POTENSI EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) UNTUK MENANGGULANGI VIRUS AVIAN INFLUENZA H5N1 PADA AYAM BROILER : GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN PARU-PARU
ARDHINTA IRAWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan Judul “Potensi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) untuk Menanggulangi Virus Avian Influenza H5N1 pada Ayam Broiler: Gambaran Histopatologi Organ Paru –Paru” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi. Bogor, Agustus 2010 Penulis
Ardhinta Irawan B04062641
ABSTRACT ARDHINTA IRAWAN. The Potency of Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Extract to Eliminate Avian Influenza H5N1 Virus Infection in Chicken : Histopathology of Lungs. Under direction of WIWIN WINARSIH and AGUS SETIYONO.
The purpose of this research was to know the potency of sambiloto extract to eliminate the Avian Influenza H5N1 virus infection in chicken and to observe the histopathology of lungs. Sambiloto extract was given orally in Pathology Laboratory during three weeks and then chicken were infected with Avian Influenza H5N1 virus intranasal 104.0 x EID50 / 0.1 ml dosage in BSL 3 facility. The results showed that mild tissue destruction mostly found such as hemorrhage and vasculitis. This study concluded that sambiloto exctract has a potency to reduce the tissue destruction in lungs after challanging with Avian Influenza H5N1 virus. Keywords : sambiloto extract, H5N1 virus, lungs, histopathology
RINGKASAN ARDHINTA IRAWAN. Potensi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Untuk Menanggulangi Virus Avian Influenza H5N1 Pada Ayam Broiler : Gambaran Histopatologi Organ Paru-Paru. Dibawah bimbingan WIWIN WINARSIH Dan AGUS SETIYONO. Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui potensi sambiloto (Andrographis paniculata Nees) untuk menanggulangi virus AI H5N1 melalui gambaran histopatologi organ paru-paru ayam. Ekstrak sambiloto diberikan pada ayam setiap hari sejumlah 1 ml per oral selama tiga minggu di Laboratorium Patologi. Ayam yang telah dipelihara selama empat minggu diuji tantang virus AI di fasilitas BSL-3 dengan dosis 104.0 x EID 50 / 0,1 ml intranasal. Hasil penelitian ini berupa hemorhagi dan vaskulitis pada paru-paru ayam setelah diuji tantang virus AI H5N1. Bahwa ekstrak sambiloto memiliki potensi dalam mengurangi kerusakan jaringan pada paru-paru ayam. Kata kunci
: ekstrak sambiloto, virus H5N1, paru-paru, histopatologi
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
POTENSI EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) UNTUK MENANGGULANGI VIRUS AVIAN INFLUENZA H5N1 PADA AYAM BROILER : GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN PARU – PARU
ARDHINTA IRAWAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
: Potensi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
Judul
untuk Menanggulangi Virus Avian Influenza H5N1 pada Ayam Broiler: Gambaran Histopatologi Organ Paru -Paru Mahasiswa
: Ardhinta Irawan
Menyetujui, Pembimbing 1
Pembimbing 2
Dr.drh. Wiwin Winarsih, Msi, APVet
drh. Agus Setiyono, MS,PhD, APVet
NIP. 19630614 199002 2 001
NIP. 19630810 198803 1 004
Mengesahkan, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini NIP. 19621205 198703 2 001 Tanggal Lulus :
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis haturkan ke hadirat Allah SWT karena berkat, rahmat, dan hidayahnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Dengan segala keikhlasan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1
Ibu Dr. drh. Wiwin Winarsih ,MSi,APVet dan Bapak drh. Agus Setiyono ,MS,PhD,APVet selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan masukan. Karena beliau adalah salah satu sumber inspirasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2
Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo ,MS, APVet, Dr. drh. Sri Estuningsih ,MSi, APVet, Dr. drh. Hernomoadi H ,MS, APVet, Dr. drh. Ekowati Handayani ,MSi, APVet,
Dr.
drh.
Eva
Harlina,MSi,
APVet,
Dr.drh.
Dewi
Ratih
Agungpriyono,MSi, APVet, drh. Mawar Subangkit, Dr. drh. Nurhidayat ,Msi, Dr.drh. Hera Maheshwari,MSc dan Dr.drh. Eko Sugeng Pribadi,MSi yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam merampungkan skripsi ini. 3
Keluarga tercinta, Ayahanda tercinta S.M. Irwanu ,S.H. “semoga ayah lekas sembuh dan diberi keberkahan umur serta keselamatan dari ALLAH SWT” amin, Ibunda tercinta Tutik Siswati S.Pd “semoga ALLAH meridhoi setiap pengorbanan dan keikhlasanmu”amin, kakak-kakakku Ike Sintawati ,S.T , Dewi Ratnasari ,S.E dan adiku M. Kassogi Irwanu, mas agung dan nadya serta my girlfriend Mayang Sani yang telah memberikan dorongan baik doa, motivasi, dan materi.
4
Bapak Ndang, Bapak Kasnadi, Bapak Sholeh, Bapak Ma’mun (Balitro), dan Mbak Kiki atas segala bantuan sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar.
5
Teman-teman sepenelitianku, Ipin, Soni, Ika, Anggun, Zuhra, Sekar, Corry, dan Mbak Ade yang telah berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan skripsi ini. “Smangat kawan, we can do it!”
6
Sahabat-sahabatku Aesculapius FKH 43 yang tidak bisa saya sebutkan satupersatu, terima kasih atas kebersamaan yang kalian suguhkan, semoga persahabatan kita kan kekal hingga senantiasa terkenang.
7
Teman-teman kosanku, Uut, Danang, Romi, Rudi, Rizki, Dian, Rico, Tegar, Mas Edi, Mas Adi, Mas Zul, Mas Tyo, Galuh, Aseng, dan Fani atas dukungan kalian.
8
Cah-cah Semarang yang tergabung dalam Patra Atlas, yang membantu penulis menyelesaikan skripsi (matur suwun ya metha,mbantu olah dataku).
9
Teman-teman SMA-ku, Teguh, Rian, Gle, Ucil, Cigos, Lekan, Doyok, Bowo, Panji, Zuhri, Jatya, Copet, Emon, yang sabar memotivasiku.
