ANATOMI TENGKORAK ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus)
TRI SUSANTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT
TRI SUSANTI. The Anatomy of the skull of Kalimantan Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Under direction of NURHIDAYAT and CHAIRUN NISA’. The aim of the study was revealed the anatomy of the skull of male Kalimantan orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) related to the function of the elements of the head and the daily behavior of the orangutan. The study was conducted by observing the anatomical features of the orangutan skull and compared it with literatures related to the anatomy of the skull in human and animals such as gorilla and chimpanzee that have close taxonomis and anatomical relationship with orangutan and the skulls of other animals. The results showed that some characteristics of orangutan skull were observed. The sutures between the bone were unclearly and presumed that orangutan was old. On the other hand, there was highly developed crest in the calvaria of the skull: the frontal crest, the external sagittal crest, and the nuchal crest. The frontal crest suggested the origin of cheek pad that was highly developed in the male orangutan. The external sagittal crest suggested as the origin of the temporale muscle and the nuchal crest suggested as the origin of the extensor muscles of the neck and head. In addition, the most developed of zygomatic arch was formed by the zygomatic process of temporal bone and the temporal process of zygomatic bone. The most developed parts of the orangutan skull was the splanchnocranii than that of the neurocranii portion, which looked prominent and lengthened of the mouth area. Teeth formula of this animal was 2 (I 2 / 2, C 1 / 1, P 2 / 2, M 3 / 3), that looked highly developed of canine teeth which was showed as orangutan sexual dimorphism. Keywords: Pongo pygmaeus pygmaeus, skull, frontal crest, external sagittal crest, nuchal crest, zygomatic arch.
ABSTRAK
TRI SUSANTI. Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Dibimbing oleh NURHIDAYAT dan CHAIRUN NISA’. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari anatomi tengkorak orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) jantan yang dikaitkan dengan fungsi unsur-unsur di kepala dan perilaku kesehariannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji ciri-ciri anatomi tengkorak orangutan dan membandingkannya dengan literatur tengkorak manusia dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dan anatomi dengannya, yaitu gorilla dan simpanse serta dengan tengkorak hewan lain. Hasil penelitian menunjukkan beberapa karakteristik tengkorak orangutan yang diamati, diantaranya sutura yang tidak terlihat jelas dan diduga tengkorak ini berasal dari orangutan yang sudah berumur tua. Disamping itu, juga terdapat krista yang sangat berkembang pada daerah calvaria tengkorak, yaitu crista frontalis, crista sagittalis externa, dan crista nuchae. Crista frontalis diduga sebagai tempat pertautan cheek pad yang sangat berkembang pada orangutan jantan, crista sagittalis externa diduga sebagai tempat pertautan m. temporale dan crista nuchae diduga sebagai tempat pertautan otot-otot ekstensor leher dan kepala. Selain itu, arcus zygomaticus yang sangat kuat dan berkembang, dibentuk oleh processus zygomaticus dari os temporale dan processus temporale dari os zygomaticus. Bagian tengkorak yang paling berkembang pada orangutan adalah pars splanchnocranii yang terlihat pada daerah mulut yang menonjol dan panjang. Formula gigi dari hewan ini adalah 2 (I 2/2, C 1/1, P 2/2, M 3/3) dengan dentes canini yang terlihat sangat berkembang dan merupakan ciri sexual dimorphism-nya. Keywords: Pongo pygmaeus pygmaeus, tengkorak, crista frontalis, crista sagittalis externa, crista nuchae. arcus zygomaticus.
RINGKASAN TRI SUSANTI. Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Dibimbing oleh NURHIDAYAT dan CHAIRUN NISA’. Orangutan memiliki ukuran kepala yang relatif besar. Pada daerah kepala, terlihat area mulut yang luas dengan bentuk mulut yang panjang dan menonjol. Hewan ini memiliki kekuatan yang besar pada daerah mulut yang sangat mendukung ketika makan (mastikasi) dan berkelahi. Disamping itu, sexual dimorfism (ciri yang membedakan antara individu jantan dan betina) orangutan tampak paling menonjol pada daerah kepala, seperti bantalan pipi yang besar dan kantong leher yang sangat berkembang pada jantan dewasa serta gigi taring yang juga terlihat sangat subur. Hal ini menjadikan kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan kepala betina dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari anatomi tengkorak orangutan, mempelajari hubungan karakteristik anatomi tengkorak orangutan dengan fungsi unsur-unsur di kepala dan perilaku orangutan, serta mengkaji ciri-ciri anatomi tengkorak orangutan dengan membandingkannya dengan literatur mengenai anatomi tengkorak manusia dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dengannya, yaitu gorilla dan simpanse serta dengan tengkorak hewan lain. Penelitian ini menggunakan satu set preparat tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa koleksi Laboratorium Anatomi FKH IPB yang diperkirakan sudah berumur tua. Penetilian ini dilakukan melalui pengamatan terhadap karakteristik tengkorak orangutan yang kemudian dibandingkan dengan literatur tengkorak manusia, simpanse, gorilla dan beberapa hewan lainnya. Disamping itu, juga digunakan dua set preparat tengkorak orangutan Kalimantan (jantan dan betina berumur muda) koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong, sebagai komparasi untuk menentukan bagian-bagian penyusun tengkorak orangutan. Pengukuran terhadap panjang, tinggi dan lebar tengkorak serta bobot kering tengkorak dilakukan hanya pada tengkorak orangutan jantan dewasa dan dilakukan pengambilan gambar tengkorak dari beberapa sisi seperti ventral, lateral, dorsal, kranial, dan kaudal. Gambar yang diperoleh kemudian diolah dengan Adobe Photoshop dan diberi nama berdasarkan Nomina Anatomica Veterinaria (WAVA 2005). Hasil pengamatan menunjukkan tengkorak orangutan berukuran relatif besar, dengan panjang ± 24,5 cm, lebar ± 19,5 cm dan tinggi ± 19 cm, serta bobot kering 1.3 kg. Ukuran tengkorak yang besar ini juga didukung oleh ukuran tubuh yang besar, sehingga tubuhnya tetap dapat menopang kepala dengan baik dan tetap dapat bergerak leluasa terutama ketika berada di atas pohon. Permukaan tulang tengkorak hewan ini terlihat kasar karena memiliki banyak penjuluran dan rigi sehingga diduga berfungsi sebagai tempat untuk perlekatan (origo atau insertio) beberapa otot dan jaringan kulit kepala. Tengkorak orangutan disusun oleh beberapa tulang yang terdiri atas tengkorak bagian atas dan bagian bawah. Tengkorak bagian atas disusun oleh os frontale, os ethmoidale, os lacrimale, os nasale, os maxilla, os incisivum, os zygomaticum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer, os sphenoidale, os parietale, os occipitale, os temporale, sedangkan tengkorak bagian bawah hanya dibentuk oleh os mandibula. Disamping itu, tengkorak ini juga dapat dibagi
menjadi dua bagian berdasarkan daerahnya, yaitu pars neurocranii dan pars splancnocranii. Pars neurocranii adalah bagian tulang yang turut membentuk cavum cranii dengan atapnya disebut dengan calvaria. Bagian tulang ini disusun oleh os occipitale, os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Pada daerah calvaria bagian tulang ini, terdapat tiga buah penjuluran yang sangat berkembang, yaitu crista frontalis, crista sagittalis externa, dan crista nuchae. Crista frontalis diduga sebagai tempat pertautan cheek pad (bantalan pipi) yang sangat berkembang pada orangutan jantan dewasa yang merupakan sexual dimorphism yang dimiliki olehnya, crista sagittalis externa diduga sebagai tempat pertautan m. temporale dan crista nuchae diduga sebagai tempat pertautan otot-otot ekstensor leher dan kepala. Disamping itu, pada daerah lateral bagian tulang ini terlihat fossa temporalis yang sangat luas dan diduga sebagai tempat pertautan m. temporale yang sangat berfungsi membantu pergerakan rahang (proses mastikasi). Selanjutnya pada bagian kaudal tengkorak juga terlihat pars squama occipitalis dari os occipitale yang luas dan memiliki permukaan yang kasar. Pada tulang ini diduga bertaut beberapa otot ekstensor kepala yang diperkirakan sangat berkembang pada tengkorak orangutan. Otot ini sangat berfungsi dalam membantu pergerakan kepala orangutan terutama ketika memanjat pohon karena hewan ini termasuk hewan arboreal (biasa hidup di atas pohon) dan ketika berjalan karena hewan ini biasa berjalan secara quadrupedal (menggunakan empat alat geraknya untuk lokomosi). Pada bagian dorsal pars squama occipitalis ini terdapat penonjolan tulang, yaitu protuberantia occipitalis externa yang sangat berkembang dan berjumlah dua buah serta diperkirakan sebagai tempat pertautan yang erat dari ligamentum nuchae yang berfungsi menjaga posisi tegak kepala orangutan. Pars splanchnocranii adalah bagian tulang yang turut membentuk daerah wajah. Bagian tulang ini meliputi regio orbitalis, nasalis, dan oralis dan disusun oleh beberapa tulang, yaitu os maxilla, os zygomaticum, os lacrimale, os nasale, os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer dan os mandibula. Pada tengkorak orangutan, bagian tulang ini terlihat lebih berkembang dibandingkan dengan pars neurocranii. Bagian tengkorak ini juga lebih berkembang pada gorilla dan simpanse, tetapi sebaliknya pada manusia. Bagian tulang yang paling berkembang pada manusia adalah pars neurocranii. Pada regio orbitalis tengkorak hewan ini terlihat orbita yang mengarah ke depan dengan jarak antara orbita kanan dan kiri saling berdekatan. Hal ini memperlihatkan bahwa orangutan memiliki kemampuan melihat binokuler, yaitu mampu melihat dengan dua matanya untuk melihat lapang pandang yang sama dengan persepsi yang mendalam. Selanjutnya, pada regio nasalis terlihat rongga hidung orangutan yang berbentuk piriform. Rongga ini dibatasi oleh tiga tulang, yaitu os nasale pada bagian dorsal, os maxilla pada bagian lateral, dan os incisivum pada bagian ventral. Kemudian pada regio oralis terlihat daerah mulut orangutan yang sangat berkembang dan subur. Daerah mulut ini sangat mendukung fungsi yang dominan, yaitu untuk mendapatkan makanan dan membantu mastikasi, selain itu juga untuk pertahanan. Oleh karena itu, pada daerah mulut ini terdapat gigi-gigi yang sangat subur dan kuat yang didukung oleh tulang yang besar sebagi tempat gigi ini tertanam dan sebagai tempat pertautan beberapa otot yang membantu pergerakan rahang. Gigi yang sangat subur dan memiliki ukuran relatif besar pada hewan ini, tersusun dalam formula 2(I 2/2, C 1/1, P 2/2, M 3/3). Dengan ukuran
dentes canini yang terlihat sangat berkembang dibandingkan dengan gigi yang lain. Gigi ini juga merupakan sexual dimorphism yang dimiliki oleh orangutan jantan dewasa. Pada gorilla, gigi ini juga merupakan sexual dimorfism seperti halnya orangutan tetapi tidak pada manusia dan simpanse
Keywords: Pongo pygmaeus pygmaeus, tengkorak, crista frontalis, crista sagittalis externa, crista nuchae, arcus zygomaticus.
ANATOMI TENGKORAK ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus)
TRI SUSANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi Nama NIM
: Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) : Tri Susanti : B04070025
Disetujui,
Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet Pembimbing I
Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji dan syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Anatomi Tengkorak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet dan Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan pada penulis selama proses penelitian dan penyelesaian penelitian ini, begitu juga kepada Dr. drh. H. Heru Setijanto, PAVet(K) selaku dosen pembimbing akademik dan sekaligus dosen penilai yang selalu memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan pada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf dan pegawai Laboratorium Anatomi, FKH IPB yang telah banyak membantu dalam proses penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada ibunda (Nurdarmailis), ayahanda (Jafri), kakak (Muftianto, Rahmat Eko Saputra, dan Suci Rahmadani Bastian) dan keluarga besar penulis, atas segala dukungan, doa, dan semangat yang telah diberikan pada penulis. Selain itu, juga kepada teman-teman sepenelitian di Anatomi (Aidell, Danang, Fakhri, Miko, dan Faiz) dan sahabat penulis (Cha-Cha, Endah, Siqe, dan Isma) yang telah banyak menghibur, menemani, memberikan bantuan dan semangat pada penulis, kepada teman-teman penghuni kontrakan PRIMASISTA (Vita, Cupy, Niecy, Aisa, Sari, Mbak Pir, dan Erni), seluruh teman seperjuangan FKH 44 (Giannuzi), keluarga An-Nahl, HKSA, dan PRIMASISTA serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan, doa, dan semangat yang telah diberikan pada penulis.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa mendatang. Bogor, September 2011 Tri Susanti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1989 di Pakan Sinayan Kabupaten Agam Sumatera Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan ayahanda Jafri dan ibunda Nurdarmailis. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Muhammadiyah Pakan Sinayan tahun 1995, lalu melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 51 Pakan Sinayan. Pada tahun 2001, penulis memasuki pendidikan di SLTP N 4 Tilatang Kamang dan menyelesaikan pendidikan di SMA N 1 Tilatang Kamang pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima Sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menjadi mahasiswa FKH IPB, penulis pernah aktif menjadi asisten praktikum matakuliah Anatomi Veteriner I tahun ajaran 2008/2009 dan 2009/2010, Anatomi Veteriner II tahun 2009/2010, dan Anatomi Topografi tahun ajaran 2010/2011. Dalam organisasi, penulis tergabung dalam anggota DKM AnNahl FKH IPB dan sebagai pengurus divisi pendidikan tahun 2008/2009 dan divisi Informasi Komunikasi dan Usaha (INFOKOM) tahun 2009-2010 dalam himpunan minat profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA). Selain itu, penulis pernah menjadi peserta survei infestasi Cimex sp. di asrama TPB IPB tahun 2009 dan juga pernah mengikuti pelatihan penerapan Sistem HACCP pada unit usaha pangan asal hewan pada tahun 2011.
