PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RATUN PADI SAWAH ( Oryza sativa L.) YANG DITANAM DENGAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KELURAHAN SINDANGBARANG, KECAMATAN BOGOR BARAT, BOGOR, JAWA BARAT
NINDYA AYU UTARI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Nindya Ayu Utari NIM A14090046
ABSTRAK NINDYA AYU UTARI. Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh ISWANDI ANAS dan RAHAYU WIDYASTUTI. Sistem ratoon (ratun) untuk tebu sudah diterapkan sejak lama karena produksi ratun tebu tidak jauh berbeda dengan tanaman induknya. Ratun merupakan tunas yang muncul dari tanaman induknya bila tanaman induk sudah dipanen. Sisa tanaman yang telah dipanen akan menghasilkan bibit baru yang kemudian dipelihara menjadi tanaman baru dengan demikian pada sistem ratun tidak diperlukan bibit baru, pengolahan tanah, sehingga biaya produksi berkurang dari tanaman musim pertama, dan keuntungan petani bisa meningkat. Selama ini ratun padi tidak menjadi perhatian petani karena produksi ratun sangat rendah dibandingkan dengan produksi tanaman utamanya. Beberapa tahun terakhir di Sumatera Barat telah diterapkan sistem ratun untuk padi dengan produksi yang menyamai produksi tanaman pertamanya, yang dikenal dengan Salibu. Penelitian secara ilmiah mengenai padi salibu ini masih sangat terbatas. Tinggi pemotongan dan waktu pemotongan dilaporkan merupakan faktor yang paling menentukan keberhasilan ratun untuk tanaman padi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh budidaya dan tinggi pemotongan terhadap pertumbuhan dan produksi ratun. Rancangan penelitian yang dicobakan adalah rancangan acak kelompok dengan dua faktor dan lima ulangan. Faktor pertama adalah sistem budidaya padi yaitu; (1) sistem budidaya padi secara Konvensional dan (2) sistem budidaya padi SRI (System of Rice Intensification). Faktor kedua adalah tinggi pemotongan jerami padi yaitu; (1) 3 cm dan (2) 15 cm dari permukaan tanah. Hasil penelitian menunjukkan pada musim tanam pertama, budidaya padi SRI menghasilkan jumlah anakan produktif lebih banyak (29.6 anakan rumpun-1) dibanding dengan budidaya konvensional (17.4 anakan rumpun-1). Hasil produksi gabah kering panen (7.78 ton ha-1) dan hasil gabah kering giling (6.69 ton ha-1) pada budidaya SRI lebih tinggi dibandingkan budidaya konvensional yaitu sebesar 6.08 ton ha-1 pada gabah kering panen dan 5.23 ton ha-1 pada gabah kering giling. Pada musim tanam kedua (ratun), variabel pertumbuhan dan hasil produksi perlakuan pemotongan 3cm lebih tinggi dibanding dengan pemotongan 15 cm baik pada sistem budidaya SRI maupun konvensional. Hasil produksi gabah kering panen sebesar 3.86 ton ha-1 dan gabah kering giling sebesar 3.32 ton ha-1 pada pemotongan 3 cm pada sistem budidaya konvensional sedangkan pada budidaya SRI menghasilkan gabah kering panen sebesar 5.34 ton ha-1 dan gabah kering giling sebesar 4.59 ton ha-1. Kata kunci: ratun, sistem budidaya padi , tinggi pemotongan jerami, hasil produksi
ABSTRACT NINDYA AYU UTARI. The Growth and Yield of Rice Ratoon (Oryza sativa L.) that were planted with System of Rice Intensification (SRI) in Sindangbarang, Bogor, West Java. Supervised by ISWANDI ANAS and RAHAYU WIDYASTUTI.
Ratooning for sugarcane has been applied for a long time because its productions are not much different from the first growth. Ratoon crop is the new cane which grows from the stubble of a previously harvested crop. The stubble will produce new seeds which then maintained into a new plant, thus ratoon didn’t need new seedlings, soil preparation, so less production cost, therefore farmers will get more benefits. Ratooning is not interesting for rice, since yields of conventionally-grown ratooned rice are very low. In the last few years in West Sumatra has been reported that the yield of ratooned crop can be equally from the first growing season , which is known as Salibu. Scientific research regarding Salibu is still very limited. The length of straw cutting and harvesting time are reported as the most important factors determined the success of rice ratooning. The aim of this experiment was to evaluate the effect of rice cultivation methods and length of straw cutting on the growth and yield of ratoon . The experiment was set up according to randomized block design with two factors and five replications. The first factor was rice cultivation system, i.e.; (1) Conventional rice cultivation and (2) System of Rice Intensification (SRI). The second factor was the length of straw cutting i.e.; (1) 3 cm and (2) 15 cm from the soil surface. The results showed in the first growing season, SRI cultivation produces more number of productive tillers (29.6 tillers ) compared to conventional cultivation (17.4 tillers). The yield harvested-dried grain (7.78 tons ha-1) and milled dried grain yield (6.69 ton ha-1) at SRI cultivation was significantly higher than conventional cultivation with harvested-dried frain yield 6.08 tons ha-1 and milled dried grain yield 5.23 tons ha-1. In the second growing season (ratoon crop), the growth and yield of short straw cutting (3cm) appeared to be better for both cultivation than long straw cutting (15 cm). The yield of harvested-dried grain and milled dried grain yield of 3 cm cutting were 3.86 tons ha-1 and 3.32 ton ha-1 for conventional cultivation systems while at SRI cultivation were 5.34 tons ha-1 and 4.59 ton ha-1. Keywords: ratoon, rice cultivation method, length of straw cutting, and yield
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RATUN PADI SAWAH ( Oryza sativa L.) YANG DITANAM DENGAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KELURAHAN SINDANGBARANG, KECAMATAN BOGOR BARAT, BOGOR, JAWA BARAT
NINDYA AYU UTARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat Nama : Nindya Ayu Utari NIM : A14090046
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc Pembimbing I
Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian (Skripsi) yang berjudul “Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Manajemen Sumberdaya Lahan IPB. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir Iswandi Anas, M.Sc selaku dosen pembimbing pertama sekaligus penyandang dana dalam penelitian ini yang telah memberikan arahan, nasehat, dan masukan yang berharga selama berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan, saran, dan kritik yang berharga selama berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen penguji skripsi, Bapak Dr.Arief Hartono, M.Sc yang telah memberikan arahan dan masukan demi perbaikan skripsi ini. Penghargaan penulis berikan kepada kedua orang tua, adik, teman-teman Ilmu Tanah 46 atas doa, motivasi, saran, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dalam perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Sepetember 2015. Nindya Ayu Utari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ......................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x PENDAHULUAN ....................................................................................... 11 Latar Belakang ......................................................................................... 11 Tujuan ........................................................................................................ 2 Hipotesis .................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3 Tanaman Padi ............................................................................................. 3 Tanah Sawah .............................................................................................. 4 System of Rice Intensification (SRI) ......................................................... 5 Ratun .......................................................................................................... 8 Padi Salibu ................................................................................................. 9 METODE PENELITIAN ............................................................................ 11 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................... 11 Bahan dan Alat ......................................................................................... 11 Prosedur Penelitian .................................................................................. 11 Penanaman Padi Pertama ..................................................................... 12 Penanaman Padi Ratun ......................................................................... 13 Penetapan Variabel Pertumbuhan dan Komponen Hasil ......................... 14 Analisis Data ............................................................................................ 15 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 16 Tanaman Pertama ..................................................................................... 16 Tanaman Ratun ........................................................................................ 20 SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 24 Simpulan .................................................................................................. 24 Saran ........................................................................................................ 24 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 25 LAMPIRAN ................................................................................................ 29 RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... 36
DAFTAR TABEL 1 Tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS 2 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase gabah hampa tanaman padi musim pertama 3 Tinggi tanaman ratun umur 56 dan 90 Hari Setelah Panen (HSP) 4 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase gabah hampa tanaman ratun 5 Persentase hasil produksi GKG ratun terhadap tanaman musim pertama
16 17 20 21 21
DAFTAR GAMBAR 1 Profil Tanah Sawah menurut Koenings (1950) serta Moorman dan van Breemen (1978) 2 Tata letak petak penelitian lapang musim tanam pertama 3 Tata letak petak penelitian lapang tanaman ratun
5 13 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 Deskripsi karakteristik padi verietas Ciherang (Suprihatno et al. 2007) 2 Kandungan analisis pupuk 3 Analisis awal sifat kimia tanah yang digunakan dalam penelitian di Kelurahan Sindangbarang 4 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase gabah hampa tanaman ratun 5 Kebutuhan pupuk per perlakuan pada percobaan lapang tanaman ratun (5 ulangan) 6 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman contoh pada musim tanam pertama di Kelurahan Sindangbarang berbasis hari setelah semai (HSS) 7 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap komponen hasil pada musim tanam pertama di Kelurahan Sindangbarang 8 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman contoh pada tanaman ratun di Kelurahan Sindangbarang berbasis hari setelah panen (HSP) 9 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap komponen hasil pada tanaman ratun di Kelurahan Sindangbarang 10 Pertumbuhan tanaman padi musim tanam pertama 11 Pertumbuhan tanaman ratun padi
29 30 30 30 31
31 32
32 33 34 35
PENDAHULUAN Latar Belakang Padi merupakan komponen utama dalam sistem ketahanan pangan nasional. Kebutuhan beras yang semakin meningkat saat ini tidak sebanding dengan produksi padi per hektar dan konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian merupakan penyebab utama rendahnya produksi beras nasional. Rata-rata peningkatan produksi padi nasional beberapa tahun terakhir masih rendah yaitu 2.2-2.3 persen per tahun. Indonesia setidaknya harus menambah ketersediaan beras hingga tujuh juta ton pada 2025-2030 untuk mengantisipasi penambahan jumlah penduduk (Departemen Pertanian 2009). Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) adalah kegiatan peningkatan produksi beras disertai penyediaan input sarana dan prasarana melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian, teknologi, dan kelembagaan. Untuk mengejar kekurangan target produksi tersebut, Kementerian Pertanian melakukan upaya percepatan dengan cara peningkatan produktivitas padi, bantuan benih unggul, bantuan langsung pupuk, irigasi, bantuan alat mesin pertanian serta penyuluh pertanian (Retno 2012). System of Rice Intensification (SRI) merupakan salah satu sistem budidaya yang dapat digunakan untuk intensifikasi pertanian. Sistem budidaya SRI memiliki prinsip yaitu: bibit tanaman dipindahtanamkan ketika masih sangat muda (7-11 hari), satu bibit per lubang tanam, jarak tanam longgar 25 cm x 25 cm, sistem irigasi terputus dan tidak tergenang, dan penggunaan pupuk anorganik sedapat mungkin dikurangi dan digantikan dengan pupuk organik (Dobermann dan Fairhurst 2004). Perbedaan antara metode konvensional dan SRI adalah pendekatan SRI berbentuk paket teknologi yang diyakini dapat diterapkan pada semua kondisi, komponen teknologi SRI mudah diadopsi petani (Balitbang Pertanian 2006). Selain SRI, salah satu upaya peningkatan produktivitas lain adalah dengan memanfaatkan tanaman kedua (ratoon). Sistem ratun untuk tebu sudah biasa diterapkan karena produksi ratun tebu yang tidak jauh berbeda dengan tanaman pertama. Ratun merupakan tunggul-tunggul baru yang muncul dari tanaman yang telah dipanen . Tunggul-tunggul tersebut kemudian dipelihara kembali sampai menghasilkan tunas-tunas baru yang kemudian menjadi tanaman baru (Chauhan et al. 1985). Tanaman ratun untuk padi selama ini tidak menarik perhatian petani karena produksinya yang rendah. Di Sumatera Barat telah diterapkan sistem ratun untuk padi dengan produksi yang menyamai produksi tanaman pertamanya, yang dikenal dengan Salibu (Erdiman, 2013). Penelitian secara ilmiah mengenai sistem ratun ini masih terbatas. Faktor yang menentukan keberhasilan ratun antara lain tinggi pemotongan dan waktu pemotongan batang sisa panen. Pengurangan biaya bibit/benih, pengolahan tanah dan waktu panen tanaman ratun dapat meningkatkan produksi per unit luas dan per unit waktu. Hal
2 yang sering dilakukan para petani setelah menanam padi adalah memberakan lahannya. Akibatnya, nilai produktivitas lahan menjadi menurun padahal mereka dapat memanfaatkan ratun tersebut (Chauhan et al. 1985).
