BAB IV GAMBARAN UMUM DAN SISTEM SOSIAL-BUDAYA DAERAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitian difokuskan pada dua kecamatan yaitu kecamatan Sungai Limau dan kecamatan Pariaman Tengah. Untuk memperoleh gambaran tentang kondisi sosial ekonomi kedua daerah tersebut, berikut akan dideskripsikan kondisi geografis, dan demografis dari kedua kecamatan tersebut. 4.1. 1. Kecamatan Sungai Limau Kecamatan Sungai Limau terletak di dalam Kabupaten Padang Pariaman. Secara geografis kecamatan ini berada 100”07’00 Bujur Timur dan 0”33’00 Lintang Selatan dengan ketinggian 2 meter dari permukaan laut, dengan jarak dari ibu kota kabupaten sekitar 17 km² dan 73 km² dari kota Padang ibukota Propinsi Sumatera Barat. Secara administratif kecamatan Sungai Limau mempunyai batas-batas dengan : Sebelah Utara dengan Kecamatan Batang Gasan Sebelah Selatan dengan Kecamatan V Koto Kampung Dalam Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia Sebelah Timur dengan kecamatan Sungai Geringging.
Batas Wilayah Kecamatan Sungai Limau
Samudera Indonesia
Jumlah Kenegarian Jumlah Korong
: 2 Kenagarian : 18 Korong
Gambar 6. Batas Wilayah Kecamatan Sungai Limau
55
Kecamatan Sungai Limau memiliki luas wilayah 70,38 km² atau sekitar 5,30 persen dari luas Kabupaten Padang Pariaman, terdiri dari 2 kenagarian yakni Kenagarian Pilubang dan Kuranji Hilir, dengan masing-masing mempunyai luas 27,20 ha (38,64 persen) dan 43,18 ha (61,36 persen). Kenagarian Pilubang mempunyai 8 korong dan Kenagarian Kuranji Hilir mempunyai 10 korong. Luas rata-rata masing-masing korong 3,91 ha, dengan korong terkecil Kampung Jua dengan luas 0,41 ha (0,58 persen) dan korong terbesar Kamumuan dengan luasnya 9,01 (12,80 persen). Secara rinci, nama kenagarian dan jumlah dan luas masingmasing korong pada masing-masing kenagarian sebagaimana terlihat pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Wilayah Administratif, Jumlah Kenagarian, Korong dan Luas Wilayah Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008 Kenagarian Korong Luas (Km) Pasir Baru 1,87 Lembak Pasang 1,12 Kampung Jua 0,41 Sungai Sirah 3,00 Pilubang Sibarueh 3,43 Durian Daun 4,70 Duku 2,79 Paninjauan 9,87 Lohong 4,72 Koto Pauh 3,43 Padang Karambia 3,43 Sungai Limau 1,07 Kuranji Hilir Padang Bintungan 2,57 Lampanjang 4,29 Padang Olo 5,15 Sungai Paku 1,07 Kamumuan 9,01 Paingan 8,43 Jumlah 70,38 Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Berdasarkan data dari Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008 pada tahun 2007, penduduk Kecamatan Sungai Limau telah mencapai 28.863 jiwa yang terdiri atas 13.463 jiwa laki-laki (46, 64 persen) dan 15.398 jiwa perempuan (53, 36 persen), dengan rasio jenis (RJK) 87,73. Artinya bahwa setiap 100 jiwa penduduk perempuan terdapat 87, 73 laki-laki. Pada kelompok umur anak-anak (0-14 tahun), hampir tidak ditemukan perbedaan antara jumlah penduduk laki-laki
56
dan perempuan, namun pada kelompok umur antara 65 keatas (usia tua) terdapat perbedaan rasio umur yang sangat signifikan antara penduduk laki-laki dengan perempuan, yakni antara 53,58 sampai 69,72. Artinya dari 100 jumlah penduduk wanita yang hidup terdapat antara 53,58 sampai 69,72 laki-laki yang hidup. Ini sekaligus menunjukkan tingkat harapan hidup jenis kelamin perempuan lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki. Uraian mengenai jumlah penduduk Kecamatan Sungai Limau dapat di lihat pada tabel 7. Tabel 7. Komposisi Penduduk Kecamatan Sungai Limau Menurut Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin Tahun 2008 Kel Lk % Pr % Lk + Pr Rasio JK Umur 0–4 1671 12,19 1670 10,84 3341 100,06 5–9 1765 13,11 1753 11,38 3518 100,68 10 - 14 1818 13,50 1856 12,06 3674 97,95 15 - 19 1439 10,69 1617 10,50 3056 88,99 20 - 24 818 6,08 1010 6,55 1828 80,99 25 - 29 758 5,63 963 6,25 1721 78,71 30 - 34 747 5,55 894 5,80 1641 83,56 35 - 39 794 5,89 984 6,39 1778 80,69 40 - 44 757 6,62 922 5,98 1679 82,10 45 - 49 695 5,16 809 5,25 1504 85,90 50 - 54 561 4,17 639 4,14 1200 87,79 55 - 59 409 3,04 519 3,37 928 78,81 60 - 64 452 3,35 571 3,70 1023 79,16 65 - 69 304 2,25 436 2,83 740 69,72 70 - 74 273 2,07 378 2,45 651 72,22 75+ 202 1,50 377 2,44 579 53,58 Jumlah 13463 100,00 15398 100,00 28861 87,43 Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Kemudian, bila dibandingkan antara kelompok umur penduduk dewasa (15-64 tahun) dan anak-anak (0-14 tahun) , jumlah penduduk dewasa cukup besar jumlahnya, yakni masing-masingnya 16.358 jiwa (60,83 persen) dan 10.533 jiwa (39,17 persen). Bila dirinci lebih jauh di antara dua kenagarian yang terdapat di kecamatan Sungai Limau, Kenagarian Kuranji Hilir mempunyai kelompok umur dewasa yang lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan Kenagarian Pilubang yakni masing-masingnya 8.830 dan 7.528 jiwa. Begitu juga dengan kelompok umur anak-anak, yakni masing-masingnya 5.685 dan 4.848 jiwa. Adapun perbandingan kedua kelompok umur tersebut terlihat dalam tabel 8 berikut:
57
Tabel 8. Jumlah Penduduk Kecamatan Sungai Limau Menurut Kelompok Umur Tahun 2008 Kenagarian Korong Dewasa Anak-anak Jumlah (15-64 0-14 tahun tahun) Pilubang Pasir Baru 113 716 1829 Lembak Pasang 700 451 1151 Kampung Jua 465 300 765 Sungai Sirah 1180 760 1940 Sibarueh 1153 743 1896 Durian Daun 699 450 1149 Duku 1237 796 2033 Paninjauan 981 632 1613 Kuranji Hilir Lohong 1101 709 1810 Koto Pauh 694 447 1141 Padang Karambia 559 360 919 Sungai Limau 1132 729 1861 Padang Bintungan 452 291 743 Lampanjang 860 554 1414 Padang Olo 746 480 1226 Sungai Paku 471 303 774 Kamumuan 1467 945 2412 Paingan 1348 867 2215 Jumlah 16358 10533 26891 Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Selanjutnya apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah Kecamatan Sungai Limau, tingkat kepadatan penduduknya 1871,51 jiwa/km². Ini berarti tanah cukup luas dan belum mengkuatirkan untuk penambahan jumlah penduduk dimasa yang akan datang. Berikut penggunaan lahan itu dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008 Alokasi lahan
I. Pertanian
Tanah sawah Tanah ladang Kolam Irigasi : - PU 697 ha - Desa 340 ha - Tadah Hujan 141 ha
II. Pemukiman III. Lahan Kosong Jumlah Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Luas masingmasing Sub 1.158 ha 180 ha 43 ha 1.178 ha
-
Luas Total
2.559 ha
234 ha 460 ha 3.253 ha
58
Tabel 9 menunjukkan penggunaan lahan untuk daerah pertanian dan irigasi cukup besar yakni sekitar 78,7 persen (2.559 ha). Hanya 7,2 persen (234 ha) yang didiami oleh penduduk sebagai tempat pemukiman dan 14,1 persen (460 ha) lahan kosong. Dengan kondisi yang demikian mengindikasi kecamatan ini merupakan daerah pertanian. Mata pencarian penduduk Kecamatan Sungai Limau berdasarkan informasi dari Kantor Kecamatan Sungai Limau terdiri dari PNS, TNI/Polri, pedagang, buruh/swasta, peternakan, petani dan nelayan. Namun dari pengamatan dan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di pemerintah, dapat ditarik kesimpulan, pada umumnya mata pencarian penduduknya bergerak di bidang pertanian. Sebagai data perbandingan dapat dilihat dari jumlah Pegawai Negeri Sipil yang terdapat di semua Dinas Jawatan yang ada di Kecamatan Sungai Limau. Tabel 10. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di Kecamatan Sungai Limau Tahun 2008 No Pendidikan Tertinggi Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Sekolah Dasar 5 5 2 Sekolah lanjutan Tingkat Pertama 7 1 8 3 Sekolah lanjutan Tingkat Atas 33 17 50 4 Akademi 77 223 300 5 Sarjana (S1) 68 119 187 6 Pasca Sarjana (S2/S3 3 3 Jumlah 193 360 553 Sumber : Kecamatan Sungai Limau dalam Angka 2008
Selain itu, mata pencarian umum lainnya penduduk kecamatan Sungai Limau bergerak dibidang nelayan. Ini ditunjukan oleh jumlah penduduk yang menekuni pekerjaan ini cukup besar yakni 2.118 jiwa (11,54 persen) dari jumlah penduduk dewasa, yang terdiri dari 350 jiwa nelayan penuh dan 1.768 jiwa nelayan sambilan. Sarana pendukung yang dimiliki masyarakat untuk mata pencarian ini meliputi: RTP 287 buah, perahu tanpa motor yang berukuran sedang 1 buah, motor tempel 30 buah, dan alat penangkapan ikan seperti pukat tepi 23 buah, payang 93 buah, lore 46 buah, dan jaring 128 buah. Sarana dan prasarana pendukung lainnya yang ada di Kecamatan Sungai Limau meliputi pendidikan, kesehatan, fasilitas ibadah dan pasar. Sarana pendidikan yang dimiliki masih sangat terbatas hanya ada sampai tingkat SLTA dengan rinciannya; SD Negeri 41 buah, SLTP Negeri 3 buah dan SLTA Negeri 2
59
buah dan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi (perguruan Tinggi), penduduk kecamatan ini pergi ke Kota Pariaman, Kota Padang dan kotakota lain yang ada di wilayah Indonesia. Sementara itu fasilitas kesehatan terdapat 9 buah puskesmas pembantu dan 44 posyandu yang didukung oleh: 4 orang tenaga dokter, 12 orang perawat dan 3 orang dukun. Fasilitas Ibadah di daerah ini terdapat 29 mesjid dan 169 Mushalla. Terakhir fasilitas pasar ada 3 buah yang terletak di kenagarian Pilubang 1 buah dan dikenagarian Kuranji Hilir 2 buah dan 1 pasar ternak. 4.1. 2. Kecamatan Pariaman Tengah Letak geografis kecamatan Pariaman Tengah 100º 08 00º Bujur Timur dan 0º 33 30º Lintang Selatan, dengan ketinggian ±2 m dari permukaan laut. Batasbatas wilayah: Sebelah Utara dengan Kecamatan Pariaman Utara Sebelah Selatan dengan Kecamatan Pariaman Selatan Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia Sebelah Timur dengan Kecamatan VII Koto.
