Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
1
STRATEGI PEMUNGUTAN PBB KOTA SURABAYA TERHADAP REALISASI TARGET PENERIMAAN TAHUN 2009-2012
Dinar Ratna Wulansepty
[email protected] Titik Mildawati Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya ABSTRACT The purpose of this research is to understand and to find out the strategy and procedures of Municipal Government of Surabaya city in the collection of land and building tax and to carry out tax billing, to find out the reason and the constraint that has made the community do not pay the tax, to find out the suitability between land and building tax revenue target and the realization result of revenue target from 2009 to 2012, and to find out whether the realization target of land and building tax revenue each year is increasing or decreasing, and to find out the strategy that has been conducted in carrying out tax billing and the suitability in land and building tax billing in order to reach the revenue target therefore an improvement is required. The result of the research shows that Municipal Government of Surabaya city uses Land and Building collection strategy that is mobile vehicle strategy, door to door strategy, district coordination strategy, payment strategy via ATM or online. It can be seen from the table 1 that the revenue percentage in 2009 was 93.84% while in 2010 was 79.09% in 2011 was 70.23% and in 2012 was 72.93%. The problem that is encountered in the collection of land and building tax such as the weaknesses of law enforcement, the data base is still far from international standard, the lack of the taxpayers’ awareness, and taxpayers who have unclear address.
Keywords: Property Tax, Billing Strategy, Target Realization. ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan mengetahui tata cara dan strategi pemerintah kota Surabaya dalam penarikan pemungutan PBB serta penagihan pajak dan untuk mengetahui kendala dan alasan yang membuat masyarakat tidak membayar pajak, untuk mengetahui kesesuaian antara target penerimaan PBB dan hasil realisasi target penerimaan 2009-2012, dan untuk mengetahui apakah target realisasi pendapatan pajak Bumi dan Bangunan setiap tahun meningkat atau menurun, dan untuk mengetahui strategi yang telah dilakukan dalam melaksanakan penagihan pajak, dan kesesuaian dalam penagihan pajak bumi dan bangunan untuk mencapai target pendapatan karena itu perbaikan diperlukan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah kota Surabaya menggunakan strategi pemungutan PBB yaitu strategi mobil keliling, strategi door to door, strategi berkoordinasi dengan RT/RW dan Kelurahan, strategi dengan pembayaran via ATM atau online.Dapat dilihat dari tabel 1 presentase penerimaan pada tahun 2009 sebesar 93,84% sedangkan pada tahun 2010 sebesar 79,09% pada tahun 2011 sebesar 70,23% dan pada tahun 2012 sebesar 72,93%. Adapun kendala yang dihadapi dalam pemungutan PBB antara lain lemahnya penegakan hukum, database yang masih jauh dari standra internasional, kurangnya kesadaran dari wajib pajak, serta wajib pajak yang memiliki alamat tidak jelas. Kata Kunci: Pajak Bumi dan Bangunan, Strategi Pemungutan, Realisasi Target
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
2 PENDAHULUAN Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik penerimaan langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa kemasa seusuai dengan perkembangan masyarakat dan Negara, baik dibidang kenegaraan maupun bidang sosial dan ekonomi. Salah satu aspek penunjang dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan nasional selain dari aspek sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya lainya adalah ketersediaan dana pembangunan baik yang dipeoleh dari sumber-sumber pajak maupun non pajak. Pentingnya pajak tersebut untuk pembiayaan pembangunan, hal ini tidak lain karena warga negara sebagai manusia biasa selain mempunyai kebutuhan sehari-hari selain sandang dan pangan, juga membutuhkan sarana dan prasarana, seperti jalan untuk transportasi, taman untuk hiburan atau rekreasi, bahakan keinginan untuk merasa aman dan terlindungi. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dana Bagi hasil dengan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan akan dibagi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan rincian sebagai berikut: (1) 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah ; (2) 10% (sepuluh persen) untuk pusat. Sejak tahun 2011 penarikan PBB dilimpahkan dari Pemerintah pusat ke Pemerintah kota sesuai dengan peraturan bersama Menteri Keuangan dan Menteri dalam Negeri nomor 213/pmk.07/2010, nomor : 58 tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan – Perkotaan sebagai Pajak Daerah. (Rahman:2011:41) Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah bertujuanuntuk Meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, Memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah, Memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan menyerahkan fungsi pajak sebagai instrument penganggaran dan pengaturan pada daerah. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Distribusi Daerah, Pemerintah Daerah kini mempunyai tambahan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari Pajak Daerah, sehingga saat ini Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. ( www.pajak.go.id: 2012) Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka perumusan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) bagaimana tata cara dan strategi Pemerintah Kota Surabaya selaku pihak yang berwenang dalam penarikan pemungutan PBB serta melakukan penagihan penunggakan pajak; (2) apa yang menjadi kendala dan alasan yang membuat masyarakat tidak membayar PBB serta pembenahan seperti apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam memperlancar pemungutan PBB yang sebagai salah satu sumber pendapatan daerah; (3) apakah ada kesesuaian target penerimaan PBB dengan hasil realisasi penerimaan dari tahun 2009-2012, apakah terjadi peningkatan atau penurunan realisasi target penerimaan PBB untuk setiap tahunnya; (4) apakah strategi yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dalam melakukan pemungutan serta penagihan PBB selama ini sudah sesuai atau belum untuk mencapai target penerimaan sehingga memerlukan pembenahan yang lebih baik.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
3 Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk memahami dan mengetahui tata cara dan strategi Pemerintah Kota Surabaya selaku yang berwenang dalam penarikan pemungutan PBB serta melakukan penagihan pajak; (2) untuk mengetahui kendala dan alasan yang membuat masyarakat tidak membayar pajak serta mengetahui pembenahan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam memperlancar pemungutan PBB yang sebagai salah satu sumber pendapatan daerah; (3) untuk mengetahui kesesuaian antara target penerimaan PBB dengan hasil realisasi target penerimaan dari tahun 2009-2012, serta untuk mengetahui terjadi peningkatan atau penurunan realisasi taget penerimaan PBB untuk setiap tahunnya; (4) untuk mengetahui strategi yang dilakukan Pemerintah kota Surabaya dalam melakukan pemungutan serta kesesuaian penagihan PBB dalam mencapai mencapai target penerimaan sehingga memerlukan pembenahan. TINJAUAN TEORITIS Menurut Mardiasmo (2011:1) menyatakan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut: (a) iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang); (b) berdasarkan undang-undang pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya; (c) tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat di tunjukkan dalam pembayaran pajak tidak dapat di tunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah; (d) di gunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Asas Pemungutan Pajak Menurut Waluyo (2009:15), asas pemungutan pajak dapat dibagi dalam beberapa asas yaitu sebagai berikut: (1) Asas menurut Falsafah hukum, hukum pajak harus berdasarkan pada keadilan dan keadilan ini sebagai asas pemungutan pajak. Untuk menyatakan keadilan bahwa Negara berhak memungut pajak, maka muncul beberapa teori dasar yaitu: (a) teori asuransi, dalam teori ini Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut; (b) teori Kepentingan, dalam teori ini Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan masingmasing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar; (c) teori daya Pikul, dalam teori ini Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang; (d) teori bakti, mengajarkan bahwa penduduk adalah bagian dari salah satu negara oleh karena itu penduduk terikat pada negara da wajib membayar pajak pada negara dalam arti berbakti kepada Negara; (e) teori asas daya beli, dalam teori ini Memungut pajak berarti menari daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat; (2) Asas Yuridis untuk menyatakan suatu keadilan hukum pajak harus memberikan jaminan hukum kepada Negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah pasal 23A amandemen Undang-Undang Dasar 1945; (3) Asas ekonomis, asas ekonomis ini lebih menekankan bahwa Negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu, pemungut harus di upayakan tidak menghambat kelancaraan ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu; (4) Asas pemungut pajak lainnya terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak dalam pajak penghasilan, yaitu: (a) Asas tempat tinggal adalah negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib Pajak yang tinggal di wilayahnya, baik penghasilan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
4 yang berasal dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalm negeri; (b) Asas kebangsaan adalah pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk wajib pajak luar negeri; (c) Asas sumber adalah negara yang berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi berikut ini: (a) official assessment system, sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang; (b) self assessment system, sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar; (c) withholding system, sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Hambatan Pemungutan Pajak Hambatan terhadap pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2011:8) dapat dikelompokkan menjadi: (a) perlawanan pasif, masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain: (1) perkembangan intelektual dan moral masyarakat; (2) sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat; (3) sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik dan (b) perlawanan aktif, Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: (1) tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang; (2) tax evasion, usaha meringankan beban pajak, dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak). Menurut Nin