0
PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI (COMPETENCE BASE EDUCATION AND TRAINING) DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
Studi Experimen pada Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
AGUS SUTIYONO No. Reg. 7627070790
Disertasi yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar Doktor
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2010
1 ABSTRAK
Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competence Base Education and Training) dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Studi Experimen pada Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta) Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikuti model pendidikan dan pelatihan dengan mempertimbangkan motivasi kerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hasil hipotesis penelitian menunjukkan bahwa: (1) motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP (2) bentuk Pelatihan CBET mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Ini berarti perbedaan bentuk Pelatihan dalam CBET menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (3) interaksi antara model pelatihan dan motivasi kerja menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (4) terdapat perbedaan antara Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi. Penelitian dilakukan pada bulan November 2008 sampai dengan April 2009 di Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) DKI Jakarta dengan penelitian metode quasi eksperimen. Sampel diambil dengan teknik stratified cluster random sampling. Untuk kelompok pelatihan konvensional dan metode CBET ditentukan sampel sejumlah 40 orang, sehingga total sampel adalah 80 orang responden. Hasil temuan tentang pengaruh Pelatihan Competence Base Education and Training (CBET) dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja menunjukkan Pertama, bahwa kinerja petugas satpol PP yang diberi pelatihan CBET lebih tinggi daripada kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan konvensional, dengan nilai Fhitung sebesar 305,6247 lebih besar dari Ftabel sebesar 7,01 dengan taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 305,6247 > Ftabel (0,01)(1;76) = 7,01), Kedua, Terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja petugas satpol PP, dengan nilai Fhitung sebesar 4,3907 lebih besar dari Ftabel sebesar 3,97 dengan taraf signifikansi 0,05 (Fhitung = 4,3907 > Ftabel (0,05)(1;76) = 3,97. Ketiga, Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi dengan nilai Fhitung sebesar 119,8039 lebih besar dari Ftabel sebesar 7,35 dengan taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 119,8039 > Ftabel (0,01)(1;38) = 7,35). Keempat, kinerja petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja rendah adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja renda, dengan nilai Fhitung sebesar 105,769 lebih besar dari Ftabel sebesar 7,35 dengan taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 105,769 > Ftabel (0,01)(1;38) = 7,35)
2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai dijadikan landasan untuk menyusun konsep dan strategi baru dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan petugas satpol PP guna mempersiapkan personil SDM dengan kompetensi yang memadai dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi dari petugas Satpol PP.
3 ABSTRACT
THE EFFECT OF COMPETENCE BASED EDUCATION AND TRAINING (CBET) AND WORK MOTIVATION ON CIVIL SERVANTS’ WORKS (An Experimental Study Towards Civil Servants in Jakarta) Operationally, this research aimed to find out the differences in working of civil servants who join the training and education by considering their work motivation in Jakarta. The result of this research hypothesis shows that (1) the motivation in working influences the civil servants’ work; (2) the form of CBET training influences the civil servants’ work. It means that there is a different form of training in CBET that can determine variations on civil servants’ work; (3) the interaction between the training model and the work motivation determine variations in civil servants’ work; (4) there are differences between the civil servants who join the CBET training and the civil servants who do not. The civil servants who join the CBET training have higher motivation in working and vise versa. This reasearch conducted on November 2008 until April 2009 at Dinas Ketentraman dan Ketertiban DKI Jakarta by using quation experiment method. Research samples taken by using stratified cluster random technique. For the members of conventional training and CBET method, 40 people are taken as samples, therefore the total samples are 80 people. The results finding about Competence Based Education and Training (CBET) and work motivation toward civil servants’ work show first, the work of civil servants that join CBET training are higher than civil servants’s work that join a conventional training, with Fcounting 305,6247, higher than 7,01 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 305,6247 > Ftable (0,01)(1;76) = 7,01). Second, there is an influence between the training model and work motivation towards civil servants’ work with Fcounting 4,3907 which is higher than 3,97 Ftabel with 0,05 signification level (Fcounting= 4,3907 > Ftable (0,05)(1;76) = 3,97. Third, the work of civil servants that join CBET training and have higher motivation in working, are higher than civil servants’s work that join a conventional training with high motivation in working, with Fcounting 119,8039 > Ftablel (0,01)(1;38) = 7,35). Fourth, the work of civil servants who join CBET training and have low motivation in working is still higher than the work of civil servants who join the conventional training with low motivation too, with 105,769 which is higher than 7,35 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 105,769 > Ftable (0,01)(1;38) = 7,35). The result of this research is hoped can be used as a guidence to produce a new concept and strategy in education development and training toward civil servants. This research is also hoped can design human resources with high competency in running their primary duties and functions as civil servants.
4 KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada ALLAH yang telah melimpahkan hamat dan hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ditulis sedagai syarat untuk menempuh ujian dan memperoleh gelar doktor di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. Dr. Made Putrawan, M.Pd selaku promotor utama dalam penulisan disertasi, beliau telah menginspirasi saya untuk dapat berbuat yang terbaik dalam displin ilmu yang saya tekuni. Jadilah terus inspirator untuk kesuksesan dan kebahagiaan orang lain. Kepada Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd, Rektor Universitas Negeri Jakarta yang bukan hanya menjadi Co promotor dalam menyelesaikan studi ini tetapi juga motivator dan postur yang membakar semangat dan antusias saya untuk saya dapat menyelesaikan program S3 ini. Beliau selalu menjadi penyemangat dalam begitu banyak hal dalam kehidupan saya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Djaali, Direktur PPs UNJ, yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan yang amat berharga bagi penulis. Kepada Prof. Dr. Mukhlis R. Luddin, MA, penulis sampaikan terima kasih atas bantuan dan arahannya yang amat berharga dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih kepada Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta atas kerja samanya sehingga pengambilan data penelitian dapat berjalan dengan lancar. Kepada segenap pimpinan Satuan Polisi Pamong Praja
5 khususnya kepada bapak H. Harianto Badjoeri, selaku kepala Satpol PP Provinsi DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dijajarannya. Ayahku (Bapak Karnomo Alm,), Nenek ku (Biyung), Ibu ku, Istriku dan Anakku yang selalu memberi warna dan jejak yang jelas dalam pengabdian terbaik untuk masyarakat. Gelar ini penulis dedikasikan untuk perjuangan yang Nenek/Bapak/Ibu/Istri dan anak yang telah mendukung dengan sabar, tekun sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Begitu banyak teman, sahabat yang terus menginspirasi penulis untuk terus dapat melakukan yang terbaik dalam perjalanan hidup ini. Dr.Karnadi, M,Si, Dr.Maruf Akbar, Prof.Dr.Mulyono,M.Pd terima kasih atas semua support yang Bapak berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Tuhan telah mengirimkan semua orang-orang yang selalu memberikan penulis semangat untuk memberikan yang terbaik. Kepada semua pihak yang sangat intens memberikan support penulis sampaikan terima kasih, ALLAH Maha Penyayang yang akan memberikan dan membalas semua kebaikan yang telah dilakukan. Jakarta, Januari 2010
Penulis,
6 DAFTAR ISI
Abstrak
1
Kata Pengantar
4
Daftar Isi
6
Daftar Tabel
8
Daftar Gambar
11
BAB I PENDAHULUAN
12
A. Latar Belakang Masalah
12
B. Identifikasi Masalah
18
C. Pembatasan Masalah
19
D. Rumusan Masalah
19
E. Kegunaan Hasil Penelitian
20
BAB II ACUAN TEORITIK, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
22
A. Kerangka Teori
22
1. Kinerja
22
2. Pendidikan dan Pelatihan
39
3. Motivasi Kerja
51
B. Hasil Penelitian yang relevan
60
C. Kerangka Berfikir
61
D. Hipotesis Penelitian
65
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
67
A. Tujuan Penelitian
67
B. Tempat dan Waktu Penelitian
68
C. Metode dan Desain Penelitian
68
D. Populasi dan Sample
70
E. Instrumen Penelitian
71
F. Ujicoba Instrumen
77
7 G. Teknik Analisis Data
81
H. Hipotesis Statistik
81
BAB IV HASIL PENELITIAN
83
A. Deskripsi Hasil Penelitian
83
B. Pengujian Persyaratan Analisis Data
96
C. Pengujian Hipotesa
104
D. Interpretasi Hasil Penelitian
110
E. Pembahasan
110
F. Keterbatasan Penelitian
114
BAB IV KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
116
A. Kesimpulan
116
B. Implikasi
117
C. Saran
118
Daftar Pustaka
119
Biografi Penulis
121
8 DAFTAR TABEL TABEL
KETERANGAN
HAL
Tabel 2.1
Dimensi dan Indikator Kinerja
29
Tabel 2.2
Dimensi dan Indikator Motivasi Kinerja
55
Tabel 3.1
Rancangan Faktorial A x B
66
Tabel 3.2.
Sampel Penelitian
68
Tabel 3.3.
Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
71
Tabel 3.4
Skala Likert
73
Tabel 3.5
Hasil Uji Validitas Instrumen Motivasi Kerja
74
Tabel 3.6
Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja
76
Tabel 3.7
Hasil Analisis Reliabilitas
77
Tabel 3.8
Hasil Analisis Reabilitas
78
Tabel 4.1
Distribusi frekuensi skor Model Competence based
81
Education and Training petugas satpol PP (A1) Tabel 4.2
Distribusi frekuensi skor Model Pelatihan
83
Konvensional petugas satpol PP (A2) Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol
84
PP yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (B1) Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas
86
Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (B2) Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan
Model
Competence
based
Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja
87
9 TABEL
KETERANGAN
HAL
Tinggi (A1B1). Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan
Model
Competence
89
based
Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2). Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang
90
mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1) Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang
91
mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2)
Tabel 4.9
Rekapitulasi Deskripsi Data Rata-Rata Model
93
Pelatihan dan motivasi kerja terhadap kinerja petugas satuan polisi pamong praja Tabel 4.10
Tests of Normality
96
Tabel 4.11
Rekapitulasi Deskripsi Uji Normalitas Kinerja Petugas Satpol Pp Berdasarkan Model Pelatihan Dan Motivasi Kerja.
97
Tabel 4.12
Test of Homogeneity of Variances
98
Tabel 4.13
ANOVA
98
Tabel 4.14
Test of Homogeneity of Variances
100
Tabel 4.15
ANOVA
100
Tabel 4.16
Test of Homogeneity of Variances
101
Tabel 4.17
ANOVA
101
10 TABEL
KETERANGAN
HAL
Tabel 4.18
Tests of Between-Subjects Effects
103
Tabel 4.19
Perbandingan Skor Rata-rata Kinerja Petugas Satpol PP
107
11 DAFTAR GAMBAR Gambar
Keterangan
Hal
Gambar 2.1
Indikator Kinerja
24
Gambar 4.1
Skor Model Competence based Education and Training
82
petugas satpol PP (A1) Gambar 4.2
Skor Model Konvensional Petugas Satpol PP (A1)
83
Gambar 4.3
Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
85
yang memiliki Motivasi Tinggi (B1) Gambar 4.4
Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
86
yang memiliki Motivasi Rendah (B2) Gambar 4.5
Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model
88
Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1) Gambar 4.6
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti
89
pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2). Gambar 4.7
Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan
91
Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1). Gambar 4.8
Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).
92
12 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Memasuki era otonomi daerah tahun 2003, terjadi perbagai perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat. Arus perubahan yang tidak menentu menjadikan masyarakat kehilangan pijakan, sehingga memunculkan berbagai kecenderungan pelanggaran tatanan hidup kemasyarakatan. Mengantisipasi hal tersebut peran tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan khususnya penatalaksana
penegakan
hukum
dan
ketertiban,
diharapkan
mampu
mengantisipasi perubahan dimaksud sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 120 yang mengatur tentang keberadaan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).1 Pengarusutamaan Satpol PP ditekankan pada upaya dalam membina ketenteraman ketertiban masyarakat (tramtibmas), memberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan tramtibmas. penegakan peraturan daerah (perda) yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Upaya ini diwujudkan dalam bentuk sistem perlindungan masyarakat, dimana kepentingan masyarakat sebagai hal yang utama. Kepentingan utama dimana pendekatan pengayoman, pencegahan, pembinaan hingga penindakan atas pelanggaran peraturan yang berlaku dalam masyarakat.
1
1Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, (Jakarta: Departemen Dalam Negeri, 1999), p. 408.
13 Menatalaksanakan tugas-tugas atas kewenangan tersebut, Satpol PP selalu berpijak pada protab dalam sistem yang telah baku dimana mengikat keberadaan dari Satpol PP untuk bertindak dalam kerangka kewenangan prosedural yang harus jelas dan terukur. Kerangka yang menjadi pijakan bagi petugas untuk mejalankan tugas pelayanan sehari-hari. Keberadaan Satpol PP di DKI Jakarta, saat ini diperkirakan lebih 8.000 personel terdiri dari laki-laki dan perempuan yang tersebar di lima wilayah yaitu: Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat 2. Hanya saja yang sudah ditetapkan secara resmi dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003 belum ada separuhnya, sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Suatu jumlah yang sangat tidak memadai untuk melakukan layanan perlindungan dan upaya penegakan peraturan daerah. Dimana perbandingan idealnya adalah 1:900, untuk menjangkau luas wilayah DKI 661,260Km2 dengan kuantitas penduduk diperkirakan 12.000.000 jiwa.3 Memenuhi
harapan
masyarakat
atas
upaya
perlindungan
dan
ketertiban, merupakan tantangan tersendiri bagi kelembagaan Satpol PP, khususnya aparat/petugas satpol PP itu sendiri dalam memenuhi tugas pokok dan fungsinya. Dimana perlu didukung oleh kualitas sumber daya optimal, anggaran operasional dan sarana prasarana aparat Satpol PP yang memadai. Sumber daya manusia, anggaran operasional dan sarana prasarana aparat memiliki sisi lemah terutama berkenaan dengan kemampuan skill dan
2 3
Berita Jakarta.Com, Media On Line DKI Jakarta, Jakarta 26.09.2007, diunduh 15 Maret 2009. Ibid.
14 manajerial khususnya pemahaman, pendalaman pengetahuan indikator aspek hukum dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan. Faktor-faktor penyebab utamanya adalah minimnya kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh petugas Satpol PP. Ketersediaan sumber daya manusia yang maksimal belum dapat dipenuhi dalam sistem perekrutan aparat. Belum adanya standar layanan minimal sampai dengan saat ini menyulitkan ruang gerak petugas Satpol PP. Sistem tata kerja kelembagaan yang ada masih belum sinergis dari hulu hingga hilir, dimana menempatkan petugas Satpol PP sebagai ujung tombak dalam menyelesaikan suatu permasalahan pada sisi hilirnya, tanpa pelibatan proses sejak awal. Kurangnya
alokasi
rutin
yang
dianggarkan
oleh
Anggaran
Pembangunan Belanja daerah (APBD), operasionalisasi kegiatan lebih bersifat projektif, akibatnya sarana dan prasarana yang bersifat fasilitas keperluan dinas belum
memadai.
Petugas
Satpol
PP
pada
umumnya
memiliki
status
kepegawaian yang masih bersifat honorer dengan gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR) nasional. Tugas operasional lapangan dan penetapan sanksi masih menjadi kendala bagi petugas Satpol PP. Hambatan pelaksanaan tugas aparat Satpol PP di luar anggaran rutin umumnya pada pelaksanaan tugas penertiban, terutama masih banyaknya oknum tertentu yang melindungi pelaku-pelaku pelanggar Perda yang kebanyakan pada sektor hiburan malam dan prostitusi. Sementara itu penerapan sanksi yang bersifat pemaksaan terkendala oleh aturan hukum akibat otoritas yang terbatas khususnya menyangkut sanksi penangkapan, penahanan dan kurungan.
15 Berkaitan dengan kesulitan tugas di lapangan, tugas aparat satpol PP dilapangan perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Selain pengetahuan tentang hukum Dinas Tramtib, petugas juga harus dibekali dengan pengetahuan yang luas tentang masalah kemasyarakatan termasuk di dalamnya kemampuan penanggulangan penyakit masyarakat (patologi sosial) seperti masalah alkoholisme, kenakalan remaja, miras, gelandangan, dan pelacuran. sehingga ungkapan ketidaktahunan tentang berbagai fenomena sosial di dalam masyarakat terutama di kota yang menjadi wilayah tugasnya dapat dihindari dan diantisipasi dengan tepat. Petugas Satpol PP bukan hanya semata merupakan kekuasaan belaka. Namun lebih sebagai pengayom, pencegah maupun penegak perlindungan dan ketertiban. Petugas satpol PP dituntut untuk dapat melindungi masyarakat dari kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM. Tingkat kemajuan masyarakat yang
tinggi
diiringi
dengan
kecenderungan
munculnya
segala
bentuk
ketidakadilan, kesenjangan dan distorsi. Sehingga bila harapan masyarakat tidak dapat dipenuhi, tersalurkan dan terselesaikan secara memadai, akan dapat menyebabkan gejolak emosional, kerusuan sosial dan gangguan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Berbagai kecenderungan tersebut memunculkan krisis kepercayaan dan mengakibatkan menurunnya kewibawaan pemerintah. Sehingga respon dalam menangkal berbagai friksi sosial yang terjadi di masyarakat menjadi sangat rendah. Masyarakat tidak dapat begitu saja menyerahkan sepenuhnya upaya pemenuhan keamanan, perlindungan dan ketertiban pada petugas Satpol PP. Masyarakat
juga
berkewajiban
untuk
turut
serta
secara
aktif
dalam
16 menyelenggarakan upaya perlindungan dan ketertiban dengan cara mematuhi segala ketentuan yang ada, memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan dan mengontrol atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena keamanan dan ketertiban pada dasarnya adalah merupakan tanggung-jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Kebersamaan yang sinergis antara masyarakat dan pemerintah menjadikan petugas Satpol PP lebih bersemangat dan bertanggung jawab dalam penegakan perda. Satpol PP sebagai satuan organisasi perlu memilliki kemampuan untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala daya dan potensi sumber daya secara optimal. Kemampuan tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang terfokus pada peningkatan kompetensi yang semestinya dimiliki oleh setiap petugas untuk dapat lakukan tugas tanggung jawab dan fungsinya sebagai pengayom masyarakat. Melalui assesment dari hulu sampai hilir, didukung pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi akan mengarahkan seseorang pada kemampuan standart, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada persesuaian kompetensi terhadap kebutuhan pengembangan organisasi. Kebutuhan akan pengembangan diri dan organisasi dapat dimotivasi dari diri sendiri, dengan upaya memperoleh kebebasan dan otonomi untuk menumbuhkan semangat kerja. Pimpinan yang tanggap akan dapat mengetahui motivasi dari bawahannya, sehingga dapat membuka jalan menuju produktivitas kerja yang diharapkan organisasi. sehingga akan mendorong motivasi, semangat kerja dan meningkatkan prestasi dan produktivitas kerja, serta meningkatkan antusias kebersamaan dalam menjalankan tugas-tugas perorangan dan
17 kelompok dalam organisasi menurut ukuran atau batasan-batasan yang ditetapkan. Motivasi dapat ditempatkan sebagai bagian yang fundamental dari kegiatan
manajemen.
