Studi Budaya Posted on May 1, 2011 |
Masalah penyeleksian Buku apapun yang membicarakan cultural studies pasti bersifat selektif dan cenderung memicu perdebatan, argumentasi bahkan konflik. Menawarkan sebuah penjelasan yang benar-benar komprehensif tentang cultur studies yang berarti memproduksi atau paling tidak meringkas satu persatu teks yang pernah ditulis berdasarkan cultur studies. Diberikanlah satu penekanan pada teori melebihi pada kerja dan karya empiris yang spesifik berdasarkan konteks (meskipun teori juga spesifik berdasarkan konteksnya, dan tekspun berusaha mengaitkan teori dengan kerja empiris). Untuk melakukan itu, saya memanfaatkan sejumlah besar teoritisi yang tidak akan menganggap diri mereka bekerja dalam cultur studies, melainkan mengatakan halhal yang memberi pengaruh padanya. Jadi karya-karya penulis semacam Tony Bennett, Paul Gilroy, Lawrence Grossberg, Stuard Hall, dll, menggambarkan suatu karya yang bersifat cultural studies. Buku ini berisi penjelasan yang selektif karena dia menekankan tipe-tipe cultural studies tertentu, khususnya yang menempatkan bahasa sebagai intinya. Jenis cultural studies yang dipengaruhi oleh teori-teori pasca cultural tentang bahasa representasi dan subjektivitas mendapat perhatian lebih besar dibandingkan cultur studies yang lebih focus pada soal etnografi pengalaman sehari-hari atau kebijakan cultural. Kendati begitu jenis yang kedua ini tetap akan dibahas disini dan secara secara pribadi keduanya mendapat dukungan. Cultur studies tidak berbicara hanya satu suara, dan mereka tidak mempunyai satu suara yang bisa mereka buat untuk mempresentasikannya. Dalam klaim yang dilontarkan buku ini terkesan terlalu ambisius. Buku ini tidak sekedar penjelasan-penjelasan selektif atas cultur studies, dia juga lebih bergantung pada karya-karya yang dikembangkan di Inggris, Amerika Serikat, Eropa colonial (khususnya Prancis) dan Australia.
Permainan-bahasa cultur studies Lebih jauh lagi buku ini cenderung menguraikan uraian tentang sejumlah perbedaan dalam cultur studies Barat, terlepas dari pertanyaan dan keraguan apakah teori yang dikembangkan dalam suatu konteks tertentu dapat diterapkan dalam konteks lain (Ang dan Stratton, 1996; Turner, 1992). Namun saya ingin membuat pembenaran derajat generalisasi cultural studies. Saya berkeyakinan bahwa istilah cultur studies tidak memiliki reference yang dapat kita tunjuk. Namun cultur studies dibentuk oleh permainan bahasa cultur studies itu sendiri. Cultur studies sebagai pembentuk cultural studies dan mengetengahkan ulasan singkat perihal istilah-istilah yang dipandang penting pada setiap bab. Istilah-sitilah itu adalah konsep-konsep yang telah digunakan dalam berbagai situs geografi cultural studies. Meski cultural studies lebih merujuk pada analisis konjungtural (bersifat menghubungkan) yang bersifat menyatu, deskriptif dan spesifik secara historis dan secara kontekstual, namun ada beberapa konsep dalam cultur studies di seluruh dunia yang membentuk suatu sejarah capaian-capaian riil yang kini menjadi bagian-bagian dari cultur studies, dan mengesampingkan hal itu berarti sengaja menerima ketidak berdayaan (Grossberg et al, 1992;8). Konsep adalah alat untuk bertindak didunia ini dan makna konsep adalah soal bagaimana ia digunakan. Namun karena pengodean-gender yang tidak selayaknya ini, saya boleh saja menyebut buku ini sebagai A tool-kit for cultural studies (seperangkat alat bagi cultur studies).
