STRUKTUR INTERNAL PADA KUKU KUDA ABNORMAL DI LABORATORIUM ANATOMI FKH IPB
KRIDO BRAHMO PUTRO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Struktur Internal pada Kuku Kuda Abnormal di Laboratorium Anatomi FKH IPB adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing, serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Krido Brahmo Putro NIM B04104114
ABSTRACT KRIDO BRAHMO PUTRO. The Internal Structure of the Abnormal Horse Hooves Collected from Laboratory of Anatomy FKH IPB. Under the supervision from NURHIDAYAT. Some abnormal in anatomical structure of the horse hooves from Laboratory of Anatomy FKH IPB were studied. The abnormal horse hooves shape found are flat foot, flared foot, knol hoef, fever rings, sand crack, club foot, contracted foot, dan bull nosed foot. The objective of this study is to observed the internal structure of the abnormal horse hooves collected from Anatomy Laboratory of FKH IPB. Twenty four hooves consisting of ten forehoof specimens and fourty hindhoof specimens were used as research material. The hooves were cut in median line sagitally to be two parts. Most of specimens showed variety of abnormality of internal structure. Some abnormalities were found are the rotation of pedal bone (os phalanx III), change in tense of tendons (deep digital flexor tendon and digital common extensor tendon), deformity of pedal bone, change of connection between corium and wall (paries ungulae), and change in shape and size of digital chusion (pulvinus digitalis). Based on the result, we concluded that the abnormalities in external structure of the hooves also changed in internal structure. Keywords: horse hoof, hoof shape, internal structure.
ABSTRAK KRIDO BRAHMO PUTRO.
Struktur Internal pada Kuku Kuda Abnormal di
Laboratorium Anatomi FKH IPB. Dibimbing oleh NURHIDAYAT. Berbagai bentuk kuku kuda abnormal di Laboratorium Anatomi FKH IPB telah diteliti sebelumnya. Bentuk kuku kuda abnormal yang telah ditemukan yaitu flat foot, flared foot, kuku umbi (knol hoef), fever rings, sand crack, club foot, contracted foot, dan bull nosed foot. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan struktur internal kuku kuda abnormal dari Laboratorium Anatomi FKH IPB. Kuku kuda yang diteliti berjumlah 24 preparat, terdiri dari 10 preparat kaki depan dan 14 preparat kaki belakang. Kuku kuda tersebut dibelah menjadi dua bagian secara sagital. Beberapa perubahan struktur internal yang ditemukan adalah rotasi os phalanx III, perubahan ketegangan tendo m. flexor digitalis profundus dan tendo m. extensor digitalis communis, deformitas os phalanx III, perubahan pertautan corium dengan paries ungulae, dan perubahan bentuk pulvinus digitalis. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara kelainan bentuk kuku dapat menyebabkan perubahan struktur internal. Kata kunci: kuku kuda, bentuk kuku, struktur internal.
STRUKTUR INTERNAL PADA KUKU KUDA ABNORMAL DI LABORATORIUM ANATOMI FKH IPB
KRIDO BRAHMO PUTRO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Skripsi
: Struktur Internal pada Kuku Kuda Abnormal di Laboratorium Anatomi FKH IPB
Nama
: Krido Brahmo Putro
NRP
: B04104114
Disetujui
Dr. drh. Nurhidayat, MS. Pembimbing
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. drh. Nurhidayat,MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran dan rasa semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drh. Muchidin Noordin selaku dosen pembimbing akademik selama penulis menempuh pendidikan di fakultas. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh staf dan pegawai Laboratorium Anatomi FKH IPB yang telah membantu penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Kepada Dessy Prihatiningsih Eka Putri beserta
keluarga atas semangat tiada henti, teman-teman seperjuangan di Wisma P’jokz (Nanda, Jaya, Rizqi, Supriyanto, dan M. Dahlan), Bapak dan Ibu Joko, Drh. Budhy Jasa Widyananta dan Drh. Fitri Dewi Fathiyah, Drh. R. Harry Soehartono,
M.appSc,
Ph.D,
Drh.
Kemaz
Aditya
Dewangga,
sahabat
Kamisatenen Ardilasunu Wicaksono, my Band G2 (Oza, Kevin, Chandra, Rangga, Chika, Edo, Mbak Sari), teman-teman RC’ers, Asteroidea ’41, Gymnolaemata ’40, Arthropoda ’39, Aesculapius ’43, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan, doa, serta semangat yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan dan menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan tiada terhingga kepada Bapak dan Ibu, adik Sadarina Putri Chrisanda, serta seluruh keluarga besar alm.M. Harjono Dwidjokoesoemo dan alm.Sapardji,BA yang telah tulus memberikan doa, curahan kasih sayang, serta dukungan moril dan materiil selama penulis menempuh hidup ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan, terutama di bidang medis veteriner. Bogor, Agustus 2008 Krido Brahmo Putro
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 21 September 1986. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ir. Cahyo Brahmanto dan Ir. Hartri Kridanti. Pada tahun 1992 penulis masuk ke SDN Bago V Tulungagung dan lulus tahun 1998.
Penulis melanjutkan studinya di SLTPN 1 Tulungagung hingga
tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis masuk ke SMUN 1 Kedungwaru Tulungagung dan lulus tahun 2004. Penulis melanjutkan studi dengan mengikuti jalur USMI IPB tahun 2004 dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kampus dan luar kampus. Penulis aktif dalam berbagai organisasi kampus seperti Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) divisi Zoonosis dan Keamanan Pangan periode 2005/2006, pengurus BEM FKH IPB departemen Olahraga, Seni dan Budaya periode 2006/2007, wakil ketua Komunitas Seni Steril periode 2006/2007, pengurus Equine Education Research and Sport Unit (EERSU) FKH IPB, serta sebagai Ketua Divisi Kuda pada Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) selama dua periode berturut-turut (2005/2006-2006/2007).
Penulis juga terdaftar sebagai penerima beasiswa
Yayasan Goodwill International selama periode 2008/2009.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
v
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................. Manfaat Penelitian ................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Evolusi dan Domestikasi Kuda .............................................................. Klasifikasi .............................................................................................. Tulang dan Persendian pada Ekstrimitas ............................................. Ligamentum .......................................................................................... Otot dan Tendo ..................................................................................... Suplai Darah dan Inervasi Saraf Daerah Digit ...................................... Kuku Kuda ............................................................................................ Konformasi Kaki dan Kuku Kuda .......................................................... Penyakit-penyakit pada Kuku Kuda ......................................................
3 6 8 13 14 14 15 18 19
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... Bahan dan Alat ..................................................................................... Metode Penelitian .................................................................................
24 24 24
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ..................................................................................................... Rotasi Os Phalanx III ........................................................................... Perubahan Ketegangan Tendo ............................................................ Deformitas Os Phalanx III .................................................................... Perubahan Pertautan Corium dengan Paries Ungulae ........................ Perubahan Bentuk dan Ukuran Pulvinus Digitalis ................................ Pembahasan ........................................................................................
26 27 28 29 31 32 34
KESIMPULAN Kesimpulan ........................................................................................... Saran ....................................................................................................
39 39
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
40
DAFTAR TABEL Halaman 1
2
Beberapa perubahan struktur internal pada kuku kuda yang dibelah secara longitudinal ............................................................................
26
Perubahan bentuk dan ukuran pulvinus digitalis ..............................
32
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Evolusi Kuda .........................................................................................
4
2
Stay apparatus kaki depan dan kaki belakang kuda ............................
7
3
Tulang kaki depan kuda ........................................................................
8
4
Bagian-bagian os phalanx I, II, dan III ...................................................
11
5
Susunan ligamenta pada kaki kuda .....................................................
13
6
Lapisan-lapisan paries ungulae ............................................................
16
7
Struktur eksternal kuku kuda .................................................................
17
8
Konformasi kaki kuda ............................................................................
19
9
Penampang longitudinal kuku normal kaki depan kuda .......................
21
10 Bentuk luar dan penampang longitudinal kuku kuda yang berbentuk kuku umbi ..............................................................................................
27
11 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor XIV .............
28
12 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor I dan III .......
28
13 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor XV dan VI ..
29
14 Penampang longitudinal kuku umbi (preparat nomor VI) ......................
30
15 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor V .................
30
16 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor XI ................
31
17 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor IX ................
32
18 Bentuk luar kuku dan penampang longitudinal preparat nomor I dan XVIII .......................................................................................................
33
19 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor X .................
33
20 Hoof-pastern axis ..................................................................................
35
PENDAHULUAN Latar Belakang Kuda merupakan hewan piara yang telah lama didomestikasi. Pada awalnya, kuda dijadikan sebagai hewan buruan untuk dikonsumsi. Hal ini mulai dilakukan sejak ribuan tahun sebelum Masehi di daerah Eropa Utara. Di Asia, kuda mulai dipelihara sejak 4500 tahun yang lalu, dan sejak saat itulah, kuda mulai mengalami perubahan fungsi yaitu mulai digunakan untuk mengangkat beban, dan juga sebagai alat transportasi (Soehardjono 1991). Disamping itu, kuda juga dikenal dalam hal budaya, mitos, dan seni, sama halnya dengan kemampuannya di bidang transportasi, pertanian, dan militer (Anonim 2005a). Menurut Mason (1984), sebagai hewan domestik, kuda sangat dekat dengan manusia. Kuda merupakan hewan kosmopolitan dan menyebar hampir di seluruh penjuru dunia, mulai dari bagian dunia beriklim tropis sampai dingin. Berdasarkan sejarah kehidupannya, kuda mempunyai tahapan evolusi yang unik. Selain ukuran tubuh yang bertambah, satu hal yang mendapat perhatian adalah jari dan kukunya. Seiring berjalannya waktu dan kehidupan kuda yang terus mengalami perubahan, maka pada saat ini hanya terdapat satu jari dan kuku fungsional pada setiap kakinya sebagai akibat dari adaptasi ekstrim untuk dapat berlari cepat dalam waktu yang lama. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa kuku kuda mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting. Kuku kuda antara lain berfungsi sebagai pelindung os phalanx III dan sebagian os phalanx II, menumpu, menahan tubuh kuda selama berdiri dan berlari, serta membantu meredam getaran saat kaki kuda menumpu sewaktu berdiri (Hammer 1993). Di alam liar, tingkat pertumbuhan kuku kuda seimbang dengan tingkat keausannya dalam aktivitas sehari-hari. Namun demikian, akibat domestikasi dan penggunaan kuda di lingkungan yang berbeda serta pemanfaatan kuda secara berlebihan dapat menyebabkan kuku mengalami keausan. Oleh karena itu diperlukan ladam untuk kuku kuda dengan bahan yang lebih keras dan kuat daripada kuku itu sendiri, agar keausan kuku dapat ditekan (Kacker dan Panwar 1996). Kebanyakan pemilik dan perawat kuda kurang memberikan perhatian terhadap kondisi kuku kuda (Hammer 1993), sehingga kuku kuda sangat rentan terhadap kerusakan dan penyakit. Beberapa preparat kuku kuda di Laboratorium Anatomi FKH IPB telah diteliti (Dewangga et al. 2008) dan mengalami perubahan bentuk menjadi abnormal. Bentuk kuku kuda abnormal yang telah ditemukan
yaitu flat foot, flared foot, kuku umbi (knol hoef), fever rings, sand crack, club foot, contracted foot, dan bull nosed foot. Keadaan ini diduga juga menyebabkan perubahan struktur internal seperti perubahan letak tendo dan ligamentum, perubahan posisi tulang, kerusakan jaringan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penelitian mengenai perubahan struktur internal kuku kuda tersebut perlu dilakukan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan internal kuku kuda yang telah mengalami perubahan bentuk menjadi abnormal. Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
mengenai
perubahan struktur internal pada kuku kuda abnormal, sehingga dapat dijadikan acuan dalam perawatan dan penanganan penyakit pada kuku kuda.
