STUDI HISTOPATOLOGI POTENSI RADIOPROTEKTIF EKSTRAK KELOPAK ROSELA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP DUODENUM MENCIT (Mus musculus) DENGAN RADIASI IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
ENDAH MULIA NINGSIH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRAK ENDAH MULIA NINGSIH. Studi Histopatologi Potensi Radioprotektif Ekstrak Kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Duodenum Mencit (Mus musculus) dengan Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan DENI NOVIANA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi radioprotektif ekstrak kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang terhadap duodenum mencit (Mus musculus). Mencit yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 24 ekor yang dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu; kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan primer (P), kelompok perlakuan rosela (R), dan kelompok perlakuan radiasi rosela (RP). Pemberian NaCl fisiologis 0.9 untuk kelompok kontrol (K), NaCl fisiologis 0.9 untuk kelompok primer (P), ekstrak kelopak rosela untuk kelompok rosela (R), dan ekstrak kelopak rosela untuk kelompok radiasi-rosela (RP). NaCl fisiologis dan ekstrak kelopak rosela diberikan per oral setiap 2 hari sekali selama 8 minggu. Paparan radiasi diberikan khusus pada kelompok primer (P) dan kelompok radiasi rosela (RP). Pada kesemua kelompok diberi 4 minggu masa pemulihan setelah 8 minggu perlakuan. Gambaran histologi duodenum mencit dilihat pada preparat yang diwarnai dengan hematoksilin-eosin, sedangkan jumlah sel goblet dilihat pada preparat duodenum yang diwarnai dengan periodic acid Schiff. Hasilnya menunjukkan bahwa rosela memiliki keutuhan vili yang lebih tinggi dan jumlah sel goblet yang lebih rendah dibandingkan mencit kelompok perlakuan kontrol. Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menunjukkan adanya potensi radioprotektif terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang terhadap duodenum mencit (Mus musculus). Kata kunci: mencit, rosela, duodenum, histopatologi, radioprotektif
ABSTRACT ENDAH MULIA NINGSIH. Histopathology Study of Radioprotective Roselle Calyx Extract (Hibiscus sabdariffa L) Potency Against Recurrent Effect of Radiodiagnostic Radiation on Duodenum of Mice (Mus musculus). Under direction of SRI ESTUNINGSIH and DENI NOVIANA. This study was conducted to find out the potency of Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) as radioprotective against recurrent effect of radiodiagnostic radiation on duodenum of mice (Mus musculus). This research was to observed histophatological changes on duodenum of mice treated with roselle calyx extracts and radiation. Twenty four male mice were used in this study. They were divided into 4 groups namely control group (K) treated with 0.2 ml of NaCl 0.9 % (saline); primary radiation group (P) treated with 0.2 ml of NaCl 0.9 % (saline) and radiation 0.2 mSv; roselle group (R) treated with 0.2 ml roselle calyx extract; and primary radiation-roselle group (RP) treated with 0.2 ml roselle calyx extract and radiation 0.2 mSv. All treatments were done orally every two days for 8 weeks. Afterwards, 3 mice from each group were euthanized for organ sampling. The rest of mice were took 4 weeks of recovery. Afterwards, all mice were euthanized for organ sampling. Duodenum were fixed in Buffered Neutral Formaline (BNF) 10%, embedded in paraffin, then stained with hematoxyline and eosin (HE) and periodic-acid schiff (PAS). The result showed that RP group had lower demage of intestinal villi and numbers of goblet cell than P group. Lieberkühn crypt number of P group was increased, whereas intestinal villi height was decreased compared to R and RP groups. Roselle calyx extract (Hibiscus sabdariffa L.) showed radioprotective potency after radiation treatment on duodenum of mice. Keywords: mice, roselle, duodenum, hsitopathology, radioprotective
STUDI HISTOPATOLOGI POTENSI RADIOPROTEKTIF EKSTRAK KELOPAK ROSELA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP DUODENUM MENCIT (Mus musculus) DENGAN RADIASI IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
ENDAH MULIA NINGSIH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi Histopatologi Potensi Radioprotektif Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap Duodenum Mencit (Mus musculus) dengan Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Endah Mulia Ningsih B04070064
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
LEMBAR PENGESAHAN Judul skripsi
:
Nama
:
Studi Histopatologi Potensi Radioprotektif Ekstrak Kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap Duodenum Mencit (Mus musculus) dengan Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang Endah Mulia Ningsih
NIM
:
B04070064
Disetujui Komisi Pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, AP Vet NIP : 19600629 199002 2 001
drh. Deni Noviana, PhD NIP : 19721116 199512 2 003
Diketahui : a.n Dekan Wakil Dekan FKH IPB
Drh. Agus Setiyono, Msi, PhD APVet NIP : 19630810 198803 1 004
Tanggal lulus::
PRAKATA Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya berupa kekuatan lahir dan batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul skripsi ini ialah Studi Histopatologi pada Duodenum Mencit (Mus musculus) terhadap Potensi Radioprotektif Ekstrak Kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam Radiasi Radiodiagnostik Berulang yang dilaksanakan di Bagian Patologi dan Bagian Klinik Bedah FKH IPB pada bulan juni sampai mei 2011. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr.drh. Sri Estuningsih, M.Si dan drh.Deni Noviana, PhD selaku dosen pembimbing atas waktu, arahan, kritik dan saran yang mendukung terselesaikannya skripsi ini dengan baik. Terima kasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional RI, yang telah memberikan dana penelitian melalui Hibah Kompetensi, atas nama Dr .drh. Sri Estuningsih, MSi, drh. Deni Noviana, PhD dan drh. M. Fakhrul Ulum MSi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada drh. Vetnizah Juniantito PhD, dan drh. Mawar Subangkit atas saran dalam penulisan skripsi ini. Bapak Endang, Bapak Kasnadi, Bapak Sholeh dan Bapak Katim serta teman-teman satu penelitian (Griv, Bambang, Windy, dan Abas) yang telah banyak membantu penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mom, Kakak, Ayu’, dan keponakan (H. Patar, Hj. Partini, Wahyudi, Elina Malau, Evi Dwi Yanti, ST, A. Snurin, SPt, Bayu Triono, ST, Putra, Raisha, Fairuz, & Aisyah), serta keluarga besar atas doa, semangat, cinta, dan kesabaran yang telah diberikan. Selanjutnya terima kasih penulis ucapkan kepada drh. Supratikno, MSi, keluarga Al-Iffah, Alafkar circle, drh Devi Paramitha, dan angkatan 44 Gianuzzi FKH IPB. Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Bogor, Agustus 2012
Endah Mulia Ningsih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang – Sumatera Selatan, 18 Maret 1990, dari pasangan H. Patar dan Hj. Partini. Penulis merupakan bungsu dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikannya di SMAN 4 Palembang pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam FORCES IPB sebagai staf club study (2007-2009), BEM FKH IPB sebagai sekertaris Departemen Kebijakan Publik (2008-2009), menjadi anggota Departemen Keputrian DKM An-Nahl FKH IPB (2008-2009), anggota biasa HIMPRO HKSA FKH IPB (2008-2010) dan sebagai tim Program & Fund Raising Program Kakak Asuh (Pro KA) (2010sekarang). Menjadi delegasi Indonesia dalam ajang IVSA South Korea 2011, partisipan dalam acara seminar Internasional “Aceh Develomental International Conference” 2011 dan poster ilmiah dalam ajang ” South east Asia Veterinary School Association” 2011.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR. ...................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
vi
1. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1
1.2 Tujuan. .............................................................................................
2
1.3 Manfaat ............................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
4
2.1 Radiasi .............................................................................................
4
2.1.1 Sinar- X ....................................................................................
4
2.1.2 Pemanfaatan Sinar-X Dalam Dunia Medis ................................
5
2.1.3 Efek Radiasi Ionisasi.................................................................
6
2.2 Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) ........................................................
7
2.2.1 Karakteristik Rosela ..................................................................
7
2.2.2 Pemanfaatan Rosela di Masyarakat ...........................................
8
2.2.3 Komposisi Kimia Rosela...........................................................
9
2.3 Mencit (Mus musculus) ....................................................................
11
2.4 Duodenum........................................................................................
13
2.4.1 Anatomi Dan Histologi Duodenum ...........................................
13
2.5 Kondisi Patologis Pada Sel Usus ......................................................
18
2.5.1 Apoptosis Epitel Usus ...............................................................
18
2.5.2 Degenerasi Epitel Dan Atrofi Vili Usus ....................................
21
3. METODE PENELITIAN ..........................................................................
24
3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian ..........................................................
24
3.2 Materi ..............................................................................................
24
3.2.1 Hewan Percobaan .....................................................................
24
3.2.2 Ekstrak Kelopak Bunga Rosela .................................................
24
ii
3.2.3 Bahan Dan Alat ........................................................................
25
3.3 Prosedur Penelitian ...........................................................................
26
3.3.1 Aklimatisasi dan pre- treatment Mencit ....................................
26
3.3.2 Perlakuan Terhadap Hewan Percobaan .....................................
27
3.3.3 Pemberian Radiasi ....................................................................
28
3.3.4 Pemberian Ekstrak Rosela ........................................................
28
3.3.5 Nekropsi ...................................................................................
28
3.3.6 Pembuatan Sediaan Histopatologi .............................................
29
3.3.7 Pengamatan Histopatologi ........................................................
30
3.3.8 Analisis Data ............................................................................
31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
33
4.1 Kerusakan Vili Duodenum ...............................................................
34
4.2 Rataan Jumlah Kripta Duodenum .....................................................
40
4.3 Rataan Jumlah Sel Goblet Duodenum...............................................
45
4.4 Rataan Jumlah Sel Radang ...............................................................
49
4.5 Rataan Tinggi Vili Duodenum ..........................................................
54
4.6 Gambaran Umum Pengamatan Histopatologi Duodenum Mencit .....
58
5. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
61
5.1 Simpulan ..........................................................................................
61
5.2 Saran ................................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
62
LAMPIRAN ................................................................................................
71
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Kandungan gizi dalam 100 g kelopak segar bunga rosela .......................
9
2.
Hasil uji fisikokimia dalam 100 g kelopak segar bunga rosela ................
9
3.
Hasil uji fitokimia ekstrak kelopak bunga rosela ....................................
10
4.
Kelompok mencit perlakuan ...................................................................
27
5.
Rataan persentase kerusakan vili duodenum(%) .....................................
34
6.
Rataan jumlah kripta pada duodenum (sel) .............................................
40
7.
Rataan jumlah sel goblet pada duodenum (sel) .......................................
45
8.
Rataan jumlah sel radang pada duodenum (sel) ......................................
49
9.
Rataan tinggi vili duodenum (µm2 ) .............................................
55
10.Aktifitas antioksidan rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap kerusakan sel akibat radiasi dengan media ekstraksi berbeda...................................
60
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Daya tembus radiasi ionisasi .........................................................
4
2.
Tanaman rosela .............................................................................
7
3.
Mencit ..........................................................................................
11
4.
Struktur mikroskopis usus mencit .................................................
13
5.
Struktur histologi duodenum .........................................................
14
6.
Gambaran mikroskopis vili duodenum ..........................................
16
7.
Histologi submukosa usus .............................................................
17
8.
Gambaran sel apoptosis pada kripta duodenum .............................
20
9.
Mekanisme apoptosis sel ..............................................................
21
10.
Diagram alur kemungkinan paparan sinar-X seluler pada sel normal ..........................................................................................
21
11.
Gambaran vili usus halus yang mengalami degenerasi ...................
22
12.
Gambaran histologi vili duodenum mencit yang atrofi ..................
23
13.
Kandang mencit dengan alas kandang berupa serbuk gergaji .........
26
14.
Pencekokan bahan perlakuan (NaCl dan ekstrak kelopak bunga rosela) pada mencit .............................................................
28
15. Alur penelitian ...............................................................................
32
16.
Mekanisme kerusakan sel akibat radiasi ........................................
35
17.
Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv) ..............................................................
18.
Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi ......................................................
19.
44
Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv) ..............................................................
22.
42
Fotografi mikro kripta Lieberkuhn pada duodenum mencit setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi ............................
21.
38
Fotografi mikro kripta Lieberkuhn pada duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv) ...............................................
20.
37
46
Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 4 minggu .........................................................................................
47
vv
23.
Mekanisme akibat yang terjadi karena hadirnya ROS (Reactive Oxygen Species) pada sel ..............................................................
24.
Fotografi mikro sel radang di submukosa duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv) ...............................................
25.
28.
53
Fotografi mikro tinggi vili duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi(5.3 mSv)............................................................................
27.
52
Fotografi mikro sel radang pada submukosa duodenum setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi ...................................................
26.
51
55
Fotografi mikro tinggi vili pada duodenum setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi ...................................................................
56
Mekanisme pemutusan efek radiasi ionisasi oleh antioksidan ........
58
vi
LAMPIRAN Halaman 1.
Diagram alir pembuatan sediaan (preparat) histopatologi organ usus halsus mencit percobaan .................................................................
70
2. Diagram alir pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE) pada sediaan (preparat) duodenum mencit percobaan ...................................................
71
3. Diagram alir pewarnaan Periodic acid Schiff (PAS) pada sediaan (preparat) duodenum mencit percobaan ...................................................
72
4. Uji statistik(ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap % kerusakan vili duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemulihan ................................................................................
73
5. Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah sel goblet di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemulihan ................................................................................
75
6. Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah kripta di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemulihan ................................................................................
77
7. Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah sel radang di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemulihan ................................................................................
79
8. Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap tinggi vili di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemulihan ................................................................................
80
9. Uji fitokimia ekstrak kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L).................................
81
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radiasi sinar-X pertama kali ditemukan oleh Wilhelm Conrad Roentgen di Jerman pada November 1895 (Turner 2007). Menurut Thrall (2002), energi yang dihasilkan oleh sinar-X merupakan energi radiasi ionisasi yang berbahaya bagi kesehatan jika penggunaanya tidak memenuhi aturan baik secara prosedur maupun besaran dosis. Kerusakan yang disebabkan oleh energi radiasi sinar-X dapat berupa kerusakan langsung terjadi yang disebut dengan deterministic effect dan kerusakan tertunda untuk kurun waktu tertentu berupa stockastick effect (Little 2003). Kerusakan oleh radiasi ionisasi akan menyebabkan terjadinya apoptosis pada sel (Wahl dan Carr 2001; Bratton dan Cohen 2001). Menurut Thrall (2002), apoptosis pada sel disebabkan oleh terbentuknya pasangan elektron bebas dengan sel tubuh berupa radikal bebas sehingga terjadi efek ionisasi pada jaringan. Penyebab lainnya ialah adanya reaksi antara sinar-X dengan DNA dalam sel yang mengakibatkan kerusakan basa nukleotida dan DNA cross linkage. Jika efek tersebut tidak dapat diminimalisir dan diperbaiki secara enzimatis, maka akan mengakibatkan kematian sel atau apoptosis. Beberapa organ yang peka terhadap sinar-X diantaranya organ hematopoiesis, gastrointestinal, limfoid atau imun dan testis atau sel spermatozoa (Smirnova 2011; Brooks 2005). Radiasi sinar-X pada beberapa dekade terakhir digunakan sebagai sarana penunjang radiodiagnostik dan radioterapi baik di dunia kedokteran manusia pun kedokteran hewan (Smirnova 2011). Penunjang radiodiagnostik yang sering diaplikasikan dalam bidang medis ialah roentgen. Roentgen sangat menunjang dalam penegakkan diagnosa, treatment yang akan dilakukan terhadap pasien dan sebagai health record atau catatan perkembangan kesehatan pasien. Menurut Tjokronagoro (2001) dalam Riyatun et al. (2011), radioterapi ialah pemanfaatan sinar-X untuk memberikan efek terapi terhadap sel-sel yang mengalami mitosis berlebihan atau sel kanker. Radiasi akan merusak sel-sel kanker sehingga proses multiplikasi atau pembelahan sel-sel kanker akan terhambat. Sebagian besar selsel sehat akan bisa pulih kembali dari pengaruh radiasi, namun kerusakan yang terjadi pada sel-sel yang sehat merupakan penyebab terjadinya efek buruk radiasi.
2
Radiodiagnostik maupun radioterapi tidak selalu memberi efek baik akan tetapi juga terdapat efek buruk pada sel atau jaringan. Jaringan yang terpapar sinar-X akan mengalami efek langsung berupa kerusakan DNA dalam sel maupun efek tidak langsung berupa dekomposisi radiolisis pada sel. Efek yang terjadi pada sel atau jaringan akan berbeda-beda sesuai dengan sensitivitasnya terhadap radiasi sinar-X. Organ gastrointestinal atau usus merupakan salah satu organ yang sangat sensitif terhadap paparan radiasi sinar-X (USNRC 2000). Menurut Thrall (2002), organ gastrointestinal atau usus yang tersusun atas sel-sel yang aktif membelah, seperti epitel silindris selapis yang terdapat pada permukaan mukosa organ. Efek sinar-X terhadap sel-sel yang aktif membelah memiliki probabilitas kerusakan yang lebih besar dari pada sel-sel yang tidak aktif membelah. Dengan adanya efek buruk dari paparan radiasi sinar-X tersebut maka dibutuhkan
adanya
senyawa
radioprotektif
berupa
antioksidan
untuk
mengoptimalkan manfaat pengaplikasian sinar-X di dunia kedokteran. Kini pemanfaatan antioksidan dari tanaman tradisional atau herbal banyak diminati masyarakat. Salah satunya ialah rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Rosela merupakan tanaman tropis yang banyak ditemukan di Indonesia. Penelitian tentang rosela sebagai tanaman obat tradisional dalam bentuk sediaan teh merah untuk pengobatan berbagai jenis penyakit sudah dilaporkan oleh Khosravi et al. (2009). Namun penelitian mengenai potensi tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam radiasi ionisasi diagnostik dosis rendah secara berulang belum pernah dilaporkan.
