MODUL PERKULIAHAN
MEDIA & CULTURAL STUDIES LANDASAN FILOSOFIS DAN SEJARAH CULTURAL STUDIES
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Penyiaran
Tatap Muka
02
Abstract
cultural studies adalah suatu kajian terhadap pelbagai pola perilaku manusia baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial maupun budaya dengan segala aspeknya yang kompleks. Dengan kompleksitas persoalan yang dihadapinya, cultural studies bergerak dari pemahaman terhadap bidang-bidang pertanyaan interdisipliner atau posdisipliner yang berupaya mengeksplorasi produksi dan inkulkasi (penanaman) budaya atau makna dalam tiap perilaku manusia. Lantaran itulah, secara definitif, cultural studies kemudian menjadi tidak memiliki acuan yang tegas dan baku; cultural studies hanya permainan-bahasa (languagegame).
Kode MK
Disusun Oleh
MK
A. Sulhardi, S. Sos, M,Si
Kompetensi Mengembangkan pemahaman terhadap landasan filosofis dan sejarah lahirnya Cultural Studies.
LANDASAN FILOSOFIS DAN SEJARAH CULTURAL STUDIES Sejak Cultural Studies telah menjadi populer di Indonesia dan seluruh dunia dalam dua dekade belakangan ini, filsafat telah menjadi dimensi yang tidak tematik dan sering tertekan dalam aktivitas ini. Sementara banyak pelatihan dalam filsafat, dilibatkan dalam praktik-praktik Cultural Studies, beberapa mencerminkan dimensi filosofis dan peran filsafat dalam kajian ini. Kurangnya refleksi dan perdebatan terhadap fungsi filosofi di dalam Cultural Studies dan penindasan terhadap kepedulian tersebut telah memungkinkan Cultural Studies rentan terhadap posisi filosofis dan/atau telah merusak aktivitas itu berkenaan dengan dimensi-dimensi filosofis yang berkembang dengan tidak semestinya. Dengan demikian, dalam pengantar ini akan kita nyatakan bahwa tiga peran spesifik filosofi dalam: (1) merefleksikan metode, asumsi, dan metateori mengenai Cultural Studies; dalam mengartikulasikan (2) posisi normatif terhadap kritik, dan (3) dalam mengembangkan dimensi moral dan estetika yang saat ini kurang sesuai dalam praktik menurut versi Cultural Studies yang saat ini beredar. Karena kita tidak ingin untuk melebihi-lebihkan pentingnya filosofi dan argumen kita adalah bahwa Cultural Studies saat ini harus mencapai kajian yang transdisipliner dengan mengombinasikan filsafat, ekonomi politik, teori sosial, kritik kultural, dan berbagai teori dalam upaya mengembangkan suatu Cultural Studies yang layak untuk menghadapi tantangan abad ini. Mengonseptualisasikan Cultural Studies Cultural Studies saat ini merupakan sebuah wilayah yang bersaing dalam persaingan bermacam-macam versi. Dalam bidang yang terkotak-kotak dan penuh konflik ini, bagi kita akan bermanfaat bila memilah-milah model-model dan gagasan-gagasan yang bersaing dalam Cultural Studies, menggambarkanprakiraan-prakiraan, dan menilai kekuatan dan keterbatasan model-model yang berkompetisi itu. Hal ini merupakan pekerjaan dari metateori yang berusaha untuk merengkuh prakiraan-prakiraan mengenai
sebuah
kajian,
menganalisis
secara
kritis
dan
menilainya,
dan
mempertahankan perspektif kita sendiri dan posisi jika kita ingin menyempurnakan konsep inti milik kita sendiri. Di satu sisi perbedaan Cultural Studies saat ini menyebar dengan cepat, gerakan ini menjadi fenomena global akan pentingnya dekade yang lalu seperti didirikannya the
‘13
2
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
University of Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies pada 1964, yang pada saat itu dipimpin oleh Richard Hoggart kemudian oleh Stuart Hall dari 1965-1979. Di sini penyelidikan metateori kita akan dimulai dengan pemaparan prakiraanprakiraan menurut Cultural Studies versi British selama periode awal menjelang kelahiran dan perkembangannya. Selama periode klasik, UBCCCS mengembangkan serangkaian pendekatan kritis untuk analisis, interpretasi, dan kritik terhadap artifakartifak kultural. Melalui serangkaian perdebatan internal, dan tanggapan terhadap perjuangan dan gerakan sosial pada 1960-an dan 1970-an, kelompok Birmingham memfokuskan pada saling pengaruh antara representasi dan ideologi kelas, gender, ras, etnisitas, dan nasionalitas dalam teks-teks kultural, termasuk kultur media. Mereka adalah di antara yang pertama memelajari pengaruh-pengaruh koran, radio, televisi, film, dan bentuk-bentuk kultur populer terhadap khalayak. Mereka memfokuskan diri pada bagaimana bermacam-macam khalayak menafsirkan dan menggunakan kultur media dalam berbagai cara dan konteks yang berbeda, menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan khalayak menanggapi secara bertentangan dengan teks-teks media.
