Mengapa Orang Kurang Antusias Membayar Pajak?
Sumber: Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Yogyakarta, Darussalam, 2004 Pengantar TULISAN ini berupaya untuk melihat pajak dari segi tinjauan psikologis. Hasil penelitian pajak dari segi pandangan psikologis amat langka di Indonesia. Penelitian yang dilakukan di Indonesia yang berkaitan dengan aspek psikologis pajak, sepengetahuan penulis, baru dilakukan oleh majalah Tempo. Oleh karenanya dengan terpaksa pendapat dan data yang dikemukakan dalam tulisan ini lebih banyak didasarkan pada hasil penelitian di luar negeri. Pembahasan pada bagian ini akan dimulai dengan melihat bagaimana sikap dasar manusia terhadap membayar pajak. Setelah itu kemudian diikuti dengan ulasan faktor-faktor yang membuat orang segan untuk membayar pajak. Tulisan diakhiri dengan kesimpulan dan upaya untuk meningkatkan antusiasme membayar pajak. Betulkah Setiap Manusia Anti Pajak? Tidak sedikit ahli berpendapat bahwa pada umunnya manusia tidak suka membayar pajak. Dikatakan bahwa hanya sekelompok kecil orang yang merasakan pajak tidak memberatkan mereka. Mereka merasa membayat pajak terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah yang seharusnya dia bayar. Di Indonesia, majalah tempo (1987) pernah melakukan penelitian tentang sikap membayar pajak. Dari 991 responden yang diwawancarai, 8,89 persen diantaranya menysatakan bahwa mereka, membayar pajak dalam jumlah yang kecil. Hasil survey yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang tidak selalu mengharapkan pajaknya diturunkan seperti yang sering diduga banyak orang (Lewis, 1982). Penelitian yang dilakukan oleh Coughlin (dikutip dari Lewis, 1982) menunjukkan hal ini. Dari hasil penelitian Coughlin, ditemukan bahwa persentase orang yang bersedia pajaknya dinaikkan, bila pelayanan terhadap masyarakat ditingkatkan, jauh lebih besar dari persentase orang yang minta pajaknya diturunkan. Dari gambaran di atas, sekilas terkesan bahwa orang tidak selalu anti dengan pajak. Meski demikian ada pula indikasi semakin berkurangnya toleransi orang pada pajak. Penelitian jangka panajng di Amerika Serikat memperlihatkan munculnya kecenderungan orang semakin antipati pada pajak. Di tahun 1957 terdapat 61 persen responden Gallup Pool menjawab bahwa pajak yang mereka bayar terlalu tinggi. Di tahun 1976 angka tersebut meningkat menjadi 72 persen. Survei yang dilakukan oleh Harris Pool di Amerika Serikat menunjukkan bahwa di tahun 1969 terdapat 54 persen responden yang mengatakan mereka sudah sampai ke titik puncak (breaking point) dalam hal pembayaran pajak. Sementara di tahun 1978 terdapat 66 persen yang sudah sampai ke titik puncak (dikutip dari Lewis, 1982). Hasil survei tersebut menunjukkan adanya kecenderungan orang semakin menjadi anitpati pada pajak. Bagaimana keadaan di Indonesia, sejauh ini belum diketahui. Menurut penulis, data seperti yang digambarkan di atas diperlukan untuk mengetahui sikap masyarakat Indonesia terhadap pajak. Demikian pula dapat diteliti secara sistematis faktor-faktor, kondisi dan alasan-alasan apa saja yang khas bagi masyarakat Indonesia untuk menghindari pajak.
