Laporan Utama
PENDIDIKAN AGAMA DAN TOLERANSI BERAGAMA
“Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan” berarti setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan yang tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar yang setara (Pasal 2 Deklarasi Internasional tahun 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan) Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) melakukan survey terhadap guru agama dan siswa SMU di wilayah Jabodetabek. Survei tersebut melibatkan 590 dari total 2.639 guru PAI dan 93 siswa beragama Islam dari jumlah 611.678 murid sekolah menengah di Jabodetabek. Hasilnya, 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan keberatan jika umat nonmuslim membangun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggal mereka. Selain itu, 57,2 persen guru dan 45,2 persen siswa tidak setuju jika umat nonmuslim menjadi kepala sekolah. Hasil survei juga menunjukkan tingkat dukungan terhadap aksi kekerasan cukup tinggi. Begitu juga tingkat kesediaan mereka terlibat dalam aksi kekerasan terkait isu agama. Direktur Eksekutif LaKIP yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bambang Pranowo, menyatakan, hasil penelitian yang dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri itu merupakan sinyal bahaya
2
MITRA HUKUM
bagi kehidupan berbangsa dalam bingkai pluralitas. Hasil survey LAKIP yang diluncurkan bertepatan dengan peristiwa bom buku dan bom bunuh diri di Cirebon, dimana tersangka berasal dari lingkungan pendidikan tinggi serta mencuatnya NII KW 9 yang menjadikan kampus sebagai sasaran rekruitment anggotanya, sontak menjadikannya pembicaraan hangat. Baik yang meragukan, membenarkan ataupun yang menolak hasil survey tersebut. Namun, sesungguhnya hasil survey tersebut tidak berbeda jauh dari penelitian-penelitian serupa. Sebelumnya, The Wahid Institute melaporkan bahwa selama tahun 2010 telah terjadi 63 kasus atau rata-rata 5 kasus perbulan untuk pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan di Indonesia. Bentuk pelanggaran berupa Pembiaran (22%), Pelarangan kegiatan ibadah dan ekspresi keyakinan (8%), Pelarangan/Pembatasan rumah ibadah (19%) dan Pelarangan/Pemaksaan Keyakinan (40%). Sedangkan untuk
Laporan Utama kasus-kasus tindakan intoleransi yang terjadi pada tahun 2010 ini berjumlah 133 kasus. Bentuk intoleransi dan diskriminasi yaitu diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan (10%), Pembatasan ibadah dan kebebasan berekpresi (6%), Ancaman kekerasan dan intimidasi (9%), Pemaksaan dan pembatasan keyakinan (26%), Penyerangan fisik dan property (21%), Pembatasan rumah ibadah (15 %) dan Penyebaran Kebencian (13%). Pelaku intoleransi dan diskriminasi dominan dilakukan oleh masyarakat sipil (ormas) dengan 116 pelaku (83%). Dan sisanya 17% dilakukan oleh aparat pemerintah. Kondisi serupa ditemukan pula oleh SETARA Institute yang mencatat bahwa pada tahun 2010 terjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan, yang menyebar di 20 propinsi. Dari 286 bentuk pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan, terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor, dan terdapat 183 tindakan yang dilakukan oleh warga negara. Setara mengindentifikasikan pelaku tindakan pelanggaran pada kategori ini adalah individu warga negara maupun individu-individu yang tergabung dalam organisasi masyarakat. Kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran berturut-turut: Masyarakat (70 tindakan), MUI (22 tindakan), Front Pembela Islam-FPI (17 tindakan), Forum Umat Islam-FUI (11 tindakan), Gerakan Reformis Islam-GARIS (10 tindakan), Gerakan Anti Ahamadiyah-GERAM (5 tindakan), individu
(5 tindakan), dan sisanya berbagai organisasi dengan jumlah keterlibatan di bawah 5 tindakan. Penelitian LaKIP, Wahid Institute maupun Setara hanya gambaran dari wajah masyarakat secara keseluruhan yang sedang mengalami kecenderungan makin radikal. Dan apakah pendidikan agama yang diberikan sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi memberikan sumbangan terhadap tindakan intoleran dan radikal ? PENDIDIKAN AGAMA DAN TOLERANSI Arif Saiful Huda, salah seorang guru SMA Islam terpadu Al-Misykat, dalam sebuah diskusi di Jombang, mengungkapkan toleransi merupakan bagian dari nilai-nilai yang tergantung dalam akhlak dan agama. Dalam agama,akhlak seseorang ditempatkan pada posisi yang utama. Namun, Arif mengakui praktek-praktek pengajaran yang tidak mendukung terbentuknya sikap toleransi antar sesama bagi siswa masih terjadi di sekolah. Menurut Arif, pendidikan agama yang di ajarkan di sekolah lebih banyak bersifat doktrin sehingga tidak ada kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi secara mendalam. “Di sekolah, materi agama yang diajarkan hanya bersifat normative sehingga agama hanya dipahami dari sisi amaliahnya saja.” Kondisi ini sangat tidak mendukung berkembangnya jiwa toleransi antar sesama pada siswa. “Seharusnya pelajaran agama dikupas secara tuntas agar tidak menimbulkan fanatisme madzhab,” lanjut dia. Hal senada disampaikan Aan Anshory, Presidium Jaringan Islam Anti Diskriminasi Jawa Timur, mengungkapMITRA HUKUM
3
Laporan Utama kan bahwa model pendidikan sekarang ini cenderung mengajarkan pada siswa untuk tidak siap menerima perbedaan. Model pengajaran pada materi keagamaan kata Aan, lebih banyak bersifat normatife dan vertikalis. “Undang-undang sudah menetapkan bahwa perbedaan agama dan keyakinan tidak dilarang, tapi kenapa sekolah tidak bisa mengajarkan itu pada muridnya?” Sesalnya. Brenda Watson dalam bukunya Education and Belief (1987) yang menyebut beberapa kesalahan pengajaran agama di sekolah. Pertama, sering terjadi bahwa guru mengubah proses pendidikan (education-process) menjadi proses indoktrinasi (indoctrination process). Murid bukannya diberi kebebasan untuk bertanya, mengkritisi, dan mempertanyakan doktrin agama, tetapi cenderung dipaksa untuk menerima doktrin agama sebagai sesuatu yang absolut dan tidak boleh dibantah. Kedua, sering terjadi kesalahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih menekankan pada pelajaran yang bersifat normatifinformatif dan sedikit menekankan pada religious education. Ketiga, ini berkaitan dengan sesuatu yang cukup rumit untuk dielakkan, yaitu biasanya seorang guru susah untuk melepas-
4
MITRA HUKUM
kan ideologi atau komitmen agama yang dianutnya ketika mengajarkan pendidikan agama. Kesalahan ini diperparah oleh kesalahan pendekatan berikutnya, yaitu biasanya orang tua murid pun memunyai peranan yang besar dalam membangun fanatisme keagamaan seorang anak didik. Orang tua biasanya khawatir kalau anaknya masuk ke sekolah yang memunyai ciri khas agama berbeda dengan kepercayaan mereka. Menurutnya, kesalahankesalahan pendekatan di atas terjadi pada tradisi pengajaran agama-agama besar di dunia. Kesalahan pengajaran tersebut pada satu sisi menyebabkan pengajaran agama kehilangan peminat. Apalagi bagi siswa yang sudah terbiasa dengan tradisi kritis mempertanyakan segala bentuk informasi yang menurut akal mereka perlu dipertanyakan. Di sisi lain, pendekatan seperti itu akan menumbuhkan fanatisme keagamaan yang kental dan pada akhirnya nilainilai toleransi dan pluralisme yang diemban oleh setiap agama kehilangan
Laporan Utama nilai signifikansinya dalam memupuk persaudaraan sesama umat manusia. Sedangkan Muhammad Munadi mengidentifikasi bahwa pembelajaran agama didominasi nilai agama berdasar mitos dan ideology. Pembelajaran agama berdasarkan mitos, megakibatkan agama dimanifestasikan dalam bentuk mengambil ayat-ayat kitab suci agama untuk mengusir syetan, dan pemilihannya berdasar kebutuhan yang tidak sesuai dengan nilai spirit agama. lainnya. Dominasi lain berupa pembelajaran agama berdasar ideologi. Model ini lebih mengutamakan klaim-klaim yang belum terbukti dan belum dipraktekkan di masyarakat yang memeluk agama tertentu. Lebih diperparah lagi dalam prakteknya pembelajaran atau pendidikan agama maupun moral mengalami realitas obyektif yang buruk, menurut Komarudin Hidayat dikarenakan: (1) Pendidikan Agama lebih berorientasi pada belajar tentang Agama; (2) Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama, sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, malah terlewatkan; dan (3). Kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam serta kurangnya penguasaan semantik dan generik atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya. Selain itu ada indikasi lain bahwa ada ketakutan tokoh agama terhadap posisinya yang bisa bergeser seiring dengan perubahan keilmuan umat. Menurut Komarudin Hidayat, sekolah telah terhegemoni oleh pen-
guasa dan tokoh agama, dengan tafsir tunggal ideologi negara dan agama. Akibatnya mereka kurang memahami pluralisme dalam masyarakatnya. Dalam hal ini Komarudin Hidayat memberikan pemikiran ideal yang menarik tentang pendidikan/pengajaran agama yang relatif adaptif dengan perkembangan dan realitas masyarakatnya yaitu dengan membebaskan diri dari dikte-dikte sejarah masa lalu, membaca dan memahami ayat-ayat suci beserta sebab-sebab turunnya, dan mengeluarkan makna etisnya. Untuk metode pengajarannya sendiiri Muhammad Munadi merekomendasikan model pendidikan yang toleran yaitu : 1. Model Aksi-Refleksi-Aksi dalam pembelajaran yang lebih mementingkan pada siswanya. Model ini diterapkan oleh Paulo Freire yang lebih mementingkan pembelajaran hadap masalah (poblem possing) dengan paradigma kritis menggunakan dialog antara fasilitator dan pembelajar yang membawa percakapan yang bernilai pengalaman divergen, harapan, perspektif, dan nilai (value). Dialog yang digunak-
MITRA HUKUM
5
Laporan Utama an bukan bermakna sebatas teknis dan taktik, tetapi komunikasi kritis yang berarti merefleksikan bersama (guru dan siswa) apa yang diketahui dan tidak diketahui kemudian bertindak kritis untuk mentransfomasi realitas. Pembelajaran ini bersifat membebaskan yang memiliki prasyarat, diantaranya: (i) Tidak ada pembagian kekuasaan, kedudukan guru dan siswa adalah seimbang dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan (setara dalam srawung ilmiah). Keduanya merupakan mitra belajar sehingga harus saling menghormati; (ii) Penggunaan sumber daya setempat (khususnya murid, sumber belajar, bahan ajar, dan lainnya yang terkait dengan pembelajaran). Sumber dari luar siswa hanya memainkan peran pendukung dan tidak lagi merupakan sumber dominan dan kontrol; (iii) Pembelajaran mengakar pada konteks setempat, model rancangan dan pelaksanaan model secara sederhana dan relevan berasal dari masukan siswa; dan (iv) Menekankan pada pembelajaran kualitatif dan berorientasi pada proses. 2. Model Ignasian. Model ini hampir mirip dengan yang pertama, langkah yang ditempuh meliputi: konteks, pengalaman (langsung maupun tidak langsung), refleksi (daya ingat, pemahaman, daya imajinasi dan perasaan) untuk menangkap arti dan nilai hakiki dari apa yang dipelajari, aksi (tindakan ini mengacu kepada pertumbuhan batin manusia berdsarkan pengalaman
6
MITRA HUKUM
yang telah direfleksikan dan mengacu juga kepada yang ditampilkan), dan evaluasi Selain perbaikan pada materi, dan metode pengajaran. Singkat kata, pemerintah perlu mendesain ulang kurikulum pendidikan agama menjadi pendidikan agama yang berbasis multikultural yang lebih menyentuh pada persoalan konkret, seperti eksklusivisme, intoleransi, apatisme, dan diskriminasi rasial, sehingga fenomena kekerasan atas nama agama dapat dieliminasi. Dengan demikian, sektor pendidikan bisa memberikan kontribusinya untuk menjaga kebhinekaan di Indonesia. (Siti Aminah Tardi) DAFTAR BACAAN Achmad Fauzi, Revitalisasi Pendidikan Agama, Kompas, Selasa, 22 Februari 2011 Muhammad Munadi, Pendidikan Agama dan Toleransi, http://muhammadmunadi.blogspot.com/2010/03/ pendidikan-agama-dan-toleransi.html Pendidikan Agama Belum Ajarkan Jiwa Toleransi, Written by Suara Warga, www.lakpesdamjombang.org Setara Institute, Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Tahun 2010, Setara Institute, Jakarta, 2011 The Wahid Institute, Laporan Pelanggaran Kebebasan/Berkeyakinan 2010, The Wahid Institute, Jakarta, 2011
