BAB 5 PEMBAHASAN Tengkorak orangutan berukuran relatif besar jika dibandingkan dengan tengkorak manusia. Tengkorak orangutan mempunyai panjang ± 24,5 cm, lebar ± 19,5 cm dan tinggi ± 19 cm, serta bobot kering 1,3 kg sedangkan tengkorak manusia memiliki panjang ± 22 cm, lebar ± 18 cm, tinggi ± 15 cm, serta berat kering 0,75 kg (Anonim 2011). Meskipun orangutan memiliki ukuran tengkorak yang besar, ukuran tubuh hewan ini juga besar, sehingga dapat menopang kepalanya dengan baik dan tetap dapat bergerak dengan leluasa terutama ketika berada di atas pohon. Selain itu, struktur bangun tengkorak hewan ini terlihat sangat kompak dan keras sehingga tengkorak terlihat sangat kuat dan kokoh. Tengkorak hewan ini tampak frontal berbentuk persegi sedangkan dari arah dorsal terlihat memanjang dari corpus alveolaris dan meninggi sampai di crista nuchae (kaudal os parietale). Tengkorak ini memiliki permukaan yang relatif kasar karena terdapat banyak rigi dan penjuluran tulang yang diduga berfungsi sebagai tempat pertautan (origo atau insertio) beberapa otot dan jaringan kulit di daerah kepala. Tengkorak dibentuk oleh beberapa tulang yang membentuk kesatuan tulang yang kompak dan antara satu tulang dengan tulang yang lain dihubungkan oleh suatu sutura. Namun, seiring perkembangan umur, sutura-sutura pada daerah tengkorak akan semakin menyatu dan tidak terlihat jelas (Tortora dan Derrickson 2009). Hal ini disebabkan oleh proses osifikasi tulang tengkorak yang sudah lanjut. Proses osifikasi ini menyebabkan tulang-tulang menjadi semakin keras, kompak, dan pertautan antar tulang semakin erat (menyatu) (Colville dan Bassert 2002). Menurut Goodal (1996), tingkatan umur pada orangutan, yaitu bayi (infant) 0-4 tahun, anak (juvenile) 4-7 tahun, remaja (adolescent) 7-15 tahun, dewasa (adult) 15-35, dan tua (old) lebih dari 35 tahun. Pada tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa, beberapa sutura tidak terlihat jelas bahkan sudah tidak terlihat sama sekali sehingga diduga berasal dari orangutan yang sudah berumur tua. Adapun pada tengkorak orangutan koleksi LIPI, suturanya masih terlihat jelas sehingga diduga berasal dari orangutan yang masih muda. Misalnya, sutura yang
35
menghubungkan os maxilla dengan os palatinum pada tengkorak koleksi Laboratorium FKH IPB tidak terlihat jelas, sedangkan pada tengkorak orangutan koleksi Museum LIPI Cibinong, dua tulang ini dihubungkan oleh suatu sutura yang disebut dengan sutura palatomaxillaris (palatina transversa). Kedua tulang ini terdiri atas sepasang tulang yang masing-masing dihubungkan oleh sutura, yaitu sutura intermaxillaris (palatina mediana) antara os maxilla kiri dan kanan dan sutura interpalatinus (palatina mediana) antara os palatinum kiri dan kanan. Tiga sutura yang terdapat pada daerah ini, yaitu sutura palatomaxillaris, sutura intermaxillaris, dan sutura interpalatinus disebut juga dengan sutura cruciformis (Warwick dan Williams 1973). Pada masa embrional, tulang tengkorak berasal dari lapis kecambah mesoderm. Dalam pembentukan tulang, lapis kecambah mesoderm membentuk mesoderm paraksial dan selanjutnya membentuk somit yang berdiferensiasi membentuk skleretom polimorf dan sel mesenkim. Sel ini selanjutnya akan membentuk tulang, termasuk tulang tengkorak (Smith dan Wood 1992). Tulang tengkorak ini terdiri atas dua bagian tengkorak, yaitu pars neurocranii dan pars splanchnocranii (Shier et al. 2001). Pars neurocranii adalah tulang-tulang yang turut membentuk cavum cranii dengan atapnya disebut dengan calvaria (Leeson dan Leeson 1989). Bagian tengkorak ini disusun oleh beberapa tulang, yaitu os occipitale, os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale (Frandson dan Whitten 1981). Pada orangutan, daerah