STUDI DAYA REKAT LATEKS PADA MEDIA KULIT HEWAN
Oleh ADITIA GINANTAKA F34052894
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STUDI DAYA REKAT LATEKS PADA MEDIA KULIT HEWAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ADITIA GINANTAKA F34052894
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2
Aditia Ginantaka. F34052894. Studi Daya Rekat Lateks pada Media Kulit Hewan. Di bawah bimbingan Ika Amalia Kartika dan Adi Cifriadi. 2010. RINGKASAN Indonesia merupakan negara penghasil karet alam dengan produktivitas terbesar kedua setelah Thailand dan memiliki lahan terluas hingga mencapai 3,47 juta hektar di tahun 2008. Potensi ini tentu menjadi peluang bagi pengembangan industri berbasis karet alam untuk meningkatkan perekonomian nasional. Namun demikian, kemampuan dalam negeri untuk mengolah karet menjadi barang industri masih rendah. Sampai saat ini ekspor komoditi karet alam masih dalam bentuk bahan baku lateks, sehingga berbagai upaya penelitian dilakukan untuk menghasilkan suatu teknologi yang mampu meningkatkan nilai tambah lateks. Karet alam merupakan suatu molekul polimer dengan bobot molekul 1-2 juta. Polimer berantai panjang tersebut mampu menghasilkan gaya Van der Waals apabila berinteraksi dengan molekul berantai panjang lainnya sehingga membuat karet memiliki kemampuan untuk melekat pada benda lain. Karakteristik tersebut yang menyebabkan karet alam dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan perekat. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah terhadap karet alam dengan cara menjadikan lateks sebagai bahan baku pembuatan perekat (adhesive). Daya rekat lateks dapat berubah akibat perubahan struktur molekul. Oleh karena itu, dilakukan studi untuk mengamati daya rekat lateks yang telah dimodifikasi melalui proses depolimerisasi menggunakan H2O2 dan NaOCl pada suhu 70°C. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan studi terhadap daya rekat lateks hasil depolimerisasi dengan variasi perlakuan waktu reaksi depolimerisasi dan dosis bahan pendegradasi H2O2. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks kebun yang kemudian dipekatkan menggunakan sentrifuse. Bahan tambahan yang digunakan adalah amonia (NH3) sebagai pengawet serta surfaktan natrium lauril sulfat (emal) dan polioksietilen lauril eter (emulgen) sebagai penstabil selama proses depolimerisasi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu waktu reaksi dan dosis H2O2. Waktu reaksi depolimerisasi terdiri dari tiga taraf yaitu 4, 6 dan 8 jam, sedangkan dosis H2O2 terdiri dari tiga taraf yaitu 1, 3 dan 5 bsk (bagian per seratus karet). Penelitian ini membuktikan bahwa pada selang kepercayaan 95%, perlakuan yang diberikan memiliki pengaruh nyata terhadap nilai kekuatan rekat lateks depolimerisasi yang diaplikasikan pada kulit hewan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai uji kekuatan tarik geser (shear test) menunjukkan pola kecenderungan yang semakin meningkat akibat proses depolimerisasi yang semakin lama dan dosis H2O2 yang semakin tinggi. Nilai uji kekuatan tarik geser tertinggi sebesar 50,60 lb/in2 diperoleh dari perlakuan dosis bahan pendegradasi H2O2 sebanyak 5 bsk dan proses depolimerisasi selama 8 jam. Sementara itu, nilai uji kekuatan tarik kelupas (peel test) dari lateks depolimerisasi memiliki pola tertentu yang cukup berfluktuasi. Nilai uji kekuatan tarik kelupas tertinggi sebesar 1,66 lb/in dihasilkan pada proses depolimerisasi selama 4 jam dengan dosis H2O2 sebanyak 5 bsk.
3
Aditia Ginantaka. F34052894. Study of Latex Adhesion Strength which is Applied in Leather as Substrat. Supervised by Ika Amalia Kartika and Adi Cifriadi. 2010. ABSTRACT Natural rubber is one of the ingredients for the manufacture of adhesives because they have a sticky physical characteristics caused by Van der Waals force between both of molecule chain rubber and adherent. This research was conducted to see any changes in the latex adhesive strength after modification of molecule structure with depolymerization process which is applied in water based phase. Natural rubber polymer chain can be chemically degraded by the addition of degradation materials such as H2O2 and NaOCl. Natrium lauril sulfate (emal) surfactant and polyoxyiethylen lauril ether (emulgen) was used as a stabilizer. Adhesive strength in this research was analized to know the factors which were influenced and can caused a bonding between two surface of the substrat. Measurement of adhesive strength test carried out by shear tests and peel test using Tensometer. The results showed the real impact of the combination treatment with increasing doses of H2O2 and the length of depolymerization process for adhesive bonding strength. The higher value of adhesion strength which was measured by shear test was 50,60 lb/in2 when the doses of H2O2 was 5phr and the length of reaction time was 8 hours. In other case, when the measurement of adhesion strength was peel test, the phenomenon of adhesion strength was fluctuated with the higher value was 1,66 lb/in .This value was obtained when the doses of H2O2 was 5 phr and the length of depolimerisation process was 4 hours.
4
Judul Skripsi
: Studi Daya Rekat Lateks pada Media Kulit Hewan
Nama
: Aditia Ginantaka
NIM
: F34052894
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Ika Amalia Kartika, MT
Adi Cifriadi, M.Si
NIP.19680505 199702 2 001
NIP. 110 700 367
Mengetahui: Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus :
19 Maret 2010 5
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul ”Studi Daya Rekat Lateks pada Media Kulit Hewan” ini adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Bogor, Maret 2010
Aditia Ginantaka F34052894
6
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Tabanan, Bali pada tanggal 27 Agustus 1987, dari ayah Wagiman dan ibu Enan Kesmanasari. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Jenang 2 pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Majenang, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Purwokerto, Kabupaten Banyumas hingga lulus pada tahun 2005. Penulis kemudian memperoleh Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di organisasi lembaga dakwah fakultas, Forum Bina Islami (FBI), Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) sebagai staf divisi Public Relation and Information pada tahun 2006/2007 dan sebagai kepala divisi Public Relation and Information pada tahun 2007/2008, kemudian menjadi Senior Resident (SR) Asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB-IPB) hingga lulus. Tahun 2008, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT Perkebunan Nusantara VII, unit usaha Bekri Lampung Tengah dan menyelesaikan laporan Praktek Lapang dengan judul ”Teknologi Proses Produksi CPO di Perkebunan Nusantara VII, Unit Usaha Bekri Lampung Tengah”. Penulis melaksanakan penelitian di Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor dari bulan Mei hingga Desember 2009 dan menyusun skripsi dengan judul ” Studi Daya Rekat Lateks pada Media Kulit Hewan”, sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Daya Rekat Lateks pada Media Kulit Hewan”. Shalawat serta salam bagi suri tauladan kita Rasulullah Muhammad SAW, berserta keluarga dan para sahabatnya, semoga senantiasa bisa meneladani beliau dalam menimba ilmu. Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Ika Amalia Kartika, MT selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini. 2. Adi Cifriadi, M.Si selaku pembimbing penelitian di Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama proses penelitian dan dalam penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ono Suparno, S.TP, MT sebagai dosen penguji, yang telah memberi arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Rekan-rekan teman kuliah yang membantu proses belajar selama kuliah di departemen TIN. 5. Segenap karyawan Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor atas bantuan selama masa penelitian. 6. Segenap karyawan Departemen TIN dan FATETA yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak berkaitan dengan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Maret 2010
Penulis.
i
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR..........................................................................................i DAFTAR ISI.........................................................................................................ii DAFTAR TABEL.................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR............................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................vi I. PENDAHULUAN............................................................................................1
A. LATAR BELAKANG….................................................................................. 1 B. TUJUAN PENELITIAN...................................................................................3 II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................4
A. KARET..............................................................................................................4 B. LATEKS............................................................................................................5 C. LATEKS PEKAT..............................................................................................6 D. KEMANTAPAN LATEKS PEKAT.................................................................8 E. PEREKAT……………………………..............................................................10 F. DEPOLIMERISASI...........................................................................................13 G. APLIKASI PEREKAT DAN TEORI PEREKATAN.......................................16 III. BAHAN DAN METODE...............................................................................23
A. BAHAN DAN ALAT........................................................................................23 1. Bahan..................................................................................................................23 2. Alat…………………………………………………………………………….23
B. METODE PENELITIAN..................................................................................23 1. Penyiapan Lateks Pekat......................................................................................23 2. Depolimerisasi Lateks Pekat..............................................................................23 3. Pengujian Daya Rekat Lateks ……....................................................................25 C. RANCANGAN PERCOBAAN.........................................................................28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................................30
A. PENYIAPAN LATEKS PEKAT......................................................................30 B. MODIFIKASI LATEKS ...................................................................................32 C. ANALISIS DAYA REKATAN……………………………………………….35 ii
V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................47
A. KESIMPULAN.................................................................................................47 B. SARAN..............................................................................................................47 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................49 LAMPIRAN......................................................................................................... 51
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Fraksi-fraksi lateks dan komponen penyusunnya....................................6 Tabel 2. Standar mutu lateks pekat........................................................................7 Tabel 3. Formulasi perekat lateks berbasis air........................................................13 Tabel 4. Formulasi perekat lateks/sintetis berbasis air…………...........................13 Tabel 5. Hasil pengukuran KKK dan KJP pada lateks.......................................... 32
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Bagian-bagian partikel karet di dalam lateks segar...........................4
Gambar 2.
Struktur kimia dan ruang 1,4 cis poli isoprena karet alam…………5
Gambar 3.
Gugus asam amino (a) dan ion dipolar asam amino (b)................... 8
Gambar 4
Rantai proses perekatan……………………………………............ 19
Gambar 5.
Visualisasi perekatan secara mekanis antara perekat dan substrat... 20
Gambar 6.
Mekanisme peel test (a) dan Mekanisme shear test (b)……………21
Gambar 7.
Tipe kegagalan sambungan rekatan ……………...………………..22
Gambar 8.
Diagram alir pembuatan lateks pekat metode sentrifugasi...............24
Gambar 9.