Laporan Utama
DISKRIMINASI PENDIDIKAN AGAMA DI PERGURUAN TINGGI UMUM
“ Saya diuntungkan dalam pelajaran agama di Perguruan Tinggi, di ITB selama 3 tahun, kita bisa memilih mata kuliah pelajaran agama, dan Agama Budha yang saya pilih.... Dua hal dari agama Budha yang saya ingat ketika Budha ditanya oleh muridnya, “ Apakah untuk mencapai nirwana harus melalui Budha ?” Dijawab oleh Budha, “Oh, tidak. Ajaran saya adalah rakit untuk mencapai sungai.” (Bambang Harymurti, 18 April 2011)
Bambang Harymurti, Pimpinan Umum Tempo berbagi pengalamannya tentang pelajaran agama yang dipilihnya saat menempuh pendidikan di ITB, dalam Pelatihan Advokasi Kebebasan Beragama, pada pertengahan April lalu. Walau, pada awalnya memilih pelajaran agama Budha didasarkan pada kebutu-han praktis,
namun ia tidak memungkiri pengetahuannya tentang agama Budha secara tidak langsung menjadikannya sebagai muslim yang toleran terhadap setiap perbedaan. Bambang sangat ber-untung dapat memilih pelajaran agama diluar agama yang dianutnya. Berbeda dengan Badri, seorang mahasiswa antropologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Ia harus memilih mata pelajaran agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Dalam daftar mata kuliah agama yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa, tidak tercantum Kaharingan, agama yang dianut Badri. Dia harus memilih salah satu agama dari enam agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu atau Budha sebagai mata pelajaran perkuliahannya. Pengalaman Badri ternyata buMITRA HUKUM
7
Laporan Utama kanlah pengalaman pertama mahasiswa Kaharingan yang kesulitan dalam mengambil mata kuliah agama ataupun mahasiswa penganut Sunda Wiwitan, Parmalin, kelompok penghayat dan berbagai agama adat lainnya. Mereka ter(di)paksa memilih salah satu agama sebagai mata pelajaran yang diambil. Bagi yang menolak, kerapkali ia dikeluarkan. Namun, bagi yang mengikutinya tidak berarti mudah. Tidak jarang mereka harus mengulangnya karena gagal pada bagian praktik, seperti sholat, wudhu dan membaca Alquran yang bukan menjadi bagian dari ritual agamanya. Merunut Politik Perbedaan terhadap Agama Lokal/Penghayat Kepercayaan Praktik diskriminatif yang dialami penganut agama adat/kepercayaan berakar dari “perbedaan” yang lahir dari pengakuan negara atas agama dan perlakuan berbeda kepada “agama” dan “kepercayaan” yang menjadi landasan kebijakan negara. Dan hal ini didasarkan kepada UU No.1/PnPs/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. UU ini awalnya hanya berbentuk Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965 yang dikeluarkan Soekarno pada 27 Januari 1965. Penpres ini merupakan bagian dari gagasan Nasakom Presiden Soekarno untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan nasionalisme, agama dan komunisme demi meningkatkan kekuatan politiknya. Sehingga konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin yang otoriter, sentralistik dan terpusat di tangan Presiden Soekarno, menyebab-
8
MITRA HUKUM
kan produk-produk hukum pada masa tersebut juga bersifat otoriter dan sentralistik, tidak terkecuali UU Penodaan Agama. Selanjutnya UU ini pada masa orde baru digunakan secara efektif untuk mengontrol hak sipil dan politik warga negaranya untuk tujuan “tertib sosial”. Dan UU ini pada masa reformasi dijadikan dasar untuk melakukan persekusi, kekerasan dan labeling “sesat” dan “menyesatkan” oleh kelompok agama-agama mayoritas. UU ini merupakan paradigma dasar bagaimana “agama” dan “kepercayaan” dikelola, diatur, dan ditertibkan demi kepentingan rezim penguasa. Permasalahan utama dalam UU Penodaan Agama, jika dilihat dari latarbelakang lahirnya UU ini adalah ”hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Situasi ini telah menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan atau mempergunakan agama, dan menodai agama. Dan perkembangan aliran dan organisasi kebatinan dianggap telah berkembang ke arah membahayakan agama-agama yang ada.” Tuduhan bahwa penghayat kepercayaan menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan atau mempergunakan agama, dan menodai agama adalah tuduhan yang tidak mendasar, terutama di era reformasi saat ini. Tuduhan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konstelasi politik pada saat itu, yaitu terdapat lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan
Laporan Utama peran menentukan hingga pada pemilu 1955, partai-partai Islam gagal meraih suara mayoritas. Permasalahan lain, dalam penjelasan Pasal 1, terdapat pengertian mengenai “agama yang dianut di Indonesia” yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Keenam agama tersebut mendapat bantuan dan perlindungan. Sedangkan bagi agama-agama lain, misalnya : Yahudi, Zaratustrian, Shinto, dan Thaoism tidak dilarang di Indonesia. Agama-agama tersebut mendapat jaminan penuh oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dan agamaagama tersebut “dibiarkan adanya”, asal tidak mengganggu ketentuanketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Penjelasan ini selanjutnya ditafsirkan bahwa 6 (enam) agama tersebut sebagai agama yang diakui dan mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dan penodaan agama, mendapat fasilitas-fasilitas dari negara dan menjadi kerangka berpikir dalam penyelenggaraan negara. Disisi lain untuk agama-agama local, penganut kepercayaan/kebatinan dalam penjelasan UU dinyatakan “Terhadap badan/ aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”. Pengkategorian ini tidak terlepas dari definisi “agama” yang diajukan Depag yaitu harus memuat unsureunsur (1) Kepercayaan terhadap Tuhan YME, (2) Memiliki Nabi, (3) Kitab Suci, (4) Umat, dan (5) Suatu system hokum bagi penganutnya. Pendefinisian ini sendiri tidak terlepas
dari konstelasi politik pada masa itu, dimana Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) pada tahun 1957 mendesak Soekarno untuk mengakui secara formal kebatinan setara dengan agama. Akibat pendefinisian tersebut, maka kelompok kepercayaan, kebatinan atau agama adat tidak tercakup didalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai “belum beragama”. Definisi ini diperkuat dengan keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/1978, yang antara lain menyebutkan agama yang diakui oleh pemerintah adalah Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Keberadaan aliran kebatinan/kepercayaan/agama adat diakui semenjak dicantumkan dalam GBHN 1978 yang diwadahi dalam ”Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Keberadaannya tidak merupakan agama, dan untuk pembinaannya dilakukan: ”agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru dan untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu, agar pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Hal sama masih terdapat dalam GBHN 1998 yang menyebutkan :”Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan Tuhan YME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah MITRA HUKUM
9
Laporan Utama bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME merupakan tanggungjawab pemerintah dan masayarakat.” Akibatnya para penganut kepercayaan, kebatinan atau agama lokal menjadi sasaran penyebaran ”agamaagama diakui” atau ”dikembalikan ke agama induknya”. Hal ini misalkan menimpa Agama Tolotang yang dipaksa menjadi Hindu, sepertihalnya Hindu di Bali. Agama Kaharingan digabungkan atau diintegrasikan ke dalam Agama Hindu. Akibatnya penganut kepercayaan, kebatinan dan agama adat untuk mendapatkan hakhak dasarnya harus menundukkan diri ke dalam salah satu dari enam agama, termasuk dalam pendidikan agama. Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi baru dimulai sejak tahun 1960 dengan adanya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 yang berarti pendidikan agama sebelum itu secara formalnya baru diberikan di Sekolah Rakyat sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat atas saja. Adapun dasar operasionalnya, pelaksanaan pendidikan Agama di Perguruan Tinggi tersebut ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Dalam BAB III Pasal Psal 9ayat 2 sub b, terdapat ketentuan sebagai berikut: ”Pada Perguruan Tinggi Negeri di berikan Pendidikan Agama sebagai
10
MITRA HUKUM
mata pelajaran dengan pengertian bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta apabila menyatakan keberatan”. Setelah meletusnya G.30.S.PKI pada tahun 1965, kemudian diadakan sidang umum MPRS pada tahun 1966, maka mulai saat itu status pendidikan agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat. Dengan adanya ketetapan MPRS XXVII/ MPRS/1966, Bab I pasal 1 berbunyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolahsekolah mulai dari SD sampai dengan Universitas- Universitas Negeri.” Selanjutnya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 diamanatkan dalam bab IX pasal 39, ”Isi kurikulum pada setiap jenis dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama”. Hal yang sama juga termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bab V pasal 12 bagian 1 (a) yang menyebutkan bahwa “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Dari uraian tersebut diatas, maka nampak bahwa pendidikan agama selaras dengan paradigma politik perbedaan antara agama dan kepercayaan sebagaimana dimaksud UU Penodaan Agama. Alhasil, pendidikan agama yang disediakan oleh lembaga-lembaga pendidikan hanya terbatas pada enam agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama/berkepercayaan
Laporan Utama dan hak atas pendidikan, yang dijamin dalam konstitusi. Hak Kosntitusional Penghayat Kepercayaan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak dan jaminan secara konstitusional, bahkan memberikan kepada setiap orang kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Demikian halnya untuk pendidikan, UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hak dan jaminan konstitusional itu dijamin pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang HakHak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Sehingga hak atas kebebasan beragama/kepercayaan dan hak atas pendidikan merupakan hak konstitusional dan dengan demikian negara Republik Indonesia juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban konstitusional untuk menjamin terpenuhinya. Sedangkan untuk pengertian agama dan kepercayaan menurut Pas-
al 18 UU No.12 Tahun 2005, harus diartikan secara luas atau dengan kata lain agama tidak boleh diartikan secara sempit. Agama/kepercayaan tradisional dan agama/kepercayaan yang baru didirikan termasuk ke dalam pengertian agama/kepercayaan. Pasal 18 ayata (1) UU No.12/2005 juga melindungi keyakinan orang untuk tidak bertuhan (atheistic), non-tuhan (non-theistic), atau bertuhan (theistic). Artinya, penghayat dan agama sama-sama dilindungi. Negara atapun pihak ketiga tidak boleh menyempitkan pengertian agama/penghayat. Di pihak lain, negara tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyeragaman pengertian agama/ penghayat. Klaim negara untuk yang memberikan batasan-batasan pengertian agama dan kepercayaan adalah sebuah pelanggaran atas ketentuan pasal 18 ayat (1) UU No.12/2005. Terkait dengan UU Penodaan Agama, walau Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiil. Namun, dalam sejumlah pertimbangannya MK menyatakan bahwa : “... masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi”. Sedangkan disenting opinion Hakim Maria Farida Indarti menilai seharusnya permohonan uji materiil dikabulkan, karena terdapat terdapat perbedaan adressat dalam norma dan penjelasan UU Penodaan Agama. Menurutnya MITRA HUKUM