Tujuan 1. Mempelajari pertumbuhan dan hasil produksi padi musim tanam pertama dan musim tanam kedua (ratun) pada sistem budidaya konvensional dengan SRI. 2. Mempelajari pertumbuhan dan hasil produksi ratun padi yang dipotong 3 cm dengan 15 cm.
Hipotesis 1. Pertumbuhan dan produksi padi musim tanam pertama dan musim tanam kedua (ratun) yang ditanam secara SRI lebih baik dari padi yang ditanam secara konvensional. 2. Pertumbuhan dan produksi ratun yang dipotong 3 cm lebih baik dari ratun yang dipotong 15 cm.
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) yang termasuk golongan tumbuhan golongan tumbuhan Graminae tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara yang cukup hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan tergenang. Secara umum ciriciri padi adalah sebagai berikut: berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk, serta buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir atau kariopsis (Chang dan Bardenas 1976). Menurut Yoshida (1981), keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yaitu organ vegetatif yang meliputi akar, batang serta daun dan organ generatif (reproduktif) yang meliputi malai, gabah dan bunga. Pertumbuhan padi menjadi 3 bagian yakni fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Fase vegetatif meliputi pertumbuhan tanaman mulai dari berkecambah sampai dengan inisiasi primodia malai, fase reproduktif dimulai dari inisiasi primodia malai sampai berbunga dan fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai masak panen. Fase reproduktif ditandai dengan memanjangnya ruas teratas pada batang, yang sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Di samping itu, fase reproduktif ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan. Fase pemasakan benih terdiri dari 4 stadia, yaitu stadia masak susu ditandai dengan tanaman padi yang masih berwarna hijau, malai yang sudah terkulai, ruas batang bawah terlihat kuning dan jika gabah ditekan dengan jari akan keluar cairan seperti susu.Selanjutnya stadia masak kuning seluruh tanaman tampak kuning hanya buku-buku bagian atas yang masih hijau, isi gabah sudah mengeras tetapi mudah pecah dengan kuku. Selanjutnya stadia masak penuh yang ditandai dengan buku atas sudah menguning, batang mulai kering da nisi gabah sukar dipecahkan. Stadia terakhir dalam fase pemasakan benih adalah stadia mati dimana isi gabah sudah mengeras dan kering, pada varietas yang mudah rontok pada stadia ini sudah mulai rontok (Yoshida 1981). Nitrogen, fosfor dan kalium merupakan unsur yang biasa diberikan sebagai pupuk. Hal ini karena kandungan ketiga unsur tadi dalam tanah jumlahnya sedikit, sedangkan yang diangkut tanaman tiap tahunnya sangat banyak. Pengaruh nitrogen bagi tanaman antara lain merangsang pertumbuhan di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Pada serelia, nitrogen dapat memperbesar bulir-bulir dan persentase protein (Soepardi 1983). Umumnya nitrogen sangat diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan bagian-bagian vagetatif tanaman seperti daun, batang dan akar namun jika telalu banyak dapat menghambat pembungaan dan pembuahan tanaman (Sarief 1985). Kalium merupakan unsur yang sangat penting dalam sintesis dari asam amino dan protein dari asam-asam ammonium. Adanya kalium tersedia yang cukup dalam tanah menjamin ketegaran tanaman, membuat
4 tanaman lebih tahan terhadap penyakit dan merangsang pertumbuhan akar. Unsur ini diperlukan oleh serelia sewaktu pengisian bulirnya. Kalium cenderung meniadakan pengaruh buruk nitrogen dan dapat mengurangi kematangan yang dipercepat oleh fosfor (Soepardi 1983). Apabila tidak disertai dengan kalium yang cukup, efisiensi nitrogen dan fosfor akan rendah dan produksi yang tinggi tidak mungkin dicapai (Sarief 1985).
Tanah Sawah Tanah sawah (paddy soil) adalah tanah yang dimanfaatkan atau berpotensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanaman padi sawah (aquatic rice atau lowland rice). Faktor penting dalam proses pembentukan profil tanah sawah adalah genangan air di permukaan, dan penggenangan serta pengeringan yang bergantian. Proses pembentukan profil tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu (a) proses utama berupa pengaruh kondisi reduksi-oksidasi yang bergantian; (b) penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel tanah; dan (c) perubahan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi tanah, akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan. Secara lebih rinci, proses pembentukan profil tanah sawah meliputi (a) gleisasi dan eluviasi; (b) pembentukan karatan besi (Fe) dan mangan (Mn); (c) pembentukan warna kelabu (grayzation); (d) pembentukan selaput (cutan); (e) penyebaran kembali basa-basa; dan (f) akumulasi dan dekomposisi bahan organik. Berdasarkan proses pembentukan profil tanah seperti yang telah diuraikan, maka terbentuklah profil tanah sawah dengan sifat morfologi yang berbeda-beda, tergantung dari sifat tanah asalnya. Profil tanah sawah yang tipikal, atau Aquorizem , yang terbentuk pada tanah kering dengan air tanah dalam seperti yang dikemukaan oleh Koenings (1950), sedikit berbeda profil tanah sawah dengan air tanah yang agak dangkal (Moorman dan Van Breemen 1978) (Gambar 1) Pada tanah kering dengan air tanah dalam yang disawahkan, akan terbentuklah susunan horizon sebagai berikut: 1. Lapisan olah yang tereduksi dan tercuci (eluviasi) (Ap); 2. Lapisan tapak bajak (Adg); 3. Horizon iluviasi Fe (Bir) di atas horizon iluviasi Mn (Bmn), yang sebagian besar teroksidasi; 4. Horizon tanah asal, yang tidak terpengaruh perswahan (Bw, Bt). 5. Horizon terduksi permanen (Cg) Pengamatan di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan bahwa lebih banyak tanah sawah yang tidak menunjukkan profil tanah yang tipikal tersebut dibandingkan dengan yang memilikinya. Hal ini disebabkan karena kebanyakan swah di Indonesia,antara lain, dibuat pada tanah dengan air tanah yang sangat dangkal, atau lahan rawa yang dikeringkan, penyawahan yang terus-menerus dilakukan sepanjang tahun, tekstur tanah yang terlalu kasar atau terlalu halus, tanah yang mengembang mengerut, dan sebagainya.
5
Gambar 1. Profil tanah sawah menurut Koenings (1950) serta Moorman dan van Breemen (1978) Karena banyak tanah sawah di Indonesia terdapat di daerah pelembahan atau dataran aluvial yang terus-menerus tergenang air, baik air hujan, air luapan sungai atau air tanah dangkal, dan kondisi topografi yang tidak memungkinkan gerakan air ke bawah solum tana, maka horizon iluviasi Fe dan Mn ataupun lapisan tapak bajak sulit terbentuk. Demikian juga, tekstur tanah yang terlalu kasar atau halus , atau adanya sifat tanah mengembang dan mengerut, menghalangi pembentukan horizon-horizon tersebut.
System of Rice Intensification (SRI) SRI merupakan suatu usaha tani padi sawah irigasi yang dilakukan secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan. Selain itu SRI juga dapat dikatakan sebagai suatu model cara penanaman padi yang mengutamakan perakaran yang berbasis pada pengolahan tanah, tanaman dan air dengan tetap menjaga produktivitas dan mengedepankan nilai ekonomis (Setiadjie dan Wardana 2008). Budidaya ini berasal dari Madagaskar antara tahun 1983 dan 1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, seorang Pastor Jesuit asal Perancis. Di Indonesia SRI telah diterapkan di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Kalimantan dan Papua (Setiadjie dan Wardana 2008). Di Indonesia uji coba budidaya SRI pertama kali dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian Sukamandi, Jawa Barat dengan hasil 6.2 ton ha-1 pada musim kemarau 1999, dan 8.2 ton ha-1 pada musim hujan 1999/2000. Tahun 2006, di Jawa Barat, SRI telah diterapkan di lahan seluas 749 ha oleh 3200 petani dengan hasil 7.85 ton ha-1 (Sato dan Uphoff 2007). Sementara itu pada tahun 2006 kegiatan validasi pengaruh SRI telah di uji coba di 20 negara lain dengan hasil positif (Setiadjie dan Wardana 2008).