10 Semua pihak yang trelibat dalam pengerjaan skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan semuanya.
Penulis menyadari penulisan proposal penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, terima kasih
Bogor, Agustus 2010 Penulis
Ardhinta Irawan B04062641
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang, 1 Maret 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sadhewa M. Irwanu ,S.H. dan Ibu Tutik Siswati ,S.Pd. pendidikan formal dimulai dari TK Pertiwi 32 pada tahun ajaran 19941995 dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Sendang Mulyo 0304 pada tahun 1995-2000. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 2 Semarang sampai tahun 2003. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Semarang dan lulus tahun 2006. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB setelah satu tahun menyelesaikan Tingkat Persiapan Bersama IPB. Selama menjadi mahasiswa, penulis turut aktif pada berbagai organisasi kemahasiswaan IPB, diantaranya Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Silat Perisai Diri tahun 20082009, Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Uni Konservasi Fauna tahun 2007, Kepala Divisi Kuda Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik tahun 2009, Anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Keluarga Mahasiswa Semarang di IPB (Patra Atlas) pada tahun 2006-sekarang. Penulis juga berpartisipasi dalam berbagai kegiatan diantaranya Anggota PKM bidang Pengabdian Masyarakat tahun 2007, Anggota Divisi Keamanan Pemilihan Raya (Pemira) FKH pada tahun 2007, Ketua Panitia Fieldtrip Aesculapius (Filtrasi) ke Bali pada tahun 2008, Anggota Divisi Konsumsi AZWMC tahun 2008, Koordinator Steering Committee (SC) Masa Pengenalan Fakultas Introvet pada tahun 2009, Anggota Divisi Transportasi “The First Congress of SEAVSA” pada tahun 2010. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi berjudul “Potensi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Untuk Menanggulangi Virus Avian Influenza H5N1 Pada Ayam Broiler : Gambaran Histopatologi Organ Paru-Paru” sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
ix
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... ... ix DAFTAR TABEL…………………………………………………………………...xi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………….xii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………….xiii 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. …. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. ..... 1 1.2 Tujuan .......................................................................................................... ..... 4 1.3 Manfaat ........................................................................................................ ..... 4 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... ..... 5 2.1 Avian Influenza ............................................................................................. ..... 5 2.2 Kejadian AI pada Unggas............................................................................... .... 6 2.3 Paru-Paru Ayam………………………….………………………………….. ... 7 2.4 Tanaman Obat di Indonesia ………………………………………………... . .. 9 Sambiloto (Androgaphis paniculata Nees)…………………. ................... .. 9 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 12 3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................................... 12 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ............................................................................... 12 3.2.1 Bahan dan Alat di Kandang Hewan Laboratorium .......................... 12 3.2.2 Bahan dan Alat di Laboratorium Histopatologi ............................... 12 3.3 Metode Penelitian............................................................................................. 13 3.3.1 Hewan Percobaan .............................................................................. 13 3.3.2 Ekstrak Tanaman Sambiloto (Androgaphis paniculata Nees) .......... 13 3.3.3 Pengelompokkan Hewan .................................................................. 14 3.3.4 Infeksi AI .......................................................................................... 16 3.3.5 Tahapan Pembuatan Histopatologi ................................................... 16 3.3.6 Pengamatan Histopatologi..…………..………………………….. .. 17
x
3.3.7 Analisis Data .................................................................................... 17 4 HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………….….. ............... 18 5 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ ............... 26 5.1 Kesimpulan................................................................................................ ........26 5.2 Saran...................................................................................................... ............26 DAFTAR PUSTAKA .. …………………………………………………………… 27 LAMPIRAN……………………………………………………………………... .... 30
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Hasil analisa ekstraksi sambiloto (Androgaphis paniculata Nees) dengan metode Gas Kromatografi Spektrometri Massa (Setyono et al. 2008)……... 11 2. Pengelompokan hewan….…………………………………………………… 14 3. Skoring histopatologi………………………..……..……………………...… 17 4. Hasil data kematian setelah uji tantang virus AI……..................................... 18 5. Persentase kerusakan jaringan pada paru-paru………………………………. 19
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Morfologi virus Avian Influenza (http://www.radnc.com) (Anonim 2007).. 5
2 Histologi paru-paru ayam normal berupa alveolus, parabronchus, dan epitel mukosa (Samuelson 2007)………….…………………..…....... 8 3 Tanaman sambiloto (http://www.smecda.com) (Androgaphis paniculata Nees)……………………….…………………… 10 4 Perlakuan dalam kandang unit hewan bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB ……..…………………………………… 13 15 5 Perlakuan di fasilitas BSL 3.................................................................. 6 Paru-paru ayam : Infiltrasi sel radang (I) dan nekrosa jaringan (N) pada kelompok ayam yang ditantang virus AI (K1). Pewarnaan HE. Pembesaran 400x............................................................... 20 7 Paru-paru ayam : Kongesti pembuluh darah (K) pada kelompok ayam diberi ekstrak sambiloto dan ditantang virus AI (P1-8). Pewarnaan HE. Pembesaran 50x........................................................... 20 8 Paru-paru ayam : Penimbunan cairan edema ekstravaskuler (E) pada kelompok ayam diberi ekstrak sambiloto dan ditantang virus AI (P1-2). Pewarnaan HE. Pembesaran 200x.........................................................
21
9 Paru-paru ayam : Edema pulmonum (Ep) dan hemorhagi (H) pada kelompok ayam yang ditantang virus AI (K1). Pewarnaan HE. Pembesaran 200x.........................................................
21
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Uji statistika…….………………………………………………………… 31
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Avian influenza adalah penyakit infeksi pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Dari 16 subtipe virus avian influenza, subtipe H5N1 mendapat perhatian khusus karena beberapa alasan. H5N1 dapat bermutasi dengan cepat dan tercatat mempunyai kecenderungan untuk memperoleh gen dari virus yang menginfeksi hewan dan spesies lain, termasuk manusia. Kemampuannya untuk menyebabkan penyakit yang berat pada manusia diketahui melalui dua cara penularan yaitu dengan peranan inang antara dan penularan langsung. Virus ini juga ditularkan oleh babi, kuda, dan mamalia laut. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasi telah terjadi di Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, Cina, Indonesia, Pakistan, Irak ,dan Turki. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi. Penemuan gejala-gejala klinik dan laboratorium (demam, batuk, diare, sesak napas, limfopeni, dan kelainan pada x-ray toraks) dan adanya riwayat kontak dengan unggas mungkin akan sangat membantu dalam mengindentifikasi pasien yang terinfeksi virus ini (Hasanah 1992). Kondisi demikian telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan resiko tertinggi penyebaran flu burung di dunia. Penyakit ini dianggap sangat berbahaya karena resiko kematian pasien lebih dari 50%, dan penyebaran virus H5N1 hingga saat ini belum dapat dikendalikan. Virus yang awalnya hanya menyerang unggas ini kini telah merebak menyerang manusia, babi, anjing dan kucing. Hal yang paling ditakuti para ahli adalah apabila terjadi mutasi yang tidak diinginkan pada virus H5N1, maka akan terjadi pandemi yang akan menelan korban jiwa manusia sangat besar karena obatnya belum ditemukan. Pada bulan Juli 2005 telah dilaporkan terjadi kasus
flu burung yang
menginfeksi manusia di Tangerang, Banten sehingga menyebabkan kematian. Sejak saat itu pembahasan mengenai flu burung kembali lebih intensif dibanding
2
sebelumnya. Kasus infeksi flu burung sebenarnya sudah menyebar di Indonesia ,tetapi hanya terbatas pada unggas saja. Tepatnya pada tanggal 25 Januari 2004, pemerintah melalui Departemen Pertanian secara resmi mengumumkan flu telah terjadi di Indonesia. Waktu itu infeksi flu dari 5 juta ekor unggas tertular
burung
burung telah mengakibatkan lebih
mati, tetapi tidak ada seorangpun yang terjangkit atau
penyakit tersebut. Baru pada bulan Juli 2005 dilaporkan
pertama kali
wabah ini telah menular ke manusia (Sundu 2005). Sampai dengan akhir bulan Agustus 2006, telah dilaporkan sebanyak 241 kasus infeksi dan 141 diantaranya telah meninggal dunia. Sejak tahun 2003 telah terjadi penyebaran yang semakin luas dari HPAI-H5N1 ke beberapa negara lain, dengan angka kematian yang cukup tinggi (WHO 2006). Berdasarkan hasil kajian secara genomik, dikenal beberapa subtipe dari avian influenza, namun demikian selama 6 tahun terakhir hanya subtipe H5, H7 dan H9 yang diketahui mampu menyebar dari unggas ke manusia. Pandemi influenza yang didefinisikan sebagai batas negara) dari penyakit
lonjakan global (melintasi
yang disebabkan oleh virus ini sudah cukup lama
dikenal. Virus ini dikenal cerdik dan susah diberantas karena sifatnya yang mudah berubah asam intinya. Selain itu, penyebaran melalui udara juga menyebabkan virus ini cepat berpindah. Obat yang ditetapkan Pemerintah Indonesia untuk penderita flu burung adalah oseltamivir carboxylate (Tamiflu). Obat ini bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, yang bahan bakunya berasal dari tanaman Star anise (Illicium verum) yang harus diimpor seluruhnya dari Vietnam atau China dengan biaya relatif mahal. Obat lainnya adalah Amantadine, yang bekerja sebagai ion channel blocker, namun dilaporkan telah memicu resistensi pada virus. Pada bulan Januari 2006, dilaporkan bahwa 16% dari kasus H5N1 pada manusia mempunyai tipe virus yang resisten terhadap Tamiflu. Berdasarkan kenyataan diatas maka sangat perlu dan mendesak untuk segera ditemukan obat alami untuk flu burung dari tanaman yang berasal dari alam Indonesia. Indonesia sebagai negara tropis menyimpan banyak kekayaan hayati yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, termasuk di dalamnya adalah tanaman-tanaman
3
obat yang biasa dijumpai dan juga digunakan pada manusia. Tanaman obat adalah tanaman yang penggunaan utamanya untuk keperluan obat-obatan, dalam hal ini obat tradisional yang khasiatnya secara phytoterapi juga masih harus diteliti (Hasanah 1992). Untuk itu perlu adanya tanaman obat yang berasal dari Indonesia yang dapat menanggulangi permasalahan flu burung ini. Tanaman obat adalah tanaman yang penggunaan utamanya untuk keperluan obat-obatan, dalam hal ini obat tradisional yang khasiatnya secara phytoterapi juga masih harus diteliti (Hasanah 1992). Tanaman obat yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Secara empiris, sambiloto dimanfaatkan sebagai obat anti diuretik, anti diabetes, anti inflamasi, anti tukak lambung, anti histaminergik (gatal-gatal), menurunkan tekanan darah, rematik, analgetik, immunomodulator, melindungi kerusakan hati dan jantung yang reversibel, anti spermatogenik/androgenik. Disamping itu hasil pengujian pra klinik sambiltoto menunjukkan bahwa andrografolide (komponen aktif) memiliki aktivitas sebagai anti virus dan telah dikembangkan sebagai obat modern anti virus dengan nama androvir (Mulisah 1999).