Yasmine Lisasih (2011) dalam artikel all about lawmengemukakan kendala dalam pemungutan pajak secara umum baik pajak pusat maupun pajak daerah, seringkali terdapat kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak. Kendala-kendala tersebut antara lain: (1) berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak konsisten dengan undang-undangnya, apabila peraturan pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak konsisten dengan undang-undang tentu akan mengakibatkan kendala yang fatal dalam pemungutan pajak.; (2) kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional, pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan harus dilakukan secara terus menerus terutama mengenai objek dantarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak daerah saling melengkapi; (3) database yang masih jauh dari standar internasional, database sangat menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak dengan sistem selfassasment. Persepsi masyarakat, bahwa banyak dana yang dikumpulkan oleh pemerintah digunakan secara boros atau korup, juga menimbulkan kendala untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak; (4) lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara negara, Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh penjabat yang berwenang dibidang hukum pelaksanaan hukum dilingkungan birokrasi khususnya badan pemerintahan di bidang perpajakan dalam melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara nergara ternyata belum ada gebrakannya. Seharusnya bila dilakukan tentu membantu dalam mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintah yang bersih; (5) kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat, pemungutan pajak dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
5 kenegaraan. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke negara mengakibatkan timbulnya perlawanan atau terhadap pajak merupakan kendala dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara. Pajak Daerah Menurut dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah “Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Mardiasmo (2011:331) bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawarawa, tambak, perairan) serta laut wilayah republik Indonesia. Bangunan adalah kontruksi tekhnik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Menurut Rahman (2011:41) PBB merupakan jenis pajak yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah dalam menentukan besar pajaknya (menganut sistem pemungutan official assessment system). Pajak ini bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Di sini keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menetukan besarnya pajak. Dari kedua pengertian tentang PBB tersebut diatas, menunjukan bahwa PBB adalah iuran yang dikenakan terhadap orang atau badan secara nyata mempunyai hak memiliki, menguasai, dan memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/ pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak: (1) Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak; (2) Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak; (3) Subjek pajak yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak yang dimaksud; (4) Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak kepada Dirjen Pajak disetujui, maka Dirjen Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud; (5) Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya; (6) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal terimanya keterangan, Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui. (Mardiasmo: 2011: 336) Objek Pajak dan Objek Tidak Kena Pajak PBB Objek pajak adalah Bumi dan Bangunan Perdesaan dan perkotaan adalah Bumi dan/ Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/ digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Objek pajak yang tidak dikenakan PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang menurut (Undang-undang nomor 28 tahun 2009 Pasal 77), sebagai berikut: (1) digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintah;(2) digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, social, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasionala yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; (3) digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
6 yang sejenis dengan itu; (4) merupakan hutang lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; (5) digunakan oleh perwakilan diplomatic dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan (6) digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang di tetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Tarif Pajak PBB Tarif PBB perdesaan dan perkotaan ditetapkan dengan peraturan daerah dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai berikut: (1) untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1 % (nol koma satu persen) per tahun; (2) untuk NJOP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2 % (nol koma dua persen) per tahun. Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau bangunan dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan, maka dikenakan tambahan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBB, sehingga menjadi sebagai berikut: (1) untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,15 % (nol koma lima belas persen) per tahun; (2) untuk NJOP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,3 % (nol koma tiga persen) per tahun. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Menurut Mardiasmo (2011:312) nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Besar nilai jual objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib pajak. Nilai NJOPTKP ini ditetapkan dengan peraturan daerah (Pasal 77 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009) Tata Cara Pembayaran dan Penagihan Pajak Menurut Mardiasmo (2011:34) dalam buku “Perpajakan” menjelaskan tata cara pemmbayaran dan penagihan pajak terdapat 8 cara yaitu sebagai berikut: (a) pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak; (b) pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal di terimanya SKP oleh wajib pajak; (c) pajak yang terutang yang Pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang bayar, dikenakan dendan administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, bagian dari bulan dihitung penuh 1(satu) bulan. (d) denda administrasi yang ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan STP yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut; (e) pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan; (f) tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan; (g) SPPT, SKP,STP merupakan dasar penagihan pajak; (h) jumlah pajak erutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
7
Dasar Penagihan
SPPT
6 bulan
SKP
1 bulan
STP
1 bulan
Sejak D I T E R I M A
TEMPAT PEMBAYARAN - Bank - Kantor Pos - Tempat lain yang di tuju
MENTERI KEUANGAN DAPAT MELIMPAHKAN KEWENANGAN PENAGIHAN PAJAK KEPADA: - GUBERNUR KDH TK.1 DAN/ ATAU - BUPATI/WALIKOTAMADYA TK.II Sumber: Mardiasmo:2011 Gambar 1 Tata Cara Penagihan dan Pembayaran PBB
Peralihan Pengelolaan PBB Pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Bentuk kebijakan tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan. Dengan pengalihan ini maka kegiatan proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/Kota).Tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan Undang-Undang Pajak Daerah dam Retribusi Daerah yaitu: (1) meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah; (2) memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah); (3) memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah; (4)memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah; (5) menyerahkan fungsi pajak sebagai instrument penganggaran dan peraturan pada daerah. Kemudian agar terciptanya kelancaran dalam pengelolaan PBB-P2, pemerintah kabupaten/kota harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan keseimbangan antar wilayah; (b) kebijakan tarif PBB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat; (c) menjaga kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak; (d) akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga. (www.pajak.go.id:2012) Strategi Pemungutan PBB Menurut Wikipedia (dalam artikel id.wikipedia.org/Strategi:2013) strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan,
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
8 dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Di dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaa gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan, dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif. Menurut Peraturan Daerah Kota Surabaya No.10 tahun 2010 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan pada pasal 1, pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya. Menurut Fuad (dalam artikel Payment online system PBB:2012) selaku kepala Direktorat Jendral Pajak, software /aplikasi sistem informasi PBB terdiri dari beberapa bagian/modul. Salah satunya adalah pembayaran. Selama ini strategi pembayaran atau pemungutan yang di terapkan oleh Dirjen pajak adalah melalui kerjasama dengan pemerintah lokal atau kota atau kabupaten. Dengan jumlah objek PBB yang relative banyak dan berdomisili dimanapun sehingga sangat penting adanya system pembayaran online dan semi online yang handal untuk mengelola. Aplikasi/software sistem informasi pembayaran PBB dapat menghandle beberapa cara pembayaran PBB, yaitu: (1) online bank seperti ATM dan bank yang ditunjuk oleh departemen pajak melalui aplikasi online teller (core banking app) yang memiliki sistem Host to Host dengan sistem Dirjen Pajak. Tanda bayar melalui medai ini akan mendapat tanda setor (hasil dari printer thermal dan print dari teller); (2) aplikasi Payment Online System PBB yang ada di KPP Pratama tanda bayar melalui media ini akan mendapat Surat Tanda Terima Setoran (STTS); (3) aplikasi mobil keliling PBB adalah aplikasi pembayaran PBB yang dijalankan oleh petugas Dinas Pendapatan secara berpindah-pindah (mobling) dari satu wilayah satu ke wilayah (kelurahan) lainnya. Tanda bayar melalui media ini akan mendapat Surat Tanda Terima Setoran (STTS). Value for money Menurut Mardiasmo (2002:127) value for money merupakan inti pengukuran kinerja pada organisasi pemerintah yang memperimbangkan input (ekonomi), output (efisien) dan outcome (efektifitas) secara bersama-sama, sedangkan menurut Mahmudi (2010:83) pengukuran kinerja value for money adalah pengukuran kinerja untuk mengukur ekonomi, efisien dan efektifitas suatu kegiatan, program, dan organisasi. Tiga pengukuran kinerja dalam value for money adalah ekonomi, efisien dan efektifitas, yaitu: (1) ekonomi adalah pembelian barang dan jasa pada kualitas tertentu dengan kualitas