TINJAUAN PUSTAKA Evolusi dan Domestikasi Kuda Equidae merupakan satu-satunya famili hewan berkuku tunggal di dunia. Kuda merupakan hewan yang dapat berlari cepat, skelet kakinya yang panjang dan tidak mempunyai otot di bagian distal persendian carpus/tarsus (McBane 1995). Struktur tubuh kuda modern merupakan hasil evolusi dalam waktu puluhan juta tahun (Gambar 1). Perubahan evolusioner yang mencolok adalah bertambahnya ukuran tubuh, berkurangnya jumlah jari, dan perubahan perilaku dari pemakan tunas-tunas menjadi pemakan rumput (Mason 1984). Nenek moyang dari semua Equidae adalah Eohippus (Dawn Horse), dengan tinggi sekitar 25 cm dan diperkirakan hidup 50 juta tahun yang lalu (Kacker dan Panwar 1996). Hidup pada jaman Eocene, Eohippus mempunyai empat jari pada kaki depan dan tiga jari pada kaki belakang (Mason 1984, McBane 1995). Pada kaki depan, jari pertama yang rudimenter masih dapat ditemukan dengan bentuk yang langsing dan tidak lebih panjang dari permukaan kaki, sedangkan pada kaki belakang, sisa jari kelima dapat ditemukan dengan bentuk yang sangat kecil (Mason 1984). Setelah 10 juta tahun, Eohippus berkembang menjadi Mesohippus dengan ukuran tubuh yang lebih besar, dan tinggi tubuh mencapai 60 cm serta keempat kakinya mempunyai tiga jari (Kacker dan Panwar 1996; Edward 1994). Mason (1984) menyatakan bahwa sisa jari kelima masih terlihat pada kaki depan dengan ukuran jari tengah yang lebih besar dibandingkan dengan jari-jari lainnya dan mampu menahan sebagian kecil berat tubuhnya. Mesohippus terus mengalami perkembangan, dan beberapa spesies mempunyai adaptasi yang lebih baik untuk hidup di padang rumput daripada di hutan (Kacker dan Panwar 1996). Seiring dengan berjalannya waktu dan adaptasi yang terjadi terusmenerus, pada zaman Miocene, Mesohippus berubah menjadi Merychippus. Ukuran tubuh hewan ini semakin besar dengan tinggi tubuh mencapai 100 cm. Jari tengahnya berukuran lebih besar dari Mesohippus dan mempunyai fungsi yang paling dominan diantara kedua jari lainnya (Kacker dan Panwar 1996), sedangkan jari kedua dan keempat menjadi sangat ramping dan lebih pendek, sehingga tidak mencapai tanah (Mason 1984; Edward 1994). Pada akhir zaman Miocene dan awal zaman Pliocene, Merychippus berubah menjadi Pliohippus. Pliohippus merupakan kuda dengan kuku tunggal pertama dengan ukuran tubuh yang cukup besar dengan tinggi mencapai 125 cm
(Kacker dan Panwar 1996). Sebagian besar spesies Pliohippus mempunyai struktur jari kedua dan keempat yang semakin kecil dan ramping, berbentuk seperti tonjolan di dalam kulit. Perubahan ini memungkinkan Pliohippus untuk dapat berlari cepat. Perkembangan dari waktu ke waktu dengan adaptasi yang kontinyu membuat ukuran tubuhnya bertambah, sehingga Pliohippus mempunyai bentuk yang mirip dengan zebra pada zaman sekarang (Mason 1984; Kacker dan Panwar 1996).
Gambar 1 Evolusi kuda (Sumber: Anonim 2005b). Pada perkembangan selanjutnya, Pliohippus berubah menjadi Equus yang lebih dikenal sebagai kuda modern. Equus merupakan kuda tipikal zaman Pleistocene. Kuda modern ini mempunyai ukuran tubuh dan kuku yang lebih besar dari seluruh nenek moyang kuda sebelumnya. Jari kedua dan keempatnya
menghilang, sedangkan sisa jari kelima masih dapat dilihat sebagai chesnut (Mason 1984). Berkembangnya jumlah jari pada evolusi kuda ini berkaitan dengan kebutuhan kuda untuk berlari cepat. Kombinasi ukuran tulang yang pendek pada kaki bagian atas dan tulang panjang pada kaki bagian bawah serta efek suspensi dari kuku dan ligamentum yang kuat, memungkinkan kuda untuk dapat berlari cepat (Mason 1984; May 1987). Dengan ditemukannya fosil Pliohippus, maka dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan antara Eohippus sebagai nenek moyang kuda pertama dengan Equus sebagai kuda modern yang ada pada saat ini (Draper 2000). Satu-satunya kuda liar primitif yang masih eksis hingga sekarang adalah kuda Przewalski (Equus przewalskii) (Bennet 2005). Kuda ini memiliki hubungan yang dekat dengan keledai dan zebra, tinggi tubuh antara 1,22 m sampai 1,42 m dengan warna dun kekuningan dan mulut berwarna putih, serta tengkuk dan ekor berwarna hitam. Kuda ini mempunyai ciri khas yang lain berupa garis hitam sepanjang punggung sampai ekor dan tanda bergaris seperti zebra pada bagian kaki. Przewalski merupakan kuda liar sejati atau true wild horse (Kacker dan Panwar 1996). Menurut Mason (1984), populasi kuda Przewalski berada di Asia bagian barat dan hidup dalam kelompok kecil yang terdiri dari 9-15 ekor dengan satu kuda jantan (stallion) sebagai pemimpin. Keberadaan Przewalski terbatas hanya di padang pasir dan pegunungan bagian barat Mongolia dan barat laut China (Xinjiang) akibat adanya perburuan. Pada tahun 1980, FAO melaporkan jumlah kuda Przewalski yang masih eksis yaitu 388 ekor, terbagi atas 154 kuda jantan dan 234 kuda betina (Volf 1980 dalam Mason 1984). Kuda mulai dipelihara di Asia sejak 4.500 tahun yang lalu.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kuda memegang peranan penting karena dapat membantu pekerjaan manusia. Oleh karena itu, kuda mulai didomestikasi sejak ribuan tahun yang lalu (Soehardjono 1991). Menurut Bibikova (1967) dalam Mason (1984), domestikasi kuda paling awal terjadi di Eropa Timur, tepatnya di wilayah Ukraina bagian selatan.
Proses domestikasi kuda berbeda dengan
domestikasi hewan lain seperti anjing, kambing, domba, babi, dan sapi. Domestikasi pada kuda dilakukan setelah manusia sadar akan kegunaan hewan untuk memenuhi kebutuhannya seperti susu, wool, dan tenaga untuk menarik beban.
Hal ini sangat beralasan karena selain untuk dikonsumsi dagingnya,
motif lainnya adalah bahwa kuda merupakan hewan pekerja (Mason 1984).
Klasifikasi Menurut Getty (1975), kuda diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Subklas
: Theria
Infraklas
: Eutheria
Ordo
: Perissodactylia
Subordo
: Hippomorpha
Famili
: Equidae
Subfamili
: Equinae
Genus
: Equus
Spesies
: Equus caballus
Meskipun kuda-kuda modern mempunyai banyak perbedaan dari segi morfologi, namun semua tipe kuda domestik merupakan satu spesies, yaitu Equus caballus. Sebelumnya, terdapat kesepakatan yang telah dibuat tentang taksonomi pada hewan domestik yaitu menggunakan trinomial nomenklatur. Seperti halnya pada kuda domestik, penyusunan nama Latinnya menjadi Equus przewalskii forma caballus. Nama pertama menunjukkan nenek moyang kuda yang masih eksis sebagai true wild horse, sedangkan nama belakangnya menunjukkan bentuk domestiknya. Namun penggunaaan trinomial nomenklatur ini menjadi tidak logis karena kuda domestik dan kuda liar merupakan spesies yang sama (Mason 1984). Kaki Kuda Kaki kuda menunjukkan suatu bentuk adaptasi yang ekstrim untuk dapat berlari cepat. Kaki depan dan kaki belakang kuda mempunyai pembagian fungsi spesifik yang cenderung berbeda diantara keduanya, baik pada saat kuda istirahat maupun bergerak. Pada saat istirahat, kaki depan menopang 55%-60% dari total berat tubuh. Kaki depan juga merupakan peredam getaran yang baik saat kuda berlari cepat, terutama saat kuda mendarat dari lompatan (jumping), sedangkan kaki belakang berfungsi sebagai pendorong saat kuda berjalan dan berlari. Pada dasarnya, keempat kaki kuda ini mempunyai fungsi utama yang sama yaitu sebagai penahan tubuh dan saling bekerja sama untuk menjaga keseimbangan gravitasi dalam berbagai variasi gerakan (Dyce et al. 1996).
A
B
Gambar 2 Stay apparatus kaki depan (A) dan kaki belakang (B) kuda (Sumber: Sisson dan Grossman 1958). Kaki kuda mempunyai struktur yang kompleks, terdiri dari tulang dan persendian, ligamenta, otot-otot dan tendonya. Semua komponen ini bekerja dalam satu sistem sehingga kuda dapat melakukan aktifitas gerakannya (Emery et al. 1977). Kuda adalah hewan yang mampu berdiri dalam waktu yang lama tanpa merasa lelah.
Hal ini disebabkan karena adanya suatu sistem yang
dibentuk oleh otot, tendo, dan ligamenta pada kaki depan dan kaki belakang, dan sistem ini dinamakan stay apparatus (Gambar 2). Stay apparatus pada kaki depan terdiri dari serabut fibrosa m. serratus ventralis, tendo m. biceps brachii, lacertus fibrosus, tendo m. extensor carpi radialis, tendo m. extensor digitalis communis, ligamenta pada daerah ossa sesmoidea, ligamentum suspensorium (m.interosseus medius), tendo m. flexor digitalis superficialis dan profundus, dan check ligament (caput tendineum) (Sisson dan Grossman 1958). Check ligament atau yang sering disebut dengan caput tendineum merupakan ligamentum kecil yang mengikat tendo m. flexor digitalis profundus, terdiri dari radial check ligament, carpal check ligament, dan tarsal check ligament (Sigit et al. 2006). Stay apparatus pada kaki belakang kurang berkembang dibandingkan dengan kaki depan.
Kaki belakang berfungsi sebagai pendorong tubuh, sehingga
menyebabkan perototannya berkembang dengan baik.
Stay apparatus kaki
belakang kuda terdiri dari m. tensor fascia latae, m. peroneus tertius, tendo m. extensor digitalis pedis longus, tendo m. flexor digitalis pedis superficialis et profundus, seta tarsal check ligament (Sisson dan Grossman 1958). Kaki depan kuda mempunyai tenunan padat khas yang disebut lacertus fibrosus. Tenunan ini terdapat dalam m. biceps brachii dan memanjang ke arah distal menyeberang ke permukaan m. extensor carpi radialis dan berjalan bersama otot tersebut melalui persendian siku, dan berakhir di tuberculum metacarpale. Lacertus fibrosus bekerja secara pasif karena tidak mempunyai fungsi kerja kontraksi dan relaksasi.