1.2 Tujuan Penelitian Mengetahui potensi radioprotektif ekstrak kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap duodenum mencit (Mus musculus) dengan radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang.
1.3 Manfaat Memberikan informasi potensi radioprotektif ekstrak kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam mengurangi kerusakan akibat radiasi ionisasi
3
radiodiagnostik berulang terhadap organ viseral, khususnya duodenum mencit (Mus musculus).
4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiasi Radiasi adalah pemancaran atau pengeluaran dan perambatan energi menembus ruang atau sebuah substansi dalam gelombang atau partikel. Partikel radiasi terdiri dari atom atau sub-atom yang mempunyai massa dan bergerak, menyebar dengan kecepatan tinggi menggunakan energi kinetik (Anonimous 2011). Berdasarkan kemampuan dalam ionisasi, radiasi terbagi dalam dua jenis yaitu radiasi ionisasi dan radiasi non-ionisasi. Radiasi ionisasi didefinisikan sebagai suatu radiasi yang memiliki energi yang cukup untuk memindahkan elektron dari molekulnya serta mampu merusak ikatan kimia. Radiasi ionisasi merupakan radiasi elektromagnetik berupa sinar-x dan sinar-ɤ atau partikel sub-atom berupa proton, neutron, dan partikel-α dan β (NCR 2006) (Gambar 1). Menurut Fajardo et al. (2001), radiasi ionisasi dapat merusak keutuhan ikatan molekul dan perubahan partikel atau ion. Konsekuensi proses ini pada tubuh meliputi perubahan kimiawi sel berupa inisiasi kematian sel dan potensi berbahaya lainnya.
Gambar 1 Daya tembus radiasi ionisasi (partikel radiasi alpha, beta, gamma, xray, dan neutron) (Anonimous 2012). 2.1.1 Sinar- X Radiasi ionisasi sinar-X termasuk dalam golongan radiasi elektromagnetik. Panjang sinar-X 10-0.01 nanometer, frekuensi 30 petahertz–30 exahertz (30 x 1015 Hz sampai 30 x 1018 Hz) dan memiliki energi 120 elektron Volt–120 Kiloelektron
5
Volt. Gelombang ini lebih pendek dari panjang gelombang sinar ultra violet (Thrall 2002).
2.1.2 Pemanfaatan Sinar-X dalam Dunia Medis Sejak pertama kali sinar-X ditemukan sudah berkembang sangat pesat sebagai sarana radiodiagnostik untuk menghasilkan gambaran medis. Dunia kedokteran hewan memanfaatkan sinar-X sejak tahun 1970 di Eropa. Ilmu yang mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan pemanfaatan energi radiasi disebut dengan radiologi. Pemanfaatan energi radiasi ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana radiodiagnostik dan radioterapi. Radiografer memanfaatkan sinarX untuk menghasilkan gambaran diagnostik yang dapat membantu mendeteksi berbagai kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang (Thrall 2002; McCurnin dan Bassert 2006). RÖntgen merupakan sarana radiodiagnostik yang sudah berkembang dengan pesat dalam menunjang diagnosa. RÖntgen atau sinar-X menghasilkan energi radiasi ionisasi yang berbahaya bagi kesehatan. Sejak tahun 2005 pemerintah Amerika Serikat memasukan sinar-X dalam daftar penyebab terjadinya kanker. Penggunaan sarana radiodiagnostik sinar-X di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum dan Noviana 2008). Menurut Nicholas dan Robert (2007) radioterapi ialah pemanfaatan radiasi sinar-X atau sinar-Gamma yang dipajankan terhadap sel-sel malignan. Pada masing-masing penyakit malignan digunakan dosis dan frekuensi paparan yang berbeda. Menurut Tjokronagoro (2001) dalam Riyatun (2011), radioterapi didefinisikan sebagai pemanfaatan sinar-X untuk memberikan efek terapi terhadap sel-sel yang mengalami mitosis berlebihan atau sel kanker. Radiasi akan merusak sel-sel kanker sehingga proses multiplikasi atau pembelahan sel-sel kanker akan terhambat.
2.1.3 Efek Radiasi Ionisasi Sinar-X merupakan bentuk radiasi ionisasi yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Disamping memiliki nilai positif sebagai sarana radiodiagnostik,
6
radiasi ionisasi sinar-X dapat menyebabkan kerusakan luar biasa pada jaringan tubuh yang terpapar. Jumlah radiasi ionisasi terendah yang mampu menginisiasi terbentuknya kanker adalah 50 mSv. Badan pengawas Nuklir Amerika Serikat atau disebut NCR (Nuclear Regulatory Commision) membatasi jumlah dosis okupasional pada orang dewasa tidak boleh melebihi 0.05 Sv (5 rem/tahun) (Thrall 2002). BAPETEN sebagai badan pengawas tenaga nuklir nasional di Indonesia mengatur bahwa dosis maksimum pekerja radiasi adalah 20 mSv rata-rata dalam 5 tahun (Ulum dan Noviana 2008). Dosis 50 mSv/tahun yang diterima dari radiasi alam di berbagai bagian bumi tidak berbahaya bagi penduduk setempat. Akan tetapi pada dosis 100 mSv/tahun memacu terjadinya kanker dengan semakin meningkatnya dosis yang diterima. Kejadian kanker terjadi pada 5 dari 100 orang atau sekitar 5% dengan dosis 1000 mSv. Kejadian umum berupa kanker pada dosis tersebut sekitar 25% dan mampu meningkat menjadi 30%. Semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat sensitif terhadap radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah dari sinar RÖntgen oleh jaringan akan mengakibatkan perubahan dan kerusakan pada sel (McCurnin dan Bassert 2006). Sinar-X membentuk radikal bebas yang berakibat kerusakan atau hilangnya elektron atom dari jaringan yang terpapar. Tubuh sebagian besar terdiri atas komponen air sekitar 70% sehingga radiasi ionisasi akan mengubah susunan molekul air membentuk radikal bebas secara aktif. Jumlah radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan. Daya sensitifitas dan regenerasi tiap jaringan berbeda-beda sehingga efek yang ditimbulkan akan berbeda sesuai dengan jenis jaringan dan dosis radiasi yang diterima. Efek yang ditimbulkan berupa abnormalitas jaringan hingga kematian. Jaringan yang sangat aktif membelah seperti usus dan sumsum tulang akan memperlihatkan efek yang sangat besar. Sebaliknya pada jaringan yang tidak aktif membelah seperti otot dan tulang akan menimbulkan sedikit efek (Thrall 2002).
7
2.2 Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) 2.2.1 Karakteristik Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tanaman dari genus hibiscus yang banyak ditemukan di wilayah tropis. Rosela termasuk ke dalam anggota famili Malvaceae yang dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan subtropis. Habitat asli rosela terbentang dari India hingga Malaysia (Maryani dan Kristiana 2005). Gambar 2 dapat dilihat gambar rosela yang tumbuh di Indonesia.
Gambar 2 Tanaman rosela (Maryani dan Kristiana 2005). Klasifikasi ilmiah rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menurut Widyanto dan Nelistya 2009: kelas : Plantae ordo : Malvales famili : Malvaceae genus : Hibiscus spesies : H. sabdariffa L. Tanaman rosela berbentuk semak yang berdiri tegak dengan tinggi 3-5 m. Ketika masih muda, batang dan daunnya berwarna hijau. Ketika beranjak dewasa dan masih berbunga, batangnya berwarna cokelat kemerahan. Batang berbentuk silindris dan berkayu, serta memiliki banyak percabangan. Batang terdapat daundaun yang tersusun berseling, berwarna hijau, berbentuk bulat telur dengan pertulangan menjari dan tepi meringgit. Ujung daun ada yang runcing atau menguncup. Tulang daunnya berwarna merah. Panjang daun dapat mencapai 6-15
8
cm dan lebar 5-8 cm. Akar yang menopang batangnya berupa akar tunggang (Widyanto dan Nelistya 2009).
2.2.2 Pemanfaatan Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam Masyarakat Penelitian tentang rosela sebagai tanaman obat tradisional dalam bentuk sediaan teh merah untuk pengobatan berbagai jenis penyakit sudah dilaporkan oleh Khosravi et al. (2009). Sedangkan efek rosela dalam melawan tetra-butyl hydroperoxide yang memiliki toksisitas pada hati juga sudah dilaporkan sebelumnya oleh Wang et al. (2000). Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional untuk mengobati berbagai kasus penyakit seperti hipertensi, infeksi saluran perkemihan, dan kardioprotektif (Wang et al. 2000; Odigie et al. 2003; Olaleye 2007), sebagai antioksidan dan memiliki efek hepatoprotektif pada berbagai hewan (Amin dan Hamza 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rostinawati (2008), ekstrak etanol rosela mempunyai aktivitas terhadap Mycobacterium tuberculosis galur H37Rv dan Mycobacterium tuberculosis galur Labkes-026 (multi-drug resisten). Rosela masih belum banyak dimanfaatkan di bidang kedokteran Indonesia. Minuman berbahan rosela beberapa tahun terakhir mulai banyak dikenal sebagai minuman kesehatan. Bahan minuman dari rosela seperti sirup dan teh juga sudah dapat diperoleh di pasar swalayan. Pemanfaatan dan khasiat rosela dalam dunia pengobatan sudah tidak asing lagi di negara-negara lain (Maryani dan Kristiana 2005). Penduduk di Meksiko termasuk juga Afrika dan Asia, telah memanfaatkan tanaman ini untuk berbagai keperluan pengobatan herbal dengan memanfaatkan berbagai bagian dari tanaman ini (Khosravi et al. 2009).
2.2.3 Komposisi Kimia Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Tanaman
Rosela
(Hibiscus
sabdariffa
L.)
banyak
mengandung
anthocyanin dan vitamin C. Sediaan kering dari ekstrak bunga rosela mengandung flavonoid seperti gesypetin, hibiscetine, dan sabdaretine. Pigmen dari bunga sebagian
besar
daphniphylline.
terdiri atas Delphinidin
hibiscin
yang
3-monoglucoside,
telah diidentifikasi cyanidin
sebagai
3-monoglucoside
9
(chrysanthenin) dan delphnidin juga teridentifikasi dalam jumlah kecil (Wang et al. 2000). Menurut Maryani dan Kristiana (2005), secara umum komposisi kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Tabel 1 yang disajikan sebagai berikut. Tabel 1 Kandungan gizi dalam 100 g kelopak segar bunga rosela Zat
Jumlah
Kalori 44 kal Air 86.2 % Protein 1.6 g Lemak 0.1 g Karbohidrat 1.1 g Serat 2.5 g Abu 1.0 g Kalsium 160 mg Fosfor 60 mg Sumber: Maryani dan Kristiana (2005)
Zat
Jumlah
Besi Betakaroten Asam askorbat Tiamin Riboflavin Niasin Sufida Nitrogen
3.8 mg 285 mg 14 mg 0.04 mg 0.6 mg 0.5 mg -
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa rosela memiliki kadar air yang tinggi dan 2.5 % kandungannya ialah serat yang sangat dibutuhkan tubuh dalam proses pencernaan. Sedangkan hasil pengujian fisikokimia kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Hasil uji fisikokimia dalam 100 g kelopak segar bunga rosela Nama Senyawa
Jumlah
Campuran asam sitrat dan asam malat
13%
Antosianin yaitu gossypetin dan hisbiscin
2%
Vitamin C
0.004-0.005%
Protein
14.6%
Sumber: Maryani dan Kristiana (2005)
Tabel 2 menunjukkan bahwa bunga rosela memiliki kandungan asam sitrat yang cukup tinggi. Menurut Fasoyiro et al (2005), asam sitrat diketahui memiliki kemampuan mengikat logam dan membentuk komplek dengan protein. Kandungan vitamin C atau asam askorbat pada rosela lebih tinggi dari pada jeruk dan mangga. Sedangkan pengujian terhadap kadar senyawa aktif yang terkandung dalam kelopak bunga rosela dapat diperoleh dari hasil uji fitokimia yang tersajikan pada Tabel 3 berikut.
10
Tabel 3 Hasil uji fitokimia ekstrak kelopak bunga rosela Nama sampel
Parameter uji
Hasil
Satuan
Teknik analisa
Wagner Meyer
positif positif
-
kualitatif kualitatif
Dragendorf
positif negatif
-
kualitatif kualitatif
Fitokimia Alkaloid Ekstrak kelopak bunga Rosela
Hidroquinon
Tanin positif kualitatif Flavonoid positif kualitatif Saponin positif kualitatif Steroid negatif kualitatif Triterpenoid negatif kualitatif Ket: Hasil pengujian fitokimia ekstrak kelopak bunga Rosela, Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB No. sertifikat 008/I3.11.8/LUB-CA/XI/2010 [18 November 2010].
Berdasarkan Tabel 3 yang disajikan di atas dapat diketahui senyawa aktif yang paling berpengaruh dalam penelitian. Fitokonstituen yang ditemukan dalam ekstrak bunga rosela berupa flavonoid, polisakarida, dan asam organik, berpengaruh terhadap aktivitas farmakologinya (Husaini et al. 2004). Bunga rosela diketahui memiliki asam sitrat, tanin, dan glukosida seperti delfinidin-3monoglukosida dan delfinidin yang pada konsentrasi tinggi bersifat toksik bagi jaringan hewan dan manusia (Ojokoh 2002). Tanin merupakan senyawa fenol dimana derajat hidroksilasi dan ukuran molekulnya dapat membentuk komplek dengan protein (Ojokoh 2006). Menurut Aletor (1993), asam sitrat memiliki kemampuan mengikat logam, membentuk komplek dengan protein. Penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa glukosida sianogenik secara umum bersifat menghambat proses katalisis enzim.
2.3 Mencit (Mus musculus) Mencit (Mus musculus) merupakan hewan rodensia yang cepat berkembangbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar, serta sifat anatomis dan fisiologis terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono 1989). Mencit telah digunakan sebagai subyek penelitian sejak abad ke-19. Hingga kini, mencit menjadi hewan penelitian yang paling banyak dipakai untuk mempelajari teratologi, genetik, gerontologi, toksikologi, dan karsinogenitas. Alasan penggunaan mencit sebagai hewan coba yaitu
11
memiliki potensial reproduksi yang tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka hidup yang pendek, berukuran kecil, dan harga relatif murah (Sirois 2005). Gambar mencit disajikan pada Gambar 2.
Gambar 3 Mencit strain DDY (Laboratorium Patologi FKH IPB). Mencit di atas memiliki sistem taksonomi sebagai berikut (Besselsen 2004) : kingdom
: Animalia
filum
: Chordata
subfilum
: Vertebrata
kelas
: Mamalia
subkelas
: Theria
ordo
: Rodensia
famili
: Muridae
genus
: Mus
spesies
: Mus musculus Mus musculus sering dijadikan sebagai hewan percobaan. Berbagai
macam strain mencit yang dapat digunakan inbred maupun outbred dengan karyotipnya yang telah diketahui. Pada kenyataannya, susunan genom mencit telah banyak diketahui dari pada spesies lain. Oleh karena itu mencit banyak digunakan sebagai hewan coba mengenai genom mencit (Wolfensohn dan Lloyd 1998). Menurut Malole dan Pramono (1989), pemilihan hewan percobaan untuk kepentingan
diagnosis
harus
mempertimbangkan
spesies
dan
kondisi
12
fisiologisnya. Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh antraks dan rabies sebaiknya menggunakan hewan coba mencit, sedangkan diagnosis penyakit akibat enterobaktericeae dapat menggunakan hewan coba mencit maupun tikus. Hewan percobaan kelinci baik digunakan pada penelitian mengenai hiperkolesterolemia karena peka terhadap kolesterol dan dapat menyimpan lemak tubuh dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap pakan yang mengandung kolesterol (Sirois 2005). Mus musculus memiliki ciri ukuran tubuh yang kecil sehingga mudah ditangani dan dikembangbiakkan. Ekor mencit hanya ditutupi oleh rambut-rambut halus. Berbeda dengan tikus dan mamalia lain, sumsum dari tulang panjang mencit selalu aktif seumur hidupnya. Sama halnya dengan tikus, mencit memiliki beberapa kelenjar diantaranya, saliva, paratoid (serous), submaxillary, dan sublingual. Ditemukan pula kelenjar Harderian. Mencit memiliki sinus orbitalis sedangkan tikus memiliki plexus orbitalis. Rata-rata umur Mus musculus 1 sampai 3 tahun dengan berat badan umum mencit jantan dewasa berkisar 20 sampai 40 gram dan betina 22 sampai 63 gram. Mencit memasuki usia dewasa pada umur 6 minggu, masa bunting selama 19 sampai 21 hari (Sirois 2005). Penelitian ini menggunakan Mus musculus dengan strain DDY (Deutch Democratic Yokohama) yang sering digunakan dalam banyak penelitian tentang malformasi dan imunologi. Strain ini sangat baik untuk penelitian mengenai malformasi hewan yakni sensitifitas terhadap efek letal radiasi embrio mencit pada tahap preimplantasi, sehingga dapat mempengaruhi hereditas. Sedangkan dalam penelitian imunologi, timbulnya penyakit pada strain ini tidak tinggi, kemungkinan disebabkan oleh latar belakang genetik yang heterogen. Selain itu strain DDY juga dilaporkan mempunyai perkembangan yang cepat, berumur panjang, dan memproduksi immunoglobulin A (Ig A) yang mirip dengan manusia (Gu et al. 2002; Miyawaki et al. 1997). Pada bidang kedokteran, hewan percobaan banyak digunakan untuk keperluan diagnosis. Penelitian-penelitian medis untuk kepentingan manusia sering dilakukan menggunakan hewan percobaan. Menurut Wolfenshon dan Lloyd (1998), hewan percobaan terbagi atas 5 kelompok, yaitu (1) hewan laboratorium berukuran kecil, seperti mencit, tikus, dan kelinci, (2) karnivora,
13
seperti kucing dan anjing; (3) primata, seperti Macaca dan babon, (4) hewan domestik besar, seperti domba, sapi, dan (5) kelompok hewan lainnya, seperti unggas.