4
1.2 Tujuan Tujuan kegiatan penelitian ini adalah mengetahui potensi sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dalam menanggulangi virus Avian Influenza H5N1 melalui gambaran histopatologi organ paru-paru ayam.
1.3 Manfaat Manfaat dalam penelitian ini diperoleh informasi dasar pengaruh pemberian sambiloto (Andrographis paniculata Nees) yang diuji tantang virus Avian Influenza H5N1 melalui kajian histopatologi organ paru-paru.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Avian Influenza Flu burung atau yang biasa dikenal dengan istilah avian flu atau avian influenza dalam bahasa inggris, penyakit ini adalah penyaklit menular (contagious) yang disebabkan virus influenza tipe A dengan diameter 90-120 nanometer. Virus tersebut termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Secara normal, virus tersebut hanya menginfeksi ternak unggas seperti, ayam, itik, dan kalkun (Antinoff 2005).
Gambar 1 Morfologi virus Avian Influenza. (http://www.radnc.com) (Anonim 2007). Virus AI menyerang organ pernafasan, pencernaan, dan sistem saraf unggas (domestik, eksotik, dan tidak mengenal rentan umur). Oleh karena sifatnya yang mematikan virus AI tidak hanya menyerang unggas, tetapi ternak lain seperti babi dan kucing dapat diserang olehnya. Kematian tinggi dan cepatnya perkembangan virus ini dalam tubuh merupakan ciri mematikanya virus ini (Anonim 2007). Virus influenza terdiri dari beberapa tipe, antara lain tipe A, tipe B, dan tipe C. Virus tipe A hanya menyerang hewan, tetapi dapat menyebabkan epidemik pada manusia. Sementara tipe B dan tipe C hanya menyerang manusia, tidak menyerang hewan. Dalam virus tipe A mempunyai 15 hemaglutinin (H1-H15) dan 9 neuramidase (N1-N9). Jika keduanya dikombinasikan maka terdapat 135 pasang kemungkinan subtipe virus yang dapat muncul. Beberapa jenis subtipe (strain) yang sudah dikenal antara lain H1N1, H1N2, H2N2, H3N3, H5N1, H7N7, dan H9N1. Dari sekian subtipe tersebut dikenal sangat ganas, yaitu H5 dan H7 (Antinoff 2005).
6
2.1 Kejadian AI pada Unggas Peternakan unggas Indonesia sering mengalami pasang surut dalam hal produksi. Terkait dalam hal ini yang mempengaruhi adalah pemberian pakan dan pengendalian penyakit. Penyakit yang menyerang unggas khususnya ayam bermacam-macam seperti Salmonellosis, Marek, dan ND (Newcastle Disease). Flu burung adalah salah satu penyakit yang menggemparkan dunia perunggasan dan negara-negara di Asia Tenggara. Penting bagi peternak dan pemelihara kesehatan ayam di peternakan untuk mengondisikan keadaan ayam semaksimal mungkin agar tidak terpapar penyakit dengan mudah. Usaha-usaha yang termasuk didalamnya antara lain penambahan ekstrak tanaman obat sebagai probiotik dan campuran ke dalam pakan unggas. Peternak melakukan hal ini sebagai tindakan antisipasi terpaparnya hewan dengan pengaplikasian tanaman obat manusia untuk hewan. Konsumsi per kapita dari daging broiler relatif rendah, sektor peternakan broiler Indonesia tetap diharapkan mampu berkembang. Saat ini beberapa masalah terusmenerus mengancam produksi peternakan seperti penyakit, bahan pakan impor, ketersediaan bibit unggul, dan asuransi pemerintah yang tidak konsisten (Setiyono et al. 2008). Di Indonesia kejadian flu burung pada unggas mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi peternak. Kematian mendadak disertai banyaknya unggas yang mati merupakan dampak penyakit ini. Untuk itu diperlukan vaksinasi untuk meningkatkan antibodi terhadap virus flu burung. Untuk unggas liar vaksinasi belum diperlukan karena akan mengalami kesulitan saat aplikasi dan kontrol terhadap unggas liar yang memiliki kecenderungan berpindah-pindah tempat. Dalam perkembangan berikutnya, dunia mengamati bahwa sifat penyakit flu burung mulai berubah, wabah mulai sering muncul dalam rentang waktu belakangan ini. Sejak penyakit AI diketahui mampu menyerang manusia di Hongkong pada tahun 1997 yang lalu, tercatat ada 20 kali terjadi wabah di dunia termasuk 10 negara di Asia dengan dampak kematian unggas yang tinggi mencapai lebih dari 150 juta ekor. Ini menunjukkan bahwa virus AI telah bermutasi menjadi jauh lebih ganas daripada sebelumnya dan bahkan menjadi potensi ancaman bagi kesehatan manusia (Tim FKH IPB 2007).
7
2.2 Paru – Paru Ayam Sistem respirasi merupakan tempat terjadinya pertukaran gas antara darah dan udara. Sistem respirasi dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu : bagian konduksi dan bagian respirasi. Bagian konduksi berperan sebagai pencuci, memanasi atau mendinginkan dan membuat udara lebih lembab. Bagian konduksi merupakan tabung yang menghubungkan dunia luar dan paru-paru, terdiri atas : hidung, faring, laring, trakea, bronkhi dan parabronkhus (Samuelson 2007). Paru-paru ayam merupakan organ respirasi utama sebagai bagian vital dari traktus respiratorius. Paru-paru ayam yang baik berwarna merah, berukuran kecil, dan menempel di kiri-kanan collumna vertebralis pada septum dorsalis di dalam ruangan cavum pulmonale. Di bagian ventral facies septalis terdapat hillus pulmonalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan bronki primer. Memiliki berat normal sekitar 10 hingga 50 gram, jika paru-paru berukuran terlalu besar maka bisa saja merupakan patologi (bengkak karena berbagai penyakit atau terjadi akumulasi peradangan yang menimbulkan eksudat berlebih). Parabronki berasal dari bronki medioventrales di satu sisi dan bronki mediodorsales serta bronki lateroventrales di sisi lainnya. Tiap parabronkus merupakan pipa-pipa panjang yang berdiameter 0,2-0,5 mm tergantung ukuran unggas. Selanjutnya parabronki dari kedua sisi akan bertemu di suatu tempat dasar yang disebut planum anastomicum (Guyton 2008). Paru-paru berfungsi sebagai organ respirasi yang utama bagi ayam. Dengan bentuk anatomi yang unik menunjang kinerja fisiologis paru-paru dalam sistem sirkulasi bersama dengan jantung. Ketika udara kotor yang dibawa aliran darah dari jantung, kemudian masuk dalam paru-paru akan ditukar dengan udara kaya oksigen yang diperoleh paru-paru dari lingkungan luar, melalui proses yang disebut bernafas. Lalu darah yang mendapat udara kaya oksigen kembali ke jantung, yang nantinya akan diedarkan ke seluruh tubuh oleh jantung (Cunningham 1994). Paru-paru ayam berbeda dengan paru-paru mamalia, karena paru-paru ayam tidak memiliki diafragma dan ayam memiliki kantung udara yang berfungsi mendukung respirasi ayam. Bagian dorsal paru-paru ayam menempel pada tulang rusuk di rongga thorax dan susunan tulang rusuk yang terikat kuat. Kemudian paru-
8
paru ayam tidak berubah volumenya ketika inspirasi maupun ekspirasi, yang berubah hanya kantong hawanya saja. Selain itu, unggas bernafas lebih dalam dan lebih lama dibandingkan mamalia (Guyton 2008).