Batas Wilayah Kecamatan Pariaman Tengah
Jumlah Kenagarian : 3 Kenagarian Jumlah Desa/Kelurahan : 29 desa/kelurahan Gambar 7. Batas Wilayah Kecamatan Pariaman Tengah
60
Kecamatan Pariaman Tengah memiliki luas wilayah 23,77 km² atau sekitar 32,40 persen dari luas Kota Pariaman, terdiri dari 29 desa/kelurahan yang termasuk kedalam tiga kenagarian. Secara rinci, nama kenagarian dan jumlah dan luas masing-masing desa/kelurahan sebagaimana terlihat dalam tabel 11 berikut. Tabel 11. Wilayah Administratif, Jumlah, Luas Desa/Kelurahan dan Penggunaannya di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007 Kenagarian Desa/Kelurahan Luas Penggunaannya Daerah Pertani Perumah lainnya (Km²) -an -an Pasar Pariaman Pasir 0,85 0,00 0,24 0,61 Kampung Perak 0,53 0,00 0,13 0,40 Lohong 0,82 0,00 0,23 0,59 V Koto Air Pondok II 0,49 0,00 0,12 0,37 Pampan Jawi-Jawi I 0,29 0,00 0,08 0,21 Jawi-Jawi II 0,24 0,00 0,05 0,19 Kampung Jawa I 0,27 0,00 0,08 0,19 Kampung Jawa II 0,31 0,00 0,07 0,24 Kampung Pondok 0,45 0,00 0,08 0,37 Alai Gelombang 0,58 0,37 0,12 0,09 Taratak 0,49 0,00 0,16 0,33 Jalan Kereta Api 0,42 0,00 0,13 0,29 Ujung Batung 0,49 0,18 0,11 0,20 Jalan Baru 0,31 0,00 0,13 0,18 Karan Aur 0,98 0,00 0,08 0,90 Jati Hilir 0,71 0,22 0,26 0,23 Kampung Baru 0,76 0,00 0,19 0,57 Rawang 0,68 0,46 0,21 0,01 Pauh Timur 1,96 0,93 0,54 0,49 Pauh Barat 0,99 0,00 0,61 0,38 Cimparuah 1,92 1,63 0,27 0,02 IV Angkat Jati Mudik 0,62 0,39 0,18 0,05 Padusunan Bato 1,15 0,97 0,17 0,01 Batang Kabung 1,11 0,79 0,31 0,01 Koto Marapak 1,91 1,04 0,28 0,59 Sungai Sirah 0,56 0,32 0,23 0,01 Sungai Pasak 1,47 1,23 0,15 0,09 Air Santok 1,16 0,61 0,47 0,08 Cub Mentawai 1,25 0,87 0,35 0,03 Jumlah 23,77 10,01 6,03 7,73 Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007
Berdasarkan hasil registrasi penduduk akhir tahun 2007, jumlah penduduk Pariaman Tengah adalah 35.269 jiwa yang terdiri atas 17.111 jiwa laki-laki (48, 52 persen) dan 18.158 jiwa perempuan (51, 48 persen) dengan rasio jenis kelamin
61
9.423. Bila dilihat per kelompok umur yakni anak-anak dan dewasa jumlah kelompok umur dewasa menempati jumlah terbesar. Kelompok umur dewasa (1564 tahun) terdapat 21.458 jiwa dan kelompok umur anak-anak (0-14 tahun) 11.538 jiwa. Selanjutnya apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah Kecamatan Pariaman Tengah, tingkat kepadatan penduduknya 1.483,76 jiwa/km². Ini berarti tanah semakin diperebutkan banyak orang dan membawa implikasi sosial yang perlu dipikirkan. Berikut penggunaan lahan itu dapat dilihat dalam tabel 12. Tabel 12. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007 Penggunaan lahan I.
Pertanian 1. Sawah 2. Ladang 3. Perkebunan
Luas Masingmasing sub
Luas Total 10,01 km
7,96 km 1,03 km 1,02 km
II. Perumahan III. Jalan IV. Lainnya Jumlah
-
7,06 km 5,23 km 1,47 km 23,77 km
Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007
Tabel 12 menunjukan penggunaan lahan untuk pertanian cukup besar yakni sekitar 42, 1 persen (10,01 km). Kemudian diikuti oleh pemukiman penduduk sekitar 29,7 persen (7,06 km), jalan 22,0 persen (5,23 km) dan lainnya sekitar 6,2 persen (1,47 km). Lahan pertanian yang cukup luas terdapat di bagian Timur, Selatan dan Utara, atau di 14 desa seperti desa Alai Gelombang, Ujung Batung, Jati Hilir, Rawang, Jati Mudik, Bato, Batang Kabung, Koto Marapak, Sei Sirah, Sei Pasak, Air Santok, Cubadak Mentawai, Pauh Timur dan Cimparuh, sedangkan 15 desa dan kelurahan yang lainnya tidak mempunyai lahan pertanian. Desa dan kelurahan itu terletak dibagian Barat (pusat kota) yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia seperti; Pasir, Kp Perak, Pondok II, Lohong, Jawi-jawi I, Jawi-jawi II, Kp Jawa I, Kp Jawa II, Kp Pondok, Taratak, Jalan Kereta Api, Jalan Baru, Karan Aur, Kp Baru dan Pauh Barat. Dengan demikian dapat dikatakan, sebagian dari kecamatan ini merupakan daerah pertanian dan sebagian yang lain daerah non pertanian (lihat tabel 8).
62
Selain dirinci ke dalam jenis kelamin dan kelompok umur, jumlah penduduk Kecamatan Pariaman Tengah juga dapat dirinci berdasarkan tingkat pendidikan dari Jumlah Pegawai Negeri Sipil dari Dinas Jawatan se Kecamatan Pariaman Tengah. Tabel 13. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007 No Pendidikan Tertinggi Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Sekolah Dasar 15 5 20 2 Sekolah lanjutan Tingkat Pertama 67 21 88 3 Sekolah lanjutan Tingkat Atas 309 185 494 4 Akademi Sarjana (S1) 146 62 208 Jumlah 537 273 810 Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007
Meskipun tingkat pendidikan seperti terlihat pada tabel 13 tidak terlihat secara keseluruhan dari jumlah penduduk Kecamatan Pariaman Tengah, namun paling tidak telah menggambar sebagian tingkat pendidikan di daerah itu. Selanjutnya dari tabel 10 juga terlihat mata pencarian yang diguluti penduduk. Terdapat 810 (3,70 persen) dari usia produktif 21458 jiwa jumlah penduduk yang berusia 15-64
penduduk Kecamatan Pariaman Tengah
yang mempunyai
pekerjaan sebagai PNS dan 20.648 (96,30 persen) yang bekerja bukan sebagi PNS. Berdasarkan informasi dari Kantor Kecamatan Pariaman Tengah, mata pencarian penduduk lain seperti; TNI/Polri, swasta, pedagang, buruh, pengrajin, penjahit, tukang batu/kayu, montir, sopir, tukang becak, peternakan, petani dan nelayan. Sarana dan prasarana pendukung yang ada di Kecamatan Pariaman Tengah memiliki fasilitas lebih lengkap dibanding dengan kecamatan Sungai Limau. Selain terdapat kantor-kantor pemerintahan dan swasta, daerah ini didukung pula oleh fasilitas umum lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, pasar dan terminal, rumah makan, hotel dan penginapan. Fasilitas pendidikan, yang dimiliki mulai dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Berikut gambaran fasilitas pendidikan yang terdapat di kecamatan Pariaman Tengah.
