Survei Batas Negara, Butuh Lebih dari Sekedar Surveyor Andriyana Lailissaum, ST Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Informasi Geospasial Pada bulan Mei 2014 yang lalu, Pusat Pemetaan Batas Wilayah (PPBW) Badan Informasi Geospasial (BIG) melaksanakan kegiatan demarkasi batas negara Republik Indonesia (RI)Republik Demokrat Timor Leste (RDTL). Kegiatan tersebut merupakan kegiatan bilateral antara Pemerintah RI dengan Pemerintah RDTL. Demarkasi adalah kegiatan pemasangan dan pengukuran pilar batas untuk mempertegas garis batas wilayah. Kegiatan demarkasi dilakukan di segmen timur batas darat RI-RDTL. Sebelum kegiatan demarkasi dimulai kedua negara melakukan koordinasi teknis terkait rencana kegiatan demarkasi. Koordinasi tersebut dilakukan di Kota Dili yang merupakan ibukota negara RDTL. Adapun batas darat antara RI-RDTL adalah sebuah sungai yang membentang dari arah utara hingga selatan. Di beberapa bagian terdapat batas alam lain yang menjadi pemisah seperti bukit dan gunung. Meskipun begitu batas alam antara RI-RDTL masih didominasi oleh sungai. Kegiatan demarkasi ini dilakukan di sepanjang perbatasan yang dipisahkan oleh sungai. Jika batas negara dipisahkan oleh sungai maka harus dipasang pilar secara berpasangan, yaitu di pinggir sungai sebelah Indonesia dan di pinggir sungai sebelah Timor Leste. Target pilar yang akan dipasang pada survei tersebut adalah 160 buah (80 pasang) dimana 80 buah dipasang oleh Indonesia dan 80 buah dipasang oleh Timor Leste. Indonesia akan memasang pilar di sisi sebelah selatan, tepatnya diantara Pos Satgas Ailala hingga Pos Satgas Laktutus. Timor Leste akan memasang pilar di sisi sebelah utara, tepatnya diantara Pos Satgas Laksmaras hingga Pos Satgas Fohululik. Sebelum pemasangan pilar, dilakukan survei pendahuluan untuk menentukan lokasi pemasangan pilar. Survei pendahuluan dilakukan dengan mengikuti garis hasil delineasi yang telah disepakati sebelumnya, yang dilakukan oleh keduabelah pihak dengan turun langsung ke lapangan.
Gambar 1. Tim survei pendahuluan penentuan posisi pilar.
Sebelum bergerak menuju perbatasan, tim melakukan koordinasi dengan Markas Komando Satgas Pamtas yang berada di Kota Atambua. Tim menyampaikan rencana pergerakan kepada Komandan Batalyon, dan kepada seluruh pasukan yang berada di perbatasandiintruksikan untuk mendukung kegiatan ini. Pos Satgas yang sekiranya akan dituju oleh tim segera diberitahu untuk menyiapkan beberapa personil untuk melakukan pendampingan, diantaranya truk tentara juga disiapkan untuk melakukan mobilisasi personil dan logistik. Dalam kegiatan survei batas negara, pendampingan dari pihak militer merupakan hal yang wajib. Lokasi kegiatan merupakan wilayah yang sangat liar dan tidak dihuni oleh manusia. Medan kegiatan terdiri dari sungai, bukit, gunung, tebing dan medan berbahaya lainnya, dan pada umumnya sangat berbahaya bagi masyarakat sipil sehingga perlu pendampingan oleh pihak militer. Pihak militer yang melakukan pendampingan juga membawa peralatan lengkap seperti seragam, sepatu, logistik hingga senjata laras panjang.