11
Laporan Utama UU Penodaan Agama, dalam penjelasannya hanya ditujukan kepada organisasi kepercayaan/penghayat, karenanya UU Penodaan Agama bersifat diskriminatif. Secara substansi, Hakim Maria menilai bahwa prasa “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah KeTuhanan Yang Maha Esa “, merupakan pelanggaran forum internum dari kebebasan beragama/berkeyakinan seseorang yang tidak boleh diintervensi siapapun termasuk negara. Dengan demikian pengertian “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”, adalah meliputi agama-agama adat dan penghayat kepercayaan. Melalui proses advokasi, Badri kini bisa mengikuti mata kuliah agama Kaharingan. Namun, keberhasilan Badri masihlah bersifat lokal dan parsial, masih dibutuhkan perjalanan panjang untuk menjadikan para penganut agama adat/penghayat
12
MITRA HUKUM
menikmati hak-hak dasarnya. Hak haruslah direbut ! (Siti Aminah) DAFTAR BACAAN Fultoni dkk, Hak Atas Kebebasan Beragama, Buku Saku Paralegal Seri -2,The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan HiVOS, Jakarta, 2009 Hamlan Andi Baso Malla, Posisi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, makalah, tt Margiyono dkk, Bukan Jalan Tengah : Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan Freedom House, Jakarta, 2010 Noorhalis Majid, Mata KuliahKaharingan,Demos Indonesia 16 Desember 2009 Nurcholish Madjid, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,makalah Seminar Depag, di IPB, Bogor, 12 Mei 1998 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Dasar 1945
Opini
Menyoal Tanggung Jawab Negara dalam Menjamin Kebebasan Beragama Berkeyakinan Oleh : Nurul Mahmudah
““Kita cari ruang bebas. Dimana warna yang beraneka adalah rahmat, dimana bentuk yang beragam adalah hidayah. Imana konflik menjadi pertanda kemajuan. Ke sanalah kita menengadah. Dimana pendapatnmu, pendapatnya dan pendapatkau, dimungkinkan bercanda dan bercumbu dalam saling penghormatan” (Ahmad Wahib- Tokoh Pemikir& Aktivis Pluralis) Pengantar Indonesia adalah negara yang berpijak diatas kaki keanekaragaman. Mulai dari keanakeragaman etnis, budaya, adat istiadat, hukum, agama yang diintegrasikan dalam semboyan negara, Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu. Kondisi sosiologis inilah yang mendasari pendiri negara mencetuskan landasan filosofis negara yang mengakomodasi keanekaragaman tersebut dalam landasan filosofis bernegara, yaitu pancasila yang berarti lima sila. Kelima sila tersebut adalah Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Pancasila menjadi landasan berpijak bernegara di indonesia sekaligus mengamanhkan cita luhur dalam bernegara. Menurut Mahfud MD, negara pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebang-
saan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing. Hal inilah yang kemudian menjadikan pancasila sebagai Staats-Fundamentalnorm, norma tertinggi yang menjiwai seluruh produk hukum dan kebijakan negara. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Nilai pancasila inilah yang mengajarkan sikap toleran dan menghargai pluralitas pada bangsa indonesia. Dalam pancasila sendiri pun telah dikonsepsikan bahwa indonesia negara religius yang berdasar atas ketuhanan. Namun problemnya kemudian ketika negara tidak ‘netral’ dalam menempatkan perannya terhadap keberagaman, termasuk keberagaman agama yang tidak hanya terdiri dari 6 agama legal, namun juga kepercayaan adat atau bahkan mereka MITRA HUKUM
13
Opini yang atesi sekalipun. Sehingga dalam konsep negara yang demikian perlu ditelaah lebih lanjut korelasi antara rumusan pancasila yang mencoba mangakomodasi kondisi plural masyarakat indonesi yang diterjemahkan dalam kebijakan pemerintah. Kondisi Keberagaman dan Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan Dalam perkembangannya, keberagaman tak serta merta menawarkan kehidupan yang damai dan tenteram. Keberagaman juga memunculkan bibit-bibit pertikaian secara horisontal maupun vertikal. Salah satu permasalahan krusial yang dialami oleh bangsa indonesia adalah masalah keberagamaan-kepercayaan. Berbagai fenomena mulai dari tindakan kekerasan terhadap pemeluk agama atau kepercayaan minoritas, pemberlakuan peraturran perundang-undangan yang tidak menjamin kebebasan beragama dan diskriminatif, hingga tindakan pasif negara ketika terjadi konflik beragama, saat ini masih menjadi permasalahan yang hangat. Kondisi keberagaman dapat ditunjukkan dalam data ststistik kependudukan. Total penduduk Indonesia menurut Badan Pusat Statistik pada 2010 mencapai 234,2 juta atau naik dibanding jumlah penduduk 2000 yang mencapai 205,1 juta jiwa dan tahun 2005 yang mencapai 213, 3 juta jiwa. Jumlah pemeluk agama sampai tahun 2005 berdasarkan data statistik yang diterbitkan BPS tahun 2005 berjumlah 213.375.287 jiwa, dengan rincian: pemeluk agama Islam 189.014.015 (88,58%), pemeluk agama Kristen 12.356.404 (5,79%), pemeluk agama Katolik 6.558.541
14
MITRA HUKUM
(3,07%), pemeluk agama Hindu 3.697.971 (1,73%), pemeluk agama Budha 1.299.565 (0,61%), pemeluk agama Kong Hu Cu 205.757 (0,10%) dan lainnya 243.034 (0,11%). Kelompok agama yang dilegitimasi oleh negara (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu) sesuai yang terdapat dalam Undang-Undnag PNPS memang secara statsitik merupakan kelompok mayoritas. Berbeda dengan kelompok minoritas penganut agama-kepercayaan yang hanya terdiri dari 0,11% dari total penduduk Indonesia. Kelompok minoritas ini lah yang seringkali menjadi sasaran dari persekusi, tindakan intoleransi dan diskriminasi oleh negara dan masyarakat. Contoh kasus tindakan persekusi berupa penyerangan terhadap kelompok minoritas terjadi pada tanggal 6 Februari 2011. Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik diserang oleh 1500 massa tak dikenal yang mengakibatkan tiga orang tewas, empat orang luka berat dan dua orang luka ringan1. Tindakan kriminal juga terjadi di Temanggung, jawa tengah pada tanggal 8 Februari 2011, dua hari berselang setelah peristiwa di Cikeusik, Banten. Massa yang berdemo di pengadilan negeri temanggung terkait dengan kasus penodaan agama dengan tersangka antonius tersebut merasa tidak puas atas putusan hakim yang memvonis 5 tahun penjara bagi terdakwa. Mereka kemudian meluapkan kekecewaan dengan merusak Gereja Katolik Santo Petrus dan Santo Paulus yang terletak 2 kilometer dari Pengadilan Negeri Temanggung; Gereja Pantekosta Di Indonesia yang berjarak 3 kilometer 1 Disarikan dari www.tempointeraktif.com. diakses pada tanggal 12 Maret 2011
Opini dari Pengadilan Negeri Temanggung; dan Sekolah Kristen Graha Shekinah yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Pengadilan Negeri Temanggung.2 Kasus diskriminasi seringkali dialami oleh kelompok penganut kepercayaan seperti Penghayat yang tidak mendapatkan pengakuan dari negara dan berimbas pada tidak dipenuhinya pelayanan publik oleh negara. Satu kasus yang terjadi pada Asep Pujanegara, seorang penganut kepercayaan penghayat, agama adat di sunda. Ia tidak bisa mencatatkan perkawinanya di Kantor Catatan Sipil lantaran kepercayaan yang dia anut tidak diakui dan dianggap tidak beragama. Pada tataran lokal, muncul kebijakan-kebijakan diskriminatif yang melanggengkan pelanggaran kebebasan beragama-berkeyakinan. Terbukti dengan munculnya perda-perda berbasis agama yang mengatur kehidupan beragama di daerah. Padahala dalam kerangka ketatanegaraan, persoalan Agama merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Perda-perda diskriminatif mulai dari perda pelarangan Ahmadiyah3, pengaturan berbusana bagi perem2 Disarikan dari www.wartanews.com, diakses pada tanggal 12 Maret 2011 3 SK pelarangan Ahmadiyah antara lain dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa terdapat 189 kebijakan bermuatan diskrimininatif, terdiri atas 54 kebijakan berimplikasi pada kriminalisasi perempuan, 25 berdampak pada kontrol terhadap tubuh perempuan, 10 berdampak pada pembatasan kebebasan beragama bagi komunitas Ahmadiyah, 96 berdampak pada pengaturan ibadah/kehidupan keagamaan, dan empat berdampak terhadap pengaturan buruh migran. (Laporan Pemantauan : Atas Nama Otonomi Daerah : Pelembagaan Diskriminasi dalam tatanan NegaraBangsa Indonesia)
puan bahkan peraturan mengenai pelaksanaan ajaran agama tertentu di daerah menyebabkan adanya diskriminasi yang dialami oleh minoritas agama setempat. Hal ini semakin memperkuat fakta bahwa negara tidak punya komitmen yang cukup kuat dalam menjamin kebebasan beragama berkeyakinan warga negaranya, terutama bagi mereka yang minoritas. Terlebih pada tataran hukum nasional, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 140/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa UU Penodaan Agama, meski dibuat dalam situasi darurat pada 1965, masih dianggap relevan, tidak bertentangan dengan UUD 1945 terutama yang terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Permohonan judicial review itu pun ditolak dengan alasan tersebut. Padahal dalam rumusan pasal 1 yang diujikan, memberikan rumusan yang ambigu dan multi tafsir mengenai penodaan agama. Sehingga dalam prakteknya menimbulkan pelanggaran terhadap kebebasan beragama berkeyakinan warga negara itu sendiri atau bahkan dijadikan legitimasi begi seklompok orang untuk melakukan tindakan intoleransi ataupun diskrminasi. UU Penodaan agama yang mutantis mutandis dengan pasal 156 KUHP pada prakteknya mengkriminalisasikan golongan minoritas yang memilki kepercayaan berbeda atau tafsir berbeda terhadap 6 agama mainstream. Sebut saha kasus Lia Eden, Yusman Roy, Sumarudin dan lainnya yang dipenjara karena memiliki penafsiran yang berbeda tentang agama. Data dari setara institute mencatat sepanjang tahun 2007-2009 terdapat 291 tindakan pelanggaran MITRA HUKUM
15
Opini kebebasan beragama-berkeyakinan. Tindakan tersebut terdiri dari 139 tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh negara dan 152 Tindakan yang dilakukan oleh warga negara4. Adapun data dari Wahid Institute dalam Laporan Kebebasan Ber-agama/Berkeyakinan tahun 2010 mencatat bahwa dari 135 kasus tindakan intoleransi dan diskriminasi yang terjadi selama 2010, 23 kasus (16%) pelakunya adalah negara dalam hal ini pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah. Sementara sisanya 118 kasus (84%) pelakunya adalah masyarakat. Dan apabila ditotal pelanggaran dan intoleransi yang melibatkan negara sebagai pelaku menjadi 87 kasus, atau 7 kali setiap bulannya. Apabila pada tahun 2009 tindakan pelanggaran dan intoleransi yang melibatkan aparat pemerintah hanya 35 kasus, maka dengan jumlah 87 kasus pelanggaran dan intoleransi yang dilakukan negara pada tahun 2010 ini berarti meningkat lebih dari duakali lipat5. Jaminan Hukum Kebebasan Beragama Berkeyakinan Hak atas kebebasan beragamaberkeyakinan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun (Non-Derogable Rights). Manfred Nowak dalam bukunya Pengantar pada rezim HAM internasional menjelaskan bahwa6 “Hak-hak khusus seperti larangan penyiksaan dan perbudakan atau laran4 Lihat, Setara Institute, Negara Harus Bersikap, Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia, 2007-2009 5 Lihat, Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi tahun 2010 6 Lihat halaman 62, Terjmhn. Nowak, Manfred, 2003, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka HAM Raoul Wallenberg Institute.