Seseorang
yang
termotivasi
dalam
melakukan
pekerjaannya, maka dengan sendirinya kinerja seseorang tersebut dengan sendirinya akan meningkat juga. Memenuhi harapan tersebut, kinerja petugas satpol PP perlu didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai. Kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan yang baik. Salah satunya adalah melalui Competency Based Education and Training (CBET). Melalui Competency Based Education and Training (CBET) diharapkan dapat meningkatkan motivasi petugas Satpol PP dan meingkatkan kinerja dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak perlindungan dan ketertiban. Motivasi yang ada pada petugas satpol PP harus senantiasa dipacu, karena tanpa motivasi kerja yang tinggi yang dilakukan oleh organisasi belumlah optimal. Masih perlu ditingkatkan agar memberikan kinerja yang baik dilapangan. Kinerja yang baik tentunya harus ditunjang oleh kualitas SDM yang baik. Sehingga dipandang perlu untuk meningkatkan kompetentisi petugas satpol PP. Sehingga dapat diketahui sejauhmana Competency Based Education and Training (CBET) dan motivasi
berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Sehingga melalui penelitian ini akan menemukan relevansinya.
18 B. Identifikasi Masalah Mengacu pada konsep otonomi daerah yang diamanatkan Undang Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah. Pasal 120 menekankan pada keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang bertugas membina ketenteraman ketertiban masyarakat, memberi peringatan dini, pemeliharaan, penanggulangan, dan penegakan peraturan daerah (perda) yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural dimana mengacu pada kepentingan terbaik untuk masyarakat. Mengacu pada pemahaman diatas, maka penelitian dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya petugas Satpol PP? 2. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas sumber daya petugas Satpol PP? 3. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas sumber daya petugas Satpol PP? 4. Bagaimana meningkatkan kinerja petugas Satpol PP? 5. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas kinerja petugas Satpol PP? 6. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas kinerja petugas Satpol PP? 7. Bagaimana
mengembangkan
motivasi
petugas
Satpol
PP
dalam
melaksanakan tupoksinya? 8. Bagaiman strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan motivasi petugas Satpol PP dalam melaksanakan tupoksinya?
19 9. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan motivasi kerja petugas Satpol PP? 10. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training (CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP ? 11. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training (CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP ? 12. Bagaimana pengaruh pendekatan Competency-based Education and Training (CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP perempuan ? 13. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training (CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP perempuan ? 14. Apakah terdapat korelasi antara pendekatan Competency-based education and training (CBET), terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP perempuan ?
C. Pembatasan masalah Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada pembahasan tentang pengaruh motivasi dan pelatihan terhadap kinerja petugas Satpol PP didalam lingkup Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
D. Perumusan Masalah Dari identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian ini perumusan masalah dirumuskan sebagai berikut:
20 1. Apakah terdapat perbedaan kinerja antara petugas satpol PP yang mengikuti model pelatihan Competency Based Education and Training (CBET) dengan model pelatihan konvensional ? 2. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja petugas satpol PP ? 3. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan mengikuti pelatihan model Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dibandingkan kinerja satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti pelatihan konvensional ? 4. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti model pelatihan konvensional lebih tinggi daripada kinerja petugas satpol PP yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti Competency Based Education and Training (CBET)?
E. Kegunaan hasil penelitian Penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis mempunyai berbagai manfaat sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritik Hasil penelitian
dapat dijadikan landasan untuk menyusun konsep dan
strategi baru dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan petugas satpol PP guna mempersiapkan personil SDM yang memadai dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi dari petugas Satpol PP.
21 2. Kegunaan Praktis Penelitian yang dilakukan di Dinas Satpol PP provinsi DKI ini diharapkan dapat memberikan masukkan atau rekomendasi khususnya kepada pihak manajemen dalam peningkatan kompetensi petugas Satpol PP yang lebih baik di masa yang akan datang dengan mengutamakan kepentingan terbaik untuk masyarakat.
22 BAB II KERANGKA TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
Acuan teori yang merupakan landasan konseptual dalam penelitian menekankan pada kajian tentang kinerja, model pendidikan dan pelatihan, serta motivasi petugas Satpol PP.
A. Kinerja 1. Pengertian Kinerja Satpol PP merupakan perangkat aparat pelaksana layanan perlindungan dan penegak hukum dalam konteks institusi ketenteraman dan ketertiban (tramtib) di lingkungan dimana ditugaskan. Kinerja Satpol PP mengacu pada tugas pokok dan fungsinya sebagai pembina ketenteraman ketertiban
masyarakat
(tramtibmas),
pemberi
layanan
perlindungan,
pemberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan tramtibmas, dan penegak peraturan daerah (perda). Secara keseluruhan ruang geraknya dijiwai untuk kepentingan terbaik bagi masyarakat, dan sesuai dengan tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat secara umum. Tuntutan tugas aparat Satpol PP yang bagitu luas ini tentu merupakan suatu beban kerja tersendiri. Kuantitas beban kerja yang demikian berat tentunya merupakan permasalahan kinerja yan spesifik bagi aparat satpol PP. Karena tentunya suatu organisasi, dalam hal ini Satpol PP sangat menginginkan adanya peningkatan kinerja sesuai dengan standar yang
23 telah ditentukan untuk mencapai tujuan. Mewujudkan pencapaian tujuan tersebut harus ditopang oleh semangat dan kegairahan kerja pegawai. Oleh karena itu organisasi atau instansi perlu mengetahui berbagai kelemahan dan
menguatkan
kelebihan.
Suatu
hal
yang
lumrah
mengetahui
kekurangan, hal ini diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan pengembangan pegawai. Menjawab kebutuhan tersebut, perlu dilakukan kegiatan penilaian kinerja secara periodik yang berorientasi pada masa lalu atau masa yang akan datang bagi para petugas Satpol PP. Kinerja merupakan implementasi dari rencana yang telah disusun dengan mengedepankan kapasitas sumber daya. Implementasi kinerja dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, kompetensi, motivasi, dan kepentingan. Bagaimana organisasi menghargai dan memperlakukan sumberdaya manusianya akan mempengaruhi sikap dan perilaku sumber daya tersebut dalam menjalankan kinerja. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan, konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi sehingga seseorang berupaya untuk melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja harus dapat diejawantahkan sebagai apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Fremont dalam internet Journal (2000) memberikan konsep umum tentang prestasi adalah kinerja = f (kesanggupan, usaha dan kesempatan). Persamaan ini menampilkan faktor atau variabel pokok yang menghasilkan prestasi, mereka adalah masukan (inputs) yang jika digabung, akan
24 menentukan hasil usaha perorangan dan kelompok. Kesanggupan (ability) adalah fungsi dari pengetahuan dan skill manusia dan kemampuan teknologi. Ia memberikan indikasi tentang berbagai kemungkinan prestasi. Usaha (effort) adalah fungsi dari kebutuhan. Sasaran, harapan dan imbalan. Besar kemampuan terpendam manusia yang dapat direalisir itu bergantung pada tingkat motivasi individu dan/atau kelompok untuk mencurahkan usaha fisik dan mentalnya. Tetapi tak akan ada yang terjadi sebelum
manajer
memberikan
kesempatan
(opportunity)
kepada
kesanggupan dan usaha individu untuk dipakai dengan cara-cara yang bermakna. Prestasi organisasi adalah hasil dari sukses individu dan kelompok dalam mencapai sasaran yang relevan. Pada organisasi atau unit kerja di mana input dapat teridentifikasi secara individu dalam bentuk kuantitas misalnya pabrik jamu, indikator kinerja pekerjaannya dapat diukur dengan mudah, yaitu banyaknya output yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Namun untuk unit kerja kelompok atau tim, kinerja tersebut agak sulit, dalam hubungan ini Simamora4 (1995 : 132) mengemukakan bahwa kinerja dapat dilihat dari indiktor-indikator sebagai berikut : 1) keputusan terhadap segala aturan yang telah ditetapkan organisasi, 2) Dapat melaksanakan pekerjaan atau tugasnya tanpa kesalahan (atau dengan tingkat kesalahan yang paling rendah), 3) Ketepatan dalam menjalankan tugas.
4
Anoraga, Panji dan Sri Suyati. 1995. Perilaku Keorganisasian.Cetakan Pertama. Penerbit Dunia Pustaka Jaya. Jakarta. Hal. 132
25 Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke dalam penilaian perilaku secara mendasar meliputi: (1) kualitas kerja; (2) kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau pernyataan
yang
disampaikan;
(5)
keputusan
yang
diambil;
(6)
perencanaan kerja; (7) daerah organisasi kerja. Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. Sehubungan dengan itu maka upaya untuk mengadakan penilain kinerja merupakan hal yang sangat penting. Kinerja
mempunyai
hubungan
yang
erat
dengan
masalah
produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Jadi untuk mendapatkan gambaran tentang kinerja seseorang, maka perlu pengkajian khusus tentang kemampuan dan motivasi. Faktorfaktor utama yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan dan kemauan. Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak orang mau tetapi tidak mampu juga tetap tidak menghasilkan kinerja apaapa. Senada dengan pemahaman diatas, Mangkunegara berpendapat bahwa kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang
26 dicapai seseorang)5. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Irawan yang mengemukakan bahwa kinerja merupakan satu-satunya petunjuk yang dapat kita percayai untuk menyimpulkan apakah suatu organisasi, unit atau pegawai sukses atau gagal, berprestasi atau tidak.6 Menurut Hariandja kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan oleh pegawai atau perilaku nyata yang dinyatakan sesuai dengan perannya dalam organisasi atau instansi.7 Sedangkan Husein mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja yang dicapai seseorang tenaga
kerja
dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaannya yang dibebankan kepadanya.8 Handoko mendefinisikan kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan pengalaman dan kesungguhan waktu. 9 Sedangkan definisi kinerja menurut Gomes adalah ungkapan seperti out
5
Mangkunegara, Anwar P., Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia, (PT. Refika Aditama, Bandung: 2005), hlm. 9. 6 Irawan, Prasetya et.al, Manajemen Sumber Daya Manusia, (STIA-LAN: Jakarta, 2002), hlm. 11. 7 Hariandja, Marihot Tua Efendi,Drs.,M.Si., Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai, Edisi I, Cetakan ketiga, (Bumi Aksara, Jakarta: 2005), hlm. 195. 8 Husein, Umar. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Edisi Revisi, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002), hlm. 14. 9 Handoko T. Hani, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, (BPFE, Yogyakarta: 2002), hlm. 25.
27 put,
efisiensi
serta
efektivitas
dan
sering
dihubungkan
dengan
produktivitas.10 Kinerja pegawai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam usaha organisasi untuk mencapai tujuannya, sehingga berbagai kegiatan harus dilakukan orgisasi atau instansi untuk meningkatkannya. Salah satu diantaranya adalah melalui penilaian kinerja. Menurut Efendi Hariandja Penilaian kinerja merupakan salah satu proses organisasi atau instansi dalam menilai kinerja pegawainnya11. Tujuan dilakukannya penilaian kinerja secara umum adalah untuk memberikan feedback kepada pegawai dalam upaya memperbaiki tampilan kerja dan upaya meningkatkan produktivitas organisasi. Secara khusus dilakukan dengan berbagai kebijaksanaan terhadap pegawai seperti untuk tujuan promosi, kenaikan gaji, pendidikan dan latihan. Dikemukakan oleh Tika bahwa kinerja adalah hasil-hasil fungsi pekerjaan (motivasi, kecakapan, persepsi peranan) seseorang dalam suatu organisasi atau instansi yang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi atau instansi.12
Berkaitan dengan motivasi
kerja, Victor Vroom yang dikutip dalam Efendi Hariandja tentang
teori
motivasi expentansi, mengatakan bahwa salah satu unsur penting dalam motivasi adalah adanya kemungkinan bahwa seseorang dapat mencapai kinerja yang diharapkan, yang disebut dengan expectancy, disamping adanya hubungan yang jelas antara kinerja dengan reward/imbalan yang 10
Mangkunegara, Op Cit, hlm. 9. Hariandja, Op Cit, hlm. 195. 12 Moh. Pabundu Tika, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan (Bumi Aksara, Jakarta: 2005), hlm. 121. 11
28 didapat (instrumentality), serta imbalan yang akan didapat sesuai dengan bentuk yang sangat diinginkan saat ini (valens).13 Kinerja di dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumber daya manusia dalam organisasi atau instansi, baik unsur pimpinan maupun pekerja. Banyak sekali aspek maupun faktor yang dapat mempengaruhi sumberdaya manusia dalam menjalankan kinerjanya. Adapun aspek-aspek standar pekerjaan menurut Mangkunegara14 terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kualitatif meliputi: (1) Proses kerja dan kondisi pekerjaan; (2) Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan; (3) Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan; dan (4) Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja. Sedangkan aspek kualitatif meliputi: (1) Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan; (2) Tingkat kemampuan dalam bekerja; (3) Kemampuan menganalisis data/informasi, kemampuan/kegagalan
menggunakan
mesin/peralatan;
dan
(4)
Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen). Ukuran-ukuran keberhasilan dalam pekerjaan dapat ditentukan dengan tepat dan lengkap, dan diuraikan dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan diukur secara cermat dan tepat. Sehingga dalam pelaksanaan pengelolaan kinerja karyawan, hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang (karyawan). Menurut Robbins yang dikutip oleh Rivai dan Basri mengemukakan bahwa kinerja adalah sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau
13 14
Hariandja, Op Cit, hlm. 198. Mangkunegara, Op Cit, hlm. 17-19.
29 Ability (A), motivasi atau Motivation (M) dan kesempatan atau Opportunity (O), yaitu kinerja = f(A x M x O)”.15 Dengan demikian, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu. Sedangkan menurut Davis dan Newstrom yang di kutip Husein yang menyebutkan variabel-variabel yang mampu mempengaruhi tingkat prestasi dan kinerja (performance) organisasi, yakni : kewenangan organisasi, kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungan organisasi.16 Sementara menurut Wibowo mengemukakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan kinerjanya, terdapat faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia sendiri maupun dari luar dirinya antara lain: (1) Kemampuan berdasar pada pengetahuan
dan
keterampilan,
kompetensi
yang
sesuai
dengan
pekerjaannya, motivasi kerja dan kepuasan kerja, kepribadian, sikap dan perilaku; (2) Kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam organisasi atau instansi, yaitu: bagaimana pemimpin menjalin hubungan dengan pegawai, bagaimana
mereka
berprestasi,
dan
memberi bagaimana
penghargaan mereka
kepada
pegawai
mengembangkan
yang serta
memberdayakan pegawainya; (3) Sumber dana, bahan, peralatan, teknologi, dan mekanisme kerja yang berlangsung dalam organisasi; dan (4) Lingkungan kerja atau situasi kerja yang merupakan faktor lingkungan 15
Veithzel Rivai dan, Ahmad F.M. Basri, Performance Appraisal (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hlm. 15. 16 Husein, Op Cit., Hlm. 134.
30 kerja
internal
organisasi
atau
instansi,
seperti
kondisi
hubungan
antarmanusia di dalam organisasi, baik antara atasan dengan bawahan maupun diantara rekan sekerja.17 Berpijak dari
berbagai pandangan para
pakar di atas terdapat
banyak variabel yang mempengaruhi pencapaian kinerja organisasi yaitu faktor kepemimpinan, faktor motivasi, faktor disiplin dan faktor kinerja dari sumber daya manusia dalam hal ini adalah pegawai. Menurut
Simamora
dalam
Mangkunegara
bahwa
upaya
peningkatan kinerja (performance) pegawai dipengaruhi oleh tiga faktor, diantaranya : 1) Faktor individual, yang berupa kapasitas untuk mengerjakan sesuatu, terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang dan demografi. 2) Faktor psikologis, berupa persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi, yang dapat membentuk keinginan mencapai sesuatu. 3) Faktor organisasi, yang memberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan (imbalan), struktur dan job design.18 Memahami hal tersebut, kinerja pegawai akan tercipta bila di dukung oleh adanya kesiapan yang dimiliki karyawan itu sendiri baik secara kemampuan, mental (psikologis) dan adanya dukungan dari organisasi berupa kesempatan. Karena acapkali terjadi, meski seorang individu
17
18
Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hal.65-66. Mangkunegara, Op Cit., hlm. 14.
