Karakteristik epigenetika pada upper viscerocranium dan bagian dahi tengkorak Jawa dan Papua berdasarkan perbedaan jenis kelamin Izzudin Arafah Irawan
[email protected] Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga
Abstract Epigenetic is a study dealing with genetics and environment. Race, migrations chronological and geographical locations affect the epigenetic variation. This study is used among others in the context of evolution, environmental influences, residential region, and gender. The aim of this study is to find out the differences and biological allusions (closeness) on the skull of upper viscerocranium of Java dan Papua based on gender. Sample of this research are collections of the Laboratory of Anatomy and Histology, Faculty of Medicine which amounts to 40 skulls. The total sample consist of 19 skulls of men and 6 women skull of Java and 9 male and 7 female skull Papua. The data of this research were analyzed with deskriptif. Implementation of one hundred and seventeen characteristics of epigenetic in upper viscerocranium and part of brow showed disposed differences on character persistence of supranasal suture,the number of canal on the right supraorbital osseous structures,degree of expression frontal groove, degree of expression on the left infraorbital foramen, the number on the right of infraorbital foramen, degree of expression on the right zygomaxillary tubercle, position right zygomaxillary tubercle. The result of another research showed no disposed differences in skull Java and Papua, skull Jawa based on gender and skull Java based on gender.It indicates that there are character from both population and both gender. This character is due to the mixing both populations at the end of the Pleistocene and the significant differences caused by differences geographical location and race differences of both populations.
Keywords :upper viscerocranium, epigenetic traits, Java – Papua
Abstrak Epigenetika merupakan sebuah studi yang berhubungan dengan genetika dan lingkungan. Ras, kronologis migrasi dan letak geografis berpengaruh terhadap variasi epigenetika. Studi ini dipakai diantaranya dalam konteks evolusi, pengaruh lingkungan dan penghunian suatu daerah, dan jenis kelamin. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik epigentika pada upper viscerocranium tengkorak Jawa dan Papua berdasarkan jenis kelamin. Sampel penelitian merupakan koleksi Laboratorium Anatomi dan Histologi, Fakultas Kedokteran yang berjumlah 40 tengkorak. Jumlah sampel terdiri dari 19 tengkorak laki-laki dan 6 tengkorak perempuan Jawa dan 9 tengkorak laki-laki dan 7 tengkorak perempuan Papua. Data penelitian yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Penerapan seratus tujuh belas karakteristik epigenetika pada upper viscerocranium dan bagian dahi menunjukkan AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 273
kecenderungan pada karakteristik persistensi supranasal suture, jumlah canal pada supraorbital osseous structures kanan, derajat ekspresi frontal groove,derajat ekspresi infraorbital foramen kiri, jumlah infraorbital foramen kanan, derajat ekspresi zygomaxillary tubercle kanan, lokasi zygomaxillary tubercle kanan. Hasil pengujian lain tidak menunjukkan kecenderungan pada karakter pada populasi Jawa dan Papua, dan Jawa berdasarkan jenis kelamin serta Papua berdasarkan jenis kelamin. Ini menandakan adanya karakteristik yang khas dari kedua populasi dan kedua jenis kelamin. Karakteristik ini sebagai akibat pernah bercampurnya kedua populasi pada akhir Pleistosen dan perbedaan signifikan disebabkan perbedaan letak geografis dan beda ras dari kedua populasi. Kata kunci : Karakteristik epigenetika, upper viscerocranium, Jawa, Papua
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 274
Pendahuluan Schumacher (1997 dalam Suriyanto dan
Koesbardiati
program
2006)mengatakan
genetika
yang
mengontrol
epigenetika
yang
menentukan
keberlangsungan embrionis
selanjutnya
(epigenetics disposes).
morfogenesis tengkorak dimodifikasi oleh
Penelitian
tentang
lingkungan. Hal ini berhubungan dengan
pernah
karakteristik dari setiap individu yang
penelitian. Alasan memperhatikan seks
dikenal
oleh
dikarenakan secara genetika laki–laki dan
genetika
perempuan berbeda walaupun perbedaan
tentang varians kerangka tengkorak pada
ini semakin kecil (Hauser & De Stefano
awalnya diterapkan pada tikus kemudian
1989). Butenand (1985 dalamSuriyanto
dalam
2012)menjelaskan
banyak
epigenetika.
dipengaruhi
Penelitian
studi
perkembangkannya
diterapkan
dilakukan
epigenetika
bahwa
keberadaan
ekspresi
banyak digunakan dalam lingkup evolusi
dikontrol
yang
perubahan
marks dan faktor lingkungan seperti
pylogenetic(Hauser & De Stefano 1989:1).
tingkah laku sosial, dan boleh jadi asal
Judarwanto
mula
(2016)
mendefinisikan
dimorfis
beberapa
kepada manusia. Selanjutanya istilah ini
menunjukkan
gen
dalam
oleh
kemungkinan
sex–specificepigenetic
perbedaan
ini
berawal
dari
epigenetika sebagai sebuah studi tentang
kromosom–kromosom ke hormon–hormon
perubahan
ekspresi
pubertal. Faktor dimorfisme seksual ini
lingkungan.
tidak ditujukan pada perbedaan yang
fenotipe
genetikayang
atau
disebabkan
Istilah epigenetika, yang menunjukkan
berkaitan
perubahan
telah
sebatas pada ekspresi epigenetika yang
menegaskan perbedaan nyata terhadap
diamati (Wolpoff & Caspari 1998 dalam
studi
Suriyanto
selama
Mendel
ontogeni,
yang
menunjukkan
dengan
2012).