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
Halaman xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1.2 Tujuan ............................................................................................ 1.3 Manfaat ..........................................................................................
1 1 2 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1 Klasifikasi Orangutan ..................................................................... 2.2 Biologi Orangutan .......................................................................... 2.3 Habitat dan Tingkah Laku ............................................................ 2.4 Komparasi Tengkorak ................................................................... 2.4.1 Pars neurocranii ................................................................... 2.4.2 Pars splanchnocranii............................................................
4 4 5 6 8 10 13
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................... 3.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 3.3 Metode Penelitian ..........................................................................
17 17 17 17
BAB 4 HASIL ................................................................................................ 4.1 Pars neurocranii ............................................................................ 4.2 Pars splanchnocranii .....................................................................
19 20 26
BAB 5 PEMBAHASAN ...............................................................................
34
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 5.1 Simpulan ........................................................................................ 5.2 Saran ..............................................................................................
44 44 44
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
45
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Peta penyebaran orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) di pulau Kalimantan dan orangutan Sumatera (P.p. abelli) di pulau Sumatera yang ditandai dengan daerah yang diarsir hitam .................................................. 4
2
Orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) yang sedang berjalan secara bipedal (A) dan sedang bergerak di atas pohon menggunakan keempat alat geraknya (B) ......................................................................................... 5
3
Komparasi wajah orangutan Kalimantan jantan (A) dan Betina (B) dewasa. Bantalan pipi dan kantong suara terlihat sangat berkembang pada orangutan Kalimantan jantan dewasa .......................................................... 7
4
Pengukuran panjang (A), lebar (B) dan tinggi (C) dari tengkorak orangutan Kalimantan jantan koleksi Laboratorium Anatomi FKH IPB .... 17
5
Komparasi tengkorak orangutan Kalimantan .............................................. 20
6
Tengkorak bagian atas tampak dorsal ......................................................... 21
7
Tengkorak bagian atas tampak lateral ......................................................... 23
8
Tengkorak bagian atas tampak kaudal ........................................................ 24
9
Tengkorak bagian atas tampak ventral dari sudut pandang posterior ......... 26
10 Tengkorak bagian atas tampak kranial ........................................................ 27 11 Tengkorak tampak ventral .......................................................................... 30 12 Sudut pandang lateral dan kranial os madibula ........................................... 32 13 Susunan gigi rahang atas dan rahang bawah ............................................... 33
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orangutan (Pongo sp.) termasuk dalam famili pongidae dan digolongkan sebagai kera besar selain gorilla dan simpanse (Kleiman 2010). Hewan ini merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia dan di Indonesia hanya hidup di hutan hujan tropis Kalimantan (Borneo) dan Sumatera (Doyen dan Supriatna 2010). Hewan ini memiliki dua subspesies, yaitu orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) (Simons 2007). Data badan konservasi dunia, the International Union for the Conservation of Nature and Nature Resources (IUCN), menyatakan orangutan masuk dalam kategori hewan terancam punah atau endangered karena rendahnya populasi hewan ini di alam (Soorae 2010). Rendahnya populasi hewan ini disebabkan oleh kehilangan habitat karena kegiatan perusakan dan fragmentasi hutan tropis untuk kegiatan perkebunan dan pendirian tempat pemukiman (Soehartono et al. 2009). Selain itu, disebabkan juga oleh kegiatan perdagangan orangutan secara illegal untuk dijadikan hewan kesayangan (Cowlishaw dan Dunbar 2000; Knop et al. 2004). Oleh karena itu, kera besar ini telah dilindungi sejak tahun 1931 melalui peraturan perlindungan hewan liar No. 233 (Supriatna dan Wahyono 2000) dan diperkuat lagi melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1999 (Soehartono et al. 2009). Untuk melindungi hewan ini di alam, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) telah memasukkan orangutan ke dalam kategori non human primates appendix I (extremely restricted), yaitu dilarang untuk diperdagangkan (Bennet et al. 1995). Orangutan memiliki ukuran kepala yang relatif besar. Pada daerah kepala, terlihat area mulut yang luas dengan bentuk mulut yang panjang dan menonjol (Simons 2007). Menurut Shea (1986), hewan ini memiliki kekuatan yang besar pada daerah mulut yang sangat mendukung hewan ini ketika makan (mastikasi) dan berkelahi. Disamping itu, sexual dimorfism (ciri yang membedakan antara
2
individu jantan dan betina) orangutan tampak paling menonjol pada daerah kepala, seperti bantalan pipi yang besar dan kantong leher yang sangat berkembang pada jantan dewasa serta gigi taring yang juga terlihat sangat subur. Hal ini menjadikan kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan kepala betina dewasa (Galdikas 1984). Tengkorak orangutan merupakan bahan yang sangat menarik dan sangat berguna untuk diteliti karena tengkorak merupakan axial skeleton dan fungsinya sangat kompleks sebagai pelindung utama dari otak dan panca indera yang terdapat di daerah kepala. Tengkorak memiliki bentuk yang sangat kompleks karena terdiri atas beberapa tulang yang menjadi satu kesatuan sehingga terbentuk seperti satu tulang yang kompak. Selain itu, tengkorak spesies hewan memiliki banyak variasi terutama pada strukturnya, walaupun tulang-tulang yang menjadi pembentuk tengkorak tiap spesies itu adalah sama. Variasi ini dapat menjadi suatu ciri khas yang membedakan tiap spesies yang kemudian dapat dikaitkan dengan pola perilaku dari spesies tersebut dan juga dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan taksonomi. Sebagai salah satu satwa yang menjadi bagian penting dari kekayaan dan keanekaragaman hayati Indonesia (Soehartono et al. 2009), data-data anatomi orangutan sampai saat ini masih sangat sedikit termasuk data-data tentang anatomi tengkorak. Berdasarkan statusnya di alam, hewan ini masuk dalam kategori terancam punah. Oleh karena itu, penelitian anatomi khususnya tentang anatomi tengkorak perlu dilakukan untuk mendukung upaya konservasi satwa ini guna mencegah dari kepunahan.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari anatomi tengkorak orangutan, mempelajari hubungan karakteristik anatomi tengkorak orangutan dengan fungsi unsur-unsur di kepala dan perilaku orangutan, serta mengkaji ciri-ciri anatomi tengkorak orangutan dengan membandingkannya dengan literatur mengenai anatomi tengkorak manusia dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dengannya, yaitu gorilla dan simpanse serta dengan tengkorak hewan lain.
3
1.3 Manfaat Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk melengkapi data-data biologi orangutan Kalimantan sebagai satwa asli Indonesia dan sebagai dasar untuk mempelajari pola adaptasi dan tingkah laku hewan ini yang berguna untuk mendukung upaya konservasi orangutan, baik insitu maupun eksitu.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Ordo primata terdiri atas tiga subordo, yaitu prosimii, tarsiidea, dan anthropoidea. Orangutan termasuk ke dalam subordo anthropoidea dengan superfamili hominoidea dan famili pongidae (ape) (Napier dan Napier 1985). Di Indonesia terdapat dua subspesies orangutan (Pongo pygmaeus), yaitu orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) (Supriatna dan Wahyono 2000, Simons 2007). Penamaan orangutan diambil dari bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, yaitu dari kata manusia (orang) dan hutan (utan) yang berarti “manusia hutan” (Galdikas 1981). Orangutan ini dibedakan menjadi dua subspesies berdasarkan daerah penyebarannya (Gambar 1) dan perbedaan genetik yang cukup jelas (Fischer et al. 2006). Perbedaan daerah penyebaran ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan morfologi tubuh orangutan karena dipengaruhi oleh pola adaptasi dan tingkah laku yang disesuaikan dengan tempat hewan ini berada (Zhi et al. 1996). Misalnya, perbedaan makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi struktur dan kecepatan pertumbuhan gigi. Akibatnya struktur anatomi tengkorak hewan ini juga berubah (Walker 1987).
Gambar 1 Peta penyebaran orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) di pulau Kalimantan dan orangutan Sumatera (P.p. abelli) di pulau Sumatera yang ditandai dengan daerah yang diarsir hitam (Sumber: Delgado dan Shaick 2000)
5
Klasifikasi orangutan (Napier dan Napier 1985; Supriatna dan Wahyono 2000): Class
: Mammalia
Ordo
: Primata
Subordo
: Anthropoidea
Family
: Pongidae
Genus
: Pongo
Spesies
: Pongo pygmaeus
Subspesies
: Pongo pygmaeus pygmaeus (orangutan Kalimantan) : Pongo pygmaeus abelii (orangutan Sumatera)
2.2 Biologi Orangutan Orangutan adalah salah satu kera besar dari famili pongidae (Napier dan Napier 1985; Kleiman 2010). Hewan ini memiliki ukuran tubuh yang besar, tidak mempunyai ekor, tangan lebih panjang dari kaki, dan kepala yang relatif besar. Tingginya dapat mencapai 1.4 m (kira-kira 2/3 kali tinggi gorilla) dengan berat badan antara 30-90 kg (Maryanto et al. 2008). Jika dilihat dari ciri morfologi tubuh, dua subspesies orangutan ini dapat dibedakan dari rambutnya (Maple 1980). Orangutan Sumatera memiliki rambut yang lebih halus dan berwarna coklat kekuningan, sedangkan orangutan Kalimantan memiliki rambut yang lebih kasar dan berwarna coklat tua sampai kehitaman (Supriatna dan Wahyono 2000). A
B
Gambar 2 Orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) yang sedang berjalan secara bipedal (A) dan sedang bergerak di atas pohon menggunakan keempat alat geraknya (B) (Sumber: Rowe 1996).
6
Orangutan memiliki kaki dengan susunan jari yang mirip dengan kaki manusia, yaitu plantigradi (bentuk digit dan metatarsal yang rata dengan tanah) (Simons 2007). Tetapi, orangutan dan manusia memiliki kebiasaan berjalan yang berbeda. Orangutan dengan cara quadrupedal (menggunakan keempat anggota geraknya
sebagai
alat
lokomosi)
sedangkan
manusia
dengan
bipedal
(menggunakan dua alat gerak sebagai alat lokomosi). Orangutan juga memiliki kemampuan berjalan dengan bipedal seperti pada manusia, tetapi jarang dilakukan (Maple 1980; Platt dan Ghazanfar 2010). Disamping itu, kaki orangutan juga memiliki kemampuan seperti tangan, yaitu dapat memegang atau merenggut sesuatu. Kemampuan ini sangat mendukung hewan ini untuk dapat berpegangan dengan erat ketika berayun atau memanjat pohon dan berpindah ke dahan yang lain (Simons 2007) (Gambar 2). Orangutan jantan memiliki sexual dimorfism yang tampak mencolok dari ukuran tubuhnya (Galdikas 1984). Ukuran tubuh orangutan jantan dewasa bisa mencapai dua kali ukuran tubuh betina dewasa (Bennet et al. 1995). Selain itu, juga dapat terlihat dari bentuk kepalanya. Kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan betina dewasa. Hal ini karena orangutan jantan dewasa memiliki bantalan pipi (cheek pad) yang besar dan kantong leher menyerupai balon sehingga ukuran kepalanya tampak semakin besar (Galdikas 1984) (Gambar 3). Ciri lain juga ditemukan pada gigi orangutan, yaitu gigi taring jantan dewasa terlihat lebih besar dan kuat dibandingkan pada betina dewasa (Maple 1980). Rata-rata lama hidup orangutan adalah 40 tahun dengan tingkatan umur, yaitu bayi (infant) 0-4 tahun, anak (juvenile) 4-7 tahun, remaja (adolescent) 7-15 tahun, dewasa (adult) 15-35, dan tua (old) lebih dari 35 tahun. Orangutan akan mencapai masa pubertas pada umur 7 tahun, kematangan seksual pada umur 6-8 tahun dan melahirkan pertama kali pada umur 12 tahun. Dengan jumlah anak yang dilahirkan biasanya adalah satu atau dua ekor. Disamping itu, bantalan pipi dan kantung suara pada orangutan jantan akan mulai berkembang pada tahun 12-14 tahun (Bennet et al. 1995; Goodal 1996).
7
A
B
Gambar 3 Komparasi wajah orangutan Kalimantan jantan (A) dan Betina (B) dewasa. Bantalan pipi dan kantong suara terlihat sangat berkembang pada orangutan Kalimantan jantan dewasa (Sumber: Simons 2007; Anonim 2011). 2.3 Habitat dan Tingkah Laku Orangutan sesuai dengan namanya, memiliki habitat di hutan. Hewan ini sering mendiami daerah banjir, rawa gambut, tanah aluvial di sepanjang sungai, dan sedikit di dataran tinggi. Umumnya daerah yang didiami oleh hewan ini memiliki ketinggian di bawah 1000 m dpl dan lebih banyak dijumpai di sekitar 500 m dpl. Namun, di Sabah Malaysia, hewan ini hidup di ketinggian 700-1300 m dpl. Daerah jelajah orangutan jantan 1-6 km2 dan betina 0,5-6 km2. Dalam satu hari hewan ini dapat berjalan lebih dari 1300 m (Supriatna dan Wahyono 2000). Orangutan adalah hewan diurnal, yang aktif pada siang hari dan juga merupakan hewan arboreal, yang biasanya menghabiskan waktunya di atas pohon (Goodal 1996; Platt dan Ghazanfar 2010). Hal ini dibuktikan dengan aktivitas keseharian yang biasa dilakukannya, yaitu berpindah di atas pohon dan hanya sesekali di permukaan tanah (teresterial), beristirahat atau tidur dengan bersandar dan duduk pada sebuah cabang, serta makan dan membuat sarang juga dilakukan di atas pohon (Galdikas 1984). Orangutan termasuk ke dalam golongan hewan omnivora yang cenderung frugivora (Maple 1980). Makanannya berupa buah, daun muda dan serangga. Hewan ini biasanya mengkonsumsi berbagai makanan yang bersumber dari pepohonan (Supriatna dan Wahyono 2000). Kira-kira 60% makanannya adalah
8
buah-buahan, selebihnya adalah berupa daun muda, tunas pohon, kulit kayu, serangga, telur, anak burung, dan tupai. Diperkirakan terdapat lebih dari 400 jenis tumbuhan yang menjadi sumber makanan hewan ini (Galdikas 1984; Goodal 1996). Orangutan merupakan hewan yang memiliki kebiasaan hidup soliter (Rodman 1973). Hal ini ditandai dengan sebagian besar masa hidupnya adalah sendiri. Satuan dasar populasi hewan ini terdiri atas, satu sampai dua anak yang belum mandiri, atau hewan muda dalam masa peralihan (pradewasa) yang hidup dalam kesatuan dengan induk yang melahirkannya, atau jantan dan betina dewasa yang hidup soliter. Satu-satunya kelompok sosial orangutan yang berlangsung lama adalah seekor induk dan anak sampai mandiri (Galdikas 1984). Dalam melakukan interaksi atau berkomunikasi, orangutan memiliki kemampuan dalam mengekpresikan wajahnya seperti primata lainnya. Ekspresi wajah pada orangutan biasanya berupa memperluas daerah bibir ke depan (funnel face), memperlihatkan gigi (bare teeth), menyeringai, menguap, dan merayu atau bercanda (playface) (Maple 1980). Tetapi kebiasaan mengekpresikan wajah ini lebih sedikit dibandingkan primata lainnya karena orangutan merupakan primata yang hidup soliter. Bentuk komunikasi lain yang sering dilakukan oleh orangutan adalah melakukan seruan panjang (long call). Seruan ini biasanya sangat keras dan berlangsung lama kira-kira satu sampai dua menit, sehingga dapat terdengar dari jarak sejauh 2 km. Seruan ini biasanya dilakukan oleh orangutan jantan untuk menandai
daerah
kekuasannya.
