BAB II KONSEP DASAR
A. Pengertian 1. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikkan suhu tubuh ( suhu rectal lebih dari 380 C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium ( Mansjoer, 1999 ). 2. Kejang demam atau convulsion adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikkan suhu tubuh ( suhu rectal lebih diatas 380 C ) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium ( Ngastiyah, 1997: 229 ). 3. Kejang demam adalah suatu kondisi saat tubuh anak sudah dapat menahan serangan demam pada suhu tertentu ( Hardiono, 2004: 11 ). 4. Kejang ( konfulsi ) merupakan akibat dari pembebasan lostrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba terjadi gangguan kesadaran ringan aktifitas motorik dan atau atas gangguan fenomena sensori ( Doegoes, 2000: 476 ). Menurut pengertian di atas maka dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikkan suhu lebih dari 380C yang disebabkan oleh proses ekstrakranium atau akibat dari pembesaran listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral.
6
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI Penerapan dan proses keperawatan pada pasien dengan masalah neurologi memerlukan pengetahuan tentang struktur dan fungsi sistem persarafan. Sistem saraf bekerja sebagai konduktor sistem listrik, saraf mengatur dan mengendalikan seluruh aktifitas tubuh. Aktifitas dapat dikelompokkan dalam 4 fungsi berikut: menerima informasi ( stimulus ) dari lingkungan internal dan eksternal melalui jalur sensori ( af-ferent ), menghubungkan informasi yang diterima pada berbagai tingkat refleks ( medulla spinalis ) dan mengingatkan ( otak yang lebih tinggi ) untuk menentukan respon yang sesuai dengan situasi, menghubungkan informasi antara sistem saraf perifer dan pusat, menyalurkan informasi dengan cepat melalui berbagai jalur motorik ( efferent ) ke organ tubuh. Dalam pembahasan kejang demam ini akan diuraikan sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. 1. Saraf Pusat a. Otak Otak dibagi menjadi tiga bagian: Serebrum, Batang otak dan serebelum. Semua berada dalam satu bagian struktur tulang yang di sebut tengkorak, yang juga melindungi otak dari cedera. Empat tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak: tulang frontal, parietal, temporal dan oksipital. Pada dasar tengkorak terdiri dari tiga bagian fossa-fossa anterior berisi lobus frontal serebral bagian hemisfer: bagian tengah fosa berisi lobus parietal, temporal dan okspital dan bagian fossa posterior berisi batang dan medula.
7
1) Serebrum. Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus Subtansia grisen terdapat pada bagian luar dinding serebrum dan Subtansia alba
menutupi
dinding
serebrum
bagian
dalam.
Pada
prinsipnyakomposisi subtansia gisea yang terbentuk dari badanbadan sel saraf memenuhi korteks serebri, nukleus dan basl ganglia. Subtansia alba terdiri dari sel-sel saraf yang menghubungkan bagian-bagian otak dengan yang lain. a) Frontal Lobus terbesar, terletak pada fossa anterior. Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan menahan diri. b) Parietal lobus sensori. Area ini menginterpretasikan sensasi. Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhya. Kerusakan pada daerah ini menyebabkan sindrom hemineglect. c) Temporal brefungsi menginterpretasikan sensasi kecap, bau dan pendengaran. Ingatan jangka pendek sangat berhubungan dengan daerah ini. d) Okspital terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian ini bertanggung jawab menginterpretasikan penglihatan.
8
Gambar 2.1 Gambar otak terlihat dari luar yang memperlihatkan bagian penting dan lobus (Brunner, 2002)
2) Batang Otak Batang otak terletak pada fossa anterior. Bagian-bagian batang otak ini terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Otak tengah (midbrain atau mesensefalon) menghubungkan pons dan serebelum dengan hemisfer serebrum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik dan sebagai pusat refleks pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan medula dan merupakan jembatan antara dua bagian serebelum dan juga antara medula dan serebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik.
9
Medula oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari otak ke medulla spinalis dan serabut-serabut sensorik dari medulla spinalis ke otak. Dan serabut-serabut tersebut menyilang pada daerah ini. Pons juga berisi pusat-pusat terpenting dalam mengontrol jantung, pernafasan dan tekanan darah dan sebagai asal-usul saraf otak kelima sampai kedelapan. 3) Serebelum Serebelum terletak pada fossa posterior dan terpisah dari hemisfer serebral, lipatan durameter, tentorium serebelum. Serebelum mempunyai dua aksi yaitu merangsang dan menghambat dan tanggung jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakkan halus. Ditambah mengontrol gerakkan yang benar, keseimbangan, posisi dan mengitegrasikan input sensorik.
