TOLERANSI BERAGAMA DI DAERAH RAWAN KONFLIK
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta, 2016 Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
i
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik Ed. 1, Cet. 1.— Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2016 xviii + 147 hlm; 15 x 21 cm. ISBN : 978-602-8739-67-2
Hak cipta pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, April 2016 Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik Editor: Drs. H. Ahsanul Khalikin, MA & Fathuri, S.Sos.I Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE
Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No. 6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421 http://www.puslitbang1.kemenag.go.id
ii
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Dengan rahmad dan hidayah-Nya buku “Toleransi Beragama di Berbagai Daerah Rawan Konflik” dapat diselesaikan dengan baik. Dalam buku ini dijelaskan berdasarkan beberapa temuan terungkap bahwa: 1) Toleransi dan intoleransi tidak lepas dari faktor internal dan eksternal umat beragama. Internal adalah tokoh agama, materi penyiaran agama, dan lembaga keagamaan. Ketika ketiga komponen ini sepakat untuk bersama-sama membangun toleransi, maka ia menjadi motor bagi toleransi. 2) Ketika warga setempat mendukung toleransi, tetapi ada pihak luar yang masuk dan mempengaruhi agar bertindak intoleran dan diafirmasi oleh warga, maka toleransi bisa berganti intoleransi. 3) Posisi pemerintah sebagai penjaga dan pelayan masyarakat menjadi penggerak dari kerukunan. Posisinya yang sesungguhnya harus netral di antara berbagai kelompok keagamaan merupakan penentu arah interaksi masyarakat. 4) Penggambaran media yang tidak sesuai fakta seringkali menimbulkan salah paham dan salah aksi di antara kelompok keagamaan. Media yang jujur dan netral merupakan aktor toleransi yang penting. 5) Serta 5) Ruang-ruang publik yang menghilangkan sekat kesukuan dan keagamaan menjadi pintu membangun Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
iii
kebersamaan. Serta lembaga-lembaga pendidikan yang bersinergi dengan lembaga pendidikan dari agama lain, atau di dalamnya memuat dan mengajarkan nilai toleransi adalah teladan yang baik di dalam menjaga kebersamaan antar agama. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada para peneliti, narasumber, informan dan semua yang terlibat yang telah banyak membantu terlaksananya penyusunan buku ini dengan baik. Semoga buku ini dapat berguna untuk menyusun langkah kebijakan di masa yang akan datang, dan masyarakat dapat belajar dari apa yang dapat ditemukan dalam buku ini. Jakarta, September 2016 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
H. Muharam Marzuki, Ph.D
iv
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
KATA SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT Kita meyakini bahwa toleransi antar umat beragama adalah salah satu pondasi Negara Indonesia. Toleransi dikatakan sebagai alasan sekaligus sebab terbentuknya Negara Indonesia ini. Keanekaragaman budaya dan agama kita yakini bersama menjadi tali penyambung yang merekatkan bangsa ini, yang sudah seharusnya kita jaga bersama. Hanya saja jika melihat dan membaca berita di berbagai media massa seringkali wajah intoleran yang kerap muncul dan diulang-ulang disajikan. Pemberitaan ini memberi kesan sepertinya masyarakat Indonesia sudah tak lagi saling menjaga kerukunan dan perdamaian. Padahal jika kita keliling berbagai wilayah Indonesia, maka akan sangat banyak ditemukan wajah toleran yang ditunjukkan masyarakat. Di daerah-daerah yang terdiri dari latar belakang agama yang berbeda saling membantu dalam berbagai moment bahkan hingga dalam peristiwa-peristiwa keagamaan. Buku dengan judul Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik ini mengonfirmasi bahwa data dan fakta mengenai toleransi antar umat beragama adalah hal yang benar adanya dan ini mudah ditemukan, tetapi sering terlewat dari sorotan media. Masyarakat yang saling membantu dan menghargai, tradisi yang merekatkan satu dengan yang lain digambarkan cukup jelas dalam hasil penelitian ini. Bahkan yang menarik adalah toleransi ini terjadi di daerah yang dikatakan rawan konflik. Kerawanan ini ditengarai oleh gejala-gejala konflik yang ada sebelumnya, Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
v
tetapi berhasil diredam kemudian. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi berdasarkan tradisi bahkan perintah keagamaan yang dipegang masyarakat cukup berhasil menghindarkan potensi konflik yang akan atau sudah terjadi. Karena itu, kami sangat senang dengan diterbitkannya buku hasil penelitian ini. Paling tidak buku ini bisa menjadi referensi gambaran kehidupan antar agama di Indonesia yang toleran dan damai dan sangat mungkin dikembangkan lebih jauh lagi sebagai inspirasi karya-karya lain yang mudah dikonsumsi oleh masyarakat berupa film, novel, dan lain sebagainya. Mudah-mudahan dengan kehadiran buku ini menambah khazanah bagi akademisi, peneliti, para pengambil kebijakan, jurnalis, penggiat seni, bahkan masyarakat umum untuk memberi gambaran lain berkenaan dengan kehidupan keberagamaan di Indonesia. Memang, sudah ada beberapa buku serupa yang bicara toleransi di masyarakat, tetapi yang fokus pada daerah rawan konflik masih cukup langka, apalagi dari daerah-daerah yang telah diteliti. Kami ucapkan selamat kepada para peneliti yang telah berkeringat dan berusaha keras hingga terwujudnya buku ini. Tentu ada hal yang masih kurang, tetapi yang pasti di dunia ini tidak ada yang sempurna. Jakarta, September 2016 Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Prof. H. Abd. Rahman Masúd, Ph.D vi
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
PROLOG Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis Tulisan ini dimulai dengan penjelasan terhadap kata kunci sebagaimana tertera dalam judul penelitian yaitu toleransi beragama di daerah rawan konflik. Toleransi pada asalnya memberikan pengertian membiarkan, membebaskan, tidak mengambil peduli terhadap apa saja yang berada di luar dirinya. Kalau kaitannya dengan agama, maka toleransi adalah membiarkan orang lain memahami, menghayati dan melaksanakan apa saja yang sesuai dengan keunikannya. Masyarakat yang bertoleransi tersebut juga dapat disebut sebagai masyarakat yang rukun karena tidak mau terlibat untuk mengurusi keadaan orang lain. Namun sikap yang mengisolasi diri dalam arti memutus hubungan dengan lingkungan adalah sikap yang kurang bijaksana. Pemahaman terhadap kerukunan di atas tersebut dikategorikan sebagai kerukunan yang pasif. Konsep kerukunan yang seperti itu jelas tidak sesuai dengan kenyataan bahwa kita sebagai sebuah bangsa sekalipun kita berbeda-beda dalam agama, ras, etnis maupun profesi namun diikat oleh tujuan bersama (bhinneka tunggal ika) yaitu terwujudnya bangsa Indonesia yang adil makmur sejahtera lahir dan batin sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena iu, diperlukan pengertian lain tentang kerukunan yaitu kebalikan di atas yaitu kerukunan yang aktif. Secara teoritis, kerukunan aktif itu terbagi ke dalam dua hal yaitu eksklusif dan inklusif. Kerukunan eksklusif adalah meyakini secara absolut ajaran agama yang dianutnya dan tidak membuka diri mencari kebenaran yang lain. Sedang Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
vii
kerukunan inklusif adalah mengakui, menghormati, menghargai, mendukung keberadaan orang lain sesuai dengan keyakinannya. Karena dengan adanya sebuah keyakinan maka orang tersebut akan berpeluang menjadi orang baik menurut pandangan dirinya. Lebih dari itu, apabila memungkinkan maka kerukunan yang inklusif itu, berusaha untuk ikut menikmati suasana kesayhduan ketika saudaranya yang berbeda iman atau aliran sedang merayakan keberagamaannya. Apabila kerukunan yang pertama bermakna sempit karena memang tidak bisa dielakkan agar toleransi beragama tidak berakibat terjadinya relativitas iman yaitu membenarkan semua ajaran keimanan yang terdapat dalam semua agama. Kebenaran dalam agama itu tidak bersifat universal akan tetapi diserahkan kepada keyakinan masing-masing. Karena setiap iman meyakini bahwa ia memonopoli kebenaran (truth claim) dan keselamatan (salvation claim). Sedang kerukukunan inklusif adalah ajakan kepada semua warga masyarakat bahwa di samping adanya monopoli kebenaran dan keselamatan namun dari aspek kemanusiaan, semua umat beragama harus bersatu membangun bangsa dan pada saat itulah mereka berlomba memberikan kontribusinya kepada masyarakat, bangsa dan negaranya. Selanjutnya, beragama adalah suasana batin manusia yang menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah makhluk yang diturunkan Allah SWT kepadanya bimbingan sebagai hidayah untuk memperoleh keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat. Agama yang diterima manusia sebagai pedoman hidup itu terbagi kepada dua yaitu agama ajaran dan agama panutan. Agama ajaran adalah kumpulan ajaran agama yang baru menjadi pengetahuan secara normatif-kognitif namun viii
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
baru sebatas perbendaharaan pengetahuan belaka sehingga belum membangkitkan etos kerja yang disinari nilai-nilai ilahiah. Sedang agama panutan adalah artikulasi keagamaan yang telah menjelma menjadi landasan etos kerja pada pribadi yang kemudian menjadikan dirinya sebagai model kebaikan dan kebajikan. Terdapat dua macam kepemimpinan keagamaan yaitu ethical prophecy dan exmplary prophecy. Ethical prophecy adalah tipe pemimpin umat yang telah memprakikkan dalam dirinya perbuatan kebajikan akan tetapi belum dapat menempatkan dirinya sebagai agen perubahan. Tipe pemimpin yang kedua yang dapat disebut agen perubahan yaitu menjadi orang yang bersedia mengorbankan dirinya untuk tidak populer dikelompoknya karena cakupan berpikirnya yang sudah bersifat universalis. Dilihat dari sudut akar dari ajaran agama maka tipe yang kedua ini adalah para nabi, auliya, syuhada dan orang-orang saleh. Selanjutnya pengertian rawan konflik dapat dipahami dalam tiga kategori. Kategori rawan konflik yang pertama, ditandai dengan sering terjadi perselisihan dalam suatu masyarakat akan tetapi tidak berpeluang berkembang menjadi konflik dalam arti sebenarnya. Kategori kedua adalah daerah yang memiliki titik-titik simpul konflik seperti perebutan lahan, lokasi rumah ibadat dan lain sebagainya yang perlu diwaspadai namun belum pernah menjadi letupan. Kategori yang terakhir adalah konflik yang sudah meletup dan telah menimbulkan korban jiwa dan sekarang ini sekalipun kelihatan sudah padam namun di bawah permukaan masih menyimpan bara yang sewaktu-waktu akan bisa meletup kembali. Karena didalamnya telah melembaga rasa dendam yang berkepanjangan. Kalau pengertian rawan konflik yang dimaksud peneliti adalah kategori pertama maka hal itu belum perlu dirisaukan karena hal itu sudah merupakan Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
ix
dinamika sosial. Rawan konflik kategori kedua sudah mulai diwaspadai karena akibat terjadinya diskriminasi dalam memperoleh akses dan aset kepada sumber daya alam maka sewaktu-waktu konflik akan muncul ke permukaan. Dalam kategori ketiga jelas harus dikaji lebih mendalam apalagi sudah berlangsung dalam jangka yang sudah lama sehingga pengendapan konflik sudah berkembang memasuki tahap pelembagaan. Rumusan masalah yang dikemukakan peneliti sebanarnya dapat disimpulkan dalam tiga pokok masalah. Pertama, apa pemahaman masyarakat ketika memberikan pengertian terhadap toleransi baik dalam bentuk kerukunan pasif dan aktif. Kedua, bagaimana aktualisasi toleransi beragama itu hidup di dalam masyarakat apakah substantif atau hanya artifisial. Ketiga, bagaimana prospek toleransi di daerah penelitian dan apa yang perlu dilakukan untuk memperkuat toleransi itu. Kemudian baru dirumuskan kesimpulan tentang persepsi masyarakat terhadap toleransi keberagamaan di lokasi penelitian. Selanjutnya, dari kesimpulan tersebut dirumuskan langkah kongkrit peningkatan kualitas toleransi beragama di tujuh lokasi penelitian dengan mempertimbangkan urgensi dari bentuk relasi sosial di setiap daerah. Pada akhirnya, penelitian ini hendaknya berhasil merumuskan langkah kongkrit oleh pemerintah pada semua tingkatan agar perkembangan konflik dapat dipahami secara proporsional. Langkah Penguatan Semangat Toleransi Toleransi bukanlah persoalan yang sederhana apalagi bangsa Indonesia yang berada pada pusaran persilangan dua x
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
benua dan dua samudera. Konflik yang terjadi di belahan bumi yang lain cepat atau lambat akan merambat ke seluruh pojok nusantara. Hal itu disebabkan karena kemajemukan bangsa Indonesia masih berada dalam suasana yang rentan konflik. Kehidupan beragama bukanlah persoalan yang berdiri sendiri dalam kehidupan masyarakat. Hal itu disebabkan karena agama yang telah menjadi milik manusia adalah merupakan subsistem dari berbagai subsistem lainnya. Dengan perkataan lain, semua subsistem sosial baik politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya saling berjalin berkelindan satu dengan lainnya termasuk subsistem agama. Oleh karena itu, adalah merupakan pandangan yang keliru manakala ada anggapan bahwa urusan kerukunan adalah persoalan yang sederhana. Sebagaimana yang dapat disaksikan dalam beberapa waktu belakangan ini bahwa setiap muncul sebuah kasus konflik maka buru-buru dipanggil FKUB untuk membuat pernyataan bersama. Lebih dari itu, pandangan yang lebih keliru lagi manakala faktor pemicu terjadinya konflik dibebankan kesalahan itu kepada keberadaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. Padahal semestinya yang dijadikan bahan kajian adalah apakah terjadinya konflik karena substansi pengaturan dalam PBM atau pola implementasinya di lapangan yang belum sesuai dengan ketentuan. Menghapus keberadaan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 itu adalah ibarat membuka ikatan tali yang sudah mantap. Sehingga begitu tali dilepas dan diurai kembali maka ia akan muncul persoalan yang merambah kesana kemari sehingga tidak bisa dikendalikan lagi. Sedangkan sekarang masih ada PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 masih terjadi konflik beragama di berbagai daerah.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
xi
Dalam pandangan kita, sebaiknya sekarang ditelusuri berbagai langkah kebijakan untuk memperkuat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kerukunan. Demikian juga dilakukan kajian dan analisis yang mendalam terhadap upaya untuk melakukan implementasi terhadap peraturan itu secara jujur dan konsisten agar terdapat kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Dr. Nasikun pakar sosiologi dari UGM menjelaskan bahwa langkah untuk meredam konflik guna memperkuat kerukunan sosial khususnya di kalangan umat beragama adalah menata terjadinya (1) cross-cutting affiliation (2) crosscutting loyalities. Masyarakat senantiasa terintegrasi manakala ada afiliasi yang menyilang di kalangan warga masyarakat. Sebagai contoh masyarakat Batak yang terkenal memiliki sikap dan pembawaan yang keras apalagi dengan adanya perbedaan agama. Akan tetapi sikap keras itu dapat menjadi lunak sekalipun terhadap saudaranya yang berbeda agama karena mereka memiliki pilihan lain yang mengikat hubungan kewargaan yaitu melalui hubungan kemargaan dalam bentuk ikatan kekerabatan. Marga yang lebih tua secara genealogis maka ia harus diberi penghormatan oleh marga yang paling muda karena mereka berada pada rumpun marga yang sama. Padahal di antara mereka terdapat perbedaan anutan agama. Pola yang seperti ini banyak ditemukan di berbagai daerah. Tradisi subak di Bali diurus oleh umat yang beragama tertentu sedang sawah yang akan mendapat aliran irigasi adalah warga yang kemungkinan berbeda keyakinan agamanya. Hal inilah antara lain yang merekat semangat toleransi di antara mereka. Tipologi kedua, cross-cuting loyalities adalah loyalitas yang menyilang di dalam hubungan kemasyarakatan. Hal ini xii
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
sekarang dapat dilihat pada sruktur keanggotaan partai-partai yang mulai terbuka baik dari partai nasionalis maupun agamis. Sekalipun pimpinan organisasi, partai atau kantor yang dia ikuti berbeda keimanan dengannya akan tetapi karena ada keharusan bersikap loyal kepada lembaganya maka dengan sendirinya terbentuk budaya toleran terhadap perbedaan termasuk agama. Oleh karena itu, sudah waktunya apabila pemerintah bersama pemimpin organisasi sosial kemasyarakatan serta partai politik menjadikan lembaga yang mereka pimpin sebagai wadah yang bisa menampung keragaman sehingga tetap terpelihara solidaritas mekanik pada masyarakat urban dan solidaritas organik pada masyarakat desa. Selanjutnya pada tataran kepemimpinan nasional hendaknya selalu ditegaskan bahwa negara memiliki jarak yang sama terhadap semua warga negara dan demikian juga semua warga negara memiliki jarak yang sama terhadap negara. Dalam posisi yang seperti itulah, maka semua tokoh pemimpin pada semua lapisan berupaya menjadikan diri mereka sebagai representasi serta penampung seluruh aspirasi masyarakat. Kalau bisa, mereka bukan hanya pemimpin yang berada pada tahap ehical prophecy tetapi juga exemplary prophecy. Judul penelitian ini sesungguhnya sangat bagus dan bisa dilanjutkan melakukan dengan analisis dan sikap kritis yang mendalam sehingga akan terbuka simpul-simpul toleransi keberagamaan itu dan strategi untuk memodifikasi konflik menjadi faktor yang memperkuat integrasi nasional. Sejalan dengan itu, semestinya temuan dalam penelitian dapat didialogkan dengan aparat di daerah yang bersangkutan sehingga mereka akan terbantu memahami berbagai persoalan yang sedang terjadi dan menjadi prioritas dalam merumuskan kegiatan pembangunan. Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
xiii
Semoga prolog ini dapat bermanfaat dalam rangka mempertajam hasil kajian dan pengamalan kita terhadap berbagai persoalan di masyarakat. Wabillahit taufiq wal hidayah. Kampus UIN Ciputat, September 2016
Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis
xiv
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
PRAKATA EDITOR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa buku Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik tahun 2016 ini bisa selesai sesuai dengan yang dimaksudkan. Buku ini memiliki beberapa tujuan diantaranya; 1) Mengidentifikasi kasus-kasus konflik yang pernah terjadi dan faktor penyebabnya; 2) Mengidentifikasi penerimaan umat beragama terhadap keragaman agama yang dianut masyarakat di daerahnya; 3) Mengidentifikasi berbagai bentuk toleransi yang terjalin selama ini di kalangan umat beragama; 4) Mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan terbangunnya toleransi di kalangan umat beragama; dan 5) Mengetahui upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan toleransi umat beragama. Dengan adanya buku ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pimpinan yang telah memfasilitasi dengan baik dan ucapan terima kasih kami sampaikan ke berbagai pihak yang telah turut serta membantu hingga terlaksananya penelitian ini dengan baik. Semoga buku ini bermanfaat untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercinta. Jakarta, September 2016 Drs. H. Ahsanul Khalikin, MA Fathuri, S.Sos.I
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
xv
xvi
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN ............................................... iii KATA SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ............................... v PROLOG .................................................................................... vii PRAKATA EDITOR................................................................. xv DAFTAR ISI .............................................................................. xvii BAB I.
PENDAHULUAN ................................................. A. Latar Belakang ................................................ B. Permasalahan .................................................. C. Tujuan............................................................... D. Kegunaan ......................................................... E. Metode.............................................................. F. Lokasi Penelitian ............................................. G. Penelitian Terdahulu ...................................... H. Penjelasan Konsep ..........................................
BAB II.
TOLERANSI BERAGAMA DI DAERAH RAWAN KONFLIK .............................................. 1. Toleransi Beragama di Kota Padang............ 2. Toleransi Beragama di Klender Duren Sawit Jakartra Timur ...................................... 3. Toleransi Beragama di Kota Bekasi.............. 4. Isu Radikalisasi dan Kristenisasi di antara Pilar-pilar Toleransi Kota Bogor ................... 5. Toleransi Beragama di Kabupaten Temanggung ................................................... 6. Toleransi Beragama di Kabupaten Poso ..... Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
1 1 6 7 8 8 9 10 12
19 19 30 42 59 70 83 xvii
7. Rumput Kering yang [Perlu Terus] Disirami: Toleransi Beragama di Kota Mataram ........................................................... 95 8. Toleransi Beragama di Kota Kupang ........... 111 BAB III.
ANALISA UMUM ................................................ 127 A. Gambaran Umum Wilayah ........................... 127 B. Pemaknaan Terhadap Toleransi ................... 128
BAB IV.
PENUTUP .............................................................. 137 A. Kesimpulan...................................................... 137 B. Rekomendasi ................................................... 138
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 141 INDEKS ................................................................................. 147
xviii
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk terdiri atas berbagai suku, budaya, politik, ekonomi maupun agama. Keragaman tersebut di satu sisi merupakan khasanah kekayaan bangsa sekaligus menjadi potensi kekuatan untuk mempersatukan bangsa; namun di sisi lain dapat mengakibatkan munculnya konflik dalam kehidupan masyarakat di berbagai daerah sehubungan adanya kepentingan yang beragam dari masing-masing kelompok yang berbeda. Keragaman di bidang agama, manakala budaya toleransi tidak berkembang di kalangan umat beragama maka dapat menimbulkan kerawanan sosial yang pada gilirannya dapat mengakibatkan konflik sosial, termasuk konflik sosial bernuansa agama. Terkait konflik sosial bernuansa agama yang terjadi di berbagai daerah, disebabkan oleh antara lain bahwa agama dalam kehidupan masyarakat merupakan hal yang sensitif, sehingga melalui sentimen keagamaan seseorang atau kelompok orang secara psikologis mudah dimobilisasi dan dimanfaatkan oleh kelompok yang sedang konflik untuk memperoleh dukungan. Kasus-kasus konflik sosial bernuansa agama yang pernah terjadi di berbagai daerah selama ini, seperti di Tasikmalaya (1996), Ketapang (1999), Poso (1999), Sambas (1999), Temanggung (2010) dan Ambon (1999, 2011), menunjukkan betapa faktor agama Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
1
diikutsertakan dalam nuansa konflik. Penyebab utamanya adalah faktor non keagamaan, seperti: politik, ekonomi dan budaya. Kasus konflik di Ambon – Maluku pada pasca runtuhnya rezim Orde Baru di atas, selain akibat dari adanya kondisi distorsi komunikasi dan informasi sistemik, juga akibat dari rentannya masyarakat terhadap aksi provokatif dan politisasi isu agama, etnis dan separatis, hal ini diperkuat oleh beberapa hasil studi dan pemetaan konflik Maluku yang menyebutkan bahwa gerakan bakubae Maluku menetapkan sumber konflik berakar pada konflik elit politik sipil-militer dengan mengeksploitasi dan memolitisasi emosi agama. Menyadari kondisi di atas, maka pengembangan budaya toleransi di kalangan umat beragama merupakan hal yang urgen dan menjadi dambaan bagi kalangan umat beragama demi terciptanya kehidupan yang harmonis di kalangan mereka. Terkait dengan daerah “rawan konflik”, Kementerian Sosial memetakan ada 184 daerah di Indonesia rawan terjadi konflik sosial pada 2014, karena sebagian besar kondisi ekonominya tertinggal dibanding dengan daerah lain. Menurut Sapto Waluyo –Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Kehumasan dan Tatakelola Pemerintahan- diprediksi ada enam daerah sebagai wilayah paling rawan konflik sosial pada 2014. Keenam daerah dimaksud yaitu Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah dan Jawa Tengah. Indikator suatu daerah dikategorikan rawan konflik yakni sepanjang tahun daerah tersebut bermunculan aneka ragam konflik. Namun tidak semua daerah tertinggal merupakan daerah rawan konflik. Ada daerah maju yang 2
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
rawan konflik karena interaksi sosial antarkelompok masyarakat sangat kaku sehingga mudah meletup hanya karena masalah kecil. Demikian papar Sapto Waluyo sebagaimana dirilis dalam Jawa Pos National Network. Kedeputian I Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) melalui Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) melaporkan, terkait dengan konflik identitas –yakni insiden kekerasan yang dipicu oleh identitas kelompok antara lain: agama, etnis, suku, gender, geografis dsb.- dalam Bulan Desember 2014 terdapat “konflik identitas” sebanyak 44 kejadian yang terjadi di berbagai provinsi di Indonesia. Dilaporkan lebih lanjut bahwa jumlah insiden dan tewas akibat “konflik identitas” di berbagai provinsi selama Desember 2014 tercatat sebagai berikut: di Nusa Tenggara Barat (NTB) 6 kasus, Selawesi Selatan 6 kasus, DKI Jakarta 5 kasus, Sumatera Utara 4 kasus, Sumatera Barat – Sulawesi Tengah dan Jawa Timur masing-masing 3 kasus. Sulawesi Tenggara, DI Yogyakarta dan Jawa Barat masing-masing 2 kasus, Bali, Sumatera Selatan, Maluku, Maluku Utara, Jawa Tengah dan Jambi masing-masing 1 kasus. Berbagai daerah provinsi yang dilaporkan Kemenko PMK terjadi kasus-kasus konflik sosial yang diidentifikasi dalam “konflik identitas” di atas, dapat dijadikan acuan sebagai “daerah rawan konflik” dalam penelitian ini. Di samping faktor non agama yakni problem ekonomi, faktor agama dalam hal ini perbedaan ”agama” juga menjadi faktor dominan yang dapat menjadikan suatu daerah rawan konflik, asumsi ini tidak keliru bila melihat daerah-daerah rawan konflik di Indonesia misalnya; 1) Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
3
Nusa Tenggara Timur (Kupang), 2) Sulawesi Tengah (Poso) bahwa agama berpotensi konflik. Asumsi ini diperkuat oleh H.M. Atho Mudzhar bahwa perbedaan agama seringkali muncul sebagai sisi yang mengandung konflik, terutama dalam masyarakat yang plural. Di daerah yang plural dari segi agama jika terjadi konflik sosial, faktor agama seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang konflik untuk menciptakan solidaritas kelompok sekaligus sebagai pemicu. Dengan demikian, di kalangan umat beragama konflik sosial dapat berkembang menjadi konflik keagamaan. Berdasarkan hasil kajian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang kemudian disosialisasikan oleh H.M. Atho Mudzhar melalui tulisannya dalam buku berjudul “Merayakan Kebhinnekaan Membangun Kerukunan” ada beberapa faktor penyebab ketidakrukunan atau yang dapat menimbulkan konflik. Faktor-faktor dimaksud meliputi “faktor keagamaan” dan “faktor non keagamaan”. Faktor-faktor keagamaan selain doktrin keagamaan, yaitu: penyiaran agama; pendirian rumah ibadat; bantuan keagamaan luar negeri; perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda; pengangkatan anak; pendidikan agama; perayaan hari besar keagamaan; perawatan dan pemakaman jenazah; penodaan agama; kegiatan kelompok sempalan; dan transparansi informasi keagamaan. Sedangkan faktor non keagamaan, meliputi: kesenjangan ekonomi; kepentingan politik dan perbedaan nilai budaya.
4
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Faktor-faktor keagamaan di atas seringkali dijadikan pemicu timbulnya konflik sosial di suatu daerah, yang kemudian disebut konflik sosial bernuansa agama. Di daerah-daerah yang cenderung rawan konflik sosial bernuansa agama, kehidupan keagamaan yang dihiasi sikap toleran di kalangan masyarakat yang berbeda agama menjadi penting dan sangat diperlukan. Terlebih sikap toleran tersebut terdapat di kalangan masyarakat berbeda agama di daerah rawan konflik. Sikap toleran terhadap aspek atau faktor-faktor keagamaan tertentu yang dilakukan seseorang maupun kelompok orang terhadap umat beragama lain di daerah rawan konflik, dapat ditingkatkan dan dikembangkan untuk menangkal kemungkinan timbulnya konflik serupa pada masa mendatang, sehingga daerah yang semula dikategorikan sebagai “rawan konflik” diharapkan tingkat kerawanannya berkurang. Sebaliknya, jika sikap intoleransi berkembang di suatu daerah maka dapat menjadi faktor pemicu yang akan mendorong daerah rawan konflik menjadi daerah konflik. Bahwa agama tidak hanya menjadi penyebab konflik tapi juga menjadi pemicu perdamaian, dengan demikian maka penelitian tentang toleransi beragama di daerah rawan konflik sangat menarik dan memiliki posisi strategis sebagai bahan untuk meningkatkan hubungan yang harmonis di kalangan umat beragama di daerah yang bersangkutan. Penelitian ini penting dilakukan karena kajian terkait toleransi beragama di daerah rawan konflik – terutama konflik sosial bernuansa agama- selama ini belum banyak dilakukan orang lain. Selain itu, penelitian ini diperlukan sebagai upaya pengungkapan sisi lain yang Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
5
positif bagi peningkatan kerukunan yang secara realita terdapat dan berlangsung dalam kehidupan umat beragama di daerah rawan konflik. Berdasarkan uraian di atas Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2015 melakukan penelitian tentang Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik. B. Permasalahan Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana toleransi beragama di daerah rawan konflik terjadi. Secara rinci, beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:
6
1.
