BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Secara
umum,
belum
berimbangnya
pertumbuhan
industri
pariwisata di berbagai kawasan di Indonesia antara lain karena dipengaruhi oleh paradigma dan kebijakan ekonomi pembangunan pada masa kepemimpinan Orde Lama, Orde Baru, dan pasca Reformasi. Tidak hanya itu, lambatnya industri pariwisata di kawasan-kawasan di luar Pulau Jawa juga dipengaruhi pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah strategi pembangunan ekonomi regional yang terintegrasi antar kawasan, dengan menempatkan kawasan-kawasan di luar Pulau Jawa sebagai pusat pertumbuhan baru. Persoalan ini memang tidak mudah untuk segera direspon dengan kebijakan jangka pendek. Dibutuhkan kebijakan publik yang bersifat integratif dan lintas sektoral. Adanya kebijakan politik desentralisasi dan otonomi daerah memungkinkan agenda tersebut dapat dijalankan. Langkah ini sangat penting sebagai kebijakan dasar yang nantinya dapat mendorong kawasan.
perkembangan Selain
berkembangnya
itu, industri
industri
pariwisata
pertumbuhan pariwisata
ekonomi antar
di
masing-masing yang
kawasan
memacu juga
kian
dibutuhkan.(Sondak, 2010: 51). Pemberlakuan Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor: 25 Tahun 1999
1
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua UndangUndang ini diharapkan akan memberikan nuansa baru bagi kehidupan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah yang mampu mengubah suasana monolitik sentralistik kepada suasana yang lebih demokratis, terutama terciptanya demokrasi lokal (local democracy). Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diyakini mampu mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
memupuk
demokrasi
lokal.
Pilihan
kebijakan
untuk
mendesentralisasikan tugas Negara dan Provinsi kepada Kabupaten/kota diharapkan
dapat
memperbaiki
kualitas
pelayanan
pemerintah,
memperkuat ekonomi lokal, dan mewujudkan demokrasi di tingkat daerah. Kesadaran akan proses liberalisasi pasar global dan oleh karenanya perlunya
desentralisasi
diterapkan
mengikuti
deregulasi
dan
debirokratisasi. Selain good governance dan otonomi, kata-kata kunci lainnya yang dapat dicatat dari seminar ini adalah: “kewirausahaan, perdagangan bebas, globalisasi ekonomi, etika profesi administrasi(tidak koluktif, kaku, tambun, lamban, arogan; tanggungjawab moral dan integritas, merit system, fleksibel dan team work), efektif, efisien, tut wuri handayani(birokrasi yang mengarahkan, membimbing, menunjang, membangkitkan prakarsa dan peranserta masyarakat), kemitraan, responsibilitas, kredibilitas dan akuntabilitas, transparansi, kepastian hukum, teknologi informasi dan otomatisasi.”
2
Beberapa argumen pro desentralisasi menyebutkan bahwa semakin dekat kepada masyarakat, semakin baik pula pelayanan pemerintah kepada masyarakat; bahwa otonomi akan mengurangi beban pemerintah pusat dan menumbuhkan kemandirian serta kedewasaan daerah dan konsekuensinya bantuan keuangan kepada Daerah hendaknya diberikan dalam wujud block grant yang penggunanya tidak dirinci Pusat, wewenang Bappeda perlu diperkuat, organisasi pusat diperkecil diikuti dengan pengembangan organisasi daerah dan sekaligus dilakukan penggabungan, penciutan dan penghapusan unit-unit organisasi, dan ini memerlukan pemimpin yang visioner. Sedangkan argumentasi pro otonomi,
bahwa dalam kerangka globalisasi ekonomi dunia, dimana
Indonesia memiliki daya saing yang sangat rendah dan praktik korupsikolusinya tinggi. Oleh karena itu masyarakat harus dirangsang untuk mandiri
dan
berkreasi
melalui
desentralisasi
yang
dengannya
heterogenitas kondisi dan potensi daerah dapat diadopsi (Wibawa, 2001: 159-160). Otonomi daerah yang dicanangkan Pemerintah memberikan sinyal yang kuat akan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi (kontrol pusat yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan) ke desentralisasi; dengan memberikan prakarsa dan inisiatif pelaksanaan pembangunan daerah sepenuhnya berada pada pemerintah daerah. Ini berarti, adanya cakupan yang lebih luas dalam fungsi dan aktivitas pemerintah yang diserahkan kepada
3
pemerintah daerah. Ironisnya, kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah kepada pemerintah daerah belum sepenuhnya dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pemerintah daerah dalam hal ini belum sepenuhnya memiliki kemampuan untuk melaksanakan (mengisi) pembangunan daerahnya secara baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah adalah
faktor
keuangan
yang
baik.