Orangutan
betina
kadang-kadang
juga
mengeluarkan seruan yang mirip dengan seruan ini yang dilakukan ketika berinteraksi dengan anak yang sedang disapih (Galdikas 1984).
2.4 Komparasi Tengkorak Tengkorak merupakan bagian yang paling kompleks dari kerangka tubuh (Deblase dan Martin 1974). Bentuknya yang kompleks ini juga memiliki fungsi yang sangat kompleks, yaitu sebagai pelindung otak dan beberapa alat indera yang penting di daerah kepala (Warwick dan William 1973). Otak terdapat di dalam cavum cranii, alat pendengaran dan keseimbangan di dalam pars petrosa dari os temporale, alat penglihatan terdapat di kotak mata (orbita), alat penciuman di
9
dalam rongga hidung (cavum nasi), alat pengecapan atau lidah terdapat di rongga mulut (cavum oris) dan tempat permulaan dari saluran makanan serta saluran pernapasan yang terdapat di kaudal rongga mulut dan hidung (Frandson dan Whitten 1981). Selain itu, tengkorak juga memiliki fungsi khusus lainnya, seperti tempat memroses makanan (mengunyah atau mastikasi) dan tempat pembersitan otot untuk ekspresi wajah (Warwick dan Williams 1973). Tengkorak merupakan bagian tubuh yang sangat penting dalam identifikasi dan klasfikasi ordo primata (Notosusanto 2008). Selain itu, juga digunakan dalam menentukan taksonomi dan indikator perkembangan evolusi manusia. Tengkorak memiliki banyak variasi, baik dari segi bentuk maupun ukuran, dan keberadaan suatu bagian tengkorak pada suatu spesies. Variasi ini terjadi karena beberapa faktor, misalnya faktor makanan, alat indera, pola adaptasi, dan tingkah laku (Willey dan Mantagna 1963). Tulang-tulang penyusun tengkorak umumnya dihubungkan oleh sutura (Shier et al. 2001). Hubungan tulang ini bersifat kaku atau tidak dapat bergerak (Colville dan Bassert 2002). Beberapa macam tipe sutura, yaitu sutura serrata, sutura squamosa, sutura foliata, sutura harmonia, dan sutura coronal (Tortora dan Derrickson 2009). Selain itu, ditemukan juga hubungan persendian, yaitu antara tulang rahang atas dengan rahang bawah (os mandibula). Hubungan antar tulang ini dapat bergerak bebas dan tidak bersifat kaku (Collville dan Bassert 2002). Tengkorak merupakan tulang yang kompleks dan dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan daerahnya, yaitu pars neurocranii (tulang-tulang yang turut membentuk cavum cranii) dan pars splanchnocranii (tulang wajah) (Shier et al. 2001). Tengkorak manusia memiliki perkembangan yang cukup besar pada bagian neurocranii. Perkembangan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki volume otak yang besar. Berbeda dengan papio dan simpanse, bagian tengkorak yang memiliki perkembangan yang cukup besar adalah pars splanchnocranii. Pada primata ini, gigi dan rahangnya terlihat lebih berkembang sehingga mulut terlihat lebih besar dan panjang (Krieger 1982). Begitu juga dengan hewan piara terutama sekali pada herbivora (kuda, pemamah biak) dan babi, pars splanchnocranii juga lebih berkembang (Getty 1975; Frandson dan Whitten 1981). Dengan lebih
10
berkembang bagian tengkorak ini, maka didapat banyak tempat pertautan otot-otot pengunyah dan untuk penempatan gigi (Walker 1987).
2.4.1 Pars neurocranii Pars neurocranii adalah tulang-tulang yang turut membentuk cavum cranii (Leeson dan Leeson 1989). Bagian ini terdiri atas beberapa tulang, yaitu os occipitale, os interparietale, os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale dan os ethmoidale (Tortora dan Derrickson 2009). Os occipitale Os occipitale adalah tulang yang membentuk bagian kaudal dan dasar tengkorak. Pada sapi, bagian kaudal tengkorak tidak hanya dibentuk oleh os occipitale tetapi juga dibentuk oleh os parietale, os frontale, os interparietale, dan os temporale (May 1955). Pada bagian dorsal dinding kaudal tengkorak disilang secara transversal oleh suatu peninggian tulang atau rigi yang disebut dengan crista nuchae. Rigi ini merupakan suatu peninggian garis yang memisahkan os parietale dengan os occipitale (Simons 2007). Berbeda pada manusia, yang memisahkan os occipitale dengan os parietale bukan berupa rigi atau peninggian tulang tetapi hanya berupa garis, yang disebut dengan sutura lambdoidea (Shier et al. 2001). Di bagian ventral dari crista nuchae terdapat suatu peninggian tulang yang disebut dengan protuberantia occipitalis externa. Peninggian ini berfungsi sebagai tempat bertautnya ligamentum nuchae yang dapat mendukung tegaknya kepala (Tortora dan Derrickson 2009). Os interparietale Os interparietale merupakan tulang kecil diantara os parietale dan squama occipitalis. Tulang ini jelas terlihat pada hewan muda, sedangkan pada hewan tua tulang ini bergabung menjadi satu tulang yang tidak dapat dibedakan (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini tidak terdapat pada tengkorak manusia (Tortora dan Derrickson 2009). Pada bagian tengah os interparietale ini berjalan suatu rigi yang disebut dengan crista sagittalis externa (crista parietalis externa). Rigi ini tidak ditemukan pada sapi, domba dan babi (Deblase dan Martin 1974). Pada
11
anjing yang berkepala panjang, rigi ini terlihat sempit dan tinggi sedangkan anjing yang berkepala pendek rigi ini terlihat tebal dan lebar (Colville dan Bassert 2002). Os parietale Os parietale adalah sepasang tulang yang sebagian besar menempati daerah dorsolateral tengkorak kecuali pada sapi dan babi, tulang ini menempati dinding kaudal tengkorak (May 1955). Tulang ini berukuran besar terutama pada kucing, anjing dan manusia, tetapi relatif berukuran kecil pada kuda dan sapi (Conville dan Bassert 2002). Pada manusia, sepasang tulang ini dipisahkan oleh sutura sagittalis (Tortora dan Derrickson 2009). Os temporale Os temporale adalah tulang yang membentuk dinding lateral dari tengkorak dan berlokasi di bagian ventral os parietale. Tulang ini terdiri atas tiga bagian, yaitu pars petrosa, pars squamosa, dan pars tympanica. Pars petrosa dari os temporale adalah bagian tulang yang berada di bagian interna tengkorak, yang berada di antara os occipitale dan os parietale. Sebagian besar dari bagian ini terdapat di cavum cranii (ruang otak). Pars squamosa adalah bagian os temporale yang merupakan bidang luar (facies temporalis) yang berbentuk konveks dan turut membentuk fossa temporalis. Kemudian pars tympanica adalah bagian os temporale yang turut membentuk struktur telinga (Palastanga et al. 2002). Os frontale Os frontale adalah tulang yang membentuk bagian kening (dorsokranial tengkorak) (Warwick dan Williams 1973). Manusia memiliki satu os frontale (Tortora dan Derrickson 2009), tetapi kuda, sapi dan beberapa hewan piara memiliki sepasang os frontale (Walker 1987). Pada sapi, tulang ini sangat luas dan membentuk dinding dorsal, posterior, dan lateral dari tengkorak. Pertemuan antara os frontale dengan os parietale pada hewan ini dinamakan eminentia (torus) frontale dan di sebelah lateral dari torus ini terdapat processus cornualis (May 1955; Frandson 1992). Berbeda dengan sapi, os frontale pada kuda terletak di batas antara bagian wajah dan tengkorak, serta tidak memiliki processus cornualis. Disamping itu, os frontale pada ruminansia di bagian kaudal orbita membentuk penjuluran yang mengarah ke ventral, disebut dengan processus
12
zygomaticus dari os frontale. Penjuluran ini kemudian berhubungan dengan processus frontalis dari os zygomaticus (Getty 1975). Os frontale yang berbatasan dengan orbita disebut dengan daerah supraorbitalis (Warwick dan Williams 1973). Daerah ini pada beberapa primata mengalami suatu peninggian yang disebut dengan torus supraorbitale (Notosusanto 1986). Peninggian ini merupakan bagian yang cukup menonjol dan menjadi suatu bagian yang dipertimbangkan dalam menentukan filogeni primata. Keberadaan peninggian ini berhubungan dengan daerah neurocranium, orbita, dan wajah. Peninggian ini umumnya dimiliki oleh papio dan simpanse, sedangkan pada orangutan dan manusia peninggian ini kurang berkembang dan bahkan tidak ada (Shea 1986). Pada daerah ini terdapat suatu lubang yang disebut dengan foramen supraorbitalis yang berfungsi sebagai tempat lewatnya jaringan saraf dan pembuluh darah yang senama. Lubang ini terdapat pada tengkorak manusia, tetapi tidak terdapat pada tengkorak papio dan simpanse, sehingga diperkirakan manusia memiliki tingkat sensitifitas terhadap rangsangan yang lebih besar pada daerah orbita dibandingkan dua primata ini (Krieger 1982). Os sphenoidale Os sphenoidale adalah tulang yang berlokasi di bagian ventral kranium dan rostral os occipitale. Tulang ini terdiri atas corpus, dua pasang ala, dan sepasang processus pterygoideus (Getty 1975). Pada tulang ini terdapat fossa pituitari, tempat terdapatnya glandula pituitari yang merupakan kelenjar endokrin yang sangat penting. Jika tulang ini dipisahkan dari tulang kepala, tulang ini akan berbentuk kelelawar dengan sayap dan kaki yang panjang (Colville dan Bassert 2002). Os ethmoidale Os ethmoidale adalah tulang yang berlokasi di rostral os sphenoidale. Tulang ini terdiri atas, lamina cribrosa, lamina perpendicularis, dan labirynthus ethmoidalis. Tulang ini memiliki cribriform-cribriform (rongga-rongga) yang dilalui oleh banyak cabang saraf-saraf olfaktorius yang berasal dari bagian atas rongga hidung yang menuju ke otak dan berperan dalam membewa rangsangan pembauan. Lamina cribrosa adalah sekat antara cavum nasi dan cavum cranii,
13
lamina perpendicularis adalah sekat median yang tegak lurus dan menjadi bagian posterior dari septum nasi, dan labirynthus ethmoidalis adalah bagian os ethmoidale yang memiliki banyak keeping-keping tulang halus yang membentuk lingkaran-lingkaran dan terletak di anterior Lamina cribrosa (Colville dan Bassert 2002).
2.4.2 Pars splanchnocranii Pars splanchnocranii tulang-tulang yang membentuk daerah wajah. Bagian tulang ini meliputi regio orbitalis, nasalis, dan oralis dan disusun oleh beberapa tulang, yaitu os incisivum, os nasale, os maxilla, os lacrimale, os zygomaticum, os mandibula, os palatinum, os pterygoideum, dan os vomer (Frandson dan Whitten 1981). Os incisivum (os praemaxilla) Os incisivum adalah tulang yang terdapat di rostral tengkorak dan pada tulang ini tertanam dentes incisivi yang dimiliki oleh semua hewan domestik kecuali ruminansia, seperti sapi, kambing dan domba. Walaupun ruminansia ini tidak memiliki dentes incisivi pada rahang atas, os incisivus pada hewan ini memiliki dental pad yang keras (May 1955). Tulang ini masih terdapat pada primata, tetapi pada manusia os incisivum telah bergabung dengan os maxilla pada awal kehidupan sebelum lahir (Krieger 1982). Di kaudal dari dentes incisivi, pada beberapa hewan terdapat dua buah lubang yang berhubungan dengan cavum nasi, yaitu canalis interincisivus (Kent dan Carr 2001). Saluran ini merupakan tempat lewatnya udara pernapasan menuju ductus nasopalatinus tempat terdapatnya organum vomeronasale (organon jacobson). Organ ini sangat berkembang pada ular dan bangsa lizard. Anjing, kucing dan hewan piraan lain juga memiliki organ ini sebagai alat penciuman tambahan (Walker 1987; Kent dan Carr 2001). Pada bangsa burung, manusia dan beberapa primata organ ini kurang berkembang bahkan mengalami rudimenter, sehingga spesies ini tidak memiliki canalis interincisivus ini (Napier dan Napier 1985; Kent dan Carr 2001).