Bagaimana umat beragama memaknai toleransi beragama, termasuk penerimaan terhadap keragaman agama yang ada di daerahnya?
2.
Apa saja bentuk-bentuk toleransi beragama yang terjalin di kalangan tokoh agama?
3.
Faktor apa saja yang menjadi penyebab terbangunnya toleransi beragama tersebut?
4.
Kasus-kasus konflik apa saja yang pernah terjadi selama ini dan apa faktor penyebabnya?
5.
Apa saja hal-hal yang disukai dan yang tidak disukai kelompok umat beragama satu terhadap umat beragama yang lain?
6.
Apa saja yang menjadi sumber toleransi maupun intoleransi? Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
7.
Upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan toleransi beragama di kalangan umat beragama?
C. Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: 1. Mengidentifikasi tentang pemaknaan toleransi beragama oleh umat beragama, termasuk penerimaan terhadap keragaman agama yang dianut masyarakat di daerahnya; 2. Mengidentifikasi bentuk-bentuk toleransi beragama yang terjalin selama ini di kalangan umat beragama; 3. Mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan terbangunnya toleransi beragama di kalangan umat beragama; 4. Mengidentifikasi kasus-kasus konflik yang pernah terjadi dan faktor penyebabnya; 5. Identifikasi hal-hal yang di sukai atau tidak di sukai kelompok umat beragama satu terhadap kelompok umat beragama yang lain; 6. Identifikasi sumber toleransi dan intoleransi; 7. Mengetahui upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan toleransi beragama dalam mengurangi kasus konflik di kalangan umat beragama.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
7
D. Kegunaan Hasil penelitian ini berguna bagi pimpinan Kementerian Agama maupun lembaga lainnya sebagai bahan untuk menyusun kebijakan tentang pembinaan kerukunan umat beragama di daerah rawan konflik, khususnya di daerah lokasi penelitian. E. Metode Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, sedangkan bentuk penelitiannya studi kasus dengan jenis penelitian eksploratif. Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara mendalam, studi pustaka dan dokumentasi, serta pengamatan. Wawancara dilakukan secara mendalam kepada sejumlah informan kunci yakni yang dianggap banyak mengetahui berbagai persoalan yang dikaji secara holistik. Wawancara dimaksudkan untuk menggali data yang tak dapat diperoleh melalui kajian pustaka dan dokumentasi. Agar peneliti dalam melakukan wawancara fokus terhadap permasalahan yang dikaji, maka dipandu oleh pedoman wawancara yang telah disusun sebelum penelitian lapangan dilakukan tanpa mengurangi fungsi dan status peneliti sebagai instrumen penelitian dalam konteks penelitian kualitatif. Informan terdiri atas informan pangkal dan informan kunci. Informan pangkal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kepala Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota. Sedangkan Informan kunci terdiri atas: Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tingkat 8
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
kabupaten/kota, para aktor pendorong maupun penghambat toleransi, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda lintas agama yang pro maupun yang tidak pro toleransi dan pihak lainnya yang dianggap mengetahui. Studi pustaka dan dokumentasi dilakukan dengan cara menelaah buku-buku dan dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan pengamatan dilakukan terhadap obyek-obyek yang berkaitan dengan kasus yang dikaji untuk memperjelas data yang dikumpulkan sepanjang hal itu dapat dilakukan. Untuk memperoleh data lebih akurat, dilakukan teknik pengumpulan dan penelusuran data secara trianggulasi. Seluruh data yang berhasil dikumpulkan, diolah melalui tahap editing, klasifikasi, komparasi, kemudian diinterpretasi/dilakukan penafsiran untuk memperoleh pengertian baru yang selanjutnya dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun sebuah buku hasil penelitian, yang dibuat secara deskriptif analitik yang mengungkap tentang barbagai hal yang dikaji. F. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tujuh provinsi (delapan kabupaten/kota) yang dianggap rawan konflik sosial, terutama konflik sosial bernuansa agama. Penentuan kriteria daerah rawan konflik sosial bernuansa agama adalah sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan konsep desain operasional penelitian ini. Atas pertimbangan keterbatasan teknis, maka delapan kabupaten/kota yang dijadikan lokasi penelitian kali ini adalah: Provinsi Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
9
Sumatera Barat (Kota Padang); DKI Jakarta (Jakarta Timur = Klender); Jawa Barat (Kota Bekasi dan Kota Bogor); Jawa Tengah (Kabupaten Temanggung); Nusa Tenggara Barat (Kota Mataram); Sulawesi Tengah (Kabupaten Poso); dan Nusa Tenggara Timur (Kota Kupang). G. Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian tentang toleransi yang telah dilakukan oleh perorangan maupun berbagai lembaga penelitian, antara lain:
10
1.
Setara Institute (2008), melakukan survey dengan hasil kajian antara lain (87,1%) responden menyatakan perbedaan agama tidak menjadi halangan dalam berteman dan (67,4%) menerima fakta perpindahan agama;
2.
Anis Faranita Dhanik Rachmawati (2006), yang mengkaji antara lain faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya toleransi antara umat Islam dengan umat Katolik di Dukuh Kasaran Desa Pasungan, Klaten;
3.
Teguh Setiawan (2007), mengkaji toleransi beragama di kalangan komunitas Slankers Semarang, yang menghasilkan temuan antara lain komunitas Slankers pada dasarnya menerima perbedaan agama, toleran;
4.
Fathurrahman (2008), mengkaji toleransi beragama di antara penyedia kos-kosan dan pengguna jasa koskosan beda agama di Dusun Papringan Desa Catur Tunggal, Sleman, yang menghasilkan temuan bahwa atas pengaruh budaya “ewuh pakewuh” maka
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
terbangun toleransi beragama di kalangan penyedia dan pengguna jasa kos-kosan di lokasi penelitian; 5.
Tim Peneliti LP3ES dan YAPPIKA (2006), mengkaji antara lain mengenai memori responden tentang contoh-contoh kampanye publik maupun aktivitas OMS yang ditujukan untuk mempromosikan toleransi;
6.
Tim LIPI (2006), yang melakukan survey di tiga daerah yaitu Bogor, Surakarta dan Cianjur, dengan kajian antara lain tentang sikap atau pandangan umat Islam terhadap umat lain terkait: pemberian ucapan selamat/salam kepada umat lain dan pertemanan dengan umat beragama lain;
7.
Lembaga Survey Indonesia (LSI) (2006), melakukan survey opini publik tentang toleransi sosial masyarakat Indonesia, yang mengkaji antara lain tentang hidup bertetangga dengan lain etnis, dengan lain agama, serta bagaimana menyikapi pembangunan rumah ibadat yang didirikan umat lain.
Dilihat dari fokus yang dikaji dalam berbagai penelitian yang dilakukan baik oleh perorangan maupun lembaga-lembaga penelitian di atas, hampir seluruhnya mengkaji tentang toleransi beragama dengan lokus penelitian yang beragam. Berbeda dengan berbagai penelitian di atas, penelitian ini lebih memfokuskan kajian tentang toleransi yang dibangun oleh kalangan umat berbagai agama di daerah rawan konflik. Dalam penelitian ini akan diungkap kemungkinan adanya toleransi beragama yang dibangun oleh masyarakat yang berbeda agama, sekalipun mereka berada di daerah rawan konflik.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
11
H. Penjelasan Konsep a. Toleransi Toleransi: 1. Dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi UNESCO dinyatakan bahwa toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas keragaman budaya dunia yang kaya, berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-cara menjadi manusia. Toleransi adalah kerukunan dalam perbedaan. 2. Sullivan, Pierson dan Marcus sebagaimana dikutip Saiful Mujani, menjelaskan toleransi didevinisikan sebagai a willingness to put up with those things one rejects or opposes, yakni “kesediaan untuk menghargai, menerima atau menghormati segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang” (Saiful Mujani, 2007: 162). 3. Suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan, di mana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang dilakukan orang lain. Sikap toleran sangat perlu dikembangkan karena manusia adalah makhluk sosial dan akan menciptakan kerukunan hidup. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memelihara toleransi, antara lain ciptakan kenyamanan, kenali perilaku intoleransi dan tolak sikap intoleransi, dukung orang/kelompok orang korban intoleransi, beri kesempatan orang untuk berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda, jujur terhadap perbedaan, dan beri contoh sikap 12
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
toleran (https://ultimatesammy, wordpress.com/ 2013/03/23 pengertian – sikap-dan-perilakutoleran/..) 4. Benyamin Intan dalam bukunya “Public Religion and the Pancasila-Based State of Indonesia” mengutip David Little membagi pengertian toleransi dalam dua bagian: Pertama, dalam devinisinya yang minimal, yaitu jawaban pada seperangkat kepercayaan, praktik atau atribut yang pada awalnya dianggap sebagai menyimpang atau tidak bisa diterima, dengan ketidaksetujuan, tetapi tanpa menggunakan kekuatan atau paksaan”. Kedua, dalam bentuknya yang paling kuat, toleransi dapat didevinisikan sebagai sebuah jawaban kepada seperangkat kepercayaan, praktik atau atribut, yang awalnya dianggap sebagai menyimpang atau tidak bisa diterima, dengan ketidaksetujuan yang disublimasi, tetapi tanpa menggunakan kekuatan atau paksaan. Dengan demikian sikap toleran bukan hanya membutuhkan kesadaran, tetapi juga semangat, gairah, perjuangan dalam bersikap demi hidup bersama yang lebih baik (www.commongroundnews.org). Berdasakan beberapa batasan di atas dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud “toleransi” dalam penelitian ini adalah kesediaan menghargai, menghormati dan menerima keberadaan umat beragama lain yang diaktualkan dalam sikap dan perilaku baik perorangan maupun kelompok orang tanpa ada paksaan. Dengan sikap maupun perilaku Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
13
tersebut dapat menghasilkan kehidupan yang rukun dan damai demi hidup bersama yang lebih baik di antara umat yang berbeda agama di suatu daerah. Toleransi beragama: Toleransi beragama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah toleransi antarumat beragama, yaitu sikap maupun perilaku terhadap hal-hal yang bersifat keagamaan meliputi: keyakinan, pemikiran maupun perilaku keagamaan umat beragama yang mencerminkan toleransi terhadap umat beragama lain baik perorangan maupun kelompok. b. Daerah Rawan Konflik 1. Rawan: Kata “rawan” dalam Kamus Indonesia-Inggris diartikan emosional, sensitif (John M. Echols dan Hassan Shadily, 2007: 452). Berdasarkan pemahaman demikian maka rawan konflik dapat berarti: secara emosional sensitif terhadap timbulnya konflik. 2. Konflik: Yaitu pertentangan antara dua pihak atau lebih baik perorangan maupun kelompok sehubungan salahsatu pihak merasa dirugikan akibat perlakuan tidak adil oleh pihak lain dalam aspek-aspek kehidupan meliputi: ekonomi, sosial, politik, budaya dan agama. Randal Collins dalam “Conflict Sociology” (1975) menyebukkan konflik sebagai proses sentral dalam kehidupan masyarakat. Menurut Ralf Dahrendorf (1959) ada tiga kelompok masyarakat 14
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
yang menjadi alasan terbentuknya konflik, yaitu: (i) Kelompk semu (Quasi Group) yakni kelompok di dalamnya berkumpul individu-individu yang memegang posisi dan kepentingan yang sama; (ii) Kelompok kepentingan, yakni merupakan bentukan dari Quasi Group yang telah memiliki struktur, organisasi, tujuan dan anggota yang jelas; (iii) Kelompok konflik yakni kelompok yang terlibat secara formal dalam konflik sosial tertentu. Karena itu seseorang atau beberapa orang mempunyai peran strategis untuk menjadi aktor dan peran penting dalam konflik yang terjadi. Sementara itu Thamrin Amal Tamagola (2002) melalui persepktif yang berbeda menyebutkan, konflik dapat disebabkan adanya beberapa faktor, di antaranya faktor sumbu (fuse factor), akar konflik (core of conflict) dan konteks pendukung (facilitating contexts). Betapapun, konflik tidak selalu bermakna negatif. Sebagaimana ditegaskan oleh Lewis Coser dalam Sociological Theory (1976) mengatakan bahwa konflik dapat memberi sumbangan terhadap ketahanan dan adaptasi kelompok, interaksi dan sistem sosial. Konflik merupakan mekanisme perubahan sosial yang dapat memberi peran dan fungsi positif dalam masyarakat. Lebih lanjut Coser menjelaskan ada dua tipe dasar konflik, yaitu konflik yang realistik dan non realistik. Konflik realistik memiliki sumber yang konkrit atau bersifat material, seperti sengketa sumber ekonomi. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa itu tanpa perkelahian maka konflik dapat diatasi dengan baik. Sedangkan konflik non realistik didorong oleh keinginan yang Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
15
tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antarumat beragama, antar kepercayaan dan antaretnis. Konflik non realistis ini menurut Coser sulit dicarikan solusi untuk mencapai konsensus. Konflik, dalam realitas kehidupan masyarakat ada konflik sosial (non keagamaan), konflik keagamaan dan konflik sosial bernuansa agama. Konflik sosial atau konflik non keagamaan yaitu konflik yang disebabkan oleh antara lain faktor ekonomi, politik, etnis maupun budaya. Konflik keagamaan yaitu konflik yang disebabkan oleh faktor-faktor keagamaan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan konflik sosial bernuansa agama yaitu konflik yang disebabkan oleh faktor non keagamaan dan faktor-faktor keagamaan dijadikan sebagai pemicu konflik. Konflik yang dimaksud dalam penelitian ini, dibatasi “konflik sosial bernuansa agama”. Daerah rawan konflik yaitu daerah yang masyarakatnya memiliki emosional dan sensitivitas tinggi di bidang sosial dan agama sehingga rentan terhadap timbulnya konflik sosial bernuansa agama. Rentan terhadap timbulnya konflik sosial maupun agama, lantaran pluralitas dalam masyarakat dari segi agama, etnis, maupun budaya, ketika timbul perselisihan pluralitas tersebut –termasuk pluralitas agama- seringkali dijadikan faktor pembeda atau rujukan oleh pihak-pihak yang berselisih dalam menyikapi perselisihan.
16
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Dalam penelitian ini, daerah rawan konflik meliputi daerah yang rentan terhadap timbulnya konflik sosial bernuansa agama sekalipun belum pernah timbul konflik dan daerah yang pernah maupun relatif sering terjadi konflik sosial bernuansa agama, sekalipun tidak berskala nasional.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
17
18
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
BAB II TOLERANSI BERAGAMA DI DAERAH RAWAN KONFLIK TOLERANSI BERAGAMA DI KOTA PADANG Raudlatul Ulum & Haris Burhani A. Gambaran Umum Wilayah Kota Padang merupakan ibukota Provinsi Sumatera Barat yang berlokasi di pesisir barat Pulau Sumatera. Berdasarkan PP No. 17 Tahun 1980, luas Kota Padang adalah 69.494 Ha dengan jumlah penduduk berjumlah 765.456 jiwa, yang tersebar di 11 kecamatan atau 103 kelurahan dengan kondisi geografi berbatasan dengan laut dan dikelilingi perbukitan dengan ketinggian mencapai 1.853 mdpl. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Padang tahun 2014, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.000.096 jiwa. Kota Padang berada di sebelah Barat Bukit Barisan dan dengan garis pantai sepanjang 68,126 km. Sebagai kota pantai, Kota Padang terdiri atas dataran rendah yang terletak pada ketinggian 0 – 10 m di atas permukaan laut. Sejarah Kota Padang tidak terlepas dari peranannya sebagai kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari perkampungan nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah bendera Vereenigde Ostindische Compagnie (VOC). Hari jadi kota ini Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
19
ditetapkan pada 7 Agustus 1669, yang merupakan hari terjadinya pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Selama penjajahan Belanda, kota ini menjadi pusat perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Memasuki abad ke-20, ekspor batu bara dan semen mulai dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Bayur. Penduduk Padang sebagian besar berasal dari etnis Minangkabau. Etnis lain yang juga bermukim di sini adalah Jawa, Tionghoa, Nias, Mentawai, Batak, Aceh, dan Tamil. Orang Minang di Kota Padang merupakan perantau dari daerah lainnya dalam Provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 1970, jumlah pendatang sebesar 43% dari seluruh penduduk, dengan 64% dari mereka berasal dari daerah-daerah lainnya dalam provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 1990, dari jumlah penduduk Kota Padang, 91% berasal dari etnis Minangkabau. Mayoritas penduduk Kota Padang memeluk agama Islam 97,5%. Kebanyakan pemeluknya adalah orang Minangkabau. Agama lain yang dianut di kota ini adalah 1,39% terdiri dari Kristen 0,74%, Hindu 0,28% dan Buddha 0,09%, yang kebanyakan dianut oleh penduduk bukan dari suku Minangkabau. Beragam tempat peribadatan juga dijumpai di kota ini. Selain didominasi oleh masjid, gereja dan klenteng juga terdapat di Kota Padang. Masjid Raya Ganting merupakan masjid tertua di kota ini, yang dibangun sekitar tahun 1700. Sebelumnya masjid ini berada di kaki Gunung Padang sebelum dipindahkan ke lokasi sekarang. Beberapa tokoh nasional pernah salat di masjid ini di antaranya Soekarno, Hatta, 20
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Hamengkubuwana IX dan A.H. Nasution. Masjid ini juga pernah menjadi tempat embarkasi haji melalui pelabuhan Emmahaven (sekarang Teluk Bayur) waktu itu, sebelum dipindahkan ke Asrama Haji Tabing sekarang ini. Gereja Katholik dengan arsitektur Belanda telah berdiri sejak tahun 1933 di kota ini, walaupun French Jesuits telah mulai melayani umatnya sejak dari tahun 1834, seiring bertambahnya populasi orang Eropa waktu itu. Kasus-Kasus Konflik yang Pernah Terjadi Jika dilihat dari data-data konflik, Kota Padang secara meyakinkan tidak pernah mengalami konflik yang berarti. Dengan kata lain konflik manifest tidak pernah terjadi, tidak ada peristiwa signifikan. Kota Padang relatif kondusif bahkan dalam hal tindakan kriminal juga tidak terlalu tinggi. Namun kenapa Kota Padang dianggap sebagai daerah rawan, atau daerah dengan tingkat intoleransi tinggi. Jawabannya mungkin terletak pada perlakukan dan hubungan antar pemeluk agama yang dianggap belum ideal. Peristiwa yang secara faktual sempat menimbulkan ketegangan di Kota Padang adalah: 1. Hadirnya denominasi Kristen, aliran Betani yang melakukan aktifitas ibadah mereka di hotel-hotel, adakalanya di rumah penduduk tanpa izin dari warga muslim sekitar. Di kalangan Kristen juga sempat bersitegang dengan Betani karena tarik menarik jemaat.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
21
2. Tahun 2010, Aliran Yehova yang kontroversi berencana mendirikan gereja ditolak oleh masyarakat muslim karena pemalsuan KTP dan juga penolakan dari umat Kristen lainnya karena dianggap menyimpang dari mainstream.
B.
Hasil Temuan Lapangan B.1. Pemaknaan Toleransi Beragama Para informan di Padang menyatakan bahwa penghormatan, penghargaan pada umat beragama lain itu adalah keniscayaan. Semua informan berpendapat perbedaan itu adalah kenyataan yang harus diterima. Perbedaan jawaban antara narasumber beragama Islam dengan non Islam adalah poin syarat terhadap penerimaan perbedaan. Rata-rata orang Islam menjawab toleransi itu ada syarat terutama di Padang dan Sumatera Barat pada umumnya, dikenal istilah “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Orang Islam Minang mengindentikkan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai Islam, sehingga sulit sekali membaurkan dalam konsep lain yang lebih terbuka. Sedangkan non Islam menginginkan kebebasan lebih banyak terutama dalam ekspresi keagamaan dan pendirian rumah ibadah. Hanya saja meskipun mengaku kerap mengalami kesulitan dalam hal-hal dimaksud mereka sepakat mengakui kalau orang muslim Minang secara umum baik dan terbuka, sehingga cukup memberikan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari.
22
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Secara simbolis pemerintah kota padang melibatkan semua tokoh agama terutama dalam hal momen-momen kegiatan keagamaan di ruang publik. Misalnya kegiatan dalam pesantren ramadhan, semua anak beragama diberikan insentif untuk melakukan kegiatan keagamaan tanpa melihat latar belakang agamanya. Kemudian masing-masing melakukan kegiatan keagamaan di lingkungan masing-masing menyesuaikan dengan momen ramadhan. Sedangkan kerjasama di bidang non keagamaan (ekonomi, politik, budaya, seni olahraga, dan sebagainya) terjalin secara alamiah. Khusus kerjasama di bidang budaya lebih terpusat di lembaga pendidikan dan lembaga seni.
B.2. Hal-hal yang disukai dan yang Tidak Disukai oleh Umat Beragama Terhadap Umat Beragama Lain Orang Kristen dan Katolik tidak menerima dibilang kafir oleh orang Islam. Sedangkan bagi umat Hindu, keberatan anggapan terhadap mereka menyembah patung. Keberadaan patung (rupang) bagi orang Islam adalah berhala, padahal bagi agama lain berbeda maknanya. Informan lain beragama Kristen menyayangkan sebagian orang Islam yang sulit sekali menganggap mereka adalah sahabat, serta isu kristenisasi yang dianggapnya berlebihan.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
23
B.3. Bentuk-Bentuk Toleransi Beragama yang Terjalin di Kalangan Umat Beragama: a. Penyiaran agama Penyiaran agama yang bersifat pembinaan ke dalam umat sendiri dapat dilakukan tanpa gangguan yang berarti. Meskipun ada beberapa tempat umat Katolik mengaku sulit untuk melakukan doa lingkungan. Orang Kristen dan Katolik di Kota Padang relatif terlokalisasi pada daerah Padang Selatan, terutama area yang dinamakan Pondok. Gereja di Kota Padang cukup banyak, berdasarkan keterangan Sefriono (peneliti masalah sosial, dosen IAIN Imam Bonjol), setidaknya ada 94 gereja dan hanya 4 yang memiliki izin (lengkap). Dalam hal ini banyak kegiatan keagamaan dilakukan di ruko-ruko dan rumah penduduk. b. Pendirian rumah ibadat Pendirian rumah ibadat di Kota Padang adalah sesuatu yang sulit. Narasumber muslim, secara berhati-hati mereka katakan kenyataannya memang begitu. Non-muslim senada mengatakan mestinya kebebasan beribadah itu dijamin dengan keleluasaan mendirikan rumah ibadah. Narasumber beragama Islam mengatakan bahwa pendirian rumah ibadah di Padang bisa saja diakukan dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan (PBM). Meski demikian, informan Katolik menyampaikan bahwa peraturan tersebut sangat diskriminatif dan sulit dipenuhi, belum lagi penafsiran yang berbeda antar pemuka 24
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
agama. Bagi orang Islam, syarat persetujuan 60 orang warga di sekitar rumah ibadah adalah orang berbeda agama, sedangkan bagi Katolik mestinya dihitung juga orang yang seagama dengan rumah ibadah tersebut. Budaya sekali lagi menjadi elemen penting dalam hal membangun pola pikir warga Padang dalam hal keberagaman. Bagi Muslim Minang, tanah mereka tidak bisa dilepaskan dari Islam, sehingga pendirian rumah ibadah agama lain dapat ditafsirkan menyalahi prinsip dasar tanah Minangkabau menyatu dengan Islam. Narasumber beragama Kristen rata-rata menyoroti soal pilihan orang pada agama. Menurut mereka, jumlah orang Kristen yang masuk Islam itu lebih banyak dari sebaliknya. Namun mereka bisa menerima karena pilihan agama adalah hak individu. Nah, pilihan orang berpindah agama ke Kristen juga mestinya adalah hak masing-masing. Karena sebenarnya untuk mendapat tempat sebagai jamaah itu juga tidak gampang, seseorang yang memutuskan memeluk Kristen juga tidak mudah begitu saja, ada tahapan-tahapan. Konvensi adalah isu sangat sensitif di Sumatera Barat, khususnya di kalangan orang Minangkabau yang sangat memegang erat budaya dan agamanya. Jika ada orang Minang keluar dari Islam sekaligus dianggap keluar dari Minang. Rencana pendirian Rumah Sakit Siloam yang ditentang karena dicurigai membawa misi Kristenisasi tidak pernah terwujud,
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
25
bahkan rencana dirubah menjadi mall bertema landmark. c. Perayaan hari besar keagamaan Penggunaan simbol pada hari-hari menjelang perayaan agama Kristen terpampang di ruang publik tidak ada masalah. Perayaan hari besar keagamaan relatif aman tanpa gangguan, meskipun tidak ditemukan fakta umat muslim ikut merayakan pada momen-momen sakral, namun penghargaan cukup baik. d. Perawatan/pemakaman jenazah Isu pemakaman adalah utama di wilayah Kota Padang, saat ini terdapat pemakaman umum yang dapat diakses oleh semua agama, namun dalam hal kapasitas sudah tidak layak. Berdasarkan observasi kondisi pemakaman sudah penuh dan tidak ditemukan ruang yang cukup untuk diisi dengan jenazah lagi. Khususnya umat Hindu tidak mampu melaksanakan ritual pemakaman sesuai agamanya. e. Perkawinan beda agama Dalam hal membahas tentang keberadaan nikah beda agama, informan beragama Islam ratarata tidak yakin ada orang menikah beda agama. Menurut mereka sebagian besar mereka masuk Islam dulu, baru menikah dengan cara Islam. Tidak ada laporan pada pihak muslim adanya perpindahan ke agama lain. Isu perkawinan beda agama sangat sensitif, pihak Katolik dan Kristen, menjawab bahwa ada 26
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
pernikahan beda agama. Para pendeta dan pastor mengakui memberkati beberapa pasangan beda agama, tentunya yang dimaksud dalam hal ini satu pasangannya beragama Islam. Ada juga yang memilih berpindah pada agama Kristen atau Katolik. Sedangkan perkawinan antaragama umat Buddha dan Katolik atau Kristen diakui banyak terjadi. Ada juga pernikahan beda agama penganut Hindu dengan Kristen. f. Pendidikan agama Instruksi Walikota Padang No. 451.422/BinsosIII/2005, tertanggal 7 Maret 2005 tentang Wajib Jilbab bagi siswi pelajar sekolah di Kota Padang. Menyangkut soal pewajiban jilbab, siswa-siswa non muslim pun akhirnya mengenakan jilbab. Bermacammacam tanggapan, orang Katolik cenderung mempertanyakan pihak sekolah yang tetap tidak memberikan pengecualian terhadap siswa non Muslim. B.4. Faktor-Faktor yang Toleransi Beragama
Mendasari
Terbangunnya
Sebagian besar informan terutama selain penganut Islam, mengakui bahwa keberadaan organisasi kemasyarakatan nasional seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah cukup memberikan warna kerukunan dan toleransi kehidupan keagamaan di Kota Padang. Antar tokoh agama juga kerap bertemu terutama di momenmomen kegiatan yang melibatkan antar tokoh agama, misalnya penganugerahan gelar adat. Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
27
Adapun menyangkut aktor yang cenderung menciptakan intoleransi, kerap dilatarbelakangi motif ekonomi, rebutan proyek dan sebagainya. Hanya saja seringkali isu agama terlibat dalam konflik tersebut, misalnya isu pendirian Rumah Sakit Siloam yang disinyalir sebagai bentuk kristenisasi. C. Kesimpulan Bentuk toleransi di Kota Padang cenderung bersifat koeksistensi, pengakuan pada keberadaan satu sama lain, belum sampai pada tahap kerjasama yang signifikan atau permanen. Kerjasama terjadi di beberapa tempat berupa kegiatan perayaan nasional, ataupun sebagian keagamaan. Misalnya keterlibatan pada kepanitiaan halal bilhalal dan kegiatan lain sejenis pada lingkup kecil. Toleransi secara formal dilakukan oleh pemerintah dengan menghadirkan masing-masing tokoh agama pada kegiatan pada kegiatan inisiatif pemerintahaan. Aspek intoleransi cukup menonjol dari aspek pendirian rumah ibadah, perkawinan beda agama, serta pemenuhan hak pada pendidikan. Kerjasama di bidang non keagamaan (ekonomi, politik, budaya, seni olahraga, dan sebagainya) terjalin secara alamiah. Kota Padang tak dapat diyakinkan sebagai kota yang toleran, meskipun takkan dijumpai kemungkinan konflik akan terjadi. Struktur masyarakat yang sedemikian kuat memegang adat, menjadikan Kota Padang tetap akan bernuansa Islami seperti daerah lain di Sumatera Barat. Hal ini merupakan konsistensi pasca Musyawarah Alam Minangkabau yang melahirkan “adat 28
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah”. Mungkin saja perubahan itu terjadi jika, unsur luar dari budaya Minangkabau dapat memahami dan mengajak kompromi struktur adat, misalnya dalam hal kepentingan investasi, sampai dengan peluang pengembangan agama. D. Rekomendasi 1. Perlu untuk mentransformasikan cara pandang toleransi terutama pada aspek kebijakan terhadap umat beragama di Kota Padang. 2. Faktor budaya sejatinya bukan penghambat toleransi karena disamping sebagai khazanah kekayaan lokal, budaya Minang dapat menjadi pintu masuk membangun kemasyarakatan Minang khususnya Kota Padang, yaitu dengan memahami sepenuhnya kemudian melakukan dialog intensif dengan tetua adat. 3. Perlu kajian tentang penyelesaian terhadap penyediaan guru agama seagama sebagai perintah undang-undang sebagai kewajiban, sampai dengan penelitian dilakukan belum tersedia di Kota Padang.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
29
TOLERANSI BERAGAMA DI KLENDER DUREN SAWIT JAKARTA TIMUR Elma Hariyani dan Fathuri SR A. Gambaran Umum Wilayah Klender berbatasan dengan Kelurahan Jatinegara Kaum dan Jatinegara di sebelah utara, kelurahan Cipinang Muara di sebelah barat, kelurahan Pondok Kopi di sebelah timur dan kelurahan Pondok Bambu dan Duren Sawit di sebelah selatan. Dari narasumber di lapangan, dikatakan bahwa sebenarnya sebutan Klender pada zaman dulu tidak terbatas pada kelurahan Klender. Tetapi termasuk di dalamnya Cipinang Muara (disebut Klender Muara), Pondok Kelapa, Pondok Kopi, Jatinegara Kaum (disebut Klender Jati) dan lain sebagainya. Sementara itu dari sisi geografis, Klender masuk dalam kecamatan Duren Sawit yang terletak di koordinat 106 derajat 49′ 35” bujur timur dan 6 derajat 10′ 37” lintang selatan. Luas total kecamatan ini mencapai 22,65 km². Di sini ada 7 kelurahan; Pondok Bambu, Duren Sawit, Pondok Kelapa, Pondok Kopi, Malaka Jaya, Malaka Sari dan Klender. Walaupun Kelurahan Klender tidak memiliki wilayah paling luas, kelurahan ini memiliki jumlah penduduk terbanyak dibandingkan kelurahan lainnya. Sesuai data Badan Pusat Statistik 2013 menguraikan bahwa jumlah masing-masing kelurahan adalah Pondok Bambu 64.554 jiwa, Duren Sawit 62.509 jiwa, Pondok Kelapa 68.301, 30
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Pondok Kopi 37.317, Malaka Jaya 36.951 jiwa, Malaka Sari 33.273 jiwa, dan Klender 76.194 jiwa. Data yang peneliti peroleh mengenai tempat ibadah dari Kantor Kementerian Agama Jakarta Timur, khususnya masjid dan gereja di Jakarta Timur masih belum final. Sebab ada beberapa wilayah yang masih kosong, atau kalau terdata, baru masuk sebagian saja dari jumlah tempat ibadah yang ada. Masjid di Klender, sesuai data yang peneliti peroleh, baik berupa hardcopy maupun softcopy, belum dimasukkan, baik dari sisi jumlah maupun detail profilnya. Berbeda dengan gereja, yang sudah tercatat. Disebutkan jumlah gereja ada 7 tempat, yaitu Huria Kristen Batak Protestan, Kristen Indonesia Jawa Barat, Kristen Oikumene, Kristen Protestan Simalungun, Advent Hari Ketujuh, Bethel Indonesia, dan Pantekosta di Indonesia. Kasus-Kasus Konflik yang Pernah Terjadi Jika menyelisik pemberitaan di media massa, maka bicara Klender dikaitkan dengan aksi kekerasan bisa dikatakan seringkali disebut 21 Mei 2015, tawuran antar warga terjadi di Jl. Ngurah Rai Klender. Warga saling melempar batu, botol, bahkan petasan. Beberapa toko dan fasilitas umum rusak. Disebutkan bahwa dua pihak yang terlibat tawuran adalah warga Kebon Singkong dan Pasar Jagal, yang memang dikenal sebagai musuh bebuyutan. Tawuran serupa juga terjadi sebelumnya. Misalnya antarpemuda di flyover Klender pada 24 Agustus 2014 atau antara dua kelompok pelajar SMP di kawasan Jembatan Klender pada 11 November 2014. Sebelum itu, 21 Juni 2014 Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
31
juga terjadi tawuran antar remaja di Jl. Dermaga Raya Klender. Kekerasan yang cukup besar memakan korban di Klender adalah pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Ada ratusan orang meninggal, di samping kebakaran dan kerusakan banyak bangunan. Di pertokoan Sentral Klender, ada dua ratus orang terjebak api. Secara umum, pada tahun 1999, Jakarta Timur sebagai kotamadya, ia menempati urutan pertama sebagai wilayah dengan tindak kekerasan paling tinggi, diikuti oleh Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara. B. Hasil Temuan Lapangan Klender merupakan salah satu kelurahan di kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta. Sebagai wilayah, keberadaan dan kondisi sosialnya tidak bisa dilepaskan dari cakupan wilayah yang lebih besar yaitu Jakarta. Dari berbagai etnis yang ada, Betawi diakui sebagai etnis asli di Jakarta, dan Islam selalu dilekatkan kepada mereka. Bahkan sebutan “Betawi” hanya bisa digunakan oleh penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Sedangkan penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen secara turun temurun biasanya disebut dengan daerah asalnya, seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga keturunan Mardjikers di daerah Tugu, Koja, Jakarta Utara disebut dengan Orang Tugu. Karena itu warga Klender pun mengidentifikasi dirinya sebagai Muslim.