Sejak dari awal, Cultural Studies British secara sistematis menolak pembedaan budaya tinggi/rendah dan mengamati dengan sungguh-sungguh artifak-artifak kultur media, sehingga mengatasi elitisme pendekatan literer terhadap kultur yang dominan. Sebaliknya Cultural Studies British melampaui gagasan-gagasan Aliran Frankfurt mengenai suatu khalayak yang pasif dalam konsepsi mereka terhadap suatu khalayak yang aktif yang menciptakan makna dan kultur populer. Berdasarkan pengembangan konsep-konsep semiotika yang dikembangkan oleh Umberto Eco, Stuart Hall menyatakan bahwa sebuah pembedaan harus dibuat antara encoding teks-teks media oleh para produsen dan decoding oleh para konsumen (1980b). Pembedaan ini menyoroti kemampuan khalayak untuk memproduksi bacaan dan maknanya sendiri, melakukan decode terhadap teks-teks dengan cara-cara yang menyimpang dari kebiasaan dan bersifat oposisional, selain dengan cara-cara yang “disukai” yang selaras dengan ideologi dominan. Periode klasik Cultural Studies British saat ini dari pertengahan 1960-an dan awal 1980-an mulanya diadopsi oleh pendekatan Marxian untuk memelajari kajian budaya, salah satu terutama oleh Althuser dan Gramsci (lihat, khususnya Hall 1980a dan Centre for Contemporary Cultural Studies 1980a dan 1980b). kendatipun para anggota Cultural Studies aliran British biasanya mengabaikan aliran Frankfurt dari narasi asal-
‘13
3
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
usul dan sejarahnya, beberapa karya dilakukan oleh kelompok Birmingham dengan mereplikasi posisi klasik tertentu dari aliran Frankfurt, dalam model-model teori dan metodologi sosial mereka untuk melakukan Cultural Studies, selain perspektif dan strategi-strategi politik (lihat Kellner, 1997b). seperti aliran Frankfurt, Cultural Studies British mengamati integrasi kelas-kelas pekerja dan menurunnya kesadaran revolusioner, dan memelajari kondisi-kondisi bencana ini untuk kajian revolusi Marxian. Seperti aliran Frankfurt, Cultural Studies British menyimpulkan bahwa budaya massa telah memainkan peran yang penting dalam mengintegrasikan kelas pekerja ke dalam masyarakat kapitalis yang sedang berlangsung dan bahwa konsumen dan budaya media baru telah membentuk cara baru dari hegemoni kapitalis. Kedua tradisi itu memfokuskan pada persimpangan budaya dan ideologi dan memandang kritik ideologi sebagai pusat dari Cultural Studies yang kritis (Centre for Contemporary Cultural Studies, 1980a dan 1980b). Keduanya memandang budaya sebagai sebuah cara reproduksi dan hegemoni ideologis, di mana bentuk-bentuk kultural membantu membentuk cara-cara pemikiran dan perilaku yang memengaruhi individu-individu untuk beradaptasi dengan kondisi-kondisi sosial masyarakat kapitalis. Keduanya juga menafsirkan budaya sebagai sebuah bentuk potensial penolakan terhadap masyarakat kapitalis, juga merupakan cara reproduksi sosial, dan keduanya pertanda awal dari Cultural Studies British, khususnya Raymond Williams (1958 dan 1961), dan para ahli teori dari aliran Frankfurt, memahami budaya tinggi (high culture) sebagai kekuatan-kekuatan penolakan terhadap modernitas kapitalis. Berikutnya, Cultural Studies British meningkatkan saat-saat penolakan dalam Cultural Studies dan interpretasi khalayak dan menggunakan artifak-artifak media, sementara aliran Frankfurt cenderung, dengan beberapa perkecualian, melihat budaya massa sebagai bentuk yang homogen dan potensial dari dominasi ideologis—sebuah perbedaan yang akhirnya membagi dua tradisi. Meskipun terdapat beberapa perbedaan, seperti aliran Frankfurt, karya dari aliran Birmingham tentang Cultural Studies bersifat transdisipliner dalam hal metateori dan praktiknya. Ini pada akhirnya menumbangkan batas-batas akademik yang ada dengan mengombinasikan teori sosial, analisis dan kritik budaya, dan politik dalam sebuah kajian yang diarahkan pada kritisisme yang komprehensif dari konfigurasi budaya dan masyarakat yang ada. Lebih lanjut, hal itu berusaha untuk menghubungkan teori dan praktik dalam sebuah kajian yang diorientasikan pada transformasi sosial yang fundamental.