63
Tabel 14. Jumlah Sarana Pendidikan Negeri dan Swasta di Kecamatan Pariaman Tengah Tahun 2007 No Tingkat Pendidikan Status Jumlah Negeri Swasta 1. Sekolah Dasar 29 29 2. Sekolah Lanjut Tingkat Pertama 4 2 6 3. Sekolah Lanjut Tingkat Atas 5 5 10 4. Akademi 4 4 5. Universitas 3 3 Jumlah 38 24 52 Sumber : Kecamatan Pariaman Tengah dalam Angka 2007
Dibidang kesehatan, kecamatan ini mempunyai 1 buah rumah sakit Umum, 3 buah puskesmas dan 46 posyandu. Rumah sakit umum itu terletak di kelurahan Kampung Baru dan merupakan satu-satunya rumah sakit yang terdapat di wilayah kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman. Kemudian untuk puskesmas terletak di desa Koto Marapak, Cubadak Mentawai dan Pauh Barat, sedangkan untuk posyandu tersebar di seluruh kelurahan dan desa yang ada di kecamatan ini. Jumlah posyandu terbanyak (4 buah) terdapat di kelurahan Kp Baru dan di desa dan kelurahan lainnya hanya terdapat 1-2 posyandu dengan persentase masing-masing 50%. Untuk tenaga medis secara keseluruhan dikecamatan ini berjumlah 35 orang yang terdiri dari; 9 orang dokter, 20 orang perawat dan 6 orang dukun. Fasilitas ekonomi yang terdapat di daerah ini antara lain; pasar, koperasi, rumah makan, hotel dan penginapan. Untuk pasar-- ada pasar tradisional dan modern yang letaknya berdampingan. Pasar modern disebut juga dengan pusmol dan merupakan satu-satunya mol (mall) yang terdapat di wilayah ini. Kedua pasar itu merupakan aktiviatas ekonomi terbesar yang terdapat diwilayah ini. Selain itu terdapat pula 48 buah koperasi primer dan sekunder serta 1 koperasi yang belum mandiri. Untuk aktivitas ekonomi lainnya terdapat 39 buah rumah makan, 2 buah hotel dan 2 buah penginapan, yang semuanya terletak di kelurahan Kp Pondok. Selanjutnya daerah ini dilengkapi pula dengan objek wisata pantai yang terdapat di kelurahan Pasir dan Pasir Pauh. Sebutan untuk objek wisata pantai itu antara lain; Pantai Gandoriah, Pantai Cermin, Pantai Kata dan Pantai Sunur. Dari keempat objek wisata pantai ini, Pantai Gandoriah yang berada di pusat kota dengan fasilitas yang lengkap seperti terdapat restoran dengan aneka masakan
64
khas Pariaman. Kemudian Pantai Gandariah, Pantai Sunur, meski tidak terdapat di pusat kota, tetapi memiliki ciri khas tersendiri--di sekitar pantai ini terdapat penjualan nasi sek (santai, enak, kenyang) dengan spesifik sala lauak dari berbagai jenis ikan, udang dan gulai kepala ikan laut yang segar menambah keunikan dan daya tarik pantai ini. Sekali dalam setahun, di salah satu pantai itu tepatnya di pantai Gondariah. diadakan pesta budaya tabuik. Pesta budaya itu diadakan setiap tanggal 1 sampai 10 Muharram. Selama prosesi pembuatan tabuik dilaksanakan berbagai festival kesenian anak nagari seperti pencak silat, lomba gandang tasa, layang-layang tradisional, musik Islami, indang, pemilihan Cik Uniang dan Ajo Kota Pariaman, dan lain-lain. Pesta Budaya Tabuik ini sudah terkenal dan sudah merupakan core event yang ramai dikunjungi wisatawan. Bahkan sudah menjadi agenda rutin PEMDA Kota Pariaman untuk menarik wisatawan ke daerah ini. 4.2. Gambaran Umum Alam Minangkabau Menurut Mansoer (1970), secara geografis, politik ekonomis dan kultur historis, wilayah Minangkabau dibagi atas pesisir, darek dan rantau. Daerah pesisir meliputi daerah sepanjang pantai sebelah barat pulau Sumatera yang memanjang dari barat laut ke tenggara. Dalam tambo disebutkan bahwa daerah pasisia yaitu: daerah nan nagari-nagarinya talatak, sabalah matohari ka tabanam, nan mamanjang dari utara ke selatan (daerah yang nagari-nagarinya terletak sebelah matahari terbenam, yang memanjang dari Utara ke Selatan). Jadi, daerah ini mulai dari perbatasan daerah Minangkabau dengan daerah Bengkulu sekarang, yaitu Muko-Muko, sampai ke perbatasan Minangkabau dengan daerah Tapanuli bagian Selatan. Daerah pesisir disebut juga dengan kota dagang yang dalam sejarah pernah memainkan peranan ekonomis dan politik yang penting, seperti Tiku-Pariaman disebelah Utara, Padang di tengah-tengah, Bandar X dan Indrapura disebelah selatan. Dalam sejarah dikatakan daerah pesisir, dengan kondisi alam yang tidak subur maka berdagang merupakan mata pencaharian yang dominan. Dobin (1983), menyebutkan orang-orang pesisir terkenal dengan gaya berdagang keliling, yaitu menjadi pialang diberbagai wilayah baik dalam kawasan pasar Sumatera Barat maupun di luar wilayah ini.
65
Lebih jauh dijelaskan, berdagang keliling telah dimulai oleh masyarakat pesisir semenjak terjadinya kontak dengan negeri luar terutama dengan saudagar Gujarat dan Timur Tengah. Kontak dengan orang-orang luar ini tidak hanya sebatas perdagangan tetapi juga terjadi kontak agama, sehingga wilayah ini menjadi kawasan peradaban agama Islam pertama dalam sejarah perkembangan Islam di Minangkabau. Sehubungan dengan kontak agama ini, para sejarawan menyimpulkan bahwa Islam telah masuk ke Minangkabau sejak abad ke-7 yang dibawa melalui kepentingan para pedagang. Penduduk rantau pesisir selain berasal dari Luhak nan Tigo, juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Di mana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai Barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka. Berbeda dengan daerah darek, penduduknya adalah orang asli Minangkabau, dan merupakan daerah yang terletak ditengah daerah pegunungan Bukit Barisan yang subur. Dari daerah darek dihasilkan sayuran dan hasil perkebunan, seperti kayu manis dan kopi. Dalam peta perdagangan kolonial, daerah ini dijadikan sebagai basis perdagangan hasil perkebunan dan pertanian lainnya. Secara historis daerah darek merupakan daerah pusat adat Minangkabau, yang kemudian disebut dengan Alam Minangkabau. Daerah ini memegang peranan penting dalam perkembangan adat budaya Minangkabau, karena kerajaan pagaruyung sebagai pusat budaya Minangkabau, karena Kerajaan Pagaruyung sebagai pusat budaya Minangkabaupat terdapat diwilayah ini. Wilayah darek meliputi: 3 daerah yang disebut juga dengan Luhak nan Tigo, yakni Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Yang dikatakan Luhak Tanah Datar adalah daerah Kabupaten Tanah datar sekarang, sebagian Sawahlunto Sijunjung, dan Solok. Yang disebut Luhak Agam terdiri atas Ampek-Ampek Angkek, Lawang nan Tigo Balai, dan Nagari sekeliling Danau Maninjau, sedangkan Luhak Lima Puluh Kota adalah daerah yang terletak di sepanjang Batang Sinamar, daerah sekitar gunung Sago bagian utara dan barat, seiliran Batang Lampasi dan Batang Agam, bahkan sampai ke Sipisak pisau Anyuik (Pekanbaru sekarang). Luhak merupakan kelompok nagari yang dinaungi oleh satu unit teritorial politik yang mandiri dibawah Dewan Penghulu Nagari dan tidak mewakili kekuasan raja.
66
Masing-masing Luhak mempunyai peraturan dan adat kebiasaan tersendiri. Keberagaman lokal yang muncul, menunjukkan pluralitas masyarakat Minangkabau yang dilegalisasikan dalam satu bentuk kepemimpinan raja. Keberagaman itu muncul, pada intinya tidak terlepas dari dua bentuk kepemimpinan lareh yang mewarnainya. Lareh merupakan induk hukum adat Minangkabau yang dibangun berdasarkan geologis, sosiologis dan kulturalis alam Minangkabau itu sendiri. Dua lareh, itu adalah lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago (Anwar, 1967). Lareh
Koto
Piliang
merupakan
bentuk
kepemimpinan
dibawah
Datuk Katumanggungan. Dalam kultur masyarakat Minangkabau seorang lareh dapat dipahami melalui ciri-ciri dan simbol-simbol yang dipakainya, di antaranya melalui susunan penghulu dengan bajenjang naik batanggo turun (berjenjang naik dan bertangga turun), yaitu bertingkat menurut martabat dan tugas. Susunan ini lebih dekat kepada sistem aristokratis, konservatif dan cenderung pada agama, sedangkan rumah adatnya mempunyai anjungan pada setiap bagian ujung pangkal bangunannya. Lareh Bodi Caniago, merupakan lareh yang berafiliasi kepada pimpinan Datuk Parpatih Nan Sabatang. Ciri khas yang melekat dalam kelarasan ini adalah balai adat tempat bermusyawarahnya berlantai sama tinggi dan tidak mengenal hirarkis, sedangkan penghulunya duduk sama rendah tegak sama tinggi. Dari simbolik ini dapat ditangkap bahwa kelarasan Bodi Caniago lebih mirip dengan sistem demokrasi dan toleransi. Dalam prakteknya, pemerintahan diselenggarakan bersama-sama penghulu-penghulu andiko atau kepala paruik (tuo kampung / penghulu kampung) dalam satu wadah yang dinamakan Kerapatan Nagari. Di dalam kerapatan ini, penghulu-penghulu andiko memiliki derjat yang sama dan bersama-sama pula mereka memegang tampuk kekuasaan di nagari. Lareh Koto Piliang dalam aplikasi pemerintahannya, mengikuti sistem kerajaan dengan birokrasi pemerintahan hirarki dan kepemimpinan yang berstruktur. Hal ini tercermin melalui bajenjang naik batanggo turun dengan lapisan-lapisan birokrasi. Oleh sebab itu penghulu-penghulu suku dikenal dengan datuak nan kaampek suku, artinya empat orang pengulu suku. Dari keempat penghulu dipilih seorang sebagai penghulu pucuk sebagai pemimpin. Di dalam
67
memerintah suku, penghulu-penghulu suku ini dibantu oleh tiga orang pembantu yang masing-masingnya adalah; seorang manti untuk administrasi pemerintahan, dubalang sebagai polisi dan seorang malin untuk keperluan urusan agama Islam. Keempat orang ini (penghulu, manti, dubalang, dan malin) disebut dengan istilah urang ampek jiniah. Dua kelarasan ini sama-sama mempunyai pengaruh dalam membentuk watak masyarakat Minangkabau. Bakan pada bagian lain Anwar (1967)
mengemukakan
bahwa
meskipun
terdapat
perbedaan
susunan
