BAB II KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN 1. Pengertian Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges, (1999) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi
trauma
langsung
atau
deselerasi
terhadap
kepala
yang
menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006). Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya
penurunan
kesadaran
bahkan
dapat
menyebabkan kematiaan.
7
2. Macam-macam cedera kepala Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu: a. Cedera kepala terbuka Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak. b. Cedera kepala tertutup Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi. 3. Klasifikasi cedera kepala Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
8
a. Ringan
1.) GCS = 13 – 15 2.) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. 3.) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma. b. Sedang
1.)
GCS = 9 – 12
2.)
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
3.)
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1.)
GCS = 3 – 8
2.)
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3.)
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
9
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Gambar 1. anatomi dan fisiologi kepala http://darmawanimoets.files.wordpress.com 1. Tengkorak Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis,
10
oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.
Gambar 2. Lapisan cranium http://darmawanimoets.files.wordpress.com 2. Meningen Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu: a. Dura mater Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang
11
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluhpembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga
12
dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan. b. Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh
spatium
subarakhnoid
yang
terisi
oleh
liquor
serebrospinalis . Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. c. Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
13
3. Otak Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu: a. Cerebrum
Gambar 3. Lobus-lobus Otak http://darmawanimoets.files.wordpress.com Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu: 1)
Lobus frontalis Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis
14
bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam. 2)
Lobus parietalis Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan
yang
agak
luas
bisa
menyebabkan
hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam
15
mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. 3)
Lobus temporalis Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
4)
Lobus Oksipital Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis
16
akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan. b. Cereblum Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori. c. Brainstem Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medula dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin. 4. Syaraf-Syaraf Otak Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila
17
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu: a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I) Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak. b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II) Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak. c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III) Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris. d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV) Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata. e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V) Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu: 1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
18
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris. 3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi
otot-otot
pengunyah.
Serabut-serabut
sensorisnya
mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu. f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI) Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII) Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap. h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII) Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar. i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX) Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak. j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
19
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster
intestinum
minor,
kelenjar-kelenjar
pencernaan
dalam
abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa. k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI), Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII) Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung.
C. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain: 1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil. 2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan. 3. Cedera akibat kekerasan. 4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak. 5.
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6.
Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
20
D. PATOFISIOLOGI Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
21
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002). Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
E. MANIFESTASI KLINIK Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak. 1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
22
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera. b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas. c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan. 2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002) a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau hahkan koma. b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan. 3. Cedera kepala berat, Diane C (2002) a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan. b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik. c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur. d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
23
F. KOMPLIKASI Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala addalah; 1. Edema pulmonal Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
24
2. Peningkatan TIK Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian. 3. Kejang Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan. 4. Kebocoran cairan serebrospinalis Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
25
hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga. 5. Infeksi
G. PENETALAKSAANAN 1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. 2. Therapi
hiperventilasi
(trauma
kepala
berat)
untuk
mengurangi
vasodilatasi. 3. Pemberian analgetik. 4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40% atau gliserol. 5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole. 6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak. 7. Pembedahan. (Smelzer, 2001)
