1 UNIVERSITAS INDONESIA SURAT-SURAT EYANG HASAN MAOLANI, LENGKONG: SUNTINGAN TEKS DAN ANALISIS ISI TESIS MUHAMMAD NIDA FADLAN NPM FAKULTAS ILMU PENGET...
SURAT-SURAT EYANG HASAN MAOLANI, LENGKONG: SUNTINGAN TEKS DAN ANALISIS ISI
TESIS
MUHAMMAD NIDA’ FADLAN NPM. 1206188635
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA DEPOK JULI 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
SURAT-SURAT EYANG HASAN MAOLANI, LENGKONG: SUNTINGAN TEKS DAN ANALISIS ISI
TESIS
MUHAMMAD NIDA’ FADLAN NPM. 1206188635
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA DEPOK JULI 2015 i
Universitas Indonesia
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok,
Juli 2015
Muhammad Nida’ Fadlan
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Muhammad Nida’ Fadlan
NPM
: 1206188635
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 1 Juli 2015
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis yang diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul
: : MUHAMMAD NIDA’ FADLAN : 1206188635 : Ilmu Susastra : Surat-surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong: Suntingan Teks dan Analisis Isi
ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Dr. Fauzan Muslim
(………………………..)
Penguji
: Prof. Dr. Titik Pudjiastuti
(………………………..)
Penguji
: Prof. Dr. Achadiati
(………………………..)
Penguji
: Tommy Christomy, Ph.D
(………………………..)
Ditetapkan di : Depok Tanggal : Oleh Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Dr. Adrianus Laurens Gerung Waworuntu, MA. NIP 195808071987031003
iv
Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH
Ungkapan rasa syukur al-¥amd lillāh senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu hadir dalam setiap perjuangan penulis untuk menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini. Penulis sangat merasakan perjuanganperjuangan di masa awal perkuliahan hingga tiba saatnya untuk menjalani masamasa penulisan tesis ini. Sejak awal, penulis sadar bahwa penulisan tesis ini memiliki tantangan yang berat. Terlepas dari tesis ini sebagai penelitian pertama yang mengkaji Surat-surat Eyang Hasan Maolani secara komprehensif, perjalanan dalam menelusuri keberadaan naskah asli adalah pengalaman yang tidak dapat dilupakan. Mengkaji Eyang Hasan Maolani dalam penelitian ini adalah sebuah tantangan mengingat belum banyak sumber-sumber rujukan yang tersaji dan terkait dengan pembahasan ini. Senada dengan hal tersebut, keputusan untuk memilih surat-suratnya sebagai korpus kajian tesis ini penulis anggap sebagai sebuah pertaruhan besar dikarenakan pada umumnya penelitian filologi dituntut untuk menggunakan naskah asli dibandingkan dengan naskah fotokopi. Meskipun demikian, tekad untuk menghasilkan tesis yang bermanfaat bagi masyarakat luas adalah semangat tersendiri. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis ingin mengucapkan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsih atas penyelesaian tesis ini. Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Dr. Adrianus Laurens Gerung Waworuntu, MA., adalah nama yang pertama kali ingin penulis sebut dalam bagian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada beliau beserta para jajarannya yang telah menyediakan pendidikan yang berkualitas, kenyamanan dalam menjalani perkuliahan, serta keramahan atas akses berbagai layanan yang disediakan selama menempuh perkuliahan. v
Universitas Indonesia
vi
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Dr. Fauzan Muslim. Beliau adalah Ketua Departemen Ilmu Susastra sekaligus sebagai pembimbing tesis ini yang telah sabar dan teliti dalam membaca dan memberikan saran-saran agar tesis ini menjadi karya yang berkualitas. Selain Dr. Fauzan, penulis juga mengucapkan terima kasih tulus kepada Prof. Dr. Achadiati, Prof. Dr. Titik Pudjiastuti, dan Tommy Christomy Ph.D. Mereka semua adalah penguji tesis ini yang juga berkehendak menjadikan tesis ini sebagai karya yang bermanfaat. Terima kasih Bu Achadiati, Bu Titik, Pak Fauzan, dan Pak Tommy! Saya bangga menjadi murid kalian. Masih dalam lingkungan kampus FIB-UI, penulis juga merasa bangga karena pernah merasakan dididik oleh dosen-dosen yang hebat. Terima kasih (1) Prof. Dr. Achadiati, (2) Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed, (3) Prof. Dr. Djoko Marihandono, (4) Prof. Dr. Melani Budianta, (5) Prof. Dr. Mundardjito, (6) Prof. Dr. Okke K.S. Zaimar, (7) Prof. Dr. Parwatri Wahjono, (8) Prof. Dr. Titik Pudjiastuti, (9) Prof. Willem van der Mollen, (10) Lilawati Kurnia, Ph.D., (11) Lily Tjahjandari, Ph.D., (12) Manneke Budiman, Ph.D., (13) Mina Elfira, Ph.D., (14) Tommy Christomy, Ph.D., (15) Dr. Achjar, (16) Dr. Mu’jizah, (17) Dr. Ninie Susanti, (18) Dr. Raphaella Dwianto, (19) Diah Widjajanty, M.Hum, (20) Dwi Puspitorini, M.Hum., dan (21) Munawar Holil, M.Hum. Terima kasih atas semua ilmunya, semoga kalian senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan untuk terus berkarya. Berkenaan dengan penulisan tesis ini, penulis ingin memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada para narasumber di Lengkong. Dalam pengalaman menelusuri keberadaan naskah Surat-surat Eyang Hasan Maolani, penulis ditemani oleh Abdul Rohim (Iim) sebagai narasumber dan penunjuk jalan kepada setiap narasumber lainnya. Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepadanya juga kepada Kiai Ujang dan Kiai Maksum (Abu Abdillah Hadziq) atas perkenannya memberikan informasi terkait penelitian ini. Selanjutnya, penyelesaian tesis ini tidak akan selancar yang diperkirakan apabila tidak mendapatkan bantuan dari Elin Erlina, M.Hum dan Tendi, M.Hum. Terima kasih atas diskusi singkatnya serta bantuan pengadaan sumber-sumber
vii
terkait dengan Eyang Hasan Maolani-nya! Universitas Indonesia adalah kampus umum pertama yang penulis alami selama hidup di dunia. Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Saudari Maunah, M.Hum yang telah membantu penulis meminjamkan buku panduan Tes Potensi Akademik (TPA) agar penulis lolos masuk ke kampus ini. Juga ucapan terima kasih kepada Moh. Syukron Ramdhani (Roni) atas izinnya untuk menginap di asrama selama masa ujian masuk SIMAK-UI. Haturnuhun Ron! Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kawan-kawan Program Magister Ilmu Susastra Angkatan 2012. Terkhusus pada peminatan filologi, Ageng Wuri dan Rina Puspitasari, terima kasih atas diskusi dan pengalamannya. Sampai jumpa pada kesempatan berikutnya! Selanjutnya, ungkapan terima kasih setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada seluruh kolega di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di tempat inilah penulis ditempa menjadi akademisi yang baik dan selalu didorong untuk meraih predikat sebagai akademisi yang berisi. Apresiasi setinggi-tingginya juga diberikan kepada dua orang yang sangat mempengaruhi pemikiran penulis tentang ilmu filologi. Prof. Dr. Oman Fathurahman adalah nama pertama. Beliau adalah orang yang pertama kali mengajak penulis untuk mengembangkan diri dalam dunia pernaskahan. Setelah penulis mengabarkan penyelesaian tesis ini, beliau pun berujar, “Jangan terlalu lama, segera lanjutkan S3”. In sha’allah. Nama berikutnya adalah Dr. M. Adib Misbachul Islam. Beliau merupakan guru filologi pertama sejak di bangku sarjana. Kajian disertasinya tentang KH. Ahmad Arrifai Kalisalak telah menjadikan Dr. Adib sebagai teman diskusi yang baik, kritis, dan cerdas. Bahkan, penulis menduga ‘jangan-jangan’ Eyang Hasan Maolani dan KH. Ahmad Arrifai Kalisalak pun berdiskusi juga selama masa pengasingannya di Kampung Jawa. Bapak dan Mamah, H. Jojo Ghozali dan Hj. Lily Halimah, doa kalian adalah doa tertulus dan terpanjang yang selalu ada untuk penulis. Terimalah tesis ini sebagai tanda syukur dan bakti kepada kalian! Haturnuhun Pak, Mah! Pamugi Bapak sareng Mamah ditangtayungan ku Allah SWT teras. Amin. Penghargaan
viii
setinggi-tingginya juga disampaikan kepada saudara-saudara penulis yang baik, terima kasih atas bantuannya sejak penulis memulai kuliah hingga mengakhirinya dengan tesis ini. Semoga kita semua selalu menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Amin. Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa tesis ini adalah karya tiga zaman. Pertama, tahun pertama kuliah (2012) adalah saat penulis masih bujangan. Kedua, tahun kedua kuliah adalah saat penulis mulai berganti status menjadi seorang suami. Dan, Ketiga, tahun ketiga kuliah adalah saat penulis menambah status baru menjadi seorang ayah. Oleh karenanya, last but not least, penyelesaian tesis ini tidak luput dari peran dua wanita hebat yang selalu mendampingi penulis. Pertama, —Anna Khoirunnisa— istri yang hebat, penuh kesabaran, penuh doa, dan penyemangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Kedua, —Shakira Awliya Yumna— anak yang pintar meskipun di usianya yang masih belia (5 bulan) telah mampu menjadi semangat penulis untuk menjadi ayah yang baik dan kreatif. Sayangku, tesis ini Ayah persembahkan untuk Mamah dan Yumna. Semoga tesis ini menjadi bekal akan hadirnya kebaikan-kebaikan di keluarga kita. Amin.
Permata Mansion, Depok, 5 Ramadhan 1436 H.
Nida
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : MUHAMMAD NIDA’ FADLAN NPM : 1206188635 Program Studi : Ilmu Susastra Departemen : Susastra Fakultas : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis Karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: SURAT –SURAT EYANG HASAN MAOLANI, LENGKONG: SUNTINGAN TEKS DAN ANALISIS ISI beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 1 Juli 2015 Yang Menyatakan
Muhammad Nida’ Fadlan
ix
Universitas Indonesia
ABSTRAK Nama : Muhammad Nida’ Fadlan Program Studi : Ilmu Susastra Judul : Surat-surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong: Suntingan Teks dan Analisis Isi Dalam penelitian ini, penulis membahas tentang surat-surat yang ditulis oleh Eyang Hasan Maolani dari pengasingannya di Kampung Jawa, Tondano, untuk keluarganya di Desa Lengkong, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Adapun korpus penelitian ini adalah bundel naskah salinan fotokopi yang didapatkan dari salah satu keturunannya. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan edisi suntingan teks, menerjemahkan teks ke dalam bahasa Indonesia, dan menganalisis isi teks tersebut. Dalam menghasilkan edisi suntingan teks, penulis menerapkan pendekatan filologis dengan metode ‘edisi kritik’, yaitu menghadirkan edisi suntingan teks yang siap baca dan terbebas dari kesalahan-kesalahan. Sedangkan untuk menganalisis isi teks tersebut, diterapkan pendekatan intertekstual. Melalui pendekatan ini, penulis melakukan pembacaan atas teks-teks lain yang terkait dengan teks surat-surat tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Eyang Hasan Maolani telah menulis 14 surat dalam kurun tahun 1854 hingga 1855. Kesimpulan tersebut tampak pada penulisan sistem penanggalan khas yang terdapat dalam surat-suratnya. Selain itu, melalui penyuntingan dan penerjemahan juga dapat dilihat bahwa penyusunan bundel surat-surat Eyang Hasan Maolani tidak dilakukan secara cermat sehingga susunan halaman teks tampak tidak beraturan. Selanjutnya, melalui analisis isi dapat diungkapkan bahwa bahasan utama surat-surat ini adalah penyampaian ajaran-ajaran keagamaan dari Eyang Hasan Maolani kepada keluarganya. Bahasan utama tersebut terurai dalam tiga sub bahasan yakni konsep mencari ilmu, konsep ibadah, dan rujukan keilmuan. Kata kunci: filologi, naskah, suntingan teks, analisis isi, Eyang Hasan Maolani, Lengkong, Kampung Jawa, abad ke-19, pengasingan.
x
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name Major Title
: Muhammad Nida’ Fadlan : Ilmu Susastra : The Letters of Eyang Hasan Maolani from Lengkong: Editing Text and Content Analysis
In this research, the writer discusses the letters written by Eyang Hasan Maolani from his exile in Kampung Jawa, Tondano, which had been sent to his family in Lengkong, Kuningan, West Java. The corpus of this research is a bundle of photocopies of manuscripts that obtained from one of his descendants. The aims of this study are presenting the editing text, translating the text to Bahasa, and analyzing the content of the text. In order to get the editing text, the writer applies the philological approach with the 'critical edition' as the method which is present the editing text that is ready to be read and is free from textual errors. As for analyzing the content of the text, the intertextual approach has been applied. Through this approach, the writer had read other texts related to the text of the letters. The research concluded that 14 letters had been written by a Eyang Hasan Maolani in the period 1854 to 1855. The conclusions appear on the writing of a typical calendar system contained in his letters. In addition, through the editing and the translation, we can see that the bundle of the letters had not been drafted carefully so that the arrangement of pages of text appears irregularly. Furthermore, through content analysis, the writer reveals that the main topics of these letters is the delivery of religious teachings from Eyang Hasan Maolani to his families. The main topic is reflected in the three sub-topics. They are the concept of seeking knowledge, the concept of worship, and scientific references. Keywords: philology, manuscript, editing text, content analysis, Eyang Hasan Maolani, Lengkong, Kampung Jawa, the 19th century, exile.
xi
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
...…………………………………………………..
i
...…………………
ii
...……………………...
iii
HALAMAN PENGESAHAN
...…………………………………………
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
...…………………………………………
v
HALAMAN JUDUL
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS ...……………………
1.1 Latar Belakang Masalah Eyang Hasan Maolani1 (1782-1874) –selanjutnya disebut ‘Eyang Hasan’– adalah ulama lokal yang menjadi figur penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di Kuningan dan sekitarnya, terutama di Desa Lengkong. Hal ini terlihat dari aktivitas Eyang Hasan dalam tarekat Syattariyah sebagaimana disampaikan oleh Fathurahman (2008: 177). Selain tarekat Syattariyah, Drewes (1925) dan van Bruinessen (1994: 20) juga mengungkapkan bahwa Eyang Hasan adalah salah satu pimpinan tarekat Akmaliyyah.2 Selain aktif dalam tarekat, Eyang Hasan juga turut aktif dalam menyadarkan masyarakat setempat mengenai pentingnya berjihad. Lubis (2007: 29-30) menemukan bahwa Eyang Hasan menggunakan kitab Fat¥ al-Qarīb 3 sebagai rujukan ajaran tentang jihad yang kemudian dimaknai oleh Lubis sebagai sikap Eyang Hasan yang anti-penjajahan. Salah satu kutipan ajaran jihad dalam kitab ini adalah tentang seruan agar mengusir bangsa kafir yang hendak 1
Penyebutan ‘Eyang Hasan Maolani’ didasarkan pada penyebutan yang tertera dalam judul bundel surat yakni Amanat Eyang Hasan Maolani dari Pembuangan Penjajah Belanda di Manado, Sulawesi Utara, untuk Keturunannya yang Harus Dipelajari, Diresapi, dan Dilaksanakan dengan Sepenuhnya Sesuai dengan Isi Buku Aslinya. Pembakuan penyebutan ini dilakukan untuk mengembalikan teks sesuai dengan kedudukannya. Adapun ejaan-ejaan lain yang digunakan oleh peneliti sebelumnya adalah ‘Eyang Hasan Maolani’ (Tisnawerdaya 1975; Faridah 1995; Fitriyanti 2002), ‘Kiai Hasan Maulani’ (Drewes 1925; Syarifuddin 2014), Hasan Maulani (van Bruinessen 1994), ‘K.H. Hasan Maolani’ (Fathurahman 2008; N. H. Lubis 2007), dan ‘Hasan Mawlani alias Kyai Lengkong’ (Laffan 2011). 2 Secara singkat, van Bruinessen menjelaskan bahwa tarekat Akmaliyyah adalah tarekat lokal yang berkembang di Cirebon-Banyumas pada abad ke-19. Tarekat ini merujuk pada doktrin metafisika wahdat al-wujūd yang dicetuskan oleh ‘Abd al-Karīm al-Jillī pada karyanya al-Insān al-Kāmil. 3 Kitab ini merupakan karangan Abū ‘Abdillāh Shams al-Dīn Mu¥ammad ibn Qāsim ibn Mu¥ammad al-Ghazzī (w. 1512). Dalam penelitiannya, Lubis (2007: 8) menemukan kitab tersebut ditulis tangan oleh Eyang Hasan Maolani menggunakan aksara Pegon serta berbahasa Jawa dan Sunda.
1
Universitas Indonesia
2
menduduki wilayah yang di dalamnya terdapat mayoritas umat Islam.4 Atas dasar ajaran inilah kemudian Lubis (2007) bersama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan memprakarsai pengajuan Eyang Hasan sebagai pahlawan nasional
dalam
rangka
memberikan
penghargaan
atas
semangat
nasionalismenya. Atas sikapnya yang sangat menentang penjajahan, pemerintah HindiaBelanda mengasingkan Eyang Hasan ke Kampung Jawa.5 Laffan (2011: 51-52) menyebutkan bahwa alasan ditangkapnya Eyang Hasan adalah kekhawatiran pemerintah Hindia-Belanda akan kekuatan yang ditimbulkan atas citra yang dimiliki Eyang Hasan sehingga ia banyak diikuti oleh masyarakat sekitar baik yang memiliki kepentingan untuk berguru, berkonsultasi, hingga dikunjungi oleh orangorang yang memiliki kesepahaman terkait anti-kolonialisme. Citra ini kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Hindia-Belanda sebagai upaya Eyang Hasan untuk membangun kekuatan anti-kolonialisme dengan cara menghasut masyarakat untuk membenci pemerintah Hindia-Belanda (Faridah 1995). Eyang Hasan dianggap mampu memberikan pengaruh keagamaan pada rakyatnya yang berimbas pada kemampuannya menggerakkan rakyat sebagai salah satu perangkat sosial dalam meruntuhkan hegemoni kolonial. Atas dasar itulah, Ricklefs (2007: 47) memandang bahwa Eyang Hasan mendapatkan posisi penting di mata rakyatnya karena masyarakat menganggapnya sebagai ratu adil yang dapat melindungi rakyat dari ancaman penjajahan. Dalam keterbatasan jarak dengan keluarganya, Eyang Hasan tetap menjaga komunikasi melalui kegiatan surat-menyurat. Surat-surat yang ditulis dalam 4 Kutipan tersebut adalah “Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri Muslimin atau mereka bertempat yang dekat letaknya dengan negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardlu ain bagi kaum Muslimin. Wajib bagi ahli negeri itu untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk menolak”. Lihat al-Ghazzī (2005: 294) (N. H. Lubis 2007). 5 Kampung Jawa atau Kampung Jawa Tondano adalah sebuah desa di Kota Minahasa, Sulawesi Utara yang dikenal sebagai salah satu kawasan pengasingan bagi anti-kolonialis. Tahun 1830, Kiai Modjo dan pasukannya sebanyak 60 orang adalah orang-orang pertama kali yang tiba di sini setelah ditangkap oleh Pemerintah Hindia-Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830) dan oleh sebab itulah daerah ini kemudian dinamakan Kampung Jawa. Selanjutnya, populasi Kampung Jawa semakin bertambah (tahun 1965 sebanyak 2015 orang) seiring dengan perkawinan antara pendatang dan masyarakat asli. Rujukan penting mengenai Kampung Jawa dapat dilihat pada Babcock (1981 dan 1989) dan Makaliwe (1981).
Universitas Indonesia
3
bahasa Jawa dan aksara Pegon6 ini ditulis dalam kurun waktu tahun 1853 hingga 1854 dan dikirimkan dengan cara dititipkan kepada orang-orang yang akan kembali ke Jawa.7 Dalam suratnya, Eyang Hasan menuliskan berbagai pengalaman perjalanannya sejak diberangkatkan dari Desa Lengkong hingga melalui daerah-daerah lain seperti Cirebon, Batavia, Tegal, Ternate, Kaima, dan Tondano. Khususnya di Kaima (saat ini merupakan bagian dari Kota Minahasa, Sulawesi Utara), Eyang Hasan menceritakan pengalaman yang bertentangan dengan kepercayaan yang dianutnya. Masyarakat Kaima terdiri dari empat kelompok yaitu Belanda, Nasrani, Puru (suku setempat), dan Islam. Dijelaskan pula di tempat tersebut babi merupakan binatang yang dijadikan peliharaan layaknya ayam, sebuah hal yang membuat gelisah Eyang Hasan karena perbedaan kepercayaan yang dianutnya.8 Selama di pengasingan, Eyang Hasan terlihat berada dalam pengawasan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam salah satu surat yang ditulis pada hari Senin di bulan Syawal tahun 1270,9 Eyang Hasan menuturkan kesulitannya saat akan mengirim surat. Menurut Eyang Hasan, tata aturan yang berlaku pada masa itu adalah bagi setiap orang yang berkeinginan untuk mengirimkan surat harus diperiksa terlebih dahulu oleh pejabat residen untuk mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki sehingga pihak residen mewajibkan agar setiap surat harus ditulis menggunakan aksara Latin. Dalam konteks kajian filologi,10 surat-surat11 Eyang Hasan dapat dikategorikan sebagai naskah12 karena telah mencapai usia lebih dari 50 tahun 6
Aksara ini merupakan bentuk adaptasi budaya Jawa terhadap kedatangan agama Islam yang memadukan aksara Arab dengan menggunakan ejaan dalam bahasa Jawa. Lihat, Pudjiastuti 2000: 94-110 dan Umam 2013: 245. 7 Eyang Hasan menceritakan pengalamannya dalam mengirimkan surat dari pengasingan pada Surat 5, hal. 64; Surat 7, hal. 71; dan Surat 13, hal. 40. Adapun halaman yang dimaksud dalam keterangan ini adalah merujuk pada halaman asli yang terdapat dalam bundel teks suratsurat Eyang Hasan Maolani. 8 Paparan Eyang Hasan mengenai pengalaman perjalanannya terangkum dalam Surat 6. 9 Lihat Surat 5, hal. 64. 10 Baried (1994: 4) memaknai filologi sebagai disiplin ilmu yang ditujukan untuk mengkaji teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau. Ini menunjukkan keluasan konteks kajian di dalamnya. Oleh karenanya, menurut Djamaris (2002: 4), filologi sangat identik dengan sastra lama karena perannya dalam mengungkapkan naskah-naskah yang kebanyakan berisi karya sastra. Namun pada sisi yang lain, naskah juga berisi teks-teks dalam beragam bidang keilmuan lainnya seperti agama, sejarah, hukum, adat, dan obat-obatan.