pemerintahan tersebut, namun kedua sistem mempunyai dasar yang sama yaitu musyawarah—suatu pemerintahan yang demokratis. Kemudian, kenyataannya sekarang menurut Anwar bahwa adat kelarasan Bodi Caniago dan Kelarasan Koto Piliang itu sudah campur baur pemakaiannya dalam suatu nagari. Dengan demikian, kalau istilah luhak mengandung pengertian geografis, politik administratif, sosial-ekonomis dan kulturil, kata laras mempunyai makna "hukum", yaitu tata cara adat turun temurun. Hukum itu dirumuskan oleh dan disebut menurut nama tokoh-tokoh mitologi, yang oleh orang Minangkabau dianggap sebagai cakal-bakal mereka. Terakhir daerah rantau, merupakan tempat merantau bagi orang-orang dahulu. Dari Luhak Nan Tigo mereka pergi ke daerah lain dan membuat negeri baru di sana. Di situ mereka tetap memakai adat seperti adat daerah yang mereka tinggalkan. Hubungan mereka tidak putus dengan negeri asal mereka di Luhak Nan Tigo. Umumnya, daerah ini berada di sepanjang aliran sungai dan bermuara ke timur, ke selat Malaka, bahkan termasuk Rantau nan Sembilan (Negeri Sembilan, di Malaysia sekarang). Daerah rantau Minangkabau dikenal juga dengan sebutan Rantau Nan Tujuah Jurai, yaitu Rantau Kampar, Kuantan, XII Koto, Cati Nan Batigo, Negeri Sembilan, Tiku Pariaman, dan Pasaman. Daerah Tiku Pariaman dan Pasaman dikenal juga sebagai daerah pasisie. Pembagian wilayah atas teritorial Minangkabau ini menunjukan adanya keterbatasan wilyah kekuasaan raja. Dobbin (1983) menyebutkan raja lebih menunjukkan simbolisasi dari manifestasi sesungguhnya dari kekuasaan kerajaan alam Minangkabau. Hubungan-hubungan sosial yang melandasi kekuasaan tidak dapat diklaim secara penuh oleh pusat kekuasaan Pagaruyung. Oleh sebab itu pepatah mengatakan rantau barajo darek bapanghulu (munculnya
68
raja-raja kecil pada wilayah rantau dan daerah alam Minangkabau dikuasai oleh penghulu). 4.3. Keunikan Minangkabau Pesisir Pariaman yang merupakan salah satu daerah rantau pesisir di Minangkabau atau sering pula disebut dengan rantau Piaman. Sepintas kelihatan tidak ada yang menarik dari daerah ini. Apalagi untuk untuk dijadikan kenangan yang perlu diingat atau dijadikan tonggak sejarah. Tetapi justru sebaliknya bila ditelusuri lebih jauh sejarah perjalanan daerah ini. Ternyata daerah ini dahulunya mempunyai cerita yang panjang tentang agama dan perdagangan. Menurut Dobin, 1983; Khan, J. 1974), keduanya dapat dikatakan sebagai saudara kembar. Proses Islamisasi dari wilayah pantai ke pedalaman Minangkabau terjadi seiring pembukaan jaringan dan aktivitas perdagangan. Dalam sejarah disebutkan, daerah rantau pesisir merupakan daerah pertama yang disinggahi dan masuknya agama Islam dan bahkan sebagai pusat perkembangan agama Islam di Nusantara dan Minangkabau khususnya. Dari kajian sejarah tentang keunikan daerah ini dapat dilacak melalui tradisi keagamaan yang dilakukan oleh seorang ulama di pantai Ulakan Pariaman, yang bernama Syeh Burhanuddin. Ini berawal dari daerah ini mempunyai pelabuhan (bandar) yang disinggahi oleh pedagang-pedang gujarat, yang akhirnya
dan
pedagang dari Aceh atau yang disebut dengan “kota republik dagang”. Di sini terjadi proses interaksi ekonomi antara pedagang luar dengan pedagang pribumi dan tempat awalnya penyebaran agama Islam ke Minangkabau pada umumnya. Mengingat daerah pesisir sebagai wilayah perlintasan transportasi yang sering dijadikan sebagai persinggahan para pedagang lokal dan asing maka wilayah pesisir ini lebih metropolis dari pada wilayah pegunungan. 4.3.1. Pariaman Sebagai Tempat Masuknya Agama Islam ke Minangkabau Pada Awalnya Meski pada abad 7 agama Islam telah masuk ke Minangkabau melalui rantau timur, namun pada waktu itu dilakukan secara tidak disengaja oleh pedagang-pedagang Islam dari India dan Arab. Artinya penyebaran agama Islam hanya terkait dengan aktivitas perdagangan, sehingga kota-kota yang disentuh
69
oleh agama Islam hanya daerah penghasil dan penyalur barang-barang perdagangan saja seperti lada dan emas. Akibatnya daerah-daerah lain yang tidak termasuk sebagai daerah/kota perdagangan, tidak tersentuh oleh penyebaran agama Islam. Masuknya agama Islam secara intensif dan teratur ke Minangkabau berasal dari Aceh pada abad ke 13. Daerah yang dimasukinya pertamakali antara lain Pariaman, Tiku dan Air Bangis dan selanjutnya baru menyebar ke daerah pedalaman Minangkabau lainnya. Melalui suku bangsa Aceh ini pula peng-Islaman besar-besaran terjadi di Minangkabau dan bahkan lebih luas dari itu daerah pesisir jatuh dibawah dominasi politik ekonomi Aceh. Masuknya Aceh dengan mudah ke daerah pesisir karena dalam kenyataannya daerah yang terbentang luas sepanjang Samudera Indonesia itu terbagi atas kerajaan-kerajaan kecil, dan nagari-nagari (republik-republik kecil) yang otonom mempunyai politik yang logar sekali antara sesamanya dan dengan Yang Dipertuan di Minangkabau. Tidak jarang pula diantara republik-republik kecil itu bersaing sesamanya dan bahkan saling berebut pengaruh dan kekuasaan, sehingga peperangan yang sengit sering pula terjadi diantara nagari-nagari dan golongan yang terdapat dalam nagari tersebut. Barus misalnya merupakan daerah takluk Minangkabau paling Utara di Pesisir terdiri dari dua kerajaan kecil yakni; Barus Hilir dan Barus Hulu. Kedua kerajaan ini berasal dari satu keturunan, namun karena salah satu diantaranya ingin menguasai perniagaan hasil buminya 1 maka terjadilah peperangan diantara mereka, sehingga memudahkan Aceh memasuki dan menguasai daerah Pesisir (LKAAM, 1987). Dilain pihak, Aceh membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengusir Bangsa Postugis dari bandar pelabuhannya (benteng). Atas dasar itu Aceh melakukan ekspansi ke daerah Pesisir untuk mendapatkan dukungan ekonomi. Karena daerah pesisir khususnya Minangkabau pada waktu itu adalah penghasil dan penyalur hasil bumi terpenting seperti emas, lada, kamfer, benzoin (kemenyan), cengkeh, buah dan kulit pala, dan kulit manis. Dengan misinya itu kekayaan bumi Minangkabau, istimewa daerah Pesisir jatuh dibawah dominasi politik-ekonomi Aceh. 1
Karena kapur barus dan kemenyan hasil bumi daerah Barus sangat digemari oleh saudagar dari India karena mutunya yang tinggi, sehingga menjadi ajang perebutan diantara kedua wilayah itu
70
Agama Islam berkembang pesat di Minangkabau terjadi setelah Aceh diperintah Sultan Alaudin Riayat Al Kahar (1537- 1568), karena sultan tersebut berhasil meluaskan wilayahnya hampir keseluruh pantai barat Sumatera. Untuk menunjang kegiatannya itu, sultan mengirim seorang puteranya sebagai panglimasyahbandar ke Pariaman. Selanjutnya pengembangan Islam di Minangkabau diteruskan oleh Syeh Burhanuddin. Salah seorang putra asli Pariaman yang belajar agama Islam dari Aceh. Beliau merupakan salah seorang murid Syeh Abdurauf dari tarikat Syatariah. Tuanku Ulakan ini dihormati di Minangkabau sebagai tokoh pengembang agama Islam dan disebut-sebut sebagai peletak dasar Islam di Minangkabau. Berkat usaha Syeh Burhanuddin, agama Islam berkembang dan tersebar luas di Alam Minangkabau. Dalam rangka pengembangan agama Islam, Syeh Burhanudidin membuka sekolah-sekolah agama (pesantren), diantaranya di Ulakan Pariaman dan di Kapeh-kapeh Pandai Sikek, Padang Panjang. Ia juga mulai melakukan gerakan pemurnian Islam dari pengaruh budaya Hindu-Buddha, dan menghapuskan kebiasaan-kebiasaan buruk anak nagari. Seperti minum tuak, menyabung ayam, dan berkunjung ke tempat keramat. Sebagai orang yang faham dengan agama Islam, Istana Pagaruyung juga tidak luput dari sasaran dakwahnya. Bahkan beliau juga meng-Islam-kan Yang Dipertuan di Minangkabau yakni Sultan Alif menjelang Akhir abad ke 16. Dalam pengembangan Agama Islam itu, Syeh Burhanuddin dibantu oleh murid-muridnya yang tidak hanya berasal dari Pariaman tetapi juga berasal dari kawasan darek (kawasan daratan) atau dari Luhak nan Tigo (Agam, Tanah Datar, dan Limapuluh Kota). Bahkan di Luhak Agam, tepatnya di Pamansiang didirikan pula pusat penganjian. Dari pusat pengajian ini lahir pula ulama-ulama besar yang akan membangun agama Islam selanjutnya di Minangkabau. Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak Agam ini berdatangan ke Pariaman (Ulakan) untuk memperdalam ilmunya, karena tempat ini dianggap sebagai pusat penyebaran dan penyiaran Islam di Minangkabau. Sebagai tokoh yang menghapuskan zaman jahiliyah dan ulama Islam (syiah) tertua dan terbesar di
71
Minangkabau, makam beliau hingga dewasa ini, terutama setiap bulan Syafar ramai diziarahi oleh penduduk untuk basapa (mengadakan upacara bulan syafar). 4.3.2. Pariaman Sebagai Tempat Lalu Lintas Perdagangan Pariaman terletak pada tempat yang strategis yakni di tepi Barat Pantai Sumatera. Dengan posisi itu secara ekonomis jauh lebih menguntungkan dari alam Minangkabau lainnya. Pariaman lebih terbuka bagi lalu lintas air khususnya laut dan dengan sendirinya hubungan dagang dengan daerah-daerah luar alam Minangkabau jauh lebih mudah dilakukan. Apalagi Pariaman dilengkapi pula oleh sebuah bandar pelabuhan yang sudah ada semenjak abad ke 14 dan menjadi bandar pelabuhan terbesar hingga akhir abad 17. Dengan fasilitas yang dimiliki itu, Pariaman mempunyai kegiatan dagang yang besar pula dan menjadi pos dagang terpenting di daerah Pesisir Barat Sumatera dengan jenis komoditi berupa lada dan emas. Saudagar yang datang ke pelabuhan ini tidak hanya dari dalam tetapi juga dari luar Minangkabau yakni Aceh dan bangsa Asing. Pada awalnya Aceh masuk
melalui daerah Natal dan Pasaman yang
merupakan daerah penghasil emas dan hasil bumi penting lainnya. Selain itu Gunung Ophir, puncak Pasaman menurut mythologis diperkirakan banyak mengandung emas yang membuat silau mata sehingga daerah ini jatuh dibawah pengawasan politik ekonomi suku Aceh sejak pertengahan abad ke 16. Setelah itu Aceh masuk melalui bandar pelabuhan Tiku dan Pariaman, karena kedua sebagai tempat penyalur penting dari lada dan emas yang dihasilkan oleh alam Minangkabau. Namun pada akhirnya hanya melalui Pariaman, karena mempunyai bandar pelabuhan dan kegiatan dagang terbesar saat itu. Untuk itu Aceh menempatkan gubernur militer/syabandarnya 2 di bandar sebelah Utara Pariaman sebagai simbol kedudukannya di daerah Pariaman. Selain itu, suku Aceh juga melakukan transaksi dengan petani-petani dari Minangkabau dari daerah darek. Dalam rentang waktu yang hampir sama, daerah Pariaman juga dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing lainnya. Orang asing pertama yang masuk ke wilayah Pariaman di awali oleh bangsa Potugis pada tahun 1446-1524. Kemudian 2
Sebutan bagi pejabat tinggi Aceh, kemudian pada akhirnya digunakan sebagai nama tempat keduduknya.