Gambar 2.2 Diagram yang memperlihatkan talamus, hipotalamus dan hipofisis (Brunner, 2002)
10
Fosa bagian tengah atau diensefalon berisi talmus, hipotalamus dan kelenjar hipofisis. 1) Talmus berada pada salah satu sisi pada sepertiga ventrikel dan aktifitas primernya sebagai pusat penyambung sensasi bau yang diterima. Semua impuls memori, sensasi dan nyeri melalui bagian ini. 2) Hipotalamus terletak pada anterior dan inferiro talamus. Berfungsi mengontrol dan mengatur sistem saraf autonom. Hipotalamus juga bekerjasama dengan hipofisis untuk mempertahankan keseimbangan cairan, mempertahankan pengaturan suhu tubuh melalui peningkatan vasokonstriksi atau vasolidasi dan mempengaruhi sekresi hormonal dengan kelenjar hipofisis. Hipotalamus juga sabagai pusat lapar dan mengontrol berat badan. Sebagai pengatur tidur, tekanan darah, perilaku agresif dan seksual dan pusat respons emosional ( misal ras malu, marah, depresi, panik dan takut ). 3) Kelenjar hipofisis dianggap sebagai master kelenjar karena sejumlah hormon-hormon dan fungsinya diatur oleh kelenjar ini. Dengan hormon-hormonnya hipofisis dapat mengontrol fungsi ginjal, pankreas, organ-organ lain. Hipofisis merupakan bagian otak yang tiga kali lebih sering timbul tumor pada orang dewasa, biasanya terdeteksi dengan tanda dan gejala fisik yang dapat menyebar ke hipofisis. a. Medulla spinalis Medulla spinalis merupakan sambungan medulla oblongata yang turun ke bawah. Di mulai dari foramen magnum dan berakhir
11
pada L 2. Medulla spinalis menjadi lancip pada daerah thoracic bagian bawah dan membentuk struktur seperti kerucut yang disebut cones medularis. Medula spinalis termasuk pusat benda kelabu ( badan-badan sel ) dan yang terbentuk huruf H dikelilingi oleh benda putih yang merupakan jalur ascending dan descending. Benda kelabu berbentuk kupu-kupu. Bagian depan atau ventral horn ( tanduk ventral ) mengarah ke lambung terdiri dari struktur neuron multipolar seperti badan sel dendrit yang membentuk neuron efferent dari akar ventral dan saraf spinal. Tanduk dorsal berisi badan sel dan sel dendrit dari neuron eferant dan reseptor sensori dari periofer. Benda kelabu berisi
intermucial neuron yang
mengirim impuls dari satu tingkat ketingkat yanglain, dari dorsal ke tanduk ventral dan dari setengah medula spinalis ke yang lain. Jalur ascenden menyalurkan informasi sensori dari reseptor pada perifer ke medula spinalis dan otak. Jalur yang menurun menyalurkan impuls dari otak kepada motor neuron dalam medulla spinalis ( neuron motor atas / upper motor neuron ) atau kepada sistem saraf perifer ( neuron motor bawah / lower motor neuron ). Medulla spinalis juga merupakan jalur refleks. Refleks tidak memerlukan penyakuran ( relay ) ke tingkat otak untuk kegiatan dan itu merupakan contoh sirkuit yang sederhana. Kegiatan refleks, respon motoris yang spesifik stereotive terhadap stimulus sensori yang adekuat. Respon bisa berbentuk gerakkan otak skeletal.
12
Refleks hanya melibatkan satu tingkat dari medula spinalis ( refleks segmental ). Salah satu contoh arus refleks yang sederhana ketukan pada sendi lutut. Cairan cerebro spinalis ( Cerebro Spinalis Fluid / CSF ) didapati dalam ventrikel otak, di dalam kanalis sentralis medula spinalis, dan di dalam ruangan-ruangan subarachnoid. Liquor bekerja sebagai bantalan pada sistem saraf dan menunjang bobot otak. CSf dibuat pada ventrikel-ventrikel di pleksus khoroideus. Di dalam 24 jam plexux choridu mensekresi 500 sampai 570 ml CSf. Namun hanya 125 ml sampai 150 ml saja yang bersirkulasi pada setiap saat. Setelah bersirkulasi diseputar otak dan medula spinalis, cairan kembali ke otak dan diabsorbsi villi. Kemudian CSF terus masuk ke dalam sistem venous dan mengalir ke vena jugularis ke vena cafasuperior masuk ke dalam sirkulasi dalam sistemik. Dalam keadan normal terdapat sampai 8 limfosit / ml dari cairan CSF. Peningkatan jumlah sel-sel menunjukkan adanya infeksi, seperti tuberculosis atau infeksi virus. Infeksi oleh bakteri seperti meningitis tuberculosa menyebabkan berkurangnya kadar gula dan kadar khlorida, protein cairan CSF meningkat pada penyakit degeneratif dan pada tumor otak. Terdapatnya darah dalam CSF menunjukkan terjadinya hemoragi pada salah satu ventrikel. Lihat karakteristik normal dari CSF berikut dibawah ini, yaitu: BD: 1.007, pH: 7.35 sampai 7.45, chloride: 120 sampai 130 mEq/L,
13
glucose: 50 sampai 80/100ml, tekanan: 50 sampai 200 mm air, volume total: 80 sampai 200 ml (15 ml dalam ventrikel), total protein: 15 samopai 45 mg/100 ml ( lumbal ), 10 sampai 15 mg/100 ml (cisterna), 5 samapi 15 mg/100 ml ( ventrikel ), gamma globulin: 6% sampai 13 % dari total protein. Jumlah sel darah: eritrosit: negatif, lekosit: 0 – 5, 0 -10 sel-sel ( semua limfosit dan monosit ).