Diagram alir depolimerisasi lateks pekat...........................................25
Gambar 10. Substrat kulit dalam bentuk lembaran (a) yang telah Dipotong (b)..26 Gambar 11. Proses perekatan substrat dan hasil rekatan yang siap diuji..............27 Gambar 12. Alat uji rekat (a) dan mekanisme uji rekat (b)..................................27 Gambar 13. Lateks pekat......................................................................................30 Gambar 14. Karet krep..........................................................................................31 Gambar 15. Pengaruh dosis H2O2 dan waktu reaksi terhadap perubahan KJP.... 35 Gambar 16. Pengaruh dosis H2O2 dan waktu reaksi terhadap kekuatan tarik Geser……………………………………………………………….37 Gambar 17. Mekanisme kerja sistem rantai perekatan………………………….39 Gambar 18 Gaya Van der Waals antara molekul substrat dan perekat lateks pekat................................................................................................. 41 Gambar 19. Mekanisme reaksi degradasi polimer karet dan pembentukan gugus fungsi baru............................................................................. 42 Gambar 20. Gaya dipol-dipol antara gugus fungsi pada lateks depolimerisasi dan substrat kulit………………………………..………………… 43 Gambar 21. Pengaruh dosis H2O2 dan waktu reaksi terhadap kekuatan tarik Kelupas……………………………………………………………. 44
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Pengujian Penetapan Kadar Karet Kering (KKK), Kadar Jumlah Padatan (KJP) Kekuatan Tarik Geser dan Kekuatan Tarik Kelupas……………………………………………………………. 52 Lampiran 2. Analisis Statistik Uji Kekuatan Tarik Geser....……………………..54 Lampiran 3. Analisis Statistik Uji Kekuatan Tarik Kelupas.……………….........56 Lampiran 4. Rekapan Hasil Uji Kadar Jumlah Padatan (KJP)………………… 58
vi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand dan memiliki lahan terluas hingga mencapai 3,47 juta hektar di tahun 2008. Jumlah produksi Indonesia sebesar 3,04 juta ton di tahun 2009 sementara Thailand 3,3 juta ton (Mansur, 2009). Potensi ini tentu menjadi peluang bagi pengembangan industri berbasis karet alam sehingga dapat berkontribusi bagi pertumbuhan perekonomian nasional melalui peningkatan produksi yang akan meningkatkan ekspor karet. Karet alam juga masih tetap memiliki fungsi ekonomi dan sosial yang potensial karena sekitar 85% total luas areal perkebunan karet adalah milik rakyat (petani) yang melibatkan lebih dari 1,6 juta kepala keluarga petani. Kondisi ini dapat menjadi alternatif solusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia (Bastari dan Honggokusumo, 2009) Kebijakan yang diambil saat ini adalah dengan melakukan optimalisasi ekspor karet karena harganya yang cukup tinggi di pasar internasional. Sampai saat ini ekspor komoditi karet masih dalam bentuk bahan baku lateks karena rendahnya kemampuan dalam negeri untuk mengolah karet menjadi barang industri. Harga karet alam di pasar internasional menurun karena berkurangnya permintaan. Gabungan perusahaan karet Indonesia mengambil langkah untuk membatasi ekspor karet ke pasar internasional demi menjaga agar harga karet alam tidak terlalu jatuh. International Tripartite Rubber Council (ITRC) menyepakati pengurangan ekspor karet alam dari tiga negara penghasil utama karet yaitu Thailand, Indonesia dan Malaysia sebesar 915 ribu ton pada tahun 2009. Usaha tersebut membuahkan hasil, terbukti dengan naiknya harga ekspor karet alam sampai januari 2009. Harga karet dunia mencapai US$ 3,4 per kg di tahun 2008 dan merupakan harga karet alam tertinggi selama 50 tahun terakhir (Mansur, 2009). Peningkatan nilai tambah terhadap karet alam dapat dilakukan dengan pengembangan pengolahan karet alam di sektor hilir. Berbagai produk turunan dari karet alam yang telah diproduksi dalam skala industri diantaranya adalah alat 1
transportasi (ban dan mobil), alat-alat kesehatan (sarung tangan, selang operasi), alat-alat industri (conveyor), perabot rumah tangga, alat olah raga dan alas kaki. Selain diolah menjadi berbagai barang jadi karet, peningkatan nilai tambah juga dapat dilakukan dengan mengolah karet alam sebagai bahan baku pembuatan perekat (adhesive). Hal ini karena partikel karet terbentuk dari polimer berantai panjang yang mampu menghasilkan gaya Van der Waals apabila berinteraksi dengan molekul berantai panjang lainnya (Fessenden dan Fessenden, 1991) sehingga mampu menghasilkan gaya tarik-menarik ketika terjadi kontak antar permukaan. Interaksi antar molekul perekat dengan bahan yang akan direkatkan (substrat/adherent) dapat terjadi apabila perekat mampu membasahi permukaan substrat, sehingga perekat harus diaplikasikan dalam bentuk cairan (sebagai larutan atau dispersi) (Ruhendi et al., 2007). Pembuatan perekat dapat dilakukan dengan cara melarutkan karet alam dan bahan-bahan lainnya dengan menggunakan pelarut organik sehingga dikenal dengan perekat berbasis pelarut (solvent based). Disamping itu, perekat juga dapat dibuat dengan bahan baku lateks yang merupakan dispersi partikel-partikel karet dan bahan-bahan kimia lainnya dalam air. Perekat jenis ini dikenal dengan perekat berbasis air (water based). Perekat berbasis pelarut umumnya memiliki daya rekat lebih kuat. Namun, adanya pelarut dalam campuran perekat dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan pengguna. Harga pelarut yang mahal menjadikan pelarut jenis ini kurang ekonomis apabila digunakan untuk aplikasi yang sederhana. Perekat berbasis air hanya mampu diaplikasikan pada substrat berpori lebar yang mampu mendifusikan dan menguapkan residu air seperti kertas, kayu dan kulit. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan perekat berbasis air. Secara alami karet alam telah memiliki kemampuan untuk merekatkan karena kemampuan rantai molekulnya berinteraksi dengan molekul lain. Interaksi antar molekul tersebut dapat berubah apabila terjadi perubahan struktur molekul pada karet alam. Modifikasi untuk mengubah struktur molekul karet alam dapat dilakukan melalui proses depolimerisasi, hidrogenasi, siklisasi, klorinasi, kopolimerisasi dan sebagainya. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan 2
modifikasi struktur molekul karet alam melalui proses depolimerisasi lateks, kemudian melihat kemampuannya dalam merekatkan suatu substrat. Kemampuan sebuah perekat dinilai dengan mengukur beban yang diperlukan untuk memisahkan dua buah substrat yang saling merekat. Studi tentang mekanisme perekatan dan analisis daya rekat perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar proses depolimerisasi dapat berpengaruh terhadap daya rekat lateks yang merupakan bahan baku pembuatan perekat berbasis air. B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari daya rekat lateks hasil depolimerisasi dengan perlakuan waktu proses degradasi dan dosis bahan pendegradasi H2O2 yang diaplikasikan pada substrat kulit hewan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARET Partikel karet adalah butiran polimer karet yang diselubungi suatu lapisan yang terdiri protein dan lipid (lemak). Karet merupakan hidrokarbon poli isoprena, yaitu suatu polimer dengan bobot molekul berkisar antara 400.0001.000.000. Bahan penyusunnya adalah isoprena (2 metil butadiena). Monomer isoprena saling terikat pada atom karbon nomor 1 dan 4 membentuk poli isoprena atau (C5H8)n. Nilai n bervariasi dari satu rantai polimer ke rantai polimer lain (n=5.000-15.000) (Anonim, 2009a). Bagian-bagian dari partikel karet dapat dilihat pada Gambar 1.
Karet
Lipida
Protein
Gambar 1. Bagian-bagian partikel karet di dalam lateks segar
Molekul karet alam mempunyai bentuk ruang “cis” dan ikatan antara satuan monomer berada pada atom nomor 1 dan 4. Oleh karena itu, karet alam mempunyai nama kimia lengkap cis-1,4 poli isoprena. Akibat struktur molekul dan bentuk ruang ini, rantai molekul karet mempunyai bentuk seperti spiral yang dapat memegas seperti per dan bersifat kenyal. Bobot jenis karet alam sekitar 0,92 pada suhu 20○C. Struktur kimia dan struktur ruang molekul karet dapat dilihat pada Gambar 2 (Anonim, 2009a).
4
Gambar 2. Struktur kimia dan ruang 1,4 cis poli isoprena karet alam (Anonim, 2009a). B. LATEKS Lateks adalah suatu dispersi partikel karet dan zat bukan karet di dalam cairan yang disebut serum. Kadar karet lateks bervariasi menurut jenis klon, intensitas sadap, iklim dan pemupukan. Umumnya kadar karet di dalam lateks berkisar antara 25-40% (Anonim, 2009a). Menurut Nazaruddin dan Paimin (1999) getah karet atau lateks merupakan suspensi koloidal dari air dan bahan-bahan kimia yang terkandung di dalamnya. Bagian-bagian yang terkandung tersebut tidak larut sempurna, melainkan terpencar secara homogen atau merata di dalam air. Lateks jika dipekatkan dengan mesin sentrifugasi dengan kecepatan rendah pada kisaran 2000 putaran per menit (rpm) dapat terpisah menjadi dua fraksi. Fraksi yang di atas berwarna putih disebut fraksi putih dan fraksi yang di bawah berwarna kuning disebut fraksi kuning. Diantara dua fraksi terdapat lapisan berwarna kuning-jingga yang terdiri dari partikel Frey-Wyssling. Jika sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan sekitar 18.000 putaran per menit, lateks akan terpisah menjadi empat fraksi utama. Urutan fraksi dari atas ke bawah yaitu, fraksi karet yang berwarna putih, fraksi Frey Wyssling yang berwarna kuning-jingga, fraksi serum yang berwarna jernih dan fraksi bawah yang berwarna kuning pucat. Komponen setiap fraksi dalam lateks dapat dilihat pada Tabel 1.
5
Tabel 1. Fraksi-fraksi lateks dan komponen penyusunnya Fraksi Lateks
Komponen Karet Protein Lipida Ion logam Karotenioda Lipida Air Karbohidrat dan inositol Protein dan turunannya Senyawa nitrogen Asam nukleat dan nukleosida Ion anorganik Ion logam Protein dan senyawa nitrogen Karet dan karotenioda Lipida dan ion logam
Fraksi Karet (37%)
Fraksi Frey Wyssling (5%) Serum (48%)
Fraksi Dasar (10%)
Sumber: Anonim (2009a) C. LATEKS PEKAT Lateks dapat diolah menjadi karet padat berupa karet konvensional dan karet remah (bongkah) yang menjadi bahan baku barang jadi dari karet alam. Selain itu, lateks juga dapat diolah menjadi bahan baku untuk pembuatan karet busa, sarung tangan, balon, kondom, jas hujan, lapisan bawah permadani dan lainlain. Sebelum pembuatan barang jadi karet dari lateks, dilakukan pembuatan lateks pekat (concentrated latex) terlebih dahulu. Lateks pekat yaitu lateks yang sekurang-kurangnya mengandung 60% kadar jumlah zat padat (karet) (Anonim, 2009a). Pengolahan lateks pekat didasarkan pada cara pemekatan dan jenis pengawetannya. Dalam perdagangan umumnya dijumpai empat macam cara pemekatan lateks yaitu, sentrifugasi (centrifuging), pendadihan (creaming), penguapan (evaporation) dan dekantasi listrik (electro-decantation). Standar mutu lateks pekat dapat dilihat pada Tabel 2. Metode sentrifugasi dilakukan dengan menggunakan sentrifuse. Lateks segar yang telah diberi amonia dimasukan ke dalam sentrifuse dengan kecepatan berkisar antara 6.000-7.000 rpm. Partikel akan bergerak ke atas, kemudian lateks 6
akan terpisah menjadi dua bagian. Bagian yang mempunyai kadar karet kering ± 60% dan rapat jenis ± 0,94 kg/m3 disebut lateks pekat. Sementara itu, bagian yang mempunyai kadar karet kering 3-8% dan rapat jenis ± 1,02 kg/m3 disebut lateks skim. Tabel 2. Standar mutu lateks pekat No
Parameter
Lateks hasil
Lateks hasil
sentrifugasi
pendadihan
1
Kadar jumlah padatan minimum
61,5%
64,0%
2
Kadar karet kering minimum
60,0%
62,0%
3
Selisih kadar jumlah padatan
2,0%
2,0%
50 centipoise
50 centipoise
0,10%
0,10%
0,080%
0,080%
dengan kadar karet kering maksimum 4
Viskositas maksimum pada suhu 25○C
5
Kadar endapan (sludge) maksimum dari berat basah
6
Kadar koagulum maksimum dari jumlah padatan
7
Bilangan KOH maksimum
0,80%
0,80%
8
Waktu kemantapan mekanik
475 detik
475 detik
9
Kadar tembaga maksimal dari
0,001%
0,001%
0,001%
0,001%
Tidak biru
Tidak biru
Tidak kelabu
Tidak kelabu
Warna setelah dinetralisasi dengan
Tidak berbau
Tidak berbau
asam borat
busuk
busuk
jumlah padatan maksimum 10
Kadar mangan maksimal dari jumlah padatan maksimum
11
12
Warna secara inspeksi visual
Sumber: Thio Goan Lo (1980) dalam Nazaruddin dan Paimin (1999)
7
D. KEMANTAPAN LATEKS PEKAT Lateks adalah sistem koloid yang sangat kompleks. Kemantapan lateks disebabkan oleh tiga faktor yaitu, gerakan Brown, muatan listrik dan hidrasi (penyerapan air). Gerakan Brown adalah ciri khas dari partikel berukuran kecil di dalam suspensi yang bergerak secara tidak beraturan, sehingga partikel karet tidak berkelompok dan memisah dari serum. Akibat gerakan Brown, terjadi tumbukan antara karet, tetapi partikel-partikel karet tidak saling melekat bahkan tolakmenolak satu dengan yang lain akibat muatan listrik yang dimilikinya (Anonim, 2009a). Partikel karet mempunyai selubung yang terdiri dari lipid dan protein. Selubung protein berada pada bagian luar partikel karet dan memiliki muatan negatif. Muatan negatif ini ditimbulkan oleh protein yang merupakan polimer asam amino. Asam amino mempunyai dua gugus fungsional yaitu, gugus amina (−NH2) dan gugus karboksilat (−COOH). Struktur ini menunjukkan bahwa asam amino adalah ion dipolar yang bersifat amfoter, sehingga dapat bersifat asam atau basa. Struktur kimia gugus asam amino dan ion bipolar dapat dilihat pada Gambar 3 (Anonim, 2009a).