H. PENGKAJIAN FOKUS 1. Riwayat kesehatan
26
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik a. Sistem respirasi: Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). b. Kardiovaskuler: Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK c. Kemampuan komunikasi: Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis. d. Psikososial: Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga. e. Aktivitas/istirahat S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
27
f. Sirkulasi O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego S : Perubahan tingkah laku/kepribadian O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi h. Eliminasi O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi. i. Makanan/cairan S : Mual, muntah, perubahan selera makan O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia). j. Neurosensori S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan
penglihatan,
diplopia,
gangguan
pengecapan/pembauan. O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
28
k. Nyeri/Keyamanan S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda. O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat, gelisah
l. Keamanan S : Trauma/injuri kecelakaan O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh. m. Penyuluhan/Pembelajaran Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang (Doenges, 1999) 3. Pemeriksaan Penunjang a. Scan CT (tanpa/denga kontras) Mengidentifikasi
adanya
sol,
hemoragik,
menentukan
ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak. b. MRI Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras. c. Angiografi serebral Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma d. EEG
29
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. e. Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang. f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) Menentukan fungsi korteks dan batang otak. g. PET (Positron Emission Tomography) Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak. h. Fungsi lumbal, CSS Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid. i. GDA (Gas Darah Artery) Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. j. Kimia /elektrolit darah Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental. k. Pemeriksaan toksikologi Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. l. Kadar antikonvulsan darah
30
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif untuk mengatasi kejang. (Doenges, 1999)
31
I. Pathways Keperawatan
Benturan kepala
Trauma kepala Trauma pada jaringan lunak Rusaknya jaringan kepala
Trauma akibat deselerasi/ akselerasi
Robekan dan distorsi
Cedera jaringan otak
Jaringan sekitar tertekan
hematoma Luka terbuka Perubahan pada cairan lutra dan ekstra sel Peningkatan suplai darah ke daerah trauma Resiko tinggi terhadap infeksi
edema vasodilatasi
Gangguan nyaman nyeri
Tekatan intra kranial
Aliran darah ke otak Perubahan perfusi jaringan serebral
Merangsang hipotalamus Hipotalamus terviksasi (pd diensefalon)
Merangsang inferior hipofise Mengeluarkan steroid & adrenal
Produksi ADH & aldosteron Retensi Na+H2o Gangguanga keseimbangan cairan & elektrolit
Kerusakan hemisfer motorik Penurunan kekuatan dan tahanan otot
Hipoksia jaringan Kerusakan pertukaran gas
Penurunan kesadaran Gangguan persepsi sinsorik
Kekacauan pola bahasa
Pernafasan dangkal
Sekresi HCL digaster Gangguan mobilisasi fisik
Pola nafas tidak efektif
Gangguan komunikasi Tdk mampu verbal katamenyampaiakan kata
Soetomo (2002), Brain (2009)
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
31
J. FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL 1. Diagnosa Keperawatan: a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial (Doenges, 1999). b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler (Doenges, 1999). c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine dan elektrolit meningkat (Carpenito, 2000). d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan (Doenges, 1999). e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi (Doenges, 1999). f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan (Doenges, 1999). g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial (Doenges, 1999). h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan keseadaran (Carpenito, 1999). i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala. (Carpenito, 2000).
32
2. Intervensi dan Rasional: a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal Kiteria Hasil: 1) Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala 2) Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial 3) Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13 4) Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada mutah Intervensi dan Rasional Intervensi 1. Kaji tingkat kesadaran.
Rasional Mengetahui kestabilan klien.
2. Pantau status neurologis
Mengkaji adanya kecendeungan
secara teratur, catat adanya
pada tingkat kesadaran dan resiko
nyeri kepala, pusing.
TIK meningkat.
3. Tinggikan posisi kepala 1530 derajat
Untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
4. Pantau TTV, TD, suhu, nadi, Peningkatan tekanan darah sistemik input dan output, lalu catat
yang diikuti dengan penurunan
hasilnya.
tekanan darah diastolik serta napas yang tidak teratur merupakan tanda peningkatan TIK.
5. Kolaborasi pemberian
Mengurangi keadaan hipoksia
33
Oksigen. 6. Anjurkan orang terdekat
Ungkapan keluarga yang
untuk berbicara dengan
menyenangkan klien tampak
klien.
mempunyai efek relaksasi pada beberapa klien koma yang akan menurunkan TIK.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata, hiperventilasi. Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola nafas efektif dengan Kriteria hasil: 1) Klien tidak mengatakan sesak nafas 2) Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding dada. 3) Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat 4) bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien, 5) kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.
Intervensi dan Rasional Intervensi
Rasional
34
1. Kaji kecepatan, kedalaman,
Hipoventilasi biasanya terjadi atau
frekuensi, irama nafas,
menyebabkan akumulasi/atelektasi
adanya sianosis. Kaji suara
atau pneumonia (komplikasi yang
nafas tambahan (rongki,
sering terjadi).
mengi, krekels). 2. Atur posisi klien dengan
Meningkatkan ventilasi semua
posisi semi fowler 30o
bagian paru, mobilisasi serkret
Berikan posisi semi prone
mengurangi resiko komplikasi,
lateral/ miring, jika tak ada
posisi tengkulup mengurangi
kejang selama 4 jam pertama kapasitas vital paru, dicurigai dapat rubah posisi miring atau
menimbulkan peningkatan resiko
terlentang tiap 2 jam.
terjadinya gagal nafas.
3. Anjurkan pasien untuk
Membantu mengencerkan sekret,
minum hangat (minimal
meningkatkan mobilisasi sekret/
2000 ml/hari).
sebagai ekspektoran.
4. Kolaborasi terapi oksigen sesui indikasi.
Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas. Mencegah hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan. Biasanya dengan menggunakan ventilator mekanis.