31 bersedia dan mampu, tetapi bisa saja ada rintangan yang ada dapat menjadi penghambat yang cukup berarti. Pendapat lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, antara lain dikemukakan Amstrong dan Baron (1998,16) yang dikutip oleh Wibowo yaitu, sebagai berikut : a) Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan kompetensi yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu. b) Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan pimpinan dan team leader. c) Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan sekerja. d) System factors, ditunjukkan oleh system kerja dan fasilitas yang diberikan organisasi. e) Contextual/situational
factors,
ditunjukkan
oleh
tingginya
tingkat
tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.19 Pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersumber dari pegawai sendiri maupun yang bersumber dari organisasi. Dari pegawai sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau kompetensinya.
Sementara
itu,
dari
segi
organisasi
atau
instansi
dipengaruhi oleh seberapa baik pemimpin memberdayakan pegawainya, bagaimana
19
mereka
Wibowo, Op Cit., hlm. 74-75.
memberikan
penghargaan
pada
pegawai,
dan
32 bagaimana mereka membantu meningkatkan kemampuan kinerja pegawai melalui coaching, mentoring dan counselling.20 Indikator kinerja atau performance indikators kadang-kadang dipergunakan secara bergantian dengan ukuran kinerja (performance measures), tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja berkaitan dengan hasil yang dikuantitatifkan dan mengusahakan data setelah kejadian. Sementara itu, indikator kinerja dipakai untuk aktivitas yang hanya dapat ditetapkan secara kualitatif atas dasar perilaku yang dapat diamati. Menurut Hersey, Blanchard, dan Jhonson yang di kutip oleh Nengah21, terdapat tujuh indikator kinerja, yang digambarkan sebagai berikut:
20 21
Ibid, hlm. 76. Wibowo, Op Ciit,
hlm.386.
33
competenc e feedback goals
motive standard
means opportunity
Gambar 1: Indikator Kinerja
Gambar ketujuh indikator kinerja diatas dapat dijelaskan, sebagai berikut: 1) Goals (tujuan) merupakan suatu keadaan yang lebih baik yang ingin dicapai dimasa yang akan datang. Dengan demikian, tujuan merupakan arah ke mana kinerja harus dilakuakan. Kinerja individu maupun organisasi berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang diinginkan. 2)
Standard (standar) merupakan suatu ukuran apakah tujuan yang dinginkan dapat dicapai. Tanpa standar, tidak dapat diketahui kapan suatu tujuan dapat tercapai. Kinerja seseorang dikatakan berhasil apabila mampu mencapai standar yang ditentukan atau disepakati bersama antara atasan dan bawahan.
3) Feedback (umpan balik) merupakan masukan yang dipergunakan untuk mengukur kemajuan kinerja, standar kinerja, dan pencapaian tujuan. Dengan umpan balik dilakukan evaluasi terhadap kinerja dan sebagai hasilnya dapat dilakukan perbaikan kinerja. Masukan berupa feedback
34 ini dapat berasal dari dalam dan luar organisasi. Umpan balik dari dalam organisasi merupakan evaluasi yang dilakukan secara bersama atau melalui tim khusus yang dibentuk untuk memberikan masukan terhadap sebuah pencapaian tujuan organisasi. Umpan balik dari luar organisasi dapat dilihat dari respon masyarakat (pengguna) dari produk maupun jasa yang di hasilkan oleh organisasi. 4) Means (alat atau sarana) merupakan sumber daya yang dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses. Alat atau sarana merupakan faktor penunjang untuk pencapaian tujuan. 5) Competence (kompetensi) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan baik. Kompetensi memungkinkan seseorang mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. 6) Motive (motif) merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Pimpinan memfasilitasi motivasi kepada karyawan dengan insentif berupa uang, memberikan pengakuan, menetapkan tujuan menantang, menetapkan standar terjangkau, meminta umpan balik, memberikan kebebasan melakukan pekerjaan termasuk waktu melakukan pekerjaan, menyediakan sumber daya yang diperlukan dan menghapuskan tindakan yang mengakibatkan disintesif. 7) Opportunity (peluang) merupakan peluang untuk menunjukkan prestasi kerjanya.
Terdapat
dua
faktor
yang
menyumbangkan
adanya
35 kekurangan kesempatan untuk berprestasi, yaitu ketersediaan waktu dan kemampuan untuk memenuhi syarat.22 Kinerja amat bergantung sejauh mana upaya seseorang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Tujuan yang telah ditetapkan ini merupakan tujuan yang terukur dan dapat diobservasi oleh seluruh anggota organisasi sehingga tujuan merupakan sesuatu yang konkrit dan nyata bukan merupakan hal yang abstrak dan mengawang jauh dari kenyaataan. Kemampuan organisasi untuk meramu bentuk dari tujuan yang ingin dicapai menjadi amat penting, karena hal itu dapat memberikan kejelasan kepada anggota organisasi untuk mencapai target tujuan yang hendak dicapai. Sarana dan kompetensi merupakan faktor pendukung yang penting yang diperlukan oleh setiap anggota untuk mencapai tujuan organisasi. Sarana dan kompetensi memungkinkan seorang anggota organisasi dapat mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Motif yang dimiliki seorang anggota organisasi merupakan hal yang cukup penting dalam usaha mendorong seorang anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kemampuan seorang pemimpin untuk memfasilitasi motif dari setiap anggotanya menjadi faktor kunci bagi kelancaran pergerakan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Peluang yang diperoleh oleh seorang anggota organisasi juga memegang peranan penting bagi anggota untuk turut andil mencapai tujuan 22
Wibowo, Op Cit., hlm. 77-80.
36 organisasi. Ketersedian waktu yang dimiliki oleh seorang anggota organisasi memegang peranan penting guna menunjukkan prestasi kerjanya secara optimal sesuai dengan kebutuhan upaya untuk mencapai tujuan organisasi. Prestasi kerja seorang anggota organisasi perlu ditunjang oleh kemampuan untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh organisasi untuk melakukan suatu pekerjaan. Beberapa penjabaran di dapat dirangkumkan kedalam beberapa kata kunci untuk menunjukkan kinerja seorang anggota satpol PP yaitu: Hasil pekerjaan, insentif dan produktifitas. Hasil pekerjaan hasil pekerjaan yang dicapai oleh individu dan terkait pada tujuan organisasi yang telah ditetapkan oleh organisasi dan tunjang oleh sistem, kepemimpinan, sarana, dan dukungan organisasi yang diberikan oleh organisasi. Sedangkan insentif merupakan hal-hal yang berkaitan dengan motif dan kebutuhan yang ada dalam diri individu. Dan produktifitas berkaitan dengan kemampuan seorang anggota organisasi untuk menghasikan jumlah pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan peluang yang dimiliki oleh seorang anggota organisasi menyelesaikan pekerjaannya. Berdasarkan penjabaran konsep di atas maka kinerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai hasil tertentu. Perbuatan tersebut mencakup hasil, insentif dan produktifitas yang hasilkan melalui proses yang terfokus pada tujuan yang hendak dicapai serta dengan terpenuhinya standar pelaksanaan dan kualitas yang diharapkan.
37 2. Dimensi dan Indikator Kerja Sebagaimana definisi kinerja yang dirumuskan di atas, maka dalam mengukur kinerja terdapat beberapa faktor atau dimensi yang harus terpenuhi yaitu kualitas kerja, kunatitas kerja, pengetahuan, keandalan, kehadiran dan kerjasama. Masing-masing faktor tersebut dijabarkan dalam beberapa indikator sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut :
38 Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja No 1
2
Dimensi
Indikator
Kualitas Kerja
Kuantitas kerja
-
Ketelitian bekerja
-
Ketepatan dalam berkerja
-
Kerapian bekerja
-
Keterampilan dan kecakapan kerja
-
Empati dalam bereja bersama dengan masyarakat
-
Jumlah hasil kerja yang telah dicapai
-
Kecepatan dalam menyelesaikan pekerjaan
-
Menurunnya
kecenderungan
penyimpangan
dan
pelanggaran dalam masyarakat 3
4
5
Pengetahuan
Keandalan
Kehadiran
-
Pemahaman terhadap tugas yang dikerjakan
-
Etika bekerja bersama masyarakat sipil
-
Mengikuti instruksi pimpinan
-
Memiliki inisiatif
-
Disiplin dalam kerja
-
Memiliki empati dalam bekerja
-
Hadir dalam rapat rutin
-
Aktif dalam setiap rapat
-
Aktif melaksanakan tugas piket harian dan lapangan
-
Aktif melakukan patroli keliling
-
Aktif melakukan penjangkauan masyarakat yang bermasalah
6
Kerjasama
-
Kemampuan bekerjasama dengan teman seprofesi
-
Kemampuan bekerjsama dengan atasan
-
Kemampuan dalam melaksanakan fungsi referal
-
Kemampuan dalam menjalin jejaring kemasyarakatan khususnya
bidang
layanan
perlindungan
dan
penegakan ketertiban -
Kemampuan penguatan masyarakat untuk secara
39 No
Dimensi
Indikator madani menyelenggarakan sistem kontrol sosial untuk
mnegakkan
perlindungan
dan
ketertiban
bermasyarakat -
Kemampuan menjadikan dirinya petugas Satpol PP yang ramah terhadap lingkungan dimana bekerja.
B. Pendidikan dan Pelatihan 1. Pengertian Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan dan Pelatihan (Education and Training) atau biasa disingkat Diklat adalah bagian yang tak terpisahkan dan terpenting dalam peningkatan
kinerja.
Mengacu
dalam
bahasa
inggris,
education
(pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi peningkatan.23
Dalam
pengertian
sempit,
McLeod
mendefinisikan
pendidikan sebagai perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan.24 Tardif yang dikutip Syah mendefisikan pendidikan sebagai seluruh tahapan pengembangan kemampuan dan perilaku manusia dan proses
penggunaan
pengalaman
kehidupan.25
Nedle
dalam
Tilaar
mengartikan pendidikan adalah proses belajar mempersiapkan individu untuk pekerjaan yang berbeda pada masa yang akan datang.26 M. Chabib Thoha menyatakan bahwa untuk memahami pengertia npendidikan dengan benar, pendidikan perlu dibedakan menjadi dua 23
John M. Echols dan Hassan Shadily Kamus Inggris Indoensia (Jakarta: PT Gramedia, 2005), h. 205 24 William T McLoad, (edt.), The New Collins Dictionary and Thesaurus ( Glasgow: William Collins Sons and Co.Ltd., 1989). 25 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Rosdakaya, 2008), h.10 26 Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasioanl (Bandung: Rosadakarya, 2001) h.202
40 pengertian yaitu pengertian yang bersifat teoritis dan pengertian pendidikan dalam arti praktis.27 Menururtnya, pendidikan dalam arti pertama adalah pemikiran
manusia
terhadap
masalah-masalah
kependidikan
untuk
memecahkan dan menyusun teori-teori baru dengan mendasarkan pada pemikiran normative spekulatif rasional empirik, rasional filosofik maupun historic filoisofik.28 Pendidikan dalam arti praktis para ahli pendidikan merumuskan secara bervariasi. a. Menurut Goerge F. Kneller. “Education is the Process of self realization. In which the self realizesand develops all its parentialitles.”29 Artinya : “Pendidikan dalam realisasi
diri
dimana
(pribadi
Individu)
merealisasikan
dan
mengembangkan semua potensi-potensinya”. b. Menururt Frederick J. McDonald “Education is a process aran activity which is directed at producing desirable changes in the behavior of human being.” Artinya: pendidikan adalah suatu prosews atau aktivitas yang secara langsung diharapkan dapat menghasilkan bisa menghasilkan perubahan tingkah laku.30
27
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 98. 28 Ibid, hlm. 23 29 Goerge F. Kneller, Logic and Language Of Education John And Willey Ine, (New York, 1996), hlm. 14-15. 30 Frederick J. Mc Donald, Educational Pshycology Wods Worrth Publishing Company Inc, (San Francisc, 1999), hlm. 4.
41 c. Menurut John Dewey “Etimologycall the world education means just a proccess of leading or bringing of. When we have the out come of the process in mind we speakz of education as shaping, forming, molding activity that is, a shaping into the standart from of social activity.”31 Artinya, secara etimologi, kata pendidikan hanya berarti suatu proses memimpin atau mengasuh, jika kita telah menghsilkan proses kejiwaan, kita katakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan pembinaan, dan percetakan aktivitas, yakni pembentukan ke dalam bentuk standar dari aktivitas sosial. Menurut Chabib Thoha, Pendidikan dalam arti praktek atau “suatu proses pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan potensi-potensi
yang
dimiliki
subjek
didik
untuk
mencapai
perkembangan secara optimal serta membudayakan manusia melalui proses tranformasi nilai-nilai yang utama.”32 Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengembangan pribadi dalam semua aspek-aspeknya. Atau dapat juga diartikan sebagai suatu proses pengembangan pribadi dalam semua aspek-aspeknya untuk merealisasikan manusia yang berbudi luhur.
31
John Dewey, Democratic And Education, (New York: The Macmillian Company, 1964), hlm. 10 32 Chabib Thoha, Op.cit., hlm. 99.
42 Pelatihan adalah suatau kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas tertentu.33 Dessler mengartikan pelatihan sebagai proses pembelajaran.34 Donaldson dan Scannel memaknai pelatihan sebagai upaya perubahan perilaku. menurutnya
pendikan
dan pelatihan harus
35
diorganisir agar dapat
mengantarkan perubahan perilaku peserta pelatihan. Jucius dalam Bernardin menyatakan bahwa pendidikan dan pelatihan digunakan untuk menunjukkan setiap proses, dimana bakat, kecakapan dan kemampuan para pegawai dikembangkan agar mereka dapat menyelsaikan pekerjaan tertentu. Kemudian Bernardin menyebutkan secara ideal bahwa pelatihan harus disesuaikan dengan keinginan mewujudkan dan mencapai tujuan organisasi.36 Pelatihan bagi Bosker adalah suatu kegiatan pembelajaran yang terprogram
dengan
tujuan
untuk
meningkatkan
kemampuan
dan
keterampilan peserta.37 Makna kemampuan dan keterampilan di sini tidak hanya
sekadar
ranah
psikomotorik,
namum
juga
meliputi
aspek
kemampuan dan keterampilan yang utuh. Termasuk dalam makna kemampuan di sini adalah kecerdasan majemuk (multiple intelegencies) dan aspek-aspek psikologis lain, seperti motivasi kerja, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan sebagainya yang dapat dikembangkan melalui pelatihan. 33
Ranupanjoyo dan Husnan, Manajemen Personalia (Yogyakarta: BPFE, 1995), h.77 Gary Deseler, Personal Management, Ter. Agung Dharma (Jakarta: Erlangga, 1997), h.266 35 Donaldson dan Scannel, Human Resources Development, terj.Ya’kub (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1993), h.7 36 Bernardin, Human Resources Management (Jakarta: Mc. Graw-Hill Inc., 1993), h.297 37 J. Bosker, Training effectiveness, New York, Pergamon, 1997, P: 3 34
43 Menurut Brown, pelatihan merupakan salah satu kegiatan pokok dalam pengembangan sumberdaya manusia.38 Hal ini karena kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berubah, serta perkembangan ilmu dan teknologi,
menyebabkan
organisasi
atau
lembaga
harus
selalu
menyesuaikan diri. Untuk itu sumberdaya manusia yang ada dalam organisasi harus selalu ditingkatkan kemampuannya. Sebagian besar kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dilakukan melalui program pelatihan. Pelatihan menurut Wexley dan Yukl adalah suatu proses di mana pegawai mempelajari keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang diperlukan guna melaksanakan pekerjaannya secara efektif.39 Sementara menurut Amstrong, pelatihan adalah kegiatan untuk mengisi kesenjangan antara apa yang dapat dikerjakan seseorang dan siapa yang seharusnya mampu mengerjakannya, agar secepat mungkin pegawai dapat mencapai suatu tingkat kemampuan kerja dalam jabatan mereka, dan menambah keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki prestasi dalam jabatan yang sekarang atau mengembangkan potensinya untuk masa yang akan datang.40 Berpijak pada
beberapa pengertian di atas, maka pengertian
pendidikan dan pelatihan dalam penelitian ini adalah kegiatan yang dilakukakan 38
untuk
membina
kepribadian,
meningkatkan
dan
M. J. Brown, The Effectiveness Of Organization, (California, Fearon, Belmont California, 1999), p: 26 39 Kenneth Wexley dan Gary A Yukl, Organizational Behavior and personal Psychology, (Ontorio, Richard D. Irwan. Inc, 1997), p: 301 40 Michael Amstrong, Manajemen Sumber daya Manusia, Terjemahan Sofyan Cikman dan Hariyanto, (Jakarta, Elex Media Kompotindo, 1990), p. 120
44 mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan karyawan dalam bekerja. Pelaksanaan diklat sangat beragam jenis program dan model yang digunakan. Berikut adalah dua model diklat yang biasa dilakukakan dalam berbagai kegiatan.
2. Competence Based Education and Training (CBET) Competence Based Education Training (Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi) merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja (performance target) yang telah ditetapkan. Target kinerja yang dimaksud adalah kompetensi. Artinya, pendidikan dan pelatihan yang diperuntukkan bagi
sumberdaya
bukan
sekedar
membentuk
kompetensi,
tetapi
kompetensi tersebut harus relevan dengan tugas dan jabatannya. Dengan kata lain, kompetensi itu secara langsung dapat membantu di dalam melaksanakan tugas sehari-hari dari sumber daya tersebut. Makna kompetensi secara umum menurut Anderson adalah sebagai sebagai karakteristik dasar yang terdiri dari kemampuan (skill), pengetahuan (knowledge) serta atribut lainnya yang mampu membedakan seseorang yang perform dan tidak perform. Berdasarkan pengertian tersebut diatas, kompetensi dipandang sebagai alat penentu untuk memprediksi keberhasilan kerja seseorang.