Saat kuda berdiri, lacertus fibrosus
menegang secara pasif untuk menahan persendian bahu, sedangkan pada saat fleksio lacertus fibrosus mengendur (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996; Sigit et al. 2006). Fungsi inilah yang membuat kuda mampu berdiri lama tanpa merasa lelah. Tulang dan Persendian pada Extrimitas Tulang-tulang extremitas berfungsi menahan berat tubuh, bekerja sebagai pengungkit dalam pergerakan, dan melindungi jaringan lunak penting dalam tubuh (Dyce et al. 1996). Tulang juga berperan dalam mineral homeostasis, suplai kalsium, fosfat, dan ion lainnya (Dyce et al. 1996). Tulang-tulang kaki kuda
bagian distal terdiri dari
os
metacarpale
pada kaki depan dan
os metatarsale pada kaki belakang, os phalanx I, os phalanx II, os phalanx III, os sesamoidea proximalis, dan os sesamoidea distalis (Gambar 3). Tiap tulang mempunyai struktur, fungsi, dan ciri khas tersendiri (Hammer 1993).
Gambar 3 Tulang kaki depan kuda (Sumber: Merritt 2003).
Ossa metacarpalia kuda terdiri dari os metacarpale II, III, dan IV. Tulang yang paling berkembang, fungsional, dan kuat adalah os metacarpale III. Tulang ini termasuk ke dalam tipe tulang panjang yang menghubungkan persendian carpus dengan os phalanx I. Dengan bentuknya yang semi silindris, tulang ini menahan sebagian besar berat tubuh kuda. Ossa metacarpalia yang lain, yaitu os metacarpale II dan IV mempunyai bentuk yang sangat kecil, terletak di sebelah medial dan lateral dari os metacarpale III bagian proksimal. Kedua ossa metacarpalia ini merupakan sisa-sisa dari proses evolusi pada kuda. Namun demikian, tulang yang biasa disebut dengan splint bone ini mempunyai fungsi yang cukup penting. Fungsi tersebut antara lain membantu kerja persendiam carpus dan membantu os metacarpale III menahan berat tubuh (Sisson dan Grosman 1958; Hammer 1993; Dyce et al. 1996). Os metacarpale mempunyai bentuk dan struktur yang tidak jauh berbeda dengan os metatarsale. Perbedaannya terletak pada bentuk corpusnya.
Os metatarsale mempunyai
bentuk corpus yang lebih bulat dibandingkan dengan os metacarpale (Dyce et al. 1996). Os phalanx I atau long pastern bone adalah tulang jari yang menghubungkan os metacarpale dengan os phalanx II (Gambar 3). Tulang ini membentuk sudut sekitar 55o dengan bidang horizontal (Sisson dan Grossman 1958). Tulang ini mempunyai bentuk yang lebih besar dan tebal pada bagian proksimal dibandingkan dengan bagian distal. Permukaan dorsal dari tulang ini berbentuk konveks dan licin, sedangkan permukaan volar lebih datar.
Pada
bagian volar terdapat area segitiga kasar yang merupakan daerah insersio dari ligamentum sesamoideum. Pada ekstrimitas proksimalis terdapat dua cavitas glenoidalis yaitu permukaan persendian yang dipisahkan oleh suatu lekuk di tengahnya.
Bagian ini berhubungan langsung dengan
bagian distal dari
os metacarpale membentuk suatu persendian yang dinamakan persendian gelang puyuh atau fetlock joint. Pada permukaan bagian dorsal terdapat suatu peninggian kecil atau eminentia yang berfungsi sebagai area insersio dari tendo m. extensor digitalis lateralis (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996). Ekstrimitas distalis pada os phalanx I mempunyai ukuran yang lebih kecil daripada ekstrimitas proksimalis. Permukaan persendiannya berhubungan dengan bagian proksimal os phalanx II membentuk suatu persendian yang dinamakan pastern joint (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996).
Posisi os phalanx II terletak diantara os phalanx I dan os phalanx III (Gambar 3). Bentuk tulang ini mirip dengan os phalanx I, namun ukurannya lebih kecil dan lebih kuat (Dyce et al. 1996). Permukaan persendian pada bagian proksimal berhubungan dengan bagian distal os phalanx I membentuk persendian pastern joint. Pada ekstrimitas proksimalis bagian dorsal, terdapat peninggian dengan permukaan kasar. Peninggian ini merupakan area insersio dari sebagian tendo m. extensor digitalis communis.
Pada bagian volar dari
ekstrimitas proksimalis juga terdapat peninggian yang merupakan area pertautan ligamentum collaterale dan insersio tendo dari m. flexor digitalis superficialis. Permukaaan bagian distal tulang ini disebut sebagai trochlear yang merupakan permukaaan persendian dan berhubungan dengan os phalanx III membentuk coffin joint (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996). Os phalanx III merupakan tulang dengan bentuk berbeda dan khas dibandingkan dengan ossa phalanges yang lainnya (Gambar 4). Seluruh bagian tulang ini dilindungi oleh kuku dan terfiksir dengan baik di dalamnya. Permukaan dorsal atau facies articularis dari tulang ini berhubungan dengan os phalanx II dan sebagian dengan os sesamoidea distalis. Tepi bagian luar dari permukaan ini membentuk suatu batas yang disebut sebagai coronary border atau processus coronarius.
Pada bagian tengah batas ini terdapat suatu peninggian yaitu
processus extensorius. Tendo dari m. extensor digitalis communis berinsersio pada bagian ini. Tendo otot lain yang berinsersio pada tulang ini yaitu tendo dari m. flexor digitalis profundus.
Tendo ini bertaut pada crista semilunaris yang
terletak di bagian volar os phalanx III (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996). Pada bagian volar fetlock joint, terdapat sepasang tulang irregular kecil, yaitu ossa sesamoidea proximalis (ossa sesamoideum phalangis primae) (Sisson dan Grossman 1958; Emery et al. 1977). Tulang ini terikat pada os phalanx I oleh ligamenta yang kuat. Keberadaan tulang ini berfungsi sebagai titik tumpu tendo dari otot-otot fleksor jari serta membantu fetlock joint dalam melakukan pergerakan (Sisson dan Grossman 1958; Emery et al. 1977). Tulang lain yang terdapat di daerah digit yaitu os sesamoidea distalis (os sesamoideum tertiae) atau navicular bone (Sisson dan Grossman 1958; Emery et al. 1977; Dyce et al. 1996). Os sesamoidea distalis juga berfungsi membantu coffin joint dalam pergerakannya selain bekerja sebagai titik tumpu dan tempat berjalannya tendo dari m. flexor digitalis profundus (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996).
Gambar 4 Bagian-bagian os phalanx I, II, dan III (Sumber: Sisson dan Grossman 1958). Pada bagian lateral dan medial os phalanx III terdapat tulang rawan yang disebut cartilago ungulae/cartilagines phalangis primae (Sisson dan Grossman 1958). Cartilago ungulae merupakan suatu plat tipis tulang rawan berbentuk melengkung dan tingginya melebihi coronary band, terletak di bagian tepi lateral dan medial os phalanx III bagian caudal (daerah heel) (Sisson dan Grossman 1958; Adams 1987). Posisi ini memungkinkan cartilago ungulae untuk diraba (Hickman dan Humphrey 1987; Dyce et al. 1996; Kacker dan Panwar 1996). Tulang rawan ini terdiri dari dua jenis jaringan, yaitu jaringan ikat (fibrous tissue) dan sebagian lagi adalah jaringan tulang rawan. Komposisi ini membuat cartilago ungulae mempunyai sifat elastis (Adams 1987).
Cartilago ungulae berfungsi
sebagai fiksator os phalanx III sekaligus membantu memompakan darah dari daerah kaki ke arteri jantung (Kacker dan Panwar 1996). Tulang-tulang kaki kuda ini saling bertemu membentuk suatu persendian. Persendian pada kaki termasuk ke dalam tipe persendian synovial (synovial joint) (Frandson 1992; Dyce et al. 1996). Pada tipe ini, pertemuan antara kedua tulang dipisahkan oleh ruang persendian yang berisi cairan synovial yang berfungsi
sebagai pelumas dan pemberi nutrisi bagi cartilago articularis (tulang rawan persendian), lapisan permukaan membran synovial, dan beberapa jaringan lain yang terdapat di dalam struktur persendian (Frandson 1992; Dyce et al. 1996). Fetlock joint atau articulatio metacarpo-phalangea merupakan persendian yang terbentuk dari hubungan antara bagian distal os metacarpus, bagian proksimal os phalanx I, dan os sesamoidea proximalis (Sisson dan Grossman 1958).
Fetlock joint bekerja secara ekstensio dan fleksio, seperti sistem
pengungkit (Sisson dan Grossman 1958; Emery et al. 1977).
Posisi fleksio
terjadi ketika kuda mengangkat kaki ke depan ataupun ke belakang (Emery et al. 1977). Gerakan ini akan memperkecil sudut antara dua segmen tulang (Dyce et al. 1996), sedangkan posisi ekstensio terjadi ketika kuda melatakkan kakinya pada tanah dan menahan berat tubuhnya pada kuku sehingga sudut diantara dua segmen tulang tersebut diperbesar (Emery et al. 1977; Dyce et al. 1996). Dalam pergerakannya, fetlock joint difiksasi oleh tiga unsur yaitu ligamentum suspensorium, os sesamoidea proximalis, dan ligamentum sesamoideum. Tiga unsur ini akan menahan gerakan ekstensio berlebihan atau over-extension (Skerrit dan McLelland 1984). Pastern joint atau articulatio interphalangea proximalis merupakan persendian yang terbentuk antara bagian distal os phalanx I dan bagian proksimal os phalanx II (Sisson dan Grossman 1958). Gerakan pada pastern joint lebih terbatas daripada fetlock joint dan terdiri dari gerakan fleksio dan ekstensio (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996).
Persendian ini
difiksasi oleh ligamentum palmaris yang sangat pendek dan ligamentum sesamoideum yang bertaut pada os phalanx II.
Persendian ini merupakan
tempat injeksi obat-obat tertentu seperti dalam melakukan anaesthesi block atau pemberian lubricant persendian, tepatnya pada bagian profundal dari tendo m. extensor digitalis communis (Skerrit dan McLelland 1984). Coffin joint atau articulatio interphalangea distalis dibentuk oleh hubungan antara bagian distal dari os phalanx II, bagian proksimal dari os phalanx III, dan os sesamoidea distalis (Sisson dan Grossman 1958). Coffin joint mempunyai dua tipe pergerakan yaitu fleksio dan ekstensio dengan derajat yang sama dengan pastern joint (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996). Ligamenta yang terdapat pada persendian ini yaitu ligamentum collaterale laterale et mediale, ligamentum collaterale sesamoideum laterale et mediale, dan ligamentum phalangeo-sesamoideum (Sisson dan Grossman 1958).
Ligamentum Ligamentum adalah struktur yang sangat kuat dan elastis.
Organ ini
berfungsi sebagai penghubung dan penahan tulang agar tidak bergeser (Kacker dan Panwar 1996).
Ligamentum pada kaki dibagi dalam dua tipe, yaitu
ligamentum berwarna putih dan ligamentum berwarna kuning. Ligamentum putih bersifat tidak elastis dan pada umumnya merupakan ligamentum penghubung antar tulang, sedangkan ligamentum kuning bersifat elastis, berfungsi sebagai penahan tekanan secara pasif dan membantu fungsi otot (Emery et al. 1977). Sisson dan Grossman (1958) menjelaskan bahwa pada daerah digit terdapat 13 ligamenta (Gambar 5).
M.extensor digitalis communis tendon
Bursa
Fascia Branch of Ligamentum suspensorium
M.flexor digitalis superficialis tendon M.flexor digitalis profundus tendon Ligamentum suspensorium
Ligamentum intersesamoideum Ligamentum annulare Ligamentum collaterale sesamoideum Ligamentum collaterale sesamoideum mediale
Ligamentum volaria
Ligamentum annulare Cartilago ungulae Ligamentum suspensorium of os navicularis distalis Ligamentum collaterale of coffin joint
Gambar 5 Susunan ligamenta pada kaki kuda (Sumber: Sisson dan Grossman 1958).