terbaik (spending less); (2) efisiensi adalah output tertentu dapat dicapai dengan sumber daya yang serendahrendahnya; (3) efektifitas adalah kontribusi output terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Manfaat Implementasi Konsep Value For Money Dalam pengimplementasian value for money ada beberapa manfaat yang dikemukakan (mardiasmo, 2002:7), yaitu : (1) meningkatkan efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran; (2)Meningkatkan mutu pelayanan public; (3) menurunkan biaya pelayanan publik karena hilangnya inefesiensi dan terjadinya penghematan dalam penggunaan input; (4) alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan public; (5) meningkatkan kesadaran akan uang publik sebagai akar pelaksanaan akuntabilitas publik. Pengukuran Kinerja dan Peningkatan Kinerja Menurut Mahsun (2006:153) pengukuran kinerja bukanlah tujuan terakhir melainkan merupakan alat agar dihasilkan manajemen yang lebih efisien dan terjadi peningkatan kinerja. Hasil dari pengukuran kinerja akan memberitahu kita apa yang telah terjadi, bukan mengapa hal itu terjadi atau apa yang harus dilakukan. Suatu organisasi harus
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
9 menggunakan pengukuran kinerja secara selektif agar dapat mengidentifikasi strategi dan perubahan operasional yang dibutuhkan serta proses yang diperlukan dalam perubahan tersebut. Pengukuran kinerja menyediakan dasar bagi organisasi untuk menilai: (1) bagaimana kemajuan atas sasaran yang telah ditetapkan; (b) membantu dalam mengenali area-area kekuatan dan kelemahan; (c) menentukan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kinerja; (d) menunjukan bagaimana kegiatan mendukung tujuan organisasi; (e) membantu dalam membuat keputusan–keputusan dengan langkah inisiatif; (f) mengutamakan alokasi sumber daya; (g) meningkat produk-produk dan jasa-jasa kepada pelanggan.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian dan Gambaran dari populasi (objek) penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang, tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskriptif atau gambaran secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti (soeratno dkk,2003:71). Gambaran obyek dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data kualitatif yang diperoleh dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) Kota Surabaya di Jalan Jimerto No.25 Surabaya. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: (1) Studi Pustaka yaitu penelitaian yang dilakukan dengan cara membaca dan memperoleh informasi dari buku-buku, internet, dan buku bacaan lainnya baik berupa data primer maupun data sekunder; (2) Studi lapangan adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak Dinas Pendapatan Kota Surabaya. Adapun cara memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti adalah sebagai berikut: (a)Observasi; (b)Dokumentasi; (c) Wawancara/interview Satuan Kajian Variabel atau unit yang akan di analisa antara lain: (1) Analisis Strategi Pemungutan PBB, dalam penelitian ini strategi pemungutan yang di gunakan dalam Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya pendataan dengan versifikasi data objek dan subjek PBB merupakan pendataan yang dilakukan untuk mencocokkan data yang sudah terdaftar pada administrasi, di gunakan sebagai bahan penetapan besarnya pajak terutang; (2) Pajak Bumi dan Bangunan,merupakan jenis pajak yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah dalam menentukan besar pajaknya di tentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan bangunan. Teknik Analisa Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan analisis isi (content analysis) terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi daerah. Metode kualitatif merupakan serangkaian observasi dimana tiap observasi yang terdapat pada sample atau populasi tergolong pada salah satu dari kelas-kelas yang eksklusif secara bersama-sama (mutual exclusive) dan yang kemungkinannya tidak dapat dinyatakan dalam angka-angka (Soeratno dkk,2003:70)
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
10 Langkah-langkah dalam proses analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) mengumpulkan, menganalisa, dan memahami data-data dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya, serta data-data yang berhubungan dengan penelitian antara lain data mengenai target dan realisasi dan raelisasi anggaran dan belanja PBB; (2) melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi pendukung yang relevan terkait dengan penelitian,dan wawancara dilakukan di Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya; (3) mengolah dan menganalisis data hasil wawancara terkait strategi pemungutan PBB yang dikelola oleh Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya; (4) mengukur kinerja sektor public menggunakan metode pengukuran value for money yaitu: (a) Tingkat Ekonomi =
; dengan kriteria: (1) jika diperoleh nilai
kurang dari 100% (x < 100%) berarti ekonomis; (2) jika diperoleh nilai sama dengan 100% (x = 100%) berarti ekonomi berimbang; (3) jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%) berarti tidak ekonomis. (b) Tingkat Efisiensi =
x 100% ; dengan kriteria: (1) jika
diperoleh nilai kurang dari 100% (x < 100%) berarti efisien; (2) jika diperoleh nilai sama dengan 100% (x = 100%) berarti efisiensi berimbang; (3) jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%) berarti tidak efisien; (c) Tingkat Efektivitas =