Faktor
keuangan
dalam
penyelenggaraan suatu pemerintahan sangat penting(Kaho (2001). Selanjutnya
ditegaskan
bahwa
pemerintah
daerah
tidak
dapat
melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang memadai untuk memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan. Inilah yang menjadi salah satu kriteria dasar untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Pamuji dalam Kaho (2001). Hal senada dikemukakan oleh Syamsi (1994) keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Demikian pula, Fisipol UGM dalam studinya untuk mengetahui
tingkat
otonomi
dan
kecenderungan
perkembangan
kemampuan daerah, yang diharapkan dapat mendukung pengembangan otonomi daerah, menggunakan empat kategori model (Dwiyanto dkk, 1993), yaitu pertama, kemampuan keuangan daerah, kedua, kemampuan ekonomi (PDRB), ketiga, kemampuan aparat, dan keempat, banyaknya
4
urusan
yang
diserahkan
kepada
daerah(Asrori,2003)
dalam
(Tangkilisan,2005). Ketidakmampuan pemerintah daerah mengisi dan melaksanakan pembangunan daerahnya, ini dikarenakan masih lemahnya kemampuan keuangan daerah untuk membiayai seluruh proses penyelenggaraan pemrintahan dan pembangunan daerah. Dilain hal, peran atau keterlibatan pihak swasta untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pembangunan, belum mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah untuk dijadikan mitra kerja. Kalaupun ada, itu hanya sebagian kecil saja yang terlibat. Sehingga wewenang dan tanggung jawab yang diberikan, belum maksimal digunakan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan. Akibatnya banyak aspirasi dan agenda pembangunan (baik fisik maupun non fisik) yang direncanakan belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan. Perubahan dunia seiring dengan tuntutan globalisasi akhir-akhir ini, di satu sisi menguntungkan kehidupan manusia dan berdampak pada semakin berkembangnya jenis dan permasalahan yang berhubungan dengan sosio-ekonomi masyarakat di sisi lainnya. Disamping itu, implementasi otonomi daerah belum menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam peningkatan pelayanan publik dari pemerintah. Tuntutan
pelayanan
masyarakat
kepada
birokrasi
pemerintah
dikesampingkan, terutama dalam hal biaya yang murah(efisien) dan waktu yang lebih singkat(efektif). Sehingga penyediaan pelayanan publik
5
oleh pihak swasta telah berkembang luas di Indonesia menjadi komplemen yang disediakan oleh pemerintah(Suharyanto, 2005:85). Menurutnya, gagasan untuk melibatkan pihak di luar pemerintah dalam pelayanan publik semakin mendapat perhatian yang serius seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah; yang secara sederhana dipahami oleh publik sebagai penyerahan kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah. Asumsi yang tersirat dalam otonomi daerah adalah penyediaan pelayanan pemerintah yang lebih dekat dengan pemakainya, dapat meningkatkan efektivitas pemberian layanan publik. Dalam perspektif, efektivitas mengacu pada peningkatan responsiveness terhadap permintaan atau tuntutan lokal. Paritisipasi yang lebih besar dan kepuasan para pelanggan, sebagaimana peningkatan efisiensi dalam pemberian pelayanan publik, yaitu penggunaan mekanisme-mekanisme lokal yang lebih cepat dan inovatif dalam penyediaan layanan. Hal tersebut akan mengarah pada penurunan standar pemberian layanan sebagai akibat local capture,
kapasitas sumberdaya manusia
yang terbatas untuk implementasi, rendahnya standar minimum dalam pemberian
pelayanan
publik
serta
berkurangnya
bantuan/subsidi
pemerintah pusat kepada daerah akan semakin menegaskan orientasi birokrasi yang hanya mengejar keuntungan secara ekonomi semata. Di sisi lain, rendahnya derajat layanan publik oleh pemerintah membuka peluang pihak swasta yang kebanyakan berbekal manajemen yang lebih mapan dan inovatif untuk terlibat dalam pelayanan publik, misalnya
6
dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan transportasi di Indonesia. Di titik inilah, terbuka kesempatan bagi pemerintah daerah untuk bekerjasama
atau
melibatkan
pihak
swasta
dalam
pendanaan
pembangunan (Suharyanto, 2005: 86). Dengan adanya “titik temu” tersebut maka wacana good governance menjadi ruang lingkup yang tepat dalam rangka membina kerjasama antar agen pembangunan. Memahami governance berarti; pemerintah (birokrasi), pihak swasta dan civil society. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi, sosial budaya, politik, dan hukum serta keamanan yang kondusif. Pihak swasta berperan positif dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam aktivitas perekonomian, sosial, politik, termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap jalannya aktifvitas-aktifvitas tersebut. Maka pemahaman good governance adalah terjalinnya hubungan sinergis dan konstruktif di antara aktor-aktor birokrasi, pihak swasta, dan masyarakat. Hubungan sinergis dan konstruktif akan terjadi manakala ada pengertian sumberdaya yang optimal dan potensial yang dimiliki masing-masing aktor(agen) pembangunan tersebut atas dasar kesadaran dan kesepakatan bersama terhadap visi yang ingin dicapai dalam pelayanan publik (Suharyanto, 2005:86-87). Salah satu alternatif yang disodorkan adalah dengan membuka kemungkinan dilakukannya
7
kemitraan usaha antara organisasi pemerintah (birokrat) dengan organisasi swasta dan masyarakat sehingga dapat diciptakan sebuah sistem pelayanan publik yang sinergis dan memuaskan kebutuhan masyarakat. Misi otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mengemban misi tersebut, berbagai masalah dalam daerah harus diatasi dan berbagai potensi harus dikembangkan atau dimanfaatkan. Kenyataan banyak masalah bersumber tidak hanya dari dalam daerah tetapi di luar daerah lain, dan banyak potensi lebih dapat dimanfaatkan bila melibatkan beberapa atau daerah secara bersama-sama. Karenanya, untuk peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan dibutuhkan kerjasama tidak hanya antar bidang atau sektor tetapi juga antar daerah. Yang dalam berbagai literatur telah dikenal policy network dan intergovermental management (Keban, 2008: 101). Saat ini, konsep kolaborasi horizontal yang menggambarkan kerjasama antar pemerintah daerah (intergovernmental alliances) telah dipraktekkan di negara-negara maju. Konsep ini digunakan untuk mengartikulasikan betapa jaringan kebijakan publik dan manajemen publik sangat dibutuhkan pada tingkat pemerintah daerah untuk menangani berbagai masalah yang tidak dapat ditangani sendiri. Kerjasama antar bidang dan antar daerah harus dipraktekkan dalam kehidupan bernegara sehingga koordinasi dilakukan tidak hanya antar
8
bidang atau sektor dalam suatu pemerintahan, tetapi juga antar pemerintah daerah. Di Indonesia, mandat untuk membina hubungan ini tersirat dalam Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi melalui Undan-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 (khususnya dalam butir b dari konsiderans, pasal 195 sampai 198). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Republik Indonesia telah menyadari arti pentingnya kerjasama ini. Namun sangat disayangkan bahwa saat ini kebijakan tersebut belum ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang lebih nyata. Akibatnya berbagai kebijakan lama di Departemen Dalam Negeri yang mengatur tentang kerjasama antar daerah masih digunakan. Beberapa contoh peraturan lama yang masih digunakan antara lain: (a) Permendagri Nomor: 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama antar Daerah; (b) Kepmendagri Nomor: 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan
antar
Daerah;
(c)
SE-MENDAGRI,
Nomor:
114/4538/PUOD, tanggal 4 Desember 1993 tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama antar Daerah;(d) SE-MENDAGRI Nomor: 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 tentang Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama antar Provinsi (Sister Province) dan antar Kota (Sister City) dalam dan Luar Negeri. Memang diakui bahwa kebijakankebijakan yang telah berumur lebih dari satu dekade ini kurang mengakomodasikan situasi dan kondisi saat ini, sehingga di masa mendatang harus segera diformulasikan kebijakan-kebijakan baru yang
9
lebih sesuai. Karena begitu pentingnya kerjasama tersebut, maka diberlakukan Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 ini, berbagai peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya yang berkenaan dengan kerjasama antar daerah harus segera dibuat dan diberlakukan (Keban, 2008:105). Menurut Dwiyanto (2010:54), kerjasama antar daerah menjadi pilihan penting untuk dipertimbangkan dalam mengelola layanan publik yang memiliki eksternalitas melewati batas-batas administratif suatu daerah.