(a)
(b)
Gambar 3. Gugus asam amino (a) dan ion dipolar asam amino (b) (Anonim, 2009a) Protein dapat mencapai kondisi isoelektrik pada saat jumlah muatan positif seimbang dengan muatan negatif. Titik isoelektrik dari partikel karet di dalam lateks segar terjadi pada kondisi pH tertentu dan bervariasi antara pH 4,0 hingga 4,6 tergantung jenis klon karetnya. Apabila pH lateks lebih rendah dari titik isoelektrik, protein memiliki gugus –NH3+ yang bermuatan positif. Tetapi apabila
8
pH lateks lebih tinggi dari titik isoelektrik, protein memiliki gugus –COO− yang bermuatan negatif (Anonim, 2009a). Prakoagulasi merupakan pembekuan pendahuluan yang menghasilkan lumps atau gumpalan-gumpalan pada getah hasil sadapan lateks. Prakoagulasi terjadi karena kemantapan bagian koloidal yang terkandung dalam lateks berkurang. Bagian-bagian koloidal ini kemudian saling mendekat menjadi satu dan membentuk komponen yang berukuran lebih besar (Nazaruddin dan Paimin, 1999). Lateks segar dapat menggumpal dengan sendirinya (alami) apabila didiamkan selama 4-24 jam setelah proses penyadapan. Hal ini terjadi akibat pembentukan asam dan pecahnya lutoid. Timbulnya asam disebabkan karena adanya bakteri dari udara yang tumbuh kemudian menguraikan karbohidrat, protein dan lipid di dalam lateks. Bakteri mulai masuk ke dalam lateks sejak lateks mengalir melalui irisan sadap, kemudian jumlah bakteri bertambah oleh pengotoran pisau sadap, mangkuk penampung dan ember pengumpul. Zat makanan yang utama bagi bakteri di dalam lateks adalah karbohidrat yang terdapat di dalam fraksi serum. Karbohidrat diubah oleh bakteri dengan bantuan oksigen menjadi asam-asam lemak eteris yang menyebabkan lateks menjadi tidak stabil dan berpotensi untuk menggumpal. Sumber asam lainnya yaitu protein yang diubah menjadi asam amino oleh enzim sehingga menjadi penyebab penggumpalan pada lateks (Anonim, 2009a). Cara yang ditempuh untuk menstabilkan lateks adalah dengan mengurangi pembentukan asam-asam melalui pencegahan pertumbuhan bakteri, menghindari kerusakan lutoid atau mengikat ion logam di dalam lateks. Bahan penstabil lateks yang paling umum digunakan adalah amonia karena sangat efektif dan relatif murah harganya. Amonia dapat membentuk kesetimbangan dalam air dengan reaksi sebagai berikut: NH3(g) + H2O ↔NH4OH ↔ NH4+ +OHIon OH- dapat memperbesar kebasaan lateks sehingga pH lateks menjadi berkisar antara 9-10. Amonia dalam bentuk larutan juga merupakan bakterisida 9
yang efisien untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Keunggulan amonia lainnya yaitu mudah digunakan dalam fasa gas sehingga tidak mengurangi kepekatan lateks dan mudah dihilangkan dari dalam lateks. Disamping itu, karet yang diperoleh dari lateks yang mengandung amonia tetap memiliki sifat mekanik yang baik. Lateks yang diawetkan hanya dengan menggunakan amonia disebut lateks pekat dengan kadar amonia tinggi. Kandungan amonia minimal sebesar 0,7% dari berat lateks. Dalam proses pembuatan barang jadi karet, sebagian amonia harus dihilangkan agar tidak mengganggu proses selanjutnya. Pengawetan lateks dengan menggunakan amonia untuk tujuan tersebut hanya sekitar 0,2% ditambah dengan pengawet sekunder dengan dosis tertentu. Lateks pekat jenis ini disebut lateks pekat dengan kadar amonia rendah (Anonim, 2009a). E. PEREKAT Perekat adalah suatu substansi yang dapat mengikat suatu bahan melalui permukaannya. Bahan yang diikat dinamakan substrat atau adherent. Karet alam merupakan bahan dasar perekat. Pelarut yang digunakan umumnya adalah air. Penggunaan air sebagai pelarut menyebabkan kualitas perekat menjadi rendah, karena perekat menjadi lambat mengering dan cenderung membentuk lapisanlapisan yang banyak mengandung air. Perekat yang dibuat dari karet alam hanya mampu diaplikasikan pada substrat yang berpori lebar, karena dapat mendifusikan dan menguapkan residu air (Anonim, 2009b). Menurut Kinloch (1987) dalam Adams (2005), perekat dapat didefinisikan sebagai suatu bahan atau material yang dapat menggabungkan materi atau bahan lain dan mampu menahannya dari upaya pemisahan. Perekat dapat dibagi berdasarkan cara perekat tersebut mengalami pengerasan. Proses pengerasan perekat dapat disebabkan akibat kehilangan pelarut, kehilangan air, pendinginan dan akibat reaksi kimia. Menurut Blomquist et al. (1983) dalam Ruhendi et al. (2007) berdasarkan unsur kimia utamanya, perekat dibagi menjadi dua kategori yaitu, perekat berbahan baku alami dan perekat berbahan baku sintetik. Perekat yang terdiri dari komponen alami dapat berasal dari tumbuhan, misalnya pati, dekstrin, dan getah tumbuhan. Perekat alami lainnya yaitu kasein, bungkil kedelai, karet, natrium 10
silikat, magnesium oksiklorida dan bahan organik lainnya. Perekat sintesis terdiri dari perekat termoplastik yang akan melunak jika dipanaskan dan mengeras jika didinginkan, misalnya Polivinil asetat dan polistirena, kemudian perekat termoseting yang tidak akan kembali ke bentuk semula setelah mengalami reaksi kimia dari pemanasan, katalis atau sinar ultraviolet, misalnya urea formaldehida, phenol formaldehida, resorsinol formaldehida dan melamin formaldehida. Perekat merupakan campuran dari beberapa komponen yang bersifat inert dan dengan proporsi bahan penyusun yang bervariasi terhadap bahan dasar perekat. Fungsi formulasi perekat adalah: 1. Untuk mengetahui mutu atau kualitas perekat campuran. Adapun parameter kualitas perekat diantaranya: a. Kemurnian dari polimer komponen utama perekat. b. Perbandingan resin polimer terhadap total formula. 2. Untuk membantu proses penyiapan perekat campuran (Ruhendi et al., 2007). Berdasarkan komposisinya, campuran perekat terbentuk dari dua kelompok komponen. Komponen utama merupakan bahan yang memiliki kemampuan merekat dan memiliki proporsi lebih besar sehingga menjadi karakter utama perekat. Komponen tambahan dalam perekat biasanya berupa pelarut, pengencer, katalisator, bahan pengeras, bahan pengisi, bahan pengawet, pembentuk lapisan, bahan pelindung dan bahan tambahan yang meningkatkan kekuatan rekat (Ruhendi et al., 2007) Beberapa parameter kualitas perekat diantaranya yaitu kekentalan dan kadar padatan. Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada permukaan yang direkat. Semakin tinggi kekentalan maka kemampuan untuk membasahi dan melakukan penetrasi ke dalam pori-pori permukaan yang akan direkatkan akan semakin sulit. Namun, jika kekentalan terlalu rendah, maka penetrasi perekat ke dalam pori-pori akan berlebihan dan menyebabkan berkurangnya garis rekatan. Sementara itu, kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan berikatan dengan molekul substrat. Semakin tinggi kadar padatan pada batas tertentu, maka kekuatan rekat akan semakin meningkat,
11
karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang berinteraksi dengan substrat. Karet alam larut dalam pelarut hidrokarbon tanpa memerlukan tambahan senyawa lain. Perekat yang terbuat dari karet alam hanya mampu menyambung benda-benda ringan seperti karet biasa, kain dan kulit imitasi. Kekuatan tarik kelupas pada suhu kamar mencapai 5 lb/in (pada kain), sedangkan pada benda yang berat seperti logam hanya dapat mencapai 2 lb/in. Daya rekat dapat dimodifikasi dengan resin alam atau resin sintetik, sehingga kekuatan tarik kelupas dapat mencapai di atas 20 lb/in dan kekuatan tarik geser bisa mencapai 200 lb/in2 (Anonim, 2009b). Perekat berbasis pelarut merupakan perekat yang paling baik. Perekat jenis ini pada dasarnya merupakan larutan polimer dalam suatu pelarut organik (solvent based). Mekanisme perekatan diawali dengan penguapan pelarut kemudian permukaan bahan yang akan direkatkan ditekan secara bersamaan. Salah satu jenis perekat ini adalah neoprena (polikloroprena) yang memiliki daya lengket yang baik dan tahan terhadap minyak dan zat kimia (Adams, 2005). Akibat adanya peraturan produk yang terkait dengan lingkungan, kesehatan dan keamanan, maka dilakukan upaya untuk mengurangi penggunaan pelarut organik dalam suatu perekat. Oleh karena itu, beberapa industri mengembangkan perekat yang berbasis air (water based). Namun, jenis perekat ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah laju penguapan air yang lebih rendah dibandingkan pelarut organik. Beberapa contoh bahan yang dapat dijadikan perekat jenis ini adalah pati dan lateks. Pengerasan perekat ini disebabkan oleh perpindahan air kedalam pori-pori bahan yang akan direkatkan. Karena sangat sensitif terhadap air, perekat ini lebih cocok diaplikasikan untuk barang-barang interior. Adanya pengaruh pelarut dalam perekat terhadap kesehatan manusia, maka diperlukan adanya formulasi yang spesifik dari setiap komposisi bahan penyusun dan konsentrasinya. Fokus dari aplikasi perekat untuk industri-industri tertentu menjadikan perlunya formulasi bahan penyusun perekat untuk menyesuaikan dengan tujuan aplikasi. Beberapa formulasi dibuat dengan mencantumkan nama bahan penyusun dan persen bobot dari formulasi, salah satu 12
contoh formulasi perekat water based dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4 (Ohm, 1990). Tabel 3. Formulasi perekat lateks berbasis air Komposisi
% Bobot
Lateks
61%
Air
29%
Amonium hidroksida
2%
Alkil fosfat terklorinasi
5%
Tackifying resin, rosin based
2%
Antioksidan
0,5%
Surfaktan
0,5%
Tabel 4. Formulasi perekat lateks/sintetis berbasis air Komposisi
% Bobot
Lateks
55%
Neopren (polikloropren)
6%
Air
29%
Ammonium hidroksida
2%
Kloropren
0,001%
Alkil fosfat terklorinasi
5%
Tackifying resin, rosin based
2%
Antioksidan
0,5%
Surfaktan
0,5%
F. DEPOLIMERISASI Depolimerisasi merupakan salah satu cara modifikasi karet alam dengan cara degradasi rantai molekul karet. Degradasi polimer dapat terjadi secara mekanik, termal, kimiawi, fotokimia dan biodegradasi. Secara kimiawi degradasi polimer dapat terjadi dengan bantuan senyawa pemutus rantai molekul polimer. Tujuan depolimerisasi adalah untuk melunakkan atau sekedar menurunkan
13
viskositas karet dan untuk memperoleh karet dengan rantai molekul yang sangat pendek atau karet cair (Surdia, 2000). Hidrogen peroksida merupakan peroksida yang lazim digunakan dan merupakan zat pengoksidasi yang kuat. Hidrogen peroksida merupakan cairan tak berwarna dan salah satu bahan kimia yang dapat mengkonversi rantai gugus alkena menjadi epoksida. Hidrogen peroksida termasuk bahan kimia yang disukai karena mudah diperoleh (Irfani, 2006). Berdasarkan tabel potensial standar reduksi pada suhu 25○C nilai potensial standar reduksi H2O2 sebesar 1,7776 V (Oxtoby et al., 2001). Penambahan hidrogen peroksida yang merupakan senyawa oksidator kuat akan mendegradasi rantai molekul melalui pembentukan senyawa radikal bebas. Rantai polimer isoprena akan diinisiasi oleh hidrogen peroksida menghasilkan radikal bebas dan akan mengeliminasi ikatan rangkap atau ikatan jenuh pada rantai polimer karet. Mekanisme reaksi radikal bebas yang dihasilkan oleh H2O2 adalah sebagai berikut: ROOR → 2OR H2O2 → 2OH● (radikal hidroksil) Selain sebagai pemutus rantai molekul karet, H2O2 juga berfungsi sebagai vulkasinator yang menghasilkan ikatan silang antar molekul karet. Radikal bebas pada rantai polimer isoprena yang tidak stabil menyebabkan terjadinya ikatan antar radikal bebas pada polimer isoprena. Hal ini menyebabkan terjadinya ikatan silang antara polimer isoprena melalui ikatan –HCOOCH-. Terjadinya ikatan silang ini dapat dihindari dengan adanya akseptor radikal bebas yaitu oksigen (O2) yang dihasilkan oleh reduktor seperti natrium hipoklorit (NaOCl). Radikal bebas akan berikatan dengan oksigen sehingga ikatan silang dapat dicegah dan menjadi molekul yang labih mantap (Wibisono, 2004). Laju dekomposisi suatu zat biasanya dispesifikasikan dengan waktu paruh dan juga kelarutan dalam air. Waktu paruh merupakan waktu pada saat suhu tertentu, sehingga menyebabkan konsentrasi suatu zat menjadi setengahnya. Waktu paruh untuk H2O2 pada saat dilakukan proses reaksi pada suhu 70- 80°C cukup tinggi, sehingga dapat dipastikan bahwa pada temperatur tersebut, inisiator H2O2 belum terdekomposisi secara sempurna dan dapat dikatakan bahwa pada 14
suhu 70-80°C bukan merupakan suhu optimum bagi H2O2. Penambahan asam sebagai pereduksi mampu meningkatkan laju dekomposisi H2O2. Kegagalan proses reaksi dengan menggunakan H2O2 dapat diakibatkan oleh pembentukan gelembung. Gelembung O2 yang terbentuk merupakan hasil dari kombinasi radikal OH menjadi H2O dan O2 sehingga polimer yang dihasilkan dalam waktu sekitar setengah jam melebihi muatan volume dari reaktor (Budianto dan Sarwono, 2008). Isa et al., (2007) melakukan proses depolimerisasi lateks dengan kombinasi bahan pendegradasi H2O2 dan HaNO2 pada temperatur reaksi 60○C dan 70○C. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maka proses depolimerisasi berjalan lebih baik yang diukur melalui pengukuran bobot molekul. Perlakuan suhu 70○C merupakan suhu yang optimal untuk proses depolimerisasi. Keberhasilan proses depolimerisasi tergantung pada kestabilan lateks selama proses depolimerisasi berlangsung. Selama proses depolimerisasi, harus diusahakan agar koagulasi partikel karet dapat dicegah. Oleh karena itu, sebelum dilakukan proses depolimerisasi, perlu ditambahkan surfaktan sebagai anti koagulan. Senyawa yang umumnya berperan dalam sistem reaksi redoks dan menjadi oksidator adalah hidrogen peroksida, sedangkan senyawa reduktornya adalah nitrit (NO2-) atau klorit (OCl-) (Tribawati, 2009). Menurut Karaoglu dan Ugurlu (2009) penambahan NaOCl dapat meningkatkan kecepatan proses dekolorisasi (pengurangan warna) dan penurunan kadar COD secara berturut-turut hingga 99% dan 78%. Hal ini terjadi karena NaOCl dapat terurai dalam air menghasilkan ion OH-, yang akan meningkatkan alkalinitas. Proses peruraian berdasarkan persamaan berikut: NaOCl → Na+ + OClOCl- +H2O ↔ HOCl +OHAsam hipoklorit digunakan sebagai agen oksidan yang memiliki kemampuan untuk mengklorinasi senyawa organik menjadi CO2, H2O dan produk berbobot molekul rendah. Berdasarkan tabel potensial standar reduksi pada suhu 25○C, nilai potensial standar reduksi HOCl sebesar 1,63 V (Oxtoby et al., 2001).