Faktor yang Menimbulkan Perilaku Penghindaran Pajak Upaya menghindarkan diri dari pembayaran pajak dapat dikategorikan dalam tiga tipe. Tipe pertama adalah penghindaran pajak dengan cara legal (tax avoidance). Dalam tipe ini, wajib pajak berusaha untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar bagi cara mencari kelemahan peraturan perpajakan (loopholes). Upaya yang dilakukan untuk mengurangi jumlah pajak yang dibayar adalah legal dan tidak menyalahi peraturan yang ada. Tipe kedua adalah penghindaran pajak secara illegal (tax evasion). Dalam tipe ini, wajib pajak dengan sengaja tidak melaporkan secara utuh kekayaan dan penghasilannya yang mestinya kena pajak. Tindakan demikian ini dapat dikenai hukuman. Kedua tipe penghindaran pajak di atas telah banyak dibahas oleh ahli perpajakan (lihat OECD, 1980). Tipe ketiga adalah penunggakan pembayaran pajak (tax arrearage). Penunggakan pajak (karena memang tidak mau membayar pajak) adalah tipe lain dari ketidakmaun membayar pajak. Sama halnya dengan ‘tax evasion’, menunggak pembayaran pajak dapat dikenakan hukuman. Walaupun terdapat perbedaan dalam gradasi antara perbuatan yang tergolong penghindaran pajak secara legal (tax avoidance), penghindaran pajak secara illegal (tax evasion), dan penunggakan pajak (tax arrearage), ketiganya merefleksikan ketidakgairahan orang membayar pajak. Pada kasus tax avoidance, motivasi untuk membayar jauh lebih baik daripada kasus tax evasion. Orang-orang yang melakukan tax avoidance tidak semata-mata karena rendahnya kegairahan untuk membayar pajak, tetapi juga dikarenakan motivasi untuk memperoleh keuntungan financial yang sebesar-besarnya. Para pelaku tax avoidance menganggap perilakunya halal dan tidak melanggar hukum. Kegairahan untuk membayar pajak jauh lebih rendah lagi pada kasus tax evasion, karena perilaku tersebut illegal. Ada pendapat bahwa tax evasion memang merupakan ciri perilaku yang agak umum pada manusia. Menurut prinsip perilaku ekonomi yang dikemukakan oleh Von Neumann & Morgenstern (Lewis, 1982) misalnya, manusia memang cenderung berusaha mengurangi jumlah pajak yang dibayarnya dengan cara melaporkan sesedikit mungkin penghasilannya yang terkena pajak. Menurut Neumann & Morgenstern, kecurangan ini hanay dapat dikurangi bila pelaku tax evasion merasa bahwa perbuatannya akan diketahui oleh petugas dan dihukum. Pada kasus penunggakan pajak karena memang tsk mau membayar, motivasi untuk membayar pajak tidak ada sama sekali. Namun demikian tidaklah berarti setiap penunggakan dikarenakan tidak adanya motivasi. Seringkali orang punya motivasi untuk membayar, tetapi karena merasa bahwa jumlah pajak yang harus dibayarnya tidak wajar, maka dia memilih tidak mau membayar. Kurangnya Pengetahuan tentang Pajak Secara teoritik, menumbuhkan sikap positif terhadap sesuatu harus bermula dari adanya pengetahuan tentang hal tersebut. Untuk melancarkan program Keluarga Berencana misalnya, ada program yang disebut KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi). Program tersebut bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada calon akseptor KB tentang tuuan program program KB, serta kegunaannya bagi akseptor dan negara. Di negara maju di mana partisipasi rakyatnya sudah tinggi dalam membayar pajak, upaya pemberian pengetahuan tentang pajak dilakukan dengan gencar, baik melalui media massa, brosur, buku panduan, informasi telepon dan sarana-sarana lainnya. Informasi pajak yang disampaikan sedapat mungkin harus menghindari ‘jargon’ pajak, selain bahasa yuridis yang sulit untuk dipahami oleh orang awam. Bagaimana kegiatan peningkatan pengetahuan tentang pajak dilakukan di beberapa negara dikemukakan oleh Lewis (1982). Di Inggris, ada brosur penuntun pajak yang sangat
