempraktikkan kegiatan pengajaran di depan teman sejawat dan instruktur untuk dinilai kemampuannya dalam penyampaian materi dan penguasaan kelas. Peserta juga mendapat penilaian dari teman sejawat. Pada sertifikasi 2009, peserta dinyatakan lulus bila SAK ≥70. Peserta yang tidak lulus mempunyai kesempatan untuk mengikuti ujian ulang di LPTK sebanyak-banyaknya dua kali. Jika sampai dua kali ujian tetap tidak lulus, peserta akan diserahkan ke Dinas Pendidikan kabupaten/kota masing-masing untuk diberi pembinaan lebih lanjut. Pada sertifikasi 2009, peserta dinyatakan lulus apabila SAK ≥70 dengan SUT > 60 dan SUP > 70. Apabila SAK belum mencapai skor 70 karena SPFnya rendah, maka peserta dapat mengikuti ujian tulis dan/atau ujian praktik ulang untuk meningkatkan SAP. Di wilayah studi, umumnya peserta PLPG dinyatakan lulus pada ujian awal. Peserta harus mengikuti ujian ulang biasanya karena tidak mengikuti PLPG secara penuh, seperti terlambat masuk sehingga ada ujian harian yang tidak diikuti. Peserta menilai PLPG sangat bermanfaat bagi mereka karena bisa mendapatkan banyak pengetahuan dan keterampilan baru yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar.
67
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Mengenai ketentuan yang menyatakan bahwa peserta PLPG yang tidak lulus ujian ulang akan dikembalikan ke Dinas Pendidikan kabupaten, terdapat pejabat Dinas Pendidikan yang menyatakan ketidaksiapan. Hal tersebut karena belum ada ketentuan yang mengatur mekanismenya. Monitoring dan Evaluasi (monev) Kegiatan pemantauan hanya diatur secara umum dalam buku pedoman sertifikasi dan hanya dikhususkan untuk memantau penetapan calon peserta. Pemantauan tersebut dilakukan oleh unsurunsur yang ada di tingkat pusat dan menggunakan dana dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Pusat. Di wilayah studi, lembaga yang pernah menerima kegiatan pemantauan hanya LPTK. Pemantauan dilakukan oleh tim pemantau yang ditunjuk Pemerintah Pusat. Hal-hal yang dipantau mencakup pelaksanaan penilaian portofolio, pelaksanaan PLPG, dan penggunaan anggaran yang dialokasikan di LPTK. Sementara itu, Dinas Pendidikan dan kanwil Depag, Dinas Pendidikan dan Kandepag kabupaten/kota, serta sekolah dan guru belum pernah menerima pemantauan. Beberapa di antara sekolah sampel hanya pernah ditanya-tanya oleh pengawas, tetapi kegiatan tersebut tidak dilakukan secara khusus hanya sebagai bagian dari pengawasan rutin. Pada pedoman sertifikasi 2009 dituliskan perlunya kegiatan monev yang lebih luas untuk pengendalian program secara menyeluruh. Monev dapat dilakukan oleh seluruh lembaga di jajaran Dinas Pendidikan, mulai dari Ditjen PMPTK, LPMP, Dinas Pendidikan provinsi, dan Dinas Pendidikan kabupaten/kota, secara terpadu sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pengaturan sistem pengawasan terhadap peserta penerima tunjangan tersebut hanya untuk data terkait SK kepegawaian dan pemenuhan jam mengajar, sedangkan data kualitas atau kompetensi guru yang merupakan unsur yang dinilai dalam sertifikasi, yakni kemampuan pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial, tidak dinilai. Penilaian Kompetensi Guru Tersertifikasi Berdasarkan hasil penilaian kinerja guru dari 25 orang responden yang didasarkan pada kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesionalisme menunjukkan bahwa secara umum kemampuan pedagogik dan kemampuan kepribadian rata-rata berada pada skor baik dan sangat baik, sedangkan kompetensi profesionalme dan sosial rata-rata pada skor kurang. Hasil analisis angket yang diberikan menunjukkan bahwa kemampuan pedagogik guru-guru tersertifikasi rata-rata berada dalam kategori tinggi yakni sebesar 80% dan 20% yang berada dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik guru-guru tersertifikasi telah dilaksanakan dengan baik maksudnya responden telah memiliki keterampilan mengajar. Mengajar adalah menyajikan bahan ajar tertentu berupa seperangkat pengetahuan, nilai dan atau deskripsi keterampilan kepada seseorang atau sekumpulan orang/atau meningkatkan inteligensinya secara intelektual. Kompetensi kepribadian guru-guru tersertifikasi dengan skor kategori A (selalu) atau sebesar 88% dan hanya 12% yang memiliki skor kategori B (sering). Hasil skor ini memberikan informasi bahwa kompetensi kepribadian guru-guru tersertifikasi memiliki integritas dan komitmen pribadi yang sangat baik. Kondisi ini terjadi karena didukung oleh kebijakan pimpinan wilayak Kabupaten Kolaka Utara (Bupati) dan jajarannya serta system pengawasan moral yang baik. Kompetensi professional guru berdasarkan skor instrument rata-rata berada pada skor tinggi artinya kemampuan professional sudah terlaksana dengan baik. Beberapa hal yang masihperlu perbaikan adalah: penggunaan metode pembelajaran yang bervariasi(multistrategi), ketrampilan menjawab pertanyaan, dan penentuan teknik penilaian (evaluasi). Kompetensi pedagogik guru yang telah lulus sertifikasi, telah mencapai kategoribaikdan sangat baik (100%). Pengamatan (observasi) pelaksanaan di kelas, dilakukan terhadap 25 guruyang telah lulus sertifikasi. Penerapan Hasil PLPG Sebagai Dasar Penilaian Berdasarkan analisis data penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1) guru membuat perencanaan pembelajaran yang hendak diberikan, menyusun standarisi kurikulum sebagai acuan atau pedoman dalam pembelajaran, membuat rumusan tujuan pembelajaran, membuat RPP sebelum mengajar, membuat perencanaan ataupersiapan pembelajaran yang hendak diberikan, membuat bahan 68
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
ajar yang digunakan relevan dengan tujuanpembelajaran yang sudah dirumuskan, guru mengunakan media yangrelevan dengan materi; 2) kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran meliputi: memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai bahan pelajaran yang disampaikan, mengajukan ataumelakukan post tes kepada siswa sebelum memulai pelajaran, menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan, mengalami kesulitan dalam menggunakan sumber metode, melakukan evaluasi atau penilaian setelah satuanpokok bahan selesai di pelajari siswa, memberikan PR pada siswa setiap pelajaran diajarkan, melaksanakan pembelajaran sesuai denga program yang guru buat, dan memulai dan mengakhiri pelajaran tepat pada waktunya. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan: 1. Kompetensi pedagogik guru yang telah lulus sertifikasi di Kolaka Utara pada umumnya sudah baik, terutama pada aspek-aspek pedagogik seperti pemahaman terhadap peserta didik (88%), rencana pelaksanaanpembelajaran (88%), evaluasi hasil belajar (84%), dan pengembangan pesertadidik (76%). 2. Pada aspek pemanfaatan teknologi pembelajaran (44%) dinilai masih kurang baik, hal ini disebabkan karena sebagian besar guru tidak mampu menggunakan danmengoprasikan media khususnya media berbasis teknologi informasi dankomunikasi. 3. Pada umumnya kinerja guru di Kolaka Utara sudah cukupbaik karena hasil yang dicapai oleh para guru disekolah dalam perencanaan,pelaksanaan, evaluasi serta disiplin tugas. Berjalan dengan tanggung jawabyang ada pada kemampuan terhadap profesi yang mempunyai nilai atau hasilprestasi kerja. 4. Pada umumnya hasil atau nilai prestasi kerja merupakan hasil kinerja paraguru dalam menjalankan tugas sehingga dapat dicapai dengan hasil yangcukup baik dan efesien. Rekomendasi 1. Bagi Kementerian Pendidikan Nasional RI, penelitian ini dapat menjadi informasi penting dalam rangka perbaikan kebijakan tentang sertifikasi guru. 2. Untuk Pemerintah (Pemda) Kolaka Utara. Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Kolaka Utara agar segera menyusun strategis peningkatan Sumberdaya Manusianya khususnya bidang kependidikan. Pertama: Strategi jangka panjang dapat dilakukan melalui penelitian dan Pengembangan SDM (Research and development); Kedua: strategi jangka pendek dapat dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan dengan bekrja sama dengan pihak perguruan tinggi yang memiliki SDM berkualifikasi;dan Ketiga: untuk meningkatkan pengetahuan dankompetensi pedagogik, kepribadian, dan professional guru dalam proses pembelajaran di kelas, maka perlu disediakan perangkat pembelajaran berbasis ICT, sehingga proses pembelajaran akan lebih efektif dan efisien. 3. Untuk Kalangan Guru dan Diknas Kolaka Utara. Guru mengemban misi mentransfer nilainilai budaya setempat dan berusaha mencerdaskan anak bangsa atau memanusiakan anak manusia. Pertama: guru hendaknya selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas personalitasnya sebagai pendidik dengan berpedoman pada kompetensi Kepribadian, Pedagogik, profesional dan sosial; dan Kedua: guru sebagai teladan kepada siswa dapat dilakukan dengan memberikan contoh cara belajar yang baik dan benar, dan perilaku mendidik yang menyenangkan, dan mampu bersikap arif. DAFTAR PUSTAKA Azzet, A.M. 2011. Menjadi Guru Favorit. Ae-Ruzz Media, Yogyakarta. BSNP. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Depdiknas. 2003. Higher Education Long - Term Strategy. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Ditjen Dikti. 2008. Teacher Certification in Indonesia: A Strategy for Teacher Quality Improvement. Jakarta: Depdiknas. Ivor K. Devies. 1987. Pengelolaan Belajar. Jakarta: PT. Rajawali Pers. 69
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Kartini, Kartono.1985, Menyiapkan Memadukan Karir, Jakarta: CV Rajawali,. Kunandar. 2009. Guru Profesional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mangkunegara, AA. Anwar Prabu (2006).Evaluasi Kinerja SDM, Bandung: PT RefikaAditema, Cet. Ke-10, Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: PT.Rosda Karya Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: RemajaRosdakarya. Muslich, M. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta:PT. Bumi Aksara Nasir, U. 2007. Manajemen Peningkatan Kinerja Guru. Bandung: Mutiara Ilmu. Peraturan Pemerintah RI No 19 Tahun 2005.Tentang Standar Nasional Pendidikan.Jakarta: Eko Jaya. Rasyidin Waini. 2007. Pedagogik Teoris “dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogian Simanjutak, Payaman J (2005).Manajemen Evaluasi Kinerja, Lembaga PenerbitFakultas Ekonomi Universitas Indonesia Tim. 2009. Buku 3. Panduan Penyusunan Portofolio. Jakarta: Dikti. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Fokus Media Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta;Sinar Grafika Internet/Jurnal Department of Education. 2003. Certification Program for School Leaders (CPSL). (Online) Tersedia: http: // www.doc.k12.hi.us/personnel/school/ admincert_cpsl.htm Illinois State Board of Education. 2003. Minimum Requirements for State Certificates. File://A:/Certification Minimum Requirement Booklet.htm
70
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN PENJAMINAN MUTU TERHADAP KINERJA GURU SD NEGERI DI KECAMATAN KOTABUMI SELATAN KABUPATEN LAMPUNG UTARA
Ganjar Winata1, Lasiman2, dan Muhammad Misbah3 1,2,3
Universitas Negeri Jakarta, UPBJJ-Universitas Terbuka Bandar Lampung, Universitas Negeri Jakarta [email protected] [email protected] [email protected] Abstract
The purpose of this research is to describe and analyze the influence between: 1) principal leadership with teachers performance, 2) quality assurance with teachers performance also 3) principal leadership and quality assurance simultaneously with teachers performance on public elementary schools in South Kotabumi district on North Lampung regency. The kind of this research is quantitative by using method of ex post facto. The samples use Slovin formula as much 101 from 136 teachers who teach on public elementary schools in South Kotabumi district on North Lampung regency. Data are obtained from questionnaire and documentation, then analyzed by used correlational technique and regression both simple and double. Hypothesis test is done by Product Moment correlation and double correlation, which have been done before with normality and homogeneity test. The results of this research are: 1) there is positive influence between principal leadership with teachers performance, it means that getting better teachers perception about principal leadership, the teachers performance will be better too, 2) there is positive influence between quality assurance with teachers performance, it means that getting better teachers perception about quality assurance, the teachers performance will be better too 3) there is positive influence between principal leadership and quality assurance with teachers performance, it means that getting better teachers perception about principal leadership and quality assurance, the teachers performance will be better too. Keywords: principal leadership, quality assurance, teachers performance Abstrak Tujuan dari penelitian adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh: 1) kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru, 2) penjaminan mutu terhadap kinerja guru serta 3) kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu secara simultan terhadap kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara. Jenis penelitian ini kuantitatif dengan menggunakan metode ex post facto. Sampel menggunakan rumus Slovin sebanyak 101 dari 136 guru yang mengajar di SD Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara. Data diperoleh melalui angket dan dokumentasi, kemudian dianalisis dengan 71
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
menggunakan teknik korelasional dan regresi baik secara sederhana maupun ganda. Pengujian hipotesis dilakukan dengan korelasi Product Moment dan korelasi ganda, yang sebelumnya telah dilakukan uji normalitas dan homogenitas. Hasil penelitian sebagai berikut: 1) terdapat pengaruh yang positif antara kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru, mengandung arti bahwa semakin baik persepsi guru mengenai kepemimpinan kepala sekolah maka semakin baik pula kinerjanya, 2) terdapat pengaruh yang positif antara penjaminan mutu terhadap kinerja guru, mengandung arti bahwa semakin baik persepsi guru mengenai penjaminan mutu maka semakin baik pula kinerjanya, 3) terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu terhadap kinerja guru, mengandung arti bahwa semakin baik persepsi guru mengenai kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu maka semakin baik pula kinerjanya. Kata kunci: kepemimpinan kepala sekolah, penjaminan mutu, kinerja guru PENDAHULUAN Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bukan merupakan tugas yang mudah, karena sumber daya manusia yang berkualitas bukan hanya dilihat dari penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi dilihat juga dari sikap dan mentalitasnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas pendidikan bangsanya, karena dengan pendidikan yang berkualitas diharapkan akan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas pula, dan pada akhirnya dapat mendukung perkembangan pembangunan nasional. Mutu proses pembelajaran sangat erat kaitannya dengan peran dan tugas guru di sekolah, karena guru secara langsung berhadapan dengan siswa dalam pelaksanaan pendidikan. Menurut Sardiman (2005:125) bahwa guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Seorang guru saat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, dituntut memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik. Salah satu faktor yang menjadi tolak ukur keberhasilan sekolah adalah kinerja guru. Kinerja guru yang dimaksud adalah hasil kerja guru yang direfleksi dalam cara merencanakan, melaksanakan, menilai dan menindaklanjuti proses pembelajaran yang intensitasnya dilandasi dengan etos kerja, serta disiplin guru dalam pembelajaran. Kinerja guru atau prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu. Agar dapat mencapai kinerja yang baik itu banyak faktor yang mempengaruhi, dalam hal ini diduga kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu mempunyai kontribusi terhadap kinerja guru. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut mengenai kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu dalam kaitannya dengan kinerja guru. Kepala sekolah selaku pimpinan tertinggi di sekolah dianggap berhasil jika dapat meningkatkan kinerja guru melalui berbagai macam bentuk kegiatan pembinaan terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah. Untuk itu kepala sekolah harus mampu menjalankan peran dan tanggungjawabnya sebagai seorang manajer pendidikan, pemimpin pendidikan, supervisor pendidikan dan administrator. Menurut Simamora (2000:26) bahwa kepala sekolah diharapkan mampu menciptakan suasana kerja yang nyaman dan kondusif di sekolah, sehingga setiap guru dapat bekerja dengan maksimal. Menurut Soebagia (2000:161) bahwa kepemimpinan pendidikan memerlukan perhatian yang utama, karena melalui kepemimpinan yang baik kita harapkan akan lahir tenaga-tenaga berkualitas dalam berbagai bidang sebagai pemikir, pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Berkenaan dengan hal tersebut, kualitas kepemimpinan kepala sekolah akan 72
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
sangat menentukan kualitas pembelajaran di sekolah. Jika kualitas kepemimpinan kepala sekolah baik, maka pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan baik dan dipastikan guru bekerja secara optimal. Peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan harus dicapai dengan pengembangan dan peningkatan mutu SDM. Menurut Ali Rokhmad (Kompas, 2011) bahwa mutu pendidikan adalah kesesuaian sifat-sifat (atribut) produknya dengan kebutuhan para pelanggannya (peserta didik, masyarakat, dunia kerja, dan lain-lain). Peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan diperlukan banyak pihak yang terkait untuk terlibat baik langsung maupun tidak langsung, terutama peran serta warga sekolah (guru, kepala sekolah, staf dan murid), peran serta masyarakat dan para orang tua, sehingga perlu terus didorong dan diberdayakan serta disusun perencanaan atau persiapan yang matang mulai dari awal hingga akhir proses pendidikan. Pada konteks pendidikan, pengertian mutu pendidikan mencakup input, proses, output dan outcome pendidikan. Input pendidikan merupakan segala sesuatu yang harus tersedia karena diperlukan untuk berlangsungnya proses yaitu kebijakan mutu yang memuat maksud dan tujuan sekolah, sumber daya yang memadai, adanya kemampuan prestasi yang tinggi, fokus kepada konsumen (siswa) dan input manajemen. Proses pendidikan adalah melakukan perubahan sesuatu menjadi sesuatu yang lain, yaitu efektivitas proses belajar-mengajar, kepemimpinan sekolah yang kuat, pengelolaan tenaga kependidikan, adanya budaya mutu, teamwork yang dinamis, kewenangan dan kemandirian, partisipasi warga sekolah dan masyarakat, transparansi manajemen, sistem evaluasi dan perbaikan yang berkelanjutan serta akuntabilitas. Dalam hal ini, sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses adalah input dan hasil proses adalah output. Output pendidikan adalah kinerja sekolah yang berupa prestasi yang diukur dari kualitas, efektivitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, kualitas dan moral kerja. Peningkatan mutu pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia beserta jajarannya berusaha mewujudkan peningkatan mutu pendidikan dari tahun ke tahun melalui berbagai variasi kebijakan strategis, seperti kebijakan yang menyangkut Kurikulum 2013, akreditasi sekolah, penyediaan anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS), perbaikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Ujian Akhir Nasional (UAN) dan peningkatan mutu guru melalui peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru. Di samping itu dilakukan juga peningkatan mutu pendidikan secara lebih sistematis yaitu dengan cara penerapan sistem penjaminan mutu (quality assurance) di tingkat sekolah khususnya sekolah dasar. Penerapan sistem penjaminan mutu di tingkat sekolah diyakini akan dapat meningkatkan partisipasi seluruh elemen sekolah dalam menetapkan standar mutu, mengupayakan mutu, dan selanjutnya mewujudkan penjaminan mutu sekolahnya. Menurut Rinda Hedwig yang dikutip oleh Wiyono (2008:4) bahwa sistem penjaminan mutu bisa dilakukan baik secara menyeluruh maupun dalam bentuk berjenjang. Secara meyeluruh berarti seluruh proses yang terkait di dalam penyelenggaraan satuan pendidikan tersebut seperti penerimaan siswa baru, proses belajar mengajar, hingga proses meluluskan lulusan yang dijaminkan mutunya. Sedangkan yang dimaksud dengan bertahap adalah satuan pendidikan bisa melakukan penjaminan mutu hanya pada proses pembelajarannya saja. Penulis mengkaji fenomena yang terjadi pada guru-guru SD Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara yang terdiri dari 8 SD Negeri dengan jumlah kurang lebih 136 orang belum memenuhi harapan Pemerintah, lembaga, orangtua ataupun masyarakat. Secara umum persoalan tersebut meliputi sebagian guru yang kurang berhasil dalam mengajar dikarenakan mereka kurang disiplin dan juga kurang termotivasi untuk mengajar. Hal ini dapat dilihat dari etos kerja guru SD, yaitu: belum tepat waktu dalam bertugas, sering datang terlambat dan pulang belum waktunya, serta sebagian guru belum memiliki kualifikasi akademik S1 dan sebagian guru pula belum membuat perangkat pembelajaran. Kecenderungan kinerja guru yang masih rendah dapat dilihat dari data hasil pengawasan sekolah tahun 2012-2013. Data laporan hasil kegiatan kepengawasan sekolah tahun pelajaran 2012-2013 pada tingkat SD Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara dapat diketahui: (1) 63% guru belum menerapkan strategi pembelajaran yang bervariasi, (2) 65% guru belum menerapkan struktur kegiatan pembelajaran yang efektif, (3) 70% guru belum memperbaiki kinerja mengajar melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dan (4) 42% guru dalam pengembangan silabus belum melakukan analisis konteks.
73
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Melihat kondisi tersebut penulis tertarik untuk meneliti pengaruh kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu terhadap kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis: (1) Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara, (2) Pengaruh penjaminan mutu terhadap kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara, (3) Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu secara bersama-sama terhadap kinerja guru SD Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara. TINJAUAN PUSTAKA Kinerja Guru Kata kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, work performance atau job performance, sering disingkat performance saja. Menurut Arikunto (2002:23) bahwa performance merupakan sesuatu yang dapat diamati oleh orang lain. Sesuatu yang mengacu pada perbuatan atau tingkah laku seseorang yang dapat diamati di dalam kelompok. Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena kinerja sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau yang diperlihatkan atau kemampuan kerja, dengan kata lain kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja. Kinerja guru atau prestasi kerja merupakan hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta penggunaan waktu. Kinerja guru akan baik jika guru telah melaksanakan unsurunsur yang terdiri atas kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar. Kinerja seorang guru dilihat dari sejauh mana guru tersebut melaksanakan tugasnya dengan tertib dan bertanggungjawab, kemampuan menggerakkan dan memotivasi siswa untuk belajar dan kerjasama dengan guru lain. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah suatu hasil atau taraf kesuksesan yang dicapai oleh pekerja dalam bidang pekerjaannya, menurut kriteria yang diberlakukan untuk pekerjaan tersebut. Sedang kinerja guru adalah tingkat keberhasilan guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik guna mencapai tujuan institusi pendidikan. Kinerja guru dalam melaksanakan tugas dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern, yaitu: intelegensi; sikap dan disiplin; minat; persepsi; motivasi; pengetahuan dan kemampuan; keadaan fisiologis; insentif atau gaji; keamanan dan perlindungan; sarana dan prasarana; iklim kerja; dan gaya kepemimpinan atasan. Kepemimpinan Kepala Sekolah Suatu organisasi kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat penting, karena sebagian besar keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan dalam organisasi tersebut. Seorang pemimpin organisasi mempunyai peran yang sangat kuat untuk mempengaruhi bawahannya agar mau melakukan tindakan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Toha (2004:264) bahwa kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi orang lain, atau seni mempengaruhi manusia baik perorangan maupun kelompok. Sedangkan menurut pendapat Mulyasa (2003:51) yang mendefinisikan kepemimpinan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang lain yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan. Menurut Hersey dan Blanchard (1992) dalam Dharma dan Husaini (2008:10) ada empat gaya kepemimpinan yang efektif, yaitu telling, selling, participating dan delegating. Ciri-ciri telling (pemberitahuan): tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin memberikan instruksi atau keterangan bagaimana cara mengerjakan, kapan harus selesai, dimana pekerjaan dilaksanakan dan pengawasan, komunikasi biasanya satu arah. Ciri-ciri selling (penawaran atau penjualan): tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menawarkan gagasannya dan bawahan diberikan kesempatan berkomentar, pemimpin masih banyak melakukan pengarahan, komunikasi sudah dua arah. Ciri-ciri participating (pelibatan bawahan): tinggi hubungan dan rendah tugas, pemimpin dan bawahan saling memberikan gagasan, pemimpin dan bawahan sama-sama membuat keputusan. Ciri-ciri delegating (pendelegasian): rendah hubungan dan rendah tugas, pemimpin melimpahkan wewenangnya kepada bawahan, bawahan mendapat wewenang membuat keputusan sendiri. 74
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Penjaminan Mutu Pada bidang pendidikan yang menjadi pelanggan layanan jasa adalah para siswa, orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu, pelayanan pendidikan yang bermutu adalah pemberian layanan jasa pendidikan di sekolah yang dapat memberikan kepuasan kepada para siswa di sekolah dan masyarakat atau orang tua siswa, sejalan dengan ini Ikke D. Sartika (2002:8) mengemukakan bahwa kualitas pada dasarnya dapat berupa kemampuan, barang dan pelayanan, kualitas pendidikan dapat menunjuk kepada kualitas proses dan kualitas hasil (produk). Suatu pendidikan dapat bermutu dari segi proses (yang sudah tentu sangat dipengaruhi kualitas masukannya) jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif dan peserta didik mengalami proses pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) dan juga memperoleh pengetahuan yang berguna baik bagi dirinya maupun bagi orang lain (functional knowledge) yang ditunjang secara wajar oleh sumber daya (manusia, dana, sarana dan prasarana). Jadi berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mutu pelayanan pendidikan adalah adanya jaminan proses atau layanan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan mampu memenuhi keinginan para siswa dan masyarakat (kepuasan pelanggan). Pada lingkungan sistem pendidikan, khususnya persekolahan, tuntutan akan penjaminan mutu (quality assurance) merupakan gejala yang wajar, karena penyelenggaraan pendidikan yang bermutu merupakan akuntabilitas publik. Setiap komponen pemangku kepentingan pendidikan (orang tua, masyarakat, dunia kerja, pemerintah) dalam peranan dan kepentingannya masing-masing memiliki kepentingan terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Penanganan mutu secara menyeluruh dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang terkait mulai dari hulu sampai hilir, mencakup semua proses yang dilakukan sesuai standar mutu (quality control), penjaminan mutu (quality assurance), ke arah peningkatan mutu berkelanjutan (continuous quality improvement). Penjaminan mutu dan peningkatan mutu pendidikan memerlukan standar mutu, dilakukan dalam satu prosedur tata kerja yang jelas, strategi, kerja sama dan kolaborasi antar pemangku kepentingan; dan dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 dinyatakan bahwa pendidikan di Indonesia menggunakan delapan standar yang menjadi acuan dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan. Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada delapan standar yang menjadi kriteria minimal tersebut, yaitu: (1) Standar isi; (2) Standar proses; (3) Standar kompetensi lulusan; (4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) Standar sarana dan prasarana; (6) Standar pengelolaan; (7) Standar pembiayaan; dan (8) Standar penilaian pendidikan. Standar Nasional Pendidikan (SNP) bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta keberadaan bangsa yang bermartabat. Salah satu upaya dalam melaksanakan penjaminan mutu untuk tingkat sekolah, khususnya SD adalah dengan didirikannya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Pada pelaksanaannya secara berkala dan berkelanjutan LPMP akan membantu sekolah baik secara akademis maupun manajemen, agar sekolah itu dapat berkembang secara optimal, sehingga dapat mencapai standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Dengan demikian sekolah tersebut akan menjadi contoh bagi sekolah lain dalam mengembangkan pola manajemen untuk mencapai standar nasional pendidikan. METODE DAN SAMPLING Jenis penelitian adalah penelitian survei, yaitu penelitian yang bertujuan mem-berikan gambaran fenomena yang diamati dengan lebih mendetail, misalnya disertai data numerik, karakteristik dan pola hubungan antar variabel, hal tersebut sesuai dengan pendapat Sugiyono (2009:115). Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan prosedur penelitian deskriptif inferensial dengan membedakan variabel ke dalam variabel bebas yaitu variabel yang mempengaruhi dan variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi. Variabel bebasnya adalah kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu, sedangkan variabel terikat adalah kinerja guru. Sejalan dengan sifat penelitian deskriptif korelasional, peneliti berusaha menggambarkan faktafakta sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selanjutnya, fakta tersebut diolah dan dianalisis untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat lalu menggunakan analisis korelasi dan 75
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
regresi. Data yang diperoleh akan digunakan untuk menggambarkan karakteristik dari populasi berdasarkan variabel yang sudah ditentukan. Populasi dalam penelitian ini adalah guru-guru di Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara, yang berjumlah 136 orang. Dari populasi tersebut diambil 101 orang sebagai sampel penelitian. Jumlah tersebut diperoleh dengan menggunakan rumus Slovin pada taraf signifikan 5%. Untuk menentukan jumlah sampel di tiap-tiap sekolah digunakan teknik proportional random sampling, yaitu penarikan sampel secara acak atas kelompok populasi dengan memperhatikan proporsi setiap kelompok dalam strata populasi sehingga proporsi populasi yang paling kecil pun dapat terwakili. Studi dokumentasi dalam pengumpulan data penelitian ini dimaksudkan sebagai cara mengumpulkan data dengan mempelajari dan mencatat bagian-bagian yang dianggap penting dari berbagai risalah resmi yang terdapat di lokasi penelitian. Pemilihan teknik pengumpulan data dengan angket didasarkan atas alasan bahwa responden memiliki waktu yang cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan; setiap responden menghadapi susunan dan cara pengisian yang sama atas pertanyaan yang diajukan; responden mempunyai kebebasan memberikan jawaban; dan dapat digunakan untuk mengumpulkan data atau keterangan dari banyak responden dalam waktu yang cepat. Melalui teknik angket ini akan dikumpulkan data yang berupa jawaban tertulis dari beberapa responden atas sejumlah pertanyaan yang diajukan di dalam angket tersebut. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Mendeskripsikan data hasil penelitian merupakan langkah yang tidak bisa di-pisahkan dengan kegiatan analisis data sebagai prasyarat untuk memasuki tahap pembahasan dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian. Sebanyak 101 orang guru SD Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara yang diambil sebagai sampel telah mengisi angket yang diajukan. Sebelum pengisian angket dilaksanakan oleh guru, peneliti memberikan penjelasan tentang cara pengisian angket dimaksud. Peneliti menjelaskan bahwa data yang telah diungkap dalam penelitian ini adalah kinerja guru (Y), kepemimpinan kepala sekolah (X1) dan penjaminan mutu (X2). Kemudian dari seluruh data yang diperoleh, masing-masing akan dicari skor tertinggi dan terendah, rata-rata, simpangan baku dan variannya. Pembahasan Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru Berdasarkan analisis statistik antara kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru diperoleh koefisien korelasi (r) = 0,128 dan koefisien determinasi (r 2) = 0,016. Hal ini berarti ada hubungan yang kuat antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru dan kontribusi kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru sebesar 1,6%. Hasil ini memperlihatkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja guru. Jika kepala sekolah melaksanakan peran kepemimpinannya dengan baik, maka guru akan melaksanakan tugasnya dengan senang hati, sehingga tujuan sekolah dapat dengan mudah dicapai. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mulyasa (2003:126) yang menyatakan kepala sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan sekolah yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Kepala sekolah selaku pimpinan tertinggi di sekolah dianggap berhasil jika dapat meningkatkan kinerja guru melalui berbagai macam bentuk kegiatan pembinaan terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah. Untuk itu kepala sekolah harus mampu menjalankan peran dan tanggungjawabnya sebagai seorang manajer pendidikan, pemimpin pendidikan, supervisor pendidikan dan administrator. Kepala sekolah diharapkan mampu menciptakan suasana kerja yang nyaman dan kondusif di sekolah, sehingga setiap guru dapat bekerja dengan maksimal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soebagia (2000:161) yang menyatakan ke-pemimpinan pendidikan memerlukan perhatian yang utama, karena melalui kepemimpinan yang baik kita harapkan akan lahir tenaga-tenaga berkualitas dalam berbagai bidang sebagai pemikir, pekerja yang pada 76
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
akhirnya dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Berkenaan dengan hal tersebut, kualitas kepemimpinan kepala sekolah akan sangat menentukan kualitas pembelajaran di sekolah. Jika kualitas kepemimpinan kepala sekolah baik, maka pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan baik dan dipastikan guru bekerja secara optimal. Adanya pengaruh yang positif kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru membuktikan bahwa teori yang menyatakan kepemimpinan kepala sekolah akan menentukan kondisi guru dan diduga dapat meningkatkan kinerjanya dalam kepustakaan sejalan dengan kerangka berpikir yang diajukan. Dengan demikian, lewat penelitian ini terbukti bahwa kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor penentu bagi kinerja guru, disamping faktor-faktor lainnya. Pengaruh Penjaminan Mutu Terhadap Kinerja Guru Berdasarkan analisis statistik antara penjaminan mutu terhadap kinerja guru diperoleh koefisien korelasi (r) = 0,546 dan koefisien determinasi (r2) = 0,299. Hal ini berarti ada hubungan yang kuat antara penjaminan mutu dengan kinerja guru dan kontribusi penjaminan mutu terhadap kinerja guru sebesar 29,9%. Hasil ini memperlihatkan bahwa penjaminan mutu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja guru. Kontribusi penjaminan mutu sebesar 29,9% terhadap kinerja guru merupakan sumbangan yang cukup berarti untuk meningkatkan kinerja guru. Guru sebagai tenaga kependidikan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan tujuan pendidikan, karena guru yang langsung bersinggungan dengan peserta didik, untuk memberikan bimbingan yang akan menghasilkan tamatan yang diharapkan. Guru merupakan sumber daya manusia yang menjadi perencana, pelaku dan penentu tercapainya tujuan pendidikan. Maka kinerja guru harus selalu ditingkatkan mengingat tantangan dunia pendidikan untuk menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing di era global semakin ketat. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa guru mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya peningkatan mutu. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab VI Pasal 28 ayat 1 disebutkan bahwa “Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan nasional”. Adanya pengaruh yang positif penjaminan mutu terhadap kinerja guru membuktikan bahwa teori yang menyatakan penjaminan mutu akan menentukan kondisi guru dan diduga dapat meningkatkan kinerjanya dalam kepustakaan sejalan dengan kerangka berpikir yang diajukan. Dengan demikian, melalui penelitian ini terbukti bahwa penjaminan mutu merupakan salah satu faktor penentu bagi kinerja guru, disamping faktor-faktor lainnya. Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Penjaminan Mutu Terhadap Kinerja Guru Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh koefisien korelasi ganda (r) = 0,557 dan koefisien determinasi (r2) = 0,311. Hal ini berarti ada pengaruh yang kuat antara kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu secara simultan terhadap kinerja guru di Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara. Kemudian kontribusi kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu terhadap kinerja guru sebesar 31,1% dan selebihnya 68,9% dipengaruhi oleh faktor lain. Adanya korelasi yang positif kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu secara bersama-sama terhadap kinerja guru membuktikan bahwa teori yang menyatakan kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu secara bersama-sama akan menentukan kondisi guru dan diduga dapat meningkatkan kinerjanya dalam kepustakaan sejalan dengan kerangka berpikir yang diajukan. Dengan demikian, melalui penelitian ini terbukti bahwa kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu secara bersama-sama merupakan salah satu faktor penentu bagi kinerja guru, disamping faktor-faktor lainnya.
77
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Kesimpulan dihasilkan dari temuan dan pembahasan hasil penelitian yaitu sebagai berikut: Terdapat pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru dengan kadar kekuatan pengaruh yang positif. Mengandung arti bahwa semakin baik persepsi seorang guru mengenai kepemimpinan kepala sekolah, maka semakin baik pula kinerjanya. Terdapat pengaruh penjaminan mutu terhadap kinerja guru dengan kadar kekuatan pengaruh yang positif. Mengandung arti bahwa semakin baik persepsi seorang guru mengenai penjaminan mutu, maka semakin baik pula kinerjanya. Terdapat pengaruh kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu secara bersama-sama terhadap kinerja guru dengan kadar kekuatan pengaruh yang positif. Mengandung arti bahwa semakin baik persepsi seorang guru mengenai kepemimpinan kepala sekolah dan penjaminan mutu, maka semakin baik pula kinerjanya. Hasil dalam penelitian ini membuktikan bahwa variabel penjaminan mutu lebih berpengaruh secara positif dibandingkan variabel kepemimpinan kepala sekolah, terhadap variabel kinerja guru.
REFERENSI Amri, Sofan. (2013). Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah: dalam Teori, Konsep dan Analisis (hal. 34). Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (hal. 23). Jakarta: PT. Rineka Cipta. D. Sartika, Ikke. (2002). Quality Service In Education. Edisi Khusus Untuk Kalangan Mahasiswa (hal. 8). Bandung: Kantor Yayasan Potensia. Dharma & Husaini. (2008). Kepemimpinan Kepala Sekolah/ Madrasah yang Efektif. Jurnal Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 3(2), 10. Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik dan Implementasi (hal. 51-126). Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 bab VI tentang Standar Nasional Pendidikan, 28(1). Diunduh dari https:/www.presidenri.go.id Rokhmad, Ali. (2011). Serba-serbi Mutu Pendidikan (hal. 7). Jakarta: Surat Kabar Kompas. Sardiman, A.M. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (hal. 125). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Simamora, Henry. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia (hal. 26). Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YPKN. Soebagia, A. (2000). Manajemen Pendidikan Indonesia (hal. 161). Jakarta: Ardadirya. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan (hal. 115). Bandung: Alfabeta. Wiyono. (2008). Implementasi TQM di Perguruan Tinggi (hal. 4). Bandung: STT Telkom. Toha. (2004). Kepemimpinan dalam Manajemen (hal. 264). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
78
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
THE DEVELOPMENT OF CONSTRUCTIVISTIC-BASED BLENDED LEARNING MODEL Khaeirudin1\ 1
The Departement of Curriculum and Instructional Technology, State University of Jakarta [email protected] Abstract The purpose of this research is to develop of contructivistic-based blended learning model. The methods applied were a four step research and development model which cover stages of initiation, development, evaluation as well as implementation. The Research produce the learning model that consists of a procedural model and physical model. The evaluation includes five phases which were evaluation of peer, expert, oneto-one evaluation, limited test and field test. According to data analysis that constructivistic-based blended learning model is effective in achieving the learning competencies. Key words: Development, blended learning, constructivistic-based, procedural model, physical model Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran blended berbasis pendekatan konstruktivistik. Penelitian menggunakan metode penelitian dan pengembangan (Research and Developmen) yang meliputi empat tahap, yaitu penelitian pendahuluan, pengembangan, evaluasi, dan implementasi. Penelitian menghasilkan model yang terdiri dari model prosedural dan model fisik. Model telah dievaluasi secara formatif dan sumatif. Dalam model formatif dilakukan melalui empat fase, yaitu evaluasi oleh teman sejawat, evaluasi ahli, evaluasi satu-satu, dan tes/uji terbatas. Sedangkan tes sumatif dilakukan melalui uji lapangan. Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa model pembelajaran blended yang dikembangkan efektif untuk mencapai hasil belajar yang ditentukan. Kata kunci: Pengembangan, Pembelajaran Blended, Pendekatan Konstruktivistik, Model Prosedural, Model Fisik
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, khususnya dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah kehidupan dan peradaban umat manusia. Hampir semua aspek kehidupan manusia tidak lagi dapat melepaskan diri dari pengaruh TIK, seperti aspek budaya, politik, pertahanan keamanan, dunia kerja, ekonomi, pekerjaan rumah tangga, dan tentunya juga dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan, khususnya di daerah perkotaan, pemanfaatan TIK bukan lagi sebagai pilihan, tetapi sudah menjadi keharusan (keniscayaan), karena sebagian besar ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berkembang didasarkan pada dan disebarkan dengan TIK. Konsekuensinya 79
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
adalah suatu lembaga yang ingin berkembang tidak ada pilihan lain, selain dari harus ikut memanfaatkan TIK, baik sebagai sumber belajarnya maupun hanya dijadikan sebagai alat untuk membantu melaksanakan tugas-tugas administrasinya. Menyadari akan pentingnya peran TIK dalam dunia pendidikan maka Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), telah menetapkan untuk memanfaatkan TIK sebagai salah satu sarana yang akan digunakan untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan pembelajaran secara elektronik (Depdiknas, 2005). Di samping itu TIK juga akan digunakan untuk mengatasi masalah pemerataan, relevansi, dan tata kelola pendidikan di Indonesia. Hal ini tampak dalam rencana strategis (renstra) Kemendiknas tahun 2005 – 2009 yang menetapkan program “Perluasan Pendidikan Melalui ICT dan TV-Edukasi” untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan; program “Pengembangan Pembelajaran Berbasis ICT dan TV, termasuk Program Pendidikan Nonformal, dan Pendidikan Agama dan Keagamaan”, untuk mengatasi masalah rendahnya mutu, relevansi dan daya saing keluaran (output) pendidikan; dan program “Peningkatan Kualitas Tata Kelola Melalui Aplikasi Sistem Informasi Manajemen (SIM)” untuk mengatasi masalah lemahnya tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik dalam hal pengelolaan pendidikan (Depdiknas, 2005). Dari renstra di atas terlihat bahwa Kemendikbud (sebelumnya Kemendiknas) menyadari betul bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing keluaran adalah melalui pemanfaatan TIK. Oleh karena itulah, maka selama ini Kemdikbud telah mengembangkan berbagai program berbasis TIK di lingkungan Kemendikbud, diantaranya adalah program “Jejaring internet di sekolah-sekolah (Schools Internet Network)”; Program E-Edukasi; Program INHERENT (Indonesian Higher Education Network); dan Program “Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas)” (Supangkat, 2007). Pada dimensi praktis, pengaruh dari pemanfaatan TIK juga telah merubah pola pikir dan pola tindak mahasiswa. Saat ini mereka telah menyadari apa yang mereka inginkan dalam proses perkuliahan. Mereka memiliki harapan dan tuntutan dari proses perkuliahan yang dialaminya. Secara umum mereka mengharapkan menjadi orang-orang yang profesional untuk dapat bekerja pada saatnya mereka lulus kuliah; mereka juga ingin memiliki kemampuan untuk memilih tentang bagaimana dan apa yang ingin mereka pelajari, dan kapan mereka mempelajarinya. Perkembangan TIK juga telah membuka peluang dan mendorong terjadinya revolusi dalam cara orang belajar dan bagaimana informasi disampaikan, termasuk dalam dunia pendidikan. Lebih jauh lagi, maraknya pemanfaatan TIK dalam dunia pendidikan telah mengubah pola dan interaksi pembelajaran. Berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK telah dikembangkan oleh banyak ahli pendidikan yang bekerjasama dengan ahli teknologi informasi dan komunikasi. Berbagai istilah model pembelajaran yang berbasis TIK lahir, seperti e-learning, web-based learning, online learning, distance learning, dan juga blended learning. Model pembelajaran e-learning adalah model pembelajaran yang banyak mendapat perhatian. Zastrocky, Yanosky dan Harris menegaskan bahwa pada tahun 2004, e-learning telah digunakan oleh 50% siswa dan menjadi 59% pada tahun 2005. Sementara itu, hampir 40% dosen di PT menggunakan e-learning sebagai suplemen dari perkuliahan tatap-mukanya. Kondisi ini diharapkan terus meningkat, sehingga pada tahun 2009, diharapkan lebih dari 50% dosen di PT menyampaikan materi kuliahnya dengan memanfaatkan e-learning yang dikombinasikan dengan tatap-muka, dan pada tahun 2009, juga diprediksi akan lebih banyak lagi mahasiswa yang mengikuti kuliah hybrid daripada kuliah hanya tatap-muka atau online. Penelitian pendahuluan yang dilakukan Khaerudin (2009) terhadap para dosen pengampu mata kuliah “Evaluasi Hasil Belajar” di lingkungan UNJ menunjukkan: dilihat dari aspek proses pembelajaran yang dilakukan para dosen selama ini, semua dosen (100%) menyatakan telah memiliki dan sekaligus menggunakan silabus sebagai acuan dalam melaksanakan perkuliahan; Sebanyak 87% 80
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dosen telah menyiapkan materi kuliah di awal semester; Sebanyak 93% dari mereka menyatakan telah memiliki bahan ajar yang mereka siapkan dalam bentuk makalah/hand-out dan PowerPoint; Hal ini sejalan dengan peralatan yang mereka gunakan dalam perkuliahan yaitu dalam bentuk laptop dan LCD projector (87%); Demikian juga dengan pendekatan perkuliahan yang mereka laksanakan, sebagian besar dari mereka (80%) menyatakan menggunakan pendekatan yang mengkombinasikan antara pendekatan student center oriented dengan pendekatan teacher center oriented. Sementara itu model perkuliahan yang mereka terapkan (87%) adalah dalam bentuk sepenuhnya tatap-muka, dan hanya 13% diantara mereka yang menyatakan dalam bentuk kombinasi antara tatap-muka dan online. Itupun dengan frekuensi pertemuan tatap-muka yang masih sangat dominan (antara 70% - 90%). Dari penelitian pendahuluan tersebut juga terdeteksi bahwa hanya 67% dosen yang merasa puas dengan hasil belajar mahasiswanya, sementara sisanya (33%) menyatakan kurang puas. Sementara itu, dilihat dari aspek kesiapan para dosen dalam pemanfaatan e-learning, secara garis besar juga dapat dikatakan sudah siap. Hal ini terlihat dari sebanyak 93% dari mereka telah memiliki komputer yang terkoneksi dengan internet, bahkan sebanyak 87% dosen komputer yang dimilikinya dalam bentuk laptop. Demikian juga pada saat mereka di kantor, telah tersedia komputer yang terkoneksi dengan internet yang mereka dapat gunakan selama ada di kantor. Hal lain yang menggembirakan adalah semua dosen (100%) menyatakan bahwa mereka telah menggunakan komputer untuk keperluan perkuliahan, sekalipun baru 60% diantara mereka yang memanfaatkan internet untuk perkuliahan, dan 80% yang memanfaatkan internet untuk menambah sumber belajar. Di lihat dari aspek sikap dosen terhadap pemanfaatan e-learning, terlihat baru 87% dosen yang manyadari bahwa internet merupakan sumber belajar yang sangat kaya untuk perkuliahan; bahkan hanya 60% yang setuju kalau internet dinilai sebagai media yang efektif untuk perkuliahan. Sedikit lebih besar (73%) dosen yang setuju kalau internet dikatakan dapat dijadikan sebagai media yang efesien untuk perkuliahan. Fokus Masalah Melihat sejumlah keunggulan pembelajaran berbasis TIK yang dikenal dengan e-learning, online learning, maupun web-based learning, di samping itu adanya tuntutan perkembangan TIK yang semakin kuat, maka sudah selayaknya mereka yang selalu ingin mengikuti perkembangan iptek dan ingin melakukan inovasi dalam pembelajarannya, berpikir dan mencoba untuk memanfaatkan berbagai model pembelajaran berbasis TIK. Namun di sisi lain, karena model pembelajaran ini belum familiar bagi sebagian manajemen perguruan tinggi, maka untuk memanfaatkan model pembelajaran e-learning secara penuh masih terkendala oleh adanya aturan administratif yang mensyaratkan adanya pertemuan tatap-muka antara dosen dan mahasiswa minimal 80% dari seluruh jumlah pertemuan. Di samping itu, melihat kenyataan yang ada, dimana mereka yang menyatakan telah memanfaatkan e-learning, sesungguhnya tidak melaksanakannya secara penuh, mereka masih mengkombinasikannya dengan pembelajaran tatap-muka. Oleh karena itu, penggunaan istilah yang tepat dengan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi di atas adalah model pembelajaran blended learning. Tuntutan lain yang perlu mendapat perhatian serius dari para perancang pembelajaran adalah bahwa pembelajaran harus memberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk secara aktif berusaha mengonstruk sendiri pengetahuan dan kompetensi yang harus dimilikinya. Peran dosen hanya sebagai fasilitator dan stimulator aktivitas mahasiswa untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya, yaitu mahasiswa bukan hanya mendengar, mencatat, dan menghafal materi yang disampaikan dosen. Tetapi mereka harus mencari, mengkaji, merumuskan sendiri pengetahuan yang harus dikuasainya, sehingga pada akhirnya menguasai kompetensi yang harus dimilikinya. Memperhatikan kondisi di atas dan berdasarkan pengamatan, baik secara langsung (tidak terstruktur) mengamati proses pembelajaran yang dilakukan para dosen, melalui perbincangan informal, 81
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
maupun hasil penelitian pendahuluan ternyata masih sedikit dosen yang telah memanfaatkan internet (e-learning) sebagai model pembelajarannya. Kalaupun ada, dosen yang memanfaatkan e-learning, mereka belum mengembangkannya secara sistematis, sistemik, dan terintegrasi. Di sisi lain permasalahan yang tampak dalam pembelajaran adalah proses pembelajaran yang terjadi selama ini masih berupa pengajaran, dimana siswa berperan hanya sebagai penerima dan pasif, sedangkan dosen mengambil peran yang dominan. Materi kuliah disusun dan disampaikan secara sistematis oleh dosen. Namun melihat pola dan karakteristik pembelajaran tatap-muka dengan pembelajaran elearning yang berbeda, tentunya memerlukan perencanaan dan pengelolaan pembelajaran yang juga berbeda. Pembatasan Masalah Beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah (1) apakah para dosen mengembangkan bahan belajar yang dirancang khusus untuk pembelajaran berbasis TIK (e-learning)? (2) apakah model pembelajaran TIK (e-learning) dapat dirancang untuk melibatkan mahasiswa dalam mengonstruksi sendiri pengetahuannya? (3) Model pembelajaran TIK (e-learning) seperti apa yang memungkinkan mahasiswa mengonstruk sendiri pengetahuannya? (4) Bagaimana merancang pembelajaran berbasis TIK (e-learning) yang dapat mendorong mahasiswa untuk mengonstruk sendiri pengetahuannya? (5) Bagaimana mengombinasikan model pembelajaran berbasis TIK (e-learning) dengan pembelajaran tatap-muka yang efektif? (6) Kondisi seperti apa yang memungkinkan dilaksanakannya pembelajaran yang memadukan model pembelajaran berbasis TIK (e-learning) dengan pembelajaran tatap-muka? (7) Bagaimana merancang pembelajaran yang memadukan pembelajaran berbasis TIK (e-learning) dengan pembelajaran tatap-muka? Perumusan Masalah Bagaimana mengembangkan model pembelajaran yang memadukan pembelajaran tatap-muka dengan pembelajaran e-learning yang berbasis pendekatan konstruktivistik? Dengan kata lain bagaimana mengembangkan model pembelajaran blended learning yang berbasis pendekatan konstruktivistik? ACUAN TEORITIK Hakikat Model Pembelajaran Pengertian model yang dikemukakan oleh Rivett, menyatakan bahwa model sebagai “a set of logical relationship either qualitative or quantitative, which will link together the relevan features of the reality with which we are concerned (Hanson, 2001). Beauchamp mendeskripsikan model dilihat dari sudut pandang fungsinya, yaitu “Functionally, models are used to represent events and event interactions in a highly compact and illustrative manner (Hanson, 2001). Gustafson dan Branch mendefinisikan model sebagai “a simple representation of more complex form, processes, and functions of physical phenomena or ideas (Gustafson dan Branch, 1997). Meyer, W. J. mengatakan bahwa model adalah sesuatu yang nyata dan dikonversi untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif (Trianto, 2009), dan Miarso yang menyatakan bahwa “model adalah representasi suatu proses dalam bentuk grafis dan/atau naratif, dengan menunjukkan unsur-unsur utama serta strukturnya. Dalam hal ini memungkinkan penafsiran model naratif ke dalam bentuk grafis, atau sebaliknya (Miarso, 1988). Hakikat Pembelajaran Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu 82
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
lingkungan belajar. Reigeluth mendefinisikan pembelajaran “as a way of organizing and sequencing information for the learner which may include any or all of a number of essential elements, such as presentation of information and provision of examples, practice, and feedback (Reigeluth, 1983). Gagne dan Briggs menyatakan bahwa pembelajaran dilakukan untuk membantu mahasiswa belajar (Gagne, 1974). Carey dalam buku Definisi Teknologi Pendidikan (Terjemahan Yusufhadi Miarso) yang mengatakan bahwa pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ikut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu (Miarso, 1989). Miarso sendiri mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadinya perubahan yang relatif permanen pada diri orang lain (Miarso, 2004). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Smaldino dkk, yang mendefinisikan pembelajaran sebagai penyusunan informasi dan lingkungan untuk memfasilitasi belajar (Smaldino, 2008). Model Pembelajaran Reigeluth menyatakan bahwa model pembelajaran adalah rangkaian komponen-komponen strategi pembelajaran yang terintegrasi, antara lain komponen: pentahapan dan urutan ide isi materi; penggunaan ikhtisar dan ringkasan; penggunaan contoh; penggunaan praktek; dan penggunaan strategi yang berbeda-beda untuk memotivasi mahasiswa. Suatu model pembelajaran memperlihatkan seluruh aspek pembelajaran yang berbeda-beda, dalam rangka meraih hasil belajar terbaik melalui antisipasi kondisi belajar tertentu, yang dideskripsikan secara detil (Reigeluth, 1983). Joyce mengemukakan bahwa: models of teaching is a description of a learning environment, including our behavior as teachers when that model is used. These model have many uses, ranging from planing lesson and curriculum to designing instructional materials, including multimedia programs (Joyce, 2009). Gustafson mendefinisikan pengembangan pembelajaran sebagai suatu prosedur yang diorganisasi dengan mencakup tahapan-tahapan menganalisis, mendesain, mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi pembelajaran (Gustafson, 1997). Lebih lanjut Gustafson menjelaskan bahwa pengembangan pembelajaran mencakup sedikitnya empat aktivitas utama, yaitu (1) menganalisis latar (setting) dan kebutuhan pemelajar, (2) mendesain serangkaian spesifikasi untuk suatu lingkungan pemelajar yang efektif, efesien dan relevan, (3) mengembangkan semua pemelajar dan materi manajemen, dan (4) mengevaluasi hasil pengembangan baik evaluasi formatif maupun sumatif (Gustafson, 1997). Gustafson dan Branch mengidentifikasi enam model pengembangan pembelajaran yang dikategorikan sebagai pengembangan pembelajaran yang berorientasi pada sistem (system orientation), yaitu Instructional Development Institute (IDI) dari National Special Media Institute, Interservices Procedures for Instructional Systems Development (IPISD) Branson, Diamond, Smith and Ragan, Gentry, and Dick and Carey (Gustafson, 1997). Pendekatan Konstruktivistik Teori Belajar Konstruktivistik Marlowe, mendefinisikan konstruktivisme sebagai suatu teori tentang bagaimana kita belajar (Marlow, 1998). Sedangkan Fosnot mendefinisikan konstruktivisme sebagai suatu teori tentang pengetahuan dan belajar. Menurut pandangan teori ini, pengetahuan dibangun melalui berbagai alat, sumber, pengalaman, dan konteks. Palincsar sebagaimana dikutip Woolfolk menyatakan bahwa “banyak teori dalam ilmu kognitif mencakup banyak jenis konstruktivism karena teori-teori ini berasumsi bahwa individu mengkonstruk sendiri struktur kognitif yang dimilikinya dengan menginterpretasi pengalamannya dalam situasi khusus (Woolfolk, 2004). Richard A. Schuck seorang profesor dari Universitas of Oregon dalam Gagnon Jr., menyatakan bahwa konstruktivis secara khusus merujuk pada asumsi bahwa perkembangan manusia terjadi oleh konstruksi pengetahuan secara individual dan sosial (Gagnon, 2001). Duffy bahwa “Constructivism, like objectivism, holds that there 83
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
is a real world that we experience. … There are many ways to structure the world, and there are many meanings or perspectives for any event or concept (Dufy, 1992). Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan bukanlah suatu informasi yang dapat dipindahkan pada seseorang, untuk kemudian dihafal, diingat kembali, dan diterapkan pada situasi lain. Tetapi, pengetahuan adalah suatu pengalaman yang diperoleh melalui interaksi dengan dunia, orang, dan benda. Vygotsky memandang bahwa belajar pada individu terjadi karena adanya interaksi sosial antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Proses internalisasi dan konstruksi pengetahuan dalam diri individu terjadi karena adanya transformasi dari kegiatan eksternal ke internal, sebagai hasil dari interaksi sosial antara individu dengan lingkungannya (Woolfolk, 2004). Pembelajaran Konstruktivistik Para ahli konstruktivistik menyarankan suatu pendekatan dalam melakukan kegiatan pembelajaran dengan memberikan pemelajar kesempatan untuk mendapatkan pengalaman konkrit, bermakna, dan kontekstual dengan cara mencari bentuk, mengajukan pertanyaan, dan mengkonstruk model, konsep, dan strategi yang mereka miliki. Fosnot menyatakan yang menjadi tujuan dari pembelajaran model ini adalah adanya otonomi, hubungan sosial yang saling menguntungkan, dan pemberdayaan (Fosnot, 1996). Vygotsky menyebutnya sebagai pembelajaran sosiokultural (Gasong, 2009). Mayer melihat pembelajaran konstruktivis ini dengan menunjukkan indikator-indikator yang terdapat dalam komponen pembelajaran, diantaranya komponen hasil belajar, aktivitas belajar, dan jenis tes yang digunakan. Dilihat dari dimensi hasil belajarnya bahwa belajar konstruktivis ditandai oleh kemampuan mengingat dan mentransfer hasil dengan baik (Mayer, 1984, 1996). Mayer dan Robin menyatakan bahwa belajar konstruktivis lebih menekankan pada aktivitas kognitif pemelajarnya daripada pada aktivitas fisiknya. Vygotsky menekankan bahwa pembelajaran terjadi harus melalui interaksi antara aspek internal dan eksternal dan menekankan pada lingkungan sosial. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi pada saat siswa dihadapkan pada suatu masalah atau tugas yang belum pernah dihadapi sebelumnya, namun masalah tersebut masih ada dalam jangkauan kemampuannya atau berada dalam zona of proximal development (ZPD) mereka (Gasong, 2009). Hakikat Blended Learning Pengertian Blended Learning Larry Howard dalam makalahnya yang berjudul “Adaptive Blended Learning Environments” yang disampaikan dalam “9th International Conference on Engineering Education” di Nashville menyatakan bahwa Blended learning is a phrase introduced by the distance learning community in recognizing the value of synchronous learning activities, like face-to-face interactions with instructors and collaborative work with peers, as complements to activities performed asynchronously by individual learners (Howard, 2006). Gerald Prendergast seorang Direktur Training di “Abacus Learning System, UK” menyatakan bahwa blended collaborative learning is essentially a tutor-led distance learning method that blends available face-to-face and online techniques on a foundation framework of facilitated asynchronous confrencing (metode belajar jarak jauh yang memadukan pembelajaran tatap-muka dan teknik online atas suatu landasan kerangka kerja konfrensi asynchronous yang terfasilitasi (Prendesgast). Khan mengemukakan “blended learning combines multiple delivery media that are designed to complement each other and promote learning and application-learned behavior (Khan, 2005). Allison Littlejohn dan Chris Pegler dalam bukunya berjudul “Preparing for Blended e-Learning” menyatakan bahwa “The conventional teaching approaches and e-learning elements within a single course or programme is commonly refered to as blended learning (LittleJohn, 2007).
84
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan kajian teoretik di atas, peneliti sampai pada kerangka berpikir berikut: bahwa model pembelajaran blended learning adalah suatu model pembelajaran yang mengombinasikan antara pembelajaran tatap-muka dengan pembelajaran online. Permasalahan pokok yang harus mendapatkan perhatian serius dalam mendesain pembelajaran blended learning adalah kita harus menentukan kompetensi/materi mana yang sesuai dilaksanakan melalui pembelajaran tatap-muka, dan kompetensi/materi mana yang sesuai untuk dilaksanakan melalui online learning. Pertimbangan pokok yang harus dijadikan acuan dalam menjawab permasalahan ini adalah terkait dengan karakteristik kompetensi/materi yang akan dikaji mahasiswa. Apabila kompetensi/materi tersebut berupa pemahaman dan pengembangan konsep, atau belajar yang akan dilakukan mahasiswa berupa proses mengonstruksi pengetahuan, maka pembelajaran secara online menjadi pilihan. Sedangkan apabila kompetensi/materi yang harus dikuasai mahasiswa berupa keterampilan yang menuntut proses belajar dalam bentuk kegiatan praktek dan/atau kompetensi/materi yang menuntut interaksi sosial yang intens, maka pembelajaran tatap-muka yang dinilai paling sesuai. Di samping itu, untuk kompetensi/materi yang bersifat kognitif namun memerlukan diskusi dan latihan yang intens juga dapat dilaksanakan melalui pembelajaran tatap-muka. Sementara itu yang dimaksud dengan model pembelajaran yang berbasis pendekatan konstruktivistik adalah suatu model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk secara aktif mendapatkan pengalaman konkrit, bermakna, dan kontekstual dengan cara mencari bentuk, mengajukan pertanyaan, dan mengonstruksi model, konsep, dan strategi yang mereka miliki. Oleh karena itu yang menjadi tujuan dari pembelajaran ini adalah adanya otonomi pada mahasiswa, dan terjadinya hubungan sosial yang saling menguntungkan dan adanya pemberdayaan. Indikator lain dari sebuah pembelajaran yang berbasis pendekatan konstruktivistik adalah kompetensi yang harus dikuasai mahasiswa berupa kemampuan mengonstruksi dan mentransfer pengetahuan dengan baik, sementara jenis aktivitas belajarnya lebih menekankan pada aktivitas kognitif daripada aktivitas fisiknya; dan jenis tes yang digunakan lebih bervariasi yang mencakup tes kemampuan mengonstruksi dan juga kemampuan mentransfer. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan model pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik adalah suatu model pembelajaran yang dilaksanakan secara kombinasi antara tatap-muka dan online yang disesuaikan dengan karakteristik kompetensi/materi yang harus dikuasai mahasiswanya, dan dikondisikan agar pembelajaran menuntut mahasiswa secara aktif mencari, mengonstruksi, dan menyebarkan pengetahuan yang diperolehnya. Dengan demikian peran yang harus diemban mahasiswa dalam konteks ini adalah mahasiswa sebagai producer, publisher, audience, dan peer reviewer pengetahuan yang dipelajarinya. Mengacu pada kerangka berpikir di atas, yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk model pembelajaran blended learning yang berbasis pendekatan konstruktivistik? Pertanyaan tersebut dapat dirinci ke dalam tiga pertanyaan berikut: (1) Bagaimana langkah-langkah mengembangkan perangkat pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik? (2) Bagaimanakah langkah-langkah melaksanakan pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik? (3) Program (sistem) seperti apa yang memungkinkan dilaksana-kannya pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik? 2. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menguji keefektifan model pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik yang telah dikembangkan?
85
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
METODOLOGI PENELITIAN Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah diperolehnya suatu model pembelajaran blended learning, yaitu suatu model pembelajaran yang memadukan antara pembelajaran tatap-muka dengan pembelajaran online learning yang berbasis pendekatan konstruktivistik. Tujuan khususnya adalah melalui penelitian ini akan diperoleh perangkat model pembelajaran blended learning, dan sekaligus pedoman model pembelajaran blended learning. Perangkat model pembelajaran mencakup rencana perkuliahan (silabus dan RPP), bahan ajar dan sistem evaluasi untuk pembelajaran tatap muka dan online learning, serta program pembelajaran online learning. Sedangkan pedoman model pembelajaran berisi serangkaian prosedur bagaimana membangun dan mengelola pembelajaran blended learning, baik bagi dosen maupun mahasiswa. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Negeri Jakarta, khususnya di program studi Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan. Penelitian awal dilaksanakan pada semester ganjil tahun akademik 2009/2010. Sedangkan penelitian lapangan dalam rangka uji coba produk dilaksanakan pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan mixed methods research, yaitu suatu pendekatan penelitian yang menggabungkan penelitian secara kualitatif dan kuantitatif dalam satu penelitian. Jenis dan Sumber Data Dalam proses evaluasi akan diperoleh sejumlah data baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Sumber data terdiri dari teman sejawat (dalam bidang desain pembelajaran, bidang teknologi informasi dan komunikasi, dan bidang materi), para ahli (dalam bidang desain pembelajaran, bidang teknologi informasi dan komunikasi, dan bidang materi), mahasiswa, dan juga dari log kuliah online. Langkah-langkah Penelitian dan Pengembangan Mengacu pada model Gall & Borg, yaitu terdiri dari 10 langkah berikut: (1) Melakukan studi pendahuluan, (2) Merencanakan pengembangan model pembelajaran, (3) Mengembangkan model pembelajaran, (4) Melakukan uji coba pada tahap awal, (5) Melakukan revisi model pembelajaran, (6) Melaksanakan uji lapangan utama, (7) Merevisi model pembelajaran, (8) Melakukan uji lapangan dalam konteks yang nyata, (9) Merevisi produk final, dan (10) Implementasi dan diseminasi. Perencanaan dan Penyusunan Model Proses ini dilaksanakan dengan menggunakan rujukan utama desain pembelajaran Dick and Carey, yang mencakup 10 langkah, yaitu: (1) Mengidentifikasi Tujuan Pembelajaran Umum, (2) Melaksanakan Analisis Pembelajaran, (3) Menganalisis Konteks dan Pembelajar, (4) Merumuskan Tujuan Pembelajaran Khusus, (5) Mengembangkan Tes Acuan Patokan, (6) Mengembangkan Strategi Pembelajaran, (7) Mengembangkan dan Menyeleksi Materi Pembelajaran, (8) Mendesain dan Melaksanakan Evaluasi Formatif Pembelajaran, (9) Revisi Pembelajaran, dan (10) Mendesain dan Melaksanakan Evaluasi Sumatif.
86
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Instrumen Penelitian Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, khususnya pada tahap pendahuluan dan tahap evaluasi, dikembangkan instrumen sesuai dengan kebutuhan data dan informasi yang ingin dikumpulkan, yaitu dalam bentuk angket dan tes. Teknik Analisis Data dan Pembahasan Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif kuantitatif dan juga analisis inferensial. Data kualitatif dianalisis dengan cara mendeskripsikannya secara naratif. Prosedur analisis data kualitatif ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu proses reduksi data, penyajian data, pengambilan kesimpulan. Ada tiga teknik dalam membahas hasil analisis data, yaitu triangulation, circling, shuffling and filling. HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Hasil Pengembangan Prototipe Model Pembelajaran Blended Learning Berbasis Pendekatan Konstruktivistik Pada Mata Kuliah Evaluasi Hasil Belajar Proses penelitian dan pengembangan yang dilakukan telah menghasilkan apa yang disebut model pembelajaran blended learning dengan pendekatan konstruktivistik, yaitu model tentang langkahlangkah pengembangan pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik, model tentang pelaksanaan pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik, dan model fisikal dalam bentuk program pembelajaran online learning yang dilengkapi dengan silabus, rencana pelaksanaan perkuliahan (RPP), kompilasi bahan ajar, dan alat evaluasi, baik dalam bentuk cetak maupun digital.
