MODUL PERKULIAHAN
MEDIA & CULTURAL STUDIES UNDERSTANDING MEDIA & CULTURAL STUDIES
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Penyiaran
Tatap Muka
01
Kode MK
Disusun Oleh
MK
A. Sulhardi, S. Sos, M,Si
Abstract
Kompetensi
Cultural studies, yang merupakan paradigma baru dalam kajian ilmu sosial, memperkenalkan budaya dalam dimensi yang baru. Bukan hanya sebagai kreasi manusia dan hasil perilaku, melainkan menelaah pemahaman mendalam antara budaya dan kekuasaan yang mendasarinya. Tujuan dari kajian budaya adalah untuk meneliti kekuasaan dan ideologi yang membentuk kehidupan sehari-hari manusia. Segala yang tampak normal dan apa adanya dalam kehidupan sehari-hari, seperti iklan bahkan perilaku nongkrong adalah produk bentukan dari sebuah ideology.
Mengembangkan pemahaman terhadap Media dan Kajian Budaya.
UNDERSTANDING MEDIA & CULTURAL STUDIES Pendahuluan Kajian budaya dan media (cultural studies and media) merupakan sebuah bangunan teori yang dihasilkan para pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik politis. Pada konstelasi ini pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai sebuah fenomena yang bersifat netral atau objektif. Setiap fenomena senantiasa di lihat sebagai persoalan posisional, yaitu persoalan dari mana, kepada siapa dan dengan tujuan apa seseorang bicara.
Ciri kajian budaya dan media yang di anggap menonjol, di antaranya persoalan diskursif yang selalu mengedepan di lingkungan masyarakat kontemporer. Apa yang dimaksud dengan kajian budaya dan media adalah sebuah medan nyata di mana praktik dan representasi ”media” selalu di lihat dari sudut pandang perspektif budaya popular. Budaya itu sendiri merupakan bentukbentuk kontradiktif akal sehat yang sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari (Hall, 1996: 439). Budaya berkaitan dengan makna-makna sosial, yaitu beragam cara yang lazim di gunakan untuk memahami dunia. Meski demikian, maknamakna sosial itu tidak dengan sendirinya berada di luar konteksnya. Melainkan maknamakna itu muncul lewat tanda,maupun petanda dalam bahasa.
Dalam kajian budaya dan media selalu berargumen bahwa bahasa bukan sebuah medium yang netral tempat dibentuknya makna yang bersifat objektif dan independen. Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak. Dari bahasa tersebut bisa kita pahami berbagai istilah-istilah dan simbol symbol lainnya guna mereproduksi makna makna.
Proses-proses produksi makna ini disebut praktik-praktik penandaan (signifying practices), mempelajari kajian budaya dan media sama halnya dengan meneliti bagaimana makna diproduksi secara simbolik dalam bahasa sebagai ‘sistem penandaan’ dalam budaya popular. Media sebagai sebuah industri budaya modern yang di dalamnya mengandung makna komodifikasi ekonomi komersial sudah memenuhi katagori sebagai budaya popular pada lazimnya. Sebagai budaya popular, yang mendapat perhatian lebih dalam kajian budaya dan media, maka ”media” merupakan salah satu medan di mana budaya popular itu terbentuk. Untuk memahami
‘13
2
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
kekuasaan dan kesadaran terbentuknya budaya media, ada dua konsep yang sering digunakan dalam teksteks kajian budaya dan media. Kedua konsep yang sudah sering di gunakan itu adalah konsep ideologi dan hegemoni. Konsep ideologi lebih cenderung bertautan dengan petapeta makna yang berpretensi mengandung nilai kebenaran yang bersifat universal.