‘13
4
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Dengan
demikian,
kedua
tradisi
menyebarkan
teori
sebagai
suatu
cara
pengonseptualisasian garis umum cara perkembangan historis yang telah mapan dan menganalisis hubungan-hubungan kultur dan masyarakat dalam konteks historis yang spesifik. Konsep Max Horkheimer dan T.W. Adorno mengenai industri budaya dapat dilihat secara luas sebagai sebuah analisis filosofis terhadap konfigurasi masyarakat dan budaya yang tumbuh di era kapitalisme negara dan monopoli pada 1930-an dan 1940-an di Eropa dan Amerika Serikat; analisis terhadap surutnya budaya kelas pekerja, tumbuhnya budaya massa yang dikomersialisasi, dan munculnya budayabudaya oposisional yang baru dalam Cultural Studies British juga dapat dilihat sebagai bentuk wacana teoretis yang luas sering berkaitan dengan filsafat—atau teori sosial yang dimediasi secara filosofis. Tetapi, kedua aliran yang dilihat dengan tegas oleh para ahli sejarah sebagai konsep-konsep dan metode-metode, selain bentuk-bentuk sosial, demikian berkembang dalam konteks-konteks historis dan di dalam cara-cara produksi yang spesifik. Keduanya dipengaruhi oleh cara-cara Marxian dalam meneorikan, walaupun Aliran Frankfurt lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk-bentuk Marxisme Hegelian, seperti yang dikembangkan oleh Lukacs dan Korsch, sementara Cultural Studies British berupaya untuk menggabungkan perspektif-perspektif historis dan aktivis dari Gramsci dengan konsep Althusser yang lebih strukturalis Marxisme (lihat Hall, 1980a). Dari awal, Cultural Studies British pada hakikatnya amat politis dan berfokus pada potensi-potensi
penolakan
dalam
subkultur-subkultur
oposisional,
pertama,
meningkatkan potensi budaya-budaya kelas pekerja, kemudian subkultur-subkultur anak muda untuk menolak bentuk-bentuk hegemonik dari dominasi kapitalis. Tidak seperti aliran Frankfurt klasik (tetapi sama dengan Herbert Marcuse), Cultural Studies British menengok pada budaya-budaya kaum muda dengan memberikan bentukbentuk oposisi yang baru yang potensial dan perubahan sosial. Melalui kajian-kajian budaya kaum muda, Cultural Studies British memamerkan bagaimana budaya membentuk bentuk-bentuk yang berbeda dari identitas dan keanggotaan kelompok dan menilai potensi oposisional dari berbagai subkultur kaum muda (lihat Jefferson et al., 1976 dan Hebdige, 1979). Cultural Studies berfokus pada bagaimana kelompokkelompok subkultur menolak bentuk-bentuk dominan dari budaya dan identitas, menciptakan gaya dan identitas mereka sendiri. Orang yang sejalan dengan kodekode pakaian, perilaku, dan ideologi-ideologi politik karenanya menghasilkan identitasidentitas mereka di dalam kelompok-kelompok arus utama (mainstream), sebagai anggota-anggota kelompok-kelompok sosial spesifik (seperti orang-orang kulit putih, kelas menengah Amerika). Individu-individu yang mengidentifikasi dengan subkultur-
‘13
5
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
subkultur, seperti budaya punk, atau subkultur-subkultur nasionalis hitam, melihat dan bertindak secara berbeda dari pihak-pihak yang berada pada arus utama, dan karena itu menciptakan identitas-identitas oposisional, mendefinisikan diri mereka sendiri melawan model-model standar. Sebagaimana berkembang pada 1970-an dan 1980-an, Cultural Studies British berikutnya menyesuaikan diri dengan feminisme, teori ras, teori gay dan lesbian, teori postmodern, dan cara-cara teoretis yang mutakhir. Jadi, mereka berpaling pada pengkajian cara-cara di mana teks-teks kultural mengedepankan seksisme, rasisme, homophobia, dan bentuk-bentuk penindasan lainnya, atau mempromosikan penolakan dan perjuangan melawan gejala-gejala ini. Pendekatan ini secara implisit berisi kritik politik terhadap semua bentuk kultural yang mengedepankan penindasan dan dominasi seraya secara positif meningkatkan teks-teks dan representasi-representasi yang menghasilkan tatanan sosial yang secara potensial lebih adil dan egalitarian. Dengan sebuah peralihan postmodern dalam Cultural Studies, terdapat tekanan yang meningkat pada khalayak dan bagaimana khalayak memproduksi makna dan bagaimana teks kultural menghasilkan kesenangan rakyat dan bentuk-bentuk penolakan (Anggota, 1985; Fiske, 1989a; 1989b; dan 1993). Kritik dalam tahap Cultural Studies ini mengklaim bahwa kajian ini telah kehilangan sisi kritisnya, masuk ke dalam populisme budaya modern (McGuigan, 1992), dan telah menyerah radikalisme politik dan daya dorong kritis dari kajian yang asli (Kellner, 1995). Para pembela dari peralihan ini ke arah populisme kultural di mana model yang asli lebih kritis cenderung sangat elitis dan kritik yang berlebihan terhadap kesenangan rakyat, seraya mengabaikan cara-cara yang kompleks di mana teks-teks kultural dapat disesuaikan dan digunakan. Pemujaan