15
G. APLIKASI PEREKAT DAN TEORI PEREKATAN Perekatan yang dilakukan pada substrat kayu, pada umumnya diawali dengan pembersihan terlebih dahulu dengan pelarut organik. Permukaan kayu harus dipersiapkan sebaik mungkin untuk memperoleh pembasahan, pengaliran dan penetrasi perekat yang maksimum. Biasanya dengan cara menghilangkan semua bahan-bahan yang mungkin menghalangi pembentukan ikatan. Permukaan kayu dibuat halus, datar dan rata. Permukaan yang diratakan dengan tepat menjamin ketebalan lapisan perekat akan seragam dan dapat melaburkan keseluruhan perekat di atas permukaan bidang rekat (Ruhendi et al., 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Wibisono (2004), menunjukkan bahwa pada penambahan hidrogen peroksida dengan variasi konsentrasi 1 dan 2 bsk serta NaOCl dengan variasi 6 dan 7 bsk mampu meningkatkan kekuatan rekat pada substrat kayu lapis dan nilainya lebih tinggi dibandingkan lateks pekat. Variasi dosis tersebut mampu meningkatkan daya rekat dengan semakin tingginya dosis bahan pendegradasi. Berdasarkan teori adhesi spesifik, untuk menghasilkan gaya atraksi molekul dibutuhkan kontak yang sempurna antar permukaan yang direkat. Hal ini berarti permukaan harus bersih dan halus. Debu, minyak dan uap air secara teoritis juga berada dalam lapisan molekul substrat dan permukaannya akan tampak kotor, sehingga dapat menghambat pembentukan ikatan yang kuat (Ruhendi et al., 2007). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tujuan pelaburan perekat adalah untuk mendistribusikan sejumlah perekat dengan ketebalan yang seragam pada bidang rekat, sehingga dengan penambahan tekanan, perekat akan mengalir membentuk lapisan tipis. Penggunaan alat pelabur bertujuan untuk membuat permukaan labur yang halus, rata dan datar pada substrat, sehingga perekat akan mengalir dengan ideal pada saat diberikan tekanan yang seragam. Berat labur adalah banyaknya perekat yang dilaburkan pada permukaan kayu yang biasanya dinyatakan dalam g/m2. Berat labur yang terlalu sedikit akan mengurangi keteguhan rekat. Biasanya berat labur dianjurkan oleh pabrik perekat dan dapat diubah dengan perbandingan tertentu. Pelaburan dapat dilakukan dengan menggunakan kuas secara manual.
16
Namun, di dalam industri perekat dilaburkan dengan mesin seperti roll spreader, extruder, curtain coater atau spray. Pelaburan akan membentuk lapisan yang seragam pada permukaan substrat. Pelaburan dengan ekstruder dapat berlangsung secara kontinu, dengan ukuran butiran perekat dan laju aliran yang seragam. Ketika tekanan diberikan pada kedua permukaan, perekat tertekan menjadi lapisan tipis. Pemberian tekanan dilakukan dengan pengempaan. Pengempaan dapat berlangsung pada suhu kamar, yaitu dengan pengempaan dingin dan dapat pula berlangsung di atas suhu kamar atau dengan pengempaan panas. Hal ini tergantung pada jenis perekat yang digunakan. Suhu pengempaan berhubungan dengan waktu pengempaan. Suhu yang lebih rendah dapat diimbangi dengan pengempaan yang lebih lama atau sebaliknya. Pada pengempaan panas, pemberian suhu yang terlalu rendah menyebabkan perekat kurang matang. Sebaliknya suhu yang terlalu tinggi menyebabkan perekat menjadi hangus (Ruhendi et al., 2007). Waktu minimum penekanan diperlukan pada keadaan kempa panas yang akan bergantung pada efek integral dari waktu dan suhu saat proses pemanasan. Waktu pengempaan berkaitan dengan suhu pengempaan dan jenis perekat yang digunakan. Pengempaan dingin membutuhkan waktu
yang lebih lama
dibandingkan pengempaan panas. Biasanya pengempaan dingin membutuhkan waktu beberapa jam, sedangkan kempa panas hanya beberapa menit. Waktu pengempaan yang terlalu singkat dapat mengakibatkan proses pemadatan perekat belum sempurna. Tujuan dari pengempaan adalah untuk membuat substrat bersentuhan lebih dekat dan hanya dipisahkan oleh lapisan perekat yang amat tipis, hingga perekat memiliki kekerasan yang cukup untuk menahan rekatan antara substrat pada saat tekanan dilepas (Ruhendi et al., 2007). Kemudian dijelaskan bahwa kempa dingin bertujuan untuk memaksa perekat menjadi lapisan film yang kompak dan mengeluarkan perekat yang berlebihan. Selain itu, memungkinkan proses transfer perekat dari permukaan substrat yang dilaburi perekat ke permukaan yang tidak dilaburi. Pengempaan dilakukan hingga perekat mengeras dan memaksa sebagian perekat masuk ke dalam rongga sel. Besarnya tekanan yang diberikan disesuaikan dengan berat jenis 17
substrat. Bila tekanan terlalu tinggi maka substrat akan menjadi rusak, sehingga keteguhan rekatnya kurang baik. Disamping itu, tekanan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan banyak perekat yang keluar dari bidang perekatan, sehingga jumlah perekat pada garis rekat terlalu sedikit. Pemberian tekanan yang terlalu rendah juga berpengaruh kurang baik, karena perekat tidak dapat menembus hingga ke dalam pori-pori substrat dan kontak antara permukaan yang satu dengan yang berlawanan menjadi kurang rapat. Proses pengempaan yang disarankan untuk jenis substrat kayu yaitu dengan tekanan sebesar 100 psi untuk jenis substrat kayu berkerapatan rendah dan 200 psi untuk jenis substrat kayu yang berkerapatan tinggi. Mekanisme perekatan selama proses pengempaan meliputi proses penetrasi dan distribusi perekat, kemudian terjadi pengerasan (harderning) yang ditandai dengan penyusutan. Gaya tekan harus dipertahankan terus secara konsisten untuk menjamin kedekatan permukaan saat volume perekat berkurang. Kekuatan perekatan antara bahan perekat dan substratnya tergantung pada beberapa faktor. Pertama, perekatan dapat terjadi secara mekanik, yaitu bahan perekat bekerja dengan cara masuk melalui celah-celah kecil substrat. Kedua, yaitu melalui mekanisme reaksi kimia. Pengikatan secara kimia terjadi antara bahan perekat dan substrat berdasarkan kekuatan elektrostatis. Mekanisme ketiga, yaitu akibat kekuatan Van der Waals yang terjadi antara molekul. Mekanisme keempat pada proses perekatan terjadi akibat difusi bahan perekat ke dalam substrat kemudian diikuti pengerasan (Anonim, 2009c). Sistem ikatan antara substrat dan perekat dapat dianalogikan sebagai suatu sistem rantai. Rekatan yang terbentuk dapat digambarkan sebagai lima rantai berikut : 1. Rantai pertama mewakili garis rekat (glue film) antara molekul perekat yang ikatannya bersifat kohesi. 2. Rantai kedua dan ketiga mewakili ikatan yang terjadi antara perekat dan substrat yang bersifat adhesi. 3. Rantai keempat dan kelima mewakili ikatan kohesi antara molekul substrat Ikatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 (Ruhendi et al., 2007).
18
Kerusakan terhadap rekatan dapat ditunjukkan dengan pemberian gaya tegangan pada bahan yang telah direkatkan. Gaya tegangan pada perekatan dapat diukur baik melalui tegangan geser (shear stress) maupun tegangan langsung (direct stress/peel stress). Perbedaan tegangan ini disebabkan oleh perbedaan pemberian arah gaya yaitu secara tegak lurus atau searah dengan arah permukaan rekatan (Adams, 2005).
Rantai ke-4 kekuatan bahan substrat Rantai ke-2 ikatan antara perekat dan substrat Rantai ke-1 lapisan perekat Rantai ke-3 ikatan antara perekat dan substrat
Rantai ke-5 kekuatan bahan substrat
Gambar 4. Rantai proses perekatan (Blomquist, 1983 dalam Ruhendi et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian Rawi (2000), ukuran molekul yang besar dari campuran bahan komponen perekat dan viskositas yang tinggi menyebabkan sulitnya cairan masuk ke dalam pori-pori venir (substrat kayu lapis). Gaya tarik menarik antara molekul kayu dan perekat (ikatan kimia antara perekat dengan kayu) menjadi terhambat. Kemudian Sahly (2006) menyatakan bahwa nilai viskositas perekat mempengaruhi nilai daya rekat. Hal ini berhubungan dengan kemampuan perekat menyebar pada bidang permukaan rekatan. Perekat dengan viskositas tinggi akan sulit terpenetrasi sehingga daya rekat yang dihasilkan kurang baik. Keberadaan kontaminan pada permukaan substrat dapat menghambat kontak antara permukaan adherent dengan perekat. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya daya rekat. Pembersihan adherent bertujuan untuk menghilangkan kontaminan seperti minyak, lemak dan debu (Suhud, 2004). Hasil kajian dari Kumar et al. (2002) menyatakan bahwa ikatan antara molekul polimer perekat dengan polimer kayu sebagai substrat banyak disebabkan oleh kombinasi mekanisme perekatan. Diantaranya mekanisme rekatan mekanik
19
(interlocking oleh masuknya perekat kedalam pori-pori kayu) serta mekanisme kekuatan interaksi molekul (kekuatan Van der Waals dan ikatan hidrogen). Permukaan bahan perekat yang kasar akan menghasilkan penyebaran yang acak dari ujung-ujung molekul yang dapat berinteraksi dengan molekul lain. Sedangkan permukaan yang halus menyebabkan penyebaran molekul perekat kurang acak sehingga menyebabkan penurunan kekuatan rekat. Kekuatan rekat juga bergantung pada kelembaban substrat serta jenis substrat. Mekanisme interlocking dapat dilihat pada Gambar 5.
Perekat
Perekat
Substrat
Substrat
Gambar 5. Visualisasi perekatan secara mekanis antara perekat dan substrat (Ruhendi et al., 2007) Peningkatan kekuatan tarik geser diperoleh dengan cara meningkatkan waktu penekanan (press time) dan peningkatan gaya tekan. Konsentrasi lem yang terlalu tinggi menyebabkan viskositas perekat menjadi tinggi. Hal ini berdampak pada lambatnya dan sulitnya aliran penyebaran lem. Terlalu rendahnya konsentrasi lem akan menyebabkan lem mudah masuk ke dalam pori-pori substrat. Akibatnya perekat yang terdapat pada permukaan substrat terlalu sedikit sehingga tidak cukup memiliki kekuatan untuk saling merekat (Ruhendi et al., 2007) Kekuatan rekat tidak hanya dipengaruhi oleh bobot molekul tetapi juga oleh faktor-faktor lain. Salah satu contohnya adalah adanya ikatan silang antar molekul polimer. Ikatan silang akan berpengaruh terhadap kemampuan molekul karet melakukan penetrasi pada bahan serta modulus regangan, sehingga dapat berpengaruh juga terhadap kekuatan proses perekatan (Wibisono, 2004).
20
Jenis sambungan dan tipe beban pada adherent turut menentukan daya rekat perekat yang kemudian dipandang sebagai kualitas perekat. Tipe beban diantaranya meliputi shear stress dan peel stress, seperti yang tercantum dalam Gambar 6. Shear stress merupakan tipe beban yang terdistribusi merata pada permukaan (luasan) adherent. Tipe beban ini merupakan tipe terbaik karena menurunkan tingkat kegagalan sambungan (joint failures) sehingga sambungan yang dihasilkan ekonomis dari sisi produksi. Sementara peel stress adalah tipe beban yang terdistribusi hanya pada garis tepi sambungan (boundary line), sehingga tingkat kegagalan sambungan cukup tinggi (Adams, 2005).
(a)
(b) Gambar 6. Mekanisme peel test (a) dan Mekanisme shear test (b) (Anonim, 2009c) Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan sambungan dalam proses perekatan diantaranya yaitu cahaya matahari dan panas. Disamping itu, pelarut dan tegangan fisik memungkinkan terjadinya pemisahan lapisan rekatan pada substrat. Kegagalan sambungan rekatan dapat terjadi pada lokasi yang berbedabeda dalam lapisan rekatan. Oleh karena itu, terdapat beberapa tipe kegagalan sambungan rekatan yang visualisasinya dapat dilihat dalam Gambar 7. a. Cohesive fracture Patahan sambungan jenis ini terjadi apabila ada sebuah patahan tersebar dalam lapisan perekat. Lapisan perekat akan tertinggal dan tetap menempel pada substrat. Patahan terjadi pada tengah-tengah lapisan perekat dan menyebar atau terjadi di daerah dekat dengan permukaan substrat. 21
b. Interfacial fracture Kegagalan sambungan rekatan ini muncul diantara lapisan perekat dan lapisan substrat. c. Jumping fracture Kegagalan sambungan ini berupa lompatan patahan yang muncul akibat adanya regangan sebelum substrat diberikan tekanan dalam proses perekatan. d. Fracture pada substrat Kegagalan sambungan juga dapat terjadi pada substrat apabila lapisan perekat lebih keras dibandingkan dengan substrat yang digunakan.
