Sumatera Utara: Rawan untuk Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Laporan Pemantauan Aliansi Sumut Bersatu Tahun 2012
Tim Penulis Veryanto Sitohang Novita Sari Simamora Ferry Wira Padang
ALIANSI SUMUT BERSATU (ASB) TAHUN 2012
Sumatera Utara: Rawan untuk Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Laporan Pemantauan Aliansi Sumut Bersatu Tahun 2012
ISBN Penulis: Veryanto Sitohang Novita Sari Simamora Ferry Wira Padang Foto – foto: Dokumentasi ASB Desain Cover: Yasir Layout: Huda Sitepu Penerbit: Aliansi Sumut Bersatu Jl. Vanili Raya No. 97A Perumnas Simalingkar – Medan Penertiban buku ini didukung HIVOS Cetakan Pertama April 2013 ii
Daftar Isi Laporan Pemantauan Aliansi Sumut Bersatu Tahun 2012 1. Kata Pengantar
iv
2. Pendahuluan
2
3. Wilayah Pemantauan
3
4. Hasil Pemantauan Pemberitaan Media Massa
a. Kondisi Kebebasan Beragama di Masyarakat
4
b. Politisasi Agama dalam Pemilukada
15
c. Tindakan Diskriminatif
18
d. Konghucu, Diakui dan Tak Dilindungi
19
e. Perempuan, Seksualitas dan HAM
28
f. Permasalahan Rumah Ibadah
32
5. Kunjungan Lapangan (Outreach) ke Kab/Kota di SUMUT 40 6. Kakunya Liputan Media dalam Liputan Agama 7. Mempertanyakan Tanggung Jawab Negara Melindungi Agama dan Kelompok Minoritas
50
8. Upaya Penyelesaian Masalah
a. Keberagamaan di Sumatera Utara
55
b. Langkah yang Harus Ditempuh
57
9. Lampiran – lampiran
59
iii
KATA PENGANTAR
L
aporan Pemantauan Kemerdekaan Beragama dan Ber keyakinan di Sumatera Utara pada Tahun 2012 yang di lakukan oleh Aliansi Sumut Bersatu menunjukkan ada nya peningkatan jumlah kasus intoleransi dibandingkan dengan Laporan Pemantauan pada Tahun 2011. Situasi ini menunjukkan bahwa Sumatera Utara yang sering di puja puji sebagai miniature Indonesia karena keberagamannya ternyata rawan kemerdekan beragama dan berkeyakinan. Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan intoleransi menjadi issu yang tidak boleh diabaikan dan membutuhkan perhatian khusus semua pihak khususnya pemer intah dalam mempertahankan Kebhinnekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Buku Sumatera Utara: Rawan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan, Laporan Pemantauan Aliansi Sumut Bersatu Tahun 2012 ini merupakan dokumen yang diharapkan mampu menun jukkan realitas kemerdekaan beragama dan berkeyakinan yang berdampak terhadap hilangnya akses kelompok masyarakat yang dianggap minoritas dan termarginalkan atas pemenuhan hak-hak konstitusional. Situasi ini menjadi bertentangan dengan man date konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga upaya-upaya dalam merawat dan mempertahan kan Bhinneka Tungga Ika bisa dilaksanakan secara terus menerus demi terwujudnya perdamaian, keadilan dan kesetaraan. Dalam pembuatan Buku Laporan ini secara tulus kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada Ferry Wira Pa dang, Novita Sari Simamora dan Veryanto Sitohang yang telah menuliskan laporan pemantauan ini sehingga menjadi sebuah buku. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan aktivis di Aliansi Sumut Bersatu (Redima Gultom,
iv
Febry Elovina Sembiring, Hery Syahputra, Muhammad Januar, Edison Frengky Swandika Butar-Butar dan Kristina Pakpahan) yang berkontribusi besar dan penuh semangat mulai dari peng umpulan data hingga laporan ini menjadi buku. Terima kasih juga secara khusus kami sampaikan kepada Hivos yang memberikan dukungan kepada Aliansi Sumut Bersatu dalam melaksanakan program-programnya. Kami dedikasikan buku ini kepada masyarakat Bhinneka Tunggal Ika di Negara Kesatuan Republik Indonesia, khusus nya korban-korban intoleransi yang kecintaannya kepada Negara tidak memudar di tengah-tengah kesulitan yang mereka hadapi. Pengalaman Saudara/i menjadi semangat dan menginspirasi kami untuk setia dalam melakukan pemenuhan hak konstitusional set iap warga negara khususnya korban intoleransi. Akhirnya kami berharap, semoga para pembaca bisa men erima manfaat dari terbitan buku ini. Menjadi referensi dan al ternative informasi terkait dengan situasi kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Sumatera Utara. Jika ada beberapa kesalahan dalam penulisan maupun content dalam buku ini, kami memo hon maaf sebesar-besarnya. Silahkan memberikan tanggapan maupun informasi lainnya kepada kami melalui website: www. aliansisumutbersatu.org atau email:
[email protected] serta facebook: Aliansi Sumut Bersatu. Semoga bermanfaat. Salam Keberagaman,
Veryanto Sitohang Direktur Aliansi Sumut Bersatu (TOGETHERNESS IN DIVERSITY) v
Sumatera Utara: Rawan untuk Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan ALIANSI SUMUT BERSATU (ASB) 1. PENDAHULUAN
Kekerasan terhadap kelompok minoritas agama dan keper cayaan sering kali kita dapati dari media cetak maupun digital. Laporan ini bertujuan untuk melihat seberapa mampukah media menjalankan fungsinya dengan baik untuk menyuarakan suara kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Selama pemantauan dilakukan, media sering menggunakan kata ‘bentrok’, ‘sesat” dan cenderung menutup-nutupi pelaku, dengan mengganti kata ‘sekelompok organisasi masyarakat’ atau ‘sekelompok organisasi Islam’. Media tidak menyebut langsung organisasinya. Laporan akhir tahun 2012 telah berhasil memantau lima media besar di Sumatera Utara yakni Analisa, Waspada, Tribun Medan, Sumut Pos dan Sinar Indonesia Baru (SIB). Semuanya dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan apakah media telah menjalankan watchdog1. dengan baik atau sebaliknya, meman tau kasus pelanggaran kebebasan beragama seperti tindakan in toleran dan diskriminatif. Pada tahun 2011, pemantauan media yang dilakukan ASB telah menemukan tindakan-tindakan diskriminatif pada kaum mi 1 Public Watchdog atau yg lebih dikenal dengan Jurnalisme pengawas bertujuan untuk menahan kepribadian publik akuntabel dan lembaga, yang fungsinya dampak kehidupan sosial dan politik. Istilah “anjing piaraan kecil jurnalisme”, untuk jurnalisme bisa mendukung kepribadian dan institusi, kadang-kadang digunakan sebagai berlawanan konseptual untuk jurnalisme pengawas. Jurnalisme pengawas umumnya ditemukan di media mainstream , jurnalisme investigatif , media alternatif atau jurnalisme warga. http://watchinginfo.blogspot. com/2012/03/pengertian-public-watchdog.html
1
noritas meliputi pengancaman, penyegelan rumah ibadah, kebi jakan – kebijakan diskriminatif berupa peraturan-peraturan daerah (Perda), surat edaran, surat keputusan (SK), dll yang berdampak terhadap perempuan dan minoritas lainnya sebagai korban. Pada tahun 2012, hal tersebut muncul kembali. Perspektif masyarakat dan pemerintah tentang penyakit masyarakat, sehingga dilakukan penanggapan kepada wanita tunasusila. Peristiwa intoleransi yang terjadi di Indonesia khususnya di SUMUT di legitimasi sebagai implikasi dari Peraturan Ber sama 2 Menteri No 9 dan No 8 TAHUN 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Da lam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Iba dat, digunakan sebagai ancaman dan senjata untuk menutup ru mah ibadah, kasus ini didapati Aceh Singkil dan Tebing Tinggi. Munculnya organisasi-organisasi masyarakat (ormas) yang mengatas namakan agama tertentu tidak diliput dengan benar oleh media dan kini sedang mengancam masyarakat. Ironisnya ormas tersebut seakan – akan berkolaborasi degan pemerintah untuk melestarikan terjadinya tindakan intoleransi. Kondisi ini memunculkan pertanyaan dimana peran media? 2. WILAYAH PEMANTAUAN Proses penggalian data kasus terkait kemerdekaan beragama oleh Aliansi Sumut Bersatu (ASB) berbasis pada kejadian (event) yakni mengumpulkan kejadian-kejadian atau peristiwa pelang garan kemerdekaan beragama baik yang dilakukan oleh negara maupun non negara. Peristiwa tersebut di dokumentasikan melalui pemantauan pemberitaan media massa khususnya media daerah. Selian itu, ASB juga melakukan kunjungan langsung (outreach) kasus intoleransi yang terjadi. Kasus Pelanggaran kemerdekaan beragama yang muncul 2
di daerah pemantauan meliputi peraturan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah tentang isu keagamaan, tindakan-tindakan melawan hukum atas nama agama, krimi nalisasi dan tindakan hukum bermotif agama, fatwa-fatwa kea gamaan, konflik terkait rumah ibadah dan pernyataan atau ajaran yang intoleran dan diskriminatif atas dasar agama. Serta peristiwa keagamaan baik menyangkut regulasi, implementasi kebijakan maupun dinamika sosial politik. Tahun 2012 ini ASB berhasil merekam peristiwa pelang garan kemerdekaan beragama untuk wilayah Sumutera Utara melalui media sebanyak 11 kabupaten/ kota yakni Medan, Tan jung Balai, Serdang Bedagai, Langkat, Binjai, Tebing Tinggi, Pe matang Siantar, Padang Halaban, Mandailing Natal, Deliserdang dan Samosir. Sementara wilayah yang di kunjungi ASB untuk bagian Su matera Utara yakni Kota Medan, Kabupaten Padang Lawas, Sa mosir, Serdang Bedagai dan Mandailing Natal. ASB juga berhasil memberi perhatian dan mengunjungi Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil, untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kabupaten Solok di Provinsi Padang dan Kabupaten Taluk Kuantan untuk Provinsi Riau.
3
3. HASIL PEMANTAUAN MEDIA a. Temuan Kondisi Kebebasan Beragama di Masyarakat Sumatera Utara memiliki jumlah rumah ibadah dua kali lipat bahkan tiga kali lipat dibanding dengan provinsi lain di Pulau Sumatera. Keanekaragaman suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) adalah citra yang baik, sehingga pemerintah Republik Indonesia menjuluki Sumatera Utara sebagai ‘miniatur’ Indone sia. Terbukti dengan jumlah rumah ibadah minoritas agama men capai setengah dari rumah ibadah mayoritas agama.
Jumlah Rumah Ibadah di Indonesia tahun 20102. Tabel di atas adalah urutan lima besar provinsi yang memiliki rumah ibadah terbanyak di Indonesia.
‘Miniatur’ Indonesia. Sampai saat ini slogan keberagaman itu masih melekat pada Sumatera Utara. Slogan ‘miniatur’ Indonesia harus terus dipertahankan. Malang, seiring perkembangan waktu, pemerintah kurang peduli dengan kasus permasalahan SARA. Terbukti sejak tahun 2011, ASB menemukan 63 kasus intol eransi. Kasus terbanyak ialah tuntutan diskriminatif. Pengertian diskriminasi (agama) merujuk pada setiap pembatasan, pelece han, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau 2 Kementerian Agama http://kemenag.go.id/file/dokumen/KEMENAGDALAMANGKAupload. pdf (diakses 10 Maret 2013)
4
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam ke hidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Tuntutan diskriminatif yang dilontarkan oleh organasi-organ isasi agama tidak segera diatasi pemerintah. Alhasilnya, kelalaian dan pembiaran pada 2011 harus dipanen di 2012. Terbukti pada tahun 2011 didapati 63 kasus intoleransi selang setahun kasus meningkat menjadi 75 kasus. Pada laporan 2011, tidak didapati pengrusakan rumah ibadah, namun pada laporan 2012, didapati pengrusakan rumah ibadah. Tuntutan Diskriminatif Tuntutan diskriminatif ini datang dari kelompok organisasi masyarakat (ormas) berupa menutup tempat makan saat puasa dengan alasan menghormati umat yang berpuasa, menutup tem pat hiburan malam karena ia menodai bulan suci Ramadhan serta menutup gereja dan vihara, karena di daerah lokasi berdirinya gereja dan vihara mayoritas umat Islam. Pemerintah tak pernah absen untuk mendengar tuntutan or mas. Kebijakan-kebijakan tak berpihak pada kepentingan umum muncul. Kebijakan diskriminatif lahir melalui perda (peraturan daerah). Tuntutan akan mengarah pada tindakan. Jenjang keseriu san kasus semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kasus tindakan diskriminatif yang terjadi 2012 sebanyak 25 kasus. Tindakan dis kriminatif ini lahir dari tuntutan diskriminatif ormas. Pemerintah kurang sensitif melihat kasus kebebasan beragama/ berkeyakin an. Ketidaktegasan memunculkan pembiaran. Pemerintah harus berada di tengah-tengahnya dan segera menyelesaikan akar per soalan masalah. Aliansi Sumut Bersatu menemukan kasus di Tebing Tinggi, ia berawal dari tuntutan penutupan rumah ibadah (diskriminatif). Beralasan pemanfaatan bangunan yang berada di pemukiman umat 5
Islam dianggap menyalahi peraturan. Tak hanya warga setempat yang menghakimi, namun media juga menyebut “rumah ibadah legal” agar segera ditutup. Warga beragama Islam mengadakan petemuan dengan pemerintah Tebing Tinggi dan meminta reali sasikan tuntutan warga dan mengancam. Bila pemerintah tak rea lisasikan, maka jangan salahkan warga yang melakukan aksi. Seandainya, pemerintah Tebing Tinggi benar-benar men jalankan tugas negara, maka ia jangan melakukan keberpihakan kepada kelompok mayoritas hingga mengorbankan minoritas. Ketaatan pejabat negara terhadap undang-undang harus lebih jelas.
6
Dari tabel terlihat pelanggaran kebebasan beragama pada tindakan diskriminatif mencapai 25 kasus, pernyataan negatif ter hadap kehidupan beragama dan sweeping/upaya pemberantasan tempat maksiat masing-masing 12 kasus, tuntutan ormas terh adap pemerintah/penguasa/pemuka agama sebanyak 10 kasus, pengrusakan dan permasalahan rumah ibadah 8 kasus, penistaan dan penyalahgunaan simbol agama 5 kasus serta kekerasan dan penyalahgunaan simbol agama didapati 3 kasus. Laporan tahun 2012, menunjukkan peningkatan kasus into leransi di Sumatera Utara. Temuan tahun 2011 mencapai 63 kasus dan tahun ini naik tujuh kasus, menjadi 70 kasus. Parahnya lagi, tahun 2011 kasus izin pendirian rumah ibadah ada 3 kasus, na mun kini ASB mendapati bukan lagi persoalan izin, namun sudah permasalah dan pengrusakan rumah ibadah mencapai 8 kasus. Ada 4 jenis kasus yang mengalami peningkatan drastis dari tahun 2011 menuju 2012. 7
Peningkatan Drastis Empat Kasus 2011-2012
Selain peningkatan kuantitas, terjadi juga peningkatan kuali tas kasus yaitu terjadinya kasus pelanggaran yang anarkis, sep erti kasus pengrusakan rumah ibadah. Laporan tahun 2011 tidak ditemuan kasus pengrusakan rumah ibadah, ditahun 2012 kasus pengrusakan yang menunjukkan sikap anarkis. Intoleransi adalah persoalan serius yang harus disikapi oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Sementara itu, pemerintah membuat regulasi nasional terkait masalah agama. Pada bulan Mei 2012 lalu telah disahkan ber lakunya Undang Undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Undang-undang ini menempatkan agama sebagai salah satu sumber konflik di masyarakat. Sejumlah kalangan me nyoroti pelibatan tokoh agama dalam Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial. Pelibatan tokoh agama dalam konflik antar umat beragama atau internal umat beragama memang dibutuhkan, namun siapa saja tokoh agama yang dilibatkan bisa menimbulkan multitafsir dan masalah dilapangan. Pelibatan tokoh agama yang kurang tepat dapat menjadikan Satuan Tugas tidak bisa bersikap netral dan imparsial dalam memediasi konflik bernuansa agama. Rancu. UU ini tidak menjelaskan apa saja kriteria tokoh agama yang bisa menjadi anggota Satuan Tugas tersebut. Pelaku pelanggaran HAM mengacu pada Pasal 1 ayat 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku pelaku pe langgaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelom 8
pok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, mengalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memper oleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan meka nisme hukum yang berlaku.