Gambar 2. Perjalanan menyusuri batas negara. Sisi teknis yang harus dipahami dalam pengukuran pilar batas negara adalah ilmu tentang pengukuran Global Positioning System (GPS) Geodetik, namun pada kenyataannya banyak hal lain yang memerlukan perhatian lebih dalam daripada sekedar teknis pengukuran. Dalam kegiatan ini Surveyor juga harus memiliki kemampuan fisik yang memadai, mental yang tangguh, kemampuan manajemen tim hingga kemampuan koordinasi. Kemampuan Fisik Dalam kegiatan survei penentuan posisi pilar,surveyor harus berjalan menyusuri sungai,dimana surveyor harus menuruni bukit hingga sampai di sungai. Dari Pos Satgas terdekat menuju sungai rata rata jarak yang harus ditempuh adalah sekitar 1-3 km. Jalan yang dilewati adalah jalan setapak yang berada di tengah tengah hutan yang sangat licin saat hujan belum lagi medan yang cukup terjal membuat kebanyakan orang sering terpeleset, ditambah tim harus membawa banyak perlengkapan termasuk Tripod dan GPS. Perjalanan harus hati hati mengingat perangkat GPS termasuk piranti yang mahal. Perjalanan selanjutnya adalah perjalanan menyusuri sungai yang merupakan batas alam RI-RDTL. Surveyor sering naik ke daratan sebelah Indonesia dan daratan sebelah Timor
Leste untuk menentukan lokasi pemasangan pilar. Perjalanan akan lebih mudah dilakukan disungai dibandingkan naik turun perbukitan di tepi sungai. Umumnya tepian sungai adalah hutan lebat yang banyak semak belukar dan duri tajam. Sungai yang dilewati adalah tipe sungai berbatu. Sungai yang dilewati memang tidak terlalu dalam dan arusnya juga tidak terlalu deras, meskipun begitu surveyor harus berhati hati ketika hujan turun karena arus sungai bisa meluap dengan seketika. Air yang meluap ditandai dengan warna aliran sungai yang berubah menjadi kecoklatan.
Gambar 3. Medan perjalanan. Sungai tidak selamanya lebar, semakin lama menyusuri sungai maka akan semakin dekat ke hulu sungai. Semakin ke hulu maka sungai akan semakin menyempit dan keterjalan sungai juga akan meningkat. Bahkan di beberapa bagian sungai bisa berubah menjadi air terjun. Jika air terjun tidak terlalu tinggi, maka perjalanan bisa dilanjutkan dengan memanjat air terjun tersebut. Jika air terjun terlalu tinggi, maka surveyor harus mendaki ke perbukitan di pinggir sungai lalu kembali masuk ke sungai. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari air terjun.
Gambar 4. Air terjun. Adakalanya perjalanan harus dilanjutkan dengan menaiki bukit atau gunung, dimana surveyor harus bergerak mengikuti garis yang telah disepakati. Perjalanan diteruskan melalui lebatnya hutan belantara. Tidak ada jalan setapak di dalam hutan, untuk itu tim diharuskan membuat jalan sendiri dengan menggunakan peralatan seperti parang atau sabit. Semak berduri sering menyerang surveyor sehingga bisa menyebabkan luka di sekujur tubuh, sehingga diperlukan perlengkapan medis untuk keselamatan. Surveyor juga harus memiliki daya tahan tubuh yang kuat karena harus menempuh perjalanan
lebih dari 10 km dengan medan yang berat, kadang mesti menginap di hutan untuk meneruskan perjalanan selanjutnya. Suhu di hutan sangat dingin, sehingga surveyor harus membawa perlengkapan tidur lengkap. Gizi surveyor juga harus dipenuhi, karena jika kekurangan gizi dan vitamin surveyor akan mudah terserang penyakit, dimana penyakit yang sering menyerang adalah malaria yang disebabkan oleh gigitan nyamuk malaria. Kondisi fisik yang bugar dan daya tahan tubuh yang kuat wajib dimiliki oleh surveyor. Mental yang Tangguh Salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh surveyor adalah mental yang tangguh. Seorang surveyor tidak boleh cengeng, harus profesional melaksanakan tugas yang diberikan. Beratnya medan tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan tugas. Ketangguhan mental seorang surveyor sangat berpengaruh dalam kegiatan yang memiliki tantangan tinggi. Setiap hari surveyor dibebani dengan perjalanan berat yang harus dilaksanakan. Jika tidak siap mental maka surveyor akan merasa frustasi dan kondisi fisiknya mulai menurun.
