STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI NILAM INDONESIA Chandra Indrawanto dan Ludi Mauludi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat ABSTRAK Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar minyak nilam didunia. Belum berkembangnya industri hilir nilam menyebabkan hampir seluruh produksi minyak nilam Indonesia diekspor, hal ini mengakibatkan nilai tambah yang ada dari industri ini tidak dinikmati oleh Indonesia dan membuat Indonesia sebagai price taker yang sangat tergantung dengan harga yang terjadi dipasar internasional. Untuk itu perlu dibentuk strategi pengembangan industri nilam yang mengintegrasikan sektor usahatani, agroindustri penyulingan dan industri hilir nilam. Pembentukan klaster industri yang menggabungkan usahatani dengan agroindustri penyulingan di kabupaten sentra usahatani nilam dengan luas usahatani 20 ha per satu agroindustri dengan kapasitas alat 5000 liter menunjukkan suatu kelayakan finansial yang cukup tinggi. Pengembangan industri hilir berbahan baku minyak nilam haruslah ditunjang dengan inovasi hasil penelitian dan pengembangan dan kebijakan pemerintah yang mendukung peningkatan dayasaing industri tersebut. Untuk menunjang terlaksananya strategi ini dengan baik maka perlu perlu diketahui status pasokan dan serapan industri nilam Indonesia saat ini.
PENDAHULUAN Agroindustri minyak nilam merupakan salah satu industri yang perlu dikembangkan mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam pengadaan bahan bakunya dan teknologi pengolahannya yang cukup sederhana sehingga mudah
62
dikembangkan. Selain itu pengembangan industri minyak nilam akan menimbulkan efek berganda berupa peningkatan kesejahteraan petani nilam mengingat mayoritas perkebunan nilam yang ada adalah perkebunan rakyat. Ekspor minyak nilam memberikan kontribusi lebih dari 50 persen pada total nilai ekspor minyak atsiri Indonesia. Selain itu Indonesia juga menguasai sekitar 90 persen produksi minyak nilam dunia. Akan tetapi produksi minyak nilam Indonesia mutunya masih rendah sehingga harga jualnya tidak terlalu tinggi dan berfluktuatif. Nilai tambah diperoleh negara-negara pengimpor yang memproses ulang menjadi fraksi minyak nilam dengan mutu lebih baik serta tambahan nilai dari berbagai produk yang memakai minyak nilam atau fraksinya sebagai salah satu bahan bakunya. Untuk itulah maka perlu dicari suatu strategi pengembangan industri minyak nilam Indonesia agar nilai tambah dari industri minyak nilam dapat lebih dinikmati oleh Indonesia sebagai produsen utama. Pertanaman nilam di Indonesia Areal pertanaman nilam di Indonesia seluruhnya merupakan perkebunan rakyat yang tersebar di
tujuh propinsi di pulau Sumatera dan Walaupun produktivitas tanaman Jawa (Tabel 1). Budidaya yang nilam Indonesia rendah dan areal diterapkan petani umumnya sederhana tanaman sering berpindah lokasi, sejak dan berpindah-pindah lokasi sehingga tahun 1994, trend luas areal dan luas areal sangat fluktuatif. Budidaya produksi nilam Indonesia menunjukkan yang sederhana dan kurang intensif peningkatan masing-masing sebesar serta bibit yang kurang baik mutunya 3,11% dan 0,3% pertahun seperti menyebabkan produktivitas daun nilam terlihat pada Gambar 1. Trend menjadi rendah, yaitu sekitar 3 ton peningkatan ini mengindikasikan terna nilam kering/ha/tahun dari bahwa ketersediaan bahan baku nilam potensinya sekitar 6,5 ton terna nilam untuk jangka panjang masih akan tetap kering/ha/tahun (Sudaryani dan terjamin. Sugiharti, 1991) dan kadar minyak Gambar 1. Perkembanga Luas Areal dan Produksi Nilam Indonesia (1989 - 2000) nilam yang dihasilkan juga relatif 35000 rendah yaitu sekitar 2 – 2,5%. 30000 25000 Tanaman nilam ditanam dengan 20000 jarak tanam sekitar 60 – 90 cm x 30 – 15000 10000 50 cm, atau sekitar 22.000 – 55.000 5000 tanaman perhektar dengan rata-rata 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 tanaman umumnya sekitar 25.000 Tahun 1989 - 2000 tanaman per hektar (Wikardi, et al, Areal (ha) Produksi (ton) 1990). Tanaman nilam mulai dapat diambil ternanya (berproduksi) pada Pasar minyak nilam Indonesia saat 6 – 8 bulan setelah tanam. Hampir seluruh minyak nilam Pemanenan dapat dilakukan setiap 3 – yang dihasilkan Indonesia diekspor ke 4 bulan sekali terus menerus hingga berbagai negara. batas usia produktif yaitu sekitar 6 tahun. Tabel 1. Areal Pertanaman Nilam di Indonesia (ha) Tahun 2000 Propinsi