Cultural studies sebagai politik Tetap saja sulit menentukan batas-batas cultur studies sebagai satu disiplin akademis yang utuh dan padu yang mampu menjelaskan beberapa topic, konsep dan metode substabsif yang
1
membedakan dari disiplin lain. Cultur studies selalu merupakan bidang penelitian multi atau pascadisipliner yang mengaburkan batas-batas antara dirinya dengan subyek lain. Namun begitu cultur studies tidak dapat didefinisikan secara sembarangan. Dia bukan fisika, dia bukan sosiologi dan dia bukan linguistik, meskipun dia memanfaatkan banyak hal dari wilayah subjek tersebut. Menurut Hall (1992) sudah pasti ada yang dipertaruhkan dalam cultur studies yang membedakan dirinya dari wilayah subjek lain. Bagi Hall yang dipertaruhkan tersebut adalah hubungan cultur studies dengan kekuasaan dan politik, dengan kebutuhan akan perubahan dan dengan representasi atas dan bagi kelompok-kelompok social yang terpinggirkan khususnya kelas, gender dan ras. Dengan demikian cultural studies adalah suatu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memandang produksi, pengetahuan, teortis, sebagai praktek politik. Disini pengetahuan tdak pernah menjadi fenomena netral atau objektif melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa saja dan untuk tujuan apa.
Parameter cultur studies Ketika cultural studies mendefinisikan sebagai permainan bahasa, disitu terkandung implikasi bahwa terdapat perbedaan antara studi kebudayaan (study of culture) dan cultural studies yang ditempatkan secara institusional. Meski studi kebudayaan telah berlangsung diberbagai disiplin akademis sosiologi, antrpologi, sastra inggris, dll-dan dalam cakupan ruang geografis dan institusional, namun ia bukanlah cultural studies. Meski studi kebudayaan tidak memiliki asal muasal, dan jika asal muasalnya ditentukan, itu berarti mengabaikan titik tolak lain yang mungkin baginya, namun tidak berarti cultural studies tidak dapat diberi nama. Jadi pendapat Handel Wright (1996) bahwa kita dapat melihat asal-muasal cultural studies di Afrika ketimbang di Eropa bernada profikatif dan beruna dalam polemic namun pandangannya salah. Cultural studies merupakan suatu pembentukan wacana, yaitu cluster (bangunan) gagasan-gagasan, citra-citra dan praktik-praktik yang menyediakan cara-cara untuk membicarakan topic, aktivitas social tertentu atau arena institusional dalam masyarakat. Cara-cara tersebut dapat berbentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait dengannya. Culture Studies dibangun oleh suatu cara berbicara yang tertata perihal objek-objek dan yang berkumpul disekitar konsep-konsep kunci, gagasan-gagasan dan pokok-pokok perhatian. Selain itu, culture studies memilki suatu moment ketika dia menamai dirinya sendiri, meskipun penananaman itu hanya menandai penggalan atau kilasan dari suatu proyek intelektula yang terus berunah. Culture studies telah memperoleh berbagai macam landasan institusional, kuliah, buku-buku teks dan mahasiswa begitu ia menjadi sesuatu yang perlu diajarkan. McGuigan (1997a) pernah berkomentar bahwa mustahil kiranya jika culture studies menjadi sebaliknya, meski dikhawatirkan cultural studies yang terprofesionalisasi dan terinstitusionalisasi bisa saja; secara serampangan memformalisasikan pertanyaan kritis tentang kekuasaan, sejarah dan politik’ (Hall, 1992a:286). Kita dapat menangkap kesan nostalgic dalam pernyataan McRobie(1992) bahwa cultural studies adalah suatu ranah yang menjadi rebutan dan tidak mampu melepaskan kelonggaran disiplinernya. Lokasi utama cultural studies adalah institusi perguruan tinggi dan took buku. Konsekuensinya cara untuk mendefinisikan cultural studies adalah dengan menengok kuliah-kuliah yang ditawarkan kepada para mahasiswa di universitas.nhal ini tentu saja memerlukan upaya menjadikan cultural studies sebagai sebuah disiplin. Upaya Menjadikan Cultural Studies Sebagai Sebuah Disiplin Banyak praktisi cultural studies menentang pembentukan batas-batas disipliner untuk bidang ini. Namun, sulit untuk melihat bagaimana penentangan ini bisa bertahan jika