Gambar 5. Sungai menyempit banyak ditemui di lapangan. Selain beratnya medan,surveyor juga harus beradaptasi dengan kebiasaan yang baru, salah satunya adalah pola makan.Dalam perjalanan yang dilakukan di hutan,surveyor tidak bisa makan dan minum dengan sesuka hati. Dalam perjalanan tidak mungkin membawa logistik dalam jumlah banyak karena bobotnya akan sangat berat. Surveyor harus hemat dalam hal makan karena jika kekurangan makanan, maka perjalanan tidak bisa dilanjutkan. Air yang digunakan untuk minum adalah air sungai yang telah direbus. Kebanyakan makanan yang dibawa adalah makanan instan seperti sarden, kornet, mie instan hingga nasi keleng. Selang beberapa hari surveyor akan merasa bosan makan makanan yang demikian, namun demikian harus tetap makan untuk menghimpun energi bagi tubuh.
Gambar 6. Sungai terjal pun dilaluinya. Satu lagi pola hidup yang berubah adalah tentang penggunaan teknologi. Di daerah perbatasan sinyal handphone tidak tersedia. Jangankan di daerah hutan, di pos satgas yang masih berada di permukiman juga tidak tersedia sinyal handphone. Listrik hanya tersedia pada waktu malam hari, itupun menggunakan bantuan genset dan kapasitasnya kecil, sehingga tidak bisa digunakan untuk menyalakan banyak perangkat elektronik sekaligus. Ketika hari sudah mulai malam, sekitar jam 10 WITA,maka listrik akan dimatikan untuk menghemat persediaan bahan bakar. Genset yang digunakan biasanya menggunakan bahan bakar bensin atau solar. Di daerah perbatasan kondisi cuaca cukup dingin, bahkan angin bercampur kabut sering menyerang setiap waktu. Dibutuhkan keberanian yang tinggi untuk mandi atau melakukan kegiatan lain yang bersentuhan dengan air. Tidak setiap pos satgas memiliki sumber air, bahkan ada beberapa pos yang mengharuskan kita berjalan sekitar 50-100 meter untuk mengambil air. Kehidupan di perbatasan serba sulit. Kondisi tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi mental surveyor yang sedang melakukan kegiatan pengukuran. Apalagi jika kegiatan pengukuran dilakukan selama bermingguminggu. TNI yang bertugas di pos satgas perbatasan RI-RDTL diganti setiap jangka waktu 6 bulan. Hal tersebut dilakukan karena jika terlalu lama berada pada kondisi yang demikian, maka kesehatan mental mulai menurun. Kondisi budaya daerah perbatasan juga berbeda dengan kebanyakan suku yang ada di Indonesia. Di perbatasan tidak banyak orang yang bisa berbahasa Indonesia. Komunikasi dengan warga tidak bisa dilakukan dengan lancar. Banyak kejadian negatif yang bisa diakibatkan oleh TNI jika sudah terlalu lama berada di wilayah batas, mulai dari pertengkaran sesama pasukan hingga pertengkaran dengan warga. Kondisi perbatasan yang serba sulit sangat berpengaruh pada kondisi mental seseorang. Kemampuan Manajemen Tim Kemampuan manajemen tim dibutuhkan agar kegiatan yang dilakukan oleh tim bisa berjalan lancar. Yang melingkupi kegiatan manajemen perjalanan meliputi pembagian personil, perencanaan jadwal, persiapan logistik, persiapan teknis dan koordinasi
