Kepekaan Masyarakat terhadap Kritik Sumber: Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Yogyakarta, Darussalam, 2004 Pengantar KEPEKAAN masyarakat terhadap kritik merupakan salah satu tema yang seringkali dibicarakan dalam topik pengawasan sosial. Konsep pengawasan sosial (control) dirumuskan oleh Ross di tahun 1986 (lihat Ross, 1929). Menurut Ross (1929), konsep tentang pengawasan sosial lebih banyak dikaitkan dengan usaha-usaha yang dilakukan pemegang kekuasaan untuk mengotrol perilaku masyarakat. Namun bila diartikan secara lebih meluas, konsep pengawasan sosial (social control) dapat pula diartikan sebagai “setiap perilaku manusia yang diupayakan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar terciptakan keteraturan sosial (social order), dalam hal ini menurut visi si pelaku” menurut arti yang luas ini, maka kritik dalam bentuk idealnya dapat dikategorikan sebagai bentuk pengawasan sosial. Kritik berfungsi sebagai cara untuk membantu orang lain agar mengambil jalan yang lebih baik (menurut visi pengeritik). Namun demikian seakan-akan banyak orang tidak memilik kepekaan untuk mlontarkan kritik. Banyak orang memilih bersikap diam ketimbang melakukan kritik yang sesungguhnya banyak faedahnya. Bagaimanapun wujudnya kritik merupakan salah satu bentuk pengawasan sosial yang sangat diperlukan dalam kegiatan pembangunan. Mengapa hal demikian terjadi, adalah hal yang akan ditulis dalam tulisan ini. Kritik merupakan salah satu diantara banyak bentuk gugatan terhadap fihak lain. Gugatan yang dimaksud muncul dalam konotasi ketidaksamaan pendapat atau perilaku (nonconformity) antara penggugat terhadap pendapat perilaku pihak yang digugat. Pihak yang digugat adalah siapa saja yang mengajukan pendapat atau berperilaku. Pada pembahasan ini, pihak yang digugat akan dibatasi pada kelompok yang memiliki peranan super ordonante. Contoh pihak yang memiliki fungsi super ordonante adalah atasan, pimpinan, direktur, atau siapa saja yang berperan sebagai penguasa, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur perilaku orang lain. Dari sudut pandang hubungan inter personal, kritik merupakan salah satu bentuk perilaku non-konfornitas terhadap orang lain. Seseorang cenderung akan menyukai orang lain yang berpendapat sama, dan sebaliknya, seseorang tidak akan menyukai orang yang mempunyai pendapat yang berbeda (lihat Byrene, 1971). Oleh karena itu, kritik pada galibnya sulit untuk disukai oleh setiap orang. Tetapi meskipun tidak disukai, ia harus hadir setiap saat bilamana muncul penyimpangan, baik disadari atau tidak, serta di sengaja atau tidak. Tanpa kritik orang dapat menjadi sesat oleh karena keyakinan sendiri. Belum penyimpangan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak, pertanda kerugian yang besar akan segera dihadapi. Sumber Kritik Kritik dapat ditimbulkan oleh beberapa hal. secara garis besar, kritik tumbuh karena beberapa faktor atau situasi antara lain: Pertama, adanya perasaan bahwa orang yang dikritik-- selanjutnya disebut target kritik-- telah melakukan suatu tindakan yang mencerminkan ketidakadilan (in justice).
