PROPOSAL OPERASIONAL TA 2013
STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA (Tahun ke-2)
Oleh: Bambang Irawan Gatoet Sroe Hardono Adreng Purwoto Supadi Valeriana Darwis Nono Sutrisno Budi Kartiwa
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013
RINGKASAN Bagi sebagian besar penduduk Indonesia beras merupakan bahan pangan pokok karena sekitar 55 persen konsumsi kalori dan 44 persen konsumsi protein berasal dari beras. Dengan pola konsumsi pangan seperti ini maka kelangkaan beras akan berpengaruh besar terhadap kecukupan gizi penduduk Indonesia. Selama ini kebutuhan beras nasional sebagian besar dipenuhi dari produksi dalam negeri dan hanya sebagian kecil yang dipenuhi lewat impor. Secara historis pulau Jawa merupakan sentra produksi padi dan sebagian besar produksi padi nasional di hasilkan di pulau Jawa. Namun dalam jangka panjang tampaknya pulau Jawa semakin sulit diandalkan untuk menopang kebutuhan beras nasional terutama karena terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian sehingga mengurangi kapasitas produksi padi sawah. Untuk mengimbangi pertumbuhan produksi padi yang semakin lambat di pulau Jawa maka perlu dilakukan akselerasi peningkatan produksi padi di luar Jawa. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi wilayah potensial untuk akselerasi peningkatan produksi padi di luar Jawa, (2) menganalisis peluang peningkatan produksi padi di luar Jawa, dan (3) mengidentifikasi masalah peningkatan produktivitas, peningkatan intensitas tanaman padi dan perluasan lahan sawah serta upaya antisipasi yang diperlukan. Untuk mencapai ketiga tujuan tersebut penelitian ini dilaksanakan selama dua tahun, yaitu pada tahun 2012 dan tahun 2013. Pada tahun 2012 penelitian difokuskan untuk mencapai tujuan pertama, sedangkan pada tahun 2013 penelitian akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan kedua dan ketiga. Penelitian dilaksanakan di dua propinsi di Pulau Sulawesi yang merupakan sentra produksi padi, yaitu propinsi Sulawesi Tengah dan propinsi Sulawesi Selatan. Dasar pertimbangan dipilihnya Pulau Sulawesi adalah untuk mendukung pengembangan koridor ekonomi di wilayah Sulawesi yang antara lain diarahkan sebagai sentra produksi padi. Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini terbagi atas tiga kategori, yaitu (1) narasumber/pakar tanaman padi sebagai sumber informasi tentang masalah peningkatan produktivitas, peningkatan IP padi dan masalah perluasan lahan sawah dan upaya antisipasi yang diperlukan, (2) aparat desa dan pengurus Gapoktan/Kelompok Tani sebagai sumber informasi tentang kondisi tanaman padi dan masalah yang dihadapi dalam peningkatan produktivitas padi, peningkatan IP padi dan perluasan lahan sawah pada tingkat lapangan, dan (3) pelaku kelembagaan pendukung agribisnis padi sebagai sumber informasi tentang permasalahan yang dihadapi dalam mendukung upaya peningkatan produktivitas padi dan peningkatan IP padi. Data sekunder dan data primer akan digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder lingkup kecamatan, kabupaten dan propinsi akan dikumpulkan dari BPS, Bakorsurtanal, BBSDLP, BPSDA dan instansi terkait lainnya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara responden dengan menggunakan kuesioner. Analisis-analisis yang akan dilakukan mencakup: (1) analisis senjang produktivitas padi, (2) analisis senjang luas tanam dan IP padi, (3) analisis ketersediaan air, (4) analisis lahan potensial sawah dan peluang perluasan sawah, (5) analisis peluang peningkatan produksi padi, (6) analisis peringkat prioritas kecamatan untuk pengembangan padi, dan (7) analisis masalah peningkatan produktivitas dan IP padi.
1
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia sekitar 238 juta jiwa dan
menempati posisi ke 4 dunia setelah negara Cina, USA dan India. Dengan jumlah penduduk yang besar tersebut maka penyediaan pangan yang sesuai dengan kebutuhan penduduk Indonesia bukanlah pekerjaan mudah. Namun upaya penyediaan pangan tetap harus dilakukan mengingat besarnya pengaruh ketersediaan pangan terhadap pembangunan nasional. Penyediaan pangan tersebut dapat dipenuhi melalui produksi didalam negeri dan/atau melalui impor. Dari seluruh komoditas pangan yang dikonsumsi penduduk Indonesia beras merupakan bahan pangan yang paling penting. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Sekitar 55% konsumsi kalori dan 44% konsumsi protein penduduk Indonesia berasal dari beras. Dengan pola konsumsi pangan seperti ini maka kelangkaan beras akan berpengaruh besar terhadap kecukupan gizi penduduk Indonesia. Selama ini kebutuhan beras nasional sebagian besar dipenuhi dari produksi dalam negeri meskipun sebagian kecil masih dipenuhi melalui impor. Akan tetapi laju peningkatan produksi padi akhir-akhir ini semakin lambat sehingga dapat mengancam kemandirian pangan. Simatupang (2001) mengungkapkan bahwa sebelum swasembada beras tercapai pada tahun 1984 pertumbuhan produksi padi dapat mencapai 5.01 persen per tahun tetapi setelah swasembada pertumbuhan produksi padi tersebut hanya sebesar 1.71 persen per tahun. Turunnya laju pertumbuhan produksi padi tersebut dapat mengancam kemandirian pangan di masa mendatang mengingat kebutuhan beras nasional akan terus meningkat. Salah
satu
konsekuensi
yang
dapat
muncul
akibat
melambatnya
laju
pertumbuhan produksi padi adalah meningkatnya ketergantungan pasokan beras nasional terhadap beras impor. Ketergantungan penyediaan beras nasional terhadap beras impor tidak menguntungkan bagi ketahanan pangan karena dua alasan utama yaitu : Pertama, pasokan dan harga beras dunia tidak stabil sehingga instabilitas 2
pengadaan beras nasional akan meningkat jika proporsi beras impor terhadap total penyediaan beras nasional semakin besar. Kedua, Indonesia merupakan salah satu importir beras terbesar di dunia sehingga perubahan impor beras Indonesia akan memiliki pengaruh signifikan terhadap harga beras di pasar dunia sehingga jika impor beras Indonesia meningkat maka harga beras di pasar dunia akan semakin mahal dan semakin banyak pula devisa yang harus dialokasikan untuk mengimpor beras. Pada situasi seperti diuraikan diatas maka dalam rangka ketahanan pangan nasional tidak ada pilihan lain yang lebih baik bagi Indonesia kecuali memenuhi kebutuhan berasnya secara mandiri dan tidak tergantung pada beras impor. Dengan kata lain peningkatan produksi beras nasional harus terus diupayakan dalam rangka tercapainya swasembada beras berkelanjutan. 1.2. Dasar Pertimbangan Secara historis pulau Jawa merupakan sentra produksi padi dan sebagian besar produksi padi nasional dihasilkan di pulau Jawa. Selama tahun 1985-2005 sekitar 55%62% produksi padi nasional dihasilkan di pulau Jawa dan sekitar 95% produksi padi tersebut dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya dihasilkan dari lahan kering atau padi ladang (Irawan, 2005). Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan produksi padi nasional sangat tergantung pada perkembangan produksi padi yang dihasilkan di pulau Jawa terutama dari lahan sawah. Mengingat besarnya peranan lahan sawah di pulau Jawa terhadap produksi padi nasional maka peningkatan produksi padi sawah di pulau Jawa merupakan upaya penting untuk memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat. Akan tetapi laju pertumbuhan produksi padi sawah di pulau Jawa akhir-akhir ini justru cenderung turun. Selama tahun 1985-1995 produksi padi sawah di Jawa rata-rata meningkat 1.60 persen per tahun tetapi pada tahun 1995-2005 laju peningkatan produksi padi tersebut hanya sebesar 0.59 persen per tahun. Penurunan laju pertumbuhan produksi padi sawah tersebut terutama disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan produktivitas dari 1.19 persen per tahun menjadi 0.19 persen per tahun sedangkan laju pertumbuhan luas
3
panen mengalami penurunan relatif kecil yaitu dari 0.41 persen per tahun menjadi 0.39 persen per tahun. Dalam jangka panjang laju pertumbuhan produksi padi di Jawa diperkirakan akan terus mengalami penurunan atau semakin lambat akibat beberapa faktor yaitu : (1) Jaringan irigasi di pulau Jawa banyak yang tidak terpelihara atau rusak sementara upaya peningkatan intensitas panen padi yang dapat dirangsang melalui pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi semakin sulit diwujudkan akibat keterbatasan anggaran pemerintah, (2) Terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian sehingga mengurangi kapasitas produksi padi sawah, (3) Peningkatan luas panen padi yang dapat dirangsang melalui pencetakan sawah baru semakin sulit diwujudkan akibat keterbatasan sumberdaya lahan yang dapat dijadikan sawah dan keterbatasan anggaran pemerintah, (4) Upaya peningkatan produktivitas padi sawah semakin sulit diwujudkan akibat adanya fenomena kelelahan lahan yang menyebabkan respon produktivitas padi terhadap penggunaan input semakin kecil, dan (5) Adanya kebijakan nasional jangka panjang yang tidak kondusif bagi keberlanjutan lahan sawah di pulau Jawa. Hal ini tercerminkan pada Master Plan Percepatan Pertumbuhan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dimana pulau Jawa dipetakan sebagai pusat industri dan jasa nasional dan dengan kebijakan tersebut maka konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di pulau Jawa diperkirakan meningkat sejalan dengan tuntutan kebutuhan lahan untuk pembangunan industri dan perkantoran. Uraian diatas mengungkapkan bahwa pulau Jawa tampaknya semakin sulit diandalkan
untuk
menopang
kebutuhan
beras
nasional.