45 Senada dengan pengertian tersebut, Mulyasa41 menjelaskan bahwa kompetensi merupakan indikator yang menunjuk pada perbuatan yang bisa diamati dan sebagai konsep yang mencakup aspek–aspek pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap serta tahap–tahap pelaksanaannya secara utuh. Bagi Spencer dan Spencer kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannnya.42 Kompentensi seorang individu merupakan sesuatu yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kinerjanya. Sesuatu yang dimaksud bisa menyangkut motif, konsep diri, sifat, pengetahuan maupun kemampuan/keahlian. Kompentensi individu yang berupa kemampuan dan pengetahuan bisa dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Selanjutnya menurut Spencer dan Spencer kompetensi dapat dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu threshold competencies dan differentiating compentencies. Threshold competencies adalah karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya. Tetapi tidak untuk membedakan seorang yang berkinerja tinggi dan ratarata. Sedangkan differentiating competiencie adalah factor-faktor yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah.43 Misalnya seorang dosen harus mempunyai kemampuan utama mengajar, itu berarti
41
E. Mulyasa, Dr., M.Pd., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007), h. 88 42 M.Lyle Spencer and M.Signe Spencer , Competence at Work:Models for Superrior Performance (New York: John Wily & Son,Inc,New York,1993), h.120 43 Ibid., h.122
46 pada tataran threshold competencies, selanjutnya apabila dosen dapat mengajar dengan baik, cara mengajarnya mudah dipahami dan analisanya tajam sehingga dapat dibedakan tingkat kinerjanya maka hal itu sudah masuk kategori differentiating competencies. Mengacu pada berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang dimaksud adalah kompetesi yang mencakup tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai tugas pokok dan fungsi sumber daya tersebut. Kompetensi seseorang dapat berkembang atau meningkat melalui beberapa cara, seperti melalui pengalaman, belajar sendiri, pendidikan formal maupun melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) tertentu. Masingmasing pola perkembangan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, namun sebaiknya diperoleh melalui perpaduan dari semua cara tersebut. Merujuk pada aspek teoritis dan praktis perkembangan kompetensi yang diperoleh melalui Diklat dapat dikatakan lebih lengkap dan mendalam dari pada melewati pengalaman. Hal ini karena pada pelaksanaan diklat dirancang berdasarkan sistem belajar yang terstruktrur yang dibimbing oleh banyak fasilitator dan penyelenggara. Lain halnya dengan perkembangan kompetensi yang diperoleh melalui pengalaman, dimana lebih banyak didasarkan pada kegiatan praktek langsung sebagai respon dari kebutuhan hidup dimana selama ini sumber daya tersebut tinggal dan bermukim. Competency Based Education and Training (CBET) merupakan salah satu pendekatan dalam pengembangan kompetensi sumber daya
47 manusia yang berfokus pada hasil akhir (outcome). Competency Based Education and Training (CBET) sangat fleksibel dalam proses kesempatan untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Hasil Competency Based Education and Training (CBET) menuntut persyaratan dan karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input), proses, dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak sesuai dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas. Tujuan Competency Based Education and Training (CBET) adalah agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara khusus, tujuan utama Competency Based Education and Training (CBET) adalah menghasilkan kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam berbagai pekerjaan dan jabatan. Penelusuran (penilaian) kompetensi yang telah dicapai dan sertifiikasi. Hasil Competency Based Education and Training (CBET) hendaknya dihubungkan dengan standar kompetensi yang akan diberikan. Program pendidikan dan pelatihan didasarkan atas uraian kerja Kebutuhan multi – skilling Alur karir (career path). Menurut Rylatt
44
, terdapat 9 prinsip
yang harus diperhatikan dalam Competency Based Education and Training (CBET): 44
Rylatt , Op. Cit ,1993, p.88-89
48 a) Bermakna. Praktek terbaik Kompetensi harus merefleksikan kebutuhan utama bisnis, yang didasarkan atas standar industri / kejuruan yang terbaik. b) Hasil pembelajaran Competency Based Education and Training (CBET) lebih difokuskan pada hasil pembelajaran, bukan pada penyampaian pendidikan dan pelatihan. c) Fleksibel Competency Based Education and Training (CBET) dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode, baik yang bersifat formal maupun informal. d) Mengakui pengalaman belajar sebelumnya. Competency
Based
Education
and
Training
(CBET) mengakui
pengalaman belajar yang dimiliki oleh peserta, sehingga mereka tidak dituntut harus mengikuti pendidikan dan pelatihan sampai akhir. Bila kemudian peserta mengikuti ujian dan lulus ujian kompetensi maka mereka berhak memperoleh kelulusan dan kualifikasi. e) Tidak didasarkan atas waktu. Competency Based Education and Training (CBET) tidak dibatasi oleh waktu. Perbedaan kemampuan setiap peserta akan menentukan lamanya proses pendidikan dan pelatihan
49 f) Penilaian yang diperlukan. Competency
Based
Education
and
Training
(CBET)
sangat
memperhatikan kemampuan memperagakan kompetensi sehingga setiap orang perlu untuk dnilai tingkat kompetensinya. g) Monitoring dan evaluasi. Proses ini mutlak diperlukan mulai dari masukan, proses sampai pada keluaran. h) Konsistensi secara nasional. Competency Based Education and Training (CBET) berlandaskan pada penampilan kompetensi yang secara nasional konsisten dengan kebutuhan industri sehingga hasilnya seseorang karyawan dapat dterima di tempat lain dan dapat dipekerjakan secara nasional. i) Akredetasi pembelajaran Kurikulum yang digunakan dalam Competency Based Education and Training (CBET)harus memperoleh pengakuan dari badan / instansi yang berkompeten. Sistem Competency Based Education and Training (CBET) dapat dilakukan dengan berbagai model, salah satu diantaranya adalah Model Sistem Strategik Competency Based Education and Training (CBET) pada perusahaan yang dilakukan melalui 5 tahap. Menurut Dubois45, tahap-tahap tersebut
adalah
Analisis
kebutuhan
penilaian
dan
perencanaan,
Pengembangan Model Kompetensi, Perencanaan Kurikulum, Perancangan dan Pengembangan Intervensi Pembelajaran, dan Evaluasi. 45
Dubois, Op.Cit, 88
50
3. Pelatihan Konvensional Pelatihan konvensional adalah kegiatan pelatihan yang lebih banyak menekankan pada input (masukan berupa misalnya materi, kriteria peserta dan lain lain) dan proses serta produk yang banyak variasi dalam upaya meningkatkan kinerja peserta. Model pelatihan ini karena terlalu banyak variasi kadang-kadang output yang ingin dicapai menjadi tidak terukur. Memperhatikan pelatihan model konvensional, kriteria keberhasilan selalu ditentukan oleh pihak penyelenggara. Peserta latih hanya menjadi objek pelatihan yang tidak dapat menentukan kehendak yang ingin dicapainya sendiri sebagaimana dalam Competency Based Education and Training (CBET). Pemahaman yang dimaksud model pelatihan konvensional dalam peneltian ini adalah segala kegiatan pendidikan dan pelatihan yang lebih menekakan kepada variasi input, proses dan produk (lulusan) dalam mencapai peningkatan kinerja. Atau dengan kata lain, model pelatihan konvensional adalah model pendidikan dan pelatihan yang tidak berbasis kompetensi.
51 B. Motivasi Kerja Kerja 1. Pengertian Motivasi Kerja Tindakan seseorang dalam kontek apapun termasuk dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya diawali oleh adanya tenaga dorongan dari dalam dirinya serta rangsangan yang berasal dari lingkungannya. Dorongan dari dalam dirinya berkaitan erat dengan kebutuhannya, sedangkan rangsangan dari luar berkaitan erat dengan citacita dan harapannya seperti status sosial, uang, jabatan dan lain-lain. Menurut Danim, motivasi (motivation) diartikan sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan atau mekanisme psikologi yang mendorong seseorang atau kelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya. 46 Terkait arti kognitif, motivasi diasumsikan sebagai aktivitas individu
untuk menentukan
kerangka dasar tujuan dan penentuan perilaku untuk mencapai tujuan. Menekankan pada arti afeksi, motivasi bermakna sikap dan nilai dasar yang dianut oleh seseorang atau sekelompok orang untuk bertindak atau tidak bertindak. Menurut
Hasibuan,
motivasi
adalah
daya
penggerak
yang
menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegerasi dengan segala upaya-upayanya untuk
46
Sudarwan Danim, Prof.,Dr., Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok, (PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2004), hlm. 2.
52 mencapai kepuasan.47 Selanjutnya menurut Hasibuan ada hal-hal yang dapat memotivasi bawahan, yaitu: 1) Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang yang mencakup perasaan untuk berprestasi, bertanggungjawab, kemajuan
dapat
menikmati
pekerjaan
itu
sendiri
dan
adanya
penagkuan atas semuanya itu. 2) Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama faktor yang bersifat embel-embel pada pekerjaan, tunjangan, sebutan jabatan, hak, gaji, dan lain-lain. 3) Karyawan kecewa jika peluang untuk berprestasi terbatas, mereka akan sensitif pada lingkungannya serta mencari-cari kesalahan. Sedangkan Akitson dan Hilgard yang dikutip Hariandja motivasi diartikan sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam usaha yang keras atau lemah.48 Bila apa yang merupakan kebutuhan pegawai itu sudah dapat diketahui
dan
dirumuskan
dengan
pasti,
maka
selanjutnya
perlu
direncanakan cara-cara memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan perkataan lain harus ditemukan pula metode-metode, alat dan sarana-sarana yang cocok untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Maslow seperti dikutip oleh Husein berhasil mengembangkan suatu teori tentang adanya tingkat kebutuhan manusia : 47
Hasibuan, Malayu H.SP, Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas, Bumi Aksara, Jakarta, 2003), hlm. 97. 48 Hariandja,Op Cit, hlm. 321.
53 1) Kebutuhan fisik (the physiological needs) 2) Kebutuhan akan rasa aman (the safety needs) 3) Kebutuhan untuk dicintai (the love needs) 4) Kebutuhan untuk dihargai (the esteem needs) 5) Kebutuhan untuk aktualitas diri (the needs for self-actualization)49 Teori Maslow mengenai motivasi didasarkan kepada adanya tingkat-tingkat kebutuhan dan perubahan daya dorongnya. Perubahan daya dorong dalam istilah Maslow disebut prepotency berarti bahwa apabila semua tingkat kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi, maka kebutuhankebutuhan dasar yang bersifat fisik seperti sandang, pangan, papan akan merupakan kebutuhan yang dominan. Apabila kebutuhan tingkat awal sudah dapat terpenuhi akan mendorong manusia untuk mencapai tingkat berikutnya dan seterusnya. Implikasi manajerial teori Maslow disini adalah bagaimana memotivasi pegawai atau mengaktifkan, menggerakan perilaku kerja pegawai kearah peningkatan efektivitas organisasi. Sesuai dengan teori ini, seorang pegawai tidak akan termotivasi untuk bekerja dengan baik bilamana pelaksanaan pekerjaan tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Gaji, upah atau uang merupakan sarana yang sangat pentinguntuk memenuhi kebutuhan fisik. Oleh karena itu, memberikan gaji yang layak kepada karyawan menjadi factor motivasional yang penting untuk memenuhi kebutuhan tingkat pertama, meskipun gaji dapat juga menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Sesuai dengan teori diatas 49
Husein, Op Cit, hlm. 36.
54 juga, bilamana kebutuhan fisik terpenuhi, kebutuhan rasa aman akan meningkat intensitasnya. Program seperti tunjangan kesehatan, pension, asuransi dan keselamatan kerja merupakan faktor motivasional yang sangat penting. Penyediaan sarana ibadat, olahraga, dan berbagai kegiatan yang bersifat social yang memungkinkan terjadinya interaksi intensif diantara karyawan juga merupakan faktor motivasional untuk memenuhi kebutuhan tingkat ketiga. Kesempatan mengembangkan diri melalui program pendidikan merupakan faktor motivasional untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih tinggi, meskipun tidak semua pegawai memiliki intensitas kebutuhan untuk ini. Kemudian Randall S. Schuler dalam Husein menerangkan kaitan antara motivasi dengan perilaku pegawai atau individu dalam suatu organisasi memotivasi pegawai berarti upaya mendapatkan pegawai dengan cara terus menerus berusaha menghilangkan prilaku yang tidak dikehendaki oleh organisasi.50 Perilaku yang tidak dikehendaki oleh organisasi
adalah
rendahnya
kinerja
pegawai,
tingginya
tingkat
ketidakhadiran pegawai, tingkat keluar masuknya pegawai dan perilaku pegawai yang menghindari tugas dan tanggung jawab. Sedangkan perilaku yang diinginkan oleh organisasi adalah, kinerja, kehadiran, keterikatan pegawai pada organisasi dan budaya kerja. Teori tentang motivasi selanjutnya dijelaskan oleh Sudarwan Danim melalui teori Pengharapan (Expectancy theory) tentang motivasi dibangun atas pendekatan kognitif. Ada tiga konsep esensial yang 50
Ibid, hlm. 32.
55 mendasari motivasi manusia, yaitu pengharapan, nilai dan penghargaan. 51 Melalui teori Pengharapan (Expectancy theory) menerangkan bahwa manusia dalam pekerjaannya biasanya mempunyai beberapa alternatifalternatif untuk dipilih. Dan dia harus memilih satu diantara alternatifalternatif tersebut berdasarkan pengharapannya. Dengan perkataan lain, alternatif yang dipilih haruslah alternatif yang memberi imbalan yang sesuai dengan prestasi kerja yang dicapai pegawai bersangkutan. Nilai sendiri adalah tingkatan kesenangan atau kesukaan yang ada di dalam diri individu untuk mendapatkan sejumlah keuntungan. Nilai yang dimaksud di sini seperti insentif atau uang, prestasi yang dicapai, kondisi kerja yang baik, kesempatan untuk meningkatkan karier, dan lain-lain. Karena itu nilai juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mereka harapkan dari pekerjaan
yang
dilakukannya.
Sedangkan
penghargaan
adalah
kepercayaan bahwa perilaku yang ditampilkan oleh individu adalah esensial dalam kerangka pemerolehan keuntungan atau kepuasan atas nilai itu. Menurut Porter dan Miles yang dikutip Sudarwan Danim yang merupakan pengembangan teori pengharapan, mengemukakan bahwa ada tiga variabel yang mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja, yaitu: 1) Sifat-sifat individual pekerja, antara lain meliputi kepentingan setiap individu, sikap, kebutuhan, atau harapan yang berbeda dari setiap individu.
51
Sudarwan damin, Op Cit., hlm. 34.
56 2) Sifat-sifat pekerjaan, antara lain mencakup tugas-tugas yang harus dilaksanakan, tanggung jawab yang diemban dan kepuasan yang muncul. 3) Lingkungan kerja dan situasi kerja karyawan. Pola interaksi antar karyawan sangat mempengaruhi aktivitasnya dalam bekerja. Dia dapat dimotivator oleh rekan kerja. Penghargaan atasan dan manfaat organisasi menentukan motivasi bekerja seseorang.52 Jelas terlihat bahwa maka motivasi memiliki peran penting bagi organisasi untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala daya dan potensi tenaga kerja yang ada kearah pemanfaatan yang optimal sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia dengan didukung sarana dan prasarana. Jelas terlihat bahwa motivasi berperan sebagai pendorong kemauan dan keinginan untuk melaksanakan tugas menurut ukuran dan batasan yang telah ditentukan. Adanya motivasi yang tinggi dari
para
sumber daya akan terdorong untuk bekerja keras dengan memanfaatkan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam melaksanakan tugas pekerjaan yang dibebankannya. Pengertian motivasi kerja menurut Liang Gie yang dikutip Samsudin, motivasi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh manjer dalam memberikan inspirasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam hal ini karyawannya untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu.53 Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan orang-orang atau 52
Ibid, hlm. 34-35. Sadili, Samsudin, Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan kesatu, (CV. Pustaka, Bandung: 2006), hlm. 281-282.
53
57 karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil yang dikehendaki orang-orang tersebut. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat kerja karena dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: atasan, kolega, sarana fisik, kebijaksanaan, peraturan, imbalan jasa uang dan non uang, jenis pekerjaan dan tantangan. Selain itu juga dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan kebutuhannya masing-masing. Menurut
teori
Modern
tentang
motivasi
kerja
antara
lain
dikembangkan Douglas McGregor yang dikutip Sudarwan Danim yang disebut Teori Y. Menekankan pada asumsi bahwa motivasi manusia akan terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan dihadapkan kepada tantangan-tantangan.54 Teori ini menggariskan bahwa didalam kerjasama antar-manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh yang signifikan atau tidak sedikit. Menurut teori ini juga, manusia modern bekerja semata-mata bukan karena rasa takut, terancam, diarahkan atau sebatas imbalan saja. Ada beberapa hal alasan manusia bekerja, yaitu: 1) Adanya kebutuhan dan tuntutan untuk hidup layak 2) Tugas pokok dan fungsinya menuntut dia bekerja dan menjadikan ukuran keberhasilannya. 3) Dorongan untuk berprestasi 4) Rasa ingin mencapai tujuan secara cepat atau kesadaran akan tujuannya, didasari oleh: pertama, memiliki kesediaan dan kesadaran yang tinggi untuk menerima ide dan memecahkan masalah-masalah 54
Sudarwan Danim, Op Cit., hlm. 36.
58 bersama secara inovatif. Kedua, berani mengemukakan pendapat dan mempertanggungjawabkan
demi
kemajuan
organisasi.