32
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Namun, sejak lama Jakarta adalah wilayah yang majemuk. Khusus untuk Klender, terdapat Samadi, yang dikatakan sebagai pusat pastoral bagi warga Katolik di Jakarta. Samadi beralamat di Jl. Dermaga No 6 Klender, berdiri sejak 22 Agustus 1960. Luas tanah disebutkan mencapai 23.000 m² dengan memiliki fasilitas Seminari Tinggi Puruhita, Posyandu (dulu berupa Balai Kesehatan Ibu dan Anak), SD Strada Dipamarga, wisma, gedung pertemuan, perpusatkaan, dan kapel. Dikelola oleh Serikat Jesus, Suster OSF dan sejumlah awam yang menjadi pengurusnya. B.1. Sikap Toleransi Sebagaimana dipahami bersama, bahwa sikap toleran atau intoleran sebuah warga masyarakat, tidak ujug-ujug muncul. Ia adalah sebuah proses sosial yang panjang, yang dimulai dari rentang waktu yang cukup lama. Hal yang sama berlaku pada masyarakat Klender. Salah seorang narasumber M. Nurul Huda tokoh muda Klender, bahwa sikap warga Klender sangat dipengaruhi oleh ulama. Sebab Muslim Klender dipandang sangat fanatik terhadap Islam. Jika ditelusuri lebih mendalam dari informasi yang diberikan oleh narasumber dan dilengkapi dengan data literatur, ada dua tipe ulama yang memberi pengaruh besar pada keislaman masyarakat Klender. Tipe pertama adalah ulama pendidik, yang melahirkan lembaga pendidikan atau ulama pendidik generasi berikutnya. Tipe kedua, yang disebut sebagai ulama jawara, yaitu ulama dengan fokus pada olah kanuragan untuk dakwah Islam.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
33
Ulama pendidik generasi awal adalah Guru Marzuqi, Mualim Ghayar atau Dato Ghayar atau disebut juga KH Anwar, dan Haji Maisin. Mereka hidup pada paruh kedua abad 19 hingga awal abad 20. Di antara ketiga orang itu, Guru Marzuqi-lah yang murni menjadi pendidik hingga melahirkan ulama-ulama besar di sekitar Jakarta. Estafet keulamaan mereka diteruskan oleh murid atau putranya. Pertama, KH Hasbiallah, lahir pada 29 Oktober 1913, putra Mualim Ghayar. Ia adalah pendiri Perguruan Islam Al-Wathoniyah pada tahun 1935 kini AlWathoniyyah berkembang menjadi 61 cabang yang didirikan oleh murid-muridnya. Kedua, KH Ahmad Mursyidi pendiri Madrasah Al-Falah. Beliau lahir pada 15 November 1915 dari pasangan H Maisin dan Hj Fatimah. Ketiga, KH Ahmad Zayadi Muhajir, pendiri Az-Ziyadah. Zayadi dilahirkan pada 23 Desember 1918. Sementara tipe ulama jawara terwakili oleh Haji Darif (1886-1981 M). Ia adalah putra dari seorang jawara bernama Bengkur, yang bernama asli Kurdin. Beliau sangat berperan sebagai pejuang kemerdekaan. Penerus Haji Darif adalah putra tertuanya, yaitu Hurriyani Arif. Ia adalah anak dari istri terakhir Haji Darif, Ibu Sarpinah, lahir pada tahun 1947 di Purwakarta, saat mengungsi di sana. Anak didik Haji Darif saat ini terkumpul dalam perguruan Laskar Haji Darif, di mana Hurriyani Arif atau yang akrab disebut sebagai Haji Uung menjadi guru besarnya. Ia dibantu Haji Komang sebagai Komandan Laskar Penggempur. Melalui putra Haji Darif yang lain, yaitu Komaruddin Arif bersama jawara Klender yang lain mendirikan GERAK, kepanjangan dari Gerakan Masyarakat Anti 34
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Maksiat pada tahun 1997. Komarudin Arif sebagai Ketua Umum dan Subhan Amir (Ketua FPI Jakarta Timur sekarang) sebagai Ketua 1. Visi dari organisasi ini adalah amar makruf nahi munkar. Namun karena ada perbedaan prinsip, akhirnya organisasi ini bubar pada tahun 1999. Hampir empat tahun vakum, pada 2003 jawara-jawara Klender bergabung dengan Front Pembela Islam, dan resmi disahkan sebagai cabang FPI Jakarta Timur, dengan ketua Subhan Amir. Selain Laskar Haji Darif dan GERAK yang kemudian berubah menjadi FPI, murid-murid Haji Darif atau keturunannya juga tergabung di Banser, Barisan Serbaguna, atau Banser di bawah Gerakan Pemuda (GP) Anshor Nahdlatul Ulama, yang untuk wilayah Klender dipimpin oleh Syahrul, warga Kampung Sumur Klender. B.2. Apa Kata Ulama Klender soal Toleransi Dari beberapa narasumber, bentuk toleransi warga muslim Klender terhadap warga yang berbeda masuk kategori toleransi formal, di mana mereka menghormati dan membiarkan orang atau warga yang berbeda itu melakukan apa yang sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, dan tidak melakukan tindakan misi kepada umat yang lain. Sikap yang ditunjukkan adalah mendiamkan apa yang mereka lakukan selama tidak melewati batas pergaulan sosial. Subhan Amir, Ketua FPI Jakarta Timur mengartikan toleransi sebagai tindakan tidak mencampuri, tidak menyinggung, tidak mengotak-atik soal agama orang lain. Artinya selagi mereka (nonmuslim) di dalam urusan agama tidak mencampuri, tidak mengotak-atik, maka umat Islam Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
35
akan tenang-tenang saja, tidak akan mengganggu. Sebaliknya, jika warga dari agama lain mencoba mengutakatik, maka hal itu akan menyulut kemarahan warga. Karena itu dalam persoalan bisnis, misalnya, menurut Subhan Amir, tidak ada masalah. Demikian pula dalam kehidupan sosial, seperti penyelenggaraan 17 Agustus dan acara-acara kemasyarakatan lainnya, mereka bersama. Di sini umat Islam tidak kaku, sebab dalam hal-hal sosial yang diutamakan adalah kebersamaan. Bagi Hurriyani Arif (1947) dan Nurul Huda (1975), dari generasi yang berbeda, menegaskan bahwa selama ini mereka berdua sudah terbiasa dengan non-muslim di sekitarnya. Hurriyani dekat dengan warga Kristen dan etnis Tionghoa, dan biasa bergaul. Sementara Nurul Huda sejak kecil memiliki tetangga yang non-muslim juga, terutama dari warga Batak yang dekat dari rumah. Terbiasa main dan pergaulan kemasyarakat pada umumnya. B.3. Samadi, Keberadaan dan Dinamikanya di Tengah Masyarakat Nama Samadi sangat dikenal oleh warga Klender. Awalnya ia adalah Rumah Sakit Bersalin, melayani warga. Pelayanan bagi warga Klender disebutkan sedikit diistimewakan dibanding warga lain. Misalnya dengan pembayaran yang lebih murah. Di sisi lain, saat proses kelahiran anak, bagi orang tua yang Muslim dipersilahkan untuk mengadzani anaknya yang baru lahir. Intinya dalam pelayanan Samadi murni pengobatan, sedangkan pasien diberi keleluasaan sesuai agamanya dalam memperlakukan keluarga yang lahir di sana. Namun, seiring berjalannya waktu Rumah Sakit Bersalin Samadi berubah. Ia menjadi 36
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Posyandu, yang terletak agak ke dalam. Wilayah bagian depan menjadi Wisma Samadi. Samadi menambah fungsi menjadi fasilitas untuk retret, seminar, dan kegiatan umat Katolik lainnya. Menurut pengakuan Kiai Mundzir pada awal pendiriannya, Pastur kepala Samadi cukup dekat dengan keluarga Haji Maisin. Kalau saat lebaran misalnya, usai subuh, sebelum shalat Id, biasanya Pastur datang untuk mengucapkan Selamat Idul Fitri dan membawa kado sebagai pemberian. Demikian juga cerita dari Soffi Ihsan (1975) dan Affan Alfian (1978), putra-putra Kiai Mundzir, saat Natal, anak-anak yang tinggal di Samadi selalu datang ke rumah mereka untuk meminta dahan pohon pinus, yang memang ditanam di depan rumah. Anak-anak antri banyak. Karena semuanya datang. Demikian pula saat keduanya masih anak-anak, biasanya anak-anak Klender main bola di lapangan yang ada di dalam Samadi. Pintu gerbang Samadi memang dibiarkan terbuka sehingga anak-anak yang ingin bermain dibebaskan. Kustoyo, warga Katolik sekaligus pengurus Yayasan Samadi, meski dari beda agama, ia juga beberapa kali menjadi pengurus Rukun Tetangga (RT). Dialah pencetus jaga malam untuk keamanan lingkungan. Demikian pula saat perayaan 17 Agustus, ia bersama warga lain terbiasa menjadi satu kepanitiaan atau tim untuk melaksanakannya. Ide dan gagasan dibahas bersama. Ia sebagai pengurus RT mengadakan penyuluhan soal kesehatan pada warga. Banser, yang dikomandani Syahrul juga sudah biasa saat perayaan Natal menjaga Samadi dan gereja-gereja di Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
37
sekitar Klender demi keamanan. Kebiasaan ini sudah lama dilakukan dan selama ini kerjasama dilakukan secara baik. Bahkan, dengan pemuda Kristen dari Buaran yang terletak di timur Klender, Syahrul dan teman-temannya di Banser biasa melakukan pertemuan rutin tiap bulan. Pertemuan ini semangat utamanya adalah silaturahmi, selain itu juga untuk update kondisi sosial atau kegiatan yang mungkin bisa dikerjakan bareng. Tempat pertemuan tidak monoton, bisa di rumah makan bahkan di gereja. Masing-masing menjaga sesuai keyakinannya masing-masing. Panti Asuhan milik Dinas Sosial yang terletak di Jl Haji Maisin, juga menjadi ajang anak-anak warga Klender untuk berkumpul dan bermain. Meski tidak terlalu luas, tetapi anak-anak dari berbagai etnis agama terbiasa main bersama di sana, termasuk dengan penghuni panti itu sendiri. Sugiyanto, salah seorang staf panti mengatakan bahwa tempatnya bekerja memang terbuka, meski ada keamanan yang menjaga di pos depan pintu masuk. Bahkan sebelumnya acara-acara warga kerap menggunakan fasilitas panti. Samadi sendiri, sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat juga kerap mengadakan bakti sosial. Bantuan yang diberikan biasanya adalah sembako dibagi-bagikan kepada warga yang membutuhkan. Kadang dibagi sendiri oleh staf-staf Samadi, tetapi jika tidak memungkinkan maka dititipkan kepada RT, sebab ia lebih tahu mana warganya yang membutuhkan.
38
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
B.4. Pasang Surut Toleransi di Klender Nurul Huda, saat masih di bangku SMA awal tahun 90-an, ia ingat waktu itu ada selebaran yang menyebutkan bahwa Samadi melakukan kristenisasi. Selebaran itu tidak menyebut sumbernya sehingga dikatakan sebagai selebaran gelap. Warga sempat resah, meski tidak sampai terjadi konflik. Menurut Subhan dan Syahrul pada tahun 97 atau 98an GERAK, yang dikomandani Komaruddin Arif dan Subhan Amir pernah beberapa kali “memaksa” kebaktian di Samadi dibubarkan, setelah berkoordinasi dengan aparat. Namun saat kami konfirmasi kepada ketua RT maupun sumber yang lain dikatakan mereka tidak tahu menahu. Bahkan setahu mereka kejadian seperti itu tidak pernah terjadi. Pengakuan dari Muhammad Amin, sebagai Ketua RT, setiap kali ganti pimpinan di Samadi, pasti mereka datang ke rumahnya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali untuk diskusi dan urun rembug tentang masalah sekitar. Namun, Kiai Mundzir sebagai salah seorang paling sepuh yang ada saat ini di Klender, mengatakan bahwa pastur dari Samadi sudah tidak pernah berkunjung lagi silaturahmi ke rumahnya. Padahal letak rumahnya dengan Samadi amatlah dekat. Karena itu Kiai Mundzir tidak tahu banyak mengenai perkembangan Samadi saat ini. Ketertutupan Samadi belakangan ini diakui pula oleh Soffi Ihsan. Saat ini anak-anak tidak bisa lagi main di dalam kompleks Wisma Samadi. Lapangan yang dulu biasa digunakan untuk main bola sudah berubah, sehingga menyulitkan mereka untuk bermain. Demikian pula anakToleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
39
anak Samadi yang dulunya suka meminta dahan pinus di rumahnya juga sudah tidak ada lagi. C. Kesimpulan Dari temuan di lapangan ada beberapa kesimpulan: 1. Warga Klender dengan basis keislamannya yang kuat memiliki toleransi yang tinggi terhadap warga yang berbeda agama 2. Toleransi itu mewujud karena peran ulama-ulama besar Klender yang menanamkan sikap itu kepada santri dan warganya 3. Saling berkunjung dan terbuka, satu pihak dengan pihak lainnya memperkuat ajaran dari para ulama untuk menciptakan lingkungan yang rukun 4. Arena-arena pergaulan bersama, dari perayaan 17 agustusan, temu warga, dan perayaan lain mempererat hubungan antara warga sehingga terhindar dari kesalahpahaman 5. Mulai menguatnya kelompok Islam yang agak radikal cukup mengganggu keharmonisan hubungan antarwarga yang berbeda agama 6. Ketertutupan satu pihak kepada pihak lainnya menimbulkan kecurigaan dan mengikis saling percaya antarwarga
40
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
D. Rekomendasi Dari kesimpulan-kesimpulan di atas, maka rekomendasi berkaitan dengan membangun toleransi antarwarga di Klender: 1. Semangat keterbukaan perlu dikuatkan lagi sehingga tumbuh kepercayaan satu pihak dengan pihak lainnya 2. Tradisi saling mengunjungi yang kini luntur, seyogyanya disuburkan kembali untuk merekatkan jalinan sosial yang mulai kusut 3. Keberadaan ulama yang diikuti oleh warganya menjadi pokok yang sangat krusial demi menjaga keharmonisan antarwarga, karena itu kembali dekat dengan ulama harus dilakukan 4. Arena-arena yang memberi ruang dan waktu bagi warga yang berbeda agama dan kepercayaan harus diperbanyak sehingga mampu menyuburkan semangat toleransi yang ada
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
41
TOLERANSI BERAGAMA DI KOTA BEKASI Ibnu Hasan Muchtar A. Gambaran Umum Wilayah Kota Bekasi secara administratif termasuk bagian dari Jawa Barat, bersamaan dengan itu kota Bekasi juga termasuk salah satu kota besar yang menjadi satelit Ibukota DKI Jakarta. Kondisi ini kemudian mempengaruhi pola hidup mayoritas penduduk kota Bekasi, yang akibatnya kota bekasi lebih identik dengan Jakarta yang bernuansa perkotaan dengan budaya Betawi yang khas dari pada nuansa Sunda yang identik dengan suasana Jawa Barat. Secara geografis kota Bekasi terletak di sebelah timur Jakarta, berbatasan dengan Jakarta Timur di bagian Barat, Kabupaten Bekasi di Utara dan Timur, Kabupaten Bogor di Selatan, serta Kota Depok di sebelah Barat Daya. Kondisi alam kota Bekasi merupakan daerah dataran rendah dengan kondisi lingkungan sehari-hari sangat panas, temperatur harian rata-rata 23,6 derajat sampai dengan 34,2 derajat celcius, dengan curah hujan antara 32 mm sampai dengan 421 mm, kondisi lahan dipergunakan pemukiman dan bisnis sehingga kota Bekasi pendapatan utamanya dari bidang jasa. Visi kota bekasi saat ini Maju Sejahtera dan Ihsan. Sebagai kota Satelit Ibukota DKI Jakarta, kota Bekasi mengalami kepadatan yang berlebih, sehingga menurut data BPS yang mengacu pada kompilasi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bahwa pada posisi akhir Desember 2009 jumlah penduduk kota Bekasi adalah 42
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
mencapai 1.882.869 jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya tahun 2008 jumlah penduduk kota Bekasi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu sebesar 4,96%. Menurut data terbaru yang dihimpun oleh kementrian Agama Kota Bekasi, komposisi jumlah penduduk menurut Etnis, dan pendatang yaitu, etnis Betawi 20%, Sunda 15%, Jawa 40%, lainnya 25%. Sedangkan komposisi jumlah penduduk menurut Jumlah Pendatang, yaitu masyarakat asli Bekasi 20% dan pendatang 80%. Dan jumlah komposisi penduduk menurut jenis kelamin, yaitu Laki-laki 1.298.000 jiwa sedangkan perempuan 1.272.402 jiwa total jumlah : 2.570.400 jiwa Dalam bidang politik, hampir seluruh partai politik yang terdaftar secara nasional juga terdaftar pada KPUD kabupaten Bekasi yang keseluruhannya berjumlah 12 partai, berikut beserta urutan kursi yang diperoleh, yaitu : Partai PDIP (10 kursi), Partai Keadilan Sejahtera (7 Kursi), Partai Golongan Karya (6 Kursi), Gerindra (5 kursi), Demokrat (4 kursi), PPP (4 kursi), Hanura (4 kursi), PAN (3 kursi), PKB (1 kursi), PBB (0 kursi), Nasdem (0 kursi), PKPI (0 kursi). (data kemenag dan metro.sindonews.com/read/ 889505/31/ini-nama-nama-50-wakil-rakyat-kota-bekasiterpilih-1407562514) Terkait dengan jumlah penduduk berdasarkan agama, menurut data kemenag kota Bekasi tahun 2014, secara berurutan yaitu; Islam dengan pemeluk agama 2.146.807 jiwa, Kristen 182.106 jiwa, Katolik 74.759 jiwa, Hindu 27.952 jiwa, Budha 38.450 jiwa, Konghucu 201 jiwa. Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
43
Total 2.470.275 jiwa. Dari data jumlah penduduk di atas, kota Bekasi merupakan kota yang heterogen baik dari segi etis demikian juga dari segi agama yang dipeluk oleh penduduknya. B. Hasil Temuan Lapangan B.1. Toleransi Masyarakat di Bekasi Kota Bekasi sering digambarkan oleh media mainsteram sebagai salah satu kota yang intoleran, karena beberapa kasus konflik yang pernah terjadi di daerah ini antara lain kasus penolakan warga terhadap penggunaan rumah tinggal yang dijadikan rumah ibadat yang dikenal dengan kasus Ciketing, kasus penolakan warga terhadap masih berjalannya kegiatan yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Selain kasus-kasus konflik yang pernah terjadi, intoleransi yang dilekatkan pada kota Bekasi juga sering dikorelasikan dengan menguatnya pemahamanpemahaman Islam yang dianggap radikal, yang sering dianggap anti toleransi. Tentu pandangan ini memiliki banyak kelemahan dan perdebatan yang sangat panjang. Di balik potret intoleransi yang dibesar-besarkan oleh media massa mainstream, ternyata kondisi objektif kota Bekasi sejatinya menunjukkan fakta kerukunan yang cukup baik dan tingkat toleransi yang sangat tinggi, kesimpulan ini didukung dengan banyak faktor, diantaranya sebagai berikut ini. Jika diperhatikan pada data Kementerian Agama kota Bekasi tahun 2014 yang telah disebutkan di atas tentang 44
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
jumlah penganut agama, menunjukkan bahwa agamaagama yang ada di kota Bekasi ini dapat hidup berdampingan dengan baik, jika dianalisa secara psikologi dapat dikatakan bahwa di bawah sadar masyarakat Kota Bekasi merupakan masyarakat yang dapat menerima perbedaan bahkan dalam agama sekali pun. Dan ini hakikatnya menjadi modal besar untuk pengembangan toleransi di masa mendatang. Fakta lainnya yang mendukung kerukunan dan toleransi di Kota Bekasi yang berkembang cukup baik, dapat dilihat pada terpeliharanya rumah ibadat dari berbagai agama yang ada di Kota Bekasi, menurut data Kementerian Agama tahun 2014, untuk Islam terdapat 950 masjid 1.470 mushalla, Kristen memiliki 78 gereja (definitif) dan 187 rumah ibadat di rumah tinggal/mall/ruko/hotel yang dijadikan tempat ibadah. Katolik memiliki 6 gereja (definitif), Hindu 2 Pura dan 12 tempek. Budha memiliki 9 Vihara dan Konghucu memiliki 1 Kelenteng. Demikian pula terpeliharanya sejumlah lembaga pendidikan dengan khas keagamaan dari berbagai pemeluk agama. Dalam pendidikan dan administrasi hukum, Kota Bekasi merupakan salah satu (atau bahkan satu-satunya) kota yang telah melakukan sosialisasi Peraturan Bersama Menteri (PBM) nomor 9 dan 8 tahun 2006 sampai tingkat kelurahan, tidak hanya kepada pemeluk agama minoritas tapi juga kepada pemeluk agama Islam, selain itu kota Bekasi juga telah memiliki peraturan walikota (perwal) tentang pendirian rumah ibadat, hal ini tentunya mendukung kerukunan dan toleransi di Kota Bekasi. Dan keterlibatan pemerintah Kota Bekasi secara aktif membangun kerukunan masyarakat ini perlu mendapatkan Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
45
apresiasi. Di sisi lain, pemerintah kota Bekasi aktif dalam memfasilitasi pertemuan dan komunikasi tokoh lintas agama, lintas ormas untuk mencairkan berbagai permasalahan yang muncul di kota Bekasi. Dalam aspek sosial, pemerintah Kota Bekasi juga memfasilitasi tempat pemakaman umum (TPU) bagi semua pemeluk agama, dan ini sudah dimanfaatkan secara maksimal oleh masing-masing pemeluk agama. Bahkan umat Hindu diberikan bagian di TPU Perwiran (Bekasi Utara), karena memang jarang ada yang dimakamkan, bagian itu sudah banyak dimanfaatkan oleh umat lain, umat Hindu saat ini memanfaatkan TPU yang ada di Kampun Jaha, Jati Asih. B.2. Pemaknaan Toleransi Beragama dari berbagai Pemeluk Agama di Kota Bekasi Secara umum masyarakat Kota Bekasi mencerminkan masyarakat yang toleran, adapun beberapa konflik yang mengemuka umumnya tidak menjadi warna dominan bahkan terkesan hanya dibesar-besarkan oleh media massa, selain itu pemerintah Kota Bekasi dan ormas yang ada juga terlibat aktif dalam mewujudkan kerukunan. Oleh karenanya, penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat Kota Bekasi memaknai toleransi. Umat Islam sebagai mayoritas di Kota Bekasi, umumnya memahami dan menerapkan toleransi hanya dalam dimensi sosial atau mu’amalah, sedangkan untuk urusan teologi atau akidah dan ibadah, maka umat Islam meyakini dan mengamalkannya sesuai ajarannya masingmasing. Toleransi pun dipahami sebagai sikap mempersilakan agama lainnya untuk menjalankan 46
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
agamanya masing-masing selama tidak mengganggu kehidupan beragama yang lainnya. Pemaknaan toleransi yang berkembang di kalangan Kristen dan Katolik juga hampir sama yang dmaknai oleh umat Islam. Toleransi dimaknai sebagai sikap menghormati setiap ajaran agama yang berbeda, mencakup tata-cara beribadat yang dilakukannya baik waktu maupun tempatnya dan tidak melakukan hal-hal yang bersifat menodai ataupun menghina bahkan mengganggu jalannya beribadat suatu agama yang dilakukan umat agama lain. Termasuk di dalamnya adalah menjaga harmoni dalam kehidupan sehari-hari Toleransi dalam agama Buddha dianggap bersumber dari ajaran sang guru Buddha itu sendiri, dimana Buddha mengatakan bahwa kebenaran yang dibawanya hanya segenggam tangan saja, dalam arti bahwa pada selain agama Buddha terdapat juga kebenaran karena menuju Tuhan. Kalangan Hindu di Kota Bekasi memaknai toleransi mencakup sikap empati dan simpati yang ditujukan kepada mereka yang memeluk ajaran agama dan atau kepercayaan yang berbeda dari agama yang dianut. Selain itu memberikan ruang yang leluasa bagi pemeluk agama lain untuk beraktivitas sesuai dengan agama dan keyakinannya serta sikap tidak turut campur terhadap agama dan keyakinan seseorang. Demikian pula toleransi bagi umat Konghucu sebagai sesuatu yang diperintahkan dalam agamanya dimana semua yang ada di penjuru mata angin semuanya adalah saudara.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
47
B.3. Hal-hal yang Tidak Disukai Umat Beragama Terhadap Umat Beragama Lain Hasil rangkuman dari wawancara yang dilakukan terhadap sejumlah informan dari kalangan pemuka agama dalam kaitannya dengan kebiasaan yang dilakukan umat beragama lain, secara prinsip tidak ada hal-hal yang tidak disukai. B.4. Bentuk-Bentuk Toleransi Beragama Bentuk-bentuk toleransi beragama di kalangan umat beragama di Kota Bekasi terlihat dalam hubungan sosial yang baik yang dilakukan oleh kalangan umat beragama dalam menyikapi dan memperlakukan berbagai kegiatan keagamaan yang tercakup dalam aspek-aspek keagamaan seperti: Penyiaran Agama Penyiaran agama kepada umat lain tidak disetujui oleh mayoritas informan. Sebab dikhawatirkan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan. Namun, informan dari Katolik mengemukakan bahwa jika penyiaran itu atas undangan dan persetujuan kelompok pengundang maka penyiaran agama terhadap umat lain diperbolehkan. Satu hal yang harus diperhatikan adalah tidak boleh ada paksaan di dalamnya. Pendirian dan Keberadaan Rumah Ibadat Masyarakat pada dasarnya tidak keberatan terhadap pendirian rumah ibadat umat beragama selain agamanya sendiri selagi proses pendiriannya sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku.