(a) Cohesive Fracture
(b) Interfacial fracture
(c) Jumping fracture
(d) Fracture pada substrat Gambar 7. Tipe kegagalan sambungan rekatan (Anonim, 2009c) 22
III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks kebun yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan di Ciomas, Bogor dan substrat berupa kulit sapi hasil penyamakan yang diperoleh dari salah satu toko kulit di Sukasari, Bogor. Bahan kimia yang digunakan adalah hidrogen peroksida (H2O2), natrium hipoklorit (NaOCl), katalis 50%, amonia (NH3), aseton, surfaktan natrium lauril sulfat (emal) dan polioksietilen lauril eter (emulgen). 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat sentrifugasi, pengaduk (agitator), penangas air (waterbath), oven, desikator, neraca analitik, termometer, batang pengaduk, corong, mesin giling dua rol terbuka, alat penekan, tensometer, serta peralatan plastik dan gelas. B. METODE PENELITIAN 1. Penyiapan Lateks Pekat Lateks pekat yang digunakan sebagai bahan baku untuk proses depolimerisasi merupakan hasil sentrifugasi lateks kebun. Sebelumnya lateks kebun diberi pengawet amoniak sebanyak 0,7% (v/v) agar tidak cepat menggumpal. Setelah proses sentrifugasi, dilakukan pengujian kadar karet kering (KKK) dan kadar jumlah padatan (KJP). Prosedur pengujian KKK dan KJP dapat dilihat pada Lampiran 1. Proses pembuatan lateks pekat dapat dilihat pada Gambar 8. 2. Depolimerisasi Lateks Pekat Proses depolimerisasi lateks pekat yang dilakukan merupakan teknik degradasi secara kimia dengan melibatkan reaksi oksidasi-reduksi untuk 23
memutuskan rantai polimer dari poli isoprena menjadi rantai yang lebih pendek. Senyawa yang bertindak sebagai pendegradasi adalah hidrogen peroksida (H2O2), dan NaOCl berperan sebagai pengoksidasi. Proses depolimerisasi dilakukan dengan cara menakar lateks pekat sebanyak 200 ml dengan KKK 50% lalu dimasukkan kedalam gelas kimia 1 liter, kemudian ditambahkan surfaktan emal dan emulgen masing-masing sebanyak 4 bsk (berat per seratus karet) untuk menstabilkan lateks. Setelah itu, ditambahkan H2O2, NaOCl, dan katalis asam berturut-turut dengan selisih waktu antar penambahan senyawa-senyawa tersebut sekitar 5 menit. Senyawa pendegradasi ditambahkan ke dalam lateks pekat sambil terus dilakukan pengadukan. Sampel didepolimerisasi menggunakan gelas piala yang dipanaskan dalam penangas air hingga suhu sampel mencapai 70○C dan diaduk menggunakan agitator pada kecepatan sekitar 124 rpm. Variasi waktu depolimerisasi untuk setiap kadar senyawa pendegradasi adalah 4, 6 dan 8 jam. Setelah itu, sampel yang dihasilkan disebut lateks depolimerisasi. Lateks ini kemudian disaring dan diturunkan suhunya hingga ± 35○C. Lateks hasil depolimerisasi ini kemudian diuji kadar jumlah padatannya (KJP) untuk mengetahui jumlah konsentrasi lateks yang akan dioleskan pada permukaan substrat. Proses depolimerisasi lateks pekat dapat dilihat pada Gambar 9. Lateks kebun Amonia
Sentrifugasi
Lateks pekat
Pengujian KKK, KJP
Gambar 8. Diagram alir pembuatan lateks pekat metode sentrifugasi
24
Lateks pekat Emal 4 bsk
Emulgen 4 bsk
Pengadukan 124 rpm H2O2, NaOCl, Katalis asam 50%
Depolimerisasi 4,6,8 jam Suhu 700C
Lateks depolimerisasi
Penyaringan dan pendinginan
Pengujian KJP Pengujian daya rekat Gambar 9. Diagram alir depolimerisasi lateks pekat 3. Pengujian Daya Rekat Lateks a. Penyiapan Substrat Kulit Alasan yang melatarbelakangi pemilihan kulit sebagai sampel substrat (adherent) adalah karena kulit merupakan bahan alam dengan penggunaan yang luas. Variasi penggunaan kulit cukup tinggi, mulai dari sepatu, tas, sabuk, jok mobil dan motor, hingga beragam aksesoris. Kulit hewan merupakan bahan berserat dan berpori besar. Serat yang dimiliki kulit menjadikan tingkat kekasaran (roughness) permukaan kulit tinggi, sehingga peluang perekat tidak merata dan menjangkau pori-pori semakin kecil. Gambar 10 menunjukkan kulit yang menjadi substrat pada uji rekat Kulit diperoleh dari salah satu toko kulit dan imitasi di Bogor. Kulit yang diperoleh merupakan kulit olahan yang telah disamak terlebih dahulu. Kulit yang 25
menjadi bahan baku pengujian perekat memiliki dua lapis permukaan yang berbeda akibat pengolahan sebelumnya. Bagian kulit yang dilapisi perekat adalah pada bagian yang agak kasar dan berpori-pori lebih lebar serta memiliki daya resap air lebih besar. Perbedaan kemampuan daya resap diketahui dengan cara meneteskan air ke permukaan kulit dan mengamati secara visual kemampuan peresapan air Hal ini dilakukan agar perekat yang dioleskan pada permukaan substrat dapat meresap ke dalam pori-pori kulit. Kulit dibersihkan dengan menggunakan sikat halus agar bersih dari kontaminan yang dapat menghalangi interaksi perekat dan substrat.. Substrat kulit yang digunakan berupa lembaran yang kemudian dipotong dengan ukuran 2,5 x 9 cm.
(a)
(b)
Gambar 10. Substrat kulit dalam bentuk lembaran (a) dan yang telah dipotong (b) b. Aplikasi Perekat dan Pengukuran Kekuatan Rekat Aplikasi perekat dilakukan dengan mengoleskan lateks pada dua permukaan substrat dengan dosis 150 g/m2. Luas permukaan substrat kulit yang akan dioleskan adalah sebesar 1 x 1 inci. Banyaknya lateks yang harus dioleskan ditentukan oleh banyaknya bobot padatan yang terdapat dalam lateks depolimerisasi. Oleh karena itu, dilakukan pengukuran kadar jumlah padatan (KJP) terlebih dahulu. Lateks yang dioleskan pada substrat secara manual dengan menggunakan sudip dan dibiarkan hingga kering sentuh (± 5-10 menit). Setelah perekat mengering, kedua substrat direkatkan dan ditekan dengan metode pengempaan dingin menggunakan alat penekan dengan kondisi penekanan sebesar ± 110 psi
26
selama 30 menit. Pengujian ini dilakukan untuk mengamati kuat rekatan perekat tersebut dengan mekanisme rekatan kulit-kulit. Proses pemberian tekanan pada substrat dalam proses perekatan dan hasil perekatan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Proses perekatan substrat dan hasil rekatan yang siap diuji Penggunaan perekat pada prinsipnya adalah untuk menggabungkan dua buah material sehingga tahan terhadap usaha pemisahan. Oleh karena itu, daya kuat rekat sebuah perekat adalah parameter penting yang menunjukkan kualitas dari sebuah perekat. Pengukuran daya rekat lateks dilakukan dengan menggunakan alat tensometer seperti pada Gambar 12. Daya rekat yang diukur oleh alat tersebut menunjukkan besarnya gaya yang diperlukan untuk memisakan dua buah bahan (substrat/adherent) yang direkatkan. Kedua ujung substrat dijepit pada alat, kemudian kedua ujung ditarik dengan motor listrik dan beban yang dihasilkan oleh tarikan tersebut terukur oleh sensor dalam satuan lb/in2.
(a)
(b)
Gambar 12. Alat uji rekat (a) dan mekanisme uji rekat (b)
27
C. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan menggunakan dua faktor, yaitu waktu reaksi depolimerisasi dan dosis bahan pendegradasi H2O2. Faktor waktu reaksi terdiri dari tiga taraf, yaitu 4, 6 dan 8 jam yang diberi kode W1,W2 dan W3. Dosis H2O2 juga terdiri dari tiga taraf yaitu 1 bsk, 3 bsk dan 5 bsk yang diberi kode D1, D2 dan D3. Dengan demikian banyaknya perlakuan yang dicobakan ada sebanyak 9 kombinasi perlakuan. Perlakuan diulang sebanyak dua kali, sehingga banyaknya percobaan proses depolimerisasi yang dilakukan adalah 18 unit percobaan. Pengacakan dilakukan dengan sistem undian, kemudian dilakukan pengurutan pengerjaan unit percobaan. Waktu proses depolimerisasi akan ditetapkan sebagai perlakuan ke-i, sedangkan dosis H2O2 ditetapkan sebagai perlakuan ke-j. Rancangan percobaannya yaitu : Yijk = µ + αi + δik + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan : Yijk
: Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ke-j ulangan ke-k
µ
: Rataan umum
δik
: Pengaruh
αi
: Pengaruh perlakuan waktu proses depolimerisasi ke-i
βj
: Pengaruh dosis H2O2 ke-j
(αβ)ij
: Interaksi waktu proses depolimerisasi ke-I dengan dosis H2O2
acak dari petak utama yang menyebar normal (0,σδ2)
ke-j εijk
: Pengaruh acak dari anak petak yang menyebar normal (0,σ2)
Hipotesis : 1. H’0 : α1 = α2 = α3 = 0 H’1 : Paling sedikit ada satu αi yang tidak sama dengan nol 2. H’’0 : βj = βj = βj = 0 H’’1 : Paling sedikit ada satu βj yang tidak sama dengan nol 3. H’’’0 : (αβ)ij (αβ)ij (αβ)ij =0 H’’’1 : Paling sedikit ada satu (αβ)ij yang tidak sama dengan nol 28
Untuk menguji kebenaran hipotesis H0 dilakukan penghitungan nilai peubah acak Fn dan membandingkannya dengan nilai F pada nilai kritis distribusi-F dengan derajat kebebasan a-1 dan ab(n-1). Hipotesis nol H0 ditolak pada selang kepercayaan α = 0,05, apabila Fn > Fα [a-1, ab(n-1)]. Hasil analisis faktor yang signifikan kemudian dilakukan uji lanjut Duncan.
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENYIAPAN LATEKS PEKAT Bahan baku pembuatan perekat berupa lateks pekat yang diperoleh dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Sebelum digunakan dalam proses pembuatan perekat, lateks pekat diawetkan dengan menggunakan amonia. Jumlah amonia yang ditambahkan umumnya adalah 0,7% dari volume lateks (Anonim, 2009a). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan juga penambahan amonia sebesar 0,7% (v/v). Lateks dapat menggumpal akibat pH yang rendah atau pada pH isoelektrik. Salah satu penyebab turunnya pH lateks adalah asam-asam organik yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mencemari lateks pada saat proses penyadapan. Selain menurunkan pH, amonia juga memiliki sifat bakterisida (Anonim, 2009a). Sifat anti mikroorganisme pada amonia berfungsi untuk menghambat pertumbuhan organisme pada lateks. Lateks yang telah ditambah amonia dan disentrifugasi dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Lateks pekat Secara visual wujud lateks yang stabil berwarna putih seperti susu. Dengan penambahan amonia diharapkan bahan baku lateks tetap dalam kondisi stabil selama proses penelitian berlangsung. Pengambilan bahan baku dilakukan secara berkala dengan jumlah 3 liter setiap kali pengambilan. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penggumpalan lateks akibat terlalu lama disimpan. Salah satu sifat amonia adalah mudah menguap pada suhu ruang, sehingga amonia yang
30
terdapat dalam lateks akan menguap selama masa penyimpanan lateks. Penurunan kadar amonia dalam lateks akan menyebabkan kestabilan lateks berkurang. Salah satu cara yang dilakukan untuk menghambat laju penguapan amonia pada lateks adalah dengan melakukan penyimpanan lateks dalam wadah tertutup (botol plastik) serta disimpan di dalam lemari es. Lateks kebun biasanya mengandung 25-40% kadar karet kering (KKK), karena komposisi lateks tidak hanya terdiri dari partikel karet (Anonim, 2009a). Oleh karena itu untuk mengetahui jumlah komponen karet sebenarnya, maka perlu dilakukan pengukuran KKK lateks. Kadar karet kering menjadi dasar perhitungan berbagai bahan baku lain yang akan digunakan dalam proses pengolahan lateks. Senyawa kimia dan bahan lain yang akan ditambahkan dalam lateks dihitung berdasarkan 100 jumlah partikel karet, sehingga satuan ukuran penambahan bahan lainnya biasanya dinyatakan dalam bagian per seratus karet (bsk). Pemisahan antara partikel karet dengan partikel bukan karet di dalam lateks dilakukan agar diperoleh lateks yang memiliki KKK lebih tinggi. Karet inilah yang menjadi komponen utama dalam pembuatan perekat karena memiliki karakteristik fisik yang lengket. Pengukuran KKK dilakukan dengan membandingkan antara berat lateks dengan berat karet krep yang telah dikeringkan seperti nampak pada Gambar 14.