Bidang-bidang seperti pengelolaan
sampah, transportasi,
pengelolaan daerah aliran sungai, dan penanggulangan bencana akan jauh lebih efisien dan efektif jika dikelola secara kolaboratif oleh daerahdaerah yang terkait. Melalui kerjasama antar daerah maka pengelolaan pelayanan berbagai bidang tersebut diatas tidak hanya akan lebih efisien, efektif, dan adil, tetapi juga dapat mencegah sumber konflik antar daerah dan antar penduduk dari daerah yang berbeda. Dari realita kerjasama antar daerah belum menjadi pilihan yang menarik bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Daerah cenderung berusaha memenuhi kebutuhan pelayanan secara sendirian. Akibatnya pengelolaan layanan publik cenderung kurang optimal dan mengalami berbagai distorsi yang jika tidak diselesaikan dengan baik dapat merugikan warga dan menimbulkan berbagai masalah baru yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Kondisi ini sangat mungkin terjadi dan menjadi kendala dalam
10
pelaksanaan pembangunan layanan publik di daerah, misalnya
di
kabupaten Manokwari, sebagai daerah dengan topografi alamnya yang sulit dijangkau. Bahkan untuk melakukan kerjasama kemitraan sangat sulit. Namun optimisme jauh kedepan masih terbuka, pemerintah daerah harus belajar dari pengalaman-pengalaman melalui berbagai keberhasilan dan kemajuan dalam kerjasama kemitraan yang telah terintegrasikan di beberapa daerah di Indonesia, maka hal itu menjadi mungkin dapat diwujudkan di kabupaten/kota di provinsi Papua Barat. Kerjasama
tersebut
diantaranya
membangun
infrastruktur,
mendorong regulasi yang efektif dan memberikan berbagai kemudahan bagi investor agar dapat menanamkan modalnya di daerah ini. Dan menciptakan sistem pusat data dan informasi serta melakukan pemetaan potensi wisata daerah. Pemerintah perlu melakukan review sistem regulasi dan mampu menggerakkan orang bepergian. Dalam konteks kerjasama, pemerintah daerah selama ini belum menunjukkan sinergisitas yang kapabel. Pemerintah daerah belum melibatkan pihak swasta dalam kerjasama untuk mengembangkan sektor pariwisata daerah. Dalam hubungannya dengan kerjasama antara pemerintah daerah dan swasta, pemerintah menetapkan kebijakan melalui regulasi yang mengatur tentang pola kemitraan usaha antara pemerintah dan swasta, melalui Peraturan Pemerintah
Nomor
44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan. Penetapan kebijakan Peraturan Pemerintah tersebut bertujuan mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan
11
andal sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, diperlukan upayaupaya lebih nyata untuk mempercepat iklim yang mampu merangsang terselenggaranya kemitraan usaha yang kokoh diantara semua pelaku ekonomi berdasarkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997, pasal 1 dan pasal 2, menyebutkan sebagai berikut: pasal 1: kemitraan adalah kerjasama antara usaha usaha kecil dengan usaha menengah dan atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemudian pasal 2, lebih khusus diatur tentang pola
kemitraan, sebagai berikut: bahwa kemitraan dalam rangka keterkaitan usaha diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan diberikan peluang kemitraan seluas-luasnya kepada usaha kecil, oleh pemerintah dan dunia usaha. Dari ketentuan tersebut,
pemerintah memberi ruang terbentuknya kerjasama antara badan usaha berdasar pada prinsip kemitraan yaitu saling membutuhkan, saling menguatkan dan saling memberikan manfaat. Dengan menerapkan polapola yang sesuai dengaan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dan memberi peluang kemitraan seluas-luasnya kepada usaha kecil, oleh pemerintah dan dunia usaha. Dalam hubungannya dengan topik kajian ini, maka pendekatan pola kemitraan merupakan bentuk usaha kerjasama, atau kolaborasi yang saling menguntungkan (Semangun, dkk.(1999). Strategi kemitraan 12
memungkinkan pihak-pihak yang bermitra memiliki tiap-tiap kekuatan, dan meminimalkan setiap kelemahan, terutama untuk tujuan bisnis jangka panjang. Strategi kemitraan dilakukan bertujuan memperoleh akses pasar dan akses terhadap tingkatan teknologi serta pengetahuan yang lebih tinggi. Dalam kerjasama, para pihak yang bermitra memiliki harapan mendapatkan hasil-hasil yang inovatif, terobosan, dan prestasi kolektif yang memuaskan. Kemitraan dilakukan agar memungkinkan munculnya saling pengertian, realisasi visi bersama dalam lingkungan dan sistem yang kompleks. Dengan demikian, pemerintah daerah perlu memberikan ruang yang lebih besar dan kebijakan-kebijakan konkrit yang mampu mendorong instansi pengelola dapat merencanakan pengembangan pariwisata lebih terarah. Dalam pengembangan pariwisata di daerah tentu dibutuhkan perencanaan, strategi, dan inovasi yang tinggi dalam pengembangannya ke depan. Kondisi tersebut, menunjukkan bahwa instansi pengelola dan pemerintah belum serius mengembangkan sektor pariwisata daerahnya secara nyata dalam rangka
peningkatan
perekonomian daerah dan ekonomi masyarakat. Menyikapi
adanya
kompleksitas keterbatasan yang dihadapi pemerintah daerah, maka langkah strategis yang dilakukan pemerintah daerah adalah melakukan kerjasama kemitraan. Menurut Nurhadi (1999), pemerintah tidak mungkin membiayai semua
pembangunan
dan
kebutuhan
masyarakat.