2
cultural studies ingin hidup dengan menarik mahasiswa S1 dan pendanaan (yang hanya dipertentangkan dengan aktivitas penelitian (pascasarjana) dalam system perguruan tinggi di negeri Barat. Sehubungan dengan itulah Bennet (1998) menawarkan unsur-unsur yang ada di dalam definisi cultural studies. Cultural studies adalah suatu arena indisipliner di mana perspektif dari disiplin yang berlaianan secara selektif dapat digunakan untuk menguji hubungan kebudayaan dengan kekuasaaan. Cultural studies terkait dengan semua praktik, institusi dan system klasifikasi tempat tertanamnya nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, kompetensi-kompetensi, rutinitas kehidupan dan benutuk-bentuk kebiasaan perilaku suatu masyarakat (Bennet, 1998: 28) Bentuk-bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh cultural studies beragam, termasuk gender, ras, kelas, kolonialisme, dll. Cultural studies berusaha mengesplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan berusaha mengembangkan cara berfikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah agen dalam upayanya melakukan perubahan. Arena institusional utama bagi cultural studies adalah perguruan tinggi, dan dengan demikian cultural studies menjadi mirip dengan disiplin-disiplin akademis lain. Namun, dia mencoba membangun hubungan di luar akademi dengan gerakan social dan gerakan politik, para pekerja dan institusi-institusi kultural, dan manajeman cultural. Berdasarkan hal-hal diatas, kita bisa mempertimbangkan konsep-konsep dan perhatian-perhatian yang menata cultural studies sebagai sebuah pembentukan wacana atau permainan bahasa. Meski beberapa diantara konsep-konsep tersebut akan diperkenalkan sekarang, sementara sebagian lagi baru akan diketengahkan nati, namun ulasan panjang lebar tentangnya akan disampaikann di sepanjang buku ini dan juga dapat dilihat dalam daftar istilah Konsep – Konsep Kunci Dalam Cultural Studies 1.
Kebudayaan dan praktik signifikan Cultural studies tidak akan mampu mempertahankan namanya tanpa fokus pada kebudayaan. Sebagaimana dinyatakan Hall, “Yang saya maksud dengan kebudayaan disini adalah lingkungan aktual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa dan adat istiadat masyarakat tertentu. Yang juga saya maksudkan adalah berbagai bentuk akal sehat yang saling kontradiktif yang berakar dalam, dan membantu membentuk, kehidupan orang banyak” (Hall, 1996c: 439). Cultural studies menyatukan bahwa bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan makna dan pengetahuan tentang dunia objek independen yang “ada’ di luar bahasa, tapi ia merupakan bagian utama dari makna dan pengetahuan tersebut. Jadi, bahasa memberikan makna pada objek material dan praktik sosial yang dibeberkan oleh bahasa kepada kita dan membuat kita bisa memikirkannya dalam konteks yang dibatasi oleh bahasa. Proses-proses produksi makna merupakan praktik signifikasi, dan memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis dalam bahasa sebagai suatu “sistem signifikasi”.
2.
Representasi Bagian terbesar cultural studies terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu bagaimana dunia ini dikonsumsi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Representasi dan makna kultural memiliki materialisme tertentu, mereka melekat pada pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu.
3.