; dengan kriteria: (1) jika diperoleh nilai
kurang dari 100% (x < 100%) berarti tidak efektif; (2) jika diperoleh nilai sama dengan 100% (x = 100%) berarti efektivitas berimbang; (3) jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%) berarti efektif; (5) membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan pembahasan. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Berikut ini adalah data yang diperoleh setelah melakukan penelitian di Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuanga (DPPK) Kota Surabaya. Sebuah data table mengenai target penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan(PBB) beserta realisasi pencapaian target penerimaannya tiap tahun dari tahun 2009-2012. Tabel 1. Data Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Tahun Anggaran 2009-2012 Tahun Target Realisasi 2009 328.356.194.818,00 308.143.066.275,00 2010 421.350.428.259,00 333.129.116.112,00 2011 710.000.000.000,00 498.640.108.489,00 2012 790.613.785.000,00 572.292.265.076,00 Sumber: Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya
% 93,84 79,09 70,23 72,39
Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa realisasi pencapaian target penerimaan setiap tahunnya mengalami penurunan. Dapat dilihat pada tahun anggaran 2009 dan 2010 sebelum peralihan PBB berada pada presentase 93,84% dan 79,06% mengalami penurunan 14,78%, yaitu pada tahun 2009 dengan target Rp.328.356.194.818 dan realisasi Rp.308.143.066.275 mendapat presentase 93,84%,sedangkan pada tahun 2010 dengan target sebesar Rp.421.350.428.259 dan realisasi sebesar Rp. 333.129.116.112 dengan presentase 79,06%. Sedangkan pada tahun anggaran 2011 sampai 2012 yang sudah mengalami peralihan PBB berada pada presentase 70,23% dan 72,39% mengalami peningkatan lebih
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
11 sedikit yaitu 2,16%. Pada tahun 2011 dengan target Rp.710.000.000.000 dan realisasi Rp.498.640.108.489 mendapat presentase 70,23%, sedangkan pada tahun 2012 dengan target sebesar Rp.790.613.785.000 dan realisasi Rp 572.292.265.076 dengan presentase 72,39%. Meskipun dari data yang didapat setiap tahun penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mengalami peningkatan dari segi jumlahnya. Dapat di lihat dari data tersebut Pemerintah Kota Surabaya setiap tahun menetapkan target penerimaan dari tahun ke tahun semakin meningkat jumlahnya, akan tetapi realisasi pencapaian target tersebut menurun setiap tahunnya. Untuk mengetahui apakah strategi pemungutan PBB sudah dilakukan secara Ekonomi, Efisien dan Efektivitas maka dilakukan perhitungan berdasarkan anggaran dan realisasi biaya dengan menggunakan value for money yang dihitung mulai tahun 2011 adalah (1). , hal ini terjadi karena anggran belanja intensifikasi dan ekstensifikasi PBB bersumber dari kas daerah pemerintah kota dan di dalam realisasi belanja daerah terdapat sisa anggaran yang disebut dengan sisa mati dan harus dikembalikan ke kas daerah pemerintah kota. Sehingga besar tingkat ekonomis intensifikasi dan ekstensifikasi PBB yang diperoleh Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya tahun 2011 dengan realisai pengeluaran sebesar Rp. 6.605.118.368,00 dan anggaran penerimaan sebesar Rp. 10.723.836.481,00 yaitu 61,59% (ekonomis). (2). , hal ini terjadi karena realisasi pendapatan ini merupakan hasil dari intensifikasi dan ekstensifikasi PBB, sehingga besar tingkat efisien yang diperoleh Dinas Pendapatan dan Pengelolaan kota Surabaya tahun 2011 deng realisasi biaya untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp. 423.444.310.438,00 dan realisasi pendapatan sebesar Rp. 498.640.108.489,00 yaitu 84,91% (efisien). (3). , hal ini terjadi karena di dalam anggaran pendapatan merupakan target yang ditetapkan oleh pemeritah kota. Dengan demikian apabila realisasi pendapatan lebih besar maka itu semakin baik karena pendapatan daerah yang diterima lebih besar. Sehingga besar tingkat efektif yang diperoleh intensifikasi dan ekstensifikasi PBB Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya tahun 2011 dengan realisasi pendapatan sebesar Rp. 498.640.108.489,00 dan anggaran pendapatan sebesar Rp. 710.000.000.000,00 yaitu 70,23% (tidak efektif). Berdasarkan anggaran dan realisasi biaya maka dapat dihitung value for money untuk tahun 2012 adalah: (1). , hal ini terjadi karena anggran belanja intensifikasi dan ekstensifikasi PBB bersumber dari kas daerah pemerintah kota dan di dalam realisasi belanja daerah terdapat sisa anggaran yang disebut dengan sisa mati dan harus dikembalikan ke kas daerah pemerintah kota. Sehingga besar tingkat ekonomis intensifikasi dan ekstensifikasi PBB yang diperoleh Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya tahun 2012 dengan realisai pengeluaran sebesar Rp. 6.904.952.084,00 dan anggaran penerimaan sebesar Rp. 9.619.177.464,00 yaitu 71,78% (ekonomis). (2). , hal ini terjadi karena realisasi pendapatan ini merupakan hasil dari intensifikasi dan ekstensifikasi PBB, sehingga besar tingkat efisien yang diperoleh Dinas Pendapatan dan Pengelolaan kota Surabaya tahun 2011 deng realisasi biaya untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp. 375.438.318.659,00 dan realisasi pendapatan sebesar Rp. 572.292.265.076,00 yaitu 65,60% (efisien).
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
12 (3).