Untuk
mengimbangi
pertumbuhan produksi padi yang semakin lambat di pulau Jawa maka perlu dilakukan akselerasi peningkatan produksi padi di luar Jawa. Secara teknis upaya akselerasi peningkatan produksi padi tersebut dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas padi, peningkatan intensitas tanaman padi dan perluasan lahan sawah khususnya di daerah yang memiliki agroklimat yang sesuai untuk pengembangan tanaman padi. Peningkatan produktivitas dan intensitas tanam padi diperlukan untuk mendorong peningkatan produksi padi dalam jangka pendek sedangkan perluasan lahan sawah diperlukan untuk mendorong peningkatan produksi padi dalam jangka panjang. 4
Terkait dengan upaya akselerasi peningkatan produksi padi di luar Jawa terdapat beberapa permasalahan yang perlu diklarifikasi yaitu : (1) daerah mana di luar Jawa yang potensial untuk pengembangan tanaman padi dan perlu mendapat prioritas dalam melaksanakan program peningkatan produksi padi di luar Jawa, (2) seberapa besar peluang peningkatan produktivitas, intensitas tanam padi, produksi padi dan perluasan lahan sawah di daerah tersebut, dan (3) apa kendala dan permasalahan yang dihadapi dan strategi apa yang perlu diterapkan untuk dapat memanfaatkan peluang tersebut. Ketiga permasalahan tersebut perlu diklarifikasi agar upaya peningkatan produksi padi di luar Jawa dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
1.3. Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan akselerasi pertumbuhan produksi padi di luar Jawa yang meliputi aspek lokasi, strategi operasional dan kebijakan pendukung yang diperlukan. Secara rinci tujuan penelitian adalah : 1. Mengidentifikasi wilayah potensial untuk akselerasi peningkatan produksi padi di luar Jawa. 2. Menganalisis peluang peningkatan produksi padi di luar Jawa. 3. Mengidentifikasi masalah peningkatan produktivitas, peningkatan intensitas tanaman padi dan perluasan lahan sawah serta upaya antisipasi yang diperlukan. Untuk mencapai ketiga tujuan tersebut diatas penelitian ini dilaksanakan selama 2 tahun yaitu pada tahun 2012 dan tahun 2013. Pada tahun 2012 penelitian difokuskan untuk mencapai tujuan pertama sedangkan pada tahun 2013 penelitian akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan kedua dan ketiga. 1.4. Keluaran Keluaran yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Tahun 2012 :
5
1. Karakteristik kecamatan di luar Jawa (tipe agroekosistem, sebaran kecamatan menurut kabupaten, kondisi wilayah, sumbangan produksi padi, struktur lahan pertanian, ketersediaan sumber air, ketersediaan infrastruktur pendukung, ketersediaan tenaga kerja dan lembaga pendukung agribisnis padi, kondisi sosek petani). 2. Kecamatan dan kabupaten potensial untuk pengembangan padi di luar Jawa. Tahun 2013 : 1. Peluang peningkatan produktivitas padi, intensitas tanam padi dan produksi padi di luar Jawa beserta permasalahan yang dihadapi dan strategi yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut. 2. Peluang perluasan lahan sawah menurut kabupaten dan kecamatan di luar Jawa. 3. Rumusan kebijakan dan strategi akselerasi pertumbuhan produksi padi di luar Jawa yang meliputi : prioritas lokasi, strategi operasional dan kebijakan pendukung. 1.5. Manfaat dan Dampak Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah : (1) dengan diketahuinya luas wilayah potensial padi di luar Jawa maka dapat diketahui potensi produksi padi di luar Jawa dalam rangka mendukung swasembada beras berkelanjutan, (2) data sebaran kecamatan potensial padi dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi pemda kabupaten dalam menetapkan lokasi kawasan pangan berkelanjutan sesuai dengan UU 41 tahun 2009 tentang pencadangan kawasan pangan berkelanjutan, (3) pengenalan masalah dan strategi pengembangan padi menurut tipe agroekosistem padi dapat dimanfaatkan untuk merumuskan program pengembangan padi di luar Jawa secara lebih efektif, (4) data potensi pengembangan padi menurut kabupaten dan kecamatan dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam menetapkan prioritas lokasi pengembangan padi di luar Jawa, (5) data peluang peningkatan luas tanam, indeks pertanaman dan produktivitas padi dapat dimanfaatkan untuk mengetahui peluang peningkatan produksi
6
di luar Jawa dalam jangka pendek/menengah. Pemanfaatan seluruh informasi tersebut diharapkan akan berdampak pada meningkatnya efektifitas dan efisiensi upaya peningkatan produksi padi di luar Jawa dalam rangka swasembada beras berkelanjutan.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tantangan Pengembangan Padi Di Luar Jawa Ada beberapa tantangan dalam rangka pengembangan padi di Luar Jawa, yaitu (a) kesuburan tanah yang relatif rendah, (b) ketersediaan sumberdaya air yang relatif terbatas, dan (c) rendahnya penerapan paket teknologi yang telah direkomendasikan (Adiningsih et.al, 2004).
Kesuburan Tanah yang Relatif Rendah Tanah-tanah di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua sebagian besar termasuk ordo Ultisol, Inceptisol dan Oxisol. (Adiningsih et.al, 2004: Sukarman dan Las, 2006).
Ketiga ordo tanah ini umumnya mempunyai tingkat
kesuburan yang rendah yang dicirikan dengan rendahnya kandungan hara terutama fosfat dan kation-kation dapat tukar seperti Ca, Mg, K dan Na, rendahnya kandungan bahan organik, bersifat masam, kandungan Al dan Fe yang tinggi sampai sangat tinggi, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan kejenuhan basa yang rendah sampai sangat rendah. Mengingat sifat-sifat tanah seperti ini, maka peningkatan produktivitas padi di Luar Jawa akan sulit dicapai tanpa adanya masukan pupuk yang cukup tinggi.
Selain
tentunya perbaikan faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam budidaya padi sawah seperti penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah, pengairan, dan pemberantasan hama penyakit tanaman.
Ketersediaan Sumberdaya Air Relatif Terbatas Areal sawah yang terjamin irigasinya sepanjang tahun karena dilayani oleh sistim waduk hanya sekitar 10 persen, sedangkan sisanya sangat tergantung kepada kondisi iklim dan kelestarian fungsi hidrologi wilayah DAS (Dirjen PLA, 2006). Fasilitas waduk di Luar Jawa relatif terbatas.
Oleh karena itu untuk perencanaan sistem usahatani
tanaman semusim di lahan kering harus didasarkan kepada analisis neraca air yang mempertimbangkan faktor tanah secara akurat dan analisis peluang curah hujan dalam berbagai skenario keragaman iklim.
Sementara itu sejalan dengan meningkatnya
jumlah penduduk, kebutuhan air untuk berbagai keperluan juga meningkat sementara 8
ketersediaannya relatif tetap bahkan cenderung terus menurun, sehingga hal ini sering menjadi pemicu terjadinya konflik perebutan air. Kompetisi penggunaan air oleh berbagai sektor juga semakin meningkat eskalasinya, dan sektor pertanian seringkali berada pada pihak yang lemah terutama menghadapi pihak atau investor yang memiliki modal kuat.
Rendahnya Penerapan Paket Teknologi yang Telah Direkomendasikan Menurut Adiningsih et.al (2004), sudah saatnya Luar Jawa menjadi tulang punggung penghasil beras untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Namun disadari bahwa banyak sekali kendala yang harus dihadapi antara lain tingkat kesuburan tanahnya yang rendah, sistem irigasi yang masih sangat sederhana, dan adopsi teknologi budidaya yang relatif rendah. Telah disebutkan diatas bahwa karena tingkat kesuburan tanahnya yang relatif rendah maka peningkatan produktivitas padi di Luar Jawa membutuhkan masukan pupuk yang relatif tinggi. Namun penggunaan pupuk untuk tanaman pangan di Luar Jawa yang tanahnya relatif kurang subur hanya sekitar 30 persen dari total pupuk yang direkomenasikan. Berdasarkan data ini maka potensi untuk meningkatkan produktivitas padi di Luar Jawa masih cukup besar. 2.2. Peluang Peningkatan Produksi Padi Peningkatan produksi padi dalam suatu wilayah secara garis besar dapat ditempuh melalui dua upaya, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi (Puslitbangtan, 1991). Ekstensifikasi adalah upaya peningkatan produksi padi melalui perluasan areal tanam sedangkan intensifikasi adalah upaya peningkatan produksi padi melalui peningkatan produksi per satuan luas lahan atau melalui peningkatan produktivitas. Perluasan areal tanam (ekstensifikasi) dapat ditempuh melalui peningkatan intensitas panen atau indeks pertanaman (IP) padi, pengembangan tanaman padi pada lahan-lahan potensial padi tetapi belum dimanfaatkan untuk tanaman padi, dan pencetakan sawah. Peningkatan intensitas panen padi dapat dirangsang melalui pembangunan/rehabilitasi
jaringan
irigasi
dan
memanfaatkan varitas padi berumur pendek.
