TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELA MENURUNKAN MALONDIALDEHID PADA TIKUS YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
TRIJONO SUWANDI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012
TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELA MENURUNKAN MALONDIALDEHID PADA TIKUS YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
TRIJONO SUWANDI NIM 0890761018
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012
TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELA MENURUNKAN MALONDIALDEHID PADA TIKUS YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
TRIJONO SUWANDI NIM 0890761018
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 19 Januari 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK NIP. 194606191976021001 NIP. 194606191976021001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, SpAnd,FAACS NIP. 194612131971071001
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 19 Januari 2012
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No. 0144/UN14.4/HK/2012, Tanggal 16 Januri 2012
Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila,SpAnd., FAACS
Anggota : 1. Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK 2.
Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH
3.
Prof. dr. N. Agus Bagiada, Sp.BIOK
4.
Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc., SpAnd
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karunia-Nya tesis yang berjudul “Pemberian Ekstrak Kelopak Bunga Rosela Menurunkan Malondialdehid pada Tikus yang Diberi Minyak Jelantah” dapat diselesaikan. Tesis ini untuk memenuhi persyaratan tugas akhir pendidikan yang dijalani penulis untuk memperoleh gelar magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa hormat, penghargaan, dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS selaku Ketua Program Sudi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana dan selaku pembimbing I yang telah memberikan banyak dorongan, semangat, bimbingan, dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.
2.
Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK. selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan
masukan
kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 3.
Prof. Dr. dr, N. Adiputra, MOH. selaku pembimbing akademik dan selaku penguji yang telah memberikan banyak dorongan, semangat, bimbingan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.
4.
Prof. dr. N. Agus Bagiada, SpBIOK. selaku penguji yang telah memberikan banyak dorongan, semangat, bimbingan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.
5.
Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc. Sp.And. selaku penguji yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan masukan selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam penyusunan tesis ini.
6.
Drs. I Ketut Tunas, M.Si., yang telah memberikan masukan dan saran ilmiah terutama dalam metode penelitian dan statistik yang sangatlah berguna bagi penulis dalam menyusun tesis ini.
7.
Dr. Ir. Eni Harmayani, M.Sc., selaku kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada dan Bapak Yulianto selaku staf yang telah banyak membantu dalam menyediakan binatang pecobaan serta
fasilitas tempat,
peralatan dan bantuan teknis bagi terlaksananya penelitian di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada. 8.
Para dosen pengajar dan staf di Universitas Udayana yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan dorongan dan bantuan.
9.
Segenap staf administrasi dan teman-teman mahasiswa yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat bagi penulis.
10. Istri yang sangat mengasihi, Endang Setiawati, anak-anak tersayang, William, Kevin dan Charissa, atas segala doa, dukungan penulis menempuh pendidikan.
dan pengertiannya selama
11. Keluarga tercinta, Papa, Mama dan adik-adik, atas doa, perhatian, semangat selama penulis menempuh pendidikan. 12. Rekan-rekan sejawat yaitu Eve, Jess, Fifin, Kris, Teguh, Juli, dr. Oka dan rekanrekan sejawat lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu memberikan dorongan, semangat, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan peyelesaian tesis ini. Penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis pribadi, bagi program pendidikan Magister Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, serta bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak akan menjadi masukan yang sangat diharapkan. Akhir kata, Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan kasih, berkat, damai sejahtera dan anugerah-Nya kepada kita semua.
Denpasar, Juli 2011 Penulis
Trijono Suwandi
ABSTRAK PEMBERIAN EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELA MENURUNKAN MALONDIALDEHID PADA TIKUS YANG DIBERI MINYAK JELANTAH Minyak jelantah adalah minyak goreng bekas yang sudah dipakai untuk menggoreng berbagai jenis makanan dan sudah mengalami perubahan pada komposisi kimianya. Penggunaaan minyak jelantah dapat terbentuk radikal bebas. Radikal bebas yang berlebihan menimbulkan stres oksidasi yang memicu proses peroksidasi lipid, kerusakan oksidatif protein dan mutasi DNA, sehingga dapat mempercepat terjadinya proses penuaan. Rosela dapat dijadikan sumber antioksidan, karena mengandung vitamin C, vitamin E, beta karoten, omega 3, dan flavanoid. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak kelopak bunga rosela pada tikus jantan yang diberi minyak jelantah. Penurunan stres oksidasi dapat diketahui salah satunya dengan mengukur MDA yang merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan pre test and post test control group design, yang dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Penelitian ini menggunakan 18 ekor tikus jantan galur Wistar yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol (P0) diberi minyak jelantah dan aquades, kelompok perlakuan 1 (P1) diberi minyak jelantah dan ekstrak kelopak bunga rosela dosis 250 mg/kg BB dan kelompok perlakuan 2 (P2) diberi minyak jelantah dan ekstrak kelopak bunga rosela dosis 500 mg/kg BB. Perlakuan terhadap ketiga kelompok ini dilakukan selama 14 hari. Uji perbandingan sesudah diberikan ekstrak kelopak bunga rosela antara ketiga kelompok menggunakan One Way Anova. Rerata kadar MDA kelompok kontrol adalah 7,790,32, rerata kelompok P1 adalah 5,190,30, dan rerata kelompok P2 adalah 3,410,36. Terjadi penurunan kadar MDA secara bermakna pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa ekstrak kelopak bunga rosela secara peroral selama 14 hari (p < 0,05). Disimpulkan bahwa pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dosis 250 mg/kg BB menurunkan malondialdehid sebesar 28,0% pada tikus yang diberi minyak goreng jelantah dan pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dosis 500 mg/kg BB menurunkan malondialdehid sebesar 50,2%. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis maksimal ekstrak kelopak bunga rosella pada hewan coba dan perlu dilakukan clinical trial. Kata kunci : rosela, malondialdehid, minyak jelantah.
ABSTRACT ADMINISTRATION OF ROSELLA PETAL FLOWER EXTRACT DECREASES MALONDIALDEHYDE IN RATS FED WITH WASTE COOKING OIL Waste cooking oil is used oil that has been used to fry many kinds of food and changes in their chemical composition. The use of waste cooking oil, especially with deep frying method can form free radicals. Excessive free radicals will cause oxidative stress that triggers the process of lipid peroxidation, oxidative damage of protein and DNA mutation, which can accelerate the aging process. Lipid peroxididation products can be measured as MDA levels. Rosella contains vitamin C, vitamin E, beta carotene, omega 3, and flavonoids, is a natural antioxidant which can reduce the negative impact of oxidants including free radicals. This research aims to determine the effect of rosella petal flower extract against MDA in rats fed with waste cooking oil. Decrease in oxidative stress can be determined by measuring MDA which is the end product of lipid peroxidation. This research was an experimental study which applies randomized Pre test and Post test Control Group design. Research conducted at the Food and Nutrition Centre of Study Laboratory, Gajah Mada University, Jogjakarta. This research was done on 18 male Wistar strain rats, were divided into three research groups. The first group was the control group (P0) which were administrated with waste cooking oil and aquades. The second group was the treatment group 1 (P1) which were administrated with waste cooking oil and rosella petal flower extract dose of 250 mg/kg. While the third group was the treatment group 2 (P2) were administrated with waste cooking oil and rosella petal flower extract dose of 500 mg/kg. The treatment of the three groups was conducted for 14 days. The analysis result between the three groups using One Way Anova, comparison test after roselle petals flower extract administration among the three groups was MDA level. The average of the control group was 7.79 ± 0.32, the average P1 group was 5.19 ± 0.30, and the average P2 group was 3,41 ± 0.36. There were significant differences in MDA levels decreased in all three groups after the treatment rosella petal flower extract administration orally for 14 days (p <0.05). It can be concluded, that the rosella petal flower extract administration dose of 250 mg/kg and 500 mg/kg decreased MDA level 28.0% and 50,2% repectively in rats fed with waste cooking oil. The result of this study is expected to be used as a basis for further research to determine the maximum dose of rosella petal flower extract in experimental animal and clinical trial should be done before applied in human. Key words: rosella, malondialdehyde, waste cooking oil.
DAFTAR ISI
Hal SAMPUL DALAM............................................................................
i
PRASYARAT GELAR.....................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI..................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH.............................................................
v
ABSTRAK.........................................................................................
viii
ABSTRACT.......................................................................................
ix
DAFTAR ISI......................................................................................
x
DAFTAR TABEL..............................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR.........................................................................
xvi
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................
xviii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................
1
1.1.
Latar Belakang .......................................................................
1
1.2.
Rumusan Masalah ..................................................................
6
1.3.
Tujuan Penelitian ...................................................................
6
1.4.
Manfaat Penelitian .................................................................
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................
8
2.1. Proses Penuaan ...........................................................................
8
2.2. Radikal Bebas .............................................................................
9
2.2.1. Definisi Radikal Bebas ..........................................................
9
2.2.2. Sumber Radikal Bebas ...........................................................
10
2.2.3. Sifat Radikal Bebas ................................................................
11
2.3.
Antioksidan ............................................................................
12
2.3.1. Definisi Antioksidan ..............................................................
12
2.3.2. Jenis Antioksidan ...................................................................
13
2.4.
Stres Oksidasi ........................................................................
14
2.5.
Malondialdehid (MDA) .........................................................
15
2.6.
Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) .............................................
15
2.6.1. Taksonomi .............................................................................
15
2.6.2. Nama Lain .............................................................................
16
2.6.3. Karakteristik dan Morfologi .................................................
17
2.6.4. Kandungan Senyawa Kimia ..................................................
18
2.6.5. Manfaat Rosela .....................................................................
18
2.6.6. Toksisitas ..............................................................................
20
2.7.
Minyak Goreng Jelantah .......................................................
20
2.8.
Dampak Minyak Jelantah terhadap Kesehatan .....................
23
2.9.
Hewan Coba Tikus (Rattus novergicus L.) ...........................
25
2.9.1. Penggunaan Tikus .................................................................
25
2.9.2. Pemberian Makanan Dan Minuman ......................................
26
2.9.3. Pemantauan Keselamatan Tikus ............................................
27
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ...
28
3.1.
Kerangka Berpikir .................................................................
28
3.2.
Konsep ...................................................................................
29
3.3.
Hipotesis ................................................................................
30
BAB IV METODE PENELITIAN ...................................................
31
4.1.
Rancangan Penelitian ............................................................
31
4.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................
32
4.3.
Subjek Penelitian ...................................................................
33
4.3.1. Subjek Penelitian ...................................................................
33
4.3.2. Kriteria Subjek .......................................................................
33
4.3.3. Besar Sampel .........................................................................
33
4.3.4. Teknik Penentuan Sampel .....................................................
35
4.4.
Variabel Penelitian ................................................................
35
4.4.1. Klasifikasi Variabel Penelitian .............................................
35
4.4.2. Definisi Operasional Variabel ...............................................
36
4.5.
Bahan Penelitian ....................................................................
37
4.6.
Alat Penelitian .......................................................................
38
4.7.
Prosedur Penelitian ................................................................
38
4.7.1. Pengambilan Subjek dan Jumlah Subjek Penelitian .............
38
4.7.2. Penentuan Dosis ....................................................................
39
4.7.3. Prosedur Kerja ......................................................................
41
4.7.4. Alur Penelitian ......................................................................
43
4.8.
Analisis Data .........................................................................
44
BAB V HASIL PENELITIAN..........................................................
45
5.1.
Uji Normalitas Data Kadar MDA...........................................
45
5.2.
Uji Homogenitas Varians Kadar MDA Antar Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan............................................
46
Kadar MDA............................................................................
46
5.3.1. Uji Komparabilitas Kadar MDA............................................
46
5.3.
5.3.2. Analisis Efek Pemberian Minyak Goreng Jelantah antar Kelompok...............................................................................
47
5.3.3. Analisis Efek Pemberian Ekstrak Kelopak Bunga Rosela antar Kelompok .....................................................................
48
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN............................
51
6.1.
Subjek Penelitian....................................................................
51
6.2.
Pengaruh Ekstrak Kelopak Bunga Rosela terhadap Kadar MDA Darah............................................................................
51
BAB VII SIMPULAN dan SARAN..................................................
56
7.1
Simpulan.................................................................................
56
7.2
Saran.......................................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
57
LAMPIRAN………………………………………………………..
62
DAFTAR TABEL Hal Tabel 2.1.
Data Biologis Tikus ...................................................
26
Tabel 5.1.
Hasil Uji Normalitas Kadar MDA .............................
45
Tabel 5.2.
Homogenitas Kadar MDA antar Kelompok Perlakuan ...................................................................
Tabel 5.3.
Rerata Kadar MDA antar Kelompok Sebelum Diberi Minyak Jelantah ..............................................
Tabel 5.4.