6 Menurut Berkelaar (2001), terdapat beberapa komponen penting dalam SRI ,yaitu: a. Penggunaan bibit yang lebih muda. Bibit padi dipindahtanamkan saat dua daun telah muncul pada batang muda, biasanya saat berumur 8-15 hari. Penyemaian bibit dilakukan dalam petakan khusus dengan menjaga tanah tetap lembab dan tidak tergenang air. Pada saat pindah tanam dari petak semaian ke lahan sawah dilakukan secara hati-hati serta dijaga kelembabannya. Sisa benih yang telah berkecambah dibiarkan agar tetap menempel dengan akar tunas, karena merupakan sumber energi bagi bibit muda. Pindah tanam bibit dilakukan secepat mungkin tidak lebih dari setengah jam. Saat penanaman bibit di lahan dilakukan secara dangkal 1-2 cm dengan posisi akar membentuk huruf L (horizontal) karena ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh. Pemindahtanaman bibit yang masih muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif, lebih banyak batang yang muncul dalam satu rumpun, dan akan menghasilkan bulir padi yang lebih banyak setiap malainya. b. Penanaman bibit tunggal. Hal ini dilakukan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, dan nutrisi dalam tanah sehinggga sistem perakaran menjadi sangat baik. c. Jarak tanam lebar. Bibit yang ditanam dalam pola luasan yang cukup lebar dari segala arah akan lebih baik dibandingkan dengan bibit yang ditanam di baris yang sempit. Biasanya jarak minimal SRI adalah 25 cm x 25 cm. Pada prinsipnya tanaman harus mendapat ruang cukup untuk tumbuh. Jarak tanam yang lebar akan memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa. Budidaya SRI membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit yaitu 7 kg ha-1 dibandingkan budidaya konvensional. d. Kondisi tanah lembab. Tanah dijaga agar tetap lembab selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Kondisi tanah tidak tergenang selama pertumbuhan vegetatif, selanjutnya setelah pembungaan sawah digenangi setinggi 2 cm. Petak sawah mulai dikeringkan saat 25 hari sebelum panen. Menurut Uphoff dan Fernandes (2003), keuntungan penerapan budidaya SRI antara lain:
7 1. Memiliki hasil panen yang lebih tinggi (peningkatannya mencapai 50-200 % dengan hasil 4-8 ton ha-1, tetapi hasil di atas 10 ton ha-1 juga sering kali dilaporkan). 2. Hasil kerja yang lebih efisien (dengan produksi lebih tinggi per hari kerja). 3. Penghematan air sampai dengan 50 %. 4. Perbaikan mutu tanah dan pemakaian pupuk yang lebih efisien (baik organik maupun anorganik). 5. Kebutuhan benih yang lebih sedikit hanya memerlukan benih sekitar 5-10 kg ha-1 atau 5-10 kali lipat lebih sedikit dari jumlah yang biasa digunakan. 6. Kebutuhan atas input yang digunakan lebih sedikit (biaya produksi atau input yang digunakan lebih sedikit tentu menyumbang pendapatan yang lebih tinggi bagi para petani). 7. Mutu benih yang lebih bagus (ketersediaan benih unggul lebih cepat karena jauh lebih banyak benih yang dapat dihasilkan oleh satu tanaman saja). 8. Diversifikasi produksi (untuk menghasilkan jumlah padi yang sama, lahan yang digunakan lebih sedikit, sehingga tanah sisa dapat dipakai lagi untuk menghasilkan pupuk hijau atau tanaman lain yang nilainya lebih tinggi). 9. Keuntungan bagi lingkungan hidup (sebagai dampak berkurangnya kebutuhan air dan pemakaian pupuk anorganik dan pestisida). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2015), metode SRI dspat meningkatkan laju fotosintesis, kandungan klorofil, serapan nitrogen dan fosfor, rambut akar sebesar 59.9%, dan potensial redoks (Eh) tanah. Perbedaan fisiologi, anatomi padi dan perakaran pada tanaman padi dengan metode SRI mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi. Pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi yang dibudidayakan dengan metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Pertumbuhan yang lebih baik pada tanaman padi dengan metode SRI menghasilkan gabah sebesar 24% lebih tinggi dari metode konvensional., SRI juga memiliki beberapa tantangan, yaitu: 1.) Perlu kontrol pengairan yang lebih baik dari sistem budidaya konvensional (memungkinkan penambahan volume air yang telah berkurang apabila diperlukan demi mempertahankan kelembaban tanah tanpa mencapai titik jenuhnya) 2.) Petani yang tidak mempunyai kontrol atas pengairan atau tidak mempunyai akses kepada air yang dapat diatur, akan mendapakan keuntungan yang lebih sedikit 3.) Keperluan tenaga kerja yang lebih banyak 4.) Perubahan kebiasaan-kebiasaan petani yang drastis yang sering tidak diterima oleh para petani, peneliti atau pemerintah 5.) Tuntutan kepada para petani agar lebih terampil (petani diharapkan menerapkan prinsip SRI pada kondisi mereka sendiri berdasarkan uji coba dan evaluasi mereka sendiri). Sebenarnya hal ini tentu bisa menyumbang pada perkembangan sumber
8 daya manusia, yang merupakan keuntungan dan bukan dilihat sebagai kerugian semata. (Uphoff dan Fernandes 2003).
Ratun Morfologi dari tanaman ratun (ratoon) atau tanaman yang pangkal batangnya dibiarkan tumbuh menjadi tanaman baru setelah dipanen sangat berbeda tanaman non-ratoon. Biasanya, tinggi tanaman sangat rendah dan cabang muda yang efektif lebih sedikit pada ratun jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Namun, sebagian tanaman penghasil jenis ratun mempunyai total produksi cabang muda yang lebih besar daripada tanaman non-ratun. Ratun juga mengembangbiakkan banyak cabang yang tidak produktif dan tunas yang muncul dari ketiak daun yang mengandung aktivitas metabolik saat proses pengisian bulir padi (Sun et al. 1988). Tunas yang muncul dari ketiak daun akan berkembang pada bagian cabang, dan akan terus tumbuh hingga menjadi cabang ratun. Cabang muda tumbuh dari ruas cabang yang lebih tinggi serta berkembang dan matang lebih cepat. Ruas cabang biasanya juga memiliki jumlah daun yang lebih sedikit. Malai ratun berasal dari bonggol yang lebih rendah yang memproduksi lebih banyak butir padi per malai daripada yang diproduksi oleh ruas cabang yang lebih tinggi, tetapi dengan persentase pengisian yang lebih rendah. Malai yang berasal dari ruas cabang yang lebih tinggi akan memberikan kontribusi lebih banyak terhadap produksi butir pada ratun jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh ruas cabang yang lebih rendah (Sun et al., 1988). Varietas yang berbeda akan memproduksi cabang ratun yang berbeda pula. Beberapa cabang tumbuh dari ruas muda pada pangkal tunggul jerami, sedangkan yang lainnya dibentuk dari ruas yang lebih muda, tepatnya pada ruas ketiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman ratun akan memproduksi lebih baik jika tunggul utamanya terdiri dari 2-3 cabang muda. Cabang yang berasal dari ruas yang lebih tinggi dengan perbandingan C/N yang lebih tinggi, akan bereaksi seperti benih yang sudah tua. Sebaliknya, cabang dari ruas yang paling rendah dengan kondisi C/N yang rendah juga mempunyai karakteristik benih muda (Chauhan et al., 1985). Menurut Chauhan et al. (1985), tinggi tunggul menunjukkan jumlah tunas yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh kembali. Pengaruh dari tinggi ini akan bervariasi. Sebagian varietas akan memproduksi ratun dari ruas yang lebih tinggi sedangkan yang lainnya memproduksi dari ratun pada posisi terbawah yang tidak terkena proses pemotongan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Quddus dan Pendleton (1983), tanaman pertama dipanen dengan memotong 5 cm dan 15 cm di atas permukaan tanah, serta dengan menggunakan ani-ani (diambil malainya saja). Pemotongan ini tidak banyak mempengaruhi nilai produksi, tetapi pada tinggi pemotongan 5 cm, dihasilkan persentase hasil yang cukup tinggi terhadap hilangnya hills (rumpun), jiika dibandingkan dengan tinggi pemotongan 15 cm atau penggunaan ani-ani. Pada tinggi pemotongan 5 cm juga diperoleh jumlah bulir per hill lebih sedikit daripada perlakuan yang
9 lain, tetapi dengan pertumbuhan ratun yang lebih sehat, bobot bulir yang lebih berat, serta masa pematangan yang lebih panjang jika dibandingkan dengan yang lain. Mahadevappa et al. (1986), menyatakan bahwa pada waktu pemanenan ratoon ( dilakukan pada umur sekitar 70 hari setelah panen tanaman utama) dari varietas Intan yang dipotong pada ketinggian 8-10 cm di atas permukaan tanah, dari sejumlah 742 anakan (46 rumpun), terdapat 360 anakan yang sudah masak (48%, 315 anakan dalam tahap pembungaan (42.5%), dan 67 anakan masih dalam masa pertumbuhan vegetatif (9.0%). Dari data didapat rata-rata 8 anakan per rumpun dalam kondisi masak serta nilai produksi ratoon mencapai 3.6 ton ha-1.
Padi Salibu Budidaya padi salibu (ratun yang dimodifikasi) dapat memacu peningkatan produksi dengan meningkatkan indeks panen (IP). Padi salibu adalah tanaman padi yang tumbuh lagi setelah batang sisa panen ditebas/dipangkas, tunas akan muncul dari buku yang ada di dalam tanah tunas ini akan mengeluarkan akar baru sehingga suplai hara tidak lagi tergantung pada batang lama, tunas ini bisa membelah atau bertunas lagi seperti padi tanaman pindah biasa, inilah yang membuat pertumbuhan dan produksinya sama atau lebih tinggi dibanding tanaman pertama (ibunya). Ratun adalah padi yang tumbuh dari batang sisa panen tanpa dilakukan pemangkasan batang, tunas akan muncul pada buku paling atas, suplai hara tetap dari batang lama. (Erdiman, 2013) Pertumbuhan tunas setelah dipotong sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air tanah, dan pada saat panen sebaiknya kondisi air tanah dalam keadaan kapasitas lapang. Untuk menimbang kebutuhan unsur hara pada masa pertumbuhan anakan, padi salibu perlu pemupukan yang cukup terutama hara nitrogen. Unsur nitrogen merupakan komponen utama dalam sintesis protein, sehingga sangat dibutuhkan untuk fase vegetatif tanaman, khususnya dalam proses pembelahan sel . Tanaman yang cukup mendapatkan nitrogen memperlihatkan daun yang hijau tua dan lebar, fotosintesis berjalan dengan baik, unsur nitrogen adalah faktor penting untuk produktivitas tanaman. Hasil uji coba padi salibu pada beberapa daerah di Sumatera Barat cukup bagus antara lain: di Nagari Pauh, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam hasil (7.2 ton ha-1) meningkat 20% dibanding tanaman pertamanya, di Lima Kaum Kabupaten Tanah Datar hasil (6.4 ton ha-1) meningkat 10-15% dibanding tanaman pertama. Di daerah ini sudah ada petani yang mensalibukan padinya lebih 2 kali, berarti 1 kali tanam telah 3 kali panen, hasilnya tetap stabil, di Koto Nan Ampek Payakumbuh hasil padi salibu juga sama dengan tanaman pertamanya. Budidaya padi salibu meningkatkan indeks panen (IP), karena waktu produksi menjadi lebih pendek, hanya membutuhkan 80-90% waktu dibandingkan tanaman utamanya. Hal ini akan meningkatkan IP berkisar 0,5-1/tahun, meningkatkan produktivitas: 3-6 ton gabah/ha/tahun setara Rp.