Gambar 2 Histologi paru-paru ayam normal berupa alveolus (A), parabronchus (PB), dan epitel mukosa (Panah). (Samuelson 2007). Secara normal histologi paru-paru ayam normal terdiri dari bronkus intrapulmonum, parabronchus, dan alveolus. Bronkus intrapulmonum memiliki mukosa dan adventisia. Tulang rawan jarang sekali tampak, karena sejak di vestibulum tulang rawan sudah tidak ada. Epitel mukosa berbentuk silinder banyak baris bersilia, dengan propria submukosa banyak mengandung pembuluh darah. Kapiler pembuluh darah berfungsi untuk tempat pertukaran gas yang kaya Oksigen dan miskin Oksigen, sistem tersebut dikenal dengan blood air barrier. Epitel parabronkus berbentuk kubus, di bawahnya terdapat jaringan ikat dan otot polos. Lubang-lubang pada dinding parabronkus membentuk atrium atau air vesicles, selanjutnya bercabang-cabang membentuk buluh dan berakhir mirip jari-jari. Di sekitar alveolus juga terdapat sel pertahanan lokal yang biasa disebut sel pneumosit. Sel pneumosit ada dua tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Sel pneumosit tipe 1 ditemukan paling dominan, sekitar 95% pada permukaan alveolus. Sel ini berfungsi untuk menjalankan pertukaran udara dalam alveol. Sel pneumosit tipe 2 dengan jumlah yang lebih sedikit berfungsi sebagai penghasil surfaktan. Surfaktan merupakan komponen non spesifik dan dapat menurunkan tegangan permukaan di alveol (Samuelson 2007).
9
2.3 Tanaman Obat Di Indonesia Tanaman obat adalah tanaman yang penggunaan utamanya untuk keperluan obat-obatan, dalam hal ini obat tradisional yang khasiatnya secara phytoterapi juga masih harus diteliti (Hasanah 1992). Tanaman obat berkhasiat telah dikenal sebagai bahan pengobatan tradisional atau alternatif.
Kegunaan tanaman obat ini juga
semakin diperluas aplikasinya dalam penanganan kesehatan maupun peningkatan produksi hewan ternak. Beberapa diantaranya telah dibudidayakan sebagai tanaman bumbu rumah tangga. Perbiakannya juga relatif mudah yaitu dengan rimpang, tumbuh liar di tempat terbuka seperti kebun, tepi sungai, tempat kosong yang tanahnya sedikit lembab atau ditanam di pekarangan rumah. Sambiloto (Androgaphis paniculata Nees) Sambiloto adalah suatu tumbuhan yang tegak, tingginya mencapai 80-110 cm, batangnya segi empat, dan banyak cabangnya. Daunnya berhadapan, berupa daun tunggal yang bentuknya memanjang dengan tepi daun rata. Tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun. Bunganya berwarna putih atau ungu, tersusun dalam rangkaian berupa tandan yang tumbuh pada ujung-ujung tangkai. Buah yang dihasilkan berbentuk memanjang seperti jorong, terdiri dari dua rongga. Setiap rongga berisi 3-7 biji yang berbentuk gepeng. Klasifikasi tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Nees) menurut Hutapea dan Syamsuhidayat (1991) adalah: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Gamopetalae
Bangsa
: Solanales
Famili
: Acanthaceae
Subfamili
: Acanthoidae
Genus
: Andrographis
Spesies
: Andrographis paniculata Nees
10
Gambar 3 Tanaman sambiloto (Androgaphis paniculata Nees). (http://www.smecda.com) (Anonim 2003). Sambiloto dikenal di Indonesia dengan macam-macam nama seperti sambilata atau sandiloto (Jawa), ki oray atau ki peurat (Sunda), dan pepaitan (Maluku). Tempat asal tumbuhan ini belum diketahui secara pasti, diduga berasala dari Asia tropik. Sambiloto merupakan salah satu tanaman yang telah lama digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional di Indonesia maupun di negara lainnya seperti India dan Filipina (Anonim 2003). Tanaman ini mengandung andrographolide, deoxy-andrographolide, 14deoxy-11, 12-didehydroandrographolide, homoandrographol-ide, neoandroghapolide, keton, andrographin, apigenin-7, 4-dimetil eter, panicolin, aldehid, alkaline, mineral, dan asam kersik pada seluruh bagian tanaman (Dalimartha dan Hembing 2005). Kadarnya dalam daun antara 2,5 sampai 4,8% dari berat kering. Sambiloto terbukti berkhasiat untuk mencegah maupun mengobati beberapa penyakit, seperti tifus, diabetes, radang telinga, radang tenggorokan, amandel, gatal-gatal, kudis, sinusitis, dan desentri (Mulisah 1999). Selain berkhasiat obat, sambiloto juga bermanfaat sebagai penambah nafsu makan (Winarto 2003). Ekstrak daun sambiloto mampu menurunkan kadar histamin serum dan infiltrasi sel-sel radang pada saluran pernafasan.
11
Andrografolid yang terkandung di dalam sambiloto diantaranya laktone, flavonoid, alkane, keton, dan aldehide (Pravanza dan Lukito 2003). Mardisiswojo dan Harsono (1975) menyatakan bahwa zat aktif pada sambiloto yang berfungsi sebagai obat adalah andrografolid dan neoandragrafolid yang rasanya sangat pahit. Andrografolid yang terkandung dalam lakton berfungsi sebagai zat anti inflamasi dengan cara menstimulasi kelenjar adrenal dalam menghasilkan glukokortikosteroid. Cunningham (1994) menyatakan bahwa hormon glukokortikosteroid mempunyai peranan penting dalam menghambat proses respon peradangan / inflamasi, migrasi leukosit, deposit fibrin, dan pembentukan jaringan ikat (fibrosis). Hormon ini menghambat peradangan dengan cara menghambat media peradangan seperti prostaglandin, thromboxanes, dan leukotriens yang mempengaruhi metabolisme asam arachidonat induk semang. Sambiloto merupakan salah satu tanaman obat yang sering digunakan masyarakat untuk mengobati berbagai macam penyakit misalnya antipiretik, penyakit kulit, diabetes, diuretika, antialergi, dan anti peradangan. Menurut Mulisah (1999), di Malaysia tanaman ini digunakan sebagai metode baru untuk mengobati beberapa penyakit seperti HIV, AIDS, dan beberapa gejala penyakit yang berhubungan dengan kekebalan tubuh.
Tabel 1 Hasil analisa ekstraksi sambiloto (Androgaphis paniculata Nees) dengan metode Gas Kromatografi Spektrometri Massa (Setyono et al. 2008) Formula D. Sambiloto Konsentrasi (0,5 % ) 1. Anetol 2. Neopitadiena 3. Asam heksa dekanoat 4. Iso-pitol 5. Asam okta deka dienoat 6. Silan 7. Vitamin E 8. Stigmastenol
2,24 0,93 0,78 0,91 0,86 0,53 0,56 1,38
12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2008 sampai Februari 2009 bertempat Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan fasilitas BSL-3 PT Vaksindo Satwa Nusantara, Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Bahan dan Alat di Kandang Hewan Laboratorium Bahan yang digunakan di Kandang Hewan Laboratorium antara lain DOC (Day Old Chick) strain Cobb, pakan konsentrat, air, litter kandang, ekstrak tanaman obat sambiloto (Androgaphis paniculata Nees) 100 ml. Alat yang digunakan antara lain syringe 1 ml, tempat makan dan minum, kandang hewan coba 4 kamar terbuat dari papan kayu, lampu 2 buah, timbangan elektronik, botol ekstrak, lap, spidol, dan stiker label.
3.2.2 Bahan dan Alat di Laboratorium Histopatologi Bahan yang digunakan di laboratorium antara lain organ paru-paru ayam yang berlabel, zat warna HE (Hematoksilin Eosin), alkohol bertingkat, xylol, paraffin, dan minyak emersi. Alat yang digunakan antara lain 12 slide, cover glass, mikrotom, container, incubator, tissue cassette, tissue processor, mikroskop cahaya, lap flanel, kamera digital, pulpen, dan buku tulis.