perubahan
pola
tanam
dengan
Sedangkan pemanfaatan lahan-lahan 9
potensial padi misalnya dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan perkebunan yang dikembangkan dengan pola tanam tumpangsari padi, pemanfaatan lahan rawa/pasang surut atau pemanfaatan lahan kering yang secara agroekologi sesuai untuk pengembangan tanaman padi. Salah satu upaya yang perlu ditempuh untuk meningkatkan produksi tanaman pangan adalah memanfaatkan lahan tidur yang sebagian besar terletak di Luar Jawa. Menurut Sukarman dan Las (2006), dari lahan tidur seluas 18,825 juta hektar yang sesuai untuk tanaman padi sawah, seluas 9,994 juta diantaranya dapat digunakan untuk areal pengembangan. Lahan-lahan tersebut sebagian besar terdapat di propinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Papua. Namun demikian sebagian besar lahan tersebut masih berupa hutan atau belukar dengan sarana dan prasarana yang masih sangat terbatas. Peningkatan produktivitas padi (upaya intensifikasi) dapat ditempuh melalui beberapa cara yaitu : (a) memperkecil instabilitas hasil per hektar yang disebabkan oleh faktor iklim, gangguan hama dan penyakit, (b) memperkecil senjang antara produktivitas potensial dan produktivitas aktual yang dicapai petani, dan (c) memperkecil kehilangan hasil yang terjadi selama proses panen dan pasca panen (Puslitbangtan, 1991). Peningkatan produktivitas terkait dengan pengembangan varietas-varietas baru yang memiliki produktivitas potensial relatif lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas potensial varietas-varietas yang sedang diadopsi oleh petani. Peningkatan stabilitas hasil dapat ditempuh dengan menekan cekaman lingkungan biologi dan iklim yang antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan varitas padi yang sesuai dengan kondisi agroklimat setempat dan meningkatkan upaya pengendalian hama dan penyakit utama yang berkembang di lokasi setempat. Terjadinya senjang hasil antara produktivitas aktual di tingkat petani dengan produktivitas potensial di tingkat lembaga penelitian secara umum lebih banyak disebabkan oleh kendala biofisik dan sosial ekonomi dalam proses alih teknologi. Berdasarkan hal tersebut maka upaya memperkecil senjang produktivitas padi antara lain dapat ditempuh dengan mempercepat proses alih teknologi spesifik lokasi yang 10
sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi petani. Sedangkan kehilangan hasil pada saat panen dan pascapanen dapat disebabkan oleh waktu panen kurang tepat, alat dan sistem panen masih tradisional, perontokan padi tidak menggunakan alat perontok, dan sistem prosesing hasil kurang memadai. Oleh karena itu untuk memperkecil kehilangan hasil selama proses panen dan pasca panen diperlukan perbaikan teknologi panen dan pasca panen yang lebih efektif. Terkait dengan upaya peningkatan produktivitas secara agronomis dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu : (1) meningkatkan penggunaan varitas padi yang berdaya produksi lebih tinggi, dan (2) meningkatkan kualitas budidaya yang dilakukan petani seperti cara pengolahan tanah, cara penanaman, cara pemupukan dan sebagainya. Penggunaan varitas padi berdaya produksi lebih tinggi akan meningkatkan
produktivitas potensial atau potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi petani. Sedangkan peningkatan kualitas budidaya akan meningkatkan kemampuan petani untuk mengeksploitasi
potensi produktivitas yang melekat pada setiap varitas padi
yang digunakan dan diwujudkan menjadi produktivitas aktual atau produktivitas yang dicapai petani. Berdasarkan hal tersebut maka peningkatan produktivitas potensial yang dapat dirangsang melalui penggunaan varitas yang berdaya produksi lebih tinggi belum tentu secara langsung meningkatkan produktivitas yang dicapai petani jika hal itu tidak diikuti dengan perbaikan mutu usahatani padi. 2.3. Konsepsi Senjang Produktivitas Padi Secara agronomis produktivitas usahatani padi yang dihasilkan petani merupakan resultante dari pengaruh tiga faktor yaitu (De Datta et al. 1987; Dey and Hossain. 1995) : (1) Faktor lingkungan agroekologi di lokasi kegiatan produksi seperti kondisi iklim, temperatur, kelembaban, curah hujan, kedalaman solum tanah, kesuburan tanah, dst, (2) Produktivitas potensial varitas padi yang digunakan, dan (3) Mutu usahatani atau kualitas cara bercocok tanam seperti cara pengolahan tanah, cara penanaman, cara pemupukan, cara pengendalian hama dan seterusnya. Faktor lingkungan agroekologi relatif tetap dalam jangka panjang karena faktor tersebut sangat jarang mengalami perubahan dan sulit dimanipulasi. Produktivitas potensial varitas padi dapat 11
ditingkatkan melalui rekayasa genetik yang menghasilkan varitas padi yang memiliki potensi produktivitas lebih tinggi. Begitu pula mutu usahatani yang dilakukan petani dapat semakin baik atau semakin mendekati kebutuhan fisiologis tanaman sejalan dengan meningkatnya kemampuan teknis dan kemampuan finansial petani. Pada kondisi faktor lingkungan agroekologi tertentu produktivitas padi di suatu wilayah ditentukan oleh : (1) jenis varitas yang digunakan dan (2) mutu usahatani atau kualitas cara bercocok tanam padi. Jenis varitas yang digunakan sangat menentukan
produktivitas maksimal yang dapat dicapai, sesuai dengan daya produksi varitas yang bersangkutan. Produktivitas maksimal tersebut pada dasarnya merupakan potensi
produktivtas yang dapat digali untuk diwujudkan menjadi produktivitas aktual yang dicapai petani. Dalam hal ini kualitas budidaya yang diterapkan akan sangat mempengaruhi tingkat pencapaian potensi produkivitas yang tersedia. Jika cara bercocok tanam atau kualitas budidaya yang dilakukan sudah sesuai dengan kebutuhan fisiologis varitas yang ditanam maka produktivitas yang dicapai akan sama besarnya dengan produktivitas maksimal yang dapat dicapai, dengan kata lain sesuai dengan daya produksi varitas yang ditanam. Pada tingkat penelitian laboratorium potensi produktivitas yang terdapat pada setiap jenis varitas umumnya dapat dieksploitasi secara maksimal karena seluruh faktor penentu produktivitas (faktor lingkungan fisik dan cara bercocok tanam) dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan fisiologis tanaman. Namun pada tingkat lapangan faktor penentu produktivitas tersebut tidak selalu dapat dikendalikan dan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman, sehingga produktivitas yang dicapai pada tingkat lapangan akan lebih rendah dibanding produktivitas yang dihasilkan dari penelitian laboratorium. Dengan kata lain, untuk setiap jenis varitas padi yang dipergunakan akan selalu terjadi
senjang produktivitas antara produktivitas hasil penelitian laboratorium dengan produktivitas di tingkat lapangan. Gambar 1 mengilustrasikan konsep senjang produktivitas antara produktivitas di tingkat penelitian laboratorium (P1) dengan produktivitas di tingkat lapangan (P2 dan P3). Produktivitas di tingkat lapangan dibedakan atas produktivitas hasil penelitian lapangan (P2) dan produktivitas yang dicapai petani (P3). Ketiga nilai produktivitas 12
Produktivitas
Perbedaan faktor agroekologi : iklim (CH, temperatur, kelembaban), karakteristik tanah (solum, hara, kesuburan, dst), karakteristik lahan (ketinggian, kemiringan, dst)
Senjang 1 (S1)
Senjang 2 (S2)
P1
Produktivitas hasil penelitian laboratorium
P2
Produktivitas hasil percobaan lapangan
Perbedaan cara bercocok tanam (pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama penyakit dst) akibat kendala teknis, ekonomi dan sosial petani.
P3
Produktivitas aktual di tingkat petani
Gambar 1. Konsep Senjang Produktivitas Antara Produktivitas Hasil Penelitian dan Produktivitas di Tingkat Petani.
tersebut dapat berbeda akibat perbedaan jenis varitas yang digunakan. Namun pada penggunaan jenis varitas yang sama tetap akan terjadi perbedaan produktivitas atau senjang produktivitas (S1 dan S2) yang disebabkan oleh faktor yang berlainan (De Datta et al, 1987). Senjang produktivitas S1 atau (P1-P2) dapat disebabkan oleh tidak terkontrolnya seluruh faktor lingkungan fisik (temperatur, kelembaban, nutrisi tanah, dst) pada penelitian lapangan, walaupun cara bercocok tanam pada penelitian lapangan dapat disamakan dengan yang dilakukan pada penelitian laboratorium, yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Sedangkan senjang produktivitas S2 atau (P2P3) dapat terjadi karena petani tidak mampu melakukan cara bercocok tanam seperti yang dilakukan pada penelitian lapangan akibat berbagai kendala teknis, ekonomi dan sosial walaupun faktor lingkungan fisik yang dihadapi petani dan peneliti lapangan relatif sama. Pada penggunaan jenis varitas yang sama antara petani dan penelitian lapangan, produktivitas P2 merupakan produktivitas maksimal yang dapat dicapai petani. Dengan 13
kata lain, produktivitas P2 merupakan produktivitas potensial atau merupakan potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi petani. Untuk dapat mengeksploitasi potensi produktivitas yang tersedia secara maksimal, atau mencapai tingkat produktivitas P2, maka petani harus mampu melakukan cara bercocok tanam yang relatif sama dengan yang dilakukan oleh peneliti lapangan. Namun akibat berbagai kendala yang dihadapi petani maka
cara bercocok tanam atau kualitas budidaya yang dilakukan petani
biasanya lebih rendah dibandingkan dengan yang dilakukan pada penelitian lapangan. Besarnya perbedaan kualitas budidaya tersebut secara tidak langsung ditunjukkan oleh besarnya senjang produktivitas S2. Jika kualitas budidaya yang dilakukan petani relatif sama dengan yang dilakukan peneliti lapangan maka produktivitas P1 akan sama dengan P2, atau S2 = 0. Uraian diatas menjelaskan bahwa pada pengunaan jenis varitas tertentu, tingkatan kualitas budidaya yang dilakukan petani pada dasarnya dapat diukur dari besarnya senjang produktivitas S2. Nilai S2 yang sangat besar mencerminkan kualitas budidaya yang diterapkan petani sangat rendah, dengan kata lain, cara bercocok tanam yang dilakukan petani sangat jauh dengan kebutuhan fisiologis tanaman yang diusahakan. Sebaliknya, nilai S2 yang sangat kecil menunjukkan bahwa kualitas budidaya yang dilakukan petani relatif tinggi sehingga produktivitas yang dicapai petani (P1) relatif sama dengan produktivitas yang diperoleh pada penelitian lapangan (P2). Pada kondisi demikian peluang untuk meningkatkan produktivitas petani melalui peningkatan kualitas budidaya dapat dikatakan sangat terbatas karena cara bercocok tanam yang dilakukan petani dapat dikatakan sudah sesuai dengan kebutuhan fisiologis tanaman. Pada tingkat lapangan dengan kondisi agroklimat yang sama, besarnya produktivitas P2 akan bervariasi menurut daya produksi varitas yang digunakan. Semakin tinggi daya produksi varitas yang digunakan maka nilai P2 akan semakin tinggi pula, artinya, produktivitas potensial atau potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi oleh petani akan semakin besar. Oleh karena itulah introduksi varitas unggul yang berdaya produksi lebih tinggi diperlukan untuk meningkatkan produktivitas petani. Namun, penggunaan varitas unggul tersebut belum tentu secara langsung akan 14
meningkatkan produktivitas yang dicapai petani jika kualitas budidaya yang diterapkan petani relatif rendah, dengan kata lain, belum sesuai dengan kebutuhan tanaman.