14
Os nasale Os nasale adalah tulang hidung yang terdapat di bagian dorsal dari rongga hidung. Tulang ini berbentuk jembatan yang terdiri atas dua bagian kiri dan kanan yang dihubungkan oleh suatu garis tengah yang disebut dengan sutura internasalis. Pada simpanse dan papio, hubungan antara tulang ini segera bersatu setelah lahir. Berbeda pada manusia, tulang tidak bersatu setelah lahir dan menjadi dua bagian tulang yang terpisah (Krieger 1982). Tulang ini memiliki beberapa variasi ukuran dan bentuk, tergantung spesies dan ras hewan. Pada papio dan simpanse tulang ini terlihat lebih pendek dan tipis jika dibandingkan pada manusia, sehingga lubang hidung dua primata ini terlihat lebih luas (Krieger 1982). Binatang dengan wajah yang panjang (dolichocephalic) seperti kuda, anjing ras borzoi dan whippet, os nasale-nya terlihat lebih panjang, sedangkan hewan yang wajahnya pendek (brachicephalic) seperti kucing dan ras anjing buldog, os nasale-nya terlihat lebih pendek dan triangular (Colville dan Bassert 2002). Os maxilla Os maxilla adalah tulang yang membentuk rahang dan langit-langit keras (hard palate). Pada tulang ini tertanam gigi rahang atas kecuali dentes incisivi yang tertanam pada os incisivum (Colville dan Bassert 2002). Pada kuda, di bagian kaudal tulang ini terdapat suatu rigi yang dikenal dengan crista facialis (Getty 1975). Di bagian dorsoanterior rigi ini terdapat suatu lubang yang penting, yaitu foramen infraorbitalis, sebagai tempat keluarnya n. infraorbitalis yang berfungsi untuk menginervasi daerah muka (Shier et al 2001; Tortora dan Derrickson 2009). Pada papio jumlah lubang ini bervariasi, dari tiga sampai sepuluh lubang. Pada simpanse dan manusia, lubang ini jumlahnya tidak sebanyak yang terdapat pada papio. Hal ini diduga pada daerah wajah, papio memiliki tingkat sensitifitas terhadap rangsangan yang lebih besar dibandingkan pada manusia dan simpanse. Pada tengkorak manusia, os maxilla membentuk penjuluran ke arah sutura zigomaticomaxillaris, dengan nama penjulurannya disebut dengan processus zygomaticus dari os maxilla (Warwick dan Williams 1973). Disamping itu, papio memiliki ciri yang mencolok pada os maxilla.
15
Ukuran os maxilla pada hewan ini besar dan memiliki permukaan yang rata. Dinding lateral dari os maxilla mengalami suatu lekukan yang dalam sehingga membentuk fossa maxilla. Lekukan ini berfungsi sebagai tempat perlekatan beberapa otot ekspresi wajah yang diduga cukup berkembang pada hewan ini (Krieger 1982). Os lacrimale Os lacrimale adalah tulang kecil dan tipis yang membentuk bagian medial orbita dan terletak di antara os ethmoidale dan os maxilla. Pada tulang ini terdapat suatu ruangan yang disebut dengan saccus lacrimalis (suatu kantong yang menghasilkan air mata) (Shier et al. 2001). Os zygomaticum Os zygomaticum disebut juga dengan os malare (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini berbentuk segitiga tidak beraturan yang terletak diantara os lacrimale (dorsal) dan os maxilla (ventral dan anterior). Pada bagian lateral tengkorak tulang ini membentuk penjuluran ke arah kaudal, yaitu processus temporalis dari os zygomaticum. Penjuluran ini berhubungan dengan processus zygomaticus dari os temporale sehingga membentuk arcus zygomaticus (Shier et al. 2001). Pada kuda, terdapat processus zygomaticus dari os frontale yang berjalan ke arah dorsal yang juga turut membentuk arcus zygomaticus. Pada ruminansia, os zygomaticus juga memiliki penjuluran yang berjalan ke arah dorsal, yaitu processus frontalis. Penjuluran ini pada lateral orbita bertemu dengan processus zygomaticus dari os frontale. Jadi pada ruminansia os frontale tidak ikut membentuk arcus zygomaticus. Lengkungan ini hanya dibentuk oleh processus temporalis dari os zygomaticum dan processus zygomaticus dari os temporale (Getty 1975). Os mandibula Os mandibula adalah tulang yang membentuk rahang bawah dan merupakan tulang terbesar yang membentuk daerah wajah (Conville dan Bassert 2002). Tulang ini terdiri atas korpus dan rami. Corpus mandibulae adalah badan anterior os mandibula yang tebal dan mengandung gigi-gigi seri sedangkan rami mandibulae adalah cabang dari os mandibula yang berbentuk horizontal. Rami mandibulae terdiri atas processus condylaris dari os mandibula dan processus
16
coronoideus. Processus condylaris dari os mandibula ini berhubungan dengan fossa mandibularis dari os temporale (Shier et al. 2001; Tortora dan Derrickson 2009).
Hubungan
antara
dua
tulang
ini
disebut
dengan
articulatio
temporomandibularis yang dapat bergerak bebas (Sherwood et al. 2002). Os palatinum Os palatinum adalah tulang yang terletak di sebelah lateral choanae (pintu hidung belakang) dan di sebelah posterior os maxilla (Tortora dan Derrickson 2009). Tulang ini pada bagian posterior os maxilla membentuk bagian dari langitlangit keras yang disebut dengan palatum durum. Tulang ini memiliki dua bagian, yaitu pars horizontalis dan pars perpendicularis. Pars horizontalis membentuk bagian posterior dari palatum durum dan lantai dari rongga hidung, sedangkan pars perpendicularis membentuk dinding lateral dari rongga hidung (Shier et al. 2001). Os pterygoideum Tulang yang memiliki bidang kecil, panjang, dan terletak di sebelah medial os palatinum dan processus pterygoideus dari os sphenoidale. Di bagian anterior tulang ini terdapat suatu penjuluran tulang yang berbentuk kait ke arah ventral, yang disebut dengan hamulus pterygoideus (Palastanga 2002). Os vomer Os vomer merupakan tulang tunggal yang terlihat tipis yang turut membentuk bagian ventral septum nasii (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini terdapat di dalam cavum nasii yang memanjang dari ujung anterior corpus sphenoidale sampai processus palatinus dari os incisivum. Bagian posterior tulang ini akan berhubungan dengan lamina perpendicularis dari os ethmoidale dan bersama-sama membentuk septum nasalis (Shier et al. 2001).
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai Maret 2011 di Laboratorium Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi, dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dan Museum Zoologi LIPI Cibinong.
3.2 Alat dan Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah satu set preparat tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa koleksi Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan dua set preparat tengkorak orangutan Kalimantan (betina dan jantan) muda koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong. Adapun peralatan lain yang digunakan adalah kamera Canon EOS 400D, penggaris, dan timbangan.
3.3 Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan cara mengamati preparat tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa dan membandingkan dengan literatur tengkorak manusia, dan hewan yang memiliki kedekatan taksonomi dengan hewan ini, yaitu gorilla dan simpanse, serta dengan tengkorak hewan lain. Untuk mengetahui batasan antar tulang dan untuk memetakan bagian-bagian tulang penyusun tengkorak orangutan Kalimantan, digunakan dua set preparat tengkorak orangutan jantan dan betina muda koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong sebagai pembanding karena suturanya masih terlihat jelas. Pengukuran terhadap panjang, tinggi, dan lebar serta penimbangan terhadap bobot kering tengkorak hanya dilakukan terhadap tengkorak orangutan koleksi laboratorium Anatomi FKH IPB. Pengukuran dilakukan pada bagian terpanjang dan terlebar dari tengkorak. Panjang tengkorak diukur dari os occipitale sampai dentes incisivi, tinggi tengkorak diukur dari os mandibula sampai peninggian crista sagittalis externa dan lebar tengkorak diukur dari lengkung arcus zygomaticus kiri sampai arcus
18
zygomaticus kanan (Gambar 4). Selanjutnya dilakukan pengambilan gambar tengkorak dari beberapa arah, yaitu dorsal, kranial, kaudal, ventral, dan lateral dengan menggunakan kamera Canon EOS 400D. Gambar selanjutnya diolah dengan Adobe Photoshop CS4 dan bagian tengkorak diberi nama berdasarkan Nomina Anatomica Veterinaria (WAVA 2005). A
B
C
2 cm
Gambar 4 Pengukuran panjang (A), lebar (B) dan tinggi (C) dari tengkorak orangutan Kalimantan jantan koleksi Laboratorium Anatomi FKH IPB (Bar: 2cm).
BAB 4 HASIL Tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa berukuran relatif besar dengan permukaan tulang yang terlihat kasar. Tengkorak mempunyai panjang ± 24,5 cm, lebar ± 19,5 cm dan tinggi ± 19 cm, serta bobot 1,3 kg. Selain itu, struktur bangun tengkorak terlihat sangat kompak dan keras, mengindikasikan sangat kuat dan kokoh. Pengamatan dari arah kranial memperlihatkan tengkorak berbentuk persegi, sedangkan dari arah dorsal terlihat memanjang dari corpus alveolaris dan meninggi sampai di crista nuchae (kaudal os parietale). Tengkorak orangutan terdiri atas tengkorak bagian atas dan bawah. Tengkorak bagian atas disusun oleh beberapa tulang, yaitu os frontale, os temporale, os parietale, os occipitale, os sphenoidale, os ethmoidale, os maxilla, os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os nasale, os vomer, os lacrimale, dan os zygomaticum, sedangkan tengkorak bagian bawah hanya dibentuk oleh satu tulang, yaitu os mandibula. Pada tengkorak terdapat suatu garis tengah (midline) yang memotong tengkorak menjadi dua bagian kiri dan kanan. Hal ini memperlihatkan bahwa tengkorak berbentuk simetri bilateral yang disusun oleh tulang-tulang yang saling berpasangan. Akan tetapi, terdapat beberapa pasang tulang yang posisinya berdampingan saling menyatu sehingga terlihat seperti sebuah tulang, contohnya adalah os frontale, os incisivum, os sphenoidale, os occipitale, os vomer, os palatinum, dan os mandibula. Diantara tulang-tulang penyusun tengkorak ini dihubungkan oleh sutura, tetapi pada preparat ini suturanya kurang jelas, bahkan sudah tidak terlihat sama sekali. Berbeda dengan tengkorak orangutan koleksi Museum Zoologi LIPI Cibinong suturanya masih jelas terlihat (Gambar 5). Tengkorak merupakan tulang yang sangat kompleks karena terdiri atas beberapa tulang yang menjadi satu kesatuan sehingga berbentuk seperti satu tulang yang kompak. Berdasarkan daerahnya, tulang tengkorak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pars neurocranii dan pars splanchnocranii. Batas antara dua kelompok tulang ini adalah garis transversal yang ditarik pada bagian dorsal orbita.
20
A
C
B
2 cm
2 cm
2 cm
Gambar 5 Komparasi tengkorak orangutan Kalimantan. A. Tengkorak orangutan Kalimantan jantan muda dan B. Tengkorak orangutan Kalimantan betina muda yang masih tampak sutura (panah hitam), C Tengkorak orangutan Kalimantan jantan tua yang tidak tampak lagi suturanya (A dan B: tengkorak koleksi Museum Zoology LIPI Cibinong, C: koleksi Laboratorium Anatomi FKH IPB) (Bar A: 2,5 cm, Bar B dan C: 2 cm).
4.1 Pars neurocranii Pars neurocranii adalah bagian tengkorak yang turut membentuk ruang otak (cavum cranii) dan disusun oleh beberapa tulang, yaitu os occipitale, A
B
C
os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Bagian
tengkorak ini berada di sebelah dorsal tengkorak, yang terdiri atas calvaria (atap tengkorak), dinding lateral, dinding kaudal dan basis tengkorak (Gambar 6). Bagian calvaria tengkorak ini dibentuk oleh beberapa tulang, yaitu os frontale, os parietale, dan os temporale. Os frontale adalah tulang yang membentuk daerah kening (kranial calvaria). Tulang ini berbentuk segitiga (piramida) dan memiliki posisi miring terhadap garis tegak lurus kepala. Di ventral tulang ini, yang berbatasan dengan orbita disebut daerah supraorbitalis. Daerah ini memiliki permukaan yang lebih kasar dan sedikit mengalami penonjolan untuk melingkari orbita. Namun, pada daerah ini tidak terdapat torus supraorbitalis dan foramen supraorbitalis. Selanjutnya, pada masing-masing sisi lateral tulang ini terdapat suatu rigi, yaitu crista frontalis (Gambar 6). Pada tengkorak kepala orangutan jantan dewasa crista frontalis terlihat sangat berkembang. Rigi ini relatif tinggi, permukaannya sangat kasar dan tidak rata, berjalan ke kaudal dan bersatu pada garis tengah tengkorak yang memisahkan antara sepasang os parietale. Pada daerah ini, rigi berubah nama menjadi crista sagittalis (parietalis) externa. Selanjutnya, rigi ini terbagi dua dan
21
berjalan ke arah kaudolateral sisi tengkorak. Rigi berbentuk konkaf dan memisahkan antara os parietale dengan os occipitale, yang disebut crista nuchae. Permukaan rigi ini pada bagian kaudomedial calvaria terlihat tebal, luas, dan kasar, sedangkan pada bagian kaudolateral calvaria terlihat tipis, tajam, dan melengkung ke arah kranial. Rigi berjalan ke arah lateroventral sampai pada os temporale (Gambar 6).
3
a
b
1
2 c 4 d e 5
f
10 11
7 6
g 8 9 9 10
Gambar 6 Tengkorak bagian atas tampak dorsal. a. Os parietale, b. Os temporale, c. Os frontale, d. Os nasale, e. Os maxilla, f. Os zygomaticum, g. Os incisivum, 1. Crista sagittalis externa, 2. Crista frontalis, 3. Crista nuchae, 4. Orbita 5. Cavum nasi, 6. Processus temporale (os zygomaticum), 7. Processus zygomaticus (os temporale), 8. Corpus ossis incisivi, 9. Dentes incisivi, 10. Dentes canini (Bar: 2 cm).