Otot dan Tendo Pergerakan tubuh hewan dan bagian-bagiannya merupakan akibat dari kontraksi otot, sebagai alat gerak aktif (Sisson dan Grossman 1958; Soesetiadi 1977; Dyce et al. 1996). Secara fungsional, pergerakan otot ini disebabkab oleh pergeseran filamen aktin dan myosin pada sel-sel otot (De Robertis et al. 1975). Selain untuk melakukan pergerakan, otot juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh, sebagai fiksator dan stabilisator persendian kaki saat kuda berdiri, dan menahan beban tubuh yang berat agar hewan dapat berdiri (Soesetiadi 1977; Dyce et al. 1996). Dalam pertautannya dengan tulang, otototot ini dihubungkan oleh tendo (Dyce et al. 1996). Pada kuda, kaki bagian bawah tidak terdapat otot melainkan tendo-tendo yang panjang dan kuat (Hammer 1993; McBane 1995). Tendo merupakan jaringan elastis, berbentuk bulat seperti tali, terdiri dari jaringan kolagen yang teratur, dan mempunyai daya regang yang sangat besar (Soesetiadi 1977; Dyce et al. 1996). Tendo yang mencapai daerah digit yaitu tendo m. nextensor digitalis communis dan tendo m. flexor digitalis profundus et superficialis (Sisson dan Grossman 1958). Suplai Darah dan Inervasi Saraf Daerah Digit Sirkulasi darah pada daerah digit sangat tergantung pada pemuaian dan kontraksi kuku selama bergerak (Emery et al. 1977). Suplai darah utama pada daerah digit dilakukan oleh a. digitalis volaris/plantaris medialis et lateralis (Sisson dan Grossman 1958; Adams 1987). Kedua arteri ini merupakan cabang dari a. digitalis communis di daerah distal dari os metacarpale IV (splint bone) (Sisson dan Grossman 1958). Pada daerah digit, kedua arteri ini akan memasuki lubang pada bagian volar os phalanx III yaitu foramen volare. Kedua arteri ini akan bertemu dan dihubungkan oleh suatu saluran berbentuk huruf U yang disebut sebagai canalis semilunaris. Pada canalis semilunaris, kedua arteri ini membentuk banyak percabangan dan saling bertemu membentuk arcus terminalis. Percabangan arteri ini berjalan menembus os phalanx III sampai ke facies dorsalis melalui banyak lubang kecil yang disebut foramina dorsalis (Sisson dan Grossman 1958; Hammer 1993; Dyce et al. 1996).
A. digitalis
communis mempunyai beberapa percabangan untuk mendukung persendian, tendo, kantung synovial, ergot, dan kulit. Percabangan tersebut membentuk a. phalangis primae, a. pulvinus digitalis, ramus dorsalis phalangis secundae, ramus volaris phalangis secundae, dan a. dorsalis phalangis tertiae (Sisson dan Grossman 1958). Keberadaan buluh darah balik (vena) lebih banyak dan lebih
kompleks daripada arteri, sebagian besar tidak mempunyai katup, dan satu sama lain dihubungkan oleh pleksus-pleksus (Hickman dan Humphrey 1987). Selain memberi nutrisi untuk daerah digit, sistem sirkulasi daerah digit dengan struktur yang sangat kompleks ini membuat os phalanx III dan daerah sekitarnya seperti terapung, sehingga tekanan yang sangat besar dapat disamakan dan getaran atau goncangan dapat teredam dengan baik (Emery et al. 1977). Inervasi saraf utama pada daerah digit oleh n. volaris medialis et lateralis (Sisson dan Grossman 1958; Adams 1987).
Saraf-saraf ini berjalan seiring
dengan arteri dan vena (Emery et al. 1977; Hickman dan Humphrey 1987). Kedua saraf ini merupakan lanjutan dari n. medianus (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996). N. volaris medialis dan n. volaris lateralis dihubungkan oleh ramus communicans (Sigit et al. 2006). Kedua saraf ini masing-masing membentuk tiga cabang di daerah fetlock yaitu ramus dorsalis, ramus intermedialis, dan ramus volaris. Ramus dorsalis berjalan ke arah distal diantara arteri dan vena digitalis, kemudian menyilang di atas vena tersebut dan membentuk cabang-cabang untuk daerah kulit, corium, dan bagian dorsal kuku (Sisson dan Grossman 1958).
Ramus intermedialis merupakan cabang kecil
yang berjalan ke arah distal dan masuk ke dalam kuku, sedangkan ramus volaris berjalan bersama-sama ke arah distal dengan a. volaris lateralis et medialis (Sigit et al. 2006). Kuku Kuda Bagian paling distal dari ekstrimitas kuda dilindungi oleh kuku, yang terbentuk dari keratinisasi epitel kulit. Strukur ini tidak dilalui buluh darah dan bersifat insensitif. Kuku kuda merupakan pertumbuhan lanjutan dari kulit pada corona kuku.
Corona kuku mengandung banyak pembuluh darah, berbentuk
garis melingkar diantara ujung atas kuku dan batas rambut. Kuku kuda bersifat keras, kuat, dan elastis.
Kuku kuda terdiri dari paries ungulae (wall), solea
ungulae (sole), dan cuneus ungulae (frog) (Hickman dan Humphrey 1987; Dyce et al. 1996; Kacker dan Panwar 1996). 1. Paries ungulae Paries ungulae merupakan bagian kuku yang
paling luar dan dapat
dilihat saat kuda berdiri. Berdasarkan topografinya, paries ungulae terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian dorsal (toe), bagian medial dan lateral (quarter), dan bagian palmar/plantar yang biasa disebut heel (Gambar 7) (Hickman dan Humphrey 1987; Dyce et al. 1996, Kacker dan Panwar 1996). Paries ungulae tumbuh ke
arah distal dari epitel kulit pada coronary band melingkari os phalanx III (Emery et al. 1977). Bagian tertinggi dari paries ungulae adalah bagian dorsal (toe), kemudian semakin menurun berturut-turut ke arah palmar melalui bagian samping medial dan lateral (quarters), dan membentuk sudut di bagial heel yang disebut bar (Hickman dan Humphrey 1987; Dyce et al. 1996; Kacker dan Panwar 1996).
Paries ungulae terdiri dari tiga lapis, yaitu lapis terluar atau stratum
externum, lapis tengah atau stratum medium, dan lapis dalam atau stratum internum (Gambar 6) (Dyce et al. 1996). Struktur dinding terluar dari kuku kuda terdiri dari tubulus-tubulus yang sangat kecil. Ruangan antar tubulus ini diisi oleh lapisan sel tanduk yang sangat rapat, sehingga terdapat hubungan yang kompak diantara tubulus (Emery et al. 1977). Bagian ini mempunyai konsistensi yang sangat keras dan semakin lunak pada lapisan dalam terutama pada bagian yang berhubungan dengan lamina (Kacker dan Panwar 1996). Permukaan bagian tengah (stratum medium) merupakan bagian yang paling besar dan berpigmen, sedangkan lapis dalam (stratum internum) tidak berpigmen. Stratum internum terdiri dari 500-600 lapisan tanduk yang berhubungan dengan lapis sensitif (Hickman dan Humphrey 1987; Dyce et al. 1996). Paries ungulae pada kuda dari coronet dapat tumbuh + 2,5 cm ( + 1 inchi ) dalam waktu tiga bulan (Hickman dan Humphrey 1987).
Kuku kuda membutuhkan waktu rata-rata 9-12 bulan
untuk tumbuh total mulai dari toe, quarter, sampai heel. Namun demikian, pertumbuhan kuku kuda tidak selalu sama, tergantung pada nutrisi, kelembaban, temperatur, dan aktivitas kuda (Hickman dan Humphrey 1987).
A B C Gambar 6 Lapisan-lapisan paries ungulae A. Stratum internum; B. Stratum medium; C. Stratum externum (Sumber: Dyce et al. 1996).
2. Solea ungulae Solea ungulae merupakan bagian terbesar dari permukaan kuku bagian bawah (Gambar 7). Struktur ini membatasi paries ungulae dan cuneus ungulae. Solea ungulae dan paries ungulae dibatasi oleh white line (Emery et al. 1977; Dyce et al. 1996; Kacker dan Panwar 1996). Solea ungulae berbentuk konkaf, sehingga hanya tepi paries ungulae dan cuneus ungulae yang berhubungan langsung dengan permukaan tanah (Dyce et al. 1996). Solea ungulae terdiri dari bagian sensitif dan insensitif. Bagian sensitif berhubungan langsung dengan periosteum dari os phalanx III, sedangkan bagian insensitif terbuat dari tubulus tanduk yang pendek yang tumbuh dari papilla sensitif solea ungulae (Hammer 1993).
Pada kuku kuda yang normal, tubulus pada solea ungulae tumbuh
dengan sudut yang hampir sama dengan tanah (Hickman dan Humphrey 1987). Sudut ini dibentuk antara quarter dengan bar yang biasa disebut angle of the sole (Dyce et al. 1996). Fungsi utama solea ungulae adalah sebagai pelindung area sensitif di bagian dorsalnya, dan menahan berat di sekitar batas sensitif area (Hickman dan Humphrey 1987).
Paries ungulae
Cuneus ungulae
Solea ungulae Gambar 7 Struktur eksternal kuku kuda (Sumber: Anonim 2004c). 3.
Cuneus ungulae Cuneus ungulae merupakan suatu bantalan lunak, elastis, dan berbentuk
segitiga (Hickman dan Humphrey 1987; Dyce et al. 1996; Kacker dan Panwar 1996). Cuneus ungulae terletak diantara solea ungulae dan bar, mengisi bagian
palmar kuku. Salah satu bagian kuku ini terdiri atas jaringan lunak dan elastis, didukung oleh sekresi lemak dari suatu kelenjar yang terdapat di bawah lapisan bantalan kuku (pulvinus digitalis). Sekresi lemak ini berfungsi untuk menjaga konsistensi cuneus ungulae (Dyce et al. 1996). Dengan konsistensinya yang lunak dan elastis, cuneus ungulae dapat berfungsi membantu memompa darah kembali ke arah kaki (Emery et al. 1977; Hammer 1993). Konformasi Kaki dan Kuku Kuda Konformasi kaki dan kuku kuda yang baik merupakan penunjang tubuh yang penting dan membantu pergerakan kuda secara keseluruhan (Hickman dan Humphrey 1987).
Kaki kuda mempunyai banyak variasi dalam bentuk,
tergantung pada tipe dan breed (Drummond 1988).
Kedua faktor ini harus
dipertimbangkan untuk mengevaluasi konformasi seekor kuda (Kacker dan Panwar 1996). Konformasi pada kaki kuda berpengaruh terhadap bentuk kuku, distribusi berat tubuh, dan gerakan kaki. Konformasi kaki yang buruk merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan kuku dan kepincangan (Adams 1987; Kacker dan Panwar 1996). Dalam menilai konformasi kaki, kuda harus diamati dalam keadaan istirahat dan bergerak (Adams 1987; Kacker dan Panwar 1996).