2.4 Duodenum 2.4.1 Anatomi dan Histologi Duodenum Duodenum merupakan bagian dari usus halus yang berperan dalam sistem pencernaan. Fungsi utama saluran pencernaan yaitu mencerna dan memecah makanan di dalam lumennya menjadi molekul yang lebih kecil dan sederhana yang bisa diserap oleh sirkulasi tubuh untuk menunjang kehidupan organisme (Frappier 2006). Duodenum merupakan organ tubular yang terbentang dari pilorus ke usus besar (Genesser 1994). Panjang usus halus mulai pilorus sampai ileum mencit dewasa kira-kira 35 cm, sedangkan panjang usus besar mulai kolon sampai sekum mencit dewasa kira-kira 14 cm (Shackelford dan Elwell 1999). Secara makroskopis, lapisan-lapisan penyusun dinding duodenum mulai dari dalam ke luar lumen usus terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa (Shackelford dan Elwell 1999; Frappier 2006).
Gambar 4 Struktur mikroskopis usus mencit (SAHB 2009).
14
Secara mikroskopis, lapisan-lapisan penyusun dinding duodenum (usus halus) mulai dari dalam ke luar terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa (Gambar 4) (Shackelford dan Elwell 1999; Frappier 2006). Dinding duodenum kaya
akan pembuluh
darah yang
mengangkut zat-zat nutrisi menuju hati melalui vena porta. Di dinding duodenum melepaskan lendir, air dan sejumlah kecil enzim. Lendir yang dihasilkan b e r f u ng s i
u nt u k
m e lumasi isi usus, air untuk membantu
melarutkan molekul-molekul makanan yang dicerna, dan sejumlah kecil enzim yang membantu proses pencernaan (Guyton dan Hall 1997). Struktur histologi duodenum disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur histologi duodenum. (S) serosa, (ME) muskularis eksterna, (L) longitudinal, (C) sirkular, (SubM) submukosa, (BGI) kelenjar Brunner, (D) duktus kelenjar Burner, (MM) muskularis mukosa, (Muc) mukosa, dan (V) vili (Ross et al. 2002). Tunika mukosa terdiri atas epitel, kelenjar intestinal, dan lamina propria. Bagian tunika submukosa dapat dilihat adanya kelenjar Brunner atau elenjar submukosa yang hanya terdapat pada bagian pangkal duodenum (Frappier 2006). Epitel usus halus berbentuk epitel kolumnar selapis yang terdiri atas sel absortif, sel goblet, sel endokrin dan sel peaneth (Genesser 1994). Lamina propria terdiri atas jaringan ikat retikuler dan fibroplastik yang longgar dan kaya pembuluh darah, buluh khil (lacteal), saraf maupun otot licin (Shackelford dan Elwell 1999). Menurut Dellmann dan Brown (1992) menyatakan bahwa pencernaan di usus halus ditunjang oleh bentuk khusus pada tunika mukosa, yakni vili (Gambar 5 (V). Vili merupakan penjuluran mukosa yang berbentuk jari dan merupakan ciri
15
khas usus halus. Vili tersusun atas kumpulan sel epitel silindris sebaris yang berjejer dan jaringan ikat longgar lamina propria (Junqueira dan Carneiro 2005). Tinggi vili ini bervariasi bergantung pada daerah dan jenis hewannya. Pada karnivora, vili langsing dan panjang, sedangkan pada sapi vili pendek dan lebar. Panjang vili usus halus pada mencit dewasa lebih panjang dari pada mencit neonatus (Shackelford dan Elwell 1999). Sehingga luas permukaan ditingkatkan oleh mikrovili. Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili. Vili dan mikrovili berfungsi memperluas permukaan usus halus sehingga penyerapan lebih efisien (Dellmann dan Brown 1992). Kerusakan mikrovili dan atrofi vili usus halus dapat mengganggu penyerapan nutrisi (malabsorbtion syndrome) (Junqueira dan Carneiro 2005). Secara histologis, duodenum pada manusia maupun hewan memiliki jumlah vili yang banyak, tinggi, dan berbentuk seperti lembaran daun. Duodenum juga memiliki kripta dan kelenjar Lieberkühn dengan jumlah dan keadaan yang paling baik. Selain itu, terdapat kelenjar submukosa (Brunner). Jejenum hampir mirip dengan duodenum tetapi vilinya lebih kecil dan lebih banyak. Jejenum tidak terlalu tampak adanya kelenjar submukosa (Brunner) namun jejenum memiliki banyak sel goblet pada permukaan vilinya. Ileum adalah bagian akhir dari usus halus, bentuk vilinya seperti ibu jari dengan jumlah kelenjar Liberkhün yang sedikit. Ileum memiliki lebih sedikit sel goblet namun dilengkapi dengan jaringan limfatik yang lebih besar yaitu daun Peyer (Junqueira dan Carneiro 2005; Samuelson 2007). Selain struktur lapis penutupnya, vili memiliki struktur jaringan lunak pada bagian dalam yakni lamina propria. Menurut Ross et al. (2002), lamina propria dilengkapi dengan jaringan limfatikus yang berfungsi sebagai pertahanan imunologis terintegrasi yang mampu mencegah patogen maupun substansi antigen lainnya yang berpotensi masuk ke dalam mukosa dari lumen saluran cerna (usus). Jaringan limfatikus terdiri dari oleh jaringan limfatikus yang menyebar (limfosit dan sel plasma) di dalam lamina propria, transient limfosit yang terdapat pada ruang antar epitel, nodul limfatik, eosinofil, makrofag dan terkadang neutrofil. Gambaran mikroskopis vili duodenum disajikan pada Gambar 6.
16
Epitel silindris sebaris
Sel Goblet Sel otot fibroblas
halus/ lakteal lacteal
Gambar 6 Gambaran mikroskopis vili duodenum (Ross et al. 2002). Daerah mukosa (Gambar 5), diantara dasar-dasar vili terdapat kelenjarkelenjar yang meluas ke bagian bawah mukosa yang disebut kripta Lieberkühn. Kripta Lieberkühn memiliki struktur tubular sederhana yang meluas dari daerah muskularis mukosa menuju ke lamina propria. Sel-sel kripta menyediakan sel-sel baru untuk menggantikan sel-sel permukaan vili yang terbuang ke dalam lumen usus (Bevelender dan Ramaley 1988). Menurut Samuelson (2007), di bagian bawah vili baik pada manusia maupun hewan (mamalia dan unggas) terdapat kripta dan kelenjar Lieberkühn yang terdiri atas stem sel atau sel punca, sel goblet, sel Panet dan sel enteroendokrin. Pada mencit dewasa, sel kripta epitel usus bermitosis setiap 10-14 jam dan waktu transit sel dari kripta ke ujung vili terjadi selama 48 jam (Shackelford dan Elwell 1999).
17
B
C
A
Muskularis mukosa
Gambar 7 Histologi submukosa usus A) kripta Lieberkühn, B) sel Paneth usus dan C) limfosit (Ross et al. 2002). Epitel usus halus berbentuk epitel silindris selapis (Gambar 6) yang terdiri atas sel absortif, sel goblet, sel endokrin dan sel paneth (Genesser 1994). Lamina propria terdiri atas jaringan ikat retikuler dan fibroplastik yang longgar dan kaya pembuluh darah, buluh khil (lacteal), saraf maupun otot licin (Shackelford dan Elwell 1999). Tunika submukosa (Gambar 5 (SubM)) terdiri atas jaringan ikat longgar, pembuluh darah dan pembuluh limfe yang lebih besar. Duodenum memiliki kelenjar Brunner (Genesser 1994). Pada hewan dewasa lapisan ini ditemukan banyak limfosit, sel plasma, makrofag, eosinofil, dan sel mast (Schackelford dan Elwell 1999). Tunika muskularis terdiri atas lapisan eksterna yang mempunyai serabut otot longitudinal dan lapisan interna yang mempunyai serabut otot halus berbentuk sirkuler (Schackelford dan Elwell 1999). Kedua lapisan ini dipisahkan oleh suatu jaringan ikat berisi pleksus saraf parasimpatis yang disebut pleksus Mesenterikus atau Auerbach’s (Genesser 1994). Suplai darah untuk usus halus diberikan melalui cabang-cabang dari arteri mesenterica celiaca dan cranialis yang menembus tunika muskularis kemudian tunika submukosa (Frappier 2006). Lapisan terluar usus halus atau tunika serosa (Gambar 5 (S)) terdiri atas lapisan mesotel dengan jaringan ikat subserosa di bawahnya (Genesser 1994; Frappier 2006).
18
2.5 Kondisi Patologis Pada Sel Usus 2.5.1 Apoptosis Epitel Usus Apoptosis adalah suatu proses kematian sel terprogram, diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi kromatin, fragmentasi sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya (Cotran et al. 1999; D’amico dan McKenna 1994). Menurut Kresno (2001), apoptosis merupakan proses penting dalam pengaturan homeostasis normal, proses ini menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak dan proliferasi fisiologis sehingga mampu memelihara agar fungsi jaringan normal. Kejadian apoptosis memiliki tujuan untuk menjaga homeostasis sel di jaringan selain itu pula sebagai suatu mekanisme pertahanan seperti reaksi imun. Deregulasi apoptosis mengakibatkan keadaan patologis, termasuk proliferasi sel secara tidak terkontrol seperti dijumpai pada kanker (Cotran et al. 1999). Mekanisme apoptosis sel dapat dilihat pada Gambar 8.
Kematian sel terprogram 3. Membran sel rusak
1. Sel normal 2. Penyusutan sel dan kondensasi kromatin
6. Lisis badan apoptosis
5. Pembentukan badan apoptosis 4. Nukleus kolaps sebagai lanjutan kerusakan membran
Gambar 8 Mekanisme apoptosis sel (Cotran et al. 1999). Mekanisme apoptosis seperti Gambar 8 dapat dipicu oleh adanya rangsangan eksogen dan endogen seperti radiasi ultraviolet, stres oksidatif, dan bahan kimia genotoksik. Diawali dengan adanya penyusutan sel dan kondensasi kromatin yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerusakan membran plasma dan nukleus yang kolaps sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan sel lisis (apoptosis) (Cotran et al. 1999).
19
Menurut Brooks (2005), terdapat tiga prosedur pengaturan sel sebagai respon sel terhadap paparan sinar-X dosis adaptasi (akut). Tiga prosedur tersebut yakni perbaikan DNA, kematian sel melalui mekanisme apoptosis sehingga dapat menurunkan jumlah sel abnormal dan peningkatan fungsi imun, dimana ketiganya berperan potensial untuk mereduksi kejadian kanker pada organisme. Apoptosis adalah fenomena penting dalam sistem biologi (Rajesh et al. 2009). Paparan radiasi ionisasi menghasilkan efek yang cepat, terjadi kematian sel secara apoptosis (Gambar 9) dari stem cell atau sel punca (Potten 1977). Stem cell usus bertanggung jawab terhadap repopulasi epitel permukaan pada usus. Jika ada gangguan pada stem sel usus maka akan terjadi perubahan bentuk kripta pada usus. Dosis yang besar dapat menyebabkan kerusakan kripta disertai dengan adanya gangguan fungsional usus terlihat secara klinis sebagai gangguan akut. Apoptosis dapat terjadi akibat dari adanya induksi iradiasi terhadap usus (Mann 1991; Potten et al. 1994). Apoptosis pada stem sel pada bagian kripta kolon tikus dapat dilihat pada Gambar 9. Menurut Cotran et al. (1999), gambaran morfologi sel apoptosis ialah adanya pengerutan sel, kondensasi kromatin (piknotik), pembentukan tonjolan sitoplasma dan pada akhirnya terjadi fagositosis badan apoptosis (apoptosis bodies). Karakteristik apoptosis ialah melibatkan sel tunggal dan kelompok sel kecil, bentuknya sebagai masa eosinofilik bulat atau oval yang terlihat dengan fragmen kromatin inti yang padat. Salah satu faktor yang bertanggungjawab dari serangkaian peristiwa apoptosis baik fisiologis, adaptif maupun patologis adalah delesi sel atau penghilangan sel. Rangkaian proses tersebut mengakibatkan deplesi sel pada populasi sel yang berproliferasi seperti epitel kripta intestinum. Apoptosis pada bagian basal kripta duodenum mencit dapat dilihat pada Gambar 9.
20
Gambar 9 Gambaran sel apoptosis (tanda panah) pada bagian basal kripta duodenum mencit dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) perbesaran 900x (Merritt et al. 1994). Organ usus dan organ yang memproduksi darah merah sangat sensitif dengan adanya paparan sinar-X dan dapat menimbulkan efek biologis. Efek biologi yang terjadi pada tubuh individu dibagi menjadi dua golongan utama yakni efek biologis yang terjadi secara akut dengan paparan sinar-X dengan dosis tinggi dengan lama paparan yang pendek atau sebentar dan efek biologis yang terjadi secara kronis dengan paparan sinar-X dengan dosis rendah namun lama paparan yang panjang. Paparan sinar-X dengan dosis yang tinggi dapat mengakibatkan kematian sel sedangkan dengan dosis yang rendah dapat mengakibatkan kerusakan sel sehingga banyak jaringan bahkan organ menjadi rusak. Hal ini dapat mempengaruhi respon keseluruhan tubuh secara cepat dan sering dikaitkan dengan Acute Radiation Syndrome (ARS) (USNRC 2000). Efek biologis yang dihasilkan karena paparan dosis rendah dapat terjadi pada tingkat sel dan hasilnya tidak dapat langsung teramati selama beberapa tahun. Diagram alur efek radiasi pada sel tubuh dapat dilihat pada Gambar 10.
21
radiasi Sel normal Tidak ada kesalahan dalam perbaikan Kerusakan DNA Kematian sel/ apoptosis Kesalahan dalam perbaikan
kanker Gambar 10 Diagram alur kemungkinan paparan sinar-X seluler pada sel normal (Mitchel 2003 ). Efek biologis (Gambar 10) yang dihasilkan dari adanya paparan radiasi sinar-X banyak ditemukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sensitivitas jaringan terhadap radiasi ionisasi sinar-X yaitu total dosis paparan, tipe sel, umur individu, pembelahan sel, bagian tubuh yang terkena paparan sinar-X, kesehatan individu, jumlah jaringan yang terpapar sinar-X, dan interval paparan sinar-X yang diterima (USNRC 1999).
2.5.2 Degenerasi Epitel dan Atrofi Vili Usus Degenerasi diartikan sebagai perubahan-perbahan morfologik akibat kerusakan-kerusakan yang bersifat non fatal. Perubahan-perubahan tersebut masih dapat
pulih
kembali
(reversible).
Perubahan-perubahan
tersebut
hanya
mencerminkan adanya lesio biomolekuler yang telah berjalan lama dan baru kemudian dapat dilihat. Setiap sel memiliki resiko mengalami kerusakan baik dari faktor internal atau eksternal setiap saat. Oleh karena itu sel memiliki kemampuan untuk menanggulangi tingkat perbaikan tergantung pada besar kecilnya pengaruh lesio yang terjadi serta kemampuan sel akan mengakibatkan sel menjadi sakit atau tetap normal. Lesio-lesio yang terjadi mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak pada sel. (Himawan 1990). Gambaran vili usus halus yang mengalami degenerasi disajikan pada Gambar 12.
22
Gambar 11 Gambaran histologi duodenum mencit yang mengalami atrofi (tanda panah tipis) dan degenerasi (tanda panah tebal) dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) perbesaran 400x (Hummdi LA dan Habash SH 2012). Kejadian degenerasi pada jaringan dapat diawali oleh terjadinya respon adaptif terhadap stimulasi perlukaan atau trauma dan kerusakan seperti halnya atrofi (Cheville 2006). Atrofi ialah suatu kondisi dimana penurunan ukuran sel-sel yang sebelumnya telah mengalami perkembangan organ yang menyeluruh. Atrofi menggambarkan adanya adaptasi terhadap perubahan seluler dari lingkungan (Cheville 2006). Ciri-ciri seluler sel atrofi adalah mitokondria yang mengecil karena energi yang dibutuhkan lebih sedikit. Pengurangan dalam transkripsi, translasi dan konjugasi dari sekresi protein sebagai hasil dari menghilangnya ribosom dan retikulum endoplasma dengan menghilangnya granul skretori. Gambar histologi vili duodenum yang mengalami atrofi disajikan pada Gambar 13 (B dan D).
23
C
D
Gambar 12 Gambaran histologi vili duodenum mencit (A dan C) vili duodenum mencit normal dan (B dan D) vili duodenum yang mengalami atrofi dan dilatasi lumen usus yang ditunjukan dengan tanda panah hitam. Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) perbesaran 200x (Uzal et al. 2009).
3. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Bedah dan Radiologi serta Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Maret 2010 sampai September 2011.