Gambar 1:
Gambar 2:
Hasil Uji Coba dan Perbaikan Model Pembelajaran Blended Learning dengan Pendekatan Konstruktivistik pada Mata Kuliah Evaluasi Hasil Belajar Pada tahap ini evaluasi dilakukan dalam 4 tahap, yaitu tahap pertama evaluasi dilakukan oleh teman sejawat (peer evaluation); tahap kedua evaluasi dilakukan para ahli (expert evaluation); tahap ketiga evaluasi dilakukan melalui uji coba dan evaluasi satu-satu (one to one evaluation); dan tahap keempat evaluasi dilakukan melalui uji coba dalam skala terbatas. Pada setiap akhir tahap dilakukan revisi atas program online learning yang dievaluasi berdasarkan masukan dari responden 87
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
(teman sejawat, ahli, dan para mahasiswa). Hasil Evaluasi Teman Sejawat (Peer Evaluation) Teman Sejawat Bidang Desain Pembelajaran Secara umum, teman sejawat bidang desain pembelajaran menilai “Secara umum model ini cukup mengimplementasikan prinsip-prinsip konstruktivistik yang memberi kemungkinan bagi responden untuk membangun pengetahuan dan kompetensi yang diperlukan”. Teman Sejawat Bidang Teknologi Informasi Secara umum evaluator TI menyampaikan komentar “Sistem Pembelajaran Kuliah Online yang dikembangkan ini sudah merepresentasikan konsep Blended Learning. Beberapa target peningkatan kualitas yang dapat dilakukan secara rinci dapat dilihat pada tabel di atas” Teman Sejawat Bidang Materi Secara umum materi pembelajaran ini sudah bagus dan memadai untuk membekali mahasiswa mencapai kompetensi yang digariskan; Perlu monitoring apakah tugas yang dikerjakan dibuat sendiri atau paling sedikit berperan dalam kelompok; Mungkin perlu diinformasikan kepada mahasiswa bahwa mata kuliah ini adalah mata kuliah keahlian untuk semua lulusan UNJ bidang pendidikan yang berimplikasi pada kualitas dan profesionalitas seorang pendidik. Oleh sebab itu, perlu dicermati, misalnya pada saat membuat instrumen perlu kajian yang benar, mengolah nilai, dll. Hasil Evaluasi Ahli (Expert Evaluation) Kaji Ahli Bidang Desain Pembelajaran Berdasarkan penilaian para ahli dalam bidang desain pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa program online learning ini dinilai sangat baik. Kesimpulan ini mengindikasikan bahwa program online learning ini akan mendukung terjadinya proses pembelajaran blended learning yang berbasis pendekatan konstruktivistik berjalan dengan baik. Kaji Ahli Bidang Teknologi Infor-masi dan Komunikasi Mengacu pada hasil penilaian yang dilakukan oleh para ahli teknologi informasi dan komunikasi, dapat disimpulkan bahwa program online learning ini dapat dinilai baik. Kesimpulan ini mengindikasikan bahwa program online learning yang dikembangkan akan mendukung terjadinya proses pembelajaran blended learning yang berbasis pendekatan konstruktivistik berjalan dengan baik pula. Kaji Ahli Bidang Materi Komentar umum dan masukan dari para ahli materi diantaranya adalah “Agar materi disajikan dalam bahasa Indonesia; Agar ada petunjuk bagi mahasiswa dalam menggunakan bahan ajar; Agar dilengkapi dengan petunjuk yang sistematis”. Berdasarkan hasil penilaian dari para ahli di atas terhadap komponen-komponen pembelajaran dalam program online learning dapat disimpulkan bahwa program online learning tersebut dinyatakan sangat baik. Ini berarti bahwa program online learning ini diyakini akan dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran blended learning dengan pendekatan konstruktivistik pada mata kuliah EHB. Uji Coba dan Evaluasi Satu-satu (One to one evaluation) Berdasarkan hasil uji coba satu-satu dapat disimpulkan bahwa program online learning yang telah dikembangkan, dilihat dari dimensi desain program dinilai menarik, dan dilihat dari dimensi aksesibilitas program dapat dinyatakan telah berjalan dengan baik. Kondisi ini akan sangat mendukung untuk terjadinya proses pembelajaran dengan model blended learning dengan pendekatan 88
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
konstruktivistik berjalan dengan efektif dan menarik. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dilihat dari komponen pembelajarannya, program online learning yang dikembangkan akan dapat mendukung pelaksanaan model pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik secara efektif dan menarik. Uji Coba dan Evaluasi Skala Terbatas Berdasarkan hasil uji coba skala terbatas dapat disimpulkan bahwa program online learning yang telah dikembangkan, dilihat dari dimensi desain program dinilai menarik, dan dilihat dari dimensi aksesibilitas program dapat dinyatakan telah berjalan dengan baik. Kondisi ini akan sangat mendukung untuk terjadinya proses pembelajaran dengan model blended learning dengan pendekatan konstruktivistik berjalan dengan efektif dan menarik. Berdasarkan hasil uji coba skala terbatas, dapat disimpulkan bahwa dilihat dari komponen pembelajarannya, program online learning yang dikembangkan akan dapat mendukung pelaksanaan model pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik pada mata kuliah EHB secara efektif dan menarik. Hasil Uji Coba Efektivitas Model Pembelajaran Blended Learning Berbasis Pendekatan Konstruktivistik Pada Mata Kuliah Evaluasi Hasil Belajar Uji coba lapangan dilakukan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran blended learning, khususnya program pembelajaran online learning. Uji coba dilakukan terhadap 32 mahasiswa yang mengikuti mata kuliah evaluasi hasil belajar. Efektivitas diukur dengan dua cara, yaitu melalui penyebaran angket untuk mendapatkan pendapat mahasiswa tentang program pembelajaran blended learning yang mereka gunakan dalam perkuliahan, dan dari uji perbedaan hasil pre-test dan post-test yang dihitung dengan menggunakan rumus t-test. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan SPSS. Data hasil analisis menunjukkan bahwa selisih rerata (mean) skor pre-test dan post-test sebesar -25.256. Sementara uji-t yang menguji H0: µpre-test = µpost-test, memberikan nilai t = -10.847 dengan derajat kebebasan 31. Sedangkan nilai p-value untuk uji dua sisi (2-tailed) sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α = 0,05. Data ini membuktikan bahwa hipotesis statistik H0: µpre-test = µpost-test ditolak. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa rerata (mean) skor pre-test dan post-test tidak sama (berbeda) secara signifikan. Berdasarkan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa rerata skor pre-test dan post-test berbeda, dan perbedaanya signifikan (berarti). Ini berarti bahwa model pembelajaran blended learning yang digunakan mahasiswa efektif, karena menghasilkan hasil belajar yang berarti bagi mahasiswa. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN Kesimpulan Pertama, proses penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan telah menghasilkan model pembelajaran blended learning berbasis pendekatan kontruktivistik. Model ini terdiri dari model prosedural dan model fisikal. Model prosedural merupakan hasil konstruksi dari kajian teori yang diwujudkan dalam bentuk gambar. Model prosedural yang berhasil dikembangkan terdiri dari model tentang langkah-langkah pengembangan perangkat pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik, dan model tentang pelaksanaan pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik. Sedangkan model fisikal diwujudkan dalam bentuk program (sistem) pembelajaran blended learning yang dilengkapi dengan dokumen yang terdiri dari silabus, RPP, kompilasi materi, dan sistem evaluasi. 89
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Kedua, selama proses pengembangan dilakukan evaluasi (formatif) untuk mengetahui kelemahan-kelamahan dari program, sehingga dapat segera dilakukan revisi. Melalui kegiatan evaluasi ini telah diperbaiki sejumlah kelemahan program, baik yang menyangkut aspek desain pembelajaran, aspek teknologi informasi dan komunikasi, serta aspek materi (content). Evaluasi dan revisi dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, dimulai dari evaluasi teman sejawat (peer evaluation), kaji ahli (expert judgment), evaluasi satu-satu (one-to-one evaluation), dan evaluasi terbatas atau evaluasi kelompok-kecil (small-gorup evaluation). Ketiga, di akhir pengembangan dilakukan uji lapangan (field-trial evaluation) untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran blended learning berbasis pendekatan konstruktivistik. Uji efektivitas dilakukan dengan cara menganalisis hasil pre-test dan post-test dengan menggunakan program SPSS. Di samping itu juga dikumpulkan data tentang pendapat dan penilaian mahasiswa atas model pembelajaran blended learning yang mereka ikuti. Hasilnya analisis dengan menggunakan SPSS menyimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor pre-test dan rerata skor post-test. Ini menunjukkan bahwa model pembelajaran blended learning, efektif. Implikasi Pertama, model pembelajaran blended learning ini akan berimplikasi pada perubahan aturan yang mempersyaratkan mahasiswa harus hadir dalam kegiatan tatap-muka minimal 80%. Paling tidak harus dilakukan redefinisi tentang kehadiran. Kalau selama ini yang dimaksud dengan “hadir” adalah mahasiswa secara fisik datang ke kelas, namun dengan penerapan model ini kehadiran bisa dilakukan melalui kehadiran secara online. Kedua, dengan berhasilnya dikembangkan model pembelajaran blended learning ini menambah khasanah keilmuan bidang Teknologi Pendidikan, khususnya yang menyangkut modelmodel pembelajaran yang selama ini telah ada. Sebagai sebuah disiplin ilmu terapan, teknologi pendidikan dalam perkembangannya selalu memanfaatkan perkembangan dalam bidang lain. Demikian juga dengan model pembelajaran blended learning, ini merupakan penerapan dari disiplin ilmu terkait, khususnya dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, psikologi, dan tentunya dalam bidang pendidikan. Sesungguhnya model ini bukanlah model yang baru, karena sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dan dunia telah mengembangkannya. Hanya mereka menggunakan istilah e-learning, online learning, fleksibel learning atau istilah lain yang intinya sama yaitu melaksanakan pembelajaran dengan memanfaatkan komputer (internet) sebagai salah satu media penyampainya dan menggunakan suatu program learning content management system untuk mengelola materi dan proses pembelajarannya. Istilah blended learning masih jarang digunakan, sekalipun dalam implementasinya, sesungguhnya mereka tetap melaksanakan pembelajaran blended. Ketiga, universitas dapat menerapkan kebijakan dan mendorong para dosen untuk melaksanakan pembelajaran berbasis internet (blended learning) dengan mengadopsi model ini. Dengan demikian para dosen dapat merencanakan dan melaksanakan pembelajaran blended secara efektif. Keempat, pimpinan perguruan tinggi dituntut untuk memberi perhatian lebih dan mendorong para dosen untuk melaksanakan proses pembelajaran blended. Namun program ini memerlukan infrastruktur yang baik, seperti server yang besar dan aman, akses dan jaringan cepat dan bandwith yang juga besar. Saran Pertama, agar model ini dapat dilaksanakan dengan baik, perlu ada pelatihan bagi para dosen tentang cara mengembangkan pembelajaran blended learning, yang di dalamnya mencakup cara mendesain pembelajaran berbasis pendekatan konstruktivistik, dan pengembangan bahan ajar digital. 90
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Kedua, perlu dikembangkan kebijakan pada tingkat universitas tentang berbagai aturan yang memungkinkan diterapkannya model ini, seperti aturan tentang kehadiran mahasiswa di kelas minimal 80%. Ketiga, pimpinan perguruan tinggi perlu segera meningkatkan infrastruktur untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran blended learning.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Orin W., David R. Krathwohl. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. A Revision of Bloom’s of Educational Objectives. New York: Addison Wesley Longman Inc., 2001. Cole, Jason, Helen Foster. Using Moodle, Teaching with the Popular Open Source Course Management System.Second Edition. Bejing: O’Reilly Media Inc., 2008. Creswell, John W. & V.L. Plano Clark. Educational Research, Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Prentice Hall, 2008. Dabbagh, Nada, Brenda Bannan-Ritland. Online Learning: Concept, Strategies, and Application. New Jersey: Pearson Education Inc., 2005. Dick, Walter, Lou Carey, James O Carey. The Systematic Design of Instruction. Sixth Edition. Boston: Pearson Education, Inc., 2005. Duffy, Thomas M., David H. Jonassen. (Editor) Constructivism and The Technology of Instruction. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc., 1992. Fornot, Catherine Twomey. Constructivism: Theory, Perspective, and Practice. New York: Teacher College Press, 1996. Gasong, Dina. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternatif Mengatasi Masalah Pembelajaran. http://www.google.co.id/search?hl=id&q=%22 model+pembelajaran%22%2Bkonstruktivistik&btnG=Telusuri&meta= diunduh Jumlat, 20 Maret 2009. Gagne, Robert M. & Leslie J. Briggs. Principles of Instructional Design. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1974. Gagne, Robert M., Walter W. Wagner, Katharine C. Golas, dan John M. Keller. Principles of Instructional Design. Fifth Edition. Belmont, CA: Thomson Learning Inc., 2005. Gagnon Jr., George W., Michelle Collay. Designing for Learning: Six Element in Constructivist Classrooms. California: Corwin Press, Inc., 2001. Gall, Meredith D. Joyce P.Gall & Walter R. Borg. Educational Research An Introduction, Third Edition. Boston: Pearson Education Inc, 1983. ……... Educational Research An Introduction, Eighth Edition. Boston: Pearson Education Inc, 2007. Gustafson & Branch. Survey of Instructional Development Models. New York: Clearinghouse on Information & Technology, Syracuse University, 1997. Hanson, Kenneth T., Curriculum Planning: Integrating Multiculturalism, Constructivism, and Education Reform. New York: McGraw-Hill Higher Education, 2001. Howard, Larry, Zsolt Remenyi, Gabor Pap. “Adaptive Blended Learning Environments”. 9th International Conference on Engineering Education. Vanderbilt University, Institute for Software Integrated Systems, Nashville, TN 37235, July 23 – 28, 2006. Januszewski, Alan, Michael. Educational Technology: A Definition with Commentary. New York: Taylor & Francis Group, LLC, 2008. 91
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Joyce, Bruce, Marsha Weil, and Emily Calhoun. Models of Teaching. Boston: Pearson Education, Inc., 2009. Kearsley, Greg. Online Education, Learning and Teaching in Cyberspace. Belmont: Wadsworth, 2000. Khaerudin, “Penilaian Kebutuhan Pemanfaatan E-Learning di Universitas Negeri Jakarta”, Parameter, Vol. 16,No. 1, Juni 2009. Khan, Badrul, Managing E-Learning Strategies: Design, Delivery, Implementation and Evaluation. Hershey: Information Science Publishing, 2005. Littlejohn, Allison, Chris Pegler. Preparing for Blended E-Learning. New York: Routledge, 2007. Mayer, Richard E. “Designing Instruction for Constructivist Learning” dalam buku InstructionalDesign Theories and Models: A New Paradign of Instructional Theory, Volume II. Charles M. Reigeluth (Ed.). New Jersey: Lawrence Erlbaum Ass. Inc., 1999. Marlowe, Bruce A., Marilyn L. Page. Creating and Sustaining the Constructivist Classroom. California: Corwin Press, Inc., 1998. Miarso, Yusufhadi. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media, 2004. ……………. Survey Model Pembelajaran Instruksional. Jakarta: Dirjen Dikti: 1988. Prendergast, Geard. Blended Collaborative Learning: Online Teaching of Online Educators. Reigeluth, Charles M. Instructional-Design Theories and Models: An Overview of Their Current Status. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 1983. …………Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm of Instructional Theory, Volume II (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, 1999. …………Instructional-Design Theories and Models: Building a Common Knowledge Base, Volume III (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, 2009. Reiser, Robert A., John V. Dempsey. Trends and Issues in Instructional Design and Technology. Second Edition. New Jersey: Pearson Education Inc. 2007. Seels, Barbara B., Rita R. Richey. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya. (Terjemahan). 1994. Schank, Roger C. Designing World-Class E-Learning. New York: McGraw-Hill, 2002. Smaldino, Sharon E., Deborah L. Lowther, dan James D. Russel. Instructional Technology and Media for Learning. Eight Edition. Ohio:Pearson Prentice Hall, 2008. Suparman, Atwi, Aminudin Zuhair. Pendidikan Jarak Jauh, Teori dan Praktek. Jakarta: Universitas Terbuka, 2004. Tashakkori, Abbas dan Charles Teddie, Mixed Methodology: Combining Qualitative and Quantitative Approahes. California: Sage Publications, Inc, 1998. Trianto. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana Preanada Media Group, 2009. Woolfolk, Anita, Educational Psychology, Ninth Edition. Boston: Pearson Education, Inc., 2004.
92
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
THE IMPACT ANALYSIS OF SCHOOL BRAND IMAGE , SERVICE QUALITY, CUSTOMER SATISFACTION TOWARDS SMART SMS ( SCHOOL MANAGEMENT SYSTEM) (AN EXPERIMENT RESEARCH OF QUALITY EDUCATIONAL MANAGEMENT SERVICES) M.Hosnan1 1
Ministry Of Education And Culture ,Faculty Of Education State University Of Tirtayasa Serang - Banten Indonesia , And International Education Counselor AMEC - TOPSI San Diego CA 92121 - USA . [email protected] Abstract This study focuses on how to measure the customer satisfaction in the School brand Image, service quality towards the satisfaction aspects considered of the ServQual criteria in SMART SMS. The questionnaires developed were using ServQual criteria that manipulate the qualitative data of quality attributes into quantitative value and Likert scale based on the quantitative values. By comparing the results data of Likert scale and ServQual criteria related to the service delivered, the measurement carried out in this study is towards the service of management of Education especially in Smart School Management System(SMART SMS) . The correlation among them, based on what the functional and dysfunctional of ServQual domain compared to the Likert scale, are to validate what the main criteria required for the improvement priorities against customer satisfaction. This is due to the method are ambiguity for justifying the improvement of priorities required. Keywords : Quality , Service ,School Brand Image,Customer Satisfaction, ,Smart School Management . PENDAHULUAN Kemajuan dalam bidanag ilmu pengetahuan dan teknologi dan pergaulan antar bangsa di dunia akan membawa dampak baik bersifat positif maupun bersifat negatif terhadap dunia pendidikan. dunia pendidikan kita saat ini mengalami banyak permasalahan antara lain rendahnya mutu pendidikan,pemerataan kesempatan dalan memperoleh pendidikan, dan masalah relevansi dengan dunia kerja. Memasuki reformasi birokrasi gelombang kedua yang telah dicanangkan pemerintah sejak akhir tahun 2010 melalui Peraturan Presiden RI Nomor 81 tahun 2010 tenatng grand design reformasi birokrasi 2010-2025 dan RBI no 20 tahun 2010 tentang road map Reformasi Birokrasi; dan dalam Renstra 2010-2014 Kemdiknas telah berkomitmen dan menetapkan Visi “Terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk insan Indonesia cerdas komprehenship “. Untuk mencapai Visi ini ditetapkan misi 5K yaitu: Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, Kesetaraan, dan Kepastian. Misi 5K tersebut merupakan arah kebijakan strategis pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Kemdiknas agar masyarakat Indonesia secara bertahap dan sisitematis memperoleh haknya untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu sesuai amanat konstitusi. Keunggulan suatu bangsa tidak hanya diukur dan bertumpu semata mata pada kekayanaan sumber daya alam yang dimilki oleh suatu bangsa, melainkan juga dilihat pada ketersediaan dan keunggulan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu tenaga pendidik terdidik serta mampu menghadapi tantangan seiring dengan perubahan perubahan yang terjadi di segala bidang kehidupan manusia khususnya dlam kehidupan era globalisasi. Dalam kaitan dengan itu pendidikan di sekolah memilki peranan yang sangat penting dan strategis dan memiliki faktor yang sangat menentukan dan meyiapkan sumberdaya manusia berkualitas.
93
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Dalam Era Nitizen dan Globalisasi ditandai dengan fenomena globalisasi Abad ke-21, yaitu terjadinya proses perubahan hubungan antar bangsa dan antar negara tanpa terikat oleh batas geososial politik atau geonasional ideologis. Seluruh dunia cenderung menjadi satu dan membentuk saling ketergantungan tanpa mengenal batas batas yang jelas apapun sifat batas - batas tersebut. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah Kepala Sekolah sebagai Manajer perlu menerapkan pendekatan SMART SMS atau Manajemen Mutu (MM); pendekatan ini ternyata mengalami kesuksesan dibidang industri yang diterjemahkan dari Total Quality Management (TQM). Pendekatan manajemen ini sejak tahun 1980an mulai diterapkan dalam bidang pendidikan di negara maju dan ternyata memilki dampak dan berhasil dengan baik. Kepala sekolah sebagai manajer perlu memahami dan mencoba menerapakan pendekatan sistem manajemen mutu yang SMART di lingkungan sekolahnya. Kualitas (Quality) adalah fenomena multi-dimensi dengan demikian, untuk mencapai kualitas pelayanan (Service Quality) tanpa membedakan aspek penting dari kualitas adalah mustahil. Dalam pembahasannya tentang kualitas pelayanan, Gronroos (2000) mengacu pada tiga dimensi output kualitas, yaitu kualitas teknis, kualitas kinerja pelayanan, dan gambaran mental organisasi. Lehtinen dan Lehtinen (dikutip dalam Harrison, 2000) disebut dimensi kualitas fisik, interaktif kualitas, dan kualitas organisasi sebagai tiga dimensi kualitas pelayanan. Meskipun upaya ini telah memiliki peran utama dalam pembagian kualitas pelayanan menjadi kualitas proses dan kualitas output, tetapi mereka tidak cukup detail . pada dasar ini, Zeithaml et al. (1996) telah disebut sepuluh dimensi kualitas pelayanan dalam penelitian utama mereka . Brand,Menurut (Kotler., Armstorng 2012:243) Brand merupakan serangkaian asosiasi yang dipersepsikan oleh individu sepanjang waktu, sebagai hasil pengalaman langsung maupun tidak langsung atas sebuah brand tertentu. Brand adalah segala hal yang digambarkan oleh persepsi dan perasaan konsumen mengenai produk/hasil dan kinerjanya dan segala hal lainnya yang berarti bagi konsumen.Menurut AMA (America Marketing Association (kotler 2007:332) mereka adalah nama istilah, symbol, atau rancangan, kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengindetifikasi barang atau jasa penjual/ penyedia layanan pendidikan atau kelompok penjual/ penyedia layanan pendidikan dan untuk mendiferensiasikanya dari Produk atau jasa atau layanan dari pesaing. Seperti yang telah kita lihat bahwa brand merupakan sesuatu yang digunakan oleh customer untuk mengidentifikasi barang atau jasa atau kelompok pelaksana pendidikan penjual/ penyedia layanan pendidikan untuk membedakan produk hasil pendidikan / jasa dari pesaing sekolah lain. School Brand Image/ Citra merek Sekolah,Menurut (Kotler dan Keller, 2009:403) adalah persepsi dan keyakinan yang dipegang oleh konsumen, seperti yang dicerminkan asosiasi yang tertanam dalam ingatan konsumen. Pengertian Brand Image (Keller 2003) : a. Bahwa anggapan tentang Brand yang direfleksikan konsumen yang berpegang pada ingatan konsumen. b. Cara orang berpikir tentang sebuah brand secara abstrak dalam pemikiran mereka, sekalipun pada saat mereka memikirkannya, mereka tidak berhadapan langsung dengan produk/hasil. Membangun Brand Image yang positif dapat dicapai dengan program pemasaran yang kuat terhadap produk tersebut, yang unik dan memiliki kelebihan yang ditonjolkan, yang membedakannya dengan produk lain. Kombinasi yang baik dari elemen-elemen yang mendukung dapat menciptakan Brand Image yang kuat bagi konsumen /sebagai penerima layanan pendidikan. Menurut Kotler (2012) mendefinisikan School Brand Image sebagai seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu brand. Karena itu sikap dan tindakan konsumen terhadap suatu brand sangat ditentukan oleh Brand Image tersebut, Kotler juga menambahkan bahwa School Brand Image merupakan syarat dari brand yang kuat. School Brand Image penting untuk diketahui karena Brand Image dibentuk melalui kepuasan konsumen (customer satisfactions). Penjual/ penyedia layanan pendidikan dengan sendirinya diperoleh melalui kepuasan konsumen, sebab konsumen yang puas selain akan memesan/berminat kembali , juga akan mengajak calon pembeli atau teman lainnya untuk memasuki lembaga pendidikan yang sudah dipilihnya. Fakta menunjukkan bahwa kualitas yang dirasakan dari produk/hasil pendidikan menjadi faktor kompetisi paling penting dalam bisnis dunia pendidikan dan telah menjadi alasan penamaan era bisnis hadir sebagai "Kualitas Era" (Peeler, 1996), akibatnya, intelektual pemasaran layanan dan peneliti 94
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
telah menawarkan beberapa metafora dari masalah ini sebagai contoh, Berry (dikutip dalam Kandampully, 1998:423) menyebutnya senjata kompetisi yang paling kuat dan Clow (1993) menyebutnya memberi hidup darah organisasi/lembaga Pendidikan. Dalam penelitian lebih lanjut, mereka menemukan korelasi kuat antara dimensi-dimensi, dengan demikian mereka mengkombinasikan dimensi ini dan menerapkan dimensi lima kali lipat dari Reliability, Responsiveness , Assurance, Empathy dan Tangibles sebagai dasar untuk membuat alat untuk menguji kualitas layanan, yang dikenal sebagai Servqual. Mereka dalam penelitian menekankan bahwa servqual merupakan skala yang langgeng dan dapat diandalkan kualitas pelayanan ( Parasuraman et al 1994) . Servis quality atau layanan berkualitas dengan penyedia layanan mungkin salah satu fenomena yang paling dieksplorasi dalam dunia bisnis pendidikan, namun demikian kepuasan masih diperlakukan kontroversial dalam berbagai penelitian ilmiah: mulai dari definisi dan penyelesaiannya akan artinya pentingnya untuk hubungan jangka panjang pelanggan dengan penyedia layanan. Analisis Secara sistemik menegaskan bahwa layanan kepuasan pelanggan dapat didefinisikan dari dua perspektif yang berbeda : Transaksional dan relasional orientasi, didefinisikan dari transaksional perspektif sebagai " reaksi emosional setelah pengalaman diskonfirmasi yang bekerja pada sikap dasar tingkat konsumsi dan spesifik " ( Oliver , 1981) itu digunakan untuk berpikir bahwa , ketika pelanggan puas dia akan menggunakan jasa sebuah Lembaga berulang kali. Jadi mengacu Bitner, Hubbert (1994) kepuasan pelanggan dapat didefinisikan sebagai " pelanggan secara keseluruhan puas dengan organisasi berdasarkan semua pertemuan dan pengalaman dengan partikulasi organisasi, namun orientasi relasional muncul konsepsi berubah kepuasan kepada konstruk penilaian secara keseluruhan . Kepuasan didefinisikan sebagai " respon pemenuhan konsumen ( Oliver (1997 ). Ini adalah penilaian bahwa suatu produk atau fitur layanan, atau produk atau layanan itu sendiri disediakan ( atau menyediakan ) tingkat menyenangkan pemenuhan terkait dengan layanan Pendidikan , termasuk tingkat bawah atau over pemenuhan ". Szymanski dan Henard ( 2001:13 ) mencatat bahwa penelitian sebelumnya pada konsumen kepuasan difokuskan terutama pada efek dari harapan, disconfirmation of harapan, kinerja, mempengaruhi, dan ekuitas pada kepuasan. Pentingnya harapan telah diakui dalam studi sebelumnya pada pelanggan kepuasan ( misalnya Churchill & Surprenant, 1982 ; Oliver, 1980 ;Tse & Wilton, 1988). Harapan pelanggan adalah keyakinan tentang suatu produk atau lulusan dari suatu lembaga pendidikan misalnya ( Olson & Dover, 1979) yang berfungsi sebagai standar perbandingan atau titik referensi terhadap kinerja produk yang dinilai (Oliver, 1980 ; Bearden & Teel, 1983) itu paradigma diskonfirmasi harapan menunjukkan bahwa konsumen satisfie disaat produk/hasil kualitas lulusan berperforma lebih baik dari yang diharapkan ( diskonfirmasi positif ), tidak puas ketika harapan konsumen melebihi kinerja produk yang sebenarnya ( negative disconfirmation ), dan kepuasan netral ketika kinerja produk sesuai harapan ( nol disconfirmation / konfirmasi ) (Oliver, 1980; Churchill & Surprenant , 1982; Oliver & Sarbo , 1988; Bearden & Teel , 1983). Beberapa peneliti telah meneliti berbagai jenis perbandingan alternatif standar samping harapan seperti norma berbasis pengalaman ( Woodruff, Cadotte ,& Jenkins, 1983; Cadotte , Woodruff & Jenkins, 1987) teori ekuitas ( Oliver & Swan, 1989; Tse & Wilton , 1988) keinginan ( Spreng & Olshavsky ,1993) , dan kinerja yang ideal ( Tse & Wilton , 1988). Semua ini telah diuji secara empiris dalam hal kepuasan pelanggan / penelitian ketidakpuasan sebagai standar perbandingan. Sebagai Lembaga penyedia layanan pendidikan yang cukup terkenal di Indonesia sekolah dengan katagori baik , dalam pengoprasiannya tentu saja tidak luput dari berbagai masalah. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh semua lembaga pendidikan katagori baik yaitu Service Quality, Customer Satisfaction /KepuasanPelanggan, school Brand Image yang terkadang kala mengalami penurunan, yang berdampaknya Animo masyarakat /Orang tua terhadap lembaga pendidikan itu sendiri. Service quality mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap Smart SMS Lembaga penyedia layanan pendidikan itu sendiri. Dapat di nilai dari jasa yang berperan sebagai service quality berdampak pada Smart SMS/school manjemen System . Customer Satisfaction /Kepuasan Pelanggan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap purchase intention Lembaga penyedia layanan pendidikan itu sendiri. Dapat di nilai dari barang dan jasa yang berperan sebagai Kepuasan pelanggan berdampak pada Purchase intention.
95
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
School Brand Image mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap Smart SMS Lembaga penyedia layanan pendidikan itu sendiri. Dapat di nilai dari kualitas Lulusan yang berperan sebagai Brand Image berdampak pada Smart SMS (School Manajemen System) . Terlepas dari standar-standar komparatif sebagai faktor kepuasan lainnya, peneliti telah dieksplorasi dengan beberapa prediktor potensial kepuasan seperti kualitas produk/ layanan (misalnya Chiou , Droge , & Hanvani Chi , 2002; Sivadas & Baker - Prewitt 2000 , Bei & Chiao, 2001); nilai yang dirasakan ( misalnya Yang & Peterson , 2004) ; pengalaman layanan perhotelan desain misalnya ( Pullman & Gross , 2004) ; manfaat hubungan konsumen ( misalnya Reynolds & Beatty , 1999) , dan ritel / toko image ( Koo , 2003; Bloemer & Ruyter , 1998) . Untuk studi ini , respon kepuasan akan tercermin pada tingkat sayang untuk merek yang sejalan dengan saran oleh Jacoby dan Chestnut ( 1978) dan Oliver ( 1997, 1999 ) . Oliver (1999 ) mencatat bahwa konsumen di tahap afektif akan mengembangkan sikap positif terhadap merek atau keinginan merek sebagai akibat dari penggunaan berulang memuaskan dari waktu ke waktu berdasar beberapa identifikasi masalah pada pembahasan diatas maka Kajian dalam tulisan ini hanya dibatasi pada “Analisa dampak shool Brand image, Service quality ,Customer Satisfaction terhadap SMART SMS(School Manajemen System) “ di lembaga pendidikan di Indonesia. Tujuan umum dari penelitian ini untuk mengetahui beberapa faktor yang kepuasan pelanggan dan dampaknya. Tujuannya adalah untuk, 1. Menggambarkan terapan kualitas pelayanan ( servqual ) dimensi secara detail manajemen kualitas layanan, 2. Mengetahui kualitas pelayanan ( servqual ) dimensi yang membuat pelanggan puas, dan 3. Mengetahui kualitas pelayanan ( servqual ) dimensi yang dominan dalam mempengaruhi kepuasan pelanggan. Penelitian mengenai servis Quality/Kualitas layanan pada lembaga Pendidikan /sekolah serta berbagai hal yang mempengaruhinya ,diharapkan akan dapat memberikan manfaat kepada pihak pihak tertentu/ stake holder yang memiliki keterkaitan implementasi program kegiatan Servis Quality /kualitas layanan di 235 lembaga pendidikan Khususnya sekolah dasar yang berada di seluruh Indonesia. Manfaat penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang Servis Kualitas Layanan pada lembaga Pendidikan atau sekolah yang dapat digunakan sebagai alat pembinaan, pengembangan, dan peningkatan mutu serta tingkat kelayakan suatu sekolah dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan di tingkat sekolah dasar. Penelitian ini juga dimaksudkan sebagai wahana untuk peningkatan layanan terhadap sekolah, baik kualitas, produktivitas, efektivitas, efisiensi, dan inovasinya, dan untuk memberikan jaminan kepada publik bahwa Sekolah tersebut menyediakan layanan pendidikan yang memenuhi standar kualitas manajemn kinerja sekolah, dan memberikan jaminan kepada publik bahwa siswa dilayani oleh sekolah yang benar-benar memenuhi persyaratan standar kualitas layanan kinerja sekolah yang baik dan berkualitas serta memenuhi standar mutu secara nasional. Disamping itu manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan umpan balik (feed back) bagi sekolah yang bersangkutan sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan, pengembangan, peningkatan kinerjanya, membantu pengembangan lembaga sekolah melalui pemberian informasi untuk wahana pembinaan, pengembangan, dan peningkatan Manajemen kinerja dalan kualitas layanan serta kepuasan pelanggan dalam lembaga pendidikan secara mikro, meso, dan makro. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian dilakukan melalui survei crosssectional yang ditetapkan terhadap 235 sekolah sebagai responden di beberapa lembaga pendidikan khususnya Sekolah Dasar Indonesia. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan reliabilitas metode, korelasi dan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan yang ditawarkan oleh unit beberapa lembaga memiliki dampak positif dan signifikan dalam membangun kepuasan pelanggan. Temuan dari penelitian empiris ini menegaskan kembali pandangan bahwa Service Quality dimensi sangat penting untuk kepuasan pelanggan di sektor pendidikan yang sedang berkembang dengan tinggi potensi pertumbuhan dan peluang di negara berkembang cepat seperti halnya di Indonesia serta dapat menjadi rujukan Pendahuluan untuk Ukuran Kualitas Pelayanan.
96
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Mengukur kualitas layanan sulit karena karakteristik yang unik kualitas layanan yang menyangkut intangibility, heterogenitas, ketidakterpisahan dan rusaknya ( Bateson, 1995) Kualitas pelayanan ini terkait dengan konsep persepsi dan harapan ( Parasuraman et al, 1985, 1988; Lewis dan Mitchell, 1990 ). Persepsi pelanggan hasil kualitas layanan dari perbandingan harapan sebelum diberikan layanan dengan actual service dari pengalaman mereka. Layanan ini akan dianggap baik jika persepsi melebihi harapan, dan akan dianggap baik atau memadai jika hanya sama dengan harapan , layanan akan digolongkan sebagai buruk , miskin atau kekurangan jika tidak sesuai dengan harapan mereka ( Vázquez et al . , 2001). Parasuraman et al berdasarkan perspektif ini mengembangkan skala untuk mengukur kualitas layanan yang sebagian besar populer dikenal sebagai servqual. Skala operationalizes kualitas pelayanan ini menghitung perbedaan antara harapan dan persepsi, evaluasi baik dalam kaitannya dengan 22 item yang mewakili lima dimensi kualitas pelayanan yang dikenal sebagai ' tangibles ', ' kehandalan ' , ' respon ' , ' jaminan ' dan ' empati/perduli '( Tangibility, Reliability, Responsiveness, Assurance , Empathy) Analisis data Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan SPSS V13 . Uji statistik yang digunakan adalah analisis frekuensi , analisis faktor , analisis reliabilitas , dan analisa regresi. Meskipun layanan dapat dianggap sebagai jenis produk Pendidikan perlu diketahui juga bahwa jasa memiliki karakteristik sendiri yang mencakup intangibility, heterogenitas, dan ketidakterpisahan ( Parasuraman et al . , 1985)
Perceived Services Quality Reliability Responsiveness Assurance Empathy Tangibles School Brand Image
Customer Satisfaction
SMART SMS (SCHOOL MANAGEMENT SYSTEM )
C.Hipotesis Penelitian
S Gambar 1. Konsepsi Model Penelitian
Berdasarkan pembahasan masalah sebagaimana tersebut diatas dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Ada pengaruh antara Service Quality secara parsial terhadap SMART SMS menuju manajemen mutu sekolah yang baik . 2. Ada pengaruh antara Kepuasan Pelanggan secara parsial terhadap SMART SMS menuju manajemen mutu sekolah yang baik. 3. Ada pengaruh antara School Brand Image secara parsial terhadap SMART SMS menuju manajemen mutu sekolah yang baik. 4. Ada pengaruh antara School Brand image ,Service Quality, Kepuasan Pelanggan, secara simultan terhadap SMART SMS menuju manajemen mutu sekolah yang baik dan berkualitas. Kajian Teoritik. S M A R T : merupakan suatu pendekatan/metode yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan (model Design and Development Resarch) termasuk pendidikan (Winner.1999, Bardsford, 2003). Metode atau pendekatan SMART ini sangat bermanfaat dalam dunia pendidikan dengan beberapa karakteristiknya. SMART merupakan akronim dari : S = Specific ( Spesifik ) artinya : Program yang diajukan kegiatannya jelas, operasional dan didukung oleh data serta gambar yang mampu menimbulkan keyakinan bahwa kegiatan dapat dilakukan.
97
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
M = Measurable (dapat diukur) artinya : Program yang diajukan dapat terukur tingkat pelaksanaan dan keberhasilannya dengan menggunakan standar yang dikembangkan atau disepakati oleh masing masing pelaksana atau pengguna. A = Attainable (dapat dicapai) artinya : Program yang diusulkan dapat dicapai sesuai dengan kemampuan pemerintah yaitu kementerian pendidikan dan kebudayaan serta kementerian kementerian lain yang terkait dengan pendidikan. R = Realistic (sesuai kebutuhan) artinya: Program kegiatan ini sesuai dengan kebutuhan rencana pengembangan kementerian dan lembaga lembaga terkait (tidak mengada ada) sehingga sesuai dengan pola perencanaannya. T = Time-bounds (berjangka waktu) artinya : Program kegiatan yang dilaksanakan mengikuti pentahapan dan jangka waktu pelaksanaan yang telah ditentukan. Suatu sekolah harus menunjukkan kepada Publik bahwa sekolahnya mememilki tata kelola sekolah yang baik,karena tatakeloala tersebut dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan bagi siswanya yang pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian tujuan sekolah, adapun tujuan dari SMART SMS terdiri dari unsur-unsur yang harus diperbaiki antar lain : a. Perbaikan Manajemen Sekolah b. Perbaikan Manajemen Adm. Sekolah c. Perbaikan Manajemen guru/ketenagaan d. Perbaikan Manajemen SDM Pendidikan e. Perbaikan Manajemen Pelaporan f. Perbaikan Manajemen Keuangan g. Akreditasi Sekolah Mandiri (ASM/EDS) h. Manajemen External Resources (MER) (komite sekolah, dewan pendidikan, forum komunikasi) i. Help Desk (Program Pembimbingan) j. Perbaikan Manajemen Pustaka k. Dukungan Pemeliharaan. Service atau layanan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pelanggan sarana untuk sepenuhnya menyadari fungsi yang diinginkan dari produk /hasil atau jasa selama yang diharapkan (Dale H. Besterfield 2009: 12). Jasa ialah setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud dan menyebabkan perpindahan kepentingan apapun. Produksinya bisa dan bisa juga tidak terikat pada suatu produk/hasil layanan (Kotler 2005:428). Layanan adalah kegiatan ekonomi yang ditawarkan oleh salah satu pihak kepada pihak lain. sering kali berbasis kinerja. Dari definisi tersebut terlihat jelas bahwa service merupakan suatu konsep yang berbicara bahwa layanan memiliki peran yang penting bagi produk dan jasa oleh suatu Lembaga karena service sebagai pencerminan bagaimana Lembaga pendidikan tersebut berjalan sesuai dengan tuntutan keinginan pelanggan/masyarakat dan orang tua. 1.Service Quality Menurut Christoper Lovelock & Jochen Wirtz (2007:420) research berpendapat bahwa sifat layanan memerlukan pendekatan khusus untuk mendefinisikan dan mengukur tingkat kualitas layanan tidak berwujud, banyak layanan membuat lebih sulit untuk mengevaluasi kualitas layanan karena custormers sering terlibat dalam produksi layanan, kebutuhan pembedaan harus ditarik antara proses pelayanan dan output aktual dari layanan apa yang ia sebut kualitas teknis. Gronroos dan lain-lain juga menunjukkan bahwa persepsi kualitas layanan adalah hasil dari proses evaluasi di mana pelanggan membandingkan persepsi mereka tentang pelayanan dan hasilnya untuk apa yang mereka harapkan. Valarie Zeithaml, Leonard berry dan A. Parasuraman dari penelitian kelompok terarah, mengidentifikasi 10 kriteria yang digunakan oleh konsumen dalam mengevaluasi kualitas pelayanan (Service Quality), yaitu : Kredibilitas (Kepercayaan, kejujuran, penyedia layanan) Keamanan (Kebebasan dari bahaya, risiko atau keraguan) Access (Approachbility dan kemudahan atau ragu) 98
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Komunikasi (Listening kepada pelanggan dan menjaga mereka informasi dalambahasa yang mereka bisa mengerti) Memahami pelanggan (Membuat upaya untuk mengetahui pelanggan dan kebutuhan mereka) a. Tangilbles (Penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan materi komunikasi. b. Realibility (Kemampuan untuk melakukan layanan yang dijanjikan dependably dan akurat) c. Responsif (Willingness) untuk membantu pelanggan dan memberikan layanan yang cepat) d. Kompetensi (Possesion of skills and knowledge) keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan servis) e. Kesopanan (kesopanan hormat, pertimbangan dan keramahan personil kontak). Menurut K.Douglas Hoffman& john E.G. Bateson (2006:333) Service Quality adalah an attidue formed by a long term , overall evaluation of a firm ‘s perfomace, sedangkan Dimensi Service Quality memiiliki unsur unsur sebagai berikut : Tangibility, Reliability, Responsiveness, Assurance , Empathy 2. School Brand Image School Brand Image adalah persepsi tentang merek sekolah yang merupakan refleksi memori konsumen akan asosiasinya pada merek tersebut (Ferrinadewi, 2008:165). Komponen dari Brand Image menurut Biel (1992) dalam jurnal Xian, dkk (2011:1876) terdiri dari citra organisasi/lembaga/lembaga, citra pemakai dan citra produk. Citra organisasi/lembaga merupakan gambaran organisasi/lembaga di mata konsumen berdasarkan pengetahuan, tanggapan serta pengalaman konsumen terhadap organisasi/lembaga yang bersangkutan. Citra pemakai merupakan sekumpulan karakteristik dari konsumen yang dihubungkan dengan ciri khas dari konsumen suatu merek. Sedangkan citra produk merupakan gambaran produk di mata konsumen berdasarkan pengetahuan, tanggapan serta pengalaman konsumen terhadap produk/hasil dari lembaga yang bersangkutan. 3. Customer Satisfaction / Kepuasan Pelanggan. Banyak lembaga pendidikan maupun lembaga lainnya berpikir bahwa mendapatkan pelanggan adalah tugas dari bagian pemasaran. Pada kenyataannya bagian pemasaran tidak mampu menjual produk/hasil yang memenuhi kebutuhan setiap orang. Sesungguhnya bagian pemasaran akan menjadi efektif dan berhasil dilembaga Pendidikan/Lembaga yang seluruh bagian karyawannya telah merancang dan menjalankan system penghantar nilai yang lebih unggul terhadap pesaingnya. Suatu harapan konsumen akan nilai dan bertindak berdasarkan nilai tersebut. Kenyataan apakah suatu penawaran memenuhi harapan akan nilai konsumen, mempengaruhi kepuasan dan kemungkinan mereka untuk kembali membeli produk yang ditawarkan Kotler (2000:40). Kepuasan pelanggan adalah persepsi konsumen bahwa harapannya telah terpenuhi atau terlampaui. Gerson (2000:206). Adanya perbedaan antara harapan pelanggan dan persepsi merupakan pelayanan yang berkualitas Parasuraman (2000:76). Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan pelanggan tidak terlepas dari harapan pelanggan, a. Nilai dari sudut pandang pelanggan, b.Kualitas atau mutu dari sudut pandang pelanggan, c. Persepsi pelanggan terhadap suatu bentuk pelayanan. Menurut Handi Irawan (2002:2) “ pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan produsen atau penyedia jasa “, bahkan pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan pengalaman dengan pelanggan lain. Berbaginya rasa dan pengalaman ini akan menjadi referensi bagi Lembaga yang bersangkutan. Oleh karena itu baik pelanggan maupun produsen akan sama sama diuntungkan apabila kepuasan terjadi. Dari situlah pakar kepuasan pelanggan ini cenderung mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai persepsi terhadap produk atau jasa layanan yang telah memenuhi harapannya.Hubungan antara pelanggan-pelanggan tersebut tampak seperti gambar berikut:
99
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Sedangkan dalam konteks teori perilaku konsumen, HandiIrawan (2002:3) kepuasan lebih banyak didefinisikan dari perspektif pengalaman konsumen setelah memamfaatkan atau menggunakan suatu produk/hasil atau jasa layanan . Richard Oliver yang di kutip HandiIrawan (2002:3) “ kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen “ Kepuasan dari sudut padang konsumen bahwa produk atau pelayanan telah memberikan tingkat kenikmatan/kepuasan, dimana tingkat pemenuhan tersebut bisa lebih atau kurang. Menurut Kotler (2003:40) “ customer satisfaction is a person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s received performance (or outcome) in relation to the person’s expectation “, yang artinya sebagai berikut : “ kepuasan pelanggan yaitu perasaan senang atau kecewa seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara prestasi atau produk/hasil yang dirasakan dan yang di harapkannya”. Ukuran kepuasan pelanggan cenderung relatif. Seorang pelanggan merasa puas atau tidak puas atau pelayanan yang di terimanya tergantung kepada beberapa hal yang menjadi dasar bagi mereka untuk menentukan apakah hasil yang di terima sesuai harapan atau tidak. Pada umumnya seorang pelanggan mempertimbangkan beberapa hal sebagai tolak ukur dalam mengambil keputusan atas pelayanan yang di terimananya. Zeithaml dan Mary Jo Biner (2002:118) “ customer satisfaction indicators shows how the customer organize, analyse, and decide the perception of service quality percieved in their mind, “ yang artinya : “ Indikator kepuasan pelanggan mengatur, menganalisa, dan memutuskan persepsi kualitas pelayanan yang diterima dalam pikirannya. “
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Hasil Penelitian Dari implementasi kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan pada 235 (dua ratus tiga puluh lima ) lokasi sekolah ; dalam kajian Analisa Dampak Citra Merk Sekolah ,Layanan Berkualitas,Kepuasan Pelanggan terhadap SMART SMS ( School Management System) pada lembaga pendidikan dasar di seluruh Indonesia ;mendapatkan hasil yang cukup baik dalam system tatakelola pengembangan sekolah yang baik dan berkualitas; hal ini ditandai dengan beberapa indikator kepuasan pelanggan (customer satisfactions) dalam memutuskan persepsi atas pelayanan serta tata kelola yang di terimannya, sebagai berikut : 1. Reability (Reliabilitas) Merupakan kemampuan kinerja lembaga untuk memberikan pelayanan yang di janjikan secara tepat dan percaya. Dalam arti luas, realiability berarti ke, mampuan Lembaga untuk menepati janji nya, ketentuan pelayanan, pemecahan masalah, dan penetapan harga/biaya pendidikan yang harus ditanggung orantua siswa . Pelanggan /Orang tua siswa hanya akan bertransaksi dengan Lembaga yang menepati janjinya, khususnya pada pelayanan produk inti/Program unggulan yang ditawarkan lembaga pendidikan tersebut. 100
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
2. Responsiveness (Kecepatan Tanggapan). Merupakan kemauan untuk membantu pelanggan dan untuk menyediakan pelayanan yang cepat dan tepat. Kecepatan tanggapan menekankan pada perhatian dan kecepatan di dalam melayani permintaan, pertanyaan, keluhan, dan masalah pelanggan/orang tua siswa (Ortu). Untuk memberikan pelayanan yang responsif, Lembaga harus yakin dalam melihat proses pelayanan dan penanganan permintaan dari sudut pandang permintaan daripada sudut pandang Lembaga sendiri. 3. Assurance (Jaminan) Jaminan merupakan pengetahuan karyawan dengan keramah tamahan mereka dan kemampuan Lembaga beserta karyawannya untuk mengilhami kepercayaan yang di berikan pelanggan. Dengan kata lain jaminan merupakan usaha untuk membentuk hubungan yang saling mempercayai antara pelanggan dan Lembaga. Lembaga memberikan nama yang dapat di percaya dan karyawan yang berkompeten sebaliknya pelanggan akan memberikan loyalitas mereka. 4. Empathy (Empati ) Empati berarti peduli, perhatian yang diberikan secara perseorangan oleh Lembaga kepada pelanggan. Inti dari empati adalah penyampaian kepedulian dan perhatian Lembaga melalui pelayanan profesional untuk menunjukan bahwa pelanggan itu unik dan spesial bagi organisasi/lembaga , melalui antisipasi terhadap kebutuhan kebutuhan pelanggan sebelum mereka meminta nya. 5. Tangibles (Produk /hasilYang Berwujud/nyata) Tangibles mewakili pelayanan secara fisik yang berupa fasilitas-fasilitas, peralatan, karyawan, dan material komunikasi. Semua menyediakan perwakilan secara pelanggan yang akan di gunakan untuk mengevaluasi kualitas pelayan. Anggapan tentang Brand Image yang direefleksikan konsumen yang berpegang pada ingatan konsumen. Cara orang berpikir tentang sebuah brand secara abstrak dalam pemikiran mereka, sekalipun pada saat mereka memikirkannya, mereka tidak berhadapan langsung dengan produk/hasil . Membangun School Brand Image yang positif dapat dicapai dengan program pemasaran/sosialisasi yang kuat terhadap masyarakat tentang hasil/produk layanan pendidikan yang diberikan.; yang unik dan memiliki kelebihan komparatif yang ditonjolkan, yang membedakannya dengan produk/hasil yang lain. Kombinasi yang baik dari elemen-elemen yang mendukung dapat menciptakan Brand Image yang kuat bagi konsumen/orang tua siswa. Cara Membangun School Brand Image Memilik Positioning yang tepat Merek sekolah dapat di-positioningkan dengan berbagai cara, misalanya dengan menempatkan posisinya secara spesifik dibenak pelanggan. Membangun Positioning adalah menempatkan semua aspek dari brand value secara konsisten sehingga selalu jadi nomer satu dibenak pelanggan/orangtua siswa . b. Memilik Brand value yang tepat Semakin tepat merek sekolah di-positioningkan dibenak pelanggan, merek tersebut akan semakin kompetitif. Untuk mengelola hal tersebut kita perlu mengetahui brand value. Brand value membentuk brand personality. Brand personality lebih cepat berubah dibandingkan brand positioning, karena brand personality mencerminkan gejolak perubahan selera konsumen. c. Memiliki konsep yang tepat Tahap akhir untuk mengkonsumsikan brand value dan positioning yang tepat kepada konsumen harus didukung oleh konsep yang tepat. Pengembangan konsep merupakan proses kreatif, karena berbeda dari 26 positioning, konsep dapat terus menerus berubah sesuai dengan daur hidup produk/hasil layanan dari lembaga /organisasi yang bersangkutan. Konsep yang baik adalah mengkomunikasikan semua elemen-elemen brand value dan positioning yang tepat, sehingga School Brand Image dapat terus menerus ditingkatkan. a.
Manfaat School Brand Image Merek bermanfaat bagi produsen/lembaga penyedia layanan dan konsumen. Bagi lembaga penddikan, merek berperan sangat penting sebagai (keller:2003) : a. Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi organisasi/lembaga, terutama dalam perngorganisasian dan pencatatan lulusan .
101
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
b.
c.
d. e. f.
Sabah, Malaysia
Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik. Merek bisa mendapatkan perlindungan properti intelelktual. Nama merek bisa diproteksi melalui merek lembaga/organisasi yang terdaftar/tersertifikasi (Institutional registered ), proses pemanufakturan bisa dilindungi melalui hak paten dan bisa diproteksi melalui hak cipta (copyrights) dan desain. Hak-hak properti intelektual ini memberikan jaminan terhadap lembaga pendidikan dapat berinvestasi dengan aman dalam merek yang dikembangkannya mendapatkan manfaat dari asset bernilai tersebut. Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa dengan mudah memilih dan memberi tahu pada teman lainnya lagi di lain waktu. Loyalitas merek seperti ini menghasilkan predictability dan security permintaan bagi lembaga pendidikan dan menciptakan hambatan masuk yang menyulitkan lembaga lain untuk memasuki pasar. Sarana menciptkan asosiasi dan makna unik yang membedakan citra merek dari pesaing. Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukun, loyalitas pelanggan dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen. Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan animo masyarakat di masa mendatang
Komponen School Brand Image School Brand Image memiliki tiga komponen yaitu : a. Citra lembaga pendidikan : merupakan gambaran lembaga di mata konsumen bedasarkan pengetahuan, tanggapan serta pengalaman konsumen terhadap lembaga pendidikan yang bersangkutan b. Citra Pemakai: merupakan sekumpulan karakteristik dari konsumen yang dihubungkan dengan ciri khas dari konsumen suatu merek sekolah. c. Citra Lulusan : merupakan gambaran kualitas lulusan dimata konsumen berdasarkan pengetahuan, tenggapan serta pengalaman konsumen terhadap hasil /keluaran yang bersangkutan. Ketiga komponen ini merupakan factor penting yang membentuk suatu citra dari sebuah merek sekolah. Faktor–Faktor School Brand Image Faktor-faktor yang menjadi tolak ukur suatu citra merek atau Brand Image adalah: a. Product attributes: sebuah brand bisa memunculkan sebuah atribut produk tertentu dalam pikiran konsumen yang mengingatkanya pada karakteristik brand tersebut b. Consumer Benefits: sebuah brand harus bisa memberikan sesuatu/ nilai tersendiri bagi konsumennya yang akan dilihat oleh konsumen sebagai benefits yang diperolehnya ketika membeli atau memanfaatkan produk tersebut. c. Brand personality: dapat didefinisikan sebagai seperangkat karakter personal yang akan diasosiasikan oleh konsumen terhadap sebuah brand tertentu. d. User imagery: dapat didefinisikan sebagai serangkaian karakteristik manusia yang diasosiasikan dengan ciri-ciri tipikal dari konsumen yang menggunakan atau memanfaatkan school brand image tersebut. e. Organizational associations: konsumen seringkali menghubungkan hasil lulusan yang dimikinya dengan kredibilitis lembaga pendidikan yang dibuatnya.hal ini kemudian mempengaruhi presepsinya terhadap sebuah brand yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut Menurut Gerson (2000:211) konsep yang mendasari perlunya melakukan pengukuran kepuasan pelanggan adalah : 1. Untuk mempelajari persepsi konsumen/peminat. Mengidentifikasikan persepsi masing-masing individu pelanggan ; mencakup tentang apa yang di cari oleh pelanggan, kriteria apa yang menentukan diterima atau tidaknya mutu pelayanan dan apa yang harus dilakukan oleh Lembaga untuk pelanggan sehingga pelanggan akan terus berhubungan dengan Lembaga. 2. Untuk menentukan kebutuhan, keinginan, persyaratan dan harapan pelanggan. Mengidentifikasikan apa yang di butuhkan dan di inginkan oleh pelanggan saat ini dan masa yang akan datang. 3. Untuk menutupi kesenjengan. Mengidentifikasikan kesenjengan antara pandangan Lembaga terhadap; keinginan pelanggan dengan keinginan pelanggan yang sesungguhnya. Jasa yang telah di beli dan pandangan pelanggan terhadap jasa yang telah diterimanya.
102
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
4. 5. 6.
Sabah, Malaysia
Untuk mengetahui apakah peningkatan kualitas pelayanan dan kepuasaan pelanggan sesuai harapan lembaga atau tidak. Untuk mempelajari bagaimana Lembaga melakukannya dan apa yang harus Lembaga lakukan kemudian. Untuk menerapkan proses perbaikan berkesinambungan .
Pengukuran tingkat kepuasaan pelanggan dibutuhkan Lembaga untuk mengetahui dengan tepat sampai dimana tingkat kualitas pelayanan kepada konsumen. Dengan demikian, upaya perbaikan dan peningkatan kualitas akan lebih mudah di lakukan. B.
Pembahasan Hasil Penelitian Temuan dari penelitian empiris ini menegaskan kembali bahwa Service Quality sangat baik dan penting untuk dikembangkan di sekolah demi kepuasan pelanggan di lembaga pendidikan dan sektor lainnya yang sedang berkembang dengan cepat dan sekaligus sebagai peluang bagi Negara Negara berkembang seperti halnya di Indonesia. Mengukur kualitas layanan sulit mengingat karakteristik yang unik dari pelayanan yang menyangkut: Intangibility, Heterogenitas, dan ketidakterpisahan Kualitas pelayanan ini terkait dengan konsep persepsi dan harapan ( Parasuraman et al, 1985, 1988; Lewis dan Mitchell, 1990 ). Persepsi pelanggan hasil kualitas layanan dari perbandingan harapan sebelum layanan mereka dengan actual service mereka pengalaman. Layanan ini akan dianggap baik, jika persepsi melebihi harapan , melainkan akan dianggap sebagai baik atau memadai , jika hanya sama dengan harapan, layanan akan digolongkan sebagai buruk, miskin atau kekurangan, jika tidak bertemu dengan mereka ( Vázquez et al ., 2001). Parasuraman et al berdasarkan perspektif ini mengembangkan skala untuk mengukur kualitas layanan yang sebagian besar populer dikenal sebagai servqual. Skala ini operationalizes service quality menghitung perbedaan antara harapan dan persepsi, evaluasi baik dalam kaitannya dengan 22 item yang mewakili lima dimensi kualitas pelayanan yang dikenal sebagai ' tangibles ' , ' kehandalan ' , ' respon ' , ' jaminan ' dan ' empati/peduli/perhatian '. Mengapa melalui SMART SMS ? karena SMART SMS (School Management System) merupakan suatu pendekatan manajemen yang memusatkan perhatian pada peningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu komponen yang terkait dengan peningkatan kualitas/ mutu pendidikan di sekolah. a. Siswa: Kesiapan dan motivasi belajarnya. b.Guru: Kemampuan professional, moral kerjanya (kemampuan personal), dan kerjasamanya (kemampuan sosial). c. Kurikulum: Relevansi konten dan operasionalisasi proses pembelajarannya. d. Dana, sarana dan prasarana : Kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran. e.Masyarakat (orang tua,penggunaan lulusan dan perguruan tinggi) : Partisipasinya dalam pengembangan program-program pendidikan di sekolah. Mutu komponen-komponen tersebut di atas menjadi fokus perhatian kepala sekolah. Sebagai unit layanan jasa, pihak yang dilayani sekolah adalah pelanggan sekolah.yang melilputi: a.Pelanggan internal: guru, pustakawan, laboran, teknisi dan tenaga administrasi. b.Pelanggan eksternal terdiri atas: c.Pelanggan primer : siswa d..Pelanggan sekunder : orang tua, pemerintah dan masyarakat. e.Pelanggan tertier: pemakai/penerima lulusan (perguruan tinggi dan dunia usaha) Keseluruhan kepuasan, secara keseluruhan kepuasan diukur dengan skala lima item yang diambil dari Oliver ( 1980), Kasih karunia dan O'Cass (2005), Taylor dan Baker (1994). Pertanyaan 3 , 4 dan 5 diadaptasi dari Oliver ( 1980) , pertanyaan 1 diadaptasi dari Grace dan O'Cass (2005) , sedangkan pertanyaan 2 diadaptasi dari Taylor dan Baker ( 1994) . Atas dasar pertanyaan- pertanyaan tersebut responden menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan menunjukkan tingkat perjanjian atau ketidaksepakatan pernyataan dari skala 1 untuk " sangat tidak setuju " sampai sklala 5 untuk " sangat setuju ". 103
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Dalam eksplorasi tersebut , temuan lapangan ternyata terdapat lima kesenjangan yang ditemukan antara lain sebagai berikut : Kesenjangan pertama kali diidentifikasi ada antara pelayanan yang diharapkan oleh konsumen , dan persepsi manajemen mengenai harapan konsumen. Apa manajemen berkeyakinan adalah dibutuhkan oleh konsumen berbeda dari apa yang diharapkan konsumen. Jika kesenjangan pertama ini tidak berkurang, maka akan berdampak negatif pada evaluasi layanan pelanggan (Parasuraman et al., 1985), kedua, diidentifikasi adalah antara layanan desain khusus dan persepsi manajerial harapan konsumen, kesenjangan ini berarti meskipun manajemen mungkin menyadari harapan konsumen/masyarakat mereka tidak merancang dan menyediakan layanan yang diinginkan karena berbagai kendala. Pengalaman konsumen akan negatif dipengaruhi oleh tidak menerima tepat layanan ( Parasuraman et al . 1985 ), ketiga ada antara standar dan desain layanan, dan layanan pengiriman. Manajer seringkali menyadari harapan pelanggan dan memiliki layanan yang tepat standar. Ini bagaimanapun tidak berarti bahwa kualitas layanan akan dikirimkan sebagai disebutkan di atas, transaksi layanan tergantung pada tenaga kerja. Situasi yang berbeda dan kondisi akan menghasilkan derajat yang berbeda dari pelayanan, bahkan layanan yang sama persis penyedia dan penerima dengan kondisi yang sama akan memiliki kualitas layanan yang lengkap yang berbeda, karena baik operator selular atau alasan internal penerima, seperti masalah emosional. Dibandingkan dengan standar pelayanan dan desain, pelayanan memiliki efek yang lebih langsung pada pelanggan. Pelanggan lebih sensitif terhadap pemberian layanan daripada desain dan standar yang diharapkan mempengaruhi pengiriman . Dengan demikian , pengaruh pemberian layanan lebih langsung ( Parasuraman et al.,1985). Keempat ada antara pelayanan dan komunikasi eksternal yaitu kesenjangan komunikasi biasanya mengungkapkan dirinya sendiri ketika media eksternal seperti iklan yang lebih menjanjikan. Dalam keadaan ini, harapan konsumen akan dibangkitkan sebelum pernah menerima layanan, sementara persepsi bahwa konsumen yang sama akan berkurang jika layanan yang diterima tidak memenuhi harapan yang dihasilkan oleh iklan. Sementara tiga pertama kesenjangan mempengaruhi harapan konsumen, mempengaruhi kedua harapan konsumen dan persepsi layanan ( Parasuraman et al ., 1985). Kesenjangan kelima diidentifikasi adalah kesenjangan keseluruhan antara pelayanan yang diharapkan dari pelanggan dan pelayanan yang dirasakan oleh mereka. Ini berarti mereka tidak menerima apa yang mereka harapkan. Jika pelayanan yang dirasakan kualitas lebih rendah dari kualitas pelayanan yang diharapkan, maka pelanggan akan kurang puas dengan layanan yang mereka terima . Di sisi lain jika kualitas pelayanan yang dirasakan adalah sama dengan atau lebih tinggi dari yang diharapkan , pelanggan akan puas dengan pengalaman mereka ( Parasuraman et al., 1985) . Layanan yang ditemukan oleh Zeitham dan rekan-rekannya membentuk dasar fundamental penelitian kualitas layanan. Penelitian berikutnya banyak yang didasarkan pada model kesenjangan ini untuk mengidentifikasi harapan konsumen, pelayanan yang dirasakan. SIMPULAN Berdasarkan analisis data yang telah dideskripsikan pada uraian sebelumnya , dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut ; (1) terdapat hubungan positif antara School Brand Image dengan SMART SMS ( School Management System) Pada Lembaga Pendidikan Dasar, (2) Terdapat Hubungan Positif Antara Service Quality/Layanan /Berkualitas Dengan SMART SMS ( School Management System) Pada Lembaga Pendidikan Dasar, (3) Terdapat Hubungan Positif Antara Customer Satisfaction/ kepuasan pelanggan Dengan SMART SMS ( School Management System) Pada Lembaga Pendidikan Dasar(4) Terdapat Hubungan Positif Antara School Brand Image , Service Quality , Customer Satisfaction secara Simultan Dengan SMART SMS ( School Management System) Pada Lembaga Pendidikan Dasar di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa layanan yang diberikan/ditawarkan oleh unit beberapa lembaga Pendidikan Di Indonesia serta memiliki dampak positif dan signifikan dalam membangun kepuasan pelanggan melalui School Brand Image ,Servis quality terhadap SMART School manajemen System (SMART SMS) dalam memajukan manajemen lembaga pendidikan dasar Berkualitasdi Indonesia selanjudnya dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama , layanan (Service) merupakan serangkaian kegiatan dan transaksi dan dengan demikian tidak dapat dilihat sebagai objek nyata . Biasanya , konsumen tidak dapat menguji , melihat , menghitung , persediaan , mengevaluasi , atau bahkan memverifikasi sebelum layanan terjadi atau yang 104
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
diberikan , dan oleh karena itu layanan dianggap tidak berwujud . ini karakteristik berwujud membuat sulit bagi penyedia layanan untuk memahami konsumen harapan dan persepsi di muka mengenai kualitas layanan. Kedua , sebagian besar layanan (Service) terkait dengan perilaku manusia . penyedia layanan adalah manusia dan penerima layanan adalah manusia . Dengan demikian , orang yang berbeda pada waktu yang berbeda , di berbagai situasi , dan dalam lokasi geografis yang berbeda akan memberikan layanan yang berbeda . Kadang-kadang , bahkan ketika kondisi eksternal yang sama , layanan yang diberikan akan berbeda atau dianggap berbeda karena heterogenitas manusia , dan karena itu konsistensi menjadi perhatian utama bagi Lembaga-Lembaga penyedia layanan . Ketiga, ketika layanan (Service) yang disediakan, itu adalah proses keseluruhan . Selama semua layanan pertemuan , layanan dibuat dan diproduksi ketika sedang diterima secara bersamaan dan dimanfaatkan oleh pelanggan . Layanan yang disediakan akan mempengaruhi reaksi konsumen , sedangkan perilaku konsumen akan mempengaruhi layanan yang disediakan ( Parasuraman et al., 1985 ). Mengingat tiga karakteristik layanan yang disebutkan di atas , kualitas layanan secara luas dianggap karena lebih sulit untuk mengevaluasi kualitas dari produk/hasil yang nyata ini (Gronroos, 1982), meskipun menjadi sulit untuk mengevaluasi. Kualitas layanan adalah komponen berdampak konsumen utama kepuasan. Sarjana lain percaya kualitas pelayanan memiliki korelasi yang kuat dengan konsumen harapan dan persepsi, bahkan penentuan kualitas adalah hasil dari konsumen. Perbandingan antara harapan dan kinerja ( Lewis & booming , 1983) Kualitas pelayanan (Service Quality) dan evaluasi yang diusulkan dan dikembangkan oleh beberapa ahli /tokoh pada waktu yang berbeda . Sasser , Olsen dan Wyckoff ( 1978) percaya fasilitas , bahan , dan sopan santun dan keramah tamahan adalah tiga dimensi kualitas pelayanan dan kualitas yang melibatkan bagaimana layanan disampaikan daripada hasil layanan tersebut. Gronroos diusulkan dua jenis kualitas layanan , yang disebutnya teknik dan fungsi . Kualitas teknis mengacu pada apa konsumen menerima dari layanan , sementara kualitas fungsi mengacu pada bagaimana layanan ini disampaikan. Tiga tambahan dimensi kualitas pelayanan yang ditunjukkan oleh Gronoroos dan termasuk kualitas fisik , kualitas Lembaga , dan kualitas interaktif . Penelitian di bidang ini , bagaimanapun , masih belum cukup untuk menentukan kualitas pelayanan dan pengaruhnya terhadap konsumen sampai Zeithmal dan nya rekan-rekan yang dihasilkan studi mereka . Meskipun wawancara dan kelompok fokus dari percobaan , beberapa kesenjangan atau perbedaan diidentifikasi antara harapan konsumen , layanan yang disediakan , dan menerima layanan . School Brand image /Citra Merek sekolah pada lembaga pendidikan merupakan gambaran lembaga Pendidikan di mata konsumen berdasarkan pengetahuan, tanggapan serta pengalaman konsumen terhadap lembaga Pendidikan yang bersangkutan. Citra pemakai merupakan sekumpulan karakteristik dari konsumen yang dihubungkan dengan ciri khas dari konsumen suatu merek. Sedangkan citra hasil/lulusan merupakan gambaran produk lembaga di mata konsumen berdasarkan pengetahuan, tanggapan serta pengalaman konsumen terhadap produk/hasil lulusan dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. Setelah mengidentifikasi nilai-nilai pelanggan dan preferensi, dimensi kualitas pelayanan Dimensi Service Quality dapat horizontal dibandingkan. Dalam perbandingan ini,misalnya industri perhotelan hanya mengacu pada layanan berkaitan dengan hotel, yang terpisah dari industri timeshare. kemiripan Setelah membandingkan hasil yang terbatas dari percobaan yang berbeda, dimensi yang sama penting untuk kualitas layanan di kedua lembaga dan berkonsentrasi pada atribut yang nyata, seperti kualitas fasilitas, fasilitas kamar, kebersihan, penampilan karyawan, dan keamanan lingkungan. Faktor-faktor ini yang paling langsung mempengaruhi kualitas layanan. Perbedaan dalam industri hotel, karyawan dan kehandalan layanan adalah dua faktor utama. Kehandalan karyawan mengacu pada kemampuan karyawan untuk memberikan layanan yang cepat, mereka pengetahuan profesional, kemampuan mereka untuk berempati untuk mempertimbangkan kebutuhan tamu, dan mereka kesediaan untuk membantu para tamu. Kepuasan mengenai kehandalan layanan dicapai jika layanan diberikan seperti yang dijanjikan, atau layanan disediakan secara tepat waktu dan akurat. Faktor terakhir adalah harga. Para konsumen akan menggunakan berbagai fasilitas untuk mengevaluasi layanan mereka. Semakin tinggi layanan fasilitas yang diberikan , semakin tinggi harapan konsumen untuk berperan aktif untuk kemajuan lembaga.