yang
mendalam
terhadap
rakyat
juga
dapat
mengarah
pada
kecenderungan-kecenderungan dominan dalam Cultural Studies British dan Amerika Utara pada pelecehan budaya tinggi (high culture) dan keterlibatan gerakan kaum modernis dan avant garde, seperti pembedaan karya Aliran Frankfurt yang menganalisis secara meluas dari seni modern yang paling esoterik (hanya dipahami oleh beberapa gelintir orang saja) pada artifak-artifak biasa (banal) dari budaya media. Ini memunculkan kecemasan terhadap studi yang legitimate mengenai rakyat dan melibatkan artifak-artifak budaya media, Cultural Studies berpaling dari apa yang disebut budaya tinggi atau elit menuju kepada rakyat. Tetapi peralihan itu mengorbankan pemahaman yang mungkin terhadap semua bentuk budaya dan replikasi pencabangan menjadi dua dari bidang budaya menjadi “populer” dan “elit”
‘13
6
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
(yang agak membalikkan pemulihan positif/negatif dari pembedaan lama tentang tinggi/rendah). Hal yang lebih penting, hal ini memisahkan Cultural Studies dari upaya untuk mengembangkan bentuk-bentuk budaya yang oposisional dari serpihan yang berkaitan dengan “avant garde secara historis” (Burger, 1984). Gerakan-gerakan avant garde, seperti Expression, Surrealism, dan Dada ingin mengembangkan seni yang akan merevolusionerkan masyarakat, yang akan memberikan alternatif terhadap bentuk-bentuk budaya yang hegemonik (lihat Bronner and Kellner, 1983). Potensi oposisional dan emansipatori dari gerakan seni avant garde merupakan tekanan utama dari Aliran Frankfurt, khususnya Adorno dan Walter Benjamin, dan sayangnya, Cultural Studies British dan Amerika Utara telah amat mengabaikan keterlibatan bentuk-bentuk dan gerakan-gerakan seni avant garde.Hal ini dikaitkan dengan suatu kegagalan dari banyak versi Cultural Studies dan sosiologi budaya untuk mengembangkan perspektif-perspektif filosofis mengenai estetika sebagaimana ditemukan pada Aliran Frankfurt. Namun, menjauh dari budaya tinggi, modernisme, dan estetika juga menunjukkan Cultural Studies British gagal untuk mengembangkan sebuah politik media dan kultural yang radikal, seperti ditemukan dalam karya-karya Brecht dan Benjamin, yang berkaitan dengan politik kultural aktivis dan perkembangan budaya-budaya oposisional alternatif. Pengabaian seni modernis dan avant gardedan tingginya perhatian pada rakyat dibantu melalui persekongkolan oleh kebaikan postmodern dalam Cultural Studies yang menyebar-luaskan posisi-posisi dan strategistrategi penting dari Cultural Studies British di seluruh dunia tetapi juga membantu menghasilkan mutasi penting dalam kajian Cultural Studies. Selain itu, perlu dinyatakan bahwa teori sosial kritis penting demi pengembangan Cultural Studies yang memadai. Model-model awal dalam Cultural Studies Aliran Frankfurt dan British menjalin hubungan antara budaya dan masyarakat sebagai pusat analisis mereka, memanfaatkan metode-metode teori sosial dan lebih banyak literatur serta analisis kultural untuk mengontekstualisasikan produksi, distribusi, dan konsumsi budaya dan untuk menganalisis secara kritis teks-teks kultural. Seiring perkembangan Cultural Studies British, hal itu membawa semakin banyak teori ke dalam lahan kajiannya, tetapi begitu kajiannya menjadi mengglobal dan diserap ke dalam berbagai disiplin keterkaitan dengan teori sosial sering menjadi surut. Dalam beberapa hal yang gampang dipahami, bentuk-bentuk Cultural Studies, konteks, teks, dan hambatan kehidupan
sehari-hari
postmodern
menghilang
dalam
deskripsi
kesenangan-
kesenangan para konsumen atau dari permukaan teks-teks. Dengan demikian, relasi antara Cultural Studies dan teori sosial kompleks, bergeser, dan beraneka ragam.
