perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI NFκB DAN C-MYC DAN HUBUNGAN ANTARA EKSPRESI NFκB DAN C-MYC PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama : Biomedik THT-KL
OLEH :
FARIDA NURHAYATI NIM S500907015
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit 2011to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Farida Nurhayati NIM
: S500907015
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Pengaruh Kemoterapi Neoadjuvant Terhadap Ekspresi NFκB dan c-myc dan Hubungan Antara Ekspresi NFκB dan c-myc Pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated adalah betul - betul karya sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar , maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, April 2011 Yang Membuat Pernyataan
Farida Nurhayati
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RIWAYAT HIDUP SINGKAT
A. Identitas Nama
: Farida Nurhayati
Jenis kelamin
: Perempuan
Tempat/tanggal lahir
: Solo, 2 Juli 1970
Agama
: Islam
NIM PPDS I IK THT-KL
: S9207003
NIM Magister Biomedik
: S500907015
B. Riwayat pendidikan 1. SD Al Islam 2 Surakarta, Lulus tahun 1982 2. SMP Al Islam I Surakarta Lulus tahun 1985 3. SMAN 4 Surakarta Lulus tahun 1988 4. FK UNS, Surakarta Lulus tahun 1995
C. Riwayat Pekerjaan 1.
Dokter PTT RS Dr Ryacudu Kotabumi Lampung Utara: tahun 1997 – 1999.
2.
Dokter PNS Kepala Puskesmas Madukoro Kotabumi Lampung Utara tahun 2000 – 2003
3.
Dokter PNS Kepala Puskesmas Kotabumi II Lampung Utara tahun 2003 2007
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
4.
digilib.uns.ac.id
Dokter Lembaga Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM Kotabumi Lampung Utara tahun 2003 – 2007.
5.
Dokter Kepolisian Resort Lampung Utara tahun 2003 – 2007.
6.
Dosen Akademi Keperawatan Kotabumi Lampung Utara tahun 2002 – 2007.
E. Riwayat keluarga 1. Nama orang tua Ayah Ibu
: H. Imam Nurhadi : Hj. Sri Tumiyati
2. Nama Suami
: H. Sofyan Adi Nugroho, SE. MM
3. Nama anak
: Fauzan Adhi Rachman Fahreza Adhi Nurcahya
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur kepada Allah SWT yang Maha kuasa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menjalani pendidikan sampai selesainya karya ilmiah akhir ini, sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Spesialis Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher dari Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD. dr Moewardi Surakarta dan gelar Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dengan segala kerendahan hati disadari bahwa tanpa bimbingan semua staf pendidik dan bantuan semua pihak yang terlibat, maka karya ilmiah ini tidak akan bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat: 1. Prof. Emeritus. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp THT-KL (K), selaku pembimbing utama yang telah memberikan banyak nasihat, dukungan, dan bimbingan pada penelitian ini. 2. Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si, yang telah membimbing dengan penuh kesungguhan pada penelitian ini. 3. dr. Made Setiamika, Sp THT-KL sebagai pembimbing Sub. Bagian Onkologi dan selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit THT di RSUD Dr Moewardi Surakarata
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. dr. Mochamad Arief TQ, MS, yang telah membimbing dalam bidang statistik dengan penuh kesungguhan pada penelitian ini. 5. Prof. dr. Bhisma Murti, MPH. M.Sc, Ph.D yang telah membantu dan membimbing analisis data dalam penelitian ini. 6. dr. Sarwastuti Hendradewi, Sp.THT-KL, MSi.Med selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyakit THT-KL di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta . 7. Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK, selaku Ketua program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Direktur RSUD dr. Moewardi, drg. Basuki. MMR, yang telah memberikan kesempatan pendidikan dan penelitian pada penulis. 9. Direktur Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. Dr. Suranto yang telah memberikan kesempatan pendidikan dan penelitian ini. 10. Dekan Fakultas Kedoteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. DR.Zainal Arifin Adnan,dr.Sp.PD-KR-FINASIM, yang telah memberikan kesempatan pendidikan dan penelitian kepada penulis. 11. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof Dr Ravik Karsidi MS, yang telah memberikan kesempatan pendidikan dan penelitian kepada penulis. 12. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh staf THT-KL FK UNS yang kami hormati : -
dr. Djoko SS, Sp THT-KL (K), MBA, MARS, Msi
-
dr. Sudarman, Sp THT-KL (K) commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
-
dr. Sutomo S, Sp THT-KL (K
-
Almarhum dr. Chaerul H, SP THT-KL(K)
-
dr. Sudargo, Sp THT-KL
-
dr. Bambang S, Sp THT-KL (K)
-
dr. Hadi Sudrajad, Sp.THT-KL, Msi.Med
-
dr. Imam Prabowo, Sp THT KL
-
dr. Vicky Eko Nurcahyo, MSc, Sp. THT-KL
-
dr. Putu Wijaya Kandi, Sp.THT-KL
-
dr. Novi Primadewi Sp THT KL
digilib.uns.ac.id
yang telah berperan besar dalam proses pendidikan penulis dan penyelesaian penelitian ini. 13. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 14. Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. DR.dr Ambar Mudigdo, Sp. PA (K), selaku Kepala laboratorium Patologi Anatomi dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah mengijinkan saya melakukan penelitian di bagian Laboratorium Biomedik. 15. Teman sejawat residen THT, seluruh paramedis RSUD dr.Moewardi dan semua pihak yang telah membantu pendidikan dan penelitian ini. 16. Kedua orang tua ( H Imam Nurhadi dan Hj Sri Tumiyati ) dan mertua (H Badar Mulyodarmono dan Hj Nurtinah ) yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan moril kepada penulis. commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17. Khususnya untuk suamiku tercinta Sofyan Adi Nugroho SE, MM, terima kasih yang tidak terhingga atas segala keiklasan, kesabaran, pengertian, dorongan semangat, curahan kasih sayang dan iringan doa tulusnya selama penulis menyelesaikan pendidikan ini. 18. Kedua anakku tercinta, Fauzan Adi Rachman dan Fahreza Adi Nurcahya, terima kasih untuk pengertian dan doanya selama penulis menyelesaikan pendidikan ini. Penulis sadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, dan mohon kiranya diharapkan akan mendorong penelitian lebih lanjut agar lebih bermanfaat. Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan maaf yang setulustulusnya kepada semua guru, teman sejawat, paramedis dan karyawan di lingkungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta atas semua kesalahan dan kekhilafan selama menempuh Pendidikan Dokter Spesialis dan Magister Kesehatan. Semoga Allah SWT memberkati kita semua, Amien
Surakarta, April 2011 Penulis Farida Nurhayati commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN
i
LEMBAR PERNYATAAN
ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
iii
KATA PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
ABSTRAK
xv
DAFTAR SINGKATAN
xvii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
1
1.2.
Rumusan Masalah
4
1.3.
Tujuan Penelitian
4
1.4.
Manfaat Penelitian
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karsinoma Nasofaring
6
2.2. Mekanisme Karsinogenesis
35
2.3. Siklus Sel
39
2.4. Virus Epstein-Barr
41
2.5. Struktur Genom dan Molekuler EBV commit to user
42
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.6. NFκB
46
2.7. c-myc
51
2.8.
Kerangka Teori
54
2.9.
Kerangka Konsep
56
2. 10. Hipotesis Penelitian
57
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian
58
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
59
3.3. Populasi dan Sampel
59
3.4. Variabel Penelitian
60
3.5. Definisi Operasional
61
3.6. Alat Penelitian
62
3.7. Cara Kerja
62
3.8. Tehnik Analisa Data
65
BAB IV. HASIL PENELITIAN 4.1. Data dasar sampel penelitian
66
4.2. Hasil analisis pemeriksaan ekspresi NFκB dan c-myc
70
4.3. Hasil analisis hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc
73
BAB V. PEMBAHASAN 5.1. Data dasar penelitian
75
5.2. Hasil analisis pemeriksaan ekspresi NFκB dan c-myc
78
5.3. Hasil analisis hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc
88
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN commit to user
90
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
2.1
Karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated
13
2.2 Skema karsinogenesis
37
2.3 Infeksi EBV pada penderita carrier
46
2.4 Aktivasi NFκB
48
2.5 Aktivasi c-myc
52
2.6 Kerangka Teori
54
2.7 Kerangka Konsep
56
3.1 Rancangan Penelitian
58
4.1 Diagram batang distribusi subyek penelitian menurut umur
67
4.2 Diagram batang distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin
67
4.3 Distribusi sampel berdasarkan staging Tumor Primer (T) sebelum 68 dan sesudah kemoterapin neoadjuvant 4.4 Distribusi sampel berdasarkan staging nodul (N) sebelum dan
68
sesudah kemoterapi neoadjuvant 4.5 Hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin, Lekosit dan Trombosit
69
sebelum dan sesudah kemoterapi 4.6 Boxplot hasil ekspresi NFκB sebelum dan sesudah kemoterapi
71
neoadjuvant pada KNF Undifferentiated 4.7 Boxplot hasil ekspresi c-myc sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada KNF Undifferentiated
72
4.8 Hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated commit to user
74
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
2.1
Status penampilan
33
3.1
Nilai P ( Prosentasi jumlah sel )
64
3.2
Penilaian Intensitas Warna
64
4.1
Hasil
analisis
ekspresi
NFκB
sebelum
dan
sesudah 70
kemoterapi neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated 4.2
Hasil
analisis
ekspresi
c-myc
sebelum
dan
sesudah 72
kemoterapi neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated 4.3
Hasil analisis model persamaan linier hubungan antara ekspresi 73 NFκB dengan c-myc pada KNF jenis Undifferentiated
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Ethical Clearance Lampiran 2 : Jadwal Penelitian Lampiran 3 : Pemeriksaan Imunohistokimia Lampiran 4 : Surat Pernyataan Persetujuan Lampiran 5 : Status Penelitian Lampiran 6 : Pemeriksaan Imunohistokimia Ekspresi NFκB dan c-myc Lampiran 7 : Data Dasar Penelitian Lampiran 8 : Analisis Statistik
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Farida Nurhayati, S500907015. 2011. Pengaruh Kemoterapi Neoadjuvant Terhadap Ekspresi NFκB dan c-myc dan Hubungan Antara Ekspresi NFκB dan cmyc pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Tesis : Program Pendidikan Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama : Biomedik THT – KL.
Latar belakang : Patogenesis karsinoma nasofaring banyak dikaitkan dengan infeksi virus Epstein Barr, virus ini menyebabkan jaringan mengekspresikan Nuclear Factor Kappa Beta (NFκB) yang merupakan faktor transkripsi dan c-myc untuk proliferasi jaringan. Adanya ekspresi NFκB dan c-myc merupakan dua faktor penting sebagai penanda terjadinya keganasan. Pemberian kemoterapi neoadjuvant diharapkan dapat menghambat proses proliferasi dan menyebabkan terjadinya apoptosis. Tujuan : Mengetahui pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated. Metode dan bahan penelitian : Penelitian eksperimen kuasi dengan rancangan One group before and after intervention. Sebanyak 10 sampel dari jaringan biopsi karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated, masing-masing dilakukan pemeriksaan penentuan ekspresi NFκB dan c-myc sebelum dan sesudah pengobatan menggunakan pemeriksan imunohistokimia dengan sistem Avidin Biotin Complex ( ABC ). Antibodi yang digunakan mouse anti NFκB (Santa Cruz) dan mouse anti c-myc (Santa Cruz). Substrat enzim yang digunakan adalah Diaminobenzidin tetrahidrochloride (DAB). Analisa dengan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks test dan Spearman’s menggunakan SPSS 15.0 program underwindow. Hasil penelitian : Setelah kemoterapi neoadjuvant terjadi peningkatan signifikan ( p=0,005 ) terhadap ekspresi NFκB (1,11 ± 1,14 dibanding 4,92 ± 2,79 ) dan terjadi peningkatan signifikan ( p=0.025 ) terhadap ekspresi c –myc (1.15 ± 0,78 dibanding 3,04 ± 1,91 ). Analisis hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated memenuhi garis liniar dan signifikan ( p=0,001 ) . Kesimpulan : Terdapat peningkatan ekspresi NFκB dan c-myc sesudah kemoterapi neoadjuvant yang signifikan pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated. Terdapat hubungan signifikan antara ekspresi NFκB dengan cmyc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Kata kunci: kemoterapi neoadjuvant, NFκB dan c-myc
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Farida Nurhayati, S500907015. 2011. Effect Neoadjuvant Chemotherapy for Expression NFκB and c-myc and Corelation between Expression NFκB and c-myc In Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma. Thesis : Magister Kesehatan Program of Kedokteran Keluarga Minat Utama : Biomedik THT – KL. . Background: Epstein Barr, virus ( EBV ) infection has been frequently related with nasopharyngeal carcinoma, this virus makes the tissue of nasopharyng express Nuclear Factor Kappa Beta (NFκB) and c-myc. NFκB is a transcriptional factor and c-myc for proliferation. NFκB and c-myc are two master transcriptional system for malignancy. The administration of neoadjuvant chemotherapy followed by radiotheraphy may prevent the apoptosis and inhibit the proliferation. Aims : To evaluate the effect of neoadjuvant chemotherapy toward the expression level of NFκB and c-myc in Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Methode Material : Quasi Experimental research by One group before and after intervention design. 10 sampels were collected from nasopharyngeal carcinoma biopsy tissue which had been diagnosed as Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma, then each sample performed immunohistochemistry examination with Avidin Biotin Complex (ABC) system to evaluate the expression of NFκB and cmyc. Mouse antibody anti human NFκB (Santa Cruz) and mouse anti human cmyc (Santa Cruz) was used. Diaminobenzidine tetrahidrochloride (DAB) was utilized as an enzyme substrate. Indepent t and linier regression were used to analized data and we were taken SPSS 15.0 underwindows program. Result: After neoadjuvant chemotherapy there were increase , and significant value ( p=0.005 ) for expression of NFκB (1.11 ± 1.14 / 4.92 ± 2.79) and expression of c-myc (1.15 ± 0,78 / 3.04 ± 1.91). There were significant corelation between expresion of NFκB and c-myc in Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma ( p=0.001 ). Conclussion : Expression of NFκB and c-myc were incresed, and significant after neoadjuvant chemotherapy in Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. There were significant corelation between expresion of NFκB and c-myc in Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma Keywords: neoadjuvant chemotherapy, NFκB and c-myc
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN
Bcl-2
: B-Cell Lymphoma-2
CD
: Cluster of Differentiation
Cdk
: Cyclin dependent kinase
CAMP
: Cyclic aminophosphatase
Cgy
: CentiGray
c-myc
: Chicken Myelocitosis ( oncogen)
DNA
: Deoxyribonucleic acid
EBV
: Epstein Barr Virus
EBNA
: Epstein Barr Nuclear Antigen
EBER
: Epstein Barr virus Encoded mRNA
EA
: Early Antigen
Gp
: Glikoprotein
HLA
: Human Leucocyte Antigen
HPV
: Human Papilloma Virus
Ig
: Imunoglobulin
IHC
: Imunohistochemistry
LMP
: Laten Membran Protein
NFκB
: Nuclear Factor κ Beta
Mdm
: Murine double minute
mRNA
: messenger Ribunucleic Acid
P53
: Protein 53
:
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pRb
: Protein Retinoblastoma
Ras
: Rat Sarcoma ( oncogen )
TSGs
: Tumor Supressor Genes
TNFR
: Tumor Necrosing Factor Receptor
TGF
: Tumor Growth Factor
TRAF
: TNFR-Assosiated Factor
VCA
: Viral Capsid Antigen
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring. Berdasarkan prevalensinya tumor ganas nasofaring sendiri berada di peringkat ke lima dari semua keganasan pada tubuh manusia. Di Indonesia pernah dilaporkan angka prevalensi KNF 6 diantara 100.000 penduduk pertahun (Roezin, 2003; Tan, 2010). Penelitian
untuk
mengidentifikasi
faktor
yang
berperan
pada
karsinogenesis masih terus berlangsung hingga saat ini. Secara umum telah disepakati proses tersebut telah berlangsung secara bertahap. Berbagai penelitian akhir-akhir ini telah membuktikan Epstein Barr Virus (EBV) selalu ditemukan pada
biopsi
KNF.