105
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Berbeda dengan lembaga lain , misalnya dimensi dalam industry time share sebagian besar dari pengembang timeshare, bukan resort khas. Produk yang fleksibel, berbagai tersedia tujuan, dan biaya pemeliharaan yang lebih rendah positif akan mempengaruhi kualitas layanan. untuk properti khas, hanya satu dimensi dianggap: kualitas resort. Timeshare pemilik akan menggunakan persyaratan rumah mereka untuk mengevaluasi apakah properti potensial memenuhi syarat. Dimensi terakhir adalah berdasarkan pengetahuan pemilik timeshare. Kualitas layanan dalam unit yang paling kecil adalah sangat penting untuk memuaskan pelanggan , mempertahankan mereka dan menciptakan loyalitas antara pelanggan. Penelitian ini menggunakan servqual untuk menganalisis kesenjangan antara persepsi dan harapan pelanggan menyangkut layanan di unit layanan paling kecil misalnya di negara bagian India Selatan Andhra Pradesh . Tingkat Kepuasan Pelanggan dinilai untuk layanan yang ditawarkan di unit layanan paling kecil mereka pilih di kota Hyderabad . Lima dimensi dalam kualitas pelayanan ( servqual ) , tangibility , reliability, responsiveness, empathy , dan jaminan ( Parasuraman , Zeithaml , & Berry , 1985) telah dipertimbangkan untuk penelitian empiris ini . Dalam SMART SMS menuju manajemen mutu sekolah yang baik , keberhasilan sekolah diukur dari tingkat kepuasan pelanggan/Customer satisfaction, baik internal maupun eksternal. Sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan layanan sama atau melebihi harapan pelanggan. Dilihat dari jenis pelanggannya, maka sekolah dikatakan berhasil jika: a. Siswa puas dengan layanan sekolah, antara lain puas dengan pelajaran yang diterima, puas dengan perlakuan oleh guru maupun pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah dan sebagainya. Pendek kata, siswa menikmati situasi sekolah. b. Orang tua siswa puas dengan layanan terhadap anaknya maupun layanan kepada orang tua, misalnya puas karena menerima laporan periodik tentang perkembangan siswa maupun programprogram sekolah. c. Pihak pemakai/penerima lulusan (perguruan tinggi, industri, masyarakat) puas karena menerima lulusan dengan kualitas yang sesuai dengan harapannya. d. Guru dan karyawan puas dengan pelayanan sekolah, misalnya pembagian kerja, hubungan antarguru/karyawan/pimpinan, gaji/honorarium, dan sebagainya. Sifat layanan untuk menciptakan kepuasan dalam meningkatkan kualitas tatakelola di sekolah; terdapat lima sifat layanan yang harus diwujudkan agar pelanggan puas, yaitu: a. Keterpercayaan (reability). Artinya layanan sesuai dengan yang dijanjikan, misalnya dalam rapat, brosur dan sebagainya. Layanan semacam itu dapat berlangsung terus menerus dan bukan hanya pada waktu-waktu tertentu. Beberapa aspek dalam keterpercayaan, antara lain: kejujuran, aman, tepat waktu, dan ketersediaan. Keterjaminan (assurance). Artinya, sekolah mampu menjamin kualitas layanan yang diberikan. Beberapa aspek dalam keterjaminan, misalnya kompetensi guru/staf dan keobyetifan. b. Penampilan (tangible). Artinya, bagaimana situasi sekolah tampak baik. Beberapa aspek dalam penampilan, misalnya kerapian, kebersihan, keteraturan dan keindahan. c. Perhatian (empathy). Artinya, sekolah memberikan perhatian penuh kepada pelanggan. Beberapa aspek dalam keperhatian, misalnya melayani pelanggan dengan ramah, memahami aspirasi mereka, dan berkomunikasi dengan baik. d. Ketanggapan (responsiveness). Artinya, sekolah harus cepat tanggap terhadap kebutuhan pelanggan. Beberapa aspek dari ketanggapan, misalnya tanggap terhadap kebutuhan pelanggan dan cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan-keluhan yang muncul, sedangkan Indikator keberhasilan Implementasi “ SMART SMS ” didapat melalui beberapa indikator sebagai berikut: 1. Terjadinya perubahan pola pikir manajerial dari metoda konvensional ke arah yang lebih modern sesuai dengan tuntutan globalisasi. 2. Terciptanya manajemen yang transparan, data yang akurat dan sistem pelayanan informasi yang cepat dan akurat. 3. Terwujudnya database pengelolaan sekolah yang baik dan berkelanjutan 4. Terwujudnya komunitas masyarakat yang berwawasan IET dan sekaligus dapat mengikuti perkembangan manajemen pendidikan masa depan 5. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam bidang sistem manajemen sekolah yang rapi, ( Smart SMS) 106
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Saran-Saran Dalam menerapkan/melaksanakan SMART SMS di sekolah ,terdapat beberapa Langkah-langkah yang perlu ditempuh /dilakukan lembaga pendidkan sebagai berikut : 1. Mengubah pola pikir, dari sekolah sebagai unit produksi menjadi unit layanan jasa. Perubahan ini menuntut pimpinan, guru, dan seluruh staf di sekolah memperlakukan siswa, orang tua, kalangan perguruan tinggi, industri, dan masyarakatsebagai pelanggan yang harus dilayani. Sekolah melayani mereka dan bukan sebaliknya mereka yang harus ikut kemauan sekolah. 2. Fokus perhatian diletakkan, pada proses secara sistemik. Misalnya ada kejadian siswa melakukan pelanggaran, maka harus dianalisis prosesnya secara sistemik dan bukan sekedar menyalahkan siswa. Pemecahan masalah juga harus difokuskan pada perbaikan sistemnya. 3. Pemikiran jangka panjang, artinya suatu program/kegiatan bukan hanya ditujuan untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk jangka panjang. Misalnya, pemecahkan masalah pelanggaran disiplin oleh siswa, bukan diarahkan untuk membuat siswa yang melanggar tersebut menjadi disiplin, tetapi agar siswa yang lain juga tidak melakukan pelanggaran. 4. Komitmen pada mutu, jadi sekolah harus selalu mengupayakan peningkatan mutu, yaitu kepuasaan pelaggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. 5. Mementingkan pengembangan sumber daya manusia, artinya setiap program harus disertai dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang melaksanakannya. selanjudnya, mengingat SMART SMS masih relatif hal baru dalam manajemen sekolah, maka untuk memulainya perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Lakukan pemahaman terhadap manajemen mutu secara baik. pemahaman tidak hanya oleh kepala sekolah, tetapi oleh seluruh guru dan staf. oleh karena itu diperlukan tahap pengkajian manajemen mutu secara bersama-sama sampai ada persamaan persepsi di antara seluruh guru dan staf. b. Ubahlah perintah dari atas menjadi inisiatif dari bawah. oleh karena itu perlu dikembangkan kepemimpinan yang delegatif, terbuka, dan selalu melihat kedepan. c. Jika perlu dibentuk tim manajemen mutu yang bertugas menyusun rencana strategis penerapan manajemen mutu guna pengembangan sekolah. d. Laksanakan manajemen mutu secara bertahap, tetapi berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA AACTE (2010), 21st Century Knowledge dan Skills in Educator Preparation, American Association of College Teaching Education, USA,September,. Anderson, R.E (2009), Implication of ICT for Education, University of Minessota, MN, USA, page 910, dikutip dari, International Handbooks of ICT for Primary dan Secondary Education, Volume 20,. Avkiran, N, K. (1994). Developing an instrument to measure customer service quality in branch banking. International Journal of Bank Marketing. 12 (6), 10-18. Anderson ,LW. And david RK et. Al (2000) A Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives. New York: Aliyn & Bacon, Ayan, Jordan E, (2003), Bengkel Kreativitas, Bandung: Mizan Pustaka. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (2004), Pusat Inovasi Pendidikan; Pedoman Pelaksanaan Membangun Sekolah lebih Aman,Nyaman,dan mnyenangkan (Safer School),Departemen Pendidikan Nasional ,Jakarta. Beeby, C. E (1987), Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan, Jakarta: EP3ES. Bloom, B.S. (1976), Human Characteristics and School Learning, New York: Me. Graw Hill. Bitner, M. J. & Hubbert, A. R. (1994). Encounter satisfaction versus overall satisfaction versus quality: the customer's voice. service quality: new directions in theory and practice, Thousand Oaks, CA: Sage(In Rust, R.T.,& Oliver, R.L. (Eds.), 72-94 Birch, Paul, Brian Clegg, (2001), Instans Creativity, London: Kogan Page Ltd. Brophy, J.E, Good T.L. (1986), Teacher Behavior and Student Achievement, New York: Me. Millan. 107
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Bradsford, R. (2003). Educational Psychology. New York: Me Millan. Brubacher, J. (2001). Design and Analysis. A Reseacher's Handbook. New York: Prentice Hall. Blair, Robert W. (ed), (1982) Innovative Approach to Language Teaching, MassachusettsrHeinle & Heinle Publisher. Brown, H. Douglas, (2000) Principles of Language Learning and Teaching, San Francisco: Addison Wesley Longman, Inc., 2000. _____ Teaching by Principles (2001.) An Interactive Approach to Language Pedagogy, San Francisco: Addison Wesley Longman, Inc., 2001. Burns, Anne and Caroline Coffin, (2001)Analysing English in a Global Context, Cornwall: T J. International Ltd.,. Bloemer, J. (1999). Linking perceived service quality and service loyalty: a multi-dimensional perspective. European Journal of Marketing, 33(11, 12), 1082-1106. Cadotte, E., & Turgeon, N. (1988). Key Factors in Guest Satisfaction, Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly, 28, 44-51 Caruana, A. (2002). Service Loyalty: The Effects of Service Quality and the Mediating role of Customer Satisfaction. European Journal of Marketing, 36(7), 811-828. Conny R, T. Raka Joni (1993), Pendekatan Pembelajaran: Acuan Konseptual Pengelolaan Kegiatan Belajar-Mengajar di Kelas, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Collins, H. (2003). Experimental and Quasi Experimental Reseach, skokie III, Raud Me Nally. Cunningwoodsworth, Allan, (1984) Developing Language Skills and Communicative abilities: Evaluating and selecting English Foreign Language Teaching Materials, Guildford: Biddies Ltd.,. Darling-Hammond, Linda. (2006), Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplar/ Programs. San Francisco: John Wiley & Sons. De jong, T and Van der Hulst, A .( 2002). “The Effectiveness of Computer Based Learning”. Journal of Compute! Assisted learning I (18) 219-231. Diederen,J. (2005). Design and Evaluation of Digital Activating Learning Materials For Food Chemistry Education, Dissertation, Wageningen University-Netherland. DfES. (2002). Qualifying to teach: Professional standards for qualified teacher status and requirements for initial teacher training, London: The Stationery Office. Darmaningtyas . (1999). Pendidikan pada dan setelah krisis: evaluasi pendidikan di masa krisis. Yogyakarta: LPIST & Pustaka Pelajar. De Landsheere G, (1987), Teacher education, Oxford: Pergamon Press. De Cecco, John P. (1968) The Psychology of Learning and Instruction: Educational Psychology, New Jersey: Prentice Hall, Inc.,. Depdiknas, 2003Silabus Berdiversifkasi dan Penilaian Berbasais Kelas, Jakarta: Balitbang Diknas,. Departemen Pendidikan Nasional, 2005 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Depdiknas Jakarta. Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Ditjen Dikdasmen Depdikbud, 1997. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan. Bahan Pelatihan Kepala Sekolah. Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Ditjen Diksadmen Depdikbud 1997. Enterpreneurship dalam pengelolaan Pendidikan. Bahan Pelatihan Kepala Sekolah. Dick, Walter and Lou Carey, (1978) The Systematic Design of Instruction, London: Scott, ForeSMPn and Company,. Doff, Adrian, (1988) Teach English: A Training Course for Teachers, Cambridge: Cambridge University Press,. Donald L. Mills Vollmer, Howard M. (1966). Professionalization. Englewood Cliffs, N.J.: PrenticeHall. Dubin, Fraida and Elite Olshtain, 1991 Course Design. Developing Programs and Materials/or language Learning, Cambridge: Cambridge University Press,. Duncan, Arrie. (2009), "Teacher preparation: Reforming the uncertain profession." New York: Remarks presented at Teachers College, Columbia University. October 22, 2009.levine ,Arthur. Educating S:hooi Teachers. Washington, D.C.Education Schools Project. Ellul Jacques.(1967). The Technologfy Society , New York ; Alfred A. Knopf Finachiaro, Mary, (1969) Teaching English as a Second Language, New York: Harper & Row Publisher,. 108
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Fullan Michael G. With StiegelbauerSuzanne (1998), The New Meaning of Educational Change second edition, Techers College Press J. Drost, SJ (1999), Good, T.L, (1981), Teacher Effectiveness in the Elementary Schools: What we know about it now, Journal Teaching Education, 52 - 64. Gagne, Robert M, Leslie J, Briggs, (1979) Principle of Instructioanal Design, USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc., Clark, K (2011 ), Phylosophy of Instructional Use for Teaching and Learning in the 21st Century, The University of Akron. Cox, M. j (2008), Research IT in Education, dalam buku: Handbooks of 1O" in Primary and Secondary Education, 2008, page 965-969 Greco, Alberto, (1994) Integrating Different Models in Cognitive Psychology. Cognitive Systems. ttp.//cogprints.ecs.soton.ac.uk/archive/00000650/00/COGS YY94.HTM), . Gregory, Wayne and Jo Ann E. Seibert, (1998)Coast to Cascades, An English Language Journey, January,. Hadley, Alice Omaggio, Teaching Language in Context, Massachusetts: Heinle & Heinle Publishers, 1993. Harmer, Jeremy, (2001) The Practice of English Language Teaching, Edimburg: Pearson Education Ltd., Hosnan, M. (1985) Kamus Istilah komputer Bergambar , Angkasa,Bandung. Hosnan, M. (2010).Kamus Profesional Guru (KPG), Ghalia Indonesia dan Yudhistira, Jakarta. Hosnan,M.(2014 ).Pendekatan Saintifik Dan Kontektual Dalam Pembelajaran Abad 21, Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013 ,Ghalia Indonesia Dan Yudhistira, Jakarta . Hughes, Rebecca, 2002 Teaching and Researching Speaking, Great Britain: Pearson Education, Huitt, W. "2004 A Systems Model of Human Behavior" http://chiron.valdosta.edu/ whuitt/ col, http//.ncsu.edu%7Enavey/eci423/teachingport.htm. http://www.jointokyo.org/files/cms/news/pdf/s2_benefits_v7.pdf Hanafiah, M.J. dkk. (1994). Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, BKS-PTK. Barat, Depdikbud dan HEDS-USAID-DIKTI-JICA, Medan. Hart, K, A, (1990), Teaching Thinking in College: Accent on improving college teaching and learning, Ann Arbor, Ml: National Center for Psesearch to Improve Postsecondary Teaching and Learning. Hardjosoedarmo, Soewarsono,Total Quality Management, Total Quality Management di Pendidikan Tinggi. 1996:Penerbit Andi Yogyakarta. Hendyat Soetopo dan Achmad Supriyanto. (1997). Manajemen Konflik. Bahan Pelatihan Kepala Sekolah. Jakarta:Dit. Dikmenum. Hoyle, John R, Fenwick( 1985). English dan Betty Steffy.. Skills for Successful School Leaders. Virginia: American Association of School Administration. ISTE (International Society for Technology in Education), (n.d.). Essential conditions rubric. ISTE National Educational Technology Standards (NETS). Retrieved ISTE (International Society for Technology in Education). (2009). The ISTE national educational technology standards (NETSA)and performance indicators for administrators. Retrieved March 6, 2010, fromhttp://www.iste.QrgStandards/NETS-A_2009.pdf ISTE (International Society for Technology in Education), (n.d.). Essential conditions rubric. ISTE National Educational Technology Standards(NETS).Retrieved March12,(2010), http://electronicportfolios.com/reflect/EssenCondRubric.pdf Jawwad, M. Ahmad Abdul, (2002), Mengembangkan Inovasi & Kreativitas Berpikir, Bandung: Syaamil Cipta Media. JurnalPendidikan dan Kebudayaan, Tahun ke-7, No. 030, Juli 2001 Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, (2003), Mencegah Penyalahgunaan NAPZA melalui Kepercayaan, Kasih Sayang,Ketulusan, Jakarta Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, (2001), Joyce, Bruce and Marsha Well, (1986) Models of Teaching, New Jersey: Prentice Hall International Inc.,. Johnson, Keith, Learning About Language: An Introdtion to Foreign Language Kincaid (Rogers & Kincaid )dalam Little John , Opcit p 15. Keputusan Mendiknas Nomor 053/U/2001 ,Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan,Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah Ketetapan MPR-RI 109
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, Sekretariat Jenderal MPR, Jakarta Lavonen, j. and Meisaio, V 2002, Research-Based Design of Learning Materials for TechnologyOriented Science Education. Themes in Educatio. I ; 3): 107- 131 Learning and Teaching, (2001 ) England: Pearson Education Ltd., Little John ,Stephan W.(1978). Theories of Human Communication, Columbus ,OH ,Charles E.Merril Publishing Co, p. 23. Lim, Cher Ping, Ching Sing Chai, and Daniel Churchill. (2010), Leading ICT in Education Practices. Singapore: Microsoft Partners in Learning. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah,(MPMBS) Departemen Pendidikan Nasional, Edisi 3. Mastenbroek, Willen. (1987) Conflict Management and Organization Development. Chichester :, John Wiley & Sons. Macbeath & Mortimer. (2001). Improving school effectiveness. Buckingham: Open University Press. Malang Anglin ,Gary J.(1991) Instructional Technology: Past , Present and Future, Engelwood, CO : Libraries Unlimited . Mayer, R.E. and Anderson, R.B., (1991) Animations Need Narration: An experimental Test of a Dual Coding Hypothesis. Journal of Educational Psychology. 83(4): 484-490. Maor. D, & Fraser. B.j, (1996). The Development and Use of a Classroom Instrument in the Evaluation of Inquiry-based Cornputer. Assisted Learning. International journal of Science Education, 18, 401 421. March 12, 2010, http://electronicportfolios.com/reflect/EssenCondRubric.pdf Marland, P., Patching, W, and Putt, I. (1992) Thinking While Studying: A Process Tracing Study of Distance Learners. Distance Education. 13 (2): 193 -217. McGuinness. C.(1999). From Thinking Skills to Thinking Classrooms: A Review and Evaluation of Approaches for Developing Pupils' Thinking. Nottingham: DfEE Publications. NAESP. (1997).Principal’s Survival Kit: Practical Information On Critical Isues for Elemaentary and Middle School Leaders. Alexandria:, NAESP. Nastasi, B. K., and Clements, D. H. (1992). Social-Ccognitive Behaviour and Higher Order Thinking in Educational Computer Environments. Learning and Instruction. 2 (195): 215- 238. Departemen Pendidikan Nasional Penciptaan Suasana Sekolah yang Kondusif bagi Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan Siswa, Bagian Proyek peningkatan Wawasan Keagamaan Guru, Jakarta Direktorat Pembinaan Kesiswaan (1998), Petunjuk Wawasan Wiyata Mandala Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah (2001), Pedro, F (2010) The need for a Systematic Approach to Technology-Based School Innovations, OECD Centree for Educational Research and Innovation. Dalam buku: Inspired by Technology, Driven by Pedagogy, Systemic Approach to Technology-Based School innovation, OECD, Santa Catarina (2010). Pisapia, J (1993) Learning Technology in the Classroom: Case Studies of Technology intensive Schools. Novae (2008), Mops Concept, New Jarcey, USA _____, Cambridge International Diploma in Teaching with ICT Syllabus code 8995 for examination 2010. Ranuwiharjo, S, (1991), Butir-Butir Bahasan Seminar Guru SD, Jakarta: Depdikbud. Russel, J.W., Kozma, R.B., Jones, T., Wykoff, J., Marx, N.,& Davis, J. 1997. Use of SimultaneousSynchronized Macroscopic, Microscopic and Symbolic Representation to Enhance the Teaching and Learning of Chemical Concepts, journal of Chemical Education. 74 (3): 330-334. Sanger, M.J, and Greenbowe, T.J. (2000). Adressing Student Miscop-ception Concerning Electron Flow in Aqueous Solutiona with Instruction Including Computer Animation and Conceptual Change Strategies. International journal of Science Education. 22(5): 521-537 Schwartzer, N. (2002). Knowledge and Development of Science Teachers in the Context of Teaching Higher Order Thinking. Ph. D, Thesis, Jerusalem: Hebrew University of Jerusalem. Sapir, Edward: http\www\©, 2003, Bartleby.com (2003) Sallis, E. (2005). Total Quality Management in Education. Harlow: Longman. Sallin, E. (1995) Total Quality Management in Education. Smith, R. (2002), Effective Primary School, London.
110
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Shrode dan Voich, Jr (1974). Organization and management: basic systems concepts Home- wood, 111.: Richard D. Irwin. Sweller, j., 1988. Cognitive Load During Problem Solving. Effects on Learning, journal of Cognitive Science, 1(12): 257-285. Teach English: A Training Course for Teachers, Cambridge: Cambridge University Press, 1994. Tilaar, H.A.R. (2002). Perubahan social dan pendidikan: Pedagogik transformative untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo. The Intenational Commision for the study of Communication Problems.(1980) UNESCO,Many Voices, One World , London Kogan Page(1980) Undang-Undang No. 32 Tahun 2005 tentang Sistem Pemerintahan Daerah revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999. UCHubbard, Francis A. How Writing Works. Learning And Using The Process, New York: St. Martin's Press, Inc., 1988. Wiersma, W., Hinkle, D.E., Jurs, S.G. (1999). Applied Statistics for the Behavioral Science. Boston: Houghton Miffin Company. Winer, B.J. (1999). StatisticalPrinciples in Experimental Design. New York: McGraw Hill. Waterhouse, S. (2005). The Power of e-Learning. The Essensial Guide for Teaching in the Digital Age. California: Allyn & Bacon. Williamson, V.M., and Abraham, M.R. (1995). The Effect of Computer Animation on the Particulate mental Models of College Chemistry Students, journal of Research in Science Teaching. 32(5): 521-534.' Zohar, A.( 2004.) Higher Order Thinking in Science Classroom: Students' Learning and Teachers' Professional Development. Science & Technology Educational Library, volume 22. Dorchrecht: Kluwer. Zoller, U.( 2001). Alternative Assessment as (Critical) Means of Facilitating HOCS: Promoting Teaching and Learning in Chemistry Education. Chemical Education Research and Practice in Europe, 2(1): 9-17
111
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
OMO HADA SEBAGAI WARISAN BUDAYA DENGAN NILAI PENDIDIKAN YANG DIKANDUNGNYA (Tinjauan Cultural Rumah Adat atau Omo Hada Masyarakat Nias Selatan) Martiman S. Sarumaha1 1
Dosen Tetap Yayasan Pendidikan Nias Selatan di STKIP Nias Selatan pada Program Studi Pendidikan Ekonomi [email protected] Abstrak
Traditional house (omo hada) is traditional heritage of Nias society especially Southern Nias as a occupant of this traditional house. The focus of this cultural method study is “ The Educational Value of Traditional Southern Nias House”. And the purpose of this study is to describe the educational value of Traditional Southern Nias House. The traditional house is a learning media for Southern Nias Society to behave base on the tradition applied in Nias Society. The existence of Omo Hada has given the educational value in developing the behavior pattern of society. Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan nilai pendidikan yang terdapat dalam warisan budaya masyarakat Nias khususnya Nias Selatan, yaitu rumah adat (omo hada) sebagai peninggalan budaya yang selama ini menjadi tempat tinggal bagi penghuninya. Maka yang menjadi permasalahan dalam metode tinjauan kultural ini adalah “Nilai Pendidikan yang bagaimanakah yang terdapat dalam warisan omo hada Masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan?”. Omo hada sebagai media pembelajaran bagi masyarakat Nias dalam bertingkah laku sesuai dengan adat yang berlaku di lingkungan masyarakat Nias Selatan berdasarkan struktur bangunan rumah adat masyarakat tersebut. Keberadaan omo hada telah memberikan nilai-nilai pendidikan dalam membangun tata dan perilaku masyarakatnya. Kata Kunci: Warisan Budaya Masyarakat Nias Selatan, Nilai Budaya, Nilai Pendidikan. PENDAHULUAN Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang sadar dan cerdas. Kesadaran dan kecerdasan manusia itu dapat dilihat dari kemampuannya berpikir, berimprovisasi, berkehendak dan merasa. Dengan pikirannya manusia mendapatkan pengetahuan, dan dengan kehendaknya manusia mampu mengarahkan pikirannya serta dengan perasaan manusia dapat mencapai apa yang diharapkan sebagai kesenangan dan kesejahteraan diri dari manusia itu. Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan kehadirannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya. Demikian juga dengan peninggalan masyarakat atas budaya yang dijalani maupun budaya yang ditinggalkannya. Peradaban dalam bahasa Inggris disebut Civilization. Istilah peradaban sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Pada waktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya berwujud unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, santun, luhur dan sebagainya bahkan ekslusif, maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi. Dalam Undang-Undang Sisdiknas, menjadi bermanfaat dikarenakan hal ini dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Demikian pula dengan apa yang dihasilkan oleh masyarakat atas kebiasaan dari budaya yang dilakoninya atau budaya yang diwariskannya. Budaya yang diwariskan dalam hal ini adalah nilai-nilai hasil warisan budaya lokal untuk dapat dikembangkan menjadi nilai pendidikan, misalnya keberadaan rumah adat (Omo hada) 112
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dalam strata sosial masyarakat Nias Selatan. Hasil budaya tersebut memberikan nilai-nilai yang selama ini sudah tersistem dalam perilaku sosial masyarakat berupa yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga hasil dari budaya itu sendiri menghasilkan manusia seutuhnya atau manusia berbudaya. Mengingat perilaku dan tata nilai yang dihasilkan budaya mengajarkan pula nilai-nilai pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka masyarakat yang hidup dalam budaya tersebut akan tercermin lewat kebiasaan dan tingkah laku yang pada akhirnya dapat memberikan gambaran keluaran dari suatu proses budaya. Rumah adat merupakan warisan dan peninggalan budaya masyarakat Nias khususnya Nias Selatan yang selama ini menjadi tempat tinggal bagi penghuninya. Omo hada sebagai sarana untuk memelihara dan meningkatkan pola tingkah laku atau tata laku yang berlaku di lingkungan masyarakat Nias Selatan, hal ini menjadi pelajaran yang menunjukkan bagaimana manusia berperilaku dengan baik sebagaimana nilai dan budaya yang terdapat dalam susunan bangunan rumah adat masyarakat Nias Selatan sehingga menjadi tradisi yang patut ditiru dan dilaksanakan oleh komunitasnya. Omo hada Nias Selatan dengan arsitektur yang dimilikinya serta filosofi yang terkandung didalamnya dapat disebut sebagai pembaharuan pendidikan lokal dan bahkan nasional dipersekolahan karena harus didasarkan pada nilai-nilai dan tata perilaku peranan pendidikan dalam hidup bersosial dalam pembangunan masyarakat lokal bahkan masyarakat nasional, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri. Permasalahan Masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan memiliki rumah adat yang dikenal dengan Omo Hada sebagai warisan dan peninggalan masyarakat yang masih ada hingga saat ini. Keberadaan rumah adat ini (Omo Hada) telah memberikan nilai-nilai pendidikan dalam membangun tata dan perilaku masyarakatnya. Berdasarkan latas belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah “Bagaimanakah Nilai Pendidikan yang terdapat dalam warisan omo hada Masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan?”. Tinjauan kultural omo hada masyarakat di Nias Selatan. Tujuan Bedasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini, penulisan ingin mendeskripsikan nilai pendidikan dalam peninggalan warisan budaya masyarakat Nias tentang Rumah Adat (omo hada), dan mendeskripsikan aturan dan tata perilaku masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan yang terkandung dari bentuk dan struktur Rumah Adat (omo hada) di Nias Selatan. METODE PENELITIAN Proses pengembangan dan penelitian ini dapat dikatakan penelitian kualitatif dengan prosedur penelitian yang menghasilkan data melalui fenomena-fenomena dan perilaku alamiah masyarakat yang diamati, baik lisan maupun tulisan. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi yang memfokuskan kajian melalui peristiwa-peristiwa dan fenomena dalam interaksi perilaku subjek yang diteliti. PEMBAHASAN Pembangunan Masyarakat Nias Selatan Melalui Budaya Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural atau budaya, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis. Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional perlu diketahui paradigma yang muncul dalam proses budaya masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan, yaitu paradigma fungsional dan paradigma sosial. Dua paradigma yang menjadi dasar yang kita perlu ketahui dari warisan budaya masyarakat Nias secara umum dalam bentuk omo hada, antara lain:
113
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
a.
Paradigma fungsional melihat bahwa bentuk rumah adat sebagai tempat tinggal masyarakat Nias tidak hanya mencakup keberadaan omo hada tersebut sebagai tempat tinggal, namun menjadi sebagai bentuk yang menaungi masyarakatnya dari cuaca iklim dan dengan pengetahuan yang dimiliki sebagai suatu ilmu yang mampu memberi kenyamanan dan keamanan bagi penghuninya. Artinya bahwa secara fungisonal bahwa rumah adat masyarakat Nias telah memberi manfaat kepada penghuninya dengan kemampuan yang sudah beradab (modern). Dari struktur fungsi rumah adatpun didesain sebagai rumah yang tahan terhadap goncangan (gempa). b. Paradigma sosial melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi nilai luhur warisan budaya Nias, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, sebagai bukti dari konstruksi atau struktur omo hada dan c) secara umum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai serta menjunjung tinggi tata perilaku hidup bermasyarakat dan juga kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan, masyarakat Nias sudah mencapai tingkat peradaban dengan artefak yang dimilikinya (pendidikan nilai). c. Paradigma budaya dapat dikatakan bahwa sekolah mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan dan pewarisan kebudayaan. Hal ini merupakan suatu proses transformasi. Proses pendidikan adalah proses transformasi kebudayaan, karena salah satu fungsi yang mendasar dari pendidikan adalah untuk pengembangan kebudayaan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka pembangunan masyarakat Nias Selatan melalui Budaya yang dimilikinya dapat dikatakan bahwa: a. Kebudayaan lokal dapat mendorong proses kemajuan suatu bangsa dan pada hakekatnya ikut mengembangkan pendidikan nasional. Semua program pendidikan dan pembangunan kebudayaan lokal, termasuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diarahkan pada berfungsinya pendidikan nasional untuk tercapainya pembangunan watak dan peradaban negara bangsa Indonesia yang bermartabat. b. Pendidikan sebagai proses sosio-kultural untuk mengarahkan nilai-nilai kebudayaan merasuk ke dalam sistem kepribadian dari setiap warga negara. Pendidikan tidak dapat dibatasi pada proses belajar mengajar yang terjadi dalam konteks kelas, tetapi juga harus memasukkan proses belajar yang terjadi dalam konteks keluarga dan masyarakat. Artinya bahwa apa yang menjadi kebiasaan dalam kultural budaya masyarakat Nias Selatan telah menjadikan sebagai nilai-nilai edukasi yang patut di hargai, dipahami dan bahkan dikembangkan menjadi layaknya pendidikan formal. c. Peranan keluarga dalam mendidik generasi muda adalah memelihara nilai-nilai warisan budaya, agama, tradisi, dan nilai-nilai moral untuk dipahami oleh generasi muda. Mengingat pendidikan dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan laboratorium sesungguhnya yang diharapkan mempunyai imbas terhadap masyarakat sekitarnya sehingga seluruh masyarakat menjadi masyarakat belajar. Berdasarkan dari proses pembangunan masyarakat tersebut, maka nilai pendidikan yang terdapat dalam kultural masyarakat Nias Selatan dapat dijadikan sebagai tata nilai dan tata aturan baik dalam hidup bersosial, bermasyarakat dan berorganisasi (code of conduct). Tata nilai dan tata aturan tersebut dapat berupa, memiliki akhlak mulia, saling menghargai, memiliki kebanggaan terhadap hasil budaya peninggalan orang tua atau nenek moyang (brand image), selalu berusaha meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan etika bermasyarakat, menghindarkan diri dari perbuatan tercela, dan malu melanggar aturan serta bersikap jujur. Struktur Rumah Adat (Omo Hada) Nias Selatan Omo hada dalam proses pembangunannya, tidaklah mudah dan tidak pula melalui suatu penelitian dan konstruksi dari seorang arsitek dengan teknologi dan alat yang modern seperti sekarang ini. Dalam hidup berinteraksi dan bersosialisasi masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan bila ditinjau dari bentuk omo hada terdapat beberapa bagian struktur bentuk umum omo hada atau rumah adat Nias Selatan. Bentuk dari rumah adat tersebut tergolong dua, yaitu sanőrő arő (yang melalui kolong rumah
114
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
adat) dan sanőrő jina omo hada2 (yang melalui samping rumah adat). Pola dan struktur rumah adat ini pula membedakan antara rumah adat bangsawannya dengan rumah adat masyarakat lainnya, yaitu dengan ukuran yang berbeda serta ornamen-ornamen yang terdapat di dalam rumah adat tersebut. Namun, keduanya memiliki nilai dan fungsi yang sama. Struktur omo hada tersusun dari tiang-tiang tegak dengan ukuran diameter berkisar 30cm sampai 150cm. Struktur omo hada tidak terdapat paku satupun dalam proses pembangunannya. Struktur rumah adat tersebut, seperti diuraikan pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Figure/Struktur rumah adat Nias Selatan Uraian struktur dari bawah Uraian struktur dalam Uraian struktur ornament sampai atas
rumah
1. Batu driwa
1. Ahembatő
1. Lasara
2. Batu gehomo
2. Sibewe harehare
2. Sichőli
3. Driwa
3. Dalinawafva
3. Lasohagu
4. Ehomo
4. Mbatő
4. Laso sebua
5. Ete
5. Duagőto ulu
5. Jimbvi mbawi
6. Ora
6. Farachina
6. Cholocholo
7. Ehomo sodra’u lagőlagő
7. Toga danedane
7. Saita
8. Silőtő
8. Salogotő
8. Nahanawu
9. Sikholi
9. Zara-zara
9. Tuhi-tuhi
10. Towa
10. Bawva duhasa
10. Fanuna
11. Lagőlagő
11. Harefa
11. Mbvo
12. Silőtőmbuambatő
12. Fodrahi
13. Lalihőwőmbatő
13. Faricia
14. Ndriwambatő
14. Gődra
15. Niowőliwőli
15. Toho 16. Baluse
Sumber: Hasil observasi stuktur rumah adat Nias Selatan.
Tabel figure omo hada Nias Selatan tersebut di atas terdapat dan disusun sedemikian rupa dengan fungsi dan kegunaan dari masing-masing bentuk konstruksinya. Nenek moyang masyarakat Nias sadar bahwa pulau Nias yang dihuni oleh masyarakat Nias merupakan daerah jalur kegempaan. Atas dasar ini lah nenek moyang masyarakat Nias membangun rumah tempat tinggalnya dengan konstruksi yang begitu terstruktur. Bukan hanya konstruksi tetapi nilai dari masing-masing bentuk struktur rumah adat tersebut yang memberi proses pembelajaran kepada masyarakatnya dan bahkan kepada generasi muda saat ini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari sketsa konstruksi omo hada di bawah ini.
2
Sanőrő aro omo hada, adalah rumah adat yang ukurannya besar dan berada ditengah-tengah halam kampung yang dihuni oleh kepala suku atau bangsawan dari desa tersebut, sedangkan sanőrő jina omo hada adalah rumah adat masyarakat lainnya yang berjejer antara rumah adat yang satu dengan rumah adat lainnya, hasil observasi dan pengamatan penulis. 115
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Gambar 1. Sketsa Konstruksi Omo Hada masyarakat Nias Selatan
Sumber : Viaro, Alain dan Ziegler, Arlette. Traditional Architecture of Nias Island, Gunungsitoli, 2006. Rumah adat Nias Selatan yang sudah mencapai ambang kepunahannya menjadi catatan tersendiri bagi masyarakatnya bahwa dalam hidup bermasyarakat di Nias Selatan telah mewariskan satu budaya arsitektur dari Omo hada dengan nilai pendidikan dan filosofi keilmuwan. Untuk melihat apasajakah yang menjadi nilai pendidikan dalam peninggalan warisan budaya masyarakat Nias khususnya Nias Selatan tentang omo hada bahwa rumah sebagai tempat tinggal menaruh segala harapan, cita-cita, dan menyimpan harta terbaik, bagi keturunan dari setiap anggota keluarga yang tinggal dalam rumah itu. Pintu rumah adat masyarakat Nias dibuat lebih rendah dari tinggi orang dewasa, artinya bahwa setiap orang yang datang di dalam rumah tersebut tanpa di komando akan menundukkan kepala (hõgõ nifaõdrõ) sekaligus sebagai bentuk penghormatan buat sipemilik rumah. Tamu yang datang tidak menengadahkan kepala ke atas pada saat masuk rumah tersebut. Hal ini menandakan pula bahwa tamu harus menghormati otoritas apa yang berlaku dalam rumah. Ahe nihawiagõ (hentakkan kaki), artinya hentakkan kaki begitu menginjakkan kaki di tangga rumah, yang menandakan bahwa seseorang yang berkunjung ke rumah dan si pemilik atau penghuni rumah dapat mengetahui bahwa ada tamu yang akan berkunjung ke rumah. Selain itu, pada saat kaki dihentakkan disertai dengan ucapan “Ya’ahowu, so niha baomo wa?” (salam, adakah orang di rumah) serta merta penghuni yang di dalam rumah akan menjawab “Ya’ahowu”. Ya’ahowu adalah merupakan salam dalam bahasa Nias, artinya salam bisa menjadi selamat-selamat baik bagi penghuni rumah maupun juga kepada tamu yang berkunjung ke rumah tersebut. Struktur rumah adat yang besar yang dihuni oleh bangsawan Nias Selatan bahwa pintu menuju rumah melalui kolong rumah adat. Untuk masuk dalam rumah inipun berbeda dengan rumah adat lainnya yang melalui pintu samping. Masuk dalam Omo Sebua (rumah adat besar) selain kaki yang dihentakkan, posisi tubuh miring atau menyenjang pada saat masuk ke dalam rumah. Artinya, bahwa setiap orang yang masuk dalam rumah tersebut, selain membungkukkan badannya serta merta akan 116
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
menyenjangkan badannya untuk memasuki rumah besar. Tidak dengan membusungkan dada dan menengadahkan kepala ke atas. Rumah Adat Nias Selatan sebagai Warisan Budaya yang memberi nilai Pendidikan Pemahaman akan hakekat pendidikan nasional dan memajukan kebudayaan nasional, maka semua program pendidikan dan pembangunan kebudayaan nasional, termasuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, harus diarahkan pada berfungsinya pendidikan nasional untuk tercapainya pembangunan watak dan peradaban negara-bangsa Indonesia yang bermartabat. Pengembangan kebudayaan lokal sebagai kebudayaan nasional meliputi: (1) pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya, seperti yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan; (2) pengembangan dan pembudayaan nilai-nilai budaya nasional (sosial, politik dan ekonomi) melalui proses penegakan hukum dan proses pendidikan sebagai proses sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai budaya melalui keluarga, sekolah; (3) pengembangan nilai budaya tidak bersifat primordial melainkan dengan melihat dimensi nilai-nilai budaya nasional melalui pendidikan dan lembaga pendidikan. (4) mewarisi hasil budaya tersebut kepada generasi berikutnya sehingga dapat bertahan seiring dengan kemajuan jaman dan ilmu pengetahuan dan pada akhirnya hasil budaya tersebut menjadi jati diri dari generasi selanjutnya bahwa mereka memiliki budaya sebagai aset bangsa. Lembaga pendidikan hendaknya menjadi pusat pembudayaan, yaitu pusat perwujudan nilainilai dalam memajukan kehidupan yang dicita-citakan pada suatu masyarakat, karena Pendidikan dan Kebudayaan adalah dua bidang yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Pendidikan adalah suatu usaha manusia yang penting untuk memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan keberadaan masyarakat. Jacques Delors (1996) mengatakan sebagai berikut: In confronting the many challenges that the future holds in store, humankind sees in Education an indispensable asset in this attempt to attain the ideals of peace, freedom and social justice. As its concludes its work, the Commission affirms its belief that education has a fundamental role to play in personal and social development. Rumah adat (omo hada) merupakan tempat hunian bagi masyarakat Nias. Hunian pada musim panas dan disaat musim hujan, dan sekaligus sebagai tempat berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga yang mendiami rumah adat. Rumah di Nias khususnya di Nias Selatan memiliki susunan yang sama dan simetris. Hanya Omo sebua (rumah adat besar yang dihuni oleh bangsawan) yang ukurannya lebih besar dibanding dengan rumah masyarakat lainnya yang berjejer satu dengan lainnya. Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika. Perilaku inipun terkandung dalam pembuatan dan bentuk rumah adat masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan. Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Tata perilaku inilah yang terkandung dari bentuk dan struktur rumah adat masyarakat Nias Selatan sehingga dapat dianuti oleh setiap masyarakatnya sebagai nilai sosial. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Ciri-ciri peranan nilai sosial diantaranya yaitu: a. Merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi antarwarga masyarakat. b. Disebarkan di antara warga masyarakat dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan bukan bawaan lahir. 117
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
c. d. e.
Terbentuk melalui sosialisasi dan interaksi sehingga menjadi sebuah proses belajar Merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan sosial manusia. Bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, namun dapat diterima secara umum tanpa ada yang merasa dirugikan atau diuntungkan. f. Dapat memengaruhi pengembangan diri sosial g. Memiliki pengaruh yang berbeda antarwarga masyarakat, artinya dari strata masyarakat h. Cenderung berkaitan satu sama lain. Perilaku dan kebiasaan dalam keseharian masyarakat Nias Selatan sebagaimana diungkapkan di atas menjadi sebuah titah adat atau bõwõ ni’orisi. Dalam bukunya Bõwõ Ni’orisi oleh Laiya, (2006) bahwa bõwõ ni’orisi adalah sebuah istilah lain dari nilai budaya yang paling penting dan sentral dalam masyarakat Nias Selatan. Artinya bahwa sebagai titah adat yang merupakan ragam pesan orang tua kepada anak dari generasi ke generasi berikutnya untuk dipedomani, dipatuhi dan dihormati. Pesan adat tersebut menjadi arah bagi seseorang untuk berperilaku baik terhadap diri sendiri, maupun terhadap keluarga dan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Gambar 2. Rumah adat Nias Selatan
Sumber: Omo hada Desa Bawõmataluo dan Desa Hilinawalõ Majinõ Nilai pendidikan lain ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik (generasi saat ini) agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi seharihari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pembelajaran di sekolah diorganisasikan secara baik. Dalam pengorganisasian nilai pendidikan sekaligus sebagai pembelajaran bagi generasinya dalam hal ini peserta didik bahwa dapat menjadi bentuk kesadaran dan kepedulian terhadap hasil budaya masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Pendidikan bukan hanya suatu proses untuk mentransformasikan pengetahuan dan informasi untuk menjadikan generasi muda menjadi penduduk yang mendapat informasi yang cukup mengenai kebudayaanya. Akan tetapi, menjadikan pendidikan sebagai proses sosio-kultural untuk mengarahkan nilai-nilai kebudayaan merasuk ke dalam sistem kepribadian dari setiap warga masyarakatnya (negara). 118
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Jadi, pendidikan tidak dapat dibatasi pada proses belajar mengajar yang terjadi dalam konteks kelas, tetapi juga harus memasukkan proses belajar yang terjadi dalam konteks keluarga dan masyarakat, termasuk warisan budaya lokal yang tersebar diampir semua pelosok nusantara dalam bingkai NKRI, Pancasila dan UUD 1945. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian ini, yaitu mendeskripsikan nilai pendidikan dalam peninggalan warisan budaya masyarakat Nias tentang Rumah Adat (omo hada), dan mendeskripsikan aturan dan tata perilaku masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan yang terkandung dari bentuk dan struktur Rumah Adat (omo hada) di Nias Selatan, maka yang menjadi simpulan antara lain. a. Pendidikan nilai tidak dapat dibatasi pada proses belajar mengajar yang terjadi dalam konteks kelas, tetapi juga harus memasukkan proses belajar yang terjadi dalam konteks keluarga dan masyarakat serta budaya lokal. Artinya bahwa apa yang menjadi kebiasaan dalam kultural budaya masyarakat Nias Selatan telah menjadikan sebagai nilai-nilai edukasi yang patut di hargai, dipahami dan bahkan dikembangkan menjadi layaknya pendidikan formal. Nilai pendidikan yang terdapat pada peninggalan warisan budaya masyarakat Nias Selatan tentang rumah adat (omo hada) melalui ucapan kata Ya’ahowu pada saat masuk dalam rumah, menundukkan kepala dan hentakkan kaki mampu memberi pembelajaran sehingga masyarakatnya sadar bahwa itu sudah diwarisi oleh nenek moyangnya dalam hidup bersosialnya. b. Aturan dan tata perilaku masyarakat Nias khususnya di Nias Selatan yang terkandung dari bentuk struktur rumah adat (omo hada) di Nias Selatan telah mengajarkan kepada masyarakatnya nilai warisan budaya tidak bersifat primordial melainkan dengan melihat dimensi nilai-nilai budaya nasional melalui pendidikan dan lembaga pendidikan. Omo hada sebagai warisan budaya dalam hidup bermasyarakat Nias Selatan mengandung nilai pendidikan dan sebagai sumber pembelajaran bagi peserta didik sehingga menjadi generasi yang memiliki jati diri. Menjadi nilai pendidikan dalam peninggalan warisan budaya masyarakat Nias khususnya Nias Selatan tentang omo hada bahwa rumah sebagai tempat tinggal menaruh segala harapan, cita-cita, dan menyimpan harta terbaik, yaitu keturunan dari setiap anggota keluarga yang tinggal dalam rumah itu. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas, maka yang menjadi saran atau rekomendasi dalam penulisan ini, yaitu a. Pemerintah diharapkan mampu menemukan dan menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat sebagaimana filosofi dari berdirinya omo hada atau omo sebua di Nias Selatan. b. Hendaknya pemerintah dan stakeholder dapat menaruh perhatian terhadap kepunahan omo hada sekaligus menjadikan sebagai isu-isu dan masalah-masalah sosial masyarakat Nias Selatan terutama dalam melestarikan statuta dan keberadaan rumah adat Nias Selatan dari kepunahannya, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat. c. Hendaknya pemerintah sebagai pengambil keputusan dan stakeholder sebagai pendukung serta masyarakat sebagai penerima manfaat dari nilai budaya yang menjadi warisan generasi berikutnya diharapkan mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat. d. Hendaknya warisan budaya lokal sebagai salah satu warisan budaya nasional Indonesia dapat dijadikan sebagai bagian dari kurikulum sebagaimana PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 6, yaitu kerangka dasar dan struktur kurikulum. e. Dalam usaha melestarikan budaya dan peninggalan masyarakat Nias melalui sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, dan diharapkan menjadi pembelajaran yang berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik (muatan lokal).
119
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
REFERENSI Jacques Delors et.al, 1996. Learningthe Treasure Within: Highlights of the Report to Unesco of the International Commission on Education for the Twenty First Century, Paris, Unesco. Laiya, Bambowo. 2006. Nilai Budaya Nias Selatan: Sumane ba Bowo Ni’orisi. Badan Musyawarah dan Pergerakan Masyarakat Adat Nias, Yayasan Bampermadani, Teluk Dalam. Manan, Imran. 1989. Anthropologi Pendidikan Suatu Pengantar, Jakarta, Depdikbud. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pidarta, Made. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bina Aksara. Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiolog Suatu Pengantar, Cet. Ke. 35, Jakarta, RajaGrafindo Persada. Viaro, Alain dan Ziegler, Arlette. 2006. Traditional Architecture of Nias Island, Gunungsitoli, Yayasan Pusaka Nias.
120
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
INFLUENCE OF INTRAPERSONAL INTELLIGENCE, LOGICAL-MATHEMATICAL INTELLIGENCE, AND LEARNING MOTIVATION TOWARDS STUDENTS’ LEARNING ACHIEVEMENTS IN MATH IN CLASS VII OF JUNIOR HIGH SCHOOL IN THE EVEN SEMESTER Pramudjono1 1
Lecturer of the teaching and educational knowledge faculty, Mulawarman University [email protected]
Abstract The background of this research indicates the problem on how low the outcomes of mathematics learning results of the Junior High School students. The success rate of the students to obtain an achievement in learning mathematic at school is influenced by internal factors, such as intrapersonal intelligence, logical-mathematical intelligence and the students’ motivation. Ex post facto type of study aims to determine the influence of intrapersonal intelligence, logical-mathematical intelligence and the learning motivation towards the students achievements in learning mathematics. The research was done in class VII of Junior High School in Samarinda at the end of an even semester. The samples selection used saturation sampling in which the samples consist of 9 classes, with 300 students. The data collection instruments used questionnaire and scores of the final exam of the even semester of class VII. The following are the results: 1) The average values of intrapersonal intelligence, logicalmathematical intelligence, learning motivation, and learning achievement can be concluded as average. 2) Based on the analysis of the sub-structure line 1, there is a significant influence of students’ intrapersonal intelligence and logical-mathematical intelligence on the students’ motivation – with a determinant coefficient of 37.7%. 3) Based on the analysis of the sub-structure line 2, there is one variable that was not significant, so the improvement test of trimming mode was performed, therefore after the re-test analysis done, was discovered that there is an influence of intrapersonal intelligence and motivation simultaneously towards the learning achievements of the students with a determinant coefficient of 7.7%. Keyword: intrapersonal intelligence, logical-mathematical intelligence and motivation to learn, mathematics learning achievement INTRODUCTION Each individual student has different views on mathematics. Some think it is a fun subject to learn, but some think it is a mediocre or even a difficult subject. From this, for those who consider math as fun, it will emerge a self-motivation to learn and develop optimism in problem solving capacity of challenging problems. In the other hand, those who believe mathematics is a difficult subject, then this trait tends to make students pessimistic in solving the problems, moreover less motivated to learn the subject. These thoughts and attitudes will certainly affect the learning outcomes of mathematics. Based on the observation and interviews with math teachers in Junior High School in Samarinda, was discovered that the students’ achievements are very low. The average grades of the end semester exam of ten classes of class VII are lower than 80 or lower than KKM. Based on the findings, the researcher wanted to find things in which affect the students’ learning achievements against intrapersonal intelligence, logical-mathematical intelligence and students’ motivation.
121
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Each student must have a different level of achievement, as well as an understanding level, also including the level of intrapersonal intelligence and logical-mathematical intelligence, for instance, the students of SMP Negeri 2 Samarinda have various intelligence levels in which will affect the math learning achievement of the school. In math, students are expected to have a self-motivation in intrapersonal intelligence and logical-mathematical intelligence when they are faced with the end semester accomplishments. Based on a journal by Dwi Setyono Ikhsan (2012) "Effects of ComputerBased Learning Media and Intrapersonal Intelligence Against Mathematics Learning Achievement Reviewed on the Activeness of the Student’s Learning Process", found that the math learning achievements of students with high intrapersonal intelligence are higher that students with low or average intrapersonal intelligence, however students with average intrapersonal intelligence have the same achievements as the low ones. Thus, presumably there is relationship between intrapersonal intelligence and learning achievement, because there is a need of the right process and self-hard work in problem solving in mathematics. Therefore, they will feel satisfied with what they have done, so there should be a further research on intrapersonal intelligence and mathematics learning achievement. From above description, it is assumed that intrapersonal intelligence and logical-mathematical intelligence – in terms of motivation – will have influence on mathematics’ learning achievement. Based on this, the author is interested in conducting research on the influence of intrapersonal intelligence, logical-mathematical intelligence and motivation on the students’ learning achievements of grade VII in the even semester in Junior High School in Samarinda. The goal of this study is to determine the effect of intrapersonal intelligence and logicalmathematical intelligence on students’ learning motivation, and the influence of intrapersonal intelligence, logical-mathematical intelligence, and students’ learning motivation on their achievements in learning mathematics, focusing on students of class VII in Junior High School.
THEORY STUDY A. Mathematics Learning Achievement The sense of achievement or success in the study (Anwar, 2004:24) can be operationalised in the form of indicators such as grades, GPA, graduation rates and a success predicate. The learning achievement one has achieved is a result of interactions of various factors that had influenced both from the inside (internal factors) and from the outside (external factors) of the individuals. Introduction of the factors that influence the learning achievement is crucial in order to assist students in obtaining the best academic achievement as possible (Ahmadi dan Supriyono, 2008:138). Olivia (2011:73) stated the learning achievement is the apex of learning outcomes in which may reflect the success of student’s learning process towards the intended learning objectives. The learning outcomes can include affective, cognitive and psychomotor. One of the tests that can review students’ learning achievements is the student’s learning achievement test. Based on above description can be concluded that students’ achievements is the success rate of students in the whole process of learning activities, stated in figures which were obtained from the evaluation of student’s learning results. Whereas, the mathematics learning achievement itself is the level of success achieved by student in the learning process of mathematics, described in figures and reviewed based on the result of end semester exam – this is because the results of the final semester exam still preserved a purity level compared to the results in report cards.
122
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
B. Intelligence In theory of Gardner (1983:77) intelligence is a fundamental thing in which generally exists in a person at a certain level, it is wider and taller than any computerized mechanisms, it is narrower than the capacity in general – such as analysis process, synthesis or a feeling for something. Alexander (2012:50) wrote that intelligence is one of the many advantages of human capabilities, obtained through the continuous process of thinking and learning for a particular purpose. Edy Gustian (2004:17-19) wrote that intelligence as if we are able to think and understand conceptual things, have capability to learn new things and also be able to adjust with the child's environment. From the theories above, we can conclude that intelligence is a person's ability to think and behave or act in focus and his/her capability to process both cognitive and affective things effecting on brain activity to practice knowledge gained from the experience and trainings in order to be able to think reflectively and professionally. C. Intrapersonal Intelligence In Gardner's theory of multiple intelligences (1983:156), intrapersonal intelligence is intelligence in life, which has access to our own feelings and our interpersonal knowledge, which makes an individual able to detect and symbolize a series of complex and differentiated feelings. Armstrong (2005:5), intrapersonal intelligence is self-knowledge and ability to adapt in terms of basic knowledge. Gunawan (2011:114-115) those with well-developed intrapersonal intelligence have the following characteristics: 1. Knowing him/herself In intrapersonal intelligence, knowing ourselves means that students are aware and able to understand their own emotions, able to express and channel their feelings and thoughts. For example, when students like to do a self-introspection. 2. Develop a good and correct self-concept Self-concept is how we perceive ourselves, usually done by classifying personal characteristics, social characteristics, and social role. Personal characteristics are the traits we have, at least our perception of ourselves. The self-concept is closely associated with knowledge. If someone has high/good knowledge, then his/her self-concept is good as well. Conversely, if his/her knowledge is low, then his/her self-concept will not be good. 3. Knowing crucial things within him/herself Knowing important things within themselves are more to the independent students. They are able to develop their study skills, to sustain while improving themselves. 4. Establish and live accordingly to the system and comply the ethical values. Student who establishes and lives following the system and ethical value means that he/she is interested in the meaning and purpose of life, in relevance to the current circumstances. 5. Motivated in the pursuit of life goals. According to the experts, can be concluded that intrapersonal intelligence is the individual’s intelligence to be able to understand their own selves, knowing their weaknesses so they could motivate themselves. Also based on the characteristics in the above theory, the intrapersonal intelligence indicators that will be conducted in this research are: 1. Understanding ourselves 2. Developing a good and correct self-concept 3. Knowing crucial things within ourselves. D. Logical-Mathematical Intelligence Anwar (2004:49) argued that logical-mathematical intelligence is an ability to master the patterns of categories and able to manipulate objects or symbols in a systematic and well-ordered ways. 123
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Some children might assume that numbers or figures are a monster to be shunned. However, children with a potential logical-mathematical intelligence will like things related to numbers. If a child is interested in toys such as puzzles or chess most likely he/she has a logical-mathematical intelligence. Iskandar (2012:54) stated the logical-mathematical intelligence as an individual’s ability to think inductively and deductively, capability to think according to rules of logic, the skills to understand and analyze patterns of numbers, and problem solving capacity with thinking. Based on the experts, the author conclude that logical-mathematical intelligence is the ability to think logically, systematically, and skills to solve problems associated with numbers and symbols, also ability to think deductively and inductively to seek answers for certain problems especially in the teaching-learning process at school. In addition, based on the characteristics contained in the theory, indicators suitable with this research are as follow: 1. Having interest in numbers, counting and solving math problems easily. 2. Showing capabilities in solving problems that require logical thinking. 3. Ability to reason, to sort things, to think in causation pattern, and to find conceptual regularity or numerical patterns. 4. Using appropriate technology to solve everyday problems. E. Learning Motivation Motivation comes from Latin language movere means triggering, encouraging, or directing human behaviours. According to Iskandar (2012:180) in the learning process, known a learning motivation. Iskandar explains learning motivation as a motivation that is applied in the teachinglearning activities with the overall psychological driver within the students, which leads to learning activities, ensuring continuity of the learning process in achieving a goal. Uno (2010:23) stated that the nature of motivation is an internal and external encouragement to the students who are in the phase of learning, to make some changes in behaviour, in general with some supporting indicators or elements. It has a big role in the individual’s success in the learning process. According to the experts, the author can conclude that the learning motivation is an urge within our own selves to achieve a certain goals in the learning process. RESEARCH METHODS The population in the research were all students of class VII Semester II in SMP Negeri 2 Samarinda, in total 9 classes with 300 students. The sampling in this study was done by using saturation sampling, which means all members of the population was used as sample. For the respondent of questionnaire test, required a class, consists of 34 students of class VII in SMP Negeri 2 Samarinda. Class in which the test will be conducted was selected randomly and the rest will become samples in the study. The research instruments used were questionnaires of intrapersonal intelligence, logicalmathematical intelligence, and learning motivation. As for the math achievement scores to be taken from final exam results of the even semester of class VII SMP Negeri 2 Samarinda. In the questionnaires of intrapersonal intelligence and logical-mathematical intelligence, the author specified all statements with five multiple answer choices. The statements were scored as the table below:
124
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Table 1. Scores of Intrapersonal Intelligence and Logical-mathematical intelligence Statements. Statement
Positive Statement
Negative Statement
Highly agree (SS)
5
1
Agree (S)
4
2
Not sure (R)
3
3
Disagree (TS)
2
4
Highly disagree (STS)
1
5
(Source: Sukardi, 2004)
In the motivation questionnaire, the authors compiled all statements with five answer choices. The statement was scored as the table below: Table 2. Scores of Motivation Statements.
Statement
Positive Statement
Negative Statement
Always (SS)
5
1
Usually (S)
4
2
Often (CS)
3
3
Rarely (J)
2
4
Never (TP)
1
5
(Source: Sukardi, 2003)
Data analysis techniques used include descriptive statistical techniques and inferential statistical techniques. To test the hypothesis performed pathway analysis. Path analysis is used to illustrate and test the model of the relationship between variables in the form of cause and effect (Sugiyono, 2010:297). In research there are two exogenous variables, namely intrapersonal intelligence (X1) and logical mathematical intelligence (X2), while being endogenous variable is motivation to learn (X3) as intermediate variables and math achievement (Y) as the dependent variable. The test is divided into sub-structure analysis of 1 and 2. The steps to test the pathway analyzes on this research conducted by testing sub-structure and sub-structure 1and 2According Riduwan (2011:128) in accordance to the purpose of writing, the test of the analysis is to formulate hypotheses, draw a diagram of the full path. Calculate the regression coefficients for structures that have been formulated, calculate coefficients simultaneously with the F test. If a significant F value <0.05 Ho rejected. If accepted, the partial test can proceed with the t test.
125
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
RESULTS Based on the calculation of descriptive analysis obtained the following results. The average value of 86.04 for students intrapersonal, logical-mathematical intelligence at 82.31 and learning motivation at 96.76 in the category of medium. These three variables are included in the category of medium. While the average value from students mathematics learning achievement is 53.42 and in the category of medium. from the results of inferential analysis using path analysis, structural equation analysis of the sub-structure on 1 X3 = 0,160 X1 + 0572X2 + 0,789𝜀1 with α = 0,05 was obtained Fvalue = 89,721 and p = 0,000. Because p <0.05 then, there is influence in intrapersonal intelligence and logical-mathematical intelligences simultaneously on students' motivation. R2 = 0,377 shows that the contribution of intrapersonal intelligence and logical-mathematical intelligence simultaneously on motivation to learn by 37.7%. At the intrapersonal variables on student motivation, variables the value of tvalue = 3,743 > ttable = 1,982 and p = 0,001 and p<α. While the logical-mathematical intelligence variable to student motivation variable, the value of tvalue = 12,387> ttable=1,982 and p = 0,000 < α. In the analysis of the sub-structure 2, equation Y = 0,117𝑋1 − 0,014 𝑋2 + 0,234𝑋3 + 0,9607𝜀2 , but in partial logical-mathematical intelligence has no effect on mathematics learning achievement, so in this case need to fixes the sub-structure analysis model 2 with trimming. After eliminating the variables logical-mathematical intelligence by analyzing the path back to the model equations trimming the substructure analysis model 2 turns into the equation structure Y = 0,117𝑋1 + 0,225𝑋3 + 0,9607𝜀2 . With α = 0,05 obtained Fvalue = 12,376 and p = 0,000. Because value p<α then there is influence of intrapersonal intelligence and motivation to learn simultaneously to the mathematics learning achievement of students. R2 = 0,077 shows that the contribution of the influence intrapersonal intelligence and motivation to learn simultaneously to the mathematics learning achievement of students by 7,7%. At the intrapersonal variables value tvalue = 2,044> ttable = 1,982 and p = 0,042 < α = 0,05 and learning motivation value of variable tvalue = 12,387> ttable = 1,982 and p = 0,000 < α = 0,05. It can be concluded that there is a significant relationship between intrapersonal intelligence on mathematics learning achievement and a significant difference between achievement motivation toward learning mathematics. DISCUSSION 1. Relation Intrapersonal intelligence to learning motivation Based on the above results, shows that there is a partially positive relationship between intrapersonal intelligence and motivation to learn. Intrapersonal intelligence plays an important role in students' learning, especially to build learning motivation in self-reliance, self-confidence and the willingness of students and the need for students to understand the ability to accurately and realistically in creating a picture of yourself (strengths and weaknesses). This is in accordance with the opinion of Lucy (2009:101) that students with strong intrapersonal intelligence is able to motivate to learn themselves, in addition to the characteristics of students who have intrapersonal intelligence with a good learning motivation is to reflect and repeat the learning material, specify main goals for yourself and focus thinking and focused on achieving the goal. Also according to Armstrong (2005) concept of a student's self comes from good knowledge about themselves positively both the motivation and intention in the learning environment. 2. Relationship Logical-Mathematical Intelligence to the Motivation Based on the above results , shows that there is a positive relationship between the partial logical-mathematical intelligence and motivation to learn . The success is largely determined by the child's learning or tutoring encouragement from parents . Because of this impulse can affect children 126
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
directly . Alexander ( 2012:188 ) says that the motivation to learn existing within the creative nature that the desire for advanced students . In this case the teacher has a strategic role in fostering students' motivation to learn through activities that are based on logical - mathematical intelligence. One strategy learning motivation and logical- mathematical elements of conducting a learning method that is interesting and fun and can involve affective and psychomotor students , and create an exciting learning medium as props to support the learning process of mathematics . Based on the results of relevant research by Any Herath ( 2012) that the TAI cooperative learning and puzzle games can enhance learning motivation and understanding of concepts . The results of other relevant research that supports logicals - mathematical intelligence affect motivation to learn the research done by Nuril Milati ( 2009 ) on the transparent evaluation cycle TGT cooperative learning can increase students' motivation so as to improve the achievement of learning mathematics . From the results of these studies indicate that learning methods that contain elements that draw the logical mathematical intelligence help motivate students to learn, thus improving the quality of mathematics learning in school can be implemented optimally. . 3. Relationship Intrapersonal intelligence on Mathematics Learning Achievement Based on the above results, shows that there is a partially positive relationship between intrapersonal with mathematics learning achievement. The results of this study are relevant to the research conducted by Eko Nur Rachmanto (2012) that the intrapersonal intelligence on learning achievement showed the correlation coefficient value of 0.610 or more significance than the significance level of 5%. The results of processing these data provide a positive influence between intrapersonal intelligence on learning achievement. This is in accordance with the opinion of Akbar and Hawadi (2001:80) that the person's intrapersonal or self-concept shows how a person sees himself as well as the capabilities, so that students who have a positive self-concept will be more successful in school. 4. Relations Logical-Mathematical Intelligence on Mathematics Learning Achievement The result showed that there is no influence between logical-mathematical intelligence with mathematics learning achievement . This is contrary to the relevant research conducted by Huri Suhendri ( 2012) which has a positive effect between logical-mathematical intelligence and research conducted by Eko Nur Rachmanto ( 2012) that the logical-mathematical intelligence also affects the learning of mathematics achievement . When viewed from the perspective of Armstrong ( 2005:84 ) that build logical - mathematical intelligence to do the learning that emphasizes the exploration of students' skills in problem solving. Learning that involves students actively good student so would make good learning performance. It happened during the study was due to the sample data students in filling out questionnaires logical - mathematical intelligences. There are some students who pay less attention to the charging instructions written on the questionnaire, so that the results of the data showed no significant numbers that make logical-mathematical intelligence research on learning achievement has no effect. 5.
Relationship Learning Motivation and Mathematics Learning Achievement Based on the study results, was found that there is a partially positive relationship between learning motivation and learning achievement. This is relevant with the research conducted by Mutia Solikha ( 2012) that has a relationship with the motivation to learn mathematics learning achievement. According to Akbar and Hawadi (2001 : 89 ) the higher the person's motivation to learn to learn , the better the accomplishments to be achieved. Motivation to learn in which there have independence, self-confidence and a high willingness to be developed through a learning process which gives the duties and responsibilities to students to the fullest. The existence of a strong 127
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
motivation to learn to make students study diligently and ultimately increase student interest in learning mathematics so that learning achievement also increased. Students are well motivated in learning activities more and more quickly , than students who are less motivated in learning. In this case teachers and parents play a role in activating motivated students to study well, so that the learning achievement of students with good yield. CONCLUSION Based on the results of research and discussion, the conclusions that can be drawn are: 1. There are influences of intrapersonal intelligence against class VII motivation to study in the second semester of SMP. 2. Influences of the logical mathematical intelligence against class VII motivation to study in the second semester of SMP. 3. There are influences between intrapersonal intelligence on mathematics learning achievement in second semester of grade VII at SMP. 4. There is no influence between the logical mathematical intelligence on learning achievement in second semester of grade VII at SMP. 5. There is influence between motivation toward learning achievement in second semester of grade VII at SMP. REFERENCES Ahmadi, Abu dan Supriyono, Widodo. Psikologi Belajar. (Jakarta: Rineka Cipta. 2008) Akbar, Reni dan Hawadi. Psikologi Perkembangan Anak. (Jakarta: Grasindo. 2001). Armstrong, Thomas. Seven Kinds of Smart Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005). Azwar, S. Tes Prestasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004). Azwar, S. Psikologi Intelegensi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004). Eko Nur, Rachmanto. The Effect Of Multiple Intelligence Cognitive Style with Student Achievements In Enterpreneurship Major At Yogyakarta State 2 Vocational School. (2012). (http://eprints.uny.ac.id/812/: Diakses tanggal 17 April 2013). Gardner, Howard. Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligence. (New York:Basic. 1983). Gunawan, Adi. W. Born to be A Genius. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011). Gustian, Edi. Menangani Anak Underchiever: Anak Cerdas Dengan Prestasi Rendah. (Jakarta: Puspa Swara. 2004). Herawati, Any. Pembelajaran Koopertif Tipe TAI dan Game Puzzle dalam Meningkatkan Motivasi Belajar dan Pemahaman Konsep Matematika Siswa SMA Negeri 3 Malang. (2012) (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/ 22389: Diakses tanggal 01 Agustus 2013). Iskandar. Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru.( Jakarta: Referensi. 2012). Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro. (2011). Cara Mudah Menggunakan dan Memaknai Path Analysis (Analisis Jalur). Bandung: Alfabeta. Setyono, Ikhsan Dwi. Pengaruh Media Pembelajaran Berbasis Komputer dan Kecerdasan Intrapersonal Terhadap Prestasi Belajar Matematika ditinjau dari Keaktifan Belajar Siswa
128
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
(2011)..(http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=24763: April 2013).
Sabah, Malaysia
Diak-ses Rabu, 17
Solikha, Mutia.Pengaruh Kecemasan Siswa Pada Matematika dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Matematika. (2012) (http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/ mathedunesa/article/view/251/baca-artikel: Diakses, Kamis 18 April 2013) Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. (Bandung: Alfabeta. 2010). Sugiyono. Statistika untuk Penelitian. (Bandung: Alfabeta. 2010). Suhendri, Huri.Pengaruh Kecerdasan Matematis-Logis, Rasa Percaya Diri dan Kemandirian Belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika (2012). .(http://eprints.uny.ac.id/ 8082/ 1/P%20%2043.pdf: Diakses pada tanggal Rabu, 17 April 2013) Sukardi. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. (Jakarta: Bumi Aksara. 2004). Uno, H.B. Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang Pendidikan. (Jakarta: Bumi Aksara.2010).