15
III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Berkembangnya tanaman padi di suatu wilayah pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : (1) kondisi iklim dan tanah, (2) karakteristik sumberdaya lahan, (3) ketersediaan teknologi padi, (4) ketersediaan sarana/prasarana pendukung pengembangan padi, (5) ketersediaan lembaga pendukung, (6) kondisi sosial ekonomi, dan (7) karakteristik petani. Seluruh faktor tersebut secara simultan mempengaruhi luas tanam, intensitas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas padi. Produksi padi yang dihasilkan selanjutnya akan menentukan besarnya pendapatan yang diperoleh petani. Tingkat pendapatan petani lebih lanjut akan mempengaruhi luas tanam padi pada siklus produksi padi selanjutnya melalui besarnya investasi yang dilakukan petani pada tanaman padi. Mekanisme bekerjanya seluruh faktor tersebut secara ringkas diperlihatkan dalam Bagan 1. Bagan 1 menunjukkan bahwa potensi pengembangan padi di suatu wilayah dipengaruhi oleh ketujuh faktor tersebut diatas. Semakin sesuai kondisi iklim dan tanah di
suatu
wilayah
dengan
kebutuhan
tanaman
padi
semakin
besar
potensi
pengembangan padi di wilayah tersebut. Semakin sesuai karakteristik sumberdaya lahan yang tersedia untuk usahatani padi semakin besar potensi pengembangan padi di wilayah tersebut. Begitu pula semakin tersedia infrastruktur dan lembaga pendukung usahatani padi semakin besar potensi pengembangan padi di suatu wilayah melalui pengaruhnya terhadap kemudahan petani dalam melakukan kegiatan usahatani padi. Faktor kondisi iklim dan tanah merupakan faktor yang relatif tetap dalam jangka panjang. Faktor tersebut dapat meliputi berbagai variabel iklim dan tanah seperti curah hujan, kelembaban, suhu, kedalaman solum, PH tanah, kandungan unsur hara, dst. Seluruh
variabel
tersebut
akan
memiliki
pengaruh
terhadap
keberhasilan
pengembangan padi di suatu daerah, cekaman lingkungan (OPT, banjir, kekeringan) dan akan mempengaruhi keputusan petani untuk mengusahakan tanaman padi. Dengan asumsi petani bersifat rasional maka petani tidak mungkin mengusahakan
16
IKLIM DAN TANAH
Karakteristik iklim (curah hujan tahunan, jumlah bulan basah/ kering, temperatur, kelembaban). Karakteristik tanah (kedalaman solum, PH tanah, kandungan unsur hara, salinitas tanah).
SUMBERDAYA LAHAN
Tipe lahan (sawah, lahan kering, rawa / pasang surut) Kondisi fisik lahan (ketinggian, kemiringan, topografi).
TEKNOLOGI
Budidaya (pola tanam, penggunaan varitas, pemupukan, pengairan, dst) Panen dan pasca panen (cara panen, alat panen, waktu panen, dst).
LUAS TANAM / INTENSITAS TANAM
Cekaman lingkungan : OPT Banjir Kekeringan
LUAS PANEN SARANA/PRASARANA PENDUKUNG Budidaya tanaman padi (jaringan irigasi, traktor). Panen/pasca panen, pengolahan dan pemasaran (alsin perontok, penggilingan padi, transportasi)
LEMBAGA PENDUKUNG
Penyuluh teknologi Pedagang benih, pupuk, pestisida, pedagang padi Permodalan.
PRODUKSI / PRODUKTIVITAS
KONSUMSI & INVESTASI
SOSIAL EKONOMI
Pasar komoditas dan pasar input (harga, stabilitas harga, kuantitas, kualitas). Kebijakan pemerintah (subsidi harga input, harga output, kredit usahatani, asuransi). Pasar tenaga kerja (buruh tani, buruh non pertanian )
PENDAPATAN
KARAKTERISTIK PETANI
Penguasaan sumberdaya (luas lahan, kualitas lahan, tenaga kerja, modal). Penguasaan teknologi (budidaya tanaman, panen dan pasca panen).
Bagan 1. Faktor Penentu Potensi Pengembangan Tanaman Padi di Suatu Wilayah.
17
tanaman padi secara intensif di suatu daerah yang memiliki kondisi iklim dan tanah yang kurang sesuai dengan kebutuhan tanaman padi dan sebaliknya. Karakteristik sumberdaya lahan pertanian di suatu wilayah juga relatif tetap dalam jangka panjang. Karakteristik sumberdaya lahan pertanian mencerminkan tipe lahan pertanian (lahan sawah, lahan rawa/pasang surut, lahan kering) dan kondisi fisik lahan (ketinggian lahan, kemiringan, topografi/relief, dst). Karakteristik sumberdaya lahan di suatu wilayah akan mempengaruhi keputusan petani untuk mengusahakan tanaman padi melalui pengaruhnya terhadap tingkat kesulitan yang dihadapi dalam memanfaatkan sumberdaya lahan yang tersedia untuk mengusahakan tanaman padi. Faktor tersebut juga dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengembangkan tanaman padi melalui pengaruhnya terhadap kemudahan petani untuk mendapatkan teknologi budidaya padi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya lahan yang tersedia. Pada umumnya lahan sawah lebih potensial untuk pengembangan tanaman padi karena lahannya relatif datar dan teknologi budidaya padi di lahan sawah lebih tersedia. Faktor teknologi dapat meliputi metoda, peralatan, mesin dan produk/bahan sarana produksi yang digunakan dalam kegiatan usahatani, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran produk pertanian yang dihasilkan petani. Fungsi utama dari penerapan teknologi adalah untuk meningkatkan efisiensi teknis, efisiensi ekonomik, produktivitas tanaman dan keuntungan usahatani yang diperoleh. Pada tahap kegiatan usahatani faktor teknologi dapat meliputi : penggunaan varitas unggul, pengaturan pola tanam, pergiliran varitas antar musim, teknik pengendalian hama terpadu, teknik pemupukan berimbang, teknik pengaturan pengairan, dst. Pada petani tanaman pangan yang umumnya memiliki lahan garapan relatif sempit penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan tanaman memiliki peranan penting untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan kesejahteraan petani. Pengalaman pada masa “Revolusi Hijau” telah membuktikan hal tersebut dimana meningkatnya produktivitas padi
dan
meningkatnya kesejahteraan petani padi secara signifikan pada masa tersebut tidak terlepas dari penerapan “Panca Usaha Tani Padi” yang meliputi : penggunaan benih padi varitas unggul, penggunaan pupuk anorganik, penggunaan insektisida, pengolahan tanah sempurna dan pengaturan irigasi. 18
Ketersediaan infrastruktur atau sarana dan prasarana pendukung merupakan faktor yang berada diluar jangkauan individu petani tetapi akan mempengaruhi keputusan petani di suatu wilayah untuk mengusahakan tanaman padi. Faktor tersebut relatif dinamis dan dapat berubah dalam jangka relatif pendek akibat investasi yang dilakukan pemerintah, pihak swasta maupun petani terutama petani kaya. Infrastruktur pendukung dapat dibedakan atas infrastruktur pendukung budidaya tanaman padi (jaringan irigasi, traktor pengolah tanah), infrastruktur panen/pasca panen, pengolahan hasil dan pemasaran padi yang dihasilkan petani (alsin perontok padi, penggilingan padi) dan infrastruktur transportasi (angkutan umum, kondisi jalan). Faktor tersebut akan mempengaruhi keputusan petani dalam mengusahakan tanaman padi melalui pengaruhnya terhadap kemudahan mendapatkan air irigasi yang kebutuhannya relatif tinggi pada tanaman padi, kemudahan dalam melakukan pengolahan tanah, kemudahan dalam melakukan pengolahan padi dan memasarkan padi yang dihasilkan petani. Ketersediaan lembaga pendukung juga merupakan faktor yang berada diluar jangkauan individu petani tetapi akan mempengaruhi keputusan petani di suatu wilayah dalam mengusahakan tanaman padi. Faktor tersebut relatif dinamis akibat investasi yang dilakukan pemerintah, pihak swasta maupun petani terutama petani kaya. Lembaga pendukung dapat meliputi lembaga penyuluhan yang berperan dalam menyampaikan informasi teknologi kepada petani, pedagang sarana produksi yang berperan dalam menyediakan sarana produksi yang dibutuhkan petani, pedagang padi yang berperan dalam memasarkan hasil padi yang dihasilkan petani, dan lembaga permodalan yang berperan dalam menyediakan pinjaman modal yang dibutuhkan petani. Ketersediaan keempat lembaga pendukung tersebut akan mempengaruhi keputusan petani dalam mengusahakan tanaman padi melalui pengaruhnya terhadap kemudahan mendapatkan informasi teknologi padi, mendapatkan sarana produksi yang dibutuhkan (benih, pupuk, pestisida/insektisida), memasarkan padi yang dihasilkan dan mendapatkan modal yang dibutuhkan petani. Faktor sosial ekonomi relatif dinamis dan dapat berubah dalam jangka pendek. Faktor tersebut dapat meliputi : (1) ketersediaan pasar komoditas dan pasar input 19