reproduksi
Epigenetika
namun
dapat
hubungan karakter gen merupakan hasil
memberikan informasi penting mengenai
dari mutasi dan perubahan lingkungan
pengaruh lingkungan(Brasili et al. 1999).
secara bebas selama ontogeni (Hauser &
Misalnya penelitian yang dilakukan oleh
De Stefano 1989:1). Burbano(2006 dalam
Hastuti (2007)terhadap ukuran dan bentuk
Suriyanto
dada di dataran tinggi Samigaluh dan
genetika (genetics
2012) hanya
mengatakan bersifat
proposes)
perkembangan
bahwa
mengusulkan
kemunculan
embrionis
dataran
rendah
Galur,
Kulon
Progo
dan
Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan
sedangkan
bahwa ukuran lebar dan dalam dada AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 274
memiliki
kecenderungan
agak
diketahui dari penelitian yang dilakukan
berbeda. Mereka yang tinggal di dataran
oleh Suriyanto & Koesbardiati (2006)
tinggi Samigaluh memiliki tinggi badan
mengenai karakteristik epigenetika upper
lebih rendah daripada penduduk Galur
viscerocranium
yang cenderung memiliki ukuran lebar
prasejarah Liang Bua, Lewoleba, Melolo
dada lebih kecil dibandingkan penduduk
dan Ntodo Leseh di Nusa Tenggara Timur.
Galur
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan
namun
yang
penduduk
Samigaluh
memiliki ukuran dalam dada lebih besar. Epigenetika juga dapat memberikan
dan
terhadap
memperlihatkan
manusia
karakteristik
Australomelanesid dalam keseluruhan dan
informasi mengenai jenis kelamin namun
beberapa
memperlihatkan
pada metopic suture tidak menunjukkan
masing-masing.
kekhasan
kecenderungan pada keduanya. Penelitian
Pencairan sejumlah es dan salju
lain menunjukkan bahwa frekuensi pada
glasial mengakibatkan kenaikan permu-
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki
kaan laut mencapai 100 m yang me-
sebaliknya penelitian Mouri (Japanese,
nyebabkan banyak daerah rendah hilang
1976
dibawah
dalam
Hauser
&De
Stefano
permukaan
laut.
Kawasan
1989:9)menunjukkan frekuensi pada laki-
tersebut merupakankawasan kering pada
laki lebih tinggi daripada perempuan.
zaman glasial dan khususnya kawasan
Contoh lain dalam tingkat kepadatan
Indonesia yang terdiri dari Lempeng
padaasterionmenunjukkan frekuensi yang
Sunda dan Sahul. Hal itu mempengaruhi
tinggi pada laki-laki daripada perempuan
kawasan Indonesia mengalami perubahan
namun penelitian Corruccini(1974a dalam
geologis
Hauser
terjadinya empat kali zaman glasial pada
& De Stefano 1989:9)hanya
menemukan
sedikit
perbedaan
yang
masa
yang
cukup
Pleistosen
berarti
(Sukadana
akibat
1987).
menonjol pada laki-lakibahkan tidak ada
Perubahan iklim di dunia menentukan
kecenderungan pada keduanya (Hauser &
perubahan manusia, baik dari segi evolusi
De Stefano 1989:9).
maupun pola migrasi(Dahler 2011:18).
Karakteristik epigenetika dipenga-
Perubahan iklim tersebut menyebabkan
ruhi oleh faktor rasial dan faktor fung-
bagian Barat Indonesia yaitu Sumatera,
sional dan lingkungan ekstrinsik, baik
Jawa, Kalimantan dan Bali menyatu
biotik, abiotik maupun kebudayaan (Suri-
dengan daratan Asia yang dikenal dengan
yanto & Koesbardiati 2006). Hal ini
Lempeng Sunda sedangkan bagian Timur AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 276
Indonesia yaitu Papua menyatu dengan
ditemukan di Deli Serdang dan Langkat
Australia yang dikenal dengan Lempeng
Tamiang yang menunjukkan usia lebih
Sahul(Bellwood 1985:5; Jacob 2006:155;
muda yaitu 6000-4000 tahun yang lalu.
Glinka 2008b:176). Peristiwa ini menye-
Sedangkan sisa rangka yang ditemukan di
babkan terjadinya
Ulu Ayar, Sumatera Barat dan Megalitik di
gelombang migrasi
(Forestier 1998:79).
Mahat menunjukkan ciri-ciri Mongolid.
Wilayah bagian Barat Indonesia
Sisa rangka ini ditemukan oleh Dubois dan
yang termasuk dalam Lempeng Sunda
berusia 2000-3000 tahun yang lalu(Jacob
didominasi ras Mongolid Selatan, yakni
2006:138-139).
subras Melayu-Indonesia (Malayid) yang
menunjukkan
memiliki morfologi, darah dan ciri lainnya
hunian
yang khas(Jacob 2006:155). Sebaliknya
menunjukkan
wilayah Indonesia bagian Timur yang
lanesid memiliki usia lebih tua daripada
tergabung
Sahul
fosil yang menunjukkan ciri Mongolid.
didominasi ras Australomelanesid, yakni
Kronologis penghunian ini menunjukkan
subras
wilayah
bahwa manusia prasejarah di Sumatera
Garis
Tengah dan Jambil lebih awal dihuni oleh
Wallacea dan Lydekker yang termasuk
ras yang bercirikan Australomelanesid
daerah
wilayah
yang berlangsung hingga 4000-3000 tahun
pencampuran antara keduanya, ada daerah
yang lalu kemudian digantikan oleh subras
yang
Malayid
Malayid (Mongolid) (Jacob 2006:139).