16
MITRA HUKUM
gan aturan-aturan pemberian hukum yang retroaktif, serta, sampai batasbatas tertentu, hak untuk hidup, kebebasan pribadi, kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan, dianggap sebagai hak-hak yang tidak terpengaruh keadaan darurat yang tidak dapat dibatasi bahkan pada masa perang.” Jaminan kebebasan beragamaberkeyakinan merupakan prasyarat pada masyarakat dan negara yang demokratis. Dalam negara demokratis harus ada pemenuhan kedaulatan rakyat, persamaan di depan hukum dan pemerintahan, perlindungan terhadap hak-hak individu termasuk hak beragama-berkeyakinan serta pengakuan atas keberagaman warga. Jaminan dan perlindungan juga merupakan salah satu ciri dari negara hukum atau rechstaat. Secara konstitusional, pasal 28 E ayat 17, 28 I ayat 18 dan Pasal 29 ayat 29 Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan jaminan hukum terhadap pelaksanaan hak kebebasan beragama. Instrumen hukum nasional yang memberikan legitimasi hak atas kebebasan beragama-berkeyakinan adalah pasal 4 Undang-Undang no7 Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan menginggalkannya serta berhak kembali. 8 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun 9 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Opini mor 39 tahun 199910. Instrumen HAM internasional adalah pasal 18 DUHAM11 dan pasal 18 ICCPR12. Selain itu, instrumen internasional yang tidak kalah penting adalah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No 36/55 pada 25 November 1981. Deklarasi ini jauh lebih rinci mengatur jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dibanding Kovenan Internasional tentang Hakhak sipil dan Politik, hanya saja karena bentuknya deklarasi maka bersifat 10 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun 11 Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, mempraktikkannya,melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri 12 1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; 2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
tidak mengikat (non binding) bagi negara pihak. Namun meskipun tidak mengikat secara hukum, deklarasi ini mencerminkan konsensus yang luas dari komunitas internasional. Karena itu, memiliki kekuatan moral dalam praktik hubungan internasional pada umumnya. Indonesia sebagai negara anggota PBB tidak bisa mengabaikan isi dari deklarasi ini dalam memenuhi hak asasi warga negara-nya. Jaminan hukum tersebut secara substansi dapat dikatakan baik dan lengkap dalam menjamin kebebasan beragama berkeyakinan. Namun persoalan implementasi hukum tak dapat terlepas dari aparatur dalam hal ini peran negara untuk secara konsekuen mengimplementasikan hukum, serta kultur masyarakat yang mempengaruhi implementasi hukum terssebut. Sehingga persoalan pelaksanaan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang secara yuridis diatur oleh peraturan perundangan menemui persoalan dititik tersebut. Penutup Cita-Cita demokrasi akan kesetaraan politik dan toleransi begi kelompok minoritas direfleksikan dalam hak kesetaraan di depan hukum dan perlindungan yang sama oleh hukum termasuk larangan menyeluruh terhadap diskriminasi dan perlindungan dari diskriminasi serta jenis-jenis perlindungan berbeda unntuk kelompok minoritas13. Dalam terminologi HAM, negara memiliki kewajiban terkait dengan pemenuhan HAM yaitu Kewajiban untuk menghormati, ke13 Lihat Nowak, Manfred, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, 2003 Pustaka HAM Raoul Wallenberg Institute Of Human Rights and Humanitarian Law. Hlamn 48. MITRA HUKUM
17
Opini wajiban untuk memenuhi dan kewajiban untuk melindungi. Kewajiban untuk menghormati HAM mengacu pada kewajiban untuk menghindari tindakan intervensi oleh negara, mempersyaratkan bahwa yangd siebutkan terakhir tadi tidak dapat diterima berdasarkan klausul-klausul tentang keterbatasan dan kondisi hukum yang relevan. Intervensi-intervensi yang tidak dapat dijustifikasi dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM terkait14. Kewajiban untuk memenuhi HAM mengacu pada kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, peradilan dan praktis yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan sebesar mungkin15. Kewajiban untuk melindungi HAM juga menuntut aksi negara yang positif, namun berbeda dari kewajiban-kewajiaban untuk memenuhi yangd disebutkan diatas tadi yang ditujukan untuk menghindari pelanggaran HAM oleh seorang sebagai pribadi16. Kewajiban negara ini secara yuridis ditegaskan di dalam Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua UUD 194517, Pasal 8 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia18, Pasal 1 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh UU No. 12 Tahun 2005. 14 Ibid. Hlmn 50 15 Ibid. Hlmn 51 16 Ibid. Hlmn 53 17 Untuk menegakkan dan melindungi Hak asasi Manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan ditungkan dalam peraturan perundang-undangan. 18 Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab negara.
18
MITRA HUKUM
Terkait dengan kondisi kebebasan beragama-berkeyakinan di Indonesia yang menunjuukkan fakta bahwa negara masih menjadi pihak dominan dalam melakukan pelanggaran, maka jaminan itu sendiri akan menjadi sesuatu yang sulit untuk dipenuhi. Negara harus konsisten menjunjung tinggi amanah konstitusi serta prinsipprinisp universalitas, indivisibel dan interdependen dalam HAM. Komitmen negara atas jaminan kebebasan beragama-berkeyakinan tersebut harus diimplementasikan dalam langkah strategis dalam menegakkan HAM. Pada tataran yuridis, negara harus merevisi peraturan perundangundangan yang masih diskriminatif seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 mengenai Penyalahgunaan dan/ atau penodaan agama. Revisi tersebut diperlukan untuk mengharmonisasikan regulasi mengenai keberagamaan dengan instrumen hukum nasional maupun internasional yang mengatur mengenai keberagamaan. Hal ini merupakan langkah awal untuk menjaga ketertiban hukum sekaligus menjamin ketertiban masyarakat itu sendiri. Selain itu, harmonisasi juga diperlukan pada tataran peraturan-peraturan di tingkatan daerah dengan peraturan diatasnya dengan melakukan judicial review terhadap peraturan daerah berbasi agama yang diskriminatif. Pada tataran konflik berbasis agama seperti persekusi ataupun kekerasan berbasis agama, negara berkewajiban untuk menjadi pihak netral. Dalam artian, negara mengakomodasi kedua kelompok dalam menegakkan hak mereka, baik kelompok mayoritas apalagi kelompok minoritas. Kondisi tertib masyarakat akan tercipta jika
Opini negara berperan aktif dalam menyelesaiakan konflik beragama-berkeyakinan yang terjadi. Perlunya negara menindak tegas pelaku kekerasan berbasis agama merupakan tindakan aktif dalam menjaga ketertiban sosial. Karena tidak bisa dipungkiri, dalam masayarakat yang plural, konflik menjadi sebuah keniscayaan. Referensi ILRC, 2009, Jaminan Hukum dan HAM Kebebasan Beragama : Buku Saku Untuk Kebebasan Ber-agama, Jakarta : ILRC (The Indonesian Legal Resource Center) ILRC, 2009, Memahami Diskriminasi : Buku Saku Untuk Kebebasan Beragama, Jakarta : ILRC (The Indonesian Legal Resource Center) Kristanto, Agustinus Edi & Patra M Zein (ed), 2009, Refleksi Keberagaman Agama : Hukum Sesat dan Menyesatkan Hukum, Jakarta : YLBHI Margiyono, Muktiono & Sulityowati Irianto, 2010. Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi perihal Pengujian Undang-Undang nomor 1 tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama : Bukan Jalan Tengah, Jakarta : ILRC (The Indonesian Legal Resource Center) Nowak, Manfred, 2003, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka HAM Raoul Wallenberg Institute Of Human Rights and Humanitarian Law. Terj. Pratiwi, Cekli Setya, SH, LLM, 2010, Urgensi Menempatkan Relasi Agama, Negara dan Hak Asasi Manusia secara Proporsional dan Konstitusional, dalam Hak asasi Manusia dalam Perpektif Islam, Malang : LPSHAM Muhammadiyah Jatim-Madani Sihombing, Uli Parulian, Meng-
gugat Bakor Pakem : Kajian Hukum terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia, 2008, ILRC. Setara Institute, Negara Harus Bersikap, Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama-Berkeyakinan di Indonesia Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi tahun 2010 Peraturan Hukum Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (United Nation Declaration Of Human Rights) Komentar Umum 22 pasal 18 Konvenan Sipil dan Politik (ICCPR Relevant General Comments article 18) Sumber Eletronik www.tempointeraktif.com, di-akses pada tanggal 12 Maret 2011 www.wartanews.com, diakses pada tanggal 12 Maret 2011 www.wikipedia.org, diakses pada tanggal 12 Maret 2011
MITRA HUKUM
19
Aktivitas
Workshop Pengembangan Alat Evaluasi Kurikulum Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial Surabaya, 27 Februari – 1 Maret 2011 Ketidakmampuan perguruan tinggi hukum dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat atas keadilan hukum (legal justice) dan keadilan social (social justice) maupun beradaptasi terhadap perubahan kultural dan bangunan sosial, dikondisikan dan dipengaruhi oleh konsep-konsep hukum dan nilai-nilai yang diperkenalkan dan ditanamkan fakultas-fakultas hukum kepada para mahasiswa. Pendidikan hukum lebih berorientasi pada nilai-nilai dan kelompok sosial tertentu yang mendapat prioritas perhatian dan mempengaruhi cara berpikir, sikap dan persepsi mahasiswa hukum di dalam memandang berbagai permasalahan social yang ada di tengah-tengah masyarakat. Kenyataan-kenyataan tersebut menjadi titik tolak The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) melakukan intervensi ke lembaga pendidikan timggi hukum untuk membangun persfektif social justice dalam pendidikan tinggi hukum. Bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw), Fakultas Hukum Universitas Hasanudin (Unhas) dan Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih (Uncen) telah berhasil menyusun Blue Print
20
MITRA HUKUM
Pendidikan Tinggi Hukum Berbasis Keadilan Sosial. Salah satu workplan blue print adalah pembaharuan kurikulum pendidikan hukum berbasis keadilan sosial dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap materi yang disampaikan dalam perkuliahan pendidikan hukum. Untuk itu diselenggarakan Workshop Pengembangan Alat Evaluasi Kurikulum Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial (Social Justice), yang diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 27 Februari – 1 Maret 2011 Keadilan Sosial (Social Justice) yang didefinisikan sebagai “Tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang majemuk yang mendistribusikan hak dan kewajiban yang setara terhadap individu atau kelompok sosial dalam sistem hukum dan sosial secara efektif dan berkelanjutan”, selanjutnya dijadikan alat evaluasi kurikulum fakultas hukum. Peserta berhasil merumuskan variabel dan indikator dari alat evaluasi kurikulum. Selanjutnya alat evaluasi tersebut, akan digunakan untuk menguji sejauhmana materi-materi dalam setiap matakuliah sudah mengakomodir indikator - indikator social justice ? dan bagaimana metode pengajaran diberikan?. Pada tahapan awal, peserta me-
Aktivitas nyepakati pada lima mata kuliah yaitu Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Pengantar Filsafat Hukum, Ilmu Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Agraria.