dalam kuantitas, kualitas dan harga, (2) kebijakan pemerintah seperti subsidi harga input, subsidi harga padi, subsidi kredit usahatani, pengaturan tata niaga padi dan alokasi anggaran pemerintah untuk pengembangan tanaman padi, dan (3) pasar tenaga kerja. Seluruh komponen faktor tersebut akan mempengaruhi keputusan petani untuk mengusahakan tanaman padi melalui pengaruhnya terhadap kemudahan petani untuk mendapatkan tenaga kerja yang kebutuhannya relatif intensif pada tanaman padi, besarnya biaya usahatani yang harus disediakan petani, dan keuntungan usahatani yang diperoleh. Seluruh faktor iklim dan tanah, karakteristik sumberdaya lahan pertanian, ketersediaan infrastruktur pendukung, ketersediaan lembaga pendukung, ketersediaan teknologi padi dan kondisi sosial ekonomi akan mempengaruhi keputusan petani dalam memanfaatkan lahan garapannya untuk berbagai komoditas pertanian termasuk padi. Akan tetapi besarnya pengaruh tersebut bervariasi menurut petani. Dalam kaitan ini faktor karakteristik petani memiliki peranan. Faktor karakteristik petani dapat meliputi : penguasaan sumberdaya lahan dalam kuantitas dan kualitas, ketersediaan tenaga kerja keluarga, kemampuan modal petani, penguasaan teknologi usahatani padi dan berbagai variabel lain yang terkait seperti tingkat pendidikan, umur, pengalaman bertani padi, dst. Uraian diatas menjelaskan bahwa keputusan petani di suatu wilayah untuk mengembangkan tanaman padi akan dipengaruhi oleh : (1) kondisi iklim dan tanah di wilayah tersebut, (2) karakteristik sumberdaya lahan, (3) ketersediaan infrastruktur pendukung, (4) ketersediaan lembaga pendukung, (5) kondisi sosial ekonomi, (6) ketersediaan teknologi yang memadai, dan (7) karakteristik petani. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berkembangnya suatu komoditas pertanian tertentu di suatu daerah pada dasarnya merupakan suatu proses adaptasi yang dilakukan petani terhadap kondisi seluruh faktor tersebut, baik yang merupakan faktor internal petani (karakteristik petani) maupun faktor eksternal petani (iklim dan tanah, karakteristik sumberdaya lahan, infrastruktur pendukung, lembaga pendukung, kondisi sosial ekonomi). Petani di suatu daerah akan mengembangkan tanaman padi secara luas apabila seluruh faktor tersebut cukup kondusif untuk pengembangan tanaman padi 20
(misalnya : kondisi iklim dan tanah sesuai untuk tanaman padi, mudah mendapatkan benih padi, tenaga kerja keluarga tersedia, harga padi menguntungkan, dst). Sebaliknya petani di suatu daerah akan mengembangkan secara luas tanaman selain padi apabila seluruh faktor tersebut tidak kondusif untuk tanaman padi. Pada lingkup wilayah (kabupaten/kecamatan/desa) kondisi faktor-faktor tersebut diatas sangat bervariasi. Dengan demikian potensi pengembangan tanaman padi juga akan bervariasi menurut wilayah dan tergantung kepada kondisi seluruh faktor tersebut, apakah cukup kondusif untuk pengembangan tanaman padi atau tidak. Tanaman padi sangat potensial untuk dikembangkan di suatu wilayah dan akan dominan dibanding tanaman lainnya apabila seluruh faktor tersebut sangat kondusif untuk tanaman padi dan sebaliknya tanaman padi akan inferior apabila faktor-faktor tersebut tidak kondusif untuk pengembangan tanaman padi. Dengan kata lain, suatu wilayah sangat potensial untuk pengembangan padi apabila kondisi seluruh faktor di wilayah tersebut sangat kondusif untuk pengembangan padi dan sebaliknya. Dalam rangka memacu pertumbuhan produksi padi di luar Jawa pemahaman tentang wilayah (kabupaten/kecamatan) potensial padi merupakan keharusan agar upaya peningkatan produksi padi di luar Jawa dapat dilakukan secara efektif. Upaya peningkatan produksi padi yang dilaksanakan pada wilayah yang kurang potensial untuk tanaman padi dapat menyebabkan kegagalan dan tidak akan efektif. Namun demikian, informasi tersebut belum cukup memadai untuk dimanfaatkan sebagai acuan dalam menetapkan prioritas lokasi pengembangan padi karena hanya mencerminkan potensi yang tersedia. Dalam kaitan tersebut, informasi tentang potensi pengembangan padi menurut wilayah perlu dilengkapi dengan pemahaman sejauh mana produksi padi di wilayah potensial tersebut dapat ditingkatkan lebih lanjut. Dengan kata lain perlu dipahami pula sejauh mana peluang peningkatan produksi padi di wilayah tersebut. Secara agronomis peningkatan produksi padi dapat ditempuh melalui tiga strategi yaitu : peningkatan produktivitas padi, peningkatan Indeks Pertanaman (IP) padi dan perluasan lahan sawah. Peningkatan IP padi lebih merupakan upaya peningkatan luas tanam padi dalam jangka pendek sedangkan perluasan lahan sawah merupakan upaya peningkatan tanaman padi dalam jangka panjang. Pengalaman pada 21
masa Revolusi Hijau telah membuktikan keunggulan ketiga strategi tersebut dalam mendorong produksi padi nasional. Akan tetapi ketiga strategi tersebut tidak selalu dapat diterapkan di setiap wialayah dan sangat ditentukan oleh potensi yang tersedia di setiap wilayah. Upaya peningkatan produktivitas akan dibatasi oleh besarnya senjang produktivitas yang terjadi pada saat ini dan semakin kecil senjang produktivitas semakin kecil peluang peningkatan produktivitas yang dapat dicapai. Upaya peningkatan IP padi akan dibatasi oleh ketersediaan air irigasi karena untuk meningkatkan IP padi dibutuhkan pasokan air yang memadai. Sedangkan upaya perluasan lahan sawah akan dibatasi oleh kondisi iklim, tanah dan ketersediaan lahan yang sesuai untuk tanaman padi serta ketersediaan air untuk mengairi lahan sawah tersebut. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2012 dan tahun 2013. Sesuai dengan tujuan penelitian dan kerangka pemikiran maka terdapat beberapa analisis yang dilakukan seperti yang diperlihatkan pada Bagan 2. Secara ringkas analisis yang akan dilakukan pada tahun 2013 dapat diuraikan sebagai berikut. (1) Analisis senjang produktivitas padi. Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi padi dalam jangka pendek adalah melalui peningkatan produkstivitas padi. Akan tetapi besarnya peluang peningkatan produktivitas tersebut akan dibatasi oleh potensi produktivitas yang dapat dicapai di setiap kecamatan. Semakin besar kesenjangan antara produktivitas yang telah dicapai saat ini dibanding potensi produktivitas padi di suatu kecamatan menunjukkan semakin besar peluang peningkatan produktivitas di kecamatan tersebut. Analisis ini ditujukan untuk memahami seberapa besar peluang peningkatan produktivitas padi yang masih tersedia pada setiap tipe kecamatan. (2) Analisis senjang IP padi. Strategi lain yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
produksi padi dalam jangka pendek adalah melalui peningkatan IP padi. Analisis ini
22
(3) (4) Analisis karakteristik sumberdaya lahan : Analisis peranan produksi padi : (5) Sentra padi (6) Lahan pertanian dominan Ketinggian lahan Non sentra padi (7) (8) (9) Tipologi kecamatan (10) Lahan pertanian dominan (sawah/lahan kering) Ketinggian lahan (daerah tinggi/rendah) (11) Peranan produksi padi (sentra/non sentra padi) (12) (13) (14) (15) Analisis karakteristik Analisis bobot faktor penentu Skoring potensi kecamatan (16) potensi pengembangan padi kecamatan untuk pengembangan padi (17) (18) (19) Kecamatan potensial untuk (20) pengembangan padi (21) (22) TAHUN 2013 (23) (24) (25) Analisis potensi Analisis neraca Analisis senjang luas Analisis senjang (26) lahan sawah air tanam dan IP padi produktivitas padi (27) (28) Peluang peningkatan Peluang (29) luas tanam dan IP peningkatan (30) produktivitas padi padi (31) (32) Peluang peningkatan (33) Peluang perluasan lahan sawah produksi padi (34) (35) (36) (37) Analisis masalah dan strategi peningkatan produksi padi : (38) Peningkatan produktivitas (39) Peningkatan IP padi (40) Peningkatan luas tanam (41) (42) (43) Rumusan Kebijakan Akselerasi Pertumbuhan Produksi Padi di Luar Jawa : (44) Prioritas kecamatan, kabupaten dan tipe agroekosistem
TAHUN 2012
Strategi peningkatan produksi padi (teknis, sosial ekonomi, kelembagaan) Kebijakan pendukung
Bagan 2. Kerangka Analisis Kebijakan Akselerasi Pertumbuhan Produksi Padi di Luar Jawa. 23
ditujukan untuk memahami sejauh mana peluang peningkatan IP padi pada setiap tipe kecamatan. (3) Analisis ketersediaan air. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan upaya peningkatan luas tanaman padi dan IP padi karena IP padi yang rendah umumnya disebabkan oleh keterbatasan pasokan air irigasi. Berdasarkan hal tersebut maka IP padi yang relatif kecil di suatu kecamatan belum tentu dapat ditingkatkan lebih lanjut apabila ketersediaan air di kecamatan tersebut sangat terbatas. Untuk memahami peluang peningkatan IP padi maka perlu dipahami pula sejauh mana ketersediaan air pada setiap tipe kecamatan, apakah masih mengalami surplus air atau defisit. Analisis ketersediaan air juga diperlukan untuk memahami peluang perluasan lahan sawah mengingat pencetakan lahan sawah untuk tanaman padi perlu didukung dengan pasokan air irigasi yang memadai. (4) Analisis lahan potensial sawah dan peluang perluasan lahan sawah. Dalam jangka panjang upaya peningkatan produksi padi dapat ditempuh melalui pencetakan lahan sawah. Akan tetapi tidak semua kecamatan memiliki peluang untuk melakukan pencetakan sawah baru dan tergantung pada luas lahan potensial yang dapat dijadikan sawah. Analisis ini ditujukan untuk memahami berapa luas lahan yang potensial untuk dijadikan sawah dan sejauh mana peluang peningkatan luas sawah pada setiap tipe kecamatan. (5) Analisis peluang peningkatan produksi padi. Seperti yang telah diuraikan dalam kerangka pemikiran penentuan kecamatan prioritas untuk peningkatan produksi padi perlu dirumuskan berdasarkan peluang peningkatan produksi padi yang dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas dan peningkatan IP padi. Analisis ini merupakan analisis jangka pendek dan ditujukan untuk memahami berapa besar peluang peningkatan produksi padi pada setiap tipe kecamatan. Hasil analisis selanjutnya akan digunakan sebagai salah satu kriteria dalam menentukan kecamatan prioritas untuk peningkatan produksi padi. (6) Analisis peringkat kecamatan prioritas untuk peningkatan produksi padi. Dalam rangka peningkatan produksi padi sebagai tahap awal perlu diidentifikasi kecamatan yang layak dijadikan lokasi kegiatan agar upaya peningkatan produksi dapat 24