13
3.3 Metode Penelitian 3.3.1.1 Hewan Percobaan Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam day old chick atau DOC ras pedaging strain Cobb. Kandang berisi 10 ekor ayam yang dipelihara selama 28 hari. Minggu pertama ayam hanya diberi pakan cukup dan air minum ad libitum. Ekstrak tanaman obat diberikan setiap hari sejumlah 0,5 ml per ekor via oral mulai pada minggu kedua hingga keempat, disamping itu tetap diberi pakan konsentrat dan air ad libitum per kandang pada pagi dan sore hari. Pada kandang diberi penyinaran dengan lampu untuk membantu metabolisme berkembang dengan baik. Alas kandang berupa sekam padi.
Gambar 4 Perlakuan dalam kandang unit hewan bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. 3.3.1.2 Ekstrak Tanaman Sambiloto (Androgaphis paniculata Nees) Ekstrak-ekstrak tanaman obat didapatkan dari BALITRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik) Bogor dalam bentuk larutan dalam botol dan berlabelkan nama tanaman obat yang digunakan (sambiloto).
Ekstrak
tanaman sambiloto dengan konsentrasi 10%, per botol memiliki volume sebanyak 100 ml untuk diberikan sebanyak 1 ml satu kali sehari pada masingmasing ayam yang tersedia di kandang.
14
Teknik yang digunakan dalam ekstraksi sambiloto adalah bahan dikeringkan pada suhu tidak lebih dari 45 C, sampai kadar air
10 %,
kemudian digiling dengan ukuran 60 mesh. Bahan yang sudah halus masingmasing direndam dalam alkohol 95% dengan perbandingan 1 : 5. Diaduk dengan pengaduk listrik selama 4 jam, kemudian didiamkan 1 malam. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring. Diambil bagian cairannya, diuapkan dengan alat rotary evaporator sampai alkoholnya habis. Ekstrak pekat yang dihasilkan kemudian dimurnikan dengan etil asetat. Diperoleh ekstrak pekat murni. Kemudian penentuan kandungan zat dalam sambiloto secara kualitatif melalui kombinasi dengan metode gas kromatografi spektrofotometri massa. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah komponen campuran kimia sambiloto, berdasarkan polaritas campuran. Bagian utama dari kromatografi adalah gas pembawa, sistem injeksi, kolom, fase diam, detektor, dan suhu. Spektofotometri massa digunakan untuk identifikasi dan penentuan struktur senyawa kimia, informasi terpenting adalah berat molekul (Setyono et al. 2008).
3.3.2 Pengelompokan Hewan Hewan dikelompokan atas dasar perlakuan yang dilakukan,yaitu: Tabel 2 Pengelompokan Hewan No Kelompok 1.
2.
3.
4.
Perlakuan positif (P1) Perlakuan negatif (P2) Kontrol positif (K1) Kontrol negatif (K2)
Keterangan Perlakuan
(+);
dicekok
dengan
ekstrak
sambiloto dan ditantang dengan virus AI Perlakuan (-); dicekok dengan ekstrak sambiloto tetapi tidak ditantang virus AI Kontrol (+); tidak dicekok ekstrak sambiloto dan ditantang virus AI Kontrol (-); tidak dicekok ekstrak sambiloto dan tidak ditantang virus AI
15
Gambar 5 Perlakuan di fasilitas BSL 3.
Keterangan gambar 5: A
= Keadaan luar fasilitas BSL 3
B
= Pengambilan virus AI H5N1 dengan dosis 104.0 EID50/0,1 ml
C&D
= Penyuntikan virus intranasal di laboratorium BSL 3
E
= Pemeliharaan ayam post infeksi di laboratorium BSL 3
F
= Penyimpanan organ dalam pot plastik yang terendam BNF 10%
16
3.3.3 Infeksi AI Dalam penelitian ini tindakan perlakuan dan pemeliharaan ayam dilakukan di laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Infeksi ayam menggunakan virus avian influenza H5N1 dengan dosis 104.0 x EID50 / 0,1 ml diperoleh dari PT Vaksindo Satwa Nusantara. Infeksi dilakukan dengan rute intranasal pada ayam yang telah berumur 4 minggu di fasilitas BSL 3 bertempat di PT Vaksindo Satwa Nusantara, Gunung Putri, Bogor. Pengamatan dilakukan selama 7 hari pasca infeksi, diamati setiap pagi dan sore, kemudian dicatat jumlah ayam yang mati. Namun, bila terdapat ayam yang belum mati sampai hari ketujuh akan dieuthanasi dengan cara memasukan udara 3-5 ml intracardiac. Setelah itu dinekropsi untuk diambil organ paru-parunya. Spesimen organ disimpan dalam botol plastik yang terendam buffer neutral formalin 10% dan diberi label pada botol tersebut sesuai kelompok perlakuan ayam. 3.3.4 Tahapan Pembuatan Histopatologi Sampel dari setiap perlakuan yang disimpan dalam botol berlabel di pilih organ yang diinginkan, dalam hal ini paru-paru. Kemudian dipotong melintang dengan ukuran panjang ±4 mm, lebar 3 mm, dan tebal 3 mm lalu dimasukan ke dalam container. Dicelupkan kedalam botol berisi larutan buffer neutral formalin 10% agar terfiksasi dan organ tidak rusak. Kemudian organ tersebut didehidrasi dengan larutan alkohol bertingkat, mulai dari 70%, 80%, 90%, 95%, absolut 1 dan absolut 2. Masing-masing membutuhkan waktu minimal ±2 menit agar organ terdehidrasi sempurna. Organ direndam di dalam larutan xylol selama 30 menit. Kemudian organ tersebut ditanam dalam parafin cair di lemari pemanas selama 2 jam dan dimasukkan dalam blok pencetaknya. Setelah itu parafin disimpan dalam lemari es hingga menjadi beku. Parafin yang telah berbentuk blok kemudian dipotong dengan mikrotom sesuai ukuran yaitu 5-6 µm (agar potongan tidak mengkerut taruh potongan di atas permukaan air yang bersuhu 45°C). Lalu bilas dengan aquades hangat (38-40°C), kemudian tempel pada gelas objek dan dikeringkan di inkubator dengan suhu 60°C selama satu malam.
17
Teknik pewarnaan dimulai dengan membilas preparat dengan air mengalir setelah dikeluarkan dari inkubator. Pewarnaan dilakukan dengan memasukkan sediaan ke dalam zat warna hematoksilin eosin selama 2-3 menit. Dibilas dengan air mengalir kemudian dimasukkan kedalam pewarnaan eosin lalu dibilas kembali dengan air mengalir. Preparat dimasukkan kedalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat serta alkohol absolut 1 dan 2. Penjernihan preparat dilakukan dengan memasukan kedalam xylol dalam beberapa menit. Lalu preparat dikeringkan di udara terbuka. Kemudian ditutup dengan cover glass yang direkatkan dengan zat perekat entelen. Setelah kering, preparat kemudian diberi label sesuai sampel yang diperoleh (Hartono, 1989). 3.3.5 Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan dengan memberikan nilai / skoring berdasarkan derajat perubahan pada paru – paru. Pengamatan dilakukan pada 20 lapang pandang dengan perbesaran 400. untuk penilaian skoring sebagai berikut : Tabel 3 Skoring Histopatologi No
Skor
Keterangan
1
0
normal / tidak ada perubahan
2
1
kongesti / hiperemi
3
2
oedema
4
3
hemorhagi dan vaskulitis
5
4
infiltrasi sel radang hingga nekrosa
3.3.6 Analisis Data Data yang telah diperoleh berdasarkan penilaian skoring selanjutnya di analisis dengan uji statistik non parametrik. Pada penelitian ini uji statistika yang digunakan adalah Kruskal Wallis dengan uji Dunn sebagai uji lanjutnya.