Data Pelaku Intoleransi 2012
Pelaku utama intoleransi adalah ormas keagamaan, terdiri dari Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Ma jelis Ulama Islam (MUI) disusul dengan pemerintah dan tokoh agama. Jika pelaku kasus intoleransi ini dirata-ratakan maka akan didapati kasus pelanggaran yang setiap bulannya dilakukan oleh ormas keagamaan, pemerintah dan tokoh agama. Pelanggaran yang dilakukan antara lain mengeluarkan pernyataan, tuntutan hingga melakukan tindakan diskriminatif. Dari kasus pelanggaran kemerdekaan beragama, tercatat kor ban intoleransi terbanyak adalah umat Kristen. Adapun perlakuan diskriminasi yang didapati umat Kristen adalah ancaman terhadap pendeta, pelarangan pendirian rumah ibadah dan pengrusakan ru mah ibadah. Selain umat Kristen, pihak yang sering mendapatkan perlakuan diskriminasi adalah pekerja seks komersial. Dari pemantauan 9
Data Korban Intoleransi 2012
ASB, perempuan yang bekerja di café acap kali menjadi target sasaran razia. Masyarakat dan media masih menganggap pekerja seks komersial dan pekerja café sebagai penyakit masyarakat. Kelompok minoritas lain seperti etnis Tionghoa pun mendapat kan pelarangan untuk melakukan kegiatan keagamaannya. Selain itu, kelompok yang terduga sesat adalah kelompok yang rentan menjadi korban, karena bagi sekelompok masyarakat lain orang/ kelompok tersebut telah melakukan penodaan terhadap agama. Lain, kelompok mayoritas juga memposisikan kelompok lain se bagai pelaku pelanggar hukum. Kekerasan dan radikalisme sudah menjadi patologi sosial kronis di Indonesia3. Menurut Zuhairi Misrawi, alumnus Univer sitas Al-Azhar Kairo terjadi karena ada faktor pemicu. Contoh 3 Kekerasan Menjadi Profesi di Indonesia http://www.tempo.co/read/news/2011/05/21/078335854/Kekerasan-Menjadi-Profesi-diIndonesia
10
Ahmadiyah dan peternak babi yang lebih maju dari segi ekonomi. Selain faktor agama, ekonomi menjadi pemicunya. Kasus peternak babi yang berada di Jalan Tangguk Bongkar, Mandala masih belum terselesaikan juga. Pasalnya, peraturan walikota bersifat diskriminatif yang melarang adanya ternak he wan kaki empat di kota. Sekelompok masyarakat Islam menuntut direalisasikannya peraturan walikota, karena menurut kelompok masyarakat tertentu ia sudah mengganggu umat Islam. Alasan kesehatan pun dijadikan tameng. Peternak babi adalah umumnya masyarakat penganut umat Kristen. Babi yang dipelihara adalah sumber penghasilan mereka. Hasil dari peternakan babi yang dilakukan sebagai usaha ruma han biasanya menjadi salah satu alternatif penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan dapur sampai pendidikan anak – anak. Satpol PP sering datang ke wilayah Mandala untuk menggu sur peternak babi, bahkan babi-babi dirampas secara paksa dari kandang. Peternak babi memberikan berbagai macam saran. Pe ternak babi bersedia direlokasi dari Kota Medan, dengan syarat, pertama, menyediakan tempat tinggal baru yang bila mereka me melihara babi tidak ada gangguan. Kedua, menyediakan peng ganti jenis ternak lain kepada peternak babi serta memberikan modal dan pelatihan untuk memelihara ternak baru, namun itu semua tidak digubris pemerintah. Sejauh ini pemerintah hanya menggusur tanpa solusi cerdas. Tak hanya peternak babi yang mendapatkan tindakan dis kriminatif, namun penjual tuak yang menyediakan tambul juga mendapat protes dari sekelompok ibu-ibu pengajian, Desa Hala ban. Ibu-ibu pengajian ini merasa resah karena warung tuak yang menyediakan tambul babi dan anjing. Mereka (ibu pengajian) meminta agar aparat bertindak tegas untuk melakukan tindakan tegas warung tuak yang juga diduga 11
menyediakan prostitusi. Anehnya, media hanya memberikan ru ang bagi ibu-ibu pengajian, tanpa mendeskripsikan keadaan wa rung tuak tersebut4. Media tak ada memberikan ruang bicara kepada pemilik war ung tuak. Tidak seimbangnya liputan SARA menjadi media pro vokasi bagi masyarakat. Tuak adalah minuman yang terbuat dari aren, nira dan ada juga yang terbuat dari kelapa. Pada umumnya ia terbuat dari pohon enau, airnya disebut nira, pohon ini juga menghasilkan ijuk dan buah kolang-kaling. Dalam ilmu keseha tan, tuak mengandung raru dan itu baik untuk menyembuhkan penyakit gula. Tradisi Suku Batak, memilih tuak untuk disajikan sebagai minuman pada saat upacara-upacara adat, seperti manuan ompu-ompu, upacara kematian dan pesta adat pernikahan. Berita terkait terbit di harian Waspada, 18 Juli 2012
4 Harian Waspada, 9 Mei 2012
12
Terkait, hewan kuku belah yang dianggap haram bagi umat Islam juga mengundang permasalah di Pematangsiantar. Ibu-ibu beragama Islam merasa resah karena ada pedangan yang men jual daging babi di dekat pedagang sayur. Ibu-ibu kecewa dengan pedagang daging babi berdagang menggunakan beko dan becak barang dan juga di Pasar Dwi Kora, Ibu-ibu tersebut tidak mau membeli sayur yang dekat dengan pedagang daging babi. Ibu-ibu beragama Islam dari Pematangsiantar mau diperlakukan secara eksklusif. Bijak, pihak Dinas Pasar Pematang Siantar lebih meng utamakan kepentingan masyarakat umum daripada sekelompok orang dan hal tersebut merupakan persoalan lama.5 Umat Kristen adalah kelompok kedua terbesar setelah Is lam. Gereja rentan menjadi sasaran. Pemantauan sepanjang ta hun 2012, ASB menemukan pengrusakan rumah ibadah, Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Dolokmasihul serta ancaman terhadap pendetanya. Sampai kini belum diketahui siapa pihak yang merusak gereja tersebut. Bukan hanya itu, akibat ancaman, pendeta kehilangan rasa aman. Pendeta tersebut mengaku tidak memiliki masalah dengan pihak lain.6 Akhirnya pendeta itu memilih mengungsi karena diancam dihabisi oleh orang yang tidak dikenal sehingga tak ada lagi ke baktian di rumah ibadah GPdI Dolokmasihul. GPdI Dolokmasi hul itu dirusak oleh sekelompok orang yang tidak dikenal dengan menggunakan linggis dan benda tajam. Hal serupa juga terjadi di Mandala. Pagar gereja Huria Kris ten Batak Protestan (HKBP) Trinity Mandala Jalan Tangguk Bongkar VIII dirusak. Jemaat gagal beribadah karena ada ok num yang merusak pagar. Ironisnya lagi pengrusakan dilakukan di depan anggota polisi dari Polsek Medan Area yang bertugas 5 Harian Waspada, 18 Juli 2012 6 Harian Sinar Indonesia Baru, 14 Mei 2012
13
melakukan pengamanan di gereja tersebut.7 Pembiaran acap kali terjadi oleh aparat keamanan. Aparat mudah ditakut-takuti oleh sekelompok masyarakat yang mengatas namakan agama. Penduduk mayoritas Sumatera Utara beragama Islam, kekuatan mayoritas ini sering dilakukan untuk mengancam kaum minoritas. Saat aparat dan pemerintah takluk, dimana media? Apakah media melakukan sensor kepada agama/ kelompok minoritas? Semestinya media memberi ruang bicara kepada kaum minoritas. b. Politisasi Agama dalam Pemilukada Agama memiliki andil dalam pemilukada. Agama memaink an peran dalam pemenangan kandidat. Masih ingat dengan pemi lukada 2010, agama dihadirkan dalam kampanye dengan berba gai cara. Saat pemilihan Walikota Medan 2010 lalu, ulama Sumut KH. Zulfiqar Hajar, Lc memainkan peran. Ia meminta umat Is lam untuk memilih pasangan Rahudmad Harahap-Dzulmi Eldin. Ulama Islam ini menjabarkan bahwa Al-Qur’an mengharamkan umat Islam mengangkat pemimpin yang non-muslim. Keterlibatan agama dalam politik. Pertama, menjadikan tokoh-tokoh agama yang berpengaruh baik berada di dalam mau pun di luar organisasi. Serta juga menarik tokoh-tokoh non par tai yang memiliki hubungan dengan segmen keagamaan tertentu yang akan digunakan jadi kendaraan meraup suara. Kedua, menggunakan wacana atau dalil-dalil keagamaan un tuk menolak kandidat tertentu. Di Solo, Jawa Tengah, pada masa kampanye muncul selebaran, bahkan buku yang isinya meng haramkan seorang non muslim menjadi pemimpin dan berusaha mengkoreksi kebijakan partai Islam karena mendukung pasangan non Muslim. Buku tersebut pernah dibedah secara khusus dalam 7 Harian Waspada dan Harian Tribun Medan, 27 Agustus 2012
14
acara yang diadakan oleh Komunitas Solo Besyariah di Pendapa Institut Seni Indonesia (ISI) dengan tajuk acara debat terbuka Ko munitas Solo Bersyariah versus Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera.8 Ketiga, dalam pemilukada juga muncul fenomena pasangan kandidat menggunakan lambang dan simbol agama agar terkesan sebagi penganut agama yang soleh dan taat. Penggunaan strate gi pencitraan yang tergantung dengan kontestasi wilayah. Bila masyarkat Muslim, maka kandidat akan berfoto bersama dengan tokoh ulama, berbagi kalender, baliho atau dengan mencantum kan teks-teks bernuansa religius pada media kampanye. Keempat, politik pencitraan. Jangan heran bila masyarakat mendapati calon-calon kepala daerah yang (sengaja) datang ber silahturahmi baik menggelar buka puasa, hadir di perayaan Natal, Idul Fitri. Bakti sosial, memberikan bantuan pendirian rumah iba dah, mendirikan tenda besar atau bahkan beracara di hotel dengan mengundang massa lintas agama dan etnis. Aliansi Sumut Ber satu (ASB) melihat bahwa singgah ke perayaan ibadah merupa kan tindakan musiman yang menjadi agenda tetap untuk meraup suara masyarakat dalam pemilukada. Temuan, singgahnya kandidat politik pada tokoh lintas agama beralasan meminta doa restu. Ini terjadi di Hall Siantar Hotel Jalan WR Supratman, Pematang Siantar. Balon Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) priode 2013-2018 Drs. H Amri Tambu nan mengundang seribu massa dari lintas agama dan lintas etnis. Berbicara terkait kebebasan beragama, saling melindungi antarumat beragama dan masyarakat dapat dengan mudah me nyalami calon kepala daerah, lalu dengan entengnya calon akan 8 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010. Center for Religious & Crosscultural Studies (CRCS) Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia.
15
menyodorkan telapak tangan untuk melakukan bersalaman den gan masyarakat undangan. Kini hubungan emosional antar agama lebih memiliki penarik memperoleh dukungan suara ketimbang etnis. Agama masyarakat Sumatera Utara mayoritas Islam. Pengamat politik yang berpro fesi sebagai dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) USU Dadang Darmawan berpendapat mayoritas masyarakat Islam, berpotensi melahirkan calon kepala daerah yang beragama Islam. Pendekatan ke ormas keagamaan lebih berpotensi mendulang su ara. Terkait agama, kata Dadang Darmawan,9 ada dua opsi yang bisa diambil pasangan calon, yakni: 1. Pasangan homogen. Maju sebagai pasangan homogen yakni baik calon kepala daerah dan wakil calon kepala daer ah berasal dari agama Islam. 2. Pasangan pelangi. Memunculkan calon kepada daerah be ragama Islam sedangkan calon wakil kepala daerah dari kel ompok agama Kristen, Buddha, maupun Hindu. Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 te lah digelar. Ada lima calon Gubernur-Wakil Gubernur Sumatera Utara yakni Gus Irawan Pasaribu-Soekirman, Effendi SimbolonDjumiran Abdi (pasangan pelangi), Chairuman Harahap-Fadly Nursal, Amri Tambunan-RE Nainggolan (pasangan pelangi) dan Gatot Pujo Nugroho-T. Erry Nuradi. Dari kelima pasangan calon, ada dua pasangan pelangi yakni kolaborasi dari penganut agama Kristen dan Islam. Masing-masing kandidat menggunakan bahasa suku dan salam religius saat bertemu dengan masyarakat. Bahkan ada kel 9 Pernyataan Dadang Darmawan, Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara, Harian Waspada 12 Maret 2012
16
ompok masyarakat Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan men gungkapkan pasangan nomor 5 Gatot Pujo Nugroho-T. Erry Nuradi adalah sosok pemimpin dunia akhirat.10 Bukan hal yang janggal bila calon kepala daerah kerap meng gunakan agama dan suku agar masyarakat yang seagama dan sesuku berbondong-bondong memilihnya. Sekat yang politisasi agama telah menciptakan polarisasi diantara masyarakat. Pen didikan politik perlu, gunanya agar masyarakat berfikir rasional dan kritis. Dengan adanya pendidikan politik maka masyarakat tak perlu terhasut dengan kandidat yang ria akan religius (slogan agama) demi meraup suara. Pelanggaran demi mendapatkan suara terbanyak telah terjadi di tahun 2010. menurut Bawaslu telah terjadi 1.767 kasus pelang garan. Meliputi, modus pemberian uang secara langsung, jilbab, sembako tabung gas hingga perbaikan jalan. Pemilukada 2010 dianggap telah melahirkan banyak sengketa di Mahkamah Kon stitusi dan dinilai gagal menciptakan pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa. c. Tindakan Diskriminatif Tindakan diskriminatif meningkat menjadi peringkat kasus terbanyak sepanjang tahun 2012, berjumlah 26 kasus, padahal ta hun 2011, hanya 3 kasus. Tindakan diskriminatif berdasarkan Pasal 1 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM merujuk pada setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, 10 Pasangan GanTeng Pimpin Dunia Akhirat- Harian Andalas http://harianandalas.com/Komunitas/Pasangan-GanTeng-Pemimpin-Dunia-Akhirat (diakses 9 Maret 2013)
17
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam ke hidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Menurut antropolog A. L. Kroeber, faktor religious (perbe daan agama) adalah salah satu faktor penyebab terjadinya dis kriminasi dalam masyarakat. Meskipun setiap agama menganjur kan salin pengertian, kasih dan toleransi. Bukan hanya agama, diskriminasi juga terjadi karena faktor politis, sosio-cultural, psikologis dan biologis.11 d. Konghucu, Diakui dan Tak Dilindungi Sejarah Khonghucu Agama Khonghucu berasal dari Cina daratan, diperkirakan masuk abad ketiga. Dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Presiden Soekarno pernah mengeluarkan sebuah Kepu tusan Presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam. Tahun 1967, Soekarno diganti kan oleh Soeharto, era orde baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok diberlakukan demi keuntungan dukungan poli tik, terutama setelah kejatuhan PKI (Partai Komunis Indonesia). Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, men genai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta menghimbau orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto mengetahui bagaimana cara mengenda likan etnis Tionghoa Indonesia, masyarakat yang memiliki pen garuh dominan pada perekonomian Indonesia. Tahun 1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan 11 Potret Kehidupan Beragama/ Berkeyakinan di Sumatera Utara, Laporan Pemantauan Aliansi Aliansi Sumut Bersatu Tahun 2011
18
bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk Khonghucu. Reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Ab durrahman Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Khonghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dip raktekkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Khonghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka.12 Kongres Khonghucu Pelarangan melakukan kegiatan untuk berkumpul, beribadah dihadapi oleh Umat Khonghucu. Umat Khonghucu kembali men jadi korban. Awalnya, saat mengetahui Kongres Khonghucu Internsional akan digelar di Medan, agenda ini mendapatkan sambutan hangat oleh Pemko Medan, karena hal itu dapat meningkatkan kunjun gan wisata dan mendorong program Visit Medan Year. Penolakan demi penolakan terjadi. Beralasan, hanya segelintir orang yang menganut Khonghucu, itu menjadi alasan terkuat. Organisasi masyarakat Islam yang terdiri dari Lembaga Hik mah Muhammadiyah Kota Medan, Majelis Ulama Islam (MUI), Kemenag Sumut, Forum Umat Islam (FUI), Front Pembela Islam (FPI) berdemonstrasi mengatakan bila acara tersebut diadakan di lokasi yang masyoritas beragama Islam, maka umat beragama Is lam akan tersakiti. “Kami menolak Kongres Agama Khonghucu sedunia. Alasannya, penganut agama Khonghucu di Medan hanya segelintir, namun mereka menggelar acaranya di tem 12 Wikipedia. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia (diakses 20 Februari 2013)
19
pat mayoritas umat Islam. Kongres Khonghucu itu tidak menghormati umat Islam, hak pemangku adat dan budaya, nilai-nilai kearifan di Kota Medan yang selama ini menjadi fundamen dasar kondusifitas Kota Medan,” ucap Sekretaris MUI Medan H. Hasan Matsum.13 Ia juga meminta agar Walikota Medan Rahudman Harahap tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan Kongres Khonghucu demi terjaganya kondusifitas dan keamanan Kota Medan. Persengkokolan ormas Islam dan Walikota Medan telah ber hasil membatalkan Kongres Khonghucu sedunia pada 22-26 Juni 2012 lalu di Hotel Emerald Garden, Medan. Pembatalan sudah terjadi, siapa yang tersakiti dan siapa yang menyakiti? Berita terkait terbit di harian Waspada, 13 Juni 2012
Ketua Majelis Klenteng Khonghucu Indonesia (MKKI) Propinsi Sumatera Utara Andi Wiranata merasa kecewa karena masih ada pihak yang melarang untuk berkumpul dan beriba dah.14 “Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan jadi 13 Harian Waspada, 13 Juni 2012 14 Wawancara Aliansi Sumut Bersatu (ASB) Ferry Wira Padang dengan Ketua Majelis Klenteng Khonghucu Indonesia (MKKI) Provinsi Sumatera Utara, 31 Maret 2013.