10 12-24 juta/ha/tahun. Secara ekonomis budidaya salibu menghemat biaya 60% untuk pekerjaan persiapan lahan dan menanam, 30% untuk biaya produksi, hal ini menekan biaya setara Rp 2-3 juta ha-1 sekali panen. Budidaya padi salibu akan lebih ekonomis sekitar 45% dibanding budidaya tanam pindah, hal inilah yang meningkatkan pendapatan petani (Erdiman, 2013).
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2013 hingga Maret 2014. Lokasi penelitian bertempat di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Musim tanam I dilaksanakan mulai dari bulan September 2013-Desember 2013, sedangkan musim tanam II (tanaman ratun) dilaksanakan mulai dari Desember 2013 hingga Maret 2014. Penelitian laboratorium dan analisis sifat kimia dan fisik tanah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas Ciherang yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Padi Muara, contoh tanah untuk analisis tanah (disajikan pada Lampiran 3), pupuk urea (46.77% N), KCl (60.73% K2O), dan SP-36 (36.48% P2O5). Alat yang digunakan dalam penelitian lapang adalah cangkul, meteran, timbangan serta alat-alat laboratorium untuk analisis tanah dan alat-alat lain yang diperlukan dalam penelitian.
Prosedur Penelitian Analisis tanah digunakan untuk mengetahui kondisi kesuburan tanah yang terdiri atas analisis sifat kimia dan sifat fisika tanah,dilakukan satu kali pada saat sebelum tanam. Pengambilan tanah di lapang dilakukan secara komposit setelah pembuatan petak penelitian selesai. Contoh tanah diambil dari lima titik yang berbeda pada setiap petak dengan kedalaman 0-20 cm untuk memperkecil keragaman dari areal yang mewakili. Hasil analisis awal sifat kimia tanah di Kelurahan Sindangbarang dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah yang disajikan pada Lampiran 3. Pelaksanaan Penelitian Lapang Penelitian lapang dirancang berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua faktor dan lima ulangan. Faktor pertama adalah sistem budidaya terdiri atas sistem budidaya konvensional (M0) dan sistem budidaya SRI (M1). Faktor kedua adalah tinggi pemotongan yang terdiri atas 3 cm (T0) dan 15 cm (T1). Jumlah satuan percobaan adalah 20 satuan percobaan.
12 Penanaman Padi Pertama 1). Persiapan Lahan dan Pengolahan Tanah Pengolahan tanah dilakukan 2 minggu sebelum penanaman dengan cara pembajakan, pembalikan tanah dan pelumpuran. Lahan tersebut selanjutnya dibuat petak percobaan masing-masing berukuran 4m x 5m. Pengaturan air dibuat sedemikian rupa mulai dari air masuk ke lokasi penelitian sampai air keluar sehingga air yang keluar dari setiap petak percobaan tidak dapat masuk kembali, seperti pada Gambar 1. Untuk menghindari tercampurnya air dari satu petakan dengan petakan lainnya dibuat pematang dengan lebar 50 cm. Pengaturan air pada setiap petakan percobaan dilakukan dengan menggunakan paralon dan knee (belokan pipa) untuk mengukur dan mengontrol ketinggian air. 2). Persemaian Seleksi benih dilakukan dengan cara merendam benih ke dalam air. Benih yang tenggelam adalah benih yang akan disemai. Benih selanjutnya dicuci dan direndam selama satu malam. Benih yang telah direndam selanjutnya ditiriskan dan diperam selama 2 hari hingga berkecambah. Persemaian padi konvensional dan SRI dilakukan secara bersamaan sedangkan waktu tanamnya berbeda sehingga perbandingan umur tanaman pada kedua sistem budidaya tersebut sama. Penyemaian benih untuk budidaya padi konvensional dilakukan dengan menyebar benih yang telah berkecambah secara langsung di lahan sedangkan budidaya SRI dilakukan di nampan. 3). Penanaman Penanaman padi konvensional dilakukan pada waktu umur bibit 25 hari setelah semai (HSS), jarak tanam 20 cm x 20 cm sebanyak 3 bibit per lubang tanam. Penanaman padi SRI dilakukan pada waktu umur bibit 10 hari setelah semai (HSS), jarak tanam 25 cm x 25 cm sebanyak satu bibit per lubang tanam dan dangkal 2 cm, serta posisi akar membentuk huruf L (horizontal). 4). Pengairan Pengairan budidaya padi konvensional dilakukan secara kontinu dengan ketinggian air 5cm. Pada saat pindah tanam patakan sawah mulai digenangi pada hari ke-5 setelah tanam untuk menghindari hama keong. Pengairan padi budidaya SRI diatur sampai tanah mencapai kondisi lembab tetapi tidak tergenang selama waktu pertumbuhannya. Pengairan dihentikan pada saat satu minggu menjelang panen. 5). Pemupukan Pupuk untuk tanaman pertama diberikan dengan dosis 250 kg Urea, 150 kg SP-36 dan 100 kg KCl per hektar sesuai rekomendasi di lokasi setempat. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak dua kali yaitu setengah dosis urea, seluruh dosis SP-36 dan KCl diberikan pada 25 HST, sedangkan sisa setengah dosis urea diberikan pada saat tanaman berumur 40 HST. Cara aplikasi ditebar secara merata pada setiap petakan. Pada budidaya konvensional, air keluar ditutup agar tidak terjadi pencucian hara. 6). Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman meliputi: penyulaman, penyiangan, dan pengendalian hama penyakit. Penyulaman dilakukan sampai dengan 14 HST,
13 bibit yang digunakan untuk penyulaman adalah bibit cadangan yang telah ditempatkan di masing-masing petak percobaan. Penyiangan gulma dilakukan dengan menggunakan landak. Pada budidaya SRI dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada saat 10, 20, 30 dan 40 HST, sedangkan pada budidaya konvensional penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat 20 dan 40 HST. Pengendalian hama keong mas (Pomacea canaliculata lamarck) dilakukan secara manual baik dengan menggunakan tangan maupun memakai jebakan daun-daunan. Menjelang panen pengendalian serangan burung dilakukan dengan menggunakan jaring. 7). Panen Tanaman pertama dipanen pada umur 100 hari setelah semai. Tanaman yang memasuki masa panen diamati terlebih dahulu baik pada fase vegetatif maupun fase generatifnya. Pemanenan dilakukan dengan memangkas batang padi dengan ketinggian ± 20 cm dari permukaan tanah.
Gambar 2 Tata letak petak penelitian lapang musim tanam pertama
Penanaman Padi Ratun Pada tanaman ratun perlakuan pemotongan dilakukan saat 7 hari setelah panen (7 HSP). Penjarangan dan dan penyulaman tanaman ratun saat 10-15 HSP dilakukan dengan memindahkan tanaman yang memiliki jumlah anakan banyak ke tanaman yang tidak tumbuh anakan baru. Tanah dijaga tetap lembab hingga 21 HSP. Pemupukan ratun dengan dosis 250 kg Urea, 75 kg SP-36 dan 50 kg KCl per hektar dilakukan sebanyak dua kali yaitu setengah dosis urea, seluruh dosis SP-36 dan KCl diberikan pada 25 hari setelah panen (HSP), sedangkan sisa setengah dosis urea diberikan pada saat
14 tanaman berumur 40 HSP. Perlakuan menurut sistem budidaya konvensional maupun SRI dilakukan mulai minggu ke 4 stelah panen. Pemeliharaan ratun dilakukan dengan penyiangan gulma dan penggemburan tanah secara berkala. Panen tanaman ratun dilakukan pada umur 100 hari setelah panen (HSP). Tata letak plot-plot percobaan tanaman ratun disajikan pada Gambar 2.
Gambar 3 Tata letak petak penelitian lapang tanaman ratun
Penetapan Variabel Pertumbuhan dan Komponen Hasil Penetapan variabel pertumbuhan tanaman pertama dan ratun dilaksanakan melalui pengamatan parameter tinggi tanaman yang diamati sebanyak dua kali, yaitu pada umur 56 hari setelah semai (HSS), 90 HSS, 56 hari setelah panen (HSP), dan 90 HSP. Penetapan variabel produksi tanaman pertama dan ratun dilaksanakan saat panen berlangsung. Parameter yang diamati meliputi jumlah anakan produktif, bobot GKP dan bobot GKP . Penetapan komponen hasil dilakukan pada tanaman contoh. Sementara itu dilakukan pula penetapan variabel produksi dengan membuat ubinan seluas 2.5 m x 2.5 m (Konvensional sebanyak 144 rumpun, sedangkan SRI sebanyak 100 rumpun) yang seluruhnya dikonversi ke dalam satuan ton ha-1.