(Mongolid) namun juga terdapat daerah
Sedangkan temuan di Bali menunjukkan
yang
adanya pencampuran antara kedua ras, dan
dalam
Lempeng
Arafurid.
Indonesia
yang
Sedangkan dibatasi
Wallacea
oleh
merupakan
didominasi
subras
didominasi
subras
Arafurid
(Australomelanesid)(Jacob 2006:155).
pada
Bukti
penemuan
perbedaan masa
itu.
unsur-unsur
ini
gelombang Fosil
yang
Australome-
penemuan di Papua menunjukkan unsur-
Migrasi di Indonesia telah berlangsung sejak manusia prasejarah. Bukti
unsur yang kuat dari subras Melanesid (Australomelanesid) (Jacob 2006:156).
migrasi itu dengan ditemukannya fosil sisa
Koesbardiati (2008:67-68) mengata-
rangka manusia yang memiliki ciri-ciri
kan bahwa pertemuan ini kemudian akan
Australomelanesid
membuka kesempatan individu maupun
di
Ulu
Tiangko,
Propinsi Jambi yang berusia 6000-9000
populasi
melakukan
tahun
yang
terjadinya
hibridasi
juga
penetrasi gene drift dan founder effect. Hal
yang
bercirikan
lalu.
Sisa
rangka
Australomelanesid
perkawinan yang
dan
merupakan
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 277
tersebut dapat menghindari terjadinya
Broca (1875), Ascadi dan Nemeskeri
reduksi suatu fenotipe tertentu sehingga
(1970), Frembach et al. (1979 dalam
variasi genetik tetap dipertahankan.
Glinka et al. 2008c:13-14). Sedangkan ras
Penelitian mengetahui
ini
bertujuan
karakteristik
untuk
epigenetika
upperviscerocranium Jawa dan Papua berdasarkan
perbedaan
jenis
berdasarkan
pada
klasifikasi
Glinka(1987:33) danJacob(2006:136). Migrasi yang terjadi hingga jutaan
kelamin.
tahun dan beribu-ribu kilometer jauhnya
epigenetika
dan telah ada bukti sisa-sisa kerangka yang
yang diamati mencakup bagian dahi
ditemukan dari setiap prosesnya. Proses ini
danupper
menyebabkan
Karakteristik-karakteristik
tidak
viscerocranium
semua
tengkorak
dikarenakan yang
diteliti
adanya
karakteristik-
karakteristik dari setiap manusia, yang
memiliki bagian mandibula dan bagian
tergolong
dalam
ras,
di
berbagai
dahi.
wilayah(Glinka 1987:25-26). Karakteristik tersebut kemungkinan karena faktor isolasi
Materi dan Cara Penelitian
setelah terjadinya masa glasial Sampel penelitian adalah tengkorak
menyebabkan
tenggelamnnya
yang
daratan-
Jawa dan Papua berdasarkan data yang
daratan rendah seperti lempeng Sunda dan
tersedia di Laboratium Anatomi dan
Sahul(Sukadana 1987).
Histologi,
Fakultas
Kedokteran
Glinka(1987)
mengatakan
bahwa
Universitas Airlangga. Tengkorak yang
Indonesia terdiri dari ras Melayu yang
dijadikan
penelitian
memiliki sub-sub ras antara lain: Semang
berjumlah 40 tengkorak dengan rincian 24
(sisa asli dalam isolasi Malaka), Aeta (sisa
tengkorak Jawa yang terdiri dari 13
Filipina),
tengkorak berjenis kelamin laki-laki dan 4
beberapa Luzon), Malagasid (Melayu di
tengkorak berjenis kelamin perempuan
Madagaskar), Protomalayid sama dengan
sedangkan 7 tengkorak lainnya belum
Australomelanesid
diketahui jenis kelaminnnya. Tengkorak
yang merupakan Mongolid.Jacob (1967,
Papua berjumlah 16 tengkorak yang belum
1975 dalam Glinka 1987) memaparkan
diketahui jenis kelaminnya.
ciri-ciri dari dua sub ras Melayu yang bisa
sebagai
objek
Dayakid
(asli
dan
Borneo
dan
Deutromalayid
Variabel bebas yang diteliti meliputi
dikatakan memiliki kesamaan dengan sub
ras dan seks. Penentuan jenis kelamin yang
ras yang ada di Indonesia saat ini, yaitu
belum diketahui didasarkan pada metode
Mongolid
(termasuk
Jawa)
dan
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 278
Australomelanesid
(termasuk
Papua).
Pertama, Mongolid merupakan salah satu sub ras Melayu yang menghuni Indonesia
tersebut merupakan perbedaan karakter yang dimiliki oleh setiap populasi. Glinka
bagian Barat dan Utara yaitu yang dibatasi
bahwa
oleh empat wilayah seperti
bentuk
Filipina,
(2008c:77)menjelaskan
tengkorak
Mongolid
brachycepal
memiliki
dengan
dinding
Malaka, Indocina dan Taiwan. Sub ras
samping membulat sedangkan tengkorak
Melayu ini memiliki ciri-ciri, yaitu tubuh
Australomelanesid
lebih pendek, bentuk kepala brachicephal
dolichocepal dengan dinding samping
dengan bentuk dahi yang membulat,
tegak lurus. Berdasarkan ciri-ciri metris
hidung
dengan
tersebut maka secara umum karakteristik
pangkal dangkal, bentuk muka lebar datar,
Mongoloid memiliki wajah lebar dengan
memiliki rambut lurus – berombak dan
derajat
warna kulit sawo muda sampai sawo
Australomelanesid memiliki wajah yang
matang.