129
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
REPRESENTASI GENDER DALAM NOVEL CABAUKAN, KEMBANG JEPON, KERUDUNG MERAH KIRMIZI. Prima Gusti Yanti1 1
Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP UHAMKA JAKARTA pgustiyanti @yahoo.com Abstract
This study used a qualitative approach to content analysis techniques. The approach used is a feminist literary literature. Aim of this study to find the representation of gender in the novel Cabaukan, Kembang Jepon, Kerudung Merah Kirmizi created by Remy Sylado. Criteria reveal gender issues are ( 1 ) the behavior , activities , thoughts female figures , ( 2 ) suppression experienced by female figures . The research data was collected from three Remy Sylado’s novel, namely Cabaukan, Kembang Jepon, Kerudung Merah Kirmizi. The results of this study indicate gender representation differentiated between the colonial period and the period after independence. The behavior of women is found behavioral mimicry as an activity to equate the situation with the invaders. Activities undertaken in the field of women are still largely domestic. Thought leaders during the colonial women still around family life, and in the aftermath of independence has not changed optimally. During the colonial period there is the oppression of women in the domestic sphere, which caused the women do not have the economic power and when in public spaces experienced more sexual repression, both of invaders and of indigenous men. It was more due to ignorance and poverty. In the period after independence women have been able to demonstrate the existence of self to make a living in accordance with the skills possessed, but still there is oppression in the domestic and public spaces. Keywords: feminism, gender representation, public space, domestic space INTRODUCTION Indonesia termasuk dunia ketiga, atau negara bekas jajahan-dalam hal ini jajahan Belanda. Indonesia juga mengalami peristiwa-peristiwa tragis akibat dari penjajahan tersebut. Peristiwaperistiwa tragis tersebut dialami oleh semua masyarakat Iindonesia, baik secara langsung maupun taklangsung. Generasi yang mengalami langsung peristiwa imperialisme tersebut tentu menimbulkan traumatis yang berkepanjangan. Akan tetapi, generasi yang tidak mengalami peristiwa imperalisme secara langsung bukan berarti ia terlepas sama sekali dari pengaruh imperialisme tersebut, karena pengaruh imperialisme telah merasuk pada segala kehidupan masyarakat. Segala tindak tanduk kita, budaya, sosial, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya telah dipengaruhi oleh imperialisme. Penjajahan telah masuk pada semua tataran kehidupan bangsa ini, baik yang baik maupun yang buruk. Imperialisme juga merasuk dalam sastra, karena sastra adalah produk masyarakat. Produk dimana kita dapat melihat segala hal yang ada dalam kehidupan masyarakat. Produk tempat manusia yang namanya pengarang menuangkan ide, perasaan, dan pengalaman kehidupannya. Salah satu golongan masyarakat yang sangat menarik dibicarakan adalah para perempuan, baik pada masa penjajahan maupun masa setelah kemerdekaan, karena perempuan yang sangat menderitapada masa tersebut. Peristiwa-peristiwa tragis itu paling diderita oleh perempuan yang selalu menjadi subaltern. Subaltern itu terjadi karena system patriakhi yang dianut sangat kuat oleh masyarakat kita. Bentuk ketidakadilan itu disebabkan oleh kontruksi social masyarakat kita juga, yaitu perempuan tidak mampu memimpin, perempuan lembut, cengeng, dan lain-lain atau karena pemberian lebel negative kepada
130
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
perempuan, seperti perempuan tidak akan mampu bekerja dengan baik pada dunia kerja dan perempuan hanya mampu bekerja pada dunia domestic. Remi Sylado adalah seorang pengarang Indonesia yang menonjol, banyak karya sastra yang sudah dihasilkan, baik novel, cerpen, maupun drama. Karyanya sudah mulai diperhitungkan sejak tahun 70-an, ketika ia dan teman-temannya melahirkan puisi mbeling, puisi yang sifatnya memprotes tetapi melalui pengungkapan yang sederhana, lucu, dan penuh sindiran. Akan tetapi, perkembangan setelah era 70-an Ia lebih banyak menulis novel. Diantara novel-novel yang dihasilkannya adalah novel-novel sejarah. Akhir-akhir ini atau sejak era 90-an ia sering menulis novel-novel sejarah. Ia menekuni pembuatan novel-novel sejarah tersebut dengan sungguh-sungguh, yaitu dengan melakukan riset ke perpustakaan nasional, membongkar arsip-arsip tua dan menelusuri pasar buku tua. Bahkan, untuk novel Parijs van Java ia melakukan riset perpustakaan di Utrecht, Belanda. Novel yang dibicarakan adalah Kembang Jepun, cabaukan, Kerudung Merah Kirmizi karena ketiga novel lebih intensif membicarakan perempuan. LITERATURE REVIEW 1. Representasi Studi budaya (cultural studies) terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu bagaimana dunia ini dikontruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Unsur utama cultural studies dapat dipahami sebagai studi kebudayaan sebagai praktek pemaknaan representasi. Ia juga menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks.Baker menyatakan Representasi melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Hall mengatakan representasi adalah produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa. Yang dimaksud bahasa dalam hal ini bukan hanya yang bersifat lisan maupun tulisan pada umumnya, tetapi segala sistem representasi seperti misalnya foto, lukisan, pidato, karya tulis atau gambar yang membiarkan kita menggunakan tanda-tanda dan simbol-simbol untuk merepresentasi atau mengulang representasi apapun yang ada di dunia ini dalam term-term konsep, citraan atau ide. Representasi merupakan tindakan menampilkan teks tertentu dalam majalah, buku, televisi, film, atau foto yang akan menimbulkan kesan tertentu terhadap objek tersebut. Lebih jauh, Foucault menyatakan dalam Hall bahwa representasi sebagai produksi pengetahuan melalui wacana, dan bagi Faucault pengetahuan berkaitan erat dengan kekuasaan karena tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan demikian pula sebaliknya. Faocault menempatkan pengetahuan sebagai sebuah hasil dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya (Stuar, 1997) Lebih jauh, representasi berkaitan dengan pembuatan makna. Hal yang direpresentasikan kepada kita melalui media-media adalah makna-makna tentang dunia, cara memahami dunia. Ideologi adalah sistem-sistem representasi; ideologi mendefenisikan sistem representasi. Tindakan representasi menjadi perwujudan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, representasi menjadi ungkapan ideologi dan ungkapan wacana, dan hal tersebut terutama menyangkut kekuasaan. Representasi adalah kendaraan untuk mentransmisi ideologi dalam melayani pemeliharaan atau perluasan hubungan kekuasaan. 2. Gender Kata gender dalam kamus bahasa Indonesia pada umumnya sering berarti sama dengan jenis kelamin (sex). Menurut konsep gender, pengertian gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Jenis kelamin (seks) disebut juga organ kelamin atau alat reproduksi. Jenis kelamin (seks) mengacu kepada ciri kelamin, yang dimiliki secara biologis oleh manusia. Penis, sotrum, testis dan prostat merupakan ciri khas jenis kelamin (seks) primer yang dimiliki laki-laki. Fungsi biologis dari alat tersebut adalah memproduksi sperma, membuahi, dan menghamili. Bulu dada, tangan atau kaki yang lebat, jakun, suara berat, postur tubuh besar dan tegap, berkumis merupakan ciri khas sekunder laki-laki. Vagina, ovarium, ovum dan uterus merupakan ciri jenis kelamin (seks) pimer yang dimiliki perempuan. Fungsi alat-alat tersebut untuk haid, hamil, melahirkan dan menyususi. Kulit halus, suara lebih lembut atau bernada tinggi, payudara besar, postur tubuh lebih kecil merupakan ciri khas sekunder perempuan, (Crapo, 2002)
131
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Selanjutnya Crapo juga mengatakan bahwa gender merupakan suatu identitas sosial yang terdiri atas kaidah seseorang yang diharapkan berperan karena kelaki-laikian atau keperempuanannya (jenis kelaminnya). Dalam semua budaya ada dua gender yang sering ditemukan, yaitu famale yang diidentikan dengan kaidah atau ciri yang dimiliki women dan male yang diidentikkan kaidah atau ciri yang dimiliki men. Perbedaan biologis di dalam gender hanya tampak dalam hal jenis kelamin (sex), yaitu laki-laki dan perempuan. Namun, ada juga lain ciri lain yang detemukan di antara kedua jenis kelamin tersebut, misalnya laki-laki lebih kuat dari perempuan. Pandangan Crapo tersebut tampaknya tidak hanya hanya mengaitkan gender itu dengan perbedaan biologis, tetapi juga dihubungkannya dengan bagaimana laki-laki dan perempuan berbeda dalam sifat, ciri, dan keahlian dimiliki. Jenis kelamin (ciri khas primer) ini dimiliki sejak lahir, otomatis dan mutlak, bersifat permanen, tidak bisa dipertukarkan dan tidak berubah oleh apa pun dan siapapun. Jika ada yang berhasil merekayasanya dan mengubahnya, sebenarnya yang berubah adalah (ciri khas sekunder) atau hanya lahiriah saja, dan tidak akan berfungsi secara sempurna. Jenis kelamin merupakan takdir dan given dari Allah. Gender mengacu kepada sifat-sifat yang disandangkan oleh masyarakat kepada laki-laki dan perempuan secara berbeda. Sifat-sifat emosional, lembut, pemalu, penakut dan sabar dilekatkan kepada jenis perempuan (feminin), sedangkan sifat-sifat seperti rasional, kuat, berana, gagah, dan pelindung ditempel kepada jenis laki-laki (maskulis). Sifat-sifat demikian dapat diubah, diusahakan atau dibentuk oleh manusia melalui pendidikan, latihan atau rekayasa. Pengertian gender menurut Fakih adalah pemahaman melalui suatu sifat, perilaku, peran, dan tanggung jawab tertentu yang dilebelkan kepada laki-laki dan perempuan secara berbeda, tetapi dapat dipertukarkan pelabelan tersebut dan tidak tetap, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat (Fakih, 1999) Sejarah perbedaan gender antara antara laki-laki dan perempuan tercipta melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan gender terbentuk oleh banyak faktor diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontuksi secara sosial maupun kultural. Melalui pemahaman atau penafsiran ajaran agama, dan negara. Sosialisasi gender yang melalui proses panjang akhirnya dianggap dan diyakini sebagai ketentuan Tuhan. Perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Kontak mengatakan bahwa gender merujuk pada kontruksi budaya dari perbedaan seksual. Laki-laki dan perempuan adalah jenis kelamin secara biologis yang berbeda pada kromosom X dan kromosom Y. Meskipun ada antar budaya umumnya gender didasarkan pada pembagian kerja, perbedaan budaya secara biologis dan penggabungan dengan aktivitas-aktivitas tertentu, tingkah laku dan ide-ide. Perbedaan jenis kelamin (seks) mempengaruhi perbedaan gender, yang akhirnya dapat mempengaruhi terciptanya ketidakadilan gender. Perbedaan jenis kelamin dikontruksi masyarakat menjadi perbedaan sifat kelaki-lakian (maskulin) dan keperempuannan (feminin). Kontruksi sifat maskulin dan feminin membawa dampak kepada dikotomi peran yang harus dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Perempuan dengan sifat femininnya dipandang hanya layak atau pantas untuk berperan di sektor domestik (keluarga dan rumah tangga), dan laki-laki dengan sifat maskulisnya dipandang hanya pantas atau layak berperan di sektor publik (di luar rumah tangga). Pemilahan sifat dan peran tersebut mengakibatkan terjadinya dominasi dan subordinasi. Feminin (perempuan) membutuhkan perlindungan dari laki-laki yang bersifat maskulin. Laki-laki sebagai pelindung memiliki otoritas terhadap perempuan. Dari sinilah muncul dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek. Ketidakadilan gender sering ditemui berbentuk perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi, beban ganda dan tindak kekerasan. Kelima bentuk diskriminasi ini merupakan suatu bias gender, yaitu suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara. Situasi yang dituntut oleh para perempuan adalah kesetaraan gender yaitu peluang untuk memperoleh keseimbangan dalam berbagai kesempatan, dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat serta berpemerintahan. Misi pemberdayaan perempuan adalah melembagakan dan membudayakan norma keseteraan gender dan perlindungan anak; meningkatkan kualitas hidup perempuan; meningkatkan peran dan posisi perempuan dalam proses pengambilan keputusan; menegakkan dan melindungi hak asasi perempuan dan anak; meningkatkan kemampuan dan kemandirian lembaga atau organisasi yang peduli perempuan dan anak. 132
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Perempuan dalam kajian gender poskolonial mengalami dua kali dominasi. Dominasi pertama ia peroleh dari laki-laki yang mungkin saja berperan sebagai suami, orang tua, saudaranya. Pada bagian ini ia memperoleh dominasi dari laki-laki pribumi. Pada Dominasi berikutnya seorang perempuan memperoleh ketertindasan dari penjajah yang sedang bercokol di negerinya. Pada umumnya ketertindasan itu berbentuk ketertindasan seksual selain ketertindasan moral. METHOD AND SAMPLING Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik analisis isi. Penelitian kualitatif memerlukan ketajaman analisis, objektivitas, sitematik, dan sistemik sehingga diperoleh ketepatan dalam menginterpretasi (Margono, 2004) Melalui metode ini penulis akan mengamati, menganalisis, dan mendeskripsikan temuan-temuan tentang representasi gender. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktural genetik. Struktural genetik yang ditemukan oleh Lucian Goldman ini memberikan keseimbangan antara karya sastra dengan aspekaspek yang berada diluarnya, yaitu antara hakikat otonomi dengan hakikat ketergantungan sosialnya. Goldman tidak secara langsung menghubungkan karya dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan (Goldman, 1977) Secara defenitif struktural genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Sejalan dengan pendapat Mayring (http://www.qualitativeresearch.net/fgh-texte/2-002/2-00mayring-e-htm) analisis isi adalah cara yang digunakan untuk memahami pesan-pesan simbolik dari wacana atau teks—dalam hal ini gender dalam novel-novel Remi Sylado. fokus penelitian ini adalah merepresentasikan gender yang terdapat dalam dalam novel Cabaukan, kembang Jepon,Kerudung Merah Kirmizi karya Remi Sylado. FINDINGS AND DISCUSSIONS 1. Tokoh Perempuan Tokoh perempuan yang tampil dalam novel-novel Remy Sylado umumnya adalah perempuan kelas bawah, misalnya Tinung dan Keiko. Tinung adalah perempuan yang tidak berpendidikan, sehingga kehidupannya sangat tragis, dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain. Pertemuannya dengan Tan Peng Liang membawa kebahagiaan pada Tinung. Akan tetapi, konflik bisnis yang terjadi dalam kehidupan Tan Peng Liang membuat Tan Peng Liang melarikan diri ke luar negeri. Tinung yang sedang sendiri di rumahnya dijemput paksa oleh tentara Jepang untuk dijadikan jugun ianfu. Tinung yang hampir gila diselamatkan oleh Supardjo. Keiko juga berasal dari masyarakat kelas bawah. Kakaknya sendiri yang mengantarkannya ke Shinju untuk dijadikan geisha. Keiko bekerja sebagai penghibur laki-laki. Akan tetapi, kehidupannya kemudian berbahagia karena ia dan Tjak Broto saling mencintai. Kebahagiannya terenggut oleh bangsa Jepang. Setelah bertahun-tahun menderita ia kembali bertemu dengan Tjak Broto. Tokoh perempuan yang muncul pada latar setelah merdeka adalah perempuan-perempuan yang pintar karena mereka mengenyam pendidikan tinggi. Mereka mampu hidup mandiri. Dela lulusan sebuah perguruan tinggi di Jerman dan memiliki pola hidup Barat. Myrna perempuan modern yang dapat menyangga kehidupan setelah suami meninggal dengan suara emas yang dimiliki. 2. Representasi Gender Berlatar Penjajah dan Setelah Merdeka Representasi perempuan pada masa penjajahan terdapat pada novel Kembang Jepun, Cabaukan, Tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Kembang Jepun yang dominan adalah Keiko. Keiko adalah orang Minahasa yang dipaksa menjadi orang Jepang untuk menjadi geisha. Keiko memperoleh penindasan dari laki-laki. Penindasan ia peroleh dari majikannya, Takamura dan setiap laki-laki yang datang ke shinju. Takamuralah yang pertama mengenalkannya pada dunia dewasa seperti tradisi geisha lainnya. Setelah Keiko melarikan diri dari shinju dan menikah dengan Tjak Broto, ia 133
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
memperoleh penindasan dari tentara Jepang, Masakuni, yang mencintainya. Masakuni memaksakan cintanya pada Keiko yang sangat mencintai Tjak Broto. Masakuni juga melakukan siksaan fisik ketika mengetahui Keiko akan mengabarkan keberadaan dirinya pada Tjak Broto. Setelah dapat kembali ke Indonesia, Keiko kembali memperoleh penindasan dari tentara-tentara Permesta yang menangkapnya sebagai mata-mata. Ia diperkosa dan dipukuli. Para perempuan dalam kedua novel tersebut tidak berbicara politik. Umumnya mereka bergelut dengan persoalan-persoalan keperempuanan. Dalam novel Kembang Jepun, Keiko maupun perempuan lainnya tidak tertarik berbicara tentang politik. Keiko lebih tertarik berbicara tentang perasaannya terhadap Tjak Broto. Seorang perempuan akan menjadi lebih perempuan kalau ada lelaki dalam diri perempuan. Seorang perempuan akan teruji jika ia hamil, beranak dan menyusui. Pernikahan menguji kondrat alami perempuan. Oleh sebab itu, Keiko mulai cemas setelah setahun tidak ada tanda-tanda kehamilan. Ia mulai merasa tidak berarti sebagai perempuan. Ia mulai merasa sia-sia sebagai perempuan. Ia mengungkapkan kecemasan itu pada Tjak Broto dan Mbah Sulis. Keduanya berusaha menghibur Keiko. Keiko adalah perempuan yang berani menemui pimpinan tentara Jepang di markas tentara untuk menyelamatkan Tjak Broto. Keberaniannya itu mengakibatkan perkosaan dan kekerasan fisik terhadap dirinya yang dilakukan oleh Kobayashi, komandan di maskas tersebut. Ketertindasan yang disebabkan oleh tentara Jepang juga dialami oleh Tinung tokoh dalam novel Cabaukan. Perkosaan yang dilakukan oleh para tentara Jepang membuat Tinung stres dan hampir gila. Sekarang di rumah penampungan perempuan-perempuan itu Tinung bukan lagi perempuan yang berseri, menarik, cantik dan seksi, tetapi adalah Tinung yang menderita penyakit kelamin. Ketertindasan Tinung bukan hanya dari orang asing yang menjajah negerinya, tetapi juga dari kedua orang tuanya. Kedua orang tua Tinung tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga tidak memiliki penghasilan tetap. Kedua orang tuanya, terutama ibunya, sangat mengharapkan penghasilan Tinung. Ketika Tinung kawin dengan juragan Obar, kedua orang tuanya juga menikmati hidup yang enak. Setelah juragan Obar meninggal, Tinung kembali ke rumah orang tuanya tanpa memperoleh warisan apapun. Tinung dipaksa ibunya bekerja karena tidak ada yang bisa dimakan lagi. Pekerjaan yang gampang memperoleh uang adalah pekerjaan menjadi cabo atau pelacur di Kali Jodo. Ibunya memaksa Tinung menjadi cabo asalkan mendapat uang untuk kehidupan mereka. Di Kali Jodo ini Tinung bertemu dengan Tan Peng Liang dari Sewan, yang juga menindas dirinya. Kehadiran Tan Peng Liang dari Semaranglah yang mengangkat derajat Tinung. Walaupun, pada awalnya Tan Peng Liang membawa Tinung ke rumahnya hanya untuk menyenangkan dirinya, tetapi Tinung memperoleh penghargaan dan kasih sayang sebagai manusia. Tan Peng Liang memperlakukannya dengan baik, kemudian ia mengawini Tinung di sebuah klenteng di Semarang. Ia mengharapkan Tinung melahirkan anak perempuan pengganti anaknya Giok Lan yang sudah meninggal. Tinung memang perempuan yang bodoh dan tidak mampu mencari uang dengan baik. Oleh sebab itu, ketika Tan Peng Liang buron ke luar negeri dan tidak memiliki uang sama sekali, ia menjual anaknya kepada orang Belanda. Walaupun dibalik penjualan anak itu ada harapan agar anaknya nanti hidup senang. Representasi gender pada novel-novel setelah merdeka terdapat perbedaan karena zamannya berbeda sehingga kedudukan perempuan juga berbeda. Dalam novel Kerudung Merah Kirmizi terdapat tokoh perempuan yang menonjol adalah Myrna, dan Dela dan tokoh lainnya yang dapat dibicarakan adalah Tante Titik, Nia, dan Etty. Myrna dan Dela memiliki status yang berbeda-beda. Myrna adalah janda, sedangkan Dela masih berstatus belum menikah. Myrna menjadi janda karena suaminya meninggal. Dela memang masih belum menikah, tetapi ia menjalani kehidupan yang bebas, karena ia sudah berkali-kali tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan ketika di Jerman. Setelah sampai ke Indonesia ia juga melakukan seks bebas dengan Oom Sam, pamannya. Myrna sebagai janda beranak dua harus memiliki kekuatan untuk meneruskan hidupnya, agar anak-anaknya tidak terlantar. Ia harus mencari pekerjaan agar dapat menghidupi anak-anaknya. Ia bekerja sebagai penyanyi di sebuah hotel, sehingga ia dapat memenuhi kebutuhannya. Walaupun penghasilannya pas-pasan, pekerjaan itu harus ia pertahankan karena hanya keterampilan itu yang ia miliki. Hal itu disebabkan, pendidikan S1-nya tidak selesai karena menikah pada usia muda dengan
134
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Andriono, seorang pilot. Walaupun demikian, ia sangat bertanggung jawab terhadap kehidupan anakanaknya. Ada saatnya juga Myrna merasa memerlukan seorang suami sebagai pendamping dalam hidupnya ketika ia menghadapi permasalahan, terutama berkaitan dengan permasalahan anaknya. Sebagai seorang perempuan ia merasa memerlukan pendamping, namun ia berusaha menutup perasaannya karena ia sangat mencintai suaminya. Ia berlaku tegar dengan status jandanya. Namun, Ia mengalami penindasan karena statusnya tersebut. Di lingkungan rumah kontrakannya para tetangganya sangat risih dengan status tersebut karena mereka takut para suami akan tertarik pada Myrna. Para perempuan tetangganya tersebut menghina dan menggunjingkan Myrna. Myrna bertahan dengan situasi tersebut, tetapi anak-anaknya mengalami goncangan perasaan. Namun, pertahanan itu luluh ketika ia bertemu dengan Pak Luc. Perhatian dan kasih sayang Pak Luc menyadarkan Myrna bahwa ia memerlukan kasih sayang dan perlindungan dari seorang laki-laki. Tante Titik, istri Oom Sam mengalami ketertindasan dari suaminya. Oom Sam tidak menghargai istrinya yang tidak mampu memberinya anak. Ia berselingkuh dengan kemenakan istrinya, Dela. Tante Titik pada mulanya terguncang menerima kenyataan kalau suaminya melakukan perbuatan nista tersebut. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa karena ia menyadari bahwa ia tidak dapat melahirkan anak untuk suaminya. Ia sangat paham perempuan yang tidak melahirkan memiliki posisi yang lemah di depan suaminya. Dela memang tipe perempuan yang menginginkan kebebasan. Budaya Jawa yang menjadi latar hidupnya tidak lagi mampu mengekang jalannya yang semakin tidak terkendali. Pada awal kehidupannya di rumah Oom Sam ia sangat berlaku baik. Akan tetapi, sejak Oom Sam menidurinya, kemudian Oom Sam mengirimnya kuliah di Jerman. Ia menjadi perempuan yang bebas. Ia mengikuti pola kehidupan orang-orang Barat. Ia berkali-kali tinggal serumah dengan laki-laki lain tanpa ikatan perkawinan. Kembali ke Indonesia ia meneruskan cara hidup demikian dengan Oom Sam. Selain melayani Omm Sam ditempat tidur, ia juga menjadi tangan kanan Oom Sam dalam urusan pekerjaan. Selain tokoh Dela terdapat tokoh Nia, sekretaris Oom Sam yang juga melakukan kegiatan seksual terselubung dengan Oom Sam setelah pulang kerja. Nia adalah tokoh yang masih lugu atau sederhana dibanding Dela. Akan tetapi, ia juga menikmati kebebasan-kebebasan seksual yang sudah menjadi kecendrungan hidup manusia abad sekarang. Di dalam novel Kerudung Merah Kirmizi ini terdapat tokoh Etty mewakili perempuanperempuan yang berada pada posisi kelas bawah yang selalu iri melihat kehidupan orang lain yang lebih dari dirinya. Myrna memiliki kelebihan selain kecantikan dirinya, ia memiliki keterampilan menyanyi yang dapat menghasilkan uang. Etty menghasut para ibu-ibu dilingkungan untuk membenci Myrna. Ia termasuk perempuan yang salah mengartikan kesetaraan yang diperjuangkan oleh kaum feminis. Ia ingin suaminya tunduk dengan segala kemauannya. Gambaran perempuan pada masa penjajahan masih mengambarkan perempuan tradisional. Tinung dan Keiko berperan di ruang domestik, yaitu perannya sesuai dengan kodrat yaitu sebagai seorang istri dan sebagai seorang ibu. Tinung diangkat derajatnya oleh Tan Peng Liang karena ia ingin Tinung melahirkan anak perempuan pengganti anaknya yang sudah meninggal. Keiko mulai merasa resah karena setelah beberapa waktu tidak kunjung hamil. Ia mulai merasa gagal sebagai seorang perempuan. Para perempuan ini mengalami ketertindasan dari penjajah seperti ciri khas kajian feminis pascakolonial. Sebagaimana ungkapan Ashcroft melalui Aan Brooks bahwa wacana pascakolonial memiliki pengaruh pada teorisasi feminis pada tahun 1980-an melalui “penjajahan ganda”, dengan menunjukkan bahwa perempuan di negara yang muncul dari budaya kolonial secara ganda dijajah, baik oleh ideologi imperial dan patriarkhi (2009:164). Pada kenyataan yang dialami kedua tokoh tersebut adalah penjajahan ganda. Tinung dan Keiko mengalami ketertindasan dari penjajah dan sistem partiarkhi yang dianut oleh masyarakat ( 2009:165) Berbeda dengan para perempuan pada latar setelah merdeka, mereka sudah mampu menunjukkan jati dirinya di bawah sistem patriarkhi yang kuat. Mereka sudah berada pada ruang-ruang publik. Suara-suara perempuan kulit berwarna atau para perempuan dunia ketiga sudah mulai terdengar, walaupun perjuangannya hanya seputar dirinya dan lingkungan keluarganya (Brook, 2009:164-165) Perempuan-perempuan sebelum merdeka berperan menjadi ibu dan istri, sedangkan setelah merdeka peran mereka bertambah pada ruang publik yaitu bekerja mencari nafkah. 135
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Representasi gender yang terdapat dalam karya-karya masa penjajahan adalah para perempuan seperti Tinung, dan Keiko berperan sebagai perempuan tradisional yang mengabdi pada suami setelah memasuki perkawinan. Sebelum Tinung dan Keiko menikah dengan suaminya, mereka adalah perempuan-perempuan yang bekerja. Akan tetapi, pekerjaan mereka adalah pekerjaan rendah karena mereka menjadi perempuan penghibur. Yang agak berbeda adalah Keiko, ia sebagai geisha berlindung dengan pekerjaan yang sangat berkaitan dengan budaya. Masa setelah merdeka, para perempuan masih ada yang memiliki peran sebagai perempuan tradisional seperti Myrna. Tokoh Myrna bekerja di ruang publik, setelah suaminya meninggal. Namun ada beberapa perempuan yang juga berperan dalam dunia publik seperti Dela. Dela bukan hanya bekerja, tetapi juga sudah menuntut ilmu di luar negeri. Masalah ketertindasan terhadap perempuan dialami oleh perempuan-perempuan pada masa penjajahan dan setelah merdeka. Akan tetapi, esensi dan perwujudannya berbeda. Tokoh Tinung selain ditindas oleh bangsa sendiri juga ditindas oleh bangsa lain, yaitu Cina dan Jepang. Keiko juga selain ditindas oleh bangsa sendiri juga ditindas oleh bangsa lain yaitu Jepang. Pada masa setelah merdeka penindasan terhadap perempuan dialami oleh tokoh-tokoh perempuannya. Tokoh Myrna ditindas oleh Oom Sam karena haknya atas rumah peninggalan suaminya direnggut paksa. Dela secara tidak langsung juga ditindas oleh Oom Sam, karena mengabdikan hidupnya untuk memuaskan Oom Sam, baik dalam pekerjaan maupun nafsu syahwatnya. CONCLUSION. Tokoh perempuan yang tampil dalam novel-novel Remy Sylado umumnya adalah perempuan kelas bawah, misalnya Tinung dan Keiko, sehingga kehidupannya sangat tragis. Tinung dipaksa menjadi jugun ianfu dan mengalami penyakit kelamin dan mental. Sementara itu, Keiko dipaksa mengikuti Masakuni ke Jepang karena Masakuni mencintainya. Harkat dan kehidupan mereka diangkat oleh kaum laki-laki melalui perkawinan. Kondisi tokokh pada latar penjajahan adalah ketertindasan dan kesengsaraan dalam berbagai segi kehidupan, baik fisik maupun batin. Kemiskinan itu juga disebabkan oleh kebodohan bangsa karena tidak memperoleh pendidikan yang layak, sehingga Tinung, Keiko harus menjadi perempuan penghibur. Tokoh perempuan yang muncul pada latar setelah merdeka adalah perempuan-perempuan yang pintar karena mereka mengenyam pendidikan tinggi. Mereka mampu hidup mandiri, kebebasan menentukan kehidupan dan perbuatan. Tokoh-tokoh tersebut sudah mampu secara ekonomi melalui pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya. Misalnya menempuh pendidikan lebih bergengsi kalau di Barat, bergaya hidup seperti orang Barat lebih dianggap modern, seperti yang dilakukan Dela. Dela berlaku sebagai mimikri (mimic man) —berlaku seperti orang Barat mulai dari tingkah laku, bersikap, berpakaian, berpikiran dan sebagainya. Pada masa kemerdekaan perilaku itu tidak berubah, mimic man masih banyak ditemukan. Akan tetapi, tokoh perempuannya masih mempercayai hal-hal yang tidak rasional, masih percaya pada dukun dan paranormal. Perilaku sewenang-wenang juga masih banyak, misalnya Etty yang sewenang-wenang menuduh Myrna, Representasi yang terungkap pada kajian ini adalah hal-hal yang terjadi pada masa penjajahan masih terus terjadi setelah kemerdekaan. Akan tetapi, bentuk dan pelakunya berbeda. Masa penjajahan penindasan dan kesewenangan dilakukan oleh penjajah dan pada masa setelah merdeka penindasan dan kesewenang-wenangan masih terjadi pada masyarakat yang dilakukan oleh penguasa atau pengusaha bangsa sendiri. Representasi gender pada zaman penjajahan sangat mengalami ketertindasan secara sosial dan ekonomi. Kekerasan yang dialami tokoh Tinung dari ruang publik dan domestik. Lingkungan keluarganya menuntut harus menghasilkan uang untuk kehidupan keluarganya, pada ruang publik ia mendapat penindasan dari setiap laki-laki yang menikmati dirinya. perempuan-perempuan yang tidak berpendidikan mengalami ketertindasan dan tidak berdaya menghadapi dunia patriakal. Bahkan, yang menjerumuskan mereka termasuk anggota keluarga sendiri. Representasi gender dalam novel-novel Remy Silado berlatar setelah merdeka terjadi perubahan. Para perempuan sudah memperoleh pendidikan dan mempunyai kekuatan sendiri untuk menentukan arah hidupnya. Para perempuan tersebut sudah mampu mengaktualisasikan dirinya. Akan tetapi, kadang kala masih tunduk pada kekuasaan lelaki. Kekerasan dialami perempuan masih terjadi di ruang publik dan domestik. Perempuan termasuk kelompok subaltern karena perempuan mengalami ketertindasan, kemiskinan, kebodohan dan 136
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
sebagainya karena mereka perempuan. Spivak mengatakan pada masa penjajahan perempuan mengalami penindasan dari sistem patriakal budayanya dan dari penjajah negaranya. REFERENCES Barker, Chris.( 2004). Cultural Studies: Teori dan Praktik. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 9 Burton, Graeme. 1999. Pengantar memahami: Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. Crapo, H. Richley. (2002). Cultural Antropology: Understanding Ourservels and others. New York : MGraw Hill. 99. Gandhi, Leela. 2007. Teori Poskolonial. Terj. Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah. Yogyakarta: Qalam. Goldman, Lucien. (1977). Toward A Sociology of the Novel. London: Tavistock Publications Limited. 8 Hall, Stuar (ed). (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: SAGE Publications and the Open University Press, 16-17 Hellwig, Tineke. (2007). Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Terj. Mien Joebhaar. Jakarta: Yayasan Obor. Mayring, Philip. 2000. “Qualitative Content Analysis” Forum Qualitative Research Methods. Vol. 1 No. 2 –June dalam http:/www. Qualitative research. Net/Fgs—texte/2-002/2-00mayring-e-htm Moleong, Lexi J.2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Ratna, Nyoman Khuta. 2004. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sylado, Remy. (1999). Cabaukan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama --------- (2002). Kerudung Merah Kirmizi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. --------- (2004). Kembang Jepun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
137
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENGAJARAN ENGLISH FOR SPECIFIC PURPOSE (ESP) DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Ratna Sari Dewi1 1
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Keguruan dan Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta [email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan pengajaran ESP di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara khusus penelitian ini bertujuan melihat tujuan pembelajaran, metode pembelajaran, materi ajar, dan media pembelajaran serta evaluasi yang digunakan di dalam pembelajaran ESP. Penelitian dilaksanakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu; (1) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, (2) Fakultas Adab dan Humaniora, (3) Fakultas Ushuluddin, (4) Fakultas Syari’ah dan Hukum, (5) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, (6) Fakultas Dirasat Islamiyah, (7) Fakultas Psikologi, (8) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, (9) Fakultas Sains dan Teknologi, dan (10) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, serta (11) fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sedangkan program studi yang terpilih sebagai sumber data penelitian dipilih sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dosen-dosen yang mengajar mata kuliah bahasa Inggris di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagian besar merupakan dosen tidak tetap dan masih ditemukan sebagian dosen yang berkualifikasi pendidikan strata satu (S1). Tujuan pembelajaran bahasa Inggris agar mahasiswa mampu menggunakan bahasa Inggris baik secara tertulis maupun lisan dalam memahami bacaan dalam text-text berbahasa Inggris khusus jurusan di masing-masing fakultas. Metode pembelajaran yang digunakan oleh dosen sebagian dosen menggunakan metode yang berpusat pada siswa (student center) dan sebagian dosen menggunakan metode yang berpusat pada guru (teacher center) seperti: ceramah, penugasan, latihan. Bahan ajar yang digunakan adalah English for Muslim University Students karangan Drs. Nasrun mahmud M.Pd, Grammar Form and Function karangan Milada Broukal dan Ingrid Wisniewska, serta buku 501 Grammar and Writing Questions. Media pembelajaran yang digunakan oleh dosen di dalam kelas dosen menggunakan media pembelajaran visual, audiovisual, dan multimedia. Evaluasi yang digunakan pada umumnya adalah tes pilihan ganda untuk mengukur kemampuan grammar dan pemahamanbacaan. Kata Kunci: Pengajaran, Pendidikan Bahasa Inggris, English for Specific Purpose Abstract The purpose of this study was to describe the teaching ESP at Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta . Specifically this study aims to look at the learning objectives , teaching methods , teaching materials, instructional media, and the evaluation of learning ESP. The study was conducted at the State Islamic University ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta , namely ; ( 1 ) Faculty of Tarbiya and Teachers’ Training , ( 2 ) Faculty of Adab and Humanities , ( 3 ) Faculty of Usul al-Din and Philosophy , ( 4 ) Faculty of Shari’ah and Law , ( 5 ) Faculty of Da'wa and Communication , ( 6 ) Faculty of Dirasat Islamiyah , ( 7 ) Faculty of Psychology , ( 8 ) Faculty of Economics and Business , ( 9 ) Faculty of Science and Technology , and ( 10 ) Faculty of Medical and Health Science , and ( 11 ) Faculty of Social and Political Science, while the courses selected as a data source were selected based on the needs.
138
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
The results of the study showed the lecturers who teach English language courses in the UIN Syarif Hidayatullah Jakarta is largely a part-time lecturers and still found qualified Strata 1 degree ( S1 ) . The purpose of learning English is that students are able to use English both written and spoken in the reading comprehension in Englishlanguage text - text specialized departments in each faculty . Learning methods are used by most faculty lecturers using student-centered methods ( student center ) and some lecturers using teacher-centered methods ( teacher centers ) such as lectures , assignments , exercises . Instructional materials used are English for Muslim University Students written by Drs . Nasrun mahmud M.Pd , Grammar Form and Function by Milada Broukal and Ingrid Wisniewska , as well as books 501 Grammar and Writing Questions . Instructional media used by the lecturers in the classroom are visual , audiovisual , and multimedia . Evaluation which used in general is a multiple-choice test to measure the ability of grammar and reading comprehension. Keywords: Teaching , English Education , English for Specific Purpose PENDAHULUAN Bidang pengajaran bahasa Inggris dengan tujuan tertentu atau lebih dikenal dengan English for Specific Purpose (ESP) merupakan bidang pengajaran bahasa Inggris yang tergolong baru. Perkembangan ESP di perguruan tinggi baik itu perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi agama di Indonesia masih samar-samar. Ini terlihat pada penggunaan nama ESP itu sendiri sebagai nama mata kuliah yang diajarkan. Di dalam kurikulum perguruan tinggi, ESP hanya bertajuk sebagai mata kuliah bahasa Inggris (BI) saja. Di dalam pelaksanaannya, bahasa Inggris diajarkan sesuai dengan alokasi sistem kredit semester (SKS) yang diterapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Perguruan tinggi umum yang menganggap bahasa Inggris begitu penting peranannya mengalokasikan 4-6 sks sedangkan perguruan tinggi umum yang menganggap bahasa Inggris hanya sebagai mata kuliah dasar umum hanya mengalokasikan sekitar 2- 4 sks saja sedangkan di perguruan tinggi agama, bobot sks bahasa Inggris yang dialokasikan berkisar antara 2 – 4 sks, bahkan ada yang hanya 2 sks saja. Dalam pelaksanaannya, mata kuliah bahasa Inggris ini cenderung ditafsirkan dan dilaksanakan secara berbeda-beda. Ada yang menganggapnya sebagai mata kuliah yang berisi materi bahasa Inggris umum yang berisi pengetahuan dasar bahasa Inggris umum dengan berbagai unsur dan keterampilannya. Sebaliknya, ada pula yang berpendapat bahwa mata kuliah ini adalah mata kuliah untuk tujuan khusus yang disesuaikan dengan bidang studi mahasiswa, sekalipun dalam pelaksanaannya cenderung belum mencerminkan esensinya sebagai mata kuliah untuk tujuan tertentu. Di dalam pelaksanaannya, walaupun sudah dianggap sebagai mata kuliah ESP, mata kuliah ini belum mencerminkan implementasi dari teori ESP yang seharusnya. Mata kuliah ini mengalami berbagai masalah dari banyak sisi, baik perancangannya, pelaksanaannya, maupun evaluasinya. Hal ini yang diungkap dalam temuan penelitian ini. Berdasarkan uraian di atas, pengajaran ESP di perguruan tinggi Islam masih belum terlaksana dengan baik. Hal itu, terlihat dari masih adanya salah penafsiran tentang tujuan, fungsi, dan manfaat ESP itu sendiri. Dilihat dari tujuan pengajaran ESP itu sendiri, para pimpinan, pengajar bahkan mahasiswa masih menganggap bahwa pengajaran ESP masih seperti pengajaran bahasa Inggris pada umumnya yaitu: bentuk pengajaran yang membahas berbagai komponen kebahasaan seperti: kosakata, struktur gramatika, dan lain sebagainya, padahal lebih dari itu, pengajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi agama Islam lebih ditekankan kepada peningkatan kemampuan mahasiswa mengenai keislaman melalui penggunaan bahasa Inggris. Selama ini yang terjadi, pimpinan perguruan tinggi mulai dari rektor, dekan, maupun program studi hanya menganggap pengajaran bahasa Inggris hanya sebagai mata kuliah yang dilihat esensinya tidak begitu bermanfaat dengan baik. Hal ini terlihat dari penempatan dosen yang tidak sesuai dengan kualifikasi/berpendidikan bahasa Inggris. Penempatan dosen yang mengajar bahasa Inggris hanya berdasarkan kemampuan bahasa Inggris semata tidak melalui pengkajian atau seleksi terhadap jenis pendidikan dan bidang keahlian dosen tersebut. Akibat yang terjadi dengan adanya penempatan dosen ini terlihat dari kurang berhasilnya proses pembelajaran bahasa Inggris itu sendiri. 139
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Dilihat dari fungsinya di dalam kurikulum, ESP di perguruan tinggi Islam hanya diajarkan sebagai salah satu materi kuliah dasar umum (MKDU) saja, sehingga baik pimpinan perguruan tinggi, dosen dan mahasiswa menganggap bahwa bahasa Inggris hanya sebagai salah satu mata kuliah yang tidak begitu penting dan hanya diajarkan sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan kurikulum nasional. Dilihat dari manfaatnya, pengajaran ESP di perguruan tinggi tidak begitu terlihat, Ini ditandai dengan kurangnya penguasaan materi perkuliahan bahasa Inggris yang mengacu kepada unsur-unsur keislaman. Mahasiswa hanya menangkap materi perkuliahan hanya sebatas penguasaan kosakata gramatika bahasa Inggris secara umum saja. Padahal dilihat dari tekanan esensinya, pengajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi Islam diarahkan kepada kemampuan mahasiswa dalam membaca, menulis, dan menyimak berbagai hal yang berkaitan dengan faktor keislaman. Di samping masalah yang disebutkan di atas, berdasarkan observasi awal terhadap pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi agama Islam terungkap bahwa terlalu besarnya jumlah mahasiswa dalam satu kelas bahasa merupakan masalah yang sangat serius selain kualifikasi dan dedikasi dosen, kurikulum yang dianut, dan sistem evaluasi yang dipakai dalam mengevaluasi hasil belajar dan mengevaluasi program pengajaran secara keseluruhan. Bagaimana tujuan pengajaran mata kuliah ESP akan dapat dicapai jika jumlah mahasiswa dalam satu kelas sangat besar, mencapai lebih dari 50 orang?. Kurikulum dan silabus mata kuliah ini juga belum dirancang secara baik. Apa lagi sebagai beban mengajar tambahan bagi dosen pembina mata kuliah ini, imbalan yang diberikan sangat jauh dari cukup yang pasti berimbas kepada rendahnya dedikasi dosen tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dan begitu pentingnya tujuan, fungsi, dan manfaat bahasa Inggris di perguruan tinggi agama Islam, maka dalam penelitian ini akan dikaji berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi Islam sebagai berikut. 1. Apa saja tujuan pembelajaran ESP di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ? 2. Metode-metode pembelajaran apa yang digunakan dalam pembelajaran ESP di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta? 3. Bagaimana dosen memilih dan mengorganisir materi ajar yang digunakan dalam pembelajaran ESP di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta? 4. Bagaimana dosen menggunakan media pembelajaran ESP di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta? 5. Bagaimana dosen melakukan evaluasi pembelajaran ESP di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta? TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Materi Ajar ESP English for Specific Purpose (ESP) adalah pengajaran bahasa Inggris untuk tujuan-tujuan tertentu. Hutchinson dan Waters (1987: 19) mendefinisikan "ESP is an approach to language teaching in which all decisions as to content and method are based on the learner's reason for learning" Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ESP adalah suatu pendekatan dalam pengajaran yang mengedepankan kebutuhan atau alasan si pembelajar belajar bahasa Inggris. ESP digambarkan sebagai pengajaran bahasa Inggris untuk tujuan tujuan tertentu yang dapat dikhususkan. Namun ahli lainnya menggambarkan bahwa ESP adalah pengajaran bahasa Inggris yang dilaksanakan pada studi studi akademik atau pengajaran bahasa Inggris untuk tujuan pekerjaan tertentu atau untuk tujuan profesi profesi tertentu. Pembelajaran ESP Materi ajar memegang peranan penting dalam upaya pencapaian suatu tujuan pengajaran. Begitu besarnya peran materi ajar sehingga Tomlinson (1998) menyatakan bahwa bidang apa pun yang diajar dalam kerangka pengajaran yang berpusat pada pelajar, materi ajar merupakan yang terpenting. Selain materi ajar, tujuan pembelajaran merupakan arah yang hendak dituju dari rangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Pada dasarnya esensi tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dan dirumuskan dalam bentuk deskripsi yang spesifik, tujuan pembelajaran adalah merupakan arah yang 140
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
hendak dituju dari rangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Pada dasarnya esensi tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dan dirumuskan dalam bentuk deskripsi yang spesifik, Berikutnya yang tidak kalah penting dalam pembelajaran adalah pendekatan pembelajaran. Jack C. Richard mengutip pendapat Anthony (1986:15) mengatakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa, yakni serangkaian asumsi yang bersifat aksiomatis tentang sifat dan hakikat bahasa sedangkan metode merupakan rencana menyeluruh mengenai penyajian materi pengajaran bahasa secara teratur dan didasarkan atas suatu pendekatan yang dipilih. Selain itu, Hamalik dalam Arsyad (2007:15) mengemukakan bahwa penggunaan media pembelajaran dalam proses belejar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baik, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Pengguanaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Terakhir di dalam komponen pembelajaran adalah evaluasi. Menurut Gagne (1979:82) setiap guru atau perancang pembelajaran pasti ingin mendapatkan kepastian bahwa kegiatan belajar mengajarnya selama kurun waktu tertentu memiliki nilai guna bagi proses pembelajaran. Setidaknya guru ingin mengetahui apakah rancangan pelajarannya berhasil dan mencapai tujuan pembelajaran. Hal-hal yang mengindikasikan sebaik mana sebuah pembelajaran berlangsung bisa diperoleh dari bukti-bukti yang dikumpulkan, dianalisis, dan diinterpretasikan secara sistematis dan inilah yang disebut dengan evaluasi. METODE DAN SAMPLING Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu pelaksanaan selama 6 bulan terhitung sejak bulan Mei s.d. Oktober 2012. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode etnografi. Metode Etnografi menurut Spradley (1980:3) merupakan studi yang mendalam tentang perilaku yang terjadi secara alami di sebuah budaya tertentu dari sisi pandang perilakunya. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik pengamatan, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis data adalah teknik analisis perbandingan tetap. Langkah-langkah analisis data meliputi: perbandingan kejadian-kejadian yang aplikatif terhadap setiap kategori, integrasi kategori dengan kawasannya, merumuskan atau membatasi teori, dan menulis teori. Penyajian data menggunakan analisis domain dan analisis tema. Sumber data dalam penelitian ini adalah Dekan, Ketua Jurusan, ketua program studi, dosen senior bahasa Inggris, dosen pengampu bahasa Inggris dan mahasiswa di Fakultas yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu : (1) Tarbiyah; (2) Syariah; (3) Ushuluddin; (4) Adab, 5) Saintek, dan fakultas –fakultas lainnya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengamatan, wawancara, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan meminta pendapat dari dekan, ketua jurusan, ketua program studi, dosen pengampu Mata Kuliah ESP, dan mahasiswa (yang bukan jurusan bahasa Inggris). Teknik analisis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik kualitatif. Teknik kualitatif untuk menganalisis data wawancara sedangkan teknik kuantitatif digunakan untuk menganalisis kuesioner dan analisis dokumen. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Tujuan Pembelajaran ESP di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi Islam khususnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertujuan agar mahasiswa mampu menggunakan bahasa Inggris baik secara tertulis maupun lisan dalam memahami bacaan dalam text-text berbahasa Inggris khusus jurusan di masing-masing fakultas. Tujuan pembelajaran tersebut sesuai dengan pembelajaran bahasa Inggris yang terbagi atas bahasa Inggris 1, bahasa inggris 2, dan ada juga bahasa Inggris 3. Secara khusus tujuan pembelajaran bahasa Inggris 1 adalah agar mahasiswa dapat memahami Tata Bahasa (Grammar) dasar bahasa Inggris dan kemampuan dasar membaca (pengajaran bahasa Inggris secara umum), tujuan yang mengacu kepada pengajaran ESP adalah mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan tentang struktur kalimat dalam bahasa Inggris, teknik-teknik pemahaman bacaan teks-teks yang ditulis dalam bahasa Inggris, serta mampu memahami makna kosa kata dalam konteks kajian Islam (pengajaran bahasa Ingris untuk tujuan tujuan khusus). Mahasiswa mampu memahami Grammar bahasa Inggris dan buku-buku serta 141
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
jurnal-jurnal yang berhubungan dengan science dan technology. (ESP). Mahasiswa diharapkan memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif sesuai dengan mutu nasional dan Internasional yang berbasis kompetensi, terutama dalam membangun dan mengembangkan kemampuan dan keterampilan bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan yang mencakup: listening, speaking, reading, dan writing. Tujuan Speaking and Listening mencakup kemampuan mahasiswa untuk memahami dan mengungkapkan informasi dalam komunikasi lisan, dan meliputi fonologi bahasa Inggris, penekanan kata dan kalimat, ritme dan intonasi, dan informasi yang disampaikan lewat sistem-sistem tersebut. Tujuan reading adalah mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam memahami, mengartikan, merefleksikan, menanggapi dan menikmati teks-teks tulis. Sedangkan dalam dimensi writing, tujuannya adalah untuk mengenalkan bahasa Inggris tertulis pada mahasiswa, termasuk kemampuan menyusun dan menyajikan berbagai jenis teks. Tujuan ini juga meliputi perkembangan sistem bunyi-simbol dalam bahasa Inggris, kosakata, dan tata bahasa. Keempat keterampilan berbahasa yang ada dalam pembelajaran bahasa Inggris di atas lebih ditekankan pada reading competency guna memahami teks-teks keagamaan, hukum, ekonomi, sosial, politik, atau disiplin ilmu lain sesuai dengan jurusan masing-masing.Mengembangkan kemampuan menyerap kosakata bahasa Inggris serta mengembangkan pemahaman teks bacaan. Metode Pembelajaran ESP di di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Dalam kegiatan pembelajaran, dosen dalam menyampaikan proses pembelajaran menggunakan pendekatan, metode, dan teknik. Dengan adanya pendekatan, metode, dan teknik kegiatan pembelajaran akan dapat berwarna/bervariasi dan kegiatan tersebut juga dapat terlaksana dengan baik. Menurut Subana dan sunarti (1998:19) Istilah pendekatan (approach) sering dikaitkan dengan metode (method) dan teknik (technique). Semua istilah itu merupakan tiga aspek yang saling berkaitan. Pendekatan digunakan untuk merujuk pada rancang bangun silabus (syllabus design) dan pendekatan bersifat filosofis/aksioma, sedangkan metode merupakan cara melaksanakan pembelajaran. Lain halnya dengan teknik yang mengandung pengertian berbagai cara dan alat yang digunakan dosen dalam kelas. Dengan demikian, teknik adalah daya upaya, usaha, cara yang digunakan dosen dalam mencapai tujuan langsung dalam pelaksanaan pengajaran. Apabila merujuk kepada pengertian di atas, sudah tentu dosen memahami bagaimana menggunakan dan menerapkan metode pembelajaran sesuai dengan materi ajar yang digunakan. Materi ajar yang digunakan akan dapat tuntas dan dapat dipahami oleh mahasiswa apabila dosen dapat menerapkan metode pembelajaran secara tepat dan efektif. Berdasarkan hasil observasi dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas terlihat bahwa sebagian besar dosen sudah menggunakan berbagai metode pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student center). Hal ini terlihat dari penggunaan metode pembelajaran role playing, aktif learning, discussion, presentasion, dan lain-lain. Selain menggunakan metode pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student center), pembelajaran bahasa Inggris di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagian besar juga dosen menggunakan metode pembelajaran yang berpusat kepada guru (dosen). Hal ini terlihat dengan masih secara dominannya dosen menggunakan metode ceramah dalam menyampaikan materi perkuliahan. Selain itu juga, terlihat dosen masih menggunakan metode penugasan, latihan, audiolingual, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara dengan dosen yang mengajar bahasa Inggris pada beberapa program studi tentang ditemukan metode pembelajaran yang berpusat kepada siswa dan berpusat kepada guru adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan metode pembelajaran didasarkan kepada materi yang sesuai. Artinya, seorang dosen yang mengajarkan materi bahasa Inggris yang bertujuan untuk melatih keterampilan berbicara mahasiswa, maka dosen akan menggunakan berbagai metode yang dapat melatih kemampuan berbicara mahasiswa. Metode tersebut dapat berupa: diskusi, presentasi, wawancara, dialog, dan lain sebagainya. Sebaliknya, apabila di dalam kegiatan pembelajaran materi yang disampaikan menuntuk penguasaan terhadap materi tata bahasa, biasanya dosen menggunakan metode
142
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
pembelajaran yang berorientasi kepada guru. Metode pembelajaran yang biasa dosen gunakan adalah ceramah, Tanya jawab, latihan, penugasan dan lain sebagainya. 2. Kualifikasi pendidikan dosen yang sebagian dosen S1 memberikan dampak pada penggunaan metode pembelajaran. Dampak ini terlihat dari tidak bervariasinya metode pembelajaran yang digunakan dosen. Tidak bervariasinya ini terlihat dari penggunaan hanya satu metode pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran. Contohnya: dosen yang mengajar 2 sks (2 X 50 menit) materi yang diajarkan tentang grammar, metode yang digunakan ceramah. Pada saat menyampaikan materi grammar dosen tidak berusaha menvariasikan metode-metode yang lain dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Selain itu juga, terlihat pembelajaran terasa monoton karena dosen belum mampu menguasai kelas secara baik. Kondisi ini terlihat dari tidak ada usaha dosen untuk membangkitkan motivasi belajar siswa. 3. Kurangnya pengetahuan dan penguasaan dosen terhadap berbagai metode pembelajaran yang modern karena kurangnya fasilitasi program studi dan fakultas dalam berbagai pelatihan dan seminar tentang metode pembelajaran. Materi Ajar Pembelajaran ESP di di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Data mengenai materi pembelajaran diperoleh melalui analisa dokumen silabus yang diberikan oleh dosen, dokumen kurikulum, wawancara dengandosen bahasa Inggris, serta catatan lapangan. Dalam website Dikmenjur dikemukakan pengertian bahwa, meteri ajar merupakan seperangkat materi/substansi pelajaran yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan materi ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis, sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu. Materi ajar merupakan informasi, alat, dan teks yang diperlukan guru untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Materi ajar bertujuan untuk membantu siswa dalam mempelajari sesuatu, menyediakan berbagai jenis pilihan materi ajar, memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran, serta agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik. Berdasarkan uraian di atas, hendaknya materi ajar yang digunakan oleh dosen dapat dijadikan pedoman bagi dosen dan mahasiswa dalam mencapai kompetensi yang diharapkan. Berdasarkan telaah dokumen bahan ajar yang digunakan sebagai buku sumber terlihat bahwa buku sumber yang digunakan antara lain adalah English for Muslim University Students karangan Drs. Nasrun mahmud M.Pd, Grammar Form and Function karangan Milada Broukal dan Ingrid Wisniewska, serta buku 501 Grammar and Writing Questions. Buku-buku lain yang digunakan adalah buku tentang Reading Skills, Reading Comprehension, Reading Improvement Exercises for Students of English as a second language. Media Pembelajaran ESP di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Hamalik dalam Arsyad (2007:15) mengemukakan bahwa penggunaan media pembelajaran dalam proses belejar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baik, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Pengguanaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Manakala diabaikan, maka media bukan lagi sebagai alat bantu pengajaran, tetapi sebagai penghambat dan pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.
143
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PESAN MEDIA GURU
SISWA Gambar 1. Fungsi Media Pembelajaran
Apabila melihat definisi tentang media pembelajaran di atas dan fungsi media pembelajaran sesuai dengan gembar di atas, maka tentunya dosen dalam mengajar akan menggunakan media pembelajaran sebagai alat bantu dalam mencapai kompetensi mata kuliah bahasa Inggris. Berdasarkan pengamatan terhadap penggunaan media pembelajaran yang digunakan oleh dosen di dalam kelas terlihat dosen sebagian sudah menggunakan media pembelajaran visual, audiovisual, dan multimedia. Media Visual Media visual yang digunakan oleh dosen adalah Media gambar dan flashcard. Ditinjau dari segi keefektifan dan ekonomi, nampaknya media visual gambar dan flashcard memang mampu menjadi jembatan informasi antara dosen dan mahasiswa serta merupakan media yang mudah diperoleh. Dosen menggunakan gambar saat ia membahas kosakata, memperkenalkan obyek baru, mengkategorikan benda, dan mendorong mahasiswa untuk mengemukakan ide-idenya. Selain menggunakan media gambar dan flash card, sebagian guru juga menggunakan buku ajar/cetak sebagai media pembelajaran. Berdasarkan hasil wawancara dengan dosen terlihat bahwa penggunaan buku ini kurang menarik bagi mahasiswa karena terkesan monoton dan membosankan bagi mahasiswa. Dosen mengatakan bahwa kelemahan menggunakan buku cetak adalah: (a) membutuhkan reading habits, (b) membutuhkan pengetahuan awal (prior knowledge), (c) kurang bisa membantu daya ingat, dan (d) apabila penyajiaannya (font, warna, ilustrasi) tidak menarik, akan cepat membosankan. Selain kelemahan di atas, dosen juga memberikan gambaran kelebihan dari media cetak diantaranya: (a) murah, (b) dapat diakses oleh kalangan luas artinya semua mahasiswa dapat mengakses materi perkuliahan, (b) tidak memerlukan peralatan, (c) bersifat fleksibel, mudah di bawa ke mana-mana, (d) dapat digunakan untuk menyampaikan semua materi pembelajaran, dan (e) bisa di bawa dimana saja, kapan saja, dan tidak terikat dengan waktu. Namun ada juga sebagaian dosen yang berusaha menvariasikan antara media gambar, buku, handout flashcard dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris. Media Audio Visual Berdasarkan pengamatan dan hasil berdiskusi dengan dosen yang mengajar bahasa Inggris terlihat dosen juga menggunakan media audio (tape recorder) dalam menyampaikan materi listening. Media audio ini dirasakan tepat oleh dosen karena sesuai dengan karakteristik materi yang diajarkan, Namun, menurut dosen media ini banyak kelemahannya diantaranya: (a) komunikasi yang digunakan cenderung satu arah, (b) abstrak, terutama berkaitan dengan suara yang tidak jelas, (c) auditif, membutuhkan konsentrasi dalam mendengarkan, (d) apabila dosen menggunakan radio, tidak bisa diulang, control pada stasiun. Namun di samping kelemahan di atas, terdapat juga kelebihan dari media audio diantaranya: (a) imajinatif, (b) murah, (c) sangat tepat untuk materi listening, (d) dapat diputar berulang-ulang dan dapat digunakan untuk merekam ulang. Multimedia Selain media visual dan audio di atas, peneliti juga menemukan sebagian dosen juga menggunakan media multimedia dalam menyampaikan materi perkuliahan bahasa Inggris. Penggunaan media multimedia ini terlihat dengan digunakannya Video dan LCD dalam kegiatan pembelajaran terutama untuk kegiatan reading, listening, dan writing. Berdasarkan hasil wawancara dengan dosen, 144
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dosen mengatakan bahwa penggunaan multimedia ini sangat membantu bagi dosen dalam menjelaskan materi-materi yang tidak dapat disampaikan secara lisan. Dengan bantuan multimedia, mahasiswa dapat mencatat dan menguasai materi perkuliahan yang disampaikan oleh dosen. Oleh karena itu, dosen mengatakan kelebihan dari media multimedia ini adalah: (a) interaktif: mahasiswa dapat bertanya langsung terhadap materi yang ditayangkan atau diputarkan, (b) fleksibel: dapat digunakan sewaktuwaktu sesuai dengan materi apa yang akan disampaikan, (c) motivasi: membangkitkan motivasi belajar mahasiswa, (d) umpan balik: materi yang disajikan dapat dipertanyakan secara langsung oleh mahasiswa, dan (e) control ada pada dosen. Selain kelebihan di atas, multimedia juga memiliki kekurangan diantaranya: (a) hanya akan berfungsi untuk hal-hal sebagaimana yang telah diprogramkan, (b) memerlukan peralatan (computer) multimedia, (c) perlu kemampuan pengoperasian, untuk itu diperlukan adanya petunjuk penggunaan, (d) pelaksanaan/pemutaran memerlukan waktu yang cukup lama. Perlu dicatat adalah bahwa ada dosen yang memberikan pekerjaan rumah kepada mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan bahasa Inggris melalui observasi langsung menggunakan kamera sebuah kegiatan pembelajaran grammar misalnya pemakaian preposisi (kata depan) dengan praktek langsung pemakaian preposisi dan pengambilan gambar orang/suatu benda/ objek berdasarkan tempat atau lokasi benda tersebut. Penggunaan tenses berdasarkan pemakaian sehari-harI. Evaluasi Tujuan Pembelajaran ESP di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Terkait dengan proses belajar mengajar di kelas, hal yang tidak kalah penting bagi seorang dosen adalah memiliki kemampuan dalam hal assesmen atau biasa disebut dengan penilaian. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 57 menyatakan bahwa (1) evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, (2) evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Sementara dalam pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (Depdiknas, 2003). Menurut Abas (2006) tujuan penilaian adalah untuk : (a) Memantau pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik; (b) Mengetahui apakah siswa telah atau belum menguasai suatu kompetensi dasar tertentu, berapa tingkat pencapaian kompetensi dasar tertentu, berapa tingkat pencapaian kompetensi siswa. Hal ini berguna sebagai umpan balik bagi siswa saat mengetahui kemampuan dan kekurangannya, sehingga menimbulkan motivasi untuk memperbaiki hasil belajarnya; (c) Mendiagnosis kesulitan belajar siswa sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remidi. Dan (d) Mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan. Hal ini akan mendorong guru melakukan refleksi agar memiliki kemampuan mengajar lebih baik. Berdasarkan uraian tentang pengertian dan tujuan evaluasi di atas, tentu evaluasi digunakan untuk mengukur sejauh mana kemampuan mahasiswa dalam memahami dan mencapai kompetensi sesuai dengan materi ajar yang digunakan. Berdasarkan telaah dokumen dan hasil wawancara dengan dosen terlihat bahwa alat evaluasi yang digunakan pada umumnya adalah tes pilihan ganda untuk mengukur kemampuan grammar dan Reading Text untuk mengukur kemampuan pemahaman mahasiswa terhadap bacaan. Sementara banyak jenis evaluasi untuk keterampilan bahasa Inggris yang dapat digunakan seperti test performansi, unjuk kerja, produk dan lain sebagainya yang lebih efektif yang dapat mengukur keterampilan berbahasa mahasiswa. KESIMPULAN Berdasarkan temuan dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kurikulum pembelajaran bahasa Inggris yang ada di Program studi di (1) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, (2) Fakultas Adab dan Humaniora, (3) Fakultas Ushuluddin, (4) Fakultas Syari’ah dan Hukum, (5) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, (6) Fakultas Dirasat Islamiyah, (7) Fakultas Psikologi, (8) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, (9) Fakultas Sains dan Teknologi, dan (10) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, serta (11) fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dikembangkan sendiri oleh dosendosen yang mengampu mata kuliah bahasa Inggris. Hal ini karenakan belum adanya kurikulum
145
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Sabah, Malaysia
yang baku yang disusun dan dikembangkan yang dapat digunakan oleh semua prodi di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen-dosen yang mengajar mata kuliah bahasa Inggris di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagian besar merupakan dosen tidak tetap dan masih ditemukan sebagian dosen yang berkualifikasi pendidikan strata satu (S1) yang sedang kuliah S2. Tujuan pembelajaran bahasa Inggris agar mahasiswa mampu menggunakan bahasa Inggris baik secara tertulis maupun lisan dalam memahami bacaan dalam text-text berbahasa Inggris khusus jurusan di masing-masing fakultas. Metode pembelajaran yang digunakan oleh dosen dalam mengajarkan mata kuliah bahasa Inggris adalah menggunakan sebagian dosen menggunakan metode yang berpusat pada siswa (student center) seperti: metode pembelajaran role playing, altiv lerarning, discussion, presentasion. Selain itu, sebagian dosen menggunakan metode yang berpusat pada guru (teacher center) seperti: ceramah, penugasan, latihan. bahan ajar yang digunakan sebagai buku sumber antara lain adalah English for Muslim University Students karangan Drs. Nasrun mahmud M.Pd, Grammar Form and Function karangan Milada Broukal dan Ingrid Wisniewska, serta buku 501 Grammar and Writing Questions. Buku-buku lain yang digunakan adalah buku tentang Reading Skills, Reading Comprehension, Reading Improvement Exercises for Students of English as a second language. Media pembelajaran yang digunakan oleh dosen di dalam kelas dosen menggunakan media pembelajaran visual, audiovisual, dan multimedia. Evaluasi yang digunakan pada umumnya adalah tes pilihan ganda untuk mengukur kemampuan grammar dan Reading Text. Sementara banyak jenis evaluasi untuk keterampilan bahasa Inggris yang dapat digunakan seperti test performansi, unjuk kerja, produk dan lain.
REFERENSI Abbas, Saleh, Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Efektif di Sekolah Dasar Jakarta: Depdiknas, 2006 Arsyad, Azhar. (2008). Media Pembelajaran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Depdiknas, (2003) Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas Gagne, Robert. (1979). Principle of Instructional Design, Hoit: Rinehart and Winton, 1979. Hutchinson T. & A. Waters (1987) English for Specific Purposes: A learningCentred Approach, Cambridge: Cambridge university Press. Nunan, David. (2003). Practical English Language Teaching. New York: McGraw-Hill. 2003. Spradley, James P. (1997). Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana. Tomlinson, B. (1998). Materials Development in Language teaching, Cambridge: Cambridge University Press.
146
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS SEORANG PEMANDU WISATA ASAL NIAS SELATAN (Studi Kasus:Pemandu Wisata bernama Sanali Bu’ulolo) Rebecca Evelyn Laiya1 1
Dosen STKIP Nias Selatan pada Program Studi Bahasa Inggris [email protected]
Abstrak This study explores the second language learning as one the important aspects of psycholinguistics. This study will discuss about the English learning of tourist guide from Southern Nias namely Sanali Bu’ulölӧ. Hehas a very unique process of learning his second language. He does not have the experience of learning English in the school, He can not speak Indonesia, yet he can speak English. Through the interview the writer found that the ability of his English is limited, he only can use English for speaking and listening but not for writing and reading. At the end the writer concluded that the language only can be full mastered if someone is literate. Keywords: tourist guide, a very unique process of learning English,literate Abstrak Penelitian ini akan mengkaji pembelajaran bahasa kedua sebagai salah satu aspek yang penting dalam bidang psikolinguistik. Penelitian ini akan membahas pembelajaran bahasa Inggris seorang pemandu wisata yang berasal dari Nias Selatan bernama Sanali Bu’ulölӧ. Dia memiliki proses pembelajaran bahasa kedua yang unik. He tidak memiliki pengalaman mempelajari Bahasa Inggris di sekolah. Dia tidak dapat berbicara dalam bahasa Indonesia, tetapi ia mampu berbicara dalam bahasa Inggris. Melalui wawancara penulis menemukan bahwa sesungguhnya kemampuan bahasa Inggrisnya terbatas, dia hanya mampu berbicara dan mendengar tapi tidak mampu dalam hal menulis dan membaca. Pada akhirnya penulis dapat menyimpulkan bahasa hanya dapat diperoleh secara penuh apabila seseorang mampu membaca dan menulis. PENDAHULUAN Latar Belakang Bahasa adalah alat bagi manusia untuk berinteraksi dengan manusia yang lain. Ada berbagai bentuk interaksi yang dapat dilakukan antara lain berbicara, menyatakan pendapat, mengajar, menulis dan lain-lain. Dengan kata lain kehidupan manusia harus selalu didukung oleh bahasa, tanpa bahasa dunia sepi, diam seperti tak berpenghuni. Di dunia ini seluruh manusia memiliki kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa manusia ini ada berbagai macam. Ada orang yang hanya memiliki kemampuan untuk menggunakan satu jenis bahasa yang dapat disebut monolingual, ada yang memiliki kemampuan dua jenis atau lebih bahasa yang dapat disebut sebagai bilingual dan multilingual. Berdasarkan jenisnya, manusia memiliki dua jenis bahasa yaitu bahasa pertama dan bahasa kedua. Bahasa pertama adalah bahasa yang dipelajari oleh seseorang ketika ia belum menginjak usia untuk bersekolah. Dan ketika seseorang sudah menginjak masa bersekolah ia akan mempelajari bahasa kedua. Dengan kata lain bahasa pertama adalah bahasa yang pertama kali dipelajari oleh seseorang atau dapat disebut bahasa ibu. Dan bahasa kedua adalah bahasa yang baru dapat dipelajari setelah seseorang sudah fasih dengan bahasa pertama. Di sebuah pulau, yang berada di propinsi Sumatera Utara yang bernama Pulau Nias, Pulau ini adalah salah satu daerah tujuan wisata. Salah satu daerah tujuan wisata di Nias yang paling diminati oleh wisatawan mancanegara dan wisatawan lokal adalah sebuah pantai indah yang bernama Pantai Sorake yang terdapat di daerah Kabupaten Nias Selatan. Karena seringnya kunjungan wisatawan mancanegara di daerah ini, maka akhirnya muncullah komunitas-komunitas pemandu wisata, yang
147
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
bekerja menjajakan tenaga bantuan kepada para wisatawan mancanegara untuk menemani mereka sambil memperkenalkan budaya Nias Selatan. Salah satu dari sekian banyak pemandu wisata bernama Sanali Bu’ulolo, ia memiliki keunikan dalam kemampuan berbahasanya. Ia tidak memiliki kemampuan berbahasa Indonesia, tetapi ia mampu berbahasa Inggris, menariknya sang pemandu wisata ini memperoleh kemampuan berbahasa Inggris bukan melalui bangku sekolah. Kali ini penulis akan membahas sebuah penelitian sederhana yang dilakukannya untuk melihat pemerolehan Bahasa Inggris dari pemandu wisata tersebut. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah : 1. Bagaimanakah pemandu wisata asal Nias Selatan (Sanali Bu’ulölӧ) memperoleh kemampuan berbahasa Inggris? 2. Bagaimanakah kemampuan Bahasa Inggris pemandu wisata asal Nias Selatan (Sanali Bu’ulölӧ) dalam pembelajaran bahasanya? Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mendeskripsikan bagaimana pemandu wisata asal Nias Selatan(Sanali Bu’ulölӧ) memperoleh kemampuan berbahasa Inggris. 2. Mendeskripsikan kemampuan Bahasa Inggris pemandu wisata asal Nias Selatan (Sanali Bu’ulölӧ) dalam pembelajaran bahasanya. . KAJIAN TEORI Pemerolehan BahasaPertama 1. Kontravesi Nurture dan Nature Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menguasai bahasa, selama ia berada di tengah masyarakat. Tetapi timbul sebuah kontraversi antar para ahli, tentang proses bagaimana seorang manusia dapat menguasai bahasa. Ada aliran (behaviorisme) yang mengatakan bahwa pemerolehan bahasa, tergantung darinurture yaitu alam lingkungan. Aliran behaviorime ini menyatakan bahwa seorang manusia dilahirkan dengan suatu tabula rasa, yakni seperti piring kosong tanpa isi apapun, maka lingkunganlahyang mengisinya, termasuk juga kemampuan berbahasa. Dengan kata lain dapat dikatakan pengetahuan manusia tentang apapun diperolehnya dari lingkungannya (Dardjowidjojo, 2012). Ahli yang memiliki paham tersebut adalah Skinner, seorang psikolog dari Universitas Harvard. Untuk membuktikan paham tersebut,Skinner mengujinya dengan menggunakan tikus dalam proses percobaanya yang disebut operant conditioning. Dalam percobaannya tikus dilatih berulang-ulang bagaimana mendapatkan makanannya yaitu dengan menekan satu pedal, akhirnya tikuspun mampu memahami tehnik untuk medapatkan makanannya. Setelah tikus sudah memahami tehnik tersebut, tikuspun dilatih dengan tehnik yang lain. Maka Skinner berkesimpulan seseorang memperoleh bahasa yang dipelajari dari adanya stimulus yang timbul, stimulus diikuti dengan respon. Apabila responnya benar maka akan diberi hadiah dan responnya memberikan jawaban salah, maka ia akan dihukum. Proses ini dilakukan berulang kali, dan kemudian menjadi kebiasaan. Sementara Chomsky dalam Soenjono pendapatnya bertolak belakang dengan Skinner. Ia mengatakan semua anak memiliki Piranti Pemerolehan Bahasa. Hal ini terbukti adanya kesamaan proses pemerolehan bahasa antara satu anak dengan anak yang lain (nature). Menurut Chomsky bahwa nurture hanya menentukkan bahasa yang diperoleh oleh seorang anak, “tetapi prosesnya sendiri bersifat kodrati (innate) dan inner directed”. Jadi menurut Chomsky bahasa bukan sebuah kebiasaan tetapi sebuah sistem yang diatur oleh “seperangkat aturan”. Bahasa itu adalah sesuatu yang kreatif dan juga mempunyai ketergantungan dengan struktur. Kemampuan berbahasa tersebut adalah milik manusia, apabila Skinner menyamakan proses pemerolehan pengetahuan antara manusia dan tikus, ia hanya menyederhanakan fakta. Akhirnya sebagian besar linguis menyatakan bahwa Chomskylah yang kelihatannya mendekati kebenaran. Tetapi kita tidak boleh memandang sebelah mata faktor nurture. Nurture terbukti juga ada 148
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
ketika ditemukan seorang perempuan di Los Angeles, California yang bernama Ginie. Ginie ditemukan pada tahun 1970 setelah 13 tahun ia disekap dalam kamar kecil di gudang belakang rumah. Ia diberi makan, tetapi tidak pernah diajak berbicara oleh ayahnya, yang benci anak dan suara anak. Ayahnya juga sering menyiksa Ginie, sementara sang ibu tidak berani membela Ginie. Setelah ditemukan, kemudian ia dilatih berbahasa selama delapan tahun iapun tidak mampu berbahasa seperti manusia lainnya. Ini berarti bahwa faktor lingkungan juga membentuk seseorang untuk berbahasa. Jadi dapat dikatakan bahwa nurture dan nature sama-sama diperlukan. Tanpa adanya kodrat dari alam seorang manusia tidak mampu berbahasa. Tetapi kita masukan dari alam sekitar, kodrat seorang manusia untuk berbahasa tidak akan terwujud. 2.
Tahap-tahap Pemerolehan bahasa Pertama Kata pemerolehan ini dipandankan dalam Bahasa Inggris acquisition, yang artinya “proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language)” (Dardjowidjojo, 2012). Mukalel dalam bukunya menjelaskan bahasa pemerolehan bahasa pertama seorang anak diperoleh ketika sang anak belum bersekolah. Ia tidak mempelajari bahasa pertamanya di sekolah tetapi dirumah. Bahasa pertama yang dimaksud dapat disebut bahasa setempat, bahasa daerah atau bahasa nasional. Jumlah bahasa pertama ini tidak terbatas. Ada anak yang memiliki satu bahasa pertama, sementara anak yang lain memiliki bahasa pertama lebih dari dua (Mukalel, 2013). Proses alamiah dalam pemerolehan bahasa adalah sebuah keuntungan, karena anak akan melakukan sesuatu dengan baik di dalam situasi alamiah (Steiberg, 2006).Mukalel menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa pertama, yaitu: (1) Faktor lingkungan fisik: segala sesuatu yang ada di sekitar anak-anak berhubungan dengan apa yang dipelajari anak. Adanya anjing, kucing, rumah dah pohon mempengaruhi cara anak untuk mempelajari bahasa pertamanya. (2) Faktor lingkungan sosial, anak yatim dengan anak yang memiliki orang tua memiliki perbedaan dalam proses pemerolehan bahasa pertamanya. Anak yang selalu berada dekat dengan ibunya setiap hari dengan anak yang ibunya setiap hari bekerja, juga memiliki perbedaan dalam pemerolehan bahasa pertamanya. Jadi ibu, keluarga dan tetangga adalah elemen sosial yang penting dalam proses pemerolehan bahasa pertama si anak. (3) Faktor sumber fisik dan ekonomi, adanya kekurangan dari keadaan fisik dan ekonomi mempengaruhi proses pemerolehan bahasa pertama. Kekurangan tersebut menghalangi si anak untuk memperoleh bahasa pertamanya dengan baik. Karena kesibukan orang tua untuk mencari penghidupan yang layak, melupakan proses pemerolehn bahasa sang anak. (4) Faktor motivasi, pemerolehan bahasa pertama juga dipengaruhi oleh faktor motivasi. Ada dua jenis motivasi yaitu motivasi internal maupun ekternal. Motivasi internal, adalah yang mendorong anak agar secepat mungkin memperoleh kemampuan berbahasa yaitu keinginan anak untuk memperoleh kebutuhan internalnya yaitu kebutuhan psikologi (makanan, kehangatan dan tempat berlindung). Selain itu ada kebutuhan emosional yang yaitu kenginan untuk mendapatkan perhatian, cinta dan kasih sayang yang berkelanjutan. Sedangkan faktor ekternal yaitu keinginan untuk berinteraksi sosial, keinginan agar mampu menunjukkan ekspresi diri dan agar mampu menunjukkan kreativitas. Lebih lanjut Steinberg menjelaskan terdapat beberapa tahapan yang harus dilewati anak untuk memperoleh bahasa pertamanya yaitu (1) tahap vokalisasi, yaitu tahap dimana seorang anak belum dapat berbicara. Pada tahapan ini ia hanya menangis, membunyikan bunyi “koo”, bunyi seperti mendenguk, menghembuskan nafas, meludah atau menghasilkan suara-suara yang tak dapat digambarkan (2) Tahap one-word utterance, atau tahap bertutur hanya dengan menggunakan satu kata misalnya dengan menyebutkan kata “mama”, “papa”, “mandi”, dan lain-lain. (3) Tahap two-and three word utterances, atau tahap bertutur dengan menggunakan dua sampai tiga kata. Biasanya tuturannya bertujuan menunjukkan jumlah misalnya “pisang lagi”, menunjukkan milik misalnya “buku saya”, menunjukkan pengingkaran misalnya “ga mau” “ga ada”, menujukkan tempat misalnya “mama tuh” dan atribut misalnya “jeruk kecil”. Tahapan-tahapan tersebut terjadi di dalam situasi alamiah, bukan di kelas dan pada waktu si anak masih belum menginjak usia sekolah.