15
Analisis Data Analisis statistik untuk mengevaluasi pengaruh perlakuan menggunakan uji ANOVA dan apabila hasil berpengaruh nyata, selanjutnya akan dilakukan analisis lanjutan dengan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) atau uji wilayah Duncan pada taraf α = 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tanaman Pertama Berdasarkan pengamatan tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS, terlihat bahwa pada Tabel 1 bahwa tinggi tanaman budidaya SRI pada umur 56 HSS lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional pada umur yang sama. Hal ini dikarenakan pada sistem budidaya konvensional, tanaman baru ditanam setelah 25 hari semai, sedangkan sistem budidaya SRI sudah ditanam lebih dahulu yaitu pada umur 10 hari semai sehingga memiliki waktu yang lebih lama untuk beradaptasi. Pada 90 hari setelah setelah semai (90 HSS) tinggi tanaman pada perlakuan konvensional tidak berbeda nyata dengan budidaya SRI. Tinggi tanaman pada konvensional dapat menyamai tinggi tanaman SRI karena fase pertumbuhan vegetatif telah berakhir dan mulai memasuki fase pertumbuhan generatif. Tabel 1 Tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS Tinggi Tanaman Perlakuan Jumlah Anakan Produktif 56 HSS 90 HSS . . . . . . cm . . . . . . . . anakan rumpun -1 . . Konvensional 53.10b 106.20 17.40b SRI 59.96a 105.76 29.60a a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan
Anakan yang menghasilkan malai disebut anakan produktif. Jumlah anakan produktif dipengaruhi oleh jarak tanam, jumlah bibit, dan umur bibit tanaman. Jarak tanam yang relatif sempit pada budidaya konvensional seluas 20 cm x 20 cm, sebanyak 3 bibit per lubang tanam, dan umur persemaian yang mencapai usia 25 hari (tua) menyebabkan sistem perakaran bersaing dalam memperebutkan nutrisi dan sinar matahari dengan banyak sistem perakaran disekitarnya sehingga tanaman kesulitan dalam mencukupi kebutuhan haranya. Hal tersebut yang menyebabkan anakan produktif pada sistem konvensional lebih rendah dibanding dengan sistem SRI yang ditunjukkan pada Tabel 1. Budidaya SRI menggunakan bibit yang ditanam tunggal yang dapat menyebabkan tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, dan nutrisi dalam tanah sehingga sistem perakaran menjadi baik. Jarak tanam yang lebar memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman juga akan menyerap lebih banyak menyerap sinar matahari, udara, dan nutrisi. Hasilnya akar dan batang akan tumbuh lebih baik serta jumlah anakan lebih banyak. Sumardi et al. (2007) menyatakan bahwa kondisi perakaran yang baik tidak hanya tampak pada morfologi saja tetapi juga terekspresi pada bagian atas tanaman, seperti jumlah anakan, tinggi tanaman, dan persentase anakan produktif,
17 ketiga parameter tersebut merupakan indikator yang paling kuat untuk melihat hasil gabah per rumpun. Berdasarkan uji lanjut Duncan yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman musim pertama, sistem budidaya SRI menghasilkan bobot gabah kering panen dan bobot gabah kering giling lebih tinggi (kadar air 14%) 27.90% dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional. Persentase gabah hampa antar kedua perlakuan tidak berbeda nyata walaupun rataan persentase gabah hampa pada metode konvensional sedikit lebih besar dibanding kan metode SRI. Tabel 2
Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase gabah hampa tanaman padi musim pertama Persentase Gabah Perlakuan Bobot GKP Bobot GKG Hampa -1 . . . . . . . ton ha . . . . . . . ...%... Konvensional 6.08b 5.23b 23.80 SRI 7.78a 6.69a 23.04 a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan
Peningkatan serapan hara N dan P metode konvensional jauh lebih kecil dibandingkan dengan metode SRI sebagai respon aplikasi pupuk NPK bisa disebabkan oleh kondisi rizosfer tanaman padi konvensional yang cenderung anaerob, sehingga menyebabkan serapan unsur-unsur hara kurang optimal. Tanaman padi sawah tidak menghendaki kondisi anaerob pada media pertumbuhannya, namun tanaman ini toleran terhadap kondisi anaerob tersebut. Pada kondisi jenuh air, tanaman sulit mendapatkan O2 sehingga tanaman menyiasatinya dengan membentuk jaringan aerenchym. Semakin lama tanaman padi tumbuh pada kondisi anaerob maka akan semakin banyak dan semakin besar aerenchym yang terbentuk. Apabila jaringan aerenchym yang terbentuk semakin banyak, maka akan mengganggu proses penyerapan hara dan air oleh akar tanaman (Sumardi 2007). Tanah yang lembab pada metode SRI dapat memberi aerasi yang baik di sekitar perakaran. Kondisi pertumbuhan yang menguntungkan pada metode SRI ini memungkinkan banyak phyllochron dari tanaman padi berkembang membentuk anakan sebelum fase pembungaan, sehingga menghasilkan lebih banyak anakan dan sistem perakaran lebih luas daripada metode konvensional. Tanah jenuh adalah tanah yang semua pori-porinya terisi oleh air (Wraith dan Or 2001). Selain itu, kekuatan pendorong utama dari transpirasi adalah gradien potensial air antara ruang dalam stomata dan atmosfer udara (potensial air udara). Oleh karena itu, kondisi tanah yang tergenang terus menerus pada metode konvensional telah dianggap sebagai pemborosan air karena penggunaan air yang berlebihan melebihi kebutuhan tanaman padi. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Ndiiri et al. (2012) bahwa metode SRI lebih efisien dalam menggunakan air dibandingkan dengan metode konvensional.
18 Tanah yang lembap dan jarak tanam yang lebar pada metode SRI membuat akar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal karena akar teraerasi dengan baik. Akar padi pada metode SRI lebih panjang dibanding metode konvensional karena kelembaban tanah dan aerasi tanah yang baik pada metode SRI memiliki dampak besar pada pertumbuhan akar, viabilitas akar, dan akhirnya berpengaruh juga pada pertumbuhan tanaman (Huang 1999). Nilai Eh tanah yang rendah mengindikasikan bahwa tanah tersebut bersifat reduktif (Mer dan Roger 2001). Semakin lama tanah tergenang maka nilai Eh tanah akan semakin turun. Nilai potensial redoks tanah (Eh) pada metode konvensional dan metode SRI pada saat umur tanaman padi 55 HSS berturut-turut -210.1 mV dan -149.4 mV, sedangkan pada saat umur tanaman padi 70 HSS nilai potensial redoks tanah (Eh) turun menjadi -327.8 mV dan -266.9 mV (Hutabarat 2011). Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah O2 semakin sedikit sehingga akar akan melakukan respirasi secara anaerob. Selama respirasi anaerobik pada akar, terbentuk metabolit yang berpotensi beracun seperti etanol, asam laktat, asetaldehida dan senyawa sianogen yang dapat terakumulasi dalam sel tanaman yang akhirnya dapat terjadi asidosis sitosol dalam sel. Selain itu, akumulasi asam laktat dalam sitoplasma akan menyebabkan kematian sel. Pada kondisi tergenang air ada kemungkinan lebih banyak akar yang mati. Pembentukan aerenkim akar yang lebih tinggi pada metode konvensional sangat berdampak pada pertumbuhan tanaman karena jaringan aerenkim yang terbentuk menyebabkan terjadinya kerusakan struktur akar tanaman. Pembentukan aerenkim akar mengambil 30-40% kortek akar yang dapat berpotensi menghentikan penyaluran unsur hara secara horizontal dari tanah ke akar. Apabila jaringan aerenkim yang terbentuk semakin banyak, maka akan mengganggu proses penyerapan hara dan air oleh akar (Sumardi 2007). Selain itu, tanaman padi membutuhkan sejumlah besar energi untuk pembentukan dan aktivitas sel aerenkim untuk memasok O2, akibatnya energi berkurang untuk pertumbuhan tanaman terutama pembentukan anakan, sehingga jumlah anakan menjadi sedikit bila dibandingkan dengan kondisi air tidak tergenang (Bakrie et al. 2010). Pada tanaman padi, pembentukan aerenkim tidak hanya di akar tetapi aerenkim juga bisa terbentuk di batang (Yamauchi et al. 2013). Penggenangan air yang terus-menerus pada metode konvensional juga dapat meningkatkan luas aerenkim batang pada metode konvensional dibandingkan dengan metode SRI. Perakaran padi yang lebih baik pada metode SRI dapat meningkatkan transportasi air dan hara dari tanah ke batang, sehingga akan mendukung pertumbuhan tajuk yang lebih baik. Pertumbuhan tajuk yang baik, akan menyebabkan fotosintat yang tersedia juga banyak sehingga fotosintat tersebut akan di distribusikan ke akar, sehingga akar tumbuh secara optimal. Yang et al. (2004) menyatakan bahwa laju fotosintesis yang tinggi akan memberikan fotosintat ke akar yang digunakan untuk perkembangan dan lamanya akar hidup, sehingga akar akan berfungsi lebih lama. Pada saat yang sama, aktivitas metabolime akar juga tinggi yang mendukung laju fotosintesis menjadi tinggi karena akar berperan mentransport jumlah hara yang cukup ke tajuk (daun). Hal ini
19 merupakan hubungan saling ketergantungan yang disebut sebagai interaksi akar dengan tajuk (Samejima et al. 2004). Thakur et al. (2011) melaporkan bahwa peningkatan hasil gabah pada budidaya SRI terutama disebabkan oleh morfologi dan fisiologi tanaman padi yang lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional. Fisiologi padi yang lebih baik pada metode SRI itu didukung oleh pertumbuhan akar yang lebih baik yaitu terutama meningkatnya jumlah rambut akar dan pembentukan aerenkim akar berkurang. Produksi fitohormon oleh organisme tanah dapat merangsang pertumbuhan akar yang akan menguntungkan tanaman dan mikroba yang berasosiasi dalam rhizosfer. Turner & Haygarth (2001) mengemukakan bahwa ketertersediaan P merupakan hasil dari dinamika populasi pada bakteri pelarut fosfat (PSB) dan jamur, yang akan meningkat ketika tanah bersifat aerobik, dengan mengambil P dari bentuk yang tidak tersedia dari tanah . P ini terdapat dalam partikel tanah yang terikat atau dalam bentuk molekul fosfat kompleks yang sebagian besar tidak larut (Turner et al. 2006). Ketika tanah digenangi dan menjadi anaerobik, sebagian kecil dari sel-sel mikroba tanah akan melisiskan dan melepaskannya hara ke dalam larutan tanah. Cara yang sama untuk melepaskan nitrogen pada mikroba tanah ketika terjadi penggenangan tanah.(Birch, 1958.) Ketika tanah dikeringkan, PSB hidup dan berkembang untuk melarutkan P yang tidak tersedia . SRI menganjurkan menjaga tanah tetap lembab tapi tidak tergenang, menambahkan sejumlah kecil air setiap hari, berhenti aplikasi untuk 3- 6 hari beberapa kali selama fase pertumbuhan vegetatif untuk membiarkan tanah lapisan atas mengering; atau pengelolaan air secara bergantian banjir dan pengeringan tanah. Hal ini akan memobilisasi P tidak tersedia melalui PSB, efek yang akan lebih besar jika ada bahan organik yang melimpah di tanah untuk mendukung pertumbuhan mikroba (Ayaga et al. 2006). Saat sawah tidak terus menerus digenangi, maka pertumbuhan gulma akan lebih banyak, sehingga memerlukan langkah-langkah pengendalian. Strategi SRI untuk pengendalian gulma adalah dengan menggunakan penyiangan mekanik sederhana di antara baris tanaman. Ketika gulma tersebut terurai, maka akan memberikan nutrisi tambahan untuk tanah dan tanaman (Thiyagarajan et al. 2005). Berbagai macam mikroba yang hidup di sekitar, dan di akar spesies Gramineae dapat memfiksasi nitrogen atmosfer menjadi bentuk yang tersedia untuk digunakan tanaman, dengan memproduksi enzim nitrogenase. Mikroba lain seperti bakteri pelarut fosfat yang dibahas di atas, akan menghasilkan enzim fosfatase yang memungkinkan mikroba mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia dan dapat dimanfaatkan tanaman. Ketika tanah bersifat aerob, jamur mikoriza yang terdapat di daerah rizosfer daoat berkembang sehingga meningkatkan hasil sebesar 10% (Solaiman & Hirata, 1997).