20
Kongres Khonghucu diadakan di Danau Toba,” ucapnya Andi sambil menghibur diri. Bila kongres itu terjadi, maka akan memecahkan rekor MURI (Musem Rekor Indonesia), diikuti sekitar 100 umat Khonghucu, cendekiawan dan profesor dari sejumlah negara, seperti Inggris, Kanada, dan Jerman. Disayangkan kegiatan tersebut dihalangi oleh kelompok-kelompok yang mengatas namakan agama Islam. Direktur Aliansi Sumut Bersatu Veryanto Sitohang mengaku ke cewa atas batalnya Kongres Khonghucu Sedunia di Medan. “Batalnya acara Kongres Khonghucu membuktikan bahwa negara telah tunduk terhadap elemen-elemen ter tentu dan seharusnya hal ini tidak terjadi. Ketika salah satu agama sudah dilarang melakukan kegiatan menyang kut agama oleh elemen tertentu, berarti negara gagal da lam menjalankan tugasnya. Seharusnya, pemerintah daerah khususnya Pemko Medan memberikan perlindungan penuh kepada warga dalam menjalankan aktivitas beragama,” te gas Direktur Aliansi Umut Bersatu.15 Sebagai bentuk keprihatinan terjadinya pembatalan kongres Khonghucu di Medan, ASB mengeluarkan pernyataan sikap.
PERNYATAAN SIKAP ALIANSI SUMUT BERSATU
“Kongres Konghucu Sedunia 22 – 26 Juni 2012 di Medan Merupakan Pengakuan Internasional Atas Toleransi Beragama di Sumatera Utara dan Indonesia ”
Dukungan Pemerintah Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara terhadap pelaksanaan Kongres Khonghucu Sedunia yang 15 Harian Andalas. Kongres Konghucu Sedunia di Medan Batal. http://harianandalas.com/ Berita-Utama/Kongres-Khonghucu-Sedunia-di-Medan-Batal (diakses 4 Maret 2013)
21
akan dilaksanakan pada tanggal 22 – 26 Juni 2012 di Medan mer upakan langkah maju dalam kehidupan toleransi umat beragama di Indonesia khususnya di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Kepercayaan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia dan Dunia terhadap Kota Medan sebagai tempat pelaksanaan Kon gres Khonghucu Sedunia merupakan pengakuan Internasional atas harmonisnya kehidupan beragama dan tersediaanya jaminan keamanan untuk setiap orang dalam melaksanakan ritual ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya di Kota Medan. Hal tersebut juga memperkuat label positif terhadap Sumat era Utara sebagai miniatur atau simbol keberagaman Indonesia. Selain itu, pelaksanaan kongres ini akan menjadi kesempatan bagi Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara memperkenalkan kekayaan budaya dan sumber daya lainnya ke dunia internasional yang pada akhirnya akan berdampak terhadap pemajuan sektor pariwisata, pengembangan ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan membentuk citra positif Indonesia di dunia internasional. Agama Khonghucu merupakan satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No.6 Tahun 2000. Sejarah kemudian mencatat bahwa keberadaan Agama Khonghucu di Indonesia sesungguhnya te lah berabad-abad lamanya. Hal tersebut ditandai dengan berdi rinya Kelenteng Ban Hing Kiong di Manado pada tahun 1819. Sementara itu jumlah Penganut Agama Khonghucu di Indonesia diprediksi terbesar di Kota Medan. Hal tersebut kemudian mem buat Kota Medan menjadi tempat yang strategis bagi Umat Kon ghucu Sedunia untuk mengadakan Kongres Sedunia. Kongres tersebut rencananya akan diikuti oleh 20 negara dari seluruh dunia. Dukungan pemerintah dan masyarakat Kota Medan terhadap pelaksanaan Kongres Khonghucu Sedunia merupakan perwujudan atas pengakuan dan penghormatan terhadap Bhinneka Tunggal Ika dan Konstitusi Negara Ke22
satuan Republik Indonesia khususnya pasal 28 dan 29 UUD tahun 1945. Selain itu Negara juga telah mengakui dan menjalankan amanat UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia khususnya Pasal 4, Pasal 22 dan Pasal 55. Jika kemudian dalam pertemuan keagamaan ada upaya-upaya penolakan dalam pertemuan keagamaan menyangkut suatu tindakan kejahatan atau pidana maka hal tersebut telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 176 tentang menghalangi suatu pertemuan agama. Sehubungan dengan hal tersebut, Aliansi Sumut Bersatu sebagai lembaga yang concern dan aktif terhadap upaya-upaya penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak atas keberaga man khususnya jaminan atas keberagaman agama dan berkeyaki nan menyatakan sikap: 1. Mengapresiasi dan mendukung upaya-upaya pemerintah Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara dalam mensukseskan Kongres Agama Khonghucu Sedunia di Kota Medan. 2. Meminta aparat kepolisian Kota Medan untuk memberikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap masyarakat khususnya peserta Kongres Agama Khonghucu Sedunia sesuai dengan tugas pokok kepolisian sebagaimana diatur dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3. Mengajak seluruh masyarakat Sumatera Utara khususnya Kota Medan berpartisipasi secara aktif dalam mensukseskan Kongres Agama Khonghucu Sedunia dengan menunjukkan keramahan, santun dan bersahabat sebagai wujud masyarakat yang religious. 4. Mengajak penganut Agama Khonghucu di Kota Medan dan Indonesia supaya berpartisipasi aktif dalam upaya23
upaya pembauran, dialog dan kerjasama dengan masyarakat yang beragam untuk mewujudkan keharmonisan ditengahtengah masyarakat. Berita terkait terbit di Harian Analisa, Rabu 25 April 2012
24
Demikian pernyataan sikap ini kami perbuat, untuk men jadi perhatian semua pihak demi terwujudnya rasa adil dan per samaan kedudukan setiap warga Negara di muka hukum, secara khusus kemerdekaan dalam melaksanakan kegiatan keagamaan atau keyakinan. Sejak isu tuntutan pembatalan kongres Khonghucu di Me dan, media juga selalu memberitakan informasi perkembangan rencana pembatalan tersebut sampai hari pelaksanaan Kongres yang diganti dengan kegiatan berita di media juga dengan intens menyampaikan berita. Sesuai dengan pasal 28 dan 29 UUD 1945 bahwa setiap war ga negara bebas berserikat dan beragama. Khonghucu merupakan salah satu dari enam agama yang diakui Pemerintah Republik In donesia melalui Keputusan Presiden No 6 Tahun 2000. Mungkinkah Sumatera Utara sudah melupakan sosok Tjong A Fie? Ia adalah seorang Tionghoa, Khonghucu yang men jadi simbol kerukunan antarumat beragama. Penolakan itu juga menunjukkan bahwa ada sebagian umat Islam yang pikun.16 Hubungan umat Islam dan Khonghucu sudah berlangsung lama. Bahkan umat Khonghucu punya andil yang cukup besar dalam perkembangan Islam di Sumatera Utara. Salah satu buktinya adalah Masjid Raya Medan yang ber jarak hanya 200 meter dari Istana Maimun. Tjong A Fie (18601921) salah satu penyumbang sepertiga dari dana pembangunan mesjid tersebut.
16 Tempo. Tjong A Fie dan Toleransi. http://www.tempo.co/read/news/2012/07/09/ 204415831/Tjong-A-Fie-dan-Toleransi (diakses 4 Maret 2013)
25
Pelaku Diskriminasi Sembunyi Dibalik Atribut Keagamaan Lambang agama bagi umat beragama adalah sakral. Ia selalu diletakkan paling atas. Seperti salib pada gereja, bulan bintang pada masjid, begitupun dengan patung Budha di vihara. Akhirnya pada tahun 2012, telah ada kebijaksanaan dan kesepakatan, antara dari pemerintah untuk masyarakat Budha agar patung Budha tidak boleh diturunkan. ASB menemukan pelaku diskriminasi umat Budha di Tan jung Balai adalah Gerakan Islam Bersatu (GIB), MUI dan FPI. Wahid Institute telah merekam tindakan FPI sebagai pelaku pe langgaran tertinggi. Pada tahun 2011, FPI melakukan tindakan kekerasan pada 38 kasus, atau satu kali dalam 10 hari. Tahun 2012, peningkatan terjadi. Ada 52 tindak kekerasan yang dilaku kan FPI, atau dengan kata lain 4 kali setiap bulannya, maka saat ini mereka melakukannya 1 kali seminggu.17 FPI berdiri di Jakarta tahun 1998, ketuanya, Rizieq Shihab. Front Pembela Islam (FPI) memakai atribut Islam untuk membe narkan sejumlah tindakan pengerusakan terhadap bar, klub, tem pat bilyar dan gereja-gereja Kristen serta masjid Ahmadiyah.18 Sejarahnya, FPI berhubungan dekat dengan beberapa per wira polisi dan militer Angkatan Darat. Menurut dokumen yang bocor, pejabat intelijen Indonesia pada 2006 berkata kepada pe gawai Kedutaan AS bahwa polisi Indonesia memandang FPI bermanfaat sebagai “anjing penjaga,” alat berguna untuk tameng pasukan keamanan dari kritikan atas pelanggaran hak asasi ma nusia, sementara mendanai FPI sudah “tradisi” polisi dan Badan Intelijen Negara (BIN).19 Polisi membantah hubungan dengan 17 Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012, The Wahid Institute 18 Lihat Ian Douglas Wilson, “As Long As It’s Halal: Islamic Preman in Jakarta,” in Fealy, Greg and White, Sally (eds), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008). 19 Wikileaks.org. Kabel Referensi. “Indonesian Biographical and Political Gossip” http://www. cablegatesearch.net/cable.php?id=06JAKARTA5851&q=agung%20fpi%20indonesia%20 islam%20laksono%20p%20olice%20rizieq%20shihab
26
FPI. Indonesia juga subur dengan kelompok Islamis ektremis yang memakai kekerasan secara terbuka dalam mencapai tujuan mereka.20 Kebijakan Diskriminatif Regulasi bernuansa agama Islam ditemukan oleh ASB. Bila peraturan itu dilaksanakan maka akan melanggar prinsip-prinsip kebebasan beragama dan toleransi beragama. Peraturan tersebut tentang sukseskan maghrib mengaji di Madina. Madina sudah menggalakkan Program Masyarakat Magrib Mengaji (PMMM). Tujuannya agar menangkal pengaruh negatif yang ditayangkan ‘lima layar’ yakni televisi, telephone seluler (ponsel), internet, komik dan majalah. Biasanya anak-anak dan orang dewasa suka sekali menon ton televisi pada waktu magrib, sehingga kebiasaan mengaji setelah shalat magrib itu sering dilakukan, salah satu dari lima layar. Semua pihak mulai dari eksekutif, legislatif, ulama, to koh masyarakat adat pesantren, organisasi pemuda dan lainnya harus ikut mensukseskan Program Masyarakat Magrib Mengaji (PMMM), diharapkan dapat menangkal pengaruh negatif terse but.21 Majelis Ulama Islam (MUI) Sumut merasa resah karena banyaknya tayangan tidak bernuansa Islami. Sekjen MUI Sumut, Prof Dr. Hasan Bakti Nasution mengatakan banyaknya tayangan sahur di televisi yang tidak bernuansa Islami. Ia menilai perilaku artis dan percakapan tidak mencerminkan acara keagamaan. MUI menegaskan agar saat Ramadhan siaran televisi harus benarbenar bernuansa Islami. Pertanyaannya, apakah masyarakat yang menonton televisi semua beragama Islam? 20 Atas Nama Agama. Pelanggaran Terhadap Minoritas Agama di Indonesia. Human Rights Watch. http://www.hrw.org/node/113937 (diakses 4 Maret 2013) 21 Harian Waspada, 5 Oktober 2012
27
Berita terkait terbit di Harian Waspada, Jumat 5 Oktober 2012
e. Perempuan, Seksualitas dan HAM Perempuan sebagai objek yang diatur, perempuan sering menjadi korban. Pembatasan kepada kaum perempuan semakin banyak, khususnya pasca Reformasi. Alibi yang digunakan neg ara adalah menjaga moralitas. Dalam banyak kasus, aturan ter hadap gerak dan sikap perempuan dikhawatirkan mengabaikan 28
hak-haknya sebagai warga negara. Dan ini adalah fenomena yang menarik, sebelumnya pembicaraan seksualitas tabu dibicarakan di ruang publik, namun kini sudah banyak diskusi,seminar ter buka terkait seksualitas. Mari kita melihat perlakuan Bupati Aceh Barat dengan mengeluarkan Peraturan Bupati Aceh Barat (No. 5/2010) yang melarang perempuan memakai pakaian dan celana ketat. Pera turan ini berlaku untuk perempuan di Aceh Barat, baik ia penda tang maupun dia penduduk asli. Komandan Operasi Polisi Sya riah, Teuku Abdulrazak mengungkapkan bahwa celana dan jeans ketat membuat para lelaki tidak nyaman, karena lekuk tubuh perempuan jelas kelihatan. Bupati Aceh Barat Ramli Mansur mengatakan “bahwa perem puan yang tidak berpakaian sesuai syariat layak diperkosa.”22 Da lam penerapanya, ia menyediakan 12.000 rok sebagai ganti untuk perempuan yang terkena razia celana ketat, tak sedikit perempuan yang dipermalukan oleh bupati dan polisi syariah. Meskipun aturan ini berlaku bagi perempuan dan laki-laki, pada pelaksanaannya perhatian lebih tertuju kepada perempuan, yang dijadikan symbol identitas ke-Islaman di Aceh. Pengaturan tentang berkewajiban berbusana diikuti oleh ra zia, baik oleh institusi yang diberikan kewenangan untuk melaku kannya, yaitu Wilayatul Hisbah (WH), maupun oleh anggota masyarakat. Bila di urutkan, kebijakan daerah tentang aturan busana me nyebabkan perempuan mengalami diskriminasi berlapis, mulai dari keterbatasan perempuan menikmati hak atas kebebasan ber busana yang sesuai dengan hati nuraninya. Diskriminasi sebagai akibat, karena perempuan yang tidak mematuhi mendapatkan hu 22 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010. Center for Religious & Crosscultural Studies (CRCS) Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia.