149
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Pembelajaran Bahasa Kedua Istilah pembelajaran tidak sama dengan istilah pemerolehan. Apabila dipadankan dengan Bahasa Inggris kata pembelajaran sama dengan learning, yaitu proses pembelajaran formal yang dilakukan di dalam kelas dan bersama guru.Dengan kata lain Dardjowidjojo mengatakan bahwa pembelajaran bahasa berhubungan dengan pembelajaran yang dilakukan kelas, pemerolehan bahasa berhubungan dengan proses memperoleh kemampuan berbahasa pada waktu si anak belum bersekolah. Jadi pembelajaran bahasa yang dilakukan dalam kelas identik dengan pembelajaran bahasa kedua. Faktor-Faktor Psikologi Dalam mempelajari bahasa kedua, tentunya ada faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut. (1) Proses intelektual, yaitu kemampuan seseorang untuk mempelajari struktur dan aturan dari bahasa kedua. Hanya ada dua cara yang dapat disebut dengan explication dan induction. Explication artinya sebuah proses pembelajaran bahasa kedua, dimana aturan dan struktur dari bahasa kedua dijelaskan kepada pembelajar dalam bahasa ibunya. Sedangkan induction yaitu pembelajaran bahasa kedua dengan cara menemukan sendiri aturan tata bahasanya.(2) memori, memori juga adalah faktor yang sangat penting dalam pembelajaran (Steinberg, 2006). Orang yang memiliki masalah dalam memori pasti kemampuannya mempelajari bahasa ibunya sangat rendah. Terlebih lagi apabila ia mempelajari bahasa kedua. Misalnya ketika seseorang mempelajari kosakata “dog”, maka ia harus memiliki memori yang baik untuk menghubungkan pengalaman melihat atau memegang anjing (dog) dengan kosakata “dog”. Demikian juga ketika seseorang mempelajari tata bahasa dari bahasa kedua, ia harus memiliki memori yang baik, agar ia mampu menyatakan sesuatu berdasarkan situasi yang tepat.(3) Ketrampilan motorik, ketrampilan motorik ada hubungannya dengan kemampuan melafalkan bunyi dengan baik atau kemampuan untuk mengontrol alat ucap. Ketrampilan ini sangat penting dalam pembelajaran bahasa kedua. Rahang, bibir, lidah, pita suara dan lain-lain dikontrol oleh otot , dimana semua itu dikontrol oleh otak. Alat ucap harus bertindak dengan baik, pada waktu yang tepat ketika seseorang berbicara, terutama ketika ia berbicara dalam bahasa kedua, ia harus melafalkan kata-kata dalam bahasa kedua, seperti ia menggunakan bahasa ibunya. Faktor Sosial Situasi sosial juga mempengaruhi seseorang dalam mempelajari bahasa kedua. Ada dua jenis situasi sosial yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua yaitu terdiri dari situasi alamiah (The natural situation) dan situasi kelas (The classroom situation). Situasi alamiah, yaitu situasi yang sama ketika seorang anak mempelajari bahasa ibunya. Dimana seseorang mempelajari bahasa bukan di dalam kelas. Misalnya ada seorang anak baru tinggal di suatu negara yang lain, kemudian ia mempelajari bahasa negara tersebut bukan melalui pengajaran secara eksplisit, tetapi melalui interaksi dengan temannya misalnya. Jadi dengan bermain dengan anak dari negara tersebut, akhirnya nanti ia mampu mempelajari bahasa negara tersebut. Tetapi pembelajaran bahasa dengan situasi alamiah, agak sulit berhasil bagi mereka yang sudah dewasa. Tidak banyak orang dewasa yang mau meluangkan waktunya untuk berinterksi dengan orang lain yang memiliki bahasa yang berbeda dengan dirinya sendiri. Oleh karena itulah banyak orang dewasa yang kurang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain menggunakan bahasa yang mereka pelajari. Selanjutnya situasi kelas, dalam situasi kelas orang mempelajari bahasa dalam situasi direncanakan. Di dalam kelas tentunya secara fisik ada ruangan yang tertutup dan sudah diatur sedemikian rupa. Di dalam kelas ada guru yang memiliki kemampuan untuk berbahasa yang akan dipelajari dan ada siswa-siswi yang belajar. Di dalam kelas tidak akan sesuatupun yang terjadi, kecuali guru melakukan sesuatu. Siswa-siswi tidak bertindak seenaknya sendiri tetapi mengikuti petunjuk dari guru. Dalam kelas juga dapat diterapkan metode pengajaran yang membuat situasi pembelajaran bahasa seperti alamiah. Misalnya guru menerapkan lomba pidato, bermain peran, dan permainan. Tetapi tetap saja yang memegang peranan untuk merencanakan dan mengontrol kegiatan tersebut. Pembelajaran dengan situasi kelas berbeda dengan situasi alamiah. Seseorang harus beradaptasi dengan proses pembelajaran kelompok. Dalam arti kepentingan bersama harus diduluankan dari pada kepentingan diri sendiri untuk kepentingan bersama. 150
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Situasi pembelajaran bahasa kedua di kelas akan lebih menguntungkan dan berhasil apabila seseorang memiliki pengalaman pembelajaran bahasa Inggris, bukan hanya di dalam kelas tapi di luar kelas. Misalnya siswa yang berasal dari Pakistan mempelajari Bahasa Inggris di sebuah sekolah di London. Pembelajaran bahasa dalam situasi kelas akan lebih berhasil diterapkan kepada orang dewasa daripada anak-anak. Karena mereka paham bagaimana bertindak menjadi siswa di dalam kelas. Mereka sudah memiliki kematangan dalam menghadapi tantangan yang terjadi dalam lingkungan pembelajaran. Mereka memiliki kemampuan untuk berkonsentrasi dan duduk dalam jangka waktu yang lama. Tetapi dalam hal memori dan ketrampilan motorik, anak-anak besar (usia 12 tahun) lebih memiliki kemampuan tersebut daripada orang dewasa. Oleh karena itu sangat disarankan kepada anakanak besar yang kira-kira berusia 12 tahun untuk memulai pembelajaran bahasa kedua di dalam kelas. Di saat dimana kemampuan mereka dalam memahami sesuatu sudah seperti orang dewasa. Usia Kritikal (Crititical Age) Usia kritikal dalam hal ini adalah batas usia tertentu dari seseorang tidak mampu lagi mempelajari bahasa. Usia kritikal ini terjadi ketika seseorang mempelajari bahasa pertama, yaitu pada usia tertentu ia tidak mampu lagi mempelajari bahasa pertamanya. Pertanyaannya apakah hal tersebut terjadi kepada orang-orang yang mempelajari bahasa kedua mereka. Berdasarkan observasi ada banyak orang dewasa yang memulai pembelajaran bahasa kedua mereka bukan di usia muda. Steinberg dalam bukunya memberikan contoh. Misalnya seorang penulis novel dan ahli prosa Inggris terkenal bernama Josep Concard. Ia adalah penutur asli bahasa Polandia dan ia baru mempelajari Bahasa Inggris pada usia di atas 20 tahun. Atau ada Henry Kissinger seorang Jerman yang kemudian menetap di Amerika pada usia 14 tahun, memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang luar biasa. Ada juga Zbigniew Brzezinski yang meninggalkan Polandia dan kemudian tinggal di Kanada pada usia 10 tahun, juga memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik. Jadi dapat disimpulkan tidak ada usia kritikal dalam mempelajari bahasa kedua baik itu dalam kemampuan sintaks maupun pelafalan. Keterampilan Berbahasa Ada empat tingkatan ketrampilan dalam berbahasa yaitu (1) ketrampilan menyimak (2) berbicara (3) berbicara dan (4) menulis. Jadi orang yang mampu dalam berbahasa tentunya memiliki keempat ketrampilan bahasa di atas secara utuh (Iffah, Pengertian dan Manfaat Ketrampilan Berbahasa, http://pelangi-iffah.blogspot.com/2011/04/pengertian-dan-manfaat-keterampilan.html). Keempat ketrampilan diatas memiliki hubungan satu dengan yang lain. Ketrampilan menyimak ada hubungannya dengan ketrampilan berbicara, karena dalam berbahasa, harus ada interaksi antara pembicara dan lawan bicara. Apabila pembicara berbicara maka lawan bicara akan menyimak demikian juga sebaliknya. Ketrampilan menyimak ada hubungannya dengan membaca karena ketika seseorang menyimak atau membaca mereka sama-sama memperoleh sebuah informasi. Ketrampilan menyimak dan membaca juga ada hubungannya dengan menulis, ketika seseorang menyimak atau membaca ia menerima informasi kemudian ia menuliskan informasi tersebut dalam bentuk tulisan. Sekarang ini sudah ada panduan untuk guru bahasa menentukan atau mendeskripsikan level kemampuan berbahasa dari muridnya panduan tersebut dinamakan Common European Framework (CEFR).Dalam Teacher’s Guide to the Common European Framework, http://www.coe.int/t/dg4/linguistics/Source/Framework_N.Pdf, terdapat enam level yang diperkenalkan oleh panduan ini yaitu 1) Basic user atau level dasar (A1 dan A2) 2) Independent useratau level menengah (B1 dan B2) 3) Proficient level atau level mahir (C1 dan C2). John Cummin (dalam J. n.d, .Cummins, Basic Interpersonal Communicative Skills and Cognitive Academic Language Proficiency http://www.iteachilearn.com/cummins/bicscalp.html)juga memperkenalkan level yang mendeskripsikan kemampuan seseorang dalam berbahasa. Ia membedakan hanya dalam dua level yaitu Basic Interpersonal Communicative Skill atau kemampuan berbahasa yang dasar, hanya sebatas mampu berkomunikasi dan Cognitive Academic Language Proficiency atau kemampuan berbahasa mahir atau fasih baik dalam berbicara dan mendengar maupun dalam membaca dan menulis. Jadi ketrampilan berbahasa saling terkait satu dengan lainnya. Dengan kata lain dapat dikatakan, hanya orang yang memiliki keempat ketrampilan berbahasa secara penuh yang dapat dikatakan terampil dalam berbahasa atau memiliki kemampuan dalam berbahasa. Dan sekarang ini 151
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
sudah ada panduan yang memudahkan seorang guru mengetahui level kemampuan berbahasa muridnya sendiri. Pemandu Wisata Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam Wikipedia pemandu wisata yang juga disebut pramuwisata atau dalam Bahasa Inggrisnya tour guide adalah “petugas pariwisata yg berkewajiban memberi petunjuk dan informasi yg diperlukan wisatawan”. Sedangkan menurut Peraturan Menparpostel RI, “Pramuwisata adalah seseorang yang bertugas memberikan bimbingan, penjelasan dan petunjuk tentang obyek wisata serta membantu keperluan wisatawan lainnya”. Dan menurut Menurut EN 13809 OF EUROPEN COMMITTEE FOR STANDARDISATION (CEN) ADOPTED BY WFTGA AT ITS DUNBLANE SCOTLAND CONVENTION 2003, “TOURIST GUIDE is a person who guide visitiors in the language of their choice and interprets the cultural and natural heritage of an area which person normally possesses an area-specific qualification usually issued and /or recognized by the appropriate authority” (Anonym, Pramuwisata, http://id.wikipedia.org/wiki/Pramuwisata). Jadi dapat disimpulkan pemandu wisata atau dapat disebut pramuwisata adalah seorang petugas pariwisata yang memiliki kewajiban memberikan petujuk dan informasi tentang sebuah objek wisata serta membantu dalam hal lainnya misalnya memesan hotel, menyiapkan transportasi dan lain-lain. Kesemua tugasnya dilakukan dengan menggunakan bahasa para pengguna jasa pemandu wisata atau pramuwisata. Di Indonesia secara nasional sudah dibentuk organisasi yang memberikan wadah para pemandu wisata. Organisasi tersebut dinamakan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Organisasi ini telah tersebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia juga telah terbentuk organisasi yang tujuannya sama, tetapi bersifat lokal. Diharapkan semua pramuwisata memilki lisensi yang dikeluarkan oleh HPI terutama apabila ia melayani wisatawan asing, agar kualitas pribadi nasionalismenya terjaga dan dapat memberikan informasi yang valid kepada tamunya. Sanali Bu’ulölӧadalah salah seorang pemandu wisata atau pramuwisata di pulau Nias, tepatnya di pantai Sorake. Pantai Sorake ini terletak di daerah Nias bagian Selatan atau di Kabupaten Nias Selatan. Pulau Nias terletak 125 km sebelah barat Sumatera. Ada 130-an pulau yang mengelilinginya. Pulau Nias memiliki potensi alam yang begitu indah terutama pantainya yang bernama Pantai Sorake, dimana banyak wisatawan mancanegara dan local mengunjungi tempat ini untuk berolahraga surfing atau sekedar menikmati pemandangannya. Meskipun terpencil, sudah beberapa kali diselenggarakan kompetisi surfing internasional di Pantai Sorake ini (Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Nias Selatan, Pantai Sorake, http://www.southniastourism.com/?bahasa=Id&target=menu&baca=30). Sanali Bu’ulölӧini memiliki keunikan dalam pembelajaran bahasanya. Keunikannya ia tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia tetapi ia mampu berbahasa Inggris bahkan berprofesi sebagai pemandu wisata selain atlet surfing. Ada kejadian unik yang terjadi beberapa tahun yang lalu, ketika ia menjuarai sebuah kompetisi surfing internasional di pantai Sorake, ia hendak diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi Indonesia, terjadi kesulitan karena ia tidak mampu berbahasa Indonesia, ia hanya mampu berbahasa Nias dan bahasa Inggris. METODOLOGI PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian mini ini adalah deskriptif kualitatif. Berdasarkan data, nantinya penulis akan mencoba menganalisis hasil dan akhirnya mendeskripsikan hasilnya dengan penjelasan yang detail, tanpa disertai dengan perhitungan angka-angka. Sumber Data Penelitian ini mengambil data primer dari wawancara ( interview)secara langsung dengan Sanali Bu’ulolo berumur 40 tahun. Sedangkan tehnik pengumpulandata diperoleh dengan cara melakukan wawancara (interview) secara langsung.
152
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Analisis Data Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam menganalisis data. Pertama, hasil wawancara (interview) ditraskripkan ke dalam bentuk tulisan. Kedua, bentuk tulisan itu dipenggal-penggal dan dipaparkan dalam bentuk unit analisis. Ketiga, penggalan-penggalan data dijelaskan sesuai dengan pemahaman peneliti terhadap wacana HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui gambaran pembelajaran Bahasa Inggris Pemandu Wisata asal Nias Selatan maka dilakukanlah wawancara (interview) secara langsung dengan Sanali Bu’ulolo. Adapun data yang terkumpul adalah: Tabel 1. Gambaran pembelajaran Bahasa Inggris Pemandu Wisata Pertanyaan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10.
Apa latar belakang pendidikan Bapak? Bagaimana bapak dapat belajar Bahasa Inggris ? Dalam rentang berapa lama Bapak dapat berbahasa Inggris? Apakah bapak dapat menulis dalam Bahasa Inggris? Apakah bapak dapat mengajari anak bapak berbahasa Inggris? Dapatkah bapak bercerita dalam Bahasa Inggris tentang kehidupan bapak atau tentang apa saja? Apakah pandangan bapak tentang Bahasa Indonesia? Mana yang lebih sulit buat bapak Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris? Apakah keuntungannya kalau bapak mampu berbahasa Inggris? Manakah yang bapak bangga disebut orang Indonesia atau orang Nias?
Jawaban 1. 2. 3.
Tidak tamat SD Dengan bergaul dengan touris dan temanteman yang dapat berbahasa Inggris. Sejak Usia 20 tahun.
4.
Tidak dapat baca dan tulis.
5.
Bisa, tetapi hanya kemampuan berbicara.
6.
Bisa.
7.
Bahasa yang sulit dipelajari.
8.
Bahasa Indonesia
9.
Lebih banyak teman dari luar negeri dan sebagai sumber pendapatan 10. Orang Nias.
Hasil yang dicapai 1. Cara pemandu wisata asal Nias Selatan (Sanali Bu’ulölӧ) memperoleh kemampuan berbahasa Inggris? a. Berdasarkan teori, pemandu wisata ini memperoleh pengetahuan tentang tata bahasa inggris yaitu melalui proses induksi (induction) dengan kata lain ia mempelajarinya sendiri. Hal ini dikarenakan ia tidak memiliki kemampuan menulis dan membaca, ia mempelajari Bahasa Inggris hanya melalui mendengar. Dengan mendengar turis-turis asing berbincang-bincang atau teman-temannya yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris, akhirnya ia menemukan sendri aturan tata Bahasa Inggris. b. Pemandu wisata asal Nias Selatan ini tidak memiliki pengalaman bersekolah, maka kemampuan berbahasa Inggrisnya menurut teori bukan didapatkan dari situasi kelas, seperti kebanyakan orang dewasa mempelajari Bahasa Inggris tetapi dari situasi alamiah, yaitu dengan cara mempelajari Bahasa Inggris secara eksplisit atau mempelajari Bahasa Inggris melalui interaksi dengan turis-turis asing atau teman-temannya yang mampu berbahasa Inggris. c. Menurut data yang didapatkan Sanali Bu’ulolo baru memulai pembelajaran Bahasa Inggris pada usia 20. Meskipun teori dalam pembelajaran Bahasa tidak ada usia kritikal, maksudnya setiap orang pada usia manapun dapat memulai pembelajaran bahasanya. Sanali Bu’ulolo termasuk orang yang memiliki kemampuan yang baik dalam mempelajari dalam Bahasa Inggris 153
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
2.
Sabah, Malaysia
yang baik. Karena seharusnya menurut teori pada usia dewasa (atau diatas usia 12 tahun) kemampuan mempelajari bahasa melalui situasi alamiah telah berkurang, tetapi ia pada usia 20 tahun masih mampu mempelajari Bahasa melalui situasi alamiah. Kemampuan Bahasa Inggris pemandu wisata asal Nias Selatan (Sanali Bu’ulölӧ) dalam pembelajaran bahasa? a. Berdasarkan data telah diketahui bahwa Bahasa Inggris bukanlah bahasa pertama bagi pemandu wisata ini. Alasannya karena ia tidak mempelajari Bahasa Inggris, ketika ia kecil (usia pra sekolah), meskipun ia mempelajari Bahasa Inggris secara alamiah seperti seorang anak mempelajari bahasa pertama. b. Pemandu wisata ini baru mempelajari Bahasa Inggris pada waktu ia berusia dewasa (20 tahun). Dan ia memperoleh kemampuan Bahasa Inggris tidak melalui pendidikan formal, seperti orang dewasa lainnya melainkan melalui situasi alamiah, yaitu mempelajari Bahasa Inggris melalui interaksinya dengan turis-turis asing dan teman-temannya yang mampu berbahasa Inggris. c. Tetapi Bahasa Inggris tersebut tidak sepenuhnya dapat menjadi bahasa keduabagi Sanali Bu’ulolo mengingat ia hanya mampu memiliki kompetensi dalam dua ketrampilan berbahasa yaitu berbicara dan tentunya menyimak. Sedangkan kompetensi lainnya yaitu membaca dan menulis tidak dimiliki olehnya karena ia tidak memiliki pengalaman pendidikan formal dan ia tidak juga memiliki pengetahuan Bahasa Indonesia, sehingga membuat ia tidak dapat menulis membaca dalam Bahasa Inggris sekaligus dalam Bahasa Indonesia. d. Berdasarkan panduan Common European Framework (CEFR) kemampuan Sanali berada pada level Basic user atau level dasar (A1 dan A2) yaitu kemampuan yang terbatas, hanya mahir dalam berkomunikasi dan berdasarkan level yang diperkenalkan John Cummin kemampuan bahasa Inggrisnya ada pada level basic Interpersonal Communicative Skill atau kemampuan berbahasa yang dasar, hanya sebatas mampu berkomunikasi.
PENUTUP Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini ialah Sanali Bu’ulolo adalah seorang pemandu wisata yang memiliki keunikan dalam mempelajari Bahasa Inggris. Tidak semua orang memiliki kemampuan seperti ini mengingat ia tidak bersekolah, sehingga ia tidak dapat membaca menulis ia juga tidak dapat berbahasa Indonesia. Tetapi karena keinginan yang kuat untuk mempelajari Bahasa Inggris maka ia akhirnya mampu berbahasa Inggris, selain itu juga karena motivasinya untuk menambah penghasilan. Proses pembelajaran Bahasa Inggrisnya sungguh unik, berbeda dengan orang dewasa pada umumnya yang mempelajari bahasa keduanya di bangku sekolah tetapi ia hanya melalui interaksi dengan turis-turis asing dan teman-temannya yang mampu berbahasa Inggris. Bahasa Inggris bagi Sianali Bu’ulolo adalah bahasa kedua. Alasannya karena ia baru memulai pembelajaran Bahasa Inggris pada usia dewasa (20 tahun). Meski ia tidak mempelajarinya di dalam situasi kelas, Bahasa Inggris tetap merupakan bahasa kedua baginya. Tetapi juga bukan merupakan bahasa keduasecara utuh mengingat ia hanya menguasai dua dari empat ketrampilan berbahasa yang seharusnya dimiliki oleh seseorang yang terampil dalam satu bahasa. Selain itu level kemampuannya dalam berbahasa berada pada level dasar. Jadi hal yang paling penting yang dapat ditarik menjadi kesimpulan adalah, seseorang hanya mampu memiliki kemampuan berbahasa yang mahir atau fasih apabila ia mampu membaca dan menulis. Buta huruf menyebabkan seseorang terhambat mempelajari sebuah bahasa secara penuh.
Rekomendasi Penulis percaya ada banyak pemandu wisata yang memiliki pengalaman belajar Bahasa Inggris seperti Sanali Bu’ulolo, yang bukan hanya ada di daerah pulau Nias tetapi di daerah Indonesia lainnya. Untuk itu penulis mengharapkan adanya perhatian khusus bagi para pemandu wisata di daerah pedalaman baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan baik pribadi maupun golongan. Perhatian khusus itu dapat diberikan dalam berbagai bentuk tetapi yang terpenting adalah 1) pelatihan baca-tulis, karena buta huruf dapat membatasi seseorang untuk mahir dalam berbahasa. 2) pelatihan Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya untuk menambah pengetahuan mereka yang sudah 154
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
ada, agar kemampuan mereka memiliki kualitas yang memadai dalam bekerja sebagai pemandu wisata 3) pelatihan Bahasa Indonesia, pelatihan ini juga penting alasannya karena selain sebagai bahasa nasional dan negara Indonesia, wisatawan yang datang ke Nias tentunya bukan hanya wisatawan asing tetapi wisatawan lokal yang tentunya menggunakan bahasa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Cummins, J. n.d Basic Interpersonal Communicative Skills and Cognitive Academic Language Proficiency http://www.iteachilearn.com/cummins/bicscalp.html, diakses tanggal 25 Juni 2013 Dardjowidjojo,Soenjono, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012. Dinas
Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Nias Selatan, Pantai Sorake, http://www.southniastourism.com/?bahasa=Id&target=menu&baca=30 diakses 25 Juni 2013. Iffah, Pengertian dan Manfaat Ketrampilan Berbahasa, http://pelangiiffah.blogspot.com/2011/04/pengertian-dan-manfaat-keterampilan.html diakses 25 Juni 2013. Joseph C. Mukalel, Psychology of Language learning. New Delhi, Discovery Publishing House, 2003. Steinberg, Danny D, An Introduction to Psycholinguistics. London and New York: Longman, 2006. Teacher’s Guide to the Common European Framework, http://www.coe.int/t/dg4/linguistics/Source/Framework_N.Pdf diakses tanggal 25 Juni 2013. Anonym, Pramuwisata, http://id.wikipedia.org/wiki/Pramuwisatadiakses, 25 Juni 2013.
155
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
THE EFFECTIVITY OF ASSOCIATON PICTURE MEDIA APPLICATION TOWARD THE KATAKANA LETTER READING COMPREHENSION OF GRADE TEN STUDENTS OF SMK (VOCATIONAL SCHOOL) MANAJEMEN JAKARTA SOUTH JAKARTA SCHOOL YEAR 2010/2011 Restoe Ningroem1 Faculty of Teacher and Education, University of Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA [email protected] Abstract The purpose of this research is to acknowledge the affectivity of association picture media application toward the students’ katakana letter reading comprehension. The hypothesis proposed that the comprehension of students’ katana letter reading which is exposed with association picture in class is more effective to compare with the student’s that doesnt exposed with such media . The research was conducted over grade ten students of SMK Manajemen Jakarta school year 2010/2011. The research used quasi experiment. The sample was taken from 50 students which consisted of 25 students as experimental class and 25 students as control class. The data collection technique used an instrument of katakana alphabet reading comprehension test. The requirement test of data analysis used in this research were Liliefors-test for normality and Fisher-test for homogeneity, it was revealed that the class was normal and homogeneous. Hypothesis assessment used t-test which showed tcount = 7,67 ≥ 1,67 = ttable that Ho was rejected . It is concluded from the research that association picture media is effective to increase student’s comprehension in reading katakana letter. Keywords: Learning Media, Association Picture, Reading Katakana. FOREWORD Indonesia has had bilateral cooperation with other countries for a long time, this include Japan. The initial diplomatic treaty between Japan and Indonesia was signed by both foreign minister Aiichiro Fujiyama and Subandrio in Jakarta, 20 January 1958. This treaty serves as immortal stele that ended the war wedged for 13 years between the two nations (Utomo, 2007). In engaging cooperation with other country, it is necessary to comprehend the language, because it is the sound symbol system that articulated (produced by speech device) which is used by community member to cooperate, interact, and self recognition (TPKB, 2005) One of the important evidences of language in engaging cooperation with Japan has been showed by the presence of Japanese curriculum in middle schools in Indonesia. Acquiring skill in Japanese is a basic step and access for our people to study, get knowledge, understand their culture, and have employment in Japan, a modern and developed country. A country that has rich natural resources, various culture, and positive life values that deserve to learn from. In order to have skill in Japanese, it is necessary to read researches of Japanese literature first hand. One of the components of Japanese writing system is Katakana letter. Katakana is used in writing words that comes from foreign language that has been adapted to Japanese (gaigaigo). It is also used to write onomatope and original Japanese words, this is for reinforcement purpose (Wikipedia, 2011). According to Iwabuchi, the writing of Katakana tends to be easier than Hiragama. Character of the letter is rigid and easy to write, not swiftly or ....like Hiragana letter. Katakana letter is formed from straight lines and sketch (Sudjiabto&Dahidi, 2007). In reality, students find it difficult to memorize Katakana compare to Hiragama, because Hiragama letter appears more in the text book. As Katakana letter functions above, Katakana letters also important to be mastered (Izayoi, 2007). Students’ obstacle in learning Katakana is revealed to be psychologist one, such as: interest, 156
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
attitude, confidence, and intelligence. Students who love the subject, topics and teacher will have different learning result from those who react oppositely. Inattentiveness, caused by less attractive teaching approach and method, resulting in monotonous delivery triggers boringness among students (Basyiruddin, 2002). One of the efforts to overcome the issue is to use media in teaching Katakana letter. According to Hamalik, using media in learning process can stimulate new will and interest, arouse motivation and eagerness in learning, and even affects psychologically to students. It can also ease students to comprehend, presents data interestingly and reliably, interpretates data and information easily (Rohani, 1997). One of teaching media that eases students in learning Katakana is association pictures, the benefit of such media can deliver message, idea, etc. That involves little verbal languages but, leaves deeper impression (Arsyad, 2003). With association picture media, learners will have long term memorization of Katakana letters because association makes words easy to be stored in the memory and to be retrieved if needed since they already accustom to the words (Sameto, 2003). This research is conducted to find out how successful using association pictures in learning Katakana letters. The writer held research to the basic level students of Japanese class. LIBRARY REVIEW Learning Media Association of Education and Communication Technology (AECT) in USA identifies media as all forms and channels which are used to deliver message or information (Arshad, 2005). Gerlach and Ely (1971) give definition of media broadly and narrowly. Broadly, it means every individual, material, or event that gives student opportunity to gain knowledge, skill, and manner. From that view, we understand that media doesn’t simply mean things, it can also mean human and learning event. Teacher, text book, school environment can be the media. While narrowly, media is non-personal media that teacher use as people in charge of the learning process to achieve goal. That way media tends to be looked at graphical tools, photograph, or electronic tools to grasp, reshapes visual or verbal information (Roshidi, 2009). Teaching media can be interpretated in various ways. Whatever the limit given to it, there are similarities. Among them is, everything that applicable to deliver message from teacher to learner that allows learner to accept knowledge, skill and manner, as well stimulate thought, feeling, attention, and interest of learner somehow that the learning process occurs. Generally, educational media has functions to make clear the message delivery in order to avoid much verbal, overcome space limit, time and senses, avoids students to be passive, and to set the same perception. According to Hamalik (1986) educational media is something that can be digested by the senses, shape and things which is visual and audio, used as means of communication in learning process, as an aid in learning process and related with teaching method. Picture is a crucial visual and availablele everywhere. Crucial because it can replace verbal words, concretes the abstract. Pictures enable people to grasp the idea or information contained in itclearly, vividly than words can say (Munadi, 2007). As the Chinese saying, pictures speak more than a hundred words (Adiman, 2009). By noticing the importance of enhancing students Katakana reading comprehension and the benefit of association picture media which looses troublesome for students to memorize the shape of Katakana letters in a long period. Than it is assumed that association picture media is suitable and effective to be applied in the learning process. Association Association is relating one event to another event, between someone and other people which considers as a related series and interconnected to each other. In learning foreign language, we must develop association as a mean that allows us memorize words easily and brings full picture and any circumstances that embedded in that words (Sameto, 2003). The ability to associate in learning foreign language needs to be developed according to particular tastes. Association is available to be developed for all life aspects and circumstance that 157
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
related to our life (Sameto, 2003). Memorization in conventional way is by applying left brain hemisphere by memorizing and repeating materials, while association is done by applying right brain hemisphere to memorize symbols or pictures which is easier and quicker to absorb. If we memorize conventionally, then the memory will enter the left brain which will last in short term, while memorizing by association, memory will go to the right hemisphere that lasts for a long term. From descriptions and benefits of association elaborated above. It can be concluded that the association picture media discussed in this research is pictures that serves as noun or verb that resembles Katakana letter as a series of meaning that interconnected to each other to smoothen long term memorization of Katakana letter shapes. Reading Comprehension Anderson (Syamri, 2011) defines reading as uttering written language symbols. While A.S. Broto (Syamri, 2011) states that reading is uttering sound symbol. There are three main branches in learning to read, they are as follows: 1. Bottom-Up Theory According to this theory, reading starts by knowing letter of a word, knowing words from a sentence and knowing sentence from a reading text. One of reading model approaches that use this theory is Gough Model. 2. Top Down Theory To be able to read, one must have knowledge about text he/she will read, if not then, he/she will not be able to read a text or writing. To understand a text or writing, one must master semantics, syntax, and graph phonics. 3. Interactive Reading Theory or Trans-active Reading is a social process where there are interaction between reader and content of a text or writing, therefore subtly exists an interaction between reader and writer of a book. It can be concluded based on the bottom up theory, reading a letter is a basic step in understanding a reading text. Tarigan divides important aspects of reading into these guide lines: 1. Mechanical Skills, which is considered in the lower order. This aspect covers: a. Identifying letter form b. Identifying linguistic parts (phoneme, word, phrase, clause pattern, sentence, etc) c. Identifying relation or correspondence of spelling and sound pattern d. Low level of reading speed. 2. Comprehension skills, which is considered in the higher order. This aspect covers: a. Comprehend meaning definition. b. Comprehend meaning. c. Evaluation or assessment (content, form) d. Flexible reading speed, that adjustable to particular situation. From both important reading aspects in reading, it can be inferred that reading letter is in the early introduction of mechanical skills, which takes place before one do comprehension skills. Katakana Letters Katakana is a Japanese syllable which is one of components of Japanese writing system along with Hiragana, Kanji, and Latin alphabet (Wikipedia, 2011). Katakana letters are formed from straight and sketchy lines or chokusenteki straight and sketchy lines that differ them from hiragana (Ang, 2005).
. These
158
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Picture 1: Katakana Letter The word "kata" means partial, incomplete, or separated. The word "katakana" means “kana separation”, as katakana script which originated from more complicated kenji component (Japan: an Illustrated Encyclopedia, 1993).
Picture 2: Origin of Katakana Letter
159
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
In koujien dictionary, the function of katakana (Izuru, 1998) is:
"Genzai de wa omo ni gairaigo ya giongo nado no hyouki ni mochiiru " , Which means in the contemporary time, generally katakana letter is used for foreign language writing and onomatope. Although katakana and hiragana letters are in the group of kana letter, but the function is different. Katakana letter is used in the writing of Japanese words which comes from absorption of foreign language, foreign country, animals, foreigner’s name, plants, and foreign cities (Ang, 2005). In modern Japanese, katakana is frequently used for transcriptions of foreign words except China (gairaigo). Example; ‘television” is written terebi . And also, katakana is used for name of country, foreign spots, and foreigner’s name. For example, USA is written as America . not in the kanji ateji’s spelling Katakana is also used in onomatope (words that describe sounds) for instance; pinpon, , yang berarti"ding-dong" (suara sebuah bel). Technical terms and science, like animal species’ names, plants, and minerals also often written in katakana. Homo sapiens Homo sapiensu) , sebagai spesies, ditulis hito( t h ), bukan kanji nya (A). Katakana also often (not always) used for transcription of Japanese company, e.g: Suzuki becomes
, and Toyota becomes
. Katakana also serves as reinforcement, specially on
signs, advertising and billboard. For example, seems common to see koko
(here), gomi
(waste), or megane (glasses). Reinforcement using katakana in sentences is sometimes done by writers.. Katakana also to show on'yomi (speech that comes from Chinese) from kanji in dictionary, kanji has Japanese utterance written in hiragana as hito
(human), and utterance from China,
written in katakana jin (to show group of people). Katakana sometimes serves as hiragana replacer or as furigana to give utterance a word that is written in Latin letter, or for foreign word, which is written in Kanji for meaning, kanji but meant to be read as the origin form. Katakana sometimes also used to indicate words that speech in foreign accent or unusual, in foreign character, robot, etc. For example, in manga, foreign character speech or robot can be represented by konnichiwa
(hello) not hiragana which is more typical
Critical Framework Since it is important to improve katakana reading comprehension of grade ten students of SMK, and the benefit of using association picture media is to ease students in memorizing the shape of katakana letter in a long term, then it is assumed that association picture media is suitable to be implemented in the learning process of katakana letter. So, it can be inferred that association picture media is effective to improve katakana letter reading comprehension. METHOD AND SAMPLING This research applied quantitative approach by way of experiment quation method. Sampling was conducted by technique of cluster sampling. Two class of grade ten students of SMK Manajemen Jakarta are determined as experiment and control classes.
160
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Class AK of grade x wass determined as experiment class, a class which was exposed by association picture media in the teaching of katakana letter, and class TN was determined as control class, a class which didn’t exposed by association picture media in the teaching of katakana letter. The data gathering used an instrument, a test to measure the comprehension in reading katana letter. FINDING AND DISCUSSION The research shows the end result of the comprehension of students in reading katana letter as follow:
Picture 3: Experiment Class Score Picture 3 shows that the score of the comprehension of reading katana letter of the Experiment Class , from 10 students the scores are in the span of 94-99 and the highest score is 100, and the average score is 90,5.
Picture 4: Control Class Score Picture 4 shows that the score of the comprehension of reading katana letter of the Control Class , from 10 students the scores are in the span of 59-71 and the highest score is 97, and the average score is 61,2. Looking at the test result the comprehension of reading katana letter of experiment class and control class, it is revealed that the average score of experiment class is higher than the score of control class. After a comparative test conducted using t-test, it showed that tcount = 7,67 ≥ 1,67 = ttable with the level of significant 0,05, it was assumed that the comprehension of reading katana letter from students who were exposed with association picture media was better than those who weren’t exposed by the media. The following is the result of questionnaire done by experiment class students to complete the research data. The questionnaire contained questions of the association picture media application in katakana letter reading class.
161
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
1. Students like Japanese class Tabel 1 No.
Option
F
%
1.
Really like
7
28
2.
Like
18
72
3.
Doesn’t like much
0
0
4.
Doesn’t like at all
0
0
25
100
Total
2. Students think Japanese letter interesting Tabel 2 No.
Option
F
%
1.
Very interesting
9
36
2.
Interesting
16
64
3.
Not too interesting
0
0
4.
Not to interesting at all
0
0
25
100
Total
3. Students are interested in learning katakana letter in Japanese Tabel 3 No.
Option
F
%
1
Very intersested
5
20
2
Intersested
18
72
3
Not too intersested
2
8
4
Not interested at all
0
0
25
100
Total
162
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
4. Students find katakana letter difficult Tabel 4 No.
Option
F
%
1
Very difficult
2
8
2
Difficult
14
56
3
Not too difficult
9
36
4
Not difficult at all
0
0
Total
25
100
F
%
5. Students find katakana letter important to learn Tabel 5 No.
Option
1
Very important
9
36
2
Important
16
64
3
Not too important
0
0
4
Not important at all
0
0
25
100
Total
6. Students are interested in katakana letter class that uses association picture media.
Tabel 6 No.
Option
F
%
1
Very interseted
18
72
2
Interseted
7
28
3
Not too interseted
0
0
4
Not interseted at all
0
0
25
100
Total
163
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
7. Students find katakana letter class that uses association picture media helpful to comprehend katakana letter Tabel 7 No.
Option
F
%
1
Very helpful
20
80
2
Helpful
5
20
3
Not too helpful
0
0
4
Not helpful at all
0
0
Total
25
100
8. Students find katakana letter class that uses association picture media is motivating to comprehend katakana letter. Tabel 8 No.
Option
F
%
1
Very motivating
13
52
2
Motivating
12
48
3
Not too motivating
0
0
4
Not motivating at all
0
0
25
100
Total
9. Students find katakana letter class that uses association picture media is interesting Tabel 9 No.
Option
F
%
1
Very interesting
17
68
2
Interesting
8
32
3
Not too interesting
0
0
4
Not interesting at all
0
0
25
100
Total
164
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
10. Students find katakana letter class that uses association picture media interrupting concentration. Tabel 10 No.
Option
F
%
1
Very interrupting
0
0
2
interrupting
0
0
3
Not too interrupting
7
28
4
Not interrupting at all
18
72
25
100
Total
11. Students find katakana letter class that uses association picture media improves comprehension in reading katakana letter.
Tabel 11 No.
Option
F
%
1
Very improving
9
36
2
improving
16
64
3
Not too improving
0
0
4
Not important at all
0
0
25
100
Total
12. Students find katakana letter class that uses association picture media is fun Tabel 12 No.
Option
F
%
1
Very fun
16
64
2
Fun
9
36
3
Not too fun
0
0
4
Not fun at all
0
0
25
100
Total
165
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
13. Students agree if katakana letter class that uses association picture media becomes alternative in katakana letter teaching. Tabel 13 No.
Option
F
%
1
Very possible
18
72
2
possible
7
28
3
Not too possible
0
0
4
Not possible at all
0
0
25
100
Total
14. Students find katakana letter class that uses association picture media stimulate imagination in katakana letter reading. Tabel 14 No.
Option
F
%
1
Very stimulating
15
60
2
stimulating
10
40
3
Not stimulating at all
0
0
25
100
Total
15. Students find katakana letter class that uses association picture media eases in katakana letter reading. Tabel 15 No.
Option
F
%
1
Very easy
14
56
2
Easy
11
44
3
Not too easy
0
0
4
Not easy at all
0
0
25
100
Total
166
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
16. By using association picture media, students find it easy to read katakana letter Tabel 16 No.
Option
F
%
1
Very easy
14
56
2
Easy
11
44
3
Not too easy
0
0
4
Not easy at all
0
0
25
100
Total
17. By using association picture media, students activity in reading katakana letter is increasing Tabel 17 No.
Option
F
%
1
Very active
7
28
2
Active
0
0
3
Not too active
0
0
4
Not active at all
0
0
25
100
Total
18. Students follow katakana letter class that uses association picture media well. Tabel 18 No.
Option
F
%
1
Very well
8
32
2
Well
17
68
3
Not too well
0
0
4
Not well at all
0
0
25
100
Total
167
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
19. Students find it difficult to read katakana letter if katakana letter class doesn’t use association picture media Tabel 19 No.
Option
F
%
1
Very difficult
8
32
2
difficult
12
48
3
Not too difficult
5
20
4
Not difficult at all
0
0
25
100
Total
20. By using association picture media, difficulties in reading katakana letter can be solved. Tabel 20 No.
Option
F
%
1
Very solvable
9
36
2
solvable
15
64
3
Not too solvable
0
0
4
Not solvable at all
0
0
25
100
Total
CONCLUSION Based on the research of data analysis evaluation and all data that the writer received for this research, a conclusion reached, that applying educational media in learning process of Japanese will help to reach learning goals, since one of the benefits of using educational media is to make learning easy. In this research association picture media is concluded to be effective to improve students’ comprehension of reading katakana letter. The special feature of association picture media that presents pictures that resembles and inter-relates katakana letters eased student to memorize katakana letter. Besides that, using association picture media, learning process becomes less boring since the students were exposed with attractive pictures and let little explanation verbally (in written or speech only). REFERENCE All, Muhammmad. 1987. Proses Kependidikan Prosedur Dan Strategi, Bandung: Angkasa. Ang, Haryono. 2005. Mengenal Aksara Jepang (Hiragana, Katakana, Kanji). Cetakan pertama. Jakarta: Puspa Swara. Arsyad, Azhar. 2003. Media pembelajar an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ____________. 2005. Media Pembelajaran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Benramt.18 Januari 2010.Media Audio dan Video untuk Pembelajaran.http://benramt.wordpress.com/2010/01/18/media-audio-dan-vidco-untukpembelajaran/ Diambil pada tanggal 5 Mei 201 1
168
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Danasasmita, Wawan. 2009. Metodologi Pembelajaran Bahasa Jepang (Cetakan Pertama). Bandung: Rizqi Press. Dewi.Efektivitas.http://dewi.students-blog.undip.ac.id/tag/efektivitas/.Diambil pada tanggal 2 Maret 2011. Elektronika, Ariel. 12 Agustus 2010.Prinsip Kerja Compact Cassette Recorder (Tape Recorder).http..Varieieklronika.blcgspot.comGOOS/'n/prinsip-kerja-compact-casbette-recorder.html.Diambil pada tanggal 5 Mei 2011 Emzir. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Frederic, Louis (Translated by Ka The Roth). 2002. Japan Encyclopedia. England: The belkmap Press of Harvard University Press. Hamalik, Oemar. 1986. Media Pendidikan. Bandung: PT Alumni. Izayoi.30 juni 2007.Mengenal Huruf dalam Bahasa Jepang Bag. 3. http://bvtelover.niceforum.com/tl9-mengenal-huruf-dalam-bahasa-Jepang-bag3.Diambil pada tanggal 16 Februari 2010 Izuru, Shimura. 1998. /Si^lE ; J^jEJiS. Japan: Iwanami Shoten. Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Rohani, Ahmad. Oktober 1997.Media Instruksional Edukatif; cetakan pertama.Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Roshidi, Abdul Wahab. 2009. Media Pembelajaran Bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press. Sudjianto dan Ahmad Dahidi. 2007. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang Cetakan kedua. Bekasi: Kesaint Blanc. Sadiman, Arief S, dkk. 1990. Media Pendidikan (Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya). Jakarta: CV Rajawali. Sadiman, Arif S, dkk. 2009. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Pers. Sameto, Hudoro. 2003. Kiat Menguasai Bahasa Asing (cetakan pertama). Jakarta: Puspa Swara. Sukardi.2003. Metcdologi Penelitian Pendidikan (Kompetensi danPraktiknya)* Jakarta: PT Bumi Aksara Syamri, Laode. 22 Januari 2011. Pengertian Membaca Menurnt Para Ahli.http://id.shvoong.corp/writing-and-speaking/2060355-pengertianmembaca-menurutpara-ahli/.Diambil pada tanggal 20 Maret 2011 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia; Edisi ketiga Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Usman, M. Basyiruddin dkk. 2002. Media Pembelajaran; Cetakan pertama. Jakarta: Ciputat Pers. Utomo, Marsudi Budi. 25 desember 2007. Memaknai50 Tahun Hubungan JepangIndonesia.http://marsudibudiutomo.multiply.eom/journal/item/7Memaknai_50_Tah un_Hubungan_Jepang-Indonesia.Diambil pada tanggal 16 Februari 2010. Wikipedia.26 Januari 2011.Sokuon.http://id.wikipedia.org/wiki/Sokuon Diambil pada tanggal 15 Juni 2011 Wikipedia.,12 Februari 2011. Katakana.id.wikipedia.org/wiki/Katakana. Diambil pada tanggal 2 Maret 2011. Wikipedia.20 Mei 2011.Dakuten.http://id.wikipedia.org/wiki/Dakuten. Diambil pada tanggal 15 Juni 2011 Wikipedia.7 Juni 2011.Choonpn.http://id.wikipedia.org/wiki/Ch%C5%8Donpu.Diambil padatanggal 15 Juni 2011 Wikipedia.13 Juni 2011.Kanji.http://id.wikipedia.org/wiki/Kanj i. Diambil pada tanggal 15 Juni 2011 Wikipedia. 22 Juni 2011. Katakana.http://en.wikipedia.org/wiki/Katakana. Diambil pada tanggal 23 Juni 2011 Wiryawan, Sri Anitah, dkk. 1987. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia (Cetakan Pertama).Jakarta: Karunika. Yudhi Munadi. 2007. Bahan Ajar Media Pembelajaran. Naskah. Jakarta: PSWUIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
169
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Definisi: asosiasi, Arti Kata: asosiasi. http://www.arl.Ikata.com/arti-319787-asosiasi.html. Diambil pada tanggal 4 April 2011 Japan; an Illustrated Encyclopedia.1993. Tokyo: kodansha Ltd. Him. 731 Menghafal CepatMiripFileKomputer.http://pusdiklatteknis.depag.go.id/index.php/20100506150/menghafal -cepat-mirip-file-komputer.html. Diambil pada tanggal 23 April 2011 PengertianSimplikasi,klasifikasi,danAsosiasi. http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/10/pengertiansimplikasi-kiasifikasi.html. Diambil pada tanggal 23 April 2011 Teori Membaca Awal, Bagaimana? 2011. http://kafeilmu.com/2011/02/teori-membaca-awalbagaimana.html. Diambil pada tanggal 4 Juni 2011 http:/'Aepository.upi.edu/operator/upload/s_prs_981119 chapter2.pdf. Diambil pada tanggal 23 April 2011
170
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENERAPAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SD GMIM I TOMOHON ROETH A.O. NAJOAN1 1
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Manado [email protected]
Abstrak Tujuan penerapan pendekatan PMRI pada mata pelajaran matematika adalah untuk meningkatkan aktifitas guru dan siswa, meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran matematika. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan menggunakan Kemmis dan Taggart. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Data penelitian ini dikumpulkan melalui dua cara, yaitu: melalui observasi terhadap aktifitas guru dan aktifitas siswa, dan penilaian terhadap hasil belajar siswa. Aktifitas guru pada proses pembelajaran dengan PMRI yang dilaksanakan dalam dua siklus mengalami peningkatan yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat pada pencapaian rata-rata siklus I dan II. Aktifitas siswa pada proses pembelajaran PMRI juga mengalami peningkatan yang sangat baik. Siklus pertama aktifitas siswa mencapai 81,02 % pada siklus kedua mencapai 90,66 %. Hasil belajar matematika dari siswa juga terjadi peningkatan. Kata Kunci: PMRI, hasil belajar PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu fenomena yang sangat kompleks, yang dipengaruhi oleh lingkungan atas seseorang untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap baik dalam kebiasaan, pemikiran, sikap dan tingkah laku. Penerapan suatu pembelajaran dapat berpengaruh pada kemampuan siswa dalam mendidik diri mereka sendiri. Guru yang sukses bukan sekedar penyaji yang karismatik dan persuasif (Bruce Joyce, Marsha Well dan Emily Calhoun, 2009), tetapi guru yang sukses adalah mereka yang melibatkan para siswa dalam tugas-tugas yang sarat muatan kognitif dan sosial, serta mengajari siswa bagaimana mengerjakan tugas-tugas secara produktif (Subanji, 2013:2). Pendekatan pembelajaran merupakan seperangkat asumsi mengenai cara belajar mengajar dan merupakan titik tolak dalam memandang suatu pembelajaran (Subanji, 2013:6). Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas (Rusman, 2010:134). Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membantu siswa memperoleh informasi, ide-ide, keterampilan-keterampilan, nilainilai, cara berpikir, dan makna ekspresi diri, serta mengajarkan bagaimana belajar. Berdasarkan pendapat tersebut, disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan pola umum yang terdiri dari urutan kegiatan, metode dan media untuk menyusun suatu materi pembelajaran dengan mengkondisikan siswa belajar secara efektif guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Sebagai pola umum kegiatan siswa dan guru, model pembelajaran berada pada kontinum sebagai representasi tingkat dominasi peran guru dan partisipasi aktif siswa. Semakin besar peran guru, makin pasif partisipasi siswa. Sebaliknya, semakin sedikit dominasi guru, makin besar peran aktif siswa dalam proses pembelajaran. Pencapaian hasil belajar siswa akan sangat menentukan kualitas suatu lembaga dimana pendidikan itu berlangsung. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan dimasing-masing lembaga memiliki target pencapaian hasil belajar siswanya untuk setiap bidang studi. Target untuk menentukan keberhasilan siswa ini disebut kriteria ketuntasan minimal (KKM). Secara khusus untuk mata pelajaran matematika di SD GMIM I Tomohon KKM yang harus dicapai adalah 70. Artinya Siswa dinyatakan berhasil dalam belajarnya jika nilainya minimal 70. Berdasarkan observasi yang dilakukan pada siswa kelas empat SD GMIM I Tomohon ternyata untuk hasil belajar masih terdapat 61,90% siswa yang belum mencapai KKM. Hal ini menunjukkan 171
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
bahwa sebagian siswa masih mengalami kesulitan dalam belajar matematika, secara khusus pada materi yang dipelajarinya. Disamping hasil belajar, dari aktifitas siswa selama belajar, nampak situasi belajar yang pasif, dimana siswa hanya duduk diam selama guru menjelaskan, dan dalam menyelesaikan soal terdapat beberapa siswa yang hanya menunggu jawaban dari temannya. Jika guru memberikan pertanyaan, yang menjawab adalah siswa yang sama. Selanjutnya, aktifitas guru yang nampak adalah guru masih mengajar dengan metode ceramah. Cara mengajar guru yang monoton dan tidak memusatkan perhatian secara menyeluruh dalam kelas, guru tidak mengembangkan keterampilan berpikir siswa Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa kesulitan belajar siswa dalam belajar matematika disebabkan oleh sasaran pembelajaran matematika tidaklah konkret, tetapi abstrak. Objek kajian matematika yang abstrak ini tidak ditunjang dengan model pembelajaran matematika yang tepat. Salah satu bentuk kegiatan pembelajaran yang dapat mengkonkritkan matematika adalah pendekatan pendidikan matematika realistik indonesia (PMRI). PMRI merupakan salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari. Sutarto Hadi (2005: 8) mengatakan PMR merupakan suatu pendekatan yang menjanjikan dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana penerapan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD GMIM I Tomohon? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan pendekatan PMRI yang dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD GMIM I Tomohon. TINJAUAN PUSTAKA Hasil Belajar Matematika Matematika adalah salah satu ilmu pasti yang mengkaji abstraksi ruang, waktu, dan angka. Matematika merumuskan gagasan-gagasan atau konsep-konsep ke dalam bahasa lambang dan angka untuk mendeskripsikan realitas alam semesta. Setelah itu dapat diikuti secara deduktif konsepnya dan menetapkan sebuah sistem pengukuran tertentu yang berkenaan dengan angka-angka dan keruangannya, yang semuanya berguna dalam kehidupan kita dan ilmu lainnya. Tarigan mengemukakan berpikir matematis adalah berpikir atas dasar pemikiran yang logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif (Tarigan, 2006:13). Logis berarti nalar secara pikiran atau otak belum tentu cocok dengan perasaan. Kritis berarti berkemampuan cepat untuk menanggapi hal-hal yang ganjil. Cermat berarti teliti dan jujur berarti obyektif atau apa adanya. Sedangkan efektif berarti tujuan yang diharapkan dapat tercapai secara efektif. Berdasarkan pendapat tersebut, belajar matematika dapat didefinisikan dengan belajar untuk dapat memiliki kemampuan berpikir matematis. Agar siswa menyenangi matematika maka guru tidak seyogyanya menggunakan definisi matematika aksiomatik, melainkan mendefinisikan matematika sebagai matematika sekolah (Marsigit, 2008:1). Matematika sekolah dasar menekankan pada aritmatika dengan mengembangkan nalar (Taringan, 2006: 15). Pengembangan nalar ini sangat penting untuk pemahaman matematika. Oleh karena itu pengembangan nalar harus dibiasakan sejak awal yakni sejak di sekolah dasar. Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang terjadi dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Orang yang beranggapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika anak-anaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diajarkan oleh guru. Disamping itu, ada pula sebagian orang yang memandang belajar sebagai pelatihan seperti yang tampak pada pelatihan membaca dan menulis. Berdasarkan persepsi ini, biasanya orang akan merasa cukup puas bila anak-anak mereka telah mampu memperlihatkan keterampilan secara jasmaniah tertentu walaupun tanpa pengetahuan mengenai arti, hakekat, dan tujuan keterampilan tersebut. Hasil belajar dapat diartikan sebagai suatu hasil dari kegiatan belajar dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Hasil belajar adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang dikembangkan oleh mata pelajaran yang biasanya ditunjukkan dengan nilai yang diberikan guru.
172
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Hasil belajar merupakan salah satu faktor yang sering dijadikan tolak ukur keberhasilan pelaksanaan pendidikan di sekolah. Jika hasil belajar tinggi, maka sekolah tersebut dinilai berhasil dalam melaksanakan pendidikan bagi siswanya. Sebaliknya, jika nilai hasil belajar sebagian siswa rendah, maka sekolah tersebut dianggap kurang berhasil. Padahal hasil belajar tidak selalu hanya dipengaruhi oleh faktor sekolah, tetapi juga oleh faktor lainnya. Hasil belajar diperoleh dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan menunjukkan pada informasi yang tersimpan dalam pikiran, sedangkan keterampilan menunjukkan kepada aksi atau reaksi yang dilakukan seseorang dalam mencapai suatu tujuan (Marsigit, 2008:1). Hasil belajar pada hakekatnya adalah perubahan yang terjadi pada diri individu yang sedang belajar. Perubahan meliputi perubahan pengetahuan, keterampilan dan sikap atau nilai-nilai tertentu. Perubahan pengetahuan antara lain pemahaman tentang konsep yang terdapat pada mata pelajaran. Perubahan dalam hal keterampilan, meliputi keterampilan berpikir, seperti kemampuan menganalisis, kemampuan memecahkan masalah, maupun keterampilan yang bersifat fisik. Hasil belajar juga meliputi perubahan sikap yaitu perubahan pada ranah afektif, seperti sopan santun, kejujuran, dan sikapsikap positif lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah kecakapan mengkaji gagasan-gagasan atau konsep-konsep matematika yang abstrak dalam bahasa lambang dan angka yang dimiliki siswa sebagai hasil dari proses belajar mengajar matematika selama kurun waktu tertentu berdasarkan tujuan instruksional tertentu dengan mengacu pada kurikulum Sekolah Dasar. Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari disebut Pendidikan Matematika Realistik (PMR) atau dikenal dengan RME (Realistic Matematics Education). Hadi (2005:9) mengutip pendapat Hans Freudenthal yaitu dalam PMR matematika dianggap sebagai aktivitas seseorang dan harus dikaitkan dengan realitas. Selanjutnya dikemukakan filsafat PMR yaitu siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali matematika di bawah bimbingan orang dewasa. Sehubungan dengan pendapat tersebut, dapat dikemukakan karakteristik PMR/RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”. Pembelajaran Matematika Realistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan merekonstruksi konsep-konsep matematika, sehingga siswa mempunyai pengertian kuat tentang konsep-konsep matematika. Adapun langkah-langkah atau sintaks dalam pembelajaran pendekatan PMR/RME menurut Suharta dalam Nazwandi (2010:06) adalah sebagai berikut: (1) memahami masalah konstektual, (2) menjelaskan masalah konstektual, (3) menyelesaikan masalah konstektual, (4) membandingkan dan mendiskusikan, dan (5) menyimpulkan dan memberikan tugas. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart (1988) dan disebut model Kemmis dan Taggart. Model ini mengacu pada suatu siklus spiral yang terdiri dari empat komponen yang saling berhubungan, yaitu: (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. (I Wayan Dasna, 2013:18). Tindakan yang akan dilaksanakan pada penelitian ini adalah pembelajaran dengan menerapkan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Subjek penelitian adalah siswa kelas IV SD GMIM I Tomohon yang berjumlah 21 siswa. Data penelitian dilakukan dengan 2 cara, yaitu (1) melakukan pengamatan terhadap aktivitas siswa dan aktivitas guru selama pemberian tindakan, dan (2) menilai hasil belajar siswa. Pengamatan dilakukan oleh dua teman guru bersama peneliti. Untuk mempermudah pengamat selama pengamatan, pengamat diminta untuk mengisi item-item yang ada dalam instrumen pengamatan selama pembelajaran berlangsung. Data hasil observasi, dan dokumen hasil belajar dianalisis pada akhir tindakan di setiap siklus. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pada tahap perencanaan baik pada siklus pertama maupun siklus kedua, kegiatan yang dilakukan adalah menyusun rencana pembelajaran tindakan, menyusun instrumen pengamatan guru dan siswa, 173
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
menyusun instrumen hasil belajar, dan menyiapkan media-media pembelajaran. Rencana pembelajaran ini disusun berdasarkan kurikulum yang di gunakan di SD GMIM I Tomohon, dan dalam penyusunan RPP peneliti melibatkan guru kelas, yang juga sebagai partisipan dalam penelitian ini. RPP yang akan digunakan pada siklus kedua disusun setelah mereflesikan hasil pelaksanaan tindakan siklus I. Perbaikan yang dilakukan pada siklus kedua yaitu dengan menyiapkan media yang bersifat kontekstual, yang adalah dilingkungan sekitar sekolah dan lingkungan rumah, serta merumuskan pertanyaanpertanyaan dapat digunakan guru untuk memfokuskan pemahaman siswa terhadap penjelasan guru. Tahap pelaksanaan, baik pada siklus satu maupun siklus dua pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan RPP yang disusun peneliti bersama partisi yaitu guru kelas. Pembelajaran dilaksanakan dengan mengikuti jadwal pelajaran yang disusun oleh guru kels IV. Sesuai dengan RPP, kegiatan pembelajaran terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir. Pada kegiatan awal guru menata kelas, menyampaikan materi dan tujuan pelajaran, dan guru memberi motivasi kepada siswa untuk mempelajari materi yang akan diajarkan. Kegiatan inti dilakkukan dengan mengikuti fase-fase PMRI. Sedangkan kegiatan akhir, dilakukan kegiatan penilaian, pemberian tugas lanjutan dan motifasi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Tahap pengamatan pada siklus pertama dan kedua dilakukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung baik pada aktifitas guru maupun aktifitas siswa. Hasil pengamatan yang didapat pada aktivitas guru pada siklis I dan II yaitu terjadi peningkatan pada setiap fase. Pada fase memahami masalah kontekstual mengalami peningkatan dari 87,5 % menjadi 95,8 %. Fase menjelaskan masalah konstektual mengalami peningkatan dari 75,6% pada siklus I menjadi 87,5 % pada siklus II. Fase ke tiga (3) menyelesaikan masalah konstektual pada siklus I prosentase pencapaian 83% meningkat menjadi 91,2 % pada siklus II. Fase ke empat, membandingkan dan mendiskusikan terdapat peningkatan dari 85,2% pada siklus satu meningkat menjadi 93%. Dan fase ke lima, menyimpulkan dan memberikan tugas tetap berada pada persentase maksimal 100%.
Gambar 1. Rata-rata Aktivitas Guru pada Setiap Fase Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan PMRI ditinjau dari aktifitas guru melalui lima fase yaitu: (1) memahami masalah konstektual, (2) menjelaskan masalah konstektual, (3) menyelesaikan masalah konstektual, (4) membandingkan dan mendiskusikan, dan (5) menyimpulkan dan memberikan tugas memiliki rata-rata sangat baik pada kedua siklus. Siklus pertama aktifitas guru mencapai 86,3 %. Rata-rata aktifitas guru pada siklus kedua mencapai 93,5 %. Gambar 2 menunjukkan pancapaian rata-rata aktivitas guru pada setiap siklus.
174
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Gambar 2. Rata-rata Aktivitas Guru pada Setiap Siklus Hasil pengamatan yang didapat pada aktivitas siswa pada siklis I dan II yaitu terjadi peningkatan pada setiap fase. Pada fase memahami masalah kontekstual mengalami peningkatan dari 86,5 % menjadi 94,8 %. Fase menjelaskan masalah konstektual mengalami peningkatan dari 73,6% pada siklus I menjadi 85,5 % pada siklus II. Fase ke tiga (3) menyelesaikan masalah konstektual pada siklus I prosentase pencapaian 82% meningkat menjadi 87 % pada siklus II. Fase ke empat, membandingkan dan mendiskusikan terdapat peningkatan dari 82% pada siklus satu meningkat menjadi 93%. Dan fase ke lima, menyimpulkan dan memberikan tugas terdapat peningkatan dari 85% pada siklus satu meningkat menjadi 93%. Hal ini dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Rata-rata Aktivitas Siswa pada Setiap Fase Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan PMRI ditinjau dari aktifitas siswa melalui lima fase yaitu (1) memahami masalah konstektual, (2) menjelaskan masalah konstektual, (3) menyelesaikan masalah konstektual, (4) membandingkan dan mendiskusikan, dan (5) menyimpulkan dan memberikan tugas, memiliki rata-rata sangat baik pada kedua siklus. Siklus pertama aktifitas siswa mencapai 81,02 % . Rata-rata aktifitas siswa pada siklus kedua mencapai 90,66 %. Gambar 4 menunjukkan pencapaian rata-rata aktivitas siswa dalam pembelajaran pada setiap siklus.
175
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Gambar 4. Rata-rata Aktivitas Siswa pada Setiap Siklus Ketuntasan belajar siswa adalah apabila siswa mendapat nilai minimal 70. Sedangkan ketuntasan kelompokj adalah 85 %. Hasil belajar setelah siklus pertama ternyata siswa yang mendapat nilai antara 70 – 100 ada sebanyak 73,8 %. Sedangkan pada siklus ke dua terjadi peningkatan yaitu 89,1 %. Dengan demikian proses pembelajaran dengan menerapkan PMR pada siswa kelas IV SD GMIM I Tomohon dikatakan tuntas. Gambar 5 dan 6, menunjukkan prosentase pencapaian ketuntasan belajar siswa pada siklus 1 dan siklus 2..
Gambar 5. Ketuntasan Belajar Siklus 1
Gambar 6. Ketuntasan Belajar Siklus 2
PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil penelitian proses pembelajaran melalui pendekatan PMR dapat dikemukakan beberapa temuan sebagai berikut. 1. Aktivitas guru. Berdasarkan hasil penelitian nampak terjadi peningkatan pada siklus II. Dari segi pengamatan aktivitas guru, pelaksanaan pembelajaran melalui PMRI dengan lima indikator yaitu (1) memahami masalah konstektual, (2) menjelaskan masalah konstektual, (3) menyelesaikan masalah konstektual, (4) membandingkan dan mendiskusikan, dan (5) menyimpulkan dan memberikan tugas memiliki rata-rata keterlaksanaan pembelajaran sangat baik. Aktifitas guru mengalami peningkatan dari siklus I 86,3 % menjadi 93,5 % pada siklus kedua. Peningkatan ini disebabkan karena refleksi peneliti dan guru dari siklus pertama. Hal ini nampak pada kegiatan belajar guru selama pembelajaransiklus kedua. Guru berusaha untuk menerapkan berbagai cara dalam menyajikan materi. Dalam hal ini guru menggunakan berbagai teknik mengajarnya seperti: (1) memberi motivasi dengan pemberian berbagai pertanyaan yang memicu daya pikir siswanya, dan (2) memvariasikan media-media pembelajaran dengan menggunakan berbagai media yang ada dilingkungan rumah dan sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Aqip (2002:82) yang menyatakan bahwa peran guru sebagai penangung jawab kegiatan belajar-mengajar di kelas sangat diperlukan. Guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajarmengajar. Guru harus penuh inisiatif dan kreatif dalam mengelolah kelas karena gurulah yang
176
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
mengetahui secara pasti situasi dan kondisi kelas terutama keadaan siswa dengan segala latar belakangnya”. 2. Aktivitas Siswa.
Dari segi pengamatan aktivitas siswa, pelaksanaan pembelajaran melalui PMR dengan lima indikator yaitu (1) memahami masalah konstektual, (2) menjelaskan masalah konstektual, (3) menyelesaikan masalah konstektual, (4) membandingkan dan mendiskusikan, dan (5) menyimpulkan dan memberikan tugas memiliki rata-rata keterlaksanaan pembelajaran sangat baik. Aktifitas siswa mengalami peningkatan dari siklus I 81,2 % menjadi 90,66 % pada siklus kedua. Peningkatan ini terjadi karena peneliti melaksanakan penelitian tindakan kelas sesuai dengan tahap-tahapnya yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, Observasi dan refleksi. Hasil refleksi selalu menjadi masalah baru untuk siklus selanjutnya. Dengan memperhatikan masalah tersebut peneliti meningkatkat aspek-aspek aktifitas siswa dengan tujuan PTK yaitu memperbaiki pelajaran. 3. Hasil Belajar Hasil belajar matematika siswa yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan PMRI yang memiliki lima indikator pembelajaran yaitu (1) memahami masalah konstektual, (2) menjelaskan masalah konstektual, (3) menyelesaikan masalah konstektual, (4) membandingkan dan mendiskusikan, dan (5) menyimpulkan dan memberikan tugas mengalami peningkatan dari siklus I 73,8 % menjadi 89,1 % pada siklus kedua. Peningkatan ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pemahaman yang benar terhadap persoalan yang diberikan dari siswa. Hal ini dibuktikan bahwa setiap kelompok sudah mampu memberikan jawaban yang benar, dan ternyata setiap kelompok terjadi komunikasi dengan baik di antara mereka. Selain itu ternyata respon yang diberikan siswa hampir serupa dengan apa yang dilakukan pada siklus pertama. Pada siklus II ini, beberapa hal yang menonjol antara lain suasana diskusi kelompok sudah hidup, kerja sama mulai terlihat, siswa lebih teliti, cermat, dan kritis dinyatakan berhasil. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran PMR pada siswa kelas IV SD GMIM I Tomohon dapat meningkatkan aktifitas guru, aktifitas siswa dan hasil belajar matematika siswa. 1. Aktifitas guru pada proses pembelajaran PMRI yang dilaksanakan dalam 2 siklus memperoleh kriteria sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata yang diperoleh pada siklus I dan II mengalami peningkatan. 2. Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran PMRI yang dilaksanakan dalam dua siklus memperoleh kriteria sangat baik. Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa pada siklus I terjadi peningkatan pada siklus II. Dengan demikian aktifitas siswa dalam proses pembelajaran dikatakan baik dan kualitas pembelajaran meningkat. 3. Hasil belajar siswa dalam matematika mengalami peningkatan. Hal ini nampak dalam pencapaian ketuntasan hasil belajar pada siklus I dan II. Saran 1.
2.
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka menyarankan beberapa hal saran sebagai berikut: Bagi guru diharapkan dapat menggunakan pendekatan pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dalam proses pembelajaran matematika di kelasnya agar kualitas pembelajaran meningkat . Mengingat pembelajaran matematika yang bersifat abstrak maka untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam belajar guru perlu menggunakan situasi dunia nyata sebagai media belajarnya.
177
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
DAFTAR PUSTAKA Bruce Joyce., Marsha Weil., dan Emily Calhoun. 2009. Model of Teaching Eighth edition. New York: Pearson Education, Inc. Dasna I Wayan. 2013. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press). Hadi Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip Banjarmasin. Marsigit, 7 Desember 2008. Hakekat Matematika Sekolah dan Siswa Senang Belajar Matematika. http://margisitpsiko.blogspot.com/2008/12/hakekat-matematika-sekolah-dan-siswa.htm (diakses tanggal 20 April 2012). Nazwandi. 22 Juni 2010. Jurnal: PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) Suatu Inovasi dalam Pendidikan Matematika di Indonesia. http//nazwandi.wordpress.com. Diakses 28 Maret 2013. Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press). Taringan Daitin. 2006. Pembelajar Matematika Realistik. Jakarta: Departemen Pendidikan NasionalDirjen DIKTI-Direk Ketenagaan. Zainal, Aqib. 2002. Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Jakarta : Insan Cendekia.
178
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
IMPROVING STUDENTS’ SCIENCE PROCESS SKILL AND ACHIEVEMENT THROUGH EXPERIMENT IN LABORATORY : VOLUMETRIC TITRATION 1
1
Sri Hamda and Afnidar2
Open Univercity of Banjarmasin 2 Open Univercity of Jakarta [email protected]
Abstract This study aimed to investigate students’ learning achievement and retention of acid base volumetri titration by using four inquiry-based learning These experiments included: 1) acidimetri 2) alkalimetri, 3) complexometri, 4) argentometri. Twenty eight students at Open University province of Banjarmasin during the first academic semester of 2012 were purposively selected as participants. The data collected, included students’ learning achievement test scores of acid base titration, learning retention scores 30 days after the implementation, and a survey of student satisfaction in learning inquiry-based learning were analyzed. Pretest-posttest control group design was adopted for this study with two classrooms. Control group was taught by traditional lecture supplemented with readings on aggressive behavior of and other animals while experimental group was experienced with an intervention with the same period of time (three hours), and with the same contents and the same learning objectives as control group. Experimental skills test, students’ group poster, questionnaire, semi-structured interview, and classroom observation were used to gather data. The results revealed that students experiencing an intervention gained better both aggressive behavior understanding and experimental skills than the tradition. Keywords: volumetri titration, inquiry based learning, science process skill
INTRODUCTION Science process skills allow individuals to solve the problems they face in daily life as scientists do. Science process skills in science education are skills that make students active, give them to learn research methods and the responsibility and provide a permanent learning. Science process skills are defined by different researchers. Beauomant et al (2001) and Padilla et al. (1984) divided science process skills into two groups as basic process skills and integrated process skills. Basic process skills include observing, classifying, measuring, using numbers, building the space-time relationship, predicting, making conclusion and communicating. And integrated process skilss are Interpreting interpreting, controlling variables, hypothesizing, defining operationally experimenting, formulating models inferring,communicating and concluding. The compilation of all these skills is what we call “science process skills” which are always associated with scientific inquiry (Chiappetta & Koballa, 2006). The science process skill, as well as being a necessary tool to learn and understand the science, is also an important aim in science education. Not only the scientists, but also all individuals in the society should have these skills in order to be scientific literate, and to solve the problems encountered in daily life (Aktamis, 2009). In this context, the science process skills are defined as the skills which help to learn, provide to gain the discovering and researching ways and methods, increase the permanence of the learning, make the students active, improve the responsibilities of the students, and help them to understand the practical studies, improve the sense of taking responsibility on their own learnings (Pekmez, 2000; Tazar, Temiz and Tan, 2001). Inquiry is one most effective teaching approaches to enhances student’science process skill (Abdulhanung, Supasorn & Samphao, 2011). It should be implemented as often as practical. If students experience even a few inquiry activities each semester throughout their study in higher ducation, they become more self-confident, possess high skills in the science process and critical thinking, and unafraid of doing science (Deters, 2005). There is some concern that inquiry-based instruction is timeconsuming, so the introduction of inquiry into the traditional Chemistry course takes more time and 179
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
involves fewer topics, and the easiest action would be to implement inquiry instruction as supplements or demonstrations in the traditional class (Sanger, 2007). The role of laboratories is important in the acquisition of science process skills on the part of students (Aktamış,Aydoğdu & Ergin, 2009). As is well known, laboratories play a central role in science education. Science educators report that learning tends to be more effective thanks to the use of laboratories (Hofstein & Lunetta, 1982). In addition to the aforementioned importance of laboratories, the experimental techniques used in laboratory applications are crucially significant. Many techniques are used in order to increase the effectiveness of laboratory applications. In parallel with modern learning approaches, the techniques used in laboratories have been transformed in recent years into high level structured activities based on open-ended research rather than teacher-centered ones (Hofstein & Mamlok-Naaman, 2007). Harlen (1999) (cited in Dana, 2001) categorized laboratory education into four groups based on their degree of openness (Table 1) In this research it is aimed to determine Science Process skill(SPS) teacher candidates’(TC) use of integrated process skills to find a solution to a problem they faced through an example of a volumetric titration Also determining Science and Technology teacher candidates’ readiness levels when they apply integrated process skills is sub-goal of the research. METHOD AND SAMPLING Sample collection The study was carried out in the academic year of 2011-2012 at the Faculty of Education in Open University in Banjarmasin. The sample group consists of a total number of 68 senior undergraduate students at the Department of Chemistry Teacher Education.. This study was carried out within course of Analytical Chemsitry. In this course, some theoretic information related to SPS was given to the TC. The data was collected by using document analysis technique. This technique has comprised the analysis of written documents which give information about the target situation In the context of the course of the Analytical Chemistry that TC were taught about SPS theoretically, they were required to determine SPS in the experiments which they selected. The science inquiry activities related to volumetric titration were implemented for four weeks, and four hours a week. Students were asked to participate in the following process: 1) complete a pre-achievement test related to volumetric titration, 2) perform science inquiry activities related to volumetri c titration, in which they were required to submit a group science inquiry activity plan and report prior to and after finishing each activity, and 3) complete a post-achievement test related volumetric titration (parallel to pre-test). 2.2 Science Scince Inquiry activities in volumetri titration Four science inquiry activities related to volumetric titration (12 hours) were thse included : 1) acidimetri(three hours) 2) alkalimetri(three hours), 3) complexometri(three hours), 4) argentometri(three hours).ach activity wasdesigned as a science inquiry that required student to participate in the five essensial feature of inquiry. Data Collecting Tools The collect data in this study consisted of two main tools 1. achievement test of volumetric titration .The test consisted of 20 multiple choice and 10 essay. The reliability of the test calculated by the Alpha Cronbach was 0.82 and the validity test calculated by 2. Science process skills rubric system. rated science process skills from their plan prior to the activity and reports after the activity. Data analysis The collected data in this study included pre- and post- achievement test scores related to volumetric titration and integrated process skills. Paired-sample t-test analysis was performed to identify mean differences between the pre- and post-achievement test scores for this one group pretest and post integrated science process skills were analyzed in terms of means and SDs. Percentages of mean scores
180
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
in the ranges of 0-50, 51-60, 61-70, 71-80, and 81-100 were interpreted as very poor, poor, fair, good, and excellent respectively. FINDING AND DISCUSSION The study results were categorized into two aspects, achievement scores and integrated science process skills. learning achievement scores related to volumetric reaction The paired-samples t-test analysis indicated that students obtained a post-achievement score (mean 52.56, SD 9.01) significantly higher than the pre-achievement score (mean 816.32, SD 9.01) related to volumetric titration at p-value less than 0.05 (Table 2). In addition, the post-achievement score for each topic was statistically higher than the pre-achievement score at p-value less than 0.05. The highest gains in content knowledge were in the topics of acidimetri 25.8.60%) and alkalimetri (17.33%), while the lowest gains were in the topics of complexometri (8.88%) and argentometri (8/70%). These results may have been due to the fact that there was just a model (no experiment) illustrating the complexometri and argentometri so the students might not have been able to understand the concepts as well as the topics with corresponding experiments. In addition, there are many factors influencing complexometri, such as pH, pKa of ligand, Kf complex, volume and concentration of the ligand and metal ion, so students may have become confused about influences of complexometri titration when two or more factors were present in the reactions being considered. Table 2. Pre- and post-achievement test scores related to volumetric titration Topics Acidimetri Alkalimetri Complexometri Argentometri
Ideal score 15 15 15 15 60
Pre test Mean 6.00 5.84 1.98 2.54 16.32
S.D 1.06 1.38 4.54 2.04 9.01
Post test Mean 21.52 16,24 6.84 7.56 52.56
S.D 1.27 1.18 4.04 2.58 9.08
gain Mean 15.52 10.40 4.86 5.02 34.80
tTest % 25.86 17.33 8.33 8.70 49.42
2.51 2.43 2.11 1.81
Integrated science process skills Science activity plans and reports were scored in terms of integrated science process skills by the use of the rubric developed by the authors. The study showed that the students achieved a good level (74.52%) in integrated science process skills. Students were identified e at the skill of identifying and controlling variables and good at defining operationally (74.76%), formulating hypotheses (76.08%), and experimenting skills(74.65%). Interpreting data and drawing conclusion (74.52%). This may have been due to the fact that they had opportunities to practice the skills of identifying and controlling variables, defining operationally, formulating hypotheses, and experimenting skills, which were more emphasized byinstructors during their middle and high school careers. However, they had only a few opportunities to practice the skill of interpreting data and drawing conclusion since many instructors often skipped this time-consuming step. As a result, the skill of interpreting data and drawing conclusion was less developed. Table 3. integrated science process skills Integrated science process skills
Ideal Score
Defining operationally Hypothesizing Identifying variables Experimenting Interpreting data Communicating
10 10 10 25 25 20
Score Mean 6.80 7.20 7.15 18.50 16.30 12.45
S.D 1.56 1.85 2.06 2.67 4.88 3.24
% 68.00 72.00 71.50 74.00 65.20 61.22
Interpretation fair good good good good fair
181
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
DISCUSSION From the data analysis, the four year science undergraduates of the Faculty of Education, Open Univercity Banjarmasin are facing the problem of defining the scientific skills, especially the understanding of ‘inference’, ‘hypothesis’ and ‘definition of operation’. While in term of communicating the skills, they show weaknesses in writing the intrepreting of operation and the table of results, as well as making measurements. According to Chiappetta & Koballa (2006), “a hypothesis is a generalization that relates to a class of objects or events whereas an inference is related to a specific object or event” (p.204). A hypothesis is an “educated guess” (Abruscato, 2004). To formulate a hypothesis, it should be based on observations and inferences. Inferring is to use logic to draw conclusions from what is observed. From the excerpt presented earlier regarding hypotheses and inferences, none of the undergraduates tried to relate observations with inferences and to related inferences with hypotheses. As for defining operationally, Martin et al. (2009) stated that it is to describe what works; explain how to measure variables in an experiment, relationships between observed actions to explain phenomena and to explain relationships by generalizing to other events not observed. According to Curriculum Development Centre (2002), It is to give interpretations of a concept by stating it in terms of what to be done and observed. For this, the understanding among the undergraduates is not too far from the correct definition, however, in practice, not many of the undergraduates correctly stated the definitions of operation in their laboratory reports. Moreover, six out of 12 undergraduates did not write the definitions of operation in any of the laboratory reports analyzed in this research. It could be that the undergraduates perceived that this is not an important part of a scientific investigation because when they were asked during the focus group interview about the purpose to state the definition of operation in an experiment, they said, they did not think that it is necessary to report it. CONCLUSION From this research, it is apparent that science undergraduates at Open Unierciti do not have the correct understanding of interpreting data, communicating and definitions of operation. However, in writing laboratory reports, it seems that they do not face too much of a problem to write the correct inferences and hypotheses. It could be argued that they do not need deeper understanding to be able to state the inference and hypothesis of an experiment. On the other hand, it could also be argued that they might copy a part of the report from text books, reference books or from the past year reports obtained from senior undergraduates – as suggested by some undergraduates involved in the focus group interview. If the later is the stronger possibility, it will not help the undergraduates in improving their scientific skills. Sharifah & Lewin (1993) argued that the less students involved in planning a scientific investigation, the poorer their mastery of scientific skills. If these pre-service teachers fail to master the scientific skills to a level that they can inculcate these skills to their students in the future, the students will only learn science as any other subjects in schools. It is also the duty of the lecturers to provide opportunities for undergraduates to acquire such skills. One of the ways to achieve this is to let the undergraduates perform real scientific investigations from planning until reporting. During the focus group interview, the undergraduates stated that they actually learn deeper about scientific skills when they were put into a new situation of scientific investigation. They need to read the related materials about a new experiment that they are going to carry out. On the day of conducting the experiment, good questioning from the lecturers also highly facilitate the learning of scientific skills because questions that probe the undergraduates to want to find out more will lead them to plan and perform more investigations. It is through and time to explore as much as they like about a topic using the facilities in the laboratory. Acknowledgements This study is part of the research project 2012 for new chemistry laboratory to enhance science inquiry skills and conceptual understanding for student faculty of educationopen univerisiti. This was co-funded by open uniersiti Banjarmasin. .