Dengan
13
ketidakmampuan ini, maka pemerintah daerah harus berperan sebagai aktor ekonomi, baik sebagai produsen barang maupun jasa dan bekerja sama dengan pihak swasta. Peran pemerintah tersebut dikenal sebagai public enterpreneurship. Pemikiran ini sejalan dengan yang dikatakan Kartasasmita (1996), bahwa usaha memecahkan masalah keterbatasan dana dan ketatnya persaingan dalam era globalisasi ekonomi menuntut perhatian dan konsentrasi yang besar dari pemerintah. Salah satu diantaranya
adalah
dengan
melaksanakan
kerjasama
kemitraan,
pemerintah daerah dalam hal ini adalah sebagai wirausaha, yang di tuntut untuk peka dan proaktif dalam mengembangkan kerjasama kemitraan dalam berbagai aspek pembangunan di daerah. Dalam pembangunan ekonomi daerah peran pemerintah dapat mencakup peran-peran wirausaha (entrepreneur), koordinator, fasilitator, dan stimulator (Blakely, 1989). Selanjutnya Savas (1982) mengemukakan bahwa manajemen kontrak kerjasama seringkali membatasi fleksibilitas pemerintah dalam merespon keadaan darurat, menambah ketergantungan pemerintah yang tidak diharapkan terhadap kontraktor swasta dan menyebabkan hilangnya kontrol dan akuntabilitas pemerintah. Pandangan yang berbeda, oleh Stoker (1997) mengatakan bahwa dengan kerjasama kemitraan, penyediaan pelayanan publik bisa dilakukan secara lebih efektif. Hal ini bisa jadi, jika didukung oleh ketiga pihak yang responsible terhadap tugas masing-masing. Pada satu pihak, swasta harus bertanggung jawab
14
terhadap
kualitas
produk
layanan.
Di
pihak
lain,
pemerintah
memfokuskan pada tugas-tugas pokok, dan aktor politik yang duduk di legislatif berkonsentrasi pada pembuatan keputusan
strategis dan
pemantauan provisi layanan. Menurut Supraktikno (2001) kerjasama kemitraan pemerintah daerah dan swasta sangat berpotensi mendatangkan keuntungan, meliputi: skala ekonomi, berbagi resiko bersama, pemasukan modal dari luar, serta meringankan beban anggaran yang dipikul oleh pemerintah daerah.
Untuk
mewujudkan
kemitraan
dalam
pariwisata,
perlu
kesepakatan dalam persepsi kemitraan antara swasta maupun pemerintah. Pemerintah dengan kewenangannya dapat memfasilitasi pihak swasta dengan memberikan kemudahan dalam perijinan. Sedangkan pihak swasta tidak hanya mempertimbangkan aspek keuntungan ekonomi jangka pendek saja, apalagi yang bersikap spekulatif, tetapi sudah harus memperhatikan
kesinambungan
pembangunan,
atau
lebih
mengkonseptualisasikan pemikiran investasi yang berwawasan jangka panjang dalam melaksanakan kerjasama kemitraan. Kemajuan perekonomian bangsa Indonesia saat ini masih didominasi oleh ketergantungan terhadap kontribusi sektor migas untuk devisa negara. Sebagai sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resouces), dieksploitasi tanpa batas terhadap sektor tersebut akan mengancam keberlanjutan daya dukung lingkungan untuk pembangunan. Ketika sektor ini mengalami keterpurukan maka perlu
15
adanya
alternatif
sektor
lain
menjadi
pendukung
pertumbuhan
perekonomian negara.Untuk itu perlu dipikirkan optimalisasi usaha untuk mengembangkan sektor-sektor lain yang berpotensi sebagai sektor unggulan (leading sector). Dalam Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 1999 mengisyaratkan adanya kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula didalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan sektor pariwisata. Pariwisata merupakan salah satu produk
unggulan
yang
diharapkan
mampu
mengembangkan
perekonomian negara yang berorientasi global, nasional dan lokal. Mardi (2001) mengemukakan, industri pariwisata dianggap paling tinggi pertumbuhannya dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dan bahwa industri pariwisata sangat erat kaitannya dengan tumbuhnya sektor ekonomi lainnya. Hal ini terbukti dengan apa yang terjadi pada masa orde baru dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 7%-8%, sedangkan sektor pariwisata mencapai pertumbuhan 13%15%. Ini suatu bukti bahwa sektor pariwisata di Indonesia merupakan suatu sektor yang cukup menjanjikan bagi pertumbuhan perekonomian dan pertumbuhan daerah. Pandangan yang sama oleh Sardjoko (2006) pariwisata merupakan salah satu bidang pembangunan yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional dimana memberikan kontribusi yang signifikan
16
terhadap devisa negara, pada tahun 2005 sebagai penyumbang keempat terbesar; devisa dari wisatawan mancanegara melampaui aliran devisa masuk dari utang luar negeri pemerintah dan PMA(2000-2004); merupakan industri yang mengalami pertumbuhan paling pesat diantara industri-industri jasa (World Tourism Organization); diprediksi sebagai salah satu penggerak utama perekonomian abad 21 (WTO); mampu menyerap tenaga kerja sekitar 7,4% dari total tenaga kerja (data 2005WTC); dalam pembangunan SDM, pariwisata berpotensi dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat(materil,spiritual, kultural dan intelektual); potensi pariwisata yaitu untuk meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia dan intstrumen dalam memupuk rasa cinta Tanah Air dan untuk mengembangkan jati diri bangsa. Dalam
pernyataan International Union of Official Travel
Organization (IUOTO) dalam konferensi di Roma, the United Nations Conference On International Travel and Tourism tahun 1963 (yang juga di hadiri pula oleh delegasi Indonesia) mengenai pentingnya pariwisata dalam perkembangan ekonomi (Yoety,1997) dalam Bhaskoro(2003: 2), sebagai berikut: “Tourism as a factor economic development, role and importance of international tourism, because tourism was not as a source of foreign exchange, but also as a factor in the location of industry and the development of areas in the natural resources.”