46
Rerata Kadar MDA antar Kelompok Sesudah Diberi Minyak Jelantah (Pre Test) ........................................
Tabel 5.5.
46
47
Perbedaan Rerata Kadar MDA antar Kelompok Sesudah Diberikan Ekstrak Kelopak Bunga Rosela (Post Test)...................................................................
Tabel 5.6
48
Beda Nyata Terkecil Kadar MDA Sesudah Diberikan Ekstrak kelopak Bunga Rosela antar Dua Kelompok..
49
DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 3.1.
Bagan Kerangka Konsep ...........................................
30
Gambar 4.1.
Rancangan Penelitian ................................................
31
Gambar 4.2.
Hubungan Antar Variabel ..........................................
37
Gambar 4.3.
Skema Alur Penelitian ...............................................
43
Gambar 5.1.
Perbedaan Rerata Kadar MDA pada Kelompok Kontrol, Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2 ................................................................
50
DAFTAR SINGKATAN
SINGAKATAN AAM
: Anti Aging Medicine
KAP
: Kedokteran Anti Penuaan
LSD
: Least Significance Difference
MDA
: Malondialdehid
MUFA
: Mono Unsaturated Fatty Acid
PUFA
: Poly Unsaturated Fatty Acid
ROS
: Reactive Oxygen Species
TBARS
: Thiobarbituric Acid Reactive Substance
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Tabel Konversi Perhitungan Dosis Laurence & Bacharach ...................................................................
Lampiran 2.
Lampiran 3.
62
Uji Normalitas Data MDA Sebelum dan Sesudah Perlakuan .....................................................
63
Uji One Way Anova ....................................................
64
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pada umumnya manusia menginginkan hidup berumur panjang, mempunyai kualitas hidup yang baik, sehat dan berkualitas serta tidak mau tampak cepat tua. Untuk mencapai hal tersebut, maka manusia melakukan berbagai upaya untuk mencegah proses penuaan. Penuaan dapat digambarkan sebagai proses penurunan fungsi fisiologis tubuh secara bertahap yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tumbuh dan kembang serta meningkatnya kelemahan (Bludau, 2010). Dengan berkembangnya Ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti-Aging Medicine (AAM) tercipta suatu konsep baru dalam dunia kedokteran. AAM adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan demikian, penuaan bukan lagi merupakan suatu keadaan normal yang memang harus terjadi, namun dianggap sama sebagai suatu penyakit, yang dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula, sehingga berakibat usia harapan hidup manusia dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007).
Proses penuaan dapat disebabkan oleh banyak hal, dapat disebabkan faktor dari luar, misalnya makanan yang tidak sehat, kebiasaan yang tidak sehat, polusi lingkungan, stres dan faktor kemiskinan, dan dapat disebabkan faktor dari dalam, salah satunya adalah radikal bebas (Pangkahila, 2007). Ada banyak teori tentang penuaan, di antaranya adalah teori radikal bebas yang dikemukakan oleh Gerschman pada tahun 1954 dan kemudian dikembangkan oleh Denham Harman pada tahun 1982. Teori ini menjelaskan bahwa radikal bebas dapat merusak sel-sel dalam tubuh manusia. Penimbunan radikal bebas akan menyebabkan stres oksidatif yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan, bahkan kematian sel dalam tubuh (Goldman dan Klantz, 2003). Radikal bebas dapat berasal dari dalam dan dari luar tubuh. Yang berasal dari dalam tubuh, misalnya akibat proses respirasi sel, proses metabolisme, proses inflamasi, sedangkan yang berasal dari luar tubuh dapat disebabkan oleh karena polutan, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar matahari, makanan berlemak, kopi, alkohol, obat, minyak goreng jelantah, bahan racun pestisida, dan masih banyak lagi yang lainnya. Juga dapat dipicu oleh stres atau olah raga yang berlebihan (Pham-Huy et al., 2008). Pada penggunaaan minyak goreng jelantah, khususnya yang digunakan dengan cara deep frying dapat terbentuk radikal bebas. Yang dimaksud dengan minyak jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari berbagi jenis minyak goreng, minyak jelantah ini merupakan minyak bekas yang sudah dipakai untuk menggoreng berbagai jenis makanan dan sudah mengalami perubahan pada komposisi kimianya (Rukmini, 2007; Lestari, 2010). Sedangkan deep frying adalah cara menggoreng yang
menggunakan minyak goreng dalam jumlah banyak, dengan pemanasan berulang dan pada suhu yang tinggi (Sartika, 2009). Pemanasan yang lama atau berulang-ulang akan mempercepat terjadinya destruksi minyak akibat meningkatnya kadar peroksida. Hal tersebut terjadi karena pada saat pemanasan akan terjadi proses destruksi berupa degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses ini dapat meningkatkan kadar peroksida dan pembentukan radikal bebas yang bersifat toksik, sehingga membahayakan bagi tubuh (Mulyati dan Meilina, 2007; Oktaviani, 2009). Radikal bebas dapat merusak makromolekul seperti protein, asam nukleat dan lipid. Radikal bebas menimbulkan reaksi rantai, misalnya peroksidasi lipid yang berdampak merusak komponen membran sel yang mengandung asam lemak tidak jenuh ganda menjadi senyawa toksis terhadap sel seperti malondialdehid, 9-hidroksinoneal, F2-isoprostan, etana dan pentana (Murray et al., 2000). Malondialdehid (MDA) merupakan salah satu petanda terjadinya kerusakan oksidatif oleh radikal bebas pada membran sel (Suryohudoyo, 2000). Untuk mencegah terjadinya efek buruk dari radikal bebas diperlukan antioksidan. Penggunaan antioksidan mulai marak akhir-akhir ini seiring dengan semakin meningkatnya pemahaman pada masyarakat tentang peranan
antioksidan dalam
menghambat penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arteriosklerosis, penyakit kanker dan gejala penuaan (Goldman dan Klantz, 2003; Kuncahyo dan Sunardi, 2007). Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi. Cara kerja senyawa antioksidan adalah (Utami et al., 2009):
1. Bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tidak reaktif yang relatif stabil. 2. Antioksidan
menstabilkan radikal bebas
dengan melengkapi kekurangan
elektron yang dimiliki radikal bebas. 3. Menghambat terjadinya reaksi rantai dari pembentukan radikal bebas. Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber antioksidan. Di beberapa daerah, masyarakat menggunakan kelopak bunga rosela ini sebagai teh, biasanya disebut dengan teh merah. Menurut DEPKES RI. kelopak bunga rosela mengandung vitamin C, vitamin D, vitamin B1, B2, niacin, riboflavin, betakaroten, zat besi, asam amino, polisakarida, omega 3, kalsium. Tiap 100 gram kelopak bunga rosela mengandung vitamin C yang cukup tinggi, yaitu sekitar 260-280 mg (Maryani dan Kristiana, 2008). Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kandungan dan manfaat rosela. Pada penelitian yang dilakukan Arellano et al. (2004), didapat kandungan vitamin A, vitamin C, theaflavins, cathecins. Kandungan theaflavins dan cathecins membantu menjaga kolesterol dalam darah
dengan cara membatasi penyerapan
kolesterol dan meningkatkan pembuangan kolesterol LDL dari hati. Vitamin C berfungsi dalam menetralisir lemak dalam tubuh, sehingga bermanfaat untuk body slimming, body firming. Vitamin A dan vitamin C menjaga, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh serta mencegah penuaan dini dan munculnya katarak. Vitamin A, vitamin C dan kalsium berguna untuk kesehatan mata, kulit dan tulang sedangkan serat untuk memperbaiki sistem pencernaan. Pada penelitian lain tentang efek kelopak bunga rosela terhadap kerusakan sel hati tikus, ditemukan senyawa
polifenol (Liu et al., 2002; Lin et al., 2003), dan anthocyanidins (Lazze et al., 2003; Ojokoh et al., 2006). Amin dan Hamza (2005) yang meneliti efek hepatoprotektif rosela mendapatkan kandungan flavanoid. Flavonoid yang terdapat dalam kelopak bunga rosela bermanfaat untuk mencegah kanker, terutama karena radikal bebas, seperti kanker lambung dan leukemia. Selain itu flavonoid juga mempunyai efek protektif terhadap penyakit kardiovaskular termasuk hipertensi (Kusmardiyana et al., 2007). Jadi kelopak bunga rosela mengandung antioksidan, asam amino, vitamin, mineral, dan lain-lain. Kandungan antioksidan kelopak bunga rosela antara lain: vitamin C, vitamin E, beta karoten, omega 3, flavanoid. Antioksidan berperan penting dalam konsep Ilmu KAP dalam meredam efek buruk dari radikal bebas, salah satu penyebab proses penuaan (Pangkahila, 2007). Dari keterangan di atas dapat disimpulkan, penggunaan minyak goreng jelantah yang banyak terjadi di masyarakat dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas, sehingga dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang berakibat terjadinya kerusakan, bahkan kematian sel. Hal ini bisa ditanggulangi dengan pemakaian kelopak bunga rosela yang mengandung antioksidan. Berdasarkan pengamatan penulis, belum ada penelitian ilmiah yang dilakukan untuk membuktikan manfaat dari kelopak bunga rosela dalam menurunkan malondialdehid yang diakibatkan oleh pemakaian minyak goreng jelantah. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dapat menurunkan malondialdehid (MDA) pada tikus putih
(Rattus norvegicus L.) jantan galur Wistar sehat yang diberi/diinduksi minyak goreng jelantah.
1.2. Rumusan Masalah Dari uraian di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: Apakah pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dapat menurunkan MDA pada tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Wistar yang diberi minyak goreng jelantah?
1.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian antioksidan dalam menurunkan terjadinya kerusakan oksidatif. 2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dapat menurunkan MDA pada tikus jantan galur Wistar yang diinduksi minyak goreng jelantah.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Memberikan informasi ilmiah mengenai peranan pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dalam menurunkan malondialdehid pada tikus jantan galur Wistar yang diberi minyak goreng jelantah. 2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi bahwa pemberian ekstrak kelopak bunga rosela menurunkan malondialdehid yang merupakan salah satu hasil dari terjadinya kerusakan oksidatif, salah satu penyebab penting terjadinya proses penuaan. Selain itu, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Proses Penuaan Penuaan dapat digambarkan sebagai proses penurunan fungsi fisiologis tubuh secara bertahap yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tumbuh dan kembang serta meningkatnya kelemahan (Bludau,2010). Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya proses penuaan. Faktor-faktor ini terbagi menjadi faktor internal meliputi radikal bebas, genetik, hormon yang berkurang dan faktor eksternal meliputi pola hidup tidak sehat, diet tidak sehat, stres, dan polusi lingkungan. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat, sehingga usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Bermodalkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan dan menghindari berbagai faktor penyebab proses penuaan dilengkapi dengan pengobatan, masyarakat memiliki kesempatan untuk hidup lebih sehat dan berusia lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penuaan antara lain adalah menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan pola hidup sehat meliputi berolahraga teratur, makanan sehat dan cukup, atasi stres, melakukan pemeriksaan kesehatan berkala yang diperlukan dan disesuaikan dengan kondisi, menggunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli untuk mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun. Namun, terdapat pula hambatan atau kesulitan melakukan upaya menghambat proses penuaan, antara lain karena lingkungan tidak
sehat, pengetahuan rendah dan budaya yang tidak benar. Yang juga termasuk hambatan adalah adanya pola hidup yang tidak sehat seperti diet yang tinggi karbohidrat dan lemak jenuh (Pangkahila, 2007). Dengan berkembangnya AAM tercipta suatu konsep baru dalam dunia kedokteran. AAM adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan demikian, penuaan bukan lagi suatu keadaan normal yang memang harus terjadi, namun dianggap sama sebagai penyakit yang dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula, sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007).