4) Sistem saraf perifer Sistem saraf perifer merupakan seperangkat saluran biasa yang terletak di luar sistem saraf pusat. Saraf perifer merupakan saraf tunggal, yaitu saraf motorik, sensorik atau “campuran” ( serabut sensorik dan motorik ). Saraf perifer terdiri dari 12 pasang saraf kranial, yang membawa impuls dari neuron ke otak, 31 pasang saraf spinal, yang membawa impuls ke dan dari medulla spinalis. Tiap saraf spinal memberi penginderaan, bagian-bagian tersebut dermatomes. Beberapa saraf spinal bersatu dan membuat pleksus-pleksus/jalinan saraf. Saraf perifer yang menyalurkan informasi ke saraf pusat ialah aferen dan sensori, saraf perifer yang mengirim informasi dari pusat saraf disebut eferen atau motorik. Pada sistem saraf perifer motorik dan sensorik berjalan bersam tapi terpisah ada tingkat medula spinalis masuk ke bagian anterior atau akar motorik. Sistem saraf perifer dibagi menjadi sistem saraf somatis dan autonom. Sistem saraf somatis membuat persarafan pada otot skeletal berserat lintang. Serabut dari
14
akson menyalurkan neuro transmitor acetycholin ke sel-sel otot skelet, yang akan menghasilkan potensial aksi dan gerakan. Saraf Kepala ( Saraf Otak ) susunan saraf terdapat pada bagian kepala yang ke luar dari otak dan melewati lubang yang terdapat pada tulang tengkorak berhubungan erat dengan otot panca indera mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Di dalam kepala ada 2 saraf kranial, beberapa diantaranya adalah serabut campuran gabungan saraf motorik dan saraf sensorik tetapi ada yang terdiri dari saraf motorik dan saraf sensorik saja, misalnya alat-alat panca indera. Saraf kepala terdiri dari: a. Nervus Olfaktorius: Sifatnya sensorik menyuplai hidung membawa rangsangan aroma ( bau-bauan ) dari rongga hidung ke otak. Fungsinya saraf pembau yang keluar dari otak di bawah dahi yang disebut lobus olfaktorius, kemudian saraf ini melalui lubang yang ada di dalam tulang tapis akan menuju rongga hidung selanjutnya menuju sel-sel panca indera. b. Nervus Optikus: Sifatnya sensoris, mensarafi bola mata membawa rangsangan penglihatan ke otak. c. Nervus Mandibularis: Sifatnya majemuk ( sensori dan motoris ), serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot pengunyah, serabutserabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu. Serabut rongga mulut dan lidah dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak. Fungsinya sebagai saraf kembar 3 di mana saraf ini merupakan saraf otak terbesar yang mempunyai 2 buah akar saraf
15
besar yang mengandung serabut saraf penggerak. Dan di ujung tulang belakang
yang terkecil
mengandung
serabut
saraf
penggerak. Di ujung tulang karang bagian perasa membentuk sebuah ganglion yang dinamakan simpul saraf serta meninggalkan rongga tengkorak. d. Nervus Abdusen: Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata di mana saraf ini keluar di sebelah bawah jembatan pontis menembus selaput otak sela tursika. Sesudah sampai di lekuk mata lalu menuju ke otot lurus sisi mata. e. Nervus Fasialis: Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris), serabutserabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir rongga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala. Fungsinya: sebagai mimik wajah dan meghantarkan rasa pengecap, yang mana saraf ini keluar sebelah belakang dan beriringan dengan saraf pendengar. f. Nervus Auditorius: Sifatnya sensoris, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf perasa, di mana saraf ini keluar dari sumsum penyambung dan terdapat di bawah saraf lidah tekak. g. Saraf Assesorius: Sifatnya motoris, ia mensarafi muskulus sternokloide mastoid dan muskulus trapezius. Fungsinya, sebagai
16
saraf tambahan, terbagi atas 2 bagaian, bagian yang berasal dari otak dan bagian yang berasal dari sumsum tulang belakang. h. Nervus Hipoglosus: Sifatnya motoris, ia mensarafi otot-otot lidah. Fungsinya: sebagai saraf lidah di mana ini terdapat di dalam sumsum penyambung. Akhirnya bersatu dan melewati lubang yang terdapat di sisi foramen oksipital. Saraf ini juga memberikan ranting-ranting pada otot yang melekat pada tulang lidah dan otot lidah. i. Nervus Vagus: Sifatnya sensorik dan motorik mensarafi faring, tosil dan lidah, rangsangan cita rasa. j. Nervus Vagus: Sifatnya sensorik dan motorik mensarafi faring, laring, paru-paru dan esofagus. k. Nervus Okulomotoris: Sifatnya motorik mensarafi penggerak bola mata dan mengangkat kelopak mata. l. Nervus Troklearis: Sifatnya motorik mensarafi mata, memutar mata dan penggerak mata.