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID50/0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba (Tabel 4). Ayam kelompok kontrol positif (K1) mengalami kematian 100% pada hari ke-7 pasca infeksi. Sebanyak 1 dari 8 ayam (12,5%) dalam kelompok P2 mati pada hari ke-6 pasca infeksi dan 4 dari 7 ayam (57,1%) dari kelompok P2 mati di hari ke-7 pasca infeksi virus. Data tersebut menunjukkan bahwa sambiloto mampu dalam menunda kematian ayam. Ekstrak sambiloto diaplikasikan per oral dengan dosis 1 ml per ekor pada ayam umur satu minggu selama tiga minggu sebelum ayam ditantang virus AI. Pada hari ke-7 pasca infeksi virus AI, ayam P2 yang masih hidup kemudian dieuthanasi dengan memasukan udara 3-5 ml intracardiac dan dinekropsi untuk koleksi sampelnya. Tabel 4 Hasil data kematian setelah uji tantang virus AI Perlakuan
Sambiloto + infeksi virus Infeksi virus
Jumlah Ayam
Jumlah ayam mati pada hari kesetelah tantangan Virus AI 1 2 3 4 5 6 7
Persentase kematian
8
-
-
-
-
-
1
4
62,5 %
8
-
-
-
-
-
-
8
100 %
Berdasarkan data kematian diketahui bahwa bahan aktif dalam ekstrak sambiloto tidak mampu menginaktifkan virus AI, tetapi mampu menghambat virus untuk menginfeksi sel. Selanjutnya ayam yang mati sampai hari ke-7 pasca infeksi (tanpa dimatikan) kemungkinan telah terinfeksi virus AI. Kemampuan bahan aktif untuk menghambat infeksi virus dapat terjadi jika zat-zat yang terkandung dalam sambiloto dapat meningkatkan kekebalan tubuh hewan sehingga virus tidak mudah bereplikasi. Hal ini terbukti dengan 3 ekor dari 8 ekor ayam yang diberi ekstrak tanaman dan diuji tantang virus AI bertahan hidup sampai hari ke-7 pasca infeksi.
19
Tabel 5 Persentase kerusakan jaringan pada paru-paru Kelompok
Perlakuan
K1a K2bd
Skor lesio histopatologi (%) 0
1
2
3
4
Infeksi virus
2
7,06
10,59
40
40,35
Tanpa perlakuan
40,69
45
11,31
2
0
P1
Ekstrak + Infeksi virus
9,58
30,94
21,02
31,42
8,04
P2d
Ekstrak
48,14
32,14
10,93
5,77
3,02
c
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (p<0,05) 0 = normal / tanpa perubahan 3 = hemorhagi dan vaskulitis 1 = kongesti / hiperemi 4 = infiltrasi sel radang hingga nekrosa 2 = edema
Pada organ paru-paru ayam yang diinfeksi virus AI setelah pemberian ekstrak sambiloto (P1) ditemukan kerusakan jaringan yang lebih ringan dengan lesio yang dominan adalah 31,42% berupa hemorhagi dan vaskulitis dan rataan skoring adalah 2 (Tabel 5). Pada kelompok K1 (infeksi virus) kerusakan paling dominan adalah skor 4 yaitu infiltrasi sel radang hingga nekrosa jaringan. Nekrosa jaringan (Gambar 6) terjadi akibat sel-sel mati setelah ditempati agen, kemudian agen akan berpindah menuju sel normal lain untuk bereplikasi. Untuk itu, ayam dengan perlakuan berupa pemberian ekstrak sambiloto cenderung lebih ringan lesionya. Hal tersebut didukung oleh kelompok tidak ditantang dengan virus AI (K2) didominasi oleh jaringan dengan lesio berupa kongesti (Gambar 7) sejumlah 45%. Sedangkan ayam pada kelompok yang diberi ekstrak sambiloto (P2) menunjukkan kerusakan yang didominasi oleh sel normal (48,14%). Gambaran histopatologi paru-paru ayam yang diuji tantang virus AI, terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antar semua kelompok perlakuan pada ayam berdasarkan analisis statistik non parametrik dengan uji Kruskal-Wallis (Tabel 5). Hanya pada kelompok K2 dan P2 setelah dilakukan uji lanjut tidak terdapat perbedaan yang nyata. Sedangkan melalui gambaran histopatologi pada kelompok P2 setelah diberi ekstrak sambiloto menunjukkan kerusakan yang paling ringan dan didominasi oleh sel normal (48.14%) (Tabel 5). Kemungkinan dikarenakan pengaruh ekstrak sambiloto yang dapat mengurangi lesio yang terjadi.
20
N
I
Gambar 6 Paru-paru ayam : Infiltrasi sel radang (I) dan nekrosa jaringan (N) pada kelompok ayam yang ditantsang virus AI (K1). Pewarnaan HE. Pembesaran 400x.
K K
K
Gambar 7 Paru-paru ayam : Kongesti pembuluh darah (K) pada kelompok ayam diberi ekstrak sambiloto dan ditantang virus AI (P1-8). Pewarnaan HE. Pembesaran 50x.
21
E
Gambar 8 Paru-paru ayam : Penimbunan cairan edema ekstravaskuler (E) pada kelompok ayam diberi ekstrak sambiloto dan ditantang virus AI (P1-2). Pewarnaan HE. Pembesaran 200x.
H
Ep Ep
Gambar 9 Paru-paru ayam : Edema pulmonum (Ep) dan hemorhagi (H) pada kelompok ayam yang ditantang virus AI (K1). Pewarnaan HE. Pembesaran 200x.
22
Imunitas nonspesifik diduga merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang dimiliki oleh zat aktif ekstrak sambiloto. Kemampuan imunitas ini meliputi komponen fisik berupa keutuhan kulit dan mukosa, komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim, dan komplemen, serta komponen seluler nonspesifik yaitu sel limfosit, heterofil, eosinofil dan makrofag. Limfosit, heterofil, eosinofil, dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain ke daerah infeksi. Menurut Amroyan et al. (1999), mekanisme kerja dari andrografolid pada sambiloto berbeda dengan sediaan anti peradangan non steroid dan lebih dekat dengan anti thrombotic. Telah dilakukan percobaan menggunakan sambiloto secara in vitro dan in vivo yang dilakukan menggunakan zat aktif andrografolid dan ekstrak sambiloto dalam media larutan (cair) dengan menggunakan mencit. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ekstrak sambiloto serta andrografolid yang terkandung di dalamnya dapat menstimulasi kekebalan tubuh terhadap antigen, umumnya yang imunitas nonspesifik (Mills dan Bone 2000). Hasil pengamatan histopatologi organ paru-paru ayam yang tidak diberi ekstrak sambiloto serta tidak diuji tantang dengan virus avian influenza H5N1 (P 2) menunjukkan kerusakan jaringan yang ringan. Bila dibandingkan dengan ayam yang tidak diberi ekstrak sambiloto kemudian diinfeksi virus avian influenza H5N1 (K 1) menunjukkan terdapatnya perbedaan yang nyata antara keduanya (Tabel 5). Terdapat peningkatan kerusakan jaringan pada kelompok kontrol positif (K1). Kerusakan jaringan yang paling mencolok ditemukan adalah hemorhagi dan vaskulitis serta infiltrasi sel radang hingga nekrosa jaringan. Kelompok kontrol positif (K1) memperlihatkan mekanisme infeksi virus yang jelas karena banyak lesio yang didominasi oleh infiltrasi sel radang hingga nekrosa jaringan. Menurut Easterday dan Hinshaw (1987) infeksi virus H5N1 pada ayam menyebabkan fokus peradangan dan infiltrasi sel radang pada organ paru-paru, myocardium, otak, mata, dan otot lurik. Kerusakan jaringan akibat infeksi virus di organ paru-paru diduga seperti mekanisme peradangan akibat infeksi. Dimulai dengan perlekatan virus pada reseptor (α-2-3 dan α-2-6), dilanjutkan dengan replikasi virus kemudian virus masuk sistem
23
sirkulasi (viremia) mengakibatkan peningkatan dilatasi pembuluh darah dan vaskularisasi pada jaringan, sehingga terjadi kongesti (Gambar 7). Kemudian kongesti menginduksi pelepasan sitokin (Interleukin-2, IFN, dan TNF), sehingga terjadi penurunan permeabilitas endotel. Akibatnya plasma darah keluar dari pembuluh darah menimbulkan penimbunan cairan edema (Gambar 8) dan endapan protein. Selanjutnya darah keluar dari pembuluhnya, disebut hemorhagi (Gambar 9). Biasanya hal tersebut disertai dengan vaskulitis atau peradangan pembuluh darah. Dengan meningkatnya aktivitas darah dan mediator peradangan menginduksi sel radang/sel pertahanan untuk masuk ke jaringan lewat pembuluh darah. Sel pertahanan akan memfagosit virus dalam jaringan dan melokalisir jaringan yang terinfeksi menjadi fokus radang. Bila virus gagal difagosit, sel tempat virus bereplikasi kemudian akan terjadi nekrosa (Gambar 6), dimulai dengan picnotis, kariorhexis, dan kariolisis. Kerusakan jaringan yang berlangsung kronis biasanya ditemukan pembentukan jaringan ikat (fibrosis). Dibandingkan kedua kelompok yang merupakan kontrol perlakuan yang tidak dicekok ekstrak sambiloto (K2) dan salah satu ditantang dengan virus AI H5N1 (K1). Terdapat perbedaan nyata antara keduanya ditinjau dari kerusakan jaringan organ paru-paru secara histopatologi (Tabel 5). Hal tersebut dikarenakan paru-paru memang merupakan salah satu organ target replikasi virus avian influenza dan merupakan organ yang kontak dengan lingkungan sehingga banyak ditemukan fokus peradangan serta infiltrasi sel radang (Easterday dan Tumova 1978). Berbeda halnya dengan keadaan jaringan pada paru-paru ayam yang tidak diberi perlakuan apapun (K2). Hanya sedikit sekali kerusakan jaringan yang ditimbulkan, karena memang kecenderungan jaringan masih normal (Tabel 5). Saat kedua perlakuan yang sama-sama diinfeksi dengan virus flu burung menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara sampel yang diberi ekstrak sambiloto (P1) dan kelompok K1 tanpa ekstrak sambiloto (Tabel 5). Lesio jaringan pada ayam kelompok P1 lebih ringan dan didominasi oleh hemorhagi dan vaskulitis, sedangkan pada ayam kelompok K1 kerusakan lebih parah yang didominasi oleh infiltrasi sel radang hingga nekrosa. Potensi ekstrak sambiloto dalam menekan terjadinya
24
kerusakan jaringan masih belum jelas mekanismenya. Menurut Kardono et al. (2003), ekstrak sambiloto bermanfaat sebagai anti peradangan dengan kandungan aktif andrografolid. Andrografolid secara signifikan mampu menurunkan kadar histamin serum dan infiltrasi sel–sel radang pada saluran pernafasan. Mekanisme zat ini adalah meningkatkan
produksi
Glukokortikosteroid
hormon
glukokortikosteroid
menghambat
peradangan
dari
dengan
kelenjar cara
adrenal.