29
kuman berupa sanksi diskriminatif, dan ada pula yang dipermalu kan didepan umum.23 Paradigma perempuan sebagai sumber pengrusak moral dan perempuan yang bekerja di kafe telah mendapat cap negatif bahkan dianggap sebagai penyakit masyarakat. Perspektif media pun masih menganggap perempuan yang bekerja di café seba gai pekerja seks komersial (PSK). Penangkapan perempuanperempuan yang bekerja di café sudah menjadi agenda tahunan Dinas Sosial bersama Satpol Pamong Praja (PP). Penangkapan perempuan-perempuan yang mencari nafkah sebagai penjaga café mendapat perlakuan serupa dengan pelaku kriminal. Sepuluh perempuan, diduga oleh Dinsos, Satpol PP dan me dia sebagai PSK, langsung diangkut menggunakan mobil L300. Ada yang mengenakan celana dan ada yang mengenakan rok, duduk lesehan dengan alas seadanya, Perempuan yang terjar ing dibawa ke panti rehabilitasi. Media sering kali menghakimi perempuan-perempuan yang terjaring razia dalam tiap razia. “Razia yang kita lakukan ini untuk mencegah maraknya aksi prostitusi di Kota Medan sekaligus untuk memberantas penyakit masyarakat,” ucap Plt Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja (Kadinsosnaker) Medan Marahusein Lubis.24 Serupa, media juga kembali berperan menghakimi perempuan. Harian Waspada, menuliskan “28 Pekerja Kafe Diamankan”25 Media masih berprespektif bahwa perempuan pekerja kafe didu ga sebagai pekerja seks komersial (PSK). Perempuan-perempuan 23 Dikutip dari Laporan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak – Hak Konstitusional perempuan di 16 Kabupaten/Kota di 7 Propinsi, “Atas Nama Otonomi Daerah : Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia. KOMNAS PEREMPUAN 2010. 24 Harian Analisa, 16 April 2012 25 Harian Waspada, 6 Juni 2012
30
Berita terkait terbit di Harian Waspada,
31
itu diamankan oleh Muspika Patumbak bersama Dinsos Deliser dang. Kafe M You berada di Gang Sari Dusun VI, Desa Marindal I, Kecamatan Patumbak, Deliserdang. Media memberi ruang pada Camat Patumbak Khairul Saleh dan Kapolres AKP Triyadi SH, S.Ik untuk memberikan pernyataan agar segala macam bentuk maksiat di wilayah huku mnya akan dibasmi. Namun sayang, tak ada ruang bicara bagi puluhan perempuan yang terjaring razia. Perempuan berada pada kondisi-kondisi yang tidak mengun tungkan. Kerentanan perempuan sebetulnya bisa dilihat dari sisi bagaimana persoalan perempuan diletakkan, kepala kita masih dipenuhi pemikiran bahwa perempuan selalu menjadi sumber masalah. Dalam situasi yang burukpun, misalnya menjadi kor ban, perempuan tetap saja disalahkan. Pekerja seks atau prostitut atau orang yang melacurkan diri dan dilacurkan memang masih menjadi komunitas marjinal di masyarakat kita. Banyak orang belum memahami bahwa pekerja seks merupakan pekerjaan. Pekerja seks akhirnya lebih banyak mendapat kritikan keras dan hinaan tanpa empati dan simpati atas beban dan perjuangan hidup yang berat. Tabu tentang seksualitas masih kuat menyelimuti pandan gan sosial-budaya masyarakat kita, tentu saja bukan hal mudah sekedar menemukan sikap empati dan simpati pada para pekerja seks. Kita hanya berharap, dengan semakin sering dan terbukanya pembicaraan terkait persoalan ini, akan semakin luntur rasa tabu itu yang akan membawa pada berkembangnya tindakan-tindakan yang lebih adil pada seksualitas perempuan, umumnya, dan pada para perempuan pekerja seks.26 Kebijakan membangun daerah sesuai dengan keinginan 26 Sebuah Kisah Perempuan dan Pekerja Seks. Komisi Nasional (Komnas) Perempuanhttp://www.komnasperempuan.or.id/2010/02/film-screening-dan-diskusi-%E2%80%9 Cmalena%E2%80%9D-sebuah-kisah-perempuan-dan-pekerja-seks/ (diakses 15 Februari)
32
agama mayoritas telah menyasarkan pada berbusana, mobilitas dan perlakuan perempuan. Akibatnya perempuan tidak dapat se cara utuh menikmati hak-hak asasinya sebagaimana dijamin di dalam Konstitusi, seperti hak untuk bebas dari diskriminasi, atau jaminan rasa aman, bebas dari takut untuk berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasinya, dan ke bebasan berekspresi. f. Permasalahan Rumah Ibadah Permasalahan rumah ibadah merupakan temuan yang sangat serius, tahun 2011 didapati empat kasus, sedangkan tahun 2012 didapati 8 kasus. Temuan di Sumatera Utara, umat Islam merasa keberatan dan menuntut keberadaan rumah ibadah Kristiani dan Budha. Tak ada satu kasus pun yang menunjukkan keberatan umat Kristen akan keberadaan rumah ibadah umat Islam. Peraturan bersama menteri (PBM) dan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 tahun 2006 dan Nomor: 8 tahun 2006 pasal 14 (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana di maksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. Daftar nama dan kartu penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah seba gaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/ kepala desa; c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama ka bupaten/ kota; dan d. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/ kota. Kebijakan diatas telah menjadi senjata pamungkas masyarakat untuk menutup rumah ibadah. Ratusan warga di Tebing Tinggi 33
menolak keberadaan rumah ibadah “illegal” di komplek Peruma han Deli Nusa Indah. Warga menyatakan keberatan dan protes atas aktivitas ibadah dan keberadaan rumah ibadah dan keberadaan rumah unit Ahmad Yani yang menempati rumah took (ruko). Se lain lokasinya berada di pemukiman umat Islam, warga yakin ke beradaannya menyalahi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam negeri No. 8 dan 9 tahun 2006, khususnya pasal 18 ayat 1. Surat itu ditembuskan kepada Kapolres, DPRD, FKUB, Camat Bajenis, Lurah Durian dan Mandailing. Dalam surat itu diterangkan juga pada 2011 lalu, keberatan GBI Unit Ahmad Yani Secara lisan dan tertulis keberatan warga sudah disampaikan kepada aparat pemerintah. Namun pengaduan itu tidak ditanggapi serius, sehingga aktivitasnya berkelanjutan hingga kini. Dalam pertemuan dengan Plt. Sekdako Tebingtinggi, utusan warga minta Pemko Tebingtinggi menutup rumah ibadah illegal itu secepatnya. “Jika dalam 10 hari tak ada realisasi, jangan salahkan warga melakukan aksi sendiri,” tegas utusan warga.27 Berita terkait terbit di harian Waspada, Jumat 13 April 2012
27 Harian Waspada, 13 April 2012
34
Temuan ASB, kebijakan Peraturan Bersama Menteri (PBM) itu bersifat diskriminatif. Keadaan yang lebih parah terjadi di Aceh Singkil, sebanyak 19 gereja disegel dan tiga rumah ibadah penganut aliran kepercayaan juga menjadi korban. Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang izin pendirian ru mah ibadah tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 yang menya takan setiap warganegara bebas untuk memeluk agama dan keper cayaan masing-masing. Tidak ada agama yang tidak melakukan ibadah bersama di sebuah tempat atau gedung yang mereka diri kan, tapi kenapa harus ada izin dari warga sekitar dan mengenai izin itupun kenapa pula harus diatur oleh keputusan dua menteri. Pengurus pusat GPDI (Gereja Pentakosta di Indonesia) san gat menyesalkan terjadinya tindakan main hakim sendiri yang menyegel 19 gereja di Kabupaten Aceh Singkil, pengrusakkan rumah ibadah GPDI di Dolokmasihul. Ketua Pdt DR Sm Tampubolon STh, Wakil Ketua Pdt H Gul tom S.Th dan Sekretaris Jenderal pegurus Pusat GPDI Pdt R Na baban di kantor GPDI, Jalan Sangnaulauh Pematang Siantar me minta agar aparat pemerintah mengusut tuntas permasalah warga tersebut.28 Sejak adanya SKB 2 Menteri, fungsi aparat sudah diambil oleh masyarakat, pembiaran acap kali dilakukan aparat. Padahal penyelesaian permasalahan dilakukan oleh pihak berkompeten, yakni aparat pemerintah bukan oleh orang bertindak sewenangwenang dengan melakukan tindakan main hakim sendiri. Namun pemerintah sendiri yang menciptakan peraturan yang tak ber pihak pada masyarakat. Pengurus pusat GPDI kecewa dengan ketidaktegasan aparat. Ketidaktegasan aparat telah menimbulkan masyarakat yang main hakim sendiri.
28 Harian Sinar Indonesia Baru, 11 Mei 2012
35
Berita terkait terbit di harian Sinar Indonesia Baru (SIB, Senin, 14 Mei 2012)
Ketika pendeta meminta agar SKB 2 Menteri tentang pendi rian rumah ibadah dicabut karena disinyalir membuka peluang bagi masyarakat bertindak main hakim sendiri, dengan alasan pembangunan rumah ibadah belum mempunyai IMB (izin mendi rikan bangunan) hingga berani menyegel, merusak dan menstop rumah ibadah. Pengurus GPdI mengatakan bila belum ada IMB, seharusnya aparat yang turun tangan, bukan masyarakat bertin dak main hakim sendiri. Himbauan untuk mencabut SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah juga disampaikan oleh Dosen Sekolah Tinggi Teo logia (STT) HKBP Pdt Dr Apeliften Ch B Sihombing, karena itu tidak sejalan dengan amanat UUD 1945. Peraturan bersama menteri (PBM) tentan izin pendirian ru mah ibadah tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 yang menya takan setiap warganegara bebas untuk memeluk agama dan keper cayaan masing-masing. Tidak ada agama yang tidak melakukan 36
ibadah bersama di sebuah tempat atau gedung yang mereka diri kan, tapi kenapa harus ada izin dari warga sekitar dan mengenai izin itupun kenapa pula harus diatur oleh keputusan dua menteri. Pdt Dr Apeliften Ch B Sihombing menanggapi “PBM sering disalahgunakan untuk menutup tempat ibadah,” Karena pemerin tahan tidak netral dalam urusan keagamaan di Indonesia, karena diduga oknum pejabat, oknum politisi tidak netral, bukan mem bela institusi dan UUD 1945. Tidak mungkin terjadi masyarakat adil dan makmur apabila selalu terjadi perselisihan akibat izin pendirian rumah ibadah. Oleh sebab itu peraturan bersama menteri sebaiknya dicabut supaya permasalahan pendirian rumah ibadah tidak terulang ter jadi karena ada sekelompok warga yang memanfaatkan peraturan tersebut untuk menutup, menghentikan pembangunan rumah iba dah atau menyegel rumah ibadah atau bertindak anarkis kepada penganut agama lain. Pemerintah seharusnya evaluasi PBM rumah ibadah, karena sering disalahgunakan untuk merusak, menghentikan pembangu nan, menyegel rumah ibadah. Padahal masalah ibadaha telah dija main oleh konstitusi/ UUD 1945 dimana setiap warga Negara be bas melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut. ASB juga tak hanya memantau kasus intoleransi. Peman tauan juga dilakukan pada kasus non intoleransi.29 Perubuhan mesjid oleh pengembang selalu menuai aksi keras dari ormas Is lam, ia akan berkepanjangan bila tanpa solusi cerdas. Sepanjang tahun 2012, setiap bulannya didapati demo dari ormas Islam. Hal itu terkait tuntutan perobohan masjid yang di lakukan oleh pengembang. 29 Intoleransi adalah konflik yang terjadi antara satu kelompok agama dengan kelompok agama yang lain, sementara Intoleransi adalah konflik yang terjadi bukan atas dasar agama, tetapi munculnya konflik yang disebabkan oleh factor lain, mis : factor ekonomi, social, dll.
37
Demonstrasi yang digelar membuat jalan macet. Pendemon stran memblokir jalan, membakar ban padahal solusi sudah dita warkan oleh pemerintah untuk merelokasi pembangunan kembali masjid yang dirobohkan. Selama melakukan aksi, massa justru menjadi pelaku tindakan SARA sebagai bentuk tuntutan penyele saian masalah. Tindakan ini sangat kita sayangkan, karena tuntut an tersebut menyinggung salah satu etnis yang ada dikota Medan, secara khusus untuk tuntutan Masjid Al-Khairiyah yang berada di belakang hotel Emerald Garden. Kutipan tuntutan yang disampaikan demonstans pada saat aksi di depan hotel Emerald Garden Medan yang berhasil dihim pun ASB.
38
Pelaksana tugas (Plt.) Gubsu melakukan peletakkan batu per tama pembangunan masjid di Jalan Timor, Medan. Acara itu juga dihadiri oleh perwakilanDPR RI Tri Tamtomo, Walikota Medan Rahudman Harahap, Ketua DPRD Sumut Saleh Bangun, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut AK Basyuni Masyarif sementara Forum Umat Islam (FUI) yang sering berdemonstrasi tidak hadir. Pembangunan mesjid itu hanya berjarak 700 meter dari loka si mesjid Al-Ikhlas. FUI tetap menolak masjid itu dikaitkan seba gai ganti masjid yang dirobohkan. Mesjid yang hendak dibangun seluas 274 meter persegi (28m x 35,5 m), mesjid baru itu akan dilengkapi dengan taman pendidikan Alqur’an (TPA) dan perpus takaan berupa bangunan berlantai dua seluas 120 meter persegi. Pembangunan masjid tersebut membutuhkan biaya besar. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun mesjid sebesar Rp. 2,513 mi lyar. Itu terdiri dari biaya pembebasan lahan Rp. 1,2 milyar dan biaya pembangunan gedung mesjid Rp. 1,313 milyar. FUI mendukung pembangunan namun tidak setuju jika pembangunan masjid tersebut dijadikan pengganti masjid Al-Ikhlas. FUI tetap menuntut masjid Al-Ikhlas dibangun di tempat semula.30 39
Ketua MUI Medan Prof DR H Moh Hatta yakin penyelesa ian masalah perobohan masjid di Medan bisa diselesaikan den gan baik. Diharapkannya terwujudnya kesepakatan berdasarkan kejernihan hati. Akibat yang nyata dari tidak adanya kesepakatan adalah masyarakat yang berdemonstrasi melakukan pengancaman saat perencanaan kongres Khonghucu di Medan. Permasalahan tersebut dikaitkan dengan pengembang PT. Jatimasindo. Alhasil nya, kongres itu tidak terlaksana. Beberapa contah kasus diatas terjadi karena munculnya ti rani kelompok mayoritas yang berpandangan bahwa sebagai kelompok mayoritas berhak untuk mendominasi seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pandangan ini meny alahi konstitusi yang memberikan jaminan hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan untuk semua warga negara tanpa terke cuali, demikian halnya ketika menjadi korban juga mempunyai hak, yaitu: a. Hak untuk tahu (rights to know) b. Hak atas keadilan (rights to justice) c. Hak atas pemulihan (rights to reparation). Hak ini terdiri: • Restitusi : kewajiban ganti rugi yang diberikan pelaku atau pihak ketiga yang bentuknya beragam • Kompensasi : kewajiban yang harus dilakukan negara terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (yang berat) untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah • Rehabilitasi : dukungan dan bantuan material, pengobatan, psikologis dan sosial yang diperlukan • Kepuasan (satisfaction), • Jaminan ketidakberulangan (non reccurence) 30 Harian Tribun Medan, 6 Januari 2012
40
4. Pelanggaran Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hasil Temuan ASB dari Kunjungan Langsung * Les Tambahan Bagi Pelajar SMU Jemaat Advent, di Kecamatan Sianjur Mula-Mula Kabupaten Samosir Pada tahun 2012 ASB bersama dengan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mendapat pengaduan dari orang tua pelajar SMU jemaat Advent di Kecamatan Sianjur Mula – Mula, Kabu paten Samosir, memberlakukan Les Tambahan bagi anak – anak untuk mengejar ketertinggalan pendidikan yang di pelajari setiap hari sabtu. Hal ini dilakukan karena setiap hari Sabtu anak – anak SMU jemaat Advent beribadah seseuai ajaran mereka. Sesuai dengan keyakinan Agama Advent bahwa hari Sabtu adalah hari beribadah dan tidak boleh melakukan aktivitas selain aktivitas keagamaan, tidak terkecuali dengan anak-anak yang masih sekolah juga tidak akan pergi ke sekolah. Hal ini juga yang dialami oleh murid-murid SMU Sian jur Mula-mula khususnya yang beragama Advent. Akibat ketidakhadiran mereka setiap hari Sabtu maka sekolah meminta murid-murid yang beragama Advent untuk mengganti jam pela jaran hari Sabtu ke hari lain setelah jam pelajaran. Pemberlakuan les tambahan ini diberikan dengan mengena kan biaya sebesar Rp. 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) per orang. Kebijakan ini diberlakukan sejak tahun 2012. Sebenarnya orang tua murid tidak terlalu setuju dengan penambahan les ini, karena menurut orang tua hal tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan selama ini, walaupun anak-anak mereka tidak hadir pada hari Sabtu, mereka tidak mengalami hambatan dan bisa mengi kuti pelajaran. Tetapi karena menurut pihak sekolah hal ini merupakan ke bijakan dari dinas pendidikan yaitu untuk memenuhi presentasi kehadiran siswa yang harus dipenuhi dan merupakan syarat un 41
tuk mengikuti ujian akhirnya orang tua menyetujui les tambahan tersebut. Persoalan tidak hanya sampai di situ saja. Akibat pe nambahan les tersebut, mereka harus mengeluarkan biaya Rp. 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan ditambah sumbangan biaya pendidikan. Yang sangat terbebani adalah jika murid yang bersangkutan duduk di kelas 3, maka akan ditambah biaya les sekitar Rp. 250.000 (dua ratus lima puluh ribu). Menu rut orang tua, biaya tambahan ini awalnya disepakati Rp. 250.000 per bulan tetapi ternyata sangat berat bagi orang tua yang pada umumnya petani. Sehingga setelah dilakukan pertemuan dengan pihak sekolah, maka disepakati menjadi Rp. 150.000. Mengingat besarnya beban biaya yang ditanggung sehingga orang tua sempat berkeinginan untuk memindahkan anak mereka untuk sekolah di Perguruan Advent di Siantar, tapi niat ini diu rungkan karena ketidak mampuan keluarga. Orang tua berharap, jika anak mereka sekolah dikampung, anak-anak mereka masih dapat membantu pekerjaan mereka diladang. * Larangan Membuka Kedai (Warung) Pada Hari Minggu di Desa se-Kecamatan Sianjur Mula-Mula Penerapan larangan membuka kedai (warung) selama jam beribadah pada hari minggu dari pukul 08.00 – 14.00 disampai kan melalui Surat Edaran nomor 100/406/SMM/XI/2011, yang dikeluarkan pada tanggal 23 November 2003. Surat edaran ini disampaikan ke seluruh desa se Kecama tan Sianjur Mula-Mula untuk menjaga ketentraman dan kenya manan Umat Kristiani dalam Melaksanakan Ibadah. Ada 3 point (lihat lampiran III), yang diatur dalam surat tersebut yang telah disepakati oleh Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda dan BPD se Kecamatan Cianjur Mula-Mula. Dengan diberlakukannya kebijakan ini, ASB menilai bahwa ekslusifme beragama semakin kuat dalam kehidupan beragama 42
saat ini. Munculnya kebijakan ini menjelaskan bahwa pemerintah juga tidak paham dan tidak tegas dalam penyelesaian masalah. Justru yang muncul adalah arogansi dan keberpihakan terh adap kelompok tertentu, tanpa melakukan analisis kebutuhan masyarakat dalam penyelesaian masalah. Sering juga, penyelesaian masalah menyebabkan adanya pe langgaran hak orang lain, dalam hal ini hak pemilik warung untuk bekerja mencari nafkah, hak orang lain dalam hal ini yang non Kristiani atau pendatang untuk mencari makanan atau minuman selama jam beribadah, atau hak yang lainnya. Ketika ASB melakukan audensi kepada Camat Cianjur Mula-Mula, beliau menyampaikan bahwa surat edaran ini tidak diberlakukan lagi, dan waktu surat ini di edarkan karena adanya desakan tokoh masyarakat dan tokoh agama akan keresahan mer eka terhadap kelompok Bapak-bapak yang sulit sekali hadir untuk beribadah. Sementara setelah surat edaran ini diterapkan, sama sekali tidak berdampak jumlah kehadiran laki-laki untuk beriba dah. Kedai – kedai yang ada di desa se Kecamatan Sianjur Mula – Mula juga tetap buka setiap hari minggu, tanpa menghiruakan surat keputusan yang telah diedarkan. Hal tersebut menjadi bukti bagaimana masyarakat membuat keputusan untuk penyelesaian masalah, tanpa mempertimbang kan dampak keputusan tersebut, demikian halnya pemerintah. * Dampak Pembakaran Gereja di Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas Sejak peristiwa pembakaran Gereja HKBP dan Gereja Pen takosta pada tanggal 25 Desember 2010 yang lalu, jemaat HKBP Sibuhuan terpaksa melakukan ibadah dengan cara berkeliling dari satu rumah kerumah yang lain. Namun, tidak semua jemaat ber sedia menjadikan rumah mereka sebagai tempat untuk beribadah, pada saat ibadah hanya sedikit yang bersedia mengikuti ibadah. 43
Kondisi ini disebabkan karena munculnya rasa kekawatiran ter jadinya hal – hal tidak diinginkan, seperti kejadian penyerangan terhadap gereja. Kondisi diatas tentunya meresahkan jemaat HKBP Sibuhuan. Sehingga muncullah inisiatif seorang warga untuk mendirikan ru mah khusus dilahan kebun milik pribadinya, yang akan dijadikan mereka sebagai gereja untuk tempat beribadah mereka. Untuk mengantisipasi munculnya kecurigaan warga yang non Kristiani, maka rumah tersebut dijadikan menjadi rumah kontrakan, dan se luruh jemaat mensosialisasikannya ke seluruh warga. Meskipun rumah pengganti gereja sudah ada, namun rasa kha watir masih muncul juga, karena jarak antara rumah jemaat dengan rumah pengganti gereja tersebut berjauhan. Ibadah yang mereka lakukan juga sampai saat ini masih bersifat tersembunyi, hal ini jus tru sangat berdampak munculnya rasa kekhawatiran untuk mengi kuti ibadah. Beda halnya dengan jemaat Pentakosta, sejak peristiwa tersebut, jemaat memilih beribadah kedaerah yang lain. Hingga saat ini, kondisi kehidupan beragama di daerah Sibuhuan tidak berubah. Umat Kristiani masih tertutup melaku kan ibadah, dan selalu berupaya agar warga lain tidak mengetahui aktivitas selama mereka beribadah. Beberapa kutipan hasil wawancara dengan warga jemaat HKBP dan Pentakosta Sibuhuan “Kami hanya bisa melakukan beribah ada berkeliling dari rumah kerumah yang sebelumnya sempat juga dila rang. Tapi karena tidak ada fasilitas seperti speaker untuk berkotbah sedangkan jemaat banyak hingga dari depan bisa kedapur membuat beberapa orang memilih pulang kam pung (sidempuan) bagi yang dekat kampungnya...”(Ibu Boru Samosir) 44
Dampak Sosial: “Paska kejadian sempat membuat saya mengambil jarak dengan kawan-kawan muslim karena rasa saya tidak ada gunanya berkawan dengan mereka. Walaupun saya tahu mereka tidak ikut melakukan pengrusakan tersebut...” (Ibu Boru Simangunsong) * Penyegelan 20 Rumah Ibadah di Kabupaten Aceh Singkil Aceh, mayoritas umat Islam telah mempersempit kebebasan beragama bagi Kristen. 19 gereja dan satu rumah ibadah Pambi agama local (aliran kepercayaan) disegel pemerintah Kabupaten Aceh Singkil bersama dengan FPI, pada Mei 2012. Sebelum penyegelan terjadi, massa berunjuk rasa di depan kantor bupati, menuntut untuk menetapkan perjanjian tahun 1979 yang hanya memperbolehkan satu gereja dan empat undung-und ung (setingkat musholah dalam Islam). Insiden 1979, konflik umat Islam dan Kristen, dikarenakan umat Islam tidak dapat menahan amarah saat pembangunan gereja Katolik, bersamaan dengan itu, gereja-gereja lainnya pun dibakar. Umat Kristen mengungsi ke Sumatera Utara demi keselamatan jiwa. Perdamaian.31 Ikrar kerukunan ditandatangani oleh tokoh Kristen dan Islam. Setelah penandatanganan, umat Kristen kem bali dari pengungsian. Umat Islam di Provinsi Aceh berkisar 4,4 juta jiwa dan umat Kristen hanya satu persen, berkisar 44 ribu jiwa. Dari 44 ribu jiwa, 10 ribu jiwa berada di Kabupaten Aceh Singkil dengan jum lah 1.700 kepala keluarga. Sejak adanya ikrar perdamaian, ter
31 Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara bekerja sama untuk mendamaikan insiden 1979, ikrar perdamaian.. Terkai dengan pendirian/ rehab gereja tak dapat dilaksanakan sebelum mendapt izin daerah Tingkat II Aceh Selatan, sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969.