C. Etiologi. Sebesar 10% – 20% tidak dapat ditemukan etiologinya dan sebaliknya tidak jarang ditemukan lebih dari satu penyebab kejang pada neonotus. 1. Gangguan vaskuler. Perdarahan berupa petekia akibat anaksia dan asfiksia yang dapat terjadi intraserbal atau antraventrikel, sedangkan Perdarahan akibat trauma langsung yaitu berupa perdarahan di subaraknoidal atau subdural, terjadi
17
Trombosis, adanya penyakit perdarahan seperti defisiensi vitamin K, Sindrom hiperviskositas disebabkan oleh meningginya jumlah eritrosit dan dapat diketahui dari peninggian kadar hematokrit. Gejala klinisnya antara lain pletora, sianosis, letargi dan kejang. 2. Gangguan metabolisme Gangguan
metabolisme
hipoglikemia,
defisiensi
meliputi dan
Hipokalsemia,
ketergantungan
hipomagnesia,
akan
piridoksin,
aminoasiduria, hiponatremia, hipernatremia, hiperbilirubinemia. 3. Infeksi Kejang demam disebabkan oleh infeksi meliputi : Meningitis sapsis, ensefalitis,
toksoplasma
kongenital,
penyakit-penyakit
cytomegalic
inclusion, 4. Kelainan kongenital Kelainan kongenital meliputi : Porensetali, hidransefali, agnesis ( sebagian dari otak ) 5. Lain-lain Disebabkan oleh Narcotic withdrawal, neoplasma. (dr. Rusepto, 2005:1141)
D. Patofisiologi. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang dapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah
18
oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionic. Dalam keadan normal membran sel dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium ( K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+ ) dan eletrolit lainnya, kecuali ion klorida (CL-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrsi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membrane ini dapat diubah oleh: perubahan konsentrasi ion diruang ekstravaskuler, rangsangan tang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya, perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Dalam keadaan demam kenaikkan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikkan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikkan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun
19
ion natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikkan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 380C sebab anak dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru terjadi bila suhu mencapai 400C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
anak
dengan
ambang
kejang
yang
rendah
sehingga
dalam
penanggulangannya perlu memperhatikan pada tingkat suhu berapa pasien menderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjai hipoksemia, hiperkapnia, asidosis lakta disebabkan oleh metabolisme anaerobic, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya keruskan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting dalam gangguan peredaran darah yang mngakibatkan hipoksia sehingga
20
meninggikan
permeabilitas
kapiler
dan
timbul
edema
otak
yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakkan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi ( Ngastiyah, 1997 ).
E. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikkan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat misalnya tosilitis, otitis ade akut, bronkitis, furunkolosis dan lain-lain ( Ngastiyah, 1997: 231 ). Kejang demam dikelompokkan menjadi dua: kejang demam sederhana ( simple febrile seizure ), kejang demam komplek ( complec febrile seizure ). 1. Kejang demam sederhana. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun, kejang demam yang berlangsung singkat, kejang berlangsung kurang dari 15 menit, sifat bangkitan dapat berbentuk tonik, klnik, tonik dan klonik, umumnya akan berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam.
21
2. Kejang demam kompleks. Kejang demam dengan ciri: kejang lama lebih dari 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahulai kejang parsial, berulang atau lebih dari 1 kali dari 24 jam. Kejang berulang adalah kejang 2 kali / lebih daalm 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar.
F. Penatalaksanaan. 1. Keperawatan Masalah yang perlu diperhatikan pada pasien kejang demam ialah resiko terjadi kerusakkan sel otak akibat kejang, suhu yang meningkat di atas suhu normal, resiko terjadi bahaya / komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit. a. Risiko terjadi kerusakan sel otak akibat kejang Setiap kejang menyebabkan kontriksi pembuluh darah sehingga aliran darah tidak lancar dan mengakibatkan peredaran O2 terganggu. Kekurrangan O2 ( anoksia ) pada otak akan mengakibatkan kerusakan sel otak dan dapat terjadi kelumpuhan sampai retardasi mental bila kerusakannya berat. Jika kejang hanya sebentar tidak banyak menimbulkan kerusakan, tetapi jika kejang berlangsung lebih dari 15 menit biasanya berakhir dengan apnea yang akan menimbulkan kerusakan otak yang makin berat (pada keadaan demam, kenaikkan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikkan metabolisme basal 10-15%., kebutuhan O2 akan meningkat 20%. Pada kejang demam yang
22
berlangsung lama kebutuhan O2 lebih banyak karena selain diperlukan untuk metabolisme basal diperlukan juga untuk kontraksi otot-otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan metabolisme anaerobik, disertai hipotensi arterial dan kelainan denyut jantung yang menyebabkan metabolisme otak meningkat
dan mengakibtakan kerusakan nueron otak selama