Gambaran
histopatologi
terbanyak
adalah
jenis
Undifferentiated sebesar 86 % dan karsinoma sel skuamosa berkeratin 14 % (Huang,1999). KNF Undifferentiated di Amerika Utara sebesar 63% dan di Cina Selatan 95% (Wei, 2006). Di RSUD Moewardi selama tahun 2008-2009 KNF Undifferentiated sebesar 89,1% ( Sari, 2010). Onkogen adalah gen yang berkaitan dengan terjadinya tranformasi neoplastik. Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam keadaan normal ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel dan tidak mengakibatkan keganasan. Aktivitas proto-onkogen commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi onkogen dapat terjadi melalui perubahan struktural dalam gen, translokasi kromosom, amplifikasi gen atau mutasi berbagai elemen yang dalam keadaan
normal
berfungsi
mengontrol
ekspresi
yang
bersangkutan
(Kresno, 2005 ). Faktor transkripsi yang mempunyai peran penting dalam immortalitas sel adalah Nuclear Factor kappa Beta ( NFκB ) dan c-myc. Dari berbagai penelitian dinyatakan 2 protein ini memiliki peran yang sinergis dalam memacu terjadinya malignansi. Peningkatan ekspresi dari NFκB akan menyebabkan immortalisasi sel dan proliferasi sel. Peningkatan ekspresi NFκB
akan menyebabkan
peningkatan ekspresi c-myc (Nathalie et al, 2009). NFκB merupakan kompleks protein yang mengendalikan transkripsi gen dari DNA. Salah satu faktor transkripsi yang penting dalam regulasi ekspresi gen yang terkait dengan fungsi fungsi biologis seperti
halnya respon imun dan
inflamasi, pertumbuhan dan proliferasi sel, serta pertahanan sel terhadap stres ( radikal bebas, radiasi ultraviolet, kerusakan DNA dan infeksi bakteri / virus ). Sebaliknya, pengaturan yang salah dari NFκB telah dikaitkan dengan proses keganasan, inflamasi, penyakit autoimun, syok septik, dan infeksi virus. NFκB merupakan salah satu faktor transkripsi yang menginduksi ekspresi c-myc. Adanya peningkatan ekspresi NFκB yang diikuti dengan peningkatan c-myc, IL1, TNF, IL 6 dan Cyclic D1 menandakan terjadinya proses malignansi (Momoko, 2005). NFκB merupakan faktor utama yang mengatur transkripsi gen yang bertanggung jawab atas bawaan atau adaptif respon imun. Setelah aktifasi sel B commit to user 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maupun sel T reseptor, NFκB diaktifkan melalui sinyal yang berbeda. LMP-1 mengaktifasi NF-kB dan jalur janus kinases (JAK) oleh aktifasi daerah terminal karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol. Target transkripsi dari EBV yang lain adalah c-myc. Melalui proses dimerisasi dengan Maz, c-myc merupakan faktor transkripsional induk yang meregulasi mekanisme siklus sel. Epstein Barr Nuclear Antigen-2 (EBNA-2) bekerja sebagai suatu regulator positif dari ekspresi c-myc dalam konteks promoter P1-P2 asli setelah infeksi pada sel B yang istirahat. Aktivasi NFκB oleh Latent Membrane Protein -1 (LMP-1) juga dapat meningkatkan ekspresi
c-myc
(Zong, 2002). Salah satu modalitas terapi yang digunakan untuk karsinoma nasofaring adalah kemoterapi neoadjuvant, yaitu pemberian kemoterapi yang mendahului modalitas terapi lain. Kemoterapi dengan menggunakan regimen Cisplatin dan 5-Fluorouracil (5 FU) yang diikuti dengan radioterapi Cobalt 60.
Cisplatin
memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi dengan bekerja pada fase G1 dan G2. Sedangkan
5 FU merupakan anti
metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S (Lica, 1999). Radioterapi dengan menggunakan Cobalt 60 dapat menyebabkan kerusakan jaringan akibat terjadinya nekrosis sel ( Tjokronegoro, 2001). Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
pengaruh
kemoterapi
neoadjuvant dengan Cisplatin, 5 FU dan diikuti radiasi Cobalt 60 terhadap ekspresi NFκB dan c-myc pada pasien KNF jenis Undifferentiated . Selain itu juga untuk mengetahui hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc. commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.2. Rumusan Masalah 1.
tingkat ekspresi NFκB dan c-myc
Apakah ada perubahan
akibat
pemberian kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ? 2.
Apakah ada hubungan antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perubahan tingkat ekspresi
NFκB dan c-myc akibat pemberian kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
1.3.2. Tujuan Khusus 1.
Mempelajari pola perubahan tingkat ekspresi NFκB kemoterapi
neoadjuvant
pada
karsinoma
akibat pemberian
nasofaring
jenis
Undifferentiated. 2.
Mempelajari pola perubahan tingkat ekspresi c-myc akibat pemberian kemoterapi
neoadjuvant pada
karsinoma nasofaring
jenis
Undifferentiated. 3.
Mempelajari hubungan
antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc
pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.4. Manfaat Penelitian 1. Membuktikan bahwa pemberian kemoterapi
neoadjuvant merupakan
salah satu modalitas terapi yang dapat digunakan pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. 2. Adanya perubahan tingkat ekspresi NFκB dan c-myc sesudah pemberian kemoterapi neoadjuvant dapat digunakan sebagai prediksi terhadap respon terapi, khususnya pada kasus karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. 3. Diketahuinya ada hubungan antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc, maka dapat dikembangkan penelitian ekspresi
lain terkait dengan penghambatan
NFκB dan hubungannya dengan proliferasi sel, khususnya pada
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated .
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa atau jaringan limfoepitelial pada nasofaring. KNF merupakan keganasan yang sulit didiagnosa secara dini karena lokasinya yang tersembunyi, sehingga kebanyakan penderita datang berobat dalam stadium lanjut. Kelainan yang dapat dijumpai pada KNF seperti penonjolan mukosa (creeping tumor), tumor eksofitik, infiltratif dan ulseratif. Adanya hubungan infeksi EBV dengan karsinoma nasofaring pernah diteliti Lin (2003) dan Wei (2006), terutama terdapat pada jenis Undifferentiated.
2.1.1. Epidemiologi KNF merupakan keganasan yang relatif sedikit di banyak negara, dengan insidensi 1 / 100.000. Insidensi KNF lebih banyak di Alaska dan etnis Cina di bagian Selatan, terutama di propinsi Guang Dong. Baru baru ini dilaporkan insidensi KNF pada orang Hongkong yang tinggal di propinsi Guang Dong, dimana laki laki adalah 20 – 30 / 100.000 penduduk dan perempuan 15 – 20 / 100.000 penduduk. Di Indonesia pernah dilaporkan angka prevalensi KNF 6 diantara 100.000 penduduk pertahun (Roezin, 2003; Tan, 2010 ). Karsinoma nasofaring dapat mengenai semua usia. Insiden puncak terjadi pada 40 sampai 50 tahun, lebih commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sering pada laki-laki dibanding perempuan dengan rasio 3,5 : 2 (Huary, 1998; ICMR Bulletin, 2003; Wei, 2006).
2.1.2. Etiologi Penyebab dari karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial dan belum seluruhnya dapat diterangkan. Bukti yang dapat menunjang saat ini adalah adanya hubungan antara lingkungan, makanan, genetika dan infeksi EBV (Huang, 1999; Huary, 1998; Wei, 2006). Penelitian
untuk
mengidentifikasi
faktor
yang
berperan
pada
karsinogenesis masih terus berlangsung hingga saat ini. Berbagai penelitian akhirakhir ini telah membuktikan EBV selalu ditemukan pada biopsi KNF, untuk gambaran histopatologi terbanyak adalah jenis Undifferentiated sebesar 86 % dan karsinoma sel skuamosa berkeratin 14 % (Huang,1999). KNF Undifferentiated di Amerika Utara sebesar 63%, Cina Selatan
95% (Wei, 2006).
Di RSUD
Moewardi selama tahun 2008-2009 KNF jenis Undifferentiated sebesar 89,1% ( Sari, 2010). EBV sering disebut mempunyai peranan dalam karsinogenesis KNF, sebab genome EBV sering ditemukan dalam spesimen biopsi KNF.
EBV dapat
ditemukan di mana mana di tubuh manusia, sehingga tidak mungkin EBV hanya satu satunya sebagai penyebab KNF. Adanya EBV dalam tubuh meningkatkan insidensi KNF 6 kali dibandingkan kelompok kontrol. Ini menyokong pendapat bahwa faktor genetik juga memegang peranan penting dalam etiologi KNF ( Wei, 2006 ).
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor genetik yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring yaitu genotip human leucocyte antigen (HLA)-A2 dan HLA-Bsin2 dan adanya delesi dan translokasi kromosom yang berhubungan dengan gen onkogen dan gen supresor tumor. Proses bertahap karsinogenesis meliputi berbagai perubahan pada critical genes yang terbagi dalam tumor supressor genes (TSGs) dan proto-onkogen. Gangguan pada proses ini terjadi di berbagai jaras fungsi sel, misalnya proliferasi, apoptosis, diferensiasi dan perbaikan DNA. Informasi dan pemahaman mendalam yang baik mengenai karsinogenesis merupakan hal penting yang diperlukan dalam penyusunan perbaikan strategi pencegahan, diagnosis dan pengobatan kanker. Infeksi EBV
ditemukan secara konsisten pada KNF terutama jenis
Undifferentiated (Lin, 2003). Infeksi EBV dimulai dengan masuknya virus ini ke dalam sel epitel faring yang kemudian diikuti dengan replikasi virus. Setelah berada di dalam inti sel epitel, DNA virus masuk (insersi) ke dalam rangkaian DNA sel inang yang akhirnya menjadi DNA bermutasi. Mutasi DNA ini mentranskripsikan protein baru ke permukaan sebagai onkogen. Apabila proses ini tidak dapat diperbaiki oleh mekanisme kontrol perbaikan DNA sel sehingga terjadi tranformasi sel menjadi sel ganas.
2.1.3. Gejala klinis Pasien KNF mempunyai satu atau lebih dari lima gejala, tergantung dari lokasi tumor primer, infiltrasi ke sekitar nasofaring atau metastasis ke kelenjar commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
getah bening (KGB) leher. Gejala dini yang muncul sering meragukan dan tidak disadari oleh penderita maupun dokter, dan baru jelas setelah tumor membesar dengan stadium sudah lanjut. Gejala yang ditemukan dapat dibagi dalam 5 kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata, gejala saraf/ kranial, serta metastasis atau gejala di leher ( Wei, 2006 ). Massa tumor di nasofaring dapat mengakibatkan obstruksi hidung dan adanya discharge. Pada tumor yang kecil, obstruksi hidung terjadi unilateral, dan tumor akan membesar sehingga obstruksi menjadi bilateral. Ketika tumor mengalami ulserasi dapat terjadi epistaksis. Epistaksis biasanya ringan dan bercampur dengan discharge sebagai post nasal drip, terutama pagi hari ( Wei, 2006 ). Wei
(2006)
menyatakan bahwa tumor sebagian besar di nasofaring,
dengan atau tanpa perluasan ke posterolateral, ke paranasofaringeal space, dan biasanya menyebabkan disfungsi tuba Eustachii. Ini dapat menyebabkan cairan terkumpul di kavum timpani sehingga pasien dapat mengeluh conduktif hearing loss unilateral dan gejala otologi lainnya ( misalnya otalgia, tinnitus ). Otitis media serosa dapat terjadi pada 41% dari 237 pasien dengan KNF. Sehingga apabila etnis Cina dewasa dengan gejala ini harus dicurigai sebagai KNF. Gejala mata dan saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Gejala yang muncul dapat berupa sindrom petrosfenoidal akibat penjalaran melalui foramen laserum yang mengenai saraf otak ke III, IV, VI yang menimbulkan gejala diplopia. Nervus ke II biasanya paling akhir mengalami commit to user gangguan, gejalanya berupa gangguan visus. Nervus ke V dapat pula terkena dan 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menimbulkan parestesia dan hipestesia pada sebagian wajah. Apabila semua saraf ( N II – N VI ) terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegia unilateral dan gejala nyeri kepala hebat karena penekanan tumor pada duramater. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf kranial IX, X, XI, XII karena penjalaran melalui foramen jugulare. Gejala yang muncul berturutturut kesulitan menelan, gangguan motorik berupa nyeri daerah laring faring, dispnea dan hipersalivasi. Gejala selanjutnya berupa atrofi m. Trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle ( Wei, 2006 ). KNF mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk metastasis ke kelenjar getah bening ( KGB ) leher, dengan gejala yang umum adalah massa yang tidak nyeri tekan, sering terdapat di leher bagian atas. Seperti massa di nasofaring yang berada di tengah, biasanya massa di KGB leher bilateral
(Ballanger, 1994;
Roezin, 2000; Mulyarjo, 2002; Ahmad, 2002; ).
2.1.4. Diagnosis Diagnosis KNF terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, radiologi dan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi biopsi nasofaring sampai saat ini diakui sebagai standar baku emas (gold standard) untuk menegakkan diagnosis KNF (Roezin, 2003; Wei, 2006). Diagnosis KNF ditegakkan dengan hasil biopsi yang positif adanya tumor di nasofaring. Nasofaring dapat secara adekuat dievaluasi menggunakan endoskop dengan anestesi lokal.
Hopkin teleskop
rigid, 0º dan 30º dapat
commit to user memberikan gambaran nasofaring dengan baik (Wei, 2006). 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Endoskop 70º dimasukkan dibelakang palatum molle akan dapat menggambarkan atap dari nasofaring dan kedua muara tuba Eustachii. Endoskop rigid tidak mempunyai suction dan jalur untuk biopsi. Adanya darah dan discharge dibersihkan dahulu dengan suction, sehingga lebih jelas gambaran kelainannya. Forsep biopsi dimasukkan disisi endoskop sehingga tumor bisa langsung dilakukan biopsi (Wei, 2006). Endoskop fleksibel dimasukkan melalui kavum nasi dapat untuk evaluasi seluruh nasofaring. Alat ini dilengkapi dengan suction dan forcep biopsi yang dapat dimasukkan untuk biopsi tumor. Meskipun endoskop fleksibel lebih canggih, tetapi visualisasinya lebih
kecil dibanding endoskop rigid dan ukuran
forcep biopsinya lebih kecil, sehingga kurang optimal dalam pengambilan sampel ( Wei, 2006 ). Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi adanya tumor nasofaring, perluasan dan kekambuhan tumor paska terapi. Pemeriksaan foto polos tengkorak proyeksi lateral dilakukan untuk mengetahui penebalan jaringan lunak di dinding posterior, proyeksi basis untuk melihat struktur tulang dan foramen, proyeksi antero-posterior dan Water`s untuk mengetahui adanya ekspansi tumor ke rongga hidung, sinus paranasal dan rongga orbita. Untuk memperoleh gambaran lesi yang lebih jelas, dapat dilakukan pemeriksaan tomogram atau computerized tomographic scanning (CT Scan) maupun magnetic resonance imaging (MRI). Melalui CT Scan atau MRI dapat ditentukan besar dan arah perluasan tumor nasofaring dengan lebih akurat. Kelebihan lain dari CT Scan yaitu dapat menunjukkan adanya kelainan yang commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
minimal misalnya asimetri fossa Rosenmuller atau pertumbuhan endofitik, sehingga sangat bermanfaat dalam upaya menemukan diagnosis dini. Tanda patognomonik keganasan nasofaring adalah bila dijumpai asimetri resesus lateralis, torus tubarius, dinding posterior dan adanya pembengkakan pada otototot tensor dan levator veli palatini (Soetjipto, 1993; Shanmugaratnam, 1998; Wei, 2006). Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran akhirakhir ini, diagnosis KNF sangat ditunjang oleh beberapa pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan serologi misalnya imunoglobulin A anti viral capsid antigen (Ig anti VCA), Ig G anti early antigen (EA), imunohistokimia, hibridisasi in situ, polimerase chain reaction (PCR) dan Southern blotting. Diketemukannya virus Epstein-Barr yang mengandung antigen virus antara lain EBV-VCA, EA, dan Epstein-Barr nuclear antigen (EBNA) 1-3 sebagai etiologi KNF telah membuka jalan ke arah upaya diagnosis dini dan menilai perkembangan tumor (progresivitas) pasca radioterapi atau kemoterapi. Pemeriksaan antibodi spesifik sebagai tumor marker yang paling bermanfaat untuk diagnosis KNF adalah Ig A anti VCA dan Ig A atau IgG anti EA ( Lam, 1999 ; Wei, 2006 ). Wei menyatakan pada penderita KNF yang ditelitinya didapatkan peningkatan titer Ig A anti VCA sebanyak 93% dan titer Ig A anti EA meningkat sebanyak 73% (Wei, 2006).
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.5. Histopatologi Menurut WHO tahun 1987, KNF dapat dibagi dalam 3 jenis gambaran histopatologi yaitu (Wei, 2006 ) : a. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi ( WHO tipe I ). Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam sitoplasma maupun di luar sel. b. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi ( WHO tipe II ). Tipe ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun stratified atau berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional. c. Karsinoma tanpa diferensiasi, disebut juga Undifferentiated ( WHO tipe III ). Tipe ini mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen, sel ganas berbentuk
synctitial
dengan
batas
sel
yang
tidak
jelas.