ini berbentuk bulat tidak penuh dengan bagian kranial yang langsing. Bentuk ini dapat terlihat dari bagian kranial calvaria yang memiliki bidang lebih sempit dibandingkan dengan bagian kaudalnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh os frontale yang menempati daerah kranial calvaria berbentuk segitiga (piramida) sedangkan os parietale yang berada di kaudal berbentuk bulat. Bentuk tengkorak seperti ini dapat memperlihatkan bahwa volume cavum cranii lobus frontalis pada tengkorak orangutan berukuran kecil sehingga dapat diduga volume lobus frontalis otaknya juga kecil. Menurut laporan Semendeferi et al. (1997), kera besar memiliki volume lobus frontalis otak berkisar antara 90.000-120.000 mm3. Dalam hal ini, orangutan memiliki volume lobus frontalis otak 94.705 mm3 lebih kecil dibandingkan pada dua kera besar
36
lainnya dan juga manusia. Volume lobus frontalis otak pada simpanse 109.800 mm3, gorilla 112.912 mm3 dan manusia 413.103 mm3, sehingga diduga orangutan memiliki kemampuan motorik lebih rendah dibandingkan dengan dua kera besar lainnya dan manusia. Pada tengkorak orangutan ini, pars neurocranii terlihat kasar dan terdapat beberapa rigi dan peninggian tulang. Pada daerah calvaria terdapat tiga buah rigi, yaitu crista frontalis, crista sagittalis externa, dan crista nuchae. Rigi ini kurang berkembang pada orangutan betina dan jantan muda yang terdapat di LIPI sehingga diduga rigi ini akan semakin berkembang berdasarkan perkembangan umur, kecuali crista frontalis yang hanya akan lebih berkembang pada tengkorak orangutan jantan dewasa. Crista frontalis adalah suatu rigi yang berada di sisi lateral os frontale. Rigi ini terlihat sangat subur dengan permukaan tidak rata dan diduga sebagai tempat pertautan suatu jaringan subkutan yang membentuk bantalan pipi ”cheek pads”. Menurut Maple (1980), orangutan jantan dewasa memiliki bantalan pipi yang sangat berkembang dan bersifat sexual dimorfism. Pada Pongo pygmaeus pygmaeus, bantalan pipi menjadikan kepalanya berbentuk persegi, sedangkan pada Pongo pygmaeus abelii menjadikan kepalanya berbentuk segitiga. Bantalan pipi ini pada orangutan jantan dewasa sudah mulai berkembang pada umur 12 sampai 14 tahun (Goodal 1996). Hal ini diduga berhubungan dengan hormon testosteron yang sudah semakin meningkat yang mempengaruhi perkembangan
ciri
kelamin
sekunder
pada
orangutan
jantan
dewasa.
Perkembangan ini dapat memperlihatkan kesiapan orangutan untuk melakukan aktivitas reproduksi atau perkawinan (Cavigelli dan Michael 2000). Disamping itu, pada orangutan yang masih anak-anak (juvenile) dan orangutan betina, bantalan pipi ini tidak ada atau tidak berkembang. Sehingga crista frontalis juga tidak berkembang. Crista sagittalis externa merupakan rigi tulang yang berada di kaudal crista frontalis dan di sisi medial os parietale kiri dan kanan. Rigi ini cukup berkembang pada tengkorak orangutan yang diamati. Pada gorilla dan simpanse jantan dewasa, Rigi ini sangat berkembang dan berfungsi sebagai tempat pertautan otot pengunyah atau mastikasi (Simons 2007), yaitu m. temporale (Krieger 1982). Pada manusia, rigi ini hanya berupa garis pada pertemuan sepasang os parietale
37