Gambar 14. Karet krep Proses
pemekatan
lateks
pada
penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan sentrifuse sehingga dihasilkan lateks pekat. Nilai KKK yang diperoleh dari tiga kali pengambilan lateks dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan tabel tersebut, diperoleh hasil bahwa proses sentrifugasi untuk 31
memekatkan lateks dapat manghasilkan lateks pekat dengan KKK rata-rata 60,29% dan memenuhi batas standar yaitu ± 60% (Tabel 2). Parameter sifat lateks yang penting lainnya yaitu kadar jumlah padatan (KJP). Padatan di dalam lateks pekat didominasi oleh karet sedangkan bagian lainnya diantaranya terdiri dari partikel frey wyssling, lutoid dan bahan terlarut lainnya. Hasil pengukuran kadar jumlah padatan dilakukan sebagai dasar untuk menentukan berat lateks yang akan dioleskan pada permukaan substrat dalam proses perekatan. Hasil pengukuran KJP pada Tabel 5 menunjukkan bahwa lateks pekat yang diperoleh dari hasil sentrifugasi rata-rata sebesar 61,57% dan memenuhi batas standar yaitu ± 61,5% (Tabel 2). Berdadasarkan pengukuran nilai KJP dan KKK, diperoleh selisih diantara keduanya memenuhi standar dengan nilai rata-rata sebesar 1,28%. Selisih antara nilai KJP dan KKK juga merupakan parameter mutu lateks dengan batas standar maksimal sebesar 2% (Tabel 2). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa lateks yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi batas standar. Pengukuran kadar kepekatan lateks juga dapat dilakukan secara manual dengan cara mencelupkan jari ke dalam lateks kemudian merasakan dan melihat kecepatan lateks menggumpal pada jari ketika jari diangkat, dikarenakan air dalam lateks menguap. Tabel 5. Hasil pengukuran KKK dan KJP pada lateks. Pengambilan ke-
KKK (%)
KJP (%)
(KJP – KKK) (%)
1
62,4
63,5
1,1
2
58,5
59,9
1,4
3
59,98
61,32
1,34
Rata-rata
60,29
61,57
1,28
B. MODIFIKASI LATEKS Polimer karet merupakan bahan baku utama pembuatan perekat. Perekat yang dihasilkan termasuk ke dalam tipe water based adhesives. Bahan utama formula perekat adalah bahan yang memiliki kemampuan merekat yang menjadi basisnya (Ohm, 1990), kemudian ditambahkan dengan bahan-bahan lain yang dapat mendukung karakteristik produk perekat dan dapat memperkuat rekatan, 32
seperti pelarut, pengeras/penguat, pengawet dan penstabil. Sebagai komponen utama perekat, karakteristik polimer karet dimodifikasi dengan cara melakukan proses degradasi lateks melalui reaksi depolimerisasi dengan bahan pendegradasi berupa H2O2 dan NaOCl. Proses modifikasi struktur molekul dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yang menjadi landasan metode proses depolimerisasi. Senyawa hidrogen peroksida menjadi penyebab proses degradasi molekul polimer karet karena memiliki potensial reduksi standar kedua tertinggi (Oxtoby et al., 2001) dan dapat membentuk radikal bebas akibat pemanasan. Penambahan NaOCl berguna untuk menciptakan kondisi asam karena NaOCl dapat terurai menjadi HOCl yang juga memiliki potensial reduksi cukup tinggi. Kondisi asam dapat menyebabkan peruraian H2O2 menjadi radikal bebas berlangsung lebih cepat (Budianto dan Sarwono, 2008). Proses depolimerisasi sendiri dilakukan dengan perlakuan suhu dan pengadukan, maka untuk menjaga kestabilan agar lateks tidak menggumpal selama proses pembuatan dilakukan penambahan surfaktan. Lateks dapat mencapai kondisi titik isoelektrik pada saat jumlah muatan positif dan negatif dalam partikel karet seimbang. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya induksi muatan antar partikel karet, sehingga memungkinkan terjadinya gaya tarik menarik antar partikel karet. Titik isoelektrik menandakan bahwa muatan bernilai nol (Anonim, 2009a), sehingga dapat juga disebut atom atau molekul nonpolar. Oxtoby et al. (2001) menjelaskan bahwa elektron-elektron dalam molekul atau atom nonpolar terdistribusi secara simetrik, tetapi distribusinya dapat melenceng oleh muatan listrik yang mendekat. Suatu ion yang bermuatan positif dapat menarik elektron molekul nonpolar pada sisi terdekatnya, sehingga timbul induksi polaritas. Begitu dwikutub terinduksi timbul, keadaannya menjadi seperti kasus ion-dwikutub pada molekul polar dan timbul gaya dwikutub terinduksi. Gaya ini juga dapat disebabkan oleh ion negatif atau oleh dwikutub lain dan merupakan gaya lemah yang efektif hanya pada jarak pendek. Gaya induksi dwikutub inilah yang juga menjadi penyebab partikel karet saling tarik menarik. Partikel karet akan bersatu menjadi partikel yang lebih besar sehingga tampak menggumpal.
33
Seperti yang dilakukan oleh Tribawati (2009), penambahan surfaktan anionik dapat meningkatkan kestabilan lateks. Surfaktan yang ditambahkan ke dalam lateks pekat yaitu natrium lauril sulfat (emal). Seperti yang dinyatakan oleh Anonim (2009a), bahwa titik isoelektrik dapat terjadi pada kondisi pH tertentu. Surfaktan emal termasuk jenis surfaktan anionik karena mengandung gugus sulfat. Partikel karet dalam lateks memiliki muatan negatif yang disebabkan oleh adanya lapisan protein dalam partikel karet. Penambahan surfaktan anionik yang bermuatan negatif akan meningkatkan jumlah muatan negatif pada partikel karet, sehingga dapat mencegah tercapainya kondisi titik isoelektrik. Apabila jumlah muatan negatif lebih banyak, maka kecenderungan seluruh partikel karet memiliki muatan negatif yang lebih dominan. Partikel-partikel karet akan saling tolak menolak karena memiliki muatan yang sama dan partikel karet dalam lateks tetap dalam kondisi stabil. Berdasarkan
hasil
penelitian
pendahuluan,
penambahan
surfaktan
sebanyak 1 bsk merupakan jumlah minimal untuk menstabilkan lateks. Namun, pada tahap awal penelitian untuk proses depolimerisasi selama lebih dari 4 jam, kadar jumlah surfaktan sebesar 1 bsk masih belum mampu mencegah penggumpalan lateks. Kemudian dilakukan penambahan surfaktan hingga 4 bsk dan hasil perlakuan tersebut mampu menjaga kestabilan lateks selama proses depolimerisasi. Penggumpalan dapat terjadi akibat proses pemanasan dan pengadukan yang menyebabkan pelindung partikel karet menjadi rusak akibat gesekan dan panas, sehingga dibutuhkan lebih banyak surfaktan untuk menjaga kestabilan lateks selama proses depolimerisasi. Sebelum proses depolimerisasi berlangsung juga dilakukan penambahan surfaktan polioksietilen lauril eter (emulgen). Penambahan emulgen memberikan perlindungan kepada partikel karet dari pengaruh asam akibat penambahan NaOCl pada proses depolimerisasi. NaOCl dapat terurai menjadi HOCl dalam air seperti yang dijelaskan oleh Karaoglu dan Ugurlu (2009), sehingga kondisi sistem dispersi lateks akan menjadi asam. Surfaktan emulgen termasuk jenis surfaktan nonionik yang tidak memiliki muatan. Kinerja emulgen tidak dipengaruhi oleh muatan lain disekitarnya sehingga mampu tetap memberi perlindungan terhadap partikel karet. 34
C. ANALISIS DAYA REKATAN Analisis daya rekat dalam penelitian ini merupakan analisis pada lateks yang menjadi bahan penyusun dalam formulasi perekat berbasis air, sehingga dapat digolongkan sebagai bahan baku perekat berbasis air (water based). Lateks yang diaplikasikan untuk merekatkan belum ditambahkan dengan bahan apapun dan bukan berupa formulasi bahan perekat seperti yang dijelaskan oleh Ohm (1990). Kekuatan rekat yang terukur hanya merupakan kekuatan rekat lateks hasil depolimerisasi dan dibandingkan dengan daya rekat lateks pekat tanpa perlakuan. Berdasarkan kajian Ruhendi et al. (2007), salah satu parameter yang menjadi penyebab proses perekatan dapat berlangsung dengan baik adalah banyaknya kadar jumlah padatan (KJP) dalam perekat. Berdasarkan hasil pengukuran KJP pada sampel perekat, diperoleh hasil bahwa terdapat kecenderungan dengan semakin banyaknya penambahan senyawa pendegradasi dan semakin lamanya waktu proses depolimerisasi akan semakin meningkatkan KJP perekat. Hasil pengukuran KJP dapat dilihat pada Gambar 15 dengan nilai tertinggi 61,79% pada sampel dengan jumlah dosis H2O2 5 bsk dan didepolimerisasi selama 6 jam. Sementara itu, nilai kontrol KJP 51,28%, dengan nilai KKK baik lateks depolimerisasi maupun lateks pekat sebesar 50%.
Gambar 15. Pengaruh dosis H2O2 dan waktu reaksi terhadap perubahan KJP
35
Perubahan nilai KJP terjadi karena berat bahan pendegradasi yang ditambahkan juga ikut terhitung. Semakin banyaknya kadar jumlah padatan maka akan semakin banyak molekul perekat yang berinteraksi dengan molekul substrat sehingga daya rekat juga akan semakin meningkat. Besarnya KJP tersebut disebabkan oleh adanya penguapan air selama proses depolimerisasi akibat pemanasan pada suhu 70ºC. Berdasarkan fenomena yang ditunjukkan oleh Gambar 15, fluktuasi yang terjadi disebabkan oleh kondisi proses pemanasan selama proses depolimerisasi berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian Tribawati (2009), karet yang telah didepolimerisasi akan memiliki viskositas lebih rendah dibandingkan karet yang berasal dari lateks pekat. Pengukuran viskositas karet secara kuantitatif dapat dilakukan melalui pengukuran viskositas larutan polimer menggunakan alat viskosimeter Ostwald atau viskosimeter Ubbelohde (Cowd, 1991). Namun, karet harus dilarutkan terlebih dahulu ke dalam toluen yang harganya cukup mahal. Pengukuran viskositas juga dapat digunakan untuk mengukur bobot molekul polimer karet. Bobot molekul yang tinggi menyebabkan karet memiliki sifat mekanis lebih kuat, sehingga untuk mengukur perubahan viskositas karet setelah didepolimerisasi dapat ketahui secara sederhana melalui pengamatan visual terhadap sifat mekanik karet yang telah digumpalkan dan dikeringkan tanpa harus dilarutkan dalam toluen. Karet yang berasal dari lateks pekat akan memiliki bentuk yang lebih padat, elastis dan kuat, sedangkan karet yang diperoleh dari lateks depolimerisasi tampak lebih lunak dan plastis. Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan bahwa lateks yang telah didepolimerisasi mengalami perubahan karakteristik yang dapat berpengaruh terhadap kekuatan rekatnya. Hasil pengukuran kekuatan rekat lateks dengan menggunakan uji kekuatan tarik geser dapat dilihat pada Gambar 16. Berdasarkan gambar tersebut diperoleh nilai kuat tarik geser terendah sebesar 12,65 lb/in2 dengan perlakuan dosis H2O2 1 bsk dan waktu depolimerisasi 6 jam. Kekuatan tarik geser tertinggi sebesar 50,60 lb/in2 diperoleh dari perlakuan dosis H2O2 5 bsk dan waktu depolimerisasi 8 jam. Nilai kuat tarik geser lateks depolimerisasi cenderung semakin meningkat dengan peningkatan waktu reaksi dan dosis H2O2. Hal tersebut terjadi pada lateks yang diberi perlakuan proses depolimerisasi yang semakin lama dan semakin tingginya 36
dosis bahan pendegradasi H2O2. Seperti yang terjadi pada proses depolimerisasi selama 8 jam, nilai kekuatan tarik geser naik secara berturut-turut yaitu 15,80 lb/in2 dan 25,30 lb/in2 untuk konsentrasi H2O2 1 bsk dan 3 bsk, kemudian meningkat drastis mencapai 50,6 lb/in2 untuk dosis H2O2 5 bsk. Proses depolimerisasi selama 4 jam dan 6 jam juga menunjukkan kecenderungan perubahan yang semakin meningkat dengan penambahan dosis H2O2 yang semakin tinggi.
Gambar 16. Pengaruh dosis H2O2 dan waktu reaksi terhadap kekuatan tarik geser Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada lateks memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan kekuatan tarik geser perekat. Perlakuan berupa variasi penambahan dosis bahan pendegradasi H2O2 dalam proses modifikasi struktur molekul karet berpengaruh nyata terhadap daya rekatan lateks depolimerisasi. Faktor perlakuan waktu proses depolimerisasi juga memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini didasarkan pada hasil yang ditunjukkan dalam Lampiran 3 dengan kecenderungan proses depolimerisasi selama 8 jam menghasilkan nilai daya rekat yang lebih tinggi dibandingkan 4 jam dan 6 jam. Sementara itu pada dosis H2O2 5 bsk nilai kekuatan tarik geser cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan 37
dosis sebesar 1 dan 3 bsk. Interaksi antara kedua faktor ternyata juga memberikan pengaruh yang signifikan dengan kecenderungan interaksi antara proses depolimerisasi selama 8 jam dan dosis H2O2 sebanyak 5 bsk menghasilkan nilai kekuatan tarik geser paling tinggi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa perbedaan kekuatan tarik geser dari lateks depolimerisasi selama 4 jam dan 6 jam tidak berbeda nyata. Sementara itu, proses depolimerisasi selama 8 jam memberi pengaruh sangat nyata terhadap perubahan kekuatan terik geser lateks depolimerisasi. Uji lanjut Duncan juga dilakukan pada perlakuan dosis H2O2 yang menunjukkan bahwa dosis H2O2 sebanyak 1 dan 3 bsk memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata, sementara untuk dosis 5 bsk memberikan pengaruh yang sangat nyata. Hasil uji lanjut Duncan untuk interaksi antara perlakuan waktu reaksi dengan penambahan dosis H2O2 pada Lampiran 3, menunjukkan bahwa interaksi pada proses depolimerisasi selama 8 jam dan dosis H2O2 sebesar 5 bsk memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perubahan kekuatan terik geser lateks depolimerisasi. Sementara itu interaksi waktu reaksi 8 jam dan dosis H2O2 sebesar 1 dan 3 bsk tidak berbeda nyata dengan interaksi waktu reaksi 4 jam dan dosis H2O2 sebesar 1, 3 dan 5 bsk serta pada interaksi waktu reaksi 6 jam dan dosis H2O2 sebesar 3 dan 5 bsk. Pengaruh yang tidak berbeda nyata juga ditunjukkan pada interaksi waktu reaksi selama 8 jam dengan dosis H2O2 sebesar 1 bsk dan interaksi waktu reaksi 6 jam dengan dosis H2O2 sebesar 1 dan 3 bsk. Proses perekatan didasarkan pada prinsip perekatan yang dikemukakan oleh Anonim (2009c), Kumar et al. (2002) dan Ruhendi et al. (2007), yaitu melalui prinsip perekatan mekanis, reaksi kimia dan interaksi antara molekul serta berdasarkan teori yang diajukan oleh Blomquist (1983) melalui mekanisme rantai. Berdasarkan grafik pada Gambar 16, tampak bahwa nilai kekuatan tarik geser lateks pekat (kontrol) lebih tinggi dibandingkan lateks depolimerisasi. Proses perekatan tidak disebabkan oleh adanya reaksi kimia. Karena reaksi kimia baru dapat terjadi apabila terdapat kecenderungan untuk menggunakan elektron valensi secara bersama-sama yang menyebabkan terbentuknya ikatan kovalen antara atom nonlogam (Ruhendi et al., 2007). Baik molekul substrat maupun perekat berada dalam kondisi stabil sehingga reaksi kimia diantara keduanya tidak terjadi. 38
Kekuatan perekatan lebih dipengaruhi oleh kekuatan mekanik akibat kohesi antara molekul perekat serta interaksi antara molekul perekat dan substrat. Visualisasi sederhana analisis kekuatan yang mempengaruhi proses perekatan dapat dilihat pada Gambar 17.