Gambar 2.1. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : commit to user Respiratory system pre lab) 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Soetjipto pada penelitiannya di Bagian THT RSCM Jakarta (1980-1984), di Indonesia paling sering diketemukan jenis WHO tipe III. WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebanyak 7,8 %, 2,5 % dan 89,6 %. Berdasarkan penelitian di Poliklinik THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 menemukan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebesar 5,6 %, 8 % dan 85,6 %. Sedangkan penelitian di Poliklinik THT
RS Dr Moewardi tahun 2008-2009
menemukan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebesar 6,9 %, 4% dan 89,1 % ( Sari, 2010 ).
2.1.6. Stadium Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara Union Internationale Contre Cancer (UICC) dan American Joint Committee on Cancer (AJCC) pada tahun 1986. Pembagian TNM untuk KNF sesuai dengan edisi V klasifikasi TNM oleh UICC seperti yang dikutip oleh Mulyarjo (2003) dan Wei ( 2006 ) adalah sebagai berikut : T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya. T1
: Tumor terbatas pada nasofaring.
T2
: Tumor meluas ke orofaring dan/atau fossa nasal.
T2a : Tanpa perluasan ke parafaring. T2b : Dengan perluasan ke parafaring. T3
: Invasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal.
T4
: Tumor meluas ke intra kranial dan/atau mengenai saraf otak, fossa infratemporal, hipofaring atau orbita. commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
N menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional. N0
: Tidak ada pembesaran kelenjar.
N1
: Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm.
N2
: Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm.
N3
: Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm / ekstensi ke supraklavikular.
M menggambarkan metastasis jauh. M0
: Tidak ada metastasis jauh.
M1
: Terdapat metastasis jauh.
Mx
: Adanya metastasis tidak dapat ditentukan.
Berdasarkan klasifikasi TNM tersebut diatas, stadium KNF dapat ditentukan sebagai berikut Stadium I
: T1 N0 M0.
Stadium IIA
: T2a N0 M0.
Stadium IIB
: T1 N1 M0, T2a N1 M0, atau T2b N0-1 M0.
Stadium III
: T1-2 N2 M0 atau T3 N0-2 M0.
Stadium IVA : T4 N0-2 MO. Stadium IVB : Tiap T N3 M0. Stadium IVC
: Tiap T Tiap N M1.
2.1.7. Penatalaksanaan Menurut Vijayakumar (1997) dan Suwitodiharjo (2002) pada prinsipnya pengobatan untuk karsinoma nasofaring meliputi : 1. Kemoterapi
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Radioterapi 3. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi 4. Operasi 5. Imunoterapi 6. Terapi paliatif Dari keseluruhan modalitas terapi diatas, pemilihan jenis obat kanker harus memperhatikan jenis kanker, kemosensitivitas dan radiosensitivitas kanker, imunitas tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang kita berikan. Selain itu juga harus diperhatikan efek samping terapi yang kita berikan (Sukardja, 2000).
2.1.7.1. Kemoterapi Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Pemberian secara kombinasi juga dapat mengurangi dosis obat sitostatika sehingga efek samping menurun (Kentjono, 2002). Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana vaskularisasi jaringan tumor masih baik, akan lebih sensitif menerima kemoterapi commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini (Brockstein and Vokes, 2006). Sukardja direkomendasi FDA
(2000) menyatakan bahwa obat-obat sitostatika yang ( Amerika ) untuk digunakan sebagai terapi keganasan
didaerah kanker kepala leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-Fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher. Lica (1999) menyatakan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) yang merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. Berdasar siklus sel, kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus yang disebut cell cycle non spesific,
artinya bisa pada sel yang dalam siklus
pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat (G0). Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu yang disebut cell cycle phase spesific (Lica, 1999). Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5 fluorourasil (5-FU), obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M). Obat kemoterapi yang efektif harus lebih toksik pada sel tumor daripada jaringan normal. Obat-obatan kemoterapi klasik dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan mekanisme aksi utama. Agen alkilasi cross link DNA dan berkaitan
dengan
replikasi
DNA.
Diantara
nitrogen
mustard
ini,
Cyclophosphamide dan Chlorambusil. Cisplatin, Doxorubicin, Bleomycin, dan Mitomycin C, juga beraksi dengan ikatan pada DNA. Antimetabolik secara aktif berinterfensi dengan metabolism selular, sering dengan jenis hambatan satu atau lebih enzim target. Banyak agen dengan aktivitas pada kanker kepala dan leher yang dimasukkan dalam kelompok ini ,termasuk Methotrexate, 5-Fluorourasil (5-FU), Hydroxyurea, dan Gemcitabine
(Kentjono,
2002; Brockstein and
Vokes, 2006 ). Agen kemoterapi sering lebih efektif apabila digunakan dengan kombinasi. Perencanaan pemberian obat disesuaikan dengan kemungkinan adanya interaksi farmakologis, mekanisme aksi, toksisitas spesifik organ dan tubuh secara umum, dan spektrum obat (Brockstein and Vokes, 2006). Kombinasi dari obat dipikirkan lebih baik daripada agen tunggal karena resistensi sel pada salah satu agen mungkin lebih sensitive pada agen yang lain. Pada
beberapa
penelitian
menghasilkan tingkat
penggunaan
kombinasi
respon yang lebih baik dan
Cisplatin
dan
5-FU
secara in vitro dapat
berinteraksi secara sinergis dengan yang lain. commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Salah satu regimen kombinasi standar adalah Cisplatin yang diikuti dengan 5-FU selama 4 sampai 5 hari intravena secara kontinyu. Pada pasien dengan penyakit yang rekuren, didapatkan tingkat respon antara 30% sampai 40%. Pada pasien dengan penyakit lokal, nonmetastatik, tingkat respon yang mengesankan sekitar 80%, dengan 10% sampai 40% respon lengkap (Brockstein and Vokes, 2006). Menurut Skeel R.T (1987), efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh Dosis, jadwal pemberian, Cara pemberian (intra vena, intra muskuler, peroral, per drip infus), Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ tertentu. Selain itu masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh tertentu. 2.1.7.1.1. Cisplatin Cisplatin atau Cisplatinum atau cis diamminedichloroplatinum (II) adalah obat kemoterapi kanker yang berbasis logam platinum. Pada dasarnya senyawa turunan platinum yang menunjukkan antitumor/antikanker telah ribuan yang disintesis. Tetapi hanya 28 dari mereka yang telah diujicoba secara klinis dan hanya 2 yang sangat aktif yaitu Cisplatin itu sendiri dan Carboplatin (Brockstein and Vokes, 2006). Struktur kimia Cisplatin adalah cis-PtCl2(NH3)2. Senyawa ini pertama kali ditemukan oleh M. Peyrone (1845) yang berasal dari garam Peyrone dan strukturnya ditentukan kemudian oleh Alfred Werner (1893). Senyawa Cisplatin ini
disintesis
dengan
memanfaatkan
efek
trans
antara
potassium
tetrachloroplatinate(II), K2PtCl4 dengan ligan amina NH3 (Sutopo, 2004). commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Cisplatin merupakan obat antikanker yang tergolong cell cycle non specific, memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, dengan bekerja pada fase G1 dan G2 ( Lica, 1999). Rel A ( p56) yang merupakan sub unit dari NFκB mempunyai peranan penting dalam survival sel dengan menginduksi berbagai macam gen anti apoptosis. Cisplatin yang
merupakan agen cross linking DNA mempunyai
aktivitas transkripsi. Cisplatin bekerja dengan menghambat Rel A sehingga akan menghambat ekspresi NFκB yang merupakan antiapoptosis. Sehingga dengan penurunan ekspresi NFκB akan menyebabkan apoptosis, proliferasi sel dan differensiasi sel dihambat (Kirsteen, 2006). Dewasa ini Cisplatin secara luas digunakan untuk mengobati berbagai kanker, terutama sangat efektif untuk kanker testicular dan bila dikombinasi dengan obat lain akan bekerja sangat efektif dalam mengobati kanker ovarium, kanker kandung kemih, kanker paru, dan kanker kepala leher. Kombinasi Cisplatin tersebut dapat meliputi kombinasi dengan radioterapi atau dengan obat tertentu seperti Pacliataxel, Aphidicolin dan Hydroxyurea atau 5-Fluorouracil (Sutopo, 2004). Cisplatin telah menjadi terapi utama dari kanker kepala dan leher. Aktivitas antitumornya dihasilkan dari pengikatan intraseluler bentuk positif yang teraktivasi dengan tempat nukleofilik pada DNA untuk membentuk jalur kovalen yang mempunyai fungsi ganda yang mempengaruhi fungsi normal DNA. Cisplatin biasanya diberikan dengan 2 sampai 6 jam dosis 60 sampai 120 mg/m2, dengan kemanjuran yang sama dilaporkan pada semua jarak dosis ini. Toksisitas commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ginjal sering terjadi, termasuk azotemia ringan sampai sedang dan adanya pengeluaran elektrolit, khususnya magnesium dan kalium. Reaksi toksik lain termasuk mual dan muntah, neurotoksisitas perifer, ototoksik, dan myelosupresi jika beberapa siklus obat diberikan. Untuk dosis agen tunggal yang antara 60 sampai 120 mg/m2 yang diberikan setiap 3 sampai 4 minggu , respon parsial dicapai hampir 15 sampai 30% (Brockstein and Vokes, 2006). Selain itu efek samping yang lain adalah kerontokan rambut (alopecia), dan penurunan kekebalan tubuh. Namun untuk kerontokan rambut dan penurunan kekebalan tubuh umumnya akan kembali normal setelah pengobatan. 2.1.7.1.2. 5-Fluorourasil ( 5-FU ) 5 Fluorourasil (5-FU) merupakan obat kemoterapi yang tergolong cell cycle specific, yaitu obat anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. 5-Flourourasil adalah 5 fase dari urasil spesifik analog yang dapat diaktivasi dengan dua jalur intraseluler utama yaitu : a. fosforilasi sekuensila dan penggabungan dengan RNA atau (b) aktivasi pada 5-fluorodeoksiuridin monofosfat, yang menghambat enzim timidilat sintase dan konversi dari uridin menjadi senyawa timidin. Sel kehabisan timidin dan tidak dapat mensintesis DNA (Brockstein and Vokes, 2006). Efek samping yang paling penting adalah myelosupresi, mukositis, diare, dermatitis, dan toksisitas jantung. Penggunaan sebagai agen tunggal bolus intravena untuk merawat pasien dengan kanker kepala dan leher, 5-FU mempunyai aktivitas yang terbatas. Tingkat respon 13% ditemukan pada commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
percobaan randomisasi yang besar. 5-Florourasil dapat lebih aktif bila diberikan dalam infus 5 hari secara kontinyu dan secara jelas meningkatkan tingat respon dari Cisplatin (Brockstein and Vokes, 2006). 2.1.7.1.3. Sensitivitas Kemoterapi Terhadap Karsinoma Nasofaring Kemoterapi memiliki peran yang penting dalam pengobatan terhadap kanker nasofaring. Saat ini, kemoterapi pada umumnya dipertimbangkan sebagai terapi standar untuk hampir segala jenis kasus karsinoma pada stadium awal. Waktu pemberian dan peran yang optimal dari kemoterapi saat ini masih dalam tahap
pencarian.
Pada
metastasis,
karsinoma
berdiferensiasi
buruk
(Undiferentiated), atau limfoepitelioma pada nasofaring sangat sensitif terhadap kemoterapi (Brockstein and Vokes, 2006). Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO tipe I dan sebagian WHO tipe II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO tipe III memiliki prognosis paling baik, sebaliknya karsinoma nasofaring WHO tipe I yang memiliki prognosis paling buruk (Chan and Teo, 2002).
2.1.7.2. Radioterapi Radioterapi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma ( Lica, 1999 ). Radioterapi masih merupakan terapi pilihan untuk karsinoma nasofaring oleh karena masih bersifat responsif
( Wei, 2000). commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Persyaratan radioterapi saja untuk penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut, belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi, tipe tumor yang radiosensitif, besar tumor yang kirakira radioterapi mampu mengatasinya, dosis yang optimal dan jangka waktu radioterapi tepat. Selain itu sebisa mungkin menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping radioterapi
( Vijayakumar, 1997 ).
Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu (Suwitodiharjo, 2002; Wei, 2006). Menurut Vijayakumar (1997), radioterapi merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional. Radioterapi mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya
bisa
mendestrukasi
sel
tumor.
Memiliki
kemampuan
untuk
mempercepat proses apoptosis dari sel tumor. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor. Selain itu juga memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya. Radioterapi juga berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya. Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat mengakibatkan defek imun secara general. Efek samping radioterapi pada rongga mulut meliputi radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan ngilu pada gigi. Pada kulit commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
bisa
menyebabkan
digilib.uns.ac.id
pigmentasi
kulit
seperti
fibrosis
subkutan
atau
osteoradionekrosis. Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Efek samping yang lain adalah xerostomia, trismus, otitis media dan penurunan pendengaran, Lhermitte syndrome karena radiasi myelitis dan Hypothyroidism (Suwitodiharjo, 2002; Wei, 2006). 2.1.7.2.1. Pengaruh Radioterapi Terhadap Sel Kanker Radiasi pengion berupa sinar Gamma dan sinar X. Sinar Gamma merupakan pancaran gelombang elektromagnetik yang berasal dari disintegrasi inti Cobalt 60 radioaktif. Akibat dari disintegrasi inti tersebut akan terbentuk satu pancaran energi berupa sinar gamma dan 2 pancaran partikel, yaitu pancaran elektron disebut sinar beta dan pancaran inti helium disebut sinar alfa.
Sinar
gamma digunakan dalam radioterapi, sedangkan sinar alfa dan sinar beta digunakan dalam terapi radiasi internal. Sinar X atau photon merupakan pancaran gelombang elektromagnetik yang dikeluarkan oleh pesawat liner akselerator, digunakan untuk radiasi eksterna ( Tjokronegoro, 2001). Radiasi pengion bila mengenai sel tumor maligna, akan menimbulkan ionisasi air dan oksigen ekstraseluller dan intraseluller sehingga menjadi ion H+, ion OH- dan ion oksigen. Ion ini bersifat tidak stabil dan dapat berubah menjadi radikal H, radikal OH dan 3 radikal oksigen. Radikal ini akan bereaksi dengan DNA dan menimbulkan kerusakan DNA dan akhirnya menimbulkan kematian sel maligna ( Tjokronegoro, 2001). commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Reaksi yang terjadi antara radiasi pengion dengan sel tumor maligna bisa berupa reaksi direk dan reaksi indirek. Reaksi direk adalah interaksi yang terjadi antara radiasi pengion dengan sel tumor maligna, dalam hal ini interaksi langsung antara radiasi pengion dengan DNA didalam kromosom pada inti. Atom-atom yang menyusun molekul pada DNA, mengalami ionisasi, akibatnya DNA kehilangan fungsi-fungsinya sehingga sel-sel tumor mengalami kemandekan dalam proliferasinya. Reaksi indirek adalah reaksi terpenting dalam proses interaksi radiasi pengion dengan sel tumor maligna. Molekul air dan molekul oksigen yang terdapat intraseluller dan ekstraseluller akan terkena radiasi pengion. Akibatnya elektron akan terlempar keluar orbit dan akan berubah menjadi ion H+ dan ion OH- serta ion oksigen. Ion-ion ini bersifat tidak stabil dan akan berubah menjadi radikal H, radikal OH dan radikal oksigen. Radikal-radikal tersebut secara kimiawi sangat berbeda dengan molekul asalnya dan mempunyai kecenderungan besar untuk bereaksi dengan DNA. Akibat dari reaksi tersebut maka akan terjadi kerusakan DNA yang dapat berupa putusnya kedua backbone DNA (double strand break), satu backbone DNA putus (single strand break), kerusakan base (base damage), kerusakan molekul gula (sugar damage), DNA-DNA crosslink dan DNA protein cross link. Diantara reaksi yang terjadi didalam sel tumor maligna, selain kerusakan DNA pada kromosom, akibat reaksi direk dan indirek dari radiasi pengion, juga terjadi suatu efek sitologis yang disebut abrasi kromosom. Radiasi akan menghambat proses pembelahan sel. Radiasi yang terjadi pada saat sel tumor commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam proses interfase dan mulai membelah, beberapa sel akan mengalami aberasi kromosom. Akibat aberasi kromosom ini dapat terjadi beberapa kemungkinan: (1) kematian sel yang segera terjadi (early cell death), (2) aberasi terus menerus setelah beberapa kali sel membelah. Terdapat beberapa jenis aberasi kromosom: (1) satu fragmen kromosom akan berpindah tempat ke kromosom lain, (2) satu fragmen kromosom berpindah tempat pada lengan yang lain pada kromosom yang sama (3) satu fragmen kromosom berpindah tempat pada lengan yang sama pada kromosom yang sama. Jenis Pemberian radioterapi
pada karsinoma nasofaring menurut
Suwitodiharjo, (2002) bisa diberikan sebagai radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi dan Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen implan atau intracavitary barchytherapy. Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening, tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening, terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi dan terapi adjuvan yang diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection Radiasi Interna / brachyterapi bisa digunakan untuk menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi. Bisa juga digunakan sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor dan digunakan pada pengobatan kasus yang kambuh. Radioterapi menyebabkan efek akut, intermediet, dan kronis pada jaringan. Efek akut (yang berhubungan dengan hebatnya fraksi radiasi) termasuk penurunan commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang signifikan dari fibroblas, miofibroblas, dan proliferasi sel endotel (yang menghalangi kontraksi luka) terjadi dalam 3 minggu post radioterapi. Efek intermediet biasanya bermanifestasi antara 3 minggu sampai 6 bulan setelah radioterapi. Pada fase ini terjadi inflamasi dan proliferasi jaringan, dimana NFκB dan c-myc berperan didalamnya. Efek kronis (yang berhubungan dengan dosis radiasi total) berupa hialinisasi kolagen, ruptur fibril yang elastis, deposit exudat fibrin, dan induksi fibroblas atipik, kemudian pembuluh darah terhialinisasi dan sklerotik ( Gourin, G.C and Terris J.D, 2006 ).