Evaluasi ini selanjutnya akan dilakukan melalui serangkaian Focus Groups Disscussion (FGD) di setiap fakultas hukum. (SAT)
Tabel Alat Evaluasi Kurikulum Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial Variabel Tatanan Kehidupan Masyarakat, Bangsa, dan Negara yang Majemuk
Indikator Prinsip Pluralisme Prinsip Inklusivisme Prinsip Toleransi Prinsip Koeksistensi Prinsip Persatuan Prinsip Ke-bhinekaan
Distribusi Hak dan Kewajiban Secara Setara
Kesadaran Distribusi Sumber Daya Alam Secara Adil Politik Afirmasi/Diskriminasi Positif Desentralisasi Sistem Sosial yang Partisipatif Pengakuan dan “Penguatan” Lembaga Adat/Masyarakat Lokal Pengakuan dan Penghormatan Hak-Hak Masyarakat Adat/Lokal Prinsip Keseimbangan Kelompok Miskin Struktural (the least well-off )
Individu atau Kelompok Sosial yang Termarginalkan
Mereka yang tidak memperoleh akses ke sumber daya
Efektifitas
Jaminan dan Perlindungan Hukum
Kelompok Minoritas yang Rentan, Terpinggirkan dan Terabaikan Peningkatan Kapasitas Individu Akses bagi Kelompok Sosial Marginal Tanggung Jawab Negara Kesesuaian Kebutuhan Individu dan Kelompok Marginal
Berkelanjutan
Jaminan dan Perlindungan Hukum Peningkatan Kapasitas Individu Akses bagi Kelompok Sosial Marginal MITRA HUKUM
21
Aktivitas Berkelanjutan
Tanggung Jawab Negara Kesesuaian antara kebutuhan individu & kelompok sosial marginal Pelestarian Nilai-Nilai Pancasila Penghargaan terhadap kearifan lokal Keberpihakan terhadap individu dan kelompok sosial marginal Konsistensi Kebijakan dan Implementasinya
Public Lecture
Jimly Asshiddiqie:
“Lakukan Revolusi Kurikulum Fakultas Hukum !” Malang, 12 April 2011
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie menyatakan pendidikan hukum Indonesia membutuhkan revolusi. Revolusi dari content based menuju pendidikan hukum yang berperspektif keadilan sosial. “Kita harus mengubah hukum kita berorientasi kepada keadilan sosial, karenanya harus dilakukan revolusi yang dimulai dari dunia pendidikan, “ ujarnya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya saat memberikan Public Lecture (Kuliah Umum) dengan tema “Konstitusionalisme dan Keadilan Sosial” pada tanggal 12 April 2011. Public Lecture ini merupakan kerjasama antara FH UB dan ILRC, sebagai bagian dari peningkatan pengetahuan tentang keadilan sosial. Kuliah Umum dibuka oleh Dekan Dr Sihabbudin SH MH dan dihadiri oleh Guru Besar FH, dosen, mahasiswa S-1 dan Pascasarjana. Menurutnya, revolusi hukum se-
22
MITRA HUKUM
harusnya dilakukan serentak bersama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan hakim. Namun, dunia pendidikanlah yang paling memungkinkan untuk mengawali revolusi hukum, salah satunya melalui revolusi kurikulum fakultas hukum. Ide ini telah Jimly sampaikan dalam berbagai forum, termasuk dalam pertemuan dekan fakultas hukum. Ide tersebut memunculkan dialog apakah perlu menambah satu mata kuliah baru tentang keadilan sosial ? atau memasukkan nilai keadilan sosial pada setiap mata kuliah. Jimly lebih setuju pendapat kedua. Keadilan Sosial Di awal kuliahnya, Jimly mengingatkan bahwa Keadilan Sosial adalah sila kelima dalam Pancasila. Sila kelima ini tidak lain merupakan ujung harapan dari semua sila lainnya. Sila pertama sampai dengan sila keempat saling berkaitan satu sama lain. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
Aktivitas Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kesemua ini harus menghasilkan keadilan social bagi seluruh rakyat. Karena itu, perumusan kelima sila itu pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diakhiri dengan kalimat, “serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ide tentang keadilan memang mengandung banyak aspek dan dimensi, yaitu keadilan hukum, keadilan ekonomi, keadilan politik, dan bahkan keadilan sosial. Pada pokoknya, yang terakhir ini, istilah keadilan social, merupakan simpul dari semua dimensi keadilan tersebut. Istilah ini biasanya menunjuk kepada ide pembentukan struktur kehidupan bermasyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Dalam konsep keadilan sosial terkandung pengakuan akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang bersifat asasi. Tujuan keadilan sosial menginginkan kesenjangan antar lapisan masyarakat tidak terlalu jauh harus diwujudkan. Walau pelapisan masyarakat/stratifikasi sosial adalah sebuah keniscayaan namun kesenjangan ini tidak boleh terlalu jauh.”Beda sekali di Indonesia, ada masyarakat yang memiliki pendapatan Rp 500 ribu hingga 500 juta sebulan. Ini kan terlalu jauh,” ungkapnya. Konsep keadilan sosial (social justice) itu sendiri biasa dibedakan dari konsep keadilan hukum yang biasa dipakai dan diberlakukan dalam kebijakan publik yang menuntut paksaan oleh kekuasaan negara. Tetapi konsep
keadilan sosial tentu juga tidak hanya menyangkut persoalan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda-beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain sehingga derajat universilitasnya menjadi tidak pasti. Keadilan sosial memang harus dibedakan dari pelbagai dimensi keadilan, seperti keadilan hukum, keadilan politik, keadilan ekonomi, dan sebagainya, meskipun dapat juga dipahami bahwa keseluruhan ide tentang keadilan itu pada akhirnya dapat dicakup dalam ide keadilan sosial. Karena pada akhirnya, keadilan hukum dan keadilan ekonomi itu harus membuahkan hasil akhir pada perwujudan keadilan social bagi semua. Di dalamnya, terkandung pengertian bahwa (i) Ketidakadilan yang ada selama ini harus ditanggulangi sampai ke titik yang terendah, (ii) Redistribusi kekayaan, kekuasaan dan status individu, komunitas, dan kekayaan sosial (societal good), dan iii) Negara c.q. Pemerintah bertanggungjawab pemerintahan untuk memastikan kualitas dasar kehidupan bagi seluruh warganegara.
MITRA HUKUM
23
Aktivitas Menanggapi pertanyaan peserta terkait nilai-nilai keadilan sosial apa yang akan digunakan ? Apakah menggunakan teori dan nilai-nilai Barat ataukah Timur ? Jimly menyarankan agar dosen membebaskan
para mahasiswanya untuk mempelajari teori-teori dalam artian seluas-luasnya. Dan pada akhirnya, mahasiswa tersebut dapat memilih teori dan nilai-nilai yang akan digunakan. (SAT)
DISKUSI KEBEBASAN BERAGAMA?BERKEYAKINAN DAN TEMU ALUMNI PELATIHAN PARALEGAL Jakarta, 14 April 2010
ILRC dan Freedom House (FH) mengadakan diskusi dengan para alumni pelatihan paralegal di Kantor Wahid Institute (14/4). Tujuan diskusi tersebut adalah untuk sharing pengalaman alumni pelatihan paralegal dalam melakukan advokasi kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan diseminasi pengetahuan hak kebebasan beragama. Diskusi ini diikuti oleh alumni pelatihan advokasi kebebasan beragama dan alumni pelatihan paralegal kebebasan beragama serta dihadiri oleh komunitas-komunitas minoritas keagamaan seperti Bahai dan Ahmadiyah. Ma-sing-masing alumni pelatihan membagi pengalamannya, dan agenda yang akan dilakukan ke depan. Diskusi tidak hanya menghasilakan rekomendasi bersama, tetapi juga ada aktifitas yang akan dan sedang dikerjakan di masing-masing komunitasnya. Begitu juga, komunitas-komunitas minoritas keagamaan membagi informasi terbaru atas kasus-kasus berkaitan dengan pelanggaran kebebasan beragama di komunitasnya. Model diskusi seperti sangat penting, untuk membangun jaringan yang terkonsolidasi dan kuat dalam advokasi kasus-kasus kebebasan beragama (UPS).
24
MITRA HUKUM
Aktivitas
FGD REFORMASI KURIKULUM DAN METODE PENGAJARAN Malang, Surabaya, Makasar, Papua The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw), Fakultas Hukum Universitas Hasanudin (Unhas) dan Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih (Uncen) telah berhasil menyusun Blue Print Pendidikan Tinggi Hukum Berbasis Keadilan Sosial. Sebagai salah satu upaya untuk membangun persfektif social justice dalam pendidikan tinggi hukum. Salah satu workplan blue print adalah pembaharuan kurikulum pendidikan hukum berbasis keadilan sosial dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap materi yang disampaikan dalam perkuliahan pendidikan tinggi hukum. Untuk melakukan evaluasi, telah dikembangkan Alat Evaluasi Kurikulum Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial (Social Justice). Untuk membahas evaluasi kurikulum dan metode pengajarannya diselenggarakan FGD tentang Reformasi Kurikulum dan Metode Pengajaran di setiap fakultas hukum. FGD bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi materi-materi dalam matakuliah PIH, Pengantar Filsafat Hukum, Ilmu Negara, Agraria dan Pidana apakah sudah/belum mengakomodir indikator - indikator Social Justice ? dan (2) Mengidentifikasi metode pengajaran dalam penyampaian materi-materi. Peserta masing-masing FGD berjumlah 20 (duapuluh) orang dari masing-masing fakultas hukum. MITRA HUKUM
25
Aktivitas Secara umum, hasil evaluasi terhadap SAP matakuliah mengidentifikasikan bahwa setiap matakuliah memiliki pokok bahasan yang mengakomodir indikator-indikator keadilan sosial. Sedangkan untuk metode pengajaran, secara umum masih diberikan dalam bentuk kuliah. Secara khusus, FH Unair menambahkan matakuliah Hukum Perburuhan dan FH Uncen menambahkan matakuliah Hukum Adat, sebagai mata kuliah yang dievaluasi muatan materinya. (SAT)
PELATIHAN LEGAL KLINIK UNTUK MAHASISWA
“TIDAK MENYOGOK UNTUK MENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN !” Semarang, 4-6 Mei 2011
Fakultas Hukum Universitas Stikubank (UNISBANK) Semarang, tengah menyiapkan para mahasiswanya untuk menjadi sarjana hukum yang ahli, profesional dan memiliki kemampuan untuk menerapkan hukum dalam menyelesaikan masalah hukum di masyarakat, sebagai bagian dari pencapaian visi dan misinya. Salah satunya dengan memperkenalkan dan melakukan uji coba metode pengajaran pendidikan hukum klinis.