2.2. Radikal Bebas 2.2.1. Definisi Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan (unpaired electron) pada bagian terluar orbitnya, sehingga menjadi komponen yang tidak stabil dan menjadi sangat reaktif. Elektron yang tidak berpasangan ini, akan berusaha menarik elektron dari molekul lainnya untuk mendapatkan kembali konfigurasi pasangan elektron, oleh karena itu radikal bebas sangat reaktif. Sebuah radikal bebas yang berhasil mengambil elektron dari suatu molekul lain yang stabil, akan menyebabkan molekul tersebut kehilangan satu
elektron dan akibatnya akan berubah menjadi radikal bebas baru. Proses rantai ini dapat menyebabkan perubahan struktur pada molekul lainnya (Pham-Huy et al., 2008). Dalam kepustakaan kedokteran, pengertian radikal bebas sering dibaurkan dengan oksidan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang mirip. Aktivitas keduanya sering menghasilkan akibat yang sama, akan tetapi sebenarnya melalui proses yang berbeda. Keduanya harus dibedakan. Oksidan mempunyai pengertian senyawa penerima elektron (electron acceptor). Jadi radikal bebas adalah oksidan, tetapi tidak semua oksidan merupakan radikal bebas (Suryohudoyo, 2000). 2.2.2. Sumber Radikal Bebas Pembentukan radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh dan luar tubuh. Adapun sumber radikal bebas antara lain (Pham-Huy et al., 2008): 1. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat dari berbagai proses enzimatik di dalam tubuh, berupa hasil sampingan dari proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada proses respirasi sel, pada proses pencernaan dan pada proses metabolisme. Diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel. 2. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat dari bermacam-macam proses non-enzimatik di dalam tubuh, merupakan reaksi oksigen dengan senyawa organik dengan cara ionisasi dan radiasi. Contohnya adalah proses inflamasi dan iskemia. 3. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh, yang didapat dari polutan, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar matahari, makanan berlemak, kopi,
alkohol, obat, bahan racun, pestisida, minyak goreng jelantah (deep frying) dan masih banyak lagi yang lainnya. Peningkatan radikal bebas pun dapat dipicu oleh stres atau olah raga yang berlebihan. 2.2.3. Sifat Radikal Bebas Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu : 1. Reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron. 2. Dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Namun perlu diingat, bahwa radikal bebas adalah oksidan, tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibanding dengan oksidan yang bukan radikal. Hal ini disebabkan oleh kedua sifat radikal bebas di atas, yaitu reaktivitas yang tinggi dan kecenderungan membentuk radikal bebas baru, yang pada gilirannya nanti apabila menjumpai molekul lain akan membentuk radikal baru lagi, sehingga terjadilah reaksi rantai (chain reaction) (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Perusakan sel oleh radikal bebas reaktif didahului oleh kerusakan membran sel, melalui terjadinya
rangkaian proses sebagai berikut (Halliwell dan Gutteridge,
2007): 1. Terjadi ikatan kovalen antara radikal bebas dengan komponen-komponen membran (enzim-enzim membran, komponen karbohidrat membran plasma), sehingga terjadi perubahan struktur dari fungsi reseptor. 2. Oksidasi gugus tiol pada komponen membran oleh radikal bebas yang menyebabkan proses transpor lintas membran terganggu.
3. Reaksi peroksidasi lipid dan kolesterol membran yang mengandung asam lemak tidak jenuh majemuk (PUFA = poly unsaturated fatty acid). Hasil peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas, berefek langsung terhadap kerusakan pada membran sel, antara lain dengan mengubah fluiditas, struktur dan fungsi membran, dalam keadaan yang lebih ekstrim akhirnya akan menyebabkan kematian sel. Efek biologik peroksidasi lipid membran bergantung antara lain pada populasi sel yang bersangkutan dan profil asam lemak pada membran fosfolipid. Contoh membran mitokondria dan mikrosom sensitif terhadap peroksidasi lipid karena kandungan PUFA pada fosfolipid membran cukup tinggi. Umumnya semua membran peka terhadap reaksi peroksidasi lipid dalam derajat yang berbeda-beda. Kerusakan struktur subseluler secara langsung mempengaruhi pengaturan metabolisme. Sebagai contoh adalah disrupsi membran lisosom menyebabkan pelepasan enzim-enzim hidrolitik lisosom yang selanjutnya mampu mengakibatkan perusakan intraseluler, dan memperkuat kemampuan radikal bebas dalam menginduksi kerusakan sel (Halliwell dan Gutteridge, 2007).
2.3. Antioksidan 2.3.1. Definisi Antioksidan Kalau radikal bebas adalah penerima elektron (electron acceptor), maka antioksidan adalah pemberi elektron (electron donor).
Antioksidan dapat
didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat menghambat/memperlambat proses oksidasi. Oksidasi adalah jenis reaksi kimia yang melibatkan pengikatan oksigen,
pelepasan hidrogen atau pelepasan elektron. Proses oksidasi adalah peristiwa alami yang terjadi di alam dan dapat terjadi dimana-mana, tak terkecuali di dalam tubuh kita (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, tetapi dalam arti biologis pengertian antioksidan lebih luas lagi, yaitu semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan proteinprotein pengikat logam (Pangkahila, 2007). 2.3.2. Jenis Antioksidan Berdasarkan dua mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, maka antioksidan dapat dibagi menjadi dua golongan (Murray et al., 2000), yaitu: 1. Antioksidan pencegah (preventive antioxidants) Pada dasarnya tujuan antioksidan ini mencegah terjadinya radikal hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Diperlukan tiga komponen untuk terbentuknya radikal hidroksil, yaitu logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan ion superoksid. Agar reaksi Fenton tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe2+ atau Cu2+ bebas. Untuk itu berperan beberapa protein penting, yaitu transferin atau feritin (untuk Fe) dan seruloplasmin atau albumin (untuk Cu). Penimbunan ion superoksid (O2-) dapat dicegah oleh enzim SOD (superoksid dismutase) dengan mengkatalisis reaksi dismutase ion superoksid: 2O2- + 2H+
H2O2 + O2
Penimbunan H2O2 dapat dicegah melalui aktivitas dua enzim, yaitu katalase (mengkatalisis reaksi dismutasi H2O2) dan peroksidase. 2. Antioksidan pemutus rantai (chain-breaking antioxidants)
Dalam kelompok ini terdapat vitamin E (tokoferol), vitamin C (asam askorbat), beta karoten, glutation dan sistein. Vitamin E dan beta karoten bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Sedangkan vitamin C, glutation dan sistein bersifat hidrofilik dan berperan dalam sitosol.
2.4. Stres Oksidasi Stres oksidasi (oxidative stress) secara terminologi menunjukkan adanya produksi radikal bebas yang berlebihan melebihi kapasitas perlindungan antioksidan. Radikal bebas adalah substansi yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan.
Radikal bebas yang berasal dari oksigen diklasifikasikan sebagai
Reactive Oxigen Species (ROS), termasuk disini radikal superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH+) dan radikal hidrogen peroksida (H2O2). Enzim yang berperan dalam peningkatan produksi ion superoksid termasuk rantai transport elektron mitokondria, NAD(P)H Oxidase, dan Xanthin Oxidase, serta e NOS (Rush et al., 2005). Di dalam tubuh, ROS secara konstan diproduksi dan dieliminasi, selama sel masih memiliki pertahanan endogen melawan zat oksidan tersebut. Diduga bahwa kadar yang rendah ROS berperanan dalam fisiologi signaling antar sel secara normal, atau penting untuk memelihara homeostasis. Sedangkan produksi ROS yang berlebihan atau terjadinya kerusakan perlindungan terhadap ROS menimbulkan stres oksidasi, sehingga mengakibatkan terjadinya beberapa kelainan patologis (Rush et al., 2005).
Stres oksidasi menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap lemak, protein, dan DNA. ROS dapat memicu proses peroksidasi terhadap lipid. Peroksida lipid tidak saja bertanggung jawab atas perusakan makanan, tetapi yang lebih penting adalah perusakan jaringan tubuh in vivo, sehingga dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan proses penuaan. Peroksidasi terhadap lipid dalam membran sel akan sangat
mengganggu fungsi
membran, menimbulkan kerusakan yang ireversibel terhadap fluiditas dan elastisitas membran, yang dapat menyebabkan ruptur membran sel (Szocs, 2004). Untuk mengetahui terjadinya peroksida lipid salah satunya adalah dengan mengukur kadar MDA (Suryohudoyo, 2000).
2.5. Malondialdehid (MDA) MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid, dan biasanya digunakan sebagai biomarker biologis untuk menilai stres oksidatif (Suryohudoyo, 2000). Pada proses peroksidasi lipid, selain MDA terbentuk juga radikal bebas yang lain, tetapi radikal bebas tersebut mempunyai waktu paruh yang pendek sehingga sulit diperiksa dalam laboratorium (Cherubini et al., 2005). Pengukuran kadar MDA serum dapat dilakukan dengan Test thiobarbituric acidreactive subtance (TBARS) yang berdasar pemeriksaan reaksi spektrofotometrik (Konig dan Berg, 2002).
2.6. Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) 2.6.1. Taksonomi
Klasifikasi tanaman rosela adalah (Mardiah et al., 2009): Regnum
: Plantae
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Dilleniidae
Ordo
: Malvales
Familia
: Malvaceae
Genus
: Hibiscus L.
Spesies
: Hibiscus sabdariffa L.
2.6.2. Nama Lain Tanaman rosela dapat tumbuh baik di daerah yang beriklim tropis dan yang beriklim subtropis. Tanaman ini mempunyai habitat asli yang sangat luas, terbentang dari India hingga Malaysia, namun saat ini tanaman rosela telah tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Karena itu rosela mempunyai nama umum yang berbeda-beda di berbagai daerah (Mardiah et al., 2009). Tumbuhan Hibiscus sabdariffa Linn ini dalam bahasa Indonesia disebut rosela. Hibiscus sabdariffa Linn di daerah Sunda dikenal dengan nama gamel walanda, di daerah Ternate dengan nama kasturi rortha, di daerah Jawa Tengah dengan nama mrambos hijau, di daerah Padang dengan nama asam jarot, di daerah Sumatra Selatan dengan nama kesew jawe, dan di daerah Muara Enim dikenal dengan nama asam rejang (Maryani dan Kristiana, 2008; Mardiah et al., 2009).
Di Malaysia, rosela dikenal sebagai asam susur, asam paya, atau asam kumbang. Di Cina dikenal lou shen kui, lou shen hua. Di Thailand dikenal sebagai kachieb priew. Di Belanda dikenal Zuring, dan di Sinegal dikenal sebagai bisap. Di Inggris dikenal dengan roselle, rozelle, sorrel, sour-sour, queensland jelly plant, jelly okra, lemon bush dan florida cranberry. Di Afrika Utara dikenal karkade atau carcade. Nama carcade inilah yang dipakai sebagai nama dagang rosela, baik dalam dunia pengobatan maupun sebagai bahan makanan di benua Eropa (Mardiah et al., 2009). 2.6.3. Karakteristik dan Morfologi Tanaman rosela merupakan herba tahunan yang bergetah. Tinggi tanaman ini dapat mencapai ketinggian 0.5–3 meter, serta mengeluarkan bunga hampir sepanjang tahun. Batangnya berbentuk bulat, tegak, berkayu dan berwarna merah. Daunnya berupa daun tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan daunnya menjari, berujung tumpul, tepi bergerigi dan dengan pangkal berlekuk. Panjang daunnya 6-15 cm dan dengan lebar daun 5-8 cm. Tangkai daun bulat berwarna hijau dengan panjang 4-7 cm (Mardiah et al., 2009). Bunga tanaman rosela yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga tunggal, artinya pada setiap tangkai tanaman rosella hanya terdapat satu bunga. Bunga dari tanaman rosela ini mempunyai 8-11 helai kelopak bunga yang berbulu dengan panjang sekitar 1 cm, dengan pangkal yang saling berlekatan, dan berwarna merah. Kelopak bunga ini sering dianggap sebagai bunga oleh masyarakat, bagian inilah yang sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman (Maryani dan Kristiana, 2008). Mahkota bunga berbentuk corong terdiri dari 5 helaian, panjangnya sekitar 3-5 cm. Tangkai sari yang merupakan tempat melekatnya kumpulan benang
sari berukuran pendek dan tebal, panjang sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5 mm. Putik berbentuk tabung berwarna kuning atau merah (Mardiah et al., 2009). Buah berbentuk kotak kerucut, berambut, terbagi menjadi 5 ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji berwarna putih dan setelah tua berubah menjadi abu-abu (Mardiah et al., 2009; Devi, 2009). 2.6.4. Kandungan Senyawa Kimia Bahan aktif dari kelopak bunga rosela adalah grossypeptin, antosianin, gluside hibiscin dan flavonoid. Menurut DEPKES RI. kelopak bunga rosela mengandung vitamin C, vitamin D, vitamin B1, B2, niacin, riboflavin, betakaroten, zat besi, asam amino, polisakarida, omega 3, kalsium. Rasa asam dari kelopak bunga rosela disebabkan kandungan vitamin C, asam sitrat dan asam glikolik (Maryani dan Kristiana, 2008). Hasil studi kimia pada kelopak bunga kering H.sabdariffa L. ditemukan alumunium, chromium, copper, besi (Arellano et al., 2004), polifenol (Liu et al., 2002; Lin et al., 2003), anthocyanidins (Lazze et al., 2003; Ojokoh et al., 2006), asam polisakarida heterogen dan komponen fenol termasuk gossypetine-3-glycoside, flavonoid (Amin dan Hamza, 2005). 2.6.5. Manfaat Rosela Rosela dilaporkan memiliki efek antiseptik, aphrodisiak, astringent, diuretik, emolien, sedatif, dan tonik (Okasha et al., 2008). Karakteristik fisiokimia kelopak bunga rosela memiliki kadar vitamin C yang tinggi dengan kandungan gula yang rendah, juga mengandung asam suksinat dan
asam oksalat yang merupakan dua asam organik yang dominan. Rosela memiliki kandungan asam askorbat yang lebih tinggi daripada jeruk dan mangga. Kelopak bunga rosela mengandung vitamin A dan 18 jenis asam amino yang diperlukan tubuh. Salah satunya adalah arginin yang berperan dalam proses peremajaan sel tubuh. Di samping itu, rosela juga mengandung protein, kalsium, dan unsur-unsur lain yang berguna bagi tubuh. Asam amino yang terdapat dalam tanaman ini antara lain
arginine,
cystine,
histidine,
isoleucine,
leucine,
lysine,
methionine,
phenylalanine, threonine, trytophan, tyrosine, valine, aspartic acid, glutamic acid, alanine, glycine, proline dan serine (Okasha et al., 2008). Kandungan theaflavins dan cathecins membantu mengontrol kadar kolesterol dalam darah,
dengan cara membatasi penyerapan kolesterol dan meningkatkan
pembuangan kolesterol LDL dari hati. Sedangkan vitamin C dapat berfungsi untuk menetralisir lemak dalam tubuh, sehingga cukup bermanfaat untuk body slimming, body firming. Selain itu, kandungan vitamin C yang tinggi secara farmakologis berfungsi dalam membantu penyerapan semua vitamin dan mineral. Vitamin dan mineral membantu metabolisme tubuh. Vitamin A dan vitamin C mempunyai fungsi menjaga dan meningkatkan kesehatan tubuh serta mencegah penuaan dini dan munculnya katarak. Vitamin C sebagai salah satu antioksidan eksternal. Kandungan kalsium yang tinggi sangat membantu pertumbuhan serta kekuatan tulang dan gigi. Vitamin A, vitamin C dan kalsium berguna untuk kesehatan mata, kulit dan tulang sedangkan serat untuk memperbaiki sistem pencernaan (Arellano et al., 2004). Flavonoid dalam kelopak bermanfaat untuk mencegah kanker, terutama yang dikarenakan radikal bebas, seperti kanker lambung dan leukimia. Selain itu flavonoid
juga mempunyai efek protektif terhadap penyakit-penyakit kardiovaskular termasuk hipertensi (Kusmardiyana et al., 2007). Senyawa flavonoid dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, karena mampu membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Polifenol atau fenol bekerja sebagai antibakteri dengan cara mendenaturasi protein sel dan merusak membran plasma (Arellano et al., 2004). 2.6.6. Toksisitas Toksisitas ekstrak kelopak bunga rosela sangat rendah,
LD 50 dari ekstrak
kelopak bunga rosela tersebut ditemukan di atas 5000 mg/kg, penelitian dilakukan pada tikus (Ali et al., 2005).