, hal ini terjadi
karena di dalam anggaran pendapatan merupakan target yang ditetapkan oleh pemeritah kota. Dengan demikian apabila realisasi pendapatan lebih besar maka itu semakin baik karena pendapatan daerah yang diterima lebih besar. Sehingga besar tingkat efektif yang diperoleh intensifikasi dan ekstensifikasi PBB Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya tahun 2011 dengan realisasi pendapatan sebesar Rp. 572.292.265.076,00 dan anggaran pendapatan sebesar Rp. 790.613.785.000,00 yaitu 72,39% (tidak efektif). Berdasarkan perhitungan data pada tahun 2011-2012 maka dapat disimpulkan bahwa Strategi pemungutan PBB yang dikelola oleh dispenda Surabayaadalah ekonomis dan efisien namun tidak efektif dikarenakan sumberdaya yang kurang dan kurang tegas dalam pemungutan. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan PBB Berdasarkan tabel data target dan realisasi penerimaan tahun 2009-2012 dapat dilihat bahwa selama periode waktu 4 tahun terakhir mengalami penurunan. Hal ini di karenan dengan adanya kendala yang di hadapi oleh Dispenda Kota Surabaya antara lain yaitu (1) berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang seringkali tidak konsisten dengan undangundangnya, apabila peraturan pelaksanaan dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak konsisten tentu akan mengakibatkan kendala yang fatal dalam pemungutan pajak; (2) kurang atau tidak adanya kesadaran masyarakat, dalam pemungutan pajak dituntut untuk memenuhi kewajiban kenegaraan; (3) database yang masih jauh dari standar internasional atau database yang masih belum diperbaharui, database sangat menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self-assesment dimana pemungutan pajak memberikan wewenang, kepercayaan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar; (4) lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara negara; (5) alamat tidak jelas atau beralamat ganda ini terjadi karena kesalahan pencatatan di KPP Pratama yang menerbitkan SPPT. Pada saat objek pajak dijual, pembeli melapor tetapi data pemilik lama tidak dirubah mengakibatkan satu objek pajak tercatat dimiliki oleh dua wajib pajak adanya wajib pajak yang mempunyai alamat tidak jelas menyebabkan data yang dimiliki oleh Dispenda seringkali kurang lengkap. Tata Cara Penagihan Pemungutan Pajak Berikut ini ada beberapa tahapan dalam melaksanakan penagihan pajak yang dilakukan oleh Dispenda Kota Surabaya yaitu: (1) tahapan pertama yaitu pemerintah kota bagian pajak daerah dapat melakukan penagihan apabila pajak yang terutang telah lewat jatuh tempo pembayaran; (2) tahapan kedua yaitu pemerintah kota akan menerbitkan Surat Teguran (ST) untuk penanggung pajak sebagai awal tindakan penagihan pajak yang akan dilakukan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran; (3) tahapan ketiga, jika setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya ST, jumlah utang pajak yang harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung pajak, maka akan segera diterbitkan Surat paksa (SP); (4) tahapan keempat setelah lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak SP diberitahukan kepada penanggung pajak, jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penangung pajak maka akan di terbitkan surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP); (5) tahapan kelima setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, apabila utang pajak dan biaya penagihan masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak maka akan segera dilaksanakan Pengumuman Lelang (PL).
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
13 Strategi Pemungutan PBB Untuk mengetahui apakah strategi pemungutan PBB Kota Surabaya sudah berjalan dengan baik, maka dilakukan perbandingan antara PBB dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja (APBD) dengan realisasi pajaknya sendiri. Pemungutan PBB yang dikelola pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mempunyai strategi yang berbeda, pada tahun 2009-2010 strategi pemungutan dikelola oleh pemerintah pusat yaitu dengan strategi polling atau jemput bola dimana masih menggunakan cara manual, petugas pajak mendatangi kantor RW atau kecamatan untuk melakukan pembayaran PBB, sedangkan pada saat peralihan wewenang pada tahun 2011 sampai sekarang yang dikelola oleh pemerintah kota terdapat 4 strategi yaitu: (1) berkoordinasi dengan RT,RW kelurahan atau kecamatan untuk meminta bantuan dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) kepada wajib pajak serta menyediakan tempat pembayaran seperti di Balai RW atau dikantor kecamatan; (2) mobil keliling aplikasi pembayaran PBB yang melakukan sistem komputerisasi dalam pembayaran yang bekerjasama dengan pihak Bank Jatim dan Dispenda dengan UPTD, setiap hari mobil keliling berada di wilayah masing-masing UPTD yang per wilayah terdapat 8-10 kecamatan, mobil keliling beroperasi pada jam kerja bertempat di kecamatan; (3) strategi door to door penagihan yang dilakukan dengan data tunggakan SPPT Rp.5.000.000 keatas kepada wajib pajak, apabila penagihan tidak dihiraukan