2.1.7.3. Kemoradioterapi Kentjono (2002) menyatakan bahwa kemoradioterapi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Begitu banyak variasi agen yang digunakan dalam kemoradioterapi ini sehingga sampai saat ini belum didapatkan standar kemoradioterapi yang definitif. Penggunaan kemoradioterapi dapat aktif melawan subpopulasi sel tumor yang berbeda berdasarkan pada siklus sel spesifik, PH dan tersedianya oksigen. Sel resisten pada satu modalitas terapi dapat dihilangkan dengan terapi yang lain. Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan Metotreksat dengan response rate 15%-47% (Sukardja, 2000).
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Manfaat Kombinasi kemoradioterapi adalah (Ballenger, 1994; Kentjono, 2002) : 1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil radioterapi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia. 2. Dapat meningkatkan rekrutmen sel tumor dari G0 ke siklus sel tumor yang sensitive terhadap terapi radiasi. 3. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase. 4. Eradikasi awal dari sel tumor mencegah munculnya resistensi obat dan radiasi. 5. Sinkronisasi siklus sel meningkatkan keefektifan dari kedua terapi. 6. Kemoterapi menghambat perbaikan dari kerusakan radiasi subletal dan menghambat kesembuhan dari kerusakan radiasi yang mematikan. 7. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser). 8. Menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radiasi. Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radioterapi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radioterapi (Kentjono, 2002). commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. Menurut Kentjono (2002); Chan dan Teo,(2002) secara umum cara pemberian kemoradioterapi dapat dilakukan dengan 4 cara kerja yaitu : 1. Neoadjuvant yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi. 2. Terapi konkomitan yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut. 3. Adjuvant yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi. 4. Terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma). Kemoterapi neoajuvant dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi.
Pemberian
kemoterapi
neoadjuvant
didasari
atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvant pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvant yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation) (Sukardja , 2000). Kelemahan Kemoradioterapi adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal. Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Menurut prioritas indikasinya, terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvant (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvant tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvant tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna (Chan dan Teo, 2002; Quinn and Ryan, 2003). Terapi adjuvant tidak dapat diberikan apabila memiliki indikasi, yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata sel kanker masih ada, dimana dengan biopsi masih positif, kemungkinan besar sel kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis dan pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan sel pada commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut (Chan and Teo, 2002). Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sumsum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker (Cody and Kern, 1993; Brockstein and Vokes, 2006). Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi (Cody and Kern,1993; Brockstein and Vokes, 2006). Menurut Sukardja (2000), untuk menghindari efek samping yang dapat ditoleransi, dimana penderita menjadi tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala Karnofsky, skala commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ECOG), status gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya. Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek samping terhadap organ tersebut lebih minimal.
2.1.7.4.Persyaratan Pasien Yang Layak Diberi Kemoterapi Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut (Sukardja 2000) : 1.
Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan ≤ 2 atau Karnovsky Scale ≥ 70 %
2.
Jumlah lekosit ≥ 4500/ml
3.
Jumlah trombosit ≥150.0000/ul
4.
Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 12
5.
Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam)
6.
Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal.
7.
Elektrolit dalam batas normal.
8.
Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun.
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.7.5.Status Penampilan Penderita kanker ( Performance Status ) Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyait kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya. Tabel 2.1. Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) dan Karnofsky :
ECOG
KARNOFSKY
Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, Index 100 % : aktifitas normal, tidak tanpa hambatan untuk mengerjakan ada komplain, tidak ada kejadian sakit. tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari. Grade 1: hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
Index 90 % : dengan sedikit keluhan dan gejala penyakit, tetapi masih bisa mengejakan aktifitas normal. Index 80 % : dengan beberapa keluhan dan gejala penyakit dan hambatan, ada penurunan untuk melakukan aktifitas.
Grade 2: hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain.
Index 70 % : tidak mampu mengerjakan aktifitas normal atau untuk bekerja, tetapi masih bisa mengurus diri sendiri. Index 60 % : kadang dibutuhkan kehadiran asisten, tetapi masih mampu untuk mengurus beberapa kegiatan diri sendiri.
Grade 3: Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50% Index 50 % : dibutuhkan asisten terus waktunya untuk tiduran. menerus untuk perawatan diri sendiri, pengobatan . Index 40 % : tidak mampu, dibutuhkan perawatan khusus dan asisten
Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa Index 30 % : tidak mampu secara berat, melakukan aktifitas apapun, betul-betul indikaasi perawatan rumah sakit, sangat hanya di kursi atau tiduran terus. diperlukan perawatan diri. Index 20 % : sangat sakit, perawatan rumah sakit, diperlukan pengobatan commit tosupportif user secara aktif. Index 10 % : morbund
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.7.6 . Hasil Akhir Pengobatan Kanker Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal maupun kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4 minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari aspek hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah yang lazim dipakai yaitu (Sukardja, 2000; Manfred, 2001) : 1. Sembuh ( cured ) 2. Respon komplit ( complete response/ CR ) : semua tumor menghilang untuk jangka waktu sedikitnya 4 minggu 3. Respons parsial ( partial response/ PR
) : semua tumor mengecil
sedikitnya 50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul dalam jangka waktu sedikitnya 4 minggu. 4. Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kuran dari 50 % atau membesar kurang dari 25 % 5. Penyakit Progresif ( progresive disese/PD ) : tumor makin membesar 25 % atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak diketahui adanya. Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya (disease free survival ). Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor, perkembangannya dapat dipantau berdasarkan kadar tumor marker.
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.7.7. Pola Regresi Tumor Menurut Vijayakumar, (1997), terdapat perbedaan pola regresi antara tumor primer dan kelenjar getah bening leher. Terjadi Complete Respons pada akhir dari radioterapi (62%) dan meningkat menjadi 80 % pada 2 bulan pasca radioterapi, sedangkan pada kelenjar getah bening leher hanya CR 32 % pada akhir radioterapi dan meningkat menjadi 76 % pada 2 bulan setelah radioterapi. Jadi biopsi sebaiknya dilakukan 2 bulan setelah radioterapi.
2.2. Mekanisme Karsinogenesis Kanker adalah penyakit dimana sel-sel ganas bermultiplikasi pada organisme multiseluler sehingga terjadi perubahan yang tidak terkontrol (Karsono, 2006). Terbentuknya kanker sebagai akibat penyimpangan genetik disebabkan oleh pengaruh lingkungan sebagai faktor penyebab atau karena kelainan bawaan. Perubahan materi genetik tersebut mengakibatkan pembelahan sel yang berlebihan dan tidak terkendali (Tjarta, 2005). Faktor-faktor lingkungan yang berperan pada terjadinya tumor disebut karsinogen (Bosman ,1996). Karena kelainan ini bekerja di dalam genom maka faktor karsinogen tanpa kecuali bersifat mutagen. Ternyata dibutuhkan tidak hanya satu melainkan beberapa mutasi untuk menimbulkan transformasi suatu sel. Jadi karsinogenesis adalah proses multi langkah yang berlangsung lama melibatkan akumulasi gen yang mengalami kelainan sampai tumbuhnya lesi kanker pada tubuh (Bosman, 1996; Suega, 2006 ). commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Onkogen adalah gen yang berkaitan dengan terjadinya transformasi neoplastik. Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam keadaan normal ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel dan tidak mengakibatkan keganasan, karena aktivitasnya dikontrol secara ketat. Aktivitas proto-onkogen menjadi onkogen dapat terjadi melalui perubahan struktural dalam gen, translokasi kromosom, amplifikasi gen atau mutasi dalam berbagai elemen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mengontrol ekspresi yang bersangkutan. Mutasi proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang berproliferasi aktif, namun perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan bantuan ekspresi berbagai gen supresor (tumor suppressor genes atau anti onkogen) yang berperan menginduksi terhentinya siklus sel atau menginduksi proses apoptosis. Apabila fungsi gen-gen yang berperan dalam pengawasan (surveillance) ini terganggu akibat mutasi atau hilang (deletion), maka sel yang bersangkutan akan menjadi rentan terhadap transformasi ganas (Kresno, 2005). Contoh gen supresor tumor adalah pRb, p53, DCC (Deleted in Cell Colorectal Carcinoma), WT-1 (Willm’s Tumor-1), NF-2 (Neurofibromatosis Type-2). Kelainan pada gen penekan tumor bersifat resesif, artinya baru akan menimbulkan tumor apabila kedua alel menunjukkan kelainan (Liotta, 2001). Perubahan yang dialami proto-onkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen selalu bersifat mengaktivasi, artinya mereka menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan difrensiasi sel. Sejauh aktivitas ini commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terjadi karena mutasi, maka inilah yang disebut mutasi dominan (Bosman,1996; Soewoto, 2003 ). Mutasi onkogenik mengubah kemampuan sandi gen-gen bersangkutan, sehingga protein yang diproduksinya mengalami berbagai perubahan. Salah satu perubahan seperti telah diuraikan diatas adalah diekspresikannya gen secara terus menerus dan protein yang dihasilkan yang disebut secara umum onkoprotein, kehilangan kemampuan untuk mengatur fosforilasi/defosforilasi. Ekspresi terus menerus gen-gen yang bersangkutan diinterpretasikan oleh sel sebagai sinyal untuk terus tumbuh, karena itu onkogen mempunyai dampak dominan positif bagi pertumbuhan sel dengan menirukan fungsi sinyal mitogenik (Astuti, 2004; Kresno, 2005 ). Dari percobaan pada binatang diketahui bahwa proses terjadinya neoplasma terdapat tahap inisiasi, promosi dan progresi (Tjarta, 1996).
Gambar 2.2. Skema Karsinogenesis (Di kutip dari Mac Donald and Ford, 1997, dengan modifikasi ) .
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada tahap inisiasi diawali dengan kegagalan mekanisme DNA repair sehingga paparan inisiator seperti hormon, radiasi, mutasi spontan dan bahan kimia mutagenik pada sel yang terinisiasi akan terjadi perubahan urutan nukleotida DNA proto-onkogen sehingga ekspresi gen berubah meskipun jaringan masih terlihat normal. Tahap inisiasi merupakan proses yang berlangsung cepat dan bersifat reversibel (Tjarta, 1996; Liotta, 2001; Astuti, 2005 ). Tahap inisiasi akan berlanjut menjadi tahap promosi apabila sel yang terinisiasi tadi terpapar oleh promotor seperti faktor pertumbuhan dan infeksi virus, sehingga sel akan berkembang menjadi sel preneoplasia. Pada sel preneoplasia akan terjadi transformasi urutan DNA sel sehingga ekspresi protein yang dikode gen tersebut ikut berubah. Tahap promosi itu tidak terjadi dalam waktu singkat, selain itu juga harus ada serangan promotor yang terus menerus. Sebenarnya proses tersebut dapat dihambat oleh anti onkogen, gen penekan tumor dan faktor diferensiasi, akan tetapi bila faktor-faktor anti karsinogenik tadi gagal melaksanakan fungsinya maka sel preneoplasi akan menjadi sel tumor insitu. Sel tumor insitu jika kembali mendapat paparan inisiator akan berkembang menjadi sel tumor infiltratif yang merupakan tahap akhir karsinogenesis yaitu tahap progresi. Proses perkembangan menjadi sel tumor infiltrasi dihambat oleh mekanisme apoptosis, faktor diferensiasi, penghambat angiogenesis dan sistem imun tubuh (Bosman, 1996; Tjarta, 1997). commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.3. Siklus Sel Setiap siklus sel terdiri dari 4 fase berurutan yang dikendalikan secara ketat, masing- masing disebut sebagai fase G1 (gap1), Fase S (sintesis DNA), fase G2 (gap2) dan fase M (mitosis). Replikasi DNA terjadi dalam fase S, pemisahan kromosom (karyokinesis) dan pembelahan sel terjadi pada fase M, sedangkan pada fase G1 dan G2 merupakan fase persiapan. Sel yang tidak aktif (tidak sedang tumbuh) berada dalam fase Go yang merupakan fase istirahat. Faktor-faktor yang menyebabkan sel ditahan pada fase G0 atau keluar dari fase G0 untuk memasuki faktor-faktor yang menentukan kecepatan pertumbuhan (Kresno, 2005). Pengendalian siklus sel mamalia sebagian besar terjadi selama fase G1. Sinyal eksternal yang diberikan oleh faktor-faktor pertumbuhan diperlukan agar sel keluar dari fase istirahat (G0), kemudian memasuki fase G1 lalu berlanjut ke fase S. Karena selama fase G1 setiap sel responsif terhadap dan tergantung pada berbagai rangsangan ekstraseluler, maka fase G1 dianggap sebagai bagian terpenting dari sistem pengendalian pertumbuhan (Kastan, 2001; Kresno, 2003). Proses berurutan dalam satu siklus sel berlangsung melalui mekanisme tertentu yang dapat dianalogikan dengan alur reaksi biokimia (biochemical pathway) yang saling berkaitan. Hal yang penting dari proses ini adalah berlangsungnya setiap tahap reaksi itu seolah diatur oleh suatu petunjuk waktu internal (internal clock) sehingga selalu berlangsung tepat waktu. Pengaturan siklus sel (cell cycle clock) yang wujudnya adalah aktifitas periodik kompleks cyclin-cdk (cyclin/cyclin- dependent kinase), dikendalikan secara ketat pada titiktitik tertentu dalam siklus (Kastan, 2001). commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Replikasi DNA serta mitosis harus berlangsung teratur, berurutan dan sempurna. Setiap sel harus mampu menentukan apakah satu fase dari siklus sel sudah berlangsung lengkap sebelum berlanjut ke fase berikutnya. Misalnya sel harus memantau apakah fase S sudah lengkap sebelum mempersiapkan diri untuk mitosis (fase M). Bila replikasi DNA terganggu, sel normal akan berhenti pada fase S dan tidak berlanjut ke fase M (Liotta, 2001; Kastan, 2001). Sistem pengaturan ini melindungi sel agar tidak melipat gandakan sel-sel yang abnormal, atau bila ada DNA yang rusak siklus sel akan berhenti sementara untuk memberi kesempatan perbaikan DNA sebelum berlanjut ke fase berikutnya, atau sel itu akan mengalami kematian terprogram (apoptosis) (Kastan, 2001; Kresno, 2003). Dengan demikian, siklus sel mengatur duplikasi informasi genetik dan pembagian kromosom yang diduplikasi tersebut secara akurat kepada sel-sel turunannya. Check points adalah istilah saat pause atau berhentinya siklus sel, dan saat itu dilakukan pemantauan atas ketepatan duplikasi dan susunan kromosom. Pada Check points ini dilakukan editing atau reparasi informasi genetik apabila diperlukan agar setiap sel anak keturunannya memperoleh perangkat informasi genetik lengkap identik dengan sel induknya (Kastan, 2001; Kresno, 2003). Anti onkogen termasuk gen yang produknya mempunyai fungsi penting dalam DNA repair atau mengaktifkan Cell Check points (Kastan, 2001; Kresno, 2003).
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Cell Check points berfungsi memperpanjang waktu dalam siklus sel untuk memberi kesempatan perbaikan DNA yang rusak (DNA repair) sebelum ia dilipatgandakan. Siklus sel ditingkat molekuler semua prosesnya dikendalikan oleh pembentukan dan aktifitas sejumlah kompleks protein kinase yang terdiri dari sub-unit katalitik yang disebut cyclin dependent kinase (cdk) dan sub-unit protein regulator yang disebut cyclin.Pada saat tertentu dalam siklus sel kompleks cyclincdk diaktifkan, kemudian kompleks ini memfosforilasi molekul-molekul tertentu, lalu dinonaktifkan.