Ketiga,
menghargai dunia organisasi dan kepemimpinan orang lain. Keempat, rasa hrga diri yang tinggi, dan tidak terjebak dalam fanatisme sempit. Kelima, menghargai data statistik sebagai hasil dari pengamatan langsung, menghargai prestasi diri sendiri dan orang lain secara wajar. Keenam,
memeiliki
antisipasi
atau
berpikir
ke
depan
dengan
memperhatikan masa sekarang dan kearifan masa lalu. Dan ketujuh, memperhatikan kepentingan umum di samping kebutuhan individu. 5) Suasana atau iklim lingkungan kerja yang sehat 6) Terpenuhinya kebutuhan pribadi, seperti rasa ingin tumbuh dan berkembang dalam hal rasa ingin berprestasi, keinginan menerima tanggungjawab, harga diri, kebutuhan biologis, dan penghargaan hasil yang dicapai. Mengacu pada berbagai pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja merupakan dorongan dari dalam atau luar diri seseorang untuk bekerja dengan tekun dan fokus agar dapat mencapai tujuan perusahaan maupun tujuan pribadinya sehingga akan meningkatkan kinerja pegawai dalam suatu organisasi. Dengan termotivasinya pegawai didalam melakukan pekerjaannya maka dengan sendirinya kinerja pegawai akan meningkat juga.
59 2. Dimensi dan Indikator Motivasi Kerja Berpijak dari berbagai konsep teori motivasi yang dideskripsikan diatas, indikator motivasi kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah didasari oleh teori pengharapan menurut Porter dan Miles yang dikutip Danim yang merupakan pengembangan teori tersebut, mengemukakan bahwa ada tiga variabel yang mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja, antara lain sifat-sifat individual pekerja, sifat-sifat pekerjaan, dan lingkungan kerja serta situasi kerja karyawan.55 Selain itu, juga terkait teori modern tentang motivasi kerja yang dikembangkan Douglas McGregor sebagaimana dikutip Danim yang disebut dengan Teori Y dengan asumsi bahwa motivasi manusia akan terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan dihadapkan kepada tantangan-tantangan”.56 Teori ini menggariskan bahwa didalam kerjasama antar-manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh yang signifikan atau tidak sedikit. Menurut teori ini juga, manusia modern bekerja semata-mata bukan karena rasa takut, terancam, diarahkan atau sebatas imbalan saja. Ada beberapa alasan manusia bekerja, antara lain: adanya kebutuhan dan tuntutan untuk hidup layak, tugas pokok dan fungsinya menuntut dia bekerja, dorongan untuk berprestasi, rasa ingin mencapai tujuan secara cepat dengan kesadaran akan tujuan, suasana atau iklim lingkungan kerja yang sehat, dan terpenuhinya kebutuhan pribadi.
55 56
Ibid, hlm. 34-35. Ibid, hlm. 36.
60 Berdasarkan penjabaran di atas maka dimensi dalam motivasi kerja terdiri atas motif, harapan dan komitmen. Masing-masing dimensi dijabarkan dalam beberapa indikator sebagaimana disebutkan dalam tabel berikut: Tabel 2.2. Dimensi dan Indikator Motivasi Kerja Dimensi
Motif
Harapan
Komitmen
Indikator Segenap kemampuan dan tenaga Kepuasan dari pekerjaan Hasrat yang kuat dalam bekerja Mencari tantangan baru Kemampuan bekerja Pekerjaan menantang. Membuat jadwal Menerapkan program Memiliki jalur karir yang baik Menunjukkan loyalitas Adanya penerapan sanksi yang adil Termotivasi dalam segala hal Adanya kesempatan untuk maju Kebebasan menjalankan ibadah Tanggung jawab
D. Hasil penelitian yang relevan Penelitian yang dilakukan oleh Seger57 menganalisa tentang hubungan antara motivasi, diklat dalam kaitannya dengan disiplin kerja pegawai di lingkungan Badan Diklat Keuangan Departemen Keuangan. Penelitian ini membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara variabel diklat dan motivasi terhadap disiplin pegawai. Artinya dengan 57
Seger, Analisis Hubungan Motivasi, Pendidikan dan Pelatihan dan Kepuasan Kerja Terhadap Disipli Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan. Tesis Program Pascasarjana. (Magister Manajemen. Universitas Bhayangkara. Jakarta: 2005), hlm. 15.
61 disiplin yang dimiliki oleh pegawai maka akan memudahkan para pimpinan membina bawahannya. Disiplin terkait dengan pemberian motivasi, pemberian pendidikan dan pelatihan, dan kepuasan kerja pegawai dan dengan disiplin yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Penelitian yang dilakukan oleh Sahlan58 menganalisa tentang pengaruh disiplin dan insentif terhadap prestasi kerja karyawan pada PT. Rapico Busana Permata Indah membuktikan bahwa keduanya (disiplin dan insentif) mempunyai hubungan yang signifikan secara bersama-sama. Artinya pula apabila antara keduanya maka disiplin mempunyai pengaruh terhadap prestasi karyawan sedangkan insentif juga mempunyai pengaruh terhadap prestasi karyawan. Penelitian tersebut mendorong penulis untuk melakukan analisis yang sama pada satuan Petugas Satpol PP dengan mengembangkan hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian sebelumnya melalui desain yang berbeda dengan variabel bebas yaitu model pelatihan, motivasi, dan variabel terikat yaitu kinerja pegawai.
E. Kerangka Berfikir Setiap petugas Satpol PP dituntut untuk memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan 58
yaitu
membina
ketenteraman
ketertiban
masyarakat
Sahlan, Pengaruh Disiplin dan Insentif Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada PT. Rapico Busana Permata Indah. Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen, (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis Indonesia, Jakarta: 2007), hlm. 102.
62 (tramtibmas), memberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan tramtibmas dan penegakan peraturan daerah (perda) yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Tugas dan fungsi yang luas ini menuntut kinerja yang baik dari setiap personil satpol PP, untuk itu pendidikan
dan
pelatihan
melalui
pendekatan
Competency
Based
Education and Training (CBET) perlu dilakukan. Pendidikan dan Pelatihan pada dasarnya mampu meningkatkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan serta usaha untuk memberikan kemungkinan perubahan sikap yang dilandasi oleh motivasi untuk berpartisipasi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara tidak langsung pendidikan dan pelatihan menggunakan pendekatan Competency Based Education and Training (CBET) dan motivasi adalah faktor penunjang peningkatan kinerja petugas Satpol PP. Motivasi kerja merupakan suatu hal yang terkait erat dengan kinerja petugas satpol PP, kualitas sumber daya manusia yang baik sangatlah dipengaruhi oleh motivasi yang positif sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kinerja petugas Satpol PP tersebut. Termotivasinya petugas Satpol PP didalam melakukan pekerjaannya maka dengan sendirinya kinerja petugas Satpol PP akan meningkat juga. Kinerja
adalah
hasil
kerja
yang
dicapai
seseorang
dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan pengalaman dan kesungguhan. Kinerja yang baik dapat diketahui dari produktivitas dan kepuasan dalam bekerja. Dan kinerja petugas Satpol PP sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
63 kemampuan, ketrampilan fisik tingkat pengetahuan lingkungan dimana petugas Satpol PP bertugas serta sarana penunjang lainnya termasuk latihan, bimbingan atau pengaruh dari pimpinan. Tanpa pendekatan pendidikan dan pelatihan yang baik, sulit bagi organisasi dinas tramtib dan linmas DKI Jakarta mencapai hasil yang optimal. Pendekatan Strategis Competency-Based Education and Training (CBET) ini berfokus pada peningkatan kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam berbagai pekerjaan dan jabatan petugas Satpol PP. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan organisasi, pimpinan dan petugas Satpol PP itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti model Competency Based Education and Training (CBET) dengan kinerja petugas yang mengikuti model pelatihan konvensional. Kerangka ini berdasarkan uraian di atas bahwa pelatihan berbasis kompetensi lebih baik dibandingkan model pelatihan lain. Hal ini dikarenakan dalam Competency Based Education and Training (CBET), seorang sumber daya dituntut untuk dapat menentukan kompetesi yang diinginkan sesuai dengan tujuan yang dirumuskan dalam suatu organisasi. Competency Based Education and Training (CBET) lebih fleksibel dalam penentuan kompetensi tersebut. Dalam Competency Based Education and
64 Training (CBET), diberlakukan penilaian autentik dimana peserta sendiri yang menilai dirinya apakah ia sudah mampu mengusai kompetensi yang dimaksudkan atau tidak. Berbeda dengan model pelatihan biasa yang cenderung menuntut kompetensi tertentu baik dalam hal input peserta, proses yang harus dilakukan dan lain sebagainya sehingga kadang-kadang pelatihan yang diadakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta. Akhirnya tujuan pelatihan untuk meningkatkan kinerja karyawan justru tidak tercapai secara maksimal. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa kinerja petugas satpol PP yang mengikuti model Competency Based Education and Training (CBET) pada lebih tinggi dibandingkan kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti model pelatihan konvensinal. 2. Terdapat Pengaruh Interkasi antara model Pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja petugas Satpol PP Salah satu faktor utama dalam kinerja adalah motivasi seseorang. Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan di atas, motivasi kerja seseorang sangat mempengaruhi kinerjanya. Orang yang memiliki motivasi kerja tinggi cenderung melakukan berbagai aktifitas tertentu yang dapat mendukung dalam meningkatkan kinerjanya. Salah satu aktifitas yang dapat
ia
lakukan
adalah
mengikuti
berbagai
pelatihan
yang
diselenggarakan. Pelatihan yang baik adalah pelatihan yang mampu mengarahkan peserta latihan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pendidikan dan
65 Pelatihan harus mampu melihat karakteristik peserta latih sebagai acuan dalam proses dan pendekatan yang digunakan dalam pendidikan dan pelatihan. Salah satu karakterstik peserta yang harus diperhatikan dan menjadi landasan adalah motivasi kerja para peserta. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa terdapat pengaruh interaksi model pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja sseorang. Pendidikan dan pelatihan yang mendasarkan diri pada penilaian autentik sangat sesuai dengan tipe peserta yang memiliki motibasi kerja yang tinggi. Sebaliknya model pelatihan yang konvensional bersesuaian dengan peserta yang memiliki motivasi rendah. Oleh karena itu, dalam pengaruh interaksi ini, terdapat dua dugaan yaitu, pertama, bahwa kinerja petugas satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti model Competency
Based
Education
and
Training
(CBET)
lebih
tinggi
dibandingkan kinerja peserta yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti pelatihan konvensioal. Dugaan kedua adalah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti pelatihan konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan petugas satpol PP yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti Competency Based Education and Training (CBET). F. Hipotesis penelitian Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka berfikir di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: 1) Terdapat perbedaan kinerja antara petugas satpol PP yang mengikuti Competency Based Education and Training (CBET) dan pelatihan konvesional.
Kinerja
petugas
satpol
PP
yang
mengikuti
model
66 Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dibandingkan
dengan
petugas
yang
mengikuti
model
pelatihan
konvensional. 2) Terdapat pengaruh interaksi kinerja antara model pelatihan dengan motivasi kerja petugas Satpol PP. 3) Kinerja satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan mengikuti Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi daripada kinerja satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti pelatihan konvensional. 4) Kinerja satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti pelatihan konvensional lebih tinggi daripada kinerja satpol PP yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti pelatihan Competency Based Education and Training (CBET).
67
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan penelitian Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikuti model pendidikan dan pelatihan dengan mempertimbangkan motivasi kerja. Secara rinci, tujuan penelitian operasional penelitian ini adalah untuk mengetahui: 3. Perbedaan kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikut model Competency
Based
Education
and
Training
(CBET)
dan
pelatihan
konvensional. 4. Pengaruh interaksi model pendidikan dan pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja petugas Satpol PP. 5. Kinerja Satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti model Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dari dibandingkan kinerja Satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti model pelatihan konvensional. 6. Kinerja Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti model pelatihan konvensional lebih tinggi dibandingkan kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti pelatihan konvensional.
68 B. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) DKI Jakarta. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan bahwa Dinas Tramtib Provinsi DKI Jakarta merupakan institusi yang membawahi petugas Satpol PP di tingkat provinsi. Dinas tramtib Provinsi DKI Jakarta adalah pusat komado bagi petugas Satpol PP di provinsi DKI jakarta. Adapun waktu penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, terhitung bulan November 2008 sampai dengan April 2009.
C. Metode dan desain penelitian Penelitian ini termasuk penelitian quasi eksperimen karena penelitian ini menguraikan hubungan antara suatu perlakuan varaibel dengan variabel lain dimana perlakukan tersebut adalah peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Artinya perlakuan tersebut terjadi bukan disebabkan oleh peneliti. Variabel penelitian terdiri dari: (1) variabel perlakuan (bebas), (2) variabel atribut dan (3) variabel terikat. Variabel perlakuan adalah model pelatihan, variabel atribut adalah motivasi kerja, dan variabel terikat atau varibel kriteria adalah kinerja petugas Satpol PP. Varibel model pelatihan terdiri dari model Competence Based Education and Training, dan model pelatihan konvensional, variabel motivasi kerja terdiri dari tinggi dan rendah. Disain yang digunakan adalah factorial group design dengan rancangan A x B . Konstalasi variabel tersebut di atas, dapat dilihat dalam disain penelitian seperti pada tabel 1 di bawah ini.
69 Tabel 3.1. Rancangan Faktorial A x B Model Pelatihan
Motivasi
(A)
Kerja (B) Tinggi (B1)
Competency Based Education and Training (CBET) (A1) A1B1
Konvensional ( A2 ) A2B1
Rendah A1B2
A2B2
( B2 )
Keterangan: A1
= Model Competence based Education and Training
A2
= Model Pelatihan Konvensional
B1
= Motivasi kerja tinggi
B2
= Motivasi kerja rendah
A1B1
= Kinerja
Petugas
Satpol
PP
yang
mengikuti
model
Competency Based Education and Training (CBET) dan memiliki motivasi kerja tinggi A1B2
= Kinerja
Petugas
Satpol
PP
yang
mengikuti
model
Competency Based Education and Training (CBET) dan memiliki motivasi kerja rendah A2B1
= Kinerja Petugas Satpol PP yang mengikuti model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi tinggi
A2B2
= Kinerja Petugas Satpol PP yang mengikuti model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi rendah
70 D. Populasi, sample dan teknik sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas Satpol PP di Dinas Tramtib Provinsi DKI Jakarta sebagai populasi target. Dipilihnya petugas satpol PP dari Dinas Tramtib DKI Jakarta karena petugas dari Dinas Trambib Provinsi DKI Jakarta merupakan petugas Satpol PP dengan
jangkaun tugas paling luas, khusus di Provinsi DKI Jakarta
mencakup seluruh Kotamadya di seluruh wilayah DKI Jakarta. Petugas satpol PP berjumlah 8000 personel. 2. Sampel Penelitian Dari jumlah populasi terjangkau di atas, maka dilakukan penarikan sampel dengan teknik random klaster berstrata (stratified cluster random sampling). Pengambilan sampel dilakukan melalui prosedur sebagai berikut: a. Menentukan instansi dinas tramtib yang akan menjadi kerangka sampel. Dalam penelitian ini, ditentukan Dinas Tramtib Provinsi DKI Jakarta menjadi kerangka sampel. b. Menghitung jumlah seluruh petugas tramtib dari Dinas Tramtib Provinsi DKI Jakarta. Dari seluruh petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang telah mengikuti pelatihan konvensional dan CBET maka, kemudian ditentukan jumlah sampel petugas satpol PP yang akan telah mengikuti pelatihan konvensional maupun pelatihan CBET pada tahun anggaran 2008 sebanyak 80 petugas Satpol PP sebagai responden dan 20 petugas satpol PP sebagai sampel uji coba untuk
71 menguji validitas dan reliabilitas angket yang dipergunakan sebagai alat ukur motivasi dan kinerja petugas satpol PP. c. Untuk masing-masing kelompok baik untuk kelompok pelatihan konvensional dan metode CBET ditentukan sampel sejumlah 40 orang, sehingga total sampel adalah 80 orang. d. Dari masing-masing kelompok pelatihan dibagi lagi menjadi dua yaitu 20 orang untuk motivasi tinggi dan 20 orang untuk motivasi rendah. Dengan demikian, komposisi masing-masing subjek sebagai sampel penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 3.2. Sampel Penelitian Model Pelatihan Motivasi
Competency Base Education And Training (CBET)
Tinggi
Jumlah Konvensional
20
20
20
20
20
20
40
40
80
Rendah
Jumlah
E. Instrumen penelitian Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data jenis kelamin, data motivasi dan data kinerja petugas Satpol PP Dinas Provinsi DKI Jakarta. Data jenis kelamin diperoleh melalui teknik dokumentasi, sehingga dalam penelitian ini tidak dilakukan pengembangan instrumen dan uji coba
72 terhadap data tersebut. Data motivasi dan kinerja petugas satpol PP diperoleh dengan mengembangkan instrumen kedua variabel tersebut.
73 1. Instrumen Motivasi Kerja a. Definisi Konseptual Motivasi pada dasarnya merupakan motif atau dorongan dari dalam atau luar diri seseorang untuk bekerja dengan tekun dan fokus agar dapat mencapai tujuan perusahaan maupun tujuan pribadinya sehingga akan meningkatkan kinerja pegawai dalam suatu organisasi. Motivasi manusia akan terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan dihadapkan kepada tantangan-tantangan. manusia bekerja sematamata bukan karena rasa takut, terancam, diarahkan atau sebatas imbalan saja. Ada beberapa alasan manusia bekerja, antara lain: adanya kebutuhan dan tuntutan untuk hidup layak, adanya komitmen dalam bentuk tugas pokok dan fungsinya menuntut dia bekerja, dorongan untuk berprestasi, dan adanya harapan serta rasa ingin mencapai tujuan secara cepat dengan kesadaran akan tujuan.
b. Definisi Operasional Bedasarkan definisi konseptual tersebut, secara operasional motivasi dapat didefinisikan sebagai penilaian terhadap motif, harapan, dan komitmen. Dalam upaya
untuk mengukur tingkat motivasi petugas
Satpol PP maka peneliti menggunakan angket yang terdiri atas 15 item pernyataan dengan nilai skor jawaban terdiri dari skala 1 (sangat tidak setuju) hingga nilai tertinggi yaitu 5 (sangat setuju).