cenderung
sedang sampai
Kedua,
lebar
Australomelanesid
memiliki
flatness
dominan
sempit
dengan
bentuk
sedangkan
prognasi
merupakan sub ras Melayu yang tersebar
elveolar yang tinggi.
di Indonesia bagian Timur dari wilayah
Tabel 1 Ciri-ciri karakteristik Jawa dan Papua secara somatometri maupun somatoskopi
Sumbawa
Timur
hingga
ke
Maluku
Selatan. Sub ras ini memiliki ciri-ciri, yaitu: tinggi badan sedang, kepala yang relatif kecil sedikit lonjong sampai sedang,
Karakteristik tengkorak Tinggi badan Bentuk kepala
Jawa
Papua
lebih pendek brachicephal
Dinding samping Bentuk dahi Bentuk muka
membulat membulat lebar datar
Bentuk hidung
sedang sampai lebar dengan pangkal dangkal dangkal kurang nampak sawo muda sampai sawo matang
sedang dolichocepal relatif kecil sedikit lonjong sampai sedang tegak lurus agak miring sedikit lebar sedikit prognasi (area mulut menonjol ke depan) lebar hingga sedang dengan pangkal dalam dalam nampak
dahi agak miring, kulit sawo tua hingga berwarna cokelat tua, muka sedikit lebar dan sedikit prognasi, hidung lebar hingga sedang memiliki
dengan rambut
pangkal
dalam
berombak
dan
hingga
keriting. Karakter ini sebagai ciri adanya proses mongolidisasi yang semakin ke timur (Glinka 2008a:77). Ciri-ciri secara somatoskopi
tersebut
seperti
yang
diuraikan Glinka et al. (2008c)menyangkut
Pangkal hidung Prognasi
pembagian ras atau perubahan ontogenesis
Warna kulit
sehingga bisa dikatakan pula bahwa hal
sawo tua hingga berwarna cokelat tua
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 279
Bentuk rambut
lurus hingga berombak
berombak hingga keriting
Sumber:Jacob(1967, 1975 dalam Glinka 1987, 2008c:77)
Metode yang menjadi rujukan dalam penentuan karakteristik epigenetika adalah metode Hauser and De Stefano (1989). Adapun karakteristik epigenetika upper viscerocranium dan bagian dahi yang akan diteliti yaitu persistensi metopic suture, keberadaan metopic fissure, persistensi dan bentuk supranasal suture, posisi, jumlah, ukuran dan bentuk notch padasupraorbital osseous structures, posisi, jumlah dan ukuran canal (foramen) pada supraorbital osseous structures, jumlah dan derajat ekspresi frontal groove, jumlah dan posisi ethmoidal foramen, jumlah, posisi dan ukuran
nasal
foramina,
persistensi
infraorbital suture, derajat ekspresi dan jumlah infraorbital foramen, lokasi dan derajat ekspresi zygomaxillary tubercle. Data dari hasil penelitian ini bersifat kualitatif kemudian diberlakukan skoring dengan cara dikelompokkan berdasarkan angka,
selanjutnya
dijadikan
data
kuantitatif. Analisis data secara deskriptif berupa frekuensi kemunculan karakteristik epigenetika pada tengkorak Jawa dan Papua dan tengkorak Jawa dan Papua berdasarkan jenis kelamin.
Hasil dan Pembahasan Hasil
penelitian
kecenderungan
yang
menunjukkan berbeda
pada
karakteristik epigenetika tengkorak Jawa dan Papua. Persistensi supranasal suture tengkorak Jawa cenderung menunjukkan karakter “tertutup-terlihat” dan persistensi tengkorak
Papua
cenderung
memiliki
karakter “tertutup-hampir tdk terlihat” sampai “obliterasi”. Jumlah canal pada supraorbital osseous structures kanan tengkorak Jawa cenderung menunjukkan karakter jumlah “1” dan tengkorak Papua cenderung berjumlah “2”. Derajat ekspresi frontal groove tengkorak Jawa cenderung “trace-terlihat”
dan
tengkorak
Papua
cenderung menunjukkan karakter “well expressed-terlihat dapat diraba”. Derajat ekspresi
infraorbital
foramen
kiri
tengkorak Jawa cenderung menunjukkan karakter “lemah” sampai “kuat” dan tengkorak karakter
Papua “kuat”.
cenderung Jumlah
memiliki
infraorbital
foramen kanan tengkorak Jawa cenderung berjumlah “1” dan tengkorak Papua cenderung menunjukkan karakter jumlah “1”
sampai
“2”.
Derajat
ekspresi
zygomaxillary tubercle kanan tengkorak Jawa cenderung “medium” dan tengkorak Papua cenderung menunjukkan karakter “medium”
sampai
“kuat”.
Lokasi
zygomaxillary tubercle kanan tengkorak AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 280
Jawa cenderung menunjukkan karakter
tengkorak perempuan Jawa cenderung
“maxillary”
memiliki
dan
tengkorak
Papua
cenderung “sutural”.
“maxillary”.
Hasil penelitian pada tengkorak Jawa
“sutural”
karakter Lokasi
dan
zygomaxillary
tubercle kiri tengkorak laki-laki Jawa
berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
cenderung
kecenderungan karakteristik epigenetika.