72
disusul oleh pedagang dari Perancis pada tahun 1527 dan pada saat itu sempat pula singgah ke daerah Tiku, Indrapura dan Barus. Berikutnya menyusul pula pedagang-pedagang gujarat dari Arab, Parsi, dan Turki. Sementara itu di pihak lain, pedagang Eropa mulai pula secara rutin memijakkan kakinya di daerah ini. Diakhir abad 16 bangsa Belanda singgah di Tiku dan Pariaman untuk pertama kali. Dua buah kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Paulus van Cardeen yang berlayar dari utara (Aceh dan Pasaman) dan kemudian disusul oleh kapal Belanda lainnya. Cornelis de Houtman yang sampai di Sunda Kelapa tahun 1596 juga melewati perairan Pariaman. Pada tahun 1686, orang Pariaman mulai berhubungan dengan Inggris. Inilah puncak kejayaan daerah Pariaman sebagai kota dagang dan pelabuhan. Perdagangan yang dilakukan tidak hanya sebatas pelabuhan, tetapi juga meliputi daerah pedalaman dan ke luar Pariaman. Di daerah pedalaman barangbarang yang diperdagangkan seperti emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu. Selanjutnya melalui pelabuhan Pariaman, perdagangan tidak hanya sebatas hasil bumi. Seperti yang dikatakan oleh Tomec Pires, perdagangan ke luar Pariaman memperdagangkan kuda yang dibawa ke daerah Batak dan Sunda. Pada saat itu, Pariaman bisa dikatakan sebagai bandar perdagangan yang sibuk dan menjadi tujuan perdagangan dan sekaligus menjadi rebutan bangsa asing. Dalam jaringan perdagangan Minangkabau pada saat itu, model hubungan antara penjual di pedalaman dan pemasok asing untuk barang-barang impor adalah sistem pialang pantai. Pada model ini antara penjual dan pembeli bertemu atau berlabuh ditempat yang telah berkembang dan sebagai jalur perdagangan yang aman, sehingga saat itu daerah pantai Pariaman yang memungkinkan sebagai tempat keluar masuknya barang-barang utama seperti emas diawal masa perdagangan. Posisi dan kedudukan daerah Pariaman yang demikian bertahan hingga sampai pertengahan abad ke tujuh belas. Kemudian setelah itu, kejayaan Pariaman mulai
meredup seiring
dibagunnya pelabuhan Muaro yang lebih besar di Kota Padang oleh Belanda. Tujuan Belanda pada saat itu, agar dapat menampung kapal-kapal besar yang sebelumnya tidak dapat tertampung di Pariaman. Adanya pelabuhan baru dan besar ini, sudah barang tentu para pedagang lebih memilih melabuhkan di
73
Pelabuhan Muaro di Kota Padang dan meninggalkan pelabuhan Pariaman. Keadaan itu terus di perburuk dengan dibangunnya jalan kereta api dari Padang ke Pariaman pada tahun 1908. Akibatnya para pedagang dari daerah Minangkabau lain dapat langsung menuju pelabuhan muaro Padang dan mengabaikan pelabuhan di Pariaman hingga saat ini. Dengan posisi Pariaman di tepi pantai itu, ada dua peranan yang dimainkannya yakni sebagai tempat perkembangan agama Islam pada awalnya dan sebagai tempat perdagangan baik ditingkat regional maupun ditingkat global. Dari kedua peranan inilah kira munculnya dasar kebangsawanan yakni dari penyebaran agama Islam dan perdagangan yang menyinggahi daerah Pariaman. 4.4. Struktur Sosial Masyarakat Pariaman. Struktur sosial masyarakat Pariaman pada hakekatnya tidak berbeda dengan struktur sosial masyarakat Minangkabau pada umumnya. Dalam adat Minangkabau, masyarakat disusun dan ditata menurut ciri sistem matrilineal. Orang hidup dalam suatu sistem kekerabatan yang dihitung menurut garis ibu atau yang disebut dengan saparuik. Saparuik merupakan susunan masyarakat Minangkabau yang terkecil 3. Jika di-Indonesiakan secara harfiah artinya “Perut”. Yang dimaksud paruik di sini adalah suatu keluarga besar atau famili, yang semua anggota keluarganya berasal dari satu perut dan para suami dalam suatu keluarga tidak termasuk di dalamnya. Menurut istilah adat Minangkabau para suami disebut “sumando”. Sumando biasa juga disebut “orang datang”, karena keberadaannya sebagai pendatang di rumah Istrinya. Memang begitulah perkawinan yang bersifat Matrilinial, bukan istri yang tinggal di rumah suami, tetapi sebaliknya. Orang sumando adalah sosok yang paling dihormati di dalam keluarga istrinya, dijaga hatinya supaya jangan tersinggung oleh sikap keluarga. Ini adalah imbangan sebagai cara dalam membina rumah tangga yang harmonis. Pepatah mengatakan”rancak rumah dek rang sumando, elok hukum dek ninik mamak”. Artinya semarak rumah karena ada sumando dan tegaknya hukum karena ada ninik mamak. Maksudnya keharmonisan suatu keluarga tergantung kesanggupan 3
Setelah itu diikuti oleh jurai, kampung, suku dan nagari. Semuanya itu secara berturut-turut menunjukan perkembangan jumlah warga yang semakin besar.