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Terkait dengan hal tersebut maka perlu diidentifikasi kecamatan mana yang harus mendapat prioritas. Pada prinsipnya kecamatan yang harus mendapat prioritas memiliki tiga ciri yaitu : (1) kecamatan tersebut cukup potensial untuk pengembangan padi, (2) peluang peningkatan produksi padi di kecamatan tersebut relatif besar, dan (3) peluang perluasan lahan sawah relatif besar agar upaya peningkatan produksi padi dapat dilaksanakan dalam jangka panjang. Analisis ini bertujuan untuk mengindentifikasi kecamatan yang memiliki ketiga ciri tersebut. (7) Analisis masalah, strategi dan kebijakan pendukung peningkatan produksi padi. Upaya peningkatan produksi padi perlu dilaksanakan dengan strategi yang memadai agar upaya tersebut efektif dan efisien. Pada intinya suatu strategi diterapkan untuk mengantisipasi masalah yang dihadapi dan peluang yang tersedia dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Dalam upaya peningkatan produksi padi maka perlu dipahami permasalahan yang dihadapi untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan IP padi. Permasalahan yang dihadapi dapat meliputi aspek kelembagaan petani, kelembagaan irigasi, ketersediaan sarana dan prasarana, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan teknologi budidaya yang sesuai dan berbagai masalah teknis lainnya. Dari analisis masalah akan dapat diidentifikasi saran kebijakan pendukung dalam rangka mengatasi masalah-masalah tersebut. 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Pertimbangan Dalam rangka perluasan dan percepatan pertumbuhan ekonomi nasional telah ditetapkan 6 koridor ekonomi dengan tema pembangunan yang berbeda. Sejalan dengan tema pembangunan ekonomi di masing-masing wilayah Kementerian Pertanian telah menetapkan tema pembangunan pertanian sebagai berikut : (1) koridor ekonomi Sumatera sebagai sentra produksi kelapa sawit dan karet, (2) koridor ekonomi Jawa sebagai sentra pengembangan industri makanan, (3) koridor ekonomi Kalimantan sebagai sentra produksi kelapa sawit dan karet, (4) koridor ekonomi Sulawesi sebagai
25
sentra produksi beras, jagung dan kakao, (5) koridor ekonomi Bali-NTB-NTT sebagai sentra produksi jagung dan kedelai, dan (6) koridor ekonomi Papua sebagai sentra produksi pangan, perkebunan dan peternakan. Penelitian ini dilaksanakan untuk mendukung pengembangan koridor ekonomi di wilayah Sulawesi yang antara lain diarahkan sebagai sentra produksi padi. 3.3.2. Lokasi dan Responden Dalam rangka perluasan dan percepatan pertumbuhan ekonomi nasional telah ditetapkan 6 koridor ekonomi dengan tema pembangunan yang berbeda. Sejalan dengan tema pembangunan ekonomi di masing-masing wilayah Kementerian Pertanian telah menetapkan tema pembangunan pertanian sebagai berikut : (1) koridor ekonomi Sumatera sebagai sentra produksi kelapa sawit dan karet, (2) koridor ekonomi Jawa sebagai sentra pengembangan industri makanan, (3) koridor ekonomi Kalimantan sebagai sentra produksi kelapa sawit dan karet, (4) koridor ekonomi Sulawesi sebagai sentra produksi beras, jagung dan kakao, (5) koridor ekonomi Bali-NTB-NTT sebagai sentra produksi jagung dan kedelai, dan (6) koridor ekonomi Papua sebagai sentra produksi pangan, perkebunan dan peternakan. Penelitian ini dilaksanakan untuk mendukung pengembangan koridor ekonomi di wilayah Sulawesi yang antara lain diarahkan sebagai sentra produksi padi. Penelitian dilaksanakan di 2 propinsi di Pulau Sulawesi yang merupakan sentra produksi padi yaitu propinsi Sulawesi Selatan dan propinsi Sulawesi Tengah. Pada masing-masing propinsi akan dipilih 2 kabupaten contoh yang merupakan kabupaten sentra produksi padi. Untuk memahami masalah peningkatan IP padi, peningkatan produktivitas padi dan perluasan lahan sawah maka di setiap kabupaten contoh dipilih 2 kecamatan contoh yang memenuhi 5 kriteria yaitu : (1) merupakan kecamatan potensial padi, (2) senjang IP padi relatif tinggi, (3) senjang produktivitas padi relatif tinggi, (4) peluang perluasan lahan sawah relatif tinggi, dan (5) luas lahan sawah relatif tinggi. Pada setiap kecamatan contoh lebih lanjut dipilih 2 desa contoh untuk lebih mendalami permasalahan tersebut pada tingkat lapangan.
26
Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini terbagi atas 3 kategori yaitu : (1) Narasumber/pakar tanaman padi sebagai sumber informasi tentang masalah peningkatan produktivitas, masalah peningkatan IP padi, masalah perluasan lahan sawah dan upaya antisipasi yang diperlukan. Responden pakar padi terdiri atas 4 kategori yaitu : a. Responden
pakar
pengambil
kebijakan
peningkatan
produksi
padi
(peningkatan produktivitas, peningkatan IP dan perluasan tanaman padi, perluasan lahan sawah) di tingkat pusat yang meliputi : 2 pejabat Dirjen Tanaman Pangan, 2 pejabat Dirjen Sarana dan Prasarana, dan 2 Pejabat Dirjen Pengairan Kementerian PU. b. Responden pakar pengambil kebijakan daerah dan pelaksana program peningkatan produksi padi (program pusat dan program daerah) yang meliputi : 2 pejabat Dinas Pertanian Kabupaten, 2 pejabat Dinas Pengairan PU kabupaten dan 2 pejabat Badan Penyuluhan Kabupaten di setiap kabupaten contoh. c. Responden pakar pelaksana program peningkatan produksi padi di tingkat kecamatan yang meliputi : 2 PPL senior (Kepala BPP dan Koordinator PPL), 2 petugas UPTD/KCD, dan 2 petugas pengairan PU di setiap kecamatan contoh. d. Responden pakar ilmuwan padi yang meliputi masing-masing 2-3 peneliti senior Puslibangtan, peneliti senior BBPadi, peneliti senior BBSDL, peneliti senior BPTP Sulsel dan BPTP Sulteng. (2) Aparat desa dan pengurus Gapoktan/Kelompok Tani sebagai sumber informasi tentang kondisi tanaman padi (produktivitas, IP padi, luas tanam padi) dan masalah yang dihadapi dalam peningkatan produktivitas padi, peningkatan IP padi dan perluasan lahan sawah pada tingkat lapangan. Sebanyak 3-4 responden aparat desa dan pengurus Gapoktan/Poktan dipilih di setiap desa contoh. (3) Pelaku kelembagaan pendukung agribisnis padi sebagai sumber informasi tentang permasalahan yang dihadapi dalam mendukung upaya peningkatan produktivitas padi dan peningkatan IP padi. Responden pelaku kelembagaan pendukung agribisnis padi meliputi pemilik traktor, pemilik mesin panen, pemilik penggilingan 27
padi, kelompok P3A, penangkar/pedagang benih padi, kelompok buruh tanam dan kelompok buruh panen. Pelaku kelembagaan pendukung dipilih di 3-4 kecamatan contoh. 3.4. Data dan Metoda Analisis 3.4.1. Jenis dan Sumber Data Data sekunder dan data primer akan digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder lingkup kecamatan, kabupaten dan propinsi akan dikumpulkan dari BPS, Bakorsurtanal, BBSDLP, BPSDA dan instansi terkait lainnya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara responden dengan menggunakan kuesioner. 3.4.2. Metoda Analisis 3.4.2.1. Analisis Senjang Produktivitas Padi. Pada intinya senjang produktivitas padi menunjukkan perbedaan antara potensi produktivitas padi yang dapat dicapai dibanding produktivitas padi yang telah dicapai. Semakin besar senjang produktivitas padi di suatu kecamatan menunjukkan semakin besar peluang peningkatan produktivitas padi di kecamatan tersebut. Potensi produktivitas padi di setiap kecamatan diukur dari produktivitas padi yang dicapai pada kegiatan LL (Laboratorium Lapang) dalam rangka pelaksanaan SLPTT padi di setiap Kabupaten tahun 2010. Data tersebut diperoleh dari BPTP yang mendampingi pelaksanaan SL-PTT padi dan Dinas Pertanian Kabupaten. Sedangkan data produktivitas padi per kecamatan tahun 2010 diharapkan dapt diperoleh dari Buku Statistik Kabupaten dan Dinas Pertanian Kabupaten. Persamaan yang digunakan pada analisis senjang produktivitas padi adalah sebagai berikut : SPk SPk YPk Yk
= (YPk– Yk) / YPk x 100 = Senjang produktivitas padi di kecamatan k (%) = Potensi produktivitas padi yang diukur dari produktivitas padi pada pelaksanaan LL (Laboratorium Lapangan) di kecamatan k (ton GKP/ha) = Produktivitas padi di kecamatan k (ton GKP/ha) 28