Sebenarnya konsep ini lebih merupakan pengertian-pengertian yang spesifik yang menopengi atau melanggengkan kekuasaan. Misalnya, ”konstrusi berita media televise yang bermakna menjelaskan dunia dalam kerangka bangsa-bangsa, dan dianggap sebagai objek secara ‘alami’, dengan mengaburkan pembagian-pembagian kelas dalam formasi sosial dan ketidak alamian kebangsaan (Barker, 2000: 10). Representasi gender dalam iklan yang menggambarkan perempuan sebagai tubuhtubuh seksi. Mereduksi perempuan kedalam kategori-kategori itu, bermakna merampok mereka dari tempatnya sebagai manusia dan warga negara. Proses pembuatan, memperta hankan dan reproduksi makna dan praktik-praktik kekuasaan seperti itu disebut sebagai hegemoni. Hegemoni berkait dengan suatu situasi dimana ‘blok historis’ suatu kelompok yang berkuasa mendapatkan kewenangan dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat dengan cara merebut dan memenangkan kesadaran di antara subordinat tersebut. Teori Kajian Budaya dan Media Ada sejumlah besar karya dalam kajian budaya dan media yang teoretis dan tidak empiris. Teori dipahami sebagai narasi yang
bertujuan memilah-milah dan
menguraikan ciri-ciri umum yang mendeskripsikan, mendefinisikan dan menjelaskan kejadian-kejadian yang terus-menerus muncul. Teori tidak bisa memotret dunia realitas secara akurat,teori hanyalah sebuah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia realitas melalui mekanisme deskripsi, definisi, prediksi dan kontrol.
Konstruksi teori adalah usaha diskursif yang sadar-diri (self-reflexive) yang bertujuan menafsirkan dan mengintervensi dunia realitas. Konstruksi teori melibatkan pengkajian konsep dan argumen-argumen, seringkali juga pendefinisian-ulang dan mengkritik hasil kerja sebelumnya, untuk mencari alat-alat baru yang digunakan untuk berpikir/memahami dunia realitas. Hal ini mendapat tempat yang tinggi dalam kajian budaya dan media. Pengkajian teoretis bisa dianggap sebagai peta-peta kultural yang menjadi panduan kita. Kajian budaya dan media menolak klaim para empirisis bahwa pengetahuan hanyalah masalah mengumpulkan fakta yang digunakan untuk mendeduksi atau menguji teori. Teori dipandang sudah selalu implisit dalam penelitian ‘13
3
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
empiris melalui pemilihan topik, fokus riset dan konsep-konsep yang dipakai untuk mendiskusikan dan menafsirkannya. Dengan kata lain, ‘fakta’ tidaklah netral dan tidak ada tumpukan ‘fakta’ yang bisa menghasilkan kisah tentang hidup kita tanpa teori.
Bahkan, teori adalah kisah tentang kemanusiaan yang punya implikasi untuk tindakan dan penilaian-penilaian tentang konsekuensi. Kajian budaya dan media ingin memainkan peran demistifikasi, untuk menunjukkan karakter terkonstruksi teks-teks kebudayaan yang terkomodifikasi media dan berbagai mitos dan ideologi yang tertanam di dalamnya. Hal tersebut di harapan bisa melahirkan posisi-posisi subjek, dan subjek-subjek sungguhan, yang mampu melawan subordinasi.
Sebagai sebuah teori yang politis, kajian budaya dan media berharap dapat mengorganisir kelompok-kelompok oposisi yang berserak menjadi suatu aliansi politik kebudayaan. Meski demikian, Bennet (1992) mengatakan bahwa kebanyakan politik tekstual yang dihasilkan kajian budaya (a) tidak berkaitan dengan banyak orang dan (b) mengabaikan dimensi institusional kekuasaan kultural. Maka dari itu ia mendorong kajian budaya dan media untuk mengadopsi pendekatan yang lebih pragmatis dan bekerja dengan para produser industri kebudayaan dalam konstruksi dan penerepan kebijakan kultural. Pekerjaan itu tidak akan menjadi populis tanpa terkomodifikasi oleh media.