menghambat
pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin, histamin, thromboxanes, dan leukotriens. Kandungan anetol yang menyebabkan sambiloto mengeluarkan aroma dan rasa yang khas. Zat ini juga mempunyai kemampuan daya antibakteri. Cara kerjanya dalam membunuh mikroorganisme yaitu dengan mendenaturasi protein sel. Menurut Rohimah (1997), flavonoid merupakan salah satu zat yang terkandung dalam ekstrak sambiloto yang tersebar luas dalam senyawa-senyawa gllikon dan aglikon yang larut dalam air. Salah satu fungsi flavonoid adalah sebagai hormon pertumbuhan tanaman dan inhibitor pertumbuhan enzim dengan mengkompleks protein. Flavanoid dapat menghambat perkembangan agen dengan bertindak sebagai inhbitor enzim. Mekanisme penghambatan tersebut dengan cara menghambat produksi energi dan sintesis asam-asam nukleat atau protein. Melalui mekanisme tersebut pertumbuhan dan perkembangan agen dapat ditekan. Tingkat kerusakan jaringan secara histopatologi pada ayam dengan perlakuan pencekokan sambiloto kemudian diinfeksi virus avian influenza (P2) berbeda nyata dengan ayam dengan perlakuan P1 hanya diberi ekstrak sambiloto (Tabel 5). Kerusakan jaringan akibat infeksi virus AI lebih tinggi dibandingkan yang tidak diinfeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sambiloto dalam meningkatkan imunitas ayam melalui mekanisme kekebalan non spesifik. Dengan peningkatan sel pertahanan sehingga kerusakan jaringan dapat dicegah dan dikurangi frekuensinya. Dalam penelitian Chao dan Lin (2010), secara signifikan andrografolid menghambat pertumbuhan granuloma akibat infeksi agen. Hal itu disebabkan kemampuan peningkatan kekebalan non spesifik yang dapat menekan pertumbuhan agen.
25
Diperoleh hasil bahwa ayam kelompok kontrol tanpa perlakuan (K2) berbeda nyata dengan kelompok ayam P1 yang diberi ekstrak sambiloto kemudian diinfeksi virus AI (Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa kerusakan jaringan tetap tinggi meskipun sudah diberi ekstrak sambiloto dibandingkan dengan sampel yang tanpa diinfeksi virus flu burung. Artinya infeksi virus dapat terjadi namun tingkat kerusakanya dapat dikurangi melalui aktivitas zat aktif ekstrak sambiloto dalam tubuh. Antioksidan juga dipercaya dapat mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Hal tersebut sesuai dengan Kardono et al. (2003), yang menyatakan bahwa salah satu efek ekstrak sambiloto adalah antioksidan. Antioksidan berfungsi mengikat radikal bebas dalam jaringan. Efek radikal bebas dalam tubuh adalah memicu terjadinya kerusakan jaringan dengan berikatan pada sel, biasanya pada membran sel. Sel yang mulanya normal yang diikat radikal bebas dengan mengambil elektron dari sel tersebut dapat menyebabkan perubahan struktur asam nukleutid. Sebenarnya, tubuh ayam dapat menetralisir radikal bebas ini, hanya saja bila jumlahnya terlalu berlebihan, maka kemampuan untuk menetralisirnya akan lemah. Beberapa faktor bisa mempengaruhi metabolisme zat aktif dalam tubuh, pengaruh utama ini dapat dibagi dalam faktor internal dan faktor eksternal dari ayam. Faktor internal yang mungkin berpengaruh dalam hal ini adalah penyakit ayam, karena ayam yang digunakan dalam penelitian ini bukan ayam yang bebas patogen atau SPF (Spesific Pathogen Free). Faktor internal yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah penyakit ayam. Faktor eksternal biasanya didominasi oleh temperatur kandang dan perlakuan terhadap ayam. Faktor tersebut memicu meningkatnya stres pada hewan. Dengan peningkatan stres maka kemampuan tubuh dalam menyerap zat aktif akan berkurang.
26
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa secara histopatologi ekstrak sambiloto berpotensi mengurangi kerusakan jaringan organ paru-paru ayam dan mampu mengurangi tingkat kematian akibat infeksi virus AI. Infeksi virus AI pada ayam menimbulkan kongesti, edema, hemorhagi dan infiltrasi sel radang hingga nekrosa jaringan.
5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan dosis bertingkat ekstrak sambiloto agar diperoleh dosis optimumnya. Untuk memperkuat informasi mengenai potensi ekstrak sambiloto dalam menanggulangi virus AI H5N1 perlu dievaluasi juga secara histopatologi pada organ lain, seperti otak, mata, hati, jantung, dan usus.
27
DAFTAR PUSTAKA Amroyan et al. 1999. Inhibitory effect of andrografolide from Andrographis paniculata on pAF-induced platelet aggregation. Phytomedicine 6(1): 27-31. Antinoff N. 2005. Annnual Meeting: Avian Laboratory Diagnostics. Gulf Coast Veterinary Specialists. Gulf Coast Avian & Exotics. Houston, TX. [Anonim].
2003. Andrographis paniculata Nees. [terhubung berkala] http://www.smecda.com/ttgpangankesehatan2/artikel/ttg_tanaman_oba t/depkes/buku1/1-027.pdf [14 Oktober 2009]
[Anonim].
2007. Avian Influenza Virus. [terhubung berkala] http://www.radnc.com/viruses/article/avianinfluenza/vasso/istedition /1-027. [19 Juni 2010]
Carlton WW dan Donald MG. 1995. Special Veterinary Pathology. 2nd edition. USA: University Graphics Production Services. Hlm. 148-179. Chao WW dan Lin BF. 2010. Isolation and identification of bioactive compouds in Andrographis paniculata (Chuanxinlian). Chinese medicine : 7(2): 1043. Cunningham JG. 1994. Textbook of Veterinary Physiology. 2nd edition. Philadelphia : W.B. Saunders Co. Hlm. 230-253. Dalimartha S. 2005. Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Jakarta: Puspa Swara. Hlm. 69-81. Easterday BC, Tumova B. 1978. The Influenza Viruses and Influenza. New York: Academic Press. Hlm.549-572. Easterday BC, Hinshaw VS. 1987. Disease of Poultry : Influenza. USA: Iowa State University Press. Hlm. 532-551. Fenner et al. 1987. Veterinary Virology. New York: Academic Press. Hlm.203-245. Guyton AC. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. Penerjemah Ken Ariata Tengadi. Terjemahan dari Textbook of Medical Physiology. Hlm. Hartono. 1989. Histologi Veteriner. Bogor: IPB. 89-91.