Universitas Indonesia
4
(Isyanti, Gunawan, dan Kriswanto 2013: 1).13 Tradisi penulisan naskah semacam ini telah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama sehingga keberadaan naskah lebih melimpah apabila dibandingkan dengan peninggalan budaya lainnya seperti candi, istana, prasasti, dan sisa-sisa budaya lainnya (Ikram 1997: 24). Melimpahnya jumlah naskah ini tidak hanya terbatas pada naskah-naskah yang disimpan di lembaga-lembaga penyimpanan naskah seperti perpustakaan, museum, istana, maupun pesantren saja, melainkan koleksi naskah yang lebih banyak adalah yang terdapat pada koleksi pribadi masyarakat yang masih terus menyimpan naskah karena kepercayaannya pada nilai suci yang terdapat dalam naskah tersebut (Fadlan 2011: 4). Apabila dibandingkan dengan melimpahnya jumlah naskah yang ada, agaknya perhatian terhadap penelitian akademis yang berbasiskan naskah (filologi) belum dapat diimbangi secara maksimal (Lubis 2007; Tjandrasasmita 2002: 150), padahal naskah merupakan sumber informasi yang paling otentik dan banyak memberikan sumbangan terhadap pengkajian pengetahuan-pengetahuan tentang masa lalu (Jabali 2010: 1-28). Dalam konteks yang lebih rinci lagi, Pudjiastuti (2007: xi) memberikan penekanan khusus mengenai pentingnya mengkaji naskah-naskah berupa surat. Menurutnya, naskah surat tidak kalah pentingnya apabila dibandingkan dengan jenis naskah lainnya. Naskah surat memiliki kekuatan yang sangat baik dalam menampilkan data akurat untuk menganalisa sejarah suatu bangsa terutama saat 11
Dalam konteks ini, kiranya perlu disampaikan pemaknaan ‘surat’ secara jelas. Menurut Finoza (1997), surat merupakan alat komunikasi tertulis yang dapat menjadi alat pengingat, panduan dalam bertindak, dan dokumentasi sejarah yang dapat merekonstruksi sebuah keadaan yang dialami oleh penulisnya. Sebagaimana pembagian jenis surat pada umumnya, pada masa lalu juga terdapat dua jenis surat yaitu surat resmi dan surat pribadi. Surat resmi adalah surat yang bersifat kelembagaan dan digunakan sebagai media komunikasi antara pimpinan suatu kerajaan atau negara, pembesar, dan pedagang dari mancanegara dalam melaksanakan hubungan diplomatik, ekonomi, persahabatan, dan juga hubungan yang bersifat siasat atau intrik (Gallop dan Arps 1991). Sedangkan surat pribadi adalah surat yang dikirim oleh seseorang kepada kerabatnya dan bersifat pribadi yang berisi ungkapan keadaan penulisnya agar diketahui oleh penerima surat. 12 Menurut Baried (1994: 1), naskah (manuscript) merupakan hasil kreasi yang merekam aktivitas penulisnya. Sehingga, ditambahkan oleh Ikram (1980), naskah merupakan salah satu rujukan penting dalam melakukan penelitian sejarah. 13 Anggapan tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010. Aturan tersebut menyebutkan bahwa naskah termasuk dalam cagar budaya yang dilindungi dalam kategori benda. Yakni, benda buatan manusia yang berkaitan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
Universitas Indonesia
5
naskah surat tersebut dibandingkan dengan rujukan lain yang menjelaskan tema yang sama. Dalam konteks naskah Nusantara, beberapa sumber ilmiah telah mengkaji keberadaan naskah-naskah surat Nusantara baik surat resmi maupun surat yang bersifat pribadi. Adapun penelitian-penelitian yang melibatkan naskah surat resmi di antaranya adalah Gallop dan Arps (1991), Gallop dan Kratz (1994), Salleh (1999), Pudjiastuti (2004 dan 2007), Suryadi (2007a, 2007b, dan 2010), Mu’jizah (2006 dan 2009), Syadiidah (2014), dan Syahrani (2014). Sumber-sumber tersebut merupakan hasil penelitian atas surat-surat yang ditulis secara resmi dari dalam kerajaan tertentu, berbeda dengan karya van der Putten dan Azhar (2007) serta Suryadi (2008) yang menjadikan sumber penelitiannya yaitu naskah surat yang ditulis secara pribadi oleh seseorang untuk ditujukan kepada seseorang lainnya atau lembaga. Menurut Gallop dan Arps (1991), penulisan surat merupakan salah satu bagian dari bukti maraknya tradisi tulis Nusantara yang telah berlangsung sejak berabad-abad. Pernyataan ini tentu harus diimbangi dengan perilaku untuk menjadikan penelitian atas naskah-naskah surat sebagai hal yang penting dilakukan. Sebagai sebuah metode yang menjadikan naskah sebagai bahan penelitian, filologi memberikan sumbangan positif dalam melestarikan isi naskah, sebagai benda cagar budaya, karena dapat menyajikan teks yang siap dibaca oleh pembaca di masa kini. Filologi menjadi jembatan bagi pembaca, terutama yang memiliki keterbatasan untuk membaca sebuah teks yang ditulis dalam aksara tertentu. Pada penelusuran awal, naskah asli surat-surat Eyang Hasan tidak dapat ditemukan keberadaannya. Surat-surat Eyang Hasan secara aktif sering dibaca dan dipindahtangankan dari satu keturunan Eyang Hasan kepada keturunannya yang lain. Seolah menyadari akan pentingnya isi surat tersebut, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan oleh Moh. Ma’ruf yang merupakan Panitia Haol14 Eyang Hasan Maolani pada 28 Februari 1990. Surat-surat tersebut kemudian digandakan (fotokopi) dan disebarkan kepada seluruh keturunan 14
Istilah ‘haol’ merupakan bahasa Sunda yang berarti ‘haul’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), haul adalah peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali (biasanya disertai selamatan arwah).
Universitas Indonesia
6
Eyang Hasan. Selain disebarkan, surat-surat Eyang Hasan juga secara rutin dibacakan pada setiap haul yang diselenggarakan pada bulan Rajab setiap tahunnya. Pembacaan surat-surat ini dimaksudkan agar setiap keturunan maupun pengikut Eyang Hasan senantiasa mengingat amanat-amanat dan sejarah perjuangannya. Kondisi demikian memaksa penelitian ini hanya bertumpu pada naskah fotokopi. Penelitian semacam ini hanya akan menampilkan edisi suntingan teks tanpa dilengkapi dengan penelitian fisik naskah (kodikologi). Meskipun naskah asli tidak dapat ditemukan, bukan berarti penelitian filologis atas surat-surat Eyang Hasan tidak dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan bahwa filologi merupakan kajian atas kandungan informasi yang terdapat dalam teks tulisan tangan dan meskipun tidak dapat ditemukan naskah asli akan tetapi fakta bahwa surat-surat Eyang Hasan adalah berasal dari tulisan tangan jelas tidak terbantahkan. Penelitian ini akan menyajikan sebuah edisi suntingan teks atas suratsurat Eyang Hasan. Hal ini dilakukan karena belum adanya edisi suntingan teks yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penerbitan edisi suntingan teks juga dilakukan karena surat-surat Eyang Hasan merupakan dokumen populer bagi setiap kalangan yang menjadikan Eyang Hasan sebagai panutannya. Sehingga, penyajian edisi suntingan teks akan dilakukan bersamaan dengan menyajikan hasil terjemahan atas teks. Penelitian ini tidak hanya berhenti pada penyajian sebuah teks yang telah direkonstruksi. Hal penting lainnya adalah melakukan analisis atas kandungan informasi dalam surat-surat Eyang Hasan. Melalui analisis isi, penelitian ini dipastikan akan memberikan sumbangan baik secara akademis maupun sosial. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan keragaman dalam melakukan penelitian berbasiskan naskah serta menambah khazanah akademik terhadap penelitian-penelitian sebelumnya. Sementara dalam konteks sosial, penelitian ini dapat membantu berbagai kalangan untuk lebih memahami pemikiran Eyang Hasan secara utuh.
Universitas Indonesia
7
1.2 Penelitian Terdahulu Secara umum, penelitian tentang naskah-naskah Nusantara berbentuk surat sudah banyak dilakukan. Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps adalah nama yang pertama kali disebutkan. Dalam karyanya yang disusun pada tahun 1991 berisi tentang katalog naskah-naskah surat Nusantara yang disimpan di British Library, katalog tersebut disusun dalam rangka menyambut pameran naskah yang pertama kali diadakan di Indonesia. Annabel Teh Gallop merupakan salah satu inspirasi dalam penulisan disertasi (Mu’jizah 2006), yang kemudian dibukukan pada tahun 2009, yang menguraikan penelitian naskah-naskah surat Nusantara bertajuk pembahasan mengenai iluminasi dalam naskah surat. Penelitian lain yang menjadikan naskah surat Nusantara sebagai objek penelitian adalah Badriyah Haji Salleh dalam Warkah al-Ikhlas (1999), Titik Pudjiastuti dalam Surat-surat Sultan Banten Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (2004) dan Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten (2007), Jan van der Putten dan Al Azhar yang menguraikan komunikasi suratmenyurat antara Raja Ali Haji dan Hermann von de Wall dalam karyanya berjudul Dalam Berkekalan Persahabatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada von de Wall (2007), Suryadi dalam beberapa karyanya (2007a, 2007b, 2008, dan 2010), Syadiidah dalam Surat-surat Ternate: Analisis Struktur dan Isi (2014), dan Agus Syahrani yang membincang naskah surat-surat kesultanan Pontianak (2014). Kajian terdahulu yang juga mesti disampaikan pada bagian ini adalah penelitian mengenai sosok Eyang Hasan Maolani. Dari berbagai sumber ilmiah yang dikumpulkan, pengkajian mengenai Eyang Hasan dapat dikategorikan dalam dua bagian yakni (1) riwayat hidup dan pemikirannya; serta (2) kajian atas suratsurat Eyang Hasan Maolani. Kajian mengenai riwayat hidup cenderung lebih banyak. Penelitianpenelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai macam pendekatan dan sumber penelitian seperti wawancara, kajian pustaka, dan naskah surat. Dalam kategori ini, pertama kali yang layak disebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Drewes (1925: 10–18 dan 50–61). Drewes menempatkan Eyang Hasan sebagai salah satu dari tiga sosok penting –selain Mas Malangyuda dan
Universitas Indonesia
8
Nurhakim– penyebar agama Islam di Jawa dan sebagai sosok ratu adil di mata masyarakatnya. Penelitian yang dilakukan oleh Drewes ini merupakan rujukan utama yang banyak dikutip oleh penulis-penulis setelahnya. Dalam hal ini, kita dapat melihat Laffan (2011: 51–52) yang membahas Eyang Hasan sebagai rival utama pemerintah Hindia-Belanda dalam mengukuhkan kekuasaannya di Nusantara dan diakuinya sebagai salah satu penyebar tarekat Akmaliyyah. Selain tarekat Akmaliyyah, peranan Eyang Hasan dalam sebuah tarekat juga digambarkan oleh Fitriyanti (2002), disebutkan bahwa Eyang Hasan merupakan penyebar agama Islam di Kuningan yang berperan aktif dalam penyebaran tarekat Syattariyyah di Kuningan. Hal ini juga didukung oleh Fathurahman (2008: 177) yang secara sistematis menggambarkannya dalam sebuah silsilah tarekat Syattariyyah. Penelitian lain mengenai peran Eyang Hasan sebagai ratu adil yang merujuk pada Drewes dilakukan oleh van der Kroef (1952: 161) dan Ricklefs (2007: 47). Keduanya memberikan catatan penting bahwa salah satu alasan masyarakat mengangkat seseorang sebagai ratu adil disebabkan karena memiliki kemampuan melakukan doktrin-doktrin sufi, kekuatan ajaib, dan mengakomodir kepentingan masyarakatnya dengan cara mendirikan tarekat Akmaliyyah. Selain itu, riwayat hidup yang lebih deskriptif juga telah lama disusun oleh Tisnawerdaya (1975) yang menjadi rujukan penelitian-penelitian setelahnya termasuk oleh Nina Herlina Lubis (2007) yang menulis “Kajian Tentang Perjuangan KH. Hasan Maolani dalam Rangka Pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional”. Kajian lain pada bagian ini adalah uraian mengenai asal-usul Kampung Jawa
yang
melibatkan
Eyang
Hasan
sebagai
tokoh
penting.
Dalam
penelusurannya, dua tulisan Babcock (1981: 74–92 dan 1989) adalah rujukan penting dalam mengungkap sosok Eyang Hasan. Dalam penelitian etnografinya, Babcock menyebut Eyang Hasan sebagai tokoh penting dalam pendirian Kampung Jawa yang dalam perkembangannya menjadi kawasan yang multietnis. Penelitian lain yang melibatkan sumber-sumber di Kampung Jawa adalah penelitian Arkeo-Epigrafi yang dilakukan oleh Syarifuddin (2014: 499–514). Dalam artikelnya, Syarifuddin memberikan gambaran mengenai kalimat zikir yang tertulis di atas makam Eyang Hasan Maolani di Kampung Jawa.
Universitas Indonesia
9
Pada bagian yang kedua, penelitian tentang Eyang Hasan yang mendasarkan objek penelitiannya pada surat-surat Eyang Hasan cenderung lebih sedikit.
Tercatat
ada Faridah (1995)
yang
menggunakan
surat
untuk
merekonstruksi peran Eyang Hasan dalam menghadapi serangan kolonialisme di Kuningan. Akan tetapi, hal yang tidak kalah pentingnya adalah apa yang telah dilakukan oleh Abu Abdillah Hadziq (t.t.). Meskipun bukan merupakan karya ilmiah, Hadziq telah melakukan upaya alih aksara, alih bahasa, dan memberikan kesimpulan atas tujuh surat yang ditulis oleh Eyang Hasan Maolani. Atas dasar kajian literatur di atas, penelitian ini akan memberikan wacana baru mengenai pandangan terhadap Eyang Hasan sebagaimana yang terdapat dalam surat-suratnya. Selain memperkaya kajian atas naskah surat pribadi, tesis ini akan menempatkan surat-surat Eyang Hasan sebagai objek penelitian dalam kapasitasnya untuk mengungkap pemikiran-pemikiran sosial keagamaan Eyang Hasan dengan terlebih dahulu dilakukan proses penelitian filologis dan menganalisis tema-tema penting dalam surat-surat tersebut. Atas dasar itu, penelitian ini secara langsung akan memberikan koreksi sekaligus melengkapi upaya yang telah dilakukan oleh Hadziq secara khusus maupun penelitian lainnya secara umum.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Pertama, Eyang Hasan Maolani adalah tokoh ulama lokal. Meskipun keberadaannya telah lama dibahas oleh para sarjana internasional namun profil Eyang Hasan Maolani tidak diketahui secara luas. Setidaknya terdapat tiga profil Eyang Hasan Maolani yang pernah dituliskan meskipun di dalam ketiganya masing-masing terjadi bias kolonial dan bias pribumi. Oleh karenanya, diperlukan upaya penulisan profil Eyang Hasan Maolani yang mampu mengakomodir keduanya serta menampilkan sumber-sumber yang baru dan relevan. Kedua, penggunaan aksara Arab dan Pegon dalam teks ini adalah permasalahan tersendiri mengingat kini penggunaan aksara tersebut tidak lagi digunakan secara luas sehingga diperlukan upaya kreatif yang dapat menjadikan
Universitas Indonesia
10
teks ini dapat dibaca oleh khalayak luas. Selain itu, sebagaimana naskah-naskah kuno pada umumnya, dalam teks ini banyak dijumpai kekeliruan-kekeliruan tekstual yang sangat membahayakan pemahaman pembaca. Oleh karena itu, upaya pembetulan terhadap teks ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Ketiga, penggunaan bahasa Jawa dan Arab dalam teks tersebut diyakini terkait dengan konteks masyarakat Desa Lengkong yang pada masa tersebut diduga menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa utama. Namun, di masa kini, masyarakat Desa Lengkong pada umumnya tidak lagi menggunakan bahasa Jawa melainkan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Perbedaan ini menimbulkan permasalahan tersendiri yaitu tujuan komunikatif antara pengarang dan pembaca di masa kini tidak akan tercapai. Keempat, teks merupakan gambaran pemikiran pengarangnya sehingga dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa surat-surat yang ditulis Eyang Hasan Maolani telah merefleksikan pemikiran-pemikiran keagamaannya. Senada dengan simpulan tersebut, kandungan informasi dalam teks ini perlu untuk dianalisis secara mendalam karena isi teks ini dipandang mampu menjelaskan pemikiranpemikiran Eyang Hasan Maolani dalam rangka menanggapi bias-bias dalam penulisan profilnya.
1.4 Tujuan Penelitian Atas dasar permasalahan-permasalahan di atas, berikut adalah tujuan dari penelitian ini: Pertama, tesis ini akan menampilkan riwayat kehidupan Eyang Hasan Maolani secara lengkap dan mengakomodir sumber-sumber yang telah dituliskan sebelumnya. Satu hal yang membedakan penulisan riwayat hidup Eyang Hasan Maolani dalam tesis ini dibandingkan dengan sumber-sumber sebelumnya adalah pencantuman sumber-sumber baru yang lebih relevan. Kedua, menghadirkan edisi suntingan teks adalah cara untuk menampilkan teks Surat-surat Eyang Hasan Maolani agar dapat dibaca oleh pembaca di masa kini. Melalui edisi ini, penulis akan melakukan pengalihaksaraan dari aksara Arab
Universitas Indonesia
11
dan Pegon menjadi aksara Latin serta memperbaiki setiap kesalahan-kesalahan penulisan agar teks dapat dibaca dan dipahami dengan baik. Ketiga, menghadirkan edisi suntingan teks tidak dianggap sebagai jalan keluar untuk memahami sebuah teks bagi pembaca yang memiliki keterbatasan memahami bahasa sebuah teks. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penerjemahan Surat-surat Eyang Hasan Maolani ke dalam bahasa Indonesia menjadi salah satu tujuan penelitian ini. Keempat, penelitian ini akan melakukan analisis atas isi kandungan Suratsurat Eyang Hasan Maolani. Analisis isi dilakukan untuk melihat kecenderungan pemikiran-pemikiran keagamaan Eyang Hasan Maolani. Selain itu, analisis ini dapat memperkaya informasi mengenai pemikiran-pemikiran Eyang Hasan Maolani sebagaimana yang pernah disampaikan oleh para peneliti sebelumnya.
1.5 Kerangka Teori Penelitian ini akan menerapkan pendekatan ilmu filologi. Tentang pendekatan ini, Baried (1994: 5) menyebutkan bahwa dasar kerja filologi adalah munculnya gejala variasi yang diakibatkan oleh penyalinan naskah. Gejala variasi ini pada satu sisi dianggap sebagai bentuk korupsi terhadap teks sedangkan pada pendapat yang lain dianggap sebagai bentuk kreasi penyalinnya. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa penelitian ini akan menjadikan naskah fotokopi atas Surat-surat Eyang Hasan Maolani. Berdasarkan dasar kerja di atas, maka naskah yang dijadikan bahan penelitian ini termasuk dalam kategori naskah yang disalin (copied) secara elektronik yang potensi terjadinya variasi pada hasil salinannya cenderung lebih stabil. Mengenai penggunaan naskah yang tidak dapat ditemukan naskah aslinya sebagai bahan kajian filologi, Dayyāb (1993: 237) mengemukakan pendapatnya: إِذَا، َﻓﻼَ ﺑَﺄْسَ ﻣِﻦْ ﻧَﺸْﺮِھَﺎ:ِإِنْ ﻟَﻢْ ﯾُﻮْﺟَﺪْ ﻟِﻠْﻜِﺘَﺎبِ اﻟْﻤَﺨْﻄُﻮْطِ إِﻻﱠ ﻧُﺴْﺨَﺔٌ وَاﺣِﺪَةٌ وَاﺿِﺤَﺔٌ ِﻟﻠْﻜِﺘَﺎب .أَﻟْﺤَﻖَ اﻟﻨﱠﺎﺷِﺮُ ﺑِﮭَﺎ ﻛُﻞﱠ ﻣَﺎ ﯾُﺤْﺘﺎَجُ إَِﻟﯿْﮫِ ﻣِﻦْ اْﻟﮭَﻮَاﻣِﺶِ وَاﻟْﻔَﮭَﺎرِشِ وَﻏَﯿْﺮِھَﺎ Apabila peneliti tidak dapat menemukan naskah tulisan tangan sedangkan ia memiliki satu teks yang jelas berasal dari tulisan tangan, maka tidak ada masalah untuk menerbitkannya sepanjang disampaikan catatan-catatan yang diperlukan terkait dengan teks di dalam kolom catatan, indeks, dan lain sebagainya.
Universitas Indonesia
12
Pada bagian lain, Dayyāb (1993: 238) menambahkan pendapatnya soal penggunaan naskah fotokopi untuk keperluan penerbitan suntingan teks: ٍ ﻓَﺎﻟﺼﱡﻮَرُ اﻟﺸﱠﻤْﺴِﯿﱠﺔِ ﻟِﻨُﺴْﺨَﺔٍ ﻣَﻀْﺒُﻮْﻃَﺔٍ ﺻَﺤِﯿْﺤَﺔٍ اﻟﻨِّﺴْ َﺒﺔُ أَﻧْﻔَﻊُ ﻣِﻦْ ﻃَﺒْﻊِ ﻧُﺴْﺨَﺔ،ٍوَﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺣَﺎل .ﻣَﺸْﻜُﻮْكٍ ﻓِﻲْ ﻧَﺴَﺒِﮭَﺎ Dalam beberapa hal, penggunaan naskah fotokopi yang berasal dari teks yang akurat adalah lebih bermanfaat apabila dibandingkan dengan menerbitkan naskah salinan yang masih diragukan asal-usulnya.