Ketidak adilan ini misalnya, terlihat dalam hal perbedaan akses untuk meperoleh sumber daya (resources). Sumber daya dapat berupa kesempatan kerja, kesempatan berusaha, perbedaan perlakuan hukum dan lain-lain. Kedua, adanya perbedaan sikap dan pandangan mengenai suatu persoalan penting antara pengeritik dan target kritik. Ketiga, evaluasi yang kurang memuaskan terhadap performace target kritik. Misalnya, banyak janji yang tidak terpenuhi, hasil pekerjaan yang kurang memuaskan, ada ketidak sesuaian antara kebijakan dan tindakan, dan lain-lain. Ketiga hal diatas timbul karena adanya perbedaan persepsi antara pengeritik dan target kritik. Terjadinya perbedaan persepsi tentang suatu hal yang sama disebabkan karena adanya perbedaan struktural-funksional antara pengeritik dan target kritik. Bila dirinci lagi, perbedaan tersebut dapat meliputi perbedaan peran, perbedaan anggota kelompok, perbedaan harapan tentang peran, dan perbedaan kepentingan. Perbedaan Peran Pengeritik pada umumnya berperan sebagai pengamat (observer), sedangkan tabel kritik adalah pelaku (actor). Menurut pendapat Jones & Nisbett (1971), perbedaan peran ini menimbulkan perbedaan persepsi. Pelaku akan meliaht sesuatu yang dikritik sebagai akibat tekanan situasi di saat dia berbuat, sedangkan pengamat akan melihat hasil kerja kepada akibat dari kekurangan pada diri pelaku, bukan karena tekanan situasi. Perbedaan peran ini juga cenderung mengarahkan orang terpaku penalarannya disesuaikan dengan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Tugas-tugas tersebut akan mempengaruhi persepsi terhadap persoalan. Bagaimana tugas mempengaruhi persepsi seseorang dapat dilihat dari contoh berikut ini. Seorang yang bertugas jaga malam, biasanya akan peka dengan segala bentuk suara dan gerakan yang timbul di semak-semak. Menurut pikirannya, suara-suara dan gerakan adalah kemungkinan indikasi adanya pencuri bagi orang lain yang tidak bertugas malam, kemungkinan gerakan dan suara itu hanya di persepsi akibat anjing lewat. Fenomena demikian ini sering terlihat pula dari kegusaran mahasiswa terhadap petugas keamanan. Mahasiswa mau melakukan diskusi yang tujuannya untuk mengembangkan penalaran ilmiah, tetapi dimata petugas keamanan hal tersebut mungkin adalah kegiatan yang dapat menimbulkan instabilitas negara. Perbedaan Keanggotaan Kelompok Perbedaan keanggotaan dalam kelompok akan menimbulkan perasaan in-group dan out-group. Bila pengeritik berasar dari luar atau kelompok lain, khususnya yang dianggap kelompok saingan, maka akan sangat mudah timbul persepsi yang berbeda. Apapun yang menjadi niat baik yang di sampaikan anggota kelompok luar (out-group) sama besar kemungkinannya untuk di persepsikan sebagai gugatan yang merugikan. Beberapa contoh yang jamak terjadi terlihat dari adanya perbedaan persepsi antara kelompok-kelompok partai politik perihal suatu aspek pembangunan. Contoh lain, adanya perbedaan persepsi antara para ilmuan dari perguruan tinggi dengan para birokrat perguruan tinggi. Seringkali lontaran pendapat para ilmuan dianggap sebagai suatu kenyataan yang mendiskreditkan para birokrat. Sebaliknya, kritik yang berasal dari orang atau pihak yang keanggotaan kelompoknya asama dengan target kritik, akan lebih banyak diterima. Namun bila yang di kritik adalah policy yang dianggap merupakan kebijakan kelompok, maka kritik yang diajukan terhadap kebijakan tersebut akan dinilai merugikan kelompok. Sangat besar kemungkinan pengeritik akan mendapat hukuman dari kelompoknya. Contohnya adalah anggota DPR yang berpendapat berbeda dengan suara Fraksi akan mendapat kecaman, atau bahkan akan di-