45
jadi pelarangan rehab rumah ibadah, pembakaran dan penutupan gereja. Penyegelan 2012 dilakukan oleh Tim Penyelesaian Sengketa Pembangunan Rumah Ibadah melakukan penertiban/ penyege lan rumah ibadah.32 Ibu-ibu Kristen histeris, Berteriak untuk melarang. Menangis. Dan ada juga perempuan yang shock lalu pingsan melihat penyegelan gereja di depan matanya. Gereja kami disegel. Dimanakah kebebasan beragama? tan ya Pendeta E. Lingga.33 Adapun rumah ibadah yang disegel antara lain: 1. Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Biskang di Nagapuluh 2. Gereja Katolik di Lae Mbalno 3. Gereja Katolik di Napagaluh 4. GKPPD Siatas 5. GKPPD Tubuhtubuh 6. GKPPD Kuta Tinggi 7. GKPPD Tuhtuhen 8. GKPPD Sanggabru 9. JKI Kuta Karangan 10. Huria Kristen Indonesia (HKI) Gunung Meriah 11. Gereja Katolik Gunung Meriah 12. GKPPD Mandumpang 13. GMII Mandumpang 14. Gereja Katolik Mandumpang 15. GKPPD Siompin 16. GMII Siompon 32 Bupati Aceh Singkil mengeluarkan surat Nomor: 451.2/450/2012 untuk menertibkan/ menyegel rumah ibadah yang tidak memiliki izin pendirian rumah ibadah. Tim bersama rombongan MUSPIDA, MUSPIKA dan ormas FPI Aceh Singkil. 33 Wawancara Aliansi Sumut Bersatu, di Aceh Singkil
46
17. 18. 19. 20.
GKPPD Guha GMII Ujung Sialit GKPPD Dangguren Rumah Ibadah Pambi – Agama Lokal/ Aliran Kepercayaan
Penyegelan rumah ibadah, penganut minoritas telah kehilan gan hak-haknya untuk bebas dalam beragama, beribadah dan ber keyakinan sebagaimana mandate Konstitusi UUD 1945 pasal 28 dan 29. Indonesia kini sedang mengalami masalah serius. Reali tas menunjukkan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila terancam dalam pelaksanaannya. Hingga saat ini gereja dan rumah ibadah yang telah disegel belum jelas penyelesaiannya, menurut warga jemaat gereja GK PPD saat ini sudah ada gereja yang bisa di pakai, tetapi bukan atas persetujuan pemerintah. kekawatiran dan kegelisahan dalam beribadah selalu muncul di benak jemaat, karena tidak adanya sikap tegas dari pemerintah dalam penyelesaian kasus penyege lan rumah ibadah tersebut. * Munculnya Kebijakan Bernuansa Keagamaan yang Diskriminatif di Sumatera Utara. Seperti yang terjadi di wilayah di Indonesia, Sumatera Utara satu dari beberapa daerah yang memiliki peraturan daerah ber nuansa keagamaan yang diskriminatif. Hasil pantauan ASB, Ka bupaten/Kota yang mengeluarkan Peraturan Daerah bernuansa keagamaan yang diskriminatif yaitu: 1. Peraturan Daerah Kabupaten Mandailing Natal No. 32 ta hun 2007 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Masyarakat 2. Peraturan Daerah Kabupaten Mandailing Natal Nomor 47
30 Tahun 2007 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Huruf AlQuran. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 19 tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Qur’an Bagi Pelajar Beragama Islam. 4. Surat Edaran tentang Hasil Kesepakatan Bersama tentang pemberlakuan pembatasan Jam Buka Kedai dan Billiard Set iap Hari Minggu (jam Ibadah Kristiani) Se Kecamatan Sian jur Mula – Mula Kabupaten Samosir. Munculnya kebijakan di beberapa Kabupaten/Kota di Su matera Utara menyalahi konstitusi Negara yang memberikan hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan untuk semua warga negaranya tanpa terkecuali. Artinya demokrasi adalah milik se tiap warga Negara dan bukan hanya kelompok mayotitas saja. Jaminan ini juga telah ditegaskan kembali dalam UU no. 32 tahun 2004 pasal 28a tentang Pemerintah Daerah yang melarang penertiban kebijakan daerah untuk keuntungan satu kelompok tertentu ataupun mendiskriminasikan warga Negara lain, da lam hal ini termasuk kelompok minoritas yang ada di daerah itu. Ketika ASB melakukan wawancara dengan beberapa instansi pemerintahan yang mengeluarkan kebijakan menyebutkan bahwa meskipun mereka memahami mandate konstitusi tersebut diatas, tetapi mereka tetap mengeluarkan kebijakan – kebijakan tersebut karena adanya desakan masyarakat, dalam hal ini umunya desa kan muncul dari masyarakat mayoritas. Hal ini sangat berdampak dalam penyusuan kebijakan tersebut, dimana ketika ketidakte gasan dan keberpihakan pemerintah tidak jelas, maka kebijakan yang dikeluarkan pastinya adalah suara kelompok mayoritas. Ketidaktegasan pemerintah justru akan menimbulkan per masalahan baru, dimana kelompok mayoritas seakan – akan ber pandangan bahwa pemerintah “mendukung” aspirasi mereka. 48
Pandangan dipakai sebagai modal untuk melakukan aksi – aksi yang lain, mulai dari melakukan pengawasan terhadap pemerin tah untuk pelaksanaan kebijakan, dan melakukan monitoring ke masyarakat yang melanggar kebijakan tersebut. Demikian halnya untuk kasus pelanggaran Kemerdekaan Beragama dan Berkeya kinan lainnya yang terjadi selama tahun 2012. Ditingkat nasional dan lokal, dalam hal ini pemerintah daer ah ketika menerbitkan kebijakan tidak melakukan analisis yang mendalam apakah kebijakan tersebut sudah sesuai dengan prose dur dan ketentuan hukum yang berlaku. Sejak tahun 2011, terda pat aturan dalam menerbitkan kebijakan sesuai dengan Undang – Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan. Undang – Undang no 12 tahun 2011 pada pasal Pasal 6, (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: Pengayoman, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kekeluargaan, Kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, Keadilan, Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau, Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Berikut penjelasan hukum tentang asas yang tertuang pada pasal 6 ayat 1, yaitu: 1. “Asas Pengayoman” berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. 2. “Asas Kemanusiaan” yaitu mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan mar tabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 3. “Asas Kebangsaan” yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip NKRI. 49
4. “Asas Kekeluargaan” yaitu mencerminkan musyawarah untuk mencari mufakat dalam setiap pengambilan keputu san. 5. “Asas Kenusantaraan”, yaitu memperhatikan kepent ingan wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Pe rundang-undangan di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional. 6. “Asas Bhinneka Tunggal Ika” yaitu memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 7. “Asas Keadilan” yaitu mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. 8. “Asas Kesamaan kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan” yaitu Materi Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,ras, golongan, gen der, atau status sosial. 9. “Asas Ketertiban dan Kepastian” yaitu mewujudkan ke tertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hu kum. 10. “Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan” yaitu bahwa setiap Materi Muatanyaitu peraturan yang harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan. Selain asas diatas, dalam menerbitkan produk hukum perlu memperhatikan Harmonisasi Kebijakan yaitu produk hukum yang dikeluarkan pemerintah harus selalu selaras dengan perundangundangan yang lebih tinggi. Harmoninasi terhadap rancangan peraturan perundang-undangan merupakan upaya untuk menelenggarakan suatu peraturan perundang-undangan dengan 50
berbagai kepentingan yang ada dan dengan peraturan perundang – undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah. Sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping).34 Seharusnya dengan adanya aturan yang telah dikeluarkan sebagai acuan dalam membuat kebijakan, di setiap daerah di wilayah Indonesia tidak dapat mengeluarkan kebijakan – kebi jakan yang melanggar Hak Asasi setiap warga negaranya. Apabila itu terjadi maka, Negara dalam hal ini pemerintah sebagai pihak yang seharusnya memberikan jaminan pengakuan, perlindun gan, pemenuhan dan penghormatan terhadap Hak Azasi Manusia menjadi pelaku tindakan diskriminatif yang melangkahi aturan hukum perundang – undangan yang lebih tinggi, yaitu Konstitusi Negara UUD 1945 dan Pancasila, serta falsafah Negara Bhineka Tunggal Ika. 5. Mempertanyakan Tanggungjawab Negara Melindungi Agama dan Kepercayaan Minoritas. Indonesia Negara Gagal. Statement ini kian sering kita den gar ketika munculnya kasus – kasus intoleransi di Indonesia, dimana pemerintah sering “absen” untuk kasus – kasus intoler ansi tersebut. Penilain tersebut tidak jauh berbeda dari hasil FSI (Failed States Index), Indeks yang dikeluarkan organisasi Fund for Peace tahun 2012 mengeluarkan data dimana posisi Indonesia kembali masuk dalam kategori negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal. Salah satu indicator penilaian indeksnya adalah lemahnya penegakan HAM. Data Fund for Peace di atas tidak membuat kita bertanya mengapa Indonesia Negara Gagal, kondisi kita saat ini sudah 34 Laporan Pemantaun Komnas Perempuan Tahun 2010“Tanggapan Perwakilan Kantor Kanwil Huk HAM Provinsi Kalimantan Selatan”
51
menjawab pertanyaan itu semua. Gambaran kehidupan beragama dan berkeyakinan yang terancam menjadi bukti nyata. Banyak kasus pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan baik di pusat dan di daerah, tetapi sikap pemerintah justru tidak tegas dan cenderung melakukan pembiaran. Negara yang seharusnya wajib memberikan perlindungan ke pada seluruh warga negaranya, seperti yang tertuang dalam alin ea IV Pembukaan UUD 1945, NKRI wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kewajiban melind ungi tersebut dipertegas kembali dalam pasal 28 J ayat (4) bahwa negara melalui pemerintah bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia. Pelanggaran inkonstitusional yang dilakukan Negara ber dampak terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, terutama un tuk kehidupan beragama. Tirani mayoritas dan minoritas semakin dilanggengkan, dimana muncul pandangan bahwa sebagai kel ompok mayoritas berhak untuk mendominasi seluruh sendi ke hidupan bermasyarakat dan bernegara. Akibatnya, sikap arogansi kelompok mayoritas sering muncul yang mengakibatkan muncul nya tindakan – tindakan diskriminatif, terkhusus dalam kehidu pan beragama dan berkeyakinan. Seperti halnya yang terjadi di Sumatera Utara selama tahun 2012. Ironisnya, kasus pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan yang terjadi selama tahun 2012, sampai saat ini be lum jelas penyelesaiannya. Negara dalam hal ini pemerintah seba gai actor yang seharunys bertanggungjawab justru tidak bersikap tegas, melainkan melakukan pembiaran. Ketidaktegasan tersebut dipakai oknum atau kelompok tertentu untuk melanggengkan munculnya permasalahan baru didaerah lain. Kasus – kasus di bawah ini menunjukkan ketidak tegasan pemerintah dan kegagalan dalam memberikan perlindungan terh adap kelompok korban. 52
“Tiga bulan kemmudian di tempat yang berbeda. Gereja HKBP Trinity Mandala dirusak. Pagar dibongkar, jemaat gagal beribadah. Peristiwa pengrusakan gereja itu dilaku kan dihadapan aparat keamanan yang mengawasi tindakan sekelompok orang yang tidak dikenal.35 Polisi mengawasi keberlangsungan tindakan anarkis, tak ada perlindungan”. Pada kasus HKBP Trinity, kurangnya respon polisi mencer minkan kegagalan institusi kepolisian dalam menegakkan hukum dan menangkap pelaku pengerusakan. Terkait batalnya kongres Konghucu sedunia adalah bukti ga galnya aparat melindungi umat Konghucu. Seorang beragama Konghucu berkata, “gagalnya kongres Konghucu karena pertim bangan banyak hal.”36 Apa yang disampaikan dalam laporan ini, merupakan bagian kecil akan ancaman terhadap kemerdekaan beragama yang terjadi saat ini. Kekawatiran muncul di tahun 2013 kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia, secara khusus kasus Pelanggaran Kemerde kaan Beragama dan Berkeyakinan akan semakin meningkat, mengingat tahun 2013 merupakan tahun yang suhu politiknya cu kup memanas. Dimana di Sumatera Utara terdapat 5 Kabupaten/ Kota yang mengadakan PILKADA.37 Dalam situasi PILKADA, kebiasaan yang muncul Politik Identitas semakin menguat, dan cenderung berdampak muncul nya gesekan – gesekan yang mengarah kepada terjadinya kasus intoleransi. 35 Waspada, 27 Agustus 2012 36 Jurnal Medan, 20 Juni 2012 37 Waspada Online, 26 Januari 2013, “September Pilkada di 5 Kabupaten SUMUT” 38 Hasil Survey Yayasan Pantau dan Cipta Media Bersama, “Persepsi Wartawan Mengenai Agama”
53
6. Ketidak Berpihakan media Dalam Liputan Agama38 Pemberitaan yang disuguhkan media lokal, tidak memiliki prespektif pluralisme, bahkan media membesar-besarkan konflik. Media menjadi corong ormas Islam atas ketidaksetujuan acara, tanpa ada pembelaan ataupun ruang bicara dari umat Khonghucu. Tokoh lintas agama pun tak angkat bicara untuk membela umat Khonghucu melaksanakan kegiatan agamanya. Ini bukti pemer intah belum dapat menjamin kebebasan. Media telah menjadi alat provokasi. Tak berimbangnya lipu tan juga kembali dilakukan media pada umat Budha di Tanjung Balai. Media menelan bulat-bulat ceramah Ustad Syahlan. Dalam ceramah di mesjid, ia menegaskan agar patung Budha Rupang yang berada di atas Vihara Tri Ratna agar diturunkan.39 Ironisnya, pemberitaan yang dimuat bersifat provokator dan jurnalis yang meliput tidak dapat menanggalkan ke-aku-an aga manya ketika liputan, sehingga ia masih menggunakan perspektif agama individualismenya. Padahal seharusnya media berpihak pada ketertindasan, walaupun korban berbeda agama. Selama masa Orde Baru, isu agama jauh dari pemberitaan media. Kalau pun ada hanyalah bersifat seremonial, seperti perin gatan keagamaan, ritual, ceramah, dan sebagainya. Soeharto tak hanya berhasil menekan dan mengendalikan organisasi-organisa si keagamaan, dari partai hingga kelompok keagamaan, tapi juga media. Saat itu semua ruang pemberitaan media di Indonesia men genal apa yang disebut berita SARA (akronim dari suku, agama, ras, dan antargolongan), yang artinya isu-isu yang mesti dihin dari atau tidak diberitakan karena tergolong peka dan rawan. Himbauan untuk tak memberitakan isu SARA juga masuk dalam kode etik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Isu SARA bagi 39 Harian Waspada, 14 Juli 2012
54