26
MITRA HUKUM
Untuk menghasilkan sarjana hukum yang berkualitas, diperlukan dukungan metode pengajaran ataupun sarana belajar mahasiswa agar mempunyai sikap kritis. Pada saat ini, secara umum metode pengajaran yang digunakan pendidikan tinggi hukum adalah metode ceramah atau teaching. Pengajar menyampaikan materi dan mahasiswa menerima materi yang diajarkan. Metode ini mahasiswa lebih sebagai obyek yang akan menerima
Aktivitas berbagai ilmu dari pengajar, sehingga partisipasi aktif dari peserta didik sangat minim. Dengan metode teaching ini, mahasiswa hanya mengenal hukum secara teori dan minim pengalaman dalam menyelesaikan kasus dan realitas masyarakat. Sedangkan metode pengajaran learning melalui Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education/CLE), merupakan learning process dimana mahasiswa fakultas hukum diberikan pengetahuan praktis (practical knowledge), keahlian (skill) dan nilai-nilai (values) untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, dengan menggunakan metode pengajaran secara interaktif dan reflektif. Dan salah satu lembaga implementasi CLE adalah legal clinic yang dijalankan oleh mahasiswa dengan supervisi dari dosen senior yang sudah berpengalaman dalam praktik litigasi ataupun non litigasi. Untuk membentuk legal clinic tersebut Fakultas Hukum Unisbank memulainya dengan membentuk tim supervisor yang terdiri dari tiga orang dosen sekaligus praktisi hukum. Langkah berikutnya adalah dengan melakukan rekruitment dan pelatihan intensive untuk mahasiswa yang akan menjalankan klinik hukum. Sebelum pelatihan, dilaksanakan Seminar Nasional dengan tema Akses Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, dengan narasumber Uli Parulian Sihombing (ILRC) yang menyampaikan konsep keadilan sosial sebagai nilai yang akan digunakan dalam legal clinic, Dadang Trisasongko/PGR yang memberikan materi terkait Akses terhadap Keadilan dan Abdul Jamil/LKBH FH UII, yang menyampaikan pengalaman
LKBH UII dalam mengelola legal klinik. Setelah Seminar, selanjutnya dilaksanakan pelatihan untuk membekali mahasiswa dalam mengelola legal klinik. Pelatihan diikuti oleh 20 orang mahasiswa dari 35 orang mahasiswa yang mendaftar. Materi pelatihan dititiktekankan kepada pengenalan metode CLE yaitu legal klinik, Etika Profesi, Mempersiapkan Penyuluhan Hukum, dan Memberikan Konsultasi Hukum, baik langsung maupun tertulis. Metode pelatihan yang digunakan adalah diskusi kelompok, presentasi, simulasi dan curah pendapat. Melalui metode tersebut, mahasiswa menyatakan: dari ra wani dadi wani (dari tidak berani menjadi berani) untuk bicara dalam menyampaikan gagasangagasannya. Peserta pelatihan berhasil merumuskan indikator kelurahan yang akan menjadi sasaran pemberian bantuan hukum, dan tahapan-tahapan yang akan dilakukan. Pada tatanan nilai, melalui curah pendapat mereka menyepakati bahwa hukum tidak boleh diperjualbelikan dan menghasilkan slogan “Tidak Menyogok Untuk Menegakkan Hukum dan Keadilan”. Untuk mencapai bentuk ideal legal klinik sebagai bagian dari metode CLE masih harus didiskusikan lebih lanjut, termasuk dengan mengintegrasikan dengan mata kuliah bantuan hukum yang terdapat di FH Unisbank. Semangat para mahasiswa, Tim Supervisor yang pengalaman, dan dukungan penuh dari pihak dekanat menjadi peluang Unisbank menjadi yang pertama menerapkan CLE. Amin (SAT) MITRA HUKUM
27
Suplemen “MELINDUNGI KORBAN, BUKAN MEMBELA PELAKU” Kertas Posisi atas dikeluarkannya Sejumlah Produk Hukum Daerah yang Melarang Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Oleh: Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Seluruh Indonesia (SEPAHAM) 1. Pendahuluan a. Latar Belakang Kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Penyerangan, pengrusakan rumah dan tempat ibadah, pengusiran, ancaman dan berbagai bentuk tindakan melanggar hak asasi manusia serta pengingkaran hukum sudah kerap terjadi di tanah air kita. Kini, pelarangan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah semakin marak dilakukan Pemerintah Daerah, melalui sejumlah produk peraturan perundang-undangan daerah. Hingga hari ini, telah dikeluarkan sebanyak 21 produk hukum daerah, dalam bentuk Surat Edaran Kepala Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Surat Keputusan Kepala Daerah, Surat Keputusan Bersama, Surat Pernyataan Bersama, yang intinya sama, melarang aktifitas JAI dalam segala bentuk. Fenomena lahirnya produk hukum daerah menjadi perhatian publik, terutama saat JAI seringkali menjadi sasaran kekerasan oleh berbagai pihak yang mengatasnamakan agama, sehingga dikhawatirkan, produk hukum daerah tersebut menjadi alat legitimasi yang justru memberikan ruang terbuka lahirnya kekerasan demi kekerasan. Tentu, menjadi perhatian pula bagi akademisi untuk melihat relevansi produk hukum daerah tersebut untuk melarang JAI, sehingga menjadi jelas bagaimana sesungguhnya produk hukum tersebut ditempatkan dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, yang mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini menggerakkan kami untuk melakukan suatu analisis hukum atas produk hukum daerah tersebut, dan salah satu contoh yang kami analisis adalah Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No: 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur. Pertimbangannya, produk hukum tersebut melengkapi dirinya dengan pertimbangan UUD 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan hak asasi manusia yang mengacu pada ketentuan hukum Internasional. Pada tanggal 28 Pebruari 2011 Gubernur Jawa Timur (selanjutnya dise-
28
MITRA HUKUM
Suplemen but Gubernur), Dr. H. Soekarwo, mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No: 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur (selanjutnya disebut SK Gubernur). Hal tersebut merupakan peristiwa hukum yang tidak lazim di Indonesia dimana seorang gubernur pada tingkat propinsi melarang aktifitas keagamaan, khususnya Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Tujuan dari dikeluarkannya SK tersebut adalah untuk menjaga public order dan national security dengan melakukan pembatasan terhadap aktifitasaktifitas Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur yang dianggap sebagai bahaya laten terhadap kerukunan antar umat beragama. Konteks dari SK Gubernur tersebut hadir pasca kasus penyerangan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Jawa Barat pada tanggal 6 Pebruari 2011 yang menewaskan hingga 3 (tiga) orang. Selanjutnya, terkait dengan peristiwa kekerasan berbasis agama, untuk wilayah Jawa Timur pada Selasa, 15 Pebruari 2011, terjadi penyerangan terhadap Pesantren Alma’hadul Islam YAPI di Desa Kenep, Beji, Kabupaten Pasuruan yang menimbulkan kerusakan bangunan dan korban luka-luka di pihak santri. Dalam hal kekerasan berbasis agama di Indonesia, Jawa Timur merupakan penyumbang yang sangat signifikan dengan prosentase sebesar 30 % (tiga puluh pesen) dengan tendensi yang terus naik dari waktu ke waktu yaitu pada tahun 2009 terdapat 12 kasus dan pada tahun 2010 terjadi 14 kasus. Latar belakang inilah yang perlu dikaji secara kritis, karena dampak sosialnya sudah meluas, apalagi dikaitkan dengan produk hukum daerah yang terbit di sejumlah daerah di Indonesia. b. Motivasi Penyusunan kertas posisi ini mempunyai dasar pertimbangan sebagai berikut: 1. Dosen sebagai bagian dari civitas akademika dan epistemic society mempunyai tiga kewajiban dasar yaitu mendidik, meneliti dan mengabdi kepada masyarakat sehingga sudah menjadi kewajibannya juga ketika muncul permasalah publik yang terkait dengan kompetensinya maka sangat urgent secara moral untuk ikut berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya; 2. Kasus kekerasan berbasis agama di Indonesia sudah pada tingkat yang sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan karena telah menimbulkan korban jiwa serta mengancam eksistensi negara Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika; 3. Produk hukum daerah (Surat Edaran Kepala Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Surat Keputusan Kepala Daerah, Surat Keputusan Bersama, Surat Pernyataan Bersama) merupakan bentuk respon hukum dari otoritas pemerintahan daerah terhadap kasus-kasus kekerasan berbasis agama MITRA HUKUM
29
Suplemen yang mempunyai konsekuensi sangat mendasar di bidang penegakan hak asasi manusia (HAM) terutama bagi kelompok beragama/berkeyakinan minoritas dan besar kemungkinan produk hukum daerah tersebut menjadi model respon hukum bagi otoritas pemerintahan daerah lainnya di seluruh Indonesia. 4. Pada sejumlah kasus penyerangan terjadap JAI, saat ini SK Gubernur merupakan produk hukum yang paling operasional. Dengan adanya SK Gubernur, pemerintah provinsi menjadi bisa mendayagunakan sumber dayanya termasuk polisi Pamong Praja sebagai aparat penegak hukum daerah. 5. Produk hukum daerah yang demikian, perlu untuk secara kritis dianalisa kedudukan hukumnya dan kemudian menjadi model koreksi, evaluasi dan pedoman bagi para pemangku kepentingan terkait; c. Pendekatan Perspektif yang digunakan dalam penyusunan kertas posisi ini adalah hukum dan hak asasi manusia. Baik hukum maupun hak asasi manusia dilihat dalam perspektif yang luas. Hukum tidak hanya mencakup aspek normatif tetapi juga aspek empiris. Dengan demikian yang hendak dilihat bukan hanya teks hukum tetapi juga signifikansi dan relevansinya dengan situasi empirik. Sedangkan hak asasi manusia mencakup konsep, teori, maupun penormaannya baik di tingkat internasional maupun yang sudah menjadi hukum positif di Indonesia. Tujuan yang membingkai penyusunan kertas posisi ini adalah: 1. Analisis masalah mendasar dari produk hukum daerah, dalam hal ini difokuskan pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No: 188/94/ KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur. 2. Memberikan penjelasan dan analisis hukum atas produk hukum daerah; 3. Menegaskan posisi atas pertanyaan apakah dikeluarkannya produk hukum daerah tersebut baik sesuai dengan prinsip hukum dan hak asasi manusia. 2. Rasionalisasi a. Elemen-elemen pokok SK Gubernur i. SK Gubernur (in forma sebagai instrumen normatif ). Sesungguhnya demikian jelas, Gubernur tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur masalah a quo melalui SK Gubernur karena sebenarnya pengaturan ini merupakan kewenangan lembaga legislatif karena secara substansi hal yang diatur menyangkut masalah hak asasi manusia yang masuk dalam lingkup materi di tingkat Undang-Undang. SK Gubernur tidak mempunyai rujukan atau dasar pembuatan dari suatu
30
MITRA HUKUM