‘13
7
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Dalam konteks ini, perlu diusulkan bahwa Cultural Studies memanfaatkan sebuah sintesis dari filsafat dan teori sosial kritis untuk mengembangkan sebuah pendekatan multiperspektif yang mencakup penyelidikan terhadap perluasan artifak-artifak, menggali relasi-relasi di dalam tiga dimensi: (1) produksi dan ekonomi politik budaya; (2) analisis tekstual dan kritik artifak-artifaknya; dan (3) studi terhadap resepsi khalayak dan penggunaan produk-produk media/kultural. Metateori ini mencakup usulan, pertama, bahwa Cultural Studies itu sendiri multiperspektif, melihat budaya dari kacamata ekonomi politik dan produksi, analisis teks, dan resepsi khalayak. Di sini juga diusulkan bahwa analisis tekstual dan resepsi khalayak menyelidiki kemanfaatan multiplisitas perspektif, atau metode-metode kritis, ketika terlibat dalam analisis tekstual, dan dalam menggambarkan multiplisitas posisi-posisi subjek, atau perspektifperspektif melalui mana khalayak menyesuaikan budaya. Lebih lanjut, hasil-hasil kajian seperti itu perlu diinterpretasikan dan dikontekstualisasikan di dalam teori sosial kritis untuk menggambarkan secara memadai makna-makan dan efek-efeknya. Tentu saja, terdapat bahaya dalam mengedepankan pentingnya dimensi filosofis dalam Cultural Studies. Salah satu risiko dari Cultural Studies adalah kecenderungan ke arah teoritisisme (theoriticism), di mana budaya dan masyarakat direduksi ke dalam wacana dan di mana satu wacana diistimewakan di atas yang lain. Kecenderungan ini mengarah pada gagasan problematik terhadap gagasan Baudrillardian, Foucaultian, Deleuzian, Habermasian yang asli, atau bentuk-bentuk gagasan lainnya dari Cultural Studies di mana analisis direduksi menjadi problematik yang oleh ahli teori dipertanyakan. Barang tentu, penggambaran setiap teori yang ada dalam suatu cara yang imajinatif mengungkapkan pemahaman yang baru dan penting. Tetapi, reduksi Cultural
Studies
menjadi
suatu
problematik
teoretis,
atau
pengalihan
kode
(transcoding) Cultural Studies ke arah bahasa sebuah teori yang spesifik, dapat sangat merusak diri sendiri dari kajian yang lebih luas. Salah satu yang dengan jelas tidak disebarkan sepenuhnya tentang metode-metode dan perspektif-perspektif yang telah dicatat di atas pada masing-masing kajian yang berbeda yang dilakukan seseorang dan hakikat kajian-kajian tertentu akan menentukan perspektif-perspektif apa yang paling produktif. Namun, orang hendaknya tidak memedulikan sama sekali dimensi-dimensi ekonomi politik, analisis tekstual, dan riset khalayak sebagai pelengkap yang lain lebih daripada membentuk domain-domain yang terpisah. Karena itu, di sini kita tidak membuat saran yang tidak mungkin diadopsi orang dalam pendekatan multiperspektif yang komprehensif setiap saat ketika orang hendak melakukan kajian Cultural Studies atau riset budaya secara sosiologis.
‘13
8
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Jelasnya, dengan memfokuskan secara mendalam pada ekonomi politik, pada resepsi khalayak, atau pada pembacaan dan kritik tekstual secara mendalam, secara terpisah dapat bermanfaat sekali dan mengungkapkan pemahaman-pemahaman yang penting. Tetapi, secara khusus dan terus-menerus menyorot salah satu dari dimensi ini dengan menafikan yang lain dapat merusak sosiologi budaya atau Cultural Studies yang bertujuan mengembangkan pendekatan-pendekatan yang komprehensif dan inklusif pada budaya dan masyarakat, yang menyelidiki budaya dalam semua dimensinya. Pengertian dan Karakter Cultural Studies Cultural studies adalah sebuah kritik terhadap suatu konstruksi, hegemoni, dan struktur. Untuk menelisik konteks kemunculannya, yaitu sebagai konsep yang tersebar dan berkembang di pelbagai situs geografis kajian budaya dan yang membentuk sejarah tradisi kajian budaya, cultural studies lahir dan bermula dari CCCS (Centre for Contemporary Cultural Studies) yang dibentuk pada tahun 1964 di Universitas Birmingham, Inggris. Simon During, dalam pengantar buku The Cultural Studies Reader (1993), menunjukkan dua jalur genealogi cultural studies. Jalur pertama adalah kelompok yang melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Istilah hegemoni berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia. Hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Sebagaimana yang diungkapkan di atas tentang pengertian budaya, kebudayaan bukan hanya ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kolektif, tapi juga alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi. Perintis jalur ini adalah Raymond Williams, ketika ia mengkritik fenomena terlepasnya “budaya” dari “masyarakat” dan terpisahnya “budaya tinggi” dari “budaya sebagai cara hidup sehari-hari”. Cultural studies jenis ini lebih menekankan pembacaan budaya sebagai tindakan kontra hegemoni, resistensi terhadap kuasa “dari atas”, dan pembelaan terhadap subkultur atau marginal. Sedangkan cultural studies jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh dari pemikiran postrukturalisme Perancis, terutama Michel Foucault, menggeser perhatiannya dari kontra hegemoni dan resistensi terhadap kuasa “dari atas” menuju perayaan terhadap kemajemukan satuan-satuan kecil. Cultur Studies Kebudayaan dilihat sebagai wacana pendisiplinan dan normalisasi, yang tidak tepat dihadapi dengan macro-politics karena relasi kuasa bukanlah melulu bersifat vertikal (negara versus masyarakat). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat
‘13
9
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
menyebar dan merata dalam setiap hubungan dalam masyarakat, dan karena itu hanya bisa dihadapi dengan semacam micropolitics, yang pernah dirumuskannya sebagai insurrection of the subjugated knowledges (membangkitkan pengetahuanpengetahuan yang tertekan). Pada titik inilah cultural studies tegak berdiri. Kajiankajian dengan label multikultural, poskolonial, feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna, untuk menyebut beberapa yang menonjol, adalah upaya membangkitkan pengetahuan tertekan itu. Secara historis, pada awal kemunculan Cultural Studies di Birmingham, Inggris, perang dunia kedua baru berakhir. Kesempatan pendidikan bagi bangsa Inggris tengah terbuka dan pendidikan bagi penduduk dewasa sedang digalakkan sebagai rekonstruksi pascaperang. Namun demikian, politik kelas pra-perang masih menjadi norma di tengah kondisi sosial yang cepat berubah. Selain itu, Inggris pun tengah diserbu oleh budaya pop Amerika yang membentuk kesadaran masyarakat dan menyoroti peng-kelas-an yang merupakan karakter kehidupan budaya Inggris. Teks-teks karya pendiri CCCS, Richard Hoggart, Raymond Williams, dan Stuart Hall, menegaskan wilayah kajian ini. Mereka memiliki perhatian pada bagaimana kebudayaan dipraktikkan dan dibentuk, atau bagaimana praktek-praktek kebudayaan mengarahkan masyarakat dari kelompok dan kelas yang berbeda berjuang karena dominasi kultural. Hoggart dan Williams, intelektual dengan latar belakang kelas pekerja Inggris yang mengajar pada institusi pendidikan tinggi, merayakan keotentikan budaya pop yang muncul dari kelas pekerja baru industri sebagai dampak industrialisasi dan urbanisasi rentetan dari Revolusi Industri di Inggris. Perkembangan Cultural Studies di Inggris sangat dipengaruhi oleh gerakan dan pemikiran New Left (Kiri Baru) yang muncul sebagai respon terhadap invasi Rusia pada Hungaria tahun1956. Pada masa ini, terbit jurnal New Left Review yang dipimpin oleh Stuart Hall yang banyak memuat artikel mengenai budaya populer, industri komunikasi modern, dan membahas kajian-kajian Neo-Marxis dari tokoh-tokoh seperti Louis Althusser, Georg Lukacs, Antonio Gramsci, dan sebagainya. Cultur Studies Mereka melihat bahwa hampir mustahil bagi para intelektual non-Inggris mendobrak kemapanan Kiri Inggris. Menurut Stuart Hall, inilah yang menjadi titik penting untuk memahami sejarah Kiri Baru dan cultural studies Inggris. Bukan hanya menantang ”ke-Inggris-an” Kiri Baru, para intelektual kolonial juga menekankan peran yang dimainkan kekuatan luar yang diwakilinya. Tanpa para intelektual kolonial, tak akan ada Kiri Baru Inggris, dan mungkin tak akan ada cultural studies. Namun
‘13
10
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
perhatian para intelektual kolonial tersebut baru memasuki cultural studies Inggris pada tahun 1980-an. Sementara pada tahun 1970-an, cultural studies Inggris terobsesi dengan ”gaya” dan perilaku para pemuda kelas pekerja. Perilaku kelompok-kelompok seperti mods, rocker, dan punk dilihat sebagai perlawanan simbolik terhadap sistem dominan. Simbol perlawanan terlihat dari “gaya” pakaian, rambut, musik dan ritual pesta dari kelompokkelompok tersebut yang sangat tidak lazim dan asing pada saat itu. Kemudian pada masa pemerintahan Thatcher, ketika Inggris memasuki kebijakan pasar bebas dan privatisasi, masalah subkultur dan subkelompok wanita dan minoritas menjadi fokus analisis cultural studies. Seperti sebelumnya, penekanannya tetap pada ”pembacaan” tanda-tanda resistensi dan perlawanan terhadap budaya dominan. Cultural studies Inggris memiliki dua ciri khas. Pertama, selain mengenai subkultur pemuda dan program berita televisi, fokus kajiannya beragam dan orisinil. Di antaranya mengenai citra wanita, maskulinitas, dan sejarah seksualitas; bagaimana masa lalu dihadirkan di museum; bagaimana remaja perempuan bersikap di sekolah dan tempat kerja, dan bagaimana anak-anak kulit putih bereaksi pada musik reggae; politik olah raga, gender dan ketrampilan serta konstruksi sosial terhadap ilmu pengetahuan; sejarah intelektual kelas menengah, dan banyak lagi lainnya. Kedua, cultural studies Inggris selalu berdimensi politik. Kajiannya mencari penekanan nilai politis yang terlibat dalam karya intelektual. Cultur Studies Tujuannya demi memberdayakan orang-orang dengan sumber-sumber yang dimilikinya agar memahami hubungan intrinsik antara budaya dan bentuk-bentuk kekuasaan yang beragam, sehingga dapat mengembangkan strategi untuk bertahan. Sejalan dengan perkembangan cultural studies, Sardar dan van Loon (1999: 9) secara umum mengemukakan beberapa karakteristiknya yang didasarkan pada sejarah perkembangan kajian-kajian yang dilakukan selama ini tentang arah dan tujuan cultural studies itu sendiri, yaitu:
Cultural Studies bertujuan mengkaji persoalan dari sudut praktek budaya dan relasi kuasa. Targetnya adalah mengungkap bagaimana relasi kuasa mempengaruhi dan membentuk praktek-praktek budaya.