Definisi ini dipahami bahwa, pariwisata merupakan faktor penting dalam perkembangan ekonomi, karena pariwisata tidak hanya sebagai sumber
17
pendapatan devisa tetapi juga mempunyai peran dalam perkembangan suatu kawasan alami yang potensial. Perkembangan pariwisata menjadi sebuah komoditi yang menguntungkan semakin didukung dengan adanya era globalisasi dimana suatu perjalanan wisata menjadi mungkin dilakukan karena arus era globalisasi menyebabkan intensitas mobilitas manusia menjadi bertambah karena adanya kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Dengan perspektif ke depan Levitt (1987) dalam Bhaskoro(2003: 3) mengatakan: “Suatu kekuatan yang hebat saat ini sedang mengarahkan dunia menuju ke suatu masyarakat yang tunggal, dan kekuatan ini adalah teknologi.
Teknologi
telah
memasyarakatkan
komunikasi,
pengangkutan dan wisata, membuat orang secara mudah dan murah dapat menjangkau tempat-tempat yang paling terasing dan mendatangi masyarakat yang miskin.” Kemajuan teknologi memberi tekanan sekaligus peluang untuk mengadakan perjalanan wisata. Di angkat dari teori migrasi, kegiatan wisata tidak keluar dari asasnya. Dengan begitu, kegiatan wisata secara natural terjadi karena adanya faktor penarik dan pendorong. Orang melakukan perpindahan diakibatkan oleh tekanan yang berada di daerah asalnya dan daya tarik dari daerah yang akan dikunjungi. Bedanya dengan migrasi, berwisata sifatnya adalah temporer. Tekanan untuk bergerak dari daerah asal juga semakin tinggi pada saat teknologi mengantar orang memiliki kenaikan pendapatan sebagai hasil dari
18
produktivitasnya yang meningkat oleh adanya perubahan teknologi yang semakin berkembang. Perkembangan teknologi bukan saja mampu mengangkat pendapatan tetapi juga mengangkat daya beli dan menggeser pola konsumsi. Kondisi ini dapat terjadi, ketika saat pendapatan meningkat akibat adanya kenaikan produktivitas, berwisata menjadi kebutuhan primer. Pada saat produktivitas meningkat didera oleh perubahan teknologi mendorong orang untuk mengurangi tekanan tersebut dengan mencari penyegaran. Sehingga peningkatan intensitas mobilitas manusia baik secara
langsung
maupun
tidak
langsung
akan
menstimulasi
perkembangan pariwisata. Ketika negara dilanda krisis multidimensi, tekanan masyarakat menjadi semakin berat. Oleh kerena itu, masyarakat harus dirangsang untuk mandiri dan berkreasi melalui desentralisasi yang dengannya heterogenitas kondisi dan potensi daerah dapat diadopsi. Pada saat ini, pariwisata sangat potensial untuk berkembang. Ditunjang oleh kemampuannya sebagai penyumbang devisa dan pencipta kesempatan kerja, menempatkan sektor pariwisata sebagai andalan memang sangat beralasan. Sektor pariwisata diakui sebagai sektor yang menjanjikan termasuk oleh WTO (The World Tourism Organization), pada tahun 1990 organisasi ini menyatakan bahwa kepariwisataan adalah industri terbesar di dunia. Perkembangan pariwisata dipandang memiliki prospek yang cerah maka sektor pariwisata dicanangkan sebagai sektor
19
andalan yang diharapkan dapat menyumbang devisa besar bagi negara di samping ekspor nonmigas. Potensi pariwisata Indonesia dalam menarik wisatawan didukung oleh kekayaan alam dan ragam budaya masyarakatnya. Sejak dahulu berbagai daerah di Indonesia telah dikenal sebagai destinasi Tourism yang menawarkan berbagai jenis atraksi-atraksi wisata, baik alam, budaya maupun buatan. Keanekaragaman obyek wisata alam, flora, fauna, seni budaya maupun buatan yang besar di seluruh nusantara merupakan potensi bagi pariwisata Indonesia yang bisa dikembangkan untuk menarik wisatawan agar datang ke Indonesia. Tentunya harus didukung oleh berbagai pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Provinsi Papua Barat merupakan provinsi terletak di bagian Barat pulau Papua, ber-ibukota Manokwari. Provinsi ini sebelumnya bernama Irian Jaya Barat, yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007, nama provinsi ini diubah menjadi Papua Barat. Papua Barat merupakan salah satu daerah tujuan wisata potensial di Indonesia, yang selama ini masih menggantungkan perekonomian daerahnya pada sektor migas yang dilihat dari besarnya peranan sektor-sektor ekonominya terhadap pembentukan PDRB-nya. Struktur perekonomian Propinsi Papua Barat didukung oleh sektor pertanian, sektor migas, dan konstruksi.