berlangsungnya kejang. Oleh karena itu, kejang harus segera dihentikan dan apnea dihindarkan. b. Suhu yang meningkat di atas normal Masing-masing pasien mempunyai ambang kejang yang berbeda, tidak selalu dalam keadaan hipirpireksia tetapi yang jelas bahwa pada kejang demam selalu didahului kenaikkan suhu sebelum bangkitan kejang terjadi. Pada anak dengan ambang kejang rendah, bila suhu naik menjadi 380C atau lebih sedikit saja sudah timbul kejang. Oleh karena itu, jika sudah diketahui suhu anak di atas normal anak akan menderita kejang maka setelah diketahui suhu mulai naik di atas normal anak akan menderita piretrik ( pemberian antipiretik dan petunjuk bahwa anak menderita kejang demam didapat setelah berobat ke dokter dan biasanya kejang sudah lebih dari 1 kali ). c. Risiko terjadi bahaya / komplikasi Seperti pasien lain yang kejang, akibatnya dapat terjadi perlukaan misalnya lidah tergigit atau akibat gesekkan dengan gigi; akibat terkena benda tajam atau keras yang ada disekitar anak, serta dapat juga
23
terjatuh. Oleh karena itu, setiap anak mendapat serangan kejang harus ada yang mendampinginya. Selain bahaya akibat kejang, risiko komplikasi dapat terjadi akibat pemberian obat antikonvulsan ( dapat terjadi di rumah sakit ), misalnya karena kejang tidak segera berheti padahal telah mendapat fenobarbital kemudian diberikan diazepam maka dapat berakibat apnea. Begitu pula jika memberikan diazepam secara intravena terlalu cepat juga dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan. Oleh karena itu, bila memberikan diazepam IV harus pelan sekali 1 ml selam 1 menit. Jika keadaan memungkinkan dapat digunakan mikrodip untuk pemberian diazepam pada bayi. d. Gangguan rasa aman dan nyaman. Gangguan ini juga dapat terjadi seperti pasien lain sebagai akibat penyakitnya sendiri dan tindakan-tindakan pertolongan selama kejang atau tindakan pengobatan jika di rumah sakit misalnya pungsi lumbal, pemasangan infus, pengisapan lendir,dan sebagainya. Walupun pasien ketika kejang tidak sadar perlakuan lemah-lembut dan kasih sayang perlu dilaksanakan ( misalnya pada waktu mengisap lendir harus dengan hati-hati sehingga tidak melukai selaput lendir tenggorokan ). e. Kurangnya pengetahuan orangtua mengenai penyakit Pasien kejang tidak di rawat di rumah sakit; kecuali apabila ia menderita komplikasi atau dalam keadaan status konvulsivus. Jika pasien telah didiagnosis kejang demam, orangtuanya perlu dijelaskan mengapa anak
24
dapat kejang terutama yang berhubungan dengan kenaikkan suhu tubuh, kenaikkan suhu tubuh tersebut disebabkan oleh infeksi. Orangtua perlu diajari bagaimana cara menolong pada saat anak kejang ( tidak boleh panik ) dan yang penting adalah mencegah jangan sampai timbul kejang. Yang perlu dijelaskan adalah : harus selalu tersedia obat penurun panas yang
didapatkan
atas
resep
dokter
yang
telah
mengandung
antikonvulsan, agar anak segera diberikan obat antipiretik bila orangtua mengetahui anak mulai demam ( jangan menunggu suhu meningkat lagi) dan pemberian obat diteruskan sampai suhu sudah turun selama 24 jam berikutnya, jika terjadi kejang, anak harus dibaringkan di tempat yang rata, kepalanya dimiringkan, apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama walapun telah diberikan obat, segera bawa pasien tersebut ke rumah sakit karena hanya rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan pada pasien yang menderita status kovulsivus, apabila orangtua telah diberi obat persediaan diazepam rektal berikan petunjuk cara meberikannya, yaitu ujung rektiol yang akan dimasukkan ke dalam anus dioles pakai minyak sayur atau vaselin kemudian dimasukkan ke dalam anus sambil dipencet sampai habis ( tetapi dengan pelan-pelan memencetnya ) setelah kosong dan masih dipencet rektiol dicabut kemudian anus dirapatkan ( jika tidak sambil masih dipencet retktiol dicabut sebagian isinya akan ikut terisap kembali ), beritahukan orangtua jika anak akan mendapatkan immunisasi agar memberitahukan
25
kepada dokter/petugas imunisasi bahwa anaknya penderita kejang demam ( agar tidak diberikan pertusis ). 2. Non Keperawatan. Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu: memberantas kejang secepat mungkin, pengobatan penunjang, memberikan pengobatan rumat, dan mencari dan mengobati penyebab. a. Memberantas kejang secepat mungkin. Bila pasien datang dalam keadaan status konvulsivus, obat pilihan utama adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Keampuhan diazepam yang diberikan secara intravena ini tidak perlu dipersoalkan lagi karena keberhasilan untuk menekan kejang sekitar 80 – 90%. Efek terapeutiknya sangat cepat, yaitu kira-kira 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg per suntikan. Dosis sesuai dengan berat badan; kurang dari 10 kg 0,5 – 0,75 mg/kgBB dengan minimal dalam spuit 7,5 mg, dan di atas 20 kg 0,5 mg/kgBB. Biasanya dosis rata-rata yang dipakai 0,3 mg/kgBB/kali dengan maksimum 5 mg pada anak berumur kurang dari 5 tahun, dan 10 mg pada anak yang lebih besar . Setelah suntikan pertama secara intravena ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga intravena. Setelah 15 menit suntikan kedua masih kejang,
26
diberikan suntikan ketiga dengan dosis sama akan tetapi pemberiannya secara intramuskular; diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4% secara intravena. Akibat samping diazepam
adalah mengantuk, hipotensi, penekanan
pusat pernafasan, laringospasme dan henti jantung. b. Pengobatan penunjang Sebelum memberantas kejang tidak dilupakan perlunya pengobatan penunjang. Semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan agar jalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen, bila perlu dilakuakn intubasi atau traketomi, pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat. Cairan intravena sebaiknya diberikan dengan monitoring untuk kelainan metabolik dan elektrolit. Bila terdapat tekanan intrakranial yang meninggi jangan diberikan cairan degan kadar natrium yang terlalu tinggi. Jika suhu meningkat sampai hiperpireksia dilakukan hibernasi dengan kompres alkohol dan es. Obat untuk hibernasi adalah klorpromazin 2 – 4 mg/kg/BB/hari dibagi dalam 3 dosis; prometazon 4 – 6 mg/kg/BB/hari dibagi 3 dosis secara suntikan.