Os parietale pada tengkorak orangutan merupakan sepasang tulang yang berbentuk konveks yang sebagian besar membentuk calvaria. Tulang ini terletak di kaudal os frontale dan di dorsal os temporale. Dilihat dari morfologi eksterna tulang ini, terlihat lebih bulat jika dibandingkan dengan os frontale dan terlihat
22
lebih menonjol, licin, dan terang jika dibandingkan dengan os temporale. Oleh karena itu, perbedaan ini dapat dijadikan dasar untuk membedakan tulang-tulang ini karena sutura yang menghubungkannya sudah tidak terlihat jelas (Gambar 6). Os temporale adalah tulang yang sebagian besar membentuk dinding lateral tengkorak dan hanya menempati sebagian kecil daerah calvaria. Tulang ini terdiri atas tiga bagian, yaitu pars squamosa, pars tympanica, dan pars petrosa. Pars squamosa tulang ini memiliki permukaan yang kasar seperti sisik dan pada bagian ventral membentuk fossa mandibularis. Di sebelah kranial dari lekukan ini terdapat suatu penjuluran, yaitu processus zygomaticus dari os temporale. Penjuluran ini kemudian di kraniomedial tengkorak bertemu dengan penjuluran dari os zygomaticum, yaitu processus temporalis dari os zygomaticum. Pertemuan antara dua penjuluran ini membentuk suatu lengkungan yang disebut dengan arcus zygomaticus. Lengkungan ini pada tengkorak orangutan terlihat sangat kuat dan kokoh dengan permukaan bagian dorsalnya terlihat lebih kasar (Gambar 7). Pars tympanica dari os temporale terdapat di bagian kaudal dari fossa mandibularis. Daerah ini ditandai dengan suatu lubang yang disebut dengan meatus acousticus externus. Lubang ini merupakan muara dari lubang telinga luar. Bagian kranial dan kaudal dari lubang ini dibatasi oleh dua penjuluran, yaitu processus retroarticularis pada bagian kranial dan processus mastoideus pada bagian kaudal. Pada bagian kranial processus retroarticularis dan bagian ventral processus zygomaticus terdapat suatu lekukan yang mengadakan persendian dengan caput mandibulae, yaitu fossa mandibularis. Persendian ini disebut dengan articulatio temporomandibulae (Gambar 7). Pars petrosa dari os temporale adalah bagian tulang yang berada di interna terkorak, yang berada di antara os occipitale dan os parietale. Sebagian besar dari bagian ini terdapat di cavum cranii (ruang otak). Pada sisi lateral tengkorak juga terlihat os sphenoidale. Tulang ini berada di ventral (basis) tengkorak yang mengalami penjuluran sampai ke lateral tengkorak. Penjuluran tulang ini ke arah lateral tengkorak ini disebut dengan os presphenoidale yang memiliki dua pasang sayap (ala), yaitu satu pasang ala orbitalis dan satu pasang ala temporalis. Ala orbitalis menjulur ke dorsolateral menuju lateral orbita, sedangkan ala temporalis menjulur di ventral dari
23
os temporale. Pada ala orbitalis terdapat suatu peninggian tulang yang berjalan kaudoventral disebut dengan crista infratemporale, dengan bagian ventral yang menjorok disebut dengan fissura orbitale inferior. Pada bagian medial lekah ini, terdapat
foramen
rotundum.
Pada
ala
temporalis
terdapat
penjuluran
os sphenoidale pada sisi lateral os pterygoideum, sehingga penjuluran ini disebut dengan processus pterygoideus dari os sphenoidale (Gambar 7). 1
A
2
a
21 22 d 23 24
c b e
6 f 7 g 3 5 4 8 10 9 11 12 i
25
h 16
17 18 19 20 15 14
13
B 21
22 23
d 24
3
Gambar 7 Tengkorak bagian atas tampak lateral. Insert gambar A dan B: Os sphenoidale pada lateral tengkorak a. Os parietale, b. Os temporale (pars squamosa), c. Os frontale, d. Os sphenoidale, e. Os occipitale, f. Os zygomaticum, g. Os maxilla, h. Os incisivum, i. Os mandibula, 1. Crista sagittalis externa, 2. Crista frontalis, 3. Processus mastoideus, 4. Processus retroarticularis, 5. Fossa mandibularis, 6. Meatus acusticus externus, 7. Arcus zygomaticus, 8. Processus coronoideus, 9. Incisura mandibulae, 10. Processus condylaris, 11. Facies buccalis, 12. Ramus mandibulae, 13. Angulus mandibulae, 14. Corpus mandibulae, 15. Foramen mentale, 16. Dentes incisivi, 17. Dentes canini, 18. Dentes premolares, 19. Dentes molares, 20. Margo alveolaris, 21. Crista infratemporale dari ala sphenoidale, 22. Fissura orbitale inferior, 23. Foramen rotundum, 24. Processus pterygoideus dari os sphenoidale, 25. Hamulus pterygoideus (Bar: 2 cm).
24
Dinding kaudal tengkorak dibentuk oleh os temporale dan os occipitale. Os temporale pada dinding kaudal tengkorak terdapat di sisi lateral os occipitale dan hanya menempati sebagian kecil daerah kaudal tengkorak. Tulang ini memiliki permukaan yang tidak rata. Pada bagian ventral, tulang ini membentuk suatu penjuluran, yaitu processus mastoideus. Penjuluran tulang ini berbentuk agak bulat dan terlihat cukup berkembang pada tengkorak ini (Gambar 8).
3
a
10
2 1
8
9 4
6 7
b 5
Gambar 8 Tengkorak bagian atas tampak kaudal. a. Os occipitale, b. Os mandibula, 1. Condylus occipitalis, 2. Foramen magnum, 3. Protuberantia occipitalis externa, 4. Processus mastoideus, 5. Angulus mandibulae, 6. Processus pterygoideus os sphenoidale, 7. Foramen mandibulae, 8. Arcus zygomaticus, 9. Foramen mastoideus, 10. Meatus acousticus externus (Bar: 2 cm).
Os occipitale pada dinding kaudal tengkorak disebut dengan squama occipitalis. Tulang ini merupakan sepasang tulang yang dipisahkan oleh suatu garis medial tengkorak yang berjalan dari dorsal tulang ini sampai dorsal foramen magnum. Pada bagian dorsal, tulang ini dipisahkan dari os parietale oleh crista nuchae. Di ventral rigi ini terdapat dua buah penonjolan tulang yang terlihat
25
sangat berkembang dan memiliki permukaan yang kasar, disebut dengan protuberantia occipitalis externa. Jarak antar dua buah penonjolan tulang ini adalah ± 2 cm. Foramen magnum adalah suatu liang yang besar dan bulat, dengan diameter liang bagian ventral terlihat lebih luas dibandingkan dengan diameter liang bagian dorsalnya. Liang ini berada di ventral os occipitale dan merupakan tempat keluarnya jaringan saraf yang berasal dari otak, yaitu medula spinalis. Bagian kiri dan kanan liang ini dibatasi condylus occipitalis (Gambar 8). Daerah basis tengkorak pada pars neurocranii dibentuk oleh os occipitale dan os sphenoidale. Pada perbatasan antara dua tulang ini terdapat suatu penonjolan tulang, yaitu tuberculum musculare. Pada daerah ini, os occipitale disebut dengan pars basillaris, sedangkan os sphenoidale disebut dengan os basis sphenoidale. Pada daerah lateral dari kedua tulang ini banyak terdapat lubang dan penjuluran tulang, sehingga permukaan tulang pada daerah ini terlihat sangat kasar. Beberapa lubang yang terdapat pada daerah ini, yaitu foramen jugulare, canalis n. hypoglossi, foramen mastoideum, foramen lacerum, foramen ovale, foramen spinosum dan canalis caroticus. Lubang ini terdapat lebih di medial dari posterior basis tengkorak. Foramen jugulare berada di sisi lateral dari pars basilaris os occipitale dengan bentuk yang tidak beraturan. Di sisi medial dari lubang ini terdapat canalis n. hypoglossi dan di sisi lateralnya, yaitu pada processus mastoidea terdapat foramen mastoideum yang mengarah ke laterokaudal basis tengkorak. Di antara foramen jugulare dan foramen mastoideum terdapat suatu penjuluran tulang yang berbentuk duri dan terlihat kurang berkembang, yaitu processus styloideus. Penjuluran ini berada di anterior dari perbatasan dua lubang ini. Kemudian di bagian kranial penjuluran ini terdapat dua buah lubang, yaitu canalis caroticus pada bagian kraniomedial dan foramen spinosum pada bagian kraniolateral. Setelah itu, lebih ke anterior lagi sampai ke lateral tuberculum musculare os sphenoidale juga terdapat dua pasang lubang, yaitu foramen lacerum di bagian medial dan foramen ovale di bagian lateral (Gambar 9). Selain beberapa pasang lubang, pada basis tengkorak ini juga terdapat tiga pasang penjuluran, yaitu processus jugularis, processus styloideus, processus mastoideus, dan processus retroarticularis. Processus jugularis pada orangutan
26
terlihat kurang berkembang. Processus styloideus posisinya lebih di medial basis tengkorak yaitu di sebelah kaudal canalis caroticus, sedangkan processus mastoideus dan processus retroarticularis lebih ke lateral basis tengkorak. Processus mastoideus terdapat di bagian kaudal meatus acousticus externus sedangkan processus retroarticularis terdapat di bagian ke kranial meatus acousticus externus. Processus styloideus pada orangutan terlihat kurang berkembang jika dibandingkan dengan processus mastoideus dan processus retroarticularis (Gambar 9). A a 1 1
12 13 14
15
2 4
11
2
3
4
5 7
6
16 b 5
8
10 10
9
Gambar 9 Tengkorak bagian atas tampak ventral dari sudut pandang posterior. Insert gambar A: beberapa foramen di basis tengkorak a. Os occipitale, b. Os sphenoidale, 1. Foramen magnum, 2. Condylus occipitalis, 3. Pars basilaris os occipitale, 4. Proccessus styloideus, 5. Foramen jugulare, 6. Canalis caroticus, 7. Canalis n. hypoglossi, 8. Foramen lacerum, 9. Foramen ovale, 10. Foramen spinosum, 11. Foramen mastoideum, 12. Processus mastoideus, 13. Meatus acousticus externus, 14. Proccessus retroarticularis, 15. Fossa articulatio temporomandibulae, 16. Tuberculum musculare (Bar: 2 cm).
4.2 Pars splanchnocranii Pars splanchnocranii adalah tulang-tulang yang membentuk daerah wajah dan mulut. Bagian tengkorak ini terlihat sangat berkembang, terutama pada daerah mulutnya yang terlihat sangat subur dan menonjol (prognatous). Bagian tengkorak ini disusun oleh beberapa tulang, yaitu os maxilla, os zygomaticum, os lacrimale, os nasale, os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer dan os mandibula (Gambar 10).
27
2 1 a
3
b
11 c
4 13
7 8
d
10
12 e 5 12 13
6
f
9
g
Gambar 10 Tengkorak bagian atas tampak kranial. a. Os parietale, b. Os frontale, c. Os nasale, d. Os maxilla, e. Os zygomaticum, f. Os incisivum, g. Os mandibulla, 1. Crista nuchae, 2. Crista sagittalis (perietalis) externa, 3. Crista frontalis, 4. Foramina zygomaticofaciale, 5. Foramen infraorbitale, 6. Processus temporalis (os zygomaticum), 7. Processus zygomaticum (os frontalis), 8. frontalis (os zygomaticum), 9. Foramen mentale, 10. Cavum nasi, 11. Orbita (ruang mata), 12. Sutura zygomaticomaxillaris, 13. Processus zygomaticus dari os maxilla (Bar: 2 cm).