Papua
Barat
memiliki
potensi
sumberdaya
alam
20
beranekaragam,
baik
sektor
pertanian,
pertambangan,
subsektor
kehutanan dan pariwisata. Berdasarkan struktur PDRB provinsi Papua Barat atas harga konstan 2000, pertanian merupakan sektor penyumbang terbesar 31,1 persen atau senilai Rp 1,54 trilyun. Kontribusi kegiatan ekonomi kedua adalah pertambangan migas, sektor ini mencapai 21,04 persen atau sama dengan 1 trilyun rupiah lebih. Sedangkan kontribusi ekonomi lainnya adalah indutri pengolahan dengan nilai Rp 690 milyar atau 13,89 persen. Disamping, sub sektor transportasi dan komunikasi juga sub sektor jasajasa. Sedangkan sub sektor pariwisata belum memberikan kontribusi yang
signifikan
dari
masing-masing
kabupaten/kota
terhadap
pertumbuhan perekonomian daerah. Kabupaten Manokwari adalah ibukota provinsi Papua Barat punya keunggulan dan keunikan dari objek dan daya tarik wisata memiliki daya saing tinggi baik pada tataran lokal, nasional maupun internasional sebagai daerah tujuan wisata. Salah satu daerah tujuan wisata di provinsi Papua Barat yang terkenal didunia saat ini adalah kepulauan Raja Ampat dengan panorama wisata alam, dan wisata bahari yang sangat eksotis dan fantastis. Tiap-tiap daerah di provinsi Papua Barat memiliki karakteritik obyek dan daya tarik yang sangat kompetitif sebagai produk wisata yang harus digarap dan dikelola secara optimal. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus adalah Kabupaten Manokwari, dengan sejumlah obyek
21
dan daya tarik wisata yang dapat dinikmati seperti wisata alam,wisata budaya, dan wisata sejarah. Sejak tahun 1999 kota Manokwari ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Irian Jaya Barat(sekarang Papua Barat), masyarakat yang berdiam didalamnya memiliki karateristik keragaman budaya yang berbeda-beda.
Walaupun begitu, kebudayaan masyarakat adat masih
tetap dijaga, dipelihara, dikelola serta dinikmati sebagai produk wisata. Secara historis, keberadaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manokwari tidak lepas dari keberadaan kota Manokwari sebagai kota bersejarah, baik dilihat dari segi pemerintahan maupun segi keagamaan. Fakta sejarah pemerintahan di Tanah Papua mencatat, bahwa kota Manokwari merupakan kota pemerintahan pertama di Tanah Papua. Pada tanggal 8 Nopember 1898, awal pemerintahan yang ditandai dengan dilantiknya J.J. Van Oosterzee sebagai Controleer Afdeling Noord Nieuw Guinea oleh Residen Ternate, Van Horst, atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sejak saat itulah, aktivitas pemerintahan dan kemasyarakatan di kota Manokwari mulai berjalan. Kemudian makna Manokwari kota bersejarah dilihat dari sisi keagamaan, karena dari kota Manokwari-lah (tepatnya di Pulau Mansinam Teluk Doreri), dimulai pusat peradaban baru di Tanah Papua. Tanggal 5 Februari 1855, Injil diberitakan pertama kali di tanah Papua oleh dua misionaris yaitu Carel Willem Ottow (berkebangsaan Belanda) dan Johann Gottlob Geisler (Kebangsaan Jerman).
22
Makna bersejarah kota Manokwari inilah yang kemudian dipadukan dengan karakteristik alam, budaya serta kemajemukan masyarakat merupakan dinamika keberagaman dan kekayaan budaya yang harus dikelola dan dikembangkan menjadi daya tarik wisata yang unik dan lokalis. Dinamika inilah yang mendorong segenap aparatur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manokwari membangun dirinya sebagai destinasi pariwisata dengan daya tarik, fasilitas, aksesibilitas dan masyarakat menjadi potensi kepariwisataan yang menarik bagi wisatawan dan pula sebagai daerah tujuan wisata yang berbeda dari daerah lainnya di provinsi Papua Barat. Dari sisi kelembagaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manokwari merupakan satuan kerja perangkat daerah yang baru telah berjalan selama kurang lebih 6 (enam) tahun. Sebagai langkah penguatan kelembagaan organisasi, instansi ini melakukan konsolidasi dan penetapan berbagai kebijakan, strategi, dan program bertujuan untuk pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Manokwari. Di bagian lain dari penataan kelembagaan organisasi dengan melakukan restrukturisasibirokrasi, dimaksudkan agar penyusunan program, pelaksanaan tugas dan fasilitasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat bidang kebudayaan dan kepariwisataan dapat berjalan efektif dan efisien. Hal ini dilakukan untuk merespon tuntutan desentralisasi dalam pembangunan kepariwisataan yang semakin kompetitif dan mengglobal. Pemberian wewenang yang luas oleh
23
pemerintah pusat kepada daerah diharapkan pengembangan pariwisata di daerah dapat dibina dan dikelola secara lebih terarah dan berkelanjutan. Dari realita yang ditemui dilapangan bahwa pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata kota Manokwari belum optimal. Hal tersebut dilihat dari sarana dan prasarana pendukung di obyek wisata masih sangat terbatas dan kurang memadai. Berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam pengembangan kepariwisataan adalah sumber daya manusia pengelola kepariwisataan masih lemah dan kurang profesional, sarana dan prasarana pendukung di ODTW masih sangat minim,
penanganan
kebersihan (masalah sampah) belum optimal, lemahnya kerjasama dan koordinasi lintas sektor antar instansi-instansi terkait Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam tanggungjawab bersama mengelola potensi dan aset-aset strategis daerah, lemahnya kerjasama dan koordinasi antara pemda Kabupaten Manokwari dan pemda provinsi Papua Barat dan ego sektoral masing-masing pihak. Hal lain yang menjadi kendala adalah kurang optimalnya pelaksanaan promosi dan pemasaran potensi produk kepariwisataan daerah, sehingga dapat dikenal dunia luar, baik regional, nasional dan internasional melalui berbagai ivent-ivent penting dan promosi daerah. Menurut Myra P. Gunawan (1995:129):....“kesiapan daerah merupakan salah satu bagian penting melaksanakan pengembangan pariwisata daerah saat ini dan masa akan datang, ada 2 (dua) faktor yang ikut menentukan yaitu faktor peluang pasar dan kesiapan produk.”