182
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
REFERENCES Abdulhanung, D., Supasorn, S., and Samphao, A. (2011). comprehension of acid-base using cooperative learning accompanied with science projects. Journal of Srinakharinwirot University (Sci. & Tech.), 3(special 1), 54-62 Aktam, H. (2009). lköretim düzeyinde bilimsel süreç becerilerini kazand�rma yöntemlerinin örneklerle incelenmesi, lk�retmen E�itimci Dergisi, 30, 52-56 Pekmez, E.. (2000). Procedural understanding: teachers’ perceptions of conceptual basis of practical work. Unpublished PhD dissertation, University of Durham, UK. Beaumont-Walters, Y., & Soyibo, K. (2001). An analysis of high school students' performance on five integrated science process skills.Research in Science and Technological Education, 19(2),133-145. Deters, K.M. (2005). Student opinions regarding inquiry-based labs. Journal of Chemical Education, 82(8), 1178-1180. Harlen, W. (1999). Purposes and procedures for assessing science process skills. Assessment in Education: Principles Policy and Practice, 6(1), 129-145 Hofstein, A. & Lunetta, V. N. (1982). The role of laboratory work in science teaching: Neglected aspects of research. Review of Educational Research, 52 (2), 201-217. Padallia, M. J., Okey, J. R., & Garrad, K. (1984). The effects of instruction on integrated science process skills achievement. Journal of Research in Science Teaching, 21(3), 227-287. Sanger, M.J. (2007). The effects of inquiry- based instruction on elementary teaching mayors chemistry content knowledge . Journal of ChemicalmEducation, 84(6), 1035-1039 Taar, M. F., Temiz, B. K. & Tan, M. (2001). lköretim fen öretim programanda hedeflenen örenci kazanmlarnn bilimsel süreç becerilerine göre sflandaralmasa. www.gazi.edu.tr/~mftasar/publications (25.01.2006 tarihinde eri�ilmi�tir.).
183
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENGOLAHAN AIR TANAH YANG MEMENUHI SYARAT SEBAGAI SUMBER AIR MINUM PADA RUMAH TANGGA Yusnidar Yusuf1 1
FFS UHAMKA PRODI FARMASI [email protected] Abstrak
Water is a major need for any living things in this world. Human and other living things are depending on water to live. Water used for daily consumption must fulfill clean water standard. Clean water standard can be reviewed from its physical appearances, chemical structure, microbiology and radioactive. However, this good quality water is not available forever so that effort to improve its quality is needed, either with traditional or modern way. If the water used doesn’t fulfill clean water standard yet, it will cause harm for anyone who use it. Recently, difficulty in obtaining clean water has become crucial issue. Lot of water used nowadays is not as good as before. This is due to water pollution cause by household waste, agricultural waste, and industrial waste. Besides that, development and forest plunder are other cause for the mountain-water quality decrease because the water is mixed with mud which was eroded and carried by river stream. As result, clean water has sometimes become “rare thing”. There are various ways to solve the issue. One of them is by using the right technology application that can produce good quality water, profitable and easy to use. The technology used includes water treatment by physical treatment (filtration), chemical treatment (adsorption) and disinfection by using UV. Scie ntistas agent of change, agent of technology and social control has moral responsibility to actualize the knowledge to community. These technologies are expected to help solving the water problem in the community.
Keywords: water, technology, household need PENDAHULUAN Tubuh manusia tersusun dari jutaan sel dan hampir keseluruhan sel tersebut mengandung senyawa air (H2O). Menurut penelitian, hampir 67% dari berat tubuh manusia terdiri dari air. Manfaat air bagi tubuh manusia adalah membantu proses pencernaan, mengatur proses metabolisme, mengangkut zat-zat makanan dan menjaga keseimbangan suhu tubuh. Menurut dokter dan para ahli kesehatan, tubuh membutuhkan air untuk dikonsumsi sebanyak 2,5 liter atau setara dengan 8 gelas setiap harinya. Apabila jumlah air yang dikonsumsi kurang dari jumlah ideal, tubuh akan mengalami kekurangan cairan (dehidrasi) yang menyebabkan tubuh mudah lemas, capek dan mengalami gangguan kesehatan Standar Baku Kualitas Air Minum Standar baku kualitas air minum merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas air minum. Dengan standar tersebut, dapat diketahui kualitas air minum layak atau tidak untuk diminum. Standar baku kualitas air minum harus memenuhi kualitas secara fisik, kimia dan biologi : Standar fisik menetapkan batasan tentang sifat fisik air. Standar kimia menetapkan tentang batasan kandungan sifat dan bahan kimia yang terkandung di dalam air minum yamasih diperbolehkan dan tidak berbahaya untuk dikonsumsi. Standar biologi menetapkan ada atau tidaknya mikroorganisme patogen dannonpatogen yang terkandung atau hidup di dalam air minum. Secara kasat mata, mungkin kita akan menganggap air terlihat jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa layak diminum. Sebaliknya, anda jangan terlalu gegabah dan menganggap air tersebut sudah layak diminum sbelum mengetahui kandungan bahan kimia dan mikrobiologinya.
184
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Dengan demikian, paling tidak anda dapat mengetahui syarat air yang layak dan aman diminum serta lebih selektif saat mengkonsumsi air minum.Untuk lebih amannya, saat mengkonsumsi air minum, sebainya air tersebut berasal dari perusahaan air minum yang telah mendapatkan lisensi dari pemerintah. Apabila anda dihadapkan pada pilihan untuk mengonsumsi air minum dari depot isi ulang, sebaiknya Anda perlu memperhatikan kualitas,cara, kebersihan pengolahan, dan lokasi sumber airnya. Selain itu, perhatikan juga lingkungan daerah di sekitar depot dan hasil laboratorium uji kualitas air isi ulang tersebut. Beberapa persyaratan air minum yang layak biologinya antara lain sebagai berikut : A. Persyaratan Fisika Air minum harus memenuhi standar uji fisik (fisika), antara lain derajat kekeruhan, bau, rasa, jumlah zat padat terlarut, suhu, dan warnanya. Syarat fisik air yang layak minum sebagai berikut : Kekeruhan Kualitas air yang baik adalah jernih (bening) dan tidak keruh. Batas maksimal kekeruhan air layak minum menurut PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990 adalah 5 skala NTU.Kekeruhan air disebabkan oleh partikel-partikel yang tersuspensi di dalam air yang menyebabkan air terlihat keruh, kotor, bahkan berlumpur. Bahan bahan yang menyebabkan air keruh antara lain tanah liat, pasir dan lumpur. Air keruh bukan berarti tidak dapat diminum atau berbahaya bagi kesehatan.Namun, dari segi estetika, air keruh tidak layak atau tidak wajar untuk diminum. Tidak Berbau dan Rasanya Tawar Air yang kualitasnya baik adalah tidak berbau dan memiliki rasa tawar.Bau dan rasa air merupakan dua hal yang mempengaruhi kualitas air. Bau dan rasa dapat dirasakan langsung oleh indra penciuman dan pengecap. Biasanya, bau dan rasa saling berhubungan.Air yang berbau busuk memiliki rasa kurang (tidak) enak.Dilihat dari segi estetika, air berbau busuk tidak layak dikonsumsi. Bau busuk merupakan sebuah indikasi bahwa telah atau sedang terjadi proses pembusukan dalam air. Selain itu, bau dan rasa dapat disebabkan oleh senyawa fenol yang terdapat di dalam air. Jumlah Padatan Terapung Perlu diperhatikan, air yang baik dan layak untuk diminum tidak mengandung padatan terapung dalam jumlah yang melebihi batas maksimal yang diperbolehkan (1000 mg/l).Padatan yang terlarut di dalam air berupa bahanbahan kimia anorganik dan gas-gas yang terlarut.Air yang mengandung jumlah padatan melebihi batas menyebabkan rasa yang tidak enak, menyebabkan mual, penyebab serangan jantung (cardiacdisease), dan tixaemia pada wanita hamil. Suhu Normal Air yang baik mempunyai temperatur normal, 8º dari suhu kamar (27ºC). Suhu air yang melebihi batas normal menunjukkan indikasi terdapat bahan kimia yang terlarut dalam jumlah yang cukup besar (misalnya, fenol atau belerang) atu sedang terjadi proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Jadi, apabila kondisi air seperti itu sebaiknya tidak diminum. Warna Warna pada air disebabkan oleh adanya bahan kimia atau mikroorganik (plankton) yang terlarut di dalam air.Warna yang disebabkan bahan-bahan kimia disebut apparent color yang berbahaya bagi tubuh manusia.Warna yang disebabkan oleh mikroorganisme disebut truecolor yang tidak berbahaya bagi kesehatan.Air yang layak dikonsumsi harus jernih dan tidak berwarna.PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990 menyatakan bahwa batas maksimal warna air yang layak minum adalah 15 skala TCU. B. Persyaratan Kimia Standar baku kimia air layak minum meliputi batasan derajat keasaman, tingkat kesadahan, dan kandungan bahan kimia organik maupun anorganik pada air. Persyaratan kimia sebgai batasan air layak minum sebagai berikut:
185
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Derajat Keasaman (pH) pH menunjukkan derajat keasaman suatu larutan. Air yang baik adalah air yang bersifat netral (pH = 7). Air dengan pH kurang dari 7 dikatakan air bersifat asam, sedangkan air dengan pH di atas 7 bersifat basa. Menurut PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990, bataspH minimum dan maksimum air layak minum berkisar 6,5-8,5. Khusus untuk air hujan, pH minimumnya adalah 5,5. Tinggi rendahnya pH air dapat mempengaruhi rasa air. Maksudnya, air dengan pH kurang dari 7 akan terasa asam dilidah dan terasa pahit apabila pH melebihi 7. Kandungan Bahan Kimia Organik Air yang baik memiliki kandungan bahan kimia organik dalam jumlah yang tidak melebihi batas yang ditetapkan.Dalam jumlah tertentu, tubuh membutuhkan air yang mengandung bahan kimia organik.Namun, apabila jumlah bahan kimia organik yang terkandung melebihi batas dapat menimbulkan gangguan pada tubuh.Hal itu terjadi karena bahan kimia organik yang melebihi batas ambang dapat terurai jadi racun berbahaya.Bahan kimia organik tersebut antara lain NH4, H2S, SO42-, dan NO3. Kandungan Bahan Kimia Anorganik Kandungan bahan kimia anorganik pada air layak minum tidak melebihi jumlah yang telah ditentukan. Bahan-bahan kimia yang termasuk bahan kimia anorganik antara lain garam dan ionion logam (Fe, Al, Cr, Mg, Ca, Cl, K, Pb, Hg, Zn). Tingkat Kesadahan Kesadahan air disebabkan adanya kation (ion positif) logam dengan valensi dua, seperti Ca 2+ Mn2+, Sr2+, Fe2+ dan Mg2+.Secara umum, kation yang sering menyebabkan air sadah adalah kation Ca2+ dan Mg2+.Kation ini dapat membentuk kerak apabila bereaksi dengan air sabun.Sebenarnya, tidak ada pengaruh derajat kesadahan bagi kesehatan tubuh. Namun,kesadahan air dapat menyebabkan sabun atau deterjen tidak bekerja dengan baik (tidak berbusa). Berdasarkan PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990, derajat kesadahan (CaCO3) maksimum air yang layak minum adalah 500 mg per liter. C. Persyaratan Biologi Bahan baku air minum harus memenuhi beberapa syarat biologi sebagai berikut : Tidak Mengandung Organisme PatogenOrganisme patogen berbahaya bagi kesehatan manusia.Beberapa mikroorganisme patogen yang terdapat pada air berasal dari golongan bakteri, protozoa, dan virus penyebab penyakit. 1. Bakteri Salmonella typhi, Sighella dysentia, Salmonella paratyphi, dan Leptospira. Golongan protozoa seperti Entoniseba histolyca dan Amebic dysentry. 2. Virus Infectus hepatitis merupakan penyebab hepatitis. Tidak Mengandung Mikroorganisme Non Patogen Mikroorganisme nonpatogen merupakan jenis mikroorganisme yang tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh.Namun, dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak enak, lendir dan kerak pada pipa. Beberapa mikroorganisme nonpatogen yang berada didalam air sebagai berikut:Beberapa jenis bakteri, antara lain Actinomycetes (Moldlikose bacteria), Bakteri coli (Coliform bacteria), Fecal streptococci, dan Bakteri Besi (Iron Bacteria). Sejenis ganggang atau Algae yang hidup di air kotor menimbulkan bau dan rasa tidak enak pada air. Cacing yang hidup bebas di dalam air (free living worms). D. Standar Mutu Air Minum Menurut PERMENKES RI Standar baku kualitas air minum di Indonesia ditetapkan oleh sebuah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX1990 tertanggal 30 september 1990 yang berisi tentang syarat-syarat air layak minum. Peraturan tersebut telah disesuaikan dengan srandar yang ditetapkan WHO.
186
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Karakteristik Air Tanah Air tanah secara normal bebas dari kekeruhan dan organisme patogen. Apabila air berasal dari aquifer yang mengandung zat organik, kandungan oksigen akan terurai dan kandungan karbon dioksida akan menjadi tinggi, air akan menjadi korosif. Pada kandungan zatorganik didalam aquifer tinggi, kandungan oksigen akan habis terurai. Air yang tidak mengandung oksigen (anaerobik) akan melarutkan besi, mangan dan logam berta dalam air tanah (Sanropie, Sumini dkk, 1984). Air tanah, memiliki karakterkarakter tertentu dan berbeda satu dengan yang lainnya.Sedangkan air permukaan kualitasnya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan perilakumanusia serta sanitasi sekitarnya.Air hujan membawa serta mikroorganisme – organisme yang senantiasa berhamparan di udara, lebih – lebih di udara yang mengatasi tanah berdebu.Setiba di tanah, air menjadi lebih tercemar lagi karena sisa-sisa mahluk hidup (sampah), kotoran dari hewan maupun manusia, dan mungkin juga kotoran yang berasal dari pabrikpabrik (Sanropie, Sumini dkk, 1984). Air tanah di bagi menjadi 3 macam yaitu: Air tanah dangkal terjadinya karena ada proses peresapan air permukaan tanah. Lapisan tanah mempunyai unsur – unsur kimia tertentu, maka lapisan tanah ini berfungsi sebagai saringan,selainsebagai penyaring, pengotor juga masih terus berlangsung terutama pada permukaan air yang dekat dengan tanah. Setelah menemukan lapisan rapat air, air akan terkumpul sehinggga dinamakan air tanah dangkal. Dimana air tanah ini dimanfaatkan sebagai sumber air bersih atau air minum melalui sumur-sumur dangkal.Air tanah dangkal ini didapat pada kedalaman 15 meter.Air tanah dangkal ini ditinjau dari segi kualitas agak baik, tapi dari segi kuantitas kurang cukup dan tergantung pada musim. Padaair tanah terdapat lapisan rapat air yang pertama, pengambilan air tanah dalam, tidak semudah pada pengambilan air tanah dangkal. Untuk hal ini harus digunakan bor dengan memasukkan pipa dengan kedalaman antara 100-300m. Mata air adalah air tanah yang keluar dengan sendirinya ke permukaan tanah.Mata air yang berasal dari tanah dalam, hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kualitas atau kuantitas air tersebut. Teknologi Pengolahan Air Tanah Melaui Beberapa Tahapan Yaitu : Aerasi Aerasi merupakan istilah lain dari tranfer gas dengan lebih dikhususkan pada transfer gas (khususnya oksigen) dari fase gas ke fase cair. Fungsi utama aerasi dalam pengolahan air untuk melarutkan oksigen ke dalam air dan untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air, dalam campuran tersuspensi lumpur aktif dalam bioreaktor dan untuk melepaskan kandungan gas-gas yang terlarut dalam air, serta membantu pengadukan air. Pada alat pengolahan air tanah ini digunakan tray aerator.Yaitu aerator yang disusun secara bertingkat. Tujuan transfer gas dalam pengolahan air adalah Untuk mengurangi konsentrasi bahan penyebab rasa dan bau, seperti hidrogen sulfida dan beberapa senyawa organik, dengan jalan penguapan atau oksidasi. Untuk mengoksidasi besi dan mangan. Mengurangi rasa dan bau Untuk melarutkan gas ke dalam air (seperti penambahan oksigen ke dalam air tanah dan penambahan karbon dioksida setelah pelunakan air). Filtrasi Secara umum filtrasi adalah proses yang digunakan pada pengolahan air bersih untuk memisahkan bahan pengotor (partikulat) yang terdapat dalam air. Pada prosesnya air merembes dan melewati media filter sehingga akan terakumulasi pada permukaan filter dan terkumpul sepanjang kedalaman media yang dilewatinya. Filter juga mempunyai kemampuan untuk memisahkan partikulat semua ukuran termasuk di dalamnya lagae, virus, asbestos dan koloid-koloid tanah. Proses filtrasi ini terjadi dengan
187
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
melewatkan air baku melalui media berporos tertentu. Media saringan ini meliputi media filtrasi dan media penyangga. Alat ini menggunakan campuran pasir silika dan zeolith dengan perbandingan ketebalan media 60:40 untuk zelith dan silca Zeolite digunakan untuk penjernihan air baik untuk system penyaringan ukuran besar maupun system penyaringan ukuran kecil.Zeolite juga baik untuk pasir dan karbon aktif berdasarkan pada kapasitas perubahan kationnya yang tinggi. Pasir dan karbon aktif tidak sama dengan zeolite untuk kapasitas perubahan kation.Zeolite juga dapat menyerap metal berat, bau, kopi, darah, cat, sampah radioaktif, arsenic, dan bahan – bahan beracun lain yang dapat ditemukan di air. Zeolite juga dapat menyerap beberapa bagian gas seperti formaldehyde, kloroform, dan karbon monoksida.Partikel zeolit juga berperan sebagai bibit untuk menumbuhkan flok bakteri dengan menambah pergerakanbakteri tiap volume unit.
Gambar 1: Alat Filtrasi Keuntungan menggunakan zeolit dalam system penyaringan fisik, antara lain : Dapat membuat air yang berada dalam kondisi pH asam menjadi lebih netral berdasarkankapasitas perubahan kationnya yang besar. Menambah laju aliran secara gravitasi dan sistem pengatur tekanan apabila dibandingkan dengan system penyaring yang menggunakan media pasir/antrasit. Kapasitas penyaringan dapat bertambah tanpa adanya penambahan biaya .Kapasitas pengangkutan yang lebih besar pada permukaan wilayah yang besar menghasilkan kapasitas yang lebih besar juga. .Zeolit dapat berfungsi sebagai perisai penyaringan untuk bakteri pathogen (bakteri dan spora) Adsorbsi Peresapan bahan pencemar dihasilkan dari penggabungan 1 dan 2 di atas.Banyak bahan organik, seperti bahan terklorinasi maupun yang tidak terklorinasi, bensin, dan pestisida dapat terserap oleh karbon aktif.Karbon aktif juga efektif untuk menghilangkan klorin dan pada umumnya juga efektif untuk menghilangkan beberapa bagian dari bahan metal berat. Metal yang berwujud molekul organik juga dapat dihilangkan oleh karbon aktif. Fluoride, khlor, nitrat, kesadahan (kalsium dan magnesium) dan kebanyakan ion besi tidak dapat dihilangkan oleh karbon aktif pada banyak tingkat yang signifikan. Karbon aktif menghilangkan lebih banyak bahan pencemar air disbanding karbon..Sistem pengolahan karbon aktif untuk rumah tangga sangat mudah. Penyaring karbon aktif yang digunakan untuk pengolahan air rumah tangga mengandung karbon aktif granula dan powdered block karbon. Walaupun keduanya efektif, pada penelitian dibandingkan sebuah sistem penyaringan karbon aktif dengan karbon aktif granular lebih efektif menghilangkan klorin, rasa dan bahan organik terhalogenasi. Desain penyaring karbon aktif harus dipastikan telah cukup dalam sehingga bahan pencemar akan terserap ke dalam karbon aktif pada saat pengambilan air untuk dipindahkan melalui penyaring. Kedalaman penyaring tergantung pada laju aliran air yang melewati penyaring.Semakin lambat laju aliran, semakin baik untuk menghilangkan bahan pencemar. Karakteristik fisik dan kimia dari air juga akan mempengaruhi kerja sistem. Keasaman dan suhu juga dapat menjadi sangat penting. Keasaman yang lebih tinggi dan suhu air yang lebih rendah dapat meningkatkan kerja dari sistem penyaring karbon aktif 188
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Desinfeksi Air lewat melalui pipa bersih dipanaskan dengan sinar Ultra Violet (UV). Sinar Ultra Violet (UV) d secara efektif dapat menghancurkan virus dan bakteri.Sistem UV ini tergantung jumlah energi yang diserap sehingga dapat menghancurkan organisme yang terdapat pada air tersebut.Jika energi tidak cukup tinggi, maka material organisme genetik tidak dapat dihancurkan. Keuntungan menggunakan UV meliputi : 1. Tidak beracun atau tidak berbahaya 2. Menghancurkan zat pencemar organik. 3. Menghilangkan bau atau rasa pada air. 4. Memerlukan waktu kontak yang singkat (memerlukan waktu beberapa menit). 5. Meningkatkan kualitas air karena gangguan zat pencemar organik. 6. Dapat mematikan mikroorganisme pathogenic. 7. Tidak mempengaruhi mineral di dalam air. Kerugian-Kerugian dari menggunakan UV meliputi UV radiasi tidak cocok untuk air dengan kadarsuspended solids tinggi, kekeruhan, warna, atau bahan organik terlarut. Bahan ini dapat bereaksi dengan UV radiasi, dan mengurangi performance desinfeksi. tingkat kekeruhan tinggi dapat menyulitkan sinar radiasi menembus air dan dapat mengaktifkan bakteri patogen. Sinar UV tidak efektif terhadap zat pencemar mengandung banyak bahankimia organik, klor, asbes dan lain lain. Memerlukan listrik untuk beroperasi. Dalam situasi keadaan darurat ketika listrik mati, maka alat tersebut tidak akan bekerja. UV umumnya digunakan sebagai pemurnian akhir pada sistem filtrasi.Jika ingin mengurangi zat pencemar seperti virus dan bakteri, maka masih perlu menggunakan suatu karbon untuk menyaring atau dengan sistem osmosis sebagai tambahan terhadap UV. Pembuatan Alat dan Rangka Proses pembuatan alat ini dibagi menjadi tiga tahapan yaitu :Rangka dibuat untuk menahan beban dari tray aerator dan juga filter, rangka dapat dibuat menggunakan tulangan besi atau plat besi. Pembuatan tray aerator Tray aerator dapat dibuat dari bahan alumunium agar tidak berkarat, bentuk tray berupa sirkular dengan lubang orifce dibawahnya, efektifitas dari tray sangat tergantung dari banyaknya oksigen yang terkontak dengan air, oleh karena itu jarak antar tray, luas tray dan jumlah orifice menjadi sangat penting. tetapi tidak berlaku untuk kadar logam Pb. (gambar : tray aerator sederhana dan tabung filter)
Pembuatan tabung filter Tabung filter berfungsi sebagai tempat dari media penyaring. Tabung dapat dibuat menggunakan ember besar, setelah itu diisi dengan media filter,dengan perbandingan 60:40 untuk zeolith dan silica. Pembuatan tabung desinfeksi Tabung desinfeksi menggunakan paralon PVC dg diameter 4inch, lampu germicidalUV 35 watt, dan pipa kaca 189
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Cara Kerja Alat Cara kerja portable water treatment yaitu dengan mengalirkan air ke tray aerasi melalui pancuran yang berasal dari kran air. Pada prosesini terjadi reaksi antara oksigen dengan kationkation (Fe 2+) dan Mangan (Mn2+) yang akan membentuk senyawa oksida 4Fe(OH)3 + 8H+ dan 2MnO2 + 4H+. Reaksi pada saat proses aerasi : 4Fe2+ + O2 + 10H2O → 4Fe(OH)3 + 8H+ 2Mn2+ + O2 + 2H2O → 2MnO2 + 4H+ Pada saat melalui tray dengan tiga tingkat, air akan disaring oleh media filter.Disini akan terjadi proses filtrasi dan adsorbsi dimana akan terjadi penyerapan kandungan bahan organik,bau,rasa dan padatan terlarut dari air. Selanjutnya air dialirkan menuju tabung desinfeksi dengan melalui penyinaran/pemanasan sinar UV kemudian keluar melalui keran. Air pun siap digunakan sebagai air baku air minum. Untuk pengaturan air masuk dan keluar dapat menggunakan keran,ingin berwirausaha, terbuka peluang membuka usaha dibidang ini. KESIMPULAN Air bersih merupakan bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh mahkluk hidup, seiring dengan masalah lingkungan yang terjadi saat ini,maka perlu adanya suatu inovasi teknologi dalam pengolahan air. Teknologi pengolahan air tanah menjadi air minum mengunakan gabungan pengolahan aerasi dan penjernihan air dengan media pasir Zeolit, silika dan karbon aktif dan penyinarana dengan UV dapat menjadi suatu pilihan yang tepat. Alat pengolahan ini sangat cocok di aplikasikan di dalam rumah tangga, karena tepat guna, pengoperasian yang mudah,murah dan memberi nilai ekonomis. Saran Teknologi pengolahan air tanah ini masih memiliki banyak kekurangan, diantaranya debit yang dihasilkan masih kecil.Juga bentuk dari alat masih besar dan berat sehingga tidak mudah untuk dipindahkan. Oleh karena itu perlu pengembangan lanjutan dari alat ini agar efektifitas dari alat ini akan menjadi lebih baik. Peluang ini akan semakin besar jika kita tinggal di daerah yang mengalami masalah air keruh, berbau, mengandung kadar besi dan mangan DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, Sujana. 2006. Merakit Sendiri Alat Penjernih Air Untuk Rumah Tangga. KawanPustaka: Jakarta. Effendi,H. , 2003, Telaah Kualitas Air , Penerbit Kanisisus , Yogyakarta Guide, Neb. 2004. Drinking Water Treatment: Emergency Procedures. University of Nebraska Lincoln: www.ianrpubs.unl.edu/epublic/live/g1494/bu ild/g1494.pdf Marangoly. B. 1994. Aeration. http://www.rpi.edu/dept/chem-eng/Biotech- Environ/AERATION/aeration.htm Michigan State University Extension. 1997. Home Water Treatment Using Activated Carbon. Michigan State University:web1.msue.msu.edu/msue/imp/modwq/wq 239201.html NDSU. 1992. Treatment Systems for Household Water Supplies. www.ag.ndsu.edu/pubs/h2oqual/watsys/ae 1029w.htm Reynolds, Tom D, 1982, Unit Operations and Process in Environmental Engineering, Texas A&M University, Brooks/Cole Engineering Division, Monterey, California, USA Sutrisno, dan Suciati., 1987, Teknologi Penyediaan Air Bersih., Penerbit RinekaCipta Karya, Jakarta WHO. 2002. Emergency Treatment of Drinking Water at point-of-use. www.who.org.mv/LinkFiles/Reports_emergency_treatment_of_drinking_water.pdf
190
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
LECTURER’S ORGANIZATION CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) 1
Yuyun Elizabeth Patras,2 Fauzi Ridwan,3 Sumardi4 Dini Kurniani,5 Rais Hidayat
1
Post Graduate student at UNJ, Lecturer of Pakuan University Bogor, 2 Lecturer of Muhamadiyah University Palembang, 3 Lecturer of Pakuan University Bogor, 4 Vice Principal of SMPN 1 Babakan Madang Sentul Bogor, 5 Post Graduate student at UNJ, Lecturer of Pakuan University Bogor [email protected], fauzii ridwan@ yahoo.co.id, dini [email protected] [email protected]
Abstract The research is a preliminary study of lecturer’s organizational citizenship behavior (OCB) in Private Universities in Bogor, Indonesia. Organizational citizenship behavior (OCB) to be the focus of the research due to the fact that organizational citizenship behavior (OCB) put some effects to lecturer and organization. If the lecturer has organizational citizenship behavior, then the lecturer will be a great educator, can make college life and continue to take places well, and helping the college out of the crisis also. This research takes the advantages of survey using questionnaire with 50 lecturers in Bogor Indonesia as the respondents. This research reveals that the organizational citizenship behavior (OCB) are not maximized because the lecturers are still carrying out their duties in accordance with the job description (in role) and have not had an (extra role) behavior required. This fact leads to a need of improving lecturer’s organizational citizenship behavior (OCB) that private universities will have competitiveness and competitive advantage as the requirements of getting involved in globalization era, and to achieve its objectives. Keywords: Organizational citizenship behavior(OCB), Private Universities, Competitive advantage
INTRODUCTION Nation's advancement is determined by several factors. Philip Kotler (1997: 22) argues that there are four factors: (1) Natural Capital such as land, mineral, mining, and water (2) Physical Capital such as machineries, buildings and infrastructures, (3) Human Capital -human productivity value- such as creativity and innovation (4) Social Capital such as facility quality community and social organization. Human Capital is the most determining factor for the nation's advancement. This in line with Frederick Harbison's argument stating hat Human Capital is the main factor of nation's advancement as the quality human capital enables fund management and mobilization, technology development, goods or service production and trade activities (1965: IX). Therefore, failure in developing human capital will result in nothing, neither modern political systems nor nationalism and the wealth of the nations. Efforts in creating quality human capital are greatly influenced by the role of higher education. It is proven that advanced nations are the result of advanced higher educations. United state, as the leading global power, provide its nations with many quality universities. Therefore, it is the fact that higher educations are very important for the sake of the nation. As stated by Soedijarto (2007: 179), higher educations or universities are a place for general development of the society, Universities play important roles in developing countries that research conducted in higher education institutions take part in providing the basis of development program, policy formulation, as well as middle and high training for human capital of a nation.
191
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Along with the argument above, Harbison and Myer (1965:IX) stated that the wealth and advanced nation are subject to the ability to develop the human capital. The wealth of the country is based upon its power to develop and effectively utilizes the innate capacities of the people. The economic development of nations, therefore, is ultimate the result of human effort. It takes human agents to discover and exploit national resources, to mobilize, to develop technology, to produce goods and to carry on trade. As other nations on earth, Indonesians put high expectations on higher educations. Such expectations are reflected in Delor's report to the United Nations(1996:131): Nowhere is the universities’ responsibility for the development of society as a whole more acute than in developing countries. Where research done in institutions of higher learning plays a pivotal role in providing the basis for development programs, policy formulation and training of middle-and higher-level human resources. Expectations on higher education will meet the reality if higher education have and keep developing the existing human capital. One kind of human capitals needed to be develop in higher education is the lecturer. Lecturers are one kind of human capital becoming the supporting and the key factor of sustainable affectivity in higher educations. Higher education need of OCB is due to the globalization and a paradigm shift from working as individuals to working as a team. In addition, higher education are basically encountering difficulties, especially the private universities as argued by Elfindri, the former kopertis X coordinator, that many private universities experiences such problems. In fact, around 70% of Indonesian children, during their golden age, were students of private universities. Ironically, the development of private universities is at minimum scale, while it has complex internal problems. It is not to mention the internal conflicts, lecturers quality and the foundation accountability. The government has paid much attention to state universities yet overlooked the private universities that should be made advanced. Higher educations performing well and coping with the crisis are our expectations, yet it is still far from reach as lecturers have not yet perform the OCB that is expected. Some facts spread through the mass media concerning the issue of lecturers' OCB are as follow: Lecturers of ISI are to Strike, Campus to Sealed (Kompas, Friday 19 September 2008), Many Lecturers and Students of FIKP UMRAH Perform Demonstration (Batam Today, Thursday, 8 November 2012), Without Projector, Lecturer Hesitates to Teach (unm.com, 31 October 2013). Other evidence of low lecturer OCB is the ineffective program in various higher educations. Based on Kopertis database of region IV 2013, there are 479 private universities. However, after further evaluation, there are 73 programs that are not clearly registered, and 50 of which are of 20 private universities considered inactive. Therefore, there are 461 private universities deemed to be reliable. There are 1.986 programs in total. Among those, 68% has been accredited by BAN-PT: A, B, C and D (without accreditation) levels are performed by 50, 500, 801, and 1 program respectively. The rest of 495 programs are accredited at the minimum level based on Law No,12/2012. From the data, it is indicated that extra role behavior of the lecturers is due to the fact that achieving standard performance is very difficult, let alone the extra role. Other data that indicates the low lecturer OCB is the data containing the number of studies performed by lecturers. Based on Scopus data (www.sciencedirect.com) since 9 February 2012, National University of Singapore has recorded 64.991 publications, and become the "champion" of ASEAN. Mahidol University in Thailand has published the most 17.414, while University of Malaya has recorded 16.027 as their top score in Malaysia. Institute Teknologi Bandung (ITB), the mostly publishing in Indonesia, has recorded 2.029. The compilation in terms of publication among the four ASEAN Countries (Singapore, Thailand and Indonesia) indexed by Scopus (1996-2010) has shown that Indonesian is far left behind the three (Hardjito, 2012: 7). It shows the importance of OCB in the higher education and the low lecture OCB. Hence, efforts should be taken into account to improve lecturer OCB. This research is expected to help improve the lecturer OCB.
192
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
LITERATURE REVIEW Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational citizenship behavior (OCB),according to Robbins and Judge (2013:61). is the discretionary behavior that is not part of an employee’s formal job requirements, and that contributes to the psychological and social environment of the workplace. Paul E. Spector (2007:265) defines organizational citizenship behavior (OCB) as behavior that goes beyond the core task requirements of the job (task listed in a job description) and is beneficial to the organization. Colquitt, Lepine, and Wesson (2009:43) define organizational citizenship behavior (OCB) as voluntary employee activities that may or may not be rewarded but that contribute to the organization by improving the overall quality of the setting in which work task place. Organ and Moorman (1993:6) argue that OCB means those contributions to organizational effectiveness that are neither mandate by individual job requirements not recognized by the formal reward system. Nelson and Quick (2006:123) state that organizational citizenship behavior (OCB) is above and beyond the call of duty. Kreitner and Kinicki (2007:174) define OCB as employee behavior that exceed work role requirements. Robbins and Coulter (2012:373) states that organizational citizenship behavior (OCB) is discretionary behavior that’s not part of employee’s formal job requirements, but which promotes the effective functioning of the organization. Wirawan (2013:721) defines organizational citizenship behavior (OCB) as voluntary behavior in the working place regardless of one's job requirement and organization rules, that no reward system from the organization that if it is implemented by the workers, it will increase the organization function. McShane and Von Glinov (2010:17) states that OCB is various form of cooperation and helpfulness to others that support the organization’s social and psychological context. OCB according to Newstrom and Davis (2002:217) is discretionary action that promotes the organization’s success. Gibson et. al., (2010:147) defines OCB as behavior of employee which he does his assignment with effective and efficient way (out-of-role) without expect the repayment in his organization (out of role) due to the call for their inward to work without benefits and rewards from the organization for which they work.. Moorhead (2007:76) defines OCB as behavior of individuals who make a positive overall contribution to the organization. OCB according to Slocum and Hellriegel (2007:415) OCB is exceeds formal job duties but is often necessary for the organization’s survival including is image and acceptance. According to the description of OCB made by the experts it is found that there is interconnectedness between one to the others. Therefore, OCB is a voluntary action performed by workers in doing the tasks out of the main tasks without expecting reward from the organization as such conduct is aimed at sustaining the organization. OCB was built on several dimensions. According to Colquitt, Lepine, and Wesson (2009:44) Organizational citizenship behavior (OCB) falls into two categories: interpersonal citizenship behavior (OCB among individual workers) and organizational citizenship behavior (OCB for the organization). The explanations of the two are as follow: Interpersonal citizenship behavior is more relevant to the context in which workers work in a team or small group that they tend to help each other, pay respect, be well mannered and provide positive environment in which trust is among the members. This situation is essential to support the team member willingness to work while organizational citizenship behavior is behavior is more beneficial to the organization that it supports and stands for the company, works to improve the company development and shows faith to it. Citizenship behavior interpersonal consists of (1) Courtesy: an attitude that always gives relevant information to the colleagues and show tendencies to keep relevant and confidential facts that it is not to be revealed. (2) Sportsmanship means good attitudes among colleagues even when they have done something disturbing or when the rainy days come. Never criticize, whine, and complain; always shows good attitude in working. Organizational citizenship behavior consists of: (1) Voice to engage conversation and to offer construction suggestion for changes. A good citizens reacts well to good-for-nothing rules and policies and constructively try to change the policy (2) Civic Virtue is an attitude that refers to the level of 193
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
participation to the company that exceeds the main task such as attending the meeting voluntarily, improving competence through reading and always running the rule of the organization, as well as following the organization development and advancement, (3) Boosterism means representing organization in a more positive way in front of the public, away from the office and away from the task that they keep the good will of the organization (Colquitt, Lepine, and Wesson, 2009:45). Organ in LePine, Erez, & Johnson(2002:52) classifies Organizational citizenship behavior (OCB) that embraces dimensions following: (1) Altruism, that is a tendency to help performed by certain individuals. Helping new colleagues and providing time without hoping any rewards from others are some of the examples. (2) Careful Actions, that is to do things bringing advantages for the organization. Coming on time, obeying the rules, using the time efficiently and doing the task more than the minimum standard are some of them. (3) Politeness, it means a tendency to avoid problems among individuals in relation to the job. Prior notifications, notification letter and accurate information deliverance are some of the examples. (4) Benevolence means engaging themselves in the organization in responsible manner and paying attention and showing care to the life in the organization. Serving in the committee and doing the functions voluntarily. (5) Sportive means showing gratitude to an inconvenient working place without complaining. It can be showed by avoiding complaints and whimper. Organ's five dimensions of framework are mostly used in empirical research since the framework has a long history and it is proven through many empirical studies that in the time continuum, the organization in these behavior factors is beneficial in various situations and organizations (LePine, Erez, & Johnson,2002:54). McShane and Von Glinov (2010:18) argues that OCB forms different shapes, among them is individualism, such as helping colleagues, adjusting the schedule, gaining the real friendship and sharing resources with the colleagues. Another form of OCB is to represent cooperation and help to the organization that embrace: improving the company goodwill, working voluntarily so that the organization is free from various problems, contributing ideas to the work, voluntary presences of not in the working hours, and maintaining the organization to run well. Luthans (2008:149) explains that the dimensions of OCB consists of: (1) Altruism (an attitude of helping the colleagues), for example covering the task of colleagues unable to work from disease (2) Hard worker (still working though the time work is over, (3) organizational virtue (working voluntarily to advance the organization), (4)sportive attitude (mutual support among fellow colleagues in the team for the success of the organization), (5) Polite behavior (understanding and having deep empathy). OCB is also highly related with the performance of working groups and organizations that lead the organization to become effective. Wirawan (2013:723) classifies organizational citizenship behavior (OCB) into four sections, namely: (1) Altruism (Altruism): help and motivate employees to help each other to solve the problem of the job with the true respect, (2) listen to the inward part (consciousness): extra role behaviors that go beyond the requirements of duties, work, and the work ethic, (3) Sportive (sportsmanship): any behavior that shows tolerance to ideal circumstances without complaining, (4) virtues of citizenship (civic virtue): the behavior of the employees participating in the practice of the organization in maintaining the sustainability of the organization. Why is OCB needed in an organization? This is a big question. From the conclusions about OC above, OCB is one of the functions to sustain the organization. This is reinforced by the theory of Robbins and Coulter (20373) explaining that organizations need employees who can do the job more than the main job and evidence shows that there are employees who can do: it is the employee who has the OCB. Successful organizations require employees - willing to work beyond the obligation (Robbins, Judge, 2013:61). OCB is a very important aspect of employee behavior that contributes to the effectiveness of an organization.OCB is also said to be something very vital to make the organization function (Spector, 2007:266). Wirawan (2013:722) argues that the company will not be able to compete, change the sources, and serve the stakeholders if their employees only do the work in the job descriptions. They also have to carry out organizational citizenship behavior (OCB): various types of cooperation and mutual help for other employees in the social and psychological context; in other words contextual performance of the organization is required in addition to the performance implementation of the task. 194
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Colquitt, Lepine, and Wesson (2009:43) explains that the OCB is beneficial to the co-workers; that it involves, helps, supports, and develops other members of the organization through working beyond the normal tasks. Among them are helping colleagues who have heavy workloads, helping them with things - personal things, and helping the recruitment. The obvious benefit of organizational citizenship behavior (OCB) according to Colquitt, Lepine, and Wesson (2009:44) is the effectiveness of the work unit and the organization. OCB also becomes very important when the organization experiences period of crisis for employees who have OCB will work voluntarily out of the working hours without demanding salaries which is not a burden for the company. Nelson and Quick (2006:123) asserts that employees who have OCB are happy to help their colleagues, always make positive comments on the organization and never complain that the circumstances could not go along with that. Nelson and Quick (2006:123) explains that employees who have OCB perform extra role without expecting a reward from the company. Employees who have their own OCB perform well such as like creating innovation and having good self-control. Robbins and Coulter (2012:373) explains that employees who have a good OCB like to encourage colleagues in a team, become an active volunteer in the work over a specified length of time, avoid unnecessary conflict, and make good responses about team work within an organization. Wirawan (2013:722) strengthens the opinion from McShane and Von Glinov on OCB that without OCB, no organization can run effectively, no maximum process in transformation of resources, and no good service for the needs of the customer. Newstrom (2007:245) explains that the employees with high OCB are responsible for the organization where they work. When working, the employee having the OCB are helpful coworkers voluntarily working together and making collaboration. Employees with OCB also use their skills and talents. They are also energized to help the organization so that the organization can achieve the goals effectively and efficiently. Descriptions from the experts on how OCB appears and the issues that can affect the growth and development of OCB above show a similarity or difference. In conclusion the OCB arises from the employee 's own choice, which is due to the willingness of the heart appearing spontaneously and without coercion from the another, and not a command or encouragement from others, and is not influenced by the system reward. Other experts say that OCB appear from, in addition to the employees' own choice, expectation of special attention from others, good relations with others that foster a sense of trust and the culture and climate within the organization to support the growth of OCB. Lecturers Administratively, the lecturer has the main task to fulfill the Tridarma Ethics: providing education-teaching, research, and community service. In Tridarma Ethics, lecturers act as (1) the students' learning facilitator and resource person; (2) researchers and experts in each distinctive field of knowledge to develop science, technology, culture and art; (3) community servants by applying their expertise for the sake of the public welfare and the advancement of humanity (Unpak, 2011:11). In addition to carrying out basic tasks mentioned above, the lecturers also perform the function of academic and professional development, and participate in institutional governance. Some duties and functions of specific faculty members are (1) to become facilitators of student learning, so that students can acquire knowledge according to the respective fields; (2) to guide students to think critically and analytically, so that they can independently develop science they acquired; (3) to train students in terms of intellectual, as well as to become counselors; (4) to use concepts, theories, and methodologies applicable in the field, and be able to create a number of concepts, theories, operational methodology in the context of scientific activity; (5) to conduct research and publish the result through discussions, seminars, scientific journals, or exhibition, in the fields of science, technology, culture or art; (6) to apply knowledge in community service activities; (7) to improve the quality of academic and selfcompetence as educators; (8) to be cooperative when managing the academic team to realize the vision of the university; (9) to develop professionalism through an active role in the organization of seminars; (10) to conduct semi-annual activity plan, the realization of monthly activities, and to evaluate the implementation; and (11) to compose a self portfolio/ description as to the implementation of education and teaching, research, and community service, as well as other activities that support Tridarma etchics(Unpak, 2011:23).
195
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Lecturer profession is identified as one of the essential components higher education system. The role and task of the lecturer is very important to achieve national education goals: educating the nation, improving the quality of Indonesian people, including quality of faith/integrity, noble character, mastery of science, technology and art, as well as the developed fairly prosperous and civilized Indonesia, (Higher Education, 2010). The main task of the lecturers as educators and professional scientists are transforming, developing and disseminating science, technology and the arts through education, research and community service. Based on the description above it can be synthesized that OCB lecturer is extra role behavior performed by lecturers that support the effectiveness of the college so that the college lecturers and professors working is able to thrive and get through the crises.
METHOD AND SAMPLING This study is a preliminary one to gain data of faculty ethical behavior. This study applied survey method through a questionnaire containing statements about OCB faculty. Research was conducted at some private universities in Bogor West Java, namely: Pakuan University, Juanda Islamic University, Islamic University and Ibn Khaldun University and Nusa Bangsa University in April 2014. A total of 50 questionnaires were distributed to the lecturers, then only 45 questionnaires were returned and fit the research. In order to get an overview descriptively, the collected data was accordingly processed by using SPSS version 19.
FINDINGS AND DISCUSSIONS The results of the preliminary study of lecturer OCB showed that lecturer OCB level in private universities Bogor Indonesia has not met the need. The lack of lecturers' OCB behavior recorded in the results of the preliminary study can be seen in table 1.1 as follows: Table 1.1 Preliminary Results of Lecturer’s OCB in Private University Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Statement
Often to Always (percent) I explain how to write a journal to associate lecturers who are 28.8 new to research. I give you the latest information about journal writing 33.3 seminars to fellow lecturers. I motivate fellow faculty to participate in community services, 48.9 I canceled the lecture because the projectors were damaged. 85.5 I taught with very limited lecturing facilities. 26.6 I remind the vision of the institution when giving lectures. 40 I object to write the name of the institution in my scholarly 81.1 writing. I asked the student to understand the existing drawback in the 20 institution. I use reference books made by research institutes. 17.7 I keep the good name of the institution any where. 97.8
Initial survey findings from this study indicate that lecturer OCB should be promoted and developed. The other facts that indicate the lecturers have not had such OCB as written by Agus Suwignyo (Kompas, 2013) were the exodus of lecturers in three waves. First, professors no longer use their profession as a living. Many lecturers shifted from being educators to becoming politicians or officials 196
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
in government bureaucracy. Second, the exodus of lecturers from the intellectual life of intention and orientation. In general, most professors who remain working at campus no longer intend to be intellectuals yet officials of campus structural body. The orientation is no longer a work of research, scientific publications, and quality services to students, but rather the managerial positions.The third, the lecturers' exodus from the their intellectual profile and characteristics.. They generally do not show more interesting academic work that inspires. Some of them run their profession as faculty members as "business as usual" by making a demand of administrative career (grade, certification, performance sheet) as a reference of the highest productivity - the only intellectual profile reduced to a mere fulfillment of the demands of administrative careers, which does have an impact on lecturers' earning. In this context, the disappearance of intellectual character is reflected in the academic ethics violations, such as plagiarism. Along with the effort of improving lecturer OCB, knowledge about factors that directly influence lecturer OCB is needed. Wirawan ( 2013) describes some of the factors that directly influence the OCB: personality, organizational culture, mutual cooperation, organizational climate, job satisfaction, organizational commitment, leadership and social responsibility of employees, job satisfaction, employee age, job involvement, collectivism, and justice organizations. Based on the review of the existing literature, lecturer OCB can be improved through improving the quality of one's personality lecturer in the case that lecturers have selfish characteristics and introverted personality that hinder the promotion and development of lecturer OCB, improving the organizational culture, such as the norms and values that promote justice and sportsmanship in the organization that will promote lecturer OCB, improving leadership, where leaders set an example and inspire as well as empower the subordinates to promote the lecturer OCB, increasing the organizational climate such as finding a solution to the conflict that affects the behavior of OCB faculty, increasing the involvement of such work and feel responsible for the work that has an effect on the cultivating lecturer OCB, increasing the organizational commitment such as loyalty and emotional bond to the organization that influence the cultivating lecturer OCB, improving the equity in the organization such as fair benefit sharing and providing information in a fair way will influence the behavior of lecturer OCB. Increasing confidence in the organization such as integrity and openness, and competent organizations that influence the behavior of lecturer OCB. OCB can not occur when the work that is overload, family conflict and stress take place( Robbins and Cuolter, 2012:347). To foster OCB behaviors in work of team, the members of the team must show mutual respect, helpfulness and friendly attitude. The climate of the team work must also be positive that all team members must trust each other so that the situation can develop the willingness of team members to do their work. OCB can cultivate if the job is done together as a team. Nelson and Quick ( 2007 ) explains that there was research proving that OCB is very good and increases when it cultivates among the team members because if one employee has OCB, then the employee will pass the OCB on other employees. Conclusion The results of this study found that the lecturer organizational citizenship behavior (OCB) in private universities (PTS), especially in Bogor, does not meet the full need as the lecturers are still carrying out their duties in accordance with the job description ( in role ) and have not had an extra role behavior. This situation can certainly inhibit the competencies of faculty and society members in the globalization era. Based on the findings of this research, efforts will be needed to increase organizational citizenship behavior (OCB) so that the existence of lecturers in private universities will remain preserved, competitive, and perform competitive advantage to cope with the demand of globalization. Efforts to increase lecturer OCB can be implemented by increasing the effective leadership behaviors, improving its confidence in the organization, improving decision-making processes quality, improving employee commitment to the organization, and improving the equity in the organization.
197
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
ACKNOWLEDGEMENTS The researchers extend their gratitude to the Rector of Pakuan University in Bogor, Dr. Bibin Rubini, M.Pd, and Rector of Muhammadiyah University Palembang, Dr.HM. Idris, SE,M.Si. REFERENCES Batam Today, Puluhan Dosen dan Mahasiswa FIKP UMRAH Gelar Unjuk Rasa, Kamis 8 November 2012, diunduh 9 November 2013. Colquit, Jason A., Jeffrey A. Lepine, Michael J. Wesson. Organizational Behavior. Improving Performance and Commitment in the Workplace. NewYork: McGraw-Hill, 2009. Compani Profile Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Unpak., 2010. Debra L. Nelson, James Campbell Quick. Organizational Behavior. Foundations, Realities & Challenges. Australia: Thomson, 2006. Delors, J., et.al. Learning: the Treasure Within. The Report to Unesco of International Commision on Education for the Twenty First Century, Paris: Unesco, 1996. Direktori Perguruan Tinggi SwastaKopertis Wilayah IV tahun 2013 (Jakarta: Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IV, 2013). Eflina, Debora dan Ali Nina Liche Seniati, Pengaruh Kepribadian Dan Komitmen Organisasi Terhadap Organizational Citizenzhip Behavior, Makalah, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 3, Desember 2004: 105-111 George, Jennifer M., Gareth R. Jones. Understanding and Managing Organizatioanl Behavior. Boston: Printice Hall, 2012. Gibson, James L., John M.Ivancevich, James H. Donnelly,Jr, Robertk Konopaske. Organizations, Behavior, Sructure and Proceses Boston: McGraw-Hill, 20060. Goetsch, David L., Stanley Davis. Quality Management for Organizational Excellence, Introduction to Total Quality Management (Boston: Pearson, 2013). Griffin, Rcky W., Gregory Moorhead. Organizational Behavior, Managing People and Organizatios. Boston: Houghton Mifflin Company, 2007. Harbison F. and Ch. A. Myers. Manpower and Education: Country Studies in Economic Development. New York: Mc Graw-Hill Book, 1965. Harbison, Frederick and Charles A. Myers. Man power and Education, Mc.Graw-Hill Book Company, 1965. Hughes, Richard L., Robert C. Ginnett, Gordon J. Curphy. Leadership, Enhancing the Lesson of Experience. Boston: McGraw-Hill, 2009. Ivancevich, John M., Robert Konopaske, Michael E. Matteson. Organizational Behavior and Management. New Yor: McGraw-Hill, 2008. Kasali, Rhenald. Change. Jakarta: PT Gramedia, 2010. KOMPAS, Dosen ISI Mogok, Kampus Disegel, Jumat 19 September 2008, h. 14, diunduh 9 November 2013. Kotler, Philip The Marketing of Nation, A Strategic Approach to Building National Wealth. New York: The Free Press, 1997. Kreitner, Robert and Anggelo Kinicki. Organizational Behavior, Ninth Edition. New York: McGrawHill, 2010. Lussier, Robert N. Human Relations in Organization. Boston: McGraw-Hill, 2008. 198
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Luthans, Fred. Orgnizational Behavior. New York: McGraw-Hill, 2008. Newstrom, John. Organizational Behavior, Human Behavior at Work. Boston: McGraw-Hill, 2007). Pusat Penelitian dan Pengembangan (LPP) Unpak, 2010. Robbins, Stephen P. dan Timothy A Judge, Organizational Behavior Fifteenth Edition. New Jersey: Prentice Hall, 2013. Robbins, Stephen P.Organizational Behavior Fifteenth Edition. New Jersey: Prentice Hall, 2013. Saadellaoui, Ines and Jamel-Eddine Gharbi. Effect of the elf-Efficacy on the Perceived Ethicality of Fear Schermerhorn, John R., James G. Hunt, Ricard N. Osborn, Mary Uhl-Bien. Organizational Behavior. Danvers USA: John Wiley & Sons, Inc, 2010. Spector, Paul E. Industrial and Organizational Psychology. South Florida: Jhon Willey&Sons, INC, 2007. Standar Dosen, Laboran, dan Pustakawan Universitas Pakuan. Pusat Penjaminan Mutu Universitas Pakuan, 2011. Stephen Robbins and Marry Coulter. Management. New York: Pearson, 2010. Steven L. Mc Shane, Mary Ann Von Glinow. Organizational Behavior. Boston: McGraw-Hill, 2010. Suwignya, Agus. Kosongnya Kampus Kita. Kompas, 30 Oktober 2013. Wirawan. Kepemimpinan, Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi dan Penelitian. Jakarta: Rajawali Press, 2013. Yasir, Tak ada Proyektor Dosen Mangkir Mengajar, Profesi UNM.com, 31 Oktober 2013, diunduh 9 November 2013.
199
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
LANGUAGE ACQUISITION IN PUBLISHING INDUSTRIES Zalzulifa1 1
Mahasiswa Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta [email protected]
ABSTRACT Background: This research is back-worded by the pragmatic experiential learning problems the researcher faces in daily routine activities of teaching learning from first to fourth semester (2008-2011) at PoliMedia. It has accumulated into the researcher’s pragmatic findings that teaching English for publishing students with its basic skills (reading, writing, listening, speaking) should be in line with the needed basic competencies of language assessment in the publishing needed skills (pre-writing, drafting, revising, editing, and publishing). However, in order to assure the pragmatic findings it is needed to do the academic analysis through the following academic research methodology, including: setting and time, research design, population and sample, data collection instrument, and data analysis. Methods: The research uses qualitative approach through seeing, observing, discussing and studying some related documents taken from questioannaire, interview, simulation and focus group discussion among lecturers.. Results: The data shows various level of language acquisition in reading, writing, listening, speaking when they are applied in publication process ranging from prewriting, drafting, revising, editing, publishing. So forth, there are seventeen list of technical skills needed to support the successfull of learning process, such as: 1) team working skills; 2) oral communication skills; 3) problem solving skills, 4) customer handling skills, 5) management skills, 6) general IT user skills, 7) technical and practical skills, 8) office administration skills, 9) written communication skills, 10) literacy skills, 11) numeracy skills, 12) IT professional skills, 13) foreign language skills, 14) grappling with grammar skill, 15) speed reading skills, 16) note-taking skills and 17) negotiating skills. Meanwhile, the design of English learning materials is dedicated preferable to using the subject references of publishing activities, such as: 1) Commissioning and Acquisitions, 2) Rights, 3) Contract, 4) Design (visual), 5) Editorial management, 6) Design (structural), 7) Editing, 8) Production, 9) Marketing and Direct Selling. Conclusion: It is concluded that the design of English learning materials should approach to four basic language competencies (reading, writing, listening and speaking) in line with the learning activities ought to encourage students enjoy learn and practice the activities of editorial job cycle from prewriting-drafting-revisingediting-publishing. Keywords: Reading, Writing, Listening, Speaking---Prewriting-Drafting-RevisingEditing-Publishing. _________________________________________________________________________ INTRODUCTION The background of the research derived from the wish to solving gaps between existing condition and ideal prospective portrait of Publishing Study Program at the State Polytechnic of Creative Media (PoliMedia). It is widely exposed in printed and in electronic media that the Publishing Study Program specially designed to graduate the students who are competence and skillful in preparing various kinds of manuscript needed for creative industry. Referring to the existing condition 200
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
of PoliMedia as the only school of creative with Publishing Study Program, English is strongly recommended to support the teaching learning process. So forth, this is the essence of the adaption and use of English as the language of international communication as today a fact of life. Therefore, the needs of English language competencies should support the vision of the study program approached to worldwide class ranging from graduate’s competence, graduate’s profile, career prospect, job vacancy, learning process and facilities. In term of graduates’ competencies with production and entrepreneurship skills based, there are at least two major skills to be achieved, such as; 1) skilful in writing and editing manuscripts available for creative industries, such as: publishing, advertising, broadcasting, interactive game, film, video, performing arts, music, and 2) skilful in planning and managing their business based on the production and entrepreneurship in the field of publishing industry. The needed skills of study program are suited for those who wish to deepen the publishing world starting from prewriting, drafting, revising, editing and publishing the manuscripts at various forms like: books, magazines, and newspapers. Concerning with the graduates’ profiles, the Publishing Study Program is supposed to graduate the Medium Level of Writer or Author, Editorial Supervisor, and becoming Self-Entrepreneur of creative publishing called “Publipreneur”. While the career prospects is dealing with the professional worker of Proof Reader, Copy Writer, and Writer or Author. The so called, here are the prospective job vacancies of the publishing graduation, such as: 1) Book Publishing Industry, 2) Press Publishing Industry, 3 Electronic Publishing Industry, 4) Advertising Industry, 5) Television and Film Industry, 6) Broadcasting Industry, 7) Music and Performing Arts Industry, 8) Public Relations at Private or Government Office, 9) Literary Agents, and 10) Self-Publishing Entrepreneur. REVIEW OF RELATED LITERATURE Drawing on her extensive experience in research and teaching writing, Raimes outlines a set of guideline which can make the writing course a less intimidating task. This guidelines are based on what we know to be the key principles of course design, which include consideration of course goals, theories, content, focus, syllabus, materials, methodology, activities, and course evaluation. In the practical learning process, lecturer should support the learners to constantly and systematically record, ponder, and analyze what they have in the classroom, and their reflective experience as the basis for improving students instructional practice. Seow in Methodology in Language Teaching, Cambridge University Press (pp.204) comprises four basic stages of teaching writing---planning, drafting, revising, and editing. Three other stages could be inserted after the drafting stage, such as: responding, evaluating, and post-writing. For each stage, suggestions are provided as to the kinds of classroom activities that support the learning of specific writing skill. For example, at the planning stage, lecturer can help students generate ideas through such activities as brainstorming, clustering, and rapid free writing. Moreover, Rappen discuss the genre-based approach which in recent years has received a lot of attention from researchers as practitioners. A genre-based approach provides students with ample opportunities to become aware of the different purposes of written communication and the different text types and are given sufficient practice in these types of writing, their written products will leave much to be desired. By combining genre-base and process approaches, the research approves that students react positively to the instructional procedure with most learners becoming more aware of the different convention used in different genres. At last, researcher realizes the fact that grammatical inaccuracies can have negative effects on the overall quality of students’ writing. Because of that, writing lecturers need to help students develop their editing as well as their composing skills. Editing refers to the process of detecting and correcting grammatical, lexical, and other mechanical errors before publishing a final written product. Ferris (pp.304) then describes a three-stage approach to teaching editing skills that can help students become independent editors of their own written work. She suggests that the focus of the editing activities should be on students’ most frequent error, especially those that effect the global meaning of their written text. Apart from the theoretical background, this study is regarded as the result of researchers’ pracmatic experience in teaching English at the State Polytecnic of Creative Media (PoliMedia) . Over the years, it has become apparent from the institutional motive that publishing students are supposed to have a work and career concerning with writing and editing skill. At the same time, students of 201
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
publishing class particularly are challenged to reach the destination, minimally understand the characteristics of various manuscripts . The resercher believes that students must notice grammatical structure before they are able to recognize and use in a academic context. The teaching experience of rsearcher has led to the conclusion that publishing students needs a text to bridge the gap between the uncomplicated sentences-level recognition of structures and the difficulties. Once students notice the grammatical structure they will be better prepared to extract meaning of sentence.
THE METHOD AND SAMPLING It is widely understood that verbal ability is among the most important skills one posses throughout life in all situations from the classroom to the board room and from idea to speak and write. Understanding how to use words effectively can bring one increased confidence and pave one way to success in school, in business, in social life, and in every area where communication is important. Referring to the above perception, this study is designed to help students achieve their goal of becoming expert in the field of business communication. Seven steps of language acquisition from prewriting, drafting, revising, editing and publishing have been carefully selected and organized by the resercher through practical teaching learning process for publishing practitioners adapted by 44 student of publishing at the State Polytechnic of Creative Media (PoliMedia). The choice of materials is based on the confession that there is no doubt that writing is the most difficult skill for learners. The difficulty lies not only in generating and organizing ideas, but also in translating ideas into readable text. The writer has to pay attention to higher level skills of planning and organizing as well as lower level skills of spelling, punctuation, word choices, and so on. With so many conflicting theories around and so many implementation factors to consider, planning and teaching a course in publishing can be a daunting task. Which theoretical strands are we going to adopt? Are we going to use the process approach or the genre-based approach? Or an electric approach? What will be the focus of the course? What activities are likely to help students develop their writing and editing skill? How do we treat learner error? There are some of the issues that the teaching learning materials in this study seek to address. As a lecturer, researcher realizes that some classes need more teacher-centered deductive approach, while others thrive on the inductive method. In this regard, researcher tried to make the teaching materials as flexible as possible. This is based on his personal confession toward some learning theorists that in teaching writing and editing we need to totally involve in collaborative work among lecturer and students. The goal of teaching and learning is to help the publishing students bridge the gap between the relatively simple structure they recognize when students start the course and the most complicated structure they will need to recognize in their academic, business, and professional careers. Through the exercise provided, students will build up their store of templates and thus be better prepared for life of reading and writing in English. For this reason, researcher included passages from many publishing academic area as possible. Many of this passages and sentences are taken from article chosen by the publishing class representing a cross section of academic fields and interest in publishing activities ranging from prewriting, drafting, revising, editing and publishing. Toward the key success in learning process, lecturer and students can negotiate to build the group depending on the size and composition of the class. From his experiences in applying StudentCenter Learning (SCL), this list of activities can recommend to be considered as the success key in using Publipreneur-Based Language Learning (PBLL), namely: In order for success, researcher tends to innovate Jack C. Richards and Willy A Renandya (pp.306-314) as in Methodology in Language Teaching provides the tip of preparing tens steps in planning a writing and writing courses, such as: (1) Ascertaining goals and instructional constraint, (2) Deciding on theoretical principles, (3) Planning contents, (4) Weighing the elements, (5) Drawing up a syllabus, (6) Selecting materials, (7) Preparing activities and roles, (8) Choosing types and methods of feedback, (9) Evaluating the course, and (10) Reflecting the lecturer’s experiences.
202
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
The innovation of is initiated in order to reach a maximum outcome or result of study when learner actively involve in learning activities by showing their competencies with the list of requirements approaches, such as: 1. Students are expected to be active and self-learners both in and out of campus. 2. Students are encouraged to proudly speak and write, while the lecturers are functioned as facilitators, motivators and innovators within learning process. 3. In practice, the students are divided into groups before providing with various learning materials taken from the list of modules. 4. In every time of classes, the group should presents their works based on each member role as presenter represented authors, moderator represented publisher, and the rest students to be adjudicators represented readers. 5. Every students are actively participated based on each roles (presenter, moderator, adjudicator) by using the form of adjudicator. 6. Approaches to Polimedia motto “Production and Entrepreneurship Bases Curriculum”, then the lecturer can initiatively decide the portfolio of products to be handled by the students at each semester. The project is supposed to be a student approval for their competencies. 7. The students will be guided on how to check their structure and written expression dealing with each topic listing in book work. 8. The students’ mark are given based on their sustainability activities within the class, out of the class or even their portfolio as being judged objectively and professionally by the lecturers. In doing the learning steps above, please see the learning process within learning maps below: Target of Learning Process within Learning Maps Here are the list of learning process targets: 1. Students are expected to know the steps of publishing activties orderly start from prewriting, drafting, revising, editing, publihsing. 2. 2. Students are expected to be able to do editing approach work ranging from focusing on form, recognizing major error types, and self-editing practice. Level of Participation Learning Learning Learning No Activities Focus Output Students Lecturer Writing Talent Scouting 90% 10% 1 Pre-Writing Hand-writing 90% 10% Raw Materials Type-Writing 90% 10% Out-lining 75% 25% 2 Drafting Composing 75% 25% Dirty Copy Lay-outing 75% 25% Readability 60% 40% Legibility 60% 40% Accuracy 60% 40% 3 Revising Consistency 60% 40% Revised Copy Language rules 60% 40% Non-racial 60% 40% Production details 60% 40% Substantive editing 50% 50% 4 Editing Mechanical editing 50% 50% Clean Copy Pictorial editing 50% 50% Production details 40% 60% Pre-liminary pages 40% 60% 5 Publishing Book Dummy In-liminary pages 40% 60% Post-liminary pages 40% 60%
203
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
DISCUSSIONS AND RESEARCH FINDINGS In order to approve the goals, it is written to be commitment that the publishing students have to complete their study within three years (six semesters) with the comparative learning ratio 40% theory and 60% hands on learning. At the first year (semester one and two), the students get the basic theory of publishing, basic practice of writing and editing, and industrial orientation. At the second years (semester three and four), the students get a lot of practices in writing, editing, editorial management, and Industrial apprenticeship. At the third years (semester five and six), the students get specific writing and editing project, entrepreneurship and industrial hands on practice as well as presenting their compulsory reported comprehensive project. In order to support the learning process, the Publishing Study Program has comfortable and elegant classrooms equipped with digitalized communication, language laboratory, publishing laboratory, free Internet, and fully digitalized library as well as national and international collaboration scope. This consequently can enhance the students creativity and innovation of doing creative writing, creative editing, and producing various kinds of hi-end publishing products. Referring to the expected learning output and English is strongly recommended to support the teaching learning process (four semesters), the researcher is interested in designing English material approached to the needs of publishing industry. The appropriate materials for this course is of course English for Occupational Purposes (EOP) as the branch of English for Specific Purposes (ESP). To do so, the researcher wishes to provide English learning materials with three research output, such as basic course outline, English materials as learning models, and a lecturer’s guide. Hopefully this research contributes to the right path of Designing English Material for supporting the achievement of institutional goal through English learning process for Publishing Students at PoliMedia. Last but not least, this research is also back-worded by the pragmatic experiential learning problems the researcher faces in daily routine activities of teaching learning from first to fourth semester (2008-2011). It has accumulated into the researcher’s pragmatic findings that teaching English for publishing students with its basic skills (reading, writing, listening, speaking) should be in line with the needed basic competencies of language assessment in the publishing needed skills (pre-writing, drafting, revising, editing, and publishing). However, in order to assure the pragmatic findings it is needed to do the academic analysis through the following academic research methodology, including: setting and time, research design, population and sample, data collection instrument, and data analysis. The research result is expected to provide lecturer with the right model of designing English language learning material used for guiding the students and lecturer hand-in-hand in the learning process. The most significant of the research is based on what the PoliMedia’s function to steer-up the three years diploma program focused on the need for publishing students as supposed intellectual resources of national Publishing Industry in Indonesia. Based on the data analysis, the research findings are classified into three major categories. First category is related to the first research question “How does the English materials meet the Publishing Students’ needs?”. Second category is related to the second research question “How does the English materials meet the Industry needs?”. And the last category is related to the the last research question “ “How does the English materials improve students’ proficiency in understanding EOP materials?. The data to answer each research questions are taken from questionaire-, interview-, simulation and class observation-based data. To clarify the question research How Does the English Materials meet the Publishing Students’ Needs? here are the graphic of competence recorded from respondent’s scaling toward the language aquisition in the activities of “prewriting-drafting-revising-editing-publishing”. The data derived from 44 students who filled in the observation sheets as observed during the class session. The data shows how the language acquisition correlated with the technical skills needed in publishing industry approached to it’s production cycles pre-writing-drafting-revising-editing-publishing.