3.2 Materi 3.2.1 Hewan Coba Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 24 ekor mencit jantan (Mus musculus) dengan rata-rata umur 4 minggu dengan bobot awal 18-20 gram. Mencit yang digunakan merupakan mencit strain ddy dan diberi pretreatment sebelum dikawinkan. Mencit jantan tersebut diperoleh dari pembiakan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
3.2.2 Ekstrak kelopak bunga Rosela Penelitian ini menggunakan ekstrak kelopak bunga rosela dari petani rosela di Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Ekstraksi kelopak bunga rosela dilakukan di Balitro (Balai Penelitian Tanaman Obat) Cimanggu, Bogor. Bunga dikeringkan di bawah sinar matahari dan dihaluskan. Tahapan selanjutnya, sebanyak 200 gram serbuk bunga diekstrak dengan etanol 96% pada suhu 40°C. Pembuatan ekstrak tanaman rosela meliputi proses maserasi dan evaporasi. Maserasi adalah proses perendaman simplisia menggunakan pelarut untuk memperoleh zat aktif dari simplisia tersebut. Proses maserasi dilakukan menggunakan pelarut etanol. Maserat yang telah diperoleh dipisahkan kemudian dievaporasi. Evaporasi merupakan proses pemekatan dengan cara menguapkan pelarut tanpa menjadi kering. Simplisia yang telah kering dihaluskan, lalu dilakukan maserasi dengan menambahkan etanol 70% hingga seluruh simplisia terendam oleh etanol dalam maserator. Maserasi dilakukan selama tiga hari dan tiap 24 jam ekstrak ditampung
25
dan pelarut diganti dengan yang baru. Setelah tiga hari, ekstrak yang telah diproses kemudian dipekatkan sehingga diperoleh ekstrak kental dengan bobot tetap. Kemudian diuapkan dengan rotary evaporator hingga didapat ekstrak kental seberat 125.51 gram dengan rendemen 37.84%. Ekstraksi yang dilakukan dengan maserasi yang merupakan ekstraksi dengan cara dingin. Proses ekstraksi dengan cara dingin relatif lebih aman terhadap zat -zat yang terkandung di dalam simplisia jika dibandingkan dengan penggunaan ekstraksi cara panas karena kemungkinan zat yang terkandung dalam simplisia tersebut bersifat termolabil. Kemudian dilanjutkan dengan freeze drier agar hasil yang didapat konstan sesuai dengan hasil yang diinginkan (Rostinawati 2009). Maserasi dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Obat Bogor dan evaporasi dilakukan oleh Laboratorium Bioteknologi di Fakultas Perikanan IPB.
3.2.3 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam pemeliharaan mencit pada penelitian ini yaitu pelet (pakan mencit komersial), air mineral untuk minum mencit, NaCl fisiologis, anthelmentik (Albendazol®), antibiotik (Clavamox®), antifungal (Metronidazol®), dan akuades. Bahan-bahan yang digunakan untuk pewarnaaan histopatologis yaitu sebagai berikut: Larutan Mayers Hematoksilin, Larutan Eosin, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%), xylol, eter, Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%, parafin cair, albumin, metanol dan permount. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu adalah kandang mencit yang dimodifikasi yang dapat dilihat pada Gambar 13 (Box plastik dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 15 cm dengan tutup yang terbuat dari anyaman kawat untuk tempat pemeliharaan mencit selama penelitian berlangsung; botol yang dilengkapi dengan saluran air sebagai tempat minum mencit), kertas label, sekam kering, timbangan digital, kapas, syringe, sonde lambung, kulkas, steroform, jarum pentul, cawan petri, peralatan bedah (pinset, skalpel dan gunting), pesawat Roentgen, dan apron. Peralatan untuk pembuatan dan pengamatan sediaan histopatologi terdiri atas tissue casset, automatic tissue
26
percessor, mikrotom, pencetak parafin, gelas objek, gelas penutup, mikroskop cahaya, dan alat fotografi mikro.
3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Aklimatisasi dan Pre- treatment Mencit Sebelum perlakuan semua mencit diaklimasi untuk menyesuaikan kondisi laboratorium penelitian selama 2 minggu. Mencit tersebut dikelompokkan menjadi 4 kelompok, setiap kelompok terdiri atas 6 ekor mencit. Setiap kelompok mencit dikandangkan dalam kandang yang dimodifikasi (Box plastik dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 15 cm dengan tutup yang terbuat dari anyaman kawat untuk tempat pemeliharaan mencit selama penelitian berlangsung; botol yang dilengkapi dengan saluran air sebagai tempat minum mencit). Bentuk dan kondisi kandang dapat dilihat pada Gambar 13 berikut.
Gambar 13 Kandang mencit dengan alas kandang berupa serbuk gergaji. Mencit jantan diberi pakan komersial dan minum secara ad libitum. Pakan komersial yang diberikan berbentuk pelet yang dibeli dari tempat penjualan pakan terdekat. Untuk menjaga kebersihan dan kesehatan mencit maka kandang dan alas sekam dibersihkan dan diganti setiap tiga hari sekali. Pre-treatment
yang
diberikan
pada
mencit
berupa
pencekokan
anthelmentik (Albendazol®) 5% dengan dosis 10 mg/Kg BB dengan dua kali pemberian, dengan selang dua minggu antara pemberian pertama dan kedua, antifungal (Metronidazol®) 50 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut, antibiotik (Clavamox®) 125 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut (Hrapkiewiez dan Mediana 2007).
27
3.3.2 Perlakuan Terhadap Hewan Percobaan Mencit dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan, yaitu, 1) kelompok kontrol (NaCl fisiologis 0.9 % atau saline) (K), 2) kelompok perlakuan primer (P), 3) kelompok perlakuan rosela (R), dan 4) kelompok perlakuan rosela primer (RP). Di bawah ini disajikan Tabel 4, pembagian kelompok mencit perlakuan. Tabel 4 Kelompok mencit perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini Kelompok mencit K P R RP
Perlakuan Mencit kontrol yakni mencit yang tidak diberi radiasi dan NaCl fisiologis 0.9 % (saline) (n=6) Mencit primer yakni mencit yang diberi radiasi dan NaCl fisiologis 0.9 % (saline) (n=6) Mencit Rosela yakni mencit yang tidak diberi radiasi tetapi diberi ekstrak kelopak rosela (n=6) Mencit rosela primer yakni mencit yang diberi radiasi dan ekstrak kelopak rosela (n=6)
Ket: cekok NaCl fisiologis 0.9 % (saline) pada kelompok kontrol dan ekstrak kelopak rosela dengan dosis 0.2 ml/ekor/ 2 hari. NaCl fisiologis 0.9 % (saline) dan ekstrak kelopak rosela diberikan secara per oral menggunakan sonde lambung.
Semua kelompok diberi perlakuan berdasarkan pembagian kelompok di atas. Masa perlakuan berupa pencekokan rosela dan pemberian paparan radiasi selama 8 minggu. Setelah 8 minggu dilakukan nekropsi pada 3 ekor mencit dari masing-masing kelompok. Tiga ekor sisanya kemudian diberi masa pemulihan tanpa radiasi dan rosella selama 30 hari untuk kemudian dinekropsi. Hasil nekropsi dari masing-masing masa perlakuan akan dibandingkan secara histopatologinya.
3.3.3 Paparan Radiasi Kelompok mencit yang mendapat radiasi sinar-X primer dari mesin sinarX VR-1020 Medical Corp. Japan, dengan jarak sumber radiasi terhadap mencit dalam kandang 100 cm pada berkas sinar utama. Pemaparan radiasi dilakukan 2 hari sekali dengan dosis perlakuan 0.2 mSv/paparan, waktu paparan per detik selama delapan minggu dengan besar total paparan diukur dengan menggunakan pen dose MyDrseTM ALOKA CO. LTD Tokyo Japan. Setelah 8 minggu keseluruhan data besar dosis paparan radiasi sinar-X pada masing-masing kelompok dijumlahkan. Setelah 30 hari masa pemulihan dari
28
minggu ke-9 sampai minggu ke-12 kelompok mencit perlakuan tidak diberi paparan radiasi dan tanpa pencekokan.
3.3.4 Pemberian Ekstrak Rosela Mencit yang diterapi dengan ekstrak rosela adalah mencit kelompok R dan RP. Sebelum pemberian ekstrak rosela, mencit direstrain terlebih dahulu secara manual mulai dari belakang telinga sampai dengan dorsal punggung. Ekstrak rosela diencerkan dengan akuadest dengan komposisi 1.5 gram ekstrak dalam 200 ml aquadest, sehingga konsentrasi adalah 7.5 g/ml. Dosis yang digunakan adalah 50 mg/ml/berat badan atau 0.2 ml/ekor/dua hari dengan menggunakan sonde lambung (Akindahunsi dan Olelaye 2003; Ali et al. 2005). Sonde lambung digunakan secara hati-hati sehingga larutan ekstrak rosela tidak masuk ke dalam saluran pernapasan. Pemberian ekstrak rosela dilakukan setiap dua hari sebelum diradiasi dengan sinar-X. Cara pencekokan ekstrak kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Pencekokan bahan perlakuan (NaCl dan ekstrak kelopak bunga rosela) pada mencit. 3.3.5 Nekropsi Setelah mencit kelompok perlakuan 8 minggu dan 12 minggu diberi perlakuan kemudian dilakukan nekropsi pada mencit. Pertama dilakukan penimbangan mencit lalu dianastesi dengan menggunakan kombinasi Ketamin 30 mg/Kg dan Xylazine 5 mg/Kg BB intra peritoneal. Mencit diberi anastesi dengan dosis over dosis (OD) hingga mati. Lalu mencit dinekropsi untuk kemudian diambil sampel usus yang telah ditentukan bagiannya. Kemudian bagian-bagian
29
usus yang telah diambil dibuka lumennya, setelah itu bagian ujung-ujung usus tersebut disteples pada kertas karton dengan pemukaan dalam dibagian atasnya. Fiksasi kesemua bagian usus yang telah diambil ke dalam larutan Buffer Neutral Formalin atau BNF 10% selama dua hari.
3.3.6 Pembuatan Sediaan Histopatologi Pembuatan sediaan histopatologi diawali dengan pemotongan tipis pada bagian usus yang telah diawetkan dalam larutan Buffer Neutral Formalin atau BNF 10% selama dua hari. Bagian usus dipotong dengan lebar 0.5 cm sehingga dapat
dimasukkan
kedalam
Tissue
Casset
dan
dikelompokkan
sesuai
kelompoknya. Dehidrasi dilakukan dengan cara merendam sediaan tersebut secara berturut-turut kedalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut II, xylol I, xylol II, parafin I dan parafin II. Proses perendaman pada setiap bahan dilakukan selama 2 jam dan berjalan secara otomatis dalam alat automatic tissue processor. Proses dilanjutkan dengan pencetakkan sampel organ dalam paraffin agar membentuk blok jaringan sehingga dapat dipotong menggunakan mikrotom setebal 5 µm. Potongan blok paraffin berbentuk pita (ribbon), diletakan di atas permukaan air hangat 45°C dengan tujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah diulasi larutan albumin yang berfungsi sebagai perekat. Sediaan selanjutnya dikeringkan dalam inkubator suhu 60°C selama 24 jam. Proses pewarnaan diawali dengan deparafinisasi ke dalam xylol sebanyak dua kali, masing-masing selama dua menit. Sediaan selanjutnya melalui proses rehidrasi. Proses rehidrasi dimulai dari alkohol absolut sampai ke alkohol 80%, yang masing-masing lamanya 2 menit. Sediaan selanjutnya dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang telah kering diwarnai dengan pewarnaan Mayer’s Hemaktosilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan pewarna Eosin selama dua menit. Sediaan kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebih sebelum akhirnya dikeringkan. Sediaan kemudian dicelupkan kedalam alkohol 90 % sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit. Sediaan ditetesi perekat
30
permount, ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan kering sesuai dengan metode Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Sediaan siap dilihat dan setelah perekat kering diamati menggunakan mikroskop cahaya. Selain pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE) seperti yang dijelaskan di atas, dilakukan pula pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) untuk melihat sel goblet lebih jelas. Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) diawali dengan deparafinisasi, kemudian preparat dibilas dengan akuades lalu direndam kedalam larutan asam asetat 1% selama 5 menit dan dibilas kembali dengan akuades. Preparat selanjutnya dioksidasi dalam periodc acid 1% selama 5-10 menit, lalu bilas dengan akuades tiga kali masing-masing 5 menit. Preparat dimasukkan kedalam schiff reagent selama 15-30 menit, dibilas lagi dengan air sulfit (10 % sodium bisulfat (NaHSO3) 10 ml, 1 N HCl 10 ml dan akuadesilata 200 ml) dengan masing-masing 2 menit selama bilasan pada masing-masing larutan. Setelah itu preparat dibilas dengan air kran mengalir selama 10-15 menit lalu dibilas dengan akuades. Terakhir dilakukan dehidrasi dengan xylol kemudian ditetesi perekat permount, ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan kering sesuai dengan metode Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Sediaan siap dilihat dan setelah perekat kering diamati menggunakan mikroskop cahaya.
3.3.7 Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan secara deskriptif maupun kuantitatif menggunakan mikroskop dengan perbesaran 200 kali (20x objektif dan 10x okuler) dan 400 kali (40x objektif dan 10x okuler) serta dibuat foto menggunakan digital eyepiece camera. Pengambilan foto dilakukan sebanyak 10 lapangan pandang pada masing-masing kelompok dengan tiga kali perulangan. Rata-rata luas lapang pandang pada foto dengan perbesaran 200 kali ialah 58 987 µm2 sedangkan pada foto dengan perbesaran 400 kali ialah 243 044 µm2. Pengamatan pada bagian usus tersebut ialah untuk melihat a) persentase kerusakan vili usus b) jumlah kripta usus c) jumlah sel goblet, dan d) tinggi vili usus. Untuk perhitungan jumlah sel goblet maka preparat histopatologi usus diberi pewarnaan khusus yakni Periodic Acid Schiff (PAS). Perhitungan menggunakan software Image J Launcher.
31
3.3.8 Analisis Data Dalam penelitian ini akan diperoleh data dalam bentuk foto, nilai hasil perhitungan kuantitatif perubahan histopatologi dari bagian usus. Nilai data kuantitatif, yang terdiri atas persentase kerusakan vili usus, jumlah kripta usus, jumlah sel goblet dan tinggi vili usus pada mukosa usus halus sebanyak 10 lapangan pandang, yang ditampilkan dalam bentuk Mean +/- Standar Deviation dan dilanjutkan dengan Ducan test untuk membandingkan antara kelompok. Kesimpulan dalam perbedaan hasil didapatkan dengan metode one-way ANOVA untuk menilai multi kelompok. Nilai P<0.05, ditetapkan hasilnya bermakna atau signifikan berbeda nyata. Secara singkat metode penelitian ini dapat digambarkan seperti diagram alur pada Gambar 15. Ekstraksi kelopak bunga rosela
Persiapan dan aklimatisasi hewan coba
Pengelompokan hewan coba Kelompok K (Kontrol), n=6 Kelompok P (Primer), n=6 Kelompok R (Rosela), n=6 Kelompok RP (Radiasi rosela), n=6
Pretreatment selama 2 minggu
Perlakuan; pencekokan dan radiasi
Albendazole® 10 mg/kg Clavamox® 125 mg/kg Metronidazole®50 mg/kg NaCl fisiologis, sinar- X dan ekstrak kelopak bunga rosela Kontinyu
32 Kontinyu
Delapan minggu perlakuan
Nekropsi @ kelompok n=3
Alat bedah minor, Ketamin 30 mg/Kg dan Xylazine 5 mg/Kg BB intra peritoneal dan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%
Pemulihan selama empat minggu tanpa perlakuan
Nekropsi @ kelompok n=3
Pembuatan dan pembacaan preparat histopat
Analisis statistik
Alat bedah minor, Ketamin 30 mg/Kg dan Xylazine 5 mg/Kg BB intra peritoneal dan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% Perangkat lunak Image J Launcher SAS 9.1 dan ANOVA
Gambar 15 Alur penelitian yang telah dilaksanankan secara umum.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Radiasi ionisasi memiliki efek yang dikumulasikan dari setiap paparan yang diterima sehingga diperoleh besar dosis total dan hubunganya dengan efek yang terjadi (Hall 2000). Menurut Gorbunov et al. (2010), radiasi ionisasi dapat menyebabkan kerusakan baik fungsi maupun struktur dari suatu sistem tubuh yang peka terhadap radiasi. Sistem tubuh yang peka adalah sistem pencernaan atau gastrointestinal salah satunya usus halus (duodenum). Usus halus merupakan pusat pencernaan makanan, penyerapan nutrisi, dan sekresi endokrin. Menurut Hall (2000), efek akut radiasi terhadap usus halus dapat menimbulkan kerusakan permukaan epitel mukosa usus serta gangguan pencernaan (Gutfeld et al. 2007). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap duodenum usus halus. Parameter yang diamati diantaranya: kerusakan vili, jumlah kripta, jumlah sel goblet, jumlah sel radang, dan tinggi vili. 4.1
Kerusakan Vili Duodenum Proses pencernaan terjadi pada usus halus yakni berupa penyerapan nutrisi
atau produk dari pencernaan yang dilakukan oleh sel-sel epitel atau sel absorptif pada vili (Mescher 2010). Menurut Schiller dan Sellin (2006), keberadaan vili berpengaruh terhadap penyerapan makanan dan kondisi kesehatan saluran pencernaan. Vili yang rusak tidak bisa menyerap makanan secara baik, sehingga asupan nutrisi bagi individu akan berkurang dan kondisi kesehatan menurun. Rataan persentase kerusakan vili usus duodenum dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil analisis rataan persentase kerusakan vili duodenum (%) dihitung dalam luas lapang pandang 243 044 µm2
Kelompok Kontrol (K) Primer (P)* Rosela (R) Radiasi-Rosela(RP)*
Persentase kerusakan vili duodenum (Mean± SD) Setelah 4 minggu pemulihan Setelah 8 minggu radiasi dari radiasi (5.3 mSv)* (tanpa perlakuan) 10.00 ± 0.07b 3.00 ± 0.02c 22.67 ± 0.12a 9.67 ± 0.07b a 18.33 ± 0.11 11.67 ± 0.09b 19.00 ± 0.10a 9.00 ± 0.09b
Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2. kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
34
Analisis statistik rataan persentase kerusakan vili duodenum setelah 8 minggu radiasi menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0.05) terhadap kelompok (K) pada seluruh kelompok perlakuan. Namun demikian secara umum rataan persentase kerusakan epitel vili duodenum menunjukkan trend yang meningkat dimulai pada kelompok (K), (R), (RP), dan (P). Rataan persentase kerusakan vili duodenum pada kelompok (P) dan (RP) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok (K). Hal ini diduga karena pemberian radiasi dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel epitel vili. Menurut Somosy Z (2000), sinar radiasi dapat berpenetrasi ke dalam jaringan atau sel tubuh dan mengakibatkan adanya transfer energi radiasi
menjadi
material
biologis.