Dari dua penjelasan di atas terlihat bahwa dalam hal penyuntingan sebuah teks diperlukan upaya kritis terhadapnya. Oleh karena itu, kritik terhadap teks merupakan tahapan penting yang harus dilakukan dalam meneliti sebuah naskah. Hal inilah yang membedakan pendekatan filologi dengan pendekatan lainnya dalam pengkajian sebuah naskah. Kritik teks tidak dapat dilepaskan dari teks yang menjadi objek penelitiannya sebagai upaya mengembalikan teks sedekat mungkin sesuai dengan yang ditulis oleh pengarangnya (Fathurahman 2010: 25). Kritik teks merupakan sarana untuk menghadirkan teks yang terdapat dalam sebuah naskah kuno agar dapat dibaca tanpa terhalang oleh kesalahan-kesalahan tekstual. Dalam hal ini, filolog memiliki peranan yang sangat penting dalam menjembatani pengetahuan antara pengarang naskah dengan pembaca di masa kini. Setelah menyelesaikan langkah-langkah filologisnya, diperlukan upaya pengkajian lebih lanjut atas teks agar makna-makna yang terdapat di dalamnya dapat dipahami dengan baik. Untuk itu, dalam penelitian ini akan dilanjutkan dengan menganalisis isi teks melalui pendekatan intertekstual. Pendekatan yang digagas oleh Julia Kristeva ini mendasarkan bahwa sebuah teks tidak tercipta secara mandiri sehingga teks tersebut harus dibaca dengan cara melibatkan teksteks yang lain (Teeuw 1984, 145–146). 1.6 Metode Penelitian Penelitian ini akan menghasilkan dua luaran. Yaitu, dihasilkannya (1) edisi suntingan teks atas Surat-surat Eyang Hasan Maolani, dan (2) analisis isi atas teks-teks tersebut. Untuk mendapatkan luaran yang pertama, inventarisasi atau menelusuri keberadaan naskah Surat-surat Eyang Hasan Maolani adalah tahap awal yang
Universitas Indonesia
13
harus dilakukan. Djamaris (2002: 10–11) menyebutkan bahwa terdapat dua metode dalam tahap ini, yaitu (1) metode studi pustaka dengan menggunakan katalog-katalog naskah; dan (2) metode studi lapangan. Penelitian ini menerapkan metode studi lapangan dengan cara mengunjungi sumber-sumber yang diduga menyimpan varian naskah Surat-surat Eyang Hasan Maolani. Teknik ini dilakukan karena tidak didapatkannya informasi dalam katalog-katalog naskah disebabkan keberadaan naskah yang bersifat pribadi. Dari hasil inventarisasi hanya didapatkan naskah salinan fotokopi. Beberapa sumber yang diduga menyimpan naskah asli tidak bersedia untuk mengungkapkan keberadaan naskah surat-surat Eyang Hasan. Mereka menganggap bahwa suratsurat tersebut adalah peninggalan suci yang diberikan oleh Eyang Hasan yang tidak bisa sembarang orang dapat melihat naskah aslinya. Akibatnya, dalam penelitian ini, pemerian naskah secara kodikologis tidak dapat dilakukan. Atas dasar pertimbangan hasil inventarisasi, maka penelitian filologis terhadap Surat-surat Eyang Hasan Maolani pun akan menggunakan metode yang sesuai dengan naskah tunggal. Baried (1994, 67–68) menyebutkan bahwa terdapat dua metode yang dapat diterapkan untuk mendapatkan edisi pada naskah tunggal. Pertama, edisi diplomatik, yaitu menerbitkan sebuah naskah dengan seteliti mungkin tanpa adanya perubahan dan campur tangan terlalu dalam dari pihak penyunting. Kedua, edisi standar atau edisi kritik, yaitu berusaha untuk menerbitkan naskah dengan sekritis mungkin. Yakni, melakukan perbaikan atas kesalahan-kesalahan, menyesuaikan ejaan naskah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pengelompokan kata, pembagian kalimat, serta pemberian komentar pada setiap kesalahan yang ada pada teks. Dari keduanya, metode filologis yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah edisi standar atau edisi kritik. Seiring dengan penjelasan di atas, pemilihan metode ini didasarkan pada dua kondisi teks, yaitu (1) teks ditulis dengan aksara dan bahasa yang sudah tidak lazim digunakan pada masa kini, dan (2) teks belum tersaji dengan baik, tidak ada tanda baca, dan urutan cerita yang menyulitkan pembacaan serta pemahaman (Djamaris 2002: 8). Edisi suntingan teks ini dibuat dengan harapan akan dapat mengatasi kesulitan dalam memahami teks karena,
Universitas Indonesia
14
melalui metode ini, penyunting akan mengidentifikasi secara kritis sekaligus memberikan jalan keluar apabila dirasakan terdapat kesalahan dalam teks yang disuntingnya (Robson 1994: 25). Penelitian ini menggunakan dua kamus yang terkait dengan bahasa dalam teks. Penggunaan kamus ini penting dilakukan untuk mengatasi permasalahanpermasalahan keterbatasan kosakata yang umumnya tidak lagi dikenal di masa kini. Adapun dua kamus tersebut adalah Baoesastra Djawa (Poerwadarminta 1939) dan Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Munawwir 1984). Luaran yang kedua, yaitu analisis isi atas teks. Untuk mendapatkan luaran ini akan diterapkan pendekatan intertekstual sebagaimana yang telah digagas oleh Julia Kristeva. Pendekatan ini mendasarkan pada sebuah prinsip bahwa tidak ada teks yang benar-benar mandiri serta tidak terkait dengan teks-teks lainnya. Dalam arti, pendekatan ini ingin menyampaikan bahwa seorang pembaca teks harus pula memahami teks-teks terkait agar dapat memahami makna teks yang ditelitinya secara utuh (Teeuw 1984, 145–146). Alasan penerapan pendekatan ini adalah kenyataan bahwa dalam teks Suratsurat Eyang Hasan Maolani banyak ditemukan judul-judul teks lain yang dijadikan rujukan oleh Eyang Hasan dalam menyampaikan amanat kepada keluarganya. Sehingga, pembacaan atas teks yang sangat diperlukan untuk memeriksa ketepatan rujukan-rujukan tersebut sekaligus membantu memahami teks surat yang ditulis oleh Eyang Hasan.
1.7 Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini dalam bentuk tesis.
Adapun sistematika
penyajiannya adalah sebagai berikut: Bab I.
Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, penelitian terdahulu, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II. Eyang Hasan Maolani dan Kehidupannya, berisi riwayat hidup Eyang Hasan Maolani, aktivitas sosial-keagamaan, pengalaman di tanah pengasingan, dan akhir hayat Eyang Hasan Maolani.
Universitas Indonesia
15
Bab III. Deskripsi Naskah dan Karakteristik Teks, berisi deskripsi naskah, sistem penanggalan surat, dan sistematika penyusunan teks Bab IV. Suntingan Teks dan Terjemahan, berisi tujuan, metode, dan kaidah dasar penyuntingan, pertanggungjawaban transliterasi, suntingan teks, kaidah penerjemahan, serta susunan surat dan terjemahan. Bab V. Analisis Isi Surat-surat Eyang Hasan Maolani, berisi konsep mencari ilmu, konsep ibadah, dan rujukan keilmuan. Bab VI. Kesimpulan, berisi kesimpulan hasil penelitian.
Universitas Indonesia
BAB II EYANG HASAN MAOLANI DAN KEHIDUPANNYA
2.1 Riwayat Hidup Eyang Hasan Maolani Eyang Hasan Maolani merupakan putra asli kelahiran Desa Lengkong1 yang saat ini menjadi bagian dari Kecamatan Garawangi di Kabupaten Kuningan, Propinsi Jawa Barat. Ekadjati (dalam Latifundia 2014: 128), menuturkan bahwa Kuningan merupakan salah satu daerah sebaran agama Islam di bagian timur wilayah Jawa Barat yang berpusat di Cirebon. Dalam konteks yang lebih rinci, Latifundia (2014: 117–130) menyebutkan bahwa Kecamatan Garawangi yang berpusat di Desa Lengkong merupakan titik utama penyebaran agama Islam di wilayah Kuningan. Anggapan ini dibuktikan dengan penemuan makam-makam kuno yang menjadi bukti fisik penyebaran agama Islam yang di dalamnya terkubur tokoh-tokoh seperti Syekh Muhibbat, Syekh Dako, dan Mbah Buyut Jembar. Berdasarkan pengakuan dalam surat-surat yang ditulisnya,2 Eyang Hasan Maolani ia dilahirkan pada hari Senin, pukul 5, tanggal 8 Jumadil Akhir 1196 Hijriyyah, atau bertepatan dengan tanggal 21 Mei 1782 Masehi. Pengakuan ini akan terlihat berbeda apabila dibandingkan dengan rujukan dari beberapa literatur yang pernah ada. Lubis (2007: 9) berpendapat bahwa Eyang Hasan lahir pada tahun 1199 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1779 Masehi. Sementara Mastuki dan El-Saha (eds. 2003: 163) mengungkapkan bahwa Eyang Hasan dilahirkan pada tahun 1781 Masehi. 1
Desa Lengkong termasuk daerah administratif yang masuk pada kawasan Kecamatan Garawangi. Desa ini terletak sekitar 5 km di sebelah timur pusat kota Kuningan. Terdapat Jalan Eyang Hasan Maolani yang membelah Desa Lengkong dengan Desa Karangtawang di sebelah barat. Sementara di sebelah utara desa Lengkong berbatasan dengan Desa Sindangsari, sebelah timur berbatasan dengan Desa Purwasari, dan Desa Tembang Jaya berada di sebelah selatan Desa Lengkong. Lihat: Marhamah (2005). 2 Lihat Surat 7, hal. 73.
16
Universitas Indonesia
17
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tisnawerdaya (1975: 13), terungkap bahwa Eyang Hasan memiliki garis keturunan ‘darah biru’ yang berasal dari Kesultanan Cirebon. Dari temuannya dalam sebuah naskah beraksara Jawa Pegon, Tisnawerdaya mengungkapkan silsilah keturunan Eyang Hasan dari jalur Ayah berasal dari Sunan Gunung Jati melalui jalur Pangeran Pasarean. Pada sumber yang lain yaitu berdasarkan silsilah3 yang disusun oleh Hasan Mughni (1977)4 dari Desa Cikaso di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Eyang Hasan merupakan keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Jati dan keturunan ke-34 dari Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dengan silsilah yang disampaikan oleh Tisnawerdaya. Perbedaan tersebut tampak pada jalur keturunan keempat hingga keenam yaitu pada versi Tisnawerdaya menggunakan jalur istri (Nyi Raden Lampeg) sementara pada versi Hasan Mughni menggunakan jalur suami (Pangeran Kerta Adiningrat).
Sunan Gunung Jati (12)
Tumenggung Raden Jayadipura (5)
Pangeran Pasarean (11)
Nyi Raden Lampeg (4)
Pangeran Wiradipati (10)
Raden Kenda (3)
Panembahan Ratu (9)
Kiai Satar Citangtu Kuningan (2)
Pangeran Dipati (8)
Bagus Lukman Citangtu (1)
Ratu Girilaya (7)
Hasan Maolani
Nyi Raden Siti Atiyah (6) Bagan 1. Silsilah Eyang Hasan Maolani dari Jalur Ayah (Versi Tisnawerdaya)
3
Silsilah ini ditulis tangan oleh Hasan Mughni pada bulan April tahun 1977 dengan menggunakan aksara Latin. Adapun media yang digunakan adalah kertas plano dan dituliskan menggunakan spidol bertinta hitam dan merah. Saat ini naskah tersebut disimpan oleh keturunannya, yaitu Jojo Ghozali, di Desa Cikaso, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. 4 Berdasarkan silsilah yang disusunnya, Hasan Mughni adalah keturunan ke-5 dari Eyang Hasan Maolani.
Universitas Indonesia
18
Sunan Gunung Jati (12)
Pangeran Suryadiningrat (5)
Pangeran Pasarean (11)
Pangeran Kerta Adiningrat (4)
Pangeran Dipati (10)
Nyai Mas Kenda (3)
Panembahan Ratu (9)
Kiai Syatar (2)
Pangeran Dipati Anom (8)
Kiai Lukman (1)
Panembahan Girilaya (7)
Kiai Hasan Maolani Lengkong Minado
Pangeran Natadiningrat (6) Bagan 2. Silsilah Eyang Hasan Maolani dari Jalur Ayah (Versi Hasan Mughni)
Sementara dari jalur ibu, Eyang Hasan dilahirkan dari rahim Nyai Lukman yang berasal dari Desa Lengkong. Sebagaimana pada jalur ayahnya, dari jalur ini pun Eyang Hasan diketahui berasal dari keturunan bangsawan hingga berujung pada Prabu Siliwangi (Hadziq t.t.: 3).
Prabu Siliwangi (14)
Ki Sarawati (7)
Guru Gantangan (13)
Ki Narajaya (6)
Ratu Selawati (12)
Ki Malang Jiwa (5)
Singadipati (11)
Syekh Haji Muhammad Husen (4)
Prabu Gesanulun (10)
Kiai Abdul Qahir (3)
Dalem Balidah (9)
Kiai Jafiyah (2)
Ki Legasara (8)
Nyai Lukman Lengkong (1) Hasan Maolani
Bagan 3. Silsilah Eyang Hasan Maolani dari Jalur Ibu
Universitas Indonesia
19
Eyang Hasan menikah dengan Nyai Murtasim yang berasal dari Desa Lengkong. Dari pernikahannya, Eyang Hasan dikaruniai sebelas orang anak yang masing-masing bernama Imrani, Mu’minah, Maimunah (Ruqoyyah), Imamudin (Thuba), Azamuddin, Muhammad Hakim, Nasibah, Marhamah, Muhimah, Absori (Nur Hamid), dan Ahyar (Ihsanuddin).5 Hampir seluruh keturunannya tinggal dan dimakamkan di Desa Lengkong terkecuali pada Imrani yang dimakamkan di Desa Cikaso, Kecamatan Kramatmulya; Mu’minah di Desa Karangmangu, Kecamatan Kramatmulya; dan Imamuddin di Desa Tanjungsari, Kecamatan Purwawinangun (Hadziq t.t.: 6). Eyang Hasan meninggalkan bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Ia dinyatakan pernah menetap di Desa Lengkong. Lubis (2007: 105–109) menunjukkan artefak-artefak seperti rumah tinggal, masjid, baju koko, sarung, potongan rambut, tongkat, bokor, tempat tinta, dan sandal kayu (bakiak) yang pernah digunakan oleh Eyang Hasan selama berada di Desa Lengkong. Eyang Hasan juga diketahui sangat menyenangi kerajinan seni ukir. Terbukti terdapat pada ukiran pintu dan kursi-kursi di rumahnya. Selain meninggalkan benda-benda arkeologis, Eyang Hasan juga diketahui telah meninggalkan benda peninggalan tertulis. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya naskah berjudul Fat¥ al-Qarīb yang diduga ditulis oleh Eyang Hasan dengan menggunakan aksara Pegon dan berbahasa Jawa serta Sunda (Lubis 2007: 17). Selain Fat¥ al-Qarīb, naskah lain yang diduga ditulis oleh Eyang Hasan adalah surat-surat untuk keluarganya yang ditulis saat ia berada di Kampung Jawa, Sulawesi Utara.
2.2 Aktivitas Sosial-Keagamaan Sepanjang kehidupannya, Eyang Hasan dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam di Kuningan. Kedekatannya dengan agama Islam telah terlihat sejak dini, hal tersebut diungkapkan oleh Panembahan Dako saat menyambut kelahiran Eyang Hasan. Panembahan Dako mengatakan bahwa Hasan 5
Informasi lengkap mengenai keturunan Hasan Maolani hingga tahun 1990 dapat dilihat pada Silsilah Keturunan Eyang Hasan Maolani, Lengkong, Kuningan, Jawa Barat, Indonesia yang disusun oleh Ma’ruf (1990).
Universitas Indonesia
20
Maolani muda memiliki potensi untuk menjadi ulama besar karena di dalam jiwanya terdapat “bulu kenabian”. Hasan Maolani kecil adalah sosok yang sangat lembut dan penyayang sesama makhluk Tuhan dan gemar menyepi di Gunung Ciremai dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhannya (Tisnawerdaya 1975: 34–35). Eyang Hasan mendapatkan pengajaran ilmu-ilmu agama dari beberapa pesantren di Jawa Barat. Disebutkan oleh Lubis (2007: 10–11) bahwa Eyang Hasan merupakan santri yang sangat cerdas sehingga ia menjadi santri yang sangat dibanggakan oleh setiap gurunya. Sebelum pergi untuk mencari ilmu ke tempat yang jauh, Eyang Hasan terlebih dahulu belajar kepada sesepuh dan guru yang berada di sekitar Kuningan seperti pesantren asuhan Mbah Padang di Garawangi, Pesantren Pangkalan asuhan Mbah Alimudin selama 1 tahun 5 bulan, dan Pesantren Kadugede asuhan Kiai Sholehudin selama 2 tahun 8 bulan. Setelahnya, Eyang Hasan tercatat pernah menimba ilmu di Pasawahan Kanci, Cirebon; Pesantren Rajagaluh asuhan Kiai Bagus Arjaen; dan Pesantren Ciwaringin di Cirebon (Hadziq t.t.: 5). Dari beberapa pengalamannya mempelajari ilmu agama, Eyang Hasan diketahui menganut berbagai macam tarekat yakni Syattariyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, dan Akmaliyyah. Meski demikian Eyang Hasan memilih untuk memperdalam
ilmu
agamanya
dengan
menganut
tarekat
Syattariyyah.
Fathurahman (2008: 177) mencatat bahwa Eyang Hasan merupakan salah satu murid tarekat yang berasal dari jalur Syekh Abdul Muhyi Safarwadi Pamijahan di Tasikmalaya, Jawa Barat. Bukti-bukti lain yang menegaskan bahwa Eyang Hasan merupakan penganut tarekat Syattariyyah adalah banyak ditemukannya naskahnaskah yang mengajarkan tarekat ini. Seperti contoh, berdasarkan penelusuran dari keturunannya, ditemukan silsilah-silsilah tarekat Syattariyah serta naskah Tanbīh al-Māshī6 karangan Syekh Abdurrauf Singkel. Judul lengkapnya adalah Tanbīh al-Māshī al-Mansūb ilá °arīq al-Qushāsī. Naskah ini menjelaskan tentang tanggapan Abdurrauf Singkel dalam perdebatan doktrin wujudīyah antara pengikut Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniry di Aceh pada abad ke-17. Dalam karyanya, Syekh Abdurrauf Singkel tidak menunjukkan keberpihakan kepada keduanya melainkan memberikan tafsiran yang berupaya menengahi keduanya. Kajian mendalam mengenai isi naskah ini telah diulas dalam Fathurahman (1998) dan (1999). 6
Universitas Indonesia
21
Gambar 1: Naskah Tanbīh al-Māshī tertanggal 17 Ramadan Tahun Alip Koleksi Abdul Rohim (Foto: Muhammad Nida’ Fadlan)
Selain aktif dalam kegiatan tarekat Syattariyyah, Eyang Hasan juga tercatat aktif sebagai salah satu penyebar tarekat Akmaliyyah. Menurut van Bruinessen (1994: 20), tarekat ini merupakan tarekat yang diketahui berkembang pada abad ke-19 secara lokal di wilayah Cirebon, Jawa Barat, dan Banyumas, Jawa Tengah. Tarekat ini, masih menurut van Bruinessen, memadukan nilai-nilai mistik Jawa dengan ajaran Islam dalam doktrin dan prakteknya termasuk di dalamnya mengenai doktrin wa¥dat al-wujūd yang merujuk pada ajaran ‘Abd alKarīm al-Jillī dalam karyanya al-Insān al-Kāmil. Lebih ringkas, Mastuki dan ElSaha (eds. 2003: 166) menambahkan bahwa belum ditemukan sumber awal yang mengkaji orang pertama yang menyebarkan tarekat Akmaliyyah ini begitupun dengan kelanjutan tarekat tersebut di masa kini. Namun demikian apa yang dilakukan oleh Eyang Hasan merupakan upaya untuk menyebarkan agama Islam dengan melakukan kompromi terhadap budaya setempat. Ini membuktikan bahwa Eyang Hasan menyadari penyesuaian antara budaya dan agama adalah cara untuk meraih simpati masyarakat setempat agar Islam dapat diterima dengan baik (Rahman dan Hodayah 2011).
Universitas Indonesia
22
Upaya ini membuahkan hasil. Eyang Hasan mendapatkan dukungan yang besar dari setiap masyarakat penerima ajaran tarekat Akmaliyyah. Hingga Drewes (1925) menyebutnya sebagai Drie Javaansche Goeroe’s atau Tiga Guru Jawa. Eyang Hasan bersama dengan Nurhakim dan Mas Malangyuda memimpin gerakan tarekat ini hingga mendapatkan pengikut yang banyak. Bahkan salah satu diantara mereka yaitu Nurhakim berguru langsung kepada Eyang Hasan saat berada di Desa Lengkong (Mastuki dan El-Saha (eds.) 2003: 163). Besarnya dukungan sosial yang diberikan oleh masyarakat terhadap Eyang Hasan menjadi momok yang menakutkan bagi Pemerintah Hindia-Belanda yang saat itu baru saja menyelesaikan peperangan selama lima tahun (1825-1830) melawan Pangeran Dipanegara. Pemerintah Hindia-Belanda masih dipenuhi rasa trauma yang mendalam karena pergerakan yang dipimpin oleh seorang pimpinan agama merupakan potensi besar terjadinya perlawanan terhadap pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Eyang Hasan disebutkan melakukan doktrin sinkretisasi ajaran agama Islam dengan menganjurkan setiap orang agar melakukan upacara selametan dengan menyajikan piring tembikar yang berisi makanan-makanan tertentu. Pelaksanaan upacara tersebut merupakan saran dari bisikan gaib yang diterima oleh Eyang Hasan agar dirinya terhindar dari godaan iblis (Lubis 2007: 17). Dalam konteks inilah kemudian Pemerintah Hindia-Belanda menyematkan label “Tjap Setan” kepada Eyang Hasan karena ia dinilai telah merusak kemurnian ajaran Islam dengan jalan bersekutu dengan iblis sekaligus telah membuat keresahan umat Islam di hampir seluruh wilayah Priangan (Drewes 1925: 11). Kemarahan Pemerintah Hindia-Belanda semakin bertambah seiring Eyang Hasan yang
mendeklarasikan dirinya sebagai “Pembaharu
Agama”
di
Karesidenan Cirebon dan sekitarnya (Lubis 2007: 14). Deklarasi ini semakin mengukuhkan kedudukan sosial Eyang Hasan yang diketahui memiliki pergaulan yang luas hingga disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki banyak santri yang terkumpul di pesantren “Raudlatut Thalibin”.7 Popularitas Eyang Hasan ini tercatat dalam laporan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. 7
Penjelasan lengkap mengenai pesantren ini telah dijabarkan oleh Marhamah (2005).
Universitas Indonesia
23
Eyang Hasan dilaporkan telah melakukan gerakan sosial yang dibuktikan dengan banyaknya orang yang berdatangan ke kediamannya di Desa Lengkong (Lubis 2007: 14). Menurut Ricklefs (2007, 47), keberhasilan Eyang Hasan mendapatkan posisi penting di mata pengikutnya adalah semata-mata karena ia dianggap sebagai ratu adil (messiah) yang dapat menyelamatkan rakyatnya dari ancaman penjajahan. Kajian mengenai keberadaan Eyang Hasan yang menciptakan gerakan ratu adil (messianisme) juga dicatat oleh Kartodirjo (1978: 66). Pada sisi yang lain, Tisnawerdaya (1975: 43–45) memberikan contoh-contoh tindakan yang dilakukan oleh Eyang Hasan dalam rangka meraih dukungan tersebut, misalnya, Eyang Hasan dapat mengetahui peristiwa besar di masa yang akan datang, dapat mengobati orang sakit, dan mampu menghilang secara fisik. Besarnya pengaruh sosial yang dimiliki oleh Eyang Hasan dipandang serius oleh Pemerintah Hindia-Belanda dengan cara meminta Residen Priangan untuk mengutus Residen Cirebon agar menyelidiki apakah Eyang Hasan memiliki pengaruh besar yang berpotensi meruntuhkan kekuatan pemerintah. Dari tinjauannya, Residen Priangan menulis surat yang ditujukan kepada pemerintah pusat di Batavia bahwasanya rakyat lebih memilih untuk mematuhi Eyang Hasan daripada pemerintah dan Eyang Hasan bersama pengikutnya merencanakan akan melakukan gerakan untuk menyerang pemerintah Hindia-Belanda. Selain itu juga, hasil penyelidikan juga menyebutkan bahwa ajaran Eyang Hasan dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam sehingga Residen memberi saran agar Eyang Hasan dapat segera ditangkap dan diasingkan ke sebuah tempat di luar Pulau Jawa (Drewes 1925: 13–15).
2.3 Pengalaman di Tanah Pengasingan Potensi Eyang Hasan Maolani untuk menggerakkan masyarakat segera diredam oleh Pemerintah Hindia-Belanda dengan cara menangkap kemudian mengasingkannya. Landasan hukum mengenai penerapan hukuman pengasingan8 8
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) memberikan definisi ‘pengasingan’ sebagai proses, cara, atau tempat mengasingkan seseorang yang dianggap berseberangan secara politis ke
Universitas Indonesia
24
bagi para pemimpin pribumi oleh pemerintah Hindia-Belanda adalah pasal 20 tentang Keadaan Perang (Staat van Oorlog en Beleg). Pasal tersebut menjelaskan bahwa tujuan penerapan hukuman pengasingan adalah untuk menjaga ketenangan dan ketertiban umum (Toer, dkk. 1999: 237). Bagi pemerintah kolonial, pengasingan adalah cara efektif yang dipercaya dapat memutus ketergantungan masyarakat pribumi terhadap pengaruh pemimpinnya, termasuk di dalamnya adalah para ulama. Masuknya ulama sebagai bagian dari target pengasingan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsinya sebagai pengayom masyarakat di sekitarnya. Sebagai bagian dari elite sosial,9 ulama adalah tokoh sentral di lingkungan masyarakat yang mampu memainkan multiperan baik sebagai penyampai doktrin-doktrin keislaman, penjaga tradisi lokal, hingga keterlibatannya dalam setiap aktivitas politik dalam lingkup masyarakat Islam (Burhanudin 2012: 3–4). Meskipun demikian, ketersediaan sumber primer mengenai kehidupan para korban pengasingan adalah hal yang sangat sulit didapatkan. Sehingga hal inilah yang, menurut Suryadi (2008: 214), menyebabkan kajian atas orang-orang dari pengasingan sangat jarang dilakukan. Padahal, kajian atas permasalahan ini sangatlah menarik untuk diulas mulai dari bahasan-bahasan seputar perjalanan mereka menuju tanah pengasingan, pandangan mereka tentang daerah pengasingan berikut masyarakatnya, cara mereka beradaptasi, hubungan dengan otoritas setempat, hingga bagaimana cara mereka berhubungan dengan tanah kelahirannya (Suryadi 2008: 214). suatu tempat yang jauh dari daerah asalnya. Praktik semacam ini sangat lekat dengan perilaku kolonialisme termasuk diantaranya adalah sejarah kolonialisasi Pemerintah Kolonial HindiaBelanda terhadap bangsa Indonesia di masa lampau. Praktik pengasingan di Indonesia tidak hanya menimpa kalangan nasionalis, semacam Sutan Syahrir, Soekarno, dan Muhammad Hatta, saja melainkan juga melibatkan para ulama yang juga gigih membentengi rakyat dan wilayah leluhurnya dari serangan penjajah. 9 Penyebutan ulama sebagai elit sosial didasarkan pada paparan Dhofier (2011: 94). Menurutnya, ulama adalah bagian dari struktur elit masyarakat dalam berbagai aspek seperti sosial, politik, dan perekonomian masyarakat Indonesia. Ulama memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi rakyatnya bahkan ulama adalah pembuat keputusan yang paling efektif dalam tatanan kehidupan sosial dan politik. Atas dasar keluasan ilmu dan kharisma, masyarakat seringkali lebih mendengarkan fatwa-fatwa ulama dibandingkan melaksanakan perintah dari otoritas pemerintahan setempat.