2.7. Minyak Goreng Jelantah Berdasarkan ada atau tidak ikatan ganda dalam struktur molekulnya, minyak goreng terbagi menjadi (Ketaren, 2005): a.
Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids). Merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya. Bersifat stabil dan tidak mudah bereaksi atau berubah menjadi asam lemak jenis lain. Asam lemak jenuh yang terkandung dalam minyak goreng pada umumnya terdiri dari asam miristat, asam palmitat, asam laurat dan asam kaprat.
b. Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty acids/MUFA) maupun majemuk (poly-unsaturated fatty acids/PUFA).
Merupakan asam lemak yang memiliki ikatan atom karbon rangkap pada rantai hidrokarbonnya. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap itu (poly-unsaturated), semakin mudah bereaksi atau berubah menjadi asam lemak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang terkandung dalam minyak goreng adalah asam oleat dan asam linoleat dan asam linolenat. Minyak yang baik adalah minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam lemak jenuhnya, salah satunya adalah minyak nabati. Minyak goreng jenis ini mengandung sekitar 80% asam lemak tak jenuh, kecuali minyak goreng kelapa sawit (Sartika, 2009). Minyak goreng kelapa sawit dibuat melalui dua fase yang berbeda, yaitu fase padat disebut stearin dengan asam lemaknya stearat dan fase cair disebut olein dengan asam lemaknya oleat. Dengan penyaringan (pemisahan fase padat dari fase cair) sebanyak 2 kali, kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak kelapa sawit menjadi lebih tinggi sehingga minyak menjadi lebih mudah rusak oleh proses penggorengan deep frying (Sartika, 2009; Lestari, 2010). Yang dimaksud dengan minyak goreng jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari berbagi jenis minyak goreng, minyak jelantah ini merupakan minyak bekas yang sudah dipakai untuk menggoreng berbagai jenis makanan dan sudah mengalami perubahan pada komposisi kimianya (Rukmini, 2007; Lestari, 2010). Sedangkan deep frying adalah cara menggoreng yang menggunakan minyak goreng dalam jumlah banyak, dengan pemanasan berulang dan pada suhu yang tinggi (Sartika, 2009). Pemanasan yang lama atau berulang-ulang akan mempercepat terjadinya destruksi minyak akibat meningkatnya kadar peroksida. Hal tersebut
terjadi karena pada saat pemanasan akan terjadi proses destruksi berupa degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses ini dapat meningkatkan kadar peroksida dan pembentukan radikal bebas yang bersifat toksik, sehingga membahayakan tubuh (Mulyati dan Meilina, 2007; Oktaviani, 2009). Temperatur pada proses penggorengan adalah sekitar 150-2000C. Pada temperatur tersebut, setiap bahan pangan rata-rata memerlukan waktu 8 menit untuk matang. Minyak goreng akan diganti atau ditambahkan dengan minyak baru bila sudah digunakan untuk menggoreng tiga kali atau lebih. Proses penggorengan di atas dapat menyebabkan minyak goreng kelapa sawit menjadi rusak karena proses oksidasi (Andik, 2001). Selama proses penggorengan, minyak mengalami reaksi degradasi yang disebabkan oleh panas, udara, dan air, sehingga mengakibatkan terjadinya oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi. Reaksi oksidasi juga dapat terjadi selama masa penyimpanan (Lee et al., 2002). Reaksi oksidasi terjadi akibat serangan oksigen terhadap asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam minyak kelapa sawit. Reaksi antara oksigen dengan lemak akan membentuk senyawa peroksida yang selanjutnya akan membentuk asam lemak bebas, aldehida dan keton yang menimbulkan bau yang tidak enak pada minyak (ketengikan) (Herawati dan Akhlus, 2006). Oksidasi dapat terjadi melalui dua jenis mekanisme, yaitu auto-oksidasi dan fotooksidasi. Reaksi auto-oksidasi melibatkan pembentukan radikal bebas yang sangat tidak stabil, yang merupakan inisiator terjadinya reaksi rantai. Pada reaksi fotooksidasi, terjadi interaksi antara ikatan rangkap minyak dan radikal oksigen bebas
yang sangat reaktif. Kedua jenis reaksi oksidasi ini menghasilkan produk reaksi primer, yaitu hidroperoksida, yang sangat tidak stabil. Senyawa ini bukan penyebab terjadinya perubahan rasa dan bau yang berkaitan dengan oxidative rancidity. Namun karena sifatnya yang tidak stabil, hidroperoksida akan segera terdekomposisi dan menghasilkan produk reaksi sekunder, misalnya senyawa aldehid, yang merupakan penyebab adanya oxidative rancidity (Azeredo et al., 2004). Oksidasi juga dapat menyebabkan warna minyak menjadi gelap, tetapi mekanisme terjadinya komponen yang menyebabkan warna gelap ini masih belum sepenuhnya diketahui. Diperkirakan bahwa senyawa berwarna pada bahan yang digoreng terlarut dalam minyak dan menyebabkan terbentuknya warna gelap (Yustinah, 2009). Pemberian minyak jelantah pada tikus menyebabkan kenaikan kadar MDA, dimana kadar MDA dapat mencapai konsentrasi 0,285 mg/ml. Sedangkan pada keadaan normal konsentrasi MDA tikus adalah 0,1 mg/ml. Ini menunjukkan bahwa antioksidan yang ada di dalam hewan coba tidak mencukupi untuk menangkal radikal bebas yang disebabkan pemberian minyak jelantah (Ulilalbab, 2010).
2.8. Dampak Minyak Jelantah terhadap Kesehatan Ketika lemak masuk ke dalam makanan dapat terjadi modifikasi terhadap komposisi makanan. Perubahan yang dihasilkan bergantung pada beragam faktor, seperti komposisi lemak yang digoreng dan yang dikandung dalam makanan tersebut, tekstur, ukuran, bentuk makanan dan kondisi penggorengan seperti lama durasi dan temperatur. Faktor-faktor terkait mempengaruhi perubahan yang terjadi pada nilai
nutrisi makanan. Perubahan ini dapat meliputi hilangnya nutrisi terutama vitamin dan mineral (Ghidurus et al.,2010). Pada umumnya makanan hasil penggorengan mengandung 4% - 14% lemak dari total beratnya. Kualitas minyak goreng yang digunakan juga mempengaruhi penyerapan minyak ke dalam makanan. Penggunaan minyak jelantah akan meningkat polaritas minyak dan menurunkan tegangan permukaannya antara bahan pangan dan minyak sehingga penyerapan lemak akan semakin meningkat (Ghidurus et al.,2010). Selain menyerap minyak, makanan yang digoreng menggunakan minyak jelantah juga menyerap produk degradasi seperti radikal bebas, keton, aldehid, polimer yang menyebabkan perubahan pada organ misalnya bertambahnya berat organ ginjal dan hati serta timbulnya berbagai penyakit seperti kanker, disfungsi endotelial, hipertensi dan obesitas (Rukmini, 2007; Castillo’n et al.,2011). Sebuah penelitian tentang pengaruh suhu dan lama proses deep frying terhadap pembentukan asam lemak trans menunjukkan bahwa setelah proses deep frying yang ke-2 akan terbentuk asam lemak trans baru terbentuk dan kadarnya akan semakin meningkat sejalan dengan penggunaan minyak. Akibat dari kenaikan asam lemak trans adalah peningkatan kadar low density lipoprotein (LDL), trigliserol dan lipoprotein, penurunan high density lipoprotein (HDL), dan mempengaruhi metabolisme asam lemak bebas yang akan menyebabkan dislipidemia dan arterosklerosis (Sartika,2009). Beberapa studi pada tikus menunjukkan bahwa pemberian diet tinggi lemak trans menyebabkan terjadinya resistensi insulin, peningkatan berat badan, akumulasi massa lemak terutama trigliserida pada organ hati karena terjadi penurunan oksidasi
lipid dan peningkatan sintesis asam lemak. Hal ini dapat memicu terjadinya obesitas, sindrom metabolik dan hepatik steatosis dan lipotoksisitas (Dorfman et al.,2009). Lipotoksisitas adalah toksisitas sel akibat akumulasi abnormal lemak. Asam lemak bebas bersifat hidrofobik sehingga dapat menembus membran sel atau melalui transporter yaitu fatty acid transport protein (FATP) atau fatty acid transporter CD36. Asam lemak tersaturasi dapat menginduksi apoptosis (programmed cell death) (Malhi, 2008). Salah satu dampak berbahaya dari penggunaan minyak jelantah adalah meningkatnya radikal bebas, substansi yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Radikal bebas yang berlebihan akan menimbulkan stress oksidasi yang memicu proses peroksidasi terhadap lipid, sehingga dapat menimbulkan penyakit kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan mempercepat terjadinya proses penuaan (Koch et al., 2007; Jusup dan Raharjo, 2010).