Cultural Studies bukan sekedar mengkaji budaya, seolah-olah budaya terpisah dari konteks sosial dan politik. Tujuan kajian ini memahami budaya beserta kompleksitasnya, serta menganalisis kontek sosial dan politik di mana budaya itu mengejawantah.
‘13
11
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Cultural Studies memahami budaya dalam dua fungsi, yaitu budaya sebagai objek kajian dan sebagai lokasi atas tindakan dan kritisisme politik. Dalam hal ini, Cultural Studies bertujuan baik sebagai kegiatan intelektual maupun pragmatis.
Cultural Studies mencoba menyingkap dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, untuk mengatasi pemisahan antara bentuk pengetahuan yang intuitif (yang berdasarkan budaya lokal) dan yang obyektif (yang universal). Cultural Studies
Cultur
Studies
mengasumsikan
suatu
identitas
bersama
dan
kepentingan bersama antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara yang mengamati dan yang diamati.
Cultural Studies setia pada evaluasi moral masyarakat modern serta garis radikal aksi politik.
Cultural Studies tidak bebas nilai, melainkan pengetahuan yang berkomitmen pada rekonstruksi sosial dengan keterlibatan kritis pada politik. Tujuannya adalah untuk memahami dan mengubah struktur dominasi yang terjadi di sisi manapun, namun khususnya dalam masyarakat kapitalis industrial. Relevansi Cultural Studies bagi Konteks Indonesia Kita acapkali menterjemahkan CS sebagai kajian budaya, padahal cultural studies memiliki karakteristik sendiri yang khas dan terasa sangat berbeda dengan nuansa lingual “kajian budaya”; di sini, dengan “kajian budaya” penulis kurang merasakan sense of critics dan hanya melulu mempersoalkan budaya yang terlepas dari konteks sosial, ekonomi, politik, dan ideologinya, sebagaimana yang diungkapkan di atas. Budaya tidak terbentuk secara alamiah, given dan menyatu dengan komunitas tertentu, melainkan selalu dikonstruksikan. Dan dalam proses konstruksi, pertarungan memperebutkan pemaknaan pun terjadi. Contoh kajian yang berhasil menolak esensialisme ini adalah buku Orientalism Edward Said yang dengan meyakinkan menunjukkan bahwa identitas Timur yang eksotis dan irasional ternyata bukanlah esensi melainkan konstruksi dan representasi Barat. Selain merupakan konstruksi sosial, budaya juga selalu bersifat hibrida. Tidak ada yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang murni dan monolitik. Budaya merupakan situs bagi proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh para pelaku kebudayaan itu sebagai respons terhadap kondisi ‘13
12
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
kekiniannya. Dengan demikian, sebutan “Jawa”, “Islam”, “Dunia Ketiga” atau “Barat” selalu bersifat kompleks dan majemuk karena konteks mereka yang juga kompleks dan majemuk. Oleh karena itu, sebagaimana kompleksnya persoalan-persoalan cultural studies di Inggris dan Amerika, cultural studies di Indonesia juga sangat kompleks dan rumit, bahkan 9 Cultur Studies dewasa ini. Untuk contoh kecil, mengikuti McLuhan dengan pernyataannya tentang “global village”, Indonesia secara otomatis sudah menjadi “objek kajian” yang acceptible dan reasonable bagi cultural studies. Sebab, dengan mengecilnya dunia ini lantaran pengaruh media, wilayah Indonesia juga menjadi sarat akan persoalan-persoalan kebudayan. Dengan menggunakan kacamata cultural studies, berbagai fenomena kebudayaan Indonesia pantas, jika bukan harus, untuk dikaji dan dibongkar ulang untuk melihat kembali bagaimana kontruksi-masa-lalu keindonesiaan dibangun. Melihat konteks kebudayaan Indonesia, sebagaimana terekspresikan dalam penggambaran Melani Budianta yang mengutip Frederick Jameson, bahwa dalam upayanya merumuskan suatu perspektif terhadap sastra-sastra ‘dunia ketiga’ bagi ‘bangsa-bangsa yang dibentuk oleh nilai-nilai dan stereotipe-stereotipe suatu kebudayaan dunia pertama’, perlu melirik sodoran berikut ini: “Satu perbedaan penting akan langsung tampak, yaitu bahwa tak satu pun dari kebudayaan-kebudayaan [dunia ketiga] ini bisa dilahirkan sebagai sarana antropologis independen atau otonom; sebaliknya, mereka semua dalam
berbagai hal terbelenggu dalam
suatu
pergulatan hidup-mati denga