Materialisme dan nonreduksionisme Cultural studies, sebagian besar, memberikan perhatian pada ekonomi modern yang terindustrialisasi dan budaya media yang terletak di sepanjang garis sistem kapitalis di mana representasi diproduksi oleh perusahaan yang didorong oleh motif mencari laba. Dalam konteks ini, cultural studies telah mengembangkan bentuk materialisme kultural yang berusaha mengekspoitasi bagaimana dan
3
mengapa makna dibentuk dan ditentukan pada momen produksi. Jadi, selain terpusat pada praktik-praktik signifikasi, cultural studies juga berusaha menghubungkannya dengan ekonomi politik, suatu disiplin yang membahas kekuasaan dan distribusi sumber daya ekonomi sosial. Di samping itu, salah satu prinsip utama cultural studies adalah karakteer non-reduksionisme-nya. Kebudayaan dipandang memiliki makna, aturan dan praktiknya sendiri yang tidak dapat direduksi menjadi, atau hanya dijelaskan di dalam, kategori atau level lain formasi sosial. Secara khusus, cultural studies telah bertempur melawan reduksionisme ekonomis, yaitu upaya untuk menjelaskan makna teks kultural berdasarkan tempatnya di dalam proses produksi. Nonreduksionisme menegaskan bahwa pertanyaan seputar kelas, gender, seksualitas, ras, etnisitas, bangsa dan usia memiliki kekhasan masing-masing yang tidak dapat direduksi menjadi soal ekonomi politik ataupun direduksi satu sama lain. Sebagai contoh, isu ras tidak boleh dijelaskan semata-mata dalam konteks kelas. 4.
Artikulasi Dalam rangka membuat teori tentang hubungan antara berbagai komponen formasi sosial, cultural studies menggunakan konsep artikulasi. Ide ini mengacu pada pembentukan kesatuan temporer antar sejumlah elemen yang tidak harus beriringan. Atrikulasi menunjukan pengekpresian/ perepresentasian dan “penempatan bersama”. Jadi, representasi gender bisa “ditempatkan bersama” dengan representasi ras, sebagaimana yang terjadi pada rasionalitas yang dijelaskan di atas, dengan cara yang khas dan serba tidak menentu yang tidak dapat diprediksikan sebelum fakta ditemukan. Konsep artikulasi juga digunakan untuk mendiskusikan hubungan kebudayaan dengan ekonomi politik. Dengan demikian kebudayaan dikatakan “diartikulasikan” lewat momenmomen produksi namun tidak ditentukan “secara pasti” oleh momen tersebut, dan sebaliknya.
5.
Kekuasaan Jika ada hal yang dapat disetujui oleh para penulis cultural studies, maka hal itu adalah arti penting konsep kekuasaan, yang dipandang terdapat pada setiap level hubungan sosial. Kekuasaan bukan hanya sekedar perekat yang menyatukan kehidupan sosial, atau kekuatan koersif yang menempatkan sekelompok orang dibawah orang lain, meskipun dia pada dasarnya adalah demikian, karena dia juga merupakan proses yang membangun dan membuka jalan bagi adanya segala bentuk tindakan, hubungan atau tatanan sosial.
6.
Budaya pop Subordinasi bukan sekedar persoalan koersi melainkan juga soal persetujuan. Budaya pop, yang banyak menyita perhatian cultural studies, dikatakan sebagai landasan tempat di mana persetujuan dapat dimenangkan atau tidak. sebagai sebuah cara untuk menjelaskan kesalingketerkaitan antara kekuasaan dan persetujuan, ada sepasang konsep lain yang pernah digunakan dalam teks-teks awal cultural studies, namun tidak begitu relevan akhir-akhir ini, yakni ideologi dan hegemoni. Ideologi berarti peta-peta makna yang mengklaim dirinya sebagai kebenaran universal namun sebenarnya merupakan pemahaman spesifik yang punya latar belakang sejarahnya sendiri yang menutup-nutupi dan sekaligus mengukuhkan kekuasaan. Sebagai contoh, berita televisi menghasilkan pemahaman akan dunia. Proses penciptaan, pelanggengan dan reproduksi makna dan praktik oleh pihak “atas” disebut dengan hegemoni. Hegemoni adalah sebuah situasi di mana satu kelompok berkuasa dalam satu dalam satu “kurun sejarah” menerapkan otoritas dan kepemimpinan sosialnya terhadap kelompok-kelompok subordinat dengan cara memenangi persetujuan kelompok-kelompok tersebut.