24
Faktor pertama ; Peluang pasar yaitu pasar internasional adalah akses ke pintu gerbang internasional dan tingkat pengenalan di luar negeri. Kemudian pasar domestik yaitu akses ke sumber pasar domestik dan tingkat pengenalan di dalam negeri. Faktor kedua; Kesiapan produk wisata diantaranya a).dukungan dan daya tarik fisik alamiah dan binaan, dukungan dan daya tarik ekonomi(yaitu struktur ekonomi, tingkat kemampuan masyarakat), b) dukungan dan daya tarik budaya yaitu (sikap dan persepsi masyarakat, daya tarik budaya), c) dukungan informasi yaitu kualitas dan ketersediaan informasi.” Dari uraian diatas menunjukkan bahwa pariwisata tidak otomatis akan berkembang dengan adanya kemampuan politis pemerintah daerah dan program-program rintisan, bila faktor-faktor lainnya tidak dipersiapkan secara terpadu dan konsisten. Salah satu faktor yang dibutuhkan yaitu political will birokrat
pemerintah daerah untuk pariwisata (tourism)
terutama ditataran kebijakan dan implementasi dari pihak eksekutif dan legislatif. Kondisi dihadapi saat ini adalah semua kebijakan, program dan perencanaan daerah tereduksi masuk ke ranah politik sehingga tidak efektif dan efisien. Pada hal pariwisata butuh budaya, akal-budi, ketenangan, kenyamanan, dan program keberlanjutan. Akibatnya potret pariwisata di daerah menjadi pasif dan kurang
berkembang, kurang
kreatif dan kurang inovatif, aspek ekologi dan budaya daerah terbengkalai. Disamping itu, belum adanya kesatuan persepsi antar stakeholders, baik pemerintah daerah maupun pelaku bisnis masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk mengembangkan pariwisata di daerah, diperlukan kerjasama, koordinasi dan sinergi yang kuat antara
25
pemerintah daerah dan pihak swasta, terutama dalam pembuatan kebijakan regulasi, program, dan implementasi. Sejumlah obyek wisata yang dikelola dan dikembangkan pemerintah daerah adalah obyek wisata pantai pasir putih, obyek Ekowisata Telaga Wasti, obyek wisata Pantai Bakaro, obyek wisata Hutan alam gunung meja, dan lain-lain. Obyek dan daya tarik wisata tersebut tersebar di beberapa wilayah berjumlah 14 obyek wisata. Obyek wisata tersebut menjadikan kabupaten Manokwari sangat diminati wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara yang berkunjung ke daerah ini. Namun, sejauh ini dari perkembangannya kondisi obyek wisata tersebut belum dikelola secara profesional, padahal obyek wisata tersebut memiliki keunikan dan daya tarik yang sangat ekotis baik wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah dan wisata religi. Akses utama dari dan masuk ke kota Manokwari didukung oleh transportasi udara dan laut yang semakin mudah dan cepat. Untuk transportasi lokal menuju obyek wisata cukup tersedia. Kemudian, komponen pendukung pengembangan pariwisata, seperti sarana Perbankan cukup
tersedia sehingga
memudahkan para wisatawan dalam melakukan transaksi dengan mudah dan cepat. Komitmen pemerintah menggagas Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, bertujuan mengejar ketertinggalan pembangunan di Papua agar tidak kalah bersaing dengan daerah lainnya di Nusantara. Harapan pemerintah memberikan Otonomi
26
Khusus bagi Papua dan Papua Barat ternyata dalam implementasinya belum mampu mengubah kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat papua secara nyata. Dari realita yang terjadi sekarang pemerintah daerah lebih konsen terhadap pemekaran daerah baru dan politik lokal, ketimbang lebih mendorong sektor-sektor potensial yang mampu menopang tumbuhnya perekonomian daerah, penyediaan lapangan kerja baru, dan kesejahteraan masyarakat. Di era globalisasi dan daya saing daerah yang kompetitif sebagai pemicu bagi pemerintah daerah untuk sesegera mungkin membenahi segala potensi
daerahnya menghadapi
tantangan
kedepan
yang
multikompleks. Kendala-kendala tersebut berdampak pada lambannya pertumbuhan sektor pariwisata di daerah. Keberlangsungan kegiatan pariwisata itu sebenarnya sangat bergantung pada jumlah wisatawan yang berkunjung. Salah satu faktor yang sangat penting untuk menarik wisatawan adalah daya tarik daerah tujuan wisata/obyek wisata. Besar kecilnya daya tarik kawasan wisata dicerminkan oleh seberapa kuat identitas yang dimiliki kawasan wisatanya. Makin kuat identitasnya, makin berkarakter kawasan wisata itu, yang pada gilirannya akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Meskipun demikian, identitas kawasan wisata dapat mengalami penurunan nilai akibat terjadinya penurunan kualitas obyek wisata berupa kerusakan lingkungan alam, kerusakan lingkungan binaan/buatan, maupun budaya yang menjadi ciri khas kawasan wisata tersebut. Jika daya tarik obyek
27
wisatanya berkuarang, wisatawan pun tentu akan berkurang. Akibatnya, pendapatan daerah (PAD) juga akan mengalami penurunan. Oleh karena itu, citra pariwisata harus dipertahankan dan dikembangkan agar pembangunan pariwisata dapat terus berkelanjutan. 1.2. Perumusan Masalah Industri pariwisata mempunyai peranan penting dalam upaya pembangunan dan pengembangan suatu daerah. Bahkan pada beberapa daerah menunjukkan bahwa industri pariwisata mampu mendongkrak daerah tersebut dari keterbelakangan menjadi sumber pendapatan utama. Perkembangan pariwisata mampu memberikan peluang terhadap pertumbuhan
ekonomi
regional
maupun
nasional.