74
si mamak sebagai pimpinan yang bertanggung jawab atas anak dan kemenakannya.Tiap tiap paruik dipimpin oleh seorang mamak yang dijabat oleh laki-laki dari saudara ibu, atau yang disebut dengan mamak rumah. Mamak rumah menjadi wakil-pembina-pembimbing anggota-anggota keluarga garis ibu yang terdekat. Tugasnya ialah "mengampungkan", artinya memelihara, membina, memimpin kehidupan dan kebahagiaan jasmaniah maupun rohaniah kemenakankemenakannya, yaitu anak-anak dan anggota-anggota dari seluruh keluarganya. Namun demikian dalam tata tertib dan aturan-aturan dalam suatu rumah gadang, sebagai ungkapan adat berikut ini: Kemenakan beraja kepada mamak Mamak beraja penghulu Penghulu beraja musyawarah Musyawarah beraja kepada patut dan benar. Artinya, kemenakan tunduk dibawah perintah mamak Mamak tunduk dibawah perintah penghulu Penghulu tunduk dibawah perintah musyawarah Musyawarah tunduk dibawah perintah patut dan benar. Pepatah di atas memperlihat susunan
masyarakat dalam adat Minangkabau
menempatkan mamak berada pada posisi yang lebih tinggi di dalam lingkungan keluarga, sehingga hubungan mamak dengan kemenakan, berjenjang naik dan bertangga turun”, sehingga dalam masyarakat melahirkan
konsep pimpinan
dengan anak buah. Seorang pimpinan berada di tangan mamak dan anak buah berada ditangan kemenakan. Berkaitan dengan pembagian daerah Minangkabau atas darek dan rantau, sebutan untuk pimpinan dalam masyarakat menunjukan perbedaan. Di daerah darek, seorang mamak menempati posisi di atas disebut juga dengan tunganai, dipanggil datuk dan memakai gelar pusaka kaumnya dan tugasnya sebagai pembimbing dan pembina kaum. Ia disebut penghulu, dipanggil datuk dengan gelar pusaka kaumnya. Susunan masyarakat yang demikian tidak terlepas dari ikatan keluarga dengan suku sebagai kesatuan geneologisnya. Seorang penghulu, kedudukan dan fungsinya di dalam masyarakat berdasarkan pilihan seluruh anggota keluarga (perut, kaum dan suku). Oleh karena itu seorang penghulu (mamak) tidak mempunyai harta pusaka dari anak maupun dari kemenakannya. Seorang penghulu adalah ningrat-jabatan dengan hak-hak
75
istimewa (prerogatif) yang melekat pada pusaka yang dipakainya sebagai penghulu dan inhaerent pada jabatan itu. Berbeda dengan daerah Rantau dan Pesisir, seorang penghulu disebut “tuanku”. Seorang penghulu sering bergelar raja. Menurut Mansoer (1970), dizaman pemerintahan Belanda istilah tuanku digunakan sebagai sebutan kepala daerah, seperti kepala nagari, kecamatan (asisten Demang, “onderafdeling atau kewedanan (Demang). Di daerah Rantau kedudukan penghulu yang disebut raja turun-temurun dari Bapak kepada anak. Demikian pula dengan daerah Pesisir, seperti Indrapura dan daeran Pariaman. Gelar sidi, bangindo dan sutan adalah untuk golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan dan fungsi mendekati golongan ningrat di daerah Jawa. Untuk membedakan golongan ini dari lapisan rakyat biasa mereka lazim disebut “orang berbangsa”. Seorang orang berbangso, apabila mempunyai kedudukan dan fungsi, maka panggilan kepadanya adalah “tuanku”, namun sebalik, jika tidak memangku jabatan dipanggil titel gelarnya saja (sidi, bagindo dan sutan). Golongan inilah yang menempati posisi di atas dalam masyarakat Pariaman. Karena dianggap mempunyai asal-usul yang jelas dan kepadanya diberi uang japuik dalam pelaksanaan perkawinan. Seiring dengan perkembangan masyarakat, terutama akibat pengaruh ekonomi telah menggeser posisi laki-laki yang mempunyai gelar sidi, bagindo dan sutan kepada pekerjaaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Terutama yang mempunyai penghasilan ”besar”, seperti pekerjaan kantor (punya SK). Bagi masyarakat Pariaman, posisi dan status laki-laki yang demikian adalah posisi yang mempunyai nilai guna (ekonomi) karena tidak ada harta agar dapat menghidupi keluarga inti dan keluarga besar yang menjadi tanggung jawab mereka. Oleh karena itu tradisi bajapuik pada saat ini sebagai upaya mencari laki-laki yang mempunyai status sosial ekonomi (punya pekerjaan) yang dapat menghasilkan uang. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya dalam tradisi bajapuik ada kecenderungan, pilihan masyarakat jatuh kepada pekerjaan yang di miliki oleh seorang laki-laki. Kehidupan ekonomi yang semakin sulitnya dan banyaknya pengangguran karena krisis ekonomi telah mendorong pilihan masyarakat kepada pekerjaan yang ”banyak menghasilkan uang”, meskipun tidak menempuh
76
pendidikan tinggi (PT), karena pendidikan tinggi belum tentu dapat menghasilkan uang, sehingga pekerjaan sebagai pedagang merupakan alternatif untuk mendapatkan laki-laki yang mempunyai penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Isi toko yang padat dan jenis barangan yang diperjual belikan mempunyai nilai tinggi (yang laku dipasaran) merupakan
pilihan yang
memberikan keuntungan bagi posisi/status sosial laki-laki di Pariaman. Berdagang merupakan merupakan suatu bentuk pertimbangan lain untuk mencari seorang laki-laki yang menguntungkan secara ekonomi dan sekaligus kesempatan untuk mensejajarkan diri dengan orang-orang yang mempunyai pekerjaan tetap (SK). Kondisi ini dalam teori pertukaran Homans disebut dengan tindakan yang bernilai, makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu. 4.5. Adat Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik Seperti yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau berlaku ungkapan, ““lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya”,. Jadi dalam pelaksanaan perkawinan mengikuti adat atau tradisi tertentu. Itulah yang terjadi dalam pelaksanaan perkawinan di daerah Pariaman. Perkawinan yang melibat dua pihak keluarga (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan), ternyata mempunyai nilai bagi aktor-aktor yang terlibat. Adanya nilai itu bagi aktor telah mendorong terjadinya tradisi bajapuik atau menurut teori pertukaran dari Homans khususnya proposisi pendorong (stimulus proposition), di mana bila suatu kejadian di masa lalu telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka semakin mendorong tindakan itu dilakukan dimasa sekarang, makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa. Adapun adat perkawinan dalam tradisi bajapuik antara lain sebagai berikut: 4. 5.1. Memilih Calon Menantu (Meresek) Pandang dekat ditukikan pandangan jauh dilayangkan, demikian kata pepatah. Falsafah ini sampai saat ini masih tetap dilakukan khususnya dalam hal pencarian jodoh. Pencarian dan pemilihan jodoh terhadap seseorang dapat dilakukan oleh individu yang bersangkutan dan orang lain, terutama keluarga besar/kerabat. Menurut Navis (1984), pada masyarakat Minangkabau perkawinan
77
tidak hanya melibatkan dua pasang insan yang akan melangsungkan perkawinan, tetapi juga melibatkan kaum kerabatnya mulai dari mencarikan jodoh hingga pada masalah pasca perkawinan. Sebuah keluarga berkewajiban mencarikan jodoh dan mengawinkan anak kemenakannya jika sianak telah patut untuk berumah tangga. Besarnya kewajiban keluarga mencarikan jodoh dan mengawinkan anak kemanakannya menyebabkan seorang anak harus menjalankan kewajiban pribadinya menerima pilihan keluarga. Menolak seseorang yang telah dipilihkan keluarga bukanlah tidak boleh dilakukan, tetapi hal itu sangat sulit terlaksana karena bisa menyebabkan mamak dan anggota kaum lain merasa tersinggung (Catra. 2000). Lebih jauh Catra menegaskan, besarnya kewajiban dan hak keluarga memaksakan kehendak anaknya hanya berlaku satu kali. Hak keluarga untuk memaksa kehendaknya habis ketika status sang anak telah berubah menjadi janda atau duda. Seseorang yang telah pernah melakukan perkawinan atau telah dewasa mempunyai kebebasan untuk menentukan dengan siapa dia akan kawin untuk yang keduanya atau yang ketiga kalinya. Bahkan untuk zaman sekarang ini, besarnya kewajiban dan hak keluarga untuk menjodohkan anaknya telah menimbulkan interpretasi yang negatif oleh sebagian orang. Mereka melihat hal ini sebagai salah satu pemaksaan kehendak. Penolakan itu sejalan dengan menyebarnya paham feminisme yang mencerca adat dan budaya sebagai penyebab keterbelakangan dan ketertindasan kaum perempuan. Walaupun banyak pendapat yang pro dan kontra tentang pencarian jodoh, namun hal ini tetap dilakukan oleh keluarga yang mempunyai anak gadis, dengan memandang bahwa si gadis sudah cukup umur (dewasa) untuk berumah tangga. Atas dasar tersebut mulailah orang tua atau kerabat lainnya untuk melihat-lihat siapa calon yang pantas untuk menjadi suaminya. Pencarian ini dilakukan, jika sigadis belum/ tidak punya pilihan sendiri. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka pihak keluarga tinggal hanya untuk menelusuri keluarga dari calon yang disodorkan. Proses ini menurut Nock (1987), membutuhkan waktu yang panjang bahkan adakalanya dimulai semenjak masa kanak-kanak dan menuntut orang yang bersangkutan untuk bermain dan berinteraksi dengan orang tertentu saja. Lebih jauh, proses ini menurut Nock terdapat dalam dua aspek. Pertama, hanya orang tertentu saja yang mungkin menjadi pasangan hidupnya dan membatasinya
78
terhadap pilihan lain di kemudian hari. Kedua, setelah kriteria ditetapkan, maka pilihan dilakukan berdasarkan kriteria tersebut. Untuk pencarian jodoh pada umumnya diawali dengan penjajakan terhadap calon yang terpilih. Meskipun penjajakan dapat dilakukan oleh kedua belah pihak; tetapi yang berlaku umum pihak perempuan yang terlebih dahulu memulainya. Istilah itu dalam masyarakat Minangkabau disebut dengan ma-anta asok atau meresek, yaitu proses mencari jalan kesepakatan dua keluarga untuk mengawini anak mereka. Penjajakan ini bertujuan untuk; 1) meminta kesediaan pihak keluarga laki-laki (terutama orang tuanya), agar mau melepas anaknya untuk dijadikan menantu atau sumando orang yang datang. 2) penelusuran bertujuan menyelidiki jati diri dari calon mempelai; seperti asal usul keturunan, kepribadian, agama sampai kepada pendidikan dan pekerjaannya. 3) Menentukan jumlah uang jemputan dan uang hilang serta syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan. Penjajakan atau meresek pada tahap awal dapat dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun, untuk penjajakan berikutnya harus dilakukan dari pihak perempuan. Aktor yang turut berperan untuk penjajakan ini, biasa orang terdekat dari calon perempuan, terutama anggota keluarga dari pihak ibu seperti orang tua, mamak, kakak atau etek atau utusan dari pihak perempuan yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil penjajakan tersebut, maka diutuslah seseorang kerumah orang tua laki-laki yang dituju. Proses penjajakan ini dapat berlangsung antara 1-3 kali pertemuan. Penjajakan pertama dari pihak perempuan, utusan datang kerumah calon mempelai laki-laki membawa buah tangan sebagai pembuka jalan dan sekaligus untuk memperkenalkan diri kepada orang tua dari pihak laki-laki. Ini terkait dengan basa-basi orang yang datang yang membawa buah tangan. Setelah ada peluang dan aba-aba dari pihak laki-laki, baru disusul oleh orang tua pihak perempuan yang datang ke rumah pihak laki-laki. Buah tangan yang biasa dibawa berupa, pisang, kue bolu (cake), dan lapek bugih (lepat bugis). Semua macam kue ini tidak selalu ada secara bersamaan dan tergantung pada selera orang yang datang. Pada pertemuan ini keluarga dari pihak perempuan langsung menanyakan kepada orang tua yang laki-laki, apakah bersedia untuk melepas anaknya untuk
79
dijadikan menantu bagi pihak yang datang. Bila jawaban dari orang tua maupun yang punya diri (laki-laki yang akan dijadikan calon menantu) menyatakan bersedia, maka dibuatlah perhitungan selanjutnya dengan mengikut serta ninik mamak, karena pembicaraan mengenai adat perkawinan selanjutnya harus mengikut sertakan ninik mamak kedua belah pihak, agar dapat melangkah ketahap berikutnya. 4.5.2. Pertunangan Pada dasarnya bentuk perkawinan yang terpuji menurut adat yaitu perkawinan yang didahului dengan peminangan, terutama untuk bujang dan gadis. Di Minangkabau pada umumnya, peminangan dilakukan oleh pihak keluarga perempuan kepada pihak laki-laki begitu juga di daerah Pariaman. Peminangan adalah pencarian seorang calon laki-laki yang akan dijodohkan dengan seorang anak gadis atau yang lazim disebut dengan meresek/merasok. Setelah semuanya cocok, maka dilanjutkan dengan pertunangan. Pertunangan adalah kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk mengikat suatu hubungan, yang ditandai dengan bertukar tanda (tukar cincin). Tanda yang dipertukarkan biasanya dalam bentuk benda seperti emas (cincin) dan ada pula dalam bentuk benda lain, yang berupa kain sarung. Apapun jenis dan bentuk benda yang dipertukarkan pada saat pertunangan tergantung kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Termasuk pula siapa yang menyiapkan benda-benda itu, karena pada dekade terakhir ini ada kecendrungan calon pengantin sendiri yang menyiapkan cincin tersebut, apakah dari pengantin laki-laki keduanya atau 1 buah cincin untuk masing-masing pihak, tergantung kepada kesepakatan di antara kedua calon pengantin. Intinya, mengenai cincin pertunangan ini ada kecendrungan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua. Kondisi ini terutama disebabkan oleh kedua calon pengantin mempunyai pekerjaan dan pendapatan masing, sehingga menjadi kurang tepat jika masih dibebankan kepada kedua orang tua. Meskipun demikian, bukan berarti acara pertunangan dapat dilakukan oleh dua calon pengantin saja, tetapi tetap saja melibatkan keluarga besar (extended family) dan ninik mamak atau yang disebut dengan acara duduk ninik mamak.