48
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Pendirian rumah ibadat adalah salah satu isu toleransi yang utama dan mengemuka di Kota Bekasi, berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya pernah terjadi beberapa konflik terkait hal ini di Kota Bekasi, seperti kasus HKBP Pondok Timur (kasus Ciketing), GPIB Komplek Galaxi, Persoalan 3 Gereja di Manseng Bekasi Utara dan Kasus Gereja Santa Clara Kelurahan Harapan Baru. Berkaitan dengan pendirian rumah ibadat ini, penting kita mengetahui bahwa tokoh-tokoh Islam di Kota Bekasi tidak mempermasalahkan pendirian rumah ibadat penganut agama selain Islam selama pendiriannya berdasarkan kepada undang-undang dan peraturan yang telah ada, antara lain seperti SKB 3 menteri, aturan tentang PBM dan peraturan Walikota tentang hal ini, hal ini diamini oleh umat agama lain. Adapun konflik yang pada akhirnya terjadi, selain karena penganut agama tertentu yang melakukan aktifitas keagamaannya tidak sesuai peraturan yang ada, masyarakat Islam Kota Bekasi juga masih menilai adanya ketidakjujuran atau manipulasi dari penganut agama tertentu yang ingin mendirikan rumah ibadat untuk memenuhi unsur-unsur dalam persyaratan pendirian rumah ibadat. Perayaan Hari Besar Keagamaan Pada setiap acara perayaan/peringatan hari besar keagamaan, umat beragama yang tidak seagama dengannya dapat ikut serta merayakan selain kegiatan ibadat yang sakral yang dilakukan di rumah ibadatnya masing-masing. Pada kesempatan ini ada sebagian Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
49
penganut agama yang berbeda ikut membantu persiapan acara bahkan ikut hadir dalam acara peringatan hari besar keagamaan tersebut yang bukan ritualnya. Perawatan dan Pemakaman Jenazah Dalam hal perawatan dan pemakaman jenazah, bentuk toleransi yang terjadi di kalangan umat beragama berupa membantu persiapan sarana dan prasarana pemakaman, atau sekedar turut hadir berbelasungkawa. Sedangkan merawat dan yang memakamkan jenazah dilakukan oleh masing-masing pemeluk agama dengan tata cara agamanya masingmasing. Perkawinan Beda Agama Di Kota Bekasi pada umumnya sangat jarang sekali terjadi pernikahan atau perkawinan beda agama. Sebagian informan (Islam) menolak perkawinan beda agama, tetapi ada informan lain (Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu) yang menegaskan bahwa perkawinan adalah hak asasi, mereka tidak mempermasalahkan pernikahan beda agama. Pengangkatan Anak Menurut beberapa informan bahwa mengangkat atau mengadopsi anak dalam rangka membantu keberlangsungan kehidupan anak sebagai generasi harapan bangsa, boleh-boleh saja. Karena hal itu dibenarkan oleh agama maupun undang-undang adopsi anak, sepanjang ada kesepakatan antara kedua belah pihak dan anak mendapat hak asuh dan pendidikan seperti anak kandung sendiri. 50
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
B.5. Potret Toleransi dan KUB di Kampung Sawah Kecamatan Pondok Melati Kampung Sawah merupakan salah satu Kelurahan dari Kecamatan Pondok Melati Kota Bekasi, Kampung Sawah menjadi potret penting terjalinnya kerukunan dan toleransi di Kota Bekasi, dimana dalam satu lokasi terdapat tiga rumah ibadat yang berdekatan bahkan bersebelahan. Selama ini kehidupan dan aktifitas sehari-hari di kampung ini berjalan dengan sangat harmonis, toleran dan saling menghargai antar para pemeluknya. Tiga rumah ibadat yang berdiri di kampung ini, yaitu Masjid Fi Sabilillah, Gereja Katolik Santo Servatius dan Gereja Kristen Pasundan. Secara historis, warga Kampung Sawah berasal dari satu rumpun atau satu keturunan awalnya yaitu penganut agama Islam. Akibatnya hubungan kekeluargaan sangat terlihat akrab, tentunya karena terikat oleh tali persaudaraan bahkan ada dalam satu keluarga terdapat beberapa penganut agama. Suasana demikian didukung oleh lokasi desa yang pada saat itu terpencil. Sehingga satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Dan saling membantu apabila mendapat kesusahan. Keadaan saling menunjang ini membuat kerukunan beragama secara kasat mata cukup tercipta di Kampung Sawah. Sebagaimana disebut di atas, pada awalnya hampir semua warga Kampung Sawah menganut agama Islam, Penganut agama Kristen baru hadir di Kampung Sawah pada tahun 1886, yakni ditandai dengan munculnya jemaat Meester F.L. Anthing di bawah perhimpunan pekhabaran Injil Belanda. Pada akhir 1880-an perkembangan Protestan kian pesat, akibat banyaknya jemaat dari Mojowarno Jawa Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
51
Timur dan Lereng Gunung Muria Jawa Tengah yang hijrah ke Kampung Sawah. Dari sini pemeluk agama Kristen mulai menjadi multietnis. Pada tahun 1895, pemeluk agama Kristen pecah menjadi tiga kelompok, salah satu darinya memilih Katolik Roma. Meski pada saat itu tidak sadar bahwa Katolik bukan bagian dari Kristen Protestan. Perkembangan agama Katolik di Kampung Sawah ditandai dengan pembaptisan 18 putera setempat pada 6 Oktober oleh Pater Bernardus Scwheitz dari Katedral Batavia. Penganut Kristen di Kampung Sawah kemudian membentuk sistem marga, tradisi ini tidak ditemukan di Betawi lainnya, misalnya: Baiin, Saiman, Bicin, Napiun, Kadiman, Dani, Rikin dan kelip. Penganut agama Katolik di kampung Sawah pada tahun Yubelium (tahun peringatan) mengakui memiliki 3.920 Jiwa. Yang terdiri atas: 1.410 jiwa suku Jawa (37%), 760 Jiwa asal Nusa Tenggara Timur (18%), 370 Jiwa asal Tapanuli dan Batak (10%), 220 Jiwa warga keturunan Tionghoa (7%), 120 jiwa Sunda dan Betawi non Kampung Sawah (3%), 90 Jiwa dari suku-suku lainnya (2,5%), dan 670 asli Kampung Sawah (20%). Saat ini, sebenarnya faktor kekerabatan bukan satu-satunya hal utama yang memelihara kerukunan dan toleransi antara pemeluk agama Islam, Kristen dan Katolik di kampung Sawah, apalagi dengan makin dipadatinya kampung ini dengan pendatang, dan hampir 80% penganut Katolik kampung Sawah bukan penduduk asli. Ada faktor-faktor lainnya yang mendukung toleransi di kampung ini, antara lain kearifan para tokoh agama untuk membangun kerukunan, baik dari kalangan muslim 52
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
sebagai mana disampaikan Shalahuddin Malik, beliau meyakini semakin seseorang memahami agama Islam dengan baik dia akan semakin toleran, namun membatasi toleransi hanya dalam batasan mu’amalah, tidak pada teologi. Demikian juga yang disampaikan Romo Ipung dari Paroki Gereja Katolik Servatius, toleransi yang mungkin dibangun adalah dialog sosial antara para pemeluk agama, inilah yang menurutnya mendukung terwujudnya kohesi sosial, beliau pun mengakui bahwa warna utama yang tumbuh di kampung ini adalah toleransi dan kerukunan. Toleransi di kampung ini didukung dengan ikatan kekerabatan antara para pemeluk agama di kampung ini, selain itu untuk menjaga kesinambungan toleransi di kampung ini, para tokoh agama pun berperan dengan memberikan pendidikan agama yang benar. Bentuk toleransi yang dikembangkan di kampung Sawah, ada pada tataran sosial kemasyarakatan, seperti bergotong royong dalam kegiatan membersihkan kampung, perayaan kemerdekaan, saling berkunjung antar tokoh agama dan saling menyediakan lahan parkir pada hari-hari raya agama bagi agama yang lainnya. Ada beberapa usaha yang diupayakan untuk menjaga terpeliharanya toleransi dan kerukunan di kampung ini antara lain; mendirikan Radio Komunitas Kampung Sawah, menerbitkan Koran Kampung Sawah yang terbit sebulan sekali. Selain itu adanya usaha memelihara sikap toleransi di Ikatan Sekolah Swasta Kampung Sawah, yang mana terdiri dari berbagai sekolah swasta di Kampung Sawah
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
53
yang berlatar belakang keagamaan, mencakup Islam, Kristen dan Katolik. B.6. Faktor yang Mendasari Beragama dan Aktornya
Terbangunnya
Toleransi
Di Kota Bekasi yang menjadi unsur utama dasar terbangunnya toleransi beragama adalah faktor budaya berupa gotong royong dan saling menghargai yang masih eksis dalam kehidupan masyarakat. Dalam penyelesaian kasus-kasus yang terjadi di antara anggota masyarakat maka diselesaikan melalui musyawarah atau dialog. Pada prinsipnya hidup bermasyarakat di kalangan warga umumnya untuk menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam hidup tanpa melihat latar belakang etnis, suku, maupun agama, yang pada gilirannya terbangun toleransi beragama. Toleransi beragama di Kota Bekasi juga didukung oleh kebijakan Pemerintah Kota Bekasi melalui kegiatankegiatan yang dilakukan oleh Kesbangpol dengan melakukan dialog-dialog pemuka lintas agama dan juga sosialisasi PBM Tahun 2006 yang dilakukan pada setiap tingkatan pemerintahan seperti Kasi Kessos pada tingkat kelurahan sampai kepada pengurus rukun warga (RW). Di samping itu juga peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi juga tidak dapat dilepaskan dalam rangka menjaga dan meningkat Kerukunan baik internal dalam satu agama maupun antarumat beragama. Untuk Kota Bekasi tidak terlihat aktor/motivator yang menonjol dari kalangan tertentu baik secara individu maupun secara terorganisir yang melembaga selain peran 54
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
pemerintah daerah yang dikomandani oleh Walikota dan Wakil Walikota beserta jajarannya seperti Badan Kesbangpol, Kementerian Agama dan FKUB yang mendapat support baik sarana maupun prasara dari Pemda dan Kementerian Agama Kota Bekasi. Analisa Pemaknaan toleransi yang berkembang di masyarakat kota Bekasi memiliki akar yang kuat, karena didukung oleh faktor kultural, baik kultur yang bersumber dari nilai dan ajaran agama atau nilai-nilai adat istiadat yang masih ada. Oleh karenanya, pemaknaan toleransi pun beragam, yang pada umumnya mengatakan bahwa nilai dan ajaran agama mendorong sikap toleran dengan batasan masing-masing. Selain faktor kultural, peran pemerintah juga cukup penting dalam memelihara iklim rukun dan toleran di kota Bekasi, yang mana pemeritah berperan aktif menyelenggarakan dialog-dialog antar pemeluk agama yang ada, mensosialisasikan berbagai peraturan yang dapat memelihara toleransi. Serta tanggap dalam penyelesaian berbagai konflik yang ada. C. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dijelaskan di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat Kota Bekasi memiliki modal besar untuk membangun sikap rukun dan toleran, beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Masing-masing informan memahami toleransi yang berbeda namun intinya saling mengakui keberadaan Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
55
masing-masing agama, membiarkan untuk beribadat sesuai dengan ajaran agamanya, dan saling membantu sepanjang tidak memasuki wilayah teologi masingmasing agama; 2. Tidak terdapat hal-hal yang spesifik untuk menyukai dan atau tidak menyukai sesuatu yang dilakukan oleh penganut agama tertentu; 3. Beberapa bentuk toleransi yang dilakukan dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari bertetangga seperti dalam hal misalnya penyiaran agama, pembangunan dan keberadaan rumah ibadat, perayaan hari-hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, perkawinan beda agama dan pengangkatan anak asuh; 4. Faktor budaya berupa gotong royong dan saling menghargai yang masih eksis dalam kehidupan masyarakat di Kota Bekasi menjadi unsur utama masih terwujudnya komunitas yang rukun dan toleran seperti yang terjadi di Kampung Sawah. Dalam penyelesaian kasus-kasus yang terjadi di antara anggota masyarakat maka diselesaikan melalui musyawarah atau dialog; 5. Pernah terjadi perselisihan antarumat beragama di Kota Bekasi seperti kasus Ciketing, kasus Manseng, kasus penolakan terhadap Jamah Ahmadiyah Indonesia. Penyebab terjadinya kasus-kasus ini karena belum dipahami sepenuhnya PBM tahun 2006 dan SKB 3 Menteri tahun 2008; 6. Berbagai upaya pencegahan, pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat/tokoh agama 56
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
melalui dialog secara periodik dan dilakukan pada setiap level masyarakat. D. Rekomendasi Sekalipun toleransi beragama di kalangan umat beragama di Kota Bekasi telah tercipta dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, namun masih juga sering terjadi riak-riak kecil yang terjadi baik internal Islam maupun antar umat beragama khususnya berkaitan dengan pendirian rumah ibadat. Oleh karena itu para informan menyarankan: 1. Para pemuka agama perlu terus melakukan pembinaan terhadap umatnya masing-masing untuk meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan ajaran agamanya melalui media apapun sepanjang tidak melampaui batas-batas pemahaman toleransi yang disepakati dan disampaikan dengan cara yang bijak sehingga tidak menimbulkan ketersinggungan di pihak yang lain; 2. Walaupun tidak terdapat hal-hal yang spesifik disukai dan atau tidak disukai terhadap penganut agama lain, diharapkan pemuka agama dapat terus mempertahankan hal-hal yang dianggap baik walaupun yang melakukannya bukan dari penganut agama yang sama; 3. Bentuk-bentuk toleransi yang telah berjalan dengan baik yang terlihat dalam uraian di atas perlu dipertahankan dan bahkan dapat ditingkatkan pada masa-masa mendatang;
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
57
4. Budaya gotong royong, saling kunjung-mengunjungi, menghormati satu dengan lain antarumat beragama perlu ditingkatkan melalui pertemuan-pertemuan dari tingkat/level Rukun Tetangga, Rukun Warga dan pada tingkat Kelurahan sampai dengan Kota. Hal ini bisa berjalan jika dihimbau bahkan diperintahkan oleh pemerintah daerah; 5. Perlu peningkatan peran lembaga semacam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) dengan cara penambahan frekuensi kegiatan yang mengikutsertakan berbagai unsur umat beragama untuk menggalang kebersamaan yang dananya difasilitasi oleh Pemerintah Daerah dan Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi; 6. PBM tahun 2006 dan SKB 3 Menteri perlu terus disosialisasikan kepada berbagai unsur umat beragama terutama kepada para pengurus gereja baik gereja permanen maupun pengurus gereja-gereja yang semi permanen; 7. Perlunya dialog dan pertemuan rutin antartokoh umat beragama untuk meningkatkan komunikasi rutin sehingga semakin kenal dan semakin dekat sehingga saling menghormati perbedaan; 8. Perlu adanya UU atau peraturan pemerintah yang yang lebih tegas dalam hubungan/interaksi antarumat beragama, sehingga ketegasan dalam sanksi hukum bagi yang melanggar dapat ditegakkan.
58
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
ISU RADIKALISASI DAN KRISTENISASI DIANTARA PILAR-PILAR TOLERANSI DI KOTA BOGOR Zainuddin Daulay A. Gambaran Umum Wilayah Kota Bogor adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 59 km sebelah selatan Jakarta, dan wilayahnya berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Dahulu luasnya 21,56 km², namun kini telah berkembang menjadi 118,50 km² dan jumlah penduduknya 949.066 jiwa (2010). Bogor dikenal dengan julukan kota hujan, karena memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah 68 kelurahan. Pada masa kolonial Belanda, Bogor dikenal dengan nama Buitenzorg (pengucapan: boit'nzôrkh", bœit'-) yang berarti "tanpa kecemasan", "aman tenteram" atau damai. Hampir secara umum penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran sehingga hari jadi Kabupaten Bogor dan Kota Bogor diperingati setiap tanggal 3 Juni, karena tanggal 3 Juni 1482 merupakan hari penobatan Prabu Siliwangi sebagai raja dari Kerajaan Pajajaran. Secara geografis Kota Bogor terletak di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Disisi lain, letak Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
59
strategis geografis ini membawa dampak pertumbuhan Kota Bogor menjadi sangat tinggi, yakni kurang lebih 2%/tahun dan berkembang sangat majemuk. Luas Wilayah Kota bogor sebesar 11.850 Ha, terdiri dari 6 kecamatan, yakni Bogor Selatan, Bogor Timur, Bogor Utara, Bogor Tengah, Bogor Barat (fokus lapangan penelitian) dan Tanah Sareal. Secara administratif kota Bogor dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor yaitu; Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede dan Sukaraja; Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Ciawi; Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Ciomas; dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Caringin, semuanya merupakan wilayah Kabupaten Bogor. Perekonomian Kota Bogor didominasi oleh sektor industri, perdagangan dan jasa-jasa. Sedangkan sektor lainnya menempati sebagian kecil saja. Di samping itu Kota Bogor memiliki berbagai potensi wisata yang terus berkembang sehingga merupakan salah satu andalan perekonomian daerah setempat. Sebagian besar penduduk Kecamatan Bogor, termasuk Bogor Barat adalah sebagai pegawai swasta, buruh dan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Mudahnya jalur commuter menuju Jakarta membuat banyak pekerja di kantor-kantor swasta yang beraglomerasi di daerah Jakarta dan sekitarnya, memilih untuk tinggal di Bogor akan tetapi melakukan kegiatannya di luar Kota Bogor. Kondisi kehidupan beragama warga masyarakat di wilayah Bogor dan Bogor Barat pada umumnya berjalan 60
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
cukup kondusif karena adanya peran serta aktif dari tokoh agama dan masyarakat, tersedianya sarana ibadah, penyuluh agama, lembaga pendidikan dan lembaga lintas agama, warisan budaya dan sebagainya. Namun, sebagai daerah yang memiliki posisi strategis, dan tarik menarik berbagai kepentingan yang tinggi, tak terelakkan imbas terhadap kehidupan beragama juga terjadi, seperti melambungnya isu kristenisasi dan radikalisasi. Komposisi umat beragama di Kota Bogor tahun 2014 seperti berikut: Islam 764.401 orang, Kristen 34.016 orang, Katolik 18.619 orang, Hindu 4.750 orang, Buddha 5.988 orang, Konghucu 448 orang, dan lainnya 54 orang. Sebagaian besar penduduk tersebut terkonsentrasi di Bogor Barat, yakni Islam 200.421 orang, Kristen 5.182 orang, Katolik 2.730 orang, Hindu 284 orang, Konghucu 0 orang, dan lainnya 0 orang. Adapun ketersediaan sarana ibadah di kota Bogor; masjid 760 unit, langgar 1.094 unit, gereja Kristen 20 unit, gereja Katolik 16 unit, Pura, Kuil/Sanggah 3 unit, Vihara/Cetya/Klenteng 4 unit. Di Bogor Barat sendiri tercatat jumlah masjid sebanyak 164, langgar 52, musholla 175. Selain tempat ibadat, terdapat lembaga pendidikan keagaman Islam majelis ta’lim tercatat sebanyak 860. Angka-angka komposisi agama dan sarana ibadah menunjukkan bahwa Bogor Barat berkembang seakan wilayah yang dominan Islam. Perkembangan demikian dapat dimaklumi mengingat Bogor Barat merupakan wilayah pemukiman dengan ditunjang akses jalan dan pariwisata yang terus diperluas.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
61
B. Hasil Temuan Lapangan B.1. Makna Bertoleransi: dari konservatif ke konvensional Dalam penelitian ini terungkap keinginan masyarakat Kota Bogor akan makin pentingnya toleransi ke depan. Hal ini terlihat dari pengertian toleransi yang dirumuskan oleh berbagai pihak. Esensinya bukan lagi sekedar mentolerir umat lain dapat menjalankan keyakinan agamanya dalam bentuk ibadah, melainkan berupa keinginan untuk lebih dapat memanusiakan manusia lainnya. Pemikiranpemikiran tentang toleransi yang dapat dijaring, antara lain: Toleransi, tidak saling mengganggu. Dalam konteks ini acuan utama adalah ajaran agama, misalnya Islam seperti “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Senada dengan ini ditemukan pemaknaan toleransi yang lain, yaitu “Sesama muslim bersatu dalam akidah, berjamaah dalam beribadah, dan ber-tasamuh (tenggang rasa) dalam khilafiyah (perbedaan)”. Dengan demikian toleransi dengan umat beragama lain adalah dalam konteks kehidupan sosial bukan dalam kaitan ibadah apalagi akidah. Oleh karena itu umat beragama lain diharapkan supaya saling menghormati ibadah dan tidak mengganggu dalam hal akidah. Toleransi merupakan penghargaan manusia berbeda kepada manusia lainnya dalam bentuk memberikan manfaat bagi semua orang. Toleransi ini dapat terwujud manakala hak dan kewajiban bersama dapat berjalan. Terkait dengan pemahaman ini, perwakilan umat Kristen menjelaskan bahwa di kalangan internalnya telah digalakkan agar kehadiran umat menjadi motivasi 62
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
dan manfaat bagi sesama. Umat Kristen supaya tidak perlu alergi berkomunikasi dengan umat lain. Oleh karena itu diperlukan wadah bersama untuk pertemuan rutin guna untuk mensejahterakan masyarakat. Di kalangan Nahdlatul Ulama pemahaman bertoleransi seperti ini diwujudkan lebih jauh dengan bersama-sama tokoh agama lain membentuk Badan Sosial Lintas Agama (BASOLIA) tahun 2007, merupakan wadah sosial yang diurus bersama untuk menghimpun dana serta menyalurkannya bagi yang membutuhkan. B.2. Pilar-Pilar Penyangga Toleransi kearifan lokal/warisan budaya Secara umum dalam bidang kebudayaan, masyarakat Kota Bogor terbagi ke dalam dua jenis, yaitu masyarakat asli yang masih mempertahankan kebudayaan Sunda dan ajaran rukun yang diwarisi, dan masyarakat kota yang mulai mengembangkan budaya perkotaan namun masih memiliki warisan budaya lokal asal daerah serta mendapat pengaruh budaya Sunda. Intensitas interaksi antar masyarakat seperti itu melahirkan nilai-nilai sosial dan model kebersamaan atau kepedulian baru seperti tercermin pada lembaga sosial BASOLIA dan sepak terjang berbagai oleh aktivis kemanusiaan. Dalam kehidupan masyarakat asli, budaya Sunda mengenal ungkapan kearifan lokal “Asah, Asih dan Asuh”. Ungkapan ini merupakan simbolisasi dari kepedulian saling memperdulikan, menghargai dan
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
63
menghormati di antara sesama, meskipun berbeda latar belakangnya (Puniman, 2006 : 68). Perkembangan belakangan, gejala yang muncul, terutama di kalangan masyarakat pendatang adalah berkembangnya sikap kurang peduli terhadap budaya Sunda. Di samping itu masyarakat Sunda sendiri karena berbagai faktor mulai kurang mengenal budaya sendiri, diantaranya tidak bisa berbahasa Sunda. Ini mencemaskan sebagian tokoh akan semakin terkikisnya budaya toleran, digantikan oleh budaya perkotaan yang kurang mengindahkan nilai-nilai tradisional. Nilai Agama Sama halnya dengan keraifan lokal di atas, nilai agama yang mengajarkan ajaran toleran yang dipunyai setiap agama (seperti disebut terdahulu) yang dikembangkan oleh para tokoh agama memegang peranan penting sebagai penyangga toleransi kehidupan masyarakat Bogor. Sosialisasi ajaran agama kepada masyarakat tentang toleransi sering disampaikan oleh para tokoh agama. Seperti pada acara-acara temu lintas agama yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat.
Lembaga Lintas Agama FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) FKUB kota Bogor memiliki pengurus yang lengkap sesuai ketentuan. Menurut ketua FKUB, KH Zainal Sukri, lembaga FKUB Kota Bogor aktif dalam menyosialisasikan maupun mengedukasi masyarakat tentang toleransi atau kerukunan.
64
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Basolia Badan Sosial Lintas Agama (BASOLIA) dideklarasikan sejak tahun 2007 lalu di Kota Bogor. Kehadiran lembaga ini sangat dirasakan perannya dalam hal kegiatan kemanusiaan oleh berbagai kelompok masyarakat. Prinsip lembaga ini adalah “berdiri di atas semua golongan untuk menyejahterakan rakyat”. Misi yang diemban dari BASOLIA adalah tidak memandang status sosial dan bertindak tidak diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan golongan, serta tetap mengedepankan pendekatan persaudaraan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan serta hidup saling rukun, bekerjasama dalam membangun kehidupan yang lebih layak, dan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pimpinan Basolia saat ini KH. Zaenal Abidin, pengurus Nahdlatul Ulama Kota Bogor. Anggota pengurus lainnya berasal dari tokoh agama Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu.