Energi tersebut
yang dapat
mengakibatkan putusnya ikatan kimia dan menyebabkan proses ionisasi pada atom berbeda pada molekul, termasuk air dan makromolekul biologis essensial seperti DNA, membran lipid, dan protein (Schulte-Forhlinde dan Bothe 1991; Lett 1992). Ini yang mendasari tingginya rataan persentase kerusakan vili pada duodenum mencit pada kelompok perlakuan Primer (P). Menurut Durovic, Selakovic, dan Spasic-Jokic (2004), pemberian radiasi kronis dosis rendah lebih berbahaya karena dapat menginisiasi peroksidasi lipid dan menghancurkan lapis luar sel. Pemberian radiasi dosis rendah akan menginduksi pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan stres oksidatif. Membran sel dan organel-organel sel merupakan target utama yang dapat rusak akibat radikal bebas. Peroksidasi membran sel akan meningkat sejalan dengan penuruan dose rate (efek Petkau). Berdasarkan penelitian Petkau (1999), peroksidasi lipid diproduksi baik karena efek radiasi lingkungan dengan dosis 0.18 μGy/h atau 1.8 x 10 -3 mSv hingga dosis total 19 μGy. Petkau berkesimpulan bahwa pemberian radiasi dapat mengganggu mekanisme perbaikan DNA sehingga menyebabkan kerusakan membran sel. Mekanisme kerusakan sel diawali dari sinar-X yang berpenetrasi ke dalam sel sehingga terjadi reaksi pembentukan radikal bebas dan ROS (reactive oxygen species) di dalam sel. ROS (reactive oxygen species) kemudian menginduksi terbentuknya singlet oksigen (O2), hidrogen peroksida (H2O2), radikal peroksil (OOH), dan radikal hidroksil (OH). Terbentunya komponen radikal bebas tersebut selanjutnya menginisiasi terbentuknya superdioksida (O2-
35
) bersama dengan radikal hidroksil (OH) akan mengakibatkan peroksidasi lipid dan kerusakan DNA sehingga sel menjadi rusak (Wood, Gibson, dan Garg 2003). Mekanisme kerusakan sel dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Mekanisme kerusakan sel akibat radiasi (www.vetmed.vt.edu [8 Mei 2012]). Kelompok (K) tidak memiliki persentase keutuhan vili 100%, diduga disebabkan oleh faktor fisiologis saluran pencernaan. Faktor tersebut yakni adanya makanan (chyme) dari lambung (kondisi asam) yang melewati lumen usus dan enzim pencernaan atau enterokinase (Dellmann dan Brown 1992). Terlepasnya epitel vili usus halus diartikan sebagai proses deskuamasi epitel vili. Deskuamasi epitel vili usus merupakan kondisi fisiologis dimana epitel vili yang deskuamasi akan digantikan oleh sel-sel epitel dari bagian basal kripta dengan periode 5-7 hari. Kondisi akan berubah patologis apabila ditemukan banyaknya infestasi sel-sel radang pada bagian mukosa vili (Price dan Wilson 1995). Menurut Yang et al. (2006), hasil penelitian beberapa tahun terakhir menyebutkan bahwa stres beranggung jawab terhadap kondisi patofisiologi organ gastrointestinal seperti kerusakan epitel vili usus yang mengawali infeksi usus, sindrom iritasi usus (IBS), dan alergi pakan. Sejalan dengan pendapat Yang, kehadiran pakan yang dimungkinkan membawa antigen menambah tinggi resiko terjadinya kerusakan epitel vili dan proses infeksi. Pada infeksi usus dan mungkin
36
IBS, jaringan usus akan menjadi lebih sensitif terhadap antigen yang berada pada lumen usus dan selanjutnya hadirnya antigen ini akan mengakibatkan respon inflamasi yang berkembang sejalan dengan patofisiologi penyakit. Deskuamisi sel epitel vili menjadi salah satu resiko kondisi sensitifitas ini. Faktor genetik pula memainkan peran dalam proses peradangan namun dapat pula proses sensitifitas ini terjadi tanpa adanya latar belakang keluarga sehingga dapat terjadi atrofi pada organ intestinal. Menurut Alatas (2002), radiasi sinar-X menginduksi pembentukan radikal bebas yang dapat merusak sel tubuh. Pembentukan radikal bebas terjadi melalui mekanisme pengambilan satu elektron terluar dari sel tubuh sehat sehingga sel tubuh menjadi tidak stabil. Pada membran lipid hadirnya radikal bebas dapat merusak ikatan lipid bilayer. Ikatan membran lipid bilayer yang rusak akan menyebabkan epitel vili duodenum tidak dapat mempertahankan keutuhan membrannya sehingga terjadi kerusakan epitel vili. Kelompok perlakuan (RP) memiliki rataan persentase kerusakan vili lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan kelompok (P). Hal ini diduga karena rosela memiliki kemampuan menjaga dan meregenerasi epitel-epitel vili yang rusak akibat radiasi. Rosela diketahui memiliki kadar antosianin dan vitamin C yang tinggi yang berperan sebagai antioksidan (Maryani dan Kristiana 2005). Menurut Winarsih (2007), antioksidan bekerja dengan mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan dihambat. Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat penting berkaitan dengan sistem imunitas tubuh. Senyawa asam lemak tak jenuh yang menjadi komponen terbesar dalam penyusun membran sel sangat sensitif dengan keseimbangan antara oksidan dan antioksidan dalam tubuh. Apabila kondisi keseimbangan tersebut tercapai membran sel sebagai barrier sel mampu menjaga kondisi keutuhanan sel terhadap adanya serangan antigen (Meydani et al.1995). Kelompok perlakuan (R) memiliki rataan persentase kerusakan vili tidak jauh berbeda dari kelompok (RP). Hal ini diduga karena rosela memiliki senyawa antioksidan yang mampu menjaga keutuhan vili usus. Menurut Winarsih (2007), antosianin merupakan salah satu turunan flavonoid yang bersifat antioksidan. Antioksidan golongan flavonoid ini dapat menggumpalkan keping-keping sel
37
darah, merangsang produksi nitrit oksida yang dapat mendilatasikan pembuluh darah dan juga menghambat pertumbuhan sel kanker. Menurut Robak dan Gryglewski (1996) di dalam Winarsih (2007), selain berpotensi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas flavonoid juga memiliki beberapa sifat seperti hepatoprotektif, antimikrobiotik, antiinflamasi dan antivirus. Sifat antiradikal flavonoid terutama terhadap radikal hidroksil (-OH), anion superoksida (-O2), radikal peroksil (-ROO), dan alkolsil (-RO). Gambar fotografi mikro kerusakan vili duodenum pada keempat kelompok perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 17.
A
C
B
D
Gambar 17 Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Kerusakan vili ditandai dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa kerusakan vili yang lebih sedikit terdapat pada kelompok (K). Kelompok perlakuan (P), (R) dan (RP) memiliki tingkat kerusakan yang hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
38
Setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi, hasil analisis statistik terhadap rataan persentase kerusakan vili usus dari keseluruhan kelompok perlakuan menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05). Sama halnya dengan nilai persentase kerusakan epitel vili pada duodenum di kelompok 8 minggu radiasi yang secara umum menunjukkan trend menurun hingga kelompok (K). Kelompok (K) memiliki rataan persentase kerusakan vili paling kecil dibandingkan dengan tiga kelompok perlakuan lainnya. Kelompok (P), (R), dan (RP) memiliki rataan persentase kerusakan vili pada selang yang sama. Pada semua kelompok mencit mengalami penurunan persentase kerusakan vili. Hal ini diduga karena keempat kelompok tidak diberi perlakuan atau pemicu stres atau radiasi dan pencekokan. Sel-sel tubuh kembali bersiklus dan beregenerasi kembali untuk mengadakan pemulihan sel sehingga sel kembali normal. Gambar fotografi mikro kerusakan vili duodenum pada keempat kelompok perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi disajikan pada Gambar 18.
A
B
C
D
Gambar 18 Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi. Kerusakan vili ditandai dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa kerusakan vili pada masing-masing kelompok
39
mengalami penurunan dibandingkan dengan radiasi 8 minggu. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x. 4.2
Rataan Jumlah Kripta Duodenum Basal kripta usus tersusun atas stem sel yang bertanggung jawab atas
regenerasi epitel vili (Wong 2004). Menurut Radtke dan Clevers (2005), usus halus tersusun atas epitel selapis yang dibentuk di bagian kripta usus. Rataan jumlah kripta duodenum pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil analisis rataan jumlah kripta pada duodenum (sel) dihitung dalam luas lapang pandang 58 987 µm2
Kelompok Kontrol (K) Primer (P)* Rosela (R) Radiasi-Rosela (RP)*
Jumlah kripta pada Duodenum (Mean± SD) Setelah 8 minggu radiasi Setelah 4 minggu pemulihan (5.3 mSv)* dari radiasi (tanpa perlakuan) 7.93 ± 1.34ba 9.38 ± 2.84ba a 12.26 ± 2.13 9.40 ± 2.72ba 7.97 ± 2.38ba 8.88 ± 2.07ba ba 6.20 ± 1.13 9.25 ± 2.27ba
Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2. kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan jumlah kripta duodenum pada minggu ke-8 setelah diberi radiasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuannya. Kelompok perlakuan (P) menggambarkan peningkatan jumlah kipta usus yang signifikan jika dibandingkan dengan kelompok (K), (R), dan (RP). Hal ini diduga karena adanya inisiasi kerusakan dari radiasi sinar-X. Kerusakan akibat radiasi dengan dosis rendah per dua hari sekali mengakibatkan kripta berproliferasi untuk meregenerasi epitel vili pada bagian puncak. Selain itu dapat pula dihubungkan dengan adanya respon inflamasi pada usus maupun sebagai bentuk kompensasi usus terhadap paparan radiasi yang diterima. Menurut Macfarlane (2000), paparan radiasi sebagai agen fisik dapat menyebabkan kerusakan sel. Berdasarkan penelitian Potten dan Hendry (1995) di dalam Martin et al. (1998), pemberian radiasi ionisasi dosis tinggi yakni 14 Gy (140 mSv) selama 4 hari pada mencit perlakuan akan memberikan efek kematian
40
yang cepat pada sel yang berada pada basal kripta melalui mekanisme apoptosis atau penghentian proses pembelahan sel baik sementara atau selamanya. Nilai depopulasi jumlah kripta dan efisiensi jumlah sel klonogenik pada kripta menjadi parameter apakah hewan tersebut dikatakan bertahan terhadap respon radiasi dosis tinggi. Menurut Li et al. (1994), setiap kripta memiliki beberapa stem sel, regenerasi kripta dapat mengakibatkan beberapa stem sel yang ada steril secara reproduktif. Pemberian agen sitotoksik dosis tinggi seperti radiasi dapat mengakibatkan beberapa sel klonogenik kripta mati, dan diantara stem sel yang mampu bertahan akan melakukan repopulasi kripta dan epitel dengan pembelahan sel dan pembelahan kripta. Berdasarkan penelitian Potten dan Hendry (1985), terjadi peningkatan jumlah kripta yang berasal dari regenerasi stem sel yang mampu bertahan saat diberi radiasi dosis tinggi. Hal ini dievaluasi setelah 14 hari perlakuan dengan teknik pengukuran mikrokoloni kripta atau the crypt microcolony assay technique. Fokus regenerasi dimana jumlah kripta meningkat diduga berasal dari pembelahan biner dan pembelahan ganda kripta. Menurut
Somosy
Z
(2000),
tingkat
dan
pemulihan
perubahan
mikromorfologi sel yang diinduksi radiasi bergantung pada tipe sel dan dosis radiasi yang diberikan. Pemberian radiasi pada kelompok (P) sangat nyata berpengaruh terhadap persentase kerusakan epitel vili duodenum namun cenderung tidak begitu berpengaruh terhadap kripta Lieberkühn pada bagian basal duodenum. Diperlukan pengamatan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab peningkatan jumlah kripta kelompok (P). Menurut Martin et al. (1998), pada mencit dewasa sifat klonogenik sel-sel kripta Lieberkühn cenderung akan mengadakan regenerasi sebagai akibat respon regenerasi daripada pengaruh pertumbuhan sel secara fisiologis. Selain itu menurut Hauchen, George, Sturmoski, dan Cohn (1999), restorasi struktur bangun epitel normal usus pada tikus yang mengalami kerusakan akibat beberapa agen berbahaya seperti bahan kimiawi, infeksi, radiasi, dan peradangan memiliki berbagai tahap yang dapat mengubah dinamika polpulasi stem sel epitelial. Stem sel akan berproliferasi untuk meningkatkan jumlahnya dan untuk memenuhi populasi sel transit (enterosit, sel
41
goblet, dan sel enteroendokrin) yang dibutuhkan secara cepat. Sel transit yang berada di dalam kripta akan berhenti bereplikasi setelah pemberian radiasi ionisasi. Namun sel-sel tersebut tetap bermigrasi keluar dari kripta menuju apikal vili. Sejalan dengan itu apabila tidak ada stem sel kripta yang bertahan hidup maka kripta akan menghilang. Jika satu atau lebih stem sel klonogenik bertahan hidup dari radiasi maka kripta akan berproliferasi dan dengan cepat meningkat untuk menjadi kripta regeneratif. Setelah pemberian radiasi maka akan ada dua mekanisme untuk perbaikan usus halus yang rusak. Pertama, perbaikan pada sel rusak yang nonletal. Kedua, melakukan proliferasi terhadap sisa stem sel yang ada pada kripta. Mekanisme kedua merupakan tahap yang sangat
penting dalam
perbaikan kondisi saluran pencernaan setelah pemberian radiasi. Stem sel mulai berproliferasi segera setelah 24-48 jam pemberian radiasi. Pemberian radiasi menyebabakan peningkatan jumlah stem sel kripta yang mengalami apoptosis sehingga sebagai kompensasinya dilakukan hiperproliferasi (Li et al. 2005). Kelompok (K), (R), dan (RP) memiliki jumlah kripta yang tidak jauh berbeda. Jumlah kripta pada kelompok (R) dan (RP) yang tidak jauh berbeda diduga karena rosela membantu menjaga regenerasi kripta dengan baik sehingga jumlah kripta tidak berbeda dengan kelompok (K). Selain itu pengaruh radiasi pada kelompok (RP) diduga cenderung tidak berpengaruh besar pada jumlah kripta Lieberkühn. Sel-sel pada bagian kripta Lieberkühn secara fisiologis akan beregenerasi kembali 3 hingga 8 hari untuk selanjutnya bermigrasi ke bagian apikal (vili). Gambar fotografi mikro kripta Lieberkühn pada keempat kelompok perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 19.
42
A
B
C
D
Gambar 19 Fotografi mikro kripta Lieberkühn pada duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Lumen kripta ditunjukkan dengan tanda panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah kripta pada kelompok (P) lebih banyak dibandingkan dengan kelompok (K) dan kelompok perlakuan yang lain. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x. Regenerasi epitel vili dapat memperbaiki sel-sel permukaan vili secara cepat sebagai respon kerusakan akibat proses radiasi (Ross 2004). Menurut Fajardo et al. (2001), kripta Lieberkühn berfungsi mensekresikan ion-ion dan air, serta menghantarkan immunoglobulin A (IgA) dan peptide antimikrobial ke lumen usus. Peranan kripta tersebut bertujuan untuk menjaga permukaan epitel dan peningkatan lapisan penyerapan nutrisi di usus. Saat permukaan vili atau bagian apikal vili rusak maka kripta usus melakukan kompensasi dengan meningkatkan jumlah sehingga perannya dalam penyerapan nutrisi dapat tetap terjaga.