80
Acara duduk ninik mamak ini dilakukan di rumah calon pengantin lakilaki, karena adat yang berlaku umum di Minangkabau dan Pariaman khususnya, yang datang meminang adalah dari pihak calon pengantin perempuan. Jadi acara pertunangan itu dilakukan di rumah orang tua calon pengantin laki-laki. Pada tahap peminangan, pihak keluarga perempuan datang dengan kerabat serta orang sumando, ninik-mamak dan tetangga terdekat ke rumah pihak laki-laki dengan membawa buah tangan. Pada acara ini sekaligus merefleksikan hubungan baik yang dibina oleh orang tua dari pihak perempuan dengan lingkungannya. Mereka pergi bersama ke rumah calon pengantin laki-laki untuk melakukan peminangan bersama keluarga yang mempunyai hajat dengan membawa bingkisan masingmasingnya. Sesampai di rumah keluarga laki-laki telah menunggu pula orang tua, kerabat dan tetangga terdekatnya. Pada acara itu, pihak perempuan membawa bingkisan yang berisi lauk-pauk yang terdiri dari goreng dan gulai ikan, ayam, daging dan sebagainya. Selain itu, pembawaan ini juga dilengkapi dengan kue-kue dan berbagai jenis makanan lainnya. Pembawaan ini dibawa oleh kaum ibu, yang ikut serta dalam acara itu, baik dari keluarga sendiri dan juga dari tetangga terdekat. Di rumah pihak laki-laki telah tersedia pula berbagai macam hidangan pula, mulai dari makanan ringan sampai pada makanan berat seperti nasi. Meskipun demikian, makanan yang dibawa itu dapat pula disajikan kembali oleh pihak keluarga laki-laki untuk menyambut orang yang datang. Setelah beristirahat sebentar, tamu yang datang dipersilahkan untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan. Selesai mencicipi hidangan dan mengisap rokok bagi yang laki-laki, maka pembicaraan (perundingan) di mulai. Untuk kata pembuka, diberikan kepada pihak keluarga perempuan. Biasanya orang yang ditunjuk adalah seseorang yang pandai berbicara secara adat atau yang disebut dengan ninik-mamak. Dengan menyampaikan kata-kata persembahan, ninik mamak juga memberikan sirih sebagai buah tangan kepada tuan rumah (pihak keluarga laki-laki). Setelah itu, ninik mamak mengemukakan maksud kedatangannya yakni untuk mempertunangkan anak-kemenakan dari kedua belah pihak. Keterlibatan anggota keluarga dan ninik mamak sangat di perlukan untuk mengukuhan pertunangan ini. Bahkan dalam acara ini, peran ninik mamak lebih
81
menonjol, sehingga bagi penduduk setempat pengukuhan pertunangan ini dikenal dengan acara duduk ninik mamak. Artinya disinilah ninik mamak kedua belah pihak bertemu. Pertemuan itu tidak hanya untuk pengukuhan pertunangan, tetapi sekaligus membicarakan dan menetapkan persyaratan adat khususnya mengenai uang jemputan, uang hilang, uang tungkatan dan tungkatan yang akan dibawa pada saat penjemputan marapulai. Selain itu, tanggal pernikahan dan pesta ditetapkan pula pada saat itu. Apapun keputusan yang diambil mengenai adat, merupakan kesepakatan antara ninik mamak kedua belah pihak. Individu yang akan melangsungkan perkawinan ataupun orang tua kedua belah pihak tidak dapat melanggar keputusan itu. Apabila terjadi suatu pelanggaran perjanjian terhadap kesepakatan yang telah dibuat, maka pihak yang melanggar atau mengingkari akan mendapatkan sanksi. Biasanya sanksi bagi pihak yang melanggar harus mengembalikan dan mengganti biaya atau tanda sebanyak dua kali lipat. Jika tanda yang diberikan sebanyak 4 emas, maka yang harus dikembalikan sebanyak 8 emas. Begitu juga dengan biaya yang dikeluarkan harus dikembali sebanyak 2 kali lipat dari biaya semulanya. Di sinilah peran ninik mamak lebih terlihat, dalam perkawinan ini. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak harus menjaga nama baik masing-masing dan memenuhi ketentuan dalam masa pertunangan. Adanya pertunangan menunjukan suatu perkawinan sudah pasti akan dilaksanakan, kecuali jika ada keadaan yang tidak diduga sebelumnya seperti sakit atau meninggal. Selesai acara pertukaran tanda ini dikuti oleh masa menunggu untuk mempersiapkan pelaksanaan pernikahan nantinya. Lamanya masa pertunangan ini tidak sama bagi setiap calon pengantin dan biasanya berkisar dari satu sampai enam bulan. Hal ini tergantung pada kesepakatan dan persiapan dari kedua belah pihak. 4.5.3. Akad Nikah Pernikahan adalah pengucapan ijab kabul. Pada saat itu secara resmi sepasang manusia telah melepaskan masa lajangnya dan menyandang status baru sebagai suami dan isteri. Adanya pernikahan itu berarti keduanya telah memenuhi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, untuk hidup bersama dalam satu rumah
82
tangga. Pengesahan hubungan itu disebut dengan akad nikah. Akad nikah merupakan akad wajib pernikahan bagi orang Islam yang disertai dengan kewajiban mempelai laki-laki memberikan mahar kepada mempelai perempuan. Dalam tradisi bajapuik, sebelum terjadi penikahan keluarga pihak perempuan mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi agar pernikahan dapat berlangsung. Kewajiban itu adalah berupa uang jemputan dan uang hilang, dilain pihak marapulai juga mempunyai kewajiban pula untuk memberi mahar. Dengan demikian pada saat pernikahan, kewajiban tidak hanya di pikul oleh marapulai (calon mempelai laki-laki) tetapi juga oleh keluarga pihak perempuan, karena dalam pelaksanaan perkawinan itu sendiri tidak hanya bertitik tolak pada agama yang diyakini, tetapi juga mengikut sertakan adat-istiadat. Kewajiban memberi mahar merupakan kewajiban harus dilakukan menurut ketentuan agama Islam yang dianut oleh orang Minangkabau pada umumnya, sedangkan uang jemputan, uang hilang dan uang tungkatan merupakan kewajiban adat khususnya adat perkawinan Pariaman. Keduanya berjalan secara berdampingan dan tidak saling meniadakan satu sama lainnya. Dengan demikian antara kedua belah pihak mempunyai kewajiban masing-masing dalam pelaksanaan perkawinan. Perbedaan di antara keduanya terletak pada waktu penyerahannya—uang jemputan dan uang hilang diberikan sebelum pernikahan, sedangkan mahar diberikan pada saat pernikahan dilangsungkan. Kewajiban yang dilaksanakan oleh masing-masing pihak pada saat pernikahan sekaligus memberikan gambaran bahwa kedua belah pihak pro aktif ditahap ini. Disatu sisi calon mempelai laki-laki memberi mahar kepada calon mempelai perempuan dan di satu sisi pihak perempuan memberi uang jemputan, uang hilang sebelum pernikahan. 4.5.4. Pesta Perkawinan Pesta perkawinan merupakan hari luapan kegembiraan dari kedua keluarga mempelai. Dengan mengadakan baralek gadang atau pesta sehari penuh berguna untuk memberi tahu kepada khalayak ramai bahwa telah terjadi perkawinan antara dua jenis anak manusia. Pada hari itu kedua mempelai (anak daro dan marapulai)
83
(penganten wanita) di dandani seindah mungkin secara adat. Upacara perkawinan itulah yang disebut dengan baralek atau pesta Pelaksanaan pesta dapat dilakukan di rumah kedua belah pihak. Tetapi di antara keduanya mempunyai perbedaan; pertama, pelaksanaan pesta di rumah mempelai perempuan disebut dengan pesta ninik mamak, karena pesta yang diadakan adalah atas nama pesta ninik-mamak. Pesta ninik-mamak dimulai dengan persiapan duduk ninik-mamak. Sebaliknya di rumah keluarga mempelai laki-laki tidak disebut dengan pesta atau baralek, karena upacara yang diadakan di rumah laki-laki tidak didahului dengan persiapan duduk ninik-mamak, meskipun orang yang datang pada pesta melebihi dari rumah mempelai perempuan. Kedua, tujuan pesta perkawinan itu sendiri bagi pihak perempuan adalah untuk penggalangan dana, baik dari undangan maupun dari sumbangan dari anggota keluarga sendiri pada malam baretong. Sementara bagi laki-laki, diadakan pesta pernikahan bertujuan untuk pemberitahuan kepada masyarakat dan ingin untuk merasakan keramaian terutama bagi keluarga yang tidak punya anak perempuan. Namun saat ini pesta yang diadakan oleh keluarga kedua belah pihak, baik di rumah keluarga perempuan dan keluarga laki-laki hampir tidak ada perbedaan dan bertujuan sebagai sarana tempat bertemunya anggota keluarga selain hari lebaran. Kemudian waktu penyelenggaraan pesta, biasa pihak perempuan lebih dahulu dari pihak laki-laki. Tetapi adakalanya kedua belah pihak keluarga menyelenggarakan pada hari yang sama—setengah hari di rumah mempelai perempuan dan setengah hari di rumah mempelai laki-laki. Sebelum pesta dilaksanakan di awali dengan batagak pondok. Pendirian pondok ini dilakukan 3-4 hari sebelum pesta berlangsung. Pondok yang akan didirikan ada 2 macam yaitu pondok untuk tempat memasak bagi ibu-ibu dan pondok untuk tempat duduk para undangan. Untuk pendirian pondok dilakukan secara gotong royong, oleh anggota keluarga dan masyarakat setempat, seperti mamak, saudara kandung, atau kerabat yang terdekat dan ditambah dengan pemuda-pemuda yang ada disekitarnya. Semuannya berpartisipasi dan mengambil bagiannya masing-masing baik laki-laki maupun perempuan. Intinya, pada pelaksanaan pesta perkawinan ini keterlibatan anggota keluarga sangat diperlukan, baik moril dan materil, mulai dari persiapan sampai