2.4. Virus Epstein-Barr ( EBV ) Virus Epstein-Barr merupakan virus yang digolongkan dalam human herpes virus. Virus ini terdistribusi ke seluruh dunia, dimana lebih dari 95% orang dewasa pernah terinfeksi sekali waktu dalam hidupnya. Jika menginfeksi penderita, akan selalu ada sepanjang hidup penderita dalam bentuk infeksi asimtomatik. Sebagian besar kasus infeksi primer EBV asimtomatis, tetapi sebagian mengalami gejala gejala klinis, menampakkan diri sebagai penyakit limfoproliferatif ringan yang bersifat self limited ( Wei, 2006 ). Selama infeksi primer, EBV menginfeksi dan menginduksi proliferasi yang terus menerus dari sel B yang berada dalam keadaaan istirahat ( resting B cells ). In vivo, sel sel B yang terinfeksi oleh EBV akan dieliminasi secara aktif oleh respon imun sitotoksik yang kuat, menyebabkan terjadinya resolusi spontan dari infeksi primer EBV. Sampai tahap tersebut, EBV akan menetap secara laten commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada kompartemen sel B dan mengalami reaktivasi pada keadaan defisiensi sistem imun / imunodeficiency (Nathalie et al, 2009). EBV merupakan virus DNA yang onkogenik dan berhubungan dengan beberapa penyakit antara lain karsinoma nasofaring, limfoma Burkit, penyakit Hodgkin dan mononukleosis infeksiosa.
2.5. Struktur genom dan karakteristik molekuler infeksi EBV Genom EBV berbentuk linear dengan DNA untai ganda (doublestranded), panjangnya sekitar 172.000 pasangan basa. Dalam keadaan infeksi pada limfosit B, DNA EBV ditransport ke dalam inti sebagai genom sirkuler ekstra kromosom (episome). Tiga program latensi telah dijelaskan untuk virus ini baik secara in vitro maupun in vivo. Dua RNAs nonpolyadenilase yang berukuran kecil ( EBER1 dan EBER2 ) dan suatu unit transkripsi berukuran besar yang disebut BART ( BamHIA righward transcript ) atau CST
( Complementary strand transcript ), yang
menyebabkan kenaikan dari seluruh microRNA, diekspresikan pada semua bentuk latensi. Latensi I ditandai oleh ekspresi dari EBNA1 yang penting bagi pemeliharaan episomal dari genom EBV dan ditemukan pada tumor tumor yang terkait EBV. Latensi II berkaitan dengan ekspresi dari EBNA1, LMP1, LMP2a, dan LMP2b. LMP1 melalui mekanisme TNF ( Tumor Necrosis Factor ) bertanggung jawab atas terjadinya aktivasi dari NF-κB
secara kontinyu
( Nathalie et al, 2009 ). commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Latensi II merupakan karakteristik dari hampir semua tumor yang terkait EBV,
kecuali
tumor
Burkitt
Limfoma
dan
PTLD
(
post-transplant
lymphoproliferative disorder ). EBV pada Latensi III, biasa disebut juga proliferasi virus, ditandai oleh ekspresi dari EBNA2 akibat dari adanya ekspresi EBNA3 serta protein LMP. Latensi keempat, yaitu latensi 0 ditandai dengan latensi yang sempurna dari virus. Latensi 0 merepresentasikan keadaan virus pada fase istirahat G0 pada sel B in vivo . Karakteristik ke 3 jenis laten ini di dasarkan atas ekspresi jenis tertentu gen laten. Pola latensi ini digunakan dalam pengelompokan virus Ebstein Barr dalam hubungannya dengan timbulnya penyakit (Gulley, 2001). Sifat sifat transforming dari tiga latensi EBV yang utama, yaitu EBNA2, LMP1 dan LMP2a telah diteliti secara luas dan mengacu pada dua jalur seluler yang diduga diambilalih oleh EBV, yaitu Notch dan NF-κB. Bentuk aktif dari Notch 1 dapat menyebabkan supresi pertumbuhan sel yang disertai apoptosis dan penghambatan terhadap siklus sel. Aktivasi NF-κB terutama disebabkan oleh LMP1 dan hal ini berhubungan dengan proteksi terhadap apoptosis. Sebagian besar gen yang terekspresi pada Latensi I atau III dari virus merupakan aktivasi dari LMP1 dan diregulasi oleh NF-κB. Penelitian mengenai ekspresi gen memastikan bahwa sebagian besar gen yang diregulasi oleh LMP1 pada sel B adalah tergantung pada NF-κB. Aktivasi NF-κB ini jelas memiliki kontribusi terhadap proteksi dari sel B yang dibuat immortal oleh EBV terhadap apoptosis. Overaktivasi NF-κB oleh LMP1 juga commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat menyebabkan terjadinya apoptosis oleh aktivasi CD95 yang tidak tergantung ligand ( Nathalie et al, 2009 ). Target transkripsi dari EBV yang lain adalah c-myc. Melalui proses dimerisasi dengan Maz, c-myc merupakan faktor transkripsional induk yang meregulasi mekanisme siklus sel. EBNA2 bekerja sebagai suatu regulator positif dari ekspresi c-myc dalam konteks promoter P1-P2 asli setelah infeksi pada sel B yang istirahat. Aktivasi NF-κB oleh LMP1 juga dapat meningkatkan ekspresi c-myc ( Nathalie et al, 2009 ). Dengan demikian, gen c-myc tampaknya merupakan target seluler alamiah yang bertanggung jawab terhadap proliferasi sel B yang dikendalikan EBV. Overekspresi dari c-myc diketahui dapat menginduksi aktivasi dari kinase serinthreonin ATM ( ataxia-teleangiectasia mutated ) dan ATR ( ATM-Rad3-related ) yang menyebabkan fosforilasi dan aktivasi dari protein proapoptotik p53 dan apoptosis sel ( Zong, 2002 ). Infeksi EBV pertama dimulai di daerah orofaring. Kemampuan virus mempertahankan infeksi yang persisten aktif dan litik ini menyebabkan infeksi ini dapat menetap selama bertahun-tahun pada tingkat tertentu. Infeksi EBV terbanyak terjadi melalui kontak oral atau penyebaran melalui saliva. Setelah kontak pertama, EBV melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara intermiten oleh individu yang terinfeksi oleh EBV. Setelah virus menetap dalam sel epitel, virus tersebut dapat menginfeksi sel limfosit B yang bersirkulasi dan ditemukan dalam jumlah besar di jaringan commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
epitel saluran nafas atas. Limfosit B yang baru terbentuk juga akan terinfeksi bila melalui daerah tersebut. Beberapa fakta memperlihatkan bahwa limfosit B merupakan lokasi utama infeksi laten dan merupakan sumber penyebaran infeksi ke permukaan epitel bagian distal, termasuk nasofaring. Masuknya EBV ke dalam limfosit B dimungkinkan oleh adanya ikatan selektif pada komponen cluster of differentiation (CD) 21. Glikoprotein (Gp) 350/250 merupakan reseptor membran virus yang dapat mengenali CD 21 ( Macswee, 2003). Pada penderita carrier EBV, Infeksi virus ini menginduksi 2 jenis proses infeksi dalam sel pejamu. Infeksi litik menginduksi siklus lengkap replikasi virus termasuk produksi partikel-partikel virus yang infeksius dan dilepaskan setelah sel mengalami lisis. Pada fase litik ditandai dengan ekspresi berbagai protein transkripsi dan protein virus, termasuk berbagai gen protein awal (BZLF 1 atau ZEBRA), antigen awal (early antigen = EA), antigen laten (viral capsid antigen = VCA) dan antigen membran (mambrane antigen = MA). Karena itu bila BZLF 1 tidak diekspresikan menandakan fase laten. Bentuk ini dapat menginfeksi sel dan orang lain. Bentuk lain yaitu infeksi laten yang hanya menginduksi aktivasi sejumlah kecil gen virus dan tidak mengakibatkan lisis sel pejamu. EBV bentuk laten ini dapat menghindar dari respon imun sel pejamu, sehingga infeksi dapat menetap. Infeksi laten merupakan karakteristik kelompok virus herpes. Pada keadaan ini genom EBV dalam bentuk episom, sedangkan limfosit B yang terinfeksi EBV dalam bentuk laten mengekspresikan gen EBNA-1, LMP-1 dan LMP-2 . commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.3. Infeksi EBV pada penderita carrier. Infeksi primer EBV dimulai diorofaring,setelah kontak pertama EBV melakukan replikasi virus dilepaskan secara intermiten. Virus mempunyai kemampuan infeksi yang persisten-aktif dan litik yang menyebabkan infeksi dapat menetap(dikutip dari Prasad, 1975) Perubahan status laten ke bentuk litik dimulai dengan aktivasi protein yang disandi onkogen virus pada limfosit B dan sel epitel. Genom EBV, doublestranded deoxyribonucleic acid (dsDNA) linier dibentuk melalui replikasi cetakan episom dan dengan perantaraan polimerase DNA virus. Selanjutnya DNA linier ini menjadi bentuk sirkuler ( lingkaran ) saat proses infeksi EBV - DNA menjadi virion yang infeksius (Macswee, 2003).
2.6. NFκB ( Nuclear Factor kappa Beta ) NFκB adalah kompleks protein yang mengendalikan transkripsi gen dari DNA. Merupakan salah satu faktor transkripsi yang penting dalam regulasi ekspresi gen yang terkait dengan fungsi fungsi biologis seperti halnya respon imun dan inflamasi, pertumbuhan dan proliferasi sel, serta pertahanan sel terhadap stress ( radikal bebas, radiasi ultraviolet, kerusakan DNA dan infeksi bakteri atau virus ). Sebaliknya, pengaturancommit yang salah dari NFκB telah dikaitkan dengan to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
proses keganasan, inflamasi, penyakit autoimun, syok septik, dan infeksi virus ( Gilmore, 2002 ). NFκB merupakan faktor utama yang mengatur transkripsi gen yang bertanggung jawab atas bawaan atau adaptif respon imun. Setelah aktifasi sel B maupun sel T reseptor, NFκB diaktifkan melalui sinyal yang berbeda. LMP-1 mengaktifasi NF-kB dan jalur janus kinases (JAK) oleh aktifasi daerah terminal karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol. Setelah ligasi dari sel T reseptor, molekul adaptor ZAP70 diambil melalui para SH2 domain kesisi reseptor sitoplasma. ZAP70 membantu merekrut LCK dan PLCγ yang menyebabkan aktifasi PKC. Melalui fosforilasi, komplek kinase aktif dan NFκB dapat masuk kedalam inti untuk upregulasi gen yang terlibat dalam perkembangan sel T, pematangan dan proliferasi ( Tjarta, 1996). NFκB merupakan dimer yang dapat berupa heterodimer maupun homodimer yang terbentuk diantara 5 jenis protein, yaitu p50, p52, p56 ( Rel-A ), Rel-B dan Rel-C. Dimana jalur NFκB digolongkan menjadi 2 jalur utama, yaitu jalur klasik ( canonical ) dan jalur alternatif
( non canonical ). Pada jalur
klasik, sub unit utama yang berperan adalah Rel-A yang dapat membentuk dimer dengan p50 maupun p52. Jalur ini diaktivasi dengan cepat dan merupakan respon akut dari berbagai sinyal. Jalur ini diaktiasi oleh IKKa/ IKKb yang akan memfosforilasi IkB sehingga NFκB akan terlepas dari ikatannya dengan IkB. IKKa/ IKKb sendiri akan diaktivasi akibat fosforilasi dan ubiquitinasi dari NEMO ( IKKg ) yang mengikat dimer IKK tersebut ( Bonizzi, 2004 ). commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan jalur alternatif melibatkan peran utama dari Rel-B dan p52. Aktivasi jalur ini memerlukan waktu yang lama karena p52 tersedia dalam bentuk prekusornya ( p100 ) sehingga diperlukan proses tranformasi p100 menjadi p52. Aktivasi jalur ini hanya melibatkan IKKa saja yang sebelumnya diaktivasi oleh NIK. Dalam hal ini, respon terhadap keadaan emergensi termasuk diantaranya pemacuan penghambatan siklus sel pada fase G1/S melibatkan peran IKK/NFκB jalur klasik ( Rel-A ) ( Bonizzi, 2004 ).
Gambar 2.4. Jalur aktivasi NFκB klasik dan alternatif. Pada aktivasi NFκB klasik, sinyal pencetusnya melalui sinyal TNFR, IL-1R, atau TLR. Media tornya oleh MAP/ERK kinase kinase 3 (MEKK3) dan IKKb, yang akhirnya menghasilkan degradasi dari IkBa dan translokasi dari RelA/p50 homodimer ke dalam nukleus. Pada jalur aktivasi NFκB alternatif, sinyal pencetusnya melalui CD40, LTbR, or BAFF-R dan mediatornya oleh NIK and IKKa, dengan melalui proses p100 dan translokasi dari p52 dimers ke dalam nukleus. ( di kutip dari Momoko, commit to user 2005). 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
NFκB mempunyai peran dalam aktivasi daur sel untuk pemacuan proliferasi sel maupun penghambatan apoptosis. Selain itu juga berperan dalam penghambatan siklus sel. Tetapi inti dari aktivasi jalur NFκB ini adalah untuk survival cell. NFκB menginduksi ekspresi dari c-myc, IL 1, IL 6, TNF dan Cyclin D, yang berperan dalam proliferasi sel
( Momoko, 2005 ). Aktivitas ini juga
terkait dengan sistem pertahanan sel agar tetap dapat bertahan hidup sebagai respon dari stres yang dalam hal ini utamanya adalah kerusakan DNA. Sel dengan aktivitas proliferasi yang tinggi, misalnya sel fibroblas dan sel kanker akan selalu memasuki siklus sel. Paparan suatu senyawa yang merusak DNA akan dapat menginduksi sel untuk mengaktivasi NFκB untuk penghentian siklus sel. Ini merupakan salah satu respon emergensi dari sel untuk mempertahankan hidupnya, karena jika sel masih terus melanjutkan siklus selnya kemungkinan sel akan mati. Aktivasi NFκB dimulai dari sinyal yang di induksi IkB degradasi protein. Hal ini terjadi terutama melalui aktivasi kinase yang disebut IkB kinase ( IKK). IKK ini terdiri dari sebuah heterodimer dari katalitik IKK alfa dan subunit beta dan peran penting
yang disebut protein regulator Nemo ( NFκB essensial
modulator ) atau IKK gamma. Ketika diaktifkan oleh sinyal, yang biasanya berasal dari luar sel, IkB kinase phosporylates dua residu serin terletak di domain IkB. Ketika serine tersebut terfosforilasi ( misal serine 32 dan 36 dalam IkB manusia ), maka molekul inhibitor IkB dimodifikasi oleh proses yang disebut ubiquitination, yang membuatnya direndahkan oleh struktur sel yang disebut proteasome
( Nelson, 2004 ).
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan degradasi IkB inhibitor, NFκB kemudian dibebaskan dan masuk ke inti untuk ekspresi gen gen tertentu. Ekspresi gen ini merupakan respon fisiologis yang berupa reaksi peradangan atau respon imun, respon survival sel atau proliferasi seluler. NFκB secara luas digunakan oleh sel eukariotik sebagai pengatur gen yang mengontrol proliferasi sel dan survival sel. Dengan demikian berbagai jenis tumor manusia memiliki misregulated NFκB, yaitu NFκB yang selalu aktif. NFκB aktif akan mengekspresikan gen yang menyebabkan proliferasi sel dan menjaga dari apoptosis. Dalam sel tumor, NFκB aktif baik karena mutasi pada gen encoding faktor transkripsi NFκB atau pada gen yang mengontrol aktivitas NFκB ( gen IkB ). Disamping itu beberapa sel tumor mensekresi faktor faktor yang menyebabkan NFκB menjadi aktif. Memblokir NFκB dapat menyebabkan sel tumor berhenti berproliferasi, mati atau lebih sensitif terhadap aktivitas gen anti tumor. Sehingga penelitian mengenai NFκB adalah penting sebagai target untuk terapi anti kanker ( Garg, 2002). NFκB juga merupakan faktor transkripsi yang dapat digunakan untuk mengetahui prognosis dari pasien KNF. Ekspresi NFκB yang positif pada pasien KNF berhubungan dengan peningkatan potensi kekambuhan, free desease survival dan overall survival yang rendah. Dalam beberapa penelitian dinyatakan bahwa NFκB dapat digunakan sebagai marker secara biologi molekuler untuk prediksi prognosis buruk pada pasien KNF. Sehingga penting untuk mengetahui commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
NFκB dalam rangka mencari
digilib.uns.ac.id
pengobatan yang paling baik untuk KNF
( Zhang, 2010 ).