3.4.2.2. Analisis Senjang Luas Tanam dan IP Padi. Pada intinya senjang luas tanam padi dan senjang IP padi menunjukkan perbedaan antara potensi luas tanam padi dan potensi IP padi yang dapat dicapai dibanding potensi luas tanam padi dan IP padi yang telah dicapai. Semakin besar senjang luas tanam padi dan IP padi di suatu kecamatan menunjukkan semakin besar peluang peningkatan luas tanam padi dan IP padi di kecamatan tersebut. Potensi luas tanam padi dan potensi IP padi diukur dengan menggunakan data luas sawah per kecamatan yang diterbitkan oleh BPS tahun 2010. Pada data tersebut luas lahan sawah dirinci atas luas sawah yang dapat ditanami padi sebanyak 3 kali per tahun, 2 kali per tahun dan 1 kali per tahun. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung potensi luas sawah yang dapat ditanami padi dan potensi IP padi dalam setahun dan menurut musim tanam MH (Musim Hujan) dan MK (Musim Kemarau). Sedangkan pendugaan luas tanam padi menurut musim tanam dilakukan dengan menggunakan data luas tanam padi per bulan tahun 2010 di setiap kecamatan yang diterbitkan oleh BPS. Persamaan yang digunakan pada analisis senjang luas tanam dan senjang IP padi adalah sebagai berikut :
(1) Senjang luas tanam padi dalam setahun SLtk
= (LPtk– Ltk)
LPtk
= Li. i
SLtk LPtk Li
= Senjang luas tanam padi dalam setahun di kecamatan k (ha) = Potensi luas tanam padi dalam setahun di kecamatan k (ha) = Luas sawah yang dapat ditanami padi sebanyak i kali dalam setahun (i =1….3) di kecamatan k (ha) = Luas tanam padi dalam setahun di kecamatan k (ha)
Ltk
(2) Senjang luas tanam padi pada musim tanam MH dan MK SLmk
= (LPmk– Lmk)
LPmk
= Li. i 29
SLmk LPmk
= Senjang luas tanam padi pada musim tanam MH atau MK di kecamatan
k (ha)
= Potensi luas tanam padi pada musim tanam MH atau MK di kecamatan
k (ha)
Li.i = Luas sawah yang dapat ditanami padi pada MH atau MK di kecamatan k (ha). Pada MH nilai tersebut setara dengan L1+L2+L3 sedangkan pada MK setara dengan L2+2L3. Lmk = Luas tanam padi pada musim tanam MH atau MK di kecamatan k (ha)
(3) Senjang IP padi dalam setahun SIPtk = (IPPtk– IPtk) IPPtk = Li. i / Li x 100 IPtk = Ltk / Li x 100 SIPtk IPPtk IPtk Li Ltk
= Senjang IP padi dalam setahun di kecamatan k (%) = Potensi IP padi dalam setahun di kecamatan k (%) = IP padi dalam setahun di kecamatan k (%) = Luas sawah yang dapat ditanami padi sebanyak i kali dalam setahun (i =1….3) di kecamatan k (ha) = Luas tanam padi dalam setahun di kecamatan k (ha)
(4) Senjang IP padi pada musim tanam MH dan MK SIPmk = (IPPmk– IPmk) IPPmk = ( Li. i / Li) x 100 IPmk = (Lmk / Li) x 100 SIPmk IPPmk IPmk Li.i
Lmk
= Senjang IP padi pada musim tanam MH atau MK di kecamatan k (%) = Potensi IP padi pada musim tanam MH atau MK di kecamatan k (%) = IP padi pada musim tanam MH atau MK di kecamatan k (%) = Luas sawah yang dapat ditanami padi pada MH atau MK di kecamatan k (ha). Pada MH nilai tersebut setara dengan L1+L2+L3 sedangkan pada MK setara dengan L2+2L3. = Luas tanam padi pada musim tanam MH atau MK di kecamatan k (ha)
30
3.4.2.3. Analisis Ketersediaan Air. Analisis ini bertujuan untuk melihat status ketersediaan air atau neraca antara ketersediaan air dan kebutuhan air di setiap kecamatan, apakah masih mengalami surplus. Informasi tersebut diperlukan untuk pendugaan peluang peningkatan IP padi dan peluang perluasan lahan sawah. Pada intinya, peningkatan IP padi dan perluasan lahan sawah di suatu kecamatan hanya mungkin dilakukan apabila neraca ketersediaan air pada kecamatan tersebut masih mengalami surplus. Secara umum persamaan neraca ketersediaan air adalah sebagai berikut : STAk = PAk - KPk - KRTk - KSIk STAk = Status ketersediaan air di kecamatan k (surplus atau defisit) = Pasokan atau ketersediaan air dalam setahun di kecamatan PAk k (mm/tahun) = Kebutuhan air untuk tanaman padi, palawija dan sayuran dalam KPk setahun di kecamatan k (mm/tahun) KRTk = Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga di kecamatan k (mm/tahun) KSIk = Kebutuhan air untuk sektor industri dan perikanan di kecamatan k (mm/tahun) Kebutuhan air untuk tanaman padi dihitung berdasarkan standar kebutuhan air pada tanaman padi yang digunakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum yaitu : 7867 m3/ha pada musim tanam MH, 8556 m3/ha pada musim tanam MK1 dan 8603 m3/ha pada musim tanam MK2. Begitu pula pendugaan kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga dan sektor industri dilakukan dengan memanfaatkan standar kebutuhan air yang digunakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Pendugaan ketersediaan air didekati melalui analisis potensi air permukaan yang direpresentasikan oleh curah hujan, aliran sungai serta debit bendung irigasi. Potensi air permukaan dari curah hujan dianalisis berdasarkan data pengamatan stasiun hujan yang tersedia di dekat lokasi penelitian sedangkan potensi air pemukaan dari sumber sungai dan bendung irigasi diidentifikasi dari data debit sungai yang terekam oleh stasiun pengukur debit serta data bendung irigasi. Ketersediaan air yang dapat
31
dimanfaatkan adalah aliran mantap yaitu jumlah air yang diperkirakan terus menerus tersedia dengan jumlah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu (Notodihardjo, 1982
dalam Kartiwa, 2011). Analisis potensi air permukaan dilakukan dengan menggunakan prinsip keseimbangan neraca air yaitu : P S
= Ea + R + S atau = P - Ea + R
P Ea R S
= Presipitasi = Evapotranspirasi = Runoff = Cadangan air permukaan dan air bawah permukaan yang mencerminkan ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pertanian.
Evapotranspirasi aktual tahunan dihitung dengan menggunakan rumus TurcLangbein sebagai berikut : Ea
P 0,9
Ea Eo P
P2 Eo 2
= Evapotranspirasi aktual (mm/tahun) = Evapotranspirasi permukaan air bebas (mm/tahun) = Presipitasi (mm/tahun)
Berdasarkan rumus Langbein dapat dihitung besarnya evaporasi permukaan air bebas tahunan (Eo) sebagai berikut : Eo Eo t
= 325 + 21t + 0,9t2 = Evaporasi permukaan air bebas (mm/tahun) = Suhu rata-rata tahunan (oC)
3.4.2.4. Analisis Lahan Potensial Sawah dan Peluang Perluasan Lahan Sawah. Luas lahan potensial untuk dijadikan sawah di setiap kecamatan dianalisis dengan melakukan overlay peta Zona Agro Ekologi (ZAE) yang dibuat oleh BBSDLP 32
dengan peta wilayah administrasi kecamatan. Komponen utama ZAE meliputi variabel iklim (suhu dan kelembaban), variabel fisiografi lahan (bentuk wilayah dan kemiringan), dan variabel karakteristik tanah (tekstur, kemasaman dan drainase). Diasumsikan bahwa lahan yang potensial untuk lahan sawah adalah lahan dengan kemiringan lereng < 8% dan memiliki karakteristik tanah serta karakteristik iklim yang sesuai untuk tanaman padi. Pada intinya peluang perluasan lahan sawah di setiap kecamatan ditunjukkan oleh besarnya perbedaan antara luas potensi lahan sawah dibanding luas sawah yang tersedia. Akan tetapi indikator tersebut belum mencukupi karena perluasan lahan sawah harus didukung dengan ketersediaan air yang memadai agar lahan sawah yang dibangun dapat berfungsi secara optimal. Berdasarkan hal tersebut maka peluang perluasan lahan sawah di setiap kecamatan harus dibatasi pada kecamatan yang masih memiliki surplus air relatif besar. Diasumsikan bahwa hanya kecamatan yang memiliki surplus air > 50% yang dapat melakukan perluasan lahan sawah. Peluang perluasan lahan sawah pada kecamatan yang memiliki surplus air > 50% dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : PSk
= LSPk– LSk
PSk LSPk LSk
= Peluang perluasan lahan sawah di kecamatan k (ha) = Luas lahan potensial sawah di kecamatan k (ha) = Luas sawah saat ini di kecamatan k (ha)
3.4.2.5. Analisis Peluang Peningkatan Produksi Padi. Peluang peningkatan produksi padi di setiap kecamatan pada intinya ditunjukkan oleh besarnya nilai selisih antara potensi produksi padi yang dapat dicapai dibanding produksi padi yang telah dicapai pada saat ini. Pada luas tanaman padi yang sama potensi produksi padi di suatu kecamatan dapat ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas padi. Sebaliknya, pada tingkat produktivitas padi yang sama potensi produksi padi dapat ditingkatkan melalui peningkatan luas tanam dan IP padi. Namun demikian, tidak seluruh kecamatan memiliki peluang peningkatan produksi melalui
33
peningkatan produktivitas apabila produktivitas padi saat ini sangat mendekati potensi produktivitas yang dapat dicapai, dengan kata lain senjang produktivitas padinya sangat kecil. Begitu pula tidak seluruh kecamatan memiliki peluang peningkatan produksi melalui peningkatan luas tanam dan IP padi apabila luas tanaman padi saat ini sangat mendekati potensi luas tanam dan potensi IP padi di kecamatan tersebut dan ketersediaan air irigasi cukup terbatas.