Aktivis Kemanusian
Aktivis yang peduli terhadap kemanusiaan cukup banyak di Kota Bogor. Di antara aktivis-aktivis tersebut, dikatakan ada yang tanpa pamrih, yakni demi kemanusiaan semata. Namun, sebagian di antaranya ada yang memiliki misi terselubung. Tentu saja aktivis yang dapat menunjang pilar toleransi adalah yang tidak mempunyai misi terselubung tertentu. Di antara yang demikian, terdapat seorang aktivis bernama Ibu Meri, tokoh Buddha yang sangat aktif memberikan bantuan sosial berupa dana pendidikan bagi anak-anak Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
65
terlantar dan kurang mampu tanpa membedakan latar belakang agama dan etnis. Dari keempat pilar toleransi inilah dapat dilihat dampaknya dalam berbagai wujud kegiatan dan upacara keagamaan masyarakat seperti pendirian rumah ibadat, perayaan hari besar keagamaan, dan hidup bertetangga. Dalam pendirian rumah ibadat, selain kasus GKI Yasmin, dalam penelitian ini ditemukan di wilayah yang sama (Kecamatan Bogor Barat) sebuah gereja yang tidak dipersoalkan masyarakat tentang keberadaannya. Dengan demikian, persoalan GKI Yasmin sebenarnya boleh dikatakan sebuah pengecualian karena alasan tertentu. B.3. Gangguan Toleransi Isu Kristenisasi Oleh sekelompok umat Islam, kota Bogor belakangan ini disebut gencar dijadikan sasaran Kristenisasi terselubung. Di antaranya melalui kegiatan sosial berupa bakti sosial, rekreasi penduduk miskin, pencarian jodoh, pengobatan massal, pernikahan beda agama, pembagian alat tulis sekolah, santunan biaya hidup, dan lain-lain. Di Bogor, kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan Maranata dan Basolia. Peneliti dalam penelusuran di lapangan terhadap Basolia, tidak menjumpai sepenuhnya hal-hal yang disebutkan, meskipun di antaranya terdapat fakta-fakta yang menunjukkan demikian. Diantara yang tidak terbukti tersebut, adalah lembaga Basolia, aktif menggandeng tokoh 66
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
umat lintas agama melakukan bantuan sosial secara bersama, tanpa tendensi menukar agama yang dibantu. Isu Radikalisasi Bagi sebagian kelompok non Muslim, khususnya Kristen, melihat di Bogor cenderung berkembang radikalisme agama (dalam hal ini Islam). Tanda-tanda ke arah itu, sering muncul spanduk besar maupun kecil yang bernada mendiskreditkan Kristen, terutama menjelang natal, biasanya dipasang di tempat strategis seperti di jembatan penyeberangan, di dekat terminal dan sebagainya. B.4. Upaya Pemeliharaan Toleransi Pemerintah Pemerintah kota Bogor melalui Kesbangpol dan Kementerian Agama Kota Bogor aktif menggalang toleransi, terutama menyosialisasikan peraturan tentang hubungan umat beragama kepada masyarakat. Dalam sosialisasi ini semua umat beragama dilibatkan. Kegiatan ini dipandang positif oleh seluruh kelompok agama, bahkan diharapkan frekuensinya meningkat. Selain sosialisasi juga lembaga pemerintah aktif mencari jalan keluar dari konflik umat beragama. Masyarakat Di Bogor, bukan hanya pemerintah yang aktif mencari solusi konflik dan meningkatkan toleransi, melainkan lembaga masyarakat turut serta. Di antara Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
67
lembaga yang cukup aktif seperti FKUB dan Lembaga Basolia. C. Kesimpulan Sebagai daerah pewaris budaya Sunda, masyarakat umumnya masih percaya bahwa kotanya adalah daerah yang aman, toleran, dan damai. Adat budaya mereka seperti tersimbolkan dalam uangkapan “asah, asih dan asuh” diyakini mampu menjaga sikap masyarakat tetap terbuka dan bersikap baik kepada siapapun, termasuk para pendatang. Faktor ajaran agama yang sama-sama menyuarakan penghormatan terhadap perbedaan dan masih aktif disuarakan, turut menambah keyakinan terhadap status Bogor sebagai kota yang toleran. Meskipun demikian, tidak sedikit yang mengkhawatirkan dan mencemaskan kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu lama, terutama melihat nilai-nilai agama dan budaya luhur yang kian terdesak. Faktor masyarakat pengampu budaya Sunda yang makin melupakan budaya, para pendatang yang tidak mampu manyatu dengan budaya setempat, faktor sekelompok pengurus agama yang menggandengkan kepentingan di luar konteks kepentingan agama itu sendiri, dapat dilihat sebagai aspek-aspek yang membawa masyarakat ke persimpangan jalan yang berbeda dari jalan sebelumnya. D. Rekomendasi Ada kemungkinan jika isu-isu yang berkembang dalam persoalan hubungan antarumat beragama terus 68
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
berkembang dan dibiarkan, maka pilar-pilar yang menjadi penyangga kerukunan selama ini, lambat laun kian tergerus. Jika hal itu terjadi, maka persoalannya bukan lagi sekedar terkikisnya pilar toleransi, melainkan bisa muncul lebih banyak kasus seperti GKI Yasmin, sehingga status aman dan toleran yang disematkan selama ini ke kota Bogor bisa berubah menjadi sekedar sebutan yang hanya dapat dikenang. Dalam rangka antisipasi hal itu, maka perlu segera dilakukan koordinasi antar pihak dan instansi terkait di Pemkot Bogor (Kankemenag Kota Bogor, Kesbangpol dan Linmas, FKUB, majelis-majelis agama, ormas-ormas keagamaan, lembaga-lembaga sosial lintas agama, tokoh agama, dan sebagainya) untuk merumuskan upaya-upaya pemeliharaan toleransi yang lebih sungguh-sungguh dan spesifik, seperti penguatan kearifan lokal, penyebaran ajaran agama yang damai, dan peningkatan sosialisasi aturan tentang hubungan umat beragama.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
69
TOLERANSI BERAGAMA DI KABUPATEN TEMANGGUNG Haidlor Ali Ahmad A. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Temanggung berdasarkan administrasi kepemerintahan merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Temanggung dibatasi oleh Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang di Sebelah Utara; Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang di Sebelah Timur; Kabupten Magelang di Sebelah Selatan; Kabupaten Wonosobo di Sebelah Barat. Kabupaten Temanggung yang dikenal sebagai lembah gunung Sindoro-Sumbing, terkenal sebagai daerah yang subur dan berhawa sejuk. Wilayah Kabupaten Temanggung sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian antara 500 - 1.450 meter DPL dengan keadaan tanah sekitar 50% dataran tinggi dan 50% dataran rendah.
Kehidupan Keagamaan Jumlah penganut agama di Temanggung berdasarkan Data Statistik Kementerian Agama Kabupaten Temanggungg tahun 2014, sebagai berikut: Islam 724,362 orang, Kristen 19,653 orang, Katolik 14,494 orang, 455 orang, Buddha 12.104 orang, dan lainnya 201 orang. Sedangkan jumlah sarana ibadah yang tersedia adalah 70
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
sebagai berikut: umat Islam tersedia 1,549 mushala dan 1,282 masjid, Kristen 77 gereja, Katolik 4 gereja dan 15 kapel, Buddha 79 vihara dan 7 cetiya.
Kondisi Sosial-Budaya Daerah Temanggung yang terletak di lembah gunung Sindoro dan Sumbing, meskipun dipisahkan dari wilayah budaya Negerigung (Yogyakarta dan Surakarta) oleh wilayah Kota Magelang, namun ciri budaya Temanggung lebih dekat dengan ciri budaya Negerigung daripada ciri budaya Begelen. Tutur bahasa orang Temanggung dapat dikategorikan halus seperti tutur bahasa orang Yogyakarta dan Surakarta. Kasus-Kasus Konflik yang Pernah Terjadi Penangkapan teroris Ibrohim atau Boim, florist Hotel JW Marriott yang menjadi perencana, pengatur, dan pengontrol serangan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada tahun 2009 bersembunyi di Temanggung. Ia ditangkap di Desa Beji Kecamatan Kedu oleh Densus 88. Pelecehan agama Tahun 2011 dimulai oleh penyebaran pamflet yang berisi pelecehan terhadap ajaran Islam oleh orang dari luar Temanggung (Jakarta). Pamflet ini menyebabkan kemarahan massa sehingga terjadi pembakaran rolling door sebuah gereja dan pengejaran terhadap pelaku, yang akhirnya diserahkan kepada aparat polisi. Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
71
Interupsi dari penganut agama lain Dalam acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Kali Manggis Kecamatan Kaloran, dihadiri bukan hanya dari agama Islam, tetapi juga agama lain. Pada saat penceramah secara panjang lebar membeberkan ketauladanan Nabi Muhammad SAW, tiba-tiba ada interupsi dari penganut agama Buddha, dengan mengatakan bahwa di dalam agama Buddha ada teladan yang paling baik, yaitu Sidharta Gautama. Akibatnya terjadi perdebatan hingga suasana memanas. Usai acara tersebar isu akan ada penyerangan terhadap orang Buddha. B. Hasil Temuan Lapangan B.1. Kerukunan dan Toleransi Beragama Kerukunan intern umat beragama Di antara umat Islam ada gesekan. Di antaranya kehadiran Majelis Tafsir Al-quran (MTA) di Temanggung masih belum bisa diterima oleh masyarakat Islam setempat, meskipun sudah ada beberapa orang Temanggung yang mengikuti kelompok ini. Di Telogowiro, pernah ada masjid Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dibakar oleh masyarakat, karena mereka menolak kehadiran LDII. Di luar itu semua, NU dan Muhammadiyah di Temanggung memiliki hubungan yang baik. Antara dua ormas terbesar ini melakukan kerjasama membentuk Forum Umat Islam Bersatu (FUIB), yang berperan dalam menjaga kerukunan.
72
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Kerukunan Antarumat Beragama Kerukunan dan toleransi antarumat beragama di Kabupaten Temanggung cukup terjaga. Gotong royong dan saling membantu adalah hal yang biasa, terutama di daerah pedesaan, sedikit berbeda dengan yang di perkotaan, yang lebih individualis. Apabila diundang oleh tetangga muslim yang menyelenggarakan ritual Tahlilan atau Yasinan, maka umat agama lain datang. Meskipun kemudian berdoa menurut agama masingmasing. B.2. Pemaknaan Toleransi Beragama Masyarakat Temanggung memaknai toleransi, di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Temanggung, seperti Kecamatan Kaloran, Kandangan, dan Bulu memaknai toleransi dengan batasan yang tipis. Jika suatu kelompok mengadakan kegiatan Peringatan Hari Besar (PHB) keagamaan semua unsur masyarakat ikut terlibat di dalamnya. Keterlibatan mereka tidak hanya pada kegiatan kepanitiaan saja, tapi sampai masuk ke inti perayaan. Misalnya saat seorang muslim menyelenggarakan pengajian Yasinan atau Tahlilan, maka umat agama lain turut hadir dan ikut aktif membaca lafadz-lafadz tahlil, tahmid dan takbir. Bahkan banyak keluarga penganut agama Buddha, jika ada anggota keluarganya yang meninggal, mereka mengundang tetangganya yang beragama Islam untuk melaksanakan Tahlilan. Di Temanggung ada banyak pedagang tembakau, 15 persen dari kalangan etnis Tionghoa, sisanya dari kalangan pribumi. Sesama pedagang Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
73
tembakau meskipun berbeda etnis tidak ada permusuhan. Contoh lain di Rumah Sakit Kristen Ngestiwaluyo memiliki banyak karyawan yang beragama Islam. Demikian pula Aula di komplek Gereja Kristen Jawa disediakan untuk umum, kadangkadang disewa untuk kegiatan halal-bihal, pesta perkawinan dari berbagai macam umat beragama. Penyiaran agama Pada tahun 2011 di Desa Pringsurat ada kegiatan penyiaran agama Katolik dengan mendatangkan misionaris dari Turki. Penceramahnya mengenakan jilbab dan menggunakan bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Orang-orang kampung yang datang menganggap menghadiri pengajian, karena menggunakan bahasa Arab. Berkaitan dengan kegiatan seperti itu, informan kami menegur temannya yang dari Katolik dengan mengatakan ‘mbok jangan seperti itulah…!’ (Baehaqi, wawancara, 1 April 2015). Kristen membantu kesehatan di RS Kristen Ngadiwaluyo, merupakan misi terselubung. Baehaqi memperoleh informasi dari jamaah pengajian, ketika ada pasien yang menghadapi sakaratul maut dibawakan salib dan didoakan menurut doa agama Kristen. Ada beberapa anggota masyarakat sekitar yang mengalami hal seperti itu. Memang di RS Kristen Ngestiwaluyo banyak karyawan yang beragama Islam, tapi tidak pada posisi yang menentukan. Bahkan ada yang kemudian berpindah masuk agama Kristen (Baehaqi, wawancara, 1 April 2015).
74
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Pendirian rumah ibadat Masalah pendirian rumah ibadah yang muncul lebih dikarenakan kurangnya komunikasi antara pengguna dengan yang memberi izin. Setelah dibangun kuminikasi dan diarahkan oleh FKUB dan aparat pemerintah terkait, biasanya masalah tersebut dengan mudah dapat mencair. Contoh, ketika umat Buddha memiliki rencana akan membangun vihara, sementara mereka sudah memiliki vihara di depan pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, sempat menimbulkan masalah. Tapi setelah dikomunikasikan, bahwa renacananya setelah berhasil membangun vihara baru, vihara yang di depan pesantren akan ditutup, maka masalah pun mencair. Dalam pendirian rumah ibadah, sepanjang prosedurnya sudah diikuti, dan pembangunannya sudah memenuhi persyaratan, apalagi sudah mendapat IMB, tidak menimbulkan masalah di masyarakat. Perayaan hari besar keagamaan Kehidupan keagamaan di Temanggung, banyak keluarga pelangi, keluarga besar Yuliyanti merupakan keluarga ‘pelangi’, ada yang menganut agama Islam, Kristen, Katolik dan Buddha. Ketika Idul Fitri walaupun tidak setiap tahun ada pertemuan trah. Diambilnya momen Idul Fitri, karena libur pada waktu Idul Fitri merupakan liburan yang pajang. Sedangkan pertemuan trah anak hubungan kelurga tidak putus. Ritual yang digunakan dalam pertemuan trah adalah
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
75
ritual menurut agama Islam (Yuliyanti, wawancara, 31 Maret 2015). Perawatan/pemakaman jenazah Di Temanggung ada beberapa makam khusus Muslim, misalnya makam di Desa Kuncen dan Sumbo. Demikian pula umt Kristen memiliki komplek pemakaman sendiri. Tapi kebanyakan makam merupakan makam untuk umum berbagai agama. Kalau ada warga Katolik yang meninggal dunia ada pembacaan doa selama tiga hari atau hingga tujuh hari, untuk mendoakan yang meninggal dan sekaligus menghibur anggota kelurga yang ditinggalkan. Biasanya diselenggarakan pada jam lima sore. Doanya mengikuti agama yang meninggal, sedangkan yang berbeda agama berdoa menurut agama masingmasing. Sedangkan untuk acara lek-lekan (tidak tidur malam) yang biasa dilakukan kalangan muslim jika ada warga muslim yang meninggal, warga non Muslim yang hadir berada di luar rumah, di teras atau di tenda. Ritual desa Berbeda dengan acara ritual desa, sadranan semua anggota masyarakat baik Islam maupun Katolik bersama-sama datang ke kuburan desa, setiap keluarga membawa ambeng. Acara ritual dipimpin oleh modin (aparat desa yang bertugas dalam ritual-ritual keagamaan Islam). Tradisi ini sudah berlangsung sejak dulu dan diwariskan secara turun-temurun.
76
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Perkawinan beda agama Perkawinan beda agama di Temanggung tidak menimbulkan masalah, dan tidak menimbulkan gejolak di antara kedua belah fihak keluarga maupun masyarakat lingkungan. Dalam perkawinan beda agama biasanya salah satunya ada yang mengalah. Siapa yang mengalah tidak tentu. Biasanya yang mengalah dan melakukan konversi tergantung siapa yang lemah agamanya. Pendidikan agama Pendidikan siswa-siswa Buddha di sekolah negeri maupun swasta milik yayasan dari agama lain semuanya dapat terpenuhi, walaupun banyak guruguru muda agama Buddha yang enggan mengajar di sekolah yang murid Buddhanya di bawah 12 orang. Demikian pula guru agama Kristen cukup tersedia untuk mengajar siswa-siswa Kristen di sekolah swasta umum atau sekolah swasta yang dikelola oleh yayasan pendidikan agama lain. Perkumpulan olah raga Toleransi beragama antarumat terdapat di berbagai bidang olahraga, tidak ada pembedaan. Bahkan antar etnis di Temanggung juga terwujud dalam oragnisasi olah raga senam Taichi. Senam Taichi yang dilakukan di lapangan basket di depan Klenteng Parakan berbagai penganut agama dan etnis berbaur. Dari peserta senam yang berbaur itu ada rasa persaudaraan yang sangat kental. Misalnya, jika ada Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
77
anggota senam yang akan menunaikan ibadah haji, dikunjungi bersama-sama; jika ada sakit ditengok bersama-sama; kalau ada yang kesripahan (tertimpa musibah kematian) layat (datang berbelasungkawa) bersama-sama. Untuk menengok yang sakit dan layat, sebelumnya dalam kegiatan senam ada kardus keliling untuk pengumpulkan dana sosial, setelah terkumpul dana kemudian diantar bersama-sama
B.3. Faktor-faktor yang Toleransi Beragama
Menyebabkan
Terbangunnya
Kerukunan dan toleransi antarumat beragama dan antaretnis di Temanggung sudah terbangun sejak jaman silam. Terbangunnya toleransi ini karena ikatan persaudaraan, di mana banyak keluarga yang terdiri dari berbagai agama. Hal ini diperkuat dengan budaya Jawa setempat yang menjadi sumber tumbuhnya toleransi. Tokoh agama masing-masing membuat kesepakatan dan memotivasi umatnya masing-masing untuk hidup penuh toleransi. Karena Budaya lebih mengedepankan kerukunan dan musyawarah. Misalnya tradisi lokal, Riyoyo Unduh-unduh (Pesta Panen) yang diselenggarakan antara bulan Juli-Agustus. Pada acara tersebut masyarakat membawa hasil panen, seperti palawija, kopi, tembakau dan lain-lain dibawa ke gereja. Kemudian hasil panen tersebut dibagi-bagikan kepada masyarakat, diutamakan untuk umat lain. 78
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
B.4. Sumber Toleransi dan Intoleransi Sumber toleransi Masyarakat Temanggung memiliki kearifan lokal yang menjadi acuan bagi kerukunan dan toleransi beragama yang sering mereka ucapkan, yaitu ‘yang penting brayan’ (yang penting bersama-sama atau guyub). Dari kearifan lokal itu masyarakat Temanggung bisa hidup rukun, penuh toleransi, bahkan tidak mengenal batas-batas toleransi. Mereka bisa berkumpul dalam acara-acara ritual kegamaan dengan tanpa melihat perbedaan agama yang penting brayan (Handayani, wawancara, 26 April 2015). Selain itu terciptanya toleransi karena adanya peran aktor-aktor toleransi. Di kalangan Islam aktoraktor ada dalam ormas-ormas keagamaan, seperti NU, Muhamadiyah dan majelis agama MUI yang mewakili ormas-ormas keagamaan Islam. Aktornya antara lain H. Ya’kub Mubarok, yang selain sebagai anggota MUI Kabupaten Temanggung juga sebagai Ketua Suriah NU Temanggung. Sumber intoleransi Dengan mengamati peristiwa penggrebekan teroris tahun 2009 dan konflik pelecehan agama tahun 2011, secara kasat mata dapat diketahui sebenarnya sumber-sumber dan pemicu konflik di Temanggung adalah orang-orang dari luar. Teroris yang digrebek di Temanggung adalah teroris dari luar yang bersembunyi di Temanggung. Pelaku pelecehan agama, orang dari Jakarta. Aksi demo sebagai akibat ketidakpuasan atas keputusan hakim terhadap pelaku Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
79
pelecehan agama, dilakukan oleh massa dari luar Temanggung, dari foto-foto yang diambil oleh petugas keamanan banyak wajah-wajah yang tidak dikenal. Setelah usai aksi massa teridentifikasi, mereka berasal dari Kendal dan Pekalongan (Djundardo, 27 April 2015). Di sisi lain, masalah intern dalam agama Kristen disebabkan adanya perebutan umat di antara sesama denominasi maupun antara sesama gereja Kristen. Munculnya banyak aliran juga ditengarai menjadi penyebab konflik, tak terkecuali dalam umat Buddha. B.5. Upaya-upaya utuk Meningkatkan Toleransi Drs. Hasyim Afandi, bupati Temanggung pada waktu terjadi kasus pelecehan agama, menekankan agar fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dapat dioptimalkan. Setidaknya, para tokoh agama dapat duduk bersama, dan saling bekerjasama mencari solusi jika terjadi gesekan di masyarakat. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat agar senantiasa membangun silaturahmi. Meski Indonesia merupakan negara majemuk, keberagaman itu harus dijadikan sebagai kekuatan, bukan sebaliknya’ (Suara Merdeka, 4 Maret 2011). Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia (FPBI) melakukan bakti sosial ke daerah-daerah yang jumlah rumah tangga miskin atau RTM banyak. Antara lain desa Jombor di Kecamatan Jumo dengan membagibagi sembako. Tapi yang utama adalah memberikan motivasi kepada anggota RTM untuk bangkit. 80
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Ditekankan kepada mereka, ‘Siapapun presiden, gubernur dan bupati yang sedang memimpin, kalau kita sendiri tidak bangkit, tidak akan ada perubahan’. Gereja Kristen Jawa (GKJ) selalu sedia obatobatan, siapapun yang sakit dan ingin berobat dipersilahkan datang. Masyarakat yang berobat tidak dipungut biaya. Kalau toh ada tidak lebih dari Rp 50 ribu. Di GKJ ada program untuk pendeta-pendeta muda, yaitu Studi Intensif tentang Islam (SITI), bekerja sama dengan Universitas Kristen Duta Wacana dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, salah satu kegiatannya menginap di Pondok Pesantren Program SITI ini selain dilakukan oleh GKJ juga dilakukan oleh GKI dan Gereja Katolik. Program SITI sudah merupakan program nasional (Supriyadi, wawancara, 29 Maret 2015). Semua mahasiswa Akper Ngestiwaluyo diwajibkan mengikuti materi kuliah semua agama, karena di kemudian hari setelah bekerja, mereka akan melayani pasien dari berbagai penganut agama. Di mata kuliah Pdt. Supriyadi ada kuliah lapangan berupa kunjungan ke rumah-rumah ibadah, dengan cara disilang. Misalnya mahasiswa Muslim, kuliah lapangan di gereja, vihara atau kelenteng; mahasiwa Kristen ke masjid, vihara atau klenteng dan seterusnya. Setelah selesai kuliah lapangan, mahasiswa harus mempuat laporan atau paper. Selain itu di RS Ngestiwaluyo terdapat mushala, dan di setiap kamar terdapat petunjuk arah kiblat.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
81
Di Temanggung dibentuk Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) yang melibatkan Kepolisian, TNI, Kesbangpol, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Forum ini memberikan masukan kepada pemerintah setempat tentang langkah-langkah yang perlu dilakukan berkenaan dengan kejadian-kejadian terkini. Gusdurian dari mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sering melakukan kerjasama dengan berbagai penganut agama. Demikian pula ulama seperti KH. Ya’kub Mubarok yang mengajarkan toleransi melalui dakwahdakwahnya. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan mempertemukan pemuka-pemuka agama, misalnya pada even-even hari besar nasional, seperti pada acara peringatan kemerdekaan 17 Agustus. Saat itu mereka akan saling tukar informasi, nenanyakan keadaan umat masing-masing, sehingga timbul keakraban. Selain hari-hari besar nasional juga pada hari-hari besar keagamaan. Suhandoko Tanusubroto seorang Tionghoa pemuka agama Khonghucu.
82
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
TOLERANSI BERAGAMA DI KABUPATEN POSO Ahsanul Khalikin A. Gambaran Umum Wilayah Dilihat dari posisinya Kabupaten Poso terletak di tengah sulawesi yang merupakan jalur strategis yang menghubungkan Sulawesi Utara dengan Sulawesi Tengah. Poso secara umum terletak di kawasan hutan dan lembah pegunungan. Kawasan lainnya terletak pada pesisir pantai yang sebagian terletak di perairan Teluk Tomini dan Teluk Tolo. Luas daratan Kabupaten Poso setelah terpisah dengan Kabupaten Tojo Una-una diperkirakan sekitar 8.712,25 km² atau 12,81% dari luas daratan Provinsi Sulawesi Tengah. Bila dibandingkan dengan luas daratan kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Poso menempati urutan keempat. Pada tahun 2010 Kabupaten Poso mengalami pemekaran kecamatan, yaitu Kecamatan Pamona Puselemba. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Pamona Utara dengan luas wilayah kira-kira 560,05 km². Terdiri dari 10 wilayah pedesaan, dengan ibukota kecamatan yaitu Desa Sangele. Jika dilihat berdasarkan luas kecamatan, Kecamatan Lore Tengah memiliki luas terbesar yaitu kira-kira 976,37 km² atau 11,21 persen dari luas Kabupaten Poso. Wilayah Kabupaten Poso di sebelah utara berbatasan dengan Teluk Tomini dan Propinsi Sulawesi Utara. Sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan. Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
83
Sebelah timur berbatas dengan wilayah Kabupaten Tojo Una-una dan Kabupaten Morowali. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, penduduk Kabupaten Poso berjumlah 209.228 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 108.747 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 100.481 jiwa. Jumlah ini adalah gambaran jumlah penduduk pertengahan tahun. Kota Poso berpenduduk mayoritas Muslim dan Tentena memiliki penduduk mayoritas Kristen. Meski sebelum konflik kedua wilayah tersebut komposisinya relatif beragam, tetapi saat ini keduanya hampir secara keseluruhan terpisah berdasarkan perbedaan agama. Meskipun sebelum konflik telah tercatat sejumlah segregasi desa yang cukup signifikan di mana penduduk dari 10 diantara 19 kecamatan beragama mayoritas, baik Muslim maupun Kristen, di atas 80 persen. B. Hasil Penelitian B.1. Pemahaman tentang Toleransi dan Perilaku terhadap Perbedaan Agama Makna toleransi beragama Pada prinsipnya setiap umat saling menghormati dan menghargai agama masing-masing sesuai apa yang dianut. Ada falsafah lokal yang berbunyi “Sintuwu Maroso” artinya bersatu kita teguh, bersatu kita kuat. Falsafah ingin hidup damai inilah yang selalu diangkat untuk meluruskan dan mendamaikan. Prakteknya adalah berusaha untuk 84
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
saling kunjung-mengunjungi, walaupun ada ketakutan, tapi semua pihak berusaha untuk membuktikan. Termasuk usaha yang dilakukan adalah membuat acara olahraga, sarasehan, dan lain sebagainya, dengan masing-masing menjaga keamanan di wilayahnya. Misale, yang berarti gotong royong yang terstruktur adalah kearifan lokal lain yang unik. Tradisi ini biasa dilakukan untuk pesta pernikahan, di mana untuk kebutuhan nikah secara gotong royong bergantian membantu, bahkan dalam persiapannya. Ini mirip budaya Rewangan Rokan Hilir di Riau dan Sokongan di Pemalang Jawa Tengah. Semangat gotong royong juga berlaku dalam membangun rumah dan menggarap sawah. Bentuk-bentuk toleransi beragama Bila umat Islam beribadat termasuk takbiran di jalan-jalan saat malam lebaran atau ibadat keagamaan lainnya, umat Kristen terkadang sebagai penonton dan bahkan ada juga yang membantu persiapan dan pelaksanaannya. Waktu Natal tahun 2014 umat Islam membantu melakukan pengamanan di sekitar gereja. Hubungan komunikasi antarumat beragama Hubungan komunikasi antarumat beragama di Poso dilihat dari sisi politik ada peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari komposisi anggota yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Poso. Dari 30 anggota, pada periode 2008-2013 terdiri dari Kristen 19 orang dan Islam 11 orang. Sedangkan pada
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
85
periode 2014-2019 berubah, yaitu 14 Kristen, 11 Islam, dan 2 Hindu. Di tingkat desa juga dibentuk Dewan Adat, terdiri dari wakil Kristen, Islam, dan Hindu. Dengan difasilitasi kepala desa. Dewan ini bertemu dan bermusyawarah, terutama dalam masalah-masalah yang sensitif. Batasan Toleransi Beragama Makanan daging babi dihindari umat Kristen saat bersentuhan dengan umat Islam. Dari peletakan hingga yang memasak dijaga dan tidak sembarangan. Demikian pula dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, pengaturan dan teknisnya menjaga agar tidak menimbulkan gesekan. Perlakuan deskriminatif Dalam ajaran Hindu, ada ritual melasti sebelum Hari Raya Nyepi, yang dilakukan di sumber-sumber air seperti danau atau laut. Biasanya umat Hindu di Poso melakukannya di laut. Pernah ada larangan oleh pihak tertentu dalam ritual ini di laut, hingga ritual tak bisa dilaksanakan. Di sini Pemerintah terkesan membiarkan saja persoalan ini tetap terjadi. B.2. Bentuk-Bentuk Toleransi Antarumat Beragama a. Penyiaran agama Penyiaran agama secara terbuka atau secara umum dikatakan tidak pernah terdengar lagi. Ada
86
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
kesepakatan yang tak tertulis bahwa materi yang dibawakan adalah sesuatu yang membawa damai. b. Pendirian rumah ibadat Di Kabupaten Poso pendirian rumah ibadat tidak ada masalah. Sebab Peraturan Bersama Menteri nomor 9 dan 8 tahun 2006 ditaati bersama. Makanya ketika ada yang hendak mendirikan rumah ibadah, mereka selalu menghubungi FKUB dan Kementerian Agama guna meminta petunjuk. c. Perayaan hari besar keagamaan Bila ada hari raya natal, maka penduduk dari agama lain akan berkunjung. Demikian sebaliknya bila ada lebaran, maka dari agama lain juga akan datang. Demikian pula dalam acara-acara kekeluargaan seperti; pengucapan syukur (pedungku) di kampungkampung Islam, maka umat agama lain akan datang. d. Perkawinan beda agama Dengan kemajemukan penduduk, perkawinan beda agama sebenarnya hal yang tak terhindarkan terjadi di Poso. Tetapi saat ini jarang terjadi perkawinan demikian, meski di Poso Selatan dikatakan masih ada. Prakteknya diatur secara kekeluargaan atau secara adat. e. Pendidikan agama Pendidikan agama di Poso tidak ada masalah, kecuali umat Hindu yang masih sangat kekurangan tenaga guru Hindu. Akhirnya terkadang guru Islam atau Kristen yang memandu dengan menggunakan buku ke Kementerian Agama. Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
87
f.