“sutural” dan tengkorak perempuan Jawa
Persistensi supranasal suture tengkorak
cenderung memiliki karakter “sutural” dan
laki-laki Jawa cenderung “terbuka” dan
“maxillary”.
tengkorak perempuan Jawa menunjukkan
Hasil
menunjukkan
penelitian
karakter
pada
tengkorak
jenis
kelamin
karakter “obliterasi”. Jumlah ethmoidal
Papua
foramen kanan tengkorak laki-laki Jawa
menunjukkan kecenderungan karakteristik
cenderung menunjukkan karakter jumlah
epigenetika.Persistensi supranasal suture
“2”
tengkorak
dan
tengkorak
perempuan
Jawa
berdasarkan
laki-laki
Papua
cenderung
cenderung memiliki jumlah “2” sampai
menunjukkankarakter
“3/>3”.
infraorbital
tengkorak perempuan Papua cenderung
foramen kiri tengkorak laki-laki Jawa
memiliki karakter“tertutup-hampir tidak
cenderung menunjukkan karakter “kuat”
terlihat”. Ukuran notch pada supraorbital
dan tengkorak perempuan Jawa cenderung
osseous structures kiri tengkorak laki-laki
Derajat
memiliki
ekspresi
karakter
“lemah”.
Derajat
Papua
cenderung
ekspresi zygomaxillary tubercle kanan
karakter“sedang”
tengkorak
perempuan
laki-laki
Jawa
cenderung
“obliterasi”dan
menunjukkan dan
tengkorak
Papuacenderung
memiliki
“medium” dan
karakter “sedang” dan “eksesif”. Jumlah
tengkorak perempuan Jawa cenderung
canal pada supraorbital osseous structures
memiliki karakter “jejak” sampai “kuat”.
kanan tengkorak laki-laki Papua cenderung
Derajat ekspresi zygomaxillary tubercle
menunjukkan karakter
kiri tengkorak laki-laki Jawa cenderung
tengkorak perempuan Papua cenderung
menunjukkan karakter “jejak” sampai
memiliki karakter jumlah “1”. Jumlah
“medium” dan tengkorak perempuan Jawa
canal pada supraorbital osseous structures
cenderung memiliki karakter “medium”.
kiri tengkorak laki-laki Papua cenderung
Lokasi
menunjukkan karakter
menunjukkan karakter
zygomaxillary
tengkorak
laki-laki
tubercle Jawa
kanan
cenderung
menunjukkan karakter “maxillary” dan
jumlah“2” dan
jumlah“1” dan
tengkorak perempuan Papua cenderung memiliki
karakter
jumlah“2”
sampai
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 281
“3/>3”. Posisi canal pada supraorbital
Koesbardiati 2006)terhadaptorus palatinus
osseous structures kanan tengkorak laki-
pada
laki
menunjukkan
Papuamedial
dan
tengkorak
perempuan Papua cenderung memiliki karakter “lateral”. Jumlah frontal groove tengkorak
laki-laki
Papua
populasi
Anatolian
kuno
meningkatnya
yang
frekuensi
karakteristik torus palatinus. Belum ada data atau informasi
cenderung
mengenai perbandingan populasi karakter
jumlah“2” dan
supranasal suture(Hauser & De Stefano
tengkorak perempuan Papua cenderung
1989:46) dan kecenderungannya pada
memiliki
salah satu jenis kelamin(Schiwy-Bochat
menunjukkan karakter
“3/>3”.
karakter Derajat
jumlah“2” ekspresi
sampai
infraorbital
2001).
Penelitian
ini
foramen kiri tengkorak laki-laki Papua
kecenderungan
cenderung menunjukkan karakter“kuat”
tengkorak Jawa dan Papua pada bentuk
dan
supranasal
tengkorak
cenderung
Papua
memilikikarakter “kuat”.
sampai
perempuan
Jumlah
yang
menunjukkan
suture.
berbeda
Frekuensi
antara
terbesar
“lemah”
persistensi supranasal suture tengkorak
infraorbital
Jawa pada karakter “tertutup-terlihat” dan
foramen kanan dan kiritengkorak laki-laki
tengkorak
Papuacenderung menunjukkan karakter
terbesar
jumlah “1” dan tengkorak perempuan
hampir tidak terlihat” sampai “obliterasi”.
Papua cenderung memiliki karakter jumlah
Berdasarkan
“2”.
terbesar ditunjukkan oleh tengkorak laki-
Derajat
tubercle
ekspresi
kanan
zygomaxillary
tengkorak
laki-laki
Papua pada
memiliki
frekuensi
karakteristik
“tertutup-
jenis
kelamin,
frekuensi
laki Jawa pada karakter “terbuka” dan
Papuacenderung menunjukkan karakter
tengkorak
perempuan
Jawa
memiliki
“jejak” sampai “medium” dan tengkorak
frekuensi
terbesar
pada
karakter
perempuan Papua cenderung memiliki
“obliterasi”.
Pada
tengkorak
Papua,
karakter“kuat”.
frekuensi
Setiap
populasi
memiliki
terbesar
tengkorak
laki-laki
ditunjukkan oleh karakter “obliterasi”dan
karakteristik epigenetika berbeda sehingga
tengkorak
pemberlakuan karakteristik pada populasi
frekuensi terbesar pada karakter“tertutup-
yang
akan
hampir tdk terlihat”. Karakter ini memiliki
menunjukkan perbedaan(Hauser & De
asosiasi kuat dengan formasi superciliary
Stefano 1989. Seperti halnya penelitian
arch. Semakin kuat ekspresi superciliary
Eroğlu& Erdal(2008 dalam Suryanto &
arch maka keberadaan supranasal suture
satu
dengan
lainnya
perempuan
menunjukkan
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 282
akan lebih nyata(Hauser & De Stefano
process ke interfrontal suture(Hauser &
1989:46).
De Stefano 1989:53).