yang disebut dengan sutura sagittalis (Tortora dan Derrickson 2009), sehingga diduga pada daerah ini tidak terdapat tempat pertautan otot yang kuat dan juga diperkirakan bahwa m. temporale pada manusia tidak terlalu berkebang. Crista nuchae yang merupakan rigi pemisah antara os parietale dengan os occipitale yang juga sangat berkembang pada tengkorak orangutan, seperti pada tengkorak gorilla dan simpanse (Simons 2007). Rigi ini diduga berfungsi sebagai tempat pertautan yang kuat otot-otot ekstensor kepala dan ligamentum nuchae. Pada tengkorak manusia, rigi ini tidak berkembang dan hanya berupa garis yang disebut dengan sutura lambdoidea (Shier et al. 2001), sehingga diduga otot-otot ekstensor dan ligamentum nuchae pada pada manusia tidak terlalu berkembang. Hal ini sesuai dengan kebiasaan berjalan manusia yang bipedal, yang tidak terlalu membutuhkan otot-otot ini untuk menahan posisi kepalanya. . Os occipitale pada orangutan adalah tulang yang membentuk dinding kaudal (pars squamosa occipitalis) dan ventral (basis) tengkorak. Pars squamosa occipitalis pada tengkorak ini sangat luas dan memiliki permukaan yang kasar. Hal ini mengindikasikan bahwa bagian tulang ini memberikan tempat pertautan yang luas untuk otot-otot ekstensor kepala dan leher yang diduga otot ini sangat berkembang pada orangutan. Kondisi ini sangat mendukung posisi kepala supaya tetap seimbang dan tidak menunduk terutama ketika memanjat dan berjalan karena orangutan termasuk hewan arboreal (biasa hidup di atas pohon) (Goodal 1996) dan hewan quadrupedal (menggunakan empat alat geraknya untuk lokomosi) (Maple 1980; Platt dan Ghazanfar 2010). Terdapat beberapa otot ekstensor yang bertaut pada os occipitale, antara lain m. rectus capitis dorsalis major et minor untuk ekstensor kepala, m. obliqus capitis cranialis untuk ekstensor kepala dan menarik kepala ke lateral, dan m. splenius capitis untuk ekstensor dan rotasi kepala dan leher (Getty 1975). Selanjutnya, pada bagian dorsal pars squama occipitalis dan di ventral crista nuchae, terdapat suatu peninggian tulang yang memiliki permukaan yang kasar, yaitu protuberantia occipitalis externa yang berjumlah dua buah (terbagi menjadi dua buah). Sama seperti pada badak, tonjolan tulang ini juga terbagi menjadi dua buah (Aptriana 2009). Penonjolan tulang ini diduga sebagai tempat pertautan dari ligamentum nuchae (Tortora dan Derrickson 2009) yang diperkirakan sangat berkembang pada
38
badak dan orangutan. Tonjolan tulang ini sangat berfungsi untuk pertautan ligamentum nuchae yang mendukung posisi tegaknya kepala, terutama pada hewan yang memiliki kepala yang besar dan berat yang memiliki kebiasaan berjalan secara quadrupedal. Pars squama occipitalis pada bagian ventral ditandai dengan sebuah lubang atau liang yang berukuran besar, yaitu foramen magnum. Liang ini memiliki jarak yang relatif besar dengan protuberantia occipitalis externa. Liang ini berfungsi sebagai tempat lewatnya medulla oblongata yang berasal dari otak (Tortora dan Derrickson 2009). Menurut Simons (2007), posisi foramen magnum pada basis tengkorak mengindikasikan posisi kepala ketika berjalan (bentuk lokomosi). Pada tengkorak ini, foramen magnum berada di kaudal basis tengkorak. Posisi liang ini membuat leher orangutan menjadi oblique (miring terhadap garis tegak lurus). Hal ini dapat mendukung kebiasaan orangutan yang berjalan secara quadrupedal. Posisi liang ini pada orangutan sama seperti pada gorilla dan simpanse (Simons 2007), tetapi pada manusia, posisi foramen ini berada lebih di medial dari basis tengkorak. Sehingga leher manusia terlihat lebih vertikal (tidak tertunduk) (Warwick dan Williams 1973). Hal ini sesuai dengan kebiasaan manusia yang berjalan secara bipedal (menggunakan dua alat geraknya untuk lokomosi) (Platt dan Ghazanfar 2010). Pada bagian lateral liang ini terdapat bungkul yang relatif kecil, yaitu condylus occipitalis. Bungkul ini mengadakan persendian dengan os atlas, dengan persendiannya disebut dengan articulatio atlanto-occipitalis (Colville dan Bassert 2002). Os temporale adalah tulang yang membentuk sebagian besar dinding lateral tengkorak dan sebagian kecil dinding kaudal dan dorsal tengkorak. Pada bagian lateral tengkorak, tulang ini membentuk fossa temporale yang luas. Pada lekukan ini bertaut m. temporalis yang berfungsi sebagai otot mastikasi (mengunyah) (Getty 1975) dan diduga otot ini sangat berkembang pada orangutan. Pada bagian kaudal tengkorak, terdapat penjuluran tulang ke arah ventral dari os temporale, yaitu processus mastoideus. Penjuluran ini terlihat cukup berkembang pada tengkorak ini dan diduga berfungsi sebagai tempat pertautan beberapa otot di daerah kepala, seperti m. sternocephalicus pars mastoideus dan m. digastricus. Musculus sternocephalicus pars mastoideus berfungsi untuk menarik kepala ke