Suplemen Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi) sebelumnya yang mengatur mengenai substasi SK a quo sehingga dasar pembuatannya semestinya adalah mengacu kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principles of proper administration) sehingga dalam melakukan kewenangan umumnya Gubernur tidak bertindak sewenang-wenang (abuse of power). Sehingga, SK Gubernur tersebut merupakan suatu perbuatan tata usaha negara yang dibuat tanpa disertai kewenangan pejabat tata usaha negara yang membuatnya, in casu adalah Gubernur. ii. Gubernur (subyek pengaturan). Kedudukan Gubernur dapat dijelaskan, diantaranya, adalah sebagai berikut: 1. Kepala pemerintah daerah di tingkat provinsi yang bertugas dan berwenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah di tingkat provinsi berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; 2. Yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Presiden di wilayah provinsi; 3. Dan bertanggung jawab kepada Pemerintah (Presiden); 4. Mempunyai urusan wajib, bersama DPRD Provinsi, sebagai kewenangannya yang meliputi di antaranya adalah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; 5. Mempunyai kewajiban untuk mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya; 6. Dilarang untuk membuat keputusan yang mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat tertentu dan jika dilakukan perbuatan tersebut maka bisa menjadi dasar pemberhentian dari jabatannya; 7. Merupakan bagian dari organ administrasi negara yang mempunyai kewajiban (duty bearer) untuk menghormati (sikap pasif untuk tidak menginterfensi penikmatan hak asasi), melindungi (sikap aktif untuk menghilangkan gangguan/hambatan penikmatan hak asasi) dan memenuhi (mewujudkan suatu keadaan/kondisi atau eksistensi suatu penikmatan hak asasi) hak asasi manusia yang dimiliki oleh seluruh penduduknya (rights holders) secara progresif, partisipatif, non-diskriminasi, dan restoratif. iii. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur (obyek pengaturan). Dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Hak Asasi Manusia (as moral and legal claims) maka organisasi ini (JAI), sebagaimana dan setara dengan organisasi keagamaan yang lainnya, merupakan: a. Organisasi keagamaan yang bagi setiap individu anggotanya maupun seMITRA HUKUM
31
Suplemen cara kelompok merupakan bagian dari warga negara Indonesia (WNI); b. Subyek hukum yang mempunyai hak (pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang setara) dan kewajiban yang sama dalam sistem hukum yang ada di Indonesia berdasarkan prinsip kesetaraan (equal before the law) sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip HAM; c. Mempunyai kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agamanya dan keyakinannya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights) kecuali berdasarkan pembatasan yang diatur oleh undang-undang dan semata-mata untuk moralitas, kesehatan, keselamatan, keamanan, dan ketertib-an masyarakat, nilai-nilai agama, dan hak serta kebebasan dasar orang lain. Seperangkat pembatasan tersebut dapat dilakukan jika dan hanya jika semata-mata untuk penguatan hak asasi manusia dan bukan untuk melemahkan hak asasi manusia itu sendiri apalagi pembatasan tersebut dilakukan atas dasar penafsiran hukum dan implementasi yang diskriminatif dan semata-mata dilakukan sebagai hasil dominasi kekuasaan (politik, hukum, etnisitas, gender, ekonomi, dsb.) oleh kelompok tertentu terhadap kelompok yang lainnya. d. Merupakan pemegang hak asasi manusia (rights holder) yang berhak atas hak asasi mereka berupa tindakan organ-organ negara dalam bentuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan secara progresif, partisipatif, non-diskriminasi, dan restoratif. e. Motif (Konsideran Filosofis, Sosiologis, dan Normatif ) SK Gubernur sebagai produk hukum lahir dengan dasar-dasar pertimbangan sebagai berikut: a. Masyarakat mempunyai kewajiban menjaga dan memelihara kerukunan antar umat beragama; b. Kerukunan antar umat beragama menjadi bagian integral dari ketentraman dan ketertiban umum; c. Kerukunan umat beragama berkorelasi terhadap perwujudan persatuan dan kesatuan bangsa; d. Untuk poin (a) s.d (c) merupakan duplikasi dari konsideran menimbang poin (e) SKB Mendagri, Jaksa Agung, dan Menteri Agama tertanggal 9 Juni 2008, hanya SK Gubernur menambahkan batasan teritorial keberlakuan yaitu wilayah Provinsi Jawa Timur. e. Aktifitas JAI laten sebagai pemicu gangguan keamanan dan ketertiban umum; f. Larangan aktifitas JAI dapat menciptakan stabilitas keamanan;
32
MITRA HUKUM
Suplemen Secara normatif, yang menjadi acuan yuridis penerbitan SK Gubernur adalah peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a. Pasal 28, 28E, 28J dan 29 UUD RI Tahun 1945; Pasal-pasal ini mengatur jaminan hak kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 28J membolehkan adanya pembatasan atas pelaksanaan hak-hak tersebut dengan alasan moralitas publik, keamanan, kesehatan, ketertiban, diatur dengan undang-undang, penghormatan hak dan kebebasan orang lain, dan nilai-nilai agama. (untuk yang terakhir ini sangat tidak lazim dan overlapping karena dalam negara yang mempunyai pluralitas umat beragama justru nilai-nilai agama yang ingin dijamin malah digunakan untuk membatasi hak atas kebebasan dirinya sendiri. Pertanyaannya, apakah ketentuan ini merupakan justifikasi normatif untuk adanya kanibalisme antar umat beragama terutama umat mayoritas terhadap umat minoritas?). b. UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; Eksistensi Undang-Undang ini dikukuhkan oleh oleh Mahkamah Konstitusi melalui penolakan secara keseluruhan terhadap upaya judicial review yang pernah diajukan oleh para aktivis hak kebebasan beragama. UU a quo dianggap masih relevan untuk melindungi masyarakat dari upaya pencemaran terhadap nilai-nilai agama di Indonesia. UU a quo juga yang sering dijadikan alasan hukum untuk melakukan labelisasi suatu kelompok agama/kepercayaan (terutama yang minoritas) sebagai sesat dan menyesatkan sehingga layak dan perlu untuk dilakukan pelurusan kembali yang tidak jarang dilakukan melalui cara-cara anarkhis dan melanggar hak asasi manusia. c. UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; terkait dengan kedudukan negara, in casu Gubernur, Undang-Undang ini menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggunga jawab Pemerintah. Dan juga, Undang-Undang ini menegaskan karakter hak kebebaan beragama/berkeyakinan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun dan oleh siapapun. Pembatasn hanya boleh dilakukan sebagaimana sudah dijelaskan di poin (a). d. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang perubahannya; Undang-Undang ini memberikan alasan masalah kewenangan Gubernur untuk mengatur masalah JAI dari aspek pelaksanaan kewajiban Gubernur untuk menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Yang tidak boleh dilupakan bahwa Undang-Undang ini juga memuat larangan bagi Gubernur untuk membuat ketetapan yang diskriminatif karena bisa menjadi landasan bagi pemecatan Gubernur dari jabatannya; e. UU No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR; Undang-Undang MITRA HUKUM
33
Suplemen
f.
g. h.
i.
j.
k.
ini sebagai instrumen ratifikasi terhadap Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sebenarnya tidak ada kaitannya atau irrelevant dengan masalah hak kebebasan beragama pada umumnya dan masalah JAI pada khususnya karena memang hanya mengatur masalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR; Undang-Undang ini meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik yang justru pada prinsipnya melindungi hak-hak kebebasan beragama, berkeyakinan dan segala bentuk manifestasinya serta tidak mengijinkan adanya reduksi hak-hak tersebut meskipun itu melalui pembatasan yang diijinkan. PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota; PP ini justru tidak tepat dijadikan dasar hukum, apalagi mengingat bahwa pasal 10 ayat (3) huruf F Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa agama tidak termasuk urusan yang di delegasikan kepada Pemerintah Daerah. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No. 8-9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat; Peraturan ini memberikan penegasan akan kewenangan Gubernur dan Pemerintahan Daerah lainnya untuk ikut campur tangan dalam masalah kerukunan antar umat beragama meskipun tidak dijelaskan lebih detail tentang hal apa yang termasuk dan apa yang di luar kewenangan tersebut. Peraturan ini secara abstrak menekankan terwujudnya harmonisasi antar umat beragama namun dalam realitasnya justru berpotensi sebagai instrumen untuk melakukan upaya-upaya diskriminasi terhadap umat beragama/berkeyakinan yang minoritas. Keputusan Jaksa Agung No: Kep-004/A/JA/01/1994 tentang Pembentukan Koordinasi Pakem; Hasil penelitian dari Indonesian Legal Resources Center menyimpulkan bahwa aturan hukum ini merupakan warisan kolonial yang sudah tidak relevan lagi terhadap semangat Pancasila dan pluralitas bangsa Indonesia sehingga merekomendasikan untuk dicabut dan dengan sendirinya Badan Koordinasi Pengawas Kepercayaan Masyarakat juga dibubarkan. Keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Mendagri tertanggal 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat; Keputusan yang sering disebut SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah ini, yang secara substantif merupakan kepanjangan dari UU No.1/PNPS/1965, memberikan pembatasan aktifitas kepada dua kelompok masyarakat, yang pertama adalah JAI dan yang kedua adalah
34
MITRA HUKUM
Suplemen anggota masyarakat non-JAI. Untuk JAI dan segenap anggota, secara substantif penganut dan pengurusnya dilarang melakukan penyebaran faham keagamaannya; sedangkan untuk Warga masyarakat dilarang untuk melakukan tindakan melawan hukum, anarkisme misalnya, kepada seluruh anggota, penganut, pengurus maupun aset JAI. Pada penetapan yang Keenam dari SKB ini memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan Pemerintah Daera, in casu Gubernur, untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. Jelas, bahwa Gubernur berdasarkan SKB ini harus membina tidak hanya JAI, namun juga Warga Masyarakat yang laten melakukan tindak kekerasan berbasis agama. f. Isi Penetapan Pada penetapan Pertama dari SK Gubernur berisi tentang pelarangan terhadap: a. Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI); (yang dilarang adalah aktifitas yang mempunyai dimensi forum eksternum, namun tidak semua aktifitas JAI termasuk dalam larangan SK Gubernur melainkan dengan kualifikasi poin (b) dan (c) ); b. Yang dapat memicu dan/atau menyebabkan; (kualifikasi apa sehingga dikategorikan sebagai sebuah pemicu dan/atau penyebab suatu aktifitas tidak dijelaskan di SK Gubernur, seperti kategori sebagai inisiator, keterkaitan, dan generator) c. Terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat Jawa Timur (pengertian dan batasan atau lingkup dari keamanan dan ketertiban in casu tidak jelas dalam SK Gubernur ini). Sedangkan pada penetapan Ketiga merinci aktifitas apa saja yang dilarang, yaitu: a. Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun elektronik; b. Memasang papan nama organisasi di tempat umum; c. Memasang identitas JAI pada tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikannya; d. Menggunakan atribut JAI dalam segala bentuknya. Sebenarnya dalam penetapan Ketiga disebutkan bahwa cakupan aktifitas yang dilarang antara lain adalah poin (a) s.d (d), yang secara terminologi “antara lain” berarti tidak hanya sebatas pada empat aktifitas tersebut. Namun secara tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan, penyebutan “antara lain” tersebut tidak tepat karena justru akan mengaburkan pokok MITRA HUKUM