Universitas Indonesia
25
Oleh karenanya, kehadiran surat-surat Eyang Hasan dari Kampung Jawa merupakan oase di tengah kelangkaan informasi mengenai para pemimpin pribumi yang diasingkan. Melalui surat-suratnya, Eyang Hasan berhasil menjawab beberapa pertanyaan penelitian di atas. Salah satu peran penting yang dapat disumbangkan dari kehadiran sumber primer ini adalah memberikan pemahaman yang baik mengenai situasi serta kondisi para tahanan politik di pengasingan pada abad ke-19 sekaligus memberikan gambaran mengenai pemikiran-pemikiran keagamaan Eyang Hasan Maolani. Eyang Hasan mulai meninggalkan keluarganya di Lengkong pada bulan Safar tahun 1257 Hijriyah yang bertepatan dengan bulan Maret atau April di tahun 1841 Masehi. Eyang Hasan yang kala itu berusia 59 tahun tidak langsung dibawa ke Kampung Jawa melainkan terlebih dahulu dipenjara di Cirebon selama tiga bulan.10 Menurut Tisnawerdaya (1975: 69), sejak awal pihak keluarga tidak menyetujui penangkapan Eyang Hasan karena tidak memiliki alasan penangkapan yang kuat dan jelas. Meskipun demikian, Eyang Hasan melarang keluarganya untuk menentang keputusan pemerintah kolonial karena saat itu kedudukan kolonial di Nusantara sedang berada dalam masa kejayaan sehingga perlawanan yang dilakukan oleh keluarganya adalah pekerjaan yang sia-sia. Alih-alih mendukung perlawanan yang dilakukan oleh keluarganya, Eyang Hasan justru menyarankan para pengikutnya dapat menahan diri sambil terus menanamkan sikap anti-kolonialisme kepada rakyat melalui penguatan ilmu-ilmu keagamaan (Tisnawerdaya, 1975: 69). Posisi geografis kota Cirebon yang tidak jauh dari kota Kuningan menyebabkan para pengikut Eyang Hasan berduyun-duyun menjenguknya di penjara. Kondisi ini membuat pemerintah kolonial berpikir untuk memindahkan Eyang Hasan ke Batavia untuk mengantisipasi timbulnya pemberontakan. Namun anggapan ini terbukti salah karena ternyata para pengikut tetap mengunjungi Eyang Hasan di Batavia (Lubis 2007: 23). Setelah 4 bulan di Batavia, pemerintah kolonial akhirnya memutuskan untuk mengasingkan Eyang Hasan ke Kampung 10
Eyang Hasan merangkum pengalaman perjalanannya sejak ditangkap hingga tiba di tanah pengasingan dalam Surat 6 yang ditulis pada bulan Syawal tahun 1270 H atau bertepatan dengan bulan Juni/Juli 1854.
Universitas Indonesia
26
Jawa pada bulan Safar 1259 Hijriyah yang bertepatan dengan bulan Maret tahun 1843.11 Pelayaran menggunakan kapal laut adalah moda transportasi yang digunakan oleh pemerintah kolonial untuk membawa Eyang Hasan ke tanah pengasingan. Sebelum sampai di Kampung Jawa, Eyang Hasan terlebih dahulu singgah di Pulau Ternate yang kini menjadi bagian dari Provinsi Maluku Utara sebelum kembali berlayar ke Kampung Kaima12 dan tinggal di kampung tersebut selama seratus hari.13 Di Kampung Kaima, Eyang Hasan tinggal bersama seseorang yang berasal dari kota Tegal, Jawa Tengah. Ia menuturkan bahwa penduduk Kampung Kaima terdiri dari bangsa Belanda, Suku Puru,14 umat Nasrani, dan umat Islam. Selain keberadaan masyarakat yang heterogen, Eyang Hasan juga menceritakan keadaan bahwa mayoritas penduduk di Kampung Kaima memelihara babi sebagai binatang ternak sehingga setiap rumah dipenuhi dengan kotoran binatang tersebut.15 Pada tanggal 17 Rajab 1259 (13 Agustus 1843) Eyang Hasan meninggalkan Kampung Kaima menuju Kampung Jawa.16 Eyang Hasan menggambarkan Kampung Jawa sebagai daerah yang kaya akan sumber air dan memiliki komplek pekuburan yang terletak di kawasan perbukitan seperti halnya komplek pekuburan Gunung Jati di Cirebon. Berikut
adalah kutipan
penggambaran tersebut: Andhéné banyuné Kampung Jawa iku kakubeng dèning jurang banyu serta agawé sumur kaya Cirebon. Yèn adus anang latar belaka serta dèn kikis lataré. Banyuné adem kaya manis sarta atis. Andhéné pakuburané iki anang gunung, kira-kira pada kelawan Gunung Jati atawa kurang setitik. (Surat 6, hal. 4).
Adapun Kampung Jawa itu dikelilingi oleh sumber air dan membuat sumur seperti halnya di Cirebon. Apabila mandi hanya di halaman rumah yang ditutup. Airnya segar, manis, dan dingin. Adapun pekuburannya terletak di gunung, kira-kira sama seperti di Gunung Jati atau kurang sedikit.
11
Lihat Surat 6, hal. 1. Saat ini, Kaima merupakan sebuah desa yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. 13 Lihat Surat 6, hal. 2. 14 Hasan Maolani mengibaratkan karakter Suku Puru layaknya pada manusia di zaman jāhilīyah. Lihat Surat 6, hal. 2. 15 Lihat Surat 6, hal. 2. 16 Saat ini, Kampung Jawa adalah desa yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. 12
Universitas Indonesia
27
Universitas Indonesia
28
Kampung Jawa merupakan tempat pengasingan orang-orang yang berasal dari Jawa. Eyang Hasan menyebutkan bahwa orang-orang tersebut sudah bermukim di kampung tersebut selama 24 tahun.17 Selama masa tersebut, Kampung Jawa telah dihuni oleh 315 orang.18 Mereka memilih untuk melanjutkan kehidupan dengan cara menikahi wanita-wanita lokal terutama dari kalangan suku Puru sekaligus sebagai upaya mengislamkan penduduk setempat.19 Babcock telah menguraikan panjang lebar mengenai hal-hal penting terkait Kampung Jawa. Babcock (1989) dalam penelitian etnografinya menuturkan bahwa penduduk Kampung Jawa adalah contoh hasil akulturasi yang melibatkan masyarakat yang sangat heterogen. Diketahui bahwa masyarakat asli Tondano memiliki karakter kesukuan dan latar belakang agama yang jelas berbeda apabila dibandingkan dengan karakter budaya yang dimiliki oleh para tawanan yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa. Dalam konteks agama, masyarakat asli Tondano merupakan penganut agama Kristen yang dapat dipastikan memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan para pasukan Kiai Mojo yang beragama Islam. Namun demikian, Babcock (1981: 74–92) memperlihatkan bagaimana dua jenis kebudayaan dari dua latar keagamaan yang berbeda dapat membaur secara alamiah dan menghasilkan kebudayaan baru. Eyang Hasan tinggal bersama dengan para ulama yang memiliki nasib yang sama dengannya. Kiai Khalifah, Kiai Wahada, Kiai Baderan, Kiai Ghazali, dan Kiai Ma’ruf adalah nama-nama ulama yang disebut oleh Eyang Hasan sebagai tokoh-tokoh yang memiliki nasib yang sama. Bahkan Eyang Hasan pun memutuskan untuk mengikuti jejak para pendahulunya yakni menikah kembali di tanah pengasingan.20 Tidak seperti halnya dengan para ulama sebelumnya yang menikahi wanita lokal sekaligus mengembangkan misi keagamaan, Eyang Hasan justru tidak mengikuti jejak para ulama tersebut. Ia menikahi seorang janda beranak satu 17
Lihat Surat 2, hal. 15. Jumlah ini merujuk pada keterangan perkembangan populasi penduduk Kampung Jawa yang dirilis oleh Babcock (1989: 42). 19 Pembahasan mengenai sistem pernikahan silang budaya di daerah ini telah dikaji oleh Makaliwe (1981). 20 Lihat Surat 6, hal. 3. 18
Universitas Indonesia
29
pada bulan Safar tahun 1263 Hijriyah atau bertepatan dengan bulan Januari atau Februari tahun 1847. Berikut adalah kutipannya: Maka sawisé iku ana randhané Kiai Ma‘ruf saking negara Yogya duwé anak wadon sawiji arané (…). Maka isun arep nuli nikah, maka dadi isun iku duwé zawjah saking taun Dal wulan Safar tanggal 9 dina Selasa hijrat al-Nabawīyah ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1263 s-r-gh. Maka dadi isun sawisé duwé zawjah iki wis ora mikir apa mung amangan, anginum, aturu, angaji Kur’an, amaca ¡alāwah “Dalā’il alKhayrāt”, kerana andongakaken ing anak putu miwah segala wong tābi‘ lan segala wong percaya maring isun (Surat 6, hal. 34).
Setelah itu, ada jandanya Kiai Ma’ruf dari kota Yogyakarta yang mempunyai satu anak perempuan yang bernama (…). Kemudian Aku ingin menikahinya, sehingga Aku telah memiliki istri sejak hari Selasa bulan Safar tahun Dal (bertepatan dengan) tahun 1263 Hijriyah sr-gh. Setelah memiliki istri, Aku tidak memikirkan apa-apa kecuali makan, minum, tidur, mengaji Alquran, dan membaca salawat Dalā’il al-Khayrāt, untuk mendoakan anak cucu beserta seluruh pengikut dan orang yang mempercayaiku.
Dari paparan di atas, disebutkan bahwa, pada masa tuanya, Eyang Hasan ditemani oleh istri dan anak tirinya serta diberi kecukupan sandang dan pangan. Ia hanya fokus untuk beribadah dan mendoakan para pengikut serta keluarga di Lengkong. Seluruh kehidupan duniawi dikerjakan oleh istri dan anaknya karena, berdasarkan adat-istiadat setempat, perempuanlah yang bekerja menjadi tulang punggung keluarga seperti melakukan pekerjaan-pekerjaan semacam menanam padi, mengurus sawah, dan mencari kayu bakar. Eyang Hasan adalah sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat sekitar. Setelah Kiai Khalifah, Kiai Wahada, Kiai Baderan, dan Kiai Ma’ruf meninggal dunia, praktis Kampung Jawa hanya memiliki dua ulama yakni Eyang Hasan sendiri dan Kiai Ghazali yang berasal dari Mlangi, Yogyakarta. Kharisma yang dimiliki Eyang Hasan semakin menentukan posisinya sebagai sosok yang dihormati mengingat ia memiliki usia yang lebih sepuh daripada Kiai Ghazali yang baru berusia 62 tahun sementara ia berusia sepuluh tahun lebih tua.21 Eyang Hasan menjadi sesepuh yang disegani di Kampung Jawa sehingga Ia dimuliakan oleh masyarakat sekitar. Ia juga mendirikan pesantren dengan nama “Pesantren Rama Kiai Lengkong”22 sebagai pusat penyebaran agama Islam di tempat tersebut. Penamaan tersebut memperlihatkan bahwa meskipun Eyang
21
Lihat Surat 6, hal. 3. Lihat pada Moh. Ma’ruf, Silsilah Keturunan Eyang Hasan Maolani Lengkong Kuningan Jawa Barat Indonesia, 1990. (tidak diterbitkan). 22
Universitas Indonesia
30
Hasan telah lama bermukim di Kampung Jawa, namun dalam hatinya yang paling dalam masih menyimpan rasa rindu kepada kampung halamannya, Desa Lengkong. Selain mendirikan pesantren, Ia membangun masjid yang disebutnya seperti masjid di Lengkong, menjadi imam, penghulu, hingga menjadi guru bagi masyarakat sekitar. Berdasarkan pengakuannya, 20 laki-laki dan 10 perempuan telah menyatakan diri untuk setia menjadi muridnya.23 Meskipun Eyang Hasan telah merasa nyaman berada di lingkungan Kampung Jawa, bukan berarti ia tidak memiliki keinginan untuk kembali ke kampung halamannya di Lengkong. Rasa rindu terhadap keluarga dicurahkan dalam surat-suratnya. Ia merasa menyesal karena tidak dapat melihat anak keturunannya serta tidak mampu membimbing secara langsung sehingga Eyang Hasan meminta kepada anak-cucunya untuk berdoa kepada Allah agar ia diberikan kesempatan pulang ke kampung halaman. Hé putunisun sekabèh, isun dèn jaluki apaapa dèning putu dèning anak, iya isun ora bisa apa-apa amung sami-sami andonga dèn dongakaken mugi-mugi sami-sami angsal hidayah min rabb al-‘ālamīn. Lan isun katekanan surat saking anak putu iku luwih saking suka isun bungah, isun malah-malah isun gemuyu. Lan barang isun ora bisa muruk lan ora katingalan isun anangis nadam (Surat 5, hal. 58).
Wahai anak cucuku semua, Aku dimintai macam-macam oleh cucu dan anak, padahal Aku tidak bisa apa-apa hanya bisa saling mendoakan semoga sama-sama diberi hidayah dari Tuhan semesta alam. Saat Aku mendapat surat dari anak cucu itu sangat menggembirakan, bahkan terkadang Aku tertawa. Tetapi saat Aku (teringat) tidak bisa mengajari dan tidak bisa melihat kalian, Aku menangis menyesal.
Ketatnya pengawasan pemerintah kolonial atas tahanan politiknya di Kampung Jawa tercermin dalam surat Eyang Hasan. Dalam suratnya, Eyang Hasan menceritakan tentang cara surat-suratnya dikirimkan agar sampai ke tangan keluarganya di Lengkong yakni dengan cara dititipkan kepada orang-orang yang akan kembali ke Pulau Jawa. Meskipun demikian, ia menuturkan bahwa pengiriman surat ke luar Kampung Jawa tidak semudah yang diperkirakan. Pemerintah kolonial mewajibkan kepada setiap orang yang akan mengirimkan surat untuk menuliskannya dalam aksara Latin berbahasa Melayu agar para penjaga dapat mengawasi dan membaca isi surat tersebut. Atas dasar inilah tidak semua orang berani mengambil resiko untuk mengantarkan surat. Terkait aturan ini, Eyang Hasan berpesan kepada keluarganya agar menyembunyikan surat-surat 23
Lihat Surat 7, hal. 69-70.
Universitas Indonesia
31
yang dikirimnya karena seseorang yang tengah diasingkan dilarang mengirimkan surat tanpa persetujuan pemerintah setempat.24 Keinginannya untuk pulang tidak hanya angan-angan semata. Berbagai upaya telah dilakukan demi memuluskan keinginannya untuk kembali berkumpul dengan keluarga di Lengkong.25 Pada tahun 1270 Hijriyah (1853/1854) ia berkirim surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia agar mengizinkannya kembali ke Lengkong. Akan tetapi usahanya kandas karena permohonannya ditolak dengan alasan tidak ada yang menanggung.26 Menyikapi kegagalan tersebut, melalui suratnya, Eyang Hasan meminta anak-anaknya agar menemui anak muridnya Raden Dipati Majalengka yang telah menyanggupi untuk menolongnya untuk
melobi pemerintah
Hindia-Belanda di Batavia.
Permohonan
itu
dituliskannya dalam surat yang berbunyi: Mugi-mugi sira matur maring anak murid Raden Dipati Majalengka aneda tulung mugi-mugi isun dèn tulungi dèn (…) maring Tuan Besar Betawi. Sabab mauné sadurungé isun dèn buwang iku (…) sanggupi (…) maring isun kiai boka ana perkara apa lakuning pitnah sampéyan sampun khawā¯ir (…) rupané kang ananggung. Maka jawab isun enggih. Al¥amdu lillāhi rabb al-‘ālamīn. Iku menawamenawa maksih inget iya ing sanggupi. Wallāhu a‘lam. (Surat 7, hal. 70-71)
Semoga kalian dapat menghadap kepada anak muridnya Raden Dipati Majalengka untuk meminta tolong, semoga Aku ditolongnya untuk disampaikan kepada Tuan Besar di Betawi. Karena, sebelum Aku dibuang, ia menyanggupi barangkali ada masalah terkait fitnah maka tidak perlu khawatir ia yang akan bertanggung jawab. Maka Aku jawab iya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Barangkali masih ingat, akan disanggupi. Hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Segala usaha yang ditempuh terbukti gagal tercapai karena hingga akhir hayatnya terbukti Eyang Hasan tidak pernah berhasil untuk meninggalkan Kampung Jawa. Meskipun demikian, berdasarkan isi surat-suratnya, terlihat bahwa Eyang Hasan tidak merasa tertekan untuk hidup di pengasingan walaupun semangat untuk kembali ke Desa Lengkong sangatlah besar. Eyang Hasan merasa lebih leluasa untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, bahkan ia memiliki angan-angan untuk melaksanakan ibadah haji saat ia telah terlepas dari jeratan hukum. Untuk mengisi hari-harinya, Eyang Hasan rutin membaca pujian-pujian dalam Dalā’il al24
Lihat Surat 5, hal. 64; Surat 7, hal. 71; dan Surat 13, hal. 40 untuk mengetahui bagaimana pengalaman Eyang Hasan menulis hingga mengirimkan surat-surat tersebut dari pengasingan agar sampai kepada keturunannya. 25 Lubis (2007: 24–27) secara rinci menjelaskan berbagai usaha yang dilakukan untuk mengembalikan Eyang Hasan agar kembali berkumpul dengan keluarganya di Desa Lengkong. 26 Lihat Surat 7, hal. 70.
Universitas Indonesia
32
Khayrāt dan memperbanyak membaca salawat kepada Nabi Muhammad. Kegiatan tersebut merupakan rutinitas Eyang Hasan hingga keluarganya di Desa Lengkong mendapatkan berita bahwa Eyang Hasan telah wafat.
2.4 Akhir Hayat Eyang Hasan Maolani Senada dengan waktu kelahirannya, penanggalan wafatnya Eyang Hasan pun terdapat perbedaan. Terdapat tiga ragam pendapat mengenai perselisihan ini. Pertama, Drewes (1925: 18) Mastuki dan El-Saha (eds. 2003: 168), dan Lubis (2007: 28) menyepakati bahwa Eyang Hasan wafat pada tanggal 29 April 1874. Kedua, Hadziq (t.t.: 11) berpendapat peristiwa tersebut jatuh pada 30 April 1874. Ketiga, Babcock (1989: 278) berpendapat bahwa Eyang Hasan wafat pada tahun 1300 Hijriyyah atau bertepatan dengan tahun 1883 Masehi berdasarkan pada inskripsi yang terdapat pada batu nisan tempat dikuburkannya di Komplek Pemakaman Kiai Mojo. Dari ketiganya, pendapat yang menyebutkan tanggal 29 April 1874 layak untuk dikedepankan apabila merujuk pada kutipan surat pemberitahuan kematian27 yang dikirimkan oleh pemerintah setempat di Kampung Jawa kepada keluarganya di Lengkong. Berikut adalah edisi suntingan teks dari surat tersebut: Kepada saudara yang ada amat baik, Dengan surat ini kita khabarkan pada saudara bahwa Rama Kiai Hasan Maolani sudah meninggalkan dunia yang fana dan sudah pulang ke rahmatullah dan menghadap pada zaman baka. Yang telah jadi pada dua belas Maulud malam Rabu lepas jam empat hampir siang wafatnya. Demikian jadilah menurut kahormatan daripada bangsa orang Islam, rahaga Rama sudahlah dibersihkan pada siang malam itu juga. Oleh penghantaran Tuan Pangeran dan putranya semua. Terlebih kepala kampung dan saya dan orangorang semua sehingga dihantarkan kepada tempat pekuburan dan dipikul orangorang terlebih tuan pangeran dan tuan Kepala Kampung dan saya. Sedang saudara sendiri sudah tahu dari itu tempat yang Rama sudah pesan pada jadi tempatnya jadilah dengan selamat. Bahwa orang sudah kerja dengan hormat dalam satu-satu tempat itu sehingga datanglah orang-orang pikul dengan bangsa perempuan adalah hantar dari mayit itu sampai di tempat yang tersebut.
27
Surat ini terdapat pada bagian akhir bundel surat-surat Hasan Maolani yang menjadi bahasan utama dari penelitian ini.
Universitas Indonesia
33
Dengan lagi dibersihkan Rama sedang pada penghabisan maka selimutnya telah dirampas kebanyakan orang-orang mahu pandang zimat. Terlebih Rama sudahlah angkat pada kasih tidur dalam tempat demikian (…) dirampas dari kabanyakan orang-orang mahu bikin zimat. Inilah kita khabarkan dari kita sudah (…) dengan sungguh terima dan pelihara itu Rama menurut dari (…) permintaan dan ketahuan kepala kampung dari waktu ada sudah pulang sehingga pada waktunya wafatnya tiada barang salah hingga dengan kaselamatan. Dengan lagi kita khabarkan dari Rama ampunya rambut ada tertinggal jadilah kita (…) jika ada kasih baik kita pakai zimat. Boleh kasih khabar itu rido atau jika tidak ada boleh kasih dengan (…) itulah. Hormat dari kita yang bertanda: 1. Wangsa Taruna. 2. Pangeran Tua: Suryaningrat. 3. Kepala Kampung: Hasan Ghazali.
Surat tersebut kemudian dilanjutkan dengan catatan yang diduga ditulis oleh ahli waris Eyang Hasan. Berikut bunyi surat tersebut: Alamat §ahire shaykhinā wa ustādhinā wa matbū‘inā jaddinā Shaykh Hasan Maolani ing dinten Ithnayn Manis waktu ‘A¡r pukul 5 wulan Jumadil Akhir tanggal kaping wolu tahun Ehe hijrata al-nubūwah ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1196.
Waktu kelahiran orang tua kita, guru kita, panutan kita, kakek kita, yaitu Shaykh Hasan Maolani pada hari Senin Manis, waktu Asar, pukul 5, bulan Jumadil Akhir, tanggal delapan tahun Ehe yang bertepatan dengan 1196 Hijriyah.
Alamat wafate shaykhinā Shaykh Hasan Maolani ing malem Arba‘ Wage waktu ¢ubuh pukul lima wulan Rabiul Awal tanggal kaping ro welas tahun Alip hijrata alnubūwah ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam yuswane ing dunia sangang puluh papat tahun 1291 punjul sangang wulan patang dina. Wafate ing negara Manado, distrik Tondano, Kampung Jawa ing (…) kempal pekuburane. Wallāhu a‘lam bi al-¡awāb wa al-kha¯ā’i.