39
lateral, rotasi kepala, fleksor leher dan menarik kepala ke ventral, dan m. digastricus untuk depresor os mandibula (rahang bawah) (Getty 1975). Pars splanchnocranii adalah tulang-tulang yang membentuk daerah wajah. Bagian tengkorak ini meliputi regio orbitalis, nasalis, dan oralis dan disusun oleh beberapa tulang, yaitu os maxilla, os zygomaticum, os lacrimale, os nasale, os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer, dan os mandibula (Frandson dan Whitten 1981). Pars splanchnocranii umumnya merupakan bagian tengkorak yang paling kuat dan paling baik perkembangannya pada hewan (Simons 2007), terutama pada herbivora (kuda, pemamah biak) dan babi (Frandson dan Whitten 1981). Semakin subur dan luas pars splanchnocranii ini, maka tersedia tempat yang relatif luas untuk pertautan otot-otot pengunyah dan untuk penempatan gigi (Getty 1975). Demikian juga pada tengkorak orangutan, gorilla dan simpanse, bagian tengkorak ini juga terlihat lebih subur dan berkembang dibandingkan dengan pars neurocranii dengan daerah mulutnya yang lebih luas dan bentuk mulutnya yang menonjol (prognatous) (Raven 1980; Krieger 1982). Tetapi berbeda pada manusia, pars neurocranii lebih berkembang karena memiliki volume otak yang besar sehingga tulang yang melindungi otaknya juga lebih berkembang (Krieger 1982). Torus supraorbitalis merupakan penonjolan tulang secara transversal yang berada di ventral os frontale dan di dorsal orbita (di perbatasan orbita dengan os frontale) (Notosusanto 2008). Penonjolan ini sangat diperhatikan dalam mengidentifikasi primata. Bagian ini sangat menonjol dan juga merupakan ciri khas yang dimiliki oleh beberapa primata, seperti gorilla, simpanse (Simons 2007), dan papio (Krieger 1982). Penonjolan ini diduga sebagai pelindung daerah mata dan daerah otak bagian frontal (Shea 1986). Tetapi, penonjolan ini kurang berkembang pada tengkorak orangutan. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, seperti daerah frontal calvaria yang relatif sempit, daerah interorbitale tengkorak yang saling berdekatan, dan mangkok mata (orbita) yang besar. Regio orbitalis pada tengkorak orangutan ditandai dengan orbita yang mengarah ke depan dengan letak kedua orbita yang saling berdekatan dan ditandai dengan daerah interorbitale yang sempit. Hal ini memperlihatkan bahwa hewan ini
40
memiliki kemampuan penglihatan yang binokuler, yaitu mampu menggunakan kedua matanya untuk melihat lapang pandang yang sama dengan persepsi pandang yang mendalam. Kemampuan penglihatan yang binokuler ini mendukung kehidupan orangutan yang diurnal karena bentuk komunikasi yang biasa dilakukan oleh orangutan adalah berupa komunikasi visual, seperti perubahan tingkah laku dan ekspresi wajah. Orangutan tidak memiliki “scent gland” seperti yang dimiliki oleh prosimian untuk berkomunikasi (Bennet et al. 1995). Sehingga diduga kemampuan melihat dengan lapang pandang yang sama sangat mendukung untuk kehidupan kera ini. Regio nasalis pada tengkorak orangutan ditandai dengan sebuah rongga hidung (cavum nasii) yang berbentuk piriform (diameter bagian ventral rongga terlihat lebih luas dari pada bagian dorsalnya). Rongga ini dibatasi oleh tiga tulang, yaitu