Untuk kaki
depan, kaki haruslah lurus jika dilihat dari anterior (Gambar 8 A). Jika ditarik garis bayangan dari point of shoulder (pertengahan dari persendian os scapula dan os humerus) turun ke arah distal melalui persendian carpus sampai daerah os phalanx I, haruslah membagi kaki depan sama besar, sedangkan dari sisi lateral (Gambar 8 B), garis bayangan turun dari tuber spinae os scapulae sampai ke tanah dan membagi kaki sama besar sampai di fetlock joint. Untuk kaki belakang, kaki dilihat dari arah posterior (Gambar 8 C), garis bayangan turun dari tuber ischii melewati tuber calcis dari os tarsi fibulare sampai os phalanx I dan membagi kaki belakang sama besar. Sisi lateral (Gambar 8 D), garis bayangan turun dari tuber ischii dari os coxae melewati persendian tarsus dan os metatarsus III, sampai pada tanah sekitar 7,5-10 cm di sebelah posterior heel (May 1987; Kacker dan Panwar 1996; Dyce et al. 1996). Kuku pada kaki depan mempunyai sudut terhadap tanah yang lebih landai dibandingkan dengan kuku pada kaki belakang. Pada kuku depan, sudut yang dibentuk antara paries ungulae bagian toe dengan tanah berkisar antara 45o sampai 50o, sedangkan sudut kuku pada kaki belakang yaitu 50o sampai 55o (Adams 1987; May 1987; Dyce et al. 1996). Paries ungulae pada bagian lateral
dan medial sebaiknya sama panjang dengan kemiringan yang cukup (Adams 1987; Hickman dan Humphrey 1987; May 1987). Konstruksi paries ungulae lebih tebal pada bagian toe daripada bagian yang lain (Hickman dan Humphrey 1987). Dilihat dari posterior, heel memiliki ketinggian yang sama, dan bagian-bagian dari paries ungulae (toe, quarter, heel) haruslah mempunyai ketinggian dengan perbandingan yang proporsional (May 1987). Solea ungulae haruslah berbentuk konkaf dan cuneus ungulae sebaiknya berukuran cukup besar dan elastis (Hickman dan Humphrey 1987; Adams 1987; May 1987).
A
B
C
D
Gambar 8 Konformasi kaki kuda. A. Tampak anterior kaki depan, B. Tampak lateral kaki depan, C. Tampak posterior kaki belakang. D. Tampak lateral kaki belakang. (Sumber: Adams 1987). Penyakit-penyakit pada Kuku Kuda Kuku merupakan organ tubuh yang penting bagi kehidupan kuda. Kuku kuda mempunyai fungsi dan peran yang cukup berat, sehingga rentan akan terjadinya kelainan dan penyakit. Kelainan atau penyakit-penyakit pada kuku kuda dapat disebabkan oleh kelainan konformasi, faktor kongenital, kesalahan penapalan, perawatan yang tidak baik, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kuku kuda harus selalu dirawat secara baik dan teratur. Beberapa penyakit kuku yang sering terjadi pada kuda antara lain laminitis, corns, trush, bruished sole, buttress foot, quittor, bursitis podotrochlearis, navicular disease, dan lain sebagainya.
Selain itu, kuku juga dapat mengalami kelainan bentuk atau
perubahan konformasi seperti contracted foot, flat foot, club foot, flared foot, serta hoof crack.
Laminitis adalah penyakit kuku kuda berupa peradangan pada lamina kuku (Belschner 1969; Jones 1988; Fathauer 2006). Penyakit ini disebabkan oleh asupan karbohidrat berlebihan, retensio placenta, meminum air dingin yang berlebihan, lantai pijakan yang keras, pemusatan berat tubuh pada satu kaki saja, dan lain sebagainya (Belschner 1969; Kelly 1984; Jones 1988). Laminitis dapat terjadi secara akut, subakut, sampai dengan kronis dan dapat menyerang satu sampai empat kuku (Rossdale dan Ricketts 1980). Pada kasus akut, kuda mengalami kesulitan berdiri dengan menumpukan kaki pada heel yang ditandai dengan kaki depan dijulurkan lebih ke cranial, sedangkan pada kasus subakut, gejala klinis yang ditimbulkan mirip dengan kasus akut (Rossdale dan Rickets 1980; Kelly 1984). Keduanya dapat berlanjut menjadi kasus kronis. Pada kasus kronis, laminitis dicirikan dengan perubahan bentuk kuku (Rossdale dan Ricketts 1980). Solea ungulae menjadi konveks dan paries ungulae bagian toe menjadi lebih konkaf, cenderung horizontal dengan heel lebih tegak (Rossdale dan Ricketts 1980; Kelly 1984). Pada tahap ini, terjadi kelemahan pertautan antara os phalanx III dengan paries ungulae, sehingga terjadi rotasi pada os phalanx III (Kelly 1984). Pada kuku normal, facies dorsalis dari os phalanx III membentuk sudut yang sejajar dengan paries ungulae (Gambar 9). Corns adalah keadaan memar yang terjadi pada daerah solea ungulae yang sensitif yaitu diantara bar dan paries ungulae. Penyakit ini biasa menyerang kaki depan, dan lebih sering terjadi pada heel bagian dalam dibandingkan bagian luar. Corns biasanya ditandai dengan adanya hemorhagi, warna kemerahan hingga coklat, bengkak, adanya rasa sakit, sehingga menimbulkan kepincangan. Penyebab corns sering dihubungkan dengan adanya kelainan konformasi kuku seperti flat foot dan contracted foot. Kesalahan penapalan juga menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya corns (Belschner 1969; Jones 1988). Selain itu, kuku kuda juga rentan terhadap infeksi. Trush adalah infeksi yang terjadi pada kuku dan jaringan tanduk lainnya. Kondisi ini dapat menyebabkan terpisahnya cuneus ungulae dan solea ungulae dengan lapisan corium di bagian dorsalnya. Kondisi alas kandang yang selalu basah dan perawatan kuku yang buruk menyebabkan terjadinya infeksi yang kemudian berjalan menjadi trush. Jamur dan mikroorganisme anaerob menjadi penyebab utama terjadinya infeksi (Kelly 1984; Adams 1987; May 1987; Jones 1988).
Ligamentum sesamoideum obliquus Ligamentum sesamoideum M. flexor digitalis profundus tendon Corium millitans Periople Corium coronaries Paries ungulae Corium lamellatum
Cuneus ungulae M. flexor digitalis profundus tendon Corium Coriumsoleare
soleare
Gambar 9 Penampang longitudinal kuku normal kaki depan pada kuda. (Keterangan: garis kuning= facies dorsalis dari os phalanx III sejajar dengan paries ungulae) (Sumber: Sisson dan Grossman 1958). Aktivitas kuda dapat meningkatkan resiko trauma. Bruished sole adalah luka atau trauma yang terjadi pada solea ungulae akibat benda-benda tajam seperti paku, batu, jalanan yang tidak rata, dan lain sebagainya. Faktor predisposisi penyakit ini antara lain adalah kondisi permukaan tanah yang tidak rata serta adanya kelainan lain yaitu dropped sole (kuku penuh/solea ungulae yang turun), sehingga sole ungulae lebih mudah mengalami trauma (Kelly 1984). Buttress foot merupakan kebengkakan yang terjadi pada daerah coronary band bagian depan. Kebengkakan ini terjadi karena adanya abses, low ringbone, atau fraktura os phalanx III (Adams 1987).
Penyakit lain yang dapat terdeteksi
dari coronary band bagian lateral tersebut yaitu quittor.
Quittor merupakan
infeksi dan nekrosa pada cartilago ungulae (Jones 1988). Penyakit ini dapat sebagai lanjutan dari pododermatitis suppuratif yang merupakan peradangan pada pododermis bagian solea ungulae disertai pernanahan (Nurhidayat et al. 2002). Cartilago ungulae merupakan jaringan elastis yang tidak dilalui pembuluh darah, sehingga jika terjadi trauma atau infeksi, maka cartilago ungulae tidak dilindungi oleh pertahanan tubuh. Gejala klinis quittor antara lain kebengkakan pada coronary band bagian lateral dan adanya kantung discharge pada coronary band dekat heel (Jones 1988).
Bursitis
podotrochlearis
merupakan
peradangan
pada
bursa
podotrochlearis yaitu bantalan yang terdapat antara tendo m. flexor digitalis profundus dan os sesamoide distalis (Nurhidayat et al. 2004). Peradangan ini diakibatkan oleh tekanan yang berlebihan akibat kontraksi tendo m. flexor digitalis profundus. Pada keadaan ini, cairan bursa diproduksi secara berlebihan untuk mengurangi rasa sakit.
Kondisi ini merupakan salah satu predisposisi
terjadinya navicular disease. Navicular disease merupakan salah satu bentuk kronis kepincangan kuda akibat rusaknya os sesamoidea distalis (navicular bone) (May 1987). Pada kasus yang parah, perubahan terjadi pada bagian os sesamoidea distalis yang berhubungan dengan tendo m. flexor digitalis profundus. Selain itu, terjadi erosi pada cartilago ungulae, penebalan tendo, dan kerusakan bursa podotrochlearis (May 1987).
Pada beberapa kasus, terjadi
pertumbuhan tulang baru pada bagian lateral dan medial os sesmoidea distalis. Gejala klinis yang nampak adalah kuda lebih sering menumpu pada ujung toe karena rasa sakit yang timbal pada bagian heel (May 1987, Jones 1988). Kelainan pada kuku yang lain adalah contracted foot. Contracted foot adalah kelainan kuku yang ditandai dengan heel yang sempit. Kasus ini lebih sering ditemukan di bagian quarter dan heel pada kaki depan. Kondisi ini ditandai dengan kuku yang lebih sempit dibanding kuku normal. Faktor predisposisinya adalah kesalahan dalam penapalan, sehingga cuneus ungulae tidak menerima tekanan normal dari tanah yang mengakibatkan kontraksi pada heel (Belschner 1969). Flat foot merupakan salah satu bentuk kuku kuda abnormal ditandai dengan sudut kuku yang landai dan heel yang rendah dan tipis. Beberapa ahli menyatakan bahwa flat foot mungkin disebabkan oleh faktor kongenital (Adams 1987, Hammer 1993).
Flat foot lebih sering terjadi pada kaki depan
dibandingkan dengan kaki belakang.
Pada kondisi ini, kuda lebih banyak
menumpu pada bagian heel untuk mengurangi tekanan pada solea ungulae. Flat foot merupakan salah satu predisposisi terjadinya bruished sole (Adams 1987). Kondisi lain adalah bentuk kuku club foot. Club foot dicirikan dengan sudut kuku yang curam dan heel yang tinggi. Club foot yang terjadi pada satu kaki (unilateral), diperkirakan penyebabnya adalah luka atau taruma sehingga kaki tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya dan sehingga heel menjadi tinggi, sedangkan pada kasus bilateral, club foot diakibatkan oleh faktor keturunan dan defisiensi nutrisi (Adams 1987). Flared foot merupakan salah satu
bentuk kelainan kuku dengan ciri-ciri kuku melebar ke arah luar.