Bantuan luar negeri
Bantuan luar negeri diakui ada apalagi pernah terjadi konflik. Ada yang membantu sembako, obatobatan dan sebagainya. Ada pula yang mengkhususkan pada pihak tertentu, misalnya Kristen meski mendapat protes dari warga. g. Perawatan dan pemakaman jenazah Dari sisi pemakaman, masing-masing umat beragama mendapat lokasi sendiri-sendiri, karena itu cenderung tidak terjadi konflik. h. Penodaan agama Pasca konflik 1998, menurut informan tidak pernah lagi terjadi kasus-kasus penodaan agama. Tetapi ada kelompok garis keras yang masih dendam hingga sekarang kepada aparat keamanan seperti Densus 88 dan Brimob. B.3. Faktor yang Mendasari Toleransi Beragama; a. Budaya Dasar hukum masyarakat bisa toleran, rukun karena budaya adalah pertama, budaya yang sudah lama mentradisi di kalangan masyarakat. Kedua, peranan tokoh-tokoh umat serta pemerintah daerah Poso di berbagai tempat yang ingin mempersatukan umat. b. Nilai-nilai agama Masing-masing umat beragama diajarkan toleransi sesuai dengan pesan dan petunjuk agama 88
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
masing-masing. Agama Kristen berpedoman taat pada ajaran Tuhan Yesus yang mengajarkan hidup saling mengasihi dan menghormati terhadap yang lainnya. Nilai-nilai agama Hindu seperti "Wasu Dewa Kutumbaka" adalah kita semua bersaudara. c. Peraturan daerah Pemerintah Daerah Poso secara rutin menyelenggarakan safari Ramadhan dan safari Natal. Yaitu dengan cara kunjung-mengunjungi perkecamatan dengan mengikutsertakan umat beragama yang lain. Orang-orang yang dilibatkan agama lain termasuk pejabatnya yang berbeda agama. Kalau di Hindu namanya Dharma Santi, pelaksanaannya paling lambat satu bulan setelah hari raya Nyepi, biasanya menghadirkan juga pemerintah daerah Poso. Hal yang lain diantaranya Pemda Poso setiap tahun sudah menganggarkan biaya untuk bantuan rumah-rumah ibadat. B.4. Kasus Konflik yang Pernah Terjadi dan Faktor Penyebabnya Dari buku, penelitian, maupun berita dan artikel di online banyak sekali yang mengulas soal konflik Poso. Yang paling mengemuka adalah Kerusuhan Poso, yang identik dengan berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso pada tahun 1998 hingga 2000. Di sini korban yang jatuh memang sangat banyak mencapai ribuan. Secara garis besar Kerusuhan Poso digolongkan menjadi tiga, yaitu Kerusuhan Poso I (25-29 Desember 1998), Poso II (17-21 April 2000), dan Poso III (16 Mei Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
89
15 Juni 2000). Setahun berikutnya, yaitu pada 20 Desember 2001 Keputusan Malino ditandatangani antara kedua belah pihak yang bertikai dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono. Di antara pemicu Kerusuhan Poso, terutama Kerusuhan Poso 1 adalah pergantian Bupati Poso. Jadi sesungguhnya diawali dari kepentingan politik, kemudian agama dilibatkan dengan berhadaphadapan antara umat Kristen dan umat Islam. Hal ini ditandai dengan perkelahian dua pemuda dari dua umat di dekat masjid. Dikatakan pula saat Pawai Natal muncul pelemparan. Akhirnya meluas menjadi pembakaran bahkan peperangan hingga menimbulkan banyak korban. Ada yang kejadian tak terduga, terutama saat kerusuhan terjadi tahun 2000, muncul selebaran cara membuat senjata rakitan, hingga marak pembuatannya di bengkel-bengkel. Demikian pula penjualan bebas amunisi, hingga kontak senjata tak terhindarkan. B.5. Yang Disukai dan Tidak disukai Kelompok Umat Beragama Ada beberapa hal yang disukai. Di antaranya penyelenggaraan acara-acara syukuran, pernikahan dan yang sejenisnya, pada prinsipnya setiap umat beragama menyenanginya. Tetapi ada beberapa hal satu dengan yang lain tidak menyukai, yaitu: a. Umat Islam tidak suka minum minuman keras atau anggur atau memelihara anjing sebagaimana yang dilakukan umat Kristen. Demikian juga dalam tari90
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
tarian atau berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam budaya “dero”, yaitu menari dengan saling berpegangan tangan. b. Umat Kristen tidak senang melihat umat Islam berpakaian khas muslim timur tengah seperti bercadar atau lainnya. c. Umat Islam dan Kristen tidak senang dengan arogansi aparat, terutama Densus 88 dan Brimob saat operasi, misalnya saat penangkapan melakukan tindakan yang menurut umat beragama kurang pantas. B.6. Aktor Pendorong Toleransi, Intoleransi Beragama 1. Aktor toleransi beragama Tokoh-tokoh agama hampir semua berperan. Belum ditemukan tokoh sentral yang sangat menonjol. Masing-masing tokoh agama menjaga umatnya masing-masing dalam merawat perdamaian sejak terjadinya kerusuhan Poso. Termasuk yang berperan besar adalah pemerintah daerah, yang terwakili oleh Bupati atau Wakil Bupati Poso, misalnya Drs. H. Abdul Malik Syahdat, M.Si (almarhum) Wakil Bupati Poso periode 2005 – 2009. Saat ini Bupati Poso, yaitu Piet Inkiriwang, termasuk kategori yang sangat berperan. 2. Aktor intoleransi beragama Majelis Mujahidin Indonesia Timur disebut sebagai kelompok yang dianggap memiliki sikap intoleran. Di kalangan Kristen juga terdapat kelompokkelompok ekstrem yang berperan dalam konflik.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
91
B.7. Peningkatan Toleransi Beragama 1. Upaya peningkatan toleransi Upaya-upaya yang dilakukan antara lain dengan mengedepankan pendidikan agama yang toleran. Misalnya di Islam dikatakan, “Semua orang kafir boleh dibunuh”. Atau di Kristen disebutkan, “Jangan bergaul dengan orang-orang yang berbeda agama", atau penafsiran "Pergilah kamu jadikan semua bangsa murid-Ku", sehingga setiap orang harus di-Kristenkan. Khutbah-khutbah semacam inilah yang harus dihindari untuk menjaga toleransi dan perdamaian. Selain itu, di Universitas Kristen Tentena ada mata kuliah pendidikan perdamaian, di mana salah satu materi yang diberikan adalah pesan damai dari semua agama-agama. Yang tidak kalah penting adalah peningkatan ekonomi. Artinya pembangunan oleh pemerintah dilakukan secara merata dan berkeadilan, pendidikan diberikan kepada semua wilayah, serta kesehatan warga dijamin, sehingga kesejahteraan masyarakat membaik, yang imbasnya mereka tidak mudah terprovokasi. 2. Inisiator peningkatan toleransi Inisiatif toleransi tetap datang dari tokoh-tokoh agama. Merekalah yang menularkan semangat perdamaian. Selain itu pemerintah juga mengambil peran sesuai dengan porsinya sehingga kerukunan tetap terjaga.
92
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
C. Kesimpulan 1. Toleransi beragama sendiri sebelum konflik dalam masyarakat Poso ada falsafah Sintuwu Maroso artinya bersatu kita teguh, bersatu kita kuat. Falsafah kehidupan masyarakat Poso selalu ingin hidup damai, dan falsafat itu yang selalu diangkat untuk meluruskan, mendamaikan bila terjadi konflik. 2. Bentuk penghormatan, penghargaan, penerimaan ataupun pembiaran terhadap kehadiran agama yang lain sudah ada budaya-budaya yang kuat di masyarakat, artinya tidak ada yang saling mengganggu dalam bertetangga di lingkungan, baik aspek; penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, peringatan hari besar keagamaan, pendidikan agama, perkawinan beda agama, pengasuhan anak, penodaan agama dan lainnya. 3. Faktor yang mendasari toleransi beragama, mulai dari budaya maupun agama sangat memberi warna. 4. Kebersamaan dan rukun adalah hal yang disukai oleh semua pihak. Sesuatu yang tidak disukai biasanya karena tidak sesuai dengan ajaran agama, meskipun masih menjaga toleransi satu dengan yang lain. 5. Memelihara toleransi beragama ke depan dilakukan dengan memberi pemahaman yang cukup soal toleransi melalui pendidikan keluarga, pendidikan perdamaian, toleransi, karakter dan yang sangat penting pendidikan agama yang benar. Tidak kalah pentingnya adalah perbaikan ekonomi dan keadilan pembangunan. Tanpa kesejahteraan, maka masyarakat akan mudah dibenturkan dan mencipta konflik baru.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
93
D. Rekomendasi 1. Pentingnya peningkatan pemahaman agama masyarakat, pendidikan masyarakat, peningkatan ekonomi masyarakat dan kesehatan hal yang paling mendasar. 2. Ke depan toleransi harus diupayakan secara sinergis oleh semua pihak. 3. Perlu difasilitasi oleh Kementerian Agama ataupun pemerintah daerah terkait tempat, sarana sekretariat pertukaran informasi bersama lintas agama, sehingga bisa pencegahan dini berbagai konflik.
94
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
RUMPUT KERING YANG [PERLU TERUS] DISIRAMI: TOLERANSI BERAGAMA DI KOTA MATARAM Akmal Salim A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ini akan berfokus pada Kota Mataram, ibukota provinsi, dengan pertimbangan sangat heterogen latar belakang penduduknya dan juga kompleks permasalahannya dibanding kabupaten/kota lainnya. Karakter demikian diasumsikan akan menunjukkan tingkat toleransi beragama yang hendak dipotret. Menurut data BPS Kota Mataram, penduduk Kota Mataram berjumlah 413.210 jiwa, dengan 204.676 laki-laki dan 208.534 perempuan. Secara pemelukan agama, menurut data pada Kanwil Kementerian Agama NTB, di Kota Mataram ada 388.900 orang muslim, 12.760 orang Kristen, 5.760 orang Katolik, 68.242 orang Hindu, dan 7.680 orang Buddha. Meski diketahui ada pemeluk agama Khonghucu dan juga lainnya, terbukti dengan adanya bangunan rumah ibadat kelenteng, namun tidak ada data yang memadai pada instansi-instansi pemerintah soal ini. Sedangkan jumlah rumah ibadat, ada 251 masjid, 12 gereja Kristen, 3 gereja Katolik, 132 pura, 11 vihara, dan 1 buah klenteng. Kota yang memiliki luas daratan 61,30 km dan 56,80 km perairan laut ini, terbagi atas enam kecamatan, yakni: Kecamatan Ampenan, Cakranegara, Mataram, Sandubaya, Selaparang dan Sekarbela, dengan 50 Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
95
kelurahan dan 297 lingkungan. Diantara enam kecamatan tersebut, Kecamatan Cakranegara merupakan diantara wilayah yang memiliki tingkat kerawanan yang cukup tinggi (rawan konflik). Beberapa kali terjadi gesekan hingga konflik sosial bernuansa agama di daerah ini. Selengkapnya, berikut catatan kasus-kasus konflik keagamaan di Kota Mataram dan sekitarnya (tabel 1). Tabel 1 Peristiwa Konflik Sosial Keagamaan di Kota Mataram dan sekitarnya
96
No 1
Waktu 1980
2
2000
3
2001
Keterangan Terjadi mesiat (perang) yang melibatkan komunitas Hindu dari kampung Tohpati dan Sindu, dengan Muslim dari Karang Taliwang, yang antara lain disebabkan persoalan pendirian tempat ibadat yang saling berdekatan. Pembangunan masjid yang berdekatan dengan pura, sementara pura telah lama berdiri. Warga Bali di Tohpati yang sedang merayakan Nyepi yang merasa terganggu oleh suara pembacaan sholawat dalam kegiatan selakaran. Meski sempat menegang, konflik dapat segera dikendalikan sehingga tidak meluas menjadi kerusuhan terbuka. Terjadi bentrok warga muslim Nyangget dengan Kampung Saksari yang Hindu. Kedua
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Para Pihak Warga Karang Taliwang dengan Sindu dan Tohpati
Warga Tohpati dan warga sekitarnya
Warga Nyangget dengan Saksari
4
5
6
7
kampung ini terletak di sebelah timur Karang Taliwang. Pemicunya adalah perkelahian antar pemuda yang sedang dalam keadaan mabuk. 2003-2005 Konflik terjadi antara warga masyarakat Petemon dan Karang Genteng Kelurahan Pagutan Kecamatan Ampenan, yang masih mempunyai hubungan keluarga/kerabat, suku/etnis, dan agama yang sama (Islam). Persoalan dipicu oleh batas tanah pekuburan (luas batas wilayah). 2006 Ecudus warga jamaah Ahmadiyah yang mengalami kekerasan, berasal dari Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat yang ditampung di Asrama Transito Majeluk, Kecamatan Mataram. Hingga kini belum ada penyelesaian yang tuntas 2008 Konflik antar warga lingkungan Sindu (Bali, Hindu) dengan warga lingkungan Nyaget (sasak/Islam). Konflik ini menimbulkan 1 korban jiwa/meninggal dunia dan 3 orang luka-luka 2011 Perkelahian antar pemuda yang berujung bentrok antar Warga Lingkungan Karang Bagu dan Warga Lingkungan Karang Taliwang, Kec. Cakranegara. Kedua pihak yang bertikai samasama bersuku Sasak dan beragama Islam. Tidak terdapat korban jiwa, hanya luka-luka
Warga masyarakat Petemon dan Karang Genteng
Warga Jemaat Ahmadiyah dan masyarakat
Warga Lingkungan Sindu dan Warga Lingkungan Nyaget Warga Lingkungan Karang Bagu dan Warga Lingkungan Karang Taliwang
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
97
98
8
2012
9
2013
10
2013
11
2013
Perselisihan antara pemuda yang dipengaruhi oleh minuman keras, antara Warga Lingkungan Tohpati (Bali, Hindu) dengan Warga Lingkungan Karang MasMas (Sasak/Islam) di wilayah Kelurahan Cakra Utara, Kecamatan Cakranegara. Perselisihan berubah menjadi bentrok massa kedua lingkungan yang menimbulkan satu orang korban jiwa berasal dari Kelurahan Karang Mas-Mas Bentrok kedua (lanjutan) antara pemuda warga Lingkungan Tohpati dengan pemuda Warga Lingkungan Karang Mas-Mas, Kelurahan Cakra Utara, Kecamatan Cakranegara. Kali ini korban jiwa meninggal dunia dari pemuda Lingkungan Tohpati. Perkelahian antar pemuda dari Warga Lingkungan Pandas Salas Kelurahan Mayura dengan pemuda dari Warga Lingkungan Tohpati Kelurahan Cakra Utara, yang membias sehingga melibatkan warga kedua lingkungan yang beragama Hindu/Bali dan Islam/Sasak. Terdapat korban luka-luka dan kerusakan ringan rumah ibadah. Terjadi perselisihan antara warga Lingkungan Penjarakan Kelurahan Pejarakan Karya, Kecamatan Ampenan, dengan
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Warga Lingkungan Tohpati dan Warga Lingkungan Karang MasMas
Warga Lingkungan Tohpati dan Warga Lingkungan Karang MasMas (lanjutan)
Warga Lingkungan Tohpati dan Warga Lingkungan Pandan Salas
Warga Lingkungan Pejarakan dan penganut aliran
sekelompok orang penganut Salafi/ Wahabi aliran Salafi/Wahabi, dimana warga masyarakat lingkungan Penjarakan menolak aktivitas pengikut jama’ah ini.
B. Hasil Temuan Lapangan B.1. Memaknai ‘Toleransi Beragama’ Di dalam masyarakat Kota Mataram adanya perbedaan agama tampak disadari dan telah dipahami masyarakat. Selain simbol-simbol yang dapat diindra telah cukup nyata, budaya dan etnis yang berbeda kentara menjadikan pengenalan dan kesadaran keberbedaan agama kian menguat. Di beberapa titik di Kota Mataram bahkan lebih jelas lagi dengan adanya enclave-enclave komplek perumahan yang tersegregatif secara agama dan suku. Di Karang Tapen, misalnya, di sisi kiri jejeran rumah penduduk bercorak Bali dengan sanggah-sanggah dan kepulan dupanya, dan di seberangnya di sisi kanan jejeran rumah penduduk dengan pagar berornamen kubah dan kaligrafi di temboknya. Di kiri penduduk beragama Hindu dan beretnis Bali, di kanan penduduk muslim Sasak. Selain soal simbol, budaya berpakaian, cara berhari besar, dan perayaan-perayaan khas keagamaan juga menunjukkan kepada wong liyan (orang lain) tentang identitas keagamaan. Uniknya, kesalingkenalan antarkelompok itu bahkan termasuk dalam hal negatif bernuansa stereotyping. Bahwa dalam lingkungan terbatas, ada semacam stereotif negatif di antara kelompok etnis dan agama. Misalnya etnis tertentu dilekatkan dengan sikap jelek yang khas. Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
99
Meski masyarakat tahu dan sadar mereka berbeda secara agama dan etnis, namun mereka telah saling menghormati dan menerimanya, bertoleransi. Lebih-lebih rentang sejarah telah mengikatkan beberapa di antara kelompok yang berbeda dalam biduk keluarga. Sehingga turunan kesekian dalam keluarga besar mereka telah ‘bersenyawa’ dari dua tradisi keagamaan. Demikian halnya dalam teritorial. Meski di beberapa titik, khususnya di Kecamatan Cakranegara dan Ampenan, terdapat enclave-enclave (blok-blok) yang mensegregasi pemukiman berdasarkan agama-etnis, namun di banyak titik juga terjadi percampuran penduduk berbeda agama dalam suatu wilayah. Bahkan di Desa Karang Masmas dan Tohpati, dua desa yang pada 2013 lalu mengalami gesekan bernuansa keagamaan, hal itu sesungguhnya terjadi. Di Lingkungan (baca: RW) Karang Masmas yang mayoritas dihuni Muslim-Sasak ada sejumlah keluarga beragama Hindu. Demikian halnya, di Lingkungan Tohpati yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, ada beberapa keluarga yang beragama Islam. Beberapa di antaranya bahkan telah terikat persaudaraan karena kawin-mawin. Dari gambaran singkat di atas, toleransi beragama tampak telah mewujud sejak lama dalam masyarakat Kota Mataram, menyejarah. Sikap menghormati, menerima, dan menghargai kelompok lain yang berbeda agama dan etnis telah mewujud. Demikian juga, diskriminasi karena perbedaan itu tidak terjadi. Sebagai gambaran, umat Hindu yang berada di Lingkungan Karang Masmas telah mendapat hak dan perlakuan yang sama dari ketua lingkungannya dengan warga muslim di kampung itu. 100
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Demikian juga warga muslim di Tohpati mendapat hak dan perlakuan yang sama dari Kepala Lingkungan Tohpati yang beragama Hindu. Apa yang membuat toleransi beragama terwujud? Latar belakang historis, yakni sudah hidup bersama sejak lama, tampaknya dominan. Meminjam istilah Asuthosh Versney, telah terbangun relasi quotidian. Meski tidak ada relasi asosiasional dalam perkumpulan-perkumpulan berdasarkan agama dan etnis (pernah dibentuk lembaga tapi tidak aktif), namun kegiatan kemah bakti pemuda lintas agama pernah dilakukan. Selain itu, kearifan lokal seperti ngejot (saling memberi makanan/penganan antarwarga) juga terjadi. Artinya modal sosial yang berjalan efektif. Persaudaraan biologis dengan kawin mawin juga turut menguatkan ikatan dua tradisi keagamaan. Namun, menariknya, ada perkembangan baru soal toleransi dalam masyarakat Kota Mataram. Kondisi toleransi beragama dengan bekal sejarah, kearifan lokal, dan pengalaman kehidupan bersama, mengalami “tantangan baru”. Pada tataran elit masyarakat kota terjadi pergeseran ‘budaya’ yang cukup mengkhawatirkan toleransi yang terbangun. Di mana tradisi kunjung mengunjungi atau memberi sekedar jajanan antar elit mulai luntur bahkan hilang. ‘Tantangan baru’ ini belum terlalu mengemuka dan perlu pengkajian tersendiri yang lebih khusus. Dalam wawancara dan penelusuran sekilas, hal ini nampaknya berkaitan dengan dinamika politik lokal di NTB, yakni ‘hegemoni’ kelompok elit tertentu dalam pemerintahan yang memiliki sikap keagamaan tertentu dan berimbas Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
101
pada budaya publik. Namun demikian, hal ini dapat dikatakan tidak dominan dan praktik serta upaya toleransi beragama masih menjadi arus utama. Meski tidak ada lembaga yang secara khusus mengusahakan peningkatan toleransi beragama, namun Kesbanglinmas telah membentuk FPK (Forum Pembauran Kebangsaan), dan FKDM (Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat), selain FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). B.2. Toleransi Beragama dalam Beberapa Isu Isu penyiaran agama tidak menjadi isu besar hubungan antaragama di Kota Mataram. Upaya “Islamisasi” dan “Hindunisasi” bukanlah isu apalagi tantangan dalam toleransi beragama di kota ini. Menurut sebagian orang, agama Hindu sendiri bukanlah agama misi yang secara aktif-agresif mendakwahkan agama. Ajaran Hindu diajarkan di dalam keluarga oleh orangtua, dan/atau di pura oleh pemuka agama. Tak salah jika perkembangan umat Hindu di Mataram tak banyak bertambah. Sebaliknya, pemeluk agama Islam tidak secara massifterbuka melakukan Islamisasi terhadap umat Hindu. Secara teologis, ajaran di kedua agama (Islam dan Hindu) ternyata memiliki ‘perintah’ ke arah pemahaman pluralisme agama, yang mendorong adanya toleransi beragama. Namun demikian, isu penyiaran agama ini berkelindan dengan isu pernikahan beda agama. Bahwa dikabarkan banyak terjadi pernikahan antara pemuda Hindu dan pemudi Islam, atau sebaliknya, sehingga pada prosesnya mengharuskan salah satu pihak masuk ke agama pasangannya. Proses kawin-mawin antarwarga berbeda 102
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
agama-etnis ini lalu dipandang sebagai pengalihagamaan sistematis (baca: penyiaran agama). Apalagi di dalam budaya Lombok terdapat istilah kawin merarik, atau dikenal dengan kawin lari—yang memungkinkan terjadi perbedaan agama diantara pasangan yang akan menikah tersebut. Terkait perkawinan antaragama, di NTB terdapat kesepakatan adat yang dibuat tahun 1984. Kesepakatan ini mengatur keharusan penasihatan bagi calon pengantin yang berpindah agama demi bisa menikah dengan pujaannya yang berbeda agama. Pada kali pertama, akan ditanya, “mau tetap kawin (pada pasangan beda agama) atau ikut orang tua (tidak jadi kawin)?” Jika bersikukuh tetap kawin, lalu diberi kesempatan satu minggu untuk mempertimbangkannya. Lalu ditanya lagi seperti pertanyaan pertama. Kalau tetap, diberi waktu lagi satu minggu. Jika tetap, maka baru izin untuk menikah (dengan berpindah agama dahulu) diberikan oleh orang tuanya. Kearifan lokal berupa kesepakatan ini menjadi “jalan toleransi” yang dapat diterima oleh kedua pihak yang berbeda agama. Terkait isu pendirian rumah ibadat, dalam catatan FKUB Kota Mataram, pada umumnya tidak ada kasus penolakan pendirian rumah ibadat. Demikian pula dalam kaitan pemakaman jenazah, umat Islam dan Hindu di Kota Mataram memiliki komplek pemakaman sendiri-sendiri. Perayaan hari besar keagamaan berjalan harmonis dan bahkan menjadi simbol adanya toleransi beragama. Dalam suatu perayaan Nyepi, diadakan acara budaya keagamaan berupa pawai ogoh-ogoh. Dalam acara yang digelar rutin tahunan di jalan-jalan raya ini terjadi Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
103
akulturasi budaya, yakni acara pawai ogoh-ogoh yang bernuansa Hindu-Bali diiringi kesenian (tabuhannya) dengan menggunakan kesenian Sasak, atau pemainnya orang-orang muslim. Terkait kelompok sempalan, dalam agama Hindu ada meski tidak dikenal istilah aliran sesat. Perbedaan kelompok yang menyempal ini hanya pada tatacara saja. Di Lombok cenderung Hindu Bali, misalnya, berbeda dengan Hindu Krishna yang Hindu India. Perbedaannya terletak pada bahwa Hari Khrisna secara letterlik mengartikan ‘ahimsa’ (orang Hindu tidak boleh menyakiti makhluk lain), dimana ayat tersebut diartikan sebagai tidak makan daging (vegetarian). Adapun di dalam Islam, kelompok sempalan atau bahkan ada yang menyebut aliran sesat cukup banyak. Di Mataram misalnya ada kelompok Ahmadiyah yang ditolak oleh masyarakat Lombok di berbagai tempat dan saat ini ditampung di Asrama Transito, Kota Mataram. Meski kasus-kasus ini telah memberi dampak sosial pada masyarakat Lombok, namun tidak ada problem intoleransi lintas agama ataupun intervensi yang dapat mengganggu hubungan antaragama. Hal ini menjadi ranah masingmasing agama. Demikian halnya ihwal pendidikan agama, meski dikeluhkan terjadi kekurangan guru Hindu di sekolahsekolah umum, namun tidak ada isu intoleransi atau diskriminasi terkait ini. Pengajaran agama dilakukan di pura atau pesantrin. Sebaliknya, upaya pengembangan toleransi, bina damai, dan hubungan baik antaragama, 104
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
dilakukan secara sinergis oleh dua lembaga pendidikan keagamaan di Kota Mataram, yakni: IAIN Mataram (representasi institusi pendidikan tinggi umat Islam) dan STAHN Gde Pudja Mataram (representasi institusi pendidikan tinggi umat Hindu) dengan cukup baik.