Tulang wajah dibentuk oleh os maxilla pada bagian medial dan os zygomaticus pada bagian lateral. Dua tulang ini dihubungkan oleh suatu sutura, yaitu sutura zygomaticomaxillaris. Os maxilla pada daerah wajah tidak memiliki tuber faciale dan crista facialis, sehingga pipi hewan ini terlihat lebih datar. Pada daerah pipi, kira-kira 2 cm di ventral orbita terdapat suatu lubang tempat pembersitan saraf dan pembuluh darah senama, yaitu foramen infraorbitale. Lubang ini terlihat berukuran cukup besar pada tengkorak ini. Selanjutnya, tulang ini melakukan penjuluran ke arah os zygomaticum, yaitu processus zygomaticum dari os maxilla. Disamping itu, os zygomaticus yang berada di lateral tulang ini, juga menjulur ke arah kaudal, penjuluran tersebut adalah processus temporalis (os zygomaticum). Penjuluran ini pada sisi lateral tengkorak bertemu dengan
28
penjuluran dari os temporale, yaitu processus zygomaticus (os temporale) dan membentuk arcus zygomaticus (Gambar 10). Orbita merupakan mangkok mata yang terletak di bagian dorsal os maxilla. Pada orangutan, posisinya menghadap ke anterior dengan orbita kiri dan kanan saling berdekatan. Orbita ini dibatasi oleh empat bagian, yaitu batas orbita dorsal, lateral, ventral, dan medial. Batas orbita dorsal dibentuk oleh os frontale, yang biasanya dikenal dengan daerah alis mata (supraorbitalis). Os frontale pada batas orbita dorsal terlihat cukup berkembang (menonjol) dan memiliki permukaan yang kasar. Batas orbita lateral dibentuk oleh os frontale pada bagian laterodorsal orbita dan processus frontale dari os zygomaticum pada bagian lateroventral orbita. Dua tulang ini pada bagian lateromedial orbita dihubungkan oleh sutura frontozygomatica. Permukaan tulang pada laterodorsal batas orbita ini terlihat lebih kasar dibandingkan dengan permukaan yang di lateroventralnya. Kemudian, batas orbita ventral dibentuk oleh os maxilla pada bagian ventromedial dan os zygomaticum pada bagian ventrolateral. Di bagian ventrolateral batas orbita ventral terdapat dua sampai tiga buah lubang dengan ukuran yang hampir sama, yaitu foramina zygomaticofaciale. Selanjutnya, batas orbita medial dibentuk oleh crista lacrimale dan processus frontalis dari os maxilla pada bagian medioventralnya dan os frontale pada bagian mediodorsal bagian ini. Batas orbita ini berada di antara orbita kanan dan kiri, oleh karena itu daerah ini disebut juga dengan daerah interorbitalis. Permukaan tulang pada daerah ini terlihat kasar. Di medial processus frontalis dari os maxilla terdapat processus dari os nasale, yang
merupakan penjuluran os nasale ke arah
os frontale (Gambar 10). Rongga lain yang terdapat pada daerah wajah adalah rongga hidung (cavum nasi). Cavum nasi adalah sebuah rongga berbentuk piriform yang terdapat pada bagian ventromedial orbita. Rongga ini berbentuk piriform karena diameter bagian ventral rongga terlihat lebih luas dari pada bagian dorsalnya. Rongga ini dibatasi oleh tiga tulang, yaitu os nasale di bagian dorsal, os maxilla di bagian lateral, dan os incisivum di bagian ventral. Os nasale pada hewan ini merupakan sepasang tulang yang posisinya dimulai dari regio interorbitalis sampai daerah laterodorsal cavum nasi. Tulang ini memiliki bidang tulang yang terlihat kecil,
29
tipis, runcing, dan berbentuk segitiga. Tetapi, pada tengkorak ini sutura yang menghubungkan sepasang os nasale tidak terlihat jelas, sehingga hanya terlihat sebagai satu keping tulang saja. Tulang ini pada orangutan tidak mengalami peninggian sehingga terlihat sejajar dengan os maxilla yang berada di lateralnya (Gambar 10). Pars splanhcnocranii ini selain terlihat dari daerah anterior wajah, juga terlihat pada basis tengkorak, yaitu daerah langit-langit (palatum). Beberapa tulang yang terlihat dari daerah ini adalah os incisivum, os maxilla, os palatinum, os pterygoideum, dan os vomer. Os incisivum pada basis tengkorak ini berada di anterior dari os maxilla. Kedua tulang ini dihubungkan oleh suatu sutura, yaitu sutura maxilloincisiva. Tulang ini pada daerah langit-langit disebut dengan facies palatina dari os incisivum. Permukaan tulang ini terlihat tidak rata karena pada tulang ini terdapat corpus ossis incisivi sebagai tempat tertanamnya dentes incisivi rahang atas. Pada bagian medial tulang ini terdapat suatu lekukan tulang yang berukuran kecil, yaitu fossa incisivus. Lekukan ini sejajar dengan dentes canini (Gambar 11). Os maxilla pada basis tengkorak berada di anterior os palatinum. Tulang ini membentuk daerah langit-langit dan disebut juga dengan processus palatinus. Pada bagian posterior tulang ini, berjalan suatu lekukan tulang berbentuk parit yang tidak dalam, yang disebut dengan sulcus palatinus. Lekukan ini ke arah kaudal dilanjutkan menjadi foramen palatinus majus, yang sejajar dengan dentes molares ketiga (Gambar 11).
30
A I
B II
a
1 1 7 8 9
2
6
3 5 b
7
3 6 5 b
8
6
7
V 4 g C
11
g C 4 10
11
d 16 12
d 12 11 e
17
2
14
14
e 15 17 13
F
Gambar 11 Tengkorak tampak ventral. A. Tengkorak tampak ventral dengan os mandibula, B. Tengkorak tampak ventral tanpa os mandibula, a. Os occipitale, b. Os sphenoidale, c. Os vomer, d. Os palatinum, e. Os maxilla, f. Os mandibula, g. Os pterygoideum, 1. Foramen magnum, 2. Condylus occipitalis, 3. Pars basilaris (os occipitale), 4. Processus pterygoideus dari os sphenoidale, 5. Tuberculum musculare, 6. Processus mastoideus, 7. Meatus acousticus externus, 8. Processus retroarticularis, 9. Processus condylaris, 10. Angulus mandibulae, 11. Arcus zygomaticus, 12. Foramen palatinum majus, 13. Dentes incisivi, 14. Dentes canini, 15. Dentes premolares,16. Dentes molares (Bar: 2 cm).
Daerah basis tengkorak pada bagian posterior os palatinum ditandai dengan suatu celah yang menuju cavum nasi. Celah ini pada bagian medialnya dipisahkan oleh suatu sekat yang membentuk daerah posteroinferior septum nasi, yaitu os vomer. Pada bagian anterior celah ini terdapat suatu penjuluran tulang yang berbentuk duri, yaitu spina nasalis caudalis. Celah ini pada bagian lateral dibatasi oleh os pterygoideum, yaitu sebuah lempeng tulang yang tipis, panjang dan bagian anteriornya menjulur ke arah ventral sehingga berbentuk sebuah duri (hamulus pterygoideus). Namun, duri ini kurang jelas terlihat pada tengkorak ini.
31
Selanjutnya, pada bagian lateral dari os pterygoideum terdapat penjuluran dari os sphenoidale yang terlihat seperti sebuah lempeng tulang yang lebar, tipis dan seperti sayap, yaitu processus pterygoideus dari os sphenoidale. Penjuluran tulang ini terlihat sangat berkembang pada tengkorak ini (Gambar 11). Os mandibula adalah tulang yang membentuk rahang bawah dan merupakan tulang terbesar yang menyusun tengkorak. Tulang ini terdiri atas sepasang badan (korpus) dan cabang (rami) yang terlihat sangat kuat dan kompak (Gambar 12). Badan dari tulang ini, jika dilihat dari arah kranial berbentuk huruf V (V shape). Badan tulang ini terlihat sangat tebal dan kompak dengan permukaan yang terlihat relatif lebih halus dibandingkan dengan permukaan tulang disekitarnya. Permukaannya pada bagian kranial ini disebut juga dengan facies mentalis. Permukaan tulang ini merupakan bagian yang langsung berhubungan dengan bibir. Pada bagian lateral facies ini terdapat foramen mentalis yang merupakan tempat permuaraan canalis mandibulae dari foramen mandibulae. Selain itu, pada bagian dorsal dari badan tulang ini terdapat limbus sebagai tempat tertanamnya dentes incisivi rahang bawah (Gambar 12). Os mandibula membentuk dua percabangan ke arah lateral yang memanjang dari corpus mandibulae (anterior) sampai ke angulus mandibulae (posterior). Percabangan tulang ini disebut dengan ramus mandibulae. Cabang tulang ini terdiri atas dua bagian, yaitu pars molaris yang memanjang horizontal dan pars articularis yang memanjang vertikal. Pars molaris ditempati oleh dentes molares dan premolares sehingga permukaan tulang pada daerah ini terlihat sedikit kasar. Pars articularis adalah bagian os mandibula yang mengadakan persendian
dengan
os
temporale
yang
disebut
dengan
articulatio
temporomandibulae. Tulang ini terdiri atas dua bagian, yaitu processus coronoideus dan condylus mandibulae yang dipisahkan oleh incisura mandibulae. Processus coronoideus terlihat lebih tipis dan runcing, sedangkan condylus mandibulae terlihat lebih besar dan tumpul. Pada tampak dorsal, processus coronoideus hanya berbentuk suatu garis saja tetapi processus condylaris terlihat terlihat elips karena memiliki suatu caput dengan posisi oblique yang disebut dengan caput mandibulae (Gambar 12).
32
A A
II B
8 7
5 6
2 1 9
3 4 15 15
10 11
12
1
2
14 16 13 13 12
Gambar 12 Sudut pandang lateral dan kranial os mandibula. A. Os mandibula tampak lateral, B. Os mandibula tampak kranial, 1. Dentes incisivi, 2. Dentes canini, 3. Dentes premolares, 4. Dentes molares, 5. Processus coronoideus, 6. Incisura mandibulae, 7. Collum mandibulae, 8. Processus condylaris, 9. Facies buccalis, 10. Ramus mandibulae, 11. Angulus mandibulae, 12. Corpus mandibulae, 13. Foramen mentale, 14. Margo interalveolaris, 15. Margo alveolaris, 16. Facies mentalis (Bar: 2 cm).
Susunan gigi orangutan berbentuk huruf U (U shape) dengan jenis gigi pada tengkorak ini ada empat, yaitu dentes incisivi, canini, premolares, dan molares. Gigi orangutan berjumlah 32, dengan formula gigi 2 (I 2/2, C 1/1, P 2/2, M 3/3). Gigi orangutan sangat baik perkembangannya dengan ukuran relatif besar terutama dentes canini. Ukuran gigi yang relatif besar menjadikan area mulut orangutan terlihat luas dan menonjol (prognatous). Gigi-gigi ini membersit pada tiga tulang, yaitu pada os maxilla, os incisivum dan os mandibula. Untuk gigi rahang atas membersit pada dua tulang, yaitu pada os incisivum membersit dentes incisivi dan pada os maxilla membersit dentes canini, dentes premolares dan dentes molares, sedangkan pada gigi rahang bawah semuanya membersit pada os mandibula (Gambar 13).
33
A I
B II
B A 4
4
4
b
3
3 a
c
2
2 1
1
Gambar 13 Susunan gigi rahang atas dan rahang bawah. A. Susunan gigi pada rahang atas, B. Susunan gigi pada rahang bawah, a. Os incisivum, b. Os maxilla, c. Os mandibula, 1. Dentes incisivi, 2. Dentes canini, 3. Dentes premolares, 4. Dentes molares, 8. Facies lingualis (Bar: 2 cm).
Tempat pembersitan gigi pada tulang disebut juga dengan limbus alveolaris. Limbus ini memiliki kedalaman yang bervariasi tergantung dari jenis gigi yang tertanam di bagian ini. Pada tengkorak ini, limbus alveolaris dari dentes canini dindingnya tertanam lebih dalam dibandingkan dengan limbus alveolaris dari gigi yang lain (Gambar 13).
BAB 5 PEMBAHASAN Tengkorak orangutan berukuran relatif besar jika dibandingkan dengan tengkorak manusia. Tengkorak orangutan mempunyai panjang ± 24,5 cm, lebar ± 19,5 cm dan tinggi ± 19 cm, serta bobot kering 1,3 kg sedangkan tengkorak manusia memiliki panjang ± 22 cm, lebar ± 18 cm, tinggi ± 15 cm, serta berat kering 0,75 kg (Anonim 2011). Meskipun orangutan memiliki ukuran tengkorak yang besar, ukuran tubuh hewan ini juga besar, sehingga dapat menopang kepalanya dengan baik dan tetap dapat bergerak dengan leluasa terutama ketika berada di atas pohon. Selain itu, struktur bangun tengkorak hewan ini terlihat sangat kompak dan keras sehingga tengkorak terlihat sangat kuat dan kokoh. Tengkorak hewan ini tampak frontal berbentuk persegi sedangkan dari arah dorsal terlihat memanjang dari corpus alveolaris dan meninggi sampai di crista nuchae (kaudal os parietale). Tengkorak ini memiliki permukaan yang relatif kasar karena terdapat banyak rigi dan penjuluran tulang yang diduga berfungsi sebagai tempat pertautan (origo atau insertio) beberapa otot dan jaringan kulit di daerah kepala. Tengkorak dibentuk oleh beberapa tulang yang membentuk kesatuan tulang yang kompak dan antara satu tulang dengan tulang yang lain dihubungkan oleh suatu sutura. Namun, seiring perkembangan umur, sutura-sutura pada daerah tengkorak akan semakin menyatu dan tidak terlihat jelas (Tortora dan Derrickson 2009). Hal ini disebabkan oleh proses osifikasi tulang tengkorak yang sudah lanjut. Proses osifikasi ini menyebabkan tulang-tulang menjadi semakin keras, kompak, dan pertautan antar tulang semakin erat (menyatu) (Colville dan Bassert 2002). Menurut Goodal (1996), tingkatan umur pada orangutan, yaitu bayi (infant) 0-4 tahun, anak (juvenile) 4-7 tahun, remaja (adolescent) 7-15 tahun, dewasa (adult) 15-35, dan tua (old) lebih dari 35 tahun. Pada tengkorak orangutan Kalimantan jantan dewasa, beberapa sutura tidak terlihat jelas bahkan sudah tidak terlihat sama sekali sehingga diduga berasal dari orangutan yang sudah berumur tua. Adapun pada tengkorak orangutan koleksi LIPI, suturanya masih terlihat jelas sehingga diduga berasal dari orangutan yang masih muda. Misalnya, sutura yang
35
menghubungkan os maxilla dengan os palatinum pada tengkorak koleksi Laboratorium FKH IPB tidak terlihat jelas, sedangkan pada tengkorak orangutan koleksi Museum LIPI Cibinong, dua tulang ini dihubungkan oleh suatu sutura yang disebut dengan sutura palatomaxillaris (palatina transversa). Kedua tulang ini terdiri atas sepasang tulang yang masing-masing dihubungkan oleh sutura, yaitu sutura intermaxillaris (palatina mediana) antara os maxilla kiri dan kanan dan sutura interpalatinus (palatina mediana) antara os palatinum kiri dan kanan. Tiga sutura yang terdapat pada daerah ini, yaitu sutura palatomaxillaris, sutura intermaxillaris, dan sutura interpalatinus disebut juga dengan sutura cruciformis (Warwick dan Williams 1973). Pada masa embrional, tulang tengkorak berasal dari lapis kecambah mesoderm. Dalam pembentukan tulang, lapis kecambah mesoderm membentuk mesoderm paraksial dan selanjutnya membentuk somit yang berdiferensiasi membentuk skleretom polimorf dan sel mesenkim. Sel ini selanjutnya akan membentuk tulang, termasuk tulang tengkorak (Smith dan Wood 1992). Tulang tengkorak ini terdiri atas dua bagian tengkorak, yaitu pars neurocranii dan pars splanchnocranii (Shier et al. 2001). Pars neurocranii adalah tulang-tulang yang turut membentuk cavum cranii dengan atapnya disebut dengan calvaria (Leeson dan Leeson 1989). Bagian tengkorak ini disusun oleh beberapa tulang, yaitu os occipitale, os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale (Frandson dan Whitten 1981). Pada orangutan, daerah ini berbentuk bulat tidak penuh dengan bagian kranial yang langsing. Bentuk ini dapat terlihat dari bagian kranial calvaria yang memiliki bidang lebih sempit dibandingkan dengan bagian kaudalnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh os frontale yang menempati daerah kranial calvaria berbentuk segitiga (piramida) sedangkan os parietale yang berada di kaudal berbentuk bulat. Bentuk tengkorak seperti ini dapat memperlihatkan bahwa volume cavum cranii lobus frontalis pada tengkorak orangutan berukuran kecil sehingga dapat diduga volume lobus frontalis otaknya juga kecil. Menurut laporan Semendeferi et al. (1997), kera besar memiliki volume lobus frontalis otak berkisar antara 90.000-120.000 mm3. Dalam hal ini, orangutan memiliki volume lobus frontalis otak 94.705 mm3 lebih kecil dibandingkan pada dua kera besar
36
lainnya dan juga manusia. Volume lobus frontalis otak pada simpanse 109.800 mm3, gorilla 112.912 mm3 dan manusia 413.103 mm3, sehingga diduga orangutan memiliki kemampuan motorik lebih rendah dibandingkan dengan dua kera besar lainnya dan manusia. Pada tengkorak orangutan ini, pars neurocranii terlihat kasar dan terdapat beberapa rigi dan peninggian tulang. Pada daerah calvaria terdapat tiga buah rigi, yaitu crista frontalis, crista sagittalis externa, dan crista nuchae. Rigi ini kurang berkembang pada orangutan betina dan jantan muda yang terdapat di LIPI sehingga diduga rigi ini akan semakin berkembang berdasarkan perkembangan umur, kecuali crista frontalis yang hanya akan lebih berkembang pada tengkorak orangutan jantan dewasa. Crista frontalis adalah suatu rigi yang berada di sisi lateral os frontale. Rigi ini terlihat sangat subur dengan permukaan tidak rata dan diduga sebagai tempat pertautan suatu jaringan subkutan yang membentuk bantalan pipi ”cheek pads”. Menurut Maple (1980), orangutan jantan dewasa memiliki bantalan pipi yang sangat berkembang dan bersifat sexual dimorfism. Pada Pongo pygmaeus pygmaeus, bantalan pipi menjadikan kepalanya berbentuk persegi, sedangkan pada Pongo pygmaeus abelii menjadikan kepalanya berbentuk segitiga. Bantalan pipi ini pada orangutan jantan dewasa sudah mulai berkembang pada umur 12 sampai 14 tahun (Goodal 1996). Hal ini diduga berhubungan dengan hormon testosteron yang sudah semakin meningkat yang mempengaruhi perkembangan
ciri
kelamin
sekunder
pada
orangutan
jantan
dewasa.