TBM
TM
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Bengkulu Lampung Jawa Tengah Jawa Timur Total
1 990 255 700 547 78 602 6 4 178
1 875 1 318 1 315 1 924 131 403 23 6 476
TT/TR
Total
0 0 0 0 66 0 30 96
3 865 1 573 2 015 2 471 275 1 005 59 10 750
Produksi (ton) 8 090 2 720 1 280 870 970 7 630 2 600 23 660
Sumber: Ditjenbun, 2000. Keterangan : Produksi dalam bentuk terna nilam kering
63
Volume ekspor minyak nilam ini setiap tahun menunjukkan trend yang meningkat sebesar 5,3% pertahun sedangkan harga ekspor juga meningkat sebesar 3,0% pertahun dengan rata-rata ekspor sejak tahun 1985 sebesar 1.057 ton pertahun dan rata-rata harga sebesar US$ 18,83/kg pertahun (Gambar 2). Gambar 2. Volume dan harga ekspor nilam Indonesia tahun 1985 - 2000
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Ekspor (ton) 9
10
11
12
13
14
15
16
Tahun 1985 - 2000
Harga (US$/Kwt)
Tujuan ekspor minyak nilam Indonesia mayoritas ke Singapura, Amerika Serikat, Spanyol dan Perancis (Tabel 2). Beragamnya negara pasar minyak nilam Indonesia ini memberikan jaminan stabilitas pasar yang lebih besar karena guncangan pasar di satu negara hanya akan memberikan sedikit guncangan pada ekspor minyak nilam Indonesia secara keseluruhan. Tabel 2. Pasar minyak nilam Indonesia Negara tujuan Amerika Serikat Singapura Inggris Switzerland Perancis Spanyol Lainnya Sumber: Ditjenbun, 2000.
64
Persentase 17,92 37,17 4,42 6,93 8,85 16,45 8,26
Penggunaan minyak nilam Minyak nilam dapat digunakan secara langsung sebagai parfum pada selendang, tenunan, pakaian, karpet, industri sabun, kosmetik, dupa dan lainnya sebagai pewangi. Selain itu fraksi minyak nilam juga banyak digunakan sebagai zat pewangi atau sebagai zat pengikat (fiksatif) zat pewangi lain karena minyak nilam memiliki titik didih yang tinggi sehingga tidak mudah menguap. Industri yang menggunakan fraksi minyak nilam diantaranya industri parfum (pewangi ruangan, rosephix, cologne, spray fixsative, dan lain-lain); industri kosmetik (kosmetik untuk mandi, kosmetik wangi-wangian, kosmetik tradisional, dan lain-lain); industri obat-obatan (obat kulit, obat anti bau badan, dan lainnya); industri makanan dan minuman (permen, minuman, dan lainnya); serta indutri sabun (sabun cuci, sabun mandi, sabun cuci piring, dan lainnya). Pemakaian yang luas minyak nilam baik sebagai pewangi maupun zat fiksatif memberikan dampak pada stabilitas permintaan minyak nilam. Selain itu berkembangnya permintaan produk berbahan baku minyak pewangi juga akan mendorong peningkatan permintaan minyak pewangi termasuk minyak nilam. Strategi pengembangan Dengan posisi sebagai produsen utama minyak nilam dan perkembangan areal dan produksi yang terus meningkat merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk mengembangkan
industri nilamnya. Cara yang paling tepat untuk pengembangan industri nilam ini adalah dengan membangun klaster industri. Porter (2000) mendefinisikan klaster industri sebagai suatu kelompok perusahaan yang saling berhubungan karena kebersamaan dan saling melengkapi, serta berdekatan secara geografis dengan institusi-institusi terkait dalam suatu bidang khusus. Dengan demikian kerjasama kolaboratif antar perusahaan dalam suatu kawasan akan menimbulkan sinergi yang meningkatkan dayasaing. Kunci keberhasilan langkah kolaboratif tersebut adalah adanya partisipasi aktif semua stakeholders, yaitu industri inti, industri terkait dan industri penunjang, yang ada dalam klaster tersebut (Feser, 2001). Pengembangan klaster industri harus bersifat bottom-up dengan sektor swasta sebagai penggerak utama sedangkan peranan pemerintah sebatasi batasan geografisnya. Pembangunan klaster industri dapat skala kecil tingkat kecamatan, atau tingkat kabupaten bahkan tingkat nasional. Pada tingkat kabupaten peranan pemerintah pada upaya pembentukan lembaga-lembaga penunjang dan pembangunan public goods. Sedangkan pada tingkat nasional peranan pemerintah lebih difokuskan pada pembentukan rule of the game agar terjaga kesatuan pasar nasional dan tidak terjadinya persaingan tidak sehat antar daerah. Strategi pengembangan industri nilam Indonesia tentunya harus dapat memanfaatkan kesempatan sekaligus dapat mengatasi kelemahan yang ada.