imperialisme budaya dunia pertama...” Dengan cara pandang sedemikian ini, relevansi cultural studies dalam konteks Indonesia dewasa ini menjadi tampak kentara. Yaitu, persoalan-persoalan budaya dan kebudayaan Indonesia dalam konteks kebhinekaannya perlu dan harus dikaji ulang yang bertujuan untuk melihat secara kasatmata bagaimana konstruksi identitas dan kebudayaan terbangun dan terbentuk selama ini. Peran Negara dalam Konstruksi Identitas Sebagai suatu gerakan intelektual yang bertujuan membongkar segala bentuk hegemoni dan dominasi, cultural studies juga harus tidak pandang bulu dalam melihat objek kajiannya. Cultural studies berfungsi mengkonstruksi-ulang, atau melakukan upaya dekonstruksi, against anything including ourself, terhadap seluruh aspek “kemanusiaan” dan sosial dengan segala kompleksitasnya. Berbicara tentang manusia dan kemanusiaan maka persoalan identitas akan mengiringi. Ketika satu individu
‘13
13
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
membangun suatu komunikasi dengan individu lain persoalan mendesak yang tidak bisa diabaikan adalah identitas. 10 Cultur Studies Dalam cultural studies, identitas dipahami sebagai discursive-performative. Yaitu, identitas digambarkan sebagai sebuah praktek diskursus yang memainkan dan memproduksi sesuatu yang disebutkan melalui penggilan (citation) dan reiterasi norma atau konvensi. Identitas menjadi esensial dan hakiki dalam konteks ini sebab kata kunci dalam identitas adalah “produksi”. Nah, pada titik dan momen pengidentifikasian inilah muncul hegemoni, dari satu pihak kepada pihak lain. Secara lugas, satu keadaan yang disebut Antonio Gramsci dalam Selections from Political Writings 1921-1926 (1978), sebagai “hegemoni makna”, yakni proses pemaknaan yang didominasi dan melalui penguasaan kesadaran para “bawahan” oleh penguasa, menjadi tafsir (makna) tunggal yang tak boleh diganggugugat “keabsahan” dan “kebenaran”-nya. Di sinilah, penulis mengasumsikan bahwa negara sebagai “penguasa”, berperan dalam melakukan konstruksi identitas. Bahkan, kita dapat melihat bahwa peran negara dalam melakukan konstruksi identitas sangat kuat dan besar dengan berbagai cara. Pengidentifikasian
itu
dapat
berbentuk
pemberian
identitas
berdasarkan
kewargaannegaraan, identitas berdasarkan etnisitas (Jawa, Batak, China, Minang, dan lainlain), identitas berdasarkan agama (Islam, Kristen, Konghucu, dan lain-lain), atau bahkan identitas bangsa Indonesia itu sendiri. Bila kita membaca tulisan Leo Agustino tentang politik identitas semakin jelas terlihat bagaimana negara memainkan perannya yang sangat dominan dalam mengkonstruksi identitas suatu kelompok sosial atau etnis tertentu. Berangkat dari perspektif inilah maka cultural studies (baca: penulis) semestinya, jika bukan harus, mempertanyakan bagaimana dan apa maksud tersembunyi negara sebagai “produser identitas” atau “aktor penentu identitas” dengan memasukkan individu dan masyarakat ke dalam kotak-kotak identitas. Cultural studies semestinya melakukan rekonstruksi-ulang the way the nation-state dalam melakukan konstruksi identitas untuk melihat sejauh mana konstruksi itu dilakukan dengan menggunakan kekuatan hegemoninya. Cultural studies bahkan harus menggugat “keabsahan” dan “kebenaran” nilai-tunggal yang disematkan oleh penguasa terhadap siapa saja. Demikianlah, penulis hendak melihat apakah pelbagai identitas-bentukan itu akan mampu mendorong ke arah multikulturalisme, sebagai wacana yang dicanangkan para penjaga gawang cultural studies dan posmodernisme.
‘13
14
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka Barthes, Roland. 1983. Mythologies (translated by Annette Lavers). New York: Hill and Wang. -------------.1983a . The Fashion System (translated by Matthew Ward and Richard Howard).New York: Hill and Wang. -------------. 1981. Elements of Semiology (translated by Annete Lavers and Colin Smith). New York: Hill and Wang. Budianta, Melani. 2002 Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lansk
https://arifaya90.files.wordpress.com/2014/01/makalah-cultur-studies.pdf http://dedypedor.blogspot.co.id/2011/03/landasan-filosofis-cultural-studies.html http://download.portalgaruda.org/article.php?article=117079&val=5336 http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/123324-T%2025911-Wacana%20tentang-Pendahuluan.pdf
‘13
15
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id