Waktu kematian guru kita, Shaykh Hasan Maolani, adalah pada malam Rabu Wage, waktu Subuh, pukul lima, bulan Rabiul Awal, tanggal dua belas tahun Alip, dan berusia sembilan puluh empat lebih sembilan bulan empat hari pada tahun 1291 Hijriyah. Wafat di negara Manado, distrik Tondano, Kampung Jawa di (…) berkumpul pekuburannya. Hanya Allah yang Maha Mengetahui Kebenaran dan Kesalahan.
Selain memastikan bahwa Eyang Hasan wafat pada 12 Rabiul Awal 1291 Hijriyah (bertepatan dengan Rabu 29 April 1874) dalam usia 94 tahun, berdasarkan dua catatan tersebut dapat diketahui bahwa Eyang Hasan adalah sosok yang kharismatik. Hal ini ditunjukkan dari pengakuan pemerintah setempat yang mengatakan bahwa Eyang Hasan tidak memiliki kesalahan hingga akhir hayatnya. Jasadnya dimakamkan di komplek pemakaman Kampung Jawa bersama dengan Kiai Mojo dan pasukannya dengan diantarkan oleh para pengikut setianya di Kampung Jawa.
Universitas Indonesia
BAB III DESKRIPSI NASKAH DAN KARAKTERISTIK TEKS
3.1 Deskripsi Naskah Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penelitian ini menggunakan naskah salinan fotokopi atas 14 (empat belas) surat-surat Eyang Hasan Maolani yang digandakan oleh Panitia Haol Eyang Hasan Maolani Ke-2 Tahun 1990. Salinan ini didapatkan dari salah satu keturunan1 Eyang Hasan yang bermukim di Desa Cikaso, Kabupaten Kuningan.2 Dari penelusuran,3 naskah asli dari salinan tersebut tidak dapat ditemukan. Menurut informasi yang didapatkan, tidak ditemukannya naskah asli tersebut dikarenakan antusiasme para keturunan Eyang Hasan untuk membaca langsung naskah asli tersebut sehingga naskah tersebut secara aktif berpindah tangan dari satu keturunan ke keturunan yang lain.4 Akibat dari aktivitas tersebut, menurut informasi yang lain, ahli waris merasa perlu untuk menyimpan naskah asli tersebut secara rahasia agar tetap terjaga keutuhannya.5 Berdasarkan penanggalan yang tertera dalam naskah, surat-surat Eyang Hasan Maolani ditulis dalam rentang waktu antara tahun 1854 hingga 1855. Menyadari pentingnya isi surat-surat tersebut, Moh. Ma’ruf6 memimpin sebuah tim yang dinaungi oleh Panitia Haol Eyang Hasan Maolani Ke-2 tahun 1990 untuk mengumpulkan, menyusun, serta menggandakan surat-surat Eyang Hasan 1
Pemilik naskah tersebut bernama Jojo Ghozali. Ia merupakan keturunan keenam dari Eyang Hasan melalui jalur Imrani. Saat ini, ia bertindak sebagai pengasuh di Pondok Pesantren AlGhoffaar di Desa Cikaso, Kecamatan Kamatmulya, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. 2 Cikaso adalah sebuah desa yang berada di bagian utara pusat pemerintahan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Desa ini berjarak 6,5 kilometer dari pusat pemerintahan kabupaten. 3 Penelusuran dilakukan dengan mengunjungi beberapa keturunan Eyang Hasan Maolani baik yang berada di Desa Lengkong maupun di tempat lain. 4 Wawancara dengan Kiai Ujang di Desa Lengkong pada tanggal 4 Mei 2014. 5 Wawancara dengan Abdul Rohim di Desa Lengkong pada tanggal 4 Mei 2014. 6 Keturunan kelima dari Eyang Hasan melalui jalur Imrani.
34
Universitas Indonesia
35
untuk disebarluaskan dalam satu bundel yang diberi judul “Amanat Eyang Hasan Maolani dari Pembuangan Penjajah Belanda di Menado Sulawesi Utara untuk Keturunannya yang Harus Dipelajari, Diresapi, dan Dilaksanakan dengan Sepenuh Hati Sesuai dengan Isi Buku Aslinya”. Selain mengumpulkan surat-surat Eyang Hasan Maolani, Moh. Ma’ruf juga menyertakan satu surat pemberitahuan wafatnya Eyang Hasan –yang ditulis oleh pemerintah setempat di Kampung Jawa untuk keluarga Eyang Hasan Maolani di Lengkong– ke dalam bundel tersebut. Surat pemberitahuan kematian tersebut ditulis menggunakan aksara Jawi berbahasa Melayu. Surat-surat Eyang Hasan ditulis menggunakan bahasa dan aksara Arab serta bahasa Jawa beraksara Pegon. Penggunaan dua bahasa dalam penulisan ini merupakan ciri khas tersendiri dalam pola penulisan teks-teks keislaman. Sedangkan penggunaan bahasa Jawa dalam penulisan surat juga lazim terjadi terutama pada teks-teks abad ke-19 meskipun, pada masa kini, daerah Lengkong termasuk dalam teritorial Propinsi Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa tutur. Penggunaan bahasa Jawa, terutama aksara Pegon, di wilayah Sunda ini memiliki sejarah tersendiri dalam hal penyebaran agama Islam di tanah Sunda yang notabene diawali dari wilayah Jawa bagian Timur yang masuk melalui Cirebon (Christomy 2008: 58–60) Tidak seperti pola penulisan surat pada umumnya yang diawali dengan penulisan salam, bagian awal dari bundel surat Eyang Hasan justru diawali dengan penulisan judul yang menyebutkan bahwa bagian tersebut adalah surat pertama dari surat-surat lain yang ditulisnya. Setelah itu, terdapat kalimat basmalah yang dilanjutkan dengan pernyataan naratif sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut: Sūrat al-Awwal
Surat Pertama
Bismillāhi al-Ra¥māni al-Ra¥īm
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Al¥amdu lillāhi waliyyi al-itmāmi wa mawfiqi al-ikhtitāmi wa al-¡alātu wa alsalāmu ‘alá mu¥ammadin khayri al-anāmi wa a¡¥ābi al-kirāmi.
Segala puji bagi Allah pemilik kesempurnaan. Salawat dan Salam senantiasa diberikan kepada Nabi Muhammad sebaik-baiknya ciptaan dan pemilik kemuliaan.
Universitas Indonesia
36
Fahādhihi ¥ikāyatu safari shaykhinā jaddinā shaykh Hasan Maolani min qaryatihi wa baladihi wa jazā’irihi ilá qaryatin ba‘īdatin minhā wahiya almusammá qaryata Kampung Jawa balada Manado.
Ini adalah hikayat perjalanan guru dan kakek kita yaitu Syekh Hasan Maolani dari kampung halamannya ke daerah yang jauh darinya, yaitu Kampung Jawa di kota Manado.
Wa qāla idha kharajtu min baytī/qaryati Lengkong baladi Kuningan fī yawmi alkhamsi sā‘ata al-‘a¡ri shahra al-¡afari sanata Jīm al-Akhīr hijrata al-nabiyyi ¢allallāhu ‘alayhi wa sallam 1257 h-n-rgh.
Ia berkata, Aku keluar dari rumahku, Desa Lengkong Kota Kuningan, pada hari Kamis, jam sepuluh, bulan Safar, pada tahun Jimakir 1257 Hijriyah. h-n-r-gh.
Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa pada bagian awal surat terdapat alur cerita dipimpin oleh narator dengan sudut pandang orang pertama pelaku tambahan.7 Penggunaan sudut pandang ini juga diiringi dengan pemakaian katakata penghormatan (honorifik) terhadap tokoh utama, dalam hal ini yaitu Eyang Hasan, yaitu shaykhinā (guru atau orang tua kita), jaddinā (kakek kita), dan shaykh Hasan Maolani. Sedangkan pada bagian akhir bundel surat terdapat pernyataan penutup yang berisi himbauan kepada setiap keturunan Eyang Hasan agar dapat melaksanakan seluruh amanatnya. Berikut adalah pernyataan tersebut: Hé sekabeh anak putuningsun lanang wadon. Sira sekabéh supaya pada seringsering naringali pituturisun iki. Kerana isun ora bisa aweh apa-apa amung iki surat minangka dari pangéling-éling maring sekabéh anak putu. Wallāhu a‘lam.
Wahai semua anak-cucuku baik laki-laki maupun perempuan. Hendaknya kalian semua sering melihat pesan-pesanku ini. Karena Aku tidak bisa memberikan apaapa kecuali surat ini agar menjadi pengingat untuk semua anak-cucu. Hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Secara keseluruhan, teks-teks tersebut ditulis dalam 107 halaman yang terdiri dari 102 halaman untuk teks surat-surat Eyang Hasan, tiga halaman untuk teks surat pemberitahuan kematian, dan dua halaman yang bertuliskan keterangan tambahan mengenai pentingnya isi surat. Adapun jumlah baris pada setiap halaman berjumlah 13 baris dengan jarak antar baris sebesar 0,5 cm. 7
Menurut Wicaksono (2014: 243-244), penggunaan sudut pandang ini menunjukkan bahwa pengarang menempatkan dirinya sebagai salah satu tokoh dalam cerita meskipun bukan sebagai tokoh utama. Pemakaian kata ganti orang pertama menunjukkan bahwa fungsinya adalah sebagai saksi, bukan sebagai pusat cerita. Sehingga dia hanya berfungsi sebagai narator (pencerita) yang menceritakan kisah yang dialami oleh seorang tokoh. Selanjutnya, tokoh tersebut akan diberi kewenangan untuk melanjutkan ceritanya sendiri dan berperan sebagai tokoh utama yang lebih banyak tampil serta bersinggungan dengan tokoh-tokoh yang lain.
Universitas Indonesia
37
Pada bagian atas teks di masing-masing halaman dituliskan penomoran masing-masing halaman dengan menggunakan penomoran Arab. Sehubungan dengan penomoran yang semakin pudar, maka penyunting membuat kembali sistem penomoran yang juga diletakkan di bagian atas teks dengan menggunakan penomoran Latin. 3.2 Sistem Penanggalan Surat Penanggalan adalah komponen penting yang harus ada dalam sebuah surat. Dalam hal ini, Makdisi (2005: 243) menyebutkan bahwa penanggalan dalam surat-surat keislaman kerap berada di bagian akhir dari surat tersebut bersamaan dengan tanda tangan (penanda/‘alāmah) penulis surat serta kata-kata penutup berupa puji-pujian kepada Allah SWT. Dari berbagai jenis sistem penanggalan, Eyang Hasan menerapkan dua sistem penanggalan yang sangat populer dalam dunia pernaskahan Nusantara yakni sistem penanggalan Jawa (A.J.) dan Islam (A.H.). Sistem penanggalan Islam atau dikenal dengan sistem penanggalan Hijriyyah adalah sistem penanggalan yang merujuk pada saat pertama kali Nabi Muhammad SAW melaksanakan hijrah dari Mekkah ke Madinah pada 16 Juli 622 (Dipodjojo 1996: 35). Sistem ini menggunakan perhitungan perputaran bulan atas bumi sebagai rujukan. Sedangkan dalam sistem penanggalan Jawa, Dipodjojo (1996: 82) menjelaskan bahwa sistem ini merujuk pada upaya Sultan Agung, Raja Mataram (1613-1645), yang ingin menggabungkan sistem penanggalan Saka dengan Islam. Kedua penanggalan ini (Saka dan Islam) sejatinya adalah dua sistem yang berbeda karena tahun Saka merujuk pada perputaran matahari atas bumi dibandingkan dengan penanggalan Islam. Meskipun pada akhirnya sistem penanggalan Jawa merujuk pada sistem perputaran bulan atas bumi, sejatinya cara penghitungan penanggalan Jawa memiliki pedoman tersendiri.8
8 Dipodjojo (1996) menjelaskan secara rinci mengenai beberapa sistem penanggalan yang sangat populer ditemukan dalam naskah-naskah Nusantara termasuk melengkapinya dengan sejarah dan tata cara penghitungannya apabila dikonversi terhadap sistem penanggalan tertentu.
Universitas Indonesia
38
Dalam menuliskan tahun penanggalan, Eyang Hasan menggunakan penomoran dalam aksara Arab yang dipadukan dengan deretan aksara-aksara Arab yang ditulis beriringan dengan penomoran tersebut. Menurut Ismail (dalam Long 2004: 1134), deretan ini merupakan sistem numerologi aksara Arab yang menjadikan masing-masing aksara Arab memiliki nilai-nilai tertentu. Gacek (2012: 11) menyebut deretan ini sebagai deret abjadiyah karena urutan aksara Arab dalam sistem ini tidak seperti urutan aksara Arab pada umumnya yakni dengan memadukan sistem aksara Arab yang disusun berdasarkan susunan alfabetis. Sedangkan pada sisi yang lain, Dipodjojo (1996: 65) menyebut deretan tersebut dengan istilah ¥isāb al-jumal karena fungsinya sebagai petunjuk titimangsa penulisan suatu teks dalam naskah. Menyoal ¥isāb al-jumal, Eyang Hasan juga memberikan pedoman dalam pemahaman sistem ini dengan memberikan tabel konversi seperti yang tampak pada salah satu suratnya. Tabel 1 Deret Abjadiyah ز
و
ح
د
ج
ب
أ
7
6
5
4
3
2
1
ن
م
ل
ك
ي
ط
ح
50
40
30
20
10
9
8
ش
ر
ق
ص
ف
ع
س
300
200
100
90
80
70
60
غ
ض
ظ
ذ
خ
ث
ت
1000
900
800
700
600
500
400
Senada dengan tujuan yang ingin ditempuh dalam penelitian ini—yakni memberikan peluang bagi pembaca di masa kini agar dapat memahami teks dalam konteks yang tepat—maka seluruh sistem penanggalan yang terdapat dalam suratsurat Eyang Hasan Maolani akan dikonversi ke dalam sistem penanggalan Masehi dengan menggunakan sistem perangkat lunak (software) Ahad Macro yang dikembangkan oleh Ian Proudfoot. Berikut adalah beberapa penanggalan yang tertulis dalam surat-surat Eyang Hasan:
Universitas Indonesia
39
Tabel 2 Penanggalan dalam Surat-surat Eyang Hasan Maolani No. 1 2
Penanggalan Ahad, 6 Ramadan Tahun Jé, 1270 Malam Jumat, 10 Jumadil Akhir Tahun Jé, 1270 Malam Jumat, 10 Jumadil Awal, Tahun Be, 1248 Senin, 30 Ramadan Tahun Jé, 1270 Selasa, 30 Ramadan Tahun Jé, 1270 Ahad, Syawal Tahun Jé, 1270 Senin, Syawal Tahun Jé, 1270 Kamis, Safar Tahun Jimakir, 1257 Selasa, Safar, bulan ke-12 di tahun Alip, 1259 Tahun Alip, 1259 17 Rajab Tahun Alip Selasa, Safar Tahun Dal, 1263 Senin, Syawal Tahun Jé, 1270 Tahun Jé, 1270 Senin, 8 Jumadil Akhir Tahun Éhé Jumadil Awal Tahun Alip, 1258 Rabu, Rabiul Awal Tahun Dal, 1271 Selasa, 5 Jumadil Awal Tahun Dal, 1271 Ahad, 30 Jumadil Awal Tahun Dal, 1271 Rabu, Jumadil Awal Tahun Dal, 1271 Tahun 1271 Selasa, 3 Syawal Tahun Éhé, 1797
Konversi Jumat, 2 Juni 18549 Jumat, 10 Maret 1854 Jumat, 5 Oktober 1832 Senin, 26 Juni 1854 Senin, 26 Juni 185410 Juni/Juli 185411 Juni/Juli 185412 Maret/April 184113 Maret 184314 1843/184415 Minggu, 13 Agustus 1843 Januari/Februari 184716 Juni/Juli 185417 1853/185418 Selasa, 21 Mei 1782 Juni/Juli 184219 November/Desember 185420 Rabu, 24 Januari 1855 Minggu, 18 Februari 1855 Januari/Februari 185521 1854/185522 Tidak dilakukan konversi23
9
Terdapat ketidakcocokan dalam penentuan nama hari. Terdapat ketidakcocokan dalam penentuan nama hari. 11 Tidak tercantum tanggal, sehingga tidak bisa menentukan penanggalan secara definitif. 12 Tidak tercantum tanggal, sehingga tidak bisa menentukan penanggalan secara definitif. 13 Tahun 1257 bukan merupakan tahun Jimakir melainkan tahun Wawu. Meskipun demikian dalam konversi ini digunakan adalah tahun 1257 sebagaimana yang tertera dalam teks. 14 Bulan ke-12 dalam penanggalan Jawa adalah Besar (Zulhijjah) sedangkan Safar adalah bulan kedua. Meskipun demikian dalam konversi ini digunakan adalah bulan Safar tahun 1259. 15 Tidak tercantum tanggal dan bulan, sehingga tidak bisa menentukan penanggalan secara definitif. 16 Tidak tercantum tanggal, sehingga tidak bisa menentukan penanggalan secara definitif. 17 Tidak tercantum tanggal, sehingga tidak bisa menentukan penanggalan secara definitif. 18 Tidak tercantum tanggal dan bulan, sehingga tidak bisa menentukan penanggalan secara definitif. 19 Tahun 1258 bukan merupakan tahun Alip melainkan tahun Jimakir. Meskipun demikian dalam konversi ini digunakan adalah tahun 1258 sebagaimana yang tertera dalam teks. 20 Tidak tercantum tanggal, sehingga tidak bisa menentukan penanggalan secara definitif. 21 Tidak tercantum tanggal, sehingga tidak bisa menentukan penanggalan secara definitif. 22 Tidak tercantum tanggal dan bulan, sehingga tidak bisa menentukan penanggalan secara definitif. 10
Universitas Indonesia
40
3.3 Sistematika Penyusunan Teks Fakta bahwa teks tidak tersusun sesuai dengan alur cerita yang hendak ditampilkan
oleh
Eyang
Hasan
Maolani
sebagai
pengarang
adalah
permasalahan yang dapat mengganggu pemahaman pembaca atas teks. Banyaknya teks yang tidak saling berhubungan antar sekuen pada satu halaman tertentu dengan halaman selanjutnya membuat teks surat-surat Eyang Hasan menjadi anakronis. Berikut adalah gambaran dari ketidakteraturan tersebut: Tabel 3 Kondisi Awal Ketidakteraturan Urutan Naskah Bagian Akhir Teks pada Halaman yang Bermasalah Hal. Teks (35) Qāla al-Ghazālī ¦ujjat al-Islām kāna lī ‘ishrūna ustadhan min ‘ulūmi al-sharī‘ah wa ‘ishrūna min ‘ulūmi al-dirāyah wa ‘ishrūna min ‘ulūmi al-riwāyah wa thamanūna ustādhan min ‘ulūmi al-¥aqīqah wa almukāshafah. Wa barakatu hādhā al-‘ilmi mā yunbatu fī qalbī wa yazdādu fī (37) Lan yèn kapèngen sira dèn paringi pembuka maring ilmu kitāb iku kudu den syarati. Samangsa tinemu syarate, maka tinemu mashrūte. Syaraté iku kudu betah luwé (39) Ay min al-¥āli ilá al-¥āli. wa lā ya¥¡ulu al-tawbatu illā bi alrujū‘i. na§īruhu min al-jahli ilá al-‘ilmi wa min al-ma‘¡īyati ilá al-¯ā‘ati wa min al-nawmi ilá qiyāmi al-layli wa min altakabburi ilá al-tawa««u‘i wa
Bagian Awal Teks pada Halaman Selanjutnya Hal. Teks (36) Wa lahum yā ar¥ama alrā¥imīna yawma yaqūmu al¥isāb. A‘ādallāhu ‘alaynā min ra¥matihim wa salāmatihim wa shafā‘atihim fī al-dīni wa aldunyā wa al-ākhirah. Shay’un lillāhi. Al-Fāti¥ah. Ilá ākhirihi.
(38) īmānī. “Azkiyā’”. Qāla al-Nabī ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam . (40) Ingkang surat karo ingkang salam donganisun maring anakisun sekabèh lan maring putunisun sekabèh lan maring buyutisun sekabèh asmā’ Nūr ¦amīd kang netep ing Dusun Lengkong lan liyané sekabèh.
23
Tidak dapat dilakukan proses konversi untuk bagian ini karena tidak berkaitan dengan konteks surat.