(1) Peluang peningkatan produksi padi melalui peningkatan produktivitas Pada pelaksanaan SL-PTT padi di suatu kecamatan besarnya produktivitas padi yang dicapai pada kegiatan LL (Laboratorium Lapang) dapat dianggap sebagai potensi produktivitas padi di kecamatan tersebut. Hal ini karena seluruh kegiatan budidaya tanaman padi yang dilakukan pada kegiatan LL tersebut (yang dilaksanakan pada luas lahan 1 hektar) dapat dikatakan telah dilakukan dengan menggunakan teknologi budidaya padi yang paling sesuai dengan kondisi setempat. Akan tetapi teknologi budidaya padi tersebut tidak seluruhnya akan dapat diterapkan pada hamparan lahan yang lebih luas atau diterapkan oleh seluruh petani pada tingkat desa atau tingkat kecamatan akibat kendala sosial ekonomi petani secara umum. Konsekuensinya adalah potensi produktivitas pada agregat desa atau agregat kecamatan akan lebih lebih rendah dibanding produktivitas padi yang dicapai pada kegiatan LL. Diasumsikan potensi produktivitas padi pada agregat kecamatan 5% lebih rendah dibanding produktvitas padi pada kegiatan LL yang dilaksanakan di setiap kecamatan. Berdasarkan asumsi tersebut maka peluang peningkatan produksi padi melalui peningkatan produktivitas di setiap kecamatan dapat diekspresikan dalam persamaan sebagai berikut : PYk
= (0.95 YPk– Yk) x Ltk
PYk
= Peluang peningkatan produksi padi melalui peningkatan produktivitas padi di kecamatan k (ton GKP/tahun) = Potensi produktivitas padi yang diukur dari produktivitas padi pada pelaksanaan LL (Laboratorium Lapangan) di kecamatan k (ton GKP/ha) = Produktivitas padi di kecamatan k (ton GKP/ha) = Luas tanam padi dalam setahun di kecamatan k (ha/tahun)
YPk Yk Ltk
34
(2) Peluang peningkatan produksi padi melalui peningkatan luas tanam dan IP padi Adanya senjang luas tanam dan senjang IP padi di suatu kecamatan menunjukkan adanya peluang peningkatan luas tanam dan peningkatan IP padi di kecamatan tersebut. Akan tetapi peluang tersebut belum tentu dapat dimanfaatkan apabila ketersediaan air di kecamatan tersebut cukup terbatas. Hal ini karena keterbatasan air irigasi seringkali menjadi faktor penghambat bagi petani untuk meningkatkan luas tanam padi dan meningkatkan IP padi. Pada tingkat petani hal ini dicerminkan oleh adanya kecenderungan petani untuk menanam padi jika pasokan air irigasi mencukupi dan pada kondisi pasokan air irigasi yang terbatas petani cenderung mengusahakan tanaman palawija yang kebutuhan airnya relatif kecil dibanding tanaman padi. Untuk meningkatkan luas tanam dan IP padi di suatu kecamatan maka salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah neraca ketersediaan air di kecamatan tersebut masih surplus atau berlebih. Dalam nilai relatif besarnya surplus air tersebut harus lebih besar dibanding besarnya senjang IP padi agar upaya peningkatan IP padi dapat didukung dengan peningkatan pasokan air yang memadai. Diasumsikan bahwa hanya kecamatan yang memiliki surplus air > 50% yang memiliki peluang peningkatan IP padi. Berdasarkan asumsi tersebut maka besarnya peluang peningkatan produksi padi melalui peningkatan IP padi pada kecamatan yang memiliki surplus air > 50% adalah sebagai berikut : PIPk
= SIPtk /100 x Li x Yk
PIPk
= Peluang peningkatan produksi padi melalui peningkatan IP padi di kecamatan k (ton GKP/tahun) = Senjang IP padi dalam setahun (%) = Luas sawah yang dapat ditanami padi sebanyak i kali dalam setahun (i =1….3) di kecamatan k (ha) = Produktivitas padi di kecamatan k (ton GKP/ha)
SIPtk Li Yk
35
3.4.2.6. Analisis Peringkat Prioritas Kecamatan Untuk Pengembangan Padi Peringkat prioritas kecamatan untuk peningkatan produksi padi disusun berdasarkan 3 kriteria yaitu : (1) potensi pengembangan padi di setiap kecamatan, (2) peluang peningkatan produksi padi, dan (3) peluang perluasan lahan sawah. Penilaian ketiga kriteria tersebut dilakukan melalui skoring yang dibagi atas tiga kategori : tinggi, sedang dan rendah. Peringkat kecamatan prioritas disusun berdasarkan nilai total skor dari ketiga variabel tersebut.
3.4.2.7. Analisis Masalah Peningkatan Produktivitas dan IP Padi. Terjadinya senjang produktivitas padi yang relatif besar mencerminkan adanya permasalahan yang dihadapi petani untuk mendapatkan produktivitas potensial yang dapat dicapai. Begitu pula senjang luas tanam dan senjang IP padi menunjukkan adanya permasalahan yang dihadapi petani untuk memanfaatkan potensi yang tersedia. Permasalahan tersebut dapat meliputi masalah teknis, masalah kelembagaan dan sosial ekonomi yang dihadapi petani. Analisis permasalahan tersebut akan dilakukan secara deskriptif melalui diskusi yang melibatkan narasumber di daerah.
36
IV. ANALISIS RISIKO Dalam melakukan penelitian sosial ekonomi, risiko yang mungkin dihadapi dalam melaksanakan penelitian mulai dari penyusunan proposal, penyusunan kuesioner, pengumpulan data, pengolahan data, validasi data, analisa data dan penulisan laporan akhir dapat diuraikan sebagai berikut: Tabel 4.1. Daftar Risiko Yang Mungkin Dihadapi Untuk Mencapai Tujuan Penelitian No. 1
Risiko Sulitnya melakukan koordinasi internal anggota tim
Penyebab Tim melibatkan peneliti dari lembaga penelitian lain yang memiliki kesibukan dan jadwal kegiatan sendiri. Keterbatasan jumlah tenaga operator dan khususnya programer komputer di PSEKP
2
Proses penyelesaian entry data dan pengolahan data tidak tepat waktu
3
Data kuantitatif (variabel) yang tersedia di unit kerja daerah tidak lengkap dalam arti tidak sesuai dengan data kuantitatif (variabel) yang dibutuhkan
Data kuantitatif (variabel) yang dimaksud belum tersedia di unit kerja daerah
4
Ketidakkonsistenan narasumber dalam membandingkan besarnya peranan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan padi di suatu wilayah
Narasumber menguasai (disiplin) berkenaan tanaman padi
hanya bidang tertentu dengan
Dampak Sinkronisasi pelaksanaan kegiatan menjadi terhambat Pembuatan tabel analisis, analisa data dan sekaligus penulisan laporan menjadi terlambat Analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan padi berikut besarnya peranan dari masingmasing faktor tersebut secara lengkap sulit dilakukan. Besarnya peranan masing-masing faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan padi di suatu wilayah menjadi kurang akurat
Solusi Mengintensifkan komunikasi agar tercapai kompromi dalam pelaksanaan kegiatan Penambahan khususnya jumlah programer komputer Data yang digunakan untuk analisa faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pengembangan padi berikut besarnya peranan dari masingmasing faktor tersebut dibatasi pada data yang tersedia. Tim peneliti harus melakukan pelatihan pengisian kuesioner kepada narasumber agar narasumber dalam membandingkan besarnya peranan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan padi dapat konsisten
37
V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN 5.1. Susunan Organisasi Peneliti Tim penelitian in dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Susunan Tim terdiri atas ketua Tim dan Anggota Tim seperti tabel berikut: No
Nama
Gol.
Jabatan Fungsional/Bidang Keahlian
Kedudukan Dalam Tim
1.
Dr. Bambang Irawan
IV/e
Ahli Peneliti Utama
Penanggung Jawab/ Anggota
2.
Dr. Gatoet Sroe Hardono
IV/a
Peneliti Madya
Anggota
3.
Ir. Adreng Purwoto, MS
IV/b
Peneliti Madya
Anggota
4.
Ir. Supadi
IV/b
Peneliti Madya
Anggota
5.
Valeriana, SE.,MM
IV/a
Peneliti Madya
Anggota
6.
Dr. Nono Sutrisno
IV/b
Peneliti Madya
Anggota
7.
Dr. Budi Kartiwa
IV/a
Peneliti Madya
Anggota
5.2. Jadwal Palang Kegiatan penelitian pada tahap ini dilaksanakan untuk jangka waktu satu tahun kalender
yang dimulai dari bulan Januari hingga selesai pada bulan Desember (12
bulan). Rincian kegiatan pada masing-masing bulan dapat disimak pada jadwal palang berikut.
38
Tabel. Jadwal Palang Kegiatan Penelitian Tahun 2013 Kegiatan
Bulan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1. Persiapan - Studi pustaka - Penyusunan dan seminar proposal - Pembuatan kuesioner 2. Pengumpulan data 3. Pengolahan / analisis data 4. Penulisan Laporan Tengah Tahun 5. Penulisan Laporan Akhir 6. Seminar Laporan Akhir 7. Perbaikan Laporan Akhir 8. Penggandaan Laporan Akhir
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, J.S, A. Sofyan dan D. Nursyamsi. 2004. Lahan Sawah dan Pengelolaannya dalam Prosiding Sumberdaya Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Balai besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. De Datta S.K, Gomez K.A, Herdt R.W and Barker R. 1987. A Handbook on the Methodology for an Integrated Experiment-Survey on Rice Yield Constraints. The International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. Dey M.M and Hossain M. 1995. Yield potentials and modern rice varieties : an assessment of technological constraints to increase rice production. In : Proceedings of the Final Workshop of the Projections and Policy Implications of Medium and Long-term Rice Supply and Demand Project. Beijing, China, 23-26 April 1995. Dirjen PLA. 2006. Arah dan Strategi PengeloLaan Lahan dan Air Mendukung Revitalisasi Pertanian dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya Dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi vol 23 no.1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
39
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 1991. Sumber Pertumbuhan Produksi Padi dan Kedelai: Potensi dan Tantangan. Bogor. Simatupang P. 2001. Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya. Makalah Seminar Nasional Persepktif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 Kedepan. Bogor, 9-10 November 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Sukarman dan I. Las. 2006. Arah dan Strategi Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Mendukung Revitalisasi Pertanian dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
40