2.9. Hewan Coba Tikus (Rattus novergicus L.) 2.9.1. Penggunaan Tikus Penggunaan hewan coba tikus galur Wistar dikarenakan tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan baik, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur tikus antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino berkepala kecil dengan ekor lebih panjang daripada badannya dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala yang besar dan dengan ekor yang lebih pendek. Tikus galur Wistar lebih besar daripada famili tikus umumnya, dimana tikus galur Wistar ini dapat mencapai ukuran 40 cm, yang
diukur dari hidung sampai ujung ekor dan berat berkisar antara 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan tikus ini dapat hidup selama 4 tahun (Kusumawati, 2004). Adapun data biologis tikus dapat dilihat dari tabel 2.1. di bawah ini (Kusumawati, 2004): Tabel 2.1. Data Biologis Tikus Karakteristik Berat badan Jantan Betina Berat lahir Lama hidup Temperatur tubuh Kebutuhan air Kebutuhan makanan Frekuensi denyut jantung Frekuensi respirasi Tidal volume Pubertas Saat dikawinkan Jantan Betina Lama siklus birahi Lama kebuntingan Jumlah anak perkelahiran Umur sapih
Ukuran : 300-400 gram : 250-300 gram : 5-6 gram : 2,5-3 tahun : 35,9-37,5°C : 8-11 ml/100 g BB : 5 g/kg BB : 330-480/ menit : 66-114/ menit : 0,6-1,25 ml : 50-60 hari : 65-110 hari : 65-110 hari : 4-5 hari : 21-23 hari : 6-12 : 21 hari
2.9.2. Pemberian Makanan Dan Minuman Bahan dasar makanan tikus dapat bervariasi, misalnya protein 20-25%, lemak 5%, karbohidrat 45-50%, serat kasar 5%, abu 4-5%, vitamin A 4000 IU/kg, vitamin D 1000 IU/kg, alfa tokoferol 30 mg/kg, asam linoleat 3 g/kg, tiamin 4 mg/kg, riboflavin
3 mg/kg, pantotenat 8 mg/kg, vitamin B12 50 μg/kg, biotin 10 μg/kg, piridoksin 40μg/kg dan kolin 1000 mg/kg. Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia digunakan makanan ayam petelur dengan kandungan protein 17%, yang mudah didapatkan di toko makanan ayam dan pemberian minum tikus ad libitum (Ngatidjan, 2006). 2.9.3. Pemantauan Keselamatan Tikus Diperlukan pemantauan keselamatan tikus di laboratorium antara lain (Ngatidjan, 2006): 1. Kandang tikus harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan terhadap gigitan tikus dan hewan tampak jelas dari luar. Alas kandang harus mudah menyerap air, pada umumnya yang dipakai serbuk gergaji atau sekam padi. 2. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram, luas alas kandang tiap ekor tikus adalah 600 cm2 dan tinggi 20 cm. 3. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologis tikus. Diatur suhu, kelembaban dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari. 4. Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Berpikir Proses penuaan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor dari luar, misalnya polusi, stres dan makanan yang tidak sehat, maupun bisa disebabkan faktor dari dalam, di antaranya radikal bebas, genetik, hormon yang berkurang dan lain-lain. Kerangka berpikir penelitian ini didasarkan pada teori bahwa proses penuaan dapat terjadi salah satunya oleh karena radikal bebas. Peran radikal bebas pada proses penuaan sangat penting, karena radikal bebas akan menyebabkan stres oksidatif yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan, bahkan kematian sel dalam tubuh. Salah satu penyebab timbulnya radikal bebas yang berasal dari luar tubuh adalah penggunaan minyak goreng jelantah, khususnya yang digunakan dengan cara deep frying. Penggunaan minyak goreng yang berulang-ulang, dipanaskan dengan suhu tinggi (deep frying) menyebabkan oksidasi asam lemak tidak jenuh dalam minyak goreng tersebut. Minyak goreng yang dipanaskan berulang-ulang (deep frying) mengandung radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Meningkatnya kadar radikal bebas dapat diketahui dengan mengukur kadar MDA. Malondialdehid merupakan petanda terjadinya kerusakan oksidatif oleh radikal bebas pada membran sel yang sering digunakan. Untuk mencegah terjadinya efek buruk dari radikal bebas diperlukan antioksidan. Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi. Cara kerja senyawa antioksidan adalah bereaksi dengan radikal
bebas reaktif membentuk radikal bebas tidak reaktif yang relatif stabil. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas. Rosela merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber antioksidan. Rosela mengandung bermacam-macam antioksidan, di antaranya vitamin C, vitamin E, betakaroten, polifenol dan flavanoid. Pemberian ekstrak kelopak bunga rosela yang mengandung antioksidan dapat menurunkan pembentukan radikal bebas yang disebabkan penggunaan minyak goreng jelantah, yang ditandai dengan menurunnya kadar MDA.
3.2. Konsep Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun kerangka konsep seperti gambar 3.1. Stres oksidatif yang dapat diketahui dengan mengukur kadar MDA yang meningkat, dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi genetik, hormonal dan sistem kekebalan. Faktor eksternal meliputi polusi, stres, nutrisi dan minyak goreng jelantah.
Faktor eksternal
Faktor internal Ekstrak kelopak bunga rosela
Genetik
Polusi
Hormonal
Stres
Sistem kekebalan
Nutrisi Minyak goreng jelantah
Tikus Stres oksidatif Kadar MDA meningkat
Gambar 3.1. Bagan Kerangka Konsep
3.3. Hipotesis Pemberian ekstrak kelopak bunga rosela menurunkan malondialdehid pada tikus yang diberi minyak jelantah.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian pre test and post test control group design (Pocock, 2008). Rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
P0 O1
O2 P1
P
S
R
O3
O4 P2
O5
O6
Gambar 4.1. Rancangan Penelitian
Keterangan: P
: Populasi tikus jantan sehat, berumur 2-3 bulan, berat badan 180-200 gram
S
: Sampel tikus dengan kadar MDA meningkat diatas 2,05mmol/l
R
: Randomisasi
O1
: Observasi pre test kelompok kontrol (MDA)
O3
: Observasi pre test kelompok P1 (MDA)
O5
: Observasi pre test kelompok P2 (MDA)
P0
: Perlakuan dengan pemberian minyak jelantah dan aquades
P1
: Perlakuan dengan pemberian minyak jelantah dan pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dosis 250 mg/kg BB
P2
: Perlakuan dengan pemberian minyak jelantah dan pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dosis 500 mg/kg BB
O2
: Observasi post test kelompok kontrol (MDA)
O4
: Observasi post test kelompok P1 (MDA)
O6
: Observasi post test kelompok P2 (MDA)
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Waktu penelitian dilakasanakan mulai tanggal 24 Mei 2011 sampai dengan 29 Juni 2011. Penelitian membutuhkan waktu selama 35 hari, dengan perincian sebagai berikut: waktu yang diperlukan untuk adaptasi subjek penelitian adalah selama 7 hari dan waktu yang diperlukan untuk perlakuan adalah selama 28 hari, 14 hari pertama digunakan untuk perlakuan dengan pemberian minyak jelantah pada semua kelompok untuk mendapatkan data pre test dan 14 hari berikutnya digunakan untuk perlakuan dengan pemberian minyak jelantah ditambah aquades pada kelompok kontrol (P0), sedangkan pada kelompok perlakuan (P1 dan P2) pemberian minyak jelantah ditambah pemberian ekstrak kelopak bunga rosela untuk mendapatkan data post test.
4.3. Subjek Penelitian 4.3.1. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah tikus putih galur Wistar dengan jenis kelamin jantan, berumur antara 2-3 bulan, dengan berat badan 180-200 gram dan dengan kadar MDA yang meningkat di atas rata-rata dibandingkan dengan kadar MDA tikus sebelum diinduksi dengan minyak jelantah, tikus dalam keadaan sehat dan aktif. Didapatkan data awal kadar MDA rata-rata dari tikus sebelum diberi minyak jelantah adalah 2,05 mmol/l. 4.3.2. Kriteria Subjek 1. Kriteria Inklusi a. Tikus jantan galur Wistar sehat b. Umur 2-3 bulan c. Berat badan 180-200 gram d. Kadar MDA meningkat di atas 2,05 mmol/l 2. Kriteria Drop Out Tikus mati 4.3.3. Besar Sampel Besarnya sampel ditentukan berdasarkan rumus Pocock (Pocock, 2008): 2 σ2 n = ------------ x ƒ(α, β) (µ2-μ1)2
Keterangan: n
= Jumlah sampel
σ
= Simpang baku
µ2
= Rerata hasil pada kelompok perlakuan
μ1
= Rerata hasil pada kelompok kontrol
ƒ(α, β)
= Sesuai dengan table Pocock
Pada penelitian yang sudah dilakukan oleh Usoh et al. (2005) tentang efek antioksidan ekstrak bunga kering rosela terhadap stress oksidatif, didapatkan data sebagai berikut: σ
= 9,05
µ2
= 86,53
μ1
= 102,60
dalam penelitian ini, ƒ(α, β) = 6,6. Untuk mendapatkan jumlah sampel tiap kelompok, (n) maka angka yang diperoleh tersebut di atas dimasukkan ke dalam rumus: 2 x 9,052 n = ------------------------------ x 6,6 (86,53 – 102,60)2
2 x 81,90 n = ---------------------- x 6,6 (-16,07)2
163,80 n = --------------------- x 6,6 258,24
n = 0,63 x 6,6 n = 4,16 didapatkan hasil n = 4,16, dibulatkan ke atas menjadi 5. Jadi jumlah sampel perkelompok adalah 5 ekor. Untuk mengantisipasi drop out (tikusnya mati), maka
dalam penelitian ini jumlah tikus ditambah 20% menjadi 6 ekor perkelompok, sehingga seluruhnya berjumlah 18 ekor tikus. 4.3.4. Teknik Penentuan Sampel Teknik pengambian sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Dilakukan pemilihan sampel dari populasi tikus berdasarkan kriteria inklusi, yaitu tikus jantan sehat, berumur 2-3 bulan, berat badan tikus antara 180-200 gram dan dengan kadar malondialdehid yang meningkat di atas rata-rata kadar MDA tikus sebelum diinduksi dengan minyak jelantah, yaitu yang meningkat di atas 2,05 mmol/l. 2. Dari sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi, diambil secara random untuk mendapatkan jumlah sampel penelitian. 3. Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi 3 kelompok secara random yaitu kelompok kontrol (P0), kelompok perlakuan I (P1) dan kelompok perlakuan II (P2).
4.4. Variabel Penelitian 4.4.1. Klasifikasi Variabel Penelitian Klasifikasi variabel penelitian dibedakan menjadi: 1. Variabel bebas
: ekstrak kelopak bunga rosela
2. Variabel tergantung : MDA serum 3. Variabel terkendali
: a. varian tikus b. jenis kelamin, usia, berat badan
c. kandang, nutrisi, cahaya, suhu 4.4.2. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel bebas : ekstrak kelopak bunga rosela Ekstrak kelopak bunga rosela yang dipakai dalam
penelitian ini diperoleh dari
Litbang Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Pusat. Pembuatan ekstrak kelopak bunga rosela menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol. Ekstrak kelopak bunga
rosela diberikan peroral sekali dalam sehari
menggunakan sonde lambung dengan dosis 250 dan 500 mg/kg BB tikus, diberikan pada pukul 12.00. Skala variabel ekstrak kelopak bunga rosela merupakan skala rasio. 2. Variabel tergantung : MDA serum MDA merupakan produk akhir peroksida lipid, dan bisa digunakan sebagai petanda (biomarker) terjadinya kenaikan radikal bebas. Diukur dari plasma darah dengan metode TBARSC spektrometri. Satuan dalam mmol/l. Skala pengukuran adalah rasio. 3. Variabel terkendali a. Varian tikus dari galur Wistar yang bewarna
putih berkepala besar dan
ekornya lebih pendek daripada badannya. b. Jenis kelamin jantan, usia 2-3 bulan dan berat badan 180-200 gram. c. Kandang pemeliharaan dilengkapi dengan tempat pemberian makanan dan minuman, dan disediakan satu kandang untuk setiap tikus. Diberi makanan secukupnya berupa makanan tikus standar dengan kadar protein 17%
dan
minuman diberikan secara tidak terbatas (ad libitum). Ruang tempat kandang
dengan ventilasi yang baik, penyinaran normal, suhu dan kelembaban udara diperhatikan.