27
Untuk mencegah edema otak diberikan kortikosteroid dengan dosis 20 – 30 mg/kg/BB/hari dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya glukortikoid misalnya deksametazon 0,5 – 1 ampul setiap 6 jam sampai keadan membaik. c. Pengobatan rumat Setelah kejang diatasi harus disusul pengobatan rumat. Daya kerja diazepam sangat singkat, yaitu berkisar antara 45 – 60 menit sesudah disuntikan; oleh karena itu harus diberikan obat antiepileptik dengan daya kerja lebih lama misalnya fenobarbital atau defenilhidation. Fenobarbital diberikan langsung setelah kejang
berhenti dengan
diazepam. Dosis awal pada neonotus 30 mg; umur 1 bulan sampai 1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg dan cara memberikannya intramuskuler. Sesudah itu fenobarbital diberikan sebagai dosis rumat. Karena metabolisme di dalam tubuh per lahan pada anak cukup diberikan dalam 2 dosis sehari dan kadar maksimal dalam darah terdapat setelah 4 jam. Untuk mencapai kadar terapeutik secepat mungkin diperlukan dosis yang lebih tinggi dari pada biasa. Dengan dosis ganda 8 – 10 mg/kgBB/hari, kadar 10-20 mg/ml ialah kadar efektif dalam darah tercapai dalam 48 – 72 jam. Di sub bagian anak RSCM fenobarbital sebagai dosis “maintenance” diberikan setelah dosis awal sebanyak 8 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis untuk hari pertama dan kedua, diteruskan untuk hari berikutnya dengan dosis biasa 4 – 5 mg/kgBB sehari dibagi dalam 2 dosis. Selama keadaan belum
28
memungkinkan antikovulsan diberikan secara suntikan dan bila telah membaik diteruskan secara oral. d. Mencari dan mengobati penyebab Penyebab kejang demam sederhana maupun epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya adalah infeksi respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang adekuat perlu untuk mengobati penyakit tersebut. Secara akedemis pasien kejang demam yang datang untuk pertama kali sebaliknya dilakukan pungsi lumbal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Pada pasien yang diketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti pungsi lumbal, darah lengkap, gula darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG, ensefalografi dan lain-lain.
G. Komplikasi 1. Kerusakkan neurotransmiter. Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel ataupun ke membran sel yang menyebabkan kerusakkan pada neuron. 2. Epilepsi. Kerusakkan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.
29
3. Kelainan anatomis di otak. Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan kelainan di otak yang lebih banyak terjadi pada anak baru berumur 4 bulan sampai 5 tahun. 4. Mengalami kecacatan atau kelainan neurologis karena kejang yang disertai demam. 5. Kemungkinan mengalami kematian. ( PP.IDAI, 2005: 6 )
H. Pengkajian Fokus Dalam melakukan Asuhan Keperawatan pengkajian merupakan dasar utma dan hal yang penting dilakukan baik saat klien pertama kali masuk Rumah Sakit maupun selama klien dalam masa perawatan. Data yang diperoleh dapat digolongkan menjadi 2 yaitu data dasar dan data khusus 1. Data Dasar. a. Pola Nutrisi dan Metabolik Data yang perlu dikaji meliputi : Gejala
: penurunan nafsu makan, mual muntah, haus.
Tanda
: BB turun, mata cekung, turgor lambat, bibir kering.
b. Pola Eliminasi Gejala
: sering defekasi.
Tanda
: penurunan berkemih, iritasi rektal.
30
c. Pola Istirahat dan Tidur Gejala
: kelemahan, kesulitan tidur.
Tanda
: nadi cepat
Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum pasien: lemah. 2) Kesadaran: komposmetis, apatis, samnolen, soporo, koma, reflek, sensibilitas, nilai gasglow coma scale ( GCS ). 3) Tanda –tanda vital: tekanan darah ( hipotensi ), suhu ( meningkat ), nadi ( takikardi ). 4) Keadaan: mata cekung, mulut ( mukusa kering ). 5) Abdomen: bentuk cembung, kembung. 2. Data Khusus Data khusus digolongkan menjadi 2 yaitu: data subjektif dan data objektif: a. Data Subjektif: lemah, panas atau demam, anoreksia ( tidak nafsu makan, mual, muntah ), defekasi. b. Data Objektif: suhu tinggi, mukosa kering, BB turun, urin kurang, mata cekung. ( Whaley and Wong, 1991:495 ) Penghakjian tumbuh kembang pada anak Pada usia 6 – 12 th (industri vs inforloritas) masing – masing tahap terdiri dari komponen yang diharapkan dan yang tidak diharapkan. Setiap tahao oerkembangan mempunyai aktivitas spesifik yang membantu klien dalam mengembangkan konsep diri yang positif.