43
Menurut Cosentino L, Shaver-Walker P, dan Heddle JA (1998), perbandingan jumlah kripta Lieberkühn pada mencit BALB/c lebih banyak daripada jumlah vilinya. Perbandingan atau rasio jumlah kripta terhadap vili usus pada duodenum sebesar 14:1, akan menurun menjadi 6:1 pada bagian ileum. Hal ini juga di laporkan oleh Li et al. (1994), bahwa setiap vili tersusun oleh 6-14 kripta yang tersebar pada bagian basalnya. Jumlah kripta yang ditemukan pada bagian basal vili akan bervariasi berdasarkan letaknya sepanjang usus halus dan setiap kripta biasanya mendistribusikan sel-sel proliferasinya untuk dua vili. Sementara analisis statistik terhadap jumlah kripta Lieberkühn kelompok perlakuan 4 minggu masa pemulihan menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0.05). Rataan jumlah kripta pada ketiga kelompok perlakuan mendekati jumlah rataan kripta pada kelompok (K). Hal ini diduga karena adanya regenerasi sel dari derivat stem sel pada bagian basal kripta. Stem sel yang menyusun kripta Lieberkühn akan berdeferensiasi menjadi epitel vili, sel enteroendokrin, dan sel paneth. Sel-sel tersebut akan diregenerasi dalam waktu 4 minggu dan akan digantikan oleh deferensiasi sel di sebelahnya (Ross et al. 2002). Sel enteroendokrin akan bermigrasi bersamaan dengan sel absorptif dan sel goblet. Berbeda dengan sel paneth yang tidak mengalami migrasi menuju ke apikal vili akan tetapi akan tetap berada pada bagian basal kripta. Menurut Fajardo et al. (2001), sel paneth memiliki peran sebagai inisiator imunitas mukosa untuk melawan infeksi bakterial dengan produksi protein antimikrobial. Setelah 8 minggu perlakuan jumlah rataan kripta duodenum tertinggi terjadi pada kelompok primer. Namun peningkatan jumlah kripta tidak disertai kualitas sel-sel kripta yang baik. Pada pengamatan fotogarafi mikro dengan perbesaran 400 kali dapat dilihat sel-sel kripta mengalami apoptosis yang ditunjukan dengan adanya badan apoptosis pada sel kripta. Empat minggu pemulihan setelah 8 minggu perlakuan rataan jumlah kripta mengalami peningkatan jumlah dan kualitas sel-sel kripta. Pada kelompok primer jumlah kripta telah sama seperti kelompok kontrol. Gambar fotografi mikro kripta Lieberkühn pada keempat kelompok perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi disajikan pada Gambar 20.
44
A
B
C
D
Gambar 20 Fotografi mikro kripta Lieberkühn pada duodenum mencit setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi. Lumen kripta ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah kripta pada semua kelompok (K), (P), (R) dan (RP) hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x. 4.3
Rataan Jumlah Sel Goblet Duodenum Sel goblet merupakan derivat stem sel yang mengalami deferensiasi dari
basal kripta usus. Sel goblet memiliki fungsi sebagai barrier atau pelindung mukosa usus yang langsung berhadapan dengan lumen usus. Mukus yang disekresikan sel goblet mengandung senyawa antimikrobial. Peningkatan jumlah sel goblet dapat menjadi indikator adanya proses inflamasi pada suatu jaringan (Price et al. 1995). Rataan jumlah sel goblet usus halus di duodenum mencit percobaan dapat dilihat pada Tabel 7.
45
Tabel 7 Hasil analisis rataan jumlah sel goblet pada duodenum (sel) dihitung dalam luas lapang pandang 58 987 µm2
Kelompok Kontrol (K) Primer (P)* Rosela (R) Radiasi-Rosela (RP)* Ket:
Jumlah sel goblet pada duodenum (Mean± SD) Setelah 8 minggu radiasi Setelah 4 minggu pemulihan (5.3 mSv)* dari radiasi (tanpa perlakuan) 26.61±10.45b 17.78± 6.65b ba 37.90± 9.56 28.72± 13.47b 27.78±10.57b 51.61± 10.57a b 30.22± 5.17 22.22± 5.95b
1
.angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2. kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel goblet pada duodenum setelah 8 minggu radiasi menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan. Namun demikian rataan jumlah sel goblet menunjukkan trend yang meningkat dari kelompok (K), (R), (RP), dan (P). Rataan jumlah sel goblet pada ketiga kelompok perlakuan (P), (R), dan (RP) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok (K). Hal ini diduga karena proses absorbsi yang terganggu akibat kerusakan epitel vili sehingga jumlah sel goblet perlu ditingkatkan sebagai bentuk kompensasi. Selain itu peningkatan jumlah sel goblet dapat diartikan adanya kondisi patologis seperti adanya peradangan pada bagian usus. Menurut Cotran et al. (1999), sel goblet memiliki fungsi untuk mensekresikan mukus yang berfungsi terhadap peningkatan pergerakan dan penyebaran bahan makanan atau nutrisi yang ada pada lumen secara efektif. Selain itu radiasi ionisasi diduga sebagai penyebab proliferasi sel goblet. Menurut Wood, Gibson, dan Garg (2003), peroksidasi lipid yang terjadi pada membran sel epitel akan menimbulkan efek patofisiologi berupa peningkatan sekresi mucus dan kematian sel. Sedangkan pada kelompok perlakuan (R) peningkatan rataan jumlah sel goblet diduga akibat adanya pemberian rosela yang diketahui memiliki kadar asam askorbat yang tinggi. Kondisi lumen yang asam diduga dapat menginisiasi hadirnya sel goblet pada epitel vili yang akan mensekresikan mukus untuk melapisi sel-sel epitel vili sehingga tidak mengakibatkan kerusakan. Menurut Roitt (1988), dalam respon imun akan dihasilkan sel-sel atau molekul-molekul yang bertugas mempertahankan kesehatan tubuh dari serangan patogen maupun sel kanker.
46
Respon umum yang akan terjadi adalah adanya perlindungan pertama dari sistem imum non-spesifik. Respon imun fisik non-spesifik akan diperankan oleh sel goblet penghasil mukus (lendir) sebagai langkah pertama terhadap kehadiran agen patogen. Selain pertahanan fisik mukosa usus juga dilengkapai dengan adanya asam peptida yang dipecah di lumen usus. Senyawa asam tersebut pula berfungsi sebagai sistem pertahanan imun biokimia non-spesifik. Gambar fotografi mikro sel goblet pada keempat kelompok perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 21.
A
B
C
D
Gambar 21 Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Sel goblet ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel goblet meningkat pada kelompok (P) disusul kelompok (RP). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C:
47
kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan periodic acid schiff (PAS), dengan perbesaran 400x. Berikut fotogarfi mikro sel goblet pada keempat kelompok perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 22).
A
B
C
D
Gambar 22 Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 4 minggu. Sel goblet ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel goblet meningkat pada kelompok (R) sedangkan kelompok (P) dan (RP) menunjukkan jumlah sel goblet pada kisaran normal (K). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan periodic acid schiff (PAS), dengan perbesaran 400x. Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel goblet pada duodenum setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi dengan tanpa pencekokan menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok perlakuan (R). Namun demikian
48
rataan jumlah sel goblet menunjukkan trend yang menurun dibandingkan nilai pada 8 minggu radiasi. Peningkatan rataan jumlah sel goblet yang signifikan terlihat pada kelompok (R). Hal ini diduga karena hewan coba yang digunakan non-SPF atau non Spesific Pathogen Free. Kelompok ( P ) , d a n ( R P ) menunjukkan rataan jumlah sel goblet tidak jauh berbeda dengan kelompok (K). 4.4
Rataan Jumlah Sel Radang Sel radang atau leukosit merupakan sel darah putih yang berperan dalam
proses imunitas atau respon pertahanan tubuh terhadap kehadiran antigen (Macfarlane 2000). Pada penelitian ini, rataan jumlah sel radang pada duodenum mencit percobaan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil analisis rataan jumlah sel radang pada duodenum (sel) dihitung dalam luas lapang pandang 58 987 µm2
Kelompok Kontrol (K) Primer (P)* Rosela (R) Radiasi-Rosela (RP)* Ket:
Jumlah sel radang pada duodenum (Mean± SD) Setelah 8 minggu Setelah 4 minggu radiasi pemulihan dari radiasi (5.3 mSv)* (tanpa perlakuan) 9.78 ± 4.44c 13.08 ±4.11ba 13.45 ±5.59ba 16.10 ± 3.49a
9.68 ± 2.19c 9.69 ± 3.14c 9.33 ± 1.84c 10.65±2.40bc
1
.angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2. kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel radang setelah 8 minggu radiasi menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok perlakuan (K). Namun demikian rataan jumlah sel radang menunjukkan trend yang meningkat dimulai deri kelompok (K), (P), (R), dan (RP). Kelompok perlakuan (RP) memiliki rataan jumlah sel radang yang tinggi dibandingkan dengan ketiga kelompok perlakuan yang lain. Hal ini diduga dipengaruhi radiasi ionisasi dan aktivitas prooksidan dari sen yawa antioksidan dan fitofenol rosela. Radiasi ionisasi dan aktivitas prooksidan akan menginduksi ROS (Reactive Oxygen Spesies) dalam bentuk radikal hidroksil, superoksida, hidrogen peroksida dan singlet oksigen aktif. Aktivitas prooksidan tersebut dapat dipicu dan dimediasi oleh reaksi antara senyawa antioksidan dan fitofenol dengan logam transisi
49
seluler. Logam transisi seluler d a p a t d i t e m u k a n p a d a s i t o p l a s m a se l.
Fe2+ atau besi (II) dilaporkan dapat menjadi mediator aktivitas
prooksidan pada sel (Jagetia CG 2007; Uttara, Singh, Zamboni, dan Mahajan 2009; Sakihama, Cohen, Grace, dan Yamasaki 2002). Mekanisme peroksidasi lipid akan mengawali produksi isoprostane yang baru-baru ini diketahui menyerupai senyawa bioaktif prostaglandin (PG)F2. Isoprostane merupakan produk dari enzim asam arachidonat yang dikatalisis oleh radikal bebas. Prostaglandin merupakan salah satu mediator peradangan yang kemudian akan mengundang hadirnya sel radang (Wood, Gibson, dan Garg 2008). Mekanisme lain yang dapat meningkatkan sel radang diduga karena kerja sistem imun, dimana sel yang rusak akan dikenali oleh natural killer cells yang diperankan oleh limfosit. Limfosit akan mengenali sel yang rusak melalui dua cara yakni dengan mengenali reseptor imunoglobulin (FcR atau Fc-receptors) dan mengikat antibodi target yang selanjutnya hal ini akan mengawali proses sitotoksis seluler bergantung antibodi. Cara kedua yakni reseptor permukaan untuk MHC at au maj or hi st ocompat i bi l i t y compl ex kelas 1. Jika selama interaksi dengan sel reseptor tidak berikatan maka NKC atau natural killer cell akan terprogram untuk melisiskan sel target dengan bantuan perforin untuk melubangi dinding membran sel dan selanjutnya hal ini akan menginduksi apoptosis (Parkin dan Cohen 2001). Selain itu pemberian radiasi pada sel akan direspon dengan reaksi imunitas seluler berupa peningkatan jumlah sel radang atau leukosit. Kondisi sel yang rusak akibat paparan radiasi dapat mengundang kehadiaran sel T sitotoksik untuk melisiskan sel tersebut. Mekanisme seperti ini disebut mekanisme imun spesifik seluler (Abbas 1991). Faktor stres akibat pencekokan pun menjadi pemicu terjadinya peningkatan sel radang. Menurut Yang et al. (2006), tikus atau hewan rodensia lain yang mengalami stres akan menghasilkan antobodi Ig-E, antigen yang menginduksi sekresi intestinal, dan peningkatan jumlah sel radang pada mukosa usus. Berdasarkan penelitian Sulistiawati (2009) peningkatan jumlah leukosit yang terjadi pada tikus putih yang diberi ekstrak kelopak rosela dapat disebabkan oleh kandungan asam folat yang terdapat pada kelopak rosela. Asam folat dikenal sebagai folasin yang turut serta dalam
50
pembentukan beberapa asam amino dan pembentukan beberapa komponen penting termasuk pembentukan sel darah dengan cara membantu proses sintesis DNA. Menurut Subowo (1993), vitamin C dapat membantu konversi asam folat menjadi bentuk aktif serta berfungsi dalam pemeliharaan imun seluler dan terbukti dapat melindungi fungsi sel-sel neutrofil. Pada kondisi normal di bagian lamina propria vili atau mukosa dan submukosa usus mencit terdapat jaringan ikat lunak dan terdapat beberapa selsel radang seperti limfosit, sel plasma, pada kondisi tertentu juga terdapat eosinofil, makrofag, sel mast, dan neutrofil akan tetapi berjumlah tidak begitu banyak. Sel radang yang terdapat pada bagian usus tersebut berfungsi untuk merespon adanya antigen dari lumen usus. Peningkatan rataan jumlah sel radang pada kelompok Primer (P) setelah diberi paparan radiasi selama 8 minggu diduga sebagai respon terhadap adanya peradangan dan injury pada bagian usus. Terutama pada kelompok ini deskuamasi epitel vili dapat mengakibatkan masuknya antigen dari lumen usus ke dalam bagian mukosa maupun submukosa usus. Radiai ionisasi dapat pula mengakibatkan terbentuknya radikal bebas berupa senyawa ROS (reactive oxygen species). Menurut Wood, Gibson, dan Garg (2008), hadirnya ROS (reactive oxygen species) dapat mengaktifasi sel radang berupa sel mast, eosinofil ,neutrofil, limfosit, makrofag, dan trombosit .Respon sel radang yang aktif akan bersamaan dengan proses respiratory burst yang melibatkan pengambilan oksigen dan kemudian melepaskan ROS (reactive oxygen species) keseluruh bagian sel. Hadirnya ROS (reactive oxygen species) sebagai akibat pemberian radiasi pada sel menimbulkan berbagai efek seluler berantai. Berikut gambar skematis akibat yang ditimbulkan dari kehadiran ROS (reactive oxygen species) (Gambar 23).
51
Gambar 23 Skematisasi mekanisme akibat yang terjadi dari hadirnya ROS (reative oxygen species) pada sel (Kregel dan Zhang 2007). Gambar skematis mekanisme hadirnya ROS (reactive oxygen species) seluler dapat distimulasi oleh berbagai faktor eksogen maupun endogen. Hadirnya ROS (reactive oxygen species) dapat mengakibatkan kerusakan DNA, protein, dan lipid. Kerusakan DNA dapat memicu perubahan ekspresi gen yang memodulasi berbagai respon yang berpengaruh pada fungsi dan kebertahanan sel. Selain DNA, protein, dan lipid beberapa organel sel juga dapat mengalami kerusakan sebagai respon kerusakan pada bagian terluar sel. Kedua kerusakan yang telah disebutkan di atas dapat memacu respon seluler baik respon peradangan, survival, proliferasi, dan kematian sel (Kregel dan Zhang 2007). Fotografi mikro dari sel radang pada keempat kelompok setelah 8 minggu radiasi dapat dilihat pada Gambar 24.
52
A
B
C
D
Gambar 24 Fotografi mikro sel radang di submukosa duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Sel radang ditunjukkan oleh lingkaran hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel radang lebih banyak pada kelompok (RP) disusul kemudian kelompok (R) dan (P). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x. Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel radang pada 4 minggu pemulihan dari radasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) pada semua kelompok perlakuan. Namun demikian rataan jumlah sel radang menunjukkan trend yang menurun dan hampir mendekati jumlah sel radang kelompok (K). Penurunan rataan jumlah sel radang setelah 4 minggu pemulihan diduga karena pemberian radiasi yang dihentikan dan secara fiosiologis terjadi pergantian sel-sel yang mati dengan sel epitel baru yang berasal dari kripta usus. Sel-sel epitel baru pada vili duodenum menyebabkan menurunnya jumlah sel radang dalam vili duodenum sehingga tidak ada respon imun pada kondisi ini (Roitt 1988).
53
Berikut gambar fotografi mikro sel radang pada 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 25).
A
B
C
D
Gambar 25 Fotografi mikro sel radang pada submukosa duodenum setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi. Sel radang ditunjukkan oleh lingkaran hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel radang menurun pada masing-masing kelompok. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilineosin (HE) dengan perbesaran 400x. 4.5
Rataan Tinggi Vili Duodenum Vili merupakan struktur anatomis khas pada mukosa usus yang bertujuan
untuk memperluas bidang penyerapan nutrisi (McCurnin dan Bassert 2006). Menurut Price et al. (2000), vili ialah tonjolan mukosa seperti jari-jari yang jumlahnya empat atau lima juta terdapat sepanjang usus halus. Pada manusia tinggi vili mencapai 0.5 mm hingga 1.5 mm atau 15 x 103 µm. Menurut Inamoto et al. (2008), mengatakan tinggi vili usus halus menurun dari duodenum sampai
54
ke distal ileum. Pada penelitian ini, rataan tinggi vili duodenum mencit percobaan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil analisis rataan tinggi vili duodenum (μm) dihitung dalam luas lapang pandang 243 044 μm2
Kelompok Kontrol (K) Primer (P)* Rosela (R) Radiasi-Rosela (RP)*
Rataan tinggi vili duodenum μm (Mean± SD) Setelah 8 minggu Setelah 4 minggu radiasi pemulihan dari radiasi (5.3 mSv)* (tanpa perlakuan) 294.24 ± 288.70 ± 310.23 ± 292.59 ±
43.64a 84.70a 43.36a 35.25a
335.62 ± 67.69a 313.23 ± 64.3a 323.87 ± 38.67a 325.41 ± 67.39a
Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2. kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan tinggi vili duodenum pada 8 minggu setelah radiasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Kelompok perlakuan (R) memiliki nilai rataan tinggi vili yang lebih besar dibandingkan kelompok lain termasuk kelompok Kontrol (K). Namun demikian secara umum rataan tinggi vili menunjukkan trend yang menurun dimana rataan tinggi vili kelompok (P) paling rendah disusul kemudian (RP), (K), dan (R). Hal ini diduga karena rosela memiliki kandungan senyawa kimia yang baik terhadap tubuh. Menurut Sediaotama (2004), hasil analisis dari 10 g serbuk kelopak rosela memiliki kandungan asam amino diantaranya prolin, valin, asam glutamat, glisin, isoleusin, leusin, dan lisin yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sel, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan dan penggantian sel-sel yang mati. Asam amino sebagai monomer dari protein memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan dan regenerasi sel tubuh. Selain itu kandungan antioksidan dari antosianin (Falvonoid) dan vitamin C pada rosela dapat mengikat radikal bebas dan menghambat peroksidase lipid yang dapat merusak sel. Oleh karena itu kondisi sel terhindar dari radikal bebas. Kandungan flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, dan vitamin C pada ekstrak kelopak rosela dapat menjaga dan meningkatkan tinggi vili usus. Peningkatan vili menyebabkan semakin luas permukaan vili untuk absorbsi nutrien masuk ke dalam aliran darah (Mile et al. 2006; Winarsih 2007; Rostinawati 2009). Fungsi utama duodenum merupakan tempat katabolisme makanan menjadi partikel-
55
partikel kecil berupa lemak, protein atau bentuk lainnya. Proses ini dibantu oleh sekresi dari kantong empedu di hati dan sekresi dari pankreas. Hasil katabolisme di duodenum selanjutnya akan diserap di jejenum (Guyton dan Hall 1997). Berikut fotografi mikro dari tinggi vili setelah 8 minggu radiasi (Gambar 26).