Daerah interaksi molekul perekatsubstrat
Arah beban
Daerah kekuatan kohesi antar molekul perekat
Arah beban
Gambar 17. Mekanisme kerja sistem rantai perekatan Gambar 17 menunjukkan daerah rantai kekuatan kohesi antar molekul perekat yang disebabkan karena perbedaan sifat mekanik lateks. Lateks pekat mengandung karet yang berbobot molekul tinggi karena tersusun dari rantai polimer yang panjang, sehingga molekul lebih susah untuk dipisahkan. Keadaan tersebut menyebabkan lateks pekat memiliki daya kohesi antar molekul yang kuat dan sifat mekaniknya lebih tinggi. Sementara itu, proses depolimerisasi dapat menurunkan bobot molekul karet sehingga kekuatan kohesi molekulnya lebih rendah dibandingkan lateks pekat. Perbedaan kekuatan mekanik ini juga terlihat melalui pengamatan secara visual terhadap karet yang telah digumpalkan dan dikeringkan. Karet yang berasal dari lateks pekat lebih padat, elastis dan kuat, sedangkan karet yang diperoleh dari lateks depolimerisasi lebih lunak dan plastis. Perbedaan kekuatan mekanik tersebutlah yang kemudian diduga menjadi penyebab nilai kekuatan tarik geser lateks depolimerisasi lebih rendah dibandingkan lateks pekat yang mencapai 73,5 lb/in2. Pengaruh kekuatan mekanik pada molekul perekat juga dapat dibuktikan dengan kegagalan sambungan rekatan. Kegagalan sambungan pada perekatan dengan menggunakan lateks pekat termasuk jenis interfacial fracture (Gambar 7) 39
sehingga menyebabkan substrat menjadi rusak dan menempel pada permukaan perekat. Sedangkan kegagalan sambungan pada proses perekatan dengan menggunakan lateks depolimerisasi termasuk jenis cohesive fracture (Gambar 7) yang terjadi ditengah-tengah lapisan perekat. Hal ini terjadi karena kekuatan antar molekul lateks depolimerisasi cukup lemah dan ditunjukkan dengan masih adanya lateks depolimerisasi yang menempel pada permukaan substrat. Fenomena cohesive fracture yang terjadi juga menunjukkan proses pembasahan perekat pada permukaan substrat berjalan cukup baik. Proses Pembasahan (Wetting) pada substrat merupakan pergerakan perekat yang berupa kegiatan spontan molekul-molekul perekat ketika bersinggungan dengan molekulmolekul bahan yang akan direkatkan pada bagian permukaan (Ruhendi et al., 2007). Pembasahan sempurna terjadi ketika ikatan molekul antara perekat dan substrat lebih besar dibandingkan ikatan molekul dalam perekat. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa kekuatan mekanik diantara molekul lateks depolimerisasi lebih rendah dibandingkan lateks pekat. Penyebab lain dari lebih tingginya nilai kekuatan rekat lateks pekat lebih tinggi dibandingkan lateks depolimerisasi adalah viskositas lateks. Karena menurut Ruhendi et al. (2007) salah satu yang mempengaruhi proses perekatan adalah viskositas perekat. Secara visual, lateks yang didepolimerisasi tampak lebih viskous dibandingkan dengan lateks pekat karena kestabilan lateks depolimerisasi berkurang ketika menjelang akhir proses akibat adanya pemanasan dan pengadukan. Menurunnya kestabilan menyebabkan karet dalam lateks sedikit menggumpal. Disamping itu, nilai KJP (kadar jumlah padatan) lateks yang telah didepolimerisasi lebih tinggi dibandingkan lateks pekat, sehingga dapat diduga viskositas lateks depolimerisasi lebih tinggi dibandingkan lateks pekat. Semakin tinggi viskositas akan menyebabkan daya rekat lebih lemah karena cairan perekat akan sulit menyebar masuk ke dalam pori-pori substrat dan mekanisme interlocking tidak berjalan dengan baik. Proses perekatan secara mekanik pada daerah interaksi perekat dan substrat (Gambar 17) tidak terlalu kuat akibat sulitnya perekat masuk ke dalam pori-pori substrat. Hal tersebut kemudian diduga juga menjadi penyebab daya rekat lateks depolimerisasi lebih rendah dibandingkan lateks pekat. 40
Sulitnya lateks masuk ke dalam pori-pori juga diduga disebabkan oleh wujud cairan lateks depolimerisasi yang terdapat gelembung-gelembung udara akibat proses dekomposisi H2O2 ketika bereaksi dengan lateks sehingga menghasilkan air dan gas O2 (Budianto dan Sarwono, 2008). Gelembunggelembung gas O2 tersebut dapat menghalangi masuknya lateks apabila ukurannya lebih besar. Hal tersebut menyebabkan interaksi antara molekul dan substrat serta mekanisme interlocking juga berkurang sehingga daya rekat lebih rendah dibandingkan dengan lateks pekat. Kecenderungan peningkatan nilai kekuatan tarik geser lateks dengan penambahan dosis H2O2 yang semakin tinggi dan proses reaksi yang semakin lama. Hal ini dikarenakan rantai molekul yang putus pada perlakuan dosis H2O2 yang rendah dan proses reaksi yang lebih singkat diduga belum terlalu banyak. Teori rantai perekatan Ruhendi et al. (2007) menjelaskan bahwa rantai ikatan yang terjadi pada proses perekatan juga disebabkan oleh adanya kekuatan interaksi antara molekul substrat dengan bahan perekat yang terjadi di daerah interaksi perekat-substrat (Gambar 17) akibat adanya gaya Van der Waals. Fenomena kekuatan rekat yang timbul pada lateks depolimerisasi yang mendapatkan perlakuan lebih dipengaruhi oleh gaya Van der Waals karena kekuatan mekanik antar molekul lateks depolimerisasi relatif sama. Gaya ini dapat terjadi secara maksimal diantara molekul-molekul yang berantai panjang (Fessenden dan Fessenden, 1991) melalui interaksi antara atom carbon (C-C) pada molekul perekat dan substrat kulit. Visualisasi interaksi molekul lateks depolimerisasi dan molekul substrat pada gaya Van der Waals dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Gaya Van der Waals antara molekul substrat dan lateks pekat.
41
Gaya antara molekul juga dapat terjadi akibat adanya interaksi gugus fungsional pada masing-masing rantai molekul. Reaksi proses depolimerisasi dengan dosis bahan pendegradasi lebih banyak dan proses yang lebih lama, mampu menghasilkan rantai-rantai molekul pendek yang banyak. Molekulmolekul yang terbentuk memiliki gugus-gugus fungsi baru, diantaranya adalah gugus fungsi keton dan aldehid. Mekanisme reaksi depolimerisasi dan pembentukan gugus fungsi baru dapat dilihat pada Gambar 19. CH 3 CH 2
C
CH 3
CH
CH 2
CH 2 C
CH
Radikal bebas
RO 2 . CH 3 CH 2
C
CH 2
CH 3
CH
.CH
CH 2 C
CH
CH 2
O2 CH 3 CH 2
C
CH 3
CH
CH 2 C .
CH O
CH
CH 2
O
O 2 RH H 3C
CH 3 CH 2
C
CH
CH
CH 2 C
O
C
OH CH
H 3C
CH
CH
CH 2 C
O
+
R.
O. CH
CH 2
O
Gugus keton
H 3C
CH 3 CH 2
CH 2
O
CH 3 CH 2
O
HC . + CH
CH 2 C
O
O
+
CH O
CH 2
Gugus aldehid
Gambar 19. Mekanisme reaksi degradasi polimer karet dan pembentukan gugus fungsi baru (Cifriadi, 2009) 42
Sementara itu, protein dalam kulit merupakan molekul yang tersusun dari monomer asam amino dan memiliki gugus fungsi asam karboksilat dan amina (Anonim, 2009a). Gugus fungsi asam karboksilat memiliki kecenderungan lebih elektronegatif, sedangkan gugus amina cenderung bermuatan positif karena seluruh
elektron
valensi
digunakan
untuk
berikatan
kovalen.
Adanya
kecenderungan muatan listrik membuat molekul protein pada kulit dapat berinteraksi dengan gugus fungsi pada molekul lateks depolimerisasi dan menghasilkan gaya dipol-dipol antara molekul lateks depolimerisasi dan substrat kulit. Kekuatan rekat lateks depolimerisasi yang telah diberikan perlakuan lebih dipengaruhi oleh gaya dipol-dipol yang kekuatannya lebih besar dibandingkan gaya Van der Waals. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab kekuatan tarik geser lateks depolimerisasi semakin meningkat dengan semakin banyaknya bahan pendegradasi yang ditambahkan dan reaksi depolimerisasi yang semakin lama. Visualisasi gaya dipol-dipol antara gugus fungsi pada molekul substrat dan lateks depolimerisasi dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Gaya dipol-dipol antara gugus fungsi pada lateks depolimerisasi dan substrat kulit. Gambar 21 menunjukkan grafik perubahan nilai hasil uji rekat dari metode kekuatan tarik kelupas. Berdasarkan gambar tersebut fenomena yang ditunjukkan agak berbeda dengan Gambar 16 dan fluktuasinya lebih bervariasi. Daya rekat terendah ditunjukkan oleh sampel yang didepolimerisasi selama 6 jam dengan dosis H2O2 3 bsk yaitu sebesar 0,21 lb/in. Sedangkan daya rekat tertinggi sebesar 1,66 lb/in dihasilkan dari proses depolimerisasi dengan dosis H2O2 1 bsk selama 4 jam. Kecenderungan yang tampak adalah semakin besarnya daya rekatan untuk 43
lateks yang diberi perlakuan dosis H2O2 lebih besar. Secara umum daya rekat lateks depolimerisasi dengan perlakuan dosis H2O2 1 bsk cenderung lebih rendah dibandingkan 3 bsk dan 5 bsk. Daya rekat lateks depolimerisasi selama 4 jam mengalami penurunan dari 1,64 lb/in pada dosis H2O2 1 bsk menjadi 1,39 lb/in pada dosis H2O2 3 bsk, kemudian meningkat kembali menjadi 1,66 lb/in untuk dosis H2O2 5 bsk. Sementara itu, proses depolimerisasi selama 6 jam memberikan perubahan yang agak berbeda dan secara rata-rata lebih rendah dibandingkan proses selama 4 jam. Nilai daya rekat pada dosis H2O2 1 bsk sebesar 0,21 lb/in kemudian meningkat menjadi 1,67 lb/in untuk dosis H2O2 3 bsk dan kembali menurun untuk dosis H2O2 5 bsk yaitu sebesar 0,92 lb/in. Kecenderungan yang cukup linier ditunjukkan oleh lateks depolimerisasi selama 8 jam, secara berturutturut untuk perlakuan dengan dosis H2O2 1, 3 dan 5 bsk memberikan nilai daya rekat sebesar 0,41, 1,30 dan 1,36 lb/in. Secara rata-rata daya rekat lateks depolimerisasi dengan perlakuan selama 8 jam lebih besar dibandingkan lateks dengan perlakuan selama 6 jam tetapi masih dibawah daya rekat lateks pada perlakuan selama 4 jam.
Gambar 21. Pengaruh dosis H2O2 dan waktu reaksi terhadap kekuatan tarik kelupas Hasil analisis Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95% untuk nilai kekuatan tarik kelupas menunjukkan bahwa perlakuan dosis H2O2 44
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai daya kelupas perekat, dengan kecenderungan kekuatan tarik kelupas yang lebih besar dihasilkan pada aplikasi perekat yang didepolimerisasi dengan penambahan dosis H2O2 sebesar 5 bsk. Perlakuan lamanya waktu proses depolimerisasi juga memberikan pengaruh yang nyata, dengan nilai daya rekat kelupas tertinggi dihasilkan pada saat proses depolimerisasi selama 4 jam. Namun, untuk interaksi antara lamanya proses depolimerisasi dan dosis H2O2 tidak memberikan pengaruh yang nyata sehingga tidak dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa pada daya rekat hasil uji kekuatan tarik kelupas pada perlakuan dosis H2O2 1, 3 dan 5 bsk masing-masing memberikan perbedaan yang nyata. Nilai kekuatan tarik kelupas terbaik dihasilkan dari proses depolimerisasi dengan dosis H2O2 5 bsk. Sementara untuk faktor perlakuan lamanya waktu depolimerisasi, juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk maisngmasing variasi waktu yaitu 4, 6 dan 8 jam. Kecenderungan daya rekat kelupas terbaik dihasilkan pada perlakuan selama 4 jam. Sampel dari uji shear test dan peel test memiliki kondisi yang sama, namun menghasilkan fenomena yang berbeda. Fakta lain yang muncul adalah bahwa daya rekat lateks depolimerisasi hasil uji peel test juga lebih rendah dibandingkan dengan daya rekat lateks pekat yang mencapai 8,71 lb/in. Hal ini dapat terjadi akibat mekanisme yang sama dengan uji kekuatan tarik geser terkait dengan gaya yang mempengaruhi timbulnya kekuatan rekat. Perbedaan nilai daya rekat yang diukur melalui metode shear test dan peel test, disebabkan oleh perbedaan arah beban yang diberikan untuk menggagalkan rekatan. Metode shear test dilakukan dengan memberikan arah beban yang tegak lurus terhadap arah ikatan perekat (Gambar 6). Beban yang diberikan ditahan oleh rekatan pada luasan permukaan substrat dan beban terdistribusi merata di seluruh permukaan lapisan perekat. Kegagalan sambungan rekatan disebabkan oleh perubahan posisi secara bergeser sehingga tingkat kegagalan sambungan lebih rendah karena membutuhkan beban yang lebih besar untuk menggagalkan sambungan (Adams, 2005). Sementara metode peel test, memberikan beban yang searah dengan arah ikatan perekat. Beban yang diberikan hanya terdistribusi pada garis tepi rekatan dan pemutusan rekatan dihasilkan oleh beban tarikan yang terukur hanya pada 45
lebar substrat. Hal tersebut menyebabkan tingkat kegagalan sambungan lebih besar karena tidak membutuhkan beban yang terlalu besar untuk mengubah posisi rekatan. Berdasarkan analisis rekatan, hal tersebutlah yang menyebabkan nilai daya rekatan hasil uji shear test lebih besar dibandingkan hasil uji peel test.