Kondisi ini
terjadi akibat pengabaian perawatan kuku, sehingga kuku menahan berat tubuh yang tidak seimbang (Adams 1987, Kacker dan Panwar 1996). Hoof crack merupakan keretakan yang terjadi pada paries ungulae. Keretakan pada paries ungulae dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu keretakan yang berasal dari coronary band atau yang biasa disebut sandcrack dan keretakan yang berasal dari ujung paries ungulae bagian bawah (grasscrack). Kategori pertama dapat disebabkan oleh faktor congenital atau dapatan, dan kegagalan epidermis pada coronary band untuk membentuk jaringan tanduk, sedangkan kategori kedua disebabkan oleh tegangan dan tekanan berlebihan, sehingga terjadi keretakan. Kebanyakan kuda tidak akan merasa sakit dan tidak pincang selama keretakan yang terjadi tidak mengenai lapisan sensitif. Kepincangan dan rasa sakit akan timbul akibat kerusakan lamina kuku. Hal ini disebabkan oleh adanya infeksi mikroorganisme keratofilik (Belschner 1969; Jones 1988).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Anatomi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor selama bulan November 2007 sampai bulan April 2008. Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah 24 preparat kuku kuda dari penelitian terdahulu (Dewangga et al. 2008) yang disimpan dalam larutan formalin 10% di Laboratorium Anatomi FKH IPB. Preparat tersebut terdiri dari 10 preparat kuku kaki depan dan 14 preparat kuku kaki belakang dan dipilah dengan urutan sama dengan penelitian sebelumnya. Dari 10 preparat kaki depan, terdapat sepasang kaki depan yaitu preparat nomor II dan V, sedangkan pada kaki belakang adalah preparat nomor XXIII dan XXIV. Preparat kuku kuda ini merupakan preparat yang digunakan pada praktikum mata kuliah Anatomi Bedah, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, semester ganjil tahun 2002 dan 2003. Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain gergaji, alat ukur, busur derajat, label nomor preparat, dan peralatan fotografi. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengamati struktur internal kuku kuda dengan parameter rotasi os phalanx III, perubahan ketegangan tendo, deformitas os phalanx III, pertautan corium dengan paries ungulae, dan perubahan bentuk pulvinus digitalis. Preparat kuku yang telah dipilah dan diurutkan, kemudian dilakukan pembelahan secara longitudinal tepat di bidang median kuku, dimulai dari bagian belakang cuneus ungulae ke arah toe. Setelah dibelah, dilakukan pembersihan pada kedua sisi yang terbelah dan dilanjutkan dengan pengamatan. 1. Rotasi os phalanx III: Facies dorsalis os phalanx diamati posisinya terhadap paries
ungulae
dengan
cara
mengukur
sudut
diantara
keduanya
menggunakan busur derajat. 2. Perubahan ketegangan tendo: ditentukan dengan cara mengamati posisi persendian kuku (coffin joint). Jika persendian lebih ke caudal, maka tendo fleksor mengendur dan tendo ekstensor menegang. Demikian pula sebaliknya, jika persendian lebih ke cranial, maka tendo fleksor menegang dan tendo ekstensor mengendur.
3. Deformitas os phalanx III: diamati dengan membandingkan tiap bagiannya dengan bentuk os phalanx III normal pada penampang longitudinal. 4. Pertautan corium dengan paries ungulae: diamati dengan membandingkan kepadatan jaringan corium dengan kuku normal. 5. Perubahan bentuk pulvinus digitalis: diamati dengan membandingkan bentuk dan ukuran pulvinus digitalis pada kuku normal.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kuku kuda pada penelitian ini, ditemukan bahwa semua kuku kuda mengalami kelainan bentuk. Hal yang sama juga ditemukan pada struktur internal kuku (Tabel 1 dan 2). Tabel 1 Beberapa perubahan struktur internal pada kuku kuda yang dibelah secara longitudinal Nomor
Kelainan kuku*
Kaki depan
Sudut Kuku *
Rotasi os phalanx III
Tendo m. flexor digitalis profundus
Tendo m. extensor digitalis communis
Crista semilunares
Facies dorsalis
Ujung distal
Deformitas os phalanx III
Pertautan corium dengan paries ungulae Laminar Solar corium corium
--I
Normal Flat foot
45o-50o 420
-----
Normal Menegang
Normal Mengendur
Sedikit konveks ---
Lurus ---
Tajam ---
Kompak Kompak
Kompak Kompak
II
Flared foot, Fever rings Flat foot, Fever rings, Contracted foot Fever rings, Bull nosed foot, Contracted foot Flared foot, Fever rings Kuku umbi, Fever rings Kuku umbi, Fever rings
49,50
100
Mengendur
Menegang
---
---
Melengkung
Renggang
Kompak
400
---
Menegang
Mengendur
Konveks berlebihan
---
---
Renggang
Renggang
430
60
Mengendur
Menegang
Konveks berlebihan
---
---
Kompak
Kompak
500
---
Mengendur
Menegang
---
Konkaf
Melengkung
Renggang
Renggang
500
230
Mengendur
Menegang
Konkaf
Fraktura
Renggang
Kompak
460
200
Mengendur
Menegang
Konveks berlebihan Konveks berlebihan
Konkaf
Fraktura
Renggang
Kompak
Flat foot, Fever rings, Contracted foot Flared foot, Fever rings Flared foot, Fever rings, Contracted foot
42,50
---
Menegang
Mengendur
---
---
---
---
Kompak
57,50
---
Mengendur
Menegang
---
---
Lepas
Lepas
58,50
---
Mengendur
Menegang
Konveks berlebihan Konveks berlebihan
---
---
Kompak
Lepas
55o-60o 61,50
-----
Normal Mengendur
Normal Menegang
Lurus ---
Tajam Tumpul
Kompak Renggang
Kompak Renggang
560
---
Mengendur
Menegang
---
---
Kompak
Renggang
200
Normal Mengendur
Normal Menegang
Sedikit konveks Terdapat dua penonjolan Konveks berlebihan -----
-----
Renggang Kompak
Kompak Kompak
---
Mengendur
Menegang
--Tidak rata ---
---
Kompak
Kompak
--90
Normal Mengendur
Normal Menegang
-----
-----
Renggang Kompak
Kompak Kompak
---
Mengendur
Menegang
---
---
Kompak
Kompak
100
Mengendur
Menegang
Konkaf
---
Kompak
80
Mengendur
Menegang
Konkaf
---
Renggang tak beraturan Lepas
---------
Normal Normal Normal Normal
Normal Normal Normal Normal
---------
---------
Kompak Kompak Kompak Kompak
Kompak Kompak Kompak Kompak
III
IV V VI VII VIII IX X
Kaki belakang --XI
Normal Fever rings, Club foot Fever rings
XII XIII XIV XV XVI XVII XVIII XIX XX XXI XXII XXIII XXIV
Fever rings 520 Contracted foot, 480 Fever rings Sand crack, 680 Club foot Fever rings 570 Flared foot, 630 Fever rings, Club foot Fever rings, 680 Club foot Fever rings, 620 Club foot Flared foot, 65,50 Fever rings, Club foot Fever rings 600 Fever rings 570 Flared foot 580 Flared foot 580 *) Dewangga et al. (2008)
Konveks berlebihan --Konveks berlebihan Konveks berlebihan Konveks berlebihan Konveks berlebihan ---------
Lepas
Rotasi Os Phalanx III Os phalanx III merupakan tulang kaki kuda yang berada paling distal dan dilindungi oleh kuku. Pada kuku kuda normal, posisi os phalanx III membentuk sudut yang sejajar dengan paries ungulae. Namun pada kondisi tertentu, os phalanx III dapat mengalami rotasi, yaitu tertariknya os phalanx III ke caudal, sehingga tidak terbentuk sudut yang sejajar antara facies dorsalis dengan paries ungulae. Rotasi os phalanx III dapat ditentukan dengan mengukur sudut diantara keduanya. Pada pengamatan posisi os phalanx III terhadap paries ungulae, terdapat 8 preparat yang mengalami rotasi os phalanx III yaitu 4 preparat kaki depan dengan nomor preparat II, IV, VI, VII, dan 4 preparat kaki belakang yaitu preparat nomor XIV, XVII, XIX, dan XX dengan beberapa sudut rotasi yang berbeda. Rotasi os phalanx III dengan sudut yang cukup besar terjadi pada kuku umbi yaitu pada preparat nomor VI dan VII, dengan sudut rotasi masing-masing 23o dan 20o (Gambar 10). Pada kedua preparat ini, nampak jelas terdapat jarak antara facies dorsalis dari os phalanx III dengan paries ungulae, sehingga terdapat sudut diantara keduanya. Preparat nomor XIV dengan bentuk kuku contracted foot juga menunjukkan sudut rotasi os phalanx III yang cukup besar yaitu 20o. Hal ini ditunjukkan dengan adanya jarak antara facies dorsalis os phalanx III dengan paries ungulae. Pada preparat ini juga terdapat rongga pada ujung distal paries ungulae (Gambar 11).
I I II III
II III
Gambar 10 Bentuk luar dan penampang longitudinal kuku kuda yang berbentuk kuku umbi. Os phalanx III pada preparat nomor VI dan VII masingmasing mengalami rotasi hingga 23o dan 20o. (Keterangan: tanda panah ganda= sudut rotasi; I= os phalanx I; II= os phalanx II; III= os phalanx III; bar= 1 cm).
Gambar 11 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor XIV. Os phalanx III mengalami rotasi sebesar 20o dan terdapat rongga pada paries ungulae. (Keterangan: tanda panah= rongga di paries ungulae; bar= 1 cm). Perubahan Ketegangan Tendo Bentuk kuku kuda abnormal memungkinkan terjadinya perubahan ketegangan tendo. Perubahan ketegangan tendo terjadi pada hampir semua preparat, kecuali preparat nomor XXI, XXII, XXIII, dan XXIV. Pada bentuk kuku flat foot yaitu preparat nomor I, III, dan VIII, coffin joint tertarik ke cranial mengikuti bentuk kuku, sehingga tendo m. flexor digitalis profundus ikut tertarik dan mengalami overstrain, sedangkan tendo m. extensor digitalis communis mengalami penurunan ketegangan (Gambar 12).
Gambar 12 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor I (kiri) dan III (kanan). Tendo m. flexor digitalis profundus tertarik akibat bentuk kuku dengan sudut landai. (Keterangan: tanda panah= tendo m. flexor digitalis profundus; bar= 1 cm).
Sebaliknya, bentuk kuku club foot seperti pada preparat nomor XV mempunyai bentuk heel yang tinggi dan sudut kuku yang curam. Pada preparat tersebut ditemukan bahwa tendo m. flexor digitalis profundus mengendur, sedangkan tendo m. extensor digitalis communis menegang (Gambar 13). Perubahan ketegangan pada tendo ini disebabkan oleh overflexio pada coffin joint, sehingga tendo fleksor terdesak oleh tingginya heel dan tendo extensor tertarik oleh fleksio dari coffin joint. Demikian pula pada kasus kronis seperti kuku umbi pada preparat nomor VI dan VII, ditemukan bahwa tendo m. flexor digitalis profundus terdesak oleh tingginya heel, sedangkan tendo m. extensor digitalis communis menegang dan tertarik akibat rotasi os phalanx III (Gambar 13). Dari sebagian besar preparat, sudut kuku yang landai menyebabkan peningkatan ketegangan tendo fleksor dan menurunkan ketegangan tendo ekstensor. Demikian pula sebaliknya, sudut kuku yang curam menyebabkan penurunan ketegangan tendo fleksor dan meningkatkan ketegagan tendo ekstensor.
Gambar 13 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor XV (kiri) dan VI (kanan). Tendo m. extensor digitalis communis tertarik akibat overflexio dari coffin joint. Keduanya mempunyai bentuk kuku berbeda, namun perubahan coffin joint memberikan efek yang sama terhadap ketegangan tendo. (Keterangan: tanda panah= tendo m. extensor digitalis communis; bar= 1 cm). Deformitas os phalanx III Perubahan bentuk kuku juga menyebabkan deformitas pada bentuk os phalanx III, sedangkan os phalanx I dan II tidak mengalami deformitas. Deformitas pada os phalanx III terjadi pada 11 preparat kuku, terdiri dari 6 kuku kaki depan yaitu preparat nomor III, IV, VI, VII, IX, dan X, dan 5 kuku kaki belakang yaitu preparat nomor XII, XVII, XVIII, XIX, dan XX. Umumnya
perubahan terjadi pada bagian facies dorsalis, crista semilunaris (insersio dari m. flexor digitalis profundus), dan ujung distal os phalanx III. Pada preparat nomor VI dan VII bagian volar berbentuk konveks berlebihan. Keadaan ini terutama terjadi pada crista semilunaris sebagai insersio tendo m. flexor digitalis profundus (Gambar 14). Selain itu, terjadi deformitas os phalanx III yang cukup ekstrim berupa fraktur pada ujung distal (Gambar 12). Keadaan yang berbeda adalah bentuk konkaf pada facies dorsalis. Preparat nomor V dengan bentuk flared foot, terlihat bahwa facies dorsalis berbentuk konkaf bila dibandingkan dengan paries ungulae (Gambar 15).