31
a. Pertumbuhan Dengan anak memasuki usia sekolah pertumbuhan menjad cepat tinggi, lebar, gigi sudah mulai tumbuh merata di bagian rahang belum tumbuh, tubuh anak berubah, identitas seksual menguat b. Perkembangan Pada usia 6 – 12 tahun masuk tahap anak usia sekolah lebih banyak didapatkan ketrampilan motorik, social, dan intelektual seperti aktivitas membaca memungkinkan ekspensi konsep diri melalui imajinasi ke dalam peran, perilaku dan tempat lain melalui permainan, anak-anak berinteraksi dengan teman sebaya, mengembangkan keterampilan motorik dan intelektual tambahan, anak – anak mengekspresikan perasaan melalui permainan, literature, gambar, dan musik. Perawat dapat menggunakan hal ini untuk mendapat petunjuk dalam konsep diri dan citra tubuh dapat berubah pada saat ini karena anak terus berubah secara fisik, emosional, mental dan sosial. c. Konsep diri : tugas perkembang Pada usia 6 – 12 tahun masuk tahap anak usia sekolah yang lebih banyak tugas perkembangan konsep diri yang positif. 1) Dapat mengatur diri – diri (industri) 2) Berinteraksi dengan teman sebaya 3) Harga diri meningkat dengan penguasaan ketrampian baru 4) Menyadari kekuatan dan keterbatasan (Fundamentals of Nursing, 2005: 506)
32
Pemeriksaan Penunjang a. Uji laboratorium 1) Fungsi lumbal untuk menganalisis cairan serebrosppinal, terutama dipakai untuk menyingkir kemungkinan infeksi. 2) Hitung darah lenglkap untuk menyingkirkan infeksi sebagai penyebab dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat mengevaluasi hematokrit dan jumlah trombosit. 3) Panel elektrolit serum elektrolit, Ca total dan magnesium serum sering diperiksa pada sat pertama kali terjadi kejang. 4) Skrining toksik dari serum dan urin digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan keracunan. 5) Pemantauan kadar obat antiepileptik digunakan pada fase awal penatalaksanaan. b. Elektroensefalografi. Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang atau memperlihatkan gambaran interektal EEG. Pemeriksaan Eeg segera setelah kejang dalam 24 – 48 jam atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam tekanan. c. Neuroimaging. 1) Pemeriksaan fotorontgen kepala dapat memperlihatkan adanya fraktur tulang kepala, tetapi mempunyai nilai diagnostik yang minimal. Kenaikkan jaringan otak pada trauma kepala dapat dilihat
33
dengan menggunakan gambaran Computed Tomagraphy Scan ( CT Scan ) kepala. 2) Magnetic Resonange Imaging ( MRI ) Lebih superior dibanding CT Scan dalam mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal atau daerah yang tertutup oleh struktur tulang, misal: sereblum atau batang otak ( Erny, Darto, 2007:6 ).
34
I. Pathways Keperawatan P e n in g k a ta n su h u tu b u h (d e m a m ) P e n in g k a ta n m e ta b o lism e b a sa l 1 0 -1 5 % P e n in g k a ta n k e b u tu h a n o k sig e n 2 0 % P a d a a n a k ± 3 ta h u n S irk u la sa i k e o ta k 6 5 % P e ru b a h a n k e se im b a n g a n d a ri m e m b ra n e s e l n e u tro n d ifu si io n K + d a n N a +
K e ja n g
L e p a s m u a ta n listrik y a n g b e sa r N e u ro tra n sm itte r M e lu a s k e se lu ru h tu b u h K e ja n g d e m a m P e n u ru n a n
K e ru s a k a n
K o n d isi tu b u h
n e u ro tra n sm itte r
R a w a t in a p R S
O b stru k si tra k e o b ra k ia l k e ru s a k a n
le b ih D a ri 1 5 m e n it
K e le m a h a n
K u ra n g in fo rm a si te n ta n g p e n y a k itn y a
p e n in g k a ta n a k tifita s o to t
k e su lita n k e se im b a n g a n
K u ra n g p e n g e ta h u a n
p e rs e p s i / k o g n itif
P eh su hu tu bu h= d e m a m
H o sp ita lisa i N a fa s t i d a k efek tif
C em as pada anak
k e te rb a ta sa n k o g n itif / p e ru b a h a n k e sa d a ra n K e h ila n g a n k o o rd in a si O to t b e sa r & k e c il
R e sti tra u m a / p e n g h e n tia n
( S u m b e r: N g a stiy a h , 1 9 9 7 )
35
J. Diagnosa Keperawatan. 1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi atau inflamasi ( Carpenito, 2000, hal 21 ). 2. Resiko terjadi kerusaskan sel otak berhubungan dengan kejang ( Ngastiyah,1997: hal 236 ). 3. Resiko trauma atau penghentian pernafasan atau penghentian pernafasan berhubungan dengan kesulitan keseimbangan perubahan kesadaran ( Doenges, 1999 ). 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses penyakitnya ( Doenges, 1999 ). 5. Kecemasan berhubungan dengan dampak haspitalisasi yang baru (Ngastiah, 1997: hal 236 ).