komunikatif dan digemari oleh orang karena brosur tersebut ditulis dengan bahasa yang semaksimal mungkin menghindari ‘jargon’ pajak, dengan ilustrasi gambar yang bukan menampilkan gambar petugas pajak, tetapi anak sekolah. Salah satu brosur panduan pajak yang sangat menarik, berjudul Income Tax and School Leavers. Di Swedia, brosur penuntun pajak dibuat selucu mungkin dengan ilustrasi gambar kartun yang membangkitkan rasa humor, serta menghindari sama sekali gambaran stereotip kaku para petugas pajak. Pemberian informasi melalui brosur sangat gencar dilakukan di Inggris. Hampir semua acara pameran besar selalu dimanfaatkan oleh petugas kantor pajak untuk menyediakan informasi tentang pajak. Di Australia, kantor pajak menyediakan mobil yang bergerak dari rumah ke rumah untuk mengantarkan informasi tentang pajak. Di Amerika Serikat dan Kanada ada pelayanan telepon Cuma-Cuma untuk menanyakan perihal pajak. Pengetahuan tentang pajak ternyata mempengaruhi kesediaan orang untuk melaporkan penyimpanagn yang dilakukan oleh orang lain, khususnya untuk penyimpangan dalam jumlah yang besar. Keadaan demikian ini dikenal dengan istilah normative constraint. Di Indonesia sepengetahuan penulis belum ada kampanye pemasyarakatan pajak secara besar-besaran seperti yang dilakukan di dalam program BKKBN. Brosur, pelayanan dengan telepon, atau pemberian brosur dari rumah ke rumah pun sangat jarang --kalau tidak boleh disebut belum pernah--terlihat. Salah satu kemungkinan penyebab dari kurangnya kampanye ini adalah terbatasnya dana. Menurut kabar yang disampaikan pada penulis dari salah seorang yang ikut dalam kampanye pajak, biaya kampanye pajak di Indonesia berjumlah sekitar satu setengah milyar untuk masa kerja tiga tahun. Jika dibandingkan dengan biaya promosi penjualan kendaraan, misalnya Toyota, biaya tersebut masih tertinggal jauh. Perusahaan Toyota di Indonesia menghabiskan dana untuk iklan sejumlah 309,5 juta -sekitar sepertiga milyar--untuk iklan di bulan Nopember 1987 (Majalah Karir, Januari 1988). Menumbuhkan sikap positif terhadap pajak perlu dilakukan sejak dini pada masa usia sekolah. Perlu sekali dibentuk kelompok remaja yang mempunyai kesadaran membayar pajak. Minimal untuk saat ini diperlukan adanya kelompok remaja sadar pajak, yang bermula dari anak para petugas pajak. Kelompok ini akan berguna tidak hanya bagi kepentingan remaja itu sendiri, tetapi juga akan ikut menyadarkan orangtua petugas pajak bahwa mereka harus bekerja dengan baik sebagai petugas pajak. Selain itu, kelompok sadar pajak biasanya akan sangat tidak menyukai para anggota yang menyimpang dari ketentuan pembayaran pajak. Stuat Henry dalam The Hidden Economy (1978), mengatakan, bahwa bukan polisi dan bukan pula hukum yang mencegah terjadinya perilaku kriminal, tetapi masyarakatlah yang menjadi pencegah perilaku kriminal. Pembentukan kelompok-kelompok sadar pajak diharapkan akan besar sumbangannya bagi peningkatan penghsilan dari sektor pajak, karena kebocoran pajak akan dibendung oleh kesadaran masyarakat itu sendiri. Sikap terhadap Pemerintah Alan Lewis (1982) beranggapan bahwa sikap masyarakat terhadap pemerintah akan mennetukan kegairahan membayar poajak. Pemerintah yang menimbulkan perasaan pada rakyat bahwa pemerintah bersifat koersif, rakyat merasa tidak mempunyai jalur untuk menyampaikan kata hatinya (impotence), dan rakyat merasa terasing (alienation) dari pemerintah dalam beberapa hal, khususnya dalam penyusunan kebijakan perpajakan, akan membuat rakyatnya menghindari pembayaran pajak (tax evasion). Penting sekali diketahui bagaimanakah keinginan dan harapan para wajib pajak tentang penggunaan uang pajak yang telah mereka bayar. Secara teoritis, semakin sesuai antara keinginan si pembayar pajak dengan pemanfaatan uang pajak yang mereka bayar, maka semakin senang mereka untuk membayar pajak. Untuk mengetahui pendapat pembayar pajak di bidang apakah uang pajak harus digunakan, kiranya diperlukan semacam usaha