B.3. Menakar Toleransi Beragama Dari paparan di atas mengenai pemaknaan dan pengetahuan masyarakat tentang toleransi beragama (aspek kognisi), dan praktik toleransi, kerjasama, serta pengalaman konflik (afeksi-psikomotor), dapat dikatakan bahwa masyarakat Kota Mataram telah mewujudkan toleransi beragama dalam kadar tertentu. Penelitian ini tidak secara kualitatif-presisif mengukurnya, melainkan penggambaran kualitatif-parsial saja. Meski demikian, fakta-fakta lapangan yang berhasil dikumpulkan dapat menunjukkan bahwa toleransi beragama masyarakat Kota Mataram cenderung baik namun perlu upaya meningkatkannya. Dalam kaitan penerimaan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan, semisal jemaat Ahmadiyah, masyarakat tampaknya masih sulit untuk dikatakan toleran beragama. Berbeda dengan di daerah lain, masyarakat muslim Kota Mataram atau NTB secara umum masih belum bisa mempersilakan penganut Ahmadiyah meyakini pilihan keyakinannya dan hidup secara bebas di luar penampungan Asrama Transito. Dus, kondisi toleransi beragama relatif baik, damai, namun perlu peningkatan.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
105
B.4. Upaya Peningkatan Toleransi Beragama Kondisi toleransi beragama bersifat dinamis. Justifikasi toleran-tidak toleran tidak bisa hitam putih, melainkan gradatif seiring dengan perjalanan waktu. Karena itu, upaya merawat dan meningkatkan toleransi beragama menjadi agenda laten. Sejauh ini, para pihak di Kota Mataram telah dan terus mengusahakan peningkatan toleransi beragama. Beberapa yang dapat disebutkan adalah sebagai berikut: a. Ekstensivikasi ruang aktivitas bersama Relasi antarumat beragama atau kohesivitas antarwarga, menurut Versney, dapat terjadi melalui ikatan antarwarga yang bersifat quotidian dan/atau asosiasional. Kedua hal ini dalam konteks Kota Mataram tampak mengalami pengenduran. Salah satu sebabnya adalah dengan semakin sempitnya atau berkurangnya ruangruang publik untuk aktivitas bersama, misalnya tergantikan dengan pembangunan mall. Karena itu, dengan adanya ‘tradisi baru’ pengakraban masyarakat di Kota Mataram melalui acaraacara pameran, bazaar, car free day minggu pagi, dan kompetisi olahraga, akan meningkatkan interaksi dan ikatan antarwarga lintas agama. Pada titik tertentu, interaksi-ikatan ini melintasi batas perbedaan agama dan pada waktunya akan meningkatkan toleransi beragama. b. Forum-forum lintas agama dan budaya Dalam konteks di Kota Mataram, lembaga-lembaga antariman atau antaretnis telah ada. Yang paling kentara dan disokong pemerintah setempat adalah Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Pembauran 106
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Kebangsaan, dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat. Selain itu, ada Aliansi Kerukunan Antar Pemuda Lintas Agama (AKAPELA) dan LBH Apik NTB—meski cakupannya di tingkat provinsi namun beroperasi di Mataram. Selain itu, Dinas Sosial Kota Mataram juga membuat upaya penyerasian masyarakat di daerah-daerah pasca konflik, melibatkan kedua pihak bekerjasama, untuk mendorong inisiatif pemuka agama. Dinas Sosial, misalnya, pada tahun 2012 membuat Forum Keserasian Kelurahan Sosial Cakra Utara, dengan SK dari Dinsos Kecamatan dan dana dari Kementerian Sosial pusat. c. Dialog antaragama dan antarbudaya Upaya nyata lain adalah pelaksanaan dialog-dialog antaragama dan antarbudaya. Hal ini menjadi program utama FKUB dan lembaga-lembaga di atas. Beberapa secara programatik dilakukan oleh Kementerian Agama Wilayah NTB, maupun Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Telah digelar, misalnya, acara sosialisasi PBM terkait rumah ibadat, SKB 3 Menteri terkait Ahmadiyah, dan Pengembangan Budaya Damai di Kalangan Tokoh Agama. Banyak juga forum-forum dialog yang diinisiasi masyarakat. Di beberapa “lingkungan” (bahasa lain Rukun Warga di Mataram) ada inisiatif membuat acara-acara untuk mengguyubkan anggota masyarakatnya yang beragam latar belakang. d. Pemberdayaan masyarakat Hal yang juga penting dalam peningkatan ikatan warga dan toleransi beragama adalah pemberdayaan masyarakat, khususnya di daerah-daerah pasca konflik. Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
107
Luka sosial gara-gara gesekan antarwarga diobati dan direkatkan kembali dengan pemenuhan sejumlah kebutuhan warga, mulai dari soal ekonomi maupun fasilitas. Seperti yang dilakukan di Kecamatan Cakranegara. C. Kesimpulan Dari paparan di atas, penelitian ini menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Toleransi beragama telah dimaknai oleh umat beragama di lokasi penelitian (yang notabene daerah rawan konflik) dengan cukup beragam dan bergradasi. Ada yang memaknainya dengan pembiaran terhadap keragaman agama, hingga kesediaan bekerjasama lintas agama baik secara quotidian dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam aktivitas bersama di lembaga-lembaga atau organisasi sosial dan keagamaan. 2. Dalam beberapa isu di bidang kehidupan keagamaan, bentuk-bentuk toleransi beragama telah terjalin di kalangan umat beragama di Kota Mataram. Ihwal penyiaran agama berkelindan dengan isu perkawinan beda agama, dimana kesepakatan adat terkait kawin beda agama (1984) telah menjadi titik toleransi, selain di kedua agama (Islam-Hindu) ada ayat-ayat yang protoleransi. Dalam hal pendirian rumah ibadat, umat bertoleransi dengan menghormati “religious wisdoms” dalam agama-agama. Perayaan hari besar keagamaan bahkan telah menjadi simbol toleransi di ‘kota wisata’ ini. Adapun dalam hal pemakaman jenazah, penodaan agama, pengangkatan anak, bantuan luar negeri, dan 108
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
pendidikan agama tidak ada problem intoleransi. Secara umum praktik toleransi beragama berjalan baik, meski perlu ditingkatkan. 3. Faktor-faktor yang menyebabkan terbangunnya toleransi beragama di kalangan umat beragama, antara lain: modal historis budaya kehidupan bersama yang saling menghormati dan menghargai; sisa-sisa kearifan lokal yang masih terus diupayakan dihidup-hidupkan; upaya-upaya pemerintah dan inisiasi masyarakat dalam menguatkan ikatan antarwarga (baik secara quotidian maupun asosiasional); dan secara laten adanya ajaran dalam masing-masing agama untuk menghormati pemeluk agama lain. 4. Di tengah toleransi dan kondisi damai, pernah terjadi beberapa kali kasus-kasus konflik bernuansa keagamaan. Setidaknya hal itu terjadi pada tahun pada 1980, 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2008, 2011 hingga 2015. Meski ada yang disebabkan isu pendirian rumah ibadat dan pekuburan, dan menyertakan sentimen agama, namun penyebab utamanya kerapkali soal kenakalan anak muda sebagai imbas minuman keras. 5. Beberapa hal-hal yang tidak disukai dari kelompok umat beragama satu dengan lainnya ada, namun terbatas pada kalangan elit. Hal ini ditengarai disebabkan oleh dinamika politik lokal di NTB, berupa ‘hegemoni’ kelompok elit tertentu dalam pemerintahan yang memiliki sikap keagamaan tertentu dan berimbas pada budaya publik. Namun ihwal ini perlu pengkajian lebih dalam tersendiri.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
109
6. Ajaran agama dalam masing-masing agama mengandung ‘perintah’ ke arah toleransi beragama. D. Rekomendasi 1. Perlu terus dilakukan peningkatan toleransi beragama oleh banyak pihak. Pemerintah pusat dapat memfasilitasi serangkaian dialog lintas agama dan pengembangan budaya damai. Pemerintah daerah perlu menggalakkan pertemuan-pertemuan lintas agama dan budaya, dengan berbagai media dan wahana. LSM dan majelis agama agar berkontribusi positif dalam prosesproses upaya pemerintah di atas. 2. Adapun upaya-upaya yang sudah dan perlu terus dilakukan untuk meningkatkan toleransi beragama dalam mengurangi kasus konflik di kalangan umat beragama, dan peningkatan toleransi adalah: pembukaan ruang-ruang publik untuk aktivitas bersama, pembentukan dan pemberdayaan forumforum lintas agama dan budaya, dialog antaragama dan budaya, serta program-program pemberdayaan masyarakat. 3. Penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan kajian berikutnya dengan angle dan tujuan yang lebih spesifik. Penggunaan pendekatan Partisipatory Action Research (PAR) yang berdurasai lama untuk pengembangan toleransi kelompok masyarakat sangat disarankan.
110
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
TOLERANSI BERAGAMA DI KOTA KUPANG Bashori A. Hakim A. Gambaran Umum Wilayah Kota Kupang secara geografis terletak di bagian Tenggara wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Batasbatas wilayahnya, sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Kupang, sebelah Selatan dengan Kecamatan Kupang Barat dan Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang, sebelah Barat dengan Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang dan Selat Semau, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kupang Tengah dan Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang. Luas wilayahnya 180,27 km2, terbagi atas 6 Kecamatan, 51 kelurahan/desa, 421 RW/RK dan 1.294 RT (BPS. Kota Kupang, Kota Kupang Dalam Angka, 2014 : 6-8). Jumlah penduduk pada tahan 2013 mencapai 378.425 jiwa, terdiri atas 192.996 laki-laki dan 185.429 perempuan (BPS Kota Kupang, 2014: 55). Persebaran penduduk hampir merata di setiap kecamatan. Penduduk paling banyak terdapat Kecamatan Oebobo berjumlah 91.678 jiwa sedangkan paling sedikit terdapat di Kecamatan Kota Lama berjumlah 32.993 jiwa. Kota Kupang sebagai Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berpenduduk multisuku, di samping multiagama. Penduduk asli Kupang orang Timor yaitu Suku Atonimeto menempati jumlah mayoritas, kemudian Suku Rote, Sabu, Flores, Alor, Jawa, Bugis, dan Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
111
suku-suku lain. Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk Kota Kupang tahun 2010 suku di Kota Kupang berikut jumlah masing-masing adalah: Suku Atonimeto 98.967 jiwa, Rote 59.593 jiwa, Sabu 41.493 jiwa, Flores 29.074 jiwa, Jawa 19.742 jiwa, Alor 19.378 jiwa, Sumba 9.356 jiwa, Bugis 6.652 jiwa, Belu 5.404 jiwa, Ende 5.127 jiwa dan suku lainnya 41.453 jiwa (Badan Pusat Statistik Kota Kupang, Hasi Sensus Penduduk 2010: 72). Kehidupan ekonomi masyarakat ditandai oleh beragamnya mata pencaharian penduduk, antara lain: petani, peternak, nelayan, pegawai negeri dan swasta, pedagang, pengusaha, pengrajin, buruh dan penjasa. Sebagai daerah pariwisata, di Kota Kupang terdapat tidak kurang dari 63 hotel/penginapan, 10 buah di antaranya hotel berbintang. Di bidang politik, aspirasi politik masyarakat dapat disalurkan di berbagai partai politik antara lain: PDIP dengan pengikut mayoritas di Kota Kupang, kemudian Gerindra, Hanura, PKB dan PPP. Dilihat dari segi agama, mayoritas penduduk beragama Kristen dengan jumlah 247.520 jiwa (65,42%) dari jumlah penduduk Kota Kupang. Mayoritas kedua yaitu agama Katolik dengan jumlah 77.388 jiwa (20,45% ), kemudian agama Islam berjumlah 46.641 jiwa (12,33%). Sekitar (1,80%) sisanya terdiri atas penduduk beragama Hindu, Buddha dan lainnya. Umat Khonghucu belum terdata sehingga jumlahnya belum diketahui secara pasti. Agama Kristen sebagian besar dipeluk oleh Suku Timor, Sabu, Rote dan Alor. Agama Katolik sebagian besar dipeluk Suku Flores, sedangkan Agama Islam kebanyakan
112
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
dipeluk Suku Solor, Bugis dan Jawa (Maxy Lak Apu, Tokoh Masyarakat, Wawancara 27 Maret 2015). Bagi umat beragama keberadaan rumah ibadat menjadi penting sebagai simbol dan eksistensi keberadaan mereka di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu dapat difahami jika masing-masing umat beragama di Kota Kupang memiliki ikon-ikon rumah ibadat, misalnya: Gereja Katedral (tempat Uskup) di Jl. Urip Sumoharjo merupakan ikon umat Katolik Kupang, Gereja Kota Kupang merupakan ikon umat Kristen Kupang, Masjid Agung Kota Kupang merupakan ikon rumah ibadat umat Islam Kupang. Rumah-rumah ibadat tersebut merupakan rumah ibadat tertua di Kota Kupang (Pdt. Thomas W. Ateta M.Th., Pdt. Manus Daud J.,S.Th., Jery A.C. Adoe, S.Th., Wawancara, 28 Maret 2015). Dalam kaitannya dengan kehidupan keagamaan penduduk Kota Kupang khususnya terkait hubungan antarumat beragama selama ini terlihat harmonis. Hal ini terindikasi dari hubungan antarumat beragama khususnya sejak pasca peristiwa November 1998 dan kasus pendirian masjid di Batu Plat beberapa tahun yang lalu, relatif tidak lagi timbul konflik antarumat beragama, baik yang disebabkan oleh persoalan non keagamaan maupun oleh persoalan agama. Peristiwa kerusuhan pada tahun 1998 yang oleh masyarakat Kota Kupang mereka sebut sebagai “November Kelabu” itu mereka sadari akibat dari kelengahan para pemuka agama dan para tokoh masyarakat ketika itu, yang semestinya peristiwa itu tidak perlu terjadi. Para pemuka agama Kota Kupang menyebutnya peristiwa kerusuhan yang melibatkan umat Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
113
Kristiani dan umat Islam di Kupang tersebut sebagai imbas dari kerusuhan sosial bernuansa agama yang terjadi di Situbondo pada tahun yang sama. Ketika dilakukan penyelidikan oleh aparat terkait dan tokoh masyarakat beserta para pemuka agama setempat, tidak ditemukan faktor penyebab kerusuhan secara pasti. Kasus kerusuhan itu terjadi akibat adanya provokasi dari pihak luar. Di antara informan ada yang menjelaskan bahwa tragedi November 1998 di Kota Kupang hanyalah korban dari situasi politik saat itu, terkait ada pengungsi Timor Timur yang tetap membela bendera Merah-Putih (Indonesia). Dalam situasi ketidakstabilan politik itu dipergunakan oleh kelompok tertentu memprovokasi masyarakat dengan menyebarkan isu adanya pembakaran Gereja Katedral dan Gereja Kota Kupang yang merupakan simbol umat Kristiani (Hasil wawancara dengan Syukur dan Yacobus, 29 Maret 2015). Selain Peristiwa “November Kelabu” di atas, ada kasus pendirian masjid di Batu Plat yang hingga saat penelitian ini dilakukan masih dalam proses penyelesaian Pemda Kota Kupang. Kasus pendirian masjid di Batu Plat yang terjadi sekitar 10 tahun yang lalu itu dinilai ada nuansa politik oleh sementara para informan sehubungan akan adanya pergantian/pemilihan Walikota Kupang saat itu. Masjid yang telah berdiri dan dipermasalahkan oleh umat Kristiani setempat itu, ada pihak yang menjanjikan akan memfasilitasi keberadaan masjid tersebut. Kelompok pemuda Kristen menilai keberadaan masjid tersebut mengganggu pos pelayanan gereja. Kini kasus masjid di Batu Plat tersebut ditangani oleh Tim 114
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Sembilan yang dibentuk Walikota Kupang. Tim yang diketuai Piter Da Santo itu beranggotakan dari berbagai unsur, antara lain: kejaksaan, kepolisian, tokoh agama dan cendekiawan (wawancara dengan: Amros, 25 Maret 2015; Syukur, 29 Maret 2015; Yacobus, 29 Maret 2015; Bernad, 3 April 2015). B. Hasil Temuan Lapangan Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan baik informasi dari berbagai unsur masyarakat yang terdiri dari para tokoh/pemuka berbagai agama, tokoh masyarakat, masyarakat, pejabat pemerintah daerah terkait, kalangan mahasiswa dan observasi terhadap obyek-obyek tertentu di lapangan, dapat dikatakan bahwa di Kota Kupang terbangun toleransi beragama yang cenderung kuat di kalangan masyarakat beda agama, meskipun pernah timbul kasus-kasus konflik di kalangan umat beragama. Hubungan harmonis di atas ditengarai adanya sikap dan perilaku toleran yang dilakukan oleh kalangan umat beragama dalam menyikapi dan memperlakukan berbagai kegiatan keagamaan yang tercakup dalam faktorfaktor keagamaan yang dilakukan umat beragama lain, antara lain: B.1.Pemaknaan tentang Toleransi dan Perilaku Terhadap Perbedaan Agama
Perwujudan
Para informan pada umumnya mengatakan bahwa sikap dan perilaku berupa penghormatan dan penghargaan terhadap umat beragama lain merupakan ekspresi toleransi beragama. Perwujudan dari penghormatan dan penghargaan tersebut yaitu tidak Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
115
mengganggu, tidak menghina, tidak mempermasalahkan, memperlakukan sama sebagaimana perlakuan terhadap yang seagama serta membiarkan dalam arti memberi kebebasan atas keberadaan agama lain (wawancara dengan Amros, 25 Maret 2015, Maxy Lak Apu, 27 Maret 2015, H.M. Kabir, 27 Maret 2015). Bentuk lain dari penghormatan dan penghargaan terhadap umat beragama lain yaitu pada saat kelompok umat beragama lain melakukan kegiatan peribadatan, umat beragama lain tidak diperbolehkan mengganggu, apalagi melarang. Namun penghormatan dan penghargaan atas keberadaan umat beragama lain bukan berarti mengakui atau menyetujui keyakinan agama lain, demikian pula sikap pembiaran. Dalam menghormati dan menghargai agama lain ada batasnya, antara lain tidak diperbolehkan kerjasama atau membatu dalam praktek/pelaksanaan ajaran agama lain. Tegur sapa, menghadiri undangan umat beragama lain dan saling berkunjung terutama pada waktu perayaan hari besar keagamaan, merupakan salah satu manifestasi bentuk toleransi beragama (wawancara dengan Antonius Tanesib, 27 Maret 2015). Terkait dengan sikap dan perilaku terhadap perbedaan agama, umat beragama di Kota Kupang tidak membeda-bedakan agama dalam hidup berkeluarga, bertetangga maupun bermasyarakat. Di kalangan masyarakat ada yang dalam satu keluarga terdiri atas beberapa pemeluk agama dan hal ini tidak mereka permasalahkan.
116
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
B.2. Hal-Hal yang Tidak Disukai Terhadap Umat Beragama Lain
Umat
Beragama
Dalam kaitannya dengan kebiasaan yang dilakukan umat beragama lain, secara prinsip tidak ada hal-hal yang tidak disukai, baik dari kalangan umat Kristen atau Katolik terhadap umat Islam, umat Hindu dan umat Buddha. Demikian pula sebaliknya dari kalangan umat Islam, umat Hindu maupun umat Buddha terhadap umat Kristen atau umat Katolik. B.3. Bentuk-Bentuk Toleransi Beragama Bentuk-bentuk toleransi beragama di kalangan umat beragama di Kota Kupang terlihat dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, meliputi: a. Penyiaran agama: Bentuk-bentuk toleransi beragama di kalangan umat beragama Kota Kupang dalam kaitannya dengan penyiaran agama berupa antara lain: 1) Ada semacam kesepakatan tidak tertulis di antara para pemuka agama bahwa penyiaran agama yang dilakukan oleh masing-masing agama ditolerir oleh umat beragama lain sepanjang tidak mengusik doktrin ajaran agama lain. 2) Para tetangga yang beragama lain selama ini tidak merasa terganggu adanya kegiatan keagamaan umat Kristiani dari rumah ke rumah, sekalipun dalam acara itu ada kegiatan penyiaran agama berupa penguatan iman terhadap jemaat yang hadir.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
117
b. Pendirian dan keberadaan rumah ibadat umat lain: Masyarakat pada dasarnya tidak keberatan terhadap pendirian rumah ibadat umat beragama lain selagi proses pendiriannya sesuai dengan prosedur dan aturan yang ada. Namun ada rumah ibadat (masjid) yang dibangun tidak mengikuti prosedur yang telah diatur dalam PBM nomor 9 dan 8 Tahun 2006 lantaran ada pendekatan yang baik dengan umat mayoritas agama lain setempat. Terkait keberadaan rumah ibadat agama lain pada umumnya tidak dipersoalkan oleh masyarakat sekitar, bahkan dalam pembangunannya dari umat lain ada yang membantu, baik tenaga maupun materi. Demikian pula pada setiap menjelang peringatan hari besar keagamaan di Kota Kupang ada tradisi membersihkan lingkungan sekitar rumah ibadat umat beragama yang bersangkutan. Umat beragama lain ikut berpartisipasi dalam kegiatan membersihkan lingkungan rumah ibadat tersebut. c. Perayaan hari besar keagamaan Pada setiap acara perayaan hari besar keagamaan, umat beragama lain ikut membantu persiapan acara dan ikut hadir dalam acara peringatan hari besar keagamaan tersebut. Bahkan sudah menjadi tradisi di kalangan umat beragama, ada unsur agama lain ikut serta membantu menjadi panitia dan menjaga keamanan agar acara perayaan hari besar keagamaan umat lain tersebut berjalan lancar. Ucapan “selamat Natal” “selamat hari raya Idul Fitri” dan “selamat hari raya Nyepi” sudah biasa disampaikan oleh umat dari berbeda agama. 118
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
d. Perawatan dan pemakaman jenazah Dalam hal perawatan dan pemakaman jenazah, bentuk toleransi yang terjadi di kalangan umat beragama antara lain: 1) Partisipasi aktif dari kalangan umat beragama, terutama di kalangan masyarakat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga yang meninggal, sekalipun berbeda agama. 2) Tempat penguburan mayat dilakukan secara mengelompok menurut agama dalam satu lokasi kuburan. Ketika ada proses “ngaben” (pembakaran mayat umat Hindu) di kuburan tersebut, tidak ada umat beragama lain yang keberatan, dalam arti bahwa mereka bersikap membiarkan. e. Perkawinan beda agama Umat beragama di Kota Kupang pada umumnya bersikap “membiarkan” dalam arti tidak mempermasalahkan terhadap perkawinan beda agama. Bahwa perkawinan beda agama bukanlah hal yang tabu. Perkawinan merupakan hak pribadi masing-masing orang sehingga tak dapat dipaksakan. f. Pengangkatan anak Umat beragama di Kota Kupang tidak mempermasalahkan terhadap praktek pengangkatan anak oleh orang yang berbeda agama dengan anak angkat.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
119
g. Pendidikan agama Bentuk-bentuk toleransi beragama di kalangan umat beragama Kota Kupang dalam aspek pendidikan terlihat dalam penerimaan murid dari agama berbeda di lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama tertentu, misalkan Taman Kanak-Kanak (TK) Yayasan Hindu di komplek Pura Oeba Nanta kelurahan Fatubesi, menerima murid dari berbagai agama, tidak hanya dari umat Hindu. Murid-murid dari berbagai agama tersebut dikenalkan ajaran agama Hindu oleh gurunya dan para orangtua murid tidak keberatan. B.4. Faktor yang Mendasari Terbangunnya Toleransi Beragama dan Aktor Motivator Toleransi Beragama Unsur utama yang menjadi dasar terbangunnya toleransi beragama di Kota Kupang adalah faktor budaya berupa adat “oko mama” yang masih eksis dalam kehidupan masyarakat. Jika ada perselisihan di antara anggota masyarakat maka diselesaikan melalui adat “oko mama”. Selain itu, adanya prinsip hidup dalam bermasyarakat “ketong basodara” yang artinya “kita bersaudara”. Demikian pula adanya tradisi kumpul keluarga yang biasa disebut masyarakat Kupang “sambung tangan”. Tradisi kumpul keluarga yang biasa dilakukan pada acara siklus hidup (kelahiran, perkawinan, meninggal). Prinsip hidup bermasyarakat itu menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam hidup bermasyarakat tanpa melihat latar belakang etnis, suku, maupun agama, yang pada gilirannya terbangun toleransi 120
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
beragama di kalangan masyarakat. Selain adat atau budaya, faktor agama dengan ajaran “cinta-kasih” terhadap sesama merupakan unsur kedua sebagai dasar toleransi beragama di kalangan umat beragama. Nilainilai ajaran tersebut pada dasarnya terdapat di semua agama, namun terasa lebih banyak disosialisasikan oleh kalangan umat Kristen maupun Katolik di Kota Kupang. Toleransi beragama di Kota Kupang juga didukung oleh adanya kebijakan pemerintah Kota Kupang yang mencanangkan Kota Kupang sebagai kota yang aman, sehat, indah dan harmonis sekalipun masyarakatnya terdiri atas berbagai suku, etnis, budaya dan agama. Hal ini tercermin dalam motto Kota Kupang “Kota Kasih”, yakni kota yang aman, sehat, indah dan harmonis, di samping kebijakan –tidak tertulis- yang menganjurkan agar umat beragama berpartisipasi dalam kegiatan perayaan hari besar agama umat lain, serta kegiatan pemerintah Kota Kupang yang secara rutin mengadakan peringatan “Natal Bersama” yang dihadiri umat lain. Selain itu, keberadaan monumen “Gong Perdamaian” di Jl. Fran Seda yang merupakan gagasan Walikota Kupang Daniel Ado ketika itu, membuktikan bahwa beliau merupakan aktor pendorong toleransi di Kota Kupang. B.5. Peningkatan Toleransi Beragama Sekalipun toleransi beragama di kalangan umat beragama di Kota Kupang telah tercipta dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, para pemuka agama
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
121
melakukan berbagai usaha meningkatkan toleransi, di antaranya dengan: a. Peningkatan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Kupang. b. Pelibatan umat agama lain dalam momen-momen keagamaan tertentu. Demikian pula toleransi beragama dalam aspek-aspek lain yang telah terbangun selama ini. c. Dilakukannya sosialisasi mengenai Peraturan Bersama Menag dan Mendagri nomor 9 & 8 tahun 2006 khususnya tentang pendirian rumah ibadat sehingga tidak disalahartikan dan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. d. Kegiatan-kegiatan yang mngedepankan nasionalisme agar ditingkatkan. C. Analisis Toleransi beragama di kalangan umat beragama di Kota Kupang yang terjalin dalam berbagai aspek atau faktor keagamaan antara lain; penyiaran agama, pendirian dan keberadaan rumah ibadat, perayaan hari besar keagamaan, perkawinan beda agama, perawatan/ pemakaman jenazah dan pendidikan agama, ternyata tidak sertamerta dapat berperan sebagai penangkal yang kokoh terhadap gangguan harmonisasi hubungan antarumat beragama. Upaya provokatif dari pihak lain yang dilakukan melalui sentimen keagamaan, rupanya dapat mengoyak hubungan harmonis antarumat beragama yang mereka 122
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
jalin melalui toleransi beragama. Hal ini terlihat, setidaknya dari peristiwa timbulnya kasus kerusuhan “November Kelabu” pada 1998 yang melibatkan komunitas Kristiani dan umat Islam di Kota Kupang yang mengakibatkan terbakarnya 3 buah masjid di wilayah itu. Timbulnya peristiwa kerusuhan sosial bernuansa agama tersebut sekaligus membuktikan bahwa upaya provokatif melalui isu-isu dan sentimen keagamaan ternyata masih efektif di Kota Kupang. Kenyataan di atas mengindikasikan bahwa sekalipun toleransi beragama di kalangan umat beragama di Kota Kupang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, ternyata masih rawan terhadap timbulnya konflik keagamaan akibat kuatnya sentimen keagamaan. Kuatnya sentimen keagamaan –terutama dari kelompok agama tertentu – ini, juga ditengarai oleh adanya kasus pendirian rumah ibadat, tepatnya perselisihan tentang keberadaan masjid di Batu Plat yang hingga saat penelitian ini dilakukan masih dalam proses penyelesaian oleh pemerintah Kota Kupang. Terlepas dari adanya unsur politis, terdapatnya kasus pendirian rumah ibadat tersebut memperkuat predikat Kota Kupang tergolong rawan terhadap kemungkinan timbulnya konflik keagamaan. D. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Toleransi beragama dimaknai oleh umat beragama Kota Kupang sebagai sikap menghormati, menghargai dan membiarkan dalam arti tidak acuh dan tidak Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
123
mempersoalkan umat beragama aktivitas keagamaannya.
lain
melakukan
2. Dalam berinteraksi sosial, di antara kalangan umat beragama tidak ada hal-hal yang disukai maupun yang tidak disukai dalam menyikapi perilaku sosial maupun perilaku keagamaan umat beragama lain. 3. Terdapat toleransi beragama di kalangan umat beragama dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, dengan bentuk toleransi yang beragam. Toleransi beragama yang terjadi, pada umumnya mereka wujudkan dalam bentuk kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan. 4. Faktor utama yang mendasari toleransi beragama yaitu adanya budaya masyarakat antara lain: “oko mama” dengan tradisi “took ta bua”, adanya rasa persaudaraan yang dibangun melalui prinsip hidup “ketong basodara” dan budaya cinta kasih yang menghasilkan sikap saling mengasihi antar sesama sekalipun berbeda suku, budaya dan agama. Nilai-nilai agama merupakan faktor kedua yang mendasari terdapatnya toleransi beragama di kalangan umat beragama. 5. Kasus-kasus konflik yang pernah terjadi di kalangan umat beragama di Kota Kupang, antara lain kasus konflik “November kelabu” tahun 1998 dan kasus konflik pendirian masjid di Batu Plat. 6. Sekalipun toleransi beragama selama ini telah terjalin di kalangan umat beragama di Kota Kupang, namun para pemuka agama dan masyarakat memandang perlu adanya upaya untuk peningkatan dan pemeliharaannya.