Universitas Indonesia
41
(49)
(59)
(61)
(65)
min al-riyā’i ilá al-ikhlā¡i wa min al-kidhbi ilá al-¡idqi wa min al-shirki ilá al-taw¥īdi. “Jawāhir Tanda kula Hasan Maolani abū (50) anganggon ingdalem papat zawjika (…) dhū zawjatin anggon. Sawiji, jū‘, kapindo ta‘ab, lan kaping telu sakhīy, lan kaping pat tawa««u‘. Yā waladī wa yā ibni bintī, isun (60) nisun amung sami-sami apèngen katemu kelawan anak la‘allakum tufli¥ūn, la‘allakum putu kabèh supaya isun durung tughfarūn, la‘allakum tur¥amūn. ulih dedalan. Malah-malah isun wis kirim surat pindo kira-kira wis dèn tekakaken. Lan maningé sira anjaluk (62) al-kuhūlah. Al-kuhūlatu min pembuka maring ilmu kitab thalāthīna ilá arba‘ati sanatin. maring isun, iya isun amuji alWalakin lā waladat ba‘da nikā¥ī ¥amd lillāh rabb al-‘ālamīn. ‘ā¯ilatan jāhilīyatan tābi‘atan li Maka isun anuduhaken, lakoni. amrī. Wallāhu a‘lam. Maka ilmu iku Iya maksih sami-sami durung (66) al-Qur’ān Fa qis ‘alá hādhā alkaruhan isun durung weruh madhkūri ay min al-bukhli ilá alputunisun laku sakhī wa min al-khiyānati ilá alamānati wa min al-jaza‘i ilá al¡abri wa min al-taf¡īri ilá al‘amali wa min al-sū’i ilá al¥asanāti wa min al-¥arāmi ilá al¥alāli. Ilá ākhirihi. Wallāhu a‘lam. Dari tabel di atas terlihat bahwa terdapat tujuh halaman dalam teks
surat-surat Eyang Hasan Maolani yang tidak memiliki kesinambungan secara tekstual terhadap halaman selanjutnya. Untuk menyempurnakan tugas penyuntingan naskah yaitu menyajikan informasi yang dapat dipahami oleh pembaca (Fathurahman 2015: 19), maka dipandang perlu untuk memberikan koreksi atas kekeliruan-kekeliruan tersebut dengan mencarikan kelanjutan kalimat yang sesuai dengan yang dimaksud oleh Eyang Hasan sebagai pengarang. Dari pengamatan yang cermat, maka hasil koreksi atas kekeliruan tersebut tersajikan dalam tabel berikut:
Universitas Indonesia
42
Tabel 4 Hasil Koreksi atas Ketidakteraturan Urutan Naskah Bagian Akhir Teks Bagian Awal Teks pada Halaman yang Bermasalah pada Halaman Selanjutnya Hal. Teks Hal. Teks (35) Qāla al-Ghazālī ¦ujjat al-Islām (38) īmānī. “Azkiyā’”. kāna lī ‘ishrūna ustadhan min ‘ulūmi al-sharī‘ah wa ‘ishrūna min ‘ulūmi al-dirāyah wa ‘ishrūna min ‘ulūmi al-riwāyah wa thamanūna ustādhan min ‘ulūmi al-¥aqīqah wa almukāshafah. Wa barakatu hādhā al-‘ilmi mā yunbatu fī qalbī wa yazdādu fī (37) Lan yèn kapèngen sira dèn (52) lan kangèlan lan demen anderes paringi pembuka maring ilmu Nahwu. Yèn ora anderes kudu kitāb iku kudu den syarati. na‘leq. Yèn kapèngen weruh ing Samangsa tinemu syarate, maka ¡īghah iku kudu ¥afa§ ¡arf atawa tinemu mashrūte. Syaraté iku binā’. Kaya binā’ pamanira, kudu betah luwé °ūbá, iya ¥afa§aken. Yèn kapèngen weruh ing tarkīb iya kudu ¥afa§ kitāb ‘āmil “Jurūmīyah”, “Inna Awlá Mi¡bā¥”. Kejaba iku, cukup dèn ta‘līq-ta‘līq belaka. Andèné ¥afa§-¥afa§ lan isun lagi bocah suwiji “Ta¡rifan” ¡arf teka ing binā’ nāqi¡ lan ‘āmil “Jurūmīyah”, “Inna Awlá”. Kejaba iku dèn ta‘līq-ta‘līq belaka. (39) Ay min al-¥āli ilá al-¥āli. wa lā (66) al-Qur’ān ya¥¡ulu al-tawbatu illā bi alrujū‘i. na§īruhu min al-jahli ilá Fa qis ‘alá hādhā al-madhkūri ay al-‘ilmi wa min al-ma‘¡īyati ilá min al-bukhli ilá al-sakhī wa min al-¯ā‘ati wa min al-nawmi ilá al-khiyānati ilá al-amānati wa qiyāmi al-layli wa min almin al-jaza‘i ilá al-¡abri wa min takabburi ilá al-tawa««u‘i wa al-taf¡īri ilá al-‘amali wa min almin al-riyā’i ilá al-ikhlā¡i wa sū’i ilá al-¥asanāti wa min almin al-kidhbi ilá al-¡idqi wa min ¥arāmi ilá al-¥alāli. Ilá ākhirihi. al-shirki ilá al-taw¥īdi. Wallāhu a‘lam. “Jawāhir
Universitas Indonesia
43
(49)
(59)
(61)
(65)
Tanda kula Hasan Maolani abū (62) al-kuhūlah. Al-kuhūlatu min zawjika (…) dhū zawjatin thalāthīna ilá arba‘ati sanatin. Walakin lā waladat ba‘da nikā¥ī ‘ā¯ilatan jāhilīyatan tābi‘atan li amrī. Wallāhu a‘lam. Yā waladī wa yā ibni bintī, isun (64) Sapisan isun kirim surat kang apèngen katemu kelawan anak agawa sayyid saking Surabaya, putu kabèh supaya isun durung mantuné Nyai Talam Lengkong, ulih dedalan. Malah-malah isun tatkala isun teka ing Kampung wis kirim surat pindo kira-kira Kaima. Kapindo kang agawa wis dèn tekakaken. nangkoda saking Surabaya tatkala isun wis teka ing Kampung Jawa. Lan maningé sira anjaluk (50) anganggon ingdalem papat pembuka maring ilmu kitab anggon. Sawiji, jū‘, kapindo maring isun, iya isun amuji alta‘ab, lan kaping telu sakhīy, lan ¥amd lillāh rabb al-‘ālamīn. kaping pat tawa««u‘. Maka isun anuduhaken, lakoni. Maka ilmu iku Iya maksih sami-sami durung (60) nisun amung sami-sami karuhan isun durung weruh la‘allakum tufli¥ūn, la‘allakum putunisun laku tughfarūn, la‘allakum tur¥amūn. Penyebab keadaan di atas tidak dapat dijelaskan secara pasti karena
minimnya narasumber yang mampu menjelaskan situasi dan kondisi pada saat penyusunan bundel surat-surat ini dilakukan. Meskipun demikian, beberapa dugaan penyebab keadaan tersebut tetap dapat diperkirakan. Dari keadaan ini dapat dipastikan bahwa pada kondisi awal sebelum dilakukan penggandaan, susunan naskah berada dalam keadaan yang saling berserakan satu sama lain. Ketiadaan sistem penomoran pada setiap halaman juga dianggap menyebabkan penyusunan naskah menjadi tidak teratur. Dari analisa tersebut, dapat disimpulkan bahwa dugaan penyebab ketidakteraturan alur cerita antar halaman disebabkan oleh salah satu dari tiga hal berikut: 1. Minimnya pengetahuan tim penyusun terhadap bahasa teks. 2. Kelalaian tim penyusun dalam membaca urutan naskah sebelum digandakan. 3. Kelalaian petugas fotokopi pada saat naskah digandakan sehingga mengakibatkan halaman naskah tercecer.
Universitas Indonesia
44
Selain terjadi ketidakteraturan antar halaman, masalah penting lainnya adalah adanya fakta bahwa surat yang dikumpulkan oleh Panitia Haol Eyang Hasan Maolani tidak disusun berdasarkan urutan penanggalan yang tertulis di dalam surat. Jalan keluar untuk menyelesaikan permasalah-permasalah tersebut adalah menentukan susunan teks berdasarkan waktu penulisannya (Wellek dan Warren 1989: 59). Sebelum dilakukan pemilahan-pemilahan atas masing-masing surat, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan kriteria mengenai karakteristik surat-surat Eyang Hasan Maolani. Untuk itu, kriteria mengenai sebuah surat dapat merujuk pada teori seni penulisan surat (epistolografi) terhadap surat-surat bernuansa Islam yang dikemukakan oleh Makdisi (2005: 242). Menurutnya, surat-surat bernuansa Islam memiliki tiga komponen utama yakni: 1. Kata-kata pembuka (al-fawāti¥). Bagian ini pada umumnya berisi ucapan salam, basmalah, ¥amdalah, syahadat, dan penegasan tentang nama penulis surat serta orang yang dituju dari surat tersebut; 2. Bagian tubuh surat (al-lawā¥iq). Bagian ini disebut juga mā bayn alsalāmayn (apa yang tertulis di antara dua salam) yang merupakan teks atau isi surat dan 3. Kata-kata penutup (al-khawātim). Pada bagian penutup ini berisi kalimat istishnā’ (inshā’allāh ta‘ālá), penanggalan, tanda tangan penulis surat (‘alāmah), dan puji-pujian keislaman seperti ¥amdalah dan salawat. Berdasarkan hasil pemilahan ditemukan bahwa terdapat 14 surat yang ditulis oleh Eyang Hasan dari Kampung Jawa yang diterima oleh keluarganya di Lengkong. Dari 14 surat tersebut dapat dijabarkan bahwa: 1. Terdapat tujuh surat yang memenuhi seluruh komponen epistolografi; 2. Terdapat lima surat yang hanya memenuhi komponen 2 dan 3; dan 3. Terdapat dua surat yang hanya memenuhi komponen 1 dan 2. Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas, surat-surat tersebut kemudian disusun berdasarkan penanggalan yang terdapat dalam teks. Berikut adalah hasil akhir susunan teks tersebut:
Universitas Indonesia
45
Tabel 5 Urutan Surat Berdasarkan Penanggalan dalam Teks Susunan Teks (Halaman Asal) 37-52-53-54-55
Penyebutan Surat 1: Ahad, 6 Ramadan 1270, Tahun Jé Surat 2: Senin, 30 Ramadan 1270, Tahun Jé Surat 3: Selasa, 30 Ramadan 1270, Tahun Jé Surat 4: Ahad, Syawal 1270, Tahun Jé Surat 5: Senin, Syawal 1270, Tahun Jé Surat 6: Syawal 1270, Tahun Jé Surat 7: Rabiul Awal 1271
Surat 8: Selasa, 5 Jumadil Awal 1271
2, 3 2, 3
Surat 9: 30 Jumadil Awal 1271 Surat 10: Rabu, Jumadil Awal 1271
2, 3 2, 3
Surat 11: 1271 Surat 12: Selasa, 3 Syawal 1797
1, 2
Surat 13: Tidak Bertanggal dan Tidak Lengkap (1) Surat 14: Tidak Bertanggal dan Tidak Lengkap (2)
1, 2
Tabel di atas memperlihatkan bahwa pemilahan teks-teks surat dilakukan berdasarkan penanggalan yang ada dalam teks. Selain itu, tabel di atas juga telah memperlihatkan keteraturan susunan halaman teks dan dilengkapi dengan tata cara penyebutan masing-masing teks surat tersebut. Pembakuan penyebutan masing-masing teks surat tersebut akan diterapkan pada bab berikutnya di bagian susunan surat dan penerjemahan.
Universitas Indonesia
BAB IV SUNTINGAN TEKS DAN TERJEMAHAN
4.1 Tujuan, Metode, dan Kaidah Dasar Penyuntingan Tujuan utama dari penyajian edisi suntingan teks ini adalah menyediakan teks yang dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca di masa kini. Ini berarti bahwa, dalam konteks penelitian ini, penyajian edisi suntingan teks merupakan cara untuk memberikan kesempatan kepada pembaca di masa kini agar dapat membaca dan memahami secara jelas mengenai isi surat-surat yang ditulis oleh Hasan Maolani kepada keluarganya. Baried (1994: 7) pun menambahkan bahwa penyajian
edisi
suntingan
teks
ini
dipandang
penting
dalam
rangka
mempertimbangkan pentingnya kandungan informasi serta peranan teks sebagai produk masa lampau dalam kehidupan masyarakat baik pada masa lampau maupun pada masa kini. Oleh karenanya, sejumlah upaya telah dilakukan demi tercapainya tujuan tersebut. Dari hasil penelusuran atas keberadaan naskah surat-surat Eyang Hasan Maolani, didapatkan bahwa naskah bersifat tunggal. Sehingga berdasarkan keadaan tersebut akan diterapkan “edisi standar” atau “edisi kritik” yaitu menyajikan suntingan teks dengan cara memperbaiki kesalahan-kesalahan dan pembetulan pada ejaan sesuai ketentuan yang berlaku. Semua perubahan yang terjadi dan keterangan tambahan dalam proses penyuntingan ini akan dicantumkan sebagai catatan dalam footnote (Baried dkk. 1994: 68). Sajian edisi suntingan teks ini menampilkan urutan teks apa adanya tanpa ada perubahan urutan berdasarkan titimangsa surat maupun urutan teks yang semestinya. Hal ini dilakukan untuk memberikan cara pandang kepada pembaca mengenai keadaan asal teks tersebut. Adapun perbaikan mengenai urutan titimangsa maupun urutan teks akan disajikan pada bagian penerjemahan.
46
Universitas Indonesia
47
Teks yang menjadi objek penelitian ini adalah teks surat-surat yang ditulis oleh Eyang Hasan semasa ia diasingkan di Kampung Jawa. Surat-surat tersebut ditulis menggunakan aksara Arab dan Jawa Pegon ini tersebar luas di kalangan keturunan Eyang Hasan. Minimnya tanda baca, pengelompokan kata, dan penyajian paragraf adalah beberapa permasalahan umum yang dapat dijumpai dalam teks ini. Atas dasar itulah, maka kegiatan pengalihaksaraan (transliterasi) ke dalam aksara latin adalah kebutuhan yang sangat penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, Baried (1994: 64) menyebut bahwa transliterasi dapat memecahkan masalah-masalah di atas yang sangat rentan menimbulkan perbedaan arti. Sehingga, kegiatan transliterasi dalam penelitian ini pada dasarnya tidak hanya melakukan proses alih aksara semata, melainkan juga meliputi pemberian tanda baca dan pemberian catatan yang terkait dengan teks. Sebagai sebuah teks keislaman, dalam surat-surat Eyang Hasan Maolani banyak didapati kutipan ayat Alquran dan hadis. Untuk memudahkan penyuntingan, maka ayat Alquran yang dikutip dalam teks ini diberikan penjelasan dengan cara menuliskan nomor ayat dan suratnya. Begitupun dengan perlakuan terhadap kutipan hadis yang terdapat dalam teks ini, penelusuran atas otentisitas hadis yang dikutip juga dilakukan dengan cara memberikan informasi berdasarkan sumber-sumber yang berhasil didapatkan. Selain itu, terdapat beberapa redaksi (matan) hadis yang terdapat dalam teks tidak sesuai dengan hasil penelusuran sumber. Untuk kasus ini maka hasil suntingan teks terhadap hadis tersebut akan disesuaikan dengan matan yang terdapat dalam sumber. Adapun alasan penyesuaian matan tersebut disampaikan dalam catatan kaki. Secara rinci, berikut adalah beberapa kaidah yang dijadikan landasan dalam proses penyuntingan teks: a. Sistem transliterasi bahasa Jawa mengikuti ketentuan pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin Yang Disempurnakan (2011). b. Kata-kata yang berasal dari bahasa Arab akan dialihaksarakan mengikuti sistem transliterasi dari Library of Congress (LOC). c. Kata atau kalimat berbahasa Arab ditulis miring (italic), sementara kata atau kalimat berbahasa Jawa ditulis normal (non-italic).
Universitas Indonesia
48
d. Dalam teks banyak ditemukan penggalan huruf-huruf Arab yang terletak setelah angka titimangsa surat. Dalam suntingan teks, huruf-huruf tersebut akan dialihaksarakan dan diberi tanda hubung (-) sebagai pemisah antar huruf. e. Tanda م. صdalam teks ditulis sebagai ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam. f. Tanda اﻟﺦmaupun إﻟﻰ أﺧﺮهdalam teks ditulis sebagai Ilá ākhirihi. g. Susunan halaman teks yang ditampilkan adalah berdasarkan susunan pada naskah asli. h. Teks yang ditampilkan adalah teks yang telah dilakukan penyuntingan. Artinya, segala bentuk perubahan maupun perbaikan akan diletakkan dalam catatan kaki. i.
Pembagian paragraf berdasarkan pokok pikiran yang sesuai dalam teks guna memudahkan pemahaman informasi dalam teks.
j.
Penggunaan huruf besar (kapital) di awal kalimat maupun dalam penggunaan
lainnya
didasarkan
pada
ketentuan
Ejaan
yang
Disempurnakan (EYD) dalam bahasa Indonesia. k. Melakukan perbaikan dalam teks seperti penggantian, penambahan, maupun penghapusan bacaan. Penggantian dan penambahan bacaan dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah dalam bahasa Arab maupun bahasa Jawa sepanjang sesuai dengan konteks kalimat. Bacaan yang diganti akan diletakkan dalam catatan kaki sementara penambahan akan diletakkan dalam tanda […]. Adapun penghapusan bacaan dilakukan apabila dalam teks terdapat bacaan yang tidak sesuai dengan konteks kalimat dan selanjutnya bagian yang dihapus akan ditampilkan dalam catatan. l.
Nomor yang ditulis sedikit naik ke atas (superscript) pada akhir sebuah kata adalah penanda bahwa kata tersebut memiliki catatan dalam footnote.
m. Tanda kurung yang di dalamnya terdapat angka, contoh: (12), adalah penanda halaman yang terdapat dalam teks asli. n. Tanda kurung yang di dalamnya terdapat tiga titik, contoh: (…) adalah penanda bahwa teks tersebut tidak terbaca. o. Berikut adalah beberapa penanda lain yang digunakan dalam suntingan ini:
Universitas Indonesia
49
-
{…}
: penanda ayat Alquran.
-
<…>
: penanda hadis Nabi Muhammad SAW.
-
[…]
: penanda adanya penambahan teks.
-
/…/
: penanda adanya kata penjelas yang memenggal ayat Alquran atau hadis.
-
“…”
: penanda judul buku.
4.2 Pertanggungjawaban Transliterasi Mengenai transliterasi, Robson (1994: 24) mengungkapkan bahwa metode ini merupakan upaya pemindahan suatu aksara ke aksara lainnya berdasarkan pedoman tertentu. Transliterasi diterapkan dalam proses penyuntingan teks untuk memberikan kesempatan kepada setiap pembaca yang memiliki keterbatasan dalam memahami sebuah teks yang ditulis dalam aksara yang belum dikenalnya. Sebagaimana halnya tujuan penelitian ini yaitu menyajikan teks Eyang Hasan Maolani yang mudah dibaca dan dapat dipahami oleh pembaca di masa kini, maka teks surat yang disunting akan disajikan dengan menggunakan aksara Latin. Meskipun demikian, untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai asal aksara yang digunakan dalam teks maka acuan penggunaan alih aksara dianggap perlu untuk dituliskan. Upaya transliterasi yang diterapkan dalam penelitian ini melibatkan tiga aksara yaitu aksara Arab, Pegon, dan Latin. Meskipun secara umum Surat-surat Eyang Hasan ditulis menggunakan aksara Jawa Pegon, akan tetapi di dalamnya juga terdapat banyak istilah berbahasa Arab. Hal tersebut disebabkan karena latar belakang Eyang Hasan sebagai seorang Muslim yang banyak merujuk pada istilah-istilah Arab –seperti Alquran, Hadis, maupun perkataan ulama– untuk memperkaya pesan-pesan keagamaan yang ingin disampaikannya.
4.2.1. Transliterasi Arab Teknik transliterasi yang diterapkan dalam penelitian ini merujuk pada pedoman transliterasi internasional terbitan Library of Congress (LOC) yang berkedudukan di Amerika Serikat. Pemilihan LOC sebagai pedoman transliterasi
Universitas Indonesia
50
tidak dapat dilepaskan dari harapan agar teks Surat-surat Hasan Maolani dapat dibaca oleh khalayak internasional. Berikut adalah pedoman transliterasi tersebut:1
4.2.1.1. Konsonan dan Vokal Transliterasi aksara Arab-Latin pada huruf konsonan dalam penelitian ini merujuk pada tabel berikut: Tabel 6 Pedoman Transliterasi Aksara Arab-Latin Huruf
1 Selain menyediakan pedoman alih aksara dari bahasa Arab, LOC juga turut menyediakan pedoman alih aksara dari bahasa lain di Nusantara seperti Jawi, Batak, Jawa, Sunda, Madura, dan Bali. Pedoman-pedoman tersebut tersedia secara online dalam laman: http://www.loc.gov/catdir/cpso/roman.html.
Universitas Indonesia
51
ل م ن ة/ ھـ و ي
ﻟـ ﻣـ ﻧـ ھـ و ﯾـ
ـﻠـ ـﻤـ ـﻨـ ـﮭـ ـﻮ ـﯿـ
ـﻞ ـﻢ ـﻦ ـﺔ/ ـﮫ ـﻮ ـﻲ
l m n h w y
Sedangkan dalam penulisan huruf vokal –baik tunggal maupun ganda– berlaku ketentuan berikut: Tabel 7 Pedoman Transliterasi Huruf Vokal Arab Aksara Arab
ﹷ ﹻ ﹹ ﹷا ﹷى
Aksara Latin a i u ā á
Aksara Arab
ﹹو ﹻي ﹷو ﹷي
Aksara Latin ū ī aw ay
4.2.1.2. Aksara Ganda (Tashdīd- )ﹽ a. Ketentuan Umum Secara Umum, teknik transliterasi pada aksara ganda dilakukan dengan cara menuliskan huruf bersangkutan sebanyak dua kali. Contoh:
إِﺗﱠﺒَ َﻊ
dituliskan menjadi
ittaba‘a
َﺟَﺪﱡك
dituliskan menjadi
jadduka
b. Ketentuan Khusus Huruf Wāw ()و Penentuan penulisan aksara Latin pada huruf wāw ganda bergantung pada kondisi huruf tersebut. Apabila sebelum huruf wāw ganda tersebut berupa bunyi vokal /u/ maka dituliskan dengan /ūw/. Sedangkan pada kondisi yang lain yaitu sebelum huruf wāw ganda berupa bunyi vokal /a/ maka dituliskan /aww/. Contoh:
اﻟﻨﱡﺒُﻮﱠة
dituliskan menjadi
al-nubūwah
ﺗَﺼَﻮﱡف
dituliskan menjadi
ta¡awwuf
Universitas Indonesia
52
c. Ketentuan Khusus Huruf Yā’ ()ي Senada dengan huruf wāw, teknik transliterasi pada huruf yā’ ganda juga bergantung pada keadaan hurufnya. Ada tiga keadaan yang membedakan cara penulisan aksara Latin pada huruf yā’. Pertama, huruf yā’ ganda berada di awal atau tengah kata dan diawali dengan bunyi vokal /i/ maka dituliskan menjadi /īy/. Kedua, huruf yā’ ganda berada di akhir kata dan diawali dengan bunyi vokal /i/ maka dituliskan menjadi /ī/. Ketiga, sebelum huruf yā’ ganda terdapat bunyi vokal /a/ maka dituliskan menjadi /ayy/. Contoh:
ذُرِّﯾﱠﺔ
dituliskan menjadi
dhurrīyah
ﻲ ّ ِاﻟﻨﱠﺒ
dituliskan menjadi
al-nabī
ﺳَﯿِﱠﺌﺔ
dituliskan menjadi
sayyi’ah
4.2.1.3. Hamzah ()ء Penulisan hamzah dilambangkan dengan tanda apostrof /’/ apabila terletak di bagian tengah atau akhir sebuah kata. Apabila terletak di awal kata, maka disesuaikan dengan bunyi vokal yang ada. Penulisan disesuaikan dengan vokal yang ada juga dilakukan terhadap hamzah wa¡l apabila dalam kondisi di tengah kalimat. Contoh:
اﻟﺴﱠﻤَﺎ ُء
dituliskan menjadi
al-samā’u
ﺳَﯿِﱠﺌﺔ
dituliskan menjadi
sayyi’ah
إِﺗﱠﺒَ َﻊ
dituliskan menjadi
ittaba‘a
4.2.1.4. Tā’ Marbū¯ah ()ة a. Ketentuan Pertama Apabila terdapat kata benda atau kata sifat bermakna khusus (ma‘rifah) yang diakhiri dengan tā’ marbū¯ah, maka dituliskan dengan /h/. Contoh:
اﻟﻨﱡﺒُﻮﱠة
dituliskan menjadi
al-nubūwah
b. Ketentuan Kedua Apabila terdapat sebuah kata berakhiran tā’ marbū¯ah yang menyusun sebuah kalimat majemuk (i«āfah), maka dituliskan dengan huruf /t/.
Universitas Indonesia
53
Contoh:
ﺳﻨﺔ اﻟﺰاء
dituliskan menjadi
sanat al-zā’i
4.2.1.5. Kata Sandang Dalam tata bahasa Arab, kata sandang ditunjukkan dengan lambang huruf alif dan lām ()ال. Pelafalan kata sandang dalam bahasa Arab dibedakan menjadi Shamsīyah dan Qamarīyah. Pada shamsīyah, pelafalan huruf lām luruh mengikuti bunyi huruf setelahnya. Sedangkan pada qamarīyah, pelafalan huruf lām terdengar sangat jelas tanpa mempedulikan bunyi huruf setelahnya. Meskipun demikian, dalam proses transliterasi tidak terdapat perbedaan di antara keduanya yakni dengan cara menuliskan huruf /al-/. Contoh:
اﻟﺴﱠﻼَم
dituliskan menjadi
al-salām
اﻟﺤِﻜْﻤَﺔ
dituliskan menjadi
al-¥ikmah
4.2.1.6. Lafa§ Jalālah ()اﷲ Penulisan lafa§ Jalālah mengikuti contoh-contoh berikut:
اﷲ
dituliskan menjadi
Allāh
ﺑﺎﷲ
dituliskan menjadi
billāh
ﷲ
dituliskan menjadi
lillāh
ﺑﺴﻢ اﷲ
dituliskan menjadi
bismillāh
4.2.1.7. Huruf Kapital Penulisan aksara Arab tidak mengenal istilah huruf kapital. Meskipun demikian, dalam proses transliterasi, huruf kapital digunakan dalam setiap awal kalimat. Penggunaan lainnya adalah untuk menandai kata-kata yang bermakna khusus seperti nama orang, nama tempat, dan judul karya. Contoh:
ﺣﻀﺮﻣﻮت
dituliskan menjadi
¦a«rmawt
ﺳﯿﺮ اﻟﺴﺎﻟﻜﯿﻦ
dituliskan menjadi
Sayr al-sālikīn
Pengecualian pada bagian ini adalah saat menuliskan nama Hasan Maolani maka tidak diterapkan sistem transliterasi.