untuk menjaring informasi tersebut. Hal itu dapat dilakukan lewat survei pendapat pembayar pajak. Sikap terhadap Pelaksana Pemerintahan Yang dimaksudkan dengan pelaksana pemerintahan oleh penulis ialah pegawai negeri yang melaksanakan fungsi pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Tugas pegawai negeri adalah mengabdi pada kepentingan rakyat. Tugas pegawai negeri adalah melayani rakyat dan bukan dilayani rakyat. Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah selain pelayanan pajak itu sendiri seperti yang telah dibicarakan di atas, juga pelayanan pemerintah pada masyarakat dalam makna yang lebih luas. Pelayanan yang diberikan pemerintah dalam makna meluas ini merupakan perangsang (insentif) bagi pembayar pajak. Insentif ini harus diberikan pemerintah sebagai imbalan terhadap rakyat yang telah membayar pajak. Para wajib pajak mengharapakan agar uang yang diserahkan kepada negara digunakan dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah. Orang, masyarakat atau wajib pajak ingin melihat dengan jelas apa yang telah dilakukan terhadap uang pajak yang telah mereka bayar. Apakah ada perbaikan di dalam pelayanan terhadap mereka sebagai warganegara? Apakah urusan dalam berbagai hal yang semula kurang lancar kini berubah menjadi lancar? Demikian pula dengan sarana-sarana yang menyangkut kepentingan orang banyak seperti pendidikan, jalanjalan, transpostasi, listrik, telepon dan sebagainya, apakah semakin baik? Di Amerika Serikat penulis sering melihat contoh-contoh di mana rakyat dapat langusng merasakan manfaat mereka membayar pajak. Mesalnya penduduk dari negara bagian tertentu membayar lebih murah untuk pelayanan yang mereka terima di negara bagian di mana mereka hidup. Supaya kelihatan secara langsung kaitan antara pajak dengan pelayanan yang diterima, tampaknya perlu dijelaskan bahwa pelayanan yang mereka terima adalah hasil dari pajak yang telah mereka bayar. Kalau ada pembangunan jalan yang biayanya bersumber dari pajak, misalnya, maka perlu diumumkan bahwa pembangunan tersebut dibiayai oleh uang pajak. Hal demikian menuntut adanya pemisahan antara pembiayaan pembangunan yang bersumber dari pajak, dan yang bersumber dari sektor lainnya. Kejelasan kaitan antara pajak dengan hasil-hasil kegiatan pembangunan harus dibuat sejelas mungkin di mata para pembayar-pajak. Menurut ahli psikologi ekonomi yang bernama Katona (1975), perubahan sistem perpajakan tsk selalu menghasilkan perubahan perilaku pajak rakyat. Perubahan persepsi terhadap pemerintah yang berupa kepercayaan dan keyakinan bahwa pemerintahakan betulbetul melayani rakyatlah yang mempengaruhi perilaku ekonomi rakyat, salah satu aspeknya adalah hasrat membayar pajak. Apa yang dipikirkan oleh Katona tampaknya sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Presiden Amerika kepada Kongres Amerika yang berbunyi: “We have learned that there is a human element ini economic affairs-habit, confidence, fear-and the economy can not be managed mechanistically” (Katona, 1975, 1b). Dari kutipan tersebut dapat diketahui betapa besar pengaruh kepercayaan rakyat pada pemerintah terhadap perilaku ekonomi. Petugas pemerintahan, khususnya Pegawai Negeri, adalah orang yang tugasnya melayani kepentingan masyarakat. Uang pajak yang dibayarkan kepada pemerintah diharapkan untuk dikembalikan dalam wujud pelayanan yang baik kepada masyarakat. Petugas Pemerintah yang menyiksa rakyatnya melalui komersialisasi jabatan, korupsi, dan kebiasaan mempersulit segala urusan yang mudah akan menyebabkan masyarakat tidak antusias membayar pajak. Selain itu, perlu pula disadari bahwa petugas pemerintah adalah orang yang sering menjadi panutan masyarakat. Kalau sekiranya petugas penelitian ini dalam segala strata jabatannya telah membayar pajak dengan baik, maka besar kemungkinan masyarakat akan