20 Tanaman Ratun
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan tinggi pemotongan tunggul 15 cm dari permukaan tanah pada usia 56 hari setelah panen (HSP) menghasilkan tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi pemotongan tunggul 3 cm. Hal ini dikarenakan pada tanaman yang dipangkas 15 cm, anakan tumbuh pada buku yang lebih tinggi dan terus berlangsung setelah masa pertumbuhan vegetatif selesai. Secara visual tunas ratun dari tinggi pemotongan 3 dan 15 cm mulai muncul pada 2-5 hari setelah pemangkasan dan hampir sama pada semua perlakuan tinggi pemotongan. Tabel 3 Tinggi tanaman ratun umur 56 dan 90 Hari Setelah Panen (HSP) Tinggi Tanaman Perlakuan Jumlah Anakan Produktif 56 HSP 90 HSP . . . . . .cm. . . . . . . . anakan rumpun -1 . . Konvensional 3 cm 50.20b 102.47ab 15.00c 15 cm 50.83b 97.40b 11.67d SRI 3 cm 57.83a 103.27a 20.93a 15 cm 60.33a 105.13a 17.80b a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan
Tabel 3 menunjukkan setelah uji lanjut Duncan bahwa perbedaan tinggi pemotongan tunggul sisa panen nyata berpengaruh terhadap jumlah anakan produktif. Kombinasi perlakuan sistem budidaya SRI dengan tinggi pemotongan 3 cm dari permukaan tanah memberikan jumlah anakan produktif paling tinggi diantara perlakuan yang lain. Nilai hasil pertumbuhan dan produksi yang lebih tinggi pada pemotongan 3 cm diduga karena pada bagian tersebut berjarak lebih dekat dengan akar yang merupakan sumber suplai nutrisi keseluruh tubuh tanaman. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan kembali setelah pemotongan. Diantara perangkat fotosintesis yang berkaitan langsung dengan pemotongan dan fungsi metabolisme yang diakibatkannya adalah daun. Fungsi daun setelah pemotongan untuk pertmbuhan kembali pada famili Graminae (rumputrumputan) pernah dikemukakan oleh Gardner et al. (1991) bahwa pertumbuhan kembali rumput Orchard bergantung baik pada cadangan karbohidrat di dalam batang tanaman maupun pada luas daun yang tersisa setelah pemangkasan. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa karbohidrat diperlukan untuk mempertahankan aktivitas metabolik selama tahap awal pertumbuhan kembali. Kebutuhan energi untuk pertumbuhan kembali sebagian atau seluruhnya dapat dipasok apabila tersisa batang atau daun yang cukup setelah pemangkasan, untuk memasok daun-daun atau anakan baru, yang segera menjadi autotropik (penghasil energi sendiri).
21 Pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa kombinasi sistem budidaya dan tinggi pemangkasan yang berbeda akan berpengaruh nyata terhadap parameter hasil produksi yaitu bobot gabah kering panen dan gabah kering giling. Pada tanaman ratun ini, variabel pertumbuhan dan hasil produksi menunjukkan bahwa perlakuan pemotongan 3cm lebih baik dibandingkan perlakuan pemotongan 15 cm baik pada sistem budidaya konvensional maupun SRI. Tinggi pemotongan 3cm yang menghasilkan gabah kering giling (kadar air 14%) tanaman ratun pada sistem budidaya konvensional dan SRI masing-masing sebesar 3.32 ton ha-1, dan 4.59 ton ha-1. Persentase gabah hampa tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Tabel 4 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase gabah hampa tanaman ratun Persentase Gabah Perlakuan Bobot GKP Bobot GKG Hampa -1 . . . . . . . ton ha . . . . . . . ...%... Konvensional 3 cm 3.86c 3.32c 22.68 15 cm 3.26d 2.80d 23.73 SRI 3 cm 5.34a 4.59a 23.26 15 cm 4.43b 3.81b 23.16 a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan
Pada Tabel 5 terlihat jika dibandingkan dengan musim tanam pertama, maka hasil produksi ratun dengan sistem budidaya SRI dengan pemotongan tunggul setinggi 3 cm adalah paling tinggi dibandingkan perlakuan lain. Tabel 5 Persentase hasil produksi GKG ratun terhadap tanaman musim pertama Persentase Hasil Bobot GKG Produksi GKG Ratun Perlakuan terhadap Tanaman Musim Pertama Ratun Musim Pertama -1 . . . . . .ton ha . . . . . . . . . . . .%. . . . . . Konvensional 3 cm 3.32c 63.48 5.23b 15 cm 2.80d 53.53 SRI 3 cm 4.59a 68.61 6.69a 15 cm 3.81b 56.95 a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan
22
Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif ratun lebih rendah dibandingkan tanaman musim pertama. Kondisi ini diduga karena perbedaan jumlah asimilat yang tersisa pada tunggul setelah panen tanaman pertama. Jika cadangan asimilat tinggi dan tunggul bekas panen tetap vigor, maka tunas-tunas ratun akan muncul menjadi anakan ratun. Sebaliknya jika cadangan asimilat rendah atau kurang, pertumbuhan anakan akan terhambat dan perlu diberikan tambahan hara untuk memacu pertumbuhan tunas ratun. Dosis pemupukan tanaman musim pertama dengan tanaman ratun adalah sama yaitu NPK 100%. Beberapa studi membuktikan bahwa pertumbuhan ratun sangat tergantung dengan komposisi dan tingkat dosis pupuk yang diberikan. Untuk menghasilkan ratun yang baik, maka pemupukan tidak hanya diberikan kepada tanaman musim pertama tetapi juga pada tanaman ratun (Wei et al. 2003). Pemberian N dapat meningkatkan rumpun dan meningkatkan jumlah bulir per rumpun serta hasil tanaman ratun (De Datta dan Bernasor 1988). Islam et al.(2008) menyebutkan pemupukan tanaman musim pertama dan ratun merupakan sumber suplai hara bagi tanaman yang memacu pertumbuhan tunas ratun. Ini sejalan dengan yang dilaporkan Dobermann dan Fairhurst (2000), nitrogen merupakan hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah besar untuk membentuk asam amino, asam nukleat, nukleotida dan klorofil. Konsentrasi nitrogen yang tinggi pada tanaman, mampu merangsang pembelahan sel, sehingga perkembangan anakan dan daun menjadi lebih banyak. Hal ini akan mendorong proses fotosintesis dan produksi biomassa tumbuhan. Pembentukan anakan, perkembangan akar, pembungaan, dan pemasakan tanaman padi ditentukan oleh kecukupan fosfat selama stadia pertumbuhannya. Lain halnya dengan kaliumyang memiliki fungsi utama dalam osmoregulasi, aktivasi enzim, pengaturan pH selular, keseimbangan ion-ion dalam sel, ketegaran tanaman, transpirasi melalui stomata, transportasi asimilat, dan mengatasi stres tanaman akibat kekurangan air pada tingkat tertentu. Pada usaha tani padi dengan sistem ratun, kelangsungan proses fotosintesis sangat ditentukan oleh keadaan tunggul tanaman yang masih tersisa setelah panen pertama., demikian juga dengan daya vigor dari sistem perakaran. Tunggul yang vigor merupakan prasyarat untuk keberhasilan tanaman ratun. Hal ini dapat dipengaruhi oleh genotipe tanaman dan faktor lingkungan lainnya seperti kelembaban, suhu, dan cahaya. Tanaman ratun akan menghasilkan tunas jika keadaan tunggul setelah panen tetap hijau (Charoen 2003), dan diperlukan ketersediaan air untuk mempertahankan daya vigor pada tunggul setelah panen. (Dawn 2001). Pengelolaan air sebelum dan sesudah panen tanaman pertama, mempengaruhi daya hasil ratun (Jason 2005). Dalam hubungannya dengan tinggi pemotongan, Jason (2005) dan Nakano et al. (2009) menjelaskan bahwa apabila penggenangan air dilakukan sebelum panen tanaman pertama, yang diberikan secara lembab maka tinggi pemotongan batang sisa panen umumnya rendah ( atau kurang dari 5 cm dari permukaan tanah). Keadaan ini cukup memacu pertumbuhan tunas ratun. Penggenangan berikutnya terhadap ratun dapat dilakukan ketika tunas ratun telah mencapai 10-15 cm,
23 sebab jika dilakukan segera setelah pemotongan batang sisa panen, dapat mengakibatkan tunggul busuk dan mengalami kematian. Ratun yang kekurangan air mengakibatkan tunggul kering dan tidak mampu menghasilkan tunas-tunas ratun. Terdapat tenggang waktu antara perlakuan tinggi pemotongan dengan penggenangan air, yakni selama 2 minggu. Hal ini berdasarkan pernyataan Chauhan et al.(1985) bahwa ketika tanaman dipotong rendah, penundaan irigasi akan lebih baik daripada pemberian air satu hari setelah pemotongan dan pengurangan air dari lahan beberapa hari setelah panen akan mempercepat pertumbuhan ratun. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil uji coba padi Salibu yang dilakukan pada beberapa daerah di Sumatra Barat yang cukup bagus antara lain di Kabupaten Agam dengan hasil 7.2 ton ha-1 (meningkat 20% dibanding tanaman pertamanya), Kabupaten Tanah Datar dengan hasil 6.4 ton ha-1 (meningkat 10-15% dibanding tanaman pertamanya) (Erdiman 2013). Perbedaan hasil dari penelitian ini dimungkinkan karena perbedaan varietas, dan kesuburan tanah. Pada penelitian lapang diketahui bahwa sistem budidaya SRI akan menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak, baik pada tanaman utama maupun ratun, dibanding dengan sistem budidaya konvensional, dikarenakan tinggi air pada SRI hanya macak-macak (0-2 cm). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2011) juga menyatakan bahwa penggenangan 0-2 cm akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi genangan 5 cm. Lingkungan yang oksidatif pada metode SRI menyebabkan mikroba tanah fungsional yang bersifat aerob seperti penambat N dan pelarut P lebih meningkat sehingga akan meningkatkan ketersediaan hara N dan P dalam tanah dan dengan sendirinya meningkat pula jumlah anakan produktif (Pan et al. 2009). Pada penelitian ini hama merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan produksi padi. Adapun hama-hama yang menyerang petakan penelitian adalah keong mas dan burung. Keong mas menyerang padi saat berumur 0-3 MST. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Balitbang Pertanian (2007) bahwa keong mas memakan tanaman muda serta dapat menghancurkan tanaman saat pertumbuhan awal. Keong mas lebih banyak terlihat dan memakan tanaman padi di petakan konvensional yang mendapat perlakuan penggenangan air setinggi 5 cm. Menurut Syam et al. (2007), keong mas menyenangi tempat-tempat yang digenangi air. Pengendalian hama yang dilakukan di lapang adalah mengambil keong dan telurnya dari petakan dan sekitarnya secara manual. Pengambilan telur keong dilakukan untuk mengurangi perkembangbiakan keong yang terus meningkat. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengeringkan sawah. Burung menyerang tanaman padi pada fase matang susu sampai pemasakan biji atau sebelum panen. Cara pengendalian yang dilakukan adalah dengan memasang jaring pada sekeliling petakan penelitian.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pertumbuhan dan produksi padi yang ditanam secara SRI nyata lebih baik dari padi yang ditanam secara konvensional. Pertumbuhan dan produksi ratun padi yang ditanam secara SRI nyata lebih baik dari ratun yang ditanam secara konvensional. Pemotongan batang sisa panen setinggi 3 cm menghasilkan pertumbuhan dan produksi ratun lebih baik daripada tinggi pemotongan 15 cm baik pada konvensional maupun SRI.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis pemupukan dan waktu pemupukan tanaman ratun. Sebaiknya waktu pemupukan ratun dilakukan lebih dini sehingga diharapkan akan menghasilkan jumlah anakan yang lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA Ayaga G, Todd A, Brookes PC. 2006. Enhanced biological cycling of phosphorus increases its availability to crops in low-input subSaharan farming systems. Soil Biology and Biochemistry 38:81–90. Bakrie MM, Anas I, Sugiyanta, Indris K. 2010. Aplikasi pupuk anorganik dan organik hayati pada budidaya padi SRI (System of Rice Intensification). J Tanah Lingk. 12:25-32. [Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jakarta (ID): Departemen Pertanian. [Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Keong mas [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 23]. Tersedia pada: http://www.leisa.info/index.php?url=article-details.tpl&p[id]=67233. Berklaar D.2001. The System of Rice Intensification [Internet]. [diunduh 2013 September 11]. Tersedia pada: http://www.elsppat.or.id/download/file/SRI-echo%20note.html. Birch HF. 1958. The effect of soil drying on humus decomposition and nitrogen. Plant and Soil 10:9–31. Chang TT, Bardenas EA. 1976. The Morphology and Varietal Characteristics of Rice Plant. 4th ed. Los Banos (PN): International Rice Research Institute (IRRI). Charoen T. 2003. Ratoon cropping of lodged stubble. Chainat (TH): The Office of Agricultural Research and Development Region 5. Chauhan JS, Vergara BS, Lopez FSS. 1985. Rice Ratooning. IRRI. Res. Pop. Ser 102. Dawn B. 2001. Integrated rice management system for ratoon production. Di dalam: Rice Production Guidelines Bulletins. Texas Agriculture Experiment Station. B-6131: 02-12. De Datta SK, Bernasor PC. 1988. Agronomic principles and practice of rice rationing. Di dalam: Smith WH, Kumble V, Cervantes EP, editor. Rice Ratooning. Los Banos (PN): IRRI. hlm163-176. Departemen Pertanian. 2009. Pedoman Teknis Pengembangan System of Rice Intensification (SRI) [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 19]. Tersedia pada: http://www.pla.deptan.co.id/pdf/03 PEDOMAN TEKNIS SRI 2009.pdf. Dobermann A, Fairhust T. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash and Phosphate Institute of Canada and International Rice Research Institute. Los Banos (PN): Oxford Geographic Printers Pte Ltd p35-43. Dobermann A, Fairhurst T. 2004. A critical assessment of the System of Rice Intensification (SRI). Agric. Sys. 79:261-281. Erdiman, 2013.Teknologi salibu meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani [Internet]. [diunduh 2013 Juli 28]. Tersedia pada: http://sumbar.litbang.deptan.go.id/ind/images/pdf/padi salibu.pdf. Gardner PF, Pearce RB, Mitchel RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (terjemahan). Jakarta: Universitas Indonesia Press.
26 Hidayati N. 2015. Fisiologi, anatomi, dan sistem perakaran pada budidaya padi dengan metode System of Rice Intensification (SRI) dan pengaruhnya terhadap produksi [Tesis]. Bogor: Institut Pertaninan Bogor. Huang BR. 1999. Water relations and root Activities of Buchloe dactyloides and Zoysia japonica in response to localized soil drying. Plant & Soil. 208:179- 186. Hutabarat TR. 2011. Populasi mikrob tanah emisi metan dan produksi padi dengan kombinasi pemupukan pada budidaya padi SRI (System of Rice Intensification) [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Islam MS, Hasannuzzaman M, Rukonuzzaman. 2008. Ratoon rice response to different fertilizer doses in irrigated condition. J. Agric Conspect Sci 73(4): 197-202. Jason B. 2005. It’s not too early to plant for ratoon rice crop. Los Angles (US): LSU Agricultural Center’s Rice Research Station. Koenings FFFR. 1950. A sawah profile near Bogor (Java). Contr. General Agric. Research Station. Bogor , No.15 Mahadevappa M, Nagaraju, Narasimhareddy MK. 1986. Maturity behavior of Intan in main and ratoon crops. Manila (PN): International Rice Research Institute Newsletter (IRRI). Mer JL, Roger P. 2001. Production, oxidation, emission and consumption of methane by soils: A review. Eur J Soil Bio. 37:25-50. Moormann FR, van Breemen N. 1978. Rice, Soil, Water, Land. IRRI. Los Banos, Philippines. Nakano H, Morita S, Kitagawa H, Takana M. 2009. Effect of cutting height and trampling over stubbles of the first crop on dry matter yield in twice harvest of forage rice. J Plant Prod Sci. 12(1):124-127. Ndiiri JA, Mati BM, Home PG, Odongo B, Uphoff N. 2012. Comparison of water savings of paddy rice under System of Rice Intensification growing rice in Mwea, Kenya. Inter J Curr Res Rev. 4:63-73. Pan G, Zhou P, Li Z, Pete S, Li L, Qiu D, Zhang X, Xu X, Shen S, Chen X. 2009. Combined inorganic / organic fertilization enhances N efficiency and increases rice productivity through organic carbon accumulation in a rice paddy from the Tai Lake region. China . AEE, 131:274-280. Quddus MA, Pendleton JW.1983. Effect on ratoon rice of cutting height and time N applicationon the main crops. Manila (PN): International Rice Research Institute Newsletter (IRRI).8(13). Retno. 2012. Kementerian Pertanian prioritaskan pengembangan program P2BN [Internet]. [diunduh 24 Februari 2013]. Tersedia pada: http://www.pertanian.go.id. Samejima H, Kondo M, Ito O, Nozoe T, Shinano T, Osaki M. 2004. Root– shoot interaction as a limiting factor of biomass productivity in new tropical rice lines. Soil Sci Plant Nutr. 50:545–554. Sarief ES. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Bandung (ID): Pustaka Buana.
27 Sato S, Uphoff N. 2007. A review of on-farm evaluations of SRI methods in Eastern Indonesia. Perspectives in Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural Resources 54: 1-12. Setiadjie S, Wardana IP. 2008. Gagasan dan implementasi System of Rice Intensification (SRI) dalam kegiatan budidaya padi ekologis. J. Analisis Kebijakan Pertanian 6(1): 75-99. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Solaiman M Z, Hirata H. 1997. Responses of directly seeded wetland rice to arbuscular mycorrhizal fungi inoculation. Journal of Plant Nutrition 20:1479–1487. Sumardi. 2007. Respon padi sawah pada teknik budidaya secara aerobik dan pemberian bahan organik. Akta Agro. 7:65-70. Sumardi A, Syarif K, Kasim M, Akhir N. 2007. Pengaruh pengelolaan air pada fase vegetatif dan generative terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. J. Tanaman Tropika 10(1):1-10. Sun XH, Zhang JG, Liang YJ. 1988. Ratooning with rice hybrids. Manila (PN): International Rice Research Institute Newsletter (IRRI). Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki SS, Widiarta IN, Setyono A. Indrasari SD, Lesmana OS, Sembiring H. 2007. Deskripsi Varietas Padi. Subang (ID): Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Susilawati. 2011. Agronomi Ratun Genotipe – Genotipe Padi Potensial untuk Lahan Pasang Surut [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syam M, Wuryandari D, Hermanto, Suparyono. 2007. Masalah lapang hama penyakit pada padi [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 23]. Tersedia pada: http://www.scribd.com/doc/14382224/Hama.dan.Penyakit.Tanaman. Padi. Thakur AK, Rath S, Patil DU, Kumar A. 2011. Effects on rice plant morphology and physiology of water and associated management practices of the system of rice intensification and their implications for crop performance. Paddy Water Environ. 9:13–24. Thiyagarajan T M, Senthilkumar K, Priyadarshini R, Sundarsingh J, Muthusankanarayan A, Hengsdijk H, Bindraban P S. 2005. Evaluation of water-saving irrigation and weeder use in the growth and yield of rice. In Transitions in Agriculture for Enhancing Water Productivity: Proceedings of an international Symposium, TNAU, 23–25 September, pp. 3–18. Eds T M Thiyagarajan, H Hengsdijk and P S Bindraban. Wageningen, Netherlands: Plant Research Institute Turner BL, Haygarth P M. 2001. Phosphorus solubilization in rewetted soils. Nature 411:258. Turner BL, Frossard E, Oberson A. 2006. Enhancing phosphorus availability in low-fertility soils. In Biological Approaches to Sustainable Soil Systems, pp. 191–205. Eds. N. Uphoff et al. Boca Raton, Florida: CRC Press.