124
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
E. Rekomendasi Rekomendasi yang perlu diberikan antara lain: 1. Mendorong FKUB Kota Kupang bersinergi dengan instansi terkait untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan sosial yang diikuti oleh berbagai unsur agama. 2. Memotifasi kalangan umat beragama melalui para pemuka agama untuk meningkatkan kerukunan antarumat beragama yang selama ini telah terjalin melalui antara lain peningkatan toleransi terhadap berbagai aktivitas keagamaan yang dilakukan umat beragama lain, sosialisasi PBM nomor 9 & 8 Tahun 2006 kepada lapisan masyarakat dan unsur umat beragama, serta memfasilitasi kegiatan berupa forum-forum dialog lintas agama untuk membahas berbagai permasalahan antarumat beragama.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
125
126
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
BAB III ANALISA UMUM
A. Gambaran Umum Wilayah Wilayah-wilayah yang menjadi objek penelitian ini sebagian besar adalah wilayah yang dipandang pernah mengalami konflik kaitannya dengan isu keagamaan, yaitu Poso, Mataram, Temanggung, Kupang, Bogor, dan Bekasi. Dari keenam wilayah itu, ada yang konflik intra agama, yaitu Mataram (Ahmadiyah dan umat Islam lain) dan ada pula yang antar agama (Islam dan Kristen). Sementara dua wilayah yang lain, yaitu Padang dan Klender Jakarta Selatan adalah dua wilayah yang masih masuk kategori potensi konflik. Meski dari data yang ada, muncul pula riak-riak ketegangan yang terjadi antar umat beragama. Dari kedelapan wilayah ini dilihat dari sisi penduduk juga memiliki karakteristik yang berbeda pula. Padang, Temanggung, Kupang, Mataram, dan Poso cenderung tingkat migrasi masuk ke wilayah-wlayah tersebut tidak terlalu pesat. Berbeda dengan Bekasi, Bogor, dan Klender Jakarta Selatan, karena dekat dengan Ibukota Jakarta maka daya tariknya sangat luar biasa sehingga merubah komposisi penduduk dari sisi suku. Hal ini tentu saja berpengaruh di dalam relasi antar warga, interaksi yang terbangun, dan perebutan nilai-nilai lokal yang dominan.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
127
Migrasi dan perebutan budaya dominan ini tak pelak mempengaruhi pula terhadap nilai lokal yang sudah menyejarah dan menjadi panduan bagi masyarakat di dalam berinteraksi sosial. Masyarakat Padang, Temanggung, Kupang, Mataram dan Poso cenderung memiliki nilai-nilai lokal yang masih dipegang kuat, meski seperti di Poso dan Mataram agak terkoyak karena konflik yang terjadi. Sementara nilai-nilai lokal di wilayah Bekasi, Bogor, dan Klender Jakarta Selatan, meski dianggap masih memberi pengaruh, tetapi membutuhkan penguat yang lain, terutama pemerintah daerah, tokoh masyarakat, atau organisasi keagamaan atau kemasyarakatan di dalam menjaga harmoni di wilayah masing-masing. B. Pemaknaan Terhadap Toleransi B.1. Praktek toleransi Toleransi di dalam prakteknya di masing-masing wilayah dimaknai dengan beberapa tingkatan. Sebagian besar memaknai toleransi dengan saling menghormati pelaksanaan ibadah masing-masing dan memberi ruang di dalam interaksi sosial. Bekasi dan Padang termasuk di dalam kategori ini. Bogor dan Klender Jakarta Selatan, agak di atas sedikit di mana umat dari agama lain turut menjaga dan membantu dalam kategori minimal pada perayaan keagamaan. Sementara itu di Poso dengan komposisi masyarakat dari sisi agama yang cukup berimbang menjadikan wilayah ini memiliki corak toleransi yang agak berbeda. Nilai lokalitas yang selalu diupayakan agar hidup 128
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
dan mengayomi semua telah memberi warna toleransi yang khas. Sebab harus diakui, dibanding wilayah yang lain, Poso merupakan wilayah dengan konflik terberat dan terbesar dengan waktu yang cukup lama dan korban yang banyak. Karena itu upaya dari internal maupun pihak luar, di antaranya Pemerintah Pusat, cukup kuat di dalam mencipta kehidupan yang saling menghargai. Karena itu toleransi yang terwujud tidak sekedar penghormatan terhadap ritual ibadah masing-masing, tetapi bentuk konkret dari semangat itu adalah dengan saling kunjung mengunjungi, saling dukung mendukung terhadap ritual keagamaan yang dilaksanakan masing-masing. Ini sebagai upaya menjaga keharmonisan yang sudah terbangun. Di dalam kasus lain, pernikahan beda agama misalnya, Poso dan Mataram dikatakan cukup banyak terjadi. Hal ini berbeda dengan Padang, Bekasi, Bogor, dan Klender Jakarta Selatan, yang dari temuan di lapangan tidak banyak mengalami. Kupang dan Temanggung menyuguhkan corak yang lebih dalam lagi di dalam pemaknaan toleransi. “Keluarga pelangi” istilah bagi sebuah keluarga yang memiliki ragam penganut agama yang berbeda dikatakan hal yang diterima dengan tangan terbuka di dua wilayah ini. Karena itu pernikahan beda agama menjadi sesuatu yang tidak aneh pula. Di sisi lain, perayaan keagamaan telah menjadi arena interaksi yang erat satu dengan yang lain, meski dengan kerekatan dan keterlibatan dengan level yang berbeda. Temanggung, sesuai temuan peneliti, bahkan masuk pada ranah ritual, di mana umat agama lain berperan aktif dalam pelaksanaannya.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
129
Perebutan ruang, adalah wilayah kontestasi lain di antara umat beragama. Pertama, pendirian rumah ibadah, secara umum, menjadi isu yang cukup sensitif. Ada problem tafsir yang berbeda terhadap peraturan yang ada, selain manipulasi persyaratan pendirian bangunan rumah ibadat yang kerap memantik konflik. Di luar itu semua, informan masing-masing wilayah sepakat bahwa peraturan berkenaan pendirian rumah ibadat adalah hal yang final untuk ditaati, sehingga sepanjang itu dilakukan, maka pendirian rumah ibadat tidak akan dipermasalahkan. Kedua, hal yang cukup menarik adalah ternyata perihal pemakaman merupakan arena negosiasi dan bisa menjadi barometer toleransi yang terbangun. Ketersediaan lahan pemakaman adalah bentuk keadilan yang mempengaruhi tingkat diskriminasi yang terjadi. Bagi daerah-daerah yang cukup memberi lahan pemakaman bagi setiap umat beragama mendapatkan poin toleransi yang tinggi. Ketiga, fasilitas-fasilitas umum yang mempertemukan semua kelompok agama juga sangat menentukan di dalam membangun dan mempertahankan toleransi. Di sini Mataram dan Klender Jakarta cukup memperlihatkan betapa toleransi antar umat beragama mengalami pergeseran tatkala ruang-ruang pertemuan publik itu berkurang bahkan ditiadakan. Tempat olahraga, taman bermain, bahkan mall, ternyata memberi pengaruh yang kuat di dalam merawat toleransi. Ketiadaan sekat di ruang-ruang tersebut diinternalisasi oleh masyarakat menjadi nilai toleransi di wilayah dan ruang yang lain. Penyiaran agama, tentu hal yang tak bisa dilupakan terkait toleransi umat beragama. Isu kristenisasi dan 130
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
islamisasi selalu muncul dan dicurigai menjadi sumbu penyulut konflik. Padang, Bogor, dan Klender Jakarta adalah wilayah-wilayah yang cukup akrab dengan isu ini dan memang ditemukan oleh peneliti. Bekasi, sebagaimana diberitakan berbagai media, sesungguhnya kerap dihubungkan dengan isu tersebut, meski dari penelitian yang dilakukan tidak memotret secara spesifik. Sementara daerah seperti Mataram, Poso, dan Kupang tidak cukup mengemuka, apalagi di Temanggung, di mana acara-acara penyiaran agama juga sering dihadiri oleh umat yang berbeda. Di sini menunjukkan bahwa isu kristenisasi dan islamisasi terkadang sensitif di satu wilayah, tetapi di wilayah yang lain dipandang tidak. Berbeda halnya dengan radikalisasi, terutama di Islam dan Kristen, yang ditemukan di Bogor, Klender Jakarta Selatan, dan Poso terbukti sangat kuat merubah warna toleransi yang ada. Hal ini sangat kentara untuk wilayah Poso, yang melihat radikalisasi sebagai sumbu utama konflik, selain kepentingan politik dan ekonomi. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, hasil dari interaksi sosial, pengaruh kebijakan pemerintah, dan penularan nilai-nilai toleransi, lambat laun radikalisasi ini mengalami metamorfosa pula. Di Klender misalnya, kelompok-kelompok radikal tidak seekstrem pada awalawal kemunculannya yang menunjukkan aksi intoleran secara terang-terangan. Kini, mereka lebih “jinak” bahkan bersedia untuk membantu kelompok yang berbeda. Di Poso, gerakan-gerakan radikal diduga tidak menguat, terlihat dari fakta-fakta toleransi yang terbangun.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
131
B.2. Penyulut Konflik Agama Konflik-konflik yang terjadi secara garis besar bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, antar agama, ini terjadi di Kupang, Poso, Temanggung, Klender Jakarta Selatan, Bogor, dan Bekasi. Kedua, intra agama, yaitu di Padang (antara aliran Kristen Betani dengan umat Kristen lainnya) dan Mataram (antara Ahmadiyah dan umat Islam lainnya). Meskipun di masing-masing wilayah itu juga ditemukan fakta lain bahwa konflik antar agama maupun intra agama juga terjadi. Tentu saja, sebagaimana dijelaskan di bagian awal rangkuman penelitian ini bahwa penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan; dan transparansi informasi keagamaan, adalah faktor-faktor penyebab konflik. Namun, yang menarik sesungguhnya dari penelitian di delapan wilayah ini adalah beberapa sumbu penyebab konflik yang layak dipotret lebih dalam, sebab ia tidak masuk dalam radar acuan penelitian. Komponenkomponen ini faktanya berperan besar di dalam memulai atau memperbesar konflik yang terjadi. a. Peran media Pada ulasan di Bekasi dan Bogor sangat jelas peneliti melihat bahwa apa yang diberitakan media selama ini tentang berbagai konflik di wilayah itu, tidak tergambar sama dengan yang terjadi di lapangan. Penggambaran 132
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
media yang memperlihatkan bahwa konflik menonjol di wilayah ini terasa dilebih-lebihkan. Dengan cara berbeda, konflik di Kupang juga, sesuai pengakuan informan, adalah imbas dari informasi yang keliru dan diinterpretasikan salah oleh warga sehingga mengakibatkan konflik antar agama terjadi di sana. Di sini, Poso menjadi contoh terbaik bagaimana media mengambil peran yang signifikan di dalam mencipta intoleransi atau sebaliknya, menjaga toleransi. b. Pihak luar Pihak luar yang dimaksud di sini adalah orang luar atau pendatang yang menyebar pengaruh intoleransi kepada warga setempat. Pada kasus yang terjadi di Temanggung jelas dikatakan bahwa beberapa konflik itu disulut oleh pihak luar yang “sengaja” membuat kisruh dan memancing emosi warga. Lagi-lagi di Poso, juga menyebutkan akan peran pihak luar yang memperparah konflik yang ada. Majelis Mujahidin yang hadir di sana dianggap menebar intoleransi antarumat beragama. Di luar dua hal ini, ada satu komponen penyebab konflik yang tidak cukup baik ditangkap di dalam penelitian-penelitian ini, yaitu pengaruh dana keagamaan dari luar negeri. Hampir di semua wilayah, informan tidak cukup data akan adanya dana ini dan bagaimana peruntukkannya. Padahal, jika kita melihat bahwa konflik di dalam negeri tidak bisa lepas dari pengaruh konfigurasi konflik di dunia internasional, maka peran dana dari luar negeri sesungguhnya cukup menentukan.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
133
B.3. Elemen-elemen Pendukung dan Penjaga Toleransi Elemen-elemen pendukung dan penjaga toleransi, mengafirmasi penelitian-penelitian yang ada sebelumnya. Tak bisa ditampik bahwa elemen-elemen ini memang berperan besar bagi kerukunan umat beragama. a. Tokoh agama dan nilai-nilai keagamaan Dari delapan wilayah, semua sepakat bahwa tokoh agama sangat berperan di dalam menjaga kerukunan. Peran mereka adalah dengan menebarkan nilai-nilai toleransi antar agama kepada masing-masing umatnya, menghindari materi penyiaran agama yang menyinggung agama lain, dan memperkokoh silaturahmi. b. Institusi Keagamaan dan Institusi Pendidikan Institusi keagamaan menjadi alat tokoh agama secara lebih massif dan tersruktur di dalam menjaga kerukunan. Institusi atau lembaga seperti FKUB atau Basolia (Bogor) yang secara kontinyu mempertemukan berbagai tokoh dan umat beragama yang berbeda tak bisa dihilangkan perannya. Demikian pula peran NU, Muhammadiyah, dan organisasi keagamaan lain di masyarakat yang turut menjaga toleransi. Namun ada kecenderungan peran tokoh agama ini menurun, di antaranya di Klender Jakarta Selatan. Menjadikan tokoh agama sebagai rujukan utama beralih bahkan berkurang drastis karena semakin sedikitnya tokoh masyarakat yang cukup disegani. Di sisi lain, institusi keagamaan, tak terhindarkan pula dari tuduhan melakukan aksi-aksi tertentu yang dianggap tidak pro toleransi, seperti yang dialami Basolia di Bogor. 134
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Selain institusi keagamaan ini, lembaga pendidikan juga memberi peran yang signifikan. Lembaga-lembaga pendidikan seperti Universitas Kristen di Tentena Poso yang mengajarkan toleransi kepada mahasiswanya, AlWathoniyah di Klender Jakarta Selatan memiliki andil menebarkan toleransi sesuai ajaran ulama atau ustadznya. Demikian pula upaya pengembangan toleransi, bina damai, dan hubungan baik antaragama, dilakukan secara sinergis oleh dua lembaga pendidikan keagamaan di Kota Mataram, yakni: IAIN Mataram (representasi institusi pendidikan tinggi umat Islam) dan STAHN Gde Pudja Mataram (representasi institusi pendidikan tinggi umat Hindu) dengan cukup baik. c. Pemerintah Peran pemerintah dengan membuat kebijakan yang terbuka adalah aktor lain yang tak bisa ditinggalkan. Safari Ramadhan dan Safari Natal di Poso, Natal Bersama di Kupang adalah contoh dari upaya konkret pemerintah daerah menjaga toleransi dan kerukunan. Pemandangan sedikit berbeda ditampilkan pemerintah daerah di Padang yang mendapat sorotan dengan mengeluarkan intruksi Wajib Jilbab bagi pelajar, di mana umat agama lain pun “diwajibkan” pula. Pemihakan terhadap umat beragama tertentu seringkali menimbulkan protes bahkan perlawanan dari warga dan menciderai kerukunan antar umat beragama. d. Nilai-nilai lokal Nilai-nilai budaya lokal atau yang biasa disebut sebagai kearifan lokal menjadi muara toleransi di semua wilayah. “Sing Penting Brayan” yang didengungkan Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
135
Temanggung, “Misale” di Poso, “Oko Mama” di Kupang, dan “Asah Asih Asuh” di Bogor sekedar contoh betapa efektifnya kearifan lokal mampu mempertemukan yang berbeda. e. Aktifis kemanusiaan Dari delapan wilayah penelitian, hanya Bogor yang mengurai peran aktifis kemanusiaan di dalam menjaga toleransi. Bisa jadi ini sesungguhnya akan ditemukan di semua wilayah mengingat semangat filantropi atau kedermawanan di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat pesat.
136
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari analisa yang dilakukan ini, ada beberapa kesimpulan yang dibuat: 1. Toleransi dan intoleransi tidak lepas dari faktor internal dan eksternal umat beragama. Internal adalah tokoh agama, materi penyiaran agama, dan lembaga keagamaan. Ketika ketiga komponen ini sepakat untuk bersama-sama membangun toleransi, maka ia menjadi motor bagi toleransi. 2. Toleransi dan intoleransi tidak lepas dari faktor internal dan eksternal warga masyarakat. Ketika warga setempat mendukung toleransi, tetapi ada pihak luar yang masuk dan mempengaruhi agar bertindak intoleran dan diafirmasi oleh warga, maka toleransi bisa berganti intoleransi. 3. Toleransi dan intoleransi tidak lepas dari peran pemerintah. Posisi pemerintah sebagai penjaga dan pelayan masyarakat menjadi penggerak dari kerukunan. Posisinya yang sesungguhnya harus netral di antara berbagai kelompok keagamaan merupakan penentu arah interaksi masyarakat. Pemerintah yang tampak nyata memihak pada kelompok tertentu tanpa mempertimbangkan kelompok lain cenderung ditolak oleh warga.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
137
4. Peraturan yang jelas dan tersampaikan kepada masyarakat adalah elemen mengurangi bahkan menghilangkan konflik. Aturan mengenai pendirian rumah ibadah, aturan penyelenggaraan penyiaran agama, dan lain-lain yang diketahui oleh semua pihak menjadi rujukan di dalam memandu masyarakat untuk berdiri sejajar di depan hukum. 5. Toleransi dan intoleransi tidak lepas dari peran media. Penggambaran media yang tidak sesuai fakta seringkali menimbulkan salah paham dan salah aksi di antara kelompok keagamaan. Media yang jujur dan netral merupakan aktor toleransi yang penting. 6. Ruang-ruang publik yang menghilangkan sekat kesukuan dan keagamaan menjadi pintu membangun kebersamaan. Adanya taman bermain, gelanggang olahraga, pentas seni dan lain sebagainya menjadi ajang pertemuan warga yang menjauhkan intoleransi. 7. Lembaga pendidikan adalah tempat disampaikannya semangat kerukunan. Lembaga-lembaga pendidikan yang bersinergi dengan lembaga pendidikan dari agama lain, atau di dalamnya memuat dan mengajarkan nilai toleransi adalah teladan yang baik di dalam menjaga kebersamaan antar agama. B. Rekomendasi Dari beberapa simpulan di atas, ada beberapa rekomendasi yang diberikan sesuai hasil penelitian ini, yaitu:
138
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
1. Perlu sungguh-sungguh dipersiapkan tokoh-tokoh agama panutan masyarakat yang toleran. Materi-materi agama yang mengajarkan kerukunan harus diterima dan diinternalisasi oleh masing-masing umat beragama. 2. Peran institusi keagamaan perlu ditingkatkan sebagai wadah yang secara massif dan tersruktur mengenalkan dan menanamkan toleransi. Lembaga-lembaga ini harus dirangkul sebagai motor kerukunan. 3. Lembaga-lembaga pendidikan sebagai referensi utama dijadikan lembaga penggembleng bagi semangat toleransi. Materi atau pelajaran toleransi harus ada dan secara sistemik diajarkan, baik secara teori maupun prakteknya. 4. Pemerintah pusat maupun daerah harus memandang semua warganya sama, tidak membeda-bedakan. Karena itu aturan dan kebijakan yang dibuat untuk kepentingan bersama. Pemerintah harus secara aktif menciptakan arena-arena kerukunan di antara warganya, tanpa kecuali. Arena itu bisa berupa kegiatan, tempat, maupun ruang-ruang yang lain. 5. Media massa sangat signifikan di dalam menyebar informasi kepada masyarakat. Karena itu, media harus diajak dan terlibat di dalam menjaga kerukunan dan toleransi masyarakat.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
139
140
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Haidlor Ali, (ed.), 2012. Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/ Perselisihan Rumah Ibadat. Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Akmal Salim Ruhana, 2014, Memadamkan Api, Mengikat Aspirasi: Penanganan Konflik Keagamaan di Kota Mataram, Jurnal Harmoni No. 2 Tahun 2013, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Mei-Agustus 2014. Al-Munawar, Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Penerbit Ciputat Press. Alun Muslow, 1997, Deconstructing History (New York: Routledge). Asuthosh Versney, 2009, Konflik Etnis dan Peran Masyarakat Sipil Pengalaman India (Terjemahan), Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta, Kementerian Agama. Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Temanggung, 2012. Atlas Kabupeten Temanggung.
Badan Pusat Statistik Kota Kupang, 2014, Kupang Dalam Angka Kupang, BPS Kota Kupang. Bahari, H. MA., (ed.), 2010. Toleransi Beragama Mahasiswa, Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Basuki dan Isbandi, 2008, “Konstruksi Sosial Peran Pemuka Agama dalam Menciptakan Kohesivitas Komunikasi Sosial di Kota Mataram”, Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 6 No. 2 Mei-Agustus 2008. Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
141
Binsar A. Hutabarat, Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama, www.google.com. Biro Pusat Statistik, 2014, Kabupaten Temanggung Dalam Angka 2014. Biro Pusat Statistik, 2013, Kota Bogor Dalam Angka Tahun 2013. Bogdan dan Taylor, Steven J., (Terj.) Arif Furkhan, 1992, Metodologi Penelitian Kualitatif, Suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-Ilmu Sosial, Surabaya, Usaha Nasional. Coser, Lewis A dan Bernard Rosenberg, 1976, Sociological Theory, Fourth Edition, USA., Macmillan Publishing. Dahrendorf, Ralf, 1986, (Diterjemahkan Alimandan), Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa Kritik, Jakarta, CV. Rajawali. David G. Gularnic, 1999, Webster’s World Dictionary of American Language, New York: The World Publishing Company. 1959. William L. Reese. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought. Expanded Edition. New York: Humanity Books. Dharma Tohjiwa, Agus dkk., 2010, Makalah Penelitian Kota Bogor dalam Tarik- Menarik Kekuatan Lokal dan Regional. Fathurrahman,2008, Toleransi Beragama Antara Penyedia dan Pengguna Jasa Kos-kosan Beda Agama di Dusun Papringan, Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Skripsi, Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga. Hasyim, Umar, 1979, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu. 142
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Horton, B., Paul dan Hunt, Chester, L., (dalam) Aminuddin, Ram & Sobari, Tita, (Alih Bhs.),1999, Sosiologi, Jld.2, Jakarta, Eriangga, Edisi VI. I Nyoman Murba Widana, “Munculnya Resistansi Masyarakat Hindu Etnis Bali di Kota Praya Lombok Tengah,” Jurnal Widya Sandhi, Vol. 5 No. 6 Mei 2014, Mataram: STAHN Gde Pudja Mataram. Israil dkk., Dinamika Pluralisme Agama di Nusa Tenggara Barat, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 1, Desember 2004. Jamaluddin, “Islam Sasak: Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok (Abad XVI-XIX)”, Jurnal Indo-Islamika, Vol.1 No. 1 Tahun 2011. Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Kantor Kementerian Agama Kabupaten Temanggung, 2015. Data Statistik Kementerian Agama Tahun 2015. Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Sistem Nasional Femantauan Kekerasan (SNPK), 2014, Laporan Bulanan - Laporan Bulan December 2014, Jakarta, Kedeputian I Kemenko PMK. Kementerian Agama Kota Bogor, 2014, Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Kota Bogor Tahun 2014. Koentjaraningrat,1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia. Moh. Asyiq Amrulloh, dkk. “Dampak Sosial Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok dan Upaya Resolusi Konflik”, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6 No. 2 Tahun 2010, hlm. 361-386.
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
143
Muhammad Hisyam. (Ed.), 2006, Budaya Kezvargaan Komunitas Islam di Daerah Rentan Konflik, Jakarta, LIPI. Pimpinan Redaksi, 2013, Konflik dan Dominasi Budaya dalam Masyarakat Plural, (dalam) Harmoni, Vol. 12, Nomor I, Januari - April 2013, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI. Reslawati, 2012, Prosiding Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Tahun 2012. Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Sefriyono, Membangun Harmoni dalam Keberagaman Agama, Imam Bonjol Press, 2014. Shihab, Alwi, Islam Inklusif. Bandung: Penerbit Mizan, 1999. Suprapto, 2013, Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid, Jakarta: Kencana Prenada Media. Tahmidy Lasahido, dkk., 2003, Suara Dari Poso Kerusuhan, Konflik dan Resolusi, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA), Jakarta Timur. Teguh
Setiawan, 2007, Toleransi Beragama di Kalangan Komunitas Slankers Semarang: Studi Kasus Organisasi Basis Slankers Club.( Skripsi), Semarang, IAIN Walisongo.
Tim Peneliti, 2006, Laporan Hasil Survei Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Stakeholders terhadap Organisasi Masyarakat Sipil. Jakarta: LP3ES dan YAPPIKA. 2006. Tim Peneliti. Indeks Masyarakat Sipil Indonesia. Jakarta: YAPPIKA. 144
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
Tim Peneliti, 2006, Survei Opini Publik: Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia, Jakarta: LSI Tomagola, Tamrin Amal, 2003, Anatomi Konflik Komunal di Indonesia: Kasus Maluku, Poso dan Kalimantan 1998-2002 dalam Moh. Soleh Isre (ed.), Konflik Etno-Religius Indonesia Kontemporer (Jakarta: Departemen Agama RI). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Zagorin, Perez, How the Idea of Religious Toleration Came to the West, USA: Princeton University Press, 2003, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Toleransi, diakses 20 Juni 2015. Wibe Side http://www.antara-news.com/berita/213330/menteri-pdt-kagumitoleransi-beragama-di-ntb,diakses pada 9 Juni 2015. http://www.embassyofindonesia.eu/?q=node/190, diakses pada 9 Juni 2015. http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=154255, diakses pada 9 Juni 2015. http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=265382, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,38177lang,id-c,nasionalt,Hasyim+Bantah+Tudingan+Eropa+Soal+Toleransi+Beragama.phpx, diakses pada 9 Juni 2015. www.kotabogor.go.id Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
145
Mass Media Makarim, Abdul Kadir, Drs., Timor Express, 1 Maret 2011. ______,‘Lokasi Sidang Rusuh Temanggung Tunggu Fatwa Mahkamah Agung’, 09/03/2011. ______,‘Terdakwa Kerusuhan Temanggung Disidangkan di PN Semarang’23/04/2011.
Tetap
______, ‘Sihabudin Tuding Ba’asyir Terlibat Kerusuhan Temanggung’, 25/05/2011. ______, ‘Aparat Tingkatkan Silaturahmi dengan Komponen Masyarakat’, 26/04/2011. Suara Merdeka, ‘Fungsi FKUB Diminta Dioptimalkan’, 04/03/2011. Suara Kedu, ‘Ketidakpahaman Hukum Penyebab Kerusuhan’, 11/03/2011. ______, ‘Temanggung Kondusif, Polisi dan TNI Ditarik’, 17/03/2011. ______, ‘Sidang Rusuh Temanggung Adem Ayem’, 01/04/2011. ______, ‘Bupati Diminta Bersikap Tegas’, 11/04/2011. ______, ‘Jaksa Bantah Rekayasa Dakwaan’, 15/04/2011. ______, ‘Saksi Melihat Sihabudin Saat Kerusuhan’, 29/04/2011.
146
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
INDEKS Basolia, 65, 66, 68, 134 Beragama, 8, 23, 24, 48, 54, 58, 64, 73, 80, 86, 90, 91, 102, 106, 117, 120, 122, 141, 142, 144, 145 Daerah Rawan Konflik, 6, 14 FKUB, 8, 54, 55, 58, 64, 68, 69, 75, 80, 87, 102, 103, 107, 122, 125, 134, 146 Intoleransi, 79, 91 Misale, 85, 136 Sintuwu Maroso, 84, 93
Toleransi, 6, 12, 14, 22, 24, 27, 28, 33, 35, 39, 40, 44, 46, 47, 48, 51, 53, 54, 62, 63, 66, 67, 72, 73, 77, 78, 79, 80, 84, 86, 88, 91, 92, 93, 99, 102, 105, 106, 108, 115, 117, 120, 121, 122, 123, 124, 128, 134, 137, 138, 141, 142, 144, 145 Toleransi Beragama, 6, 22, 24, 27, 46, 48, 54, 72, 73, 78, 86, 88, 92, 99, 102, 105, 106, 117, 120, 121, 141, 142, 144
Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik
147