Untuk
itu
pembangunan pariwisata terus dipacu dan didorong oleh pemerintah dengan konsisten bahwa pariwisata dapat menjadi sektor unggulan menggantikan sektor migas yang selama ini menjadi tumpuan pemerintah dalam menunjang penerimaan negara. Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan merupakan bagian penting
dari
indikator
Perkembangan terakhir
keberhasilan
pembangunan
pariwisata.
jumlah kunjungan wisatawan mancanegara
maupun wisatawan nusantara yang datang di Kabupaten Manokwari tahun 2008 sampai 2012 terus mengalami pasang surut. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum memiliki komitmen yang kuat dalam mengembangkan kepariwisataan di daerah ini. Di lain hal belum terjalinnya kerjasama yang konsisten antara pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat. Fenomena belum optimalnya kerjasama 28
dan koordinasi lintas sektor di antara unit-unit kerja (SKPD) di lingkungan pemerintah Kabupaten Manokwari, terutama mencakup tanggung jawab bersama merencanakan dan mengelola potensi beserta aset-aset strategis daerah, dan juga belum optimalnya kerjasama dan koordinasi yang kuat antara
Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah
Provinsi yang disebabkan oleh ambiguitas politik elitis lokal dan ego sektoral masing-masing pihak. Lambannya pengembangan sektor pariwisata karena pejabat daerah kurang merespon pentingnya jaringan kerjasama pola kemitraan dalam perencanaan pembangunan daerah. Berikut adalah jumlah kunjungan wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara 2008 sampai 2012 seperti pada tabel 1 berikut: Tabel 1 Jumlah Kunjungan Arus wisatawan Mancanegara dan Nusantara No
Jenis Wisatawan
2008
2009
2010
2011
2012
1
WisMan
514
418
69
921
660
2
WisNus
16.389
24.560
2.746
48.419
18.850
16,903
24,972
2,815
49,340
19,510
Jumlah
Sumber : Dikebpar Kab. Manokwari, 2013. Dari tabel diatas, merupakan gambaran jumlah kunjungan wisatawan
menunjukkan kecenderungan yang meningkat, namun
pertumbuhan kunjungan wisatawan tiap tahunnya mengalami fluktuatif. Tetapi pada umumnya, jumlah wisatawan yang datang ke Kabupaten Manokwari meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2010 dan 2012, jumlah kunjungan wisatawan mengalami penurunan yang lumayan drastis, hal ini disebabkan adanya gempa bumi dan banjir bandan wasior sehingga
29
semua kekuatan pemerintah daerah, TNI, POLRI dan masyarakat dikerahkan sepenuhnya untuk penanganan bencana. Meskipun
pengembangan
pariwisata
diperhadapkan
dengan
berbagai kendala dan permasalahan, namun potensi obyek dan daya tarik wisata tersebut menjadikan kota Manokwari sebagai destinasi wisata alternatif atau pendukung yang mampu menarik wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara berkunjung ke daerah ini. Permasalahanpermasalahan dibidang pariwisata ini tentunya menjadi pemicu bagi pemerintah daerah khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kedepan dalam upaya pengembangan pariwisata yang mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke kota Manokwari. Dari
fenomena-fenomena
tersebut,
maka
perlu
dilakukan
pengkajian lebih dalam apakah sinergi antar stakeholders (peran pemda, swasta dan masyarakat), penerapan pola kemitraan serta peran sektor pendukung pariwisata lainnya telah berkontribusi nyata terhadap pengembangan pariwisata kota Manokwari. Berdasarkan latar belakang masalah dimuka, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Membangun Pola Kemitraan Yang Kuat Antar Pemerintah Daerah, Swasta dan Masyarakat dalam Pengembangan sektor Pariwisata di Kabupaten Manokwari agar berhasil?’’
30
1.2.1.Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pola kemitraan antara pemerintah daerah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan sektor pariwista. 2. Untuk mengetahui peran masing-masing aktor dalam pola kemitraan. 3. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pola kemitraan. 1.2.2. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bergunan untuk: 1. Untuk
memberikan
masukan
kepada
pemerintah
Kabupaten
Manokwari tentang pentingnya penerapan kerjasama pola kemitraan dalam pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmiah sehingga bermanfaat bagi pengembangan ilmu kebijakan publik, dan bagi kalangan akademisi maupun masyarakat luas. 3. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pijakan bagi penelitian yang lebih mendalam berkenaan dengan penerapan kerjasama pola kemitraan dalam pengembangan sektor pariwisata di Manokwari.
31