204
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
1.
Language Acquisition in Prewriting Graph 1 indicates that prewriting competency requires the skill of reading (36%), writing (28%), speaking (21%) and listening (15%). From the data it can be stated that language acquisition in prewriting is more influenced by the skill of reading, and then sequently followed by writing, speaking and listening. That means the design of material should focus on the effort of triggering students’ skill in reading habit.
In addition to the language competencies, data also shows the priority level of technical skills needed in prewriting competency. In general, the language acquisition in prewriting competencies and its influences to priorities of technical skills can be seen in the following graph.
Listening (15%)
Reading (36%)
Speaking (21%)
Writing (28%)
Leanguage Acquisition in Prewriting
Graph 1.
Technical Skill Scaling Priorities in Prewriting Competencies: 1 Literacy skills 2 Written communication skills 3 Speed reading skills 4 General IT user skills 5 Oral Communication skills 6 Numeracy skills 7 Foreign language skills 8 Grappling with grammar skills 9 Note-taking skills 1 0 Negotiating skills 1 1 IT professional skills 1 2 Office administration skills 1 3 Technical and practical skills 1 4 Management skills 1 5 Team-working skills 1 6 Customer handling skills 1 7 Problem solving skills
The Language Acquisition in Prewriting and its priorities of technical skills.
2.
Language Acquisition in Drafting Graph 2 indicates that drafting competency requires the skill of reading writing (36%), reading (30%), speaking (14%) and listening (20%). From the data it can be stated that language acquisition in drafting is more influenced by the skill of reading, and then sequently followed by writing, speaking and listening. From the data it can be stated that language acquisition in drafting is more influenced by the skill of writing, and then sequently followed by reading, speaking and listening. That means the design of material should focus on the effort of triggering students’ skill in writing habit. In addition to the language competencies, data also shows the priority level of technical skills needed in drafting competency. In general, the language acquisition in drafting competencies and its influences to priorities of technical skills can be seen in th following graph.
205
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Listening (20%)
Reading (30%)
Speaking (14%)
Writing (36%)
Leanguage Acquisition in Drafting
Technical Skill Scaling Priorities in Drafting Competencies: 1 Written communication skills 2 Literacy skills 3 Grappling with grammar skills 4 Speed reading skills 5 Note-taking skills 6 Negotiating skills 7 Foreign language skills 8 Numeracy skills 9 Management skills 10 General IT user skills 11 Oral Communication skills 12 Team-working skills 13 Problem solving skills 14 Customer handling skills 15 Technical and practical skills 16 Office administration skills 17 IT professional skills
Graph 2. The Language Acquisition in Drafting and its priorities of technical skills. 3.
Language Acquisition in Revising Graph 3 indicates that drafting competency requires the skill of reading (34%), writing (30%), speaking (20%) and listening (16%). From the data it can be stated that language acquisition in revising is more influenced by the skill of reading, and then sequently followed by writing, speaking and listening. It means that the design of material should focus on the effort of triggering students’ skill in reading habit. In addition to the language competencies, data also shows the priority level of technical skills needed in revising competency. In general, the language acquisition in revising competencies and its influences to priorities of technical skills can be seen in th following graph. Technical Skill Scaling Priorities in Revising Competencies: 1 Numeracy skills Listening (16%) 2 Literacy skills Reading (34%) 3 General IT user skills 4 Technical and practical skills 5 Speed reading skills Speaking (20%) 6 Note-taking skills 7 Foreign language skills 8 IT professional skills 9 Grappling with grammar skills Writing (30%) 10 Management skills 11 Customer handling skills 12 Office administration skills 13 Written communication skills Leanguage Acquisition in Revising 14 Negotiating skills 15 Team-working skills 16 Oral Communication skills 17 Problem solving skills Graph 3: The Language Acquisition in Revising its priorities of technical skills. 206
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
4.
Language Acquisition Editing Graph 4 indicates that editing competency requires the skill of writing (32%), reading (25%), speaking (23%) and listening (20%). From the data it can be stated that language acquisition in editing is more influenced by the skill of writing and then sequencely followed by reading, speaking and listening. It means the design of English material should focus on the effort of triggering students’ skill in writing habit. In addition to the language competencies, data also shows the priority level of technical skills needed in editing competency. In general, the language acquisition in editing competencies and its influences to priorities of technical skills can be seen in th following graph.
Listening (20%) Reading (25%)
Speaking (23%)
Writing (32%)
Leanguage Acquisition in Editing
Technical Skill Scaling Priorities in Editing Competencies: 1 Grappling with grammar skills 2 Speed reading skills 3 Literacy skills 4 Numeracy skills 5 Foreign language skills 6 Technical and practical skills 7 General IT user skills 8 IT Professional skills 9 Written communication skills 10 Office administration skills 11 Management skills 12 Customer handling skills 13 Oral Communication skills 14 Problem solving skills 15 Note-taking skills 16 Team-working skills 17 Negotiating skills
Graph 4. The Language Acquisition in Editing and its priorities of technical skills.
5.
Language Acquisition in Publishing Graph 5 indicates that editing competency requires the skill of speaking (40%), listening (30%), reading (20%) and writing (10%). From the data it can be stated that language acquisition in publishing is more influenced by the skill of of speaking and then sequently followed by listening, reading and writing. It means the design of English material should focus on the effort of triggering students’ skill in speaking habit. In addition to the language competencies, data also shows the priority level of technical skills needed in publishing competency. In general, the language acquisition in publihsing competencies and its influences to priorities of technical skills can be seen in th following graph.
207
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Listening (30%) Reading (20%)
Writing (10%)
Speaking (40%)
Leanguage Acquisition in Publishing
Technical Skill Scaling Priorities in Publishing Competencies:: 1 Team-working skills 2 Oral Communication skills 3 Problem solving skills 4 Customer handling skills 5 Negotiating skills 6 Management skills 7 General IT user skills 8 Technical and practical skills 9 Office administration skills 10 Written communication skills 11 Literacy skills 12 Numeracy skills 13 IT Professional skills 14 Foreign language skills 15 Grappling with grammar skills 16 Speed reading skills 17 Note-taking skills
Graph 5.The Language Acquisition in Publishing and its priorities of technical skills.
CONCLUSION Based on the results of data anaysis and the discussion data analysis, the following conclusions are drawn that in order to meet the publishing students’ needs, the design of English learning materials for the publishing students should be formulated according to the level of competencies approaches to national qualification framework of Indonesia. Hence, the design of English learning materials should approach to the effort of implementing four basic skills “reading, writing, listening and speaking” as well as encouraging students enjoy learn and practice the activities of editorial job cycle from prewriting-drafting- revising-editing-publishing. For the purpose of teaching and learning process and inline with need of publishing Industry, the design of English learning materials is dedicated preferable to using the subject references of publishing activities, such as: 1) Commissioning and Acquisitions, 2) Rights, 3) Contract, 4) Design (visual), 5) Editorial management, 6) Design (structural), 7) Editing, 8) Production, 9) Marketing and Direct Selling. Furthermore, the design of English learning materials for the publishing students must be able to promote students in performing various technical skills needed for industry, such as: 1). Teamworking skills; 2) oral communication skills; 3) problem solving skills, 4) customer handling skills, 5) management skills, 6) general IT user skills, 7) technical and practical skills, 8) office administration skills, 9) written communication skills, 10) literacy skills, 11) numeracy skills, 12) IT professional skills, 13) foreign language skills, 14) grappling with grammar skill, 15) speed reading skills, 16) note- taking skills and 17) negotiationg skills. REFERENCE Alderson, L.C. Material Evaluation in Harper, D.P.L. (ed.) English For Specific Purpose, papers from the 2nd Latin American Regional Conference Cocoyoc, 25-30 March 1997. Allwright, R.L. What do we want teaching materials for? In Rossner and R.Bolitho, (Eds.), Current In Language Teaching. Oxford University Press, 1990.
208
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Alderson Charles and Bachman F Lyle. Assessing Writing. United Kingdom: Cambridge University Press, 6th edition, 2009. Allison Baverstick. How to Market Books, , 4th Edition Hogan Page, 2008. Basturkmen Helen. Developing Courses in English for Specific Purposes. New York: Palgrave Macmillan, 2010. Benyamin S. Bloom, Bertram B., Mesia and David R. Krathwohl. Taxonomy of Educational Objectives. New York : David Mckay, 1964. Brown, J.D. The Element of Language Curriculum: A systematic Approach To Program To program Development. Heinle & Heinl, 1995. Campbell Linda, Cambell Bruce, and Dickinson Dee.Teaching and Learning through Multiple Intelligences. United State of America: A Simon & Schster Company, 1996. Chen, Y. Material Production for Architecs and Civil Engineers, 2008. Crawford J. The Role of Materials In The Language Classroom: Finding the Balance, 2002. Eric H. Glendinning. Basic English for Computing. 2007 Giles Clark and Angus Philips. Inside Book Publishing. United Kingdom: 4th edition Rouletge, 2008. Hague., Paul. Merancang Kuesioner (Alih bahasa, Fery). Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1995. Hutchinson and Waters. English for Specific Purposes: A learners- centered approach. Great Britain: Cambridge University Press, 2008. Hutchinson,T. & Torrers. E The Textbook as Agent of Change. ELT Journal 48(4), 1994. Hymes, D. On Communicative Competence. In Pride, J.B. and J. Holmes (Eds), Sociolinguistics.: 269-39, 1972. ISP. Nation & John Macalister. Language Curriculum Design, Routledges Taylor & Francis Group New York and London, 2010. Jack. C. Richard and Willy A Renandya (eds). Methodology in Language Teaching. New York: Cambridge University Press. John, A. English for Specific Purposes: Its history and contribution, 1991. Johnson, K and K Morrow. Communication in The Classroom. London: Longman, 1981. John Macalister and I.S.P Nation; Language Curriculum Design, ESL & Applid Linguistics Professional Series. Rotledge Taylor & Francis Group New Yorh and London, 2009 Leigh and Barron Consulting Ltd. National Occupational Standards for Technical Communicator, The Publishing Training Centre, 1999. -------------------------------------- National Occupational Standards for Book and Journal Publishers, The Publishing Training Centre, 1999. Lynette Owen Routledge. Selling Right, fifth edition, 2008. Malan, Alley. Assessing Young Learners. Oxford New York. Oxford University Press, 2003 Michael J. Wallace. Action Research for Language Teachers. New York: Cambridge University Press,1997. Munby, John. Communicative Syllabus Design. A sociolinguistic model for defining the content of purpose-specific language programmes. New York: Cambridge University Press, 1988 Murni Djamal, M.A and Team. Improving Reading Skill in English for University Student. Jakarta: PT. Penerbit Gramedia, 2008. Pramudya, Leo. A. Vocabulary & Grammar in Use for nursing, 2007. ----------------------. English for Professional Nurses, 2006. Richards, J.C., Platt, J. & Weber, H. Longman Dictionary of Applied Linguistics. London: Longman, 1985. Robinson, P.C. ESP Today: A Practitioner’s Guide. New York: Prentice Hall, 1991. R.R. Jordan. English for Academic Purposes: A Guide and Resource book for Teachers, 1997. International Labour Office. SDC Swiss Agency: 40 Question on Labour Competency. Fernando Vargas Zuniga. Turnbull, Joanna. New 8th Edition. Oxford Advanced Learner’s Dictionary: Oxford. In Michael Swan (Eds. Cambridge Language Teaching Library).University Press, 2010.
209
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Widdowson, H.G. Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford University Press, 1978. ---------------------. English for Specific Purposes: Criteria for Course Design. English for Academic and Technical Purposes: Studies in Honor of Louis Trimble Rowley. MA: Newbury House, 1981. Wilkins, D.A. Notional Syllabus. Oxford: Oxford University Press, 1976. Yalden, Y. Principle of Course Design for Language Teaching. New York: Cambridge University Press, 1987.
210
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENINGKATAN KETERAMPILAN GURU SEKOLAH DASAR DALAM MELAKUKAN PERENCANAAN PEMBELAJARAN MELALUI MODEL KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU. Zulfadewina1 1
Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA) [email protected] Abstract Guru memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pencapaian mutu pendidikan, peranan guru dalam mengelola proses pembelajaran sangat menentukan kwalitas proses belajar yang nantinya akan sampai pada tujuan akhir yaitu kualitas hasil belajar. Guru yang profesional dapat peningkatan kualitas pendidikan, untuk itu guru harus memiliki kompetensi pribadi, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi pedagogik. Guru yang profesional berupaya mencapai terjadinya perubahan tingkah laku siswa, baik dalam domain kognitif, sikap, dan domain keterampilan, serta aspek-aspek lainnya yang ada dalam diri siswa. Penelitian ini bertujuan mencari jawaban bagaimana meningkatkan keterampilan guru Sekolah Dasar (SD) dalam menyusun perencanaan pembelajaran melalui kompetensi profesionalnya. Metode penelitian yang digunakan adalah Action Resarch (Penelitian Tindakan) menurut Stephan Kemmis dan Tagart. Sampel penelitian sebanyak 10 orang guru Sekolah Dasar. Penelitian dilaksanakan dua siklus. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kompetensi profesional yang dituntut dari seorang guru dalam melaksanakan tugas meliputi: (1) menguasai landasan kependidikan, (2) menguasai bahan pengajaran, (3) menyusun program pengajaran, (4) melaksanakan program pengajaran, dan (5) menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Peningkatan terjadi dari kemampuan awal 40% pada siklus pertama menjadi 62.67%, dan menjadi 84.77% pada sikulus kedua.
PENDAHULUAN Secara akademik seorang guru harus memiliki tiga kemampuan dasar untuk melaksanakan tugas mengajar yaitu: (a) kompetensi kognitif, (b) kompetensi sikap, (c) kompetensi kinerja atau performansi. Berdasarkan ketiga bidang kompetensi tersebut, maka guru disebut memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugas secara profesional. Seorang guru pada hakikatnya melakukan proses perubahan tingkah laku perserta didik yang ditandai dengan terjadinya perubahan dalam pengetahuan, sikap, keterampilan, kecakapan dan aspek-aspek kemampuan lainnya yang ada dalam diri siswa. Guru adalah pendidik yang profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, baik pada pedidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam berbagai kajian saat ini yang mengacu kepada hasil belajar siswa, mutu sebagian guru masih belum memuaskan, baik dalam hal penguasaan substansi keilmuan maupun kompetensi dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagai contoh adalah Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Pasar Rebo, perolehan hasil belajar siswa masih tergolong rendah baik Nilai Ebtanas Murni (NEM) atau Ujian Nasional (UN), dibandingkan dengan Sekolah Dasar dari kecamatan lainnya. Rendahnya perolehan hasil belajar ini tentu tidak terlepas dari fungsi dan peranan guru dalam mendidik, mengajar dan melatih siswa dalam memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk mempelajari mata pelajaran ynag diberikan. Tugas seorang guru sebelum pelaksanaan pembelajaran adalah melakukan pengembangan kurikulum dan pembelajaran yang mencangkup kegiatan: (1) mengkaji kurikulum dan mengembangkan silabus, (2) membuat program tahunan dan program semester, dan (3) membuat program pembelajaran. Oleh karena itu guru perlu mengembangkan dan meningkatkan kompetensi profesionalismenya agar 211
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Lebih jauh lagi, kualitas guru memang sudah selayaknya ditingkatkan dewasa ini. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas guru adalah dengan mengikut sertakan mereka dalam pelatihan-pelatihan dan lokal karya agar pengetahuan dan pengalaman mereka semakin dalam dan luas. Peningkatan keterampilan guru dapat dilakukan melalui penggunan model-model pembelajaran, dan membuat dan mengembangkan Rencana Program Pembelajaran (RPP) berdasarkan Kurikulum . Kompetensi merupakan kemampuan individu yang berhubungan dengan performa superior dalam sebuah peran atau pekerjaan. Kompetensi bisa berbentuk pengetahuan, keterampilan, strategi intelektual atau gabungan dari ketiganya yang diaplikasikan ke satu atau kelayakan unit kerja. Kemampuan ini berguna bagi guru untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Agar dapat dikatakan sebagai guru yang profesional maka seorang guru harus memenuhi kompetensi guru sebagaimana dimaksud oleh Undang- Undang nomor 14 tentang guru dan dosen Pasal 10 ayat 1, yaitu meliputi: (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki : (1) pengetahuan yang essensial yang terdiri dari pengetahuan tentang diri sendiri dan siswanya, pengetahuan tentang materi dan pengetahuan tentang teori pendidikan, (2) keterampilan yang essensial terdiri dari teknik keterampilan mengajaar dan teknik interpersonal, dan (3) kemampuan merefleksikan dan memecahkan masalah. Pembelajaran akan berhasil baik apabila proses belajar mengajar dilaksanakan oleh guru yang berkompeten. Guru yang memiliki kompetensi mengajar harus mampu menciptakan kondisi yang mendorong belajar pada siswa yakni: (1) mampu merumuskan tujuan pengajaran yang jelas bagi siswa, (2) mampu melaksanakan proses belajar mengajar dengan kegiatan mengamati, berbuat, ,mengalami, mereaksi yang dilakukan oleh siswa, (3) mampu mencapai tujuan pengajaran bagi siswa dalam bentuk pola perubahan tingkah laku dalam arti luas meliputi bidang kognitif, afektif, dan psikomotori, (4) mampu memberikan bimbingan dan memotivasi yang dapat mendorong siswa melaksanakan kegiatan belajar, (5) mampu memainkan peranan sebagai fasilitator belajar. Dengan demikian bahwa peranan guru dalam pembelajaran pada dasarnya membimbing dan mengarahkan kegiatan yang optimal. Kompetensi profesional yang dituntut dari seorang guru dalam melaksanakan tugas menurut Usman meliputi: (1) menguasai landasan kependidikan, (2) menguasai bahan pengajaran, (3) menyusun program pengajaran, (4) melaksanakan program pengajaran, dan (5) menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Dengan demikian seorang guru dikatakan memiliki kompetensi profesional apabila menguasai materi yang diajarkan, memiliki kemampuan untuk mengelola pembelajaran, memiliki pengetahuan tentang menilai kegiatan pembelajaran. Pelatihan sangat diperlukan bagi seorang guru untuk meningkatkan keterampilan teritama dalam perencanaan pembelajaran. Keterampilan yang diberikan akan mampu menciptakan guru-guru yang berkualitas dan profesional. Berdasarkan observasi awal diperoleh guru-guru di SDN Baru Pasar Rebo yang berada diwilayah Jakarta Timur dan hasil lulusan yang diperoleh. Oleh sebab itu, sangat tepat dan perlu penelitian ini dilakukan dilokasi tersebut. Agar apa yang dilakukan bermanfaat bagi kita semuanya. Penyelesaian masaalah ini tentunya perlu melibatkan lembaga yang berwenang dan mendapatkan kepercayaan pemerintah. UHAMKA sebagai salah satu LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang memang selama ini konsisten membantu guru baik dalam hal penelitian ,merasa perlu untuk membantu menyelesaikan persoalan diatas. Diharapkan penelitian Peningkatan pemahaman guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) melalui kompetensi profesionalisme guru kelas V SDN Baru kecamatan Pasar Rebo. KAJIAN TEORITIK PROPESIOANALISME GURU Pemahaman guru dalam Perencanaan Pembelajaran Cunning (1982) mengemukakan bahwa perencanaan ialah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta, imajinasi dan asumsi untuk masa yang akan datang dengan tujuan memvisualisasikan dan memformulasi hasil yang dinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian. Menurut Arthur (1983) menyatakan bahwa perencanaan adalah hubungan antara apa yang ada sekarang dengan
212
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
bagaimana seharusnya yang bertalian dengan kebutuhan, penentuan tujuan, prioritas program dan alokasi sumber. Sementara defenisi lain menurut Robins (1982), perencanaan adalah suatu cara untuk mengantisipasi dalam menyeimbangkan perubahan. Pengertian berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 Pasal 20 dinyatakan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurangnya–kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses dijelaskan bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistimatis agar pembelajaran berlansung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpatisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, kemandirian, sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik Berdasarkan rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa perencanaan adalah suatu cara yang memuaskan untuk membuat kegiatan dapat berjalan dengan baik, disetasi dengan berbagai langkah yang antisipatif guna memperkecil kesenjangan yang akan terjadi sehingaga kegiatan tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pembelajaran berasal dari kata belajar yang berarti adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan yang dimaksud mencakup aspek kognitif, efektif, maupun psikomotor. Menurut Suwardi pembelajaran dapat diartikan proses yang dirancang untuk mengubah diri seseorang, baik aspek kognitif, maupun psikomotonya. Sedangkan menurut M. Gagne (1965) dalam Suharjo dikatakan bahwa mengajar adalah mengatur peristiwa-peristiwa eksternal untuk menggerakakan dan mendukung terjadinya proses belajar dari dalam (internal) diri peserta didik. Pembelajaran atau pengajaran menurut Deng (1993) dalam uno adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam pengajran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pengajaran yang dinginkan, hal ini didasarkan pada kondisi pengajaran yang ada. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 20 didefenisikan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran tersebut dilaksanakan secara interaktif antara guru dengan siswa, dimana kedua belah pihak berperan dan berbuat secarta aktif didalam kerangka kerja atau kerangka berpikir yang disepakati. Kegiatan dalam proses pembelajaran merupakan keterkaitan stimulus dan respon yang diciptakan guru. Oleh karena itu mengajar adalah menciptakan stimulus dan respon yang diciptakan guru. Oleh karena itu mengajar adalah menciptakan stimulus terjadinya proses belajar pada diri siswa. Perencanaan pembelajaran memiliki definisi yang beragam, para ahli belum memiliki kesepakatan. Menurut Suwardi perencanaan pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan cara berpikir mengenai sesuatu hal yang akan dilakukan dengan tujuan diri seseorang dapat berubah. Perubahan tersebut mencakup aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Menurut Rosyada (2004) dalam Suwardi, perencanaan pembelajaran meliputi rumusan tentang apa yang akan diajarkan, cara mengajar dan tingkat penguasaan siswa terhadap bahan yang diajarkan. Sedangkan menurut Shambaugh dan Magliaro perencanaan pembelajaran secara dominan berpusat pada guru. Perencanan pembelajaran diperlukan agar tercapai perbaikan pembelajaran. Menurut Uno upaya ini dilakukan agar: (1) memperbaiki kualitas pembelajaran dengan perencanan pembelajaran diwujudkan dengan adanya desain pembelajaran, (2) merancang suatu pelajaran perlu menggunakan pendekatan system, (3) Perencanaan disain pembelajaran diacukan pada bagaimana seseorang belajar, (4) merencanakan suatu disain pembelajaran diacukan pada siswa perorangan, (5) pembelajaran yang dilakukan akan bermuara pada ketercapaian tujuan pembelajaran, (6) sasaran akhir dari perencanan disain pembelajaran adalah mudahnya siswa untuk belajar, (7) perencanan pembelajaran harus melibatkan semua varibel pembelajaran, (8) inti dari disain pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan pembelajaran guru harus mengembangkan kurikulum dan pembelajaran yang mencakup: (1) mengkaji kurikulum dan mengembangkan silabus (2) membuat program tahunan dan program semester, (3) membuat rencana pembelajaran.
213
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Penyusunan persiapan pembelajaran sesuai dengan kurikulum (2004) menurut Depdiknas (2004) dalam Ambarita sebagai berikut: (1) Identitas mata pelajaran (nama pelajaran, kelas semester, waktu atau alokasi waktu), (2) kompetensi dasar (yang akan dicapai atau tujuan), (3) materi pokok (uraian materi yang perlu dipelajari dalam rangka mencapai tujan, (4) strategi pembelajaran atau tahaptahapan proses pembelajaran,(5) media pembelajaran(alat bantu yang digunakan untuk memudahkan pembelajaran dipahami), (6) penilaian dan tindak lanjut instrument dan produser yang digunakan untuk menilai pencapai hasil belajar siswa yang optimal. Model Kompetensi Profesional Guru a. Pengertian Model Menurut Ahkmad apabila antara pendekatan, strategi, metode, tehnik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah model pembelajaran. Model pembelajaran menurut Bruce Joice, Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A, Benyamin Surasega, 1990) ada empat kelompok model pembelajaran yaitu: (1) model interaksi social, (2) model pengolahan informasi, 3) model personal-humanistic, dan (4) model modifikasi tingkah laku. Untuk dapat melaksanakan tugas secara professional seorang guru dituntut untuk dapat memahami dan memiliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata sesuai tempat kerjanya, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model pembelajaran versi guru tersebut. Menurut Dorin, Demnin dan Gabel (1990) dalam Yulaewati model merupakan gambaran mental yang membantu kita untuk menjelaskan sesuatu yang tidak dapat dilihat atau dialami secara lansung. Model dapat membantu kita melihat keterkaitan segala aspek secara tepat, utuh, konsisten dan menyeluruh. Suatu model disusun dalam upaya mengkongritkan keterkaiatan hal-hal abstrak dalam suatu skema, bagan, gambar atau table. Sedangkan Soekamto,dkk dalam Nurulawati (2000) dalam Trianto mengemukakan maksud model pembelajaran adalah kerangka konsep tual yang melukiskan prosedur yang sistimatis dalam mengorgansasian pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebgaia pedoman bagi paraperancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Sejalan dengan pendapat itu Eggen dan Kauchak dalam Trianto menyatakan bahwa model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar. b. Pengertian Kompetensi Profesional Guru Kompetensi professional guru merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan. Dalam Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen bahwa kompetensi yang perlu dimiliki oleh guru meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi professional guru adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajar dengan berhasil. Sedangkan menurut Tilaar kompetensi professional yangt perlu dimiliki oleh setiap guru antara lain: kemampuan untuk mengembangkan kepribadian pribadi peserta didik khususnya kemampuan intelektualnya, serta membawa peserta didik menjadi anggota masyarakat Indonesia yang bersatu berdasarkan Pancasila. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa seorang guru profesional adalah mereka yang menguasai falsafah pendidikan nasional, pengetahuan yang luas khususnya bahan pelajaran yang akan diberikan kepada siswa, memiliki kemampuan menyusun program pembelajaran dan melaksanakan hal-hal yang terkait dengan keberhasilan tugas pokok tersebut. Spencer & Spenser menyebutkan professional juga dapat diartikan memiliki karakteristik pemahaman teknik pengerjaan yang lebih baik dan lebih luas, yaitu memiliki pemahaman yang mendalam, dan memhami keterkaitan antara tugas-tugasnya dengan aspek-aspek berkaitan. Menurut Robbins seseorang yang dikatakan professional selalu memiliki karateristik sebagai berikut: (1) memiliki komitmen yang kuat dan berjangka panjang terhadap keahlian mereka, (2) memiliki loyalitas yang lebih tinggi terhadap pekerjaannya daripada kepada pimpinannya, (3) selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan jaman, dan (4) dalam bekerja tidak terkait dengan jadwal reguler. Guru professional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melakasanakan tugas sehari-hari. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif 214
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dan mampu melaksanakan tugas secara optimal untuk kepentingan pencapaian hasil belajar siswa khususnya dan pencapaianmutu pendidikan pada umumnya. Seorang guru mempunyai kewajiban yang lebih komprehesif dalam melaksanakan keprofesionalannya sebagaimana ditegaskan dalam Undang- undang guru dan Dosen tahun 2005 yaitu dalam hal (1) merencanakan pembelajaran, melaksankan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, (2) meningkatkan dan mengembangan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, (3) bertindak objektif dan tidak diskriminasif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status ekonomi peserta didik dalam pembelajaran, (4) menjunjung tinggi peraturan perundang undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai nilai agama, dan etika, dan (5) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Pengetahuan dan keterampilan (kognitif) dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu (1) pengtahuan keguruan /kependidikan, dan (2) pengetahuan bidang studi yang menjadi mata pelajran yang diajarkan guru. Lawson dalam syan menambahkan bahwa kemampuan mentransfer strategi kognitif kepada para siswa agar dapat belajar secara efisien dan efektif juga perlu dimiliki oleh seorang guru. Kompetensi ranah afektif meliputi sikap dan persaan diri yang berkaitan dengan profesi keguruan. Sedangkan kopmetensi psikomotor guru meliputi semua keterampilan atau kecakapan yang berhubungan dengan jasmaniahdalam melaksanakan tugas sebagai pengajar. Kompetensi ini berkaitan dengan kecakapan fisik umum yang direfeleksikan dalam gerakan atau tindakan umum jasmani guru seperti duduk, berdiri, sedangkan kecakapan khusus meliputi keterampilan-keterampilan ekspresi verbal (pernyataan lisan) dan nonverbal (pernyataan tindakan) tertentu yang digambarkan ketika mengelola pembeljaran. Soedijarto mengelompokan dalam empat gugus kompetensi professional dari sepuluh kompetensi professional diatas, yaitu: (1) merencanakan program belajar mengajar, (2) melaksanakan dan memimpin proses belajar mengajar, (3) menilai proses belajar mengajar dan (4) menafsir dan memamfaatkan hasil penelitian kemajuan belajar mengajar dan informasi lainnya bagi penyempurnaan dan pelaksanakan proses belajar mengajar. Guru yang memiliki kompetensi professional adalah mereka yang mampu bertingkah laku secara prfoesional dengan menguasai materi ajar, memiliki keterampilan dalam melaksanakan pembelajaran, dan memiliki pengetahuan tentang evaluasi. Dengan demikian kompetensi professional guru adalah kemampuan yang dimiliki oleh guru yang merupakan hasil kerja kognitif untuk melaksanakan tugas sehingga siswa memperoleh hasil belajar yang optimal, sehingga terciptanya pendidikan yang berkualitas atau bermutu. Kemampuan itu meliputi: (1) penguasaan materi pelajaran, (2) kemampuan mengelola pembelajaran, dan (3) pengetahuan tentang evaluasi.
Gambar 1. Model Kompetensi Profesional Guru Penguasaan materi Pelajaran IPA Penguasaan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan pengetahuan,kepandaian,dan sebagainya.Sedangkan kesanggupan diartikan sebagai kemampuan orang tersebut dalam menerapkan sejumlah pengetahuan yang berkaitan dengan objek tersebut . Sebelum mengkaji materi pembelajaran yang perlu dikuasai guru , terlebih
215
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dahulu akan di kaji makna dari mata pelajaran yang akan diajarkan yaitu pelajaran Ilmu Pengtahuan Alam (IPA) . Sains atau ilmu pengetahuan alam (IPA) secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu tentang alam atau yang mempelajari peristiwa peristiwa yang terjadi dialam . Semiawan menartikan Ilmu Pengetahuan Alam mencangkup aspek-aspek pengetahuan yang tidak terbatas pada fakta dan konsep saja, tetapi juga aplikasi konsep dan prosesnya mengacu pemikiran manusia . Carin dan Sund, menjelaskan bahwa IPA merupakan suatu cara untuk mengetahui tentang alam melalui kumpulan data yang diperoleh melalui pengamatan dan penelitian yang terkontrol yang didalamnya memuat proses,produk,dan sikap manusia . Dengan demikian IPA didasarkan pada pendekatan emmpirik dengan asumsi bahwa alam ini dapat dipahami,dipelajari,dan dijelaskan tidak semata-mata bergantung pada metode kausalitas, tetapi melalui proses tertentu, misalnya observasi, exsperimen, dan analisis nasional. Dalam kaitan ini digunakan juga sikap tertentu, seperti bersikap objektif dan jujur dalam mengumpulkan serta menganalisa data. Berikut ini diuraikan tentang hasil belajar IPA yang diharapkan dari segi proses, produk, dan sikap. Produk IPA, berisi kumpulan pengetahuan yang meliputi fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori yang merupakan hasil rekaan manusia dalam rangka memahami dan menjelaskan alam dengan berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Fakta adalah sesuatu yang telah sesuatu yang telah atau yang sedang terjadi berupa keadaan, sifat atau peritiwa atau pengalaman khusus yang dinyatakan dalam istilah atau simbol tertentu yang dapat diterima. Konsep mengacu kepada benda-benda (objek), peristiwa, keadaan, sifat, kondisi ciri dan atribut yang melekat.Sedangkan teori adalah komposisis yang dihasilkan dari pengembangan suatu jumlah proposisi (pernyataan berarti) yang dianggap memiliki keterhubungan secara universal.hasil dan kerja sains atau produk sains berupa informasi dan ide-ide baru tentang IPA yang dituangkan dalam bentuk pengetahuan Ilmiah. Proses IPA sebagai suatu proses dan metode adalah merupakan kemampuan atau pemahaman dasar keilmuan (pemahaman proses sains) dan secara umum meliputi tahapan, yaitu (1) menyadari adanya masaalah), (2) menyusun hipotesis, (3) melakukan eksperimen (4) Melakukan observasi; (5) menyusun, mengumpulkan dan menganalisis data; (6) eksperimen ulang untuk verifikasi data dan membuat kesimpulan berdasarkan data. Pengetahuan evaluasi Pengetahuan sebagai suatu hal yang berada dikawasan mental yang diisi oleh konsep generalisasi mengenai objek, merupakan modal untuk menjadikan diri seseorang lebih dewasa. Gagne menyebutkan bahwa seseorang dapat mengetahui sesuatu saat belajar dan menjadikan dirinya lebih dewasa dalam arti terdapat perubahan tinggkah laku. Menurut Bloom menekan pada proses mengingat seperti mengungkapkan ide, materi ataupun fenomena pada situasi tertentu,dan harus memenuhi tujuan pembelajaran yang meliputi : 1. Pengetahuan mengenai hal-hal khusus, fakta-fata khusus, klasifikasi, kategori metodologi, terdiri dari penafsiran data, makna, ekplolasi, metodologi, prinsip-prinsip, generalisasi, pengetahuan teori dan struktur. 2. Aplikasi fenomena, aplikasi konsep-konsep ilmiah 3. Analisis mengenai penguraian suatu konsep kedalam unsur-unsur atau penjabaran dan penjelasan merupakan analisis terhadap hal tersebut. 4. Sintesis yaitu kesimpulan dari apa yang detail sehingga menjadi umum sifatnya. 5. Evaluasi dapat bersifat kualitatif, meliputi pertimbangan dalam kriteria tertentu. Evaluasi adalah proses menilai kemajuan atau ketercapaian tujuan dengan menggunakan criteria atau ukuran baku. Menurut Cliffrod evaluasi dapat diartikan proses penilaian hasil belajar. Guru dalam mengevaluasi hasil belajar yang diukur adalah penguasaan siswa terhadap tujuan yang telah ditetapkan yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas objek yang dievaluasi.Dapat disimpulkan pengetahuan evaluasi hasil belajar siswa yang ditunjukan pemahaman guru terhadap (1) fungsi dan tujuan evaluasi, (2) prinsip-prinsip evaluasi, (3) tes hasilo belajar sebagai evaluasi,(4) penyekoran dan pemberian nilai, (5) analisis butir soal, dan interprestasi hasil analisis tes, (7) tindak lanjut hasil evaluasi.
216
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Pelatihan Istilah pendidikan, pelatihan dan pembelajaran memiliki esensi yang sama. Yang membedakan ketiga konsep tersebut adalah sasaran yang dituju. Pada pendidikan, sasaran yang dituju adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan peserta didik secara intelektual maupun emosional. Pada pelatihan dan pembelajaran, sasaran yang dituju kegiatan belajar yang dilakukan didalam lingkungan tertentu yang memberikan kemungkinan untuk belajar menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan Istilah pelatihan digunakan pada kegiatan belajar yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan istilah pembelajaran digunakan pada kegiatan yang dilakukan oleh para siswa disekolah. Menurut George F. Kneller (1984) dalam Djuju Sudjana, menjelaskan bahwa pelatihan mengandung beberapa pengertian. Pertama pelatihan adalah suatu proses penyampaian dan pemilikan keterampilan, pengetahuan,dan nilai-nilai.Kedua, Pelatihan adalah produk hasil dari proses tersebut yaitu pengetahuan, dan pengalaman yang diperoleh dari pelatihan. Ketiga, pelatihan adalah kegiatan propesional yang memerlukan pengalaman khusus dan pengakuan. Keempat, pelatihan adalah suatu disiplin akademik, yaitu kegiatan terorganisasi untuk mempelajari proses, produk, dan profesi pelatihan dengan menggunakan kajian ilmu tentang manusia yang bermayarakat. Andrew E Sikula (1981) dalam Djuju Sujdjana menyatakan bahwa pelatihan adalah suatu proses kegiatan pendidikan jangka pendek dengan menggunakan prosedur sistimatis dan terorganisasi dimana orang-orang mempelajari pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Repuplik Indonesia Nomor 71 Tahun 1991 dikemukakan bahwa pelatihan adalah keseluruhan kegiatan untuk memberikan ,memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan keterampilan, produktivitas, disiplin, sikap kerja dan etos kerja pada tingkat keterampilan tertentu yang pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek daripada teori. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional dikemukakan bahwa pelatihan merupakan satuan pendidikan nonformal. Pelatihan adalah bentuk pendidikan berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi,pengembangan sikap dan kepribadian propesional. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode action research atau penelitian tindakan yang dilakukan dalam bentuk siklus. Dalam pelaksanaannya yang dipakai adalah, disain penelitian yang digunakan adalah model dari Kemmis dan Tagrt berupa suatu siklus spiral. Pengertian siklus ini adalah suatu putaran kegiatan yang meliputi tahap-tahap rancangan pada setiap putaran yaitu kegiatan meliputi tahap-tahap rancangan pada setiap putarannya yaitu (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3)observasi (observation) dan (4) refleksi (reflection). Revisi perencanaan pada sikulus ulang (siklus kedua) jika masih diperlukan. Uraian setiap tahap pada setiap siklus adalah sebagai berikut: 1. Menyusun rancangan tindakan (planning) Yaitu menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Penelitian tindakan yang ideal sebetulnya dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan dan pihak yang mengamati proses jalannya tindakan. Istilah yang digunakan untuk cara ini adalah penelitian kolaborasi 2. Pelaksanaan Tindakan (Acting) Tahap ke 2 dari penelitian tindakan adalah pelaksanaan yang merupakan implementasi atau penerapan isi rancangan, yang mengenakan tindakan di kelas. Hal yang perlu diingat adalah bahwa dalam tahap ke 2 ini pelaksana guru harus ingat dan berusaha menaati apa yang sudah dirumuskan dalam rancangan, tetapi harus pula berlaku wajar, tidak dibuat-buat. 3. Pengamatan (Observing) Tahap ke 3, yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh pengamat. Pengamatan tidak dipisahkan dengan pelaksanaan tindakan, keduanya berlangsung dalam waktu yang sama. Refleksi (Reflecting) Tahap ke 4 merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan. Kegiatan refleksi ini sangat tepat dilakukan ketika guru pelaksana sudah selesai melakukan tindakan, kemudian berhadapan dengan peneliti untuk mendiskusikan implementasi rancangan tindakan. Apabila pelaksana juga berstatus sebagai pengamat, yaitu mengamati apa yang ia lakukan, maka refleksi dilakukan terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, guru tersebut melihat dirinya kembali melakukan 217
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
“dialog” untuk menemukan hal-hal yang sudah dirasakan memuaskan hati karena sudah sesuai dengan rancangan dan secara cermat mengenali hal-hal yang masih perlu diperbaiki. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil pengolahan data penelitian secara berturut-turut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Nilai kompetensi Profesional Guru pada Siklus I Nilai kompetensi profeional guru pada akhir siklus I dapat ditunjukkan oleh table dan gambar berikut ini: Tabel 1. Nilai Kompetensi Profesional Guru Pada Siklus I No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Guru A B C D E F G H I j Rata-rata
Nilai 41 54 65 51 54 57 65 57 48 72 56.4
Secara diagram atau gambar kompetensi professional guru dapat ditunjukkan pada gambar berikut ini:
Gambar 1. Kompetensi Profesional Guru Siklus I
2.
Nilai Kompetensi Profesional Guru pada Sikulus II Nilai kompetensi profeional guru pada akhir siklus II dapat ditunjukkan oleh table dan gambar berikut ini:
218
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 2. Nilai Kompetensi Profesional Guru Pada Siklus II No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Guru A B C D E F G H I j Rata-rata
Nilai 75 77 76 75 73 74 78 76 80 79 76.3
Secara diagram atau gambar kompetensi professional guru dapat ditunjukkan pada gambar berikut ini:
Gambar 2. Kompetensi Profesional Guru Siklus II
3.
Perbandingan Nilai Kompetensi Profesional Guru pada Siklus I dan Siklus II Peningkatan kompetensi professional guru dari siklus I dan siklus II dapat dilihat dengan memperbandingkan nilai dari kedua siklus; yaitu dari nilai rata-rata 56.4 pada siklus I menjadi 76.3 pada siklus II. Seperti ditunjukkan gambar berikut:
Gambar 3. Perbandingan Nilai Kompetensi Profesional Guru 219
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan Guru SD dalam merencanakan Pembelajaran dapat ditingkatkan melalui Model Kompetensi Profesional Guru. Artinya guru yang mengikuti pelatihan ini menjadi lebih mampu mengembangkan Rencana program pembelajaran (RPP) setelah mengikuti dua siklus pelatihan. r. Keterampilan yang baik dalam mengembangkan RPP dapat membuat pembelajaran berlansung secara lebih interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi, peserta didik. Penelitian menunjukkan bahwa tidak hanya kompetensi profesionalitas yang meningkat tetapi juga kompetensi pedagogik, jika kemampuan guru dalam mengembangkan perencanaan pembelajaran meningkat. DAFTAR PUSTAKA Ali Mohammad. R Ibrahim, Juju Sujana, et.at, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung: Pedagogiana Press, 2007. Ambarita, Alben. Manajemen Pembelajaran, Depdiknas, Dirjen Dikti, Direktorat Ketenagaan, 2006. Bloom, Benyamin S. Taxonomy of Educational Objectives, New York: Longman Inc, 1981. Clifford, Margaret M, Practicing Educational Objectives, New York: Longman Inc, 1981. D. Hopkins, A Teacher’s Guide to Classroom Research, Bristol : Open University Press, 1993. M.S Suharjo, Mengenal Pendidikan Sekolah Dasar Teori dan Praktek, Jakarta: Depdiknas, Dirjen Dikti, Direktorat Ketenagaan, 2006. Romiszowski, A.J, Designing Instructional Systems: Decision Making in Course Planning and Curriculum Design, New York: Nichols Publishing Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
220
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGEMBANGAN KEPROFESIAN GURU PADA KKG DAN MGMP DI KABUPATEN BOGOR Efrini1 1
Universitas Negeri Jakarta [email protected] Abstract
Continuing Professional Development for teachers at Working Group (KKG and MGMP) is a part of human capital for teachers as a professional educator. KKG and MGMP is a nearest place for teachers for improving their competencies in line with development of science and technology that can impact teacher’s performance and student’s achievement. Government through Ministry of Education and Culture has develop standard operational procedures and guidelines for KKG and MGMP therefore the implementation of continuing professional development in KKG and MGMP can impacting students’ achievements. Based on the observation, most of KKG and MGMP in Kabupaten Bogor already follow these SOP and guidelines for implementing professional development activities in KKG and MGMP, but most of the activities not based on the result of teachers’ competency test and performance appraisal, therefore it can help teachers in solving their problem in teaching learning process. It still depends on trends, such as implementing curriculum 2013. Based on the result of study, writer recommend that District office needs to focus on teachers’ needs in whole and strategic ways, therefore there will be an improvement of professional development activities in KKG and MGMP and indirectly will improve students’ achievement. Keywords: Continuing Professional Development, Teacher Working Group, Human Capital
INTRODUCTION Human capital di bidang pendidikan sangatlah penting karena pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, guru sebagai sumber daya manusia di bidang pendidikan merupakan pioner dalam membangun insan manusia Indonesia. Dalam menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Sejalan dengan hal tersebut, maka Pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas, fungsi, dan peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Perkembangan teknologi dan informasi dalam era globalisasi ini, tidak sejalan dengan perkembangan sumber daya manusia Indonesia. Menurut 2, Indonesia menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Sedangkan menurut hasil Human Development Index pada tahun 2011, 221
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Indonesia berada dalam urutan ke 124 dari 187 negara. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sumber daya manusia di Indonesia masihlah di bawah rata-rata. Hasil studi oleh Bank Dunia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang paling menentukan keunggulan suatu negara yaitu kemampuan dalam berinovasi (45%), networking (25%), kemampuan teknologi (20%), dan terakhir kekayaan sumber daya alam/SDA (10%), kemampuan berinovasi ini dipercaya paling mempengaruhi keunggulan suatu negara karena menyangkut kepada kualitas SDM (Saiful Anam dan Hermin Susanti). Kemampuan dalam berinovasi ini dapat diasah melalui berbagai kegiatan pelatihan atau pengembangan yang terencana dan terarah. Peningkatan kualitas SDM suatu negara dipercaya dapat meningkatkan daya saing Indonesia dalam kancah persaingan global. Kualitas sumber daya manusia khususnya dalam bidang pendidikan di Indonesia masih di bawah rata-rata. Tuntutan akan kompetensi, kompetisi dan profesionalisme berstandar internasional belum dimiliki oleh guru-guru di Indonesia, bahkan masih banyak guru yang belum memenuhi standar kualifikasi dan kompetensi guru. Uji kompetensi awal untuk melihat kompetensi pedagogik dan profesional terhadap 281.019 guru yang akan disertifikasi menunjukkan bahwa rata-rata nasional adalah 42,25 dengan nilai terendah 1,0 dan nilai tertinggi 97,0 (Data Kemendikbud, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi guru masih rendah, sedangkan dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban untuk meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Undangundang No 14 Tahun 2005). Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka salah satu reformasi di bidang pendidikan adalah memperbaiki manajemen profesionalisme guru, mulai dari rekruitmen, masa induksi/perkenalan, penilaian kinerja guru, pengembangan keprofesian berkelanjutan dan peningkatan karir guru. Hal ini sangat penting dalam reformasi pendidikan mengingat bahwa dengan manajemen yang baik dapat membantu guru dalam mengembangkan kompetensi dan profesionalismenya serta peningkatan karirnya dalam rangka membangun pendidikan nasional. Mengingat pentingnya human capital pada guru, maka reformasi dalam bidang manajemen profesionalisme guru ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Kementerian Negara Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 mengenai Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam rangka human capital pada sumber daya manusia di bidang pendidikan, berdasarkan Permenegpan dan RB, salah satu kewajiban guru adalah meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan jabatan dan jenjangnya, guru wajib melaksanakan unsur kegiatan utama yaitu mengikuti pendidikan, pembelajaran/pembimbingan dan tugas tambahan dan/atau tugas lain yang relevan dengan fungsi sekolah/ madrasah; dan pengembangan keprofesian berkelanjutan, serta mengikuti kegiatan yang mendukung pelaksanaan tugas Guru. Sejalan dengan berlakunya Permenegpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya pada tahun 2013 bahwa guru berkewajiban meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan sebagai bagian dari Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan, maka perlu pemberdayaan terhadap Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai wadah kegiatan atau pertemuan bagi guru yang sangat strategis untuk peningkatan kompetensi dan kinerja guru. Pemberdayaan KKG dan MGMP dinilai harus segera dilakukan sebagai upaya dakam meningkatkan kinerja guru antara lain melalui, pelatihan instruktur, peningkatan sarana dan prasarana, dan peningkatan mutu manajemen KKG dan MGMP (Rambu-Rambu Pengembangan KKG dan MGMP, 2010). Laporan evaluasi pelaksanaan kegiatan KKG dan MGMP menyebutkan bahwa masih banyak KKG dan MGMP yang kegiatannya tidak aktif dilaksanakan, kegiatan KKG/MGMP tidak didasarkan atas kebutuhan guru, ketersediaan narasumber yang belum memadai, sarana dan prasarana yang masih terbatas, dan sebagainya (Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi, 2010). Selain itu, menurut Teaching and Learning International Survey yang dilakukan oleh OECD bahwa masih banyak guru yang belum mengikuti kegiatan pengembangan keprofesian guru, dan kegiatan-kegiatan pengembangan keprofesian guru yang tersedia belum memenuhi kebutuhan guru di lapangan (OECD, 2009).
222
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan panduan penyelenggaraan KKG dan MGMP sebagai acuan bagi guru dan pengurus KKG dan MGMP dalam melakukan aktivitas kelompok kerja atau musyawarah kerja, sehingga aktivitas yang dilaksanakan dapat lebih terarah dan dapat dijadikan wahana bagi pengembangan profesionalisme guru yang bermutu, mandiri, dan berkelanjutan (Rambu-Rambu Pengembangan KKG dan MGMP, 2010). Pemberdayaan KKG/MGMP merupakan bagian dari pembinaan dan pengembangan profesionalisme guru yang bertujuan untuk mengatur dan mengelola guru dalam menjadi tenaga yang profesional. Pelatihan atau kegiatan-kegiatan pengembangan keprofesian merupakan salah satu unsur yang penting dalam mengembangkan sumber daya manusia pendidikan. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan merupakan pengelolaan, peningkatan dan perluasan pengetahuan dan kemampuan seorang guru sesuai dengan keahliannya, sehingga memberikan dampak pada proses pembelajaran (Institute for Learning, 2009). Menurut Day dalam Rose and Reynolds, pengembangan profesional mencangkup pengalaman belajar yang dilakukan secara terencana dan sadar yang dimaksudkan untuk memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung bagi individu, kelompok atau sekolah yang akan berkontribusi pada kualitas pendidikan di kelas. Proses pengembangan profesional ini dilakukan sendirian atau dengan teman sejawat dengan memperbaharui dan meningkatkan komitmen guru dalam mengajar, dan bagaimana mereka memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan emotional intellegence (Rose and Reynolds, 2009). Rendahnya kompetensi guru salah satunya disebabkan oleh pengembangan keprofesian guru belum optimal. Kegiatan-kegiatan pengembangan keprofesian guru yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum mencangkup seluruh guru di seluruh Indonesia. Dengan adanya berbagai keterbatasan dan kendala, baik itu secara sumber daya maupun kondisi geografis, maka kegiatan-kegiatan keprofesian guru perlu diadakan sedekat dan terjangkau oleh guru. Oleh karena itu, kelompok-kelompok kerja merupakan organisasi yang sangat penting sebagai wadah kegiatan guru dalam mengembangkan kompetensi dan profesionalisme guru. Selain itu kegiatan pada kelompok-kelompok kerja ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan dari guru-guru anggotanya. Akan tetapi, sekarang ini, kelompok-kelompok kerja belum dilaksanakan dengan baik, proses pembelajaran di kelompok kerja cenderung pasif dan terpusat pada pemandu, penyusunan program kegiatan KKG sudah mengungkap dan memenuhi kebutuhan guru, namun pelaksanaannya belum dapat terlaksana sesuai dengan harapan, tingkat kedisiplinan guru dalam mengikuti kelompok kerja belum menunjukkan keseriusan, hal ini dapat terlihat tingkat kehadiran dan kedatangan guru yang tidak tepat waktu (Trimo, 2007). Mengingat kewajiban guru dalam mengikuti kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan sebagai bagian dari pengembangan kompetensi dan karirnya serta vitalnya KKG dan MGMP sebagai bagian dari kegiatan keprofesian guru, maka perlu adanya penelitian yang mengevaluasi program keprofesian guru di KKG dan MGMP sebagai bagian dari human capital pendidikan serta kesiapan KKG dan MGMP sebagai wadah dalam melaksanakan kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan yang akan diakui dengan pemberian angka kredit bagi guru dalam mengajukan kenaikan kepangkatan. LITERATURE REVIEW Modal Manusia Pendidikan Dalam sebuah organisasi atau perusahaan, manusia merupakan in-tangible asset yang memiliki potensi dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam Malhotra, human capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, inovasi, dan kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya sehingga dapat menciptakan suatu nilai untuk mencapai tujuan (Malhotra, R. & Malhotra, D.K.,2003). Menurut Schermerhon (2005), human capital dapat diartikan sebagai nilai ekonomi dari SDM yang terkait dengan kemampuan, pengetahuan, ide-ide, inovasi, energi dan komitmennya. Mayo menyatakan bahwa sumber daya manusia atau human capital memiliki lima komponen yaitu individual capability, individual motivation, leadership, the organizational climate, dan workgroup effectiveness. Masing-
223
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
masing komponen memiliki peranan yang berbeda dalam menciptakan human capital perusahaan yang pada akhirnya menentukan nilai sebuah perusahaan (Mayo A, 2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa human capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, inovasi dan kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya sehingga dapat menciptakan suatu nilai untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, investasi dalam human capital dinilai penting untuk pengembangan dan pencapaian tujuan organisasi. Guru sebagai sumber daya manusia di bidang pendidikan yang memiliki tugas dalam menciptakan nilai untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, pengembangan keprofesian guru sebagai human capital dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang pendidikan. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Sergiovanni, et. al dalam Suharsaputra (2013) bahwa sekolah merupakan organisasi manusia dalam arti bahwa produknya adalah manusia dan prosesnya memerlukan peran serta manusia. Pengembangan keprofesian guru dinilai perlu untuk menghadapi permasalahan, perubahan dan perkembangan lingkungan agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan siswa dan perkembangan ilmu pengetahuan. Chen dan Lin (2003) menyatakan bahwa pengeluaran perusahaan yang berhububungan dengan sumber daya manusia harus dipandang sebagai investasi dalam human capital, misalnya program training yang bertujuan untuk menambah value karyawan di masa depan harus dianggap sebagai investasi. Oleh karena itu, dalam pengembangan human capital, kegiatan pengembangan keprofesian guru dianggap sebagai investasi yang memerlukan adanya inovasi-inovasi yang terus berkembang untuk menghadapi tantangan baru. Dalam sebuah organisasi, modal manusia merupakan salah satu modal yang harus terus menerus berkembang sesuai kebutuhan dalam mencapai tujuan organisasi. Pengembangan modal yang inovatif akan membantu dalam pengembangan modal manusia. Pengembangan modal yang inovatif merupakan tugas dari organisasi agar organisasi tersebut dapat berjalan dengan baik dan berdaya saing tinggi. Pengembangan modal manusia yang inovatif harus mencakup kepada keenam komponen modal manusia, yaitu modal intelektual, emosional, social, ketabahan, moral dan kesehaan (Ancok, 2002). Menurut Ancok, modal intelektual dalam pengembangan modal manusia bukanlah terkait dengan tingkat pendidikan formal, tetapi bagaimana sumber daya manusia tersebut dapat menghasilkan gagasan-gagasan yang berkualitas. Tugas organisasi adalah bagaimana mengembangkan modal intelektual agar kemampuan berfikir dari SDM dapat berkembang sehingga menghasilkan gagasangagasan yang dapat meningkatkan dan mengembangkan organisasi. Selain intelektual, kecerdasan emosional juga diperlukan dalam manusia untuk mengenal emosi diri sendiri, mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain dan mengelola hubungan antar manusia (Ancok, 2013). Sejalan dengan hal tersebut di atas, human capital di bidang pendidikan dinilai penting dalam pengembangan guru sebagai sumber daya manusia pendidikan agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Oleh karena peran guru dalam pendidikan sangat penting, maka perlu adanya pengelolaan guru yang melingkupi pembinaan dan pengembangan keprofesian guru secara berkelanjutan.
Pengembangan Keprofesian Guru Pengembangan Keprofesian Guru bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan. Hal ini dinilai penting untuk selalu mengembangkan keprofesian guru dalam menjalankan tugasnya dalam mengajar dan mendidik siswa. Menurut Day dalam Goodall pengembangan keprofesian berkelanjutan merupakan segala pengalaman belajar dan kegiatan yang dilakukan secara sadar dan terencana serta memiliki manfaat secara langsung maupun tidak langsung kepada individu, kelompok atau sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di kelas (Goodall, 2005). Menurut Hammond dalam Evans (2012), 224
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
kegiatan keprofesian guru merupakan proses dalam meningkatkan status profesionalisme guru melalui pengembangan pengetahuan terkait dengan keprofesiannya dan meningkatkan kesadaran ilmu pengetahuannya. The Institute for Learning (IFL) (2013) mendefinisikan pengembangan keprofesian berkelanjutan sebagai proses untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan spesialisasinya serta pengajaran dan pelatihan sehingga memberikan dampak positif terhadap pembelajaran siswa. Berdasarkan uraian di atas, pengembangan keprofesian guru dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan pembelajaran berkelanjutan bagi guru untuk memelihara dan meningkatkan standar kompetensi guru secara keseluruhan secara beruturan dan terencana, mencakup bidang-bidang yang berkaitan dengan profesinya. Hasil reviu yang dilakukan oleh The Organization Economic Co-operation and Development (2009) menyatakan bahwa: Effective professional development is on-going, includes training, practice and feedback, and provides adequate time and follow-up support. Successful programmes involve teachers in learning activities that are similar to ones they will use with their students, and encourage the development of teachers’ learning communities. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa kegiatan pengembangan keprofesian dikatakan sukses atau berhasil jika dapat sesuai dengan kebutuhan guru serta dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Dengan demikian, melalui program pengembangan keprofesian guru, guru dapat memelihara, meningkatkan, dan memperluas pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan proses pembelajaran secara professional secara terus menerus. Pembelajaran yang berkualitas diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman peserta didik. Lieberman dalam Rose dan Royland (2007) mengklasifikasikan pengembangan keprofesian berkelanjutan menjadi tiga tipe, yaitu pengajaran langsung (direct teaching) seperti kursus, workshop, dan sebagainya; pembelajaran di sekolah, seperti peer coaching, critical friendships, mentoring, penelitian tindakan kelas dan tim perencana bidang studi; dan pembelajaran di luar sekolah, seperti learning networks, studi visit, kerjasama sekolah dengan universitas, dan sebagainya. Sedangkan Kennedy mendeskripsikan sembilan model PKB, yaitu: 1) pelatihan, fokus kepada keterampilan yang diberikan oleh pakar dengan sedikit praktek; 2) Award Bearing, merupakan perantara dari pendidikan di perguruan tinggi dengan kondisi pelaksanaan di lapangan; 3) Defecit, untuk memenuhi kekurangan dari masing-masing individu guru; 4) Cascade, pelatihan yang dilakukan melalui diseminasi dari salah seorang guru di sekolah; 4) Standards based, pelatihan berdasarkan standar yang sudah ditetapkan; 5) Coaching/mentoring, pengembangan melalui coaching atau mentoring bersama kolega kerja; 6) Community of Practice, pelatihan melalui kelompok kerja; 7) Action Research, pembelajaran dengan melakukan praktek pengajaran yang sudah diatur; 8) Transformative, integrasi dari beberapa tipe model yang berbeda dengan kesadaran yang tinggi dan pengawasan dalam pelaksanaannya (Keneedy, 2005). Menurut Pedoman Pengelolaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), kegiatan PKB mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan refleksi yang didesain untuk meningkatkan karakteristik, pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan. PKB adalah bagian penting dari proses pengembangan keprofesian guru yang merupakan tanggung-jawab guru secara individu sebagai masyarakat pembelajar. Oleh karena itu, kegiatan PKB harus mendukung kebutuhan individu dalam meningkatkan praktik keprofesian guru dan fokus pada pemenuhan dan pengembangan kompetensi guru untuk mendukung pengembangan karirnya. Kegiatan ini dapat mencakup antara lain: 1) Kegiatan pengembangan diri untuk mencapai kompetensi dasar yang disyaratkan bagi profesi guru; 2) Kegiatan pengembangan diri untuk pendalaman dan pemutakhiran pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan kompetensinya sebagai guru; 3) Kegiatan peningkatan keterampilan dan 225
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
kemampuan guru untuk menghasilkan publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif; 4) Kegiatan peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan tugas-tugas tambahan yang menunjang pengembangan karirnya sebagai guru; dan 5) Kegiatan lain yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan guru saat ini dan di masa mendatang (Direktorat Profesi Pendidik, 2009). Kegiatan pengembangan keprofesian yang dilakukan secara pengajaran atau pelatihan langsung yang merupakan model pembelajaran yang dilakukan secara top-down dari seorang pakar kepada guru untuk diimplementasikan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Edmonds and Lee (2002), pembelajaran dengan cara lecture-style teaching, telah terbukti tidak popular diantara guru yang memilik lebih aktif dan melakukan praktek dalam mengembangkan keprofesiannya. Dadds dalam Rose and Reynold (2007) menggambarkan pelatihan to-down ini dapat memperkuat ide bahwa guru adalah teknisi, tidak kritis dan hanya melakukan kebijakan eksternal yang dipaksakan. Guru bukanlah seseorang yang diberitahu bagaimana mengajar oleh seorang pakar, tetapi diberikan pengarahan bahwa mereka adalah sumber sehingga mereka menggunakan pengalaman dan latar belakang pendidikannya untuk mengembangkan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, pengembangan keprofesian guru perlu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan guru untuk mencapai standar kompetensi dan/atau meningkatkan kompetensinya agar guru mampu memberikan layanan pendidikan secara profesional. Pencapaian dan peningkatan kompetensi tersebut pada akhirnya bukan hanya berdampak pada peningkatan keprofesian guru, tetapi juga berimplikasi pada perolehan angka kredit untuk pengembangan karir guru. Dalam kegiatan PKB, peningkatan kompetensi dilakukan agar guru dapat mencapai standar kompetensi yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru. Pengembangan keprofesian guru sering diasumsikan sebagai pemenuhan kompetensi. Kompetensi yang dimaksud dalam kegiatan keprofesian guru ini bukan saja pemenuhan pengetahuan tetapi juga adanya perubahan sikap dan keterampilan yang ditunjukkan dengan kinerja yang baik. Le Boterf dalam Denise et al (2007) menyatakan bahwa kompetensi merupakan sesuatu yang abstrak; hal ini tidak menunjukkan adanya material dan ketergantungan pada kegiatan kecakapan individu. Jadi kompetensi bukan keadaan tapi lebih pada hasil kegiatan dari pengkombinasiaan sumberdaya personal (pengetahuan, kemampuan, kualitas, pengalaman, kapasitas kognitif, sumberdaya emosional, dan lainnya) dan sumberdaya lingkungan (teknologi, database, buku, jaringan hubungan, dan lainnya). Menurut Sinnott et.al, kompetensi adalah alat pengkritisi dalam tugas kerja dan pergantian perencanaan. Di tingkat minimum, kompetensi berarti: a) mengenali kapabilitas, sikap dan atribut yang dibutuhkan untuk memenuhi staf saat ini dan dimasa depan sebagai prioritas organisasi dan pertukaran strategis dan b) memfokuskan pada usaha pengembangan karyawan untuk menghilangkan kesenjangan antara kapabilitas yang dibutuhkan dengan yang tersedia. Menurut Antariksa (2007), secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara keterampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership, communication, interpersonal relation, dan lain-lain. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah: electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dan lain-lain. Sedangkan Roe (2001) mengemukakan definisi dari kompetensi yaitu:
226
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Competence is defined as the ability to adequately perform a task, duty or role. Competence integrates knowledge, skills, personal values and attitudes. Competence builds on knowledge and skills and is acquired through work experience and learning by doing. Berdasarkan definisi-definisi di atas, kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilanketerampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi guru adalah kemampuan guru dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dari pengertian tersebut berarti unsur-unsur terpenting dalam sebuah profesi adalah penguasaan sejumlah kompetensi sebagai keterampilan atau keahlian khusus, yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan khusus. Oleh karena itu, guru sebagai profesi memiliki makna suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru yang mestinya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan (Moh. Uzer Usman, 2002). Hal ini dapat dikatakan bahwa profesi guru adalah pekerjaan atau profesi yang memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi sebagai keterampilan dan keahlian khusus untuk mampu melaksanakan tugasnya dalam mengajar dan mendidik peserta didik efektif dan efisien. Sebagai profesi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru harus memiliki komptensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Adapun yang dimaksud dengan kompetensi-kompetensi tersebut adalah: a. Kompetensi pedagogik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. b. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. c. Kompetensi Sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan beriteraksi dengan lingkungannya secara efektif: dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, masyarakat sekitar dan lingkungan hidup. d. Kompetensi Profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang encakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah, substansi keilmuan yang menaungi materinya, penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya serta keterkaitannya dengan kecakapan hidup dan lingkungan hidup. Keempat kompetensi ini harus dilaksanakan secara utuh dan terintegrasi, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam menjalankan tugasnya dalam menunjukkan kinerjanya, maka guru harus memenuhi kompetensi yang diharapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Dalam manajemen sumber daya manusia, pengembangan keprofesian guru dapat diakomodir sebagai human capital yang harus senantiasa dikembangkan melalui berbagai kegiatan atau pelatihan terkait dengan keprofesiannya. METHOD AND SAMPLING Metode penelitian ini menggunakan Eveluasi Program. Model evaluasi yang digunakan adalah Stake’s Countenance Model, (1967) Center for Instructional Research and Curriculum Evaluation University of Illinois. Model Stake’s sama dengan model CIPP dan CSE-UCLA (Center for Study of Evaluation at the University of California at Los Angeles) dimana ketiganya cendrung komprehensif dan mulai dari proses evaluasi selama tahap perencanaan dari pengembangan program (Kufman dan Thomas, 1980). Suatu keistimewaan khusus dari model Stake’s adalah spesifikasi dari standar yang digunakan dalam membuat keputusan atau penilaian. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model Stake’s memberikan: (1) informasi diskripsi yang lebih banyak dari seluruh fase evaluasi; dan (2) 227
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
eksplikasi (pemaparan) dari standar-standar yang akan digunakan. Untuk spesifikasi standar-standar yang akan digunakan dalam penilaian, penggunaan independen dimungkinkan, dalam hal ini adalah sejumlah data yang sudah ada, standar-standar yang telah disusun, dan orang-orang yang tidak berkaitan lansung dengan program selayaknya dapat mendeterminasi kegunaan/manfaat dari program. Sekaitan dengan hal tersebut, maka Stake mengidentifikasi 3 (tiga) tahap dari evaluasi program pendidikan dan faktor yang mempengaruhinya yaitu: a. Antecedents phase; sebelum program diimplementasikan: Kondisi/ kejadian apa yang ada sebelum implementasi program? Apakah kondisi/ kejadian ini akan mempengaruhi program? b. Transactions phase; pelaksanaan program: Apakah yang sebenarnya terjadi selama program dilaksanakan? Apakah program yang sedang dilaksanakan itu sesuai dengan rencana program? c. Outcomes phase, mengetahui akibat emplementasi pada akhir program. Apakah program itu dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan? Apakah klien menunjukkan perilaku pada level yang tinggi dibanding dengan pada saat mereka berada sebelum program dilaksanakan? Tabel 1. Kriteria Evaluasi Implementasi Program Komponen Evaluasi Antacedents: Kondisi awal lingkungan strategis implementasi kebijakan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP
Aspek yang dievaluasi Kondisi awal lingkungan strategis implementasi kebijakan kegiatan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP yaitu: 1. Legalitas KKG/MGMP
2. Dukungan pelaksana kebijakan
Transaction: Proses Implementasi Kebijakan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP
1. Perencanaan untuk: a. Penyusunan struktur program
b.
Penyusunan rencana program
2. Materi kegiatan 3. Sumber daya manusia
4. Pembiayaan 5. Pemantauan, evaluasi dan pengawasan kegiatan: a. Evaluasi diri guru b.
Evaluasi kegiatan
Kriteria Ketersediaan dan keterlaksanaan pensyaratan dalam mengimplementasikan kebijakan pengembangan keprofesian guru di KKG/ MGMP: 1. Adanya aspek legalitas atau dasar hukum dalam membentuk KKG/MGMP 2. Adanya AD/ART 3. Adanya struktur kepengurusan KKG/MGMP 4. Adanya komitmen pelaksana kebijakan untuk menyelenggarakan sesuai ramburambu 5. Adanya dukungan dari UPTD atau Dinas Pendidikan Kab/Kota untuk memenuhi standar penyelenggaran KKG/MGMP 6. Adanya sarana dan prasarana yang memenuhi standar minimal pelaksanaan KKG/MGMP 1. Adanya perencanaan untuk: a. Penyusunan struktur program pelaksanaan kegiatan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP sesuai dengan kebutuhan guru b. Menyusun rencana dan kalender program kegiatan keprofesian guru di KKG/MGMP 2. 3.
4. 5.
Adanya pengembangan materi kegiatan yang mengacu kepada kompetensi guru Adanya sumber daya manusia sebagai narasumber yang sesuai dengan materi kegiatan Adanya sumber pembiayaan yang terkelola dengan baik Adanya pemantauan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan: a. Guru melaksanakan evaluasi diri setelah mengikuti kegiatan b. Pengurus mengevaluasi setiap kegiatan
228
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Komponen Evaluasi
Sabah, Malaysia
Aspek yang dievaluasi
Outcomes: Hasil Implementasi Kebijakan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP
1. Penilaian Kinerja Guru 2. Uji Kompetensi Guru 3. Nilai Ujian Nasional Siswa 4. Nilai Uji Akhir Semester
Kriteria
1. 2. 3.
Hasil Penilaian Kinerja Guru minimal baik Hasil Uji kompetensi Guru minimal Lulus Hasil UN siswa 100% lulus
4.
Nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
Penelitian ini dilaksanakan di KKG dan MGMP di Kabupaten Bogor. Alasan penentuan KKG dan MGMP ini adalah berdasarkan KKG dan MGMP yang termasuk kedalam program BERMUTU karena KKG dan MGMP tersebut telah menggunakan rambu-rambu pengembangan kegiatan KKG dan MGMP dan prosedur operasional standar penyelenggaraan KKG dan MGMP dalam melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian gurunya. Jumlah KKG dan MGMP yang akan menjadi tempat penelitian akan dipilih secara random untuk melihat keterlaksanaan program diberbagai wilayah. Penjajakan dilakukan mulai dari perencanaan penelitian, tujuan penjajakan ini selain untuk mendapatkan gambaran umum mengenai sasaran penelitian juga agar tercipta situasi akrab atau peneliti dengan subjek penelitian, sehingga memudahkan peneliti dalam mendapatkan data pada diri subjek penelitian. FINDINGS AND DISCUSSIONS Berdasarkan pengamatan di KKG dan MGMP, berikut ini adalah hasil temuan penelitian: Tabel 2. Temuan Penelitian sesuai Kriteria
Komponen Evaluasi
Kriteria
Antacedents: Kondisi awal lingkungan strategis implementasi kebijakan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP
1. Adanya aspek legalitas atau dasar hukum dalam membentuk KKG/MGMP 2. Adanya AD/ART 3. Adanya struktur kepengurusan KKG/MGMP 4. Adanya dukungan dari UPTD atau Dinas Pendidikan Kab/Kota untuk memenuhi standar penyelenggaran KKG/MGMP 5. Adanya sarana dan prasarana yang memenuhi standar minimal pelaksanaan KKG/MGMP
Transaction: Proses Implementasi Kebijakan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP
1.