Integrasi vertikal yang erat antara usahatani, industri penyulingan dan industri hilir pemakai bahan baku minyak nilam perlu dibentuk dalam suatu klaster industri. Pengembangan usahatani nilam haruslah dikaitkan secara langsung dengan pengembangan industri penyulingannya. Dengan asumsi : 1. Produksi terna basah usahatani nilam 10 ton/ha/panen atau setara dengan 2 ton terna kering/ha/panen. 2. Panen dilakukan setiap 3 bulan. 3. Kapasitas alat suling 5000 liter atau setara dengan 500 kg terna kering 4. Penyulingan dilkukan 2 kali sehari dengan 26 hari perbulan. Maka agar terjadi keterkaitan yang erat antara usahatani nilam dengan industri pengolahannya, dimana produk terna nilam terserap oleh industri pengolahan dan industri tersebut berjalan dengan kapasitas maksimal karena mendapatkan suplai bahan baku yang maksimal, setiap pengembangan 39 ha usahatani nilam harus diikuti dengan pengembangan agroindustri penyulingan dengan satu alat suling berkapasitas 5000 liter. Dari segi analisis finansial usahatani nilam seluas 39 ha dengan asumsi tambahan : 1. Jarak tanam 1 m x 0,5 m dan umur tanaman 3 tahun 2. Panen awal 6 BST dan interval panen 3 bulan sekali 3. Harga terna nilam basah sekitar Rp 350 /kg. maka didapat perhitungan pendapatan dan kelayakan finansial usahatani nilam seluas 39 ha seperti pada tabel 4 dan Tabel 5.
65
Tabel 4. Perhitungan biaya dan pendapatan usahatani nilam (39 ha) Tahun ke: Kegiatan Investasi : Pengolahan lahan Pembuatan lubang dan ajir Bibit Penanaman bibit Biaya Variabel : Pupuk Pestisida Tenaga Kerja: -Penyiangan&ppk -Penyemprotan -Pemanenan
Volume
2
39,000,000 19,500,000 48,750,000 19,500,000
9,3 ton/ha 156 lt
36,270,000 36,270,000 11,700,000 11,700,000
36,270,000 11,700,000
70 hok/ha 156 hok 4430 hok
54,600,000 54,600,000 3,120,000 3,120,000 88,600,000 88,600,000
54,600,000 3,120,000 88,600,000
321,040,000 194,290,000 194,290,000
Kg 350
390,000 1,560,000 1,560,000 136,500,000 546,000,000 546,000,000 -184,540,000 351,710,000 351,710,000
Keuntungan Discount factor
1
39 ha 39 ha 975000 bbt 39 ha
Total Biaya Pendapatan : Produksi*) Nilai produksi (Rp/kg)
0
18%
PV
1,00
0,85
0,72
-184,540,000 298,059,322 252,592,646
*) Terna basah nilam. Produksi mulai 6 bulan setelah tanam. Panen setiap 3 bulan
Dari analisis sensitivitas yang ada, usahatani nilam tersebut masih mencapai titik impas (BEP) walaupun produksi terna basah turun hingga 6300 kg/ha/panen. Demikian pula jika harga terna basah turun hingga Rp 221 /kg, usahatani tersebut masih mencapai titik impas, dengan asumsi kondisi lainnya tetap.