Variabel bebas
Variabel tergantung
Ekstrak kelopak bunga rosela
MDA serum
Variabel terkendali Varian tikus Jenis kelamin, usia, berat badan Kandang, nutrisi, cahaya, suhu
Gambar 4.2. Hubungan antar variabel
4.5. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah: 1. Ekstrak kelopak bunga rosela 2. Minyak jelantah 3. Makanan tikus berupa makanan tikus standar dengan kandungan protein 17% 4. Larutan H3PO4 5. Larutan TBA 6. Metanol 7. Aquades
4.6. Alat Penelitian Alat penelitian yang digunakan adalah: 1. Kandang tikus beserta kelengkapan tempat makanan dan minuman 2. Timbangan berat badan 3. Sarung tangan 4. Termometer 5. Tabung mikrohematokrit untuk mengambil sampel darah 6. Tabung ependorf 7. Timbangan analitik 8. Sonde lambung 9. Homogeneser 10. Mikro pipet dan tip 11. Water bath 12. Vortex 13. Tabung polypropylene 14. Ice bath 15. Sentrifuge 16. Cartridges C18 17. Spektrofotometer untuk pemeriksaan kadar MDA
4.7. Prosedur Penelitian 4.7.1. Pengambilan Subjek dan Jumlah Subjek Penelitian
Hewan coba pada penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Penelitian ini mengambil sampel tikus berumur
2-3 bulan, karena pada usia tersebut tikus sudah dewasa. Tikus yang
diambil adalah tikus jantan, karena tikus jantan lebih sedikit dipengaruhi faktor hormonal dibandingkan dengan tikus betina. Tikus berjumlah 25 ekor, diinduksi dengan minyak jelantah selama 14 hari. Tikus yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah tikus dengan kadar MDA meningkat di atas 2,05 mmol/l. Tikus jantan galur Wistar yang dijadikan subjek penelitian berjumlah 18 ekor. Tikus dibagi secara random menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok perlakuan P1 dan kelompok perlakuan P2, masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus tiap kelompok. 4.7.2. Penentuan Dosis 1. Perhitungan dosis minyak jelantah Minyak jelantah yang digunakan didapat dari pedagang kaki lima yang menjual aneka makanan gorengan di kota Solo, adalah minyak goreng kelapa sawit yang dipakai untuk menggoreng bermacam makanan gorengan pada pemanasan tinggi secara berulang-ulang (deep frying). Dari penelitian yang dilakukan Hidayat (2005), dosis minyak jelantah yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif sel hati pada mencit adalah 0,3 ml/100 gram BB atau 0,06 ml/20 gram BB. Faktor konversi mencit (20 gram) ke tikus (200 gram) adalah 7,0 (Kusumawati, 2004). Maka dosis minyak jelantah (deep frying) yang digunakan pada penelitian ini adalah = 0,06 x 7,0 = 0,42 ml/ 200 gram BB tikus putih setiap kali pemberian. 2. Penentuan dosis ekstrak kelopak bunga rosela
Pada penelitian yang sudah dilakukan, Dahiru et al. (2003) menggunakan dosis 250 dan 500 mg/kg BB. Pada penelitian yang dilakukan Ali et al. (2003), dosis ekstrak kelopak bunga rosela yang digunakan adalah dengan dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB, didapatkan dalam dosis di bawah 200 mg/kg BB tidak memberikan hasil yang efektif. Dosis ekstrak kelopak bunga rosela yang digunakan pada penelitian ini adalah 250 dan 500 mg/kg BB tikus. Jumlah ekstrak kelopak bunga rosela yang dibutuhkan = (kelompok I 50 mg + kelompok II 100 mg) x 14 hari x 6 ekor tikus = 12600 mg. Pada proses pembuatan ekstrak kelopak bunga rosela, didapatkan 465 gram ekstrak kelopak bunga rosela dari 1160 gram kelopak bunga rosela kering. Jadi untuk setiap gram ekstrak mengandung 2,495 gram rosela, dibulatkan menjadi 2,5 gram. Untuk pembuatan larutan ekstrak kelopak bunga rosela, diambil 6 gram ekstrak kelopak bunga rosela lalu ditambahkan aquades sampai mencapai volume 75 ml, sehingga didapatkan dosis 15000 mg/75 ml atau 200 mg ekstrak kelopak bunga rosela/ml larutan. Setiap tikus ditimbang berat badannya setiap minggu. Larutan ekstrak kelopak bunga rosela yang diberikan sesuai dosis kelompok perlakuan dan berat badan masing-masing tikus. Tikus 200 gram BB pada kelompok perlakuan P1 (dosis 250 mg/kg BB) mendapat larutan ekstrak kelopak bunga rosela sebanyak 0,25 ml setiap kali pemberian, sedangkan pada kelompok perlakuan P2 (dosis 500 mg/kg BB) 0,5 ml setiap kali pemberian. Pemberian dosis ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB bertujuan untuk mengetahui apakah dengan peningkatan dosis 2 kali, efek penurunan MDA juga meningkat, atau terjadi sebaliknya, dimana rosela yang bersifat antioksidan pada
pemberian dosis 2 kali lipat menjadi prooksidan, selain untuk mengetahui toksisitasnya. 4.7.3. Prosedur Kerja 1. Tikus jantan yang berjumlah 25 ekor dengan umur 2-3 bulan ditimbang, satu ekor tikus
ditempatkan dalam satu kandang. Selama penelitian, tikus diberi
makan berupa makanan tikus standar dengan kandungan protein 17% dan pemberian minum tikus ad libitum. 2. Setelah adaptasi selama 7 hari, setiap tikus diambil darah untuk pemeriksaan kadar MDA dengan menggunakan mikrohematokrit melalui pleksus retroorbitalis. 3. Selama penelitian, setiap tikus ditimbang setiap minggu untuk menentukan dosis minyak jelantah dan larutan ekstrak kelopak bunga rosela yang diberikan Masing-masing tikus ditimbang berat badannya dan diberi minyak jelantah dengan dosis 0,42 ml/200 gram BB/hari selama 14 hari. Minyak jelantah diberikan peroral sekali sehari menggunakan sonde lambung. Diberikan pada pukul 08.00 setiap hari. 4. Pada hari ke-22 dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar MDA pada masing-masing tikus (data pre test). 5. Dari hasil pengukuran kadar malondialdehid tikus, dilakukan penentuan subjek penelitian secara random sejumlah 18 ekor tikus dengan melihat peningkatan kadar malondialdehid. Tikus dengan kadar malondialdehid yang meningkat di atas 2,05 mmol/l, dipilih sebagai subjek penelitian.
6. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok secara random, yaitu kelompok kontrol, kelompok perlakuan P1 dan kelompok perlakuan P2, masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. 7. Kelompok kontrol diberi minyak jelantah dengan dosis 0,42 ml/200 gram BB/hari dan aquades sebanyak 0,5 ml selama 14 hari. Minyak jelantah dan aquades diberikan peroral sekali sehari menggunakan sonde lambung. Minyak jelantah diberikan pada pukul 08.00, sedangkan aquades diberikan pada pukul 12.00 setiap hari. 8. Kelompok P1 diberi minyak jelantah dengan dosis 0,42 ml/200 gram BB/hari dan ekstrak kelopak bunga rosela dengan dosis 250 mg/kg BB selama 14 hari. Minyak jelantah dan ekstrak kelopak bunga rosela diberikan secara peroral masing-masing sekali sehari menggunakan sonde lambung. Minyak jelantah diberikan pada pukul 08.00, sedangkan ekstrak kelopak bunga rosela diberikan pada pukul 12.00 setiap hari. 9. Kelompok P2 diberi minyak jelantah dengan dosis 0,42 ml/200 gram BB/hari dan ekstrak kelopak bunga rosela dengan dosis 500 mg/kg BB selama 14 hari. Minyak jelantah dan ekstrak kelopak bunga rosela diberikan secara peroral masing-masing sekali sehari menggunakan sonde lambung. Minyak jelantah diberikan pada pukul 08.00, sedangkan ekstrak kelopak bunga rosela diberikan pada pukul 12.00 setiap hari. 10. Pada hari ke-36 penelitian, dilakukan pengambilan darah lagi pada semua tikus untuk pemeriksaan kadar MDA setelah perlakuan (data post test). 11. Dilakukan analisis dari data yang diperoleh.
4.7.4. Alur Penelitian Tikus jantan 25 ekor, 2-3 bulan, BB 180-200 gram Adaptasi 7 hari
Pengukuran MDA (rata-rata 2,05 mmol/l)
Minyak jelantah 0,42 ml/200 gram BB 14 hari
Pengukuran MDA (data pre test)
Tikus 18 ekor dengan kadar MDA > 2,05 mmol/l dibagi secara random menjadi 3 kelompok @ 6
Kelompok kontrol
Kelompok 1
Kelompok 2
Minyak jelantah 0,42 ml/200 gram BB + aquades 0,5 ml selama 14 hari
Minyak jelantah 0,42 ml/200 gram BB + ekstrak kelopak bunga rosela dosis 250 mg/kg BB selama 14 hari
Minyak jelantah 0,42 ml /200 gram BB + ekstrak kelopak bunga rosela dosis 500 mg/kg BB selama 14 hari
Pengukuran MDA (data post test)
Pengukuran MDA (data post test)
Pengukuran MDA (data post test)
Data
Data
Data
Analisis
Gambar 4.3. Skema Alur Penelitian
4.8. Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah : 1. Analisis deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk statistik analitis (uji hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki. Analisis deskriptif dilakukan dengan program SPSS. Pemilihan penyajian data dan uji hipotesis tergantung dari normal tidaknya distribusi data. 2. Analisis normalitas dengan Uji Shapiro-Wilk dan Uji homogenitas dengan Levene’s Test. 3. Dari hasil penelitian didapatkan data menyebar normal dan homogen, maka analisis perbandingan antar 3 kelompok dilakukan dengan Uji One Way Anova,. 4. Terdapat perbedaan yang signifikan dari uji Anova ini, maka dapat dilanjutkan
dengan uji Least Significance Difference (LSD) untuk melihat lebih jelas letak perbedaan antar kelompok perlakuan.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 18 ekor tikus jantan galur Wistar sebagai sampel, yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok masing-masing berjumlah 6 ekor, yaitu kelompok kontrol, kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB, dan kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB. Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data Kadar MDA Data kadar MDA diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05) seperti yang disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Kadar MDA
Kelompok Subjek
n
p
Keterangan
0,831 0,528
MDA Kontrol awal MDA (Ekstrak dosis 250 mg/kg BB) awal MDA (Ekstrak dosis 500 mg/kg BB) awal MDA Kontrol Pre2 MDA (Ekstrak dosis 250 mg/kg BB) Pre MDA (Ekstrak dosis 500 mg/kg BB) Pre MDA Kontrol Post MDA (Ekstrak dosis 250 mg/kg BB) Post MDA (Ekstrak dosis 500 mg/kg BB) Post
6 6 6 6 6 6 6 6 6
0,880
Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
0,650 0,137 0,331 0,978 0,701 0,931
5.2
Uji Homogenitas Varians Kadar MDA Antar Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Data kadar MDA diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Homogenitas Kadar MDA antar Kelompok Perlakuan
Kelompok Subjek
F
p
Keterangan
MDA (awal)
0,227
0,799
Homogen
MDA Sebelum Perlakuan (pre)
1,600
0,234
Homogen
MDA Sesudah Perlakuan (post)
0,092
0,912
Homogen
5.3 Kadar MDA 5.3.1 Uji Komparabilitas Kadar MDA Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata kadar MDA antar kelompok sebelum diberi minyak jelantah. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3 Rerata Kadar MDA antar Kelompok Sebelum Diberi Minyak Jelantah
n
Rerata Kadar MDA
SB
Kontrol
6
2,02
0,23
Ekstrak kelopak bunga rosella 250 mg/kg BB
6
2,01
0,20
Ekstrak kelopak bunga rosella 500 mg/kg BB
6
2,12
0,17
Kelompok Subjek
F
p
0,533
0,598
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar MDA kelompok kontrol adalah 2,020,23, rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB adalah 2,010,20, dan rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB adalah 2,120,17. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 0,533 dan nilai p = 0,598. Hal ini berarti bahwa semua kelompok sebelum diberi minyak jelantah, rerata kadar MDA tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). 5.3.2 Analisis Efek Pemberian Minyak Goreng Jelantah antar Kelompok
Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata kadar MDA antar kelompok sesudah diberikan minyak goreng jelantah. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.4 berikut. Tabel 5.4 Rerata Kadar MDA antar Kelompok Sesudah Diberi Minyak Jelantah (Pre Test)
n
Rerata Kadar MDA
SB
Kontrol (P0)
6
7,40
0,33
Ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB (P1)
6
7,22
0,57
Ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB (P2)
6
6,85
0,49
Kelompok Subjek
F
p
2,144
0,152
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar MDA kelompok kontrol adalah 7,400,33, rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB adalah 7,220,57, dan rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB adalah 6,850,49. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 2,144 dan nilai p = 0,152. Hal ini berarti bahwa semua kelompok sesudah diberi minyak jelantah, rerata kadar MDA tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). 5.3.3 Analisis Efek Pemberian Ekstrak Kelopak Bunga Rosela antar Kelompok
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar MDA antar kelompok sesudah
diberikan perlakuan berupa ekstrak kelopak bunga rosela. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.5 berikut. Tabel 5.5 Perbedaan Rerata Kadar MDA antar Kelompok Sesudah Diberikan Ekstrak Kelopak Bunga Rosela (Post Test)
n
Rerata Kadar MDA
SB
Kontrol (P0)
6
7,79
0,32
Ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB (P1)
6
5,19
0,30
Ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB (P2)
6
3,41
0,36
Kelompok Subjek
F
p
270,34
0,001
Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar MDA kelompok kontrol adalah 7,790,32, rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB adalah 5,190,30, dan rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB adalah 3,410,36. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 270,34 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar MDA pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05). Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD). Hasil uji disajikan pada Tabel 5.6 di bawah ini.