Perkembangan canal secara dini
Hasil penelitian lain memberikan
umumnya terletak laterally dengan posisi
kecenderungan kemunculan karakter pada
cukup
jumlah canal pada supraorbital osseous
jauh
dari
superior
margindan
cenderungsering
perempuan.
Manifestasi
orbital
terjadi
di
structureskanan
tengkorak
dini
ini
Papua, dan pada jumlah canal pada supraorbital
genetik pada ekspresinya. Kehadiran canal
tengkorak
atau notches mengusulkanperbedaan pola
kelamin. Jumlah canal pada supraorbital
pertumbuhan saraf dan pembuluh,serta
osseous structures kanan tengkorak Jawa
jaringan
menunjukkan
dan
tulang,
sementara
Papua
structures
dan
menunjukkan eksistensi latar belakang
ikat
osseous
Jawa
berdasarkan
kiri jenis
kecenderungan
pada
notches
karakter jumlah “1” dan tengkorak Papua
mengusulkanperbedaan morfologi saraf
memiliki frekuensi terbesar pada karakter
dan pembuluh (Hauser & De Stefano
jumlah
1989:53). Hasil penelitian menunjukkan
supraorbital
hal
perbedaan
angka
yang
kecenderungan
canal
sama
dan
“2”.Jumlah osseous
canal
pada
structures
kiri
yaitu
adanya
tengkorak laki-laki Papua menunjukkan
kemunculan
karakter
kecenderungan pada karakter jumlah“1”
“lateral” posisi canal pada supraorbital
dan
osseous structures kanan pada tengkorak
menunjukkan
perempuan Papua dengan frekuensi dan
karakter
pada tengkorak laki-laki Papua frekuensi
Sedangkan tengkorak Jawa berdasarkan
terbesar
karakter
jenis kelamin keduanya menunjukkan
“medial”. Sedangkan tengkorak laki-laki
kecenderungan frekuensi yang sama pada
maupun
karakter jumlah “1”. Penelitian lainnya
ditunjukkan
perempuan
menunjukkan
frekuensi
oleh
Jawa
keduanya
terbesar
pada
tengkorak
perempuan
Papua
kecenderungan
pada
jumlag“2”
menunjukkan
sampai
kecenderungan
„3/>3”.
frekuensi
karakter “medial”, baik posisi kanan
pada ukuran notch pada supraorbital
maupun kiri. Kemungkinan ini berkaitan
osseous structures kiri tengkorakPapua
dengan proses osifikasi tulang frontal
berdasarkan jenis kelamin. Tengkorak
bahwa pada 59 mm CRL memberikan
laki-laki Papua cenderung menunjukkan
sedikit penebalan medially dari posisi
karakter“sedang”
supraorbital notch di dasarmedial angular
perempuan
Papua
dan memiliki
tengkorak frekuensi
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 283
terbesar “eksesif”.
pada
karakter“sedang”
Namun
belum
dan
terdapat
cenderung
menunjukkan
karakter
jumlah“2” sampai “3/>3”.
informasi yang berkaitan dengan hasil
Frekuensi terbesar ethmoid foramen
penelitian pada karakter ini. Hauser & De
terdapat pada perempuan atau tidak ada
Stefano(1989:53)
bahwa
kecenderungan berdasarkan jenis kelamin
notches memberikan keterangan medis
(Hauser & De Stefano 1989:60). Menurut
yang dapat mengetahui titik-titik tekanan
Berry & Berry (1967) bahwa keberadaan
dan memberikan tanda pendekatan bedah
karakter ini menunjukkan kecenderungan
langsung dalam pengobatan trigeminal
pada salah satu jenis kelamin. Penelitian
neuralgia
cabang
ini menunjukkan hasil yang sama, yaitu
exhaeresis
sedangkan
mengatakan
frontal
dengan
tidak
terdapat
informasi medis pada canal.
menunjukkan
kecenderungan
jumlah
Manifestasi awal karakter frontal groove
adanya
adanya
latar
ethmoidal
pada
karakter
foramen
kanan
tengkorak Jawa berdasarkan jenis kelamin. Tengkorak
laki-laki
Jawa
cenderung
belakang genetika untuk ekspresinya tetapi
menunjukkan karakter jumlah “2” dan
belum ada penelitian yang telah dilakukan
tengkorak perempuan Jawa cenderung
dan keberadaannya dianggap tidak penting
memiliki frekuensi terbesar pada karakter
secara medis(Hauser & DeStefano:48-49).
jumlah “2” sampai “3/>3”. Sedangkan
Hasil
pada tengkorak Papua berdasarkan jenis
penelitian
menunjukkan
kecenderungan frekuensi pada derajat
kelamin
keduanya
menunjukkan
ekspresi frontal groove tengkorak Jawa
kecenderungan pada karakter jumlah “2”.
dan Papua. Derajat ekspresi frontal groove
Pada umumnya jumlah infraorbital
tengkorak Jawa cenderung menunjukkan
foramen hanya berjumlah satu namun
karakter “trace-terlihat” dan tengkorak
tidak kemungkinan juga terdapat lebih dari
Papua memiliki frekuensi terbesar pada
satu dan memiliki variasi dalam ukuran,
karakter “well expressed-terlihat dapat
bentuk maupun posisi(Hauser & De
diraba”.
menunjukkan
Stefano 1989). Penelitian ini menunjukkan
kecenderungan frekuensi pada jumlah
kecenderungan yang sama bahwa terdapat
frontal
variasi
Penelitian
groove
lain
tengkorak
Papua
pada
jumlah
infraorbital
berdasarkan jenis kelamin. Tengkorak
foramenkanan tengkorak Jawa dan Papua
laki-laki cenderung menunjukkan karakter
dan jumlah infraorbital foramenkanan dan
jumlah “2” dan tengkorak perempuan
kiri tengkorak Papua berdasarkan jenis AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 284
kelamin. Jumlah infraorbital foramen
ekspresi infraorbital foramen kiri pada
kanan
cenderung
karakter “kuat” dan tengkorak perempuan
berjumlah “1” dan tengkorak Papua
Jawa cenderung menunjukkan karakter
cenderung menunjukkan karakter jumlah
“lemah”.
tengkorak
“1” sampai “2”.