66
Sedangkan pada agroindustri penyulingan minyak nilam dengan kapasitas alat suling 5000 liter, dengan asumsi : 1. Harga bahan baku terna nilam Rp 350,-/kg basah atau setara dengan Rp. 1.750,-/kg kering. 2. Rendemen minyak nilam 2% dan harga jual minyak nilam Rp
3.
4.
5.
6.
7.
8.
120.000,-/kg, yang merupakan harga rata-rata yang pernah terjadi. Pada tahun pertama industri pengolahan beroperasi dengan kapasitas 50%, sedangkan pada tahun ke 2 dan seterusnya dengan kapasitas 100%. Umur proyek yang dihitung selama 20 tahun sesuai dengan umur ekonomis alat suling dan peralatan pabrik. Harga alat suling sebesar Rp 120 juta dan dibeli memakai dana pinjaman. Penyusutan dihitung pertahun berdasarkan estimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus dengan nilai sisa sebesar 10%. Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual minyak nilam berdasarkan estimasi harga jangka panjang. Discount rate yang digunakan sebesar 18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang
Didapat kelayakan finansial agroindustri penyulingan minyak nilam seperti pada Tabel 6. Dari hasil analisis sensitivitas, usaha agroindustri penyulingan minyak nilam ini masih dapat mencapai titik impas walaupun harga terna nilam naik hingga Rp. 1.976,-/kg kering, atau jika rendemen minyak nilam turun hingga 1,81%, atau jika harga minyak nilam turun hingga Rp. 108.700,-/kg, dengan asumsi kondisi lainnya tetap. Skenario kondisi harga terburuk dimana usaha agroindustri penyulingan dan usahatani nilam hanya mencapai titik impas akan terjadi apabila harga minyak nilam mencapai Rp. 76.450,-/ kg, dan harga terna kering sebesar Rp. 1.105,-/kg atau setara dengan Rp. 221,/kg terna basah. Kondisi ini mencerminkan harga minimal minyak nilan dan terna nilam yang harus dicapai.
Tabel 5. Analisis Finansial Usahatani Nilam (39 ha) Uraian Terna Basah : Terna Kering Produksi Terna Basah/ha/panen (kg) Harga Terna Basah (Rp/kg) Discount Faktor NPV B/C Ratio IRR Sensitivitas Produksi minimum terna basah/ha/panen (kg) Harga Minimum Terna Basah (Rp/kg)
Nilai 5:1 10000 350 18% 366,111,968 2,98 163% 6300 221
67
Tabel 6. Analisis Finansial Agroindustri Penyulingan Nilam Kapasitas 5000 liter (20 tahun) Uraian Harga Terna kering (Rp/kg) Rendemen Harga Minyak (Rp/kg) Discount Faktor NPV (Rp) B/C Ratio IRR Sensitivitas: Harga maksimal terna kering (Rp/kg) Rendemen minimal Harga Minimal Minyak (Rp/kg)
Aktual 1,750 2,0% 120,000 18% 287,239,574 3,81 117% 1976 1,81% 108700
Tabel 7. Skenario harga terna dan minyak terendah Uraian Harga Terna kering (Rp/kg) Rendemen Harga Minyak (Rp/kg) Discount Faktor NPV (Rp) B/C Ratio IRR Bentuk klaster industri yang tepat untuk pengembangan usahatani dan penyulingan nilam ini adalah klaster tingkat kabupaten di sentrasentra usahatani nilam. Untuk itu perlu pembangunan public goods seperti jalan dan sarana tranportasi yang menghubungkan petani produsen dengan industri penyulingannya. Disamping itu perlu pula dibangun lembaga penunjang seperti lembaga keuangan sebagai sumber permodalan dan lembaga pemasaran hasil penyulingan.