B A
Gambar 14 Penampang longitudinal kuku umbi (preparat nomor VI). Os phalanx III mengalami deformitas berupa konveks berlebih pada crista semilunaris dan fraktura pada ujung distal. (Keterangan: A= crista semilunais; B= fraktura pada ujung distal; bar= 1 cm).
Gambar 15 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor V. Facies dorsalis pada os phalanx III berbentuk konkaf. (Keterangan: tanda panah = facies dorsalis; garis patah = bentuk melengkung pada facies dorsalis; bar= 1 cm).
Perubahan Pertautan Corium dengan Paries Ungulae Bentuk kuku kuda yang abnormal juga dapat menyebabkan perubahan pada pertautan antara corium dengan paries ungulae. Pertautan corium dengan paries ungulae terutama diamati pada bagian laminar corium dan solar corium. Dari 24 preparat yang diamati, 7 preparat mengalami kelainan tunggal pada pertautan corium dengan paries ungulae. Preparat nomor II, VI, VII, XI, XIII, XVI terdapat kerenggangan hanya pada laminar corium, sedangkan preparat nomor XII hanya solar corium yang renggang. Kelainan ganda berupa renggangnya laminar dan solar corium ditemukan pada preparat nomor III, V, dan XI. Pada preparat nomor XI, selain laminar dan solar corium sangat renggang, pada bagian ujung distal juga terdapat degenerasi jaringan, ditandai dengan warna hitam (Gambar 16).
Gambar 16 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor XI. Ujung distal laminar corium dan solar corium berwarna hitam akibat degenerasi jaringan. (Keterangan: tanda panah= laminar corium; bar= 1 cm). Kelainan yang parah berupa terlepasnya pertautan corium dengan paries ungulae terjadi pada preparat nomor IX, X dan XX. Preparat nomor X menunjukkan hanya bagian solar corium yang terlepas, sedangkan nomor IX dan XX ditemukan kelainan ganda, yaitu terlepasnya laminar corium dan solar corium (Gambar 17). Hal ini menyebabkan bagian distal os phalanx III tidak mempunyai pertautan sama sekali terhadap paries ungulae.
Gambar 17 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor IX. Laminar corium dan solar corium terlepas dari paries ungulae. (Keterangan: tanda panah atas= laminar corium; tanda panah bawah= solar corium; bar= 1 cm). Perubahan bentuk dan ukuran pulvinus digitalis Berdasarkan pengamatan, ditemukan bahwa hampir semua bentuk pulvinus digitalis mengalami perubahan, kecuali pada preparat nomor XVI dan XXI (Tabel 2). Perubahan pulvinus digitalis umumnya disebabkan oleh perubahan bentuk bentuk heel. Tabel 2 Perubahan bentuk dan ukuran pulvinus digitalis No preparat Kaki depan I II III IV V VI VII VIII IX X Kaki belakang XI XII XIII XIV XV XVI XVII XVIII XIX XX XXI XXII XXIII XXIV
Ukuran kuku
Pulvinus digitalis
Kecil Besar Besar Kecil Besar Kecil Kecil Besar Besar Besar
Tipis Tebal Tipis Tebal Atrofi Tebal, meninggi Tebal, meninggi Tipis, sudut landai Tipis, meninggi Atrofi
Besar Besar Kecil Besar Besar Kecil Besar Besar Besar Besar Besar Kecil Kecil Kecil
Tipis Tipis Sangat tipis Tipis, meninggi Tebal Normal Tebal Tebal Tebal, meninggi Tebal Normal Tipis Tipis Tipis
Pada preparat dengan sudut kuku landai dan heel pendek, seperti pada preparat nomor I dengan bentuk kuku flat foot dapat dilihat bahwa pulvinus digitalis mempunyai bentuk dan ukuran yang tipis (Gambar 18). Pada kuku berukuran besar, sebagian besar pulvinus digitalis mempunyai bentuk yang tebal, namun ada beberapa yang mempunyai bentuk yang tipis seperti pada preparat nomor III, V, VIII, IX, XI, XII, dan XIV. Sebagian preparat tersebut menderita contracted foot dan club foot. Pada preparat nomor X dengan bentuk contracted foot, pulvinus digitalis mengalami atrofi (Gambar 19). Pada preparat ini, pulvinus digitalis berukuran kecil dan terletak pada ujung heel.
Gambar 18
Bentuk luar kuku dan penampang longitudinal preparat nomor I (kiri) dan XVIII (kanan). Preparat dengan bentuk flat foot (kiri) mempunyai bentuk pulvinus digitalis yang tipis, sedangkan bentuk kuku club foot (kanan), pulvinus digitalis menjadi tebal. (Keterangan: tanda panah= pulvinus digitalis; bar= 1cm).
Gambar 19 Bentuk luar dan penampang longitudinal preparat nomor X Pulvinus digitalis mengalami atrofi. (Keterangan: tanda panah= pulvinus digitalis; bar= 1 cm).
Pembahasan Berbagai bentuk kuku kuda abnormal di Laboratorium Anatomi FKH IPB (Dewangga et al. 2008), juga ditemukan berbagai perubahan struktur internal. Pada kuku normal, posisi facies dorsalis os phalanx III membentuk sudut yang sejajar dengan paries ungulae (Adams 1987). Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa rotasi os phalanx III dengan sudut rotasi yang cukup besar terjadi pada kuku umbi yaitu preparat nomor VI dan VII, masing-masing 23o dan 20o. Kuku umbi adalah bentuk kuku yang membulat pada bagian toe dengan heel yang tinggi, dan terbentuknya cincin-cincin pada permukaan kukunya (fever rings). Fever rings merupakan salah satu ciri yang timbul pada kasus laminitis kronis (May 1987; Nurhidayat et al. 2002; Brown dan Bertone 2005).
Laminitis
merupakan peradangan pada lamina kuku yang diikuti kelainan vaskular di jaringan sekitarnya (Jones 1988; Brown dan Bertone 2005). Peradangan yang kronis pada lamina kuku ini menyebabkan m. flexor digitalis profundus menarik os phalanx III secara berlebihan, sehingga terjadi rotasi pada tulang ini (Brown dan Bertone 2005), sedangkan pada preparat yang lain (II, IV, XIV, XVII, XIX, dan XX), sudut rotasi yang terbentuk relatif kecil, yaitu antara 60 sampai 100, dan preparat-preparat tersebut merupakan kuku yang menderita fever rings, sebagai salah satu tanda klinis telah terjadinya laminitis kronis (May 1987; Brown dan Bertone 2005). Laminitis kronis sulit untuk disembuhkan terutama jika telah terjadi rotasi os phalanx III. Namun demikian, kondisi ini dapat diperbaiki dengan pemotongan kuku dan penapalan yang sesuai, meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama (Kelly 1984; May 1987). Tendo merupakan jaringan ikat tipe 1 dengan struktur kolagen yang paling kuat dibandingkan dengan tipe jaringan ikat lain (Hodges dan Pilliner 1991). Walaupun tendo mempunyai struktur kolagen yang sangat kuat, tetapi elastisitasnya sangat terbatas dengan daya regang maksimal 4%. Apabila tendo ini mengalami ketegangan berlebihan dalam waktu yang lama, maka tendo akan mengalami kerusakan (Hodges dan Pilliner 1991). Bentuk kuku kuda yang abnormal memungkinkan terjadinya perubahan ketegangan tendo. Perubahan ketegangan tendo dipengaruhi oleh kondisi sudut kuku (Rooney 1984; Rooney dan Thompson 1993). Perubahan ketegangan tendo terjadi pada hampir semua preparat, kecuali preparat nomor XXI, XXII, XXIII, dan XXIV. Pada bentuk kuku flat foot (preparat nomor I, III, dan VIII), coffin joint tertarik ke cranial mengikuti bentuk kuku, sehingga tendo m. flexor digitalis profundus ikut tertarik dan
mengalami overstrain, sedangkan tendo m. extensor digitalis communis mengalami penurunan ketegangan. Keadaan ini diakibatkan oleh sudut kuku yang terlalu landai, sehingga kuda lebih sering menumpu pada heel untuk menghindari tekanan yang berlebihan pada solea ungulae (Adams 1987). Demikian pula sebaliknya, bentuk kuku dengan heel yang tinggi seperti club foot dan contracted foot akan menyebabkan tendo m. flexor digitalis profundus mengalami penurunan ketegangan, sedangkan tendo m. extensor digitalis communis menegang. Perubahan ketegangan pada tendo ini disebabkan oleh coffin joint yang terlalu menekuk ke caudal (overflexio), sehingga tendo fleksor terdesak oleh tingginya heel dan tendo ekstensor tertarik oleh fleksio coffin joint. Demikian pula pada kasus kronis seperti kuku umbi pada preparat nomor VI dan VII, terlihat bahwa tendo m. flexor digitalis profundus terdesak oleh tingginya heel, sedangkan tendo m. extensor digitalis communis menegang dan tertarik akibat rotasi os phalanx III. Selain itu, perubahan bentuk kuku menjadi abnormal juga dapat mempengaruhi keseimbangan sudut tumpu yang disebut hoof-pastern axis dan secara tidak langsung mempengaruhi perubahan ketegangan tendo. Pada kuku normal, hoof-pastern axis dibentuk oleh sudut yang sama (paralel) antara coffin joint dan pastern joint (Gambar 20 A) (Adams 1987; O’Grady 2003). Kuku dengan sudut yang landai seperti bentuk flat foot dapat menyebabkan pastern joint lebih ke anterior, ekstensio coffin joint, dan meningkatkan ketegangan tendo m. flexor digitalis profundus (Gambar 20 B).
A
B
C
Gambar 20 Hoof-pastern axis (sudut yang dibentuk oleh pastern joint dan coffin joint terhadap permukaan tanah / ground surface). A. Sudut kuku normal; B. Sudut kuku landai; C. Sudut kuku curam (Sumber: O’Grady 2003).
Sementara itu, kuku dengan sudut curam seperti bentuk club foot menyebabkan hoof-pastern axis menekuk ke arah caudal, sehingga terjadi fleksio coffin joint, dan meningkatkan ketegangan ligamentum suspensorium, serta menumpu pada heel secara berlebihan (Gambar 20 C) (Adams1987; O’Grady 2003; Anonim 2004b). Perubahan bentuk kuku juga menyebabkan deformitas pada bentuk os phalanx
III,
sedangkan os phalanx I dan II tidak mengalami deformitas.