recall. Hal demikian belum lama dilakukan FPP terhadap Doktor Sri Bintang Pamungkas dan FKP terhadap Ir. Bambang Warih. Perbedaan Harapan tentang Peran Perbedaan harapan tentang suatu peran dapat menimbulkan persepsi yang berbeda dan memicu timbulnya kritik. Sebagai contoh, kritik yang banyak diajukan kepada pelaksana pemerintah adalah kritik terhadap sikap yang minta di layani, bukan melayani masyarakat, pegawai negeri adalah abdi yang harus melayani kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Pegawai negeri telah ditetapkan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Perbedaan harapan perihal peran pegawai negeri dalam hal ini adalah sebagai sumber kritik. Perbedaan Kepentingan Kritik dapat berkembang dari kehendak untuk menyuarakan kepentingan diri sendiri, orang lain atau kepentingan kelompok. Sebaliknya, tidak mempannya target kritik terhadap kritik yang dilontarkan, dapat dikarenakan oleh karena menurut pendapat target kritik kepentingan pribadi dan atau kepentingan kelompoknya terancam. Situasi yang demikian ini merupakan salah satu kondisi yang paling sulit untuk diatasi. Kepekaan Masyarakat dalam Mengeritik Untuk melontarkan suatu kritik secara langsung pada target kritik seseorang harus memiliki cukup keberanian. Dalam masyarakat Indonesia munculnya keberanian untuk mengeritik dihambat oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: Pertama, akar budaya masyarakat Indonesia yang umumnya masih bersifat nonasertif. Orang Indonesia pada umumnya tergolong tipe orang yang menghindari konflik dengan orang lain, kurang berani berterus terang, rikuh (ewuh pakewuh). Kritik pada dasarnya memang merupakan salah satu bentuk konflik. Jadi kritik sedapat mungkin harus dihindarkan. Kritik baru dilontarkan dengan suatu keberanian apabila hal tersebut menyangkut kepentingan diri dan orang banyak yang sifatnya mendasar. Kedua, adanya rasa tergantungan yang terlalu besar pada super ordinate. Ketergantungan yang dimaksudkan adalah terjaminnya kelangsungan kebutuhan hidup. Rasa ketergantungan ini timbul karena kuat dan luasnya pengaruh kekuasaan tertanam dalam seluk-beluk kehidupan masyarakat. cendekiawan adalah orang yang tergolong mempunyai penalaran yang luas terhadap suatu hal. secara toritis, cendekiawan diharapkan banyak memberikan pendapat yang tampil berwujud kritik terhadap program dan kebijakan super ordinate. Namun kecenderungan yang tampak, banyak orang dari kalangan kampus yang tidak menyuarakan suatu lontaran kritik secara jelas. Ada pula mahasiswa yang lebih banyak memilih diam daripada menyuarakan pendapat. Kekuatiran akan mendapatkan sanksi akademik dari super ordinate masih amat terasa. Para tenaga pengajar yang penalarannya luas pun, ada yang lebih banyak memilih diam daripada mengeritik. Kondisi demikian tentu memiliki sebab. Status sebagai pegawai negeri menurut beberapa kalangan memang merupakan faktor yang menghalang-halangi munculnya kritik terhadap kebijakan pejabat pemerintahan. Sebagai pegawai negeri, tampaknya kurang wajar untuk mengkritik kebijakan-kebijakan yang ditelorkan oleh sejawat yang sama-sama pegawai negeri. Faktor lain ialah masih besarnya ketakutan akan terhambat kemajuan karir kerja, atau bahkan kehilangan status sebagai pegawai negeri, bila mengeritik kebijakan pemerintah. Hal yang sama terjadi pula dengan para pihak swasta. Oleh karena amat besar ketergantungan swasta terhadap pemerintah, maka dampaknya keberanian mengeritik ini akan berkurang. Semakin besar ketakutan terhadap super ordinate, kepekaan melakukan kritik akan semakin melemah.
Tentu saja kekhawatiran terhadap konsekuensi-konsekuensi akibat menjalankan fungsi kritik ini tidak selalu beralasan. Dengan adanya kebijakan keterbukaan, terbukanya kemungkinan melakukan kritik yang agak tajam, khususnya kritik yang tidak diesbarluaskan oleh media massa. Namun masih cukup ada tanda-tanda bahwa anggota masyarakat lebih suka cara memilih cara kritik yang tidak mengancam dirinya. Banyaknya surat-surat melalui kotak pos pengaduan khusus seperti Kotak Pos 5000 adalah indikasi dari keengganan untuk berhadapan langsung dengan target kritik. Bentuk kritik lain yang lebih ‘aman’ juga banyak dimanfaatkan. Misalnya dilampiaskan melalui gossip dan jokes. Menurut Merry (1984), gosip (gossip) dan lelucon (jokes) yang berkembang di masyarakat dan tertuju kepada super ordinate adalah bentuk lain dari pengawasan sosial (lihat Merry, 1984). Secara psikologis gossip dan jokes digunakan sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketegangan jiwa karena tidak adanya keberanian untuk mengeritik secara langsung. Semakin tertutup dan otoriter suatu sistem pemerintahan maka akan semakin berkembang gosip dan lelucon yang berisi kritikan