pemerintah bisa memicu disintegrasi bangsa. Tapi kejatuhan Soeharto tak membuat media masuk ke da lam pemberitaan agama secara lebih kritis. Padahal begitu ba nyak konflik terjadi: pemboman masjid Istiqlal serta kerusuhan Ketapang, Kupang, dan Maluku. Media tampaknya gamang; tak punya strategi untuk meliput isu-isu agama. Dalam kasus konflik Maluku, misalnya, media mainstream seperti Kompas dan Suara Pembaruan cenderung berhati-hati dan menyembunyikan konflik dengan melakukan swasensor secara berlebihan, sementara Republika yang bersimpati pada Islam cenderung mempertajam konflik. Suara yang keras muncul dari media-media partisan macam Hidayatullah, Media Dakwah, dan Sabili.40 Anehnya, ada juga media yang ikut memperkeruh sua sana, bahkan menjadikan konflik itu untuk mengeruk keuntun gan dengan membuat media atas dasar media di masing-masing wilayah yang berkonflik, Islam maupun Kristen.41 Jika pun ada pemberitaan terkait agama, biasanya di luar agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Sebut saja li putan media mengenai Komunitas Eden, Ahmadiyah, atau aliranaliran keagamaan lainnya. Dan sebagian besar media memberita kan persoalan itu dengan memaknai, melabeli, dan menghakimi, misalnya dengan menyebut mereka sebagai “aliran sesat”. Pem beritaan media soal kelompok yang dianggap sesat secara sepihak bisa berakibat tindak kekerasan sekaligus mematikan kebebasan beragama. Padahal semestinya media menyediakan ruang pub lik, membuka kesempatan seluas-luasnya untuk mendiskusikan 40 Agus Sudibyo, Ibnu Hamad, dan Muhammad Qodari, Kabar-kabar Kebencian, Prasangka Agama di Media Massa, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001. 41 Eriyanto, “Koran, Bisnis, dan Perang” dalam Andreas Harsono dan Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Jakarta: Yayasan Pantau, 2005. 42 Indonesias Religious Violence of Reporters to Tell the Story http://www.nieman.harvard. edu/reports/article/102685/Indonesias-Religious-Violence-The-Reluctance-of-Reporters-toTell-the-Story.aspx
55
persoalan-persoalan itu. Media-media di Indonesia menggunakan kata “bentrok” untuk menjelaskan peristiwa penyerbuan ini.42 Media-media ini juga menggunakan kata “sesat” dan harus “ditobatkan” untuk membenarkan penyerangan dan diskriminasi terhadap Ahmadi yah. Selain itu media juga gemar menyamarkan pelaku dengan sebutan kelompok Islam. Editor Senior Jakarta Post Endy M Bayuni mengatakan tugas media dan wartawan adalah menyajikan cerita nilai suatu agama, bukan menyebarkan agama tertentu, salah satunya penyebab nya adalah tidak adanya pelatihan bagi wartawan. Saat intoler ansi, media menjadi bagian dari tiap masalah yang membangun kehidupan beragama, seharusnya media menjadi solusi. Ketika meliput agama, media melanggar kaidah-kaidah jurnalisme seh ingga sengaja atau tidak sengaja menimbulkan ketegangan antara kelompok beragama.43 Kondisi kekinian juga terjadi di Sumut, dari lima media yang dipantau oleh Aliansi Sumut Bersatu didapati ke-aku-an jurnalis untuk meliput isu SARA. Media tidak boleh berpihak dan harus menyediakan ruang bagi kaum minoritas. Pemberitaan Harian Waspada memberi ruang lebih banyak kepada umat Islam, bias agama jurnalis menimbulkan liputan provokatif.44 7. UPAYA PENYELESAIAN MASALAH a. Partisipasi Masyarakat Sipil Perayaan Natal yang kepanitiaannya umat Muslim pertama kali di Sumatera Utara. Kepanitian silang itu mendapatkan apre siasi dari Walikota Medan, Rahudman Harahap. 43 Bedah Buku Blur karya Bill Kovach dan Tom Rosentiel dan launching hasil survey Yayasan Pantau dan Cipta Media Bersama, “Persepsi Wartawan Mengenai Agama,” Februari 2013 di Pekanbaru. 44 Wawancara dengan Divisi Advokasi dan Kampanye Aliansi Sumut Bersatu, Ferry Wira Padang di kantor ASB, 15 Maret 2013
56
Mahasiswa pun berperan dengan menciptakan rumah belajar pluralisme. Mereka membahas tentang isu-isu pluralisme. Dis kusi di rumah belajar ini terbuka untuk umum. Selain itu cara yang paling baik ditempuh untuk menciptakan pluralisme adalah duduk bersama. Namun hal ini hanya terjadi pada perayaan hari besar keagamaan. Perayaan keagamaan adalah muncul momentum pendukun gan pluralisme. Realitas pluralitas suku, budaya, agama dan ke percayaan, merupakan salah satu modal sosial yang menjadikan warga hidup dalam kebersamaan. Pluralitas memang bukan un tuk dikutuk, apalagi dijadikan sumber untuk meniadakan mereka yang dianggap “berbeda”. Salah satu wilayah geografis yang kerap dijadikan contoh untuk menampilkan wajah Indonesia yang pluralis adalah kota Medan, Sumatera Utara. Kota ini dihuni puluhan suku atau sub etnis seperti Melayu, Batak Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Tionghoa, Jawa, Sunda, Madura, Nias, Tamil dsb. Medan bahkan kerap dijadikan barometer kondusifitas politik nasional. Kondusi fitas politik tersebut minimal tergambar dari soliditas sosial yang terbangun diantara warga yang berbeda tanpa adanya persoalanpersoalan sosial yang berarti. Walau harus juga diakui bahwa potensi konflik yang bersum ber dari realitas pluralitas di Medan, juga di kota-kota lain yang memiliki keberagaman suku dan agama, bukanlah sebuah ilusi. Realitas pluralitas suku, agama dan kepercayaan, merupakan po tensi konflik yang bersifat laten, yang suatu saat bisa menjelma menjadi konflik terbuka. Khususnya jika ada pihak yang sengaja memantik dan memanfaatkan konteks sosial-politik yang mendu kung bagi dikobarkannya konflik tersebut.45 45 Pers dan Upaya Merawat Pluralisme di Sumut http://www.indonesiamediawatch.org/persdan-upaya-merawat-pluralisme-di-sumut/
57
Pendeta EJ Solin S.Th mengatakan berharap agar pemerin tah segera mengevaluasi peraturan SKB Dua Menteri. Per aturan tersebut adalah alasan yang digunakan pemerintah untuk menutup gereja-gereja.46 Bukan hanya pada perayaan hari Natal saja duduk bersama diadakan, saat memperingati Isra’ mihraz, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) mengatakan agar menghindari kegiatan yang bersifat merusuhkan kerukunan, menghindari hidup yang tidak peduli dengan lingkungan sosial, merugikan oranglain, perbutan tidak bermoral dan merusak lingkungan. Seharusnya kegiatan-kegiatan duduk bersama tidak hanya dilakukan saat hari besar keagamaan, namun ia harus menjadi agenda bulanan, untuk menjaga keberagaman. b. Langkah yang Harus Ditempuh 1. Melalui buku laporan pemantauan diharapkan agar pe merintah dapat mendorong penghormatan, mengakui, me lindungi dan memenuhi hak atas kebegaraman sesusi dengan mandat Konstitusi UUD 1945 dan Pancasila. 2. Mendesak pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri (PBM) tahun 2006 tentang ru mah ibadah karena sudah tidak efektif lagi menjembatani konflik-konflik rumah ibadah. 3. Mendesak agar berbagai aturan baik di tingkat pusat mau pun daerah yang diskriminatif atau bahkan melanggar hakhak beragama agar dievaluasi dan bila terbukti melanggar konstitusi agar segera dibatalkan. 4. Meminta agar pengaturan diskriminatif mengenai agama 46 Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) 4 November 2012
58
oleh pemerintah baik pusat maupun daerah harus segera di hentikan karena selain merupakan bentuk intervensi negara terhadap persoalan agama warga negara, berbagai regu lasi tersebut telah meningkatkan ketegangan antar pemeluk agama di daerah. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemen trian Dalam Negeri harus mengambil langkah yang lebih be rani untuk menolak atau membekukan berlakunya peraturan daerah yang diskriminatif ini. 5. Mendesak kepada Pemerintah untuk lebih berani meng hadapi ormas-ormas pelaku kekerasan atas nama agama. Ormas-ormas semacam inilah yang akan terus menyebarkan gagasan dan perilaku intoleransi di tengah masyarakat. Bah kan jika dimungkinkan ada mekanisme peradilan yang fair terhadap Ormas-ormas tersebut guna memberi sanksi terh adap organisasi seperti denda atau pembubaran dan bukan hanya perorangan seperti yang ada selama ini. 6. Pemerintah perlu membuat indikator pertumbuhan di bi dang sosial dan budaya khususnya dalam bidang kebebasan beragama dan toleransi agar pemerintah dapat mengetahui kemajuan atau kemunduran yang tercapai di masyarakat, se hingga dapat menentukan model penyelesaian yang benarbenar efektif. 7. Mendesak kepolisian untuk komitmen menjalankan Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia, termasuk dalam menjamin kebebasan beragama warga Negara. 8. Mendesak kepada ormas-ormas keagamaan moderat mengeluarkan surat edaran kepada pengikutnya untuk tidak melakukan tindak kekerasan kepada kelompok minoritas sembari mendorong dialog-dialog yang produktif memban gun toleransi dan menghormati perbedaan. 59
LAMPIRAN Lampiran I: Peraturan Walikota Medan NOMOR 23 TAHUN 2009 Tentang LARANGAN DAN PENGAWASAN USAHA PE TERNAKAN BERKAKI EMPAT” Lampiran II: PERATURAN DAERAH KABUPATEN SER DANG BERDAGAI NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG WAJIB BELAJAR MEMBACA AL-QUR’AN BAGI PELAJAR BERAGAMA ISLAM. Lampiran III : Rekap Koding Kliping Koran Kemerdekaan Be ragama dan Berkeyakin di Sumatera Utara tahun 2012
60
Lampiran I : PEMERINTAH KOTA MEDAN SEKRETARIAT DAERAH KOTA Jalan Kapten MaulanaLubis No 2 Telepon 4512412 Medan – 20112 PERATURANWALIKOTA MEDAN NOMOR 23 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN DAN PENGAWASAN USAHA PETERNAKAN BERKAKI EMPAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA WALIKOTA MEDAN,
Menimbang: a. bahwa kewenangan pengawasan terhadap tata ruang kota sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan Nomor 4 Tahun 1995 tentang Ren cana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kotamadya Daerah Tingkat II Medan membutuhkan pengaturan lebih lanjut guna mengoptimalkan pelaksanaanya di lapangan; b. bahwa perkembangan Kota Medan yang semakin pesat, seh ingga membutuhkan adanya penataan yang komrehensif guna keselarasan antara lingkungan pemukiman dankegiatan usaha masyarakat; c. bahwa sesuai dengan penataan dan pemetaan yang telah di tuangkan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kota Medan, kegiatan usaha peternakan tidak dibenarkan di wilayah Kota Medan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud 61
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Pera turan Walikota tentang Larangan Dan Pengawasana Usaha Pe ternakan Berkaki Empat; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 8 Drt Tahun 1956 tentang Pemben tukan Daerah Otonom Kota-Kota Besar Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 59, Tambahan Lembaran Nega ra Republik Indonesia Nomor 1092); 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Pe nyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tabahan Lembaran Negara Nomor 3273); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Ta hun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tetang Pembentu kan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Re publik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerin taan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penataan Ru ang (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 62
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1973 tentang Perlu asan Daerah Kotamadya Medan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 28, Tambahan Lembaran Nega ra Republik 3005); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 Tentang Kes ehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik In donesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Pen anggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Re publik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447); 11. Pemerintah Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan Nomor 4 Tahun 1995 tentang RencanaUmum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kotamadya Daerah Tingkat II Medan Tahun 2005 12. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2009 ten tang UrusanPemerintahan Kota Medan (LembaranDaerha Kota Medan Tahun 2009 Nomor 2); 13. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2009 tentang PembentukanOraganisasi dan Tata Kerja Perangkat Derah Kota Medan (Lembaran Daerah Kota Medan Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Medan Nomor 2);
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN WALIKOTA TENTANG LARANGAN DAN PENGAWASAN USAHA PETERNAKAN BERKAKI EMPAT. 63
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Walikotai ni yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kota Medan 2. Walikota adalah Walikota Medan 3. Dinas adalah Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan 4. Pengawasan adalah serangkaian tindakan pejabat berwenang untuk menegakkan peraturan perundang-undangan 5. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntu kan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/ atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian 6. Ternak berkaki empat adalah ternak yang mempunyai jum lah kaki 4 (empat), seperti kambing/domba, babi, sapi/lembu, kerbau, kuda, kelinci, dan rusa 7. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber dayafisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan alat dan mesin peternakan, budidaya ternak, panen, pascapanen, pen gelolaan, pemasaran dan pengusahaannya 8. Usaha peternakan adalah usaha atau kegiatan yang dilaku kan di bidang ternak berkaki empat 9. Peternak adalah orang perseorangan warga negara Indone sia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan 10. Perusahaan peternakan adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukanbadanhukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan skala tertentu 11. Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemol ogis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan meru 64
pakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah 12. Zoonis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya
BAB II MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2 Pemerintah Daerah bermaksud untuk meningkatkan kualitas lingkungan melalui penataan-penataan di wilayah permuki man maupun di luar wilayah permukiman Pasal 3 Pemerintah Daerah bertujuan agar terwujudnya lingkungan permukiman yang layak dan nyaman, bebas dari pencemaran lingkungan
BAB III LARANGAN
Pasal 4 Setiap orang perseorangan atau korporasi baik yang berben tuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dilarang melakukan usaha peternakan di wilayah Kota Medan
BAB IV PENGAWASAN
Pasal 5 Pengawasan atas kepatuhan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 dilakukan oleh Dinas secara berkala dan berkelanjutan. Pasal 6 Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenakan tindakan pengawasan 65
Pasal 7 Tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan dengan mempedomani Pasal 16 Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan Nomor 4 Tahun 1995 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kotama dya Daerah Tingkat II Medan Tahun 2005 Pasal 8 (1) Bentuk tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud da lam Pasal 6 dilakukan dengan cara tindakan penertiban (2) Tindakan penertiban sebagaimana pada ayat (1) dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk dengan Keputusan Walikota.
BAB V KEJADIANLUARBIASA
Pasal 10 (1) Dalam hal terjadinya Zoonosis dan atau Kejadian Luar Bia sa di daerah, dapat dilakukan tindakan pengawasan di wilayah Kota Medan (2) Tindakan pengawasan yang dilakukan sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilakukan tanpa kompensasi
BAB VI KETENTUANPENUTUPAN
Pasal 11 Peraturan Walikota ini dimulai berlaku pada tanggal diundang kan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memer intahkan pengundangan Peraturan Walikota ini dengan pe nempatannya dalam Berita Daerah Kota Medan
66
Ditetapkan di Medan Padatanggal 16 Oktober 2009
WALIKOTA MEDAN, PENJABAT
Drs. H. Rahudman Harahap, MM.