Tabel 5.6 Beda Nyata Terkecil Kadar MDA Sesudah Diberikan Ekstrak Kelopak Bunga Rosela antar Dua Kelompok
Kelompok
Kontrol (P0) dan Ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB (P1) Kontrol (P0) dan Ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB (P2) Ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB (P1) dan 500 mg/kg BB (P2)
Beda Rerata
p
2,60
0,001
4,39
0,001
1,79
0,001
Interpretasi
Berbeda
Berbeda
Berbeda
Uji lanjutan dengan uji Least Significant Difference–test (LSD) di atas mendapatkan hasil sebagai berikut. 1. Rerata kelompok
kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok ekstrak
kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB (rerata kelompok kontrol lebih tinggi daripada rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB). 2. Rerata kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB (rerata kelompok kontrol lebih tinggi daripada rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB). 3. Rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB berbeda secara bermakna dengan kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB (rerata
kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB lebih tinggi daripada rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB).
Kadar MDA 8.00
7.40 7.79
6.85 5.19
6.00 mg/dl
7.22
3.41
4.00
Pre test
2.00 Post test
0.00 Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 5.1 Perbedaan Rerata Kadar MDA pada Kelompok Kontrol, Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1. Subjek Penelitian Untuk menguji pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dalam menurunkan MDA dalam darah tikus Wistar yang diberi minyak jelantah, maka dilakukan penelitian pada tikus jantan sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 180-200 gram yang diberikan ekstrak kelopak bunga rosela. Tikus yang dipergunakan dalam penelitian ini berjumlah 18 ekor, dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol P0, kelompok P1 (ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB), dan kelompok P2 (ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB). Penelitian dilakukan selama 28 hari, 14 hari diberikan minyak goreng jelantah, yang dilanjutkan dengan pemberian minyak goreng jelantah dan ekstrak kelopak bunga rosela selama 14 hari berikutnya. Pengambilan waktu 14 hari didasarkan hasil penelitian pendahuluan bahwa dalam waktu 14 hari telah terjadi penurunan MDA yang signifikan (Suwandi, 2011).
6.2. Pengaruh Ekstrak Kelopak Bunga Rosela terhadap Kadar MDA Darah Hasil penelitian dan analisis data MDA darah pada kelompok kontrol, kelompok P1 dan kelompok P2 menunjukkan bahwa uji normalitas (Uji Shapiro Wilk) dan homogenitas
(Levene test) untuk kelompok pre test dan post test masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05). Uji perbandingan sebelum diberikan minyak goreng jelantah antara ketiga kelompok menggunakan uji One Way Anova. Rerata kadar MDA kelompok kontrol adalah 2,020,23, rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB adalah 2,010,20, dan rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB adalah 2,120,17. Uji perbandingan pre test antara ketiga kelompok dengan One Way Anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna perubahan MDA darah antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 1 (P1) maupun kelompok perlakuan 2 (P2) ( p > 0,05). Hal ini berarti bahwa MDA pada ketiga kelompok adalah sama atau dengan kata lain ketiga kelompok sebelum diberikan perlakuan kadar MDAnya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). Uji perbandingan sesudah diberikan minyak goreng jelantah antara ketiga kelompok menggunakan uji One Way Anova. Rerata kadar MDA kelompok kontrol adalah 7,400,33, rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB adalah 7,220,57, dan rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB adalah 6,850,49. Uji perbandingan sesudah pemberian minyak goreng jelantah antara ketiga kelompok dengan One Way Anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna perubahan MDA darah antara kelompok kontrol dengan kelompok P1 maupun P2 ( p > 0,05). Hal ini berarti bahwa MDA pada ketiga kelompok adalah sama atau dengan kata lain ketiga kelompok sesudah diberikan minyak goreng jelantah, kadar MDAnya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). Uji perbandingan sesudah diberikan ekstrak kelopak bunga rosela antara ketiga kelompok menggunakan One Way Anova. Rerata kadar MDA kelompok kontrol adalah 7,790,32, rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 250 mg/kg BB adalah 5,190,30,
dan rerata kelompok ekstrak kelopak bunga rosela 500 mg/kg BB adalah 3,410,36. Uji perbandingan post test antara ketiga kelompok dengan One Way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna penurunan kadar MDA darah antara kelompok kontrol dengan kelompok P1, antara kelompok kontrol dengan kelompok P2, dan juga antara kelompok P1 dengan kelompok P2. Hal ini berarti bahwa terjadi penurunan kadar MDA secara bermakna pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa ekstrak kelopak bunga rosela secara peroral selama 14 hari (p < 0,05). Terjadi penurunan kadar MDA sebesar 28,1% pada kelompok yang diberikan ekstrak kelopak bunga rosela dengan dosis 250 mg/kg BB tikus, sedangkan pada kelompok yang diberikan ekstrak rosela dosis 500 mg/kg BB tikus mengalami penurunan kadar MDA sebesar 50,2%. Berdasarkan hasil penelitian di atas, menunjukkan terjadinya penurunan bermakna kadar MDA pada kelompok P1 yang diberi ekstrak kelopak bunga rosela peroral 250 mg kg/BB dan kelompok P2 yang diberi ekstrak kelopak bunga rosela peroral 500 mg/kg BB, selama 14 hari. Hal ini disebabkan karena ekstrak kelopak bunga rosela mengandung antioksidan, sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar MDA yang disebabkan oleh pemberian minyak goreng jelantah. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa studi yang telah dilakukan, yang menyebutkan bahwa kelopak bunga rosela mengandung vitamin C, vitamin E, beta karoten dan omega 3 (Arellano et al., 2004; Maryani dan Kristiana, 2008). Pada studi lain, ditemukan kandungan flavanoid dalam kelopak bunga rosela (Amin dan Hamza, 2005). Pemberian minyak goreng jelantah menimbulkan radikal bebas. Radikal bebas yang berlebihan akan menimbulkan stres oksidasi yang memicu proses peroksidasi terhadap lipid yang dapat diketahui dengan mengukur kadar MDA. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan Dorfman et al. (2010), Jusup dan Raharjo (2010), Ghidurus et al. (2011). Pada penelitian yang lain, yang dilakukan oleh Ulilalbab (2010), didapatkan juga kenaikan kadar MDA yang disebabkan pemberian minyak jelantah. Kelopak bunga rosela yang mengandung antioksidan menurunkan kadar MDA yang meningkat akibat pemberian minyak jelantah. Hal ini didukung penelitian yang dilakukan Thadeus (2006), Okasha et al. (2008).
Pada penelitian lain menyebutkan aktivitas
antioksidan kelopak bunga rosela menghambat laju peroksidasi lipid (Ulilalbab, 2010). Pada penelitian ini didapatkan, efek menurunkan kadar MDA lebih besar pada pemberian kelopak bunga rosela dengan dosis yang lebih tinggi. Hal ini mungkin disebabkan makin tinggi pemberian dosis kelopak bunga rosela akan menyebabkan makin tinggi pula antioksidan yang dikonsumsi, sehingga makin kuat pula meredam peroksidasi lipid yang ditimbulkan radikal bebas. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Dahiru et al. (2003) dan Ali et al. (2003). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelopak bunga rosela mengandung antioksidan, asam amino, vitamin dan mineral. Kandungan antioksidan kelopak bunga rosela antara lain: vitamin C, vitamin E, beta karoten, omega 3 dan flavanoid. Kandungan vitamin C dalam kelopak bunga rosela cukup tinggi, yaitu 260-280 mg dalam setiap 100 gram kelopak bunga rosela. Kandungan antioksidan kelopak bunga rosela inilah yang meredam efek radikal bebas yang disebabkan pemberian minyak goreng jelantah. Radikal bebas dapat menimbulkan, salah satunya peroksidasi lipid, yang dapat diketahui dengan mengukur kadar MDA.
Antioksidan berperan penting dalam konsep AAM dalam meredam efek buruk radikal bebas, salah satu penyebab proses penuaan (Pangkahila, 2007).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Dari hasil penelitian pemberian ekstrak kelopak bunga rosela pada tikus jantan jenis Wistar yang diberi minyak jelantah didapatkan simpulan sebagai berikut: 1. Pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dosis 250 mg/kg BB menurunkan malondialdehid sebesar 28,0% pada tikus jantan galur Wistar yang diberi minyak goreng jelantah. 2. Pemberian ekstrak kelopak bunga rosela dosis 500 mg/kg BB menurunkan malondialdehid sebesar 50,2% pada tikus jantan galur Wistar yang diberi minyak goreng jelantah. 3. Dosis ekstrak kelopak bunga rosela yang lebih tinggi menurunkan kadar malondialdehid lebih banyak.
7.2 Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: 1. Perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis maksimal ekstrak kelopak bunga rosela pada hewan coba. 2. Perlu dilakukan clinical trial supaya dapat diterapkan pada manusia..
DAFTAR PUSTAKA
Ali, B.H., Mouse, H.M., El-Mougy, S. 2003. The effect of a water extract and anthocyanins of Hibiscus sabdariffa L on paracetamol-induced hepatoxicity in rats. Phytotherapy Research 17(1): 56-59. Ali, B.H., Naser, A.W., Gerald, B. 2005. Phytochemical, Pharmacological and Toxicologi Aspects of Hibiscus sabdariffa L : A. Review. Phytotherapy Research 19: 369-375. Amin, A., Hamza, A.A. 2005. Hepatoprotective effects of Hisbiscus, Rosmarinus and Salvia on azathioprine-induced toxicity in rats. Life Sci. 77(3): 266-278. Andik, E.S. 2001. “Pengaruh Pemberian Minyak Goreng Kelapa Sawit Curah Setelah Pemanasan Berulang pada Struktur Histologis Hati Mencit” (skripsi). Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Arellano, H. A., Romero, F. S., Soto C.M.A., Tortoriello, J. 2004. Effectiveness and Tolerability of A Standardized Extract from Hibiscus Sabdariffa in patients with mild to moderate hypertension, a controlled and Randomized Clinical Trial. Phytomedicine 11(2004): 375-82. Azeredo, H.M.C., Faria, J.A.F., Silva. 2004. Minimization of proxide formation rate in soybean oil by antioxidant combinations. Food Research International 37: 689-94. Bludau, J.H. 2010. Aging, But Never Old: The Realities, Myths, and Misrepresentations of the Anti-Aging Movement (The Praeger Series on Contemporary Health and Living). 1st edition. Publisher Praeger. page 2. Castillo’n, P.G., Artalejo, F.R., Fornés, N.S., Banegas, J. R., Etxezarreta, P.A., Ardanaz, E., Barricarte, A., Chirlaque, M.D., Iraeta,M.D.,Larran˜aga, N., Losada, A., Mendez, M., Martínez, C., Quiro´s, J.R., Navarro, C., Jakszyn, P., Sa´nchez, M.J., Tormo, M.J., Gonza´lez, A. 2007. Intake of fried foods is associated with obesity in the cohort of Spanish adults from the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition. Am J Clin Nutr 2007;86:198 –205. Available from: http://www.ajcn.org/content/86/1/198.full.pdf+html?sid= 0585e315-71d4-49c5-ad83-0ed0cb17b91b. Accessed February 10th, 2011 Cherubini, A., Ruggiero, C., Polidori, M.C., Mecocci, P. 2005. Potensial marker of oxidative stress in stroke. Free Radic Biol Med 39 : 841 – 52. Dahiru, D., Obi, O.J., Umaru, H. 2003. Effect Hibiscus Sabdariffa calyx extract on carbon tetrachloride induced liver damage. Biokemistri 15(1): 27-33.