Perkembangan ini dapat memperlihatkan kesiapan orangutan untuk melakukan aktivitas reproduksi atau perkawinan (Cavigelli dan Michael 2000). Disamping itu, pada orangutan yang masih anak-anak (juvenile) dan orangutan betina, bantalan pipi ini tidak ada atau tidak berkembang. Sehingga crista frontalis juga tidak berkembang. Crista sagittalis externa merupakan rigi tulang yang berada di kaudal crista frontalis dan di sisi medial os parietale kiri dan kanan. Rigi ini cukup berkembang pada tengkorak orangutan yang diamati. Pada gorilla dan simpanse jantan dewasa, Rigi ini sangat berkembang dan berfungsi sebagai tempat pertautan otot pengunyah atau mastikasi (Simons 2007), yaitu m. temporale (Krieger 1982). Pada manusia, rigi ini hanya berupa garis pada pertemuan sepasang os parietale
37
yang disebut dengan sutura sagittalis (Tortora dan Derrickson 2009), sehingga diduga pada daerah ini tidak terdapat tempat pertautan otot yang kuat dan juga diperkirakan bahwa m. temporale pada manusia tidak terlalu berkebang. Crista nuchae yang merupakan rigi pemisah antara os parietale dengan os occipitale yang juga sangat berkembang pada tengkorak orangutan, seperti pada tengkorak gorilla dan simpanse (Simons 2007). Rigi ini diduga berfungsi sebagai tempat pertautan yang kuat otot-otot ekstensor kepala dan ligamentum nuchae. Pada tengkorak manusia, rigi ini tidak berkembang dan hanya berupa garis yang disebut dengan sutura lambdoidea (Shier et al. 2001), sehingga diduga otot-otot ekstensor dan ligamentum nuchae pada pada manusia tidak terlalu berkembang. Hal ini sesuai dengan kebiasaan berjalan manusia yang bipedal, yang tidak terlalu membutuhkan otot-otot ini untuk menahan posisi kepalanya. . Os occipitale pada orangutan adalah tulang yang membentuk dinding kaudal (pars squamosa occipitalis) dan ventral (basis) tengkorak. Pars squamosa occipitalis pada tengkorak ini sangat luas dan memiliki permukaan yang kasar. Hal ini mengindikasikan bahwa bagian tulang ini memberikan tempat pertautan yang luas untuk otot-otot ekstensor kepala dan leher yang diduga otot ini sangat berkembang pada orangutan. Kondisi ini sangat mendukung posisi kepala supaya tetap seimbang dan tidak menunduk terutama ketika memanjat dan berjalan karena orangutan termasuk hewan arboreal (biasa hidup di atas pohon) (Goodal 1996) dan hewan quadrupedal (menggunakan empat alat geraknya untuk lokomosi) (Maple 1980; Platt dan Ghazanfar 2010). Terdapat beberapa otot ekstensor yang bertaut pada os occipitale, antara lain m. rectus capitis dorsalis major et minor untuk ekstensor kepala, m. obliqus capitis cranialis untuk ekstensor kepala dan menarik kepala ke lateral, dan m. splenius capitis untuk ekstensor dan rotasi kepala dan leher (Getty 1975). Selanjutnya, pada bagian dorsal pars squama occipitalis dan di ventral crista nuchae, terdapat suatu peninggian tulang yang memiliki permukaan yang kasar, yaitu protuberantia occipitalis externa yang berjumlah dua buah (terbagi menjadi dua buah). Sama seperti pada badak, tonjolan tulang ini juga terbagi menjadi dua buah (Aptriana 2009). Penonjolan tulang ini diduga sebagai tempat pertautan dari ligamentum nuchae (Tortora dan Derrickson 2009) yang diperkirakan sangat berkembang pada
38
badak dan orangutan. Tonjolan tulang ini sangat berfungsi untuk pertautan ligamentum nuchae yang mendukung posisi tegaknya kepala, terutama pada hewan yang memiliki kepala yang besar dan berat yang memiliki kebiasaan berjalan secara quadrupedal. Pars squama occipitalis pada bagian ventral ditandai dengan sebuah lubang atau liang yang berukuran besar, yaitu foramen magnum. Liang ini memiliki jarak yang relatif besar dengan protuberantia occipitalis externa. Liang ini berfungsi sebagai tempat lewatnya medulla oblongata yang berasal dari otak (Tortora dan Derrickson 2009). Menurut Simons (2007), posisi foramen magnum pada basis tengkorak mengindikasikan posisi kepala ketika berjalan (bentuk lokomosi). Pada tengkorak ini, foramen magnum berada di kaudal basis tengkorak. Posisi liang ini membuat leher orangutan menjadi oblique (miring terhadap garis tegak lurus). Hal ini dapat mendukung kebiasaan orangutan yang berjalan secara quadrupedal. Posisi liang ini pada orangutan sama seperti pada gorilla dan simpanse (Simons 2007), tetapi pada manusia, posisi foramen ini berada lebih di medial dari basis tengkorak. Sehingga leher manusia terlihat lebih vertikal (tidak tertunduk) (Warwick dan Williams 1973). Hal ini sesuai dengan kebiasaan manusia yang berjalan secara bipedal (menggunakan dua alat geraknya untuk lokomosi) (Platt dan Ghazanfar 2010). Pada bagian lateral liang ini terdapat bungkul yang relatif kecil, yaitu condylus occipitalis. Bungkul ini mengadakan persendian dengan os atlas, dengan persendiannya disebut dengan articulatio atlanto-occipitalis (Colville dan Bassert 2002). Os temporale adalah tulang yang membentuk sebagian besar dinding lateral tengkorak dan sebagian kecil dinding kaudal dan dorsal tengkorak. Pada bagian lateral tengkorak, tulang ini membentuk fossa temporale yang luas. Pada lekukan ini bertaut m. temporalis yang berfungsi sebagai otot mastikasi (mengunyah) (Getty 1975) dan diduga otot ini sangat berkembang pada orangutan. Pada bagian kaudal tengkorak, terdapat penjuluran tulang ke arah ventral dari os temporale, yaitu processus mastoideus. Penjuluran ini terlihat cukup berkembang pada tengkorak ini dan diduga berfungsi sebagai tempat pertautan beberapa otot di daerah kepala, seperti m. sternocephalicus pars mastoideus dan m. digastricus. Musculus sternocephalicus pars mastoideus berfungsi untuk menarik kepala ke
39
lateral, rotasi kepala, fleksor leher dan menarik kepala ke ventral, dan m. digastricus untuk depresor os mandibula (rahang bawah) (Getty 1975). Pars splanchnocranii adalah tulang-tulang yang membentuk daerah wajah. Bagian tengkorak ini meliputi regio orbitalis, nasalis, dan oralis dan disusun oleh beberapa tulang, yaitu os maxilla, os zygomaticum, os lacrimale, os nasale, os incisivum, os palatinum, os pterygoideum, os vomer, dan os mandibula (Frandson dan Whitten 1981). Pars splanchnocranii umumnya merupakan bagian tengkorak yang paling kuat dan paling baik perkembangannya pada hewan (Simons 2007), terutama pada herbivora (kuda, pemamah biak) dan babi (Frandson dan Whitten 1981). Semakin subur dan luas pars splanchnocranii ini, maka tersedia tempat yang relatif luas untuk pertautan otot-otot pengunyah dan untuk penempatan gigi (Getty 1975). Demikian juga pada tengkorak orangutan, gorilla dan simpanse, bagian tengkorak ini juga terlihat lebih subur dan berkembang dibandingkan dengan pars neurocranii dengan daerah mulutnya yang lebih luas dan bentuk mulutnya yang menonjol (prognatous) (Raven 1980; Krieger 1982). Tetapi berbeda pada manusia, pars neurocranii lebih berkembang karena memiliki volume otak yang besar sehingga tulang yang melindungi otaknya juga lebih berkembang (Krieger 1982). Torus supraorbitalis merupakan penonjolan tulang secara transversal yang berada di ventral os frontale dan di dorsal orbita (di perbatasan orbita dengan os frontale) (Notosusanto 2008). Penonjolan ini sangat diperhatikan dalam mengidentifikasi primata. Bagian ini sangat menonjol dan juga merupakan ciri khas yang dimiliki oleh beberapa primata, seperti gorilla, simpanse (Simons 2007), dan papio (Krieger 1982). Penonjolan ini diduga sebagai pelindung daerah mata dan daerah otak bagian frontal (Shea 1986). Tetapi, penonjolan ini kurang berkembang pada tengkorak orangutan. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, seperti daerah frontal calvaria yang relatif sempit, daerah interorbitale tengkorak yang saling berdekatan, dan mangkok mata (orbita) yang besar. Regio orbitalis pada tengkorak orangutan ditandai dengan orbita yang mengarah ke depan dengan letak kedua orbita yang saling berdekatan dan ditandai dengan daerah interorbitale yang sempit. Hal ini memperlihatkan bahwa hewan ini
40
memiliki kemampuan penglihatan yang binokuler, yaitu mampu menggunakan kedua matanya untuk melihat lapang pandang yang sama dengan persepsi pandang yang mendalam. Kemampuan penglihatan yang binokuler ini mendukung kehidupan orangutan yang diurnal karena bentuk komunikasi yang biasa dilakukan oleh orangutan adalah berupa komunikasi visual, seperti perubahan tingkah laku dan ekspresi wajah. Orangutan tidak memiliki “scent gland” seperti yang dimiliki oleh prosimian untuk berkomunikasi (Bennet et al. 1995). Sehingga diduga kemampuan melihat dengan lapang pandang yang sama sangat mendukung untuk kehidupan kera ini. Regio nasalis pada tengkorak orangutan ditandai dengan sebuah rongga hidung (cavum nasii) yang berbentuk piriform (diameter bagian ventral rongga terlihat lebih luas dari pada bagian dorsalnya). Rongga ini dibatasi oleh tiga tulang, yaitu os nasale di bagian dorsal, os maxilla di bagian lateral, dan os incisivum di bagian ventral. Pada beberapa hewan, di bagian ventral rongga hidung ini terdapat canalis interincisivum yang menghubungkan rongga mulut dengan rongga hidung. Hewan yang memiliki saluran ini memiliki penciuman yang tajam karena saluran ini di rongga hidung berhubungan dengan ductus vomeronasalis sebagai tempat terdapatnya organum vomeronasale (organon jacobson). Organ ini sangat berkembang pada ular dan bangsa lizard. Anjing dan kucing juga memiliki organ ini sebagai alat penciuman tambahan (Kent dan Carr 2001). Namun pada tengkorak orangutan, tidak terdapat canalis interincisivum. Oleh karena itu diduga saluran ini mengalami rudimenter pada orangutan, sehingga kemungkinan kemampuan penciumannya juga berkurang. Begitu juga pada bangsa burung, manusia dan beberapa primata seperti kelompok strepsirrhines (Napier dan Napier 1985; Kent dan Carr 2001). Regio oralis pada orangutan terlihat sangat berkembang karena memiliki fungsi yang sangat dominan, yaitu untuk mendapatkan makanan dan mastikasi, serta sebagai alat pertahanan dari serangan musuh. Menurut Shea (1986), dalam mencari makan hewan ini mampu memecahkan kulit kacang yang sangat keras dan menghancurkan kulit buah yang keras dengan menggunakan giginya yang tidak mampu dilakukan oleh primata lainnya. Sedangkan ketika bertahan dari serangan musuhnya, hewan ini mampu menggigit lawannya dengan gigitan yang
41
sangat kuat. Oleh karena itu, hewan ini memiliki ukuran gigi yang besar yang didukung oleh ukuran tulang yang besar sebagai tempat giginya tertanam dan sebagai tempat pertautan otot-otot yang membantu pergerakan rahang. Os mandibula adalah tulang yang membentuk rahang bawah dan merupakan tulang terbesar yang membentuk pars splanchnocranii (Getty 1975). Tulang ini sangat berkembang dan kuat pada orangutan. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tertanamnya gigi-gigi rahang bawah dan tempat membersitnya otot-otot mastikasi. Terdapat beberapa otot yang membantu proses mastikasi, yaitu m. masseter, m. temporalis, dan m. pterygoideus lateralis et medialis (Raven 1980). Otot-otot ini berfungsi menggerakkan os mandibula dalam bentuk elevator, depresor, retraktor, protraktor, dan pergerakan ke lateral, sehingga terjadi proses mastikasi (Tortora dan Derrickson 2009). Selain itu, terdapat beberapa bagian tulang yang tumbuh subur dan berkembang di sekitar daerah mulut yang juga diduga sebagai tempat pertautan otot-otot untuk pergerakan os mandibula dalam melakukan proses mastikasi, salah satunya adalah arcus zygomaticus. Arcus zygomaticus merupakan suatu lengkungan tulang yang berada di sisi lateral tengkorak. Pada tengkorak orangutan, lengkungan ini dibentuk oleh dua buah penjuluran tulang, yaitu processus zygomaticus dari os temporale dan processus temporale dari os zygomaticus. Pada gorilla dan simpanse, lengkungan ini juga dibentuk oleh dua buah penjuluan tulang ini yang juga terlihat kuat dan berkembang (Raven 1980; Krieger 1982). Begitu juga pada manusia, namun lengkungan ini terlihat kecil dan kurang subur (Warwick dan Williams 1973). Berbeda pada kuda, lengkungan dibentuk oleh tiga penjuluran tulang, yaitu processus