Diundangkan di Medan Padatanggal 16 Oktober 2009 SEKRETARIS DAERAH KOTA MEDAN,
Drs. H. Dzulmi Eldin S, MSi Berita Daerah Kota Medan Tahun 2009 Nomor 22
67
Lampiran II : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BERDAGAI NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG WAJIB BELAJAR MEMBACA AL-QUR’AN BAGI PELAJAR BERAGAMA ISLAM DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI Menimbang : a. Bahwa Al’Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah Sub hanahu Wata’ala kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai salah satu rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta, didalamnnya terkumpul wahyu ilahi yang menjadi dasar hukum, petunjuk, pedoman dan pelajaran serta ibadah bagi orang yang membaca, mempelajari, mengimani, serta mengamalkannya; b. bahwa kemampuan baca Al-Qur’an bagi setiap murid sekolah dasar dan siswa sekolah menengah pertama, serta siswa sekolah menengah atas merupakan bagian dari pendidikan agama Islam yang memiliki arti strategis untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya dalam rangka menanamkan nilai-nilai iman dan taqwa bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya; c. bahwa dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemaha man serta pengalaman Al-Qur’an oleh seluruh lapisan masyarakat, sesuai dengan falsafah tanah bertuah negeri beradat dan mewu judkan masyarakat serdang bedagai yang religius; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud da 68
lam huruf a, huruf b dan huruf c, maak dipandang perlu memben tuk peraturan daerah tentang Wajib Belajar membaca Al-Qur’an Bagi Pelajar Beragama Islam di kabupaten Serdang Bedagai; Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik In donesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3386); 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pen didikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301); 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indo nesia Nomor 4346); 5. Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No mor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No mor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir den gan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pe merintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaraan Negara Republik Indone sia Nomor 4844); 6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 69
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik In donesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Re publik Indonesia Nomor 5234); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Nomor 4396); 9. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri dan Menteri Agama Nomor 128 Tahun 1982 dan Nomor 44 A Tahun 1982 tentang usaha Peningkatan Kemampuan Baca Tulis AlQur’an bagi Umat Islam dalam rangka Penghayatan dan Pengala man Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI dan BUPATI SERDANG BEDAGAI, MEMUTUSKAN Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG WAJIB BELAJAR MEMBACA AL-QUR’AN BAGI PELAJAR BERAGAMA ISLAM DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peratuaran Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. 2. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. 3. Bupati adalah Bupati Serdang Bedagai. 70
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Serdang Bedagai 5. Al-Qur’an adalah Kitab Suci umat Islam yang berisi Wahyu ilahi Allah SWT Yang diturunkan-Nya melalui Nabi Muhammad Rasullullah SAW dengan perantataraan Malaikat Jibril dan mem bacanya menjadi ibadah. 6. Pandai baca huruf Al-Qur’an dengan baik dan bnar adalah ke mampuan seseorang membaca Al-Qur’an dengan fasih sesuai dengan ilmu tajwid. 7. Pelajar adalah murid SD /MI, SMP /Mts, SMA /SMK / MA yang beragama Islam di Kabupaten Serdang Bedagai. 8. Masyarakat adalah masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai. 9. Guru Agama dan Kepala Sekolah adalah Guru Agama Islam dan Kepala Sekolah pada SD /MI, SLTP / Mts dan SLTA /SMK/ MA Se-Kabupaten Serdang Bedagai. 10. Pengawas Pendidikan Agama Islam yang selanjutnya dising kat dengan Pandais adalah Pengawas Pendidikan Agama di Ka bupaten Serdang Bedagai. 11. Dinas Pendidikan adalah Dinas Pendidikan Kabupaten Ser dang Bedagai. 12. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat dengan PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkun gan Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai yang dising kat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 13. Kewajiban adalah hak dan tanggungjawab semua komponen daerah Kabupaten Serdang Bedagai.
BAB II MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2 (1) Maksud wajib belajar membaca Al-Qur’an bagi pelajar SD/ 71
MI, SMP/MTS, SMA/SMK/MA, yang beragama Islam adalah untuk mampu membaca Al-Qur’an secara baik dan benar. (2) Tujuan wajib belajar membaca Al-Qur’an adalah untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya dalam rangka me nanamkan nilai-nilai iman dan taqwa bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya di Kabupaten Serdang Bedagai.
BAB III KEWAJIBAN DAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN
Pasal 3 (1) Setiap Pelajar SD/MI, SMP/MTS, SMA/SMK/MA, yang be ragama Islam wajib belajar membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. (2) Wajib belajar membaca Al-qur’an dengan baik dan benar se bagaimana dimaksud ayat (1) dengan klasifikasi : a. tingkat SD/MI minimal Juz Amma; b. tingkat SMP/MTS minimal 10 Juz; c. tingkat SMA/SMK/MA sebanyak 30 Juz. Pasal 4 (1) Setiap Sekolah mulai dari SD/MI, SMP/MTS, SMA/SMK/ MA agar mengintergrasikan pelajaran membaca Al-qur’an ke da lam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. (2) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Sekolah agar mewajibkan kepada setiap pelajar yang belum pan dai membaca Al-qur’an untuk belajar membaca Al-qur’an di Ma drasah Diniyah Awaliyah (MDA), Taman Pendidikan Al-qur’an (TPQ), ruamh, mesjid, musholla/langgar dan sebagainya. (3) Kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat serta orang tua pelajar agar, mendukung, membantu, memotivasi kelancaran be lajar mengajar sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 72
Pasal 5 (1) Proses belajar mengajar secara operasional tanggungjawab guru agama Islam/guru pendidikan agama di Madrasah atau Pen gawas Pendidikan Agama Islam. (2) Penilaian terhadap wajib belajar membaca Al-qur’an dititik beratkan pada kemampuan membaca Al-qur,an dengan baik dan benar sesuai dengan tingkat pendidikannya. Pasal 6 (1) Hasil penilaian pendidikan wajib belajar membaca Al-qur’an sebagaimana dimaksud pada Pasal 5, diberikan pada akhir ta hun pendidikan kepada setiap pelajar SD/MI, SMP/MTS, SMA/ SMK/MA, setelah dilaksanakan pengujian/evaluasi oleh satuan pendidikan yang bersangkutan berupa sertifikat dengan kategori A, B, C dan D. (2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikeluarkan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan rekomendasi yang diusulkan dari Sekolah yang bersangkutan dan Pengawas Pendidikan Agama Islam.
BAB IV SANKSI
Pasal 7 (1) Bagi setiap tamatan SD/MI, SMP/MTS, SMP/MTS yang akan melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan berikut nya, ternyata tidak mampu membaca Al-qur’an dengan baik dan benar tetap diterima sesuai dengan tingkat sertifikat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1). (2) Bagi setiap tamatan SD/MI dan SMP/MTS yang akan melan jutkan pendidikan pada jenjang pendidikan berikutnya, ternyata tidak mampu membaca Al-qur’an dengan baik dan benar atau tidak memiliki sertifikat wajib membuat pernyataan kesanggu 73
pan yang disaksikan oleh orang tua/wali murid untuk mengikuti program khusus belajar membaca huruf Al-qur’an, baik yang di adakan di sekolah tersebut atau tempat lain hingga dapat mem baca Al-qur’an dengan baik dan benar dalam tenggang waktu 6 bulan. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, pelajar yang bersangkutan belum mengikuti program khusus belajar baca Al-qur’an atau memiliki sertifikat, maka sekolah akan melakukan tindakan : a. Membuat surat teguran pertama; b. Membuat surat teguran kedua; c. Membuat surat teguran ketiga. (4) Apabila teguran ketiga sebagaimana dimaksud ayat (3) hu ruf c tidak diindahkan maka kepada yang bersangkutan di kena kan sanksi sesuai dengan perjanjian yang telah dinyatakan seba gaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini. (5) Tatacara pemberian dan bentuk teguran serta bentuk surat per janjian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 8 (1) Apabila Sertifikat yang dikeluarkan berdasarkan rekomendasi dari sekolah dan Pegawas Pendidikan Agama Islam sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) ternyata mengandung kepalsuan, maka kepada yang memberikan rekomendasi dapat dikenakan sanksi. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud ayat (1) bagi Pegawai Negeri Sipil dapat dikenakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 atau Peraturan Disiplin lainnya yang berlaku.
BAB V PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 9 (1) Orang tua berperan aktif dalam membimbing anaknya belajar 74
membaca Al-qur’an, bila tidak mampu wajib menitipkannya pada lembaga Pendidikan agama (TPQ/MDA). (2) Orang tua dan masyarakat mengawasi putra/putri nya untuk belajar membaca Al-qur’an setelah sholat magrib. Pasal 10 Orang tua dan masyarakat turut serta memberi dan menggalang dana dalam pelaksanaan wajib belajar membaca Al-qur’an.
BAB VI PEMBIAYAAN