2.7. c-myc c-myc adalah onkogen yang mempunyai peranan dalam proliferasi maupun apoptosis. Ekspresi c-myc dihubungkan dengan rangsangan mitogenik dan diperlukan secara cukup untuk mengakibatkan sel dalam fase G0 masuk ke dalam siklus sel. Tetapi pada sel yang terus berproliferasi, ekspresi c-myc juga dapat dijumpai pada fase G1. Walaupun c-myc berperan dalam proliferasi sel, ia sekaligus juga berperan dalam apoptosis. Model peran gen yang bertentangan ini dijelaskan dengan model sinyal ganda, dimana c-myc merangsang proliferasi sekaligus jalur apoptosis. Dalam model ini, sementara mitogen mengaktifkan jalur proliferasi, jalur apoptosis secara aktif dihambat oleh faktor anti apoptotik, misalnya dari kelompok gen bcl2 ( Zong, 2002 ). Dalam fungsinya myc membentuk heterodimer dengan protein max. Komplek onkoprotein myc-max meningkatkan apoptosis apabila sel kehilangan faktor pertumbuhan, atau apabila ada intervensi farmakologis. Dimerisasi mycmax diperlukan untuk proliferasi maupun apoptosis. Walaupun demikian, myc dan max masing masing memodulasi jalur apoptotik yang berbeda. Hal ini dibuktikan dengan adanya suatu penelitian yang menyatakan bahwa bcl-xL menghambat apoptosis sel yang mengekspresikan max berlebihan tetapi tidak pada sel sel yang mengekspresikan c-myc berlebihan ( Zong, 2002 ). commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perubahan proto-onkogen menjadi onkogen pada c-myc menyebabkan sel mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan sel menjadi ganas. Berbagai proses dapat merusak gen yang bertanggung jawab atas perubahan ini, diantaranya adalah aktivasi akibat reduplikasi, tranduksi, translokasi
dan
penyisipan virus ( insertional mutagenesis ).
Gambar 2.5. Aktivasi c-myc yang terjadi melalui reduplikasi DNA secara abnormal, translokasi c-myc ke lokasi kromosom lain, penyisipan DNA virus dan tranduksi retrovirus ( dikutip dari Sudoyo, 2005). Pada gambar diatas tampak bahwa gen c-myc dapat diaktivasi apabila terjadi reduplikasi DNA secara abnormal atau ampifikasi (kiri atas ) atau apabila terjadi translokasi c-myc ke lokasi di kromosom lain yang berdekatan dengan gen yang mempunyai kemampuan meningkatkan fungsi, misalnya translokasi c-myc dari kromoson 8 ke kromosom 14 dekat lokasi gen Ig yang berfungsi meningkatkan aktivitas c-myc ( kanan atas ) (Sudoyo, 2005 ). Peningkatan aktivitas c-myc juga dapat akibat penyisipan DNA virus, misalnya dalam contoh DNA-ALV ( kiri bawah ), atau akibat transduksi
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
retrovirus ( kanan bawah ). Penyisipan dan transduksi menyebabkan perubahan fungsi proto-onkogen yang letaknya berdekatan sehingga menjadi onkogenik. Transduksi retrovirus dapat mengubah proto-onkogen c-myc menjadi onkogen melalui sedikitnya 3 cara, yaitu 1) apabila ekspresi gen yang bersangkutan dikendalikan oleh genom virus, 2) melalui fusi sebagian atau seluruh gen dengan genom virus dan menghasilkan gen hibrid dan produk protein hibrid, 3) menyebabkan kerusakan DNA setempat, misalnya point mutation atau deletion pada domain sandi gen yang bersangkutan
( coding domain ).
Fenomena pertama dan kedua merupakan konsekuensi rekombinasi awal yang menanamkan proto-onkogen ke dalam genom virus. Fenomena yang ketiga terjadi akibat perubahan yang disebabkan proses transduksi itu sendiri dan mutagenesis yang terjadi selama perkembangan virus yang seringkali mengalami kesalahan sehingga berakibat mutagenesis pada berbagai bagian gen virus termasuk pada proto-onkogen yang ditransduksinya (Sudoyo, 2005 ).
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.8. Kerangka Teori
Gambar 2.6. Kerangka Teori Keterangan gambar : : memacu : menghambat : post kemoterapi neoadjuvant commit to user : hubungan ekspresi NFκB dan c-myc 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan Kerangka Teori : Populasi pada sampel ini adalah pasien baru KNF jenis Undifferentiated. Sampelnya adalah pasien baru KNF jenis Undifferentiated stadium II,III atau IV yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Pada KNF jenis Undifferentiated terjadi adanya peningkatan ekspresi NF-kB dan c-myc akan menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol, menurunnya differensiasi sel dan menghambat terjadinya apoptosis akibat dihambatnya p53. Kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya proses keganasan di nasofaring. Keganasan pada nasofaring yang disebabkan oleh EBV paling banyak ditemukan pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Pemberian kemoterapi neoadjuvan dengan Cisplatin, 5 FU dan radioterapi Cobalt 60 pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated, diharapkan dapat menurunkan ekspresi NF-kB dan ekspresi c-myc. Pemberian kemoterapi akan menghambat NF-kB melalui penghambatan Rel A ( jalur klasik). Penghambatan terhadap Rel A akan menyebabkan penurunan ekspresi NF-kB dan c myc. Penurunan ekspresi NF-kB dan c-myc akan menyebabkan
proses proliferasi yang terhambat, diferensiasi sel yang
meningkat dan meningkatnya apoptosis. Apoptosis juga disebabkan
melalui
aktivasi p 53 dengan pemberian Cisplatin, 5-FU. Sehingga kemoterapi akan menghambat karsinoma nasofaring melalui proses apoptosis. Radioterapi Cobalt 60 merupakan energi tinggi yang dapat menembus jaringan dan menyebabkan terjadinya nekrosis sel. Nekrosis yang terjadi dapat commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menghambat pertumbuhan sel kanker pada nasofaring. Setelah terjadi nekrosis, sel akan mengalami inflamasi yang merupakan salah satu tahap penyembuhan. Faktor faktor luar yang bisa
menjadi perancu dalam penelitian ini
adalah faktor radikal bebas dan faktor inflamasi akibat radioterapi. Hal tersebut bisa mempengaruhi ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
2.9. Kerangka konsep
Kemoterapi Neoadjuvant KNF
Ekspresi
Undifferentiated
NFκB dan c-myc
Ekspresi NFκB dan c-myc
Gambar 2.7. Kerangka Konsep Keterangan Kerangka konsep : Pasien KNF Undifferentiated stadium II, III atau IV dilakukan pemeriksaan ekspresi NFκB dan c-myc. Setelah itu dilakukan pemberian kemoterapi neoadjuvant dengan Cisplatin dan 5 FU sebanyak 3 kali dilanjutkan pemberian radioterapi sebanyak 33 kali. Dua bulan setelah kemoterapi neoadjuvant pasien diperiksa kembali ekspresi NFκB dan c-myc. commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil ekspresi NFκB dan c-myc dianalisa dengan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks test & Spearman’s untuk mengetahui perbedaan ekspresi sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant .
2.10. Hipotesis Penelitian 1.
Ada penurunan tingkat ekspresi NFκB sesudah pemberian kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma
2.
nasofaring jenis Undifferentiated.
Ada penurunan tingkat ekspresi c-myc sesudah pemberian kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
3.
Ada hubungan antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah one group before and after intervention atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok yang merupakan
penelitian
eksperimental
semu
atau
kuasi
(Arief,
2004).
Eksperimen dalam penelitian ini untuk mengetahui adanya perubahan tingkat ekspresi NFκB dan c-myc akibat pemberian kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Selain itu juga untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. X Sampel O1 Keterangan : Sampel
O2 : Pasien karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated stadium II, III atau IV.
O1
:
Tingkat ekspresi NFκB dan c myc sebelum pemberian paparan.
O2
:
Tingkat ekspresi NFκB dan c myc sesudah pemberian paparan.
X
: Pemberian pengobatan kemoterapi neoadjuvant .
Gambar 3.1.
Rancangan Penelitian one group before and after intervention atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok (Arief, 2004)
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Poliklinik THT RSUD Dr Moewardi Surakarta 2. Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr Moewardi Surakarta. 3. Laboratorium Patologi Anatomi FK-UNS. 4. Bangsal Anggrek 2 RSUD Dr Moewardi Surakarta. 5. Ruang Radioterapi RSUD Dr Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan mulai bulan September 2009 sampai bulan Maret 2011.
3.3. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian adalah semua pasien yang datang berobat ke Poliklinik THT RSUD Dr Moewardi dengan hasil pemeriksaan histopatologi pada biopsi nasofaring menunjukkan karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
3.3.1. Sampel Sampel penelitian adalah penderita KNF yang memenuhi kriteria penelitian. Kriteria inklusi (penerimaan) : 1. Pasien baru dengan hasil histopatologi biopsi jaringan nasofaring adalah KNF Jenis Undifferentiated dengan stadium II, III atau IV. 2. Bersedia mendapat kemoterapi neoadjuvan. 3. Memenuhi persyaratan untuk diberikan program kemoterapi neoadjuvant.
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Status kebugaran memenuhi kriteria ECOC ≤ 2 atau dengan Karnofsky ≥ 70. 5. Menjalani kemoterapi neoadjuvant secara lengkap.
Kriteria Eksklusi (penolakan) : 1. Pernah mendapat pengobatan radioterapi dan atau
kemoterapi
sebelumnya.
3.3.2. Besar Sampel Besar sampel adalah 10 pasien yang menderita karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated stadium II, III atau IV yang memenuhi kriteria inklusi. Pertimbangan jumlah sampel diatas adalah tingginya angka drop out pengobatan karsinoma nasofaring dan adanya keterbatasan biaya, karena penelitian ini dilakukan dengan biaya mandiri.
3.3.2. Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik purposive sampling selama bulan September 2009 sampai Maret 2011.
3.4. Variabel Penelitian Variabel yang diteliti : Variabel bebas ( independen variable ) : Kemoterapi neoadjuvant. commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Variabel tergantung ( dependent variable ) : Ekspresi NFκB Ekspresi c-myc
3.5. Definisi Operasionil 1. Karsinoma Nasofaring (KNF) Definisi
: Tumor ganas epitel skuamosa yang primernya terletak di nasofaring
Alat ukur : Biopsi tumor primer Cara ukur : Melihat hasil pemeriksaan patologi anatomi Hasil ukur : Karsinoma jenis Undifferentiated. 2. Kemoterapi neoadjuvant . Definisi
: pemberian kemoterapi dengan menggunakan regimen Cisplatin, 5-FU satu seri (3 kali ) dilanjutkan radioterapi dengan Cobalt 60.
Alat ukur : dosis kemoterapi Cisplatin 50 mg/BSI dan 5-FU dengan dosis 500 mg/BSI dan radiasi Cobalt 60 dengan dosis 66 Gy yang dibe rikan dengan dosis Fraksi selama 33 kali. 3. Ekspresi NFκB Definisi
: Ekspresi protein NFκB pada KNF jenis Undifferentiated.
Alat ukur : Imunohistokimia Cara ukur : Imunoreaktifitas anti Human NFκB Santa Cruz. Hasil ukur : Nilai positif : warna coklat keemasan. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam skor histologi. Variabel skala ordinal. 4. Ekspresi c-myc Definisi
: Ekspresi c-myc pada KNF jenis Undifferentiated. commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
Alat ukur
: Imunohistokimia
Cara ukur
: Imunoreaktifitas antibodi c-myc Santa Cruz.
digilib.uns.ac.id
Hasil ukur : Nilai positif : warna coklat keemasan. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam skor histologi. Variabel skala ordinal.
3.6. Alat Penelitian Alat penelitian yang dipakai pada penelitian ini yaitu : 1. Alat pemeriksaan THT : lampu kepala, spekulum hidung, spatula lidah, pinset bayonet, kapas, lidokain efedrin 2 %. 2. Alat dan bahan melakukan biopsi nasofaring : tang biopsi ( blakesley forceps ), spekulum hidung, pinset bayonet, kapas, kasa, alat nasoendoskopi, xylocain spray 10%, PBS formalin, botol untuk menyimpan jaringan biopsi. 3. Bahan untuk pewarnaan jaringan nasofaring dengan tehnik imunohistokimia antara lain anti Human NFκB Santa Cruz dan antibodi c-myc Santa Cruz. 4. Alat untuk pengecatan imunohistokimia : Mikrotom, Poly L-Lysine glass slide (SIGMA), termometer, mounting media (Canada Balsem), microwave oven, inkubator, pipet mikro,deck glass, stop watch, humidified chamber, ruangan dalam kondisi kelembaban tinggi. 5. Mikroskop OLYMPUS seri BX 41.
3.7. Cara Kerja Cara kerja pada penelitian ini adalah penderita dengan kecurigaan KNF dilakukan biopsi nasofaring dengan bantuan nasoendoskopi. Jaringan yang commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi PBS formalin. Botol yang berisi jaringan dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi RSUD
Dr
Moewardi Surakarta untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hematosillin eosin oleh dokter spesialis Patologi Anatomi. Preparat dengan hasil bacaan histopatologi didapatkan KNF jenis Undifferentiated kemudian dilakukan stagging. KNF dengan stagging II, III dan IV diambil sebagai sampel penelitian. Pada paraffin blok preparat tersebut dilakukan pemotongan setebal 4 mikron dan dibuat sebanyak 2 slide. Satu slide untuk
untuk pemeriksaan tingkat ekspresi NFκB dan slide satunya untuk
pemeriksaan tingkat ekspresi c-myc. Antibodi yang digunakan dalam deteksi tingkat NFκB adalah anti Human NFκB Santa Cruz dengan pengenceran 1:50. Dengan sistem yang digunakan dalam imunohistokimia adalah ultravision plus detection system antipolyvalentHRP (Santa Cruz). Untuk tingkat ekspresi c-myc antibodi yang digunakan adalah, c-myc Santa Cruz dengan pengenceran 1:100. Sistem deteksi enzimatis ABC
(
Avidin Biotin Complex ) menggunakan enzim peroksidase dan DAB ( Diamino Benzidin ) sebagai substan enzim. Nilai positif ditunjukkan dengan warna coklat keemasan hingga tua.
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penilaian makna tingkat ekspresi dan tingkat ekspresi NFκB dan c-myc yang dinyatakan sebagai Skor Histologi ( SH ) dilaksakan berdasarkan rumus sebagai berikut :
SH = (IK x PK) + (IS x PS) + (IL x PL) + (IN x PN)
(Tan, et al 2001) Keterangan : P = Prosentase K = Intensitas positif kuat S = Intensitas positif sedang
I = Intensitas L = Intensitas positif lemah N = Intensitas Negatif
Tabel 3.1. Nilai P ( prosentasi jumlah sel ) Kisaran
Grade
0 – 25 %
1
26 – 50 %
2
51 – 75 %
3
76 – 100 %
4
Tabel 3.2. Penilaian intensitas warna Intensitas
Grade
warna inti
Kuat
3
coklat tua
Sedang
2
coklat
Lemah
1
coklat muda
Negatif
0
kuning kecoklatan
(Budiani et al, 2006)
Skor histologi ekspresi NFκB dan ekspresi c-myc adalah kalkulasi grade intensitas dan prosentase. Penilaian intensitas dan prosentase dilaksanakan dengan commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara manual. Nilai skor histologis yang diperoleh berasal dari sembilan lapang pandang untuk masing-masing slide dan diambil nilai reratanya. Pasien selanjutnya menjalani kemoterapi neoadjuvan dengan Cisplatin, 5 FU dan dilanjutkan dengan radiasi Cobalt 60 sebanyak 33 kali. Dua bulan setelah kemoradioterapi lengkap, pasien dilakukan biopsi nasofaring kembali dan dilakukan pemeriksaan tingkat ekspresi NFκB dan c-myc.
3.8. Teknik Analisa Data Data yang diperoleh dibandingkan untuk melihat perbedaan jumlah ekspresi NFκB dan
c-myc sebelum dan sesudah
pemberian kemoterapi
neoadjuvant pada sediaan KNF jenis Undifferentiated. Data yang diperoleh selanjutnya di analisa dengan menggunakan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks test & Spearman’s untuk mengetahui perbedaan ekspresi sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant dengan menggunakan program SPSS 15 under windows.
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2009 sampai dengan Maret 2011.
Tempat penelitian adalah
Laboratorium Patologi Anatomi FK UNS
Surakarta, Poliklinik THT, Laboratorium Patologi, Ruang Radioterapi dan Bangsal Rawat Inap Anggrek 2
di RSUD Dr Moewardi Surakarta. Didapatkan
data sekunder dari 10 pasien KNF jenis Undifferentiated yang dipilih dengan cara yang telah ditentukan dan memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian yang diperoleh seperti di bawah ini.