28 Uphoff N, Fernandes E. 2003. Sistem intensifikasi padi tersebar pesat [Internet]. [diunduh 2013 September 20]. Tersedia pada: http://www.docjax.com/document/view.shtml?id=820406&title=sist em%20intensifikasi%20padi%20pesat%. Wei JZ, Xiong LW, Zhen LY, Ying CZ, An HX. 2003. Effects of nitrogen fertilizer rates on uptake and distribution of nitrogen in ratoon rice. Fujian J Agric Sci. (02):14-29. Wraith JM, Or D. 2001. Soil water characteristic determination from concurrent water content measurements in reference porous media. Soil Sci Soc Am J. 65:1659–1666. Yamauchi T, Shimamura S, Nakazono M, Mochizuki T. 2013.Aerenchyma formation in crop species: A review. Field Crops Res. 152:8–16. Yang C, Yang L, Yang Y, Ouyang Z. 2004. Rice root growth and nutrient uptake as influenced by organic manure in continuously and alternately flooded paddy soils. Agri Water Manag. 70:67–81. Yoshida S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. Los Banos (PN): International Rice Research Institute (IRRI).
LAMPIRAN Lampiran 1 Deskripsi karakteristik padi verietas Ciherang (Suprihatno et al.2007) Deskripsi Nama varietas Nomor seleksi Asal Persilangan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap hama Ketahanan terhadap penyakit Anjuran tanam
Penjelasan : Ciherang : S3383-1D-PN-41-3-1 : IR18349-53-1-3-1-3/2*IR19661-131-3-1-3//4*IR64 Cere : 116-125 hari : Tegak : 107-115 cm : 14-17 batang : Hijau : Hijau : Tidak berwarna : Tidak berwarna : Hijau : Kasar pada sebelah bawah : Tegak : Tegak : Panjang ramping : Kuning bersih : Sedang : Sedang : Pulen : 23% : 28 g : 6,0 t/ha GKG : 8,5 t/ha GKG : Tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3 : Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV : Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl
30 Lampiran 2 Kandungan analisis pupuk Nama Pupuk Urea SP-36 KCl
Lampiran 3
Parameter pH C-organik N-total P-tersedia Ca-dd Mg-dd K-dd Na-dd KTK KB Al-dd H-dd Fe-tersedia Cu-tersedia Zn-tersedia Mn-tersedia Tekstur
N - Total 46.77 % -
P2O5 Total 36.48 % -
K2O 60.73 %
Analisis awal sifat kimia tanah yang digunakan dalam penelitian di Kelurahan Sindangbarang Satuan % % ppm me/100 g me/100 g me/100 g me/100 g me/100 g % me/100 g me/100 g ppm ppm ppm ppm % % %
Hasil 5.8 1.69 0.18 6 10.76 2.88 0.46 0.74 18.72 70.51 tr 0.13 9.21 1.52 10.13 158.4 Pasir 6.18 Debu 36.45 Liat 57.37
Metode H2O (1:1) Walkley & Black Kjeldahl Bray I N NH4C2H3O2 pH 7.0 N NH4C2H3O2 pH 7.0 N NH4C2H3O2 pH 7.0 N NH4C2H3O2 pH 7.0 N NH4C2H3O2 pH 7.0 Jumlah Basa-Basa N KCl N KCl 0.05 N HCl 0.05 N HCl 0.05 N HCl 0.05 N HCl Penyaringan Pipet Pipet
Lampiran 4 Kebutuhan pupuk per perlakuan pada percobaan lapang musim tanam pertama (5 ulangan) Jenis Perlakuan Konvensional
SRI
Jenis Pupuk Urea SP-36 KCl Urea SP-36 KCl
Kg/ha 250 150 100 250 150 100
Kg/petak 0.500 0.300 0.200 0.500 0.300 0.200
Total pupuk (kg) 2.50 1.50 1.00 2.50 1.50 1.00
31 Lampiran 5 Kebutuhan pupuk per perlakuan pada percobaan lapang tanaman ratun (5 ulangan) Jenis Perlakuan Konvensional 3 cm
15 cm
Jenis Pupuk
Kg/ha
Kg/petak
Total pupuk
Urea SP-36 KCl Urea SP-36 KCl
250 150 100 250 150 100
0.250 0.150 0.100 0.250 0.150 0.100
1.25 0.75 0.50 1.25 0.75 0.50
Urea SP-36 KCl Urea SP-36 KCl
250 150 100 250 150 100
0.250 0.150 0.100 0.250 0.150 0.100
1.25 0.75 0.50 1.25 0.75 0.50
SRI 3 cm
15 cm
Lampiran 6
Hari Setelah Semai 56
90
Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman contoh pada musim tanam pertama di Kelurahan Sindangbarang berbasis hari setelah semai (HSS)
Sumber Keragaman
Db
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhitung
Pr>F
RSquared
Blok Perlakuan Galat Total Blok Perlakuan Galat Total
4 1 4 9 4 1 4 9
4.954 117.649 6.221 128.824 20.136 0.484 15.976 36.596
1.238 117.649 1.555
0.80 75.65
0.585 0.001
0.952
5.043 0.484 3.944
1.26 0.12
0.414 0.745
0.563
32 Lampiran 7
Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap komponen hasil pada musim tanam pertama di Kelurahan Sindangbarang
Sumber Db Keragaman Blok 4 Jumlah Perlakuan 1 Anakan Galat 4 Produktif Total 9 Blok 4 Gabah 1 Kering Panen Perlakuan Ubinan Galat 4 (ton/ha) Total 9 Blok 4 Gabah 1 Kering Giling Perlakuan Ubinan Galat 4 (ton/ha) Total 9 Blok 4 Persentase Perlakuan 1 Gabah Galat 4 Hampa (%) Total 9 Parameter
Lampiran 8
Hari Setelah Panen
56
90
Jumlah Kuadrat 32.000 372.100 34.400 438.500 2.243 7.191 0.483 9.918 1.660 5.329 0.361 7.350 28.141 1.429 11.123 40.693
Kuadrat FTengah hitung 8.000 0.93 372.100 43.27 8.600
Pr>F 0.527 0.003
RSquared 0.922
0.561 7.191 0.121
4.64 59.52
0.083 0.001
0.951
0.415 5.329 0.090
4.60 59.10
0.084 0.001
0.951
7.035 1.429 2.781
2.53 0.51
0.195 0.513
0.727
Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman contoh pada tanaman ratun di Kelurahan Sindangbarang berbasis hari setelah panen (HSP)
Sumber Keragaman
Db
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhitung
Pr>F
RSquared
Blok Budidaya (M) Pemotongan (T) M*T Galat Total Blok Budidaya (M) Pemotongan (T) M*T Galat Total
4 1 1 1 12 19 4 1 1 1 12 19
117.856 151.250 0.450 0.272 130.944 400.772 89.744 91.022 12.800 60.089 165.811 419.467
29.464 151.250 0.450 0.272 10.912
2.70 3.86 0.04 0.02
0.082 0.022 0.027 0.026
0.673
22.436 91.022 12.800 15.022 18.423
1.218 4.941 0.695 0.815
0.232 0.036 0.068 0.067
0.605
33 Lampiran 9
Parameter
Jumlah Anakan Produktif
Gabah Kering Panen Ubinan (ton/ha)
Gabah Kering Giling Ubinan (ton/ha)
Persentase Gabah Hampa (%)
Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap komponen hasil pada tanaman ratun di Kelurahan Sindangbarang Sumber Keragaman Blok Budidaya (M) Pemotongan (T) M*T Galat Total Blok Budidaya (M) Pemotongan (T) M*T Galat Total Blok Budidaya (M) Pemotongan (T) M*T Galat Total Blok Budidaya (M) Pemotongan (T) M*T Galat Total
Kuadrat Tengah 552.73
Fhitung 1.801
Pr>F
R-Sq
4
Jumlah Kuadrat 2210.91
0.163
0.963
1
2753.42
2753.42
8.872
<.0001
1
22266.70
22266.70
72.561
<.0001
1 12 19 4
1377.80 3682.42 32291.20 0.161
1377.80 306.87
4.489
<.0001
0.040
0.40
0.805
1
8.818
8.818
87.72
<.0001
1
2.827
2.827
28.13
<.0001
1 12 19 4
0.116 1.206 13.128 0.118
0.116 0.100
1.15
<.0001
0.029
0.39
0.814
1
6.522
6.521
87.72
<.0001
1
2.091
2.091
28.13
<.0001
1 12 19 4
0.085 0.892 9.710 1.456
0.085 0.074
1.15
<.0001
0.364
0.34
0.846
1
0.001
0.001
0.00
0.486
1
1.113
1.113
1.04
0.771
1 12 19
1.658 12.867 17.095
1.658 1.072
1.54
0.713
Db
0.908
0.908
0.250
34 Lampiran 10 Pertumbuhan tanaman padi musim tanam pertama : (a) Penyemaian (b) 70 hari setelah semai (c) 95 hari setelah semai
(a)
(b)
(c)
35 Lampiran 11 Pertumbuhan tanaman ratun padi: (a) 10 hari setelah pemotongan (b) 60 hari setelah pemotongan (c) 90 hari setelah pemotongan
(a)
(b)
(c)
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1991 dari Ayah Drs. Budhi Sarmadha Usman dan Ibu Susatyorini, SE. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2009 penulis menamatkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 70 Jakarta, dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Biologi Tanah pada tahun ajaran 2012/2013, Bioteknologi Tanah pada tahun ajaran 2013/2014, dan Pengantar Ilmu Tanah 2013/2014. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Pelatihan Budidaya Padi Sawah Organik SRI di NOSC Nagrak-Sukabumi pada tahun 2013.