7.
Teks dan pembacanya Produksi persetujuan berarti khalayak ramai mengidentifikasikan diri dengan maknamakna kultural yang dibentuk lewat praktik-praktik signifikan teks hegemonik. Konsep teks bukan hanya mengacu pada kata-kata tertulis, meski ini adalah salah satu arti dari kata itu, melainkan semua praktek yang
4
mengacu pada makna (to signify). Ini termasuk pembentukan makna melalui berbagai citra, bunyi, objek (seperti pakaian) dan aktifitas (seperti tari dan olah raga). Karena citra, bunyi, objek dan praktik merupakan sistem tanda yang mengacu suatu makna dengan mekanisme yang sama dengan bahasa, maka kita dapat menyebut semua itu dengan teks kultural. Namun, makna yang dibaca kritikus dalam teks kultural niscaya tidak sama dengan yang diproduksi oleh audien aktif atau pembaca. Bahkan makna yang diperoleh pembaca yang satu tidak akan sama dengan makna yang diperoleh pembaca lain. Dengan kata lain, kritikus hanya bagian dari pembaca. Lebih jauh lagi, teks, sebagai bentuk representasi, bersifat polisemis. 8.
Subjektivitas dan identitas Momen konsumsi menandai salah satu proses di mana kita dibentuk sebagai pribadipribadi. Apa artinya menjadi satu pribadi, subjektivitas, dan bagaimana kita mendiskripsikan diri kita kepada orang lain, identitas, menjadi bidang perhatian utama cultural studies selama era 1990-an. Dengan kata lain, cultural studies mengeksploitasi bagaimana kita menjadi sosok sebagaimana adanya, kita sekarang, bagaimana kita diproduksi sebagai subjek, dan bagaimana kita mengidentifikasi diri kita (atau secara emosional menanamkan diri kita) dengan diskripsi-diskripsi sebagai laki-laki atau perempuan, hitam atau putih, tua atau muda. Sebuah argumen, yang dikenal dengan antiesensialisme, menyatakan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang eksis, ia tidak memiliki kualitas universal atau esensial. Ia merupakan hasil kontruksi diskursif, produk diskursus atau cara bertutur yang terarah dengan dunia ini. Dengan kata lain, identitas itu dibentuk, diciptakan ketimbang ditemukan, oleh representasi, terutama oleh bahasa. Permainan-bahasa, politik, posisionalitas, pembentukan wacana, kebudayaan, kehidupan sosial, praktik signifikasi, representasi, materialisme kultural, ekonomi politik, nonreduksionisme, formasi sosial, artikulasi, kekuasaan, budaya pop, ideologi, hegemoni, teks, audien aktif, karakter polisemis, subjektivitas, identitas, antiesensialisme dan diskursus adalah sekumpulan konsep teoritis yang ingin dieksplorasi dan dimasukkan oleh cultural studies kontemporer ke dalam dunia sosial kita. Arus-arus intelektual cultural studies Konsep yang kita eksploitasi berasal dari serangkaian paradigma teoritis dan metodologis. Bab ini akan menguraikan ide-ide utama yang paling berpengaruh dalam cultural studies, antara lain marxisme, kulturalisme, strukturalisme, pascastrukturalisme, psikoanalisis dan politik perbedaan. Tujuan pemetaan ajaran-ajaran dasar domain-domain teoretis tersebut adalah untuk menyediakan petunjuk jalan bagi pemikiran dalam bidang ini Daftar Pustaka Barker, Chris. 2000. Cultural Studies Teori Dan Praktik. Bantul (Yogyakarta): Kreasi Wacana. penulis: Heru Setiawan, Enita Wulandari, Niken Gelorawati, Dina Indriyani
5