zygomaticus
dari
os
temporale,
processus
temporale
dari
os zygomaticus, dan processus zygomaticus dari os frontale (Getty 1975; Frandson dan Whitten 1981). Pada orangutan, lengkungan ini diduga sebagai tempat pertautan yang kuat dari m. masseter yang sangat berkembang. Otot ini berorigo pada permukaan anterior arcus zygomaticus dan berinsertio pada ramus mandibulae dan processus coronoideus dari os mandibula. Otot ini berfungsi untuk mengangkat os mandibula, rotasi articulatio temporomandibulae dan menutup mulut (Raven 1980). Disamping itu, pada tengkorak ini terlihat fossa temporale yang cukup luas yang diperkirakan sebagai tempat membersitnya
42
m. temporale. Otot ini berorigo pada fossa temporale dan berinsertio processus coronoideus dari os mandibula. Otot ini memiliki fungsi yang sama seperti m. masseter (Palastanga et al. 2002). Bagian tulang yang juga terlihat berkembang pada tengkorak ini adalah os sphenoidale yang berada di sisi lateral dan ventral tengkorak. Diperkirakan m. pterygoideus medialis et lateralis diduga membersit pada tulang ini, karena tulang ini pada bagian lateral tengkorak terlihat kasar dan pada bagian ventral tengkorak membentuk suatu penjuluran tulang yang sangat berkembang, yaitu processus pterygoideus dari os sphenoidale. Musculus pterygoideus lateralis berorigo pada ala sphenoidale yang berada di lateral tengkorak dan berinsertio pada processus condylaris dari os mandibula, dan m. pterygoideus medialis berorigo pada processus pterygoideus dari os sphenoidale dan berinsertio pada bagian medial dari ramus dan angulus mandibulae (Palastanga et al. 2002). Selain otot-otot yang memiliki peranan penting dalam proses mastikasi, pada daerah mulut orangutan, juga terdapat beberapa otot yang berfungsi untuk menghasilkan mimik wajah. Misalnya, m orbicularis oris, m. zygomaticus major dan minor, m. levator labii superioris, m. depressor labii inferioris, dan m. depressor anguli oris (Tortora dan Derrickson 2009). Otot ini diduga cukup berkembang pada hewan ini. Beberapa mimik wajah yang biasa dilakukan oleh hewan ini adalah berupa memperluas daerah bibir ke depan (funnel face), memperlihatkan gigi (bare teeth), menyeringai, menguap, dan merayu atau bercanda (playface) (Maple 1980). Namun, orangutan merupakan kera yang memiliki kebiasaan hidup soliter sehingga lebih jarang memperlihatkan komunikasi visual melalui mimik wajah ini jika dibandingkan dengan kera besar lainnya (Galdikas 1984). Orangutan memiliki gigi berukuran relatif besar ukuran relatif besar dan tersusun dalam formula 2 (I 2/2, C 1/1, P 2/2, M 3/3) sehingga berjumlah 32 buah, sama seperti pada manusia dan famili pongidae lainnya. Hal ini berbeda dengan subordo prosimian dan sebagian platyrrhini yang memiliki jumlah gigi 36 buah (Bennet et al. 1995). Di antara gigi orangutan, dentes canini merupakan gigi yang berukuran paling besar. Gigi ini juga merupakan ciri sexual dimorfism pada hewan ini. Ukuran dentes canini pada orangutan jantan dewasa berukuran lebih
43
besar dari pada dentes canini pada betina dewasa (Krieger 1982). Pada gorilla, gigi ini juga merupakan sexual dimorfism seperti halnya orangutan tetapi tidak pada manusia dan simpanse (Simons 2007). Dentes canini ini lebih berkembang pada orangutan jantan diduga karena berhubungan dengan sistem pertahanan orangutan jantan. Menurut Galdikas (1984), orangutan jantan dewasa memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas dan daerah ini tidak boleh dimasuki oleh orangutan jantan dewasa lainnya. Sehingga untuk dapat mempertahankan daerah kekuasaannya ini, hewan ini harus memiliki sistem pertahanan yang kuat, seperti tenaga yang besar dan dentes canini yang sangat berkembang. Orangutan ini ketika mempertahankan daerah kekuasaannya, mampu menggigit musuhnya dengan gigitan yang sangat kuat. Selain itu, untuk menakut-nakuti lawannya, hewan ini biasanya memperlihatkan ekspresi wajah yang menakutkan dalam bentuk bare teeth (memperlihatkan gigi) sambil membuka mulut lebar-lebar (Maple 1980). Tidak hanya untuk pertahanan, dentes canini ini sangat membantu orangutan ketika mencari makan, yaitu mampu mengelupaskan kulit kayu yang sangat keras untuk mendapatkan kulit kayu yang lunak untuk dimakan (Shea 1986).
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Simpulan Orangutan memiliki struktur tengkorak yang kuat dan kompak serta permukaan yang relatif kasar yang dapat mendukung perlekatan otot-otot pada daerah kepala. Pars splanchnocranii lebih berkembang dibandingkan pars neurocranii yang dapat terlihat dari daerah mulut yang lebih berkembang dan menonjol pada tengkorak hewan ini. Oleh karena itu, dengan struktur tengkorak seperti ini dapat mendukung fungsi yang sangat dominan pada daerah kepala orangutan, yaitu untuk proses mastikasi dan alat pertahanan.
5. 2 Saran 1.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap susunan anatomi interna tengkorak orangutan dengan melakukan CT-Scanner untuk mengetahui karakteristik yang spesifik, khususnya luasan cavum cranii dan sinus-sinus paranasalis.
2.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap komparasi tengkorak orangutan Kalimantan yang berjenis kelamin betina dan jantan dari berbagai umur untuk mengetahui perbedaan yang lebih spesifik pada tengkorak dua jenis kelamin orangutan.
3.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap tengkorak orangutan Sumatera (pongo pygmaeus abelii) untuk mengetahui perbedaan yang lebih spesifik dari tengkorak dua subspesies orangutan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Evolution. September 2011]
http://theora.com/images/orangutan2.jpg.
[21
Anonim. 2011. Human Skeleton. wwwpersonal.une.edu.au/~pbrown3/skeleton.pdf . [21 September 2011] Aptriana CD. 2009. Anatomi Skelet Kepala Badak Sumatera (Dicherinos sumatrensis) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bennet BT, CR Abee, R Herrickson. 1995. Nonhuman Primates in Biomedical Research. USA: Academic Pr. Cavigelli SA, ME Pereira. 2000. Mating season aggression and fecal testosterone levels in ring-tailed lemurs (Lemur catta). Horm. Behav. 37:246-255. Colville T, JM Bassert. 2002. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary Technicians. USA: Mosby. Cowlishaw G, R Dunbar. 2000. Primate Conservation Biology. Chicago: Univ Chicago Pr.Deblase AF, RE Martin. 1974. A Manual of Mammalogy with Keys to families of the World. USA: WBC. Deblase AF, RE Martin. 1974. A Manual of Mammalogy with Keys to families of the World. USA: WBC. Delgado R, V Schaik. 2000. The behavioral ecology and conservation of the orangutan (Pongo pygmaeus) a tale of two islands. Hum. Evol. 9: 509-522. Doyen SG, J Supriatna. 2010. Indonesian Primate. USA: Springer. Fischer A, J Pollack, O Thalmann, B Nickel, S Paabo. 2006. Demographic history and genetic differentiation in apes. Curr. Biol. 16: 1133-1138. Frandson RD, EH Whitten. 1981. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Philadelphia: Lea & Febiger. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Jogja: Gadjah Mada University Pr. Galdikas BMF. 1981. Orangutan Reproduction in the Wild. New York: Academic Pr. . 1984. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Jakarta: UI-Pr.
46
Getty R. 1975. The Anatomy of the Domestic Animals. Philadelphia: WB Saunders. Goodal J. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primate. Charles Town: Pogonian Pr. Kent CG, RK Carr. 2001. Comparative Anatomy of the Vertebrae. New York: New York San. Kleiman DG. 2010. Principles and Techniques for Zoo. Di dalam: DG Kleiman, KV Thompson, CK Baer, editor. Management Wild Mammals in Captivity. London: Univ Chicago. Knop E, PI Ward, SA Wich. 2004. A comparison of orang-utan density in a logged and unlogged forest on Sumatera. Biol. Conservation 120:183–188. Krieger ER. 1982. An Atlas of Primate Gross Anatomy Chimpanzee, and Man Baboon. California: Malabar Publishing. Leeson CR, TS Leeson. 1989. Human Structure. Philadelphia: BC Decker. Maple TL. 1980. Orangutan Behavior. New York: Van Nostrand Reinhold. Maryanto I, AS Achmadi, AP Kartono. 2008. Mamalia dilindungi PerundangUndangan Indonesia. Cibinong: LIPI Pr. May DS, Neil. 1955. The Anatomy of the Sheep. Great Britain: University of Queensland Pr. Napier JR, PH Napier. 1985. The Natural History of The Primate. Cambridge: MIT Pr. Notosusanto N. 2008. Zaman Prasejarah Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Palastanga N, D Field, R Soames. 2002. Anatomy and Human Movement. Melbourne: Butterworth Heinemann. Platt ML, AA. Ghazanfar. 2010. Primate Neuroethology. New York: Oxfort University Pr. Raven HC. 1980. The Anatomy of the Gorilla. New York: Columbia Univ Pr. Rodman PS. 1973. Population Composition and Adaptive Organisation Among Orangutans of the Kutai Reserve. London: Academic Pr. Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to Living Primate. New York: Pogonian Pr. Semendeferi K, H Damasio, R Frank, GWV Hoesen. 1997. The evolution of frontal lobes: a volumetric analysis base on three dimentional
47
reconstruction of magnetic resonance scans of human and ape brains. J. Hum. Evol. 32: 375-388. Shea TB. 1986. On skull form and the supraorbital torus in primate. Am. J. Phys. Antrhop. 68: 329-342. Sherwood JR, RB Rowley, SC Ward. 2002. Relative placement of the mandibular fossa in great apes and humans. J. Hum. Evol. 43: 57-66. Shier D, J Butter, R Lewis. 2001. Hole’s Human Anatomy and Physiology 9th. North America: Mc Graw Hill. Simons FA. 2007. Primate Anatomy an Introduction. San Diego: Academic Pr. Smith I, CA Wood. 1992. Cell Biology (Molecular and Cell Biochemistry). London: Chapman & Hall. Soehartono T, HD Susilo, N Andayani, SSU Atmoko, J Sihite, C Saleh, A Sutrisno. 2009. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Jakarta: Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Soorae PS. 2010. Global Reintroduction Perspective: Additional Case-study from Around the Globe. Abu Dhabi: IUCN/SSC Re-introduction Specialist Group. Supriatna J, EH Wahyono. 2000. Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tortora GJ, B Derrickson. 2009. Principle of Anatomy and Physiology 12th ed. USA: Jhon Willey & Son. [WAVA]. World Assocition of Veterary Anatomist. 2005. Nomina Anatomica Veterinaria 5th ed. Columbia: International Committee on Veterinary Gross Anatomical Nomenclature Walker WF Jr. 1987. Function Anatomy of Vertebrates an Evolutionary Perspective. Philadelphia: Philadelphia Saunders Coll. Warwick R, PL Williams. 1973. Gray’s Anatomy 35th ed. Philadelphia: WB Saunders. Willey J, W Mantagna. 1963. Comparative Anatomy. London: INC. Zhi L, WB. Karesh, DN JancZewski, HF Taylor, D Sajuthi, F Gombek, M Andau, JS Martenson, SJO William. 1996. Genomic differentiation among natural populations of orangutan (Pongo pygmaeus). Curr. Biol. 6: 1326-1336.