A
B
C
D
Gambar 26 Fotografi mikro tinggi vili duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv). Tinggi vili diukur berdasarkan panah hitam. Dapat dilihat bahwa kelompok (R) memiliki vili lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok (K) dan (RP). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C:
56
kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 200x. Semua kelompok perlakuan setelah diberi 4 minggu pemulihan terjadi peningkatan tinggi vili yang mendekati rataan tinggi vili pada kelompok (K). Terlihat adanya usaha pemulihan sel-sel vili sehingga terjadi penambahan tinggi vili sehingga penyerapan nutrisi dapat optimal. Berikut fotografi mikro dari tinggi vili setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 27).
A
B
C
D
Gambar 27 Fotografi mikro tinggi vili pada duodenum setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi. Tinggi vili diukur berdasarkan tanda panah
57
hitam. Dapat dilihat bahwa tinggi vili pada semua kelompok hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin(HE) dengan perbesaran 200x. 4.6
Gambaran Umum Pengamatan Hiastopatologi Duodenum Mencit Perubahan patologis yang teramati dari gambaran histopatologi usus halus
mencit yang diberi radiasi (P) selama 8 minggu mengalami peningkatan persentase kerusakan epitel vili, jumlah kripta, sel radang dan sel goblet. Tinggi vili yang paling rendah dibandingkan kelompok (K), (R), dan (RP). Menurut McCurnin Bassert (2006), semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat sensitif terhadap radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah oleh jaringan akan mengakibatkan perubahan atau kerusakan. Radiasi ionisasi akan merubah susunan molekul air sel dalam tubuh sehingga terbentuk radikal bebas secara aktif. Menurut Thrall (2002), radikal bebas yang terbentuk dari radiasi ionisasi secara tidak langsung akan menghilangkan elektron atom dari jaringan yang terpapar. Jumlah radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan. Radikal bebas merupakan struktur atom yang tidak stabil karena mengalami kerusakan elektron pada kulit luarnya. Kerusakan atau hilangnya elektron menyebabkan atom menjadi tidak stabil dan sangat reaktif dalam reaksi kimia berupa oksidasi. Radikal bebas merusak tubuh dengan mengambil elektron dari atom lain yang berakibat pada terjadinya kerusakan sel, protein, dan struktur DNA. Kerusakan sel epitel vili yang teramati dapat memperbesar peluang kematian sel. Kematian sel epitel vili dapat menyebabkan deskuamasi epitel vili (Cheville 1999). Selain itu ditemukan pula udema pada lamina propria pada bagian mukosa vili. Menurut Shackelford dan Elwell (1999), pada inflamasi akut di usus terjadi udema di lamina propria. Usus yang mengalami deskuamasi epitel dan udema lamina propria akan menjadi rapuh. Apabila telah terjadi deskuamasi epitel maka usus akan mudah terinfeksi mikroorganisme dari lumen usus. Tingginya jumlah sel radang dan sel goblet pada mukosa maupun submukosa usus halus pada kelompok (P) diduga karena inisiasi radiasi. Menurut Weill et al. (2011), efek radiasi ionisasi dapat menyebabkan peradangan pada jaringan, oksidasi pada lemak dan protein, kerusakan DNA, dan penekanan fungsi imunitas. Secara keseluruhan maka lesio yang teramati pada kelompok (P) berupa
58
deskuamasi epitel, udema lamina propria, dan infiltrasi sel radang pada duodenum mencit akan menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi di usus sehingga mencit mengalami malnutrisi. Sedangkan pada kelompok (RP) memiliki persentase kerusakan yang lebih rendah serta tinggi vili yang lebih baik dari kelompok (P). Hal ini diduga karena adanya kandungan vitamin C yang tinggi pada tanaman rosela. Menurut Jagetia CG (2004), vitamin C memiliki kemampuan menghambat tingginya peroksidasi lipid dan kadar enzim antioksidan yang diinduksi oleh radiasi. Jumlah kripta, sel goblet, dan sel radang yang teramati tidak jauh berbeda dari kelompok (K). Hal ini diduga karena pemberian rosela yang berpotensi radioprotektif sebab adanya kandungan antioksidan falvonoid. Menurut RiceEvans et al. (1995), antioksidan golongan senyawa fenol atau flavonoid berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas secara langsung. Antioksidan melindungi perubahan onkogenik akibat induksi radiasi (Borek 2004). Menurut Hari-Kumar et al.(2004), kehadiaran antioksidan mampu memutuskan rantai efek radiasi (Gambar 28).
Gambar 28
Mekanisme pemutusan efek radiasi ionisasi oleh antioksidan (Hari-Kumar et al. 2004).
Menurut Mulyani et al. (2011), rosela memiliki aktivitas antioksidan (IC50) yang tinggi. Media ekstraksi yang bebeda terhadap rosela menunjukkan aktivitas antioksidan yang berbeda pula. Aktifitas antioksidan rosela pada media ekstraksi yang berbeda disajikan pada Tabel 10.
59
Tabel 10 Aktifitas antioksidant rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap kerusakan sel akibat radiasi dengan media ekstraksi berbeda No
Sampel
1
Vitamin C
2
Ekstrak dalam air panas
3
Ektrak methanol
4
Ekstrak etanol
5
Ekstrak butanol
6
Ekstrak air
Konsentrasi (µg/mL) 40 30 20 10 200 100 50 10 200 100 50 10 200 100 50 10 200 100 50 10 200 100 50 10
% penghambatan IC50 (µg/mL) kerusakan sel 96.209 96.156 96.103 74.406 89.921 87.976 82.392 26.351 87.310 20.012 5.760 4.250 60.777 37.401 17.122 1.682 63.267 36.794 21.130 0.508 15.961 11.906 1.457 1.275
2.061
21.2
121.03
144.03
137.14
9675.09
Sumber: Mulyani et al. (2011)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa ekstrak kelopak rosela yang menggunakan media etanol memiliki aktivitas antioksidan 144.03 µg/mL serta persentase penghambatan kerusakan sel pada dosis 50 µg/mL sebesar 17.122 %. Hal diatas menunjukkan ekstrak kelopak rosela dapat berpotensi sebagai radioprotektor terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radiasi terhadap duodenum mencit.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menunjukkan adanya potensi radioprotektif terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang terhadap usus halus mencit (Mus musculus).
5.2 SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap dosis efektif ekstrak kelopak rosela dan penambahan masa perlakuan radiasi untuk mengetahui pengaruhnya sebagai senyawa radioprotektif. Selain itu perlu penelitian mengenai formulasi sedian ekstrak kelopak rosela agar dapat menetralisir asam.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK. 1991. Maturation of B lymphocytes and expression of immunoglobulin genes. Di dalam Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular immunology. Philadelphia: Saunders. Hlm 70-96. Akindahunsi AA, Olaleye MT. 2003. Toxicological investigation of aqueous methanolic extract Hibiscus sabdariffa L. J Ethnopharmacol (89) : 161-164. Alatas Z. 2002. Indikator biologis dari kerusakan pada tubuh akibat paparan radiasi. Bull ALARA. Agustus 2002.(4): 37-43. Aletor VA. 1993. Cyanide in garri 1: Distribution of total. bond and free hydrocyanide acid in commercial garri. and the effect of fermentation time on residual cyanide content. Int J Food Sci Nutr (44) : 281-287. Ali BH, Al Wabel N, Blunden G. 2005. Pathological, pharmacological, and toxicological effect of Hibiscus sabdariffa L.: a review. J Phytother Res 19 (5): 369-375. Amin A, Hamza AA. 2005. Hepatoprotective effect of Hibiscus rosmarinus and salvia on azathioprine-induced toxicity in rats. Life Sci 77 (3): 266-78. Anonimous. 2011. Electromagnetic radiation. Precision Graphics. [terhubung berkala].http://www.studentarena.in/2011/03/electromagnetic-radiation.html [20 Mar 2012]. Anonimous. 2012. Pathology interactive case study: Free radicals and “reperfusion injury”. [terhubung berkala]. http://www.vetmed.vt.edu/education/.html [7 Mei 2012]. Barker IK, Van Dreumel AA, Palmer N. 1993. The Alimentary System. Di dalam Jub KVF. Kennedy PC. Palmer N, editor. Pathology of Domestic Animals Volume 2. Ed ke-4. California: Academic Press. Hlm 125-133. 200-254. Besselsen DG. 2004. Biology of laboratory rodent. [terhubung berkala]. http://www.ahsc.arizona.edu/ [22 Desember 2006]. Bevelender G, Remaley JA. 1998. Dasar-dasar Histologi. Ed ke-8. Gunarso I,. penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari Essentials of Histology. Ed ke-8. Hlm 252-267. 422-423. Borek C. 2004. Antioxidants and radiation therapy. J Nutr (134): 3207S-3209. Bratton, Cohen. 2001. Caspase cascades in chemically-induced apoptosis. Adv Exp Med Biol (500): 407-420.
62
Cheville N. 2006. Introduction To Veterinary Pathology. Ed. Ke-6. Blackwell Publishing USA.Hlm 9-17. Cosentino L, Shaver-Walker P, Heddle JA.1998. The relationships among stem cells, crypts, and villi in the small intestine of mice as determined by mutation tagging. Develop Dyn (20): E420-428. Cotran RS, Kumar, Collins. 1999. Robbins Patologic Basis of Disease. Ed. Ke-6. Tokyo- London- Sydne: WB Saundres Company. Hlm 46-50. D’amico AV, McKenna WG. 1994. Apoptosis and re-investigation of biologic basis of cancer therapy. Radiother Oncol (33) : 3-10. Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner Jilid 2. Ed ke-3. Hartono R, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari Textbook of Veterinary Histology. Hlm 375-390. Durovic B, Selakovic V, Spasic-Jokic V. 2004. Does occupational exposure to low-dose ionizing radiation induce cell membrane damage? Arch Oncol 12 (4): 197-199. Fajardo LF, Berthrong M, Anderson RE. 2001. Radiation Pathology. New York: Oxford University Press. Hlm 288-290. Fasoyiro SB, Ashaye OA, Adeola A, Samuel FO. 2005. Chemical storability of fruit-Flavoured (Hibiscus sabdariffa L.) drinks. World J Agric Sci 1(2) :165-168. Frappier BL. 2006. Digestive System. Di dalam: JA Eurell dan BL Frappier, editor. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6. Oxford: Blackwell Publishing. Hlm 170-211. Gartner LP, Hiatt JL. 2001. Color textbook of histology. Ed ke-8. Philadelphia: W.B Saundres bomtpny. Hlm 398-406. Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi Jilid 2. Gunawijaya AF, penerjemah. Jakartaa: Binarupa Aksara. Terjemahan dari Textbook of Histology. Hlm 108. Gorbunov NV, Garrison BR, Kiang JG. 2010. Response of crypt paneth cells in the small intestine following total-body gamma-irradiation. Int J Immunopathol Pharmacol 23(4): 1111-1123. Gu Y, Suzuki I, Hazegawa T, Park S. 2002. Malformation effects in DDY mice irradiated at two stages in the preimplantation period. J Nipp Acta Radiol (62) : 92-97. Gutfeld O, Wygoda M, Shavit L, Grenader T. 2007. Fertility after adjuvant external beam radiotherapy for stage i seminoma. [terhubung berkala]. http://www.ispub.com/journal/the-internet-journal-of-oncology/volume-4-
63
number-2/fertility-after-adjuvant-external-beam-radiotherapy-for-stage-iseminoma.html [13 November 2011]. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. Ke-9. Irawati Setiawan, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemah dari Textbook of Medical Physiology. Ed. Ke-9. Hlm: 996-997. Hall EJ. 2000. Radiobiology for The Radiologist. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins. Hlm 351. Harri-Kumar KB, Kuttan R. 2004. Protective effect on an extract of Phyllantus amarus against radiation-induced damage in mice. Short Communication. J Radiat Res (45) : 133-139. Hauchen CW, George RJ, Strumoski MA, Chon SM. 1999. PGF-2 enhance intestinal stem cell survival and its expression is induced after radiation injury. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol (276): G249-G258. Himawan S. 1990. Patologi. Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI Press. Hlm. 5. Hrapkiewiez K, Mediana. 2007. Clinical Laboratory Animal Medcine. Ed. Ke-3. US of America: Blackwell Pub. Hlm 39-72. Hummdi LA, Habashi SH. 2012. Histopathological and ultrastructural changes in the duodenal tissue of female mice treated with lornoxicam. Mid-East J Sci Res 11 (6): 765-776. Husaini DC. 2004. Subchronic administration of nigerian species of aqueos extract of Hibiscuss Sabdariffa calyx in rats did not produce cardiotoxicity. Europ Bull Drug Res (12) : 1-5. Inamoto T. 2008. An immunohistochemical detection of actin and myosin in the indigenous bacteria-adhering sites of microvillous columnar ephitelial cels in Payer’s patches and intestinal villi in the at jejunoileum. J Vet Med Sci 70 (11) :1153-1158. Jagetia GC. 2004. Ascorbic acid treatment reduces the radiation-induced delay in the skin exicion wound of Swiss albino mice. Indian J Radiat Res (19) : 7. Junqueira LC, Carneiro 2005. Basic Histology. Text and Atlas. USA: McGrawHill Comp.Hlm 56. Khosravi HM, Khanabali BAJ, Ardekano MA, Fathehi F, Shadkam MN. 2009. The effects of sour tea (Hibiscus sabdariffa) on hypertension in patients with type II diabetes. J Hum Hypertens (23) : 48-54 Kregel KC, Zhang HJ. 2007. An integrated view of oxidative stress in aging: basic mechanisms, functional effects, and pathological consideration. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol (292): R18-R36.
64
Kresno SB. 2001. Ilmu Onkologi Dasar. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:UI Press. Hlm 13-15. Lett JT. 1992. Demage to cellular DNA from particulate radiation, the efficacy of its processing and the radiosensitivity of mammalian cells. Emphasis on DNA stand breaks and chromatin break. J Radiat Res (70) : 575-584. Little MP. 2003. Risks associated with ionizing radiation. Br Med Bull (68): 259275. Li J, Hassan GS, William TM, Minetti C, Pestell RG, Tanowitz HB, Frank PG, Sotgia F, Lisanti MP. 2005. Loss of caveolin-1 causes the hyperprolofereation of intestinal crypt stem cells with increased sensitivity to whole body gamma-radiation. Cells Cycle (12): 1817-1825. Li YQ, Roberts SA, Paulus U, Loeffler M, Potten CS. 1994. The crypt cycle in mouse small intestinal epithelium. J Cell Sci (107): 3271-3279. Mahmoud S, Nessim NG. 2008. Morbid parasitological & histopathological events in hamster infected with intestinal amoebiasis given artesunate. Articel research, Scholarly research exchange. Halm 1-3. Macfarlane P, Rreid R, Callander R. 2000. Pathology Illustrated. Ed. Ke-5. United Kingdom: Brithis Library Press. Churchill Livingstone. Hlm 32-33. Malole FB, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: PAU IPB. Hlm. 28-45. Mann WJ. 1991. Surgical management of radiation enteropathy. J Surg Clin North Am (71) : 977-990. Martin K, Potten CS, Roberts SA, Kirkwood TB. 1998. Altered stem cell regeneration in irradiated intestinal crypts of senescent mice. Great Britain: J Cell Sci (111): 2297-2303 Maryani H, L Kristiana. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosela. Jakarta: Agromedia Pustaka. Hlm. 28-29. McCurnin DM, Bassert JM. 2006. Clinical Textbook for Veterinary Technicians. Ed. Ke-6. USA Elsevier Saunders. Hlm 28-30. McEwen BS, Seeman T. 1999. Protective and demaging effects of mediators of stress: Elaborating and testing the conceopts of allostasis and allostastic load. Ann Ny Acad Sci. 896:30-47 Merritt AJ, Potten CS, Kemp CJ, Hickman JA, Balmain A, Lane DP, Hall PA. 1994. The role of p53 in spontaneous and radiation-induced apoptosis in the gastrointestinal tract of normal and p53-deficient mice. Cancer Res (54) : 614-617.