68
Aktual 1,105 2,0% 76,450 18% 0 1,00 18% Usaha lain untuk mengembangkan industri nilam Indonesia adalah dengan mengembangkan industri turunannya. Pengembangan industri tersebut haruslah dengan memperhatikan unsur-unsur infrastruktur teknologi (segitiga inovasi) seperti diuraikan oleh Sharif (1993) yaitu unit rekayasa dan produksi, unit pendidikan dan penelitian serta unit penelitian dan pengembangan. Dengan memperhatikan infrastruktur teknologi maka pihak industri tidak hanya terlibat dalam pengembangan proses dan produk saja
tetapi juga terlibat dalam pengembangan metode dan sistem organisasi. Dengan demikian maka akan dapat dihindari inefisiensi manajemen, baik yang dilakukan oleh pengusaha, teknokrat maupun pemerintah seperti disinyalir oleh Gumbira- Sa’id et al., (2001). Bentuk klaster industri yang tepat dalam pengembangan industri hilir nilam adalah klaster industri tingkat nasional yang menampung hasil industri minyak nilam yang berada di kabupaten-kabupaten sentra usahatani nilam. Kunci krusial keberhasilan klaster adalah pada ketersediaan bahan baku secara kontinyu dan ketersediaan pasar yang luas. Oleh karena itu keterkaitan antar klaster dalam sektor dengan industri nilam sebagai intinya seperti terlihat pada Gambar 3 perlu dibangun dengan baik. Hal ini tentunya memerlukan rule of the game yang baik yang dibuat oleh pemerintah pusat misalnya berupa kebijakan untuk menghambat masuknya produk hirlir berbahan baku minyak nilam agar industri hilir didalam negeri dapat berkembang dan meningkat dayasaingnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Indonesia merupakan produsen utama minyak nilam. Sayangnya nilai tambah yang terdapat dalam industri ini belum banyak dinikmati Indonesia. Untuk itu perlu suatu strategi yang baik dalam pengembangan industri nilam dengan mengkaitkan pengembangan usahatani, usaha agroindustri penyulingan dan industri hilirnya. Beberapa langkah awal yang dapat dilakukan adalah : 1. Membuat kelompok-kelompok tani nilam yang mencakup areal sekitar 20 ha perkelompok dan memberi bantuan pinjaman finansial dan bimbingan usaha agar dapat membentuk usaha agroindustri penyulingan minyak nilam. 2. Membangun industri hilir berbahan baku minyak nilam yang ditunjang dengan inovasi-inovasi baru hasil penelitian dan pengembangan. 5. Untuk menunjang agar strategi 1 dan 2 tersebut dapat berjalan dengan baik maka perlu diketahui status pasokan dan serapan industri nilam Indonesia saat ini.
69
Klaster Mesin & Peralatan
Usahatani Nilam
Agrpindustri Pengolahan Minyak Nilam
Klaster Industri Barang Konsumsi: - Kosmetik & Obat-obatan - Pembersih Rumahtangga - Sabun dan Detergent - Parfum - Makanan dan Minuman - Dll
Pasar Ekspor
Pupuk Benih Insektisida Pestisida Pasar Dalam Negeri
Klaster Input Usahatani Klaster Transportasi Lembaga Penelitian Lembaga Pendidikan
Sarana dan Prasarana Transportasi
Gambar 3. Keterkaitan antar klaster dalam sektor dengan industri nilam sebagai industri inti
70
DAFTAR PUSTAKA Ditjenbun, 2000. Statistik jambu mente. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Feser, E.J., 2001. Introduction to regional industry cluster analysis. Dept. of City and Regional Planning. UNC-Chapel Hill. Gumbira-Sa’id, E., Rachmayanti dan M.Z. Muttaqin, 2001. Manajemen teknologi agribisnis: Kunci Menuju Daya Saing Global Produk Agibisnis. Ghalia Indonesia. Porter, M.E., 2000. Location, Competition and Economic Development: Local Clusters in a Global Economy. Economic Development Quarterly. Vol 14 No. 1. February, 2000.
62
Ketaren, S., 1986. Pengantar teknologi: minyak dan lemak. UI-Press – Jakarta. Sharif, N., 1993. Rationale and The Framework for a Technology Management Information System. Dalam A Guide for Technology Management Information System. Vol I. Jakarta: Center for Analysis of Science and Technology Development (PAPITEK) and Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Sudaryani dan Sugiharta, Budidaya tanaman Gramedia – Jakarta.
1991. nilam.
Wikardi, E.A, A. Asman., P. Wahid, 1990. Perkembangan penelitian tanaman nilam. Puslitbangbun – Bogor.