terhadap super ordinate. Contoh kritik terhadap super ordinate yang mengambil bentuk jokes adalah lelucon-lelucon yang ditulis dalam buku humor populer “Mati Ketawa Cara Rusia”. Contohnya tertulis sebagai berikut: − Berapa dua kali dua? − Terserah jawaban partai. *** − Bagaimana anda berhubungan dengan Pemerintah Soviet? − Seperti dengan istri: sebagian karena kegemaran, sebagian karena takut, disertai doa, semoga segera mendapatkan yang lain. *** Ketiga, rendahnya kejelasan hukum tentang kritik yang bebas hukuman. Peranan hukum akan sangat menentukan keberanian orang dalam mengajukan kritik. Orang akan takut mengajukan kritik apabila tidak jelas apakah kritik tersebut bebas atau tidak dari ancaman atau tuntutan hukum. Khususnya dalam memberikan kritik yang ditujukan kepada pihak yang memiliki kekuasaan, orang akan memikirkan kemungkinan apakah kritik tersebut nantinya digolongkan ke dalam perbuatan subversif. Ketakutan tuduhan subversif ini semakin kuat bila di suatu negara ada undang-undang anti subversi, dan dalam undang-undang itu tidak jelas kriteria pelaku subversif dan yang bukan subversif. Ketakutan itu dapat didorong pula oleh kekuatiran lain bahwa hukum akan selalu berpihak pada pihak yang memiliki kekuasaan. Baumbartner (1984) menulis: “Law, for instance, ini the form of police, judges, jailers, and executioners, often stand ready to service of those high status when they have grievances againts people with less wealth, authority, atau other attributes of social standing”. (hal 303). Keempat, budapa bapakisme. Budaya bapakisme yang berkembang dalam masyarakat yang berorientasi vertikal akan menghambat masyarakat mengajukan kritik kepada atasannya. Budaya yang demikian ini akan menumbuhkan komunikasi yang satu arah, dari atasan ke bawahan saja (top-down), tanpa arus balik dari bawah ke atas (bottom-up). Kalupun ada arus balik, biasanya arus balik ini selalu yang baik dan menyenangkan. Dalam bahasa populer, arus balik yang terfilter dengan sistematis dan terencana ini disebut “ABS” (Asal Bapak Senang). Adalah tidak pantas untuk mempertanyakan apa yang dikerjakan bapak. Bila
ada kasus yang membingungkan masyarakat yang sumbernya dari pihak yang memiliki kekuasaan, masyarakat tidak berani bertanya. Hal yang demikian inilah yang justru membuat masyarakat bertanya dalam hati, dan seringkali memicu timbulnya gosip yang bermacammacam. Berbeda dengan keadaan di negara Barat yang menganut demokrasi leberal, di Indonesia adalah tidak mungkin bagi media massa mengundang pemilik kekuasaaan guna menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi pada masyarakat. Kalau di Amerika Serikat ada acara Meet the Press yang digunakan untuk mewawancara sang pejabat yang membuat masalah kontroversial. Di Indonesia pertanyaan terhadap anggota DPR yang merupakan wakil rakyat terhadap pemerintah biasanya tidak semuanya & langsung dijawab secara verbal, tetapi ada yang dijawab secara tertulis. Kelima, masih kuatnya budaya dalam tata-cara kritik. Orang memiliki kecenderungan tidak suka dikritik secara langsung dan tegas. Kritik yang demikian dianggap tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Kritik harus dibuat sehalus mungkin supaya tidak menyakitkan. Dalam bahasa Jawa ada tata-cara kritik yang dituangkan dalam ungkapan ngono yo ngono, ning ojo ngono. Hal demikian dapat mempersulit efektivitas penyampaian kritik. Hal ini dikarenakan keterbatasan dan ketidakpekaan banyak orang yang tidak bisa menangkap isi kritikan bila kritik diberikan secara halus, atau melalui kiasan. Memberikan kritikan yang caranya sesuai dengan Pancasila juga tidaklah mudah. Secara operasional patokannya belum diperjelas, mana kritikan yang sesuai dengan Pancasila dan mana yang tidak sesuai. Keadaan yang demikian itu merupakan beberapa faktor yang membuat banyak orang merasa sungkan menyampaikan kritikan. Kritik melalui media massa juga dapat mengalami hal yang serupa. Banyak pejabat yang tidak menyukai kritik secara terbuka (lihat Dahlan, 1977; Parera, 1977). Kritik terbuka melalui media massa akan lebih kecil kemungkinannya untuk dilakukan bila ada kekuasaan dan keleluasaan pemerintah membrendel media massa yang