28
Hasanah M, Mustika I, Sitepu D. 1992. Persyaratan Bahan Tanaman Bermutu Tanaman Obat. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan Budidaya Tanaman Obat, Bogor, 2-3 Maret 1992. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Hlm. 69. Hutapea JR dan Syamsuhidayat SS. 1991. Inventaris Tanaman obat Indonesia I. Jakarta: Departemen Kesehatan. Kardono LBS, Artanti N, Dewiyanti ID, Basuki T,dan Padmawinata K . 2003. Selected Indonesian Medical Plants : Monographs and Descriptions volume 1. Jakarta: Grasindo. Hlm. 113-164. Kumoro AC, Hasan M. 2007. Supercritical carbon dioxide extraction of andrographolide from Andrographis paniculata: effect of solvent flow rate, pressure, and temperature. Chin J Chem Eng 15(6):877-883. Kikuzaki H. 1998. Ginger for Drug and Spice Purposes dalam Herbs, Botanical, and Teas. G Mazza dan BD Oomah, editor. Washington: CRC Perss. Hlm. 84-95. Mardisiswojo S dan Harsono R. 1975. Cabe Payung Warisan Nenek Moyang. Jakarta: Karya Wacana. Hlm 23-30. Mills S, Bone K. 2000. Principles and Practice of Phytotherapy Modern Herbal Medicine. Eidinburg: Churcill Livingstone. Hlm. 239-248. Mulisah F. 1999. Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm. 34-47. Pravanza IEP dan Lukito AM. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto : Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta : Agromedia Pustaka. Hlm 4-15. Ressaang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Bali : NV percetakan. Hlm. 221-264. Rohimah. 1997. Identifikasi flavanoid yang memiliki antifungal dari Damar dan Shorea leptosula [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Hlm. 9-10. Sakoda Y. 2006. Pathogenicity of avian influenza virus isolated recently in Asia. Di dalam: Asian Assosiation of Veterinary School. Proceedings of 1st International AAVS Scientific Conference; Jakarta, 12-13 Juli 2006. Bogor: AAVS. Hlm 5-11.
29
Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Saunders Elsevier. Hlm. 224-249. Setiyono A, Winarsih W, Syakir M, Bermawie N. 2008. “Potensi Tanaman Obat untuk Penanggulangan Flu Burung”. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan , Institut Pertanian Bogor. Hlm. 6-28. Sunardi. 2008. Teknik Pembibitan Sambiloto Untuk Menghasilkan Bibit yang Standar dalam Buletin Teknik Pertanian Vol. 13 No. 1. [terhubung berkala]. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/bt13108k.pdf [15 Oktober 2009] Sundu B. 2005. Membangun Dunia Perunggasan yang Tangguh di Indonesia dalam Majalah Poultry Indonesia. [terhubung berkala]. http://adsindonesia.or.id/alumni/articleattachment/articleburhanuddins undu01.pdf [12 Oktober 2009] Tim FKH IPB. 2007. “Kajian Terhadap Karakter Virus Avian Influenza (AI) Pada Unggas Air Sebagai Dasar Pengendalian Penyakit AI”, Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Trivedi NP, Rawal UM, dan Patel BP. 2007. Hepatoprotective effect of andrografolide against hexachlorocyclohexane-induced oxidative injury [abstrak]. Integrative Cancer Therapies 6:3 [terhubung berkala]. http://sage.com/journalsonline [17 juli 2010] Wang B, Xiang D, Tang F, Liu, H. 1999. Antypiretic effect of Chuanhuning [abstrak]. Di dalam: Chen L,editor. Huaxi Yaoxue Zazhi. China: 14(4), 242-244. WHO Regional Publications. 2006. Avian Influenza in South East Asia. Western Pasific Series. Winarto. 2003. Efek Pemakai an Jangka Panjang Tanaman Obat. Bogor: IPB. Zhang W. 2000. Anti-infectious, antipyretic, and analgesic medicine [abstrak]. Di dalam: Tan BKH, editor. Faming Zhuanli Shenqing Gongkai Shoumingshu 9 pp. China: 23(8), 675-678.
30
LAMPIRAN
31
UJI STATISTIKA
K1 vs K2 vs P1 vs P2 H0: K1=K2=K3=K4 (semua perlakuan memberikan respon yang sama) H1: minimal ada satu perlakuan yang memberikan respon berbeda Ranks
Code respon k1 k2 p1 p2 Total
N 85 51 233 45 414
Mean Rank 297,43 103,49 225,22 63,77
Test Statistics(a,b) respon ChiSquare df Asymp. Sig.
167,054 3 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: code p-value yang diperoleh kurang dari taraf nyata yang digunakan (0.05) tolak H0 jadi, ada perlakuan yang memberikan perlakuan berbeda
32
K1 vs K2 H0: K1=K2 (semua perlakuan memberikan respon yang sama) H1: K1 dan K2 memberikan respon berbeda
Ranks code1 respon1 k1 k2 Total
N 85 51 136
Mean Rank 90,91 31,16
Test Statistics(a,b) respon1 ChiSquare df Asymp. Sig.
77,499 1 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: code1 p-value yang diperoleh kurang dari taraf nyata yang digunakan (0.05) tolak H0 jadi, ada perlakuan yang memberikan perlakuan berbeda
33
K1 vs P2 H0: K1=P2 (semua perlakuan memberikan respon yang sama) H1: K1 dan P2 memberikan respon berbeda Ranks
code2 respon2 k1 p2 Total
N 85 45 130
Mean Rank 86,72 25,41
Test Statistics(a,b) respon2 ChiSquare Df Asymp. Sig.
82,628 1 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: code2 p-value yang diperoleh kurang dari taraf nyata yang digunakan (0.05) tolak H0 jadi, ada perlakuan yang memberikan perlakuan berbeda
34
K1 vs P1 H0: K1=P1 (semua perlakuan memberikan respon yang sama) H1: K1 dan P1 memberikan respon berbeda Ranks
code3 respon3 k1 p1 Total
N 25 233 258
Mean Rank 184,18 123,63
Test Statistics(a,b) respon3 ChiSquare Df Asymp. Sig.
16,494 1 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: code3 p-value yang diperoleh kurang dari taraf nyata yang digunakan (0.05) tolak H0 jadi, ada perlakuan yang memberikan perlakuan berbeda
35
K2 vs P2 H0: K2=P2 (semua perlakuan memberikan respon yang sama) H1: K2 dan P2 memberikan respon berbeda Ranks
code4 respon4 k2 p2 Total
N 51 45 96
Mean Rank 56,01 39,99
Test Statistics(a,b) respon4 ChiSquare df Asymp. Sig.
9,454 1 ,002
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: code4 p-value yang diperoleh kurang dari taraf nyata yang digunakan (0.05) tolak H0 jadi, ada perlakuan yang memberikan perlakuan berbeda
36
K2 vs P1 H0: K2=P1 (semua perlakuan memberikan respon yang sama) H1: K2 dan P1 memberikan respon berbeda Ranks
code5 respon5 k2 p1 Total
N 51 233 284
Mean Rank 68,32 158,74
Test Statistics(a,b) respon5 ChiSquare Df Asymp. Sig.
55,760 1 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: code5 p-value yang diperoleh kurang dari taraf nyata yang digunakan (0.05) tolak H0 jadi, ada perlakuan yang memberikan perlakuan berbeda
37
P1 vs P2 H0: P1=P2 (semua perlakuan memberikan respon yang sama) H1: P1 dan P2 memberikan respon berbeda Ranks
code6 respon6 p1 p2 Total
N 233 45 278
Mean Rank 157,87 44,37
Test Statistics(a,b) respon6 ChiSquare Df Asymp. Sig.
81,106 1 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: code6 p-value yang diperoleh kurang dari taraf nyata yang digunakan (0.05) tolak H0 jadi, ada perlakuan yang memberikan perlakuan berbeda