Universitas Indonesia
54
Contoh:
ﺣﺴﻦ ﻣﻮﻻﻧﻲdituliskan menjadi Tidak ditulis
Hasan Maolani ¦asan Mawlānī
4.2.1.8. Judul Karya a. Ketentuan Pertama Sebagaimana penjelasan sebelumnya, penulisan transliterasi pada istilah berbahasa Arab yang menunjukkan judul karya tertentu dilakukan dengan cara mengawalinya dengan huruf kapital. Contoh:
ﺷﻌﺒﺔ
dituliskan menjadi
ﻣﻨﮭﺎج اﻟﻌﺎﺑﺪﯾﻦdituliskan menjadi
Shu‘bah Minhāj al-‘Ābidīn
b. Ketentuan Kedua Judul karya yang diawali dengan kata sandang dan berkedudukan di awal kalimat, maka dituliskan dengan diawali dengan huruf kapital /Al-/ dilanjutkan dengan huruf kapital pada kata berikutnya. Sedangkan, apabila berkedudukan di tengah atau akhir kalimat maka kata sandang ditulis tidak menggunakan huruf kapital /al-/ dilanjutkan dengan huruf kapital pada kata berikutnya. Contoh:
اﻷﺟﺮوﻣﯿﺔ
dituliskan menjadi
Al-Ajurūmīyah al-Ajurūmīyah
4.2.2. Transliterasi Pegon Keberadaan aksara Pegon di Nusantara merupakan bukti bahwa penyebaran agama Islam di tanah Jawa atau Sunda telah dilakukan dengan cara berkompromi dengan kebudayaan lokal. Aksara Pegon diciptakan untuk mempermudah penanaman keislaman kepada masyarakat lokal untuk membaca teks-teks beraksara dan berbahasa Arab yang telah terlanjur dianggap sebagai teks berhaluan Islam. Seiring berjalannya waktu, penggunaan aksara Pegon kemudian meluas tidak hanya digunakan untuk menuliskan teks-teks keagamaan (Pudjiastuti 2010: 95). Kebijakan politik Pemerintah Hindia-Belanda pada akhir abad ke-19 yang mewajibkan penggunaan aksara Latin dalam setiap penulisan dokumen telah
Universitas Indonesia
55
menyebabkan tergerusnya penggunaan aksara lokal, termasuk di dalamnya aksara Pegon.2 Kondisi ini menyebabkan pembaca di masa kini diliputi keterbatasan dalam membaca aksara Pegon sehingga dibutuhkan pedoman alih aksara Pegon menjadi Latin yang didasarkan pada teks yang dialihaksarakan yang dalam hal ini adalah teks Surat-surat Eyang Hasan Maolani. Berikut adalah pedoman transliterasi tersebut:3
4.2.2.1. Padanan Aksara Arab dengan Pegon Tabel 8 Padanan Aksara Arab dengan Pegon No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Bunyi ba ta tha jim ¥a kha dal dhal ra zay sin shin ¡ad «ad ¯a §a ‘ayn ghayn
Pendapat ini didasarkan pada pengakuan Eyang Hasan Maolani dalam Surat 5, hal. 64. Dalam surat tersebut, Eyang Hasan menjelaskan ketatnya aturan Pemerintah Hindia-Belanda yang mewajibkan seluruh dokumen yang akan dikirimkan keluar dari wilayah Kampung Jawa wajib ditulis menggunakan aksara Latin. 3 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pedoman transliterasi yang akan disajikan adalah berdasarkan aksara Pegon yang digunakan dalam Surat-surat Eyang Hasan Maolani. Ini berarti bahwa pada bagian ini tidak akan dijelaskan secara rinci mengenai padanan aksara Jawa dan Arab. Hal tersebut dapat dibaca dalam Pudjiastuti (2010: 94–110).
Universitas Indonesia
56
20 21 22 23 24 25 26 27 28
-
ف ق ك ل م ن ھـ و ي
fa qaf kaf lam mim nun ha waw ya
ك ل م ن ھـ و ي
4.2.2.2. Huruf Arab Rekaan Pegon Tabel 9 Huruf Arab Rekaan Pegon No 1 2 3 4 5 6 7
Bunyi ca pa dha nya ga tha nga
Huruf Arab Rekaan Pegon
چ ف د پ ڮ ت ڠ
4.2.2.3. Aksara Vokal (Swara) Surat-surat Eyang Hasan Maolani ditulis menggunakan aksara Pegon gundhul4 yang ditandai dengan adanya huruf saksi. Adapun beberapa pola pembentukan aksara vokal dalam teks ini adalah sebagai berikut: 1. Pembentukan aksara vokal menggunakan huruf saksi. Berikut adalah tatacara penggunaannya:
( اalif) digunakan untuk menandai vokal ‘a’. Contoh: ﺗﻜﺎdibaca teka.
( وwawu) digunakan untuk menandai vokal ‘u’ atau ‘o’. Contoh: ﺗﻮﻣﻜﺎ
4
Terdapat dua cara pembentukan aksara vokal Pegon yaitu gundhul dan sandhangan.
Pembentukan aksara vokal gundhul ditandai dengan adanya huruf saksi yaitu alif ( ) ا, wawu ( ) و, dan ya ( ) ي. Hal ini berbeda dengan pola yang diterapkan pada sandhangan yang menggunakan tanda harkat (fat¥ah, kasrah, dan «ammah) sebagai penanda bunyi huruf. Lihat Pudjiastuti (2010: 103–106)
Universitas Indonesia
57
dibaca tumeka; dan ﻮ
اdibaca anggo.
( يya) digunakan untuk menandai vokal ‘i’, é, atau è. Contoh: دﯾﻨﺎ dibaca dina; dan ﯿﺪﯾﻨﻲdibaca gedèné.
2. Bunyi pepet dibentuk dari konsonan yang ditulis berturut-turut tanpa dipisahkan oleh huruf saksi. Contoh: درﻓﻮنdibaca derapon. 3. Reduplikasi ditulis menggunakan angka dua (2) dalam huruf Arab. Contoh: ٢ اﻛﯿﮫdibaca akèh-akèh.
4.3 Suntingan Teks (1)
Sūrat al-Awwal Bismillāhi al-Ra¥māni al-Ra¥īm Al¥amdu lillāhi walī al-itmāmi wa mawfiqi al-ikhtitāmi wa al-¡alātu wa al-salāmu ‘alá mu¥ammadin khayri al-anāmi wa a¡¥ābi al-kirāmi. Fahādhihi ¥ikāyatu safari shaykhinā jaddinā shaykh Hasan Maolani min qaryatihi wa baladihi wa jazā’irihi ilá qaryatin ba‘īdatin minhā wahiya al-musammá qaryata Kampung Jawa balada Manado. Wa qāla idha kharajtu min baytī/qaryati Lengkong baladi Kuningan fī yawmi al-khamsi sā‘ata al-‘a¡ri shahra al-¡afari sanata Jīm al-Akhīr5 hijrata al-Nabī ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1257 h-n-r-gh. Nuli dèn kurung anang benteng Cirebon 3 wulan. Nuli layar maring Betawi. Nuli dèn kurung anang Betawi ulih 4 wulan. Nuli mangkat malih saking Betawi fī yawmi thulātha sā‘ata al-‘a¡ri shahra al-¢afari hilāla 12 sanata al-Alif hijrata al-nubūwati ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1259. Nuli layar saking Betawi maka teka ing Pulo
(2)
Ternate tanggal 1 wulan Mulud dina Ahad. Maka nuli layar malih teka ing Kampung Kaima dina Ahad ulih satus dina mondhok ing wong Islam asal saking Tegal iya iku anggon khinzīr dèn ingu pada kelawan ayam. Saban-saban (…) latar wis tai khinzīr belaka. Wongé werna papat: Walanda lan Nasrani lan Ahli Puru lan wong Islam. Maka Nasrani kang akèh-akèh lan wong Islamé setitik. Maka nuli batur isun Ibro mati anang Kampung Kaima ing wulan Jumadilakir, larané rumeb, dinané isun wis lali. Ibro titinggalé kamangsen sawiji. Mugi sira jaluk rido maring biyangé soké isun dèn anggo nulis. 5
Teks: al-ākhar.
Universitas Indonesia
58
Arep dèn kirimaken oranana kang gawa. Tamat taun Alif hijrata al-Nubūwati ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1259 ¯n-r-gh.6 Maka nuli mangkat malih saking Kampung Kaima dina Ahad wulan Rajab tanggal 17 taun Alif, maka tumeka ing Kampung Tondano. Iku maka dèn paringi pernah ing Kampung Jawa kumpul kelawan wong Jawa kang sami Islam. Saking bayt kumandang maring Kampung Jawa lelampahan 3 pal 40 khutwah.
(3)
‘Imrānī, °ūbá, kāna buyūtahum khamsan wa khamsīna buyūtan. Iku ramé pada duwé zawjah angislamaken wong Ahli Puru tegesé wong jāhilīyah dudu Nasrani dudu Islam. Ulama gedèné papat, namané Kiai Khalifah, Kiai Wahada, Kiai Baderan, Kiai Ghazali. Tatapi akèh kang pada weruh ing ma’na kitab anging durung pada angalap béngat. Mulané, maring isun pada tābī‘ anarima tuna. Tatapi, ulamané saiki wis pada maot keri sawiji nama Kiai Ghazali saking Mlangi tatapi maksi anom patut umuré 62. Iki muridé Tuan Haji Minhaj saking Solo tatapi iya manut maring pitutur isun lakoni ¡adaqah wa ¯ayyibah amal-amalan ia ora wani-wani maring isun. Wallāhu a‘lam. Maka sawisé iku ana randhané Kiai Ma‘ruf saking negara Yogya duwé anak (4)
wadon sawiji arané (…). Maka isun arep nuli nikah, maka dadi isun iku duwé zawjah saking taun Dal wulan Safar tanggal 9 dina Selasa hijrat alNabawīyah ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1263 s-r-gh. Maka dadi isun sawisé duwé zawjah iki wis ora mikir apa mung amangan, anginum, aturu, angaji Kur’an, amaca ¡alāwah “Dalā’il al-Khayrāt”, kerana andongakaken ing anak putu miwah segala wong tābi‘7 lan segala wong percaya maring isun. Andhéné banyuné Kampung Jawa iku kakubeng dèning jurang banyu serta agawé sumur kaya Cirebon. Yèn adus anang latar belaka serta dèn kikis lataré. Banyuné adem kaya manis sarta atis. Andhéné pakuburané iki anang gunung, kira-kira pada kelawan Gunung Jati atawa kurang setitik. Andhéné isun dèn buwang. Iku piro-piro wohé ilmu nisun lan wohé ilham nisun saking wahyuning Kur’an. Amung nadam isun, pédah ora ningal 6 7
Huruf terakhir diduga bukan ‘ayn melainkan ghayn. Teks: tābī‘.
Universitas Indonesia
59
anak putu lan ora katingalan §āhiré lan ora bisa tutur-tutur lan ora bisa muruk (5)
maring anak putu. La‘allallāha yar¥amukum fi al-dīni wa al-dunyā wa al-ākhirah. Wa la‘allakum tufli¥ūn wa la‘allakum tughfarūn wa la‘allakum tur¥amūn. Qāla al-Nabī ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam fī ¥adīthi al-marfū‘i <man qara’a sūrata al-Wāqi‘ah kulla laylatin marratan wā¥idatan lam tu¡ibhu faqrun abadan>. Qāla al-Nabī ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam <man qara’a sūrata alWāqi‘ah kulla yawmin marratan wā¥idatan lam tu¡ibhu fāqatun abadan>. Wa kadhālika qāla al-Nabī ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam <man qara’a lā ¥awla wa lā quwwata illā billāhi al-‘alī al-‘a§īmi kulla yawmin wa laylatin lam tu¡ibhu faqrun abadan>. Min Kitāb “I¥yā’ ‘Ulūm al-Dīn” ta’līf Imām al-Ghazālī ¥ujjati al-Islām, muwāfaqatan8 kelawan “Kitāb Mafāti¥”, kelawan “Riyā« al-¢āli¥īn”, kelawan “Tafsīr Anwār alTanzīl”9. In Shā’allāhu ta’ālá. Fadhakkir innamā anta mudhakkir ilá ākhirihi. Ikilah dongané sawisé amaca surat al-Wāqi‘ah: Allahumma sakhkhir lī rizqī wa a‘¡imnī min al-¥ara¡i wa al-ta‘abi fī ¯alabihi wa min al-tadbīri wa al-khaylati fī ta¥¡īlihi wa min al-shuhhi wa al-bukhli ba‘da ¥u¡ūlihi waj‘alhu sababan lī fī iqāmati al-‘ubūdīyah wa mushāhadati al-a¥kāmi al-rubūbīyah. Allahumma (…) amrī bi dhālika wa lā (…) ilá nafsī ¯arfata ‘aynin wa lā aqalla min dhālika wahdinī ilá ¡irātin mustaqīmin ¡irātillāhi alladhī lahu mā fī al-samawāti wa mā fī alar«. Alā ilallāhi tu¡īru al-umūru. Allāhumma innī as’aluka li mu‘āqidi ‘izzi min ‘arshika al-‘a§īmi wa muntahá al-ra¥mati min kitābika ala‘§ami wa jabarūtika al-a‘lá wa bi kalimātika al-tāmmāti kullihā wa as’aluka bi10 ashrafi nūri wajhika wa kamāli qudratika wa jamāli ‘afwika an tu¡alliya ‘alá sayyidinā mu¥ammadin wa ‘alá āli mu¥ammadin wa an tarzuqunā yā wasī‘-yā wasī‘. Allāhumma yā rāziqa (…) wa yā ra¥īma almasākīn wa yā khayra al-nā¡irīn.
Allāhumma in kāna rizqunā fī al-samā’i fa anzilhu wa in kāna fī al-ar«i fa akhrijhu wa in kāna ma‘dūman fa awjidhu wa kāna ma¥wan fa anbithu11 wa in kāna ba‘īdan fa qarribhu wa in kāna qarīban (7)
fa yassirhu wa in kāna yasīran fa bārikhu wa in kāna ‘asīran fa sahhilhu lanā wa lā tanqulnā ilayhi wanqulhu ilaynā ¥aythu kāna bi lu¯fika wa karāmika bi ra¥matika yā ar¥ama al-rā¥imīn. Wallāhu a‘lam na¥nu la na‘lam. Wa ay«an {fadhakkir in nafa‘ati al-dhikrá}.12 Wa ay«an {fadhakkir [bi al-Qur’āni] man yakhāfu wa‘īdi}.13 Man qara’a sūrata al-Wāqi‘ah kulla laylatin wa kulla yawmin thalātha marrātin aw khamsa marrātin aw sab‘a marrātin aw zāda min dhālika fa bi ¯arīqi al-ūlá. Wa kadhālika man qara’a lā ¥awla wa lā quwwata illā billāhi al-‘alī al-‘a§īmi in zāda ‘alá mi’ata marrātin wallāhu a‘lam. Qāla al-Nabī ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam Qāla ‘alayhi al-salām <man an‘amallāhu [‘alayhi bi] ni‘matin fa arāda baqā’uhā falyukthir min qawli lā ¥awla wa lā quwwata illā billāh15>16 Qāla ‘alayhi al-salām
(8)
Wa man akthara minhā17 na§arallāhu ilayhi wa man na§arallāhu ilayhi fa qad a¡āba khayra al-dunyā wa al-ākhirah>. Tamhīd. Qāla al-Nabī ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam . Al-¦ādīthu. Allāhumma innī as’aluka ¥ubbaka wa ¥ubba kulli shay’in yuqwīnī ilá ¥ubbika ilá liqā’ika ilayya waj‘al lī liqā’aka yā ghanīyu yā ¥amīdu yā 11
Teks: ashbi’hu QS. 87: 9. 13 QS. 50: 45. 14 Teks: ahwanuhā 15 Teks: lā ¥awla wa lā quwwata illā billāh al-‘alī al-‘a§īmi. 16 Matan hadis ini merujuk pada hadis yang disebutkan oleh al-°abrānī (w. 971) dalam Mu‘jam al-Awsa¯ (1995: 56). 17 Teks: minhu. 12
Universitas Indonesia
61
mubdi’u yā mu‘īdu yā ra¥īmu yā wadūdu yā fa‘‘ālun limā yurīdu aghninī bi ¥alālika18 ‘an ¥arāmika wa bi ¯a’ātika ‘an ma‘¡iyatika wa bi fa«lika ‘amman siwāka bi ra¥matika yā ar¥ama al-rā¥imīna. Wa li qawlihi ta‘ālá {fa in tawallaw fa qul ¥asbiyallāhu lā ilāha illā huwa ‘alayhi tawakkaltu wa huwa rabbu al-‘arshi al-‘a§īmi}.19 (…) li shaykhinā al-Shādhilī. Min abīka. Thuba! Tetepa wurukna maring sedulur ira maring alonira (9)
kang pada arep anglakoni ing pituduh isun iki. Yèn ora arep ya aja pidoli. Li qawlihi ta‘ālá fa man tabi‘anī fa innahu minnī wa man ‘a¡ānī fa innaka ghafūrun ra¥īmun.20 Ibrāhīm. Rabbanaghfirlanā wa li walidayya wa li al-mu’minīna yawma yaqūmu al-¥isābu. Allāhummaghfirlī wa li walidayya kamā rabbayānī ¡aghīrā. Yuktabu yawma al-Ithnayni shahra al-Shawwal sanata al-Zā’i hijrata alNubūwwati ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1270 a-‘-r-gh.
(10)
Sūrat al-Thānī Wa ‘alaykum al-salāmu wa ra¥matullāhi wa barakātuhu wa ri«wānuhu wan maghfiratuhu wa al-salāmu ‘alá man ittaba‘a al-hudá. Ilá ākhirihi. Salam donganisun abīka Hasan Maolani kang muqim ing Kampung Jawa, tanah Tondano, negara Manado lelampahan 2 pal. Tumeka maring ibnī Nurhamid sallamahullāhu ta‘ālá ajsādahu wa qulūbahu wa arwā¥ahu wa asrārahu fi al-dīni wa al-dunyā wa alākhirah āmin. Wa ba‘dahu, hak sira angaturaken patobat maring isun lan angaturaken (…) lan (…) maring isun iya wis dèn ampura.21 Dèning isun sekabèh wis oranana apa-apa. Lan malihé sira anglangkahi wawaler isun perkara duwé bojo yèn durung duwé umur 25 taun, iku kejaba takdir Allah ta‘ālá. Saiki saking isun wis oranana apa-apa. Isun wis angampura maring sira kabèh. Isun andongakaken ing sira mugi-mugi duwé ati sālim, iya iku atiné wong salèh. Tegesé selamet saking syirik
(11)
lan munapèk lan maksiyat lan selamet saking kidhb, ghībah, namīmah, 18
buhtān, fa¥shā’, laghwun lan selamet saking ‘ujub, riyā’, kibr, sum‘ah, ¥asad. In shā’allāh ta‘ālá min al-āminīn fī al-dīn wa al-dunyā wa alākhirah. Lan maningé isun duwé penjaluk maring sira. Poma-poma, aja ora yèn duwé bojo wurukna ngaji maka pada weruh ing aksara. Lan aja waniwani tinggal salat limang waktu lan sekabèh. Adate samangsa wis duwé [bojo] bakal duwé anak, iku samangsa meteng bojo sira22 pasa. Maka seringana ¡adaqah saban-saban Jum‘ah dadiya sasigar kurma. Niyat amasrahaken ing Rasululllah derapon dadiyé becik. Li qawlihi ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam . “Shu‘bat al-Īmān”. Lan ngaji Kur’ana yèn kuwasa mangka khatm saban-saban Jum‘ah, «a‘īf«a‘īfé khatm sawulan sapisan. Maka pasrah ing gusti Allah lan pasrah ing Shaykh anggahé ing Rasul. Lan sekabèh sira (12)
kapèngen parek rejeki, ab‘adu ibtilā’i, apurih kaselametan fī al-dīni wa al-dunyā wa al-ākhirah iku poma-poma sira aja ora mangka sering jiyarah maring pekuburan biyangira lan nyainira lan luluhurira Syekh Arsam lan luluhurira saking isun iku Syekh ‘Abd al-Qāhar lan Syekh Muhibbat. Sumawona maring Kiai Panembahan Mu¥ammad Daqā’ ing saban-saban Jum‘ah isuk atawa ba‘da Jum‘ah yèn oranana ‘udhr. Yèn ana ‘udhr iya barang sakawasané barang sedangané apa kelakuwan isun tatkala isun durung dèn buwang sira turutan. Lan aja cacad-cinacad maring pada mukmin iku pucuké anak putuné dadi apes kurang becik lan kurang sujud sukur yèn saban-saban ba‘da salat atawa sujud taqarrub arané. Iya pada tingkahé kerana niyat anolak bala atawa kerana niyat amarekaken nikmat atawa niyat anuhun selamet atawa pedah katekanan nikmat. Apa kang dèn niyataken iku dadi sira
(13)
ora weruh sira takona maring kakangira, Ibu Mu’minah, atawa kakangira, °ūbá. In shā’allāhu ta‘ālá min al-āminīn. Lan sekabèh, salakunira perkara pitutur isun sira arep anglakoni kalakuwan iku tutur maring mertuanira, Paman Ngabehi, derapon dadi selamet sekabèh. Lan sekabèh isun tutur maring sira, Nūr ¦amīd, ing kalakuwanisun iku amangan, anginum, aturu, asalat limang waktu, lan angaji Kur’an saban Jum‘ah isun khatm, lan amaca solawat “Dalā’il al-Khayrāt” saban-saban 22 23
Teks: lan Teks: al-qalīli.