35
Suplemen materi yang akan diatur karena terlalu luas dan bisa multi-interpretasi, jadi bisa diartikan secara definitif yang dilarang adalah memang empat hal yang diatur dalam poin (a) s.d (d). Menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengenai korelasi dan relevansi antara isi penetapan pertama dengan isi penetapan kedua. Aktifitas-aktifitas di penetapan Kedua seperti penyebaran ajaran agama, pemasangan papan nama organisasi, papan identitas gedung, dan pemakaian atribut sungguh sangat meragukan apabila dapat dikategorikan sebagai pemicu terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban. Dengan realitas bahwa kebijakan represif tersebut hanya terjadi pada JAI maka SK Gubernur dapat dikatakan sebagai sebuah produk kebijakan yang diskriminatif berdasarkan alasan agama. Negara, in casu Gubernur, telah melegitimasi dan mengadopsi secara normatif melalu SK Gubernur tindakan-tindakan anarkis oleh sekelompok organisasi masyarakat yang dilakukan sebelumnya berupa perusakan papan organisasi dan identitas properti JAI yang notabene justru terjadi di luar Jawa Timur. Dalam hal ini maka menjadi indikasi betapa negara telah kalah oleh kelompok-kelompok radikal yang menggunakan agama sebagai alasan pembenar. Dari segi lingkup materi yang diatur, SK Gubernur tidak sejalan atau inkonsisten dengan SKB Tiga Menteri tahun 2008 karena SKB tersebut sebenarnya selain mengatur mengenai aspek pembatasan aktifitas Ahmadiyah (sisi penyebaran agama) juga SKB tersebut juga menegaskan akan kewajiban bagi warga masyarakat non-JAI untuk tidak melakukan tindakan-tindakan melawan atau melanggar hukum seperti tindakan anarki maupun intimidasi. Padahal pada prinsipnya, peraturan perundang-undangan yang tingkat hirarkinya lebih rendah tidak boleh mengurangi (mereduksi) norma-norma yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimana keduanya mengatur masalah yang sama. Fakta bahwa sejumlah ketentuan SK Gubernur tersebut kabur serta bertentangan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi juga menandakan bahwa SK Gubernur ini juga tidak bersesuaian dengan elemen lain konsep negara hukum. Elemen lain dimaksud adalah kejelasan dan kepastian ketentuan peraturan perundangan. Elemen bertujuan untuk mencegah peluang negara/pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang, sekaligus kepastian bagi warga negara mengenai konsekuensi bila melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. b. Konstruksi relasi antar elemen Berdasarkan landasan hukum yang menjadi konsideran dari SK Gubernur, dalam perspektif Hak Asasi Manusia maka hubungan antara Gubernur dengan JAI seharusnya dapat digambarkan sebagai berikut:
36
MITRA HUKUM
Suplemen GUBERNUR Duty bearer: Protecting, Promoting and Fulfilling of JAI’s rights.
JAI Hukum & Kebijakan
Rights holder: Bebas memeluk agama dan menjalankan ajarannya
Undang-Undang Dasar Indonesia Pasal 28I (4) jo. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dengan tegas telah menentukan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (in casu Gubernur). Sungguh Sangat paradoks justru ketika pada konsideran menimbang poin (a) dari SK Gubernur justru membebankan kewajiban perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak atas atas rasa aman dan hak atas kebebasan beragama kepada warga masyarakat. Dengan demikian SK Gubernur adalah produk hukum yang paradoksal karena telah memutarbalikan konsep tanggung jawab negara. Berdasarkan isi ketetapan SK Gubernur, pola hubungan yang terjadi antara Gubernur sebagai representasi negara dan JAI sebagai anggota warga negara (rakyat) dapat digambarkan sebagai berikut: (lihat bagan dibalik halaman ini, pola hubungan...) 3. Rekomendasi Berdasarkan analisa yang telah diuraikan di atas maka terhadap SK Gubernur a quo kami mengajukan sejumlah rekomendasi sebagai berikut: a. Gubernur Jawa Timur mencabut Surat Keputusan No.188/94/ KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur, karena SK tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945, sejumlah ketentuan hukum dan prinsip-prinsip HAM. b. Gubernur Jawa Timur selanjutnya dapat melakukan usaha-usaha untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama di Jawa Timur melalu mekanisme persuasif, dialogis, dan kalaupun melakukan pembatasan terhadap suatu aktifitas keagamaan kelompok tertentu maka harus dapat dibenarkan secara hukum dan sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, serta melibatkan kelompok tertentu tersebut; c. Mengingat bahwa produk hukum daerah serupa telah terjadi di 17 daerah lainnya di Indonesia, kami menegaskan bahwa: d. Presiden sebagai kepala pemerintahan dan negara di Indonesia sesegera mungkin membuat Surat Keputusan Presiden yang berisi tentang perinMITRA HUKUM
37
Suplemen GUBERNUR
Berdasarkan: • Kewenangan normatif kepala daerah • Pelaksana politik hukum Presiden • Rekomendasi politik DPRD • Dukungan kelompok agama mayoritas nonJAI • Legitimasi akademik institusi keilmuan • Dukungan kelompok kepentingan lainnya (partai politik, ormas, tokoh masyarakat) dengan justifikasi pelurusan aqidah ataupun ketertiban/keamanan umum. Aktifis HAM dan Demokrasi/ NGO/CSO: • Represi akibat menguatnya relasi-kuasa dan relasi-kepentingan antara Negara dan Kelompok Anarkis berbasis agama • Pelemahan kekuatan kelompok penekan dalam advokasi terkait hak atas kebebasan beragama.
SK-GUBERNUR
Bentuk produk hukum negara yang dapat dikategorikan: • Bertentangan dengan konsep tanggung jawab negara terkait dengan penegakan hak asasi manusia berdasarkan normanorma hukum internasional maupun konstitusi Indonesia; • Paradoksal karena menempatkan korban yang terlanggar hak keamanan dan hak atas ke-bebasan beragamanya justru sebagai obyek pembatasan hukum atas hak asasi manusia dan hak-hak dasarnya; • Irrelevant dengan situasi masyarakat beragama di Indonesia yang majemuk; • Mereduksi secara manipulatif terhadap nilai-nilai normatif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di atasnya; • Kontradiktif karena antara tujuan, konsideran hukum dan isi penetapan inkonsisten dan tidak irrelevant.. irrelevant • Diskriminatif karena menerapkan sekularisasi negara secara ekstrim hanya kepada kelompok agama tertentu, in casu JAI.
JAI
Pembatasan aktifitas keagaaman JAI yang berupa: • Menyebarkan ajaran agama dalam segala bentuknya; • Memasang papan identitas organisasi; • Memasang papan identitas properti organisasi; • Penggunaan atribut keorganisasian. Kelompok Agama Minoritas non-JAI: • Situasi hukum yang represif menempatkan mereka sebagai kelompok yang sangat rentan dan terbatas dalam penikmatan hak-hak keagamaanya Kelompok JAI: • Mengalami anarkisme akibat legitimasi dan justifikasi sebagai kelompok yang “sesat”, “dibatasi”, dan “terlarang”. • Terlanggar HAM lainnya seperti hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya akibat labelisasi di atas. • Terbatasi hak-hak kewarganegaraan lainnya
DAMPAK • Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun elektronik; • Memasang papan nama organisasi di tempat umum; • Memasang identitas JAI pada tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikannya; • Menggunakan atribut JAI dalam segala bentuknya. • Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun elektronik; • Memasang papan nama organisasi di tempat umum; • Memasang identitas JAI pada tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikannya; • Menggunakan atribut JAI dalam segala bentuknya.
38
MITRA HUKUM
Suplemen tah kepada seluruh organ-organ pemerintahan baik di pusat maupun daerah untuk tidak menerbitkan Surat Keputusan maupun Peraturan Umum yang dapat merugikan hak asasi manusia dan mengingkari hak-hak konstitusional kelompok agama atau kepercayaan minoritas; e. Presiden sebagai kepala pemerintahan dan negara di Indonesia pula perlu mengambil inisiatif untuk mencegah terulangnya kekerasan dan intimidasi dari kelompok/institusi manapun, termasuk untuk tidak melibatkan alat-alat negara seperti militer dalam penyelesaian kasus-kasus kekekerasan yang terjadi. f. Sebagai pertanggungjawaban negara, dalam hal ini pemerintah, sebagaimana pasal 28I ayat 4 dan berdasar Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999, maka seluruh penyelenggaraan pemerintahan harus aktif mengambil langkah-langkah untuk menghormati, melindungi, memenuhi hak-hak asasi manusia, tanpa diskriminasi, baik dalam proses pembentukan kebijakan atau peraturan dan penegakan hukumnya. 16 Maret 2011 Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Seluruh Indonesia (SEPAHAM) No Nama Pusat Studi/Universitas 01 Muktiono Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) dan Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi/PPHD, Malang 02 Eko Riyadi Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta 03 R. Herlambang Pusat Kajian Hukum HAM/HRLS, Fakultas Perdana Hukum Universitas Airlangga (Unair), Surabaya 04 Dwi Rahayu Kajian Hukum HAM/HRLS, Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Surabaya 05 Inge Christanti Peneliti Pusat Studi HAM Universitas Surabaya (Ubaya), Surabaya 06 Dian NoesPeneliti Pusat Studi HAM Universitas Surabaya wantari (Ubaya), Surabaya 07 Majda El Muntaj Kepala Pusat Studi HAM Univ. Negeri Medan / Pusham Unimed, Medan MITRA HUKUM
39
Suplemen No Nama 08 Fulthoni 09
Surya Tjandra
10 11
Gautama Arundhati Al Khanif
12
Heru Susetyo
13
Yakub Widodo
14
Widodo Dwi Putro Antonius Cahyadi Manunggal K Wardaya Rahayu
15 16 17
Pusat Studi/Universitas Fakultas Hukum Universitas At Tahiriyah, Jakarta Pusat Kajian Hukum Sosial–Hukum Perburuhan dan Hukum Jaminan Sosial, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Jakarta Pusat Studi HAM, Fakultas Hukum Universitas Jember/Unej, Jember Pusat Studi HAM, Fakultas Hukum Universitas Jember/Unej, Jember Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Jakarta Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal), Pekalongan Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Mataram Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Jakarta Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto Kelompok Kajian HAM dan HHI (Hukum Humaniter) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang
Terkait kertas posisi ini lebih jauh, bisa menghubungi: Muktiono, SH., M.Phil. – Fakultas Hukum Unibraw [+62 81334178971] dan/atau Heru Susetyo, SH., LL.M. – Fakultas Hukum Universitas Indonesia [+62 8159200011, +62 81310922211]
40
MITRA HUKUM