os nasale di bagian dorsal, os maxilla di bagian lateral, dan os incisivum di bagian ventral. Pada beberapa hewan, di bagian ventral rongga hidung ini terdapat canalis interincisivum yang menghubungkan rongga mulut dengan rongga hidung. Hewan yang memiliki saluran ini memiliki penciuman yang tajam karena saluran ini di rongga hidung berhubungan dengan ductus vomeronasalis sebagai tempat terdapatnya organum vomeronasale (organon jacobson). Organ ini sangat berkembang pada ular dan bangsa lizard. Anjing dan kucing juga memiliki organ ini sebagai alat penciuman tambahan (Kent dan Carr 2001). Namun pada tengkorak orangutan, tidak terdapat canalis interincisivum. Oleh karena itu diduga saluran ini mengalami rudimenter pada orangutan, sehingga kemungkinan kemampuan penciumannya juga berkurang. Begitu juga pada bangsa burung, manusia dan beberapa primata seperti kelompok strepsirrhines (Napier dan Napier 1985; Kent dan Carr 2001). Regio oralis pada orangutan terlihat sangat berkembang karena memiliki fungsi yang sangat dominan, yaitu untuk mendapatkan makanan dan mastikasi, serta sebagai alat pertahanan dari serangan musuh. Menurut Shea (1986), dalam mencari makan hewan ini mampu memecahkan kulit kacang yang sangat keras dan menghancurkan kulit buah yang keras dengan menggunakan giginya yang tidak mampu dilakukan oleh primata lainnya. Sedangkan ketika bertahan dari serangan musuhnya, hewan ini mampu menggigit lawannya dengan gigitan yang
41
sangat kuat. Oleh karena itu, hewan ini memiliki ukuran gigi yang besar yang didukung oleh ukuran tulang yang besar sebagai tempat giginya tertanam dan sebagai tempat pertautan otot-otot yang membantu pergerakan rahang. Os mandibula adalah tulang yang membentuk rahang bawah dan merupakan tulang terbesar yang membentuk pars splanchnocranii (Getty 1975). Tulang ini sangat berkembang dan kuat pada orangutan. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tertanamnya gigi-gigi rahang bawah dan tempat membersitnya otot-otot mastikasi. Terdapat beberapa otot yang membantu proses mastikasi, yaitu m. masseter, m. temporalis, dan m. pterygoideus lateralis et medialis (Raven 1980). Otot-otot ini berfungsi menggerakkan os mandibula dalam bentuk elevator, depresor, retraktor, protraktor, dan pergerakan ke lateral, sehingga terjadi proses mastikasi (Tortora dan Derrickson 2009). Selain itu, terdapat beberapa bagian tulang yang tumbuh subur dan berkembang di sekitar daerah mulut yang juga diduga sebagai tempat pertautan otot-otot untuk pergerakan os mandibula dalam melakukan proses mastikasi, salah satunya adalah arcus zygomaticus. Arcus zygomaticus merupakan suatu lengkungan tulang yang berada di sisi lateral tengkorak. Pada tengkorak orangutan, lengkungan ini dibentuk oleh dua buah penjuluran tulang, yaitu processus zygomaticus dari os temporale dan processus temporale dari os zygomaticus. Pada gorilla dan simpanse, lengkungan ini juga dibentuk oleh dua buah penjuluan tulang ini yang juga terlihat kuat dan berkembang (Raven 1980; Krieger 1982). Begitu juga pada manusia, namun lengkungan ini terlihat kecil dan kurang subur (Warwick dan Williams 1973). Berbeda pada kuda, lengkungan dibentuk oleh tiga penjuluran tulang, yaitu processus
zygomaticus
dari
os
temporale,
processus
temporale
dari
os zygomaticus, dan processus zygomaticus dari os frontale (Getty 1975; Frandson dan Whitten 1981). Pada orangutan, lengkungan ini diduga sebagai tempat pertautan yang kuat dari m. masseter yang sangat berkembang. Otot ini berorigo pada permukaan anterior arcus zygomaticus dan berinsertio pada ramus mandibulae dan processus coronoideus dari os mandibula. Otot ini berfungsi untuk mengangkat os mandibula, rotasi articulatio temporomandibulae dan menutup mulut (Raven 1980). Disamping itu, pada tengkorak ini terlihat fossa temporale yang cukup luas yang diperkirakan sebagai tempat membersitnya