74 2. Instrumen Kinerja a. Definisi Konseptual Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang petugas Satpol PP dalam
melaksanakan
tugas
dan
pekerjaan
yang
dibebankan
kepadanya. Adapun peningkatan kinerja dapat diidentifikasi melalui hasil
kerja
yang
sebesar-besarnya
dari
pekerjaan
tersebut.
Peningkatan kinerja suatu petugas Satpol PP dapat ditingkatkan salah satunya dengan pemberian insentif dan penghargaan terhadap produktivitas kerjanya. b. Definisi Operasional Bedasarkan definisi konseptual tersebut, secara operasional kinerja dapat didefinisikan sebagai penilaian terhadap hasil, insentif, dan produktifitas. untuk mengukur tingkat kinerja petugas satpol PP maka peneliti menggunakan angket yang terdiri atas 15 item pernyataan dengan nilai skor jawaban terdiri dari skala 1 (sangat tidak setuju) hingga nilai tertinggi yaitu 5 (sangat setuju).
75 3. Kisi-kisi Instrumen a. Kisi-kisi instrumen Dalam rangka pengukuran keseluruhan variabel penelitian terdiri atas 15 item digunakan skala ordinal dengan rentang skala 1 (satu) hingga 5 (lima).
Adapun kisi-kisi keempat variabel pertanyaan dalam
penelitian adalah sebagai berikut : Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian Variabel
Dimensi
Indikator
Nomor Butir
Jumlah Jawaban
Segenap kemampuan dan tenaga Kepuasan dari pekerjaan Motif
Hasrat yang kuat dalam
1,2,3,4,5, 6
6
bekerja Mencari tantangan baru Mampu bekerja Pekerjaan menantang. Membuat jadwal Motivasi
Menerapkan program Memiliki jalur karir yang Harapan
baik Menunjukkan loyalitas
7,8,9,10, 11
5
12,13,14, 15
4
Adanya penerapan sanksi yang adil Termotivasi dalam segala hal Komitmen
Adanya kesempatan untuk maju
Sangat Setuju Setuju Cukup Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju.
76
Variabel
Dimensi
Nomor Butir
Indikator Kebebasan
Jumlah Jawaban
menjalankan
ibadah Tanggung jawab Puas dengan pekerjaan
Kinerja
Pekerjaan tepat waktu
(Y) Hasil
5
Menyelesaikan pekerjaan 1,2,3,4,5
Keyakinan bekerja Inovasi
baru
dalam
pekerjaan
Sangat Setuju Setuju Cukup Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju.
Pemberian bomus Insentif
Menyelesaikan
pekerjaan
6,7
2
8,9,10,11 ,12,13,14 ,15
8
tenang Mebutuhkan kemampuan Bangga
terhadap
pekerjaan Produktif
Tenang dan nyaman Hasl pekerjaan Mendalami
pengetahuan
tugas Menjaga kesehatan Mengabdikan
diri
dan
pikiran
b. Pembobotan Perhitungan
pembobotan menggunakan skala
Likert
untuk
pertanyaan yang diberikan pilihan yang ditentukan berdasarkan skala Likert, seperti terlihat pada Tabel 2.
77 Tabel 3.4. Skala Likert dalam Lembar Kuesioner/Angket Jawaban Sangat Setuju
Skor Nilai 5
Setuju
4
Cukup
3
Tidak Setuju
2
SangatTidakSetuju
1
Sumber: Sugiyono, (2002 ; 74) Jawaban yang telah diberi diisi oleh responden, kemudian dijumlahkan untuk dijadikan skor penelitian terhadap variabel-variabel yang diteliti. Data dari kuesioner disebut dengan data primer.
F. Uji coba instrumen 1) Pengujian Validitas Instrumen Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara butir satu dengan yang lain dari variable A atau B, apakah ada keselarasan antara butir. Selanjutnya, butir tersebut valid atau tidak dapat diketahui dengan cara mengkorelasikan antara skor butir dengan skor total. Bila harga korelasi di bawah 0,361 maka dapat disimpulkan bahwa butir instrument tersebut tidak valid sehingga perlu diperbaiki atau dibuang karena tidak selaras dengan butir yang lain. Dan sebaliknya jika harga korelasi di atas 0,361 maka butir instrument tersebut valid. 59 Dari hasil uji coba perhitungan validitas dilakukan terhadap jawaban 30 reponden dan kemudian mereduksi item-item yang tidak 59
Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. (Alfabete:IKAPI. Bandung, 2002), hlm. 287.
78 valid. Nilai α (tingkat kepercayaan) yang digunakan untuk uji validitas dan uji reabilitas adalah 0,05 dengan derajat bebas N-2 sehingga sampel 30 responden didapatkan nilai r-tabel
0,361. Dan hasil perhitungan
dengan menggunakan program SPSS.v.17, dihasilkan validitas data sebagai berikut : Tabel 3.5. Hasil Uji Validitas Instrumen Motivasi Kerja Item-Total Statistics Corrected Cronbach's Perny ataan Scale Mean if Scale Variance Item-Total Alpha if Item Item Deleted if Item Deleted Correlation Deleted X_1 X_2 X_3 X_4
35.10 36.17 34.90 36.23
91.059 81.385 90.369 85.220
Perny ataan Scale Mean if Scale Variance X_6 X_8 X_9 X_10 X_11 X_12 X_15 X_16 X_18 X_19 X_20
Item Deleted 35.87 35.83 35.43 36.40 35.23 36.30 35.67 35.40 35.70 36.20 35.30
if Item Deleted 93.568 85.868 90.944 83.145 90.323 85.666 93.057 91.145 91.666 85.338 91.872
.532 .904 .814 .893 .415 .910 .727 .897 Corrected Cronbach's Item-Total Alpha if Item Correlation Deleted .470 .906 .646 .900 .567 .903 .861 .892 .594 .902 .728 .897 .474 .906 .468 .906 .565 .903 .648 .900 .474 .906
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan 1 sampai dengan pertanyaan 15 dinyatakan valid karena nilai korelasinya lebih 0,361. Jadi kesimpulannya bahwa secara keseluruhan pertanyaan yang ada dalam
79 kuesioner motivasi tersebut dapat digunakan untuk menganalisis penelitian tersebut. Tabel 3.6. Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja Item-Total Statistics Perny Scale Mean Scale Corrected Cronbach's ataan if Item Variance if Item-Total Alpha if Item Deleted Item Deleted Correlation Deleted Y_1
32.67
87.678
.448
.884
Y_2
32.50
81.845
.606
.878
Y_3
32.73
85.444
.481
.883
Perny Scale Mean Scale Corrected Cronbach's ataan if Item Variance if Item-Total Alpha if Item Deleted Item Deleted Correlation Deleted Y_4
33.67
83.954
.603
.878
Y_5
32.77
85.702
.529
.881
Y_6
32.47
84.257
.430
.887
Y_7
33.53
83.430
.552
.880
Y_8
33.60
87.007
.512
.882
Y_10
33.60
84.041
.646
.877
Y_11
33.43
79.702
.770
.871
Y_12
33.53
79.913
.722
.873
Y_13
33.47
81.913
.775
.872
Y_16
33.27
84.616
.397
.889
Y_17
33.23
82.392
.508
.883
Y_18
32.07
85.995
.438
.885
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan 1 sampai dengan pertanyaan 15 dinyatakan valid karena nilai korelasinya lebih 0,361. Jadi kesimpulannya bahwa secara keseluruhan pertanyaan yang ada dalam kuesioner kinerja tersebut dapat digunakan untuk menganalisis penelitian tersebut.
80 2) Pengujian Reliabilitas Instrumen Pengujian reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur derajat ketepatan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini. Pada tahap ini pengujian dilakukan dengan menggunakan teknik alpha Cronbach. Untuk keperluan tersebut maka butir-butir instrument penelitian yang telah valid dibelah menjadi dua kelompok yaitu bagian genap dan bagian ganjil. Pengujian variabel dengan menggunakan program SPSS versi 12. for windows. Hasil perhitungan reliabilitas kemudian dikonsultasikan dengan tabel interpretasi nilai reliabilitas di bawah ini. Tabel Interpretasi Nilai Reliabilitas60 NILAI ALPA
KRITERIA
Alpha < 0.7
kurang meyakinkan (inadequate)
Alpha > 0.7
baik (good)
Alpha > 0.8
istimewa (excellent)
Tabel 3.7. Hasil Analisis Reliabilitas Reliability Statistics Cronbach's Alpha .908
N of Items 15
Sumber : Hasil Pengolahan SPSS v.17 Berdasarkan pengujian tersebut, 15 pernyataan tentang motivasi dinyatakan realibel karena memililiki r hitung (α) sebesar = 0,908 (nilai alpha). Dengan nilai 60
r hitung (α) sebesar = 0,908 maka relaibilitas
Nunnally, Jum C., psychometrics 2nd edition,, (New york: Mc Graw Hill, 2002) h, 245
81 instrumen motivasi kerja satpol PP memiliki kriteria reliabilitas yang sangat tinggi.
Tabel 3.8. Hasil Analisis Reabilitas Reliability Statistics Cronbach's Alpha .887
N of Items 15
Sumber : Hasil Pengolahan SPSS v.17
Berdasarkan pengujian tersebut, 15 pernyataan tentang kinerja dinyatakan realibel karena memililiki r hitung (α) sebesar = 0,887 (nilai alpha). Dengan nilai
r hitung (α) sebesar = 0,887 maka relaibilitas
instrumen Kinerja Petugas Satpol PP memiliki kriteria reliabilitas yang sangat tinggi.
G. Analisis data Data yang sudah diperoleh dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk menyajikan data dalam bentuk histogram, grafik, perhitungan mean, median, modus, simpangan baku, dan rentang teoritik masing-masing variabel. Selanjutnya dilakukan analisis inferensial untuk menguji hipotesis melalui analisis varian (anava) dengan dua faktor. Anava yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menguji hipotesis (1) main effect yaitu efek A dan B, (2) interaction effect yakni efek interaksi A-B dan (3) simple effect.
82 Sebelum dilakukan uji hipotesis, maka perlu diuji persyaratan analisis data, yaitu uji normalitas dan homogenitas. Uji normalitas dilaksanakan untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal dari populasi
yang
berdistribusi
normal,
sedangkan
uji
homogenitas
dilaksanakan untuk mengetahui apakah data penelitian yang telah dikumpulkan berasal dari populasi yang homogen. Untuk menguji normalitas data digunakan rumus uji Lilliefors, dan untuk menguji homogenitas data digunakan rumus uji Barlett.
H. hipotesis statistik 1. Main effect : H0 : μA1 = μA2 H1 : μA1 > μA2
2. Interaction effect H0 : μA-B = μA-B H1 : μA-B > μA-B 3. Simple Effect : 1) H0 :
μA1B1 = μA2B1
H1 :
μA1B1 μA2B1
2) H0 :
μA1B2 = μA2B2
H1 :
μA1B2 μA2B2
83 BAB IV BAB IV HASIL PENELITIAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Sebaran Skor Model Competence based Education and Training petugas satpol PP (A1) Hasil analisis data 40 orang petugas satpol PP yang menggunakan Model Competence based Education and Training menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari 78 sampai 134. Harga rerata (mean) sebesar 105,08; simpangan baku (standar deviation) sebesar 17,433 median sebesar 102,5 dan modus sebesar 122. Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor Model Competence based Education and Training petugas satpol PP. Tabel 4.1: Distribusi frekuensi skor Model Competence based Education and Training petugas satpol PP (A1) No
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
1 2 3 4 5 6
78,5 - 87,5 87,5 - 96,5 96,5 - 105,5 105,5 - 114,5 114,5 - 123,5 123,5 – 134 Jumlah
7 10 4 3 10 6 40
17,5 25 10 7,5 25 15 100
f. Kumulatif (%) 17,5 42,5 52,5 60 85 100
Gambar 4.1: Skor Model Competence based Education and Training petugas satpol PP (A1)
84
12 10 8 6 4 2 0 78,5 - 87,5 87,5 - 96,5 96,5 - 105,5
105,5 114,5
114,5 123,5
123,5 - 134
2. Sebaran Skor Model Pelatihan Konvensional Petugas Satpol PP (A2) Hasil analisis data 40 orang petugas satpol PP yang menggunakan model pelatihan konvensional menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari 61 sampai 112. Harga rerata (mean) sebesar 75,5; simpangan baku (standar deviation) sebesar 14,245 median sebesar 71 dan modus sebesar 67. Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor model pelatihan konvensional petugas satpol PP.
85 Tabel 4.2: Distribusi frekuensi skor Model Pelatihan Konvensional petugas satpol PP (A2) No 1 2 3 4 5 6
Nilai 61,5 - 70 70 - 78,5 78,5 - 87 87 - 95,5 95,5 - 104 104 - 112,5 Jumlah
f. Absolut 20 10 4 1 1 4 40
f. Relatif 50 25 10 2,5 2,5 10 100
f. Kumulatif (%) 50 75 85 87,5 90 100
Gambar 4.2: Skor Model Konvensional Petugas Satpol PP (A2) 25 20 15 10 5 0 61,5 - 70
70 - 78,5
78,5 - 87
87 - 95,5
95,5 - 104
104 - 112,5
3. Sebaran Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (B1). Hasil analisis data motivasi kerja 40 orang petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi menunjukkan bahwa rentangan
86 teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari 74 sampai 134. Harga rerata (mean) sebesar 103,3; simpangan baku (standar deviation) sebesar 20,817 median sebesar 109,5 dan modus sebesar 76. Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor motivasi kerja petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi. Tabel 4.3: Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (B1) No
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
1 2 3 4 5 6
74,5 - 84,5 84,5 - 94,5 94,5 - 104,5 104,5 - 114,5 114,5 - 124,5 124,5 - 134,5 Jumlah
13 1 3 7 10 6 40
32,5 2,5 7,5 17,5 25 15 100
f. Kumulatif (%) 32,5 35 42,5 60 85 100
87 Gambar 4.3: Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki Motivasi Tinggi (B1) 14 12 10 8 6
Series1
4 2 0 74,5 - 84,5 84,5 - 94,5
94,5 104,5
104,5 114,5
114,5 124,5
124,5 134,5
4. Sebaran Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja rendah (B2). Hasil analisis data motivasi kerja 40 orang petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari 61 sampai 103. Harga rerata (mean) sebesar 77,25; simpangan baku (standar deviation) sebesar 13,167 median sebesar 73 dan modus sebesar 67. Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor motivasi kerja petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah.
88 Tabel 4.4: Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (B2)
No 1 2 3 4 5 6
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
20 0 3 6 8 3 40
50 0 7,5 15 20 7,5 100
61,5 - 68,5 68,5 - 75,5 75,5 - 82,5 82,5 - 88,5 88,5 - 95,5 95,5 - 103 Jumlah
f. Kumulatif (%) 50 50 57,5 72,5 92,5 100
Gambar 4.4: Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP yang memiliki Motivasi Rendah (B2) 25 20 15 10 5 0 61,5 - 68,5
68,5 - 75,5
75,5 - 82,5
82,5 - 88,5
88,5 - 95,5
95,5 - 103
5. Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1). Hasil analisis data 20 orang petugas satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang
89 memiliki motivasi kerja tinggi menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari 102 sampai 134. Harga rerata (mean) sebesar 120,85; simpangan baku (standar deviation) sebesar 7,435 median sebesar 122 dan modus sebesar 122. Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. petugas satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki motivasi kerja tinggi. Tabel 4.5: Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1). No
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
1 2 3 4 5 6
102,5 - 107,5 107,5 - 112,5 112,5 - 117,5 117,5 - 122,5 122,5 - 127,5 127,5 - 134,5 Jumlah
1 2 2 7 4 4 20
5 10 10 35 20 20 100
f. Kumulatif (%) 5 15 25 60 80 100
90 Gambar 4.5: Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1). 8 7
6 5 4 3 2 1 0 102,5 107,5
107,5 112,5
112,5 117,5
117,5 122,5
122,5 127,5
127,5 134,5
6. Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2). Hasil analisis data motivasi kerja 20 orang petugas satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari 78 sampai 103. Harga rerata (mean) sebesar 89,3; simpangan baku (standar deviation) sebesar 6,681 median sebesar 90 dan modus sebesar 90.
91 Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah. Tabel 4.6: Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
No 1 2 3 4 5 6
Nilai 78,5 - 82,5 82,5 - 86,5 86,5 - 90,5 90,5 - 94,5 94,5 - 98,5 98,5 - 103,5 Jumlah
f. Absolut
f. Relatif
3 3 7 3 2 2 20
15 15 35 15 10 10 100
f. Kumulatif (%) 15 30 65 80 90 100
Gambar 4.6: Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2). 8
7 6
5 4 3 2 1 0 78,5 - 82,5
82,5 - 86,5
86,5 - 90,5
90,5 - 94,5
94,5 - 98,5 98,5 - 103,5
7. Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1).
92 Hasil analisis data motivasi kerja 20 orang petugas satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari 74 sampai 112. Harga rerata (mean) sebesar 85,8; simpangan baku (standar deviation) sebesar 1,369 median sebesar 77,5 dan modus sebesar 76. Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi. Tabel 4.7: Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1). No
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
1 2 3 4 5 6
74,5 - 80,5 80,5 - 86,5 86,5 - 92,5 92,5 - 98,5 98,5 - 104,5 104,5 - 112,5 Jumlah
11 3 0 2 0 4 20
55 15 0 10 0 20 100
f. Kumulatif (%) 55 70 70 80 80 100
93 Gambar 4.7: Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1). 12 10 8 6 4 2 0 74,5 - 80,5
80,5 - 86,5
86,5 - 92,5
92,5 - 98,5 98,5 - 104,5 104,5 - 112,5
8. Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2). Hasil analisis data motivasi kerja 20 orang petugas satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari 61 sampai 68. Harga rerata (mean) sebesar 65,2; simpangan baku (standar deviation) sebesar 2,353 median sebesar 66 dan modus sebesar 67. Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah.