Jawa
Jumlah infraorbital
Variasi ukuran dan bentuk mengenai
foramen kanan dan kiritengkorak laki-laki
menonjolnya bony tubercle dapat terjadi
Papua
dan
pada tepi inferior zygomatic process tulang
tengkorak perempuan Papua cenderung
maxillary atau tulang zygomatic(Hauser &
memiliki karakter jumlah“2”. Sedangkan
De
jumlah infraorbital foramenkiri tengkorak
menunjukkan variasi pada karakter lokasi
Jawa dan Papua dan jumlah infraorbital
zygomaxillary tubercle kanan tengkorak
foramenkanan dan kiri tengkorak Jawa
Jawa
berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
tuberclekanan dan kiri tengkorak Jawa
karaker
berdasarkan
cenderung
jumlah
pengetahuan
yang
berjumlah“1”
“1”.
Pentingnya
dan
1989).
Papua
Hasil
dan
jenis
penelitian
zygomaxillary
kelamin.
Lokasi
mengenai
zygomaxillary tubercle kanan tengkorak
variasi jumlah infraorbital foramen dan
Jawa cenderung menunjukkan karakter
keberadaan satu atau lebih cabang dari
“maxillary”
saraf
cenderung
infraorbital
dimiliki
Stefano
berkaitan
dengan
dan
tengkorak
memiliki
perawatan surgical dengan pernafasan
“sutural”.Tengkorak
keluar
cenderung
pada
kasus
trigeminal
neuralgia(Hauser & De Stefano 1989).
karakter
laki-laki
menunjukkan
“maxillary”pada
Papua
lokasi
Jawa karakter
zygomaxillary
Hasil penelitian lain menunjukkan
tubercle kanan dan tengkorak perempuan
variasi pada derajat ekspresi infraorbital
Jawa cenderung menunjukkan karakter
foramen kiri tengkorak Jawa dan Papua
“sutural”
dan tengkorak Jawa berdasarkan jenis
zygomaxillary tubercle kiri tengkorak laki-
kelamin. Derajat ekspresi infraorbital
laki
foramen kiri tengkorak Jawa cenderung
karakter
menunjukkankarakter
“lemah”
sampai
“kuat” dan tengkorak Papua cenderung
dan
Jawa
perempuan
“maxillary”.
cenderung
“sutural” Jawa
Lokasi
menunjukkan
dan
cenderung
tengkorak memiliki
karakter “sutural” dan “maxillary”.
memiliki karakter “kuat”. Pada tengkorak
Hasil penelitian lain menunjukkan
Jawa berdasarkan jenis kelamin, tengkorak
adanya variasi pada karakter derajat
laki-laki cenderung menunjukkan derajat
ekspresi zygomaxillary tubercle kanan AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 285
tengkorak Jawa dan Papua dan derajat
Simpulan
ekspresi zygomaxillary tubercle kanan dan kiri tengkorak Jawa berdasarkan jenis kelamin
serta
derajat
ekspresi
zygomaxillary tubercle kanan tengkorak Papua berdasarkan jenis kelamin. Derajat ekspresi zygomaxillary tubercle kanan tengkorak Jawa cenderung menunjukkan karakter “medium” dan tengkorak Papua cenderung
menunjukkan
karakter
“medium” sampai “kuat”.Derajat ekspresi zygomaxillary tubercle kanan tengkorak laki-laki Jawa cenderung menunjukkan karakter
“medium”
perempuan
Jawa
dan
tengkorak
cenderung
memiliki
karakter “jejak” sampai “kuat”. Derajat ekspresi tengkorak
zygomaxillary laki-laki
menunjukkankarakter
tubercle
Jawa
kiri
cenderung
“jejak”
sampai
“medium” dan tengkorak perempuan Jawa cenderung memiliki karakter “medium”. Sedangkan derajat ekspresi zygomaxillary tubercle kanan laki-laki Papua cenderung menunjukkan “medium”
dan
karakter“jejak” tengkorak
sampai
perempuan
Papuacenderung menunjukkan karakter “kuat”. Namun belum ada studi lanjutan dari karakter ini dan secara sifat klinis, ukuran dan posisi zygomaxillary tubercle tidak memiliki sifat yang penting(Hauser & De Stefano 1989).
Pembahasan karakteristik epigenetika upper viscerocranium antara populasi Jawa dan Papua dan populasi Jawa dan Papua berdasarkan jenis kelamin sampai pada
kesimpulan
bahwa
ada
kecenderungan karakteristik pada beberapa karakter
yang
diuji.