5. Lakukan section dengan
Penghisapan yang rutin, beresiko
hati-hati (takanan, irama,
terjadi hipoksia, bradikardi (karena
lama) selama 10-15 detik,
respons vagal), trauma jaringan oleh
35
catat, sifat, warna dan bau
karenanya kebutuhan penghisapan
sekret
didasarkan pada adanya ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret.
6. Kolaborasi dengan
Menyatakan keadaan ventilasi atau
pemeriksaan AGD, tekanan
oksigen, mengidentifikasi masalah
oksimetri.
pernafasan, contoh: hiperventilasi (PaO2 rendah/ PaCO2 mengingkat) atau adanya komplikasi paru. Menentukan kecukupan oksigen, keseimbangan asam-basa dan kebutuhan akan terapi.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine dan elektrolit meningkat. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan Kriteria Hasil: 1) Menunjukan membran mukosa lembab 2) Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema. Intervensi dan Rasional Intervensi 1. Kaji tanda klinis dehidrasi
Rasional Deteksi dini dan intervensi dapat
36
atau kelebihan cairan.
mencegah kekurangan/kelebihan fluktuasi keseimbangan cairan.
2. Catat masukan dan haluaran,
Kehilangan urinarius dapat
hitung keseimbangan cairan,
menunjukan terjadinya dehidrasi
ukur berat jenis urine.
dan berat jenis urine adalah indikator hidrasi dan fungsi renal.
3. Berikan air tambahan sesuai indikasi
Dengan formula kalori lebih tinggi, tambahan air diperlukan untuk mencegah dehidrasi.
4. Kolaborasi pemeriksaan lab.
Hipokalimia/fofatemia dapat terjadi
kalium/fosfor serum, Ht dan
karena perpindahan intraselluler
albumin serum.
selama pemberian makan awal dan menurunkan fungsi jantung bila tidak diatasi.
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam dengan
Kiteria Hasil: 1) Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam rentang normal. 2) Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
37
Intervensi dan Rasional Intervensi 1. Kaji kemampuan pasien
Rasional Faktor ini menentukan terhadap
untuk mengunyah dan
jenis makanan sehingga pasien
menelan, batuk dan
harus terlindung dari aspirasi.
mengatasi sekresi. 2. Auskultasi bising usus, catat
Bising usus membantu dalam
adanya penurunan/hilangnya
menentukan respon untuk makan
atau suara hiperaktif.
atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.
3. Jaga keamanan saat memberikan makan pada
Menurunkan regurgitasi dan terjadinya aspirasi.
pasien, seperti meninggikan kepala selama makan atatu selama pemberian makan lewat NGT. 4. Berikan makan dalam porsi
Meningkatkan proses pencernaan
kecil dan sering dengan
dan toleransi pasien terhadap nutrisi
teratur.
yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan
5. Kolaborasi dengan ahli gizi.
Metode yang efektif untuk memberikan kebutuhan kalori..
38
e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi. Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam rasa nyeri dapat berkurang/ hilang dengan Kriteria Hasil: 1) Sekala nyeri berkurang 3-1 2) Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah klien rileks Intervensi dan Rasional Intervensi 1. Teliti keluhan nyeri, catat
Rasional Mengidentifikasi karakteristik nyeri
intensitasnya, lokasinya dan
merupakan faktor yang penting
lamanya.
untuk menentukan terapi yang cocok serta mengevaluasi keefektifan dari terapi.
2. Catat kemungkinan
Pemahaman terhadap penyakit yang
patofisiologi yang khas,
mendasarinya membantu dalam
misalnya adanya infeksi,
memilih intervensi yang sesuai.
trauma servikal. 3. Berikan tindakan
Menfokuskan kembali perhatian,
kenyamanan, misal pedoman meningkatkan rasa kontrol dan imajinasi, visualisasi, latihan
dapat meningkatkan koping.
nafas dalam, berikan
Tindakan alternatif mengontrol
aktivitas hiburan, kompres
nyeri
4. Kolaborasi dengan
Dibutuhkan untuk menghilangkan
39
pemberian obat anti nyeri,
spasme/nyeri otot atau untuk
sesuai indikasi misal,
menghilangkan ansietas dan
dentren (dantrium)
meningkatkan istirahat.
analgesik; antiansietas misal diazepam (valium). f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan. Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan Kriteri Hasil : 1) Tidak adanya kontraktur, footdrop. 2) Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit. 3) Mampu
mendemonstrasikan
aktivitas
yang
memungkinkan
dilakukannya
Intervensi dan Rasional Intervensi 1. Periksa kembali kemampuan
Rasional Mengidentifikasi kerusakan secara
dan keadaan secara
fungsional dan mempengaruhi
fungsional pada kerusakan
pilihan intervensi yang akan
yang terjadi.
dilakukan.