Pasal 11 Pembiayaan untuk pelaksanaan pendidikan wajib belajar mem baca huruf Al-qur’an dibebankan pada anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, kepada orang tua pelajar, masyarakat dan ban tuan lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB VII PENGAWASAN
Pasal 12 Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilaku kan oleh Bupati dan atau Pejabat lain yang ditunjuk.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13 Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang ber agama islam, sehat jasmani dan rohani yang berdomisili di Daer ah Kabupaten Serdang Bedagai. Pasal 14 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini Peraturan Daerah No mor 15 Tahun 2009 tetap berlaku. 75
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15 (1) Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepa njang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. (2) Peraturan Daerah ini berlaku efektif pada tahun ajaran 2014/2015. Agar setiap orang dapat mengetahui memerintahkan pengundan gan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lemba ran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.
76
Lampiran III :
77
Lampiran IV REKAP KODING TAHUN 2012 REKAPKODINGTAHUN2012 No
ͳ
Tanggal Berita
ͳͳǦ Ǧͳʹ
KategoriBerita
JudulBerita
ʹ
Ǧ Ǧͳʹ
ȋ Ǧ Ȍ
͵
Ǧ Ǧͳʹ
Ͷ
ͳʹǦ Ǧͳʹ
ǣ Ǧ
ͷ
ͳ͵Ǧ Ǧͳʹ
ͳǦ Ǧͳʹ
ͳǦ Ǧͳʹ
ͺ
78
͵Ǧ Ǧͳʹ
Deskripsi
Ǥ Ǥ Ǥ Ǧ Ǥ Ǥ
ǡ
Ǥ
Ǥ ʹͶ ǡ Ǥ
Ǧ Ǥ ǦǤʹͲͳʹ Ǧ Ǥ ǡ Ǧ Ǥ ȋȌ ǡ ̶ ̶Ǥ ǦǦ
ǡ ȀȋȌ Ǥ
ǡ Ǥ
ǡ
ǡǤ
Waktu
Lokasi
ͳͳǦ Ǧ ͳʹ
Ǧ Ǧͳʹ
ͷǦ Ǧͳʹ
ͳͳǦ Ǧ ͳʹ
ͳ͵Ǧ Ǧ ͳʹ
ʹͻǦ Ǧ ͳʹ
ʹͺǦ Ǧ ͳʹ
ʹͻǦ Ǧ ͳʹ
ͳͲǦ Ǧ ͳʹ
ͳͲ
͵Ǧ Ǧͳʹ
ͳͳ
ͳ͵Ǧ Ǧ ͳʹ
ǡ
ʹ ǣ
ͻ
ͳʹ
ͳǦ Ǧ ͳʹ
ͳ͵
ͳǦ Ǧ ͳʹ
ͳͶ
ͳǦ Ǧ ͳʹ
ͳͷ
ʹͶǦ Ǧ ͳʹ
ǣ
Ǥ Ǥ
Ǥ ȋǦȌ ͳ͵͵Ǥ Ǧ Ǥ ǡ
Ǥ Ǥ ǡǡ Ǥǡ ǡ ǡ Ǧǡ ǡ
ǡ Ǧǡ͵ǡ ǡ
ǡ Ǥ Ǥ
ǡ
Ǥ Ǥ ʹͲͳʹǡ ̶̶ Ǧ Ǥ
ǡ ǡ Ǥ Ǥ Ǧ ǡ Ǥ
ͳͲǦ Ǧ ͳʹ
ǡ
͵ͲǦ Ǧ ͳʹ
ͳʹǦ Ǧ ͳʹ
ͳǦ Ǧ ͳʹ
ͳͷǦ Ǧ ͳʹ
ͳǦ Ǧ ͳʹ
79
ͳ
ͳ
ͳͺ
ʹͺǦ Ǧ ͳʹ
ʹǦǦͳʹ
ǦǦͳʹ
ͳͻ
ǦǦͳʹ
ʹͲ
ͳʹǦǦ ͳʹ
ǣ
̶ ̶
ʹͳ
ͳͶǦǦ ͳʹ
ʹʹ
ʹǦǦͳʹ
ʹ͵
͵ǦǦͳʹ
80
Ǥ ǡ ǡ Ǥ
ǡ Ǥ Ǧ ǡ
Ǥ Ǥ Ǥ
ͳͶ͵͵ ǡ ǡ Ǥ
ʹǦ Ǧ ͳʹ
ͳǦǦͳʹ
͵Ǧ Ǧͳʹ
ʹǦ Ǧͳʹ
ͻǦǦͳʹ
Ǥǡ Ȁǡ ǡ Ǥ Ǥ ͲͺͶȀǤͲ͵Ǧ ȀȀ ȀʹͲͳʹͻ ʹͲͳʹǤ ǡ ȋǡ ǡ
Ȍ ǡǡǡ ǡ
Ǥ ǡ Ǥ
Ǥ Ǥǡ Ǥ
Ǥ
ͻǦǦͳʹ
ͳǦǦͳʹ
ʹǦǦͳʹ
ʹͶ
ͳʹǦǦ ͳʹ
ȋȌ
ǡ
ʹͷ
ͳͷǦǦ ͳʹ
Ǥ
ʹ
ͳǦǦ ͳʹ
ȋ Ȍ
ʹ
ǦǦͳʹ
Ȁ
ʹͺ
ͳͳǦǦ ͳʹ
ʹͻ
ͳʹǦǦ ͳʹ
α
ǡ
͵Ͳ
ͳͶǦǦ ͳʹ
͵ͳ
ͳͷǦǦ ͳʹ
ǡ Ǥ Ǥ ȋ Ȍ
ǡ
ǡ ǡ Ǥ ȋȌ Ǥǡʹ͵ ʹͲͲͻ Ǥ
Ǧ Ǥ ǡǤ ȋ Ȍ ǡ ǡǡ Ǥ ǡ ǡ ǡ ǡǡ ǡǡ Ǥ
Ȁ
ʹͲͳ͵Ǥ ǡ ǡ Ǥ Ǥ ǡǡ
ǡǤ
ȋȌ Ǥ Ǥ Ǥ Ǧ ǡǡ Ǥ
ͻǦǦͳʹ
ͻǦǦͳʹ
ͳǦǦ ͳʹ
ʹǦǦͳʹ
ͻǦǦͳʹ
ͺǦǦͳʹ
ͳʹǦǦ ͳʹ
ͳͳǦǦ ͳʹ
81
͵ʹ
ͳͷǦǦ ͳʹ
͵͵
ǡͳ ʹͲͳʹ
ǡ
͵Ͷ
ͳǦǦ ͳʹ
Ȁ
͵ͷ
ͳǦǦ ͳʹ
Ǥ
͵
ʹͳǦǦ ͳʹ
͵
ʹʹǦǦ ͳʹ
͵ͺ
ʹͶǦǦ ͳʹ
͵ͻ
ʹͻǦǦ ͳʹ
ͶͲ
ͳǦǦ ͳʹ
82
Ǥǡ ǡ Ǧ
ǦǤ Ǥ
ͳͶǤͲͲ Ǥ Ǥ ǡ Ǥ Ǧ Ǥ Ǥ Ǧ ǡ Ǥ Ǥ
ȀǤ Ǥ
Ǥ
ǡ
Ǥ
ǡǦ Ǥ Ǥ Ǥ Ǧ Ǥ ǡ
Ǥǡ Ǧ Ǥ Ǥ
ͳ͵ǦǦ ͳʹ
ǡ ͳͷ ʹͲͳʹ
ͳǦǦ ͳʹ
ǡ
ͳǦǦ ͳʹ
ͳͺǦǦ ͳʹ
ʹʹǦǦ ͳʹ
ʹ͵ǦǦ ͳʹ
ʹͺǦǦ ͳʹ
ͳǦǦ ͳʹ
Ǧ
Ͷͳ
ͳͺǦǦ ͳʹ
Ͷʹ
Ͳͻ ʹͲͳʹ
Ͷ͵
ͳͲ ʹͲͳʹ
ǡ
ͶͶ
ͳͳǦǦ ͳ͵
Ͷͷ
ͳʹǦǦ ͳ͵
Ͷ
ǡͳ͵ ʹͲͳʹ
Ͷ
ǡʹͲ
Ͷͺ
ǡʹ ʹͲͳʹ
α
Ͷͻ
ͳǦǦ ͳʹ
ȋȌ
ͳͲ ǡ ̶̶
ǣ
ͷͲ
ʹͲǦǦ ͳʹ
Ǧ
ͳͻͶͷǤ ǦǤ ǡ ǡ Ǧ Ǥ Ͷ Ǥ ǡǡ ǡ Ǥǡ Ǥ ǡ
ǡǤ Ǧ ȋʹͷȌǡ ȋͳͺȌǡ ȋʹͲȌǡȋʹͷȌǡȋʹʹȌǡ ȋʹͷȌǤ
ȋȌǤ ǡ ͳ
Ǥ Ǥ ǤͺͻʹͲͲǤ ǡǡ Ǥ ȋȌ Ǥ Ǥ Ǥ Ǥ ǡǡ
Ǥ ǡǡǦ Ǥǡ ǡǤ
Ǥǡ Ǥ
ͳǦǦ ͳʹ
ǡ ͷ ʹͲͳʹ
ǡͻ ʹͲͳʹ
ǡͲͻ ʹͲͳʹ
ǡ ͳͲ ʹͲͳʹ
ǡ ͳͲ ʹͲͳʹ
ǡ ͳ ʹͲͳʹ
ǡ ʹͶ ʹͲͳʹ
ͳʹǦǦ ͳʹ
ͳͺǦǦ ͳʹ
83
ͷͳ
ʹͷǦǦ ͳʹ
ȋ
ͷʹ
ʹͺǦǦ ͳʹ
ǣ
ͷ͵
ͳǦǦ ͳʹ
ͳͲ
ͷͶ
ͳǦǦͳʹ
ǡ
ͷͷ
ͻǦǦͳʹ
ȋȌ
ͷ
ͳͳǦǦ ͳʹ
ȋȌ
ͷ
ʹͷǦǦ ͳʹ
ͷͺ
ʹǦǦ ͳʹ
ȋ
Ȍ
ͷͻ
ʹǦǦ ͳʹ
84
Ǥ ʹͲͳʹǤ
ȋ Ȍ
ǡ ǡ
Ǥ ͳͲ Ǥ Ǥ ǡ ǡ ǡǦ ǡ ǡ Ǥ
ǡ Ǥ Ǥ Ǧǡǡ ǡ ǡ ͲʹǤͲͲ ǤǤǤ ͺʹͲͲͶ Ǥ ǡ
ȋǦȌǤ
ʹʹǦ ʹ ʹͲͳʹǤ ǡ Ǥ ǡ Ǥ Ǥ
ʹͶǦǦ ͳʹ
ʹͷǦǦ ͳʹ
ͳͶǦǦ ͳʹ
ʹǦǦ ͳʹ
ͺǦǦͳʹ
ͻǦǦͳʹ
ʹͶǦǦ ͳʹ
ʹͷǦǦ ͳʹ
ʹǦǦ ͳʹ
Ͳ
ͳͳǦǦ ͳʹ
ʹ
ͳ
ͳͶǦǦ ͳʹ
ʹ
ͳͷǦǦ ͳʹ
͵
ʹǦǦ ͳʹ
ʹ
Ͷ
ͷ
ʹͺǦǦ ͳʹ
ʹ
͵ͲǦǦ ͳʹ
ʹͲǦ Ǧͳʹ
͵ͲǦ Ǧͳʹ
ʹ
ǡ
ǣ ͳͻͶͷ
Ǧ
ͳ
ǡ Ǥ ʹ
ǡ Ǥ
ͳͲǦǦ ͳʹ
Ǥ ǡ ǡ ǡ
Ǥ
ͳͳǦǦ ͳʹ
Ǥ
ͳͶǦǦ ͳʹ
Ǥ
ʹͷǦǦ ͳʹ
ͳͻͶͷ
ǦǤ ǡ Ǥ
ʹͷǦǦ ͳʹ
Ǥ
ǡǤ
ʹͳǦǦ ͳʹ
ͳͻǦ Ǧ ͳʹ
ʹͺǦ Ǧ ͳʹ
ǡ Ǥ Ǥ Ǥ ǡ
85
ͺ
ͻ
ʹǦ Ǧͳʹ
ͺǦ Ǧͳʹ
ǡ
Ǧ Ǧͳʹ
ȋȌ
ʹͺ
Ǧ Ǧͳʹ
ʹ
ͳ͵Ǧ Ǧͳʹ
ȋ
Ȍ
͵
ͳǦ Ǧͳʹ
Ͷ
ǡͳͶ
ʹͲͳʹ
ȋ ǤȌ
ͷ
ǡͳͺ
ʹͲͳʹ
ȋ Ȍ
ǡͶ
ʹͲͳʹ
Ͳ
ͳ
86
Ǥ Ǥ͵Ͳ ǡǤ
̵̵ǡ ǡǡ ǡ ǡǡ Ǥ Ǥ Ǧ Ǥ Ǥ Ǥ
ʹͶ
ǡ
Ǥ Ǧ ǡǦ ǡǦ Ǥ
ǡ ǡ ǡ
Ǥ Ǥ Ǥ
Ǥ ǦǤ Ǧ Ǥ Ǥ
ͳǦ Ǧͳʹ
Ǧ Ǧͳʹ
ͳǦ Ǧͳʹ
Ǧ Ǧͳʹ
ͳʹǦ Ǧ ͳʹ
ͳͷǦ Ǧ ͳʹ
ǡͳ͵
ʹͲͳʹ
ǡ
ǡͳ ʹͲͳʹ
ǡʹͻ
ʹͲͳʹ
ǡͳͳ
ʹͲͳʹ
ͺ
ǡͳʹ
ʹͲͳʹ
ͻ
ǡʹ͵
ʹͲͳʹ
ȋ Ȍ
ͺͲ
ǡʹ͵
ʹͲͳʹ
ǣ
ȋ Ȍ
ͺͳ
ͺʹ
ͺ͵
ǡ͵Ͳ
ʹͲͳʹ
ͺ ʹͲͳʹ
ͳʹ
Ͷǡ
ȋȌ
Ǧ Ǥ
ǡǡǦ Ǥ Ǧ Ǥ Ǥ ǡ Ǥ ͵Ǥ ǡ Ǥ Ǥ
Ǧǡ
Ǥ Ǧ Ǧ Ǥ Ǥ ȋ Ȍ ǡ ǤǤͳͷͳ Ǥ Ǧ Ǥ ǡ ȋȌ Ͷǡ Ǥ ȋ Ȍ
Ǥ
ǡ ͳͲ ʹͲͳʹ
ǡ ͳͳ ʹͲͳʹ
ͳ
ǡʹͳ
ʹͲͳʹ
ǡʹͲ
ʹͲͳʹ
ʹͲͳʹ
87
ͺͶ
ͻ ͳʹ
ͺͷ
ͻ ͳʹ
ͺ
ʹ ͳʹ
ȋ Ȍ
ͺ
ͳͶǦǦ ͳʹ
ȋ Ȍ
ͺͺ
ʹǦǦ ͳʹ
ͺͻ
ʹͺ ͳʹ
ͻͲ
ʹͻ ͳʹ
ͻͳ
ǡ͵ ʹ Ͳͳʹ
88
ǡ ǡ Ǥ ǡ ǡ Ǥ Ǧ̵ǡ Ǥ Ǧ̵ ͳͶ͵͵ Ǥ
ǡ ǡ Ǥ
ǡ ǡ Ǥ ǡ
Ǥ ǣ
Ǥ
Ǥ
ǡ ǡ
Ǥ
ȋ ȌǤǤ Ǥ Ǥ ǡ ǡ ǡ̶ ̶
Ǥ Ǥ Ǥǡ ǡ
Ǥǡ ʹǡ Ǥ ǡ Ǥ
Ǥ
ͳʹ
ͳʹ
ʹ ͳʹ
ͳ͵ ͳʹ
ͳǦǦ ͳʹ
ʹ ͳʹ
ʹͺ ͳʹ
ǡʹ ʹͲͳʹ
ͻʹ
ǡ ʹͲͳʹ
ͻ͵
ǡͺ ʹͲͳʹ
ͻͶ
ǡͻ ʹͲͳʹ
ǡ
ͻͷ
ͳͷǦǦ ͳʹ
ͻ
ʹʹǦǦ ͳʹ
ǣ
ͻ
ͳͳʹ
ͻͺ
͵ͳʹ
ͻͻ
ͳǦǦͳʹ
ͳǦǦͳʹ
Ǥ
ͳͲͲ
Ǥ
Ǥ
Ǥ Ǥ ͵Ͳ ȋȌ Ǥ Ǧ Ǥ Ǥ ͳ͵ͻ Ǥ Ǥ Ǥ Ǥ ͳͶ͵͵ Ǥ ǦǤ
ǡ Ǥ Ǥ
ǡ Ǥ Ǥ ǡ
ǡǡ Ǥ ǡ Ǥ
ͳʹ ʹ ȋ ȌǤ Ǧ Ǥ
ǡ ʹͲͳʹ
ǡ͵ ʹͲͳʹ
ǡͺ ʹͲͳʹ
ͳͳǦǦ ͳʹ
ͳͻǦǦ ͳʹ
ʹ ͳʹ
ʹ ͳʹ
͵ͳ ʹͲͳʹ
͵ͳ ʹͲͳʹ
89
ͳͲͳ
ͳͲʹ
ͳͲ͵
ǦǦͳʹ
ǦǦͳʹ
ͺǦǦͳʹ
ͳͲͶ ͳʹǦǦͳʹ
Ǧ Ǧ
ͳͲͷ ʹͷǦǦͳʹ
ͳͲ
ͷǦǦͳʹ
ͳͲ ͳ͵ǦǦͳʹ ͳͲͺ ͳͷǦǦͳʹ ͳͲͻ ͳͷǦǦͳʹ
90
Ǧ
ǡ Ǥ Ǥ
ͷǦǦͳʹ
ǦǦͳʹ
ǦǦͳʹ
ͳͳǦǦ ͳʹ
ʹͳǦǦ ͳʹ
͵ǦǦͳʹ
ǡ Ǥ
ͻǦǦͳʹ
ʹǡ Ǥ
ͳ͵ǦǦ ͳʹ
ͳͶǦǦ ͳʹ
ǡǡ
Ǥ
Ǥ Ǥ ̶ ǡǡ Ǥ
Ǥ Ǥ
Ǥ Ǥ
Ǥ ǡ ǤͶͳʹͲͲͶ Ǥ
ǡ Ǧ Ǥ Ǧ Ǥ Ǥ
Ǥ Ǧ
Ǥ
ͳͳͲ ͳͻǦǦͳʹ
ͳͳͳ ͳͻǦǦͳʹ
ͳͳʹ ʹͳǦǦͳʹ
ǡ
ͳͳ͵ ʹͺǦǦͳʹ
ͳͳͶ
ͷǦǦͳʹ
ͳͳͷ
ǦǦͳʹ
ȋȌ
ͳͳ
͵ǦǦͳʹ
ͳͳ ͳǦǦͳʹ
ǡ ͲʹͲͶ
ǡ ǡ
Ǥ Ǥ ʹ Ǥ ǡ Ǥ
ǡ
Ǥǡǡ
ǡ
ǡǤ Ǥ ȋ ȌǦ
Ǥ Ǥ
Ǥ ǡ
Ǥ ǡ ǡͲʹͲͶȀ Ǥ ʹ ǡǤ ǡ ȋȌ ǡ
ǡ
ǡ ͳͶ͵͵Ǥ
ͳͷǦǦ ͳʹ
ͳͺǦǦ ͳʹ
ʹ͵ǦǦ ͳʹ
ͶǦǦͳʹ
ǦǦͳʹ
ͷǦǦͳʹ
91
ͳͳͺ ͳǦǦͳʹ
ͳͳͻ
ͷǦ
Ǧͳʹ
ȋ Ȍ
ͳʹͲ
ͺ ʹͲͳʹ
ͳʹͳ
ͳǦ
Ǧͳʹ
ͳʹʹ
͵Ǧ
Ǧͳʹ
ͳʹ͵
ͳʹǦ
Ǧͳʹ
ͳʹͶ
ʹ͵ͳʹ
ͳʹͷ
ǦǦͳʹ
ͳʹ
ʹͳǦǦ ͳʹ
92
ǡ Ȁ
Ǥ Ǥ ǡ Ȁ Ǥ Ȁ Ǥ ǡǡ ǡǡǡ ǡ ȋȌ
Ǥ ǡǡ Ǥ Ǧ Ǥ ǡ Ǥ ȋ Ȍǡ ǡ Ǥ Ǧ ǡ ǡ Ǥ Ǧ Ǥ Ǥ ǡ
Ǥ Ͷ Ǥ Ǧ ǡ Ȁ Ǧ Ǥ Ǥ Ǥ ʹ Ǥ Ǥ
ͳͶǦǦ ͳʹ
ͷǦ
Ǧͳʹ
ͺǦ
Ǧͳʹ
ʹǦǦ ͳʹ
ʹǦ
Ǧͳʹ
ͳͲǦ
Ǧ ͳʹ
ͳͳʹ
ͶǦǦͳʹ
ͳʹ
ͳʹͺ
ͳʹͻ
ͳ͵Ͳ
ͶǦǦͳʹ
ͳͺǦǦ ͳʹ
ʹ
ǡ
ͳͻͶͷ
ʹʹǦǦ ͳʹ
ʹͳʹ
Ǧ ǡ
ͳ͵ͳ
ͳͳʹ
ͷͲͲͲ
ͳ͵ʹ
ͳͳʹ
ʹͲͳʹ
ͳ͵͵
Ǥ͵ ʹͲͳʹ
ǣ
ͳ͵Ͷ
Ͷ ʹͲͳʹ
ͳ͵ͷ
ǡͺ ʹͲͳʹ
Ǥ
ͳͻͶͷǡ
ǡ Ǥ ǡ ǦǤ Ǥ Ǥ Ǧ ǡ
ǡǤ ǡ Ǥ ͳͶ͵Ͷ ʹͲͳʹ
Ǥ Ȁ Ǥ ǡ Ǥ
ͻ
ȋȌ ͲͲ͵͵ ȋȌ Ǥ ǦǤ
ʹͲͳʹ Ǧ
Ǥ
͵Ͳ ͳʹ
ǦǦͳʹ
ʹͳǦǦ ͳʹ
ʹͻǦ
Ǧ ͳʹ
ͳͷ ͳʹ
ͳ͵ ͳʹ
ǡ ʹ ʹͲͳʹ
ǡ
͵ͳʹ
ǡ
ǡ ͻ ʹͲͳʹ
93
Profil Penulis Veryanto Sitohang saat ini men jadi Pendiri dan Direktur Eksekutif di Aliansi Sumut Bersatu. Memiliki pengalaman dalam melakukan pe mantauan dan advokasi kasus-kasus intoleransi dan aktif memberikan pendidikan pluralisme dan perda maian untuk anak-anak muda lintas agama, aktivis mahasiswa dan ak tivis muda di NGO. Selain itu ser ing diminta menjadi Fasilitator dan Narasumber yang berkaitan dengan materi pengembangan organisasi dan masyarakat, pluralisme, gender, seksualitas dan berbagai issu Hak Azasi Manusia lainnya. Menjadi Aktivis sejak tahun 2000 dengan melakukan berbagai program di tingkat akar rumput untuk penguatan perempuan dan anak. Menjadi anggota dan coordinator Tim Peneliti dalam bebera pa materi penelitian seperti: Posisi Perempuan dalam Adat Pakpak (2003), Realitas Parmalim dalam Negara Bhinneka Tunggal Ika di Kota Medan (2010) dan Kebijakan Diskriminatif di Sumatera Utara (2012). Selain itu, juga telah menghasilkan bebrapa karya buku yang telah dipublikasikan seperti: From Ghost Hospital to a Loving One, Biographi dr. Ria. N. Telaumbanua (Editor J. Anto & Veryanto Sito hang) – 2008, Aliansi Sumut Bersatu 5 Tahun Merawat Pluralisme (Veryanto Sitohang, Jenny Solin & Editor J.Anto) - 2011, Potret Ke merdekaan Beragama / Berkeyakinan di Sumatera Utara, Laporan Pemantauan Aliansi Sumut Bersatu tahun 2011 (Veryanto Sitohang, Ferry Wira Padang, Hartoyo dan Pemilianna Pardede) – 2012. Beberapa artikel pernah di muat di Harian Analisa dan Jurnal misalnya: Terobosan Hukum dalam Menangani Kekerasan Terhadap 94
Perempuan dalam Institusi Gereja dalam Pengetahuan dari Perem puan prosiding Konfrensi Tentang Hukum dan Penghukuman oleh Komnas Perempuan dan Pusat Studi Kajian wanita Program Pas casarjana Universitas Indonesia – 2010 dan Jalan Panjang Pemenu han Hak Atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Jurnal Maarif dengan Thema: Negara, Agama dan Perlindungan Hak-Hak Minoritas terbitan Maarif Institut Jakarta – 2012. Veryanto Sitohang lahir dan tinggal di Sidikalang Kabupaten Dairi Sumatera Utara, 17 April 1978. Novita Sari Simamora, Menyu kai semangka dan mie hun, sejak ku liah aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kreatif Unimed, dari Oktober 2007 hingga Oktober 2011. Setelah meraih gelar sarjana di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Unimed. Setelah bekerja setahun di Harian Jurnal Me dan, saya mendapatkan workshop “Leadership of Reporting Economic Development” dari Asia Pacific Jour nalism Centre (APJC) Melbourne, Australia, Oktober-November 2012. Bagi saya Indonesia itu ibarat bakwan. Ia takkan jadi bakwan yang nyummy bila tak ada kol, wor tel, toge, tepung, udang, kuali dan api. Setelah melakukan liputan keberagaman beragama untuk wilayah Aceh, Sumut, Riau dan Pa dang, api tersebut semakin banyak. Bisa gosong dong, kalau terlalu banyak api! Dimana bakwan yang nyummy?? Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan ASB untuk terli bat dalam pembuatan buku ini. Buat Kak Ira terima kasih atas waktu diskusi sampai larut. Silahkan berbagi cerita dengan saya lewat twit @NoviSimamora dan email
[email protected]. 95
Ferry Wira Padang, lahir di Sukaramai tanggal 5 Agustu 1982. Mengenal dan Belajar aktivis sejak tahun 2003, bergabung dengan NGO local di Sumatera Utara untuk pen guatan perempuan dan anak. Kes empatan belajar memberikan pen galaman yang sangat berharga secara khusus untuk peningkatan kapasitas dalam memberikan penguatan bagi masyarakat akar rumput. Pengalaman ini memberikan dorongan untuk bela jar isu yang lain, sehingga pada tahun 2006 berpartisipasi sebagai pendiri dan anggota Aliansi Sumut Bersatu (ASB). Selama di ASB, tahun 2010 menjadi anggota team peneliti “Re alitas Parmalim dalam Negara Bhinneka Tunggal Ika di Kota Me dan”, “Pengalaman Korban Intoleransi Umat Beragama di Sumat era Utara tahun 2011”, dan “Kebijakan Diskriminatif di Sumatera Utara tahun2012. Selain penelitian, tahun 2009 – 2011 pelaksana pemantauan dari 5 media lokal SUMUT dan Aceh untuk kehidupan beragama, yang dilakukan oleh Center for Religious & Cross-cul tural Studies (CRCS) UGM. Pengalaman pemantauan tersebut di jadikan modal dalam penulisan buku “Potret Kehidupan Beragama/ Berkeyakinan di Sumatera Utara” Laporan Pemantauan ASB tahun 2011, bersama 3 penulis lainnya : Hartoyo, Pemilianna Pardede dan Veryanto Sitohang”. Hingga saat ini, penulis tetap dipercaya sebagai Koordinaotr Divisi Advokas dan Kampanye.
96