84
pelaksanaan pesta dan setelah pesta (malam baretong). Bahkan keterlibatan anggota keluarga/kerabat itu berlangsung pula dalam proses perkawinan itu sendiri agar perkawinan itu dapat berjalan dengan baik seperti dalam proses manjapuik marapulai dan acara bako-ba bakian. Pada proses manjapuik marapulai diawali dengan utusan yang datang ke rumah pihak laki-laki. Salah seorang dari utusan itu adalah orang yang pandai berbicara dengan pepatah-petitihnya, karena marapulai tidak dapat dilepas begitu saja dan sebelumnya terjadi “perdebatan” diantara kedua palo mudo atau ketua marapulai. Oleh karena itu kepiawaian seseorang dalam menggunakan pepatahpetitih diperlukan pada kesempatan ini. Jika utusan mempelai perempuan kalah piawai maka penjemputan marapulai menjadi lama. Untuk penjemputan marapulai, tiap-tiap nagari mempunyai kebiasaan masing-masing. Ada yang melakukan dan ada yang tidak seperti dikenagarian Pilubang, marapulai pulang dengan sendirinya, dengan catatan didampingi oleh dua orang pemuda sebagai teman dijalan dan tidak ada persyaratan adat lainnya. Tetapi adapula nagari yang melaksanakan manjapuik marapulai seperti di daerah Lubuk Alung. Marapulai (mempelai laki-laki) dapat pulang ke rumah isterinya apabila dijemput oleh pihak perempuan dengan mengutus 2 orang perempuan yang umurnya relatif muda dan telah menikah (sumandan), dan ditambah dengan seorang atau lebih laki-laki yang pandai berbicara dengan berpatah-petitih. Jika tidak penjemputan marapulai akan memakan waktu yang lama dan adakalanya marapulai tidak bisa dibawa. Setelah perdebatan selesai, rombongan itu menyerakan persyaratan penjemputan marapulai. Persyaratan itu berupa carano yang berisi sirih yang jumlahnya 9 lembar, gambia, dan pinang. Selain itu, juga membawa makanan berupa songgeng ayam 2 ekor dan nasi kunyit 2 piring. Kedua macam makanan itu diserahkan kepada ketua pemuda atau palo mudo orang yang menanti. Lalu, kedua makanan tersebut dicicipinya. Begitu juga dengan sirih yang dibawa tersebut dibuka dan dihitung jumlahnya atau dengan istilahnya dimasak. Pada waktu pelepasan marapulai, terlebih dahulu sumandan mengemukakan tentang maksud kedatangannya. Bila tidak dilakukan marapulai tidak akan dilepas oleh
85
pihak laki-laki. Kemudian pada waktu keluar dari rumah orang tua, marapulai dilepas pula dengan bunyi gong, dentuman pistol sebanyak tiga kali. Kemudian dalam proses bako-ba-bakian-- pihak ayah (bako) datang secara resmi. Mereka datang berombongan sekaligus memberikan ucapan selamat kepada anak pisangnya dan membawa berbagai macam bingkisan. Oleh sebab itu mereka disambut secara resmi pula. Mereka dihidangkan dengan makanan yang lengkap dan dihidangkan secara bajamba—semua makanan dihidangkan diatas seprah makan dan para bako duduk diatas tikar yang telah disediakan. Acara ba bako- ba bakian ini pelaksanaannnya mengikuti kebiasaan pada nagari setempat. 4.5.5. Manjalang Manjalang adalah mempelai perempuan pergi secara resmi ke rumah mertua untuk pertama kali setelah pesta perkawinan dilakukan. Acara ini bisa dilaksanakan pada hari yang sama, atau satu sampai tiga hari setelah pesta diselenggarakan dan tergantung pada kesepakatan yang dibuat sebelumnya. Pada saat ini mempelai perempuan, pergi bersama rombongan yang terdiri dari ; sumandan, kerabat dan tetangga terdekat. Rombongan ini pergi ke rumah orang tua mempelai laki-laki dapat dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kendaraan, tergantung pada jauh dekatnya jarak yang ditempuh. Jika jarak yang ditempuh relatif dekat, rombongan pergi dengan berjalan kaki sambil diiringi musik gambus sampai ketempat yang dituju. Sebaliknya, jika jarak tempuh cukup jauh digunakan kendaraan atau bus sekaligus, bila yang menyertai mempelai cukup banyak. Untuk pergi manjalang rombongan dilengkapi dengan buah tangan seperti; kue, juadah4 dan sambal. Setelah sampai di rumah mempelai laki-laki, anak daro didudukan di pelaminan. Kerabat, tetangga dari pihak laki-laki berdatangan dan membawa bingkisan pula. Kerabat yang terdekat dari pihak laki-laki, pemberiannya kepada anak daro dalam bentuk emas dan yang lainnya berupa benda-benda kebutuhan rumah tangga seperti piring, panci, gelas, kain sarung dan sebagainya. Pemberian dalam bentuk emas berkisar antara ½ - 5 emas dan
4
Semacam kue yang terbuatdari tepung beras dan juadah ini juga dilengkapi dengan bentuk makan ringan lainnya. Bahan-bahannya juga berasal dari ketan, tepung ketan, gula merah, kelapa dan sebagainya.
86
tegantung pada jumlah uang japuik (uang hilang). Jumlah yang paling besar datang dari orang tua mempelai laki-laki, karena orang tua dari mempelai laki-laki selain mengembalikan uang uang jemputan yang diterimanya pada saat menjemput mempelai laki-laki pada saat akan menikah, juga mempunyai kewajiban pula untuk menambah uang jemputan itu, sehingga pengembalian uang jemputan menjadi besar. Semua pemberian yang berasal dari orang tua, dan kerabat dari pihak lakilaki untuk anak daro (mempelai perempuan), disebut dengan paragiah jalang. Jadi paragiah jalang adalah pemberian dari keluarga pihak laki-laki untuk mempelai perempuan pada saat menjalang dan dapat digunakan sebagai modal untuk menjalan rumah tangga baru nantinya. 4.5.6. Baretong Malam baretong adalah malam pada saat menghitung jumlah biaya yang dikeluarkan dan jumlah uang yang diterima dalam pelaksanaan perkawinan. Malam baretong disebut juga dengan malam penutupan pesta dan pencarian dana. Pada itu dihadiri oleh sanak-famili, ninik mamak dan pemuka masyarakat yang datang dan berkumpul di rumah mempelai perempuan. Selain itu juga diikuti oleh para undangan laki-laki yang bermukim dekat dengan lokasi pesta yang belum sempat datang pada siang hari. Mereka datang memberikan amplop (panggilan) dan duduk bersama pada saat itu. Mereka pada umumnya laki-laki duduk bersela diatas tikar yang telah disediakan. Pada saat itu seluruh biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan perkawinan dihitung, mulai dari biaya duduk ninik mamak, uang japuik dan biaya kebutuhan dapur. Proses malam baretong di mulai dengan mengumpulkan seluruh amplop dan bingkisan yang diberikan oleh para undangan. Untuk bingkisan biasanya diperkirakan nilai barangnya, agar penghitungan lebih mudah dilakukan. Ninik mamak yang memimpin malam baretong akan menyebutkan secara resmi jumlah uang yang diperoleh dan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan perkawinan itu. Berawal dari sini, mulai anggota keluarga dan kerabat lain serta undangan berpartisipasi memberikan bantuannya. Setiap aktor yang memberi bantuan akan disebutkan nama/kedudukan dalam keluarga itu dan jumlah bantuan yang diberikan oleh ninik mamak yang memimpin malam baretong. Setelah
87
selesai dan tidak ada lagi bantuan yang diterima, maka ninik mamak akan menjumlahkan uang-uang itu dan mengumumkan secara resmi jumlah yang didapat dari pelaksanaan perkawinan. Biasanya dengan adanya malam baretong itu, semua pokok alek akan tertutupi dan bahkan uang yang diperoleh melebihi dari jumlah modal awalnya. Berakhirnya proses malam baretong, maka proses pelaksanaan tradisi bajapuik juga selesai samapai disini.