4.1. Data Dasar Sampel Penelitian Data dasar dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin dan umur.
Data
dasar mengenai staging T, staging N, kadar Hemoglobin, Lekosit, Trombosit diperiksa sebelum dan sesudah pengobatan. Selanjutnya sesuai dengan tujuan penelitian, dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui ekspresi NFκB dan ekspresi c-myc sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant pada jaringan biopsi karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
umur 4
4
30-40
3
3
2
2
40-50 50-60
1
1
60-70
0 30-40
40-50
50-60
60-70
Gambar 4.1. Diagram Batang distribusi subyek penelitian menurut umur Berdasarkan gambar 4.1 didapatkan nilai rerata umur adalah 52,6 dengan standar deviasi 13, 327 th (32 – 74 tahun) dengan kelompok umur terbanyak 50 70 tahun yaitu sebanyak ( 70 % ).
jenis kelamin 10 8
9
6
laki laki
1
4
perempuan
2 0 laki laki
perempuan
Gambar 4.2. Diagram Batang distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin
Dari gambar 4.2 di dapatkan penderita terbanyak pada penelitian ini adalah penderita laki-laki, sebanyak 9 orang (90 %).
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
4
3 2
3
3
3
PRE TERAPI
2
POST TERAPI
2
1
1
1 1
0
0 T4
T3
T2
T1
T0
Gambar4.3. Diagram Batang distribusi sampel berdasarkan Staging Tumor Primer (T) sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant. Dari gambar 4.3 didapatkan bahwa berdasarkan staging tumor primer sebelum pengobatan terbanyak adalah T4 sebanyak 40 %, sedangkan T3, T2 dan T1 sebanyak 30 %, 20%, 10% dan T0 sebanyak 0 %. Setelah pengobatan terjadi perubahan untuk staging tumor primer dimana untuk T4 menjadi 30 % dan T3, T2 dan T1 sebanyak 20 % , 10%, 10% dan T0 sebanyak 30 %. 7
7
6 5 4 3 2
PRE TERAPI
4
POST TERAPI
3 2
0
2
1
1
1
0 N3
N2
N1
N0
Gambar 4.4. Diagram Batang distribusi sampel berdasarkan staging Nodul (N) sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant . Dari gambar 4.4 didapatkan bahwa berdasarkan ukuran kelenjar getah bening leher sebelum pengobatan terbanyak adalah N2 sebanyak 40 %, commit to user sedangkan N3, N1 dan N0 sebanyak 20 %, 30% dan 10%. Setelah pengobatan 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terjaadi perubahan untuk ukuran kelenjar getah bening leher dimana untuk N3 menjadi 0 %, N2, N1 dan N0 sebanyak 20%, 10 % dan 70 %.
350
304
300
255
250
201 174
200
HEMOGLOBIN LEKOSIT
150
TROMBOSIT
100
12 50
11
11 7,8
5,6
5,1
11 6,4
0 PRE KEMO
POST KEMO 1 POST KEMO 2 POST KEMO 3
Gambar 4.5. Diagram Batang hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin, Lekosit dan Trombosit sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant. Dari gambar 4.5 didapatkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin, lekosit dan trombosit pada sampel dibedakan menjadi kadar
pre kemoterapi , post
kemoterapi I, post kemoterapi II dan post kemoterapi III. Hasil Hemoglobin yang didapatkan adalah nilai rerata pre kemoterapi 12,23, post kemoterapi I adalah 11,1; post kemoterapi II adalah 11,7 dan post kemoterapi III adalah 11,04. Nilai rerata kadar Lekosit pre kemoterapi 7,85; post kemoterapi I adalah 5,65 ; post kemoterapi II adalah 5,16 dan post kemoterapi III adalah 6,43. Hasil nilai rerata Trombosit pre kemoterapi 304,4 ; post kemoterapi I adalah 255,5; post kemoterapi II adalah 201,6 dan post kemoterapi III adalah 174,5. commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.2. Hasil Analisis Pemeriksaan Ekspresi NFκB dan c-myc Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Neoadjuvant. Setelah
dilakukan
pemeriksaan
terhadap
seluruh sampel
dengan
menggunakan mikroskop Olympus seri BX 41, didapatkan 10 data skor histologi NFκB dan 10 data skor histologi c-myc sebelum kemoterapi neoadjuvant. Dan 10 data skor histologi NFκB dan 10 data skor histologi c-myc sesudah kemoterapi neoadjuvant.
4.2.1. Hasil Analisis Pemeriksaan NFκB Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Neoadjuvant. Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata Ekspresi NFκB sebelum pengobatan adalah 1,11 ± 1,14 dan sesudah pengobatan adalah 4,92 ± 2,79 . Untuk menilai adanya perbedaan ekspresi NFκB sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi dilakukan dengan menggunakan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks test.
Tabel 4.1 Hasil analisis ekspresi NFκB sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated (α=0,05). Sebelum terapi
Sesudah terapi
Variabel
NFkB
Dot Z
P
Wilcoxon n
Mean
SD
n
Mean
SD
10
1,11
1,14
10
4,92
2,79
-.2,803
0,005
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
Didapatkan
digilib.uns.ac.id
perbedaan bermakna pada tingkat ekspresi NFκB sebelum dan
sesudah kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi (p =0,005).
Gambar 4.6. Boxplot hasil ekspresi NFκB sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada jaringan KNF Undifferentiated (p = 0,005). Berdasarkan gambar 4.6. terlihat bahwa rerata tingkat ekspresi NFκB akan meningkat pada kelompok sampel sesudah kemoterapi neoadjuvant.
4.2.2. Hasil Analisis Pemeriksaan c-myc Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Neoadjuvant .
Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata ekspresi c-myc sebelum pengobatan adalah 1,15 ± 0,78 dan sesudah pengobatan adalah 3,04 ± 1,91 . Untuk menilai adanya perbedaan ekspresi c-myc
sebelum dan sesudah
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengobatan kemoterapi neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks test. Tabel 4.2. Hasil analisis ekspresi c-myc sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated (α=0,05). Sebelum terapi Variabel
c-myc
Didapatkan
Dot
Sesudah terapi
Z
P
Wilcoxon n
Mean
SD
n
Mean
SD
10
1,15
0,78
10
3,04
1,91
perbedaan
-.2,24
0,025
bermakna pada tingkat ekspresi c-myc sebelum dan
sesudah kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi (p = 0,025).
Gambar 4.7. Boxplot hasil ekspresi c-myc sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada jaringan KNF Undifferentiated (p = 0,025).
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan gambar 4.7. terlihat bahwa rerata tingkat ekspresi c-myc akan meningkat pada kelompok sampel sesudah kemoterapi neoadjuvant.
4.3. Hasil Analisis Hubungan Antara Ekspresi NFκB dengan c-myc Pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated.
Analisa
hubungan
antara
ekspresi
NFκB
dengan
ekspresi
c-myc
menggunakan analisa Spearman’s . Variabel ekspresi NFκB sebagai variabel bebas yang ingin diketahui sejauh mana berpengaruh terhadap ekspresi c-myc tanpa melihat adanya faktor lain.
Tabel 4.3. Hasil Analisa model persamaan linier hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc pada KNF jenis Undifferentiated. Koef. Koefisien Unstadarisasi
Standar
B
B
std kesalahan
Konstanta
0,897
0,438
NFκB
0,398
0,107
0.660
T
sig
Konfiden interval Batas Batas Bawah Atas
2.049
,021
,160
1,506
3,725
,036
-,054
,805
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa model persamaan linier hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc memenuhi rumus persamaan : Y = 0,897 + 0,398 X ; dimana Y = ekspresi c-myc dan X = Ekspresi NFκB
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 4.8. Hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc pada KNF jenis Undifferentiated ( p=0,001).
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa Ekspresi c-myc akan mengalami peningkatan dengan bertambahnya ekspresi NFkB. Peningkatan ekspresi c-myc ini signifikan (p=0,001) dan hubungan ini mampu dijelaskan sebesar 43,5 %, selebihnya sebesar 56,5 % peningkatan ekspresi c-myc akibat faktor lain.
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan ekspresi NFκB dan c-myc
akibat pemberian
kemoterapi neoadjuvant dan hubungan
antara ekspresi NFκB dan c-myc pada sediaan biopsi karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Dilakukan penelitian pada 10 sampel jaringan biopsi nasofaring. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan metode pengambilan sampel secara purposive sampling.
5.1. Data Dasar Penelitian Pada Penelitian ini didapatkan 10 penderita KNF jenis Undifferentiated dengan umur termuda 30 - 40 tahun sedangkan umur tertua adalah 60-70 tahun. Dari gambar 4.1 didapatkan jumlah penderita pada umur diatas 40 tahun sebesar 80%. Berdasarkan
penelitian
para
ahli,
diantaranya
Bosman
(1996)
disimpulkan bahwa suatu karsinogenesis merupakan proses yang berlangsung sangat lama, karena dibutuhkan sejumlah banyak pembelahan sel untuk menjadi suatu tumor. Tergantung dari frekuensi pembelahannya hal ini dapat berlangsung 5 – 10 tahun. Juga proses transformasi sel sendiri dapat berlangsung lama, karena di dalam sel kanker harus berakumulasi banyak mutasi. Hal ini berarti tumortumor tersebut telah ada jauh sebelum kita dapat mendiagnosisnya, sehingga umumnya puncak timbulnya KNF pada usia 30 – 50 tahun. commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari gambar 4.3 dan 4.4 didapatkan bahwa sebagian besar penderita KNF yang datang berobat ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta sudah stadium lanjut ( III dan IV ) yaitu sebesar 8 orang (80 %). Hal ini sesuai dengan laporan Mulyarjo (2003) pada penelitian di Poli Onkologi THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 – 2001 didapatkan sebagian besar penderita KNF datang sudah stadium lanjut. Kondisi inilah merupakan kendala yang dihadapi dalam penanganan KNF, bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Semakin lanjut stadium KNF saat penderita datang berobat maka semakin komplek penanganannya. KNF merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa atau jaringan limfoepitelial pada nasofaring. Karena lokasinya yang tersembunyi, KNF relatif sulit didiagnosis secara dini. Selain itu, karena gejala dini KNF mirip dengan peradangan di saluran nafas atas pada umumnya. Peralatan yang kurang memadai juga dapat menjadi kendala dalam mendiagnosis penyakit ini. Faktor penyebab keterlambatan lainnya yaitu pengetahuan yang kurang, percaya pada pengobatan non medis, takut berobat ke dokter dan kondisi sosial ekonomi yang lemah dari penderita. Hal di atas bisa menyebabkan penderita kurang memperhatikan adanya kelainan tentang penyakit kanker ataupun gejala dini KNF dan baru datang untuk memeriksakan diri setelah adanya benjolan di leher. Beberapa hal di atas dapat menyebabkan penderita KNF baru berobat setelah stadium lanjut. commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lin pada tahun 2003 menyatakan bahwa prognosis penderita KNF pada umumnya tidak baik. 5 year survival rate untuk stadium I dilaporkan sebesar 83,7 %, stadium II 67,9 %, stadium III 40,3 % dan stadium IV sebesar 22,3 %. Pada penelitian ini 90% pasien KNF adalah laki laki (gambar 4.2 ). Hasil ini agak berbeda dengan penelitian Mulyarjo ( 2002 ) selama tahun 2000-2001 dimana angka perbandingan antara laki laki dan perempuan adalah 2:1. Pada penelitian Lasniroha (2008 ), angka perbandingannnya adalah 2,4 : 1. Sari pada penelitiannya terhadap penderita KNF di RSUD Dr Moewardi Surakarta tahun 2009 didapatkan perbandingan antara laki laki dan perempuan adalah 2,26 : 1. Prosentase laki laki dan perempuan pada penelitian ini tidak dapat menggambarkan insidensi KNF di RS Dr Moewardi Surakarta karena terbatasnya jumlah sampel. Prosentase yang lebih tinggi pada laki laki disebabkan karena laki laki lebih sering keluar rumah, seingga lebih sering terkena polusi atau iritasi kronis pada mukosa nasofaring. Selain itu adanya kebiasaan merokok pada laki laki yang lebih banyak dibanding perempuan. Dari gambar 4.3 didapatkan perubahan staging T pada penderita KNF jenis Undifferentiated sesudah
mendapatkan kemoterapi neoadjuvant diikuti
radioterapi. Sesudah mendapatkan terapi tersebut jumlah pasien dengan T4, T3, T2 mengalami penurunan. T1 jumlahnya tetap dan T0 mengalami peningkatan dari 0% menjadi 30%. Hal ini menunjukkan adanya pengecilan dari tumor primer dengan pemberian terapi tersebut. commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada gambar 4.4 juga terlihat adanya perubahan staging N sesudah pasien mendapatkan terapi tersebut. Sesudah pemberian terapi jumlah pasien dengan N3 dari 20% menjadi 0%, dan N0 dari 10% menjadi 70%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian terapi tersebut terdapat pengecilan dari lokoregional tumor. Adanya perubahan staging T dan N pada penelitian ini membuktikan bahwa pada KNF jenis
Undifferentiated dengan pemberian radioterapi dan
kemoterapi kombinasi cisplatin dengan 5 FU mampu menghambat pertumbuhan sel sel tumor. Hal ini sesuai dengan Wei (2006) bahwa pemberian kemoterapi dan radioterapi adalah pengobatan yang sesuai untuk karsinoma nasofaring stadium II – IV. Sedangkan menurut Brockstein and Vokes (2006) bahwa pada kasus dengan metastasis, karsinoma berdiferensiasi buruk (Undiferentiated), atau limfoepitelioma pada nasofaring sangat sensitif terhadap kemoterapi. Dari gambar 4.5 didapatkan kadar Hemoglobin, Lekosit dan Trombosit yang diperiksa sebelum dan sesudah pemberian kemoterapi juga terlihat mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan Brockstein and Vokes (2006 ) yang menyatakan bahwa kemoterapi
mempunyai efek samping depresi sum sum
tulang.