Devi, M. 2009. Dashyatnya Khasiat Rosella. Yogyakarta. Cemerlang Publishing. Dorfman, S. E., Laurent.D., Gounarides. J.S., Li.X., Mullarkey, T.L., Rocheford. E.C., Sarraf. F.S., Hirsch. E.A., Hughes, T.E. Commerford,S.R. 2009. Metabolic Implications of Dietary Trans-fatty Acids. Obesity vol.17 no. 6:1200-1207. Available from : www.nature.com/oby/journal/v17/n6/full/oby2008662a.html. Accessed November 29th,2010 Ghidurus, M., Turtoi, M., Boskou, G., Niculita, P., Stan, V. 2010. Nutritional and health aspects related to frying. Romanian Biotechnological Letters. Vol. 15, no 6. Available from : www.rombio.eu/rbl6vol15/1%20Review_Ghidurus.pdf. Accessed January 29th, 2011 Goldman, R., Klantz. 2003. The New Anti-Aging Revolution. Australasian Edition p. 22-24, 191-194. Halliwell, B., Gutteridge, J.M.C. 2007. Free Radicals in Biology and Medicine. Fourth edition. New York. Oxford University Press. Herawati, Akhlus, S. 2006. Kinerja (Bht) sebagai antioksidan minyak sawit pada perlindungan terhadap oksidasi oksigen singlet. Akta Kimindo 2: 1–8. Hidayat, T. 2005. “Efek Antioksidan Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis paniculata) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diberi Minyak Kelapa Sawit dengan Pemanasan Berulang” (skripsi). Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Jusup, S.A., Raharjo, S.S. 2010. Efek Ekstrak Daun Krokot (Portulaca oleracea L.) Sebagai Anti Oksidan Alami Terhadap Kadar Alanin Transaminase (ALT) dan Gambaran Histologi Sel Hepar Rattus norvegicus L. yang Diberi Minyak Goreng deep frying. Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Ketaren, S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia, Koch, A., KÖnig, B., Spielmann, J., Leitner, A., Stang, G.L., Eder,.K. 2007. Thermally Oxidized Oil Increases the Expression of Insulin-Induced Genes and Inhibits Activation of Sterol Regulatory Element-Binding Protein-2 in Rat Liver. Journal of Nutrition: Biochemical, Molecular, and Genetic Mechanisms 137: 2018–2023. Available from : jn.nutrition.org/content/137/9/ 2018.full.pdf. (17 Desember 2010). Konig, D., Berg, A. 2002. Exercise and Oxidative Stress: is there a need for additional antioxidant. Osterreichisches J Fur Sportmedizin 3: 6-15.
Kuncahyo, I., Sunardi. 2007. Uji aktivitas antioksidan ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) terhadap 1,1-diphenyl-2-picrylhidrazyl (DPPH). Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007). pp: E1-9. Kusmardiyana, S., Melati, I., Nawawi, A. 2007. Detail Penelitian Obat Bahan Alam. Available from: http://bahan-alam.fa.itb.ac.id (15 januari 2011). Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Lazze, M.C., Pizzala, R., Savio, M., Stivala, L.A., Prosperi, E., Bianchi, L. 2003. Anthocyanins protect against DNA damage induced by tert-butyl-hydroperoxide in rat smooth muscle and hepatoma cells. Mutation Research 535: 103-115. Lee, J., Lee, S., Lee, H., Park, K., Choe, E. 2002. Spinach (Spinacia oleracea) as a natural food grade antioxidant in deep fat fried products. J. Agric. Food Chem 50: 5664-9. Lestari, P.P. 2010. “Pemanfaatan Minyak Goreng Jelantah Pada Pembuatan Sabun Cuci Piring” (tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara. Lin, W.L., Hsieh, Y.J., Chou, F.P., Wang, C.J., Cheng, M.T., Tseng, T.H. 2003. Hibiscus protocatechuic acid inhibits lipopolysaccharide-induced rat hepatic damage. Arch. Toxicol 77: 42-47. Liu, C.L., Wang, J.M., Chu, C.Y., Cheng, M.T., Tseng, T.H. 2002. In vivo protective effect of protocatechuic acid on tert-butyl hydroperoxide-induced rat hepatotoxicity. Food Chem. Toxicol 40: 635-641. Malhi, H., Gores, G. J. 2008. Molecular Mechanism of Lipotoxicity in Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Semin Liver Dis., 28(4):360-369. Mardiah, Hasibuan, S., Rahayu, A., Ashadi, R.W. 2009. Budidaya dan Pengolahan Rosella. Ed. Ke-1. Jakarta. Agromedia. Maryani, H., Kristiana, L. 2008. Khasiat dan Manfaat Rosela. Jakarta. PT Agro Media Pustaka. hal 6, 25-31. Mulyati, S., Meilina, H. 2007. Pemurnian Minyak Jelantah dengan Menggunakan Sari Mengkudu. Available from: http://222.124.186.229/gdl40/go.php?id= gdlnode-gdl-res-2007-srimulyati-1082&node-3517&start=6 (24 Oktober 2010). Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell V.W. 2000. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta. EGC. hal: 609-612.
Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Cetakan ke-1. Yogyakarta. Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM. hal: 116, 136. Ojokoh, O.A. 2006. Roselle (Hibiscus sabdariffa) calyx Diet and histopatological Changes in Liver Albino Rats. J Food Tec 5(2): 110-113. Okasha, M.A.M., Abubakar, M.S., Bako, I.G. 2008. Study of the Effect of Aqueous Hibiscus sabdariffa Linn Seed Extract on Serum Prolactin Level of Lactating Female Albino Rats. European Journal of Scientific Research. Vol 22, no 4: 575-583. Oktaviani, N.D. 2009. Hubungan lamanya pemanasan dengan kerusakan minyak goreng curah ditinjau dari bilangan peroksida. Jurnal Biomedika. 1: 31-4. Pangkahila, W. 2007. Memperlambat Penuaan Meningkatkan Kualitas Hidup. AntiAging Medicine. Cetakan ke-1. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. hal: 8-11. Pham-Huy, L.A.P., He, H., Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidants in Disease and Health. Int J Biomed Sci 4: 89-96. Pocock, 2008. Clinical Trial : A Practical Approach. Chichester : John Willey & Sons. p. 127-128. Rukmini, A. 2007. Regenerasi Minyak Goreng Bekas dengan Arang Sekam Menekan Kerusakan Organ Tubuh. Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007). ISSN : 1978 – 9777. Rush, J.W.E., Denniss, S.G., Graham, D.A. 2005. Vascular Nitric Oxide and Oxidative Stress: Determinants of Endothelial Adaptations to Cardiovascular Disease and to Physical Activity. Can J Appl Physiol 30(4): 442-474.
Sartika, R.A.D. 2009. Pengaruh suhu dan lama proses menggoreng (deep frying) terhadap pembentukan asam lemak trans. Markara Sains 13: 23-8. Suryohudoyo, P. 2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Perpustakaan Nasional RI. Jakarta. Penerbit CV Sagung Seto. hal: 31-47. Suwandi, T. 2011. “Pemberian Ekstrak Kelopak Bunga Rosela Menurunkan Malondialdehid Pada Tikus Yang Diberi Minyak Jelantah” (penelitian pendahuluan). Denpasar: Universitas Udayana. Szocs, K. 2004. Endothelial Dysfunction and Reactive Oxygen Species Production in Ischemia/Reperfusion and Nitrate Tolerance. Gen Physiol. Biophys 23: 265-295.
Thadeus, M.S. 2006. Pengaruh Vitamin C dan Vitamin E terhadap Perubahan Struktur Histologik Hati, Jantung dan Aorta Mencit (Mus Musculus L.) Galur
Swiss Derived Akibat Pemberian Minyak Jelantah. Available http://lontar.cs.ui.ac.id/gateway/file?file=digital/85412-T-16208a.pdf. Oktober 2010).
from: (25
Ulilalbab, A. 2010. Aktivitas Antioksidan Tablet Effervescent Rosella Ungu Sebagai Suplement Penghambat Laju Peroksidasi Melalui Pengujian In Vivo. PKM-P. Ilmu dan Teknologi Pangan. Malang. Universitas Brawijaya. Usoh, I.F., Akpan, E.J., Etim, E.O., Farombi, E.O. 2005. Antioxidant Actions of Dried Flower Extracts of Hibiscus sabdariffa L. On Sodium Arsenite - Induced Oxidative Stress in Rats. Pakistan Journal of Nutrition 4(3): 135-141. Utami, T.S., Arbianti, R., Hermansyah, H., Reza, A., Rini. 2009. Perbandingan Aktifitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Simpur (Dillenia indica) dari Berbagai Metode Ekstraksi dengan Uji ANOVA. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia-SNTKI 2009. pp:1-4. Yustinah. 2009. Pengaruh massa absorben chitin pada penurunan kadar asam lemak bebas (FFA), bilangan peroksida, dan warna gelap minyak goreng bekas. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009. pp:1-14.
Lampiran 1. TABEL KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS LAURENCE & BACHARACH (Kusumawati, 2004)
Mencit
Tikus
Marmot Kelinci
Kucing
Kera
Anjing
Manusia
20 gr
200
400 gr
1,5 kg
2 kg
4 kg
12 kg
70 kg
gr Mencit
1.0
7.0
12.25
27.8
29.7
64.1
124.2
387.9
0.14
1.0
1.74
3.9
4.2
9.2
17.8
56.0
0.08
0.57
1.0
2.25
2.4
5.2
10.2
31.5
0.04
0.25
0.44
1.0
1.08
2.4
4.5
14.2
0.03
0.23
0.41
0.92
1.0
2.2
4.1
13.0
0.016
0.11
0.19
0.42
0.45
1.0
1.9
6.1
0.008
0.06
0.1
0.22
0.24
0.52
1.0
3.1
0.018
0.031
0.07
0.076
0.16
0.32
1.0
20 gr Tikus 200 gr Marmot 400 gr Kelinci 1,5 kg Kucing 2 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 0.0026 70 kg
Lampiran 2 Uji Normalitas Data MDA Sebelum dan Sesudah Perlakuan Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Kelompok MDA_ Kontrol pre ekstrak dosis 250 mg/kg BB ekstrak dosis 500 mg/kg BB minyak Kontrol jelanta ekstrak dosis 250 mg/kg BB h ekstrak dosis 500 mg/kg BB MDA_ Kontrol post ekstrak dosis 250 mg/kg BB ekstrak dosis 500 mg/kg BB a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Statistic .198 .218 .172 .200 .269 .202 .140 .202 .149
df
Shapiro-Wilk
Sig. 6 6 6 6 6 6 6 6 6
Statistic
df
Sig.
.200
*
.961
6
.831
.200
*
.923
6
.528
*
.968 .939 .843 .892 .986 .945 .976
6 6 6 6 6 6 6
.880 .650 .137 .331 .978 .701 .931
.200 .200* .200* .200* .200* .200* .200*
Lampiran 3 Uji One Way Anova
Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N MDA_ Kontrol pre ekstrak dosis 250 mg/kg BB
Std. Deviation
Mean
Std. Error
Lower Bound
Upper Mini Maxi Bound mum mum
6
2.0183
.23147 .09450 1.7754 2.2612
1.74
2.38
6
2.0050
.19937 .08139 1.7958 2.2142
1.74
2.25
6
2.1150
.16861 .06884 1.9381 2.2919
1.87
2.32
Total
18
2.0461
.19584 .04616 1.9487 2.1435
1.74
2.38
minyak Kontrol jelanta ekstrak dosis h 250 mg/kg BB
6
7.4017
.33457 .13659 7.0506 7.7528
6.87
7.77
6
7.2167
.56747 .23167 6.6211 7.8122
6.66
7.91
6
6.8450
.49083 .20038 6.3299 7.3601
6.38
7.70
Total
18
7.1544
.50520 .11908 6.9032 7.4057
6.38
7.91
MDA_ Kontrol post ekstrak dosis 250 mg/kg BB
6
7.7933
.32426 .13238 7.4530 8.1336
7.32
8.21
6
5.1933
.29575 .12074 4.8830 5.5037
4.76
5.53
6
3.4083
.36213 .14784 3.0283 3.7884
2.97
3.98
18
5.4650
1.87817 .44269 4.5310 6.3990
2.97
8.21
ekstrak dosis 500 mg/kg BB
ekstrak dosis 500 mg/kg BB
ekstrak dosis 500 mg/kg BB Total
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic MDA_pre Minyak jelantah MDA_post
.227 1.600 .092
df1
df2 2 2 2
Sig. 15 15 15
.799 .234 .912
ANOVA Sum of Squares MDA_pre
Minyak jelantah MDA_post
Mean Square
df
F
Between Groups
.043
2
.022
Within Groups
.609
15
.041
Total
.652
17
Between Groups
.964
2
.482
Within Groups
3.374
15
.225
Total
4.339
17
58.349
2
29.174
1.619
15
.108
59.968
17
Between Groups Within Groups Total
Sig. .533
.598
2.144
.152
270.342
.000
Post Hoc Tests Multiple Comparisons LSD 95% Confidence Interval
Depe ndent Varia ble (I) Kelompok
(J) Kelompok
MDA Kontrol _post
ekstrak dosis 250 mg/kg BB
2.60000* .18966
.000 2.1957 3.0043
ekstrak dosis 500 mg/kg BB
4.38500* .18966
.000 3.9807 4.7893
ekstrak dosis Kontrol 250 mg/kg BB ekstrak dosis 500 mg/kg BB
-2.60000* .18966
.000 -3.0043 -2.1957
1.78500* .18966
.000 1.3807 2.1893
-4.38500* .18966
.000 -4.7893 -3.9807
-1.78500* .18966
.000 -2.1893 -1.3807
ekstrak dosis Kontrol 500 mg/kg BB ekstrak dosis 250 mg/kg BB *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound