TESIS
PEMBERIAN LPHA LIPOIC ACID ORAL MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
AIDA SETIAWAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PEMBERIAN LPHA LIPOIC ACID ORAL MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
AIDA SETIAWAN NIM 1290761036
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
PEMBERIAN LPHA LIPOIC ACID ORAL MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
AIDA SETIAWAN NIM 1290761036
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 8 April 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes.
Prof.Dr.dr. Wimpie I.Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP : 194612131971071001
NIP
: 196105051990022001
Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP : 194612131971071001
Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP : 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji Program Pascasarjana Universitas Udayana pada Tanggal : 8 April 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 753/UN.14.4/HK/2014 Tanggal : 21 Maret 2014
Ketua
:
Anggota :
Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes. 1. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS 2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And. 3. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK. 4. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan, Bapa yang Maha Baik atas segala berkat dan karunia-Nya yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul : Pemberian Alpha-lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis dan Kadar ALT pada Tikus Wistar Jantan yang Diberi Minyak Jelantah. Tesis ini disusun guna memenuhi persyaratan tugas akhir studi untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes., selaku pebimbing I dan Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku pembimbing II atas bimbingan, perhatian, saran-saran serta motivasi yang telah diberikan dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini. Perkenankanlah juga penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih secara tulus kepada : 1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 2. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS.,
selaku Ketua
Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine dan Pembimbing II, yang telah banyak memberikan ilmu, motivasi, dan saran yang membangun kepada penulis. 4. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And., selaku penguji yang dengan penuh kesabaran telah memberikan banyak ilmu, dorongan,
bimbingan, dan masukan yang sangat berharga kepada penulis selama penyusunan dan penyelesaian tesis ini. 5. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK., selaku penguji yang telah banyak memberikan ilmu, bimbingan, dan masukan ilmiah kepada penulis selama penelitian dan penyelesaian tesis ini. 6. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH., selaku penguji yang telah banyak memberikan ilmu, bimbingan, dan masukan terutama dalam hal penulisan, penyusunan, dan penyelesaian tesis ini. 7. Bapak Sukidi dan seluruh staf, dari Laboratorium Animal Unit bagian Histologi FK Universitas Sebelas Maret, yang telah menyediakan fasilitas penelitian serta banyak memberikan bantuan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian. Bagian Patologi Klinik FK Universitas Gajah Mada, atas segala sarana dan bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian. 8. Seluruh dosen pengajar Program Studi Ilmu Biomedik yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan selama pendidikan, serta seluruh staf bagian Ilmu Biomedik yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu selama pendidikan, penelitian, dan penulisan tesis ini. 9. PT. KK Indonesia dan segenap Pimpinan, terutama Dato’ DR. Andrew Ho dan Bapak Edy, S.E., yang telah memberikan kesempatan untuk menjalankan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana dan memberikan dukungan yang luar biasa, baik moral maupun material, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan tesis ini dengan baik. 10. Mamaku terkasih Bernadeth Gow Wen Nio, yang telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang tanpa batas, dan menyertai setiap langkahku dengan doa dari awal pendidikan hingga penyelesaian tesis ini. 11. Suamiku tercinta Norman Tjahjanto, yang selalu tulus mencintaiku dan dengan penuh pengertian mendampingi, menguatkan, dan membantuku selama pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.
12. Almarhum Papaku terkasih Yohanes Tio Wan Kie dan Sandra Deviana keponakanku tersayang, yang kuyakini selalu mencintai, menyertai, dan mendoakanku dari Surga. 13. Rekan sejawat dan seniorku dr. Novita Ingriani, serta dr. Jessica Tara W. dan rekan sejawat lainnya, yang telah banyak memberikan dorongan, masukan, dan saran selama penelitian, penyusunan, dan penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis ingin menyampaikan permohonan maaf jika masih terdapat kekurangan dalam tesis ini. Adanya kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Meski tak sempurna penulis tetap berharap tesis ini dapat memberikan manfaat, baik bagi penulis pribadi, bagi Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, serta bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan. Akhir kata, semoga Allah Bapa Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah turut berperan dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini. Amin.
Denpasar, April 2014
Penulis
ABSTRAK PEMBERIAN LPHA LIPOIC ACID ORAL MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI MINYAK JELANTAH Minyak jelantah sebagai radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif di dalam tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit kronis dan degeneratif, seperti perlemakan hati non alkoholik. Resistensi insulin, stres oksidatif, dan inflamasi berkontribusi dalam patogenesis perlemakan hati non alkoholik. Alpha-lipoic Acid (ALA) merupakan antioksidan kuat yang dapat meningkatkan sintesis antioksidan endogen dalam tubuh dan mendaur ulang komponen-komponen antioksidan lain, seperti vitamin C, vitamin E, dan koenzim Q10. ALA juga telah ditunjukkan dapat memperbaiki resistensi insulin dan menekan respon inflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian ALA oral dalam menghambat perlemakan hati non alkoholik yang dilihat dari jumlah steatosis dan kadar alanine aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan posttest only control group design, yang dilaksanakan di Laboratorium Animal Unit bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Penelitian ini menggunakan 30 (tiga puluh) ekor tikus Wistar jantan yang dibagi secara acak menjadi tiga kelompok, yaitu Kelompok Kontrol (P0) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo 1 ml (aquadest); Kelompok Perlakuan 1 (P1) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 5,4 mg; dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg. Perlakuan diberikan selama 14 hari. Uji perbandingan antar ketiga kelompok sesudah perlakuan dengan menggunakan One Way Anova menunjukkan rerata jumlah steatosis Kelompok P0 adalah 76,70 ± 4,138, rerata Kelompok P1 adalah 64,30 ± 5,658, dan rerata Kelompok P2 adalah 22,90 ± 5,547. Rerata kadar ALT Kelompok P0 adalah 91,40 ± 9,663, rerata Kelompok P1 adalah 75,60 ± 8,529, dan rerata Kelompok P2 adalah 62,20 ± 7,269. Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa rerata jumlah steatosis dan kadar ALT Kelompok P1 dan Kelompok P2 lebih rendah secara bermakna dibandingkan Kelompok P0, sesudah diberikan perlakuan selama 14 hari (p < 0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ALA oral selama 14 hari menghambat peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. Penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT lebih besar pada Kelompok P2 dibandingkan Kelompok P1. Kata kunci : minyak jelantah, perlemakan hati non alkoholik, Alpha-lipoic Acid, jumlah steatosis, kadar ALT.
ABSTRACT ORAL ADMINISTRATION OF ALPHA LIPOIC ACID INHIBITS THE INCREASE OF STEATOSIS COUNT AND ALT LEVEL IN MALE WISTAR RATS FED WITH WASTE COOKING OIL Waste cooking oil as free radicals will cause oxidative stress in the body. Continuous oxidative stress will lead to aging acceleration and cause degenerative and chronic diseases, such as Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). Insulin resistance, oxidative stress, inflammation, and the activation of immune system contribute in the pathogenesis of NAFLD. Alpha-lipoic Acid (ALA) is a powerful antioxidant which has the capability to enhance the synthesis of endogenous antioxidants and regenerates other antioxidants such as, vitamin C, vitamin E, and Coenzyme Q10. ALA as a potent antioxidant has been proven to improve insulin resistance and suppress inflammation response. This research was aimed to investigate the effect of oral administration of ALA in inhibiting NAFLD, which was assessed by the steatosis count and alanine aminotransferase (ALT) level in male Wistar rats fed with waste cooking oil. This experimental research applied post-test only control group design, which was conducted in the Animal Unit Laboratory - Histology Department at the University of Sebelas Maret Faculty of Medicine, and Clinical Pathology Department at the University of Gajah Mada Faculty of Medicine. This research was done on 30 male Wistar rats which were divided into three research groups. The first group was the Control Group (P0) which was administered 0,42 ml waste cooking oil and 1 ml placebo (aquadest). The second group was the Treated Group 1 (P1) which was administered 0,42 ml waste cooking oil and 5,4 mg ALA. And the third group was Treated Group 2 (P2) which was administered 0,42 ml waste cooking oil and 10,8 mg ALA. The treatment was conducted for 14 days. Comparison test between the three treated groups by One Way Anova, resulted in the mean steatosis count of the P0 group was 76,70 ± 4,138, the mean steatosis count of the P1 group was 64,30 ± 5,658, and the mean steatosis count of the P2 group was 22,90 ± 5,547. The mean ALT level of the P0 group was 91,40 ± 9,663, the mean ALT level of the P1 group was 75,60 ± 8,529, and the mean ALT level of the P2 group was 62,20 ± 7,269. Comparison test result showed that the mean steatosis count and ALT level of the P1 group and the P2 group were significantly lower than the P0 group, after treated for 14 days (p < 0,05). This study showed that oral administration of ALA for 14 days inhibited the increase of steatosis count and ALT level in male wistar rats fed with waste cooking oil. The inhibition result of steatosis count and ALT level was more significant on the P2 group than the P1 group. Keywords : waste cooking oil, Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD), Alpha-lipoic Acid, steatosis count, alanine aminotransferase (ALT) level.
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i PRASYARAT GELAR......................................................................................ii LEMBAR PENGESAHAN............................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI.................................................................iv UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................. v ABSTRAK.......................................................................................................... viii ABSTRACT........................................................................................................ ix DAFTAR ISI...................................................................................................... x DAFTAR TABEL.............................................................................................. xvii DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xvii DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xix DAFTAR SINGKATAN....................................................................................xx
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah....................................................................................... 7
1.3
Tujuan Penelitian........................................................................................ 8 1.3.1 Tujuan Umum................................................................................. 8
1.3.2 Tujuan Khusus................................................................................ 8 1.4
Manfaat Penelitian...................................................................................... 8 1.4.1 Manfaat Ilmiah................................................................................ 8 1.4.2 Manfaat Praktis............................................................................... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................... 10 2.1
Penuaan....................................................................................................... 10
2.2
Radikal Bebas............................................................................................. 12 2.2.1 Definisi dan Sifat Radikal Bebas.................................................... 12 2.2.2 Sumber Radikal Bebas.................................................................... 13 2.2.3 Stres Oksidatif.................................................................................15
2.3
Antioksidan................................................................................................. 15
2.4
Minyak Goreng........................................................................................... 18 2.4.1 Komposisi Minyak Goreng............................................................. 19
2.5
Proses Menggoreng Deep Frying dan Minyak Jelantah............................ 21 2.5.1 Dampak Penggunaan Minyak Jelantah Terhadap Kesehatan......... 26
2.6
Hati.............................................................................................................. 29 2.6.1 Fungsi Hati...................................................................................... 29 2.6.2 Histologi dan Fisiologi Hepatosit................................................... 30 2.6.3 Perubahan Regresif Hepatosit......................................................... 33
2.7
Non-alcoholic Fatty Liver Disease atau Penyakit Perlemakan Hati
Non-alkoholik............................................................................................. 35 2.7.1 Faktor Penyebab dan Faktor Resiko NAFLD................................. 36 2.7.2 Patogenesis NAFLD...................................................................... 38 2.7.2.1 “First Hit” dalam Patogenesis NAFLD............................. 39 2.7.7.2 “Second Hit” dalam Patogenesis NAFLD.......................... 45 2.7.3 Diagnosis NAFLD.......................................................................... 46 2.7.4 Gambaran Histologis NAFLD........................................................ 49 2.8
Alpha-lipoic Acid (ALA)............................................................................ 51 2.8.1 Aktivitas Alpha-lipoic Acid sebagai Antioksidan.......................... 52 2.8.1.1 Penangkap Reactive Oxygen Species dan Reactive Nitrogen Species................................................................. 54 2.8.1.2 Regenerasi Antioksidan Lain.............................................. 54 2.8.1.3 Pengikat Logam atau Metal Chelation............................... 55 2.8.1.4 Induksi Sintesis Glutathione............................................... 55 2.8.2 Manfaat Alpha-lipoic Acid.............................................................. 56 2.8.3 Manfaat Alpha-lipoic Acid pada NAFLD....................................... 59 2.8.4 Suplemen Alpha-lipoic Acid dan Dosis Anjuran............................ 63 2.8.5 Efek Samping Alpha-lipoic Acid.................................................... 64 2.8.6 Interaksi Obat.................................................................................. 65
2.9
Hewan Coba................................................................................................ 66 2.9.1 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium......................... 68
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS .................69 3.1
Kerangka Berpikir....................................................................................... 69
3.2
Konsep Penelitian....................................................................................... 71
3.3
Hipotesis Penelitian.................................................................................... 71
BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 72 4.1
Rancangan Penelitian.................................................................................. 72
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian..................................................................... 73 4.2.1 Tempat Penelitian........................................................................... 73 4.2.2 Waktu Penelitian............................................................................. 73
4.3
Penentuan Sumber Data.............................................................................. 74 4.3.1 Kriteria Sampel Penelitian.............................................................. 74 4.3.2 Penentuan Besar Sampel................................................................. 74 4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel.......................................................... 75
4.4
Variabel Penelitian...................................................................................... 76 4.4.1 Klasifikasi Variabel........................................................................ 76 4.4.2 Definisi Operasional Variabel........................................................ 76 4.4.3 Hubungan Antar Variabel............................................................... 78
4.5
Alat dan Bahan Penelitian........................................................................... 78 4.5.1 Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian................................... 78 4.5.2 Bahan-bahan yang Digunakan dalam Penelitian............................ 79
4.6
Prosedur Penelitian..................................................................................... 80
4.6.1 Penentuan Dosis Minyak Jelantah.................................................. 80 4.6.2 Penentuan Dosis Alpha-lipoic Acid................................................ 80 4.6.3 Penentuan Dosis Plasebo................................................................ 80 4.6.4 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sebelum Penelitian.................. 81 4.6.4.1 Pemilihan Hewan Coba.......................................................81 4.6.4.2 Persiapan Hewan Coba....................................................... 81 4.6.5 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Saat Penelitian......................... 82 4.6.5.1 Pemberian Minyak Jelantah................................................ 82 4.6.5.2 Pemberian Plasebo.............................................................. 82 4.6.5.3 Pemberian Alpha-lipoic Acid.............................................. 82 4.6.5.4 Pengambilan Sampel Darah................................................ 83 4.6.5.5 Pembedahan........................................................................ 83 4.6.6 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sesudah Penelitian................... 83 4.6.7 Pemeriksaan Kadar ALT.................................................................84 4.6.8 Pembuatan Sediaan......................................................................... 84 4.6.9 Pengamatan..................................................................................... 87 4.6.10 Alur Penelitian................................................................................ 88 4.6.11 Analisis Data................................................................................... 89 BAB V HASIL PENELITIAN............................................................................. 90 5.1
Uji Normalitas Data.................................................................................... 90
5.2
Uji Homogenitas Data................................................................................ 91
5.3
Uji Komparasi............................................................................................ 92 5.3.1 Jumlah Steatosis............................................................................. 92 5.3.2 Kadar ALT...................................................................................... 94
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN.............................................. 98 6.1
Subjek Penelitian........................................................................................ 98
6.2
Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian.............................................. 98
6.3
Pengaruh Alpha-lipoic Acid Oral Terhadap Perlemakan Hati Non Alkoholik.................................................................................................... 99 6.3.1 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “First Hit”................ 100 6.3.2 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “Second Hit”............. 104
6.4
Manfaat Alpha-lipoic Acid dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging Medicine...................................................................................................... 108
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 109 7.1
Simpulan..................................................................................................... 109
7.2
Saran........................................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 110 LAMPIRAN...........................................................................................................120
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Beberapa Penyebab Perlemakan Hati Non-alkoholik.......................... 37 Tabel 5.1. Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan............................................................. 91 Tabel 5.2. Hasil Uji Homogenitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan.................................................... 91 Tabel 5.3. Rerata Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan............ 92 Tabel 5.4. Analisis Komparasi Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan...............................................................................................93 Tabel 5.5. Rerata Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan..................... 95 Tabel 5.6. Analisis Komparasi Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan...............................................................................................96
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1.
Minyak Jelantah………………............…………….....……..…... 22
Gambar 2.2.
Sistem Asinus dan Sistem Lobulus Hati...……………………..... 32
Gambar 2.3.
Skema Hipotesis “Two-Hit” Theory…………………………...... 39
Gambar 2.4.
Struktur Alpha-lipoic Acid dan Dihydrolipoic Acid....................... 53
Gambar 3.1.
Skema Konsep Penelitian............................................................... 71
Gambar 4.1.
Skema Rancangan Penelitian.......................................................... 72
Gambar 4.2.
Skema Hubungan Antar Variabel................................................... 78
Gambar 4.3.
Skema Alur Penelitian.................................................................... 88
Gambar 5.1.
Rerata Jumlah Steatosis Sesudah Perlakuan Antar Kelompok...... 94
Gambar 5.2.
Rerata Kadar ALT Sesudah Perlakuan Antar Kelompok............... 97
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Ethical Clearance........................................................................... 122
Lampiran 2.
Tabel Konversi Perhitungan Dosis................................................. 123
Lampiran 3.
Hasil Penghitungan Jumlah Steatosis............................................. 124
Lampiran 4.
Hasil Pemeriksaan Kadar ALT....................................................... 125
Lampiran 5.
Uji Normalitas Data........................................................................ 126
Lampiran 6.
Uji One Way Anova........................................................................ 126
Lampiran 7.
Foto Hasil Pemeriksaan Histopatologi........................................... 129
Lampiran 8.
Foto Pendukung Penelitian............................................................. 132
DAFTAR SINGKATAN
AAM
= Anti-Aging Medicine
ACC
= Acetyl CoA Carboxylase
ALA
= Alpha-lipoic Acid
ALT
= Alanine Aminotransferase
AO
= Antioksidan
ApoB-100
= Apoliprotein B-100
AST
= Aspartate Transaminase
ATGL
= Adipose Triglyceride Lipase
ATP
= Adenocine Triphosphate
BB
= Berat Badan
BPOM
= Badan Pengawasan Obat dan Makanan
CAT
= Catalase
ChREBP
= Carbohydrate Response Element Binding Protein
CPO
= Crude Palm Oil
CPT-1
= Carnitine Palmonitoyl Transferase-1
CT
= Computerized Tomography
DGAT-2
= Diacylglycerol O-acyltransferase-2
DHLA
= Dihydrolipoic Acid
DM
= Diabetes Mellitus
DNA
= Deoxyribonucleic Acid
FASN
= Fatty Acid Synthase
FFA
= Free Fatty Acid
GCL
= Gamma-glutamylcysteine Ligase
GPAT-1
= Glycerol-3-phosphate acyltransferase-1
GR
= Glutathione Reductase
GSH-Px
= Glutathione Peroxydase
HDL
= High Density Lipoproteins
HNE
= Trans-4-Hydroxy-2-Nonenal
HOCL
= Hypochlorous Acid
HSL
= Hormone-sensitive Lipase
IL-6
= Interleukin-6
IR
= Insulin Receptor
IRS-1
= Insulin Receptor Substrates-1
LDL
= Low Density Lipoproteins
LPL
= Lipoprotein Lipase
LSD
= Least Significant Difference
MDA
= Malondialdehyde
MIT
= Microsomal TG Transfer Protein
MRI
= Magnetic Resonance Imaging
MS
= Multiple Sclerosis
MUFA
= Mono-unsaturated Fatty Acids
NAFL
= Non-alcoholic Fatty Liver
NAFLD
= Non-alcoholic Fatty Liver Disease
NASH
= Non-alcohlic Steatohepatitis
NIH
= The National Institutes of Health
OLETF
= Otsuka Long-Evans Tokushima Fatty
PHNA
= Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik
PJK
= Penyakit Jantung Koroner
PPAR-
= Peroxisome Proliferator Activated Receptor-
PPAR-
= Peroxisome Proliferator Activated Receptor-
PUFA
= Poly Unsaturated Fatty Acid
RNA
= Ribonucleic Acid
RNS
= Reactive Nitrogen Species
ROS
= Reactive Oxygen Species
SFA
= Saturated Fatty Acid
SIRT
= Sirtuin
SOD
= Super Oxide Dismutase
SREBP-1
= Sterol Regulatory Element Binding Protein-1
TG
= Trigliserida
TNF-
= Tumor Necrosis Factor-
USG
= Ultrasonography
VLDL
= Very Low Density Lipoprotein
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penuaan adalah sebuah proses yang pasti terjadi, namun laju proses
penuaan dapat berbeda-beda pada setiap orang. Banyak faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi laju penuaan itu sendiri. Dengan mengetahui penyebabnya, maka dapat dilakukan berbagai upaya berdasarkan ilmu pengetahuan terkini untuk menghambat atau memperlambat proses penuaan, sehingga seseorang dapat menua dengan kualitas hidup yang baik. Penuaan dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan faktor-faktor itu secara garis besar dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal misalnya radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikolasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Contoh faktor eksternal misalnya gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Salah satu teori tentang radikal bebas dikemukakan Goldman dan Klantz (2003), bahwa penimbunan radikal bebas akan menyebabkan stres oksidatif yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan, bahkan kematian sel dalam tubuh. Radikal bebas dapat berasal dari dalam dan luar tubuh. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, misalnya akibat proses respirasi sel, proses metabolisme, proses inflamasi, sedangkan yang berasal dari luar, misalnya polutan, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar
matahari, makanan berlemak, kopi, alkohol, obat, bahan racun pestisida, minyak goreng jelantah, dan masih banyak lagi yang lainnya (Pham-Huy et al., 2008). Masyarakat Indonesia pada umumnya sangat menyukai makanan yang digoreng (Oeij et al., 2007). Salah satu proses menggoreng makanan yang paling sering dilakukan adalah deep frying. Deep frying adalah cara memasak atau memanaskan makanan menggunakan minyak dalam jumlah yang banyak, berulang , dan suhu tinggi sekitar 150oC – 200oC, (Sartika, 2009; Ghidurus et al., 2010). Selama proses deep frying terjadi berbagai reaksi degradasi, yaitu hidrolisis, oksidasi termal, dan polimerisasi minyak goreng. Minyak jelantah adalah minyak goreng yang sudah digunakan berkali-kali dalam proses menggoreng bahan makanan dengan suhu tinggi (Fransiska, 2010; Wahab et al., 2011). Indikator paling mudah untuk mengetahui minyak jelantah adalah warnanya coklat tua sampai hitam (Rahayu, 2007). Minyak yang telah rusak dan menjadi jelantah tidak hanya memberikan efek negatif pada tekstur, rasa dan gizi makanan yang dihasilkan tetapi juga berdampak buruk bagi kesehatan (Khomsan, 2003). Minyak jelantah sebagai radikal bebas dapat memicu terjadinya stres oksidatif di dalam tubuh, maka konsumsi minyak jelantah dapat
menimbulkan kerusakan DNA, protein,
peroksidasi lipid, dan kerusakan membran sel. Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan menyebabkan timbul penyakitpenyakit yang bersifat kronis dan degeneratif (Dorffman et al., 2009). Salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan minyak jelantah sebagai radikal bebas adalah perlemakan hati non alkoholik atau Nonalcoholic Fatty Liver
Disease (Murray, 2003; Dabhi et al., 2008). Nonalcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) mencakup suatu spektrum penyakit mulai dari steatosis sederhana (perlemakan hati atau fatty liver), Nonalcoholic Steatohepatitis (NASH), fibrosis, hingga sirosis hati (Tacer and Rozman, 2011). Beberapa dekade belakangan ini prevalensi penyakit perlemakan hati nonalkoholik di seluruh dunia meningkat dengan pesat. Di Indonesia sampai saat ini belum ada data prevalensi NAFLD pada populasi umum. Namun, penelitian Hasan et al. (2002) pada populasi urban di Jakarta dengan USG hati didapatkan prevalensi NAFLD sekitar 30%. Di RSUP Kariadi Semarang dengan pemeriksaan USG hati pada tahun 2005-2009 didapatkan peningkatan kasus perlemakan hati dari tahun ketahun, masing-masing pertahun adalah 4%, 4.5%, 5%, 6% dan 7% (Hasan et al., 2002). Resistensi insulin adalah faktor penting yang mendasari NAFLD, maka seiring dengan meningkatnya prevalensi dan insiden obesitas dan sindrom metabolik, prevalensi dan insiden NAFLD pun semakin meningkat (Nurman and Huang, 2007). Diagnosis NAFLD atau penyakit perlemakan hati non alkoholik memerlukan bukti adanya perubahan perlemakan pada hati (steatosis) tanpa adanya riwayat konsumsi alkohol berlebihan. NAFLD adalah suatu kelainan hati dimana lebih dari 5% hepatosit mengandung lemak (Amarapurkar, 2010). Batasan konsumsi alkohol yang masih diijinkan dalam NAFLD yaitu 140 g etanol/minggu untuk pria dan 70 g etanol/minggu untuk wanita (Anania and Parekh, 2007). NAFLD merupakan penyebab paling sering dari peningkatan kadar alanine aminotransferase (ALT) persisten yang tidak jelas penyebabnya (Sanyal,
2002; Anania and Parekh, 2007). ALT dianggap lebih spesifik daripada AST karena ALT paling banyak ditemukan di dalam hati, sedangkan AST juga dapat ditemukan di jantung, otot rangka, otak dan ginjal (Maulida, 2010; Raharjo and Jusup, 2011). Pada umumnya, peningkatan ALT pada NAFLD tidak melebihi 5 kali batas atas nilai normal (Nurman and Huang, 2007). Namun, pemeriksaan laboratorium
tidak
dapat
secara
akurat
membedakan
steatosis
dengan
steatohepatitis. Biopsi hati masih menjadi standar emas untuk diagnosis dan penentuan prognosis NAFLD (Sanyal, 2002; Amarapurkar, 2010; Sari, 2012). Walaupun kasus NAFLD terus berkembang pesat selama beberapa dekade belakangan, terapi yang ditujukan untuk mengobati atau mencegah terjadinya penyakit ini masih sangat terbatas. Hingga saat ini, belum ada uji klinis besar yang mampu menunjukkan keefektivan dalam mengubah perjalanan alami NAFLD. (Anania and Parekh, 2007). Berdasarkan pemahaman yang ada tentang patogenesis NAFLD, terapiterapi baru ditargetkan pada pengurangan stres oksidatif intrahepatik dan perbaikan resistensi insulin. Modifikasi gaya hidup dan penurunan berat badan melalui pengurangan asupan kalori atau peningkatan aktivitas fisik telah dibuktikan dapat membantu memperbaiki resistensi insulin (Anania and Parekh, 2007). Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa obat-obat penurun lipid, insulin-sensitizing agents, cytoprotective agents, dan antioksidan tampak menjanjikan (Collantes et al., 2004). Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal,
protein dan lemak (Halliwell and Gutteridge, 2007). Secara alami, tubuh memiliki sistem pertahanan untuk menghadapi serangan radikal bebas dengan mengaktifkan kinerja antioksidan endogen yang diproduksi oleh tubuh. Antioksidan tersebut meliputi enzim Superoxide Dismutase (SOD), katalase, metionin reduktase dan glutathione peroxidase (GSH-Px), dan glutathione reductase. Seluruh antioksidan endogen tersebut berupa enzim dan enzim-enzim tersebut bekerja menetralkan senyawa-senyawa radikal bebas hasil metabolisme tubuh atau radikal bebas dari luar tubuh, maka antioksidan endogen dapat disebut juga sebagai antioksidan enzimatis (Lingga, 2012). Antioksidan eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar tubuh. Antioksidan tersebut terdapat dalam makanan sehari hari, seperti minyak ikan, hati, jeruk, nanas, sayuran hijau, dan dapat berupa vitamin (vitamin C, vitamin E), mineral (zinc, selenium), beta karoten, likopen, asam lemak, Alpha-lipoic Acid (ALA) dan sejumlah senyawa lainnya (Stahl and Sies, 2002). Alpha-lipoic Acid merupakan antioksidan potensial yang memiliki kemampuan yang luas karena sifatnya yang larut dalam air dan lemak, dan hal ini memfasilitasinya untuk dapat berdifusi pada lingkungan lipofilik maupun hidrofilik (Mason, 2001; Kim et al., 2013). Ini berarti ALA dapat bekerja baik di dalam sel maupun di membran sel, dan oleh karena itu memberikan proteksi ganda (Lingga, 2012; Kim et al., 2013). ALA juga berperan dalam regenerasi antioksidan lain, seperti vitamin C dan E, koenzim Q, dan glutathione. ALA juga melindungi tubuh dari keracunan arsen, cadmium, timbal, dan merkuri (Mason, 2001; Kim et al., 2013).
ALA dalam sediaan oral dapat diserap dengan cepat dan baik, dan tingkat toksisitasnya rendah. Karena keuntungan-keuntungan ini, ALA mendapatkan perhatian yang lebih sebagai agen terapeutik yang sangat potensial dalam berbagai kondisi klinis yang berhubungan dengan kerusakan yang disebabkan radikal bebas (Lingga, 2012). Resistensi insulin, stres oksidatif, dan inflamasi berkontribusi dalam NAFLD. Kemampuan ALA sebagai antioksidan kuat telah ditunjukkan dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan menekan respon inflamasi (Higdon, 2006; Jung et al., 2012) Suplementasi ALA jangka panjang dapat mencegah NAFLD melalui berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penurunan steatosis, stres oksidatif, aktivasi sistem imun, dan inflamasi di hati (Jung et al., 2012). ALA dapat menurunkan ekspresi gen-gen hepatik yang terkait dengan metabolisme lipid seperti Sterol Regulatory Element Binding Protein-1, Fatty Acid Synthase dan Acetyl CoA Carboxylase, dan meningkatkan ekspresi GLUT-4 di dalam hati tikus OLETF. Ekspresi enzim-enzim antioksidan meningkat dan penanda peroksidasi lipid seperti 4-hydroxynonenal menurun pada tikus yang diberi ALA (Finlay et al., 2012; Jung et al., 2012). ALA juga menurunkan ekspresi sitokin-sitokin inflamasi seperti IL-6, IL-1 dan TNF- (Shay et al., 2009; Jung et al., 2012). Manfaat ALA dalam terapi NAFLD telah diketahui memberikan efek yang menguntungkan (Jung et al., 2012). Namun, penelitian yang membuktikan keefektivan tersebut masih sangat terbatas dan pada umumnya menggunakan dosis
besar yang melebihi anjuran, sedangkan terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian ALA dosis tinggi jangka panjang dapat memediasi terjadinya kerusakan oksidatif (Shay et al., 2009). Manfaat ALA dalam menghambat perlemakan hati non-alkoholik akibat paparan minyak jelantah masih belum diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pengaruh pemberian ALA dalam menghambat perlemakan hati non-alkoholik akibat paparan minyak jelantah. Dalam penelitian ini digunakan dosis ALA 300 mg/hari dan 600 mg/hari yang sesuai dengan batas dosis anjuran (Mason, 2001; Higdon, 2006).
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah pemberian Alpha-lipoic Acid oral menghambat peningkatan jumlah steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah? 2. Apakah pemberian Alpha-lipoic Acid oral menghambat peningkatan kadar alanine aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah? 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah : untuk mengetahui pengaruh
pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral dalam menghambat perlemakan hati nonalkoholik pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.
1.3.2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral dalam menghambat peningkatan jumlah steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. 2. Untuk mengetahui pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral dalam menghambat peningkatan kadar alanine aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Ilmiah
1. Mengkonfirmasi dan menguatkan teori dalam tatalaksana perlemakan hati non-alkoholik. 2. Mengkonfirmasi pemberian Alpha-lipoic Acid oral dalam menghambat perlemakan hati non-alkoholik yang diakibatkan oleh paparan minyak jelantah. 3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lebih lanjut untuk mengetahui manfaat pemberian Alpha-lipoic Acid oral dalam menghambat perlemakan hati non-alkoholik pada manusia.
1.4.2
Manfaat Praktis Mengetahui cara-cara yang paling baik dalam menghambat perlemakan
hati non-alkoholik, yaitu dengan pemberian Alpha-lipoic Acid oral, setelah ALA melalui tahap uji klinis pada manusia, sehingga dapat dijadikan acuan bagi
masyarakat dalam memilih tatalaksana. Karena seperti yang telah diketahui, sebagian besar masyarakat pasti menggunakan dan mengkonsumsi minyak jelantah dalam kehidupan sehari-hari, dan akibatnya risiko terjadinya perlemakan hati non-alkoholik sangat besar.
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Penuaan Penuaan atau aging, dapat digambarkan sebagai proses penurunan fungsi
fisiologis tubuh secara bertahap yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tumbuh dan kembang serta meningkatnya kelemahan (Bludau, 2010). Pada umumnya, orang menganggap menjadi tua adalah suatu kemutlakan yang memang harus terjadi, sudah ditakdirkan, dan semua masalah yang muncul akibat penuaan harus di alami (Pangkahila, 2011). Saat ini, ilmu pengetahuan di bidang kedokteran semakin berkembang dengan ditemukannya Anti-Aging Medicine (AAM). Anti-Aging Medicine adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula dari berbagai disfungsi, kelainan dan
penyakit
yang
berkaitan
dengan
penuaan,
yang
bertujuan
untuk
memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan demikian, penuaan bukan lagi suatu keadaan normal yang tidak terhindarkan, namun penuaan dapat diperlakukan seperti suatu penyakit yang dapat dan harus dicegah, diobati dan bahkan dikembalikan ke keadaan semula. AAM secara progresif berupaya mengatasi proses penuaan agar keluhan, disfungsi, atau penyakit tidak muncul, sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup dipertahankan (Pangkahila, 2011).
Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kematian. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikolasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Ada beberapa teori yang juga dapat menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Pada dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori “pakai dan rusak” (wear and tear theory) dan teori program. Teori “pakai dan rusak” meliputi teori kerusakan DNA, glikosilasi, dan radikal bebas, sedangkan teori program meliputi teori terbatasnya replikasi sel, proses imun, dan teori hormon (Pangkahila, 2011). Menurut teori “pakai dan rusak,” tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Penyalahgunaan organ tubuh membuat kerusakan menjadi lebih cepat. Fungsi organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lain menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan dari lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena paparan sinar ultraviolet, serta karena stres fisik dan emosional (Pangkahila, 2011). Dengan mengetahui penyebabnya, maka dapat dilakukan berbagai upaya berdasarkan ilmu pengetahuan terkini untuk menghambat atau memperlambat
proses penuaan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penuaan antara lain adalah menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan pola hidup sehat meliputi olahraga teratur, makanan sehat dan cukup, pengendalian stress, pemeriksaaan kesehatan berkala sebagai kontrol kesehatan, serta menggunakan obat dan suplemen sesuai petunjuk ahli. Penggunaan suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan dan berbagai fungsi organ tubuh yang menurun, sehingga usia harapan hidup lebih panjang disertai dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2011). Namun, terdapat pula hambatan dalam upaya menghambat proses penuaan, antara lain disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat, pengetahuan yang rendah, dan budaya yang tidak benar. Pengetahuan yang rendah menimbulkan banyak masalah yang menyebabkan upaya menghambat proses penuaan tidak dipahami sehingga tidak dilakukan dalam hidup sehari-hari. Pengetahuan yang rendah menyebabkan orang melakukan atau mengonsumsi sesuatu yang sebenarnya tidak sehat, tidak bermanfaat, bahkan merugikan (Pangkahila, 2011).
2.2
Radikal Bebas
2.2.1
Definisi dan Sifat Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang
tidak berpasangan. Radikal bebas juga dapat diartikan sebagai molekul yang dihasilkan selama terjadi metabolisme seluler normal, seperti radikal superoksida, hidroksil purin, dan pirimidin (Pangkahila, 2011).
Radikal bebas bersifat tidak stabil dan memiliki reaktifitas yang tinggi karena kecenderungannya menarik elektron dan mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal baru oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul tersebut (Pham-Huy et al., 2008). Peristiwa ini memutus reaksi rantai karena molekul yang baru yang tidak stabil mencoba mengganti elektronnya yang hilang, dengan mengambil dari dekatnya dan demikian seterusnya (Pangkahila, 2011).
2.2.2
Sumber Radikal Bebas Setiap saat tubuh terpapar oleh radikal bebas, baik yang dihasilkan sendiri
oleh tubuh, dari makanan yang dikonsumsi, dan dari lingkungan sekitar. Radikal bebas yang dihasilkan oleh tubuh secara alami disebut radikal bebas endogen, sedangkan yang berasal dari luar tubuh disebut radikal bebas eksogen (Lingga, 2012). Adapun sumber radikal bebas antara lain (Pham-Huy et al., 2008) : 1. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat dari berbagai proses enzimatik di dalam tubuh, berupa hasil sampingan dari proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada proses respirasi sel, proses pencernaan, dan proses metabolisme aerobik normal. Radikal bebas ini dikenal sebagai senyawa oksigen reaktif atau Reactive Oxygen Species (ROS). Di dalam tubuh, ROS diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel (Pham-Huy et al., 2008). Yang termasuk ROS adalah singlet oxygen, anion superoksida, hidrogen peroksida,
radikal hidroksil, radikal peroksida dan lain sebagainya (Bickers and Athar, 2006; Halliwell and Gutteridge, 2007). 2. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat dari bermacam-macam proses non-enzimatik di dalam tubuh, merupakan reaksi oksigen dengan senyawa organik dengan cara ionisasi dan radiasi. Contohnya adalah proses inflamasi dan iskemia. 3. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh, yang berasal dari polutan seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar matahari (sinar UV), makanan berlemak, kopi, alkohol, obat, bahan racun, pestisida, minyak goreng jelantah dan masih banyak lagi yang lainnya. Peningkatan radikal bebas pun dapat dipicu oleh stres atau olah raga yang berlebihan. Radikal bebas yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sampai ke tingkat seluler oleh karena pengambilan elektron baik dari komponen lemak, protein, DNA termasuk kerusakan pada sel yang berhubungan dengan proses penuaan (Moini et al., 2002). Dalam keadaan normal tubuh kita memiliki mekanisme pertahanan terhadap perusakan oleh radikal bebas yang beragam, efisien dan tersebar di berbagai tempat dalam sel dan dikenal sebagai antioksidan endogen. Menurut konsep radikal bebas, kerusakan sel akibat molekul radikal baru dapat terjadi bila kemampuan mekanisme pertahanan antioksidan tubuh sudah dilampaui atau menurun (Halliwell and Gutteridge, 2007).
2.2.3 Stres Oksidatif Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan antioksidan. Pada usia muda, keseimbangan antara radikal bebas dan pertahanan antioksidan berfungsi dengan baik, seiring dengan pertambahan usia, keseimbangan tersebut terganggu. Kelebihan radikal bebas akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler, sehingga terjadi kerusakan sel atau jaringan. Stres oksidatif yang diinduksi oleh radikal bebas telah dikaitkan dengan beberapa penyakit seperti penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, iskemia, proses penuaan dan penyakit neurodegeneratif (Parkinson, Alzheimer) (Moini et al., 2002; Pangkahila, 2007; Arief, 2009; Dhibi et.al., 2011). Stres oksidatif saat ini juga dipercaya mejadi salah satu faktor penting dalam terjadinya NAFLD (Dhibi et al., 2011).
2.3
Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dan
mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein dan lemak dengan cara melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas sehingga menjadi stabil dan menghambat terjadinya reaksi berantai pembentukan radikal bebas baru (Halliwell and Gutteridge, 2007). Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, sedangkan dalam pengertian biologis antioksidan adalah semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan proteinprotein pengikat logam (Pangkahila, 2011).
Secara alami, tubuh memiliki sistem pertahanan untuk menghadapi serangan radikal bebas dengan mengaktifkan kinerja antioksidan endogen yang diproduksi oleh tubuh. Antioksidan endogen disebut juga sebagai antioksidan primer. Antioksidan tersebut meliputi enzim Superoksida Dismutase (SOD), katalase, metionin reduktase dan glutathione peroksidase (GSH-Px), dan glutathione reduktase (GR). Seluruh antioksidan endogen tersebut berupa enzim dan enzim-enzim tersebut bekerja menetralkan senyawa-senyawa radikal bebas hasil metabolisme tubuh atau radikal bebas dari luar tubuh, maka antioksidan endogen dapat disebut juga sebagai antioksidan enzimatis (Lingga, 2012). Sedangkan antioksidan eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar tubuh. Antioksidan tersebut terdapat dalam makanan sehari hari, seperti minyak ikan, hati, jeruk, nanas, sayuran hijau, dan dapat berupa vitamin (vitamin C, vitamin E), mineral (zinc, selenium), beta karoten, likopen, asam lemak, Alpha Lipoic Acid (ALA) dan sejumlah senyawa lainnya (Stahl and Sies, 2002). Masingmasing antioksidan memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda bergantung jenisnya. Berikut pengelompokan antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya (Tandon, 2005; Ardhie, 2011; Lingga, 2012) : 1. Antioksidan Primer Antioksidan tipe ini akan menetralisir radikal bebas dengan mendonasi satu elektronnya. Ada tiga macam antioksidan primer, yaitu enzim superoksida dismutase (SOD), glutathione peroksidase (GSH-Px), dan katalase. Akibat kehilangan satu elektron molekul AO tersebut akan menjadi radikal bebas yang baru. Radikal yang baru terbentuk ini relatif stabil dan lebih lemah, yang
selanjutnya akan dinetralisir oleh AO lain seperti vitamin C, vitamin E, Alphalipoic Acid (ALA), Co-Q10, flavonoid, asam urat, bilirubin (Moini et al., 2002). 2. Antioksidan Sekunder Antioksidan ini bekerja dengan mengikat logam transisi pemicu ROS dan selanjutnya menyingkirkannya. Antioksidan yang termasuk dalam antioksidan sekunder
adalah
:
Alpha-lipoic
Acid
(ALA),
transferin,
laktoferin,
seruloplasmin dan albumin. 3. Antioksidan Tersier Antioksidan ini berfungsi memperbaiki sel dan jaringan yang rusak akibat radikal bebas. Menumpuknya biomolekul yang telah rusak dapat menimbulkan kerusakan sel sekitarnya dan menimbulkan kerusakan DNA. Agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah seperti terjadinya kerusakan DNA, maka kerusakan akan diperbaiki oleh enzim metionin sulfoksida reduktase. Protein yang teroksidasi akan diproses oleh sistem enzim proteolitik dan lipid teroksidasi diproses oleh enzim lipase, peroksidase.
2.4
Minyak Goreng Beberapa tahun belakangan kontribusi minyak goreng dalam asupan energi
total telah meningkat secara signifikan. Bahan makanan yang digoreng menempati porsi yang cukup besar dalam menu makanan sehari-hari. Makanan yang digoreng memang lebih disukai karena rasa, warna, dan teksturnya yang renyah (Marinova
et al., 2012). Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar, dan biasanya digunakan untuk menggoreng bahan makanan (Luciana et al., 2005). Minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori pangan (Winarno, 2004). Minyak goreng yang beredar di pasaran umumnya bersumber nabati dan dapat terbuat dari beragam bahan dasar, seperti kelapa, sawit, kedelai, zaitun, jagung, biji bunga matahari, dan lain sebagainya (Yustinah, 2009; Ketaren, 2005). Sebagian besar minyak goreng yang dipasarkan dan umum digunakan di Indonesia adalah minyak kelapa sawit (Oeij et al., 2007). Minyak dan lemak yang kita kenal dalam makanan sehari-hari sebagian besar terdiri dari senyawa yang disebut trigliserida atau triasilgliserol, yang merupakan ikatan ester antara satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak. Asam lemak disusun oleh rangkaian karbon, yang merupakan unit pembangun dan memberi sifat khas untuk setiap lemak. Ikatan antar karbon yang satu dengan yang lainnya pada asam lemak dapat berupa ikatan jenuh (tunggal) dan dapat pula berupa ikatan tidak jenuh (rangkap) (Ketaren, 2005). Minyak goreng mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada rangkaian karbonnya. Mutu minyak goreng sangat dipengaruhi oleh komponen asam lemaknya karena asam lemak tersebut akan mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan stabilitas minyak selama proses penggorengan. Selain komponen asam lemaknya, stabilitas minyak goreng dipengaruhi pula derajat ketidakjenuhan asam lemaknya, penyebaran ikatan rangkap dari asam lemaknya, serta bahan-bahan
yang dapat mempercepat atau memperlambat terjadinya proses kerusakan minyak goreng, yang terdapat secara alami atau yang sengaja ditambahkan. Minyak yang baik adalah minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam lemak jenuhnya, salah satunya adalah minyak nabati seperti minyak sawit (Stier, 2003).
2.4.1
Komposisi Minyak Goreng Semua minyak tersusun atas unit-unit asam lemak. Tidak ada satu pun
minyak atau lemak tersusun atas satu jenis asam lemak, jadi selalu terdiri dari campuran beberapa asam lemak. Proporsi campuran perbedaan asam-asam lemak tersebut menyebabkan lemak dapat berbentuk cair atau padat, bersifat sehat atau membahayakan kesehatan, stabilitas terhadap pemanasan, tahan simpan, atau mudah tengik. Berdasarkan ada atau tidaknya ikatan ganda dalam struktur molekulnya, minyak dibedakan menjadi (Ketaren, 2005) : a. Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids). Merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya, bersifat stabil, tidak mudah bereaksi atau berubah menjadi asam lemak jenis lain. Asam lemak jenuh yang terkandung dalam minyak goreng pada umumnya terdiri dari asam miristat, asam palmitat, asam laurat dan asam kaprat. b. Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty acids/MUFA) ataupun majemuk (poly-unsaturated fatty acids/PUFA).
Merupakan asam lemak yang memiliki ikatan atom karbon rangkap yang mudah terurai dan bereaksi pada rantai hidrokarbonnya. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap itu (poly-unsaturated), semakin mudah bereaksi atau mudah berubah menjadi asam lemak jenuh. Minyak nabati umumnya mengandung asam-asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, dan asam arakidonat (Winarno, 2004). c. Minyak dengan asam lemak trans (Trans Fatty Acids) Merupakan asam lemak yang memiliki satu atau ikatan atom karbon rangkap pada rantai hidrokarbonnya namun bukan dalam konfigurasi cis, melainkan konfigurasi trans. Bentuk isomer trans lebih menyerupai asam lemak jenuh daripada asam lemak tak jenuh. Asam lemak trans banyak terdapat pada lemak hewan, margarin, mentega, minyak terhidrogenasi, dan terbentuk dari proses penggorengan. Minyak goreng yang masih segar mengandung asam lemak dengan struktur cis jauh lebih banyak dibandingkan asam lemak dengan struktur trans. Namun setelah minyak digunakan untuk menggoreng dengan suhu tinggi serta mengalami kontak dengan oksigen, struktur cis akan berubah menjadi struktur trans (Dhaka et al., 2011). Minyak goreng sawit memiliki karakteristik pada komponen asam lemak utama penyusunnya. Jika dibandingkan dengan minyak kelapa, minyak sawit mengandung lemak tak jenuh dalam jumlah yang lebih tinggi. Minyak sawit mengandung sekitar 45,5% asam lemak jenuh (yang didominasi asam lemak palmitat) dan sekitar 54,1% asam lemak tidak jenuh (yang didominasi asam lemak oleat / omega-9). Minyak kelapa mengandung 80% asam lemak jenuh dan 20%
asam lemak tidak jenuh (Sartika, 2009; Yustinah, 2009). Rendahnya lemak jenuh dalam minyak sawit disebabkan
karena minyak sawit mengalami proses
penyaringan sebanyak dua kali (pengambilan lapisan lemak jenuh) menyebabkan kandungan asam lemak tak jenuh menjadi lebih tinggi (Khomsan, 2003). Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak lebih mudah rusak oleh proses menggoreng (deep frying), karena selama proses ini minyak akan dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi. Akibat pemanasan tinggi dan berulang-ulang maka ikatan rangkap asam lemak tak jenuh akan putus dan terbentuk lemak jenuh. Adanya kontak dengan oksigen dari udara luar juga memudahkan terjadinya reaksi oksidasi pada minyak (Sartika, 2009; Ketaren, 2005). Minyak yang telah rusak tidak hanya memberikan efek negatif bagi gizi dan kesehatan tetapi juga berdampak pada tekstur dan rasa makanan yang dihasilkan (Khomsan, 2003).
2.5
Proses Menggoreng (Deep Frying) dan Minyak Jelantah Proses menggoreng atau deep frying dapat didefinisikan sebagai cara
memasak atau memanaskan makanan menggunakan minyak dalam jumlah yang banyak (sehingga bahan makanan dapat terendam seluruhnya di dalam minyak) dan dengan suhu tinggi sekitar 150oC – 200oC (Ketaren, 2005; Sartika, 2009; Ghidurus et al., 2010). Pada temperatur tersebut, setiap bahan pangan rata-rata memerlukan waktu 8 menit untuk matang (Hartono, 2011). Sedangkan minyak jelantah adalah minyak goreng yang sudah digunakan berkali-kali dalam proses menggoreng bahan makanan dengan suhu tinggi, dan telah mengalami perubahan
baik secara fisik atau kimia yaitu dengan adanya perubahan warna dari bening menjadi berwarna gelap dan berbau tengik, serta secara kimiawi telah mengalami perubahan reaksi hidrolisis, oksidasi, dan polimerasi termal (Gambar 2.1) (Fransiska, 2010; Wahab et al., 2011).
Gambar 2.1. Minyak Jelantah (Andriana, 2013) Proses deep frying yang disertai paparan udara sekitar menyebabkan terjadinya berbagai reaksi-reaksi seperti hidrolisis, oksidasi, dan polimerisasi dari molekul triasilgliserol. Produk-produk dekomposisi akan terbentuk akibat reaksireaksi tersebut dan produk-produk ini tidak hanya mempengaruhi kualitas makanan tetapi juga dianggap berbahaya untuk kesehatan manusia, misalnya peroksida, keton, aldehid, polimer, dan trans-fatty acids. (Ketaren, 2005; Oeij et al., 2007; Farag et al., 2010; Marinova et al., 2012). Reaksi hidrolisis lebih mudah terjadi pada minyak yang mengandung komponen asam lemak rantai pendek dan tak jenuh, daripada asam lemak rantai panjang dan jenuh karena asam lemak rantai pendek dan tak jenuh bersifat lebih larut dalam air. Bahan pangan yang digoreng akan menghasilkan air dan uap air. Air dan uap air akan menghidrolisis trigliserida pada suhu tinggi sehingga menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) (Warner,
2002). Jumlah FFA semakin meningkat dengan lama waktu proses penggorengan. Pada saat akumulasi FFA berada dalam jumlah yang signifikan, akan terbentuk asap yang berlebihan dan kualitas dari makanan hasil goreng menurun. (Sartika, 2009). Proses oksidasi disebabkan keberadaan oksigen yang bereaksi dengan minyak atau lemak. Reaksi oksidasi tidak hanya terjadi saat proses penggorengan, namun ternyata juga dapat terjadi selama masa penyimpanan. Reaksi oksidasi dapat terjadi melalui dua jenis mekanisme, yaitu auto-oksidasi dan foto-oksidasi. (Azeredo et al., 2004). Kedua jenis reaksi oksidasi ini menghasilkan produk reaksi primer, yaitu hidroperoksida. Hidroperoksida merupakan produk primer dari oksidasi minyak. Komponen hidroperoksida ini bersifat sangat tidak stabil dan sangat sensitif terhadap suhu minyak. Hal ini karena hidroperoksida merupakan radikal bebas yang bersifat sangat reaktif. Tetapi senyawa ini bukan penyebab terjadinya perubahan rasa dan bau yang berkaitan dengan ketengikan (oxidative rancidity). Karena sifatnya yang tidak stabil, hidroperoksida akan segera terdekomposisi dan menghasilkan produk reaksi sekunder, misalnya senyawa aldehid (akrolein) dan keton, yang merupakan penyebab adanya ketengikan (oxidative rancidity). Akrolein juga menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan pada saat mengkonsumsi makanan yang digoreng menggunakan minyak goreng berulang kali (Ketaren, 2005; Rahayu, 2007). Oksidasi juga dapat menyebabkan warna minyak menjadi gelap, tetapi mekanisme terjadinya komponen yang menyebabkan warna gelap ini masih belum sepenuhnya diketahui. Diperkirakan bahwa senyawa berwarna pada bahan yang
digoreng terlarut dalam minyak dan menyebabkan terbentuknya warna gelap (Yustinah, 2009). Proses oksidasi ini akan terus berlangsung hingga pada batas tertentu mengakibatkan minyak menjadi tidak layak lagi digunakan dan kemudian disebut sebagai minyak jelantah (Herawati and Akhlus, 2006; Rukmini, 2007). Reaksi polimerisasi yang terjadi pada minyak dalam proses penggorengan menghasilkan komponen polar nonvolatil dimer dan polimer. Polimer dapat terbentuk dari radikal bebas atau trigliserida. Penggorengan berulang dan suhu yang tinggi dapat meningkatkan komponen polimer (Warner, 2002). Minyak yang telah mengalami polimerisasi ditandai dengan peningkatan viskositas dan penurunan bilangan iod. Hasil polimerisasi akan mempengaruhi kualitas minyak goreng, menghasilkan warna coklat pada minyak dan terbentuk bahan berupa gum yang mengendap, bau, serta rasa yang tidak enak (Romaria, 2008). Pemanasan minyak goreng pada suhu tinggi dapat menyebabkan pemutusan pada ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh. Semakin banyak kandungan asam lemak tidak jenuh yang terkandung dalam suatu minyak goreng akan menyebabkan semakin banyak pemutusan ikatan rangkap yang terjadi, dan akibatnya semakin banyak menghasilkan asam lemak jenuh (Ketaren, 2005; Fransiska, 2010). Wahab et al. (2011) juga menyebutkan bahwa semakin sering minyak goreng digunakan, maka semakin tinggi kandungan asam lemak jenuhnya. Kandungan lemak jenuh pada minyak yang belum dipakai sebesar (45,96%), satu kali pakai (46,09%), dua kali pakai (46,18%), tiga kali pemakaian sebesar (46,32%). Selain itu semakin sering minyak goreng tersebut digunakan maka
kandungan asam lemak tidak jenuhnya semakin berkurang. Kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak yang belum dipakai (53,95%), satu kali pakai (53,78%), dua kali pakai (53,69%), tiga kali pemakaian sebesar (53,58%), dan seterusnya (Wahab et al., 2011). Proses menggoreng dengan cara deep frying dan pengulangannya juga dapat menyebabkan terjadinya isomerisasi geometri dan posisi struktur molekul lemak (Ketaren, 2005). Isomer geometris terbentuk apabila ikatan rangkap cis (struktur bengkok) terisomerisasi menjadi konfigurasi trans (struktur lebih linier) yang secara termodinamik sifatnya lebih stabil daripada cis, seperti asam oleat menjadi asam elaidat. Bentuk isomer trans lebih menyerupai asam lemak jenuh daripada asam lemak tak jenuh (Ketaren, 2005). Suatu penelitian eksperimental laboratorium yang dilakukan oleh Sartika (2009) untuk mengetahui pengaruh menggoreng dengan cara deep frying (suhu tinggi dan jangka waktu lama) serta berulang terhadap pembentukan asam lemak trans. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam lemak yang paling banyak terkandung pada minyak goreng yang belum digunakan adalah asam oleat (bentuk cis). Asam lemak elaidat (bentuk trans) baru terbentuk setelah proses menggoreng (deep frying) pengulangan kedua, dan kadarnya meningkat sejalan dengan pengulangan penggunaan minyak (Sartika, 2009). Kerusakan minyak setelah proses deep frying tergantung dari jenis minyak, mutu minyak goreng segar serta perlakuan terhadap minyak ulangan. Pemanasan minyak terputus (dipanaskan-didinginkan-dipanaskan) selama beberapa hari menyebabkan destruksi dan dekomposisi makin cepat. Minyak yang telah rusak
dan menjadi jelantah tidak hanya memberikan efek negatif pada tekstur, rasa dan gizi makanan yang dihasilkan tetapi juga berdampak buruk bagi kesehatan (Khomsan, 2003).
2.5.1
Dampak Penggunaan Minyak Jelantah Terhadap Kesehatan Pemakaian minyak jelantah sampai dua kali masih dapat ditoleransi,
namun jika lebih dari dua kali, terlebih jika warnanya sudah berubah menjadi kehitam-hitaman, maka minyak tersebut sudah tidak baik dan harus dihindarkan (Ketaren, 2005). Penggunaan minyak goreng jelantah secara berulang dapat membahayakan kesehatan tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan akan terjadi proses degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses tersebut dapat membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun, sehingga membahayakan tubuh (Mulyati and Meilina, 2007; Pangkahila, 2011). Minyak jelantah, khususnya yang dihasilkan dari proses deep frying merupakan radikal bebas dari luar tubuh (eksogen), yang dapat memicu terjadinya stres oksidatif di dalam tubuh dan menimbulkan kerusakan karbohidrat, protein, peroksidasi lipid, kerusakan membran sel, hingga kerusakan DNA (DeoxyriboNucleic Acid) (Reynertson, 2007; Dorffman et al., 2009; Arief, 2009). Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif, inflamasi, aterosklerosis, hingga kanker (Koch et al., 2007). Salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan oleh radikal bebas minyak jelantah adalah perlemakan hati non alkoholik (Murray et al., 2003; Dhabi et al., 2008).
Hasil kajian dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) menemukan bahwa penggunaan minyak jelantah sebagai minyak goreng berdampak pada kesehatan. Pemanasan minyak goreng berkali - kali (lebih dari dua kali) pada suhu tinggi akan membentuk asam lemak trans. Asam lemak trans dapat meningkatkan kadar Low Density Lipoproteins (LDL), trigliserida, dan insulin, serta menurunkan High Density Lipoproteins (HDL) di dalam darah (Dhaka et al., 2011; Wahab et al., 2011). Sehingga peningkatan asupan asam lemak trans terkait dengan insidensi coronary atherosclerotic disease (Sartika, 2009; Machado et al., 2010). Beberapa studi pada tikus juga menunjukkan bahwa pemberian diet tinggi lemak trans menyebabkan terjadinya resistensi insulin, peningkatan berat badan, lemak abdominal, lemak subkutaneus, dan terutama akumulasi trigliserida pada organ hati karena terjadi penurunan oksidasi lipid dan peningkatan sintesis asam lemak bebas. Hal ini dapat memicu terjadinya obesitas, sindrom metabolik, steatosis hepatik, dan lipotoksisitas (toksisitas sel akibat akumulasi abnormal lemak) (Kavanagh et al., 2007; Dorfman et al., 2009). Percobaan yang dilakukan Machado et al. (2010), dengan menggunakan tikus percobaan yang diberi diet asam lemak trans, PUFA dan SFA. Ditemukan bahwa asam lemak trans mendorong perubahan yang mirip dengan sindrom metabolik pada manusia. Asupan asam lemak trans menginduksi akumulasi lemak di hati yang kemudian memicu terjadinya NASH. Berat hati, konsentrasi trigliserida plasma, dan glukosa darah tikus yang diberi diet asam lemak trans lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol.
Asupan minyak yang teroksidasi menyebabkan tingkat peroksidasi lipid yang lebih tinggi dan konsentrasi antioksidan plasma yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok tikus yang diberi minyak segar. Dari penelitian yang dilakukan Dhibi et al. (2011), ditemukan adanya suatu korelasi negatif antara kadar asam lemak trans di dalam diet dan aktivitas SOD, katalase, dan glutahtione di dalam hati tikus, yang menimbulkan dugaan bahwa peningkatan konsumsi asam lemak trans terkait dengan penurunan efisiensi sistem antioksidan enzimatik dan oleh karena itu, menyebabkan terjadinya stres oksidatif di dalam hati tikus. Hasil histopatologi hati dari kelompok tikus yang diberi diet tinggi asam lemak trans menunjukkan vakuolisasi sitoplasma tingkat sedang hingga parah, hipertrofi hepatosit, hepatocyte ballooning, dan nekroinflamasi. Perubahan-perubahan tersebut mengindikasikan bahwa asam lemak trans memicu terjadinya NAFLD dan/atau mengakselerasi progresi penyakit tersebut (Dhibi et al., 2011).
2.6
Hati Hati merupakan organ terbesar di dalam tubuh manusia, beratnya sekitar
1500 g, terletak di kuadran kanan atas abdomen, dan dilindungi oleh peritoneum viseral. Secara anatomis, hati terbagi menjadi empat lobus dengan lobus utamanya adalah lobus dekstra dan lobus sinistra, sedangkan lobus yang lain adalah lobus kuadratus dan lobus kaudatus (Allen, 2002). Konsistensi hati lunak dan dalam keadaan sehat hati berwarna cokelat kemerahan karena kaya akan suplai darah yang mengalir. Hati mendapatkan suplai darah dari dua sumber, yang pertama adalah arteri hepatika yang menghantarkan darah kaya oksigen dari sirkulasi, yang
kedua adalah vena porta yang menghantarkan darah yang telah mengalami deoksigenisasi, namun mengandung nutrisi yang berasal dari usus halus (Gray and Lawrence, 2000).
2.6.1
Fungsi Hati Hati memegang berbagai fungsi dalam tubuh manusia, yang meliputi
fungsi regulasi, sintesis, dan sekresi (Price and Wilson, 2006). Hati mempunyai fungsi menyimpan karbohidrat sebagai glikogen. Hati bertanggung jawab dalam sintesis dan pemecahan lipid dari trigliserid. Hati juga sangat aktif dalam sintesis dan daur ulang protein. Secara keseluruhan, hati menjalankan fungsi metabolik seperti metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, untuk mempertahankan glukosa darah dan homeostasis energi (Gray and Lawrence, 2000; Price and Wilson, 2006). Banyak substansi-substansi penting seperti faktor-faktor pembekuan darah, transporter proteins, kolesterol, dan komponen-komponen empedu disintesis oleh hati. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak juga dapat disimpan di dalam parenkim hati (Gray and Lawrence, 2000). Hati juga berperan dalam metabolisme hemoglobin, obat-obatan dan steroid, detoksifikasi racun dan hidrogen peroksida; hematopoeisis pada saat embrio dan fagositosis benda asing. Proses detoksifikasi dilakukan oleh enzimenzim di hati terhadap zat-zat beracun, melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat-zat berbahaya, dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak juga dapat disimpan di dalam parenkim hati (Price and Wilson, 2006; Samuelson, 2007).
2.6.2
Histologi dan Fisiologi Hepatosit Lobus hati tersusun dari sel parenkimal yang disebut hepatosit dan sel non
parenkimal. Hepatosit meliputi 80% dari seluruh sel hati dan melakukan sebagian besar kemampuan sintesis dan metabolisme, sisanya berupa sel Kupffer yang merupakan makrofag, sel epithelial sistem empedu, dan sel Ito (Stellate cell) (Gray and Lawrence, 2000; Allen, 2002). Hepatosit berbentuk polihedral dengan inti bulat, terletak di tengah dan berwarna lebih gelap, dengan jumlah nukleolus satu atau lebih dan kromatin yang menyebar. Sitoplasma pada hepatosit agak berbutir, organel-organel yang mengisi sel membuat sitoplasma tampak bergranula (Ganong, 2002). Dengan bantuan miskroskop, dapat dilihat bahwa lobus hati tersusun atas unit-unit mikroskopis yang disebut lobulus yang secara umum terlihat berbentuk heksagonal (segi enam). Setiap lobus hati dikelilingi oleh beberapa portal triad, yang masing-masing berisi satu cabang vena porta, satu cabang arteri hepatika, dan satu saluran/duktus empedu. Vena sentralis terletak di bagian tengah lobulus dan sel-sel hati tersusun dalam barisan memanjang (radier) dari vena sentralis hingga ke tepi lobulus. Barisan sel hati dipisahkan satu sama lain oleh sinusoid yang berisi darah. Dinding sinusoid dibentuk oleh sel endothelial. Beberapa sel Kupfer juga terdapat di sepanjang ruang sinusoid. Sel-sel hati sendiri dipisahkan dari sinusoid oleh suatu celah yang disebut space of Disse. Di celah Disse ini terdapat Stellate cell. Stellate cell berperan dalam pembentukan fibrosis hepar dengan cara sintesis kolagen. Hepatosit juga terletak dekat dengan kanalikuli dimana empedu disekresikan ke dalamnya. Empedu yang
diproduksi oleh
hepatosit mengalir melalui kanal kecil yang disebut kanalikuli empedu. Pada hati yang normal, sangat sedikit jaringan ikat atau sel-sel inflamasi yang dapat terlihat, kecuali beberapa limfosit pada saluran portal (Allen, 2002). Konsep terbaru dari unit fungsional hati terkecil adalah asinus hati yang terdiri atas sel-sel parenkim sekitar arteriol, venul dan duktus biliaris terminal, serta terletak di antara dua vena sentralis. Konsep asinus ini dapat menjelaskan gangguan patofisiologis penyakit hepar. Tiga zona dalam asinus hepar adalah zona-1, daerah elipsoid yang mengelilingi arteriol hepatika dan venul porta terminal; zona-2 di tengah; zona-3, dekat vena sentralis (Gambar 2.2) (Gray and Lawrence, 2000).
Gambar 2.2. A. Sistem asinus hati yang terdiri dari 3 zona, yaitu zona 1, zona 2, dan zona 3. B. Sistem lobulus hati yang tersusun atas vena porta, arteri hepatika, dan duktus empedu (Gray and Lawrence, 2000) Aktivitas metabolik sel-sel tersebut juga berbeda. Zona-1 banyak dijumpai enzim metabolisme oksidatif, glikogenesis, dan glukoneogenesis, zona-3 banyak
terdapat enzim glikolisis, lipogenesis, dan metabolisme obat. Sedangkan pada zona-2 memiliki zona campuran. Sel-sel hepatosit dalam ketiga zona secara intrinsik memiliki potensi yang sama untuk mengubah struktur dan fungsinya sebagai respons atas perubahan lingkungan-mikronya. Susunan zona ini bertanggung jawab dalam kerusakan selektif hepatosit akibat berbagai agen toksik atau berbagai keadaan penyakit. Pada keadaan toksik, penimbunan lipid dimulai dari sel-sel hepatosit zona-3. Zona-3 juga merupakan daerah yang paling mudah terkena cedera akibat insufisiensi vaskuler sehingga terjadi nekrosis sel hepar (Gray and Lawrence, 2000; Allen, 2002).
2.6.3
Perubahan Regresif Hepatosit Akibat keterlibatannya dalam semua proses di hati, hepatosit merupakan
sel yang paling rentan terhadap anoksia, berbagai racun dan karsinogen yang menyebabkan pola karakteristik dari degenerasi di asinus hati (Gray and Lawrence, 2000). Beberapa jenis kerusakan hepatosit yang dapat terjadi antara lain, degenerasi sel berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak, fibrosis, serta kematian sel (Henryk and Peter, 2010). 1. Degenerasi Hidropis Degenerasi hidropis sering disebut dengan degenerasi vakuoler, degenerasi balloning, atau perubahan hidropis. Degenerasi vakuoler menunjukkan perubahan hepatoseluler berat tapi reversible, terjadi akibat sitoplasma sel terisi cairan. Secara mikroskopis sel hepatosit tampak membengkak akibat akumulasi air berlebihan (edema intraselular), sitoplasma tampak pucat
bergranul, inti tetap berada di tengah sel dan kurang jelas, kadang terbentuk vakuolisasi beraspek keruh, dan akibat pembengkakan hepatosit sinusoid menyempit bila dibandingkan dengan keadaan normal (Henryk and Peter, 2010). 2. Degenerasi Lemak Degenerasi lemak sering disebut dengan steatosis, fatty degeneration, fatty change, atau fatty infiltration. Istilah degenerasi lemak digunakan bila di dalam sel terjadi akumulasi abnormal lemak (trigliserida) akibat gangguan metabolisme lemak. Pada degenerasi ini, terbentuk vakuol-vakuol lemak intrasitoplasmik. Mula-mula tampak di bawah mikroskop cahaya sebagai vakuola lemak kecil dalam sitoplasma di sekitar inti. Pada proses selanjutnya, vakuola melebar membentuk ruang jernih yang mendesak inti ke tepi sel. Degenerasi ini masih bersifat reversible, namun menunjukkan adanya gangguan berat dan dapat merupakan permulaan terjadinya nekrosis, fibrosis, dan sirosis (Mulyono et al., 2009). Akumulasi lemak dalam hepatosit biasanya terjadi bila terlalu banyak asupan asam lemak bebas ke dalam hepatosit, terjadi peningkatan sintesis lipid di dalam hepatosit akibat toksin yang dapat merusak jalur metabolisme lemak, penurunan mobilisasi lipid keluar dari hepatosit, hipoksia kronis yang menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak, penurunan penggunaan lipid dalam hepatosit, dan kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan peningkatan mobilisasi lemak dari jaringan adiposa ke hepatosit seperti pada
saat kelaparan, diabetes melitus dan alkoholik kronis (Henryk and Peter, 2010). 3. Nekrosis (Kematian Sel) Nekrosis adalah perubahan morfologi (kematian) sel hepar. Nekrosis sel disebabkan oleh dua hal yaitu proses digesti oleh enzim sel dan denaturasi protein. Tahapan nekrosis berkaitan dengan perubahan inti. Perubahan itu adalah piknosis, karioreksis dan kariolisis. Pada piknosis, inti sel menyusut dan tampak adanya ”awan gelap”. ”Awan gelap” ini dikarenakan kromatin yang memadat. Pada karioreksis, inti pecah menjadi beberapa bagian, sedangkan pada saat kariolisis inti menjadi hilang (lisis) sehingga pada pengamatan tampak sebagai sel yang kosong (Mangunsudirdjo et al., 2001). Nekrosis hati terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma. Nekrosis di zona hepatosit akan menyebabkan dilatasi lobulus hati dan kongesti pada sinusoid (Henryk and Peter, 2010). 4. Fibrosis Fibrosis terjadi sebagai respon terhadap radang atau akibat langsung toksin. Sel Stellate berperan dalam pembentukan fibrosis hepar dengan cara sintesis kolagen. Fibrosis yang berkepanjangan menyebabkan sirosis. 5. Sirosis Sirosis adalah pengerasan pada hati yang terjadi karena kehilangan parenkim hati disusul pembentukan jaringan parut secara luas, disamping regenerasi dan hiperplasia, sehingga struktur hati berubah. Sirosis hati dicirikan dengan
permukaan nodular, granular, irregular, konsistensi keras, fibrosis difus dan biasanya sulit diinsisi (Henryk and Peter, 2010).
2.7
Non-alcoholic Fatty Liver Diseases atau Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik Dalam bahasa Indonesia Non-alcoholic Fatty Liver Diseases (NAFLD)
diterjemahkan sebagai penyakit perlemakan hati non-alkoholik (PHNA) (Lesmana, 2007; Sari, 2012). Definisi NAFLD adalah suatu kelainan hati dimana lebih dari 5% hepatosit mengandung lemak atau lebih dari 5% berat hati disebabkan oleh lemak, namun kelainan ini terjadi pada individu bukan peminum alkohol (Amarapurkar, 2010). Oleh karena itu definisi NAFLD juga memerlukan tidak adanya riwayat konsumsi alkohol yang signifikan. The National Institutes of Health (NIH) yang telah meneliti NAFLD telah mendefinisikan jumlah konsumsi alkohol yang masih diijinkan untuk NAFLD, yaitu 140 g etanol/minggu untuk pria dan 70 g etanol/minggu untuk wanita (Anania and Parekh, 2007). Spektrum patologis penyakit perlemakan hati non-alkoholik bervariasi yang meliputi perlemakan hati sederhana (simple steatosis), perlemakan hati dengan inflamasi atau Non-acoholic Steatohepatitis (NASH), sampai dengan fibrosis dan sirosis (Zimmet et al., 2005; Dowman et al., 2011). Dari mereka yang mengalami NASH, sekitar 20% akan berkembang menjadi sirosis (Anania and Parekh, 2007). Oleh karena itu, saat ini NAFLD dipertimbangkan sebagai suatu penyebab umum dari penyakit hati kronis, peningkatan indikasi transplantasi hati
dan penyebab potensial untuk hepatocellular carcinoma (Anania and Parekh, 2007; Wei et al., 2008).
2.7.1
Faktor Penyebab dan Faktor Risiko NAFLD Telah diketahui banyak kondisi atau penyakit lain yang dapat
menyebabkan steatosis tanpa atau dengan hepatitis (steatohepatitis), selain akibat alkohol dan non-alkohol. Dikenal empat golongan penyebab penyakit tersebut, yaitu nutrisi, obat-obatan, kelainan metabolik atau genetik, dan penyebab lain-lain (Angulo, 2002). Tabel 2.1. Beberapa Penyebab Perlemakan Hati Non-alkoholik (Angulo, 2002) Nutrisi Protein Kalori
Obat Glukokortikoid
Metabolik atau Genetik Lipodistrofi
Lain-lain Peyakit
Malnutrisi (PKM) Estrogen sintetis
Disbetalipoproteinemia peradangan usus
Kelaparan
Calcium-blocker
Penyakit Weber-
Divertikulosis
Nutrisi Parenteral
Amidarone
Christian
usus halus +
Total
Tamoxifen
Peyakit Wolman
bacterial growth
Berat badan turun Tetrasiklin
Cholesterol ester-
Infeksi HIV
sangat cepat
Metotreksat
storage
Hepatotoksik
Bypass surgery
Perheksilin-
Perlemakan hati akut
lingkungan :
pada kehamilan
fosfor,
untuk kegemukan maleat Valproic acid
petrokimia, jamur
Kokain
beracun, bahan
Obat anti virus :
organik
zidofudin,
Toksin Bacillus
didanosin,
cereus
fialudin
Terdapat
juga beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam
patogenesis penyakit perlemakan hati non-alkoholik. Faktor risiko yang telah diketahui adalah resistensi insulin, obesitas, Diabetes Mellitus tipe 2, hiperglikemia, hipertrigliseridemia, dan sindrom metabolik (Anania and Parekh, 2007). Resistensi insulin sekarang diketahui sebagai faktor resiko paling umum untuk NAFLD. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan sindrom metabolik memiliki resiko NAFLD 4-11 kali lipat lebih tinggi (Anania and Parekh, 2007). Prevalensi NAFLD sangat bervariasi tergantung dari umur, jenis kelamin, dan status berat badan. Penelitian sebelum 1990 menunjukkan bahwa NAFLD lebih sering terjadi pada perempuan (53-85%), akan tetapi penelitian belakangan ini menunjukkan frekuensi yang sama pada laki-laki dan perempuan, yakni sekitar 50% (Lesmana, 2007). Menurut Sanyal (2002) prevalensi NAFLD meningkat sesuai dengan peningkatan umur, dengan angka tertinggi pada usia 40-49 tahun. Faktor lingkungan, faktor kepekaan seseorang atau faktor genetik tampaknya
termasuk
faktor
yang
mempengaruhi
keparahan
NAFLD
(Amarapurkar, 2010; Sari, 2012). Faktor lingkungan antara lain diet (asupan lemak berlebihan, kekurangan asupan anti-oksidan), aktifitas fisik/olahraga, dan kemungkinan pertumbuhan bakteri usus berlebihan, dianggap berperan dalam patogenesis NAFLD (Petta et al., 2009; Sari, 2012). Beberapa penelitian pada kelompok keluarga (family clustering) dan variasi inter-etnis tentang kepekaan seseorang menunjukkan bahwa faktor genetik
juga berperan penting dalam
menentukan risiko perkembangan memberatnya NAFLD (Sari, 2012).
2.7.2
Patogenesis NAFLD Patogenesis yang mendasari terjadinya steatosis dan progresinya menjadi
NASH belum sepenuhnya dimengerti dan mungkin diakibatkan oleh sejumlah faktor dalam tingkat genetik. Hipotesis yang umum diterima adalah “two-hit theory” yang dikemukakan oleh Day dan James pada tahun 1998 (Gambar 2.2). “First hit” adalah peristiwa yang menginduksi akumulasi lemak di hati atau steatosis, kemudian terjadi peningkatan sensitifitas hati terhadap “second hit”, yaitu peristiwa yang menyebabkan terjadinya inflamasi (steatohepatitis) dan kerusakan sel hati, yang selanjutnya dapat mengakibatkan fibrosis hati (Reddy and Rao, 2006; Petta et al., 2009; Sari, 2012).
Gambar 2.3. Skema Hipotesis “Two-Hit Theory” (Anstee and Goldin, 2006)
2.7.2.1 “First Hit” dalam Patogenesis NAFLD “First hit” adalah akumulasi lemak (trigliserida) di dalam hepatosit yang didasari perubahan metabolik yang terkait dengan obesitas sentral dan resistensi insulin (Hübscher, 2006; Reddy and Rao, 2006; Petta et al., 2009). Hati
memegang peran penting dalam metabolisme lipid dan karbohidrat di dalam tubuh. Akumulasi lemak, yang bermanifestasi sebagai steatosis, terjadi bila terdapat ketidakseseimbangan antara hantaran atau sintesis asam lemak dengan kapasitas hati dalam mengoksidasinya atau mengeluarkannya. Berdasarkan hal tersebut, ada empat
mekanisme yang mendasari terjadinya akumulasi lemak
(Anstee and Goldin; 2006) : 1. Peningkatan pengiriman dan uptake asam lemak ke hepatosit, yang dapat cetuskan oleh asupan lemak diet yang berlebihan atau peningkatan pelepasan asam lemak dari jaringan adiposa Beberapa keadaan meningkatkan pengiriman asam lemak ke hati. Peningkatan lemak eksogen, seperti konsumsi diet tinggi lemak akan meningkatkan kandungan TG hati.
Lewat suatu penelitian dengan
menggunakan mencit, peningkatan kandungan TG hepatik bahkan dapat terjadi dalam waktu 10 hari setelah pemberian diet tinggi lemak (den-Boer et al., 2004). Kandungan TG hepatosit juga diregulasi oleh aktivitas terintegrasi beberapa molekul selular yang memfasilitasi uptake TG hepatosit, sintesis dan esterifikasi asam lemak (input) serta oksidasi asam lemak hepatik dan pengeluaran TG (ouput). Steatosis terjadi ketika input melebihi output. Hati bekerja secara harmonis dengan organ-organ tubuh lain dalam mengatur interorgan fatty acid/TG partitioning (den-Boer et al., 2004; Anstee and Goldin, 2006; Henryk and Peter, 2010).
Dalam keadaan makan (absorptive state), TG dari makanan ditransportasikan oleh darah ke organ-organ perifer dalam bentuk kilomikron. Dengan bantuan Lipoprotein Lipase (LPL) kilomikron akan didegradasi hingga melepaskan asam lemak. Melalui kerja dari LPL, TG yang berasal dari asam lemak terutama akan di ambil oleh jaringan perifer (jaringan adiposa dan otot rangka).
Kerja LPL distimulasi oleh insulin, maka aktivitas LPL
meningkat disaat kadar insulin tinggi (den-Boer et al., 2004; Anstee and Goldin, 2006). Dalam keadaan puasa (post-absorptive/fasting state), metabolisme TG pada seluruh bagian tubuh berbeda dengan saat keadaan makan. TG yang terkandung di dalam jaringan adiposa secara terus menerus akan dihidrolisis menjadi asam lemak dan gliserol oleh enzim hormone-sensitive lipase (HSL). Karena HSL dihambat oleh insulin, aktivitas HSL meningkat disaat kadar insulin rendah (keadaan puasa) (Anstee and Goldin, 2006). Pada keadaan resistensi insulin, tubuh tidak mampu menghambat lipolisis di jaringan adiposa dan memicu pelimpahan asam lemak bebas ke dalam aliran darah dan hati. Di hati, hiperinsulinemia dan hiperglisemia menginduksi
sintesis
asam
lemak
dan
kolesterol,
yang
kemudian
mengakibatkan peningkatan sintesis trigliserid dan sekresi Very Low-Density Lipoprotein (VLDL). Bila sintesis TG lebih cepat dari sekresi VLDL, produksi berlebih dari TG akan di akumulasi dan menyebabkan terjadinya perlemakan hati (Tacer and Rozman, 2011). 2. Peningkatan sintesis asam lemak dan trigliserida secara de novo di hati
Peningkatan lipogenesis de novo juga berkontribusi terhadap akumulasi lemak hepatik dan memberikan kontribusi sekitar 25% untuk triasilgliserol di hati pada pasien dengan NAFLD bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, dimana lipogenesis de novo hanya memberikan kontribusi sebesar 5% (Anania and Parekh, 2007). Sintesis asam lemak de novo di dalam hati diregulasi secara independen oleh insulin dan glukosa. Kemampuan insulin dalam mengaktivasi terjadinya lipogenesis dimediasi secara transkripsional oleh Sterol Regulatory Element– Binding Protein-1c (SREBP-1c) (Browning and Horton, 2004; Reddy and Rao, 2006). Di dalam inti sel, SREBP-1c secara transkripsional mengaktivasi seluruh gen yang diperlukan dalam lipogenesis. Pengeluaran berlebihan SREBP-1c pada hati tikus transgenik terbukti memicu terjadinya perlemakan hati klasik akibat peningkatan proses lipogenesis. Serupa dengan hal tersebut, kadar glukosa yang meningkat juga mengaktifkan sintesis asam lemak de novo di dalam hati melalui Carbohydrate Response Element-Binding Protein (ChREBP) (Browning and Horton, 2004). ChREBP memicu transkripsi gengen yang terlibat dalam glikolisis dan lipogenesis, yang pada akhirnya menyebabkan konversi kelebihan glukosa menjadi asam lemak. Meskipun pengaktifan ChREBP lebih penting dalam keadaan hiperglikemi, namun aktivasinya juga berkontribusi dalam akumulasi lemak di hati (Anania and Parekh, 2007). Suatu penelitian dengan model hewan percobaan dengan resistensi insulin dan steatosis hepatik, menemukan bahwa faktor transkripsi Peroxisome
Proliferator Activated Receptor- (PPAR- ) berperan dalam induksi gen-gen adipogenik di hati dan pembentukan steatosis hepatik (Reddy and Rao, 2006). 3. Penurunan sintesis Very Low-Density Lipoprotein (VLDL) dan pengeluaran trigliserida dari hati Apolipoprotein B-100 (ApoB-100) merupakan suatu protein berukuran besar (512 kilodaltons) yang terlibat dalam transportasi trigliserida dan kolesterol dari hati ke jaringan perifer. Lipid sebagian besar dikirim keluar dari hati dalam bentuk VLDL, suatu kompleks yang terdiri dari protein ApoB100, lipid (trigliserid atau ester kolesterol), dan fosfolipid. Perubahan lipid menjadi apolipoprotein B-100 diperantarai oleh protein Microsomal TG Transfer Protein (MTP) di dalam retikulum endoplasma dan merupakan tahapan yang terbatas di dalam penyusunan lipoprotein VLDL. Produksi ApoB-100 messenger RNA telah diketahui dapat diubah oleh insulin, oleh karena itu resistensi insulin dapat mengganggu kapasitas biosintesis ApoB-100 hepatosit (Anania and Parekh, 2007). 4. Penurunan pembakaran asam lemak akibat adanya gangguan dalam mitochondrial -oxidation di hati Oksidasi asam lemak dapat terjadi di dalam tiga organel : mitokondria, peroksisom, dan retikulum endoplasma (mikrosom). -oksidasi di mitokondria merupakan jalur utama untuk metabolisme asam lemak dalam kondisi fisiologis normal. Proses ini dapat terganggu pada beberapa tahap enzimatik penting. Enzim-enzim yang memediasi proses
-oksidasi di mitokondria
diregulasi oleh Peroxisome Proliferator Activated Receptor-
(PPAR- )
(Anstee and Goldin, 2006). Beta-oksidasi mitokondria juga diregulasi oleh Carnitine Palmonitoyl Transferase-1 (CPT-1). CPT-1 memediasi transesterifikasi dan pengiriman asam lemak ke matriks mitokondria. CPT-1 dapat diinhibisi oleh malonyl CoA, produk intermedia pertama dalam proses sintesis asam lemak, dan oleh karena itu CPT1 sangat sensitif terhadap efek peningkatan sintesis asam lemak hepatik. Bila CPT1, dan kapasitas oksidatif
mitokondria bekerja secara
berlebihan, jalur oksidasi alternatif di dalam organel subselular lainnya akan berperan lebih besar dalam mengoksidasi asam lemak (Anstee and Goldin, 2006). eta-oksidasi di mitokondria merupakan proses oksidatif dominan untuk mengolah asam lemak dibawah kondisi fisiologis normal, tapi sayangnya juga bisa menjadi sumber utama produksi ROS (Browning and Horton, 2004). Ketika jumlah asam lemak hepatik berlebihan dan terjadi disfungsi mitokondria, jalur-jalur alternatif di dalam peroksisom dan retikulum endoplasma ( -oxidation) mengambil peran lebih besar dalam oksidasi asam lemak hepatik. Jalur-jalur minor fisiologis ini dikatalisasi secara utama oleh enzim sitokrom P-450 (CYP2E1) dan menghasilkan tambahan ROS yang akan meningkatkan stres oksidatif dan kerusakan mitokondria (Anstee and Goldin, 2006; Hübscher, 2006).
2.7.2.2 “Second Hit” dalam Patogenesis NAFLD Hipotesis “two hit” menyatakan bahwa, ketika telah terbentuk steatosis, maka hati akan tersensitisasi, dan akan terjadi suatu respon inflamasi yang dapat dipresipitasi oleh berbagai macam stimulus.
Stres oksidatif diperkirakan
memegang peran kunci dalam “second hit” (Hübscher, 2006). Oksidasi asam lemak merupakan sumber penting pembentukan ROS dalam perlemakan hati. Beberapa konsekuensi dari peningkatan ROS adalah penurunan ATP dan nicotinamide dinucleotide, kerusakan DNA, perubahan pada stabilitas protein, destruksi membran via peroksidasi lipid, dan pelepasan sitokinsitokin proinflamasi (Browning and Horton, 2004; Anstee and Goldin, 2006). ROS akan menyerang Polyunsaturated Fatty Acids (PUFAs) dan memicu peroksidasi lipid di dalam sel, yang mengakibatkan pembentukan produk sampingan aldehid toksik seperti trans-4-Hydroxy-2-Nonenal (HNE) dan malondialdehyde (MDA) (Browning and Horton, 2004) Aldehid akan mempengaruhi sintesis nukleotida dan protein, menurunkan glutathione yang merupakan antioksidan alami, meningkatkan produksi sitokin proinflamasi NF- B-dependent (TNF- , IL-6, IL-1 ), mendorong masuknya selsel inflamasi ke dalam hati, dan mengaktifkan sel stellate, memicu deposisi kolagen, fibrosis, dan respon inflamasi. Efek-efek ini memiliki potensi untuk memicu secara langsung kematian dan nekrosis hepatosit, inflamasi, dan fibrosis hati, yang merupakan ciri khas dari NASH (Browning and Horton, 2004).
2.7.3
Diagnosis NAFLD NAFLD merupakan hasil diagnosis ekslusi yang memerlukan riwayat
medis yang memadai dan gambaran klinis yang mendukung, yang didapat dari pemeriksaan laboratorium, pencitraan, dan histologi. Pasien yang didiagnosis menderita NAFLD sebagian besar asimptomatik. Bila ada gejala biasanya tidak spesifik, meliputi fatigue, malaise, dan adanya rasa nyeri/tidak nyaman pada abdomen kuadran kanan atas. Hepatomegali menjadi satu-satunya tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik lebih dari 75% kasus. (Anania and Parekh, 2007; Lesmana, 2007; Amarapurkar, 2010). Diagnosis NAFLD atau penyakit perlemakan hati non alkohol memerlukan bukti adanya perubahan perlemakan pada hati tanpa adanya riwayat konsumsi alkohol berlebihan. Jumlah konsumsi alkohol yang masih diijinkan untuk NAFLD, yaitu 140 g etanol/minggu untuk pria dan 70 g etanol/minggu untuk wanita (Anania and Parekh, 2007) NAFLD
merupakan
penyebab
peningkatan
asimptomatik
dari
aminotransferase pada sekitar 42%-90% kasus (Anania and Parekh, 2007). Pengujian kadar enzim alanine transaminase (ALT) dan aspartate transaminase (AST) sebagai indikasi kerusakan hati sampai saat ini dianggap paling praktis. ALT dianggap lebih spesifik daripada AST karena ALT paling banyak ditemukan di dalam hati, sedangkan AST juga dapat ditemukan di jantung, otot rangka, otak dan ginjal. Penentuan aktivitas ALT juga dianggap sebagai tes yang lebih sensitif dan spesifik untuk adanya kerusakan hepatoseluler akut. Sedangkan kenaikan aktivitas AST biasanya lebih tinggi pada kerusakan hati kronik (Maulida, 2010;
Raharjo and Jusup, 2011). Kadar ALT normal adalah 10-35 IU/L, sedangkan AST berkisar antara 3-83 IU/L (Kee, 2007). Pada umumnya, peningkatan ALT pada NAFLD tidak melebihi 5 kali batas atas nilai normal. Pada NAFLD kadar AST juga meningkat, namun peningkatannya tidak setinggi ALT, sehingga rasio AST : ALT biasanya kurang dari 1 (Nurman and Huang, 2007; Gowda et al., 2009). Perlu diketahui bahwa pemeriksaan laboratorium tidak dapat secara akurat membedakan steatosis dengan steatohepatitis, dan NAFLD dengan perlemakan hati alkoholik. Derajat peningkatan kadar aminotransferase tidak dapat digunakan sebagai faktor prediksi. Meskipun kadar ALT lebih tinggi dari kadar AST pada sebagian besar pasien NAFLD, kadar AST dapat lebih tinggi dari kadar ALT pada kondisi-kondisi tertentu, terutama ketika telah terjadi sirosis. Namun, rasio AST / ALT hampir tidak pernah > 2 (Sanyal, 2002; Sari, 2012). Metode pencitraan yang umum digunakan untuk mendeteksi NAFLD adalah ultrasonography (USG), Computerized Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan USG hati adalah pilihan pencitraan yang umum dan paling banyak digunakan dalam praktek klinik dan penelitian di masyarakat. Pada pemeriksaan USG, perlemakan hati memberikan gambaran peningkatan ekogenik difus yang disebut ‘bright liver’ dengan atenuasi posterior dibandingkan dengan ekhogenitas ginjal (Sari, 2012). Salah satu keterbatasan USG adalah hati tidak dapat divisualisasikan dengan baik pada pasien-pasien dengan obesitas, dan tidak cukup sensitif untuk mendeteksi steatosis ringan yang mengenai < 33% dari hepatosit dan tidak mampu untuk membedakan subtipe dari NAFLD (Nurman and Huang, 2007).
Pada pemeriksaan CT-scan non-kontras, perlemakan hati tampak hipodens dan tampak lebih gelap daripada limpa. Pembuluh darah hepatik terlihat relatif cerah, dan dapat terjadi kesalahan diagnosis apabila pemeriksaan CT-scan dengan injeksi kontras. Pencitraan radiologi noninvasif seperti USG, CT-scan, dan MRI dapat membantu mendeteksi perlemakan hati lebih dari 30%. Namun, tiga metode yang paling sering digunakan tersebut telah terbukti tidak satupun dapat membedakan antara steatosis sederhana dan NASH atau menunjukkan tahap fibrosis, sehingga dibutuhkan biopsi hati (Sanyal, 2002; Nurman and Huang, 2007; Dabhi et al., 2008). Hasil histopatologi dari biopsi hati merupakan “gold standard” untuk diagnosis NAFLD. Biopsi hati adalah satu-satunya metode diagnosis yang dapat membedakan berbagai spektrum penyakit perlemakan hati non alkoholik, dari steatosis sederhana, steatohepatitis, dengan dan tanpa fibrosis, hingga sirosis. Namun hasil biopsi hati tidak dapat digunakan untuk membedakan antara NAFLD dengan penyakit perlemakan hati alkoholik karena keduanya memiliki gambaran histologi yang sama (Sanyal, 2002; Amarapurkar, 2010; Sari, 2012). Namun tindakan biopsi adalah mahal dan invasif dengan mortalitas 0,01%, komplikasi perdarahan intraperitoneal sebesar 0,3% dari kasus, dan komplikasi minor seperti nyeri sementara ditemukan pada 20-30% pasien. Oleh karena itu, biopsi hanya dilakukan bila dianggap memberikan keuntungan dari segi diagnostik, terapeutik, dan prognostik (Nurman and Huang, 2007).
2.7.4
Gambaran Histologis NAFLD NAFLD secara histologis lebih lanjut dikategorikan menjadi Nonalcoholic
Fatty Liver (NAFL) dan Nonalcoholic Steatohepatitis (NASH). NAFL didefinisikan sebagai terjadinya steatosis hepatik tanpa disertai bukti adanya kerusakan hepatoselular dalam bentuk hepatosit ballooning. NASH didefinisikan sebagai terjadinya steatosis hepatik dan inflamasi disertai kerusakan hepatosit ballooning, dengan atau tanpa fibrosis. ((Hübscher, 2006; Chalasani et al., 2012) Steatosis yang terdapat pada lebih dari 5% hepatosit merupakan suatu persyaratan penting di dalam menegakkan diagnosis NAFLD. Steatosis hepatik merupakan suatu akumulasi berlebih dari lemak (trigliserida) di dalam sel parenkim hati (hepatosit) (Reddy and Rao, 2006; Nurman and Huang, 2007; Takahashi et al., 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Gauthier et al. (2006) pada tikus menunjukkan bahwa akumulasi triasilgliserol di hati secara cepat dan berlebihan (hingga dua kali lipat) dapat terjadi dalam dua minggu pertama setelah pemberian diet tinggi lemak. Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa steatosis hepatik bahkan dapat terjadi sangat dini, yaitu dalam waktu tiga hari setelah pemberian diet tinggi lemak (Gauthier et al., 2006). Steatosis
pada
hepatosit
dibedakan
menjadi
makrovesikular
dan
mikrovesikular. Steatosis makrovesikular ditandai dengan adanya vakuola besar yang menempati hampir seluruh sitoplasma hepatosit sehingga vakuola tersebut mendesak nukleus/inti sel hingga ke bagian perifer. Sedangkan steatosis mikrovesikular ditandai dengan adanya vakuola-vakuola lipid kecil dalam jumlah banyak di dalam sitoplasma hepatosit, dan nukleus tetap berada di tengah sel.
Biasanya steatosis pada NAFLD merupakan steatosis makrovesikular dan terdapat pada zona 3 (Reddy and Rao, 2006; Nurman and Huang, 2007; Takahashi et al., 2012). Makrosteatosis yang ditemukan pada tikus yang diberi diet asam lemak trans terkait dengan resistensi insulin dan peningkatan sintesis asam lemak hepatik terkait mRNA (SREBP-1c dan PPAR ) dan penurunan MTP mRNA (Machado et al., 2010). Sedangkan abnormalitas
steatosis
mikrovesikular
biasanya
disebabkan
oleh
adanya
-oksidasi asam lemak di mitokondria atau peroksisom, kelainan
genetik atau racun, dan steatosis jenis ini progresivitasnya cenderung cepat dan lebih parah (Reddy and Rao, 2006; Schiff et al., 2006) Sedangkan pada NASH, gambaran histologinya meliputi kerusakan hepatoseluler (lebih dari perubahan steatosis sederhana), inflamasi, dan fibrosis. Perubahan-perubahan ini juga melibatkan zona acinar 3 secara predominan. Kriteria diagnostik yang paling penting untuk membedakan steatohepatitis dari steatosis sederhana adalah keberadaan hepatocyte ballooning. Pembentukan hepatocyte ballooning pada hepatosit biasanya terkait dengan pembentukan Mallory’s hyaline atau Mallory’s bodies. Mallory bodies pada NAFLD seringkali kecil, sulit terbentuk dan sulit dideteksi dengan pewarnaan biasa (Hübscher, 2006; Takahashi et al., 2012). Inflamasi pada NASH biasanya masih ringan dan terdiri dari campuran sejumlah kecil limfosit, makrofag, dan neutrofil. Neutrofil mendominasi infiltrasi area yang mengalami steatosis. Seiring dengan perjalanan penyakit, steatohepatitis
dapat menjadi lebih berat dan diikuti dengan fibrosis perisinusoidal, yang kemudian dapat meluas dan menjadi sirosis (Takahashi et al., 2012). Bila NASH berkembang menjadi sirosis, derajat steatosis berkurang dan bahkan dapat menghilang. Demikian pula tanda-tanda yang lain dari NASH bisa berkurang dan pemeriksaan histologi hati dapat hanya menunjukkan bland inactive cirrhosis. Keadaan ini mengarah ke sirosis kriptogenik (Takahashi et al., 2012).
2.8.
Alpha-lipoic Acid (ALA) Alpha-lipoic
Acid
(ALA),
atau
1,2-dithiolane-3-pentanoic
acid,
merupakan komponen dithiol yang secara alami disintesis secara de novo di dalam mitokondria dari asam oktanoat. ALA merupakan suatu kofaktor untuk enzim ketoacid dehydrogenase di mitokondria, dan oleh karena itu memegang peran penting dalam metabolisme energi (Shay et al., 2009). ALA merupakan salah satu unsur bahan makanan non-esensial yang mengandung sulfur, terdapat pada berbagai makanan alami, antara lain bayam, brokoli, ragi, daging, dan jeroan (ginjal, hati) hewan mamalia (Mason, 2001; Lingga, 2012). Namun, ALA terdapat dalam bahan makanan alami dengan kadar yang sangat rendah (Higdon, 2006), sehingga biasanya jumlah ALA yang dikonsumsi sangat kurang, dibandingkan dengan kandungan ALA dalam suplemen (Shay et al., 2009). ALA tersusun atas suatu karbon asimetris, yang berarti bahwa ada dua isomer optikal dari LA yang bentuknya saling menyerupai satu sama lain seperti
bayangan di cermin (R-LA dan S-LA). Hanya isomer-R yang disintesis secara endogen dan terikat dengan protein : R-LA terdapat juga pada sumber makanan alami. Suplemen ALA merupakan free-ALA dan dapat mengandung R-LA atau campuran antara R-LA dan S-LA dengan perbandingan 50/50 (Higdon, 2006). Banyak bukti yang bermunculan bahwa suplementasi ALA secara oral memicu suatu
kesatuan aktivitas biokimiawi yang unik dengan nilai
farmakoterapeutik potensial untuk mengatasi gangguan-gangguan patofisiologis. Konsumsi ALA dari makanan belum ditemukan dapat menyebabkan peningkatan free-ALA dalam plasma atau sel-sel manusia. Sebaliknya, pemberian suplemen ALA oral
dapat diabsorpsi lebih baik dan cepat, sehingga menyebabkan
peningkatan kadar free-ALA dalam plasma dan sel yang signifikan. Penelitian farmakokinetik pada manusia menemukan bahwa sekitar 30%-40% dosis oral ALA (campuran 50/50 R-LA dan S-LA) diabsorpsi tubuh. Kadar ALA dalam plasma biasanya memuncak dalam waktu satu jam atau kurang (Higdon, 2006). ALA serta metabolitnya dieksresikan terutama dalam urin (Shay et al., 2009).
2.8.1
Aktivitas Alpha-lipoic Acid sebagai Antioksidan Reaktivitas kimiawi ALA terutama ditentukan oleh cincin dithiolane-nya.
ALA memiliki potensial redoks yang rendah dan sangat mudah memberikan elektronnya ke senyawa lain, sehingga di dalam sel ALA akan cepat direduksi. Bentuk tereduksinya dikenal sebagai dihydrolipoic acid (DHLA) (Gambar 2.4). Bentuk teroksidasi (ALA) dan bentuk tereduksi (DHLA) menciptakan pasangan redoks yang potensial. Ada bukti menyebutkan baik ALA maupun DHLA mampu
menangkal berbagai macam ROS, serta memiliki kemampuan yang unik dalam menetralisir radikal bebas secara langsung, tanpa turut menjadi radikal bebas juga dalam prosesnya (Moini et al., 2002; Shay et al., 2009; Kim et al., 2013).
Gambar 2.4. Struktur Alpha-Lipoic Acid dan Dihydrolipoic Acid (Shay et al., 2009) Alpha-lipoic Acid merupakan antioksidan potensial yang memiliki kemampuan yang luas karena sifatnya yang larut dalam air dan lemak, dan hal ini memfasilitasinya untuk dapat berdifusi pada lingkungan lipofilik maupun hidrofilik (Mason, 2001; Kim et al., 2013). Ini berarti ALA dapat bekerja baik di dalam sel maupun di membran sel, dan oleh karena itu memberikan proteksi ganda (Lingga, 2012; Kim et al., 2013). ALA juga berperan dalam daur ulang komponen-komponen antioksidan lain, seperti vitamin C dan E, koenzim Q, dan glutathione. ALA juga melindungi tubuh dari keracunan arsen, cadmium, timbal, dan merkuri (Mason, 2001; Shay et al., 2009).
2.8.1.1 Penangkap Reactive Oxygen Species dan Reactive Nitrogen Species Kadar ROS dan RNS yang tinggi diketahui dapat merusak sel-sel (DNA, protein, dan lipid) dan dikaitkan dengan berbagai macam patogenesis dan progresi penyakit kronis. Baik ALA dan DHLA dapat secara langsung menetralisir ROS dan RNS seperti hypochlorous acid (HOCL), radikal hidroksil, radikal peroksil, superoksida dan peroksinitrit (Moini et al., 2002; Higdon, 2006).
2.8.1.2 Reregenerasi Antioksidan Lain Ketika suatu antioksidan menetralisir radikal bebas, maka antioksidan itu akan mengoksidasi dirinya sendiri dan tidak dapat menetralisir ROS atau RNS lainnya sampai antioksidan itu direduksi. DHLA merupakan suatu agen pereduksi potensial dengan kapasitas untuk mereduksi bentuk teroksidasi dari beberapa antioksidan penting lainnya, termasuk vitamin C dan glutathione. DHLA juga dapat mereduksi bentuk teroksidasi dari alpha-tocopherol (the alpha-tocopheroxyl radical), secara langsung mapun tidak langsung, dengan mereduksi bentuk teroksidasi vitamin C (dehidroaskorbat) kembali menjadi asam askorbat, yang kemudian dapat mereduksi alpha-tocopheroxyl radical. Coenzyme Q10, suatu komponen penting dari rantai transpor elektron di mitokondria, juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan. DHLA dapat mereduksi bentuk teroksidasi dari coenzyme Q10, yang kemudian mereduksi alpha-tocopheroxyl radical (Higdon, 2006; Shay et al., 2009; Seo et al., 2012; Kim et al., 2013).
2.8.1.3 Pengikat Logam atau Metal Chelation Alpha-lipoic Acid juga bekerja sebagai pengikat logam (metal chelation). Ion-ion redox-active metal, seperti free iron dan tembaga, dapat mendorong kerusakan oksidatif dengan mengkatalisis reaksi yang menghasilkan radikal bebas yang sangat reaktif. Suatu komponen yang dapat mengikat ion-ion logam bebas maka dapat mencegah reaksi-reaksi tersebut menghasilkan radikal bebas, memberikan harapan dalam terapi penyakit-penyakit neurodegeneratif dan penyakit kronis lainnya dimana kerusakan oksidatif yang diinduksi logam memegang peran patogeniknya. Baik ALA atau DHLA secara efektif akan mengkelasi dan membuang logam transisi secara in vivo (Shay et al., 2009).
2.8.1.4 Induksi Sintesis Glutathione Glutathione adalah suatu antioksidan intraselular yang memegang peran penting dalam detoksifikasi dan eliminasi karsinogen-karsinogen dan toksintoksin potensial. Penelitian dengan menggunakan tikus telah menemukan bahwa sintesis glutathione dan kadarnya di jaringan lebih rendah secara signifikan pada hewan yang tua dibandingkan dengan hewan yang lebih muda, sehingga menyebabkan penurunan kemampuan merespon kerusakan akibat stres oksidatif atau paparan toksin. ALA diketahui dapat meningkatkan kadar glutathione dalam sel-sel yang dikultur dan dalam jaringan hewan yang diberi ALA (Higdon, 2006; Shay et al., 2009).
2.8.2
Manfaat Alpha-lipoic Acid Sebagai antioksidan, ALA merupakan antioksidan universal yang juga
dikenal sebagai “king of antioxidant.” ALA dapat meredam radikal bebas yang dapat merusak sampai ke tingkat seluler sehingga proses penuaan dan penyakitpenyakit degeneratif kronis tersebut dapat dicegah. Suplementasi ALA bermanfaat untuk memperbaiki sistem imun bagi penderita hipertensi, PJK, neuropati diabetes, gangguan hati, katarak, gangguan fungsi pankreas, gangguan fungsi otak, serta mencegah penuaan dini (Lingga, 2012). Pemberian ALA telah terbukti memberikan efek yang positif untuk kasus stres oksidatif seperti ischemia-reperfusion injury, diabetes (baik ALA dan DHLA menunjukkan adanya ikatan hidrofobik pada protein seperti albumin, sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi glikasi), pembentukan katarak, degenerasi syaraf, dan radiation injury (Higdon, 2006). ALA telah lama dipelajari kemampuan antioksidannya dalam mengatasi inflamasi yang diinduksi sitokin. Inflamasi terkait stres oksidatif memerlukan aktivasi NF B, suatu faktor transkripsi yang menginduksi ekspresi banyak gen yang terlibat dalam inflamasi dan migrasi sel endotel. ALA telah dikenal sebagai inhibitor untuk NF B. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ALA menurunkan ekspresi dari vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan adhesi endotelial ke monosit, dan menghambat ekspresi MMP yang tergantung NF B, pada percobaan in vitro (Shay et al., 2009). Uji ISLAND menunjukkan adanya penurunan kadar IL-6 dalam serum yang signifikan sebesar 15%, setelah pemberian suplementasi ALA selama empat
minggu (300 mg/hari). Penemuan ini penting untuk kesehatan manusia karena IL6 dikenal sebagai penanda inflamasi dalam plak aterosklerotik koroner, dan juga meregulasi ekspresi sitokin-sitokin inflamasi lainnya seperti IL-1 dan TNF(Shay et al., 2009). ALA juga telah dibuktikan dapat menekan ekspresi gen sitokin proinflamasi, sehingga dapat memperbaiki tanda klinis penuaan kulit (Higdon, 2006; Kim et al., 2007). ALA juga menghambat penuaan yang terjadi akibat reaksi glikasi antara glukosa-protein, sehingga mengurangi terjadinya kerusakan kolagen pada kulit (Higdon, 2006). Pada penelitian dengan tikus model Multiple Sclerosis (MS), pemberian ALA melalui injeksi subkutan
juga mengurangi
gejala-gejala klinis penyakit. ALA telah ditemukan dapat menurunkan produksi sitokin-sitokin proinflamasi dan menstimulasi produksi cyclic AMP dan pensinyalan sel-sel imun tertentu, yang mungkin dapat memodulasi efek ALA pada MS (Higdon, 2006). Pemberian ALA jangka panjang pada tikus OLETF mencegah terjadinya peningkatan tekanan sistolik, hiperglikemia, hiperinsulinemia, dislipidemia, dan penanda-penanda stres oksidatif yang terjadi terkait dengan pertambahan usia. Terapi jangka panjang dengan ALA memperlihatkan adanya perbaikan pada toleransi glukosa seluruh tubuh dan sensitivitas insulin, begitu pula dengan kerja insulin pada transportasi glukosa di otot rangka, pada tikus Zucker obes dan resistensi insulin. Paparan ALA mengaktifkan elemen-elemen penting dalam insulin signaling pathways, termasuk di dalamnya fosforilasi tirosin dari IR dan IRS-1, pengaktifan PI3-kinase, dan fosforilasi Akt. Peningkatan kerja insulin
setelah pemberian ALA akan diikuti dengan penurunan hiperinsulinemia dan dislipidemia (Henriksen, 2006). ALA juga dapat meningkatkan translokasi glucose transporters (GLUT4) ke membran sel dan meningkatkan ambilan glukosa pada sel adiposa dan sel otot yang dikultur (Higdon, 2006; Shay et al., 2009). Pemberian ALA intravena dengan dosis 600 mg dapat memperbaiki respon terhadap endothelium-dependent vasodilator acetylcholine. Dengan menggunakan USG, pemberian ALA intravena juga telah ditunjukkan dapat memperbaiki fungsi endotel pada pasien dengan kadar glukosa darah puasa terganggu atau toleransi glukosa terganggu. Namun, suplementasi oral ALA dengan dosis 300 mg/hari selama 4 minggu juga dapat memperbaiki flow-mediated vasodilation hingga 44% dibandingkan plasebo (Higdon, 2006). Pemberian
ALA dapat membantu
untuk penanganan
kasus neuritis
perifer. Sebanyak 181 kasus diberikan dosis 600 mg, 1200 mg atau 1800. Setelah 5 minggu, tampak perubahan gejala dan tanda yang terlihat membaik secara bermakna. Pada penelitian ini, dosis
yang terbaik ditoleransi dan tetap
memberikan manfaat adalah 600 mg sekali sehari (Wong, 2007). Pasien diabetes berisiko tinggi mengalami penyakit mikrovaskular, yang dapat berkontribusi pada diabetik neuropati. Pada suatu penelitian tidak terkontrol, suplementasi ALA oral dengan dosis 1.200 mg/hari selama 6 minggu dapat memperbaiki pengukuran perfusi kapiler pada jari-jari 8 orang pasien DM dengan neuropati perifer. Hasil penelitian-penelitian yang ada memberikan dugaan bahwa pengobatan dengan ALA intravena 600 mg/hari selama 3 minggu dapat
menurunkan gejala-gejala neuropati diabetik perifer secara signifikan. Ada beberapa bukti juga menunjukkan bahwa pemberian ALA oral menguntungkan dalam terapi neuropati diabetik perifer (600-1.800 mg/hari) dan cardiovascular autonomic neuropathy (800 mg/hari ) (Higdon, 2006). ALA dapat melewati sawar darah otak, dinding pembuluh darah kecil, struktur sel otak, dan mudah masuk ke dalam jaringan otak. Diperkirakan ALA dapat
melindungi jaringan otak, syaraf, dan mencegah
kerusakan otak dari
pengaruh radikal bebas (Wong, 2007). Suatu penelitian tidak terkontrol dan terbuka dengan 9 orang pasien yang dicurigai menderita penyakit Alzheimer dan demensia terkait, yang juga mengkonsumsi acetylcholinesterase inhibitors, melaporkan bahwa pemberian suplementasi ALA per oral dengan dosis 600 mg/hari tampaknya dapat menstabilkan fungsi kognitif selama periode 1 tahun (Higdon, 2006). Hoimcuist et al. (2007) menyatakan bahwa penderita Alzheimer sangat terbantu kesembuhannya dengan mengonsumsi suplemen ALA secara rutin. ALA sangat efektif mereduksi radikal bebas beta-amiloid yang mengganggu fungsi neuron serta melemahkan kemampuan berpikir. Dalam penggunaan praktis, suplementasi ALA bermanfaat bagi penderita demensia dan Alzheimer (Lingga, 2012).
2.8.3
Manfaat Alpha-lipoic Acid pada NAFLD Resistensi insulin, stres oksidatif, inflamasi, dan aktivasi sistem imun
innate berkontribusi dalam terjadinya NAFLD yang bermanifestasi sebagai
steatosis dan inflamasi di dalam hati. Kemampuan ALA sebagai antioksidan kuat telah ditunjukkan dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan menekan respon inflamasi. Suplementasi ALA jangka panjang dapat mencegah NAFLD melalui berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penurunan steatosis, stres oksidatif, aktivasi sistem imun dan inflamasi di hati (Jung et al., 2012). ALA menurunkan produksi anion superoksida, berat badan dan kadar FFA di dalam plasma. ALA juga meningkatkan kadar protein
PPAR-
hati.
Kemampuan ALA menurunkan FFA dalam plasma tampaknya sebagian di sebabkan oleh peningkatan pengeluaran PPAR- , yang ternyata juga memberikan efek positif terhadap resistensi insulin (El Midaoui et al., 2011). Baru-baru ini dilaporkan bahwa ALA juga menurunkan akumulasi lipid hepatik dan inflamasi di hati dengan menurunkan kadar enzim sitokrom P450-2E1 dan stres pada retikulum endoplasma (Kim et al., 2013). Penelitian yang dilakukan Yang et al. (2006) dengan menggunakan tikus yang diberi diet tinggi lemak dan ALA selama 4 minggu, membuktikan pemberian ALA memperbaiki kapasitas AO, menurunkan aktivitas LPL, dan lipid dalam darah secara signifikan (Yang et al., 2006). Pada percobaan lain dengan tikus yang diberi makanan tinggi lemak dan 10% minyak teroksidasi ada peningkatan aktivitas SOD, GSH-Px, glutathione reductase, dan glucose-6-phosphate dehydrogenase. Pemberian ALA dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzimenzim tersebut. Pemberian minyak yang telah teroksidasi juga menyebabkan peningkatan produksi radikal oksigen, terbukti dengan adanya peningkatan
produksi malondialdehyde, dimana efek ini dapat diatasi dengan pemberian ALA (Zalejska-Fiolka et al., 2010). Steatosis non-alkoholik juga dapat merupakan komplikasi hati penting dari obesitas terkait dengan disfungsi mitokondria dan stres oksidatif. ALA dilaporkan memiliki efek baik untuk fungsi mitokondria dan mengurangi stres oksidatif. Valdecantos et al. (2012) menganalisis efek protektif potensial dari suplementasi ALA terhadap stres oksidatif terkait pola makan tinggi lemak. Ditemukan bahwa ALA mencegah akumulasi trigliserid hepatik dan kerusakan oksidatif di hati melalui inhibisi produksi radikal hidroperoksida dan stimulasi pertahanan AO di mitokondria. ALA mendorong aktivitas SOD dan GSH-Px. ALA juga menurunkan kerusakan oksidatif di dalam mitochondrial DNA. ALA memodulasi pertahanan mitokondria dengan meningkatkan sirtuin (SIRT) yang berperan penting dalam regulasi fungsi mitokondria dan aktivasi pertahanan antioksidan (Valdecantos et al., 2012). Telah disebutkan bahwa salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya akumulasi TG di dalam hepatosit adalah peningkatan sintesis asam lemak dan TG secara de novo akibat peningkatan ekspresi SREBP-1c dan ChREBP, serta gengen lipogenik lainnya. ALA terbukti menekan peningkatan sintesis TG di darah dan hati dengan jalan menghambat ekspresi gen lipogenik di hati (seperti snglycerol-3-phosphate acyltransferase-1 dan diacylglycerol O-acyltransferase-2), menurunkan sekresi TG hepatik, dan menstimulasi clearance lipoprotein yang kaya TG (Butler, et al., 2009). Pemberian ALA ke tikus percobaan yang diberi diet tinggi fruktosa ditemukan dapat memperbaiki sensitivitas insulin, menjaga
sistem antioksidan dan menurunkan peroksidasi lipid, menurunkan ekspresi uncoupling protein 2,, menurunkan ekspresi SREBP-1c dan gen-gen lipogenik fatty acid synthase serta glycerol-3-phosphate acyltransferase (Castro et al., 2013) Penelitian dengan menggunakan tikus Otsuka Long-Evans Tokushima Fatty (OLETF) yang diberi diet disertai ALA dengan dosis 200 mg/kg/hari selama 16 minggu. Hasilnya kadar insulin, FFA, kolesterol total, TG, leptin, IL-6, dan glukosa di dalam darah menurun. Kadar adiponektin juga meningkat pada tikus yang diberi ALA. ALA dapat menurunkan ekspresi SREBP-1 dan Acetyl CoA Carboxylase (ACC), dan meningkatkan ekspresi GLUT-4 di dalam hati tikus OLETF. Ekspresi enzim-enzim antioksidan seperti heme oxygenase-1 and Cu/ZnSuperoxide Dismutase meningkat pada tikus yang diberi ALA. Penanda peroksidasi lipid yaitu 4-hydroxynonenal menurun pada tikus yang diberi ALA. Protein-protein yang terkait pengaktifan sistem imun innate dan penanda inflamasi juga menurun (Jung et al., 2012). Finlay et al. (2012) melakukan percobaan untuk menentukan efek usia dan suplementasi ALA pada ekspresi gen hepatik, percobaan ini menggunakan tikus Fischer jantan berusia 3 bulan dan 24 bulan yang diberi ALA dalam diet selama 2 minggu. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian suplementasi ALA menurunkan transkripsi gen-gen hepatik yang terkait dengan metabolisme lipid (gen lipogenik), seperti Fatty Acid Synthase (FASN) dan ACC, baik pada tikus muda maupun tua. Seperti yang telah diketahui, FASN mengkatalisis tahap akhir biosintesis asam lemak, oleh karena itu dipercaya menjadi penentu utama kapasitas maksimal hepatik dalam memproduksi asam lemak melalui jalur
lipogenesis de novo. Telah dibuktikan bahwa ekpresi mRNA FASN pada hati orang-orang dengan steatosis hepatik lebih tinggi dibandingkan orang normal (Tacer and Rozman, 2011). Sedangkan ACC diketahui mengubah acetyl-CoA menjadi malonyl-CoA di dalam siklus Krebs. Peningkatan produksi malonyl-CoA menyebabkan inhibisi pada CPT-1 (yang memperantarai asam lemak masuk ke dalam mitokondria untuk di oksidasi) sehingga terjadi penurunan oksidasi asam lemak (Browning and Horton, 2004).
2.8.4
Suplemen Alpha-lipoic Acid dan Dosis Anjuran Tidak seperti ALA dalam makanan, suplemen ALA terdapat dalam bentuk
bebas, tidak terikat dengan protein. Jumlah ALA yang terdapat dalam suplemen harian (200-600 mg) lebih besar sekitar 1.000 kali lipat dibandingkan jumlah yang terkandung dalam makanan. Di Jerman, ALA telah ditetapkan sebagai terapi neuropati diabetik dan dapat diresepkan oleh dokter. Sebagian besar suplemen ALA mengandung campuran R-LA dan S-LA (d,l-LA) dengan perbandingan 50/50. Suplemen ALA yang hanya mengandung R-LA biasanya lebih mahal harganya, dan informasi kemurniannya tidak tersedia. Direkomendasikan untuk mengkonsumsi ALA dalam keadaan lambung kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan), karena konsumsi bersamaan dengan makanan dapat menurunkan bioavalabilitasnya (Higdon, 2006). ALA banyak terdapat dalam bentuk sediaan tablet dan kapsul. Dosis yang biasa digunakan dalam penelitian 150-600 mg/hari, untuk suplemen harian digunakan dosis 50-300 mg/hari. ALA memiliki LD50 pada dosis 400-500 mg/kg
dengan kategori pemberian dosis tinggi pada dosis 20 mg/kg (Mason, 2001). LD50 untuk tikus adalah > 2000 mg/KgBB. Pada dosis 2000 mg/KgBB, beberapa tikus dilaporkan menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan kondisi, seperti sedasi, apatis, piloereksi, postur membungkuk, dan/atau penutupan mata (Shay et al., 2009) Penelitian eksperimental maupun uji klinis yang telah dilakukan dengan pemberian ALA dosis 600 mg pada manusia telah memberikan bukti konsisten dalam peran terapeutik ALA sebagai AO dalam pengobatan resistensi insulin dan diabetik polineuropati. Suatu penelitian dengan 72 orang pasien DM tipe 2 menemukan bahwa pemberian ALA per oral dengan dosis 600 mg/hari, 1.200 mg/hari atau 1.800 mg/hari dapat memperbaiki sensitivitas insulin hingga 25% setelah pemberian selama 4 minggu. Tidak ada perbedaan yang signifikan diantara 3 dosis ALA tersebut, yang memberikan dugaan bahwa dosis 600 mg/hari merupakan dosis efektif maksimum (Higdon, 2006; Lingga 2012).
2.8.5
Efek Samping Alpha-lipoic Acid Efek samping ALA, dari beberapa penelitian ternyata sangat kecil,
sehingga preparat ALA meningkat penggunaannya sebagai suplemen kesehatan. ALA mungkin menimbulkan efek samping ringan seperti, sakit kepala, kesemutan atau rasa pins and needles, ruam kulit serta kram otot. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah reaksi alergi yang mempengaruhi kulit, seperti kemerahan, bentol-bentol, dan gatal. Pernah dilaporkan adanya nyeri abdomen, mual, muntah, diare, dan vertigo, dan satu penelitian gejala-gejala tersebut tidak
terkait dosis. Pernah ditemukan adanya reaksi anafilaktik ringan dan 1 reaksi anafilaktik berat, termasuk laringospasme, setelah pemberian ALA secara intravena. Lebih lanjut lagi, pernah dilaporkan malodorous urine pada orang yang mengkonsumsi ALA dengan dosis 1.200 mg/hari secara oral (Higdon, 2006). Penelitian pada suplementasi ALA oral jangka panjang (24 bulan) pada tikus jantan maupun betina menunjukkan tidak adanya efek samping pada berat badan, histopatologi, dan kimia darah dengan dosis hingga 60 mg/KgBB per hari. Pada pemberian dosis kronis yang lebih tinggi, 180 mg/KgBB, ditemukan adanya penurunan berat badan dan konsumsi makanan, meski tidak ditemukan adanya bukti patologis. Berdasarkan penemuan tersebut, telah ditetapkan suatu NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) dari dosis 60 mg/KgBB/hari untuk pemberian suplementasi ALA jangka panjang pada tikus (Shay et al., 2009). Namun, walaupun telah ada bukti tentang keamanan ALA dosis tinggi, suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian ALA dosis tinggi kronis pemberian ALA dengan dosis tinggi atau secara intraperitoneal jangka panjang, dapat memediasi terjadinya kerusakan oksidatif. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan keamanan dan dosis optimal dari ALA (Shay et al., 2009).
2.8.6
Interaksi Obat ALA terbukti memiliki efektivitas yang cukup baik dalam mengontrol
kadar gula, maka konsumsi ALA bersama dengan obat penurun kadar gula darah harus dilakukan dengan hati-hati, karena sangat mungkin suplementasi ALA dapat
meningkatkan risiko hipoglikemi pada pasien diabetes yang menggunakan terapi insulin atau obat antidiabetik oral (Higdon 2006; Ehrlich, 2011; Lingga, 2012). Maka dari itu, kadar glukosa darah harus dimonitor ketat ketika suplementasi ALA diberikan sebagai tambahan pada pengobatan diabetes (Higdon, 2006; Wong, 2007). ALA juga memiliki efektivitas serupa dengan hormon tiroid, karena itu bagi orang yang menjalani terapi tiroid dengan mengonsumsi obat pemicu fungsi tiroid, seperti levothyroxine, sebaiknya mengkonsultasikan dulu keinginan untuk melakukan suplementasi ALA pada ahlinya (Ehrlich, 2011; Lingga, 2012). ALA mungkin juga dapat menginterfensi kerja beberapa obat-obatan kemoterapi (Ehrlich, 2011).
2.9
Hewan Coba Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah
tikus. Tikus merupakan spesies pertama mamalia yang didomestikasi untuk tujuan ilmiah karena memiliki daya adaptasi yang baik. Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam
lambung
sehingga
mempermudah
proses
pencekokan
perlakuan
menggunakan sonde lambung, serta tidak mempunyai kantong empedu (Ingriani, 2012). Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi dewasa. Tikus laboratorium mencapai dewasa pada umur 50-60 hari. Umumnya
berat tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat tikus liar. Berat dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galur (Ingriani, 2012). Tikus yang banyak dibiakkan sebagai hewan percobaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Rattus norvegicus paling banyak digunakan di laboratorium karena mudah dipelihara, relatif sehat, dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Rattus norvegicus memiliki ciri-ciri panjang tubuh total 440 mm, panjang ekor 205 mm, bobot badan 140-500 g dengan rataan 400 g. Rattus norvegicus memiliki beberapa keunggulan, antara lain : penanganan dan pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, kemampuan reproduksi yang tinggi dengan masa kebuntingan yang singkat, sehat, bersih, dan memiliki karakteristik produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia lainnya (Ingriani,
2012). Terdapat tiga galur tikus Rattus norvegicus, yaitu galur Sprague Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna albino, dan ekornya lebih panjang dari badannya. Galur Wistar, memiliki kepala besar, berwarna putih, dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans, lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala hingga tubuh bagian depan, serta warna putih pada tubuh bagian belakang (Ingriani, 2012). Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar merupakan salah satu tikus percobaan yang sering digunakan dalam berbagai penelitian. Tikus ini telah diketahui dengan baik sifat, karakteristik, struktur anatomi, dan zat gizi yang diperlukannya hampir sama dengan manusia. Tikus Wistar juga mempunyai tipe metabolisme sama dengan manusia. Dengan menggunakan tikus, hasilnya dapat
digeneralisasi pada manusia. Selain itu, dengan menggunakan tikus sebagai hewan coba, maka pengaruh diet dapat benar-benar dikendalikan dan terkontrol (Rukmini, 2007). Dalam penelitian seringkali dipakai tikus Wistar jantan saja karena tikus jantan lebih sedikit dipengaruhi faktor hormonal dibandingkan dengan tikus betina (Suwandi, 2012). Tikus Wistar jantan juga jarang berkelahi seperti mencit jantan. Ukuran tikus juga lebih besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan tikus lebih menguntungkan. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium (Ingriani, 2012).
2.9.1
Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium (Ingriani, 2012) antara lain :
a. Kandang tikus harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah menyerap air pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi. b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologi tikus (suhu, kelembaban, dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari). c. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus adalah 600 cm2, tinggi 20 cm. d. Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1
Kerangka Berpikir Masyarakat Indonesia umumnya sangat menyukai makanan yang
digoreng. Asupan makanan yang digoreng dengan minyak jelantah dapat menjadi sumber asam lemak dan radikal bebas. Minyak jelantah adalah minyak goreng bekas yang sudah dipakai untuk menggoreng berulang kali dan dengan suhu tinggi, akibatnya terjadi peningkatan kejenuhan asam lemak dari minyak, kadar peroksida, dan pembentukan radikal bebas yang bersifat toksik bagi sel tubuh. Minyak jelantah sebagai radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif di dalam tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit kronis dan degeneratif, seperti perlemakan hati non alkoholik atau NAFLD. NAFLD mencakup suatu spektrum penyakit mulai dari steatosis sederhana, steatohepatitis fibrosis, hingga sirosis hati. Steatosis hepatik didefinisikan sebagai akumulasi berlebih dari lemak (trigliserida) di hepatosit dan merupakan karakteristik utama dari NAFLD, maka jumlah steatosis yang terdapat pada lebih dari 5% hepatosit adalah suatu persyaratan penting di dalam menegakkan diagnosis NAFLD. Hati dengan kelebihan lemak lebih rentan terhadap stressor seperti reactive oxygen species, stres oksidatif, peroksidasi lipid dan sitokin-sitokin proinflamasi.
Hal tersebut menyebabkan kerusakan lebih lanjut, peradangan, hingga fibrosis, yang merupakan gambaran dari NASH. Bila hepatosit mengalami kerusakan, maka enzim-enzim yang terdapat di dalamnya akan terlepas ke dalam sirkulasi sistemik. Pemeriksaan kadar enzim ALT merupakan indikator yang lebih spesifik terhadap tes fungsi hati sebab enzim ALT sumber utamanya di hati sedangkan enzim AST banyak terdapat pada jaringan lain terutama jantung, otot rangka, ginjal dan otak. Seringkali
juga
ditemukan kadar ALT meningkat secara persisten pada pasien NAFLD. Berdasarkan patogenesis NAFLD yang telah diketahui, tatalaksana ditujukan pada pencegahan dan pengurangan stres oksidatif intrahepatik dan perbaikan resistensi insulin. Alpha-lipoic Acid (ALA) memiliki potensi sebagai antioksidan kuat. Pemberian ALA jangka panjang dapat mencegah NAFLD melalui berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penurunan steatosis, stres oksidatif, menekan aktivasi sistem imun serta inflamasi di hati. Lewat beberapa penelitian ALA juga telah dibuktikan dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan menekan respon inflamasi.
3.2
Konsep Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka, maka disusun
kerangka konsep untuk penelitian terhadap tikus sebagai berikut :
Keterangan : Diteliti : Tidak diteliti Gambar 3.1. Skema Konsep Penelitian 3.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep di atas maka hipotesis yang diajukan adalah : 1. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan jumlah steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. 2. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan kadar alanine-aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian true experimental dengan menggunakan
Post-test Only Control Group Design (Marczyk et al., 2005).
Gambar 4.1. Skema Rancangan Penelitian Keterangan : P
=
Populasi
S
=
Sampel
R
=
Randomisasi
P0
=
Perlakuan pada Kelompok Kontrol yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo (aquadest) 1 ml, selama 14 hari
P1
=
Perlakuan pada Kelompok 1 yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 5,4 mg, selama 14 hari
P2
=
Perlakuan pada Kelompok 2 yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg, selama 14 hari
O1
=
Pemeriksaan kadar ALT dan penghitungan jumlah steatosis pada Kelompok Kontrol post-test
O2
=
Pemeriksaan kadar ALT dan penghitungan jumlah steatosis pada Kelompok Perlakuan 1 post-test
O3
=
Pemeriksaan kadar ALT dan penghitungan jumlah steatosis pada Kelompok Perlakuan 2 post-test
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1
Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Animal Unit bagian Histologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo dan bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 4.2.2
Waktu Penelitian Penelitian berlangsung dari bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 (35
hari) dengan perincian sebagai berikut : 1. Tujuh (7) hari untuk adaptasi tikus. 2. Empat belas (14) hari untuk pemberian minyak jelantah dan Alpha-lipoic Acid. 3. Tujuh (7) hari untuk pemeriksaan kadar ALT darah tikus serta pembuatan dan pemeriksaan preparat hati tikus. 4. Tujuh (7) hari untuk analisis data dan penyusunan laporan.
4.3
Penentuan Sumber Data
4.3.1
Kriteria Sampel Penelitian
1. Kriteria inklusi
:
a. Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar b. Umur 3-4 bulan c. Berat badan 200-210 gram d. Sehat dan aktif 2. Kriteria drop-out : tikus mati dalam penelitian
4.3.2
Penentuan Besar Sampel Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian dihitung dengan
menggunakan rumus Federer (2008) : (n–1)(t–1) Dimana :
15
n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan t = jumlah kelompok perlakuan
Dalam penelitian ini terdapat 3 kelompok perlakuan (t=3) , maka jumlah sampel yang diperlukan :
(n–1)(3–1) (n – 1)2 2n
15
15
15 + 2
n = 8,5 dibulatkan menjadi 9
Jadi dalam penelitian ini diperlukan minimal 27 ekor tikus Wistar jantan yang dibagi dalam 3 kelompok perlakuan dan masing-masing kelompok terdiri dari 9 ekor tikus. Untuk mengantisipasi drop-out maka ditambahkan 10% dari total seluruh tikus, yaitu 2,7 dibulatkan menjadi 3 ekor, dan jumlah total tikus menjadi 30 ekor. Berarti jumlah tikus untuk masing-masing kelompok perlakuan menjadi 10 ekor.
4.3.3
Teknik Pengambilan Sampel
Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Dari populasi tikus, diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi : tikus Wistar jantan, umur 3-4 bulan, berat 200 – 210 gram. 2. Dari populasi yang telah memenuhi kriteria inklusi, diambil secara random 30 ekor yang akan menjadi sampel post test only control group design. 3. Dari kelompok sampel ini kemudian dibagi menjadi 3 kelompok secara acak sederhana, yaitu Kelompok Kontrol, Kelompok Perlakuan 1 dan 2. Masingmasing kelompok terdiri dari 10 ekor tikus.
4.4
Variabel Penelitian
4.4.1
Klasifikasi Variabel
1. Variabel bebas
: Alpha-lipoic Acid
2. Variabel tergantung
: jumlah steatosis dan kadar ALT serum
3. Variabel kendali
: galur tikus, jenis kelamin, umur, berat badan, pakan
dan minuman, serta lingkungan pemeliharaan (suhu, cahaya, kelembapan)
4.4.2
Definisi Operasional Variabel
1. Minyak jelantah adalah minyak sawit yang telah mengalami proses pemanasan berulang sebanyak 6 kali, masing-masing selama 8 menit, untuk menggoreng tahu pada suhu 150oC. Dosis minyak jelantah yang diberikan kepada seluruh kelompok adalah 0,42 ml/200 gram BB tikus. Minyak jelantah diberikan 1 jam setelah tikus diberi plasebo (Kelompok Kontrol) atau ALA (Kelompok Perlakuan 1 dan 2), per oral melalui sonde, 1 kali per hari, selama 14 hari. 2. Alpha-lipoic Acid
yang digunakan dalam penelitian adalah ALA murni
berbentuk tablet yang didapat dari PT. L dengan dosis yang dikonversikan dari dosis anjuran untuk manusia. ALA diberikan pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dengan dosis 5,4 mg/200 gram BB tikus dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) dengan dosis 10,8 mg/200 gram BB tikus. ALA tablet sebelumnya digerus dan dilarutkan dalam 1 ml aquadest. ALA diberikan 1 jam sebelum tikus diberi minyak jelantah, per oral melalui sonde, 1 kali per hari, selama 14 hari. 3. Plasebo yang diberikan pada Kelompok Kontrol (P0) berupa aquadest, dengan dosis 1 ml/200 gram BB tikus. Plasebo diberikan 1 jam sebelum tikus diberi minyak jelantah, per oral melalui sonde 1 kali per hari, selama 14 hari. 4. Steatosis dihitung dari jumlah sel hati (hepatosit) yang sitoplasmanya berisi vakuola lemak dan nukleusnya terdesak ke perifer. Hepatosit dianalisis dari preparat jaringan hati tikus yang telah diwarnai dengan pewarnaan
Haematoxilin Eosin. Setiap preparat diamati pada 5 lapangan pandang yaitu pada keempat sudut dan bagian tengah preparat dengan perbesaran lensa objektif 400x, difoto, kemudian jumlah steatosis dihitung menggunakan perangkat lunak Image Tool dan dijumlahkan. 5. Alanine aminotransferase (ALT) adalah kadar enzim hati yang keluar bila terjadi kerusakan hati secara akut. Kadar ALT dinilai dari plasma darah tikus dengan menggunakan alat spektrofotometer. Kadar ALT normal pada tikus adalah 17,5 – 30,2 IU/L. 6. Tikus yang digunakan untuk penelitian ini adalah tikus galur Wistar berkelamin jantan. 7. Umur tikus yang dipilih untuk penelitian ini adalah usia 3-4 bulan. 8. Berat badan tikus ditimbang dengan timbangan gram. Berat badan tikus yang dipilih untuk penelitian ini adalah 200-210 gram. Berat badan penting diketahui karena berhubungan dengan dosis pemberian ALA. 9. Lingkungan pemeliharaan adalah kondisi lingkungan penelitian yang dialami oleh tikus dewasa dan pada penelitian ini kondisi lingkungan dibuat sama (suhu, cahaya, dan kelembaban).
4.4.3
Hubungan Antar Variabel
Gambar 4.2. Skema Hubungan Antar Variabel
4.5
Alat dan Bahan Penelitian
4.5.1
Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian
1. Kandang tikus putih beserta kelengkapan pemberian makanan dan minuman 2. Timbangan 3. Sonde 4. Perangkat pengambilan darah (spuit injeksi, mikrokapiler, rak, tabung reaksi, tabung effendorf, pipet mikro, sentrifuge) 5. Perangkat bedah untuk tikus (disecting kit)
6. Perangkat pembuatan preparat histologi (botol falcon untuk menempatkan jaringan hati, gelas benda, gelas penutup, cawan petri, kaki tiga dan bunsen, staining kit, holder, mikrotom)
7. Mikroskop elektrik merk Olympus CX21 8. Spektrofotometer dengan panjang gelombang 365 nm untuk pemeriksaan kadar ALT.
4.5.2
Bahan-bahan yang Digunakan dalam Penelitian
1. Tikus Wistar jantan 2. Makanan pellet dan air minum untuk tikus 3. Alpha-lipoic Acid 4. Minyak jelantah 5. Aquadest 6. Ketamine HCl 7. Bahan untuk pembuatan preparat histologi [ether, formalin 10%, alkohol bertingkat (30%, 40%, 50%, 70%, 80%, 90%, 96%), toluol, xylol, Meyers albumin, parafin, pewarna Hematoxylin-Eosin, dan aquadest] 8. Bahan untuk analisis ALT (seperangkat kit ALT merk DiaSys)
4.6
Prosedur Penelitian
4.6.1
Penentuan Dosis Minyak Jelantah Minyak jelantah dibuat dengan memanaskan minyak goreng sawit untuk
menggoreng tahu pada suhu 150oC (diukur dengan termometer masak) sebanyak 6 kali, masing-masing selama 8 menit. Dosis minyak jelantah yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,42 ml/200 gram BB tikus (Hartono, 2011; Raharjo and Jusup, 2011).
4.6.2
Penentuan Dosis Alpha-lipoic Acid Sediaan ALA berbentuk tablet dan mengandung ALA murni 600 mg, di
dapatkan dari PT. L. Dosis yang diberikan ke tikus sesuai dengan dosis anjuran untuk manusia, yaitu 300 mg/hari dan 600 mg/hari (Mason, 2001; Higdon, 2006; Lingga 2012). Dosis tersebut kemudian dikonversikan dari dosis manusia ke tikus dengan faktor konversi 0,018 yang di dapat dari tabel konversi Laurence and Bacharach (Lampiran 2), sehingga didapatkan : 5,4 mg/200gramBB/hari untuk Kelompok Perlakuan 1 (P1)
dan 10,8 mg/200gramBB/hari untuk Kelompok
Perlakuan 2 (P2).
4.6.3
Penentuan Dosis Plasebo Plasebo adalah substansi yang bukan merupakan zat aktif dan digunakan
sebagai kontrol dalam suatu penelitian. Plasebo yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquadest, dengan dosis 1 ml/200 gram BB tikus (Ingriani, 2012).
4.6.4
Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sebelum Penelitian
4.6.4.1 Pemilihan Hewan Coba Tikus yang dipilih sebagai sampel adalah tikus galur Wistar jantan, sehat, berumur 3-4 bulan, dengan berat badan 200-210 gram. Tikus Wistar jantan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 ekor, dan dibagi secara acak menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor tikus : 1. Kelompok P0 : diberi minyak jelantah 0,42 ml/200 gram berat badan dan plasebo 1 ml/200 gram berat badan selama 14 hari.
2. Kelompok P1 : diberi minyak jelantah 0,42 ml/200 gram berat badan dan ALA dengan dosis 5,4 mg/200 gram selama 14 hari. Kelompok P2 : diberi minyak jelantah 0,42 ml/200 gram berat badan dan ALA dengan dosis 10,8 mg/200 gram selama 14 hari.
4.6.4.2 Persiapan Hewan Coba Tikus dipelihara dalam kandang individual yang terbuat dari kawat dengan alas sekam padi. Kandang harus tahan terhadap gigitan hewan, mudah dibersihkan, dan hewan harus tampak jelas dari luar. Kandang juga harus berventilasi baik, mendapat penyinaran cukup, dan suhu normal. Sebelum diberikan perlakuan, dilakukan adaptasi selama tujuh (7) hari di tempat penelitian untuk penyesuaian dengan lingkungan. Selama proses adaptasi maupun perlakuan tikus tetap diberi makan dan minum secara ad libitum.
4.6.5
Perlakuan Terhadap Hewan Coba Saat Penelitian
4.6.5.1 Pemberian Minyak Jelantah Minyak jelantah diberikan pada ketiga kelompok dengan dosis 0,42ml/200grBB. Pada Kelompok Kontrol (P0) minyak jelantah diberikan 1 jam setelah tikus diberi plasebo dan pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan Perlakuan 2 (P2), minyak jelantah diberikan 1 jam setelah tikus diberi ALA. Minyak jelantah diberikan secara oral melalui sonde, 1 kali per hari, dan selama 14 hari
4.6.5.2 Pemberian Plasebo Plasebo diberikan hanya pada Kelompok Kontrol (P0) dengan dosis 1 ml/200grBB. Cara pemberiannya sama dengan cara pemberian ALA, yaitu diberikan 1 jam sebelum tikus diberi minyak jelantah, secara oral melalui sonde, 1 kali per hari, dan diberikan selama 14 hari.
4.6.5.3 Pemberian Alpha-lipoic Acid ALA diberikan pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dengan dosis 5,4 mg/200grBB dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) dengan dosis 10,8 mg/200grBB. Sebelum diberikan, tablet ALA digerus dan dilarutkan dalam aquadest hingga 1 ml. ALA diberikan 1 jam sebelum tikus diberi minyak jelantah, secara oral melalui sonde, 1 kali per hari, dan diberikan selama 14 hari.
4.6.5.4 Pengambilan Sampel Darah Pada hari ke-22, semua kelompok diambil darahnya untuk pemeriksaan kadar ALT. Pengambilan darah tikus dilakukan dengan menggunakan mikrokapiler melalui medial canthus sinus orbitalis. Tikus dianastesi dulu sebelum diambil darahnya dengan menggunakan Ketamine HCl secara intramuskular. Kemudian ujung tabung mikrokapiler dimasukkan ke sudut bagian dalam kantung mata, dengan mengarahkan ujungnya pada sudut 45o dari tengah mata. Darah diambil sebanyak 1 cc. Sampel darah kemudian ditampung dalam tabung reaksi dengan antikoagulan (EDTA) untuk didapatkan plasmanya.
4.6.5.5 Pembedahan Pada hari ke-22 semua kelompok juga dibedah untuk diambil organ hatinya. Pengambilan organ hati dilakukan setelah pengambilan darah. Sebelum dibedah, tikus dikurbankan dengan diberikan Ketamine HCl secara intramuskular. Kemudian tikus dibedah, diambil organ hati bagian dekstra, dan dibuat preparat menggunakan metode histologi baku dengan pengecatan Haematoxilin Eosin.
4.6.6
Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sesudah Penelitian Setelah semua prosedur penelitian selesai dilakukan, jasad tikus yang telah
dikurbankan, diurus dengan layak untuk selanjutnya dikuburkan dengan baik.
4.6.7
Pemeriksaan Kadar ALT Sampel darah yang telah dimasukkan ke dalam tabung dengan
antikoagulan disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Plasma darah selanjutnya diambil dengan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung. Kemudian dilakukan pengukuran kadar ALT menggunakan kit ALT merk DiaSys. Dengan menggunakan kit ALT, plasma sebanyak 100 l ditambah dengan 1000 l larutan reagen 1, dicampur hingga homogen dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37 ºC. Kemudian plasma yang telah dicampur dengan reagen 1, diberi reagen 2 sebanyak 250 l dan dicampur hingga homogen. Pembacaan aktivitas ALT dilakukan 1 menit kemudian dengan menggunakan alat spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 365 nm, didasarkan pada pembacaan absorbansi NAD+ yang spesifik pada panjang gelombang tersebut. Pembacaan absorbansi
dilakukan setiap menit selama 3 menit. Delta absorben / menit selanjutnya dikalikan faktor konversi sebesar 3971 untuk mendapatkan kadar ALT. Kadar ALT normal pada tikus putih adalah 17,5-30,2 IU/L (Maulida, 2010).
4.6.8
Pembuatan Sediaan Pembuatan sediaan hati dilakukan dengan metode parafin menurut Suntoro
dengan tahapan sebagai berikut (Hartono, 2011) : a. Fiksasi Potongan jaringan dimasukkan ke dalam botol-botol falcon yang sudah berisi larutan fiksatif (formalin 10%) yang volumenya minimal 10 kali besar potongan jaringan selama 4 jam. b. Washing (pencucian) Pencucian potongan jaringan dengan alkohol 70% karena fiksatif yang digunakan adalah larutan formalin. c. Dehidrasi Molekul air dihilangkan dengan memasukkan jaringan ke dalam alkohol 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% masing-masing selama dua kali selama 30 menit. d. Clearing (Pembersihan) Proses ini meliputi penggantian molekul alkohol dengan toluol. Potongan jaringan dipindahkan ke dalam botol yang berisi toluol hingga jaringan menjadi transparan. e. Embeding (Penanaman)
Memasukkan jaringan hati ke dalam xilol-parafin cair bertingkat selama 20 menit, kemudian memasukkan ke parafin cair (57oC) I, II, III masing-masing selama 20 menit. Menyiapkan cetakan atau bisa menggunakan cawan petri yang diolesi gliserin. Menuangkan parafin cair ke dalam cetakan sampai penuh, kemudian membenamkan potongan organ ke dalam parafin tersebut. f. Sectioning (Pemotongan) Setelah jaringan mengeras, blok jaringan dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4 - 5 m. g. Affixing (Penyematan) Pita parafin hasil irisan direntangkan diatas kaca obyek. Kemudian diletakkan diatas hot plate bersuhu 45oC sampai parafin meleleh dan sisa air dihisap dengan kertas tissue. h. Staining (Pewarnaan) Memasukkan kaca benda yang berisi irisan organ ke dalam xilol murni I, II masing-masing selama 5 menit, lalu ke alkohol – xilol bertingkat selama 5 menit, alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50% masing-masing selama 5 menit lalu ke aquades I, II masing-masing selama 5 menit, kemudian ke pewarna hematoxylin selama 7 detik. Setelah itu kembali dimasukkan ke dalam aquades dan alkohol 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% masing-masing beberapa celupan lalu dimasukkan ke pewarna kedua yaitu eosin selama 5 menit. Kemudian dimasukkan ke alkohol 96% I, II masing-masing sebanyak beberapa celupan setelah itu dimasukkan ke alkohol- xilol (1:1), xilol murni I,
II, III masing-masing beberapa celupan, setelah itu preparat dikeringanginkan. i. Mounting (Penutupan) Penutupan preparat dengan menggunakan kaca penutup. j. Labelling (Pemberian Label) Memberi identitas preparat
4.6.9
Pengamatan Steatosis yang terdapat pada lebih dari 5% hepatosit merupakan
persyaratan penting di dalam menegakkan diagnosis NAFLD. Steatosis dalam sediaan histologis tampak sebagai vakuola-vakuola bening yang terdapat dalam sitoplasma hepatosit dan dapat mendesak inti hingga ke perifer. Steatosis menyerang sampai ke daerah sentrilobular. Pengamatan preparat jaringan hati dilakukan dengan bantuan mikroskop elektrik Olympus CX21 yang dihubungkan dengan Optilab (sebagai pencitra preparat) dan komputer yang dilengkapi dengan piranti lunak Optilab Image Rester. Pengamatan dimulai dengan perbesaran lensa obyektif 100x untuk mengamati seluruh lapangan pandang, untuk menentukan
daerah yang akan
diamati, yaitu daerah sentrilobular di sekitar vena sentralis lobulus hati. Kemudian preparat histologis hati diamati dengan perbesaran lensa obyektif 400 kali dan pada lima lapangan pandang yang berbeda. Dari setiap lapangan pandang dihitung 20 sel secara acak, sehingga dalam 1 preparat akan teramati 100 sel hati. Steatosis dari 5 lapangan pandang dijumlahkan.
4.6.10 Alur Penelitian
Gambar 4.3. Skema Alur Penelitian
4.6.11 Analisis Data Data yang diperoleh diproses dengan program SPSS 16.0 for Windows, dengan uji statistik seperti di bawah ini : 1. Analisis deskriptif Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk analisis statistik (uji hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki. 2. Uji normalitas Uji normalitas data dilakukan dengan uji Shapiro Wilk. Data penelitian berdistribusi normal dengan nilai p > 0,05. 3. Uji homogenitas Uji homogenitas data dilakukan dengan uji Levene. Data penelitian homogen dengan nilai p > 0,05. 4. Uji Komparasi Data penelitian berdistribusi normal dan homogen maka untuk uji kemaknaan digunakan uji One Way Anova dan dilanjutkan dengan uji Least Significant Different (LSD) untuk mengetahui efek perlakuan mana yang lebih baik.
BAB V HASIL PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan 30 ekor tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan, sehat, berumur 3-4 bulan, dengan berat badan 200-210 gram sebagai sampel, dan dibagi secara acak menjadi tiga (3) kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari sepuluh (10) ekor tikus, yaitu : Kelompok Kontrol (P0) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo 1 ml, Kelompok Perlakuan 1 (P1) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml/ dan ALA dosis 5,4 mg, dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg. Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparasi, dan uji efek perlakuan.
5.1
Uji Normalitas Data Data jumlah steatosis dan kadar alanine aminotransferase (ALT) sesudah
perlakuan
pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan
menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p > 0,05) yang disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan
5.2
Kelompok Perlakuan
n
p
Keterangan
Jumlah Steatosis Kontrol
10
0,430
Normal
Jumlah Steatosis Perlakuan 1
10
0,275
Normal
Jumlah Steatosis Perlakuan 2
10
0,394
Normal
Kadar ALT Kontrol
10
0,788
Normal
Kadar ALT Perlakuan 1
10
0,374
Normal
Kadar ALT Perlakuan 2
10
0,864
Normal
Uji Homogenitas Data Data jumlah steatosis dan kadar alanine aminotransferase (ALT) sesudah
perlakuan pada masing-masing kelompok diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene. Hasilnya menunjukkan data homogen (p > 0,05) yang disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Hasil Uji Homogenitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Variabel
F
p
Keterangan
Jumlah Steatosis
0,638
0,536
Homogen
Kadar ALT
0,727
0,493
Homogen
5.3
Uji Komparasi
5.3.1
Jumlah Steatosis Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata jumlah steatosis antar
kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Rerata Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek
n
Rerata Jumlah
SB
F
p
298,008
0,001
Steatosis Kontrol
10
76,70
4,138
Perlakuan 1
10
64,30
5,658
Perlakuan 2
10
22,90
5,547
Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa rerata jumlah steatosis Kelompok Kontrol adalah 76,70 ± 4,138, rerata Kelompok Perlakuan 1 adalah 64,30 ± 5,658, dan rerata Kelompok Perlakuan 2 adalah 22,90 ± 5,547. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 298,008 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah steatosis ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05). Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu dilakukan uji lanjut dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hasil uji disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Analisis Komparasi Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek
Beda Rerata Jumlah
p
Interpretasi
Steatosis Kontrol dan Perlakuan 1
12,40
0,001
Berbeda Bermakna
Kontrol dan Perlakuan 2
53,80
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan 1 dan Perlakuan 2
41,40
0,001
Berbeda Bermakna
Hasil uji lanjutan di atas menunjukkan bahwa : 1. Rerata jumlah steatosis Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna dengan Kelompok Perlakuan 1 (rerata Kelompok Perlakuan 1 lebih rendah daripada rerata Kelompok Kontrol). 2. Rerata jumlah steatosis Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna dengan Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata Kelompok Kontrol). 3. Rerata jumlah steatosis Kelompok Perlakuan 1 berbeda secara bermakna dengan Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata Kelompok Perlakuan 1).
Gambar 5.1. Rerata Jumlah Steatosis Sesudah Perlakuan Antar Kelompok
Gambar 5.1 menunjukkan bahwa terjadi penghambatan peningkatan jumlah steatosis pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2 dibandingkan dengan Kelompok Kontrol.
5.3.2
Kadar ALT Analisis
efek
perlakuan
diuji
berdasarkan
rerata
kadar
alanine
aminotransferase (ALT) antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Rerata Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek
n
Rerata Kadar ALT (IU/L)
SB
Kontrol
10
91,40
9,663
Perlakuan 1
10
75,60
8,529
Perlakuan 2
10
62,20
7,269
F
p
29,127
0,001
Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa rerata kadar ALT Kelompok Kontrol adalah 91,40 ± 9,663, rerata Kelompok Perlakuan 1 adalah 75,60 ± 8,529, dan rerata Kelompok Perlakuan 2 adalah 62,20 ± 7,269. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 29,127 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar ALT ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05). Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu dilakukan uji lanjut dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hasil uji disajikan pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Analisis Komparasi Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek
Beda Rerata Kadar
p
Interpretasi
ALT (IU/L) Kontrol dan Perlakuan 1
15,80
0,001
Berbeda Bermakna
Kontrol dan Perlakuan 2
29,20
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan 1 dan Perlakuan 2
13,40
0,002
Berbeda Bermakna
Hasil uji lanjutan di atas menunjukkan bahwa : 1. Rerata kadar ALT Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna dengan Kelompok Perlakuan 1 (rerata Kelompok Perlakuan 1 lebih rendah daripada rerata Kelompok Kontrol). 2. Rerata kadar ALT Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna dengan Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata Kelompok Kontrol). 3. Rerata Kelompok Perlakuan 1 berbeda secara bermakna dengan Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata Kelompok Perlakuan 1).
Gambar 5.2. Rerata Kadar ALT Sesudah Perlakuan Antar Kelompok
Gambar 5.2 menunjukkan bahwa terjadi penghambatan peningkatan kadar ALT pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2 dibandingkan dengan Kelompok Kontrol.
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1
Subjek Penelitian Untuk menguji pemberian Alpha-lipoic Acid (ALA) oral dalam
menghambat peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT, maka dilakukan penelitian pada tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan, sehat, berumur 3-4 bulan, dengan berat badan 200-210 gram. Tikus yang digunakan sebagai sampel berjumlah 30 ekor dan dibagi secara acak menjadi tiga (3) kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari sepuluh (10) ekor tikus, yaitu : Kelompok Kontrol (P0) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo 1 ml, 1 kali per hari; Kelompok Perlakuan 1 (P1) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml/ dan ALA dosis 5,4 mg 1 kali per hari; dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg, 1 kali per hari. Penelitian dilakukan selama 14 hari. Selama penelitian tikus tetap diberi makan dan minum standar secara ad libitum. Dan selama penelitian berlangsung tidak ada sampel yang mengalami drop out.
6.2
Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian Data hasil penelitian berupa data jumlah steatosis dan kadar alanine
aminotransferase (ALT) dari ketiga kelompok, sebelum dianalisis lebih lanjut terlebih dahulu diuji distribusi dan variannya. Hasil uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk menunjukkan data berdistribusi normal (p > 0,05)
dan hasil uji homogenitas data dengan menggunakan uji Levene menunjukkan data homogen (p > 0,05).
6.3
Pengaruh Alpha-lipoic Acid Oral Terhadap Perlemakan Hati Non Alkoholik Uji komparasi/perbandingan rerata jumlah steatosis dan kadar ALT antar
ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan menggunakan uji One Way Anova. Rerata jumlah steatosis Kelompok P0 adalah adalah 76,70 ± 4,138, rerata Kelompok P1 adalah 64,30 ± 5,658, dan rerata Kelompok P2 adalah 22,90 ± 5,547. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 298,008 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah steatosis ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05). Rerata kadar ALT Kelompok P0 adalah 91,40 ± 9,663, rerata Kelompok P1 adalah 75,60 ± 8,529, dan rerata Kelompok P2 adalah 62,20 ± 7,269. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 29,127 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar ALT ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05). Hasil uji lanjutan antar ketiga kelompok menggunakan uji Least Significant Difference (LSD) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada rerata jumlah steatosis dan kadar ALT, antara Kelompok Kontrol (P0) dengan Kelompok Perlakuan 1 (P1), Kelompok Kontrol (P0) dengan Kelompok Perlakuan 2 (P2), dan Kelompok Perlakuan 1 (P1) dengan Kelompok Perlakuan 2
(P2). Hal ini berarti bahwa terjadi penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT secara bermakna pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) dibandingkan Kelompok Kontrol (P0) sesudah diberikan perlakuan selama 14 hari (p < 0,05). Namun, perlu diperhatikan bahwa hasil yang didapat pada Kelompok Perlakuan 2 (P2) lebih baik jika dibandingkan dengan Kelompok Perlakuan 1 (P1). Pemberian ALA oral dapat mencegah NAFLD melalui berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT, pencegahan stres oksidatif, penekanan aktivasi sistem imun serta inflamasi di hati (Jung et al., 2012).
6.3.1
Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “First Hit” “First hit” adalah peristiwa yang menginduksi akumulasi lemak di hati
yang didasari perubahan metabolik terkait resistensi insulin (Hübscher, 2006; Reddy and Rao, 2006; Anania and Parekh, 2007; Petta et al., 2009). 1. Alpha-lipoic Acid memperbaiki resistensi insulin dan sensitivitas tubuh terhadap insulin Peningkatan pengiriman dan sintesis asam lemak di hepatosit, dapat dicetuskan oleh konsumsi diet tinggi lemak atau peningkatan pelepasan asam lemak dari jaringan adiposa (Anstee and Goldin, 2006; Henryk and Peter, 2010). Pada keadaan resistensi insulin, tubuh tidak mampu menghambat kerja enzim hormone-sensitive lipase, sehingga TG yang terkandung di dalam jaringan adiposa secara terus menerus akan dihidrolisis menjadi asam lemak
dan gliserol, dan memicu pelimpahan asam lemak bebas ke dalam aliran darah dan hati (Anstee and Goldin, 2006; Reddy and Rao, 2006). Akumulasi lemak juga dapat terjadi akibat adanya penurunan sintesis VLDL dan penurunan pengeluaran TG dari hati (Anania and Parekh, 2007; Tacer and Rozman, 2011). VLDL merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein ApoB-100, lipid (trigliserid atau ester kolesterol), dan fosfolipid. Produksi ApoB-100 messenger RNA telah diketahui dapat diubah oleh insulin, oleh karena itu resistensi insulin dapat mengganggu kapasitas biosintesis ApoB-100 hepatosit, yang kemudian menyebabkan penurunan sintesis dan sekresi VLDL dari hati (Anania and Parekh, 2007). Penelitian eksperimental maupun uji klinis pada manusia telah memberikan bukti konsisten peran terapeutik ALA sebagai AO dalam pengobatan resistensi insulin dan diabetik polineuropati. Terapi jangka panjang ALA pada percobaan dengan menggunakan tikus Zucker obes dan resisten insulin, memperlihatkan adanya perbaikan pada toleransi glukosa seluruh tubuh dan sensitivitas terhadap insulin, begitu pula dengan kerja insulin pada transportasi glukosa di otot rangka. Paparan ALA mengaktifkan elemen-elemen penting dalam
insulin signaling pathways, termasuk di
dalamnya fosforilasi tirosin dari Insulin Receptor (IR) dan Insulin Receptor Substrates-1 (IRS-1) (Henriksen, 2006; Higdon, 2006; Jung et al., 2012). 2. Alpha-lipoic Acid menurunkan ekspresi gen-gen hepatik terkait metabolisme lipid
Steatosis juga dapat terbentuk akibat adanya peningkatan sintesis asam lemak dan TG secara de novo di hati, yang didasari oleh adanya peningkatan ekspresi SREBP-1c dan ChREBP dan gen-gen lipogenik yang diaktivasinya (Browning and Horton, 2004; Anania and Parekh, 2007). Pemberian ALA telah terbukti menurunkan SREBP-1c dan ChREBP di sitoplasma. ALA juga menghambat ekspresi gen lipogenik di hati seperti glycerol-3-phosphate acyltransferase-1 (GPAT-1) dan diacylglycerol O-acyltransferase-2 (DGAT2) (Butler et al., 2009). Jung et al. (2012) mengatakan bahwa ALA dapat menurunkan ekspresi SREBP-1 dan ACC, serta meningkatkan ekspresi GLUT-4 di dalam hati tikus OLETF. Percobaan yang dilakukan Finlay et al. (2012) menunjukkan bahwa pemberian ALA menurunkan transkripsi gen-gen lipogenik seperti FASN dan ACC. 3. Alpha-lipoic Acid meningkatkan ekspresi PPARMekanisme terakhir dalam “first hit” yang mendasari terjadinya akumulasi lemak adalah
penurunan oksidasi asam lemak akibat adanya
gangguan dalam mitochondrial
-oxidation di hati. Sistem
mitokondria dan peroksisom serta PPAR- . PPAR-
-oksidasi di
-oksidasi di mikrosom, dikontrol oleh
yang bekerja secara inefektif menyebabkan terjadinya
penurunan pembakaran energi, yang pada akhirnya menyebabkan steatosis hepatik dan steatohepatitis (Anstee and Goldin, 2006; Reddy and Rao, 2006). ALA meningkatkan kadar protein
PPAR-
hati, yang ternyata juga
memberikan efek positif terhadap resistensi insulin (Yang et al., 2008; El Midaoui, et al., 2011).
4. Alpha-lipoic Acid menurunkan kadar enzim sitokrom P450-(CYP2E1) Ketika kapasitas oksidatif mitokondria terganggu, maka akan terjadi akumulasi asam lemak di sitosol. Proses alternatif di dalam peroksisom dan mikrosom akan diaktifkan, yang akibatnya menghasilkan tambahan ROS. Pada tahap awal
oksidasi di peroksisom akan dibentuk hidrogen peroksida.
Oksidasi mikrosomal dari asam lemak, yang dikatalisasi secara utama oleh enzim sitokrom P-450-(CYP2E1) juga menghasilkan ROS. Resistensi insulin juga mendorong terjadinya CYP2E1-mediated
-oxidation lebih lanjut. Efek
kumulatif dari oksidasi asam lemak ekstramitokondrial adalah peningkatan lebih lanjut dari stres oksidatif dan kerusakan mitokondria (Browning and Horton, 2004; Anstee and Goldin, 2006; Hübscher, 2006; Reddy and Rao, 2006). Baru-baru ini dilaporkan bahwa ALA juga menurunkan akumulasi lipid hepatik dan inflamasi di hati dengan menurunkan kadar enzim sitokrom P450-2E1 dan stres pada retikulum endoplasma (Kim et al., 2013).
6.3.2
Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “Second Hit” Ketika telah terbentuk steatosis, maka hati lebih mudah tersensitisasi dan
akan terjadi suatu respon inflamasi yang dapat dipresipitasi oleh berbagai macam stimulus. Stres oksidatif diperkirakan memegang peran kunci dalam “second hit” ((Anstee and Goldin, 2006; Hübscher, 2006). Oksidasi asam lemak di dalam hepatosit merupakan sumber produksi utama dari ROS. Beberapa konsekuensi dari peningkatan ROS adalah kerusakan DNA nukleus, DNA mitokondria, membran fosfolipid, dan pelepasan sitokin-
sitokin proinflamasi. ROS juga dapat menginduksi ekspresi Fas ligand pada hepatosit dan mendorong terjadinya paracrine-induced apoptotic cell death. Terjadinya stres oksidatif secara lebih jauh akan memperparah kerusakan mitokondria (Anstee and Goldin, 2006). Kerusakan DNA mitokondria ditandai dengan adanya 8-hydroxy-20deoxyguanosine
di dalam mitokondria dan penurunan ekspresi enzim DNA
mismatch repair MutY. Peroksidasi lipid sel menghasilkan produk sampingan aldehid yang toksik, termasuk MDA dan HNE yang lebih persisten dibandingkan ROS, dan semakin menyebabkan kerusakan organel-organel intraselular lebih lanjut serta menurunkan glutathione di hepatosit (Browning and Horton, 2004; Anstee and Goldin, 2006). Lebih lanjut lagi, aldehid akan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi NF- B-dependent (TNF- , IL-6, IL-1 ), meningkatkan ekspresi TGF- 1, mendorong masuknya sel-sel inflamasi ke dalam hati, dan mengaktifkan sel Stellate hepatik yang bersifat fibrogenik. Efek-efek ini dapat memicu secara langsung kematian dan nekrosis hepatosit, inflamasi, dan fibrosis hati, yang merupakan ciri khas dari NASH (Browning and Horton, 2004; Anstee and Goldin, 2006). Bila hepatosit mengalami kerusakan, maka enzim-enzim yang terdapat di dalamnya akan terlepas ke dalam sirkulasi sistemik. Seringkali ditemukan kadar ALT meningkat secara persisten pada pasien NAFLD. Dari hasil penelitian terbaru, akumulasi lemak hepatik pada obesitas anak-anak dan NAFLD dapat menyebabkan peningkatan kadar ALT serum. Peningkatan kadar ALT ternyata
terkait juga dengan penurunan sensitivitas insulin, adiponektin, dan toleransi glukosa, begitu pula dengan peningkatan asam lemak bebas dan TG (Gowda et al., 2009). Hasil analisis data penelitian dengan uji One Way Anova dan uji Least Significant Difference menunjukkan rerata kadar ALT berbeda secara bermakna pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) dibandingkan Kelompok Kontrol (P0), sesudah diberikan perlakuan selama 14 hari (p < 0,05). Dari hasil pemeriksaan histopatologi jaringan hati juga tidak ditemukan adanya sel-sel inflamasi, nekrosis hepatosit, dan fibrosis hati. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian ALA oral dapat menghambat kenaikan kadar ALT serta mencegah progresi NAFL menjadi NASH, dan hal ini terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti : 1. Alpha-lipoic Acid memiliki efek protektif terhadap mitokondria ALA telah dilaporkan memiliki efek protektif pada mitokondria, dapat mengurangi stres oksidatif, dan kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya. Penelitian yang dilakukan oleh Valdecantos et al. (2012) menganalisis efek protektif potensial dari suplementasi ALA terhadap stres oksidatif terkait pola makan tinggi lemak. Ditemukan bahwa ALA mencegah akumulasi TG hepatik dan
kerusakan
oksidatif
di
hati
melalui
inhibisi
produksi
radikal
hidroperoksida dan stimulasi pertahanan AO di mitokondria. ALA juga menurunkan kerusakan oksidatif di dalam mitochondrial DNA. ALA memodulasi pertahanan mitokondria dengan meningkatkan sirtuin (SIRT)
yang memegang peran penting dalam regulasi fungsi mitokondria dan aktivasi pertahanan AO (Valdecantos et al., 2012). 2. Alpha-lipoic Acid meningkatkan kapasitas dan ekspresi enzim-enzim antioksidan Suatu penelitian membuktikan bahwa pemberian ALA menurunkan stres oksidatif di hati serta meningkatkan kapasitas dan ekspresi enzim-enzim AO (Yang et al., 2008; Castro et al., 2013). Ekspresi enzim-enzim AO seperti heme oxygenase-1, Cu/Zn-Superoxide Dismutase, glutathione peroxidase, dan glutathione reductase, meningkat pada tikus yang diberi ALA. (Shay et al., 2009; Zalejska-Fiolka et al., 2010; Jung et al., 2012; Valdecantos et al., 2012). 3. Alpha-lipoic Acid meregenerasi antioksidan endogen lain Ketika suatu AO menetralisir radikal bebas, maka antioksidan itu akan mengoksidasi dirinya sendiri dan tidak dapat menetralisir ROS atau RNS lainnya sampai AO itu direduksi. ALA tampaknya mampu meregenerasi AO endogen lain, seperti vitamin C, vitamin E, dan coenzyme Q10 (Shay et al., 2009; Seo et al., 2012; Kim et al., 2013). 4. Alpha-lipoic Acid menetralisir radikal bebas dan menurunkan produksi ROS ALA memiliki kemampuan yang unik dalam menetralisir radikal bebas tanpa turut menjadi radikal bebas juga dalam prosesnya (Shay et al., 2009; Seo et al., 2012; Kim et al., 2013). ALA juga terbukti menurunkan produksi ROS. Penanda peroksidasi lipid yaitu 4-hydroxynonenal menurun pada tikus yang diberi ALA (Jung et.al., 2012). Peningkatan produksi MDA akibat pemberian
minyak yang telah teroksidasi juga dapat diatasi dengan pemberian ALA (Zalejska-Fiolka et al., 2010). 5. Alpha-lipoic Acid menghambat aktivasi sitokin-sitokin penyebab inflamasi dan menghambat ekspresi TGFPeningkatan stres oksidatif di dalam tubuh memegang peran penting dalam inflamasi kronis dan prosesnya memerlukan aktivasi NF B, suatu faktor transkripsi yang menginduksi ekspresi banyak gen yang terlibat dalam inflamasi dan migrasi sel endotel (Shay et al., 2009). ALA telah lama dipelajari kemampuan antioksidannya dalam mengatasi inflamasi yang diinduksi sitokin. Pemberian ALA terbukti dapat menghambat aktivasi sitokinsitokin penyebab inflamasi seperti NF B, TNF- , IL-6, IL-1 (Shay et al., 2009; Jung et al., 2012). ALA juga dapat menghambat ekspresi TGF- yang memicu fibrogenesis (Kim et al., 2013).
6.4
Manfaat Alpha-lipoic Acid dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging Medicine Aktivitas antioksidan ALA telah ditunjukkan sangat efektif dalam terapi
penyakit-penyakit lain seperti neuropati diabetik, penyakit Alzheimer, multiple sclerosis, arterosklerosis, patologi terkait hati, hipertrigliseridemia, begitu pula dengan aktivitasnya di dalam anti-aging (Seo et al., 2012; Kim et al., 2013). Pada penelitian ini, ALA terbukti dapat menghambat perlemakan hati nonalkoholik pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah, yang dapat dilihat dari penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT, dan tampaknya
ALA juga dapat mencegah progresi penyakit dari perlemakan hati sederhana menjadi perlemakan hati dengan inflamasi atau Non-acoholic Steatohepatitis (NASH). Pemberian suplementasi ALA oral dalam perlemakan hati nonalkoholik, sesuai dengan prinsip Anti-Aging Medicine, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini digunakan untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula dari berbagai disfungsi, kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat (Pangkahila, 2011).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pemberian Alpha-lipoic Acid oral pada tikus
Wistar jantan didapatkan simpulan sebagai berikut : 1. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan jumlah steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. 2. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan kadar alanine-aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.
7.2
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada hewan coba dalam jangka waktu yang lebih panjang untuk melihat adanya efek samping pemberian Alpha-lipoic Acid oral yang mungkin timbul. 2. Perlu dilakukan uji klinis untuk mengetahui manfaat pemberian Alphalipoic Acid oral dalam menghambat perlemakan hati non-alkoholik pada manusia. 3. Penggunaan minyak jelantah dalam kehidupan sehari-hari harus dihindari, karena minyak jelantah terbukti menyebabkan peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT.
DAFTAR PUSTAKA Allen, E.S. 2002. The Liver : Anatomy, Physiology, Disease and Treatment. Northeastern University. Amarapurkar, D. 2010. NAFLD Current Concepts. Int Jour of Hep. Vol 1 (4) : 45-9. Anania, F.A., Parekh, S. 2007. Abnormal Lipid and Glucose Metabolism in Obesity : Implications for Nonalcoholic Fatty Liver Disease. J of Gastroent. Vol 132 : 2191-2207. Andriana, T. 2013. Serba Serbi Minyak Jelantah. Available from: http://www.google.com/imgres?imgurl=http://www.putraindonesiamalang. or.id. Accessed : October, 16th, 2013. Angulo, P. 2002. Nonalcoholic Fatty Liver Disease. N Engl J Med. Vol 346 : 1221- 1231. Anstee, Q. M., Goldin, R. D. 2006. Mouse Models in Non-alcoholic Fatty Liver Disease and Steatohepatitis Research. Int J Exp Path. Vol 87 : 1–16. Ardhie, A.M. 2011. Radikal Bebas dan Peran Antioksidan dalam Mencegah Penuaan. Medicinus. Vol 24 (1) : 4-9. Arief,
S. 2009. Radikal Bebas. Available from : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10RadikalBebas102.pdf/10RadikalB ebas102.html. Accessed : June, 25th, 2013.
Azeredo, H.M.C., Faria, J.A.F., Silva. 2004. Minimization of Peroxide Formation Rate in Soybean Oil by Antioxidant Combinations. Food R Inter. Vol 37 : 689-694. Bickers, D.R., Athar, M. 2006. Oxidative Stress in The Pathogenesis of Skin Disease. J of Invest Dermatol. vol 126. p. 2565–2575. Bludau, J. H. 2010. Aging, But Never Old : The Realities, Myths, and Misrepresentations of the Anti-Aging Movement (The Praeger Series on Contemporary Health and Living).1st edition. Publisher Praeger. Browning, J. D., Horton, J. D. 2004. Molecular Mediators of Hepatic Steatosis and Liver Injury. The Jour of Clin Invest. Vol 114 (2) : 147-152. Butler, J. A., Hagen, T. M., Moreau, R. 2009. Lipoic Acid Improves Hypertriglyceridemia by Stimulating Triacylglycerol Clearance and
Downregulating Liver Triacylglycerol Secretion. Arch Biochem Biophys. Vol 485 (1) : 63–71. Castro, M. C., Massa, M. L., Schinella, G., Gagliardino, J. J., Francini, F. 2013. Lipoic Acid Prevents Liver Metabolic Changes Induced by Administration of A Fructose-rich Diet. Biochem Biophys Acta. Vol 1830 (1) : 2226-2232. Chalasani, N., Younossi, Z., Lavine, J. E., Diehl, A. E., Brunt, E. M., Cusi, K., Charlton, M., Sanyal, A. J. 2012. The Diagnosis and Management of NonAlcoholic Fatty Liver Disease : Practice Guideline by the American Association for the Study of Liver Diseases, American College of Gastroenterology, and the American Gastroenterological Association. Hepatology. Vol 55 (6) : 2005-2018. Collantes, R., Ong, J.P., Younossi, Z.M. 2004. Nonalcoholic Fatty Liver Disease and The Epidemic of Obesity. Cleveland Clin J of Med. Vol 71 (8) : 657664. Dabhi, A.S., Brahmbhatt, J., Pandya, T.P., Thorat, P.B., Shah, M.C. 2008. Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). J Indian Acad of Clin Med. Vol 9 (1) : 36-41. den-Boer, M., Voshol, P. J., Kuipers, F., Havekes, L. M., Romijn, J. A. 2004. Hepatic Steatosis : A Mediator of The Metabolic Syndrome. Lessons From Animal Models. Arterioscler Thromb Vasc Biol. Vol 24 : 644-649. Dhaka, V., Gulia, N., Ahlawat, K.S., Khatkar, B.S., 2011. Trans fats—Sources, Health Risks and Alternative Approach - A Review. J Food Sci Technol. Vol 48 : 534–541. Dhibi, M., Brahmi, F., Mnari, A., Houas, Z., Chargui, I., Bchir, L., Gazzah, N., Alsaif, M. A., Hammami, M. 2011. The Intake of High Fat Diet with Different Trans Fatty Acid Levels Differentially Induces Oxidative Stress and Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) in Rats. Nutri & Metab. Vol 8 (65) : 1-11. Dorfman, S. E., Laurent, D., Gounarides, J.S., Li, X., Mullarkey, T.L., Rocheford, E.C., Sarraf, F.S., Hirsch, E.A., Hughes, T.E., Commerford, S.R. 2009. Metabolic Implications of Dietary Trans-fatty Acids. J Obesity. Vol 17 (6) :1200-1207. Dowman, J. K., Tomlinson, J. W., Newsome, P. N. 2011. Systematic review : The Diagnosis and Staging of Non-alcoholic Fatty Liver Disease and Nonalcoholic Steatohepatitis. Aliment Pharmacol Ther. Vol 33 : 525-540.
Ehrlich, S. D. 2011. Alpha-lipoic Acid. University of Maryland Medical Center. Available from : http://umm.edu/health/medical/altmed/supplement/alphalipoic-acid. Accessed : July, 01st, 2013. El-Midadoui, A., Lungu, C., Wang, H., Wu, L., Robillard, C., Deblois, D., Couture, R. 2011. Impact of -lipoic Acid on Liver Peroxisome Proliferator-Activated Receptor- , Vascular Remodeling, and Oxidative Stress in Insulin-Resistant Rats. Can J Physiol Pharmacol. Vol 89 (10) : 743-751. Farag, R. S., Abdel-Latif, S. A., Basuny, A. M. M., El-Hakeem, B. S. 2010. Effect of Non-fried and Fried Oils of Varied Fatty Acid Composition on Rat Organs. Agric Biol J N Am. Vol 1 (4) : 501-509. Federer, W. 2008. Statistics and Society : Data Collection and Interpretation. 2nd Edition. New York : Marcel Dekker. Finlay, L. A., Michels, A. J., Butler, J. A., Smith, E. J., Monette, J. S., Moreau, R. F., Petersen, S. K., Frei, B., Hagen, T. M. 2012. R- -lipoic Acid Does Not Reverse Hepatic Inflamation of Aging, but Lowers Lipid Anabolism, While Accentuating Circadian Ryhthm Transcript Profiles. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. Vol 302 (5) : 587-597. Fransiska, E. 2010. “Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Ttindakan Ibu Rumah Tangga tentang Penggunaan Minyak Goreng Berulang Kali di Desa Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2010.” (Skripsi). Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Ganong, W. F. 2002. Review of Medical Physiology. Edisi ke-20. (Penerjemah : Wijajakusumah, D). Jakarta : EGC. Gauthier, M. S., Favier, R., Lavoie, J. M. 2006. Time Course of The Development of Non-Alcoholic Hepatic Steatosis in Response to High-fat Diet-induced Obesity in Rats. Brit Jour of Nutrit. Vol 95 : 273–281. Ghidurus, M., Turtoi, M., Boskou, G., Niculita, P., Stan, V. 2010. Nutritional and Health Aspects Related to Frying. Rom Biotech Letters. Vol 15 (6) : 56755682. Goldman, R., Klatz, R. 2003. The New Anti Aging Revolution. Australian Edition. p. 22-24. Gowda, S., Desai, P. B., Hull, V. V., Math, A. A. K., Vernekar, S. N., Kulkarni, S. S. 2009. A Review On Laboratory Liver Function Tests. PanAfrican Med Jour. p. 2-4.
Gray, H., Lawrence, H.B. 2000. Gray’s Anatomy. The Anatomy Basic of Medicine and Surgery. Liver. New Edition. Elsievier. Oxford. p. 18031805. Halliwel, B., Gutteridge, J.M.C. 2007. Free Radicals in Medicine. 3th. Ed. New York : Oxford University.
Biology and
Hartono, E. 2011. “Pemberian Ekstrak Teh Hijau Menurunkan Perlemakan Hati Non Alkoholik Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah.” (Tesis). Denpasar : Universitas Udayana. Hasan, I., Gani, R. A., Machmud, R. 2002. Prevalence and Risk Factors For Nonalcoholic Fatty Liver in Indonesia. J Gastr Hepatol. Vol 17 : 154. Henriksen, E. J. 2006. Exercise Training and The Antioxidant a-lipoic Acid in The Treatment of Insulin Resistance and Type 2 Diabetes. Free Rad Bio & Med. Vol 40 : 3-12. Henryk, D., Peter, S. 2010. Clinical Hepatology : Principles and Practice of Hepatobiliary Diseases. Volume 1. Berlin : Springer. Herawati, Akhlus, S. 2006. Kinerja (Bht) Sebagai Antioksidan Minyak Sawit Pada Perlindungan Terhadap Oksidasi Oksigen Singlet. Akta Kimindo. Vol 2 : 1–8. Higdon, J. 2006. Lipoic Acid. Linus Pauling Institute. Oregon State University. Available from : http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/othernuts/la/#biological_activity . Accessed : July, 01st, 2013. Hoimcuist, L., Stuchbury, G., Berbaum, K., Muncat, S. 2007. Lipoic Acid as Novel Treatment for Alzheimer’s Disease and Related Dementias. Pharmacol and Therap. Vol 113 (1) : 154-164. Hübscher, S. G. 2006. Histological Assessment of Non-alcoholic Fatty Liver Disease. Histopathology. Vol 49 : 450–465. Ingriani, N. 2012. “Pemberian Ekstrak Biji Irvingia gabonensis Mencegah Kenaikan Berat Badan Dan Berat Lemak Abdominal Pada Tikus Jantan Yang Diberi Diet Tinggi Karbohidrat Dan Lemak.” (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana. Jung, T. S., Kim, S. K., Shin, H. J., Jeon, B.T., Hahm, J. R., Roh, G. S. 2012. Lipoic Acid Prevents Non-alcoholic Fatty Liver Disease in OLETF Rats. Liver Int. Vol 32 (10) : 1565-1573.
Kavanagh, K., Jones, K.L., Sawyer, J., Kelley, K., Carr, J.J., Wagner, J.D., Rudel, L.L. 2007. Trans Fat Diet Induces Abdominal Obesity and Changes in Insulin Sensitivity in Monkeys. J Obesity. Vol 15 (7) : 1675-1684. Kee, J. L. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Dan Diagnostik. Jakarta : EGC. p. 35-40. Ketaren, 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. p. 47-53. Kim, D. C., Jun, D. W., Jang, E. C., Kim, E. K., Lee, S. P., Lee, K. N., Lee, H. L., Lee, O. Y., Yoon, B. C., Choi, H. S. 2013. Lipoic Acid Prevents the Changes of Intracellular Lipid Partitioning by Free Fatty Acid. Gut and Liv. Vol 7 (2) : 221-227. Kim, H. S., Kim H. J., Kim, Y. N., Kwon, T.K., Kim, J. G., Lee, I. K. 2007. Alpha Lipoic Acid Inhibit matrix metalloproteinase-9 expresion by inhibiting NF-kB transcription activity. Exp and Mol Med. Vol 39 (1) : 106-113. Koch, A., KÖnig, B., Spielmann, J., Leitner, A., Stang, G.l., Eder, K. 2007. Thermally Oxidized Oil Increases the Expression of Insulin-Induced Genes and Inhibits Activation of Sterol Regulatory Element-Binding Protein-2 in Rat Liver. J of Nutr : Biochem, Mol, and Genetic Mech. Vol 137 : 2018–2023. Lesmana, L. A. 2007. Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik (Non-Alcoholic Fatty Liver Disease). Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta : Jaya Abadi. p. 301-305. Lingga, L. 2012. The Healing Power of Antioxidant: Mengenal Lebih Jauh Sumber Antioksidan Unggulan. Jakarta : Elex Media Komputindo. Luciana, B., Sutanto, A., Khomsan, A. 2005. Minyak Gorengpun Bisa Melawan Kolesterol. Jakarta : Gramedia. Machado, R. M., Stefano, J. T., Oliveira, C. P. M. S., Mello, E. S., Ferreira, F. D., Nunes, V. S., de Lima, V. M. R., Quintao, E. C. R., Catanozi, S., Nakandakare, E. R., Lottenberg, A. M. P. 2010. Intake of Trans Fatty Acids Causes Nonalcoholic Steatohepatitis and Reduces Adipose Tissue Fat Content. J of Nutr. Vol 140 : 1127-1132. Mangunsudirdjo, S., Ghozali, A., Harijadi, Utoro, T. 2001. Buku Kuliah Patologi Umum. Edisi 1. Yogyakarta : Bagian Patologi Anatomik FK UGM.
Marczyk, G., DeMatteo, D., Festinger, D. 2005. Essential of Research Design and Methodology. New Jersey : John Wiley & Son, Inc. Marinova, E. M., Seizova, K. A., Totseva, I. R., Panayotova, S. S., Marekov, I. N., Momchilova, S. M. 2012. Oxidative Changes in Some Vegetable Oils During Heating at Frying Temperature. Bulgarian Chem Communic. Vol 44 (1) : 57 – 63. Mason, P. 2001. Dietary Supplements. 2nd. Ed. United Kingdom : Pharmaceutical Press. Maulida, F. 2010. “Efek Ekstrak Daun Krokot (Portulaca oleracea l.) Terhadap Kadar Alanin Transaminase (ALT) Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang Diberi Minyak Goreng Deep Frying.” (Skripsi). Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Moini, H., Packer, L., Saris, N. E. 2002. Antioxidant and Prooxidant Activities of Alpha-lipoic Acid and Dihydrolipoic acid. Toxicol Appl Pharmacol. Vol 182 (1) : 84-90. Mulyati, S., Meilina, H. 2007. Pemurnian Minyak Jelantah dengan Menggunakan Sari Mengkudu. Available from : http://222.124.186.229/gdl40/go.php?id= gdlnode-gdl-res-2007-srimulyati-1082&node-3517&start=6 Accessed : May, 11th, 2013. Mulyono, A., Ristiyanto, Soesanti, N. 2009. Karakteristik Histopatologi Hepar Tikus Got Rattus norvegicus Infektif Leptospira sp. J Vektora. Vol 1 (2) : 84-92. Murray, R.K., Robert Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell, V.W. 2003. Biokimia Harper. 26th. Ed. Appleton and Lange Medical Book. p. 609-612. Nurman, A., Huang, M. A. 2007. Perlemakan Hati Non Alkoholik. Univ Medicina. Vol 26 (4) : 205-215. Oeij, Adhika, A., Atmadja, W. L., Achmad, S., Tohardi, A. 2007. Gambaran Anatomi Mikroskopik dan Kadar Malondialdehida pada Hati Mencit Setelah Pemberian Minyak Kelapa Sawit Bekas Menggoreng. JKM. Vol 7 (1) : 15-25. Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan Meningkatkan Kualitas Hidup. Upaya Menghambat Penuaan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Gramedia. Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging : Tetap Muda dan Sehat. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Gramedia.
Petta, S., Muratoreb, C., Craxia, A. 2009. Non-alcoholic Fatty Liver Disease Pathogenesis : The Present And The Future. Editrice Gastroenter Italiana S.r.l. Elsevier. Vol 41 : 615-625. Pham-Huy, L.A.P., He, H., Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidants in Disease and Health. Int J Biomed Sci. Vol 4 : 89-96. Price, S.A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, p. 472-476. Raharjo, S. S., Jusup, A. 2011. “Efek Ekstrak Daun Krokot (Portulaca oleracea L.) Sebagai Anti Oksidan Alami Terhadap Kadar Alanin Transaminase (ALT) Dan Gambaran Histologi Sel Hepar Rattus norvegicus L. Yang Diberi Minyak Goreng Deep Frying.” (Artikel). Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Rahayu, A. 2007. “Pengaruh Frekuensi Penggorengan dari Minyak Jelantah Bermerk dan tidak Bermerk terhadap Nekrosis Sel Hati pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).” (Skripsi). Malang : UMM. Reddy, J. K., Rao, M. S. 2006. Lipid Metabolism and Liver Inflammation. II. Fatty Liver Disease and Fatty Acid Oxidation. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. Vol 290 : 852-858. Reynertson, K. A. 2007. “Phytochemical Analysis of Bioactive Constituens from Edible Myrtaceae Fruit” (Dissertation). New York : University of New York. Romaria, M. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Rukmini, A. 2007. Regenerasi Minyak Goreng Bekas Dengan Arang Sekam Menekan Kerusakan organ tubuh. Seminar Nasional Teknologi 2007. ISSN : 1978-9177. Samuelson, D. A. 2007. Text Book of Veterinary Histology : Liver. Launder Elsevier. Sanyal, A. J. 2002. AGA Technical Review on Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Am Gastroenter Assoc (AGA). Vol 123 : 1705-1725. Sari, G. A. C. 2012. “Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik Pada Sindroma Metabolik Dewasa : Gambaran Klinik dan Hubungan Antara Jumlah Komponen Sindroma Metabolik Yang Terganggu Dengan Derajat
Ultrasonografi.” Diponegoro.
(Karya
Tulis
Ilmiah).
Semarang
:
Universitas
Sartika, R. A. D. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Mark Sains. Vol 13: 23-28. Seo, E. Y., Ha, A. W., Kim, W. K. 2012. -Lipoic Acid Reduced Weight Gain and Improved The Lipid Profile in Rats Fed with High Fat Diet. Nutri Research and Pract. Vol 6 (3) :195-200. Schiff, E. R., Sorrell, M. F., Maddrey, W. C. 2006. Schiff’s Disease of The Liver. 8th. Ed. Lippincott-Raven Publisher. p. 83-84. Shay, K. P., Moreau, R. F., Smith, E. J., Smith, A. R., Hagen, T. M. 2009. AlphaLipoic Acid as A Dietary Supplement : Molecular Mechanisms and Therapeutic Potential. Biochem Biophys Acta. Vol 1790 (10) : 1149–1160. Stahl, W., Sies, H. 2002. Carotenoid and Protection Against Solar UV Radiation. Skin Pharmacol Appl. Skin Physiol. Vol.15 : 291-296. Stier, R.F. 2003. Finding Functionality in Fat and Oil. Available from : www.preparedFood.com. Accessed : March, 09th, 2013. Suwandi, T. 2012. “Pemberian Ekstrak Kelopak Bunga Rosela Menurunkan Malondialdehid pada Tikus yang Diberi Minyak Jelantah.” (Tesis). Denpasar : Universitas Udayana. Tacer, K.F., Rozman, D. 2011. Nonalcoholic Fatty Liver Disease : Focus on Lipoprotein and Lipid Deregulation. J of Lipids. Vol 10 : 1-14. Takahashi, Y., Soejima, Y., Fukusato, T. 2012. Animal Models of Nonalcoholic Fatty Liver Disease/Nonalcoholic Steatohepatitis. World J Gastroenterol. Vol 18 (19) : 2300-2308. Tandon, R. 2005. Antioxidant : Past and Present. Available from : URL http://www pharmainfo.net/reviews/antioxidant past and present. Accessed : February, 25th, 2013. Valdecantos, M. P., Pérez-Matute, P., González-Muniesa, P., Prieto-Hontoria, P.L., Moreno-Aliaga, M. J., Martínez, J. A. 2012. Lipoic Acid Improves Mitochondrial Function in Nonalcoholic Steatosis Through The Stimulation of Sirtuin 1 and Sirtuin 3. Obesity (Silver Spring). Vol 20 (10) : 1974-1983.
Wahab, A.W., Dewang, S., Armynah, B., Ponganan, K. 2011. “Analisis Spektrum Infra Merah dari Minyak Goreng Kelapa Untuk Identifikasi Perubahan Panjang Gelombang Akibat Variasi Temperatur.” (Makalah Seminar). Ujung Pandang : Universitas Hasanuddin. Warner, K. 2002. Chemistry of Frying Oils. Food Lipids. 2nd. Ed. New York : Marcel Dekker, Inc. Wei, Y., Rector, R. S., Thyfault, J. P., Ibdah, J. A. 2008. Nonalcoholic Fatty Liver Disease and Mitochondrial Dysfunction. World J Gastroentero. Vol 14 (2) : 193-199. Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Wong,
C. 2007. Alpha Lipoic Acid. Available from http://altmedicine.about.com.od/alphalipoicacid/a/alphalipoicaccidhtm Accessed : June, 26th, 2013.
: .
Yang, R., Le, G., Li, A., Zheng, J., Shi, Y. 2006. Effect of Antioxidant Capacity on Blood Lipid Metabolism and Lipoprotein Lipase Activity of Rats Fed a High-fat Diet. J of Nutr. Vol (11-12) : 1185-1191. Yang, R. L., Li, W., Shi, Y. H., Le, G. W. 2008. Lipoic Acid Prevents High-fat Diet-induced Dyslipidemia and Oxidative Stress : A Microarray Analysis. Vol 24 (6) : 582-588. Yustinah. 2009. Pengaruh Massa Absorben Chitin Pada Penurunan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA), Bilangan Peroksida, dan Warna Gelap Minyak Goreng Bekas. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009. p.1-14. Zalejska-Fiolka, J., Wielkoszy ski, T., Kasperczyk, S., Kasperczyk, A., Birkner, E. 2010. Effects of Oxidized Cooking Oil and -lipoic Acid on Liver Antioxidants: Enzyme Activities and Lipid Peroxidation in Rats Fed a High Fat Diet. Biol Trace Elem Res. Vol 138 (1-3) : 272-281. Zimmet, P., Magliano, D., Matsuzawa, Y. 2005. The Metabolic Syndrome : A Global Health Problem and A New Definition. J Atheroscl Thromb. Vol 12 : 295-300.
Lampiran 1. ETICHAL CLEARANCE
Lampiran 2. TABEL KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS Laurence and Bacharach (1964) Mencit Tikus Marmot Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
Mencit
20 gr
200gr 400 gr
1,5 kg
2 kg
4 kg
12 kg
70 kg
1.0
7.0
12.25
27.8
29.7
64.1
124.2
387.9
0.14
1.0
1.74
3.9
4.2
9.2
17.8
56.0
0.08
0.57
1.0
2.25
2.4
5.2
10.2
31.5
0.04
0.25
0.44
1.0
1.08
2.4
4.5
14.2
0.03
0.23
0.41
0.92
1.0
2.2
4.1
13.0
0.016
0.11
0.19
0.42
0.45
1.0
1.9
6.1
0.008
0.06
0.1
0.22
0.24
0.52
1.0
3.1
0.031
0.07
0.076
0.16
0.32
1.0
20 gr Tikus 200 gr Marmot 400 gr Kelinci 1,5 kg Kucing 2 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 0.0026 0.018 70 kg
Lampiran 3. HASIL PENGHITUNGAN JUMLAH STEATOSIS No.
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
1
79
61
29
2
81
62
28
3
70
72
25
4
82
60
20
5
72
59
22
6
73
63
30
7
80
66
26
8
78
58
15
9
78
67
15
10
74
75
19
Lampiran 4. HASIL PEMERIKSAAN KADAR ALT (U/L) No.
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
1
109
64
51
2
87
71
66
3
93
82
57
4
92
87
77
5
79
65
61
6
102
67
63
7
89
82
63
8
81
75
68
9
83
86
61
10
99
77
55
Lampiran 5. UJI NORMALITAS DATA Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Kelompok Jumlah_Steatosis
Kadar_ALT
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kontrol
.223
10
.171
.928
10
.430
Perlakuan 1
.191
10
.200*
.909
10
.275
Perlakuan 2
.148
10
.200*
.924
10
.394
*
Kontrol
.134
10
.200
.960
10
.788
Perlakuan 1
.172
10
.200*
.922
10
.374
10
*
.967
10
.864
Perlakuan 2
.156
.200
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Lampiran 6. UJI ONE WAY ANOVA
Descriptives 95% Confidence Interval for
N Jumlah_Steatosis Kontrol
Kadar_ALT
Mean
Std.
Std.
Deviation
Error
Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
10
76.70
4.138
1.309
73.74
79.66
70
82
Perlakuan 1
10
64.30
5.658
1.789
60.25
68.35
58
75
Perlakuan 2
10
22.90
5.547
1.754
18.93
26.87
15
30
Total
30
54.63
23.920
4.367
45.70
63.57
15
82
Kontrol
10
91.40
9.663
3.056
84.49
98.31
79
109
Perlakuan 1
10
75.60
8.592
2.717
69.45
81.75
64
87
Perlakuan 2
10
62.20
7.269
2.299
57.00
67.40
51
77
Total
30
76.40
14.684
2.681
70.92
81.88
51
109
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
Jumlah_Steatosis
.638
2
27
.536
Kadar_ALT
.727
2
27
.493
ANOVA Sum of Squares Jumlah_Steatosis
Between Groups
Mean Square
15873.867
2
7936.933
719.100
27
26.633
16592.967
29
Between Groups
4272.800
2
2136.400
Within Groups
1980.400
27
73.348
Total
6253.200
29
Within Groups Total Kadar_ALT
df
F
Sig.
298.008
.000
29.127
.000
Multiple Comparisons LSD 95% Confidence Interval Lower Dependent Variable
(I) Kelompok
(J) Kelompok Mean Difference (I-J)
Jumlah_Steatosis
Kontrol
Perlakuan 1
12.400*
2.308
.000
7.66
17.14
Perlakuan 2
53.800*
2.308
.000
49.06
58.54
-12.400*
2.308
.000
-17.14
-7.66
41.400*
2.308
.000
36.66
46.14
Kontrol
-53.800*
2.308
.000
-58.54
-49.06
Perlakuan 1
-41.400*
2.308
.000
-46.14
-36.66
Perlakuan 1
15.800*
3.830
.000
7.94
23.66
Perlakuan 2
29.200*
3.830
.000
21.34
37.06
-15.800*
3.830
.000
-23.66
-7.94
13.400*
3.830
.002
5.54
21.26
-29.200*
3.830
.000
-37.06
-21.34
*
3.830
.002
-21.26
-5.54
Perlakuan 1
Kontrol Perlakuan 2
Perlakuan 2
Kadar_ALT
Kontrol
Perlakuan 1
Kontrol Perlakuan 2
Perlakuan 2
Kontrol Perlakuan 1
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Std. Error
-13.400
Sig.
Bound
Upper Bound
Lampiran 7. FOTO HASIL PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI Keterangan Gambar : VS = Vena Sentralis VS
= kumpulan steatosis tampak lebih padat dibandingkan Kelompok P1
Kelompok kontrol (P0) dengan perbesaran 100x Keterangan Gambar : VS = Vena Sentralis = kumpulan steatosis tampak lebih jarang dibandingkan Kelompok P0 VS
Kelompok perlakuan 1 (P1) dengan perbesaran 100x Keterangan Gambar : VS = Vena Sentralis VS
= hepatosit normal tersusun dalam barisan radier.
Kelompok perlakuan 2 (P2) dengan perbesaran 100x
Keterangan Gambar : Kumpulan steatosis tampak lebih padat dan lebih banyak dibandingkan Kelompok P1 = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer
Kelompok kontrol (P0) dengan perbesaran 400x Keterangan Gambar : Kumpulan steatosis tampak lebih jarang dan lebih sedikit dibandingkan Kelompok P0 = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer = hepatosit normal
Kelompok perlakuan 1 (P1) perbesaran 400x Keterangan Gambar : VS = Vena Sentralis = hepatosit normal tersusun dalam barisan radier.
VS
Kelompok perlakuan 2 (P2) dengan perbesaran 400x
Keterangan Gambar : Kumpulan steatosis tampak lebih padat dan lebih banyak dibandingkan Kelompok P1 = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer = hepatosit normal
Kelompok kontrol (P0) dengan perbesaran 1000x Keterangan Gambar : Kumpulan steatosis tampak lebih jarang dan lebih sedikit dibandingkan Kelompok P0 = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer = hepatosit normal
Kelompok perlakuan 1 (P1) dengan perbesaran 1000x Keterangan Gambar : Kumpulan hepatosit normal dengan nukleus yang tampak jelas dan berada di tengah sel = hepatosit normal
Kelompok perlakuan 2 (P2) dengan perbesaran 1000x
Lampiran 8. FOTO PENDUKUNG PENELITIAN