maka wajib pajak akan mendapatkan Surat Teguran (ST) dan sampai saat ini dispenda belum perna melakukan penyitaan hanya ST terus-menerus; (4) pembayaran via ATM dan Bank yang di tunjuk oleh Dispenda melalui aplikasi online teller (core banking app) dalam hal ini Bank yang di tunjuk oleh Dispenda adalah Bank Jatim. Dengan pembayaran online ini memudahkan bagi wajib pajak untuk membayar PBB dan tidak menyita waktu wajib pajak untuk datang langsung ke kantor dispenda untuk membayar PBB. Jika dilihat dari strategi pemungutan pajak PBB yang dilakukan pemerintah kota Surabaya, seharusnya dilakukan pembenahan karena melihat data yang masih kurang dalam perbaikan data, jadi perlu dilakukan pembenahan data setiap tahunnya, perlu melakukan peningkatan kualitas petugas pemungut PBB, peningkatan disipilin kerja, serta peningkatan pengarahan tentang pengetahuan seputar PBB, selain itu pemerintah juga perlu mencari strategi baru tetapi Dispenda tidak mengubah strategi atau menambah strategi baru dalam pemungutan melainkan hanya berupaya meningkatkan kualitas kualitas strategi dan tetap mengoptimalkan strategi pemungutan yang telah dikelola walaupun banyak strategi yang masih belum efektif dan efisien. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa strategi pemungutan PBB yang dilaksanakan oleh Pemerintah kota Surabaya belum sesuai untuk realisasi target penerimaan PBB di Kota Surabaya. Secara keseluruhan strategis yang dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya sudah cukup baik diterapkan. Di lihat dari data yang diperoleh dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) kota Surabaya jumlah penerimaan PBB semakin meningkat jumlahnya, tetapi presentase pencapaian target masih kurang karena mengalami penurunan setiap tahunnya dari tahun 2009-2012. Adapun kendala yang dihadapi oleh pemerintah kota surabaya dikarenakan kurangnya kesadaran dari masyarakat, penegakan hukum yang kurang, database yang jauh dari standar internasional serta wajib pajak yang memiliki alamat tidak jelas. Dari semua ini pemerintah kota Surabaya dapat melakukan pembenahan dalam pemungutan PBB sehingga pencapaian target meningkat.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
14 Saran Petugas/aparat pajak lebih tegas dalam menangani wajb pajak yang menunggaka dalam membayar kewajiban pajaknya, sehingga dapat mengurangi jumlah wajib pajak yang menunggak membayar pajak. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat, serta melakukan diskusi dengan warga Surabaya sebagai wajib pajak agar pemerintah kota mengetahui keinginan dan pendapat warganya. Perlunya dibentuk petugas untuk melakukan survey mengenai data-data terbaru wajib pajak.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)
15 DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jendral Pajak. 2010. Media keuangan.http://www.kemenkeu.go.id/ Diakses pada tanggal 5 Mei 2014. _________. 2012. Pengalihan pajak bumi dan bangunan PBB-P2 sebagai pajak daerah. http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan perkotaan. Diakses pada tanggal 16 Februari 2014. Erly, S. 2002. Hukum Pajak. Salemba Empat. Jakarta. Fuad. 2012 . Payment online system pajak bumi dan bangunan. http://www.piramidasoft.com/. Diakses pada tanggal 28 November 2013. Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 2012. Pelengkap buku pegangan penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah: kebijakan hubungan keuangan pusat dan daerah. Direktorat jendral Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta. Laili,A. 2013. Membagun kepatuhan menuju masyarakat sadar pajak http://www.pajak.go.id/. Diakses pada tanggal 28 November 2013. Lisasih,Y.N. 2011. Kendala dalam pemungutan pajak daerah. http://yasminelisasih.com/. Diakses pada tanggal 10 April 2014. Mahmudi.2005. Manajemen kinerja sektor publik. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. ______. 2010. Manajemen kinerja sektor publik. Edisi Kedua. UPP AMP YKPN. Yogyakarta Mahsun. 2006. Pengukuran kinerja sektor publik. Edisi Pertama. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta. Mardiasmo. 2002. Akuntansi sektor publik. Andi Offset. Yogyakarta. ________. 2011. Perpajakan. Edisi Revisi. Andi. Yogyakarta. Mokamat. 2009. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Penarikan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Grobongan. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang. Nasucha. 2004. Administrasi publik teori dan praktik. PT Gramedia Widiarsarana Indonesia. Jakarta. Nazir, M. 2004. Metode penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 213/pmk.07/2010, Nomor:58 tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan. Rahman, A. 2011. Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Kecamatan Soerang Kota Pare-Pare. Skripsi. Universitas Hassanudin. Siahaan, M.P. 2009. Pajak bumi dan bangunan di Indonesia teori dan praktik. Edisi Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah menjadi UndangUndang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Edisi 10. Salemba Empat. Jakarta.