65
Mescher AL. 2010. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. Ed. Ke-12. USA McGraw-Hill Lange. Hlm (15) 25-35. Meydani SN, Wu D, Santos MS, Hayek MG. 1995. Antioxidants and immune response in aged persons: overview of present evidance. Am J Clin Nutr (62): 1462S-1476S. Mile RD, Butcher GD, Henry PR, Littlel RC. 2006. Effect of antibiotic growth promotors on broiler performance, intestinal growth parameters, and quantitative morphology. J Poultry Sci 85: 476-485. Mitchel REJ. 2003. Low Doses of Radiation Reduce Risk in-vivo. Radiation Biology and Health Physics Branch. [AECL] Atomic Energy of Canada Limited. Radiation Biology and Health Physics Branch. Chalk River Laboratories. Canada. Hlm 2. Miyawaki S. 1997. Selective breeding for high serum IgA levels from noninbred DDY mice: Isolation of a strain with an early onset of glomelular IgA deposition. Nephron 76 (2) : 201-207. [NRC] National Research Council. 2006. Health risks from exposure to low levels of ionizing radiation: BEIR-VII Phase 2. Washington, DC: National Academy Press. Nicholas VA, Robert H. 2007. Cancer-related Bone Pain, editor Andrew Davies. Oxford Pain Management Library. Hlm 75-85 Novriantika L. 2009. Uji toksisitas akut ekstrak valerian (Valeriana officinalis) terhadap gastrointestinal mencit BALB/C [skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Hlm 40-46. Odigie IP, Ettarh RR, Adigun SA. 2003. Chronic administration of aquous Hibiscus sabdariffa L. attenuates hypertension outer serves cardiac hyperthropy in 2k-1c hypertensive rats. J Ethnopharmacol 86 (2-3): 181185. Ojokoh OA. 2006. Roselle (Hibiscuss sabdariffa) calyx diet and hispatological changes in liver albino rats. J Food Technol 5(2): 110-113. Olaleye MT 2007. Cytotoxicity and antibacterial activity of methanolic extract of Hibiscus sabdariffa. J Med Plant Res 1(1): 009-013. Petkau A. 1972. Effects of 22 Na+ on a phospholipid membrane. J Health Physiol (22): 239-244. Potten CS. 1977. Extreame sensivity of some intestinal crypt cells to x and gamma irradiation. Nature (269): 518-521.
66
Potten CS, Hendry JH. 1985. The microcolony assay in mouse small intestine. Di dalam CS Potten, editor. Cell Clone: Manual Of Mammalian Cell Techniques. New York: Churchill Livingstone. Hlm 50-59. Potten CS, Merritt A, Hickman J, Hall P, Faranda A. 1994. Characterization of radiation-induce apoptosis in the small intestine and its biological implications. Int J Radiat Biol (65): 71-78. Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisologi Konsep Klinis Proses Kejadian Penyakit. Anugrah P, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemah dari: Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes. Hlm 110-119, 461-464, 1006-1044. Radtke F, Clevers H. 2005. Self-renewal and cancer of the gut: Two side of a coin. Sci (307) : 1904-1909. Rajesh PR, Richa, Rajeshwar PS. 2009. Apoptosis: Molecular mechanisms and patogenicity. J Exceli 8: 155-181. Rice-Evans CA, Miller NJ, Bolwell PG, Bramley PM, Pridham JB. 1995. The relative antioxidant activities of plant-derived polyphenolic flavonoids. J Rad Res. 22(4):375-383. Robak J, Gryglewski. 1996. Bioactivity of flavonoids. Pol J Pharmacol (48): 555564. Roitt IM. 1988. The basic of immunology. Specific acquired immunity. Essential immunology. Ed. Ke-6. London: Blackwell. Hlm 15-30. Ross M, Kaye G, Pawlina W. 2002. Histology. A Text And Atlas.Ed. ke-4. Blackwell. Hlm 256-265. Rostinawati T. 2008. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Dan Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Mycobacterium Tuberculosis galur Labkes-026 (Multi Drug Resisten) dan L.) dan Mycobacterium tuberculosis galur H37Rv Secara In Vitro [tesis]. Bandung: Fakultas Farmasi. Universitas Padjadjaran. Hlm 24-31. Sakihama Y, Cohen MF, Grace SC, Yamasaki H. 2002. Plant phenolic antioxidant and prooxidant activities: phenolic-induced oxidative damage medicated by metals in plant. Toxicol: 67-80. Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. China: Saunder Elsevier. Shackelford CC, Elwell MR. 1999. Small and large intestine. and mesentary. Di dalam: RR Maronpot. GA Boorman. BW Gaul, editor. Pathology of the Mouse Reference and Atlas. Vienna: Cache River Press. Hlm 81-115.
67
Schiller LR, Sellin JH. 2006. Diarrhea. Di dalam: Feldman M. Friedman LS. Brandt LJ, editor. Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology. Diagnosis and Management. Philadelphia: Saunders Elsevier. Hlm 32-37. Schulte-Forhlinde, Bothe E. 1991. The development of chemical demage of DNA in aqueous solution. Cell Biology 54. Berlin: Springer. Hlm 317-332. [SAHB] School of anatomy and human biology. 2009. Blue histologyGastrointestinal. The University of Western Australia. [terhubung berkala]. http://www.lab.anhb.uwa.edu.au [12 Desember 2011]. Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine. United of State America: Mosby. Inc. Hlm 87-115. Smirnova OA. 2011. Environmental Radiation Effects on Mammals. A Dynamical Modeling Approach. USA: Springer. Hlm 1-3. Somosoy Z. 1999. Radiation response of cell organelles. Budapest, Hungary: Elsevier Science. Hlm 165-181. Subowo. 1993. Imunologik Klinik. Bandung: Angkasa. Hlm 67. Sulistiawati. 2009. Pengaruh ekstrak kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa linn) terhadap kuantitas leukosit dan persentase limfosit tikus putih (Rattus novergicus) anemia [skripsi]. Malang: Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim. Hlm 38-46. Thrall DE. 2002. Textbook of Veterinary Diagnostic Radiology. Ed ke-4. London: W. B. Saunders. Hlm 7-10. Tjokronagoro M. 2001. Biologi Sel Tumor Maligna. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada UGM. Yogyakarta. Di dalam Riyatun. Adisti G. Suharyana. 2011. Simulasi penentuan dosis serapan radiasi-γ 103pd pada brachytherapy payudara teknik PBSI menggunakan software MCNP5. Prosiding Seminar Nasional ke-17 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir 2011; Yogyakarta. 01 Okt 2011. Turner JE. 2007. Atoms Radiation and Radiation Protection. The Federal Republic of Germany: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co KGaA. Weinheim. Hlm 20-21. Ulum MF, Noviana D. 2008. Safety utilization of radiography as a diagnostic tools in veterinary medcine field. Proceedings of KIVNAS 2008; IPB International Convention Center Bogor. 19–22 Aug 2008. [UNSCR] United Nations Sientific Committee of The Effects of Atomic Radiation. 1999. Health Effects of Exposure to Radiation. National Academy Press. Washington. DC. Hlm 2-23.
68
[UNSCR] United Nations Sientific Committee of The Effects of Atomic Radiation. 2000. Report to the General Assembly. Source and Effect of Ionizing Radiation (2) United Nation. New York. Hlm 9.1-9.10. Uttara B, Singh AV, Zamboni P, Mahajan RT. 2009. Oxidative stress and neurodegenerative disease: a review of upstream and downstream antioxidant therapeutic options. Current Neuropharmacol (&): 65-74. Uzul FA, Saputo J, Sayeed S, Vidal JE, Fisher DJ, Poon R, Adams V, FernandezMiyakawa ME, Rood JI, McClane BA. 2009. Development and applicationn of new mouse models to study the pathogenesis of Clostridium perfringens type C enterotoxemias. Infec Immun. 77 (12): 5291. Wahl, Carr. 2001. The evolution of diverse biological responses to DNA demage: Insight from yeast and p53. Nat Cell Biol (3): E277-E286. Wang CJ, Wang JM, Lin WL, Chu CY, Chou FP, Tseng TH. 2000. Protective effect of Hibiscus sabdariffa anthocyanins agaisnt tert-butyl hydroperoxideinduced hepatic toxicity in rats. J Food Cheml Toxicol 38: 411-416. Weill FS, Cela EM, Ferrari A, Paz ML, Leoni J, Gonzalez Maglio DH. 2011. Skin exposure to chronic but not acute UV radiation affects peripheral T-cell function. J Toxicol Environ Health A. 74(13): 838-847. Widyanto PS, Nelista A. 2009. Rosela Aneka Olahan: Kahasiat dan Ramuan. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 1-35. Winarsih H. 2007. Antioksidan Alami & Radikal Bebas; Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Yogyakarta. Kanisius. Hlm 137-146.177-190. Wolfensohn, Lloyd. 1998. Handbook of Laboratory Animal Management and Welfare. Second Edition. USA: Blackwel Sci Oxford. Wong MH. 2004. Regulation of intestinal stem cells. Oregon Health And Science University, Oregon USA. J Investing Dermatol Symp proc (9): 224-228. Wood LG, Gibson PG, Garg ML. 2008. Biomarkers of lipid peroxidation, airway inflammation and atsma. Eur Respair J (21): 177-186. Yang PC, Jury J, Soderholm JD, Sherman PM, McKay DM, Perdue MH. 2006. Chronic physchological stress in rats induce intestinal sensitization to luminal antigens. Am J Pathol 1(168) : 104-114.
69
LAMPIRAN
70
Lampiran 1 Diagram alir pembuatan sediaan (preparat) histopatologi organ usus halus mencit percobaan Organ usus halus
Dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9%
Difiksasi 24 jam
Larutan Bovin
Didehidrasi
Alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95% (@24 jam)
Didehidrasi
Alkohol absolut I, II, dan III (@ 1 jam)
Clearing Clearing
Xylol I, II, dan III (@ 1 jam)
Infiltrasi parafin
Paraffin cair I, II, dan III (@ 1 jam)
Dicetak (embedding) dalam parafin
Dipotong dengan mikrotom
Deletakkan pada gelas objek
71
Lampiran 2 Diagram alir pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE) pada sediaan (preparat) histopatologi usus halus mencit percobaan
Dideparafinisasi
Xylol III, II, dan I (@ 5 menit)
Dirhidrasi
Alkohol absolut III, II, dan I (@ 5 menit)
Dicuci dengan air kran (5 menit) dan akuades (3 menit)
Diberi/ ditetesi dengan hematoksilin (3 menit)
Direndam dalam air kran (10 menit) dan akuades (5 menit)
Diberi/ ditetesi dengan eosin (2 menit)
Dehidrasi
Alkohol 70%, 80%, 90%, absolut I, II, dan III
Clearing
Xylol I, II, dan III
Di-mounting
Perekat permount
Diamati di bawah mikroskop
Difoto dengan mikroskofoto digital eyepiece camera
72
Lampiran 3 Diagram alir pewarnaan Periodic Acid Schiff sediaan (preparat) usus halus mencit percobaan
(PAS) pada
Deparafinisasi
Dicuci dengan akuades
Direndam dalam larutan asam asetat 1% (5 menit)
Dicuci dengan akuades
Dioksidasi dalam periodc acid 1% (5-10 menit)
Dicuci dengan aquades 3x (@5 menit)
Direndam schiff reagent (15-30 menit)
Dicuci dengan air sulfit
10 % sodium bisulfat (NaHSO3) 10 ml, 1 N asam klorida (HCl) 10 ml dan akuadesilata 200 ml (@ 2 menit)
Dicuci dengan air kran (10-15 menit) dan akuades (3 menit)
Clearing
Xylol I, II, dan III
Di-mounting
Perekat permount
Diamati di bawah mikroskop
73
Lampiran 4 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap % kerusakan vili duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemulihan Dependent Variable: kerusakan epitel vili Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
0.08871667
0.01267381
4.50
0.0061
Error
16
0.04506667
0.00281667
Corrected Total
23
0.13378333
R-Square
Coeff Var
Root MSE
vili Mean
0.663137
41.08822
0.053072
0.129167
Source perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
0.08871667
0.01267381
4.50
0.0061
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
0.002817
Harmonic Mean of Cell Sizes
2.823529
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
0.22667
3
p1
a
0.19000
3
rp1
b
a
0.18333
3
r1
b
c
0.11667
3
rp
b
a
0.10000
3
k1
b
c
0.09667
3
pp
b
c
0.09000
3
rpp
c
0.03000
3
kp
74
Menurut ketentuan uji Duncan nilai coeff var dari data yang diuji harus bernilai ≤ 25 sehingga dilakukan transformasi data menggunakan Ln. Diperoleh hasil uji yang berbeda nyata (p > 0.05). Dependent Variable: kerusakan epitel vili Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
9.09882917
1.29983274
10.85
<.0001
Error
16
1.91693333
0.11980833
Corrected Total
23
11.01576250
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon1 Mean
0.825983
15.15636
0.346133
2.283750
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
perlakuan
7
9.09882917
1.29983274
10.85
<.0001
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
0.119808
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
3.0200
3
p1
a
2.9433
3
rp1
a
2.9033
3
r1
b
2.1933
3
rp2
b
2.1533
3
k1
b
2.1500
3
r2
b
1.8067
3
p2
c
1.1000
3
k2
75
Lampiran 5 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah sel goblet di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemulihan. Dependent Variable: goblet Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
2268.759296
324.108471
2.64
0.0510
Error
16
1962.920867
122.682554
Corrected Total
23
4231.680163
R-Square
Coeff Var
Root MSE
goblet Mean
0.536137
36.49044
11.07622
30.35375
Source perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
2268.759296
324.108471
2.64
0.0510
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
122.6826
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
51.610
3
rp
a
37.890
3
p1
b
30.223
3
rp
b
28.720
3
pp
b
27.777
3
r1
b
26.610
3
k1
b
22.223
3
rpp
b
17.777
3
kp
b
76
Menurut ketentuan uji Duncan nilai coeff var dari data yang diuji harus bernilai ≤ 25 sehingga dilakukan transformasi data menggunakan Ln. Diperoleh hasil uji yang tidak berbeda nyata (p > 0.05). Dependent Variable: jumlah sel goblet Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
2.07473333
0.29639048
1.79
0.1590
Error
16
2.65300000
0.16581250
Corrected Total
23
4.72773333
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon1 Mean
0.438843
12.27124
0.407201
3.318333
Source perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
2.07473333
0.29639048
1.79
0.1590
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
0.165813
Error Mean Square
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
3.9267
3
r2
b
a
3.4200
3
p1
b
a
3.4100
3
rp1
b
a
3.3233
3
r1
b
a
3.2933
3
p2
b
a
3.2533
3
k1
b
3.1033
3
rp2
b
2.8167
3
k2
77
Lampiran 6 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah kripta di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemulihan Dependent Variable: kripta Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
63.0098500
9.0014071
1.53
0.2255
Error
16
93.8579333
5.8661208
Corrected Total
23
156.8677833
R-Square
Coeff Var
Root MSE
kripta Mean
0.401675
27.18557
2.422008
8.909167
Source perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
63.00985000
9.00140714
1.53
0.2255
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
5.866121
Error Mean Square
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
12.263
3
P1
b
a
9.400
3
PP
b
a
9.377
3
KP
b
a
9.253
3
RPP
b
a
8.877
3
RP
b
a
7.970
3
R1
b
a
7.933
3
K1
6.200
3
RP1
b
78
Menurut ketentuan uji Duncan nilai coeff var dari data yang diuji harus bernilai ≤ 25 sehingga dilakukan transformasi data menggunakan Ln. Diperoleh hasil uji yang tidak berbeda nyata (p > 0.05). Dependent Variable: jumlah kripta Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
0.81042917
0.11577560
1.58
0.2116
Error
16
1.17213333
0.07325833
Corrected Total
23
1.98256250
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon1 Mean
0.408779
12.61096
0.270663
2.146250
Source perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
0.81042917
0.11577560
1.58
0.2116
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
0.073258
Error Mean Square
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
2.4733
3
p1
b
a
2.2233
3
rp2
b
a
2.2200
3
k2
b
a
2.2067
3
p2
b
a
2.1500
3
r2
b
a
2.0700
3
k1
b
a
2.0433
3
r1
1.7833
3
rp1
b
79
Lampiran 7 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah sel radang di duodenum pada keompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemuliahan Dependent Variable: jumlah sel radang Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
101.3957864
14.4851123
5.88
0.0024
Error
14
34.4694000
2.4621000
Corrected Total
21
135.8651864
R-Square
Coeff Var
Root MSE
radang Mean
0.746297
14.02526
1.569108
11.18773
Source perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
101.3957864
14.4851123
5.88
0.0024
0.05
Alpha
14
Error Degrees of Freedom
2.4621
Error Mean Square
2.666667
Harmonic Mean of Cell Sizes
Means with the same letter are not significantly different. Duncan grouping
Mean
n
Perlakuan
a
16.10
3
rp1
b
a
13.45
3
r1
b
a
13.08
3
p1
b
c
10.65
3
rpp
c
9.78
3
k1
c
9.69
3
pp
c
9.68
3
kp
9.33
3
c rp
80
Lampiran 8 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap tinggi vili di deuodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv dan masa pemuliahan Dependent Variable: tinggi vili Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
22919.93560
3274.27651
0.82
0.5816
Error
16
63552.07320
3972.00458
Corrected Total
23
86472.00880
R-Square
Coeff Var
Root MSE
tinggi Mean
0.265056
20.47661
63.02384
307.7846
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
perlakuan
7
22919.93560
3274.27651
0.82
0.5816
Duncan's Multiple Range Test for tinggi vili 0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
5069.098
Error Mean Square
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
A
335.62
3
kp
A
325.41
3
rpp
A
323.87
3
rp
A
313.05
3
pp
A
310.23
3
r1
A
294.24
3
k1
A
292.59
3
rp1
A
288.70
3
p1
81
Lampiran 9 Uji fitokimia ekstrak kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
82