46
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Proses modifikasi stuktur kimia lateks pekat dilakukan untuk melihat adanya perubahan kekuatan rekat lateks. Berdasarkan hasil pengamatan bahan pendegradasi H2O2 dikombinasikan dengan NaOCl selama 4, 6 dan 8 jam mampu memberikan pengaruh pada perubahan daya rekat lateks. Data hasil pengujian daya rekat menunjukkan bahwa kekuatan tarik geser paling tinggi dihasilkan pada proses depolimerisasi selama 8 jam dengan dosis H2O sebesar 5 bsk yaitu sebesar 50,60 lb/in2. Sementara itu nilai kekuatan rekat untuk sampel lainnya dengan metode uji kekuatan tarik geser cenderung mengalami perubahan yang semakin meningkat dengan dilakukannya penambahan dosis H2O2 dan perpanjangan waktu reaksi depolimerisasi. Hasil uji rekatan dengan metode peel test memberikan fenomena yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan arah pemberian gaya untuk menggagalkan sambungan rekatan, sehingga nilai daya rekatnya lebih rendah dibanding hasil pengujian dengan metode shear test. Waktu depolimerisasi dan dosis bahan pendegradasi memiliki pengaruh yang nyata terhadap perubahan daya rekatan lateks depolimerisasi. Dengan kecenderungan bahwa semakin tingginya dosis H2O2 dan semakin lamanya proses depolimerisasi dapat menyebabkan perubahan daya rekat lateks depolimerisasi yang semakin kuat. Namun, nilai kekuatan rekat lateks setelah didepolimerisasi masih lebih rendah dibandingkan lateks pekat karena viskositasnya yang lebih tinggi dibanding lateks pekat, sehingga belum bisa menggantikan lateks pekat sebagai bahan baku utama dalam pembuatan perekat berbasis air. B. SARAN Proses depolimerisasi dilakukan dengan pemanasan pada suhu 70○C, dan pengadukan pada kecepatan tertentu. Oleh karena itu dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh kecepatan dan metode pengadukan untuk proses yang lebih efektif dan menghasilkan lateks depolimerisasi yang lebih baik. Disamping itu perlu juga dilakukan formulasi perekat menggunakan bahan utama lateks depolimerisasi dan melakukan uji pembanding dengan perekat komersial. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar efektivitas proses 47
depolimerisasi dalam memberikan perubahan terhadap kekuatan rekat lateks. Untuk memperbaiki efektivitas proses depolimerisasi, perlu juga dilakukan kajian terhadap bahan yang dapat mencegah terjadinya pengikatan silang setelah lateks didepolimerisasi. Pembuatan perekat dari lateks depolimerisasi lebih baik diarahkan kepada perekat berbasis pelarut, karena pengaruh penurunan bobot molekul dan penurunn viskositas akan lebih tampak jika lateks depolimerisasi dikeringkan dan dilarutkan kedalam pelarut organik.
48
DAFTAR PUSTAKA
Adams, R.D. 2005. Adhesives Bonding Science, Technology and Applications. CRC press, Washington. Anonim. 2009 a. Pengetahuan Lateks. GAPKINDO (Gabungan Perusahaan Karet Indonesia), Jakarta. Anonim. 2009 b. Lem Kuning, Perekat Berbasis Karet, Perekat Basis Tepung dan Perekat PVC [Online]. Diperoleh dari www .scribd. com/ doc/ 11527788 / ebook-lem-karet-tepung-dan-pvc. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2009. Anonim. 2009 c. Adhesives [Online]. Diperoleh dari www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2009. Bastari, D.H. dan Hanggokusumo, S. 2009. Strategi Pengembangan Riset Industri Karet dan Produk Karet Nasional. Seminar. GAPKINDO, Bogor. Tanggal 23 Maret 2009. Budianto E dan Sarwono A. 2008. Pengaruh Variasi Inisiator dan Teknik Polimerisasi Terhadap Ukuran Partikel pada Kopolimerisasi Emulsi Stirenabutil Akrilat-metil Metakrilat. Makara Sains, 12(2): 61-68. Cifriadi, A. 2009. Pembuatan Karet Siklo Dari Lateks Karet Alam Berbobot Molekul Rendah. Tesis. FMIPA, UI, Jakarta. Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Penerbit ITB, Bandung. Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 1991. Kimia Organik Jilid 1. Erlangga, Jakarta. Irfani, M. 2006. Reaksi α-Pirena dengan Hidrogen Peroksida (H2O2)-Asetonitril dalam Suasana Asam. Skripsi. FMIPA, UNNES, Semarang. Isa, S.Z., Yahya, R., Hassan, A. dan Tahir, M. 2007. The influence of Temperatur and Reaction Time in The Degradation of Natural Rubber Latex. The Malaysian Journal of Analytical Sciences, 11(1): 42-47. Karauglu, M.H. dan Ugurlu, M. 2009. Studies on UV/NaOCl/TiO2/Sep Photocatalysed Degradation of Reactive Red 195. In press. Journal of Hazardous Material. Kumar, R., Choudhary V., Mishra S., Varma, I.K. dan Mattiason B. 2002. Adhesives and Plastics Based on Soy Protein Products. Industrial Crops and Products, 16:155-172. Mansur, S. 2009. Dinamika Agribisnis dan Industri Karet Indonesia dalam Persaingan Pasar Global 2009 [Online]. Diperoleh dari www. Mediadata.co.id. Diakses pada tanggal 26 Desember 2009. Nazaruddin dan Paimin, F.B. 1999. Karet, Strategi Pemasaran dan Budidaya. Penebar Swadaya, Jakarta. Ohm, R. 1990. Vanderbilt Rubber Handbook. Edisi 13. R.T. Vanderbilt Company, Inc., Norwalk, CT. Oxtoby, D.W., Gills, H.P., dan Nachtrieb, N.H. 2001. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Erlangga, Jakarta. Rawi, D.F. 2000. Pembuatan Kompon Perekat Lateks Pekat-Ureaformaldehida untuk Kayu Lapis. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. 49
Ruhendi, S., Koroh, D.N., Syamani, F.A., Yanti, H., Nurhaida, Saad, S. dan Sucipto, T. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor. Sahly, F.A. 2006. Pembuatan Perekat pada Logam Menggunakan Campuran Karet Siklo dan Karet alam.skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Suhud, Y. 2004. Pembuatan Formula Perekat Peka Tekanan Berbasis Pelarut Menggunakan Karet Siklo dan Resin Komersial. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Surdia, N.M. 2000. Degradasi Polimer. Majalah Polimer Indonesia, 3(1): 20-21. Tribawati, R.Y. 2009. Depolimerisasi Lateks Karet Alam Secara Kimia Menggunakan Senyawa Hidrogen Peroksida - Natrium Nitrit - Asam Askorbat. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Wibisono, Y. 2004. Kajian Pengaruh Penambahan Hidrogen Peroksida dan Natrium Hipoklorit Terhadap Lateks Pekat dan Pengaruhnya Terhadap Daya Rekat. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
50
51
Lampiran 1. Prosedur Pengujian Penetapan Kadar Karet Kering (KKK), Kadar Jumlah Padatan (KJP), Kekuatan Tarik Geser dan Kekuatan Tarik Kelupas 1. Pengujian Penetapan Kadar Karet Kering (KKK) (ASTM D-1076-97) Lateks sebanyak 5-10 gram (W1) dituangkan dalam cawan alumunium, kemudian digumpalkan dengan aseton seluruhnya. Gumpalan lateks yang dihasilkan digiling membentuk krep dengan ketebalan tidak lebih dari 2 mm. Lembaran krep kemudian dikeringkan pada suhu 70○C hingga kering sempurna. Kemudian krep didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Kadar karet kering lateks dihitung dengan rumus sebagai berikut. W2 % KKK =
x 100 W1
W1 = bobot sampel W2 = bobot krep kering 2. Penetapan Kadar Jumlah Padatan (KJP) (ASTM D-1076-97) Lateks sebanyak 2,5 ± 0,5 gram (W1) dituangkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobotnya (W2), kemudian diratakan dengan cara menggoyang-goyangkan cawan. Air suling sebanyak 1 ml ditambahkan ke dalam cawan, kemudian cawan aluminium dipanaskan dengan menggunakan oven hingga terbentuk lapisan (film) pada cawan. Cawan berisi film kering ditimbang (W3). W3-W2 % KJP =
x 100 W1
W1 = bobot sampel W2 = bobot cawan aluminium W3 = bobot cawan berisi film kering
52
3. Uji Kekuatan Tarik Geser (ISO 814-96) Sampel adherent berukuran 25,4 mm x 100 mm sebanyak dua lembar saling direkatkan dengan luas arena rekatan sebesar 25,4 mm x 25,4 mm. Pengujian dilakukan dengan menarik kedua ujung lembar adherent dari arah yang berlawanan pada posisi vertikal. Kekuatan maksimum yang dibutuhkan untuk memisahkan dua lembar adherent dicatat sebagai bonding strength dan dinyatakan dalam lb/in2. 4. Uji Kekuatan Tarik Kelupas (ISO 814-96) Sampel adherent (bahan yang direkat) berukuran 25,4 mm x 100 mm sebanyak dua lembar saling direkatkan dengan menyisakan area seluas 25,4 mm x 25,4 mm untuk penjepitan pada alat Tensiometer. Kekuatan maksimum yang dibutuhkan untuk memisahkan dua lembar adheren dicatat sebagai adhesion strength dan dinyatakan dalam lb/ in.
53
Lampiran 2. Analisis Statistika Uji Kekuatan Tarik Geser (Shear Test) Rekapan hasil uji kekuatan tarik geser (lb/in2)
1.
Ulangan
2.
Rata-rata
Kode Sampel
1
2
W1D1
22,4
27,2
24,8
W1D2
23,3
23,8
23,55
W1D3
24,3
26
25,15
W2D1
14
11,3
12,65
W2D2
18,3
24,8
21,55
W2D3
22,2
30,3
26,25
W3D1
15,8
26
20,9
W3D2
25,3
31,8
28,55
W3D3
52,4
48,8
50,6
Analisis varian Sumber
DB
JK
KT
F hitung
keragaman
F tabel α = 0,05
F1
2
542,97
271,485
16,26*
4,26
F2
2
654,03
327,015
19,58*
4,26
F1*F2
4
490,85
122,7125
7,35*
3,63
Galat
9
150,29
16,698889
Total
17
Keterangan: * = Berbeda nyata (F hitung > F tabel) sehingga perlu dilakukan uji lanjut Duncan 3. Uji lanjut Duncan a. Perlakuan lama waktu reaksi (jam) Waktu reaksi (jam)
Kekuatan Tarik Geser
Grup Duncan α = 0,05
Rata-rata (lb/in2) 4
24,500
B
6
20,150
B
8
33,350
A
54
b. Perlakuan Dosis H2O2 (bsk) Dosis H2O2 (bsk)
Kekuatan Tarik Geser
Grup Duncan α = 0,05
Rata-rata(lb/in2) 1
19,450
B
3
24,550
B
5
34,000
A
c. Interaksi perlakuan lama waktu reaksi dan dosis H2O2 Perlakuan
Kekuatan Tarik Geser
Grup Duncan
2
[Waktu(jam)*Dosis(bsk)
Rata-rata(lb/in )
8*5
50,600
A
8*3
28,550
B
6*5
26,250
B
4*5
25,150
B
4*1
24,800
B
4*3
23,550
B
6*3
21,550
C
B
8*1
20,900
C
B
6*1
12,650
C
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
55
Lampiran 3. Analisis Statistik Uji Kekuatan Tarik Kelupas (Peel test) 1. Rekapan hasil uji kekuatan tarik kelupas (lb/in) Ulangan
Rata-rata
Kode Sampel
1
2
W1D1
1,69
1,59
1,64
W1D2
1,12
1,65
1,39
W1D3
1,5
1,82
1,66
W2D1
0,18
0,23
0,21
W2D2
1,5
1,83
1,67
W2D3
1,16
0,94
1,05
W3D1
0,33
0,49
0,41
W3D2
1,43
1,16
1,30
W3D3
1,45
1,26
1,36
2. Analisis varian Sumber
DB
JK
KT
F hitung
Keragaman
F tabel α = 0,05
F1
2
4,22813333 2,11406667 37,81*
4,26
F2
2
1,48263333 0,74131667 13,26*
4,26
F1*F2
4
0,36383333 0,09095833 1,63
3,63
Galat
9
0,50320000 0,05591111
Total
17
Keterangan: * = Berbeda nyata (F hitung > F tabel) sehingga perlu dilakukan uji lanjut Duncan 3. Uji lanjut Duncan a. Perlakuan lama waktu reaksi (jam) Waktu reaksi (jam)
Kekuatan Tarik Kelupas
Grup Duncan α = 0,05
Rata-rata (lb/in) 4
1,7233
A
6
0,5367
C
8
1,1000
B
56
b. Perlakuan dosis H2O2 (bsk) Dosis H2O2 (bsk)
Kekuatan Tarik Kelupas
Grup Duncan α = 0,05
Rata-rata (lb/in) 1
0,7817
C
3
1,0950
B
5
1,4833
A
Keterangan :
Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata.
57
Lampiran 4. Data Hasil Uji Kadar Jumlah Padatan (KJP) Kode Sampel
Rata-rata KJP (%)
W1D1
53,80
W1D2
59,64
W1D3
57,14
W2D1
57,28
W2D2
57,76
W2D3
61,79
W3D1
59,65
W3D2
59,78
W3D3
59,41
58