dianggap tidak mengikuti aturan Pers Pancasila. Menurut pendapat beberapa ahli, kritik yang diajukan secara terbuka melalui media massa akan lebih efektif dari pada kritik yang diajukan secara tertutup. Kritik yang terbuka memang lebih menyakitkan, namun sangat efektif untuk membuat orang lebih hatihati di dalam tindakannya di masa yang akan datang. Penutup Seperti telah disebutkan di depan, bagaimanapun wujudnya kritik merupakan salah satu bentuk pengawasan sosial yang sangat diperlukan dalam kegiatan pembangunan. Dalam sistem pemerintahan yang tidak memberikan kesempatan untuk tumbuhnya partai oposisi, maka jalur-jalur untuk memberikan kritik menurut penulis patut diperluas. Dengan cara demikian maka dapatlah ditumbuhkan mekanisme check and balance yang lebih sempurna. Kekuasaan yang terlalu kuat bila tidak disertai dengan mekanisme chech and balance yang baik akan memperbesar peluang kekuasaan menjadi korup. Dengan adanya ajakan pemerintah untuk menggalakkna peranan sektor swasta dalam pembangunan, maka saat sekarang ini adalah saat terbaik untuk merintis dan mengembangkan jalur-jalur kritik dari masyarakat. Tekad pemerintah untuk megurangi kontrolnya terhadap kehidupan masyarakat dengan debirokratisasi dereguralasi semoga akan menular ke dalam hal memberikan masukan kritik terhadap program pemerintah. Kesan pribadi penulis, saat ini pemerintah jauh lebih terbuka terhadap kritik. Khususnya dalam kegiatan seminar atau diskusi tertutup yang pernah penulis hadiri, cukup sering kritikan yang sensitif dilontarkan. Tentu saja yang berani memberikan kritik yang demikian hanyalah sejumlah kecil cendikiawan. Kelonggaran kepada masyarakat untuk mengeritik pelaksanaan pemerintah telah pula dilakukan dengan jalur kotak pos.
Kesempatan mengeritik secara langsung melalui kotak pos khusus hendaknya lebih diperluas sampai ke unit pemerintahan yang lebih rendah, dan betul-betul diinformasikan kepada masyarakat tindak lanjut yang telah dilakukan terhadap kritik tersebut. Selain itu, kini sudah saatnya untuk memasukkan “kualitas pelayanan terhadap masyarakat” sebagai bagian dari penilaian prestasi kerja pejabat pemerintah, khususnya bagi pejabat yang langsung berhadapan dengan pelayanan masyarakat. Penilaian tersebut hendaknya diberikan oleh masyarakat melalui pembukaan kesempatan untuk mengeritik. Semakin banyak kritikan berarti semakin semakin tidak baik kualitas pelayanan. Saat ini keterlibatan masyarakat dalam penilaian terhadap kondite pelaksana pemerintas belum optimal. Harus pula diakui bahwa tidak semua kritik bisa dilontarkan secara terbuka ke dalam masyarakat. Menurut penulis, banyak hal-hal sensitif yang mungkin belum waktunya untuk dibicarakan secara terbuka. Dalam kasus demikian, hendaknya ada jalur khusus forum dialog antara pemerintah dan masyarakat. Anggota masyarakat yang tampaknya perlu diprioritaskan untuk terlibat dalam dialog tersebut adalah kaum cendikiawan. Dialog ini sifatnya tertutup. Tujuannya adalah memberikan masukan alternatif terhadap program-program pemerintah. Dalam suasana optimalisasi peranan dan kemampuan anggota DPR yang seperti sekarang, tampaknya kelompok ini sangat diperlukan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan generasi pemimpin yang terbuka terhadap kritik. Mekanisme penciptaan kader kepemimpinan yang memiliki keterbukaan terhadap kritik patut diperluas. Salah satu bentuknya dapat berwujud pemberian kesempatan untuk berorganisasi tanpa terlalu banyak diatur oleh pemerintah. Organisasi kemahasiswaan semacam Dewan Mahasiswa yang ada di Perguruan Tinggi, sebelum ada program NKK/BKK tampaknya sangat efektif di dalam menciptakan pimpinan yang tahan dengan kritik. Tampaknya perlu dipikirkan untuk menumbuhkan mekanisme demikian dengan cara lain bila cara yang lama tidak memungkinkan. Penulis mengakui tidak memiliki data empirik tentang kepekaan masyarakat Indonesia terhadap kritik. Sepengetahuan penulis, belum ada penelitian sistematik mengenai masalah ini. Pembahasan pada bagian ini lebih bersifat renungan teoritik yang pwrlu dipertanyakan keabsahannya. Namun demikian penulis berusaha untuk mencari dukungan data sdejauh hal tersebut mungkin dilakukan.•