a. Pembagian personil Tidak selamanya surveyor berada dalam satu tim tertentu selama menjalankan tugas. Dalam kondisi tertentu tim bisa dipecah menjadi beberapa bagian tergantung dengan kebutuhan. Pembagian personil harus benar-benar memperhatikan kondisi surveyor. Surveyor yang masih kuat fisiknya disatukan dengan surveyor yang kondisinya lemah. Surveyor yang lemah baiknya dimasukkan ke tim yang anggotanya lebih banyak. Begitupula tentang pengalaman dan pengetahuan teknis. Surveyor yang lebih berpengalaman juga harus disatukan dengan surveyor yang belum berpengalaman. Pembagian personil dalam tim berpengaruh banyak terhadap sukses atau tidaknya sebuah tim. b. Perencanaan jadwal Jadwal menjadi hal penting berikutnya yang harus dipertimbangkan dengan matang. Umumnya ketika cuaca kurang mendukung, hujan deras, berkabut atau angin kencang kegiatan survei bisa diundur beberapa hari. Tapi ketika cuaca tidak kunjung reda maka kegiatan survei tetap harus dilakukan. Jarak tempuh juga harus diperhitungkan untuk menentukan jadwal, apakah tim harus menginap di hutan atau mampu kembali ke pos satgas untuk menginap. Hal lain yang bisa berpengaruh terhadap jadwal adalah ketersediaan transportasi. Jika hujan lebat maka jalan menjadi licin sehingga sulit dilewati mobil. Perjalanan malam juga sulit dilakukan jika kabut menjadi lebat, hal inilah yang sering menjadi penyebab molornya jadwal kegiatan. c. Persiapan logistik Umumnya sebelum kegiatan survei lapangan dimulai, logistik sudah dipersiapkan. Pemilihan logistik juga harus tepat. Makanan yang dibawa biasanya makanan yang mudah dimasak seperti nasi kaleng, sarden, mie instan dan makanan siap saji lainya. Jumlah logistik juga harus tepat, jika terlalu banyak membawa logistik, maka tas ransel akan terlalu berat. Jika terlalu sedikit membawa logistik, maka tim akan kelaparan. d. Persiapan teknis Persiapan teknis menjadi hal yang paling penting. Sebelum turun ke lapangan surveyor harus mengecek kesiapan alat terlebih dahulu. Kelengkapan alat juga harus diperhatikan. Selain mengecek kesiapan alat,surveyor juga harus melatih kembali tata cara penggunaan alat. Jangan sampai surveyor lupa cara menggunakan alat ketika sudah berada di lapangan. Software yang dibutuhkan juga harus sudah berada di laptop. Hal ini untuk berjaga-jaga jika sewaktu waktu butuh pengecekan data di lapangan. e. Koordinasi Koordinasi teknis merupakan hal mendasar yang harus dilakukan oleh tim. Dalam kondisi tertentu tim akan dipecah menjadi beberapa tim. Sebelumnya seluruh
anggota tim harus menyamakan persepsi tentang teknis kegiatan agar tidak terjadi kesalahpahaman. TNI biasanya berkomunikasi dengan pasukan yang berada di pos lain menggunakan bahasa sandi. Surveyor tidak bisa seenaknya berkomunikasi dengan TNI yang berada di pos lain. Pasukan TNI akan mengubah kalimat yang disampaikan surveyor menjadi kalimat sandi sebelum disampaikan kepada pasukan TNI yang berada di pos lain. Pasukan TNI selalu melakukan koordinasi antar pos untuk mendukung kegiatan survei. Koordinasi mutlak dibutuhkan jiwa sewaktu-waktu keadaan menjadi darurat. Contohnya ketika ada personil tim yang sedang sakit, logistik habis, alat rusak hingga tersesat di hutan.
Gambar 7. Koordinasi di lapangan. Banyak hal yang bisa dipelajari dari kegiatan survei batas negara RI-RDTL. Walaupun kegiatan ini adalah kegiatan pengukuran yang bersifat teknis tapi ternyata membutuhkan banyak kemampuan non teknis. Hal ini memberikan kita informasi bahwa,surveyor harus memiliki kemampuan non teknis yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatansurvei. Surveyor tidak hanya “mampu” dipandang dari segi teknis, tapi juga dari segi daya tahan tubuh, kemampuan mental hingga manajemen tim. “Dalam survei batas negara, butuh lebih dari sekedar Surveyor”. (TR)