Adanya perencanaan untuk: a. Penyusunan struktur program pelaksanaan kegiatan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP sesuai dengan kebutuhan guru b. Menyusun rencana dan kalender program kegiatan keprofesian
Temuan 1. 90% KKG dan MGMP di Kabupaten Bogor memiliki legalitas berupa SK KKG dan MGMP dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor 2. 90% KKG dan MGMP memiliki AD/ART 3. 100% KKG dan MGMP memiliki struktur kepengurusan 4. Adanya dukungan dari UPTD dan/atau Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor berupa pemberian SK pendirian KKG/MGMP 5. Dinas Pendidikan Kab Bogor tidak menyediakan atau mendukung sarana dan prasaran untuk memenuhi standar minimal pelaksanaan KKG dan MGMP 1. a. tidak adanya struktur program pelaksanaan kegiatan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP sesuai kebutuhan guru b. kalender program tidak ada 2. pengembangan materi yang dilakukan masih berupa trends,
229
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Komponen Evaluasi
Kriteria
2.
3.
4. 5.
Outcomes: Hasil Implementasi Kebijakan pengembangan keprofesian guru di KKG/MGMP
Sabah, Malaysia
1. 2. 3. 4.
Temuan
guru di KKG/MGMP Adanya pengembangan materi kegiatan yang mengacu kepada kompetensi guru Adanya sumber daya manusia sebagai narasumber yang sesuai dengan materi kegiatan Adanya sumber pembiayaan yang terkelola dengan baik Adanya pemantauan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan: a. Guru melaksanakan evaluasi diri setelah mengikuti kegiatan b. Pengurus mengevaluasi setiap kegiatan
misalnya: implementasi kurikulum 2013, pembelajaran tematik, dsb. 3. Narasumber masih berasal dari guru di KKG dan MGMP 4. Jika terdapat sumber pembiayaan, maka akan dikelola dengan baik 5. Terdapat pemantauan dan pengawasan baik dari pengawas sekolah maupun dari KKKS/MKKS
Hasil Penilaian Kinerja Guru minimal baik Hasil Uji kompetensi Guru minimal nilainya di atas standar Hasil UN siswa 100% lulus
1.
Nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
2.
3.
Semua guru mengikuti kegiatan KKG/MGMP mendapatkan nilai PKG minimal Baik Tidak semua guru sudah mengikuti UKG, yang sudah mengikuti belum memenuhi standar Nilai UN 100% lulus
CONCLUSION Berdasarkan hasil penelitian, maka beberapa kesimpulan yang dihasilkan, yaitu: 1. Walaupun secara legalitas pelaksanaan kegiatan keprofesian guru sudah mengikuti rambu-rambu dan standar operasional, tetapi pada pelaksanaan kegiatan masih banyak yang belum sesuai, misalnya: perencanaan kegiatan tidak berdasarkan kebutuhan guru (baik itu melalui self-evaluation maupun hasil UKG dan PK Guru) 2. Kegiatan pengembangan keprofesian guru dinilai sudah berdampak terhadap peningkatan kompetensi guru, tetapi pelaksanaannya belum efektif sehingga belum berdampak secara maksimal yang dapat meningkatkan kinerja guru dan hasil belajar siswa 3. Kegiatan pengembangan keprofesian guru di KKG dan MGMP dinilai cukup membantu guru dalam mengembangkan kompetensi pedagogiknya atau metodologi pengajarannya, tetapi belum dapat membantu guru menyelesaikan permasalahan di kelas 4. Melalui kegiatan pengembangan keprofesian guru di KKG dan MGMP menjadi lebih baik dalam mengembangkan dirinya, misalnya membuat penelitian tindakan kelas, karya tulis ilmiah, dan sebagainya. 5. Beberapa KKG dan MGMP sangat berkinerja baik dan mendapatkan penghargaan atas kegiatankegiatan yang dilakukan di KKG dan MGMP
REFERENCE Aileen Kennedy. 2005. Models of continuing professional development: a framework for analysis. Journal of In-Service Education, 31 (2). hh. 235-250 C. G. Sinnott, H. G. Madison, Pataki. Competencies : Report of the Competencies Workgroup, Workforce and Succession Planning Work Group. New York Stake Governor’s Office of Employee Relations and the Department of Civil Servant.
230
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Chen, H.M and Lin, K.J. 2003. The Measurement of Human Capital and Its Effect On The Analysis of Financial Statements. International Journal of Management, Vol. 20, No. 4 Dampak KKG/MGMP. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi. 2010 Data Hasil Uji Kompetensi Awal (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012) Dennis Lussier. (2007). Developing and assessing intercultural communicative competence: A Guide for language teachers and teacher educators. Lazar, I, Kriegler. M., Lussier, D., Matei, G. and Peck C. (Eds.) European Centre for Modern Languages. Strasbourg: Council of Europe. Djamaludin Ancok. Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: UII Press. 2002 Djamaludin Ancok. Modal Manusia dalam Organisasi. http://ancok.staff.ugm.ac.id/main/ alive-4modal-manusia-dalam-organisasi/ (diakses pada tanggal 22 Maret 2013). Guideline for your continuing professional development (Inggris:Institute for Learning, 2009). h. 3 Edmonds, S. and Lee, B. (2002) Teacher feelings about continuing professional development. Education Journal, 61, 28-29. Human Development Index. http://hdr.undp.org/en/reports/ (diakses 3 Februari 2012). Janet Goodall, Cristoper Day, etc. Evaluating the Impact of Continuing Professional Development. Reserach Report. The University of Warwick, 2005, h. 6 Linda Evans. What is Teacher Development. Oxford Review of Education, Vol 28, No. 21, 2012. h. 125 IFL. Guideliness for your CPD. www.ifl.ac.uk. Diakses pada 20 Januari 2013 Malhotra, R. & Malhotra, D.K. (2003). Preparing the Human Capital for the New Millennium Using Information Technology. Journal of Teaching in International Business, 14(2), 67-78 Mayo, A. 2000. The Role of Employee Development in The Growth of Intellectual Capital. Personal Review, Vol. 29, No. 4. Moh. Uzer Usman. Menjadi Guru Professional. 2002. Bandung: Remaja Rosdakarya, h. 4 OECD. Creating Effective Teaching and and Learning Environment First Result form Teaching and Learning International Survey. 2009. h. 48 Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan. 2009. Direktorat Profesi Pendidik. Rambu-Rambu Pengembangan KKG dan MGMP. 2010. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. h. 2 Reynolds. Teachers’ Continuing Professional Development: A New Approach. International Congress for Effectiveness and Improvement. 2007. h. 220 Roe, R.A. (2001).Competencies and competence management—Critique and proposal for a comprehensive theory-based approach. Paper presented at the 10th European Congress for Work and Organizational Psychology, Prague, May 16–19, 2001. Roger Kufman and Susan Thomas, Evaluation Without Fear, (London: New Viewpoints, 1980), h. 4 Rose and Reynolds. Teachers’ Continuing Professional Development: A New Approach. International Congress for Effectiveness and Improvement. 2007, h. 219 Saiful Anam dan Hermin Susanti, “Menggenjot Mutu Kepala Sekolah Rintisan SBI,” http://www.penapendidikan.com (diakses 11 November 2011). Schermerhon. Management, 8th edition. (USA: John Wiley & Sons, Inc, 2005) Trimo. Studi Kasus Pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG). Pendidikan Network. 2007, h. 1 Uhar Suharsaputra. Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan. http://uharsputra. wordpress.com/pendidikan/manajemen-sdm-pendidikan/ (diakses pada tanggal 7 Februari 2013). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Yodhia Antariksa, 2007, http://strategimanajemen.net/2007/09/06/membangun-manajemen-sdm-berbasiskompetensi/
231
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
HYBRID LEARNING UTILIZATION IN IMPROVING THE QUALITY OF VOCATIONAL EDUCATION Misbah Fikrianto1 1
Politeknik Negeri Media Kreatif [email protected]
Abstract Teachers and lecturers have an important role in implementing a quality education. In Indonesia, teachers and lecturers are a profession that needs an academic qualification and competencies in implementing a quality teaching-learning process. One of tasks for teachers and lectures is to make innovate and creative learning in enhancing students’ cognitive, affective and psychomotor. In line with curriculum 2013 implementation, teachers and lecturers should have innovation and creativity in teaching-learning process to create an interactive, high-order thinking and students’ center learning in producing advantage competitive human resources in Indonesia. Based on Law Number 12 Years 2012 about Higher Education, academic, vocation and profession education have same level and position, but the advantage of vocational education can improve creativity and skills that needs by students in work fields. Vocational education should utilize ICT in improving teaching-learning process. Hybrid Learning can be used as one of ICT utilization in teachinglearning process. It can show students the real-time practices with guidance and tutorial. This method is easier to use because it can be watch, repeat, and stop or pause, therefore it will make active interaction learning within teachers and students. Teaching-learning in vocational education can use applied approaches that focused on skills improvement. According to discussion with ICT practitioners especially on how implement hybrid learning, it can be conclude that video email implementation might support students in active and actual learning. Vocational learning at Politeknik Media Kreatif, especially in ICT utilization through Hybrid learning, has not been implemented, whereas, the needs of ICT utilization is needed. The writer wants to observe and interview the needs of ICT utilization through hybrid learning in Politeknik Media Kreatif and some vocational schools in improving vocational teaching-learning process. Keywords: ICT, Hybrid Learning, quality of vocational education
INTRODUCTION The development of technology and information in this era of globalization, is not in line with the development of human resources in Indonesia. According to the World Competitiveness Report, Indonesia ranked 45th, the lowest of all the countries studied, under Singapore (8), Malaysia (34), China (35), Philippines (38), and Thailand (40). Meanwhile, according to the Human Development Index in 2011, Indonesia is ranked 124 of 187 countries. These results indicate that human resources in Indonesia is still below average. The results of the study by the World Bank in 2005 showed that most factors determining a country's advantage is the ability to innovate (45%), networking (25%), the ability of technology (20%), and natural resources ( 10%). ability to innovate is believed most affect a country's advantage because it involves the quality of human resources (Saiful Anam and Hermin Susanti). The ability to innovate can be honed through training or development activities are planned and directed. Improving the quality of human resources of a country are believed to increase Indonesia's competitiveness in the global competition. Indonesian Government makes education as an important factor in educating life of the nation as a whole and equally. According to data of Board of Statistic Centre of Indonesia, until 2009 children who are attending school at primary level (7 to 12 years old) are 97,95%, at middle level (13 to 15 years old) are 85,47%, at intermediate level (16 to 18 years old) are 55,16%, and at higher level/university level (19 to 24 years old) are 12,72%. These number are indicate that until 2009, there are still some children are not attend school on compulsory education age which is 2,05% children on primary level and 14,53% of children on middle level. Moreover, the data for higher education still low, it is around 29%. 232
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Competency is a tools of knowledge, skills, and behavior that should be accomplished by teachers or lecturers in implementing their professional tasks (Law No 14/2005). Core competencies for effective learning process are: (1) prepare learning in conducive environment; (2) involve students in active ways; (3) pay attention on the characteristic learning of students; (4) help students to improve their learning result; and (5) involve in self-developments. Lesson plan is not only for administration things but also have include instructional design, such as, instructional objectives, performance objectives, students and context analysis, assessment instrument development, develop and choose learning materials, develop learning strategy, and develop and doing summative and formative assessment. Pedagogic competency is divided into 5 categories, which are: (1) using and developing knowledge and professional values.; (2) communicating, interaction, and working with students and other parties; (3) planning and implementing learning process;; (4) Monitoring and assessing students and learning result improvements; and (5) Reflecting, evaluating, and planning improvement. According to that condition, it shows that education at middle and higher level are need to have a strategic approach that can increase access and quality of education. Indonesia need to prepare human resources that can face ASEAN Economy Community Year 2015. Human resources in Indonesia should have competencies that can give solution and improving productivities of a company. LITERATURE REVIEW This paper is based on literature review in line with discussion. Literature is used based on science and empiric process. This research is limited to contribute improving quality of vocational education. Literature review on hybrid learning, vocational education, and education quality improvement can be strengthening in this paper. Vocational Education Vocational education or skills education is an education with a combination of theory and practice in the percentage of 40: 60 percent with the aim to prepare graduates competent in the world of business and industry in the world. Curriculum in vocational education concentrated on skill learning system. According to Sudira, Vocational education is placed as a crucial in solving all problems, such as: (1) improving the quality of human resources; (2) reduction unemployment for youth; (3) the provider of jobs for the citizens; (4) reduction of the load for the academic education system; (5) withdrawal of foreign investment; (6) guarantees an increase in income and job; (7) reduction in the income gap between the rich and poor; 8) place for the development of quality technology (Gill, Dar, & Fluitman: 2000:1); and (9) the conservation of local culture and traditions. The process of vocational education is focus on practice development compare to theoretic. The needed of applied competencies that directly appropriate with industries needed is from vocational education. Students learning how to solve problem and develop creativity based on their individual potential. Vocational education in Indonesia is implemented by Vocational School, Polytechnic, Academic and Universities that have major on vocational. Vocational education can be reach through D-1 until applied Doctoral. Look for strategic of vocational education therefore socialization and dissemination of information and vocational education development is needed, because directly it correlate with development of human resources. Human resources that have competitive advantages should be able to give solution on any problems. Vocational education is taught how to know and how to do, this will improving the quality of human resources in Indonesia. Learning Materials Hybrid Learning Based Teaching materials are materials or subject matter that systematically designed in the use of teachers and students in the learning process. In the development of teaching materials module showed that teaching materials are all kinds of materials that are used to help teachers / instructors in carrying out learning activities. Furthermore, the teaching materials are all kinds of materials, information, and text tools used to help teachers / instructors in implementing the teaching and learning activities. According to Majid (2007), the teaching materials which can be either written or unwritten material. Teaching materials or content or curriculum materials is the curriculum that must be understood by the student in achieving the objectives of the curriculum. Based on above definitions, the teaching materials are packaged learning materials developed as a material that can be studied independently and utilized 233
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
in the learning process either face to face or remotely. Teaching materials can be in the form of print and non-print. According Suparman, there are three forms of instructional activities or approaches, namely the self-learning systems, face-to-face learning systems and learning systems combined. A self-learning activity is a learning activity when the teacher acts as a facilitator, in the other hand, the students leaning by themselves using instructional materials which is designed especially for self-learning activity. Instructional modules in a self-learning system is discrete, such as, 1) self instruction; 2) selfexplanatory power; 3) self-paced learning; 4) self-contained; 5) individualized learning materials; 6) flexible and mobile learning materials; 7) communicative and interactive learning materials; 8) multimedia, computer-based materials; 9) supported by tutorials, and study group (Suparman, 2012). Hybrid learning teaching material is developed teaching materials for self-learning activity for students so that learning becomes fun and independent. Hybrid learning as explained by Caulfield (2011), are Hybrid courses place the primary responsibility of learning on the learner, thus making it the teacher’s primary responsibility to create opportunities and foster environment that encourage student learning, rather than simply telling student what they need to know. A researcher from Korea University, Wom kin (2008) stated that a hybrid learning program is a mixture of traditional in-class learning components and e-learning components. A learning program may be a single course or an entire curriculum. A learning program and courseware must be designed to help learners learn. As such, a hybrid learning program is a rather complex artifact. According to Wom Kin (2008:2), there is a similarities between Hybrid Learning ad E-learning, which is, there is considerable similarity between the process of creating and managing e-learning or hybrid learning programs and that of commercial software. Intuitively, they are both complex and therefore require upfront planning. After planning, they are developed. After development, they are deployed and assessed based on feedback from the customers (users and learners). They are then maintained and upgraded. Once their usefulness or value dissipates, they are retired. To be sure, there are some important differences between creating and managing learning programs and commercial software. Caulfield (2011) also stated that Hybrid Teaching is the signature pedagogy of hybrid teaching, refers to the interwoven higher level cognitive process involved in structured, outcome-based, studentcentered teaching, and learning occurring in multiple environments. According to Harding, Kaczynski and Wood, 2005, Blended learning is a learning approach that integrated traditional learning, which are face to face learning, and distance learning that using online learning resources and others communication and technology resources that can be used by teachers and students. The implementation of this learning is enable to students and teachers using online learning resources without leaving face to face activity. With the blended learning, teachinglearning process will be more meaningful because the several of learning resources that may be obtained. Hybrid learning is a combination of multimedia technology, CD ROOM streaming video, virtual classroom, voicemail, email and teleconferencing, animation and video streaming online text. In hybrid learning, all of it combined in learning activities. Therefore, a hybrid learning be the perfect solution and can be tailored to the needs of learners (Throne, 2011). On learning activities, a hybrid learning is potentially creating experience for learners, because the hybrid learning help shows a clear advantage in creating such learning experiences in which learners gained from experience that provide knowledge, skills and competencies for learners themselves. Regardless of the distance and time, hybrid learning can be one way to achieve the expected goals. blendedlearning or hybrid learning according to MacDonald (2008) usually associated with using online media on learning process, while at the same time also conducted face-to-face learning in a conventional learning process. It is done to support students' understanding on the purpose of learning. For example, using both the use of technology as a medium for learning and as learning resources. As a learning media, it will perform synchronous learning as using in the learning process which are text and audio. As a source of learning, it will perform synchronous learning such as the use of email, discussion forums, web learning. Furthermore, teaching materials based hybrid learning are used in face-to-face learning and distance-based information and communication technology (ICT). This hybrid learning teaching materials teaching materials consist of face-to-face learning, teaching learning materials using print
234
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
media, teaching materials on the use of audio-video learning and teaching materials in web-based learning METHOD AND SAMPLING The method that is used in this research is qualitative method with descriptive approach to describe the implementation of learning process on entrepreneurship subject using hybrid learning at animation and advertising major. Qualitative method is used to get information regarding on phenomena changing on field. According to Bogdan dan Taylor that stated by Moleong, qualitative research is a procedure of research that result a descriptive data, such as words written or spoken from people that is observed. In other hand, according to Nasution, qualitative research is to observe people in their life environment, their innteraction, try to understand their language and their interpretation on their world. Descriptive research is a research method that aims to explain or describe a situation, event, object studied both with numbers and words (Setyosari, 2010). In addition, descriptive study also aimed to describe the phenomena that exist, either natural or man-made phenomena, interpret something, such conditions or relationships that exist, opinions are evolving, ongoing process, results or effects, or about ongoing tendency (Sukmadinata, 2006). Furchan explained that the study is a descriptive study designed to obtain information about the status of a symptom when the study was conducted. Further explained, in a descriptive study no treatment is administered or controlled, and no hypothesis testing as found in experimental studies. Data were collected by classroom study to look at the current state, as well as direct observation in the classroom both during learning and after learning. Sampling is the method of sampling purposes. Respondents carried out in accordance with the needs of research. Compiling data through fact-finding technique (technique discovered facts) is done through two approaches, namely (1) the observation of the implementation of learning with a view to directly observe authentic facts that occur in classrooms typically include activities that occur during the learning process and (2) interview to determine the student's perception about the learning approaches, learning activities, and some of the problems encountered in the study. This research is done limited in learning process at entrepreneurship subjects at Politeknik Negeri Media Kreatif. FINDING AND DISCUSSIONS Improving the quality of vocational education must be viewed from a variety of existing components. One of its components is utilization of Hybrid Learning in the learning process, assessment, and feedback. Utilization of Hybrid Learning in improving the quality of vocational learning is very important. In limited research, the trial of utilization of hybrid learning in the learning process at classes Entrepreneurship Program Advertising and Animation showed about 87% of improved. Hybrid Learning will provide a stimulus to learning vocational. This trial is done at animation and advertising classes. Around 20 students from each class participated in this trial. Utilization of hybrid learning in learning process is focused on increasing interaction between students and lecturer, and purposeful to students’ needs. The teaching-learning process supported by adequate infrastructure, therefore learning process more meaningful. In assessment process, students assessed through online and utilization email. It will make students easier in doing the assessment. Furthermore, based on the observation result, it showed that students look like enjoying in their learning process, because they can choose the subjects that interest them and they can develop their own interest and potential. All students in these classes are proficient in the use of computer, therefore, they can use the materials by themselves through self-learning activity. In addition, learning through this teaching materials help lecturer in planning, implementing, evaluating, and give feed-back to students in teaching-learning process. The result of students’ achievement also improve. Educators need to make changes to improve their quality, therefore every effort should be done maximum. One attempt to do is to develop teaching materials through Hybrid Learning as a means of communication and information to students. Changes made should be evaluated periodically in order to keep process of improvement and development. Improved quality will have an impact on improving
235
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
the quality of learning. Vocational education can make more graduates have the skills and ability to solve problems Lecturers are key components to produce good quality students, therefore, Lecturer must continuously improve their competence. The discussion in this paper regarding on pedagogical competence. One of components that is Lecturer need to reach in pedagogical competency is development of teaching materials and ability in using ICT. Regarding on development of teaching materials, it also can be developed to be digital. The combination between the used of printed instructional materials with a digital. Discussion of these results will be the basic on development of vocational education. It will give a change in the input, process and output. The whole process will contribute to improve the process of vocational education in Indonesia. This communication and the information age provides convenience and information services to facilitate the educational process. In general, the use of information, communication, and technology will contribute to the learning process. ICT provide better services to the process and its output of learning. CONCLUSION Utilization of Hybrid Learning to improve the quality of vocational education by 87%. These conditions make the changes to the learning process from a conventional to a modern processes. All components of the vocational education and national education standards contribute to improving quality. Quality of learning is strongly influenced by the quality of educators. Therefore, educators must have a passion for improving their competence. Each teacher had to make changes to improve their quality, therefore every effort should be done. One attempt to do is to develop a hybrid learning teaching materials as a means of communication and information to students. Changes made should be evaluated periodically in order to keep process of improvement and development. Improved quality will have an impact on improving the quality of learning. Based on the result of the study, there some recommendations, which are: 1) Government is expected to provide policy and support in reaching the national education standards, so that the learning process becomes more effective; 2) Lectures are able to improve their competencies, especially their pedagogic competency on how to utilization ICT on teaching-learning process; 3) Through utilization of hybrid learning, students can more interactive in learning process and support students in developing their own potential; 4) Vocational education institution is expected to be more productive in establishing cooperation in fulfill infrastructure, especially regarding on learning process; Implementation of vocational learning is need an approach that interactive and utilization media on ICT based therefore it will impact on quality improvement. Collaborative between lecturers, students, and school environment will influence on the management of the learning process. Utilization of hybrid learning should be planned, started from instructional design, media selection, learning process, until assessment. All these processes are carried out in an integrated therefore it can support in improving quality of education.
REFERENCE Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h.174. M. Atwi Suparman, Desain Instruksional Modern (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012). hh. 283-285 Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan. Teori dan Praktek Rineka Cipta. Armstrong, M., 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia. Seri Pedoman Manajemen. Cikmat Sofyan, Alih Bahasa. Jakarta: Elex Media Komputindo, Gramedia Branner, Julia. Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Ashgate USA: Publishing Company. 2003. Byrnes, James P. Cognitive Development and Learning in Instructional Contexts. Boston: Allyn and Bacon. 2001.
236
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Betrus, Antony Karl. dalam Alan Januszewski dan Michael Molenda, Educational technology: A Definition with Commentary. New York: Lawrence Erlbaum Associates. 2008. Dick, W And Carey, L. The Sistematic Desain Of Instruktional. Boston: Allyn And Bacon.2005 Ely, Donald P dalam Barbara Seels dan Rita Richey. The Defination And Domain of The Field. Washington DC:Association For Educational Communication And Technonology.2001. Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., & Smaldino, S. E. Instructional media and technologies for learning. Seventh edition. New Jersey: Pearson Education.2002. Biro Pusat Statistik, 2002. Statistik Indonesia. Statistical Year Book of Indonesia. Jakarta-Indonesia: Biro Pusat Statistik. Donnely. Ivancevich dan Gibson. 1993. Organisasi dan Manajemen. Perilaku Struktur Proses. Jakarta: Erlangga. Gibson, et al, 1993. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur. Proses. Penerjemah: Djoerban Wahid. Jakarta: Erlangga. Departemen Perdagangan, Survey Industri Kreatif di Indonesia Tahun 2007 Esterberg, Kristin G: Qualitative Methods in social research, Mc Grawhill, New York, 2002 Furchan, A., Pengantar Penelitian dalam Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 447 Jay Caulfied, How to Design and Teach a Hybrid Course (Virginia: Stylus Publishing, 2011), h.187 Jhon Howkins, Economy Creative Harding, Kaczynski dan wood, www.rizcafitria.wordpress.com/2011/04/30/blended-learning/ (diakses 2 Juli 2012) http://.bse.depdiknas.go.id Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 3 Martaniah, Mulyani. S, 1964. Peranan Orang Tua dalam Perkembangan Kepribadian. Yogyakarta: Jiwa Baru 11/12 Th XII. Permendiknas RI Nomor 28 Tahun 2008 tentang “Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Richard Florida, The rise of Creative Class Robert Woods, Printing Production for Promotional Materials Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung; 2006 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 Undang-Undang Perpustakaan, yaitu Undang-Undang No 43 Tahun 2007 Undang-undang Pendidikan Tinggi nomor 12 tahun 2010 Dick and carey, The Systemstic Design of Instruction, Sixth Edition (New York: Pearson, 2005) hh 7361. M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), p. 139 Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cetakan 15; Februari 2011, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011 Murdoch University, A Competency Framework for Effective Teaching. (www.murdoch.edu.au/planning/docs/acfet/index.html), p.11 School Support Services Norther Territory Department of Education – Operation South (www.interactivetaching/cs/index.html), p. 3 S. Nasion, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 2003), h. 5 Sukmadinata, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip dan Instrumen), (Bandung: Refika Aditama, 2006), h. 72 Thorne, www.purtadi.blogspot.com/2011/04/blended-learning-definisi.html (diakses 1 Juli 2012) Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) h. 33.
237
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
AN EXPERIMENTAL STUDY ON THE TEACHING OF WRITING TO ENGINEERING STUDENTS UNDER TWO INSTRUCTIONAL MODES Tri Rahmiyati Marsoeki1 1
Graduate School of Jakarta State University [email protected]
The aims of this study were (1) to find out the quality of student writing produced individually without interaction with other classmates and writing produced in groups where each student produced one piece of writing. (2) To find out the students’ social interaction types which may contribute to success in learning using the two modes: cooperative and individual learning. The subjects of this study were third semester students of Industrial Engineering Department of Trisakti University. Two kinds of instruments were used in this study: a writing test and a questionnaire. The research design employed was 2 x 2 factorial design and the data were analyzed using Two-way Anova and Tukey Test respectively. The research findings show that the students in the cooperative learning wrote essays that were significantly better overall than those written by the students in the individual learning. This suggests that well-conducted cooperative learning can make a significant impact on writing performance. Frequent use of cooperative learning in the area of writing would be even more beneficial for foreign language students. The achievement of the expository writing of the students could be enhanced using cooperative learning. Key Words: expository writing achievement, cooperative and individual learning, social interaction INTRODUCTION The number of students in English III (writing class)is usually around 50 students, and it is generally perceived as a large class. The English classes in Trisakti university are not likely to be reduced in size in the foreseeable future. Therefore, solutions have to be realistic within the limited constraints of the present teaching – learning situation. Individualized instruction and cooperative learning help a teacher overcome the psychological barrier that the interactive approach/activities can not be used in large classes. The teachers in Trisakti University tend to apply individualized instruction as the only solution in dealing with large classes, since they do not know much what cooperative learning is and how to apply it. The quality of college education mainly depends on the quality of instruction in the classroom. To improve the quality of instruction, teachers need to understand the teaching-learning process. In Trisakti University, many teachers ignore the pedagogical aspects of college teaching, since they assume that students are passive recipients of knowledge and the duties of teachers are transmit the knowledge. Teaching while requiring students to be passive, silent, isolated, and in competition with each other seems the only way to teach. However, college teaching is changing. Research (Rogers, 1982) shows that students actively construct their own knowledge. Students activate their schemata or construct new ones to subsume the new input. Coleman (1989) lists four problems faced by teachers of large classes. First, they feel selfconscious, nervous, and uncomfortable; it is indeed tiring to be constant focus of 50+ pairs of eyes for three to four periods a day. Secondly, large classes pose disciplinary and class-management problems, in which the noise level must be kept down so as not to disturb others. Thirdly, it is difficult to evaluate the oral and written work of so many learners; teachers of large classes seem to be buried under an 238
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
endless pile of homework. And lastly, teachers feel that because individual attention cannot be given, very little learning takes place. In language teaching, besides the obvious problems of control and management which a large class creates, it is felt that the teaching-learning process itself is hindered in large classes, as teachers are unable to provide individual attention to students or to organize the kind of interactive activities considered so essential to language learning (Rivers, 1986). Since then various methodological solutions have been proposed to deal with the problems of teaching English in large classes. These include the use of cooperative learning and various kinds of communicative language learning activities and techniques. LITERATURE REVIEW There have been a number of study which tried to compare the performance of students who cooperated on a writing task with that of students who worked alone. O’Donnell and her colleagues (1987) for example , found that the performance of students who cooperated on a writing task with that of students who worked alone indicated that (1) learned to write better than students whose sole audience was the instructors, (2) had more insight into their writing, and (3) were more concerned with striking a balance between their intention as writers and their readers’ responses. Nystrand and Brand (1986) also found that improvement in writing was significantly related to the kinds of responses got from their readers and the ways in which they viewed their readers. O’Donnell and Dansereau (1992) found that students who worked in cooperative groups wrote better texts that did students who worked alone. The three L1 studies mentioned above suggest that potential efficacy of the use of small group work in the teaching of writing. Perhaps the advantages found in L1 writing can also be obtained in L2 contexts. Hedgcoock and Lefkowitz (1992) focused their study on cooperative oral/aural revision in foreign language writing instruction. Their study examined whether foreign language learners who engaged in an oral/aural group revision procedure produced texts as unified, organized, rhetorically sound, and grammatically accurate as texts produced by learners who received only a teacher’s written feedback. They found that the students in the experimental group produced texts which were significantly better than those texts written by students in the control group in the area of content, organization, and vocabulary. In the domain of ESL writing instruction, there is growing interest in cooperative learning, which usually takes place within the context of writing groups (Murray, 1992). Group work in language classrooms provides non-threatening situation for developing communicative skills and fulfilling the linguistic need for interaction (Long and Porter, 1985). Christison (1993) suggests that by working in small groups students generate more ideas, have ample opportunity to use the four language skills (listening, speaking, reading, and writing), teach other, ask questions, and recognize that their own experiences and thought are of value when they are learning new information. Jacobs and Hall (1996) states that “small group interaction provides students with less threatening environment in which to share their writing and gives every student an equal opportunity to be an active participant throughout the stages of writing process.” Cooperative learning is helpful in writing because writers can benefit from having other people to talk to and to be readers of their writing. When writing alone, it is hard for the students to read their work objectively, to see which parts have been clear and which obscure. This is supported by their findings that grouped writing improves their self-evaluation skills of both members of the groups. Hirvela (1999) points out that students often learn more effectively when asked to perform various tasks in groups than when working alone. He also said that working in groups offers authentic audience feedback from which students learn to revise their
239
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
papers. He also suggests that writing in groups could build communities of student readers and writers, who together read and write texts. By engaging in this more overtly social process of writing, students experience increase opportunity to review and apply their growing knowledge of L2 writing through dialogue and interaction with their peers in the writing groups. Writing is usually easier, better, more successful when talking, drafting, revising, reading, and editing in groups as part of writing process. Working in a small group of peers allows writers to explore the effectiveness of their ideas. They discover what they know and what they do not know, and what their readers understand and do not understand. The difference in instruction types should be taken into serious consideration as one of the factors toward a successful students’ learning. Besides, different social interaction types can cause different academic achievement in different learning methodology - individual and cooperative learning. Based on all the discussions above there arises several questions which can be turned into research questions or research problems; they are as follows: 1. Is English expository writing achievement of the students taught by cooperative learning greater than that of students taught by individual learning? 2. Is English expository writing achievement of the students with high social-interaction taught by cooperative learning different from that of students taught by individual learning? 3. Is English expository writing achievement of students with low-social interaction taught by cooperative learning different from that of students taught by individual learning? 4. Is there an interaction between the two modes andstudents’ social interaction types? The study reported in this article looks at two modes on the teaching of writing, individual and group work in producing written essays which carried out in Faculty of Industrial Engineering of Trisakti University. This study tried to get the students’ social interaction types on the two modes of instruction in the teaching of writing. The aims of this study were (1) To find out the quality of student writing produced individually without interaction with other classmates and writing produced in groups where each student produced one piece of writing. (2) To find out the students’ social interaction types which may contribute to success in learning using the two modes: cooperative and individual learning. Cooperative Learning Cooperation is working together to accomplish shared goals. Within cooperative activities individuals seeks outcomes that are beneficial to themselves and beneficial to all other group members. Cooperative learning is the instructional use of small groups so that students work together to maximize their own and each other’s learning. Class members are organized into small groups after receiving instruction from the teacher. They then work through the assignment until all group members successfully understand and complete it. Cooperative efforts result in participants striving for mutual benefit so that all group members gain each other’s efforts. In cooperative learning situations there is a positive interdependence among students’ goal attainments; students perceive that they can reach their learning goals if and only if the other students in the learning group also reach their goals (Johnson & Johnson, 1989). Cooperative learning is a specific type of small group learning which has the following five principles. These are positive interdependence, face-to-face interaction, individual & group accountability, interpersonal & small-group skills, and group processing Kagan (1992) defines that cooperative learning is a successful teaching strategy in which small teams, each with students of different levels of ability, use a variety of learning activities to improve their understanding of a subject. Each member of a team is responsible not only for learning what is 240
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
taught but also for helping teammates learn, thus creating an atmosphere of achievement. Cooperative efforts result in participants striving for mutual benefit so that all group members: gain from each other’s efforts recognize that all group members share a common fate know that one’s performance is mutually caused by oneself and one’s team members feel proud and jointly celebrate when a group member is recognize for achievement Research (Slavin, 1990) suggests that students learn more successfully in groups, and people usually enjoy activities at which they feel a reasonable chance of success. By using cooperative learning students’ self-confidence will increase. Moreover it help students develop skills in oral communication and social interaction. In summary Cooperative Learning is a method of instruction to organizing classroom activities into academic and social learning experiences. It has been described as structuring positive interdependence. Students must work in groups to complete tasks collectively toward academic goals. Students learning cooperatively capitalize on one’s another’s resources and skills. Five essential elements are identified for the successful incorporation of cooperative learning in the classroom: positive interdependence, face to face promotive interaction, individual and group accountability, social skills, and group processing -
Individual Learning Individualized instruction is a method of instruction in which content, instructional materials, instructional media, and pace of learning are based upon the abilities and interest of each individual leaner. Basically, individualized instruction is instruction that considers the needs of the students. Ideally, the students would control the pace at which they progress through instruction and the materials they use would be suited to their cognitive skills and learning styles (Gagne et al., 1992).These plans provide evidence that there were alternatives to traditional instruction available. Merrill (1981) defines individual learning as the capacity to build knowledge through individual reflection about external stimuli and sources, and through the personal re-elaboration of individual knowledge and experience in light of interaction with others and environment. This capacity is demanded of practically everyone. All learning takes place within an individual, whether within a group or not. In individual learning, the learning objectives and content preference are not uniform. One learner may wish to maximize the amount of content for the allowed time, the other will look for the most enjoyable way of doing it. Content may be studied in depth or scanned to evaluate the coverage of the recourse. Individual students differ from one another in various ways. A summary of some of the follows: intelligence, creativity, cognitive/learning style, concentration, dependence/independence. Personality differences : self concept, locus of control, level of aspiration and performance motivation Self instruction is a technique which involves the use of instructional materials designed so that students can learn either without a teacher's intervention or with minimum guidance. The materials include a set of stimuli, provision for/of responses, feedback and test or self-assessment packages. There are very many systems of self instruction but two are most widely used or adopted. These are the Keller Plan (Keller, 1974). Therefore Individual learningis a method of instruction that has teacher explains or delivers of course content, and students do individual exercise. Teacher provides an assessment to individual student. Individual learning considers the needs of students. Students control the pace of his own 241
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
progress through learning and materials used in accordance with the cognitive abilities and learning styles. Social Interaction The term social interaction is used in social psychology to refer to the mutual or reciprocal way in which individuals and/ or groups influence one another’s behavior, whereby the behavior of an individual or group becomes a stimulus that evokes responses from others (Lindgren, 1973). Rummel (1977) defines social interactions are the acts, actions, or practices of two or more people mutually oriented towards each other’s selves, that is, any behavior that tries to affect or take account of each other’s subjective experiences or intentions. This means that the parties to the social interaction must be aware of each other – have each other’s self in mind. Most individuals tend either to be warm and personal (high sociability) or to be somewhat cold and impersonal (low sociability). Whereas Gerungan (1994) defines social interaction as the relation between two individuals or between individual and a group of people. Social Interaction needs interaction (direct or indirect) and communication (verbal or non verbal). Social interaction is essential to language learning because it is wellspring for negotiation of meaning, a communicative exchange. Interaction is also crucial to learning because students must have input and feedback in order to establish meaning. Without interaction in the target language, students would never learn how to communicate with one another; understanding and being understood. Without communication it is hard to see point of learning a foreign language. Social Interactionis an action, activity or relationship between two or more individuals to each other face to face, pay attention and influence by using verbal and non-verbal language. Social interaction will not occur if there no social contact and communication. Social interaction can be classified as low and high criteria. Low social interaction when individual is cold and impersonal; high social interaction when individual is warm and personal. According to Buhrmeister et.all.(1988) , there are five domains of social interaction competence : initiative, negative assertion, disclosure, emotional support, and conflict management.
RESEARCH METHODOLOGY This is an experimental study as the variables under investigation can be manipulated. The variables under study are as follows: 1. Independent variables: cooperative and individual learning 2. Intervening variable : social interaction, namely high-sociable interaction and low-sociable interaction 3. Dependent variable: expository writing achievement Participants A total of 190 students from writing class (English III) at Industrial Engineering Faculty of Trisakti University participated in this study. Their ages ranged from 18 – 20 years. They were in semester 3 of their studies. They were randomly assigned to one of two groups: Class 01 and 02, the individual learning, consisting of 95 students; and Class 03 and 04, the cooperative learning, consisting 95 students. The randomizing system applied a lottery technique where the names of the students enrolled in English III were al put into a box as a sample. There were 15 students for each class used as a sample. So, there were 60 students as sample in this study. 242
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Instruction The treatment consisted of seven meetings, 150 minutes each meeting, during which students studied the expository genre and process writing. In the teaching of writing based on the process approach which is comprised of three stages: prewriting, outlining and writing the essay. Students move through the process, they may move back and forth between the stages until an effective piece of writing is developed. Writing Tasks The writing task involved only expository genre. Students in both conditions received the same writing topic, were assigned to write the same number of words for their composition, namely between 250 – 350 words. The researcher chose the topics based on his knowledge of the students in order that the topics would be ones which students had stuffiest background knowledge. Instruments Two kinds of instruments aroused in this study: writing test and questionnaire. The writing quality evaluated by assigning weighted ratings in the following analytical categories: content, organization, vocabulary, language used, and mechanics. The analytic scoring system (Jacobs et al., 1981) are comprehensive and are widely used by EFL teachers. A questionnaire of 5 – item Likert type scale was developed to investigate social interaction competence. This measurement adapted from Five domains of interpersonal competence in peer relationships by Buhrmester et al. (1988) differentiating between high sociable interaction and low-sociable interaction, contains five subscales: initiating relationships, self-disclosure, negative assertion, emotional support, and conflict management. The questionnaire was in Indonesian and was filled immediately after the students had taken the writing test Design The research design employed was 2 X 2 factorial design and the data were analyzed using the Two-way Anova and Tuckey Test respectively. Factorial Design 2 x 2 Treatment Students'
Cooperative Method
Individual Method
(A1)
(A2)
A1B1
A2B1
A1B2
A2B2
Characteristics High Social Interaction (B1) Low Social Interaction (B2)
Hypotheses In reference to the theoretical framework and as a tentative answer to the research problems, some hypotheses are deducted as follows: 1. There is a different effect on the English expository writing achievement of students taught by cooperative learning than those taught by individual learning . 243
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
2. There is a different effect on the English expository writing achievement of students with highsociable interaction taught by cooperative learning than those students taught by individual learning . 3. There is a different effect on the English expository writing achievement of students with lowsociable interaction taught by cooperative learning than those students taught by individual learning. 4. There is an interaction between the two modes and students’ social interaction types. Statistical Hypotheses 1. H0 : µ A1 = µ A2 H1 : µ A1 ≠ µ A2 Note:µ A1 = mean score of English expository writing achievement of the students taught by cooperative learning µ A2 = mean score of English expository writing achievement of the students taught by individual learning 2. H0 : µ A1B1 = µ A2B1 H1: µ A1B1 ≠ µ A2B1 Note: µ A1B1 = mean score of English expository writing achievement of the student with high social interaction taught by cooperative learning µ A2B1 = mean score of English expository writing achievement of the student with high social interaction taught by individual learning 3. H0 : µ A1B2 = µ A2B2 H1: µ A1B2 ≠ µ A2B2 Note: µ A1B2 = mean score of English expository writing achievement of the student with low social interaction taught by cooperative learning µ A2B2 = mean score of English expository writing achievement of the student with low social interaction taught by individual learning 4. H0: Int AXB = 0 H1: Int AXB ≠ 0 Note: H0 = There is no interaction between method of instruction and social interaction of the students. H1 = There is interaction between method of instruction and social interaction of the students. Level of confidence or alpha = 0.05A = column B = row
244
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
RESULT OF THE STUDY The mean score of students’ expository writing achievement Instructional Methodology Social Interaction
Cooperative
Individual
∑
high
n1 = 15
n2 = 15
nb1 = 30
X1 = 83.40
X2 = 75.4
Xb1 = 79.4
n3 = 15
n4 = 15
nb2 = 30
X3 = 78.27
X4 = 64.93
Xb3 = 71.6
nk1 = 30
nk2 = 30
nt = 60
Xk1 = 80.84
Xk2 = 70.17
Xt = 75.5
low ∑
Data Analysis Two-Way ANOVA Source
df
SS
MS
F ratio
F table α = 0.05
betw rows/r
1
912.6
912.6
93.08*
4.01
betw columns/c
1
1706.67
1706.67
174.07**
4.01
Interaction (rxc)
1
106.67
106.67
10.88*
4.01
within
56
549.07
9.81
corrected total 59 *) significant **) very significant
3275
From the analysis of variance 2 X 2 it is shown that: Fratio , 174.07 > 4.01 It means that the obtained Fratio is significant which leads to the rejection of the first null hypothesis ( there is no difference expository writing achievement of the students taught using cooperative and individual learning). Thus, it means that there is a difference effect on the achievement of the students taught using cooperative and individual learning. Based on the Tukey Test, it obtained that Qratio = 9.90 and Qtable = 2.769 at α = 0.05. Qratio Qtable. It leads the rejection of the null hypothesis (there is no difference effect on the achievement of the students with low social interaction taught by cooperative and individual learning). Thus, it means that there is a difference effect on the achievement of the students with low social interaction taught by cooperative and individual learning. The result of analysis variance : Fratio = 10.88 > Ftable = 4.01 at α = 0.05, it is indicated that there is an interaction of the two modes (cooperative and individual earning) and social interaction on expository writing achievement of the students.
245
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
DISCUSSION This study indicates that instructional methods (cooperative and individual learning) and social interaction of the students significantly affect variation or diversity of the expository writing achievement of the students. Theoretically, there is an interaction between the teaching methodology and the students’ social interaction that contributes to the variation or diversity of the students’ expository writing achievement. This is proved by the result of the study. The achievement of students taught by cooperative learning is better than the students taught by individual learning, either high or low social interaction. The study also indicates that Implementation of cooperative learning has greater effect on improving the English expository writing achievement of the students in comparing to the implementation of individual learning. Based on the result of the research finding is that the achievement of English expository writing of the students can be enhanced using cooperative learning. Social interaction is one factor that contributes to the improvement of expository writing of the students. Students with high social interaction tend to have a greater achievement than students with low social interaction. CONCLUSION This study produced four major findings: (1) The expository writing achievement of the students taught by cooperative learning is greater than the achievement of those using individual learning. (2) The English expository writing achievement of students with high interaction taught by cooperative learning is greater than that of students taught using individual learning. (3) The English expository writing achievement of students with low low-social interaction taught by cooperative learning is greater than that of students taught by individual learning. (4) There is an effect of interaction between instructional methodology (cooperative and individual learning) and social interaction of the students (high and low) on expository writing achievement of the students. The researcher hopes that the study helps language teachers when they select which mode of teaching to use. It is suggested that cooperative learning, one approach to the group mode of teaching and the approach used in the group condition in this study, has the potential to generate more learner participation and to create more genuine communication among the group members. Thus, group work, when structured with insights from the literature on cooperative learning, provides an important set of tools in foreign language teachers’ toolbox, tools which they would be wise to employ regularly. REFERENCES Argyle, M. (1994) The Psychology of Interpersonal Behavior. New York : Penguin Book , Borg, W.R. and Gall. M.D. 1989. Educational Research: An Introduction. New York: Longman. Burhmeister, W. Furman & M.T. Wittenberg. (1988) Five Domains of InterpersonalCompetence. Journal of Personality and Social Psychology. Christison, Mary Ann. Cooperative Learning in the EFL Classroom. (1996) Selected Articles from the English Teaching Forum 1989 – 1993 ed. by Thomas Krall. Washington DC: United States Information Agency. Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, andMixed Methods Approaches. Thousand Oaks: Sage Publication. Gagne, Robert M. The Condition of Learning. (1997) New York Holt Rinehart and Winston. Gerungan, W.A. (2002) Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama. 246
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Heaton, J.B. (1990) Writing English Language Tests. London: Longman. Hirvela, A. 1999. Collaborative classrooms where competence, confidence, and creativity converge. TESOL Journal 8:2, 7-12. Jacobs, George and Stephen Hall. (October 1994) Implementing Cooperative Learning. English Teaching Forum. Jacobs, Holy L. (1981) Testing ESL Composition: A Practical Approach. Massachusetts: New Bury House Publishers. Inc. Johnson, David W and Johnson, Frank P. (1982) Joining Together: Group Theoryand Group Skills. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Lie, Anita. (2002) Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Lindgren, Henry Clay. 1989. An Introduction to Social Psychology. New York: Wiley & Sons. Inc. Long, M.H., and Porter, P.A. 1985. Group work, interlanguage talk, and second language acquisition. TESOL Quarterly 19:2, 207-228. Murray, D.E. 1992. Collaborative writing as a literacy event: implications for ESL instruction. Collaborative language learning and teaching, ed. By D. Nunan, 100-119. Cambridge: Cambridge University Press. Nystrand, M., and Brandt, D. 1989. Response to writing as a context. Writing and response: theory, practice, and research, ed. By C.M. Anson, 209-230. Urbana, IL: National Council of Teachers of English O’Donnell, A.M., and Danserau, D.F., Rocklin, T.R. 1987.Effects of cooperative and individual rewriting on an instructional writing task. Written Communication 4:1, 90-99. Olsen Roger and Kagan , Spencer .(1982)About Cooperative Learning : Cooperative Language Learning. ed. by Kessler, Caroline, 1 - 25 , New Jersey: Prentice Hall, Inc. Oshima, Alice and Ann Hogue. (1988)Introduction to Academic Writing. California: Addison-Wesley Publishing Company.
247
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENGARUH KUALITAS PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DAN EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP KETERAMPILAN TEKNIS PENGEMUDI BUSWAY TRANSJAKARTA (Survei Pada PT. Transjakarta, 2013) Francis Tantri1 1
Sekolah Tinggi Manajemen Transpor Trisakti Jakarta Email. : [email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh langsung dari kualitas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dan efektivitas pembinaan terhadap keterampilan teknis pengemudi busway Transjakarta. Survei dilakukan pada pengemudi Busway PT. TransJakarta dengan jumlah sampel 35 pengemudi yang telah dipilih secara acak dari seluruh pengemudi jalur Blok M-Kota. Data dari masing-masing variabel yang dikumpulkan melalui pengisian responden dengan kuesioner. Data dianalisis menggunakan teknik analisis jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan teknis pengemudi dipengaruhi langsung oleh kualitas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dan efektivitas pembinaan. Selain itu, efektivitas pembinaan juga dipengaruhi secara langsung oleh kualitas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Temuan ini menunjukkan bahwa variabel kualitas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dan efektivitas pembinaan para pengemudi adalah determinan penting dari keterampilan teknis. Berdasarkan temuan ini, bahwa untuk meningkatkan keterampilan teknis pengemudi, perlu meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dan efektivitas pembinaan para pengemudi busway di PT. TransJakarta. Selain itu, untuk meningkatkan efektivitas pembinaan pengemudi juga diikuti pula peningkatan kualitas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Kata Kunci: keterampilan teknis, efektivitas pembinaan, kualitas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Abstract This Research aims to discover both the direct effects of quality of education and training and effectiveness of coaching on technical skills . It is conducted through a survey in year 2013 at Busway Driver PT. TransJakarta using a sample of 35 drivers who had been randomly selected from the numbers of all drivers in the line Block M-Kota. Data from each variable are collected through respondent’s filling on the questionnaires. The data are analyzed using the path analysis technique. The results show that driver’s technical skills is influenced directly by quality of education and training, and effectiveness of coaching. As well as, the driver’s confidence is directly influenced by the quality of education and training. These findings indicate that the variables of quality of education and training and effectiveness of coaching of the drivers are important determinants of technical skills. Based on these findings, so as to increase the technical skills of the TransJakarta’s driver, it needs to increase the quality of education and training and effectiveness of coaching of the bus drivers at PT. TransJakarta. Furthermore, the more improvement of driver’s effectiveness of coaching it will be followed at all times by increasing the quality of education and training. Keywords: technical skills, effectiveness coaching, quality of education and training.
248
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENDAHULUAN Daerah Khusus Ibu kota Jakarta saat ini dinilai sudah tidak layak dijadikan sebagai pusat pemerintahan, salah satu alasan adalah kemacetan. Kemacetan kota Jakarta saat ini menjadi keluhan seluruh penduduk kota Jakarta. Upaya menyikapi kemacetan tersebut pemerintah DKI Jakarta membangun transportasi Busway. Transportasi massal jenis ini memang sangat dibutuhkan, namun usaha tersebut tetap saja belum efektif mengatasi kemacetan, sebagian masyarakat mengatakan bukan untuk mengatasi kemacetan, tapi sebaliknya, karena jalan yang digunakan oleh jalur busway tidak diiringi dengan pelebaran jalan, sehingga jalan semakin sempit akibatnya makin menimbulkan kemacetan. Selain itu, faktor yang turut berperan dalam kemacetan adalah rendahnya keterampilan teknis pengemudi khususnya pengemudi busway Transjakarta. Akhir-akhir ini korban berjatuhan akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Busway Transjakarta atas kelalaian pengemudi. Mengemudikan kendaraan dengan keterampilan teknis yang rendah akan beresiko besar terjadinya kecelakaan, karena pengemudi membutuhkan persyaratan yang lebih kompleks karena menyangkut jumlah penumpang yang lebih banyak dan waktu mengemudi yang lebih panjang. Untuk itu persyaratan sopir selain memiliki surat izin mengemudi (SIM), waktu kerja dan istirahan, tata karma dalam memberikan pelayanan kepada penumpang yang prima, faktor kualitas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan serta efektivitas pembinaan sangat berpengaruh terhadap keterampilan pengemudi. di saat melaksanakan tugasnya. TINJAUAN PUSTAKA Keterampilan merupakan bagian dari kompetensi.i Keterampilan diperlukan seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan.ii Keterampilan merupakan kemampuan khusus sebagai hasil pengetahuan, kompetensi, praktek dan kecerdasan, sehingga istilah yang lebih khusus ini disebut dengan keterampilan teknis.iii Keterampilan teknis adalah merupakan tingkat tertinggi dari kemampuan seseorang dalam melakukan sebuah aktivitas pada suatu pekerjaan.iv Keterampilan teknis sebagai bagian dari keterampilan manajemen untuk me-lakukan suatu tugas tertentu dengan menggunakan cara atau proses tertentu pula. Dimana keterampilan teknis yang dikemukakan oleh Yulk adalah pengetahuan dan kemampuan dalam menerapkan metode, proses, prosedur dan teknik dalam kegiatan tetentu, baik yang diperoleh melalui pendidikan formal maupun pengalaman dan pelatihan khusus.v Keterampilan teknis menurut pendapat Stoner, Freeman dan Gilbert adalah mengacu pada kemampuan mengunakan prosedur teknis dan pengetahuan mengenai bidang khusus yang diperlukan seseorang.vi MilAno mengemukakan, Technical Skills are the basic knowledge required to perform a task. Technical skills can include educational qualifications and degrees that an employee hold. In the business environment, front line managers will require technical skills which is the knowledge of the basic activities of the company and the technology used by the company.vii Berdasarkan uraian di atas, bahwa keterampilan teknis diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas atau peran-peran melaksanakan tugasnya. Keterampilan teknis adalah pengetahuan dasar yang diperlukan seorang untuk melakukan tugas. Keterampilan teknis adalah kemampuan khusus yang diperlukan untuk memperformakan fungsifungsi pokok atau tugas-tugas selaku pengemudi yang mencakup penerapan pendekatan, metode, dan teknik yang tepat dapat terus dipertahankan. Namun dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan tersebut tentunya tidaklah mudah, karena banyak hal yang mempengaruhi antara lain; kualitas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan latihan merupakan upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia terutama di dalam mengembangkan kemampuan manajerial, intelektual dan kepribadian seseorang. Kualitas dimaksudkan sebagai kepuasan yang diperoleh pelanggan terhadap pemenuhan kebutuhan dan keinginannya.viii Kualitas dipertimbangkan sebagai tuntutan atas hasil sehingga terwujud mutu yang menyatu dengan pekerjaan. Di dalam kualitas terdapat suatu bentuk ukuran, skala, dan urutan. Skala tersebut berada pada rentangan dari satu sisi yang dikatakan buruk atau jelek, bergerak pada posisi menengah lalu kemudian pada posisi baik atau sempurna pada sisi akhir yang lain.ix Kualitas dimulai dengan sebuah pemahaman terhadap bagaimana sebenarnya suatu proses dilaksanakan, dihasilkan serta digunakan sesuai dengan spesifikasi disain yang telah disepakati dalam rangka memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan. 249
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Kualitas pendidikan dan latihan secara konsepsional maka perlu untuk diuraikan arti kata dari pendidikan dan pelatihan. Pendidikan pada dasarnya merupakan komponen utama di dalam pengembangan sumber daya manusia dan harus dapat berfungsi sebagai wacana untuk mewariskan norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Melalui pendidikan, individu-individu akan mendapatkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan untuk hidup dalam masyarakat yang dewasa ini semakin kompleks. Pendidikan adalah suatu proses, teknik dan metode belajar mengajar dengan maksud untuk mentransfer suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.x Pendidikan meliputi semua perbuatan dan usaha untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan dan ketrampilan kepada orang lain.xi Kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mempersiapkan seseorang agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani. Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam bentuk apapun senantiasa mengacu kepada suatu sistem yang terdiri dari masukan yang diproses dan ditransformasikan untuk menghasilkan keluaran.xii Dengan demikian sistem pendidikan merupakan suatu sistem yang produktif yang memproses masukan (peserta didik) menjadi keluaran yang berupa lulusan yang berbeda sikap, pengetahuan, dan ketrampilannya ketika memasuki satuan pendidikan.xiii Kualitas lulusan pendidikan pada dasarnya merupakan cerminan dari kualitas pelaksanaan pendidikan yang sangat ditentukan oleh masukan-masukan seperti yang disebutkan di atas dan proses pendidikan yang senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan sosial dan dunia tenaga kerja. Kualitas pendidikan dan latihan di bidang transportasi, pendekatan yang dilakukan adalah pemahaman secara utuh terhadap hasil pelaksanaan kegiatan pendidikan maupun pelatihan. Keadaan ini dapat digambarkan sebagai dua sisi mata uang yang memiliki nilai yang sama. Keduanya baik pendidikan maupun pelatihan, memiliki persamaan tujuan yang akan di capai yaitu meningkatkan kemampuan (pola pikir dan ketrampilan) guna memperoleh peningkatan produktivitas. Lewis dan Smith menyatakan bahwa pendidikan dan latihan merupakan suatu usaha untuk membekali anggota organisasi dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan pekerjaannya.xiv Pelatihan lebih menekankan kepada bentuk kursus dan program jangka pendek dalam rangka meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan perubahan sikap untuk peningkatan jabatan atau pengembangan di masa depan.xv Melalui kegiatan pelatihan, seseorang akan dapat meningkatkan ketrampilan, memperoleh informasi, dan membentuk sikap agar dapat menjadi lebih efisien dan efektif dalam melaksanakan tugasnya. Kegiatan pelatihan juga menolong organisasi untuk mencapai maksud dan tujuannya. Pada dasarnya kegiatan pelatihan dimaksudkan untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, ketrampilan, dan pengetahuan dari para karyawan sesuai dengan yang diinginkan oleh perusahaan.xvi Berdasarkan pemahaman tersebut, dimaksudkan bahwa pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dapat mengerti tentang pengoperasian suatu peralatan, kepada siapa bertanggung jawab, dan bagaimana cara mengatasi bila terjadi kecelakaan kerja, serta hal lain yang menyangkut suatu pekerjaan. Dengan demikian konseptual dari kualitas pendidikan dan latihan (diklat) di bidang transportasi adalah suatu hasil kegiatan pemindahan pengetahuan sesuai spesifikasi desain yang telah ditetapkan, dalam rangka meningkatkan pengetahuan, wawasan, keahlian, ketrampilan, dan sikap pengemudi agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, yang. meliputi: adanya peningkatan ketrampilan dan pengetahuan dalam bekerja, kemampuan menanggapi dan memecahkan masalah, kecepatan dan ketepatan dalam pengambilan keputusan, sangat perduli terhadap keselamatan kerja, mampu menciptakan kerja sama yang baik, sadar akan tugas dan tanggungjawabnya, dan mampu berkomunikasi dengan semua pihak dalam organisasi. Disamping kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan, efektivitas pembinaan diduga berpeluang mempengaruhi keterampilan teknis. Suatu organisasi akan berjalan dan bergerak maju, sangat tergantung dari upaya efektivitas pembinaan atau perintah dari pemimpinnya. Stoner and Freeman, menyatakan bahwa efektivitas adalah; kesesuaian pencapaian sasaran dengan yang ditetapkan sebelumnya atau sesuai dengan standar.xvii Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Koontz dan Weinrich mengatakan bahwa "Effectiveness is the achievement of objectives".xviii Sementara Lewis dan Douglas mengemukakan, efektivitas merupakan suatu kondisi yang menghasilkan keputusan atau pencapaian hasil yang diinginkan untuk kepuasan konsumen.xix Dari uraian di atas menunjukkan bahwa efektivitas itu memiliki makna bahwa dalam mencapai tujuan suatu organisasi perlu memanfaatkan segala sumber daya yang ada secara tepat dan memperoleh
250
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
manfaat/hasil dari penggunaan sumber daya yang tepat tersebut. Suatu organisasi akan berjalan dan bergerak maju, sangat tergantung dari upaya pembinaan atau perintah dari pemimpinnya. Pembinaan (directing) merupakan salah satu fungsi penting dalam manajemen. Pembinaan merupakan suatu proses pelayanan jasa dalam rangka perbaikan akan peningkatan wawasan, sikap, perilaku, pengetahuan dan keterampilan. Pembinaan merupakan suatu tindakan, proses, hasil, atau pernyataan menjadi lebih baik. Pembinaan menunjukkan adanya kemajuan, peningkatan, perubahan, evolusi atas berbagai kemungkinan, berkembang, atau peningkatan atas sesuatu. Pengertian di atas mengandung dua hal yaitu pertama, bahwa pembinaan itu sendiri bisa berupa tindakan, proses, atau pernyataan dari suatu tujuan; kedua, pembinaan bisa menunjukkan kepada perbaikan atas sesuatu.xx Hal ini dapat dikatakan bahwa pembinaan sebagai bagian dari proses yang normal dari manajemen yang membuat orang menyadari tentang kinerja mereka apa yang mereka kerjakan. Melalui pembinaan kinerja pekerja dapat ditingkatkan bila manajemen mampu menerapkan kepemimpinan yang efektif, melakukan koordinasi dan membangun tim kerja, pilihan teknologi tepat guna, menciptakan iklim dan suasana kerja yang koordinatif, setiap pemimpin harus mampu berkoordinasi secara efektif untuk memotivasi bawahan, memahami kelemahan bawahan dan membantu mengatasinya, serta merubah sikap-sikap kerja negatif menjadi sikap kerja positif.xxi Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa efektivitas pembinaan adalah usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam melaksanakan tugas dengan benar menuju pencapaian tujuan yang telah ditetapkan yang meliputi indikator: melaksanakan bimbingan yang tepat, menjalankan wewenang, melakukan koordinasi, membangun tim kerja dan menciptakan kondisi kerja. METODOLOGI Metode penelitian adalah metode survei dengan pendekatan statistik deskriptif untuk mendeskripsikan hal-hal yang relevan dengan tiap-tiap variabel dan, analisis jalur untuk mengetahui adatidaknya sebab akibat dari variabel endogenus dan eksogenus secara langsung. Penelitan ini di laksanakan di DKI Jakarta dengan lokasi Jalur Blok M-Kota, selama 2 bulan. Populasi terjangkau adalah pengemudi busway Transjakarta, dengan jumlah sampel 35 yang dipilih secara acak sederhana. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran ada atau tidaknya pengaruh kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan, dan efektivitas pembinaan secara langsung terhadap keterampilan teknis pengemudi armada Transjakarta. TEMUAN DAN PEMAHASAN Hasil deskripsi variabel keterampilan teknis diterangkan bahwa terdapat 35 responden memiliki keterampilan teknis dengan rata-rata (mean) sebesar 112,00; simpangan baku (standard deviasi) sebesar 7,408; tingkat penyebaran data keterampilan teknis(variance) sebesar 54,882; rentang (range) sebesar 29; skor minimum dalam data keterampilan teknis pengemudi busway TransJakarta adalah sebesar 96; dan skor maksimum dari data keterampilan teknisadalah sebesar 125. Berdasarkan hasil interpretasi skor variabel, keterampilan teknistermasuk dalam kategori kuat/tinggi. Hal ini berarti keterampilan teknis pengemudi berpotensi baik dalam menunurunkan tingkat kemacetan di Jakarta. Identifikasi tinggi rendahnya keterampilan teknis pengemudi dapat dilihat pada Tabel 1. Kelas 1 2 3 4 5 6
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Data Keterampilan Teknis Pengemudi Interval Kelas Frekuensi Absolut Frekuensi Relatif (%) Frekuensi Kumulatif (%) 96
-
100
3
8.57
8.57
101
-
105
4
11.43
20.00
106
-
110
7
20.00
40.00
111
-
115
10
28.57
68.57
116
-
120
8
22.86
91.43
121 Jumlah
-
125
3 35
8.57 100
100.00
Sumber: Data Penelitian Tahun 2013 251
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Hasil deskripsi variabel kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan (X1) diterangkan bahwa dari 35 responden memiliki nilai rata-rata kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan sebesar 110,71; simpangan baku (standard deviasi) sebesar 7,533; tingkat penyebaran data kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan (variance) sebesar 56,739; rentang (range) sebesar 27; skor minimum dalam data kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan pengemudi busway TransJakarta adalah sebesar 96; dan skor maksimum dari data kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan pengemudi adalah sebesar 123. Berdasarkan hasil interpretasi skor variabel maka kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan termasuk dalam kategori kuat/tinggi. Hal ini berarti kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan pengemudi berpotensi baik dalam menekan tingkat kemacetan jalan di DKI Jakarta. Identifikasi tinggi rendahnya kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Data Kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan Kelas
Interval Kelas
Frekuensi Absolut Frekuensi Relatif Frekuensi Kumulatif (%) (%)
1
96
-
100
3
8.57
8.57
2
101
-
105
6
17.14
25.71
3
106
-
110
7
20.00
45.71
111
-
115
10
28.57
74.29
116
-
120
7
20.00
94.29
121 Jumlah
-
125
2 35
5.71 100
100.00
4 5 6
Sumber: Data Penelitian Tahun 2013 Hasil deskripsi Efektivitas pembinaan diterangkan bahwa dari 35 responden memiliki nilai ratarata efektivitas pembinaan sebesar 108,51; simpangan baku (standard deviasi) sebesar 9,354; tingkat penyebaran data efektivitas pembinaan (variance) sebesar 87,492; rentang (range) sebesar 35; skor minimum dalam data efektivitas pembinaan pengemudi adalah sebesar 90; dan skor maksimum dari data efektivitas pembinaan pengemudi adalah sebesar 125. Berdasarkan hasil interpretasi skor variabel maka maka efektivitas pembinaan termasuk dalam kategori kuat. Identifikasi tinggi rendahnya efektivitas pembinaan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Data Efektivitas Pembinaan Kelas 1 2 3 4
Interval Kelas
Frekuensi Absolut Frekuensi Relatif Frekuensi Kumulatif (%) (%)
90
-
95
4
11.43
11.43
96
-
101
4
11.43
22.86
102
-
107
7
20.00
42.86 71.43
108
-
113
10
28.57
5
114
-
119
6
17.14
88.57
6
120 Jumlah
125
4 35
11.43 100
100.00
Sumber: Data Penelitian Tahun 2013 Pengaruh Kualitas pendidikan dan pelatihan Terhadap Keterampilan teknisPengemudi Busway di PT. TransJakarta. Variabel kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap keterampilan teknispada pengemudi busway TransJakarta. Hal ini ditunjukkan dengan hasil koefisien pengaruh sebesar 0,516 lebih besar daripada nilai signifikansi sebesar 0,05 atau 5%.
252
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Meskipun demikian, variabel kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan berpengaruh terhadap keterampilan teknishanya sebesar 26,6%, ditunjukkan dengan output hasil uji regresi bahwa nilai R2 sebesar 0,266. Sedangkan 73,4 % dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lain yang mempengaruhi bisa meliputi perilaku konsumen maupun ketersediaan perangkat busway yang memadai. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan, maka semakin tinggi pula keterampilan teknis pengemudi. Pengaruh Efektivitas pembinaan Terhadap Keterampilan teknis Pengemudi Busway di PT. TransJakarta. Variabel efektivitas pembinaan memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap keterampilan teknispada pengemudi busway TransJakarta. Hal ini ditunjukkan dengan hasil koefisien pengaruh sebesar 0,515 lebih besar daripada nilai signifikansi sebesar 0,05 atau 5%. Meskipun demikian, variabel efektivitas pembinaan berpengaruh terhadap keterampilan teknis hanya sebesar 26,6%, ditunjukkan dengan output hasil uji regresi bahwa nilai R2 sebesar 0,266. Sedangkan 73,4% dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lain yang mempengaruhi bisa meliputi kepemimpinan atasan maupun komitmen organisasi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi efektivitas pembinaan, maka semakin tinggi pula keterampilan teknis pengemudi. Pengaruh Kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan pada Pengemudi Busway di PT. TransJakarta.
Efektivitas pembinaan
Variabel kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap efektivitas pembinaan pada pengemudi busway TransJakarta. Hal ini ditunjukkan dengan hasil koefisien pengaruh sebesar 0,494 lebih besar daripada nilai signifikansi sebesar 0,05 atau 5%. Meskipun demikian, variabel kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan berpengaruh terhadap efektivitas pembinaan hanya sebesar 24,4%, ditunjukkan dengan output hasil uji regresi bahwa nilai R2 sebesar 0,244. Sedangkan 75,6% dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lain yang mempengaruhi bisa meliputi kedisplina maupun ketersediaan sistem informasi manejemen. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan, maka semakin tinggi pula efektivitas pembinaan pengemudi Secara statistik, dapat disimpulkan bahwa kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan dan efektivitas pembinaan berpengaruh terhadap keterampilan teknis pengemudi busway Transjakarta. Demikian juga dengan kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan berpengaruh terhadap efektivitas pembinaan pengemudi busway Transjakarta. Untuk kebijakan lebih lanjut, pihak PT. TransJakarta sekiranya meningkatkan kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan dan efektivitas pembinaan untuk mendorong pengemudi guna meningkatkan keterampilan teknis pengemudi. KESIMPULAN 1) Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan dengan keterampilan teknis pengemudi busway TransJakarta dengan koefisien pengaruh sebesar 0,516. Persamaan regresi bersifat linier dengan persamaan X3 = 55,815 + 0,507X 1 dengan kontribusi sebesar 26,6% dari kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan pengemudi, maka semakin tinggi pula keterampilan teknis pengemudi busway TransJakarta. 2) Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara efektivitas pembinaan dengan keterampilan teknis pengemudi busway TransJakarta dengan koefisien pengaruh sebesar 0,515. Persamaan regresi bersifat linier dengan persamaan X3= 67,715 + 0,408 X2 dengan kontribusi sebesar 26,6% dari kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan pengemudi, maka semakin tinggi pula keterampilan teknis pengemudi busway TransJakarta. 3) Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan dengan efektivitas pembinaan pengemudi busway TransJakarta dengan koefisien pengaruh sebesar 253
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
0,494. Persamaan regresi bersifat linier dengan persamaan X2 = 40,613 + 0,613 X1 dengan kontribusi sebesar 24,4% dari kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi efektivitas pembinaan terhadap pengemudi, maka semakin tinggi pula kualitas pelaksanan pendidikan dan pelatihan pengemudi busway TransJakarta. DAFTAR PUSTAKA i
Allan R. Cohen & Stephen L. Fink,(2001). Effective Behavior in Organitzation. Cases, Concept, and Student Experience (Boston: McGraw-Hill. ii John M. Ivaneevich, Robert Konopaske dan Michael T. Matteson,(2005). Organization Behavior and Management. Seventh edition (New York: McGraw-Hill. iii Thomas S. Bateman and Scott A. Snell, (2000). Management: Leading & ollaborating in A Competitive Era. Seventh Edition (New York, John Wiley & Sons Pte. Ltd. iv Ian Reece & Stephen Walker. Teaching, Training and Learning. A Practical Guide (Sunderland: Business v Gary A. Yulk,. (1994). Leadership in Organization, Englewood Cliffs (New Jersey: Pretience – Hall, Inc. vi James A.F. Stoner, R. Edward Freeman,dan Daniel R. Gilbert,(1995). Management (New Jersey: Pretice –Hall., Inc. vii MilAno Ruwi W. (2013) What is the definition of technical skills?, Retrieved from http://wiki.answers.com-/Q/What_is_the_definition_of_technical_skills, 2013), h.1 viii Edward Sallis, (1993) Total Quality Management in Education (Philadelpia-London: Kogan Page Educational Management Series. ix Derm Barrett, (1995). The TQM Paradigm, Key Ideas That Make It Work (Portland, Oregon: Productivity Press. x Mulia Nasution,(1994) Manajemen Personalia, Aplikasi dalam Perusahaan (Jakarta: Djambatan. xi Soegarda Poerbakawatja dan H.A..H Harahap, (1982) Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 257. xii Ralph G. Lewis dan Douglas H. Smith, (1994). Total Quality in Higher Education ( Florida, Delray Beach: St. Lucie Press, 64. xiii Endang Soenarya, (2000). Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem (Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, 88 xiv Ralph G. Lewis dan Douglas H. Smith, (1994). Total Quality in Higher Education ( Florida, Delray Beach: St. Lucie Press, 139. xv Donald L. Kirkpatrick, (1998). Evaluating Training Programs, The Four Level. San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc., xvi. xvi Alex S. Nitisemito, (1996). Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 53. xvii Stoner, James A.F. and R. Edward Freeman. (1992). Management.. EnglewoodCliffs. New Jersey: Prentice Hall, 7 xviii Harold Koontz, Heinz Weihrich, (1998). Management . Singapore: McGraw-Hill International Edition, 8. xix Ralph G. Lewis dan Douglas H. Smith, (1997). Total Quality in Higher Education. Florida: St. Lucie Press, 317. xx Thoha, Miftah, (1993). Pembinaan Organisasi: Proses Diagnosa dan Intervensi. Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 7. xxi Simanjuntak, Payman J. (2005). Manajemen dan Evaluasi Kinerja (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
254