42
m. temporale. Otot ini berorigo pada fossa temporale dan berinsertio processus coronoideus dari os mandibula. Otot ini memiliki fungsi yang sama seperti m. masseter (Palastanga et al. 2002). Bagian tulang yang juga terlihat berkembang pada tengkorak ini adalah os sphenoidale yang berada di sisi lateral dan ventral tengkorak. Diperkirakan m. pterygoideus medialis et lateralis diduga membersit pada tulang ini, karena tulang ini pada bagian lateral tengkorak terlihat kasar dan pada bagian ventral tengkorak membentuk suatu penjuluran tulang yang sangat berkembang, yaitu processus pterygoideus dari os sphenoidale. Musculus pterygoideus lateralis berorigo pada ala sphenoidale yang berada di lateral tengkorak dan berinsertio pada processus condylaris dari os mandibula, dan m. pterygoideus medialis berorigo pada processus pterygoideus dari os sphenoidale dan berinsertio pada bagian medial dari ramus dan angulus mandibulae (Palastanga et al. 2002). Selain otot-otot yang memiliki peranan penting dalam proses mastikasi, pada daerah mulut orangutan, juga terdapat beberapa otot yang berfungsi untuk menghasilkan mimik wajah. Misalnya, m orbicularis oris, m. zygomaticus major dan minor, m. levator labii superioris, m. depressor labii inferioris, dan m. depressor anguli oris (Tortora dan Derrickson 2009). Otot ini diduga cukup berkembang pada hewan ini. Beberapa mimik wajah yang biasa dilakukan oleh hewan ini adalah berupa memperluas daerah bibir ke depan (funnel face), memperlihatkan gigi (bare teeth), menyeringai, menguap, dan merayu atau bercanda (playface) (Maple 1980). Namun, orangutan merupakan kera yang memiliki kebiasaan hidup soliter sehingga lebih jarang memperlihatkan komunikasi visual melalui mimik wajah ini jika dibandingkan dengan kera besar lainnya (Galdikas 1984). Orangutan memiliki gigi berukuran relatif besar ukuran relatif besar dan tersusun dalam formula 2 (I 2/2, C 1/1, P 2/2, M 3/3) sehingga berjumlah 32 buah, sama seperti pada manusia dan famili pongidae lainnya. Hal ini berbeda dengan subordo prosimian dan sebagian platyrrhini yang memiliki jumlah gigi 36 buah (Bennet et al. 1995). Di antara gigi orangutan, dentes canini merupakan gigi yang berukuran paling besar. Gigi ini juga merupakan ciri sexual dimorfism pada hewan ini. Ukuran dentes canini pada orangutan jantan dewasa berukuran lebih
43
besar dari pada dentes canini pada betina dewasa (Krieger 1982). Pada gorilla, gigi ini juga merupakan sexual dimorfism seperti halnya orangutan tetapi tidak pada manusia dan simpanse (Simons 2007). Dentes canini ini lebih berkembang pada orangutan jantan diduga karena berhubungan dengan sistem pertahanan orangutan jantan. Menurut Galdikas (1984), orangutan jantan dewasa memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas dan daerah ini tidak boleh dimasuki oleh orangutan jantan dewasa lainnya. Sehingga untuk dapat mempertahankan daerah kekuasaannya ini, hewan ini harus memiliki sistem pertahanan yang kuat, seperti tenaga yang besar dan dentes canini yang sangat berkembang. Orangutan ini ketika mempertahankan daerah kekuasaannya, mampu menggigit musuhnya dengan gigitan yang sangat kuat. Selain itu, untuk menakut-nakuti lawannya, hewan ini biasanya memperlihatkan ekspresi wajah yang menakutkan dalam bentuk bare teeth (memperlihatkan gigi) sambil membuka mulut lebar-lebar (Maple 1980). Tidak hanya untuk pertahanan, dentes canini ini sangat membantu orangutan ketika mencari makan, yaitu mampu mengelupaskan kulit kayu yang sangat keras untuk mendapatkan kulit kayu yang lunak untuk dimakan (Shea 1986).