mengikuti jejak yang demikian. Dalam hal membayar pajak hendaknya ada keterbukaan. Di Amerika Serikat rakyat dapat mengetahui berapa besar pajak yang dibayar oleh para senator, para menteri dan pejabat yang lainnya. Kalau sekiranya ada keterbukaan yang demikian di Indonesia, Insya Allah orang akan antusias membayar pajak. Sikap terhadap Petugas Pajak Petugas pajak adalah mereka yang harus menegakkan aturan permainan (rule of the game) sistem perpajakan. Mereka ibarat pagar yang harus menjaga tanaman. Petugas pajak diharapkan simpatik, bersifat membantu, mudah dihubungi, dan bekerja jujur. Bila petugas berbuat yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka status mereka sama dengan pagar yang memakan tanaman. Tanpa ada perubahan ke arah perilaku yang simpatik dan kejujuran dalam bertugas di kalangan para petugas pajak, maka sulit untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Hasil penelitian majalah Tempo (1987) dapat menjadi bahan acuan yang menarik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, ada 13,02 persen responden yang mengatakan bahwa petugas pajak menjengkelkan; 14,13 persen mengatakan sering mengancam; 8,98 persen mengatakan jual mahal; dan 24,12 persen yang mengatakan bahwa petugas pajak menerima suap. Dari segi kesan positif para responden terhadap petugas pajak: 49,14 persen responden mengatakan petugas mau menjelaskan, 17,26 persen mengatakan bahwa petugas mau membantu pengisian SEPERTI; 10,19 persen responden mengatakan bahwa petugas bersikap ramah; dan 2,62 persen responden mengatakan gampang ditemui. Kalau kita lihat hasil penelitian yang dikutip di atas tampaknya, masih perlu kerja berat untuk memperbaiki citra para petugas pajak. Dalam usaha memperbaiki citra petugas pajak ini, bantuan pihak pers sangat dibutuhkan. Berita yang masuk di mass media hendaknya juga menyoroti perubahan yang positif dari sikap petugas pajak tersebut. Sistem Pajak dan Pelaksanaan Pajak yang Mudah dan Adil Kemudahan dalam memperoleh, mengisi, dan mengembalikan SEPERTI, akan menentukan kegairahan untuk membayar pajak. Selain itu, keadilan dalam jumlah pajak yang harus dibayar, baik “keadilan horisontal” maupun “keadilan vertikal” sangat menentukan keikhlasan dan antusiasme membayar pajak. Keadilan horisontal adalah perasaan seseorang bahwa dia membayar pajak relatif sama jumlahnya dengan orang-orang yang tingkat kekayaanya sama dengan yang dimilikinya. Sedangkan keadilan vertikal adalah perasaan seseorang bahwa secara proporsional jumlah pajak yang dibayarnya setara dengan proporsi pajak yang dibayar orang yang lebih kaya atau lebih miskin. Cukup sering terjadi pembayar pajak merasakan adanya ketidakadilan ini, yakni mereka merasa membayar lebih banyak dari yang seharusnya dia bayar. Keadaan yang demikian ini mudah terlihat dalam hal pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Cukup sering terjadi seseorang yang luas tanahnya lebih kecil dari luas tanah yang dimiliki temannya, dan kualitas rumah serta barang-barang berharga yang dimilikinya jauh lebih rendah nilainya dari milik tetangga, tetapi membayar pajak yang lebih tinggi dari yang dibayar oleh teman atau tetangganya. Keadaan yang demikian ini akan menumbuhkan sikap antipati pada pajak.