Program sebagai wacana yang ‘bermakna’
Encoding Struktur-struktur Makna 1
Encoding Struktur-struktur Makna 2
Kerangka pengetahuan ……………………… Hubungan produksi ……………………… Infrastruktur teknis
Kerangka pengetahuan ……………………… Hubungan produksi ……………………… Infrastruktur teknis
‘13
4
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Pada fase pertama, momen produksi media dibingkai oleh makna-makna dan ide, praktik pengetahuan rutinitas produksi, secara historis mendefinisikan keahlian teknis, ideologi profesional , pengetahuan institusional, definisi dan asumsi, asumsi tentang khalayak dan seterusnya membingkai komposisi program melalui struktur produksi ini. Lebih lanjut, meskipun struktur produksi televisilah yang memulai wacana televise, ia bukan merupakan sistem tertutup. Struktur produksi televise mengangkat topik, reportase , agenda, peristiwa-peristiwa , person-person, citra khalayak , ‘definisi situasi’ dari sumber-sumber lain dan formasi-formasi diskursif lainnya dalam struktur produksi televisi. Pada fase pertama ini, para professional media yang terlibat didalamnya menantikan bagaimana persitiwa sosial ‘mentah’ di-encoding dalam wacana. Pada momen kedua, segera sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna , wacana ini bebas dikendalikan dan suatu pesan terbuka bagi permainan polisemi. Pada momen ketiga, momen decoding yang dilakukan khalayak, serangkaian cara lain alam melihat dunia bisa dengan bebas dilakukan. Seorang pemirsa sudah tidak lagi melihat peristiwa yang ‘mentah’ melainkan peristiwa-peristiwa yang sudah ‘digodok’ dalam manajemen produksi televise. Khalayak dengan bebas mengintepretasikan makna tayangan televisi yang ditontonnya. Disinilah Stuart Hall memperkenalkan tiga konsep pemberian makna khalayak. Posisi pertama, adalah dominan-hegemonik. Posisi ini terjadi ketika pemirsa memetik makna yang dikonotasikan secara penuh dan apa adanya. Ia men-decoding pesan berdasarkan bagaimana ia di-encoding. Posisi kedua adalah negotiated atau posisi yang dinegosiasikan.Disini, seorang pemirsa mengakui ideologi-ideologi yang ditontonnya walaupun pada situasi-situasi tertentu, ia membuat aturan-aturan sendiri dan menerapkan pengecualian. Posisi ketiga adalah oppositional. Mereka menempatkan tayangan sebagai sesuatu yang negatif. Mitologi Roland Barthes Cara lainnya yang digunakan cultural studies dalam membongkar hegemoni budaya adalah semiotik. Semiotik diperkenalkan pertamakalinya oleh ahli lingusitik asal Swiss, Ferdinand de Saussure. Saussure menganggap bahwa bahasa adalah sebuah system tanda dan setiap tanda terdiri dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified(petanda). Suara-suara, baik suara manusia, binatang atau bunyi-bunyian , hanya bisa dikatakan sebagai bahasa bilamana suara dan bunyi tersebut mengekspresikan , menyatakan atau menyampaikan ide-ide , pengertian tertentu. Untuk itu, suara-suara tersebut harus merupakan bagian dari sebuah sistem konvensi , ‘13
5
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
sistem kesepakatan dan merupakan bagian dari sebuah sistem tanda. (Sobur, 2003 : 46) Pemikiran
Saussure
yang
paling
penting
dalam
konteks
semiotik
adalah
pandangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan anatara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas. Tanda bahasa dengan demikian menyatukan, bukan hal dengan nama melainkan konsep dan gambaran akustis. (Sobur, 2002 : 125) Elemen-elemen makna Saussure :
Sign Composed Of
Signifier
External Reality Meaning
Signified
Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia. (Fiske dalam Sobur, 2002 : 125) Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk ultural. Hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer (manasuka) dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signifier dan signified tidak bisa dijelaskan dengan nalar apapun, baik pilihan bunyi-bunyinya maupun pilihan untuk mengaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau konsep yang dimaksud. Karena hubungan yang terjadi antara signifier dan signified bersifat arbitrer, maka makna signifier harus dipelajari, yang berarti ada struktur yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna. Sedangkan Roland Barthes membawa semiotik ke tingkat pemaknaan yang lebih dalam. Teorinya dikenal dengan signifikasi dua tahap atau second order signification.
‘13
6
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Ia berusaha menggali sistem tanda dan memahami teks yang lebih rumit, tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan.
Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure, signifier dan signified. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda didalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang tanda. Kata ’jalan’ akan dimaknai senbagai jalan yang membentang di perkotaan. Bisa juga jalan berupa foto jalan yang berwarna hitam putih. Maknanya tetap sama. Inilah yang disebut sebagai makna denotatif. Namun akan berbeda dengan makna konotatifnya. (Fiske, 2005 : 118) Konotasi digunakan untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Ini terjadi tatkala interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. Karena konotasi bekerja pada level subjektif, kita seringkali tak secara sadar menyadarinya. Lebih mudah untuk membaca nilai-nilai konotatif sebagai makna denotatif. Salah satu tujuan utama analisis semiotika adalah memberi kita metode analitis dan kerangka pikir untuk menjaga kita dari kesalahan membaca seperti itu. Cara kedua dari Barthes mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos (myth). Mitos adalah konotasi-konotasi yang sudah mengalami pengalamiahan menjadi hegemonis, atau dengan kata lain telah diterima sebagai sesuatu yang wajar dan alamiah. Barthes mendefinisikan mitos sebagai cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda, mitos merupakan pemaknaan kedua dari penanda. Meski mitos merupakan konstruksi sosial, mereka seperti kebenaran-kebenaran yang terberi yang tertanam dalam nalar sehari-hari. Dengan demikian , konsep mitos hampir sama dengan konsep ideologi, yang bekerja pada level konotasi.
Tatanan Pertama
‘13
Media & Cultural StudiesTanda 7 Realitas A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Tatanan Kedua
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Kultur
Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu: maknanya, peredaran mitos tersebut mesti dengan membawa sejarahnya, namun operasinya sebagai mitos membuatnya mencoba menyangkal hal tersebut dan menunjukkan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki dimensi sosial atau politik. Sejarah membuat mitos itu menjadi alami menyatakan kisah yang sangat berbeda. Makna maskulinitas dan femininitas yang dikembangkan melayani kepentingan pria borjuis didalam kapitalisme mereka ditumbuhkan untuk membuat perasaan tertentu dari kondisi sosial yang dihasilkan industrialisasi pada abad ke -19. (Fiske, 2005 : 123) Mitos akan meneruskan sebuah nilai-nilai dominan dalam sebuah budaya . Namun tak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Yang ada adalah mitos yang dominan namun disitu juga ada kontramitos. Barthes juga mengatakan bahwa mitos selalu berhubungan dengan status quo.
Penutup Dari pemaparan teori-teori budaya dan humaniora tersebut memberikan gambaran bahwa kajian budaya dan media masih bersifat umum.Kajian ini bagaikan masuk di hutan belantara diantara disiplin ilmu lainnya. Meski ia ingin mencari ruang yang lebih spesifik dan kritis, toh masih belum mampu menjebatani antara budaya dan media itu sendiri. Meski dalam praktiknya ia berusaha mengkaji media dari perspektif budaya popular. Membahas media dalam perspektif budaya, adalah memahami cara-cara produksi budaya dalam pertarungan ideologi. Sebagai kajian lintas disiplin dan bertolak dari perspektif ideologis, maka kajian budaya dan media (cultural studies and
‘13
8
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
media) secara kritis akan mengkaji proses-proses budaya alternatif pada media dalam menghadapi arus budaya.
Secara lebih spesifik adalah untuk memahami apa yang menyebabkan budaya alternatif itu tumbuh atau atas ketidak berdayaan dalam menerima arus budaya global, dari kemajuan teknologi informasi. Esensi ideologis tersebut menjadi ruang negosiasi yang dianggap paling diskursif dalam kajian ini. Maka dari itu tidak salah jika banyak pihak melihat bahwa disiplin, kajian budaya dan media ini masih dalam rangka mencari bentuk, atau identitas baru *** .
‘13
9
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka Aulia Rahmawati, S.Sos, M.Si dan Syafrida Nurrachmi F, S.Sos, M.Med.Kom Cultural Studies : Analisis Kuasa Atas Kebudayaan , Makalah Ilmu Komunikasi 2012 Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer. Jalasutra.Jakarta. 2006. Barker, Chris. Cultural Studies : Teori dan Praktik. Bentang. Yogyakarta. 2000. Fiske, John. Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta. 2004. Noviani, Ratna. Jalan Tengah Memahami Iklan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta . 2002 Osborne, Richard. Borin Van Loon. Seri Mengenal dan Memahami Sosiologi. Scientific Press. Batam. 2005. Sardar, Ziauddin., Borin Van Loon. Seri Mengenal dan Memahami Cultural Studies. Scientific Press. Batam. 2007 Sobur, Drs. Alex M.Si. Analisis Teks Media. Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2002. Semiotika Komunikasi. Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2003. Storey, John. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Jalasutra. Yogyakarta .2007. http://abubakarmangun.blogspot.co.id/2013/04/kontruksi-teori-teori-dalam-perspektif.html
‘13
10
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id