Pada os phalanx III yang normal, facies dorsalis lurus dari atas ke bawah mengikuti bentuk paries ungulae, crista semilunaris sedikit menonjol, dan ujung distalnya mempunyai tepi yang tajam berbentuk setengah lingkaran (Sisson dan Grossman 1958; Dyce et al. 1996; Anonim 2004a). Pada preparat nomor VI dan VII, facies volaris os phalanx III berbentuk konveks berlebihan, terutama pada crista semilunaris sebagai insersio tendo m. flexor digitalis profundus. Kondisi ini diduga akibat adanya tarikan yang kuat oleh tendo m. flexor digitalis profundus yang terjadi terus menerus, sehingga periosteum tulang ikut tertarik. Keadaan yang berbeda adalah bentuk konkaf facies dorsalis yang terjadi pada preparat nomor V, VI, dan VII. Facies dorsalis os phalanx III pada preparat tersebut tidak sejajar dengan kelurusan paries ungulae. Deformitas tulang ini diduga akibat ketidakseimbangan bidang tumpu pada kuku, sehingga os phalanx III mendapatkan tekanan berlebihan terutama bagian ujung distal. Dalam waktu yang lama, bagian ini melengkung ke arah cranial dan menyebabkan facies dorsalis menjadi konkaf. Preparat nomor VI dan VII dengan bentuk kuku umbi menyebabkan deformitas os phalanx III yang cukup ekstrim, berupa fraktura pada ujung anterior. Rotasi os phalanx III menyebabkan penekanan pada solea ungulae yang terjadi terus-menerus, sehingga solea ungulae menjadi turun (dropped sole). Perubahan ini menyebabkan bidang tumpu dan tekanan terhadap kuku menjadi tidak rata, sehingga terjadi fever rings pada paries ungulae dan bentuk kuku berubah menjadi kuku umbi. Kuku umbi merupakan akibat dari perjalanan penyakit laminitis kronis yang dapat menyebabkan fraktura os phalanx III, sehingga kuda menjadi sulit berjalan (Dyce et al. 1996; Brown dan Bertone 2005). Bentuk kuku kuda abnormal juga dapat menyebabkan perubahan pada pertautan antara corium dengan paries ungulae. Kerusakan jaringan pada preparat nomor XI diduga disebabkan oleh gangguan vaskular akibat perjalanan
penyakit tertentu seperti laminitis. Suplai darah yang terganggu dapat menyebabkan ischemia pada corium, sehingga terjadi degenerasi jaringan. Di sisi lain, kelainan ekstrim berupa terlepasnya pertautan corium dengan paries ungulae diduga akibat perjalanan penyakit tertentu yang menyebabkan peradangan laminae, sehingga hubungan antara laminar corium dan margo basilaris dari paries ungulae lambat laun mengalami kerusakan dan perubahan bentuk. Hal ini berarti bahwa ikatan antar sel pada laminar corium dengan margo basilaris semakin renggang, bahkan pada beberapa tempat pertautannya, sel-sel pada margo basilaris menghilang ikatannya (Adams 1987; Brown dan Bertone 2005). Perubahan internal lainnya terjadi pada pulvinus digitalis. Pulvinus digitalis merupakan jaringan lunak elastis yang terletak antara tendo M.flexor digitalis profundus dengan cuneus ungulae dan heel. Jaringan ini berfungsi sebagai bantalan saat kuku menjejak ke tanah dan membantu memompa darah menuju ke arah kaki (Adams 1987; Dyce et al. 1996). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran kuku tidak mempengaruhi bentuk pulvinus digitalis. Bentuk pulvinus digitalis lebih dikaitkan dengan tinggi atau rendahnya heel (Anonim 2006). Bentuk pulvinus digitalis yang tipis ditemukan pada kuku dengan sudut landai dan heel yang rendah (flat foot) yaitu pada preparat nomor I, III, dan VIII. Sudut kuku yang landai menyebabkan kuda lebih sering menumpu pada heel untuk menghindari tekanan yang berlebihan pada solea ungulae. Hal ini menyebabkan pulvinus digitalis mendapatkan tekanan berlebih, sehingga pulvinus digitalis menipis dan elastisitasnya menjadi berkurang (Adams 1987). Bentuk pulvinus digitalis yang tebal ditemukan pada bentuk kuku club foot dan contracted foot dengan heel yang tinggi yaitu pada preparat nomor II, IV, V, VI, VII, pada kaki depan dan preparat nomor XV, XVII, XVIII, IX, dan XX pada kaki belakang. Bentuk heel yang tinggi akan mendesak pulvinus digitalis lebih ke caudal. Keadaan ini menyebabkan pulvinus digitalis menjadi tinggi dan menebal mengikuti bentuk heel (Adams 1987; Anonim 2006). Jika hal ini berlangsung lama, maka dapat menyebabkan atrofi pulvinus digitalis seperti pada preparat nomor V dan X. Atrofi pulvinus digitalis terjadi karena terhambatnya suplai darah untuk pulvinus digitalis dan jaringan di sekitarnya, sehingga mengganggu proses pemompaan darah dari daerah digit kembali ke jantung. Selain itu, tingginya heel menyebabkan hilangnya kontak antara permukaan tanah sebagai bidang tumpu dengan cuneus ungulae. Hal ini menyebabkan efek peredaman getaran saat
menumpu menjadi berkurang atau tidak ada sama sekali karena tidak ada tekanan yang diteruskan dari cuneus ungulae dan pulvinus digitalis
(Adams
1987; Hodges dan Pilliner 1991). Kelainan bentuk kuku kuda umumnya menyebabkan kelainan struktur internal kuku. Dari 24 preparat kuku kuda dengan bentuk abnormal, 21 diantaranya mengalami perubahan struktur internal. Berbagai bentuk struktur internal seperti posisi os phalanx III terhadap paries ungulae, ketegangan tendo m. flexor digitalis profundus dan tendo m. extensor digitalis communis, bentuk os phalanx III, pertautan antara corium dengan paries ungulae, dan bentuk serta ukuran pulvinus digitalis merupakan bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Jika salah satu unsur mengalami perubahan/kelainan, maka akan berpengaruh terhadap bagian yang lain.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap semua bentuk kuku kuda dapat disimpulkan bahwa: 1. Secara umum, kuku kuda dengan bentuk abnormal mengalami kelainan struktur internal berupa rotasi os phalanx III, perubahan ketegangan tendo, deformitas os phalanx III, pertautan antara corium dengan paries ungulae, serta perubahan bentuk dan ukuran pada pulvinus digitalis. 2. Kerusakan struktur internal kuku yang terjadi merupakan akibat perjalanan penyakit kuku kronis dan adaptasi mengikuti bentuk kuku. 3. Kelainan struktur internal ekstrim terjadi pada kuku umbi, berupa rotasi pada os phalanx III dengan sudut yang besar dan fraktura pada ujung distal os phalanx III. Saran Untuk menjaga kuku kuda agar tetap sehat, diperlukan manajemen perawatan kuda yang baik, diantaranya: 1. Menjaga kandang agar tetap kering dan bersih, sehingga kuku kuda tidak rusak akibat kelembaban yang tinggi. 2. Menjaga agar kuku kuda tidak kering, sehingga tidak mudah pecah. 3. Mengatur komposisi pakan yang baik, agar tidak terjadi asupan pakan berlebihan, sehingga kasus laminitis dapat ditekan. 4. Menghindarkan kuda berjalan pada permukaan tanah yang keras dalam waktu yang lama. 5. Melakukan pemotongan kuku dan penapalan secara teratur dan benar.
DAFTAR PUSTAKA Adams OR. 1987. Lameness in Horses. Philadelphia: Lea & Febiger. [Anonim]. 2004a. Club foot. http://www.horse disease.com/horsehoofdisease/clubfoot.htm/html [12 April 2008]. [Anonim]. 2004b. Contracted foot. http://www.horse disease.com/horsehoofdisease/clubfoot.htm/html [12 April 2008]. [Anonim]. 2004c. Anatomy of the horse’s hoof. http://www.horse-disease.com/horsehoofdisease/anatomy.htm/html [12 April 2008]. [Anonim]. 2005a. Kuda. http://www.wikipedia.com/info/kuda.htm [24 Februari 2008]. [Anonim]. 2005b. Horse evolution. http://www.britannica.com/eb/art.htm [12 April 2008]. [Anonim]. 2006. Trimming tep 1: finding the heel height. http://www.ironfreehoof.com/step1.htm [17 Juli 2008]. Belschner HG. 1969. Horse Disease. Sydney: Angus and Robertison. Bennet D. 2005. The "Mammalian Species" paper: Equus caballus. http://www.equinestudies.org/mammalian.html [17 Juli 2008]. Brown CM dan Bertone JJ. 2005. The 5-Minute Veterinary Clinical Diagnosis Equine. Iowa: Blackwell. DeRobertis EDP, Saez FA, DeRobertis Jr EMF. 1975. Cell Biology. Tokyo, Japan: WB Saunders. Dewangga KA, Sigit K, Nurhidayat. 2008. Bangun anatomis kuku kuda di laboratorium anatomi FKH IPB. Jurnal Veteriner [submitted]. Draper J. 2000. The Complete Encyclopedia of The Horse. London: Southwater. Drummond M. 1988. Daily Horse Care. Marlborough: The Crowood Press Ltd. Dyce KM, Sack WO, Wensing CJG. 1996. Textbook of Veterinary Anatomy. Ed ke-2. Philadephia: WB Saunders Company. Edward EH. 1994. The Ultimate Horse. London: Dorling Kindersley. Emery L, Jim M, Nyles VH. 1977. Horseshoeing Theory and Hoof Care. Philadelphia: Lea & Febiger.
Fathauer G. 2006. Treating founder (chronic lamintis) without horseshoes. http://www.naturalhorsetrim.com/Section_7_full.htm [12 April 2008]. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Srigando B, Praseno K, Penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals. Getty R. 1975. Equine Osteology. Di dalam: R. Getty, Sisson, Grossman’s. The Anatomy of Domestic Animals. Ed ke-5. Philadelphia: WB Saunders. Hammer D. 1993. Care of The Stabled Horse. London : BT Batsford Ltd. Hickman J dan Humphrey M. 1987. Horse Management. Ed ke-2. San Diego: Academic Press. Hodges J, dan Pilliner S. 1991. The Equine Athlete : How to develop your horse’s athletic potential. Oxford: Blackwell Scientific. Jones GW. 1988. Equine Lameness. Oxford: Blackwell Scientific. Kacker RN dan Panwar BS. 1996. Textbook of Equine Husbandry. Ed ke-1. New Delhi: Vikos Publishing House PVT. Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. Ed ke-3. England: Bailliere Tindall. Mason IL. 1984. Evolution of Domesticated Animals. London: Longman. May C. 1987. The Horse Care Manual. London: Quarto. McBane S. 1995. Horse Care and Riding. British: David & Charles. Merritt J. 2003. Horse skeleton. http://www.answers.com/topic/equine-forelimb-anatomy.htm. [12 April 2008]. Nurhidayat, Sigit K, Nisa C, Agungpriyono S, Setijanto H, Novelina S. 2002. Kajian aspek anatomi teracak ungulata dan penyakit-Penyakit yang menyertainya. [prosiding]. Di dalam : Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata; Bogor, 5 Februari 2002. Bogor-Indonesia. O’Grady S. 2003. Hoof angle. http://www.equipodiatry.com/hoofangl.htm [12 April 2008]. Rooney JR. 1984. The angulation of the forefoot and pastern of the horse. J Eq Vet Scie. 4(3):138-143. Rooney JR, Thompson KN. 1993. The effect of toe angle on tendon, ligament, and hoof wall strain in vitro. J Eq Vet Scie.13(11):651-654. Rossdale PD dan Ricketts SW. 1980. Equine Stud Farm Medicine. Ed ke-2. London: Bailliere Tindal.
Sigit K, Manggung IR, Setijanto H, Nurhidayat, Agungpriyono S, Nisa’ C, Novelina S, Supratikno. 2006. Anatomi Topografi Kaki Depan dan Kaki Belakang [Penuntun Parktikum]. Bogor: Bagian Anatomi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sisson S dan Grossman JD. 1958. The Anatomy of Domesticated Animals. Philadelphia: WB Saunders. Skerritt GC dan McLelland J. 1984. An Introductional to the Functional Anatomy of the Limbs of The Domestic Animals. England: John Wright & Sons. Soehardjono O. 1990. Kuda. Jakarta: Yayasan Pamulang Equestrian Center. Soesetiadi D. 1977. Alat Gerak. Bogor: Laboratorium Anatomi, Departemen Zoologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.