5.2. Hasil Analisis Pemeriksaan Ekspresi NFκB dan c-myc Sebelum dan Sesudah kemoterapi neoadjuvant. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap tingkat ekspresi dari to user NFκB dan c-myc pada karsinomacommit nasofaring jenis Undifferentiated. Hal ini sesuai 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan yang dikemukakan oleh Nathalie et al dalam penelitiannya c-myc and Rel/NFκB Are Two Master Transcriptional Systems Activated in Latency III Program of Epstein Barr Virus Immortalized B Cells pada tahun 2009, bahwa NFκB dan c-myc itu merupakan dua faktor transkripsi induk yang mempunyai peran penting dalam immortalisasi EBV. NFκB adalah kompleks protein yang mengendalikan transkripsi gen dari DNA. merupakan salah satu faktor transkripsi yang penting dalam regulasi ekspresi gen yang terkait dengan fungsi fungsi biologis. Mempunyai peran dalam aktivasi daur sel untuk pemacuan proliferasi sel maupun penghambatan apoptosis. Selain itu juga berperan dalam penghambatan siklus sel. Tetapi inti dari aktivasi jalur NFκB ini adalah untuk survival cell. Aktivitas ini juga terkait dengan sistem pertahanan sel agar tetap dapat bertahan hidup sebagai respon dari stres yang dalam hal ini utamanya adalah kerusakan DNA. Sel dengan aktivitas proliferasi yang tinggi, misalnya sel fibroblas dan sel kanker akan selalu memasuki siklus sel. Paparan suatu senyawa yang merusak DNA akan dapat menginduksi sel untuk mengaktivasi NFκB untuk penghentian siklus sel. Ini merupakan salah satu respon emergensi dari sel untuk mempertahankan hidupnya, karena jika sel masih terus melanjutkan siklus selnya kemungkinan sel akan mati. NFκB secara luas juga digunakan oleh sel eukariotik sebagai pengatur gen yang mengontrol proliferasi sel dan survival sel. Dengan demikian berbagai jenis tumor manusia memiliki misregulated NFκB, yaitu NFκB yang selalu aktif. NFκB commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aktif akan mengekspresikan gen yang menyebabkan proliferasi sel dan menjaga dari apoptosis. Dalam sel tumor, NFκB aktif baik karena mutasi pada gen encoding faktor transkripsi NFκB atau pada gen yang mengontrol aktivitas NFκB ( gen IkB ). Disamping itu beberapa sel tumor mensekresi faktor faktor yang menyebabkan NFκB menjadi aktif. Dengan memblokir NFκB dapat menyebabkan sel tumor berhenti berproliferasi, mati atau lebih sensitif terhadap aktivitas gen anti tumor. Sehingga penelitian mengenai NFκB adalah penting sebagai target untuk terapi anti kanker. Hal ini sesuai dengan A. Gag and B B Aggarwal dalam Nuclear Transcription Factor-κB as a Target for Cancer Drug Development. Dalam penelitiannya, Nathalie et al ( 2009 ) juga mengemukakan bahwa target transkripsi dari EBV yang lain adalah c-myc. Melalui proses dimerisasi dengan Maz, c-myc merupakan faktor transkripsional induk yang meregulasi mekanisme siklus sel. EBNA2 bekerja sebagai suatu regulator positif dari ekspresi c-myc dalam konteks promoter P1-P2 asli setelah infeksi pada sel B yang istirahat. Aktivasi NF-κB oleh LMP1 juga dapat meningkatkan ekspresi c-myc . Dengan demikian, gen c-myc tampaknya merupakan target seluler alamiah yang bertanggung jawab terhadap proliferasi sel B yang dikendalikan EBV. Overekspresi dari c-myc diketahui dapat menginduksi aktivasi dari kinase serinthreonin ATM ( ataxia-teleangiectasia mutated ) dan ATR ( ATM-Rad3-related ) commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang menyebabkan fosforilasi dan aktivasi dari protein proapoptotik p53 dan apoptosis sel, seperti yang dikemukakan Zon Bing You pada tahun 2002 . Pada penelitian ini didapatkan nilai rerata skor histologi NFκB. Sebelum kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi adalah
1,11 ± 1,14 dan sesudah
pengobatan adalah 4,92 ± 2,79. Ini sesuai dengan Thompson ( 2004 ) dan Nathalie et al ( 2009 ) yang menyatakan bahwa adanya ekspresi NFκB yang positif ini disebabkan oleh
EBV pada karsinoma nasofaring yang
akan menyebabkan
terjadinya ekspresi dari LMP1. Selanjutnya LMP 1 melalui mekanisme TNF ( Tumor Necrosis Factor ) bertanggung jawab atas terjadinya aktivasi dari NF-κB secara kontinyu. Hal ini menggambarkan bahwa pada KNF Undifferentiated sangat berasosiasi kuat dengan infeksi EBV. Murdani pada tahun 2009 melakukan penelitian mengenai peran NFκB dan COX-2 pada karsinoma kolorektal. Di dapatkan adanya ekspresi positif NFκB sebesar 73,5% dan ekspresi COX-2 sebesar 49,0%. Dimana hasil tersebut secara bermakna lebih tinggi pada jaringan kanker dibanding jaringan bebas kanker. Hal ini menunjukkan bahwa pada malignansi akan terdapat peningkatan ekspresi dari NF-κB. Sedangkan nilai rerata skor histologis untuk c-myc pada penelitian ini sebelum kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi adalah
1,15 ± 0,78 dan
sesudah pengobatan adalah 3,04 ± 1,91. Hal ini menunjukkan
adanya
peningkatan ekspresi c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Sehingga dalam penelitian ini didapatkan adanya peningkatan ekspresi NF-κB commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan peningkatan ekspresi c-myc. Nathalie et al pada tahun 2009 menyatakan bahwa aktivasi
NF-κB oleh LMP1 juga dapat meningkatkan ekspresi c-Myc.
Mabel P Duyao dalam penelitiannya yang berjudul Interaction of an NFκB- like factor with a site upstream of the c-myc promoter pada tahun 1990 juga menyatakan bahwa adanya faktor faktor yang menyerupai NF-κB dalam regulasi dari transkripsi c-myc. Dimana NFκB ini akan dapat meningkatkan kecepatan transkripsi c-myc. Adanya peningkatan ekspresi c-myc dalam proses malignansi,
juga
dikemukakan pada penelitian Prayitno, et al dalam The expression of p53, Rb and c-myc protein in cervical cancer by immunohistochemistry stain pada tahun 2005 dengan hasil ekspresi c-myc yang tinggi. Adanya ekspresi c-myc yang tinggi menunjukkan bahwa siklus sel sedang berlangsung, karena fungsi c-myc adalah sebagai protein pemicu terjadinya transkripsi sel. Sesuai dengan penelitian Rahayu pada tahun 2008 di RS Dr Soetomo Surabaya mengenai ekspresi c-myc dan Bcl2 pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated dan hubungannya dengan T-stage dan N-stage. Meskipun tidak didapatkan adanya hubungan antara ekspresi c-myc dan Bcl2 dengan T-stage dan N-stage, tetapi didapatkan adanya ekspresi c-myc 38,5% dengan tingkat ekspresi +1 dan +3. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini, adanya peningkatan ekspresi c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Penatalaksanaan KNF pada penelitian ini dengan kemoradioterapi. Karena menurut Wei ( 2006 ), bahwa pemberian kemoterapi dan radioterapi adalah pengobatan yang sesuai untuk karsinoma nasofaring stadium II – IV. Dan commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurut Brockstein and Vokes (2006) bahwa pada kasus dengan metastasis, karsinoma berdiferensiasi buruk (Undiferentiated), atau limfoepitelioma pada nasofaring sangat sensitif terhadap kemoterapi. Sedangkan pemberian kemoterapi secara neoadjuvant dipilih karena untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvant juga didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi
yang
diberikan
sejak
dini
diharapkan
dapat
memberantas
mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Menurut Sukardja ( 2000 ), kemoterapi neoadjuvant pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan mempunyai overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvant yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). Kemoterapi yang digunakan adalah kombinasi Cisplatin dan 5 FU. Karena dengan pemberian kombinasi ini dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Kentjono (2002),
bahwa pemberian
kemoterapi neoadjuvant yang diikuti dengan radioterapi secara sinergi, diharapkan Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radioterapi. Selain itu kemoradioterapi dapat bekerja sinergistik yaitu commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. Sukardja
(2000) juga
direkomendasi FDA
menyatakan bahwa obat-obat sitostatika yang
( Amerika ) untuk digunakan sebagai terapi keganasan
didaerah kanker kepala leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5fluorouracil,
Bleomycin,
Hydroxyurea,
Doxorubicin,
Cyclophosphamide,
Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher. Menurut Kentjono (2002 ), Pemberian secara kombinasi juga dapat mengurangi dosis obat sitostatika sehingga efek samping menurun. Sedangkan kombinasi pemberian Cisplatin dan 5 FU mempunyai response rate 15%-47% (Sukardja, 2000). Kirsteen (2006) menyatakan bahwa Cisplatin merupakan obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific. obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2. Cisplatin juga bekerja dengan menghambat Rel A sehingga akan menghambat ekspresi NFκB yang merupakan antiapoptosis. Sehingga dengan penurunan ekspresi NFκB akan menyebabkan apoptosis, dan proliferasi sel juga differensiasi sel dihambat. Sedangkan Lica (1999) menyatakan bahwa 5 Fluorourasil (5-FU) merupakan obat yang tergolong cell cycle specific. Obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah pemberian kemoterapi neoadjuvant, pasien selanjutnya diberikan radioterapi. Hal ini sesuai dengan Wei ( 2006), yang menyatakan bahwa saat ini radioterapi masih merupakan terapi pilihan untuk karsinoma nasofaring oleh karena masih bersifat responsif. Radioterapi merupakan
terapi sinar
menggunakan energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma ( Lica, 1999 ). Tujuan pemberian radioterapi adalah untuk mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor. Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor. Selain itu juga memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya. Sehingga dengan pengobatan kemoterapi menggunakan kombinasi Cisplatin dan 5 FU secara neoadjuvant yang dilanjutkan dengan radioterapi diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal untuk penderita KNF. Meskipun hasil pengobatan dapat dipengaruhi oleh multi faktor, yaitu faktor klinis, stadium, umur dan kondisi dari pasien itu sendiri ( Liu et al, 2003 ). Dengan pengobatan yang optimal diharapkan pada hasil evaluasi terjadi respon komplit dan proses malignansi tidak ada lagi. Dan setelah 2 bulan dilakukan biopsi dan pemeriksaan ekspresi NF-κB dan c-myc akan didapatkan adanya penurunan ekspresi. Secara statistik dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata ekspresi commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
NFκB sebelum kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi adalah
1,11 ± 1,14
dan sesudah pengobatan adalah 4,92 ± 2,79. Nilai rerata ekspresi NFκB sesudah terapi menunjukkan adanya peningkatan. Untuk menilai adanya perbedaan ekspresi NFκB sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi dilakukan dengan menggunakan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks test dan didapatkan ada perbedaan yang signifikan dengan nilai (p = 0,005) Secara statistik
dari 10 jaringan KNF jenis undifferentiated yang
dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata ekspresi c-myc sebelum kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi adalah 1,15 ± 0,78 dan sesudah pengobatan adalah 3,04 ± 1,91 . Nilai rerata ekspresi c-myc sesudah pengobatan menunjukkan adanya peningkatan. Untuk menilai adanya perbedaan ekspresi c-myc sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi dilakukan dengan menggunakan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks test dan didapatkan perbedaan yang signifikan dengan nilai (p = 0,025). Hasil dari penelitian ini didapatkan perubahan tingkat ekspresi NF-κB dan c-myc sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant pada biopsi KNF jenis Undifferentiated. Dimana terjadi peningkatan rerata dari tingkat ekspresi NF-κB maupun c-myc. Adanya peningkatan ekspresi NF-κB dan c-myc ini dimungkinkan karena adanya beberapa hal, yaitu respon terapi yang komplit tidak didapatkan. Sehingga sebenarnya proses malignansi masih berlangsung. Hal ini sesuai dengan penelitian Sari ( 2010 ), bahwa hasil evaluasi post kemoradioterapi dari 101 pasien KNF di commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta pada tahun 2009 yang mempunyai respon komplit hanya 4,95 % . Respon komplit yang gagal didapatkan, bisa juga disebabkan radioterapi yang
digunakan
adalah
radioterapi
konvensional,
bukan
radioterapi
hiperfraksinasi. Menurut Dana et al ( 2004 ) KNF yang diterapi dengan radioterapi konvensional yang mengalami respon komplit hanya 46%, sedangkan dengan radioterapi hiperfraksinasi 73,3% akan didapatkan respon komplit. Selain itu bisa juga karena angka kekambuhan post radioterapi yang masih cukup tinggi, yaitu antara 18% - 45%. ( Cen C, 2002; Chang et al, 2004 ). Adanya faktor resistensi terhadap obat obat kemoterapi juga bisa berperan. Selain itu
80 % pasien dalam penelitian ini adalah stadium III dan IV.
Dimana kemungkinan sudah terjadi
metastase lebih besar, sehingga angka
keberhasilan terapinya memang rendah. Menurut Lee (2000) apabila sudah terdapat metastase jauh 85% pasien KNF akan meninggal dalam tahun pertama. Dan menurut Lin (2003), 5 year survival rate untuk stadium IV adalah sebesar 22,3%. Kegagalan terapi KNF yang terbanyak menurut Fandi et al ( 2000 ) dan Farias et al ( 2003 ) adalah terjadinya kekambuhan baik pada tumor primer maupun pada kelenjar limfe regional post radioterapi. Selain itu ekspresi NF-κB dan c-myc
yang masih tinggi juga
berhubungan dengan pertahanan sel agar tetap dapat bertahan hidup sebagai respon dari stres yang dalam hal ini utamanya adalah kerusakan DNA karena radioterapi. Pengambilan biopsi yang dilakukan 2 bulan sesudah radioterapi, ini commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
sesuai dengan
digilib.uns.ac.id
fase intermediet post radioterapi yang berlangsung antara 3
minggu – 6 bulan. Fase dimana terjadi proses inflamasi dan proliferasi jaringan akibat efek radioterapi ( Gourin, G.C and Terris J.D, 2006 ). Pada radioterapi akan terjadi reaksi indirek yang merupakan
proses
interaksi radiasi pengion dengan sel tumor maligna. Molekul air dan molekul oksigen yang terdapat intraseluller dan ekstraseluller akan terkena radiasi pengion. Akibatnya elektron akan terlempar keluar orbit dan akan berubah menjadi ion H+ dan ion OH- serta ion oksigen. Ion-ion ini bersifat tidak stabil dan akan berubah menjadi radikal H, radikal OH dan radikal oksigen. Radikal bebas yang terbentuk bisa meningkatkan ekspresi NFκB sebagai pertahanan sel terhadap stres. Sehingga adanya radikal bebas dan proses inflamasi akibat pemberian radioterapi bisa merupakan faktor perancu yang bisa meningkatkan ekspresi NFκB yang pada akhirnya juga akan meningkatkan ekspresi c-myc. Untuk mengetahui apakah peningkatan ekspresi NFκB dan c-myc post kemoterapi neoadjuvant di sebabkan oleh karena proses inflamasi, maka dapat dilakukan pemeriksaan biomolekuler lain seperti chemokines. Apabila terdapat peningkatan ekspresi pada hasil pemeriksaan tersebut, maka peningkatan ekspresi NFκB dan c-myc yang terjadi pada penelitian ini adalah karena proses inflamasi setelah radioterapi ( Momoko, 2005 ). Sedangkan untuk mengetahui apakah peningkatan yang terjadi adalah karena proses keganasannya yang bersifat progresif, maka dapat dilakukan pemeriksaan biomolekuler lain seperti IL-1, IL-6, TNF dan cyclin D1. Adanya peningkatan ekspresi pada hasil pemeriksaan tersebut menandakan bahwa commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peningkatan yang terjadi adalah karena proses proliferasi sel yang masih berlangsung ( Momoko, 2005 ).
5.3. Hasil Analisis Hubungan Antara Ekspresi NFκB dengan c-myc Pada Jaringan Biopsi Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated Pada model persamaan linier hubungan antara ekspresi NFkB dan ekspresi c-myc sebelum terapi, didapatkan model persamaan linier ; Y = 0,897 + 0,398 X ; dimana Y = ekspresi c-myc dan
X = Ekspresi NFκB, dan hubungan antara
NFκB dengan c-myc sangat kuat dan signifikan (r= 0,69; p=0,001).
Hal ini juga
diperkuat dengan hasil analisa R 2 = 0,435 yang mengindikasikan bahwa sebesar 43.5 % seluruh hasil ekspresi c-myc yang dapat diterangkan dengan model ini, dan sisanya sebesar 56,5 % kenaikan ekspresi c-myc akibat faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam model ini. Hasil analisis adanya hubungan antara ekspresi NFκB dengan ekspresi c-myc pada penelitian ini
ini sesuai dengan penelitian Nathalie et
al yang
menyatakan bahwa pada proses malignansi, adanya peningkatan ekspresi c-myc di sebabkan oleh peningkatan ekspresi NFκB. Menurut Gourin, G.C and Terris J.D (2006),
faktor lain yang tidak
diperhitungkan dalam model ini termasuk adanya ekspresi NFκB yang disebabkan adanya proses inflamasi dan reaksi jaringan akibat stress pada DNA sebagai reaksi sesudah pemberian radioterapi. Ekspresi c-myc yang masih ada bisa disebabkan adanya proliferasi sesudah pemberian radioterapi.
commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Terdapat peningkatan ekspresi NFκB yang signifikan akibat kemoterapi neoadjuvant ( p = 0,005 ). Hal ini bisa disebabkan karena proses keganasan pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated memang masih terjadi atau karena reaksi inflamasi sesudah radioterapi. 2. Terdapat peningkatan ekspresi c-myc yang signifikan akibat kemoterapi neoadjuvant ( p = 0,025). Peningkatan ekspresi c-myc menyebabkan proses proliferasi yang berlebihan ini bisa disebabkan karena proses keganasan pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated yang masih terjadi dan bersifat progresif maupun proliferasi sel untuk regenerasi akibat nekrosis sesudah radioterapi. 3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara ekspresi NFκB dan c- myc pada karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ( p=0,001). Hal ini membuk tikan bahwa pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated, peningkatan ekspresi c-myc yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang berlebihan adalah akibat adanya peningkatan ekspresi NFκB.
6.2. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring dengan jumlah sampel yang lebih banyak untuk menghindari bias secara statistik. commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Perlu dilakukan penelitian ekspresi NFκB dan c-myc sesudah pemberian kemoterapi neodjuvant, sebelum pemberian radioterapi pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui
pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap ekspresi NFκB dan c-myc tanpa pengaruh radioterapi. 3. Perlu dilakukan penelitian ekspresi NFκB dan ekspresi c-myc pada pasien karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated sesudah pemberian kemoterapi neoadjuvant dilakukan sampai 6 bulan kemudian, untuk menghilangkan efek inflamasi jaringan akibat radioterapi. 4. Perlunya dilakukan pemeriksaan biomolekuler lain seperti chemokines dan IL-1, IL-6, TNF dan cyclin D1 untuk mengetahui apakah peningkatan ekspresi
NFκB
dan
c-myc
setelah kemoterapi neoadjuvant pada
penelitian ini disebabkan adanya proses inflamasi atau karena progresifitas dari karsinoma nasofaring.
commit to user 91