94 Tabel 4.8: Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2). No 1 2 3 4 5 6
Nilai 61,5 - 62,5 62,5 - 63,5 63,5 - 64,5 64,5 - 65,5 65,5 - 66,5 66,5 - 68,5 Jumlah
f. Absolut
f. Relatif
3 1 4 1 3 8 20
15 5 20 5 15 40 100
f. Kumulatif (%) 15 20 40 45 60 100
Gambar 4.8: Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2). 9 8 7 6 5 4 3 2
1 0 61,5 - 62,5
62,5 - 63,5
63,5 - 64,5
64,5 - 65,5
65,5 - 66,5
66,5 - 68,5
Apabila hasil-hasil keseluruhan deskripsi data tersebut di atas dinyatakan dalam bentuk tabel, maka diperoleh data-data sebagai berikut:
95 Tabel 4.9: Rekapitulasi deskripsi data rata-rata model pelatihan dan Motivasi kerja terhadap kinerja petugas satuan polisi pamong praja
NO
Kelompok
SD
Me
Mo
78
105,0 8
17,43 3
102, 5
122
112
61
75,5
14,24 5
71
67
40
134
74
103,3
20,81 7
109, 5
76
Motivasi
40
103
61
77,25
13,16 7
73
67
Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1).
20
134
102
120,8 5
7,435
122
122
Skor
Competence 1
Skor Hasil Belajar
Mean
Sebaran
Education
and
N
Max
Min
40
134
40
Model based Training
petugas satpol PP (A1)
2
Sebaran Skor Model Pelatihan Konvensional Petugas Satpol PP (A2) Sebaran
Skor
Motivasi
Kerja Petugas Satpol PP 3
yang
memiliki
Motivasi
Kerja Tinggi (B1).
Sebaran
Skor
Motivasi
Kerja Petugas Satpol PP 4
yang
memiliki
Kerja rendah (B2).
5
96
NO
6
7
8
Kelompok
N
Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education 20 and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2). Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional 20 ya- ng memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1) Sebaran Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional 20 ya- ng memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).
Skor Hasil Belajar
Mean
SD
Me
Mo
78
89,3
6,681
90
90
112
74
85,8
1,369
77,5
76
68
61
65,2
2,353
66
67
Max
Min
103
B. Pengujian Persyaratan Analisis Data Pengujian atau uji hipotesis dengan analisis varian dua jalan (Two-way ANOVA) memerlukan persyaratan analisis data: (1) sampel diambil secara acak; (2) ukuran sampel minimum dipenuhi; (3) data sampel masing-masing variabel berdistribusi normal dan homogen. Persyaratan pertama dan kedua telah dipenuhi sebab sampel penelitian diambil secara acak dengan ukuran sampel 80 orang (>30 kasus).61 Pengujian persyaratan ketiga yaitu bahwa sebaran data penelitian berdistribusi normal. Masing-masing untuk variabel Y, X1 dan X2 melalui piranti lunak SPSS diuji normalitas dan homogenitasnya.62
61
Masri Singarimbun, dkk. 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, p. 171. Singgih Santoso, 2002, Buku Latihan SPSS Statistik Multivarian, Jakarta: Elexmedia Komputindo. 62
97 1. Uji Normalitas Uji normalitas terhadap sebaran data di atas, yaitu data kinerja petugas Satpol PP berdasarkan pemberian model pelatihan dan Motivasi kerja petugas satpol PP (data kelompok A1B1, A2B1, A1B2 dan A2B2 sebagai mana dibahas pada deskripsi data di awal Bab 4 ini). Secara manual uji normalitas dapat dilakukan dengan uji Lilliefors atau dapat juga dengan Chi-square,63 dari hasil perhitungan menggunakan uji Lilliefors skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training dan metode konvensional yang dikelompokkan berdasarkan motivasi kerja yang dimiliki. Adapun kriteria pengujiannya adalah jika Lhitung > Ltabel maka data berdistribusi normal dan jika Lhitung < Ltabel maka data tidak berdistribusi normal. Hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki motivasi tinggi (A1B1) diperoleh Lhitung sebesar 0,1438. Untuk Ltabel dengan α sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan L hitung (0,1438) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki motivasi tinggi (A1B1) adalah berdistribusi normal. Sedangkan untuk hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki motivasi rendah (A1B2) diperoleh Lhitung sebesar 0,1102. Untuk Ltabel dengan α sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan
63
H.R. Santosa Nurwani, 1999, Statistika Terapan (Teknik Analisa Data), Jakarta: Program Pasca Sarjana UHAMKA, p. 18-20.
98 Lhitung (0,1102) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki motivasi rendah (A1B2) adalah berdistribusi normal. Untuk hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi tinggi (A2B1) diperoleh Lhitung sebesar 0,1706. Untuk Ltabel dengan α sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan Lhitung (0,1706) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi rendah (A2B1) adalah berdistribusi normal. Sedangkan untuk hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi rendah (A2B2) diperoleh Lhitung sebesar 0,1517. Untuk Ltabel dengan α sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan L hitung (0,1517) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi rendah (A2B2) adala berdistribusi normal. Dari perhitungan uji normalitas dengan menggunakan Uji Liliefors keempat kelompok data di atas, maka dapat dirangkumkan dalam tabel di bawah ini:
99 Tabel Tabel 4.10: Tabel Pengujian Normalitas Sumber Data
Lhitung
Ltabel
A1B1
0,1438
0,1900
Data Berdistribusi Normal
A1B2
0,1102
0,1900
Data Berdistribusi Normal
A2B1
0,1706
0,1900
Data Berdistribusi Normal
A2B2
0,1517
0,1900
Data Berdistribusi Normal
Kesimpulan
2. Uji Homogenitas Variansi Uji homogenitas variansi dimaksudkan untuk menguji homogenitas varian antar kelompok-kelompok skor Y yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan nilai X. Pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan Uji F. Yakni menghitung rasio antara varians terbesar dengan varians terkecil dari kelompok yang diuji. Hasilnya adalah sebagai berikut: a. Pengujian Homogenitas Variansi A1B1 atas A2B1 Hasil perhitungan untuk pengujian homogenitas variansi motivasi bekerja kelompok data A1B1 atas kelompok data A2B1 diperoleh output SPSS sebagai berikut: Tabel 4.12: Test of Homogeneity of Variances A1B1 Levene Statistic 1.328
a
df1
df2 11
Sig. 63
.230
100
Test of Homogeneity of Variances A1B1 Levene Statistic 1.328
df1
a
df2 11
Sig. 63
.230
Tabel 4.13: ANOVA A1B1 Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
548.750
13
42.212
Within Groups
501.800
6
83.633
1050.550
19
Total
F
Sig. .505
.858
Adapun kriteria pengujian homogenitas variansi ini adalah sebagai berikut: a) Distribusi data dinyatakan homogen bila nilai Sig. (dibaca: probabilitas signifikasi) baik pada tabel Test of Homogenity of Variances maupun tabel ANOVA di atas lebih besar dari 0, 05. b) Distribusi data dinyatakan tidak homogen bila nilai Sig. baik pada tabel Test of Homogenity of Variances maupun tabel ANOVA di atas lebih kecil dari 0, 05.64 Dengan memperhatikan nilai Sig. pada tabel Test of Homogenity of Variances sebesar 0, 230 dan pada tabel ANOVA sebesar 0,858, maka dinyatakan bahwa homogenitas variansi A1B1 atas A2B1 terpenuhi.
64
Santoso.2002., Loc.Cit.
101
b. Pengujian Homogenitas Variansi A1B1 atas A1B2 Hasil perhitungan untuk pengujian homogenitas variansi hasil belajar Bahasa Indonesia kelompok data A1B1 atas kelompok data A1B2 diperoleh output SPSS sebagai berikut:
102 Tabel 4.14: Test of Homogeneity of Variances A1B1 Levene Statistic 1.299
df1
a
df2 10
Sig. 63
.251
Tabel 4.15: ANOVA A1B1 Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
761.800
14
54.414
Within Groups
288.750
5
57.750
1050.550
19
Total
F
Sig. .942
.578
Adapun kriteria pengujian homogenitas variansi ini adalah sebagai berikut: a) Distribusi data dinyatakan homogen bila nilai Sig. (dibaca: probabilitas signifikansi) baik pada tabel Test of Homogenity of Variances maupun tabel ANOVA di atas lebih besar dari 0, 05. b) Distribusi data dinyatakan tidak homogen bila nilai Sig. baik tabel Test of Homogenity of Variances maupun tabel ANOVA di atas lebih kecil dari 0, 05.65 Dengan memperhatikan nilai Sig. pada tabel Test of Homogenity of Variances sebesar 0, 251 dan pada tabel ANOVA sebesar 0,578; maka dinyatakan bahwa homogenitas variansi A1B1 atas A1B2 terpenuhi.
65
Ibid.
103 c. Pengujian Homogenitas Variansi A1B1 atas A2B2 Hasil perhitungan untuk pengujian homogenitas variansi hasil belajar Bahasa Indonesia kelompok A1B1 atas kelompok data A2B2 diperoleh output SPSS sebagai berikut:
Tabel 4.16: Test of Homogeneity of Variances A1B1 Levene Statistic
df1
.761
df2 4
Sig. 13
.569
Tabel 4.17: ANOVA A1B1 Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
457.417
6
76.236
Within Groups
593.133
13
45.626
1050.550
19
Total
F 1.671
Sig. .206
Adapun kriteria pengujian homogenitas variansi ini adalah sebagai berikut: a) Distribusi data dinyatakan homogen bila nilai Sig. (dibaca: probabilitas signifikansi) baik pada tabel Test of Homogenity of Variances maupun tabel ANOVA di atas lebih besar dari 0, 05. b) Distribusi data dinyatakan tidak homogen bila nilai Sig. baik pada tabel Test of Homogenity of Variances maupun tabel ANOVA di atas lebih kecil dari 0, 05.66
66
Ibid.
104 Dengan memperhatikan nilai Sig. (dibaca: probabilitas signifikansi) pada tabel Test of Homogenity of Variances sebesar 0,569 dan pada tabel ANOVA sebesar 0,206; maka dinyatakan bahwa homogenitas variansi A1B1 atas A2B2 terpenuhi. Dengan terpenuhinya normalitas dan homogenitas data, maka penelitian korelasional ini dapat dilakukan dengan menggunakan data mentah (raw score) dari keempat kelompok data kinerja Petugas Satpol PP tersebut.
C. Pengujian Hipotesa Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan teknik Analisis Variansi (ANAVA) dua jalan. Tujuan ANAVA dua jalan adalah menyelidiki dua pengaruh utama dan satu pengaruh interaksi. Pengaruh utama dibedakan atas model Pelatihan dan motivasi kerja petugas satpol PP. Hasil perhitungan ANAVA dua jalan disajikan dalam tabel berikut: Tabel 4.18 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kinerja_Petugas Type III Sum of Source
Squares
Df
Mean Square
F
Corrected Model
31691.238
a
3
10563.746
144.159
Model_pelatihan
17493.613
1
17493.613
238.728
motivasi_kerja
13598.113
1
13598.113
185.568
599.512
1
599.512
8.181
Total
689407.000
80
Corrected Total
37260.388
79
Model_pelatihan * motivasi_kerja
105 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kinerja_Petugas Type III Sum of Source
Squares
Df
Mean Square
F
Corrected Model
31691.238
a
3
10563.746
144.159
Model_pelatihan
17493.613
1
17493.613
238.728
motivasi_kerja
13598.113
1
13598.113
185.568
599.512
1
599.512
8.181
689407.000
80
Model_pelatihan * motivasi_kerja Total
a. R Squared = ,851 (Adjusted R Squared = ,845)
1. Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi Model Pelatihan CBET lebih besar dari pada
Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi Model Pelatihan
Konvensional. Berdasarkan Tabel 4.18 di atas pada bagian atau kolom source baris kedua tertulis model pelatihan dan kolom terkanan atau kolom F (dibaca: Fhitung) pada baris yang sama tertulis 238.728 lebih besar dari Ftabel = 4,88 untuk taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 238,728 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa bentuk Pelatihan CBET mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Ini berarti perbedaan bentuk Pelatihan dalam CBET menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan, ”Rata-rata kinerja petugas satpol PP yang diberi pelatihan CBET lebih tinggi daripada kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan konvensional”, diterima dan teruji kebenarannya.
106 2. Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi. Berdasarkan Tabel 4.18 di atas bagian atau kolom source baris ketiga tertulis motivasi kerja dan kolom F (dibaca: Fhitung) pada baris yang sama tertulis 158,568 lebih besar dari Ftabel = 4,88 untuk taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 158,568 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian bahwa motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan, ”Rata-rata Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi”, diterima. Kesimpulannya kedua jenis model pelatihan memberikan kinerja yang berbeda pada petugas Satpol PP.
3. Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi Model Pelatihan CBET dan memiliki Motivasi Kerja Rendah adalah lebih tinggi dari pada Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi Model Pelatihan Konvensional dan memiliki Motivasi Kerja Rendah. Berdasarkan Tabel 4.18 di atas bagian atau kolom source baris ketiga tertulis motivasi kerja dan kolom F (dibaca: Fhitung) pada baris yang sama tertulis 158,568 lebih besar dari Ftabel = 4,88 untuk taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 158,568 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Hal
107 ini menunjukkan bahwa motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan, ”Rata-rata kinerja petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja rendah adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja rendah.”, diterima. Kesimpulannya kedua jenis model pelatihan memberikan memberikan kinerja yang berbeda pada petugas Satpol PP.
4. Terdapat pengaruh interaksi antara Model Pelatihan dengan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Petugas Satpol PP. Berdasarkan Tabel 4.18 di atas pada bagian atau kolom source baris keempat tertulis Model Pelatihan*Motivasi kerja dan kolom F (dibaca: Fhitung) pada baris yang sama tertulis 8,181 lebih besar dari Ftabel = 4,88 untuk taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 8,181 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. menunjukkan bahwa Ho : μA-B = μA-B ditolak. Ini berarti interaksi antara model pelatihan dan motivasi kerja menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan, ”Terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja petugas satpol PP”, diterima dan teruji kebenarannya. Secara umum analisa ini lazimnya dilanjutkan lagi untuk mengetahui atau mengindikasikan rata-rata kinerja petugas Satpol PP tersebut di atas yang berbeda satu dari lainnya, atau mencari mana diantara A1B1, A2B1 dan A1B2 dan A2B2 yang paling tinggi.
108 Analisis biasanya dilanjutkan dengan uji Turkey67 karena dalam hal ini jumlah data setiap kelompok sama banyaknya yaitu n = 40. Perhitungan uji Turkey melalui piranti lunak SPSS hanya dapat dilakukan bila setiap variabel bebas yang diteliti dibedakan atas 3 level atau lebih. Variabel Model pelatihan dan motivasi kerja petugas satpol PP dalam penelitian ini hanya dibedakan atas 2 level bentuk model pelatihan (CBET dan konvensional), dan 2 level tipe motivasi kerja (Tinggi dan Rendah). Dengan kata lain, untuk mengetahui interaksi mana yang paling berpengaruh mengakibatkan kinerja petugas Satpol PP mencapai skor yang maksimal dapat dilakukan cukup dengan hanya melihat skor rata-rata dari 4 kelompok data (A1B1, A2B1, A1B2 dan A2B2) tersebut. Hasilnya adalah sebagai berikut:
67
Ibid.
109
No.
Tabel 4.19 Perbandingan Skor Rata-rata Kinerja Petugas Satpol PP Kelompok Data Peringkat Rata-rata KiRata-rata Kinerja Petugas Satpol nerja Petugas Satpol Petugas Satpol PP PP PP
1
A1B1
120,85
1
2
A1B2
89,3
2
3
A2B1
85,8
3
4
A2B2
65,2
4
Berdasarkan Tabel 4.20 di atas dapat dinyatakan dua hal sebagai berikut: a. Interaksi antara Model Pelatihan dan motivasi kerja mengakibatkan kinerja petugas Satpol PP dapat mencapai skor yang maksimal. Sebaliknya, skor terburuk atau paling rendah dari kinerja petugas satpol PP diakibatkan oleh interaksi model Pelatihan konvensional dengan petugas yang memiliki motivasi kerja rendah b. Interaksi A1B1 dan A1B2 yang kontradiktif, artinya dengan bentuk model pelatihan yang sama (model CBET) namun petugasnya berada dalam dua kelompok motivasi yang berbeda mengakibatkan kinerja mereka juga berbeda justru menunjukkan adanya interaksi yang signifikan antara model pelatihan dan motivasi yang dimiliki petugas Satpol PP.
110 D. Interpretasi Hasil Penelitian Hipotesis penelitian pertama yang menyatakan, “tidak terdapat perbedaan
rata-rata kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti model
pelatihan CBET dan yang mengikuti model pelatihan konvensional” tidak dapat diterima. Sehingga hipotesis yang diterima adalah hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa
”Rata-rata kinerja petugas Satpol PP yang
mengikuti model pelatihan CBET lebih tinggi daripada petugas yang diberi model pelatihan konvensional”, diterima dan teruji kebenarannya. Hal itu selanjutnya membuktikan bahwa kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan diberi model pelatihan CBET lebih tinggi daripada petugas yang memiliki motivasi kerja rendah dan diberi model pelatihan konvensional. Hipotesis penelitian keempat yang menyatakan, ”Terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja petugas Satpol PP”, diterima dan teruji kebenarannya. Hal itu selanjutnya membuktikan bahwa petugas yang mengikuti model pelatihan yang tidak sama dan motivasi kerjanya juga berbeda, kinerja satu dengan lainnya berbeda pula.
E. Pembahasan Penelitian ini mengungkapkan bahwa Model Pelatihan dan motivasi kerja secara signifikan mempengaruhi variasi kinerja petugas Satpol PP. Kinerja petugas Satpol PP yang diberi Pelatihan CBET lebih tinggi dari pada kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan konvensional. Seperti terlihat
111 pada tabel 4.1 dan tabel 4.2, dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan CBET memiliki variasi sebaran skor pada 87,5 – 96,5 dan 114,5 – 123,5 (lihat tabel 4.1). Sebaran skor pada rentang ini merupakan sebaran skor yang tinggi jika dibandingkan dengan sebaran
skor
kinerja
petugas
Satpol
PP
yang
mengikuti
pelatihan
konvensional yang sebagian besar berada pada rentangan skor 61,5 – 70 dan 70 78,5 (lihat tabel 4.2). dari perbedaan rentang skor ini dapat dikatakan bahwa model pelatihan yang diberikan kepada petugas Satpol PP memberikan dampak pada peningkatan skor kinerja petugas Satpol PP. Kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan CBET lebih tinggi karena dengan menggunakan pelatihan CBET seorang petugas satpol PP latih untuk mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pelatihan ini dilaksanakan melalui proses pelatihan yang bermakna dimana kompetensi di refleksikan kepada kebutuhan utama dalam menjalankan tugas Satpol PP, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Hasil pelatihan CBET berupa kinerja merupakan fokus dari hasil pelatihan CBET. Model pelatihan CBET mengakui pengalaman belajar petugas satpol PP sebelumnya, sehingga petugas satpol PP dalam pelatihan tidak dituntut untuk mengikuti proses pelatihan sampai akhir akan tetapi jika petugas satpol PP lulus mengikuti ujian kompetensi maka mereka memperoleh kelulusan. CBET merupakan salah satu pendekatan dalam pengembangan kompetensi sumber daya manusia yang berfokus pada hasil akhir (outcome). CBET sangat fleksibel dalam proses kesempatan untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Hasil CBET menuntut persyaratan dan
112 karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input), proses, dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak sesuai dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas. Tujuan CBET adalah agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara khusus, tujuan utama CBET adalah menghasilkan kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam berbagai pekerjaan dan jabatan. Aplikasi metode pelatihan CBET memerlukan perancangan yang matang dan sesuai dengan kondisi dari peserta didik. Petugas satpol PP menjalankan tugas yang begitu variatif dan memiliki resiko perkerjaan yang tinggi, dimana petugas Satpol PP harus berhadapan dengan masyarakat, khususnya ketika berhadapan dengan masyarakat yang melanggar ketetapan Pemerintah Daerah Prov. DKI Jakarta. Di sisi lain petugas Satpol PP merupakan pelayan masyarakat untuk menjaga ketertiban, maka seorang petugas Satpol PP dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Beban pekerjaan seorang petugas Satpol PP yang cukup tinggi ini tentunya harus diimbangi dengan kemampuan kompetensi yang tinggi yang harus dimiliki oleh seorang petugas Satpol PP. Kesadaran akan kebutuhan kompetensi yang tinggi ini telah nampak pada petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan CBET, hal ini dapat dilihat dari skor petugas Satpol PP
113 yang mengikuti model pelatihan model CBET yang memiliki motivasi kerja tinggi (lihat gambar 4.5). Pelatihan konvensional berbeda dengan pelatihan CBET, dimana kegiatan pelatihan yang lebih banyak menekankan pada input (masukan berupa misalnya materi, kriteria peserta dan lain lain) dan proses serta produk yang banyak variasi dalam upaya meningkatkan kinerja peserta. Model pelatihan ini karena terlalu banyak variasi kadang-kadang output yang ingin dicapai menjadi tidak terukur. Banyaknya variasi dari hasil (produk) yang dicapai dalam pelatihan konvensional ini menyebabkan peserta pelatihan kurang termotivasi untuk mengikuti pelatihan. Karena perbadaan pencapaian hasil pelatihan pada setiap peserta pelatihan merupakan hal yang wajar, sehingga peserta kurang termotivasi untuk meraih suatu kondisi tertentu sebagai capaian hasil pelatihan. Hal inilah yang kemudian dapat berakibat pada motivasi peserta pelatihan. Seperti terlihat pada tabel 4.7, bahwa sebagian besar (55%) petugas satpol PP yang mengikuti pelatihan konvensional yang memiliki motivasi kerja tinggi berada pada rentangan skor terendah dalam rentangan skor motivasi tinggi. Memperhatikan pelatihan model konvensional, kriteria keberhasilan selalu ditentukan oleh pihak penyelenggara. Peserta latih hanya menjadi objek pelatihan yang tidak dapat menentukan kehendak yang ingin dicapainya sendiri sebagaimana dalam CBET. Secara kualitatif dengan memperhatikan hasil analisis variasi dua arah (Two-way ANOVA) pada Tabel 4.18 di atas khususnya nilai F hitung kekuatan pengaruh model pelatihan lebih besar daripada motivasi kerja petugas satpol
114 PP serta interaksi antar keduanya terhadap kinerja petugas satpol PP. Hal ini dapat dipahami, mengingat motivasi dapat timbul dari dalam (intrinsik) dan luar diri individu (ekstrinsik). Model pelatihan yang diberikan kepada anggota Satpol PP merupakan suatu kondisi lingkungan yang dapat merangsang motivasi ekstrinsik seorang petugas satpol PP. Pelatihan CBET merupakan pelatihan yang lebih menekankan seseorang untuk menguasai bidang kompentesi dalam tugas pekerjaannya. Sehingga, ketika seorang petugas Satpol PP mengikuti pelatihan ini, ia akan termotivasi untuk dapat mengusai kompetensi yang menjadi tuntutan dalam pekerjaannya. Hal ini yang memungkinkan metode pelatihan CBET ini dapat merangsang petugas Satpol PP untuk meningkatkan kinerjanya.
F. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini membuktikan bahwa model pelatihan dan motivasi kerja memberi pengaruh yang signifikan terhadap variasi kinerja petugas Satpol PP. Ditemukan pula bahwa adanya interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja petugas satpol PP yang diberikan model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi memiliki potensi kinerja yang lebih berkualitas daripada lainnya. Namun demikian, bagaimanapun terdapat beberapa keterbatasan penelitian sebagai berikut: 1. Dipahami bahwa tidak tertutup kemungkinan adanya faktor-faktor lain disamping model pelatihan dan motivasi kerja, yang mempengaruhi variasi kinerja petugas satpol PP. Misalnya, pada kondisi (iklim kerja) yang berbeda, juga terdapat faktor lain yang lebih dominan berpengaruh
115 terhadap variasi kualitas kinerja petugas Satpol PP dibandingkan dengan model pelatihan dan motivasi kerja. Hal ini luput dari penelitian ini dan menjadikannya sebagai suatu keterbatasan. 2. Ditinjau dari sisi jumlah cakupan sampel, sangat mungkin dengan cakupan sampel lebih luas, namun penelitian ini tentu akan berbeda pula. Artinya, dengan jumlah responden yang lebih besar ada kemungkinan hasil penelitiannya berbeda. Hal inilah yang menjadikan hasil penelitian ini menjadi terbatas referensinya.
116 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diperoleh beberapa temuan penelitian sebagai berikut: Pertama, Secara keseluruhan kinerja petugas Satpol PP yang diberikan model pelatihan Competence Based Education and Training (CBET) lebih tinggi daripada kelompok petugas Satpol PP yang diberikan model pelatihan Konvensional. Dengan demikian untuk meningkatkan kinerja petugas satpol PP, diperlukan pemberian model pelatihan Competence Based Education and Training (CBET). Kedua, Bagi petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi, kinerja petugas Satpol PP yang diberikan model pelatihan Competence Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dari pada petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional. Dengan demikian, untuk meningkatkan kinerja petugas Sapol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi perlu diberikan model pelatihan Competence Based Education and Training (CBET). Ketiga, Bagi petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah, kinerja petugas Satpol PP yang diberikan model pelatihan Competence Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dari pada petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional. Dengan demikian, untuk meningkatkan kinerja petugas Sapol PP yang memiliki motivasi kerja rendah
117 juga perlu diberikan model pelatihan Competence Based Education and Training (CBET). Dari hasil temuan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan kinerja petugas Satpol PP dapat dilakukan melalui kegiatan penerapan model pelatihan Competence Based Education and Training (CBET) dengan mempertimbangkan motivasi kerja Petugas satpol PP.
B. Implikasi Dari hasil analisis data yang dihasilkan dalam penenlitian ini telah terbukti bahwa model pelatihan Competence Based Education Training (CBET) dapat meningkatkan kinerja dan motivasi Petugas Satpol PP di Provinsi DKI Jakarta sehingga secara statistik dapat dikatakan hubungan yang signifikan dan bersifat positif. Implikasi dari pelatihan Competence Based Education Training (CBET) adalah dengan memberikan sertifikasi kepada petugas satpol PP yang telah memiliki kemampuan dan sikap yang sesuai dengan standar dalam menerapkan tugas pokok dan fungsinya kedalam kegiatan area tugas di lapangan. Sertifikasi ini merupakan alat yang digunakan untuk menunjukkan bahwa seorang petugas satpol PP yang telah mengikuti
proses
sertifikasi
dapat
menunjukkan
bahwa
ia
memiliki
kemampuan yang baik dan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Proses sertifikasi ini hendaknya dilaksanakan melalui program pelatihan yang selanjutnya diadakan penilaian (assessment). Hasil penilaian dari proses sertifikasi ini adalah diketahuinya level kompetensi dari setiap petugas satpol PP.
118
C. Saran 1. Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lingkungan satpol PP Provinsi DKI Jakarta sebaiknya menggunakan metode Pelatihan Comptence Based Education Learning (CBET) karena sudah terbukti dapat meningkatkan kinerja dan motivasi karyawan secara signifikan. 2. Model Pelatihan Competence Based Education Learning (CBET) dilakakukan dalam berbagai level untuk
mendapatkan hasil yang
maksimal dalam mengembangkan sumber daya manusia di satpol PP Provinsi DKI Jakarta. 3. Melakukan pelatihan untuk Instruktur Model Pelatihan Competence Based Education Learning (CBET) kepada pegawai terseleksi sehingga dapat melakukan pelatihan secara internal. Hal ini penting mengingat bahwa jumlah pegawai di satpol PP Provinsi DKI Jakarta berjumlah ribuan orang, sehingga diperlukan percepatan dalam mengembangkan potensi sumber daya manusia di satpol PP. 4. Melakukan program sertifikasi bagi petugas satpol PP. Sehingga melalui program ini dapat merangsang petugas satpol PP untuk meningkatkan kualitas dirinya sendiri. Sertifikasi ini mengacu kepada pelaksanaan tugas dan fungsi pokok dari petugas satpol PP.
119 DAFTAR PUSTAKA Amstrong, Michael. Manajemen Sumber Daya Manusia. Terj. Sofyan Cikman dan Hariyanto. Jakarta: Elex Media Kompotindo, 199P0. Berita Jakarta.Com, Media On Line DKI Jakarta, Jakarta 26.09.2007, diunduh 15 Maret 2009. Bernardin. Human Resources Management. Jakarta: Mc. Graw-Hill Inc., 1993. Bosker, J. Training effectiveness. New York: Pergamon, 1997. Brown, M. J. The Effectiveness of Organization. California: Fearon, Belmont California, 1999. Danim, Sudarwan. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Deseler, Gary. Personal Management, ter. Agung Dharma. Jakarta: Erlangga, 1997. Donaldson dan Scannel. Human Resources Development. terj.Ya’kub. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1993. Handoko T. Hani. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE, 2002. Hariandja, Marihot Tua Efendi. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Hasibuan, Malayu H. Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Husein, Umar. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Irawan, Prasetya et.al. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: STIA-LAN, 2002 John M. Echols dan Hassan Shadily Kamus Inggris Indoensia. Jakarta: Gramedia, 2005 Mangkunegara, Anwar P. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung: Refika Aditama, 2005. Moh. Pabundu Tika. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
120 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosdakaya, 2008. Mulyasa, E, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007), hal. 26 Ranupanjoyo dan Husnan. Manajemen Personalia. Yogyakarta: BPFE, 1995. Sadili, Samsudin. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: CV. Pustaka, 2006. Sahlan, Pengaruh Disiplin dan Insentif Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada PT. Rapico Busana Permata Indah. Jakarta: Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis Indonesia, 2007. Sidney Siegel, Statistik Nonparamatrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Gramedia, 1992. Seger, Analisis Hubungan Motivasi, Pendidikan dan Pelatihan dan Kepuasan Kerja Terhadap Disipli Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan. Yakarta: Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen. Universitas Bhayangkara, 2005. Sugiyono, Statistik Nonparametrik, Bandung: CV. ALFABETA, 2004. Spencer, M. Lyle and M. Signe Spencer. Competence at Work: Models for Superrior Performance. New York: John Wily & Son, 1993. Tilaar, H.A.R. Manajemen Pendidikan Nasional Bandung: Rosadakarya, 2001. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Veithzel Rivai dan Ahmad F.M. Basri. Performance Appraisal. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Wexley, Kenneth dan Gary A Yukl. Organizational Behavior and Personal Psychology. Ontorio: Richard D. Irwan. Inc, 1997. Wibowo. Manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. William T McLoad, (edt.). The New Collins Dictionary and Thesaurus. Glasgow: William Collins Sons and Co.Ltd., 1989.
121 BIOGRAFI PENULIS
AGUS SUTIYONO, lahir di Solo, tanggal 10 februari 1968, bergama islam. Alamat rumah pesona anggrek harapan C3.no. 15 Bekasi 17124 Jl. Kaliabang Raya Bekasi Utara. Pendidikan formal SD Negeri 06 Cilandak lulus 1983, SMP Negeri 41 Ragunan, lulus tahun 1986, SMA Negeri 60 mampang, lulus 1989 IKIP Jakarta, Lulus 1994, Program Magister Manajemen IPMI Jakarta spesialisasi program Manajemen Sumber Daya Manusia 1996, Indonesia-Australia Specialist Project II, Human Rights Program University Of Sydney (UTS) – Australia 2003. Pendidikan Non Formal : Sumber Daya Manusia, Prasetya Mulya 1993, Successful Selling Skill, LPM Jakarta 1994, Management People, Prasetya Mulya 1994, Custumer Service , LPM 1993, Mercuri International (Internal Development) NLP At Work (Metamind) 2005, Hypnotherapi-THII-2008,Workload Analisis Program-HRD Forum 2010, Turbo Hypnosis-Tranzwork-2010, Pernah bekerja sebagai Program Manager & Penyiar Radio Ros Jakarta, Consultan Trainer La Rose Foundations, Jl. Tebet Barat Raya 19 Jakarta Selatan (19901994), Penyiar Berita TVRI Jl. Gerbang Pemuda Senayan No.1 Jakarta Selatan (1993-2001); Coorporate Public Relations PT. Rainbow Cipta Utama Advertising, jl. Tomang raya 49 fgh Jakarta Barat (1994 – 1996); Consultant & Trainer Mercuri International (1996 – 1999); PT.Elnusa Petrofin Jl. TB Simatupang Kav.1b Jakarta 12560 (1999 – 2002), dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Jakarta, Kepala Pusat Afiliasi Pengembangan Wilayah Dan Alumni (Desember 2001 – 2006), Sekretrais Jurusan Pendidikan Luar SekolahFakultas Ilmu Pendidikan-Universitas Negeri Jakarta – sampai sekarang. Aktifitas Pekerjaan Consultant/Trainer PT Interbat (2000-sekarang); Consultant/Trainer PT Indofarma (2003-2004); Consultant/Trainer PT.Mandira Era Wisata (2002-sekarang); Consultant/Trainer PT.Patrakom (2003); Consultant/Trainer PT. Indosat (2000-2003); Consultant/Tariner PT.Pertamina (2000-2003); Consultant/Trainer Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi DKI Jakarta (2002-sekarang); Consultant/Tenaga Ahli Dinas Trantib DKI Jakarta (2002-sekarang); Tenaga Ahli Dirjen Ham Departemen Kehakiman Dan Ham (2003-sekarang); Trainer & Motivator Pengembangan Sat-Pol PP DKI Jakarta 2004-sekarang, Ketua Tim pengkajian dan pengumpulan data Bidang Mutu Pendidikan Mendiknas 2008, Consultant/Trainer- Pengembangan Sumber Daya Manusia Dirjen Cipta Karya-Departemen pekerjaan Umum 2006sekarang, Hypnotherapist Register International 2010 Aktif dalam organisasi yaitu, Purna Prakarya Muda Indonesia, Alumni Pertukaran Pemuda Antar Propinsi (Tahun 1987 – sekarang); Ikatan Abang None Jakarta, Alumni atau Purna Program Abang None Jakarta (Tahun 1990 – sekarang); MPPI (Majelis Pembimbing Purna Paskibraka Indonesia) Purna Program Paskibraka (Tahun 1994 – 1996); Ketua Kerjasama Antar Lembaga Senat Mahasiswa IKIP Jakarta (Tahun 1993 – 1994); Ikatan Ulumni Orientasi Kewaspaas Nasional, Bakortanasda; Pembantu Andalan Nasional Gerakan Pramuka Kwartir Nasional Bidang Kehumasan (Tahun 1998 – 2003); Ketua
122 Pokja Ham Alumni Program IASTP, Indonesia dan Australia (Tahun 2003 – 2005) Sekeretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta 2007- sekarang, Humas BK3S DKI Jakarta-2010-2015, Dewan Penasehat GEPAK (Gerakan Pemuda Anti Korupsi) DKI Jakarta periode 2010-2015.