Universitas Indonesia
63
Jum‘ah khatm ping pitu, lan tunggu umah. Isun Andhéné duwé zawjah malih iku isun maring randhané ulama saking negara wétan namané Kiai Ma‘rūf. Duwé anak tiri sawiji, iya iku kang wiwitan angangon isun agawé gaga, agawé sawah, amèk kayu. Iku adaté negara, samangsa wong wadon pada rosa kasab. Tatapi oranana kang agawé pakéan sabab oranana kapas, oranana wong (…), wong nenun wis (14)
oranana, amung agawé klasa. Weruhi, saiki wis dèn lakikaken anak tiri iku tatkala wulan Jumadilakir tanggal sepuluh malem Jum‘ah tahun Jé hijrata al-Nubūwah ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1270 a-‘-r-gh. Pepaes pada tuku kabèh. Isun lan kanca iku pada dedasteran sekabèh. Lan angadegaken salat Jum‘ah dadi tutuné isun. Saperti dadi pangulu umpamané anikahaken iku atawa rātiban imamé iku kudu isun oranana kang wani yèn ana isun. Lan sekabèh sira bekta kemben bathik abang maring isun iya wis teka iya nerima pisan isun kerana isun wis ora duwé sabuk bènten isun ana wong nyolong. Amung kelambi,24 samping, daster wis cukup saking Pangeran Suryaningrat, angkat putu Sunan Bagus putrané Susunan Sugih negara Solo iku pangeran agengé kakalih. Namané sawiji Pangeran Suryaningrat lan kapindho Pangeran Rangga iya iku kang
(15)
banget percayané maring isun. Bok ana wong kang anggagampang. Iya iku kang ora suka kerana wis akèh-akèh murid isun kang pada angalap dhikr ‘ishrīna rijālan wa ‘ishri nisā’an. Lawasé wong Jawa dèn buwangé 24 taun wis pada duwé putu, ana kang durung rabi, werna-werna. Dadi isun wis 12 taun lumampah. Wallāhu a‘lam bi al-¡awāb wa al-kha¯ā’i. Poma-poma anak putu isun kabèh aja lali ing ruwanging pati,25 iku shahādah tanpa ashhadu, tanpa basa, tanpa sora. Tegesé éling rohani maring Allah ta‘ālá tan pegat-pegat (…) wengi. ¨āhir ira Nurhamid, taun Bā’, wulan Jumadil Awwal, tanggal 10, malam Jum‘ah, angarep tengah wengi jam sawelas, hijrata al-Nubūwah ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1248. (…) 24 25
Teks: k-w-l-m-b Teks: ruwanging pati ruwanging pati.
al-Zā’i hijrata al-Nubūwah ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1270 a-‘-r-gh. Wa ‘alaykum al-salām wa ra¥matullāhi wa barakātuhu wa ri«wānuhu wa maghfiratuhu wa al-salāmu ‘alá man ittaba‘a al-hudá. Ilá ākhirihi. Salam donganisun abīka Hasan Maolani kang mukim ing Kampung Jawa, tanah Tondano, negara Manado. 55 Umahé. lelampahan 2 pal. Tumeka maring ibnī, Ihsan, sallamahullāhu ta‘ālá ajsādahu wa qulūbahu wa arwāhahu wa asrārahu fī al-dīni wa al-dunyā wa al-ākhirah. Ilá ākhirihi. Wa ba‘dahu. Rèhing sira ngaturaken patobat amasrahaken sirr ira ing donya rawuh ing akerat serta anuhunaken ziyād pandonga maring isun, iya isun amuji al¥amdu lillāhi rabbi al-‘ālamīn
(17)
atawa sira anuhunaken pambuka maring kitab, mugi-mugi pinarengan lampah soleh serta dèn dongakaken maot bekta iman. Kapèngen parek rejeki adoh belahi. Maka isun amuji al¥amdu lillāhi rabbi al-‘ālamīn. In shā’a kāna wa mā lam yashā’ lam yakun. Fa satadhkurūna mā aqūlu lakum. wa afū«u amrī ilallāhi. Innallāha ba¡īrun bi al-‘ibādi. Yā ‘alīmu anta al-‘alīm wa anā al-jahīlu min al-jahīli26 siwāka. Yā qadīru anta alqadīru wa anā al-‘ājizu min al-‘ajīzi27 siwāka. Fa qis. Ilá ākhirihi. Hé anakku kabèh lan mantunisun kabèh rijāl wa nisā’ ! Isun (…) nemu perkara ingkang kerasa dèning isun iku jāhil, «a‘īf, ‘ājiz, dhall, faqīr, la’īm,28 «adá, durung karuhan. Wallāhu a‘lam. Isun niyat andongakaken ing anak putu kabèh, menawa tinarima. Mugimugi sami dèn paringi dèning Allah ta‘ālá ati sālim. Iya iku atiné wong soleh. Tegesé selamet saking syirik lan munapèk lan maksiyat lan selamet saking kidhb,
(18)
ghībah, namīmah, buhtān, fa¥shā’, laghwun, lan selamet saking ‘ujub, riyā’, kibr, sum‘ah, ¥asad wa sukūti al-lisāni min al-mad¥i wa al-dammi. Li qawlihi ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam <min ¥usni29 Islāmi al-mar’i tarkuhu mā lā ya‘nīhi>. 26
Teks: li al-jahīli Teks: li al-‘ajīzi 28 Teks: lā’im 27
Universitas Indonesia
65
Lan sekabèh isun duwé penjaluk maring sira kabèh anak putu. Mugimugi pada (…) ilmu kitab. Kawitan Kur’an serta tafsīr, na¥w, fiqh, u¡ūl, ¯arīqah, ta¡awwuf dèn weruh murāde lan lakoni. Maka sawisé weruh dèn buwang maning! Tegesé aja rumasa bisa. Aja rumasa luwih. Aja rumasa ngungkuli liyané. Aja rumasa kuwasa. Aja rumasa kuwat. Aja rumasa mulya. Aja rumasa sugih. Ilá ākhirihi. Al-badanu ¥udhifa wa ukhidha. Wa in lam yu¥dhaf fa kāna sharīk alBārī. Wa lam yu’khadh fa kāna lā ya‘rifu rabbahu. Li anna al-badan ¯arīqun ilá ma‘rifati rabbihi. Kerana akèh-akèh ulama [iku] sharīk al-bārī dumèh-dumèh weruh ing kitab iku pada rumasa bisa. Tatapi iya bener, (…) sabab olèhé kangèlan. Mungguh ing (19)
hakékaté maksih mawqūf. Li qawlihi ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam <man sāra30 fi al-‘ilmi lam yamut ¥ayyan abadan>. Wa li qawlihi ta‘ālá {yahdillāhu li nūrihi man yashā’}.31 Wa li qawlihi ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam . Wa li qawlihi ta‘ālá {wa mā kānallāhu li yu«illa qawman ba‘da idh hadáhum. Ilá ākhirihi}.32 In shā’allāhu ta‘ālá min al-āminīn. Tatapi aja (…) sira maring isun wong ‘ālim atawa wong luwih atawa wong luhung. Li qawlihi ta‘ālá {qul innamā al-‘ilmu ‘indallāhi wa innamā ana nadhīrun mubīnun}.33 Wa li qawlihi ta‘ālá {fadhakkir innamā anta mudhakkirun, lasta ‘alayhim bi mu¡ay¯iri}.34
Wa li qawlihi ta‘ālá {wa mā anta ‘alayhim bi jabbārin fadhakkir bi alqur’āni man yakhāfu wa‘īdī}.35 Tegesé isun maring anak putu [iku] mudhakkir. Tegesé anyartakaken ta’līf dalīl ¥adīth, ijmā‘, qiyās dudu wahyunisun iya wahyu Rasululullah ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam. Isun amung taqlīd lan niru-niru. Menawamenawa Allah ta‘ālá aparing hidayah ihdinā al-¡irā¯a al-mustaqīm iku dongané. Lan sekabèh sira kabèh anak putu kabèh kang teka suraté (20)
lan kang ora teka suraté kang durung dèn wuruk dèning isun ingdalem kalimat taw¥īd, wa lā tamūtunna illā wa antum muslimūn ay muwa¥¥idūna. Ilá ākhirihi. Tampanana piwuruk isun. Kalimat shahādah [iku] roro iya iku kang dèn arani kalimah Islām. Faqūlū: Ashhadu an lā ilāha illallāh wa ashhadu anna mu¥ammadan Rasūlullāh ¥aqqan. Ilāhī Anta maq¡ūdī wa ri«āka ma¯lūbī. Lā ilāha illallāhu lā ¥addan wa lā ‘adadan. Illallāhu kadhālika. Allāhu Allāhu kadhālika. Huwa huwa kadhālika. Wa in qabilta kalimatan ¯ayyibatan in shā’allāhu min al-āminīn fī al-dunyā wa al-ākhirati. Li qawlihi {wa jāhidū fīllāhi ¥aqqa jihādihi}.36 Ilá ākhirihi. Wa li qawlihi,
(21)
{Yā ayyuhā alladhīna āmanū ittaqullāha wa ibtaghū ilayhi al-wasīlata wa jāhidū fī sabīlihi la‘allakum tufli¥ūna}.37 Wa li qawlihi ta‘ālá {innaka lā tahdī man a¥babta wa lakinnallāha yahdī man yashā’u}.38 Ilá ākhirihi. Tegesé guru iku ora bisa awèh rahsa maring murid anging anuduhaken dedalan belaka. Wa li qawlihi ta‘ālá {[wa] kadhālika aw¥aynā ilayka rū¥an min amrinā mā kunta tadrī mā al-kitābu wa lā al-īmānu wa lakin ja‘alnāhu nūran nahdī bihi man nashā’u min ‘ibādinā wa innaka latahdī ilá ¡irā¯in
mustaqīmin}.39 Ilá ākhirihi. Shūrá. Wa li qawlihi ta‘ālá {wa man ya‘shu ‘an dhikri al-ra¥māni nufayyi« lahu shay¯ānan fahuwa lahu qarīnun. Wa innahum laya¡uddūna ‘an al-sabīli wa ya¥sabūna annahum muhtadūna}.40 Ilá ākhirihi. Tar¥īm Shaykh Zamzam pukul 4 waktu subuh awal. Yā ar¥ama al-rā¥imīna ir¥amnā yā Rasūlallāhi. Yā ar¥ama al-rāhimīna ir¥amna yā sayyidanā Abī Bakrin al-¢iddīq ra«iya Allāhu ‘anhu. Yā ar¥ama (22)
al-rāhimīna ir¥amnā yā sayyidanā ‘Umar ibn Kha¯¯āb41 ra«iyallāhu ‘anhu. Yā ar¥ama al-rā¥imīna ir¥amna yā sayyidanā ‘Uthmān ibn ‘Affān ra«iyallāhu ‘anhu. Yā ar¥ama al-rā¥imīna ir¥amnā yā sayyidanā ‘Ālī ibn Abī °ālib ra«iyallāhu ‘anhu. Lan sekabèh seyogya saban-saban ba‘da azan ingdalem limang waktu agawé munajat apa kalakuwan kang ana ingdalem Masjidil Haram kabaré ka qawlihi: Al-¡alātu wa al-salāmu ‘alayka yā ¦abīballāhi. Al-¡alātu wa al-salāmu ‘alayka yā Rasūlallāhi. Al-¡alātu wa al-salāmu ‘alayka yā Nabīyallāhi. Al-¡alātu wa al-salāmu yā jamī‘a ummati Mu¥ammadin ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam. Yèn kepengen parek rejeki adoh belahi maka sira demen jiyarah maring pekuburan luluhurira saking bapanira lan luluhurira saking biyangira lan sekabèh sira kudu weruh namané turunan luluhurira saking Rasulullah tumeka maring kanjeng Sinuhun Gunung
(23)
Jati Cirebon lan tumeka maring sira. Dèn rurubané kelawan ¡adaqah atawa kelawan pamuji atawa kelawan silaturahmi. Tegesé kelawan jiyarah. Ins¥ā’allāhu ta‘ālá yarzuqullāhu man yashā’u bi ghayri ¥isābin. Sinerat yawma al-Thulathā shahra Rama«āna thalathīna hilālan sanata al-Zā’i hijrata al-Nubūwati ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1270 ‘-r-gh. Poma anak putu isun kabèh aja lali ing pati. Ruwanging pati iku shahādah tanpa ashhadu. Tatapi bisa tanpa basa tanpa sora. Tegesé éling rohani maring Allah ta‘ālá tan pegat (…) wengi.
(24)
Tanbīh min abīkum. 39
QS. 42: 52. QS. 43: 36-37. 41 Teks: ¥a¯ab 40
Universitas Indonesia
68
Hé, éling-éling anak putunisun kabèh. Saiki tatkala agawé surat isun wis anerima (…) wis ora bisa agawé ikhtiyār. Wa li qawlihi42 {wa rabbuka yakhluqu mā yashā’u wa yakhtāru mā kāna lahumu al-khiyaratu subhānallāhi wa ta‘ālá ‘ammā yushrikūna}.43 Qa¡a¡. Kari-kari aparep-arep hidayateng Allah lan rahmateng Allah belaka. Wallāhu a‘lam ‘indallāhi wa na¥nu lā ta‘lam. Wa li qawlihi ta‘ālá {minhā khalaqnākum wa fīhā nu‘īdukum wa minhā nukhrijukum tāratan ukhrá}.44 °āhā. (…) wa limā tū‘adūna ay bi ma‘ná maka saiki hé anak putunisun kabèh isun jaluk maring sira kabèh maka sami-sami andongani dèn dongakaken belaka ingdalem kabecikan lan alaneng wong ingdalem kabecikan. Li qawlihi ta‘ālá {[ulā’ika] yu’tūna45 ajrahum marratayni bi mā ¡abarū wa yadra’ūna bi al-¥asanati al-sayyi’ati wa mimmā razaqnāhum yunfiqūna. Wa sami‘ū al-laghwa a‘ra«ū ‘anhu wa qālū lanā a‘mālunā wa lakum a‘mālukum salāmun ‘alaykum (25)
lā nabtaghi al-jāhilīna}.46 Ay al-mukhālifīna fī al-‘ilmi. Man yad‘u yud‘á ‘anhu wa man yan¡uru yun¡aru wa man ya¥sudu yu¥sadu. Ilá ākhirihi. Penjaluk isun maring anak putu sekabèh mugi-mugi isun dèn dongakaken maka oleh hidayah atawa rahmat atawa ghafūrun ra¥īmun qabla al-mawt aw fī sakarāti47 al-mawt. Yèn wis liwat saking sakarāt al-mawt iku isun wis ora weruh kerana ‘adamu ‘indanā illā ‘indallāhi. Ya‘nī aja rumasa selamet yèn durung liwat sakarāt al-mawt Kerana angandika Imām Mālik, aktharu mā yuslabu al-īmānu min al‘abdi ‘inda al-nazā‘i. “Daqā’iq”. Lan sekabèh aja rumasa (…) yèn durung dèn timbang amal ala lan becik.
Li qawlihi ta‘ālá {wa al-waznu yawma’idhin al-¥aq fa man thaqulat mawāzīnuhu48 fa ulā’ika hum al-mufli¥ūna. Wa man49 khaffat mawāzīnuhu50 fa ulā’ika alladhīna khasirū anfusahum bi mā kānū bi’āyātinā ya§limūna}.51 Al-A‘rāf.52 Mulané saiki aja kalah ¥asanah (26)
kelawan sayyi’ah. Lan sekabèh aja rumasa selamet yèn durung (…) wot ¡irā¯ al-mustaqīm ay li anna al-¡irā¯ §ulumāt wa sirājuhā al-thawbah minnā (…). Mulané, sekabèh kang selamet iku kang kuwat angeraksa shara‘ sarta hidayah Allah lan sekabèh kang ora selamet iku kang khilāf saking shara‘ ora kelawan gelis tobat. Wa ay«an, ū¡ītu ilá awlādinā wa dhurrīyātinā wa ittabā‘anā. Poma-poma aja ora (…) isun maka agawé amal soleh iya iku rupané far«u lan sunnah kang luhur derajaté iku amal Kur’an kerana sekabèhe lampah iku (…) saking Kur’an asli maka (…) iki hadis, ijmā‘, qiyās. Wa ay«an, mugi-mugi lakonana turunan yèn kuwasaha angamalaken Kur’an maka khatm saban-saban sa-Jum‘ah sapisan yèn ora kuwasaha maka «a‘īf-«a‘īfé iku sawulan khatm sapisan. In shā’allāhu ta‘ālá sallamahumullāhu ta‘ālá. Wa ay«an, aja tinggal ¡alawat “Dalā’il al-Khayrāt” lan ¢alawat Sul¯ān Ma¥mūd lan ¢alawat
(27)
Kabīr lan Wārid Ayyām lan Haykāl saban-saban sa-Jum‘ah maka «a‘īf«a‘īfe iku khatm sapisan maka af«al yèn khatm ping pitu. In shā’allāhu ta‘ālá sallamahumullāhu fī al-dunyā wa al-ākhirah. Iku lakonana sakuwasané salawasé dèn buwang saiki maksih durung liren yèn oranana ‘udhr. Wallāhu a‘lam. Wa ay«an, isun awèh weruh maring anak putu sekabèh. Yèn sira kabèh katekanan nadam (…) maring isun (…) sungkan apa-apa iku alamat isun lara payah atawa mati lan yèn ora katekanan alamat mungguwé iya ora apa-apa. Lan sekabèh sira gelis-gelis matur maring awliyā’ Allāh atawa maring biyangira. In shā’a wujidtu. Lan sekabèh isun tatkala mati sadulur ira atemu Mu’minah Mad Hakim 48
Teks: mawāzīnuhu bi al-¥asanāti Teks: ammā man 50 Teks: bi al-sayyi’āti 51 QS. 7: 8-9. 52 Teks: A‘raf 49
Universitas Indonesia
70
iku ana alamaté (…) lan tatkala (…) nisun (…) Kanoman iku pasujudan isun dèn bolongi tikus. Lan tatkala mati kakanira ‘Arīfah iku kelambi nisun dèn pangan tikus. Lan sekabèh laku iki kuda dèn pikir aja gelisgelis kumandel (28)
yèn durung ana burhāné. Li qawlihi al-‘ajalatu min al-shay¯āni. Ilá ākhirihi. “Munabbihāt”. Yuktabu fī yawmi al-A¥adi shahra Jumadil Awwal sanata al-Dāli hijrata al-Nubūwati ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam 1271 a-‘-r-gh. Tanbīh ilá awlādinā ajma‘īna. Hé éling-éling anak putunisun sekabèh! Saraté wong amaca kitab iki iya iku kudu weruh ing ta’līfé, tegesé mu¡annif. Lan kudu weruh ing qā‘idahé, tegesé pelungguhané, imamé atawa lakuné atawa pangkaté ahli sharī‘ah atawa ¯arīqah atawa ¥aqīqah atawa ma‘rifah lan liyané. Lan kudu weruh ing mu‘tamad «a‘īfé lan kudu weruh ing nāsikh mansūkhé. Tegesé mansūkh iku anakalané wenang lan anakalané wajib. Andhéné mansūkh53 hukum iku wajib kaya hukum alam Nabi Nuh, Nabi Dawud,
(29)
Nabi Yusuf, lan liyané sekabèh. Andhéné mansūkh54 iku matrūk ¥aqqa tuqātihi atawa ¥aqqa jihādihi iku wenang ora wajib. Lan kudu weruh wa«a‘né. in shā’allāhu ta‘ālá ¥ikāyat al-shaykh min al-āminīna. Wallāhu a‘lam wa na¥nu lā na‘lam ‘āqibatahu. Yā Rasūlallāh aghithnā bi idhnillāhi aw ‘allimnā bi idhnillāhi Atawa jiyarah maring saanggahe shaykh tumeka maring Rasulullah atawa bapa biyang saanggahé tumeka maring Adam Hawa. In shā’allāhu ta‘ālá yarzuqhullāhu ta‘ālá bi ghayri ¥isābin sallamahumullāhu fī al-dīni wa al-dunyā wa al-ākhirah. Wallāhu a‘lam wa na¥nu lā na‘lam ‘āqibatahu. Ta’līfe Shaykh ibn ‘Abbās kitāb “Sittīna”, Imām Rāfi‘ī “Mu¥arrār”, Imām Nawāwī kitāb “Ta¥rīr”, Shaykh Abū Shujā‘ “Taqrīb” [lan] kitāb “Barmawī”, Imām Sibawayh kitāb “¢arf” kitāb “Madkhal”, Imām Ghazālī kitāb “Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn” [lan] “Jawāhir” [lan] kitāb “Minhāj al-‘Ābidīn”.
kita angolèti murād kitab maka rurubané kelawan Fāti¥ah. In shā’allāhu ta‘ālá (…) maring kang amrih iki ya‘nī yèn murād Kur’an menggah ing tafsīré iku maka inget ing Shaykh Jalāl al-Dīn. Ka qawlika wa ilá arwā¥i shaykhinā Shaykh Jalāl al-Dīn a‘ādallāhu ‘alaynā min ra¥matihi wa salāmatihi wa shafā‘atihi wa hidāyatihi wa ‘ilmihi fī al-dīni wa al-dunyā wa al-ākhirah shay’un lillāhi lahum alFāti¥ah. Ashā’u shay’an lillāhi ay li amrillāhi allatī tuftahū. In shā’allāhu ta‘ālá. Fa qis ‘alá hādhā al-madhkūri. Wa ay«an sira dèn weruhi ing kitab yasané kakèknira, bapaknisun, iya Tafsīr awal akhir dadi sajilid lan u¡ūl awit saking “Samarqandī”, “Kalimah Shahādah”, “Miftā¥”, “Tilimsānī”, “Fat¥ al-Mubīn” sawisé “Shu‘bat al-Īmān”, “Lubāb al-Akhbār”, “Zubad al-Ba¥ri” dadi sajilid. Lan Kitāb “Sittīn”, “Taqrīb”, “Ghāyat al-Marām”, “Ta¥rīr”, “Ma‘rifat al-Nikā¥” dadi sajilid papan kertas. (31)
Lan kitab “Mi¡bā¥” dèn campur kelawan “Inna Awlá” lan “Taqwīm alLisān”. Tatapi kakèknira mung “Mi¡bā¥”. “Inna Awlá” lan “Taqwīm alLisān” oleh isun anulis. Lan kitab “Riyā« al-¢āli¥īn” iku yasané kakèk buyutisun Shaykh ‘Abd al-Qāhar. Andhéné kitab “Ghāyat al-Ikhti¡ār” iku yasané Kiai Mu¥ammad Ba¡arī55 bapané Nyai Sharīyah. Wallāhu a‘lam. Wa ay«an maka élinga anak putunisun sekabèh. Poma-poma maka inget ing umur ingdalem dunia sepira lawasé. Iya-iya yèn dèn paringi umur kaya isun 79 taun maksih kuwat. Balik yèn dèn paringi56 umur kaya biyangira kaya sadulurira Ummu Mu’minah lan Ummu Ruqayyah57 lan Mad Hakim anom-anom pada mati keperiyè ira? Mugi-mugi maka pada éling-éling ing patinira kabèh. Li qawlihi <wa lā ta§unnū ‘an ‘umrikum fī al-dunyā kāna ¯awīlan wa muqīman>. Ay lā ta’manu min al-mawti walaw bi tanaffusi. “Munabbihāt”. Iku mugi anak putu sekabèh maka demen amaca Kur’an iya barang sakawasané lan silaturahmi ilá mā ba‘da al-mawti ajiyaraha.
(32)
Yèn kuwasaha iya maring pekuburan yèn ora kuwasaha iya saking umahira iya dari tatapi «a‘īf. Yèn silaturahmi awit saking guru maka dèn anggahaken maring Rasululullah ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam lan yèn awit saking bapak biyang iku maka dèn anggahaken maring abinā Ādam 55
Bi¡rī (?) Teks: pangi. 57 Teks: Rāfiyah (?) 56
Universitas Indonesia
72
wa umminā ¦awá wamā yatanassalu baynahumā ilá yawmi al-dīn miwah segala anbiyā’ wa al-mursalīn miwah segala awliyā’allāh min mashāriq al-ar«i ilá maghāribihā. Yèn weruh ing namané iku dèn sebut namané, yèn ora weruh ing namané iku dèn ma‘lūm derapon dèn wengku belaka. Fa qis ‘alá hādhā al-madhkūri ilá jamī‘i dhurrīyati Ādam wa ¦awá wa ilá jamī‘i ummati Mu¥ammadin ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam. Sumawona yèn menggah ijābah iku kelawan tilāwah Kur’an lan Rātib lan sodakoh barang sakawasané iku turutan lakunisun lagi sadurungé dèn buwang iya iku in shā’allāhu ta‘ālá yarzuqhullāhu ta‘ālá bi ghayri ¥isābin wa sallamahumullāhu ta‘ālá ‘an al-naqā’i¡.58 Wallāhu a‘lam bi al-¡awāb. Wa ay«an mulané isun dawa (33)
umurisun iya isun dawa penyana sarta pirang lakunisun iya iku sabab jangjiné silaturahmi iku ¯awīl ‘umr. Yèn sira kabèh ora duwé amal kang soleh kang ikhlas iku apa sangunira mā ba‘da al-mawti? Bakalé dadi wong muflis iku kocap ingdalem fiqh, wong ma¥jūr ‘alayh, tegesé cinegah perintahé. Lan ma‘nāné muflis iku jayūfan tegesé wong gopok. Qāla al-Nabī ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam . Ilá ākhirihi Qāla al-Nabī ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam . Ilá ākhirihi. “Jawāhir”. Qāla al-Nabī
(34)
thumma ¯uri¥a fī al-nāri>. Fa qāla Rasūlullāhi ¡allallāhu ‘alayhi wa sallam
58