2. Berikan bantu untuk latihan
Mempertahankan mobilitas dan
40
rentang gerak
fungsi sendi/ posisi normal ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena statis.
3. Bantu pasien dalam program
Proses penyembuhan yang lambat
latihan dan penggunaan alat
seringakli menyertai trauma kepala
mobilisasi. Tingkatkan
dan pemulihan fisik merupakan
aktivitas dan partisipasi
bagian yang sangat penting.
dalam merawat diri sendiri
Keterlibatan pasien dalam program
sesuai kemampuan
latihan sangat penting untuk meningkatkan kerja sama atau keberhasilan program.
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial. Tujuan : Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x 24 jam Kriteria Hasil : 1) Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar. 2) Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya. Intervensi dan Rasional 1.
Intervensi Kaji kesadaran
Rasional Semua sistem sensori dapat
sensori dengan sentuhan,
terpengaruh dengan adanya
panas/ dingin, benda
perubahan yang melibatkan
41
tajam/tumpul dan kesadaran
peningkatan atau penurunan
terhadap gerakan.
sensitivitas atau kehilangan sensasi untuk menerima dan berespon sesuai dengan stimuli.
2. Evaluasi secara teratur
Fungsi cerebral bagian atas
perubahan orientasi,
biasanya terpengaruh lebih dahulu
kemampuan berbicara, alam
oleh adanya gangguan sirkulasi,
perasaan, sensori dan proses
oksigenasi. Perubahan persepsi
pikir.
sensori motorik dan kognitif mungkin akan berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara bertahap
3. Bicara dengan suara yang
Pasien mungkin mengalami
lembut dan pelan. Gunakan
keterbatasan perhatian atau
kalimat pendek dan
pemahaman selama fase akut dan
sederhana. Pertahankan
penyembuhan. Dengan tindakan ini
kontak mata.
akan membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
4. Berikan lingkungan
Pasien mungkin mengalami
terstruktur rapi, nyaman dan
keterbatasan perhatian atau
buat jadwal untuk klien jika
pemahaman selama fase akut dan
mungkin dan tinjau kembali.
penyembuhan. Dengan tindakan ini akan membantu pasien untuk
42
memunculkan komunikasi. 5. Kolaborasi pada ahli
Pendekatan antar disiplin ilmu dapat
fisioterapi, terapi okupasi,
menciptakan rencana
terapi wicara dan terapi
panatalaksanaan terintegrasi yang
kognitif.
berfokus pada masalah klien
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan keseadaran. Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi. Kriteria
hasil:
Mengidentifikasi komunikasi
dan
pemahaman klien
tentang
dapat
masalah
menunjukan
komunikasi dengan baik
Intervensi dan Rasional Intervensi 1. Kaji derajat disfungsi
Rasional Membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam proses komunikasi.
2. Mintalah klien untuk mengikuti perintah 3. Anjurkan keluarga untuk
Melakukan penelitian terhadap adanya kerusakan sensori Untuk merangsang komunikasi
43
berkomunikasi dengan klien
pasien, mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif..
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala. Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam Kiteria Hasil: a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5OC)
Intervensi dan Rasional Intervensi 1. Berikan perawatan aseptik
Rasional Cara pertama untuk menghindari
dan antiseptik, pertahankan
nosokomial infeksi, menurunkan
teknik cuci tangan
jumlah kuman patogen .
2. Observasi daerah kulit yang
Deteksi dini perkembangan infeksi
mengalami kerusakan, kaji
memungkinkan untuk melakukan
keadaan luka, catat adanya
tindakan dengan segera dan
kemerahan, bengkak, pus
pencegahan terhadap komplikasi
daerah yang terpasang alat
selanjutnya, monitoring adanya
44
invasi dan TTV 3. Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi dan
infeksi. Meningkatkan imun tubuh terhadap infeksi
hidrasi yang adekuat. 4. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi 5. Pantau hasil pemeriksaan
Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman infeksi. Leukosit meningkat pada keadaan
lab, catat adanya leukositosis infeksi 6. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi.
Menekan pertumbuhan kuman pathogen.
45