K. Fokus Intervensi. 1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi atau inflamasi ( Carpenito, 2000, hal 21 ). Tujuan
: Suhu tubuh dalam batas normal ( 365 – 375 0C ) parenteral, klien bebas dari demam
Kriteria hasil
: Suhu tubuh normal, klien tidak demam, pasien tampak nyaman
Intervensi: a. Kaji tanda dan gejala adanya peningkatan suhu tubuh dan penyebabnya Rasional: Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
36
b. Monitor TTV, suhu, tiap 4 jam sekali. Rasional : Untuk acuan mengetahui kesadaran umum pasien. c. Anjurkan pasien banyak minum 2 – 2,5 liter/24 jam. Rasional: Menurunkan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak. d. Monitor intake dan output. Rasional: untuk mengetahui ketidak seimbangan tubuh. e. Anjurkan untuk memakai pakaian tipis dan menyerap keringat. Rasional: Untuk pemakaian baju tipis untuk pemberian obat antipiretik, untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara solusi koloborasi dokter dengan obat antipiretik 2. Resiko terjadi kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang ( Ngastiyah, 1997: 236 ) Tujuan: a. Menghilangkan kerusakan sel otak. b. Tidak terjadi komplikasi Kriteri hasil: Kerusakan sel otak tidak terjadi, komplikasi tidak terjadi, tidak ada tanda-tanda kejang. Intervensi: a. Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama kejang. Rasional: Meningkatkan aliran darah agar tidak terjadi cidera kepala atau komplikasi lain.
37
b. Longgarkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen. Rasional: Untuk menfasilitasi usaha bernafas atau ekspansi dada. c. Masukkan spatel ke lidah atau jalan nafas buatan dan gulungan benda lunak sesuai dengan indikasi. Rasional: Masuknya di awal untuk membuka rahang alat ini dapat mencegah tergigitnya lidah. d. Bantu melakukan intubasi jika ada indikasi. Rasional: Mencegah munculnya apnea yang berkepanjangan pada fase posiktal membutuhkan ventilator mekanik 2. Resiko trauma atau penghetian pernafasan atau penghentian berhubungan dengan kesulitan keseimbangan perubahan kesadaran (Doenges, 1999). Tujuan
: Anak selalu aman dan terbebas dari injury, komplikasi atau cedera dicegah, serangan kejang terkontrol.
Kriteria hasil
: TTV dalam batas normal, kesadaran normal klien membaik, serangan kejang dapat terkonmtrol, tidak terjadi komplikasi cedera teratasi.
Intervensi: a. Kaji bersama pasien berbagai stimulasi yang menajdi pencetus kejang. Rasional : Berbagai obat dan stimulasi lain seperti: kurang tidur atau istirahat,
panas
yang
tinggi
lebih
dari
380C
dapat
meningkatkan aktifitas otak yang selanjutnya meningkat resiko terjadinya kejang.
38
b. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur rendah. Rasional : Mengurangi trauma saat kejang ( sering atau umum ) terjadi selama pasien berada di tempat tidur. c. Evaluasi Kebutuhan untuk berikan perlindungan pada kepala Rasional : Penggunaan tutup kepala, dapat memberikan perlindungan tambahan terhadap seseorang yang mengalami kejang terus menerus / kejang berat. d. Lakukan penilaian neurologis / tanda-tanda vital setelah kejang. Rasional : Mencatat keadaan pariktal dan waktu penyembuhan pada keadan normal. e. Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik/biarkan pasien menggigit benda lunak. Rasional : Menurunkan resiko terjadinya trauma mulut tetapi tidak boleh karena kerusakkan pada gigi dan jaringan lunak dapat terjadi. 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses penyakitnya (Doenges, 1999). Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dan keluarga mengetahui tentang penyakit, teory dan cara perawatannya.
Kriteria hasil
: Keluarga mendemonstrasikan cara merawat anaknya khususnya di rumah
39
Intervensi a. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi atau prognosis penyakit dan perlunya pengobatan atau penanganan dalam jangka waktu yang tepat dan indikasi. Rasional : Kesempatan untuk mengklasifikasi kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang ada sebagai persepsi dan keadaan penyakit yang ada dalam cara hidup yang normal. b. Berikan petunjuk yang jelas pada klien dan keluarganya untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan jika memungkinkan. Rasional : Dapat menurunkan iritasi lambung, mual atau muntah. c. Berikan informasi pada keluarga tentang indikasi obat dan pentingnya untuk klien dan keluarga dalam memberi tahu tentang perawatan dan pemberian obat. Rasional : Pengetahuan mengenai penggunaan obat. d. Diskusikan pada klien dan keluaraga mengenai efek samping secara khusus. Rasional : Megindikasi kebutuhan akan perubahan dalam dosis atau obat pilihan yang lain. 5. Kecemasan berhubungan dengan dampak hospitalisasi yang baru ( Ngastiah, 1997: hal 236 ). Tujuan
: kecemasan pada anak berkurang atau hilang .
Kriteria hasil : anak kooperatif dan tidak rewel dapat istirahat dengan tenang .
40
Intervensi: a. Instruksikan agar orang tua tetap menemani anaknya. Rasional: Diharapkan rasa aman dan nyaman anak terpenuhi. b. Gunakan komunikasi terapiutik . Rasional: Diharapkan anak bisa kooperatif dan anak tidak rewel. c. Berikan terapi bermain sesuai usia. Rasional: Diharapkan klien tidak rewel dan ingin pulang. d. Ciptakan suasana yang aman dan nyaman. Rasional: Diharapkan klien dapat istirahat dengan tenang.
41