Kecenderungan
karakteristik epigenetika tengkorak Jawa dan
Papua
terdapat
karakterpersistensi
pada
supranasal
suture,
jumlah canal pada supraorbital osseous structures kanan, derajat ekspresi frontal groove,
Jumlah
infraorbital
foramen
kanan, Derajat ekspresi zygomaxillary tubercle
kanan,
tubercle
Lokasi
kanan.
zygomaxillary
Tengkorak
Jawa
berdasarkan jenis kelamin menunjukkan kecenderungan pada karakter persistensi supranasal foramen
suture, kanan,
jumlah
ethmoidal
derajat
ekspresi
infraorbital foramen kiri, derajat ekspresi zygomaxillary
tubercle
kanan,
derajat
ekspresi zygomaxillary tubercle kiri, lokasi zygomaxillary tubercle kanan, dan lokasi zygomaxillary tubercle kiri. Sedangkan tengkorak kelamin pada
Papua
berdasarkan
menunjukkan
karakter
jenis
kecenderungan
persistensi
supranasal
suture, jumlah canal pada supraorbital osseous structureskanan, jumlah canal pada supraorbital osseous structures kiri, AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 286
posisi canal pada supraorbital osseous
kemungkinan bahwa karakteristik yang
structures kanan, jumlah frontal groove,
signifikan akan terdapat banyak di wilayah
derajat ekspresi infraorbital foramen kiri,
lain. Penelitian mengenai topik ini masih
jumlah infraorbital foramen kanan, jumlah
banyak dilakukan oleh para pendahulu dan
infraorbital foramen kiri, dan derajat
masih sangat jarang generasi „90an ke atas
ekspresi zygomaxillary tubercle kanan.
khususnya di Indonesia memiliki fokus
Setiap individu maupun populasi memiliki
karakteristik
yang
berbeda
pada topik ini. Penting untuk lebih didalami
dan
sehingga tidak semua pengukuran di suatu
epigenetika
masyarakat tertentu bisa digeneralisasi
memberikan
untuk
mengenai
lainnya.
semua masyarakat Karakteristik
di
wilayah
individu
dan
dicari
di
karakter-karakter
populasi banyak
perbedaan
lain
agar
pengetahuan dan
kedekatan
biologis antar populasi, khususnya di
populasi berdasarkan jenis kelamin pun
Indonesia,
menunjukkan ada perbedaan meskipun
kronologis persebaran manusia prasejarah
tidak
di wilayah Nusantara.
banyak.
Tidak
menutup
guna
melengkapi
bukti
Daftar Pustaka Bellwood, Peter (1985) Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. London: Academic Press.
Dahler, F (2011)Teori Evolusi: Asal dan Tujuan Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Berry, A. Caroline &Berry, R. J (1967) Epigenetic Variation in the Human Cranium. Journal Anatomy. 101(2): 361-379 [Diakses 04 Nopember 2016] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/a rticles/PMC1270890/pdf/janat00410 -0155.pdf.
Forestier, H. (1998). Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Brasili P., L. Zaccagni, and E. Gualdi Russo(1999)Scoring of Nonmetric Cranial Traits : A Population Study,J. Anat. 195(Pt 4): 551-562.
Glinka, J (1987)Sekitar Terjadinya Manusia (Antropogenese). Ende: Nusa Indah. Glinka, J (2008a) Beda Morfologi Antara Protomalayid dan Deutromalayid. Dalam: Myrtati Dyah Artaria (ed.). Manusia Makhluk Sosial Biologis. Surabaya. Airlangga University Press. AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 287
Glinka, J (2008b) Sejarah Penghunian Kawasan Indonesia. Dalam: Myrtati Dyah Artaria (ed.). Manusia Makhluk Sosial Biologis. Surabaya. Airlangga University Press. Glinka et al. (2008c)Metode Pengukuran Manusia. Surabaya: Airlangga University Press. Hastuti, J (2007)Ukuran dan Bentuk Dada Penduduk di Dataran Tinggi Samigaluh dan Dataran Rendah Galur Kulon Progo Yogyakarta. Jurnal Anatomi Indonesia02 (01) Agustus 2007: 47-56 [Diakses 28 Oktober 2016] https://jurnal.ugm.ac.id/jai/article/vie w/1145/953. Hauser, V.G., & G. F. De Stefano, R (1989) Epigenetic Variants of the Human Skull. Stuttgart: E. Schweizerbart'sche Verlagsbuchhandlung. Jacob, T(2006)Manusia Makhluk Gelisah, Melalui Lensa Bioantropologi. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Judarwanto, W (2016, Februari) Klinik Gizi‟s website. [Diakses 14 September 2016]. https://klinikgizi.com: https://klinikgizi.com/2016/02/13/epi genetik-gizi-diet-merubah-ekspresigenetik/.
Makhluk Sosial Biologis. Surabaya: Airlangga University Press. Schiwy-Bochat, K-H (2001)The roughness of the Supranasal Region - A Morphological Sex Traits.Forensic Science International,117(2001):713 [Diakses 12 Nopember 2016] http://ac.elscdn.com/S0379073800004345/1s2.0-S0379073800004345main.pdf?_tid=b79f2f00-c779-11e6bd6600000aab0f27&acdnat=1482323806 _8aaf7385bca78f9e4aa27516b7cdb0 b4. Sukadana, A (1987) Prasejarah. Surabaya: FISIP Unair. Suriyanto, R. A (2012) Maskulinisasi Dimorfisme Seksual dalam Karakteristik-Karakteristik Epigenetika Neurokranium Gilimanuk (Pulau Bali). Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik, 25(1): 15-33 Suriyanto, R. A., & Koesbardiati, T (2006) Karakteristik-karakteristik Epigenetis dan Metris Upper Viscerocranium Manusia Prasejarah Liang Bua, Lewoleba, Melolo dan Ntodo Leseh di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Anatomi Indonesia, 1(2): 60-70.
Koesbardiati, T (2008) Evolusi dan Persebaran: Sumber Variasi Manusia Modern. Dalam: Myrtati Dyah Artaria (ed.). Manusia AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 288